Kesenian Tarian Sanghyang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Sejarah Tarian Sanghyang Jaran dan Dedari Tari Sanghyang adalah salah satu tarian wali yang umurnya sudah tua dan berkembang pada jaman pra-Hindu sebelum agama hindu masuk ke Bali. Menurut Prof. Dr. I Wayan Dibia tarian sanghyang adalah tarian kebudayaan animisme di Bali. Tarian ini bertujuan untuk mengusir mala atau kesengsaraan. Sampai sekarang tetap eksis dilaksanakan , setiap ada masalah atau mala, kesusahan tarian ini dipentaskan. Prof. Dr. I Made Bandem dalam bukunya Kaja dan Kelod.: Tarian Bali dalam Transisi menyatakan ada sekitar 24 tarian Sanghyang di Bali. Kebanyakan berada di desa-desa pegunungan di Bali bagian timur dan utara. Menurut penelitian Jane Belo dalam bukunya yang berjudul Trance in Bali (1960) dinyatakan ada sekitar 20 tarian Sanghyang di Bali seperti : Sanghyang Lelipi, Sanghyang Celeng, Sanghyang Kuluk, Sanghyang Bojog, Sanghyang Sripuput, Sanghyang Memedi, Sanghyang Capah, SanghyangSela Perahu, Sanghyang Sampat, Sanghyang Dedari, Sanghyang Kekerek, Sanghyang Jaran Gading, Sanghyang Jaran Putih, Sanghyang Teter, Sanghyang Dongkang, Sanghyang Penyu, Sanghyang Lilit Linting, Sanghyang Sembe, Sanghyang Janger dan Sanghyang Tutup. Tapi tarian Sanghayngmasih ditarikan di beberaapa desa di Bali, kerangsukannya ( kerauhan ) masih bisa disaksikan. Sanghyang Deling sering dipentaskan di desa-desa seputar Danau Batur, Kintamani. Sanghyang Memedi dipentaska desa di Buleleng ( bagian Kaja ), tarian ini juga dinamakan wong samara( mahluk halus ), supaya cepat kerangsukan ( kerauhan ) dibakar kotoran kuda ( tain Jaran ), setelah penarinya kerauhan ( kerangsukan ) Sanghyang Memedi berperilaku aneh yaitu menculik anak kecil lalu ditaruh ditempat sepi atau di kuburan ( sapunapi ring setra ). Aturan main penari Sanghyang dimulai uapcara pakeling ( pemberitauhan ) kepada para dewata karena tarian ini kapingitang (disakralkan ), kalau sudah sesuai dengan aturan main, langkah selanjutnya nusdus ( membakar kemenyan ), asep menyan (asap harum ) menyelimuti penari Sanghyang, mulai menyanyikan lagu suci Kuskus Arum yang dinyanyikan oleh beberapa istri secara berulang-ulang sampai penarinya kerangsukan. Tanda-tanda penarinya kerauhan (kerangsukan ) tubuhnya gemeter tanpa sadar, sesudah kerangsukan Sanghyang Jaran contohnya lompat keadalam api unggun yang membara sambil menendang kesana kesini apinya, para istri



menyanyikan lagu tambah bersemangat, selama lagu itu dinyanyikan penari Sanghyang terus menari sampai keluar kalangan (arena) kayak di uber-uber. Penari Sanghyang biasanya masih dalam keturunan ( pratisentana ) serta penarinya masih perawan (daa ), penari Sanghyang kepingit ( diawasi dari kekotoran ) ditempat yang suci sampai pekerjaannya harus ada hubungannya alat- alat upacaraseperti mejejahitan dan sarana upacara serta tidak boleh masuk ketempat jemuran pakaian/ tempat yang kotor-kotor . Penari Sanghyang Dedari ditarikan pada malam hari, biasanya ngambil tempat di halaman suci pura, tetapi Sanghyang Jaran di desa Sedang, Badung, di tarikan di marga agung,pempatan utama desa ( peempatan desa). Kedua tarian ini masih ditarikan di bali bagian selatan ( Badung,Denpasar) diiring oleh istri-istri dan diikuti oleh tarian Kecak para lanange (laki-laki)



sedangkan



tarian



Sanghyang



Dedari



diikuti



oleh



gambelan



palegongan/



semaarpegulingan. Tarian ini tidak memiliki pakem agem (gerakan tertentu)m, pada saat ditarikan begitu sempurna/harmonis. Sanghyang Jaran seperti namanya gerakanya melompat, nongklang, ngrikik seperti suara kuda. Tetapi Sanghyang Dedari menari kayak hembusan angina( ampehan angin), pohon melengkung, ombak magabluran, atau seperti tingkah laku binatang. Itu semua sesuai dengan alunan Kecak , dan suara gambelan, masyarakat yang menarikan Sanghyang itu meyakini sekali kesenian Sanghyang menjadikan ala mini seimbang jauh dari musibah( mala/kebrebeh ). Tarian Sanghyang ini dipercaya menghilangkan sasab mrana (musibah) atau menyomia buta kala ( menjadi sifat dewa / baik ) yang mengganggu desa-desa. Di desa, di pegunungan sering dipentaskan pada saat ada mrana(musibah) seperti sakit kulit di tangan , biasanya dipentaskan setiap satu bulan dan terus dipentaskan sampai musibah hilang. Tetapi menurut Wayan Dibia tarian Sanghyang yang lainnya tidak punah. Gelungan serta sarana pementasan Sanghyang itu masih ada dan disungsung ( dipuja) masing-masing pura di desa.



Identifikasi dan Komodifikasi Kesakralan Tarian Sanghyang Pariwisata telah menimbulkan gejala komersialisasi yang sanagat kuat. Yang paling jelas adalah bidang kesenian, baik seni rupa (lukis,patung) maupun seni pertunjukan. Dalam konteks ini, kita harus berhati-hati, apakah komersilisasi itu terjadi terhadap kesenian atau kebudayaan ? kalau kesenian diibaratkan bunga atau buah itu yang dijual kepada wisatawan , tidak apa-apa bisa ditoleransi. Wisatawan tidak boleh berpikir bahwa mereka telah membeli agama atau adat atau budaaya Bali kalau mereka hanya membawa patung rangda sebagai suvenir untuk di pasang di tembok rumahnya. Buah/bunga kebudayaan Bali sudah banyak di petik dan di beberaapa negara sudah dijadikan bibit untuk dikembangbiakan seperti terlihat dari tumbuhnyaa sekaha gamelan dan tari Bali di Amerika, Jepang, dan Australia. Keputusan Bali yang sangat strategis terlihat ketika para pemikir budaya di daerah ini mampu merumuskan tiga bentuk kesenian berdasarkan fungsinya. Ketiga bentuk kesenian itu adalah (i) seni wali, (ii) bebali dan (iii) baalih-balihan. Rumusan ini dibuat tahun 1971, dan menurut Bandem, masih efektif sampai sekarang, meskipun harus diakui bahwa ada pergeseran. Pendapat diatas menarik dan sesuai dengan alam pikiran orang Balikecuali bagian terakhir kutipan ketika Bruner menyampaikan bahwa orang Bali tidak mengenal katagori tersebut. Justru oraang Bali telah mengkategorikan jenis kesenian berdasarkan fungsinya. Orang Balisadar sekali terhadap apa yang mereka pentaskan, untuk apa, dan di mana. Picard (1996) mengakui bahwa “the Balinese know perfectly well if they are dancing for tourists, for their community, or for their gods” kesadaran demikian perlu dipertahankan dan dijadikan pegangan teguh oleh masyarakat Bali Pengaturan pementasan Sanghyang di Bali seperti arus globalisasi yang kuat terjadi pergeseran budaya, seperti kita ketahui di jaman seperti ini uang yang paling utama oaring tidak bisa hidup tanpa uang, ini menyebabkan manusia/ masyarakat buta akan budaya yang telah digariskan oleh nenek moyang mana budaya yang suci mana yang tidak sehingga terjadi proses komodifikasiana yang berorientasi pada uang. Tarian Sanghyang pun terkena arus perubahan jaman, menurut Wayan Dibia sekarang sudah ada pementasan Sanghyang yang dipentaskan (balih-balihan) kehadapan wisatawan, pada saat ada pertunjukan Cak, pertunjukan cak itu dibarengi pertunjukan Sanghyang khususnya



Sanghyang Jaran. Perbedaan dari Tarian Sanghyang yang dahulu dan sekarang dapat dilihat pada tabel berikut :



Kesenian Tarian Sanghyang



No



Variabel



Sebelum



Sesudah



1



Pemilik



Desa adat, penyungsung pura



Pengusaha entertaiment masyarakat lokal



2



Tempat



Tempat suci, perempatan Jalan (pempatan agung)



Stage/panggung khusus wisatawan



3



Waktu



Pada saat upacara



Reguler/ Rutin



4



pekerja



Masyarakat Desa adat



Sekehe kesenian (kelompok seni profesional)



5



Waktu duration



dua jam / sampai selesai upacara



Satu / dua jam



6



Fungsi



Persembahan kepada Tuhan / Dewa penguasa alam



Oreintasi uang



7



Tujuan



Menghilangkan mala/grubug ( kesengsaraan,wabah penyakit)



Atraksi pertunjukan malam yang eksotis bagi wisataawan dan promosi wisata



8



partisipaasi



Maasyarakat lokal



Masyarakat lokal, dan diluar desa



9



Dekorasi



Menggunakan halaman pura/tempat suci



Dibuatkan panggung khusus untuk wisatawan



10



Expectation / harapan



Hubungan sosial masyarakat



Reputasi sosial, ekonomi, dan pariwisata



Sebenarnya pertunjukan Sanghyanghanya dipentaskan pada saat yadnya. Tidak diperkenankan dipentaskan tarian Sanghyang pada waktu dan tempat yang tidak sesuai peruntukannya. Pementasan tersebut bertentangan dengan konsep/perda pariwisata budaya. Konsep yang begitu bagus dimana dapat melestarikan budaya dan mendukung usaha pariwisata berdasarkan budaya. Akhirnya budayanya dijual kepada wisatawan. Sebenarnya budaya itu merupakan daya tarik wisata, jika wisatawan mau menonton pertunjukan Sanghyang pada waktu ada yadnya di kala itu sepatutnya dipentaskan. Kalau tidak bisa seperti itu budaya Bali terlalu murah tidak ada harganya, yang sepatutnya disucikan diperdagangkan, akhirnya taksu Budaya Bali lama- lama akan pudar karena tidak bisa menghargai budanya sendiri yang berpikir untuk jangka pendek saja. Ketika membicarakan tentang pariwisata, salah satu topik yang sering membicarakan komersialisasi untuk mendapatkan profit/ keuntungan dari segi ekonomis. Dalam kasus Tarian sanghyang Jaran dan Dedari di Desa Batubulan, mencatat bahwa sektor industri pariwisata terlibat adalah hotel, restauran, transportasi lokal dan souvenir dan lainya yang menghasilkan uang.