Kisah Teladan Hamka DKK [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

B. Kisah Teladan dari Minangkabau



1. BUYA HAMKA



Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan singkatan HAMKA lahir di desa kampung yang molek, Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908.M /13 Muharram 1362.H. Ia anak pertama dari tujuh orang bersaudara dari kalangan kelurga yang taat beragama. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah seorang ulama yang akrab dipanggil dengan Haji Rasul, ibunya bernama Sitti Shafiyah. Ia juga diberikan sebutan Buya ( bahas Arab = abi, abuya) yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Masa kecilnya Hamka tinggal bersama neneknya di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang Panjang. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu kecil ia belajar mengaji dan silek serta tidur di surau. Selain itu ia suka mendengarkan kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional Minangkabau. Ketika berusia tujuh tahun ia dimasukkan ke Sekolah Desa belajar setiap paginya. Disamping itu sore harinya ia belajar di Diniyah School. Namun sejak dimasukkan ke Thawalib ( sekolah yang didirikan ayahnya ), ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa. Karena kepatuhan kepada ayahnya sejak itu ia berhenti di Sekolah Desa dan bersekolah di Thawalib pagi hari sedangkan sorenya tetap belajar di Diniyah School dan malamnya kembali ke surau. Di surau HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. dibawah bimbingan ulama terkenal. Selama belajar di Thawalib, Hamka lebih sering berada di perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy. Dari sinilah, ia leluasa membaca bermacam-macam buku, bahkan beberapa ia pinjam untuk dibawanya pulang. Namun, karena buku yang dipinjamnya itu tidak ada hubungannya 93



dengan pelajaran, ia sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan tengah asyik membaca Kaba Cindua Mato. Ayahnya berkata, "Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau menjadi orang tukang cerita?". Hamka tidak sedikitpun merasa jengkel dengan sikap ayahnya, namun kemarahan ayahnya itu malah menjadi cemeti dan motivasi baginya untuk lebih giat belajar dan mewujudkan obsesinya. Untuk menunjukkan jatidiri kepada ayahnya dan sebagai akibat dari persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya tentang daya tarik tanah Jawa, menyebabkan Hamka sangat berminat untuk merantau ke tanah Jawa. Empat tahun belajar di Thawalib akhirnya ia memutuskan untuk keluar sekalipun tanpa memperoleh ijazah. Makin hari jiwa kemandirian HAMKA semakin berkembang. HAMKA yang dikenal sebagai seorang pengelana sehingga ayahnya memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu agama serta pergerakan dan organisasi. Walaupun keinginanya itu kandas akibat sakit cacar yang dideritanya sesampai di Bengkulu. Meski begitu setelah sembuh niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tetap tidak terbendung, maka iapun berangkat ke Jawa dan menetap Yogyakarta, Bandung dan Pekalongan. Di sana ia berkesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan Islam yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Syarikat Islam (SI) dan Masyumi. Secara otodidak HAMKA belajar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Setahun lamanya berada di Jawa, Hamka kembali lagi ke Padang Panjang dan ia aktif menulis di majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah, dan Majalah Tabligh Muhammadiyah, disamping itu iapun menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-pidato saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu." Di sisi lain, ia tidak mendapatkan penerimaan baik dari masyarakat. Ia sering kali dicemooh sebagai "tukang pidato yang tidak berijazah", serta kritikan dari sebagian ulama karena belum menguasai bahasa Arab dengan baik. Berbagai



94



kritikan dan cemoohan itu ia jadikan cambuk untuk membekali diri lebih matang. Dengan semangat keilmuan yang tinggi dan dengan biaya sendiri tahun 1927 ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah hajinya sekaligus memperdalam ilmu agama dan bahasa Arab. Disana ia bekerja di perusahaan percetakan yang memberinya peluang untuk membaca kitab-kitab klasik, bukubuku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab. Ketika di Makkah ia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang. Ia pun segera kembali ke tanah air, namun bukannya pulang ke Padang Panjang akan tetapi ia malah menetap di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang. Selama di Medan, HAMKA bekerja sebagai guru agama disamping aktif berdakwah melalui tulisan. Selain itu ia juga menuliskan laporan-laporan perjalanannya, Pada tahun 1927 ia melahirkan romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Ketika Padang Panjang (1926) diguncang gempa bumi 7,6 SR yang meluluhlantakkan rumah ayah Hamka di Pasar Usang, membuat ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Maninjau. Ia diterima ayahnya dengan penuh haru hingga menitikkan air mata. Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa tidak engkau beritahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu ?” Hamka menjawab dengan penuh simpati dan perhatian “Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin”. “Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah." Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang, ia kembali meninggalkan kampung halamannya pindah ke Medan dan bekerja sebagai editor sekaligus pemimpin redaksi Majalah Pedoman Masyarakat yang untuk pertama kalinya ia memperkenalkan nama pena "HAMKA". Disinilah ia menulis roman “Di Bawah Lindungan Ka'bah”, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927, kemudian Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup.



95



Sewaktu di Medan inilah kariernya di Muhammadiyah kian menanjak hingga ia terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur, kemudian menjadi Ketua Muhammadiyah Sumatera Barat. Melalui organisasi Muhammadiyah inilah akhirnya HAMKA menapak karir dalam berbagai bidang dengan segudang prestasi di pentas Nasional dan Internasional. Hamka merupakan sosok yang idelais. Terbukti tahun 1951 Hamka diangkat oleh Menteri Agama menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama. Akan tetapi jabatan itu diletakannya tahun 1960 ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Tahun 1955 HAMKA masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran



HAMKA



sering



bergesekan



dengan



penguasa



seperti



memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia, penolakannya atas gagasan Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin, sekaligus berakhirnya karir politik HAMKA sejalan dibubarkannya Konstituante serta diharamkannya Masyumi oleh pemerintah tahun 1960. Karena pemikirannya terus berseberangan dengan pemerintah saat itu, maka tahun 1964 HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno. Semasa dipenjara baginya bukanlah sebuah siksaan dan hukuman, akan tetapi ia rasakan wujud cinta kasih sayang Allah kepadanya. Keadaan itu ia manfaatkan dengan menulis dan menyusun Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah monumental terbesarnya. Meski begitu, HAMKA tidak pernah sakit hati dan menaruh dendam terhadap Presiden Sukarno. Hal ini ditunjukannya ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam shalatnya. Semasa pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total berperan sebagai ulama. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975. Sebagai ulama HAMKA dikenal seorang yang moderat sekalipun kesehariannya memakai kain sarung. Bukti kemoderatan Hamka ditunjukannya dalam berbagai hal. Hamka pernah menjadi imam dikalangan jamaah yang biasa melaksanakan qunut dan menjadi makmum kepada imam yang biasa menjaharkan bismillah. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata



96



keras, apalagi kasar dalam berdakwah. Disamping itu beliau lebih banyak berdakwah melalui tulisan dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam. Di Era orde baru ini lagi lagi Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Mendikbud saat itu ( 1978 ) untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan dan permintaan Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara agar MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap tegas HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya sebagai menteri. Mendengar niat itu HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA dengan istiqamah dan penuh simpati memutuskan mundur sebagai Ketua MUI. Setelah mengundurkan diri sebagai ketua MUI, kesehatannya terus menurun, yang akhirnya beliau menemui ajal pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini. Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh politik, ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, termasuk negara berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab. Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), dan Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo serta Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia Karakter HAMKA 1. Mandiri dan Bertangungjawab 2. Tahu diri, Perhatian dan Empati 3. Idealis dan Istiqamah 4. Tegas dan Lugas 5. Penyabar tidak dendam 6. Demokratis dan Toleran



97



7. Haus dan cinta ilmu 8. Disiplin waktu dan memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk berbuat kebaikan 9. Memiliki rasa hormat, Rendah hati dan Penyantun. 10. Memiliki semangat dan kemauan yang keras untuk maju



98



2. MOHAMMAD NATSIR



Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat tepatnya pada tangga 17 Juli 1908 ia merupakan anak dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado serta Khadijah. Natsir mulai mengenyam pendidikan selama dua tahun di Sekolah Rakyat Maninjau, kemudian ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Padang. Disamping belajar di HIS pada siang hari, ia juga belajar pengetahuan agama Islam di Madrasah Diniyah saat malam hari. Setamat sekolah HIS ia meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang, yang membawanya aktif dalam perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij serta Jong Islamieten Bond. Sesudah lulus dari MULO, ia selanjutnya pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) sampai tamat pada tahun 1930. Selama menjalani pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik dan banyak menulis dalam bahasa Belanda Inggris dan Prancis. Ia pernah ditawari beasiswa seperti di Mulo dan AMS untuk belajar di Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, namun dia tidak melanjutkan studinya dan lebih tertarik pada perjuangan Islam. Semangat keislamannya ini banyak ditunjukannya dalam berbagai tulisan. Dalam tulisannya dia membela dan mempertahankan Islam dari serangan kaum nasionalis yang kurang mengerti Islam. Khusus dengan Sukarno, Natsir terlibat polemik hebat dan panjang antara tahun 1936-1940an tentang bentuk dan dasar negara Indonesia yang akan didirikan. Natsir menolak ide sekularisasi dan westernisasi dan mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. Tulisan-tulisannya yang mengeritik pandangan nasionalis sekuler



99



Sukarno ini kemudian dibukukan bersama tulisan lainnya dalam dua jilid buku Capita Selecta. Sejak sekolah di Bandung jiwa pergerakan dan kepemimpinan M Natsir semakin berkembang hingga ia diangkat menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung yang akhirnya mengantarkan beliau menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam. Mohammad Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam. Ia juga banyak menguasai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Arab, serta Spanyol. Sejak itu ia aktif dalam pergerakan melalui Partai Islam Indonesia, Majelis Islam A'la Indonesia (Yang kemudian menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat yang akhirnya diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri Penerangan dan Pardana Menteri. Semasa jadi Perdana Menteri Mohammad Natsir mengkritik Soekarno bahwasanya dia kurang mencermati kesejahteraan diluar Pulau Jawa. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Lantaran kritiknya yang dilancarkan kepada Soekarno hingga membuat hubungannya kurang harmonis yang akhirnya Mohammad Natsir mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. Pemerintah Indonesia masa orde lama maupun orde baru, sama-sama menuding



Mohammad



Natsir



sebagai



pemberontak.



Apalagi



sejak



mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas. Pemikirannya itu disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai pemberontakan. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan di Malang dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tahun 1966. Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam baik tingkat Nasional maupun In ternasional seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang 100



berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan. Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Ia juga mengkritikisi kebijakan pemerintah yang membuat ia dicekal. Walaupun ia diperlakukan tidak adil oleh pemerintah saat itu namun tidak sedikitpun rasa dendam terpancar dari jiwanya. Keinginannya untuk berjuang dan berbuat dalam membangun Indonesia serta dunia Islam sangatlah tinggi. Ini dibuktikan dengan usahanya dalam kapasitas sebagai ketua DDII, mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka mencairkan hubungan dengan Malaysia. Mengajak pemerintah Kuwait agar menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi. Disamping sebagai aktifis politik, tokoh pergerakan, budayawan dan tokoh agama Islam, M Natsir juga dikenal sebagai seorang jurnalis ulung. Banyak ide dan pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan yang diterbitkan dalam berbagai jurnal, majalah dan surat kabar dalam dan luar negeri saat itu. M. Natsir selalu menganjurkan masyarakat untuk senantiasa hidup sederhana, baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Anjuran tersebut dipraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam berpakaian yang terkesan itu-itu saja. Padahal secara pribadi M. Natsir sangat mampu untuk membeli pakaian yang mahal dan bermerk. Sepanjang hidupnya Mohammad Natsir dikenal sebagai pemipin yang rendah hati sederhana dan bersahaja namun tegas dan disiplin. Waktu menjadi Menteri Penerangan, ia menggunakan jas yang bagus. Sering menggunakan baju tambalan ya ng dijahitnya sendiri. Bahkan rumahnya di Jalan Cokroaminoto, tak lain adalah hadiah dari Pak Idit Djunaedi, karena melihat Natsir, yang tinggal disebuah gang, dan tak layak ditempati seorang perdana menteri. Ia juga menolak hadiah mobil Chevy Impala dari cukong walau sebenarnya di tempat tinggalnya cuma mempunyai mobil tua merk De Soto. Dia satu-satunya pejabat pemerintah, yang pulang dari Istana yang membonceng sepeda sopirnya, sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno.



101



Sebagai seorang yang santun dalam kehidupan politik M. Natsir selalu menampilkan konsistensi dan etika politik yang sangat tinggi. Ia tidak sudi menggunakan cara yang tidak bermoral guna mencapai tujuannya dan tidak pernah membenci lawan politiknya. Namun jika sudah meyakini kebenaran keputusan politiknya, M. Natsir tidak bersedia ditawar oleh siapapun dan dengan imbalan apapun. Bahkan M. Natsir rela dipenjara dan dimusuhi pemerintah jika harus dipaksa merubah keputusan politik yang diyakininya benar. M. Natsir selalu menghargai sebuah proses politik dan tidak menyukai cara instan guna mencapai tujuan. Dalam hal jiwa nasionalisme Islaminya, M Natsir sangatlah dipujikan. Sekalipun Natsir memiliki latar belakang pendidikan Belanda dan pergaulan dengan tokoh nasionalis dan sosialis barat, Natsir tidak terpengaruh dan tergerak sama sekali untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia pendidikan Islam. Ia juga peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Oleh negara-negara lain, Natsir benar-benar dihormati serta dihargai. Mohammad Natsir diakui oleh Dunia Islam sebagai pahlawan lintas bangsa serta negara yang banyak membantu pembaruan Islam. Di tahun 1957, Mohammad Natsir menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey dari pemerintah Afrika Utara, Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah serta penghargaan dari Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi serta Abul A'la Maududi. Selain itu juga mendapatkan penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi. Gelar Doktor ( HC ) bidang politik Islam dari Kampus Islam Libanon. Dua gelar kehormatan, yakni dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia serta bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia. Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta. Pada masa pemerintahan B. J. Habibie, dia diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Karakter M Natsir 1. Mandiri dan Bertangungjawab 2. Perhatian dan Empati



102



3. Idealis dan Istiqamah 4. Tegas dan Lugas 5. Sederhana 6. Penyabar tidak dendam 7. Demokratis dan Toleran 8. Haus dan cinta ilmu 9. Disiplin waktu 10. Memiliki rasa hormat, Rendah hati dan Penyantun. 11. Memiliki kemauan yang keras untuk maju



103



3. RAHMAH EL YUNUSIYAH; SYAIKHAH DAN PEJUANG PENDIDIKAN PEREMPUAN



Rahmah el-Yunusiyah dijuluki “Kartini Pendidikan Islam”, karena perannya dalam pengembangan pendidikan kaum perempuan. Ketika kebanyakan perempuan masih buta huruf dan terpingit dalam kungkungan adat dan budaya, Rahmah sudah mendirikan dan mengasuh Perguruan Diniyah Putri di Padang Panjang. Ia perempuan pertama yang mendapat gelar “Syaikhah” dari Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. a. Riwayat Kelahiran dan Keluarganya Rahmah El-Yunusiyah dilahirkan pada hari Jumat 20 Desember 1900 di Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera Barat, sebagai anak bungsu dari limabersaudara. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Yunus, seorang qadi di Nagari Pandai Sikek, Padang Panjang dan pernah mengenyam pendidikan agama selamaempat tahun di Mekkah. Ibunya bernama Rafi’ah. Kakeknya bernama Imanuddin, seorang ahli ilmu falak dan pemimpin Tarikat Naqsyabandiyah yang turut memberantas khurafat dan tempat-tempat keramat di Minangkabau di masanya. Kakak sulungnya, Zainuddin Labayel-Yunusy (1890-1924)merupakan seorang tokohpembaharu sistem pendidikan Islam yang mendirikan Perguruan DiniyahSchool di Padang Panjangtahun 1915. Zainudin Labay mengusai beberapa bahasa asing yaitu Inggris, Arab, Belanda. Dengan kemahirannya berbahasa asing menyebabkan wawasan Zainuddin sangat luas. Dialah yang menjadi guru, pemberi inspirasi, dan pendorong cita-cita Rahmah el-Yunusiyah. Rahmah sudah menjadi yatim dalam usia balita. Ia pun diasuh dan dibersarkan oleh ibu serta kakak-kakaknya. Di usia 16 tahun, ia dinikahkan dengan H. Baharuddin Latif, seorang ulama berpikiran maju asal Sumpur, Singkarak. Enam tahun kemudian mereka bercerai secara baik-baik dan tidak dikaruniai anak. Setelah itu Rahmah tidak menikah lagi hingga akhir hayatnya. b. Pendidikan Meski hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) hingga kelas III, tapi Rahmah El-Yunusiyah memiliki wawasan yang  luas. Dia lebih banyak belajar otodidak dan juga belajar langsung kepada kedua kakak laki-lakinya, Zainuddin Labay dan Mohammad Rasyid serta ulama-ulama terkemuka lainnya, seperti:



104



1. Syekh Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, atau dikenal pula dengan sebutan Inyiak DR (De-Er), ayahanda dari ulama terkenal Buya Hamka, di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang. 2. Syekh Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pimpinan Madrasah Thawalib Padang Panjang). Rahmah dan tiga sahabat dekatnya: Rasuna Said, Nanisah dan Jawana Basyir, selalu mengikuti kuliah agama Syekh DR. Abdul Karim Amrullah yang biasanya hanya diikuti laki-laki. Mereka selalu menjadi cemoohan “mana mungkin perempuan bisa belajar agama secara mendalam karena mereka punya kemampuan terbatas.” Cemoohan itu bukan melemahkan, melainkan memicu semangat Rahmah untuk memajukan pendidikan kaum perempuan di kemudian hari. Rahmah dikenal sebagai sosok yang cerdas,  lincah, menyukai  hal-hal baru, dan memiliki tekad baja. Jika sudah menginginkan sesuatu, maka tiada seorang pun yang mampu menghalanginya. Karena kecerdasannya, setelah lulus sekolah dia diminta menjadi guru bagi almamaternya. Disela-sela kesibukannya mengajar, dia mengikuti kursus kebidanan di RSU Kayu Taman (1931-1935). Ia juga belajar ilmu kesehatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan. Jadi, selain belajar ilmu agama, Rahmah juga belajar ilmu kebidanan dari salah seorang saudara ibunya dan menimba ilmu kesehatan dari beberapa orang dokter yang ada pada waktu itu, seperti dr. Sjofjan Rasjad, dr. Tazar (Kayutanam), dr. A. Saleh (Bukittinggi), dr. Arifin (Payakumbuh), dan dr. Rasjidin serta dr. A. Sani (Padang Panjang). Pada saat itu masih sangat sedikit perempuan yang bersekolah. Menurut Sensus tahun 1930, baru 6 persen penduduk pribumi yang bisa membaca dan selebihnya buta huruf. Mereka yang terdidik lebih didominasi kaum pria, sedangkan perempuan dianggap hanyalah makhluk kelas dua yang tidak perlu bersekolah tingi. Percuma bersekolah jika akhirnya hanya masuk ke dapur. Perempuan masa itu sangat pasif dan belum mampu memberikan kontribusi riil bagi kemajuan agama dan bangsanya. Rahmah sangat prihatin dengan kondisi ini. Ia berpendapat pendidikan sangat penting bagi kaum perempuan. Dengan pendidikan maka kaum perempuan mampu mengangkat harkat dan martabatnya, mampu melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Karena itu, Rahmah sampai pada satu kesimpulan: perlu ada perguruan khusus untuk anakanak perempuan.



105



c. Mendirikan Sekolah Berangkat dari keprihatinan di atas, Rahmah El-Yunusiyah bertekad untuk mendirikan sekolah khusus bagi kaum perempuan. Dibantu oleh kakak sulungnya Zainuddin Labay, akhirnya Rahmah El-Yunisiyah berhasil mewujudkan mimpinya. Pada tanggal 1 November 1923 berdirilah Madrasah Diniyah Li al-Banat, artinya sekolah khusus untuk anak-anak perempuan. Mulanya perguruan ini tidak melaksanakan pendidikan dalam ruang kelas, melainkan hanya di sebuah surau di Pasar Usang Padang Panjang, murid-murid Rahmah duduk di tikar dan belajar membaca buku-buku berbahasa dan bertulisan Arab. Seiring berjalannya waktu, murid Rahmah pun bertambah. Akan tetapi baru sepuluh bulan sekolah ini berjalan, Zainuddin Labay dipanggil oleh Allah SWT, meninggal dalam usia muda. Rahmah sangat terpukul dengan musibah ini. Namun, dia tetap melanjutkan keberadaan Madrasah Diniyah Li al-Banat bahkan membuat keputusan untuk memberikan pengajaran klasikal lengkap dengan sarananya seperti gedung, meja, bangku, papan tulis, kapur dan sebagainya. Rahmah berjuang keras untuk mendirikan gedung bagi sekolahnya. Berkat kegigihannya, gedung sekolah itu pun dapat berdiri diatas tanah wakaf dari ibundanya sendiri, Ummu Rafiah. Baru berjalan tiga tahun, terjadi gempa Padang Panjang tahun 1926. Gedung sekolah itu rubuh bersama banyak bangunan lainnya di kota itu. Bahkan gempa itu menelon korban, sahabatnya sekaligus guru di Diniyah Putri, Nanisah, tertimbun reruntuhan akibat gempa tersebut. Tapi Rahmah tetap bersemangat dan berusaha mendirikan kembali sekolahnya. Rahmah memutuskan untuk mengadakan tour sosialisasi cita-cita dan pemikirannya tentang perguruannya ke luar daerah sekaligus penggalangan dana. Pada tahun 1927, dia menggalang dana di Aceh dan Sumatera Utara selama tiga bulan.  Selain penggalangan dana, tour ini juga bertujuan sebagai ajang study banding bagi para calon guru di Madrasah Diniyah Li al-Banat. Ia juga berkunjung hingga ke Semenanjung Malaysia. Rahmah masuk ke istanaistana Sultan, seperti Negeri Sembilan, Penang, Selangor, Pahang dan Kedah. Di sana ia juga mengajar putri-putri istana. Para sultan pun memberikan apresiasi hingga bantuan untuk membangun kembali perguruannya. Setelah itu, Rahmah berhasil membangun gedung dan asrama yang mampu menampung 275 murid dari 350 total murid keseluruhan. Selain perbaikan sarana fisik, Rahmah juga mengadakan perbaikan kurikulum. Jika sebelumnya hanya mengajarkan



106



ilmu-ilmu agama, maka selanjutnya Rahmah memasukan pelajaran  umum seperti Bahasa Indonesia,  Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, menulis latin,  berhitung, tata buku, hitung rugi laba,  kesehatan, ilmu alam, ilmu tubuh manusia, ilmu bumi, ilmu tumbuhan, ilmu binatang dan menggambar. Sedangkan program ekstra kurikulernya meliputi renang, musik, menganyam, bertenun. Di tahun 1930-an, di depan perguruannya ada kolam lalu digunakan untuk belajar berenang bagi murid-muridnya di mana kolam tersebut dipagari dengan kain-kain mereka. Berkat kegigihannya, lembaga pendidikannya mengalami perkembangan yang sangat pesat.  Di tahun 1926 ia membuka kelas Menjesal School. Kelas ini ditujukan bagi para wanita yang belum bisa baca tulis. Kemudian tahun 1934 Rahmah berhasil mendirikan sekolah Taman Kanak Kanak (Freubel School) dan Junior School (setingkat HIS). Ia juga mendirikan Diniyah School Putri tujuh  tahun yang terdiri dari tingkat Ibditaiyah selama empat  tahun dan tingkat Tsanawiyah selama tiga tahun. Dalam kenyataannya, Rahmah el Yunusiyyah menghadapi problem tenaga pendidik untuk lembaga pendidikan yang dibukanya. Guna memenuhi tuntutan tersebut, ia membuka Kulliyat al Mu’alimat al Islamiyah pada tahun 1937. Kulliyatul Mu’alimat al Islamiyyah ini bertujuan untuk mencetak tenaga guru muslimah profesional. Jangka waktu pendidikannya ditempuh selama tiga tahun. Setahun sebelumnya, yaitu tahun 1936 Rahmah berhasil mendirikan sekolah tenun. Diniyah School Putri Padang Panjang mendapat tempat di hati masyarakat. Lulusannya sangat diminati. Tidak hanya di Sumatra dan Jawa bahkan hingga masyarakat Malaysia dan Singapura. Rahmah kemudian membuka cabang Diniyah School di beberapa tempat. Ketika ia mengikuti Kongres Perempuan Indonesia mewakili Sumatera Barat di tahun 1935, Rahmah sekaligus membuka cabang di Kwitang dan Tanah Abang. Kemudian di tahun 1950, ia membuka cabang di Jatinegara dan Rawasari. Rahmah juga mengirim siswi tamatan Diniyyah Puteri untuk mengajar di Malaysia. Akhirnya banyak pula orang tua di negera tersebut yang menitipkan putrinya untuk bersekolah dan dididik di Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang. Diantara anak didiknya yang berhasil adalah Aisyah Aminy, politisi Indonesia, Nurhayati Subakat, pengusaha kosmetik, dan Aisyah Gani, yang pernah menjabat sebagai Menteri Kebajikan Masyarakat Malaysia. Rahmah juga berusaha menyempurnakan institusinya dengan cara memiliki lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi. Cita-cita ini terlaksana pada tahun 1967 dengan berdirinya Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Pada tahun 1969. Kedua



107



fakultas ini berubah namanya menjadi Fakultas Dirasah Islamiyyah Diniyah Puteri. Ijazah Sarjananya diakui setara dengan Ijazah Fakultas Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Dalam mengelola lembaga pendidikannya, Rahmah memilih sikap independen tidak berafiliasi kepada pihak manapun, baik pemerintah maupun partai.Sikap ini terlihat jelas ketika Rahmah menolak subsidi dana pendidikan dari pemerintah kolonial Belanda. Rahmah juga menolak penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau. Dia berpendapat, independensi menyebabkan sekolah bebas untuk berjalan sesuai dengan visi dan misi sendiri, sehingga mampu menghasilkan para pelajar yang cerdas, shalihah dan militan. d. Aktif dalam Pergerakan sosial, keagamaan dan Politik Rahmah ikut dalam pergerakan Permu (Persatuan Muslimin Indonesia) yang berdiri tahun 1930-an, ia juga dekat dengan kalangan Muhammadiyah serta bekerja sama dengan tokoh perempuan, Rasuna Said, yang juga mengajar di Perguruannya.Ia juga aktif menentang praktik-praktik penindasan kolonial Belanda. Di antara kiprahnya adalah: 1. Mendirikan Perikatan Guru-guru Poetri Islam di Bukittinggi. 2. Ketua panitia penolakan Kawin Bercatat 3. Ketua penolakan Ordonansi Sekolah Liar 4. Tahun 1933, memimpin rapat umum kaum Ibu di Padang Panjang sehingga ia didenda pemerintah Belanda 100 gulden karena dituduh membicarakan politik. 5. Menjadi anggota Pengurus Serikat Kaum Ibu Sumatera (GKIS) Padang Panjang, sebagai wadah memperjuangkan harkat kaum Perempuan. 6. Mendirikan khuttub khannah(taman bacaan) untuk masyarakat. 7. Tahun 1935, ia mewakili kaum ibu Sumatera Tengah ke Kongres Perempuan di Jakarta. Dalam kongres ini, bersama Ratna Sari, ia memperjuangkan kaum perempuan Indonesia memakai selendang. 8. Rahmah juga menjadi ketua Haha Nokai(Organisasi kaum ibu) di Padang Panjang. 9. Sewaktu pecah perang pasifik, Rahmah menjadikan Diniyah School sebagai Rumah Sakit darurat.  10. Menjelang akhir pendudukan Jepang, Rahmah menjadi anggota peninjau Sumatora Chuo Sangi In (Panitia Persiapan Kemerdekaan di Sumatera) yang dipimpin oleh Mohammad Sjafe’i.



108



11. Ia juga menjadi anggota Mahkamah Syari’ah Bukittinggi dan anggota Majelis Islam Tinggi Sumatera Tengah. 12. Rahmah ikiut mendirikan organisasi sosial politik seperti ADI (Anggota Daerah Ibu) Sumatera Tengah, tujuannya untuk menentang pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) tentara Jepang. ADI menuntut Jepang agar menutup rumah kuning (istilah untuk prostitusi waktu itu) karena tidak sesuai dengan kebudayaan dan agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia. Ternyata tuntutan itu berhasil. Perempuan Indonesia tidak lagi menjadi budak pemuas nafsu seks tentara Jepang. Sebagai gantinya, Jepang mendatangkan perempuan-perempuan dari Singapura dan Korea. 13. Rahmah adalah orang yang pertama kali mengibarkan sangsaka Merah Putih di halaman sekolahnya setelah ia mendengar berita bahwa Indonesia Merdeka dari Engku Syafi’i, Ketua Sumatera Cuo Sangi In, sedangkan Rahmah sendiri salah seorang anggotanya. Mendengar berita bendera Merah Putih telah berkibar di halaman Diniyah Puteri, pada hari itu pengebiran bendera pun terjadi di kantorkantor yang ada di berbagai pelosok. e. Perjuangan Pasca-Kemerdekaan Selama perang kemerdekaan, Rahmah ikut berjuang, meskipun tidak memanggul senjata. Tanggal 12 Oktober 1945, Rahmah mempelopori berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang anggotanya berasal dari Gyu Gun Ko En Kai atau Laskar Rakyat. Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata masih muda usia. Rahmah juga mengayomi barisan pejuang yang dibentuk organisasi Islam seperti laskar Sabilillah, laskar Hizbullah dan lain-lain. Karena sifatnya yang mengayomi, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan menyebutnya sebagai Bundo Kanduang dari barisan perjuangan. Ketika kota Padang panjang diduduki Belanda pada Agresi II, Desember 1948, Rahmah mengubah perguruannya menjadi rumah sakit lalu memindahkan basis gerakannya ke lereng Gunung Singgalang. Hal ini dilakukan agar Perguruan Diniyah tidak diduduki oleh tentara Belanda. Tanggal 7 Januari 1949, Rahmah ditangkap tentara Belanda di persembunyiannya di lereng Gunung Singgalang lalu ditahan di rumah seorang pejabat polisi Belanda dengan penjagaan ketat dan dilarang menerima tamu. Tujuan penahanan ini hanya untuk memisahkan dia dari kaum pejuang karena dianggap besar pengaruhnya.



109



Rahmah dibebaskan pada September 1949 dan diizinkan mengikuti Konferensi Pendidikan di Yogyakarta lalu mengikuti pula Kongres Kaum Muslimin Indonesia di Jakarta. Ia kembali ke Padang Panjang setelah penyerahan kedaulatan akhir 1949. Rahmah juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Partai Masyumi di Minangkabau. Pada Pemilu 1955, Rahmah dicalonkan partainya dan terpilih menjadi angota Dewan Perwakilah Rakyat Sementara (DPRS) mewakili Sumatera Tengah (1955-1958). f. Penghargaan Dunia Internasional Keberhasilannya



dalam



mengelola



Perguruan



Diniyyah



Putri



Padang



Panjang mendapat apresiasi tidak hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Rektor Universitas Al Azhar Mesir, Dr.Syaikh  Abdurrahman Taj mengadakan kunjungan ke Perguruan Diniyah Putri pada tahun 1955. Syekh ini amat tertarik dengan sekolah yang didirikan Rahmah. Hal ini menginspirasi Universitas al-Azhar membuka pula fakultas khusus untuk perempuan yang diberi nama Kuliyyatul Banat. Pada tahun 1956, Universitas al-Azhar mengundang Rahmah berkunjung ke Kairo. Dalam kunjungan itu, oleh Rapat Senat Guru Besar Universitas al-Azhar, ia dianugerahi gelar Syaikhah. Menurut Buya Hamka, gelar yang diberikan kepada Rahmah ini adalah gelar tertinggi yang sebelumnya belum pernah diberikan kepada seorang perempuan. g. Wafat Pada tanggal 16 Februari 1969, Rahmah El-Yunusiyyah menemui Gubernur Sumatera Barat, Harun Zain untuk membicarakan usaha memajukan perguruannya khususnya dan perguruan Sumbar umumnya. Hari itu gubernur mengantarkannya hingga halaman kantornya, melepas Rahmah menaiki mobil yang akan membawanya kembali ke Padang Panjang. Esok harinya, Harun Zain menerima kabar bahwa Syaikhah Rahmah el-Yunusiyah meninggal dunia. Rahmah wafat tanggal 27 Februari 1969 dalam usia 68 tahun lewat dua bulan. Rahmah El-Yunusiyyah telah berhasil membuktikan kepada dunia bahwa muslimah Indonesia bukanlah perempuan yang terbelakang.  Bahwa muslimah taat bisa berkontribusi bagi agama dan bangsanya. Beliau berhasil mewujudkan cita-citanya karena keyakinannya yang teguh kepada Allah serta tekadnya yang membaja. Meskipun beliau telah tiada tapi semangatnya tetap mengalir hingga hari ini. Kisah hidupnya tetap memberi inspirasi bagi seluruh muslimah Indonesia.



110



Referensi: Edwar (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Center Sumatera Barat, 1981. Hamka, Ayahku; Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: UMMINDA, 1982, cetakan ke-4 Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia, 2010 http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Khatib_Al-Minangkabawi http://muslim.or.id/biografi/imam-khathib-masjid-al-haram-ahmad-al-khathib-al-minangkabawi.html Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1982 Putra, Apria,Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Matematika, http://surautuo.blogspot. com/2013/11/syekh-ahmad-khatib-al-minangkabawi-dan.html Yunus,Yulizal, dkk.,BeberapaUlama di Sumatera Barat, Padang:PemerintahPropinsi Sumatera Barat, DinazsPariwisataSenidanBudaya UPTD Museum Adityawarman, 2008



\ Sumber: Emma Yohanna, “Syaikhah Rahmah el-Yunusiyah”, dalam Edwar (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Center Sumatera Barat, 1981. Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia, 2010 Rahmah El Yunusiyah, Mujahidah dan Pelopor Pendidikan Perempuan Asal Padang, dalam http://muslimahzone.com/rahmah-el-yunusiyah-mujahidah-dan-pelopor-pendidikanperempuan-asal-padang/ Rahmah El Yunusiyyah, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Rahmah_El_Yunusiyyah Widi



Astuti,



dalam



http://serbasejarah.wordpress.com/2013/05/03/rahmah-el-yunusiyah-



syaikhah-dunia-pendidikan-perempuan/



111