Kebudayaan Suku Bima NTB  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ETIKA KEPRIBADIAN “Kebudayaan Masyarakat Suku Bima Nusa Tenggara Barat”



Disusun Oleh: J3A119013



Alfrista Shaviera



J3A119084



Gabrilia Ika



J3A119335



Ignantio Alfonsus



J3A119167



Qory Azizah



J3A119217



Siti Ikhrima



PROGRAM STUDI KOMUNIKASI SEKOLAH VOKASI INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi. Kami berharap semoga makalah dengan judul “Kebudayaan Masyarakat Suku Bima Nusa Tenggara Barat” ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………….i DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..…...ii BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………………………….1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………1 1.2 Tujuan……………………………………………………………………………………..1 BAB 2 PEMBAHASAN……………………………………………………………………………2 2.1 Sejarah dan Nilai Kebudayaan Masyarakat Suku Bima……………….2 2.1.1 Sejarah Suku Bima ……………………………………………………..2 2.2 Nilai Kebudayaan Masyarakat Suku Bima……………………………….…3 2.2.1 Kesenian…………………………………………………………………….3 2.2.2 Religi………………………………………………………………………….3 2.2.3 Bahasa……………………………………………………………………….4 2.2.4 Sistem Pendidikan………………………………………………………4 2.2.5 Sistem Peralatan Hidup……………………………………………….4 2.2.6 Sistem Organisasi Sosial………………………………………………5 2.2.7 Sistem Mata Pencaharian…………………………………………….5 2.3 Norma dan Adat Istiadat Masyarakat Suku Bima………………………..5 2.3.1 Tradisi Suku Mbojo Bima………………………………………….…5 2.4 Makanan Khas Suku Bima…………………………………………………………9 2.5 Etika Masyarakat Suku Bima……………………………………………………11 2.6 Proses Pernikahan Suku Bima…………………………………………………11 2.7 Proses Pemakaman Suku Bima………………………………………………...18 BAB 3 PENUTUP………………………………………………………………………………….20 3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………….20 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………….…..21



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal dengan lambangnya Bhineka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda namun tetap satu. Begitu juga dengan macam suku dan ras yang tersebar di seluruh pelosok di Indonesia. Suku di Indonesia memiliki beranekaragam ciri khas dan tradisi yang ada pada setiap provinsi. Persebaran suku ini membentang dari Kepulauan Sabang sampai Merauke. Kepulauan dengan berbagai keanekaragaman suku ditiap-tiap daerah yang telah diwariskan dari nenek moyang ke generasi-generasi berikutnya, salah satunya adalah provinsi Nusa Tenggara Barat. Disana terdapat pulau Sumbawa dan Lombok yaitu dua pulau terbesar yang berada di Nusa Tenggara Barat. Selain kaya akan sumber daya alamnya, provinsi Nusa Tenggara Barat ini memiliki pesona alam yang sangat indah dan menarik untuk dikunjungi. Namun, pada makalah ini kami akan membahas suku yang berada di pulau Sumbawa yaitu suku Bima dengan berbagai keanekaragaman budaya dan tradisi yang sangat kental dan sudah turun temurun hingga saat ini. 1.2 Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini umumnya dilakukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Kepribadian dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia mengenai kebudayaan suku Bima. Terlebih khususnya kami memperoleh informasi mengenai sejarah singkat suku Bima yang berasal dari Nusa Tenggara Barat, tentang filosofi kehidupan, tradisi berupa upacara adat dan tatacara kehidupannya serta nilai-nilai yang dapat kita ambil dari tradisi suku Bima.



BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Sejarah dan Nilai Kebudayan Masyarakat Suku Bima 2.1.1 Sejarah Suku Bima Suku Bima adalah salah satu suku yang berada di wilayah kabupaten Bima provinsi Nusa Tenggara Barat. Suku yang berada di Kepulauan Sumbawa ini sudah ada sejak tanggal 5 Juli 1640 M sejak zaman kerajaan Majapahit. Suku Bima atau biasa disebut juga suku Dou Mbojo merupakan etnis yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima. Suku ini dikabarkan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Lingkungan alam suku Bima berbeda-beda karena di daerah utara Lombok tanahnya sangat subur sedangkan sebelah selatan tanahnya gundul dan tidak subur. Kebanyakan dari mereka bermukim sekitar 5 km atau lebih dari pesisir pantai. Dahulu Suku Bimadisebut juga suku "Oma" (artinya "berpindah-pindah") karena pada saat itu mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ini berarti pada saat ini Suku Bima telah tinggal menetap. Suku Bima memiliki hubungan dengan suku Sasak yang tinggal berdekatan di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mayoritas penduduk Kota Bima memeluk agama Islam yaitu sekitar 97,38%. Secara historis Bima dulu merupakan salah satu pusat perkembangan Islam di Nusantara yang di tandai oleh tegak kokohnya sebuah kesultanan, yaitu kesultanan Bima. Islam tidak saja bersifat elitis, hanya terdapat pada peraturan-peraturan formal-normatif serta pada segelintir orang saja melainkan juga populis, menjadi urat nadi dan darah daging masyarakat, artinya juga telah menjadi kultur masyarakat Bima.



2.2 Nilai Kebudayaan Masyarakat Suku Bima 2.2.1 Kesenian a) Tari Bajang Girang Tarian ini perwujudan ekspresi perasaan anak muda yang selalu bermaksud untuk melaksanakan perkawinan. Dalam Bahasa Indonesia, kata bajang berarti muda dan girang berarti senang. b) Tari Lenggo Tari Lenggo adalah salah satu jenis kesenian yang ada pada zaman dahulu diselenggarakan oleh para Raja dan Ratu di Bima. Gerakan tarian ini yang demikian luwes merupakan cerminan keluwesan dan tingkah laku yang baik dari para pemuda dan pemudi di Bima. Tari Lenggo pada zaman dulu sering dipertunjukan pada upacara-upacara menyambut tamu-tamu, upacara adat lainnya atau acara penting kerajaan. c) Ntumbu Ntumbu adalah atraksi mengadu kepala antara dua pemain, merupakan salah satu pertunjukan di daerah Bima. Pada pertunjukan ini kedua pemain diberikan kekebalan lebih dulu oleh pemimpin pertunjukan yang disebut Guru' dengan berdo'a yang disebut Nochtah". Untuk memungkinkan melangsungkan pertunjukan perlu adanya kepercayaan, keyakinan yang dikonsentrasikan dalam hati bagi kedua pemain dan ini akan diperoleh apabila kedua pemain telah di do'akan. Pemain membagi diri dalam dua kelompok. Kelompok yang bertahan disebut "Te'e" dan yang menyerang disebut " Ncora" Atraksi Ntumbu diiringi musik tradisional Bima, mula-mula pemain yang memegang dan melambaikan saputangan memberi salam kepada penonton kemudian pemanasan sebelum melakukan adu kepala.



2.2.2 Religi Kepercayaan asli orang Bima disebut pare no bongi, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Walaupun sebagian besar masyarakat Bima memeluk agama Islam, suku Bima masih mempercayai



dunia roh-roh yang menakutkan. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa, Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon, gunung yang sangat besar dan berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dll. Mereka juga percaya adanya sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi. Sedangkan suku Bima bagian timur menganut agama Kristen.



2.2.3 Bahasa Dalam kehidupan sehari-hari, Suku Bima berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa Bima. Bahasa Bima terdiri atas berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Donggo dan Sangiang. Adanya ketiga dialek tersebut menunjukkan tingkatan atau tinggi rendahnya bahasa Bima, yang kemudian digunakan sebagai acuan dalam berkomunikasi, sebagai wujud nilai kesopanan. Bahasa yang mereka pakai ini termasuk bahasa yang digunakan oleh kelompok Melayu Polynesia.



2.2.4 Sistem Pendidikan Secara umum, penduduk Nusa Tenggara Barat sangat terikat dengan adat dan agamanya, Namun demikian, mereka tidak menutup diri sama sekali dari pengaruh luar. Dahulu, sekolah dianggap perusak adat. Saat ini anak-anak disekolahkan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Mereka cenderung beranggapan segala yang berasal dari luar itu baik, terutama yang menyangkut kebudayaan dan teknologi. Cara hidup dan berfikir sudah mengikuti pola modern, hidup hemat, cermat dan ekonomis.



2.2.5 Sistem Peralatan Hidup Masyarakat Bima telah mengenal teknologi, sehingga peralatan yang dipergunakan beberapa sudah modern. Peralatan dan perlengkapan



hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat produksi, dan transportasi.



2.2.6 Organisasi Sosial Sebagaimana kampung adat lainnya, pada Suku Bima terdapat perangkat adat yang berfungsi mengurus segala urusan masyarakat yang berkaitan dengan adat istiadat maupun hukum adat.



2.2.7 Sistem Mata Pencaharian Mata pencaharian utama Suku Bima adalah meramu. Selain itu, mereka juga bersawah beternak kuda dan berburu. Suku Bima terkenal dengan kudanya yang kecil tetapi kuat. Tahun 1920-an daerah Bima sudah menjadi tempat pengembangbiakan kuda yang penting. Sistem pengairan Subak yang dikenal dalam masyarakat Bali dan Sasak juga diterapkan, disebut ponggawa. Irigasi secara permanen ini dapat dilakukan karena adanya sungai-sungai di pesisir utara dan sungai-sungai di pusat pegunungan. Selain itu, para wanita juga membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan ‘tembe nggoli, yang terkenal.



2.3 Norma dan Adat Istiadat Masyarakat Suku Bima 2.3.1 Tradisi Suku Mbojo (Bima) 1. Mbolo Rasa Mbolo rasa merupakan kegiatan musyawarah mufakat yang dilakukan oleh keluarga yang ingin berhajat (menikah atau sunatan) bersama dengan masyarakat desa yang berada di wilayah tersebut untuk menentukan tanggal pelaksanaan dan lainnya. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadinya pertikaian akibat adanya kesamaan dalam proses pelaksanaannya. Pada umumnya saat Mbolo rasa, masyarakat desa membawa berbagai macam buah tangan baik itu dalam bentuk uang, beras dan sejenisnya.Hal tersebut dilakukan untuk membantu pihak yang ingin menyelenggarakan acara. Hal tersebut juga sebagai wujud rasa



kebersamaan dalam merasakan apa yang dirasakan oleh warga antar sesama desa. Mbolo rasa merupakan bagian dari kekayaan Bangsa Indonesia dan dari segala yang dilakukan tersebut jika dilihat memiliki makna serta nilai pancasila yang terkandung di dalamnya yaitu sperti berikut : 



Ketuhanan Yang Maha Esa Pada tradisi Mbolo Rasa, masyarakat memusyawarahkan rencana dan hal-hal yang hendak dilakukan seperti tanggal dilaksanakannya kegiatan, hal-hal apa saja yang menjadi saran, dan masukan masyarakat yang hadir dalam rangka membantu si penyelenggara kegiatan. Dalam hal ini masyarakat suku Mbojo memiliki penduduk muslim dengan jumlah yang banyak, sehingga dalam pelaksaan Mbolo Rasa selalu diterapkan nilai-nilai ajaran agama seperti mengucapkan salam ketika memasuki rumah si pemilik penyelenggara kegiatan dan memulai kegiatan dengan berdoa.







Kemanusian Yang Adil Dan Beradab Dalam kegiatan Mbolo rasa, esensinya adalah untuk menciptakan rasa empati seseroang terhadap saudaranya. Dalam hal ini nilai kemanusiaanya nampak saat masyarakat lainnya mendatangi rumah pihak yang menyelenggarakan acara untuk kemudian masyarakat yang hadir tersebut membawa beras, atau sejenis uang untuk membantu meringankan beban pihak keluarga yang menyelenggarakan acara.







Persatuan Indonesia Mbolo Rasa merupakan kegiatan yang menuntut individu dalam anggota masyarakat atau di wilayah suku mbojo untuk berkumpul bersama dan bersatu membangun sinergi. Artinya bahwa



dalam



Mbolo



Rasa



pihak



yang



berkegiatan



(menyelenggarakan acara) membutuhkan bantuan dan keterlibatan



masyarakat lainnya yang berada di suku mbojo. Dalam Mbolo Rasa ini pula baik masyarakat kelas menengah bawah, menengah dan atas bersatu.Artinya tidak dibeda-bedakan sehingga melalui Mbolo Rasa antar individu yang berbeda bersatu untuk bekerjasama. 



Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanan dalam permusyarakan perwakilan Musyawarah dapat diartikan sebuah kegiatan yang menutut adanya kesepakatan bersama dalam suatu



forum diskusi.



Begitupun juga dengan Mbolo Rasa, pada dasarnya Mbolo Rasa tersebut merupakan kegiatan musyawarah yang dilakukan oleh masyarakat suku mbojo untuk membahas dan merundingkan halhal apa saja yang akan dilakukan saat proses terselenggaranya acara. 



Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Mbolo Rasa pada dasarnya merupakan kegiatan yang menujukan bahwa setiap masyarakat dalam wilayah suku mbojo memili hak yang sama, termasuk mengadakan acara dan adanya peran



serta



melaksanakan



dari dan



masyarakat



lainnya



menyelanggarakan



dalam acara



membantu yang



telah



dimusyawarahkan tanpa melihat kelas atau kemampuan ekonomi si penyelenggara acara. 1. Compo Sampari Compo Sampari atau penyematan keris merupakan salah satu budaya masyarakat suku Mbojo yang diperuntukkan bagi anak laki-laki yang akan dikhitan. Apabila anak laki-laki suku Mbojo sudah dikhitan maka tidak lama lagi akan memasuki usia remaja dan akan diberlakukan aturan atau norma yang berlaku di masyarakat sesuai syariat Islam. Oleh masyarakat suku Mbojo, compo sampari merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun sebagai simbol untuk mengajarkan nilainilai ksatria pada anak bahwa laki-laki harus kuat.



Memakai keris bagi kaum laki-laki suku Mbojo pada saat menjelang khitan atau sunat yakni dalam rangka menanamkan perilaku yang mencerminkan keperkasaan, keuletan dan keberanian. Keris merupakan lambang harga diri bagi masyarakat Bima dan Dompu yang digunakan dalam aktivitas keseharian secara positif untuk menunjang segala pekerjaan. Melakukan ritual Compo Sampari diawali dengan dzikir dan doa kemudian keris diarahkan mengelilingi tubuh anak yang dikhitan sebanyak tiga kali, atau tujuh kali, sambil bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, lalu keris disematkan pada pinggang bagian kiri anak. Proses penyematan keris dilakukan dengan cara berdiri dan saling berhadapan antara anak yang dikhitan dengan orang yang akan menyematkan keris. Usai menyematkan keris ditutup dengan shalawat Nabi dan "Maka", yakni gerakan hentakan kaki ke bumi sambil mengacungkan keris.



2. Parafu Istilah Parafu dalam masyarakat Mbojo di wilayah Sambori identik dengan sumber mata air.Parafu adalah mata air tertentu yang turun temurun dijaga dan dibersihkan oleh keturunan pemangku waris Parafu. Kuta Lambitu terdapat sedikitnya empat titik parafu yaitu Lanco, 0i mbou, Ama Sele, dan Lombi.Parafu harus dijaga kelestariannya.Area sekitar parafu tidak boleh ditebang. Warga tidak boleh buang hajat atau buang air sembarangan di sekitar Parafu. Semua larangan itu hingga kini tetap dipatuhi oleh Warga.



Setiap tahun Parafu dibersihkan dan yang membersihkannya adalah keturunan pemegang parafu.Dahulu sesajian dibawa ke Parafu berupa nasi, karodo( beras yang ditumbuk dan dicampur air dan gula), ayam bakar, pisang, sirih pinang dan aneka makanan. Makanan dan sesajian yang dibawa itu kemudian disantap bersama setelah kegiatan pembersihan parafu.Namun saat ini, aneka sesajian itu sudah tidak dipakai lagi.



Keturunan pemegang Parafu mengajak warga untuk membersihkan Parafu secara gotong royong. Menurut saya, parafu dengan segala macam ancaman mistiknya adalah bagian dari bumbu kehidupan masa silam yang pada intinya adalah larangan untuk merusak mata air demi kelangsungan kehidupan mareka. Parafu adalah bagian dari kearifan tradisional bagaimana masyarakat menjaga titiik mata air dengan sugesti tertentu bahwa jika merusak maka akan berdampak badan dan kehidupan seseorang. Parafu terus menerus menjadi penjaga abadi antara mata air dan pola destruktif masyarakat yang merusak mata air.



2.4 Makanan Khas Suku Bima Makanan Bima biasanya terdiri atas empat bagian, diantaranya ada nasi, kelompok sayuran, kelompok sambal, lauk pauk, dan makanan kecil.



1. Uta Palumara Londe (Bandeng Kuah Santan) Lauk ini terdiri dari ikan bandeng yang diguyur santan yang di dalamnya terdapat bumbu bawang putih, bawang merah, cabe merah, kunyit, dan tomat. Rasa dari makanan ini manis.



2. Uta Sepi Tumis Makanan ini paling disukai penduduk Bima. Bahan dasarnya adalah udang-udang kecil yang ditumis dengan asam muda, cabe, tomat, dan kemangi.



3. Kahangga Kue tradisional Bima. Bahan dasarnya terbuat dari tepung beras dan gula. Rasanya manis, menemukannya juga mudah karena dijual di pasar tradisional dengan harga sangat terjangkau seribu rupiah per buah.



4. Uta Maju Puru (Daging rusa bakar). Daging rusa merupakan makanan favorit masyarakat Bima juga. Biasanya daging itu diawetkan dengan cara didendeng. Daging rusa ini dibakar dan ditambahi bumbu pelengkap sehingga rasanya sangat lezat dan gurih.



5. Tota Fo’o. Merupakan sambal khas Bima yang bahan dasarnya terdiri dari cabai dan mangga. Rasa asam dari mangga, dan pedas dari cabai membuatnya sangat segar dan bikin ketagihan. Sambalnya pun cukup pedas.



6. Bingka Dolu. Merupakan kue khas Bima yang sangat disukai juga oleh masyarakat sekitar. Teksturnya lembut dan mudah dikunyah. Warna hijaunya berasal dari daun suji



2.5 Etika Masyarakat Suku Bima 1. Etika dalam berhijab disebut RIMPU oleh suku Bima. RIMPU adalah hijab tradisional orang bima dan juga digunakan saat acara kebudayaan ataupun kesehatan. 2. Remaja menutupi wajah menggunakan cadar, hanya terlihat matanya saja. 3. Menggunakan kain sarung sebagai bentuk etika umat islam di suku Bima. 4. Mengajak makan orang sekitar, walaupun yang diajak tidak ikut makan. Dan itu merupakan suatu bentuk etika dalam makan. 5. Disaat makan harus orangtua duluan yang mengambil. 6. Saat ada acara makan-makan bersama keluarga besar, mengambil makanannya secara berderet dan diambilkan oleh perwakilan kepala keluarga. 2.6 Proses Pernikahan Adat Suku Bima Ada 17 proses adat yang terkait dengan pernikahan dalam kebiasaan masyarakat Bima Dompu yaitu: 1. La Lose Ro La Ludi (Kunjungan Rahasia) Upaya yang dilakukan oleh orang tua untuk mencari jodoh putranya hanya dapat dilihat oleh keluarga dekat. Hal ini masih rahasia dan belum diumumkan kepada seluruh keluarga dan handai tolan. Karena itu, kegiatan ini disebut "La los ro la ludi" atau kegiatan yang hanya diketahui oleh keluarga dekat. Kadang - kadang kegiatan ini dikenal dengan istilah “Nari ro mpida” karena masih dirahasiakan.



2. Katada Nggahi (Mengikrar Kata Hati) Setelah mendapat gadis-gadis ini belum dilamar atau menjadi tunangan pemuda lain, maka pihak keluarga pemuda akan melakukan kunjungan yang kedua ke rumah orang tua gadis sebagai tindak lanjut dari la kehilangan ro la ludi. Dalam kunjungan ini, orang tua biasanya akan diwakili oleh seorang tokoh adat yang disebut "Ompu Panati" didampingi oleh beberapa orang dekat keluarga. Ompu Panati adalah seorang tokoh yang memilih ahli dalam pinang meminang gadis. Dia biasanya juga ahli dalam berpantun dan bersyair.



3. Pita Nggahi Guna meningkatkan hubungan baik antara keluarga, maka kedua keluarga terus meningkatkan kegiatan silaturahim. Kegiatan yang dilakukan oleh kedua keluarga tersebut dinamakan “Pita Nggahi” (ulang kata) dalam pengertian memepererat hubungan kekeluargaan antara kedua keluarga.



4. Wa'a Mama Dan Sarau Wa'a mama artinya mengantar atau membawa bahan untuk makan sirih (mama) seperti nahi (sirih), u'a (pinang), tambaku (tembakau), tagambe dan afu mama (kapur khusus untuk pemakan sirih). Dalam pelaksanaanya pihak orang tua tidak hanya mengantar bahan untuk makan sirih (mama) tetapi juga membawa berbagai jenis makanan dan kue tradisional. Secara tradisional wa'a sarau artinya mengantar atau membawa sarau (berkemah) yaitu sejenis topi tradisional Bima-Dompu yang dibuat dari anyaman bambu. Upacara wa'a sarau hampir sama dengan upacara wa'a mama. Dilaksanakan pada musim tanam (oru mura). Barang-barang yang diantar adalah sarau dan berbagai jenis kue tradisional dan umbiumbian serta buah-buahan dari kebun pemuda



5. Ngge'e nuru Maksudnya calon suami tinggal bersama di rumah calon mertua. Ngge'e artinya tinggal, nuru berarti ikut. Setelah pria diterima lamarannya dan memilih kedua belah pihak dihendaki, sang pria menyetujui tinggal bersama calon mertua di rumah calon mertua. Dia akan menunggu bulan dan hari baik untuk mengadakan upacara pernikahan. Datangnya sang pria untuk tinggal di rumah calon mertua inilah yang disebut dengan Ngge'e Nuru. Selama ngge'e nuru, dilantunkan pria harus berbicara tentang sikap, tingkah laku dan tutur kata yang baik untuk calon mertuanya. Jika selama ngge'e nuru ini, orang memilih sikap, tingkah laku dan tutur kata yang tidak sopan, malas dan sebagainya, atau tidak pernah melakukan shalat, lamaran bisa dikembalikan oleh pihak perempuan. Ini berarti ikatan sodi antara remaja baru putus.



6. Mbolo Ro Dampa Bila ngge'e nuru telah berjalan mulus, maka orang tua dan keluarga dua belah pihak akan menyelenggarakan “Mbolo ro dampa” (musyawarah) untuk menentukan hari dan bulan yang baik untuk pelaksanaan nikah. Jumlah atau besar kecilnya mahar dan semua lainnya diputuskan dalam mbolo ra dampa.



7. Nggempe Setelah hari pernikahan diputuskan bersama, maka calon penganten putri harus melakukan ketentuan adat yang disebut “nggempe”. Pada akhirnya ini calon penganten perempuan tidak lagi pergi rumah untuk bergaul dengan teman-teman sebaya. Ia harus berada di pamoka (loteng) didampingi oleh tokoh adat perempuan sebagai “Ina ruka” (inang pengasuh) yang mendukung untuk membimbing dan menasehati calon penganten. Selama nggempe calon penganten akan ditemani oleh beberapa teman gadis sehingga tidak menerima kesepian.



8. Wa'a Masa Nika Sesuai keputusan Mbolo ro dampa, maka beberapa hari mendatang lafa (akad nikah), akan dilangsungkan upacara wa'a masa nika (pengantaran emas nikah) atau wa'a co'i (pengantaran mahar). Upacara dilaksakan sakit hari setelah sholat ashar, diikuti oleh keluarga, panu ompu, ulama, tokoh adat dan para kerabat. Para peserta akan berangkat dari rumah orang tua penganten laki-laki, berbusana adat yang sesuai dengan status sosial masing-masing. Rombongan pengantar mahar (dende wa'a co'i) akan dimeriahkan dengan atrasi kesenian Jiki Hadra (jikir hadrah) diiringi musik Arubana (rebana). Setibanya di rumah calon putri penganten akan bersaing dengan tari wura bongi monca (tari menabur beras kuning) dan atrasi mpa'a sila, gantao dan buja kadanda.



9. Kalondo Wei Upacara pengantaran calon penganten putri dari rumah orang tuanya menuju uma ruka (rumah untuk penganten). Dilaksakan pada bulan purnama sesuai sholat Isya. Calon penganten putri diturunkan (kalondo) dari atas rumah orang tuanya dan diusung ke uma ruka (rumah penganten). Diantar oleh sanak keluarga dan kerabat dengan berbusana adat yang beraneka ragam sesuai dengan status sosial dan usia pemakai. Dimeriahkan dengan atrasi jiki hadra (jikir hadra) diiringi musik rebana.Pada waktu yang bersamaan di uma ruka sedang berlangsung “Ngaji kapanca” (tadarusan pada upacara kapanca). Ngaji kapanca akan berakhir bersamaan dengan setibanya rombongan calon penganten putri di uma ruka. Setibanya di uma ruka, rombongan penganten memenangkan dengan tari wura bongi monca dan dimeriahkan dengan kombinasi mpa'a sila, gantao dan buja kadanda.



10. Upacara Kapanca Setelah calon penganten putri bersama rombongan tiba di Uma Ruka, maka akan bertemu dengan upacara kapanca (penempelan inai). Upacara kapan saja atau penenpelan inai di atas telapak tangan calon penganten putri dilakukan oleh para tokoh adat perempuan. Diiringi dengan lantunan jiki kapanca (jikir kapanca) tanpa iringan musik. Syair jimat berisi pujian atas kebesaran dan kemuliaan Allah dan Rasul.



11. Weha Nggahi Sebelum prosesi Akad Nikah, calon penganten puteri meminta ijin kepada orang tuanya untuk menikah. Prosesi ini berlangsung di Uma Ruka, atau di tempat tidur yang sudah dirias. Inilah proses Weha Nggahi atau meminta restu ayah bunda sebelum menikah. Didampingi oleh penghulu, calon penganten puteri bersujud dan mencium tangan ayah bundayanya. Lalu memohon ijin untuk disetujui. “Ayah, ijinkan aku menikah dengan Si Fulan. Maafkan atas segala kesalahan dan khilaf selama ini. ” “Mengembalikan anakku, Aku ijinkan menjadi istri Si Fulan. Semoga Kamu mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. “ Terkadang prosesi ini mengharukan. Banyak orang-orang yang sempat menyaksikannya berurai air mata. Karena prosesi ini tidak menunggu ijin orang tua, tetapi memiliki makna yang luas, karena nikah adalah perjalanan mengarungi bahtera yang terbentang penuh tantangan.



12. Lafa Lafa atau Akad nikah merupakan acara kunci dalam pernikahan. Pada intinya akad nikah adalah upacara keagamaan untuk pernikahan antara dua insan manusia. Melalui akad nikah, maka hubungan antara dua insan yang saling bersepakat untuk berumah tangga diresmikan di hadapan manusia dan Tuhan.



13. Hengga Dindi dan Kelambu Penganten pria bersama sara hukum didampingi ompu tua (Orang Yang Dituakan) dan ompu panati akan dilaksanakan satu upacara adat yang dilaksanakan setelah upacara lafa yaitu Hengga Dindi dan Hengga Kelambu. Secara eksklusif "hengga dindi" berari "buka tabir", atau hengga kalambu artinya buka kelambu sebelum masuk ke kamar bunti siwe, bunti mone (penganten laki-laki) bersama pendamping di luar "dinding satampa" (tabir pemisah). Di bagian dalam dindi satampa ada Ina ruka (inang pengasuh) bersama istri lebe, istri galara dan tokoh adat perempuan. Upacara di mulai oleh pihak bunti mone diwakili oleh ompu panati. Diawali dengan shalawat dan salam, ompu panati penyampaikan syair dan pantun. Sambil melemparkan beberapa keping uang perak ke dalam tabir. Setelah lemparan ketiga, akhirnya rambu dibuka dindi satampa (Tabir pembatas). Dengan mempersembahkan puji syukur kepada Allah SWT, disusul dengan bacaan basmallah, akhirnya bunti uang bersama gelara dan lebe didampingi ompu panati dan keluarga menggunakan kamar bunti siwe. Sesudah berada di dalam kamar, bunti mone melaksanakan shalat sunat dua rakaat untuk memohon kehadapan Allah AWT, agar mahligai rumah tangga selalu mendapat rahmat dan hidayah-Nya.



14. Nenggu atau Persembahan kesetiaan Sekarang tiba saatnya bunti uang untuk pindah bunti siwe guna melakukan upacara nenggu, yaitu mempersembahkan rimba ke sanggul sang bunti siwe tercinta. Upacara ini kadang-kadang disebut upacara cepe jenggu. Bunti mone merayakan upacara dengan mempersembahkan sekuntum jungge kala (Sanggul Merah) sebagai bujukan mone muntah, gagah berjuang, namun jungge kala lambang dibantik oleh bunti siwe. Kini bunti Depdiknas mempersembahkan jungge monca (Sanggul Kuning) untuk sang istri tercinta bunti siwe. Namun apa pun yang ditolak, jungge monca lambang kejayaan juga ditolak oleh bunti siwe. Bunti mone tidak putus asa, di tangan masih ada sekuntum jungge bura (Sanggul



Putih) sebagai lambang keikhlasan hati dalam membina mahligai rumah tangga. Penyerahan jungge bura (Sanggul Putih) disambut gembira oleh bunti siwe. Jungge bura sebagai simbul keikhlasan lebih utama dari sekuntum bunga merah dan kuning. Karena berani tanpa keikhlasan akan menimbulkan petaka bagi keluarga. Kejayaan diraih dengan hasat dengki tidak akan berguna. Semua perjuangan tanpa kesucian akan sia-sia.



15. Boho Oi Ndeu Acara Boho Oi Ndeu (Siraman) disebut juga Elo Rawi. Elo Rawi terdiri dari kata "elo" dan "rawi". Elo berarti ekor atau akhir, sedangkan "rawi" berarti pekerjaan, dalam hal ini berarti "upacara". Pengertian Elo Rawi dalam upacara adat Bima-Dompu adalah upacara adat yang diambil seluruh rangkain upacara adat tersebut. Boho oi ndeu adalah upacara memandikan penganten, dilakukan oleh ina ruka dan disaksikan oleh kaum ibu. Berlangsung pagi hari jam 09.00. karena itu upacara ini di namakan "boho oi ndeu" atau menyiram air mandi. Pada upacara boho oi ndeu, penganten kedua di atas “tampe dan lihu”, kedauanya berdiri menghadap kiblat. Badan mereka disatukan dengan ikatan “ero lanta” (benang putih). Kemudian di sekitar penganten dinyalakan lampu lilin.



16. Ngaha Nggula Sesudah upacara boho oi ndeu, maka upacara adat harus dilakukan dengan kenal dengan “Ngaha Nggula”. Sebenarnya upacara ini merupakan upacara do'a yang dihadiri oleh gelara, lebe dan para tokoh agama dan adat bersama sanak saudara. Dalam upacara ini para undangan akan menikmati makanan khas Mbojo yaitu “Mangge Mada”. Mangge mada sejenis lauk pauk yang dibuat dari isi perut kambing atau kerbau, yang di cincang halus. Kemudian dicampur dengan santan kelapa, diberi bumbu "ringa" (wijen) dan bumbu khas Mbojo yang lain



17. Pamaco Pada sore hari setelah sholat ashar, dilanjutkan dengan upacara adat “tawori” atau “pamaco”. Upacara ini berlangsung di uma ruka dihadiri oleh para sanak keluarga atau anggota keluarga saja. Dalam upacara tawori atau pamaco, seluruh keluarga akan datang memberikan sumbangan kepada penganten baru untuk dijadikan modal dalam membina rumah tangganya. Pada masa lalu tawori atau pamaco hanya upacara untuk keluarga dalam rangka pengumpulan sumbangan untuk kedua penganten. Para taulan dan kerabat di luar lingkungan keluarga sudah hadir pada mada rawi di upacara lafa, sesuai dengan sunah Nabi yang mengundurkan kita mengadakan upacara lafa (akad nikah). Komunitas dan Masyarakat di Sekitar telah memberikan kontribusi pada awal pelaksanaan nika ro neku. Mereka datang beramai-ramai untuk melaksanakan “puzzle ro ne'e” (memberikan kontribusi). Pada perkembangan selanjutnya, upacara tawori atau pamaco dikenal dengan istilah rama tamah atau resepsi pernikahan. Pada masa sekarang kontribusi yang diberikan oleh undangan tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan oleh keluarga penganten, sehingga tujuan dari upacara sudah tidak sama dengan tujuan tawori atau pamaco masa lalu.



2.7 Proses Pemakaman Adat Suku Bima Dalam bahasa Mbojo, upacara adat disebut “Rawi Rasa” Rawi Rasa berarti semua kegiatan yang dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh masyarakat. Rawi rasa terdiri dan dua jenis kegiatan, yaitu rawi mori dan rawi made. Yang dimaksud dengan rawi mori ialah kegiatan yang berhubungan dengan upacara kehamilan, kelahiran, khitanan dan pernikahan. Sedang rawi made ialah upacara yang berhubungan dengan kematian. Khusus bagi rawi made dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sehingga tidak ada upacara adat yang dilakukan pada rawi made. Diawali dengan membaca surat Yasin, lalu jika pelayat yang datang untuk takziah membawa uang guna meringankan beban keluarga yang ditinggalkan dalam melakukan tahlilan. Setelah itu, baru dimakamkan, setelah selesai,



keluarga mayat tersebut pulang terakhir karena ada pesan yang ingin disampaikan oleh mayit secara tidak terlihat, baru setelah itu bisa pulang. Dan tempat tidur mayit selama tiga atau tujuh hari dirumahnya belum bisa diganggu, harus bersih da nada alquran di bantal dan selimutnya, setelah itu, kasur itu di hamburkan ke kuburan sebagai tanda bahwa ruh mayit telah sungguh-sungguh tiada.



BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan



Begitu banyak ragam budaya dan khas makanan bima membuat orang Bima begitu mencintai daerahnya. Bahkan bagi masyarakat Bima yang merantaupun tetap berusaha mempertahankan adat dan pola makan seperti di Bima meskipun tidak sepenuhnya



(atau dicampur dengan



kebiasaan setempat). Jadi, dimanapun orang Bima tinggal. Mereka tidak akan pernah melupakan adat dan makanan khas mereka. Meskipun mereka terbiasa dengan makanan di daerah setempat, namun makanan khas tetap menjadi makanan favorit mereka.



DAFTAR PUSTAKA http://www.pdamtirtabenteng.co.id/berita/kearifan-lokal-melestarikan-sumbermata-air-bersih# https://alanmalingi.wordpress.com/2010/05/02/compo-sampari/ Fachrir, M. Rahman. Sejarah Kesultanan Bima. Mataram: Alam Tara https://www.kompasiana.com/milaseptian/593b3caacf92737608e3ba83/tradisimbolo-rasa-suku-mbojo-jadi-pesan-mendidik-bernuansa-pancasila?page=all diakses http://handikahimawan.blogspot.com/2016/10/kebudayaan-suku-bima.html http://blog.isi-dps.ac.id/ibnarendra/7-unsur-kebudayaan-suku-bima https://jelajah.kompas.id/tak-berkategori/baca/pesan-kearifan-dari-suku-mbojo/ https://gpswisataindonesia.info/2018/08/prosesi-pernikahan-adat-bima-ntb/ http://hildanurfauziah07.blogspot.com/2015/06/suku-bima-nusa-tenggarabarat.html