Kontribusi Umat Islam Terhadap Politik Di Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KONTRIBUSI UMAT ISLAM TERHADAP POLITIK DI INDONESIA



Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah memberikan kontribusi yang cukup signifiksn terhadap kehidupan politik di Indonesia. Pertama, ditandai dengan munculnya partai-partai yang berazaskan Islam, serta partai nasionalis yang berbasis umat Islam. Kedua, ditandai dengan sikap pro aktifnya tokoh-tokoh politik Islam dandan umat Islam terhadap keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia sejak proses awal kemerdekaan hingga zaman reformasi. Piagam Jakarta merupakan hadiah umat Islam kepada bangsa Indonesia. Kemerdekaan Indonesia. Tetapi masih tetap dirasakan adanya sesuatu yang mengganggu kalimat yang menyatakan : “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya…” telah melewati saat-saat yang cukup kritis, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 wakil-wakil Islam akhirnya usul penghapusan anak kalimat tersebut dari Pancasila dan Batang tubuh UUD 1945. Sila pertama yang pertama Ketuhanan mendapat atribut yang fundamental, sehingga menjadi penting, sebab dengan jalan demikian wakil-wakil umat Islam tidak akan keberatan dengan politik umat Islam, tetapi pada tahun 1978 mantan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwira Negara memberi tafsiran itu sebagai hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia demi menjaga persatuan. Pernyataan Alamsyah tersebut bisa dibaca dalam konteks politik Indonesia waktu itu, barangkali dapat di artikan sebagai usaha untuk meyakinkan pihak-pihak tertentu, bahwa loyalitas umat Islam kepada Pancasila tidak perlu diragukan lagi. Berkaitan dengan keutuhan Negara, Mohammad Natsir pernah menyeru umat Islam agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dalam pandangan Islam, rumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Karena nilai-nilai yang terdapat di dalam Pancasila, juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an. Demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa umat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari sila pertama Pancasila yaitu kata-kata “kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”. Umat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan UUD 1945 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan : pertama, nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam; dan, kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan atas berbagai golongan, untuk mewujudkan kesatuan politik bersama.



SISTEM POLITIK ISLAM A. PENGERTIAN SISTEM POLITIK ISLAM Dalam terminologi politik Islam, politik diidentikkan dengan siasat dalam mengatur. Kedudukannya dalam ilmu Fiqih, siyasah atau politik merupakan pokok ajaran Islam yang mengatur system kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan tindakan (policy atau kebijakan siasat dan sebagianya) tenteng pemerintahan suatu negara terhadap Negara lain. Politik dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu Negara dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Dalam ilmu fiqih siyasah disebutkan bahwa garis besar fiqih siyayah itu meliputi : 1. Siyasah Dustutiyyah (berisi tata Negara dalam Islam ) 2. Siyasah Dauliyyah (politik yang mengatur hubungan antara suatu Negara Islam dengan Negara Islam yang lain atau dengan Negara lainnya). 3. Siyasah Maaliyyah (mengatur system ekonomi negara) Sistem kedaulatan bararti kekuasaan tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatankekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di dalam masyarakat. Dalam konsepsi Islam, kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT, ekspresi kekuasaan Allah SWT tersebut tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Oleh karena itu penguasa tidaklah memiliki kekuasaan yang mutlak. Ia hanyalah wakil Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan atau menerjemahkan, menafsirkan ayat-ayat Allah dan sifat-sifat-Nya dalam kehidupan yang nyata. Kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang berhak memilikinya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaan itu dengan sebaikbaiknya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar B. Prinsip-Prinsip Dasar atau Siyasah Dalam Islam Prinsip-Prinsip Dasar atau Siyasah Dalam Islam meliputi: 1. System musyawarah (Al-Syuraa) Musyawarah dalam istilah Al Qur’an adalah Syuuraa. Dalam QS.Al Imron :159 “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau bersikap lemah lembut pada mereka. Sekiranya engkau kasar dank eras mereka niscaya akan menjauhkan diri darimu karena itu ma’afkanlah mereka dan mohonkan ampunan bagi mereka dan bermusyawarahalah dengan mereka tentang urusan (yang penting) itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menciptakan orang-orang yang bertawakal.” Pemikiran mengenai konsep musyawarah dapat dijumpai diberbagai tempat, misalnya di Yunani dan di romawi. Dalam kaitannya orang sudah mengenal karya Plato yang berjudul Republik yang mengutarakan gagasan-gagasannya tentang suatu pemerintahan yang adil sesuai dengan kepentingan mereka yang diperintah dan yang dipimpin orang-orang yang bijaksana.



Contoh kongkrit system demokrasi yang dikenal dalam sejarah adalah Republik Athena pada abad ke-6 dan ke-5 sebelum masehi. Dalam system itu rakyat berkumpul untuk bermusyawarah membuat Undang-Undang dan memilih pimpinan pemerintah. Seorang ahli tafsir dari aliran Syi’ah dalam menjelaskan sebab-sebab ayat 38 surat As-Syura menyatakan bahwa kaum Ansor telah melakukan musyawarah ssebelum jaman Islam juga sebelum kedatangan Nabi SAW ke Madinah. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur’an sebenarnya adalah legitimasi terhadap tradisi yang sudah ada pada waktu itu dan dianggap baik. Mujadalah atau diskusi merupakan salah satu bentuk musyawarah. Faktor-faktor dalam musyawarah : a. Masalah yang diangkat adalah apakah konsep as-syuuraa itu sama dengan konsep demokrasi dijaman modern. b. Kenyataan bahwa pada jaman sekarang ini bentuk dan system penyelenggaraan dan pemeritah di negara-negara islam tidak semuanya republic demokrasi. Di lain pihak, negara-negara yang menyatakan sebagai republic demokrasi atau demokrasi rakyat belum tentu memiliki tradisi demokrasi. Kenyataan menunjukan bahwa di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Isalam umumnya berada ditangan penguasa yang mengekang demokrasi. Salah satu pandangan yang moderat adalah bahwa Islam sebenarnya walaupun dalam prinsipnya mengutamakan sifat pemerintahan jumhurriyah atau reepublik membenarkan juga pemerintahan mulkiyah (atau kerjaan) jika rakyat menghendakinya dan dengan catatan kerajaan itu dibawah dasar permusyawaratan berdasarkan parlementer. Islam mengingkari pemerintah sewenang-wenang, pemerintahan yang tidak mementingkan permusyawaratan suara rakyat, walaupun bercorak apa saja. Tegasnya Islam menghendaki pemerintahan yang demokratis ala Islam. Karena itu jika rakyat menghendaki pemerintahan yang bersifat mulkiyah diperintah oleh raja, maka Islam sekedar membolehkan, bukan mengutamakan. Dalam hal kerajaan ini, raja tidak dipandang sebagai orang yang memiliki negera melainkan hanya sebagai pemangku amanah. 2. KEADILAN (al-adl) Keadilan menurut al-qur’an meliputi lima hal: a. Keadilan Allah yang bersifat mutlak. Dalam al Qur’an dijelaskan bahwa allah adalah zat yang menegakkan keadilan(QS.Ali Imron/3:18) b. Keadilan firmann-nay atau ayat-ayat-Nya tertuang didalam Al Qur’an. Dinyatakan bahwa Allah SWT telah menurunkan AL-Kitab dalam neraca keadilan, agar supaya manusia dapat menegakkan keadilan (QS Al Maida/5:25) c. Keadilan syariatnya yang dijelaskan oleh rosul-nya. Didalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa agama Allah, agama yang dibawa oleh Muhammad adalah agama yang benar yang berasal dari agama Nabi Ibrahim yang lurus (QS. Al An’am/6:161) d. Kedilan pada alam ciptaannya. Didalam Al-Qur’an diterangkan bahwa Allah telah menciptakan manusia di dalam keseimbangan, keserasain yang sangat indah (QS.At-Tin : 4). Juga diterangkan bahwa Allah menjadikan alam semesta serba berimbang (QS. ArRa’d/13:2).



e. Keadilan yang ditetapkan untuk manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam Al-Qur’an diserukan agar orang-orang beriman dapat menegakkan keadilan semtamata Karena Allah dan tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi. Lima prinsip itulah yang ditegaskan oleh Al-Qur’an. Dalam hal ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan dalam kehidupan bermasyarakat biasanya dikatakan sebagai keadilan social. Keadilan social merupakan suatucita luhur yang lahir dari hati nurani manusia. Ia merupakan kualitas masyarakat ideal yang diharapkan tercipta di dalam mewarnai kehidupan bersama., suatu kehidupan di mana angota-angotannyahidup rukun, saling memerlukan dan saling mendukung, tak ada yangberlaku aniaya dan tak ada pula yang diperlakukan dengan aniaya. Cita-cita luhur ini telah mengilhami dan menyemangati berbagai pemikiran manusia dan gerakan masyarakat yang merasa terpanggal jiwanya untuk membangunsebuah masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang berkeadilan sosial. Berbagai kelompok masyarakat ingin membentuk kelompoknya yang berkeadilan sosial tersebut denngan cara mereka sendiri. Dalam hal ini, Indonesia menjadikan keadilan social menjadi dasar dan ideology kehidupan bermasyarakat dan negara, yang juga merupakan cita-cita. Kita ingin membentuk masyarakat dan negara yang berdasarkan dan beriologi keadilan sosial sebagaimana masyarakat dan negara yang berkehidupan sosial dimana adil merupakan cita-cita kita bersama. Islan juga demikian sangat menekan keadilan. Al-Qur,an sangat mengedeapkan temakeadilan manusia, bahkan Nabi SAW sendiri dengan tegas diperintahkan agarvberlakunadil terhadap orng-orang yang Non-Islam sekalipun (QS. AsySyura/42:15). Para aparat Pemerintah diperintahkan agar melaksanakan peraturan dengan adil (Qs=S. Al-Hujarat/49:9). Bahkan seorang suami yang mempunyai istri dari satu (POLIGAMI) disyaratkan agar bersikap adil terhadap istri-istrinya (QS. Ann-Nisa’/4:3). Oleh karena itu jiwa perkawinan dalam Islam adalah monogamy. 3.PRINSIP KEMERDEKAAN NERTANGGUNG JAWAB



(al-huriyyah)/KEBEBASAN



YANG



Kebebasan yang bertanggung jawab pada prinsipnya adalah kebebasan hati nurani. Kebebasan dan kebahagiaan hati nurani tidak dapat dicapai dengan membebaskan diri dari kenikmatan hidup di dunia, mengabaikan kehidupan dunia, dan hanya selalu mengahadap ke arah Tuhan di langit. Dorongan-dorongan hidup tak dapat dikalahkan selama-lamanya, dan sering manusia tunduk kepada dorongan-doronga hiduo tersebut di dalam banyak hal. Menindas dorongan-dorongan hidup tak selamanya baik. Allah menciptakan kehidupan ini adlah untuk dapat memanfaatkan dorongan hidup duniawi sehingga dapat mengalahkan keinginannya demi segala sesuatuyang bermanfaat. Islam telah mulai membebaskan hati nuranimanusia dari menyembah apa saja selain Allah dan dari tunduk kepada siapun juga kecuali Allah. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat mematikan dan menghidupkan selain Allah. Juga tak ada sesuatu apapun yang berkuasa untuk mendatangkan malapetaka dan memberikan manfaat kecuali Allah. Tidak ada sesuatu apapun yang memberikan rezeki kecuali Allah. Tidak ada perantara antara orang dengan Tuhan, Allah Yang Maha Esa, dialah yang Maha Kuasa sedang yang lainnya bergantung kepada-Nya. Di dalam Al-Qur’an ( QS.Al-Ikhlas/112:1-4) Allah berfirman: “Katakanlah Dialah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada berputar dan tidak diputrakan. Dan tidak ada seorang pun yangsetara dengan-Nya”.



Apabila orang telah meng-esa-kan Allah, maka esa pulalah ibadahnya. Tidak ada sesuatupun yang ditujukan kepada selain Allah. Seseorang tidak lebih utama daripada lainnya, kecuali dengan amal dn taqwanya. Islam menekankan hal ini dengan sungguhsungguh dank arena para Nabi merupakan orang-orang yang mungkin menjadi sasaran penyembahan dan penghormatan yang melebihi batas, maka Islam membebaskan hati nurani manusia dari hal ini dengan pembebasan yang sempurna (QS.Ali Imran/3:144) Allah berfirman: “Muhammad itu hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa Rasul”. Dan Tuhan memerintahkan kepada Muhammad supaya menerangkan kedudukannya dengan jelas: “sesungguhnya Aku (Muhammad) hanya menyembah Tuhanku dan Aku tidak mempersekutukan sesuatu apappun dengan-nya”. “Sesungguhnya Aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kata kemadharatan juga tidak pula mendatangkan sesuatu kemanfaatan, katakanlah sesungguhnya aku sekali-kali tidak seorangpun yang dapat melindungiku dari azab Allah dan sekali-kali aku tadak akan memperoleh tempat perlindungan selain dari pada-Nya”. 4. PRINSIP PERSAMAAN (al-Musaawah) Persamaan yang dimaksud adalah persamaan kemanusiaan. Apabila rohani manusia telah merasakan kebebasan maka ia akan dapat membebaskan diri dari perhambaan, ia percaya bahwa mati, sakit, miskin dan kerendahan diri (rendah diri), tidak akan menimpa dirinya kecuali dengan izin Allah. Orang yang demikian itu akan selalu merasa berkecukupan di dalam hidupnya. Islam tidak menganggap cukup dengan pengertian-pengertian yang tersimpan dari kebebasan rohani. Tapi islam meletakkan dasar-dasar persamaan dengan kalimat dan nash, hingga dengan emikain bisa dipahami secara jelas. Islam menetapkan tentang kesatuan jenis manusia sejak permulaan, baik lahir maupun batin pada waktu hidup maupun mati, dalam hak dan kewajiban di depan undang-undang dan di depan Allah, baik dunia maupun akhirat. Orang tidak dibedakan dari yang lain kecuali dengan amal salehnya. Dan orang tidak akan lebih mulia dari lainnya kecuali dengan taqwa (inna akromakum ‘indallahi atqooqum). Aadapun antara jenis laki-laki dan perempuan maka wanita menduduki tempat yang sama dengan laki-laki dilihat dari segi jenisnya. Dan apabila ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan maka perbedaan itu terletak di dalam kesiapan masing-masing. Dalam hal agama dan kerohanian maka antara laki-laki dan perempuan sama sekali tidak ada bedanya. Allah berfirman (QS. An-Nisa’/4:124): “barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik ia laki-laki maupun perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka masuk ke dalam surga dan tidak dianiaya walau sedikitpun”. Juga dalam QS. An-Nahl/16:97 : “barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka kerjakan”. Adapun tentang penerimaam warisan atau hokum waris, bahwa laki-laki menerima dua kali lipat dari bagian perempuan maka masalahnya adalah keadaan orang laki-laki yang bertanggung jawab di dalam kehidupannya. Ia mengawini seorang perempuan dimana ia meanggung kehidupannya juga kehidupan anak-anaknya dalam menegakkan rumah tangga. Oleh karena itu merupakan hak-haknya, ia memperoleh dua bagian dalam warisan itu. Jadi masalahnya adalah karena perbedaan tanggung jawab sehingga ia menerima warisan lebih



daripada perempuan. Bahkan di dalam masalah hak perlindungan atau kehormatan, wanita lebih banyak daripada laki-laki. Pada suatu hari ada seorang sahabat dating kepada Nabi: “wahai rasulullah, siapakah orang yang harus saya hormati?”. Rasulullah menjawab: “Ibumu”; Lalu ia bertanya lagi: “Lalu siapa?”. Rasulullah menjawab: ”Ibumu”; Lalu ia bertanya lagi; “Lalu siapa setalah itu?”. Rasulullah menjawab: “Ibumu”; Lalu ia bertanya lagi: “Lalu siapa?” Rasulullah baru menjawab: “Bapakmu”. Di dalam hadist lain dijelaskan Rasulullah pernah bersabda bahwa : “surge itu terletak di bawah telapak kaki ibu”(al-Jannatu tahta aqdamil ummahaat)(al-Hadist). Dengan demikian jelaslah bahwa antara laki-laki dan perempuan terdapat persamaan di dalam agama,kesamaan-kesamaan dalam pemilikan dan kesamaan dalam mencari nafkah dan sebagainya. Kita menghormati manusia oleh karena jenisnya sebagai manusia bukan karena dirinya, bukan karena golongan, dan bukan karena sukunya. Kehormatan itu terdapat pada semua orang dengan persamaan mutlak. Manusia berasal dari Adam dan Adam dari tanah. Dan apabila Adam dimuliakan, maka anak cucunya juga dimuliakan. Seluruh manusia mempunyai kehormatannya sendiri yang tidak dapat dilanggar oleh orang lain. Demikian Islam mengatur kehidupan manusia baik dari segi rohani maupun social supaya dengan itu kokohlaharti aspek persamaan.



C. Prinsip – prinsip Hukum Antar Agama Atau Hukum Internasional Dalam bahasa aslinya Al-Ahkam Ad-Dauliyah adalah Hukum internasional yaitu segala bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang system hokum internasional dan hubungan antar bangsa. Teori hukum islam kontemporer memperkenalkan konsepsi hukum internasional dalam dua bagian : pertama,Al-Ahkam Ad-Dauliyah Al-Ammah (yaitu hukum internasional mengenai masalah-masalah makro), dan kedua, Al-Ahkam Ad-Dauliyah AlKhosoh (yaitu hukum Internasional mengenai masalah-masalah mikro). Pada awalnya Islam hanya memperkenalkan satu system kekuasaan politik negara yaitu kekuasaan di bawah Risalah Nabi SAW dan berkembang menjadi satu system Khilafah atau kekhalifahan. Dalam system ini dunia internasional dipisahkan dalam tiga kelompok kenegaraan, yaitu: 1. Negara islam atau Darus-Salam yaitu Negara yang ditegakkan atas dasar berlakunya syriat Islam dalam kehidupan. 2. Darul-Harbi, yaitu: Negara Non-Islam yang kehadirannya mengancam kekuasaan negara-negara Islam serta menganggap musuh terhadap warga negaranya yang menganut agama Islam. 3. Darus-Sulh yaitu: negara Non-Islam yang menjallin persahabatan dengan negaranegara Islam, yang eksistensinya melindungi warga negara yang menganut agama Islam. Antara Darus-Salam dengan Darus-Sulh terdapat persepsi yang sama tentang batas kedaulatannya, untuk saling menghormati dan bahkan menjalin kerja sama dengan dunia Internasional. Keduanya saling terikat oleh konvensi untuk tidak saling menyerang dan untuk hidup bertetangga secara damai, sementara hubungan antara Darus-Salam dan Darul-Hasbi



selalu di warnai oleh sejarah yang hitam. Masing-masing selalu memperhitungkan terjadi konflik , namun demikian Islam tekah meletakkan dasar untuk tidak berada dalam posisi pemrakarsa meletusnya perang. Perang dalam hal ini adalah letak mempertahankan diri atau sebagai tindakan balasan. Perang dalam rangka menghadapi serangan musuh di dalam Islam memperoleh pengakuan yang sah secara hokum, yang termasuk di dalam kategori Jihad.



Meskipun Jihad dalam bentuk perang dibenarkandi dalam Islam, namun pembenaran tersebut sebatas di dalam mempertahankan diri atau tindakan balasan. Juga terbatas dalam rangka menaklukkan lawan bukan untuk membinasakan dalam arti pembantaian atau permusuhan. Oleh karena itu, mereka yang menyerah, tertawan, para wanita, orang tua dan anak-anak, orang-orang cacat, tempat-tempat ibadah dan sarana serta prasarana ekonomi rakyat secara umum harus dilindungi.



Kekuasaan politik berikutnya mengalami perubahan tidak hanya mengakui satu system khilafah tetapi telah mengakui keragaman tentang khilafah. Selain itu juga memberi pengakuan atas otonomi negara-negara bagian krajaan maupu kesiltanan dari Andalusia di Spanyol hingga Asia Tenggara. Prinsip-prinsip atau kebijakan politik luar negeri dalam Islam (Siyasah Dauliyah) meenurut Ali Anwar antara lain: 1. Saling menghormati fakta-fakta dan trakat-trakat (perjanjian) terdapat dalam QS. Al-Anfal/8: 58 : “Jika kamu khawatir suatu kelompok akan mengkhianati,batalkanlah perjanjian itu, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yg berkhianat”. (Lihat juga QS. At-Taubah/9:47; QS. An-Nahl/16: 91 ; QS. Al-Isra’/17:34) 2. Kehormatan dan Integrasi Internasional. QS.An-Nahl/16:92 menyatakan: “Janganlah kamu seperti perempuan yang mengurai-urai tenunan yang sudah jadi, dengan membuat sumpahmu sebagai tipu muslihat, agar kamu dapat menjadi yang lebih kuat daripada yang lain. Sungguh Allah mengujimu dekat dengan sumpahmu, pada hari Kiamat akan kami jelaskan kepadamu segala yang kamu persilisihkan”. 3. Keadilan Universal internasional. QS.Al-Maidah/5:8 menyatakan: “Hai orangorang yang beriman, tegakkan keadilan dalam menjadi saksi yang adil karena Allah. Janganlah kebencianmu kepada suatu kelompok, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sungguh Allah sungguh sangat mengetahui apa yang kamu lakukan”. 4. Menjaga perdamaian abadi 5. Menjaga ketentraman negara-negara lain (QS. An-Nisa`/4:89,90). 6. Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup di negara lain. QS Al-Anfal/8:72 menyatakan: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwa di jalan Allah dan orang Anshor yang memberi tempat tinggal dan menolong muhajirin mereka itu saling jadi penolong bagi yang lain. Tetapi orang beriman yang tidak bersedia hijrah kamu tidak wajib melindunginya sampai mereka berhijrah. Kecuali jika minta pertolongan dalam urusan agama, maka kamu wajib



memberikan pertolongan, kecuali kamu yang telah ada perjajian denganmu. Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. 7. Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan Netral. QS.Al-Mumtahanah/ 60:8,9: “Allah tidak menolong kamu bergaul dengan orang yang tidak memerangi kamu karena agama. Dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Untuk berbuat baik dan berlaku adil. Sungguh Allah cinta orang yang berlaku adil”. Sementara pada ayat 9 Allah berfirman: “Allah hanya melarang kamu berteman dengan orang yang memerangi kamu karena agama. Dan orang yang mengusir kamu dari tempat tinggalmu, serta membantu mereka yang mengusirmu. Siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, dialah orang yang dholim”. 8. Kehormatan dalam hubungan Internasional. QS. Ar-Rahman/ 55:60: “Perbuatan yang baik dibalas dengan baik”. 9. Persamaan Keadilan untuk para penyerang. QS. An-Nahl/ 16:126 : “Jika kamu membalas, lakukanlah dengan balasan setimpal, jika kamu sabar, tindakan itu lebih baik”. QS.Asy-Syura/42:40: “Kejahatan dibalas dengan kejahatan yang setimpal tetapi yang bersedia memaafkan dan damai, mak pahalanya ada pada Allah, Allah sungguh tidak suka orang yang berlaku dholim”.



D. Kontruibusi Umat Islam terhadap Politik di Indonesia Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di Indonesia. Pertama, ditandai dengan munculnya partai-partai yang berazaskan Islam, serta partai nasionalis berbasis umat islam; dan, kedua,dengan ditandai dengan sikap pro aktifnya tokohtokoh politik Islam dan umat Islam terhadap keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia sejak proses awal kemerdekaan hingga zaman reformasi. Piagam Jakarta merupakan hadiah umat Islam kepada bangsa Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali menyambut dengan penuh antusias proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ttetapi masih tetap dirasakan adanya sesuatu yang mengganggu sebagai anggota BPUPKI seperti duri dalam daging dalam UUD ’45, terutama diraskan kelompok yang berasal dari agama minoritas duri tersebut tidak lain adalah anak kalimat yang menyatakan: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya…” telah melewati saat-saat yang cukup kritis, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 wakil-wakil umat Islam akhirnya menyetujui usul penghapusan anak kalimat tersebut dari Pancasila dan Batang tubuh UUD 1945. Sila pertama yang semula Ketuhanan mendapat atribut yang sangat fundamental, sehingga menjadi Ketuhanan YME. Modifikasi sila pertama ini dipandang sangat berarti atau sangat penting, sebab dengan jalan demikian wakil-wakil umat Islam tidak akan keberatan dengan formula baru Pancasila itu. Perubahan di atas dipandang sebagian orang sebagai kekalahan umat Islam, tetapi pada tahun 1973 mantan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwira Negara memberi tafsiran itu sebagai hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia demi menjaga persatuan. Pernyataan Alamsyah tersebut bisa di baca dalam konteks politik Indonesia pada waktu itu, barangkali dapat di artikan sebagai usaha



untuk meyakinkan pihak-pihak tertentu, bahwa loyalitas umat Islam kepada Pancasila tidak perlu diragukan lagi.



Berkaitan dengan keutuhan negara, Mohammad Natsir pernah mennyeru umat Islam agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dalam pandangan Islam, rumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Karena nilai-nilai yang terdapat di dalam Pancasila , juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an. Demi keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa umat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari sila pertama Pancasila yaitu kata-kata “Kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”. Umat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan UUD 1945 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan: pertama, nilainya dibenarkan oleh ajaran agma Islam; kedua, fungsinya sebagai noktah-nokttah kesepakatan atas berbagai golongan, untuk mewujudkan kesatuan poliitik bersama.



Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia Akhir-akhir ini pendidikan Islam banyak dipertanyakan orang, baik itu formal maupun informal. Karena sebagian telah melahirkan orang-orang yang sakit kejiwaannya, ammoral perilakunya, dan buruk kepribadiaannya, yang menyebabkan agama Islam menjadi momok bagi pemeluk agama lain. Seperti; teroris, perekrutan anggota NII, mati syahid dengan bom bunuh diri, kemudian konflik serta aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana, mulai dari kasus bom Bali, bom Hotel JW Marriot, bom Kuningan, penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung, penutupan rumah ibadah Kristiani di Bandung Jawa Barat, kemudian tragedi kekerasan di Monumen Nasional Jakarta yang kesemuanya ini mengatasnamakan perjuangan Islam.



Fenomena di atas melahirkan wacana agama yang paradoksal bahwa ia tidak hanya bersifat rah}matan lil‘alamin (rahmat bagi semua) tapi juga bencana, karena melahirkan fenomena-fenomena kekerasan, anti kebersaman dan kemajemukan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri), khususnya dari kalangan agamawan, bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, tetapi manusia saja yang kemudian menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok sehingga menyulut kekerasan, yang jelas fenomena aksi kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan moderen ini. Dengan gambaran diatas, wajar bila seorang non muslim memberikan pernyataan, bahwa pendidikan Islam sekarang ini adalah pendidikan yang menciptakan manusia dengan kondisi kejiwaan labil, yang menyebakan manusia mudah terprovokasi dalam keburukan yang di kemas dengan nilia-nilai ke-Tuhanan. Dengan begitu, terjadilah kegoncangan pada diri manusia yang kemudian menumbuhkan penyakit kejiwaan dan krisis kepribadian serta tidak berkarakter, hal tersebut disebabkan pendidikan yang diterimanya telah menjadi virus yang mematikan pada kepribadiannya, yang jauh dari kebenaran yang ada dalam al-Qur‟an, dan berimplikasi, ketenangan dan kebahagiaan hidup kian sulit didapat.



Hal di atas tidaklah sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang berfungsi sebagai alat yang digunakan manusia untuk tetap survive baik sebagai individu maupun masyarakat. Maka tujuan akhir dari pada pendidikan islam tidak lepas dari tujuan hidup muslim, karena pendidikan Islam merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia menurut ajaran Islam. Dengan demikian, tidaklah tepat kalau pendidikan Islam memberikan pengaruh buruk terhadap kepribadian manusia akan tetapi sebaliknya pendidikan Islam memberikan dampak yang sangat baik bagi perkembangan kepribadian manusia, sebagaimana yang akan diulas dibawah ini.



a. Peran Pendidikan Islam dalam Dakwah Islamiyah Pendidikan Islam memiliki peran yang sangat signifikan dalam membangun, mengembangkan dan menyebarkan agama Islam yang tentunya dalam perkembangan tersebut, wajar bila Islam menemui berbagai bentuk persoalan mulai dari penerapan teks klasik terhadap tataran aplikatif kehidupan modern yang mana Islam dituntut untuk dapat menyesuaikannya. Menurut Irsan al-Kailani, umat Islam umumnya masih berada pada dataran ih}sas al-musykilah (menyadari adanya persoalan), namun belum dibarengi dengan tahdid wa tah}lil al musykilah (kesanggupan mengidentifikasi dan menyelesaikan persoalan).



Dari sinilah pendidikan Islam memiliki peran pendidikan sangat terlihat, misalnya pendidikan Islam dalam fungsi psikologis (kejiwaan dan teori kesehatan), dapat memberikan kesadaran akan makna hidup, memberikan rasa tenang dan memberikan dukungan psikologis bagi pemeluknya, terlebih bagi mereka yang sedang mendapati dirinya dalam menghadapi kegoncangan kejiwaan, dalam hal ini pesan agama menumbuhkan kesadaran akan makna hidup dengan nilai ibadah, pengabdian kepada Tuhan baik secara personal maupun sosial kemasyarakatan. Kemudian pendidikan Islam dalam fungsi sosialnya, memacu adanya perubahan sosial kearah yang lebih baik, memberikan kontrol sosial terhadap gejala sosial yang destruktif serta perekat sosial tanpa melihat berbagai latar belakang yang berbeda.



Sebagaimana disampaikan oleh Mahmud Arif istilah yang kerap dipakai untuk menyebut hakikat pendidikan Islam adalah pendidikan sebagai fenomena kultural performatif. Dengan istilah ini, setidaknya perbincangan pendidikan Islam amat mungkin ditelaah dari dua prespektif, yaitu konseptual-teoritis dan aplikasi-praktis. Prespektif pertama mengantarkan pada pemaparan mengenai pengertian, tujuan pendidikan Islam tentunya dengan dasar yang diambil dari al-Qur‟an dan Hadis, serta sumber hukum Islam lainnya.



Melalui prespektif ini, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam memiliki “keluasan” dan “kedalaman” makna, yang penuh alternatif dan menantang kreativitas dan kecerdasan akal pikir manusia untuk merungkannya dan menyiasatinya dalam rangka mengubah yang possible (mungkin) menjadi yang plausible (masuk akal).



Sementara itu dengan prespektif kedua, pendidikan Islam dijabarkan, diterapkan, dan dibumikan dalam realitas kehidupan manusia. Dari sini, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam ternyata tidak sekedar diartikan secara “normatif-teoritis”, melainkan juga secara “historis-sosiologis”.



Hal ini karena untuk menghindari terjadi pemaknaan yang salah terhadap ajaran dalam pendidikan Islam, serta menjauhkan dari budaya yang tidak relevan dengan kehidupan moderen ini, dengan kata lain dengan adanya pendidikan Islam mampu membawa peran agama Islam sh}olih likulli zaman wa makan, dan menjauhkan manusia dari penyakit kejiwaan akibat dari aktivitas kewajibannya sebagai mukmin.



b. Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia Para ahli pendidikan setuju bahwa teori dan amalan pendidikan sangat dipengaruhi oleh cara orang memandang kepada sifat-sifat asal manusia yang terilhat dari kepribadiannya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Jika manusia dipandang memiliki sifat-sifat asal yang jahat, maka tujuan pendidikan adalah menahan unsur-unsur jahat ini, begitu pula dengan sebaliknya bila sifat asalnya baik maka tujuan pendidikan adalah mengembangkannya menjadi lebih baik.



Istilah pendidikan dalam konteks Islam, pada umumnya mengacu pada terma altarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim yang dapat dipakai secara bersamaan, karena memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabb yang bermakna, tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.



Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-fatih}ah 1:2, yaitu (alh}amdulilla>hi rabbil-‘alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah al-tarbiyah. Sebab kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.



Uraian di atas, secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses Pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam pengertian luas, pendidikan Islam yang terkandung dalam terma al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: pertama, memelihara dan menjaga fitrah peserta didik menjelang dewasa (baligh); kedua, mengembangkan seluruh potensi



menuju kesempurnaan; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan; keempat, melaksanakan pendidikan secara bertahap.



Penggunaan terma al-tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat difahami dengan merujuk firman Allah dalam QS. Al-Isra‟ 17: 24;



Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".



Sedangkan makna al-ta’lim lebih bersifat universal dibandingkan dengan altarbiyah maupun al-ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.



Argumentasinya didasarkan pada QS. Al-Baqarah 2:151, sebagai berikut:



Artinya: Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.



Kalimat wa yu‘allimukum al-kitab wa al-h}ikmah, dalam ayat tersebut menjelaskan aktivitas Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur‟an kepada kaum muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar membuat umat Islam bisa membaca, melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian jiwa) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Dengan demikian, makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriyah, akan tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berperilaku.



Adapun istilah al-ta’dib, menurut Naquid al-Attas merupakan istilah yang paling tepat untuk pendidikan Islam.



Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad s}allallahu ‘alaihi wa sallam :



‫(ادبنً ربً فاحسن تأدبً )روه العسكري عن ع ًل‬



Artinya: Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku. (HR. AlAskari dari „Ali>)



Secara terminologi al-ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang berbagai tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.



Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud kepribadiannya.



Dalam konteks ini, Naquid Al-Attas pun mengungkapkan bahwa penggunaan istilah al-tarbiyah terlalu luas untuk mengungkapkan hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam.



Sebab kata al-tarbiyah yang memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, tetapi digunakan memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Pendidikan Islam penekanannya tidak hanya pada material saja, akan tetapi juga pada aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah ta’dib merupakan terma yang paling tepat dalam khazanah bahasa Arab karena mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik sehingga makna al-tarbiyah dan alta’lim sudah tercakup dalam terma al-ta’dib.



Terlepas dari pemaknaan diatas, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yang sangat variatif, adalah sebagai berikut: a) Ahmad Tafsir mendifinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.



b) Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi masyarakat.



c) Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (insan kamil).



d) Muhammad Fadhil Al-Jamali memberikan pengertian pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan.



Dengan beberapa pemaknaan di atas, terlihat jelas kontribusi pendidikan Islam terhadap perkembangan kepribadian manusia dalam menjalani aktivitas kehidupannya bahwa manusia untuk menjadi baik dapat diarahkan dengan pendidikan Islam. Jadi pendidikan Islam sejatinya merupakan suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan tujuan hidupnya. Hal di atas terlihat dari tujuan pendidikan Islam, yang menurut al-Syaibani adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.



Sedangkan tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah anakdidik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil-ard}.



Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah peserta didik secara maksimal dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim paripurna (insan kamil). Melalui sosok yang demikian, peserta didik diharapkan mampu memadukan fungsi iman,



ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis baik di dunia maupun akhirat.



Melalui pendidikan Islam, setiap manusia diharapkan tumbuh berkembang menjadi generasi unggul yang cerdas dalam berfikir, kreatif dalam bekerja dan berkepribadian Islami dalam bergaul dan bersosilalisasi terhadap lingkungan atau alam sekitar.



Bila ditilik dengan apa yang menjadi dasar kesehatan jiwa, sebagai tolak ukur untuk mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan di akherat, maka terlihat disini adanya kolerasi keduanya, baik itu berkaitan dengan aplikasi maupun teori mendasarnya. Sebagaimana terlihat pada tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titikkemampuannya secara optimal.



Sedangkan kesehatan jiwa bertugas untuk menciptakan kehidupan manusia sejalan dengan fitrah (suci, bersih, dan beragama) yang telah diberikan Allah kepadanya. Begitupula pada fungsinya. Fungsi Pendidikan Islam, yaitu menyediakan fasilitas yang dapat memungkin tugas pendidikan berjalan lancar baik itu yang bersifat struktural maupun institusional, sedangkan fungsi kesehatan jiwa, sebagaimana diuraikan diatas memberikan konsep kejiwaan dengan beberapa substansi didalamnya supaya manusia dapat mengarahkan segenap perilakunya untuk menghindari segala bentuk keburukan yang lahir dari salah satu subtansi kejiwaannya.



Dengan demikian, pendidikan Islam akan membentuk manusia dengan kejiwaan yang stabil sesuai dengan fitrahnya, yang kemudian akan membentuk kepribadian atau perilaku berlabelkan rah{matan lil ‘a>lami>n. Hal tersebut akan membentuk nilai positif terhadap manusia sebagai pemeluk dan penganut agama Islam dengan tidak mudah terprovokasi terhadap keburukan yang dapat menjauhkan dirinya dari kefitrahannya. Dari sini virus keburukan, kesesatan, dengan doktrin menjadi bagian dari teroris, anggota NII, kemudian melakukan aktivitas kekerasan atas nama agama terhadap pemeluk agama lain, akan menjauh



dengan sendirinya, karena pendidikan Islam telah mampu mendewasakan manusia untuk selalu berfikir positif dalam menjalani kehidupannya sebagai hamba Allah yang bertaqwa.



c. Implikasi Pendidikan Islam Terhadap Perkembangan Kepribadian Manusia



Salah satu ciri kepribadian yang baik adalah ditandai dengan kematangan emosi dan sosial seseorang yang disertai dengan adanya kesesuaian dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan fungsi dari Pendidikan Islam terhadap kepribadian manusia adalah mewujudkan keserasian antara fungsi-fungsi kemanusiaan dalam diri manusia, supaya tercipta penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan untuk mencapai hidup yang bermakna, bahagia dunia dan akhirat. Pendidikan Islam adalah sebuah ilmu yang berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, yang mencakup semua bidang hubungan dengan orang lain, alam, lingkungan, dan Tuhan, yang merupakan penentu masa depan dan mutu bagi setiap individu manusia.



Menurut S. Nasution, barang siapa yang menguasai pendidikan memegang nasib bangsa dan negara. Dan biar pendidikan tersebut tidak salah sasaran, maka kualitas kepribadian manusia merupakan prioritas sebagai syarat awal untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena kesehatan dan pendidikan, merupakan proses yang memberikan kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas pribadi seseorang secara bebas dan bertanggung jawab.



Kalau digali dan dicermati, indikasi kepribadian yang baik, terkonsep dalam pendidikan Islam. Hal tersebut terlihat dari beberapa karakteristiknya, yang antara lain: 1). Mengedepankan tujuan agama dan akhlak. Karakteristik ini mewarnai karakteristik-karakteristik lain, utamanya yang berorientasi pada tauh}id dan penanaman nilai-nilai. 2) selaras dengan fitrah manusia termasuk berkenaan dengan pembawaan, bakat, jenis kelamin, potensi, dan pengembangan psiko-fisik. 3) merespon dan mengantisipasi kebutuhan nyata individu dan masyarakat, serta mengusahakan solusi terkait dengan masa depan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus. 4) fleksibel karena didorong dengan kesadaran hati, tanpa paksaan. 5) realistik, dengan mengembangkan keseimbangan dan proporsionalitas antara pengembangan intelektual, emosional, dan spiritual. 6) menghindarkan dari pemahaman dikotomik terhadap ilmu pengetahuan agama dan ilmu-ilmu yang lain, sekaligus menghindarkan setiap individu dari pemahaman agama parsial yang dapat membuat peserta didik kehilangan dan bersikap ekstrim.



Dengan diterapkannya dan dilaksanakannya kesehatan jiwa dalam pendidikan Islam. Maka implikasinya adalah sebagai berikut:



1) Memperkuat keimanan peserta didik sebagai dasar pijakan dalam beraktivitas sehari-hari. Salah satu modal awal pembentukan karakter kepribadian baik pada peserta didik adalah dengan tumbuhnya keimanan yang kokoh, yang menjadikan peserta didik dijauhkan dari sifat sombong dan tinggi hati, akan tetapi selalu rendah diri dan tawaduk dengan segala hal yang ada disekitarnya, yang semuanya itu didapat dari sehatnya jiwa seseorang. Dengan kata lain, keberadaan keimanan akan membentuk kepribadian peserta didik membumi dengan lingkungan sekitarnya, dan bukannya melangit yang menyebabkan lingkungan sekitar merasa enggan berdampingan atau berdekatan dengannya. Hal tersebut karna potensi keimanan telah melekat, sehingga melahirkan perbuatan yang ihsan, karena segala perbuatannya didasari dengan niat ibadah.



Akan tetapi lain halnya bila kejiwaan (psikis) peserta didik, jauh dari keimanan. Hal tersebut, akan menyebabkan melemahnya keingian-keinginan positif, hilangnya loyalitas ketaatan, menghilangkan semangat (girah), sulit mendapatkan ilmu, menimbulkan perasaan sedih, khawatir, gundah, gelisah, kecil hati, stres dan lain sebagainya.



Dengan hilangnya ketenangan, kebahagiaan, dan lain sebagainya itu telah menyebabkan kondisi psikis dan fisik peserta didik terganggu, sehingga sejauh apapun pembelajaran yang disampaikan oleh pendidik tidak akan terserap dengan baik oleh peserta didik.



Dalam konsep Islam pada kajian kesehatan jiwa, keimanan pada Allah merupakan modal penting untuk menyembuhkan kejiwaan seseorang dari berbagai penyakit psikis yang menjangkitinya, karena perasaan Iman dapat mewujudkan perasaan aman dan tentram, mencegah perasaan gelisah, serta dapat berfungsi sebagai motivator peserta didik disetiap aktivitasnya. Dengan kata lain bila keimanan kepada Allah telah tertanam dalam diri manusia akan membantu menghalangi dan mencegah manusia dari penyakit-penyakit kejiwaan.



Dalam ilmu psikologi, kegelisahan merupakan penyebab utama timbulnya gejalagejala penyakit kejiwaan. Maka tidak salah bila keamanan dan perasaan tentram jiwa orang mukmin karena ditimbulkan oleh keimanan. Bagi seorang mukmin, ketenangan, keamanan, dan ketentraman jiwa dapat terwujud disebabkan keimanannya kepada Allah, yang memberinya cita-cita dan harapan akan pertolongan, perlindungan, dan penjagaan dari Allah SWT, dengan beribadah serta mengerjakan segala amal demi mengharap kerid}aan Allah. Oleh karena itulah, ia akan merasa bahwa Allah SWT, senantiasa bersamanya dan senantiasa akan menolongnya, hal ini menjadi jaminan bahwa dalam jiwanya tertanam perasaan aman dan tentram, karena dijauhkan dari sifat merasa takut terhadap apapun dalam kehidupan ini, yang telah diatur oleh Allah dan manusia hanya menjalaninya dan memilihnya saja.



Keimanan akan memandu individu pada kaidah-kaidah dasar kesehatan dan perilaku preventif. Keimanan akan menuntunnya untuk dapat mewujudkan keseimbangan fisik dan psikis, yang membuat individu dalam menjalankan dan melakukan segala aktivitas dengan proporsional, baik itu dalam makan, minum, tidur, menikah, sosial kemasyarakatan, maupun dalam merespon semua stimulus dalam dirinya dengan jalan yang halal dan baik, serta dijauhkan dari perbuatan d}olim yang merugikan orang lain, dan menghindari jalan yang haram dan buruk.



Buah dari hal itu, ia akan mempunyai keteguhan jiwa dan keluhuran budi. Dengan begitu, pada taraf ini ia sudah mempunyai bekal yang cukup untuk mengaplikasikan nilainilai Islam atas segala sikap, tindakan, dan keputusannya dalam menjalani kehidupan. Dengan kata lain, keberadaan iman akan membentuk Islam, dan melahirkan perikalu ihsan yang merupakan buah daripada iman dan islam. Oleh karenanya, pendidikan Islam dimudahkan proses pembelajarannya, karena keimanan telah membentuk pondasi kebaikan bagi setiap peserta didik dalam belajar Islam.



2) Membentuk akhlaqul karimah peserta didik Para ahli pendidikan muslim sejak awal menyadari, sepenuhnya bahwa pemahaman tentang kepribadian manusia yang melahirkan perilaku merupakan dasar pijakan bagi keberhasilan pendidikan.



Dalam hal tersebut, Ibnu Sina berkata dalam al-Qanun: “Adalah sebuah keharusan, perhatian diarahkan pada pemeliharaan akhlak anak, yakni dengan menjaganya agar tidak mengalami luapan amarah, takut dan sedih. Caranya melalui perhatian seksama yang dilakukan anak atas perihal dirinya dan apa yang dibutuhkannya. Hal ini mempunyai dua kegunaan: kegunaan bagi jiwa anak dan kegunaan bagi badannya. Sebab, ia sejak dini tumbuhkan dengan (kebiasaan) akhlak mulia sesuai bahan makanan yang dikonsumsinya dan akhlak ini dapat menjaga kesehatan jiwa dan badannya sekaligus”.



Dalam terminologi Islam klasik penyakit jiwa ini disebut sebagai akhlaq tercela (akhlaq mazmumah) kebalikan dari akhlaq yang terpuji (akhlaq mah{mudah), atau bisa juga disebut dengan akhlaq yang buruk (akhlaq sayyi’ah) kebalikan dari akhlaq mulia atau baik.



Imam Ghazali menyebutnya dengan akhlaq khabisah. Akhlaq yang tercela dan buruk itu, akan membentuk kepribadian buruk yang merupakan bagian dari kelainan psikis, dan kesemuanya ini akan menyebabkan jiwa manusia menjadi kotor dan jauh dari hidayah Allah. Akhlaq menjadi barometer penilaian umum, baik dan buruknya kepribadian seseorang, karena akhlaq berkaitan dengan hati nurani, maka sifat tersebut hanya dapat terukur dari sikap, tindakan dan tingkah-lakunya (akhlaqnya). Maka, dalam akhlaqul-karimah moralitas yang digunakan, berpijak pada norma-norma agama Islam, disamping adat-istiadat dan norma sosial lainnya. Karena secara teoritik norma Islam tidak betentangan dengan norma sosial. Bahkan bersifat komplementer, mengarahkan dan mencerahkan pranata sosial. Maka seseorang yang berkepribadian islami akan merasa nyaman dan tentram berada di tengahtengah lingkungan keluarga dan masyarakat. Hal ini tentu berdampak positif bagi perkembangan kejiwaan, kreatifitas, daya nalar bahkan terhadap prestasi akademik seseorang anak di sekolah. Dengan demikian, kepribadian islami berdampak positif terhadap kejiwaan peserta didik.



Kesehatan jiwa memiliki peran dalam membentuk kepribadian peserta didik, dengan menjalani kehidupan manusia normal pada umumnya dengan menghiaskan diri dengan akhlaq yang terpuji, yang tidak terlepas dengan tiga esensi dasar yaitu; Islam, Iman dan Ihsan, sebab anak yang termasuk kepribadian Islami secara otomatis mempunyai ketaqwaan yang tinggi.



Semuanya dapat dibentuk dan dikembangkan melalui usaha pendidikan, bimbingan dan latihan-latihan yang sejalan dengan agama dan norma-norma ajaran Islam.



Oleh karena itu, seorang anak harus mendapatkan pendidikan akhlak secara baik, karena pendidikan akhlaq adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta menghayatkan anak akan adanya sistem nilai yang mengatur pola, sikap dan tindakan manusia atas isi bumi, yang mencakup hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan dengan alam sekitar.



3) Mengembangkan potensi peserta didik Pada hakikatnya bila peserta didik ditilik menurut fitrah-nya, maka ia memiliki dua atribut, yaitu makhluk jasmani dan rohani. Dalam perkembangannya, setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi apakah ia tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang bermatabat, atau sebaliknya menjadi pribadi yang kurang bermatabat. Dua faktor tersebut, adalah faktor warisan dan faktor lingkungan (bi‘ah). Faktor warisan ialah keadaan yang dibawa manusia sejak lahir yang diperoleh dari orang tuanya. Seperti, warna kulit, bentuk kepala, dan tempramen.



Sedangkan faktor lingkungan ialah keadaan sekitar yang melingkupi manusia, baik benda-benda seperti air, udara, bumi, langit, dan matahari, termasuk individu dan kelompok manusia. Kedua faktor inilah yang nantinya akan mempengaruhi baik buruknya kondisi kejiwaan manusia (peserta didik) dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Maka, Peranan kesehatan jiwa akan terlihat sangat penting dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik kearah yang lebih baik. Untuk mengantisipasi potensi manusia tersebut, ada beberapa hal yang perlu ditumbuh kembangkan:



a) Akal: dalam dunia pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia (peserta didik) dikenal istilah kognitif. Tujuannya mengarah kepada perkembangan intelegensi yang mengarahkan manusia sebagai individu untuk dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya. Dengan usaha pemberian ilmu dan pemahaman dalam rangka memandaikan manusia atau peserta didik, dalam hal ini aspek akal meliputi: rasio, qalb atau hati yang berpotensi untuk merasa serta meyakini, dan fu’ad atau hati nurani, yang diidentikkan dengan mendidik kejujuran dalam diri sendiri untuk membedakan baik dan buruk.



b) Fisik: Kekuatan fisik merupakan bagian pokok dari tujuan pendidikan, sesuai sabda Rosulullah yang diriwayatkan oleh imam muslim; ‫المؤمن القوي خير واحب الى هلال من المؤمن ضعيف‬



Artinya; Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disayangi Allah, daripada orang mukmin yang lemah. (HR. Muslim) Imam nawawi menafsirkan hadits diatas sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik. Seperti panca indera, anggota badan, system saraf dan unsur-unsur biologis lain lebih banyak menempuh cara penguatan dan pelatihan seperti mengkonsumsi gizi secara memadai dan berolah raga, melatih masingmasing aspek sesuai dengan kekhususannya. Dengan demikian sehatnya fisik, merupakan modal awal untuk mengembangkan potensi kebaikan yang ada pada diri manusia. c) Ruhaniyah dan nafsiyah (ruh dan kejiwaan): merupakan dimensi yang memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Bentuk pengembangannya, agar menjadikan manusia betul-betul menerima ajaran islam dengan menerima seluruh cita-cita ideal yang terdapat dalam al-Qur‟an, peningkatan jiwa dan kesetiaannya yang hanya kepada Allah semata dan moralitas islami yang diteladani dari tingkah laku kehidupan Nabi Muhammad, yang merupakan bagian pokok dalam tujuan pendidikan islami. Biasanya dilakukan dengan amalan-amalan mendekatkan diri pada Allah dan tazkiyatun-nafs,seperti shalat malam, berpuasa sunnah, banyak berdzikir kepada-Nya, membangun sikap rid}o terhadap takdir serta kehendak-Nya. Keduanya ini merupakan daya manusia untuk mengenal Tuhannya, dirinya sendiri, dan mencapai ilmu pengetahuan. Sehingga dapat menentukan manusia berkepribadian baik.



d) Keberagaman: manusia adalah makhluk yang ber-Tuhan atau makhluk yang beragama. Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal. Keinginan akan kebutuhan tersebut merupakan kodrati, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan.



Dalam pandangan Islam, sejak lahir seorang anak telah mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui adanya zat yang maha pencipta dan Maha mutlak yaitu Allah Swt. Sehingga tinggal bagimana pendidikan, orang tua dan lingkungan-lah yang menentukan anak tersebut, yaitu beragama atau tidak beragamakah?.



e) Sosial: manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial, keserasian antara individu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial dan tujuan individual. Maka, tanggung jawab sosial merupakan dasar pembentuk masyarakat. Oleh karena itu Pendidikan sosial ini setidaknya bisa membimbing tingkah laku manusia dibidang sosial, ekonomi, dan politik menuju pribadi yang Islami.



4) Memiliki filsafat atau pandangan hidup Yang dimaksud dengan memiliki filsafat hidup adalah memiliki pegangan hidup yang dapat senantiasa membimbingnya untuk berada dalam jalan yang benar, terutama saat menghadapi atau berada dalam situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hidup ini memiliki dua muatan, yaitu makna hidup dan nilai hidup. Jadi setiap manusia akan senantiasa dibimbing oleh makna dan nilai hidup yang menjadi pegangannya untuk membentuk kepribadiannya. Ia tidak terbawa begitu saja oleh arus situasi yang berkembang di lingkungannya maupun perasaan dan suasana hatinya sendiri yang bersifat sesaat. Implikasinya terhadap pendidikan Islam, peserta didik lebih berani dengan kemauan dan tekadnya dalam menjalankan perintah agama, serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Hal tersebut dibutuhkan untuk mengatasi setiap persoalan yang menimpa dirinya.



5) Membentuk kematangan emosional peserta didik dengan lebih bijaksana dalam menyikapi problematika kehidupan Manusia bijaksana, adalah manusia yang dapat mengedepankan akhlaqul karimah dalam menyikapi persoalan kehidupannya, tentunya dengan mengoptimalkan kinerja akal dan hati dalam memberikan keputusan dan menyikapi kehidupan, dengan tidak disertai sikap arogansi dan lain sebagainya dalam menjalankan aktivitas kehidupannya, inilah yang dimaksud dengan kematangan emosional.



Terdapat tiga ciri perilaku dan pemikiran pada seseorang yang emosinya dianggap matang, yaitu memiliki disiplin diri, determinasi diri, dan kemandirian. Peserta didik yang memiliki disiplin diri dapat mengatur diri, hidup teratur, menaati hukum dan peraturan. Peserta didik yang memiliki determinasi diri akan dapat membuat keputusan sendiri dalam memecahkan suatu masalah dan melakukan apa yang telah diputuskan, tidak mudah



menyerah dan menganggap masalah baru lebih sebagai tantangan daripada ancaman. Individu mandiri akan berdiri di atas kaki sendiri, Ia tidak banyak menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain, melainkan lebih mendasarkan pada diri pada kemampuan, kemauan dan kekuatannya sendiri.



Kematangan emosional menjadikan (peserta didik) lebih berfikir logis, kritis dan kreatif, serta dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Oleh karenanya, pendidikan Islam akan menghasilkan output yang kritis dan kreatif, yang didalalamnya memiliki tiga ciri utama yaitu; 1) mempunyai pemikiran asli atau orisinil (originality), 2) mempunyai keluwesan (flexibility), dan 3) menunjukkan kelancaran proses berfikir (fluency). Dari sinilah daya fikir seseorang ini akan lebih maju.



6) Membentuk pemahaman peserta didik dalam menerima realitas hidup Adanya perbedaan antara dorongan, keinginan dan ambisi di satu pihak, serta peluang dan kemampuan di pihak lainnya adalah hal yang biasa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan untuk menerima realitas antara lain memperlihatkan perilaku mampu memecahkan masalah dengan segera dan menerima tanggungjawab. Bahkan kalau memungkinkan, ia mampu mengendalikan lingkungan, atau paling tidak mudah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, terbuka untuk pengalaman dan gagasan baru, membuat tujuan-tujuan yang realistis, serta melakukan yang terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya tersebut.



Selain itu mereka juga tidak terlalu banyak menggunakan mekanisme pertahanan diri, yaitu perilaku emosional yang tidak tepat ketika menghadapi masalah yang mengganggunya atau yang tidak ia kehendaki.



7) Menjauhkan pemahaman peserta didik dari kehidupan materialisme-hedonisme Dalam teori kesehatan jiwa barat, mengatakan bahwa tingkah laku manusia adalah suatu fungsi dari faktor-faktor ekonomi dan sosial.



Pandangan hidup yang materialistik, individualistik dan hedonistik ini, membawa implikasi menempatkan manusia pada derajat yang tinggi, causa-prima yang unik, pemilik akal budi yang hebat, serta memiliki kebebasan penuh untuk berbuat apa saja yang dianggap baik bagi dirinya. dengan kebebasan dan kedaulatan penuh akan menimbulkan konsep pribadi yang ekstrim, yang pada gilirannya akan mengembangkan sifat anarkhis, karena meniadakan hubungan trasendal dengan Tuhan.



Dalam al-Qur‟an, kesehatan jiwa tidak hanya mengutamakan pengembangan pada potensi manusia saja, akan tetapi aspek ketuhanan yang merupakan potensi dan kebutuhan dasar manusia merupakan prioritas utama yang sangat diperhatikan.



Hal tersebut dikarenakan, semua tingkah laku manusia yang dapat mengarahkan pada terwujudnya ketenangan dan kebahagiaan hidup bukanlah sesuatu yang hanya dapat diamati (observable) dan bersifat materialistik saja, tetapi juga sesuatu yang transenden yang tidak dalam jangkauan manusia, yaitu nilai-nilai keruhanian dan hal ini merupakan aspek-aspek pendidikan islam. Dalam teori pendidikan, pembicaraan tentang sifat-sifat asal manusia merupakan satu hal yang wajar. Dari segi pandangan al-Qur‟an manusia itu adalah makhluk istimewa sebab ia dianggap khalifah Allah.



Atas dasar inilah sekalipun manusia diakui memiliki derajat yang paling tinggi diantara sekian banyak mahluk yang Allah ciptakan, tetap ditempatkan secara proporsional dalam relasi Makhluk dan Kholik. Berangkat dari sinilah pendidikan Islam haruslah mengembangkan semua sifat-sifat ini, membentuk manusia yang beriman yang memelihara berbagai komponen dari sifat-sifat asal tanpa mengorbankan salah satunya. Dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa Qur‟ani, ada tiga faktor dasar yang harus ditegakkan, yaitu Allah, manusia, dan lingkungannya. Hubungan manusia dan Allah merupakan syarat pokok bagi keberhasilan dalam hubungan antara manusia dan lingkungannya. Bila hubungan antara Allah dan manusia lebih tersusun, lebih tegas dan berjalan menurut kriteria yang ditetapkan Allah maka hubungan antara manusia dengan lingkungan menjadi lebih berhasil, begitu pula dalam pendidikan Islam Klasifikasi Sistem Ekonomi Kontemporer Sistem ekonomi mendasari cara manusia/masyarakat melakukan kegiatan ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan atau mencapai kepuasan. Sistem itu sendiri adalah totatiltas terpadu yang terdiri dari unsur-unsur yang saling terkait menuju tujuan tertentu. Sebuah sistem memiliki kekhususan tersendiri yang membedakannya dari sistem yang lain, ada garis pemisah yang membedakan unsurunsur yang masuk dalam sistem tersebut dan unsur-unsur yang berada di luar sistem tersebut. Sistem ekonomi terdiri dari unsur-unsur manusia (sebagai subjek), barang-barang ekonomi (sebagai objek), dan seperangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalinnya dalam kegiatan berekonomi. Sistem ekonomi tidak terlepas dari seperangkat ide dan pranata baik sosial maupun politik. Untuk memahami suatu sistem ekonomi di suatu negara perlu diperhatikan keseluruhan pranata sosial maupun politik di negara tersebut. Winardi mencatat ada lima kekuatan yang mempengaruhi pembentukan sesuatu sistem ekonomi; Pertama, Faktor kesejarahan, budaya, cita-cita dan sikap masyarakatnya. Kedua, Faktor alam termasuk iklimnya. Ketiga, faktor filosofis, yakni filsafat yang dipegangi oelh sebagian besar penduduknya. Keempat, faktor cara pandang atau teoritesasi yang dilakukan penduduknya mengenai cara mencapai cita-cita/tujuan/sasaran-sasaran yang ditentukan. Kelima, faktor uji



coba (trials and errors) yang dilakukan penduduknya dalam mengusahakan alat-alat ekonomi. Pada konteks dunia modern terdapat berbagai sistem ekonomi yang mendasari perilaku ekonomi yang dipraktekkan di negara-negara di berbagai belahan dunia. Secara umum ada dua bentuk ekstrim sistem ekonomi yaitu sistem perekonomian bebas yang dikenal dengan kapitalisme atau liberalisme, dan sistem perekonomian terpimpin yang dikenal dengan sosialisme. Kedua aliran atau sistem ekonomi ini merupakan penyederhanaan perilaku ekonomi berbagai negara, dimana pada era perang dingin kapitalisme dicerminkan oleh Amerika Serikat dan sosialisme dicerminkan oleh Uni Sovyet. Sejalan dengan perkembangan ekonomi dan politik antar negara, kedua aliran sistem ekonomi ini banyak mendapat kritik sehingga lahirlah kapitalisme campuran atau sosialisme campuran. Berbagai sistem ekonomi yang ada dewassa ini seringkali merupakan percampuran antara sosialis dan kapitalis, tidak ada negara yang menerapkan sistem ekonomi sosialis murni atau kapitalis murni, kecuali Korea Utara. Sistem ekonomi campuran mengandung beberapa elemen dari sistem ekonomi kapitalis dan beberapa elemen dari sistem ekonomi sosialis. Berbagai bentuk perekonomian campuran memperlihatkan perekonomian campuran yang lebih mendekati bentuk perekonomian bebas (tipe perekonomian Amerika Serikat) dan perekonomian campuran yang mendekati bentuk perekonomian terpimpin