Komodifikasi Cukur Gimbal Dieng [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mitos dapat mempunyai peranan yang fundamental bagi kehidupan masyarakat. Peranan mitospun kadang-kadang dapat menentukan ataupun dapat mengubah nasib seseorang. Kepercayaan terhadap mitos membuat masyarakat taat melakukan kegiatan-kegiatan ritual yang menyertainya (Twikromo,2006:13). Ruwatan anak gembel di Dataran Tinggi Dieng juga didasarkan pada mitologi anak gembel yang konon katanya adalah anak titipan Dewa. Pada awalnya, semua anak berambut gembel terlahir dengan rambut normal. Mereka semua terkena gejala penyakit yang sama, di suatu waktu yang masing-masing orang dapat berbeda. Waktu tersebut antara umur 6 bulan sampai 3 tahun.Anak akan menderita demam tinggi disertai kejang dan mengigau. Setelah sembuh dari sakit, rambut mereka perlahan-lahan menjadi gembel, jarak antar rambut menjadi rapat seperti tidak pernah dibersihkan. Jika orang tuanya menyisir atau bahkan memotong rambutnya, mereka akan kembali sakit panas. Bahkan setelah dipotong, rambut gembelnya akan tumbuh lagi. Dalam kesehariannya, anak gembel sama saja dengan anak lainnya, hanya saja mereka cenderung lebih aktif, kuat dan agak nakal. Apabila mereka bermain dengan sesama anak gembel, pertengkaran cenderung sering terjadi antara mereka. Masyarakat Dieng percaya bahwa anak gembel adalah keturunan dari pepunden atau leluhur pendiri Dieng, Tumenggung Kolodete. Masyarakat juga percaya bahwa ada makhluk gaib yang "menghuni" dan "menjaga" rambut gembel



1   



ini. Gembel bukanlah genetik yang dapat diwariskan secara turun temurun. Dengan kata lain, tidak ada seorangpun yang tahu kapan dan siapa anak yang akan menerima “anugerah” ini. Ruwatan



rambut



gembel



merupakan



ritual



pemotongan



untuk



menghentikan tumbuhnya rambut gembel pada anak. Prosesi pemotongan tidak dilakukan sembarangan. Waktu pemotongan ditentukan oleh anak gembel sendiri. Jika dia belum meminta, maka gembel akan terus tumbuh walaupun dipotong berkali-kali. Ritual



ini dipimpin oleh seorang pemangku adat setempat dan



dilaksanakan pribadi di desa. Selain prosesi ritual yang harus dilakukan,hal penting yang harus dipenuhi adalah permintaan si anak gembel. Anak gembel biasanya meminta sesuatu sebagai syarat yang harus dituruti sebelum rambutnya dipotong. Orang tua juga harus memenuhi apapun permintaan anaknya. Kalau permintaan belum dituruti upacara tidak akan dapat dilaksanakan. Sejak tahun 2006, Dinas Pariwisata Wonosobo dan Banjarnegara bekerjasama menggelar upacara ruwatan massal anak gembel yang diberi nama “Pekan Budaya Dieng”. Pada tahun 2010 “Pekan Budaya Dieng” berubah nama menjadi “Dieng Culture Festival” (DCF), yang dikelola oleh POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) Dieng Kulon, Banjarnegara. Dalam festival ini digelar berbagai acara antaralain: seni tradisional, festival lampion, wayang kulit, pesta kembang api, festival film Dieng, pegelaran Jazz di atas awan dan ruwatan anak gembel sebagai acara utama. Ruwatan anak gembel yang menjadi ikon Dieng dikelola oleh POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata), dibawah naungan Dinas Pariwisata Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Ruwatan diadakan besar-



2   



besaran setiap tahunnya untuk menarik minat pariwisata. Campur tangan pemerintah oleh dinas pariwisata dalam menyelenggarakan ritual ruwatan rambut gembel menyebabkan perubahan sosio-kultural masyarakat. Ruwatan yang sekarang dilakukan rutin dan besar-besaran ini kemudian menjadi sebuah festival ikon pariwisata Dieng. Penelitian ini ingin melihat bagaimana mitos rambut gembel diproduksi dan direproduksi dengan kemasan yang berbeda antara yang “dulu” dan yang “sekarang”. Hipotesis yang penulis ajukan yaitu mitos-mitos yang ada dan berkembang di Dieng, yang dipelihara dan dilestarikan bahkan “direproduksi” untuk kepentingan-kepentingan tertentu.



B. Rumusan Masalah Fenomena anak gembel di Dataran Tinggi Dieng kini berhasil menarik ribuan wisatawan setiap tahunnya. Ritual ruwatan ini diselenggarakan oleh pemerintah melalui dinas pariwisata setiap tahun dalam rangkaian acara Dieng Culture Festival (DCF). Prosesi ruwatan anak gembel kini dipertontonkan secara umum kepada khalayak ramai. Banyaknya campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan ritual ini akan memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Dieng. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : perubahan-perubahan apa dalam masyarakat Dieng yang terefleksi dalam pelaksanaan ritual ruwatan anak gembel? untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini difokuskan pada tiga persoalan: (1) Apakah yang dimaksud dengan ritual ruwatan anak gembel dan bagaimana konteks sosial kultural ritual tersebut? Pertanyaan pertama ini akan menjadi fokus



3   



kajian pada bab II, (2) Bagaimana ritual ruwatan anak gembel dilaksanakan dan dinamikanya? Pertanyaan kedua ini akan menjadi fokus kajian pada bab III, dan (3) perubahan-perubahan apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat Dieng. pertanyaan ketiga ini akan menjadi fokus kajian pada bab IV. C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyumbangkan pemikiran dalam diskusi atau studi tentang ritual, khususnya tentang ritual-ritual pedesaan. Dalam banyak buku dideskripsikan bahwa ritual-ritual pedesaan sudah mengalami modernisasi. Penelitian ini satu langkah lebih jauh karena akan mengupas apa yang ada di balik perubahan-perubahan ritual pedesaan tersebut. Informasi ini akan sangat membantu para antropolog untuk mengembangkan lebih jauh studi tentang ritual di pedesaan Jawa. D. Studi Pustaka Penelitian-penelitian terkait dengan anak gembel di Dieng diantaranya adalah skripsi Heri Cahyono,mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul ”Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Desa Dieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo” (2008, Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Dalam penelitian ini Cahyono menerangkan bagaimana asal mula tradisi ruwatan cukur anak gimbal di Desa Dieng. Dijelaskan juga bagaimana prosesi ruwatan serta makna upacara ruwatan bagi masyarakat. Dalam penelitian ini, Cahyono hanya menjelaskan asal-usul dan prosesi dan makna ritual secara umum. Adapun perbedaan penelitian ini adalah lebih fokus kepada perubahan



4   



makna anak gembel sebagai simbol. Makna yang dibahas dalam penelitian ini lebih mendalam disertai makna sesaji sebagai simbol-simbol dalam ritual. Tulisan Nuke Martiarini dalam Psikohumanika, Vol. IV, No. 1. Agustus 2011 – ISSN 1979-0341yang berjudul “Studi Pustaka Ruwatan Cukur Rambut Gembel sebagai Symbolic Healing di Dataran Tinggi Dieng Wonosobo”. Dalam artikel ini menjelaskan posisi Ritual Ruwatan sebagai Simbolic healing (Psikoterapi Budaya Lokal) dalam kasus anak gembel. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa prosesi pemotongan rambut gembel (ruwatan cukur rambut gembel) secara hakikat sama dengan pengobatan supranatural atau alternatif, yaitu meyakini simbol-simbol yang menyatakan bahwa manusia tidak hanya hidup di dunia fisik saja, melainkan juga berhubungan dengan dunia non fisik yang dimediasi oleh simbol-simbol bermakna sesuai dengan keyakinan yang dianut. Tulisan ini sangat berbeda dimana sudut pandang fokus peneliti adalah pada perubahan makna anak gembel dalam masyarakat. Penelitian lain yang juga membahas ruwatan anak gembel adalah skripsi Septian Eka Fajrin, mahasiswa Universitas Sebelas Maret yang berjudul “Identitas Sosial dalam Pelestarian Tradisi Ruwatan Anak Gimbal Dieng sebagai Peningkatan Potensi Pariwisata Budaya”(2009). Dalam penelitian ini Fajrin menjelaskan latarbelakang tumbuhnya rambut gembel, motif masyarakat mengadakan ritual, dan bagaimana pemanfaatan potensi pariwisata budaya sebagai cara masyarakat mempertahankan identitas budaya. Perbedaan dengan penelitian ini adalah fokus peneliti tentang perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat oleh adanya komodifikasi ritual.



5   



Penelitian lain adalah Tesis yang ditulis Dhyah Ayu Retno Widyastuti mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret (2008) yang berjudul “Upacara Religi dalam Komunikasi Pemasaran Pariwisata: Studi Kasus mengenai Komodifikasi Upacara Religi Saraswatidalam Komunikasi Pemasaran Pariwisata Candi Ceto Kabupaten Karanganyar”. Dalam penelitian menjelaskan bahwa kebijakan pariwisata terkait dengan pengembangan candi mengarah pada kegiatan politik ekonomi berupa komodifikasi upacara religi dengan melibatkan masyarakat dalam kesadaran palsu. Analisis menunjukkan bahwa perspektif politik ekonomi dalam komodifikasi dapat dilihat melalui keterlibatan masyarakat yang seolah hanya menjadi objek atas pelaksanaan program kebijakan pariwisata. Penelitian tersebut hampir sama dengan penelitian ini dimana adanya peran pemerintah melalui kebijakan pariwisata berupa komodifikasi upacara religi. Selain lokasi penelitan dan upacara ritual yang berbeda, fokus penelitian terhadap anak juga merupakan perbedaan dalam penelitian ini. Menurut analisis penulis,dalam ritual anak gembel tidak hanya terjadi komodifikasi ritual, tetapi juga memungkinkan adanya komodifikasi anak, dimana beberapa aktor memanfaatkan “keistimewaan” anak untuk kepentingan masing-masing. Penelitian yang hampir sama juga telah dilakukan Moh. Soehadha dalam Walisongo, Volume 21, Nomor 2, November 2013 yang berjudul “Rambut Gembel dalam Arus Ekspansi Pasar Pariwisata”. Dalam penelitian ini Soehadha fokus pada agama dan perubahan sosial akibat ekspansi pasar pariwisata di Dataran Tinggi Dieng, dan hubungannya dengan kapitalisme negara. Pemerintah telah mengusahakan ritual rambut gembel sebagai komoditas pariwisata di



6   



Dataran Tinggi Dieng. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada dua varian respon sosial terhadap perubahan akibat ekspansi pasar pariwisata, yaitu masyarakat yang menerima dan masyarakat yang menolak. Adapun perbedaan dengan penelitian tersebut, penelitian penulis lebih terfokus pada perubahan makna.Pergeseran makna anak gembel dalam masyarakat yang akhirnya terjadi komodifikasi terhadap anak untuk berbagai kepentingan aktor. E. Kerangka Teori Menurut Summer-Effler (dalam Haryanto 2013: 15), ritual merupakan jantung dari semua dinamika sosial. Ritual meningkatkan emosi kelompok yang berhubungan dengan simbol, pembentukan basis kepercayaan, pemikiran moralitas dan budaya. Orang menggunakan kapasitas pemikiran, kepercayaan, dan strategi untuk meningkatkan emosi dan interaksi di masa depan. Beattie (dalam Haryanto, 2013:16), menyatakan bahwa banyak ritual dan upacara keagamaan menerjemahkan kekuatan alam yang tidak terkontrol ke dalam entitas simbolik, melalui ritual kekuatan alam dapat dimanipulasi dan dihadapi. Pada masyarakat tersebut tidak terdapat pengetahuan empirik yang secara tepat memungkinkan manusia dapat mengatasi keanehan-keanehan



alam melalui



praktik yang terbukti secara ilmiah, oleh karena itu mengatasinya kemudian secara simbolik dan ekspresif. Kondisi inilah yang terjadi pada masyarakat Dieng. Masyarakat tidak tahu dan tidak dapat menjelaskan fenomena dan kondisi apa yang terjadi pada anak gembel secara ilmiah. Satu-satunya pengetahuan yang mereka terima berasal dari orang tua, kakek, dan sesepuh desa yang diceritakan



7   



secara turun temurun. Mengikuti cara dan anjuran orang tua (leluhur), masyarakat Dieng melakukan Ruwatan terhadap anak gembel. Fajrin (2009:23) mengatakan: Upacara ruwatan merupakan suatu pengingat melalui pesan-pesan simbolik bahwa kehidupan manusia berlaku hukum adi kodrati yang bersifat mutlak dan langgeng. Siapa yang patuh pada hukum akan selamat hidupnya dan sebaliknya, bagi yang melanggar akan mengalami petaka. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya ruwatan berfungsi sebagai ungkapan hasil penghayatan hidup bermasyarakat beserta lingkungan alamnya yang dialami oleh para leluhur yang dilakukan secara turun temurun sehingga hal tersebut merupakan sarana untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang hakiki sebagai bekal hidup untuk mencapai ketentraman. Menurut Geertz (1992:74), kebudayaan merupakan sistem makna dan sistem simbol yang teratur, yang didalamnya interaksi sosial berlangsung. Senada dengan Geertz, Elliot (2006:618) menyatakan bahwa simbol merupakan jantungnya sistem budaya dan terkait dengan semua produksi dan reproduksi makna (Haryanto, 2013:2). Simbol-simbol religius merumuskan sebuah kesesuaian dasariah antara sebuah gaya kehidupan tertentu dan sebuah metafisika khusus (jika, paling sering, implisit) dan dengan melakukan itu mendukung masing-masing dengan otoritas yang dipinjam dari yang lain (Geertz 1992:4). Menurut Turner (1967), simbol memiliki ciri-ciri yang dapat diterima secara sensorik yang berhubungan dengan apa yang dikomunikasikan. Simbol dapat menstimulasi pandangan seseorang dengan memperhatikan referensinya. Sejak lahir manusia sudah membawa atau terlekat simbol-simbol yang menandai identitas kelompok darimana ia berasal. Tanda-tanda fisik seperti warna kulit, tekstur rambut, bentuk raut muka dan sebagainya merupakan tanda bawaan atau sering pula disebut natural symbols. Sementara tanda-tanda buatan meliputi



8   



misalnya gaya pakaian, perhiasan, model rambut, tato, dan sebagainya (Haryanto, 2013: 5). Anak gembel mempunyai natural symbol dan identitas sendiri yang membedakan dirinya dengan orang lain, yaitu pada rambutnya. Simbol yang melekat pada anak gembel ini tentu mempunyai makna dan dimaknai orang lain. Makna (meaning) simbol merupakan pesan atau maksud yang ingin disampaikan atau diungkapkan oleh creator simbol. Sebagai komunikasi ide, simbol merupakan media atau alat bagi sang creator untuk menyampaikan ide-ide batin agar dapat dipahami atau bahkan dapat menjadi pedoman perilaku (code of conduct) bagi orang lain (Haryanto, 2013: 7). Menurut Cohen (dalam Haryanto, 2013: 7) masalah makna suatu simbol lebih merupakan masalah intrepretasi daripada sebagai satu ketetapan (stipulation). Artinya, makna suatu simbol sangat tergantung pada interpretasi orang. Dengan demikian sangat dimungkinkan terjadi variabilitas makna dan hal itu tidak sepenuhnya dapat ditangkap dalam “dokumentasi” etnografi. Sama halnya dengan kasus anak gembel di Dieng, setiap orang mempunyai interpretasinya sendiri terhadap anak gembel. Dalam kasus ruwatan anak gembel, orang-orang tersebut merupakan aktor-aktor yang berhubungan dan mempunyai kepentingan. Aktor-aktor tersebut adalah orang tua anak gembel, masyarakat sekitar, pemangku adat, dan pemerintah melalui panitia penyelenggara acara. Turner (1967) menyatakan bahwa jelas, simbol bersifat multi-vocal, multi referensial, multi-dimensi atau polysemic (memiliki lapisan makna). Kualitas multi-vocal simbol menunjukkan bahwa orang tidak dapat mengkomunikasikan sesuatu dalam proposisi tunggal, melainkan lebih pada koleksi makna dan makna-



9   



makna tersebut tidaklah statis. Adanya Dieng Culture Festival sebagai acara yang mempertontonkan prosesi ritual akan membuat perubahan makna-makna simbolis baik secara prosesi atau makna anak tersebut. Akan tetapi sebuah ritus bukan hanya sebuah pola makna. Ritus juga merupakan suatu bentuk interaksi sosial. Demikianlah, disamping menghasilkan ambiguitas kultural, usaha untuk mebawa pola religius dari latarbelakang pedesaan yang relatif kurang terdiferensiasi kedalam sebuah konteks kota juga menimbulkan konflik sosial, justru karena macam integrasi sosial yang ditunjukan oleh pola itu tidak sesuai dengan polapola integrasi utama dalam masyarakat pada umumnya (Geertz 1992: 103) Pierre Bourdieu (dalam Haryanto, 2013: 13), menyatakan bahwa semua praktik dan simbol kultural, mulai dari selera artistik, gaya busana, gaya makan, ritual agama, ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan bahasa itu sendiri, memiliki kepentingan dan fungsi meningkatkan perbedaan sosial. Teori Bourdieu ini dikenal sebagai sosiologi “kekuasaan simbolik” yang merujuk pentingnya topik hubungan antara budaya, struktur sosial dan tindakan. Sztompka (2004) mengatakan bahwa perubahan sosial itu adalah proses perubahan yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat dalam jangka waktu yang berbeda yang kemudian mempengaruhi unsur-unsur dalam sistem, entah keluarga, politik, ekonomi dan sebagainya yang kemudian membawa masyarakat pada keadaan yang baru. Sztompka menaruh penekanan pada peran agen manusia, entah aktor individual dan agen kolektif, dengan bentuk perubahan sosial evolusi (proses yang berjalan lambat), revolusi (proses yang berjalan cepat), dan sumber perubahan exogenous (luar) dan endogenous (dalam).



10   



Gumilar (2006) dalam Bahan Ajar Sosiologi juga mengatakan bahwa perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Struktur suatu sistem terdiri dari berbagai status individu dan status kelompok-kelompok yang teratur. Berfungsinya struktur status-status itu merupakan seperangkat peranan atau perilaku nyata seseorang dalam status tertentu. Status dan peranan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam kasus ini, kita dapat menganggap ritual ruwatan rambut gembel sebagai sebuah sistem sosial. Didalam sebuah sistem sosial terdapat relasi-relasi sosial yang menghubungkan antar individu. Relasi yang terjadi dalam ritual rambut gembel adalah relasi makna. Bagaimana orang-orang dalam struktur sistem tersebut memaknai rambut gembel. Struktur yang membentuk sistem sosial disini adalah invidu dan kelompok antaralain, orang tua anak gembel, pemangku adat, dan masyarakat setempat. Ruwatan rambut gembel yang diselenggarakan dalam sebuah festival membuat struktur sistem dalam ritual berubah. Dalam kasus ini pemerintah oleh dinas pariwisata masuk ke dalam struktur berperan sebagai aktor atau agen perubahan. Dalam sistem sosial ini ada perubahan relasi-relasi, yaitu antara anak dengan orang tua, anak dengan masyarakat, dan anak dengan pemangku adat yang disebabkan oleh pemerintah sebagai aktor. Anak gembel yang dulunya mempunyai kuasa penuh untuk menentukan kapan dia akan diruwat, dimana, dan oleh siapa menjadi dibatasi dan menyesuaikan dengan jadwal acara yang ditetapkan pemerintah. Anak gembel yangpermintaannya biasanya harus dituruti oleh orangtua bahkan terkadang oleh tetangganya, kini harus meminta kepada



11   



pemerintah. Orang tua yang harus berusaha menuruti permintaan anaknya kini tak perlu bingung, bahkan dapat memberikan pengaruh dalam permintaan anak. Pemangku adat yang biasanya berasal dari desa setempat kini dipilih oleh pemerintah. Banyaknya campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan ritual ini akan memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dieng. Sistem relasi makna yang ada dalam sistem akan berubah dengan sendirinya. Adanya kepentingan aktor-aktor dalam struktur akan membuat berubahnya pandangan aktor tersebut dalam memaknai anak gembel. Perubahan makna terhadap anak gembel bahkan terhadap prosesi ritual ruwatannya



diakibatkan



oleh



perubahan



sistem



oleh



aktor-aktor



yang



berkepentingan. Perubahan ini juga memungkinkan terjadinya komodifikasi anak gembel. Menurut Mosco (Wahyunigsih, 2010:25): Komodifikasi (commodification) merujuk pada proses transformasi nilai guna ke dalam nilai tukar (the process of transforming use values into exchange values). Ada dua dimensi utama yang menjadikan komodifikasi ini penting dalam kajian komunikasi, yakni:(a) proses komunikasi dan teknologi memberikan sumbangan penting pada proses komodifikasi secara umum dalam bidang ekonomi secara keseluruhan,(b) proses komodifikasi bekerja dalam masyarakat secara keseluruhan dengan melakukan penetrasi pada proses komunikasi dan institusi sehingga kemajuan dan kontradiksi dalam proses komodifikasi kemasyarakatan mempengaruhi komunikasi sebagai sebuah praktek sosial. Perubahan pemaknaan, dan nilai anak dalam kasus ruwatan anak gembel ini dapat dikatakan komodifikasi. Nilai guna anak yaitu “keistimewaan” yang dimiliknya dimaknai berbeda dengan adanya festival ruwatan yang melibatkan orang banyak. Aktor aktor yang terkait dalam acara ini memanfaatkan “keistimewaan” tersebut untuk berbagai kepentingan.



12   



F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di Dataran Tinggi Dieng, mencakup dua desa yaitu, Desa Dieng Kulon yang berada di wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Desa Dieng Wetan, yang berada di Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi penelitian dipilih karena kedua desa tersebut merupakan pusat dari kegiatan ruwatan massal rambut gembel, serta menjadi pusat pariwisata di Dataran Tinggi Dieng. 2. TPL (Tim Penelitian Lapangan) Mahasiswa Antropologi Budaya Ide



awal



penelitian



ini



muncul



ketika



diadakannya



RisetEtnografikerjasamajurusanAntropologiUGM dengan University of Toronto dengantema “Producing Wealth and Poverty in New Rural Economics (Dieng Expedition)” padabulan 9 Juli- 6 Agustus 2012 di KawasanDieng (Wonosobo-Banjarnegara). Pada saat penelitian tersebut, penulis mengumpulkan data tentang mitos-mitos yang beredar di masyarakat Dieng. Berdasarkan data-data tersebut kemudian penulis mengembangkan dan melakukan penelitian lanjutan pada bulan Mei-Juli 2014. 3. Wawancara Mendalam dan Observasi Partisipasi Bagi seorang peneliti antropologi, melakukan riset dengan metode observasi partisipasi di tengah kehidupan masyarakat yang diteliti merupakan sebuah kelebihan. Hal ini sangat berguna untuk mendapatkan data yang lebih mendalam dan valid berdasarkan pandangan masyarakat



13   



dan pengalaman yang didapat tentang informasi riset. Untuk itulah, penelitian lapangan ini akan menggunakan metode penelitian observasi partisipasi sebagai dasar utama pengumpulan data. Teknik pengambilan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan berbincang dengan masyarakat. Di sini, peneliti akan mengumpulkan informasi-informasi tentang bagaimana perubahan sosial yang terjadi dalam ritual rambut gembel. Dengan metode ini, diharapkan para peneliti mendapatkan data dan informasi secara mendalam tanpa kehilangan sisi antropologis yang nantinya diolah menjadi tulisan etnografi. G. Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang saling berkaitan dan disusun secara kronoligis. Secara keseluruhan hasil penelitian ini dibagi dalam beberapa bab sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka teori, serta metode penelitian yang dijalankan dan juga sistematika pembahasan. Isi pokok ini merupakan gambaran seluruh penelitian secara garis besar, sedangkan untuk uraian lebih rinci akan diuraikan dalam bab-bab selanjutnya. Bab kedua membahas mengenai gambaran umum wilayah penelitian dan anak gembel. Pada bab ini terdiri dari sub-sub bab yang meliputi gambaran umum Dataran Tinggi Dieng, konsepsi lokal terhadap anak gembel, definisi gembel dari sisi medis, fenomena gembel: pemaknaan secara kulutural dan medis, dan konstruksi lokal terhadap keistimewaan anak gembel. Di dalam bab ini



14   



dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai konteks sosial-kultural masyarakat Dieng dan anak gembel. Bab ketiga membahas mengenai prosesi dalam ruwatan rambut gembel. dalam bab ini juga terdiri dari sub-sub bab yang meliputi ruwatan pribadi (keluarga), ruwatan festival, perbandingan ruwatan pribadi (keluarga) dan ruwatan festival, dan permintaan yang harus dituruti. Pada bab ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ruwatan rambut gimbal yaitu ruwatan pribadi dan festival dan memberikan perbandingan antara kedua ruwatan tersebut. Bab keempat membahas mengenai komodifikasi dan perubahan sosial. Pada bab ini terdiri dai sub-sub bab yang meliputi ritual dan perubahan sosial, komodifikasi ritual ruwatan anak gembel, komodifikasi anak dan komodifikasi dan perubahan sosial. Pada bab ini ingin menggambarkan bagaimana terjadinya komodifikasi dalam ruwatan anak gembel dan bagaimana pengaruhnya terhadap perubahan sosial masyarakat Dieng. Bab kelima merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dari seluruh masalah yang telah dikemukakan dalam skripsi ini



15