Kebijakan Publik Proses, Analisis, Dan Partisipasi (Prof. Muchlis Hamdi, MPA, PH.D.) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

P rof .



Muchlis H a m d i, MPA, Ph.D.



KEBIJAKAN PUBLIK P ro ses, A n a lis is , d a n P a r tis ip a s i



Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang H ak Cipta



1. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 2. Setiap orang yang memenuhi unsur yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).



K E B IJA K A N P U B LIK P r o s e s , A n a lis is , d a n P a r t is ip a s i



P rof. M uch lis H am di, MPA, Ph.D.



GHALIA INDONESIA A nggota IKAPI



Kebijakan Publik: Proses, Analisis, dan Partisipasi Copyright@Muchlis Hamdi



Editor: Risman Sikumbang Desain Cover: Ghalia Indonesia Desain Isi: Asmadianto



Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Dilarang memperbanyak/menyebarluaskan dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Ghalia Indonesia. Cet. Pertama: Februari 2014



Penerbit Ghalia Indonesia, Cet. Kedua, Desember 2015 Jl. Rancamaya Km. 1 No. 47, Warung Nangka, Ciawi - Bogor 16720 Telp.: (0251) 8240628 (hunting) Fax.: (0251) 8243617 e-mail: [email protected]



Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prof. Muchlis Hamdi, MPA, Ph.D



Kebijakan Publik: Proses, Analisis, dan Partisipasi, Cet. 2 Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2015 vi + 170 him; 155 mm X 230 mm ISBN: 978-979-450-680-6



Kebijakan publik dipahami merupakan bagian yang selalu ada dalam setiap gejala dan proses pemerintahan modern. Dengan kebijakan publik, seluruh tindakan pemerintahan diharapkan berlangsung dalam proses yang rasional dan dengan jam inan kemanfaatan yang nyata bagi seluruh warga negara. Tentu saja harapan yang demikian itu bisa terwujud manakala proses penyelenggaraan pemerintahan negara berlangsung secara demokratis. Buku ini mencoba menampilkan berbagai dimensi pembuatan kebijakan publik, terutam a berkenaan dengan makna, sistem, proses, analisis, dan partisipasi. Pemahaman terhadap berbagai dimensi tersebut diperlukan, baik agar pembuatan kebijakan publik dapat dilakukan dengan semestinya oleh para pejabat yang berwenang membuat kebijakan publik, maupun oleh masyarakat agar dapat berpartisipasi efektif' untuk menjamin terwujudnya kebijakan publik yang b e n a r-b e n a r b ertu ju an untuk k esejahteraan masyarakat. Dari aspek penerbitannya, buku ini merupakan edisi revisi dari buku sebelumnya. D engan selesainya penulisan buku ini, seraya bersyukur kepada Allah Swt., penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah m em bantu. Semoga buku ini ada m anfaatnya, sekecil apa pun m anfaat tersebut bagi pengem bangan ilmu pengetahuan dan praktik pemerintahan. Jakarta, 21 Desember 2013



M u c h lis H a m d i



K ata P e n g a n ta r .............................................................................................



v



D aftar I s i ..........................................................................................................



vii



BAB I



BAB II



BAB III



BAB IV



B in g k a i P r o se s K eb ijak an P u b lik .........................................



A. Bentuk dan Fungsi Negara..................................................... B. Bentuk Pemerintahan.............................................................. C. Sistem Pemerintahan..............................................................



1 15 29



E se n si K eb ijakan P u b lik ..........................................................



39



A. B. C. D.



36 39 44 46



Makna dan Karakteristik Kebijakan Publik......................... Politik Kebijakan Publik............................................................



Studi Kebijakan Publik........................................................... Komparasi Kebijakan Publik.................................................



Sistem K ebijakan P u b lik ............................................. A. Substansi Kebijakan..................................................... B. Pemeran Kebijakan...................................................... C. Lingkungan Kebijakan.................................................



53 54



55 74



P roses K ebijakan P u b lik ............................................. A. Penentuan Agenda....................................................... B. Formulasi Kebijakan.................................................... C. Penetapan Kebijakan................................................... D. Pelaksanaan Kebijakan................................................ E. Evaluasi Kebijakan.......................................................



87 94 97 107



BAB V



A nalisis K ebijakan P u b lik ........................................... A. Proses Analisis Kebijakan............................................. B. Level AnalisisKebijakan................................................ C. Bingkai Analisis Kebijakan............................................ D. Teknik Analisis Kebijakan.............................................



113 115 126 127 128



BAB VI



Ke A rah K ebijakan Publik P a rtis ip a tif..................... A. Birokrasi dan Demokrasi............................................... B. Birokrasi dan Manajemen Publik.................................. C. Birokrasi dan Pembangunan ........................................ D. Penegasan Kembali Makna Kebijakan Publik Partisipatif' E. Menyepakati Kembali Makna Partisipasi..................... E Substansi Pembangunan Kebijakan Publik Partisipatif.



133 133 138 144 148 150 153



D aftar P u stak a .................................................................................



163



Tentang P enulis.................................................................................



170



vi



79 80



BINGKAI PROSES KEBIJAKAN PUBLIK



Kebijakan publik m erupakan salah satu output atau hasil dari proses penyelenggaraan pem erintahan, di samping pelayanan publik, barang publik, dan regulasi. Oleh karena itu, substansi dan proses kebijakan publik akan selalu berkaitan dengan berbagai aspek keberadaan pemerintahan, te ru ta m a dengan bentuk negara, b entuk p em erin tah an , d an sistem pemerintahan. Bentuk negara memberi pengaruh pada substansi dan proses kebijakan publik, terutam a karena peranan negara sebagai wadah dari proses kebijakan publik. Suatu negara merupakan bangunan pengelolaan kekuasaan, yang strukturnya akan menjadi saluran bagi mengalirnya proses kebijakan, demikian juga dengan bentuk dan sistem pemerintahan. Kedua aspek tersebut m enjadi pembingkai bagi dinam ika proses pem buatan kebijakan publik.



A. B en tu k dan F ungsi N egara Negara umumnya dipahami sebagai organisasi politik, yang didefinisikan secara bervariasi oleh banyak ahli. Negara, m enurut Znaniecki (1952: 20), merupakan masyarakat politik yang mempunyai sistem hukum yang berlaku umum dan suatu pem erintah yang independen dan terorganisir yang mengontrol semua orang yang bermukim pada suatu wilayah tertentu. N egara ju g a dipaham i sebagai entitas politik yang mengklaim suatu monopoli mengenai penggunaan kekerasan violence) dalam suatu wilayah Hcnslin, 1996: 267). Peter Burnham dalam M cLean & McMillan, 2003: 512) menyatakan bahwa negara adalah seperangkat khas dari institusi politik



yang perhatian khususnya adalah dengan organisasi dominasi, atas nama kepentingan bersama, dalam suatu wilayah yang dibatasi (a distinct set o f political institutions whose specific concern is with the organization o f domination, in the name o f the common interest, within a delimited territory). Pendapat lain dikemukakan oleh M ax W eber dalam Fukuyama, 2004: 8) yang mendefinisikan negara sebagai suatu komunitas manusia yang berhasil mengklaim monopoli penggunaan kekuatan fisik secara sah dalam suatu wilayah tertentu (a human community that (successfully) claims the monopoly o f the legitimate use o f physicalforce within a given territoy .1 Sifat monopolistik dalam penggunaan kekuasaan tersebut secara mendasar menjadi pembeda antara negara sebagai suatu organisasi dengan pelbagai bentuk organisasi lainnya yang dibentuk oleh manusia. Sifat monopolistik itu pula yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perilaku penyelenggara negara. Bagi birokrasi pem erintahan, sifat monopolistik dalam penggunaan kekuasaan pemerintahan tersebut dapat berakibat pada munculnya kondisi tidak terkendalinya penggunaan atau penyelenggaraan kekuasaan tersebut, yang secara umum disebut sebagai penyakit birokrasi (bureaupathology), antara lain berupa dysfunction2, dan pada gilirannya memunculkan penyakit lanjutan, antara lain berupa penipuan, pemborosan, dan penyalahgunaan.3 K etidak-terkendalian penggunaan atau penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara secara monopolistik tersebut dapat disebabkan oleh luas dan m endasarnya fungsi yang dilaksanakan oleh negara. Sebagai ilustrasi dari luas dan mendasarnya fungsi tersebut dapat disimak pendapat yang dikemukakan oleh Ole Borre & Michael Goldsmith (dalam Borre & Scarbrough, 1998: 1 2) berikut ini. ...slates have always undertaken somefmotions. First, they have had a major concern with defence, to protect andpromote, the territoy which the state encompasses. .. a second traditional concernfor states, linked to external security, has been law enforcement.......And as states and economies developed, pressure grew for those '



2



Dengan definisi negara lersebul. Weber sebagaimana dikutip oleh Peter Burnham Idaiam McLean & McMillan 2003: 513) menekankan tiga aspek dari negara modem, yakni: wilayah, monopoli sarana pemaksaan fisik, dan legitimasi (Weber emphasizes three aspects o f the modern state: its territoriality: its monopoly o f the means o f physical violence: and its legitimacy). Dysfunction adalah suatu keadaan yang mencerminkan perubahan fungsi birokrasi, dari fungsi sebagai sarana pencapaian tujuan (meansi menjadi fungsi sebagai tujuan itu sendiri (ends). Keadaan ini dapat terjadi ketika birokrasi memiliki kewenangan yang besar dengan akuntabilitas yang rendah akibat dari pengawasan yang tidak efektif. Istilah penipuan, pemborosan dan penyalahgunaan (fraud. waste and abuse) dikemukakan oleh James Q Wilson (1989) dalam bukunya yang berjudul Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why The\ Do It. New York: Basic Books.



Kebijakan Publik



in power to accept responsibilityfor the well-being o f theirpopulations, in the form of social security provision, education and training, housing, or cultural activities. Finally, states exhibit a needfor ideological and symbolic legitimation. ... Today, it often takes theform o f cultural support for museum or opera houses, or sponsorship of national football teams, all o f which are intended to promote the identification of the citizens with their society. D ari pendapat O le Borre & M ichael G oldsm ith tersebut, paling tidak negara melaksanakan empat fungsi utama. Pertama, negara sangat berkepentingan dengan persoalan p ertahanan untuk melindungi dan m em bangun wilayah negara. Dalam konteks Indonesia, fungsi negara b erkaitan dengan p e rta h a n a n tersebut dirum uskan d alam kalim at “m elindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tum pah d arah Indonesia.” Pandangan yang disampaikan oleh Olc Borre & M ichael Goldsmith memberikan penekanan yang jelas bahwa fungsi perlindungan atau proteksi terhadap wilayah negara bukan semata-mata berhenti pada pertim bangan m em pertahankan kedaulatan negara, tetapi juga berisi makna promosi wilayah negara, dalam arti menciptakan suasana bangsa yang terjaga untuk berkembang secara maksimal. Kedua, dalam suasana bangsa yang terjaga dan rakyat yang terbangun, m aka fungsi negara berikutnya adalah menjamin terciptanya rasa aman bagi masyarakat. Ole Borre & Michael Goldsmith menyebut, rasa am an tersebut dengan istilah keamanan eksternal {externalsecurity). Dengan fungsi ini. negara melakukan tindakan untuk memastikan bahwa bingkai perilaku yang telah disepakati bersama dalam bentuk peraturan perundang-undangan diikuti oleh setiap warga negara dan penduduk negara pada umumnya. Kegiatan ini disebut sebagai kegiatan penegakan hukum {law enforcement). Selanjutnya, sejalan dengan perkem bangan negara dan pertum buhan ekonominya, negara mengemban fungsi yang ketiga, yakni fungsi kesejahteraan. Fungsi ini muncul karena perkem bangan negara dan pertum buhan ekonomi m endorong munculnya pula tekanan pada negara untuk menerima tanggung jawab bagi kesejahteraan penduduknya, yang m enurut O le Borre & M ichael Goldsmith, terutama berupa penyediaan keamanan masyarakat, pendidikan dan pelatihan, perum ahan, atau aktivitas kebudayaan. Dalam konteks Indonesia, fungsi ini dirumuskan dalam kalimat ''memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.” Fungsi negara yang terakhir



Bingkai Proses Kebijakan Publik



3



atau yang keempat menurut Ole Borre & M ichael Goldsmith adalah fungsi berkaitan dengan legitimasi ideologi dan simbol. Pelbagai bentuk dari legitimasi tersebut adalah dukungan budaya untuk museum dan gedung kesenian, atau dukungan bagi tim sepakbola nasional, yang kesemuanya dimaksudkan untuk mempromosikan identifikasi warga negara dengan masyarakatnya. Dalam praktik pemerintahan modern, tim kesenian atau tim olahraga nasional menjadi simbol eksistensi suatu negara. Bahkan pada tingkat tertentu, tim sepakbola suatu negara, misalnya, menjadi duta negara tersebut untuk dikenal dan diterima oleh negara lain dan masyarakat dunia. Dalam konteks ini, tim sepakbola telah menjadi saluran diplomasi dalam kehidupan internasional yang sangat signifikan. Dalam konteks Indonesia, fungsi negara yang berkaitan dengan kehidupan internasional dimaknai dengan nilai yang lebih luas, yang dirumuskan dalam kalimat “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdam aian abadi, dan keadilan sosial.” Seraya menyatakan tentang keempat fungsi negara tersebut. Ole Borre & Michael Goldsmith (dalam Borre & Scarbrough, 1998: 5 menegaskan pandangan mereka tentang faktor penting bagi negara untuk menciptakan suatu negara kesejahteraan4, yakni pertum buhan ekonomi. Pendapat tersebut mereka kemukakan dengan mengutip pandangan Wilensky ( 1975: xiii) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan dampaknya secara demografis dan birokratis adalah sebab dasar bagi kemunculan umum negara kesejahteraan economicgrowth audits demographic and bureaucratic outcomes are the root cause o f the general emergence o f the welfare slate). Alasan mengenai kemunculan suatu negara kesejahteraan dikemukakan secara lebih rinci oleh Finer (1962: 7). Dia menyatakan bahwa terdapat 12 alasan bagi kemunculan negara kesejahteraan tersebut, yaitu sebagai berikut. Briefly, there, are several reasons: (1) To raise the standard o f living for all. (2) To reduce the hours, dangers, andfatigues o f labor by governmental regulation. (3) To redress the inequality o f opportunity andfortune imposed by previous class privileges. (4) To open up the career to the talents, however humble the origins ‘



Ole Borre & Michael Goldsmith (dalam Borre & Scarbrough. 1998: 166) mengikuti pendapat Edeltraud Roller dalam mengartikan negara kesejahteraan sebagai seperangkat kebijakan yang ditujukan pada keamanan sosial ekonomi dan kesamaan sosial ekonomi (the welfare stale is defined as a set o f policies aiming at socio-economic security and socio-economic equality).



4



Kebijakan Publik



of the citizen. (5) To assist the poor, the wretched, the sick, the aged, and those, moreover, who are none o f these but are simply not mentally or physically able in person or circumstance to earn by their own efforts what the legislature conies to regard as a “proper living standard for selfand family.” (6) To support certain segments of the economy. (7) To forefend depression and mass unemployment. (8) To appease clashes between segments o f the economy and between employers and workers. (9) To regulate certain facilities and utilities that by their technical nature are liable to become, monopolized and, therefore, are conducive to the exploitation o f the consumers. (10) To conserve natural resources. (11) To defend the nation’s existence by aimedforce, armaments, and civil defense and by control o f immigration and trade. (12) To establish certain basic standards o f morality (concerning the family, divorce, marriage, obscenity, blasphemy, etc.) out o f pride o f civilization and religiouspiety, and,for the same reasons, to establish amenities, and facilities like public education, art collections, libraries, the encouragement and protection o f inventions, etc. D ari kutipan di atas tam pak bahw a suatu n egara kesejahteraan dibutuhkan karena berlangsungnya perkembangan negara dan kemajuan masyarakat yang terjadi dalam suatu negara. Secara rinci, Finer memilah keadaan tersebut menjadi 12 alasan berikut. 1. Meningkatkan standar kehidupan bagi semua. 2. M engurangi waktu, bahaya, dan kebosanan kerja melalui regulasi pemerintah. o. Memperbaiki ketidaksamaan kesempatan dan nasib yang diakibatkan oleh prive/ese kelompok yang terjadi di masa lampau. 4. M em buka kesempatan karier kepada m ereka yang berbakat tanpa memperhatikan asal usulnya. 5. Membantu kelompok miskin, yang menderita, yang sakit, yang jompo, dan kelompok yang setara lainnya untuk memperoleh pendapatan dengan usaha mereka sendiri, yang dalam peraturan perundang-undangan disebut sebagai “standar hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga.”3 6. M endukung kelompok tertentu dalam perekonomian negara. 7. Mencegah depresi dan pengangguran massal. 8. M enenangkan perselisihan antara kelompok-kelompok ekonomi serta antara pekerja dan pengusaha. '



Dalam konstitusi Indonesia. Pasal 27 mengatur bahwa "setiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak bagi kehidupan dan kemanusiaan."



Bingkai Proses Kebijakan Publik



5



9. M engatur fasilitas dan utilitas tertentu yang berdasarkan sifat teknisnya cenderung dimonopoli dan oleh karena itu, menjadi kondusif untuk berakibat pada eksploitasi pelanggan. 10. Melakukan konservasi sumber daya alam. 11. M em pertahankan eksistensi bangsa melalui angkatan bersenjata dan pertahanan rakyat dan melalui kontrol terhadap imigrasi dan perdagangan. 12. M enegakkan stan d ar m oralitas d asar terten tu (berkaitan dengan keluarga, perceraian, perkawinan, pencabulan, fitnah dan penghinaan, dan sebagainya) di luar kebanggaan peradaban serta kesucian dan kebajikan agama, dan untuk alasan yang sama, memberikan layanan dan fasilitas, seperti pendidikan untuk umum, koleksi kesenian, penguatan dan perlindungan penciptaan (inventions), dan sebagainya. Pendapat lain tentang fungsi negara dikemukakan oleh Fukuyama (2004: 11). Dia menyatakan bahwa ruang lingkup fungsi negara dapat dikelompokkan ke dalam tiga fungsi, yakni fungsi minimal, fungsi antara, dan fungsi aktivis, yang secara rinci adalah sebagai berikut. P Minimal Functions - Providingpure publicgoods (defense, law and order, properly rights, macro economic management, public health. - Improving equity (protecting the poor). P Intermediate Functions - Addressing externalities (education, environment). - Regulating monopoly (utility regulation, anti-trust). - Overcoming imperfect information (insurance, financial regulation, social insurance). P Activist /'unctions - Industrial policy. Wealth redistribution. Dari kutipan pendapat di atas, Fukuyama menyatakan bahw a negara paling tidak harus melaksanakan dua fungsi, yakni fungsi penyediaan barangbarang publik murni, seperti pertahanan, ketenteraman dan ketertiban, hak milik, manajemen ekonomi makro, dan kesehatan masyarakat, dan fungsi perbaikan keadilan, terutam a berupa perlindungan terhadap si miskin.



6



Kebijakan Publik



Sejalan dengan perkembangan negara dan kemajuan masyarakat, maka pelaksanaan kedua fungsi minimal akan dilanjutkan dengan fungsi negara berikutnya, yang disebut oleh Fukuyama sebagai fungsi antara (iintermediate Junctions). Fungsi antara ini terdiri atas tiga fungsi, yakni fungsi penanganan eksternalitas (pendidikan, lingkungan), fungsi pengaturan monopoli regulasi utilitas, anti-monopoli), dan fungsi penanggulangan informasi yang tak sempurna (asuransi, regulasi keuangan, asuransi sosial). Pada perkembangan negara selanjutnya, negara memainkan fungsi aktivis, yang mencakup fungsi penyediaan kebijakan industri dan fungsi redistribusi kesejahteraan. Pemahaman terhadap fungsi yang seharusnya dilaksanakan oleh suatu negara tentu saja akan tergantung pada cara memandang mengenai makna negara dan alasan keberadaannya. Peter Burnham (dalam M cLean & McMillan, 2003: 514) menyatakan bahwa terdapat tiga tradisi mengenai teori negara, yakni tradisi pluralis, marxist, dan kelembagaan {pluralis/, marxist, and statist)!1 Dalam menguraikan tradisi pluralis mengenai negara, Burnham merujuk pada pandangan Robert Dahl dan Nelson Polsby. Dahi dan Polsby melihat negara, baik sebagai arena netral untuk kepentingan yang bersaingan, maupun sebagai agennya yang juga merupakan seperangkat kelompok kepentingan lainnya. Dalam konteks ini, maka dengan kekuasaan yang ditata secara kompetitif dalam masyarakat, kebijakan negara adalah produk dari tawar-menawar yang berulang (■recurrent bargaining). Oleh karena itu, secara prinsipil, semua kelompok masyarakat mempunyai kesempatan untuk m enekan negara, w alaupun juga eksistensi dari ketidaksamaan tetap tak terhindarkan. Di bidang kebijakan ekonomi, pendekatan pluralis m em andang bahw a tindakan negara adalah hasil dari tekanan yang diberikan oleh kepentingan-kepentingan, baik yang terorganisir maupun yang 'polyarchy'. Dalam hal ini, sejumlah kelompok kepentingan bersaing, dan kebijakan negara merefleksikan dominasi atau kontrol dari suatu kelompok tertentu yang terartikulasikan dengan baik (a particularly wellarticulated interest). Dalam memaparkan teori negara m enurut tradisi marxist, Burnham merujuk pada pendapat Miliband dengan bukunya “ The Stale in Capitalist Society”. Miliband menawarkan pandangan instrumentalis mengenai negara, yang m em andang eksekutif negara hanya sebagai suatu komite untuk 6 6



Uraian lebih lanjul mengenai teori negara (theories o f states) dari ketiga tradisi bersumber dari penjelasan yang diberikan oleh Peter Burnham (dalam McLean & McMillan, 2003: 514-515).



Bingkai Proses Kebijakan Publik



7



mengelola urusan-urusan umum dari kaum borjuis secara keseluruhan. Selanjutnya, pandangan instrumentalis menyatakan bahwa kelas penguasa (ruling class) menggunakan negara sebagai instrumennya untuk mendominasi masyarakat melalui kebajikan ikatan antar-perorangan antara pejabatpejabat negara dan para elit ekonomi, dan komposisi sosial dari pejabatpejabat negara dan para elit ekonomi. Senyatanya, struktur internal dari setiap negara berbeda-beda, dan kenyataan ini melatarbelakangi lahirnya paham post-marxist, yang menyatakan bahw a negara bukanlah suatu instrumen, dan negara tidak berfungsi secara tidak ambigu atau secara relatif otonom menurut kepentingan suatu kelas yang tunggal :/he state is not an instrument and does not ‘function’ unambiguously or relatively autonomously in the interests o f a single class). Pandangan post-m arxist ini, antara lain dikembangkan oleh Gramsci, yang menekankan pentingnya masyarakat sipil yang saling bersisipan interposing civil society) antara elit ekonomi dan negara untuk menjelaskan variasi dari pelbagai bentuk negara. Kririk teoretis dari post-marxist tersebut, di samping studi empiris mengenai peranan negara dalam pem buatan kebijakan ekonomi luar negeri telah m em andu lahirnya teori kelem bagaan (statist theory) yang menyimpulkan bahwa negara mengejar tujuan yang tidak dapat diderivasi dari taw ar-m enaw ar kelom pok kepentingan atau d ari struktur kelas masyarakat kapitalis. Negara kemudian berkembang menjadi suatu fokus, dan dalam konteks ini, negara dipandang sebagai struktur-struktur yang khas (distinctive structures) dengan sejarah khas mereka masing-masing, dan yang beroperasi dalam suatu lingkungan otonomi yang nyata (operating in a sphere o f real autonomy). Dari berbagai pendapat tersebut jelas terlihat bahw a negara pada hakikatnya adalah organisasi kekuasaan, dan kebijakan publik adalah gambaran dari hasil pengelolaan kekuasaan negara. Dalam pem aham an tersebut, jelas juga terlihat bahw a struktur organisasi negara menjadi penentu dari karakter proses kebijakan publik. Lazimnya, suatu struktur organisasi mencerm inkan cara organisasi menangani dua proses dasar, yakni pembagian kerja dan koordinasi 1Ieffron, 1989: 19). Pembagian kerja mencakup pengidentifikasian aktivitas utama yang dilakukan oleh organisasi, menjabarkan lebih lanjut pelbagai aktivitas itu menjadi tugas dan subtugas, dan menggabungkan subtugas-subtugas



8



Kebijakan Publik



ilu ke dalam posisi. Penjabaran ini kemudian harus dipadukan kembali melalui mekanisme koordinasi seperti suatu hierarki, saling penyesuaian, serta proses, output, dan keterampilan standardisasi kerja. Struktur yang dihasilkan dapat dicirikan berdasarkan tiga dimensi atau komponen yang berbeda, yakni: kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi (R obbins, 1990: 113 114). K om pleksitas m enunjukkan diferensiasi horizontal dan vertikal dari suatu organisasi. Diferensiasi horizontal menunjukkan derajat penyebaran pekerjaan atau tugas secara geografis. Penyebaran tersebut diukur dari jumlah pem isahan horizontal antara unit-unit melalui kalkulasi jum lah kekhasan jabatan dan lam a pelatihan rata-rata yang dibutuhkan untuk setiap jab atan tersebut. Selanjutnya, diferensiasi vertikal menunjukkan kedalaman organisasi yang diukur melalui penghitungan jum lah jenjang hierarkis yang memisahkan level pimpinan dan level-level di bawahnya dalam menghasilkan output organisasi. Dengan kata lain, kompleksitas berkaitan dengan jum lah spesialisasi pekerjaan atau jabatan yang terdapat dalam organisasi, jum lah tingkatan dalam hierarki, dan lingkup penyebaran secara geografis. Dalam hal kompleksitas ini, Robbins berpendapat bahwa: (1) semakin besar diferensiasi horizontal, dengan ketentuan bahwa rentang kendali yang tetap, maka semakin tinggi hierarki, (2) semakin tersebar secara geografis unit-unit organisasi, maka semakin kompleks organisasi, dan (3) semakin kompleks organisasi, maka semakin besar kesulitan komunikasi, koordinasi, dan kontrol. Formalisasi m enunjuk p a d a lingkup penstandardisasian ja b a ta n , kegiatan, dan perilaku dan pada sarana untuk pelaksanaan standardisasi tersebut. Implikasinya, semakin tinggi formalisasi, maka semakin teregulasi atau terbingkai perilaku anggota organisasi. Robbins mencatat beberapa teknik formalisasi yang umumnya dilakukan adalah: (1) proses seleksi, (2) persyaratan jabatan, (3) peraturan, prosedur dan kebijakan, (4) pelatihan, (5) dan pembaiatan anggota dalam rangka pembuktian kesetiaan dan komitmen mereka pada organisasi. Sentralisasi adalah derajat pengkonsentrasian kekuasaan dan kontrol pem buatan keputusan pada individu, unit atau level tertentu. Sentralisasi dapat digam barkan melalui terkonsentrasinya pengam bilan keputusan terhadap lima tahap prosesnya, yakni: (1) pengum pulan informasi yang akan disam paikan kepada pengam bil keputusan m engenai apa yang



Bingkai Proses Kebijakan Publik



9



dapat dilakukan, (2) pemrosesan dan penafsiran informasi untuk menjadi n asih at atau m asukan bagi pengam bil keputusan ten tan g a p a yang seharusnya dilakukan, (3) pembuatan pilihan berkenaan dengan apa yang dimaksudkan untuk dilakukan, (4) otorisasi terhadap apa yang dimaksudkan untuk dilakukan, dan (5) pelaksanaan keputusan. Dalam hal sentralisasi ini, Robbins m encatat bahw a desentralisasi memiliki manfaat untuk: (1) mengurangi kemungkinan kelebihan beban informasi, (2) memfasilitasi respons yang cepat pada informasi baru, (3) menyediakan input yang lebih rinci bagi suatu keputusan, (4) membangun motivasi, dan menghadirkan sarana potensial bagi pelatihan pim pinan dalam pengembangan penilaian yang baik. Sebaliknya, Robbins juga mencatat bahwa sentralisasi menambah suatu perspektif keputusan yang komprehensif dan dapat menyediakan efisiensi yang signifikan7. Dalam konteks kehidupan bernegara, pedom an bagi pem bentukan struktur organisasi negara tersebut termuat dalam konstitusi negara, yang kemudian diikuti pengaturannya lebih lanjut dalam hierarki peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi. Pada dasarnya, konstitusi adalah hukum dasar tertulis tertinggi di suatu negara. Dengan makna itu, maka konstitusi menjadi sumber hukum dari semua tindakan pengaturan negara. Namun demikian, dalam praktik, pengaturan struktur negara juga dilakukan tanpa rujukan yang spesifik yang term uat dalam konstitusi.8 Pembentukan pelbagai komisi dalam struktur pem erintahan negara dan pem erintahan Indonesia merupakan salah satu contoh dari kenyataan tersebut. Namun demikian, keberadaan komisi tersebut selalu berdasarkan pada suatu regulasi negara, dan salah satu di antaranya adalah dalam bentuk undang-undang. Finer (1962) memberikan pandangan yang menarik mengenai pengertian, proses, dan ukuran kebaikan dari suatu undang-undang. D alam hal pengertian undang-undang, Finer (1962: 3) menyatakan, ‘'A law is a standard o f behavior issued as a command directed to designatedpeople and officials. It may exact certain obedience. ... or it may confer a benefit”. Dari pernyataan tersebut, Finer menegaskan bahwa suatu undang-undang adalah suatu standar perilaku yang dibuat sebagai suatu perintah yang ditujukan kepada pejabat dan 7 8



10



Catatan menarik diberikan oleh Hef Iron (1989: 34) mengenai sentralisasi, yakni: sentralisasi memaksimalkan kontrol, dan pada gilirannya, kontrol meminimalkan diskresi. Praktik penyelenggaraan pemerintahan negara yang tidak eksplisit dapat dicari sumber pengaturannya dalam konstitusi sering kali disebut dengan istilah konvensi, yakni kelaziman pengaturan yang berdasar atas pertimbangan kelayakan manfaat penyelenggaraan dari hal yang diatur tersebut.



Kebijakan Publik



masyarakat yang dimaksudkan. Dengan makna itu. maka suatu undangundang paling tidak akan bersisi ganda. Di satu sisi, undang-undang dapat memastikan atau m ensyaratkan kepatuhan tertentu. Di sisi lain, suatu undang-undang juga dapat memberikan suatu kemanfaatan. D alam hal proses pem bentukan undang-undang, Finer (1962: 3 menyatakan, “Laws are made by institutions and institutions are men and women set in a certain pattern vested with authority and purpose. Institutions may be established by written constitutions, as in America or France or Western Germany or even Russia, or they may be prescribed simply by custom as in Britain". Bagi Finer, pembicaraan mengenai undang-undang tak terpisahkan dari pembicaraan orang-orang yang m em buat undang-undang tersebut dan lem baga tem pat mereka bernaung. Dalam hal ini, undang-undang dibuat oleh suatu institusi, dan institusi itu sendiri terdiri atas orang-orang yang tertata dalam suatu pola tertentu yang dibekali dengan kewenangan dan tujuan. Keberadaan lembaga tersebut dapat berdasarkan konstitusi yang tertulis, atau dapat juga berdasarkan kebiasaan. C ontoh yang diberikan oleh Finer tentang pengaturan institusi secara tertulis adalah Amerika Serikat, Prancis,Jerman, dan Rusia, sedangkan contoh pengaturan lembaga berdasarkan kebiasaan adalah Inggris. Proses pem buatan undang-undang yang banyak ditentukan oleh para pembuat undang-undang memunculkan persoalan seberapa patut undangundang tersebut bagi kepentingan rakyat. Dalam hal ini, Finer (1962: 3) menyatakan, “How shall we decide what is ajust law? (/) We may be content with the substance o f the law because it satisfies us, and so we may agree that it isjust; or [2 we may set up a procedurefor making it thefairest, the mostjust, that we can conceived'. Dari pernyataan Finer tersebut, paling tidak terdapat dua panduan untuk menentukan patut tidaknya suatu undang-undang bagi kepentingan umum. Pedoman pertam a berkaitan dengan substansi undang-undang. Dalam hal ini, masyarakat dapat menilai apakah substansi undang-undang memuaskan mereka, dan berdasarkan penilaian kepuasan tersebut, maka masyarakat dapat menilai apakah undang-undang tersebut bersifat patut atau tidak. Pedoman kedua berkaitan dengan prosedur pembuatan undang-undang. Dalam hal ini, masyarakat dapat menilai apakah prosedur pem buatan undang-undang sudah merupakan prosedur yang paling patut atau paling adil, sesuai dengan konsepsi yang ada.



Bingkai Proses Kebijakan Publik



11



Ketika suatu undang-undang dipahami terbentuk dalam suatu pola tertentu yang dibekali dengan kewenangan dan tujuan, maka sesungguhnya persoalan undang-undang ju g a terkait dengan suatu norma. Dalam hal norm a tersebut, Fukuyama (2004: 90 91) memberikan catatan menarik tentang pengembangan norma dalam suatu organisasi, termasuk organisasi negara. M enurutnya, “Norms in organizations can be learned through conventional education and training, but more often than not, they are inculcatedfrom the top down by leadership. Leaders create norms notjust by promulgating rules and regulations but also by theforce o f their example and personalities." Dari pendapat Fukuyama tersebut dapat dipaham i bahwa norm a dalam suatu organisasi dapat dipelajari melalui pendidikan dan pelatihan. Nam un, norm a tersebut senyatanya lebih sering ditanamkan dari atas ke bawah oleh para pemimpin organisasi. Bagi Fukuyama, para pemimpin menciptakan norma tidak hanya dengan membentuk peraturan-peraturan, tetapi juga melalui kekuatan mereka dalam m em berikan p a n u ta n dan kepribadian. P an d an g an tersebut ditegaskan kembali oleh Fukuyama (2004: 109) dengan ungkapan yang lain, yakni, “Jforms and values come, of course, from the broader society and are influenced by components o f social structure like class and ethnicity. Hut on the micro­ level of organizations, norms can be actively shaped through the hierarchical structure o f authority." Dengan ungkapan tersebut, Fukuyama mengakui bahwa norma dan nilai-nilai datang dari masyarakat yang lebih luas dan dipengaruhi oleh struktur sosial, seperti kelas dan etnik. Namun demikian, dalam lingkup mikro dari suatu organisasi, norm a dapat secara aktif dibentuk melalui struktur kewenangan yang hierarkis. Pemahaman terhadap dimensi struktur dari negara akan memudahkan pemahaman terdapatnya perbedaan dalam proses kebijakan publik. Kajian tentang negara umumnya membedakan bentuk negara atas negara federal dan negara kesatuan. Negara federal adalah negara dengan dua konstitusi, yakni konstitusi federal dan konstitusi negara bagian. Kedua konstitusi tersebut memiliki legitimasi yang sama pada masing-masing yurisdiksi penerapannya. Dengan demikian, pada negara federal, kebijakan publik akan memiliki variasi yang tinggi, terutama pada lingkup regional dan lokal. Keadaan tersebut cenderung memberi kesan bahwa pada negara federal, keanekaragaman atau pluralisme akan berkembang dengan subur dan terjaga kelestariannya dalam mengakomodasi setiap aspirasi, preferensi dan prioritas lokalitas. 12



Kebijakan Publik



Kecenderungan tcrsebul pula yang dapat membangun pemikiran bahwa n egara federal m eru p ak an tem pat p ersem aian dan pengem bangan demokrasi yang sesuai. Atas landasan pemikiran tersebut, terbangun pula pandangan bahwa proses kebijakan publik di negara federal cenderung aspiratif dan partisipatif. Pada sisi lain, di negara kesatuan hanya terdapat satu konstitusi, yakni konstitusi nasional. D alam konstitusi nasional tersebut d iatu r tentang keberadaan pem erintahan daerah, di sam ping pengaturan mengenai pem erintahan nasional. Dalam negara kesatuan, pem erintahan daerah adalah ciptaan pemerintahan nasional dan oleh sebab itu, maka hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah bersilat hierarkis. Bingkai hubungan tersebut secara umum m em bangun kesan bahw a dalam negara kesatuan cenderung berlangsung proses kebijakan publik yang bersifat sentralistis. W alaupun di banyak negara kesatuan, prinsip desentralisasi digunakan dan diatur secara konstitusional, keluhan yang sering kali muncul adalah dominannya pengaruh pemerintahan nasional {baca: pemerintahan pusat) dalam pengakomodasian kebutuhan dan prioritas lokal. Keadaan tersebut terjadi karena semua proses kebijakan publik pada tingkat sub-nasional hanya merupakan tindak lanjut kebijakan publik pada tingkat nasional. Dalam hal tersebut, kebijakan publik pada tingkat daerah lebih mencerminkan proses komplementer dan adaptasi. Akibatnya, pada negara kesatuan, proses kebijakan publik cenderung bersifat tidak efektif, antara lain karena sering kali mengalami perubahan alas kebijakan dan diubah dengan cepat. Sebenarnya, penggantian kebijakan publik yang cepat tersebut merupakan konsekuensi dari terbatasnya keberlakuan suatu kebijakan dalam suatu domain aplikasi yang sangat heterogen. Untuk kasus Indonesia, sebagai misal, dapat dibayangkan tingginya kesulitan untuk merumuskan kebijakan nasional yang dapat memberikan kemanfaatan maksimal bagi semua atau paling tidak, sebagian besar warga negaranya yang bermukim di belasan ribu pulau, menganut bermacam agama dan keyakinan, m enjalani kehidupan dengan banyak budaya daerah, dan berbicara dalam banyak bahasa daerah. Kesulitan pengakomodasian dalam suatu wilayah penerapan yang luas tersebut yang kemudian memunculkan kesan bahwa di negara kesatuan, proses kebijakan publik cenderung bersifat sentralistik, terlepas dari diterapkan tidaknya prinsip desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.



Bingkai Proses Kebijakan Publik



13



Besarnya peranan bentuk negara terhadap kebijakan publik tersebut di atas diungkapkan oleh Howlett & Raniesh (1995: 61) dalam suatu paparan sebagai berikut. Salah satu faktor pentingyang mempengaruhi kapasitas pemerintahan untuk membuat kebijakan adalah apakah pemerintahannya berbentukfederal atau kesatuan. Sifat utama dari sistem politikfederal berkenaan dengan kebijakan publik adalah eksistensi dari dua level pemerintahanyang otonom dalam suatu negara. Dua level pemerintahan sebagaimana ditemukan di negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat tidak diikat bersama dalam suatu hubungan atasan/bawahan; tetapi sebaliknya, menikmati diskresiyang hampir sempurna dalam hal-hal di bawah yurisdiksi merekayang dijamin oleh konstitusi. Hal ini berbeda dari dari sistem kesatuan sebagaimana ditemukan di Inggris, Jepang, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya dimana hanya ada satu level pemerintahan; badan-badan lokal (sebagai contoh, kotamadya) menggantungkan eksistensinya pada pemerintahan nasional ketimbang pada konstitusi. D alam praktik, kedua kesan atau pandangan tentang keterkaitan bentuk negara dengan pembuatan kebijakan publik yang sentralistik atau desentralistik tersebut tidak bersifat dikotomis dan tidak juga berlangsung secara otomatis. K edua pandangan tersebut merupakan suatu kontinum. Di negara federal, belum tentu lokalitas memiliki kesem patan penuh mengaktualisasikan dirinya dengan kewenangan yang penuh. Kesempatan itu akan tergantung pada pilihan desain konstitusi, apakah negara bagian memang memiliki kedaulatan ataukah hanya otonomi yang seluas-luasnya. Negara federal yang sering kali diidealkan adalah negara yang di dalamnya ju g a terdapat negara (.states within state). Demikian juga dengan negara kesatuan, w alaupun secara teoretis, sum ber kekuasaan negara dalam negara kesatuan berada di pem erintahan nasional, dalam pengaturan konstitusional, pilihannya dapat berupa tetap menjaga pola sentralistik atau dapat juga menyelenggarakan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pada pilihan yang kedua dari model negara kesatuan tersebut terdapat titik temu dengan negara federal yang negara bagiannya juga hanya memiliki otonomi yang seluas-luasnya. Bagi Indonesia, persoalan keterkaitan bentuk negara dengan kebijakan publik juga berkenaan dengan kecenderungan perkembangan negara sebagai



14



Kebijakan Publik



suatu negara kesejahteraan {welfareslate). Sebagaimana dinyatakan oleh Mirk C arpenter dalam McLean & McMillan, 2003: 570), negara kesejahteraan adalah suatu sistem dalam m ana pem erintahan m engem ban tanggung jaw ab utam a untuk menyediakan keam anan sosial dan ekonomi bagi rakyat melalui sarana pensiun, kemanfaatan jam inan sosial, pemeliharaan kesehatan gratis, dan sebagainya. D engan dem ikian, pengem bangan suatu negara menjadi negara kesejahteraan secara langsung menunjukkan orientasi kebijakan publik untuk sebanyak mungkin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.



B. B en tu k P em erin ta h a n Pemerintahan adalah suatu gejala yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Setiap kali manusia berhasrat untuk hidup dalam suatu kelompok, maka gejala pemerintahan hadir dalam kehidupan mereka. Finer (1962: 1) menggambarkan kenyataan tersebut dengan ungkapan sebagai berikut: “Ever since two or morefamilies began to dwell close by each other, men have needed and have established government. The basic problems and arrangements o f government have always been the same, but they have suffered variation as considerable as the differences of time, place, and the circumstances o f man’s existence”. M enurut Finer, pada saat dua atau lebih keluarga mulai bermukim berdekatan satu sama lain, maka pada saat itu mereka membutuhkan dan membentuk pemerintahan. Persoalan dasar dan tatanan pem erintahan selalu sama, nam un bervariasi sejalan dengan perbedaan waktu, tem pat, dan lingkungan eksistensi manusia. Dalam konteks ini, sekali pem erintahan terbentuk, maka pemerintahan akan memberi pengaruh besar terhadap kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara sosial. Finer (1962: 1) mencatat keadaan tersebut dengan menyatakan bahwa, “In the twentieth century, government is the single most potent force that, molds all thephases o f living — economic, social, and moral — in those modern political societies called nations or states”. Catatan Finer bahwa di abaci kedua puluh, pemerintahan merupakan satu kekuatan tunggal yang paling kuat yang membentuk semua fase kehidupan, baik ekonomi maupun sosial dan moral, dalam masyarakat politik modern yang disebut bangsa atau negara, mengingatkan signifikansi pem erintahan yang tak terbantahkan dalam kehidupan manusia. Signifikansi pemerintahan tersebut muncul tanpa memandang keluasan ruang lingkup peran ataupun kedalaman tindakan dari pemerintah dalam kehidupan warga negaranya. Ole Borre & Michael Bingkai Proses Kebijakan Publik



15



Goldsmith (dalam Borre & Scarbrough, 1998: 4) menyatakan bahwa ruang lingkup pemerintahan the scope o f government sebagai berikut. 1Vhat we do mean by the scope o f government? In this volume, it refers to both the range o f government activity and the degree to which governments engage in activities which have an impact on people’s daily lives. By ‘range’, we mean the whole gamut o f government activities, such as spending on services, taxing people, regulating their behaviour, providingfor defence, improving the environment--- and sometimes doing nothing about a problem. ... By ‘degree’, we mean the intensity with which government pursues a particular activity. Dengan ungkapan yang ringkas, Borre & Goldsmith menyatakan bahwa ruang lingkup pemerintahan menunjukkan dua hal, pertama, batas keluasan aktivitas pem erintahan (range o f government dan kedua, derajat keterikatan pemerintahan dalam aktivitas yang memiliki dampak terhadap kehidupan rakyat sehari-hari. Selanjutnya, Borre & Goldsmith mengartikan keluasan aktivitas pemerintahan sebagai keseluruhan rentang aktivitas pemerintahan, seperti pengeluaran untuk pelayanan, pemungutan pajak kepada penduduk, pengaturan perilaku penduduk, penyediaan pertahanan, perbaikan lingkungan — dan kadang-kadang tidak melakukan apa-apa mengenai persoalan tersebut. Sedangkan dengan istilah derajat keterikatan pemerintahan, Borre & Goldsmith mengartikannya sebagai intensitas dengan mana pemerintahan mencapai tujuan dalam pelaksanaan suatu aktivitas tertentu. Ruang lingkup pemerintahan yang berlaku di suatu negara bukanlah suatu hal yang staris. Ruang lingkup tersebut berkembang sejalan dengan keyakinan masyarakat terhadap pemerintahan. Keadaan ini dikemukakan oleh Borre & Goldsmith (1998: 6) yang menyatakan bahwa, “People might change their beliefs about the. scope o f government because they accept arguments about individual responsibility. Self-help comes to replace government help, with a consequentreduction in the scope o f government. 'There can be a shift o f function from the state to the individual”. D ari kutipan tersebut tam pak bahw a bagi B orre & Goldsmith, rakyat dapat mengubah keyakinan mereka mengenai ruang lingkup pem erintahan disebabkan oleh penerim aan mereka terhadap tanggung jaw ab individual. Dalam hal ini, pertolongan oleh diri sendiri datang menggantikan pertolongan oleh pemerintah, yang pada gilirannya berimplikasi pada pengurangan ruang lingkup pemerintahan. Bersamaan dengan itu terjadi pula pengalihan fungsi dari negara kepada individual.



16



Kebijakan Publik



Dengan kata lain, semakin rakyat sudah terberdayakan, maka peran ulama pem erintahan adalah lebih pada silat fasilitasi daripada operasional. Pada sisi lain, pengurangan ruang lingkup pem erintahan juga dapat terjadi karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan. Borre & Goldsmith 1998: 9) mengungkapkan hal tersebut dengan menyatakan, ‘’'People want government to do less because they are increasingly dissatisfied with its performance. Again, in the long run, this dissatisfaction will be generalized, leading to declining support for the system as a whole". Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa pada saat rakyat menginginkan pem erintahnya memiliki ruang lingkup yang mengecil, maka ketika itu pula dapat disadari bahwa terjadi ketidakpuasan rakyat yang meningkat terhadap pem erintahnya. Pada gilirannya, ketidakpuasan tersebut mengarah pada menurunnya dukungan rakyat bagi sistem pemerintahan sebagai suatu keseluruhan. M akna pemerintahan dan keluasan ruang lingkup aktivitasnya menjadi pem beda dari pelbagai bentuk pem erintahan, yang secara umum juga dipahami mempengaruhi proses kebijakan publik. Secara sederhana, bentuk pemerintahan dibedakan atas republik dan kerajaan. Dalam negara yang berbenluk republik, jelas tergam bar kekuasaan rakyat menjadi unsur utama mekanisme penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam suatu republik, rakyat membuat kebijakan publik, baik secara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat maupun secara langsung dengan m enggunakan hak inistiaf dan referendum. Sebaliknya, dalam negara berbentuk kerajaan, derajat dan lingkup partisipasi rakyat dalam proses kebijakan publik relatif lebih terbatas. Keterbatasan tersebut bermula dari tak terhindarkannya pengakomodasian kelompok elitis {baca: kelompok kerajaan) yang dibedakan dari kelompok masyarakat luas. Pada umumnya, walaupun digunakan sistem perwakilan, maka dalam lembaga perwakilan rakyat selalu terdapat dua badan, yakni house o f lord dan house o f common. Keberadaan dua badan yang masing-masing mewakili stakeholder-nya tersebut jelas mencerminkan dinamika proses kebijakan publik yang berbeda dengan proses dalam negara yang berbentuk republik. Paparan keadaan tersebut dikemukakan dengan menarik oleh Bentley 1949: 360) sebagai berikut. Tested by the interest groups thatfin e lion through them, legislatures are o f two general types. First are those which represent one class or set o f classes in the government as opposed to some other class, which is usually represented in the



Bingkai Proses Kebijakan Publik



17



monarch. Second are those which are not the exclusive stronghold o f one class or set o f classes, but are instead the channelfor thefunctioning o f all groupings o f the population. The borders between the two types are o f course indistinct, but they approximate closely to the borders between a society with class organization and one with classes broken down intofreer and more changeable group interests. Paparan Bentley menegaskan bahwa badan legislatif pada dasarnya merupakan wadah kepentingan kelompok, dan dapat dibedakan dalam dua tipe. Tipe pertam a adalah legislatif yang mewakili satu atau sekelompok kelas dalam pem erintahan sebagaim ana dilawankan dengan beberapa kelas yang lain, yang biasanya diwakili dalam monarki. Tipe kedua adalah legislatif yang tidak eksklusif memonopoli satu atau sekelompok kelas, dan sebaliknya, menjadi saluran bagi berfungsinya semua kelompok penduduk. Batas antara kedua tipe tersebut tentu saja tidak hitam putih, tetapi hampir mendekati batas antara suatu masyarakat dengan organisasi kelas dan masyarakat dengan kelas-kelas yang dipecah ke dalam kelompok-kelompok kepentingan yang lebih bebas dan lebih dapat berubah. Apa pun tipenya, legislatif mengemban fungsi-fungsi tertentu. Apter (1977: 188) mengungkapkan, “/» all democratic system thefunction o f the legislature barefirst, to represent the people and second, to make laws on their behalf' Dengan ungkapan tersebut, A pter m enyatakan bahw a di sem ua n egara yang demokratis, fungsi utama dari badan legislatif terdiri atas dua hal. Fungsi pertam a berkaitan dengan keberadaan badan legislatif untuk mewakili rakyat. Fungsi ini umumnya melekat dari nom enklatur badan legislatif tersebut. Sebagai contoh: di Indonesia, istilah yang digunakan adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan di Amerika Serikat disebut sebagai House of Representative. Fungsi yang kedua adalah membuat undang-undang atas nam a rakyat yang mereka wakili. Bagi Coulter (1981: 212) keberadaan legislatif memang berkaitan dengan tujuan pem bentukan undang-undang, namun fungsi tersebut bukanlah fungsi legislatif satu-satunya, karena legislatif juga mengem ban banyak fungsi lainnya. Selengkapnya Coulter menyatakan sebagai berikut. Everyone generally agrees that legislatures serve the purpose o f law making. Law makers, indeed, like to think o f themselves as the center o f the governmentalprocess and rightly so. Without those regulations o f society which comefrom legislative bodies there would be no common agreement as to the nature and direction o f any 18



Kebijakan Publik



government. But legislators do more than simply write laws. The legislature, being the heart or center o f government, contains at least six basicJunctions that go beyond the mere writing o f statuton’ legislation: (1) constitutional; (2) electoral; (3) executive; (4) judicial; (5) supervisory; (6) inquisitorial. Dari kutipan di atas, Coulter mengakui bahwa secara umum legislatif m engem ban tujuan pem buatan undang-undang. Sesungguhnya, para pembuat undang-undang, kata Coulter, cenderung berpikir bahwa mereka m erupakan pusat dari proses pem erintahan dan seharusnya m em ang demikian. Tanpa pengaturan masyarakat tersebut, yang berasal dari badanbadan legislatif, tidak akan terdapat kesepakatan umum mengenai sifat dan arah setiap pemerintahan. Namun demikian, Coulter menegaskan bahwa para legislator melakukan banyak hal lebih dari hanya sekedar membentuk undang-undang. Badan pembuat undang-undang yang menjadi jantung atau pusat pemerintahan, paling tidak berisi enam fungsi dasar yang jauh melampaui dari hanya sekedar membentuk peraturan perundang-undangan. Keenam fungsi tersebut terdiri atas fungsi-fungsi konstitusional, elektoral, eksekutif, judikatif, pengawasan, dan inkuisisi.9 Fungsi konstitusional menjadikan badan pembuat undang-undang yang pada akhirnya memulai atau melengkapkan proses perubahan undangundang negara yang organik dan mendasar, yakni konstitusi nasional. Fungsi elektoral menjadi sarana bagi badan pembuat undang-undang untuk memilih atau menyeleksi eksekutif pemerintahan nasional. Fungsi eksekutif dari badan pembuat undang-undang adalah membuat kebijakan di lingkup badan pembuat undang-undang tersebut, baik bersama dengan eksekutif formal maupun dengan peranan kepemimpinan yang kokoh oleh eksekutif (in place o f afirm leadership role by the executive). Fungsi judisial berisi dua jenis aktivitas, yang sementara berlaku hanya secara periodik, tampak membuat legislatif seolah-olah seperti sebuah pengadilan. House o f Representative bertindak sebagai juri utam a untuk tujuan pendakwaan, yang disebut juga dengan istilah impeachment. Senat berperan sebagai suatu pengadilan dalam pengertian menentukan fakta dan melaksanakan hukuman yang terbatas pada pem indahan p ara pejabat dari jabatannya. Aktivitas kedua dari kekuatan judisial yang dimiliki oleh legislatif adalah aktivitas penyensoran (censures//ip). Hasil dari penyensoran dapat mencakup pengingkaran hak 9



Uraian lebih lanjut mengenai keenam fungsi tersebut bersumber dari Coulter (1981: 212-215).



Bingkai Proses Kebijakan Publik



19



istimewa senioritas (seniority privileges), pem indahan dari pim pinan komite, dan isolasi personal dari aktivitas legislator. Sangat jaran g , kalaupun ada, kata Coulter, penyensoran yang mencakup pem indahan legislator dari jabatannya. Asumsinya adalah bahwa keputusan yang demikian itu tergantung pada para pemilih dalam konstituensi para legislator tersebut. Fungsi pengawasan didasarkan pada alasan bahwa kapanpun legislatif menciptakan suatu institusi atau aktivitas baru yang akan didukung oleh dana publik, maka legislatif memiliki hak untuk mengawasi dukungan dan kinerja berkelanjutan dari institusi atau aktivitas tersebut. Fungsi inkuisisi atau fungsi badan legislatif untuk melakukan investigasi didasarkan pada p an d an gan bahw a apabila legislatif suatu negara harus m em bentuk undang-undang yang realistik dan bermakna, maka legislatif seharusnya memiliki akses informasi mengenai masalah publik dan seharusnya diberikan kekuasaan untuk memperoleh informasi tersebut sejauh mungkin. Hal tersebut memberikan legislatif hak untuk memanggil orang-orang untuk memberikan testimoni tentang kondisi negara dalam berbagai macam bidang persoalan. Selain legislatif, m aka dalam penyelenggaraan pem erintahan juga sangat disadari pentingnya peranan kelompok kepentingan. Kelompok tersebut dapat dibedakan m enjadi dua. Pertama, seperti yang terdapat dalam pemerintahan kerajaan; ada kelompok yang mewakili masyarakat luas dan ada kelompok yang mewakili para bangsawan. Kedua, seperti yang terdapat dalam pemerintahan republik; semua kelompok di pemerintahan m eru p akan saluran bagi berfungsinya sem ua kelom pok penduduk. W alaupun batas antara kedua kelompok tersebut tidak kentara, namun keduanya mencerminkan masyarakat yang cenderung elitis dan masyarakat yang cenderung populis. Dimanapun kelompok atau kelas tersebut berada, makna dari kelompok atau kelas tersebut jelas berkaitan dengan pewadahan kepentingan. Bentley (1949: 304 mendefinisikan kelompok atau kelas sebagai berikut. We can use the word class, holdingfast to the essential elements o f its popular meaning, to describe any set o f groupings so consolidated in a particular set of persons as to make that set o f persons, as a whole, come into opposition in a great majority o f their activities to one or more other classes which are likewise sets o f persons, embodying similarly consolidated groupings.



20



Kebijakan Publik



D ari kutipan pendapat Bentley dapat dinyatakan bahw a kelas atau kelompok dapat dikenali dari karakteristiknya berikut ini. 1. K elas m e ru p a k a n setiap k u m p u la n kelo m p o k -k elo m p o k y an g sedem ikian terkonsolidasi dalam suatu kum pulan khusus orangorang, yang menjadikan kelompok orang-orang tersebut sebagai suatu keseluruhan. 2. Keseluruhan tersebut menjadi oposisi dalam suatu mayoritas besar dari aktivitas mereka pada satu atau lebih kelas-kelas yang lain yang juga merupakan kumpulan orang-orang, yang mewujud dalam kelompokkelompok terkonsolidasi yang serupa. Dalam kehidupan pemerintahan, selain realitas kelompok kepentingan atau kelas, akan selalu ditem ui pula realitas p artai politik. D engan pemerintahan yang bersifat demokratis, eksistensi kelompok kepentingan dan p artai politik adalah pencerm inan dari kem erdekaan berserikat dan berkumpul yang dimiliki oleh warga negara. Bahkan lebih dari itu, keberadaan partai politik berkaitan juga dengan efisiensi dan responsibilitas pemerintahan. Finer (1962: 8 : menyatakan bahwa bangsa dengan partaipartai politik yang lem ah dan tidak efisien mempunyai pem erintahan yang kurang efisien dan kurang bertanggung jawab dibandingkan dengan pemerintahan yang memiliki partai-partai politik yang kuat {nations with weak and inefficient parties havegovernment which is less efficient and less responsible than those with strongparties).'" Pandangan seperti yang dikemukakan oleli Finer tersebut mengisyaratkan perlunya pemahaman tentang pengertian dan fungsi partai politik. Finer (1962: 8 mendefinisikan partai politik sebagai berikut. Party is the human organized linkage between the people (with their spontaneous groupings in the roots o f nation) and the agencies o f government that, finally, execute or control the execution o f the popular will as embodied in the laws andpolicy. ... Parties are mobile, creative associations for the conception and recommendation of the pattern o f a good societyfor the whole nation. Dari pendapat Finer tersebut dapat dipahami bahw a partai politik m emainkan peran sebagai penghubung terorganisir antara rakyat dan instansi pemerintah. Partai politik juga pada akhirnya melaksanakan atau Kenyataan lain dari partai politik dalam negara yang demokratis adalah signifikansi peranannya yang tak terhindarkan. Semakin demokratis suatu negara, maka semakin besar peranan partai politik, baik pada lingkup infrastruktur politik maupun pada lingkup suprastruktur politik.



Bingkai Proses Kebijakan Publik



21



mengontrol pem enuhan keinginan publik sebagaimana term uat dalam undang-undang dan kebijakan. D engan karakter p artai politik yang demikian itu, maka partai politikjuga berperan sebagai asosiasi yang kreatif dan luwes untuk konsepsi dan rekomendasi m engenai pola-pola suatu masyarakat yang baik bagi bangsa secara keseluruhan. Pengertian lain mengenai partai politik dikemukakan oleh Blondel (1995: 132). Ia m em berikan pengertian tentang partai politik sebagai suatu kelompok yang memiliki karakter khusus, yakni kehadirannya untuk m empengaruhi proses politik untuk memperoleh kekuasaan, sementara kelompok yang lain hanya bertujuan untuk mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh kelompok lainnya. Oleh karena itu, Blondel mendefinisikan partai politik sebagai kelompok yang keanggotaannya bersifat terbuka dan yang berkepentingan dengan keseluruhan spektrum persoalan yang dihadapi oleh negara. Selengkapnya, Blondel menyatakan pengertian partai politik sebagai berikut. Parties are groups, but groups o f a particular kind. What, then, is this particular character? They are truly political groups, in that they are in existence in order to affect thepoliticalprocess. It is sometimes said that they aim at takingpower, while othergroups aim only at influencing decisions which are taken by others. Thus we shall define political parlies as groups whose membership is open and which are concerned with the whole spectrum o f matters which the polityfaces. M akna penting dari partai politik memunculkan sejumlah fungsi yang diharapkan dari eksistensi partai politik tersebut. Blondel 1995: 133 dengan merujuk pada pendapat Newman 1995) menyatakan fungsi partai politik adalah sebagai berikut. From this definitionfollow the mainfunctions o f parties. These are at three levels: those o f the society as a whole, o f the political system, and o f daily political life. First, at the level o f the society as a whole, political parties aregeneral mechanisms by which conflicts are handled... Second, at the level o f the political system, parties are the institutions within which policies can beformulated. .. Finally, at the level o f daily political life, parties play a major part in recruitment of the political class’. Dari pendapat Blondel tersebut terlihat bahwa partai politik memiliki fungsi-fungsi yang dapat dibedakan dalam tiga level, yakni level masyarakat



22



Kebijakan Publik



sebagai suatu keseluruhan, level sistem politik, dan level kehidupan politik sehari-hari. Pada level masyarakat sebagai suatu keseluruhan, partai politik berfungsi sebagai mekanisme umum dengan mana konflik ditangani. Pada level sistem politik, partai politik berfungsi sebagai institusi dalam mana kebijakan-kebijakan diformulasikan. Terakhir, pada level kehidupan politik sehari-hari, partai politik berfungsi sebagai suatu bagian utam a dalam rekrutmen “kelas politisi”. Dengan menegaskan makna partai politik sebagai suatu penghubung vital antara rakyat dan pem erintah, Finer (1962: 9) menyatakan bahwa partai politik memiliki tujuh fungsi berikut. Political parties are the vital link between mass populations and the vast apparatus o f omnicompetent government. The twentieth century problem can beput in terms oj their analyzedjunctions, which are seven. (!) T h y bridge the distance between electors who are dispersed territorially over a considerable area, connecting the local groups with headquarters in the capital. (2) They recruitparty members and combat voter apathy. (3) They definepolicies through nationwide conferences and research agencies, and they set a timetable o f priorities tofulfill them. (4) They select leaders, spokesmen, and rank-and-file candidatesfor office by means o f local nomination and headquarters endorsements, with rules o f loyalty toprogram and leaders. (5) They conduct election campaigns, during and between which they “educate” the electors through many channels o f communication. (6) They assumepolitical authority and responsibility, through their reputable and permanent party institutions, and they exercise the popular mandate th y receive at the elections. (7) T h y are the more or less continuously operating mediators between the masses o f the people and groups and the legislature and executive, a two-way line o f communication o f authority and responsibility. Dapat dipahami bahw a partai politik memiliki fungsi yang luas dan mendasar dalam penyelenggaraan kehidupan pemerintahan, yang secara rinci terdiri atas fungsi-fungsi sebagai berikut. 1. Partai politik m enjem batani ja ra k antara para pemilih yang secara territorial tersebar dalam wilayah yang luas, dan menghubungkan kelompok-kelompok lokal dengan market besar di ibukota negara. 2. Partai politik m erekrut anggota partai dan m em erangi sikap apatis pemilih.



Bingkai Proses Kebijakan Publik



23



3. Partai politik mendefinisikan kebijakan-kebijakan melalui konferensi nasional dan badan-badan riset, dan m ereka m enetapkan jadw al prioritas untuk mewujudkannya. 4. Partai politik menyeleksi kandidat pemimpin dengan sarana nominasi lokal dan rekomendasi markas besar, dengan aturan berupa kesetiaan kepada program dan pemimpin. 5. Partai politik melaksanakan kampanye pemilihan umum, selama dan antara m ana mereka “mendidik” para pemilih melalui banyak saluran komunikasi. 6. Partai politik mengasumsikan kewenangan dan tanggungjaw ab politik melalui institusi partai yang perm anen dan berm artabat, dan partai politik melaksanakan m andat rakyat yang mereka terima pada emilihan umum. 7. Partai politik sedikit banyak menjadi mediator antara rakyat dengan legislatif dan eksekutif, suatu komunikasi dua arah dari kewenangan dan tanggungjawab. Selain dimensi kelompok kepentingan, dimensi lain dari pengaruh bentuk pemerintahan terhadap proses kebijakan publik adalah berkenaan dengan: eorak hubungan antara pemerintah dan rakyat, cara pemunculan pemimpin negara, keberlakuan konstitusi atau konvensi, nilai dan praktik demokrasi atau otoriter. A p ter (1977: 432 m enyatakan bahw a dalam m asyarakat yang demokratis, dimana pemerintah menjadi variabel dependen dan masyarakat menjadi variabel independen, pem erintah harus menyelesaikan krisis dengan mengakomodasi kepentingan masyarakat (in democratic society, where government is the dependent variable and society the independent variable, government must solve crises by catering to the interests o f society). Dalam konteks ini, Finer (1962: 3) menyatakan bahwa kekuasaan pem erintahan adalah kekuasaan untuk membentuk undang-undang dan menegakkannya (thepower o f government is the power to enact law and to enforce it). Di sisi lain, menurut Finer, individu warga negara seharusnya secara energik berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, memperbaiki institusinya, dan mempengaruhi tujuannya. Interaksi antara rakyat dan pemerintah akan menentukan kadar legitimasi dari suatu pem erintahan, yang pada dasarnya berfokus pada dukungan dan penerimaan rakyat terhadap pemerintahan. Legitimasi penting dalam 24



Kebijakan Publik



konteks kebijakan publik, terutama karena legitimasi merupakan persyaratan sekaligus karakter dari suatu pemerintahan agar prosedur pembuatan dan penegakan undang-undang diterim a oleh rakyat. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Wyn G rant (dalam M clx an & McMillan, 2003: 305) dengan ungkapan, “Legitimacy [is] the property lliat regimes proceduresfor making arid enforcing laws are acceptable to its s u b je c ts D engan merujuk pendapat S.M. Upset, Wyn G rant (dalam M cLean & McMillan, 2003: 306) juga menyatakan bahwa legitimasi melibatkan kapasitas dari sistem politik untuk membangun dan memelihara keyakinan bahwa institusi politik yang ada adalah institusi yang paling tepat bagi masyarakat {legitimacy involves the capacity oj the [political] system to engender and maintain the belief that the exisiting political institutions are the most appropriate onesfor societies). D alam konteks penum buhan dan pem eliharaan legitimasi, peran pemimpin pemerintahan menjadi penting dengan sendirinya. Sebagaimana juga lazimnya dalam setiap organisasi, termasuk negara, pemimpin adalah penjaga dan pengem bang nilai-nilai organisasi. Fukuyama (2004: 111) dengan mengutip pendapat Gary Miller menyatakan makna para pemimpin organisasi adalah sebagai berikut. “leaders shape expectations among subordinates about cooperation among employees, and between employees and their hierarchical superiors. This is done through a set o f activities that have traditionally been in the realm o f politics rather than economics: communication, exhortation, symbolicposition taking”. Pendapat Miller tersebut menekankan dua hal tentang pemimpin. Pertama, pemimpin menjadi penting dalam organisasi karena peranannya dalam membentuk harapan anggota organisasi mengenai kerja sama sesama mereka, di samping harapan mengenai kerja sama antara anggota organisasi dan pimpinannya. Selain itu, Miller ju g a menggarisbawahi tentang saluran pembentukan harapan tersebut, yakni serangkaian aktivitas yang secara tradisional berada dalam alam politik ketimbang alam ekonomi berupa: komunikasi, eksortasi atau pengulangan, dan pengambilan posisi simbolik. Dalam konteks peranan pemimpin pemerintahan dalam setiap bentuk pem erintahan negara, menarik untuk menyimak pendapat King & Stivers 1998} bahwa perlunya mengembangkan pem erintahan dan administrator yang aktif. Pemerintahan yang aktif (active administration), m enurut King & Stivers 1998: 195), berarti ‘bukan suatu penguatan kekuasaan administratif tetapi penggunaan kew enangan diskretif untuk m endorong kegiatan



Bingkai Proses Kebijakan Publik



25



k o lab o ratif dengan w arga negara. A dm inistrator yang ak tif adalah seseorang yang bertindak secara kreatif untuk mengarahkan prerogatif administratif menuju kewarganegaraan aktif dalam konteks administratif Selanjutnya, King & Stivers (1998: 197) m enam bah penjelasan tentang administrator yang aktif, yakni administrator yang “memberikan informasi pada warga negara, bermusyawarah dengan warga negara, belajar dari pengalaman warga negara, dan m embuat proses dan praktik administratif yang membangun atau m embangun kembali, kepercayaan publik dan rasa keterhubungan dengan pem erintah”. Selain itu, m enurut King & Stivers, kebiasaan pikiran administrator aktif meliputi berikut ini. 1. Melihat warga negara sebagai warga negara'1. 2. Membagi kewenangan. 3. M engurangi kontrol personal dan organisasional. 4. Meyakini kecukupan kolaborasi. 5. M enyeim bangkan pengalam an dengan p en g etah u an ilm iah dan profesional. Pada sisi lain, kebiasaan pikiran dan praktik pemerintahan yang dimiliki oleh para administrator pemerintahan akan berkembang beriringan dengan pandangan warga negara mengenai pemerintahan dan tujuan yang mereka tetapkan untuk dicapai dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini, M ary Timney (dalam King & Stivers 1998: 200) mengungkapkan bahwa warga negara mempunyai empat tujuan berikut. 1. Didengar dalam suatu cara yang berm akna, diperlakukan seolah-olah pendapat dan informasi mereka benar-benar penting. 2. Mempengaruhi perumusan masalah dan juga kebijakan yang disarankan. 3. Bekerja dengan administrator dan pembuat kebijakan untuk menemukan solusi bagi masalah-masalah publik. 4. M empunyai suara yang sama dalam proses kebijakan.1 11



26



Gorman (dalam Muchlis Hamdi, 2002:100) menjelaskan makna warga negara, atau tepatnya ia menyebutnya kewarganegaran, sebagai “konsepsi dengan mana individu diberi keanggotaan, hak. dan tanggung jawab dalam suatu komunitas politik, khususnya suatu kota atau suatu negara-bangsa. Ia diberikan kepada individu oleh pemerintah, yang mempunyai otoritas tunggal untuk menentukan kriteria kewarganegaraan dan manfaat yang mengalir dari status tersebut.” Kewarganegaraan tersebut menurut Goodin (1982: 77) hanya dapat diingkari berdasarkan tiga alasan, yakni: pilihannya sendiri, tidak dibolehkan oleh sistem, dan ketidaklayakan pemenuhan persyaratan (there are three reasons fo r denying someone citizenship: (/) he chose, or would have chosen, to opt out o f the club; (2) other members o f the society chose, or would have chosen, not to allow him in; or (3) he is incapable o f choice and hence unfit for the status o f citizen).



Kebijakan Publik



Pemahaman terhadap tujuan warga negara tersebut mengindikasikan perlunya para penyelenggara pem erintahan untuk melakukan tindakantindakan yang akan semakin menjadikan praktik-praktik pem erintahan dinilai bermanfaat oleh warga negara dalam mewujudkan tujuan mereka. Dalam hal ini. King & Stivers 1998: 201 menyarankan perlunya praktikpraktik pemerintahan semakin ditujukan pada hal-hal berikut. 1. M engalokasikan su m b er daya untuk m en d u k u n g upay a-u p ay a partisipasi. 2. Memberikan imbalan pada administrator karena telah bekerja sama dengan warga negara. 3. Meneiptakan proyek berkesinambungan tim warga negara dan adminis­ trato r yang mengikuti proyek mulai dari konsepsi sam pai dengan implementasi. 4. Melaksanakan pertem uan pada waktu dan tempat yang lebih menye­ nangkan. 5. Melibatkan warga negara pada saat agenda masih dapat dibentuk. 6. Mempunyai diskusi informal ketimbang serangkaian pembicaraan satu arah. 7. M enghindari teknik sekali-jadi, seperti survei atau pendekatan bias, seperti dewan atau panel, yang memunculkan isu representasi tanpa kemampuan untuk memecahkannya. Bentuk negara dalam konteks kebijakan publik memiliki relevansi dengan realitas sistem politik untuk efektivitas pengaruhnya. Blondel (1995: 18) menyatakan bahw a sistem politik adalah suatu mekanisme dengan m ana kebijakan diputuskan (political system is a mechanism by which policies are decided). Selanjutnya, Blondel (1995: 95) menjelaskan bahwa dalam semua sistem politik, kelompok adalah sifat utam a. Kelompok dalam hal ini diartikan sebagai struktur dari semua ikatan anggota masyarakat; formal dan informal, yang mengajukan tuntutan dengan melakukan tekanan, baik yang dilakukan secara damai maupun yang dilakukan dalam bentuk protes-protes (in all political system, groups are keyfeature. By group, we mean here structures o f all kinds, formal and informal, linking members o f a society. ...institutions andgroups make demands by exercising pressure, whether these are gentle and peaceful or take theform o f protests).



Bingkai Proses Kebijakan Publik



27



Keberadaan kelompok sebagai sifat [feature) utam a dari sistem politik menghadirkan gejala yang ju g a tak terhindarkan dalam bentuk konflik. Dalam konteks ini, menjadi menarik untuk memahami istilah politik, yang dalam praktik pemerintahan sering kali diberi makna negatif. Elssworth dan Stahnke (1976: 4) menggambarkan pemaknaan dan pem aham an tentang politik tersebut sebagai berikut. Politik merupakan konsep yang memiliki arti banyak, dan kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Kadangkala politik berarti baik, dan kadangkala berarti jelek. Politik berarti jelek karena sering kali dihubungkan dengan sifat favoritism. Istilah ini menyiratkan pandangan 'politik sebagai eksploitasijabatan publik (public office) untuk mempromosikan kepentingan pribadi—-atau sebaliknya, penggunaan pengandi pribadiyang tidak etis untuk membentuk (to shape kebijakan publik bagi tujuan-tujuan perorangan (selfish ends) ". Politik juga diartikan baik terlihat dari rasa hormat atau kebanggaan publik terhadap elit-elit politik. Makna baik dari politikjuga terlihat dari nilai-nilai politik yang dikembangkan seperti keadilan, hukum, dan kebebasan. Secara lebih spesifik, Elssworth dan Stahnke (1976: 6) menyatakan pengertian politik seperti berikut ini: "Politik secara luas dapat didefinisikan sebagai manajemen konflik publik. Dengan demikian, politik merupakan fungsi sosial yang berkenaan dengan pem eliharaan tatanan sosial dan kedamaian (tranquility) melalui regulasi kompetisi untuk hal-hal yang bernilai berharga 'V ' Selanjutnya. Elssworth dan Stahnke 1976: 6) menambahkan tentang peranan politik sebagai berikut. Politik, di satu sisi, adalah sarana dengan mana masyarakat membuat peraturan (kebijakan publik) untuk mengatur (to govern) perilaku sosial. ... Pada sisi lain, politikjuga merupakan proses dengan mana peraturan sosial diimplementasikan dan perselisihan (disputes) di bawahnya diputuskan. Dan ketika konflik sosial dipandang sebagai masalah publik (public matter)—-yakni, ketika ia dianggap sebagai konflik publik— ia menjadi akar dari aktivitas politik. Dalam kehidupan manusia modern, sistem politik yang pada umumnya diidealkan adalah sistem politik yang bersifat dem okratis. D uverger 1964: 134 mengungkapkan kondisi tersebut dengan menyatakan bahwa :



28



Elssworth dan Stahnke (1976: 8-12) juga menegaskan bahwa konHik sosial adalah produk dari perbedaan antara kelompok dan individu dalam masyarakat, dan perbedaan dari cara pandang yang bersaingan {contending) yang berasal dari perbedaan-perbedaan tersebut, dan sumber dari konflik sosial adalah pembagian kultural dan pembagian ekonomi dalam masyarakat.



Kebijakan Publik



dem okrasi m asih m enjadi doktrin dom inan dalam ab ad kini, yang menentukan legitimasi kekuasaan i democracy remains the dominant doctrine o f the contemporary age, that which determines the legitimacy o f power). Namun demikian, diskusi tentang makna dan manfaat demokrasi dalam pemerintahan negara, termasuk dalam pilihan mengenai bentuk negara, merupakan diskusi yang sepertinya tak pernah habis. Secara harfiah, demokrasi dipahami sebagai suatu bentuk kedaulatan rakyat. Finer (1962:4) menyalakan bahwa demokrasi bermakna pemerintahan oleh semua, dan mengasumsikan m artabat dan kesamaan yang inheren dari semua nilai-nilai kemanusiaan, dan rakyat menerima asumsi tersebut democracy, or rule by all, ... assumes the inherent dignity and equality o f all men s values, and peoplefind this acceptable). M akna demokrasi sebagai pemerintahan oleh semua tersebut juga dikemukakan oleh Stephen Whitefield (dalam M cLean & M cM illan 2003: 139) yang m enyatakan bahw a demokrasi sebagai suatu istilah deskriptif adalah sama artinya dengan pemerintahan mayoritas (democracy as a descriptive term is synonymous with majority rule). Bagi Aptcr(1977: 11), pertanyaan mengenai demokrasi adalah berkaitan dengan pertanyaan tipe pluralisme yang bagaim ana yang cocok dengan level pembangunan di suatu negara {the question o f democracy is what kind o f pluralism is appropriate for what levels o f development). Sepanjang demokrasi berkaitan dengan makna pem erintahan sebagai suatu bentuk organisasi kekuasaan, maka menjadi menarik untuk mencermati pendapat Duverger (1964: 133 yang menyatakan organisasi kekuasaan merupakan hasil dari suatu proses sintesis kekuatan yang berlawanan, dengan ungkapannya bahwa: ’7« every human community the organization o f power is the result o f two opposedforces: beliefs on the one hand, practical necessities on the other. ... The dominant beliefdetermines the legitimacy of a leader, in the sociological sense o f the tern legitimate. ” Kekuatan yang berlawanan yang dimaksudkan oleh Duverger, di satu sisi adalah keyakinan, dan di sisi yang lain adalah kebutuhan praktis. Dalam konteks ini, keyakinan dominan menentukan legitimasi seorang pemimpin.



C. S is te m P em erin ta h a n Proses kebijakan publikjuga dapat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan dalam suatu negara. Umumnya, sistem pemerintahan dibedakan alas sistem parlem enter dan sistem presidensial. Sistem parlem enter adalah sistem



Bingkai Proses Kebijakan Publik



29



pem erintahan dim ana fungsi kepala negara dan kepala pem erintahan dijalankan oleh figur yang berbeda. Kepala negara dijabat oleh presiden dan kepala pemerintahan dijabat oleh perdana menteri, yang pengangkatannya dilakukan oleh parlemen. Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departem en dan non-departem en. M enteri-m enteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif. Dengan mekanisme tersebut, parlemen dapat menjatuhkan pem erintahan melalui pemberian mosi tidak percaya. Dalam sistem parlementer, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif. N am un di sisi lain, susunan tersebut memiliki kekuatan berupa pem buatan kebijakan yang dapat berlangsung secara cepat karena eksekutif dan legislatif cenderung sudah memiliki pendapat yang sama. Sistem presidensial adalah sistem pemerintahan dimana fungsi kepala negara dan kepala pem erintahan dijabat oleh presiden. D alam sistem presidensial tidak dikenal ja b a ta n p erdana m enteri. Presiden dalam sistem presdiensial umumnya dipilih melalui pemilihan umum (pemilu). Oleh karena itu, dalam sistem presidensial tersebut, eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif atau sebaliknya, presiden tidak dapat menjatuhkan legislatif. Para menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jaw ab kepada presiden. Dalam sistem presidensial, pem buatan kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas. Sistem semi-presidensial adalah sistem pemerintahan yang menggabung­ kan sistem presidensial dan sistem parlementer. Dalam sistem ini, presiden dipilih oleh rakyat sehingga memiliki kekuasaan yang kuat. Presiden melaksanakan kekuasaan bersama-sama dengan perdana menteri. Menterimenteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif. Dari karakteristiknya, dapat dipahami bahwa kedua sistem tersebut, dan gabungannya, dalam negara m odern, berlangsung dalam suatu konfigurasi pembagian kekuasaan pem erintahan, yakni legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sederhananya, legislatif membuat undang-undang, eksekutif menjalankan undang-undang, dan judikatif mengajudikasi pembuatan dan pelaksanaan undang-undang. Dengan konfigurasi tersebut, maka dalam sistem parlementer, proses kebijakan publik didominasi oleh legislatif. Pada



30



Kebijakan Publik



sisi lain, dalam sistem presidensial, proses kebijakan publik m erupakan keterlibatan bersama legislatif dan eksekutif. H ubungan keduanya dalam proses kebijakan publik cenderung m encerm inkan karakteristik berbagi {sharing}. D alam perspektif lain, proses kebijakan publik selain dipengaruhi oleh bentuk negara, bentuk pem erintahan, dan sistem pem erintahan, juga dipengaruhi oleh ideologi negara. Sebagaimana dimaklumi, salah satu peran dari suatu ideologi adalah sebagai menjadi bingkai pertimbangan dalam penentuan keputusan kolektif. Charles Jones (dalam McLean & McMillan, 2003: 256) memberi rumusan ideologi sebagai any comprehensive and mutually consistent set o f ideas by which a socialgroup makes sense o f the world. Secara umum, idelogi tersebut mencakup paham liberal (liberalism) dengari berbagai bentuk variasinya dan paham negara kesejahteraan {welfare stale). Sebagai suatu ideologi, liberalisme berkaitan dengan pengakuan dan perw ujudan kebebasan perorangan. Andrew Reeve (dalam M cLean & McMillan, 2003: 309) mengemukakan liberalisme sebagai suatu keyakinan mengenai tujuan dari suatu sistem politik adalah untuk melestarikan hakhak perorangan dan untuk memaksimalkan kebebasan pilihan. Dalam kaitan dengan kebijakan publik, liberalism e m elahirkan p an d an g an yang memberikan tekanan pada perlunya menjadikan keberadaan dan kepentingan perorangan sebagai pertim bangan u tam a pem bentukan kebijakan publik. Berbeda dengan liberalisme yang sangat mengutamakan kepentingan perorangan, maka terdapat ideologi lain yang sangat m engutam akan kepentingan kolektif. Ideologi tersebut secara um um dikenal sebagai paham negara kesejahteraan {welfarestate). Dengan ideologi tersebut, negara memainkan peranan yang besar dalam kehidupan warga negara. Peranan tersebut antara lain terlihat dari pengertian negara kesejahteraan yang dikemukakan oleh Mick Carpenter (dalam McLean & McMillan, 2003: 570), yakni sebagai suatu sistem dalam m ana pemerintah mengemban tanggung jawab utam a untuk penyediaan keamanan sosial ekonomi rakyat melalui sarana pensiun, kemanfaatan jam inan sosial, perawatan kesehatan gratis, dan sebagainya. Implikasi dari pemaknaan tersebut adalah kebijakan publik selalu dipahami sebagai upaya untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak mungkin orang.



Bingkai Proses Kebijakan Publik



31



Beberapa cuplikan m engenai ideologi dengan jelas m enunjukkan bahw a ideologi akan secara langsung m enentukan pihak yang akan menjadi pem eran dan sekaligus pemetik manfaat utama dari suatu proses kebijakan publik. Secara dikotomis, pilihannnya adalah antara individu {baca: masyarakat) dan kolektivitas {baca: negara).



32



Kebijakan Publik



ESENSI KEBIJAKAN PUBLIK



Dalam kehidupan masyarakat modern, kebijakan publik atau populernya sering disebut sebagai kebijakan pem erintahan, m erupakan suatu hal yang umum dijumpai, dan senyatanya adalah suatu gejala yang tak dapat dihindari. Sebagaimana dikemukakan di bab terdahulu, kebijakan publik adalah output atau hasil dari penyelenggaraan pem erintahan negara, di samping hasil berupa peraturan perundang-undangan, barang-barang publik, dan pelayanan publik. Dengan makna tersebut, maka kebijakan publik sangat erat kaitannya dengan karakter wilayah negara. Dalam hal ini, wilayah negara sebagai lokasi dari aktivitas pemerintahan negara seharusnya menjadi tempat persemaian nilai yang terkandung dalam kebijakan publik. Pepatah yang menyatakan “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” merupakan salah satu kcseharusan yang menjadi warna kebijakan publik, apabila kebijakan publik tersebut diharapkan akan dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat. Dalam konteks Indonesia, wilayahnya ditandai oleh ciri keanekaragaman. Ungkapan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, yang pulau-pulaunya bagaikan rangkaian mutu manikam yang terhampar di sepanjang garis khatulistiwa, juga memberi warna dari isi atau nilai kebijakan publik. Pepatah yang menyatakan bahwa “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya” adalah cermin dari kesadaran bangsa Indonesia akan keberagaman wilayah dan masyarakatnya. Demikian juga, sebutan “tanah air” yang diberikan oleh bangsa Indonesia terhadap wilayah negara seharusnya menjadi tuntunan bagi apa pun yang menjadi isi setiap kebijakan publik. Kebijakan publik menjadi dasar pengaturan wilayah daratan dan wilayah perairan (lautan) secara proporsional, dengan orientasi dasar, yakni bagi “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pengakuan bahwa Indonesia



merupakan negara agraris, sekaligus juga negara maritim adalah cermin dari kesadaran tentang tanah air Indonesia tersebut, selain merupakan cermin dari fokus kebijakan publik yang seharusnya dibuat dan diprioritaskan. Selain karakter wilayah negara, derajat keefektifan pelaksanaan kebijakan publik akan sangat diwarnai oleh kemampuan negara atau pemerintah untuk melakukan penegakan aturan. Monopoli pemaksaan yang dimiliki oleh negara memberi kesempatan kepada pemerintah untuk menjamin bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam kebijakan publik dapat dilaksanakan oleh semua warga negara. Sebaliknya, monopoli tersebut juga dapat berimplikasi negatif bagi kebijakan publik, yakni ketika pemerintah mengalami disfungsi, yakni menjadikan dirinya sebagai tujuan, dan bukan lagi sebagai alat atau instrumen untuk mencapai tujuan pemerintahan negara. Pada saat keadaan ini terjadi, maka dapat diperkirakan isi kebijakan publik akan ditafsirkan kembali dengan nilai-nilai yang dapat mengarah kepada terjadinya kegiatan yang bersifat tidak memihak pada perwujudan kepentingan warga negara, secara individual ataupun secara bersama-sama. Sepanjang proses kehidupannya, setiap warga negara selalu dipengaruhi oleh kebijakan publik. H al ini dapat dilihat dalam pelbagai bentuk, antara lain seperti perijinan, peraturan, pajak dan retribusi, pelayanan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan perlindungan keamanan dan ketertiban. Singkatnya, setiap individu atau anggota masyarakat akan berhadapan dengan kebijakan publik sejak lahir (dalam bentuk perlunya akte kelahiran : sam pai meninggal (dalam bentuk perlunya keterangan kematian, dan dalam beberapa kasus, juga perlunya izin penguburan dan retribusi kuburan). Secara langsung atau tidak langsung, kehidupan warga negara selalu dibingkai oleh kebijakan publik. Ringkasnya, pembingkaian tersebut pada dasarnya berupa penyediaan norm a dan aturan bagi proses pembangunan dan pemeliharaan perilaku masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berpem erintahan, berbangsa, dan bernegara. Pembingkaian kehidupan m asyarakat atau warga negara melalui kebijakan publik umumnya dinilai bermanfaat oleh warga negara. Secara normatif, pem erintahan dapat dianggap sebagai sumber kebajikan sosial, yang tuju an , program dan tindakannya sem uanya selalu bertu m p u untuk memenuhi m akna eksistensinya, yakni sebagai suatu sarana bagi masyarakat mewujudkan hidup yang lebih baik dari waktu ke waktu.



34



Kebijakan Publik



Dalam konteks ini, semakin banyak kebijakan dan peraturan yang dibuat pem erintah, maka seharusnya semakin nyaman kehidupan masyarakat. Namun pada ketika tertentu, kebijakan publik juga banyak dirasakan oleh sekelompok masyarakat sebagai pemicu munculnya ketidaknyam anan dalam kehidupan mereka. Gejala yang terakhir ini banyak terlihat dari maraknya demonstrasi dan protes yang diajukan masyarakat ketika sesuatu kebijakan publik baru ditetapkan. Gelombang protes yang berlangsung cukup lama mengindikasikan terdapatnya kepentingan yang sama sekali tidak terakomodasi atau paling tidak, lak cukup terakomodasi, serta proses penetapan kebijakan yang cenderung Ijcrsifal terbalas. Kondisi yang terakhir tersebut juga terlihat dari dimenangkannya masyarakat dalam peninjauan kembali beberapa undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi dan beberapa peraturan pem erintah oleh M ahkamah Agung. Di tingkat pemerintahan daerah, juga terungkap banyaknya peraturan daerah yang dibatalkan oleh pem erintah pusat karena dinilai bertentangan, baik dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun dengan kepentingan umum yang luas. Apabila pem erintahan dipandang sebagai sumber kebajikan dan kebahagiaan masyarakat, maka gejala protes masyarakat terhadap suatu kebijakan publik tertentu setidak-tidaknya memperingatkan perlunya pencermatan kembali mengenai makna pemerintahan dan kebijakan publik, serta ikhtiar untuk membangunnya ke arah yang semakin partisipatif. Pengamatan terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari memperlihatkan b etap a luasnya peranan pem erintah dalam m en g atu r dan m elayani kehidupan masyarakat. Sejak berkembangnya paham negara kesejahteraan, p e m e rin ta h telah m enjadi ja rin g a n org an isasi d an in stitu si yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari semua warga negara dalam cara-cara yang tak terhitung jumlahnya. Ukuran dan kompleksitas dari pemerintahan m odern itu, yang kemudian, an tara lain m enurut pengam atan Peters (1996: 3), memunculkan kebutuhan untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik, bagaimana kebijakan-kebijakan ini dibuat dan diubah, dan bagaimana menilai efektivitas dan moralitas suatu kebijakan. Luasnya lingkup pengaruh kebijakan pemerintah tersebut sebetulnya menumbuhkan kebutuhan untuk memahami makna kebijakan pemerintah, arti pentingnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta proses pembuatannya. Pemahaman ini tidak saja dibutuhkan agar setiap individu atau anggota masyarakat dapat melaksanakan atau menaati kebijakan Esensi Kebijakan Publik



35



pem erintah tersebut, tetapi juga agar m ereka dapat m ew arnai proses p em b u atan kebijakan pem erintah tersebut sehingga setiap substansi kebijakan pem erintah benar-benar sesuai dengan nilai-nilai, aspirasi, kepentingan, dan kebutuhan masyarakat.



A. M akna dan K arak teristik Kebijakan Publik Kebijakan (policy) umumnya dipahami sebagai keputusan yang diambil untuk menangani hal-hal tertentu. Namun, kebijakan bukanlah sekedar suatu keputusan yang ditetapkan. Rose (1969: x) mengartikan kebijakan (policy) lebih sebagai suatu rangkaian panjang dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dan akibatnya bagi mereka yang berkepentingan, daripada hanya sekedar suatu keputusan. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Friedrich (1963: 79) yang memandang kebijakan sebagai suatu tindakan yang disarankan mengenai perorangan, kelompok atau pemerintahan dalam suatu lingkungan tertentu yang berisikan hambatan dan kesempatan yang akan diatasi atau dimanfaatkan melalui kebijakan yang disarankan dalam upaya mencapai suatu tujuan atau mewujudkan suatu maksud. Anderson (1994: 5) mengartikan kebijakan sebagai suatu rangkaian tindakan bertujuan yang diikuti oleh seseorang atau sekelompok aktor berkenaan dengan suatu masalah atau suatu hal yang menarik perhatian. Kata 'policy umumnya digunakan untuk menunjukkan pilihan terpenting yang dibuat, baik dalam kehidupan organisasi maupun dalam kehidupan pribadi; ‘policy’ adalah bebas dari kebanyakan konotasi yang tak diinginkan yang berdekatan dengan kata politik, yang sering kali diartikan ‘memihak’ atau ‘korupsi’ Harold Laswell, dalam Parsons, 1995: 16). B.W. H ogw ood & L.A. G unn (dalam Parsons, 1995: 14) telah mengidentifikasi arti dari kata publik mencakup pengertian: label untuk suatu bidang aktivitas, ekspresi dari tujuan umum, usulan spesifik, keputusan pemerintah, program, output, outcome, teori atau model, dan proses. Dye (1984: I) mengungkapkan bahwa kebijakan publik dapat dilihat sebagai apa pun yang pemerintah pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Secara lebih operasional, banyak penulis yang mencoba untuk merumuskan konsep atau definisi kebijakan publik tersebut. Eyestone (1971: 18) misalnya, menyatakan bahwa secara umum, kebijakan pemerintah merupakan hubungan antara suatu unit pem erintahan dengan lingkungannya. A nderson (1994: 6) mengartikan kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibuat



36



Kebijakan Publik



oleh lembaga atau pejabat pemerintah. Dengan pengertian ini. Anderson juga mengingatkan bahwa kebijakan publik adalah unik, karena berkaitan dengan institusi pem erintah, yang oleh Easton (1969: 212) dicirikan sebagai “kekuatan pemaksa yang sah.” Lebih jau h , Anderson mencatat lima implikasi dari konsepnya mengenai kebijakan publik tersebut. Pertama, kebijakan publik adalah tindakan yang berorientasi tujuan. Kedua, kebijakan publik berisikan rangkaian tindakan yang diambil sepanjang waktu. Ketiga, kebijakan publik m erupakan tanggapan dari kebutuhan akan adanya suatu kebijakan mengenai hal-hal tertentu. Keempat, kebijakan publik merupakan gam b aran dari kegiatan pem erintah senyatanya, dan bukan sekedar keinginan yang akan dilaksanakan. Kelima, kebijakan pem erintah dapat merupakan kegiatan aktif atau pasif dalam menghadapi suatu masalah. Dari berbagai pandangan tentang kebijakan publik dapat disimpulkan bahw a kebijakan publik adalah pola tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah dan terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Karakter utama dari kebijakan publik adalah sebagai berikut. 1. Setiap kebijakan publik selalu memiliki tujuan, yakni untuk menyelesaikan masalah publik. Setiap kebijakan publik akan selalu mengandung makna sebagai suatu upaya masyarakat untuk mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, kebijakan publik juga dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan masalah bersama warga negara yang tidak dapat mereka tanggulangi secara perorangan. Senyatanya, kebijakan publik dikenali secara sektor per sektor atau m enurut urusan pem erintahan. Saat sekarang, misalnya, berdasarkan U ndang-U ndang N om or 32 Tahun 2004 dikenali adanya 31 urusan pemerintahan atau 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Kebijakan publik secara lebih konkret dikenali dengan istilah sesuai dengan penyebutan urusan pem erintahan, misalnya: kebijakan kesehatan, kebijakan pendidikan, kebijakan pertanian, dan sebagainya. Oleh karena itu, persoalan yang diharapkan dapat diselesaikan melalui kebijakan publik adalah persoalan yang berkaitan dengan kebijakan secara spesifik tersebut. 2. Setiap kebijakan publik selalu merupakan pola tindakan yang terjabarkan dalam program dan kegiatan. Oleh karena itu, suatu kebijakan publik



Esensi Kebijakan Publik



37



secara lebih konkret dapat diamati dalam wujud rencana, program, dan kegiatan. D alam konteks ini, aspek khas dari kebijakan publik adalah esensinya sebagai suatu upaya untuk m enem ukan jaw aban terhadap persoalan atau m asalah yang sulit. K enyataan ini akan memunculkan berbagai implikasi. Pertama, tidak akan ada suatu jawaban yang dirumuskan yang akan dapat memenuhi semua keinginan dari masyarakat atau warga negara. Dengan kata lain, tidak akan pernah ada suatu kebijakan publik yang akan menghasilkan suatu kesepakatan menyeluruh warga negara mengenai manfaatnya sebagai suatu jalan terbaik penyelesaian m asalah. Akibatnya, setiap kebijakan publik akan selalu menghasilkan oposisi atau paling tidak reaksi, dan pada gilirannya, akan m endorong lahirnya kebijakan publik berikutnya. Semakin responsif suatu pemerintahan, maka semakin tepat lahirnya kebijakan baru tersebut, yang tujuan utam anya adalah menjadikan “korban” dari kebijakan sebelumnya berada dalam posisi pulih, atau bahkan lebih baik dari kondisi sebelumnya. Kedua, solusi yang termuat dalam satu kebijakan ja ra n g yang bersifat final dan lengkap. Oleh karena itu, perubahan kebijakan merupakan kecenderungan yang akan sering terjadi, baik karena substansinya yang tidak relevan lagi maupun karena terjadi pergeseran kekuasaan dalam proses pemerintahan negara. Ketiga, kebijakan publik ju g a dapat m engalam i ketidakkonsistenan pelaksanaan. Sering kali dalam implementasi kebijakan publik, kegiatan yang senyatanya dilakukan oleh satu atau lebih organisasi pelaksana tidak sepenuhnya sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan secara formal. Keempat, kebijakan publik dalam bidang tertentu akan selalu berkaitan dengan kebijakan publik dalam bidang yang lain. Dalam kasus Indonesia misalnya, kebijakan otonomi daerah diatur dalam undangundang tentang pemerintahan daerah, dan kebijakan keuangan negara, term asuk keuangan daerah, diatur dalam undang-undang tentang keuangan negara. Senyatanya, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah memerlukan dukungan sumber daya keuangan, yang pengaturannya term uat dalam kebijakan keuangan negara. Akibatnya, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah cenderung lancar apabila di an tara dua kebijakan tersebut terdapat substansi yang saling melengkapi. 3. Setiap kebijakan publik selalu termuat dalam hukum positif. Keberadaan suatu sistem politik atau suatu pemerintahan akan selalu mencerminkan



38



Kebijakan Publik



dua keistimewaan. Pertama, pem erintahan m erupakan badan yang memiliki kewenangan untuk m em buat aturan yang mengikat atau mesti dipatuhi oleh semua warga negara. Kedua, untuk menegakkan keberlakuan aturan yang telah dibuatnya, pemerintahan juga memiliki kewenangan untuk m em berikan sanksi kepada para pelanggarnya. Sanksi tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, mulai dari pengenaan denda sampai pada penghilangan kemerdekaan seseorang pada batas waktu tertentu (hukuman kurungan). Dengan karakteristik tersebut, maka kebijakan publik untuk dapat dilakukan dan bermanfaat bagi semua warga negara harus term uat dalam hukum positif. Bagi negara seperti Indonesia, pernyataan tersebut pada dasarnya juga m erupakan implikasi dari pengakuan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam konteks ini, menarik untuk mengikuti jalan pikiran Finer 1962: 3) yang mengartikan hukum sebagai suatu standar perilaku yang dibuat sebagai suatu komando untuk mengarahkan masyarakat dan pejabat. Hukum dapat menegaskan kepatuhan tertentu atau juga dapat memberikan suatu manfaat.



B. P olitik Kebijakan Publik Sebagaimana dimaklumi, suatu kebijakan selalu memiliki tujuan. Dalam konteks tujuan tersebut, setiap substansi kebijakan publik diharapkan selalu berm anfaat untuk pem enuhan kepentingan rakyat. Hanya saja dalam konteks manfaat, setiap kebijakan publik memberikan manfaat yang berbeda untuk berbagai kelompok masyarakat. Manfaat terbesar dari suatu kebijakan publik cenderung akan dinikmati oleh inisiator kebijakan publik. Dengan menginisiasi terbentuknya kebijakan publik, inisiator merancang “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana”. Gejala ini dapat disebut sebagai politik kebijakan publik ’. Istilah lain dari politik kebijakan publik adalah pendekatan i,approach1' studi kebijakan. Penggunaan istilah tersebut lebih menunjukkan bahwa ketika studi mengenai kebijakan publik dilakukan, maka proses “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” dapat dijadikan teropong studi. Politik kebijakan publik atau pendekatan studi kebijakan *14



14



Polilik dapat diartikan sebagai "who gets wliat. when, anti how" seperti yang dikemukakan oleli Harold D. Laswell (dalam Parsons. 1995: 338). Pendekatan (approach) menurut Anderson (1994: 26) bermanfaat untuk mengarahkan perhatian pada fenomena politik yang penting, membantu klarifikasi dan pengorganisasian pemikiran, dan menyarankan penjelasan untuk aktivitas kebijakan publik.



Esensi Kebijakan Publik



39



publik mencakup pelbagai dimensi, seperti sistem politik, elit, kelompok, institusi, dan pilihan publik (public choice). Dalam upaya memahami politik kebijakan publik. Howlet & Rames (1995: 19-39) menyajikan taksonomi pendekatan umum terhadap gejala politik. M ereka menggunakan dua variabel utama, yakni metode konstruksi teori, dengan dua dimensi (deduktif dan induktif) dan unit analisis dasar dengan tiga dimensi (individu, kelompok, dan institusi . Perpaduan dari kedua varibel tersebut menghasilkan enam model gejala politik, yakni: (1) public choice (individu-deduktif); (2) welfare economics (individu-induktif); (3) class theory (kelompok-deduktif); (4) pluralism/corporatism (kelompok-induktif); 5 neo-institutionalism institusi-deduktif); dan (6) sialism (institusi-induktif).Ir> Model pilihan publik (public choice) memiliki asumsi bahwa aktor politik cenderung bertindak rasional dalam upaya memaksimalkan kepuasan mereka (rational utility maximizer). Rasionalitas tersebut berfokus pada kepentingan perorangan. Oleh karena itu, m enurut model public choice, setiap aktor politik, baik pemilih maupun politisi, dipandu oleh kepentingan pribadi dalam memilih rangkaian tindakan untuk kemanfaatan terbaik bagi dirinya. Pemilih memberikan suara untuk partai dan kandidat yang terbaik memenuhi kepentingannya. Sedangkan politisi secara terus-menerus bersaing untuk pemilihan dalam upaya meningkatkan kepentingannya dalam p e n d ap a ta n (income), kekuasaan (Jiower), dan prestise (prestige) yang berasal kedudukan (office), dan m enawarkan kebijakan yang akan memenangkan dukungan pemilih. Pada gilirannya, pilihan tindakan dari pemilih dan politisi tersebut berimplikasi pada pilihan partai atau birokrat. Partai politik beroperasi m irip politisi, m enaw arkan paket kebijakan yang menarik bagi pemilih. Sedangkan self-interest birokrat mengarahkan mereka untuk memaksimalkan budget instansinya karena budget yang lebih besar merupakan sumber kekuasaan (power), prestise (prestige), penghasilan tam bahan (perks), dan gaji tinggi (high salary). Model ekonomi kesejahteraan memiliki pandangan bahwa individu, melalui mekanisme pasar, seharusnya menjadi andalan bagi pem buatan kebanyakan keputusan yang menyangkut masyarakat. Pandangan tersebut jelas menegaskan besarnya peranan mekanisme pasar untuk mengoptimalkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Namun demikian, model ini15 15



40



Uraian lebih lanjut dari keenam model gejala politik merupakan cuplikan dari Howlet & Rames (1995: 19-39).



Kebijakan Publik



juga mengakui bahwa pada ketika tertentu mekanisme pasar dapat tidak berjalan lancar, sehingga pasar tidak selalu dapat mendistribusikan sumber daya secara efisien. Kondisi ini disebut sebagai kegagalan pasar {marketfailure). Penyebab kegagalan pasar tersebut dapat mencakup berbagai faktor, yang menurut Howlet dan Rames (1995: 28-29) terdiri atas: monopoli alamiah {natural monopoly), inform asi yang tidak sem purna {imperfect information), ckternalitas {externalities), tragedi milik bersam a {tragedy o f commons), dan kompetisi destruktif idestructive competition). Tiga faktor pertama, yakni: monopoli alamiah, informasi yang tidak sempurna, dan ekternalitas juga disebut oleh W cimer dan Vining (1992: 30) sebagai penyebab terjadinya kegagalan pasar, dan menambahkan satu faktor penyebab yang lain, yakni: barang publik {public goods). Model ekonomi kesejahteraan menandaskan bahwa pada saat kegagalan pasar terjadi, maka institusi politik dapat bertindak melengkapi atau bahkan menggantikan pasar. D alam hal ini, pem erintah memiliki tanggung jaw ab untuk memperbaiki kegagalan pasar, yang pada dasarnya dengan tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan cara yang paling efisien dalam distribusi sumber daya. Dalam model ekonomi kesejhateraan, cara yang paling efisien tersebut adalah cara yang menghasilkan keadaan dengan perolehan manfaat (benefit) yang jauh lebih besar dari biaya (cost). Model class theories berm ula dari pandangan bahwa keanggotaan kias umumnya ditentukan oleh ada tidaknya karakteristik tertentu. Dalam hal ini, Karl M arx berpendapat bahwa setiap masyarakat mempunyai struktur kelas yang dikotomis dengan dua kelas yang bersaing untuk kekuatan politik dan ekonomi. Masyarakat berkembang melalui sejumlah tahap tertentu (mode produksi), yang masing-masing mempunyai seperangkat khas kondisi produksi teknologis (sarana produksi) dan suatu eara unik dalam m ana berbagai aktor dalam proses produksi berhubungan satu dengan yang lain (struktur kias atau relasi produksi). Setiap mode produksi mensyaratkan sistem kias tertentu, yang akhirnya ditentukan oleh kepemilikan sarana produksi. Oleh karena itu, menurut model ini, kebijakan publik di masyarakat kapitalis m erupakan pencerminan kepentingan kias kapitalis. Model rm-imptusiorialism. meyakini bahwa dalam kehidupan kolektif akan selalu terbangun institusi. Fungsi institusi dalam masyarakat adalah untuk mengatasi rintangan informasi dan pertukaran dalam organisasi sosial. Salah satu institusi tersebut adillah pasar. Hanya saja, menurut model ini, pasar tidak selalu dapat mendistribusikan sumber daya secara efisien. Dengan kata lain, Esensi Kebijakan Publik



41



pasar tidak dapat mengagregasikan perilaku pemaksimalan kemanfaatan (utility) perseorangan untuk mengoptimalkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan. Gejala ini disebut sebagai kegagalan pasar {marketfailure), yang sebabnya dapat berupa: natural monopoly, imperfect information, externalities,publikgoods. Bila kegagalan pasar teijadi, institusi politik dapat bertindak untuk menambah atau mengganti pasar. Namun demikian, pemerintah, sama seperti pasar,juga dapat mengalami kegagalan [governmentfailures) yang bersumber dari terjadinya: organizational displacement, rising costs, dan derived externalities. M odel Pluralism dan Corporatism berbasis pad a pandangan bahwa kelompok kepentingan menjadi unsur utam a proses politik. Kelompok sangat beranekaragam , bebas dibentuk, keanggotaan yang overlapping, dan ketiadaan monopoli perwakilan. Overlapping keanggotaan (membership) merupakan mekanisme kunci untuk rekonsiliasi konflik dan promosi kerja sama antarkelompok. Kelompok diorganisir ke dalam sejumlah terbatas kategori tunggal, wajib, tidak kompetitif, tertata secara hierarkis, fungsi yang berbeda, diakui atau diberi izin (kalau tidak diciptakan) oleh negara dan diberi monopoli perwakilan dalam kategori masing-masing sebagai tukaran bagi kontrol tertentu atas pemilihan ketua serta artikulasi tuntutan dan dukungan. Kebijakan publik dibentuk oleh interaksi antara negara kelompok kepentingan atau kelompok yang diakui oleh negara. Interaksi antarkelompok dilembagakan dan dimediasi oleh negara. Dalam Model Statism, negara dipandang sebagai aktor otonom yang mempunyai kapasitas untuk merencanakan dan melaksanakan tujuannya sendiri, tidak mesti semata-mata untuk merespons tekanan yang diberikan oleh kelompok atau kelas sosial yang dominan. Otonomi dan kapasitasnya didasarkan pada keahlian pejabatnya, selain menyatanya negara merupakan organisasi kekuasaan yang tidak ada bandingannya dalam hal personil, keuangan, dan sumber daya koersif. Pem aham an tentang model gejala politik menjadi landasan dalam memahami pendekatan studi kebijakan publik16. Keterkaitan tersebut terjadi karena proses kebijakan publik tidak berlangsung dalam ruang ham pa. Sebaliknya, proses kebijakan publik di suatu negara atau pada waktu tertentu jutru mencerminkan gejala politik yang menyertai atau melingkupinya. Pendekatan studi kebijakan yang lazim digunakan adalah pendekatan teori sistem politik. M enurut pendekatan tersebut, kebijakan publik l