Kumpulan Cerpen Mas Danarto [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MEREKA TOH TIDAK MUNGKIN MENJARING MALAIKAT. KARYA;DANARTO. AKULAH JIBRIL, malaikat yang suka membagi bagikan wahyu. Aku suka berjalan di antara pepohonan, jika angin mendesir: itulah aku; jika pohon bergoyang: itulah aku; yang sarat beban wahyu, yang dipercayakan Tuhan ke pundakku. Sering wahyu itu aku naikkan seperti layanglayang, sampai jauh tinggi di awan, dengan seutas benang yang menghubungkannya; sementara itu langkahku melentur lentur melayang di antara batang pisang dan mangga. Akulah Jibril, malaikat yang telah membagi bagikan wahyu kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Muhammad, Nabi Isa dan nabi-nabi yang lain, yang kedatanganku senantiasa ditandai gemerisiknya angin di antara pepohonan. atau padang pasir. Wahyu adalah kalimat kalimat yang berat, namun ringan jinjingannya. Itulah, makanya telah kunaikkan ia sebagai layang layang ke bawah, manakala kulihat ada anak yang sulit berpikir, pada kepalanya, ya pada kepalanya, maka kagetlah ia sambil meraba kepalanya, ia menengoknengok ke atas. Kemudian. anak itu akan terbuka kembali pikirannya, sehingga bisa menjawab soal-soal di kelas nantinya. Akulah Jibril, yang pada suatu hari melihat sebuah sekolah dasar yang anak-anaknya sedang mampat pikirannya, maka kutukikkan layang-layangku seperti hendak menyerbu layang layang yang lain, tepat di tengah atap itu: brag-brag kada brag beberapa genting kuperintahkan jatuh, tentu saja kubikin tidak mengenai mereka, melainkan kepingan-kepingan itu biarlah jatuh di lantai saja. Mereka jadi terkejut, semuanya menengok ke atas yang tanpa langit-langit itu, hingga lubang yang menganga itu menghantarkan sinar matahari ke dalam. Setelah itu kukirimkan hujan khusus lewat lubang atap itu. Mereka bubar keluar. Di halaman sekolah guru dan murid-murid itu terheran heran memandang ke langit. Bagaimana mungkin ada hujan setempat yang begitu kecil, demikian mereka saling berkata, yang semuanya kusambut dengan tersenyum saja. Yang menyenangkan adalah pikiran guru dan murid-murid itu menjadi segar dan kemudian mereka ramai-ramai belajar di sebuah bukit yang rimbun di seberang halaman sekolah. Sebenarnya itulah yang kukehendaki. Mengapa mesti belajar di dalam kelas saja? Apakah padang rumput yang luas itu bukan kelas? Ketika tukang kebun yang diberi tahu untuk mengganti genting yang pecah itu datang ke dalam kelas, ia hanya tertegun saja: “Mana genting yang pecah yang harus kuganti? Mana lantai yang kotor yang harus kusapu?” begitu gerutunya. Tentu saja ia bergumam terus, sebab memang tidak ada sesuatu pun yang tidak beres di dalam kelas itu. Segalanya baik-baik saja, sebab ketika mereka berbondong-bondong ke bukit, buru-buru aku ganti genting yang pecah itu, dan aku sapu lantai yang kotor oleh kepingan-kepingan itu. Ketika mereka kembali ke atas mau berkemas-kemas pulang, mereka juga melihatlihat sekelilingnya dan tentu saja mereka mengira tukang kebun yang mengerjakannya. Guru itu menghampiri tukang kebun: “Cepat juga babak bekerja.”



“Ala bisa karena biasa.” Begitu jawab tukang kebun yang suka berpantun dan berperibahasa itu. Sebuah jawaban sambil lalu, hanya untuk mempercepat pembicaraan, meskipun di sela-sela ucapannya itu ada bundelan keheranan yang makin bertambah-tambah saja. Bagi saya tentu saja itu sebuah jawaban yang bagus; maka kubisikkan ke telinganya; “Itu jawaban yang bagus, pak,” yang membuat ia terkejut dan menengok sekeliling mencari siapa gerangan yang bersuara cuma, rupa tidak ada. Tukang kebun itu buru-buru menghindar. Akulah Jibril, yang angin adalah aku, yang embun adalah aku, yang asap adalah aku, yang gemerisik adalah aku, yang menghantar panas dan dingin. Aku mengirimkan kesejukan, pikiran segar yang mengajak giat belajar. Akulah yang menyodorkan keheranan sekaligus jawaban. Aku di kebun rimbun, aku di padang pasir, aku di laut,  aku di gunung, aku di udara, kukirimkan layang-layangku kepadamu, kepada kalian. Di waktu kalian giat belajar, sebenarnya aku di sisimu, benar-benar di sisimu, sekarang ini juga. Akulah yang mengelus lidah anak-anak kelas nol besar, supaya tidak kelu waktu membaca dan menyanyi. Akulah Jibril, yang pada suatu malam mendatangi tukang kebun itu dalam mimpi. Kukatakan kepadanya bahwa aku ingin bermain dengan anak-anak semuanya. Ketika ia bangun kira kira jam tiga malam, ia termangu-mangu duduk di tempat tidur. Istrinya acuh tak acuh melihat dia, sambil menggeliat mem-balikkan tubuhnya dan tidur lagi. Sementara tiga orang anaknya lelap sekali. Pagi, harinya ia menemui guru sekolah dan mengatakan bahwa Jibrillah yang memecahkan genting dan menggantinya kemarin dan menggantinya sendiri. Guru itu mengira tukang kebun ini sedang mengigau. Lalu siang hari ia pergi ke bukit, membikin jaring dari sabut kelapa yang dipilinnya kecil-kecil merupakan tali-tali panjang. Tentu saja aku diam-diam membantunya, yaitu mencarikan sabut kelapa di sana-sini. Selama satu minggu siang malam jaring itu dikerjakannya. Sebagai imbalannya, tanaman ubi dan singkongnya kutiup menjadi besar-besar. Pada hari kedelapan dipasanglah jaring itu di bukit. Ketika guru dan murid murid yang telah membiasakan belajar di alam terbuka melihat tukang kebun sendirian semuanya mendekat. “Jaring ini untuk, apa Pak?” “Untuk menjaring malaikat.” “Malaikat?” Ya. malaikat.”



“Benar?” “Benar.” “Boleh kami bantu, pak?” “Boleh, boleh. Tentu saja. Malah setelah itu kalian akan saya ajak menunggu jaring ini.” “Kenapa mesti ditunggu?” “Sebentar lagi Jibril akan genteyongan terperangkap   jaring ini.” “Jangan berlebihan, Pak!” “Bicaraku tidak melebih-lebihkan. Apa adanya saja. Jika kalian percaya silakan. Tak percaya, silakan. Aku ajak kalian hari ini untuk bersenang-senang.” “Jika Jibril tertangkap apakah ia tak mampu melepaskan diri, sedang ia seorang malaikat?” “Tidak mungkin. Karena sayapnya akan kurenggut.” “Jadi dia punya sayap?” Guru itu cuma tersenyum saja: “Bapak sedang mimpi,” katanya lirih dan yang dijawab oleh tukang kebun itu: “Ini nyata.” Setelah sekolah usai, semua anak ternyata punya minat terhadap usaha menjaring malaikat itu. Hanya guru itu saja yang terus pulang. Lalu mereka mengendap melingkari jaring itu. Akulah Jibril yang angin, seketika terpancang jaring itu kuat-kuat, aku terus menubruknya. Tersangkutlah aku di dalamnya. Sayapku juga terjerat kukuh. Maka bergenteyongan-lah aku seperti sedang main ayun-ayunan. Mula-mula anak-anak itu terbengong-bengong menatapkan, seperti menatap burung dalam sangkar. Yang membuatku merasa aneh adalah ternyata mereka tidak takut kepadaku. Kini aku telah benar-benar ngejawantah. Tiba-tiba bersoraklah semua anak-anak itu mengelilingiku. Mereka bernyanyi beramai ramai: Wahai Jibril! Yang suka nubruk-nubruk. Anda kemarin memecahkan genting kelas kami. Sekarang anda terjaring. Cobalah lari. Cobalah lari. Begitu kalimat nyanyinya dan diulang ulangnya terus. Akulah Jibril, yang kemudian merasa geli dan heran.



Mereka begitu saja bisa menciptakan nyanyian baru. Juga mereka memanggilku “Anda”, kenapa tidak ber”engkau” saja. Aku menjawab nyanyian mereka dengan nyanyian yang kuciptakan secara tiba-tiba juga: Wahai kamu Kamu toh tak mungkin menjaring malaikat. Wahai kamu Kamu toh tak mungkin menjaring angin. Akulah Jibril Akulah angin Mereka kemudian bergandengan dan tetap melingkari terus. Nyanyi mereka tambah keras: Silakan lari Silakan lari Aku menjawab: Jika jaring kukais Kalian pasti menangis Mereka pun menjawab Silakan kais Silakan kais …. dan mereka pun, terbahak-bahak melirikku. Tukang kebun itu berteriak: “Tak kukira mimpiku jadi nyata.” Ia pun ikut menari-nari. Akulah Jibril, yang saat ini benar benar-benar merasakan kegembiraan. Bermain dengan anakanak memang jarang. Biasanya tugasku berat saja adanya. Tetapi akulah angin yang harus beredar terus, ke seluruh bumi. Ke semua tempat-tempat lapang, juga tempat-tempat yang tersembunyi. Sementara mereka masih menari dan menyanyi terus, kutinggalkan mereka dan kuganti tubuhku dengan seonggok daun pisang kering. Sebelum benar-benar pergi aku ingin melihat mereka kaget. Setelah mereka melihat jaring itu kembali dan isi di dalamnya yang sebenarnya, mereka melongo dan satu-satu menangis. Aku tersenyum pergi. Akulah Jibril, akulah angin, akulah daun-daun kering, tak mungkin kutinggalkan mereka anakanak manis, begitu saja tanpa memberinya apa-apa sebagai tanda kasih sayang. Esok harinya, seluruh sekolah itu tercengang, ketika mereka melihat layang-layang yang kukaitkan semalam di atap tinggi dengan benang panjang sekali. Siapa saja boleh. membiarkan layang-layang itu sepanjang masa terkait di situ atau mengambilnya menjadi  miliknya. Terserah. Jakarta, 11 Maret 1975.



G0DLOB. KARYA;DANARTO. Gagak-gagak hitam bertebahan dari angkasa, sebagai gumpalan-gumpalan batu yang dilemparkan, kemudian mereka berpusar-pusar, tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran sendiri-sendiri, besar dan kecilm tidak keruan sebagai benang kusut. Laksana setan maut yang compang-camping mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka loncat ke sana loncat kemari, terbang ke sana terbang kemari, dari bangkai atau mayat yang satu ke gumpalan daging yang lain. Dan burung-burung ini jelas kurang tekun dan tidak memiliki kesetiaan. Matahari sudah condong, bulat-bulat tidak membara dan membakar padang gundul yang luas itu, yang diatasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik, yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa ! Ibarat sumber yang mati mata airnya, hingga tamatlah segala kegiatan menangis karena habisnya susu ibu. http://remajasampit.blogspot.com/ Tiap mayat berpuluh-puluh gagak yang berpesta pora bertengger-tengger di atasnya, hingga padang gundul itu sudah merupakan gundukan-gundukan semak hitam yang bergerak-gerak seolah-olah kumpulan kuman-kuman dalam luka yang mengerikan. http://remajasampit.blogspot.com/ Suara-suaranya bagai kaleng-kaleng yang ditendang-tendang di atas lantai ubin, merupakan panduan suara lagu-lagu maut yang dahsyat, tak henti-hentinya memenuhi seluruh padang bekas pertempuran itu, jalinan-jalinan nada yang kacau-balau seolah setan-setan itu ketakutan oleh ancaman setan-setan lain atau sebuah persidangan tempat terjadi perdebatan-perdebatan yang tak menentu, dengan hasil yang gilang-gemilang, yaitu kemampuan memberikan rakyat berkaparan di tong-tong sampah. http://remajasampit.blogspot.com/ Senjata berserakan di mana-mana. Beberapa senapan dengan sangkur terhunus, menancap disisisisi mayat dengan topi bajanya terpasang diatas. Mungin seorang teman sempat berbuat begini, sebelum ia sendiri ditolong oleh teman lainnya diberi tanda begitu. http://remajasampit.blogspot.com/ Beberpa ekor gagak bermain-main dengan granat dan beberpa ekor yang lain menyeret-nyeret tali pinggang yang penuh peluru. Yang lain kelihatan hinggap diatas bren sambil menggarukgaruk tubuhnya dan merentang-rentangkan sayapnya. Bau busuk, anyir, menegang-negang seluruh bentangan padang gundul itu, hingga udara siang hari ingar-bingar oleh daging-daging yang menguap dan malam hari terasa pengap, seolah-olah mayat-mayat itu ada dalam kaleng. Kalau angin bertiup keras, maka bau itu terbang ke mana-mana jauh dan jauh sekali, seolah kabar-kabar buruk yang diwartakan kepada tiap hidung, untuk dirasakan bersama bahwa perang itu busuk. Tetapi prajurit adalah prajurit, ia tabah akan semua perintah, walaupun bagaimana bentuk dan beratnya, dan perang itu pun berjalan lancar dan memuaskan dengan hasil yang gilang-gemilang, yitu pembunuhan berpuluh-puluh ribu manusia sebagai babatan alang-alang. Ya, manusia adalah alang-alang. http://remajasampit.blogspot.com/ Matahari makin condong, bagai gumpalan emas raksasa yang bagus, membara menggantung di awang-awang dan pelan-pelan mau menghilang di balik bukit sana.



Dari ujung padang gundul itu, berderak-derak sebuah gerobak tanpa atap yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Kelihatan di dalamnya dua orang laki-laki. Seorang anak muda terbaring parah di atas jerami. Yang seorang lagi tua, tetapi masih kelihatan kuat. Gerobak itu bergerak lambat dan karena keadaan jalan yang tidak rata, banyak lubang bekas meledaknya bom-bom atau pelurupeluru meriam hingga kedua penumpang itu terangguk-angguk, bahkan kadang-kadang terbanting pada dinding gerobak. Kerbau-kerbau itu berjalan gontai dan lemah, seolah-olah sudah segan untuk menarik kedua pemumpangnya dan ingin berhenti saja. Tiap kali gerobak itu melewati gerombolan gagak-gagak yang sedang pesta itu, gerombolan yang satu ke gerombolan yang lain, hingga mengingatkan lalat-lalat yang diusir dari koreng kerumunannya. http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Bangsat, kamu sinting!’’ bentak orang tua itu sambil memukul beberapa ekor gagak ke sana kemari yang tiba-tiba menyerang gerobak itu. ‘’Kau kira! Kau kira!’’ ia memukul seekor yang hinggap di kepala anak muda yang berdarah itu. ‘’Kau kira kami bangai-bangkai ?’’ tetapi pukulan meleset dan mengenai kaleng hingga berderang terpelanting jauh dan burung itu terbang tertawa-tawa. Ia meloncat mengambil kaleng itu. Kemudian geronak itu dibiarkannya ja;an di muka, ia terpukau berdiri. Pandangannya berkeliling. Raut mukanya menyeringai menatap gerombolan gagak-gagak mengerumuni bangkai-bangkai itu. Puluhan, ratusan, memenuhi padang itu. Kemudian ia lari dan tertawa-tawa, meloncat ke dalam gerobak. http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Anakku.’’katanya sambilmemapah anak muda itu.’’Kau lihat. Kau lihat. Baru sekarang aku takjub atas pemandangan ini. Kau lihat.’’ ‘’Ayah, cukuplah,’’jawab anak muda itu sambil merebahkan sirinya siatas jerami lagi.;;bukankah aku menarin-kemarin juga terbaring seperti mereka, sebelum Ayah mendapatkan aku ? ‘’Yah, seperti mereka, sebelum aku mendapatkan kau! Dan berhari-hari tangan-tanganmu yang lemah itu menggapai-gapai untuk mengusir burung-burung yang menyerangmu. Dan hidupmu yang mearisi hidung ibumu itu sudah cukup kebal untuk bau busuk bangkai kawan-kawanmu atau musuh-musuhmu. Dan udara menghantarkan kuman-kuman untuk mngunyah sedikit demi sedikit luka-lukamu yang parah itu.’’ ‘’Ayah, cukuplah,’’ keluh prajurit muda itu sambil membetulkan balutan luka-luka yang kotor dan membusuk itu. ‘’Kau masih ingat sajak ‘Sang Politikus’?’’tanya orang tua itu. Tapi karena kata-kata itu seoalholah ditunjukan kepada dirinya sendiri, maka anak muda itu tidak menjawab. Orang tu itu lalu berdiri, tangannya merentang dan memandang sekeliling: Oh, bunga penyebar bangkai Di sana, di sana pahlawanku tumbuh mewangi Ia berhenti deklamasi, sejenak ia termangu, sedang tangannya masih tetap terentang, lalu meledaklah tawanya dan bubarlah gerombolan gagak di kanan kirinya. ‘’Sajak itu cukaup baik, cukup bermutu, bukan ?’’kata orang tua itu.’’Anakku, kau tahu bedanya sajak yang dibuat oleh seorang politikus dan seorang penyair?’’ Orang tua itu lalu memandang berkeliling lagi. ‘’Kalau ada seorang yang menderita luka datamg kepada seorang politikus, maka dipukullah luka itu, hingga orang yang punya luka itu akan berteriak kesakitan dari lari tunggang langgang. Sedangkan kalau ia datang pada seorang penyair, luka itu akan di elus-elusnya hingga ia merasa seolah-olah lukanya telah tiada. Sehingga tidak seorangpun dari kedia macam orang itu berusaha mengobati dan menyembuhkan luka itu. Bagaimana pendapatmu, Anakku?’’



‘’Ayah, cukuplah,’’http://remajasampit.blogspot.com/ Dan gagak-gagak itu bubar berkerumun kembali. Lalu ganti berganti: bau busuk-kerbau gontai, bau busuk-sore redup, bau busuk-derap gerobak, bau busuk-kaok gagak. ‘’Malam datang, Anakku. Sedang gagak-gagak itu masih belum juga kenyang.’’ Keadaan telah gelap gulita, hanya sekali-kali jauh dsana melayang-layang pistol cahaya, mencari-cari nyawanya yang masih hinggap di badan. ‘’kalau malam gelap seperti ini, aku sangsi apa besok matahari sanggup menembusnya. Semuanya menyaksikan saya. Siang berganti siang. Malam berganti malam. Tidak ada sesuatu yang baru dalam hidup kita. Rutin, Rutin. ‘’Ayah, cukuplah. Bagiku semuanya memastikan. Tidak ada yang menyangsikan walaupun keadaanya rutin, rutin belaka. Semuanya kita sudah di atur. Tanpa kuminta dan di luar pengetahuan saya, lahirlah saya dari rahim ibuku yang bersuamikan Ayah,’’ia berhenti bicara karena napasnya tersengal-sengal. Dan roda-roda gerobak berderak-derak, sedang dua ekor kerbau ogah-ogahan. ‘’Aku anak bungsu. Kenapa aku tidak meminta sebagai anak sulung ? Aku kagum kepada tentara. Aku ingin memasukinya. Aku dilarang. Perang pecah dan membawaku ke sana. Sekarang aku luka parah, mungkin bisa hidup terus, mungkin sebentar nanti mati. Tetapi kini aku bisa berkata bahwa tentara itu baik. Semacam manusia yang percaya kepada manusia lain, sehingga kepasrahan ini mampu mendorng nya untuk mengorbankan segala-galanya, harta bendanya, keluarganya, dan nyawanya.’’ http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Ya manusia yang mulia di mata Tuhan.’’kata orang tua itu.’’Ayah, kenapa aku tak memilih lapangan yang lain ?Seandainya pilihanky itu sesuatu bencana bagiku, sang nasiblah yang mengantarkan aku ke sana, jadi seharusnya manusia merasa senang juga. ‘’Apa yang ada ini mempunyai pasangan-pasangan. Kalu sesuatu meleset dari pasangannya, manusialah yang salah mengerjakannya. Satu senti meleset mengakibatkan melesetnya seratus senti yang lain’’. ‘’Sebagaimana perang ini terjadi, umpamanya, nukanlah baegitu, Anakku?’’tukas ayahnya.’’Ada setetes yang tidak beres di kalangan atas, yang mengakibaykan puluhan, ratusan ,ribuan jiwa manusia hancur. Dan yang setetes itu harus diselidiki betul-betul. Mungkin perkara sepuluh persen komisi atau membela celana kotor yang cengeng. Atau tentang kebenaran bibir cewek.’’ ‘’Ayah, cukuplah,’’potong anak muda itu, sambil menggeliat dan mengaduh karena menahan sakit. ‘’Mungkin. Seratus satu kemungkinan. Tetapi sesuatu yang sudah menjadi bubur, tidak berguna disesali. Yang terang, aku sudah bekerja sebaik-baiknya, O, Nasibku. . ..’’ ‘’Nasibkulah, Anakku! Nasibkulah yang menyebabkan aku berbicara, sehingga tidak cukup sekian saja. Aku sudah menyerahkan empat nyawa anak-anakku kepada sang Politikus dan tidak ada satupun yang kuterima. Sekarang ia merenggut anakku yang terakhir dan nyawanya paling kusayangi, kau! Kau! Sesuatu yang bagaimanakah dan bentuk kebenaran macam apakah menghallalkan itu semuanya? Anakku! Anakku! Tak bisa kutanggungkan lagi . . ..’’ ‘’Ayah, cukuplah! Cukuplah!’’ http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Belum cukup! Aku harus memutuskan sesuatu yang hebat, biar aku tidak diragukan habishabisan! Lihatlah, Anakku! Lihatlah! Gelap gulita dan pekat. Saking gelapnya hampir hampir aku tak bisa melihat tubuhku sendiri. Tidak ada setitik cahaya pun. Florance Nightingale telah digondol gagak-gagak. Lembah kebenaran sudah diganti padang kurus kesangsian. Kau lihat di



sana, katedral telah disapu habis rata dengan tanah dan sekarang ditumbuhi semak belukar. Kau lihat di sana masjid digerayangi cacing-cacing dan ula-ulat. Kau ihat di sana, perawan-perawan telah diseka di kamar-kamar. Kau lihat di sana, kuris-kursi pemerintahan sudah digadaikan. Apakah yang bisa diharapkan lagi, Anakku?’’ ‘’Ayah, cukuplah. Seharusnya keluarga kita berbangga. Perang yang susul-menyusul, kita telah mampu menyambungkan tangan kita.’’ ‘’Berbangga? Aku telah kenyang dengannya. Sekarang aku harus memutuskan sesuatu yang hebat, biar aku tak dirugikan habis-habisan. Anakku, aku minta sumbanganmu?’’ ‘’Lukamu cukup parah, bukan ?’’ ‘’Aku tidak tahu . . ..’’http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Tiap hari banyak orang-orang berbondong-bondong di batas kota dari pagi ghingga petang atau dari petang hingga pagi untuk menjemput, kalau-kalau suaminya, saudaranya, anaknya, kawannya, pulang dari pertempuran. Betapa setianya mereka. O, seandainya mereka tahu apa yang terjadi sesunggunya di padang gundul ini! Ibumu akan menyambutmu, juga kawankawanmu, juga para tetangga. Engkau sejenak akan dikagumi untuk kemudian dilupakan selamalamanya.’’ ‘’Ayah! Apakah Ayah tidak bisa melihat hikmah yang terkandung dalam semua kejadian ini?’’ ‘’Tidak! Aku tidak melhatnya, sebab di situ memang tidak ada apa-apa! Beberpa ekor gagak menubruk-nubruk dinding gerobak. Sedang udara dingin mnusuk-nusuk malam yang lengang itu. ‘’Supaya aku tidak terlalu rugi. Supaya nasibku sedikit lebih baik, aku minta sumbanganmu.’’ ‘’Apa maksud Ayah sebenarnya?’’ ‘’Anakku. Aku ingin kau jadi pahlawan.’’ ‘’Ayah???’’http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Begitu bukan sajak sang Politikus? Oh, bunga penyebar bangkai Di sana, di sana, pahlawanku tumbuh mewangi Betapa lezatnya sajak itu, Anakku. Apakah kau tidak bisa melihat kenikmatan pembunuhan dalam sajak itu?’’http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Ayah???”’http://remajasampit.blogspot.com/ Orang tua itu bangkit dan seandainya ada cahaya yang menerangi wajahnya, akan tampak betapa tegang urat-uratnya dan menyerengai merah. Lalu ia berkata keras-keras, ‘’Anakku, maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!’’ ‘’Ayah dengan cara demikian ayah hendak menjadikan ku pahlawan? Ayah menghalallkank? Aku dan Aya adalah dua manusia. Di mata Tuhan, kita masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhku sendiri! Ayah di atur oleh yang lain! ‘’Anakku, kali ini pengasuhmu menyerahkanmu kepadaku!’’ ‘’Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!’’ ‘’Ayah!!!’’http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Anakku!!!’’ ‘’Ayah . . ..’’http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Anakku . . ..’’ ************ Sehari sehabis pengangkatan prajurit muda itu sebagai pahlawan oleh para pembesar di balai kota, maka pagi harinya iring-iring jenazah yang panjang itu menuju makam pahlawan dengan



kemegahan upacara militer. Banyak pengiring yang menangis. Anak semuda dia dengan keyakinanya, terlalu sayang untuk pergi. Suasana siang terasa sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Anak-anak tidak bermain-main di halaman seperti biasanya. Angin bertiup keras, hingga keadaan jalan yang panas kemarau itu penuh bertebaran debu-debu. http://remajasampit.blogspot.com/ Hari berikutnya, sehabis penguburan, matahri mencambuk-cambuk kulit, ketika tiba-tiba jalan di depan balai kota di gemparkan oleh seorang perempuan membopong mayat. Orang berduyun-duyun menuju kepadanya, hingga suasana hiuk-pikuk. Masing-masing menanya apa yang terjadi: Siapakah wanita aneh itu ? tidak jijikkah ia? Aduh, seorang perempuan yang berani. Benar? Mayat pahlawan kemarin? Digali lagikah ia? Ya, Tuhan, oleh tangan ibunya sendiri. Jadi, yang membopong itu ibunya? Aduhai, satu paduan yang bagus: Ibu Pertiwi membopong Pahlawanya. Bukan begitu> kenapa tidak demikian? Tmpaknya suatu pemandangan yang mengerikan. Mau dia apakan? Ada sesuatu yang salah? Bagaimana mungkin? Kemudian para pembesar pada keluar dari balai kota dan turun mendapatkan orang-orang. Dalam sekejap, orang-orang yang berkerumun itu sudah sama banyaknya dengan rombongan pengantar jenazah kemarin. Lau di antara orang-orang yang mengelilingi permepuan dengan mayat itu, tersembullah seorang tua yang serta-merta berhadapan dengan peristiwa itu. ‘’Ini daia orangnya! Ia adalah suamiku, namun sejak kugali mayat anakku ini, ia telah kuceraiakn. Semalam ia telah bercerita panjang lebar tentang garis depan. Akhirnya ia pulang membawa tiupan-tiupan buat kita. Mayat ini sama sekali bukan pahlawan. Dan seandainya ia sanggup banhun, ia akan berkata kepada kita bahwa ia tdak ingin jadi pahlawan, aku tahu tabiat anak-anakku. Daialah! Orang laki-laki ini yang membikinnya jadi pahlawan! Dia membunuhnya! Dia menipu kita!’’ http://remajasampit.blogspot.com/ ‘’Sebaiknya, aku kena tipu oleh mereka!’’ Tangis laki-laki itu sambil menunjuk dengan garangnya kepada para pemvesar. Yang ditunjuk melongo dan menarik dadanya undur. ‘’Kita semuanya kena tipu mentah-mentah. Lihatlah aku! Keluargaku ludes! Tidak ada satu pun yang kudapat!’’ ‘’Penghianat!’’ teriak para pembesar bersama-sama ‘’Menurut hukum yang bagaimanakah seorang berhak menyebut orang lain penghianat atau pahlawan? Kemarin kubawa mayat anakku, anak yang penghabisan dari empat orang lainnya yang sudah hancur duluan. Perang demi perang telah memeluk anak-anakku dengan mesranya. Dalam sekejap mata mayat ini diangkat jadi phlawan. Aku sudah mengira, aku sudah menduga. Sementara kalian dengan berkaleng-kaleng air mata mengantarkan ke kuburan, aku dengan tertawa terpingkal-pigkal!’’ ‘’Dengan berpijak pada nilai-nilai objektif, akan ada tipuan-tipuan,’’ kata para pembesar bersama-sama. ‘’Adakah nilai-nilai Objektif? Semuanya adalah Subjektif!’’ ‘’Apa yang kau harapkan sekarang?’’ kata para pembesar bersama-sama. ‘’Apa yang bisa kau harapkan dari kalian?’’ Lalu laki-laki itu mamandang sekeliling, menatapi wajah demi wajah: ‘’Kalian orang-orang kecil, sekali-kali boleh pergi ke garis depan. Hingga kita bisa juga berbicara tentang negara, tentang perang, tentang ekonomi, tentang sajak, tentang kebun



binatang, tentang perempuan. Sudah diborongnya semua. Lanyas kiya sidiuruh bicara tentang apa? ‘’Oh, perutku terasa muak! Mual! Hingga mau muntah saja!’’ Tiba-tiba perempuan itu mencabut pistol dari pinggangnya dan sejenak menggelegar bunyinya memenuhi sudut-sudut kota dan sejenak laki-laki tua yang ada di hadapannya itu. Perlahan perempuan itu berjongkok di depannya. Ait matanya meleleh. Suaminya menggeliat menoleh kepadanya: ‘’Perang demi perang berlalu, iseng demi iseng berpadu.’’ Kemudian ia meraih mayat anaknya dan jatuh. Suasana hening. Sekaliannya dipaku di tempat berdirinya masing-masing. Perempuan itu berdiri. Dengan wajah termangu ia memandang ke atas: ‘’Oh, nasibku, nasibku. Sedang kepada setan pun tak kuharapkan nasib yang demikian.’’ Leles, Garut, 13 Agustus 1967 BAYI BERSAYAP JELITA Cerpen Agus Noor KAKEK bisa membelah diri. Bisa berada di banyak tempat sekaligus… Aku melihat Kakek tengah berdiri memandang keluar jendela, ketika aku masuk. Kamar gelap – mungkin Kakek sengaja mematikan lampu – aku merasa ia tak ingin diganggu. Pelan pintu aku tutup kembali. “Masuklah,” suara Kakek lemah. Ia tergolek, dengan selang oksigen dan infus yang bagai mencencangnya ke ranjang. Demi Tuhan! Aku tadi melihat Kakek berdiri dekat jendela itu. Benarkah Kekek bisa berpindah dalam sekejap? Kurasakan, Kakek mengedipkan mata: sini, tak usah heran begitu. Padahal kulihat ia terbaring memejamkan mata begitu tenang. Dua hari sebelum puasa, ibu menelpon. Kakek jatuh di kamar mandi, serangan jantung. Mas Jo memintaku segera saja ke Jakarta. Sebelum terlambat – ia rupanya tahu keenggananku menjenguk Kakek. “Biar aku urus Nina,” katanya. Bungsuku itu memang baru kena demam berdarah. Aku tak terlalu dekat dengan Kaket. Bahkan tak menyukainya. Semasa kecil, kakak-kakak dan sepupuku suka sekali mendengarkan cerita Kakek. Duduk mengelilingi dan bergelendotan manja setiap Kakek bercerita tentang burung-burung cahaya yang terbang dari surga membawa biji-biji kebaikan, ular berkepala lima, makhluk-makhluk sebelum Nabi Adam diciptakan, angsa yang menyelam ke dasar samudera atau Nabi Sulaiman yang mendengarkan percakapan cicak dan buaya. Itu bohong, kataku, setiap Kakek bertanya kenapa aku tak suka ceritanya. Aku lebih suka belajar matematika. Bagiku Kakek tak lebih tukang khayal. Dan khayalan itu penyakit yang gampang menular. Penyakit ortang malas, kata Nenek. Saya memang tak suka setiap melihat Kakek hanya



duduk-duduk dikelilingi para kakak dan sepupuku – seperti sekumpulan orang malas yang seharian hanya bercanda – sementara Nenek di dapur sibuk membuat kue. Aku lebih suka menemani Nenek di dapur, mencicipi remah kue yang dibikinnya, dan selalu merasa begitu bangga ketika Nenek memberikan padaku potongan kue yang lebih besar. Tapi kakak-kakak dan sepupuku bilang, Kakek punya kue yang jauh lebih lezat dari kue bikinan Nenek. Kue itu kue yang dihidangkan ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman. Seperti apem, tetapi bagai terbuat dari cokelat. Kue itu tak akan habis bila dimakan. Aku benci mendengar cerita itu. Benar, khayalan memang penyakit menular. Kupikir mereka sudah tertular khayalan Kakek. Aku ingat setelah kejadian itu, tengah malam, antara tidur dan jaga, entah mimpi entah nyata, aku melihat kakek duduk di sisi ranjangku, sembari makan kue pelan-pelan. “Mau?” ia menawariku. Seolah ada gerak yang mendorong tanganku untuk mengambil kue itu, memakannya. Rasa kue itu jauh lebih enak dari kue buatan Nenek. *** KAKEK pingin ketemu kamu, kata Ibu di telepon. Yakin, pasti Kak Sofyan yang menyuruh. Sejak setahun tahun lalu, Kakek tinggal bersama kakak keduaku itu, dan ia tahu: aku pasti mau mendengarkan bila yang menelpon Ibu. “Kenapa kamu tak suka Kakek?” dulu, ibu bertanya. Aku terus pura-pura membaca. Suaranya lembut, membuatmu merasa tentram setiap mendengarkannya bercerita. Matanya keteduhan yang ingin kau jumpai. Nyaris tak pernah marah. Dan – ini yang menurut kakakkakak dan sepupuku paling sukai dari Kakek – tak suka cerewet memberi nasehat. Rasanya tak ada alasan untuk tidak menyukainya. Mungkin karna iri. Atau tak mau berbagi. Kakek membagi perhatian pada semua cucunya. Aku selalu ingat pada kejadian saat suatu kali Kakek membawa martabak. Kakek membagi rata buat semua cucuknya. Semua gembira. Tapi aku segera pergi. Aku ingin Kakek seperti Nenek! Bila punya kue: aku selalu dapat bagian lebih banyak. Aku senang bila kakak dan sepupu menatap iri bagian kue yang lebih besar milikku. Itulah saat-saat paling membahagian buatku. Nenek mengerti kebahagiaanku itu. Kakek tidak. Itulah sebabnya aku tak pernah terlalu suka Kakek. Tak pernah bisa merasa dekat. Tapi Kakek ingin sekali ketemu kamu, kata Ibu saat menelpon. Dan Ibu bilang: dua hari di rumah sakit, Kakek bersikeras pulang. Rumah sakit hanya membuat kita benar-benar merasa sakit, keluh kakek. Para suster mengatakan kalau Kakek pasien paling tak bisa diatur. Tak mau minum obat, dan tak mau disuruh diam. Dia suka sekali mendongeng dan cerita, kata seorang suster. Pernah, malam-malam, kakek memanggil suter jaga, hanya karena ia mau bercerita kalau baru saja ada lima laki-laki menjenguknya. “Mereka tinggi besar dan bersayap. Mereka memijiti jempol saya, dan bilang saya tak apa-apa. Suster lihat, kan… tadi mereka masuk ke sini? Lima



laki-laki tinggi besar bersayap…” kata Kakek. Suster hanya diam. Karna Suster itu memang tak melihat siapa-siapa memasuki kamar ICU. “Mereka memberi saya ini,” Kakek memperlihatkan sebutir kurma. Kurma nabi, kaka Kakek. *** SAYAteringat beberapa tahun lalu. Mba Rin, istri Mas Moko, kakak sulungku, mengalami masalah persalinan. Bayinya melintang, kata dokter, dan harus operasi. Lalu Kakek muncul, memberinya sebutir kurma. Mba Rin yang sudah terlihat lelah dan pasrah, perlahan tak lagi merasa kesakitan. Kemudian melahirkan dengan lancar. Pernah pula Tante Ida, yang tinggal di Jombang, menelpon malam-malam: Kakek barusan datang menjenguk anaknya yang panas. Kakek mengusap keningnya, kemudian pergi. Dua jam setelahnya panas Ibra berangsur lenyap. Sumpah, sepanjang malam itu, aku melihat kakek hanya duduk tiduran di kursi goyangnya. Kakek bisa berada di dua tempat sekaligus, kata Einda. Ia bisa muncul begitu saja saat kita membutuhkan. Lalu sepupuku itu bercerita, betapa pernah suatu kali ia sakit dua hari sebelum ujian kelulusan SMA. Kakek tiba-tiba muncul di kamar kostnya, memberinya segelas air putih, dan ia tertidur. Saya bermimpi berada di tempat yang begitu tenang dan nyaman. Besok paginya saya sudah bugar! Semasa kanak, kakak-kakakku juga sering bercerita kalau Kakek kerap muncul malam-malam ke kamar, memberi mereka es krim atau cokelat. Es krim dan cokelat itu, tiba-tiba saja sudah ada di tangan Kakek. “Sulap! Itu sulap,” kataku. “Itu mukjizat,” kata mereka, “Kakek berbakat jadi nabi.” Kakek terkekeh ketika mendengar itu. “Jangan pernah punya cita-cita jadi nabi,” katanya. “Tidak enak jadi nabi. Karna tidak semua orang menyukai.” *** KALAU punya mukjizat, pastilah Kakek tak tergolek seperti ini – seolah suara dari masa kecilku muncul kembali. Tubuh Kakek terlihat begah dan membengkak. Seperti ada tumpukan jerami yang dimasukkan ke dalam perut dan dadanya. Seolah seluruh makanan yang selama ini disantapnya dijejalkan semuanya ke tubuh Kakek. Tongseng, sate klatak, empal, paru, kikil dan sop buntut, kepala kambing bacem, gulai dan tengkleng… Bahkan seorang nabi pun pernah sakit – aku seperti mendengar suara berbisik di belakangku. Aku bisa merasakan nafas lembut merambati tengkukku. Aku yakin ada seseorang berdiri di belakangku. Kakek?



Tidak. Kulihat Kakek terbaring di ranjang. Akankah ia sebentar lagi mati? Bila iya, bahkan menjelang kematiannya pun wajahnya tak berubah: terlihat bersih. Sepanjang yang saya ingat, wajah Kakek memang nyaris tak pernah berubah. Seperti tak tersentuh usia. Sampai saat ini wajahnya masih wajah yang aku kenal saat aku kanak-kanak: sekilas terasa jenaka karena suka tertawa, rambutnya putih, juga alisnya. Ia tak memelihara jenggot dan kumis. Klimis. Matanya bening bulat, mata yang selalu gembira. Wajah agak bundar. Dengan tahi lalat mirip butir beras ketan hitam di dahi kiri. Ketika Nenek mulai sakit-sakitan, Kakek seperti tak berubah. Ada yang bilang karena Kakek punya kesaktian. Tetapi seingatku tak ada yang aneh dari keseharian Kakek. Ia tak suka kungkum atau nyepi untuk semedi. Tak kulihat ia melakukan ritual-ritual mistis tertentu. Pati geni atau sejenisnya. Tak pernah kulihat ia sibuk dengan jimat atau barangbarang pusaka keramat. Bahkan, di banding Nenek, Kakek termasuk tak rajin ibadah. Saat waktu shalat, malah sering kulihat Kakek tetep duduk-duduk klempas-klempus menikmati rokoknya. “Ibadah Kakek ya berbuat baik… itu saja,” pernah kudengar ia bicara begitu saat ditanya para sepupuku. Kupandangi wajah Kakek. Seperti ingin belajar mengenalnya kembali. “Kau tahu…,” kudengar ia bergumam, matanya masih memejam. Aku kaget, menyangka ia tidur. “Kau tahu, kenapa kita membutuhkan orang lain? Karna dokter pun tak bisa mengobati dirinya sendiri. Kita selalu membutuhkan orang lain, itulah kenapa kita mesti baik pada orang lain.” Jari-jari gemetar Kakek menyentuh lenganku. “Terimakasih mau datang.” Ada yang jauh lebih dalam dari kepedihan. “Aku selalu melihat ada yang berkelebat, di luar sana. Menunggu di sebalik jendela. Dan tadi… Tadi kulihat ia berdiri di belakangmu…” Kugenggam tangan Kakek. “Lihatlah…” Pandangannya mengarah jendela, dan entahlah, seperti ada tangan gaib yang perlahan memaksaku menoleh. Kesiur angin menerobos, korden bergoyang dan sekelebat bayangan merambat gelap. Tak kulihat apa-apa. Selain tugur pepohonan dan bentangan kesunyian. Cahaya terasa lamur. “Maukah kau kali ini, mendengarkan ceritaku?” Suaranya memelan. Aku membungkuk, ke arah bibirnya, takut tak mendengar kata terakhirnya. Dengarlah, mereka mendekat… Rasa kantuk seperti angin lembut. Suara Kakek menjauh, tinggal dengung AC memenuhi ruangan. Aku meriap merasakan ada yang perlahan masuk melalui jendela. Pastilah aku tak lagi



mampu menahan kantuk dan lelah, sampai kurasakan ada tangan halus mengusap wajahku, membangunkanku. Ia tampak letih. Berdiri di bawah pohon putih, yang menjulang hingga ke langit wana ganih. Pandanganku seketika terpesona pada bayi-bayi bersayap jelita yang bermunculan dari balik cakrawala. Bayi-bayi itu terbang mengitari Kakek yang melangkah pelan menuju batu besar. Bayi-bayi bersayap jelita memberi isyarat agar Kakek berbaring, sementara angin sejuk berhembus dari sayap-sayap lembut itu. Aku menyaksikan bayi-bayi itu membedah dada Kakek, mengeluarkan jantungnya. Ada bejana kecil, dan bayi-bayi itu mencuci jantung Kakek. Aku memejam, merasakan tubuhku melayang. Seperti memasuki rongga sunyi. Merasakan tidur panjang abadi. *** HARI masih gelap – atau telah kembali gelap? – ketika aku terbangun oleh suara-suara percakapan. Sayup-sayup terdengar suara orang mengaji. Seperti suara Ibu. Aku mencoba mengenali sekeliling. Kekelaman yang bagai tabir berlapis-lapis. Setiap suara seperti merembes dari tabir yang berbeda-beda. Kulihat arak-arakan orang membawa keranda, menjauh. Jeritan yang bagai jerit iblis. Bau harum melati mengapung. Kusaksikan beberapa suster yang sibuk memberesi tabung oksigen dan membawa keluar kereta dorong., kemudian lenyap begitu saja, raib ke sebalik tabir kegelapan yang hampa. Ranjang itu kosong. Pasti mereka telah membawa Kakek ke kamar mayat. Aku berlari, melesat – seakan melangkah di hamparan awan – sampai kelelahan dan lesap dalam gelap. Aku terbangun seperti orang yang telah berabad-abad ditidurkan.. Kudapati Ibu, Mas Jo dan istrinya, Mba Rin, Mas Moko, Einda dan hampir seluruh kerabatku menggerombol berbincang pelan. Pelan-pelan aku mulai mengenali, di mana aku berada: kamarku. Ibu pelan-pelan memelukku. Aku terisak. Saat itulah, aku mendengar suara tawa Kakek. Aku hanya bengong ketika Ibu bercerita keadaan Kakek. “Kau kira Kakek mati, ya?” Adakah ini mukjizat…. “Dokter juga heran dengan jantung kakek. Tiba-tiba sudah bersih, ibaratnya seperti baru dicuci…” Di ruang tengah kulihat Kakek tertawa-tawa gembira dikerubuti tujuh keponakanku yang tampak bagai segerombolan kurcaci. Lama aku terdiam memandanginya. Aku seperti mendengar kelepak sayap bayi-bayi itu terbang menjauh. Jakarta, 2010



(Buat Mas Danarto)