Keadilan Organisasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II KAJIAN PUSTAKA



2.1 Keadilan Organisasi 2.1.1 Definisi keadilan organisasi Keadilan organisasional menggambarkan persepsi individu dari perlakuan yang diterima dari sebuah organisasi dan reaksi perilaku untuk persepsi tersebut, keadilan organisasi juga dapat didefinisikan sebagai studi kesetaraan ditempat kerja (Fatimah et al., 2011). Kerangka kerja organisasi mengacu pada keadilan dan prilaku etis dalam sebuah organisasi. Keadilan organisasi didefinisikan sebagai perasaan pribadi atas upah dan tunjangan yang adil (Farahbod, 2013). Keadilan organisasi menekankan kepada keputusan manajer, persamaan yang dirasakan, efek keadilan dan hubungan antara individu dengan lingkungan kerjanya serta menggambarkan persepsi individu mengenai keadilan di tempat kerja. Greenberg & Baron (2003) menjelaskan keadilan organisasi sebagai persepsi individu terhadap keadilan dalam proses pembuatan keputusan dan distribusi hasil yang telah diterima oleh individu. Karyawan menganggap adil organisasi mereka ketika mereka yakin bahwa hasil yang mereka terima dan cara diterimanya hasil tersebut adalah adil. Satu elemen penting dari keadilan organisasional adalah persepsi seorang individu tentang keadilan. Dengan kata lain, keadilan bersifat subyektif, dan terletak dalam persepsi individu (Sekarwangi, 2014).



1



Teori keadilan menurut Robbins & Judge (2015:144) adalah suatu teori yang menyatakan bahwa perbandingan individual mengenai input dan hasil pekerjaan mereka dan berespons untuk menghilangkan ketidakadilan. 2.1.2 Dimensi Keadilan Organisasi Menurut Colquit (2001), Cropanzano et al. (2007) dan Amiri, et al. (2013) jenis-jenis keadilan organisasional dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu: 1) Distributif Justice (keadilan distributif) Keadilan distributif mengacu pada persepsi karyawan terhadap keadilan dengan imbalan dan hasil yang bernilai lainnya yang didistribusikan dalam organisasi. persepsi keadilan distributif mempengaruhi kepuasan individu dengan berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan hasil seperti gaji, tugas kerja, pengakuan, dan kesempatan untuk kemajuan. Keadilan distributif adalah keadilan mengenai jumlah dan pemberian penghargaan diantara individu (Robbin & Judge, 2015:145). Konsep keadilan distributif oleh beberapa peneliti dikaitkan dengan konsep alokasi saat beberapa orang mendapatkan dan orang yang lain tidak (Cropanzano et al., 2007). Prinsip dasar keadilan distributif terletak pada rasio atau perbandingan antara hasil yang diperoleh seseorang dengan hasil yang diperoleh dengan karyawan lain. Keadilan distributif mengacu pada konsep dasar persamaan atau equity. Konsep ini mendasarkan penjabaran keadilan sebagi kesetaraan imbalan (seperti gaji dan insentif lainnya) dengan pekerjaan yang telah dilakukan. Keadilan terjadi apabila karyawan merasa merasa bahwa rasio antara input (usaha) dan outcomes (imbalan) sebanding dengan rasio karyawan lain. 2



Ketidakadilan terjadi apabila rasio tersebut tidak sebanding, yaitu rasio antara usaha dan hasil, lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan rasio yang lain. Secara lebih rinci keadilan distributif diartikan sebagai pengamatan mengenai sejauh mana keadilan dari cara pembagian pemberian upah antar pekerja. Pendekatan utama dalam keadilan distributif menekankan bahwa individu akan termotivasi untuk mempertahankan keadilan atau perasaan adil dalam hubungan diri mereka sendiri dengan orang lain dalam hal pembagian hasil atau upah dan menghindari hubungan yang tidak adil (Greenberg & Baron, 2003). Komponen keadilan distributif menurut Cropanzano et al., (2007) antara lain: (a) Equity: memberikan kompensasi kepada karyawan berdasarkan



konstribusi



masing-masing.



(b)



Equality:



memberikan



kompensasi yang sama kepada setiap karyawan. (c) Need: memberikan tunjangan berdasarkan kebutuhan masing-masing. 2) Procedural Justice (keadilan prosedural) Keadilan prosedural adalah keadilan yang berfokus pada proses yang digunakan untuk membuat keputusan. Proses pembutan keputusan dapat berbentuk pembuatan peraturan yang ada di organisasi, pemberian hukuman, dll. Ketika karyawan menganggap keadilan prosedural tinggi, maka mereka akan lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalan kegiatan, mengikuti aturan, dan menganggap hasil yang relavan adalah adil. Tetapi jika para pekerja merasakan kurangnya keadilan prosedural, mereka cenderung menarik diri dari kesempatan untuk berpartisipasi, untuk kurang memperhatikan aturan dan kebijakan, dan menganggap hasil yang relavan adalah tidak adil. Keadilan



3



prosedural (procedural justice) adalah keadilan yang dirasakan dari proses yang digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan. Keadilan prosedural lebih menitikberatkan dalam melihat sejauh mana kewajaran proses pembuatan keputusan dalam organisasi. Keadilan prosedural didefinisikan sebagai persepsi dari keadilan dalam pembuatan prosedur untuk menentukan hasil (Greenberg & Baron, 2003). Keadilan prosedural berkembang melalui pengaruh selama proses pengambilan keputusan atau pengaruh di luar hasil atau dengan mengikuti kriteria proses yang adil. Colquitt (2001) menyatakan bahwa keadilan procedural dapat dinilai dengan membandingkan suatu proses pengalaman pada keseluruhan aturan-aturan prosedural secara umum. Leventhal (1980) mengidentifikasi enam aturan pokok dalam keadilan prosedural yang terdiri dari: a) Konsistensi, yaitu: prosedur diterapkan secara konsisten pada semua orang dan waktu. Ketika diterapkan pada semua orang, peraturan yang konsisten memerintahkan



bahwa



prosedur-prosedur



yang



mirip



hendaknya



diterapkan pada semua penerima upah, dan keuntungan istimewa hendaknya tidak diberikan pada siapapun. Ketika diterapkan pada semua waktu, peraturan yang konsisten memerintahkan bahwa prosedur-prosedur hendaknya dijaga untuk tetap stabil, paling sedikit di atas jangka waktu pendek. b) Tidak memihak, yaitu: pengambilan keputusan bersifat netral, tidak ada unsur kepentingan pribadi.



4



c) Informasi yang akurat, yaitu: prosedur didasarkan pada informasi yang baik dan teliti. Informasi dan pendapat harus dikumpulkan dan diproses dengan kesalahan seminimum mungkin. d) Dapat diperbaiki, yaitu: mempertimbangkan prosedur-prosedur yang ada untuk memperbaiki hasil yang salah. e) Keterwakilan, yaitu: semua sub kelompok dalam populasi mempunyai peran dalam pembuatan keputusan. f) Etis, yaitu: setiap individu menjunjung tinggi standar etika dan moral.



3) Interaksional Justice (keadilan interaksional) Keadilan interaksional adalah nilai keadilan yang dirasakan karyawan karena adanya proses interaksi dengan pihak lain dalam organisasi baik dari pimpinan maupun rekan sekerja. Menurut Colquitt et al. (2001) terdapat dua aspek dalam keadilan interaksional, yaitu keadilan informasional dan keadilan interpersonal. Keadilan informasional adalah persepsi individu tentang keadilan informasi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan, sedangkan keadilan interpersonal adalah persepsi individu tentang tingkat sampai dimana seorang karyawan diperlakukan dengan penuh martabat, perhatian, dan rasa hormat oleh pihak-pihak yang ada di dalam organisasi tersebut. Keadilan interaksional menurut Cruceru dan Macarescu (2009) adalah keadilan yang berkaitan dengan perilaku para pemimpin perusahaan dalam melaksanakan keputusan mereka. Keadilan interaksional merupakan perlakuan interaksional yang diambil oleh pembuat keputusan (decision



5



maker) antar personal dalam organisasi (Herman, 2013). Adapun aspek dari keadilan interaksional menurut Cropanzano et al., (2007) adalah : a) Keadilan interpersonal, memperlakukan seorang karyawan dengan martabat, perhatian, dan rasa hormat. b) Keadilan informasional, berbagi informasi yang relevan dengan karyawan.



2.2 Dukungan Organisasi 2.2.1 Definisi Dukungan Organisasi Dukungan organisasi dapat didefinisikan sebagai persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi memberi dukungan kepada karyawan dan sejauh mana kesiapan organisasi dalam memberikan bantuan saat dibutuhkan (Mujiasih, 2015). Persepsi dukungan organisasi merupakan keyakinan seseorang bahwa organisasi tempat dia bekerja menghargai kontribusinya dan peduli akan kesejahteraannya. Dukungan organisasi yang dirasakan juga dipandang sebagai jaminan bahwa organisasi tersebut akan membantu karyawan saat mereka membutuhkan bantuan untuk menjalankan pekerjaan dan tugas mereka secara efektif (Rasheed et al., 2013). Persepsi terhadap dukungan organisasi dianggap sebagai sebuah keyakinan global yang dibentuk oleh tiap karyawan mengenai penilaian mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi yang dibentuk berdasarkan pada pengalaman mereka terhadap kebijakan dan prosesdur organisasi, penerimaan sumber daya, interaksi dengan supervisor dan persepsi mereka mengenai kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan mereka (Yasar et al., 2014).



6



Teori dukungan organisasi beranggapan bahwa untuk menentukan kesiapan organisasi memberikan rewards atas peningkatan kinerja dan memenuhi kebutuhan sosioemosional,



karyawan



mengembangkan



kepercayaan



bahwa



organisasi



menghargai kontribusi dan memperhatikan kesejahteraan mereka (Susilowati, 2013). Menurut



social



exchange



theory,



dukungan



organisasi



yang



dirasakan



menggambarkan bahwa pekerja yang menganggap organisasinya lebih mendukung, lebih terikat secara emosional dengan organisasi. Akibatnya, organisasi yang mengedepankan dukungan organisasi kepada para pekerjanya diyakini lebih memiliki keunggulan kompetitif daripada organisasi-organisasi yang tidak mendorong keterikatan para pekerja mereka (Alvi et al., 2014). Persepsi dukungan organisasi merupakan hasil interpretasi karyawan terhadap dukungan yang diberikan perusahaan kepada karyawan sesuai kebutuhan dengan harapan karyawan dapat bekerja secara optimal dan memiliki keterikatan kepada perusahaan, pekerjaan, dan manajernya (Qomariyah et al., 2013). Persepsi dukungan organisasi adalah keyakinan umum yang dimiliki karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli dengan kesejahteraan mereka (Kurniasari, 2013).



2.2.2 Dimensi Dukungan Organisasi Dalam penelitian ini dimensi – dimensi yang akan diukur dalam persepsi dukungan organisasi mengacu pada teori Rhoades & Eisenberger (2002) antara lain :



7



1) Rasa keadilan (fairness) Persepsi dari keadilan prosedural dapat disebabkan oleh keputusankeputusan yang dibuat oleh organisasi seperti kenaikan gaji dan promosi. Pengalaman yang berulang mengenai keputusan yang adil dalam menentukan pembagian sumber daya akan memiliki pengaruh akumulatif terhadap POS, karena hal itu menandakan kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. 2) Penghargaan dari organisasi dan kondisi pekerjaan (Organizational reward and job conditions) Kebijakan dalam penghargaan dari organisasi dan kondisi pekerjaan, menunjukan pengakuan terhadap kontribusi karyawan akan berkaitan secara positif terhadap POS. Beberapa peneliti juga telah mengidentifikasi beragam penghargaan dan kondisi kerja yang secara positif berpengaruh terhadap persepsi dukungan organisasi, diantaranya yaitu penghargaan, gaji, dan promosi; job security ; otonomi ; role stressors ; pelatihan ; ukuran organisasi. 3) Dukungan atasan (Supervisory support) Atasan atau yang sering dianggap sebagai perpanjangan tangan dari organisasi, dikarenakan atasan bertindak sebagai wakil dalam organisasi dan bertanggungjawab dalam mengarahkan dan mengevaluasi kinerja bawahan. Peran atasan yang begitu besar menyebabkan karyawan secara tidak langsung mengembangkan pandangan mengenai sejauh mana supervisor meghargai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraannya atau sering disebut sebagai persepsi terhadap dukungan atasan (Perceived Supervisory Support). Ketika



8



organisasi memberi penghargaan atas usaha karyawan mereka, secara otomatis hal tersebut membantu mereka memperbaiki pekerjaan mereka dan memberikan kondisi kerja yang memadai. Tindakan yang menguntungkan bagi perusahaan membuat karyawan tersebut berkewajiban untuk bekerja demi keuntungan organisasi. Ketika persepsi dukungan organisasi tinggi, ada peningkatan komitmen kerja karyawan, keterlibatan kerja dan penurunan perilaku penarikan seperti ketidakhadiran (Bano, 2015). Karyawan dalam sebuah organisasi akan cenderung untuk membentuk sebuah kepercayaan secara umum terkait sejauh mana organisasi menghargai kontribusi karyawan dan peduli atas kesejahteraannya, persepsi yang dimiliki oleh karyawan inilah yang sering juga disebut dengan Perceived Organizational Support (Wijaya, 2015).



Persepsi dukungan organisasi dapat juga dipandang sebagai komitmen organisasi pada karyawan. Apabila pihak organisasi secara umum menghargai dedikasi dan loyalitas karyawan sebagai bentuk komitmen karyawan terhadap organisasi, maka para karyawan secara umum juga memperhatikan bagaimana komitmen yang dimiliki organisasi terhadap mereka (Fatdina 2015). Penghargaan yang diberikan oleh organisasi dapat dianggap memberikan keuntungan bagi karyawan, seperti adanya perasaan diterima dan diakui, memperoleh gaji dan promosi, mendapatkan akses‐akses informasi, serta bentuk‐bentuk bantuan lain yang dibutuhkan karyawan untuk dapat menjalankan pekerjaannya secara efektif. Karyawan berkomitmen untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam



9



kontrak pekerjaan dan percaya bahwa nantinya akan dibalas dengan komitmen organisasi pada mereka dengan memberikan dukungan sebagai pemenuhan kewajiban pertukaran tersebut. Dengan kata lain, pemberian dukungan organisasi merupakan suatu balasan yang sebanding dan sudah sepantasnya diberikan organisasi pada karyawan yang telah melakukan pekerjaan seperti yang telah ditetapkan. Terdapat tiga indikator untuk mengukur tingkat persepsi dukungan organisasi menurut Eisenberger et al., (2002) diantaranya dukungan atasan, penghargaan dan kondisi kerja. Dengan terciptanya persepsi yang baik diantara karyawan, akan menumbuhkan rasa hutang budi karena merasa telah di dukung secara penuh oleh perussahaan yang akan menumbuhkan sikap balas budi yang ditunjukan dengan berperilaku lebih dari apa yang telah disebutkan dalam deskripsi pekerjaannya. Persepsi atas dukungan organisasi memberikan penjelasan mengenai hubungan antara perlakuan organisasi, sikap dan prilaku karyawan terhadap pekerjaan dan organisasi mereka. Perlakuan-perlakuan dari organisasi yang diterima oleh karyawan ditangkap sebagai stimulus yang diorganisir dan diinterpretasikan menjadi persepsi atas dukungan organisasi. Persepsi dukungan organisasi akan menumbuhkan tingkat kepercayaan tertentu dari karyawan atas penghargaan yang diberikan organisasi terhadap kontribusi mereka dan perhatian organisasi pada kehidupan mereka. Tingkat kepercayaan karyawan terhadap dukungan organisasi dipengaruhi oleh evaluasi mereka atas pengalaman tentang cara organisasi memperlakukan karyawan-karyawannya secara umum (Eisenberger et al., 2002).



10



2.3 Employee Engagement 2.3.1 Definisi employee engagement Orang yang memiliki engagement akan bekerja dan mengekspresikan dirinya secara kognitif, emosional atau konatif dalam melaksanakan perannya di organisasi. Harter et al.,(2002) mendefinisikan employee engagement sebagai bentuk keterlibatan individu dan kepuasan serta antusiasmenya dalam melakukan pekerjaan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Saks (2006) bahwa employee engagement sebagai sejumlah usaha yang diberikan melebihi apa yang diharapkan oleh organisasi (discretionary effort) dalam bekerja. Employee engagement atau seringkali diterjemahkan sebagai keterikatan karyawan merupakan kontributor penting dalam upaya retensi karyawan, retensi dan kepuasan pelanggan, serta kinerja (Scheimann, 2010). Hal tersebut mengandung arti bahwa employee engagement merupakan salah satu faktor yang mendukung terciptanya efektivitas dan kinerja optimal dalam sebuah organisasi. Terdapat beberapa ahli yang mencoba merumuskan definisi engagement, ada yang mengaitkan dengan kepuasan pelanggan, sikap positif terhadap perusahaan, komitmen terhadap perusahaan, kepuasan kerja dan juga motivasi untuk berkontribusi. Konsep engagement secara empiris dibedakan dengan konsep mengenai komitmen organisasi dan keterlibatan kerja yang memiliki kesamaan mengenai hal yang positif dalam pekerjaan (Mujiasih, 2011). Karyawan yang memiliki engagement dengan organisasi akan berkomitmen secara emosional dan intelektual terhadap organisasi. Dengan adanya komitmen tersebut, karyawan akan memberikan usaha terbaiknya melebihi apa yang diharapkan 11



dalam suatu pekerjaan. Komitmen organisasi berbeda dari engagement yang menunjuk pada sikap dan mengikat seseorang terhadap organisasi mereka. Engagement bukanlah sikap, ini merupakan kadar di mana seseorang memberi perhatian dan memiliki keterikatan terhadap kinerja dalam peran mereka (Welch, 2011). Engagement juga berbeda dengan organizational citizenship behavior, OCB melibatkan kesukarelaan dan perilaku informal yang dapat membantu rekan kerja dan organisasi, sedangkan engagement berfokus pada peran kinerja formal seseorang melebihi extra-role dan perilaku sukarela (Saks, 2006). Rafferty, et.al. dalam Saroyeni (2012) mengungkapkan perbedaaan komitmen dan citizenship behavior dengan keterikatan individu karena komitmen dan citizenship behavior merupakan reaksi searah dari individu karyawan terhadap organisasi sementara keterikatan individu merupakan hasil proses interaksi dua arah antara manajemen dan karyawan Menurut Margaretha et al. (2012) engagement lebih dekat dihubungkan dengan konstruk keterlibatan kerja. Keterlibatan kerja (job involvement) didefinisikan sebagai suatu kognitif atau keyakinan dari identifikasi psikologi. Hal ini sedikit berbeda dari engagement oleh karena lebih terkait dengan bagaimana seseorang memberdayakan dirinya pada waktu mereka bekerja yang meliputi aspek emosi dan perilaku. Employee engagement merupakan hasil dari sebuah keputusan kognitif tentang kemampuan seseorang untuk memuaskan kebutuhan dari pekerjaan dan terikat pada gambaran diri seseorang (Putri, 2013). Robinson, dkk (2004) mendefinisikan employee engagement sebagai sikap positif yang dimiliki karyawan terhadap organisasi tempatnya bekerja serta nilai- nilai yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Dengan demikian, dalam konsep employee engagement, terdapat hubungan dua arah antara karyawan dengan perusahaan.



12



Employee engagement dapat didefinisikan sebagai tingkat kelekatan emosional yang positif terhadap organisasi, pekerjaan dan rekan kerjanya (Scarlet, 2007). Employee engagement dapat diartikan seberapa positif karyawan berpikir tentang organisasi, merasakan tentang organisasi dalam hubungan yang proaktif untuk mencapai tujuan dan dilakukan individu dengan memperkerjakan diri mereka sendiri untuk mencapai kinerja dalam pekerjaannya. Lebih lanjut, engagement lebih melibatkan emosi dan perilaku secara aktif serta melibatkan aspek kognitif (Welch, 2011). Keterikatan dapat dipikirkan sebagai suatu anteseden dari keterlibatan kerja pada individu dimana pengalaman keterikatan yang dalam dalam peran mereka seharusnya datang untuk mengenal pekerjaan mereka (Saks, 2006). Karyawan yang lebih engaged lebih cenderung memiliki motivasi dan mengambil inisiatif yang berdampak positif di tempat kerja (Hongwei et al., 2014). Employee engagement menciptakan motivasi yang lebih besar diantara karyawan untuk pekerjaan yang mereka lakukan dengan meningkatkan komitmen terhadap organisasi. Employee engagement mencakup antara lain; menciptakan antusiasme untuk peran mereka, pekerjaan mereka dan organisasi, memastikan mereka selaras dengan nilai-nilai organisasi, memastikan mereka memperoleh informasi yang cukup dan terintegrasi dengan baik dengan rekan-rekan mereka dengan budaya organisasi (Yadnyawati, 2012). Vazirani (2007) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor penting yang menyebabkan karyawan menjadi engage, yakni adanya kesempatan untuk pengembangan pribadi, manajemen yang efektif atas potensi atau bakat individu, kejelasan dari nilai inti perusahaan, perlakuan organisasi yang penuh hormat kepada karyawan (employee recognition), perilaku etis yang sesuai standar



13



perusahaan, adanya pemberdayaan, image organisasi, serta faktor-faktor lainnya yang meliputi kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil, penilaian kinerja, gaji dan bonus, kesehatan dan keselamatan kerja, kepuasan kerja, komunikasi, family friendliness serta co-operation. Gallup (2004) mengelompokkan 3 jenis karyawan berdasarkan tingkat engagement yaitu : 1)



Engaged Karyawan yang engaged (terikat) adalah seorang pembangun di dalam organisasi. Mereka cenderung akan selalu menunjukkan kinerja yang tinggi dan maksimal dalam menyelesaikan setiap pekerjaan yang diberikan kepadanya. Karyawan jenis ini akan bersedia untuk memberikan kekuatan dan mengembangkan talenta mereka secara maksimal dalam bekerja agar organisasi berkembang.



2)



Not Engaged Karyawan dalam tipe ini cenderung fokus terhadap tugas dibandingkan pencapaian tujuan dari pekerjaan itu. Mereka hanya akan mengerjakan tugas sesuai dengan porsi mereka dan sesuai apa yang organisasi bayar kepada mereka. Dalam bekerja, mereka selalu menunggu perintah dari atasan dan cenderung merasa tidak memiliki energi ketika bekerja.



3)



Actively Disengaged Karyawan tipe ini adalah karyawan yang tidak terikat. Mereka akan secara terbuka menunjukkan perasaan tidak bahagia dan ketidakpuasan mereka terhadap pekerjaan yang dilakukan. Mereka juga akan secara konsisten



14



menunjukkan perlawanan dan hanya melihat sisi negatif pada berbagai kesempatan yang ada.



Bowles & Cooper (2009) mengatakan bahwa karyawan yang merasa engaged, akan



melakukan



beberapa



tindakan



seperti:



advocacy



(merekomendasikan



organisasinya sebagai tempat bekerja yang baik atau merekomendasikan barang dan jasa yang dihasilkan); “going the extra mile” (tidak langsung pulang ketika jam kerja berakhir, tetap mengusahakan agar kebutuhan pelanggan dapat terpenuhi); menjadi relawan dalam menyelesaikan suatu tugas; menunjukkan rendahnya penentangan dan sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa karyawan yang merasa engaged dengan organisasinya akan memberikan informasi yang positif pula kepada orang lain. Informasi positif tersebut yang kemudian dapat meningkatkan image organisasi di mata organisasi lain. Tingkat employee engagement pada perusahaan merupakan hal yang penting karena employee engagement menjadi sarana penyelarasan tujuan karyawan dengan tujuan organisasi. Dengan employee engagement, perusahaan dapat mengetahui apakah karyawan memiliki rasa bangga dan rasa memiliki terhadap perusahaan, mengetahui apakah karyawan memiliki keinginan untuk memberikan usaha dan kinerja ekstra terhadap perusahaan (Albrecht, 2010). Dari ciri dan komponen engagement yang dikemukakan para ahli di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa seorang karyawan yang telah engaged dengan perusahaan akan merasa puas dan adil terhadap pekerjaan, memiliki kebanggaan dengan



tempatnya



bekerja, sehingga berkomitmen



15



terhadap misi perusahaan,



memberikan waktu dan tenaga ekstra untuk perusahaan, dan bahkan rela untuk berinvestasi di tempat ia bekerja. 2.3.2 Dimensi employee engagement Keterikatan memperlihatkan bagaimana individu-individu memberdayakan diri mereka sendiri dalam kinerja. Secara lebih rinci, Schaufeli et al. (2002) menjabarkan aspek-aspek engagement sebagai berikut : 1) Vigor (semangat) Mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya dalam pekerjaan seseorang. Sebuah usaha untuk terus enerjik saat bekerja dan kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau kegagalan ditandai oleh tingginya tingkat kekuatan dan resiliensi mental dalam bekerja, kesediaan untuk berusaha dengan sunguh-sunguh di pekerjaan, dan gigih dalam menghadapi kesulitan. 2) Dedication (dedikasi) Ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, inspirasi, dan kebanggaan. Pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu demi keberhasilan suatu usaha untuk mencapai tujuan. 3) Absorption (keasikan) Ditandai dimana seseorang menjadi benar-benar tenggelam dalam pekerjaan, dengan penuh konsentrasi dan minat yang mendalam terhadap pekerjaan, waktu terasa begitu cepat, dan individu sulit melepaskan diri dari pekerjaan.



16



2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi employee engagement Bakker et al., (2007) menyatakan bahwa engagement ditentukan oleh faktor individual dan lingkungan. Faktor lingkungan terkait dengan aspek organisasi dan atau psikologis, sosial dan fisik pekerjaan, seperti: otonomi, dukungan sosial, coaching atasan, umpan balik kinerja dan peluang pengembangan keahlian. Sedangkan faktor individu mengacu pada evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency dan rasa mampu untuk mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka dengan sukses Penggerak employee engagement akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan organisasi. Hewitt (2008) mengemukakan bahwa engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: penghargaan (total rewards), kondisi perusahaan (company practices), kualitas kehidupan (quality of life), kesempatan (opportunities), aktivitas pekerjaan yang dihadapi (work) dan orang lain di sekitar pekerjaan (people). Apabila keenam faktor tersebut terpenuhi maka akan dicapai high level of engagement dan keenam faktor tersebut merupakan faktor yang saling berhubungan. Bakker dan Demerouti (2007) menyebutkan bahwa terdapat 3 faktor yang menjadi penyebab utama work engagement, yakni: 1) Job Resources Merujuk pada aspek fisik, sosial, maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk: mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi pertumbuhan, perkembangan, dan perkembangan personal.



17



2) Salience of Job Resources Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu. 3) Personal Resources Merujuk pada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia dan lain-lain. Karyawan yang engaged akan memiliki karakteristik personal yang berbeda dengan karyawan lainnya karena memiliki skor extraversion dan concientiousness yang lebih tinggi serta memiliki skor neuoriticism yang lebih rendah.



2.4 Kinerja kayawan 2.4.1 Definisi kinerja karyawan Akbar (2015) mengemukakan kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Rivai (2009:549) mengemukakan kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai tujuannya. Mathis dan Jackson (2006:378) mengemukakan kinerja (performance) adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: (a) kuantitas dari hasil,



18



(b) Kualitas dari hasil, (c) ketepatan waktu dan hasil, (d) kehadiran dan (e) kemampuan bekerja sama. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kinerja merupakan prilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Berdasarkan beberapa pengertian kinerja pegawai yang telah dipaparkan oleh para ahli, maka dapat dinyatakan bahwa kinerja pegawai merupakan pencapaian hasil kerja pegawai atas tugas dan wewenang yang telah diberikan perusahaan sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki pegawai tersebut baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk mencapai tujuan, visi dan misi perusahaan. Untuk mengetahui kinerja pegawai, maka perlu dilakukan proses penilaian kinerja. Terdapat lima pihak yang dapat melakukan penilaian kinerja pegawai, yaitu: atasan langsung, rekan sekerja, evaluasi diri, bawahan langsung, pendekatan menyeluruh yaitu 360 derajat (Robbins, 2015).



2.4.2 Variabel yang mempengaruhi kinerja karyawan Setiap pegawai dituntut untuk memiliki kompetensi yaitu kemampuan atau kecakapan melaksanakan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya atau yang dipercayakan. Setiap pelaksanaan tugas atau pekerjaan ada suatu kegiatan memproses atau mengubah input (masukan) menjadi suatu output (keluaran) yang bernilai tambah sebagai produk atau hasil kerja. Secara umum, kinerja pegawai untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari



19



hasil, ketepatan waktu dan hasil, kehadiran dan kemampuan bekerja sama. Saleh (2017) menyebutkan faktor–faktor yang mempengaruhi kinerja adalah : a) Faktor personal/individual, meliputi : pengetahuan, keterampilan, kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu. b) Faktor kepemimpinan, meliputi : kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader. c) Faktor tim, meliputi : kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan, dan keeratan anggota tim. d) Faktor sistem, meliputi : sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi. e) Faktor kontekstual (situasional), meliputi : tekanan dan perubahan limngkungan eksternal dan internal.



2.4.3 Dimensi kinerja karyawan Kinerja pegawai dalam penelitian ini merupakan pencapaian hasil kerja pegawai atas tugas dan wewenang yang telah diberikan perusahaan sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki pegawai tersebut baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk mencapai tujuan, visi dan misi perusahaan. Kinerja erat kaitannya dengan hasil pekerjaan mencakup kuantitas maupun kualitas seorang pegawai untuk mencapai tujuan organisasi.



20



Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja pegawai dalam penelitian ini menggunakan indikator Mathis dan Jackson yang dikembangkan dan digunakan oleh Prahesti et al. (2017) sebagai berikut: a. Kualitas kerja Kualitas merupakan suatu tuntutan bagi perusahaan agar perusahaan dapat bertahan hidup dalam berbagai bentuk persaingan. Hasil kerja yang ideal juga menggambarkan kualitas pengelola produk dan layanan dalam perusahaan tersebut. Indikator ini diukur dari persepsi responden yaitu pekerjaan pegawai sesuai dengan prosedur, hasil pekerjaan pegawai terpercaya, pekerjaan yang dilakukan pegawai sesuai dengan kualitas organisasi. b. Kuantitas kerja Menggambarkan pemenuhan target



yang telah ditetapkan sehingga



menunjukkan kemampuan organisasi dalam mengelola sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuannya. Indikator ini diukur dari persepsi responden yaitu pegawai mampu mengerjakan pekerjaan sesuai dengan kuantitas yang ditetapkan, jumlah/ volume pekerjaan sesuai dengan harapan organisasi. c. Waktu kerja Menggambarkan waktu kerja yang dianggap paling efisien dan efektif pada semua tingkatan manajemen. Waktu kerja merupakan dasar bagi pegawai menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Indikator ini diukur dari persepsi responden yaitu mampu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, mampu mempergunakan waktu secara efektif dan efisien.



21



d. Kerja sama dengan rekan kerja Merupakan tuntunan bagi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Kerjasama yang baik akan memberikan kepercayaan pada berbagai pihak yang berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan. Indikator ini diukur dari persepsi responden yaitu mampu bekerja sama dengan rekan kerja, selalu bersikap positif dalam setiap pekerjaan kelompok.



22