KOMPILASI Kasus Pajak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

AKUNTANSI PERPAJAKAN PT Jamu Gendong adalah perusahaan yang mulai berdiri di awal tahun 2006 dan bergerak di bidang produksi jamu. Berikut adalah rincian ringkas laporan keuangan PT Jamu Gendong: a. Laba komersial sebelum pajak tahun 2011 adalah Rp 233.930.012 dan tahun 2012 adalah Rp 2.192.399.201; Omzet perusahaan rata-rata selama tahun 2011 dan 2012 adalah Rp75milyar. b. Biaya-biaya yang berkaitan dengan laporan keuangan 2011 adalah: 1. Sumbangan untuk bencana alam Rp15.000.000 2. Beban perjalanan pribadi Direksi Rp40.000.000 3. Membukukan tambahan cadangan piutang tak tertagih, dengan mutasi sebagai berikut: Saldo awal AFDA 1 Januari 2011 Rp125.000.000 Penghapusan AFDA dan piutang tak tertagih selama tahun 2011 Rp30.000.000 (sudah memenuhi syarat penghapusan menurut pajak) Saldo akhir AFDA 31 Januari 2011 Rp145.000.00 4. Melakukan penjurnalan atas estimasi biaya pesangon sesuai dengan PSAK 24 sebesar Rp 140.000.000,- dengan mendebit biaya pesangon dan mengkredit Provision for Employee Retirement. Selama tahun 2011 diketahui bahwa terjadi pembayaran uang pesangon kepada karyawan sebesar Rp70.000.000. Saldo awal Provision for Employee Retirement pada tanggal 1 Januari 2011 adalah sebesar Rp250.000.000 c. Biaya yang berkaitan dengan laporan keuangan tahun 2012 adalah: 1. Biaya rekreasi seluruh pegawai ke Ancol Rp50.000.000 2. Biaya entertainment yang tidak ada daftar nominatifnya sebesar Rp85.000.000 3. Membukukan tambahan cadangan piutang tak tertagih, dengan mutasi sebagai berikut: Penghapusan AFDA dan piutang tak tertagih selama tahun 2012 Rp90.000.000 (sudah memenuhi syarat penghapusan menurut pajak) Saldo akhir AFDA 31 Januari 2012 Rp95.000.000 4. Melakukan penjurnalan atas estimasi biaya pesangon sesuai dengan PSAK 24 sebesar Rp 180.000.000,- dengan mendebit biaya pesangon dan mengkredit Provision for Employee Retirement. Selama tahun 2012 diketahui bahwa terjadi pembayaran uang pesangon kepada karyawan sebesar Rp30.000.000. d. Semua aktiva diperoleh di awal bulan Januari 2010. Biaya penyusutan aktiva sudah sesuai dengan ketentuan fiskal kecuali aktiva berikut: 1. Mesin Harga Perolehan Rp500.000.000 Masa manfaat (komersial) 5 tahun Masa manfaat (fiskal) 8 tahun Metode penyusutan Garis lurus 2. Peralatan Harga Perolehan



Rp100.000.000



1



Masa manfaat (komersial) Masa manfaat (fiskal) Metode penyusutan



5 tahun 4 tahun Garis lurus



e. Kredit pajak selama tahun 2010 (Dibukukan sebagai Pajak dibayar di muka) PPh Pasal 23 Rp3.000.000 PPh Pasal 4(2) Rp15.000.000 Kredit pajak selama tahun 2011 (Dibukukan sebagai Pajak dibayar di muka) PPh Pasal 23 Rp20.000.000 PPh Pasal 4(2) Rp10.000.000 PPh Pasal 21 Rp5.000.000 f. Rugi fiskal sejak awal pendirian: 2006 Rp300.000.000 2007 Rp150.000.000 2008 Rp45.000.000 2009 Rp20.000.000 2010 Rp2.500.000 Pertanyaan: 1. Hitunglah PPh Badan Perusahaan tahun pajak 2010 dan 2011 beserta jurnalnya! 2. Hitunglah aset dan kewajiban pajak tangguhan per 1 Januari 2010, 31 Desember 2010 dan 31 Desember 2011 beserta jurnal pada tanggal 31 Desember 2010 dan 2011 No 1 : Hitunglah PPh Badan Perusahaan tahun pajak 2011 dan 2012 beserta jurnalnya! 1. Rekonsiliasi biaya-biaya yang berkaitan dengan laporan keuangan 2011 a. Sumbangan untuk bencana alam Rp15.000.000 ●Menurut UU PPh pasal 6 ayat 1 huruf i, sumbangan yang boleh dikurangkan adalah sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional. ●Karena tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa sumbangan tersebut ditujukkan untuk bencana nasional, kami berpendapat bahwa biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dalam menghitung laba fiskal. b. Beban perjalanan pribadi Direksi Rp 40.000.000 ●Dalam UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf i, dinyatakan bahwa biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya tidak boleh dikurangkan dalam menghitung laba fiskal. ●Kemudian, dalam penjelasan UU tersebut, dinyatakan bahwa biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. ●Karena itu, biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dalam menghitung laba fiskal. c. Membukukan tambahan cadangan piutang tak tertagih ●Dalam UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf c, dinyatakan bahwa biaya yang tidak boleh dikurangkan termasuk pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.



2



●Dalam UU PPh pasal 6 ayat 1 huruf h, dinyatakan bahwa biaya yang boleh dikurangkan termasuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : i.telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; ii. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; iii. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; ●PMK nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. ●Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait penghapusan piutang tak tertagih selama tahun 2011 adalah



●Dengan demikian, kita dapat menemukan jumlah pencadangan :



●Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait pencadangan piutang tak tertagih pada akhir tahun 2011 adalah



●Berdasarkan ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya, jumlah biaya piutang tak tertagih yang telah memenuhi syarat untuk dapat dibebankan dalam menghitung laba fiskal adalah 30juta. Sedangkan, pencadangan yang dibuat PT JG sebesar 50juta tidak dapat dibebankan. ●Dengan melihat kepada jurnal yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa beban yang muncul di laporan keuangan perusahaan saat menghitung laba komersil adalah sebesar 50juta, yakni sebesar pencadangan. Namun, untuk menghitung laba fiskal, jumlah Bad Debt Expense yang boleh dibebankan hanya sebesar 30juta, yakni sebesar piutang yang nyata tidak tertagih. Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi positif terhadap Bad Debt Expense sebesar 20juta (50juta - 30juta). d. Melakukan penjurnalan atas estimasi biaya pesangon sesuai dengan PSAK 24 sebesar Rp 140.000.000 ●Estimasi pada hakikatnya sama dengan cadangan. Sehingga, sama seperti cadangan piutang tak tertagih, estimasi biaya pesangon juga tidak boleh dibebankan dalam perhitungan laba fiskal. Dasar hukum yang mengatur estimasi ini sama dengan cadangan piutang tak tertagih, yakni UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf c terkait pembentukan dana cadangan.



3



●Kemudian, berdasarkan surat direktur jenderal pajak nomor s - 290/pj.42/2003 tentang perlakuan pajak penghasilan atas dana pensiun dan dana pesangon, dinyatakan bahwa pemberi kerja tidak dapat membebankan pembentukan dana cadangan program pesangon dalam perusahaan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. ●Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait pembayaran uang pesangon selama tahun 2011 adalah



●Dari uraian kasus, diketahui bahwa estimasi yang dibuat pada tahun itu adalah 140juta. Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait estimasi biaya pesangon pada akhir tahun 2011 adalah



●Dengan demikian, kita dapat menemukan saldo jumlah estimasi pada akhir tahun 2011 :



●Sesuai dengan ketentuan, jumlah biaya pesangon yang dapat dibebankan dalam menghitung laba fiskal adalah 70juta, yakni sejumlah yang dibayarkan kepada karyawan pada tahun 2011. Sedangkan, estimasi yang dibuat PT JG sebesar 140juta tidak dapat dibebankan. ●Dengan melihat kepada jurnal yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa beban yang muncul dalam laporan keuangan perusahaan saat menghitung laba komersil adalah sebesar 140juta, yakni sebesar estimasi. Namun, untuk menghitung laba fiskal, jumlah biaya pesangon yang boleh dibebankan hanya sebesar 70juta, yakni sejumlah yang dibayarkan kepada karyawan pada tahun 2011. Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi positif terhadap biaya pesangon sebesar 70juta (140juta - 70juta). 2. Rekonsiliasi biaya-biaya yang berkaitan dengan laporan keuangan 2012 a. Biaya rekreasi seluruh pegawai ke Ancol Rp 50.000.000 ● Biaya Rekreasi termasuk Natura yang tidak bisa dibebankan (Non Deductible) dan harus dikoreksi fiskal positif. ● Karena Natura termasuk Penghasilan bukan objek pajak sesuai peraturan UU PPh Pasal 4 Ayat 3 huruf e, dan diatur juga dalam Pasal 9 ayat 1 huruf e mengenai Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan. ● Selain itu, menurut UU PPh pasal 6 ayat (1), dinyatakan bahwa biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (kegiatan 3M). Biaya rekreasi tidak berhubungan dengan 3M dan oleh karenanya tidak dapat dibebankan dalam perhitungan laba fiskal dan harus dilakukan koreksi positif. b. Biaya entertainment yang tidak ada daftar nominatifnya sebesar Rp 85.000.000 ● Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tentang “Biaya Entertainment dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18)”, dinyatakan bahwa biaya



4



"entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya wajib melampirkan daftar nominatif pada SPT. ● Oleh karena itu, biaya entertainment ini tidak dapat dibebankan atau nondeductible karena perusahaan tidak mencantumkan daftar nominatifnya. c. Membukukan tambahan cadangan piutang tak tertagih ●Dalam UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf c, dinyatakan bahwa biaya yang tidak boleh dikurangkan termasuk pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang. ●Dalam UU PPh pasal 6 ayat 1 huruf h, dinyatakan bahwa biaya yang boleh dikurangkan termasuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : i.telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; ii. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; iii. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; ●PMK nomor 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. ●Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait penghapusan piutang tak tertagih selama tahun 2012 adalah



●Dengan demikian, kita dapat menemukan jumlah pencadangan :



●Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait pencadangan piutang tak tertagih pada akhir tahun 2012 adalah



●Berdasarkan ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya, jumlah biaya piutang tak tertagih yang telah memenuhi syarat untuk dapat dibebankan dalam menghitung laba fiskal adalah 90juta. Sedangkan, pencadangan yang dibuat PT JG sebesar 40juta tidak dapat dibebankan.



5



●Dengan melihat kepada jurnal yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa beban yang muncul di laporan keuangan perusahaan saat menghitung laba komersil adalah sebesar 40juta, yakni sebesar pencadangan. Namun, untuk menghitung laba fiskal, jumlah Bad Debt Expense yang seharusnya dibebankan adalah sebesar 90juta, yakni sebesar piutang yang nyata tidak tertagih. Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi negatif terhadap Bad Debt Expense sebesar 50juta (90juta - 40juta). d. Melakukan penjurnalan atas estimasi biaya pesangon sesuai dengan PSAK 24 sebesar Rp 180.000.000 ●Estimasi pada hakikatnya sama dengan cadangan. Sehingga, sama seperti cadangan piutang tak tertagih, estimasi biaya pesangon juga tidak boleh dibebankan dalam perhitungan laba fiskal. Dasar hukum yang mengatur estimasi ini sama dengan cadangan piutang tak tertagih, yakni UU PPh pasal 9 ayat 1 huruf c terkait pembentukan dana cadangan. ●Kemudian, berdasarkan surat direktur jenderal pajak nomor s - 290/pj.42/2003 tentang perlakuan pajak penghasilan atas dana pensiun dan dana pesangon, dinyatakan bahwa pemberi kerja tidak dapat membebankan pembentukan dana cadangan program pesangon dalam perusahaan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. ●Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait pembayaran uang pesangon selama tahun 2012 adalah



●Dari uraian kasus, diketahui bahwa estimasi yang dibuat pada tahun itu adalah 180juta. Jurnal yang dibuat PT JG (sesuai SAK) terkait estimasi biaya pesangon pada akhir tahun 2012 adalah



●Dengan demikian, kita dapat menemukan saldo jumlah estimasi pada akhir tahun 2012 :



●Sesuai dengan ketentuan, jumlah biaya pesangon yang dapat dibebankan dalam menghitung laba fiskal adalah 30juta, yakni sejumlah yang dibayarkan kepada karyawan pada tahun 2012. Sedangkan, estimasi yang dibuat PT JG sebesar 180juta tidak dapat dibebankan. ●Dengan melihat kepada jurnal yang telah dibuat, dapat dilihat bahwa beban yang muncul di laporan keuangan perusahaan saat menghitung laba komersil adalah sebesar 180juta, yakni sebesar estimasi. Namun, untuk menghitung laba fiskal, jumlah biaya pesangon yang boleh dibebankan hanya sebesar 30juta, yakni sejumlah yang dibayarkan kepada karyawan pada tahun 2012. Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi positif terhadap biaya pesangon sebesar 150juta (180juta - 30juta). 3. Rekonsiliasi biaya penyusutan aktiva a. Mesin 6



● Biaya penyusutan yang dibebankan dalam laporan keuangan komersil (100juta) lebih besar daripada yang seharusnya menurut fiskal (62,5juta). Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi positif terhadap beban penyusutan mesin sebesar 37,5juta (100juta - 62,5juta). b. Peralatan



● Biaya penyusutan yang dibebankan dalam laporan keuangan komersil (20juta) lebih kecil daripada yang seharusnya menurut fiskal (25juta). Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi negatif terhadap beban penyusutan mesin sebesar 5juta (25juta - 20juta). 4. PPh Badan tahun 2011 laba komersial



233.930.012



sumbangan bencana alam



15.000.000



perjalanan pribadi direksi



40.000.000



pembebanan piutang tak tertagih



20.000.000



estimasi biaya pesangon



70.000.000



biaya penyusutan mesin



37.500.000



biaya penyusutan peralatan



(5.000.000) 411.430.012



kompensasi fiskal 2006 7



(300.000.000 ) (111.430.012 2007 ) laba fiskal 2011 PPh 2011



0



Ternyata, jawaban di atas salah. Harusnya, dikurangi lagi dengan kredit pajak PPh Pasal 23, sehingga terdapat kondisi lebih bayar seperti perhitungan di bawah ini : Laba komersial



233.930.012



Sumbangan bencana alam



15.000.000



Perjalanan pribadi direksi Pembebanan piutang tak tertagih



40.000.000



Estimasi biaya pesangon



70.000.000



Biaya penyusutan mesin



37.500.000



Biaya penyusutan peralatan



(5.000.000)



20.000.000



411.430.012 Kompensasi fiskal (300.000.00 2006 0)



Laba fiskal 2011 Kredit pajak



(111.430.01 2007 2) 0



PPh Pasal 23 Pajak lebih bayar 2011



3.000.000 (3.000.000)



Kemudian, jurnal terkait kewajiban PPh Badan tahun 2011 adalah : Piutang PPh Pasal 28A PPh 23 Dibayar Di Muka



3.000.000



Beban PPh Final PPh 4(2) Dibayar Di Muka



15.000.00 0



3.000.000



15.000.00 0



8



5. Perhitungan PPh Badan 2012 laba komersial



2.192.399.20 1



biaya rekreasi



50.000.000



biaya entertainment tanpa daftar nominatif



85.000.000



pembebanan piutang tak tertagih



(50.000.000)



estimasi biaya pesangon



150.000.000



biaya penyusutan mesin



37.500.000



biaya penyusutan peralatan



(5.000.000) 2.459.899.20 1



kompensasi fiskal 2007 (38.569.988) 2008 (45.000.000) 2009 (20.000.000) 2010 (2.500.000) laba fiskal 2012 rate PPh badan pajak terutang kredit pajak :



2.353.829.21 3 25% 588.457.303



PPh Pasal 23



20.000.000



PPh Pasal 21



5.000.000



pajak yang masih harus dibayar 2012



563.457.303



Ternyata, perhitungan di atas juga salah karena memasukkan kredit pajak PPh Pasal 21. Ini seharusnya tidak dimasukkan karena kredit pajak PPh 21 adalah pajak yang kita potong atas penghasilan karyawan kita, sehingga kredit pajak ini merupakan “milik” karyawan, bukan “milik” kita. Atau, dengan kata lain, kredit pajak ini merupakan pengurang dalam perhitungan pajak penghasilan karyawan, bukan pajak penghasilan perusahaan kita. Perhitungan yang benar adalah sebagai berikut : laba komersial 9



2.192.399.20 1 biaya rekreasi biaya entertainment tanpa daftar nominatif



50.000.000



pembebanan piutang tak tertagih



(50.000.000)



estimasi biaya pesangon



150.000.000



biaya penyusutan mesin



37.500.000



biaya penyusutan peralatan



(5.000.000)



85.000.000



2.459.899.20 1 kompensasi fiskal (150.000.000 2007 ) 2008 (45.000.000) 2009 (20.000.000) 2010 (2.500.000) 2.242.399.20 1 25%



laba fiskal 2012 rate PPh badan pajak terutang kredit pajak :



560.599.800



PPh Pasal 23



20.000.000



Pajak kurang bayar 2012



540.599.800



Dengan demikian, jurnal berikut ini sudah pasti salah : Beban pajak kini



588.457.30 3



Pajak dibayar di muka PPh 23



20.000.000



Pajak dibayar di muka PPh 21



5.000.000



Utang PPh 29



563.457.30 3 10



Jurnal yang seharusnya adalah : Beban pajak PPh 23 Dibayar Di Muka



560.599.80 0 20.000.000 540.599.80 0



Utang PPh 29 Beban PPh Final PPh 4(2) Dibayar Di Muka



10.000.000 10.000.000



No 2 : Hitunglah aset dan kewajiban pajak tangguhan per 1 Januari 2011, 31 Desember 2011, dan 31 Desember 2012 beserta jurnal pada tanggal 31 Desember 2011 dan 2012! 1. Teori [http://aryantobn.blogspot.com/2010/04/pajak-tangguhan-deferred-taxes.html]  Aset atau kewajiban pajak tangguhan muncul akibat perbedaan temporer yang dapat dikurangkan, berdasarkan perspektif perpajakan.  Apabila Penghasilan Sebelum Pajak (PSP- Pretax Accounting Income) lebih besar dari Penghasilan Kena Pajak (PKP- Taxable Income) maka Beban Pajak (BP- Tax Expense) pun akan lebih besar dari Pajak Terutang (PT- Tax Payable) sehingga akan menghasilkan Kewajiban Pajak Tangguhan (KPT- deferred tax liability). Kewajiban Pajak Tangguhan dapat dihitung dengan mengalikan perbedaan temporer dengan tarif pajak yang sesuai.  Sebaliknya apabila Penghasilan Sebelum Pajak (PSP) lebih kecil dari Penghasilan Kena Pajak (PKP) maka Beban Pajaknya (BP) akan juga lebih kecil dari Pajak Terutang (PT) sehingga akan menghasilkan Aktiva Pajak Tangguhan (APT- deferred tax assets). Aktiva Pajak Tangguhan adalah sama dengan perbedaan temporer dengan tarif pajak pada saat perbedaan tersebut terpulihkan.  Dan, yang paling penting, jangan lupa bahwa jumlah yang dijurnal harus sudah dikalikan dengan 25%, yaitu tax rate untuk badan. 2. Perhitungan aset dan kewajiban pajak tangguhan per 1 Januari 2011 dan jurnal  Untuk rugi fiskal yang masih dapat dikompensasi di masa datang (tax loss carry forward) diakui sebagai Aktiva Pajak Tangguhan (DTA) apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi. Atau dengan kata lain, bahwa akumulasi rugi fiskal yang terjadi baru boleh diakui sebagai aktiva pajak tangguhan jika besar kemungkinan bisa dikompensasi seluruhnya dengan laba fiskal dalam 5 tahun ke depan.  Jurnal untuk mengakui DTA atas rugi fiskal adalah : 



Jurnal untuk mengakui DTA atas rugi fiskal tahun 2010 adalah :



11



Jurnal di atas salah jumlah karena lupa dikalikan tax rate. Pada tahun 2010, terjadi rugi fiskal sebesar 2,5juta. Atas rugi fiskal ini, PT JG mengakui DTA sebesar 625.000 (2.500.000 x 25%) : 



Untuk penyusutan mesin, diketahui bahwa beban penyusutan menurut komersil lebih besar 37,5 juta daripada menurut fiskal (100juta > 62,5 juta). Untuk penyusutan peralatan, diketahui bahwa beban penyusutan menurut komersil lebih kecil 5 juta daripada menurut fiskal (20juta < 25 juta). Oleh karena itu, PT JG membuat jurnal untuk mengakui DTA atas perbedaan tersebut sebesar 8.125.000 (37.500.000 5.000.000 x 25%) :







Jumlah DTA per 1 Januari 2011 adalah total rugi fiskal sejak tahun 2006 hingga 2010, ditambah DTA atas penyusutan mesin, dikurangi dengan DTL atas penyusutan peralatan, dikalikan tarif PPh badan : = (300juta + 150juta + 45juta + 20juta + 2,5juta + 8,125juta) x 25% = 525.625.000 x 25% = 131.406.250 Ini juga salah hitung karena ada angka yang salah dimasukkin. Seharusnya : = (300juta + 150juta + 45juta + 20juta + 2,5juta + 37,5juta - 5juta) x 25% = 550.000.000 x 25% = 137.500.000 3. Perhitungan aset dan kewajiban pajak tangguhan per 31 Desember 2011 dan jurnal  Dalam tahun 2011, PT JG mengkompensasikan rugi fiskal sebesar 411.430.012 (300.000.000 + 111.430.012). Atas hal tersebut, PT JG membuat jurnal untuk mereverse DTA yang telah diakuinya sejak tahun 2006 hingga 2010 dengan jumlah sebesar rugi fiskal yang dikompensasi (411.430.012) dikalikan dengan tarif PPh badan 25% :  Kemudian, untuk penyusutan mesin dan peralatan, PT JG membuat jurnal yang sama dengan tahun 2010 dengan jumlah yang sama karena besar selisih depresiasi setiap tahunnya selalu sama untuk kedua aset tersebut, sehingga jurnalnya adalah :  Jumlah DTA pada akhir tahun 2011 adalah = 131.406.250 - 102.857.503 + 8.125.000 = 36.673.747 Ini juga harusnya : = 137.500.000 - 102.857.503 + 8.125.000 = 42.767.497 4. Perhitungan aset dan kewajiban pajak tangguhan per 31 Desember 2012 dan jurnal  Dalam tahun 2012, PT JG mengkompensasikan rugi fiskal sebesar 106.069.988 (38.569.988 + 45.000.000 + 20.000.000 + 2.500.000). Atas hal tersebut, PT JG membuat jurnal untuk mereverse DTA yang telah diakuinya sejak tahun 2006 hingga 2010 dengan jumlah sebesar rugi fiskal yang dikompensasi (106.069.988) dikalikan dengan tarif PPh badan 25% :



12



 Kemudian, untuk penyusutan mesin dan peralatan, PT JG membuat jurnal yang sama dengan tahun 2010 dan 2011 dengan jumlah yang sama karena besar selisih depresiasi setiap tahunnya selalu sama untuk kedua aset tersebut, sehingga jurnalnya adalah :  Jumlah DTA pada akhir tahun 2012 adalah = 36.673.747 - 26.517.497 + 8.125.000 = 18.281.250 Ini juga harusnya : = 42.767.497 - 26.517.497 + 8.125.000 = 24.375.000



13



PPN KASUS KOMPREHENSIF PT ARTA GEDUNG 1. Gambaran Umum Perusahaan PT ARTA GEDUNG didirikan pada tahun 2001 dan telah memiliki baik NPWP serta NPPKP untuk kewajiban pajak pusatnya maupun NPWPD untuk kewajiban pajak daerahnya. PT ARTA GEDUNG memiliki gedung 16 lantai dengan luas bangunan 8.400 m2 di atas tanah seluas 1 hektar termasuk area parkir. Gedung tersebut dikelola PT ARTA GEDUNG dengan membuka usaha sewa ruang perkantoran dan pertokoan serta hotel. Luas bangunan yang disewakan sebagai ruang perkantoran dan pertokoan adalah 4.000 m2 dan terletak pada 8 lantai pertama, sementara sisanya sebagai hotel. Bangunan gedung yang diperuntukkan sebagai hotel juga memiliki ruang untuk disewakan (ball room), tempat parkir, fasilitas kolam renang, tempat untuk olahraga (gym), futsal, dan restoran. Sebagai tambahan, PT ARTA GEDUNG memberikan jasa katering dan jasa dekorasi untuk pesta yang menggunakan ruang ball room-nya. Sebagai langkah diversifikasi usaha, PT ARTA GEDUNG juga menjual cindera mata dan busana dari berbagai daerah, sebagai salah satu divisinya, dengan membuka gerai seluas 400 m2 di lantai 2 gedungnya. Saat ini, seluruh area ruang perkantoran dan pertokoan yang disewakan oleh PT ARTA GEDUNG sudah tersewa seluruhnya dengan harga sewa rata-rata Rp150.000 / m2. Untuk kebersihan, PT ARTA GEDUNG menggunakan jasa cleaning services PT TETAP BERSIH yang sudah mengikat kontrak untuk dua tahun, dengan perhitungan yang sederhana yaitu sebulan akan menagih sebesar Rp15.000 per m2 baik untuk yang disewakan sebagai perkantoran dan pertokoan seluas 4.000 m2 maupun seluas 4.400 m2 yang disewakan untuk perhotelan. Untuk perparkiran, PT A tidak mengelola sendiri, melainkan diserahkan kepada PT SEKURAN, dengan kebijakan setiap malam hari hasil uang parkir disetor ke rekening bank PT ARTA GEDUNG. Perhitungan uang parkir harian disaksikan dan ditandatangani baik oleh petugas parkir maupun staf PT ARTA GEDUNG. Usaha parkir tersebut pajaknya dibayar dengan NPWPD PT ARTA GEDUNG. Tiap akhir bulan PT SEKURAN akan menagih biaya yang dikeluarkan beserta bagian labanya yang telah ditentukan secara prorata sebesar 2% dari pendapatan kotor parkir. Pada kenyataannya karcis parkir memakai nama dan logo PT SEKURAN. Untuk usaha katering dan restoran, PT ARTA GEDUNG mengelola sendiri. I.



Dari gambaran umum usaha PT ARTA GEDUNG, Anda diminta memberikan penjelasan tentang perpajakannya, yaitu hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaporan dan perhitungan: PPN dan pajak daerah.



II.



Pertanyaan masalah pajak dalam transaksi yang dilakukan PT A. Atas beberapa transaki berikut, staf akuntansi dan pajak PT A menanyakan bagaimana penanganan pajaknya.



1. Pada tanggal 05 Januari, PT ARTA GEDUNG menjual alat cindera mata sebanyak 1.000 unit @ Rp5.000.000 kepada Tuan BODONG, barang tersebut terkena PPnBM 20%. Kemudian pada tanggal 05 Maret, Tuan BODONG menyatakan dia hanya mau membayar 80% dari pembelian tersebut, karena saat itu ada masalah keuangan dan PT ARTA GEDUNG menyetujui karena Tuan BODONG merupakan langganan lama.



14



Staf akuntansi PT ARTA GEDUNG tidak paham bagaimana perlakuan faktur pajaknya? Diperbaiki atau tidak? Mereka menanyakan kepada Anda dan peraturan mana yang mengaturnya ? 2. Pada 10 Januari, Pabrik BATIK TOP (PKP) menjual produk batik (400 unit @ Rp5.000.000) ke PT ARTA GEDUNG secara konsinyasi. Tanggal 20 April, Pabrik BATIK TOP mengumumkan bahwa atas produk batik yang masih tersisa (belum terjual) dimana di PT ARTA GEDUNG masih terdapat sebanyak 200 unit, harga satuannya diturunkan menjadi Rp2.000.000 / unit. Namun untuk produk batik yang sudah terjual harus dilunasi dan komisi 20% untuk PT ARTA GEDUNG langsung diperhitungkan. Atas hal ini staf akuntansi PT A tidak paham bagaimana dengan perlakuan faktur pajaknya? Diperbaiki atau tidak? Mereka menanyakan kepada Anda dan peraturan mana yang mengaturnya ? 3. Untuk memindahkan barang-barang antik yang diimpor dari Jepang ke hotel di Jakarta, PT ARTA GEDUNG menunjuk PT FORT TRANSFORT, perusahaan yang bergerak di bidang freight forwarding, untuk mengurus perpindahan barang-barang tersebut dari Tokyo. Untuk pengurusan pengepakan barang di Tokyo dan pengiriman sampai di Pelabuhan Tanjung Priok, PT FORT TRANSFORT meminta bantuan pada FUJI Inc. yang berkedudukan di Jepang. Atas pekerjaan tersebut, FUJI Inc. akan menagih kepada PT FORT TRANSFORT sebesar Rp200.000.000. Sesuai kesepakatan dengan PT ARTA GEDUNG, PT FORT TRANSFORT akan meminta penggantian kepada PT ARTA GEDUNG ditambah supervision fee sebesar 15% dari fee FUI Inc. Sedangkan fee PT FORT TRANSFORT atas pekerjaan pengurusan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok sampai ke lokasi hotel PT ARTA GEDUNG, nilainya sebesar Rp250.000.000, termasuk biaya penempatan tapi belum termasuk pajak. Nilai barang tersebut seluruhnya ada 100 unit dengan harga pembelian rata-rata Rp15.000.000 / unit. Anda diminta untuk menjelaskan bagaimana perlakuan PPN atas transaksi tersebut, termasuk transaksi dengan FUJI Inc. (pertimbangkan jika ada tax treaty antara Indonesia dengan Jepang). 4. PT ARTA GEDUNG membayar biaya pemasangan iklan kepada PT ASLAN MASKHADOV sebuah perusahaan periklanan sebesar Rp210.000.000. PT ASLAN MASKHADOV memasang iklan PT ARTA GEDUNG di stasiun televisi SIARAN MELAYU yang berkedudukan di Malaysia. Iklan tersebut dipasang di Malaysia oleh karena PT ARTA GEDUNG ingin meningkatkan jumlah wisatawan Malaysia yang menginap di hotelnya ketika datang ke Jakarta. PT ASLAN MASKHADOV kemudian akan membayar kepada SIARAN MELAYU yang berkedudukan di Kuala Lumpur dan atas pekerjaan mengoordinasikan iklan ini supervision fee 5% akan ditagihkan ke PT ARTA GEDUNG oleh PT ASLAN MASKHADOV. Sama halnya dengan yang di atas, anda diminta pendapat bagaimana perlakuan PPN atas kegiatan ini. ---o0o---



15



Kasus PPN Komprehensif – PT Arta Gedung I. Perlakuan PPN dan Pajak Daerah Arta gedung memiliki gedung 16 lantai yang terbagi atas jasa sewa untuk perkantoran-pertokoan (4000 meter persegi) dan hotel (ballroom yang memberikan jasa katering dan dekorasi, parkir, kolam renang, gym, futsal, restoran) Maka Arta Gedung harus memperhatikan perlakuan PPN dan Pajak Daerah untuk jasa yang diberikannya. PPN  Jasa persewaan untuk perkantoran dan persewaan merupakan jasa kena pajak (JKP)  JKP adalah kegiatan pelayanan yang menyebabkan suatu fasilitas, kemudahan atau hak menjadi tersedia untuk dipakai  sehingga JKP tersebut dikenai PPN, sesuai dengan pasal 4 ayat 1  Sedangkan jasa untuk hotel dan jasa yang diberikan (ballroom yang memberikan jasa katering dan dekorasi, jasa parkir, kolam renang, gym, futsal, restoran), tidak dikenai PPN, sesuai dengan pasal 4A ayat 3 yaitu jasa perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir, jasa katering. Begitu pula makanan dan minuman yang disajikan di restoran hotel, yang merupakan jenis barang tertentu menurut pasal 4A ayat 2 (c). Jasa perhotelan yang tidak dikenai PPN meliputi jasa penyewaan kamar dan segala fasilitas pendukung untuk tamu yang menginap. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menghindari pajak berganda karena jasa-jasa tersebut diatur dalam objek pajak daerah Perhitungan: PPN terutang dihitung dengan mengalikan tarif PPN 10% dengan DPP (harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor) sesuai dengan Pasal 8A ayat 1 Pelaporan: PPN yang telah dibayarkan oleh PT Arta Gedung, dilaporkan dalam SPT Massa PPN dan PPnBM maksimal akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan  Terkait dengan diversifikasi usaha PT Arta Gedung yaitu penjualan cindera mata dan menggunakan ruangan (yang seharusnya disewakan) untuk usahanya sendiri di lantai 2 gedungnya, seluas 400 m2  atas dasar peraturan dari Surat Direktur Jenderal Pajak No. S 795/PJ.53/1994 mengenai PPN atas pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak, maka apabila PT Arta Gedung memiliki usaha persewaan ruangan yang meliputi disewakan kepada pihak lain, dasar pengenaan pajak (DPP) yang dikenakan atas PPN sewa ruangan tersebut adalah nilai sewa terendah PT Arta Gedung terhadap penyewa lainnya. Perhitungan: DPP atas sewa ruangan adalah sejumlah penggantian yang diminta pihak yang menyewakan (harga sewa dan tidak termasuk service charge). Tarif 10% x nilai sewa. Untuk jasa cleaning service merupakan jenis jasa yang tidak dikenai PPN karena termasuk jasa tenaga kerja (pasal 4A ayat 3) Pajak Daerah  Arta gedung perlu memperhatikan juga jasa-jasa yang kena pajak daerah, seperti: - jasa parkir akan dikenakan pajak daerah atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Perhitungannya dengan tarif sebesar maksimal 30% dikalikan DPP yang merupakan nilai pembayaran atau iuran parkir.



16



-



-



jasa hotel dikenakan tarif sebesar maksimal 10% (ditetapkan oleh peraturan daerah) dikalikan dengan DPP yaitu jumlah pembayaran yang seharusnya dibayar kepada hotel. jasa restoran dikenakan pajak daerah atas pelayanan makanan dan minuman yang dijual kepada pembeli baik yang dikonsumsi ditempat atau di rumah. Perhitungan pajak restoran dengan tarif maksimal 10% dikalikan dengan Dasar Penerimaan Pajak restoran, yakni jumlah pembayaran atau jumlah yang seharusnya diterima fasilitas berupa gym dan futsal dikenakan pajak hiburan sebesar maksimal 75%.



II. Perlakuan PPN atas transaksi berikut: 1. Pada tanggal 05 Januari, PT ARTA GEDUNG menjual alat cindera mata sebanyak 1.000 unit @ Rp5.000.000 kepada Tuan BODONG, barang tersebut terkena PPnBM 20%. Kemudian pada tanggal 05 Maret, Tuan BODONG menyatakan dia hanya mau membayar 80% dari pembelian tersebut, karena saat itu ada masalah keuangan dan PT ARTA GEDUNG menyetujui karena Tuan BODONG merupakan langganan lama. Staf akuntansi PT ARTA GEDUNG tidak paham bagaimana perlakuan faktur pajaknya? Diperbaiki atau tidak? Mereka menanyakan kepada Anda dan peraturan mana yang mengaturnya ? PT ARTHA GEDUNG wajib memperbaiki faktur pajak tekait perubahan nominal pembayaran transaksi penjualan alat cindera mata tersebut. Perbaikan terkait faktur pajak diatur dalam UU PPN pasal 5A. Menurut pasal 5A UU PPN ayat satu berisikan mengenai PPnBM terkait barang kena pajak, yang berisikan : Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut Pada UU Pasal 5A ayat pasal 1 diatur bahwa PPN dan PPnBM dapat dikurangkan jika dikembalikan. Pada kasus tuan BODONG, tuan BODONG tidak melakukan pengembalian atau retur, sehingga nilai dari PPN dan PPnBM terkait transaksi ini tidak dapat dikurangkan. Hal ini juga berdampak pada tidak adanya perubahan pada pajak keluaran PT ARTHA GEDUNG. Selain itu, permohonan pengurangan pembayaran sebesar 80%. Jika diasumsikan telah memenuhi persyaratandari Undang Undang Pajak Penghasilan pasal 6 ayat 1 huruf h, bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, yaitu : a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktur Jenderal Pajak c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.



17



Jika diasumsikan bahwa transaksi ini telah memenuhi syarat untuk dikatakn sebagai piutang tidak tertagih maka kita juga harus melihat pada Peraturan Pemerintah No. 143 tahun 2000 Pasal 7 ayat 1 yang menjelaskan bahwa : Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena Pajak pemberi jasa, dan tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli atau Pengusaha Kena Pajak penerima jasa. Berdasarkan pada peraturan tersebut, maka jika telah terjadi piutang yang tidak tertagih sebesar 20% yang diajukan oleh tuan BODONG, maka tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan, serta tidak mempengaruhi pajak keluaran dari PT ARTHA GEDUNG. Pada Peraturan nomor PER - 24/PJ/2012 pasal 15 juga memperlihatkan contoh penyebab timbulnya faktur pajak yang dilakukan pembetulan atau penggantian Atas Faktur Pajak yang rusak, salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas, dan benar. Pada kasus tidak terdapat kejadian yang dimaksudkan pada peraturan ini, sehinggan tidak diperlukannya penerbitan faktur pajak pengganti. Jika memang transaksi yang dilakukan tuan BODONG telah memenuhi semua syarat akan pembetulan faktur pajak, maka harus mengikuti tata cara pembetulannya. Tata Cara Pembetulan SPT Masa PPN Terkait Dengan Penggantian Faktur Pajak Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 diatur bahwa dalam hal terdapat penggantian Faktur Pajak, maka: 1. Faktur Pajak Pengganti tetap menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang sama dengan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti, sedangkan tanggal Faktur Pajak Pengganti diisi dengan tanggal pada saat Faktur Pajak Pengganti dibuat. 2. Faktur Pajak Pengganti dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang dilakukan penggantian dengan mencantumkan nilai dan/atau keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya setelah penggantian. 3. Pelaporan Faktur Pajak Pengganti pada SPT Masa PPN harus mencantumkan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti pada kolom yang telah ditentukan 2. Pada 10 Januari, Pabrik BATIK TOP (PKP) menjual produk batik (400 unit @ Rp5.000.000) ke PT ARTA GEDUNG secara konsinyasi. Tanggal 20 April, Pabrik BATIK TOP mengumumkan bahwa atas produk batik yang masih tersisa (belum terjual) dimana di PT ARTA GEDUNG masih terdapat sebanyak 200 unit, harga satuannya diturunkan menjadi Rp2.000.000 / unit. Namun untuk produk batik yang sudah terjual harus dilunasi dan komisi 20% untuk PT ARTA GEDUNG langsung diperhitungkan. Atas hal ini staf akuntansi PT A tidak paham bagaimana dengan perlakuan faktur pajaknya? Diperbaiki atau tidak? Mereka menanyakan kepada Anda dan peraturan mana yang mengaturnya ? Pasal 1A ayat 1 poin g UU PPN menyebutkan bahwa penyerahan barang kena pajak dengan proses konsinyasi, pihak yang menitipkan BKP tersebut boleh mengkreditkan Pajak Keluaran atas BKP yang diserahkan tersebut. Hal ini



18



berarti faktur pajak dibuat pada saat terjadi penyerahan BKP. Disebutkan juga bahwa PT Arta Gedung memperoleh komisi 20% dari penjualan barang tersebut. Disini kami mengambil asumsi bahwa komisi PT Arta Gedung sudah termasuk kedalam harga jual barang tersebut sehingga nilai penyerahannya adalah: Dalam kasus diatas PT A membuat faktur pajak pada tanggal 10 Januari dengan nominal PPN sebesar: Pada tanggal 20 April dikarenakan adanya perubahan harga maka PT A seharusnya memperbaiki faktur pajaknya dengan cara menerbitkan faktur pajak pengganti sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan DJP PER 24/PJ/2012 yang diubah menjadi PER 8/PJ/2013 tentang bentuk, ukuran, tata cara pengisian keterangan, prosedur pemberitahuan dalam rangka pembuatan, tata cara pembetulan atau penggantian, dan tata cara pembatalan faktur pajak. Pembetulan faktur pajak ini dapat dilakukan oleh PT A karena adanya kesalahan dalam harga barang sehingga menyebabkan perhitungan PK perusahaan salah. Penerbitan faktur yang baru dimungkinkan karena BKP tersebut belum dijual. Perubahan harga jual barang mengakibatkan nilai penyerahan BKP tersebut lebih rendah dari yang sebenarnya. Nilai penyerahan setelah perubahan harga: Pajak Keluaran atas penyerahan tersebut seharusnya adalah Oleh karena itu perusahaan harus mengurangi PK nya sebesar 3. Untuk memindahkan barang-barang antik yang diimpor dari Jepang ke hotel di Jakarta, PT ARTA GEDUNG menunjuk PT FORT TRANSFORT, perusahaan yang bergerak di bidang freight forwarding, untuk mengurus perpindahan barang-barang tersebut dari Tokyo. Untuk pengurusan pengepakan barang di Tokyo dan pengiriman sampai di Pelabuhan Tanjung Priok, PT FORT TRANSFORT meminta bantuan pada FUJI Inc. yang berkedudukan di Jepang. Atas pekerjaan tersebut, FUJI Inc. akan menagih kepada PT FORT TRANSFORT sebesar Rp200.000.000. Sesuai kesepakatan dengan PT ARTA GEDUNG, PT FORT TRANSFORT akan meminta penggantian kepada PT ARTA GEDUNG ditambah supervision fee sebesar 15% dari fee FUI Inc. Sedangkan fee PT FORT TRANSFORT atas pekerjaan pengurusan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok sampai ke lokasi hotel PT ARTA GEDUNG, nilainya sebesar Rp250.000.000, termasuk biaya penempatan tapi belum termasuk pajak. Nilai barang tersebut seluruhnya ada 100 unit dengan harga pembelian rata-rata Rp15.000.000 / unit. Anda diminta untuk menjelaskan bagaimana perlakuan PPN atas transaksi tersebut, termasuk transaksi dengan FUJI Inc. (pertimbangkan jika ada tax treaty antara Indonesia dengan Jepang). Pertama, kita harus mengetahui peraturan-peraturan pajak yang dimaksud dalam kasus. Pajak yang berkaitan dengan kasus adalah PPN dan tax treaty yang berlaku antara Indonesia- Jepang. Berikut ini pasal tax treaty yang sesuai dengan topik kasus:



19



Pasal 8 1. Keuntungan yang diperoleh dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan dari suatu Negara, hanya dikenakan pajak di Negara itu. 2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 juga berlaku bagi keuntungan yang diperoleh karena ikut serta dalam suatu gabungan perusahaan-perusahaan, suatu usaha kerjasama atau suatu keagenan usaha internasional, tetapi hanya sebesar keuntungan yang seimbang dengan penyertaan dalam usaha kerjasama itu Pasal 23 1. Tunduk kepada perundang-undangan Jepang mengenai kelonggaran sebagai suatu pengurangan terhadap pajak di Jepang, yaitu pajak yang dibayar di Negara lain di luar Jepang a. Jika penduduk Jepang memperoleh pendapatan dari Indonesia dan pendapatan itu dikenakan pajak di Indonesia sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini, maka jumlah pajak yang dibayar atas pendapatan itu akan diperhitungkan dengan pajak terhutang yang dikenakan di Jepang terhadap penduduk itu. Bagaimanapun jumlah pajak yang diperhitungkan itu tidak akan melebihi jumlah pajak yang dikenakan di Jepang atas bagian pendapatan itu. b. Jika pendapatan itu berupa dividen yang dibayarkan oleh suatu badan yang berkedudukan di Indonesia kepada suatu badan yang berkedudukan di Jepang dan yang memiliki tidak kurang dari 25 persen dari hak suara dari badan yang membayar dividen atau dari seluruh saham yang dikeluarkan oleh badan itu, maka pajak yang dibayar di Indonesia oleh badan yang memberikan dividen itu akan diperhitungkan. Tahapan berikutnya kita akan melihat transaksi apa saja yang terjadi serta bagaimana pengenaan PPNnya: *Transfer Uang kepada PT Arta Gedung kepada PT FORT Service PT FUJI Rp 200.000.000 Supervision Fee PT FUJI Rp 30.000.000 PPN Masukan Rp 23.000.000 Cash Rp 253.000.000



20



Service Expense PT FORT PPN Masukan



Rp 250.000.000 Rp 25.000.000 Cash Rp 275.000.000



*Transfer Uang kepada PT FORT kepada PT FUJI Service PT FJ Rp124.000.000 Japanese Tax (38%) Rp 76.000.000 Cash Rp 200.000.000 4. PT ARTA GEDUNG membayar biaya pemasangan iklan kepada PT ASLAN MASKHADOV sebuah perusahaan periklanan sebesar Rp210.000.000. PT ASLAN MASKHADOV memasang iklan PT ARTA GEDUNG di stasiun televisi SIARAN MELAYU yang berkedudukan di Malaysia. Iklan tersebut dipasang di Malaysia oleh karena PT ARTA GEDUNG ingin meningkatkan jumlah wisatawan Malaysia yang menginap di hotelnya ketika datang ke Jakarta.PT ASLAN MASKHADOV kemudian akan membayar kepada SIARAN MELAYU yang berkedudukan di Kuala Lumpur dan atas pekerjaan mengoordinasikan iklan ini supervision fee 5% akan ditagihkan ke PT ARTA GEDUNG oleh PT ASLAN MASKHADOV. Sama halnya dengan yang di atas, anda diminta pendapat bagaimana perlakuan PPN atas kegiatan ini. Berdasarkan Pasal 4 UU PPN 







Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas : a. penyerahan Barang kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dalam kasus ini, PT Arta Gedung dianggap memanfaatkan Jasa Kena Pajak, yaitu jasa iklan, dari luar Daerah Pabean, karena diberikan oleh perusahaan Malaysia. Pemanfaatan jasa di dalam daerah Pabean karena PT Arta Gedung berkedudukan di Indonesia, sehingga bentuk manfaat dari iklan tersebut didapatkan di Indonesia. Dengan pertimbangan tersebut, maka transaksi ini dikenai PPN 10%. Supervision fee sebesar 5% termasuk bagian dari biaya keseluruhan jasa iklan, sehingga juga diperhitungkan dalam PPN. PPN yang harus dibayar PT Arta Gedung adalah : 10% x (105% x Rp 210.000.000,00) = Rp 22.050.000,00



21



KASUS PPN PT. INDOPRINT Profil Perusahaan PT Indoprint merupakan pengusaha di bidang penerbitan, percetakan, dan toko buku. PT Indoprint didirikan pada tahun 2000, dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 1 Juni 2002. Sejak saat itu, PT Indoprint berkewajiban untuk mematuhi segala peraturan perpajakan yang berlaku bagi PKP, sehingga dalam kegiatannya PT Indoprint wajib melakukan pemotongan, pemungutan, penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak ke Kantor Pelayanan Pajak. PT Indoprint mencetak berbagai macam jenis buku, dan kemudian dijual di toko buku yang dimilikinya serta dijual juga di beberapa toko buku lain di Jakarta serta beberapa kota lain yaitu Bandung, Batam, dan Bali. Buku yang diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan meliputi buku pelajaran, buku popular, novel, dan buku cerita anak. Selain menjual buku hasil terbitannya, perusahaan juga menjual buku hasil terbitan penerbit lain. Jenis buku yang dijual di tokonya yang merupakan terbitan penerbit lain meliputi lebih banyak jenis buku termasuk kitab suci dan buku agama. Selain buku, perusahaan juga menjual barang-barang lain di toko bukunya, misalnya peralatan tulis dan perlengkapan sekolah. Sentralisasi Kewajiban PPN Walaupun PT Indoprint terdiri dari Divisi, Cabang, dan Unit Usaha yang bertempat di lokasi berbeda, namun dalam hal pelaporan pajak, selain toko bukunya perusahaan memilih untuk melakukan pemusatan, yaitu di Kantor Pusat. Sistem penjualan kepada toko buku lain Sistem penjualan yang diterapkan perusahaan kepada toko buku lain adalah sistem konsinyasi. Perusahaan menerapkan sistem diskon dalam menjual bukunya kepada toko buku lain. diskon yang diberikan berbeda-beda tergantung banyaknya buku yang dapat dijual oleh toko buku tersebut. Pada saat toko buku lain mengambil buku dari perusahaan, perusahaan akan memberikan bukti serah terima buku beserta daftar harga dan perincian diskon yang akan didapatkan oleh toko buku untuk setiap level penjualan yang bisa dicapai. Selanjutnya pada waktu yang sudah ditentukan, toko buku tersebut akan mengembalikan buku yang tidak terjual, dan membayar kepada perusahaan sebesar harga buku dikurangi diskon sesuai dengan level penjualannya. Jika toko buku yang bersangkutan masih ingin menjual buku tersebut untuk periode yang lebih lama, maka perusahaan akan meminta toko buku tersebut untuk membayar terlebih dahulu harga buku yang telah terjual, dikurangi dengan level diskon sesuai dengan jumlah buku yang sudah terjual pada saat itu. Jika ternyata buku yang diperpanjang masa konsinyasinya dapat terjual lagi, maka perusahaan akan menambah diskon yang diberikan, bukan hanya untuk buku yang dijual di masa perpanjangan, tapi juga buku yang sudah terjual sebelumnya. Diskon atas buku yang sudah terjual sebelumnya itu akan diperhitungkan di pembayaran selanjutnya. Kinerja tahun 2010



22



Selama tahun 2010, penjualan buku terbitan PT Indoprint sebesar 4,5 Miliar Rupiah yang komposisinya adalah sebagai berikut : Kota Total Buku Buku popular Novel Buku cerita (Rupiah) pelajaran anak Jakarta 2 Miliar 40% 30% 20% 10% Bandung 1 Miliar 45% 30% 20% 5% Bali 1 Miliar 50% 25% 20% 5% Batam 0,5 Miliar 65% 15% 15% 5% Penjualan tersebut belum termasuk penjualan konsinyasi kepada toko buku lain sebesar 1 miliar rupiah, yang mana komposisinya adalah 50% buku pelajaran, 25% buku popular, 15% novel, dan 10% buku cerita anak. Sementara penjualan buku hasil terbitan penerbit lain di toko buku PT Indoprint adalah sebesar 2 miliar rupiah dengan komposisi sebagai berikut : Kota Total Buku Agama Kitab Suci Lain-lain (Rupiah) Jakarta 700 juta 50% 30% 20% Bandung 500 juta 45% 35% 20% Bali 500 juta 50% 25% 25% Batam 300 juta 50% 30% 20% Mesin Cetak PT Indoprint Pada awal tahun 2010 PT Indoprint memiliki 10 mesin cetak yang dibelinya secara bertahap. Dua mesin cetak dibeli pada tahun 2000, 3 mesin dibeli pada tahun 2003, dan 5 mesin dibeli pada tahun 2007. Semua mesin cetak digunakan secara proporsional dan tidak ada pembedaan mesin untuk tiap jenis buku yang dicetak. Pada bulan Agustus 2010 salah satu mesin yang dibeli pada tahun 2000 mengalami kerusakan. Setelah dievaluasi, biaya untuk memperbaiki mesin tersebut ternyata lebih mahal daripada harga jual mesin tersebut jika mesin itu dijual di pasaran. Karena hal tersebut, maka perusahaan memutuskan untuk menjual mesin tersebut daripada memperbaikinya. Pembangunan kantor baru PT Indoprint Pada tahun 2010 ini perusahaan membangun sebuah gudang untuk menempatkan buku-buku yang sudah lama tidak terjual karena gudang yang lama sudah tidak mencukupi. Pembangunan ini dilakukan oleh tukang batu dan tukang kayu yang dibayar harian dan diawasi sendiri karena menurut pihak manajemen pembangunan gudang tidak memerlukan design khusus dan dapat dilakukan sendiri. Buku yang tidak laku terjual Untuk buku-buku yang dianggap sudah tidak mungkin terjual, perusahaan secara berkala menyumbangkannya untuk kegiatan amal. Selain itu terkadang perusahaan menjual bukubuku lama tersebut dengan harga murah baik di toko bukunya sendiri atau pada saat ada penyelenggaraan pameran buku. Penyewaan ruangan Di salah satu toko bukunya di Jakarta, perusahaan menyewakan beberapa ruangan yang tidak terpakai kepada penjual makanan. Ruangan-ruangan tersebut disewakan selama satu tahun. Jika penyewa ingin memperpanjang sewanya, penyewa harus memberitahukan kepada perusahaan dua bulan sebelum masa sewanya berakhir, dan penyewa harus memberikan uang muka sebesar 20% kepada perusahaan. Sementara sisa pembayarannya akan dilakukan pada awal masa sewa periode berikutnya. Kebijakan tersebut diterapkan oleh perusahaan untuk 23



menghindari adanya ruangan yang tidak terpakai karena penyewa tidak memperpanjang sewanya, sementara belum ada penyewa baru. Pertanyaan diskusi 1. Bagaimana pengenaan PPN terhadap penyerahan dari percetakan ke toko bukunya sendiri, toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam? 2. Bagaimana pengenaan PPN terhadap penyerahan kepada konsumen akhir di toko bukunya sendiri, toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam? 3. Bagaimana jika ternyata ada buku yang tidak terjual kemudian dikembalikan oleh toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam? 4. Bagaimana mekanisme pengenaan PPN atas diskon yang diberikan perusahaan kepada toko buku yang menjual buku terbitannya? 5. Apakah perusahaan harus memungut PPN atas penjualan buku terbitan penerbit lain di toko bukunya? 6. Apakah perusahaan dapat mengkreditkan PPN masukan atas pembelian semua mesinnya? Kapankah PPN masukan tersebut dapat dikreditkan? 7. Apakah perusahaan harus memungut PPN atas penjualan mesin cetak bekas? 8. Adakah kewajiban terkait PPN atas pembangunan gudang yang dilakukan perusahaan? 9. Apakah ada kewajiban PPN terkait dengan pemberian buku untuk kegiatan amal dan pameran? 10. Bagaimana mekanisme pengenaan PPN atas penyewaan ruangan yang dilakukan perusahaan? 11. Bagaimana pengenaan PPN terhadap penyerahan dari percetakan ke toko bukunya sendiri, toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam? Menurut Pasal 1A ayat 2 huruf c UU PPN, penyerahan BKP oleh PKP yang melakukan pemusatan tempat pajak terutang bukanlah merupakan penyerahan BKP. Namun dalam hal ini, pemusatan tempat pajak tidak dilakukan untuk toko bukunya, sehingga penyerahan bukut dari percetakan ke toko bukunya sendiri merupakan penyerahan BKP dan dikenakan PPN, meskipun toko bukunya sendiri ini merupakan cabang dari perusahaan. Hal ini tercantum dalam Pasal 1A ayat 1 huruf f UU PPN, yaitu bahwa penyerahan BKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar Cabang merupakan penyerahan BKP sehingga dikenakan PPN. Namun, PT Indoprint menjual berbagai macam buku dan ada beberapa jenis buku yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Menurut PMK No. 122/PMK.011/2013 Pasal 1 ayat 1, “atas impor dan/atau penyerahan buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.” Keterangan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan di atas mengenai buku-buku tersebut adalah: a. Buku Pelajaran Umum Yang dimaksud sebagai buku pelajaran umum adalah “buku-buku fiksi dan nonfiksi untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa, yang merupakan buku-buku pelajaran pokok, penunjang dan kepustakaan.” (Pasal 1 ayat 2). Untuk memperoleh pembebasan dari PPN untuk buku pelajaran umum jenis ini, PKP tidak diwajibkan memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) dari Direktur Jenderal Pajak (DJP). Tidak termasuk dalam pengertian buku-buku pelajaran umum antara lain: i. buku hiburan;



24



ii. buku musik; iii. buku roman populer; iv. buku sulap; v. buku iklan; vi. buku promosi suatu usaha; vii. buku katalog di luar keperluan pendidikan; viii. buku karikatur; ix. buku horoskop; x. buku horor; xi. buku komik; xii. buku reproduksi lukisan. Buku-buku di atas dapat dikategorikan sebagai buku-buku pelajaran umum dalam hal buku-buku tersebut telah disahkan sebagai buku pelajaran umum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh menteri dimaksud. Untuk memperoleh pembebasan pengenaan PPN untuk buku-buku jenis ini, diwajibkan memiliki SKB dari DJP.’ b. Kitab Suci Menurut pasal 1 ayat 3, yang termasuk sebagai kitab suci adalah: i. Kitab suci agama Islam meliputi kitab suci Alquran, termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan Jus Amma; ii. Kitab suci agama Kristen Protestan meliputi kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian; iii. Kitab suci agama Katolik meliputi kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian; iv. Kitab suci agama Hindu meliputi kitab suci Weda, Smerti, dan Sruti, Upanisad, Itihasa, Purnama, termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian; v. Kitab suci agama Budha meliputi kitab suci Tripitaka termasuk tafsir dan terjemahannya baik secara keseluruhan maupun sebagian; dan vi. Kitab lainnya yang telah ditetapkan sebagai kitab suci oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh menteri dimaksud. Untuk mendapatkan pembebasan dari pengenaan PPN, tidak diwajibkan memiliki SKB. c. Buku Pelajaran Agama Yang termasuk sebagai buku pelajaran agama adalah buku-buku fiksi dan nonfiksi untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa, yang merupakan buku-buku pelajaran pokok, penunjang dan kepustakaan di bidang agama. Untuk mendapatkan pembebasan pengenaan PPN, tidak diperlukan SKB. Karena PT Indoprint menerapkan sistem konsinyasi untuk penjualan di toko buku lain, maka atas penyerahan buku-buku tersebut (kecuali jenis buku yang disebut sebelumnya) meruupakan penyerahan BKP dan dikenakan PPN, sesuai dengan Pasal 1A ayat 1 huruf g UU PPN. Menurut penjelasan ayat ini, dalam hal penyerahan secara konsinyasi, PPN yang sudah dibayar pada waktu BKP yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan BKP yang dititipkan tersebut. Namun, ada pengecualian untuk toko buku di Batam. Batam termasuk sebagai kawasan perdagangan bebas atau biasa disebut sebagai Kawasan Bebas. Menurut PMK No.



25



62/PMK.03/2012 Pasal 10 ayat 1, “Pemasukan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.” Oleh karena itu penyerahan ke toko buku di Batam tidak dipungut PPN. 12. Bagaimana pengenaan PPN terhadap penyerahan kepada konsumen akhir di toko bukunya sendiri, toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam? Atas penyerahan BKP kepada konsumen akhir dikenakan PPN dengan tarif normal yaitu 10%. Kecuali untuk penyerahan yang bukan merupakan penyerahan BKP atau yang tidak dipungut BKP, yaitu atas buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran agama, serta penyerahan di Batam. Hal ini sesuai dengan PP No. 10 Tahun 2012 Pasal 4 ayat 2 yang menyatakan “Penyerahan barang di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.” Hal ini berlaku untuk buku-buku baik yang diterbitkan sendiri oleh PT Indoprint maupun dari penerbit lain. 13. Bagaimana jika ternyata ada buku yang tidak terjual kemudian dikembalikan oleh toko buku lain di Jakarta, Bandung, Bali, dan di Batam? Menurut penjelasan dari Pasal 1A ayat 1 huruf g UU PPN, “jika BKP titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik BKP, pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian BKP (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A.” Pasal 5A ayat 1 UU PPN menyatakan bahwa PPN atas penyerahan BKP yang dikembalikan dapat dikurangkan dari PPN terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian BKP tersebut. Menurut penjelasan ayat ini, pengembalian tersebut akan mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh penjual, dan mengurangi: a. Pajak Masukan dari PKP pembeli, bila PM tersebut telah dikreditkan b. biaya atau harta PKP pembeli, bila PM tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah dikapitalisasi dalam harga perolehan harta tersebut; atau c. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan PKP dalam hal pajak atas BKP yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah dikapitalisasi dalam harga perolehan harta tersebut. Untuk dapat mengurangkan dari PPN terutang, pembeli diharuskan membuat dan menyampaikan "Nota Retur" kepada Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut, sebagaimana tertulis di KMK No. 987/KMK.04/1984 yang juga berlaku dalam hal penyerahan barang secara konsinyasi, sebagaimana tercantum dalam SE28/PJ.3/1985. Nota Retur sebagaimana dimaksud dibuat oleh pembeli yang sudah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sepanjang NPWP tersebut tercantum dalam Faktur Pajak dari pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Barang Mewah. Nota Retur sekurangkurangnya mencantumkan : a. Nomor urut; b. Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak dan/atau Barang Mewah yang dikembalikan; c. Nama, alamat dan NPWP pembeli; d. Nama, alamat dan NPWP Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak ; e. Nama, Kuantum, harga dan harga jual Barang Kena Pajak dan/atau Barang Mewah yang dikembalikan; f. Pajak Pertambahan Nilai yang dikurangkan; g. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikurangkan;



26



h. Tanggal pembuatan Nota Retur; i. Tanda tangan dan nama terang pembeli; Nota Retur dibuat sekurang-kurangnya 2 (dua) lembar: - Lembar ke-1 : Untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak; - Lembar ke-2 : untuk arsip pembeli. 14. Bagaimana mekanisme pengenaan PPN atas diskon yang diberikan perusahaan kepada toko buku yang menjual buku terbitannya? Menurut Pasal 1 ayat 17 UU PPN, salah satu Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah Harga Jual, yang kemudian dijelaskan di dalam ayat 18 sebagai “nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.” Oleh karena itu, perhitungan PPN yang dikenakan harus berdasarkan atas harga jual penuh, bukan harga setelah pengenaan potongan harga meskipun potongan harga tersebut tercantum di Faktur Pajak. 15. Apakah perusahaan harus memungut PPN atas penjualan buku terbitan penerbit lain di toko bukunya? Selain atas buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama, serta atas penjualan buku di toko buku di Batam, PT Indoprint tetap memungut PPN atas penjualan buku dari penerbit lain di toko bukunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1A ayat 1 huruf a UU PPN dan penjelasannya yang menyatakan bahwa yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian yang meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. Oleh karena itu, atas penjualan buku terbitan penerbit lain di toko bukunya kepada konsumen dikenakan PPN karena merupakan penyerahan BKP, sesuai ketentuan Pasal 4 ayat 1 huruf a, dan PT Indoprint harus memungut PPN tersebut sesuai ketentuan Pasal 3A ayat 1. 16. Apakah perusahaan dapat mengkreditkan PPN masukan atas pembelian semua mesinnya? Kapankah PPN masukan tersebut dapat dikreditkan? Tidak semua PPN Masukan atas pembelian mesin oleh perusahaan dapat dikreditkan. PT Indoprint dikukuhkan sebagai PKP pada tahun 2002. Menurut Pasal 9 ayat 8 huruf a, pengkreditan PPN Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP atau JKP sebelum pengusahan dikukuhkan sebagai PKP. Oleh karena itu, atas pembelian 2 mesin cetak pada tahun 2000, PPN Masukan-nya tidak dapat dikreditkan. Atas pembelian 3 mesin cetak pada tahun 2003 dan 5 mesin cetak pada tahun 2007, PPN Masukan-nya dapat dikreditkan. Sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat 2b UU PPN, PPN Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 5 dan ayat 9 UU PPN, yaitu persyaratan formal dan material. PPN Masukan dalam suatu Masa Pajak tersebut dapat dikreditkan dengan PPN Keluaran dalam Masa Pajak yang sama (Pasal 9 ayat 2 UU PPN). Namun, bila belum dikreditkan, PPN Masukan tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan (Pasal 9 ayat 9 UU PPN). 17. Apakah perusahaan harus memungut PPN atas penjualan mesin cetak bekas?



27



Pada umumnya, perusahaan tetap harus memungut PPN atas penjualan mesin cetak bekas, karena termasuk sebagai penyerahan BKP sesuai dengan Pasal 1A ayat 1 huruf e (“BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.”) Pasal 16D UU PPN kemudian menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang PPN Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 8 huruf b dan huruf c, yaitu apabila perolehan BKP tersebut tidak punya hubungan langsung dengan kegiatan usaha (huruf b) atau dalam perolehan atau pemeliharaan kendaraan bermotor atau station wagon kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. Mesin yang dijual adalah mesin yang dibeli sebelum pengukuhan PT Indoprint menjadi PKP, sehingga PPN Masukannya tidak dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat 8 huruf a). Namun, meskipun PPN Masukannya tidak dikreditkan, PT Indoprint tetap harus memungut PPN atas penjualan mesin bekas tersebut, karena hal ini masih berada di luar pengecualian dalam Pasal 16D yang hanya mengecualikan kondisi dalam Pasal 9 ayat 8 huruf b dan huruf c saja, bukan seluruh penyerahan BKP yang PPN Masukan-nya tidak dapat dikreditkan. 18. Adakah kewajiban terkait PPN atas pembangunan gudang yang dilakukan perusahaan? Atas kegiatan pembangunan gudang tersebut akan dikenakan PPN. Kegiatan ini dikategorikan sebagai kegiatan membangun sendiri. Dalam Pasal 16C UU PPN disebutkan bahwa PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Hal serupa juga tercantum dalam PMK No. 163/PMK.03/2012. Peraturan ini juga kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai batasan dan tata cara pengenaan PPN untuk kegiatan ini. Bangunan yang dimaksud berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria: a. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan c. luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi). Tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 10% atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP adalah sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Sehingga PPN terutang setiap bulannya adalah sebesar 10% dikalikan dengan 20% dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Selain itu, PPN Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri ini tidak dapat dikreditkan.



28



19. Apakah ada kewajiban PPN terkait dengan pemberian buku untuk kegiatan amal dan pameran? Pemberian buku untuk kegiatan amal dapat dikategorikan sebagai penyerahan BKP sesuai dengan Pasal 1A ayat 1 huruf d, yaitu pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP. Oleh karena itu, PT Indoprint wajib memungut PPN atas penyerahan buku tersebut, kecuali atas penyerahan buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama. Tarif yang dikenakan adalah 10% atas DPP berupa Nilai Lain, dalam hal ini untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor (PMK No. 75/PMK.03/2010) Untuk penjualan buku dengan harga murah pada saat pameran, penjualan tersebut tetap dikenakan PPN dan PT Indoprint wajib memungutnya, kecuali untuk buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama. Namun dalam hal ini, karena buku dijual dengan lebih murah, maka harga jual yang dipakai sebagai DPP PPN adalah sebesar harga jual baru yang tercantum dalam Faktur Pajak yang dibuat saat terjadinya penjualan tersebut. 20. Bagaimana mekanisme pengenaan PPN atas penyewaan ruangan yang dilakukan perusahaan? Penyewaan ruangan yang dilakukan PT Indoprint termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), sehingga atas transaksi tersebut dikenakan PPN sesuai Pasal 4 ayat 1 huruf c UU PPN. Tarif PPN yang dikenakan adalah 10% atas DPP PPN yaitu nilai sewa ruangan tersebut. Sesuai PMK No. 84/PMK.03/2012, penyerahan JKP terjadi pada saat: a. harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; b. kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diketahui; atau c. mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak. Faktur Pajak harus dibuat pada: a. saat penyerahan Jasa Kena Pajak; b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan. Untuk penyewaaan pertama kali, PPN dipungut pada saat Faktur Pajak dibuat sesuai ketentuan di atas. Dalam hal penyewa ingin menyewa kembali di periode berikutnya dan harus membayar sebesar 20% pada 2 bulan sebelum akhir periode berjalan, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat pembayaran sebesar 20% dari nilai sewa tersebut dibuat. Namun, besar DPP PPN tetaplah sebesar 100% atau nilai penuh dari nilai sewa ruangan tersebut karena hal ini tidak termasuk dalam penyerahan sebagian tahap pekerjaan.



29



KASUS PPh KOMPREHENSIF PT TANI MAJU PT. TANI MAJU (“Perusahaan”) adalah perusahaan manufaktur sekaligus perdagangan alat dan produk pertanian yang didirikan pada tanggal 20 April 2003 dan berkedudukan di daerah Cikarang, Jawa barat. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) perusahaan: 01.490.056.9.021.000. Pembukuan Perusahaan menggunakan Bahasa Indonesia dan mata uang rupiah dengan metode akrual. Struktur kepemilikan Perusahaan adalah sebagai berikut: Nama



Alamat



Persentase Kepemilikan



PT. Makmur Jaya



Jl. Kalimantan No. 102, Jakarta 10340



40%



Harahap



Jl. Antasari No. 220, Jakarta



28%



PT. Jaya Utama



Jln. Thamrin No. 3, Jakarta



20%



Ani Kusuma



Jln. Aceh No. 180, Jakarta



12%



PERMASALAHAN PERPAJAKAN PERUSAHAAN Doni merupakan Manajer Pajak baru di PT TANI MAJU. Sebelum memutuskan untuk menerima tawaran menjadi manajer pajak di PT TANI MAJU, DONI mendapatkan informasi awal dari Direktur Keuangan bahwa Perusahaan dalam 5 tahun terakhir secara rutin diperiksa oleh Kantor Pelayanan Pajak. Hasil dari setiap pemeriksaan pajak tersebut adalah adanya SKPKB PPh Badan yang menunjukkan bahwa Perusahaan selalu mengalami kurang bayar yang material untuk perhitungan PPh Badannya. Direktur Keuangan merasa bahwa adanya SKPKB PPh Badan selama 5 tahun berturutturut tersebut menunjukkan bahwa terdapat permasalahan penanganan perpajakan di Perusahaan. Oleh karena itu, Direktur Keuangan berharap manajer pajak yang baru dapat mengindikasi permasalahan yang ada dan mencari solusi pemecahannya sehingga Perusahaan tidak lagi menerima SKPKB PPh Badan yang jumlahnya signifikan. Doni merasa tertantang dengan hal ini dan bersedia menerima pekerjaan sebagai Manajer Pajak di PT. TANI MAJU. Sebagai manajer yang baru, salah satu hal yang Doni coba pelajari adalah tentang pembagian tugas yang ada di Divisi Perpajakan. Terdapat 3 staf perpajakan yang membantu tugas Manajer Pajak, dimana pembagian tugasnya adalah satu orang bertugas mengurus pajak potong/pungut (withholding taxes) dan PPh Pasal 25, satu orang mengurusi PPN dan satu orang bertanggungjawab atas perhitungan PPh badan dan pajak yang lain. Tugas staf pajak mulai dari membuat dokumen pajak terkait dengan transaksi sampai dengan membuat laporan pajak dan menyimpannya sesuai dengan jenis pajak. Dokumen perpajakan disimpan oleh masing-masing staf pajak sesuai dengan pembagian tugasnya. Penyimpanan dokumen dilakukan masing-masing staf dengan cara yang menurut mereka masing-masing paling memudahkan dalam bekerja.



30



DATA PERPAJAKAN PERUSAHAAN TAHUN 2010 Terkait dengan perhitungan PPh badan tahun pajak 2010, Doni juga mulai mengumpulkan data-data yang dia rasa perlu dengan dibantu oleh staf yang bertugas untuk melakukan perhitungan PPh badan. Berikut adalah data-data yang berhasil dikumpulkan oleh stafnya tersebut: OMSET USAHA Besarnya penghasilan usaha yang dilaporkan dalam laporan laba rugi komersial Perusahaan tahun 2010 adalah Rp 4,4 Milyar. Berdasarkan SPT Masa PPN yang dilaporkan Perusahaan selama tahun 2010 terlihat: 1. Omset Penjualan Dalam Negeri



Rp 5 Milyar



Omset Penjualan Ekspor



Rp 0 Milyar



2. Penjualan Dalam Negeri yang menggunakan Faktur Pajak Standar



Rp 4,5 M



Penjualan Dalam Negeri yang menggunakan Faktur Pajak Sederhana Rp 0,5 M 3. Penjualan Dalam Negeri yang PPNnya dipungut sendiri Penjualan Dalam Negeri yang PPNnya dibebaskan



Rp 3,5 M Rp 1 M



Berikut adalah beberapa informasi lain terkait dengan omzet perusahaan tahun 2010:











 



Pada bulan Desember 2009 Perusahaan melakukan penjualan alat pertanian senilai Rp 450 juta yang sampai dengan akhir Desember 2009 belum diterima pembayarannya. Faktur pajak dibuat Perusahaan pada bulan Januari 2010. Pada bulan Desember 2010 Perusahaan melakukan penjualan produk pertanian yang PPNnya dibebaskan senilai Rp 200 juta yang sampai dengan akhir Desember 2010 belum diterima pembayarannya. Pada bulan Juli 2010 Perusahaan menggunakan sebagian persediaan produk pertanian yang dimilikinya senilai Rp 50 juta untuk ditanam di area kantor dan gudang Perusahaan. Pada tahun 2010 Perusahaan berperan serta mensukseskan Hari Lingkungan Hidup dengan menyumbangkan produk pertanian senilai Rp 100 juta kepada Pemerintah Daerah.



BEBAN KARYAWAN Rincian dari beban karyawan berdasarkan General Ledger adalah sebagai berikut: Karyawan Tetap Gaji



Rp 875 juta



Lembur



Rp 87,5 juta



Tunjangan Transportasi



Rp 50 juta



31



Bonus dan THR



Rp175 juta



PPh 21 Karyawan



Rp 235 juta



Makan Siang



Rp 70 juta



Biaya pengobatan



Rp 120 juta



Pakaian Seragam



Rp 30 juta



Dalam penghitungan PPh Badan, staf bagian pajak melakukan koreksi atas makan siang dan pakaian seragam. Menurut staf pajak tersebut, koreksi atas akun-akun ini sudah dilakukan Perusahaan sejak dahulu sehingga dia tetap melanjutkannya. Doni kemudian meminta informasi dari bagian akuntansi dan mendapatkan informasi bahwa makan siang hanya diberikan kepada karyawan bagian gudang sedangkan pakaian seragam diberikan kepada satpam yang menjaga gudang dan gedung kantor Perusahaan. Informasi mengenai remunerasi karyawan juga diperoleh dari perhitungan PPh 21 yang terdapat dalam SPT 1721. Berikut adalah daftar penghasilan yang dimasukkan dalam perhitungan PPh 21 perusahaan: Karyawan Tetap Gaji



Rp 875 juta



Lembur



Rp 87,5 juta



Tunjangan Transportasi



Rp 50 juta



Bonus dan THR



Rp175 juta



PPh 21 Karyawan tidak dimasukkan dalam perhitungan karena pajak ini dibayarkan langsung oleh Perusahaan ke kas negara. Biaya pengobatan juga tidak dimasukkan dalam perhitungan karena dibayarkan langsung oleh Perusahaan ke rumah sakit. Sedangkan alasan tidak memasukkan makan siang dan pakaian seragam dalam perhitungan PPh 21 karena merupakan natura bagi karyawan. BEBAN BUNGA Perusahaan mendapatkan pinjaman dari Bank ABC senilai Rp 2 Milyar. Tingkat bunga 10% selama 4 tahun. Jumlah yang dibayar pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 700 juta dimana Rp 500 juta merupakan pembayaran pokok pinjaman dan sisanya adalah bunga. Perusahaan mengakui keseluruhan beban bunga tersebut dalam perhitungan laba fiskalnya. Berdasarkan rekapitulasi SPT PPh Pasal 23 tahun 2010, tidak ditemukan pemotongan PPh pasal 23 atas pembayaran bunga kepada Bank ABC. BEBAN JASA KONSULTASI MANAJEMEN Pada tahun 2010 Perusahaan membayar beban jasa konsultasi manajemen kepada PT. Jaya Utama (pemegang saham) sebesar Rp 100 juta. Besarnya nilai konsultasi manajemen yang sama dari perusahaan lain adalah Rp 75 juta.



32



INFORMASI LAIN-LAIN 1. Perusahaan memiliki rata-rata deposito selama tahun 2010 sebesar Rp 2 Milyar sedangkan ratarata pinjaman yang dimiliki Perusahaan (pinjaman dari Bank ABC) senilai Rp 1,75 Milyar. 2. Perusahaan tidak membagikan deviden pada tahun 2010 ini. 3. Terdapat beberapa jenis biaya yang selalu dikoreksi oleh pemeriksa pajak yaitu:



 



Beban perjalanan dinas, beban ini diberikan untuk pimpinan dan staf karyawan yang melakukan perjalanan dinas secara lump sum. Beban sumbangan, dimana Perusahaan memberikan sumbangan kepada perorangan/institusi yang memberikan proposal /meminta langsung ke perusahaan maupun sumbangan kepada korban-konban bencana nasional di Indonesia.



4. Perusahaan seharusnya memiliki kredit pajak PPh Pasal 25. Namun, dokumen terkait dengan pajak ini belum berhasil ditemukan karena staf pajak yang mengurusi pajak ini cuti melahirkan selama 3 bulan.



BAHAN DISKUSI : 1. Menyangkut staf karyawan pajak, menurut Anda apakah ada yang perlu diperbaiki terkait dengan pembagian tugas dan pekerjaan mereka? 2. Menyangkut omset perusahaan: a. Apakah diperlukan koreksi fiskal atas penghasilan usaha yang dilaporkan dalam laporan laba rugi perusahaan? Jelaskan jawaban Anda! b. Jelaskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan omset usaha perusahaan dalam laporan laba rugi dengan yang terdapat di dalam SPT PPN! c. Terkait pertanyaan (b), apakah tindakan yang harus dilakukan PT TANI MAJU? 3. Terkait beban karyawan: a. Apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban karyawan untuk menghitung laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda! b. Berikan masukan Anda kepada perusahaan mengenai kewajiban perpajakan yang terkait dengan beban karyawan! 4. Terkait beban bunga, apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban bunga untuk menghitung laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda! 5. Sehubungan dengan beban konsultasi manajemen, jelaskan apakah diperlukan koreksi atas beban konsultasi manajemen yang diakui perusahaan? Jelaskan jawaban Anda!



33



6. Sehubungan dengan beban-beban yang sering dikoreksi: a. Menurut pendapat Anda, apakah yang menyebabkan beban-beban tersebut dikoreksi oleh pemeriksa pajak selama ini? b. Jelaskan tindakan dan kebijakan apa yang harus diubah/dilakukan PT TANI MAJU untuk menjamin koreksi semacam itu tidak terjadi lagi?



Soal 2 Apakah diperlukan koreksi fiskal atas penghasilan usaha yang dilaporkan dalam laporan laba rugi perusahaan? Jelaskan jawaban Anda! Ya, memang perlu dilakukan koreksi fiskal atas penghasilan usaha yang dilaporkan perusahaan dalam laporan keuangan komersil. Seperti yang kita tahu bahwasanya laba menurut pajak dan laba fiskal sesuai laporan keuangan komersil memiliki perbedaan. Terdapat berbagai jenis beban yang pengakuannya berbeda. Hal ini didasarkan pada UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Selain itu, terkait dengan soal yang dibahas, perbedaan pengakuan nilai pendapatan terjadi antara menurut UU No.42 Tahun 2009 mengenai Pajak Pertambahan Nilai. Omset 2010



5.000.000.000



Sales



(450.000.000) 4.550.000.000



PPN yg dibebaskan (200.000.000) 4.350.000.000 Pemkaian sendiri



(50.000.000) 4.300.000.000



Sumbangan



100.000.000



Revenue 2010



4.400.000.000



Jelaskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan omset usaha perusahaan dalam laporan laba rugi dengan yang terdapat di dalam SPT PPN! Perbedaan nilai omset usaha menurut laporan keuangan dan SPT PPN dikarenakan ada perbedaan waktu dan kategori pengakuan pendapatan (kategori Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak) sesuai dengan Pasal 4A UU No.42 Tahun 2009. Terkait dengan transaksi yang terjadi pada tahun 2012, terdapat beberapa di antaranya yang menyebabkan perbedaan nilai, yakni: a.



Transaksi pertama senilai 450 juta rupiah terjadi pada Desember 2011 namun faktur pajak baru dibuat perusahaan saat Januari 2012. Sesuai dengan Pasal 13, faktur pajak dibuat saat penerimaan pembayaran apabila terjadi sebelum penyerahan BKP/JKP. Faktur pajak inilah



34



yang menjadi dasar bukti pengakuan pendapatan perusahaan menurut pajak. Sehingga yang terjadi adalah pendapatan atas transaksi tersebut diakui saat Januari 2012 bukan Desember 2011. b. Transaksi kedua senilai 200 juta rupiah tidak mempengaruhi perbedaan nilai karena PPNnya dibebaskan. c. Transaksi ketiga Senilai 50 juta rupiah membuat omset pada SPT PPN lebih tinggi. Pada Pasal 1A yang termasuk ke dalam BKP terdapat juga pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-Cuma atas Barang Kena Pajak. d. Transaksi keempat senilai 100 juta rupiah juga membuat perbedaaan omset perusahaan karena di SPT PPN termasuk di dalamnya pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumaCuma atas Barang Kena Pajak. Daftar selengkapnya mengenai pendapatan seperti apa yang tergolongkan sebagai penyerahan BKP/JKP terdapat pada Pasal 1A UU No.42 Tahun 2009 mengenai Pajak Pertambahan Nilai. Terkait pertanyaan (b), apakah tindakan yang harus dilakukan PT TANI MAJU? Sebenarnya PT Tani Maju sudah mengakui pendapatan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku mengenai PPN. Sehingga PT Tani Maju tidak perlu lagi melakukan koreksi atas hasil perhitungannya. Terkait dengan SKPKB yang diterima, apabila jumlah kurang bayar tersebut berkaitan dengan PPN, perusahaan dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Pajak. Hal ini karena sudah terbukti selisih antara omset usaha di laporan keuangan dan SPT PPN sebesar 600 juta rupiah terjadi karena pengakuan tiga transaksi (450 + 100 + 50 juta) sesuai dengan SPT PPN yang berlaku. Perusahaan dapat melakukan tindak preventif terkait dengan pernyataan kurang bayar terhadapnya, yakni dengan melakukan rekonsilisai nilai PPN sehingga manajemen dapat dengan lebih baik melihat kesesuaian nilai yang tertera pada SPT dengan yang sehrarusnya.



Soal 3 Apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban karyawan untuk menghitung laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda! 







PPh 21 Karyawan seharusnya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan karena termasuk non-deductible expense, seperti yang dinyatakan dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) huruf h bahwa: “Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan … Pajak Penghasilan” Biaya makan siang karyawan seharusnya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan karena biaya makan siang tersebut hanya diberikan kepada karyawan bagian gudang saja, bukan semua karyawan, sehingga termasuk ke dalam non-deductible expense. Hal ini dinyatakan dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) huruf e bahwa:



35







“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan … penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” Biaya pengobatan merupakan biaya yang langsung dibayarkan perusahaan kepada rumah sakit, sehingga menambah penghasilan karyawan (objek pajak PPh 21), maka seharusnya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan karena termasuk non-deductible expense. Hal ini dinyatakan dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) huruf d bahwa: “Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan … premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan”



Menurut Pasal 6 Ayat 1 dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, disebutkan bahwa beban biaya yang boleh dikurangkan dalam perhitungan pajak penghasilan antara lain ialah beban yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha. Salah satu rinciannya ialah biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang. Dalam kasus PT Tani Maju tersebut, komponen biaya karyawan yang telah sesuai dengan ketentuan ialah gaji, lembur, tunjangan transportasi, bonus dan THR yang memang diberikan dalam bentuk uang. Adapun berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, biaya makan siang tidak dapat dijadikan sebagai beban karena hanya diberikan kepada sebagian karyawan (karyawan bagian gudang). Biaya makan siang dapat dibebankan ketika memang diberikan untuk seluruh karyawan, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 83/PM.03/2009 tentang Penyediaan Makanan dan Minuman bagi Seluruh Pegawai serta Penggantian atau Imbalan dalam Bentuk Natura dan kenikmatan di Daerah tertentu dan yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Pekerjaan yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja. Pasal 2: “Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah: a. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. b. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut. c. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai saran keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.”



36



Sesuai dengan pasal di atas, maka biaya makan yang tidak diberikan kepada seluruh pegawai boleh dikoreksi. Perusahaan tidak memasukkan beban pakaian seragam dalam perhitungan pajak penghasilan. Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 83/PM.03/2009, disebutkan bahwa pakaian dan peralatan bagi pegawai pemadam kebakaran, proyek, pakaian seragam pabrik, hansip/satpam, penginapan untuk awak kapal atau pesawat, dan antar-jemput pegawai, merupakan beban biaya yang dapat dikurangkan. Dalam kasus ini, PT Tani Maju memberikan seragam untuk satpam, sehingga seharusnya beban tersebut dapat dijadikan sebagai pengurang pajak sehingga tidak perlu dikoreksi. Berikan masukan Anda kepada perusahaan mengenai kewajiban perpajakan yang terkait dengan beban karyawan! Terkait beban karyawan, sebaiknya perusahaan lebih cermat lagi dalam melakukan penghitungan dan klasifikasi beban karyawan yang boleh dan tidak boleh dijadikan pengurang dalam perhitungan laba fiskal. Perusahaan harus memperhatikan segala ketentuan tidak hanya dalam UU PPh, tetapi juga ketentuan dalam KMK atau PMK. Khusus untuk beban pakaian seragam, sebaiknya ada penjelasan lebih rinci mengenai peruntukan seragam sehingga memudahkan dalam identifikasi beban. Saran kami adalah perusahaan lebih baik mengeluarkan biaya natura yang dapat dikategorikan sebagai deductible expenses sehingga dapat menjadi pengurang pajak.



Soal 4 Terkait beban bunga, apakah perusahaan melakukan kesalahan dalam pengakuan beban bunga untuk menghitung laba fiskal? Jelaskan jawaban Anda! Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE - 46/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Biaya Bunga yang Dibayar atau Terutang dalam Hal Wajib Pajak Menerima atau Memperoleh Penghasilan Berupa Bunga Deposito atau Tabungan Lainnya (Seri PPh Umum No. 20) ayat (4) huruf a, disebutkan bahwa: “Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya.” Berdasarkan SE DJP di atas, perusahaan telah salah dalam melakukan pengakuan atas beban bunga untuk menghitung laba fiskal, karena beban bunga atas pinjaman dengan Bank ABC tidak dapat dibebankan sebagai biaya (termasuk non deductible expense). Untuk itu, beban bunga atas pinjaman dengan Bank ABC harus dikoreksi positif (menambah penghasilan kena pajak). Apabila rata-rata deposito selama tahun berjalan lebih besar dari pada rata-rata pinjaman, maka beban bunga pinjaman yang dibayarkan tidak boleh diakui sebagai deductible expenses. Terkait kebijakan PT Tani Maju, koreksi harus dilakukan untuk mengeluarkan biaya bunga sebagai beban dalam perhitunga laba fiskal.



37



Kemudian, terkait dengan tidak adanya pemotongan PPh 23 atas pembayaran bunga kepada Bak ABC hal ini sejalan dengan Pasal 23 ayat (4) huruf A UU No.36 Tahun 2008 tentang bunga yang dikecualikan dari PPh 23.



Soal 5 Sehubungan dengan beban konsultasi manajemen, jelaskan apakah diperlukan koreksi atas beban konsultasi manajemen yang diakui perusahaan? Jelaskan jawaban Anda! Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf c UU No.36 Tahun 2008 imbalan sehubungan dengan jasa manajemen akan dipotong PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto. Namun nilai jumlah bruto yang diakui oleh pajak sebagai jasa manajemen adalah jumlah yang berada pada nilai wajar pasar. Sehingga yang akan dipotong PPh 23 atas jasa manajemen adalah senilai 75 juta Rupiah. Sementara itu selisihnya sebesar 25 juta Rupiah diakui sebagai transer kekayaan kepada pemegang saham berupa dividen dan tidak boleh dimasukkan ke dalam komponen deductible expenses. Sehingga nilai yang diakui sebagai beban jasa manajemen hanya sebesar 75 juta Rupiah.



Soal 6 Menurut pendapat Anda, apakah yang menyebabkan beban-beban tersebut dikoreksi oleh pemeriksa pajak selama ini? Pada keterangan informasi lain-lain terdapat beberapa jenis biaya yang selalu dikoreksi oleh pemeriksa pajak yakni: a. Beban perjalanan dinas, beban ini diberikan untuk pimpinan dan staf karyawan yang melakukan perjalanan dinas secara lump sum. Berdasarkan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 6 ayat (1) huruf a poin 4 yang menyatakan bahwa: “Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk … biaya yang secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain … biaya perjalanan.” Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa biaya perjalanan dinas dapat dibebankan dalam menghitung laba fiskal. Akan tetapi, pemberian secara lump sum, dimana perusahaan memberikan sejumlah uang dengan besaran tertentu yang bersifat tetap dan diberikan kepada pegawai sebelum melakukan perjalanan dinas, akan cenderung membuat pegawai yang melakukan perjalanan dinas dapat mengatur sendiri penggunaan uangnya (kemungkinan pemakaian uang sesuka hati), sehingga tidak ada pertanggungjawaban lebih lanjut atas penggunaan uang tersebut, apalagi jika tidak didukung oleh bukti-bukti atas penggunaan biaya perjalanan dinas tersebut. Karena itulah beban perjalanan dinas ini



38



dikoreksi oleh pemeriksa pajak selama ini karena dianggap sebagai bentuk natura kepada pimpinan dan staf karyawan yang melakukan perjalanan dinas, seperti yang tercantum pada Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) huruf e yang menyatakan bahwa: “Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan … penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” b. Beban sumbangan, dimana Perusahaan memberikan sumbangan kepada perorangan/institusi yang memberikan proposal /meminta langsung ke perusahaan maupun sumbangan kepada korban-konban bencana nasional di Indonesia. Biaya ini dikoreksi sesuai dengan Pasal 6 UU No.36 tahun 2008 mengenai biaya yang boleh dan tidak boleh dikurangkan oleh pajak. Untuk beban perjalanan dinas pada dasarnya diperbolehkan untuk dikurangi atau dikategorikan sebagai deductilble expenses apabila dibayarkan secara lumpsum atau dijadikan sebagai tunjangan. Sementara untuk beban sumbangan sesuai dengan Pasal 6 diperbolehkan asalkan dalam rangka penanggulanan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 6 ayat [i]).



Jelaskan tindakan dan kebijakan apa yang harus diubah/dilakukan PT TANI MAJU untuk menjamin koreksi semacam itu tidak terjadi lagi? Perusahaan seharusnya mengeluarkan beban atau biaya-biaya yang seharusnya diperbolehkan untuk dibebankan sesuai dengan UU tentang Pajak Penghasilan sehingga tidak akan tejadi koreksi-koreksi pada perhitungan laba fiskal perusahaan. Contohnya sumbangan yang dilakukan untuk penanggulangan bencana nasional boleh dijadikan beban sehingga saat dijadikan pengurang pendapatan pajak tidak perlu lagi dikoreksi dan transaksi-transaksi lainnya. Hal ini juga dapat ditempuh dengan perbaikan dari sisi manajerial. Contohnya divisi manajemen pajak lebih detail memperhatikan setiap peraturan perpajakan karena sering kali berubah dalam periode tertentu sehingga diperlukan pengetahuan dan akses terhadap informasi terbaru mengenai pajak yang teranyar dan akurat. Kemudian manajemen pajak dapat melakukan pelatihan pada staff yang dimiliki agar clerical error dapat diminimalisir. 



Mengenai pembiayaan perjalanan dinas  Jika PT TANI MAJU ingin tetap mempertahankan pemberian dengan metode lump sum, perusahaan harus meminta bukti perjalanan dinas kepada pimpinan dan staf karyawan yang bersangkutan, sehingga perusahaan dapat mengakui pengeluaran ini sebagai beban sesuai dengan bukti transaksi pengeluaran selama perjalanan dinas tersebut dan mencegah adanya pengeluaran biaya perjalanan dinas yang tidak semestinya.  Perusahaan dapat mengganti metode menjadi reimburse. Sehingga seluruh uang yang telah di keluarkan oleh karyawana selama perjalanan berdasarkan bukti pengeluaran yang ada, diberikan kepada perusahaan dan perusahaan akan mengganti seluruh



39







pengeluaran perjalanan dinas berdasarkan bukti transaksi yang ada, dan perusahaan dapat mengakui pengeluaran ini sebagai beban. Mengenai pemberian sumbangan



 Untuk menjamin agar tidak terjadi koreksi lagi, maka dalam memberikan sumbangan perusahaan harus memberikannya berdasarkan ketentuan PMK No. 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto. PT TANI MAJU juga harus mematuhi tata cara penyampaian dan pelaporan berdasarkan PMK tersebut.



KESIMPULAN Terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan demi perbaikan manajemen pajak PT Tani Maju agar SKPKB tidak lagi diterbitkan oleh Dirjen Pajak kepada mereka. Mulai dari perbaikan pembagian kerja antara staf pajak perusahaan hingga berbagai kesalahan perhitungan dan koreksi terhadap perhitungan laba fiskal. PT Tani Maju harus membagi tugas staff berdasarkan jenis pajak agar perhitungan pajak lebih mudah. Selain itu diperlukan perbaikan metode penyimpanan dokumen, solusinya adalah dengan membuat sistem dokumentasi terintegras berbasi IT. Sistem ini dapat menyimpan dokumen dengan baik dan mempermudah akses staff dan pihak yang memerlukan dengan cepat. Kemudian terdapat beberapa kesalahan perhitungan dan pengategorian koreksi laba fiskal, karena itu perusahaan diharapkan berhati-hati dalam menghitungnya. PT Tani Maju direkomendasikan untuk memperhatikan peraturan perundang-undangan pajak yang terus berkembang. Selain itu juga PT Tani Maju dapat melakukan pengeluaran sesuai dengan pengeluaran yang dapat dibebankan oleh pajak sehingga menghindari koreksi atas perhitunga laba fiskal perusahaan.



40