Kasus Freddy Budiman [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kronologi Bandar Narkoba Fredy Budiman Desakan publik untuk segera mengeksekusi mati gembong Narkoba Fredy Budiman (40) bukanlah tanpa sebab. Fredy merupakan bandar licin yang terus mengulangi perbuatannya sejak Tahun 2009 hingga kasus terbesarnya penyelundupan ekstasi dari China yang membuatnya dihukum mati. Berikut Kronologi dan Petualangan Bandar Narkoba Fredy Budiman hingga pidana mati Maret 2009 Fredy dihukum 3-4 Tahun setelah Polisi menemukan 500 gram sabu-sabu saat menggerebek rumahnya di Apartemen Taman Surya, Cengkareng, Jakarta Barat. Tahun 2011 Polisi menahan Fredy setelah menemukan barang bukti berupa 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi Rabu, 27 April 2011. Upaya penahanan Fredy yang baru saja bebas dari tahanan itu berlangsung tegang. Fredy yang saat itu sedang mengendarai mobil di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat tak mau mengehentikan mobilnya. Polisi terpaksa menembak kaca mobil dan menyeretnya keluar Freddy mengaku sebagian barang haram dititipkan kepada oknum polisi, Bripka S, warga Ciracas, Jakarta Timur. Pada 6 Mei 2011 Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya dipimpin Wakil Direktur AKBP Krisno Siregar melakukan penggeledahan di rumah Bripka S. Dari tempat itu ditemukan barang bukti berupa sabu, bahan pembuat ekstasi, dan mesin cetak tablet ekstasi. Penyelidikan terus dikembangkan. Terungkaplah keterlibatan Bripka BA. Ternyata kasus tersebut juga melibatkan Kompol WS, AKP M, dan AKP AM. Terkait kasus itu Freddy divonis sembilan tahun penjara. Tahun 2012 Baru setahun mendekam di balik jeruji besi LP Cipinang, ia kembali berulah dengan mendatangkan pil ekstasi dalam jumlah besar dari China. Ia masih bisa mengorganisasi penyelundupan 1.412.475 pil ekstasi dari China dan 400.000 ekstasi dari Belanda. Kasubag Humas Badan Narkotika Nasional (BNN), Sumirat Dwiyanto waktu



itu mengatakan, pengungkapan kasus impor ekstasi itu berawal dari datangnya sebuah kontainer pada 8 Mei 2012. Kontainer bernomor TGHU 0683898 itu diangkut kapal YM Instruction Voyage 93 S, berangkat dari Pelabuhan Lianyungan, Shenzhen, China, tujuan Jakarta. Kasus penyelundupan ekstasi dari China merupakan kasus terbesar dalam 10 tahun terakhir di Indonesia. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan hukuman mati kepada Freddy pada Senin (15/7/2013) Vonis itu masih ditambah lagi hukuman tidak boleh menggunakan alat komunikasi apa pun selama berada dalam penjara. Petugas telah menyita sekitar 40 buah handphone yang kerap digunakan untuk menjalankan bisnis narkoba dari balik jeruji besi. Cerita mengenai pria asal Surabaya, Jawa Timur, itu bertambah heboh ketika ia memacari foto model majalah pria dewasa, Anggita Sari (21), bahkan berencana menikah siri dengan perempuan cantik tersebut. Terakhir, kisahnya dengan model majalah pria dewasa Venny Rossyane mengemuka karena menjadi latar belakang kasus adanya dugaan bilik asmara di Lapas Cipinang. Tahun 2014 3 saudara kandung Freddy dan 8 pegawai yang direkrut membuat pabrik ekstaksi di sebuah gudang di Kapuk Kamal, Cengkareng, Jakarta Barat pada medio September 2014 lalu. Fredy berusaha membentuk dan menguasai Narkoba dari dalam penjara dengan menggunakan jaringannya. September 2014: Freddy menyuruh Yanto dan Aries membeli bahan baku dan alat cetak ekstaksi dan disimpan di Cikarang. Namun bahan baku masih kurang lengkap. Oktober 2014: Freddy menyuruh Yanto terima narkotika berbentuk perangko atau CC4 dari Mr X yang masih DPO di depan Museum Bank Indonesia. Kemudian barang Itu dijual freddy ke Andre.



November 2014:



Freddy kembali menyuruh Yanto menerima 1 kg sabu dari Mr X (DPO) di daerah Kota. Kemudian Yanto menyerahkan barang itu ke Bengek (DPO) di Stasiun Kota. Januari 2015: Freddy lagi-lagi menyuruh Yanto terima 500 gr sabu dari Mr X (DPO) di Kota Tua dan diserahkan ke pria misterius yang masih buron. Februari 2015: Freddy membeli 25 ribu butir ekstaksi kepada warga negara Belanda Laosan alias Boncel (DPO). Kemudian Freddy menyuruh Ramon (DPO) untuk mengecek paket berisi 25 ribu butir ekstaksi dari Belanda itu. Maret 2015 Freddy menyuruh Gimo untuk menerima 1,2 kg sabu dari pria misterius warga negara Pakistan di Terminal Kampung Rambutan. Barang itu lalu diserahkan kepada Latif di Kayu Besar, Jakbar. 9 Maret 2015: Yanto dan Aries mendapatkan instruksi dari Freddy untuk mengambil paket berisi 25 ribu butir ekstaksi dari Kantor Pos Cikarang. Kemudian Freddy memerintahkan Yanto untuk menyerahkan 5.000 butir ekstaksi kepada orang suruhan Asiong di Bekasi, dan menyerahkan 1.000 butir ekstaksi lainnya kepada Mr X (DPO) di Bekasi. Kemudian Freddy menyuruh Gimo mengirim 2 ons sabu ke Palu dan diterima oleh orang suruhan Henny. Ia juga menyuruh Yanto membawa dan menyerahkan 1 Kg sabu kepada Mr X (DPO) di Surabaya. Namun kualitas sabu tidak bagus, sehingga dikembalikan ke Jakarta. Freddy lalu menyuruh Yanto mengirimkan 1 ons sabu ke Kalimantan dan 1 ons lainnya ke Palu. Sabu tersisa 8 ons yang kemudian disimpan Gimo di gudang bekas pabrik garmen di Kapuk Kamal. Gudang itu dikuasai Latif. Freddy kemudian memberi instruksi kepada Yanto untuk memindahkan bahan baku dan alat cetak ekstaksi yang pengadaannya dilakukan pada November 2014 lalu ke gudang tersebut. Namun Yanto menyuruh Aries, sehingga Aries menyerahkan bahan baku dan alat cetak itu kepada Gimo.



15 Maret 2015: Freddy memesan 50 ribu butir ekstaksi kepada Laosan (WN Belanda). 5 April 2015: Freddy menyuruh Asun untuk mengecek paket kiriman 50 ribu butir ekstaksi yang dikirim oleh Laosan (WN Belanda). 7 April 2015: Freddy menyuruh Yanto dan Aries mengambil paket kiriman 50 ribu butir ekstaksi dari Kantor Pos Cikarang. Kemudian Yanto dan Aries tertangkap oleh penyidik, yang kemudian menyisir aset jaringan Freddy, salah satunya gudang di Kapuk Kamal. Total ada 11 kaki tangan Freddy, yaitu Yanto, Aries, Latif, Gimo, Asun, Henny, Riski, Hadi, Kimung, Andre dan Asiong yang berhasil ditangkap penyidik. Namun sang importir, Laosan (WN Belanda), yang berada di negeri kincir angin itu masih buron. Dari pengungkapan ini, penyidik menyita 50 ribu butir ekstaksi asal Belanda, 800 gram sabu asal Pakistan dan 122 lembar narkotika berbentuk perangko atau CC4 yang diduga berasal dari Belgia. Selain itu turut disita 20 ponsel, 1 mesin cetak ekstaksi, 25 kg bahan baku ekstaksi, 1 kg pewarna, 10 kg bahan pelarut, 1 timbangan digital ,1 timbangan analog dan alat penyaring Peredaran narkotika dari jaringan Freddy ini berada di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bali, Makassar, Palu dan Kalimantan. Penyidik pun berencana menjerat jaringan Freddy dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap aset berupa bangunan, ruko, rumah, mobil dan rekening di bank. Mereka dijerat Pasal 114 juncto Pasal 132 UU Narkotika dengan ancaman hukuman maksimal yaitu pidana mati.



FREEDY BUDIMAN dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan, Jumat (29/7/2016). Mereka Berdasarkan data yang dihimpun Liputan6.com, kronologi eksekusi mati empat gembong narkoba itu dimulai Kamis 28 Juli pukul 23.30 WIB dengan



mengumpulkan mereka Nusakambangan.



ke



lapangan



tembak



di



posko



Pulau



Kemudian pada pukul 00.30 WIB, Koordinator Lapas Se-Nusakambangan Abdul Aris mengungkap, eksekusi mati masih berlangsung di tengah guyuran hujan dan sambaran petir. Saat itu baru 3 terpidana yang dieksekusi mati. Lalu, pada pukul 00.45 WIB, eksekusi empat terpidana rampung dilakukan. Dan sekitar pukul 02.00 WIB, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmat membeberkan alasan pihaknya hanya mengeksekusi mati empat terpidana. Freddy Budiman (37) merupakan warga negara Indonesia (WNI) yang dipidana mati atas kasus impor 1,4 juta butir ekstasi.