Kesehatan Fiskal Kabupaten Dan Kota Di Provinsi Riau [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Dahlan TAMPUBOLON Regional Economist Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan



PENDAHULUAN Perekonomian Provinsi Riau pada tahun 2014 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau termasuk minyak dan gas bumi (migas) pada tahun 2014 mencapai 2,62%, meningkat dibandingkan tahun 2013 yang hanya tumbuh sekitar 2,49%. Namun dibandingkan perekonomian nasional, pertumbuhan ekonomi Riau jauh lebih rendah. Selama periode tahun 2010 hingga tahun 2014, pertumbuhan ekonomi nasional termasuk migas selalu lebih tinggi.



Paradigma pengelolaan (fiskal) daerah, baik ditingkat propinsi maupun kabupatan/ kota mengalami perubahan yang sangat berarti seiring dengan diterapkannya otonomi daerah sejak awal tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diberlakukannya UU yang menyangkut otonomi ini, yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (dalam perkembangannya kedua regulasi ini diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004). Berlakunya kedua undang-undang ini memberikan peluang yang lebih besar kepada daerah untuk lebih mengoptimalkan potensi yang ada, baik menyangkut sumber daya manusia, dana maupun sumber daya lain yang merupakan kekayaan daerah.



KEMAMPUAN FISKAL Implementasi otonomi daerah membawa konsekuensi yang sangat besar dalam paradigma pengelolaan daerah. Otonomi daerah termasuk didalamnya adanya adanya desentralisasi fiskal dimana daerah mempunyai kewenangan pengelolaan fiskal yangtinggi (Setiaji dan Adi, 2007). Dalam era otonomi ini, daerah dituntut untuk semakin meningkatkan kemandirian (fiskal) untuk membiayai berbagai belanja daerah.



Penelitian yang dilakukan Lewis (2003) menunjukkan bahwa daerah-daerah sangat agresif dalam mengeluarkan perda terkait dengan PAD, khususnya menyangkut retribusi dan pajak daerah. Setiaji dan Adi (2007) melakukan penelitian terkait dengan hal ini. Kedua peneliti ini mencoba melihat kesiapan daerah dengan membuat peta kesehatan fiskal daerah (kabupaten dan kota) dengan menggunakan metode kuadran (matriks). Indikator ini diukur dengan pertumbuhan (growth) PAD dan peran/kontribusi (share) PAD untuk membiayai belanja daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan kesehatan fiskal secara umum; peta kesehatan fiskal kabupaten dan kota mengalami pergeseran yang cukup mencolok. Namun demikian, pergeseran ini lebih banyak disebabkan perubahan growth PAD yang sangat signifikan. Share PAD terhadap belanja justru tidak mengalami peningkatan, realitas yang terjadi justru hal yang sebaliknya, daerah mengalami penurunan share PAD (Setiaji dan Adi, 2007).



PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KESEHATAN FISKAL Sidik (2002) memberikan pendapat bahwa dalam era otonomi idealnya PAD harus menjadi sumber penerimaan utama. Hal ini disebabkan sumber pendapatan lain dinilai terlalu berfluktuatif dan diluar kontrol (kewenangan) pemerintah. Saragih (2003) mengemukakan bahwa kenaikan PAD merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi. Bappenas(2004) menyatakan bahwa pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pemerintah daerah diharapkan lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi yang lebih efisien pada berbagai potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik (Lin dan Liu, 2000; Mardiasmo, 2002 dan Wong, 2004). Peningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal lebih cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan) fiskal daerah.



Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan Riau dengan Migas dan tanpa Migas



Pertumbuhan dan Sumber Pertumbuhan PDRB Riau dengan Migas



Sumbangan Ekonomi Kabupaten dan Kota Terhadap Ekonomi Riau dengan Migas



Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah Tahun 2014



Pendapatan Daerah dan SumberSumbernya Tahun 2014



Pendapatan Asli Daerah dan SumberSumbernya Tahun 2014



PENDAPATAN DAERAH PER KAPITA



KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH



PENDAPATAN DAERAH DAN RUANG FISKAL



RASIO PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PDRB



KEMAMPUAN MENDANAI BELANJA DAERAH



TOTAL BELANJA DAN BELANJA MODAL DAERAH



BELANJA PEGAWAI TIDAK LANGSUNG



OPTIMALISASI SILPA



RAPBD RIAU 2016 RAPBD Riau Tahun 2016 sebesar Rp 11.246 triliun



PENERIMAAN Pendapatan Daerah sebesar Rp 7,7 triliun Pendapatan Asli Daerah Rp 3,4 triliun Dana Perimbangan Rp 3,3 triliun Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah sebesar Rp 876 miliar.



BELANJA Belanja Tidak Langsung Rp 5,024 triliun Belanja Pegawai Rp1,2 triliun lebih, Belanja Hibah Rp 1,006 triliun Belanja Bantuan Sosial Rp 10 miliar, Belanja Bagi Hasil kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa Rp 1,1 triliun Belanja Bantuan Keuangan kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah Rp 1,6 triliun, Belanja Tidak Terduga Rp 10,5 miliar.Belanja Langsung Rp 6,222 triliun



PEMBIAYAAN Penerimaan Pembiayaan Daerah Rp 3,543 triliun lebih, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya Rp 3,543 triliun Jumlah Penerimaan Pembiayaan Rp3,543 triliun Jumlah Pengeluaran Pembiayaan Rp 0,00, Pembiayaan Netto Rp 3,543 triliun



PENUTUP Untuk rasio pendapatan daerah perkapita di Provinsi Riau secara agregat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rasio secara nasional. Rasio pendapatan daerah perkapita pada 12 pemerintah daerah di Provinsi Riau yang paling tinggi adalah rasio pada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti sedangkan yang terendah adalah rasio pada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Rasio PAD terhadap pendapatan daerah secara nasional (akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 23,08 persen. Rasio PAD terhadap pendapatan daerah di Provinsi Riau secara agregat mencapai 15,93 persen lebih besar dibandingkan dengan rasio secara nasional sehingga tingkat kemandirian Provinsi Kepulauan Riau di bawah tingkat kemandirian nasional.



Rasio ruang fiskal terhadap pendapatan daerah secara nasional (akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 47,51 persen. Rasio ruang fiskal terhadap pendapatan daerah di Provinsi Riau secara agregat mencapai 62,46 persen lebih tinggi dibandingkan dengan rasio secara nasional sehingga Provinsi Riau. Rasio peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PDRB secara nasional (akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 5,04 persen. Rasio peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PDRB di Provinsi Riau secara agregat mencapai 3,61 persen lebih rendah dibandingkan dengan rasio secara nasional.



Rasio penerimaan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran daerah dan pengeluaran pembiayaan secara nasional (akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 100,90 persen. Rasio penerimaan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran daerah dan pengeluaran pembiayaan di Provinsi Riau secara agregat mencapai 100 persen lebih tinggi dibandingkan dengan rasio secara nasional. Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah secara nasional (akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 24,83 persen. Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di Provinsi Riau secara agregat mencapai 31,94 persen lebih tinggi dibandingkan dengan rasio secara nasional karena Provinsi Riau cukup tinggi mengalokasikan belanja modal dibanding pemerintah daerah secara nasional. Rasio SiLPA tahun sebelumnya terhadap belanja daerah secara nasional (akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 7,89 persen. Rasio SiLPA tahun sebelumnya terhadap belanja daerah di Provinsi Riau secara agregat mencapai 18,82 persen lebih tinggi dibandingkan dengan rasio secara nasional.