Kel.2 Qowaid Fiqiyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kaidah-kaidah Fiqh dalam bidang Ibadah Mahdhah Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyyah Dosen Pengampu: Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A..



Oleh Kelompok 2 :



1. Widiyawati



(191110008)



2. Ukat jatnika



(191110009)



3. Sofa Lanthia Umyati



(191110010)



4. Fitrotun Najiah



(191110011)



5. Risa siti sa'diah



(191110012)



6. Siti herliyanti



(191110013)



7. Sri rahayu



(191110014) Kelas : A



HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN Tahun Akademik 2021/2022



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Kaidah-kaidah Fiqh dalam bidang Ibadah Mahdhah ini dengan waktu yang telah di tentukan. Sholawat beserta salam tak lupa kami sampaikan kepada junjungan baginda



Muhammad SAW. beserta



keluarga,sahabat dan para pengikutnya. Makalah dengan judul ‘Kaidah-kaidah Fiqh dalam bidang Ibadah Mahdhah’ ini kami susun untuk memenuhi mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah yang diberikan oleh Bapak Dr. H. Ahmad Sanusi, M.A. Untuk itu kami menyusun makalah ini dengan harapan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami lagi tentang Kaidah-kaidah Fiqh dalam bidang Ibadah Mahdhah ini untuk mempelancar proses pembelajaran. Namun demikian tentu saja dalam penyusunan makalah kami ini masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan dan pemilihan kata yang kurang tepat. Dengan ini, kami memohon maaf jika dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan dan kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



i DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................................................................................................... i



DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ..........................................................................................................1 BAB II A. ................................................................................................................................2 B. ................................................................................................................................5 C. ................................................................................................................................7 D. ................................................................................................................................10 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ..............................................................................................................12 DAFTAR PUSTAKA



ii BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabangcabang fikih tertentu dan disebut al-qawaid al fiqhiyyah al-khashshah atau juga disebut al-dhabith oleh sebagian ulama. Sebagai landasan aktivitas umat islam seharihari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran islam (maqasid al-Syari’ah) secara lebih menyeluruh, keberadaan qawaid Fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting. Baik di mata para ahli ushul maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id Fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaruan pemikiran dalam masalah ibadah, muamalah, dan skala prioritas. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari teks dan jiwa nash asalnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadis yang digeneralisasi dengan sangat teliti oleh para ulama terdahulu dengan memperhatikan berbagai kasus fiqh yang pernah terjadi, sehingga hasilnya kini mudah diterapkan kepada masyarakat luas.



BAB II PEMBAHASAN A. Kaidah-kaidah Khusus di Bidang Ibadah Mahdhah Kata ibadah berasal dari bahasa arab artinya patuh, tunduk. Dilihat dari segi istilah, ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan atau perbuatan yang tampak maupun yang sirr yang dilakukan oleh manusia. Dalam istilah lain, ibadah adalah ketundukan manusia kepada Allah yang dilaksanakan atas dasar iman yang kuat dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dengan tujuan mengharapkan ridha dan ampunan-Nya, termasuk tujuannya ingin masuk surga. Selain itu beribadah kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas, bukan untuk mendapatkan pujian dari orang lain atau maksud-maksud lainnya. Yang dimaksud ibadah mahdhah adalah hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu hubungan yang akrab dan suci antara seorang muslim dengan Allah SWT yang bersifat ritual (peribadatan), seperti : shalat, zakat, puasa, dan haji. Kaidah ini mimiliki ciri khas tersendiri yang pada prinsipnya bahwa Allah tidak bisa disembah kecuali dengan cara yang telah ditentukan. Banyak kaidah yang berhubungan dengan bidang fikih mahdhah, diantaranya : ‫ص ُل ِفي ال ِعبَا َد ِة الت َْوقِ ْيف َوا ِإل ْتبَاع‬ ْ َ‫األ‬ “Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti tuntutan syariah” Maksud kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdhah, harus ada dalil dan mengikuti tuntunan. Selain itu, ada juga yang menggunakan kaidah : ‫ص ُل فِي ال ِعبَا َد ِة البُ ْطآل نُ َحتَّى يَقُو َم ال َّد لِ ْي ُل َعلَى األَ ْم ِر‬ ْ َ‫اَأل‬ “Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.”



Kedua kaidah ini mengandung substansi yang sama, yaitu apabila kita melaksanakan ibadah mahdah harus jelas dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis Nabi. Sebab, ibadah mahdhah itu tidak sah apabila tanpa dalil yang memerintahkannya atau menganjurkannya. Kaidah-kaidah fiqh di bidang ibadah mahdhah: 1. Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti; Maksud dari kaidah ini adalah dalam melaksanakan ibadah mahdah, harus ada dalil yang menunjukkan untuk dapat diikuti tuntunannya. Selain dari kaidah di atas, ada pula kaidah lain yang memiliki maksud yang sama dengan kaidah di atas, yaitu ; “Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya”. Kedua kaidah di atas mengandung pengertian yang sama, yakni setiap ibadah mahdah yang kita laksanakan haruslah ada dalil yang menunjukkannya, baik itu dari Alquran maupun Hadis (Sunnah) Nabi SAW. Karena ibadah mahdah tidak sah apabila tanpa ada dalil yang memerintahkannya atau yang menganjurkannya. Contohnyasalah satunya seperti shalat wajib lima waktu atau macam-macam ibadah mahdhah yang disebutkan sebelumnya. Sebagian masyarakat muslim ada yang menggunakan kaidah ini untuk menyatakan tidak ada ritual atau ibadah yang perlu dilakukan selain dari yang ditentukan nabi, sehingga masyarakat muslim ini pun cenderung mengatakan bahwa orang yang melakukan ibadah tersebut, seperti shalat hadiah, haulan, menyelenggarakan acara-acara peringatan dan lain-lain termasuk perbuatan yang sia-sia, karena tidak ada tuntunan dan tuntutan dari Allah maupun Nabi. Apabila bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan adanya dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, saya lebih cenderung sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya Nihayatuz Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan.



Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk ibadah. Hal ini sesuai dengan kaidah ‫ا‬.‫ رومأال داقمب‬seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya bahwa setiap sesuatu tergantung dari niatnya. Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tu ntutannya, tetapi tetap dilakukan karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik. Allah pasti mengetahui hal tersebut. 2. “Suci dari hadats tidak ada batas waktu;” Maksud dari kaidah ini adalah apabila seseorang telah bersuci baik dari hadas besar maupun kecil, maka tetap ia dalam keadaan suci selama tidak ada halhal yang meyakinkan bahwa ia batal. Contohnya seperti Seseorang yang telah berwudhu, dan selama ia tidak merasa yakin akan batalnya dari wudhu tersebut dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang meyakinkan batalnya wudhu, maka ia tetap dalam keadaan suci. Kaidah ini dapat dikaitkan dengan kaidah fikih yang lain seperti: “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”. 3. “dalam ibadah wajib menyempurnakannya”;



4. Tidak ada analog dalam ibadah yang tidak difahami maksudnya; 5. Ibadah sebelum ada sebabnya adalah tidak sah; 6. Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh, sedangkan dalam urusan lainnya adalah disukai; 7. Keutamaan yang dikaitkan dengan ibadah sendiri adalah lebih utama daripada yang dikaitkan dengan tempatnya; 8. Kekhawatiran membolehkan qashar shalat; 9. Ibadah yang ketentuannya dalam bentuk yang berbeda-beda, boleh melakukannya dengan cara keseluruhannya bentuk-bentuk tersebut; dan 10. Bagian yang terpisah dari binatang yang hidup, hukumnya seperti bangkai binatangtersebut.



Ibadah-ibadah mahdhah dikategorikan kedalam beberapa kelompok sebagai berikut:



a) Ibadah yang bersifat ma’rifat kepada Allah dengan sifat atau ucapan tertentu seperti takbir, tahmid dan tahlil. b) Ibadah yang merupkan perbuatan tertentu yang ditujukan kepada sang pencipta Allah swt. Ibadah ini dikategorikan seperti ibadah haji, umrah, ruku’, sujud, puasa, thawaf dan i’tiqaf. c) Ibadah yang lebih menonjolkan hak Allah dari hak hamba. Ibadah ini dikategorikan seperti ibadah shalat fardu dan shalat sunnat. d) Ibadah yang mengumpulkan atau menghimpun hak Allah dan hak hamba secara bersama-sama. Ibadah ini dikategorikan seperti ibadah zakat, kafarat dan menutup aurat. Jenis ibadah ini memiliki 4 prinsip, sebagai berikut: 1) Keberadaannya



harus



berdasarkan



adanya



dalil



perintah



Dalil perintah yang dimaksud baik dari Alquran maupun al-Sunah, jadi merupakan otoritas wahyu, sehingga tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. 2) Tata caranya harus sesuai dengan yang dilakukan Rasululullah saw Salah satu tujuan diutusnya rasul oleh Allah swt adalah untuk memberikan contoh kepada umat muslim. Sehingga segala perbuatan atau tingkah laku Rasulullah saw merupakan pedoman umat muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari. 3) Bersifat



supra



rasional



(di



atas



jangkauan



akal)



Maksudnya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan menyangkut akal, melainkan menyangkut wahyu, akal hanya berfungsi dalam memahami rahasia di baliknya yang disebut dengan hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syariat, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat. 4) Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini



adalah



kepatuhan



atau



ketaatan



Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah



kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan umat sendiri, bukan untuk Allah swt. dan salah satu tujuan utama diutusnya Rasul adalah untuk dipatuhi. Ibadah mahdhah ditujukan untuk menjaga keharmonisan hubungan manusia (hamba) dengan Allah swt. agar kita memiliki keimanan yang benar, lurus dan kuat, serta jauh dari kesyirikan, khurafat, ataupun tahayul. Dengan demikian kehidupan kita terjaga dari berbagai hal yang merusak, menyesatkan ataupun mencelakakan, dan mendapatkan ketenangan batin atau hati.