KHDPK Dan Reposisi Pengelolaan Hutan Jawa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KHDPK dan Reposisi Pengelolaan Hutan Jawa1 “A nation that destroys its soils destroys itself. Forests are the lungs of our land,purifying the air and giving fresh strength to our people” (Franklin D Roosevelt) Terbitnya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287 tahun 2021 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada sebagian hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur menimbulkan pro dan kontra. Berdasarkan keputusan tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK mengambil alih pengelolaan lebih dari 1,1 juta hektar areal hutan produksi dan hutan lindung yang selama ini dikelola Perum Perhutani, untuk kepentingan perhutanan sosial, penataan, penggunaan, rehabilitasi dan perlindungan kawasan hutan, serta pemanfaatan jasa lingkungan. Surat keputusan tersebut telah beredar luas, akan tetapi sampai tulisan ini dibuat lampiran peta KHDPK yang seharusnya menjadi satu paket dengan naskah keputusan belum beredar, sehingga masyarakat belum tahu lokasi, luas dan proporsi KHDPK. Pihak yang pro mendasarkan bahwa KHDPK menjadi peluang bagi partisipasi masyarakat untuk dapat mengelola hutan. Selain itu sebagian juga menganggap hal ini menjadi jalan agar lahan hutan yang selama ini dikuasai Perhutani dapat dikembalikan lagi kepada rakyat dan dikeluarkan dari dalam kawasan hutan dalam bingkai reforma agraria. Kebijakan ini juga menjadi peluang memperbaiki pengelolaan hutan yang dianggap masih feodal di bawah Perhutani, menghilangkan praktik-praktik illegal seperti pungutan liar kepada masyarakat penggarap, serta memperbaiki kondisi kawasan kritis dan terlantar. Wacana, ide dan bahkan rencana restrukturisasi peran Perhutani serta reposisi dan rekonfigurasi hutan Jawa sudah digaungkan sejak lama. Pengurangan luasan areal pengelolaan atau membagi perhutani menjadi beberapa perusahaan atau sebagian kawasan hutan yang dikelola Perhutani diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah sudah seringkali didiskusikan dan dikaji tetapi tidak terlaksana. KHDPK oleh sebagain pihak kemudian dianggap sebagai ‘kemenangan’ perjuangan para petani hutan dan kelompok masyarakat sipil pendukungnya melawan Perhutani. Disisi lain, para penentang kebijakan ini juga tidak kalah banyaknya. Komisi IV DPR RI sedari awal menolak pengurangan luas areal Perhutani, termasuk untuk menjadi KHDPK. Alasan yang mengemuka adalah kekhawatiran secara ekologi dan konservasi kawasan hutan akan semakin rusak dan terdegradasi. Hal ini didasarkan dari implementasi pengelolaan perhutanan sosial yang dianggap justru lebih banyak merusak hutan, dibanding berhasil memperbaiki tutupan hutan dan meningkatkan pendapatan masyarakat pengelolanya. Selain itu, meskipun secara kelembagaan Perhutani, sebagai BUMN tidak dapat menolak kebijakan tersebut, akan tetapi serikat karyawannya menyuarakan penolakan. Mereka khawatir akan terkena dampak dan tidak dapat bekerja lagi karena luas areal kerja Perhutani yang berkurang hampir 50% akan 1



Ditulis oleh Gladi Hardiyanto, alumni Fakultas Kehutanan UGM dan PS PSL IPB, bekerja di Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Kepemerintahan/Kemitraan. Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak mewakili opini lembaga Kemitraan.



berdampak pada terjadinya pengurangan karyawan. Penolakan juga muncul dari yang mengatasnamakan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) se-Jawa, yang mengkhawatirkan selain potensi terjadinya kerusakan hutan juga konflik sosial pasca terbitnya KHDPK dikarenakan adanya mobilisasi penggarap lahan dari luar dan menafikan para penggarap yang selama ini telah memanfaatkan kawasan hutan. Alih-alih sebagai upaya untuk menyelesaikan atau meminimalisir terjadinya konflik sumberdaya hutan, jika tidak cermat dan hati-hati dalam implementasinya, KHDPK justru menjadi sumber konflik atas sumberdaya hutan. Bijak dalam membuat kebijakan Jika kita lihat kembali, pengaturan KHDPK muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. KHDPK merupakan sebagian kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Jawa yang dikelola oleh pemerintah untuk beberapa kepentingan seperti tersebut di atas. Sementara selama ini pemerintah telah menugaskan Perum Perhutani untuk mengelola hutan produksi dan hutan lindung yang ada di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72/2010. Dalam PP ini disebutkan bahwa pengurangan luas areal kerja perusahaan dilakukan melalui Peraturan Pemerintah. Penerbitan PP 23/2021 mencabut beberapa ketentuan dalam beberapa PP, termasuk Pasal 3 (1) (2) dan (4) PP 72/2010 yang terkait dengan penugasan pengelolaan hutan Jawa kepada Perhutani, yang notabene pasca terbitnya PP ini menjadikan Perhutani sudah tidak memiliki landasan hukum lagi untuk melakukan pengelolaan hutan Jawa. Selanjutnya agar tidak terjadi kekosongan hukum, Menteri LHK menerbitkan surat keputusan nomor 73/2021 yang kembali menugaskan kepada Perum Perhutani untuk mengelola areal hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Jabar, Banten, Jateng dan Jatim. Penerbitan keputusan ini jika dicermati merupakan diskresi menteri yang mengacu pada pasal 293 PP 23/2021, di mana disebutkan bahwa ketentuan yang belum atau tidak diatur dalam PP dapat diatur oleh menteri. Dalam bagian menimbang, SK Menlhk 73/2021 tersebut menyebutkan bahwa penerbitan kebijakan merupakan upaya agar tidak terjadi kekosongan hukum sambil menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah yang mengatur luasan areal hutan yang dikelola perhutani. Para pihak yang kontra dengan alasan pengurangan luas areal Perhutani mesti berdasarkan PP mungkin melihat rangkaian penerbitan kebijakan ini. Sepengetahuan penulis , pemerintah juga sedang menyiapkan revisi PP 72/2010 yang harapannya dalam revisi PP tersebut dapat dicantumkan luas areal kerja Perhutani. Selain itu juga penulis mendengar sedang disusun PermenLHK tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial di Jawa, yang diharapkan mengatur kelembagaan, proses transisi dan tata kelola KHDPK. Jika keputusan penetapan areal KHDPK diterbitkan setelah proses revisi PP 72/2010 dan kebijakan pengaturan pengelolaan PS di Jawa terbit mestinya dinamika pro dan kontra atas KHDPK dapat dihindari atau setidaknya diminimalisir. Jika dirunut kembali, kebijakan KHDPK yang muncul dalam PP 23/2021 masih menjadi bagian dari turunan UU Cipta kerja yang dinilai Mahkamah Konstitusi sebagai UU yang tidak konstitusional bersyarat. Konsekuensinya pemerintah dilarang menerbitkan kebijakan yang strategis dan berdampak luas sampai UUCK di revisi dalam 2 tahun sejak keluarnya keputusan. Apakah frase keputusan strategis dan berdampak luas dapat berlaku pada pengaturan pengelolaan hutan jawa, termasuk KHDPK? Jika dipandang dari potensi dampak sosial, ekonomi dan lingkungan serta banyaknya masyarakat dan para pihak maka keputusan ini adalah keputusan strategi dan berdampak luas. Sebaliknya mungkin ada



pandangan yang berbeda dikarenakan karena Mahkamah Konstitusi tidak mengatur kriteria kebijakan strategis dan berdampak luas dan dimana saat ini Perhutanan Sosial tidak lagi menjadi Program Strategis Nasional. Mengatur semua, bukan sebagian Penerbitan kebijakan sebaiknya berdasarkan hasil evaluasi terhadap pengelolaan hutan jawa, baik oleh Perhutani maupun para pihak lainnya, termasuk kelompok perhutanan sosial. Selain untuk menjawab berbagai kekhawatiran para pihak yang kontra juga menjadi landasan untuk menyusun strategi dan aksi pengelolaan KHDPK serta menghindari para free rider yang mencari keuntungan, baik ekonomi maupun politik. Kebijakan yang baik berangkat dari proses penyusunan yang partisipatif dengan isi dan muatan pengaturan yang jelas, tidak multitafsir dan sesuai dengan kebijakan di atasnya, sehingga dipahami dan dipatuhi oleh publik. Dari alur kebijakan pengaturan KHDPK, meskipun menteri mempunyai kewenangan melakukan penunjukkan, penetapan dan pengukuhan kawasan hutan, sebaiknya prosesnya tidak terkesan tiba-tiba dan menjadi multitafsir apakah keputusan yang dikeluarkan sudah tepat atau tidak sesuai dengan aturan di atasnya. Jika pun pembuat kebijakan telah menjelaskan secara rinci terhadap proses dan substansi kebijakan, sementara masih ada masyarakat yang menganggap tidak tepat, maka sebaiknya tidak langsung dibawa ke ranah hukum, tetapi dimoderasi oleh pihak ketiga yang memahami kaidah dan proses penyusunan peraturan dan perundangan. Sebaiknya kementerian LHK segera melakukan proses sosialisasi, dialog dan komunikasi kepada para pihak baik langsung maupun melalui jejaring media dengan menyampaikan peta areal KHDPK yang dapat menjelaskan dimana saja lokasi dan luasan KHDPK tersebut dan akan dilaksanakan untuk kepentingan apa saja. Transparansi informasi sebagai unsur tata kelola yang baik meski dikedepankan agar tidak menjadi harapan berlebih bagi masyarakat. Penentuan kriteria areal KHDPK sebaiknya tidak hanya ditentukan oleh kementerian LHK dan Perhutani saja, apalagi dengan membawa narasi bahwa yang dijadikan KHDPK adalah areal-areal hutan yang selama ini tidak produktif, terdegrasi, rusak dan berkonflik. Hal ini seperti menghidupkan kembali paradigma usang bahwa pemberian hak dan akses pengelolaan hutan kepada masyarakat lebih menjadikan masyarakat sebagai tenaga kerja rehabilitasi dan reboisasi hutan yang sudah rusak dan dirusak pengelola sebelumnya. Lokasi-lokasi yang selama ini dipandang berhasil dari kerjasama pengelolaan antara kelompok masyarakat dengan perhutani semestinya justru yang dipilih pertama kali untuk menjadi areal KHDPK, agar menjadi lokasi pembelajaran dan percontohan implementasi perhutanan sosial. Sementara itu lokasi yang dianggap bermasalah setelah dilakukan monitoring dan evaluasi sebaiknya dapat difasilitasi lebih intensif dengan melibatkan peran para pihak di daerah. Kelompok masyarakat sipil dan perguruan tinggi yang saat ini cenderung menjadi pendukung atau penentang kebijakan KHDPK, akan produktif jika berkolaborasi bersama pemerintah daerah dan/atau desa untuk mendampingi dan menyiapkan masyarakat di lokasi yang menjadi KHDPK untuk dapat mengusulkan menjadi areal pengelolaan PS, penataan kawasan hutan dan kepentingan lainnya. Upaya ini sekaligus untuk memastikan bahwa yang mendapatkan manfaat dari kebijakan ini adalah betul-betul masyarakat setempat, yang selama ini sudah menggarap lahan dan bukan hasil mobilisasi orang-orang



dari luar wilayah atau pihak-pihak yang mengedepankan kepentingan pemilik modal dan politik elektoral semata. Pengalaman selama ini pengurusan usulan PS atau TORA masih memerlukan waktu yang cukup lama dan membutuhkan fasilitasi dari para pihak. Masih sedikit sekali kelompok masyarakat yang secara mandiri mampu membuat dokumen usulan PS beserta persyaratan-persyaratannya. Akhirnya, semoga reposisi pengelolaan hutan Jawa melalui kebijakan KHDPK akan membawa dampak dan manfaat tidak saja untuk masyarakat yang menggantungkan penghidupannya dari kawasan hutan, juga dapat memperbaiki kondisi dan tutupan hutan jawa yang dapat meningkatkan daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup pulau Jawa yang lebih baik. ----&&&----