Kelas H Kelompok Psikometri 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGUKURAN DI BIDANG PSIKOLOGI DENGAN FOKUS MATERI PADA PERMASALAHAN DALAM PENYUSUNAN ALAT UKUR PSIKOOGI Dosen Pengampu: Widyastuti, S. Psi., M. Si., Psikolog Ahmad Ridfah, S. Psi., M. Psi., Psikolog Nur Akmal, S. Psi., MA.



DISUSUN OLEH: Psikologi Kelas H 1. 2. 3. 4. 5.



Nur Iza Nahda 200701500072 A.Nur Amelia Ramadhani Amir 200701501102 Zahwa 200701502100 El-Shaddai Nugraha 200701501126 Intan Sarina 200701500064



FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2021/2022



PENGUKURAN Pengukuran merupakan ilmu dari Statistika terapan dimana mempunyai tujuan untuk membangun dasar-dasar teoretik dalam pengembangan tes yang lebih baik sehingga menghasilkan tes yang dapat berfungsi secara optimal, valid, dan reliable. Psikometrika sendiri dari sebagian ahli telah didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang tata cara mengevaluasi atribut/karakteristiktes psikologis yang memusatkan perhatian pada :   



Jenis data skor yang telah diperoleh saat tes Reliabilitas data hasil tes Masalah validitas data yang dihasilkan oleh tes (Fury & Bacharach, 2008).



TES PSIKOLOGI DALAM PENGUKURAN  Pengukuran psikologi, yaitu pengukuran terhadap perilaku yang terlihat, yang dianggap mencerminkan prestasi, bakat, sikap dan aspek kepribadian lainnya.Pengukuran adalah aspek penting dalam penelitian psikologi dan penelitian dalam bidang lain.Namun, pengukuran psikologis (misalnya, pengukuran motivasi, sikap, atau konsep diri) relative lebih kompleks daripada pengukuran dalam bidang eksakta atau fisik. Hal ini dikarenakan karakteristik yang berbeda dalam bidang fisik seperti tinggi badan, berat badan, dan panjang rambut. Lee J.Cronbach pada bukunya yang berjudul Essentials of Psychological Testing (1970), mendefinisikan tes sebagai "a systematic procedure for observing a person's behavior and describing it with the aid of a numerical scale or a category system". Dalam definisi terlihat bahwa tes merupakan suatu prosedur yang sistematis, dimana tes yang dilakukan berdasarkan tujuan dan tata cara yang jelas. Tes ini didasarkan pada observasi atau pengamatan terhadap perilaku seseorang dan kemudian mendeskripsikan perilaku tersebut dengan bantuan perbandingan angka atau dengan sistem penggolongan. Oleh karena itu, pengertian tes dalam ilmu psikologi selalu menyangkut masalah pengukuran dan evaluasi yaitu masalah kuantifikasi atribut dan interpretasinya. Tes dapat dipandang sebagai prosedur pengumpulan sampel perilaku yang akan dikenai pada nilai kuantitatif (Anastasi,1976; Brown,1976). Dalam hal ini, objek pengukuran adalah atribut psikologis namun saat melakukan pengukuran sampel hanya perilaku tampak yang dapat diukur secara Iangsung (Crocker & Algina, 1986; Schultz & Whitney, 2005). Dengan kata lain, inferensi diagnostik mengenai atribut psikologis hanya dapat diperoleh lewat pengukuran sampel perilaku. Adapun Definisi yang Iebih ringkas dikemukakan oleh Allworth & Passmore (2008) ia mengatakan bahwa tes psikologis adalah suatu pengukuran yang terstandar terhadap satu atau sejumlah atribut psikologis. Pada definisi ini yang dimaksud ialah bahwa tidak semua pengukuran dapat dikategorikan sebagai tes. Artinya pengukuran dapat saja dilakukan dalam situasi yang tidak terstandar sepanjang masih mampu menghasilkan suatu bentuk kuantitas,



namun tes menuntut adanya situasi yang terstandar yang sengaja diciptakan agar sampel perilaku tertentu dapat muncul (Tyler, 1971). Terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi para Penyusun tes dalam usaha pengukuran konstrak psikologis yang dikemukakan oleh Crocker dan Algina (1986) yaitu: a) Tidak ada pendekatan tunggal dalam pengukuran konstrak apapun yang dapat diterima secara universal. Hal ini terjadi dikarenakan pengukuran konstrak psikologis yang tidak dapat dilakukan secara langsung melainkan harus melalui observasi terhadap fenomena keperilakuan. Dua orang perancang tes yang mengukur konstrak yang sama, sangat mungkin memilih tipe dan sampel perilaku yang berbeda dalam definisi operasional mereka mengenai konstrak yang bersangkutan. Perbedaan definisi operasional tersebut akan membawa kepada perbedaan prosedur yang, pada akhirnya, akan membawa kepada perbedaan kesimpulan sekalipun tes dilakukan untuk mengungkap atribut yang sama pada individu yang sama. b) Pengukuran psikologis umumnya didasarkan pada sampel perilaku yang dengan jumlah terbatas. Populasi bentuk perilaku yang merupakan indikasi kehadiran atribut psikologis yang hendak diukur -secara teoretis- jumlahnya tidak terbatas. Adalah sangat tidak mungkin untuk menghadapkan individu pada soal-soal tes dalam jumlah yang sangat banyak karena keterbatasan kemampuan para penyusun tes dalam penulisan aitem dan karena tes yang terlalu panjang akan sangat tidak efisien. Permasalahannya kemudian terletak pada cara memilih sampel perilaku yang merupakan representasi dari kawasan konstrak yang hendak diukur. c) Pengukuran selalu mungkin mengandung eror. Pada umumnya pengukuran psikologis di dasarkan pada sampel yang terbatas dan hanya dilakukan sekali. Andaikan pengukuran dilakukan berulangkali, tidak ada jaminan bahwa hasilnya akan konsisten dari waktu ke waktu dikarenakan berbagai faktor baik dari fihak individu yang dites maupun Bari fihak individu yang melakukan tes. Inkonsistensi ini merupakan salah-satu sumber eror dalam pengukuran. d) Satuan dalam Skala pengukuran tidak dapat didefinisikan dengan baik. Dimana tidak mudah untuk mendefinisikan dengan akurat satuan ukur psikologis dan menginterpretasikan hasilnya dengan layak. Apakah individu yang telah memperoleh skor 0 pada suatu tes dapat diartikan sebagai sama sekali tidak memiliki atribut yang diukur. e) Konstrak psikologis akan tidak dapat didefinisikan secara operasional semata tapi harus juga menampakkan hubungan dengan konstrak atau fenomena lain yang dapat diamati. Pengukuran psikologis sekalipun didasarkan pada perilaku atau respon yang dapat diamati tidak banyak makna dan gunanya apabila tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan konstrak teoretis yang mendasarinya. Karena itu Lord dan Novick(1968 dalam Crocker & Algina, 1986)



menekankan pentingnya untuk mendefinisikan konstrak yang mendasari pengukuran psikologis dalam dua level. konstrak psikologis harus didefinisikan secara operasional dalam bentuk indikator perilaku yang dapat diamati. Definisi ini akan menentukan bagaimana pengukuran itu harus dilakukan. Kedua, konstrak psikologis harus didefinisikan dalam bentuk hubungan logis dan matematis dengan konstrak lain yang sama-sama berada dalam sistem teoretiknya. Definisi ke dua ini memberikan dasar dalam interpretasi hasil pengukurannya. Bilamana hubungan semacam itu tidak dapat diperlihatkan secaraempiris, maka hasil pengukuran yang diperoleh adalah tidak berguna.



PERMASALAHAN DALAM PENYUSUNAN ALAT UKUR PSIKOLOGI Alat ukur psikologi merupakan alat ukur yang obyektif dan dilakukan oleh alat sampel perilaku tertentu (dengan mengukur intensitasnya) serta yang bisa diukur pada manusia dan hewan. Berikut adalah beberapa contoh permasalahan dalam penyusunan alat ukur psikologi: A. Penyusunan Alat Ukur Resiliensi Akademik Dalam jurnal tersebut peneliti ingin mengetahui reliensi akademik mahasiswa dan untuk mengukur reliensi akademik mahasiswa, peneliti membutuhkan alat ukur. Dalam penyusunan alat ukur tersebut peneliti mengalami permasalahan pada jumlah item, yakni ada beberapa item yang gugur setelah proses seleksi psikometris,yang menyebabkan peneliti dianjurkan untuk membuat dua, tiga, atau empat kali jumlah item final. Item yang dihasilkan harus mampu memotivasi subjek untuk menjawab. Terlalu banyak item dapat membuat subjek merasa bosan dan membuat subjek tidak mengerjakan dengan benar. Sebaliknya item yang sedikit, dapat membuat konstruk yang ingin diungkap tidak terungkap secara menyeluruh. B. Pengembangan Alat Ukur Motivasi Membaca Pada Remaja Dalam jurnal tersebut peneliti ingin mengembangkan alat ukur motivasi membaca pada remaja. Masalah yang dihadapi peneliti adalah dalam melakukan penerjemahan alat ukur sebelumnya. Setelah peneliti menerjemahkan alat ukur, ia perlu memastikannya dengan meminta bantuan dari seorang WNI yang lebih fasih berbahasa Inggris agar terjemahannya lebih akurat. Hasil terjemahan tadi kemudian masih melalui revisi yang kemudian kembali diterjemahkan hingga keakuratannya mencapai 97,2%. Setelah itu validitas alat ukur harus diuji, meskipun melewati beberapa revisi hingga akhirnya alat ukur tersebut valid. Faktor‐Faktor yang Melemahkan Validitas Alat Ukur Psikologi Validitas adalah ciri utama yang wajib dimiliki oleh setiap skala/alat ukur.Akhirnya, suatu skala berguna atau tidak ditentukan oleh tingkat validitasnya. Dalam bagan itu perencana skala harus mengetahui beberapa faktor yang dapat mengancam validitas skala psikologi, yaitu: 1. Identifikasi zona ukur yang tidak cukup jelas



Untuk mengukur “sesuatu” maka sesuatu itu harus diketahui terlebih dahulu dengan baik. Apabila atribut psikologi sebagai tujuan pengukuran tidak diidentifikasi dengan betul maka akan terjadi kepudaran. Kepudaran ini disebabkan perancang skala tidak mengenali dengan baik batas‐ batas atau definisi yang tepat mengenai kawasan (domain) atribut yang hendak diukur.Ketidaktepatan identifikasi zona ukur dapat pula menyebabkan skala menjadi tidak cukup komprehensif daalam mengungkapkan atribut yang dikehendaki.



2. Pelaksanaan konsep yang tidak tepat Kepastian konsep mengenai atribut yang akan diukur memungkinkan perumusan indikator‐ indikator perilaku yang menunjukkan ada tidaknya atribut yang bersangkutan. Ringkasan indikator perilaku berangkat dari pelaksanaan konsep teoritik mengenai komponen‐komponen atau dimensi‐dimensi atribut yang bersangkutan menjadi rumusan yang terukur (measurable). Namun, jika rumusan tersebut tidak efektif atau pun masih mempunyai penafsiran ganda akan menimbulkan item‐item yang tidak benar, sehingga menghasilkan skala yang tidak benar pula.



3. Penulisan item yang tidak mengikuti petunjuk Item‐item yang maksudnya amat dimengerti oleh responden karena terlalu panjang ataupun struktur tata bahasnya yang kurang tepat sehingga mendorong responden memilih jawaban tertentu saja, yang memancing reaksi negatif dari responden, yang mengandung isi social desirability tinggi, dan yang mempunyaicacatsemacamnya dihasilkan dari proses penulisan item yang tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk standar. Item seperti itu tidak akan berguna sebagaimana yang diinginkan.



4. Manajemen skala yang tidak berhati‐hati Skala yang isinya sudah dirancang dengan baik dan item yang ditulis sudah sesuai dengan petunjuk, namun di manajemenkan pada responden dengan sembarangan tidak akan menghasilkan data yang benar mengenai keadaan responden.



DAFTAR PUSTAKA



Azwar,Saifuddin.(2010). Dasar-dasarPsikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Marliani,Rosleny. (2010). PengukuranDalamPenelitianPsikologi. JurnalIlmiahPsikologi, 3(1), 107–120. Felicia, Sri T. ,Heni M. (2017) PengembanganAlatUkurMotivasiMembacaPadaRemaja. Jurnal MuaraIlmuSosial, Humaniora, danSeni, 1(2), 248-258. Muhammad Agung,Ivan.(2020).AnalisisPsikometriIntelligenzStructur Test (IST) pada Mahasiswa.Psikobuletin: BuletinIlmiahPsikologi. Vol. 1, No. 1, Januari, 2020 (1 – 10)



Hardiansyah,Anindya, Mahesa, Dian, Diana. (2020). PenyusunanAlatUkurResiliensiAkademik. JurnalPsikologi, 9(3), 185-194 DOI: 10.30872/psikostudia. Saifudin Azwar.2005. Skala Sikap dan Pengukurannya.Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Yogyakarta