Kisah Inspiratif Pahlawan Nasional KC Baubau [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KANTOR CABANG BAUBAU Change Agent Knowledge Management



: Rianti Dewi Pertiwi : Annisyiah Wira Mahkota



KISAH INSPIRATIF PAHLAWAN NASIONAL LA ODE MUHAMMAD FALIHI SULTAN BUTON KE-38 (1937-1960 M) La Ode Falihi adalah sultan Buton yang pada masa kepemimpinannya berada pada saat Indonesia sedang berjuang melawan hegemoni Belanda, dan mengusir penjajah dari nusantara. a. Kedudukan Kesultanan Buton Terhadap Bangsa Indonesia Kerajaan/Kesultanan Buton yang berdiri sejak abad ke-13 adalah merupakan negara yang berdaulat dan mempunyai pemerintahan tersendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan Perjanjian Korte Verklaring pada masa pemerintan Sultan ke-33 Muhammad Asikin antara kesultanan Buton dan kerajaan Belanda pada 18 april 1906, dimana dalam perjanjian tersebut kesultanan Buton mengakui kekuasaan Belanda dan Belanda tidak menguasai Buton. Inti dari perjanjian ini yaitu Kesultanan Buton dan Belanda saling menghargai wilayah kekuasaan masing-masing negara, dimana Buton mengakui kekuasaan Belanda yang meliputi Irian, Maluku, Sulawesi Selatan sampai Utara, sebagian Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatra, sedangkan Belanda mengakui wilayah kedaulatan Kesultanan Buton. Perjanjian ini menguatkan perjanjian yang telah dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya sejak perjanjian “Pesrsekutuan Abadi” yang dilakukan oleh Sultan Buton ke-4 Dayanu Iksanuddin dengan Gubernur jendral VOC, Pieter Both pada 17 Desember 1613. Adapun wilayah kekuasaan Buton yang diakui dalam perjanjiaan 1906 yaitu meliputi Sulawesi Tenggara ( - afdeling Kolaka) pada saat ini, bahkan meliputi selayar di Sulawesi Selatan dan pulau Menui di Sulawesi Tengah (Afdeling Buton dan Laiwui (Kendari) digabungkan dengan Bungku dan Mori yang Beribukotakan di Baubau Buton). Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945, Indonesia dengan Belanda pengadakan Perjanjian Linggar Jati pada tanggal 7 oktober 1947. Dimana dalam perjanjian tersebut Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas Jawa, Sumatra dan Madura, sedangkan wilayah indonesia timur tetap dikuasai oleh Belanda, namun dalam hal ini tidak termasuk Kesultanan Buton (perjanjian Korte Verklaring). Pada 7- 24 desember 1947, Belanda menggagas berdirinya Negara Indonesia Timur di Denpasar Bali yang terdiri atas 13 daerah otonomi (Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan Singihe dan Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa,Flores, Sumba, Timor dan Kepulauan, Maluku Selatan dan Maluku Utara) dan lima Keresidenan yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Lombok dan Maluku. Jadi Juga dalam hal ini, Kesultanan Buton, masih merupakan negara yang berdaulat dan tidak termasuk



wilayah Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah Agresi Belanda yang ke-2, Pada tanggal 23 agustus - 27 Desember 1949, Indonesia yang saat itu masih bernama RIS (Jawa, Madura dan Sumatra) kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), dimana hasil dari perjanjian tersebut yaitu Negara Indonesia Timur (NIT) diintegrasikan kedalam Republik Indonesia Serikat (RIS), dan semua bekas jajahan Belanda (Hindia-Belanda) tidak termasuk Irian Barat. Jadi Jelaslah berdasarkan beberapa perjanjian diatas (Korte Verklaring (1906), pernjian Linggar Jati (1946) , Konferensi Denpasar (1949) dan Konferensi Meja Bundar(1949)) maka sampai akhir tahun 1950, Wilayah Indonesia sekarang, saat itu masih terdiri atas 3 negara berdaulat yaitu Belanda (Irian Barat), Indonesia (NIT dan RIS) dan Kesultanan Buton (Sulawesi tenggara dan Timur). Dalam Hal ini, Kedudukan kesultanan Buton Sejajar dengan Belanda dan Indonesia. b. Integrasi Kesultanan Buton ke NKRI dan cikal bakal Provinsi Sulawesi Tenggara menyadari akan kedudukan Kesultanan Buton yang berdaulat, pada awal februari 1950, Ir.Sukarno menggelar Pertemuan di Malino (Makassar) dengan mengundang seluruh raja-raja sesulawesi dihadiri Sultan Andi Mappanyuki (raja Bone) dan Andi Pangerang Pettarani (gubenur afdeling makassar) yang sebelumnya telah masuk kedalam wilayah RI (KMB), serta kesultanan buton yang diwakili oleh sultan La Ode Muh. Falihi. Pada Pertemuan tersebut Ir. Soekarno menawarkan bentuk pemerintahan baru kepada Sultan La Ode Falihi yaitu bentuk negara NKRI dengan menawarkan Kesultanan Buton dengan opsi menjadi wilayah istimewah. Pada 15 Januari 1951, democratiseering dilakukan terhadap anggota-anggota swapraja Buton dan disaksikan Kepala Daerah Sulawesi Tenggara Abdul Razak Bagindo Maharaja Lelo dan Kesultanan Buton pun berakhir. Dalam proses selanjutnya, Buton pada tahun 1952 menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tengara (Suseltra) yang terdiri atas dua kabupaten yaitu kabupaten Sulawesi Selatan yang beribukota di Ujung Pandang dan Kabupaten Sulawesi Tenggara (Bekas wilayah Kesultanan Buton) yang beribukota di Baubau (Buton) dengan pusat pemerintahan di Ujung Pandang (makassar). Pada tahun 1960, Kabupaten Sulawesi Tenggara di mekarkan menjadi empat kabupaten yaitu Buton, Muna, Kolaka dan Kendari. Dan tahun 1962, Sulawesi tenggara menjadi sebuah Provinsi dengan Ibukota di Kendari. c. Letak Kepahlawanan La Ode Muhammad Falihi Masuknya Kesultanan Buton (Baca; Sulawesi Tenggara Sekarang) kedalam wilayah NKRI ini tidak terlepas dari jasa Sultan Buton La Ode Muhammad Falihi yang secara sukarela mengintegrasikan wilayah kekuasaannya yang luas masuk kedalam wilayah Indonesia. Walaupun pada akhirnya sepeninggal beliau (1960), Kesultanan Buton yang semula dijanjikan menjadi daerah istimewah oleh RI malah mendapat perlakuan bejat dari oknum tentara RI dibawah pemerintahan Orde Baru yang tidak menginginkan Wilayah bekas Kesultanan Buton berkembang lebih baik. Upaya itu dilakukan dengan menahan dan membunuh kader-kader terbaik Buton. Akibat peristiwa kemanusian yang terjadi pada tahun 1965 yang menyebabkan kematian hak-hak asasi kemanusian, sipil dan hak-



hak politik, serta kematian budaya masyarakat Buton yang telah berkembang lebih dari enam abad setelah perluasan dari isu basis PKI yang dilancarkan oleh oknum TNI terhadap masyarakat dan pemimpin-pemimpin Buton. Peristiwa tersebut menyebabkan Gubenur pertama Sulawesi Tenggara La Ode Hadi di Lengserkan pada 1965 dan Bupati Buton Kasim ditahan dan akhirnya terbunuh dipenjara tahun 1969. Pembunuhan karakter masyarakat Buton tersebut berlansung terus sampai masa Orde Reformasi (1998). Bagi Indonesia khususnya masyarakat Buton, Masuknya kesultanan Buton kedalam NKRI adalah hadiah yang besar yang diberikan Sultan La Ode Muhammad Falihi kepada Ir. Sukarno sebagai presiden Indonesia pertama. Masuknya Kesultanan Buton menyebabkan pupusnya harapan kolonial Belanda untuk kembali ke Indonesia bagian tengah. Sebab sebelumnya, kesultanan Buton jauh lebih dekat dengan Belanda ketimbang daerah lain. Dengan demikian sudah sepantasnya jasa Baginda harus diperhitungkan bagi Republik ini dan sangat layak menjadi Pahlawan Nasional seperti halnya Sultan Andi Mappanyuki (Raja bone) dan Andi Pangerang Pettarani yang sama-sama berjuang memasukkan NIT kedalam NKRI.



LA ODE MANARFA La Ode Manarfa Lahir di Buton, Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1917, adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina Sorawolio yang masih keturunan Raja Buton I. Karena itulah, beberapa orang menganggapnya sebagai sultan terakhir Keraton Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang Indologie (ilmu tentang Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden, Belanda, pada 1952, Manarfa menjadi sarjana pertama di wilayah Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Entah apa jadinya dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa nama La Ode Manarfa. Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi di Sulawesi bukan hanya karena separuh umurnya dihabiskan untuk mendirikan dan mengembangkan kemajuan pendidikan-seperti Universitas Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga karena dialah contoh keturunan bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan berkeliling Sulawesi untuk tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat Sulawesi, sekaligus menjadi satusatunya pengajar tertua yang masih bersemangat memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta. 1. Mendirikan Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan) Sebagian akhir hayatnya manarfah menghabiskan hidupnya didunia pendidikan. Sebagai Bupati di Kabupaten Sulawesi Tenggara pada tahun 1952, Manarfah bersama rekan-rekannya mendirikan Universitas di Ujung Pandang sebagai Ibukota Sulawesi Selatan-Tenggara empat tahun kemudian. Saat itu Indonesia baru saja merdeka. Kehidupan serba terbatas dan hanya pulau Jawalah yang dianggap makmur dan menjadi pusat dari segala kegiatan. Pulau lain seperti Sulawesi tergolong terbelakang. Manarfah menyadari betapa susahnya saat itu, tapi Manarfa tak mudah menyerah. Ia merogoh kocek sendiri demi suatu kegiatan yang kurang populer dan kurang komersial ketika itu. Universitas yang dibangun tersebut adalan Universitas Hasanuddin. Sumbangan Manarfa bukan cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar Universitas Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan itu, menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang. Manarfa bercerita, gambar ayam jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan logo Universitas Hasanuddin. Universitas Hasanuddin menjadi Universitas termaju di Indonesia bagian timur, universitas yang dibangun menggunakan dana La Ode Manarfa kini telah menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur. Universitas tersebut telah menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa, salah satunya wakil Presiden Yusuf Kalla. Saat ditemui dan ditanya wartawan majalah TEMPO tahun 2002, berapa dana yang iya keluarkan? Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya. 2. mendirikan Universitas Haluoleo (sulawesi Tenggara) Menyadari betapa pendidikan kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, Manarfa mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada



tahun1960 sebagai. Tapi perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, seiring dengan terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada tahun 1964 dan perpindahan Ibukota Provinsi di Kendari. Tak tanggung-tanggung, semua fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara yang dibeli Manarfa dengan uang pribadi juga diangkutnya ke Kendari. Setelah pindah, Universitas Sulawesi Tenggara berganti nama menjadi Universitas Haluoleo, dengan status Swasta. Status ini baru berubah menjadi Universitas Negeri pada tahun 1981, juga karena perjuangan Manarfa. Tetapi Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan, apalagi uang. Meski sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa besar untuk menjadi rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang ke Buton dan lagi-lagi menanam bibit baru. 3. Mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Buton) Dia mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode Malim pada tahun 1982. Tak hanya menanam dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa juga bersemangat mengajar. Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat perguruan tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa jadi dia dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata kuliah pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa. Syahdan, pada Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana Manarfa berdiri dan berceramah memberikan kuliah perdana kepada para mahasiswa baru Unidayan selama tiga jam tanpa henti. Di dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan, toh jiwanya berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba mengajukan pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan. "Orang tua itu seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya kepada TEMPO. Dengan energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak berkesudahan sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga pendidikan sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. Tak mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang sederhana berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga buah guci yang sudah agak kusam. Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah ribuan buku pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang menempel di dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir yang hidup di alam ideal. Dia bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga anaknyalah yang harus meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah renta itu. Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak mengambil gajinya sebagai rektor. Menurut La Meta, bendahara Universitas Dayanu, setiap akhir bulan ketika disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda terima lalu menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak gaji dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya sejahtera," kata Meta. Apa lagi nama yang bisa kita berikan kepadanya selain Pendekar Pendidikan dengan api yang menyala-nyala? Tak mengherankan bila senat Universitas Haluoleo, Sulawesi



Tenggara, akhirnya mengganjarnya dengan dua penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002. Menurut Rektor Universitas Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan karena Manarfa dianggap sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Sulawesi Tenggara, dan mengembangkan Universitas Haluoleo.



JENDERAL SOEDIRMAN Jenderal Besar Soedirman ahir di Bodas, Karangjati, Rembang, Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Soedirman dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja pabrik gula di Kalibagor, Banyumas dan Ibunya Siyem, adalah keturunan wedana Rembang. Sejak berumur 8 bulan, Soedriman diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten wedana Rembang yang masih merupakan saudara dari ibunya. Soedirman sangat senang mengaji. Ketika masih kanak– kanak, selepas Mahgrib, bersama–sama dengan temannya membawa obor pergi ke surau untuk mengaji . Soedirman dikenal sebagi “guru kecil“ di sekolahnya. Hal ini di sebabkan oleh ketekunan dan kediplisinan. Saat berusia 7 tahun Soedirman bersekolah di HIS Gubernemen. Namun ketika naik ke kelas VII, beliau pindah Ke Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Belum genap satu tahun, sekolah Taman Siswa ditutup karena kekurangan dana. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di MULO Wiworotomo , Cilacap. Sejak menjadi siswa MULO Wiworotomo, telah terlihat tanda-tanda pada diri Soedirman bahwa beliau adalah remaja yang bertanggung jawab. Ia aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo dan di dalam dunia Kepanduan. Pada awalnya beliau memasuki kepanduan Bangsa Indonesia yang ada di Cilacap. Kemudian beliau beralih ke pandu Hizbul Wathan. Setelah lulus MULO beliau sempat menjadi siswa di HIS Muhammadiyah Surakarta namun hanya kurang dari 1 tahun. Soedirman adalah pemimpin sekaligus pendidik bagi para pemuda di desanya. Ia juga sekaligus pendidik di Hizbul Wathan. Soedirman bersekolah di lembaga pendidikan yang di anggap liar oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tahun 1934. Di lembaga pendidikan ini, ada tiga orang guru yang sangat mempengaruhi pembentukan karakter seorang Soedirman, yakni Raden Sumoyo , Raden Moharnad Kholil dan Tirto Supono. Yang pertama memiliki pandangan nasionalis sekuler, yang kedua nasionalis–Islamis, sedangkan yang ketiga merupakan lulusan dari akademi Militer Breda di Belanda. Kendati berbeda-beda pandangan, namun ketiga guru Soedirman tersebut samasama mengambil sikap non kooperatif terhadap pemerintahan Kolonial Belanda. Dari ketiganya, karakter Soedirman terbentuk Islamis, nasionalime dan militansi militer. Bahkan dalam soal agama, Soedirman dianggap agak fanatik. Hal ini menyebabkan ia sering dipanggil “ Kaji” (Si haji) oleh kawan–kawannya. Pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasanya sebagai tentara pasca Kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat terbentuk, ia diangkat menjadi



Panglima Divisi V/Banyumas dengan Pangkat kolonel. Melalui konferensi TKR pada tanggal 2 November 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata Belanda ikut membonceng. Karenanya TKR terlibat pertempuran dengan Tentara Sekutu. Pada Desember 1945, TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Pada tanggal 12 Desember 1945 dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua pasukan Inggris. Pertempuran yang berkorbar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang. Pada saat agresi militer II Belanda di Yogyakarta, Jenderal Soedirman sedang sakit karena hanya satu paru –parunya yang masih berfungsi. Pada tanggal 19 Desember 1948, Soedirman memulai perang gerilya melawan agersi militer Belanda yang ingin menguasai Indonesia kenmbali. Jenderal Soedirman menolak tunduk terhadap penjajah namun memilih melawan tanpa kenal menyerah. Melalui perjanjian Roem Royen pada tanggal 7 Mei 1949, Indonesia mengakhiri permusuhan. Kesehatan Jenderal Soedirman diperiksa kembali. Tenyata paru–paru Soedirman yang tinggal sebelah sudah terserang penyakit. Pada tanggal 29 Januari 1950, beliau wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Beliau dinobatkan sebagai pahlawan pada tahun 1997 dan mendapat gelar anumerta dengan bintang lima.



Ir.SOEKARNO Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama. Dia jugalah pahlawan bangsa, dan sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno adalah presiden yang berani melawan musuh yang dianggap bisa mengganggu kedaulatan Republik Indonesia. Bagaimanakah profil Soekarno dan bagaimanakah kisah hidupnya, berikut kami paparkan. Kisah Hidup Soekarno Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno ini lahir di Surabaya, 6 Juni 1901 dengan nama Koesno Sosrodihardjo. Saat kecil, Soekarno hanya tinggal beberapa tahun bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat ia tinggal di Surabaya. Ia melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25 Mei 1926. Pada 4 Juli 1927 Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Dia dikategorikan sebagai tahanan yang berbahaya. Bung Karno muda begitu bersemangat memperjuangkan kemerdekaan. Namun sejak dipenjara komunikasi Bung Karno dengan rekan-rekan seperjuangannya nyaris putus. Delapan bulan kemudian ia baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda. Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Setelah melalui perjuangan yang amat panjang, dan harus mengalami beberapa kali dipenjara dan diasingkan, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Ia pula yang merumuskan Pancasila menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, Soekarno menjadi presiden pertama dan wakilnya adalahBung Hatta. Soekarno adalah presiden yang mampu menyatukan nusantara. Bahkan ia bisa menghimpun bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dalam konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok. Pada tahun 21 Juni 1970 Soekarno meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi"



PENUTUP Kebanyakan dari kita kurang menghargai perjuangan tokoh daerah disebabkan sebuah egoisme tentang kedaerahan, keturunan dan kepemilikan. Padahal seorang pahlawan berjuang tanpa pamrih, tanpa memikirkan daerah siapa, keturunan siapa dan rakyat mana yang mereka perjuangkan. Mereka berjuang semampu mereka dengan tidak mengharapkan sebuah imbalan dan kekuasaan. Diotak mereka hanyalah sebuah keinginan demi kemajuan dan kesejahteraan buat rakyat dan bangsa. Pahlawan Nasional bukanlah milik keturunannya saja, Pahlawan Nasional bukan pula milik daerah kelahirannya, namun Pahlawan Nasional adalah milik kita bangsa Indonesia. Untuk itu, perjuangan beliau dimasa lalu, patutlah kita hargai dan kita dukung menjadi Pahlawan Nasional.