Keberadaan Benteng Vastenburg [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Ria
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Keberadaan Benteng Vastenburg, Diantara Realitas dan Harapan: Studi Tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Cagar Budaya Benteng Vastenburg Di Kota Surakarta



Oleh Aneras Wulan Saptani (M0315007) Christina Marganingsih (M0315016) Ita Apriana (M0315029) Ria Anisa Rahma (M0315048)



PROGRAM STUDI KIMIA



UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA



2015 Keberadaan Benteng Vastenburg, Diantara Realitas dan Harapan: Studi Tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Cagar Budaya Benteng Vastenburg Di Kota Surakarta Oleh: Aneras Wulan Saptani (M0315007), Christina Marganingsih (M0315016), Ita Apriana (M031029), Ria Anisa Rahma (M0315048)



Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat sekitar terhadap status Benteng Vastenburg. Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa Kimia FMIPA UNS Angkatan 2015 yang mengambil lokasi penelitian di masyarakat sekitar Benteng Vastenburg, Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka terkait dengan cagar budaya di perkotaan. Hasil penelitian memberikan gambaran tentang sejarah, persepsi masyarakat sekitar tentang status pemilikan yang telah berganti ke tangan individu. Hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi masyarakat dan pihak terkait dalam pemeliharaan cagar budaya di Kota Surakarta. Kata Kunci: Benteng Vastenburg, Pemiliharaan Cagar Budaya I.Pendahuluan Kota Solo terkenal sebagai kota budaya. Keraton Surakarta menjadi simbol akan eksistensi budaya Jawa sebagai budaya lokal yang hidup di tengahtengah masyarakat. Di samping itu, keberadaan bangunan cagar budaya menjadi ciri khas kota yang mempunyai nilai sosio historis. Seiring perkembangan zaman, keberadaan budaya lokal dan cagar budaya yang ada di dalam kota terancam eksistensinya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya cagar budaya yang telah beralih fungsi atau berubah bentuk dan



fungsinya. Salah satu diantaranya adalah keberadaan Benteng Vastenburg yang terletak di tengah kota, tepatnya di kawasan Gladak. Benteng Vastenburg adalah salah satu benteng peninggalan kolonial Belanda di Indonesia. Benteng di depan kompleks Keraton Surakarta ini semula difungsikan Belanda untuk mengawasi aktivitas Pangeran Diponegoro yang didukung oleh Raja Surakarta, Paku Buwono VI. Pada saat itu, Vastenburg juga menjadi awal kompleks hunian perkantoran, sekaligus pertahanan orangorang Belanda. Pada masa orde baru, benteng tersebut dialihkan kepemilikannya oleh pemerintah kota kepada perusahaan perseorangan kemudian dialihkan lagi kepada pengusaha swasta lainnya yang menguasai aset berharga tersebut hingga kini. Privatisasi aset budaya tersebut adalah hal yang sangat memprihatinkan. Bahkan direncanakan akan dibangun sebuah sarana modern yang bersifat komersial publik berupa hotel berlantai lima belas, tanpa memperhatikan tata ruang kota dan segi historis keberadaan benteng tersebut. Karena itulah, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, baik pemerintah, investor (swasta) maupun masyarakat (stake holder) kota, untuk memelihara, melestarikan, dan membangun kawasan tersebut menjadi lebih baik lagi. Serta mampu memberikan solusi pemecahan masalah pembangunan sektor publik komersial di wilayah historikal ini, demi kepentingan bersama untuk pelestarian cagar budaya di Kota Surakarta. Rumusan masalah dari penelitian yang kami lakukan adalah “Bagaimanakah persepsi masyarakat sekitar terhadap status kepemilikan Benteng Vastenburg? Dengan demikian tujuan penelitian adalah “Mengetahui persepsi masyarakat sekitar terhadap status kepemilikan Benteng Vastenburg. Dan manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan adalah menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan Benteng Vastenburg yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Kota agar lebih memperhatikan nilai-nilai sosial budaya. II.Metode Penelitian



Dalam penelitian ini, paradigma yang digunakan adalah Paradigma Definisi Sosial. Exemplar paradigma ini adalah salah satu aspek yang sangat khusus dari karya Max Weber, yakni dalam analisanya tentang tindakan sosial (social action). Menurut Weber bahwa struktur sosial dan pranata sosial membantu untuk membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna. Mempelajari perkembangan suatu pranata secara khusus dari luar tanpa memperhatikan tindakan manusianya sendiri. Hal ini berarti mengabaikan segi-segi yang prinsipil dari kehidupan sosial. Perkembangan dari suatu hubungan sosial dapat pula diterangkan melalui tujuan-tujuan dari manusia yang melakukan hubungan sosial itu dimana ketika ia mengambil manfaat dari tindakannya memberikan perbedaan makna pada tindakan itu sendiri dalam perjalanan waktu. Tindakan manusia tanpa kecuali sepanjang yang dimaksudkan sebagai tindakan yang menyatakan keterlibatan manusia secara individual pantas dikategorikan sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan nyata-nyata diarahkan kepada orang lain juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari suatu situasi tertentu. Jenis Penelitian yang dilakukan ini berjenis deskriptif kualitatif. Yaitu penelitian yang bermaksud untuk menguraikan mengenai suatu gejala berdasarkan pada indikator-indikator yang dijadikan dasar gejala yang diteliti (Slamet: 2006: 7) Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah dilakukan melalui studi pustaka berupa dokumentasi dari arsip dan media massa. Analisis data dengan menggunakan metode analisis interaktif. Model analisis dengan proses berbentuk siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis (meliputi reduksi data, sajian data dan penaikan kesimpulan/ verifikasi) dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. (Sutopo, 2006: 119)



III.Hasil Penelitian Dari penelitian yang kami laksanakan didapatkan berupa persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan benteng berkaitan dengan persepsi tentang status



kepemilikan



Benteng



Vastenburg.



Dengan



didahului



beberapa



pemaparan tentang sejarah, status kepemilikan dan letak strategis Benteng Vastenburg dari dulu hingga sekarang. Sejarah Benteng Vastenburg Kota Surakarta dalam periode XVIII-XIX, dikenal sebagai pusat perdagangan dengan ditandai adanya perkembangan kota kolonial dengan nuansa kekuasaan tradisionalistik Kerajaan Kasunanan Surakarta. Eksistensi kutaraja yang dibangun 1745 ini dipotong oleh Belanda dengan menghadirkan konsep kutanegara. Hal ini ditandai dengan dibangunnya Benteng Vastenburg oleh Baron Van Imhoff. Benteng ini dibangun setelah keraton dipindahkan dari Keraton Kartasura ke Surakarta, dengan izin Paku Buwana II. Belanda sengaja membangun benteng di dekat keraton dengan tujuan ikut mengamankan Keraton Surakarta dan membina SDM militer Belanda. Tetapi tujuan sebenarnya, agar pasukan Belanda dapat mengamati aktivitas Pasukan Keraton Pada tahun 1945, kepemilikan Benteng Vastenburg akhirnya jatuh ke tangan kedaulatan RI dan dimiliki oleh pihak sipil atau Pemerintah kota dengan memanfaatkannya untuk markas Kompi Brigif Kostrad. Kemudian pada tahun 1986, saat kepemimpinan walikota Surakarta dipegang Hartomo. Berdasarkan SK walikota, akhirnya markas Brigif Kostrad dipindahkan. Kemudian pada tahun 1992, pemerintah berinisiatif untuk menyerahkan pengelolaan tanah sekitar Benteng Vastenburg kepada investor swasta, karena pemerintah kota membutuhkan



dana



guna



pemindahan



Brigif



Kostrad.



Semenjak



itu,



kepemilikan Benteng Vastenburg jatuh ke tangan individu atau investor swasta.



Status Kepemilikan Benteng Vastenburg. Terkait dengan status kepemilikan Benteng Vastenburg saat ini, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan bahwa pemilik (investor) dibagi ke dalam sembilan bagian tanah dan seluruhnya hanya mempunyai Hak Guna Bangun (HGB) terhadap tanah sekitar Benteng Vastenburg.



Pemegang Hak: Atas Nama



Luas Tanah (m2)



B. 383



PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk



3.545 m2



B. 384



PT. Benteng Perkasa Utama, Sukoharjo



B. 385



PT. Benteng Gapuratama, Surakarta



B. 386



PT. Benteng Perkasa Utama, Sukoharjo



2.875



B. 387



PT. Benteng Gapuratama, Surakarta



9.260



B. 388



PT. Benteng Gapuratama, Surakarta



7.485



B. 380



PT. Benteng Perkasa Utama, Sukoharjo



3.210



B. 606



Ny. Indri. Luas Tanah



3.673



B. 607



Ny. Indri.



3.348



Bagian



3.210



20.260



Luas Keseluruhan



56.866



( Sumber data : Badan Pertanahan Nasional Surakarta ) Letak Strategis Benteng Menurut Soedarmono (Solopos, 15/12/07) Letak Benteng Vastenburg berdasar letak ekologi budaya, berada di titik persilangan antara situs cagar budaya Pasar Gede, Keraton Surakarta dan Pasar Klewer. Dimana pembangunan tata ruang Kota Solo tidak pernah meninggalkan jejaknya dalam konsep dasar praja-kejawen, yang melahirkan situs kapujanggan poros sakral keraton-tugu pemandengan nDalem (raja), maupun mau bersinggungan dengan kompleks Vastenburg. Sesungguhnya di sanalah letak situs kapujanggan tata ruang kota ketika konsep kutha negara di awal abad ke-20 ini ditetapkan untuk menggantikan konsep kutha raja. Berkaitan dengan pelestarian kota idealnya tidak hanya meliputi lingkungan fisik tetapi juga menyangkut sejarah, geografi, struktur serta seluruh aspek yang menyangkut kehidupan kota tersebut. Menurut Danang Priatmojo (Tempo, 13/1/07) Untuk menetapkan Kota Solo sebagai wilayah benda cagar budaya atau historic distric, maka sebelumnya dilakukan pemetaan kawasan cagar budaya atau protected areas. Ada tiga kelas yang membedakan kawasan Kota Solo. Kawasan kelas pertama, adalah dua kompleks keraton yang ada di Solo, Mangkunegaran dan Pakubuwanan. Kawasan itu wajib mempertahankan wujud asli bangunan yang sudah ada. Dengan alasan apapun, di tempat tersebut tidak boleh mengurangi atau menambah bangunan. Kawasan kelas dua, meliputi area sekitar kawasan kelas pertama yang masih memiliki struktur kota lama dan mengandung bangungan kuno. Area ini meliputi eks hunian Eropa, Pacinan, dan Kampung Laweyan. Di kawasan kelas dua ini, struktur kota tidak boleh berubah dan bila terpaksa melakukan perombahan maka harus tetap mempertahankan bentuk aslinya.



Kawasan kelas tiga adalah sisa bekas kota lama yang dikembangkan Paku Buwana



X



Raja



Mangkunegaran.



Kasunanan Pada



dan



kawasan



Mangkunegaran



ini



yang



harus



VII



Adipati



dikendalikan



Pura adalah



pertumbuhan bangunan baru harus selaras dengan struktur kota lama. Berdasarkan



klasifikasi



wilayah



tersebut,



maka



Benteng



Vastenburg



merupakan benda cagar budaya yang berada di kawasan kelas dua. Area bekas hunian Eropa (Belanda) yang tidak boleh berubah atau apabila terpaksa ada perombakan, harus mempertahankan bentuk aslinya. Persepsi masyarakat tentang status kepemilikan Persepsi merupakan pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Jalaluddin Rakhmat, 1985 : 64).Dari pendapat ini, persepsi yang dimaksud lebih pada pandangan masyarakat tentang keadaan yang ada disekitarnya dalam hal ini adalah keberadaan benteng Vastenburg. Masyarakat sekitar benteng sebagian besar telah mengetahui bahwa benteng tersebut bukan lagi milik pemerintah kota. Salah seorang informan yang berprofesi sebagai Pedagang Kaki Lima di selatan benteng Ibu Ahmad, menyatakan “Dari status kepemilikan benteng yang saat ini berada di tangan swasta tersebut, masyarakat tidak begitu mempermasalahkan karena sudah terlanjur dan mereka hanya bisa pasrah menerima keadaan”. Informan dari tokoh masyarakat, seorang veteran TNI, Karolus berpendapat, “walaupun status kepemilikan sudah berpindah tangan akan tetapi konsep bangunan harus tetap dipertahankan sebagai cagar budaya”. Sedangkan informan dari kalangan aparat pemerintah, H.S Soemaryono yang bekerja di Yayasan Gedung Juang 45 menyatakan, “Meski dari sebagian anggota masyarakat juga menginginkan baiknya benteng itu dimiliki oleh pemerintah sehingga pengelolaannya jelas dan lebih terawat. Akan tetapi, pendapat ini tidak bisa sepenuhnya diterima dengan alasan modal yang tidak dimiliki oleh pemerintah terbatas, menjadikan pemerintah pesimis mampu mengambil alih atau menguasai kembali seluruh bangunan itu”.



Mengenai beralihnya status kepemilikan ini Sejarawan UNS, Soedarmono berpendapat bahwa, secara perlahan tapi pasti ada upaya –semacam- grand design untuk meruntuhkan jejak sejarah Kota Solo, yang dimaknai sebagai aksi meruntuhkan identitas atau jati diri kota kuno Solo melalui berbagai upaya privatisasi (Solopos, 15/12/07). Peran ini dimainkan oleh dua komunitas “anak” koloni Belanda yang masih berada di tanah jajahannya yaitu komunitas Vremdeoosterlingen yang sering dikenal dengan kapitan China dan kapitan Arab. Kekuatan koloni ini mulai bermain sejak orde baru dengan dalih menanam



investasi



untuk



memajukan



perekonomian



dan



menaikkan



pendapatan asli daerah (PAD) Kota Solo, mereka menginjak-injak heritage. Pelibatan masyarakat secara luas dapat dilakukan dengan penjaringan aspirasi secara menyuluruh, menyentuh semua lapisan masyarakat. Upaya partisipasi yang dijalankan pemerintah berdasar falsafah Jawa nguwongke uwong ini tentu saja akan menguatkan solidaritas sosial serta memperkecil jurang pemisah kelompok kaya (the have) dan kelompok miskin (the have no) sehingga mampu memperkecil gesekan antar kelompok yang berpotensi menjadi konflik. IV.Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian kami seperti yang dipaparkan di atas, kami dapat menarik kesimpulan: 1. Masyarakat umumnya belum mengetahui status kepemilikan secara pasti dan rencana pembangunan yang akan datang. Hal ini terjadi karena belum ada sosialisasi dari pemerintah terkait status kepemilikan dan rencana pembangunan yang akan dilaksanakan. 2. Masyarakat menginginkan konsep partisipasi aktif diberikan dengan adanya musyawarah bersama pemerintah, pemilik, investor, dan kelompok kepentingan lainnya. Sehingga setiap kepentingan dapat dibicarakan dan diakomodasi serta untuk meredam potensi konflik yang mungkin terjadi.



V.Daftar Pustaka Lucas, Anton. 1982. Masalah Wawancara dengan Informan Pelaku Sejarah di Jawa.Jakarta: Gramedia Ritzer, George. 2003.Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda.Jakarta: Rajawali Pers Rakhmat, Jalaludin. 1985. Rekayasa Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya Slamet, Y. 2006.Metode Penelitian Sosial.Surakarta: UNS Press Soekanto, Soerjono. 2000.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: Rajawali Pers



Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Harian Kompas. Edisi 28 Agustus 2004 Harian Solopos. Edisi 11,13,15 Desember 2007 Koran Tempo. Edisi 13 Januari 2007