Kapita Selekta Jilid 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

your sign here.



edisi IV



© 20 l.f p11b!ished by



MEDIA' AES CU LAPIUS



KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN EDISI KE-4 EDITOR Chris Tanto; Frans Liwang; Sonia Hanifati; Eka Adip Pradipta I DESAIN DAN TATA LETAK Reiva Wisdharilla M.D. I ILUSTRASI GAMBAR Andreas Michael I TIM PENERBITAN DAN PRODUKSI Hanifah Rahmani Nursanti; Naela Himayati Afifah; Teguh Hopkop; Setyo Budi Premiaji Widodo Hak Cipta ©2014, 2000, 1999, 1982, 1977 Penerbit Media Aesculapius. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.



MEDIA



f



AESCULAPIUS



Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia JI. Salemba Raya 6, Jakarta Pusat I 0430 PO BOX 4201 I Jakarta 10042 : [email protected] e-mail Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam. atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya tanpa izin tertulis dari Penerbit. Cetakan I, 2014 Cetakan II, 20 16 (Revisi) Kapita selekta kedokteran I editor, Chris Tanto ... [et al.]. -- Ed. 4. -- Jakarta: Media Aesculapius, 2014. 2 jil. ; l 5x23 cm. ISBN 978-602-17338-3-7 (no.jil.lengkap) ISBN 978-602-17338-4-4 Gil. I) ISBN 978-602-17338-5-1 Gil.2) I. Kedokteran.



I. Chris Tanto 610



CATATAN Ilmu kedokteran merupakan ilmu yang terus berkembang semng dengan banyaknya penemuan riset dan pengalaman klinis. Para penulis dan penerbit buku ini sudah melakukan pengecekan terhadap sumber-sumber terpercaya dalam upaya memberikan informasi yang lengkap, mutakhir, dan sesuai standar-standar yang diterima pada saat diterbitkan. Namun, mengingat kemungkinan kesalahan manusiawi atau perubahan di bidang pengetahuan medis, penulis maupun penerbit atau pihak lain yang terlibat dalam penyusunan atau penerbitan buku ini tidak menjamin bahwa informasi yang dimuat dalam buku ini akurat atau lengkap, dan mereka juga menolak klaim atas segala tanggung jawab atas kesalahan atau kealpaan atau atas akibat yang ditimbulkan oleh penggunaan informasi yang terkandung dalam buku ini. Pembaca dianjurkan untuk mengonfirmasi informasi yang terkandung di sini dengan sumber-sumber lain. Sebagai contoh, pembaca dianjurkan mengecek lembar informasi produk yang terdapat di dalam kemasan setiap obat mengenai rencana pemberiannya untuk memastikan bahwa informasi yang ditulis di dalam buku ini akurat dan bahwa belum ada perubahan pada dosis yang dianjurkan a tau kontraindikasi pemberiannya. Rekomendasi ini terutama sangat penting untuk obat-obat baru atau obat yang jarang digunakan.



ii



• untuk Bangsa Indonesia yang lebih sehat.



erawal



dari gagasan sekelompok mahasiswa kedokteran pada 1977, Kapita Selekta Kedokteran (KSK) kini telah menjadi primadona para tenaga kesehatan. Di tengah keringnya sumber bacaan kedokteran berbahasa Indonesia, kehadiran KSK sangat "melegaka n" bagi mahasiswa kedokteran. dokter. bidan, hingga ahli farmasi kala itu. Tidak jarang KSK ditemukan di puskesmas terpencil. bahkan menjadi referensi pegangan di institusi tertentu. Apalagi. namanama seperti Sukman Tulus Putra dan Soedibjo



B



Sastroasmoro



turut



membidani



lahirnya



edisi



pertama buku ini.



"Kapan KSK terbaru terbit?" Pertanyaan itu berulang kali didengar para anggota Media Aesculapius. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. KSK teiah mengalami revisi pada 1982, 2000. dan 20 12. Perjalanan memperbaharui KSK tidaklah mudah. Tiga kali revisi daiam rentang 37 tahun pun masih jauh dari ideal. Meski demikian, peninjauan kelayakan informasi dalam



KSK tidak pernah berhenti. Upaya itu tampak dari perubahan-perubahan yang dialami KSK. Pada edisi ketiga lalu. tim penyusun akhirnya membagi konten KSK yang semakin komprehensif ke dalam dua jilid. Pada edisi keempat ini, tim penyusu n semakin berfokus pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia untuk dokter umum sehingga tidak memasukkan materi



ilmu kedokteran gigi dan mulut. Melalui berbagai penyelarasan, KSK didesain agar semakin



kredibel dan sesuai untuk dokter umum di Indonesia. Na mun akhirnya, tiada gading yang tak retak. KSK bukanlah karya yang paling sempurna. Tim penyusun menyadari berbagai kekurangan yang ada dan selaiu membuka pintu terhadap masukan dari pembaca. Saran-sa ran itulah yang menginspirasi tim penyusun untuk terus berinovasi



menghasilkan KSK yang Jebih baik lagi.



iv







appreciation to



our



previous writers.



Edisi II Edisi I



Atiek S. Soemasto



Sukman Tulus Putra



Husna Amelz



Soedibjo Sastroasmoro



Purnawan Junadi



Erwin Silman



Muchtaruddin Mansyur



Alan Roland Tumbelaka



Chairil Anwar Saleh



Chairil Hamdani



Refni Muslim



Kusdijanto



Roosyana



Ahmad Thamrin Somad



Hasbullah Thabrany



Faisal Yunus



Imam Subekti



Laurentia Loany Pudjiadi



Gatot Purwoto Agus Purwadianto



v



appreciation to



our



previous writers.



Edisi III Jilid 2 Arif Mansjoer Suprohaita Edisi III Jilid 1



Wahyu Ika Wardhani



Arif Mansjoer



Wiwiek Setiowulan



Kuspuji Triyanti



Aditya Wicaksono



Rakhmi Savitri



Arif Hamsah



Wahyu Ika Wardhani



Azizah Rukmawati



Wiwiek Setiowulan



Dewi Anggraini



Anantha Dian Tiara



Edi Patmini



Arif Hamsah



Eva Suarthana



Edi Patmini



Fredrico Patria



Evi Armilasari



Ikhwan Rinaldi



Evy Yunihastuti



Kuntjoro Harimurti



Fauzia Madona



Kuspuji Triyanti



Irfan Wahyudi



Pribadi W. Busroh



Kartini



Purwita W. Laksmi



Kuntjoro Harimurti



Rakhmi Savitri



Nurbaiti



Rudi Febrianto



Suprohaita



Syamsu Hudaya



Usyinara



Tiara Aninditha



Winda Azwani



Virginia Dwiyandari Winda Azwani Wendyansyah Wenny Fitrina Dewi



vi



contributions



consultants. by



dr. Adityo Susilo, SpPD Divisi Tropik Infeksi Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN-CM. Jakarta



dr. Elvie Zulka K Rachmawati, SpTHT-KL Divisi Endoskopi - Bronkoesofagologi Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Kepala dan Leher FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH , MMB Divisi Gastroenterologi Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Jaka rta



dr. Endang Mangunkusumo, SpTHT-KL(K) Divisi Rinologi Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Kepala dan Leher FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Anggi Gayatri, SpFK Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Jakarta



dr. Farida Briani, SpB(K)Onk Divisi Bedah Onkologi Departemen llmu Bedah FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Alexander Jayadi Utama, SpB(K)V Divisi Vaskular dan Endovaskular Departemen llmu Bedah FKUI/RSUPN-CM. Jakarta dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL(K) Divisi Otologi Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Kepala dan Leher FKUI/RSUPN-CM. Jakarta dr. Arif Mansjoer, SpPD, KIC Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Jakarta dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K) Divisi Endokrinologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN-CM. Jakarta dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K) Divisi Fertilisasi Endokri nologi Reproduksi Departemen llmu Kebidanan dan Kandungan FKUI/ RSUPN-CM. Jakarta



dr. Fauziah Fardizza, SpTHT-KL(K) Divisi Laring - Faring Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Kepala dan Leher FKUI/RSUPN-CM. Jakarta dr. Fitri Octaviana Sumantri, SpS(K), MPdKed Divisi Neuromuskular, Saraf Perifer



Departemen Neurologi FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Galuh Ayu , SpRad Divisi Radiologi Anak Departemen Radiologi FKUI/ RSUPN-CM. Jakarta dr. Hikari Ambara Sjakti , SpA(K) Divisi Hemato Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN-CM. Jakarta dr. Hervita Diatri , SpKJ(K) Divisi Psikiatri Komunitas. Rehabilitasi Psikososial. dan Trauma



Psikososial Departemen Psikiatri FKUI/ RSUPN-CM. Jakarta



dr. Anna Uyainah, SpPD-KP, MARS Divisi Pulmonologi Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Reumatologi



dr. Brastho Bramantyo , SpTHT-KL(K)



Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Prof. Dr. dr. Harry lsbagio, SpPD-KR



Divisi Neurotologi



Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Kepala dan Leher FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Chaidir Arif Mochtar, SpU, PhD Departemen Urologi FKUI/RSUPN-CM. Jakarta Dr. Med. Damar Prasmusinto, SpOG(K) Divisi Fetomaternal



Dr. dr. Hanifah Oswari, SpA(K) Divisi Gastrohepatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN-CM. Jakarta dr. lka Prasetya Wijaya, SpPD-KKV Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Departemen Ilmu Kebidanan dan Kandungan FKUI/ RSUPN -CM. Jakarta



vii



contributions by



viii



consultants.



Dr. dr. I Putu Gede Kayika, SpOG(K)



dr. Muzal Kadim, SpA(K)



Divisi Obstetri Sosial Departemen llmu Kebidanan dan Kandungan FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Gastrohepatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD-KAI



dr. Mulya Rahma Karyanti, SpA(K), MSc, IBCLC



Divisi Alergi Imunologi Depanemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi lnfeksi dan Pediatrik Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



dr. lrsan Hasan SpPD-KGEH



dr. lka Dewi Mayangsari, SpTHT-KL



Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Onkologi THT Departemen Telinga Hidung Tenggorok · Kepala dan Leber FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



dr. lskandar Rahardjo Budianto, SpB, SpBA



dr. Nadia Ayu Mulansari, SpPD



Divisi Bedah Anak Departemen Ilmu Bedah FKUl/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen llmu Penyakit Dalam FKUl/RSUPN-CM. Jakarta



dr. I Wayan Muma Y, SpRad(K)



Dr. dr. Najib Advani SpA(K), Mmed (Paed)



Oivisi Gastrointestinal



Departemen Radiologi FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Kard iologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Juferdy Kurniawan, SpPD



dr. Nikmah Salamia Idris, SpA



Divisi Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Kardiologi Departemen llmu Kesehatan Anak FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Kristaninta Bangun, SpBP-RE(KKF)



dr. Nina lrawati, SpTHT-KL(K)



Divisi Bedah Plastik Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Alergi lmunologi Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Kepala dan Leher FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, SpPD-KGer



dr. Ni Made Hustrini, SpPD



Divisi Geriatri



Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUl/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Ginjal Hipertensi Departemen llmu Penyakit Dalam FKUl/RSUPN-CM. Jakarta



Dr. dr. Leonard Nainggolan, SpPD-KPTI



dr. Nyimas Diana Yulisa, SpRad(K)



Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUl/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Musku loskeletal Departemen Radiologi FKUl/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Marcel Prasetyo, SpRad



dr. Oktavinda Safitry, SpF, MPdKed



Divisi Muskuloskeletal Departemen Radiologi FKUl/RSUPN-CM. Jakarta



Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUl/RSUPN-CM. Jakarta



contributions



consultants. by



dr. Pryambodho, SpAn, KIC Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUJ/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. dr. Rini Sekartini, SpA(K)



dr. Thariqah Salamah, SpRad Divis\ Musku\oske\etal Departemen Radiologi FKUJ/RSUPN-CM. Jakarta



Divisi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUJ/RSUPN-CM. Jakarta



Dr. dr. Tiara Anindhita , SpS(K)



dr. Riwanti Estiasari, SpS(K)



dr. Titis Prawitasari, SpA(K)



Divis\ Neuroinfeksi dan lmunologi Departemen Neurologi FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



dr. Rosalina Dewi Roeslani , SpA(K) Divis\ Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUJ/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Rr Dyah Purnamasari S, SpPD, KEMD Divis\ Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUJ/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Sigit Purbadi, SpOG(K) Divis\ Onkologi Ginekologi Departemen Ilmu Kebidanan dan Kandungan FKUJ/RSUPN-CM. Jakarta



Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, SpKK(K) Divisi Marbus Hansen



Divis\ Neuroonkologi. Sefalgia dan Nyeri Departemen Neurologi FKUI/RSUPN-CM. Jakarta Divis\ Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUJ/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Umar Said Dharmabakti, SpTHT-KL(K) Divis\ Rinologi Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Kepala dan Leher FKUI/RSUPN-CM, Jakarta



dr. Vally Wulani , SpRad(K) Divisi Toraks Departemen Radiologi FKUJ/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Wifanto Saditya Jeo, SpB(K)BD Divis\ Bedah Digestif Departemen Ilmu Bedah FKUJ/RSUPN-CM. Jakarta



dr. Wahyu Widodo, SpOT



Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/ RSUPN-CM, Jakarta



Divisi Tangan dan Bedah Mikro . Departemen Medik Ortopedi dan Traumatolog1 FKUI/ RSUPN-CM. Jakarta



dr. Sudung 0. Pardede, SpA(K)



dr. Wahyuni lndawati, SpA(K)



Divis\ Nefrologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUJ/RSUPN-CM, Jakarta



Dr. dr. Susyana Tamin , SpTHT-KL(K) Divisi Endoskopi - Bronkoesofagologi Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Kepala dan Leher FKUI/RSUPN-CM. Jakarta



Dr. dr. RA Setyo Handryastuti, SpA(K) Divisi Neurologi



Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUJ/RSUPN-CM, Jakarta



Divis\ Respirologi Departemen llmu Kesehatan Anak FKUJ/RSUPN-CM, Jakarta



dr. Yunia lrawati, SpM(K) Divisi Rekonstruksi dan Bedah Plastik Mata Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUJ/RSUPN-CM. Jaka rta



dr. Yusuf Bahasoan Departemen Patologi Klinik FKUJ/RSUPN-CM. Jakarta



i



acknowledgement to



our team.



Ketua Tjm Kapita Selekta Kedokteran Eka Adip Pradipta



lil1itl!r Chris Tanto Frans Liwang Sonia Hanifati Eka Adip Pradipta



Andy Arifputera Chrysilla Calistania Cindya Klarisa Dimas Priantono Dyah Paramita Wardhani Elita Wibisono Gracia Lilihata Hasiana Lumban Gaol Indra Maharddhika Pambudy Novita Suprapto Risca Marcelena Selti Rosani Widyaningsih Oentari Venita Direksi Pemimpin Dlreksi: Hanifah Rahmani Nursanti Sekretar is dan Bendahara: Naela Himayati Afifah Hubungan Eksternal: Teguh Hopkop



x



Staf Direksi:



Ade Irma Malyana Artha Aditya Indra Pratama Amajida Fadia Ratnasari Anita Tiffany Annisaa Yuneva Berli Kusuma Danny Darmawan Diadra Annisa Setio Utami Dyah Ayu K. Buwono Elvina Johanna Yunasan Febrine Rahmalia Fidinny Izzaturrahmi Hamid Hardya Gustada H Fatimah Sania Fildzah Hilyati Herdanti Rahma Putri Herliani Dwi Putri Halim Nikodemus Hosea Nobian Andre Patria Wardana Yuswar Raymond Surya Sukma Susilawati Tiara Kemala Sari Wilton Wylie Iskandar Zatuilla Zahra Produksi Ilustrator Andreas Michael Tata Letak Koordjnator Layout



Reiva Wisdharilla M.D. Anggota Andrew John Widya Sieman Eda Rezaprasga Eiko Bulan Matiur Hafizh Ahmad Boenjamin Meivita Sarah Devianti Selvi Nafisa Shahab Setyo Budi Premiaji Widodo Ucapan Terima Kasih Alia Nessa Utami Amila Tikyayala Andy Omega Aulia Akbar Bramantyo Davrina Rianda Johny Bayu Fitantra Oviliani Wijayanti Rahmanu Reztaputra Ratna Moniqa Tim Revisi: Juniarto Jaya Pangestu, Edwin Wijaya. Tiroy Junita, Robby Hertanto. Gabriella Juli Lonardy. Herlien Widjaja. Indah Lestari. Nadim Marchian Tedyamo. Anita Tiffany. Diadra Annisa Serio Utami. Eiko Bulan Matiur, Elvina Johanna Yunasan. Herdanti Rahma Putri. Selvi Nafisa Shahab, Berli Kusuma. Eka Adip Pradipta, Tiara Kemala Sari. Rosyid Mawardi



xi



a



p



Sebuah impian. rangka ian kerja keras. dan curahan dedikasi. Tak ada ha! lain ya ng dapat lebih menggambarka n usaha kami dalam me nyusun buku ini. Kapita Selekta Kedoktera n (KSK) edisi 4. lahir em pat be las tahun seja k pendahu lunya mengisi hampir se tiap lemari buku di be rbagai fasilitas kesehatan di seantero nusantara. Oidorong oleh semangat untuk terus memberikan



nilai lebih bagi dunia kesehatan Indonesia, dengan rasa syukur atas rahmat Tuhan yang Maha Kuasa. KSK ed isi 4 dapat berada di tangan Anda saat in i. Ilmu kedokteran berkembang pesat dalam empat belas tahun terakh ir. Hal itulah ya ng memutuskan kami untuk menulis ulang seluruh naskah dalam buku ini. namun tetap mengac u pada KSK edisi sebel umnya. Setiap bab da lam buku ini disesuaikan dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 se hingga diharapkan dapat memenuhi tuntuta n profesi dari segi ke ilmuan dan praktik sehari- hari. Seiring de ngan perkembangan zaman. KSK edisi 4 menambahka n bab-bab seperti Kedokteran Berbasis Bukli dan Konse p Sehat Sakit Abad 2 1 aga r teta p relevan. Berbagai pranala luar di dun ia maya juga kami serta kan dalam bab-bab tertentu sehingga dapat memu da hkan akses da n aplikasi di lapa ngan. Refere nsi serta pa nduan dalam buku ini juga diselaraskan de ngan ke luaran terbaru yang sudah tervalid asi.



Akhirnya. terima kasih kami haturkan ke pada semua pihak yang turut berperan dalam terbitnya buku ini. Kami sampaikan hormat untuk guru-guru kami di Fakultas Kedokteran Univers itas Indonesia. Tan pa bimbingan dan peran serta Kalian, ten tu buku ini akan semakin jauh dari se mpurna. Untuk pen ulis. tata letak dan ce tak. staf direksi dan produ ksi. tim inti KSK edisi IV, serta pihak-piha k yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, selamat menikmati hasil jerih lelah selama ini.



Kami menyadari. buku ini masih jauh dari sempur·



na. Akan me njadi ke hormatan bagi kami apab ila Rekanrekan dapat membe rikan saran. kritik, dan masukan bagi pengembangan buku ini selanjutnya. Kami menyadari karena belaja r haruslah sepanjang hayat. Jakarta, 2014 Untuk Bangsa Indo nesia ya ng lebih sehat



Tim Ed itor



xii



dekan



UPheri•1 1ndones1a Mewujudkan Indonesia Sehat melalui Buku Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.



Kepada Para Dokter dan Tenaga Medis di seluruh Indonesia. Pembaca Kapita Selekta Kedokteran yang budiman. Sejak awal tahun 20 14, Bangsa Indonesia telah meneguh kan langkah untuk mewujudkan jaminan kesehatan semesta bagi seluruh rakyatnya. Terlepas dari segala kekurangan yang ada, s istem pembiayaan kesehatan baru ini selayaknya menumbuhkan semangat dan antusiasme untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu oleh para dokter dan tenaga medis di seantero nusantara. Adanya jarninan kesehatan ini akan meningkatkan jumlah. varias i. dan severity pasien. dan Dokter dituntut



agar tetap kompeten dan terampil. mampu bekerja interdis iplin. serta menjunjung tinggi nilai-nilai etika kedokteran. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh Dokter dengan tetap mengutamakan mutu pelaya nan dan patient safety. Sebagai institusi penyelenggara pendidikan. Fakultas Kedokteran Univers itas Indonesia menyadari bahwa selalu terdapat celah antara ilmu dan keterampilan yang diperoleh selama masa pendidikan dengan keb utuhan praktik klinis mandiri selanjutnya. Perkembangan ilmu kedokteran yang semakin modern dan mutakhir juga menjadi tantangan terse ndiri bagi seorang dokter untuk mampu menguasai medan kerjanya seraya menerapkan prinsip kedokteran berbasis bukti. Oleh karena itu. sudah menjadi tugas institusi penyelenggara pendidikan Dokter untuk mengikuti seluruh perkembangan tersebut dan menginformas ikan/ menyebarluaskan agar dapat diterapkan dalam praktik klinis yang nantinya akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Kehadiran buku Kap ita Selekta Kedokteran Media Aesculapius ini bertujuan menjadi penghubung antara inslitusi pendidikan dan layanan kesehatan, terutama bagi layanan primer di perifer yang masih minim akses informasi. Semoga buku ini dapat digunakan



sebagai su mber pengetahuan yang dibutuhkan dengan konsep dan panduan yang benar. sehingga memperbarui ilmu yang lama. serta memacu semangat untuk terus belajar sepanjang hayat (continuing medical education). Besar harapan kami, buku ini dapat berkontribusi mewujudkan Indonesia Sehat melalui tenaga-tenaga med is yang kompeten dan berkualitas. Tidak lupa. Saya juga memberikan apresiasi dan uca pan selamat bagi seluruh tim Media Aesculapius yang berkolaborasi dengan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo atas kerja keras dan dedikasi sehingga buku ini dapat terbit dan tiba ke tanga n Pembaca. Fakultas. Universitas. dan Bangsa Indonesia akan terus menanti kehadiran



buku-buku dan goresan pena Media Aesculapius lainnya. Wabillahi Tauflq Walhidayah. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.



Dr. dr. Ratna Sitompul SpM(K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia



xiii



31.lnfeksi Saluran Kemih. _ _ _ _ _ _91



Pendahuluan l. 2. 3. 4.



32. Sindrom Nefrotik (SN)



Konsep Sehat-Sakit Abad 21 2 Prinsip Pemilihan dan Pemakaian Obat_ 4 Panduan Diet dan Nutrisi 12 Kedokteran Berbasis Bukti 20



llmu Kesehatan Anak Endokrinologi



5. Diabetes Melitus Tipe 1



29



93



Neurologi



33. Ensefalitis Virus & Meningitis Aseptik_95 34. Epilepsi 35. Kejang Demam



98 102



36. Meningitis Bakterialis



105



37. Meningitis Tuberkulosis



111



38. Sindrom Guillain Barre



114



Gizi dan M etabolik



6. Gangguan Pertumbuhan-Short Stature_34



39. Asuhan Nutrisi Anak



117



7. Pubertas Prekoks



40. Defisiensi Besi



120



4 l. Defisiensi Vitamin A



122



4 2. Gizi Buruk



123 126



8. Hipotiroid Kongenital



36 38



Gastroenterologi



9. Diare



41



43. Obesitas



10. Disentri



44



Pediatri Sosial



11. Konstipasi



45



44. Imunisasi



129



12.Muntah



47



4 5. Tumbuh Kemban



133



Hematologi-Onkologi



Perinatologi



13. Anemia pada Anak



49



46. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir_ l 54



14. Hemofilia



53



47.Ikterus Neonatorum



15. Leukemia Akut



55



48. Manajemen Bayi Lahir Sakit._ _ _ _ 158



155



16. Purpura Trombositopenia Imun___ 58



49. Manajemen Bayi Lahir Sehat



159



17. Talasemia



50. Sepsis Neonatorum



161



59



Hepatologi



Respirologi



18. Hepatitis Virus



62



51.Asma_ __ _ __ _ _ _ _~ l63



19. Kolestasis



65



52. Bronkiolitis



171



53. Infeksi Saluran Napas Akut



172 174



Infeksi



20.Campak



67



54.Pneumonia



21. Demam Berdarah Dengue



68



55. Sesak Na pas



l 77



22. Difteria



71



56. Tuberkulosis



180



23. Pertusis



72



24. Tifoid



74



llmu Bedah



Kardiologi



25. Demam Reumatik



76



57. Anestesi Lokal. _ _ _ _ _ _ _ _ 186



27. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik__ 82



58. Asepsis dan Antisepsis



188



28. Penyakit Kawasaki, _ _ _ _ _ _ _ 86



59. Biopsi dan Ekstirpasi



190



Nefrologi



60. Instrumen Bedah dan Penjahitan_ _ 193



29. Gangguan Ginjal Akut (GGA). _ _ _ _ 88



61. Rosser Plasty 196 62. Sirkumsisi._ _ _ _ _ __ _ _ _ 197



30. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS), _ _ _ _ __ 89



xiv



Umum &Minor



26. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik_78



63. Teknik Penjahitan



201



...... I essential contents Anak



99.



Hiperplasia Prostat Jinak _ _ _ 284



64. Hernia Anak



205



100.



Trauma Buli



290



207



101.



Trauma Ginjal



291



208



102.



Trauma Uretra



292



211



103.



Tumor Ganas Buli



294



65. Kriptorkidismus 66. Malaformasi Anorektal 6 7. Penyakit Hirschprun



Vaskular



Digestif



213



104.



Insufisiensi Vena Kronis



69. Batu Empedu



215



105.



Penyakit Oklusi Arteri Perifer_ _ 297



70. Hemoroid



217



106.



Trauma Vaskular



300



71.Hernia



219



107.



Trombosis Vena Dalam



302



72. Ileus Mekanlk



221



73. Karsinoma Kolorektal



222



7 4. Perforasi



226



7 5. Trauma Abdomen



227



Kulit dan Kelamin



.



Infeksi



108.



Frambusia (Yaws)



307



7 6. Tumor Paro tis



229



109.



Herpes Simpleks



308



77. Kanker Payudara



230



110.



Herpes Zoster



309



78. Karsinoma Tiroid



236



111.



Infeksi Parasit



310



112.



Kusta



312



113.



Mikosis



316



114.



Moluskum Kontagiosum



319



115.



Pioderma



320



116.



Tuberkulosis Kutis



323



117.



Ulkus Tropikum



326 327 327



Onkologi



Ortopedi



.



296



68. Apendisitis



79. Dislokasi



240



80.Fraktur



241



81. Osteomielitis



243



82. Sindrom Terowongan Karpal



245



83. Sindrom Terowongan Tarsal



246



Plastik-Rekonstruksi



118 .



Varisela



84. Hemangioma



247



119.



Veruka Vulgaris



85. Hipospadia



249



Non-Infeksi



86. Luka Bakar



251



120.



Akne Vulgaris



87.Sumbing



257



121.



88. Trauma Wajah



259



122.



330 Dermatitis Dermatitis Eritroskuamosa_ _ _334 336 Erupsi Obat Alergik



Toraks



123.



329



89.Empiema



264



124.



Prurigo



337



90. Fraktur Iga



265



125.



Tumor Ganas Kulit



338



91. Fraktur Sternum



266



126.



Tumor Jinak Kulit



339



92. Hematotoraks



267



Venereologi



93. Manual WSD



268



127.



94. Pneumotoraks



271



128.



95. Tamponade Jantung



274



129.



341 Go no re Infeksi Genital NonSpesifik_ _ _346 348 Kandidosis Genitalis 351



130.



Kondiloma Akuminatum



96. Batu Saluran Kemih



277



131.



97. Kanker Prostat



280



132.



Limfogranuloma Venereum _ _353 355 Sifilis



98. Kelainan Testis



282



133.



Trikomoniasis



Urologi



364



xv



Oftalmologi



.



Mata Merah Visus Tidak Turun



Partograf



432



169.



Induksi Persalinan



436



170.



Persalinan Preterm



439



Ketuban Pecah Dini



442



134.



Konjungtivitis



368



171.



135.



Perdarahan Subkonjungtiva _ _ 369



172.



Perdarahan Antepartum



444



136.



Pterigium



173.



Perdarahan Postpartum



446



174 .



Trauma Persalinan



447



Infeksi Intrapartum



449



370



Mata Merah Visus Turun



137.



Endoftalmitis



371



175.



138.



Glaukoma Akut



372



Asuhan Pasca Persalinan



139.



Keratitis Akut



373



176.



Masa Nifas



451



140.



Ulkus Kornea



377



177.



Manajemen Laktasi



453



141.



Uveitis Anterior



379



178.



Masalah pada Menyusui



455 457



38 1



Postpartum Blues Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar 180.



Distosia Bahu



459



181.



Ekstraksi Cunam



462



Mata Tenang Visus Turun Mendadak



142.



Ablasio Retina



143.



Oklusi Vena dan Arteri Retina-



179.



- 383



Mata Tenang Visus Turun Perlahan



144 .



Glaukoma



385



182.



Ekstraksi Vakum



465



145.



Katarak



388



183.



Infeksi Nifas



469



146.



Kelainan Retraksi



390



184.



Kelainan Presentasi



473



147.



Retinopati



394



185.



Kompresi Bimanual



479



186.



Manual Plasenta



480



Penyakit Kelopak Mata 148.



Blefaritis



397



Obstetri Sosial



149.



Ektropion



398



187.



Kontrasepsi Alamiah



482



150.



Entropion



399



188.



Kondom



482



151.



Hordeolum



400



189.



AKDR



483



152.



Kalazion



400



190.



Kontrasepsi Hormonal



484



19 1.



Sterilisasi



486



Trauma Trauma Kimia



401



llmu Ginekologi



154.



Benda Asin



403



192.



Gangguan Haid



487



155.



Trauma Bola Mata



403



193.



Infertilitas



489



194 .



Kanker Endometrium



491



195.



Kanker Ovarium



493



153.



Tumor 156.



Retinoblastoma



406



196.



Kanker Serviks



496



197.



Laparotomi KET



500



Kehamilan dan Asuhan Antenatal



198.



Menopause



501



157.



408



199.



Prolaps Uteri



502



410



200.



Seksio Sesarea



504



Obstetri-Ginekologi



Anemia pada Kehamilan



158.



Diabetes Melitus Gestasional



159.



Diagnosis Kehamilan dan Asuhan Antenatal



412



160.



Hidramnion



413



161.



Hiperemesis Gravidarum_ _ _ 4 15



162.



Hipertensi dalam Kehamilan _ _ 416



163.



Keputihan dalam Kehamilan_ _ 420



164.



Perdarahan pada Kehamilan Muda42 2



165.



Perdarahan pada Kehamilan Tua_ 425



Persalinan Aman



xvi



168.



166.



Langkah Persalinan Aman _ _ _ 428



167.



Perineorafi



430



Prosedur Medis 20 1.



Biopsi ]arum Halus



507



202.



Teknik Injeksi



508



203.



Nebulisasi



510



204.



Pungsi Pleura



511



20 5.



Pungsi Suprapubik



5 14



206.



Spirometri



5 15



207.



Splint dan Cast



516



208.



Venaseksi



5 17



3. Kategori Obat dalam Kehamilan _ _530 Lampiran



4. Sistem Penukar Makanan



533



1. Daftar Obat Kegawatdaruratan _ _ _ 519



5. Lampiran Formula WHO



535



2. Nilai Rujukan Laboratorium



6. Lampiran Skor Ballard



536



524



t:I Anestesiologi 209.



Bantuan Hidup Dasar



538



210.



Bantuan Hidup Lanjut



539



Intubasi



541



Manajemen Nyeri



544



Manajemen Praoperasi



550



211. 212. 213. 214. 215.



Tata Laksana Jalan Napas Dasar_ 553 Tata Laksana Jalan Napas Lanjut_ 557



I essential contents 237.



Sindrom Nefritik Akut



647



238.



Sindrom Nefrotik



649



Hematologi-Onkologi



239.



Anemia Aplastik



652



240.



Anemia Defisiensi



653



241.



Anemia Hemolitik



656



242.



Anemia Penyakit Kronis



659



243.



Koagulasi Intravaskular Diseminata



660



Tata Laksana Pascaoperasi_ _ _560 561 Terapi Cairan



244.



217.



245.



Leukemia Granulositik Kronis __662 Leukemia Mielositik Akut_ _ _664



218.



Transfusi Darah



565



246.



Limfoma Malignum



247.



Purpura Trombositopenia



216.



ldiopatik



Ilmu Penyakit Dalam



665 668



Hepatologi



248.



Abses Hepar



670



Hipersensitivitas



570



249.



Batu Empedu



673



Infeksi HIVI AIDS



573



250.



Perlemakan Hali



675



Alergi dan Imunologi



219. 220.



251.



Hepatitis A



681



Diare



584



252.



Hepatitis B



683



222.



Dispepsia



591



253.



Hepatitis C



689



223.



Irritable Bowel Syndrome _ _ _595



254.



Sirosis Hati



693



224 .



Inflammatory Bowel Disease _ _598



255.



Asites



698



225.



Konstipasi



601



256.



Varises Esofagus



700



226.



Pankreatitis Akut



604



257.



Ensefalopati Hepatikum



702



227.



Penyakit Refluks Gastroesofagea1_607



258.



Karsinoma Hali



705



228.



Ulkus Peptik dan Duodenum_ _612



Infeksi Tropik



Gastroenterologi 221.



Geriatri



229.



Acute Confusional State



230.



Inkontinensia Urin



618



Ginja/-Hipertensi



261. 262.



Filariasis



723



263.



Leptospirosis



726



dan Asam-Basa



620



264.



Malaria



728



Gangguan Ginjal Akut



632



265.



Rabies



733



233.



Hipertensi



635



Kardiologi



234.



Infeksi Saluran Kemih



640



266.



Elektrokardiografi



736



235.



Krisis Hipertensi



642



267.



Endokarditis Infektif



740



236.



Penyakit Ginjal Kronis



644



268.



Gaga! Jantun



742



231. 232.



r



260.



709 Cacingan Demam Berdarah Dengue _ _ _716 721 Demam Tifoid



259. 617



Gangguan Elektrolit



xvi



.



269.



Penyakit Jantung Hipertensif_ _ 746



270.



Penyakit Jantung Koroner_ _ _ 748



271.



Aritmia



756



272.



Perikarditis



763



273.



Kardiomiopati



767



274.



Kelainan Katup Jantung



769



Metabolik-Endokrinologi 275.



Diabetes Melitus



777



276.



Dislipidemia



783



277.



Hipertiroidisme



787



278.



Hipoglikemia



790



279.



Kaki Diabetik



792



280.



Ketoasidosis Diabetikum



796



281.



Nodul Tiroid



799



282.



Terapi Insulin



802



Pulmonologi 283.



Asma



805



284.



Bronkiektasis



810



285.



Efusi Pleura



811



286.



Gaga! Napas



813



287.



Hemoptisis



816



288.



Kanker Paru



818



289.



Penyakit Paru Obstruktif Kronis_ 824



290.



Tuberkulosis



828



Reumatologi 291.



Artritis Gout



833



292.



Artritis Reumatoid



835



293.



Osteoartritis



837



294.



Osteoporosis



839



295.



Lupus Eritematosus Sistemik_ _842



Forensik 305.



Prosedur Medikolegal dan Visum et Repertum



306.



869



Asfiksia, Tenggelam & Keracunan_87 l



307.



Auto psi



874



308.



Etikolegal



886



309.



Forensik Molekuler



887



310.



Forensik pada Kasus Perlukaan (Traumatologi)



888



Identifikasi Personal



891



312.



Malapraktik



892



313.



Pemeriksaan Laboratorium Forensik



314.



Pengguguran Kandungan dan



315.



Tanatologi



311.



Sederhana



893



Pembunuhan Anak Sendiri_ __ 896 899



Psikiatri 316.



Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa_ 903



317.



Gangguan Mental Organik (F0)_906



318.



Gangguan Penggunaan Zat (Fi)_908



319.



Skizofrenia (F2)



320.



Gangguan Suasana Perasaan (F3)_913



910



321.



Gangguan Neurotik (F4)



915



322.



Sindrom Perilaku (F5)



918



323.



Gangguan Kepribadian (F6) _ _921



324.



Retardasi Mental (F7)



924



325.



Terapi Kognitif-Perilaku



926



326.



Psikoterapi Suportif



927



327.



Penggunaan Psikofarmaka_ _ _929



Kegawatdaruratan Penyakit Dalam



xviii



296.



Edema Paru



846



297.



Gigitan Ular Berbisa



848



298.



Heat-Related Illness



850



299.



Hipotermia



852



300.



Sengatan Listrik



855



301.



Sepsis dan Syok Sepsis



857



302.



Syok Anafilaktik



860



303.



Syok Hipovolemik



863



304.



Syok Kardiogenik



865



Radiologi 328.



Radiologi Sendi



935



329.



Radiologi Tulan



937



330.



Radiologi Vertebra



941



331.



Radiologi Abdomen



942



332.



Radiologi Anak dan Neonatus _ _946



333.



Radiologi Tengkorak



948



334.



Radiologi Toraks



949



335.



Radiologi Traktus Genitourinarius_951



336.



Radiologi Wajah



953



• Hidung 371. Epistaksis,_ _ _ _ _ _ _ _ _ 1044



Neurologi



337.



Bell's Palsy



957



372.



Rinosinusitis



104 6



338



Cluster Type Headache



958



373.



Hipertrofi Adenoid



1049



339.



Demensia Vaskular



959



374.



Karsinoma Nasofarin



1051



340.



Epilepsi



961



375.



Rinitis Alergi



1054



341.



Hernia Nukleus Pulposus_ _ _963



342.



Kompresi Medula Spinalis Akut_ 965



343.



Migren



967



377.



Kanker Larin



344.



Nyeri Trigeminal



969



378.



345.



Penyakit Parkinson



971



379.



Laringitis 1064 Tonsilitis_ _ _ _ _ _ _ _ _ 1067



346.



Status Epileptikus



973



380.



Abses Peritonsilar



347.



Stroke



975



381.



Benda Asing Tenggorokan_ _ _ 1072



348.



Tension Type Headach e



981



382.



Esofagitis Korosif



349.



Tetanus



982



350.



Trauma Kapitis



984



35 1.



Trauma Medula Spinalis



987



352.



Tumor Sistem Saraf Pusat_ _ _989



383.



Apus Darah Tepi



1079



353.



Infeks i Sistem Saraf Pusat_ _ _993



384.



Analisis Gas Darah



1081



354



Mild Cognitive Impairment___ 1001 1004 Spondilitis TB 1005 Myasthenia Gravis



385.



Hematologi Rutin



1082



386.



Analisis Feses



1085



387.



Kerokan Kulit



1086



388.



Pewarnaan Gram



1087



389.



Sputum BTA



1088



390.



Urinalisis



1089



355. 356.



Telinga Hidung Tenggorok



Telinga 357. 358. 359. 360. 361. 362. 363. 364.



Tenggorok 376. Faringitis._ _ _ _ _ _ _ _ _ 1057 1060



1070 107 5



Lab Sederhana



Gangguan Fungsi Tuba Eustachius_l 008 Mastoiditis



1009



Otitis Eksterna



1011



Otitis Media Akut



1015



1. Daftar Obat Kegawatdaruratan_ _ _ 1092



Otitis Media Efusi



1019



2. Nilai Rujukan Laboratorium



Lampiran



1097



Otitis Media Supuratif Kronik_ _ 1021



3. Keamanan Obat dalam Kehamilan _ _ l 103



1025



4. Sistem Penukar Makanan_ _ _ _ _ l 106



Sumbatan Telinga



5. Lampiran Gastroenterologi



Gangguan Pendengaran Akibat Bisin



1028



365.



Neuritis Vestibularis



1030



366.



Penyakit Meniere



1031



367



Presbikusis



1033



368.



Tuli Akibat Intoksikasi Obat_ _ 1035



369. 370.



Tuli Mendadak Vertigo



1108



1036 1038



~



xix



I



daftar s.i.n.g.k.a.t.a.n.



l



A



ABC ACE ADB AF AGD AIDS AKDR AKI ALT ANA ANCA a PTT AP ARB ARDS ARV AS! AST ASTO ATN AV



~



BAB BAK BB BBB BBLR BBLSR BHD BJ BJH BNP BPH BTA BU BUN



DM DNA DNR DOE DPL DPT DSS DVT 05



: ai1Way. breathing. circulation



: angiotensin converting enzyme : anemia defisiensi besi ·atrial fibrillation; fibrilasi atrial



: analisis gas darah . acquired immunodeficiency syndrome



: alat kontrasepsi dalam rahim : acute kidney injury : alanine transaminase : antinuclear antibody



EBM EBV EEG EI EKG ELISA EMC ETT



: anteroposterior . anglocensin receptor blocker : acute respiratory distress syndrome : anti retrovi ral



: air susu ibu



f



. atrioventrikular



: bundle branch block



~



css



· congestive heart failure



. creatine kinase



: cedera kepala berat : creatine kinase MB isoenzyme



· cairan serebrospinal . computerized tomography : cardiotocography : cardiothoracic ratio : creatinlne: kreatinin



CT CTG CTR Cr CVP



: central venous pressure: tekanan vena sentral



DA DRS DBD DIC DJJ



: diare akut deh idrasi ringan sedang : demam berdarah dengue : disemminated intravascular coagulation · denyu tjantungjanin



.Q



xx



: dekstrosa 5% : evidence based medicine : Epstein~Barr virus



: elektroensefalografi : endokarditis infektif : elektrokard iografi ·enzyme-linked immunosorbent assay



. elektromiografi : endotracheal cube



: fibroadenoma mammae : ferrum; zat besi



FFP FVC



: fresh frozen plasma : forced vital capacity



G6PD GCS GDP GDZPP CDS GERO GI GN



: glucose-6-phosphate dehydrogenase : Glasgow coma scale



Hb HD HDL HIV HLA HNP HPHT HSV HT Ht



: continuous ambulatory peritoneal dialysis : (1) kalsium: (2) kanker (Ii hat konteks) : calcium channel blocker . colony form ing unit



: cedera kepala ringa : cedera kepala sedang klorida : cytomegalovirus : C-reactive protein : capillary refill time



: darah perifer lengkap : difteri, tetanus. pertusis : dengue shock syndrome : deep vein thrombosis ; trombosis vena dalam



FAM Fe FEVl



H



_(; CAPO Ca CCB CFU CHF CK CKB CKMB CKR CKS CI CMV CRP CRT



. do not resuscitate · dyspnea on exertion



: forced expiratory volume I: volum ekspirasi



paksa detik ke-1



: buang air besar : buang air kecil · berat badan · bayi berat lahir rendah . bayi berat lahir sangat rendah : bantuan hidup dasar : bunyi jantu ng : biopsi jarum halus . brain natriuretic peptide : benign proscace hyperplasia; pembesaran prostat jinak : bakteri tahan asam : bising usus : blood urea nitrogen



· deoxyribose nucleic acid



f;



: anti-neucrophil cytoplasmic antibody : activated partial chromboplascin time



: aspartate transaminase . antistreptolysin 0 : acute tubular necrosis



: diabetes melitus



!



IBD !BS ICU lg IL IM !MT !SK !SPA ITP JU IUFD IUGR IV !VP IWL



: gula darah puasa : gula darah 2 jam pose prandial : gula darah sewaktu : gastroesophageal reflux disease : gastrointestinal



: glomerulonefritis : hemoglobin : hemodialisis : high density lipoprotein : human immunodeficiency virus : human le ukocyte antigen



. hernia nukleus pulposus · hari pertama haid terakhir . herpes simpleks virus : hipertensi



: hematokrit : inflammatory bowel disease



: irritable bowel syndrome : intensive care unit; unit perawatan intensif



: imunoglobulin : interleukin . intramuskular



: indeks massa tubuh : infeksi saluran kemih : infeksi saluran pernapasan akut : idiopathic/immune thrombocytopenic purpura : international unit; unit internasional : intrauterine fetal death



: intrauterine growth restriction : intravena : intravenous pyelography . insensible water Joss



l



JVP



~



1



RNA ROM ROSC RS RT RVH



:jugular venous pressure: tekanan ve najugularis



K KAO KB KgB KNF KPD KU



: kalium : ketoasidosis diabetik : keluarga berencana : kelenjar getah bening



LBP LES LOH LDL LFG LMN LMWH LP Lp(a) LVH



: low back pain



.s SA



: karsinoma nasofaring



SC SF SCOT SGPT SI SIADH



: ketuban pecah dini : keadaan umum



: lupus eritematosus sistemik



: laktat dehidrogenase · low density lipoprotein : laju filtrasi glomerulus : lower motor neuron : low molecular weight heparin : lumbar puncture: lumbal pungsi : lipoprotein a : left ventricular hypertrophy: hipertrofi ventrikel



SIAS SIPS SIRS SK SMNT SN SNNT SOL SSP SVT



kiri



M



MAP MCV MCH MCHC Mg MN MPASI MR MRI MS



N



Na NGT NICU NK NRM NS



: mean arterial pressure : mean corpuscular volume : mean corpuscular hemoglobin : mean corpuscular hemoglobin concentration



I



: magnesium : monomorfonuklear



. makanan pendamping air susu ibu : mitral regurgitation : magnetic resonance imaging : mitral stenosis



: natrium



: nasogastric tube : neonatal intensive-care unit



: nasal kanul : nonrebreathing mask : normal saline: salin normal



Q OA OAINS OE OMA OME OMSK



f



PA PCR PEB PEA PGK PICU PJK PMN PND PO PPOK PRC PT PTH



R



RA RJP RL



: osteoartritis : obat antiinflamasi nonsteroid : otitis eksterna : otitis media akut : otitis media efusi



TB TBC TC TD TFU TGF THT TIA TIBC TIK TDD TDS TNF ToF TR TS TSH TT TTGO



1!



u UFH UMN UL Ur USG



: otitis media supuratif akut : postero-anterior



uu



: polymerase chain reaction : preeklamsia berat : pulseless electrical activity : penyakit ginjal kronis



UUB UUK



: pediatric in tensive care unit



: penyakitjantung koroner . polimorfonuklear : paroxysmal nocturnal dyspnea : per oral : penyakit paru obstruktif kronis : packed red cell : prothrombin time : parathyroid hormone; hormon paratiroid



: return of spontaneous circulation



: rumah sakit : rectal touche; colok dubur : right ventricular hypertrophy · sinoatrial



: sectio caesarea · sulfat ferosus : serum glutamic oxaloacetic transaminase: AST : serum g/utamic pyruvic transaminase: ALT :serum iron



: syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion : spina iliaka anterior superior



: spina iliaka posterior superior : systemic inflammatory response syndrome : subkutan : struma multinodosa nontoksik : sindrom nefrotik : struma nodosa nontoksik



· space occupying lesion sistem saraf pusat



: supraventricular tachycardia : tinggi badan : tuberkulosis : thrombocyte concentrate : tekanan darah : tinggi fundus uteri : transforming growth factor : telinga, hidung, tenggorok : transient ischemlc attack : total iron binding capacity : tekanan intrakranial



: tekanan darah diastolik : tekanan darah sistolik : tumor necrosis factor



: tetralogy of Fa/Jot : trikuspid regurgitasi : trikuspid stenosis : thyroid stimulating hormone : tetanus toksoid : tes toleransi glukosa oral : unit



: unfractionated heparin : upper motor neuron : urinalisis : ure um



: ultrasonografi : undang-undang : ubun-ub un besar : ubun-ubun kecil



y VeR VE YES VF VL VLDL VT



vzv



: visum et repertum : vu/nus excoriatum : ventricular extra systole



: ventricular fibrilla tion ; fibrilasi ve ntrikel : vulnus laseratum



: very low density lipoprotein : ventricular tachycardia : varicela-zoster virus



w WHO



: reumatoid artritis : resusitasijantung paru



: ribonucleic acid : range of motion



wso



: world health organization : water sealed drainage



: ringer laktat



xxi



cara menggunakan



buku ini.



Penulis



t:l



§:



Nomor Naskah. Terhitung sepanjang buku jilid 1 dan jilid 2.



Cll .....



tel



0: ~ IQ



:;.;:



.....



Kotak Nomor Kompetensi sesuai SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) . Terdiri atas 1, 2, 3, dan 4. Spesifikasi kompetensi 3A/3B/ 4A/ 4B tertera di bawah Nomor Naskah. Penjelasan mengenai SKDI sesuai Kon- _ _ __. sil Kedokteran Indonesia dapat dibaca di halaman berikutnya.



Cll



~



$:\)



::I



e L



xxii



Navigasi Samping. Terdiri atas nama divisi bidang keilmuan dan nomor halaman. Lokasi descending untuk setiap divisi, dan dapat terlihat dari sisi samping pinggir buku. Nomor Halaman.



pendahuluan. 0 Konsep Sehat-Sakit Abad 21 0 Prinsip Pemilihan dan Pemakaian Obat 0 Panduan Diet dan Nutrisi 0 Kedokteran Berbasis Bukti



Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan Mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk Mampu membuat diagnosis klinis terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk Tingkat Kemampuan 3A: bukan gawat darurat Mampu membuat diagnosis klinis dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.



Tingkat Kemampuan 3B: gawat darurat Mampu membuat diagnosis klinis dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis. melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas Mampu membuat diagnosis klinis dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Tingkat Kemampuan 4A: kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. Tingkat Kemampuan 4B: profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau pendidikan kedokteran. Sumber Bacaan 1.



Konsil Kedokteran Indonesia (KKD. Standar kompetensi dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta; 2012.



2.



Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia.



1



Konsep Sehat Sakit Abad 21 Sonia Hanifati



2



Definisi Sehat Sehat atau health berasal dari bahasa Inggris kuno 'hoe/th' yang berarti suatu keadaan bugar dan um um digunakan untuk menyatakan kebugaran tubuh. Pada zaman Hippocrates, kesehatan didefinisikan sebagai hadiah yang istimewa. la menyatakan bahwa apa yang disebut 'sehat' adalah keseimbangan antara empat cairan tubuh, yaitu darah, yellow bile, black bile, dan phlegm. 'Sakit' adalah hasil dari ketidakseimbangan dari empat cairan tersebut. Terlepas dari berbagai definisi sehat yang beragam, apa sebenarnya sehat pada abad 21 ini? Sehat menurut WHO adalah suatu keadaan yang sempurna secara fisik, mental, dan sosial, serta bukan sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan (a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity). Definisi



tersebut tercantum dalam Preamble atau Pembukaan Konstitusi WHO tahun 1947. Definisi ini terus digunakan hingga lebih dari 50 tahun. Banyak yang mulai mempertanyakan definisi sehat menurut WHO. Definisi tersebut dinilai utopia dan tidak realistis. Kata 'complete' atau 'sempurna' dalam kalimat tersebut membuat sulit sekali seseorang tergolong 'sehat' mengingat manusia sulit sekali mencapai kondisi sempurna. Definisi sehat WHO juga terkesan lebih menekankan kepada kebahagiaan. Sehat dan bahagia merupakan dua ha! yang berbeda. Keduanya belum tentu berbanding lurus. Dibutuhkan pengalaman atau kejadian dalam hidup yang berbeda untuk merasakan sehat dan bahagia. Oleh karena itu, bila kita salah dalam menilai sehat atau bahagia, gangguan kebahagiaan seseorang dapat kita artikan menjadi gangguan kesehatan. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa "kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi". Tidak berbeda jauh dengan definisi sehat dari WHO, namun definisi ini menambahkan sisi produktivitas. Lagi-lagi, sehat adalah sesuatu yang berbeda dengan produktif. Bila kita salah mengidentifikasi gangguan produktivitas sosial ekonomi, apakah kita akan mengatakan orang tersebut mengalami gangguan kesehatan? Berdasarkan pemikiran tersebut, menurut penulis,



sudah saatnya WHO membangun konsep baru untuk definisi sehat sehingga terdapat suatu standar jelas mengenai definisi sehat di seluruh dunia. Tantangan yang cukup sulit adalah bagaimana membuat definisi sehat yang menyatukan kesehatan fisik dan jiwa. Salah satu definisi sehat yang menarik diajukan oleh Sarrachi, yaitu suatu keadaan sejahtera, terbebas dari penyakit dan kelemahan, serta merupakan hak asasi manusia dasar dan universal (/lea/th is a condition of well being free of disease or infirmity and a basic and universal human right).



Meski belum ada kata sepakat untuk definisi sehat itu sendiri, perlu ditekankan bahwa kesehatan merupakan hak asasi dasar manusia. Setiap manusia berhak mendapatkan akses kesehatan dan menjalani hidup dengan sehat. Konsep sehat sakit dalam sejarah, dapat dijabarkan dalam berbagai teori. Di antaranya sebagai berikut: Teori Segitiga Epidemiologi (Host-Agent-Environment)



Model segitiga ini terutama dipakai untuk memahami konsep terjadinya penyakit infeksi. Penyebaran penyakit membutuhkan pejamu (/lost) yang sesuai, agen yang infeksius, serta lingkungan yang mendukung. Adanya ketidakseimbangan dari ketiga ha! ini dapat menimbulkan penyakit. Dalam mencegah penyakit, dapat dilakukan modifikasi terhadap salah satu atau lebih faktor tersebut. Sebagai contoh, imunisasi pada pejamu, menciptakan lingkungan yang bersih sehingga tidak mendukung pertumbuhan agen infeksi. atau langsung mengeliminasi agen tersebut. Model ini juga dapat diaplikasikan pada penyakit non-infeksi. Contohnya kasus kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja dapat terjadi bila terdapat agen berbahaya (kimia, biologi, atau fisika) , pejamu yang sesuai (pekerja tanpa alat pelindung diri) , dan lingkungan kerja yang berbahaya (tidak ada sistem pengawasan yang baik). The Environment Health Model



Blum (1974) menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang paling berpengaruh dalam kesehatan, yaitu lingkungan, gaya hidup. biologi manusia, dan



sistem pelayanan kesehatan. Selain itu, terdapat 5 latar belakang yang memengaruhi keempat faktor tersebut, antara lain populasi, budaya, kesehatan mental, sumber daya alam, dan keseimbangan ekologi. Kelima latar belakang itu akan menentukan faktor mana yang paling berperan dalam kesehatan seseorang.



terdapat faktor gaya hidup (perpaduan personal behavior dan lingkungan psikososioekonomi), dan faktor pekerjaan (perpaduan faktor fisik dan psikososioekonomi). Sumber Bacaan: I.



Preamble to the Constitution of the World Health Organization as adopted by the International Health Conference,



Mandala of Health



New York. 19-22 June, 1946: signed on 22 July 1946 by



Hancock & Perkins mengemukakan teori dalam bentuk mandala, yakni berupa lingkaran-lingkaran yang menggambarkan alam semesta. Di tengah model ini, terdapat kesehatan individu yang terdiri atas tiga komponen: mind. body, dan spirit. Pengaruh yang ada terhadap kesehatan digambarkan dengan tiga lingkaran di sekitar individu tersebut, yaitu keluarga, komunitas, lingkungan buatan manusia, dan biosfer. Penulis menjelaskan empat faktor sub-grup yang memengaruhi kesehatan dalam keluarga dan komunitas, yaitu personal behavior. human biology, physical dan psychosocioeconomic. Selain empat faktor tersebut,



the representatives of 61 States (Official Records of the World Health Organization. no. 2. p. 100) and entered into force on 7 April 1948. 2.



Ostiln & Jakob.



Re-defining health. WHO Bulletin.



2005:83:802. 3.



Sarrachi RT. World Health Organization needs to recon-



4.



Soejoeti SZ. Konsep sehat. sakit. dan penyakit dalam kon-



5.



VanLeuween JA. Toews-Waltner D. Abernathy T. Smit B.



sider its definition of health. BMJ. 1997:314: 1409-10. teks sosial budaya. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Evolving models of human health coward an ecosystem context. Ecosystem Health. 1999:5(3):204-19.



3



Prinsip Pemilihan dan Pemakaian Obat Chris Tanto, Anggi Gayatri



4



A. Peresepan Rasional Tata laksana merupakan bagian penting dalam praktik seorang dokter. Berbagai pilihan terapi mulai dari pembedahan, radiasi, fisioterapi. edukasi, konseling, farmakologi, sampai nonfarmakologi sebaiknya dipilih berdasarkan indikasi dan toleransi pasien. Diantara semua itu , obat-obatan merupakan modalitas terapi yang paling sering digunakan. Peresepan obat harus dilakukan secara rasional dengan mempertimbangkan efektivitas. efek samping, serta biaya. Langkah-langkah peresepan obat yang rasional, yaitu: 1. Tentukan diagnosis spesifik. Diagnosis ditentukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis , dan pemeriksaan penunjang. 2. Pertimbangkan implikasi patofisiologi dari diagnosis. Dengan memahami patofisiologi sebuah penyakit maka seorang dokter tidak perlu terlalu banyak meresepkan obat untuk gejala yang masih terkait dengan proses tersebut. 3. Tentukan tujuan terapi yang spesifik. 4. Tentukan obat pilihan. World Health Organization (WHO) menyarankan dokter untuk memiliki personal-drug (P-drug) masing-masing. ?-drug adalah obat umum yang paling dikenal oleh seorang dokter. 5. Tentukan dosis dan bentuk sediaan yang sesuai. Pemilihan regimen obat didasarkan kepada kondisi khusus pada pasien, baik kondisi fisiologis (neonatus, anak, kehamilan, menyusu, dan geriatri) maupun patologis (adanya penyakit tertentu). 6. Rencanakan pemantauan obat dan tentukan tujuan akhir terapi. Hal-ha! yang perlu dipantau



adalah respon pengobatan dan efek samping obat. 7. Rencanakan program edukasi pasien. Beberapa ha! yang perlu diketahui pasien mengenai obat yang dikonsumsinya, yaitu bahwa antibiotik harus dihabiskan, obat simtomatis diminum jika diperlukan, obat yang harus diminum dalam jangka panjang, dan sebagainya. Menurut WHO, setidaknya terdapat empat pain penting dapat menjadi pertimbangan dalam memilih jenis dan bentuk sediaan obat bagi pasien: 1. Efikasi (Efficacy). Efikasi merupakan faktor penting dalam pemberian obat. Perhatikan apakah terdapat kondisi fisiologis atau patologis yang dapat menyebabkan penurunan efikasi obat. 2. Keamanan (Safety). Perhatikan efek samping obat. 3. Kesesuaian (Suitability). Sesuaikan jenis obat dengan kemampuan pasien. Apakah pasien dapat menerima obat parenteral atau sebaiknya sediaan oral saja. Tingkat kepatuhan berobat pasien berbanding lurus dengan kesesuaian bentuk dan dosis obat 4. Harga (Cost) . Sesuaikan harga obat dengan kemampuan ekonomi pasien. Obat yang terlalu mahal atau tidak mampu dibeli akan menjadi hambatan dalam tata laksana pasien. Harga obat berbeda-beda bergantung dari negara dan perusahaan yang memproduksi obat tersebut. B. Panduan Pemilihan Obat pada Kondisi Fisiologis Kehamilan Kebanyakan obat dapat melewati plasenta sehingga dapat menimbulkan efek farmako logi atau



Tabel I . Kelas Keamanan Obar Berdasarkan Food and Drugs Administration (FDA) KalPgon



l)('sk11psi



A



Studi terkontrol pada perempuan hamil tidak menunjukkan risiko pada janin/fetus.



B



Studi pada hewan percobaan gaga! menunjukkan risiko pada fetus: belum ada studi pada perempuan hamil. Studi pada hewan percobaan menunjukkan efek yang tidak diinginkan pada fetus (teratogenik. embriosidal. atau



c



lainnya); belum ada studi pada perempuan hamil; diberikan hanya bila keuntungan potensial melebihi risiko yang mungkin terjadl pada fetus.



D



x



Ada bukti positif pada fetus manusia. Hanya boleh digunakan pada kondisi mengancam nyawa ibu atau penyak it berat dimana obat yang lebih aman tidak dapat digunakan/ tidak efektif. Obat lni dikontraindikasikan untuk perempuan han1il atau yang akan hamil karena adanya abnormalitas pada



fetus manusia maupun hewan.



teratogenik pada embrio/fetus. Berbagai faktor berperan dalam transfer obat dari sirkulasi maternal ke sirkulasi fetus. Untuk menghindari efek teratogenik, Food and Drug Association (FDA) telah mengeluarkan sistem klasifikasi potensi teratogenik yang dapat dipakai sebagai panduan untuk memilih obat dalam kondisi kehamilan (lihat Tabel I ). Jenis-jenis obat beserta kelas keamanannya pada kehamilan dapat dilihat pada bagian Lampiran: Daftar Keamanan Obat dalam Kehamilan. Menvusui Kebanyakan obat yang diminum oleh perempuan menyusui akan terdeteksi pada air susu ibu (ASD. Namun, biasanya konsentrasi obat tersebut relatif rendah sehingga bayi tidak akan mendapatkan dosis terapeutik. Beberapa panduan yang dapat digunakan untuk meningkatkan keamanan konsumsi obat selama menyusui adalah sebagai berikut: l. Minum obat 30-60 menit setelah menyusui dan 3-4 jam sebelum menyusui berikutnya. 2. Hindari obat-obatan yang belum memiliki data keamanan selama menyusui (lihat Lampiran Kategori Obat dalam Kehamilan). 3. Beberapa golongan obat yang dihindari karena efek sampingnya pada bayi antara lain: a. Antibiotik seperti tetrasiklin (gigi berwarna) , isoniazid (defisiensi piridoksin), dan kloramfenikol (supresi sums um tulang) ; b. Hipnotik sedatif seperti diazepam dan barbiturat akan menyebabkan sedasi pada bayi; c. !odium dan propitiourasil (PTU) akan menyebabkan supresi tiroid; d. Opioid seperti heroin, metadon, morfin, dan kodein. Neonatus dan Anak Anak dan neonatus memiliki perbedaan farma-



kokinetik dari orang dewasa sehingga diperlukan penyesuaian dosis obat. Setiap obat memiliki dosis rekomendasi sendiri untuk anak yang biasanya dinyatakan dalam miligram per kilogram berat badan. Namun, untuk mempermudah perhitungan dosis dapat digunakan perkiraan berdasarkan usia, berat badan. a tau pun luas permukaan tubuh. Sa tu hal yang wajib diingat adalah perkiraan menggunakan metode ini tidak seakurat dengan dosis rekomendasi.



5 Beberapa rumus yang dapat digunakan untuk memperkirakan dosis pada anak: Rumus Young: [(usia anak dalam tahun)/(usia anak dalam tahun + 12)] x dosis dewasa (untuk anak di bawah 8 tahun) Rumus Dilling: [usia anak dalam tahun/20] x dosis dewasa (untuk anak di atas 8 tahun) Rumus Fried: (usia anak dalam bulan/ 150) x dosis dewasa (untuk anak dibawah 2 tahun). Geriatri Pada usia Ianjut, komposisi dan fungsi beberapa organ tubuh berbeda dengan orang dewasa muda sehingga mengakibatkan beberapa perubahan sebagai berikut: l. Farmakokinetik a. Perubahan absorpsi obat dapat diakibatkan oleh perubahan pola makan. meningkatnya konsumsi obat bebas (seperti analgetik dan antasida), dan melambatnya pengosongan lambung. b. Pada orang lanjut usia terjadi penurunan Jean body mass, jumlah cairan tubuh, kadar albumin dan peningkatan kadar a -acid glycoprotein dan lemak tubuh. Keadaan tersebut dapat menyebabkan peningkatan kadar obat bebas terutama yang bersifat asam lemah. Perubahan komposisi lemak dan air dalam tubuh



Tabel 2. Perkiraan Dosis Obat pada Anak Berdasarkan Berat Badan. Usia, atau Luas Permukaan Tubuh



3



Neonatus



0,2



12



6



3 bulan



0,3



18



10



I tahun



0,45



28



20



5,5 tahun



0.8



48



30



9 tahun



40



12 tahun



1.3



60 78



50



14 tahun



1.5



90



60



Dewasa



1,7



102



70



Dewasa



1,76



103



6



juga memengaruhi dosis regimen yang dapat diberikan. c. Metabolisme obat lebih lambat karena fungsi hati yang menurun. d. Eliminasi obat lebih lambat sehingga terjadi perpanjangan waktu paruh obat dan akumulasi obat dalam tubuh. 2. Farmakodinamik. Usia lanjut dikenal "lebih sensitif" terhadap mekanisme kerja berbagai obat. Perubahan efek obat terhadap tubuh dapat terjadi terutama akibat perubahan farmakokinetik. Beberapa studi menyimpulkan bahwa pasien geriatri lebih sensitif terhadap obat tertentu seperti golongan hipnotik sedatif dan analgetik. Selain itu, pada usia lanjut mekanisme homeostatis juga sudah mengalami penurunan. Oleh karenanya, diperlukan pengawasan khusus terhadap penggunaan obat-obat tertentu, misalnya pada penggunaan antihipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Beberapa prinsip pemberian obat untuk pasien geriatri, antara lain: 1. Anamnesis dengan teliti mengenai riwayat minum obat. Penyakit dapat disebabkan oleh obat yang dikonsumsi atau obat yang dikonsumsi dapat berinteraksi dengan obat yang akan diberikan; 2. Resepkan obat hanya untuk indikasi spesifik. 3. Tentukan tujuan pengobatan kemudian mulai pengobatan dengan dosis rendah. Dosis dapat dititrasi sampai diperoleh respon yang diharapkan. 4. Ketahui riwayat pengobatan pasien (obat diresepkan, obat bebas, atau obat herbal). 5. Pilihlah regimen obat yang paling sederhana. Kurangi jumlah obat jika memungkinkan dan pilih jenis obat yang dapat dikonsumsi bersamaan dengan obat lainnya. C. Panduan Pemilihan Obat untuk Kondisi Patologis Setiap kondisi patologis berpengaruh terhadap kerja obat. Namun, pada bagian ini hanya akan dibahas panduan pemilihan obat pada kondisi patologis organ yang berperan penting dalam metabolisme dan ekskresi obat. yakni hati dan ginjal. Penyakit Hati Hati berperan penting dalam farmakokinetik sebagian besar obat. Disfungsi hati akan menurunkan bersihan plasma dan memengaruhi ikatan obat oleh protein. Pasien dengan penyakit hati juga dapat menjadi lebih sensitif terhadap efek obat, baik yang diinginkan maupun tidak. Pengaturan dosis obat pada pasien dengan penyakit hati penting untuk mencegah akumulasi obat serta metabolit yang berlebihan.



Namun, sampai saat ini belum ada panduan terinci mengenai dosis obat pada penyakit hati. Beberapa panduan yang dapat digunakan. antara lain: 1. Pilih obat yang dieliminasi melalui ginjal. Namun, harus diperhatikan apakah pasien memiliki sindrom hepato-renal. Ukur kadar ureum kreatinin untuk memastikannya. 2. Hati-hati terhadap obat yang terutama dieliminasi di hati seperti golongan sedatif, analgesik yang bekerja sentral, dan ansiolitik. Penggunaannya dapat menyebabkan ensefalopati hepatik. 3. Untuk obat-obatan dengan eliminasi utama di hati, turunkan dosis pemberian. Hal tersebut berlaku untuk semua jalur pemberian obat. Jangan lupa untuk melakukan pemantauan setelahnya. Dosis obat kemudian dapat dititrasi untuk mendapatkan efek terapeutik yang diinginkan. Penyakit Ginjal Gangguan pada ginjal dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Keadaan ini menyebabkan pasien berisiko tinggi mengalami kejadian yang tidak diinginkan. Ginjal merupakan organ penting dalam sistem eliminasi obat serta metabolitnya. Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) akan menurunkan bersihan obat sehingga waktu paruhnya akan memanjang. Beberapa prinsip pemilihan obat pada penyakit ginjal adalah sebagai berikut: I. Tentukan estimasi LFG. Secara klinis, modifikasi dosis obat tidak diperlukan apabila angka estimasi LFG masih lebih dari 30 mL/ menit. 2. Hindari obat-obatan dan metabolit nefrotoksik, seperti: Nefrotoksin langsung terhadap tubulus: aminoglikosida, vankomisin, amfoterisin, cisplatin. penghambat kalsineurin, dan kontras radiografi. Nefrotoksik terkait hemodinamik: penghambat ACE, ARB, OAINS, diuretik, dan laksatif. Uropati obstruktif: asiklovir, golongan statin, dan antidepresan trisiklik. Untuk pasien dialisis, penggunaan obat nefrotoksik dapat dipertimbangkan. 3. Untuk pasien dengan restriksi cairan, sebisa mungkin hindari penggunaan obat parenteral yang diberikan melalui infus. D. Interaksi Obat Interaksi obat terjadi apabila efek suatu obat berubah karena dipengaruhi obat yang lain. Secara umum, interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi farmakologis, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Pada Tabel 3 dicantumkan beberapa interaksi obat yang penting dan sering digunakan dalam praktik sehari-hari.



Tabel 3. Conteh lnteraksi Obat Penting dan Me kanismenya



Besi: antasid yang mengandung kalsium dapat menurunkan absorpsi besi ltrakonazol: penurunan absorpsi karena absorpsi Antasid dapat menunmkan absorpsl berbagai Antasid



obat, mempercepat pengosongan lambung, dan menganggu ekskresl obat lewat urin



itrakonazol lebih mudah pada suasana asam Ketokonazol: penurunan absorpsi ketokonazol Fluorokuinolon: penurunan absorpsi slprofloksasln. norfloksasin Salisilat: penlngkatan bersihan salisilat melalui ginjal Tetrasiklin: penurunan absorpsi tetrasiklin



Antikoagulan oral



Warfarin dimetabolisme oleh sitokrom



Peningkatan efek antikoagulan:



(CYP)2C9. Metabolisme warfarin mudah



Amiodaron, simetidin, Oukonazol,



diindu ksi atau dihambat oleh berbagai



metronidazole, OAINS, sulfametoksazol.



obat. Warfarin juga terikat ku at dengan protein



Penurunan efek antikoagulan:



plasma.



Barbiturat. karbamazepin. rifampin.



Barbiturat: peningkatan metabolisme itrakonazol. ketokonazo l Goiongan azol dimetabolisme oleh enzim



Antlfungi golongan -awl



CCB (calcium channel blockel): penurunan



CYP3A4 .



metabolisme CCB



Golongan azol merupakan penghambat



Karbarnazepin: penurunan metabolisme



enzlm CYP3A4 (ltrakonazol = ketokonazol >



posakonazole > vorikonazol > flukonazoi).



penghambat enzim CYP2C9. dan penghambat glikoprotein P.



karbamazepin Siklosporin: penurunan metabolisme siklosporin Fenitoin: penurunan metabolisme fenitoin PPI: penurunan absorbs! azol Rlfampln: peningkatan metabolisme itrakonazol, ketokonazol



Peningkat.an efek beta-bic ker: simetidin, SSRI Penurunan efek beta-bicker: OAINS, fenitoin. rifampin Efek Lain: Penyekat reseptor- ll



Pe nyekat beta (teru ta ma golongan nonselektif seperti propranolol) menganggu respon s impatomimetik.



Insulin: menghambat kembalinya kadar gula dari kondis i hipoglikemia. menyamarkan gejala simpatis hipoglikemia Prazosin: peningkata n res pon hipotensif pada dosis prazosin pertama Simpatomimetik: peningkatan respo n vasopresor dari epinefrin (terucama dengan



golonga n beta-bicker nonselektif)



Calcium Channel



Blocker (CCB)



Verapamil dan dUtiazem dlmetabolisme oleh enzim CYP3A4 dan dapat menghambat kerja enzim CYP3A4.



Karbarnazepin: penurunan metabolisme Rlfampin: penlngkatan metabolisme CCB



7



Simetidin: penurunan metabolisme karbamazepin



Karbamazepin dimetabolisme oleh enzim Karbamazepin



CYP3A4. Karbamazepin dapat menginduksi kerja enzim CYP3A4.



8



Digoksin mudah terganggu dalam absorpsl Digoksin



gastrointestinal. Toksisitas digoksin dapat menlngkat pada gangguan elektrolit (hipokalemia).



Penghambat HMGCo-A



reductase (Sta tin)



Kortikosteroid: peningkatan metabolisme kortikosteroid Estrogen: peningkatan metabolisme estrogen Rifampin: peningkatan metabo lisme karbamazepin



Peningkatan efek digitalis: amiodaron, diltiazem, kuinidln, verapamil, obat penurun kadar kalium, antifungal golongan azol Penurunan efek digitalis: kaolin-pektin, rifampin, antasid



Golongan statin dimetabolisme oleh enzim



Karbamazepin: peningkatan metabolisme statin



CYP3A4 .



Klaritromisin: penurunan metabolisme statin



Statin dapat meningkatkan risiko miopati



Eritromisin: penurunan metabolisme statin



jika digunakan bersama dengan obat lain



Rifampin: peningkatan metabo lisme statin



dengan efek samping miopati.



Verapamil: penurunan metabolisme statin



Berikatan dengan obat di traktus Besi



gastrointestinal sehingga menurunkan absorbs



Mikofenolat, kuinolon, tetrasiklin. tlroid



obat lain



OAINS (Obat



anti-inflamasi nonsteroid)



lnhibisi prostaglandin menyebabkan



Penghambat ACE: penurunan respon antihip-



penurunan ekskresi natrium melalui ginjal.



ertensi



Hampir sem ua OAINS menghambat fungsi



ARB: penurunan respon ant ihipertensi



trombosit. meningkatkan risiko perdarahan



Furosemide: penurunan diuresis. natriuresis. dan



jika digunakan bersama dengan obat lain



respon antihipertensi



yang mengganggu hemostasis.



SSRI: peningkatan risiko perdarahan



Obat yang metabolismenya distimulasi fenitoin:



Fenitoin



Fenitoin dimetabolisme oleh enzim CY-



korlikosteroid. eritromisin



P2C9.



Obat yang menghambat metabolisme fenitoin:



Fenltoin dapat menglnduksi kerja enzim



amiodaron, metronidazol



CYP3A4, CYP2C9, dan CYP2C 19.



Obat yang memperkuat metabolisme fenitoin: barbiturat, fenitoin



Bebe rapa kuinolon menghambat enzi m Kuinolon



CYPA 12. Beberapa obat meng hambat absorpsi kuinolon di saluran cerna .



Rifampin



Teofilin



Rifampin dapat menginduksi kerja enzim CYP3A4 dan CYP I A2



Teofilin dim etabolisme oleh enzim CYP l A2 dan CYP3A4



Kafein: inhibisi metabolisme kafein Sukralfat: penurunan absorpsi kuinolon Teofilin: inhibisi metabolisme teofilin



Kortikosteroid: penigkatan metabolisme hepatik kortikosteroid. menurunkan efek kortikosteroid Teofilin: penurunan efek teofilin Penurunan metabolisme teofilin: diltiazem, ver·



apamil. eritromisin



Meningkatkan metabolisme teofilin: merokok



E. Penggunaan Antibiotik dan Resistensi Antibiotik adalah agen farmakologi yang secara selektif membunuh (bakterisidal) atau menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Pemakaian antibiotik yang semakin luas dan tidak bijak dapat menimbulkan resistensi yang merugikan manusia di kemudian hari. Pada prinsipnya, antibiotik hanya digunakan pada pasien dengan penyakit infeksi ak.ibat bakteri. Beberapa prinsip pemberian dan penggunaan antibiotik adalah sebagai berikut: 1. Terapi empiris dipilih berdasarkan bakteri yang paling sering menginfeksi lokasi/ organ tertentu dan kondisi pasien (imunokompeten/imunokompromais). Antibiotik spektrum luas merupakan pilihan untuk terapi empiris. 2. Pengambilan spesimen untuk biakan dan uji resistensi harus dilakukan sebelum terapi empiris diberikan. 3. Tentukan rute pemberian antibiotik berdasarkan tempat dan derajat keparahan infeksi. Sediaan intravena (IV) dipilih pada infeksi berat atau jika tidak dapat diberi obat per oral. 4. Antibiotik diberikan sampai infeksi teratasi. Penilaian dapat dilakukan dari pemeriksaan klinis maupun penunjang. Durasi terapi bervariasi bergantung kepada lokasi infeksi dan organisme penyebab. 5. Apabila hasil pemeriksaan mikrobiologi dan uji sensitivitas antibiotik sudah tersedia, segera berikan terapi definitif sesuai dengan hasil tersebut. 6. Kombinasi dua atau lebih antibiotik dapat diberikan pada kondisi berikut ini: a. Pasien dengan sakit kritis yang memerlukan antibiotik sebelum biakan dan uji resistensi selesai dikerjakan. b. Kedua antibiotik memiliki efek sinergis, misalnya golongan {3 -laktam dan aminoglikosida. c. Infeksi polimikrobial. sehingga diperlukan antibiotik lain untuk memperluas spektrum. Beberapa faktor dalam penggunaan antibiotik yang meningkatkan angka kejadian resistensi, antara lain: I. Penggunaan antibiotik berlebihan. Hindari peresepan antibiotik secara berlebihan. 2. Penggunaan antibiotik spektrum luas yang tidak tepat. Jangan membeFikan antibiotik TANPA tanda infeksi bakteri. 3. Dosis tidak tepat. Perhatikan apakah antibiotik termasuk dalam golongan time-dependent (misalnya f3 -laktam, eritromisin, klindamisin, dan linezolid) atau concentration-dependent (misalnya aminoglikosida dan fluorokuinolon) untuk menentukan dosis pemberian. 4. Ketidakpatuhan dalam konsumsi antibiotik. Perlu diingatkan pada pasien untuk menghabiskan anti-



biotik yang sudah diresepkan.



F. Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan hormon yang sangat penting untuk kelangsungan hidup organisme. Hormon anabolik ini berperan dalam metabolisme karbohidrat, lipid, protein, asam nukleat, keseimbangan cairan dan elektrolit, tulang, kalsium, dan lain-lain. Selain itu, kortikosteroid juga berperan dalam berbagai fungsi fisiologis tubuh, seperti tekanan darah dan kadar gula dalam darah. Kortikosteroid bekerja dengan meningkatkan kecepatan sintesis protein. Setelah diabsorpsi, kortikosteroid akan melintasi membran sel sasaran, diikat reseptor, dan membentuk kompleks reseptor-steroid dalam sitoplasma. Kompleks ini akan bertranslokasi ke nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan tersebut menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein baru. Secara garis besar, pemberian kortikosteroid bertujuan sebagai terapi substitusi dan non-endokrin, terutama sebagai antiinflamasi dan imunosupresan. Dari pengalaman klinis, disimpulkan terdapat enam prinsip dalam pemberian kortikosteroid, yaitu: Dosis efektif untuk pasien pada tiap indikasi ditetapkan berdasarkan trial and error dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai perkembangan penyakit. Dosis tunggal dan besar umumnya tidak berbahaya. Penggunaan kortikosteroid selama beberapa hari tanpa ada kontraindikasi spesifik umumnya tidak berbahaya, kecuali dengan dosis sangat besar. Bila pengobatan diperpanjang hingga dua minggu atau lebih hingga melebihi dosis substitusi, kemungkinan terjadinya efek samping akan semakin besar. Pengecualian pada kasus insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal namun hanya paliatif. • Penghentian pengobatan secara tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar berisiko menimbulkan insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa. Efek samping penggunaan kortikosteroid dapat diakibatkan oleh dua ha!, yaitu (1) penghentian pemberian secara tiba-tiba pada penggunaan jangka panjang atau (2) pemberian jangka panjang terutama dalam dosis tinggi. Pemberian kortikosteroid jangka panjang yang dihentikan tiba-tiba dapat menyebabkan insufisiensi adrenal dengan gejala berupa demam, mialgia, atralgia, dan malaise. Sedangkan, pemberian kortikosteroid secara terus-menerus dapat menimbulkan berbagai efek samping, antara lain:



9



10



Sindrom Cushing; Peningkatan berat badan; Hirsutisme; Gangguan emosi; Hiperglikemia; Osteoporosis; Ulkus peptikum; Hipertensi; Akne vulgaris; Edema; Atrofi kulit;



Banyaknya efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid mengingatkan klinisi untuk tidak sembarangan dalam pemberiannya. Kortikosteroid terdiri dari berbagai jenis yang dibagi menurut waktu kerjanya. Tabel 4 menjabarkan konversi dosis kortikosteroid oral. Konversi ini berguna apabila hanya terdapat jenis steroid tertentu. Kortikosteroid sistemik yang banyak digunakan adalah prednison. Bentuk oralnya tablet berwarna hijau kecil dengan dosis satu tablet 5 mg. Apabila terdapat gangguan hepar, prednisolon lebih dipilih karena tidak memerlukan perubahan prednison menjadi prednisolon di hepar agar dapat bekerja. Selain ben-



Tabel 4. Konversi Dosis Kortikosteroid Oral Polf'n..,i RPlalir d1hc11Hlingk.m ll1drokort1,on - - - - -- - - - - - -Do'1' Glukokortikoid Anl i mlla l\1mPr.ilokm tikoid l·k.ui\.. 1IP11 (mg}



111i)



I.



Apakah pasien saya berbeda dengan subyek penelitian sehi ngga hasil penelitian ini



D Ya D Tidak D Tidak Jelas



tida k dapat diterapkan?



2.



Apakah pasien saya dapat memperoleh manfaat aktua l seperti pada penelitian ini?



D Ya D Tidak D Tidak Jelas



(nilai NNT dapat dikoreksi dengan faktor pengka/i f sesuai kondisi pasien; O200 mg/ dL (11 , 1 mmol/L) ; 2. Pada pasien yang asimtomatis, ditemukan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/ dL (11 ,l mmol/ L) atau kadar glukosa puasa lebih tinggi dari normal (~ 126 mg/dL atau 7 mmol/L). dengan hasil tes toleransi glukosa (TTG) terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan. Cara melakukan tes toleransi glukosa {TTG): Sebelum pemeriksaan, pastikan selama tiga hari berturut-turut anak telah mendapat diet tinggi karbohidrat {150-200 g per hari). lalu puasa semalam menjelang pemeriksaan TTG. Biarkan anak beraktivitas seperti biasa. Hitung kadar glukosa darah sewaktu terlebih dahulu (sebelum tes) . Larutkan sebanyak 1,75 g/ KgBB glukosa (maksimum 75 g) ke dalam air 200-250 mL. Larutan glukosa tersebut diberikan secara oral dalamjangka waktu 5 menit. Tunggu selama 2jam, lalu hitung kembali kadar glukosa darah sewaktu. Interpretasi hasil TTG: Menderita OM, apabila: kadar glukosa puasa ~140/dL (7 ,8 mmol/ L) atau kadar glukosa darah pada jam ke-2 ~ 200 mg/ dL (I 1.1 mmol/L) ; Toleransi glukosa terganggu (TGT) , apabila: kadar glukosa puasa < 140/dL (7,8 mmol/ L) dan kadar glukosa darah pada jam ke-2: 140-199 mg/ dL (7 ,8-11,1 mmol/ L): Normal, apabila: kadar glukosa puasa 50 µU/mL memiliki kemungkinan sangat besar untuk mengalami hipotiroid permanen dan sebaiknya segera mulai diobati setelah diperiksa ulang, sementara kadar TSH 20-49 µU / mL dikonfirmasi dan periksa ulang sebelum diterapi. Karena belum ada program skrining nasional di Indonesia, maka diagnosis banding hipotiroid kongenital harus dipikirkan pada setiap kasus delayed development. Deteksi dini dan pengobatan adekuat sebelum usia 1-3 bulan memiliki prognosis yang baik terhadap tumbuh kembang anak. termasuk kecerdasan IQ.



0-3 bulan



10-15



3-6 bulan



8-10



6-12 bulan



6-8



Sumber Bacaan



1-5 tahun



4-6



l.



6-12 tahun



3-5



>12 tahun



2-4



tubara JR. Tridjaja B, Pulungan AB. penyunting. Buku ajar endokrinologi anak. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDA!. Jakarta: Badan Penerbit IDA!: 20 I 0. 2.



Pemantauan Pertumbuhan dan perkembangan; Skrining pendengaran saat diagnosis; Pemantauan kadar T, dan TSH: Dua minggu setelah inisial terapi dengan L-tiroksin Empat minggu setelah inisial terapi dengan L-tiroksin



Susanto R, Julia M. Gangguan kelenjar tiroid. Dalam: Ba-



Abduljabbar MA. Afifi AM. Congenital hypothyroidism. J Pediatr Endocrinol Metab. 2012:25(1 -2):13-29.



3.



Pudjiadi AH. Hegar B. Hardyastuti S. Idris NS. Gandaputra EP. Harmoniati ED. penyunting. Pedoman pelayanan medis lkatan Dokter Anak Indonesia (IDA!) . Jakarta: Sadan Penerbit IDA!: 20 I l.



4.



Pulungan AB. Hipotiroidisme kongenital. Dalam: Gunardi H. Tehuteru ES. Kurniati N. Adva ni N. Setyanyo DB. Wulandari HF. dkk. Buku kumpulan tips pediatri. Jakarta: Badan Penerbit IDA!: 20 I I .



I



l



9



Kompelcn~i



• I\'



11



••



,



Diare



I



Venita, Muzal Kadim



A. Diare Akut Definisi Perubahan konsistensi tinja yang terjadi tiba-tiba akibat kandungan air di dalam tinja melebihi normal ( l 0 mL/KgBB/ hari) dengan peningkatan frekuensi defekasi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dan berlangsung kurang dari 14 hari. Pola defekasi neonatus dan bayi, hingga usia 4-6 bulan, yang defekasi >3 kali/hari dan konsistensinya cair atau lembek masih dianggap normal selama tumbuh kembangnya baik. Etiologi I. lnfeksi: virus (rotavirus. adenovirus, norwalk) , bakteri (Shigella sp.. Salmonella sp.. E. coli, Vibrio sp.). parasit (protozoa: E. hystolytica, G. lamblia. Balantidium coli; cacing: Ascaris sp.. Trichuris sp .. Strongyloides sp.; jamur: Candida sp.), infeksi ekstra usus (otitis media akut, infeksi saluran kemih. pneumonia). Terbanyak disebabkan rotavirus {20-40%); 2. Alergi makanan: alergi susu sapi, protein kedelai, alergi multipel: 3. Malabsorpsi: karbohidrat (intoleransi laktosa) , lemak. dan protein; 4. Keracunan makanan (misalnya makanan kaleng akibat Botulinum sp.); 5. Lain-lain: obat-obatan (antibiotik atau obat lainnya) , kelainan anatomi. Pertimbangkan apakah diare termasuk primer {infeksi pada saluran cerna) a tau sekunder (gejala ikutan dari penyakit sistemik, seperti bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya).



Diagnosis I. Anamnesis Perlu ditanyakan deskripsi diare (frekuensi, lama diare berlangsung, warna. konsistensi tinja, adanya lendir/darah dalam tinja). adanya muntah, tanda dehidrasi (rasa haus, anak rewel/ lemah, BAK terakhir). demam, kejang, jumlah cairan masuk, riwayat makan dan minum, penderita sekitar, pengobatan yang diterima, dan gejala invaginasi (tangisan keras dan bayi pucat). 2. Pemeriksaan Fisis Periksa keadaan umum, kesadaran, tanda vital , dan berat badan; Selidiki tanda-tanda dehidrasi: rewel/ gelisah, letargis/ kesadaran berkurang, mata cekung, cubitan kulit perut kembali lambat (turgor abdomen). haus/ minum lahap, malas/tidak dapat minum, ubun-ubun cekung, air mata berkurang/ tidak ada, keadaan mukosa mulut; Tanda-tanda ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit: kembung akibat hipokalemia, kejang akibat gangguan natrium, napas cepat dan dalam akibat asidosis metabolik. 3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan tinja, namun tidak rutin dilakukan, kecuali ada tanda-tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Dapat dilakukan secara makroskopis, mikroskopis, maupun kimiawi;



Tabel I . Klasifikasi Diare pada Anak Berdasarkan Derajat Dehidrasi Klasifikasi



Dehidrasl Berat (kehllangan cairan >I 0% berat badan)



'I anda d,m Ct>jala



Dua atau lebih tanda berikut: Kondisi umum lemah, letargis/ tidak sadar Ubun-ubun besar, mata sangat cekung Malas mlnum/ Udak dapat minum Cubitan perut kembali sangat lan1bat (>=2detlk)



Dehidrasi Ringan-Sedang (kehilanga n ca iran 5-10% berat badan)



Dua atau lebih tanda berikut: Rewel, gelisa h. cengeng Ubun ubun besar. mata sedikit cekung Tampak kehausan. minum lahap Cubitan perut kembali lambat



Tanpa Dehidrasi (kehilangan cairan 80.000/ µL (hiperleukositosis) . Pada sebagian kasus, sel leukemik terkadang dilaporkan sebagai limfosit atipikal, diperlukan evaluasi lebih lanjut, untuk menentukan sel tersebut berasal dari ganas. Apabila analisis darah tepi menunjukkan kemungkinan leukemia, pemeriksaan sumsum tulang belakang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Aspirasi sumsum tulang belakang biasanya cukup tetapi terkadang dibutuhkan biopsi sumsum tulang belakang untuk menyediakan sampel jaringan yang lebih banyak untuk studi lebih lanjut atau mengeksklusi penyebab lain dari kegagalan sumsum tulang belakang. LLA didiagnosis dengan evaluasi sumsum tulang yang didominasi lebih dari 25% sel sumsum tulang belakang sebagai populasi limfoblas. Stratifikasi risiko didasarkan pada usia , jumlah leukosit. asam urat, keterlibatan susunan saraf pusat dan imunofenotipe. LLA didasarkan atas pemeriksaan likuor serebral. Pungsi lumbal dapat dilakukan sejalan dengan dosis pertama kemoterapi intratekal apabila diagnosis leukemia sudah ditegakkan dari evaluasi sumsum. Diagnosis Banding LLA harus dibedakan dari LMA atau penyakit keganasan lain yang menginvasi sumsum tulang dan menyebabkan kegagalan sumsum tulang seperti neuroblastoma dan rabdomiosarkoma. Tata Laksana Faktor prognostik terpenting pada LLA adalah derajat risiko dan pengobatan, karena tanpa terapi efektif, penyakit ini berakibat fatal. Survival rate pada anak dengan LLA 40 tahun terakhir sudah meningkat dengan meningkatnya terapi dan outcome dari uji klinis. Terdapat tiga fase dan durasi kemoterapi untuk LLA yang akan dibahas sebagai berikut: a. Fase terapi Tata laksana LLA pada anak umumnya , memiliki 3 fase yaitu induksi. konsolidasi. dan pemeliharaan. Tujuan fase induksi adalah untuk mencapai remisi sumsum tulang yang didefmisikan sebagai kurang dari 5% bias dari sumsum tulang. Terapi induksi biasanya terdiri atas 3-4 macam obat, antara lain glukokortikoid. vincristine, asparaginase, dan anthracycline. Terapi ini menginduksi remisi komplit berdasarkan morfologi pada 98% pasien. Pengukuran minimal residual disease (MRD) dengan flowsitometri atau PCR menunjukkan pemeriksaan morfologik bias yang spesifik dan sensitif, mencapai kurang dari 0, I% pada akhir fase induksi. Terapi konsolidasi diberikan segera setelah remisi tercapai untuk mengurangi beban sel leukemik sebelum adanya resistensi obat dan relaps



pad a situs tertentu (misal testis, SSP,dll). Pada fase terapi ini, pasien diberikan obat lain seperti siklofosfamid, methotrexate, cytarabine dan/ atau 6-mercaptopurine (6MP). Terapi konsolidasi bertujuan untuk meningkatkan long term survival pada pasien dengan penyakit risiko standar. Fase pemeliharaan merupakan fase terlama. Fase tersebut bertujuan untuk mempertahankan remisi. Terapi fase tersebut terdiri atas methotrexate intratekal, vincristine, dan steroid, 6-MP dan metotreksat per oral. b. Durasi Terapi Untuk mencapai angka kesembuhan untuk pasien LLA galur sel B dan sel T membutuhkan sekitar 2- 2,5 tahun untuk melanjutkan terapi. Percobaan mengurangi durasi terapi menghasilkan angka relaps yang tinggi B. Leukemia Mielositik Akut (LMA) LMA terdiri atas sekelompok keganasan yang dicirikan dengan penggantian sumsum tulang normal dengan sel hematopoetik primitif abnormal. Apabila tidak diobati, kelainan ini menyebabkan kematian, yang biasanya karena infeksi atau perdarahan. Meskipun angka keberhasilan pengobatan meningkat, terapi berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas. Angka kesintasan hidup jangka panjang untuk pasien anak hampir 60%. Kematian merupakan konsekuensi kelainan yang progresif atau toksisitas akibat terapi. Klasifikasi LMA dapat dibagi menurut subtipe dari temuan pada sumsum tulang belakang. Beberapa dari subtipe ini memiliki gambaran klinis yang khas. Klasifikasi French-America-British (FAB classification) mengenal 7 tipe primer LMA (Ml - M7), yang ditegakkan berdasarkan morfologi dari pemeriksaan sumsum tulang belakang. Berikut ini adalah klasifikasi primer LMA: a. M 1 leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi b. M2 leukemia mieloblastik akut dengan maturasi c. M3 leukemia promieloblastik akut d. M4 leukemia mielomonositik akut e. M5 leukemia monositik akut f. M6 eritroleukemia g. M7 leukemia megakariositik akut Etiologi Meskipun penyebab LMA belum diketahui pada sebagian besar pasien. beberapa faktor dipikirkan berkaitan dengan terjadinya LMA. LMA merupakan penyakit yang sangat heterogen jika dilihat dari sisi molekuler. Transformasi onkogenik menjadi sel leukemik dapat terjadi pada berbagai tahapan maturasi sel hematopoetik, dari sel punca hematopoetik yang paling primitif sampai ke tahapan berikutnya, termasuk sel progenitor mieloid/ monositoid dan promie-



losit. Hal ini menentukan subtipe LMA yang terjadi, terkadang dengan pola dan pertumbuhan yang sangat berbeda satu sama lain. LMA pada umumnya berkaitan dengan fusi gen yang menyebabkan translokasi kromosom. Banyak translokasi merupakan karakteristik beberapa subtipe leukemia akut dan terkadang membantu memprediksi prognosis. Sel leukemik yang tidak lagi mengalami siklus hidup sel yang normal, kehilangan kemampuannya untuk apoptosis dan memiliki waktu hidup yang lebih lama serta mengalami proliferasi tanpa batas sehingga berkompetisi dengan sel hematopoetik normal. Hasilnya adalah akumulasi sel abnormal dengan defek kualitatif. Penyebab utama morbiditas dan mortalitas adalah defisiensi sel hematopoetik yang berfungsi normal dibandingkan dengan sel ganas. Manifestasi Klinis Anamnesis Tanda dan gejala pada pasien LMA hampir sama dengan gejala LLA disebabkan akibat dominasi sumsum tulang dengan sel ganas dan karena kegagalan sumsum tulang sekunder. Pemeriksaan Fisis Gejala yangjarang adalah nodul subkutan atau lesi blueberry muffin , infiltrasi pada gusi, koagulasi intravaskular diseminata (sering pada leukemia promielositik akut) dan massa diskret, yang disebut dengan ch/aroma atau sarkoma granulositik. Massa ini terjadi tanpa keterlibatan sumsum tulang dan biasanya berkaitan dengan subkategori LMA M2 dengan translokasi kromosom t(8;2 l). Pemeriksaan Penunjang Analisis aspirasi sumsum tulang belakang dan spesimen biopsi dengan LMA menunjukkan gambaran sumsum tulang hiperselular terdiri atas pola monoton dengan gambaran dominan sesuai subtipe. Pewarnaan khusus membantu identifikasi sel yang mengandung mieloperoksidase, sehingga dapat mengonfirmasi sel dari galur mieloid dan diagnosis. Beberapa abnormalitas kromosomal dan marker genetik molekular akan bersifat spesifik untuk masing-masing subtipe. Tata Laksana Kemoterapi multiagen agresif dapat menginduksi remisi pada 80% pasien. Sekitar I 0% pasien meninggal karena infeksi atau perdarahan sebelum remisi dapat dicapai. Sumsum tulang dari saudara kandung yang cocok atau transplantasi sel punca setelah remisi mencapai Jong-term-disease-free survival pada 60-70% pasien.Kemoterapi berkelanjutan pada pasien yang tidak memiliki donor yang cocok kurang efektif dibandingkan transplantasi sumsum tulang. Leukemia akut promielositik yang ditandai dengan



....t1 0



~



....0t1 I



0



0



~



::i::



57



perubahan susunan gen yang berkaitan dengan reseptor asam retinoat sangat responsif terhadap asam retinoat yang dikombinasikan dengan antrasiklin. Terapi suportif sangat dibutuhkan untuk pasien LMA.



of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. Oxford: Elsevier Saunders: 2010. h.5 18-63. 3.



Coiffier B. Altman A. Pui CH. Younes A , Cairo MS. Guideline for the management of pediatric and adult tumor lysis syndrome: an evidence-based review. JCO.



Sumber Bacaan: 1.



2008:26(16) :2767-78



Tubergen DG. Bleyer A. The leukemias. Dalam: Kliegman



::r: ro



3



~



....



IQ I



0



2.



4.



Creutzig U. Van den Heuve l-Eibrink MM. Gibson B. Dworzak MN. Adachi S. de Bont E, dkk. Diagnosis and management



ting. Nelson·s textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadel -



of acute myeloid leukemia in children and adolescents: rec-



phia: Elsevier Saunders: 2011.



ommendations from an international expert panel. Blood.



Lanzkowsky P. Leukemias. Dalam: Lanzkowsky P. Manual



2012:120(1 6):3 187-205.



16



IU•mpelt'mi Ill



i....



IQ



Definisi



58



J.



Schor N. Behrman RE. penyun-



RM. Stanton BM. Geme



11



••



Purpura Trombositopenia lmun Dimas Priantono. Chris Tanto. Hikari Ambara Sjakti



Immun e thrombocytopenic purpura (ITP) dan autoimmune thrombocytopenic purpura (ATP) adalah trombositopenia dengan sumsum tulang normal dan ketiadaan penyebab lain dari trombositopenia. Penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi bukan akibat pajanan racun atau penyakit yang berkaitan dengan berkurangnya jumlah trombosit. Klasifikasi Terdapat dua jenis ITP yaitu: I. Akut: berlangsung kurang dari 12 bulan, terjadi pada anak. baik laki-laki atau perempuan. Jenis ini merupakan tipe terbanyak dan biasanya terjadi setelah infeksi virus. 2. Kronis: berlangsung lebih dari 12 bulan, terjadi pada beberapa remaja/anak, dan lebih banyak mengenai perempuan (2-3 kali dibandingkan laki-laki). Etiopatogenesis Satu sampai empat minggu setelah pajanan infeksi virus, sebagian anak memiliki autoantibodi terhadap permukaan trombosit. Target antigenik yang pasti dari sebagian besar autoantbodi pada ITP akut tidak diketahui. Setelah terjadi ikatan antara antibodi dengan permukaan trombosit, ikatan tersebut akan dikenali oleh reseptor Fe pada makrofag limpa. kemudian dihancurkan. Riwayat penyakit akibat virus didapatkan pada 50- 65% kasus ITP yang terjadi pada masa kanak-kanak. Hampir semua infeksi virus diduga berkaitan dengan ITP. termasuk Epstein-Barr Virus (EBV) dan HIV. ITP terkait EBV biasanya terjadi dalam durasi singkat dan terjadi setelah periode infeksi. ITP terkait HIV biasanya kronis. Selain pajanan infeksi, pajanan oleh antigen lain seperti imunisasi dapat menjadi



pencetus ITP. Diagnosis Anamnesis Bertujuan untuk mendapatkan informasi: a. Karakteristik perdarahan Genis, durasi, keparahan) dan gejala yang dapat menyingkirkan penyebab lain trombositopenia; b. Menemukan faktor risiko HIV dan gejala sistemik lain yang berkaitan dengan penyakit lain atau pengobatan tertentu (misaJ heparin, alkohol. kina, sulfonamid) yang mungkin menyebabkan trombositopenia; c. Mencari faktor risiko untuk peningkatan perdarahan misalnya penyakit gastrointestinal, sistem saraf pusat, urologi, dan pola hidup sehari-hari, karena faktor ini akan mempengaruhi agresivitas terapi; d. Tanda dan gejala pada umumnya, serta faktor pencetus, termasuk onset yang tiba-tiba (ITP pada anak)/onset yang perlahan/ kronis (ITP pada dewasa), purpura. menoragia. epistaksis, perdarahan gusi. riwayat imunisasi Jive-attenuated virus, riwayat infeksi virus, tendensi memar. Pemeriksaan Fisis Bertujuan untuk mengevaluasi derajat perdarahan dan mengeksklusi penyebab lain perdarahan. Temuan fisis bermakna yang umum dijumpai: a. Petekie biasanya muncul pada berbagai area; b. Bulla hemoragik pada membran mukosa; c. Purpura; d. Perdarahan gusi; e. Tanda-tanda perdarahan saluran cerna: f. Menometroragia/menoragia; g. Perdarahan intrakranial, dengan atau tanpa gejala neurologis.



Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan darah perifer lengkap: trombositopenia; b. Apus darah tepi, trombosit sangat besar menunjukkan trombositopenia kongenital; c. Pemeriksaan faktor koagulasi darah (bleeding time, clotting time, aPTT, PT). Biasanya menunjukkan hasil yang normal; d. Skrining HIV, Hepatitis C, Hpylori, atau infeksi lain yang mungkin berkaitan dengan ITP; e. CT scan apabila dicurigai terdapat perdarahan intrakranial; f Bone marrow puncture (BMP): megakariosit meningkat, sel darah lainnya normal. BMP dilakukan untuk menyingkirkan penyebab hematologi lain. Tata Laksana Bila tidak ada kegawatan, pasien dapat dirujuk ke Spesialis Anak. Tata laksana ITP bergantung pada kondisi klinis pasien: 1. Perdarahan ringan: anak dengan hitung trombosit >20.000/mm 3 dan asimtomatis atau hanya memiliki sedikit purpura, cukup diobservasi dan tidak memerlukan terapi. 2. Perdarahan sedang: anak dengan hitung trombosit 8 g/dL dengan keadaan umum kurang baik, anoreksia, gangguan aktivitas, gangguan pertumbuhan, adanya pembesaran limpa yang cepat, dan perubahan pada tulang. Pemberian dan kecepatan pemberian - Diberikan sampai target Hb 12 g/ dL, tidak boleh melebihi 15 g/dL; - Bila Hb >5 g/dL, berikan 10-15 mL/KgBB/ kali dalam 2 jam atau 20 mL/KgBB/ kali dalam 3-4 jam; - Bila Hb 1000 mg/ dL dan saturasi transferin serum >50%, atau - Tranfusi >5 La tau tranfusi sudah > 10 kali atau tranfusi kurang lebih sudah 1 tahun Kadar feritin dipertahankan 1000-2000 mg/ dL. Deferoksamin mengikat besi dan kation divalen lain. sehingga dimungkinkan ekskresi melalui urine dan feses. Deferoksamin diberikan secara subkutan selama 10-12 jam, 5-6 hari dalam satu minggu dengan dosis 40 mg/ KgBB. Obat kelasi besi oral saat ini sudah tersedia dan memberikan efikasi yang baik (deferiprox dan deferasirox). Dos is deferiprox adalah 7 5 mg/ Kg/ hari dibagi dalam 3 dosis. Obat kelasi besi oral kurang stabil tetapi memiliki keunggulan dalam ha! proteksi terhadap jantung dibandingkan deferoksamin.







Vitamin C hanya diberikan bagi mereka yang mendapat terapi kelasi besi, diberikan 100 mg per hari sebelum terapi kelasi besi.



Splenektomi diindikasikan pada kondisi: Limpa terlalu besar (Schuffner IV-VIII atau >6 cm) karena bahaya terjadi ruptur; Hipersplenisme dini: jika jumlah tranfusi >250 mL/KgBB dalam 1 tahun terakhir; Hipersplenisme lanjut: pansitopenia. Splenektomi dilakukan pada usia >5 tahun. Sebelum usia 5 tahun limpa masih membentuk sistem imunitas tubuh. Splenektomi dapat dikerjakan pada usia I g/m' /24 jam). hipoproteinemia (albumin serum 250 mg/ dL). Berdasarkan penyebab, sindrom nefrotik pada anak dapat dibagi menjadi sindrom nefrotik kongenital, primer (idiopatik), atau sekunder. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas mengenai SN yang paling sering ditemukan yaitu sindrom nefrotik primer. Epidemiologi Insidens SN primer pada anak sekitar 2- 7 per 100.000 anak, dan lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki (perbandingan 2: I). Sindrom nefrotik primer paling sering terjadi pada usia 1,5-5 tahun. Kejadian SN primer sering dikaitkan dengan tipe genetik HLA tertentu (HLA-DR7 , HLA-B8, dan HLA-Bl2). Usia, ras, dan geografis juga turut mempengaruhi insidens SN. Patogenesis dan Patofisiologi Diawali dengan suatu kelainan primer yang menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein. Hal tersebut diakibatkan oleh mekanisme yang kompleks, namun biasanya akibat kerusakan sialoprotein pada membran basal glomerulus (yang berfungsi menghasilkan muatan negatif) . Proteinuria akan terus berlangsung hingga menyebabkan kadar protein dalam serum, terutama albumin, menurun. Meski demikian, aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) tidak berkurang. Secara histologis, kelainan pada glomerulus tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: • Minimal change nephrotic syndrome (MCNC). Tipe paling sering, 70-80%. • Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS). kejadian sekitar I 0%. Tipe ini sering terjadi mendahului tipe MCNC. Nefropati membranosa (I %). Seringkali disebabkan oleh infeksi sistemik: hepatitis B, sifilis, malaria, dan toksoplasmosis, maupun obat-obatan. Sindrom nefrotik kongenital adalah sindrom nefrotik yang terjadi hingga 3 bulan pertama kehidupan. Dapat disebabkan oleh pengaruh genetik (autosomal resesif) , atau sekunder akibat infeksi (sifilis, hepatitis B) dan lupus eritematosa sistemik.



Kadar albumin yang menurun akan mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi perpindahan cairan dari intravaskular ke interstitial, yang secara klinis mengakibatkan edema anasarka. Edema pun terjadi akibat penurunan volume darah efektif dan peningkatan reabsorpsi natrium klorida pada tubulus yang selanjutnya mengaktifkan jaras renin-angiotensin-aldosteron. Kadar lipid serum meningkat karena kondisi hipoproteinemia akan menstimulasi sintesis lipoprotein di hepar, sementara metabolisme lipid berkurang. Tanda dan Gejala Bengkak pada kedua kelopak mata, perut (asites), tungkai, skrotum/labia, atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin. Kadang disertai keluhan urine keruh atau berwarna kemerahan (hematuria) ; Kadang ditemukan hipertensi. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan proteinuria: dipstik (~ 2+), urinalisis, serta urine tampung 24 jam. Dianjurkan untuk mengambil sampel urine pagi hari untuk pengukuran protein total dan kreatinin. Sugestif sindrom nefrotik apabila rasio protein terhadap kreatinin >0 ,5; • Pemeriksaan kadar elektrolit serum, BUN, kreatinin (hitung bersihan kreatinin), protein total, albumin, dan kolesterol; Pengukuran steroptozyme, C3 , C4 , dan ANA jika dicurigai sindrom nefrotik sekunder. Diagnosis Sindrom nefrotik adalah diagnosis klinis sesuai definisinya. Sebagian besar penyebabnya ialah primer, sehingga kemungkinan penyebab sekunder harus disingkirkan terlebih dahulu. Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis SN primer, antara lain: • Usia 1-8 tahun; • Fungsi ginjal normal; Tidak ada hematuria makroskopik; Tidak ada gejala dan tanda penyakit sistemik (demam, ruam kulit, nyeri sendi, penurunan berat badan); Kadar komplemen serum normal;



......



~



-z~ QJ



93







94



turut) , pemberian dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40 mg/ m2/ hari, maksimum 60 mg/ hari) dosis tunggal pagi selama sehari (alternating dose) selama 4 minggu. Total pengobatan menjadi 8 minggu. Namun, bila terjadi relaps, berikan prednison 60 mg/ m'/hari sampai terjadi remisi (maksimal 4 minggu) , dilanj utkan 2/3 dosis awal (40 mg/ m2/ hari) secara alternating selama 4 minggu. Pemberian prednison jangka panjang dapat menyebabkan efek samping hipertensi. o Apabila sampai 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh belum juga terjadi remisi, maka disebut steroid resisten. Kasus dengan resisten steroid atau toksik steroid, diterapi menggunakan imunosupresan seperti siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/KgBB/ hari dalam dosis tunggal. Dosis dihitung berdasarkan berat badan tanpa edema. Pemberian siklofosfamid dapat menyebabkan efek samping depresi sumsum tulang (apabila leukosit i lllA



98



3.



5.



Philadelphia: Elsevier Saunders: 2011. Tunkel AR. Glaser CA, Bloch KC. Sejvar JJ. Marra CM. Roos KL, dkk. The management of encephalitis: clinical practice guidelines by the infectious diseases society of America. Clinical Infectious Disease. 2008:470 Agustus). Chong HT. Tan CT. Epidemiology of central nervous system infections in Asia, recent trends. Neurology Asia. 2005: 10:7-11. Fenichel G. penyunting. Clinical pediatric neurology: a signs and symptoms approach. Edisi ke-7. USA: Elsevier Saunders: 20 13.



II



Epilepsi



••



Gracia Lilihata, Setyo Handryastuti



Definisi Epilepsi merupakan penyakit pada otak akibat peningkatan kerentanan sel neuron terhadap kejadian kejang epileptik yang berdampak pada aspek neurobiologis, psikologis, kognitif, dan sosial individu. Menurut ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada salah satu dari kondisi berikut: (1) terdapat minimal dua episode kejang tanpa diprovokasi; (2) terdapat satu episode kejang tanpa diprovokasi, namun risiko rekurensi dalam I 0 tahun sama dengan risiko rekurensi setelah dua episode kejang tanpa provokasi; serta (3) sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan elektroensefalografi). Secara umum. epilepsi hanya terjadi pada kurang dari sepertiga kasus kejang pada anak, sementara sisanya merupakan kejang yang dipicu demam, kelainan metabolik, trauma, infeksi, toksin, maupun psikiatrik. Epidemiologi Sebagian besar epilepsi terjadi pada masa anakanak, namun banyak anak mengalami remisi ketika dewasa. Di Amerika Serikat, sebanyak 3 juta orang mengalami epilepsi dan 200.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya. Angka kejadian epilepsi sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. Usia 15 menit; Berulang dalam 24 jam; Ada kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang. Kejang demam simpleks paling banyak ditemukan dan memilikJ prognosis baik. Kejang demam kompleks memiliki risiko lebih tinggi terjadinya kejang demam berulang dan epilepsi di kemudian hari.



Epidemiologi Jnsidens di negara-negara barat berkisar antara 3-5%. Di Asia berkisar antara 4.4 7% di Singapura, sampai 9,9% di Jepang. Data di Indonesia belum ada secara nasional. Sekitar 80% diantaranya adalah kejang demam simpleks. Sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Etiologi Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang demam, dua di antaranya adalah karena Iepasnya sitokin inflamasi (IL- I -beta), a tau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH otak sehingga terjadi kejang. Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetik masih belum jelas, namun beberapa studi menunjukkan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti ! 9p dan 8q 13-21, sementara studi lain menunjukkan pola autosomal dominan. Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling sering disebabkan karena infeksi saluran napas akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna. Manifestasi Klinis Kejang selalu didahului oleh naiknya suhu tubuh dengan cepat. Pada kejang demam simpleks, tipe kejang berupa kejang umum klonik atau tonik-klonik. Adanya tanda kejang demam fokal atau parsial selama maupun sesudah kejang (misalnya pergerakan satu tungkai saja, atau satu tungkai terlihat lebih lemah dibanding yang lain} menunjukkan kejang demam kompleks. Kejang demam simpleks berlangsung < 15 menit, namun periode mengantuk atau tertidur pasca-iktal dapat terjadi >15 menit. Anamnesis dan pemeriksaan fisis harus diarahkan untuk mencari fokus infeksi penyebab demam, tipe kejang, serta pengobatan yang telah diberikan sebelumnya. Selain itu, tanyakan riwayat trauma, riwayat perkembangan dan fungsi neurologis, serta riwayat kejang demam maupun kejang tanpa demam pada keluarga. Pada kejang demam, ditemukan perkembangan dan neurologis yang normal. Tidak ditemukan tandatanda meningitis maupun ensefalitis (misalnya kaku kuduk a tau penurunan kesadaran) . Diagnosis Banding Kejang disertai demam adalah hal yang sering terjadi pada anak. Banyak di antaranya disebabkan proses intrakranium yang berbahaya ataupun proses sistemik. Kondisi-kondisi ini harus dapat dibedakan



dengan segera dari kejang demam. Kejang demam khas ditandai adanya peningkatan suhu tubuh secara cepat diikuti oleh kejang. Sementara pada proses infeksi intrakranial, demam terjadi bersamaan atau setelah kejang. Pada anak 18 bulan. Hanya dilakukan bila tanda meningitis positif. Elektroensefalografi (EEG) tidak rutin dilakukan, namun dianjurkan pada anak dengan kejang demam usia >6 tahun, ataupun ada gambaran kejang fokal. Pemeriksaan seperti X-ray. CT Scan, a tau MRI hanya diindikasikan bila ada kelainan neurologis fokal, kelainan saraf kranial yang menetap, atau papiledem. Tata Laksana



Saatkejang Pertama-tama tenangkan dan yakinkan orang tua bahwa kejang demam memiliki prognosis yang sangat baik. Risiko kematian sangat kecil, demikian pula dengan terjadinya epilepsi di masa mendatang. Saat kejang, pastikan jalan napas tidak terhalang, pakaian ketat dilonggarkan, anak diposisikan miring agar lendir atau cairan dapat mengalir keluar. Periksa tanda vital, baik pernapasan, nadi dan suhu. Berikan antipiretik seperti parasetamol (10-15 mg/ KgBB/kali, sampai 4-5x) atau ibuprofen (5-10 mg/ KgBB/ kali, sampai 3-4x). Penggunaan salisilat tidak dianjurkan. Kemudian lanjutkan dengan tata laksana kejang akut pada anak. Bila di rumah, dapat diberikan diazepam rektal 5 mg (BB < 10 Kg) atau 10 mg (BB > 10 Kg). Pemberian dapat diulangi maksimal dua kali. Bila kejang belum berhenti hingga sampai di rumah sakit, berikan diazepam N dengan dosis 0,25-0,5 mg/KgBB secara intravena dengan kecepatan 2 mg/menit, dosis maksimal 20 mg. Bila kejang tidak berhenti, berikan dosis inisial



103



104



fenitoin 10-20 mg!KgBB dengan kecepatan pelan 1 mg/ Kg/menit, maksimum 50 mg/menit. Karena bersifat basa dan dapat mengiritasi vena bila terlalu pekat, fenitoin harus diencerkan terlebih dahulu dengan NaCl 0,9% dengan komposisi 10 mg fenitoin I 1 mL NaCl 0,9%, dosis inisial maksimal adalah 1 gram. Bila kejang berhenti, 12 jam kemudian lanjutkan dengan dosis rumatan fenitoin 5- 7 mg/Kg/hari dibagi 2 dosis. Bila kejang tidak berhenti dengan fenitoin, berikan dosis inisial fenobarbital 20 mg!KgBB secara intravena dengan kecepatan 20 mg/menit, dosis inisial maksimal 1 gram. Setelah kejang berhenti, lanjutkan dengan dosis rumatan 4-6 mg/ KgBB/hari dibagi 2 dosis yang diberikan 12 jam kemudian. Bila kejang tidak kunjung berhenti. dilakukan knock down dengan midazolam, tiopental atau propofol dan pasien harus dirawat di Unit Rawat Intensif.



oral 0,3 mg/ KgBB sampai 3x sehari (1 mg/ Kg/ 24 hr). yang dapat diberikan sampai 2-3 hari selama anak masih demam, disamping antipiretik. Dapat pula berupa diazepam rektal 5 mg atau 1O mg. Cara ini relatif aman, dengan efek samping yang minor seperti letargi, iritabilitas, dan ataksia yang dapat dikurangi dengan menurunkan dosis. Pencegahan terus-menerus Pencegahan terus-menerus dilakukan dengan mengkonsumsi antikonvulsan setiap hari, namun penggunaannya harus hati-hati mengingat efek samping dari antikonvulsan yang digunakan. Berdasarkan Kesepakatan Unit Neurologi Anak !DAI 2006, terdapat dua kategori rekomendasi profilaksis terus-menerus: Dianjurkan, bila: - Terdapat kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang (misalnya serebral palsi, paresis Tod's, hidrosefalus) ; - Kejang berlangsung lama > 15 menit; - Kejang fokal atau parsial. Dipertimbangkan, bila: Kejang berulang dalam satu episode demam; - Kejang pada bayi usia < 12 bulan; - Kejang demam kompleks berulang ;>:4 kali dalam satu tahun. Antikonvulsan yang menjadi pilihan untuk



Sesudah kejang Pencegahan rekurensi kejang ada yang bersifat intermiten dan terus menerus. Pencegahan intermiten Pencegahan intermiten disarankan pada pasien dengan kejang demam kompleks yang rekuren, tidak disarankan pada pasien kejang demam simpleks. Caranya adalah ketika pasien demam lagi di kemudian hari (>38,5° C) dan orang tua sangat khawatir akan terjadi kejang, berikan diazepam



Pre-hosp i t a l - - - - - Diazepam 5-10 mg/rektal '- - - - - - - 0 _10 meni t max 2x. jarak 5 menit



_____________________________f ____________________________ _ Periksa airwav. rumah sakit/



Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/iv,



UGO



kecepacan 2 mg/menlt, max dosls 20 mg a tau



----



Midazolam 0.2mg/kg/iv bolus a tau



brPalhing , circullation



10-20 menit



Periksa EKG. gula darah, elektrolit, AGD. koreksi



Lorazepam 0,05-0, I mg/kg/iv, kecepatan 2 mg/menlt



t ICU/



Kejang stop, - - lanjul 5-7mg/ kgUGD 12 jam kemudian



fenitoin 20mg/kg/iv (larutkan 10 mg/lml NS), kec I mg!kgBB/menit max dosis I gram



20 -30 me nil



Kadar obat darah



t



Kejang stop, 30-60 ICU--lanjul 4-5mg/ kg Fenobarbital 20rng/kg/iv dalam 5-10 menit. max dosis 1 g r - rnenit l 2 jam kemudian



t



ICU- - - - - - - - - - - - - - - - R e f r a k t e r



+



Midazolam 0,2mg/kg/iv bolus,



Pentotal - Tiopental



lanjut infus 0,02-0,04mg/kg/jam



5-8mg/kg/iv



Gambar I. Algoritma Tata laksana Kejang



Propofol 3-5mg/kg/infusion



profilaksis terus-menerus adalah: l. Fenobarbital 3-4 mg/KgBB perhari, dibagi 2x sehari. Efek sampingnya dapat mengurangi fungsi kognitif pada pemakaian jangka panjang; atau 2. Sodium valproate 15-40 mg/ KgBB per hari. dibagi 2-3x dosis. Efek sampingnya dapat menyebabkan hepatitis pada anak di atas 2 tahun. Obat ini adalah obat pilihan utama untuk profilaksis terus-menerus. Antikonvulsan di atas diberikan secara terusmenerus selama 1 tahun sejak kejang demam terakhir, dan diberhentikan perlahan-lahan dalam 1-2 bulan. Paradigma saat ini profilaksis terus menerus hanya diberikan pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata. Hal ini mengingat efek samping obat antikonvulsan jika diberikan dalam waktu lama. serta kejang demam mempunyai prognosis yang baik. Terkadang kekhawatiran orangtua untuk kekambuhan kejang juga menjadi pertimbangan untuk memberikan profilaksis terus menerus.



kemudian hari akan meningkat apabila terdapat: Kejang demam kompleks Riwayat keluarga epilepsi Kejang demam sebelum usia 9 bulan Adanya perkembangan yang terlambat atau terdapat kelainan neurologis sebelumnya Adanya satu faktor risiko meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 4-6%. sementara bila terdapat beberapa faktor risiko sekaligus kemungkinannya naik hingga 10-49%. Pemberian profilaksis terus-menerus tidak dapat menurunkan risiko kejadian epilepsi. Kematian setelah kejang demam adalah hal yang sangat jarang terjadi, bahkan pada anak risiko tinggi sekalipun. Sumber Bacaan: I.



CB. Olsen J. Christensen J. Death in children with febrile seizures: a population-based cohort study. Lancet. 2008:372(9637):4 57 -63. 2.



Prognosis Anak dengan kejang demam memiliki kemungkinan 30-50% mengalami kejang demam berulang. dan 75%nya terjadi dalam satu tahun setelah awitan yang pertama. Risiko rekurensi bertambah bila: Kejang demam terjadi 1 tahun. risiko berulang adalah 28%; Riwayat keluarga kejang demam atau epilepsi; Cepatnya kejang setelah demam; Kejang yang terjadi pada suhu tidak terlalu tinggi (38° C) Adanya keempat faktor tersebut meningkatkan risiko kejang demam berulang hingga 80%. Namun bila tidak satupun faktor di atas ditemukan. kemungkinan berulang 10-15%. Anak yang mengalami kejang demam simpleks tidak memiliki risiko lebih tinggi mengidap epilepsi dibandingkan populasi normal. Risiko epilepsi di



Vestergaard M. Pedersen MG. Ostergaard JR. Pedersen



Lee WL, Low PS. Murugasu B. Epidemiology of febrile seizures in Singapore children. Neurol J Southeast Asia. 1996: I :53-5.



3.



Johnston MV. Seizures in childhood. Dalam: Kliegman RM. Stanton BM. Geme J. Schor N. Behrman RE. penyunting. Nelson's textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders: 20 I I.



4.



David RB. Bodensteiner JB. Mandelbaum DE. Olson B. penyunting. Febrile seizure. Dalam: Clinical pediatric neurology. Edisi ke-3. New York: Demos Medical Publishing: 2009. h.5 17-20.



5.



Pudjiadi AH. Latief A. penyunting. Buku ajar pediatri gawat darurat. Jakarta: Badan Penerbit !DAI: 2008.



6.



HD Pusponegoro. DP Widodo. S Ismael, penyunting. Konsensus penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: Badan Penerbit !DAI: 2006.



7.



Pudjiadi AH. Hegar B. Handryastuti S. Idris NS. Gandaputra EP. Harmoniati ED. penyunting. Pedoman pelayanan medis Jkatan Dokter Anak Indonesia ODAI). Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 2011.



Meningitis Bakterialis Gracia Lilihata, Setyo Handryastuti Definisi Meningitis bakterialis adalah peradangan pada selaput otak (meningens) yang disebabkan infeksi bakteri. ditandai adanya bakteri penyebab dan peningkatan sel-sel polimorfonuklear pada analisis



cairan serebrospinal (CSS). Meningitis bakterialis merupakan salah satu infeksi yang paling berbahaya pada anak karena tingginya kejadian komplikasi akut dan kecacatan neurologis permanen di kemudian hari.



....tJ'I 0



0



~



z 105



Tabel l. Etiologi Meningitis Bakterialis pada Tiap Kelompok Umur 1 bulan 5 tahun



NPOIJalu\



Streptococcus group B haemolyticus Escherichia coli Listeria monocytogenes Enterobacter



z



s 2.



0



....



IQ



106



>



5 tahun



Neisseria meningitidis



Streptococcus pneumonia Haemofilus inf/uenzae type B Eschericia coli L. monocytogenes S. agalactiae



Neisseria meningltidis



Streptococcus pneumoniae Haemolilus influenzae type B



Ket: yang dicetak tebal adalah penyebab tersering



Etiologi Etiologi meningitis bakterialis pada tiap kelompok umur berbeda karena tergantung pada lingkungan dan daya tahan tubuh. Tabel l menunjukkan etiologi tersering pada tiap kelompok umur. Jenis patogen yang menyebabkan meningitis pada neonatus biasanya berasal dari flora normal ibu, seperti Streptococcus dan E. coli. Sementara Neisseria meningitidis dan S. pneumonia adalah patogen utama pada bayi yang lebih besar. Pada keadaan seperti imunodefisiensi, pasien dapat terinfeksi oleh patogen yang lebih jarang, seperti Pseudomonas aeruginosa. Staphylococcus aureus. Salmonella, atau Staphylococcus koagulase negatif. Faktor Risiko Faktor risiko utama adalah kurangnya imunitas pada usia muda, seperti: Defek imunitas spesifik. seperti defek pada produksi immunoglobulin dan sistem komplemen sehingga meningkatkan kerentanan terhadap meningokok; Asplenia meningkatkan kerentanan terhadap pneumokok dan H. influenza type B; AIDS. keganasan, atau pasca kemoterapi rentan terinfeksi Listeria monocytogenes. Pada neonatus, faktor risiko utama adalah prematuritas, riwayat infeksi intrapartum pada ibu, !SK pada ibu, dan ketuban pecah dini. Patogenesis Bakteri dapat mencapai sistem saraf pusat melalui empat cara: I. Hematogen Infeksi dari fokus lain menyebar secara hematogen langsung ke SSP. Fokus infeksi tersering adalah saluran napas (di daerah nasofaring, pneumonia). dapat juga dari endokarditis, tromboflebitis, atau sepsis. 2. Perkontinuitatum Infeksi meluas secara langsung dari lokasi yang berdekatan dengan SSP, seperti dari sinus paranasal, mastoid, sinus cavernosus, atau OMSK. 3. Implantasi langsung Terjadi infeksi langsung ke SSP seperti fraktur ter-



buka pada trauma kepala, iatrogenik pada tindakan pungsi lumbal, atau prosedur bedah. 4. Meningitis neonatus Neonatus mengalami infeksi yang berasal dari aspirasi amnion, kuman pada jalan lahir, atau infeksi transplasental. Metode penyebaran paling sering adalah secara hematogen dari fokus infeksi yang jauh, misalnya nasofaring. Kolonisasi bakteri disertai dengan infeksi saluran napas oleh virus pada waktu bersamaan akan meningkatkan patogenisitas bakteri. Bakteri akan menembus mukosa saluran napas dan menyebar secara hematogen, virulensi bertambah bila terdapat defek pada sistem imun pejamu. Bakteri masuk ke dalam CSS dan ruang subarakhnoid melalui pleksus koroid di ventrikel lateral dan meningens serta bereplikasi dengan cepat didalamnya Oihat Gambar 1). Terjadi infiltrasi polimorfonuklear dan produksi berbagai sitokin inflamasi seperti TNF- a. IL-I , dan prostaglandin E secara masif. Akibatnya sawar darah-otak mengalami kerusakan, terjadi trombosis vaskular, dan permeabilitas vaskular meningkat. Produksi sitokin inflamasi secara besar-besaran inilah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala sisa inflamasi kronis di kemudian hari, bahkan ketika CSS telah bersih dari bakteri. Peningkatan permeabilitas vaskular dan kerusakan sawar darah-otak menyebabkan transudasi, efusi subdural, edema serebri, yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan iskemia serebral. Trombosis vaskular yang terjadi di sinus venosus menyebabkan perdarahan subarakhnoid yang akhirnya menyebabkan nekrosis kortikal. Kerusakan korteks secara klinis menyebabkan perubahan status mental, kejang, defisit sensorik, motorik dan retardasi psikomotor. Tanda rangsang meningeal muncul karena inflamasi pada saraf dan akar spinal, sementara paresis saraf kranial terjadi karena inflamasi juga mengenai saraf kranial yang keluar dari batang otak. Paresis saraf kranial, terutama okulomotor dan abdusen juga dapat terjadi karena herniasi tentorial akibat peningkatan TIK.



Manifestasi Klinis Umumnya didahului oleh demam beberapa hari disertai infeksi saluran napas atas atau saluran cerna, diikuti tanda infeksi SSP yang tidak spesifik seperti letargi dan iritabilitas. Anak juga tampak anoreksia dan tidak mau makan, mialgia, artralgia, takikardi, hipotensi, dan muncul beragam bentuk bercak merah di kulit. seperti petekie, purpura, atau ruarn makula eritematosa. Ada pula gambaran yang lebih berat, namun kurang umum terjadi, yaitu syok yang cepat dan progresif disertai purpura, koagulasi intravaskular diseinata, hilang kesadaran, dan kematian dalam 24 jam. Meskipun demikian, manifestasi klinis sangat bervariasi bergantung pada usia, respons imun terhadap infeksi, dan lama sakit sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan. Neonatus hingga 3 bulan Gambaran klinis sering tidak khas. Bayi tampak letargi, malas minum, dan muntah. Pemeriksaan fisis menunjukkan demam atau hipotermia, ubunubun besar (UUB) membonjol, kejang hingga apnea. Setiap neonatus dengan demam tinggi, pneumonia, atau sepsis disertai kejang harus dicurigai meningitis bakterialis. Risiko tinggi terdapat pada nenonatus yang lahir prematur, memiliki riwayat infeksi intrapartum, dan ketuban pecah dini. Usia 3 bulan-2 tahun Meningitis bakterialis harus dipikirkan pada setiap anak usia 3 bulan-2 tahun yang mengalami manifestasi kejang demam kompleks. Secara



klinis bayi mengalami demam, muntah, tampak gelisah/iritabel, kejang, UUB membonjoL namun tanda rangsang meningeal sulit dievaluasi (tanda Kernig dan Brudzinski sering negatif). Salah satu tanda khas adalah high pitched cry (tangis dengan lengkingan yang tinggi). Usia >2 tahun Pada anak yang lebih besar, gambaran klinis lebih klasik menunjukkan infeksi meningens. Anak demam, menggigil, terdapat tanda peningkatan TIK yaitu sakit kepala, muntah, UUB membonjol, paresis N.III dan N.VI, hipertensi dengan bradikardi, apnea atau hiperventilasi, postur dekortikasi atau deserebrasi, pupil anisokor, stupor, koma, atau perubahan tingkah laku. Tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, tanda Kernig, dan brudzinski) jelas diperoleh pada pemeriksaan fisis, defisit neurologis fokal, kejang fokal atau umum, dan neuropati kranial. Tanda lain meningitis adalah fotofobia dan tache cerebrale , yaitu munculnya garis merah menimbul 30-60 detik setelah kulit dipukul dengan benda tumpul. Diagnosis Segera setelah terdapat kecurigaan akan meningitis bakterialis dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, harus segera dilakukan pungsi lumbal dan kultur darah. 1. Pungsi Lumba/



Pungsi lumbal dilakukan untuk menemukan bakteri penyebab di dalam CSS melalui perwarnaan



- - - - - - - - - - - - - - -1Bakteremia·1- - - - - - - - - - - - -



Penetrasi patogen di SSP



Pelepasan sitokin SSP



Inflamasi meningens



t Pelepasan ltokin sistemi



l+ Interaksi leukosit-endotel



r



• Asupan oral berkurang Deplesi volum • - - - - - • Muntah • Cairan hilang karena dcmam intravaskular • Restriksi cairan IV



__. TIK meningkat



Edema serebral Gambar 1. Patogenesis Meningitis Bakterialis Disadur dan diterjemahkan dari Chavez-Bueno Set al. Bacterial Meningitis in Children. Pediatr Clin N Am 52 (2005) 795-810



107



z



11>



s::



-.... >"(



0 0



IQ



)>



!::$ ~



Gram, kultur, serta analisis CSS. o Kultur CSS Kultur CSS merupakan baku emas, memiliki sensitivitas hingga 85% bila belum mendapat terapi antimikrobial sebelumnya, namun membutuhkan waktu setidaknya 48 jam sampai diperoleh hasil. Pewarnaan Gram 0 Pewarnaan Gram dapat memberikan hasil yang lebih cepat dan relatif lebih murah untuk mengidentifikasi bakteri penyebab. Pewarnaan Gram memiliki sensitivitas 60-90% dan spesifisitas 97%, namun hasil ini dapat berkurang secara signifikan bila sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. 0



::i::"



108



o



Latex agglutination Cara ini menggunakan antiserum untuk mendeteksi antigen kapsul polisakarida dari bakteri patogen. Kelebihan pemeriksaan ini lebih cepat dan sederhana. Cara ini disarankan sebagai alternatif bagi pasien yang telah mendapat terapi antibiotik sebelumnya dan pemeriksaan kultur maupun Gram menunjukkan hasil negatif. PCR PCR dapat mendeteksi DNA dari patogen meningens yang umum, seperti Nmeningiti-



dis, S Pneumonia, H.Influenza type b. S Agalactiae, dan L. Monocytogenes. Sensitivitas dan spesifisitasnya sangat baik (> 90%) dan menjadi salah satu alternatif pemeriksaan yang sangat menjanjikan di kemudian hari. o Analisis CSS Selain mengisolasi bakteri patogen penyebab, diagnosis juga dapat ditegakkan dari



karakteristik cairan serebrospinal yang diperoleh. Infeksi bakteri memiliki gambaran khas dan berbeda dari infeksi virus maupun TB (Tabel 2) . Pungsi lumbal dikontraindikasikan bila: 1) Terdapat tanda-tanda peningkatan TIK yang disebabkan oleh lesi desak ruang seperti abses atau tumor karena dapat menyebabkan herniasi otak yang fatal ; 2) Kegagalan sirkulasi kardiopulmoner dan perlu dilakukan resusitasi; 3) Infeksi di kulit tempat dilakukannya pungsi lumbal; 4) Gangguan hemostasis dan koagulasi. Kontraindikasi relatif adalah trombositopenia. Pungsi lumbal tidak boleh dilakukan jika jumlah trombosit < 50.000/ Ji L



2. Kultur Darah Kultur darah harus dilakukan sebelum terapi antibiotik dimulai. Pemeriksaan ini dapat mengisolasi bakteri penyebab pada 80-90% kasus meningitis. Bila pungsi lumbal ditunda. kultur darah tetap dilakukan sambil dilakukan CT scan untuk mengonfirmasi atau menyingkirkan adanya lesi desak ruang (abses, tumor, perdarahan) . Tata Laksana Sambil menunggu hasil analisis CSS, terapi empiris dan suportif harus segera diberikan. l. Terapi suportif berupa cairan intravena, nutrisi, antipiretik dan antikonvulsan. Pasien jangan menerima makanan melalui mulut terlebih dulu. Lakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan laju nafas dengan ketat, demikian pula dengan



Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Cairan Serebrospinal pada lnfeksi Bakteri. Tube rkulosis dan Virus



Korufo,j



f\.frningit is BdktPI iali\



i\1Pn111g111s Tulwr kulo..,1s



Ml'n111gop11s 1000 sel/ uL) , terutama PMN



250-500. terutama limfosit



50-300. terutama limfosit



0-5 limfosit: 1-3 PM N pada 3 bulan pertama, sampai 30 limfosit pada neonacus. 20-50 eritrosit



Protein (mg/dL)



Ratusan hingga ribuan



45- 1000,jumlah sel meningkat seiring waktu



20-125 (normal atau sedlkit meningkat)



15-35 (lumbal), 5-15 (ventrlkel)



Glukosa (mg/dL)



Sangat menurun. Rasia CSF/ darah s0.6 pada neonatus: ~ 0.4 pada anak besar



Sangat menurun, Rasia CSS/darah s0.4



No rmal atau sedikit berkurang



50-80 (2/3 dari glukosa darah)



Warna Tekanan



(mmH2 0)



Jernih (kecuali bila jumlah sel >300/ uL) Normal atau sediklt



meningkat



Jernih



I bulan karena tidak ada data yang cukup untuk penggunaannya pada bayi usia < 1 bulan. Steroid tidak lagi perlu diberikan bila terapi antibiotik telah dimulai sebelumnya karena tidak ada manfaatnya. 4. Terapi antibiotik empiris harus segera diberikan sebelum hasil analisis CSS diperoleh, bahkan bila pungsi lumbal ditunda. Semakin lama antibiotik ditunda, semakin besar kemungkinan terjadi gejala sisa neurologi di kemudian hari. Tabel 3 menuajukkan terapi empiris berdasarkan rekomendasi Infectious Diseases Society of America, 2004. Setelah hasil analisis CSS diperoleh, terapi dapat ditambah atau dirubah sesuai dengan hasil uji kerentanan bakteri penyebab. 5. Bila terjadi kejang atau hipoglikemi, tata laksana sesuai dengan protokol kejang dan hipoglikemi pada anak. Lama pengobatan bergantung pada etiologi bakteri patogen. Secara empiris. untuk anak besar selama I 0-14 hari, sedangkan neonatus ~ 3 minggu. Pungsi lumbal tidak perlu diulangi setelah terapi, kecuali bila: I. Pasien tidak berespon dengan baik setelah terapi selama 48 jam.



Curiga meningitis bakterialis



t lmunokompromais, riwayat penyakit SSP tertentu 3 • papiledema, defisit neurologi fokal /curiga SOLb,



Tidak+ kultur darah dan pungsi lumbal SEGERA



t Deksarnetason +terapi antimikrobial empiris



Deksarnetason +terapi antimikrobial emP.iris



t



t



Analisa CSS konsisten dengan meningitis bakterialis



..__



109



Lakukan pungsi lurnbal



Ket: •Shunt CSS, hidrosefalus. trauma. setelah bedah saraf. atau N.Vi dan VII bukan alasan untuk menunda pungsi lumbal. CSS : Cairan SerebroSpinal



space-occupying lesion. ' Palsi



Gambar 2. Alur tata laksana men ing itis bakterialis pada bayi dan anak menurut Infectious Diseases Society of America. 2004. (Tunkel et al. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. CJD 2004 : 39 (1 November) dengan modifikasi



2. Neonatus dengan infeksi basil Gram negatif. pungsi lumbal perlu dilakukan kembali untuk mengevaluasi dan mendokumentasikan apakah CSS sudah steril. Hal ini disebabkan karena respon neonatus terhadap terapi tidak khas dan sering terjadi keterlambatan sterilisasi CSS. Komplikasi Kemungkinan terjadinya komplikasi semakin besar bila pengobatan diberikan terlambat. tidak selesai. atau pasien tidak mengalami perbaikan klinis setelah terapi antibiotik satu minggu pertama. Komplikasi dibagi menjadi komplikasi yang muncul selama perawatan di rumah sakit dan komplikasi neurologi jangka paajang. Komplikasi saat perawatan berupa ventrikulitis, efusi subdural, syok, gangguan elektrolit, peningkatan TIK dan herniasi, perdarahan, infark. serta SIADH. SIADH merupakan salah satu komplikasi tersering yang menyebabkan hilangnya natrium dan menurunnya osmolalitas serum sehingga dapat memperburuk edema serebral. Komplikasi lain yang lebihjarang adalah empiema subdural (harus dicurigai bila demam berkepanjangan dan anak tampak terus



Tabel 3. Daftar Antibiotik Sebagai Terapi Empiris Berdasarkan Kelompok Usia (IDAI. 20 l OJ K I 00 mL/KgBB/ hari, tetapi dengan adalanya kehi-



..... .....,., ..., (/.I



~



117



z



a..... "'i



..... (/)



118



langan cairan melalui ginjal, paru, kulit dan laju metabolik yang lebih tinggi, bayi usia 0-6 bulan akan rentan mengalami dehidrasi, terutama saat muntah dan/ a tau diare. Karena AS! dan formula terdiri atas 90% air, bayi tidak membutuhkan tambahan cairan lagi. Yang perlu diperhatikan pada masa ini adalah: (1) pertumbuhan (kenaikan berat badan), dan (2) perkembangan dan kemampuan makan, yang ditandai oleh kemampuan untuk menghisap puting susu dengan baik, selesai minum (dalam keadaan cukup/kenyang) selama 45 menit, dapat menunjukkan tanda lapar yaitu peningkatan aktivitas (tampak gelisah), mouthing atau rooting, dan menangis. Red flags: penurunan berat badan turun 2 persentil atau lebih (failure to thrive), kehilangan lebih dari 7% dari berat lahir, berat badan naik namun tidak adekuat (tidak naik dalam 10 hari, 3 standar deviasi (>3 SD) di atas median sesuai dengan umur pada kurva WHO. Etiologi Regulasi simpanan lemak dan etiologi obesitas pada manusia bersifat multifaktorial; serta menunjukkan interaksi yang kompleks antara genetik dan lingkungan. Dalam lingkungan yang menawarkan segala kemudahan makanan tinggi kalori, makanan cepat saji, memudahkan intervensi lingkungan yang berdampak pada obesitas sejak masa anak-anak. Faktor yang penting dalam memelihara berat badan adalah interaksi antara berat badan dan keluaran energi total. Faktor genetikjuga berperan dalam memengaruhi aktivitas fisis dan keluaran energi yang lebih sedikit yang diamati pada bayi yang kemudian tumbuh menjadi anak obese. Keluaran energi dan produksi panas utamanya dikendalikan oleh interaksi saraf simpatis dan protein mitokondrial. Di samping itu, terdapat beberapa sindrom genetik yang memiliki gambaran klinis obesitas dengan berbagai kelainan, misalnya sindrom Prader-Willi,



Obesitas Dimas Priantono, Titis Prawitasari



pseudohipoparatiroidisme, sindrom Bardet-Biedl, sindrom Cohen, sindrom Down, dan sindrom Turner. Kelainan hormon juga dapat menjadi penyebab obesitas, termasuk defisiensi atau resistensi hormon pertumbuhan, hipotiroidisme, defisiensi atau resistensi leptin, kelebihan glukokortikoid (sindroma Cushing), pubertas prekoks, tumor sekretor prolaktin, dan sebagainya. Ada kalanya obesitas yang terjadi akibat pemakaian obat-obatan seperti kortisol/steroid, sulfonilurea, antidepresan trisiklik, penghambat monoamin-oksidase, kontrasepsi oral, insulin, tiazolidinedion, dan antipsikotik (risperidon dan klozapin). Diagnosis Diagnosis obesitas ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis , antropometri, dan pemeriksaan penunjang yang terarah. Anamnesis dilakukan secara terarah untuk mencari adanya karakteristik yang mengarah kepada obesitas, seperti wajah yang bulat, pipi yang tembem, dagu berlipat, leher pendek, perut buncit dan dinding perut berlipat-lipat, tungkai bentuk huruf x, dan sebagainya. Anamnesis harus mencakup riwayat tumbuh kembang anak dan pola makan sejak lahir hingga saat datang kepada dokter. Temuan anamnesis ini kemudian dikonfirmasi melalui pemeriksaan fisis untuk memastikan tanda-tanda yang sudah disebutkan di atas. Pada pemeriksaan fisis , sebagian besar anak dengan obesitas akan tampak secara klinis hanya melalui inspeksi terhadap habitus pasien. Pemeriksaan fisis lebih mendalam ditujukan untuk mencari penyebab sekunder dari obesitas, misalnya defek genetik (Sindrom Prader-Willi, Bardet-Biedl, Allbright, Carpenter, Cohen, atau Sindrom Alstrom), gangguan hormonal (Sindrom Cushing, hipotiroidisme). Dalam menentukan obesitas, salah satu alat bantu yang dapat menjadi patokan adalah dengan melakukan pengukuran antropometrik. Kriteria antropometrik yang diperlukan untuk diagnosis di antaranya: 1. Pengukuran berat badan lalu dibandingkan dengan berat badan ideal (BB/ TB) . Untuk BB/ TB di atas persentil ke-90 atau 120% berat badan ideal ,



menunjukkan obesitas. 2. Penghitungan indeks massa tubuh (dalam Kg/ m' ). menu rut usia dan jenis kelamin anak. Untuk anak berusia di atas 5 tahun, digunakan kurva CDC 2000. lndeks massa tubuh di atas persentil ke85 menunjukkan overweight dan di atas persentil ke-95 menunjukkan obesitas. Untuk anak berusia di bawah 2 tahun, digunakan kurva WHO. Indeks massa tubuh >2 SD menunjukkan overweight dan >3 SD menunjukkan obesitas. 3. Pengukuran tebal lipatan kulit (TLK) , yaitu TLK biseps. triseps, subskapular dan suprailiaka. Dikatakan obese apabila TLK triseps di atas persentil ke-85 Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mencari penyebab sekunder obesitas (hipotiroidisme. hiperkortisolemia, hingga gangguan pada kadar leptin apabila memungkinkan untuk diperiksa) serta evaluasi terhadap faktor risiko kardiovaskular dan diabetes yang ada pada pasien terkait obesitas yang dialami (pemeriksaan kadar gula darah puasa dan insulin plasma, HbAlC, dan profil lipid). Dampak Obesitas pada masa kanak-kanak memberikan dampak jangka pendek dan panjang terhadap kesehatan. Dampak yang segera terjadi di antaranya: I. Anak obese cenderung memiliki faktor risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular, seperti peningkatan kolesterol darah dan tekanan darah. Pada sampel di populasi usia 15-17 tahun, 70% remaja obese, setidaknya memiliki satu faktor risiko penyakit kardiovaskular. 2. Remaja obese lebih berisiko jatuh dalam keadaan prediabetes, suatu kondisi yang menunjukkan risiko tinggi penyakit diabetes melitus. 3. Anak dan remaja obese memiliki risiko lebih tinggi untuk masalah tulang dan persendian, sleep apnea. masalah sosial dan psikologi seperti stigmatisasi dan kepercaaan diri yang rendah. Dampak jangka panjang obesitas di antaranya: I. Anak dan remaja obese sangat mungkin menjadi dewasa obese dan oleh karena itu, menjadi lebih berisiko untuk menderita masalah kesehatan seperti penyakit jantung, diabetes melitus tipe 2. stroke, beberapa jenis kanker dan osteoartritis. 2. Overweight dan obesitas berkaitan dengan peningkatan risiko berbagai jenis kanker, seperti kanker payudara, kolon, endometrium, esofagus, tiroid, ovarium, serviks, prostat, dan lainnya. Tata Laksana Tata laksana obesitas harus bersifat komprehensif meliputi penanganan obesitas dengan target penurunan berat badan dan penatalaksanaan dampak



yang sudah terjadi. Prinsipnya dengan balans negatif antara asupan makanan dengan keluaran energi dengan cara penetapan target penurunan berat badan, pengaturan diet, aktivitas fisis, modifikasi perilaku, serta keterlibatan keluarga. Pencegahan primer terhadap obesitas adalah dengan mempromosikan gaya hidup sehat kepada anak sedini mungkin. Pola makan dengan gizi seimbang, disertai olahraga teratur dapat membantu mencegah terjadinya obesitas. Anak-anak sebaiknya disediakan tempat bermain yang mendukung aktivitas fisis. Salah satu pilar utama dalam penatalaksanaan obesitas pada anak adalah dengan mengurangi asupan kalori dan lemak sambil meningkatkan asupan serat. Pengaturan diet ditambah dengan aktivitas fisis bertujuan agar tidak terjadi kelebihan kalori. Pemilihan makanan dapat diarahkan pada bahan makanan yang mengandung lebih sedikit karbohidrat, apabila metode ini dapat ditoleransi oleh anak. Pada kasus di mana anak menolak atau sulit untuk mengurangi jumlah asupan kalori, maka penatalaksaan dapat ditekankan pada peningkatan jumlah energi yang dikeluarkan. Aktivitas fisis yang dilakukan dapat dipilih sesuai dengan kegemaran anak, namun sebaiknya diprioritaskan pada latihan aerobik. Pada anak dengan obesitas, sebaiknya waktu untuk menonton televisi atau bermain video game dikurangi. Secara spesifik. anak dengan obesitas sebaiknya membatasi makanan dan minuman dengan densitas kalori tinggi namun rendah nutrisi, seperti minuman bergula, serta permen dan biskuit tinggi lemak. Menu makanan yang dianjurkan meliputi whole grains (gandum utuh) , buah-buahan, dan sayur-sayuran. Ada kalanya terapi intensif diperlukan untuk obesitas morbid yang disertai penyakit penyerta atau tidak memberikan respon pada terapi konvensional. Terapi diet rendah kalori dan penggunaan obat-obatan tidak dianjurkan pada tata laksana obesitas pada anak. Tetapi penggunaan obat (orlistat) yang telah disetujui FDA dapat digunakan untuk obese. morbid, remaja usia > 12 tahun, dapat digunakan. Terapi bedah, dalam ha! ini gastricbanding, dapat diterapkan. Tentunya kedua modalitas tersebut harus dipandu oleh tim yang komprehensif, terdiri dari dokter spesialis anak, psikolog/ psikiater, dokter bedah, maupun pelatih fisik. Sasaran yang harus dicapai pada penatalaksanaan obesitas adalah penurunan berat badan sebesar l 0% pada anak yang besar, atau tidak adanya peningkatan berat badan pada anak yang berusia masih lebih kecil. Pada dasarnya, jangan sampai penurunan asupan kalori menyebabkan gangguan pertumbuhan tinggi badan. Selain itu, sasaran lain yang harus dicapai adalah perubahan gaya hidup. Gaya hidup sehat yang diterapkan untuk mengatasi obesitas harus tetap dijalankan sehingga mencegah kejadian obesitas terulang di kemudian hari.



.... (I)



·;:::



~



127



Pencegahan



z



a.... >"(



..... (/)



Gaya hidup sehat, termasuk makan sehat dan ak· tivitas fisik dapat menurunkan risiko obesitas dan terjangkit penyakit yang berkaitan erat dengan obesitas. Perilaku diet dan aktivitas fisis dari anak dan rema· ja dipengaruhi oleh berbagai sektor dalam komu· nitas, di antaranya keluarga, sekoiah, penitipan anak, penyedia iayanan kesehatan, agama, media dan industri makanan, minuman serta hiburan. Sekolah memiliki peranan besar dengan cara menyediakan lingkungan yang aman dan suportif untuk penerapan gaya hidup sehat, misalnya de· ngan kurikulum olahraga, praktik makan sehat, dan sebagainya.



Sumber Bacaan 1.



Donohause PA. Obesity. Dalam: Kliegman RM. Stanton BM, Geme ]. Schor N. Behrman RE, penyunting. Ne lson's text· book of pediatrics. Edisi ke- 19. Philadelphia: Elsevier Saun· ders: 2011.



2.



Lenders CM. Hoppin AG. Evaluation and management of obesity. Dalam: Walker WA. Watkins JB. Duggan C. penyunt· ing. Nutrition in pediatrics, basic science and clinical appli-



cations. Edisi ke-4. London: BC Decker: 2007. 3.



Sjarif DR. Obesitas anak dan remaja. Dalam: Sjarif DR. Lestari ED. Mexitalia M. Nasar SS, penyunt ing. Buku ajar nutri· si pediatrik dan penyakit metabolik. Jilid 1. Jakarta: Sadan Pe nerbit !DAI: 20 11. h.230·4 1.



4.



Freedman DS. Kettel L. Serdula MK. Dietz WH. Srinivasa n SR. Berenson GS. The relation of childhood BM! to adult adiposity: the Bogalusa Heart Study. Pediatrics. 2005: 115:22· 7.



128



44 KompetensilV







Imunisasi



-



••



Indra Maharddhika Pambudy, Rini Sekartini



Definisi Imunisasi merupakan proses induksi imunitas secara buatan baik melalui vaksinasi atau pemberian antibodi. Vaksinasi adalah pemberian vaksin atau toksoid untuk mencegah terjadinya penyakit. Imunisasi dapat digolongkan menjadi: 1. Imunisasi aktif (dengan memberikan vaksinasi). 2. Imunisasi pasif (dengan memberikan antibodi): a. Alami (transplasenta pada janin), b. Artifisial dengan memberikan imunoglobulin. Terdapat dua pendekatan untuk melakukan vaksinasi, yaitu dengan menggunakan agen infeksius hidup yang dilemahkan atau dengan ekstrak agen infeksius atau rekombinannya. Teknik Pemberian 1. Intramuskular a. M. vastus lateralis (regio paha anterolateral) dengan jarum mengarah ke arah lutut, untuk bayi berusia di bawah 12 bulan sampai di bawah 3 tahun, b. M. deltoid dengan jarum mengarah ke bahu membentuk sudut 60°-90°, untuk anak usia >3 tahun. 2. Subkutan Teknik pemberian subkutan dapat dikerjakan pada tiga tempat: a. Paha regio anterolateral (usia 0-12 bulan), b. Paha anterolateral atau daerah lateral lengan atas (usia 1-3 tahun),



c. Sisi lateral lengan atas (usia >3 tahun). Suntikan dikerjakan dengan mengarahkan jarum 45° terhadap kulit, mencubit tebal kulit, dan menyuntikkan vaksin subkutan, salah satunya dapat diberikan untuk imunisasi campak. 3. lntrakutan (untuk vaksin BCG) Lokasi yang dipilih adalah kulit di atas insersi deltoid dekstra. Jarum yang dipilih adalah ukuran 25-27 dengan panjang 10 mm. Regangkan kulit yang akan disuntikkan, arah sudut 15° terhadap kulit, suntik perlahan dan perhatikan apakah terbentuk benjolan pada kulit untuk memastikan bahwa vaksin masuk ke intradermal. Ilustrasi teknik penyuntikkan dapat dilihat pada bab Teknik Injeksi. Pencatatan lmunisasi Pencatatan meliputi: 1. Jenis vaksin yang diberikan, nomor batch, nama dagang vaksin, serta tanggal kadaluarsa dan Vial Vaccine Monitoring/vaksin vial monitor (WM). 2. Tanggal pemberian vaksin. 3. Efek samping yang terjadi, apabila ada. 4. Tanggal vaksinasi selanjutnya. 5. Nama tenaga medis yang memberikan vaksin. Kualitas Vaksin Kualitas vaksin dapat dinilai melalui beberapa parameter: 1. Vaksin vial monitor (WM) menunjukkan apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu di atas 8°C.



Tabel I. Suhu penyimpanan vaksin. Umur vak~in



ft>J11S vc1ksin



Suhu prn) impdnan



BCG



+2°C - +8°C atau - !5°C - -25°C



I tahun



Polio



+2°C - +8°C



6 bulan



-ISoC - -25°C



2 tahun



Campak



+2'C · +8°C atau - 15oC - -25°C



2 tahun



DPT



+2'C · +8°C



2 tahun



Hepatitis B



+2°C · +8°C



26 bulan



TT



+2'C · +8°C



2 tahun



DT



+2'C - +8°C



2 tahun



DPT-HB



+2'C · +8°C



2 tahun



129



Vaksin



Warna awal



en



....0en ~



130



harusru•ng



Warna awal VVM cidak pernah berwarna pucih bersih, selalu berwarna kebiru-keabuabuan . Sebclum vaksin terpajan dcngan suhu dan/atau lama pajanan suhu mencapai lingkat yang dapat mendegradasi vaksin melebihi batas keamanan. kotak di dalamnya akan berwarna lebih terang djbandingkan lingkaran di luarnya.



..-L--------



Sejak dari petanda "vaksin harus dibuang" tcrcapai. warna kocak akan ~ semakin menjadi lebih ge lap dibandingkan warna lingkaran di luarnya .



GUNAKAN - - - - - - - - - - a . i - - - - - - JANGAN GUNAKAN VAKSIN !NI • VAKSIN !NI INFORMASIKAN ATASAN ANDA - - - -..



Gambar I. lnterpretasi Vaccine Vial Monitor (VVM) (Sumber: WHO. 2003).



2. Warna dan kejernihan vaksin merupakan indikator stabilitas vaksin. a. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Di luar spektrum warna tersebut, pH telah berubah dan vaksin tidak boleh diberikan kepada pasien. b. Toksoid rekombinan dan polisakarida berwarna putih jernih dan sedikit berkabut. Bila menggumpal dan tidak hilang setelah pengocokan (shake test). vaksin sudah tidak boleh diberikan kepada pasien. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIP!) KIP! adalah kejadian medis yang berhubungan dengan imunisasi. baik berupa efek vaksin atau efek samping toksisitas. reaksi sensitivitas, efek farmakologis atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. KIP! akan dijabarkan lebih lanjut pada pembahasan setiap vaksin. JENIS-JENIS IMUNISASI (lihat Gambar 2) l. Hepatitis B Pencegahan hepatitis B dapat dilakukan dengan vaksinasi atau menggunakan imunoglobulin hepatitis. Vaksin hepatitis B tersedia dalam bentuk vaksin rekombinan. Secara umum, vaksin hepatitis B dianjurkan bagi semua bayi baru lahir, individu yang berisiko tertular hepatitis B karena pekerjaan, pasien hemodialisis. karyawan yang bekerja di lembaga perawatan cacat mental, pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang. serta individu yang serumah dengan penderita hepatitis B atau mengalami kontak seksual. Cara pemberian: intramuskular.



Jadwal anjuran: 3 kali, diberikan segera setelah lahir (sebelum 12jam) . usia 1, dan 6 bulan, Efektivitas pertahanan: menetap minimal 15 tahun, KIP!: reaksi lokal sementara, demam ringan 1-2 hari, syok anafilaktik, Kontraindikasi: reaksi anafilaksis pada vaksin, reaksi anafilaksis pada konstituen vaksin (ragi). sakit sedang atau berat, dengan atau tanpa demam. 2. Poliomielitis Pada tahun 2014, WHO telah menyatakan Indonesia sebagai negara bebas polio. Meski demikian. pentingnya imunisasi polio masih tetap digalakkan. Tersedia dua jenis vaksin polio: I. Oral (oral polio vaccine/OPV jenis Sabin yang mengandung 3 strain). 2. Injeksi (inactivated polio vaccine/IPV jenis Salk). OPV memberikan keuntungan yaitu menghasilkan IgA di dalam mukosa usus dan orofaring sehingga mencegah replikasi virus di tempat tersebut dan selanjutnya akan menurunkan penularan penyakit melalui tinja. IPV memiliki keuntungan yaitu tidak memiliki risiko kejadian vaccine associated polio paralysis. Cara pemberian: oral (OPV) atau IM (IPV), Jadwal anjuran: usia 0 (dianjurkan OPV). 2, 4, 6. 18-20 bulan. dan 5 tahun. Dosis: 2 tetes (OPV) , KIP!: vaccine associated polio paralysis (VAPP) pada I :3,3 juta dosis, vaccine derived polio virus (VDVP) pada OPV, Kontraindikasi: infeksi HIV atau kontak HIV serumah, imunodefisiensi, imunodefisiensi penghuni satu rumah (OPV). Reaksi anafilaksis terhadap neomisin. streptomisisn, atau polimiksin B (IPV).



2. BCG (Bacillus-Calmette Guerin) Vaksin BCG berasal dari strain M. bovis. BCG merupakan vaksin yang sangat aman untuk pasien-pasien imunokompeten. BCG dapat mencegah TB berat yang mematikan pada balita dan anak. Efektivitas BCG bervariasi tergantung dari sumber data yang digunakan. Data meta-analisis menyatakan bahwa BCG mampu mencegah 50% kejadian TB paru, dan TB diseminata atau meningitis TB hingga 50-80%. Cara pemberian: intrakutan, diberikan di deltoid kanan, Jadwal anjuran: usia 3 bulan harus Mantoux negatif, Oasis: 0,05 ml untuk bayi baru lahir, 0, 1 ml untuk anak, KIP!: ulkus superfisial 3 minggu pasca-penyuntikan, limfadenitis. Kontraindikasi: reaksi uji tuberkulin >5mm, menderita HIV, keadaan imunokompromais, menderita gizi buruk, demam tinggi, infeksi kulit luas, pernah sakit TB. 3. Difteri, Tetanus, Pertusis (DTP) Vaksinasi difteri dan tetanus diberikan dalam bentuk toksoid. Vaksin pertusis yang diberikan pada vaksin DTwP merupakan suspensi B. pertusis mati, sementara DTaP mengandung fraksi sel dari B. pertusis. Cara pemberian: intramuskular, Jadwal anjuran: 2, 4, 6, 18 bulan, 5 tahun, kemudian booster setiap 10 tahun (Td/ TT), KIP!: reaksi lokal berupa kemerahan, demam ringan, anak gelisah dan menangis tanpa sebab yang jelas selama beberapa jam, kejang demam, ensefalopati atau reaksi anafilaksis. Kontraindikasi: riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya, riwayat ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. 4. Campak lmunisasi campak dapat diberikan dalam bentuk tunggal atau kombinasi (vaksin campak dengan gondongan dan rubella). Cara pemberian: subkutan, Jadwal artjuran: usia 9 bulan, 24 bulan (apabila belum mendapat MMR) dan diberikan lagi pada usia 6 tahun, Oasis: 0,5 ml, KIP!: demam >39,5°C, ruam-ruam, ensefalitis (1:1 milyar dosis), ensefalopati (1:1 milyar dosis). 5. HiB (Haemophylus influenzae tipe B) Terdapat dua tipe vaksin HiB dengan perbedaan pada protein pembawanya. Polyribisyribitol phosphate (PRP) yang merupakan bagian dari kapsul bakteri



H. influenzae tipe B dan dapat dikonjugasikan baik dengan protein membran Neisseria meningitidis (PRPOMP) atau dikonjugasikan dengan protein tetanus dan disebut PRP-T. Vaksin HiB diberikan untuk mencegah meningitis dan pneumonia yang disebabkan oleh H. influenza tipe B. Cara pemberian: intramuskular, Jadwal anjuran: Vaksin pertama kali diberikan usia 2 bulan, PRP-OMP diberikan 2 kali, PRP-T diberikan 3 kali dengan jarak 2 bulan, Kontraindikasi: reaksi anafilaksis pada vaksin, reaksi anafilaksis pada konstituen vaksin, sakit sedang atau berat dengan atau tanpa demam. 6. Pneumokokus Terdapat dua jenis vaksin pneumokokus: I . Pneumococcal polysaccharide vaccine (PPV) menimbulkan respon imun yang tidak dapat diprediksi pada anak usia 10 tahun. Bivalen: dos is kedua interval 1 bulan dan dosis ketiga interval 6 bulan. Tetravalen dengan dosis kedua interval 2 bulan dan dosis ketiga interval 6 bulan. Sumber Bacaan l.



Ranuh IGNG. Suyitno H. Hadinegoro SRS. Kartasasmita CB. Ismoedijanto. Soedjatmiko. penyunting. Edi si ke-4. Pedoman imun isasi di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit !DAI: 20 11.



2.



World Health Organi zation (WHO). What is VVM and how does it wo rk. Geneva: WHO: 20 13.



3.



Munoz FM, Starko JF. Tuberculosis (Mycobacterium tubercu losis). Dalam: Kliegman RM. Stanton BM. Geme J. Schor N. Behrman RE. penyunting. Nelson's textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevie r Saunders: 2011.



13. Human Papilloma Virus (HPV) Vaksin HPV diberikan pada anak berusia di atas 10 tahun. Cara pemberian: intramuskular,



45



Komrl'len:>i IV



• 11



••



4.



Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (!DAI). Jadwal imunisasi anak umur 0-18 tahun: rekomendasi !DAI. 20 14.



Tumhuh Kembang



Definisi Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan ukuran dan jumlah sel, disertai dengan pertambahan jaringan interseluler, yang berujung pada bertambah-



Indra Maharddhika Pambudy. Rini Sekartini nya ukuran fisik dan struktur tubuh, dan bersifat kuantitatif. Perkembangan didefinisikan sebagai bertambahnya kemampuan struktur tubuh dan fungsi tubuh yang lebih kompleks, dan bersifat kualitatif.



"'Cl



tD



....0. ~



::s. (I)



0



(/)



e!: 134



Masa tumbuh kembang dibagi atas beberapa periode, yaitu: l. Masa prenatal b. Masa embrio: sejak konsepsi hingga 8 minggu usia kehamilan, c. Masa fetus: usia kehamilan 9 minggu hingga kelahiran. 2. Masa pascanatal a. Masa neonatus: usia 0 - 28 hari, b. Masa bayi: usia I - 12 bulan (usia bayi dini) dan I - 2 tahun (masa bayi akhir). c. Masa prasekoiah: 2 - 6 tahun, d. Masa sekolah atau masa pra-pubertas: iaki-laki 8 - 12 tahun dan perempuan 6 - I 0 tahun. e. Masa remaja: iaki-laki 12 -20 tahun dan perempuan I 0 -18 tahun. I. Pertumbuhan Jadwal pengukuran pertumbuhan anak adalah: l. Usia 0-1 tahun: 1 buian sekali, 2. Usia 1 -5 tahun: 3 bulan sekali, 3. Usia anak sekolah/remaja: 6 bulan sekali.



Pengukuran Berat Badan Anak l. Timbangan bayi (pada anak ~2 tahun atau selama anak masih bisa berbaring/ duduk tenang). a. Timbangan ditempatkan di tempat yang tidak mudah bergoyang, b. Pastikan jarum berada pada posisi 0 , c. Bayi sebaiknya telanjang tanpa mengenakan sehelai pakaian pun, d. Baringkan dengan hati-hati di atas timbangan, e. Lihatjarum timbangan sampai berhenti, f. Baca angka yang ditunjuk oleh jarum. Bila bayi terus bergerak, maka baca angka ditengahtengah simpangan jarum.



2. Timbangan injak a. Timbangan ditempatkan di tempat yang tidak mudah bergoyang, b. Lihat posisi jarum harus berada pada angka 0 , c. Anak hanya memakai baju sehari-hari yang tip is, d. Anak berdiri di atas timbangan tanpa dipegangi, e. Lihat jarum timbangan saat jaru m sudah berhenti, f. Bila anak terus bergerak, maka baca angka ditengah-tengah persimpangan jarum . Pengukuran Tinggi atau Panjang Badan Anak 1. Cara mengukur dengan posisi berbaring (sebaiknya dilakukan oieh dua orang) a. Bayi dibaringkan teientang dengan alas datar, b. Kepala bayi terietak menempel di pembatas angka 0 , c. Petugas 1: memfiksasi kepaia bayi, d. Petugas 2: memfiksasi kaki sehingga lutut lurus dan tangan kanan menekan batas kaki dengan telapak kaki, kemudian membaca angka di tepi luar pengukur. 2. Cara mengukur dengan posisi berdiri a. Anak tidak memakai alas kaki, b. Berdiri tegak menghadap ke depan, c. Punggung, pantat, dan tumit menempel pada tiang pengukur, d. Turunkan batas atas pengukur sampai menempel di ubun-ubun, e. Baca angka pada batas tersebut. Pemantauan Pertumbuhan Anak Pertumbuhan anak dapat dipantau dengan: A. Kurva pertumbuhan dari World Health Organization (WHO 2006), untuk anak berusia 0 - 5 tahun.



Gambar I . Alat ukur panjang badan posisi terlentang. (Sumber: A health profesionars guide to using growth chart. Paediatr Child Health: 2004)



B. Kurva pertumbuhan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC 2000) , untuk usia selanjutnya. A. KurvaWHO Pada kurva WHO, digunakan penyimpangan ±2 SD (standar deviasi) untuk mendefinisikan penyimpangan dalam pertumbuhan. Angka 0 menunjukkan tinggi badan atau berat badan rerata dari anak-anak untuk usianya. Pertumbuhan merupakan keadaan yang dinamis, sehingga untuk mendefinisikan gangguan pertumbuhan diperlukan lebih dari satu kali pengamatan. Penting juga untuk melihat proporsi tinggi badan dengan berat badan seorang anak. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kurva pertumbuhan yang dikeluarkan oleh WHO atau CDC sesuai dengan usia anak. Cara untuk melakukan plotting dari kurva WHO adalah sebagai berikut: Plot kurva tinggi/ panjang badan-usia I . Ukur tinggi badan dengan cara yang sesuai usia anak.



2. Lakukan plot usia (dalam minggu, bulan, atau tahun) yang telah lengkap pada garis vertikal. Contoh, apabila anak berusia 3,5 bulan, maka titik plot harus ditandai pada usia 3 bulan. 3. Lakukan plot tinggi atau panjang badan setepat mungkin pada garis horizontal. Contoh, apabila anak memiliki panjang badan 55,5 cm maka titik plot harus ditandai pada garis di antara garis horizontal 55 cm dan 56 cm. 4. Apabila sudah didapatkan dua titik dari dua atau lebih kunjungan, maka dua titik yang saling berdekatan harus dihubungkan untuk mempermudah membaca tren pertumbuhan anak.



l11dik.ito1 P--



142



-62-



s T



-60-



A >-58T



cm



~3



4



5



6



7



155



·~



150



E



52-



-so 4846 4442 4038-



/, v/ // j ~/ v/ /



135 130



,t/



125 115



/;



105 100



32- -so



/;



V/ v/,



60>-25 50-20 4030- -15 -10 l b kg



/



/



/



v;, /



J I~ /



v



175



v



/ /



.. ~ v v



v



/



v



/



/



/



v /



v _,..



90-



85



v



v ,/



v



75-



5



6



7



80 75



190 180 170 160



T



50 110 45 100 40 >-90 35 >-80 >--70 30 >-60 25



20



10 11



T



25-



~



9



T A



50"' >--70



15



8



-70



s



150 w 65 140 E I 60 130 G 10L--' ...... 5">--55 120 H ~



>-50 >-40 -30



10 kg 'ttJ



AGE (YEARS)



4



72-



-95 210 90 200



/v



vv v / vv/ v v /



~s5"'



/ k::: v



t;::.- t::::: ~



74-



68- u 170 R -66 E 165 64160 62155 -60 150



~



~



3



180



Vf vv~ vv v/ v v vl,'i"'v.;:;v v vv v/ v , , v ,,. t;:/'



lb ~ ..... ~~~~ ,.... ~ 2



185



100 220



v/v I



~



105-



190



105 230



vv



80- >--35



25-



rfi



/



'/



f



- 50-



v



/



o/}



~



--



v/v/ V,/"'



~ !//



-



'~ V



~~ ~ 'V



w 70- >--30



-



// v/ '/ V,:; v



-30-



E I G H T



/ / I/



~ V/,: v~



110



36 >--90 34- >--85



I// / / ;



/, v



/. "i:V/ // 1'1 v/ //



120



-95



0 I I;



~//



145



_,,,-



75-



.___..... i.-J// / / '// / ; / / ;::....-



10 11



160



u -56- 140 R >-54-



9



8



In



76-



12 13 14 15 16 17 18 19 20



Published May 30. 2000 (modified 11i 21/00) .



SOURCE. Developed by the National Center for Health Statistics in collaboration with the National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion (2000) http://www.cdc.gov/growthcharts



tmi



SAFER• HIEAL.THll:R • PEOPLE "



Gambar 7. Kurva Berat Badan-Usia dan Tinggi Badan-Usia untuk Laki-Laki Usia 2-20 Tah un Standar CDC.



NAME - - - - - - - - - - - -



Weight-for-stature percentiles: Boys Date



Age



Weight



Stature



RECORD# - - - - - -



Comments



kg



34 33 ~



-



31



.



-



-



1-- -



~-



26 _- - -



56 52



- --



-



--



..



--



-



-



24



20



/ 00/



/



~ ~/ /



/



_/, ~ /



/



~ ~ .-~ ~ ~~



10 0



~



143



25 24



56 52



23 22



48



21 20



44



19 18



40



17 16



36 32 28



12 11 t-24 10



.....



9- >- 20



r- 8



8STATURE



r- lb - kg



I



cm



80



85



I



in



60



26



13



~



~



27



14



/



64



28



15



:,y



/



29



85/



/ # / / "/~ v



14



~9



/



v /



16



11



,



/



/



v



25/ _.:;



15



24



/



~50



17



12



,.



/75



18



13



-



95 _



-



/



19



28



/



/ / / / vv / / / // / _, v v~ V/ / ,, v,,...~~ / / V/"v v / / v V// ~ :?"'/ V v /:/' v~ . . . ~/ /



44 20



32



-



----;



- -



/



/



48 22 21



36



-



25 23



40



-- -



-



-



---



-



>=-



---



-



-- --



·-



lb - kg



-



68



30



-



--



72



32



-f- ·



lb



76



31



90



I



32



33



95



I



34



35



100



105



110



115



I



I



I



I



I



36



37



38



kg r- lb -



39



40



41



42



43



44



45



Published May 30, 2000 (modified 10/16/00). SOURCE : Developed by the National Center for Health Statistics in collaboration with the National Center for Chronic Disease Prevention and Heallh Promotion (2000). http://WWW.cdc.gov;growthcharts



Gambar 8. Kurva Berat Badan-Panjang Tinggi untuk Anak Laki-laki (atas). Perempuan (bawah) Standar CDC.



120 I



46



47



SAFE R• Hl!ALTHll!R• PEOPLE "



NAME - - - - - - - - - - - - -



Weight-for-stature percentiles: Girls Age



Date



Weight



Stature



RECORD# -



-



---



kg



Comments



34



--



~ Q.



....



-



--



-



--



::I.



31



-



--



- --



(/)



....0



~



lb -



/./



kg



/



)5



26 56 52



25 24 ~-



-



- - -



-



23



-



-



-



-



--



- -



-



- -



--



_,



19 18 17



32 28



16 15



11 10



20 -9



~



/



13 12



24



h



14 _/



26



-/



25



/ / V/ / ,50 / V / / / _, v 25/



~ '/



~/



~ /~ ~



_........--::: ~~ ~ :::-:::/ ~~ ~~



/



,.,,,.-



64 60 56 52



23 22



48



21 20



~



14



I



13



~/_, ~ ,



44 40 36 32 28



12



'/"'



11



24



10 9- 20



-8



8STATURE



>- lb - kg



cm



80



85



I



in



24



/ / / / / / /t~~ 7- 19 V / / ' / / / / 0s 18 / / : / / / / /~ 17 /~ / / ~/ / 16 / h / // / ~ 15 /



44 20



36



/ / 7 -



/



48 22 21



40



~ '/~/ 75-



--



68



28 27



v



-+- ~97 z=



-



72



30 29



(I)



144



33 32



--



-



~



-



lb



76



31



90



I



32



33



I



34



35



I



95



100



I



36



37



I



38



39



kg -lb 110



105 I



40



41



115



I



42



43



120



I



44



45



I



46



47



Published May 30, 2000 (modified 10/16/00) SOURCE: Developed by the Nationol Center for Health Statistics in collaborn.tion with the Nat!onal Center for Chronic Disease Prevention and Health Promobon (2000) .



http:f/www.cdc.gov/growthcharts



S A FIE R • HE A L T H ll: R • PEOPL E "'



Ga mba r 9. Kur;a bera t Badan-Panjang Ti nggi untuk Anak Laki-laki (atas). Perempuan (bawah) Standar CDC.



2 to 20 years: Boys Body mass index-for-age percentiles Date



Age



Weight



Stature



RECORD# - - - - Comments



BMI'



BMI -



3534-



...'ient1



0



Cl



3332-



....>-



....~



't



31-



v



'To Calculate BMt: Weight (kg) • Stature (cm) +Stature (cm) x 10,000 or Weight (lb) + Stature (in) • Stature (in) x 703



/



-27 -26



v



-25



v



-24 -23



/



- 22 -21



v



-20 -19 -18 - 17 -16 -15 -14



/



/



\.



0 ..



/



~~



~



" '---~ '--...__



~



/



v IV / l,..-/ ~



---



-- --.....



v



~



/ /



/



/



,/



/



/



/



/



!.----



/



/



~



~



-::: :::::.-



~



,,.,...,..,



/



/



v



/



I/v / v /



v v



v v



I/



/'/



/



~



-...::::::: ::::::-- ,..___



/



v/ /



/



/



~-



v



/



/



v :/



v



/



---:::::: v



/90



v



V"



v



/



/



/



/



85



/



v



28-



v -



27-26-



/



25-



/75



/



24-



v



//



_,,.50



23-



/



22-



/ /



3029-



/



~ BMI



/



95



~



/



/ /



/ /10



~



~



/



2019-



,,V ,,V ,.,,..,.s,...



v



21-



/25



18-



v"



1716-



1514-



-13



13-



-12



12A~E (~EAR S)



1



kg/m' 2



3



4



5



6



7



8



9



10



11



12



kg/m' 13



14



15



16



17



18



19



20



Published May 30. 2000 (modified 10/16/00). SOURCE : Developed by the National Center for Health Statistics in collaboration with the National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion (2000). http://www.cdc.gov/growthcharts



Gambar 10. Kurva BMI- Usia Anak Laki-laki Usia 2-20 Tahun Standar CDC.



SAFER• HEALTHIER• Pl!OPLI!'"



Q



~



145



2 to 20 years: Girls Body mass index-for-age percentiles Date



Age



Weight



NAME - - - - - - - - - - - - RECORD# - - - - - -



BMI•



Stature



Comments



BMI -



353433(/)



0 .... ~



146



*To Calculate BMI : Weight (kg)+ Stature (cm) ·•·Stature (cm) x 10,000 or Weight (lb) + Stalure (in) +Stature (in) x 703



BMI



-27



I/



~25 ~24



I/



'- 23



/



'-- 22 '



21



~



7



~



18



~



17



!/



__,..



'



16



L ....



'



14



r-.." !'---_



.,r7, 17 v v



1/ vv



""1'--



--



-



!--._



------- ..__-



13



,



- [.....--"



~



r:::::--



7 17



/



v



~ ~ ...



1---



,_ 15



[7 I/



/



20



:...... 19



I/



/



/



I/



_v



/



v"'



v



I/ /



_/



I,/ v



r::::::=" L...---- _, v"'



_/



/



28-



/



27-



v



ss b::::::



~26-



25751:::::::::: ~24-



v



23-



1__..---



v



i--25 L---!---10 L----



J,...-



2019 -



[,,.-"



/



2221-



v



v v -v"' v



,



_1,..--so 1---



v



I/



/



v



/v



/



30-



vgo v



/I/



v 17



_,, v



~



,,V



v



/



/I/



17



/



c--



/I/



/



31-



,



/



I/



vgs



29-



v v v v v



,I/



~26



v



/



v v



_,,



32-



I/



(/)



-



J.-- 5



1817 16 -



-



15 14 -



~



13 -



'-- 12



12 -



kg/m'



AGE {)'.EARS)



2



3



4



5



6



7



8



9



10



11



12



kg/m' 13



14



15



16



Published May 30. 2000 (modified 10116/00i SOURCE.: Developed by ttie Nahonal Center for Healtt1 Statistics In collaborat1on wiltl the National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion {2000). http://www.cdc.govigrowtttcharta



Gamba r 11. Kurva BM! - Usia Anak Pe re mpuan Usia 2-20 tahun.



17



18



19



20



SAFER • HEALTHIER • PEOPLE '"



Tabel 2. lnterpretasi Kurva CDC. lml- 15 15



II/



>- 14



.,,



13



.J



-



10 12 14 16 18 10 12 - - - - - - - M O N T H S - - - - - -- - 1 - - ---YEAAS



···- ... .



CM



2 60



MBI



..,



HEAD CIRCUMFERENCE



14



16



GIRLS



3 ".,; ""



~



24



,_



~



58



Lo



54



l..'



52



_. _. ·-



- "" - .. "--_...-. - ,, +2 D (9 "'1



60



48



i..-,. '"



...



1....



I'







2



38 36 34 2



I ' II'



,,/ /·'



'



:



IN



58



40



18



I/



.......



~



,t•-



i-



-



'



'"



-



..... I'



....'·'



23 22



~-



21



,_,. 20



[,j



19 ~



18



~



17



>- 18 16







~



,/



,. 13 12



0



10 12 14 16 18 10 12 14 18 18 - - - - - - - - M O NTHS - - - - - - - - 1 : - - - - - Y E A R S - - - - -



Gambar 13. Kurva Nelhaus untuk Lingkar Kepala-Usia Anak Laki-laki (atas) dan Perempuan (bawah) Usia 0-18 Tahun.



'1j Q)



149



!



z



>- 12



·i::



....~



ll.



&



30



HI



Cl)



0



.= >-



32



L



~ iii



22



-2 p1211



-_..



v



~\



I.'



.......



l..i



~



..... cc



Cl)



~



7. Mengerti arti kata yang menunjukkan posisi seperti di atas, di bawah, di depan 8. Dapat mengenakan sepatu, celana panjang, kemeja secara mandiri 9. Bermain bersama teman, dan mulai mengikuti aturan permainan



~



0. .... ~ .... 0 en .... Ill >-c



(/)



' ......



150



Umur 48-60 bulan 1. Berdiri dengan I kaki selama 6 detik 2. Melompat-lompat dengan I kaki 3. Menggambar berbagai objek seperti tanda silang, lingkaran, dan orang dengan tiga bagian tubuh 4. Apabila bermain boneka dapat mengancing baju boneka 5. Menyebut namanya sendiri dengan lengkap tanpa di ban tu 6. Senang menyebut kata-kata baru 7. Senang bertanya 8. Menjawab pertanyaan dengan kata yang benar 9 . Dapat membandingkan benda berdasarkan ukuran dan bentuknya 10. Menggosok giginya sendiri tanpa dibantu I I. Tidak rewel saat ditinggal ibunya Umur 60-72 bulan 1. Berjalan lurus 2. Beridri dengan 1 kaki selama 11 detik 3. Menggambar orang dengan lengkap 4. Mengerti konsep lawan kata 5. Mengenal angka, dapat berhitung sampai dengan angka 10 6. Dapat berbicara, mengerti pembicaraan sampai dengan 7 kata atau lebih 7. Mengenal berbagai warna 8. Dapat berpakaian sendiri tanpa perlu bantuan 9. Dapat bermain sesuai dengan peraturan Skrining/pemeriksaan Perkembangan Anak dengan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) Skrining bertujuan untuk menentukan apakah terdapat penyimpangan perkembangan anak. Jadwal pemeriksaan dilakukan antara usia 3-72 bulan setiap 3 bulan sekali. Apabila pasien dikeluhkan mengalami gangguan perkembangan pada usia yang belum masuk usia skrining, gunakan form KPSP yang terdekat yang lebih muda dari usia anak. Interpretasi KPSP 1. Hitung berapa jumlah jawaban "Ya": a. Jawaban dianggap "Ya" apabila ibu/ perawat mengatakan anak bisa atau pernah atau sering melakukan hal yang ditanyakan, b. Jawaban diangap "tidak" apabila ibu/ perawat mengatakan anak tidak pernah melakukan hal tersebut atau tidak diketahui. 2. Jumlah jawaban Ya 9-10: perkembangan anak



sesuai dengan perkembangannya (S). 3. Jumlah jawaban Ya 7-8 : perkembangan anak meragukan (M). 4. Jumlah jawaban Ya ~6: Perkembangan anak mengalami penyimpangan (P). 5. Untuk jawaban tidak harus dirinci apakah tidak untuk motorik kasar, halus, bicara dan bahasa, sosialisasi atau kemandirian. Intervensi 1. Apabila ditemukan hasil pemeriksaan M, maka: a. Orang tua dianjurkan untuk melakukan stimulasi perkembangan pada anak lebih sering, apabila mungkin setiap saat, b. Ajarkan cara melakukan stimulasi intervensi, c. Lakukan pemeriksaan kesehatan untuk mencari penyakit yang mendasari keadaan ini. d. Lakukan pemeriksaan KPSP ulang dalam 2 minggu dengan daftar KPSP yang sesuai usia anak, e. Jika hasil tidak berubah, pikirkan bahwa anak ini mengalami penyimpangan tumbuh kembang. 2. Apabila ditemukan hasil pemeriksaan ada penyimpangan, maka rujuk ke rumah sakit dengan menuliskan jenis dan jumlah penyimpangan perkembangan. Tabet 3 menunjukkan contoh tindakan intervensi yang dapat dilakukan. Pertumbuhan dan Perkembangan Masa Remaja Perkembangan remaja dapat dibagi atas tiga tahapan yaitu tahapan remaja awal, pertengahan, dan akhir. Setiap tahapan memiliki ciri khas perkembangan masing-masing. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tahapan perkembangan ini bervariasi pada masing-masing remaja. 1. Usia Remaja Awai Kognitif dan Moral Remaja mulai memahami konsep abstrak seperti persamaan aljabar, membentuk alasan dari kaidah etika dasar, untuk memahami berbagai sudut pandang, dan memahami proses berfikir itu sendiri. Kemampuan ini muncul dengan kecepatan yang bervariasi. Konsep diri Keadaran akan dirinya cenderung berpusat pada karakteristik eksternal. Remaja mulai merasa bahwa dirinya diperhatikan oleh orang di sekitarnya, dan menimbulkan masalah percaya diri. Hubungan dengan keluarga, teman sebaya, dan masyarakat Tahapan remaja dini ditandai dengan awal dari anak mulai melepas diri dari keluarga. Kelom-



Tabel 3. Contoh Intervensi yang Dapat Dilakukan pada Anak Sesuai dengan Temuan dari KPSP [..,lei



lllul"nl



ll5 mg/ dL/24 jam atau kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL(> 20% bilirubin total); Disertai demam atau tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum, penurunan berat badan, asfiksia, apnea, takipnea, instabilitas); Ikterus pada bayi berat lahir rendah;



Ikterus berat pada neonatus kurang bulan (telapak tangan dan kaki bayi kuning); Menetap >2 minggu. Etiologi l. Ikterus Fisiologis: Peningkatan produksi bilirubin: akibat masa hidup eritrosit yang lebih singkat, peningkatan eritropoiesis yang tidak efektif; Peningkatan sirkulasi enterohepatik: gangguan ambilan bilirubin oleh hepar, gangguan konjugasi karena aktivitas enzim transferase yang rendah, penurunan ekskresi hepatik.



2. Ikterus Patologis: Infeksi bakteri berat atau infeksi intrauterin: sifilis kongenital, TORCH; Penyakit hemolitik: inkompabilitas golongan darah (Rh, ABO), defisiensi enzim G6PD; Penyakit hati: hepatitis, atresia bilier;



Tabel I. Rumus Kramer untuk Total Cutaneus Bilirubin (TcB) Zrn l p.



..... .....



~ >-c



170



Serangan sedang (nebulas! 2 kalL respon parslal) • berikan oksigen:



• nilal kembali derajat serangan. jlka sesual dengan serangan sedang. observas1 di ruang rawat seharl: •



Bleh pulang • bekali dengan obat JJ -agonls lnhalasi atau oral • jlka sudah ada obat pengendall



~rlkan



+



Serangan berat Oika telah nebulas! 3 kall, respon buruk) • sejak awal berikan oksigen saat/di luar nebulas I: • pasangjalur parenter•I: • nilal ulang kecidaan klinis. jika sesuai



steroid oral



dengan scrangan berat. rawat di ruang rawat inap



Ruang rawif • jlka alat nebulisasl tldak tersedla. nebullsasl dapat diganu dengan adrenalin subkutan 0.0 I mllkgBB/kali. makslmal 0.3 ml/kalt • untuk serangan sedang dan terutama berat. okslgen 2-4 L/menlt diberlkan sejak awat. tennasuk pada saat nebuUsasi



Ruang rawat inap



~ ---



• teru."ikan oksigen:



• atasl dehldrasl dan asidosls jlka ada: • steroid IV tiap 6-8 jam: • nebulasi tlap l-2jam. • aminofilin IV awal GmgikgBB dalam 30 menlt. la1tjutkan rumatan 0.51mg/kgBB/Jam: • jlka membalk dalam 4 6 knll nebulasi. Interval menjadi 4-6 jam. • jika dalam 24 jam perbaikan kllnls stahll. boleh pulang: • jika dengan steroid dan aminoftlin parenteral tJdak membaik. bahkan ctmbttl ancaman hentl napa. 94%, dipertimbangkan untuk rawat jalan: Pemeriksaan darah tepi. Untuk menyingkirkan etiologi lain, meski seringkali tidak khas; Analisis gas darah. tidak bersifat rutin, namun dilakukan pada distres pernapasan berat dan kemungkinan mengalami gaga! napas. Didapatkan gambaran hiperkarbia karena adanya air



trapping. Foto Rontgen toraks. Dapat ditemukan gambaran hiperinflasi paru dan patchy infiltrate (tidak spesifik, dapat ditemukan pula pada asma, pneumonia, serta aspirasi). peningkatan diameter anteroposterior pada foto lateral, air trapping. diafragma datar, atelektasis. Pemeriksaan foto toraks juga dipertimbangkan pada bayi dengan diagnosis meragukan atau penyakit atipikal. Pada bronkiolitis tipikal, sebaiknya foto toraks tidak dilakukan: Pemeriksaan rapid test antigen RSV. Tata Laksana Bronkiolitis umumnya tidak memerlukan pengobatan. Pasien dengan klinis ringan dapat menjalani



171



::ti Cl)



en "d



.....



2.0



.....



IQ



"C Cl)



0.. ..... ~ ..... ~



172



rawat jalan, sedangkan klinis berat harus rawat inap. Terapi suportif (pemberian oksigen, nasal suction) dapat dilakukan. Oksigen paling baik diberikan via nasal prongs (kanul hidung). 1-2 L/menit (0,5 L/menit pada bayi muda) . Pemberian oksigen ini akan memberikan kadar oksigen inspirasi 30-35%. Fisioterapi dada dengan vibrasi dan perkusi tidak direkomendasikan untuk pasien bronkiolitis yang tidak dirawat di ruang intensif. Berdasarkan hasil penelitian, pemberian antiviral. antibiotik, inhalasi (3 -2 agonis, inhalasi antikolinergik (ipatropium) , dan inhalasi kortikosteroid juga tidak bermanfaat.



berhubungan dengan terjadinya asma pada usia 3 tahun. Prognosis Sebagian besar kasus bronkiolitis akan sembuh sendiri dalam 7- 10 hari. Rawat inap dibutuhkan pada 2% dari keseluruhan kasus, sebagian besar pada anak berusia 1-5 tahun); • Pneumonia berat: retraksi; • Pneumonia sangat berat: tidak dapat makan/ minum, kejang. letargis, malanutrisi. Tata Laksana 1. Pneumonia ringan • Rawat jalan, • Kotrimoksasol (4 mg TMP/KgBB/kali- 20 mg sulfametoksazol/ KgBB/kali). 2 kali sehari selama 3 hari. atau amoksisilin 25 mg/KgBB/kali, 2 kali sehari selama 3 hari. 2. Pneumonia berat Oksigen untuk mempertahankan saturasi >92%, dipantau setiap 4 jam. Pada anak yang stabil dapat dilakukan uji coba tanpa menggunakan oksigen setiap hari. Bila saturasi tetap stabil, pemberian oksigen dapat dihentikan; Bila asupan per oral kurang. dapat diberikan cairan intravena dan dilakukan balans cairan ketat agar tidak terjadi hidrasi berlebihan (pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik;



176



Pada distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus dihindari, dapat diganti dengan NGT/intravena dengan perhitungan balans cairan yang ketat; Bila suhu ?.39° C dapat diberikan parasetamol; Nebulisasi agonis (3 -2 dan/atau NaCl 0,9% dapat diberikan untuk memperbaiki mucocilliary clearance, namun bukan merupakan terapi yang rutin dilakukan; Pemberian antibiotik: Amoksisilin 50-100 mg/ KgBB IV atau IM setiap 8 jam, dipantau ketat dalam 72 jam pertama. Bila respon baik, terapi diteruskan hingga 5 hari, kemudian dilanjutkan dengan amoksisilin oral 15 mg/ KgBB/ kali, 3 hari sekali, selama 5 hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu, makan, atau min um; kejang, letargis, sianosis, distres pernapasan be rat) , tambahkan kloramfenikol 25 mg/ KgBB/ kali IM atau IV setiap 8 jam. Antibiotik lini kedua: seftriakson 80-100 mg/KgBB IM atau IV satu kali sehari. Bila dicurigai pneumonia Staphylococcus (terdapat perburukan klinis walaupun sudah diterapi yang ditandai dengan adanya pneumatokel, pneumotoraks dengan efusi pleura, ditemukan bakteri kokus Gram positif pada tes sputum, didukung oleh infeksi kulit yang disertai pus): o Kloksasilin 50 mg/ KgBB IM atau IV setiap 6 jam dan gentamisin 7,5 mg/ KgBB IM atau IV sekali sehari. Bila respon membaik, lanjutkan dengan kloksasilin oral 50 mg/ KgBB/ hari, 4 kali sehari selama 3 minggu. Keterangan: Pada anak usia 60 kali per menit; Distres pernapasan, apnea intermiten, atau



Untuk anak: - Saturasi oksigen< 92%; - Frekuensi napas > 50 kali/ menit; - Distres pernapasan;



-



Grunting;



-



Terdapat tanda dehidrasi; Keluarga tidak dapat merawat di rumah.



Kriteria Pulang Gejala dan tanda sudah menghilang, Asupan oral adekuat, Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral}, Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi serta rencana kontrol. Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah. Komplikasi Pneumonia Staphylococcus - Perburukan klinis yang cepat walapun sudah diterapi; - Foto toraks: pneumatokel/pneumotoraks dengan efusi pleura; - Apusan sputum : kokus Gram positif; - Infeksi kulit yang disertai pus/ pustul mendukung diagnosis. Empiema torasis: merupakan komplikasi tersering pada pneumonia bakteri Perikarditis purulenta Infeksi ekstrapulmoner, misalnya meningitis purulenta Miokarditis (pada anak berusia 2-24 bulan) Prognosis Data Survei Kesehatan Nasional (SKN, 200 1) menunjukkan bahwa 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumonia. Sumber Bacaan I.



anak di rumah sakit. pedoman bagi rumah sakit rujukan



tingkat pertama di kabupaten/ kota. Jakarta: WHO: 2009. 2.



Tidak mau minum atau menetek; Keluarga tidak bisa merawat di rumah.



Pudjiadi AH. Hegar B. Hardyastuti S, Idris NS. Gandaputra EP. Harmoniati ED. penyunting. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia ODA!). Jakarta: Badan Penerbit IDA!: 2011.



3.



grunting: -



World Health Organization (WHO) . Pelayanan kesehata n



Said M. Pneumonia. Dalam: Rahajoe NN. Supriyatno B. Setyanto DB. penyunting. Buku ajar resp irologi anak. Edisi I cetakan 2. Jakarta: Badan Penerbit !DAI: 20 I 0.



4.



Ilten F. Senocak F. Zorlu P. Tezic T. Cardiovascular change in children with pneumonia. Turk J Pediatr. 2003:45:306- 10.



Sesak Napas Chrysilla Calistania, Wahyuni Indawati Definisi Secara umum, sesak napas berarti napas yang sulit. Keluhan tersebut merupakan gabungan gejala subjektif yang dirasakan pasien dan gejala objektif yang dilihat melalui pemeriksaan fisis. Sesak napas didefinisikan keadaan yang terjadi akibat mekanisme pernapasan tidak dapat memenuhi kebutuhan proses metabolisme dalam tubuh. Hal itu menurtjukkan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pemenuhan ventilasi. Sesak napas akan muncul apabila terjadi peningkatan kebutuhan, seperti pada peningkatan metabolisme, atau adanya gangguan pemenuhan kebutuhan akibat gangguan ventilasi pada sistem pernapasan/gangguan sirkulasi pada sistem kardiovaskular atau keduanya. Etiologi Lihat Tabel 1. Klasifikasi 1. Berdasarkan derajat sesak napas: Normal, Pasien dapat berjalan beriringan dengan orang sehat di tempat datar tanpa sesak, tetapi tidak dapat jalan mendaki/naik tangga tanpa rasa sesak, Pasien tidak dapat berjalan beriringan dengan orang sehat di tempat datar tanpa rasa sesak, tetapi dapat berjalan di tempat datar tanpa rasa sesak dengan kecepatan jalannya sendiri, Pasien tidak dapat berjalan lebih dari 90 meter



(JOO yard), Pasien tidak dapat berjalan tanpa rasa sesak, sesak timbul saat melakukan aktivitas ringan seperti mandi/berpakaian; 2. Berdasarkan etiologi (lihat bagian Etiologi) 3. Waktu munculnya sesak: Saat istirahat. misalnya pneumotoraks, efusi pleura, pneumonia, asma, asidosis metabolik Terpicu aktivitas, misalnya gaga! jantung; 4. Awitan dan progresivitasnya: Mendadak: pneumotoraks, emboli paru. asma, aspirasi benda asing, bronkiolitis Subakut, progresif dalam hitungan minggu/ bulan: gaga! jantung, anemia, efusi pleura Kronis: bronkitis kronis, emfisema.



Patofisiologi Gangguan Ventilasi Volume udara yang mengalir dalam saluran pernapasan (ventilasi) terdiri dari dua komponen, yaitu aliran udara (flow) dan volume udara yang masuk ke saluran pernapasan (tujuan akhirnya alveoli). Gangguan pada salah satu atau kedua komponen akan menyebabkan gangguan ventilasi dan sebagai hasil akhirnya akan mempengaruhi rasio ventilasi/perfusi. Apabila ha! tersebut terjadi, tubuh akan mengompensasi dengan meningkatkan ventilasi, dalam hal ini berupa usaha napas ekstra, yang terlihat sebagai sesak napas. 1. Kelompok 1: gangguan aliran terjadi saat inspirasi; manifestasi klinis berupa stridor inspirasi; kelainan dapat berupa polip nasal yang besar, rinitis dengan obstruksi nasal yang berat, hipertrofi tonsil-adenoid (misalnya pada OSAS). laringotrakeomalasia, epiglotitis, croup, massa di leher yang menekan trakea dari luar; 2. Kelompok 2: manifestasi klinis berupa sesak napas dengan tanda expiratory effort (seperti mengi atau ekspirasi memanjang); penyakit yang mendasari dapat berupa bronkiolitis, asma, aspirasi benda asing padat, massa intratorakal yang menekan bronkus seperti hipertrofi timus; 3. Kelompok 3: yang termasuk dalam kelompok ini adalah pneumonia, atelektasis, edema paru, sepsis,



near drowning 4. Kelompok 4: terjadi karena proses desak ruang yang megakibatkan terganggunya pengembangan paru intratorakal; yang termasuk dalam kelompok ini meliputi pneumotoraks, pneumomediastinum, efusi pleura, hernia diafragmatika, deformitas toraks seperti pectus excavatum atau skoliosis berat; 5. Kelompok 5: manifestasi klinis berupa muscular constraint; terjadi karena gangguan pengembangan toraks akibat kelainan di luar toraks, umumnya disebabkan oleh organ dalam abdomen, misalnya gastritis, ulkus peptikum, peritonitis, asites, hepatosplenomegali, tumor padat abdomen; dapat pula berupa gangguan neuromuskular seperti sindrom Guillian Barre, miastenia gravis atau spinal muscu-



lar atrophy; 6. Kelompok 6: terjadi karena adanya rangsangan yang memberi sinyal ke pusat pernapasan untuk



177



Tabel l. Kerusakan Lokasi Anatomis yang Menyebabkan Keluhan Sesak Napas pada Anak PPrn~IJM S dll



Par u



Pompa



Obstruksijalan napas sentral



Rongga toraks Kifosko\iosis



Atresia koana Hipertrofi tonsil-adenoid



Hernia diafragmatika



La ringomalasia Abses perintonsil/ retrofaring



Flail chest Penonjolan diafragma (eventerasio)



Epig lotitis



Sindrom Prune Belly



Paralisis plika vokalis



Dermatomiositis



Laringotrakealis



Distensi abdomen



Stenosis subglotis Batang otak



Massa mediastinum



Asp irasi benda asing



Malaformasi Arno ld Chiari



Apnea tidur obstrukt if



Sindrom hipoventilasi pusat Depresi sumsum saraf pusat Trauma



Obstruksi jalan napas perifer Asma



Ti nggi tekanan intrakranial



Bronkioli tis



lnfeksi sistem saraf pusat



Aspirasi benda asing



178



Medula spinalis



Pneumonia aspirasi



Fibrosis stenosis



Trauma



Defisiensi a - 1-a ntitripsin



Mielitis transversa



Atrofi muskul ar spina lis Penyakic alveolar-interstisial



Poliomielitis



Pneumonia lobaris



Tumor/ abses



Penyakit membran hialin Neuromuskular



Pneumonia interstisial Hemosiderosis



Cedera nervus frenikus



Trauma kelahiran Keracunan botulinum pada bayi Sindrom Gui llain-Barre Oistrofi muskular M iastenia gravis



Keracunan organofosfat



hiperventilasi; manifestasi klinis berupa pernapasan Kussmaul; terjadi asidosis metabolik, anemia, keracunan salisilat, trauma kapitis. infeksi saraf pusat (meningitis, ensefalitis). ensefalopati (tifoid, demam berdarah dengue, metabolik) . atau gangguan panik. Pendekatan Klinis 1. Anamnesis. Tanyakan sudah berapa lama, faktor



Gangguan aliran



-c



Ekstra-torakal _ . -----lntra-torakal _ .



pencetus, ada/tidaknya sianosis sentral, gejala lain (demam, pilek, suara "ngik-ngik" saat bernapas, atau batuk). riwayat tersedak. riwayat atopi pada pasien dan keluarga; 2. Pemeriksaan fisis umum. Apakah ditemukan sianosis sentral, merintih (grunting). pernapasan cuping hidung. mengi, stridor, gerakan kepala yang sesuai dengan inspirasi (menunjukkan distres pernapasan). peningkatan tekanan vena jugularis,



Obstruksi saluran napas besar atau ekstra-torakal Obstruksl saluran napas lntratorakal Gangguan parenkim paru



LJJ



W W



___ 0



w



Gambar l. Patofisiologi Sesak Napas



w



telapak tangan pucat; 3. Pemeriksaan fisis dada. Frekuensi pernapaan yang cepat (usia 5 tahun: ~3 0 kali), chest-indrawing, trakea tidak di tengah, terdapat tanda efusi pleura (redup) atau pneumotoraks (hipersonor) pada perkusi paru, auskultasi paru didapatkan suara napas bronkilal, ronki, stridor, atau mengi. Dapat pula ditemukan irama gallop pada auskultasi jantung; 4. Pemeriksaan fisis abdomen. Apakah ditemukan massa abdominal, hepatosplenomegali. Pemeriksaan Penunjang Terdapat beberapa alat bantu diagnosis dalam mengidentifikasi penyebab sesak napas, yaitu peme-



riksaan darah rutin, foto toraks, ultrasonografi, ' nalisis gas darah, pulse oximetry, spirometri, rinoskol?1· laringoskopi, bronkoskopi, elektrokardiografi, maupun ekokardiografi. Namun demikian, pemilihan p; nggunaannya disesuaikan dengan hasil arahan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Foto toraks seringkali membantu dalam mencari etiologi sesak napas. Sesak napas dengan keadaan klinis yang jelas, konfirmasi dengan foto toraks; Sesak napas yang jelas, foto toraks abnormal; Konsolidasi parenkim tanpa retraksi, pikirkan pneumonia; Perselubungan disertai retraksi, pikirkan aspirasi benda cair; Gambaran lusen yang terlokalisasi, pikirkan aspirasi benda padat;



Tabel 2. Diagnosis Banding Sesak Napas pada Anak



Pneumonia



Demam Batuk dengan napas cepat Ronki pada auskultasi paru Kepala terangguk-angguk sesuai inspiras i (tanda distres pernapasan)



Chest indrawing Grunting Sianosis



Bronkiolitis



Episode pertama wheezing pada anak usia < 2 tahun Hiperinflasi dinding dada Ekspirasi memanjang Gejala pneumonia juga dapat dijumpai Kurang/tidak berespon terhadap bronkodilator



Asma



Riwayat wheezing berul ang. kadang tidak berhubungan dengan batuk/ pilek Hiperinflasi dinding dada Ekspirasi memanjang Berespon baik cerhadap bronkodilator



Gaga! jantu ng



Peningkatan tekanan vena jugularis Denyut apeks bergeser ke kiri Irama derap (S,) Bising jantung Ronki pada daerah basal paru Hepatomegali



Penyakit jantung



Sulit makan atau menyusu



bawaan



Sianosis Bising jantung Hepatomegaii



Efusi/empiema



Tanda pendorongan organ intratoraks (blla masif) Pekak pada perkusi



Benda as ing



Riwaya t tiba-t iba tersedak



Stridor atau discres pernapasan tiba-tiba



Wheezing atau suara pernapasan menurun ya ng bersifat fokal Pneu motoraks



Awitan tiba-tiba Hipersonor pada perkusi di satu sisi toraks Pergesaran mediastinum



179



Distensi paru bilateral, pikirkan asma atau bronkiolitis; Avaskular hemitoraks dengan pendorongan organ kontralateral, pikirkan pneumotoraks; Sesak napas dengan foto toraks normal, pikirkan aspirasi benda asing dengan obstruksi yang belum nyata, atau sebab non-pernapasan, seperti asidosis metabolik/ kecemasan.



terjadinya sesak napas. Pemberian oksigen mungkin diperlukan pada sebagian besar kasus, namun harus dievaluasi kembali penggunaannya. Misalnya, pada sesak napas yang disebabkan oleh rasa nyeri epigastrium (pada gastritis akut) , pemberian oksigen tidak diperlukan. Sumber Bacaan 1.



Diagnosis Banding Lihat Tabel 2.



is. Oalam: Sugiman T. Bernida I. penyunting. Sesak napas. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2012. 2.



Tata Laksana Disesuaikan dengan penyebab yang mendasari



56



Koropetcnsi IV



180



Setyanto OB. Sesak napas pada anak: suatu pendekatan klin-



World Health Organization (WHO). Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan



tingkat pertama di kabupaten/ kota. Jakarta: WHO: 2009.



II



Tuberkulosis



••• Definisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Terdapat perbedaan antara infeksi TB dengan sakit TB. Seorang anak yang positif terinfeksi TB belum tentu menderita sakit TB (lihat Tabel 1). Pasien sakit TB perlu mendapat terapi obat antituberkulosis (OAT) , sedangkan infeksi TB tanpa sakit TB tidak memerlukan terapi OAT. Pada kelompok risiko tinggi, pasien infeksi TB tanpa sakit TB, perlu mendapatkan profilaksis. Epidemiologi Pada tahun 2000, terdapat 8,3 juta kasus baru TB di dunia dan 10, 7% diantaranya terjadi pada anakanak; 75% kasus TB anak tersebut terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, TB terjadi pada 23 orang per 100.000 anak. Faktor Risiko Faktor risiko infeksi TB: kontak TB positif, daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik); Faktor risiko sakit TB: faktor usia (anak berusia s 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi; terkait imunitas yang belum sempurna), malanutrisi, kondisi immunocompromised (HIV, keganasan, transplantasi organ, pengobatan imunosupresi), serta sosioekonomi rendah dan lingkungan padat.



Chrysilla Calistania, Wahyuni Indawati Tabel 1. Klasifikasi Berdasarkan Status TB Krlas



Kontak



lnfeksi



Sakll



TB



TB



TB



(-)



(- )



(- )



(+)



(- )



(-)



Profilaksis I'



II



(+)



(+)



(- )



Profilaksis II'



III



(+)



(+)



(+)



Terapi OAT



0



Tata Laksana



* Pada kelompok risiko tinggi: balita, pubertas, steroid sistemik jangka panjang, sitostatika. gizi buruk. morbili. varisela. HIVI AIDS. maupun keganasan.



Diagnosis 1. Anamnesis Nafsu makan menurun; Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun tanpa penyebab yangjelas (kemungkinan masalah gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dahulu dengan tata laksana yang adekuat selama 1 bulan); Demam subfebris yang berkepanjangan, terutama jika berlanjut hingga 2 minggu (penyebab demam kronis yang lain, seperti infeksi saluran kemih, tifoid, atau malaria perlu disingkirkan); Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal, atau tempat lain; Keluhan respiratoris berupa batuk kronis lebih dari 3 minggu atau nyeri dada; Keluhan gastrointestinal, seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku.



Inhalasl M.tuberculosis (droplet)



Fagosltosls oleh makrofag











Destruksi basil (mat!)



Basil hldup. repllkasi lntraseluler



Penyebaran limfogeni (limfangitis)



Pembentukan tuberkel (fokus primer)



'lar lymph nodes (limfadenitls)



Penyebaran hematogenik



+



Akut



• •



TB



disemlnata



Fokus pad



..c: t1S D D D D D



Hemangioma Hipospadia Luka Bakar Sum bing Trauma Wajah



D D D D D D D



Empiema Toraks Fraktur Iga Fraktur Sternum Hematotoraks Manual WSD Pneumotoraks Tamponade Jantung



D D D D D D D D



Batu Saluran Kemih Kanker Prostat Kelainan Testis Hiperplasia Prostat Jinak Trauma Buli Trauma Ginjal Trauma Uretra Tumor Ganas Buli



D D D D



lnsufisiensi Vena Kronis Penyakit Oklusi Arteri Perifer Trauma Vaskular Trombosis Vena Dalam



Mi have read everything.



~



Q)



i:x:i 185



57



Kompetensi IVA



• 11



••



Definisi dan Indikasi Anestesi lokal dimaksudkan untuk menghilangkan sensasi (nyeri) pada suatu daerah (regional) saat melakukan prosedur operasi atau tindakan lain yang menimbulkan nyeri. Zat anestesi lokal (ZAL) bekerja dengan cara memblok konduksi saraf dengan menghambat influks Na·, zat anestesi lokal menghambat depolarisasi membran sehingga ambang potensial dan aksi potensial tidak tercapai. Hal tersebut menyebabkan konduksi impuls (dalam ha! ini sensorik) terganggu.



186



Prinsip Farmakologi Zat Anestesi Lokal (ZAL) Profil ZAL dipengaruhi oleh daya larutnya dalam lemak Qipid solubility). bentuk ikatannya dengan protein (protein binding). konstanta disosiasi asam(pKa}, dan efek vasodilatornya. Struktur dan sifat tersebut akan mempengaruhi potensi dan kecepatan awitan suatu ZAL. Kemampuan lipid solubility dan protein binding akan mengaruhi tingkat penetrasinya dan potensi ZAL melintasi membran sel. Sementara itu, nilai pKa. dosis, dan konsentrasinya akan mempengaruhi kecepatan awitan (onset of action) suatu ZAL. Sebagai contoh. tetrakain (pKa 8,6) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memberikan efek yang sama dengan lidokain (pKa 7.4). Semua ZAL, kecuali kokain, memiliki efek vasodilator. Semakin besar efek vasodilator. jumlah ZAL di jaringan semakin sedikit (banyak yang diserap pembuluh darah). Hal tersebut berujung pada semakin kecilnya efektivitas suatu ZAL. Tersedia pula ZAL dengan campuran vasokonstriktor (umumnya epinefrin). Penambahan vasokontriktor dapat meminimalisasi perdarahan dan memperpanjang masa kerja. Selain itu. dapat pula meningkatkan efektivitas dan mengurangi toksisitas ZAL (karena mengurangi absorbsi pembuluh darah). Akan tetapi, vasokonstriktor tidak boleh digunakan pada daerah-daerah di mana nekrosis mudah terjadi, seperti jari. telinga, atau penis. Demikian pula pada pasien hipertensi, kelainan jantung, dan kelainan pembuluh darah perifer. Klasifisikasi Berdasarkan gugus yang terdapat pada rantai intermediat (gugus amid atau ester) yang memisahkan ujung aromatik dan ujung amin. ZAL dikelompokkan menjadi:



Anestesi Lokal Chrysilla Calistania, lskandar Rahardjo Budianto Golongan asam amino ester: prokain, klorprokain, tetrakain, kokain, dan Golongan asam amino amida: lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, serta etidokain. Namun, berdasarkan metode aplikasinya, ZAL dapat juga diklasifikasikan menjadi anestesi topikal. anestesi infiltrasi, maupun blok saraf perifer. 1. Anestesi Topikal Merupakan aplikasi ZAL pada kulit utuh, mukosa, atau kulit yang sudah terputus integritasnya. Metode ini mudah untuk dilakukan, namun berpotensi menyebabkan toksisitas pada penggunaan dosis yang besar. a. Kulit utuh: menggunakan ZAL topikal yang mengandung 25 mg lidokain dan 50 mg prilokain dalam bentuk emulsi minyak dalam air. Emulsi tersebut diaplikasikan pada lapangan operasi dan dibalut occlusive dressing selama I jam pra-bedah. Metode ini juga efektif digunakan pada pengambilan donor split thickness skin



graft; b. Mukosa atau kulit yang sudah terputus integritasnya: anestesi lokal menggunakan lidokain, dibukain, tetrakain, atau benzokain dalam bentuk cairan. 2. Anestesi Infiltrasi Metode ini menimbulkan anestesi terbatas pada lapangan operasi, tanpa menginterupsi konduktivitas saraf spesifik. Dapat menggunakan semua jenis ZAL, kecuali kokain karena memiliki efek vasokonstriksi yang besar dan berpotensi menyebabkan toksisitas kardiovaskular (Iihat Tabel !}. Anestesi infiltrasi dilakukan dengan suntikan intradermal atau subkutan. Pada lapangan operasi yang cukup. ZAL dapat diencerkan (dilusi) terlebih dahulu. Jarum ditusukkan menembus kulit dengan sudut 45° hingga mencapai lapisan lemak subkutis. Sambil menyuntikan ZAL, jarum didorong maju dengan arah horizontal. Sebelum sampai ke pangkalnya, jarum ditarik dan diubah arahnya, hingga seluruh tepi lapangan operasi terinfiltrasi (Iihat Bagian Prosedur Medis). Saat proses deposisi ZAL tersebut, pasien akan merasakan sensasi nyeri/burning sensation.



Tabel I. Karakteristik, Dosis, dan Durasi Anestesi lnfiltrasi Saraf Perifer Solusio Murni



PrPtMrat



Solusm l\frnganclung l·p111rl1 in



Konst•ntr.1si



Dos1s Maksimal



Du1as1



Oasis f\l.tks1111.tl



(%)



(mg)



(nll'nit)



(mg)



1-2



800



15-30



1.000



30-90



Dur.1\1 (mPnil)



Durasi Singkat Prokain Klorprokain Durasi Menengah Lidokain



0.5-1



300



30-60



500



120-360



Mepivakain



0.5-1



300



45-90



500



120-360



Prilokain



0.5- 1



500



30-90



600



120-360



0,25-0.5



175



120-240



225



120-480



0,5-1



300



120-180



400



180-420



Durasi Lama



• I



Bupivakain Etidokain



3. Blok Saraf Perifer Terdapat dua jenis blok saraf. yaitu blok saraf mayor dan blok saraf minor. Blok saraf minor bertujuan untuk blokade satu saraf (misalnya saraf radialis), sedangkan blokade mayor bila dilakukan pada dua atau lebih saraf perifer, atau pleksus (misalnya pleksus brak.ialis). Blokade minor memiliki awitan cepat Oihat Tabel 2), sedangkan blokade mayor memiliki durasi yang lama (lihat Tabel 3). Toksisitas Sebagian besar toksisitas ZAL terjadi karena penyuntikan intravaskular Ookasi anatomis yang tidak tepat) atau pemberian dalam dosis yang sangat besar



(berlebihan). Toksisitas ZAL berhubungan dengan susunan saraf pusat dan sistem kardiovaskular{lihat Tabel 4) ; meski lebih sering melibatkan sistem saraf pusat. Pada sistem saraf pusat, ZAL menyebabkan depresi jaras inhibisi korteks, menimbulkan eksitasi pada fase awal, selanjutnya menyebabkan depresi sistem saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular, ZAL menyebabkan depresi miokardium sehingga menyebabkan depresi sistem kardiovaskular. Penatalaksanaan kegawatdaruratan akibat toksisitas ZAL: 1. Bebaskan jalan napas, berikan 0 2 I 00% dengan sungkup muka. Hiperventilasi dengan 0 2 ini umumnya dapat mengatasi serangan konvulsi; 2. Mengatasi gangguan sirkulasi/syok dengan pem-



Tabel 2. Karakteristik, Dosis. dan Durasi Anestesi Lokal untuk Blok Minor Saraf Perifer Solu..,io !\lu1 n1 PrPJMfdl



Prokain



SolusmMc>nganclung I p11wlrin



Konsrntrura\i R,tt.i 1,Ha



Duras1 R.ll.t 1.ttct



(%)



(ml)



(mg)



(nll'llll)



(nll'nit)



2



5-20



100-400



15-30



30-60



5-20



50-200



60-120



120-180



Klorprokain Lidokain Mepivakain Prilokain Buplvakain



0,25



5-20



12.5-50



180-360



240-480



Eeidokain



0,5



5-20



25-100



120-240



180-240



Tabel 3. Karakteristik. Dosis. dan Durasi Anestesi Lokal untuk Blok Mayor Saraf Perifer PrPJ>al .H dPngan I· p11wfrin



Ko11..,Pnl 1asi



\mlunw



Do,1s m.tks11nc1!



Awili Daya RPgang Brnang



Drskrips1



(wnsill' :::.11c11Rlh)



Nama Dagang



PPnggunaan



d1prrtahankan Plain cargut



Narural. mulrifilamen. diserap



1-2 minggu



Lapisan subkuraneus



Chromic catgur



Natural. multifilamen. diserap



2-3 mlnggu



Lapisan subkutaneus. anastomosis pada traktus gastrointestinal dan urinarius



Silk. linen



Natural. multifilamen. tidak diserap



Prolonged



Kulit dan struktur jantung



Stainless steel



Natural, monofilamen. tidak diserap



Prolonged



Ligamen. tendon, tulang



Asam poligikolat



Sintetis. multifilamen. diserap



3-4 minggu



tJ:j



11>



°' $.\I ~



c:: 3r:: 3



196



Dexon®



Traktus gastrointestinal dan urinarius. otot, fascia. lapisan



subkutaneus Poliglaktln



Sintetis, multifilamen, dlserap



4-6 minggu



Vicryl® Safi!®



Traktus gastrointestinal dan urinarlus, otot. fascia, lapisan subkutaneus



Polipropilen



Sintetis. monofilamen. tidak diserap



lndennite



Prolene® Ethilon®



Struktur oftalmologi. vaskular. bedah saraf. fascia. kulit



Po Ila mid



Slntetls, monofilamen, tidak diserap



Tahu nan



Nllon®



PolitetraOuoroetilen (PTFE)



Sincetis. monofilamen.



lndennire Cortex® tidak diserap Kererangan: Vicry/®, Sam® berwama ungu: Prolene® berwama biru, Silk® berwama hiram.



61



Kompctensi IVA



• 11



•• Definisi Disebut juga nail plasty. Merupakan upaya mengatasi iritasi ujung kuku yang tumbuh ke jaringan dengan membuang sebagian kuku dan mengupayakan kuku tumbuh di atas jaringan lunak.



Penutupan abdominal dan kulit, hernia repair Anastomosis vaskular. hernia



repair



Rosser Plasty Chrysilla Calistania, Iskandar Rahardjo Budianto Ka pas; Alkohol; Kasa; Perban; Povidoniodin 10%, serta; Salep antibiotik.



Indikasi



Unguis incamatus (kuku tumbuh ke jaringan). Prosedur dilakukan setelah infeksi mereda. Alat dan Bahan Set bedah minor; Bilah disposable nomor I 0, dengan gagangnya atau gunting jaringan kecil; Benang monofilamen nomor 2.0 atau 3.0; ]arum cutting; Karet penjepit ibu jari (torniket);



Langkah Kerja I. Lakukan prosedur antisepsis pada daerah nail plasty dengan menggunakan povidon iodin I 0% (lihat Bab Tindakan Asepsis dan Antisepsis) ; 2. Lakukan anestesi lokal pada sisi lateral dan medial falangs (topografi cabang saraf interdigitalis), di proksimal falangs (Ii hat Bab Anestesi Lokal) ; 3. Pasang torniket pada bagian proksimal falangs; 4. Buat sayatan elips di jaringan yang tumbuh menutupi kuku; bagian kuku yang tumbuh masuk ke



Gt=1 y



.



Gambar l.Tahapan Eksisi Sisi Kuku pada Rosser Plascy



dalam jaringan dibuang (± V. bagian ukuran lebar kuku) ; 5. Lakukan eksisi jaringan sesuai desain yang sudah dibuat, memanjang dari ujung distal sampai ke proksimal falangs. sedalam tunas kuku untuk mencegah rekurensi (lihat Gambar 1); 6. Upayakan agar ujung tepi kuku membulat (tidak runcing) agar tidak menyebabkan iritasi; 7. Bersihkan debris keratotik dari lekukan sisi kuku; 8. Lakukan penjahitan dengan teknik yang mengupayakan kuku berada di atas jaringan lunak kuku; 9. Berikan salep antibiotik pada dasar kuku yang terpapar; 10. Luka dibalut dengan kasa dan perban, kencangkan



62 . • Kompdt'.ns1 l\'A



11



••



untuk mengupayakan hemostasis; 11. Torniket dilepaskan. Komplikasi Infeksi, nekrosis tepi-tepi Iuka, atau rekurensi. Kejadian rekurensi dapat dicegah dengan tidak memotong kuku terlalu pendek dan tidak memakai sepatu terlalu sempit (untuk kuku kaki).



19'Z



Sumber Bacaan: l.



Moenadjat Y. Bedah minor. Jakarta: Kolegium Ilmu Bedah Indonesia (IKABI) : 2002.



2.



Bachsinar B. Bedah minor. Jakarta: Penerbit Hipokrates:



1992.



Sirkumsisi Chrysilla Calistania, Iskandar Rahardjo Budianto



Kontraindikasi Hipospadia, karena kulit preputium diperlukan sebagai bahan pada rekonstruksi hipospadia.



b. Tanyakan riwayat alergi obat (antibiotik, analgetik, anestesi lokal); c. Berikan penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan dan minta persetujuan pasien/ orang tua pasien (informed consent); d. Pe'rsiapkan alat dan obat-obatan sirkumsisi; e. Persiapkan alat dan obat-obatan penunjang hidup bila terjadi syok anafilaksis (adrenalin); f. Jika semua telah siap, pasien diminta untuk meletakkan kedua tangannya di bawah kepala (sebagai upaya menghindari refleks memegang/ melindungi penis saat sirkumsisi dilakukan).



Langkah Kerja 1. Persiapan operasi: a. Tentukan ada/ tidaknya kontraindikasi sirkumsisi (melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis) ;



2. Asepsis dan antisepsis Oihat Bab Tindakan Asepsis dan Antisepsis): a. Pasien telah mandi dan membersihkan daerah genitalianya dengan sabun;



Definisi Sirkumsisi merupakan tindakan bedah yang bertujuan membuang preputium penis. lndikasi Medis: fimosis , parafimosis, kebersihan daerah glans (dapat mengurangi risiko terjadinya tumor) ; Nonmedis: umumnya agama, dilakukan pada usia 7 bulan-7 tahun.



Tabel l. Alat dan Bahan Sirkumsisi



Gunting diseksi (I buah) .



Benang diserap ukuran 4.0 / 5.0 .



Gunting bena ng (I buah) ,



Ka pas.



Gagang pisau dan bilah nomor IO (1 buah).



Kassa steril.



Pinset anatomis (1 buah).



Pl ester.



Pinset bedah (I buah),



Spuit 3 mL/5 mL,



Klem hemostat ujung lurus (3 buah).



Sarung tangan steril,



Klem hemostat lengkung (2 buah).



Larutan antiseptik (povidon iodin I 0%, larutan sublimat).



Neddie holder (1 buah),



Lidokain HCI 2%.



Jarum cutting. Duk steril berlubang di tengahnya.



198



b. Bersihkan daerah genitalia dengan povidon iodin l 0% secara sentrifugal {dari sentral ke perifer, membentuk lingkaran ke arah luar), dengan batas atas tepi pusar dan batas bawah meliputi seluruh skrotum (lihat Gambar 1); c. Letakkan duk steril yang tengahnya berlubang.



darah yang teraspirasi, posisi jarum dipindahkan, kemudian dilakukan aspirasi kembali. Bila tidak ada darah yang teraspirasi, penyuntikkan larutan anestesi boleh dilakukan; d. Anestesi infiltrasi di lapisan subkutis ventral penis 0,5-0,75 mL untuk kedua sisi.



3. Anestesi lokal dengan lidokain 2% {lihat Bab Anestesi Lokal): a. Anestesi blok pada cabang saraf dorsalis penis; b. Penis dipegang dengan tangan kiri operator. ]arum diarahkan ke proksimal batang penis (±0.5-1 cm daripangkal penis). ]arum ditusukkan ke kulit dan masukkan ±0,25 mL larutan anestesi di bawah kulit. ]arum diteruskan hingga menembus fasia Buck (seperti menembus kertas), kemudian diarahkan ke lateral garis tengah, dan masukkan ±0,5-1 mL larutan anestesi. Prosedur yang sama dilakukan pada sisi kontralateral (lihat Gambar 2); c. Perhatian, penyuntikkan larutan anestesi harus didahului dengan tindakan aspirasi untuk mengetahui apakah ujungjarum berada dalam pembuluh darah atau tidak. Apabila terdapat



4. Mengevaluasi apakah anestesi lokal sudah efektif. Dilakukan dengan menjepit ujung kulit preputium dengan klem dan memperhatikan mimik pasien.



Gambar !.Antisepsis dari Sentral ke Perifer (Sentrifugal)



5. Pembersihan glans penis Glans penis dibuka hingga sulkus koronarius terpapar. Bila ada perlengketan preputium ke glans,



Gambar 2. Anestesi Blok pada Sirkumsisi



Gambar 3. Pembersihan Glans Penis.Menggunakan klem (a). menggunakan kassa (b).



sulkus koronarius glans penis: e. Pada batas ujung dorsumsisi (titik ±0,5 cm dari sulkus koronarius glans penis) , dilakukan jahitan yang bertujuan sebagai kendali Qahitan teugel/jahitan kendali) agar pemotongan kulit selanjutnya lebih mudah dan simetris; f. Gunting secara melingkar (Gambar 5), dimulai dengan jahitan kendali pada arah jam 12, ke arah frenulum Qam 6) pada satu sisi, mencakup kulit bagian luar dan dalam preputium. Sisakan ± 0,5 cm mukosa atau 0,5 cm dari sulkus koronarius. Prosedur yang sama dilakukan pada sisi kontralateral. Bila setelah pengguntingan masih terdapat mukosa berlebih, dapat dilakukan pemotongan kembali agar bentuk menjadi lebih baik; g. Lakukan penjahitan aproksimasi kulit (Gambar 5) dengan mukosa pada posisi jam 3 dan 9, masing-masing 2-3 simpul. Prinsipnya adalah mempertemukan pinggir kulit dan pinggir mukosa: h. Lakukan penjahitan mukosa distal frenulum (posisi jam 6) dengan jahitan angka 8 atau O: i. Setelah selesai penjahitan, mukosa frenulum di



bebaskan dengan klem arteri atau dengan kassa steril. Bersihkan smegma yang terdapat di sekitar sulkus koronarius glans penis dengan menggunakan kassa yang megandung larutan sublimat (lihat Gambar 3). Alat-alat yang digunakan untuk membersihkan glans penis tidak boleh digunakan untuk prosedur selanjutnya karena sudah tidak steril. 6. Pengguntingan dan Penjahitan: a. Lakukan pemasangan 2 buah klem lurus pada preputium bagian dorsal, masing-masing pada posisi jam 1 dan 11 dengan ujung klem mencapai jarak ± 0,5 cm dari sulkus koronarius glans penis; b. Lakukan pemasangan klem ketiga pada frenulum penis (posisijam 6 [Gambar 41): c. Tujuan pemasangan ketiga klem ini adalah sebagai pemandu tindakan dorsumsisi dan sarana hemostasis: d. Lakukan prosedur dorsumsisi (Gambar 4) dengan menggunakan pisau atau gunting jaringan pada posisi jam 12, menyusur dari distal ke proksimal hingga mencapai ± 0,5 cm dari



a



b



Gambar 4. Pemasangan Klem (a) dan Pengguntingan (b, c) pada sirkumsisi



199



Gambar 7. Pembalutan Pada Sirkumsisi



pa balutan. 8. Pemberian obat-obatan (analgesik dan antibiotik oral). 200



Anjuran Pascaprosedur Perhatikan adanya infeksi, pus, hematom, atau Iuka yang belum menutup; Jika dibalut, balutan dibuka 4-5 hari kemudian setelah membasahi perban dengan rivanol; Balutan jangan terkontaminasi urien. Bila terkontaminasi, lakukan penggantian balutan.



Gambar 6. Jahitan Kendali pada Sirkumsisi



Sumber Bacaan: sebelah distal digunting dari jahitan sebelumnya. dibersihkan dengan povidon iodin I 0% dan diberikan salep antibiotik. 7. Pembalutan (Gambar 7), dengan menggunakan kassa yang sudah diolesi salep antibiotik. Hati-hati, jangan sampai penis terpuntir saat pembalutan. Dapat pula dilakukan perawatan Iuka terbuka tan-



I.



Moenadjat Y. Bedah minor. Jakarta: Kolegium llmu Bedah Indonesia (IKABQ: 2002.



2.



Bahcsinar B. Karakata S. Sirkumsisi. Jakarta: Hippocrates:



3.



Weiss H. Larke N. Halperin D. Schenker I. Neonatal and



1995. child male circumcis ion: a global review. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNA!DS): 2010.



b



Gambar 5.Teknik Pengguntingan pada Sirkumsisi. Pengguntingan secara melingkar (a). penjahitan dan pengguntingan mukosa frenulum (b,c,d).



ct



Teknik Penjahitan Frans Liwang, Iskandar Rahardjo Budianto Prinsip Penyembuhan Luka Luka (wound) didefinisikan sebagai rusaknya kontinuitas anatomis jaringan yang terjadi akibat trauma, kimiawi, listrik, maupun radiasi. Proses alamiah respon tubuh terhadap Iuka dapat dibagi menjadi tiga fase berikut: l. Fase inflamasi (reaktif): berlangsung 1-6 hari Tujuan: hemostasis (vasokonstriksi dan agregasi platelet) , serta kemotaksis (migrasi makrofag dan PMN). Fase ini berperan dalam membatasi dan mencegah kerusakan lebih Ianjut. Mekanisme: debris dan mikroorganisme dibersihkan melalui respon inflamasi, seperti neutrofil (24-48 jam), makrofag (48-96 jam), serta limfosit (5-7 hari). Di antaranya, makrofag berperan penting dalam menghasilkan faktor pertumbuhan, melalui sinyal inflamatorik, untuk produksi kolagen. 2. Fase proliferatif (regeneratif): berlangsung 4 hari-3 minggu Tujuan: sintesis kolagen (terutama tipe nn, angiogenesis, dan epitelisasi. Mekanisme: fibroblas diaktifkan oleh makrofag melalui sinyal faktor pertumbuhan. Selain itu, terjadi proses reepitelisasi, sintesis matriks, dan angiogenesis. Kekuatan penyatuan jaringan akan meningkat pada hari ke-4 dan 5. 3. Fase remodelling (maturasi): berlangsung 3 minggu- 1 tahun Tujuan: kontraksi, jaringan parut (skar) , dan remodeling skar. Mekanisme: pembentukan dan ikatan (cross/ink) kolagen semakin meningkat. Kolagen tipe I akan menggantikan tipe III hingga rasio nor-



ma! 4: 1 tercapai. Kekuatan penyatuan jaringan akan maksimal pada hari ke-60 (80% kekuatan pra-cedera). Prinsip Penjahitan Luka Penjahitan Iuka bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan jaringan. Tahapan penjahitan Iuka meliputi hemostatik terlebih dahulu, yang dilanjutkan dengan aproksimasi jaringan. Namun idealnya, penjahitan Iuka harus disesuaikan dengan jenis dan proses fisiologis penyembuhan Iuka. Berikut adalah tiga pendekatan dalam penyembuhan Iuka: Penyembuhan per primam: penutupan Iuka secara langsung dalam beberapa jam setelah Iuka terjadi, misalnya dengan pejahitan. Pendekatan ini dipakai untuk Iuka yang baru terjadi (6-8 jam. Penyembuhan per secundam: Iuka dibiarkan terbuka hingga menutup sendiri secara alamiah. Laju epitelisasi normal ialah 1 mm/ hari dari batas pinggir Iuka. Adanya kontraksi dan granulasi akan dipertahankan selama fase inflamasi hingga Iuka menutup. Pendekatan ini memerlukan penggantian penutup Iuka (dressing), dan kualitas penyembuhan Iuka lebih buruk secara kosmetik. Namun, pendekatan ini diindikasikan bila penyembuhan pre primam tidak memungkinkan. Penyembuhan per tertiam: tindakan secara aktif menganggu proses penyembuhan, lalu ditutup 4-10 hari pascacedera, atau setelah jaringan granulasi terbentuk danjumlah bakteri 6 jam, kedalaman Iuka > 1 cm, terdapat kontaminasi, jaringan mati, benda asing, serta pada Iuka bakar, tembakan, cedera suhu dingin (frostbite) , Iuka penetrasi, sumber Iuka dari sawah (farming



1



I I Gambar 7. Jarak antara Lebar dan Kedalaman Penjahitan



Plester. Dapat digunakan untuk Iuka superfisial dengan bentuk kedua sisi sama, misalnya Iuka insisi. Namun, plester tidak dapat digunakan pada Iuka yang aktif berdarah. Bahan adesi kulit, misalnya 2-octylcyanoacrylate. Bahan ini dapat digunakan untuk Iuka area kecil, tanpa menimbulkan regangan. Penggunaan bahan ini dapat menimbulkan tatto. Staples. Penggunaan materi baja-titanium ini menghasilkan reaksi jaringan yang lebih minimal dibandingkan benang jahit.



injury).



Profilaksis lain yang dapat dipertimbangkan sesuai kejadian, antara lain hepatitis B dan HIV. Sumber Bacaan I.



Ethridge RT. Leong M, Phillips LG. Wound healing. Dalam: Townsend CM. Beauchamp RD. Evers BM, Mattox KL, penyunting. Sabiston textbook of surgery: the biological basis of modern surgical practice. Edisi ke-19. Philadelphia:



4. Perawatan Iuka pascapenjahitan Tutup jahitan dengan bahan yang mencegah perlengkatan, tetapi memungkinkan drainase, misalnya kain tule yang mengandung vaselin.



Elsevier Saunders: 2012. 2.



Dreckman S. Sequeira S. Plastic surgery. Dalam: Vojvodic M, Young A. penyunting. Toronto Notes 2014. Ontario: Toronto Notes: 2014.



64



Kompetensl JJJB



•••



Hernia inguinalis merupakan satu dari permasalahan bedah yang paling sering dijumpai pada masa bayi dan anak. Operasi hernia merupakan salah satu operasi elektif yang tersering dilakukan. Embriologi dan Patogenesis Berbeda dengan dewasa, hernia inguinalis pada bayi disebabkan karena kegagalan penutupan prosesus vaginalis (penonjolan peritoneum yang berbentuk seperti jari dan bertugas mengiringi testis turun ke skrotum). Penutupan prosesus vaginalis normalnya terjadi beberapa bulan sebelum kelahiran. Oleh karena itu, insidens hernia inguinalis tinggi pada bayi prematur. Pada penutupan prosesus vaginalis yang parsial (tidak utuh) menyebabkan cairan terjebak dalam skrotum sehingga menyebabkan terbentuknya hidrokel. Klasifikasi I. Hernia Inguinalis Lateral (Gambar 1) Umumnya, hernia pada anak adalah hernia inguinalis lateral. Kantung hernia berasal dari sisi lateral pembuluh darah epigastrik inferior dan turun sepanjang korda spermatikus dalam fasia kremaster. Kantung ini dapat bertahan sepenuhnya dalam kanalis inguinalis atau turun melalui cincin inguinalis eksternal. Apabila masuk ke skrotum disebut hernia skrotalis, sedangkan apabila masuk ke labia mayor disebut hernia labialis. Hernia inguinalis lateral dapat dibedakan menjadi: Hernia inguinalis lateral reponibel, apabila hernia dapat keluar masuk; Hernia inguinalis lateral ireponibel. apabila hernia tidak dapat dimasukkan kembali kedalam rongga perut; Hernia inguinalis lateral strangulata, apabila hernia terjepit oleh cincin hernia. Hal ini menyebabkan gangguan vaskularisasi dan gangguan pasase. 2. Hernia Umbilikalis Hernia umbilikalis terjadi karena kegagalan penutupan cincin umbilikus sehingga menimbulkan defek sentral pada linea alba. Defek pada fascia menyebabkan protrusi isi rongga perut. Hernia umbilikalis berukuran I cm



Jarak ujung usus distal - kulit > l cm



Kolostoml



PSARP minimal tanpa kolostomi



kolostomi



Keterangan: PSARP. Posterior Sagitta/ Anorectoplasty. Gambar I. Algoritme Tata Laksana Malaformasi Anorektal pada Laki-laki (Pena A. 1990).



209



Neonatus dengan malaformasi anorektal







lnspeksi perineum







I



+ (90%)



Tidak ada fistula (I 0%)



Ada fistula



+



Kloaka



Kolostomi dan vaginostomi diversi urin



+



Vagina/vestibular







+ 48mmggu



PSARP



bulan



1







Invertogram



+



J



Jarak ujung usus distal - kulit s I cm



Kolostomi



Qika diperlukan)



.6







Kutaneus (perinea])







1



Jarak ujung usus distal - kulit > l cm



Kolostomi · 4-8 minggu



PSARP minimal tanpa kolostomi



PSARP



PSARPVUP



Keterangan: PSARP. Posterior Sagittal Anorectoplasty: PSARPUV Posterior Sagittal Anorectoplasty & Vaginal-urethroplasty. Gambar 2. Algoritme Tata Laksana Malaformasi Anore ktal pada Perempuan (Pena A, 1990).



Apabila dari pemeriksaan k.linis masih meragukan, invertogram dikerjakan. Apabila jarak kulit dan usus > 1 cm, kolostomi diperlukan sebelum PSARP. Bayi Perempuan Adanya kloaka pada bayi perempuan merupakan kondisi yang sangat serius dan diperlukan tindakan segera. Kolostomi, vesikostomi, dan vaginostomi mungkin dikerjakan. Apabila bayi tumbuh dalam keadaan baik, PSARVUP akan dikerjakan enam bulan kemudian. Pasien dengan fistula vagina/ vestibular akan menjalani kolostomi diikuti dengan PSARP 4-8 minggu kemudian. Pasien dengan f,,,ula kutaneus/ perineum menjalani minimal PSARP tanpa kolostomi pada masa neonatus sebagai terapi. Pasien tanpa fistula yang tidak terhubung dengan genital atau perineum memerlukan invertogram. Tabel 2. Ukuran busi yang direkomendasikan sesuai dengan



usia anak.



1-4 bulan



No. 12



4-12 bulan



No. 13



8- 12 bulan



No. 14



1-3 tahun



No. 15



3- 12 tahun



No. 16



> 12tahun



No. 17



Tata laksananya sama dengan bayi laki-laki. Manajemen Pada kasus lesi letak rendah (laki-laki dan perempuan) , dilakukan prosedur perbaikan tunggal tanpa kolostomi. Terdapat tiga jenis pendekatan yang digunakan: 1. Fistula terletak di lokasi normal. Dilatasi (businasi) saja biasanya bersifat kuratif. 2. Fistula terletak di anterior sfingter eksternus dengan jarak lubang ke pertengahan sfingter dekat. Pada kasus ini dilakukan PSARP minimal. 3. Fistula terletak di anterior sfingter eksternus dengan jarak lubang ke pertengahan sfingter jauh. Pada kasus ini dapat dilakukan limited PSARP dimana otot sfingter eksternus, serabut otot, dan kompleks otot dibedah, tetapi tidak membelah os. koksigeus. Pada kasus letak sedang dan tinggi, diperlukan rekonstruksi yang terdiri dari tiga tahap: 1. Tahap 1: kolostomi. Pada tahap ini, kolon sigmoid dibagi utuh menjadi 2 bagian: bagian proksimal sebagai kolostomi dan bagian distal untuk mukosa fistula; 2. Tahap 2: prosedur pull through. Prosedur ini dilakukan 3-6 bulan setelah kolostomi. Dilakukan penarikan kantung rektal yang paling ujung ke posisi yang normal. Prosedur dari Pena (1990). PSARP (posteriosagital rektoanoplasti) merupakan prosedur yang paling sering digunakan. PSARP



membelah otot sfingter eksternus, kompleks otot, dan os. koksigeus. 3. Tahap 3: penutupan kolostomi dan businasi. Dilatasi anus (businasi) dimulai 2 minggu setelah tahap 2 sampai ukuran businasi sudah tercapai sesuai usia (Tabel 2), baru dilakukan penutupan kolostomi. Sumber Bacaan 1. Pena A. Atlas of surgical management of anorectal malfor-



mation. New York: Springer-Verlag: 1990. h. I-70. 2.



Warner BW. Pediatric surgery-imperforate anus. Dalam: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, penyunting. Sabiston textbook of surgery. Edisi ke- 17. Elsevi-



er-Saunders: 2004. h.2114-6. 3. Sato TT. Oldham KT. Pediatric abdomen. Dalam: Mulhollan MW, Lillemoe KO, Doherty GM. Maier RV. Upchurch GR, penyunting. Dalam: Greenfield's surge ry: scientific principles and practice. Edisi ke-4. Maryland: Lippincot Williams & Wilkins: 2006. h.1890-4.



Penyakit Hirschsprung Chris Tanto. Iskandar Rahardjo Budianto Definisi Penyak.it Hirschsprung (megakolon kongenital) adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari sfingter anal internal ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu, selalu termasuk anus, dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Epidemiologi Jnsidens diperkirakan 1 per 5000 kelahiran hidup dengan perbandingan antara laki-laki perempuan 1. Panjangnya segmen aganglionik sebesar 4 bervariasi, sekitar 7 5-80%, biasanya terjadi pada kolon rektosigmoid distal dan 5% terjadi pada usus halus. Kolon aganglionik total jarang ditemukan. namun dapat terjadi. Terdapat kecenderungan familial pada penyakit ini. Sekitar 80% kasus terdiagnosis pada periode neonatus sedangkan 20% terdiagnosis setelahnya. Etiologi dan Patogenesis Penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan, terjadi defek migrasi sel-sel krista neural yang merupakan prekursor sel ganglion intestinal. Normalnya, sel-sel tersebut bermigrasi sefalokaudal. Proses tersebut selesai pada minggu ke-12 kehamilan. Namun, migrasi dari kolon tranversal bagian tengah ke anus memerlukan waktu selama 4 minggu. Pada periode inilah paling rentan terjadi defek migrasi sel krista neural. Hingga saat ini penyakit Hirschsprung diasosiasikan dengan mutasi tiga gen spesifik: proto-onkogen RET, gen EDNRB (endothelin B receptor) , dan gen EDN3 (endothelin 3). Manifestasi Klinis Pasien dengan kemungkinan penyak.it Hirschsprung dapat menunjukkan tanda dan gejala berikut ini:



1. Gaga! mengeluarkan mekonium dalam 24 pertama kehidupan (keterlambatan evakuasi mekonium); 2. Tanda obstruksi intestinal nonspesifik: distensi abdomen, muntah hijau, dan intoleransi dalam pemberian makan. Hal ini terjadi karena tidak adanya peristalsis yang bersifat propulsif pada segmen aganglionik; 3. Enterokolitis yang ditandai dengan demam, distensi abdomen, tinja menyemprot bila dilakukan pemeriksaan colok dubur. tinja berbau busuk serta berdarah. Enterokolitis diperkirakan terjadi karena stasis obstruktif dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan (misalnya C. difficile dan rotavirus); 4. Apabila sudah terjadi komplikasi berupa peritonitis ditemukan edema, bercak kemerahan di sekitar umbilikus, punggung, serta pada daerah genitalia; 5. Pada anak yang lebih dewasa: konstipasi berulang, gaga! tumbuh, serta tampak letargis. Diagnosis Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis. serta penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisis mencakup tanda dan gejala yang telah diuraikan sebelumnya. Selain itu perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat kehamilan dan kelahiran. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan kecurigaan penyakit Hirschsprung adalah: Pemeriksaan definitif: biopsi rektal. Biopsi rektal dapat dilakukan secara bedside pada pasien neonatus. sedangkan pada anak yang lebih besar diperlukan sedasi intravena. Pengambilan



211



212



sampel meliputi lapisan mukosa serta submukosa. 1 cm, 2 cm. dan 3 cm dari linea dentata. Sediaan histopatologi penyakit Hirschsprung menunjukkan tidak adanya sel ganglion pada pleksus myenterikus, adanya hipertrofi bundel saraf. serta pewarnaan yang menyangat dengan asetilkolin; Roentgen abdomen. Pemeriksaan ini bersifat nonspesifik. Hasil foto menunjukkan usus-usus yang terdistensi dan terisi oleh udara. Biasanya sulit membedakan usus halus dan usus besar saat usia neonatus; Pemeriksaan barium enema. Dilakukan untuk menunjukkan lokasi zona transisi antara segmen kolon dengan ganglion yang mengalami dilatasi dengan segmen aganglionik yang mengalami konstriksi. Terdapat tanda klasik radiografis penyakit Hirschsprung. yakni: 1. Segmen sempit dari sfingter anal, 2. Zona transisi (daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi). 3. Segmen dilatasi. Pemeriksaan barium enema sangat berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti atresia kolon, sindrom sumbatan mekonium, atau small



left colon syndrome. Diagnosis Banding l. Atresia ileum: mekonium sedikit. kering, berbutirbutir, warna hijau muda; 2. Sumbatan mekonium: pada Roentgen abdomen tampak usus melebar disertai kalsifikasi; 3. Atresia rektal; 4. Enterokolitis nekrotikan neonatal: pasien letargis, mekonium bercampur darah, tanda enterokolitis muncul lebih cepat dibandingkan penyakit Hirschsprung: 5. Peritonitis intra-uterin; 6. Sepsis neonatorum: gaga! evakuasi mekonium dalam 24-48 jam pertama, pasien menolak minum, distensi abdomen mulai dari daerah gaster, pasien tampak letargis: 7. Sindrom kolon kiri kecil: biasanya pada ibu dengan diabetes melitus. pada pemeriksaan barium enema, kolon kiri terlihat kecil sedangkan ampula rektum melebar; 8. Obstipasi psikogenik: pada pasien usia >2 tahun, feses seperti tanah liat dekat sfingter anal.



mendapatkan tata laksana definitif. Namun, tata laksana awal dapat diberikan pada pasien dengan distensi abdomen (biasanya pada kasus aganglionik total): I. Dekompresi saluran cerna dengan selang nasogastrik (NGT). Cairan dihisap setiap 15-20 menit karena cairan jejunum akan mulai mengisi lambung dalam rentang waktu ini. Dekompresi rektal juga dapat dilakukan dengan menggunakan rectal tube. Apabila dekompresi tidak berhasil, kolostomi menjadi pilihan terapi bedah sementara. 2. Rehidrasi (diberikan kebutuhan rumatan dan rehidrasi). Hindari pemberian cairan dengan kecepatan tinggi untuk menghindari terjadinya edema paru. 3. Pemasangan kateter urine untuk memantau urine output. Normalnya 1,5 cc/KgBB/jam. 4. Pemberian antibiotik apabila terjadi enterokolitis. Tata laksana operatif dilakukan dalam beberapa tahap: l. Kolostomi, dilakukan pada periode neonatus. pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, dan pasien enterokolitis berat dengan keadaan umum yang buruk. Apabila pasien tidak termasuk kedalam tiga kelompok ini, tindakan bedah definitif dapat dilaksanakan. 2. Pull-through operation. Prinsip operasi ini adalah membuang segmen aganglionik dan membuat anastomosis segmen ganglion dengan anus. Ada tiga buah teknik yang sering digunakan oleh dokter bedah anak, yakni prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave. Teknik Duhamel dan Soave memberikan hasil yang lebih baik dan dapat digunakan pada kasus aganglionik total. Teknik lain yang sering digunakan dengan transanal pull through. Pada kasus aganglionik total, ileum digunakan sebagai anastomosis. Sumber Bacaan 1.



Hackam DJ. Newman K. Ford HR. Pediatric surgery. Dalam: Brunicardi FC. Andersen DK. Billiar TR. Dunn DL, Hunter JG. Pollock RE. editor. Schwartz's manual of surgery. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2006. h.1015-7.



2.



Sato TT. Oldham KT. Pediatric abdomen. Dalam: Mulhollan MW. Lillemoe KO. Doherty GM. Maier RV. Upchurch GR. editor. Dalam: Greenfield's surgery: scientifiv principles and practice. Edisi ke-4. Maryland: Lippincot Williams & Wilkins: 2006. h.1906-10.



Tata Laksana Semua pasien dengan penyakit Hirschsprung dirujuk ke dokter spesialis bedah anak untuk



3.



Kartono D. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto; 2004.



68



Kompctcnsi lllB



•• •



Definisi Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Anatomi dan Fisiologi Apendiks memiliki panjang bervariasi sekitar 6 hingga 9 cm. Dasarnya melekat pada sekum dan ujungnya memiliki kemungkinan beberapa posisi seperti retrosekal, pelvis, antesekal, preileal, retroileal, atau perikolik kanan. Pada persambungan apendiks dan sekum, terdapat pertemuan tiga taenia coli yang dapat menjadi penanda. Apendiks adalah organ imunologik yang berperan dalam sekresi IgA karena termasuk dalam komponen g ut-associated lymphoid tissue (GALT) pada waktu kecil. Namun, sistem imun tidak mendapat efek negatif apabila apendektomi dilakukan. Patogenesis dan Patofisiologi Apendisitis akut biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks yang dapat diakibatkan oleh fekalit/apendikolit, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit, neoplasma, atau striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya. Obstruksi lumen yang terjadi mendukung perkembangan bakteri dan sekresi mukus sehingga menyebabkan distensi lumen dan peningkatan tekanan dinding lumen. Tekanan yang meningkat akan menghambat aliran limfe sehingga menimbulkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat tersebut, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri periumbilikal. Sekresi mukus yang terus berlanjut dan tekanan yang terus meningkat menyebabkan obstruksi vena, peningkatan edema, dan pertumbuhan bakteri yang menimbulkan radang. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga timbul nyeri di daerah kanan bawah. Pada saat ini terjadi apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan timbul infark dinding dan gangren. Stadium ini disebut apendisitis gangrenosa yang bila rapuh dan pecah menjadi apendisitis perforasi. Meskipun bervariasi, biasanya perforasi terjadi paling sedikit 48 jam setelah awitan gejala. Bila semua proses di atas berjalan-dengan imunitas yang cukup baik, omentum dan usus yang berdekatan



Apendisitis Elita Wibisono, Wifanto Saditya Jeo akan bergerak ke arah apendiks sebagai mekanisme pertahanan sehingga timbul massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan yang terjadi dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang dengan dinding lebih tipis sehingga mudah terjadi perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah. Manifestasi Klinis Keluhan apendisitis dimulai dari nyeri di periumbilikus dan muntah karena rangsangan peritoneum viseral. Dalam waktu 2-12 jam seiring dengan iritasi peritoneal, nyeri perut akan berpindah ke kuadran kanan bawah yang menetap dan diperberat dengan batuk atau berjalan. Nyeri akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan akan menunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah anoreksia, malaise, demam tak terlalu tinggi. konstipasi, diare, mual, dan muntah. Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua pasien dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan manifestasi klinis di atas yakni mual muntah pada keadaan awal yang diikuti dengan nyeri perut kuadran kanan bawah yang makin progresif. Pemeriksaan Fisis Pasien dengan apendisitis akut tampak kesakitan dan berbaring dengan demam tidak terlalu tinggi. Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan bising usus menurun/menghilang, nyeri tekan dan nyeri lepas (tanda Blumberg) fokal pada daerah apendiks yang disebut titik McBurney (sepertiga distal garis antara umbilikus dan spina iliaka anterior superior (SIAS) kanan. lritasi peritoneum ditandai dengan adanya defans muskular, perkusi, atau nyeri lepas. Tanda khas yang dapat ditemukan pada apendisitis akut adalah: Tanda Rovsing: nyeri perut kuadran kanan bawah saat palpasi kuadran kiri bawah; Tanda Psoas: nyeri pada perut kuadran kanan



213



bawah saat ekstensi panggul kanan (menunjukkan apendiks retrosekal); Tanda Obturator: nyeri perut kanan bawah pada saat rotasi internal panggul kanan (menunjukkan apendiks pelvis) ; Tanda Dunphy: peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk. Apabila telah terjadi perforasi, nyeri perut semakin kuat dan difus menyebabkan peningkatan defans muskular dan rigiditas (tanda peritonitis).



214



Pemeriksaan Penunjang l. Pemeriksaan laboratorium Leukositosis ringan (l 0.000-20.000/ uL) dengan peningkatan jumlah neutrofil. Leukositosis tinggi (>20.000/uL) didapatkan apabila sudah terjadi perforasi dan gangren. Urinalisis dapat dilakukan untuk membedakan dengan kelainan pada ginjal dan saluran kemih. Pada apendisitis akut didapatkan ketonuria. Pada perempuan, perlu diperiksa tes kehamilan bila dicurigai kehamilan ektopik sebagai diagnosis banding. 2. Ultrasonografi dapat digunakan dengan penemuan diameter anteroposterior apendiks yang lebih besar dari 7 mm, penebalan dinding, struktur lumen yang tidak dapat dikompresi (lesi target), atau adanya apendikolit. Diagnosis Banding Diagnosis banding dapat dilihat berdasarkan usia: Pada bayi: stenosis pilorus, obstruksi usus. Pada anak: intususepsi, divertikulitis Meckel, gastroenteritis akut, limfadenitis mesenterik,



bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan insisi subumbilikal pada garis tengah. Laparoskopi apendektomi: teknik operasi dengan Iuka dan kemungkinan infeksi lebih kecil 3. Pasca-operatif Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam. syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak, dan makanan biasa. Komplikasi Perforasi usus, peritonitis umum, abses apendiks, tromboflebitis supuratif sistem portal, abses subfrenikus, sepsis, dan obstruksi usus. Prognosis Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0 ,2-0,8% dan disebabkan oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak. angka ini berkisar antara 0, 1-1%, sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi.



inflammatory bowel disease.



Pada orang dewasa: pielonefritis, kolitis, divertikulitis, pankreatitis. Pada perempuan usia subur: pelvic inflammatory disease (PID) , abses tubo-ovarium, ruptur kista ovarium atau torsio ovarium, kehamilan ektopik.



Sumber Bacaan 1.



Liang MK. Anderseon RE, Jaffe BM. Berger DH. The appendix. Dalam: Brunicardi FC. Andersen DK. Billiar TR. Dunn DL. Hunter JG. Pollock RE. penyunting. Schwartz"s manual of surgery. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill: 20 14. h.1241 -63.



Tata Laksana 1. Pre-operatif Observasi ketat, tirah baring, dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks dapat dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena spektrum luas dan analgesik dapat diberikan. Pada perforasi apendiks perlu diberikan resusitasi cairan sebelum operasi. 2. Operatif Apendektomi terbuka: dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan



2.



Henry MM. Thompson JN. Acute appendicitis. Dalam: Clinical surgery. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier Saunders: 20 12.



3.



Maa



J. Kirkwood KS. The appendix. Dalam: Townsend CM.



Beauchamp RD, Evers BM. Mattox KL, penyunting. Sabiston tex tbook of surgery: the biological basis of modern surgical practice. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders: 20 12. 4.



Ruffolo C. Fiorot A. Pagura G. Antoniutti M, Massani M, Caratozzolo E. dkk. Acute appendicitis: what is the gold standard of treatment? World J Gastroenterol. 20 13 Dec 21: 19(4 7):8799-807.



Batu Empedu Elita Wibisono, Wifanto Saditya Jeo Definisi Batu kandung empedu adalah batu yang terbentuk dalam kandung empedu dan disebut kolesistolitiasis. Batu yang terbentuk pada common bile du ct (CBD) disebut koledokolitiasis. Kasus ini cukup sering terjadi dengan prevalensi 11 -36% pada laporan autopsi. Etiologi dan Faktor Risiko Biasanya batu empedu dikaitkan dengan 4F yakni fat. female, forty, dan fertile. Faktor risiko lain yang berhubungan adalah multiparitas, riwayat keluarga menderita batu empedu, penggunaan obat tertentu (seftriakson, estrogen pascamenopause, nutrisi parenteral total} , etnis tertentu (Amerika asli, Skandinavia} , penyakit kelainan darah, dan penyakit gaster. Patogenesis dan Patofisiologi Kandungan endapan bilier terdiri dari campuran kristal kolesterol, granul kalsium bilirubinat, dan matriks gel musin. Pembentukan batu empedu terjadi karena kegagalan mempertahankan zat-zat tersebut dalam keadaan terlarut. Berdasarkan kandungan zatnya, batu empedu terbagi menjadi batu kolesterol (70-80%) dan batu pigmen (hitam dan coklat) (2030%). Batu kolesterol murni jarang terjadi (10%}. Sisanya adalah batu kolesterol yang juga mengandung kalsium di bagian tengahnya atau nidus. Batu kolesterol Patogenesis batu kolesterol terdiri dari tiga stadium yakni supersaturasi kolesterol dalam cairan empedu, nukleasi kristal, dan pertumbuhan batu. Hal ini diperankan oleh mukosa dan fungsi motorik kandung empedu. Cara mempertahankan kolesterol dalam larutan adalah pembentukan misel, kompleks garam-fosfolipid-kolesterol empedu, dan vesikel kolesterol-fosfolipid. Pada keadaan produksi kolesterol berlebih, kemampuan transpor kolesterol vesikel-vesikel besar ini terlampaui sehingga terjadi presipitasi kristal. Batu pigmen Batu pigmen mengandung kurang dari 20% kolesterol dan berwarna gelap karena terdapat kalsium bilirubinat. Batu yang berwarna hitam serta kecil dan rapuh biasanya terkait dengan kondisi hemolitik seperti sferositosis herediter, anemia sel sabit, atau sirosis hati. Batu coklat halus, seperti tanah, dan sering



ditemukan di duktus bilier, mengandung lebih banyak kolesterol dan kalsium palmitat. Pembentukan batu ini terkait dengan infeksi bakteri seperti E.coli yang mensekresi (3 -glukuronidase yang menyebabkan hidrolisis enzimatik bilirubin glukuronida terkonjugasi, menghasilkan bilirubin tak terkonjugasi yang kemudian mempresipitasi kalsium. Manifestasi Klinis Kebanyakan bersifat asimtomatis namun ada sebagian yang mengalami gejala seperti kolik bilier akibat batu menyumbat duktus sistikus. Komplikasi yang sering terjadi akibat batu empedu meliputi kolesistitis akut, koledokolitiasis sekunder dengan atau tanpa kolangitis, pankreatitis batu empedu, ileus batu empedu, dan karsinoma kandung empedu. I. Kolesistitis kronis



Inflamasi dengan episode kolik bilier atau nyeri dari obstruksi duktus sistikus berulang mengacu pada kolesistitis kronis. Gejala utama berupa nyeri (kolik bilier) yang konstan dan berlangsung sekitar 1-5 jam, mual, muntah, kembung, dan sebagainya. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan nyeri tekan pada kuadran kanan atas. Standar baku pemeriksaan adalah USG abdomen. Pemeriksaan laboratorium biasanya normal. 2. Kolesistitis akut Kolesistitis akut terkait dengan batu empedu terjadi pada 90-95% kasus yang ditandai dengan kolik bilier akibat obstruksi duktus sistikus. Apabila obstruksi berlanjut. kandung empedu mengalami distensi, inflamasi, dan edema. Gejala yang dirasakan adalah nyeri kuadran kanan atas yang lebih lama daripada episode sebelumnya, demam, mual, dan muntah. Pada pemeriksaan fisis terdapat nyeri tekan kuadran kanan atas di bawah kosta kanan. Tanda Murphy dapat ditemukan, yakni terbatasnya inspirasi pasien karena nyeri pada saat dilakukan palpasi kuadran kanan atas. Dari pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis ringan, peningkatan bilirubin, alkali fosfatase, transaminase, dan amilase. Pemeriksaan USG abdomen dapat dilakukan. 3. Koledokolitiasis Batu pada CBD dapat asimtomatis dengan obs-



215



truksi transien dan pemeriksaan laboratorium yang normal. Gejala yang dapat muncul adalah kolik bilier, ikterus, tinja dempul, dan urine berwarna gelap seperti teh. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan bilirubin, aminotransferase (SGOT, SGPT), dan alkali fosfatase pada kasus obstruksi. Pada USG ditemukan dilatasi duktus bilier. MRCP (Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography) merupakan pemeriksaan diagnostik yang cukup akurat.



t:tt



(!)



0.



~



.... .... ....en



ti IQ



(!)



216



4. Kolangitis Kolangitis merupakan komplikasi dari batu saluran empedu. Kolangitis akut adalah infeksi bakteri asenden disertai dengan obstruksi duktus bilier. Gejala yang ditemukan adalah demam, nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas, dan ikterik yang disebut trias Charcot. Apabila disertai dengan septisemia dan disorientasi, kelima gejala ini dikenal dengan penta Reynolds. Dari pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan alkali fosfatase serta transaminase. 5. Pankreatitis bilier Sumbatan duktus pankreatikus oleh batu atau batu yang melewati ampula dapat menyebabkan pankreatitis. Diagnosis Diagnosis batu empedu ditegakkan dari anamnesis pasien berupa 4F, manifestasi klinis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang seperti USG, CT-scan, MRCP, serta pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan penyakit yang terkait. Tata Laksana Pilihan tata laksana batu empedu adalah secara operatif. Sambil menunggu, pasien harus menghindari asupan lemak dan makan besar serta diberi tata laksana preoperatif yakni pemberian hidrasi, analgesik, dan antibiotik sistemik. Beberapa pilhan tata laksana pembedahan akan dijelaskan secara singkat.



dilakukan atas indikasi batu empedu yang simtomatis. Kolesitektomi terdiri dari kolesistektomi terbuka dan dengan laparoskopi yang lebih populer saat ini. Laparaskopi kolesistektomi menjadi standar baku pada kolesistolitiasis. Kolangiogram/ USG intraoperatif Penggunaan kolangiogram atau USG dilakukan apabila terdapat peningkatan enzim hati pre-operatif struktur anatomi yang tidak jelas pada laparoskopi, kecurigaan cedera traktus bilier, dilatasi duktus pada pencitraan pre-operatif, dan apabila kolangiografi dengan endoskopi preoperatif gaga! dilakukan. Duktus bilier divisualisasikan menggunakan fluoroskopi dengan injeksi kontras melalui kateter yang diletakkan pada duktus sistikus. Eksplorasi common bile duct (CBD) Eksplorasi CBD dilakukan dengan laparoskopi atau operasi terbuka apabila endoskopi (ERCP) gaga! dikerjakan atau terdapat banyak batu dan dilatasi duktus. Batu yang terlalu kecil didorong ke duodenum dengan irigasi salin melalui kateter kolangiografi setelah relaksasi sfingter Oddi. Prosedur drainase common bile duct (CBD) Prosedur ini dilakukan apabila batu tidak dapat dibersihkan dan/atau duktus sangat terdilatasi (diameter > 1,5 cm) Sfingterotomi transduodenal Duodenum diinsisi secara transversal, kemudian dilakukan insisi sfingter, dan batu dikeluarkan dari duktus. Sumber Bacaan 1.



Dunn DL. Hunter JG. Pollock RE, penyunting. Schwartz's manual of surgery. Edisi ke- 10. New York: McGraw-Hill: 2014 . h.1309-40. 2.



Kolesistostomi Pada kolesistotomi, dilakukan dekompresi dan drainase kandung empedu yang terdistensi. mengalami inflamasi, atau purulen dengan memasukkan kateter atau drain melalui bantuan USG. Kolesistektomi Kolesistektomi merupakan prosedur yang sering



Pham TH. Hunter JG. Gallbladder and extrahepatic biliary system. Dalam: Brunicardi FC. Andersen DK. Billiar TR.



Henry MM. Thompson JN. penyunting. Gallstones. Dalam:



Clinical surgery. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier Saunders: 2012. 3. Shah SA. Chari RS. Biliary system. Dalam: Townsend CM. Beauchamp RD. Evers BM. Mattox KL. penyunting. Sabiston textbook of surgery: the biological basis of modern surg ical practice. Edisi ke- 19. Philadelphia: Elsevier Saunders: 2012.



70



Kompekmi IV



• 11



•• Definisi Hemoroid adalah penebalan bantalan jaringan submukosa (anal cushion) yang terdiri dari venula, arteriol. dan jaringan otot polos yang terletak di kanalis anal. Pendarahan Daerah Anorektal Drainase daerah anorektal diperankan oleh vena hemoroidales superior dan inferior. 1. Vena hemoroidales superior mengembalikan darah ke v. mesenterika inferior dan berjalan dalam lapisan submukosa, mulai dari daerah anorektal dalam kolumna Morgagni berjalan memanjang secara radier sambil beranastomosis. Apabila vena ini menjadi varises disebut hemoroid interna. Lokasi primer hemoroid interna (pada posisi litotomi) terdapat pada tiga tempat yaitu anterior kanan, posterior kanan. dan lateral kiri dengan ukuran Jebih kecil dapat timbul diantaranya. 2. Vena hemoroidales inferior memulai venuler dan pleksus kecil di daerah anus dan distal dari garis anorektal. Pleksus ini dibagi menjadi 2 yakni vv. hemoroidales media yang menuju v. pudenda interna dan w. hemoroidales inferior yang menuju v. hipogastrika. Pleksus inilah yang apabila menjadi tonjolan disebut hemoroid eksterna. Etiologi Penyebab timbulnya keluhan hemoroid dapat dipicu oleh pekerjaan, mengedan berlebihan. dan kebiasaan buang air besar yang sulit. Klasifikasi Berdasarkan letaknya. hemoroid dapat dibagi menj adi eksterna, interna, atau gabungan keduanya. 1. Hemoroid eksterna Hemoroid eksterna diselubungi oleh anoderm dan terletak di sebelah distal linea dentata. Hemoroid eksterna dapat membengkak dan menimbulkan rasa tidak nyaman bahkan nyeri apabila terjadi trombosis. 2. Hemoroid interna Hemoroid interna terletak di sebelah proksimal linea dentata dan diselubungi mukosa anorektal. biasanya tidak nyeri dan timbul perdarahan merah terang atau prolaps saat defekasi. Rasa nyeri biasanya berkaitan dengan fisura, abses, atau trom-



Hemoroid Elita Wibisono, Wifanto Saditya Jeo bosis hemoroid eksterna. Hemoroid interna diklasifikasikan sebagai berikut o Derajat 1: gejala perdarahan merah segar pada saat defekasi tanpa adanya prolaps; o Derajat 2: prolaps anal cushion keluar dari dubur saat defekasi tetapi masih bisa masuk kembali secara spontan; o Derajat 3: seperti deraj at 2 namun tidak dapat masuk spontan. harus didorong kembali; o Derajat 4: telah terjadi prolaps yang tidak bisa masuk kembali. Manifestasi Klinis Perdarahan - biasanya saat defekasi, warna merah segar, menetes, tidak bercampur feses, jumlah bervariasi. Prolaps - bila hemoroid bertambah besar. pada mulanya hemoroid dapat tereduksi spontan. tetapi lama kelamaan tidak bisa dimasukkan. Rasa tidak nyaman hingga nyeri - bila teregang. terdapat trombosis luas dengan edema. atau peradangan. Feses di pakaian dalam - karena hemoroid mencegah penutupan anus dengan sempurna. Gata! - apabila proses pembersihan kulit perianal menjadi sulit atau apabila ada cairan keluar. Bengkak - hanya pada hemoroid intero-eksterna atau eksterna. Nekrosis pada hemoroid interna yang prolaps dan tidak dapat direduksi kembali. Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis. dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis: keluhan yang terdapat pada manifestasi klinis. Pemeriksaan fisis: hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi terutama bila telah terjadi trombosis, sedangkan hemoroid interna dapat diamati apabila mengalami prolaps. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan dalam rektal secara digital dan anoskopi. Diagnosis Banding Prolaps rekti, karsinoma kolon, karsinoma rektum, kelainan divertikuler, polip adenomatosa, kolitis ulseratif, dan kelainan lain pada kolon dan rektum.



.+'.... (/)



Cl.I



.....tn



Q



~



't:S



Cl.I



fXI



217



t:D



11)



p.



~ 0 ......



IQ



11) (/)



Tata Laksana Tata laksana hemoroid dapat dibedakan menjadi nonbedah dan bedah (hemoroidektomi). Selain itu. pilihan tata laksana bergantung pada derajat hemoroid. Kebanyakan pasien dengan hemoroid derajat 1 dan 2 dapat diobati dengan tindakan lokal dan modifikasi diet. Pada sebagian derajat 2, derajat 3 dan 4 pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis bedah untuk dilakukan hemoroidektomi. Derajat 1: modifikasi diet, medikamentosa; Derajat 2: rubber band ligation. koagulasi, ligasi arteri hemoroidalis-repair rektoanal, modifikasi diet, medikamentosa; Derajat 3: hemoroidektomi, ligasi arteri hemoroidalis-repair rektoanal. hemoroidopexy dengan stapler. rubber band ligation. modifikasi diet Derajat 4: hemoroidektomi (cito untuk kasus trombosis) , hemoroidopexy dengan stapler, modifikasi diet.



......



...+



218



Tata Laksana Nonbedah Menjaga higienitas, menghindari pengejanan berlebihan saat defekasi, atau aktivitas berat. Modifikasi diet dengan makanan berserat, banyak minum, dan mengurangi daging. Medikamentosa: antibiotik apabila ada infeksi, salep rektal/supositoria untuk anestesi dan pelembab kulit (sediaan supositoria/krim yang mengandung fluocortolone pivalate dan lidokain). dan pelancar defekasi (cairan parafin, ya!, magnesium sulfat). Pemakaian krim dilakukan dengan cara dioleskan pada hemoroid dan kemudian dicoba untuk dikembalikan ke dalam anus. Ligasi hemoroid (rubber band ligation) dengan anoskopi. Mukosa sebelah proksimal hemoroid dijepit dengan band. Fotokoagulasi inframerah, skleroterapi. Tata Laksana Bedah Hemoroidektomi dilakukan apabila terapi konservatif tidak berhasil, pada hemoroid dengan prolaps tanpa reduksi spontan (hemoroid derajat 3 dan 4) , hemoroid dengan strangulasi, ulserasi. fisura. fistula, atau pada hemoroid eksterna dengan keluhan. Prinsip utama hemoroidektomi adalah eksisi hanya pada jaringan yang menonjol dan eksisi konservatif kulit serta anoderm normal. Hemoroidektomi terdiri dari prosedur terbuka dan tertutup. Pada hemoroidektomi terbuka (!'arks or Ferguson hemorrhoidectomy) dilakukan reseksi jaringan hemoroid dan penutupan Iuka dengan jahitan benang yang dapat diserap. Sedangkan pada hemoroidektomi tertutup (Milligan and Morgan hemorrhoidectomy) dilakukan teknik yang sama. hanya saja Iuka dibiarkan ter-



buka dan diharapkan terjadi penyembuhan sekunder. Selain kedua teknik tersebut, terdapat berbagai teknik lain yang dapat digunakan : Teknik operasi Whitehead dilakukan dengan eksisi sirkumferensial bantalan hemoroid di sebelah proksimal linea dentata. Kemudian, mukosa rektal dijahit hingga linea dentata. Dengan teknik ini terdapat risiko terjadinya ektropion. Teknik operasi Langenbeck dilakukan dengan menjepit vena hemoroidales interna secara radier dengan klem. Jahitan jelujur dilakukan di bawah klem dengan chromic gut no.22, eksisi jaringan di atas klem sebelum akhirnya klem dilepas dan jepitan jelujur di bawah klem diikat. Teknik ini lazim dipakai karena mudah dan tidak mengandung risiko timbulnya parut sirkuler. Teknologi baru dengan menggunakan doppler untuk mendeteksi pembuluh darah atau arteri yang terdapat pada submukosa dan dilakukan ligasi dengan jahitan. Teknik ini dikenal dengan Hemorrhoidal Artery Ligation (HAL). Dapat pula dikombinasikan dengan teknik Recto Anal Repair (RAR). Teknik Longo dilakukan untuk tata laksana prolaps sirkumferensial dengan perdarahan atau dikenal dengan stapled hemorrhoidopexy. Dengan teknik ini dilakukan eksisi sirkumferensial mukosa dan submukosa kanalis anal bawah dan atas serta reanastomosis dengan alat stapling sirkular. Dengan teknik ini, rasa nyeri pascabedah dapat dikurangi. Komplikasi Perdarahan hebat, abses, fistula perianal, inkarserasi, dan striktur ani. Prognosis Keluhan pasien hemoroid dapat dihilangkan dengan terapi yang tepat. Sumber Bacaan I.



Dunn KM. Rothenberger DA. Colon. rectum. and anus. Dalam: Brunicardi FC. Andersen DK, Billiar TR. Dunn DL. Hunter JG. Pollock RE. pe nyunting. Schwartz's manual of su rgery. Edisi ke- 10. New York: McGraw-Hill: 2014. h.1175-240.



2.



Henry MM. Thompson JN. penyunting. Hemorrhoid. Dalam: Clinical surgery. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier Saunders: 20 12.



3.



Nelson H. Ci ma RR. Anus. Dalam: Townsend CM, Beauchamp RD. Evers BM. Mattox KL. penyunting. Sabiston textbook of su rgery: the biological basis of modern surgical practice. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders: 20 12.



71



Kompetmsi Ill



Hernia



11



••



Elita Wibisono, Wifanto Saditya Jeo



Definisi Hernia abdominalis adalah penonjolan isi perut dari rongga yang normal melalui suatu defek pada fasia dan muskuloaponeurotik dinding perut, baik secara kongenital atau didapat. Lubang tersebut dapat timbul karena lubang embrional yang tidak menutup atau melebar serta akibat tekanan rongga perut yang meninggi. Hernia terdiri dari 3 bagian, yaitu kantong, isi, dan cincin hernia. Etiologi Hernia merupakan penyakit multifaktorial. Adapun faktor-faktor risiko yang berperan antara lain batuk, penyakit paru obstruktif kronis, obesitas, konstipasi, kehamilan, riwayat hernia pada keluarga, manuver valsava, asites, kelainan jaringan ikat kongenital, gangguan sintesis kolagen, riwayat insisi kuadran kanan bawah, aneurisma arteri, merokok, mengangkat beban berat, dan aktivitas fisik berlebih. Anatomi Regio Inguinalis



pada perempuan berisi ligamen rotundum uteri. Korda spermatikus terdiri dari otot kremaster, arteri testikularis, vena, cabang genital nervus genitofemoral. vas deferen, pembuluh kremaster, limfe, dan prosesus vaginalis. Segitiga Hesselbach merupakan batas dasar kanalis inguinalis. Batas superolateral berupa pembuluh darah epigastrik inferior, batas medial berupa tepi lateral otot rektus abdominis, dan batas inferior berupa ligamen inguinal. Segitiga ini menjadi tempat terjadinya hernia direk. Sedangkan hernia indirek timbul di sebelah lateralnya. Klasifikasi A. Berdasarkan letaknya, hernia abdominalis terbagi menjadi: Groin



Inguinalis: indirek (lateralis}, direk (medialis}, kombinasi; Femoralis; ii. Anterior: umbilikal, epigastrik, spigelian; iii. Pelvis: obturator, sciatic, perinea!; iv. Posterior: lumbar (superior triangle, inferior triangle).



Cincin inguinalis internal



Tujuh puluh lima persen hernia abdominalis terjadi di inguinal dengan perbandingan indirek dan direk = 2: 1, serta lebih sering dialami laki-laki daripada perempuan.



Gambar l. Anatomi Inguinal



B. Berdasarkan sifatnya: Reponibilis: isi hernia keluar masuk: isi hernia tidak dapat Ireponibilis: dikembalikan ke rongga asalnya: Inkarserata: isi hernia tidak dapat dikembalikan dan terjepit oleh cincin hernia, terdapat gangguan pasase usus.Istilah ini tidak digunakan di praktik klinis sehari-hari karena sama dengan istilah ireponibilis; isi hernia tidak dapat Strangulata: dikembalikan dan terjepit oleh cincin hernia, terdapat gangguan vaskularisasi, nyeri hebat.



Kanalis inguinalis memiliki panjang 4 cm dan terletak 2-4 cm di sebelah sefal ligamen inguinalis. Kanalis ini membentang antara cincin inguinal internal (profunda} dan eksternal (superfisial). Pada laki-laki, kanalis inguinalis berisi korda spermatikus sedangkan



Hernia Inguinalis Lateralis Ondirekl Hernia inguinalis lateralis adalah hernia yang melalui anulus (cincin) inguinalis interna yang terletak di sebelah lateral vasa epigastrika inferior, menelusuri kanalis inguinalis, dan keluar di anulus eksternal di



Ligamentum inguinalis mediate



219



220



atas krista pubis dengan diselubungi kantong korda. Kanalis inguinalis normal pada fetus karena pada bulan ke-8 kehamilan terjadi desensus testis melalui kanal tersebut. Penurunan testis menarik peritoneum ke daerah skrotum sehingga terjadi penonjolan peritoneum yang disebut prosesus vaginalis peritonei. Pada bayi yang sudah lahir, biasanya prosesus ini mengalami obliterasi. Bila prosesus terbuka terus akan timbul hernia inguinalis lateralis kongenital. Pada orang dewasa, kanal telah menutup namun karena merupakan lokus minoris resistensie, maka pada keadaan yang meningkatkan tekanan intraabdominal, kanal tersebut dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis akuisita. Jika isi dan kantong hernia lateralis turun hingga skrotum disebut hernia skrotalis.



asanya jarang sekali menjadi ireponibilis karena besarnya defek pada dinding posterior. Benjolan yang teraba di bawah ligamentum inguinalis biasanya merupakan hernia femoralis.



Hernia Inguinalis Medialis I KPJ.idi.u1



l)1..,tr1ln1..,1



Karsinoma mukoepidermoid



34%



Tumor kelenjar parotis tersering. 40-50% kasus



Karsinoma adenoid kistik



22%



Paling sering di kelenjar palatum dan submaksila



Adenokarsinoma



18%



10% dari tumor malignum kelenjar saliva mayor: 33% dari tumor malignum kelenjar saliva minor



Tumor malignum campuran



13%



Karsinoma sel asinar



7%



I 0% dari tumor malignum kelenjar parotis



Karsinoma sel skuamosa



4%



Terjadl 5-10% darl tumor malignum kelenjar parotis dan sub· maksila



Lainnya



LO tahun, penggunaan dietilstilbestrol pada masa kehamilan) Menyusui I 0 tahun Pajanan DDT. cadmium



tribusi dalam meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara (Tabet 1). Penjelasan mengenai beberapa faktor risiko adalah sebagai berikut: 1. Usia menarche. Tiap jeda satu tahun dalam usia menarche berkorelasi dengan penurunan risiko sebanyak 5-10%. Usia menarche dini terkait dengan paparan hormon endogen yang Jebih Jama. Selain itu, pada individu tersebut, kadar estrogen relatif lebih tinggi sepanjang usia produktif. 2. Paritas. Perempuan yang pernah melahirkan memiliki risiko lebih rendah dibanding yang tidak. Awalnya risiko meningkat setelah kehamilan pertama, Jalu berkurang selama 10 tahun, dan efek protektifnya akan terus berjalan. Peningkatan risiko yang sifatnya sementara itu diduga terjadi karena peningkatan kadar hormon dan proliferasi sel epitel payudara secara cepat, sementara efek protektif jangka panjang terkait diferensiasi selsel epitel, yang cenderung kurang sensitif terhadap karsinogen. Persalinan berikutnya semakin menurunkan risiko kanker payudara. 3. Usia pada kehamilan aterm pertama. Pasien yang kehamilan aterm pertamanya berusia lebih dari 35 tahun memiliki risiko 40-60% lebih tinggi.



4. Menyusui. Menyusui dalam rentang waktu yang lama mengurangi risiko kanker payudara. Risiko relatifnya berkurang 4,3% untuk setiap 12 bulan menyusui. 5. Usia menopause. Insidens kanker payudara berkurang pada masa menopause, dan perempuan dengan usia menopause Jebih tua terkait dengan risiko kanker yang lebih tinggi. 6. Hormon eksogen. Secara umum, terdapat hubungan positif, meskipun lemah, antara penggunaan kontrasepsi oral dan risiko terjadinya karsinoma payudara. Sementara, penggunaan hormon-hormon untuk perempuan pascamenopause juga banyak diteliti. Ditemukan bahwa perempuan yang menggunakan hormon pascamenopause memiliki peningkatan risiko kanker payudara, dengan hubungan dosis-respons berdasarkan durasi penggunaan. Efek dari hormon tersebut tampaknya lebih kuat pada perempuan kurus dibanding perempuan obes. Kombinasi estrogen-progestin memiliki risiko yang Jebih tinggi dibanding estrogen saja. 7. Berat badan dan indeks massa tubuh. Berat badan yang berlebih diduga menjadi faktor risiko. Hipotesis saat ini adalah peningkatan produksi estrogen endogen hasil konversi dari androgen oleh



enzim aromatase pada lemak-lemak adiposa. 8 . Gaya hidup dan pola makan. Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan adalah alkohol. rokok, aktivitas fisik. dan konsumsi fitoestrogen.



232



Patogenesis Patogenesis kanker payudara terbagi atas beberapa tahap: 1. Hiperplasia duktal. Terjadi proliferasi sel epitel poliklonal yang tersebar tidak rata dengan inti saling bertumpang tindih dan lumen duktus tidak teratur. Sering merupakan tanda awal keganasan. 2. Hiperplasia atipik (klonal). Perubahan lebih lanjut. sitoplasma sel menjadi lebih jelas dan tidak tumpang tindih dengan lumen duktus yang teratur. Secara klinis risiko kanker payudara meningkat. 3. Karsinoma in situ. baik duktal maupun lobular. Terjadi proliferasi sel dengan gambaran sitologis sesuai keganasan. Proliferasi belum menginvasi stroma atau menembus membran basal. Karsinoma in situ lobular biasanya menyebar ke seluruh jaringan payudara. bahkan hingga bilateral. dan tidak teraba pada pemeriksaan serta tidak terlihat pada pencitraan. Karsinoma in situ duktal sifatnya segmental. dapat mengalami kalsifikasi sehingga gambarannya bervariasi. 4. Karsinoma invasif. Terjadi saat sel tumor telah menembus membran basal dan menginvasi stroma. Sel kanker dapat menyebabr baik secara hematogen maupun limfeogen dan dapat menimbulkan metastasis. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang timbul bergantung pada lokasi dan jenis tumor. Biasanya pasien datang dengan: Benjolan di payudara yang tidak nyeri (sebanyak 66%); Nyeri lokal di salah satu payudara; Retraksi kulit atau puling; Keluarnya cairan dari puling. radang. atau ulserasi; Benjolan ketiak serta edema. Benjolan superfisial biasanya dapat terpalpasi. namun tidak jika lokasi cukup dalam; Retraksi kulit akibat infiltrasi kanker pada otot pektoralis akan bertambah jelas saat otot dikontraksikan; Limfangitis karsinoma tampak sebagai inflamasi infeksius (nyeri. bengkak. merah. demam. malaise). Limfangitis karsinoma menyebabkan obstruksi limfe kulit dan jaringan subkutan mengalami retraksi. menyebabkan gambaran peau d'orange (kulitjeruk). Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis. pemeriksaan fisis. dan pemeriksaan penunjang.



Anamnesis Keluhan dan gejala yang telah dituliskan dalam manifestasi klinis serta pengaruh siklus menstruasi terhadap gejala yang timbul; Faktor-faktor risiko yang dimiliki; Kemungkinan metastasis ke organ otak. paru. hati. dan tulang dengan menanyakan gejala seperti adanya sesak napas. nyeri tulang. dan sebagainya. Pemeriksaan Fisis Sebaiknya dilakukan antara 7-10 hari setelah hari pertama haid. Pemeriksaan fisis payudara adalah sebagai berikut: Posisi duduk. lnspeksi pada saat kedua tangan pasien jatuh ke bawah. apakah payudara simetris, adakah kelainan letak atau bentuk papila. retraksi puting. retraksi kulit. ulserasi. tanda radang. Kemudian pasien diminta angkat kedua tangan lurus ke atas. lihat apakah ada bayangan tumor yang ikut bergerak atau tertinggal. Untuk posisi: (1) tangan di samping badan. (2) tangan ke atas. (3) bertolak pinggang. (4) badan menunduk. Posisi berbaring. Punggung di belakang payudara diganjal bantal sesuai dengan sisi yang akan diperiksa. Palpasi payudara dimulai dari area luar memutar hingga ke dalam dan mencapai puting. Nilai apakah ada cairan yang keluar. Jika teraba tumor. tetapkan lokasi dan kuadran. ukuran. konsiste!Jsi. batas. dan mobilitas. Palpasi pula KgB regional sesuai kelompok kelenjar. yaitu area aksila. mamaria. dan klavikula. Kelenjar getah bening (KgB). Dilakukan dalam posisi duduk dari depan pasien dan kedua tangan di kedua sisi tubuh. Lakukan pemeriksaan KgB aksilaris, infraklavikula. dan supraklavikula. Pada KgB aksilaris terdapat 4 kelompok nodus yang harus dipalpasi. antara lain nodus aksilaris sentral (midaksilaris) pada apeks aksila kemudian sepanjang garis midaksilaris dinding dada untuk nodus pektoralis (anterior). ke arah lateral untuk nodus brakial (lateral) dan ke arah kaput humerus untuk nodus subskapular (posterior). Pemeriksaan Penunjang Untuk deteksi kanker payudara. digunakan mamografi dan ultrasonografi. sementara untuk melihat adanya metastasis digunakan Roentgen toraks. USG abdomen (hepar). dan bone scanning. Mamografi Merupakan metode pilihan untuk skrining dan deteksi dini. terutama pada kasus kecurigaan keganasan atau kasus payudara kecil yang tidak terpalpasi pada perempuan berusia di atas 40 tahun. Jndikasi: (1) kecurigaan klinis keganasan. (2) tindak lanjut pascamastektomi, (3) pasca-breast conserving therapy (BCT). (4) adanya adenokarsinoma metastatik dengan tumor primer yang be-



Gambar l. Berbagai posis i pemeriksaan fisis payud ara. Dari kiri ke kanan: tangan disamping. tangan ke atas. berkaca k pinggang. dan pemeriksaan saat posisi tidur. Palpasi dilakukan dengan 3 jari (II. lll. IV) menggunakan falang distal dan media. mulai dari sela iga 2-6. sternum sampai midaksila.



233



Gambar 2. Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening (KGB) . Dua gambar di kiri menunjukkan pemeriksaan KgB aksila. Berikutnya pemeriksaan KgB sup rakl avikula dan infra klavikula. Perhatikan posisi tanga n pemeriksa.



lum diketahui, dan (5) sebagai program skrining. Mamograf perempuan berusia di bawah 35 tahun sulit diinterpretasi karena jaringan kelenjar yang masih padat. Temuan yang mengarah ke keganasan adalah tumor berbentuk spikula, distorsi atau iregularitas, mikrokalsifikasi (karsinoma intraduktal). dan pembesaran kelenjar limfe. Ultrasonografi (USG) Kegunaan USG adalah untuk membedakan lesi solid/kistik, ukuran. tepi, dan adanya kalsifikasi dan vaskularisasi intralesi. Penggunaan USG bersama mamografi dapat meningkatkan sensitivitas mamografi. Akan tetapi, USG sendiri bukan alat skrining keganasan payudara. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI dilakukan apabila USG atau mamografi belum memberi informasi yang cukup jelas. Imunohistokimia Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat jenis kanker dan sensitivitasnya terhadap terapi hormonal. Reseptor estrogen (ER), reseptor progesteron (PR). dan c-erbB-2 (HER-2 neu) merupakan komponen yang diperiksa. Pasien dengan ER(+)



atau PR(+) diperkirakan akan berespons terhadap terapi hormonal. Pasien dengan HER-2(+) berespons terhadap terapi target dengan trastuzumab. Pasien dengan ER(-) , PR(-), dan HER-2 neu (-). atau kerapkali disebut sebagai tripe! negatif. cenderung berprognosis buruk. Biopsi. Diagnosis pasti keganasan ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi melalui biopsi. Biopsi aspirasi jarum halus (B.AJAH). Pada B.AJAH, sampel yang didapat berupa sel dan prosedur ini paling mudah dilakukan, meskipun kadang tidak memberikan diagnosis yang jelas karena jumlah spesimen sedikit. Core biopsy. ]arum yang digunakan cukup besar. Hasilnya berupa jaringan sehingga lebih bermakna dibanding B.AJAH. Pemeriksaan ini dapat membedakan tumor non-invasif atau invasif serta grade tumor. Biopsi terbuka. Dilakukanjika hasil anamnesis, pemeriksaan fisis , dan pemeriksaan penunjang lainnya tidak cocok atau memberi keraguan. Biopsi eksisional mengangkat seluruh massa tumor, sementara biopsi insisional hanya mengambil sebagian massa.



Klasifikasi Tl



T2



T4a



>10-20 mm=Tic Perluasan ke



~>5- !0mrn=Tl b



dindiJ1g dada ---H'---tidak tennasuk



~ > l -5 mm =Tla



otot pektoralis



Gambar 3.Penentuan Ukuran Tumor (T) Tabel 2. Grading Kanker Payudara Berdasarkan American Joint Commiccee on Cancer. 7''ed I umor prinwr (I)



234



Tx



Tumor primer tidak dapat dinilai



TO



Tidak terbukti adanya tumor primer



Tis



Karsinoma in situ



Tis (DCIS)



Karsinoma in situ duktal



Tis (LCIS)



Karsinoma in situ lobular



Tis (Paget)



Penyakit Paget yang tidak terkait karsinoma invasif dan/atau karsinoma in situ



Tl



Tumor!020 mm



Timi



Tla



Tumor:sl mm I mm< tumor .s_S mm



Tlb



5 mm < tumor !O 10 mm



Tic



10 mm< tumor !020 mm



T2



20 mm < tumor !O 50 mm



T3 T4



Tumor >50 mm Tumor ukuran berapapun dengan ekstensi langsung ke dinding dada dan/ atau ke kulit (ulserasi atau nodul kulit)



T4a



Ekstensi ke dinding dada, tidak termasuk otot pektoralis



T4b



Ulserasi dan/atau nodul satelit ipsilateral dan/ atau edema (termasuk peau d'orange). yang tidak memenuhi kriteria karsinoma inflamasi



T4c



Baik T4a dan T4b



T4d



Karsinoma inflamasi



Nmlus l11nff' n•gional (N)



Nx



Kelenjar limfe regional tidak dapat ditentukan



NO



Tidak terdapat metastasis kelenjar limfe regional



NI



Teraba pembesaran kelenjar limfe aksila kadar I. 11 ipsilateral yang dapat digerakkan



N2



Metastasis kelenjar limfe regional kadar I. 11 ipsilateral yang terfiksasi: atau secara klinis didapatkan kelenjar



N2a



Metastasis kelenjar limfe regional kadar I. 11 ipsilateral yang terfiksasi satu sama lain



N2b



Metastasis pada kelenjar mamaria interna ipsilateral yang dapat dideteksi tanpa adanya metastasis kelenjar limfe aksila kadar I. II secara klinis



mamaria interna ipsilateral ta npa adanya metastasis kelenjar limfe aksila secara klinis



N3a



Metastasis kelenjar limfe infraklavikula ipsilateral



N3b



Metastasis kelenjar limfemamaria internadan aksilla ipsilateral



N3c



Metastasis kelenjar limfe supraklavikula



MO



Tidak terdapat bukti metastasis jauh



cMo(i+)



Tidak terdapat bukti metastasis jauh. namun terdeteksi sel tumor yang bersirkulasi di darah. sumsum tulang. atau jaringan nodus lainnya yang berukuran kurang dari 0.2 mm pada pasien tanpa gejala dan tanda metastasis



Ml



Metastasis jauh yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiografi dan/ atau secara histologis terbukti >0,2 mm



Supraklavikuiar



Aksilarls atas/apikal, level Ill AksUarls tengah, level II



.



'



1



>6,2-2 mm \ atau >200 sel ~;..___ _ __., pN la: 1·3 nodi (salal1 satu deposit tumor



>2.0 mm)~



pNO(I+)



pN2a: 4.9 nodi (salal1 satu deposit tumor >2.0 mm)



A. mam aria interna



M. pectoralis minor



~



(salah~



pN3a: >I 0 nodi satu deposit tumor >2.0 mm)



)



s; 0 .2 nun atau kumpulan sel 4 cm; T4 perluasan langsung ke kapsul tiroid; T4a



tumor 1



cm. T4b tumor 1-4 cm. N: ada (N 1) atau tidaknya (NO) keterlibatan kelenjar getah bening regional. M: ada (M 1) atau ridaknya (MO)



metastasis.



Nodul terfiksir dan keras; Nodul dengan gejala invasi lokal (suara serak, sesak napas, atau susah menelan);



Metastasis (pembesaran KgB, metastasis ke paru atau tulang); Pernah mendapatkan terapi radiasi sebelumnya;



Beberapa ahli berpendapat potong beku masih dapat dilakukan untuk kasus atipikal atau mencurigakan.



Adanya riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid; Ditemukan kalsifikasi nodul pada foto leher; Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis Riwayat benjolan, ukuran awal, kecepatan pembesaran; Gejala berupa suara serak dan susah menelan untuk mengetahui perluasan ke struktur sekitarnya; Tanyakan gejala seperti berdebar-debar, intoleransi akan udara panas, penurunan berat badan; Riwayat kanker tiroid sebelumnya serta pengobatan yang sudah didapatkan; Riwayat kanker tiroid pada keluarga. Pemeriksaan Fisis PF tiroid: ukuran. batas, permukaan, konsistensi, mobilitas, nyeri tekan; PF KGB: apakah terdapat pembesaran KGB di leher.



238



Pemeriksaan Penunjang Ultrasonografi (USG). USG berguna untuk membedakan lesi kistik/solid, selain itu dapat melihat regularitas tepi massa dan ukuran. Scan tiroid. Prinsip dasar pemeriksaan penunjang ini adalah ambilan (uptake) dan distribusi yodium radioaktif pada kelenjar gondok. Melalui pemeriksaan ini, dapat dilihat bentuk, besar, letak, dan distribusi dalam kelenjar. Hasil dapat berupa cold/ warm/hot nodule. Pada hasil cold nodule, kemungkinan keganasan sekitar 20%. Biopsi aspirasi jarum halus merupakan pemeriksaan penunjang dengan prosedur pengambilan sampel yang mudah dan aman. Kesulitannya terletak pada bagaimana memastikan lokasi yang tepat untuk pengambilan sampel sehingga sebaiknya dipandu dengan USG dan dalam bentuk operasi. Interpretasi hasil sebaiknya dilakukan oleh sitolog yang sudah berpengalaman. Biopsi. Cara terbaik diagnosis karsinoma tiroid adalah biopsi dengan/tanpa potong beku. Biopsi pada tiroid berupa tindakan bedah, baik lobektomi, tiroidektomi subtotal, atau tiroidektomi total, bergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Tindakan potong beku tidak memberi kontribusi yang pasti untuk menegakkan adanya keganasan atau tidak pada tiroid. Ada dua alasan: 1. FNA pre operatif yang mampu mendiagnosis dengan baik pada kasus Ca papiler tiroid yang merupakan jenis tersering. 2. Ketidakmampuan potong beku untuk menegakkan diagnosis dalam kasus lesi folikuler.



Tata Laksana l. Pembedahan Karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik sebaiknya dieksisi secara bedah. Selain mengangkat lesi primer, diagnosis histologis dan penentuan stadium juga dapat dilakukan. Jenis pembedahan yang dibutuhkan bergantung pada jenis karsinoma. Metode yang ada di antaranya lobektomi atau tiroidektomi total. Pembedahan lobektomi subtotal sebaiknya tidak dilakukan karena akan meningkatkan risiko operasi berikutnya jika hasil operasi sebelumnya ternyata keganasan. Demikian pula, lobektomi subtotal juga dapat menyulitkan tindakan berikutnya. Pada kasus yang melibatkan kelenjar getah bening, operasi dibarengi dengan diseksi leher. 2. Terapi supresi TSH Kebanyakan tumor responsif terhadap TSH sehingga levotiroksin masih digunakan secara luas. Tujuannya adalah menekan TSH sebanyak mungkin dengan sesedikit mungkin efek samping hormon tiroid berlebih. TSH ditekan hingga kadar 0, 10,05 IU/ L. Supresi TSH baru diberikan pada kasus kanker tiroid setelah dilakukan tiroidektomi total. 3. Terapi radio-iodin Terapi ini diberikan pada pasien yang telah menjalani tiroidektomi total dan pada scan tiroid masih tampak sisa. Terapi radio-iodin sebagai terapi utama kanker tiroid tidak dianjurkan. Prognosis Usia menjadi faktor prognosis yang penting, insidensi pada usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 45 tahun terkait dengan prognosis yang lebih buruk. Laki-laki biasanya memiliki prognosis yang lebih buruk. Sumber Bacaan I.



Tjindarbumi D. Karsinoma tiroid. Dalam: Reksoprodjo S, penyunting. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Tangerang: Bina Rupa Aksara: 1995.



2.



Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, penyunting. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-de Jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC: 2010. h. 343-52.



3.



Edge SB. Byrd DR, Compton CC. Fritz AG. Greene FL, Trotti A, penyunting. Thyroid. Dalam: AJCC cancer staging manual. Edisi ke-7. New York: Springer: 2010. h.347-76.



4.



American Thyroid Association (ATA) Guidelines Taskforce on Thyroid Nodu les and Differentiated Thyroid Cancer: Cooper DS. Doherty GM, Haugen BR, Kloos RT. Lee SL. Mandel SJ, dkk. Revised ATA management guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer. Thyroid. 2009 Nov:l9(1 l):l167-214.



Evaluasi Nodul tiroid



Kllnls



Sus k benl na







FNAB



0 erabel 1- I



+



Suspek mallgna ollkulare pattern Hurtle ce/J



Blopsi insisi



Lesl 'inak



vcl



, ....&.------!~:



• • •



Follkulare



+



+



Medulare



Ana lastlk



ll



Debulking



239



+



Tlroidektomi total



______ _________ __ __ _____ __ _______________ ___ J



I



Gambar I. Pendekatan Nodul Tiroid dengan Fasilitas Pemeriksaan FNAB



Nodul tiroid







+



Suspek benigna







+



+



Op(lrabel



Blok paraffin



Lobektomi isthmolobektoml



• Gejala penekanan • Terapl konservatif • Supresl TSH gagal



+---- · Kosmetlk







+



Ganas



• • •



olikulare



Observasl



Medulare



Anaplastik



ll



Tiroidektomi total



Gambar 2. Pendekatan Nodu l Tiroid tanpa Fasilitas Pemeriksaan FNAB







Observasi



Dislokasi Dimas Priantono, Wahyu Widodo



to



CD



p..



~ 0 :::i



.g CD ....p.. 240



Definisi Dislokasi adalah keadaan terpisahnya dua permukaan sendi secara keseluruhan. Apabila permukaan sendi hanya terpisah sebagian, maka kondisi tersebut disebut sebagai subluksasi. Selain itu, terdapat pula kondisi terpisahnya permukaan sendi yang hanya terjadi apabila sendi tersebut mendapatkan tekanan. Kondisi itu disebut sebagai occult joint instability. Patofisiologi Sendi sinovial yang ada pada tubuh manusia memiliki mekanisme struktural untuk menjaga lingkup gerak sendi yang normal. Stabilitas sendi merupakan hasil dari kerja sama tiga aspek berikut: I. Bentuk dan jenis sendi; 2. lntegritas kapsula fibrosa dan !igamen; serta 3. Perlindungan dari otot yang menggerakkan sendi tersebut. Gangguan pada salah satu faktor di atas dapat mengakibatkan ketidakstabilan suatu sendi. Namun, peran faktor di atas akan berubah pada masing-masing sendi. Kontur sendi merupakan faktor yang terpenting pada sendi jenis ball-and-socket (misalnya sendi panggul). Sementara ligamen memegang peranan pen ting pada sen di engsel (misalnya siku). Pada sen di yang bergerak bebas (misalnya sendi bahu), integritas kapsula fibrosa dan otot-otot di sekitarnya memegang peran lebih penting dalam menjaga kestabilan sendi. Manifestasi Klinis Pasien umumnya datang setelah kejadian cedera dengan keluhan nyeri pada sendi yang cedera. Pasien biasanya berusaha untuk tidak menggerakan sendi tersebut karena nyeri dan spasme otot. Daerah persendian memiliki persarafan proprioseptif sehingga pasien yang datang dalam keadaan sadar umumnya dapat menunjukkan sendi mana yang mengalami gangguan. Pada pemeriksaan fisis, dapat terlihat perubahan bentuk anatomi sendi. Selain itu, terdapat pula perubahan posisi tulang yang merupakan komponen persendian tersebut. Secara umum pemeriksaan fisis akan menunjukkan hasil berikut: Look: pembengkakan, kecuali bila terjadi pada sendi yang letaknya dalam, misalnya sendi panggul. Selain itu juga terdapat deformitas, baik angulasi, rotasi, perubahan kontur normal, maupun



pemendekan pada struktur yang terlibat Feel: nyeri tekan Move: keterbatasan gerakan / penurunan lingkup gerak sendi, maupun gerakan abnormal yaitu perubahan arah gerak karena ketidakstabilan sen di. Pemeriksaan penunjang yang utama untuk menegakkan diagnosis dislokasi adalah dengan Roentgen. Roentgen tidak hanya berperan dalam diagnosis dislokasi/subluksasi, tetapi juga untuk menyingkirkan kemungkinan terdapatnya fraktur pada daerah yang terkena. Apabila selain dislokasi juga terdapat fraktur di daerah persendian yang sama, maka keadaan ini disebut sebagai fraktur-dislokasi. Pada kondisi occult joint instability, pemeriksaan dengan Roentgen dilakukan sambil memberikan penekanan pada sendi (dengan anestesi) untuk mereproduksi kelainan sendi yang terjadi. Pendekatan klinis pada pasien yang mengalami dislokasi dapat dibedakan sesuai dengan manifestasi klinis saat pasien datang: Pasien datang dengan kondisi sudah tereduksi: dapat dilakukan tes apprehension , yaitu melakukan manipulasi yang serupa dengan gaya penyebab cedera (dilakukan dengan gentle). Apabila pasien merasa nyeri atau menghindari gaya tersebut, maka sendi tersebut telah mengalami dislokasi akibat gaya yang diujikan. Dislokasi berulang. Pasien mengalami dislokasi berulang terutama pada sendi bahu dan patelofemoral. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh kerusakan pada !igamen dan batas-batas sendi. Dislokasi habitual (volunteer). Dislokasi jenis ini diakibatkan oleh gerakan otot secara sadar (volunteer) dan dapat merupakan kebiasaan pasien. Adanya kelemahan Qaxity) pada ligamen mempermudah terjadinya dislokasi habitual. Dislokasi jenis ini penting untuk dikenali karena penatalaksanaan secara bedah belum tentu bermanfaat. Tata Laksana Secara umum, semua dislokasi harus direduksi sesegera mungkin. Pasien sebaiknya dalam anestesi umum dan pelemas otot bila diperlukan. Penundaan reduksi dapat mengakibatkan terjadinya artritis pasien



post-traumatik. Sendi yang mengalami dislokasi harus diistirahatkan hingga edema jaringan lunak yang terjadi berkurang dan memberikan kesempatan penyembuhan. Hal tersebut biasanya tercapai dalam 3 minggu. Setelah itu pasien dapat mulai melatih lingkup gerak sendi dengan functional brace, diikuti dengan fisioterapi untuk mencapai lingkup gerak sendi yang sepenuhnya. Apabila tidak terdapat perbaikan dan terjadi instabilitas sendi, maka dapat dipertimbangkan untuk tata laksana bedah. Tata laksana farmako logis untuk dislokasi adalah dengan memberikan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) jangka pendek. Pemberian OAINS bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan nyeri pada sendi. Penggunaan kortikosteroid sistemik tidak diindikasikan. Inj eksi kortikosteroid pada sendi, ligamen, dan tendon juga tidak dianjurkan.



Akut: lnfeksi : biasanya berupa artritis septik Avascular necrosis



Kekakuan sendi Kron is: Kekakuan sendi persisten; Instabilitas sendi persisten: Dislokasi berulang; Artritis pasca-trauma; Osteoporosis paska-trauma; Distrofi simpatik refleks; serta Myositis ossiflcans pasca-traumatik. Sumber Bacaan: l . Nagayam S. Principles of fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S, penyunting. Apley's system of orthopaedics and fractures. Edisi ke-9. London: Hodder Arnold: 20 10. h.73 1-2.



Komplikasi Segera (immediate): Cedera pada kulit, pembuluh darah, nervus perifer, medulla spinalis, hingga trauma multipel akibat cedera.



2. Salter RB. penyunting. Fractures and joint injuries-general features. Dalam: Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. Edisi ke-3. Baltimore: Lippincott Williams & Wi lkins: 19 99. h.488-9 5.



241



Fraktur Dimas Priantono, Wahyu Widodo Definisi Fraktur didefinisikan sebagai gangguan pada kontinuitas tulang, tulang rawan (sendi) , dan lempeng epifisis. Klasifikasi Berdasarkan fragmen tulang yang terpisah, fraktur dapat digolongkan menjadi fraktur komplet dan inkomplet. Pada fraktur komplet, tulang terpisah menjadi dua fragmen atau lebih. Berdasarkan garis frakturnya, fraktur komplet dapat digolongkan sebagai berikut: Fraktur transversal, Fraktur oblik atau spiral, Fraktur segmental, Fraktur impaksi, dan Fraktur kominutif. Fraktur dikatakan inkomplet apabila tulang tidak terpisah seluruhnya dan periosteum tetap intak. Fraktur inkomplet dapat digolongkan menjadi Fraktur buckle atau torus, Fraktur greenstick (pada anak-anak), serta Fraktur kompresi. Perubahan Struktural Akibat Fraktur Fraktur menyebabkan perubahan pada arsitektur tulang, terutama pada fraktur komplet. Perubahan



yang terjadi disebut displacement. Displacement harus dideskripsikan secara lengkap dengan menyebutkan unsur-unsur berikut: Translasi: pergeseran ke samping, depan, atau belakang Angulasi: perubahan sudut antara fragmen dengan bagian proksimalnya Rotasi: perputaran tulang, sepintas tulang tetap tampak lurus namun pada bagian distal tampak deformitas rotasional Panjang: fragmen tulang dapat menjauh atau memendek karena spasme otot Deskripsi Fraktur Deskripsi fraktur yang baik harus menyebutkan lokasi, ekstensi, konfigurasi, hubungan antarfragmen, hubungan antara fraktur dengan dunia luar, dan ada tidaknya komplikasi sesuai dengan urutan berikut: Lokasi: diafisis, metafisis, epifisis, intraartikular, fraktur-dislokasi (selain fraktur juga terdapat dislokasi pada sendi yang bersangkutan) Nama tulang beserta posisi (kiri atau kanan) jika terjadi pada tulang ekstremitas Ekstensi: Komplet atau inkomplet, sesuai klasifikasi di atas Konfigurasi: transversal, oblik, spiral, kominutif.



Hubungan fragmen fraktur yang satu dengan lainnya: sesuai nomenklatur displacement di atas Hubungan antara fraktur dengan dunia luar: fraktur terbuka atau tertutup Komplikasi: baik lokal atau sistemik, diakibatkan oleh cedera itu sendiri, ataupun iatrogenik Pendekatan Klinis pada Kasus Fraktur



Menyusun agar fragmen terletak secara tepat di masing-masing bidang. Reduksi terbuka pada fraktur tertutup diindikasikan pada kondisi-kondisi berikut: Ketika reduksi tertutup gaga!, Terdapat fragmen artikular yang besar, atau Untuk traksi pada fraktur dengan fragmen yang terpisah.



Anamnesis



242



Mekanisme terjadinya cedera harus selalu ditanyakan kepada pasien secara rinci. Gejala yang dirasakan, seperti nyeri dan bengkak harus diperhatikan. Perlu diiingat bahwa daerah yang mengalami trauma tidak selalu merupakan daerah fraktur. Selain itu, jangan hanya terpaku pada satu cedera utama. Perlu diperhatikan apakah ada trauma atau keluhan di daerah lainnya. Pemeriksaan Fisis Pada kasus-kasus fraktur, penanganan selalu dimulai dari survei primer (ABC), yang dilanjutkan dengan survei sekunder secara menyeluruh. Pemeriksaan fisis muskuloskeletal yang lengkap harus mencakup inspeksi (look), palpasi (feel), dan lingkup gerak (move). Selain itu, pemeriksaan arteri, vena, nervus (AVN) juga penting untuk dilakukan. Pemeriksaan Penunjang Pada fraktur, pemeriksaan penunjang dasar berupa Roentgen sangatlah penting. Foto yang baik harus mengikuti aturan "dua" (lihat Bab Radiologi Tulang): Dua sisi, Dua sendi, Dua ekstremitas (terutama untuk pasien anak), Duajejas (di bagian proksimaljejas), serta Dua waktu (foto serial). Tata Laksana Fraktur Tertutup



Tujuan dari penatalaksanaan fraktur adalah untuk menyatukan fragmen tulang yang terpisah. Secara umum, prinsip dari tata laksana fraktur adalah reduksi, fiksasi, dan rehabilitasi. Reduksi tidak perlu dilakukan apabila: Fraktur tidak disertai atau hanya terjadi sedikit



Fraktur Terbuka



Tata laksana fraktur terbuka bergantung pada derajat fraktur. Klasifikasi derajat fraktur terbuka yang banyak digunakan adalah klasifikasi Gustilo. Tipe I: Iuka kecil, bersih, pin point atau kurang dari 1 cm. Cedera jaringan lunak minimal tan pa remuk. Fraktur yang terjadi bukan fraktur kominutif. Tipe II: Iuka dengan panjang > 1 cm, tanpa hilangnya kulit penutup Iuka. Cedera jaringan lunak tidak banyak. Remuk dan komunion yang terjadi sedang. Tipe III: laserasi luas, kerusakan kulit dan jaringan lunak yang hebat, hingga kerusakan vaskuler IIIA: laserasi luas namun tulang yang fraktur masih dapat ditutup oleh jaringan lunak IIIB: periosteal stripping ekstensif dan fraktur tidak dapat ditutup tanpa flap. IIIC: terdapat cedera arteri yang memerlukan penanganan khusus (repair), dengan atau tanpa cedera jaringan lunak. Berdasarkan standar manajemen fraktur terbuka pada ekstremitas bawah oleh British Orthopaedic Association dan British Association of Plastic, Reconstructive and Aesthetic Surgeons 2009, fraktur terbuka semua derajat harus mendapatkan antibiotik dalam 3 jam setelah trauma. Antibiotik yang menjadi pillihan adalah ko-amoksiklav atau sefuroksim. Apabila pasien alergi golongan penisilin, dapat diberikan klindamisin. Pada saat debridemen, antibiotik gentamisin ditambahkan pada regimen tersebut. Sumber Bacaan l.



displacement,



Pergeseran yang terjadi tidak bermakna (misalnya pada klavikula) , atau Reduksi tidak dapat dilakukan (misalnya pada fraktur kompresi vertebra). Reduksi tertutup harus dilakukan dengan anestesi dan relaksasi otot. Manuver reduksi tertutup dilakukan secara spesifik untuk masing-masing lokasi, namun pada prinsipnya, reduksi tertutup dilakukan dengan tiga langkah berikut: Menarik. bagian distal searah dengan sumbu tulang, Reposisi fragmen ke tempat semula, dengan gaya berlawanan dari gaya penyebab trauma, dan



Solomon L. Srinivasan H. Tuli S. Cavender S. Infection.



Dalam: Solomon L. Warwick D. Nayagam S. penyunting. Apley·s system of orthopaedics and fractures. Edisi ke-9. London: Hodder Arnold: 2010. h.687-710. 2.



Salter RB. penyunling. Fractures and joint injuries-general features. Dalam: Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. Edisi ke-3. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h.447-70.



3.



Canale ST. Beaty JH, penyunting. Campbell's operative orthopedics. Edisi ke- 11. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. h.3018-47.



4.



American College of Surgeons (ACS) Committees on Trauma. Advanced trauma life support (ATLS) student course manual. Edisi ke-9. 20 12.



81



Kt1rupekns1 lllR



11



•• Definisi Proses inflamasi akut atau kronis pada tulang dan struktur sekundernya akibat infeksi oleh bakteri piogenik. Patogenesis dan Patofisiologi Infeksi yang terjadi pada tulang berbeda dengan infeksi jaringan lunak mengingat tulang terdiri atas kompartemen yang keras. Hal ini menjadikan tulang lebih rentan terhadap kerusakan vaskular dan kematian sel karena peningkatan tekanan intrakompartemen pada fase inflamasi akut. Apabila infeksi tidak segera ditangani dan tekanan intrakompartemen tidak diturunkan, maka dapat terjadi nekrosis struktur tulang. Terdapat beberapa cara bagi mikroorganisme untuk mencapai jaringan muskuloskeletal, yaitu: (I) kontak langsung melalui Iuka terbuka (tusukan, injeksi, laserasi, fraktur terbuka, a tau operasi). (2) penyebaran langsung dari fokus infeksi yang berdekatan, hingga (3) penyebaran tidak langsung melalui aliran darah dari tempat atau sistem organ lain yangjauh. Infeksi dapat mengakibatkan osteomielitis piogenik. artritis septik, reaksi granulomatosa kronis (manifestas i klasik berupa tuberkulosis tulang atau sendi) . atau respons indolen terhadap organisme tertentu (misal infeksijamur), tergantung dari tipe bakteri yang menyerang, tempat infeksi. dan respon tubuh. Infeksi jaringan lunak yang terjadi dapat berupa sepsis akibat Iuka superfisial sampai selulitis nekrotikans yang mengancam nyawa. Kerentanan terhadap infeksi meningkat dengan adanya (I) faktor lokal berupa trauma. jaringan parut. sirkulasi yang buruk, berkurangnya kepekaan sensorik. penyakit kronis tulang atau sendi dan adanya korpus alienum, (2) faktor sistemik seperti malnutrisi, diabetes, gangguan vaskuler, penyakit reumatik. konsumsi steroid dan jenis imunosupresan, serta usia (terlalu muda atau terlalu tua. Klasifikasi Terdapat beberapa macam osteomielitis. di antaranya: acute hematogenous osteomie/itis, subacute hematogenous osteomielitis. post-traumatic osteomielitis. chronic osteomielitis, Garre 's sclerosing osteomie/itis. multifocal non-suppurative osteomielitis/ chronic recurrent mu/tifoca/ osteomie/itis.



Osteomielitis Dimas Priantono, Wahyu Widodo Acute Hematogenous Osteomie/itis Osteomielitis banyak terjadi pada anak-anak, dengan perbandingan laki-laki: perempuan = 3: 1 karena sistem imun anak-anak yang belum sebaik orang dewasa. Dapat terjadi pada orang dewasa dengan penurunan kekebalan seperti pada penderita AIDS atau diabetes melitus. Predileksi terutama pada tulangtulang panjang (femur. tibia. humerus, radius. ulna, dan fibula). Regio tulang yang paling sering terkena adalah metafisis. Pada bayi. infeksi dapat terjadi pada epifisis karena adanya arteri nutricium yang mempenetrasi regio fisis. Pada orang dewasa. fisis berperan sebagai barrier, sehingga infeksi terjadi pada metafisis sehingga tidak menyebar langsung ke sendi. Etiologi



Staphylococcus aureus Streptococcus pyogenes Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza Kingella kingae Pseudomonas aeruginosa Patofisiologi



Acute hematogenous osteomie/itis menunjukkan progresi yang khas ditandai dengan inflamasi. supurasi. nekrosis tulang. pembentukan tulang reaktif baru. dan resolusi serta penyembuhan atau bisa juga menjadi kronis. Gambaran klinis pada kondisi ini sangat bervariasi. tergantung pada usia pasien. tepat infeksi. virulensi organisme. dan respon pejamu. Literatur menyebutkan bahwa pada anak-anak. gambaran klasik terlihat pada usia 2-6 tahun. Pada awalnya, terjadi fokus infeksi dengan hiperemi dan edema pada tulang panjang. Terjadi reaksi inflamasi akut dengan kongesti vaskular. eksudasi cairan, dan infiltrasi oleh sel-sel PMN. Keadaan ini berpotensi menyebabkan peningkatan tekanan intraoseus. Berhubung jaringan tulang tidak cukup lunak untuk mengompensasi peningkatan tekanan ini, terjadi nyeri yang berat dan menetap disertai obstruksi aliran darah serta trombosis intravaskular. Meskipun masih stadium awal. kombinasi aktivitas fagositik, akumulasi lokal sitokin, faktor pertumbuhan. prostaglandin, dan enzim bakteri mengancam terjadinya iskemik dan resorpsi pada tulang. Pada akhirnya. akan terjadi nekrosis



243



Tabapl)JI J. fnftamasi 2. Supurasi 3. Nekrosis tufl)Jlg



4. PembentUkan tulang baru reaktif



Peningkatan tekanan intraoseus lnvolukrum Gambar I. Patofisiologi Acute Hematogenous Osteomyelitis (Diadaptasi dari Solomon L. et al. 20 I 0.)



244



tulang. Jnfeksi yang terjadi dapat menyebabkan osteolisis sehingga bakteri dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan menyebabkan septikemia. Selanjutnya, pus mulai terbentuk di antara tulang dan mendesak kanal Volkmann sampai ke permukaan untuk memproduksi abses subperiosteal. Hal ini dimungkinkan karena terutama pada anak-anak, periosteum belum melekat kuat dengan tulang. Dari abses subperiosteal, pus dapat menyebar sepanjang tulang panjang dan memasukijaringan lunak di sekitarnya. Jnfeksi padajaringan lunak akan menyebabkan selulitis hingga abses. Apabila infeksi terus menyebar hingga ke sendi, akan terjadi artritis septik (lihat Gambar I). Peningkatan tekanan intraoseus, stasis vaskular, dan trombosis pembuluh darah kecil akan diikuti gangguan aliran darah, sehingga kematian tulang terjadi. Kepingan tulang nekrotik dapat terpisah satu sama lain. Kepingan jaringan tulang yang sudah mati ini disebut sebagai sekuestrum. Sebagai respon, kejadian ini akan diikuti dengan pembentukan jaringan tulang baru, yang disebut sebagai involukrum. Apabila infeksi yang terjadi tidak teratasi, bakteri dapat menyebar ke tulang lain, bahkan ke organ lain dan menimbulkan komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Manifestasi Klinis Nyeri konstan dan berat pada dekat ujung tulang yang terlibat. Gejala lain terkait septikemia, seperti malaise, anoreksia, dan demam (dalam 24 jam). Kedua ha! terse but harus menjadi dasar diagnosis klinis acute hematogenous osteomielitis hingga terbukti sebaliknya. Adanya riwayat trauma atau infeksi saluran pernapasan atas pada anak memperkuat diagnosis osteomielitis. Diagnosis Tanda kardinal acute hematogenous osteomielitis pada anak meliputi nyeri, demam, menolak untuk menahan beban, dan menggerakan bagian tubuh yang terlibat, serta tidak mau disentuh pada bagian yang nyeri. Terkadang ditemukan limfadenopati. Pada dewasa, predileksi tersering adalah vertebra torakolumbar,



kadang sering disertai riwayat prosedur urologi yang diikuti dengan demam dan sakit punggung. Tulang lain jarang terlibat, kecuali jika terdapat diabetes, malnutrisi, adiksi obat, leukemia, terapi imunosupresan. Pada geriatri atau defisiensi imun, gambaran sistemik ringan dan diagnosis ini sering terlewatkan. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan CRP yang meningkat dalam 12-24 jam dan LED yang meningkat dalam 24-48 jam setelah awitan gejala. Hitung leukosit meningkat dan hemoglobin dapat menurun. Namun, pada bayi dan geriatri. tes ini kurang andal (reliable). Pada Roentgen yang diambil dalam minggu pertama, tidak tampak infeksi tulang walaupun progresi telah terjadi, setelah minggu pertama barulah destruksi tulang pada metafisis dan tanda pertama pembentukan tulang reaktif. Sementara bone-scan atau scintigrafi memiliki nilai lebih untuk diagnosis pada minggu pertama awitan infeksi. Pada MRI, osteomielitis dapat menunjukkan adanya dark focus pada Tl -weighted image atau bright signal pada T2- weighted image. Dengan USG, pembengkakan jaringan lunak pertama terlihat pada hari-hari pertama awitan infeksi. Untuk memastikan diagnosis klinis dapat dipakai pemeriksaan histologi dengan cara aspirasi pus atau cairan dari abses subperiosteal. soft tissue ekstraosseus atau sendi terdekat. dengan menggunakan jarum trokar 16-18 G. Apabila tidak ada pus. apusan aspirat dapat diperiksa dengan pewarnaan Gram sehingga dapat membantu mengidentifikasi tipe infeksi dan membantu pemilihan antibiotik. Aspirasi jaringan hanya memberikan hasil positif pada 60% kasus. sementara kultur darah positif pada kurang dari 50% kasus. Diagnosis Banding Acute suppurative arthritis, streptococcal necrotizing myositis, acute rheumatism. Sickle-cell crisis, Gaucher's disease.



Tata Laksana Prinsip tata laksana meliputi (I) mengistirahatkan bagian yang terinfeksi, (2) pemberian antibiotik spektrum luas, (3) mengurangi nyeri dan sebagai tata laksana suportif, (4) mengidentifikasi organisme yang menginfeksi, (5) mengeluarkan pus secepat dan sebersih mungkin serta mengurangi tekanan intraosseus, (6) stabilisasi tulang apabila terjadi fraktur, (7) mengeradikasi jaringan avaskular dan nekrotik serta mengembalikan kontinuitas apabila terjadi gap pada tulang, dan (8) mempertahankan jaringan lunak dan kulit. Pada infeksi akut, apabila ditangani dengan antibiotik efektif dan secara dini, penyakit ini biasanya



82 Kn1npt'ttns1



nm



•• •



dapat diobati. Namun, apabila terjadi pus dan nekrosis tulang, maka dibutuhkan tindakan drainase operatif. Sumber Bacaan l.



Solomon L, Srinivasan H. Tuli S. Cavender S. Infection. Dalam: Solomon L. Warwick D. Nayagam S, penyunting. Apley's system of orthopaedics and fractures. Edisi ke-9. London: Hodder Arno ld: 20 I 0. h.29-43.



2.



Salter RB. penyunting. Fractures and joint injuries-ge neral features. Dalam: Textbook of disorders and injuries of the muscu loskeletal system. Edisi ke-3. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h.207-2 4.



Sindrom Terowongan Karpal



Definisi Carpal Tunnel Syndrome, atau sindrom terowongan karpal, biasa disingkat sebagai CTS merupakan salah satu dari penyakit kompresi nervus medianus yang sering ditemukan. Epidemiologi Umumnya, CTS lebih banyak dialami oleh perempuan, berusia 40-50 tahun. Pada pasien dengan usia yang lebih muda, perlu diperhatikan adanya penyebab sekunder seperti: penyakit reumatik, gout, gaga! ginjal kronis, atau kehamilan. Anatomi dan Patofisiologi Terowongan karpal merupakan ruangan tertutup yang sempit yang terletak di pergelangan tangan. Terowongan ini tersusun oleh tulang-tulang karpal, persendian, dan transverse carpal ligaments (fleksor retinakulum). Struktur di dalamnya adalah tendon fleksor dan N. medianus. Nervus medianus merupakan salah satu struktur yang paling rentan terhadap penekanan. Berbagai penyakit yang menyebabkan menyempitnya terowongan ini secara relatif akan menyebabkan penyempitan pada nervus medianus. Perubahan pada salah satu struktur dalam terowongan karpal akan menyebabkan peningkatan relatif tekanan intrakarpal dan berakibat juga penekanan pada nervus medianus. Etiologi Penyebab CTS sangat bervariasi, mulai dari edema karena trauma, baik akut maupun kronis, edema inflamatoris akibat tenosynovitis rheumatoid, osteofit pada persendian karpal, ganglion, maupun lipoma.



Dimas Priantono, Wahyu Widodo Manifestasi Klinis Gejala yang dialami oleh pasien dengan CTS biasanya khas. Pasien mengeluhkan nyeri dan/atau kesemutan pada daerah yang dipersarafi oleh N. medianus. Nyeri bersifat seperti terbakar, ditusuk-tusuk, atau baa!. Untuk mengurangi keluhan yang dialami, terkadang pasien mengeluhkan harus menggerak-gerakkan Jengan atau menggantungkan lengan di sisi tempat tidur. Pemeriksaan fisis sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memperlihatkan tanda Tine! dan melakukan tes Phalen. Tanda Tine! (TineJ's sign) dimunculkan dengan melakukan perkusi pada N. medianus. Tes Phalen (Phalen ·s test) dilakukan dengan menahan pergelangan tangan dalam posisi fleksi selama 60 detik. Pada kasus kronis, dapat terjadi atrofi otot-otot thenar. terutama pada m. abductor pollicis brevis . Tata Laksana Tata laksana CTS dapat dilakukan secara konservatif maupun bedah sesuai etiologi yang mendasarinya. Tata laksana konservatif meliputi imobilisasi sementara pergelangan tangan menghindari menggerakkan unsur jari (dalam bekerja) untuk beberapa minggu. Tujuannya untuk mengurangi tekanan dari edema pada terowongan karpal. Jika edema disebabkan oleh inflamasi, maka dapat dilakukan injeksi steroid ke dalam kanal karpal. Akan tetapi, injeksi steroid biasanya hanya mampu mengurangi keluhan untuk sementara. Tata laksana secara definitif dilakukan melalui pembedahan terbuka atau artroskopi untuk melonggarkan ligamentum carpal transversal, jika penyebabnya adalah ganglion dan lipoma maka dilakukan tindakan pembedahan untuk mengangkatnya.



245



Pada kasus-kasus akut, imobilisasi dan istirahat selama beberapa minggu dapat mengurangi gejala secara bermakna. Apabila CTS murni diakibatkan oleh inflamasi, injeksi steroid dapat menjadi tata laksana efektif. Perlu diperhatikan pada kasus kehamilan. edema dan retensi cairan terjadi secara cepat sehingga diperlukan dekompresi secara bedah.



Sumber Bacaan 1.



Warwick D, Srinivasan H. Solomon L. Peripheral nerve disorders. Dalam: Solomon L, Warwick D. Nayagam S. penyunting. Apley's system of orthopaedics and fractures. Edisi ke-9. London: Hodder Arnold: 20 I 0. h.288-9.



2.



Salter RB, penyunting. Fractures and joint injuries-general features. Dalam: Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. Edisi ke-3. Baltimore: Lippincott Will iams & Wilkins: 1999. h.326.



83



Kontpett>m.i IHA



246



•• •



Sindrom Terowongan Tarsal



Definisi Tarsal Tunnel Syndrome (ITS), atau sindrom terowongan tarsal juga dikenal dengan nama neuralgia tibia posterior terjadi akibat penekanan pada nervus tibialis posterior. Anatomi Nervus tibialis posterior terletak di posterior dan inferior dari maleolus medialis. Nervus ini terbagi tiga. dua cabang (medial dan lateral) berjalan menuju ke arah plantar pedis dan satu cabang lagi ke kalkaneus. Di dalam kanal, nervus berjalan bersama arteri tibialis posterior, fleksor digitorum, dan otot fleksor halucis longus. Salah satu penyebab penekanan pada n. tibia/is posterior adalah oleh m. abductor hallucis yang posisinya naik ke atas lebih proksimal dari posisi normal. Penekanan pada nervus ini akan menimbulkan serangkaian gejala klinis yang khas. Etiologi Sebagai salah satu dari sindroma kompresi nervus, ITS dapat diakibatkan oleh berbagai kelainan yang menempati kompartemen yang sama dengan n. tibialis posterior, misalnya ganglion, hemangioma, atau varikosum.



Dimas Priantono, Wahyu Widodo sering mengeluhkan kesemutan dan baa! pada daerah yang dipersarafi n. tibialis posterior. Gejala sering memberat pada malam hari dan berkurang dengan cara berjalan atau menjejakkan kaki. Pemeriksaan fisis sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memperlihatkan tanda Tine!. Tanda Tine! (Tinel's sign) dimunculkan dengan melakukan perkusi pada nervus tibialis posterior. Tata Laksana Tata laksana ITS dapat dilakukan secara konservatif maupun bedah. Tata laksana konservatif dengan istirahat, straightening. penggunaan walker boat . kortikosteroid, dan obat anti-inflamasi. Tata laksana ITS yang dapat dilakukan secara mudah adalah dengan memberikan penopang pada arkus medialis plantar pedis. Hal tersebut dapat menahan kaki pada posisis sedikit varus. Apabila dengan tata laksana konservatif gejala tidak dirasakan berkurang. maka perlu dilakukan dekompresi secara bedah. Akan tetapi, pembedahan juga tidak selalu memberikan hasil yang maksimal karena gejala masih dapat dirasakan oleh pasien. Sumber Bacaan: 1.



Warwick D. Srinivasan H, Solomon L. Peripheral nerve



disorders. Dalam: Solomon L. Warwick D, Nayagam S.



Manifestasi Klinis Pasien dengan ITS biasanya mengeluhkan nyeri dan gangguan sensoris pada permukaan plantar pedis. Nyeri akan memberat apabila tungkai bawah digunakan untuk bertumpu dalam waktu lama. Pasienjuga



penyunting. Apley's system of orthopaedics and fractures. Edisi ke-9. London: Hodder Arnold: 20 l 0. h.294. 2.



Bowyer G. The ankle and foot. Dalam: Solomon L. Warwick D, Nayagam S, penyunting. Ap ley's system of orthopaedics and fractures. Edisi ke-9. London: Hodder Arnold: 20 l 0. h.621.



Hemangioma Cindya Klarisa, Kristaninta Bangun Definisi Tumor vaskular pada bayi yang muncul segera setelah lahir (umumnya saat masa neonatus) dengan pertumbuhan yang cepat dan kemudian beregresi lambat pada masa anak. Terdiri dari proliferasi pembuluh darah namun berpotensi destruktif. Hemangioma terdiri dari pembuluh darah abnormal pada kulit dan atau jaringan subkutan. Lesi dapat meluas hingga di atas kulit atau bahkan menginvasi struktur sekitarnya. Tumor ini berbeda dengan malaformasi vaskular yang merupakan lesi vaskular kongenital yang tidak berprofilerasi. Epidemiologi Lebih sering ditemukan pada perempuan di banding pada pria (3-5: I). Beberapa keadaan yang dipikirkan berkaitan dengan kejadian hemangioma di antaranya usia ibu saat hamil (tua), plasenta previa, dan pre-eklamsia. Etiopatogenesis Diduga berasal dari embolisasi sel plasenta atau keterlibatan perubahan imunofenotipik pada sel primitif pembentuk tumor. Dimulai dari mutasi somatik pada sel endotelial tunggal yang kemudian mengekspansi klonal. Studi menunjukkan hemangioma merupakan efek dari growth factor angiogenik seperti basic flbroblast growth factor (bFGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Fase Proliferasi. Terjadi pembelahan sel endotelial dengan cepat dan perisit membuat sinusoid yang rapat. Angiogenesis meningkat diperantarai oleh bFGF dan VEGF. Didukung pula oleh kerja berbagai enzim dalam remodeling matriks ekstraseluler yang memecah kolagen sehingga tersedia ruang untuk tumbuhnya kapiler. Fase lnvolusi. Aktivitas endotelial berkurang secara perlahan. Endotelial mengalami degenerasi dan apoptosis yang biasanya sudah dimulai sebelum usia 1 tahun dan mencapai puncaknya saat berusia 2 tahun. Terdapat deposisi jaringan fibrosis interlobular dan perivaskular, berkumpulnya sel mast. fibroblas, dan makrofag. dan penghambat jaringan metaloproteinase (TIMP-1) yang menekan pembentukan pembuluh darah. Interaksi sel mast dengan makrofag, fibroblas. dan sel lainnya mensekresikan modulator yang down regulate perubahan endotelial.



Fase Terinvolusi. Merupakan akhir siklus hemangioma. Tersisa beberapa pembuluh darah seperti kapiler dan vena. Parenkim yang kaya akan sel digantikan jaringan flbrofatty longgar dengan kolagen dan serat retikular. Manifestasi Klinis Diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologi penunjang. Jangan lupa memeriksa tubuh secara keseluruhan untuk mengeksklusi kemungkinan sindrom lain, di mana hemangioma hanya salah satu tandanya. Biasanya muncul pada masa neonatal. dalam 2 minggu pertama. Tumor subkutan dalam atau hemangioma viseral dapat muncul hingga berusia 2-3 bulan. Pada 30-40% muncul langsung saat lahir dengan gambaran terdapatnya area yang pucat, telangiektasis atau makula eritem, atau sebuah titik seperti ekimosis. Hemangioma kongenital jarang tumbuh di dalam kehamilan. Sekitar 80% muncul soliter (tunggal) dan 20% lainnya multifokal. Fase Proliferasi - Tumbuh cepat dalam 6-8 bulan pertama kehidupan. Tumor menembus dermis superfisial. kulit meninggi, berwarna merah menyala. Jika tumor berproliferasi dalam dermis dan subkutis, kulit atasnya hanya naik sedikit dengan rona kebiruan. Tampak gambaran vena lokal yang melingkari tumor. Fase Involusi - Pertumbuhan tumor yang paling cepat hanya mencapai usia 5 lesi), curigai pasien memiliki hemangioma viseral, terutama intrahepatik. Lesi multifokal kutan biasanya kecil (diameter 12 mmHg atau >9% saat inspirasi Pemeriksaan Penunjang penunjang dilakukan untuk Pemeriksaan menegakkan diagnosis dan mengetahui etiologi penyebab tamponade jantung. Roentgen dada: kardiomegali, jantung berbentuk botol air, dan tanda trauma dada; CT scan; Ekokardiografi; Elektrokardiografi; Pemeriksaan laboratorium, disesuaikan dengan kemungkinan etiologi terdekat Diagnosis Diagnosis utama dilakukan dengan ekokardiogram, focused assessment sonogram in trauma (FAST) ,



atau pericardia! window, dan elektrokardiogram. Pada elektrokardiogram dapat ditemukan low voltage pada kompleks QRS seluruh sadapan. Diagnosis Banding Syok kardiogenik, perikarditis konstriktif, perikarditis konstriktif-efusif, emboli paru, tension pneumothorax Tata Laksana Pasien dengan tamponade jantung disarankan untuk dirawat di intensive care unit CTCU). Untuk pasien dengan kondisi hemodinamik stabil dirujuk ke spesialis kardiologi sedangkan untuk pasien dengan kondisi hemodinamik tidak stabil dirujuk ke spesialis bedah toraks dan kardiovaskular; Pemberian O,. ekspansi volume plasma dengan infus cairan (kristaloid, koloid, darah) sesuai tata laksana syok hipovolemik dengan pemberian awal hingga 2 L segera, elevasi tungkai untuk menaikkan venous return, penggunaan obat inotropik seperti dobutamin; Perikardiosentesis dilakukan dengan bantuan monitor EKG dan USG. Pantau tanda vital dan EKG pasien sebelum prosedur. Lakukan asepsis dan antisepsis serta anestesi lokal pada daerah penusukan. Perikardiosentesis (lihat Gambar l) dilakukan dengan penusukan di sebelah inferior sudut kostosifoid kiri dengan jarum nomor l 6-l 8G sepanjang 1-2 cm. Tusuk ke arah sefaloposterior dengan sudut 45° terhadap perut dan 45° terhadap garis tengah sagital, seolah-olah mengarah ke tip skapula kiri. Tertusuknya jantung menimbulkan adanya rasa gesekan sebagai tanda bahwa jarum harus segera ditarik. Apabila ada, darah akan segera nampak. Apabila penusukan terlalu jauh (mengenai otot ventrikel). maka akan tampak perubahan EKG seperti perubahan ekstrim segmen ST, QRS melebar, atau VES.



Gambar l. Perikardiosentesis



275



Apabila perikardiosentesis tidak dapat mengatasi tamponade, pertimbangkan prosedur torakotomi di kamar operasi.



Sumber Bacaan 1. 2.



Prognosis Prognosis bergantung kepada waktu yang dibutuhkan dalam memberikan tata laksana karena tamponade jantung merupakan kasus gawat darurat. Prognosis jauh lebih buruk jika berkaitan dengan kasus keganasan dibandingkan nonkeganasan.



3.



4.



276



Henry MM. Thompson JN, penyunting. Clinical surgery. Edisi ke-2. Elsevier; 2005. Hoyt DB. Coimbra R, Acosta J. Management of acute trauma. Dalam: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM. Mattox KL, penyunting. Sabiston textbook of surgery; the biological basis of modern surgical practice. Edisi ke- 19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 20 12. American College of Surgeons (ACS) Committees on Trauma. Advanced trauma life suppo rt (ATLS) student course manual. Edisi ke -9. 2012. Loukas M, Walters A. Boon JM, Welch TP. Meiri ng JH, Abrahams PH. Pericardiocentesis: a clinical anatomy review. Clin Anat. 2012 Occ;25(7)872-8 1.



Batu Saluran Kemih Hasiana Lumban Gaol, Chaidir Arif Mochtar Definisi Batu saluran kemih (urolitiasis) adalah adanya batu di dalam saluran kemih, mulai dari ginjal hingga uretra. Komposisi batu yang terbentuk dapat terdiri atas salah satu atau campuran dari asam urat, kalsium oksalat, kalsium fosfat, sistin, struvit, atau xantin. Etiologi Etiologi batu saluran kemih dapat dilihat pada Tabel I. Tabel 1. Etiologi Batu saluran kemih.



ldiopatik Gangguan aliran urine: fimosis, striktur uretra, stenosis meatus, hipertrofi prostat, refluks vesiko-ureter, ureterokel, konstriksi hubungan ureteropelvik Gangguan metabolisme: hiperparatiroidisme, hiperurisemia, hiperkalsiuria Infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme penghasil urea (Proteus mirabilis) Dehidrasi: kurang minum, suhu lingkungan tinggi Benda asing: fragmen kateter, telur skistosoma Jaringan mati (nekrosis papila ginjal) Multifaktor: anak di negara sedang berkembang, penderita multitrauma Faktor Risiko Faktor risiko urolitiasis pada umumnya adalah riwayat batu di usia muda, riwayat batu di keluarga, riwayat batu brusit, asam urat atau infeksi, jenis kelamin, pola makan, lokasi geografis, kondisi medis lokal dan sistemik, predisposisi genetik, dan komposisi urin. Komposisi urine menentukan pembentukan batu berdasarkan tiga faktor, yakni berlebihnya komponen pembentukan batu, jumlah komponen penghambat pembentukan batu (seperti sitrat, glikosaminoglikan), dan pemicu (seperti natrium, urat). Anatomi traktus urinarius juga turut menentukan kecenderungan pembentukan batu, karena dapat menjadi faktor risiko infeksi atau stasis. Patofisiologi Patofisiologi batu berbeda-beda sesuai dengan lokasinya. Batu pada ginjal terbentuk akibat super-



saturasi urine dengan garam yang dapat membentuk batu. Pada kasus yang lebih jarang, batu ginjal juga dapat disebabkan infeksi berulang oleh bakteri yang memproduksi urease. Selain itu, pembentukan batu dapat dipresipitasi oleh stasis {bendungan) pada traktus urinarius bagian atas jika pasien memiliki kelainan anatomi lokal tertentu. Batu buli umumnya diakibatkan oleh stasis urine dan/ a tau infeksi berulang akibat obstruksi uretra atau buli neurogenik. Batu ginjal lebih sering terjadi pada orang sehat sedangkan batu buli pada orang dengan kelainan neurologis (neurogenic bladder) atau anatomis (obstruksi intravesikal). Manifestasi Klinis I. Batu ginjal (nefrolitiasis) Batu dapat hanya berada di bagian pelvis renalis, namun dapat juga bercabang mengikuti kaliks a tau melibatkan 2 kaliks yang bersebelahan (batu staghorn). Batu di pelvis dapat menyebabkan hidronefrosis, namun batu kaliks biasanya tidak menunjukkan tanda pada pemeriksaan fisis. Umumnya, manifestasi klinis berupa obstruksi aliran kemih dan infeksi. Terkadang dapat disertai nyeri pinggang, baik hanya pegal, kolik, atau hingga nyeri yang menetap dan hebat. Pemeriksaan fisis umumnya normal , tetapi jika telah terjadi hidronefrosis, dapat teraba massa ginjal yang membesar. Nyeri tekan atau nyeri ketok sudut kostovertebra dapat positif sesuai sisi ginjal yang terkena. 2. Batu ureter {ureterolitiasis) Ciri utama nyeri kolik akibat peristalsis adalah sifatnya yang hilang timbul disertai mual dan nyeri alih yang khas. Dalam perjalanannya, batu ureter dapat akhirnya ikut keluar bersama urine, atau terhenti di buli. Batu juga bisa tetap di ureter dan menyebabkan obstruksi kronis dengan hidroureter. Kasus-kasus seperti ini dapat berujung pada hidronefrosis. Batu ureter dapat dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan lokasi, yaitu proksimal dan distal. Batu ureter proksimal jika batu terletak di atas pelvic brim dan distaljika terletak di bawah pelvic brim. 3. Batu buli-buli (vesikolitiasis) Jika batu berada pangkal uretra, aliran miksi akan berhenti secara tiba-tiba. Akan tetapi, saat pasien merubah posisi tubuhnya, batu dapat bergeser dan urine pun kembali keluar. Pada anak kecil, biasanya mereka menarik-narik penisnya. Jika di-



277



sertai infeksi sekunder. saat miksi terdapat nyeri menetap di suprapubik. 4. Batu uretra (uretrolitiasis) Kebanyakan terjadi sebagai akibat patologi dari bagian saluran kemih yang lebih atas. Gejalanya adalah urine menetes. miksi tiba-tiba terhenti, dan terdapat nyeri.



278



Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis. dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fis is sesuai dengan yang telah dituliskan pada bagian manifestasi klinis. Pada anamnesis cari faktor risiko dan riwayat batu ginjal sebelumnya. Pemeriksaan penunjang yang membantu diagnosis: 1 I Foto Rontgen abdomen dengan dua proyeksi. Batu asam urat murni bersifat radiolusen. sementara batu lainnya rata-rata bersifat radioopak. Hati-hati dengan batu radioopak yang lokasinya berhimpitan dengan struktur tulang. 2 I Pemeriksaan foto pielografi intravena. Untuk batu radiolusen, dilakukan foto dengan bantuan kontras untuk menunjukkan defek pengisian. Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan pada saat pasien mengalami kolik renal akut karena tidak akan menunjukkan gambaran sistem pelviokalises dan ureter. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. pielografi retrograd melalui sistoskopi, CT urografi atau USG menjadi pilihan. 3 I CT urografi tanpa kontras adalah standar baku untuk mengevaluasi batu pada ginjal dan traktus urinarius, termasuk batu asam urat. Modalitas ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas terbaik. 4 I Pemeriksaan ultrasonografi dapat melihat semua jenis batu. baik yang radiolusen maupun radioopak. Selain itu, melalui pemeriksaan ini dapat juga ditentukan ruang dan lumen saluran kemih. 5 I Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis, pemeriksaan darah perifer lengkap dan kadar ureum kreatinin serum dilakukan untuk menunjang diagnosis adanya batu, komposisi, dan menentukan fungsi ginjal. Pemeriksaan analisis batu diindikasikan pada semua pasien urolitiasis yang pertama kali untuk mengetahui risiko rekurensi. Tata Laksana Tata laksana batu saluran kemih bergantung kepada ukuran. lokasi. ada tidaknya infeksi. dan fungsi ginjal. lndikasi pengeluaran aktif batu saluran kemih (menurut EAU.2014): Kasus batu dengan kemungkinan keluar spontan yang rendah; Adanya obstruksi saluran kemih persisten; Ukuran batu > 15 mm; Adanya infeksi; Nyeri menetap atau nyeri berulang;



Pasien dengan batu glnjal



Konservatlf, observasi atau



medical expu/sive therapy (MET)•



10-20 mm 1



+



+



1. SWL/RlRS



Kaliks



2.PNL inferior



r



>20mm



+



1. PNL



2.RIRS/ SWL



superior atau medial



Ideal untuk SWL?*•1 1



t SWLatau Endourologi



+ tidak



SWLatau



1. Endourologi



Endourologi



2.SWL



Syarat observasi dengan MET: • Tldak terdapat indikasi pengeluaran aktif batu saluran kemih •• Faktor yang rnendukung ESWL: • Tidak terdapat kontraindil lO mm URS Ureterolitotomi* atau SWL Keterangan: Pedoman IAU/ 2007 masih memasukkan urecerolitotomi sebagai salah saw modalitas terapi intervensi karena tidak semua pusat penanganan urolitiasis memiliki fasilitas tindakan intervensi minimal



ganggu dan ukurannya kurang dari 0,5 cm, berlokasi di ureter distal dan tidak terjadi obstruksi total. Pasien dengan sepsis, nyeri tidak terkontrol atau fungsi ginjal yang buruk tidak disarankan menggunakan terapi konservatif. Terapi konservatif terdiri atas: Peningkatan asupan minum dan pemberian diuretik target diuresis 2 liter/ hari; Pemberian nifedipin atau agen a -blocker, seperti tamsulosin Manajemen nyeri, khususnya pada kolik: pemberian simpatolitik atau antiprostaglandin, analgesik Oihat Bab Manajemen Nyeri). Pemberian OAINS supositoria memberikan onset lebih cepat dan efek samping lebih rendah. Pe mantauan berkala setiap 1-14 hari sekali selama maksimal 6 minggu untuk menilai posisi batu dan derajat hidronefrosis. Pelarutan. Jenis batu yang dapat dilarutkan adalah batu asam urat, yang hanya terjadi pada keadaan urine asam (pH 3 cm. Pencegahan Pencegahan bergantung pada komposisi batu: Batu asam urat: pengaturan diet dan/atau pemberian allopurinol 1 x 100 mg. Batu kalsium fosfat: lakukan pemeriksaan eksreksi kalsium dalam urine dan nilai kalsium darah. Nilai yang melebihi normal dapat menandakan etiologi primer, seperti hiperparatiroidisme. Batu kalsium oksalat, sumbernya dapat berasal dari eksogen maupun endogen. Makanan yang banyak mengandung oksalat adalah bayam, teh, kopi, dan cokelat. Selain itu, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria dapat disebabkan penyakit lain, seperti hiperparatiroidisme dan kelebihan vitamin D. Sumber Bacaan I. Pearle MS, Goldfarb DS, Assimos DC, Curhan G, Denu-Ciocca CJ, Matlaga BR dkk: American Urological Assocation (AUA). Medical management of kidney stones: AUA guideline. J Ural. 20 14 Aug: 192(2):316-24. 2. Bultitude M. Rees J. Management of renal colic. BMJ. 20 12 Aug 29:345:e5499. 3. lkatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman penatalaksanaan batu saluran kemih di Indonesia. Jakarta: 2007. 4. Sjamsuhidajat R Karnadihardja W, Prasetyono TOH. Rudiman R penyunting. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-de Jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC: 2010. h.872-9. 5. O'Connor OJ, Maher MM. CT urography. AJR 20 10: l 95:W320-4. 6. Lokhandwalla M, Sturtevant B. Fracture mechanics model of stone comminution in ESWL and implications for tissue



damage. Phys Med Biol. 2000:40: 1923-40.



....t7 0



~ ~



Q)



j:Q



279



Kanker Prostat Hasiana Lumban Gaol. Chris Tanto, Chaidir AiifMochtar Kanker prostat adalah keganasan tersering pada laki-laki, dengan peningkatan insidensi pada usia lebih dari 50 tahun. Distribusi kanker prostat berdasarkan jenisnya: Adenokarsinoma (95%); Kanker tersusun atas sel urotelial dan pros tat (4%) ; Karsinoma sel skuamosa (1 %). Etiologi dan Faktor Risiko Etiologi kanker prostat belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor risiko yang diduga berpengaruh adalah faktor genetik, hormon, diet, zat kimia karsinogenesis, dan virus tertentu.



280 Patofisiologi Kanker prostat muncul saat kecepatan pembelahan sel dan kematian sel tidak seimbang. Hal ini disebabkan oleh mutasi gen. Dari seluruh kasus kanker, 70% berasal dari zona perifer, 15-20% dari zona tengah, dan 15% dari zona transisional. Kanker yang berasal dari zona transisional biasanya menyebar ke leher kandung kemih sementara yang berasal dari zona perifer meluas ke duktus ejakulatorius dan vesika seminalis. Penyebaran jauh diperkirakan melalui aliran vena - limfatik serta teori adanya jaringan tertentu yang memiliki kecenderungan untuk munculnya kanker. Manifestasi Klinis Pada umumnya, tidak ada keluhan yang khas selain gejala obstruksi yang juga ditemukan pada kasus pembesaran prostat jinak. Jika telah terjadi metastasis, pasien dapat mengeluhkan gejala sesuai dengan tempat metastasis, seperti nyeri tulang. Pada colok dubur, dapat ditemukan prostat yang teraba keras atau asimetris. Kadang dapat ditemukan pembesaran kelenjar limfe inguinal. Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis Frekuensi, urgensi, dan pancaran urine yang le mah; Retensi urine, nyeri punggung. dan hematuria apabila kanker sudah berada stadium lanjut; Penurunan berat badan, penurunan nafsu makan,



dan anemia; Apabila metastasis ke tulang sudah terjadi: nyeri tulang, fraktur patologis, defisit neurologis akibat penekanan medula spinalis. Pemeriksaan Fisis Buli yang terdistensi karena obstruksi; Pemeriksaan colok dubur: prostat teraba asimetris dengan permukaan yang tidak rata dan konsistensi yang keras. Perhatikan tonus sfingter ani untuk mencari tanda-tanda kompresi medula spinalis. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: ureum dan kreatinin meningkat sebagai akibat obstruksi. Prostate specific antigen (PSA), alkali fosfatase (untuk melihat kemungkinan adanya metastasis); USG prostat transrektal. USG juga dapat digunakan untuk biopsi prostat transrektal; Rontgen abdomen dan pielografi intravena dilakukan untuk menilai fungsi ginjal dan apakah terdapat indentasi pada dasar vesika urinaria; Diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi yang dilakukan melalui biopsi. Setelah ditegakkan diagnosis pasti, BONE scan dilakukan untuk menilai stadium dan tanda metastasis. Stadium Stadium kanker prostat dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tata Laksana Pasien dengan kecurigaan kanker prostat dirujuk ke dokter spesialis urologi. Untuk tumor yang masih terbatas dalam prostat dan tanpa metastasis, tata laksana pilihan utama adalah prostatektomi radikal. Jika sudah terjadi invasi, atau metastasis, pasien diberi pengobatan hormonal atau kombinasi hormonal-radioterapi. Pengobatan hormonal dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan pengaruh hormon androgen ke jaringan prostat. Radioterapi ditujukan untuk tumor primer, juga untuk pengobatan paliatif terhadap lesi metastasis di tulang. Jika terdapat obstruksi saluran kemih, dapat dilakukan tindakan reseksi transuretra terbatas. Tindak lanjut dengan pengukuran PSA penting dilakukan untuk mengetahui ada-tidaknya kekambuhan tumor.



Tabel I. Grading Kanker Prostat 1



tumor prinwr



TX Tumor primer tidak dapat dinilai TO T1



T2



Tidak terdapat bukti adanya tumor primer Tumor yang tidak tampak secara klinis, tidak terpalpasi atau terlihat melalui pencitraan TIa Penemuan histologis tumor secara insidental pada 5% atau kurang jaringan yang di reseksi TI b Penemuan histologis tumor secara insidental lebih dari 5% jaringan yang direseksi Tlc Tumor teridentifikasi dengan biopsijarum (diketahui karena peningkatan PSA) Tumor hanya berada di dalam prostat T2a Tumor melibatkan setengah atau satu lobus atau kurang T2b Tumor melibatkan lebih dari setengah lobus. tapi tidak kedua lobus T2c Tumor melibatkan kedua lobus



T3



Tumor meluas melewati kapsul prostat T3a Perluasan ekstrakapsul (u nilateral atau bilateral) termasuk leher buli



T4



Tumor terfiksasi atau menginvasi struktur berdekatan selain vesikula seminalis: sfingter eksterna. rektum, muskulus levator, dan/atau dinding pelvis



T3b Tumor menginvasi vesikula seminalis



N



nodus Jimfe regional



NX Nod us limfe regional tidak dapat dinilai NO Tidak ada metastasis nodus limfe regional N1 Metastasis nodus limfe regional 1\.1 -



MX



MO Ml



281



llH'Ldslasts jauh



Metastasis jauh tidak dapat dinilai Tidak terdapat metastasis Metastasis jau h M la Nodus limfe non-regional Mlb Tulang Ml c Lokasi lain



Tabel 2. Stadium Kanker Prostat. Stadium!



Tla-c T2a



NO NO



MOPSA < 10 MOPSA< 10



Gleason!O 6 Gleason!O 6



Stadium IIA



Tla-c Tla-c T2a.b



NO NO NO



MO PSA < 20 MO PSA: 3 hari atau menjalani operasi bedah mayor dalam 12 minggu terakhir yang membutuhkan anestesi umum atau regional.



+l



Edema pitting pad a tungkai yang slmtornatis.



+l



Local tenderness sepanjang distribusi sistem vena dalam



+l



Pembengkakan seluruh tungkai



+I



Pembengkakan betis (kira- kira 10 cm di bawah tuberositas tibialis) >3 cm dibandingkan dengan tungkai yang asi mto matis.



+l



Pelebaran non-varikosa vena superfisiai pada sis! yang simtomatis.



+l



Riwayat DVT sebelumnya



+l



Adan ya diagnosis alternatif yang menyerupai DVT



-2



Keterangan: Skar Wells ~ 2 menunjukkan kemungkinan adanya trombosis vena dalam sebesar 28'16. DVT: (deep vein thrombosis).



303



304



2. Terapi Medikamentosa, tujuan terapi untuk mencegah serta mengurangi risiko pembentukan trombus yang lebih besar serta mencegah emboli paru. Beberapa obat yang dapat digunakan antara lain golongan antikoagulan (warfarin atau heparin). Perlu diperhatikan pula bahwa obat golongan antikoagulan dapat menyebabkan efek samping perdarahan. a. Terapi Antikoagulan Heparin (Penghambat faktor koagulasi IX, X, XI, XII, dan antitrombin-110 Heparin diberikan secara intravena maupun subkutan, dan harus dipantau secara tepat untuk mencapai efek antitrombotik yang diharapkan serta meminimalisasi risiko perdarahan. Pasien yang mendapat terapi ini memerlukan perawatan di rumah sakit. Indikasi Jndikasi definitif: DVT akut. edema pulmonal, dan angina tidak stabil; Jndikasi relatif: infark miokard akut (timbul setelah terapi trombolitik) dan stroke trombosis akut; Pada pencegahan untuk DVT dan edema pulmonal, heparin diberikan pada kasus: paskapembedahan umum, risiko imobilisasi, pembedahan ortopedi, dan pencegahan trombosis mural. Kontraindikasi Kontraindikasi relatif: hemofilia serta gangguan perdarahan lain, trombositopenia dengan jumlah trombosit kurang dari 60.000/µL, riwayat trombositopenia karena heparin, ulkus peptikum, riwayat perdarahan otak dalam waktu dekat, hipertensi berat. gangguan hati berat, varises esofagus, trauma mayor, riwayat bedah saraf dan mata dalam waktu dekat. Pemberian heparin tidak dianjurkan bersamaan dengan anestesi epidural ataupun spinal. Kejadian hipersensitivitas dilaporkan terjadi pada beberapa kasus pasien. Dosis dan Cara Pemberian, bervariasi tergantung dari indikasi: Pada kasus trombosis vena atau arteri akut: Dosis inisial 80 IU/KgBB, dilanjutkan dosis rumatan 18 IU/KgBB/hari. Pada pasien DVT akut, lama pemberian terapi heparin sekitar 10-14 hari dan warfarin dimulai 4-6 hari sebelum heparin dihentikan Uihat penjelasan mengenai warfarin di bawah). Heparin



tidak boleh dihentikan sebelum tercapai target terapi yang menetap selama 24 jam dengan warfarin. Alternatif pemberian subkutan: Heparin subkutan diberikan dengan dosis inisial 15.000-20.000 U subkutan, selanjutnya diatur menggunakan kontrol aPTT pada 4-6 jam berikutnya. Target terapi sama dengan heparin intravena. Pengaturan dosis tidak dapat dilakukan sesering pada heparin intravena, namun hal ini lebih dapat ditoleransi oleh pasien karena tidak ada jalur intravena dan pemeriksaan aPTT yang lebih jarang. Efek samping Efek samping berupa hipersensitivitas dan trombositopenia pernah dilaporkan akibat penggunaan heparin. Monitor Monitor heparin dilakukan dengan memeriksa aPTT (activated partial thromboplastin time) karena heparin mengurangi aktivitas empat faktor koagulasi pada jalur intrinsik (faktor IX, X, XI, dan XII). Batas maksimal pemberian heparin adalah 0,4 U/mL atau setara dengan peningkatan 2,5 kali kontrol aPTT. Meskipun menggunakan rentang nilai 1,5-2,5 kali kontrol aPTT, angka ini tidak bisa menjadi patokan bagi setiap penderita untuk mendapatkan dosis terapi antikoagulan yang optimal. Interaksi Anestesi spinal dan epidural akan mempengaruhi aktivitas heparin. Komplikasi Trombositopenia, perdarahan, dan reaksi alergi. ii. Warfarin (Antagonis vitamin Kl Obat ini menurunkan kadar fungsional beberapa faktor koagulasi (faktor II, VII, IX, dan X) yang aktivitasnya tergantung pada vitamin K. Efek antitrombotik akan tercapai dalam waktu 3 hari karena waktu paruh faktor II adalah 60 jam. Oleh karena itu, warfarin tidak dianjurkan sebagai terapi tunggal trombosis akut. Indikasi Digunakan untuk profilaksis sekunder bersama atau setelah terapi heparin. Warfarin juga diindikasikan dalam pencegahan dan tata laksana beberapa penyakit kardiovaskular. Kontraindikasi (Absolut dan Relatif) Kontraindikasi absolut



Terdapat perdarahan berat/ perdarahan aktif; Minimnya kontrol penggunaan obat dan monitoring INR; Kehamilan (hindari pada trimester pertama dan sekitar 2-4 minggu sebelum kelahiran) ; Alergi atau intoleransi warfarin (pertimbangkan penggunaan alternatif warfarin). Kontraindikasi relatif Hipertensi tidak terkontrol (di atas 180/100 mmHg); Penyakit hati berat; Riwayat operasi dan prosedur yang melibatkan sistem saraf, vertebra, atau mata dalam beberapa waktu terakhir. Dosis dan Cara Pemberian Dosis warfarin sulit ditentukan secara objektif karena variasi yang terlalu besar pada setiap pasien. Umumnya dimulai dengan dosis 10 mg/ hari per oral, kemudian disesuaikan dengan target INR (misalnya 3 hari). Pad a pasien geriatri. dos is inisial dikurangi menjadi 5-7,5 mg/hari; Ketika tercapai dosis maintenance. INR diperiksa setiap 1 atau 4 minggu. bergantung pada stabililisasi INR sebelumnya; Pasien dengan kasus trombosis vena akut kejadian pertama biasanya mendapat terapi warfarin hingga 3 bulan dan bila ada risiko terbentuknya trombosis arteri, maka waktu pemberian terapi warfarin dalam jangka waktu yang tidak menentu.



onal. digunakan standarisasi INR (international normalized ratio) sebagai indikator. Target INR untuk pemantauan berkisar antara 2,0-3,0. Komplikasi: perdarahan dan nekrosis kulit. Low Molecular Weight Heparin (LMWH) dosis tinggi 1 mg/KgBB/ 12 jam subkutan selama 14 hari. LMWH memiliki efektivitas yang sama dengan heparin unfractionated pada kasus trombosis vena dalam akut. LMWH dapat diberikan tanpa pemantauan ataupun pengaturan dosis.



b. Terapi trombolitik: Sistemik: Kurang direkomendasikan karena tingginya kemungkinan komplikasi perdarahan. Ca theter-directed : Lebih rendah angka komplikasi perdarahan dibandingkan trombolitik sistemik dan terbukti lebih efektif. 3. Terapi Kompresi dan Elevasi. Untuk mengurangi keluhan nyeri dan bengkak pada tungkai. dapat dilakukan elevasi atau kompresi pada tungkai yang terkena menggunakan stocking khusus. 4. Terapi Endovaskular dengan pemasangan filter yang diletakkan pada vena cava inferior. Filter ini dapat mencegah terjadinya emboli paru. Sumber Bacaan I.



ders: 201 2. 2.



Jusi HD. Dasardasar ilmu bedah vaskuler. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 20 l 0.



3.



Pemantuan Pemantauan pemberian warfarin menggunakan PT lprothrombin time- jalur ekstrinsik). Namun sebagai kesepakatan internasi-



Cronenwett JL. Johnston KW. penyunting. Rutherford's vascular surgery. Edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier Saun-



Kucher N. Clinical practice. Deep-vein thrombosis of the upper extremities. N Engl J Med. 201lMar3:364(9) :861 -



9. 4. Goldhaber



SZ.



Bounameaux



H.



Pulmonary



embo-



lism and deep vein thrombosis. Lancet. 2012 May 12:379(9828): 1835-46.



mu







• D D D D D D D D D D D D



0



CD ~



l3



~



2. IQ ..... 0



....



a CD



~



Frambusia (Yaws) Herpes Simpleks Herpes Zoster Infeks i Parasit Kus ta Mikosis Moluskum Kontagiosum Pioderma Tuberkulosis Kutis Ulkus Tropikum Va rise la Veruka Vulgaris



en ..... 306



D D D D D D D



Akne Vulgaris Dermatitis Dermatitis Eritroskuamosa Erupsi Obat Alergik Prurigo Tumor Ganas Kulit Tumor Jinak Kulit



v



,.\ D D D D D D D



v



Gonore Infeksi Genital Non-Spesifik Kandidosis Genitalis Kondiloma Akuminatum Limfogranuloma Vereneum Sifilis Trikomoniasis



Mi have read everything.



Frambusia (Yaws) Widyaningsih Oentari, Sri Linuwih Menaldi Definisi Penyakit treponematosis menahun yang terdiri dari tiga stadium, yaitu ulkus atau granuloma pada kulit, lesi nondesruktif dini, dan destruktif lanjut pada kulit, tulang, serta periosteum. Penyakit ini biasanya ditemukan pada daerah tropis dan lembab dengan tingkat kebersihan yang buruk. Etiologi Penyakit ini disebabkan karena infeksi Treponema pertenue yang masuk melalui lesi pada kulit. Lesi primer (disebut mother of yaws) muncul setelah masa inkubasi 3 minggu. Berbeda dengan sifilis, frambusia tidak ditularkan dari ibu ke janin. Manifestasi Klinis Terdiri atas tiga stadium: 1. Stadium I Predileksi: tungkai bawah yang terdapat trauma; Lesi kulit: papul eritematosa yang membesar {disebut frambesioma) dalam 3-6 minggu. Papul akan berkembang menjadi ulkus dengan dasar papilomatosa dan krusta kuning kehijauan; Dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening dengan konsistensi keras dan tidak nyeri; Fase ini bertahan selama beberapa bulan dan sembuh sendiri dengan meninggalkan sikatriks. 2. Stadium II Lesi kulit (tersebar generalisata): papul-papul berkelompok dengan ukuran milier sampai lentikular tersusun korimbiformis, arsinar, atau numular. Papul muncul 3-12 bulan setelah sejak dimulainya penyakit. Lesi ini akan menjadi basah dan membentuk krusta. Stadium ini sangat infeksius; Pada telapak kaki terjadi keratoderma (dry crab yaws) sehingga pasien berjalan seperti kepiting karena nyeri. Tulang panjang pada ekstremitas juga dapat terserang. 3. Stadium III. Pada stadium ini, terjadi destruksi pada kulit, tulang dan persendian. Kelainan yang ditemukan berupa: Nodus: dapat melunak dan menjadi ulkus.







Guma: nodus tidak nyeri yang melunak dan menjadi ulkus yang curam hingga ke tulang atau sendi, menyebabkan ankilosis dan deformitas. Biasanya terjadi pada area tungkai. Tulang: periostitis dan osteitis pada tibia, ulna, metatarsal serta metakarpal. Dapat pula terjadi fraktur spontan. Gangosa: mutilasi fosa nasalis, palatum mole sehingga terbentuk lubang dan suara menjadi sengau. Goundou: eksositosis tulang hidung dan sekitarnya.



..... Cl)



Diagnosis Ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan serologi sifilis. Pemeriksaan dark field microscopy pada awal lesi dapat membantu diagnosis, tetapi tidak dapat membedakan frambusia dengan sifilis. Tes serologi dilakukan dengan menggunakan rapid plasma reagent (RPR) VDRL, fluorescent treponema antibodies (TPHA). Pemeriksaan histopatologi menunjukkan gambaran akantosis, papilomatosis, edema epidermal, dan mikroabses intraepidermal dengan neutrofil. Pada dermis tampak infiltrat padat yang terdiri atas sel plasma, limfosit, histiosit, neutrofil, eosinofil, dan proliferasi endotel. Tata Laksana Antibiotik lini pertama: Benzatin benzilpenisilin- Dosis untuk dewasa adalah 1,2 juta unit dosis tunggal, diberikan secara intramuskular. Dosis untuk anak di bawah usia 12 tahun adalah 0,6 juta unit dosis tunggal, diberikan secara intramuskular. Pada pasien anak yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin oral 8-10 mg! KgBB setiap 6 jam selama 15 hari. Azitromisin oral 30 mg/KgBB (maksimal 2 g). dosis tunggal sama efektifnya dengan pemberian penisilin intramuskular; Alternatif: Doksisiklin oral I 00 mg 2 kali/hari selama 15 hari, atau menggunakan tetrasik.lin oral: 500 mg 4 kali/hari selama 15 hari. Prognosis Apabila tata laksana dilakukan pada stadium awal, maka tingkat kesembuhan tinggi dan tidak ada kecacatan.



~



s:: ..... .....



t:7I



1 Cl>



0



307



20 l 3;381 (9869) :763-73.



Sumber Bacaan 1.



Menaldi SL. Bramono K. Indriatmi W. penyunting. Ilmu



3. 4.



nerbit FKUI: 2014 . Mitja



0.



Asiedu



K.



Mabey



0.



Yaws.



R.



Estrada



R.



penyunting. Tropical dermatology.



Georgetown: Landes Bioscience: 20 01 .



penya kit kuli t dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Pe2.



Arenas



Lupi 0 , Madkan V. Tyring SK. Tropical dermatology: bacterial tropical disease. J Am Acad Oermatol. 2006:54 :559 -78.



Lancet.



I



109 •Ill Kon1pl'lens1



IVA



Herpes Simpleks



••



Widyaningsih Oentari. Sri Linuwih Menaldi dipicu oleh trauma fisik, trauma psikis, sakit, trauma, panas, kontak seksual, atau menstruasi. GejaJa klinis yang ditemukan berupa vesikel berkelompok yang gatal, panas, nyeri dan berlangsung sekitar 7-10 hari. Herpes simpleks pada kehamilan dapat berbahaya karena virus dapat masuk melalui plasenta dan sampai ke sirkulasi fetus. Hal tersebut dapat menimbulkan kematian atau kecacatan janin. Kelainan yang dapat timbul berupa ensefalitis, keratokonjungtivitis, dan hepatitis.



Definisi Penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi virus herpes simpleks tipe I atau IL



tj 11>



s ~



2.



0



l.Q



......



S' 11>



:>;' (I) ......



308



Etiologi Virus herpes merupakan virus DNA (keluarga Herpesviridae). Terdapat dua tipe virus herpes. yaitu HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. HSV tipe 1 tidak ditularkan secara seksual, sedangkan HSV tipe 2 ditularkan secara seksual. Transmisi dari virus ini terjadi secara kontak langsung. kemudian diikuti dengan fase invasif asimtomatis. dilanjutkan dengan fase replikasi dan berakhir dengan fase lisis sel. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu siklus ini adalah 5-6 jam. Masa inkubasi dapat terjadi dalam 2-20 hari. Manifestasi Klinis Infeksi primer berlangsung sekitar 3 minggu dengan gejala sistemik berupa demam, malaise, anoreksia, dan pembesaran kelenjar getah bening. Lesi di kulit kemudian muncul berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa. Vesikel tersebut dapat pecah dan menjadi ulkus. Pada herpes simpleks tipe I, predileksi pada pinggang ke atas terutama pada hidung dan mulut. sementara pada tipe II lokasi predileksi ialah pinggang ke bawah. terutama pada area genital. Namun predileksi ini sering sulit dibedakan karena adanya hubungan secara seksual orogenital. Fase laten seringkali tidak ditemukan gejala klinis. Virus berada dalam keadaan dorman di ganglion dorsalis. Infeksi rekuren. Virus herpes simpleks yang sebelumnya dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis akan menjadi aktif dan menimbulkan gejaJa kJinis yang lebih ringan dibandingkan dengan infeksi primer. Hal tersebut



Diagnosis Diagnosis berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisis, serta berdasarkan pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan Tzanck, dengan ditemukannya sel datia berinti banyak. Diagnosis Banding Impetigo vesikobulosa, ulkus durum, ulkus mole, ulkus mikstum. Tata Laksana SaJap atau krim idoksuridin: untuk tata laksana lesi dini. Asiklovir: topikal atau 200 mg PO 5 kaJi/hari selama 5 hari. Sumber Bacaan 1.



Ojuanda A. Hamzah M. Aisah S. penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI: 2009.



2.



Wo lff K. Johnson RA. Saavedra AP. penyunting. Fitzpatrick's color atlas & synopsis of clinical dermatology. Edisi ke-7. Singapura: Elsevier Saunders: 201 3.



3.



Arenas R. Estrada R. penyunting. Tropical dermatology. Georgetown: Landes Bioscience: 2001.



110



Kompctmsi lllA



•• •



Definisi Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster (VZV) pada kulit dan mukosa, atau merupakan hasil reaktivasi virus setelah infeksi primer. Patogenesis VZV ditularkan melalui kontak langsung atau inhalasi. Predileksi awal infeksi adalah mukosa saluran napas atau konjungtiva. Virus ini akan mengalami fase laten karena dikontrol oleh imunitas seluler. Akan tetapi, saat terjadi penurunan limfosit T (akibat neoplasma, transplantasi, AIDS, penuaan, atau kondisi imunodefisiensi lainnya) , maka dapat terjadi reaktivasi. Virus ini mengalami dua fase replikasi, yai tu yang pertama pada ganglia, kemudian pada hepar, limpa, dan organ lainnya. Manifestasi Klinis Diawali dengan gejala prodromal berupa demam, pusing, malaise, nyeri otot tulang, gatal dan pegal; Lesi kulit berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa yang disertai rasa nyeri, bersifat unilateral dan dermatomal (tidak melewati batas garis tengah) sesuai tempat persarafan. Masa aktif penyakit ini dapat berlangsung hingga 1 minggu; Pembesaran kelenjar getah bening; Pada herpes zoster oftalmikus terjadi infeksi pada cabang pertama nervus trigeminus cabang oftalmika sehingga timbul kelainan pada mata; Sindrom Ramsay Hunt: apabila terdapat gangguan pada saraf fasialis dan otikus yang menyebabkan paralisis otot muka, kelainan kulit sesuai dermatom, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, mual, dan gangguan pengecapan.



Herpes Zoster Widyaningsih Oentari, Sri Linuwih Menaldi Diagnosis Banding Herpes simpleks Tata Laksana Obat antiviral, lebih baik diberikan pada 3 hari pertama sejak timbulnya lesi. Pilihan obat: Asiklovir 500 mg PO 5 kali/hari selama 7 hari Valasiklovir: 1000 mg PO 3 kali/ hari selama 1 hari. Namun, bila lesi baru tetap muncul, obat ini dapat diteruskan hingga 2 hari bebas lesi; Analgesik, untuk mengatasi keluhan nyeri; Kortikosteroid diberikan apabila terjadi sindrom Ramsay-Hunt untuk mencegah terjadinya paralisis: Prednison 20 mg PO 3 kali/hari, setelah seminggu dosis dapat diturunkan secara bertahap. Komplikasi Neuralgia pascaherpetik: rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakit sembuh. Komplikasi ini kebanyakan timbul pada usia di atas 40 tahun; Komplikasi herpes zoster oftalmikus: ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, koriorenitis, neuritis optik; Paralisis motorik muncul dalam 2 minggu pascaawitan lesi. Prognosis Pada umumnya bonam bila ditangani secara adekuat. Sumber Bacaan 1.



Menaldi SL. Bramono K, lndriatmi W. penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Pe-



Diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan lesi kulit yang khas (vesikel berkelompok, dermatomal, dan nyeri). Dapat pula dilakukan pemeriksaan Tzanck untuk membantu diagnosis dengan ditemukan sel datia berinti banyak.



nerbit FKUI; 2014. 2.



Wolff K. Johnson RA. Saavedra AP, penyunting. Fitzpatrick's co lor atlas & synopsis of clinical dermatology. Edisi



ke-7. Singapura: Elsevier Saunders; 2013. 3.



Arenas R, Estrada R. penyunting. Tropical dermatology. Georgetown: Landes Bioscience; 2001.



309



111



Kompctcnsi IVA



• 11



••



A. Pedikulosis Definisi Infeksi pada kulit dan rambut pada manusia yang disebabkan oleh Pediculus sp.



0



Cl>



i 0



....



-



\Q



!j



ct



....~



310



Klasifikasi l. Pedikulosis Kapitis Definisi: Infeksi kulit dan rambut kepala akibat Pediculus humanus var. capitis. Epidemiologi: Biasanya menyerang anak usia muda. Infeksi ini mudah tersebar pada lingkungan yang padat dengan kondisi higiene yang kurang. Cara Penularan: Penularan dapat terjadi akibat kontak dengan barang yang sudah digunakan oleh orang yang telah terinfeksi, seperti topi dan sisir. Selain itu, dapat pula terjadi akibat kontak langsung antara kepala orang yang telah terinfeksi dengan orang yang belum terinfeksi. Manifestasi Klinis: Rasa gatal pada area oksipital dan temporal yang kemudian meluas ke seluruh kepala. Rasa gatal ini disebabkan liur dan ekskreta kutu yang masuk ke kulit saat menghisap darah. Garukan akibat gatal juga berkontribusi terhadap lesi kulit yang tampak. Lesi kulit yang ditemukan berupa erosi, ekskoriasi, pus, dan krusta. Selain itu, dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Diagnosis Pasti: Menemukan kutu atau telur pada rambut di area oksipital atau temporal. Telur berwarna putih abu-abu mengkilat. Diagnosis Banding: Tinea kapitis, pioderma, dermatitis seboroik. Tata Laksana: Malathion 0.5% atau 1% topikal berbentuk losio atau spray. Cara pemakaian: sebelum tidur, rambut dicuci bersih dan diolesi malathion. Setelah itu kepala ditutup dengan kain. Keesokan harinya, rambut dicuci kembali dan disisir dengan sisir rapat. Pengobatan dapat diulang I minggu kemudian apabila masih ditemukan kutu. Gama benzena heksaklorida (gameksan)



Infeksi Parasit Widyaningsih Oentari, Sri Linuwih Menaldi 1% Cara pemakaian: zat dioleskan di rambut dan didiamkan 12 jam. Setelah itu rambut dicuci dan disisir dengan sisir rapat untuk mengambil kutu ataupun telur. Dapat diulang 1 minggu kemudian, apabila masih ditemukan kutu. Benzi! benzoat 2 5% Prognosis: baik. 2. Pedikulosis Korporis Definisi: Infeksi kulit akibat Pediculus humanus var. corporis. Cara penularan: Pakaian dan kontak langsung. Manifestasi Klinis: Rasa gatal akibat liur dan ekskreta kutu . Lesi kulit terjadi akibat garukan dan terkadang dapat timbul pembesaran kelenjar getah bening akibat infeksi sekunder. Diagnosis: Menemukan kutu dan telur pada serat pakaian. Diagnosis Banding: Neurotic excoriation. Tata Laksana: Krim gama benzena heksaklorida (gameksan) 1% Cara pemakaian: krim dioles tipis pada tubuh dan didiamkan 12-24 jam, setelah itu pasien diminta untuk mandi. Pengobatan ini dapat diulang 4 hari kemudian, apabila masih belum sembuh. Benzi! benzoat 25 % Cara pemakaian: dioleskan pada tubuh dan didiamkan selama 24 jam. Pada 1000 BTA dalam 1 lapang pandang.



t:7



11)



§



[ 0



.....



\Q



.....



~.....



314



Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan Jndeks Morfologi (IM) yang merupakan persentase perbandingan bentuk solid (basil hidup) dengan jumlah solid dan non-solid (basil mati) dikalikan 100 persen. Akan tetapi, perhitungan ini hanya dapat dilakukan apabila IB minimal 3+. Pemeriksaan Histopatologis Pada pasien dengan sistem imunologik seluler yang tinggi, akan tampak gambaran tuberkel. Tuberkel terdiri atas sel epiteloid, sel datia Langhans dan limfosit. Pasien dengan sistem imunologik seluler yang rendah, tampak sel Virchow atau sel lepra atau sel busa yang merupakan bentuk histiosit yang tidak mampu memfagositosis M. Jeprae dan bahkan dijadikan sebagai tempat untuk berkembang biak. Pemeriksaan Imunologis, bertujuan untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan. Pemeriksaan imunologis yang dapat dilakukan, yaitu uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Agglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay). dan mL dipstick (Mycobacterium leprae dipstick). Diagnosis Banding Sarkoidosis, leishmaniasis, lupus vulgaris, limfoma, sifilis, y aws, granuloma annulare, necrobiosis lipoidica. Reaksi Kusta Reaksi kusta merupakan episode akut dari perjalanan kronis penyakit. Terdapat dua jenis, yaitu Eritema Nodosum Leprosum (ENL) dan reaksi reversal. ENL. Timbul pada tipe LL dan BL dan merupakan reaksi imun humoral yang terjadi biasanya pada tahun kedua pengobatan. Reaksi ini muncul karena banyaknya basil lepra yang mati dan hancur se-



hingga banyak antigen yang tersebar dan memicu reaksi imun humoral. Pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Reaksi reversal. Terjadi pada tipe BL, BB, BT dan berhubungan dengan hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi akibat peningkatan sistem imun seluler yang mendadak, umumnya terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan. Pada reaksi reversal terjadi perubahan tipe penyakit. Tata Laksana 1. Terapi Farmakologis Alur serta regimen pengobatan kusta berbeda pada tipe MB dan BB (lihat Gambar 1). Ada tiga obat lini pertama yang digunakan, yaitu dapson, rifampisin, serta klofazimin. Masing-masing obat memiliki indikasi serta efek samping yang harus diwaspadlli. Dapson (Diaminodifenil sulfon/DDS). Prinsip pemberiannya adalah tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, harus dikombinasikan dengan pengobatan lain. Dosis yang diberikan ialah 1-2 mg/KgBB per hari (lihat Gambar 1). Efek samping yang dapat timbul berupa nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, serta methemoglobinemia. Rifampisin. Digunakan sebagai salah satu kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/ KgBB diberikan setiap hari atau setiap bulan. Efek samping yang dapat timbul berupa hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu -like syndrome , dan erupsi kulit. Klofazimin, dosis awal adalah 300 mg/bulan, dilanjutkan dengan 50 mg/hari, atau 100 mg selang sehari atau 100 mg 3 kali/minggu. Efek sampingnya adalah warna kecoklatan pada kulit, warna kekuningan pada sklera yang akan menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan. Dalam dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping gastrointestinal. Alternatif obat lainnya, antara lain: o Protionamid, dosis 5-10 mg/KgBB per hari, namun obat ini tidak digunakan di Indonesia. o Ofloksasin, dosis optimal adalah 400 mg! hari. Efek samping berupa gangguan gastrointestinal, insomia, nyeri kepala, halusinasi, dan pusing. o Minosiklin. Dosis standar adalah 100 mg! hari. Efek samping yang dapat timbul pada anak adalah pewarnaan gigi dan terkadang dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan mukosa, gangguan gastrointestinal dan susunan saraf pusat. Penggunaan obat



ini tidak dianjurkan pada anak-anak atau pada masa kehamilan. 2. Terapi Non-Farmakologis Pasien kusta secara rutin perlu menjaga kebersihan diri, terutama pada regio yang mengalami penurunan fungsi neurologis. Tangan atau kaki yang anestetik dapat direndam setiap hari selama 10-15 menit. Lesi kalus atau kulit keras di sekitar ulkus dapat diabrasi. paling baik dilakukan oleh tenaga medis dengan bilah skapel. Selaajutnya, untuk menjaga nutrisi dan kelembapan yang adekuat pada kulit, dapat diberikan pelembab topikal: Istirahatkan regio yang terlihat kemerahan atau melempuh. Hindari tekanan yang berlebihan pada regio lesi. misalnya dengan elevasi tungkai saat istirahat atau mencegah berjalan kaki dalam jangka waktu yang lama: Untuk mencegah dan menangani komplikasi yang ada, dibutuhkan kerja sama dengan bagian bedah ortopedi, podiatrist, neurologi. oftalmologi, dan rehabilitasi medik.



Komplikasi Neuropati, mencakup penurunan fungsi sensorik, motorik, atau otonom saraf perifer: Ulkus atau fisura yang dapat mengakibatkan osteomielitis hingga amputasi digiti; Pembentukan kalus, akibat penurunan aktivitas kelenjar keringat; Kontraktur sendi, akibat paralisis otot. Latihan fisis secara aktif maupun pasif diperlukan untuk mencegah komplikasi ini. Kelainan oftalmologis: penurunan sensoris kornea (neuropati trigeminal) . lagoftalmos (neuropati fasialis) . • Pada reaksi ENL dapat ditemukan uveitis, daktilis, artritis, limfadenitis, neuritis, miositis, maupun orchitis. Prognosis Umumnya baik apabila dilakukan pengobatan yang tepat. Akan tetapi, perlu dilakukan upaya pencegahan serta deteksi dini terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.



.... (I)



.!I:



Q)



'E .....



.i.



Anamnesis dan pemeriksaan fisik



0 'lii



e



Sus k kusta



Q)



0 PausibasUer



315



t Konflnnasl diagnosis dengan : • Pemeriksaan baktertoskoplk • Pemer1ksaan hlstopatologls •Pemeriksaan imunologi:j



MB







nak (10-14 tahun



Anak (10-14 tahun



t



Pengobatan 12 bulan: Pengobatan 12 bulan Harl pertama tiap bulan: ari pertama tlap bulan: • RJfamplsin 300 mg • Rlfampisin 300 mg: I kapsul 2 kapsul Klofazimln I 00 mg RJfamplsin 150 mg I kapsul 3 kapsul Dapson 100 mg: Clofazlmln I 00 mg 3 kapsul I tablet Harl 2-28: Dapson 50 mg l tablet • Klofazlmln 50 mg ari 2-28: l kapsul • Dapson 100 mg • Clofazimln 50 mg I kapsul (dua hari sekali) l tablet • Dapson 50 mg 1 tablet



t Pengobatan 6 bulan Han pertama tiap bulan: • RJfamplsin 300 mg: 2 kapsul • Dapson 100 mg: I tablet Harl 2-28: • Dapson 100 mg I tablet



Gambar 1.Alur Tata Laksana Kusta



Pengobatan 6 bulan: Harl pertama tlap bulan: • Rifampisln 300 mg I kapsul • RJfampisin 150 mg I kapsul • Dapson 50 mg I tablet ari 2-28: • Dapson 50 mg I tablet



Sumber Bacaan 1.



2.



rosy as a public health problem. Geneva: WHO: 2000.



Menaldi SL. Bramono K. Indriatmi W. penyunt ing. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Sadan Pe-



rick's color atlas & sy nops is of clinical dermato logy. Edisi ke-7. Singapura: Elsevier Saunders: 2013.



Wo rl d Health Organization (WHO). Gu ide to eliminate lep-



Kompcten!ii IVA



• 11



•• Definisi Mikosis merupakan istilah umum untuk penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur pada organ atau jaringan tubuh mana pun. Pada kulit (mikosis kutis) . penyakit ini dibagi menjadi mikosis profunda dan mikosis superfisialis.



11>



§



~.....



I.Cl



.....



-.... ::s



11>



::-;-



{/)



316



Wolff K. Johnson RA. Saavedra AP. penyu nting. Fitzpat-



nerbit FKUI: 2014.



113



0



3.



A. Mikosis Profunda 1. Misetoma Definisi: Penyakit kronis dan supuratif pada jaringan subkutan yang disebabkan oleh Actinomycetes dan Nocardia. Manifestasi Klinis: Pembengkakan, abses, sinus. dan fistel multipel yang muncul unilateral. Inflamasi yang terjadi dapat menyerang subkutis. fasia, otot, dan tulang. Diagnosis: Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis, gambaran histologis, dan hasil biakan. Tata Laksana: Reseksi radikal atau dipertimbangkan untuk amputasi. Apabila kelainan belum meluas dan disebabkan oleh aktinomikotik, dapat diberikan pengobatan kombinasi kotrimoksazol 480 mg PO 2kali/hari (terdiri dari sulfametoxazol 23 mg/ KgBB/ hari dan trimetoprim 4,6 mg/ KgBB/ hari) dan streptomisin 14 mg/ KgBB/ hari IV selama 9- 12 bulan. Pada misetoma maduromikotik (Madura foot) dapat dipertimbangkan pemberian itrakonazol. 2. Sporotrikosis Definisi: Infeksi kronis akibat Sporotrichium schenkii. Manifestasi Klinis: Pembesaran kelenjar getah bening dan ulkus. Penyakit ini biasanya ditemukan pada pekerja di hutan dan petani. Diagnosis: Biakan pada mencit dan pemeriksaan histopatologis.



Mikos is Widyaningsih Oentari, Sri Linuwih Menaldi Tata Laksana: Oral: kalium iodida pekat 3-6 g/hari PO, dibagi dalam 3 dosis selama 3-4 bulan (untuk dosis anak dapat digunakan 33-50% dari dos is dewasa). Lainnya: itrakonazol 200-600 mg/ hari PO. flukonazol 20-400 mg/ hari PO. ketokonazol, 400-800 mg/ hari PO, terbinafin 1000 mg/ hari PO. Sistemik. Terapi disesuaikan dengan keterlibatan organ lain. Pada umumnya menggunakan regimen amfoterisin B IV. 3. Kromomikosis Definisi: Infeksi oleh berbagai jamur yang berwarna {dematiaceous). seperti Fonsecaea pedrosoi. Manifestasi Klinis: Nodus verukosa kutan yang kemudian membentuk vegetasi papilomatosa yang besar. Biasanya terjadi pada kaki dan tungkai. Infeksi dapat terjadi akibat trauma. Diagnosis: Pada pemeriksaan langsung dengan larutan KOH 20-40% dapat ditemukan struktur berdinding ganda dengan diameter 4-10 µm {fumagoid cells a tau Medlar bodies) atau juga dapat ditemukan hifa hitam dan tebal. Tata Laksana: Operasi: dilakukan pada lesi kecil; Terapi antifungal oral: diberikan selama setidaknya I tahun. Obat-obatan yang dapat digunakan berupa terbinafin 2 50 mg/ hari, itrakonazol 200-600 mg/ hari, atau ketokonazol 400-800 mgl hari. Terapi antifungal sistemik, seperti amfoterisin B IV. 4. Zigomikosis, Fikomikosis, dan Mukormikosis Definisi: Penyakit akibat infeksi jamur yang taksonomi dan perannya masih didiskusikan. Etiologi: Jenis jamur meliputi Mucor, Rhizopus, Absid-



ia, Mortierel/a. Cunning-hamel/a. Penyakit ini jarang ditemukan pada orang yang sehat dan sifatnya oportunistik. Diagnosis: Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan histopatologis dan hasil biakan. Tata Laksana: Pada fikomikosis dapat diberikan kalium iodida 10-15 tetes 3 kali sehari, yang perlahan dinaikkan hingga tampak gejala intoksikasi (mual dan muntah). Setelah itu, dosis diturunkan 1-2 tetes dan dipertahankan sampai tumor menghilang. Selain itu, dapat dipertimbangkan pemberian itrakonazol 200 mg per hari selama 2-3 bulan.



B. Mikosis Superfisialis Mikosis superfisialis dibagi menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis. l. Dermatofitosis Definisi: Penyakit yang disebabkan oleh infeksi golongan jamur dermatofita pada jaringan yang mengandung zat tanduk, yaitu epidermis, rambut, atau kuku. Etiologi: Dermatofita terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton. Jen is jamur ini dapat mencerna keratin. Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan lokasi: Tinea kapitis: pada rambut dan kulit kepala; Tinea barbe: pada dagu dan jenggot; Tinea kruris: pada genitokrural, sekitar anus, bokong, perut bagian bawah; Tinea pedis et manum: pada tangan dan kaki; Tinea unguium: pada kuku jari tangan dan kaki; Tinea korporis: pada bagian lain yang tidak termasuk pada lima jenis tinea di atas. Manifestasi Klinis: Gata!, kelainan berbatas tegas yang terdiri atas berbagai efloresensi dengan tepi aktif. Diagnosis: Kerokan pada kulit, rambut, atau kuku yang sakit dan dilihat melalui mikroskop. Pada sediaan kuku dan kulit akan tampak gambaran hifa bersekat dan bercabang dengan spora berderet yang disebut artrospora. Pada sediaan rambut akan tampak mikrospora dan makrospora yang dapat tersusun di dalam rambut (endotriks) atau di luar rambut (ektotriks). Cara pengambilan sediaan dilakukan dapat dilihat pada Bab Pemeriksaan Kerokan



Kulit. Biakan dengan menggunakan medium agar Sabouraud. Diagnosis Banding: Dermatitis, kandidosis, sifilis, psoriasis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, dan eritrasma. Tata Laksana: Griseovulfin: pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu setelah sembuh klinis dan diberikan dengan makanan yang banyak mengandung lemak. Dosis: Dewasa: 0,5- 1 g/ hari dibagi untuk 4 kali pemberian; Anak: 0,25-0 ,5 g/hari atau 10-2 5 mg/ KgBB. Ketokonazol: untuk kasus yang resisten griseofulvin, dengan dosis 200 mg/ hari selama I 0-14 hari pada pagi hari setelah makan. Absorpsi ketokonazol akan lebih baik pada pH asam sehingga pemberiannya dapat dikombinasikan dengan vitamin C. Kontraindikasinya ialah pada penderita kelainan hepar. Itrakonazol: untuk pengganti ketokonazol, diberikan dosis I 00-200 mg 2 kali/ hari selama 3 hari. Untuk tata laksana onikomikosis, diberikan terapi denyut itrakonazol selama 3 bulan, yaitu pemberian 3 tahap dengan interval I bulan, masing-masing tahap sepanjang I minggu dengan dosis 200 mg 2 kali/ hari. Terbinafin: juga dapat diberikan sebagai pengganti griseovulfin, dosis 62,5 mg-2 50 mg/ hari selama 2-3 minggu. 2. Nondermatofitosis a. Ptiriasis Versikolor Definisi: Penyakit jamur superfisial kronis yang disebabkan oleh Malassezia furfur. Manifestasi Klinis: Bercak berskuama halus yang berwarna putih hingga coklat hitam dengan bentuk tidak teratur dengan batas jelas sampai difus. Bercak terasa gatal. Diagnosis: Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi dengan lampu Wood akan tampak fluoresensi kuning keemasan, dan sediaan langsung kerokan kulit. Pada sediaan langsung, diberikan larutan KOH 20% dan dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop. Pada mikroskop akan tampak gambaran hifa pendek dan spora bulat berkelompok. Diagnosis Banding:



.... Cl)



~



:o;'



.... (/)



318



Dermatitis seboroik, eritrasma, sifilis II, ptiriasis alba, morbus Hansen, vitiligo. Tata Laksana: Terapi topikal, diberikan untuk lesi minimal, pasien anak, atau bila kontraindikasi dengan pemberian sistemik, meliputi: Suspensi selenium sulfida 1-2,5% berupa sampo dipakai 2-3 kali seminggu. Obat dioleskan pada area lesi dan didiamkan 15-30 menit sebelum mandi. Pemberian selenium sulfida perlu diwaspadai risiko dermatitis kontak, atau; Sulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%. Terapi sistemik, diberikan pada infeksi yang luas, sering rekuren, atau respon tidak adekuat pada pemberian topikal. Terapi menggunakan derivat azol, seperti ketokonazol 200 mg/ hari PO selama 10 hari. Alternatifnya dapat berupa mikonazol, klotrimazol, isokonazol, dan ekokonazol. Prognosis: baik. Pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu setelah fluoresensi negatif pemeriksaan lampu Wood . b. Pitirosporum Folikulitis Definisi: Penyakit kronis pada folikel pilosebasesa akibat infeksi Pityrosporum. Manifestasi Klinis: Papul dan pustul perifolikular berukuran 2-3 mm. Tempat predileksi adalah dada, punggung, dan lengan atas. Diagnosis Banding: Akne vulgaris, folikulitis bakterial, erupsi akneiformis. Tata Laksana: Ketokonazol: 200 mg/hari PO selama 2-4 minggu, atau; ltrakonazol: 200 mg/hari PO selama 2 minggu, atau; Flukonazol: 150 mg/minggu PO selama 2-4 minggu. Prognosis: baik. c. Piedra Definisi: Infeksi jamur pada rambut. ditandai dengan benjolan (nodus) sepanjang rambut. Etiologi: Piedraia hortai menyebabkan black piedra, Trichosporon beige/ii menyebabkan white



piedra.



Manifestasi Klinis: Tempat predileksi pada rambut janggut, kepala, dan kumis. Saat ram but disisir akan terdengar suara metal (klik). Tampak krusta melekat pada rambut dengan ukuran kecil hingga besar sehingga tampak seperti benjolan-benjolan. Piedra hitam ditemukan pada daerah tropis dan menyerang rambut kepala saja. Sedangkan, piedra putih menyerang daerah dengan iklim sedang dan menyerang janggut serta kumis. Diagnosis: Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada pemeriksaan sediaan langsung yang diteteskan larutan KOH 10% akan tampak benjolan multipel pada rambut yang sakit. Benjolan tersebut terdiri atas anyaman hifa berseptum dan askus-askus yang di dalamnya terdapat 4-8 askospora. Tata Laksana: Memotong rambut yang terinfeksi atau mencuci rambut dengan larutan sublimat 1/2000 tiap hari. Obat antijamur (derivat azol) dapat digunakan juga untuk tata laksana ini. d. Tinea Nigra Palmaris Definisi: Infeksi jamur superfisial yang asimtomatis pada stratum korneum. Di Indonesia sangat jarang. Etiologi: C/adosporium wemeckii (Amerika Utara dan Selatan), Cladosporium mansonii (Asia dan Afrika). Epidemiologi: Pada umumnya ditemukan pada usia 125



Tegakkan dlagnosis akne vulgarls



+ +



Tentukan derajat akne



Guel kulit wajah 3x/hari dengan sabun pH-balanced. kurangi makanan berlemak & pedas. kurangi pemakalan bedak padat& foundation/alas bedak



+



Ringan: SMang: lesi komedonal diberl retlnoid topikal Lesi papular pustular maupun nodular dlbe · (krlm tretlnoln 0,025%-0, 1'lli), lesi antlblotlk oral (doksisiklln 2x50- I OOmg) da papular-pustular ditambahkan retinold toplkaL Antlbiotlk oral dlberikan 6- , antlmlkroba toplkal (kllndamisin gel 1,2% min88!!. makslmal 12-18 min Gambar l .Alur Tata Laksana Akne Vulgaris



+



Berat: Diberlkan isotretlnoin oral 0,1-2 mg/kg/harl sampai dosis kumulatlf 120-ISOm~g



dapat diberikan injeksi triamnisolon asetonid intralesi. Perawatan dapat berupa chemical peeling superfisial dengan menggunakan asam glikolat 20- 70% selama 2-3 menit tiap bulan.



121



I\:ompdcnsi TV:\



• 11



••



ti



Cl)



§ ~



2. 0



....



IQ



::s0 ::s.....



a Cl)



....~ 330



Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap faktor eksogen dan/atau endogen, yang menyebabkan lesi berupa efloresensi polimorfik, berupa eritema, edema, papul, vesikel, skuama, atau likenifikasi. A. Dermatitis Kontak Definisi Dermatitis kontak adalah dermatitis yang diakibatkan oleh kontak terhadap substansi yang menempel pada kulit. Klasifikasi I . Dermatitis kontak iritan (DKO . merupakan reaksi peradangan kulit non-imunologis (tanpa sensitisasi). DK! lebih sering dihubungkan dengan pekerjaan (deterjen, bahan kimia, dll). 2. Dermatitis kontak alergi (DKA), merupakan reaksi peradangan kulit yang didahului proses sensitisasi. DKA lebih dihubungkan terhadap stigmata atopi (asma, rinitis alergi, konjungtivitis alergi). Etiologi Bahan iritan: pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu; Faktor yang berpengaruh: lama kontak, frekuensi, gesekan, trauma fisik, suhu. kelembapan. Patogenesis Bahan iritan menyebakan kerusakan lapisan tanduk melalui denaturasi keratin dan perubahan daya ikat air terhadap kulit. Selain itu, bahan iritan juga merusak membran lipid keratinosit yang menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi (fosfolipase, asam arakidonat, diasilgliserida, platelet activating factor. inositida) yang berujung kepada vasodllatasl dan penlngkatan permeabllltas vaskular. Serangkalan proses tersebut menlmbulkan gejala lnflamasl di tempat terjadlnya kontak di kullt.



Sumber Bacaan I. Menaldi SL. Bramono K. lndriatmi W. penyunting. llmu penyak it kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI: 20 14. 2. Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Panduan pelayanan medis departemen penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo: 2007.



Dermatitis Sonia Hanifati, Sri Linuwih Menaldi DKA timbul akibat reaksi imunologi tipe IV. Terdapat dua fase dalam reaksi tersebut, yaitu fase sensitisasi dan elisitasi. Gejala dapat timbul setelah pasien mengalami kedua fase tersebut. Fase sensitisasi terjadi ketika hapten melewati stratum korneum dan ditangkap sel Langerhans, kemudian dikonjugasikan dengan HLA-DR sehingga menjadi antigen lengkap. Proses-proses tersebut berjalan seiring aktivasi berbagai sitokin (IL- I , TNF a). Antigen lengkap akan dipresentasikan kepada sel T spesifik yang keberadaannya ditentukan secara genetik. Sel T spesifik akan terus berproliferasi dan menghasilkan turunan sel T memori. Se! T memori ini yang akan beredar lewat kelenjar getah bening dan menyebar ke seluruh tubuh. Inilah yang diebut sebagai sensitisasi. Proses ini berlangsung 2-3 minggu . Sementara itu, elisitasi terjadi pada saat pajanan ulang hapten atau alergen. Prosesnya sama hingga terbentuk antigen lengkap. Antigen lengkap akan dipresentasikan kepada sel T memori, kemudian terjadi aktivasi. Sel T teraktivasi ini mengeluarkan IFN T untuk aktivasi keratinosit. Keratinosit akan menghasilkan IL-I , IL-6, TNF- a dan GMCSF; semua sitokin tersebut dapat mengaktivasi sel T lebih banyak. Selain itu, terjadi pula aktivasi sel mast dan makrofag. Aktivasi sel mast akan menyebabkan vasodilatasi, aktivasi komplemen, dan kinin masuk ke dalam epidermis dan dermis, aktivasi netrofil dan monosit. Fase inilah yang disebut elisitasi. Manifestasi Klinis I. Dermatitis Kontak lritan Gejala yang timbul bergantung terhadap sifat iritan. lritan kuat menimbulkan gejala akut, iritan lemah memberikan gejala kronis. Gejala akut berupa kulit terasa pedih. panas, dan terbakar. Etloresensl bisa berupa eritema, edema, bula, dan nekrosls, biasanya berbatas tegas. Gejala kronis berupa kullt kerlng. erltema. skuama, penebalan



kulit (hiperkeratosis). dan likenifikasi difus serta



Tata Laks;;ma



fisura. 2. Dermatitis Kontak Alergi Keluhan utama adalah gatal. Keluhan lain bergantung derajat penyakit dan lokasi. Lesi akut berbentuk eritematosa batas tegas, dengan edema, papul, vesikel, bula, erosi, dan eksudasi. Lesi kronis berbentuk kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, fisur, dengan batas tidak jelas. Lokasi DKA tersering adalah tangan (mencuci, memasak), lengan, wajah (kosmetik) , telinga (anting, gagang telepon), leher (kalung, parfum). badan, genitalia, paha.



iMenghindari pajanan



Diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Uji tempel dilakukan bila ingin mengetahui bahan yang dicurigai menyebabkan DK!.



sedang, seperti hidrokoruson 2,5%



Dermatitis Kontak Ir!tan



Farmakologis



Non-farmakologis dan menggunakan alat pelindung saat



+



I



Topikal



Sistemik



bekerja



Akut: kompres asam salisilat 1%0 Subakut: krim kortikosterold potensi lemab-



Kronik: salep kortikosteroid potensi kuatTata Laksana Untuk tata laksana DKA, yang terpenting adalah upaya pencegahan atau penghindaran kontak terhadap alergen. Pemberian kortikosteroid dapat dilakukan untuk lesi akut (prednison 30 mg/ hari). Lesi basah dapat diatasi dengan kompres NaCl. Bila lesi kering, dapat diberikan kortikosteroid topikal.



sangat kuat, seperti klobetasol proplonat 0,0596, betametason dipropionat 0,05% Ringan: pelembap (salep/krlm lanolin 10%, krim urea l 0%)



Anllhistamln (AH 1) generasl pertama atau kedua



• •



B. Dermatitis Atopik Definisi Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis dan residif, biasanya terjadi selama masa bayi dan anak. Dermatitis atopik (DA) sering dihubungkan dengan peningkatan IgE dan riwayat atopi, dan cenderung diwariskan. Epidemiologi Prevalensi DA secara um um berkisar antara 10-20% pada anak, sedangkan 1-3% pada populasi dewasa. Patogenesis DA merupakan hasil perpaduan faktor genetik, respons imun kulit, respons imun sistemik, dan faktor pemicu. Kromosom tertentu pada penderita DA (diduga kromosom 5q3 l -33) menentukan ekspresi sitokin, yaitu IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF yang memegang peran penting dalam manifestasi klinis DA. Respons imun kulit penderita DA juga berbeda dibandingkan kulit normal. Jumlah T-helper 2 di kulit penderita DA lebih banyak dibandingkan kulit orang normal. Sel Langerhans penderita DA juga dapat menstimulasi sel T-helper tanpa adanya antigen, sehingga peradangan mudah terjadi. Selain respon lokal di kulit, respons sistemik DA berbeda dengan orang tanpa atopi. Pada penderita DA, sel mononuklearnya menurun, dengan jumlah IgE serum meningkat. Faktor pemicu yang dapat terlibat dalam timbul-



ITambahkan prednison 15-40mg bila lesi luas



Tambahkan antibiotik bila ada infeksi sekunder.



Dapat menggunakan amoksisilin 3x500 mg.



kllndamisin 2x300 mg selama 5-10 hari Gambar 1.Alur Tata Laksana DK!



nya gejala DA antara lain makanan (telur, susu, gandum, kedelai, kacang) , tungau debu rumah, bulu binatang, infeksi yang disebabkan bakteri kokus. Manifestasi Klinis Kulit kering; Pruritus dapat hilang timbul, dapat pula sepanjang bari, umumnya lebib gatal saat malam bari; Papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, krusta; Fase DA beserta tempat predileksinya: - Infantil (2 bulan-2 tabun): lesi di wajah (dahi, pi pi); - Anak (2-10 tabun): Ii pat siku, Ii pat lutut, pergelangan tangan fleksor, kelopak mata, leher, jarang di wajab; - Remaja, dewasa: plak papular eritematosa hingga plak likenifikasi di lipat siku, lipat lutut,



331



samping leher, dahi, sekitar mata.



Tata Laksana Tata Laksana Dermatitis Atopis



Diagnosis Diagnosis DA didasarkan 3 kriteria mayor + 3 kriteria minor dari kriteria Hanifin dan Rajka. Kriteria mayor I. Pruritus 2. Dermatitis di wajah atau ekstensor pada bayi dan anak 3. Dermatitis di fleksor pada dewasa 4. Dermatitis kronis/ residif 5. Riwayat atopi pada penderita/ keluarga



332



Kriteria minor I. Xerosis kutis 2. Infeksi kulit 3. Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki 4. Iktiosis/hiperlinier palmaris/ keratosis piliaris 5. Pitiriasis alba 6. Dermatitis di papila mammae 7. White demographism dan delayed blanch response 8. Cheilitis 9. Lipatan infraorbita Dennie-Morgan 10. Konjungtivitis berulang 1 I. Keratokonus 12. Katarak subkapsular anterior 13. Orbita gelap 14. Muka pucat/eritema 15. Gata! bila berkeringat 16. Intolerans terhadap wol/pelarut lemak 17. Aksentuasi perifolikular 18. Hipersensitif terhadap makanan 19. Perjalanan penyakit terpengaruh faktor lingkungan/emosi 20. Tes kulit alergi tipe akut positif 21. Kadar IgE serum meningkat 22. Awitan usia dini C. Neurodermatitis Sirkumsripta Sinonim: liken simpleks kronis. Definisi Radang kulit dengan gatal, kronis, sirkumskrip, disertai penebalan kulit dan likenifikasi, akibat garukan berulang karena rangsangan pruritogenik. Etiopatogenesis Pruritus merupakan penyebab utama pola reaksi kulit (prurigo nodularis dan likenifikasi). Perlu dicurigai adanya kelainan yang mendasari, seperti gaga! ginjal kronis, obstruksi saluran empedu, limfoma Hodgkin, hipertiroid, dermatitis atopik, hingga psikologis. Pruritus ditimbulkan akibat peningkatan jumlah eosinofil, calcitonin gene related peptide (C_9RP), dan substansi P. Zat tersebut menyebabkan sel mast



+



+



Non-farmakologis



Farmakologls



Edukasi pasien/keluarga



I



mengenai kronisitas penyaklt mencegah



+



~Topikal



+



Sistemik



kekambuhan,jaga kebersihan, sabun lunak, pakai;m tipis, menyerap keringat,



Sistemik antlhistamin generasi pertama



udara ventilasl baik. hindarl faktor



pencetus



antibiotik blia ada irJeksi sekunder



Toplkal Bila lesl kering: Berlkan krim kortlkosterold potensi rendah/sedang 1·2 kali per hari setelah ma.Mi Bila lesi akui/basah: kompres 1arutan asam salisilat 1%o atau PK l :l0.000, 2-3 kall seharl, selama 1-2 ) amm Krim kortikosterold potensi rendah/sedang l -2 kali per hari sete1ah mandi Gambar 2.Alur Tata Laksana Dermatitis Atopik



rentan terhadap degranulasi, sehingga mudah menimbulkan rasa gatal. Manifestasi Klinis Usia tersering 30-50 tahun, jarang terjadi pada anak. Gata! hebat, sering timbul malam hari atau waktu senggang, sulit menahan untuk tidak menggaruk. Lesi soliter, diawali plak eritematosa dengan edema, kemudian menjadi menebal, likenifikasi berskuama, ekskoriasi, hiperpigmentasi, dan batas tidak jelas. Lokasi tersering ialah kulit kepala, tengkuk, Jeher sisi lateral, ekstensor lengan, pubis, vulva, skrotum, perineum, medial paha, lutut, lateral tungkai bawah lateral, ventral pergelangan kaki, dan punggung kaki. Diagnosis Diagnosis ditegakkan secara klinis. Diagnosis Banding Liken planus, liken amiloidosis, psoriasis, atau DA.



Tata Laksana Edukasi bahwa menggaruk akan memperparah penyakit; Antihistamin generasi I atau 2; Kortikosteroid topikal potensi kuat, bila perlu ditutup bahan impermeabel; Kortikosteroid intralesi. D. Dermatitis Numularis Definisi Dermatitis numularis dicirikan dengan lesi bentuk mata uang (koin) atau agak lonjong, batas tegas, dengan papulovesikel, mudah pecah dan basah. Etiopatogenesis Patogenesis masih belumjelas, diduga melibatkan faktor-faktor berikut Infeksi stafilokokus dan mikrokokus; Dermatitis kontak; Trauma fisis dan kimiawi; Kulit penderita yang cenderung kering. Gejala Klinis Keluhan utama adalah gatal hebat. Lesi akut berbentuk vesikel/papulovesikel, kemudian berkonfluens sehingga membentuk seperti koin, eritem, edem dan batas tegas. Vesikel pecah membentuk eksudat. Lesi kronis berbentuk likenifikasi dan skuama. Jumlah lesi soliter hingga multipel, ukuran variatif dan dapat tersebar. Predileksi di tungkai bawah. badan. lengan, dan punggung tangan. Diagnosis Ditegakkan secara klinis. Diagnosis Banding Dermatitis kontak. DA, neurodermatitis sirkumsripta. dan dermatomikosis. Tata Laksana Menghindari faktor pencetus; Emolien untuk kulit kering; Kompres PK (permanganas kalium) J; 10.000 untuk lesi basah; Antibiotik sistemik bila terdapat infeksi sekunder; Pengobatan topikal menggunakan ter. glukokrtikoid, atau takrolimus; Antihistamin; E. Dermatitis Stasis Definisi Dermatitis stasis adalah dermatitis sekunder karena insufisiensi vena kronis di tungkai bawah.



Etiologi Penyebabnya adalah gangguan sistem katup pada insufisiensi vena kronis. Hal tersebut menyebabkan backflow darah dari vena profunda ke vena superfisial. Selain itu, gangguan fungsi katup dapat disebabkan oleh usia, riwayat pembedahan, atau trauma. Patogenesis Terdapat beberapa teori patogenesis dermatitis stasis: I . Teori hipoksia/stasis menyebutkan bahwa berkurangnya perfusi oksigen merupakan faktor utama. Sistem vena yang inkompeten menyebabkan pengumpulan darah di vena superfisial sehingga menurunkan aliran dan tekanan oksigen di kapiler dermis. 2. Teori nbrin cuffs. Peningkatan tekanan hidrostatik vena hingga ke sirkulasi dermal menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Hal itu menyebabkan makromolekul seperti fibrinogen dapat keluar dari kapiler ke jaringan. Selanjutnya, polimerisasi fibrinogen menjadi fibrin berakibat pada pembentukan selubung fibrin (fibrin cuff) di sekitar kapiler dermis sehingga menghalangi difusi oksigen. yang berujung pada hipoksia jaringan dan kerusakan sel. Manifestasi Klinis • Adanya pelebaran vena, varises, dan edema di tungkai bawah; Kulit merah kehitaman dan purpura; Kelainan mulai dari medial atau lateral tungkai bawah di atas maleolus, meluas ke bawah lutut dan punggung kaki; Terdapat perubahan eksematisasi (eritem, skuama, eksudasi, gatal) ; Lesi kronis: fibrotik, tebal. meliputi tungkai sepertiga bawah seperti botol terbalik, disebut lipodermatosklerosis; Komplikasi: ulkus varikosum. selulitis. Diagnosis Diagnosis ditegakkan secara klinis. Diagnosis Banding Dermatitis kontak dan numularis. Tata Laksana Posisikan tungkai lebih tinggi saat tidur dan duduk (15-20 cm di atas permukaan jantung); Menggunakan kaos kaki penyangga varises atau pembalut elastis, bila lesi basah dikompres; Lesi kering diberi kortikosteroid topikal potensi ringan hingga sedang; • Antibiotik bila terdapat infeksi sekunder.



.....



(I)



~ .....s:: s:: 0 s::



333



2.



Sumber Bacaan



RSUPN Dr. Cipro Mangunkusumo. Panduan pelayanan me-



penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Pe-



dis departemen penyakil kulit dan kelamin. Jakarta: RSUPN



nerbit FKUI: 20 14.



Dr. Cipro Mangunkusumo: 2007.



122 • Kompetcnsi illA



11



•• Dermatosis eritroskuamosa merupakan kelompok penyakit yang ditandai dengan adanya eritema dan skuama.



t1 (I)



s ~



!2. 0



....



IQ



::s 0 ::s



.....



a (I)



:>;'



....



(I)



334



Departemen llmu Kesehata n Kulit dan Kelamin FKUI/



I. Menaldi SL. Bramono K. lndriatmi W. penyuming. llmu



A. Psoriasis Definisi Psoriasis merupakan penyakit autoimun, kronis. residif, yang ditandai dengan bercak-bercak eritema berbatas tegas, dengan skuama transparan berlapis. Penyakit ini juga diawali adanya fenomena tetesan Jilin. Auspitz dan Kohner. Etiopatogenesis Faktor genetik: risiko seseorang menderita psoriasis meningkat hingga sekitar 30% bila salah satu orang tuanya mengalami psoriasis; Faktor imunologik: kelainan genetik yang diterima, diekspresikan dalam defek sel limfosit T, antigen presenting cell (APC), atau keratinosit. Kelainan tersebut pada akhirnya menyebabkan turn over proses pembentukan epidermis yangjauh lebih cepat pada penderita psoriasis (3-4 hari), sementara pada orang normal membutuhkan 27 hari; Autoimun: sebagian besar penderita psoriasis membaik dengan pengobatan imunosupresan; Faktor pencetus: stres, infeksi, trauma, endokrin, metabolik, obat, alkohol, rokok. Manifestasi Klinis Gata! ringan; Predileksi: kulit kepala, perbatasan kulit kepala-wajah, ekstremitas ekstensor (siku dan lutut) , lumbosakral; Plak eritematosa dengan skuama di atasnya, berbatas tegas; Skuama berlapis, kasar. putih seperti mika, dan trans par an; Besar lesi bervariasi dari lentikular hingga plakat; Fenomena tetesan lilin: skuama berubah menjadi warna putih setelah digores dengan menggunakan tepi kaca objek (seperti Jilin digores) ; Fenomena Auspitz: titik-titik serum/perdarahan setelah pengerokan perlahan dengan tepi kaca



Dermatosis Eritroskuamosa Sonia Hanifati. Sri Linuwih Menaldi gelas objek; Fenomena K6bner: kelainan yang sama dengan psoriasis, muncul di tempat dengan riwayat trauma sebelumnya; Pitting nail; Diagnosis Ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan: Histopatologi; SCOT, SGPT. GGT; ASTO (hanya untuk psoriasis gutata): Pola lipid; Ureum/ kreatinin; Tata Laksana Berdasarkan Psoriasis treatment ladder. terdapat tiga tahap pengobatan psoriasis: topikal, fototerapi dan sistemik; Pasien dapat diberikan penanganan awal dengan pemberian obat topikal, seperti emolien, biakan keratolitik, kortikosteroid topikal, tar, antralin, calcipotriol, atau tazarotene; Dirujuk ke spesialis kulit untuk penanganan lebih lanjut.



B. Dermatitis Seboroik Definisi Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit yang didasari faktor konstitusi dan memiliki predileksi di daerah seboroik. Penyakit ini sering dihubungkan dengan peningkatan produksi sebum. Patogenesis Status seboroik (diturunkan); Pertumbuhan Pityrosporum ovale belebihan, sel dan hasil metabolitnya menyebabkan inflamasi; Kelenjar sebasea lebih aktif. Manifestasi K.linis Eritema dan skuama berminyak, agak kekuningan, batas difus;



Bentuk ringan: skuama halus-kasar, bercak eritema di kepala. sering pula disebut pitiriasis sika (ketombe dan dandru fl) ; Pitiriasis steatoides: bentuk skuama berminyak; Rambut mudah rontok; Bentuk berat: bercak berskuama, berminyak. eksudasi, krusta tebal; Sangat berat: krusta kotor menutupi seluruh kepala, bau tidak sedap. Pada bayi disebut cradle cap: Daerah predileksi lain: supra-orbita. liang telinga luar. Ii pa tan nasolabial. sternal, areola mammae, lipatan bawah mammae; Eritroderma. Leiner disease;



Tata Laksana Tata Laksana Dermatitis Seboroik



Non-farmakologis Hindari obat pemicu dermatitis like lesion, seperti metUdopa, simetidln, neuroleptik. hindarl stress



Farmakologis



Diagnosis Diagnosis ditegakkan secara klinis, pemeriksaan penunjang (histopatologi) dilakukan bila terdapat diagnosis banding.



Bayi • Pelepasan skuama dan krusta: asam salisllat 3-5% dalam oleum olivarum



C. Pitiriasis Rosea



• Krim/lotio hldrokortison 1% • Sampo antljamur (imidazol)



Definisi Pitiriasis rosea adalah erupsi kulit akut yang dapat sembuh sendiri, dimulai dengan lesi inisial (mother patch) eritema berskuama halus, diikuti munculnya lesi-lesi kecil generalisata di badan, lengan dan tungkai atas. Lesi biasanya tersusun sesuai lipatan kulit.



Bila lesi kering: Berikan krim kortikosteroid potensi rendah/sedang 1-2 kall per hari setelah mandi



Etiologi Penyebab penyakit ini masih belum jelas. diduga disebabkan virus karena bersifat swasirna dalam 3-8 minggu.



Bila lesl akut/basah: • Kompres larutan asam sallsllat I %o atau PK l: 10.000, 2-3 kali sehari. selama 1-2 jam • Krim kortikosteroid potensl rendah/sedang 1-2 kall per hari setelah mandi



Patogenesis Patogenesis pitiriasis rosea belum diketahui dengan pasti. Dihubungkan dengan infeksi virus dan infeksi saluran napas atas.



335 Dewasa • Sampo selenium sulfida 1-2.5%, imidazol. atau zinc pirlton



Manifestasi Klinis Gata! ringan; • Herald patch: lesi pertama di bad an. oval. so liter. diameter sekitar 3 cm. disertai eritema dengan skuama halus di tepi: Lesi berikutnya muncul dalam 4-10 hari. timbul sejajar kosta (seperti pohon cemara terbalik); Tata Laksana Pengobatan simtomatis dengan antihistamin: Topikal: bedak asam salisilat dengan mental 0,51%; D. Eritroderma Definisi Eritroderma adalah eritema universalis yang biasanya disertai skuama. Etiologi Alergi obat;



• Pelepasan skuama dengan krim asam salisilat/kortikosteroid digunakan pada malam hari Cambar 3.Alur Tata Laksana Dermatitis Seboroik



• •



Perluasan penyakit kulit; Penyakit sistemik dan keganasan.



Patogenesis dan Patofisiologi Terjadinya eritroderma diduga akibat suatu proses dalam tubuh yang menyebabkan reaksi pelebaran pembuluh darah kapiler secara universal. Akibat vasodilatasi tersebut terjadi peningkatan kehilangan panas (hipermetabolisme) yang menyebabkan hipotermia dan dehidrasi. Kehilangan skuama berlebih juga dapat menimbulkan hipoproteinemia.



Manifestasi Klinis Gejala berupa eritroderma universalis (90-100% permukaan kulit). I. Golongan I: akibat alergi obat, biasanya s istemik. Awitan biasanya segera hingga 2 minggu. 2. Golongan II: akibat perluasan penyakit kulit, misal dermatitis seboroik pada bayi (Leiner disease), psoriasis. 3. Golongan llI: akibat penyakit sistemik, bukan karena golongan I atau II. Tata Laksana Tata laksana eritroderma dilakukan berdasarkan penyebabnya. Secara umum, tata laksana sistemik diberikan kortikosteroid yang setara dengan prednison



123 • Kompcti:nsi IVA



-



Sumber Bacaan I.



Menaldi SL. Bramono K. lndriatmi W. penyunting. llmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Pe-



2.



Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/



nerbit FKUI: 20 14. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Panduan pelayanan medis departemen penya kit kulit dan kelamin. Jakarta: RSUPN Dr. Cipro Mangunkusumo: 2007.



Erupsi Obat Alergik



••



Definisi Erupsi obat alergik merupakan reaksi alergi yang terjadi di kulit atau mukokutan akibat pemberian obat (biasanya obat sistemik).



336



I 0 mg 4 kali/hari. Dapat pula diberikan emolien (krim urea 10% atau salap lanolin 10%). Pada golongan I, pemberian obat tersangka pencetus alergi harus dihentikan. Pada golongan II, kortikosteroid dapat ditingkatkan hingga setara prednison 15 mg 4 kali/ hari.



Etiologi Obat yang sering menimbulkan reaksi alergi adalah penisilin, ampisilin. amoksisilin, kloksasilin, analgetik-antipiretik (asam salisilat, metamizol, metampiron), dan sulfonamid. Patogenesis Erupsi obat alergik merupakan reaksi kulit terhadap obat melalui jalur imunologik, jadi penderita sudah memiliki hipersensitivitas terhadap obat. Biasanya obat tersebut awalnya berperan sebagai hapten (antigen yang tidak lengkap). Hapten tersebut harus bergabung dengan protein pembawa tertentu untuk menimbulkan reaksi dari limfosit T dan limfosit B sehingga terbentuk antibodi terhadap obat atau metabolitnya (lihat Bab Hipersensitivitas di Jilid Q. Klasifikasi Berdasarkan reaksi hipersensitivitasnya, erupsi obat alergik dibagi menjadi 4 macam: I. Tipe I Merupakan reaksi cepat atau anafilaktik. Tipe I ini paling sering dijumpai. Antibodi yang terbentuk adalah IgE dengan afinitas tinggi terhadap sel mast dan basofil. Degranulasi sel mast dan basofil akan menimbulkan pelepasan mediator (histamin, serotonin, bradikinin, dan sebagainya)



Sonia Hanifati, Sri Linuwih Menaldi yang menyebabkan gejala berupa urtikaria dan angioedema, hingga syok anafilaktik. Contoh obat: penisilin. 2. Tipe II Merupakan reaksi sitostatik. Antibodi yang terbentuk adalah IgG dan lgM di permukaan sel. Akibat penggabungan keduanya yang diperantarai komplemen, dapat terjadi pemecahan sel sasaran (sitolitik/sitotoksik) . Sel sasaran yang sering adalah eritrosit, leukosit. dan trombosit. 3. Tipe Ill Merupakan reaksi kompleks imun. Kompleks tersebut terdiri atas antigen-antibodi dengan perantara komplemen. Kompleks imun akan berdeposit di jaringan, seperti di ginjal. 4. Tipe IV Merupakan reaksi seluler atau reaksi tipe lambat. Reaksi tersebut melibatkan limfosit. APC, dan sel Langerhans. Limfosit T yang tersensitisasi akan menimbulkan reaksi terhadap antigen. Reaksi berlangsung 12-48 jam setelah paparan. Contoh: dermatitis kontak alergik. Manifestasi Klinis Erupsi makulopapular I morbiliformis; Urtikaria dan angioedema: • Fixed drug eruption; Eritroderma; Purpura: Vaskulitis: Reaksi fotoalergik ; • Acute generalized exanthematous pustulosis.



Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis. perlu dilakukan anamnesis tentang obat yang dikonsumsi, riwayat minum jamu-jamuan, kelainan yang timbul beserta awitan, rasa gatal, dan demam. Untuk mengetahui penyebab alergi, dapat dilakukan uji tempel, uji tusuk kulit, maupun uji provokasi.



Antihistamin, seperti klorfeniramin maleat 4 mg 3 kali/hari, atau setirizin 10 mg 1 kali/hari; Topikal: bila Jesi kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah mental \12 - 1%. Pada lesi basah, dapat diberikan kompres asam salisilat 1%o. Sumber Bacaan I. Menaldi SL. Sramono K. lnd riatmi W. penyunting. llmu



Tata Laksana Menghentikan obat yang dicurigai menimbulkan alergi; Kortikosteroid sistemik setara prednison 10 mg 3 kali/ hari, pada eritroderma dapat diberikan hingga 10 mg 4 kali/hari;



124 KompetensiUI



penyakit kulit dan kelamin. Ed is i ke-7. Jaka rta: Sadan Penerbit FKUI: 2014. 2.



RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pa ndu a n pelaya nan medis departemen penyakit kulit dan kelam in. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo: 2007.



Prurigo



•• •



....



Sonia Hanifati, Sri Linuwih Menaldi



Prurigo merupakan erupsi papular kronis dan rekuren. Bentuk paling sering adalah prurigo Hebra, kemudian prurigo nodularis. A. Prurigo Hebra Definisi Prurigo Hebra adalah penyakit kulit kronis yang dimulai sejak bayi atau anak. Kelainannya berupa papul miliar berbentuk kubah yang sangat gatal, lebih mudah diraba dibanding dilihat, dan ditemukan terutama di bagian ekstensor ekstremitas. Etiopatogenesis Penyakit ini belum jelas penyebabnya. Ada beberapa faktor yang diduga terkait penyakit ini, yaitu herediter, gigitan serangga, suhu, parasit dan atopi. Gejala Klinis Sering ditemukan pada anak usia > 1 tahun; Papul miliar tidak berwarna, berbentuk kubah, lebih mudah diraba dibandingkan dilihat; Lesi akibat garukan: erosi, ekskoriasi, krusta, hiperpigmentasi, likenifikasi; Predileksi: ekstensor ekstremitas, simetris, dapat meluas ke bokong perut, dan wajah; Kelenjar getah bening biasanya tidak membesar.



Anithistamin (CTM 4mg 3 kali/hari atau setirizin 10 mg 1 kali/ hari} ; Antibiotik bila ada infeksi sekunder; Kortikosteroid topikal. B. Prurigo Nodularis Epidemiologi Berbeda dengan prurigo Hebra, prurigo nodularis biasanya dijumpai pada orang dewasa. Penyakit ini ditandai dengan nodus gatal di ekstensor ekstremitas. Manifestasi Klinis Nodus soliter/multipel. ukuran sebesar kacang polong/ lebih besar. keras, merah/ kecoklatan, dan dapat berubah menjadi verukosa atau fisura. Tata Laksana Kortikosteroid topikal potensi kuat sebanyak 2 kali/ hari (salap betametason propionat 0,05%, salap klobetasol propionat 0 ,05%); Rujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin. Sumber Bacaan 1. Menaldi SL. Sramono K. Indriatmi W. penyunting. llmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Sadan Penerbit FKUI: 2014. 2.



Tata Laksana Menghindari gigitan serangga/nyamuk; Higiene pribadi;



Departemen llmu Kese hatan Kulit da n Kelamin FKUI/



Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Panduan pelayanan medis departemen penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo: 2007.



(I)



~ i::: ......



337



Tumor Ganas Kulit Sonia Hanifati, Sri Linuwih Menaldi



Tabel l.Perbandinga n Kars inoma Sel Basal. Karsinoma Sel Sku amosa. dan Melanoma Malignum KSB Asal tumor



Etiologi/ predisposisi



0



Gej ala



t'D



'"'(



s~



-



KSS



MM



Sel epidermis dari berbagai tingkat



Sel epidermal plu ripoten



matu ritas



Radias!. bahan klmia (arsen).



Sinar matahari. ras (kulit putih) ,



pekerjaan terpapar sinar mata hari.



genetik. arsen inorganik, radlasi,



riwayat trauma



hidrokarbon



Iritasi berulang tahi lalat (nevus pigmentosus)



Daerah berambut



Usia 40-50 tahun



lnvas if



Laki-laki



Jarang bermetastasis



Tungkai bawah»



badan > ke pala/leher >



lnfiltratif (merusak jarin ga n



Penumbuhan lambat



ekstremitas atas



sekitar)



Jarang bermetastas is



Res idif



Meru sakjaringan se ki ta r



0 0



Ekstremitas bawah >



>



kuku



Superfisial



.....



IQ



Bercak, ukuran berva-



Nodulus (ulkus rodens) awalnya



::s 0 ::s ..... ::s



rlas!. warna bervarlasi



berwarna seperti kulit normal/ kutil. Kemudian menjadi khas:



....t'D



tidak berarnbut_ warna coklat/



.....



papular, meninggi. DI bagian



hitarn. tidak



::-;' (/)



Bentuk kllnis



338



berkila~



tepinya



tengah menjadl cekung yang blsa menjadl ulkus, disebut ulkus rodens. Mudah berdarah dengan trauma ringan. Kistik Superfisial



(putih. waxy, kehitaman. lntraepidermal



coklat. blru). tidak tera-



Tumbuh larnbat



tur. batas tegas, sedikit



lnvasif



penonjolan di atas kulit



Awalnya nodus permukaan



Nodular



seperti kulit normal: verukosa/



Nodus blru kehitaman



papiloma



berbatas tegas



Biasanya bertarnbah keras dan



Lentigo malignum mel-



sulit digerakkan dari dasar.



anoma



Dapat terjadi ulserasi.



Orang tua Agak luas di muka



Morfea



Plakat berbatas tegas. berwarna coklat kehitaman tidak homogen



Contoh gambar MM di tungkai atas (metastasis) Ulkus rodens



KSS di kuli t kepala



Sumber: dermis.net



Sumber: dermis.net



Keterangan: KSB, karsinoma sel basal: KSS. karsinoma sel skuamosa: MM. melanoma malignum.



Sumber: derm is.net



Definisi Tumor ganas kulit merupakan tumor yang dari segi histopatologik terdiri atas kumpulan sel ganas (inti polimorfik). Biasanya pertumbuhan tumor ini cepat dan didapatkan gambaran mitosis abnormal. Jenis tumor kulit yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel basal (KSB). karsinoma sel skuamosa (KSS), dan melanoma malignum (MM) . Etiopatogenesis Etiologi kanker diduga dipengaruhi dua faktor, yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang dimaksud adalah genetik. imunologi, ras dan jenis kelamin. Sementara itu, faktor eksogen yang dimaksud adalah bahan karsinogen, virus, sinar ultraviolet, dan radiasi. Tumor kulit akibat virus dengan inti DNA akan menyebabkan tumor jinak. sedangkan inti RNA menyebabkan tumor ganas. Sinar UV merangsang pertumbuhan kanker. DNA sel kulit paling banyak menyerap sinar UV bergelombang 290 nm atau UV-B. sehingga UV-B dikatakan paling sering berhubungan dengan kanker kulit. Radiasi paling erat dikaitkan de-



ngan KSS. Sinar X dan radium sering menyebabkan kanker kulit. Kerusakan kulit akibat radiasi mirip dengan kerusakan akibat sinar UV. Diagnosis Dari anamnesis dapat digali adanya. benjolan, gatal/nyeri, warna (pucat, gelap), ukuran membesar, pelebaran tidak merata, permukaan tidak rata, trauma, perdarahan/ mudah berdarah, luka/ infeksi sulit sembuh. Tata Laksana Rujuk ke dokter spesialis kulit atau bedah tumor Sumber Bacaan I. Menaldi SL. Bramono K. lndriatmi W. penyunting. llmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Sadan Penerbit FKUI: 20 14. 2.



Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Panduan pelayanan medis departemen penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo: 2007.



-~



.....s::



Tumor Jinak Kulit



s::0 ....s::



t>' 0



0



':d



Sonia Hanifati. Sri Linuwih Menaldi



5



Q)



A. Keratosis Seboroik Definisi Keratosis seboroik merupakan tumor jinak yang paling sering ditemukan pada usia tua. Penyakit ini berasal dari proliferasi sel-sel epidermal dan tampilan klinisnya bervariasi. Etiologi Etiologi penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Namun, tampakan histologi menunjukkan proliferasi berlebih sel epidermal. Peningkatan replikasi sel terbukti dari studi inkorporasi bromodeoxyuridine dan imunohistokimia untuk antigen-antigen yang berperan dalam proliferasi. Patofisiologi



Epidermal growth factors dan reseptornya berperan dalam patofisiologi penyakit ini. Selain itu, ditemukan pula ekspresi gen BCLZ (onkogen supresor apoptosis) yang rendah pada pasien keratosis seboroik. Keratosis seboroik memiliki derajat pigmentasi yang bervariasi. Keratinosit yang berproliferasi memicu aktivasi melanosit sekitar untuk mensekresi melanocyte-stimulating cytokine. Pigmentasi ini juga



dipengaruhi endotelin-1 yang berperan dalam melanisasi kulit manusia. Manifestasi Klinis Biasanya asimtomatis, namun sering dikeluhkan adanya gangguan secara kosmetik; Dapat disertai gatal; Awalnya berupa satu makula datar, coklat muda, berbatas jelas, kemudian menjadi lebih verukosa; Warna dapat berubah menjadi variatif, mulai dari merah muda hingga coklat atau hitam; Lesi yang berpigmen penuh, biasanya tidak memantulkan cahaya {suram). Di permukaannya, dapat ditemukan skuama yang berminyak; Membesar secara lambat (penambahan ketebalan lesi atau adanya lesi baru); Dapat terjadi di hampir seluruh tubuh, kecuali telapak tangan, kulit. dan mukosa. Tata Laksana Rujuk ke spesialis kulit dan kelamin untuk dilakukan krioterapi, kuretase, shave biopsy, atau eksisi (dengan kulit kepalael. laser, atau dermabrasi).



Cl 339



Klasifikasi Tabel l.Klasifikasi Nevus Pigmentosus Jenis



Junctional



Compound



Lrtak



Lrsi



Warna



Dermalepidermal junction



Makula. atau



Tan. coklat.



(membran



peninggian



basalis da ri epidermis)



sedikit



Invasi ke papilla de mi is



Papul, nodu l kecil



coklat tua. hi tam



.... ::i



~



en .....



340



lntradermal



Bulat I oval. tepi reguler



Coklat tua, kadang hiam



Ku bah. pennukaa n halus/



cobblestone, batas tegas, tepi reguler



Papul. nodu l



SC'haran



Ukuran



Lain-lain



Biasanya l cm Diskret



kongenital. atipikal. atau melanoma



Sewarna kulit.



Dermal



B£'ntuk



ta n. coklat. Sering disertai telangiektasia



B. Nevus Pigmentosus Definisi Nevus pigmentosus (nevomelanocytic nevi, tahi lalat) merupakan tumor jinak yang sangat sering ditemukan. Bentuknya berupa makula, papul, atau nodul berpigmen yang berukuran kecil (biasanya < 1 cm). berbatas tegas. Etiologi Terjadinya nevus pigmentosus dapat berhubungan dengan berbagai faktor, di antaranya ras, keturunan. dan pajanan sinar matahari.



Manifestasi Klinis Biasanya nevus pigmentosus bersifat asimtomatis, dapat tumbuh disertai rasa gatal. Jika lesi menjadi gatal persisten, maka harus diperhatikan atau dieksisi karena keluhan tersebut merupakan tanda awal keganasan. Tata Laksana Pasien dengan nevus pigmentosus dirujuk ke spesialis kulit dan kelamin untuk mendapatkan tata laksana definiti f. Indikasi Pengangkatan Lesi di kulit kepala. mukosa, anogenital (sulit dipantau); Tumbuh cepat; Warna bervariasi; Tepi ireguler;



Biasanya !cm kongenital, atipikal. atau



Bisa berambut



melanoma



Bu lat, kuba h, permukaan halus



diameter < l cm



Erosi di lesi tanpa trauma mayor; Gata! persisten, sakit, berdarah; Dermoskopi: melanoma atau displastik; C. Syringoma Syringoma adalah adenoma jinak dari duktus ekrin. Syringoma biasanya berupa papul, sewarna kulit atau kuning, dan berukuran 1-2 mm. Tumor ini sering dijumpai pada perempuan, biasanya awitan pada pubertas. Syringoma lebih sering ditemukan multipel dan berada di daerah periorbital (inferior). Biasanya ditemukan simetris. Tata Laksana Rujuk ke Spesialis Kulit dan Kelamin untuk bedah elektro. D. Skar Hipertrofik dan Keloid Skar hipertrofik dan keloid merupakan jaringan fibrotik hasil proses penyembuhan. setelah terjadinya jejas di kulit. Skar hipertrofik hanya sebatas jejas awal sedangkan keloid meluas lebih dari jejas awal. Manifestasi Klinis Gata!, kadang nyeri; Lesi berupa papul hingga nodul; Sewarna kulit, merah, atau kebiruan; Biasanya di daun telinga, bahu, punggung atas. dada. Tata Laksana Pasien dirujuk ke spesialis kulit dan kelamin untuk



mendapatkan tata laksana sebagai berikut: lnjeksi glukokortikoid intralesi; Eksisi; Krim silikon atau gel sheet. Sumber Bacaan l.



Wolff K. Jo hnson RA. Saavedra AP. penyu nting. Fitzpatrick·s color atlas & synopsis of clinical dermatology. Edisi



ke-7. Si ngapura: Elsevier Saunders: 2013. 2. Menaldi SL. Bramono K, lndriatmi W. penyunting. llmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI: 2014. 3. Departemen llmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/ RSUPN Dr. Cipto Mangun kusumo. Panduan pelayanan medis departemen penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo: 2007.



127 • Kompetensi IVA



Gonore



11



•• Definisi Gonore merupakan semua penyakit yang disebabkan oleh infeksi Neisseria gonorrhoeae. Diplokokus Gram negatif ini ditularkan melalui kontak genitogenital, orogenital, anogenital, maupun alat-alat yang dipakai bersama. Masa inkubasi N. gonorrhoeae pada laki-laki umumnya 3-5 hari, sedangkan pada perempuan sulit ditentukan karena umumnya asimtomatis. Kelainan yang timbul dibedakan menjadi gonore genital dan gonore ekstragenital. Klasifikasi Gonore Genitalis A. Laki-laki l. Uretritis Definisi: Radang pada uretra. Patogenesis: Perjalanan penyakit dimulai dari uretritis anterior akut yang menuju ke proksimal kemudian menimbulkan komplikasi lokal. Setelah itu , naik secara asendens yang akhirnya akan menyebar secara diseminata. Manifestasi Klinis: Gata! dan panas sekitar orifisium uretra eksterna, disuria, polakisuria, duh tubuh uretra kadang disertai darah, dan nyeri saat ereksi. Pemeriksaan fisis menunjukkan orifisium uretra eksterna eritematosa, edematosa, dan ektropion. Didapatkan pula sekret uretra yang mukopurulen/ purulen, serta pembesaran kelenjar getah bening inguinal uni/ bilateral. 2. Tysonitis Definisi: Radang pada kelenjar Tyson yang menghasilkan smegma. Faktor risiko Pada orang dengan prepusium yang sangat panjang atau kurang higienis.



Risca Marcelena, Sri Linuwih Menaldi



3.



4.



5.



6.



Manifestasi Klinis Pada duktus tertutup. akan timbul abses yang menjadi sumber infeksi laten. Pada pemeriksaan fisis , didapatkan butir pus/ pembengkakan pada daerah frenulum , serta terdapat nyeri tekan. Parauretritis Faktor risiko: Pada orang dengan orifisium uretra eksternum terbuka atau hipospadia. Manifestasi Klinis: Pada pemeriksaan fisis, didapatkan butir pus pada kedua muara parauretra. Littritis Definisi: Radang kelenjar Littre yang jika disertai sumbatan saluran akan memicu abses folikuler. Manifestasi Klinis: Abses folikul er dan ditemukan benangbenang/ butiran pada urine. Pemeriksaan penunjang: Uretroskopi Cowperitis Definisi: Radang pada duktus atau kelenjar Cowper. Manifestasi Klinis: Infeksi pada duktus biasanya asimtomatis, sedangkan infeksi pada kelenjar Cowper menimbulkan abses. Pada anamnesis, pasien mengeluh nyeri, rasa penuh, panas, nyeri defekasi, dan disuria. Pada pemeriksaan fisis, ditemukan benjolan pada perineum. Komplikasi: Apabila tidak diobati, abses akan pecah melalui kulit perineum, uretra, dan rektum (menimbulkan proktitis). Prostatitis Definisi: Radang pada kelenjar prostat.



.....



II)



..!>'.



Q)



1: ...... 341



5'



....~



342



Klasifikasi: a. Prostatitis Akut Manifestasi Klinis : Rasa tidak nyaman pada perineum dan suprapubik, malaise, demam, disuria. hematuria, spasme otot uretra hingga retensi urine, tenesmus ani, dan sulit buang air besar hingga obstipasi. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, serta nyeri tekan dan fluktuasi jika ada abses. b. Prostatitis Kronis Manifestasi Klinis: Gejala ringan-intermiten, kadang kala menetap berupa rasa tidak nyaman pada perineum bagian dalam. Pada pemeriksaan fisis. didapatkan perabaan prostat kenyal berupa nodus. serta terdapat sedikit nyeri tekan. 7. Vesikulitis Definisi: Radang akut pada vesikula seminalis dan duktus ejakulatorius, dapat menyertai prostatitis atau epididimitis akut. Manifestasi Klinis: Demam, polakisuria, hematuria terminal, nyeri saat ereksi/ejakulasi, sperma mengandung darah. Pada colok dubur, dapat teraba pembengkakan vesikula seminalis yang keras seperti sosis dan memanjang di atas prostat, kadang sulit menentukan batas pembesaran kelenjar pros tat. 8. Vasa deferentitis (funikulitis) Definisi: Radang pada vasa deferens. Manifestasi Klinis: Pasien sering mengeluh nyeri abdomen bawah ipsilateral sisi yang terkena. 9. Epididimitis Faktor risiko: Pada orang dengan trauma uretra posterior yang salah penanganan/kelalaian, misalnya irigasi terlalu sering. cairan irigator terlalu panas/pekat. intrumentasi kasar, pengurutan prostat berlebihan, maupun aktivitas seksual/ jasmani berlebihan. Manifestasi Klinis: Epididimitis akut unilateral, sering disertai funikulitis. Jika bilateral, dapat terjadi sterilitas. Pada pemeriksaan fisis . didapatkan pembengkakan pada epididimis dan tali spermatika sehingga tampak seperti hidrokel sekunder dengan rasa panas dan nyeri tekan. 10. Trigonitis Definisi : Infeksi asendens dari uretra posterior yang



mengenai trigonum vesika urinaria. Manifestasi Klinis: Poliuria, disuria terminal, hematuria. B. Perempuan 1. Uretritis Manifestasi Klinis: Pada anamnesis, didapatkan gejala disuria, dan poliuria. Pemeriksaan fisis menunjukkan orifisium uretra eksternum berwarna eritematosa, edematosa. Sekret endoserviks mukopurulen. serta endoserviks mudah berdarah. 2. Parauretritis/skenitis 3. Servisitis Manifestasi Klinis: Pada anamnesis biasanya asimtomatis atau nyeri punggung bawah. Pada pemeriksaan fisis, ditemukan serviks eritematosa dengan erosi, serta sekret yang bersifat mukopurulen. 4. Bartolinitis Definisi: Radang pada kelenjar bartolin. Manifestasi Klinis: Pasien mengalami nyeri hebat pada area labia minora saat berjalan. Pasien juga mengaku sukar duduk. Pada pemeriksaan fisis. didapatkan labium mayor ipsilateral eritematosa, edematosa, dan nyeri apabila ditekan, kelenjar Bartholin membengkak, serta abses jika saluran kelenjar tersumbat. 5. Salpingitis Definisi: Radang akut, subakut, atau kronis dengan faktor predisposisi: masa nifas, dilatasi pascakuretase, dan pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim. Patogenesis: Infeks i asendens dari serviks --> tuba Fallopii --> salping --> ovarium --> penyakit radang panggul (PRP). Manifestasi Klinis: Nyeri abdomen bawah, duh tubuh vagina, disuria, menstruasi abnormal/ireguler. Pemeriksaan Penunjang: Pungsi kavum Douglasi dilanjutkan biakan Laparoskopi mikroorganisme. Gonore ekstragenital 1. Proktitis Cara Penularan : Pada perempuan, akibat kontaminasi vagina maupun hubungan genitoanal. Pada laki-laki, akibat hubungan genitoanal. Manifestasi Klinis: Pada umumnya asimtomatis. Jika simtomatis, biasanya gejala pada perempuan lebih ringan, misal-



nya rasa panas pada anus. Pada pemeriksaan fisis , didapatkan mukosa eritematosa, edematosa, serta sekret mukopurulen. 2. Orofaringitis Cara Penularan: Penyakit ini menular melalui hubungan orogenital. Manifestasi Klinis: Lebih sering faringitis dan tonsilitis gonore dibandingkan stomatitis, gingivitis, atau laringitis. Penyakit ini bersifat asimtomatis atau menyerupai infeksi akibat bakteri lain. Pada pemeriksaan fisis , ditemukan sekret mukopurulen pada orofaring. 3. Konjungtivitis Cara Penularan: Pada bayi baru lahir dari ibu dengan servisitis gonore, orang dewasa yang tertular lewat tangan atau alat. Manifestasi Klinis: Fotofobia, konjungtiva bengkak dan merah, sekret mukopurulen. Komplikasi: Ulkus kornea, panoftalmitis, kebutaan. 4. Gonore diseminata Manifestasi Klinis: Seki tar 1% kasus gonore, terutama yang asimtomatis pada perempuan, berlanjut menjadi gonore diseminata. Dapat berupa artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis, atau dermatitis. Beberapa galur yang telah mengalami resistansi: N. gonorrhoeae penghasil penisilinase (NGPP) --> sulit diobati dengan penisilin dan derivatnya Tetra cycline resistant N. gonorrhoeae (TRNG) Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisis, serta 5 tahap pemeriksaan penunjang. 1. Sediaan langsung Bahan: duh tubuh laki-laki (daerah fossa navikularis), perempuan (uretra, muara kelenjar Bartholin, serviks, rektum). Pewarnaan Gram: diplokokus Gram negatif intraseluler dan ekstraseluler leukosit polimorfonuklear. 2. Biakan, memakai dua macam media: Media transpor: Stuart, Transgrow. Media pertumbuhan: agar cokelat Mc Lead, agar Thayer-Martin, atau agar Thayer-Martin modifikasi. 3. Tes definitif Tes oksidasi: tambahkan reagen oksidasi (larutan tetrametil-p-fenilendiamin hidroklorida 1%) pada koloni gonokokus tersangka. Warna bening berubah menjadi merah muda-lembayung menandakan positif.



Tabel l.Hasil Pembacaan Urine pada Tes Thomson Gelas I



(, .. Jas II



M.tkna



Jernih



Jernih



Tidak ada infeksi



Keruh



Jemlh



Uretritls anterior



Keruh



Keruh



Panuretritis



Jernlh



Keruh



Tidal< mungkin



Tes fermentasi: tambahkan koloni gonokokus pada larutan glukosa, maltosa, dan sukrosa. Perubahan warna hanya ditemukan pada glukosa karena gonokokus hanya meragikan glukosa. 4. Tes beta laktamase: Memakai cefinase TM disc. BBL 961192 yang mengandung sefalosporin kromogenik. Jika kuman mengandung enzim beta laktamase, warna akan berubah dari kuning menjadi merah. 5. Tes Thomson Pengambilan urine dilakukan dengan syarat: Urine dalam kandung kemih minimal 80 mL, Sebaiknya setelah bangun pagi, Urine dibagi dalam 2 gelas, Tidak boleh menahan miksi dari gelas I ke gelas II. Tata Laksana Tata Laksana Non Farmakologi Konseling: mengenai penyakit, cara penularan, komplikasi, pentingnya mengobati pasangan seksuaJ, risiko tertular penyakit lain (HIV, hepatitis B, hepatitis C, infeksi menular seksual lain). Periksa dan obati pasangan seksual pasien. Abstinensia hingga terbukti sembuh dari pemeriksaan laboratorium. Jika terpaksa, gunakan kondom. Kunjungan ulang pada hari ke-3 dan ke-8. Tata Laksana Farmakologi 1. Terai;>i gonore untuk daerah dengan insidens NGPP tinggi berdasarkan CDC: Seftriakson 250 mg IM + azitromisin 1 g dosis tunggal selama 7 hari - Atau seftriakson 250 mg IM + doksisikJin I 00 mg 2 kali/ hari selama 7 hari - Terapi ini merupakan lini pertama untuk pengobatan gonore urogenital, anorektal, dan faringeal tanpa komplikasi Sefiksim 400 mg per oral dosis tunggal + azitromisin I 00 mg 2 kali/hari selama 7 hari - Atau sefiksim 400 mg per oral dosis tunggal + doksisiklin I 00 mg 2 kali/ hari selama 7 hari Azitromisin 2 g dosis tunggaJ Untuk para pasien yang diberikan pengobatan alternatif dari setriakson, wajib kembali untuk pemeriksaan kembali setelah obat selesai diminum.



343



Terapi alternatif untuk gonore: Sefuroksim 1 g per oral + probenesid 1 g; atau Sefotaksim 1 g IM + doksisiklin/tetrasiklin/eritromisin.



......



~ .... en



344



2. Terapi gonore untuk daeran dengan insidens NGPP rendah: Penisilin, ampisilin. amoksisilin: - Penisilin G prokain akua 4,8 juta U + probenesid 1 g, dapat menutupi gejala sifilis; atau - Ampisilin 3.5 g + probenesid 1 g; atau - Amoksisilin 3 g + probenesid 1 g. Kontraindikasi: pasien di daerah dengan NGPP yang tinggi. Gonore NGPP: spektinomisin, kanamisin, sefalosporin , tiamfenikol, kuinolon Sefalosporin: - Seftriakson 250 mg IM; - Sefoperazon 0,5-1 g IM; atau - Sefiksim 400 mg per oral dosis tunggal. Spektinomisin dan kanamisin: - Spektinomisin 2 g IM; atau - Kanamisin 2 g IM. Untuk pasien yang gaga! dengan penisilin maupun tersangka sifilis Tiamfenikol 3,5 g per oral, tidak untuk ibu hamil Kuinolon - Ofloksasin 400 mg per oral: atau - Siprofloksasin 250-500 mg per oral; atau - Norfloksasin 800 mg per oral; atau - Levofloksasin 2 50 mg per oral dos is tunggal, tidak untuk ibu hamil dan menyusui serta anak di bawah 12 tahun. Doksisiklin, tetrasiklin, eritromisin dilaporkan sudah tidak efektif lagi. Jika terdapat bartolinitis atau prostatitis, berikan: Sefiksim 400 mg per oral selama 5 hari Seftriakson 250 mg IM selama 3 hari Levofloksasin 500 mg per oral selama 5 hari Tiamfenikol 3.5 g per oral selama 5 hari Kanamisin 2 g !M selama 3 hari Konjungtivitis gonore pada neonatus Pencegahan Setelah bayi lahir, mata segera dibersihkan Beri tetes mata larutan nitras argenti 1% a tau salep tetrasiklin I% Pengobatan Seftriakson 50-100 mg/KgBB IM dosis tunggal, maksimal l 25 mg Kanamisin 25 mg/ KgBB IM dosis tunggal, maksimal 75 mg Spektinomisin 25 mg/ KgBB IM dosis tunggal, maksimal 7 5 mg



Pasien dengan keluhan duh tubuh uretra/vagina



t Anamnesis dan pemeriksaan fisis



t Sediaan basah dan gram duh tubuh uretra/vagina



Leukosit penuh, diplokokus intraselgram negarif (•) Diobatl sebagal gonore



t Konrrol setelah 7 hari



Ke! uhan/gejala?



+



I



+



Tidak ada



Ada



Biakan dan uji reslstensi



Obati sesuai hasil uji resiStensi



t Keluhan/gejala?



+



I



Tidak ada



Ada



Rujuk



Gambar I .Tata Laksana Pasien Tersangka Gonore



Duh tubuh uretra i Alergi penisilin? ----+



Terapi altematlf



Terapi standar gonore 7



hari Duh tubuh?



Tidakada



Ada



Sembuh



Terapi uretritiS nongonore (NGU) 7 hari Du h tubuh? Tidakada



Ada



Sembuh



Rujuk



Gambar 2.Tata Laksana Pasien Tersangka Gonore di Pelayanan Kesehatan tanpa Laboratorium



Duh tubuh uretra



+



:+



i



Diplokokus intrasel (+)



Diplokokus intrasel (-)



Terapi .__ Alergi pcnisilin? alternatif



+



Terapi standar gonore 7 hari



I Diplokokus intrasel (-) Leukosit < 5



I



Leukosit > 5



Terapi (-)



Terapi NGU 7 hari







Diplokokus (-) Leukosit > 5



Diplokokus (-)



• •



Tera pi alternatif



I



+



+



Leukoslt < 5



Leukosit > 5



Terapi (-)



Rujuk



1'erapi NGU 7 hari



I



:+



Leukosit < 5



:+ Leukosit > 5



Leukosit < 5



Rujuk Ga rn bar 3.Tata Laksana Pasien Tersangka Gonore di Pelayanan Kese hatan dengan Laboratorium (Mikroskop)



1



.....



Duh tubuh uretra



Cl)



~



~



+



.....s::.



:+



Diplokokus intrasel (+)



Diplokokus intrasel (-)



I



I



345



:+



NGPP



Non-NGPP + uji resistensi



Leukosit < 5



Leukosit > 5



Terapi alternatif NGPP



Terapi alternatif non NGPP 3 hari



Terapi (-)



Terapi NGU 7 hari







• I















.



:+



Diplokokus (-)



Diplokokus (+)



Sembuh



Terapi sesuai uji resistensi



Leukosit



...



I
5 Terapi NGU



Gambar 4.Tata Laksana Pasie n Tersangka Go nore di Pelayanan Kesehatan dengan Laboratorium Lengkap'



Sumber Bacaan I.



2.



Daili SF. Gonore. Dalam: Daili SF. Makes WIB, Zubier F. penyunting. Jnfeksi menu Jar seksual. Edisi Ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 20 I I. Menaldi SL. Bramono K, lndriatmi W, penyunting. llmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Ja karta: Sadan Pe-



nerbit FKUI: 20 14. 3. Sugiw TL. Hakim L. Suseno LSU. Suriadiredja ASD. Toruan



TL, Alam TNA. penyunting. Panduan pelayanan medis dokter spesialis kulit dan kelamin. Perhimpunan Dokter Spesialis Ku lit dan Kelamin (PERDOSKI). Jakarta: 201 1. 4. Wibisono B. Daili SF, Makes WIB. Pedoman penatalaksanaan infeksi menular seksual. Direktorat Jenderal Pengen-



dalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P3L) Departemen Kesehatan RI. Jakarta: 20 I 0.



128 Kompttensi



JJl



•• •



Infeksi Genital Nonspesifik



Definisi Infeksi genital nonspesifik (IGNS) merupakan radang pada uretra, rektum, atau serviks akibat kuman nonspesifik. Beberapa istilah yang terkait dengan IGNS: lnfeksi genital nongonokokus GGNG) . yaitu radang pada uretra, rektum. atau serviks akibat kuman nongonokokus; Uretritis nonspesifik (UNS), yaitu radang pada uretra aki bat kuman nonspesifik yang sulit diketahui lewat pemeriksaan laboratoriu m sederhana; Uretritis nongonokokus (UNG) . yaitu radang pada uretra akibat kuman nongonokokus. Etiologi



Chlamydia trakomatis. bakteri Gram negatif (30-50



346



% kasus IGNS) dengan dua fase hidup: - Fase I (noninfeksius): terdapat badan inklusi (kuman intraseluler dalam vakuola yang melekat pada inti sel hospes) yang menandakan keadaan laten dan dapat ditemukan pada genitalia atau konjungtiva: - Fase II (penularan): terdapat badan elementer (kuman keluar akibat vakuola pecah dan menimbulkan infeksi pada sel hospes yang baru): Ureaplasma urealyticum {10-40 % kasus IGNS) : Mycoplasma hominis, bakteri Gram negatifkomensal yang dapat menjadi patogen dalam kondisi tertentu , sering ditemukan bersama U. urealyticum; Trichomonas vaginalis, yeast. virus herpes simpleks. adenovirus, Haemophilus sp.. Bacteroides ureolyticus. Mycoplasma genilatum. dan bakteri lain yang ditemukan pada 20-30 % kasus: Bakteri Staphylococcus dan difteroid yang bersifat komensal namun dapat menjadi patogen dalam kasus tertentu; Alergi. Manifestasi Klinis Pada Jaki-Jaki, pasien mengeluh disuria ringan. rasa tidak nyaman/gatal di uretra. poliuria, duh tubuh jernih-keruh. morning drops , bercak di celana dalam. urgensi (perasaan ingin kencing) , nokturia, urine dapat bercampur darah. demam, pembesaran dan nyeri kelenjar getah bening inguinal. Pada perempuan. infeks i tersering ditemukan pada serviks dibandingkan vagina. kelenjar Bartholin.



Risca Marcelena, Sri Linuwih Menaldi atau uretra. Penyakit ini dapat asimtomatis atau menunjukkan gejala berupa duh tubuh vagina. disuria ringan, poliuria. nyeri pelvis, dan dispareunia. Komplikasi Pada laki-laki. komplikasi berupa prostatitis, vesikulitis, epididimitis, striktur uretra, sedangkan pada perempuan komplikasi dapat berupa bartolinitis. proktitis, salpingitis, sistitis, peritonitis. dan hepatitis. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis. dan pemeriksaan penunj ang. Pemeriksaan fisis pada laki-laki menunjukkan adanya sekret uretra serosa/ mukoid/seromukosa/ seropurulen serta edema dan eritema pada muara uretra. Sedangkan. pada perempuan ditemukan fo likel-folikel kecil (microfollicles) yang mudah berdarah pada serviks. serta sekret serviks mukopurulen. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan la boratorium dengan bahan sediaan dari apusan sekret uretra/ serviks. I . Pemeriksaan sitologi langsung Sediaan basah untuk menyingkirkan adanya T.



vaginalis: Pewarnaan Gram: leukosit (>5 pada sekret uretra, >30 pada sekret serviks), diplokokus Gram negatif (-) : Pewarnaan Giemsa/ Papanicolau untuk menemukan badan elementer atau badan retikuler. 2. Biakan: baku emas pemeriksaan C. trakomatis dengan memakai sel McCoy atau Baby Hamster Kidney (BHK). 3. Deteksi antigen Direct fluorescent antibody (DFA) yang memakai antibodi mono/poliklonal dan mikroskop fluoresens untuk mendeteksi badan elementer atau badan retikuler: Enzyme immuno assay (EIA) atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) yang memakai antibodi mono/ poliklonal dan spektrofotometri. 4. Deteksi asam nukleat C. trakomatis Hibridisasi DNA probe (gen probe); Amplifikasi asam nukleat: polymerase chain reaction (PCR) dan ligase chain reaction (LCR).



Gram. leukosit > 5 Atau



Tidak



Sedimen urine. leukoslt > 15



111



Bukan uretritis



Uretritls Tidak ..



Gonore•~ ..... Obati onore =i=;;.;.;;J



Komrol s~rclah 7 hart



Tidak .



Keluhan/ e· ala?



+



+



Tidak .



Tklak ada



Tidak . Uretritis nonspesifik



da



Biakru1 dan ujl reslstensl



.



~



Obatl sesual hasll uJf reslst~mi !;>Ila lu



Sembuh dan kambuh 6 minggu kemud ian



+



Uretrltis



Tidakada



rekuren



+ Ada



.....



I/)



-.!>I:;



Rttjuk



Ruuk



(!)



s::



Gambar I .Tata Laksana Uretritis (Infeksi Menular Seksual,



Garnbar 2.Tata Laksana Pasien Tersangka lnfeksi Genital Nons-



2009)



pesifik (PPM Dokter Spesia/is Ku/it dan Kelamin, 201 I).



Tata Laksana Tata Laksana Nonfarmakologi Konseling mengenai penyakit. cara penularan. komplikasi. pentingnya mengobati pasangan seksual. risiko tertular penyakit lain (HIV. hepatitis B. hepatitis C. infeksi menular seksual lain) ; Periksa dan obati pasangan seksual pasien. Tata Laksana Farmakologi Tetrasiklin HCI 500 mg 4 kali/ hari selama I minggu atau 250 mg 4 kali/hari selama 2 minggu; atau Oksitetrasiklin 250 mg 4 kali/ hari selama 2 minggu; atau Doksisiklin 100 mg 2 kali/hari selama 7 hari; atau Eritromisin 500 mg 4 kali/ hari selama I minggu atau 250 mg 4 kali/ hari selama 2 minggu. untuk anak dan ibu hamil atau pasien yang tidak dapat memakai tetrasiklin; atau Sulfametoksazol-trimetoprim 2 tablet 2 kali/ hari selama I minggu; atau Azitromisin I g dosis tunggal; atau Spiramisin 500 mg 4 kali/ hari selama I minggu;



a tau Ofloksasin 200 mg 2 kali/ hari sehari selama IO hari. Jika IGNS bercampur dengan infeksi gonore. dapat diberikan: Siprofloksasin 500 mg di hari pertama dilanjutkan doksisiklin I 00 mg 2 kali/ hari selama 7 hari atau azitromisin I g dosis tunggal; atau Azitromisin 2 g dosis tunggal; atau Tiamfenikol 2.5 g di hari pertama dilanjutkan 500 mg 3 kali/ hari selama 5 hari. Sumber Bacaan l.



Lurnintang H. lnfeksi genital non spesifik. Dalarn: Daill SF. Ma kes WIB, Zubier F. penyunting. lnfeksi menular seksual. Edisi Ke-4 . Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 20 l l.



2.



Daili SF. lnfeksi ge nital nonspesifik. Dalarn: Daili SF. Makes WIB. Zubier F, penyunting. Infeksi rnenu lar seksual. Edisi Ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2011.



3. Sugito TL. Hakim L. Suseno LSU. Suriadiredja ASD. Toruan TL. Ala m TNA. penyunting. Panduan pelayanan medis dokter spesialis kulit dan kelamin. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI). Jakarta: 20 11 .



347



129 • Komp~tt:nsi



l\'A



11



Kandidosis Genitalis



•• Sinonim: kandidiasis, moniliasis.



......



-~.... ::s



348



Definisi Kandidosis merupakan infeksi Candida sp., terutama Candida albicans. Fungi ini termasuk sebagai salah satu fungi patogen oportunistik yang paling sering ditemukan menginfeksi manusia. Kandidiasis dialami laki-laki maupun perempuan dari berbagai kalangan usia. Kandidos is tidak ditularkan lewat hubungan seksual. Masa inkubasinya berlangsung selama 5-2 1 hari. Klasifikasi Berdasarkan lokasi kandidosis, Conant membuat klasifikasi: Kandidosis selaput mukosa - Kandidos is oral (thrush); - Perleche: infeksi pada sudut bibir bagian luar; - Kandidosis vulvovaginalis; - Kandidosis mukokutan kronis; - Kandidosis bronkopulmoner. Kandidosis kutis - Lokalisata: daerah intertriginosa atau daerah perianal; Generalisata; - Paronikia, onikomikosis; - Kandisosis kutis granulomatosa. Kandidosis sistemik: endokarditis, meningitis,



Risca Marcelena, Sri Linuwih Menaldi pielonefritis, septisemia; Reaksi id (kandidid): erupsi kulit sekunder yang terjadi sebagai bentuk hipersensitivitas terhadap infeksi Candida sp. pada tubuh. Kandidosis vulvovaginalis (vulvovaginitis) Penyakit jamur akut/subakut akibat infeksi Candida sp., terutama Candida a/bicans (80-90 %), dan Toru/opsis glabrata (10 %) yang mengenai vulva dan vagina. Infeksi awalnya timbul pada vagina {vaginitis) lalu meluas ke vulva (vulvitis). Jika keduanya terinfeksi, disebutlah sebagai kandidosis vulvovaginalis (KW). Balanitis/ balanopostitis Penyakit jamur akibat Candida sp. pada glans penis dan prepusium laki-laki. Dapat pula mengenai uretra (uretritis). Diagnosis Anamnesis Perempuan - Duh vagina berwarna putih susu; - Gata! dan panas di area vulva; Nyeri pascaberkemih (disuria eksterna) ; - Dispareunia. Laki-laki - Kemerahan pada glans dan bawah prepusium



Faktor Predisposisi Tabel l.Faktor Pred isposisi Kandidosis Genitalis Faktor endogen: I. Usia: orang tua dan bay! lebih rentan 2. Perubahan fisiologis Kehamilan: perubahan pH. akumulasl gilkogen dalam epitel vagina: Kegemukan: banyak keringat: Disabilitas: Iatrogenik; Endokrinopati: diabetes melitus agangguan glukosa darah berdampak pada kulit; Penyaklt kronls: tuberkulosis, lupus eritematosus sistemik; 3. Keadaan imunologik (imunokompromais) : Penyakit genetik; Keganasan; steroid jangka panjang: antibiotik jangka panjang. 4. Kontrasepsl hormonal. spiral: 5. Tidak disirkumsisi (pada laki-laki) .



Faktor eksogen: 1. lklim: panas dan lembap a banyak keringat. 2. Higlene kulit: 3. Pakaian ketat dan rapat: 4. Kebiasaan berendam: 5. Pemakaian larutan pembersih keperempuanan atau douching: reaksi hipersensitivitas sehingga rentan terhadap jamur: 6. Kontak seksual terlalu sering: abrasi vagina dan alergl terhadap semen laki-laki: 7. Kontak dengan penderita



-



yang tidak disirkumsisi; Gata! dan panas: Duh tubuh cair mengandung butir-butir, dapat keiuar pada pagi hari.



Pemeriksaan Fisis



Perempuan Ringan - Hiperemis pada labia minora, introitus vagina. dan vagina terutama bagian 1/3 bawah; berupa plak putih - Pseudomembran kekuningan yang terdiri dari miselia kusut (matted mycelia). ieukosit, dan sei epitei yang meiekat pada dinding vagina dengan dasar eritematosa erosif; - Fluor a/bus (gumpaian seperti kepaia susu (cottage cheese) berwarna putih kekuningan. mukoid/cair, berasai dari massa yang teriepas dari dinding vulva/vagina mengandung bahan nekrotik, sei-sei epitel, dan jamur) dapat ber-



Anamnesls dan



bau/ tidak; - Vulva erosi disertai fisura . uiserasi ; - Edema dinding vagina, labia, hingga perineum; - Lesi satelit. Be rat - Edema pada labia minora; Uikus dangkal pada labia minora dan introitus vagina.



Laki-/aki Tanda yang ditemukan lritasi pada glans dan bawah prepusium yang tidak disirkumsisi; Eritema difus; Fisura; - Vesikei dan pustul berdinding tipis yang mudah pecah meninggaikan erosi dengan skuama putih di tepi (koiaret); Pseudomembran; Sekret uretra cair/mukoid mengandung butirbutir bukan benang.



merlksaan fisls



.....



+



I/)



-.... .!I:;



PMN > 30 untuk perempuan, pseudohlfa/blastospora {+). pH < 415, diplokokus (-).clue cells (-), Trichomonas vagina/Ls (-) Diobati sebagai kandidosls vulvova...g_in_a_Us_ _ _ _--"



Pseudohifa/blastospora (-) pl! < 4/5, PMN sedikit. Trichomonas va inalis {-). clue ce1_ 1s...(-.)__ _



Kontrol setelah 7 hari



Biakan jamur Terapi antijamur



Q)



s:::



349



Keluhan/gejala?



I Tidak ada



+



Ada



Tidak ada



Rujuk



Gambar ! .Tata Laksana Pasien Tersangka Kandidosis Vulvovaginalis (PPM Dokter Spesia!is Kulir dan Kelamin.



2011).



Infeksi dapat ditemukan hingga skrotum dan inguinal.



-



Pemeriksaan Penunjang l. Mikroskop: Bahan: kerokan kulit, usapan mukokutan, atau duh tubuh vagina di dinding lateral vagina; Sediaan basah: spesimen ditetesi larutan KOH l 0 %· Pewarnaan Gram: Untuk mencari sel ragi (sel-sel tunas berbentuk lonjong. Gram positif) , blastospora, atau pseudohifa (sel-sel memanjang bersambung tersusun seperti sos is). 2. Biakan agar dekstrosa glukosa Saboraud yang dapat ditambahi bubuk kloramfenikol yang disimpan dalam suhu kamar atau 37 "C selama 1-5 hari. Hasil positif diitandai dengan timbulnya koloni berwarna putih (yeast-like colony).



.....



a ~ en



....



Diagnosis Banding Trikomoniasis, vaginosis bakterial, gonore akut, leukoplakia, dan liken planus. Tata Laksana Tata Laksana Nonfarmakologi Konseling mengenai penyakit, cara pencegahan, dan penanganan: Hindari/hilangkan faktor predisposisi: Hindari bahan iritan lokal, seperti produk berparfum; Hindari pakaian ketat, bahan sintesis.



350 Tata Laksana Farmakologi Topikal - Larutan gentian ungu l -2% untuk selaput mukosa, oles 2 kali sehari selama 3 hari; - Nistatin (krim, salep, emulsi); - Amfoterisin B; Golongan azol: D Mikonazol 2 % {krim. bedak); atau D Klotrimazol I % (bedak, larutan, krim) ; atau D Tiokonazol , bufonazil, isokonazol, butokonazol; - Sikloprioksolamin I % (larutan, krim); - Antimikotik spektrum luas lain. Lokal - Klotrimazol intravaginal 500 mg dosis tunggal, 200 mg setiap hari selama 3 hari, atau I 00 mg selama 6 hari; atau - Nistatin I 00.000 U intravaginal sekali sehari selama I 0-14 hari; atau - Amfoterisin B intravaginal 50 mg I kali/ hari selama 7-12 hari {dikombinasi dengan tetrasiklin I 00 mg I kali/ hari per oral selama 7- 12 hari) . Sistemik



-



-



Amfoterisin B intravena untuk kandidosis sistemik; atau Ketokonazol 200 mg PO 2 kali/ hari selama 5 hari; atau Itrakonazol I 00 mg PO 2 kali/hari selama 3 hari atau 200 mg PO 2 kali/hari dosis tunggal; a tau Flukonazol 150 mg PO dosis tunggal.



Untuk kandidosis vulvovaginalis rekuren (kambuh 50% kasus terjadi pada usia di atas 65 tahun; 2. Hipertensi, terutama pada keadaan BRVO; 3. Hiperlipidemia; 4. Diabetes melitus; 5. Pi! kontrasepsi oral; 6. Peningkatan tekanan intraokular; 7. Merokok. Faktor predisposisi selanjutnya bersifat tidak umum namun menjadi penting pada pasien dengan usia di bawah 50 tahun;



I. Gangguan mieloproliferatif (polisitemia, mieloma, dsb); 2. Keadaan hiperkoagulasi didapat atau kongenital; 3. Penyakit inflamasi yang berhubungan dengan periflebitis oklusif; 4. Penyakit lain seperti gaga! ginjal kronis, hipertensi sekunder. dan penyakit orbita. Manifestasi Klinis Anamnesis I. Mata tidak merah. 2. Penglihatan bisa normal (dengan visus 6/6) hingga menurun mendadak sampai dengan menghitung jari. 3. Pada CRVO defek lapang pandang umumnya sentral, sementara pada BRVO dapat tidak disertai gangguan Japang pandang. 4. Tidak nyeri. 5. Sering kali hanya melibatkan satu mata. Pemeriksaan Fisis I. Pada BRVO tajam penglihatan 6/6 sampai hanya dapat menghitung jari, tergantung dari keterlibatan makula, sedangkan pada CRVO berkisar dari 6/60 hingga hanya dapat melihat gerakan lambaian tangan. 2. Relative afferent papillary defect (RAPD) tampak nyata pada kasus-kasus iskemik pada CRVO. 3. Funduskopi, pada BRVO hasil temuan: a. Vena yang mengalami oklusi akan berdilatasi dan berkelok-kelok; b. Sering kali oklusi terjadi pada tempat persilangan arteri-vena; c. Perdarahan flame-shaped, edema retina. cotton wool spot, dan/atau dengan edema makula;



3a;



d. Dapat terjadi neovaskularisasi retina dalam 6-12 bulan. 4. Funduskopi pada CRVO dapat ditemukan: a. Tampak vena yang mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, perdarahan dot/ blot, tampak pada seluruh kuadran dan paling banyak di perifer. Cotton wool spots. edema makula dan edema diskus optikjuga umum. Perjalanan penyakit Fase akut akan mengalami resolusi dalam 6-12 bulan dan dapat mengalami hal-hal berikut: I. Eksudasi, perselubungan dan sklerosis vena perifer dari tempat obstruksi, perdarahan kolateral dan perdarahan sisa. 2. Adanya pembuluh darah baru atau kolateral dapat ditandai dengan vena berkelok yang terletak di seberang atau horizontal antara raphe didalam arkade vena inferior dan superior. Paling baik dideteksi dengan angiografi fluoresen. Pemeriksan Penunjang 1. Angiografi fluoresen: menunjukkan gambaran ke-



terlambatan pengisian vena, blokade oleh darah,



staining pembuluh darah, hipofluoresensi karena non-perfusi kapiler.



2. Optical coherence tomography (OCT): dapat digunakan untuk menilai edema makula, monitoring perjalanan penyakit atau respon terhadap terapi. Tata Laksana Tata laksana yang dapat dikerjakan adalah kontrol faktor risiko seperti diabetes melitus, hiperlipidemia, dan sebagainya. Terapi spesifik dikerjakan oleh dokter spesialis mata, diantaranya: fotokoaguluasi, injeksi anti-VEGF (vascular epithelial growth factor) atau kortikosteroid intravitreal, dan vitrektomi. Prognosis Pada BRVO, dalam 6 bulan. tajam penglihatan pada 50% pasien mencapai 6/ 12 atau lebih baik. Dua komplikasi yang dapat mengancam tajam penglihatan adalah edema makula kronis dan neovaskularisasi. Pada CRVO prognosis lebih buruk, iskemi macula mengakibatkan munculnya rubeosis iridis pada 50% kasus, yang berujung pada glaukoma neovaskular.



Tabel I. Perbandingan CRAO dan BRAO Mamfestasi Klinis



Central Reeinal Artery Ocdusion (CRAO)



I. Tajam penglihatan turun mendadak hingga hanya melihat cahaya. Anamnesis



2. Dapat ditemukan amaurosis fugax. 3. Tidak nyeri kecuali apabila te.rdapatgiant cell arteritis.



I.



Tajam Penglihatan berkisar amara hand movement



(HM) sampai light perception (LP). Jarang terjadi no



Brach Retmal Artery Occlusion (BRAO)



I.



Tajam penglihatan bervariasi.



2.



Dapat ditemukan amaurosis fugax.



3.



Tidak nyeri.



1.



Tajam penglihatan bervariasi. Pada



50% pasien. tajam penglihatan



light perception (NLP). Pada beberapa kasus. tajam



sentral intak.



penglihatan sentral dapat bertahan. 2. Didapatkan RAPD. Pemeriksaan fisis



3.



Funduskopi. dengan temuan:



a.



Gambaran cherry-red spot muncul akibat foveo la



ya ng tipis dan koroid yang intak.



384



b.



Pada mata dengan arteri siliorecina ya ng paten.



sebagian makula nampak normal.



Angiografi fluoresen



3.



Didapatkan RAPD.



Funduskopi. dengan temuan: a.



Keterlambatan pengisian arterl dan masking dari fluoresensl koroid oleh karena pembengkakan retina.



Keterangan: RAPD. relative afferent pupillary defect



Retina pucat. berkabut dan mengalami edema pada daerah



Retina di sekitar papil dapat mengalami pucat dan edema.



c.



2.



yang mengalami iskem i. b.



Penyempitan arteri dan vena.



c.



Emboli dapat terli hat.



Menunjukkan berhentinya pengisian oleh pewarna pada tempat emboli dan distal dari lokasi tersebut.



B. Oklusi Arteri Retina Definisi Oklusi arteri retina merupakan keadaan terjadi hambatan atau sumbatan aliran darah sehingga mengakibatkan iskemia retina. Etiologi Secara umum, etiologinya adalah aterosklerosis dan emboli karotis. Aterosklerosis pada oklusi arteri retina terjadi pada daerah setinggi lamina kribrosa. Emboli arteri karotis paling sering berasal dari bifurkasi arteri karotis, diikuti oleh arkus aorta, dan tempat lainnya. Emboli yang terjadi bisa berupa kolesterol, kalsifikasi, atau kompleks platelet-fibrin. Penyebab lain yang tidak umum termasuk giant ce// arteritis, emboli jantung, periarteritis, kelainan trombofilik, dan hemoglobinopati bulan sabit. Tata Laksana Tujuan utama dari tata laksana adalah memperbaiki oksigenasi menuju retina. yang dapat dicapai dengan mendilatasi arteri-arteri retina. Tata laksana yang dianjurkan berikut harus turut mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang mungkin didapatkan pasien karena terbatasnya jumlah bukti yang ada:



144 Kompcknsi



urn



II



••



Definisi Glaukoma merupakan neuropati optik yang khas disertai terkait dengan penurunan lapang pandang akibat kerusakan papil nervus optikus, di mana tekanan intraokular merupakan faktor risiko penting. Etiologi Glakoma dapat bersifat kongenital ataupun didapat. Berdasarkan etiologinya dibagi menjadi: l. Glaukoma primer: tanpa faktor kontributor yang jelas 2. Glaukoma sekunder: dengan faktor kontributor okular atau ekstra-okular yang jelas yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokular (contoh: glaukoma phacomorphic). Klasifik asi Berdasarkan gangguan saluran aqueous humor, glaukoma dapat dibedakan menjadi: l . Glaukoma sudut terbuka: glaukoma kronis primer dengan sudut pada kamera okuli anterior yang terbuka, disertai dengan peningkatan TIO. 2. Glaukoma sudut tertutup: kelompok penyakit



I. Masase okular three mirror contact lens selama I 0 detik kemudian dilepas selama 5 detik. 2. Parasentesis segment anterior. 3. Penggunaan agen hiperosmotik seperti manitol atau gliserol. 4. Asetazolamid 500 mg oral untuk menurunkan TIO dan aspirin. Sumber Bacaan I.



Kanski JJ. Bowling B. penyunting. Clinical ophthalmology. a systematic approach. Edisi ke- 7. Ed inburgh: Elsevier Buttenworth-Heinnemann: 2011.



2.



Fletcher EC. Chong NV. Retina. Dalam: Riordan-Eva P. Whitcher JP, penyunting. Vaughan & Asbury·s general ophthalmology. Edisi ke-18. Philadelphia: McGraw-Hill: 2011.



3.



RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Kirana. Panduan praktik klinik (PPK). Jakarta: RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo



4.



Kirana: 20 12. Morley MG. Heier JS. Venous obstructive disease of the retina. Dalam: Yanoff M. Duker JS. penyunting. Yanoff & Duker ophthalmology. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby El-



5.



sevier: 20 13. Duker JS. Retinal artery obstruction. Dalam: Yanoff M. Duker JS. penyun ting. Yanoff & Duker ophthalmology. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier: 20 13.



Glaukoma Indra Maharddhika Pambudy, Yunia Irawati glaukoma yang dicirikan dengan obstruksi mekanik dari trabecular meshwork, dengan sudut pada kamera okuli anterior yang tertutup dan tekanan intraokular yang meningkat. Patogenesis dan Patofisiologi Secara umum, tekanan intraokular (TIO) normal berkisar antara 10-21 mmHg. TIO dapat meningkat akibat gangguan sistem drainase (glaukoma sudut terbuka) atau gangguan akses sistem drainase (glaukoma sudut tertutup). Terapi glaukoma bertujuan untuk menurunkan TIO, dan mengatasi dasar penyebab peningkatan TIO. Pada glaukoma akut, peningkatan TIO mendadak hingga 60-80 mmHg mengakibatkan kerusakan iskemia akut dari nervus optikus. Pada glaukoma sudut terbuka primer. kerusakan sel ganglion retina muncul akibat jejas kronis menahun. Pada glaukoma dengan TIO normal, papil nervus optikus mungkin rentan terhadap TIO yang normal. Faktor Risiko Glaukoma primer sudut terbuka:



38~



1. Peningkatan TIO (TIO> 21 mmHg);



5. Tonometri untuk mengukur TIO;



2. Riwayat keluarga dengan glaukoma primer sudut



6. Gonioskopi untuk membedakan apakah glaukoma



terbuka (orang tua, kakak, atau adik);



7. Funduskopi dengan pupil terdilatasi apabila pada



4. Ras (Afrika, Latin, Afro-Karibia); 5. Ketebalan kornea sentral yang lebih tipis; 6. Tekanan perfusi okular yang rendah (selisih antara sistol dengan TIO < 125 mmHg a tau diastol dengan TIO 20 minggu. Penyebab kondisi ini antara Jain plasenta previa, solusio plasenta, dan vasa previa. A. Plasenta Previa Plasenta previa adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan plasenta yang terimplantasi dekat atau pada ostium serviks interna. Ada beberapa Jetak p!asenta previa: Plasenta previa total: ostium serviks interna tertutup seluruhnya oleh p!asenta; Plasenta previa parsial: ostium serviks interna



tertutup sebagian oleh plasenta (Ii hat Garn bar l); Plasenta previa marginalis: ujung plasenta berada pada tepi ostium serviks interna. Faktor Risiko Usia tua, multiparitas, riwayat seksio sesarea sebelumnya, serta kebiasaan merokok. Temuan Klinis Perdarahan tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya jarang dalam jumlah banyak melainkan terus berkurang. Sesekali perdarahan juga berulang; Plasenta previa biasanya berasosiasi dengan im-



425



.-



r~



~~~".@ Plasenta Previa Marginalis



Plasenta Previa Parsial



Plasenta Previa Totalis



Gambar I. Letak Plasenta Previa: (A) plase nta previa marginalis. (B) plase nta previa parsial. (C) plasenta previa totalis.



plantasi plasenta yang abnormal: Plasenta akreta: viii-viii plasenta menempel pada miometrium, Plasenta inkreta: viii-viii plasenta menginvasi miometrium, Plasenta perkreta: viii-viii plasenta menembus melewati myometrium; Adanya plasenta akreta, inkreta, atau perkreta akan menyebabkan perdarahan yang lebih hebat, kemungkinan infeksi makin tinggi, sampai perforasi uterus. Diagnosis Plasenta previa sebaiknya dicurigai pada semua perempuan hamil >20 minggu yang mengalami perdarahan dari uterus. Pemeriksaan serviks dengan jari (palpasi) tidak boleh dilakukan karena akan menyebabkan perdarahan masif. Pemeriksaan standar baku untuk plasenta previa adalah dengan USG, baik USG transabdominal, trasvaginal, maupun transperineal. USG transvaginal dan transperineal dapat membantu diagnosis plasenta previa yang letaknya posterior.



426



Tata Laksana Semua pasien dengan kecurigaan plasenta previa dirujuk ke spesialis obstetri dan ginekologi untuk diagnosis serta tata laksana. Pilihan tata laksana bergantung pada usia kehamilan: Apabila perdarahan terjadi pada masa kehamilan lebih awal. biasanya diberikan tranfusi dan tokolitik sampai usia kehamilan 32-34 minggu; Pada usia 34 minggu, dipertimbangkan antara risiko perdarahan dan maturasi kandungan; Waktu kelahiran biasanya ditentukan tingkat kematangan paru janin. Maturasi paru dilakukan dengan pemberian deksametason 2x I 2 mg IM dalamjarak 24 jam atau deksametason 4x6 mg per oral selama 2 hari.



Pilihan cara kelahiran: Seksio sesarea merupakan cara kelahiran terpilih pada kasus plasenta previa; Kelahiran per vaginam dapat dilakukan pada kasus plasenta previa marginalis dengan presentasi kepala. Pada cara ini, selaput ketuban biasanya dipecahkan terlebih dahulu untuk merangsang kelahiran. Komplikasi Maternal: perdarahan, syok, kematian, infeksi, emboli, solusio plasenta; Fetus: prematur, kematian, perdarahan janin. Prognosis Prognosis maternal biasanya baik. Prognosis bayi bergantung pada usia kehamilan. Pada kasus prematur. plasenta previa menjadi penyebab utama kematian perinatal. B. Solusio Plasenta Solusio plasenta dalam bahasa Inggris disebut concealed hemorrhage atau perdarahan tersembunyi dalam bahasa Indonesia. Pada solusio plasenta, darah tersimpan dalam kavum uteri. Hal ini disebabkan oleh lepasnya plasenta. Plasenta dapat terlepas secara komplit (20% kasus) maupun inkomplit (80% kasus). Apabila plasenta terlepas secara inkomplit, darah mengalir melalui serviks. Komplikasi pada kasus inkomplit lebih sedikit dan ringan dibandingkan plasenta yang lepas secara komplit. Faktor Risiko Riwayat solusio plasenta sebelumnya; Hipertensi pada kehamilan; Usia ibu yang tua dan multiparitas; Distensi uterus (gestasi multipel, hidramnion) ;



Penyakit vaskular (diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik); Merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan kokain. Patofisiologi dan Patologi Berbagai mekanisme dipikirkan menjadi pencetus lepasnya plasenta. Mekanisme pertama adalah jejas pada pembuluh darah yang menyebabkan ruptur pembuluh darah desidua basalis. Hematoma menyebabkan robekan pada pembuluh darah di sekitarnya sehingga memperbanyak perdarahan dan memperluas area yang terpisah. Mekanisme berikutnya adalah tekanan vena yang meningkat dengan cepat diteruskan ke ruang intervili sehingga terjadi pelebaran pada vena-vena dan terjadilah pemisahan plasenta. Mekanisme lainnya adalah faktor mekanik seperti trauma atau traksi tali pusat yang pendek. Pada solusio plasenta, darah tertahan dibelakang tepi plasenta, dibelakang membran yang melekat ke dinding uterus, atau dibelakang dekat presentasijanin. Darah dapat bocor melewati membran atau plasenta dan memperoleh akses ke cairan amnion. Concealed hemorrhage biasa terjadi pada lepasnya plasenta secara komplit. Pada kasus yang lebih parah, dapat terjadi koagulasi intravaskular diseminata karena deplesi fibrinogen , trombosit, dan faktor pembekuan yang lain. Sang ibu dapat mengalami gejala seperti petekie generalisata, perdarahan aktif, syok hipovolemik, dan gagalnya mekanisme pembekuan darah. Temuan Klinis Nyeri abdomen; Perdarahan vagina pada 80% pasien; Kontraksi abnormal pada l / 3 pasien; Terdapat bagian janin yang tidak dapat teraba. Diagnosis Dilakukan berdasarkan tanda klinis: perdarahan per vaginam, kontraksi uterus, dan nyeri abdomen.



Pemeriksaan penunjang seperti USG hanya membantu untuk mengeksklusi adanya plasenta previa. Tata Laksana Pasien dengan kecurigaan solusio plasenta dirujuk ke spesialis obstetri dan ginekologi. Pilihan metode kelahiran pada kasus ini bergantung kepada kondisi ibu serta janin. Partus per vaginam dapat dilakukan pada kondisi: derajat pemisahan plasenta sedikit serta hasil CTG



reassuring; derajat pemisahan plasenta luas tetapi janin sudah meninggal. Pengecualian partus per vaginam adalah apabila perdarahan tidak dapat dikontrol dan operasi memerlukan waktu lebih lama untuk menyelamatkan nyawa ibu atau bayi. Komplikasi Koagulopati konsumtif, nekrosis tubulus dan korteks ginjal, dan atonia uterus yang menyebabkan perdarahan postpartum. C. Vasa Previa Vasa previa adalah kondisi pembuluh darah janin berada dalam selaput ketuban dan melewati ostium uteri internum untuk mencapai insersinya di tali pusat. Vasa previa jarang terjadi. Patofisiologi Perdarahan terjadi pada saat pembukaan serviks. Pada saat ini selaput ketuban pecah sehingga pembuluh darah janin ikut terputus sehingga terjadi perdarahan. Biasanya vasa previa dimungkinkan pada dua situasi: insertio velamentosa dan plasenta suksenteriata. Diagnosis Pada pemeriksaan digital, akan teraba pembuluh darah janin. Jika pembuluh darah ini ditekan, maka akan terjadi bradikardia pada janin. Selain itu, dapat digunakan pemeriksaan USG Doppler transvaginal untuk memastikan diagnosis. Tata Laksana Penderita dengan kecurigaan vasa previa dirujuk ke spesialis obstetri dan ginekologi. Kelahiran pada kasus vasa previa dilakukan dengan seksio sesarea. Sumber Bacaan: I.



2. Gambar 2. Soluslo Plasenta Akibat Abruptlo Placentae Total



Cunningham F, Leveno K. Bloom S, Spong CY. Dashe J, penyunting. William obstetrics. Edis! ke-2 4. Philade lphia: McGraw-Hill: 2014 . Roman AS. Late pregnancy complications. Dalam: Cherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Roman A. penyun ting. Current diagnosis & treatment obstetrics & gynecology. Edis! ke- 1 I. Singapura: McGraw-Hill; 2013.



427



Langkah-Langkah Persalinan Aman Dyah Paramita Wardhani, I Putu Gede Kayika Definisi Persalinan normal adalah persalinan dengan presentasi belakang kepala, kala I antara 8-14 jam, kelahiran bayi tidak memerlukan bantuan alat (vakum atau cunam). Alat dan Bahan Peralatan persalinan: sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi (DTT). apron, sepatu boot/ sandal, duk/ kain bersih, kateter, oksitosin I 0 unit, partus set [gunting (episiotomi dan tali pusat). alat amniotomi, 2 klem, dll.] , benang untuk mengikat tali pusat, alat jahit, alat untuk menghitung DJJ, tempat merendam peralatan dengan klorin 0 ,5%. Alat resusitasi bayi: penghangat bayi dengan lampu 60 Watt. handuk bersih, alat suction; vitamin K (I mg, 0,5 cc) ; salep antibiotik untuk mata; imunisasi hepatitis B. Langkah Kerja I. KALA II Mengenali Tanda dan Gejala Kala 2 !bu berkeinginan untuk meneran; Tekanan meningkat pada rektum atau vagina; Perineum menonjol; Vulva-vagina dan sfingter anal terbuka.



Bila pembukaan sudah lengkap, namun selaput ketuban belum pecah. dapat segera dilakukan amniotomi. 3. Dekontaminasi sarung tangan dengan cara mencelupkan tangan yang terbalut sarung tangan kotor ke dalam larutan klorin 0 ,5%. Lalu, dilepaskan terbalik, direndam di dalam larutan tersebut selama 10 menit. Cuci kedua tangan. 4. Periksa denyut jantung janin (DJJ) setelah selesai kontraksi (normal: I 00- 180 kali/menit) . Dokumentasikan seluruh hasil pemeriksaan dalam dan DJ] dalam partograf. Persiapan Ibu dan Keluarga dalam Proses Meneran 1. Memberitahu ibu bahwa pembukaan sudah lengkap dan kondisi janin baik. !bu di ban tu berada dalam posisi yang nyaman sesuai keinginan. Tunggu hingga ada keinginan untuk meneran. Lakukan pemantauan secara berkala sesuai dengan pedoman; Beritahu keluarga untuk memberikan semangat saat mulai meneran kepada ibu . 2. Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk meneran. Saat his datang, ibu dalam posisi Y2 duduk atau posisi ternyaman. 3. Ketika ada dorongan kuat untuk meneran, pimpin ibu untuk meneran:



Asuhan Persalinan Dini I. Pastikan perlengkapan dan obat-obatan lengkap; 2. Kemudian kenakan baju penutup/ celemek plastik; 3. Seluruh perhiasan dan jam tangan dilepaskan sebelum mencuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir, keringkan tangan dengan handuk bersih; 4. Gunakan sarung tangan DTI atau steril untuk periksa dalam; 5. Masukkan oksitosin 10 unit ke dalam spuit lalu diletakkan ke dalam partus set.



428



Memastikan Pembukaan Lengkap dan Janin Baik I. Bersihkan vulva dan perineum dari depan ke belakang dengan kassa yang sudah diberikan air DTT. Buang kassa yang terkontaminasi. Gantilah sarung tangan jika terkontaminasi, diletakkan ke dalam larutan DTT. 2. Dengan teknik asepsis, lakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan pembukaan lengkap.







Bimbing ibu untuk meneran ketika ada keinginan untuk meneran. Ajarkan proses meneran yang baik: dagu menempel ke dada. mulut dikatupkan Gangan mengigit bibir), mata melihat ke bawah (lahirnya bagian terbawah janin), kedua tangan mendekap kaki ke arah dada, posisi senyaman mungkin; Memberi semangat atas usaha ibu meneran; Membantu untuk mendapatkan posisi yang nyaman; Anjurkan untuk beristirahat diantara kontraksi, mendapatkan asupan cairan per oral; Pantau DJJ setiap 5 menit; Jika bayi belum lahir selama 2 jam meneran untuk primipara atau I jam pada ibu multipara, rujuk segera. Terutama jika ibu tidak ada keinginan untuk meneran; Anjurkan ibu untuk berjalan, jongkok. atau atur posisi aman.



Persiapan Kelahiran Bayi 1. Kepala bayi sudah muncul. membuka vulva diameter 5-6 cm. segera letakkan handuk di atas perut ibu; 2. Letakkan kain bersih di bawah bokong ibu; 3. Siapkan partus set (dibuka); 4. Pakai sarung tangan DTT a tau steril. Menolong Kelahiran Bayi Lahir Kepala 1. Kepala bayi telah membuka vulva sebesar 5-6 cm, satu tangan melindungi perineum dengan dilapisi handuk bersih bagian bawah tadi. Sedangkan tangan lain, di kepala bayi dan berikan tekanan lembut (tidak menghambat pengeluaran) , biarkan kepala keluar perlahan. !bu dianjurkan meneran perlahan atau napas cepat saat kepala lahir. 2. Menyeka muka, mulut, dan hidung bayi dengan kain bersih. 3. Periksa ada/ tidak lilitan tali pusat: • Jika tali pusat melilit leher dengan longgar, lepaskan lewat bagian atas kepala bayi; • Jika melilit erat. klem di dua tempat lalu potong. 4. Menunggu kepala bayi melakukan putaran paksi luar secara spontan. Lahir Bahu 1. Telah terjadi paksi luar kepala, kedua tangan diletakkan di masing-masing sisi muka bayi (biparietal). !bu disuruh meneran saat kontraksi. Kemudian, tarik ke arah bawah dan luar hingga terlihat bahu anterior di bawah arkus pubis. Lalu, tarik lagi ke arah atas dan luar untuk melahirkan bahu posterior. 2. Kedua bahu dan tangan telah lahir. 3. Kemudian lakukan sanggah susur, yaitu menggunakan tangan yang di atas (anterior) menelusuri dari punggung ke arah kaki untuk menyangga saat punggung kaki lahir, pegang kedua mata kaki untuk membantu kelahiran kaki. Penanganan Bayi Baru Lahir I. Lakukan penilaian bayi dalam 30 detik. Jika kondisi bayi baik, segera letakkan bayi di atas perut ibu dengan posisi kepala lebih rendah sedikit dari tubuh. Jika bayi asfiksia, lakukan resusitasi. 2. Hangatkan bayi dan bungkus kepala serta badan bayi dengan handuk. biarkan kontak kulit antara ibu dan bayi. Lakukan penyuntikan oksitosin IM. 3. Jepit tali pusat menggunakan klem 3 cm dari pusat bayi. Lalu, tali pusat diurut dari klem pertama ke arah ibu dan pasang klem ke 2, sekitar 2 cm dari klem pertama. 4. Pegang tali pusat dengan I tangan. lindungi bayi dari gunting dan potong tali pusat diantara 2 klem



terse but.



5. Keringkan bayi, ganti handuk yang basah dan menyelimuti bayi dengan kain/ selimut bersih dan kering, tutup kepala bayi, biarkan tali pusat terbuka. 6. Segera melakukan inisiasi menyusu dini. Oksitosin I. Lakukan palpasi abdomen untuk memastikan tidak ada kemungkinan bayi kedua. 2. Dua menit setelah kelahiran bayi, suntikkan oksitosin I 0 unit IM di gluteus atau 1/ 3 paha kanan ibu bagian luar. 2. KALA III Peregangan Tali Pusat Terkendali 1. Memindahkan klem hingga berjarak sekitar 5 cm dari vulva. 2. Letakkan satu tangan di atas kain yang ada di perut ibu, lakukan palpasi uterus (tepat di atas tulang pubis) untuk merasakan kontraksi. Tangan lain memegang tali pusat dengan klem. 3. Menunggu uterus berkontraksi. Lalu, lakukan peregangan tali pusat ke arah bawah. Tangan yang lain (yang berada di atas perut ibu) memegang uterus dan melakukan penekanan dorsokranial, yaitu penekanan uterus (pada bagian bawah) ke arah atas dan belakang untuk mencegah inversio uteri. Jika plasenta tidak lahir setelah 30-40 detik, hentikan peregangan tali pusat dan tunggu hingga terjadi kontraksi berikutnya. 4. Jika uterus tidakjuga berkontraksi, meminta keluarga untuk melakukan perangsangan puting susu. Pengeluaran Plasenta l. Meminta ibu meneran ketika ada kontraksi, sambil menarik tali pusat ke arah bawah kemudian ke arah atas, mengikuti jalan lahir sambil terus melakukan penekanan uterus dorsokranial. • Jika tali pusat bertambah panjang, pindahkan klem hingga 5-10 cm dari vulva; Jika plasenta tidak lepas setelah peregangan selama 15 menit, lakukan: Pemberian oksitosin l 0 unit IM kembali; Jika kandung kemih penuh, lakukan kateterisasi kandung kemih; Persiapan rujukan; Mengulangi peregangan tali pusat selema 15 menit; Jika plasenta tidak lahir dalam 30 menit sejak kelahirn bayi, segera rujuk. 2. Apabila plasenta terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan kedua tangan. Pegang plasenta dan lakukan putaran plasenta hingga selaput ketuban terpilin. Lalu , lahirkan plasenta. Cek keutuhan plasenta: kotiledon dan selaput.



429



Jika ada robekan di selaput, pakai sarung tangan DTT atau steril, lalu periksa vagina serta serviks. Gunakan jari, klem, atau forceps DTT untuk melepaskannya. Masase Uterus Setelah plasenta dan selaputnya lahir, lakukan masase uterus dengan cara meletakkan telapak tangan di fundus uterus dan melakukan pemijatan dengan gerakan melingkar hingga uterus terasa berkontraksi (fundus menjadi keras seperti batu).



salinan; Jika uterus tidak berkontraksi baik, lakukan tata laksana atonia uteri; Jika ada laserasi, lakukan penjahitan dengan anestesia lokal. 9. Ajarkan kepada ibu dan keluarga cara melakukan masase uterus dan memeriksa kontraksi uterus. 10. Evaluasi kehilangan darah. 11 . Periksa tekanan darah, nadi, dan kandung kemih setiap 15 menit selama 1 jam pertama dan setiap 30 menit selama jam ke 2 setelah bersalin. Periksa suhu tubuh ibu setiap jam selama 2 jam pertama.



3. KALA IV Penilaian Perdarahan 1. Periksa plasenta di kedua sisi (menempel ke ibu dan janin), keutuhan selaput ketuban. Letakkan plasenta di dalam kantung plastik atau tempat khusus. Jika tidak berkontraksi selama 15 menit. lakukan tindakan yang sesuai. 2. Evaluasi adanya laserasi pada vagina, perineum, rektum. Jika ada perdarahan aktif akibat robekan, segera jahit. Prosedur Pascapersalinan I. Penilaian ulang uterus, pastikan kontraksi baik. 2. Sarung tangan ditaruh dalam larutan klorin 0.5%, bilas kedua tangan dengan DTT dan keringkan. 3. Ikatkan tali pusat dengan tali DTT disimpul mati sekitar I cm dari pusat. 4. Ikat lagi satu simpul mati di bagian pusat yang berlawanan dengan simpul yang pertama. 5. Lepaskan klem bedah dan letakkan ke dalam larutan klorin 0,5%. 6. Selimuti bayi kembali dan tutupi kepalanya. Pastikan handuk bersih dan kering. 7. Anjurkan ibu mulai memberikan ASI. 8. Lanjutkan pemantauan kontraksi uterus dan perdarahan pervaginam: 2-3 kali dalam 15 menit pertama setelah persalinan; Setiap 15 menit pada 1 jam pertama setelah persalinan; Setiap 20-30 menit pada jam ke 2 setelah per-



Kebersihan dan Keamanan 1. Menempatkan seluruh peralatan dalam larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi (I 0 menit). Cuci dan bilas peralatan setelah dekontaminasi. 2. Buang seluruh barang yang terkontaminasi dalam tempat sampah. 3. Bersihkan ibu dengan air DTT, bersihkan dari cairan ketuban, lendir, dan darah. Bantu ibu memakai pakaian bersih dan kering. 4. Pastikan ibu nyaman, ban tu ibu berikan ASI. ibu dianjurkan untuk minum dan makan. 5. Dekontaminasi daerah tempat persalinan dengan klorin 0 ,5% dan bilas air bersih. 6. Rendam sarung tangan dalam keadaan terbalik (bagian dalam ke luar) dalam klorin 0,5% selama 10 menit. 7. Cuci tangan dengan sabun dan air. Dokumentasi Catat seluruh tindakan pada partograf. Sumber Bacaan 1.



Mose JC, Pribadi A. Asuhan persalinan normal. Dalam: Saifuddin AB. Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. penyunting. llmu kebidanan. Edisi ke- 4. Jakarta: Bina Pustaka Saiwono Praw irohardjo: 2008. h.34 I -7.



2.



Moeloek FA. Nuranna L. Wibowo N. Purbadi S. Persalinan normal. Dalam: Standar pelayanan medik obstetri dan ginekologi. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) . Jakarta: POGI: 2003. h.33.



Perineorafi Dyah Paramita Wardhani, I Putu Gede Kayika



4 30



Definisi Penjahitan Iuka atau robekan pada daerah perineum dan sekitarnya. Terjadinya Iuka dapat diakibatkan oleh robekan saat persalinan atau episiotomi.



Jndikasi Klasifikasi robekan perineum dibagi menjadi 4, yaitu: Derajat 1: Iuka yang terkena hanya sebatas kulit perineum saja;



m. ischiocavernosus



m. transversus pe1·i11ei



superlidans



m. Jevawr a11i



Garis episiotomi medial



m. sfl11gter a11i externus m. gluteus maximus



Gambar I. Otot-otot Perineu m



Derajat 2: luka terjadi di perineum, otot perineum, tidak sampai terkena sfingter ani; Derajat 3a: robekan mengenai sfingter ani ekterna 50%; Derajat 3c: robekan hingga mengenai sfingter ani interna dan hampir seluruh sfingter ekterna; Derajat 4: robekan terjadi hingga mukosa rektum, selain sfingter ani eksterna-interna. Langkah Kerja Sebelum dilakukan penjahitan, diperlukan pemeriksaan secara teliti apakah kerusakan mengenai perineum, vagina, atau hingga rektum. Pada Iuka derajat 1 minor di mana tidak ada perdarahan dan hanya tepi-tepi kulit saja yang terpisah, tidak perlu dilakukan penutupan (penjahitan). Pada Iuka derajat 2, perlu dijahit untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi jarak antar perineum yang terpisah. Penjahitan dilakukan dengan teknik penjahitan kontinu dilanjutkan dengan subkutikular di akhir. Tinjauan dari Cochrane Collaboration menunjukkan bahwa penjahitan kontinu pada semua lapisan akan mengurangi rasa nyeri hingga 10 hari pascapersalinan dan dispareunia dibandingkan dengan penjahitan satu-satu. Penjahitan menggunakan benang Catgut® atau asam poliglikolat (Vicryl®) yang memiiki sifat dapat diserap. Pastikan bahwa apeks vagina baik, jika tidak, bisa terjadi hematoma paravagina. Jika mengenai arteri, harus segera diligasi. Selesai penjahitan, pastikan semuanya terkontrol baik termasuk hemostasis, lakukan colok dubur dan palpasi sfingter ani untuk memastikan tidak ada penjahitan yang mengenai mukosa rektum, dan berikan agen analgesik.



Perineorafi Derajat 3 dan 4 Luka atau robekan yang mengenai sfinter ani interna dapat menyebabkan inkontinensia fekal sedangkan sfingter ani eksterna menyebabkan urgensi fekal. Umumnya, robekan sfingter ani terjadi pada nulipara. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko robekan derajat 3: primigravida, kala II >60 menit, persalinan per vaginam dengan bantuan alat, episiotomi midline, makrosomia, posisi oksipitoposterior, analgesik epidural, induksi persalinan, dan distosia bahu. Pada robekan derajat 3-4. penjahitan perlu dengan supervisi orang yang sudah ahli. Analgetika yang adekuat sangat diperlukan, bisa menggunakan anestesi regional atau umum. Infiltrasi lokal tidak memberikan relaksasi sfingter yang cukup untuk membantu dalam penjahitan yang maksimal. Derajat 3a - penjahitan dengan teknik end-to-end, umumnya sfingter masih baik; Derajat 3b - beberapa ahli, memotong serat yang tersisa untuk melakukan overlap repair. Pada robekan derajat 4, penjahitan hingga ke mukosa rektum awalnya dilakukan interrupted de- ngan knots yang ditempatkan di sebelah mukosa menggunakan benang asam poliglikolat (Vicryl®) 2:0. Selanjutnya. lapisan sfingter interna diikat melewati defek dengan interrupted Vicryl® 2:0 atau 3:0. Kemudian, dilakukan penjahitan sfingter eksterna dengan teknik overlap. Apabila menggunakan benang yang dapat diserap, simpul harus diletakkan di bawah otot perineum superfisial untuk mencegah migrasi. Sumber Bacaan 1.



Kean L. Perinea! trau ma. Dalam: Luesley DM. Baker PN. penyunting. Obstetrics and gynaecology evidence-based text for MRCOG. Edisi ke-2. Londo n: Hodder Arnold: 2010. h.447-52.



431



168 • Kompcknsi 1V



11



•• Definisi Pencatatan kemajuan atau proses persalinan di lembaran partograf. Tujuan Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan Mendeteksi apakah proses persalinan berlangsung normal sehingga dapat mengetahui kondisi ibu dan janin dan membantu untuk membuat keputusan klinik.



432



Cara Pengisian Halaman Depan Partograf Pencatatan di partograf dimulai pada kala I fase aktif (pembukaan serviks 4 cm) hingga lahirnya bayi. I. lsi semua bagian atas dengan lengkap, identitas, jam kedatangan, hingga kondisi ketuban saat datang (sudah pecah atau belum) 2. Kesejahteraan Janin Denyut jantung janin - dinilai setiap 30 menit. Jika terdapat tanda-tanda gawat janin, lakukan pemantauan lebih sering. Kotak horizontal menunjukkan waktu. Setiap satu kotak kecil bernilai 30 menit. Kotak vertikal (angka) menunjukkan DJ]. Beri tanda titik di garis yang sesuai dengan DJ]. Lalu, buat garis tidak terputus yang menghubungkan antara satu titik dengan titik-titik lainnya di kolom DJJ. DJ] normal adalah I 00-180 kali/menit (garis tebal hitam). Penolong perlu waspadajika DJJ 160 kali per menit. Warna dan pecahnya air ketuban - setiap kali melakukan pemeriksaan dalam, lakukan penilaian terhadap keutuhan ketuban dan warnanya jika sudah pecah. Kemudian, dilakukan pencatatan dan ditulis selajur dengan pencatatan DJJ, di kolom khusus air ketuban. Jika ada mekonium, belum tentu terjadi gawat janin, namun tetap perlu pemantauan DJJ. Jika mekonium kental, harus segera rujuk ibu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas asuhan kegawatdaruratan obstetrik dan bayi baru lahir. Kategori penilaian air ketuban, antara lain: U: utuh (belum pecah); J: sudah pecah, jernih; M: sudah pecah, bercampur mekonium; D: sudah pecah, bercampur darah; K: pecah, tidak ada air ketuban (kering).



Partograf Dyah Paramita Wardhani, I Putu Gede Kayika Molase (penyusupan kepala janin) - menilai apakah kepala bayi dapat menyesuaikan dengan bagian keras panggul ibu. Hal ini dinilai setiap melakukan periksa dalam (4 jam). Jika tulang kepala saling menyusup/ tumpang tindih, curiga adanya CPD (disproporsi tulang panggul). Tulang kepala saling tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan menandakan ketidakmampuan akomodasi. Jika ditemukan CPD, pantau kondisi janin dan kemajuan persalinan. rujuk bila perlu. Lakukan pencatatan di kotak penyusupan (persis di bawah lajur air ketuban) dengan kriteria sebagai berikut: 0: tulang kepala janin terpisah, sutura bisa dipalpasi; 1: tulang kepala janin saling bersentuhan; 2: tulang kepala janin tumpang tindih, namun bisa dipisahkan; 3: tulang kepala janin tumpang tindih. tidak dapat dipisahkan. 3. Kemajuan Persalinan Lajur kedua di partograf untuk memantau kemajuan persalinan. Angka 0 -10 dalam cm di kiri menunjukkan pembukaan atau dilatasi serviks. Selain itu, angka di sebelah kiri tersebut, skala 1-5 juga menunjukkan penurunan janin. Setiap kotak horizontal menyatakan waktu 30 menit, sedangkan setiap kotak vertikal menunjukkan penambahan dilatasi I cm. Pembukaan serviks - periksa dalam setiap 4 jam sehingga pencatatan dilakukan setiap 4 jam, jika ada penyulit lebih sering. Partograf mulai ditulis ketika sudah ada pembukaan 4 cm (fase aktif). Yang harus diingat, tanda "X" ditulis di garis waktu yang sesuai dengan lajur pembukaan serviks. Kemudian, hubungkan tanda "X" dengan "X" lainnya dari setiap pemeriksaan dengan garis utuh. Misal, pertama melakukan periksa dalam, didapatkan pembukaan serviks 6 cm. Tanda 'X' mulai ditulis dari garis waspada, yang sejajar dengan angka 6 (titik perpotongan antara garis waspada dan sejajar garis skala 6). Titik ini merupakan titik dimulainya pencatatan partograf sehingga semua lajur, selain pemantauan kemajuan persalinan Gajur kesehatan janin: DJ], ketuban; kontraksi; dll.), titik mulai pencatatannya segaris dengan garis pembukaan serviks. Catat waktu pemeriksaan pertama kali dimulainya fase ak-



tif. di kotak kosong tempat mencatat waktu (segaris dengan pembukaan serviks). Penurunan bagian terbawah, presentasi janin - setiap periksa dalam (per 4 jam). jangan lupa mencatat turunnya bagian terbawah janin juga. Normalnya, pembukaan serviks akan diikuti dengan turunnya bagian terbawah janin. Pengukurannya dengan palpasi bimanual, diukur dari seberapa jauh dengan tepi simfisis pubis. Pencatatannya dengan simbol (o). ditulisnya di garis-garis yang sama dengan lajur pembukaan serviks, menggunakan skala angka untuk pembukaan serviks. Hanya saja ini, dari 0-5. Kemudian, antar simbol (o) dihubungkan dengan garis putus-putus. Contoh: jika kepala masih bisa dipalpasi 4/5, tanda (o) di nomor 4. Katagorinya dari 5/5 hingga 0/5, diperiksa dengan menggunakan 5 jari tangan. 5/5: bagian terbawah janin belum masuk ke tepi atas simfisis pubis 0/5: bagian terbawah janin sudah masuk semua ke dalam simfisis pubis sehingga tidak dapat dipalpasi lagi. Garis waspada dan bertindak - pencatatan fase aktif Qika pembukaan serviks minimal 4 cm) selalu dimulai dari garis waspada. Garis waspada dimulai dari pembukaan serviks 4 cm dan berakhir saat pembukaan lengkap, jika laju pembukaan 1 cm/jam. Jika dilatasi serviks mengarah ke sebelah kanan dari garis waspada, berarti pembukaan 2 hari, terlambat >I minggu untuk suntik KB I bulan, atau terlambat >2 minggu untuk suntik KB 3 bulan Perempuan korban perkosaan kurang dari 72 jam



Farmakologis (Tabel 1). Sumber Bacaan I.



Saifuddin AB. Affandi B. Baharuddin M. Soekir S. Buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Edisi ke-3. Jakarta:



Jenis Mekanik, dengan memasang IUD kurang dari 7 hari setelah terjadi sanggama



Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: 20 I 1. 2.



Center for Disease Control and Prevention (CDC). US medical eligibility criteria for contraceptive use. Amerika Serikat:



CDC: 2010.



Sterilisasi Sonia Hanifati, Damar Prasmusinto



(/)



0 ....



Definisi Sterilisasi atau kontrasepsi mantap merupakan bentuk kontrasepsi yang bersifat permanen. Pada perempuan, prosedurnya disebut sebagai tubektomi. sedangkan pada laki-laki disebut vasektomi.



Paritas >2, Pascapersalinan, Pascakeguguran, Yakin telah memiliki keluarga yang besarnya sesuai kehendak.



Vasektomi Vasektomi merupakan prosedur klinis untuk menghentikan kemampuan reproduksi laki-laki dengan oklusi vas deferens. Oklusi ini menyebabkan transportasi sperma terhambat. Vasektomi efektif setelah 20 ejakulasi atau sekitar 3 bulan.



Kelebihan Sangat efektif (0,5 kehamilan per I 00 perempuan selama tahun pertama penggunaan) , Baik bagi ibu yang apabila terjadi kehamilan, membahayakan nyawanya, Tidak ada perubahan fungsi seksual.



Tubektomi Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela yang bertujuan menghentikan fertilitas perempuan. Tubektomi dibagi menjadi 3 jenis, yaitu minilaparotomi, laparoskopi, dan histeroskopi. Tubektoi secara sederhana dilakukan dengan mengoklusi tuba falopii. Oklusi dapat berupa mengikat dan memotong,memasang cincin, atau menutup tuba falopii.



Kekurangan Harus diperhatikan ireversibilitas dari tindakan ini. meskipun ada pilihan rekanalisasi.



C/I



a



486



Sumber Bacaan 1.



panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Edisi ke-3. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: 20 I I. 2.



Pasien yang Dapat Menjalani Tubektomi Usia >26 tahun,



Saifuddin AB, Affandi B. Baharuddin M. Soekir S. Buku



Center for Disease Control and Prevention (CDC). US medical eligibil ity criteria for contraceptive use. Amerika Serikat:



CDC: 2010.



192 Kompetensi lllA



Gangguan Haid



II



••



Widyaningsih Oentari, Frans Liwang, Andon Hestiantoro



I. Kelainan Jumlah dan Lama Perdarahan Haid a. Menoragia atau hipermenorea: perdarahan haid jumlah banyak (>80 mL darah) dan/atau durasi yang bertambah lama (> 7 hari) pada interval haid yang normal. b. Hipomenorea: perdarahan haid yang lebih pendek dan/atau lebih kurang dari biasanya. Keadaan ini akibat gangguan endokrin, konstitusi penderita, dan pada uterus. 2. Kelainan Siklus Haid a. Polimenorea: perdarahan haid yang terjadi dengan interval kurang dari 21 hari. Biasanya disebabkan gangguan hormonal, endometriosis, maupun kongesti ovarium karena peradangan. b. Oligomenorea: panjang siklus menstruasi lebih dari 35 hari. c. Amenorea: tidak haid selama 3 bulan berturut-turut. Adanya amenorea harus dipastikan bukan suatu kondisi fisiologis, seperti pada masa sebelum pubertas, kehamilan, masa laktasi, dan sesudah menopause. Amenorea patologis dapat dibagi menjadi dua, yaitu: i. Amenorea primer: belum pernah haid hingga usia di atas 18 tahun. Paling sering disebabkan oleh kelainan genetik dan abnormalitas kongenital lainnya (lihat Tabel 1).



ii. Amenorea sekunder: sebelumnya pernah haid, tetapi kemudian tidak haid lagi. 3. Perdarahan di Luar Haid



a. Metroragia: perdarahan haid dengan interval tidak teratur. b. Menometroragia: peningkatan perdarahan haid atau durasi perdarahan yang terjadi dengan interval yang tidak teratur. Perdarahan di luar haid dapat diakibatkan oleh etiologi organik atau fungsional. Penyebab organik mencakup kelainan pada serviks uteri, korpus uteri, tuba falopii. dan ovarium. Perdarahan uterus yang tidak disebabkan oleh etiologi organik atau disebabkan oleh sebab fungsional disebut sebagai perdarahan disfungsional. Etiologinya berupa korpus luteum persisten. insufisiensi korpus luteum, apopleksia uteri, dan kelainan darah. Diagnosis perdarahan di luar haid didapatkan melalui anamnesis dan pemeriksaan ginekologis yang teliti. Tata laksana dapat diberikan: Esterogen dosis tinggi: dipropionas estradiol IM 2.5 mg atau benzoas estradiol 1,5 mg atau valeras estradiol 20 mg. Progesteron: kaproas hidroksi-progesteron I 25 mg IM, atau norethindrone 15 mg atau asetas medroksi-progesteron I 0 mg. Androgen. 4. Gangguan Lain yang Berhubungan dengan Haid a. Premenstrual tension. Keluhan yang muncul satu minggu atau beberapa hari sebelum haid dan dapat bertahan hingga mulai haid atau sampai haid selesai. Gejalanya berupa irita-



Tabel 1. Etiologi Amenorea Primer dan Sekunder Etiologi Amenorea Pnme1



Abnormalitas kromosom (45%) Keterlambatan pubertas fisiologis (20%) Agenesis MGl!erian (15%) Septum vaginal transversal atau himen imperforata (5%) Gaga! produksi hormon hipotalamus GnRH (5%) Anorekia nervosa (2%) Hipopituitarisme (2%)



Keterangan. HPO. hipotalamus-pituitari-ovarium



487 Etiologi Amenorea Sekunder



Gangguan organik pusat: tumor. radang. destruksi Gangguan kejiwaan: syok emosional. psikosis. anoreksia nervosa, pseudosiesis Gangguan aksis HPO: sindrom amenorea-galaktorea. sindrom Stein-Leventhal. amenorea hipotalamik Gangguan hipofisis: sindrom Sheehan. penyakit Simmonds. tumor Gangguan gonad: menopause prematur. insensilive ovary. penghentian fungsi ovarium. tumor sel granulosa, set teka. sel hilus Gangguan glandula suprarenalis: sindrom adrenogenital Gangguan pankreas: diabetes melitus Gangguan uterus-vagina: sindrom Asherman. endometritis TB. histerektomi Penyakit-pe nyakit umum: gangguan gizi. obesitas



Menoragia



t Periksa hormon liroid, USG lransvaginal, atau SIS



t Memerlukan kontrasepsi? Ya



. - - - - - - - - - - - -.....------------~Tidak



Medikamentosa •Asam traneksamat 3xlg • Asam mefenamat 3x500 mg. bila ada nyerl



Kontraindikasi PKK



I



Tidak



Ya



.~~~~~-'-~~~.



+



• Progestin selama 14 hari. kemudian dihentikan selama 14 hari, ul;mgi hingga 3 siklus • Tawarkan LNG-IUS



PKK 3 siklus



Observasi selama 3 slklus



Respon tidal< adekuat



Polip atau mioma submukosum



Respon tidal< adekuat



+



USG transvaginal atau SIS



t Normal atau abnonnal dan tidak bisa dilakukan terapi konservatif



+



Hiperplasia endometrium (tebal endometrium "' I 0 mm)



Adenomiosis



+



+



+



Pertimbangkan reseksl dengan histeroskopi



Pengambilan sampel endometrium



Pertimbangkan MRI, progestln, LNG-IUS, leuprolide. atau histerektomi



Fungsi reproduksi komplit?



[....



Tidak



~-......---------------------~ ·ya



• Catat siklus menstruasi • MonitorHb



• Pertimbangkan ablasi endometrium atau histerektomi



0



~ li';' 2..



0



....



l.Q



488



Gambar l. Tata Laksana Menoragia (HIFERI-POGI. 2007). LNG-IUS: levonorgestrel intrauterine system: PKK: pil kontrasepsi kombinasi: SIS: saline infusion sonography.



bilitas, insomnia, gelisah. nyeri kepala, perut kembung. mual, pembesaran dan nyeri pada payudara, dan sebagainya. Sampai sekarang etiologi premenstrual tension belum jelas. Keadaan tersebut diduga akibat ketidakseimbangan estrogen dan progesteron. b. Mittelschmerz. Nyeri diantara masa haid dan ovulasi yang muncul dalam hitungan jam hingga 3 hari. Nyeri dapat disertai perdarahan, namun tidak menjalar dan tidak disertai mual muntah. c. Dismenorea. Dibagi menjadi dismenorea primer dan sekunder. Dismenorea primer adalah nyeri haid tanpa kelainan pada organ genitalia, sedangkan pada dismenorea sekunder terdapat kelainan ginekologis yang mendasari. d. Gejala dismenorea primer mencakup nyeri



pada perut bawah yang menyebar ke pinggang dan paha, rasa mual. muntah, sakit kepala, diare, dan iritabilitas. Etiologinya antara lain faktor kejiwaan, konstitusi, obstruksi kanalis servikalis. endokrin. dan alergi. e. Pilihan tata laksana yang diberikan berupa edukasi suportif bahwa dismenorea tidak berbahaya, pemberian analgesik (Na diklofenak 3x50 mg; ibuprofen 3x800 mg; asam mefenamat dosis awal 500 mg, rumatan 4x250 mg), terapi hormonal dengan pil kontrasepsi, terapi obat nonsteroid antiprostaglandin, maupun prosedur dilatasi kanalis servikalis. Sumber Bacaan l.



Hestiantoro A. Wiweko B. penyunting. Panduan tata laksana perdarahan uterus disfungsional. Konsensus Him~



punan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia



2.



(HIFERI) serta Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGO: 2007 . Hoffman B. Schorge J. Schaffer J. Halvo rson L. Bradshaw K. Cun ningham F. penyunti ng. Abnormal uterine bleeding.



193 Kompctcnsi TllA



Infertilitas



11



••



Dalam: Will iam gynecology. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill: 201 2. 3. French L. Dys menorrhea. Am Fam Physician. 2005:7 1(2):285-9 1.



Widyaningsih Oentari, Frans Liwang, Andon Hestiantoro



Definisi Menurut WHO, infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan pasangan suami-istri untuk mendapatkan kehamilan setelah melakukan hubungan seksual teratur selama minimal satu tahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi. Apabila istri belum pernah hamil sebelumnya. maka disebut infertilitas primer. Jika terdapat riwayat kehamilan sebelumnya, terlepas dari hasilnya, disebut sebagai infertilitas sekunder. lstilah 'subfe rtilitas· merujuk pada kurangnya kemampuan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan, untuk etiologi yang dapat diatasi. Pembahasan mengenai fe rtilitas dan infertilitas harus melibatkan pasangan suami istri, bukan kemampuan istri saja ataupun suami saja. Etiologi 1. Penyebab utama a. Defek atau disfungsi sperma (25-30%) b. Kegagalan ovulasi {10-20%) c. Kerusakan tuba akibat infeksi (I 0-30%) d. Infertilitas yang tidak diketahui sebabnya (1525%) 2. Penyebab lainnya a. Endometriosis {10-15%) b. Kegagalan atau kurangnya frekuensi koitus (3-4%) c. Disfungsi atau defek mukus serviks (3-5%) d. Abnormalitas uterus e_ Tuberkulosis genital f. Penyakit yang menyebabkan kelumpuhan Diagnosis Sesuai defini sinya, diagnosis infertilitas bila pasangan suami-istri telah berhubungan seksual teratur selama minimal satu tahun tanpa kontrasepsi. Namun, sebelum menjalani sejumlah pemeriksaan untuk melihat potensi fertilitas, suatu pasangan harus memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut: lstri berusia antara 20-30 tahun diperiksa apabila belum hamil setelah berusaha selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih dini apabila



memiliki keadaan sebagai berikut: o Mempunyai kelainan endokrin, o Riwayat keguguran berulang, o Riwayat bedah ginekologi sebelumnya, o Pernah mengalami peradangan rongga panggul atau rongga perut sebelumnya: Istri berusia antara 3 1-35 tahun dapat langsung diperiksa pada kedatangan pertama: Istri berusia antara 36-40 tahun dilakukan pemeriksaan jika belum mempunyai anak dari pernikahan ini; Pemeriksaan tidak dilakukan apabila salah satu pasangan mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan pasangannya atau anaknya. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan dilakukan berdasarkan jenis gangguannya: 1. Gangguan air mani Air mani diejakulasikan dalam wadah bermulut lebar dan bersih setelah abstinensi 3-5 hari. Spesimen dibawa maksimal 2 jam pasca-ejakulasi. Kemudian. dilakukan pemeriksaan pada air mani yang mencakup: a. Karakteristik air mani: Koagulasi dan likuefaksi: air mani saat diejakulasi berbentuk cair dan segera menjadi agar. Dalam waktu 5-20 menit mengalami likuefaksi menjadi cairan yang pekat; Viskositas: setelah likuefaksi , air mani menj adi cairan homogen yang akan membenang mencapai 3- 10 cm saat dicolek dengan lidi. Pengukuran viskositas yang lebih tepat dapat menggunakan pipet Eliasson. Viskositas yang tinggi dapat menghambat gerakan spermatozoa pada kadar spermatozoa kurang dari 60 juta/ cc: Rupa dan bau: saat baru diejakulasi, air mani berwarna putih kelabu. Setelah mengalami likuefaksi, air mani menjadi calran yang dapat jernih atau keruh tergantung konsentrasi spermatozoa. Bau air mani normal dikatakan seperti bau bunga akasia;



489



Volume: setelah abstinensi selama 3 hari, volume air mani antara 1-5 cc; pH: 7,3-7.7; Uji fruktosa: positif. b. Pemeriksaan mikroskopik Konsentrasi spermatozoa: 2:40 juta dengan densitas 2:20 ju ta/ cc; Motilitas spermatozoa: biasanya pada air mani yang normal, masih terdapat 60% spermatozoa yang bergerak lurus dan cepat setelah 2-3 jam. Morfologi spermatozoa. c. Uji ketidakcocokan imonologik: dilakukan uji kontak antara air mani dan lendir serviks. 2. Gangguan vagina. Umumnya berkaitan dengan adanya sumbatan atau peradangan. Keadaan tersebut menyebabkan tidak sampainya air mani ke serviks. 3. Gangguan serviks. Hal yang berkontribusi kepada infertilitas adalah sumbatan kanalis servikalis, lendir serviks yang abnormal, malaposisi dari serviks atau kombinasinya. Beberapa pemeriksaan untuk menilai serviks, yaitu uji pascasenggama (menilai banyaknya spermatozoa pada lendir serviks pascasenggama dalam 1 LPB). uji gelas objek (menilai kemampuan spermatozoa untuk masuk ke dalam lendir serviks). dan uji kontak air mani dengan lendir serviks (membandingkan motilitas sperma pada lendir serviks dan air mani). 4. Gangguan uterus. Biasanya dikaitkan dengan kemampuan uterus untuk membantu transportasi spermatozoa. Masalah yang ditemukan adalah adalah gangguan kontraksi uterus, distorsi kavum uteri, peradangan endometrium. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah: Biopsi endometrium: waktu pengambilan spesimen disesuaikan dengan keterangan yang ingin diperoleh. Histerosalpingografi: penyuntikan media Tabel I. Skala Penilaian Gerakan Ekor. Kemajuan. Arah. dan Ke-



490



cepatan spermatozoa



Gl·1akan kor 1



KC'ma1uan



Ar ah



Kcn·pat.m



Lika-liku



Lambat



(- )



(- )



(+)



(-)



I+



(+)



(± )



2



(+)



(+)



2+



(+)



(+)



Lu rus



Lambat Cepat



0



3



(+)



(+)



Lurus



3+



(+)



(+ )



Luru s



Lebih cepac



(+)



(+)



Lurus



Sangat cepat



kontras ke dalam kavum peritonei melalui kanalis servikalis untuk mendapatkan gambaran kavum uteri, patensi tuba. dan peritoneum. Penilaian dilakukan secara radiograflk. Uji diagnostik ini memberikan efek terapeutik karena dapat membilas sumbatan tuba yang ringan dan media kontrasnya (iodium) bersifat bakteriostatik sehingga memperbaiki kualitas lendir serviks. Histeroskopi: peneropongan kavum uteri yang telah digelembungkan dengan media dekstran 32%, glukosa 5%, garam flsiologis, atau gas C0 2• Pemeriksaan ini dilakukan jika pada histerosalpingografl tampak kelainan. riwayat abortus habitualis, terdapat mioma atau polip submukosa. perdarahan abnormal uterus, dan persiapan sebelum bedah plastik tuba. Pemeriksaan ini tidak dilakukanjika diduga terdapat infeksi akut rongga panggul, kehamilan, atau perdarahan yang banyak dari uterus. 5. Gangguan tuba. Salah satu penyebab tersering infertilitas. Pemeriksaan yang dilakukan berupa pertubasi. Pemeriksaan dilakukan dengan meniupkan gas C0 2 melalui kateter atau kanula yang dipasang pada kanalis servikalis untuk melihat patensi tuba. Kontraindikasi dari pemeriksaan ini adalah kehamilan, baru dilakukan kuretase, perdarahan uterus, dan peradangan alat kelamin. Pertubasi lebih baik dilakukan setelah haid bersih, sebelum ovulasi, atau pada hari ke-10 pada siklus haid. 6. Gangguan ovarium. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya ovulasi. Pemeriksaan mencakup penilaian lendir serviks. catatan suhu basal badan, sitologi vagina hormonal, pemeriksaan hormonal, dan biopsi endometrium. 7. Gangguan peritoneum. Laparoskopi diagnostik merupakan tahapan akhir dari pengelolaan infertilitas. Indikasi dilakukannya uji diagnostik ini adalah: Jika selama satu tahun pengobatan, belum terjadi kehamilan; Siklus haid yang tidak teratur atau suhu basal badan yang monofasik; Apabila istri pasangan infertil berumur 28 tahun atau lebih atau mengalami infertilitas selama 3 tahun lebih; Pernah dilakukan histerosalpingografl dengan media kontras larut minyak; Terdapat riwayat apendisitis; Pertubasi berkali-kali menunjukkan hasil abnormal; Dicurigai terjadi endometriosis; Apabila akan dilakukan inseminasi buatan.



In Vitro Fertilization (IVF) IVF (atau fertilitas di luar tubuh) merupakan pem-



biakan (kultur) di laboratorium dari hasil inseminasi sel sperma ke sel ovum yang diambil dengan cara pengisapan fo likel matang dari ovarium sehingga terbentuk embrio. yang dilanjutkan dengan transfer embrio ke dalam uterus melalui tuba Falopii atau transservikal. Angka keberhasilan !VF untuk satu siklus ialah 30-35%; angka ini akan menjadi lebih tinggi bila prosedur diulang dua kali. Secara umu m, indikasi !VF adalah: Oklusi tuba bilateral yang tidak dapat dilakukan rekonstruksi (6 bulan pascarekonstruksi pasien belum hamil) ; Endometriosis sedang-berat; Unexplained fertility setelah >3 tahu n penatalaksanaan pasien belum hamil;



dari usia suami, usia istri. dan lamanya dihadapkan pada kemungkinan kehamilan, maka peran konseling awal bagi pasangan suami-istri menjadi sangat penting. Pasangan perlu diedukasi mengenai fe rtilitas dan gaya hidup, termasuk hubungan seksual setiap 2-3 hari, menghentikan kebiasaan merokok dan minum minuman beral kohol, indeks massa tubuh ideal antara 20-25, dan menginfo rmasikan pekerjaa n dan penggunaan obat bebas yang berbahaya bagi fertilitas. Selain itu, penting juga untuk dilakukan penapisan keganasan serviks (dengan Pap smear) dan Rubella. Sumber Bacaan 1.



Nonobstructive azoospermia. Konseling Awai Pasangan Karena prognosis infertilitas sangat bergantung



2.



Hoffman B. Schorge J. Schaffer J, Halvorson L. Bradshaw K. Cun ni ngham F. penyunti ng. Evaluation of the infertile couple. Dalam: William gynecology. Edisi ke-2. Philadelp hia: McGraw-Hill: 2012. Baziad A. Endokrinologi ginekologi. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius: 2008.



Kanker Endometrium Frans Liwang, Sigit Purbadi Etiologi dan Faktor Risiko Etiologi dari kanker endometrium adalah pajanan estrogen (eksogen atau endogen) yang terlalu panjang. Faktor risiko yang berhubungan kanker endometrium adalah obesitas, infertilitas, menarche dini. menopause yang lambat, diabetes melitus, hipertensi, penggunaan tamoksifen, dan kondisi anovulasi kronis. Sindrom Lynch juga menjadi salah satu faktor predisposisi dari kanker endometrium dan ovarium. Epidemiologi Karsinoma endometrium merupakan keganasan pada pelvis perempuan yang sering ditemukan. Tumor ini biasanya ditemukan terlokalisasi pada korpus uterus sehingga sebagian besar dapat langsung ditangani. Penyakit ini kebanyakan ditemukan pada perempuan usia pascamenopause dengan usia median 63 tahun danjarang ditemukan di Asia. Manifestasi Klinis Karsinoma endometrium biasanya terjadi pada dekade keenam atau ketujuh kehidupan. Sebagian besar penderita terdiagnosis penyakit ini pada stadium awal. Gejala klinis yang biasanya ditemukan mencakup duh vagina yang abnormal, perdarahan pascamenopause yang abnormal, dan leukorea. Pada pasien dengan dengan gejala klinis tersebut, perlu ditelusuri riwayat kesehatannya, pemeriksaan pelvis



yang diikuti dengan biopsi endometrium atau dilatasi fraksional dan kuretase. Diagnosis dan Staging Seki tar 7 5-80% kanker endometrium adalah adenokarsinoma, dan prognosisnya bergantung pada stadium, histologic grade, dan derajat penyebaran. Grading dari pemeriksaan mikroskop dapat dibagi menjadi tiga, yaitu grade I berupa adenokarsinoma yang terdiferensiasi baik, grade II yang mengandung beberapa area solid, dan grade III yang tidak berdiferensiasi. Untuk melakukan staging pada kanker endometrium, dilakukan operasi histerektomi total dan salfingo-oovorektomi bilateral, serta pengambilan sampel cairan peritoneum. Melalui operasi tersebut, dapat dilihat penyebaran penyakit dan kedalaman invasi miometrium, yang kemudian disesuaikan dengan kategori The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) tahun 2009 (lihat Tabel 1). Prognosis Angka 5-year-survival rate untuk kanker endometrium ialah 69%. Namun bila ditemukan pada tahap yang lebih dini, maka angka 5-year-survival rate dapat mencapai 91 %. Sumber Bacaan: I.



Colombo N. Preti E. Landoni F, Carinelli S, Colombo A.



491



Tabel I . Stadiu m Kanker Endometrium berdasa rkan FIGO 2009 Stadium



Stadium I la lb Stadium D Stadium Jll



Keterangan



Terbatas pada uterus



lnvasi miometrium tidak ada atau kurang dari setengah Invasi lebih atau sama dengan sebagian dari miometrium



Tumor menginvasi stroma serviks. tetapi tidak melebihi uterus Penyebaran tumor secara lokal dan/ atau regional



Illa



Tumor menginvasl serosa dan/atau adneksa korpus uteri



lll b



Keterlibatan vagina dan/ atau parametrium



Ille



Metastasis ke nodus limfe pelvis atau para-amta. Ill CI posit if pad a nod us limfe di pelvis, DI CZ posltif pada nodus lime para-aorta dengan atau tanpa adanya temuan positif pada nodus limfe pelvis



Stadium IV



Tumor menginvasi ke kandung kemih dan/atau mukosa usus, dan/ atau metastasis jauh



!Va



lnvasi tumor ke kandung kemih dan/atau mukosa usus



!Vb



Metastasis jauh. termasuk di antaranya nodus limfe intra-abdomen da n/ atau ingui nal



Tabel 2. Tata Laksana Operatif Kanker Endometrium Stadium



ProsPdut



Stadium I IA Gl-G2



Histerektomi dengan salplngo-oovorektomi bilateral.



IAG3



Histerektomi dengan salpingo-oovore kto mi bilateral



±



limfadenektomi pelvis/ paraaorta bilate ral.



IB GI G2 G3



Histerektomi dengan salpingo-oovorektomi bilateral



±



limfadenektomi pelvis/ para-aorta bilateral.



Stadium II



Histerektomi dengan salpingo-oovore kto mi bilateral



±



limfadenektomi pelvis/ paraaorta bilate ral.



Stadium ID



Operasi maksimal sitoreduksi dengan status keadaan yang baik.



Stadium IV IVA



Exenteration dari pelvis anterior dan posterior.



!VB



Tera pi sistemik dengan operasi paliatif.



Keterangan: FICO. International Federation of Gynecology and Obstetric label 3. Terapi Adju va n Kanker Endometriu m Stadium



Tmdakan



Stadium I



492



IA Gl-G2



!AG3



Observasi. Observasi atau vaginal brachytherapy. Apab ila faktor prognostik negatif. pertimbangkan radiotera pi pelvis dan/a tau kemoterapi tambahan.



rB GI G2



Observasi atau vaginal brachytherapy. Apabila faktor prognostik negatlf, penimbangkan radioterapi pelvis dan/atau kemoterapl tambahan.



IB G3



Radioterapi pelvis. Apabila fakto r prognostik negatif. dipertimbangkan kombinasi radioterapi dan kemoterapi.



Stadium II



Stadium Ill dan IV



Radioterapi pelvis dan vaginal brachyteraphy. Apabila tumor grade I dan 2. invasi rniometrium < 50%. LVSI negatif, dan comp/ere surgical staging: hanya dilakukan brachytheraphy. Apabila faktor prognostik negatif: kemoterapi ± radiasi. Kemoterapi.



Apabila nodus positif: radi otera pi sekuensial. Apabila penyaki t metastatis: kemoterapi-radioterapi untuk tera pi paliat if.



Keterangan: LVS/. lymphovascu/ar space invasion.



Marini C. dkk. Endometrial cancer: ESMO clin ical practice guidelines for diagnosis. treatment and fo llow-up. Annals of Oncology. 201 1:22 (Suppl 6):vi35-9. 2. Hacker NF. Friedlander ML. Uterine cancer. Dalam: Berek JS. Hacker NF. penyunting. Gynecologic oncology. Edisi ke5. Lippincott Will iams & Wilkins: 2010.



3. Andrum LM. Zuna RE. Walker JL. Endometrial hyperplasia. estrogen therapy. and the prevention of endometrial cancer. Dalam: DiSaia P]. Creasman WT. Manne! RS. McMeekin DS. Mutch DG. penyunting. Clinical gynecologic oncology. Edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier Saunders: 201 2



Kanker Ovarium Frans Liwang. Sigit Purbadi Etiologi Pada perempuan dengan keturunan kanker payudara atau ovarium, terdapat dua lokus yang telah diidentifikasi, yaitu BRCA I pada kromosom I 7q 122 1 dan BRCA2 pada kromosom I 3q 12- 13 yang merupakan gen supresor tumor. Di samping itu, sindrom Lynch tipe II berhubungan dengan peningkatan risiko kanker ovarium dan biasanya kanker ditemukan pada usia kurang dari 50 tahun. Insidens dan Epidemiologi Kanker ovarium epitel merupakan jenis yang paling sering ditemukan dan merupakan penyebab utama dari kematian pada kanker ginekologis di Amerika Serikat. Pada tahun 2007, ditemukan 22.430 kasus baru dan l 5.280 perempuan meninggal karena kanker ovarium. Kanker ovarium tipe germ cells biasanya ditemukan pada dua dekade pertama kehidupan, sedangkan tipe stroma ditemukan pada perempuan dewasa. Pada studi epidemiologi ditemukan bahwa insidens tinggi ditemukan pada perempu an dengan riwayat keluarga. pernah terpajan asbestos atau talkum. pada negara industri. dan pada perempuan dengan gangguan fungsi ovarium. termasuk di antaranya fertilitas. nuliparitas. dan sering kali mengalami keguguran. Penurunan risiko kanker ovarium berhubungan dengan kehamilan (setiap kehamilan menurunkan risiko kanker ovarium sebanyak I 0%). menyusui, dan ligasi tuba. Klasifikasi Setiap jenis dari kanker ovarium memberikan karakteristik tertentu. luaran yang berbeda, serta tata laksana dan pendekatan yang tidak sama. Berdasarkan tipe selnya, keganasan ovarium dapat dibagi menjadi: a. Tipe epitelial. merupakan tipe yang paling sering pada neoplasma ovarium. Tumor epitel ovarium dapat bersifatjinak. ganas, atau borderline. Tumor



epitel tipe borderline mempunyai gambaran sitologis dari keganasan akan tetapi tidak terjadi invasi ke stroma ovarium. Sebanyak 75% dari tipe borderline muncul pada stadium awal dan ditemukan pada dekade ke-4 hingga 5. Terdapat lima subtipe dari tumor epitel, yaitu serosa, musin, endometroid. clear cell , dan tumor Brenner. Selain itu, tipe epitelial ovarium juga dapat disebabkan karena metastasis kanker lain. seperti payudara. kolon. gaster. dan pankreas. b. Tipe non-epitelial. dibagi menjadi: i. Tipe germ-cell. misalnya disgerminoma dan teratoma imatur; ii. Tipe sex cord-stromal cell, misalnya tumor sel granulosa. tumor Sertoli-Leydig, dan sebagainya. Faktor Risiko Usia ~40 tahun. obesitas. merokok. riwayat terapi estrogen. riwayat kanker ovarium dalam keluarga. riwayat kanker payudara, penggunaan bubuk talkum, serta pajanan asbestos. Manifestasi Klinis Kanker ovarium yang masih terlokalisasi biasanya tidak menimbulkan keluhan seh ingga pasien biasanya terdiagnosis saat kanker telah menyebar hingga pelvis. Keluhan yang biasanya muncul pada stadium lanjut mencakup kembung. nyeri abdomen. dan keluhan berkemih. Akan tetapi. keluhan bisa muncul pada stadium awal apabila terjadi torsio pada masa ovarium yang mengakibatkan nyeri, atau massa ovarium menyebabkan peningkatan frekuensi urine atau konstipasi. Keluhan perdarahan pervaginam biasanya jarang ditemukan. Pada pemeriksaan fisis dapat teraba massa adneksa dengan karakteristik keras. iregular. dan sulit digerakkan. Kemudian. pada USG akan tampak kista dengan elemen solid. Gejala dari kanker ovariu m non-epitelial adalah nyeri pelvis subakut dan rasa tekanan pada pelvis



4 93



karena massa pada pelvis dan iregularitas menstruasi.



Tata Laksana Tata laksana pada pasien dengan kanker ovarium epitel bergantung pada stadium, tumor residu, dan derajat histologis. Pada pasien stadium I dan II kanker ovarium, tanpa residu penyakit, dan tumor yang berdiferensiasi sempurna atau sedang, tidak perlu dilakukan terapi tambahan setelah operasi definitif dan mempunyai survival rate 5 tahun lebih dari 95%. Pasien stadium I kanker ovarium dengan derajat histologis yang buruk, dilakukan pemberian terapi adjuvan dengan bahan dasar platinum. Pasien stadium III dengan residu penyakit minimal atau tidak ada, dianjurkan pemberian terapi adjuvan berbahan dasar platinum. Akan tetapi, hanya setengah pasien pada stadium ini yang akan memasuki fase bebas penyakit. Kemudian, pada pasien stadium III dan IV dengan tumor residu yang besar biasanya ditata laksana dengan kombinasi paclitaxel-platinum intravena. Pada stadium ini, prognosis keseluruhannya buruk. Tata laksana kanker ovarium non-epitelial juga



Diagnosis dan Staging Laparotomi merupakan prosedur primer yang digunakan untuk menentukan diagnosis dan memberikan staging yang akurat. Pemeriksaan yang non-invasif seperti X-ray toraks, CT-scan, atau MRI abdomen, dan sonografi abdomen serta pelvis dapat digunakan untuk membantu prediksi penyebaran tumor. Gejala dari kandung kemih atau disfungsi ginjal dapat dievaluasi dengan sistoskopi atau pielografi intravena. Pada kanker ovarium non-epitelial, dilakukan pemeriksaan USG pada pelvis, CT-scan pada abdomen dan pelvis, serta X-ray toraks. Pada pasien yang muda, dianjurkan agar melakukan pemeriksaan serum human chorionic gonadotropin (hCG), titer a -fetoprotein (AFP) , laktat dehidrogenase (LDH). darah perifer lengkap, dan tes fungsi hati serta ginjal. Klasifikasi tingkat keganasan kanker ovarium dapat dilihat pada Tabel 1.



Massa pelvis teraba pada abdomen/pemeriksaan rektal dan/atau asites. distensi abdomen, dan/atau gejala klinis seperti kembung. nyeri abdomen atau pelvis, sulit makan, rnudah kenyang, atau peningkatan frekuensi dan urgensi berkemih tanpa sumber keganasan Jain yangjelas.



• Cari dan evaluasi riwayat keluarga • Pemeriksaan pelvis/abdomen • Pemeriksaan gastrointestinal apabila dibutuhkan •USG dan/atau CT-abdomen/pelvis •X-ray dada • Pemeriksaan marka tumor, seperti C-125 • Pemeriksaan darah perifer lengkap, tes fungsi hati







494



Laparotorni/total abdominal hysterectomy (TAH)/salphingo-oforektorni bilateral dengan stadium komprehensif atau salphingo-oforektoml unilateral (pada stadi1,1m IA hingga JC) Atau Operas! sitoreduksi (stadium II, 111, IV) Atau Kemoterapl neoadjuvan/sitoreduksi interval primer pada paslen stadium l!I/IV yang tidak menjadi kandidat untuk operasi (diagnosis dengan BJH, biopsl, atau parasemesis)



.



Staging: • Stadium IA atau IB Grade 1 ..... observasi Grade 2 ....+observasi atau taxane/carboplatin lV selama 3-6 siklus Grade 3 -+ taxane/carboplatin IV selama 3-6 siklus • Stadium IC Grade 1.2,3 _, taxane/carboplatin IV selama 3-6 siklus • Stadium II, III, JV: J3.0 mm tetapi s5.0 mm de ngan penyebaran horizontal s7.0 mm.



Tlb



IB



Lesi tampak secara klinis terbatas pada serviks atau lesi mikroskopik >Tla/ IA2.



TI bl



!Bl



Lesi tampak secara klinis s4.0 cm pada dimensi terbesar.



Tlb2



IB2



Lesi tampak secara klinis >4.0 cm pada dimensi terbesar.



T2



Karsinoma serviks denga n invas i yang melewati uteru s tetapi tidak mencapai dind ing pelvis atau sepertiga bawah vagina.



II



Tumor tanpa invasi parametrium



T2a



DA



T2al



IIA



Lesi tampak seca ra klinis s4.0 cm pada dimensi terbesar.



T2a2



llA2



Lesi tampak secara klinis >4.0 cm pada dirnensi terbesar.



T2b



IIB



Tumor dengan invas i pa rametrium



III



T3 T3a T3b



T4



Tumor me luas hi ngga dinding pelvis dan/atau melibatkan sepertiga bawah vagina. dan /atau menyebabkan hidronefrosis atau glnjal yang tidak berfungsi.



IllA



Tumor meluas hingga sepert iga bawah vagina. tanpa perluasan ke dinding pelvis.



l!IB



Tumor meluas hingga ke dinding pelvis dan/atau menyebabkan hidronefrosls atau ginjal yang tidak berfungsi. Karsinoma telah meluas melewati pelvis atau te lah mencapai mukosa kand ung kemih atau rektum (te rbukti melalui biopsi).



IV T4a



IVA



Penyebaran mencapai organ sekitar.



T4b



IVB



Pe nyeba ra n menca pai organ ya ngjauh.



Keterangan: TNM. tumor-node-metastases: FICO, The International Federation of Gynecology and Obstetrics.



498



Prosedur Pap Smear: The American Cancer Society merekomendasikan dilakukannya Pap smear setiap tahun selama 2 tahun berturut-turut pada perempuan usia lebih dari 20 tahun atau perempuan yang telah aktif secara seksual. Apabila hasilnya negatif, maka dianjurkan pemeriksaan Pap smear diulang setelah tiga tahun hingga mencapai usia 65 tahun. Langkah kerja Pap Smear dapat dilihat pada Bab Prosedur Pap Smear. Pap smear merupakan prosedur sitologi dengan mengambil sel-sel epitel serviks dan diperiksa secara histopatologis. Waktu pengambilan dianjurkan setelah bersih haid minimal 3 hari, dan disarankan tidak melakukan hubungan seksual atau menggunakan obat vaginal minimal 3 hari sebelum pemeriksaan. Sampel dikirim ke laboratorium dan hasil dapat diteri-



ma dalam waktu sekitar 7 hari kemudian. Hasil Pap smear dapat dilaporkan sebagai: (klasifikasi Bethesda 200 I) (I) Normal; (2) Atypical squamous cells of undetermined significance (ASCUS): a. Atypical squamous cells of undetermin ed significance (ASCUS) , b. Tidak dapat mengeksklusi high grade SIL (ASC-H), (3) Low-grade squamous intraepithelial lesions (LSIL): CINI; (4) High-grade squamous intraepithelial lesions (LSIL): CIN II. CIN Ill. (5) Karsinoma serviks.



Tabel 2. Pilihan Terapi Keganasan Serviks



Stad ium



I.11.1 I aks.ma



± salpingo-ovorektomi dan limfadenektomi pelvis apabila terjadi



IA!



Conization. atau histerektomi sederhana invasi limfovaskular.



IA2



Conizationlcrachelectomy radikal atau histerektomi radikal yang dimodifikasi dan limfadenektomi pelvis.



IBI. llA IB2, serta IIB-IV



Histerektomi radikal dan Jimfadenektomi pelvis. Kombinasi computed tomography (CT)/terapi radiasi dengan cisplatin.



Tabel 3. Kategori Temuan dan Pelaporan Skrining IVA



Kategori Temuan Normal



Licin, merah muda. bentuk porslo normal.



lnfe ks i



Servisitis (inflamasi. hiperemis). banyak fluor. ektropion. polip.



Positif IVA



Plak putih, epitel acetowhite (bercak putih) .



Kanker leher rahim



Pertumbuhan seperti bunga kol. pertumbuhan mudah berdarah.



Pelaporan Hasil Skrining



Negatif



Tak ada lesi bercak putih (acetowhite lesion); Bercak putih pada polip endoservikal atau kista nabothi; Garis putih mirip Jesi acetowhite pada sambu ngan skuamokolumna.



Positlf I (+)



Samar, transparan. tidak jelas. terdapat lesi bercak putih yang ireguler pada serviks; Lesi bercak putih yang tegas, rnembentuk sudut (angular). geographic acetowhite lesions yang terlet'!kjauh dari sambungan skumokolumnar. Lesi acetowhite yang buram. padat, dan berbatas jelas sampe ke sambungan skuarnokolumnar. Lesi acetowhite yang Ju as. circumorilicial, berbatas tegas. tebal dan padat. Pertumbuhan pada leher rahim menjadi acetowhite.



Perempuan dengan ASCUS, ASC-H, atau low-grade CIN harus mengulang Pap smear 3-6 bulan kemudian. Sedangkan. perempuan dengan hasil Pap smear high grade CIN atau ganas harus melakukan pemeriksaan biopsi dengan bantuan kolposkopi. Selanjutnya, dapat dilakukan cone biopsy apabila dicurigai adanya tumor endoserviks. kolposkopi dinilai tidak adekuat, pada biopsi menunjukkan karsinoma mikroinvasif, atau terdapat diskrepansi antara temuan Pap smear dan kolposkopi. Sekitar 70% dari kanker serviks adalah tumor sel skuamosa, 20-25 persen adalah adenokarsinoma, dan 2-5 persen adalah adenoskuamosa dengan struktur glandula dan epitel. Pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) Selain Pap smear, metode skrining yang lebih sederhana ialah inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Prosedur ini juga direkomendasikan untuk rutin pada perempuan usia :20 tahun atau telah aktif secara seksual. Kelebihan tes ini adalah metode yang lebih sederhana dan hasil yang lebih cepat dibandingkan Pap smear. Pemeriksaan ini menggunakan larutan asam asetat 5% yang dioleskan pada serviks. Larutan tersebut



akan menimbulkan perubahan pada sel-sel epitel serviks melalui reaksi "acetowhite". Langkah kerja IVA dapat dilihat pada Bab Prosedur Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Hasil temuan pemeriksaan IVA dapat dikategorikan seperti pada Tabel 3. Baku emas penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim ialah biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Apabila hasil skrining positif, pasien dianjurkan untuk menjalani prosedur berikutnya. yaitu dengan biopsi yang dipandu oleh kolposkopi (baku emas penegakan diagnosis). Pemeriksaan DNA HPV Saat ini, pendeteksian dari DNA HPV mulai dievaluasi dan dipertimbangkan sebagai skrining primer pada perempuan usia 30-35 tahun. Pendeteksian DNA HPV inijuga dapat digunakan sebagai salah satu faktor prognostik pada pasien dengan hasil pemeriksaan sitologi yang ambigu (ASCUS, dan sebagainya). Pada suatu penelitian didapatkan bahwa deteksi virus pada ASCUS dapat memprediksi adanya lesi highgrade dengan sensitivitas yang tinggi. Sumber Bacaan: I.



Oirektorat Pengendalian Penyakit Tidak menular Oepane-



499



men Kesehatan RI. Buku acuan pencegahan kanker leher rahim da n kanker payudara. Jakarta: Depkes RJ; 2007. 2. Hacker NF, Friedlander ML Cervical cancer. Dalam: Berek JS. Hac ker NF. penyunting. Gynecologic oncology. Ed isi ke5. Lippincott Williams & Wilkins; 2010. 3. Tewari KS. Monk BJ Invasive cervical cancer. Dalam: DiSaia PJ Creasman WT. Manne! RS. McMeekin DS. Mutch DG. penyunting. Clinical gynecologic oncology. Edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier Sau nders; 2012. 4. Castellsague X. Natural history and epidemiology of HPV



infection and cervical cancer. Gynecologic Oncology. 2008: 110:s4-7. 5. Colombo N. Carinelli S. Colombo A. Marini C, Rollo D. Sessa C. Cervical cancer: ESMO clinical practice gu idelines for diagnosis. treatment and follow-up. Annals of Oncology. 20 l 2;23(Supp17): vii27-32. 6. Kementerian Kesehatan RI. Skrining kanker leher rahim dengan metode inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Jakarta: 2008.



Laparotomi KET Widyaningsih Oentari, Andon Hestiantoro Pendahuluan Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Kehamilan ektopik yang menimbulkan abortus atau ruptur sehingga mengakibatkan penurunan kondisi umum pasien disebut dengan kehamilan ektopik terganggu (KET). Kasus KET merupakan kegawatdaruratan obstetrik yang mengancam nyawa ibu dan janin.



500



Tata Laksana OperatifKehamilan Ektopik I. Salpingektomi Definisi: Pengangkatan satu atau kedua tuba Falopii. Indikasi: Kondisi penderita buruk, misalnya syok; Kondisi tuba buruk: jaringan parut pada tuba dapat meningkatkan risiko kehamilan ektopik; Penderita menginginkan fertilisasi in vitro; Penderita tidak ingin punya anak lagi. Prosedur: Setelah peritoneum terbuka, identifikasi tuba yang sakit dan dipegang dengan ibu jari dan telunjuk. Angkat tub tersebut sehingga pembuluh darah tuba pada mesosalping tampak. Jepit mesosalping dengan dua klem Kelly pada area fimbria tuba dan sedekat mungkin dengan tuba. Gunting mesosalping yang terjepit antara dua klem. Klem yang dekat tuba tetap dibiarkan, sedangkan jaringan dekat klem satu lagi dijahit dengan cat gut chromic. Prosedur diulang dengan menyusuri tuba hingga mencapai kornu uterus. Lakukan jahitan matras pada otot uterus di bawah insersi tuba tetapijangan diikat dahulu. Tuba dipotong di daerah insersi dan jahitan matras diikat untuk menghentikan



o o



perdarahan. Ikatan-ikatan pada mesosalping dibenamkan dalam lipatan peritoneum dengan jahitan. Ligamentum rotundum didekatkan ke kornu dan dijahitkan ke dinding belakang uterus sehingga menutup area operasi tuba.



2. Tindakan konservatif Saat akan dilakukan tindakan konservatif, maka harus dipertimbangkan kondisi tuba yang terlibat dan kemampuan operator. Tindakan ini dapat dibagi menjadi: a. Salpingotomi Definisi: Pembuatan celah (insisi) pada tuba Falopii. namun tuba tetap dipertahankan. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan di ampula dan infundibulum. Prosedur: Tindakan untuk kehamilan di ampula: Buka kavum peritoneum; Lakukan insisi longitudinal pada tuba; Keluarkan hasil konsepsi melalui insisi dengan kl em jepit. J aringan nekrotik dan sisa trofoblas tidak perlu dikeluarkan semuanya; Jahit Iuka insisi atau biarkan terbuka; Tindakan untuk kehamilan di infundibulum: Tidak dilakukan insisi, tetapi tuba diurut hingga hasil konsepsi keluar. b. Reanastomosis tuba Definisi: Prosedur mengembalikan patensi tuba Falopii setelah ligasi tuba. Pada kasus KET. prosedur ini dilakukan pada kehamilan di ismus. Prosedur: salpingektomi parsialis. yang dilanjutkan dengan reanastomosis tuba. Tata Laksana Operatif Kehamilan Ektopik Lanjut 3. Laparotomi, merupakan prosedur membuka



(insisi luas) dinding abdomen untuk mencapai organ-organ intra-abdominal, termasuk organ reproduksi perempuan (uterus dan ovarium). Prosedur laparotomi telah lama digunakan untuk tata laksana kasus KET, meski telah dikembangkan berbagai prosedur invasif minimal lainnya. Prosedur: Insisi dinding perut. Bebaskan omentum yang menutupi dan melekati kantung janin. Kantung janin dibuka pada area yang paling sedikit pembuluh darahnya. Bayi dilahirkan dan potong tali pusat dekat insersinya di plasenta. Plasenta ditinggalkan apabila melekat pada



alat-alat vital karena risiko perdarahan tinggi dan akan diserap atau autolisis sendiri dalam beberapa bulan atau tahun. Plasenta dikeluarkan apabila diperkirakan perdarahan dapat dikuasai dan jika perlu dapat dilakukan pengangkatan organ tempat plasenta berimplantasi. Sumber Bacaan 1 . Wiknjosastro H. Saifuddin AB. Rachimhadhi T. penyunting. llmu kandungan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: 2008. 2 . Hoffman B. Schorge J. Schaffer J, Halvorson L, Bradshaw K. Cunningham F. penyunting. Intraoperative considerations.



Dalam: William gynecology. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill: 201 2.



Menopause Widyaningsih Oentari, Frans Liwang, Andon Hestiantoro Definisi Menopause (mati haid) adalah berhentinya menstruasi setelah terjadi amenorea selama 12 bulan berturut-turut. Menurut Perkumpulan Menopause Indonesia (PERMD usia rata-rata menopause populasi Indonesia ialah 51,3 tahun. Klasifikasi Menopause dapat terjaadi secara alamiah, maupun akibat pembedahan atau penyinaran. Pada menopause dapat terjadi masalah pada jadwal terjadinya menopause, yaitu: Menopause prematur. Terjadi sebelum usia 40 tahun. Biasanya disebabkan karena herediter, gangguan gizi berat, penyakit menahun, dan penyakit yang merusak kedua ovarium; Menopause terlambat. Terjadi di atas usia 52 tahun. Biasanya disebabkan oleh konstitusional, fibromioma uteri, dan tumor ovarium yang menghasilkan estrogen. Manifestasi Klinis l. Gejala vasomotor. merupakan bentuk gejala yang paling sering ditemukan dan dikeluhkan pada masa transisi menopause. Gejala ini biasanya ditemukan pada perempuan Kaukasia dan beberapa ras di Asia. Akan tetapi, di Indonesia keluhan ini jarang dijumpai. Gejala vasomotor berupa rasa panas pada bagian atas tubuh terutama pada wajah, leher, dan dada. Rasa panas ini disebut sebagai "hot flush" dan le-



2. 3.



4.



5.



6.



7. 8.



bih dirasakan pada malam hari. Gejala vasomotor biasanya diiringi dengan gejala lain, seperti iritabilitas, nyeri kepala, nyeri sendi atau otot, kelelahan, serta rasa tidak percaya diri. Biasanya keadaan ini bertahan selama 1-2 tahun. Nyeri sendi, sering ditemukan pada perempuan menopause di Indonesia. Kulit, akibat penurunan produksi kolagen dan penipisan kulit sehingga terjadi penurunan elastisitas dan keriput pada kulit serta kulit menjadi kering. Pada dasarnya, kulit mempunyai reseptor terhadap estrogen dan pada menopause terjadi penurunan kadar estrogen tersebut. Atrofi genitourinaria. Estrogen dalam kadar rendah dapat menyebabkan penipisan mukosa dan inflamasi pada uretra dan kandung kemih. Kelainan tersebut akan tampak pada 2-5 tahun setelah menopause. Gejala yang tampak berupa vaginitis, pruritus, dispareunia, uretritis, frekuensi dan urgensi berkemih, disuria, inkontinensia, dan prolaps pelvis Kebiasaan merokok dapat memperberat gejala ini. Fungsi seksual. Penurunan kadar estrogen menyebabkan penurunan lubrikasi vagina dan atrofi genital sehingga menyebabkan hubungan seksual yang kurang nyaman. Penyakit kardiovaskular. Setelah menopause, terjadi peningkatan risiko penyakit kardiovaskular pada perempuan. Stroke dan kejadian tromboemboli pada vena Osteoporosis



501



9. Demensia tipe Alzheimer. Pe nyebab utama dari terjadinya demensia dan risikonya lebih tinggi pada perempuan. Tata Laksana 1. Terapi Medikamentosa Terapi hormonal: sangat direkomendasikan pada perempuan dengan menopause dini dan premature ovarian failure. Pasie n sebaiknya dirujuk ke spesialis kandungan untuk mendapatkan terapi hormonal ini. Untuk pencegahan osteoporosis: suplementasi kalsium (1 500 mg) dan vitamin D (800 JU



per hari). Agen lain seperti bifosfonat, terapi hormon, kalsitonin, hormon paratiroid, dapat dipertimbangkan sesuai indikasi. 2. Terapi Non -medikamentosa, berupa modifikasi gaya hidup: olahraga teratur, kontrol berat badan, berhenti merokok. Sumber Bacaan: I.



Al-Safi ZA. Santoro N. Menopausal hormone therapy and



2.



Hoffman B. Schorge J, Schaffer]. Halvorson L. Bradshaw K,



menopausal symptoms. Steril. 2014Apr:101 (4):905- 15. Cunni ngham F. penyunting. Menopause transition. Dalam: William gynecology. Edisi ke-2. Philadelph ia: McGraw-Hill : 2012.



I



199 Kompttensi lllA



Prolaps Uteri



11



••



Widyaningsih Oentari, Frans Liwang. Andon Hestiantoro



Definisi Pergeseran letak ute rus ke bawah sehingga serviks dapat berada di dalam orifisium vagina, di luar orifisium vagina, atau seluruh uterus berada di luar orifisium. Faktor Risiko Kehamilan, persalinan melalui vagina. terutama bila partus telah berulang kali atau partus dengan penyulit. Faktor risiko lainnya adalah menopause, penuaan, peningkatan tekanan intra-abdomen kronis, maupun trauma dasar panggul. Bila prolaps uteri ditemukan pada nulipara. maka faktor penyebab tersering ialah ke lainan genetik berupa kelemahan jaringan penunjang uterus.



502



Patofisiologi Dasar panggul ditopang ole h otot levator ani , vagi na, dan jaringan ikat dari dasar panggul. Pada keadaan normal, bagian atas vagina mempunyai letak horizontal pada perempuan yang sedang berdiri. Ketika, terjadi penuruna n tonus dari otot levator a ni . posisi vagina berubah dari horizontal menjadi vertikal sehingga me mbuka dan me mperlebar hiatus genital dan meningkatkan risiko terjadinya prolaps organ pada pelvis. Penuruna n tonus dari otot levator ani dapat disebabkan karena kerusakan secara langsung ataupun kerusakan ne urologis yang biasanya te rjadi saat persalinan kala dua. Selain itu, kerusakan pada dinding vagina juga ikut berkontribusi terhadap prolaps. Dinding vagina tersusun atas epitel pipih, otot polos, da n adventisia. Defek pada salah satu komponen ini menyebabka n terjadinya prolaps.



Manifestasi Klinis I . Perasaan seperti beda me nonjol atau mengganjal pada genitalia eksterna. 2. Rasa nyeri pada panggul dan pinggang yang biasanya akan menghilang atau berkurang saat pasien berbaring. 3. Gesekan pada porsio uteri oleh celana dapat menye babkan Iuka dan dekubitus pada porsio uteri. 4. Leukorea Diagn osis Prolaps uteri umumnya dapat didiagnosis secara klinis, melalui anamnesis dan pe meriksaan ginekologis. Cara klasik untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan sesuai teknik Friedman dan Little ( 196 1), yaitu pasie n dalam posisi jongkok dan disuruh mengejan, lalu porsio uteri dinilai dengan pemeriksaan jari. Porsio dapat berada pada posisi normal, berada dalam introitus vagina, atau serviks uteri sudah keluar dari vagina. Selanjutnya pasien diminta berbaring dalam posisi litotomi, lalu ditentukan panjang serviks uteri. Serviks uteri yang lebih panjang dari normal disebut elongasio kolli. Klasifik asi Te rdapat beberapa klasiftkasi untuk membagi derajat keparahan dari prolaps uteri. yaitu: 1. Pelvic Organ Prolapse Quantification!POP-Q (lihat Gambar I ) 2. Baden-Walker Ha lfway System



dinding anterior



clinding anterior



baclan perinea! gh



~rW



dinding posterior gh



c



Ba



Aa hiatus genital



serviks



panjang total vagina



pb dinding posterior



Ap



tvl forniks posterior



Bp



D



Gambar 1. Petunjuk Ktasifikasi Prolaps Uteri Pelvic Organ Prolapse Quantifica tion Tabet t. Sistem Klasifikasi Berdasarkan Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q) Stadium



Kt iteria



0



Tidak terdapat prolaps. Titik Aa, Ap. Ba, Bp terdapat pada titik -3 cm dan t itik C dan D terletak di antara -TYL cm dan -(TVL-2) cm Tidak memenuhi kriteria stad ium 0, tetapi bagian paling distal dari prolaps terletak > 1 cm di atas hime n



II



Bagian paling distal terletak s l cm di a tas atau di bawah himen



III



Bagian paling distal terletak > I cm di bawah hi men tetapi < +(TVL-2) cm



IV



Eversi total dari total panjang saluran ge nital. Bagian distal dari prolaps ke luar sebanyak (TVL-2) cm



Tabet 2. Evaluasi Prolaps Organ Pelvis dengan Menggun akan Baden-Walker Halfway System



0



Posisi normal dari seluruh organ



Organ yang prolaps terletak pada pertengahan me nuju himen 2 3



Orga n yang prolaps te lah mencapai himen Organ yang prola ps sebagian tetah kelua r dari himen Organ telah keluar secara maksi mal



Tata Laksana 1. Latihan otot dasar panggul: berguna untuk prolaps yang ringan untuk menguatkan otot dasar panggul. Latihan dilakukan selama beberapa bulan. 2. Stimulasi otot dengan alat listrik. 3. Penggunaan pesarium. 4. Pessarium bersifat paliatif dan bertujuan untuk menahan uterus di tempatnya. lndikasi penggunaan pessarium: kehamilan, pasien belum atau tidak mau dioperasi, sebagai terapi tes, menghilangkan gejala yang ada sambil menunggu operasi dilakukan. 5. Tindakan operatif: ventrofiksasi, operasi Manchester, histerektomi vaginal, kolpokleisis. Komplikasi Keratinisasi mukosa vagina dan porsio uteri,



dekubitus, hipertrofi serviks uteri dan elangasio koli, gangguan miksi dan stress incontinence, infeksi jalan kencing, infertilitas, kesulitan pada waktu partus, hemoroid, serta inkarserata usus halus. Pencegahan Prolaps uteri dapat dicegah dengan teknik persalinan per vaginam yang efektif: lama persalinan lebih pendek, meminimalisir mengejan yang berlebihan, menghindari mengejan sebelum pembukaan telah lengkap, membuat episiotomi, menghindari paksaan dalam pengeluaran plasenta (perasat Crede), mengawasi involusi uterus pascapersalinan, serta memperbaiki dan reparasi luka atau kerusakan jalan lahir dengan baik.



503



Sumber Bacaan: 1. Winknjosastro H. Saifuddin AB. Rac himhadhi T. penyunting. !mu bedah kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwo no Prawirohardjo: 20 10. 2. Hoffman B. Schorge J. Schaffer J. Halvorson L. Bradshaw K.



Cunningham F. penyunting. Pelvic organ prolapse. Dalam: William gynecology. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill: 2012.



Seksio Sesarea Widyaningsih Oentari, Andon Hestiantoro Definisi Upaya persalinan buatan dengan melahirkan janin melalui suatu insisi pada dinding perut dan rahim, dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serat berat janin di atas 500 gram. !ndikasi MatPrnal



Panggul sempit absolut Tumor jalan lahir (menyebabkan obstruksi) Stenosis serviks/vagina



Plasenta pervia Disproporsi sefal oserviks



fptus



Kelainan letak Gawatjanin



Bayi besar Hidrosefalus



Ru ptur uteri membakat



504



Persiapan Pre-operasi Pasien dipuasakan selama l 2 jam sebelum operasi; Periksa sampel darah preoperatif seperti hematologi rutin, kadar glukosa darah, dan skrining infeksi menular (hepatitis B dan HIV), serta pemeriksaan lain sesuai kondisi. Tentukan kebutuhan cadangan darah (disertai uji cross-matched) ; Persiapkan alat operasi, monitor (tekanan darah, nadi, saturasi oksigen), dan obat-obatan. Sebelum memulai operasi, pasang akses dan cairan intravena (Ringer laktat atau NaCl 0,9%). serta kateter urin; Pasien dalam posisi Trendelenburg ringan. Dilakukan anestesi spinal atau epidural pada operasi elektif atau anestesi umum pada darurat. Jenis dan Prosedur Seksio Sesarea l. Seksio Sesarea Transperitoneal Profunda: insisi pada segmen bawah uterus yang mencakup insisi transversal, insisi vertikal, insisi ]. dan insisi T. Berikut urutan prosedurnya: Disinfeksi dinding perut dan pasang kain steril untuk mempersempit lapang pandang; Insisi dinding perut dari atas simfisis pubis hingga bawah umbilikus, lapis demi lapis hingga kavum peritoneum terbuka;



Gunting peritoneum kandung kencing (plika vesikouterina) di depan segmen bahwa rahim secara melintang. Lapisan tersebut disisihkan ke samping; Insisi segmen bawah rahim 1 cm di bawah irisan plika vesikouterina sepanjang 2 cm. lrisan tersebut diperlebar dengan kedua jari telunjuk operator. Arah insisi bisa transversal (cara Kerr) ataupun vertikal (cara Kronig) ; Setelah dinding rahim terbuka. pecahkan ketuban dan lahirkan janin; Lahirkan plasenta secara manual dan suntikkan oksitosin l 0 JU intramural; Jahit Iuka insisi pada tiap lapisan uterus dengan catgut kromik dan catg ut biasa; Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa darah. 2. Seksio Sesarea Klasik: insisi pada segmen atas uterus yang dilakukan secara vertikal pada fundus anterior. Berikut urutan prosedurnya: Disinfeksi dinding perut dan pasang kain steril untuk mempersempit lapang pandang: Insisi dinding perut dari atas simfisis pubis hingga bawah umbilikus lapis demi lapis hingga kavum peritoneum terbuka; Insisi segmen atas rahim dan diperlebar dengan gunting; Setelah kavum uteri terbuka, pecahkan selaput ketuban; Lahirkanjanin danjepit serta potong tali pusat; Lahirkan plasenta secara manual dan suntikkan oksitosin l 0 lU intramural; Jahit Iuka insisi pada tiap lapisan uterus dengan catgut kromik dan ca tg ut biasa; Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa darah; Jahit tiap lapisan Iuka dinding perut. 3. Seksio Sesarea Ekstraperitoneal: insisi segmen bawah uterus tanpa mengenai peritoneum. Uterus dicapai melalui ruang paravesica. Prosedur ini sering digunakan untuk mencegah penyebaran infeksi ke rongga peritoneum.



4. Seksio Sesarea Vaginal: pembedahan melalui dinding vagina anterior hingga mencapai rongga uterus. Manajemen Pascaoperasi Monitor perdarahan per vaginam, pastikan kontraksi uterus baik; Monitor tanda vital rutin setiap 15 menit dalam 1-2 jam pertama. Selanjutnya tanda vital diukur setiap 4-6 jam. Ukur keluaran urine (urine output) setiapjam; Berikan cairan pengganti inisial 3-4 L intravena dalam 24 jam pertama. Pastikan asupan hid rasi yang adekuat pada pasien; Berikan analgesik dan antimetik bila perlu; Anjurkan pasien untuk menyusu AS!, bila memungkinkan. dalam beberapa jam pertama pascapersalinan; Kontrol dan rawat Iuka pascaoperasi. Waspadai adanya tanda-tanda infeksi. Komplikasi Seksio Sesarea Komplikasi maternal: demam, endometritis, in-



feksi Iuka, perdarahan. subinvolusio uterus, adhesi dan dehiscence insisi uterus. atelektasis paru . emboli paru, infeksi saluran kemih, tromboflebitis, serta peningkatan risiko plasenta previa atau plasenta acreta. Komplikasi bayi: kelahiran prematur, trauma selama persalinan, masalah pernapasan (seperti transient tachypnea of the newborn/TIN) . Sumber Bacaan 1. Hoffman B. Schorge



J.



Scha ffer



J.



Halvorson L. Bradshaw



K. Cu nningham F. penyunting. Dalam: Will iam gynecology. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill : 20 12. 2 . Wiknjosastro H. Saifuddin AB. Rachimhadhi T. penyu nting. !mu bedah kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawiro hardjo: 20 10. 3 . Gibbs RS. Karlan BY. Haney AF. Nygaard I. penyunt ing. Dalam: Gibbs RS. Karlan BY. Haney AF. Nygaard IE. penyunting. Danforth's obstetrics and gynecology. Edisi ke- 10. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. 4 . Curtis MG. Overholt S. Hopkins MP. penyunting. Glass office gynecology. Ed isi ke- 7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins: 20 14.



505



ilmu



keterampilan



prosedur. D Biopsi ]arum Halus D Teknik Injeksi D Nebulisasi D Pungsi Pleura D Pungsi Suprapubik D Spirometri D Splint dan Cast D Venaseksi



r/J, i have read everything.



Biopsi jarum Hains Sonia Hanifati