Kisah Kelahiran RAJA SISINGAMANGARAJA I [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kisah Kelahiran RAJA SISINGAMANGARAJA I (Pertama)



Written By Arlinton Hutagalung on Jumat, 07 Maret 2014 | 19.09            Jauh sebelum masa lahirnya Raja Sisingamangaraja, umumnya di seantero dunia khususnya di daerah tanah Batak pada waktu itu sebahagian  besar penduduknya sudah banyak yang mendurhaka kepada Tuhan Mulajadi Nabolon, antara lain kepincangankepincangan dalam dalam menjalankan hukum (paradaton), hukum yang tidak adil (sungsang paruhuman) sehingga manusia banyak menempuh jalan kesesatan. Hal ini di sebabkan karena banyaknya orang-orang luar masuk ke tanah Batak yang merusak peraturanperaturan (manaburhon patik naso hasea), yang sebelumnya seluruh  peraturan-peraturan (patik) sangat di taati oleh penduduk disana.           Sehinggga akibat dari pelanggaran patik-patik tersebut, maka Tuhan Mulajadi Nabolon mendatangkan bala (balasan) atas kedurhakaan umat tersebut, dimana banyaklah terasa bagi penduduk kesulitan dan gangguan-gangguan di tambah dengan makanan yang serba tidak ada (masa haleon) Tapi rupanya ditengah-tengah banyaknya ummat yang durhaka itu, ada seorang yang masih bersih jiwanya, taat kepada Tuhan Mulajadi Nabolon, dia adalah seorang dari turunan (pomparan) ni Siraja Oloan yang bernama : RAJA BONA NIONAN. Di suatu ketika Raja Bona Nionan di datangi oleh seorang pesuruh Tuhan Mulajadi Nabolon (Gading Habonaran) seraya dia berkata: “Hai Bona Nionan! Nenekmu Siraja Parmahan turun ke tanah Batak Laut Tawar ini, dulunya adalah karena suruhan Mulajadi Nabolon. Sekarang Tuhan Mulajadi Nabolon mendatangkan/menyuruh seorang puteri cantik (boru namauli bulung) turun ke tanah Batak ini dan berada sekarang di puncak gunung sakti  (Dolok Pusuk Buhit). Oleh karena itu berangkatlah engkau kesana untuk mendapatkan puteri cantik itu. Raja Bona Nionan pun memohon terimakasih kepada pesuruh Tuhan tersebut, dan langsunglah dia berangkat ke arah Dolok Pusuk Buhit tempat puteri cantik itu berada. Hari keberangkatannya itu di catat dalam buku Pustaha Tumbaga Holing pada tanggal 20 (singkora duapuluh), dan sampailah dia di puncak dolok pusuk buhit pada tanggal 21 (samirasa maraturun). Ternyata apa yang di katakan malaikat itu benar-benar terjadi, setelah ia sampai di puncak Dolok Pusuk Buhit, dia melihat seorang puteri cantik yang sudah berada di sana, dan kemudian puteri itu berkata kepada Raja Bona Nionan: “Saya datang kemari adalah atas utusan Tuhan Mulajadi Nabolon untuk melaksanakan perintahnya agar engkau mempersunting saya sebagai isterimu, maka oleh sebab itu saya berharap engkau menerima dan tidak menyianyiakan saya.          Mendengar uraian dari puteri cantik itu, maka Bona Nionan pun menjawab: “Saya ini adalah seorang manusia yang hina dan juga buruk rupa, tapi Tuhan Mulajadi Nabolon mengutus seorang puteri cantik untuk saya persunting, apakah saya ini pantas untuk mempersunting engkau yang begitu cantik dan mulia? Lantas sang puteri menjawab :” Engkau di hunjuk oleh Tuhan Mulajadi Nabolon menjadi suamiku bukan karena rupa dan segala apa yang engakau miliki, tetapi karena kelurusan itikad dan ketaatanmu kepada Tuhan Mulajadi Nabolon maka untuk engkau tidak usah berpikir panjang lagi dan saya kita sekarang berangkat.  Mendengar jawaban demikian maka Raja Bona Nionan pun tidak dapat berkata apa-apa lagi, selain menuruti ajakan dari puteri tersebut. Tetapi di saat sebelum berangkat, puteri cantik itu bertanya satu hal lagi kepada Raja Bona Nionan :”wahai calon suamiku, saya tahu di daerah tanah Batak ini sungguh kurang baik orang yang tak mempunyai suku (marga) maka seandainya di tengah perjalanan nanti ada yang menanyakan kita mengenai marga saya, maka marga apa yang akan kita sebutkan? Baiklah kata Raja Bona Nionan jika ada yang



bertanya demikian maka kita jawab saja bahwa engkau adalah boru dari marga sagala (boru sagala limbong) dan kita tetapkan itulah untuk seterusnya. Lantas mereka pun berangkat menuju ke tempat orang tua Raja Bona Nionan yaitu kampung Bakkara.          Sesampainya mereka disana, orang tua Bona Nionan  yaitu TOGA SINAMBELA melihat perempuan yang dibawa oleh Raja Bona Nionan. Orang tuanya tersebut terkejut bercampur heran karena anaknya telah membawa seorang puteri. Lantas ia menanyakan anaknya Raja Bona Nionan: Siapakah puteri kawan ananda yang datang ini? Raja Bona Nionan  menjawab itu adalah isteri saya dan menantu dari ayahanda. Toga sinambela pun berkata: Baiklah kalau memang demikian, saya berharap kalian tinggal dan menetaplah  di kampung kita ini.        Namun berbeda dengan apa yang di harapkan dan diniatkan  oleh Toga Sinambela kepada anak itu, hanya sebulan dia  hidup bersama dengan sang isteri di kampung bakkara (kampung orang tuanya), pada tanggal 21 (samsara mara turun) Raja Bona Nionan kembali pergi merantau meninggalkan sang isteri. Di melintasi kampung demi kampung hingga pada suatu waktu di sampai di sebuaah perkampungan yang bernama NARUMONDA (sebuah desa di kecamatan porsea). Setelah beberapa tahun di Narumonda, dia menikah dengan seorang putri Raja Marpaung (yang menjadi isteri keduanya). Raja marpaung menikahkannya dengan putrinya atas jasanya mendatangkan hujan. Sebelum raja Bona Nionan datang ke Narumonda, rakyat selalu mengeluh, menderita terhadap musim kemarau panjang, yang menyebabkan sawah kering kerontang dan menimbulkan masa paceklik (Haleon potir) yang berkepanjangan di kampung itu.           Kembali ke cerita....Sementara itu keadaan sang isteri yang ditinggal di bakkara tetap tenang, isterinya begitu sabar menunggu kembalinya raja Bona Nionan yang telah bertahuntahun tak pulang. Sang isteri yang di tinggal itu pun pada suatu malam bermimpi: Dia berjalan ditengah-tengah lautan luas, sambil menjungjung sebuah cawan putih yang berisikan air limau (Uras), limah putih (anggir putih) air bersih (mual na hona saring), di mana semua benda yang ada di dalam cawan tersebut nampak bercahaya (marsinondang), sambil terlihat di pinggir cawan tersebut sebuah tulisan dalam bahasa batak “BORAS NI ROHA”. Laut yang dijalaninya itu terlihat dengan 5 (lima) warna yaitu : kuning (na hunik), merah (narara), putih (nabontar), hitam (nabirong), cemerlang (na tio), dia berjalan di atas laut seperti berjalan di atas tanah yang keras. Masih dalam keadaan bermimpi sang puteri  mendengar lagi sebuah suara yang datang dari sebuah puncak gunung  yang sangat tinggi: “ Datanglah engkau wahai sang puteri kesanyangan keatas puncak gunung ini  dari tengah-tengah lautan itu agar engkau mengerti apa makna lautan yang engakau jalani ini”, maka sang puteri pun dalam mimpinya menaiki bukit tersebut sampai ke puncaknya. Setelah tiba diatas dia mendengar suara lagi :”akulah dulu yang menyuruh engkau naik ke puncak Gunung Sakti Pusuk Buhit, supaya engkau bisa bertemu dengan Raja Bona Nionan” mendengar suara itu puteri pun langsung berlutut dan menyembah kepada yang berbicara tersebut. Lantas suara itu  berkata kembali : “adapun arti dari 5 warna laut yang engkau jalani itu adalah: 1. Tempat manusia dibumi ini adalah 5 huta atau 5 tempat (benua) 2. Marga yang ada terdiri dari lima marga besar (persukuan) 3. Dan lima pembagian waktu dalam satu hari sampai terbenam matahari tidak boleh ditambahi, yaitu    sogot, pangului, hos, guling, dan bot Nanti suatu ketika, engkau pasti berada di kampung itu, dan kau akan melihat  sekalipun di suatu tempat tidak pernah tumbuh mata air, tapi disaat itu tanahnya akan pecah dan akan muncul mata air (mual na tio). Kemudian Debata Mulajadi Nabolon berkata lagi dalam mimpi puteri itu: “Besok persis di saat waktu tengah hari engkau harus datang ke satu tempat yaitu rimba (harangan sulu-sulu). Di situ ada satu buah batu yang bernama “Batu Sindar



Mataniari ” di sebuah mata air yaitu Mual mani huruk di harangan sulu-sulu, engkau harus sampai ketempat tersebut, agar aku dapat menyampaikan tugas untukmu dan juga kesaktian.. Dan secara tiba-tiba putri tersentak dan terbagun dari mimpinya tersebut. Saat dia bermimpi tepatnya pada tanggal 20 (sikkora dua pulu) dan besoknya tanggal 21 (samisara moraturun) di bulan tujuh (sipaha pitu)         Keesokan harinya persis tengah hari putri ini berkata pada edanya NAI HAPATIAN, katanya “Hai Nai Hapatian aku sangat ingin kita pergi ke rimba (harangan sulu-sulu) untuk maranggir-anggir (bertimau) aku mohon enkau mau menemaniku kesana. Mereka pun berangkat menuju rimba. Sesampainya mereka disana Turunlah Tuhan Debata Mulajadi Nabolon ke rimba itu bersama 7 orang suru-suruannya. Kemudian Debata Mulajadi Nabolon berdiri diatas Batu Sindar Mataniari yang ada di sekitar rimba tersebut. Kemunculan Debata Mulajadi Nabolon seperti matahari yang terbit  di ufuk timur (habinsaran), sedangkan tujuh orang suru-suruannya membakar kemenyan (dupa) sambil berlutut dan menyembah kepada Debata Mulajadi Nabolon. Lalu Debata Mulajadi Nabolon memanggil putri itu mendekat untuk diberikan berkat dan kesaktian. Sementara itu Nai Pahitan hanya memandang dari kejauhan. Kemudian Debata Mulajadi Nabolon berkata kepada puteri itu “Gabe-gabean maho sian naso pamotoan ni halak”, artinya engkau akan di karunia dengan mengandung seseorang anak tampa di ketahui oleh orang lain. Bersamaan dengan itu Debata Mulajadi Nabolon memberikan sebuah benda yang nampak bercahaya, dalam bahasa batak disebut dengan "Bintang Badia Tinggi" . Sesudah itu Debata Mulajadi Nabolon menyuruh mereka pulang ke rumahnya.  (menurut cerita tempat ini masih terdapat di sebuah lembah di Bakkara, dimana tempat ini dulunya menjadi tempat persemedian Raja Sisingamangaraja. Dan juga menurut kepercayaan para orang tua setiap tanggal 21 (Samisara Mora Turun) selalu kelihatan bayangan orang yang berpakaian putih  sedang bersemedi sambil membakar dupa)         Setelah beberapa lama dari kejadian pertemuan antara sang puteri (isteri raja Bona Nionan) maka terjadilah musim kemarau yang panjang, semua sungai kering, tumbuhtumbuhan layu dan mati. Maka seorang tokoh adat pun mengumpulkan semua orang dan mereka sepakat memanggil seorang tukang tenun untuk menanyakan kepada Debata Mulajadi Nabolon apa penyebab kejadian tersebut. Sementara itu keadaan itu keadaan sang putri sudah hamil Tua dan akhirnya di ketahui oleh semua orang . Melihat keadaan isteri Bona Nionan seluruh isi kampung menjadi heboh, dan ada diantara menuduh bahwa dia penyebab semua kejadia alam tersebut karena telah berbuat serong.       Lantas para tetua mulai sepakat untuk membicarakan keadaan isteri Bona Nionan, dan sebagai kesimpulan hasil musyawarah. Mereka sepakat menanyakan kepada seorang DATU. Namun Datu itu pun berkata tidak baik menuduh isteri Bona Nionan berbuat hal yang bertentangan dengan hukum, dia menegaskan bahwa bahwa isteri Bona Nionan mengandung adalah karena kehendak Debata Mulajadi Nabolon. Ia juga menyampaikan akan lahir seorang anak dari isteri Raja Bona Nionan yang nantinya akan menjadi orang besar di kampung Bakkara. Seorang penegak keadilan, kebenaran serta akan menjadi Raja, tuan dari seluruh tuan yang akan memberikan hukum dan peraturan bagi kehidupan manusia. Dan apabila kita mematuhi dan merobah pikiran kita maka masa paceklik di Tanah kita akan berlalu. Sebagai bukti kepatuhan maka sang Datu meminta kepada semua penghuni Bakkara dan semua tetua membuat “ Hambing Somba Pardomuan”, agar semua kejadian alam hilang, ternak berkembang dan hujan pun turun, bumi menjadi segar.   Dan semua menurutinya, maka terjadilah seperti apa yang di katakan ole Datu tersebut. .      Saat-saat dalam keadaan hamil tua dia menerima sebuah surat dari suaminya Raja Bona Nionan di perantauan . Dalam suratnya di tuliskan bahwa suaminya akan kembali ke Bakkara dalam  waktu yang dekat. Mendengar kabar tersebut sang isteri sangat cemas, yang di



cemaskan adalah pasti suaminya curiga besar padanya atas kehamilannya tersebut. Karena bagaimana pun pastilah Raja Bona Nionan tidak terima atas kehamilannya yang tiba-tiba, karena telah bertahun-tahun di perantauan  Dalam suasana kecemasan hatinya tersebut, ia kembali di datangi oleh suara panggilan Debata Mulajadi Nabolon melalui suru-suruannya GADING HABONARAN , untuk menyuruhnya kembali ke rimba (harangan sulu-sulu). Dan setelah perintah itu ia berangkat ke rimba. Setelah sampai di tempat itu maka suru-suruan berkata kepadanya : “hai putri (nauli bulung) sekarang aku sampaikanlah  kepadamu  pesan dan anugerah Tuhan Debata Mulajadi Nabolon  : “MARTUMBUR MA BARINGIN, , MARTANTAN HARIARA,    MARBUNGA MA SARPITPIT, MAR SINONDANG APPAPAGA”,  bahwa engkau akan melahirkan seorang anak yang mulia keturunan dan sifatnya, kesanyangan dari Debata Mulajadi Nabolon. Nantinya anak itu akan lahir tepat pada tanggal 3 bulan 1 (Anggara ni poltak di bulan si paha sada), di mana saat kelahirannya nanti akan terjadi petir dan halilintar serta badai yang kencang, maka lahirlah dia seperti bintang yang bercahaya terangn dan nantinya akan menjadi raja diantara semua raja dan penduduk (SISINGAMANGARAJA). Kepadanya akan aku berikan roh yang suci, dan dia akan menjadi raja yang sakti. Wahai putri janganlah engkau takut dan cemas, sedangkan suamimu pun (Raja Bona Nionan) nantinya juga akan turut cemas di saat kelahiran anakmu nanti, karena di hari itu semua gunung akan berbunyi bertepuk-tepukan, lautan pun akan kelihatan seperti air banjir yang dilanda topan. Jadi apapun yang akan di ucapkan Raja Bona Nionan kepadamu nanti, engkau tidak usah takut atas tuduhan-tuduhannya itu.            Tidak berapa lama sesudah mereka berada di kampung, tiba pulalah suaminya Raja Bona Nionan yang datang dari perantauan (huta Narumonda). Raja Bona Nionan melihat keadaan isterinya sudah hamil tua.Dengan sekejap mimik mukanya pun berubah dan dengan marahnya karena melihat keadaan isterinya dia berkata : Kenapa engkau berbuat yang tidak layak, mentang-mentang saya di perantauan, kenapa engkau bisa hamil padahal aku bertahutahun di perantauan, dulunya engkau mengatakan padaku bahwa engkau seorang wanita jujur, tetapi kenyataanya seperti inilah yang terjadi. Mendengar semua ucapan dan tuduhan Raja Bona Nionan kepadanya, dia hanya terdiam membisu, tak sepatah kata pun yang di ucapkannya. Sehingga Raja Bonanionan pun berniat hendak membunuh isterinya, namun sebelum melaksanakan niatnya dia terlebih dahulu mencari tahu apa yang terjadi selama ini. Lalu ia pun menanyakan kepada saudara perempuan Nai Paitan, tentang kejadian pada isterinya (DIBAHEN GABE HAUMA NASO HONA SIMBUR) . Maka saudara perempuannya menjawab ”Tokka ito dohononmu songoni dompak Inanta i, Guru ni pungga bangun golanggolang, ipion naso tupa, pitu lombang holang-holang. Tung soadong do napak manang ise lahi-lahi donganan ni inantai mangkatai. Sombakku ito tu ho, sotung tubu roham marroha naroa dompak inantai” begitulah kata-kata dari saudara perempuannya Nai Pahitan, membujuk abangnya  (ibotonya) Raja Bona Nionan, agar tidak bertindak apaun kepada isterinya yang sudah dalam keadaan hamil tua itu. Lalu Nai Paitan pun menceritakan semua kisah yang pernah dilihatnya di rimba (harangan). Setelah mendengar cerita dari saudara perempuannya barulah Raja Bona Nionan merasa lega dan tenang.           Beberapa saat kemudian saat Raja Bona Nionan sedang berbicara dengan beberapa orang penduduk, tiba-tiba saja dua ekor ayam sakti (Manuk Patiaraja)  muncul. Satu berwarna merah dan satu lagi berwarna putih, dan di belakang kedua ayam tersebut mengikuti banyak ayam. Kemudian ayam itu bersuara  dan berkata: Tubuma dihutaon Sada Raja SISINGAMANGARAJA, Namarharoroan sian Debata, Songgot do Partubuna, Marhitehite Sirlam, Ronggur, Lalo, Haba-haba, Udan, Asa sude hamu marsitungkol jabu muna, pangisi ni laut on. Artinya : Di kampung ini akan lahir seorang Raja Sisingamangaraja, yang datangnya dari Tuhan, semua penduduk akan terkejut, karena kelahirannya itu nantinya akan didiringi oleh kilat, guruh, gempa, angin kencang, hujan,  maka semua penduduk agar



menopang rumahnya masing-masing.  Setelah itu terjadilah seperti apa yang telah di katakan oleh Debata Mulajadi Nabolon. lahirlah seorang anak, dialah yang menjadi Raja Sisingamangaraja I.  



Sisingamangaraja XII Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian. Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki dari sumber yang terpercaya.



Sisingamangaraja XII Maharaja Toba



Lukisan Sisingamangaraja XII berdasarkan lukisan yang dibuat oleh Augustin Sibarani, kemudian tercetak di uang Rp 1.000



Memerintah Pendahulu



1876–1907 M Sisingamangaraja XI -



Lahir



18 Februari 1845 Bakara



Mangkat



17 Juni 1907 Dairi



Makam



Soposurung, Balige Nama lengkap



Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Ayah



Sisingamangaraja XII



Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sebelumnya ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun 1953.[1] Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negaranegara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.



Daftar isi      



1 Asal usul 2 Perang melawan Belanda 3 Kontroversi Agama Sisingamangaraja XII 4 Makam 5 Warisan sejarah 6 Referensi



Asal usul Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[2] Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung.[3] Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.[butuh rujukan]



Perang melawan Belanda



Peta Ekspedisi Toba 1878



Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan[butuh rujukan]. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan. Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia Belanda. Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya[butuh rujukan]. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif



menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu pada tahun 1884.[4]



Kontroversi Agama Sisingamangaraja XII



Cap Mohor Sisingamangaraja XII



Agama yang dianut oleh Sisingamangaraja XII adalah agama asli Batak. Namun sudah sejak zaman Belanda terdengar isu bahwa menjelang tahun 1880-an Sisingamangaraja memeluk agama Islam[butuh rujukan]. Yang pertama menyebarkan desas-desus bahwa Singamangaraja XII telah menjadi seorang Muslim adalah para penginjil RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) [butuh rujukan] . Mereka tiba pada kesimpulan tersebut karena pada saat itu Singamangaraja XII mulai menyalin kerjasama dengan pihak Aceh[butuh rujukan]. Hal itu dilakukannya karena ia mencari sekutu melawan para penginjil RMG yang pengaruhnya di Silindung menjadi semakin terasa dan yang menjalin hubungan erat dengan pemerintah dan tentara Belanda. Namun alasan utama maka para misionaris RMG menyebarkan isu bahwa Singamangaraja telah menjadi seorang Muslim adalah untuk meyakinkan pemerintah Belanda untuk menganeksasi Tanah Batak[butuh rujukan]. Atas permintaan penginjil RMG, terutama I.L. Nommensen, tentara kolonial Belanda akhirnya menyerang markas Singamangaraja XII di Bangkara[butuh rujukan] dan memasukkan Toba dan Silindung ke dalam wilayah jajahan Belanda. Kontroversi perihal agama Singamangaraja hingga kini tidak pernah reda. Juga sesudah wilayah Batak menjadi bagian dari Hindia Belanda desas-desus bahwa Singamangaraja XII memeluk agama Islam tidak pernah berhenti, sampai ada yang menulis[butuh rujukan] bahwa "Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige tituleris een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op zijn omgeving uit om zich te bekeeren" ("menurut laporan dari penduduk maka sang raja sekitar lima tahun yang lalu memeluk agama Islam, namun ia tidak menjadi seorang Islam fanatis dan tidak berusaha untuk meyakinkan rakyat supaya turut menggatikan agamanya"). Kemudian dalam sebuah surat rahasia kepada Departement van Oorlog (Departemen Pertahanan), maka Letnan L. van Vuuren dan Berenschot pada tanggal 19 Juli 1907 menyatakan, "Dat het vaststaat dat de oude S.S.M. met zijn zoons tot den Islam waren overgegaan, al zullen zij wel niet Mohamedanen in merg en been geworden zijn" ("Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak seberapa meresap dalam sanubarinya").



Selain laporan oleh para misionaris Jerman dan oleh koran-koran Belanda, petunjuk lainnya bahwa Singamangaraja XII beralih agama ke agama Islam termasuk: 1. Singamangaraja XII tidak makan babi; 2. pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Singamangaraja dalam gambar kelewang, matahari dan bulan; dan 3. Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-Melayu).



Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Singamangaraja XII yang tidak boleh makan babi, melainkan hal itu berlaku juga untuk semua Singamangaraja sebelumnya. Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan agama Islam melainkan juga berlaku untuk para raja yang beragama Hindu. Dalam hal ini perlu diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat pengaruh Hindu[5]. Untuk butir 2, kelewang, matahari, dan bulan bukan lambang yang eksklusif Islam. Selain daripada itu perlu diingatkan bahwa kerajaan Singamangaraja XII dikelilingi oleh kerajaan-kerajaan Islam sehingga tidak mengherankan kalau ia sangat terinspirasi lambang yang juga digunakan oleh para raja Melayu. Khususnya untuk butir 3. cap Singamangaraja telah dianalisis oleh Prof. Uli Kozok.[6] Selain sebuah teks yang memakai surat Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf Jawi (Arab Melayu) yang berbunyi; Inilah cap maharaja di negeri Teba kampung Bakara nama kotanya hijrat nabi 1304 [?] sedangkan dalam aksara Batak pada cap itu tertulis Ahu ma sap tuan Si Singamangaraja tian Bangkara, artinya "Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara". Berdasarkan analisis empat cap Singamangaraja maka Profesor Kozok tiba pada kesimpulan bahwa keempat cap Singamangaraja masih relatif baru, dan diilhami oleh cap para raja Melayu, terutama oleh kerajaan Barus. Pada abad ke-19 huruf Arab-Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di Sumatra sehingga sangat masuk akal bahwa Singamangaraja XII juga menggunakan huruf yang sama agar capnya dapat dibaca tidak hanya oleh orang Batak sendiri melainkan juga oleh orang luar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa Singamangaraja XII telah berpindah agama cukup lemah. Sekiranya Singamangaraja memang memeluk agama Islam maka pasti ia akan mengimbau agar rakyatnya juga memeluk agama Islam. Laporan para penginjil[butuh rujukan] seperti I.L. Nommensen bahwa Singamangaraja telah memeluk agama Islam terutama dimaksud untuk mendiskreditkan Singamangaraja dan untuk menggambarkannya sebagai musuh pemerintah Belanda.[butuh rujukan]



Makam Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di pinggir bukit Lae Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Ennem Kodn, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang.[1] Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang napas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga. Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.



Warisan sejarah Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.



Referensi 1. 2. 3. 4. 5.



6.



^ a b Sidjabat, Bonar W. Prof. Dr. (2007), Ahu Sisingamangaraja, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, ISBN 979-416-896-7. ^ Brenner, J.F. von. Besuch bei den Kannibalen Sumatras: erste Durchquerung der unabhangigen Batak-Lande. Wurzburg: Wurl. ^ Raffles, Stamford. Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: John Murray. ^ Ajisaka, Arya, (2010), Mengenal Pahlawan Indonesia, Jakarta: Kawan Pustaka, ISBN 978-979-757-278-5. ^ Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since C.1200. h,174. Palgrave Macmillan (2008). "The Bataks were a fierce and violent pagan people whose religious life was a combination of animism, magic and old Hindu (or Hindu-Javanese) influences." ^ Kozok, Uli, (2009), Surat Batak: sejarah perkembangan tulisan Batak: berikut pedoman menulis aksara Batak dan cap Si Singamangaraja XII, École française d'ExtrêmeOrient, ISBN 979-9101-53-0.



[tampilkan]   



l b s



ahirnya Sisingamangaraja I             37 Votes



Kita sebagai orang Batak tentu tidak asing dengan nama Sisingamangaraja, Namun mungkin tidak banyak diantara kita yang tahu sebenarnya bagaimana gelar Sisingamangaraja itu muncul pertama sekalinya, dan siapakah orang pertama yang memegang gelar Sisingamangaraja itu sendiri ? Artikel ini akan coba membahas hal ini dengan menggunakan sumber dari buku “Toba Na Sae” karya Sitor Situmorang. Lahirnya seorang putra Lembah Bakkara, yang kemudian menjadi Sisingamangaraja I tertuang dalam sebuah mitos. Sebagaimana halnya kebanyakan mitos, mitos Sisingamangaraja memiliki berbagai versi. Artikel ini membatasi diri pada satu versi dalam bentuk ringkasannya berdasarkan teks tradisi lisan. Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, tradisi lisan tersebut dicatat dalam aksara latin. Tersebutlah seorang bernama Bona Ni Onan, bungsu dari tiga putra Sinambela. Anak bungsu ini ketika dewasa sering pergi berjalan jauh, mengembara untuk waktu yang agak lama. Suatu waktu, ketika dia pulang dari perjalanan beberapa tahun lamanya, ia mendapati istrinya Boru Borbor sedang hamil tua. Masalah kesetiaan istri timbul pula dikalangan masyarakat umum Bakkara. Dalam situasi penuh keraguan pada suatu malam sang suami bermimpi didatangi roh. Roh itu mengatakan bahwa bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan Roh Batara Guru dan kelak menjadi raja yang bergelar Sisingamangaraja. Setelah mimpi itu, sang suami bertanya kepada isteri dan putri semata wayangnya. Sang istri bercerita bahwa suatu kali ketika dirinya sedang mandi di tombak sulu sulu (hutan rimba) mendadak terdengar suara gemuruh dan Nampak cahaya merasuki tubuhnya. Tidak lama kemudian sang isteri mengetahui bahwa dirinya hamil. Ia yakin bahwa kehamilannya adalah buah pertemuannya dengan Roh Batara Guru. Masyarakat menerima kebenaran makna peristiwa itu. Dan setelah masa kehamilan yang sangat lama (19 bulan) istrinya pun melahirkan seorang putra. Anak itu diberi nama Manghuntal karena kelahirannya disertai badai topan dan gempa bumi dahsyat. Kata Manghuntal berarti gemuruh gempa. Dimasa remaja Manghuntal menunjukkan tanda – tanda atau sifat – sifat ajaib yang memperkuat ramalah bahwa dirinya akan menjadi raja. Setelah dewasa ia melakukan perjalanan untuk mendapatkan pengakuan atas kesaktian yang dimilikinya. Manghuntal pergi menyebrangi samudera melewati Barus ke suatu pulau tempat Raja Mahasakti bernama Raja Uti. Tujuan dia kesana ialah untuk mendapatkan seekor gajah putih. Setelah sampai di tempat itu ia tidak dapat langsung bertemu dengan Raja tersebut. Menurut istrinya, Baginda sedang pergi melakukan perjalanan jauh dan tidak tahu entah kapan kembali. Manghuntal memilih untuk menunggu Raja tersebut. Sambil menunggu ia ditawarkan makan oleh istri Baginda. Saat itu Manghuntal meminta sayur daun ubi rambat. Dan ketika manghuntal mengangkat sayuran di tangannya ke mulutnya dengan pandangan mengarah ke atas rumah (layaknya orang yang memakan sayur) ia melihat Raja Uti bersembunyi di atas atap rumah. Ternyata moncongnya seperti moncong babi. Raja Uti lalu turun dan bertukar sapa dengan Manghuntal. Manghuntal menyampaikan permohonannya yaitu meminta seekor gajah putih . Raja Uti menyetujuinya dengan syarat Manghuntal harus mengumpulkan dan membawakan sejumlah pertanda dari berbagai wilayah di Toba sebagai bukti kelayakannya menjadi Raja. Manghuntal kemudian pulang ke Toba dan kembali ke Barus membawa pertanda – pertanda yang diminta. Setelah semua pertanda diberikan kepada Raja Uti, Manghuntal diberikan



gajah putih dan sejumlah barang pusaka, diantaranya sebilah keris keramat yang ia beri nama Piso Gajah Dompak dan sebuah tombak yang ia namai Hujur Siringis. Keris Piso Gajah Dompak konon hanya dapat dibuka dari sarungnya oleh orang yang memiliki kesaktian. Dan Manghuntal membuktikan kemampuannya di depan masyarakat Toba dimana ia berhasil mencabut keris ini dari sarungnya dalam upacara penobatannya sebagai Raja yang bergelar Sisingamangaraja. Berikutnya tradisi membuka sarung Piso Gajah Dompak menjadi tradisi wajib dalam memberikan gelar kepada penerus gelar Sisingamangaraja. Sekarang Keris Piso Gajah Dompak itu menurut kabarnya berada di salah satu museum di Belanda bersama sama dengan stempel kerajaan Sisingamangaraja. Lahirnya Sisingamangaraja I di Bakkara dapat dikatakan terhitung mulai dari Turunan yang ke-8 dari garis silsilah kira – kira sama dengan 200 – 300 tahun sesudah Si Raja Batak. TARIKH SEJARAH BATAK Berikut ini silsilah Sisingamangaraja dimulai dari Si Raja Batak hingga Sisingamangaraja XII. Data kelahiran diambil dari perhitungan rata – rata 1 generasi yaitu 30 tahun. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.



Si Raja Batak (Lahir tahun 1305) Raja Isombaon (1335) Tuan Sori Mangaraja (1365) Tuan Sorba Dibanua (1395) Si Raja Oloan (1425) Toga Sinambela (1455) Raja Bona Ni Onan (1485) Raja Manghuntal / Sisingamangaraja I (1515) Raja Tinaruan / Sisingamangaraj II (1545) Raja Itubungna / Sisingamangaraja III (1575) Sori Mangaraja / Sisingamangaraja IV (1605) Ampallongos / Sisingamangaraja V (1635) Amangulbuk / Sisingamangaraja VI (1665) Ompu Tuan Lombut / Sisingamangaraja VII (1695) Ompu Sotarunggal / Sisingamangaraja VIII (1725) Ompu Sohalompoan / Sisingamangaraja IX (1755) Ompu Tuan Na Bolon / Sisingamangaraja X (1785) Ompu Sohahuaon / Sisingamangaraja XI (1815) Patuan Bosar / Sisingamangaraja XII (1845)



Pada kesempatan selanjutnya penulis akan coba membahas lebih banyak tentang kedua belas Raja yang memegang gelar Sisingamangaraja. (dikutip dari Buku Toba Na Sae karya Sitor Situmorang)



Related Raja Boental, Pewaris Mahkota Kerajaan SisingamangarajaIn "Tokoh"



Awal dan Perkembangan Agama Kristen di Tanah BatakIn "Berita" Asal Usul Marga di Daerah NiasIn "Legenda" By raymondsitorus • Posted in Sejarah • Tagged lahirnya sisingamangaraja, silsilah, silsilah sisingamangaraja, sisingamangaraja, toba na sae 11



Post navigation Sintong Panjaitan Asal Usul Marga di Daerah Nias



11 comments on “Lahirnya Sisingamangaraja I” 1.



Anisa Chibi March 17, 2013 @ 1:42 pm



Istimewa……………………. Reply



2.



Jotam Winslow Art January 18, 2014 @ 1:45 pm



Siapakah yang melahirkan Si Raja Batak? Reply



3.



carlos October 22, 2014 @ 1:29 am



Apa sisingamangaraja 1 sampai 12 semuanya marga sinambela Reply



o



raymondsitorus October 31, 2015 @ 2:43 pm



Ya. Gelar sisingamangaraja diwariskan turun temurun. Artinya Sisingamangaraja I hingga Sisingamangaraja XII adalah satu garis keturunan (ayah – anak) Reply



4.



godwin November 11, 2014 @ 5:18 pm



raja sisingamangaraja bukan berasal satu marga tetapi banyak marga. coba buktikan..kalo saya sudah buktikan langsung, jd jgn asal menulis yang tidk tau kebenarannnya Reply



5.



godwin November 11, 2014 @ 5:23 pm



anda tau gak ? Kera Sakti, putri salju, putri afrika, dewi kwan im apa hubungannya dengan batak ? yang saya tau kera sakti disebut namanya ompu tuan bolon, putri salju adalah istri kera sakti dan putri afrika, dewi kwan im adalah namboru situa tua…dan banyak lg klo anda pengen tau… Reply



o



raymondsitorus October 31, 2015 @ 2:43 pm



Mohon lampirkan sumber yang relevan. Jika dianggap otentik maka kami akan mempertimbangkannya. Terima kasih Reply



6.



japaoloan sihotang February 15, 2015 @ 2:45 pm



pesan dari saya;mohon semua bukti sejarah dari pusa peninggalan SM.Raja 1-12;-piso gj dompak,stmpel krajaan dgn ini saya mohn kpd smua garis keturunan batak harap di kembalikan kpd siapa yg berHak/garis keturunan op.pulobatu[SM.Raja ke 12,psan buat semua keturunan raja batak baik yg ada di luar/dlm negri,ini merupakan



amanah/pesan dari beliau/baginda tuanku op.raja manguntal &op. Raja SM.Raja ke12. Reply



o



raymondsitorus October 31, 2015 @ 2:41 pm



untuk Piso Gaja Dompak saat ini berada di Museum Nasional Belanda. Pihak indonesia pernah mencoba membawa kembali piso ini namun entah kenapa prosesnya terhenti di tengah jalan. Reply



7.



japaoloan sihotang February 17, 2015 @ 4:18 pm



saya japaoloan sihotang minta maaf atas pesan yg kurang jelas dalam kalimat yg ada di dalam pesan sosial media saya ini,, yg arti & tujuan sebanarnya hanya untuk dimaklumkan & memaklumkan,adapun demikian dikarnakan saya,,,ntah kenapa saya merasa hati saya tergetar bagaikan serasa terpanggil ikut serta,meraskan pengaruh bahwa saya merasa kehilangan atas apa yg dimiliki junjungan saya sebagai keturunan batak ”ditano na digonggoman na”pada saat itu,, saya berharap kpd semua individu/kalangan,tokoh masyarakat yg merasa keturuna bangso batak. Reply



8.



ron li May 13, 2015 @ 2:53 pm



sayang sekali..cerita ini berbau belanda penjajah karena Sitor Situmorang lama tinggal di Belanda, padahal menurut buku tarombo tidaklah demikian ceritanya…



Kilas Kisah) Lopian, Putri Raja yang Tewas di Pangkuan Ayah 11 Juli 2014   22:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:37 11011 1 1



140506753654013410



Tugu Sisingamangaraja XII dengan latar Kota Tarutung. Disini pertama kali jenajahnya dimakamkan sebelum dipindahkan Balige.(By.Leonardo Joentak).



Satu abad lebih telah silam.Tanggal 17 Juni 1907 adalah hari bersejarah bagi orang Batak, dikaitkan dengan sejarah perjuangan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu (Raja Sisingamangaraja XII). Pada hari itu, di suatu tempat sepi di sekitar Pearaja, Sionom Hudon, Dairi, sejarah mencatat tragedi kematian Sisingamangaraja XII (SSM XII). Dua orang putranya yakni Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta empat orang panglimanya yang setia, ikut tewas pada waktu yang hampir bersamaan.



Dalam bingkai kisah tragis itu, anak perempuan SSM XII bernama Lopian (lazim disebut Putri Lopian) mengalami luka cukup parah terkena peluru senapan



serdadu Belanda yang dipimpin kapten Christoffel. Saat itu Lopian masih berusia 17 tahun. Dia setia hingga akhir mengikuti ayahandanya ketika SSM XII diburu Belanda keluar masuk hutan belantara.



Meski dalam beberapa hal, kisah kematian SSM XII kadang ada selisih versi, namun secara umum merupakan gambaran historis tentang adegan klimaks yang amat dramatis dari seluruh mata rantai perjuangan SSM XII selama lebih kurang 30 tahun menentang Belanda.



Momentum pertempuran sengit di sekitar Pearaja, Dairi, adalah fakta sejarah dimana hampir seluruh sanak keluarga SSM XII turut terlibat secara frontal menghadapi kepungan tentara Belanda yang penuh nafsu membunuh. Berdasarkan sejumlah referensi seputar tragedi kematian SSM XII, detik-detik terakhir pada medio Juni 1907 itu, merupakan momentum sangat genting penuh ketegangan. Pada saat itu, SSM XII bersama isteri, anak-anak, para panglima dan sisa pasukannya, terlunta-lunta naik turun jurang, keluar masuk hutan, dalam kejaran tentara Belanda yang jumlahnya besar dengan kelengkapan senjata lebih modern.



Sore yang kelabu tanggal 17 Juni itu, agaknya sudah ditakdirkan sebagai ending perlawanan SSM XII. Dalam posisi terjepit oleh kepungan pasukan Christoffel, pasukan SSM XII dengan persenjataan kelewang, tombak, dan bambu runcing, benar-benar tak berdaya menghadapi hujan peluru yang dimuntahkan serdadu- serdadu Belanda. Patuan Nagari tewas tertembak di antara desing peluru yang tiada hentinya. Sejumlah sisa pasukan SSM XII juga jatuh terkapar saat mencoba melakukan perlawanan. Sementara itu Kapten Christoffel berseru, agar SSM XII menyerah dan supaya piso gajah dompak yang terkenal keramat itu diberikan. Tetapi SSM XII dari tempatnya berlindung menyahut tegas: “Lebih baik mati dari pada menyerah kepada penjajah”.



Pada saat bersamaan, terdengar jeritan Lopian putri sang raja, yang rupanya terkena tembakan. Seketika SSM XII terkesima, melihat putrinya tercinta rubuh bersimbah darah di atas rerumputan. Dengan piso gajah dompak terhunus di tangan, SSM XII mendekati Lopian dengan langkah gontai, dan langsung memangkunya. Amarahnya meluap. Hatinya luluh melihat putrinya sekarat diterjang peluru penjajah. Namun saat itulah SSM XII tersentak, sadar, bahwa ia berpantang kena darah. Tubuhnya digambarkan lesu, dan kesaktiannya yang legendaries itu seakan pudar. Lalu SSM XII berbisik:” Saatnya sudah tiba…” Tak berapa lama kemudian, beliau juga rubuh oleh tembakan yang dilepas Christoffel dalam jarak tak terlalu jauh. Melihat hal itu, para panglima dan pengikut SSM XII bagai terpana. Sulit mempercayai baginda bisa dilukai peluru.



Akan halnya Lopian, keadaannya sekarat akibat peluru yang mengenai ulu hati. Lalu, rentetan kisah selanjutnya menyebut Lopian sempat ditawan Belanda. Tapi selama ditawan, Lopian memperlihatkan daya tahannya yang luar biasa menentang Belanda. Lopian dilukiskan tidak merintih atau mengeluh dengan luka yang dideritanya.



Adniel Lumbantobing seorang pemerhati kisah perjuangan Sisingamangaraja XII menulis sebuah buku “ Sisingamangaraja XII” pada tahun 1967. Buku itu cukup detil melukiskan perjuangan SSM XII, walaupun rangkaian kisahnya ditulis dengan sederhana. Menurut buku itu, Lopian yang sempat ditawan Belanda, kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai Pancinoran, di kaki gunung Batu Gaja, Dairi. Tidak diceritakan, siapa yang kemudian mengambil mayat Lopian.



Sementara Prof Dr WB Sijabat dalam buku telaah ilmiahnya “ Ahu Sisingamangaraja” melukiskan, Lopian sosok putri yang setia hingga akhir mendampingi ayahnya dalam kancah perjuangan yang meletihkan. Kendati sebelum kematiannya SSM XII telah memerintahkan seluruh keluarga mencari tempat perlindungan yang aman, tapi Lopian bersikeras ingin mendampingi



ayahnya. Itu sebabnya, selama detik-detik perburuan Belanda terhadap SSM XII, Lopian ikut bergerilya mendampingi, dan ikut melakukan perlawanan.



Cuplikan sejarah ini saya kutip berkaitan dengan peringatan Hari Wafatnya Raja Sisingamangaraja XII tanggal 17 Juni 2007 ini. Meskipun Lopian dalam kisah perjuangan SSM XII mungkin ditempatkan pada posisi “figuran”, tapi sesungguhnya perannya cukup strategis dan bermakna historik tersendiri dalam mata rantai perjuangan SSM XII secara lokal maupun regional. Kehadiran dan peran Lopian memang tidak diletakkan pada posisi sentral figur pada setiap penulisan sejarah perjuangan SSM XII. Peran ketokohan dan kejuangan lebih condong pada kedua putra SSM XII, yakni Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Mungkinkah karena Lopian seorang anak perempuan yang porsinya dinilai tak begitu besar dalam ruang lingkup perjuangan itu? Namun bila dicermati, posisi Lopian sesungguhnya mencerminkan sebuah nilai penting, terutama dikaitkan pada momentum akhir kehidupan ayahnya. Paling tidak, momentum akhir itu merefleksikan interaksi bathin seorang ayah dengan seorang anak, atau sebaliknya. Ternyata di saat paling krisis sekalipun, kepentingan (keselamatan) diri sendiri terkadang bisa menempati prioritas kedua, ketika kepentingan lain ( kesetiaan pada perjuangan), menjadi prioritas utama.



Justru itu, ketika beberapa waktu lalu muncul suara yang mengusulkan agar Lopian dinobatkan menjadi “pahlawan nasional” seperti juga ayahnya, banyak yang menyahuti usulan itu dengan respons positif. Sebuah tulisan di salah satu media terbitan Medan, menyatakan Lopian lebih kurang sama dengan Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Lopian dalam konteks perang SSM XII, bukan sekadar penonton atau pelengkap penderita. Dia ikut berada di garis depan, ikut bergelut dengan kemelut, bergerilya di tanah penuh duri dan hutan belantara. Lopian tahu, posisinya tidak menguntungkan saat peluru tajam berdesingan di kiri kanan dan di atas kepalanya. Lopian juga mungkin tahu, dirinya menjadi beban tersendiri bagi ayahandanya. Tapi Lopian telah membuat satu keputusan penting: apapun yang terjadi, ingin tetap bersama ayahnya.



Kadar kejuangan Lopian mungkin belum bisa disetarakan dengan Cut Nyak Dhien di Aceh. Sebab, dalam perang Aceh, Cut Nyak Dhien berposisi sebagai figur sentral, langsung memimpin di lapangan. Sedang Lopian boleh disebut, posisinya mungkin cuma “kebetulan” ikut bersama rombongan SSM XII di medan juang. Tapi paling tidak, dari sudut kadar kejuangan dan semangat anti kolonialisme, nilai-nilai yang terkandung pada jatidiri Cut Nyak Dhien dan Lopian, relatif sama. Mereka sama-sama berjuang, bergerilya, menderita di arena, bertekad sama, dan mati untuk tujuan yang sama.



Nilai kejuangan dan kepahlawanan SSM XII telah dibakukan pemerintah Indonesia, dengan menabalkannya menjadi Pahlawan Nasional. Namanya pun ditabalkan menjadi nama jalan di kota-kota besar maupun kota kecil. Bahkan gambar SSM XII yang direka pelukis Agustin Sibarani sudah pernah menghiasi lembaran uang RI tukaran Rp 1.000 (seribu rupiah). Sementara itu masyarakat Batak juga menabalkan nama besar Sisingamangaraja XII dengan ragam apresiasi. Ada yang menabalkannya menjadi nama universitas, ada yang menabalkannya dalam bentuk kelembagaan seperti Lembaga Sisingamangaraja XII di Medan, Sumut, walaupun kurang jelas apa manfaatnya , untuk apa, untuk siapa, dan sudah bagaimana eksistensinya saat ini.



Penghargaan terhadap nama Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra SSM XII juga sudah ada, seperti pembuatan nama jalan di Pematang Siantar, Sidikalang, Balige, Tarutung, dan kota lainnya di Tapanuli. Demikian halnya nama jalan Putri Lopian di Desa Aek Siansimun Tarutung. Itu menunjukkan, bahwa nilai kejuangan Lopian juga diakui orang Batak. Kalau ada yang tidak mengakui, itu pasti karena tidak tahu siapa Lopian dan kenapa dia tewas. Kebanyakan orang mungkin hanya sekadar tahu, bahwa Lopian adalah putrid Sisingamangaraja XII. Tidak dalam konteks kejuangan yang lebih detil.



Lalu, belakangan ada yang melontarkan pertanyaan: mengapa kisah perjuangan Sisingamangaraja XII tidak diabadikan dalam sebuah film kolosal seperti halnya film yang dibuat tentang Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teuku Cik Ditiro, dan lain-lain. Bahkan kisah Lopian, tak kurang menariknya bila diuntai dalam sebuah novel yang kerangkanya adalah kisah perjuangan SSM XII.



Nama Sisingamangaraja XII, sudah menjadi salah satu brand Tano Batak seperti halnya Dr IL Nommensen. Dua nama besar itu berkiprah dalam konteks berbeda tapi berskala relatif sama. Di Sumut ada Universitas Nommensen dan ada Universitas Sisingamangaraja. Sejauh mana orang-orang di balik penggunaan nama itu telah membuahkan sesuatu yang “besar” untuk kepentingan Tano Batak, sebagai basis perjuangan kedua pemilik nama besar itu, masih perlu dikaji dan dicermati.



Kita tidak ingin cuma apresiasi yang sifatnya monumental. Kita ingin, agar mereka yang kini telah berhasil “menimba” fulus dari nama-nama besar itu, membuahkan arti lebih luas bagi Tano Batak, minus kepentingan pribadi semata. Diresmikannya museum nasional Sisingamangaraja di Bakara barubaru ini memang sudah merupakan satu langkah yang tepat. Itu artinya, Bakara sebagai pusat kerajaan Sisingamangaraja kita arahkan sebagai salah satu situs kesejarahan perjuangan nasional. Namun lebih dari itu, adalah wajar ditindaklanjuti, aspirasi keturunan Sisingamangaraja, bagaimana supaya semua asset historis raja itu (piso Gajah Dompak, stempel/cap, dan lain-lain) yang saat ini berada di negeri Belanda, dapat dikembalikan ke tempat asalnya. Hal itu bisa terealisasi, tergantung sejauh mana pemerintah Indonesia merespons melalui berbagai lobi, termasuk lobi-lobi diplomatik.



(Dari berbagai sumber) Biografi Sisingamangaraja XII - Pahlawan Kemerdekaan Nasional loading...



Advertisement Sisingamangaraja adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Jika di baca dari biografinya, sebagian besar masa hidup Sisingamangaraja didedikasikan untuk melawan penjajah Belanda. Sisingamangaraja sebenarnya adalah sebuah gelar yang disematkan padanya ketika dilantik menjadi Raja. Nama aslinya adalah Patuan Bosar Ompu Boru. Beliau terkenal keras menentang Belanda, hal ini terlihat dari beberapa pertempuran sengit yang pernah dihadapinya. Hingga akhirnya, disalah satu pertempuran, Sisingamangaraja wafat sebagai pahlawan bangsa. Share biografi kali ini, akan menceritakan sejarah hidup dari Sisingamangaraja, selamat membaca.



Biodata Sisingamangaraja XII Lahir: Bakkara, Tapanuli, Meninggal: Simsim, Makam: Palau Samosir



18 17



Februari Juni



1845 1907



Anak: Lopian, Patuan Anggi, Patuan Nagari Pasangan/Istri: Boru Simanjuntak, Boru Situmorang, Boru Sagala, Boru Nadeak, Boru Siregar



Penghargaan: Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No. 590/1961 )



Biografi Sisingamangaraja XII Sisingamangaraja XII dalam biografi hidupnya, terlahir dengan nama Patuan Bosar Ompu Boru Situmorang. Pada 1867, ayahnya meninggal akibat penyakit kolera. Kemudian, ia diangkat menggantikan ayahnya menjadi raja dengan bergelar Sisingamangaraja XII.  Pada awal masa pemerintahannya, kegiatan pengembangan agama Kristen yang dipimpin oleh Nommensen dari Jerman sedang berlangsung di Tapanuli. Belanda ikut masuk dengan berlindung di balik kegiatan tersebut. Namun, lambat laun Belanda mulai menunjukkan itikad tidak baik dan bermaksud ingin menguasai wilayah kekuasaan Sisingamangaraja XII.  Sisingamangaraja XII kemudian mengadakan musyawarah bersama raja-raja dan panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak.



Kemudian, ketegangan antara Belanda dan Sisingamangaraja meningkat hingga menimbulkan konflik. Upaya jalan damai sudah tidak dapat lagi ditempuh.



Pada 19 Februari 1878, Sisingamangaraja XII bersama rakyat Tapanuli mulai melancarkan serangan terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Pertempuran yang tak seimbang membuat Sisingamangaraja dan pasukannya kalah dan terpaksa mundur dari Bahal Batu. Namun, perlawanan pasukan Sisingamangaraja masih tetap tinggi, terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda, seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Bantu, dan Balige. Sebaliknya, Belanda semakin gencar mengejar Sisingamangaraja XII sampai ke desa-desa dan melakukan pembakaran serta menawan raja-raja desa. Akibatnya pertempuran meluas hingga ke beberapa daerah seperti Sipintupintu, Tangga  Batu, Balige, dan Bakkara. Namun, Sisingamangaraja tetap gigih melakukan perang gerilya.



Pada Mei 1883, pos Belanda di Uluan dan Balige kembali diserang oleh Sisingamangaraja. Setahun kemudian (1884), kekuatan Belanda di Tangga Batu berhasil dilumpuhkan. Belanda melakukan upaya pendekatan dan menawarkan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan Batak dengan berbagai hak istimewa. Namun, beliau menolaknya dengan tegas. Pada 1904, Belanda melakukan pengepungan ketat. Pada 1907 Sisingamangaraja berhasil lolos. Namun, upaya keras Belanda akhirnya membuahkan hasil dengan mengetahui tempat persembunyian Sisingamangaraja di Hutan Simsim. 17 Juni 1907, markas Sisingamangaraja dikepung Belanda. Dalam suatu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan menjanjikan akan menobatkan Sisingamangaraja menjadi Sultan Batak. Namun, Sisingamangaraja tetap tidak mau tunduk dan memilih lebih baik mati.



Terjadilan pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh keluarga dan pasukannya. Akhirnya, Patuan Bosar Ompu Pulo alias Raja Sisingamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya, serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur sebagai kusuma bangsa.



Sekian uraian tentang Biografi Sisingamangaraja XII - Pahlawan Kemerdekaan Nasional, semoga bermanfaat. 



Siapa Mengkhianati Sisingamangaraja XII? 8 Maret 2011   09:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58 7682 0 0



oleh Hotman J Lumban Gaol Tidak ada basa-basi. Seperti namanya, Napatar, yang berarti tidak ada yang disembunyikan. Terpancar bahwa dialah tempat keluarga mempertahankan wibawa dalam terang. Kesan pertama ketika bertemu dengan cucu Sisingamangaraja XII, kelahiran Siborongborong 13



Mei 1941, ini adalah hangatnya persahabatan. Sorot matanya tenang, tak ada kesan kuasa, apalagi kesaktian di sana. Namun, suami dari boru Pakpahan dan ayah tiga orang anak ini, bisa serius kalau diajak berbincang. Di bawah ini petikannya. Apa yang paling mengesankan yang pernah Amang alami sebagai cucu Raja Sisingamangaraja XII? Ketika di Bandung, semasa kuliah tahun 1960-an. Pada waktu itu akan diadakan pertunjukan sandiwara tentang Sisingamangara XII. Saya ditunjuk memerankan Sisingamangaraja. Tidak ada yang mengetahui saya adalah cucunya. Lalu, saat pergelaran berlangsung, ada undangan yang datang dari Jakarta melihat saya. "Kalian tahu siapa yang memerankan Sisingamangaraja itu?" salah seorang dari undangan itu bertanya kepada sutradara. Sutradaranya orang Jawa, tidak mengenal saya. Sutradara dan mereka yang terlibat dalam pertunjukan jadi heran. "Pantas dia sangat tahu sejarahnya," kata mereka. Mengapa saya tidak memperkenalkan diri sebagai cucu Sisingamangaraja? Karena yang saya inginkan yang dikenal penonton adalah Sisingamaraja dan bukan saya. Kejadian itu sangat mengesankan bagi saya.



Sebelum pementasan tersebut, ada seorang pelukis yang melukis Sisingamangaraja di panggung. Lukisannya persis. Sampai sekarang saya tidak tahu di mana lukisan itu. Yang saya ingat, waktu itu seorang pejabat tentara orang Batak yang menyimpannya. Sebelum melukis, pelukis tersebut mewawancarai saya seperti apa Sisingamangara itu. Pertunjukan tersebut diadakan di Gedung Nusantara Bandung. Begitulah penghargaan teman-teman saya yang bukan Batak terhadap Sisingamangaraja. Namun, di Bandung tidak ada Jalan Sisingamangaraja, hanya di Yogya yang ada (tertawa).



Sebagai keturunan Raja Sisingamangaraja apakah Amang pernah mengalami hal-hal yang gaib? Saya kira tidak pernah. Hanya Raja Sisingamangarja yang memiliki kekuatan gaib, bukan keturunaannya. Namun, jika pun ada, hanya orang lainlah yang bisa melihat itu, bukan saya. Mengapa tulang-belulang Sisingamaraja XII dipindahkan dari Pearaja (Tarutung) ke Soposurung (Balige)? Mengapa tidak ke Bakkara sebagai pusat dinasti Sisingamangaraja? Sebenarnya yang membuat itu adalah Soekarno. Tahun 1953, Soekarno datang ke Balige dengan naik helikopter. Dia berpidato di lapangan yang sekarang disebut Stadion Balige. Dalam pidatonya ia mangatakan bahwa "Balige ini bagi saya sangat mengesankan. Pertama, karena ia sangat indah. Kedua, di Balige inilah untuk pertama kali orang Batak mencetuskan perang melawan Belanda (Perang Pulas)."



Setelah itu, masih di atas podium Soekarno menanyakan di mana kuburan Sisingamangaraja XII. Ada yang menjawab di Tarutung. Soekarno bertanya lagi, kenapa tidak dipindahkan ke Balige? Karena dari sinilah perang Batak yang terkenal itu dimulai. Itu kata Soekarno. Sejak itu muncul diskusi di kalangan para tokoh Batak. Raja Sabidan setuju. Dia adalah salah seorang anak Sisingamangaraja XII, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala BRI Sumatera Utara.



Kuburuan di Tarutung di mana Sisingamangaraja dimakamkan adalah makam untuk para tawanan. Soekarno meminta, sebagai pahlawan, Sisingamangara seharusnya dimakamkan di taman makam pahlawan.



Umur berapa Anda waktu prosesi pemindahan tulang-belulang itu? Saya masih ingat, ketika itu saya berumur sekitar 12 tahun. Sejak dari Tarutung rombongan pembawa tulang-belulang itu dikawal haba-haba (angin puting- beliung). Sementara rombongan hampir tiba di Balige, angin puting-beliung itu seperti pengawal, berjalan mendahului prosesi yang membawa tulang-belulang sang raja. Angin menyapu bersih semua kotoran yang ada di jalan dan di sekitar makam. Haba-haba itulah yang menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja. Ini fakta, karena saya melihat sendiri kejadian itu. Tidak banyak orang tahu tentang hal itu. Apakah Soekarno datang menghadiri prosesi? Oh nggak. Waktu itu dia hanya mengirim telegram, mengucapkan selamat. Waktu itu kami hanya empat orang, cucu laki-laki dari Sisingamangaraja XII, saya dan dua adik saya, ditambah Raja Patuan Sori, ayah dari Raja Tonggo. Ketika prosesi itu berlangsung, hanya ayah saya, Raja Barita, yang masih hidup sebagai anak Sisingamangaraja XII. Bisa dijelaskan keadaan keluarga SisingamangarajaXII? Istri Sisingamangaraja XII ada lima; boru Simanjuntak, boru Situmorang, boru Sagala, boru Nadeak, boru Siregar. Boru Siregar sebenarnya adalah istri dari abangnya, Raja Parlopuk. Dia menikahi boru Siregar setelah Raja Parlopuk meninggal. Keturunannya yang sekarang ini hanya berasal dari dua anak, Raja Buntal dan Raja Barita. Anak laki-laki Sisingamangaraja yang punya keturunan adalah Patuan Anggi, Raja Buntal dan Raja Barita. Ayah saya adalah Raja Barita. Anak Patuan Anggi adalah Pulo Batu. Sebagai pahoppu panggoaran maka Sisingamangaraja XII bernama Ompu Pulo Batu. Pulo Batu meninggal saat berumur tiga tahun. Dia jatuh ke jurang bersama pengasuhnya. Kecelakaan itu terjadi saat rombongan Sisingamangaraja tercerai-berai di pengungsian. Beberapa kali ada orang datang kepada saya, mengaku-ngaku "Ahu do Pulo Batu" (Sayalah si Pulo Batu). Tetapi, ah, tidak masuk akal. Masih muda mengaku-ngaku Pulo Batu. Kalaulah benar, dia seharusnya sudah lebih tua dari saya. Jadi saya tidak percaya. Cucu Sisingamangara XII yang masih hidup saat ini hanya lima. Sayalah yang paling tua.



Saat ini berapa keturunan Sisingamangaraja XII? Cucu dan cicitnya yang laki-laki 14 orang. Jika digabungkan dengan keturunan putri Sisingamangaraja, dan berenya langsung tidak sampai seratus orang. Sekarang saya sudah buat silsilah Sisingamaraja XII, karena selama ini banyak yang mengaku-ngaku sebagai keturunannya. Mengapa Sisingamanagara XII sampai tertangkap? Menurut cerita, Sisingamangaraja tertangkap karena ada tiga orang yang berkhianat. Ada tiga orang yang setia pada Sisingamangaraja tertangkap oleh Belanda. Mereka disiksa, dipaksa untuk menunjukkan tempat persembunyian Sisingamangaraja. Tak tahan siksaan, dengan tubuh ditanam ke dalam tanah, cuma kepala yang tinggal, mereka menyerah dan menunjukkan di mana Sisingamangaraja berada.Tanpa pengkhiatan tersebut, Belanda takkan tahu di mana Sisingamangaraja berada. Siapa pengikut setia Sisingamangaraja XII? Di Samosir ada Ompu Babiat Situmorang. Dia dan pasukannya dengan teguh melawan Belanda. Kalau mereka bertemu Belanda akan mereka bunuh. Kulitnya dijadikan tagading (kulit gendang). Tagading seperti itu sampai sekarang ini masih ada di Ariamboho. Jadi merekalah panglima pasukan Sisingamangaraja XII yang setia dalam melawan Belanda. Di Hutapaung ada Barita Mopul. Dari mana Sisingamangaraja membiayai pasukaannya? Katanya, di daerah Dolok Pinapan, antara Parlilitan dan Pakkat, ada tambang emas. Dia tidak memungut pajak. Tolong ceritakan tentang Si Boru Lopian? Lopian itu tomboy. Tetapi, dia adalah putri kesayangan Sisingamangaraja XII. Karena itu pula, dia ikut berperang bersama ayahnya. Dulu, beberapa kali roh si Lopian merasuk ke dalam diri orang tertentu, orang itu trance, kesurupan. Sejak kami memindahkan saringsaring (tulang belulang) Sisingamangaraja XII ke Soposurung, Balige. Suara orang kesurupan itu berkata, "Pasombuon muna do holan ahu di tombak i," katanya, yang berarti "Tegakah kalian membiarkan aku sendiri di hutan itu." Pertanyaan yang menyetuh perasaan itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa semua keturunanan Sisingamangaraja XII yang meninggal di pembuangan baik di Kudus, di Bogor, sudah kami satukan di makam keluarga, persis di belakang Tugu Sisingamangaraja XII di Balige. Oleh karena itu, kami pergi ke Dairi, ke Sindias, untuk mengambil tulang-belulang Lopian. Tetapi, 'kan sudah tidak mungkin lagi diambil! Karena, konon, dia juga ditenggelamkan oleh musuh ke dalam sugai Sibulbulon dan ditimbun dengan tanah. Kami hanya mengambil secara simbolis, hanya segumpal tanah untuk dibawa ke Soposurung. Sejak itu tidak pernah lagi ada orang trance, kemasukan roh boru Lopian.



Saat pengambilan, kami juga mendapat ancaman dari bupati dan masyarakat setempat. Mereka tidak mau kuburuan Lopian dipindahkan. "Sampe adong do istilah tikkini si harungguan ikkon seketton nami angka namancoba mambuat i. ([Kalau di masa penjajahan] kami akan potong jika ada orang yang mencoba mengambil kuburan Lopian)." Setelah kita berikan pengertian, mereka minta kami untuk mangulosi mereka. Ada 43 marga yang harus diulosi. Sebenarnya, mereka mau meminta agar perjuangan Sisingamangaraja XII di Dairi tidak boleh dilupakan. Saya jawab, bukan kami yang menentukan. Tetapi, keluarga tidak keberatan kalau ada masyarakat yang meminta agar Lopian tetap di Dairi. Waktu rombongan yang membawa sejemput tanah dari Dairi ke Balige, aparat di Dolok Sanggul menghadang. Mereka tidak mau Lopian dibawa ke Balige. Namun, karena mobil yang digunakan mengangkut sejemput tanah tadi berbeda dengan mobil yang ditumpangi keluarga, maka loloslah mobil yang membawa sejemput tanah tadi.



Adakah pustaka yang diwariskan dinasti Sisingamangaraja? Ada. Hanya sekarang berada di perpustakaan Belanda. Sisingamagaraja XI-lah yang menulis pustaha kerajaan, setebal 24 jilid. Semuanya dibawa Belanda. Keluarga pernah meminta ke 24 jilid buku itu, tetapi menurut mereka, syaratnya harus ada fasilitas gedung yang ber-AC. Karena belum ada kemampuan keluarga, maka rencana itu terkatung-katung. Mengapa jabatan Sisingamaraja XII tidak diwariskan ke Sisingamaraja XIII? Sebenarnya karena tidak ada yang meminta. Sebab jabatan Sisingamangaraja itu ditentukan oleh enam marga seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Biasanya dilakukan di Onan Bale, di Bakara. Pengangkatan Sisingamangaraja dilaksanakann kalau ada masalah genting; ada penyakit atau musim kemarau panjang. Bagaimana dengan pendapat bahwa dinasti Sisingamangara tidak hanya berasal dari satu marga? Ada yang mengatakan Sisingamangara itu hanya roh, bisa datang kepada siapa saja? Bisa jadi. Hanya yang dari satu sampai keduabelas jelas semuanya dari marga Sinambela. Memang, sejak semula kelahiran Sisingamaraja I adalah hasil pernikahan Bona Ni Onan dengan boru Pasaribu. Tetapi, kalau tidak Sinambela, saya kira dia harus dari keturunan Sisingamangaraja. Apakah benar keluarga Sisingamangaraja dipaksa memeluk agama Kristen? Tahun 1907 semua keturunan Sisingamaraja XII ditawan di Pearaja, Tarutung. Lalu, ada marga Tobing mengajari mereka untuk belajar agama Kristen. Setelah itu mereka dibabtis. Raja Buntal, Pangkilim, Raja Barita dan yang lain setelah besar, disekolahkan ke tanah Jawa. Sebenarnya mereka dibuang. Taktik Belanda untuk menghindari pengaruh anak-anaknya terhadap masyarakat. Jadi dua orang di Batavia, satu di Jatinegara, satu lagi di daerah Glodok. Lalu di Bogor. Yang di Kudus meninggal di sana, yang satu lagi wafat di Bandung.



Raja Buntal ketika itu lulus dari sekolah hukum. Setelah tamat, mereka kembali ke Tapanuli. Raja Sabidan di angkat menjadi kepala Bank di Padang Sidempuan. Sementara Raja Buntal ditempatkan sebagai wakil keresidenan Tapanuli mewakili Belanda di Daerah Toba. Sementara Ayah saya (Raja Barita) ditempatkan sebagai camat di Teluk Dalam, Nias. Sepulang dari Teluk Dalam, Ayah saya menikah dan ditempatkan di Tarutung. Perkawinannya di Porsea dibiayai oleh Belanda. Pernikahan Raja Buntal juga dibiaya dan dikontrol oleh Belanda. Undangan dan tata cara pernikahan harus dengan persetujuan Belanda.



Siapa Raja Tobing yang mengajari keluarga agama Kristen? Raja Henokh Tobing. Sebagai tanda terima kasih dari Ompung boru Sagala atas kebaikan Raja Henokh Tobing itu, diberikanlah putrinya, Sunting Mariam, menikah dengan putranya. Apakah Henokh Tobing keturunan Raja Pontas? Bukan. Raja Pontas Tobing adalah orang yang memberikan tanah yang digunakan sebagai tahanan keluarga di Pearaja,Tarutung. Raja Pontas Tobing dianggap menghianati Sisingamagaraja XII dan bersekongkol dengan Belanda. Satu waktu, Raja Pontas memanggil Sisingamangara XII untuk mendamaikan Raja Pontas dengan saudaranya. Begitu Sisingamangaraja muncul, maka yang datang ternyata Belanda.



Sebenarnya, bukan masalah misi zending, tetapi karena ia menjadi mata-mata Belanda. Dengan Raja Pontas Tobing-lah Sisingamangaraja XII bermasalah. Sekarang, keturunan dari Raja Pontas ini meminta tanah tadi kembali melalui gugatan. (Lokasinya bersebelah dengan Pusat HKBP, di Tarutung). Saya bilang, itu tanah sudah diberikan Belanda kepada keluarga, dan kami yang mengelola. Pemerintah memutusakan bahwa yang menempatilah yang memiliki hak kepemilikan atas tanah itu. Maka itu hak kami.



Sejak kapan Sisingamangaraja melakukan perang terhadap Belanda? Setelah Belanda menjadikan Tarutung sebagai daerah jajahan tahun 1876. Setahun kemudian, berlangsung rapat raksasa di Balige, di mana Sisingamangara XII dan raja-raja di Balige, mengumumkan pulas (maklumat perang) menentang Belanda. Semua raja-raja Toba berkumpul. Keputusan rapat tersebut ada tiga. Pertama,perang terhadap Belanda. Kedua, tidak menolak zending. Ketiga, membuka hubungan diplomatik dengan suku bangsa yang lain. Ketika itu Barita Mopul dan Raja Babiat ikut dalam rapat itu. Dari sanalah perang terhadap Belanda dimulai. Dimulai di Bahal Batu, di Humbang, di Lintong Nihuta. Dilanjutkan Tangga Batu, Balige. Dalam pertempuran pertama



Sisingamangara XII masih bisa menahan gerak maju pasukan Belanda. Lalu perang di Balige Sisingamaraja mundur, dan mengubah taktik menjadi perang gerilya. Tahun 1883 hampir seluruh daerah Toba dikuasai Belanda. Menyingkirkanlah Sisingamaraja ke wilayah Dairi.



Tempat-tempat kramat Sisingamagaraja masihkah dilestarikan? Hariara parjuaratan (sejenis beringin), pohon di mana Sisingamangara I dulu bergantungan, masih ada. Di bawahnya itu ada kompleks kerajaan Sisingamangaraja. Di bawahnya lagi ada Batu Siukkap-Ukkapon, sebuah lubang yang dalam yang ditutup dengan batu, di mana Sisingamangaraja selalu mengucurkan darah binatang persembahan. Karena dia berpantang makan darah. Jepang pernah mencoba menyelidiki dan mengukur kedalaman lubang itu. Dua gulung tali diulurkan, tapi tidak menyentuh dasar lubang. Sementara tombak (hutan) Sulusulu berada di lokasi perkampungan marga Marbun. Saat ini, di sana sudah ada penandanya. Hutan ini adalah tempat pertama kali Boru Pasaribu, ibunda Sisingamangaraja I, mendapat wangsit bahwa dia akan memperoleh anak yang di kemudian hari akan menjadi raja. Di situlah dia sering marpangir (keramas), menyisir rambutnya dengan menggunakan jeruk purut. Boru Pasaribu acapkali berjemur dan bersemedi di atas batu.



Lalu dekat pantai Danau Toba ada Aek Sipangolu (air kehidupan). Di dekatnya terhampar Batu Hudulhundulan, tempat istirahat Raja Sisingamangaraja. Tak jauh dari situ ada hariara na marmutiha (beringin). Katanya, kalau cabangnya patah menandakan Sisingamangaraja yang telah digantikan wafat. Kalau ratinganya yang patah, berarti ada keturunannya yang meninggal. Kalau ada dari keluarga raja ini berpesta, maka daun-daunya akan ikut menarinari. Makam Sisingamaraja XI ada di Bakara.



Apa arti lambang di bendera Sisingamangaraja itu? Kalau yang putih menggambarkan partondi hamalimon, tentang agama. Yang merah parsinabul dihabonaran, artinya menjungjung tinggi kebenaran. Yang bulat menggambarkan mataniari sidompakon, artinya matahari tidak bisa ditantang, mengambarkan kekuasaan Sisingamangaraja. Sementara delapan sudut melambangkan delapan penjuru angin. Pisau kembar mengambarkan keadilan sosial. Capnya menggunakan aksara Batak dan Arab, terbaca "Ahu Sahap Ni Omputta Sisingamangaraja Mian di Bakkara" (Saya adalah cap raja kita Sisingamangaraja yang bermukim di Bakkara). Piso Gajah Dompak, di mana dia sekarang? Di Museum Nasional. Tahun lalu, saya ke sana melihat Piso Gajah Dompak itu. Dulu, sebelum diberikan kepada negara, Gajah Dompak disimpan oleh Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII. Saya ingat cerita namboru Sunting Mariam, di pangkal pisau itu ada



delima merah merah, dan itu juga saya buktikan di museum.



Ada foto asli Sisingamangaraja XII? Tidak ada foto aslinya. Waktu Sisingamangaraja tertembak bersama kedua anaknya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, Belanda membawa jenazah mereka melalui Salak, Sionomhudon, Parbuluan, Paropo, Panguruan, Balige sampai ke Tarutung. Di Balige, sebelum sampai ke Tarutung, penutup jenazah dibuka, kondisinya sudah bengkak. Jenazah dipotret, tetapi tidak berhasil, hangus. Yang ada foto Sisingamangaraja XI, ayah Sisisingamangaraja XII. Tidak inginkah keluarga, pemugaran di Bakkara itu biayanya dari pampasan perang/Belanda? Soal pampasan perang sudah diserahkan kepada pemerintah pusat. Semua dana pampasan sudah diserahkan kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik. Tetapi, dana tersebut tidak ada yang disediakan khusus untuk pemugaran Bakkara. Kalau keluarga ingin mengajukan tuntutan pampasan perang secara langsung kepada Belanda, harus melalui persetujuan pemerintah.*** BATAK NETWORK - Horas ma di hita saluhutna. Berbicara tentang sosok Sisingamangaraja XII tentu tidak lepas dari sejarah Batak. Dan salah satu tokoh di tanah air yang membawa Suku Batak dikenal oleh dunia. Karena Sisingamangaraja XII merupakan Pahlawan Nasional dari Tanah Batak. Kali ini, Batak Network akan menampilkan catatan kecil mengenai Sosok Sisingamangaraja XII ini.



Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak Asal Usul Sisingamangaraja XII Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang



merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.



Biografi Sisingamangaraja XII Salah satu pahlawan nasional Indonesia yang gigih berperang melawan penjajah adalah Sisingamangaraja XII. Beliau merupakan pahlawan sekaligus seorang raja dari Toba, Sumatera Utara. Keberadaan beliau membuat penjajah Belanda yang waktu itu berusaha menjajah Indonesia kewalahan. Sebagai seorang raja, beliau tidak mau wilayahnya yang merdeka, subur dan makmur dijadikan kawasan penjajahan yang kehilangan kemerdekaan.



Raja Sisingamangaraja XII Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda. Sebelumnya ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke Balige, dan terakhir dipindahkan ke Pulau Samosir. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan



Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun



Perang Melawan Belanda Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.



Raja Sisingamangaraja XII dalam Perang Melawan Belanda Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan. Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda. Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu di tahun 1884.



Makam Sisingamangaraja XII Kisah Si Raja Batak terakhir ini cukup melegenda, karena keberanian dan kesaktiannya pada saat melawan penjajah Belanda selama 30 tahun. Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang nafas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Sisingamangaraja XII dimakamkan bersisian dengan putra dan putrinya. Memasuki komplek makam Sisingamarngaraja XII, kita akan menemukan banyak terdapat rumah adat. Suasana yang teduh karena membuat mamam ini selalu tampak adri. Karena sesungguhnya kompleks makam ini merupakan Taman Makam Nasional dan dibiayai pemerintah maka para pengunjug tidak di pungut biaya untuk datang ke lokasi ini. Kita bisa mengunjungi makam ini sambil mengunjungi Museum Batak Balige. Mungkin sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa sesungguhnya Sisingamangaraj XII tidak dimakamkan di Soposurung, melainkan di Torutung, Presiden Soekarnolah yang berinisiatif memindahkan ke Balige. Konon, pada saat berkunjung ke Balige pada tahun 1953 Presiden Soekarno dalam pidatonya di Lapangan Balige ia berkata, "Bahwa Balige adalah daerah yang monumental bagi sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajah di tanah Batak, karena di Beligelah pertama kali meletus perang antara pasukan Sisingamangaraja XII dan Belanda", seperti yang dilansir oleh direktori-wisata.com. Lanjut Soekarno berujar. "Bahwa makam di Tarutung adalah makam yang dibuatkan Belanda kepada Sisingamangaraja sebagai tawanan perang, tidak layak baginya yang seorang tokoh raja dan pahlawan besar". Maka pemerintah, masyarakat, dan keluarga kemudian bersepakat memindahkan makam Sisingamangaraja XII ke Soposurung yang dikenal sekarang ini, di sanalah Makam Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak di makamkan.



Makam Raja Sisingamangaraja XII Makam Sisingamangaraja XII berlokasi di Jalan Siposurung, Kecamatan Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara. Tempatnya tidak jauh dari lokasi Museum Batak Belige, jarakya kira-kira 150 meter sebelum lokasi Museum Batak Balige.



Warisan Sejarah Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia. Selain itu, untuk mengukuhkan jasa beliau sebagai seorang pelawan penjajahan, beliau dianugerahi gelar sebagai seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang ditetapkan melalui SK Presiden RI No 590/1961 tanggal 9 November 1961 bersama dengan beberapa pahlawan lain seperti Oemar Said Tjokroaminoto, Kiai Haji Samanhudi, Setiabudi dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi Gambar-gambar warisan sejarah Raja Sisingamangaraja XII



Foto Raja Sisingamangaraja XII dalam Lembaran Uang Rp 1.000,-



Cap / Stempel Raja Sisingamangaraja XII



Bendera Perang Raja Sisingamangaraja XII



Patung Raja Batak Sisingamangaraja XII di depan Museum Batak Demikianlah cerita singkat (turi-turian) tentang "Raja Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak" di atas. Semoga berguna dan menambah wawasan. Tuhan Memberkati. Horas.*** Editor: Tim Batak Network