Kisah Ali Bin Abi Thalib [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. RIWAYAT HIDUP ALI BIN ABI THALIB. 1. Kelahiran Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah). 2. Kehidupan awal Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak lakilaki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.



3. Masa remaja Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun. Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada 1



Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain. Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak. 4. Perkawinan Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain. 5. Julukan Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali. 6. Perang yang diikuti pada masa nabi saw. Perang Badar Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun. Perang Khandaq Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Perang Khaibar Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda: 2



"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya". Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian. Peperangan lainnya Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah. A. PEMBAIATAN ALI BIN ABI THALIB SEBAGAI KHALIFAH DAN KEMAJUAN YANG DICAPAI Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[5] Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi pada saat pemilihan khalifah Usman bin Affan, tetapi saat itu dia masih dianggap sangat muda. Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan Usman bin Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Usman mulai beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi kesenangan mereka apalagi untuk memperoleh kekayaan yang dapat mereka lakukan sebelumnya. Ali Terpilih menjadi khalifah sebenarnya menimbulkan pertentangan dari pihak yang ingin menjadi khalifah dan dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara pemerintahan Umar yang keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam kesenangan dan kenikmatan hidup dimasa pemerintahan Usman bin Affan yang mudah dan lunak menjadi keadaan yang serba teliti, dan serba diperhitungkan, hingga banyak yang tidak menyukai Ali. bagi kaum Umaiyah sebagai kaum elit dan kelas atas dan khawatir atas kekayaan dan kesenangan mereka akan lenyap karena keadilan yang akan dijalankan Ali. Dalam menjalankan kepemerintahan Ali melakukan kebijakan politik seperti sebagai berikut: 1. Menegakkan hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir menguasai seluruh sektor bisnis. 2. Memecat Gubernur yang diangkat Usman bin Affan dan menggantinya dengan gubernur yang baru 3. Mengambil kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Usman bin Affan kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak diketahui alasannya secara jelas dan memfungsikan kembali baitul maal.[8] Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang dilakukan sedikit mengalami kendala yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di daerah pesisir Arab dan masih tetap peranan penting negara Islam di 3



daerah yang telah ditaklukkan Abu Bakar di daerah Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian Selatan. Umar bin Khattab di Persia, Syiria, Pantai Timur Laut Tengah dan Mesir. Serta pada masa Usman di Sijistan, Khurasa, Azarbaijan, Armenia hingga Georgia. Ali bin Abi Thalib juga dikenal juga seorang penyair ternama. Seperti syair berikut: “Janganlah kamu berlaku aniaya jika kamu mampu berlaku adil, karena tindak aniaya akan berujung pada ....., Syair-syair Ali akhirnya dibukukan dalam kitab Nahj Al-Balaghah. Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama lima tahun (35-40 H/656-661 M) tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus masalah pemberontkan di berbagai wilayah kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di atas kuda perang dan di depan pasukan yang masih setia dan mempercayainya dari pada memikirkan administrasi negara yang teratur dan mengadakan ekspansi perluasan wilayah (futuhat). Namun demikian, Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. Ia ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Umar sebelumnya. B. PEMBERONTAKAN TERHADAP ALI BIN ABI THALIB Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat Ali karena ia adalah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali memang tidak diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya, sehingga sebagai lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi murni yang juga sebagai gubenur Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah dan sebagai politisi ia dapat mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah. Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat ambisius dan terlebih lagi pernah diangkat oleh pendahulunya (Usman) yang mana kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai khalifah Ali bin Abi Thalib mempunyai wewenang yang penuh untuk menentukan bawahannya dan mencari yang loyal dengan kepemimpinannya. Oleh karena itu dia memecat Muawiyah yang pada saat itu telah berhasil membangun syiria menjadi kota menjadi kota yang sangat strategis dan memiliki tentara yang cukup loyal kepada Muawiyah . hal ini membuat tidak tinggal diam dan ingin melakukan pemberontakan. Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah orang yang patut disalahkan dalam hal kematian khalifah Usman bin Affan dan tidaklah mencari para pelakunya dan menghukum mereka. Padahal Muawiyah sebenarnya tidak sebenarnya berminat menuntuk kematian Usman bin Affan kecuali sebagai pemicu untuk memberontak terhadap Ali. Kejadian pembunuhan Usman hanyalah permulaan salah satu fitnah yang besar pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut ahli sejarah Islam pembunuh itu atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai khalifah. Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.Terhadap berbagai tindakan Ali setelah menjadi khalifah, para sahabat senior sebenarnya pernah memberikan masukan dan pandangan kepada Ali. Tetapi Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam masalah pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn 4



Syu’bah, Ibnu Abbas, dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka tidak usah dipecat selama menunjukan kesetiaan padanya. Pemecatan ini akan membawa implikasi yang besar bagi resistensi mereka terhadap Ali. Marshall GS. Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun setelah wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung selama lima tahun). Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”, suatu masa perang saudara untuk menguasai komunitas muslim dan teritori-teritori taklukannya yang luas”. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas dari berbagai macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk perlawanan dan pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya terlibat para sahabat senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam dan menjadi suatu kemunduran pergerakan Islam C. PERANG SESAMA MUSLIMIN PADA MASA PEMBERONTAKAN Perang Jamal/Onta Dinamakan perang Jamal, karena dalam peristiwa tersebut, janda Rasulullah SAW dan putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan dengan mengendarai unta. Perang ini berlangsung pada lima hari terakhir Rabi’ul Akhir tahun 36H/657M. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai khalifah dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan. Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian Utsman bin Affan terhadap Ali, sama seperti yang dituntut Thalhah dan Zubair ketika mengangkat bai’at pada Ali. Setelah itu Aisyah pergi ke Mekkah kemudian disusul oleh Thalhah dan Zubair. Ketiga tokoh ini nampaknya mempunyai harapan tipis bahwa hukum akan ditegakkan. Karena menurut ketiganya, Ali sudah menetapkan kebijakan sendiri karena ia didukung oleh kaum perusuh. Kemudian mereka dengan dukungan dari keluarga Umayah menuntut balas atas kematian Utsman. Akhirnya mereka pergi ke Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana mereka mendapat dukungan masyarakat setempat. Ali beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah mendengar kabar bahwa di Syria (Syam) Muawiyah telah bersiap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi Ali. Ali segera memimpin dan menyiapkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah. Namun sebelum rencana tersebut terlaksana, tiga orang tokoh terkenal yaitu Aisyah tokoh terkenal Aisyah, Thalhah, dan Zubair beserta para pengikutnya di Basrah telah siap untuk memberontak kepada Ali. Ali pun mengalihkan pasukannya ke Basrah untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Aisyah ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata menuntut balas atas kematian Utsman, akan tetapi ada semacam dendam pribadi antara dirinya dengan Ali. Dia masih teringat terhadap peristiwa tuduhan selingkuh terhadap dirinya (hadits al-ifk), dimana pada waktu itu Ali memberatkan dirinya. Faktor lain adalah persaingan dalam pemilihan jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul dengan sikap Ali yang tidak segera membai’at Abu Bakar, dan yang terakhir ada faktor Abdullah bin 5



Zubair, kemenakannya, yang berambisi untuk menjadi khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar memberontak terhadap Ali. Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubai melarikan diri dan dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan menewaskannya. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang ini, sehingga perlawanan ini hanya dipimpin Aisyah hingga akhirnya ontanya dapat dibunuh maka berhentilah peperangan setelah itu. Ali tidak mengusik-usik Aisyah bahkan dia menghormatinya dan mengembalikannya ke Mekkah dengan penuh kehormatan dan kemuliaan. Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan oleh karena kenigninan dan nafsu perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah bin Zubair bernafsu besar untuk menduduki kursi khalifah dan kemudian menghasut Aisyah sebagai Ummul Mukminin untuk segera memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib. Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan pokok untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Aturan ini jelas bertentangan dengan mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan Thalhah. Terlebih lagi Ali sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan perang. Ia memberi bagian yang sama kepada semua orang tanpa memandang status, suku dan asal-usulmereka. Perang Shiffin Dan Tahkim Disebut perang shiffin karena perang yang menghadapkan pasukan pendukung Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin dekat tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan Shafar tahun 37H/658M. Setelah kematian Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menajdi gubernur di Syam sejak khalifah Umar bin Khathab, mengajukan tuntutan atas kematian Utsman kepada Ali agar mengadili dan menghukum para pembunuh khalifah Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit dan belum stabil pada waktu itu, nampaknya Ali tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada waktu menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah Ali di Madinah. Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam, untuk mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau menentukan pilihan sebelum tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi. Dengan alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan hukum sesuai syari’at, juga menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini tidandai dengan tidak diambil tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan pemimpinnya Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan anak angkat Ali, diangkat menjadi gubernur Mesir, akhirnya Mu’awiyah mengadakan kampanye besar-besaran di wilayahnya menentang Ali, sehingga mendapat dukungan dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di wilayah kekuasaannya. Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk melawan khalifah Ali. Walaupun menurut ahli sejarah, motivasi perlawanan Mu’awiyah itu sebenarnya tidak murni menuntut balas atas kematian Utsman, tetapi ada ambisi untuk menjadi khalifah. 6



Setelah dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina. Ia sebelumnya tidak pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada masa awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan diimingimingi jabatan oleh Mu’awiyah, akirnya ia pun terjun lagi dalam hingar bingar dunia politik dan mempunyai peran yang sangat penting dalam peristiwa perang Shiffin ini. Setelah selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan dukungan pasukan dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari perang terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau meletakkan jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada pendiriannya untuk menolak tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya, agar Ali dan pengikutnya membai’at dirinya. Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir memperoleh kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap melarikan diri. Tetapi pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi tangan kanan Mu’awiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat perang minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an. Dari pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan berat hati menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu hanya sisat busuk dari Amr bin Ash. Sebagai perantara dalam tahkim ini pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat keepakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara bersamaan. Kemudian setelah itu dipilih seorang khalifah yang baru. Selanjutnya, Abu Musa alAasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu mengumumkan kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu dari dari jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari jabatan sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak menjadi khalifah sekarang adalah Mu’awiyah. Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali dan menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya naik menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah. Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian tentaranya, mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa tindakan itu tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar dari pendukung Ali. Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’. Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena tidak berhukum pada hukum Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Kaum khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja, tetapi kemudian berubah menjadi sebuah aliran dalam pemahaman agama Islam. D. AKHIR PEMERINTAHAN ALI BIN ABI THALIB 7



Terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah. Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan kemarahan kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil membunuh Ali yang akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H./661M, oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi membunuh tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah dan Amr bin Ash, mereka berdua luput dari pembunuhan tersebut. Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah). Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam. E. ISTRI DAN KETURUNAN ALI BIN ABI THALIB Istri pertama yang dinikahi Ali adalah Fathimah binti Rasulullah saw. Ia berkumpul dengannya setelah pulang dari peperangan Badar. Beliau mem-peroleh dua orang putera, al-Hasan dan al-Husain. Ada yang mengatakan putera ketiga beliau bernama Muhasin, namun meninggal dunia saat masih bayi. Beliau memperoleh dua orang puteri, yaitu Zainab al-Kubra dan Ummu Kaltsum al-Kubra yang kemudian dinikahi oleh Umar bin al-Khaththab . Ali tidak menikahi wanita lain di samping Fathimah hingga ia wafat enam bulan setelah wafatnya Rasulullah saw. Setelah Fathimah wafat, Ali menikahi beberapa wanita, di antara istri-istrinya ada yang wafat pada saat beliau masih hidup, ada yang beliau ceraikan dan ketika wafat beliau meninggalkan empat istri. Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid. Anak laki-laki



Anak perempuan



Hasan al-Mujtaba



Zainab al-Kubra



Husain asy-Syahid



Zainab al-Sughra 8



Muhammad bin al-Hanafiah



Ummu Kaltsum



Abbas al-Akbar (dijuluki Abu Fadl)



Ramlah al-Kubra



Abdullah al-Akbar



Ramlah al-Sughra



Ja'far al-Akbar



Nafisah



Utsman al-Akbar



Ruqaiyah al-Sughra



Muhammad al-Ashghar



Ruqaiyah al-Kubra



Abdullah al-Ashghar



Maimunah



Abdullah (yang dijuluki Abu Ali)



Zainab al-Sughra



Aun



Ummu Hani



Yahya



Fathimah al-Sughra



Muhammad al-Ausath



Umamah



Utsman al-Ashghar



Khadijah al-Sughra



Abbas al-Ashghar



Ummu al-Hasan



Ja'far al-Ashghar



Ummu Salamah



Umar al-Ashghar



Hamamah Ummu Kiram



Umar al-Akbar



F. MASA WAFAT ALI BIN ABI THALIB Ali ra, terbunuh pada malam Jum’at waktu sahur pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Ada yang mengatakan pada bulan Rabi’ul Awwal. Namun pendapat pertama lebih shahih dan populer.Ali ditikam pada hr Jum’at 17 Ramadhan tahun 40 H, tanpa ada perselisihan. Ada yang mengatakan beliau wafat pada hari beliau ditikam, ada yang mengatakan pada hari Ahad tanggal 19 Ramadhan. Al-Fallas berkata, “Ada yang mengatakan, beliau ditikam pada malam dua puluh satu Ramadhan dan wafat pada malam dua puluh empat dalam usia 58 atau 59 tahun.” Ada yang mengatakan, wafat dalam usia 63 tahun. Itulah pendapat yang masyhur, demikian dituturkan oleh Muhammad bin al-Hanafiyah, Abu Ja’far al-Baqir, Abu Ishaq as-Sabi’i dan Abu Bakar bin ‘Ayasy. Sebagian ulama lain mengatakan, wafat dalam usia 63 atau 64 tahun. Diriwayatkan dari Abu ja’far al-Baqir, katanya, 9



“Wafat dalam usia 65 tahun.” Masa kekhalifahan Ali lima tahun kurang tiga bulan. Ada yang mengatakan empat tahun sembilan bulan tiga hari. Ada yang mengatakan empat tahun delapan bulan dua puluh tiga hari, semoga Allah meridhai beliau. G. PEMAKAMAN JENAZAH ALI BIN ABI THALIB Setelah Ali wafat, kedua puteranya yakni al-Hasan dan al-Husein memandikan jenazah beliau dibantu oleh Abdullah bin Ja’far. Kemudian jenazahnya dishalatkan oleh putera tertua beliau, yakni al-Hasan. AlHasan bertakbir sebanyak sembilan kali. Jenazah beliau dimakamkan di Darul Imarah di Kufah, karena kekhawa-tiran kaum Khawarij akan membongkar makam beliau. Itulah yang masyhur. Adapun yang mengatakan bahwa jenazah beliau diletakkan di atas kendaraan beliau kemudian dibawa pergi entah ke mana perginya maka sungguh ia telah keliru dan mengada^ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Akal sehat dan syariat tentu tidak membenarkan hal semacam itu. Adapun keyakinan mayoritas kaum Rafidhah yang jahil bahwa makam beliau terletak di tempat suci Najaf, maka tidak ada dalil dan dasarnya sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa makam yang terletak di sana adalah makam al-Mughirah bin Syu’bah . Al-Khathib alBaghdadi meriwayatkan dari al-Hafizh Abu Nu’aim dari Abu Bakar Ath-Thalahi dari Muhammad bin Abdillah al-Hadhrami al-Hafizh Muthayyin, bahwa ia berkata, “Sekiranya orang-orang Syi’ah menge-tahui makam siapakah yang mereka agung-agungkan di Najaf niscaya mereka akan lempari dengan batu. Sebenarnya itu adalah makam al-Mughirah bin Syu’bah ″ Al-Hafizh Ibnu Asakir meriwayatkan dari al-Hasan bin Ali, ia berkata, “Aku mengebumikan jenazah Ali di kamar sebuah rumah milik keluarga ja’dah.” Abdul Malik bin Umair bercerita, “Ketika Khalid bin Abdullah meng-gali pondasi di rumah anaknya bernama Yazid, mereka menemukan jenazah seorang Syaikh yang terkubur di situ, rambut dan jenggotnya telah memutih. Seolah jenazah itu baru dikubur kemarin. Mereka hendak membakarnya, namun Allah memalingkan niat mereka itu. Mereka membungkusnya dengan kain Qubathi, lalu diberi wewangian dan dibiarkan terkubur di tempat semu-la. Tempat itu berada dihadapan pintu al-Warraqin setelah kiblat masjid di rumah tukang sepatu. Hampir tidak pernah seorang pun bertahan di tempat itu melainkan pasti akan pindah dari situ. Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, ia berkata, “Jenazah Ali dishalatkan pada malam hari dan dimakamkan di Kufah, tem-patnya sengaja dirahasiakan, namun yang pasti di dekat gedung imarah (istana kepresidenan).” Ibnu Kalbi berkata, “Turut mengikuti proses pemakaman jenazah Ali pada malam itu al-Hasan, alHusain, Ibnul Hanafiyyah, Abdullah bin Ja’far dan keluarga ahli bait beliau yang lainnya. Mereka memakamkannya di dalam kota Kufah, mereka sengaja merahasiakan makam beliau karena kekhawa-tiran terhadap kebiadaban kaum Khawarij dan kelompok-kelompok lainnya.



10