LANDREFORM [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RESUME HUKUM PERTANAHAN “LAND REFORM.”



DISUSUN OLEH :



ANDI NADYA.R.SINGKE



10200116115



HUKUM PIDANA DAN KETATANEGARAAN FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN ALAUDDIN MAKASSAR TAHUN AJARAN 2018-2019



A. Pengertian Landreform Landreform sendiri berasal dari bahasa inggris yaitu “land” dan “reform”. Land artinya tanah, sedang reform artinya perombakan atau perubahan untuk membangaun atau membentuk atau menata kembali struktur pertanian baru. Untuk pelaksanaan prinsip-prinsip landreform yang sudah digariskan dalam UUPA diperlukan peraturan palaksanaan, baik yang berupa Undangundang maupun peraturan pemerintah. Pengertian landreform memiliki sifat politis dan teknis. Di negara-negara komunis, pengertian politis tersebut lebih bersifat slogan untuk memenangkan massa dengan isu-isu emosional yang sangat menarik, seperti 'hancurkan tuan tanah', dst. Bagi Indonesia, sifat politis dari landreform sama sekali tidak bertujuan demikian, melainkan ditujukan untuk mencapai apa yang ingin dikembangkan dan strategi apa yang harus dilaksanakan untuk mencapai cita-cita keadilan dalam pemilikan dan penguasaan tanah. Selanjutnya, sifat teknis dari pengertian landreform adalah apa yang disebut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai agrarian reform dalam arti sempit, yakni perombakan hubungan



manusia



dengan



tanah



dan



lebih



merupakan



tindakan



teknis



untuk



mengembangkan segala lembaga-lembaga, baik ekonomi maupun sosial, yang berkaitan dengan kehidupan pertanian. Bahkan tindakan-tindakan teknis dimaksud sudah berkembang kepada pengembangan teknologi, baik dengan sarana penunjangnya, seperti pembangunan sekolah, jalan, bantuan bank, penyuluhan penggunaan pupuk, pestisida, bibit unggul; dan dari segi struktur, menetapkan adanya ceiling dan pemilikan minimum atas tanah, juga mengubah sistem penguasaan atas tanah sehingga lebih memberikan rasa keadilan kepada rakyat (AP Parlindungan, 1983: 13 dan 1990: 23). Pada dasarnya landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Jadi landreform lebih merupakan sebuah alat perubahan sosial dalam perkembangan ekonomi, selain merupakan manifestasi dari tujuan politik, kebebasan dan kemerdekaan suatu bangsa. Dalam kasus-kasus tanah, landreform dikenal sebagai agrarian reform sekedar untuk memberikan pengertian perubahan dalam gambaran menyeluruh. Sebaliknya, beberapa pihak menerjemahkan landreform secara sempit dan tradisionil, yaitu sebagai alat untuk mengadakan penyediaan tanah bagi para penggarap, yang biasanya dikenal sebagai redistribusi tanah atau dianggap sebagai landreform in practice.



B. Tujuan Lenderform Tujuan landerform menurut Michael Lipton dalam Arie S. Hutagalung (1985) adalah :



2



1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redisribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh. 2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan tanah. Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani. Hal lain yang juga bisa dimaksimalkan dari pelaksanaan land reform adalah suatu mekanisme proteksi yang lebih ketat terhadap perubahan penggunaan tanah, karena harus diakui bahwa pola pewarisan tanah dalam masyarakat Indonesia cenderung makin mendorong fragmentasi lahan sehingga penguasaan lahan oleh petani semakin kecil. Guna menjamin efektivitas dari land reform maka selain dilakukan redistribusi tanah maka harus ada kejelasan yang mengikat bahwa objek tanah/lahan tersebut tidak bisa berpindah tangan atau beralih peruntukkan penggunaannya, hal ini akan mengurangi perpindahan penguasaan dan pemilikkan tanah kepada spekulasi tanah atau kegiatan non pertanian lainnya. Tujuan-tujuan lenderform juga meliputi : 1. Segi Sosial Ekonomi Landreform dapat memeperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik dan memperbaiki produksi nasional khususnya sector pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat. 2. Segi Sosial Politis Dengan landreform sistem tuan tanah dapat dihapuskan dan pemilikan tanah dalam skala besar dapat dibatasi sehingga tanah dapat dibagikan secara adil agar menjadi sumbersumber penghidupan rakyat tani. 3. Segi Mental Psikologis



3



Landreform dapat meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah serta dapat memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.



C. Dasar-dasar Hukum Beberapa landasan hukum mengenai landreform yaitu : 1. Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). 2. Undang-undang No.2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. 3. Undang-undang No.56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. 4. Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (jo.PP No.41 tahun 1964 dan PP No.4 tahun 1977). D. Kegiatan Pokok Landreform 



Kegiatan inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T).



Hasil kegiatan IP4T adalah data dan informasi mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan setiap bidang tanah. Hasil analisis berupa informasi P4T yang mencakup: tingkat ketimpangan P4T, kesesuaian penggunaan tanah dengan tata ruang, neraca penggunaan tanah detail, potensi tanah-tanah objek landreform, potensi masalah landreform, sengketa dan konflik, tanah terlantar. 



Redistribusi tanah objek landreform.



Kegiatan redistribusi tanah objek landreform terdiri dari serangkaian sub kegiatan yang meliputi kegiatan penyuluhan, inventarisasi dan identifikasi penerima manfaat dan tanah yang dialokasikan (subyek dan obyek), pengukuran dan pemetaan, penerbitan Surat Keputusan pemberian hak atas tanah dalam rangka redistribusi dan pendaftaran hak atas tanah (penerbitan sertifikat hak atas tanah), yang di dalam pelaksanaannya memerlukan koordinasi dan sinkronisasi berbagai bidang yang terkait. Salah satu tujuan pelaksanaan kegiatan redistribusi tanah objek landreform adalah memberikan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah bagi para petani miskin. 4



E. Prinsip-prinsip Landreform Sementara pemerintah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional(PPAN) Kepala BPN RI juga menekankan empat prinsip di dalam menjalankan kebijakan, program dan proses pengelolaan pertanahan di masa depan, yaitu(Winoto dalam Napiri M et.al., 2006b): 1. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraanrakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangankemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan.( Pro sperity) 2.



Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). ( E quity)



3. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujudkan tatanan kepastianyang harus dijaga kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari. ( Social Welfare) 4. Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanya keberlanjutan sistemkemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikanakses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagaisumber kesejahteraan masyarakat. (Sustainability)



F. Aparatur Penyelenggaraan Landreform Indonesia Selain Departemen Agraria, aparatur landreform yang pernah ada dalam penyelenggaraan Landreform adalah: a.



Panitia Landreform Penyelenggaraan Landreform dianggap bukan hanya tugas Departemen Agraria saja, melainkan menyangkut pula bidang berbagai instansi lain. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi yang diwujudkan dalam bentuk Panitia-panitia Landreform mulai dari tingkat pusat sampai desa. Dengan Keputusan Presiden no. 26 Tahun 1988 urusan Landreform berada di bawah Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah pada Deputi Bidang Pengaturan Penguasaan dan Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional. Di tingkat daerah ditugaskan pada Kantor BPN Wilayah Propinsi (Bidang Pengaturan Penguasaan Tanah) dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Sedangkan mengenai organisasi dan tata penyelenggaraan Landreform telah diatur sebelumnya dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1980 jo Keputusan Mendagri No. 37 Tahun 1981 yang mencabut Keppres No. 131 5



Tahun 1961 jo No. 263 Tahun 1964. Kegiatan pelaksanaan tugas Landreform menurut pengaturan



lama



itu



dilakukan



oleh



Menteri



Dalam



Negeri



dan



para



Gubernur/Bupat/Walikota/Camat/Kepala Desa selaku kepala wilayah yang didampingi Panitia Pertimbangan Landreform tingkat Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kotamadya.



b.



Yayasan dana Landreform Untuk memperlancar pembiayaan Landreform dan mempermudah pemberian fasilitasfasilitas kredit, pasal 16 PP No. 224 Tahun 1961 mewajibkan dibentuknya suatu yayasan yang berkedudukan sebagai badan hukum yang otonom dengan nama Yayasan Dana Landreform (YDL). Yayasan ini kemudian dibentuk dengan Akta Notaris R. Kardiman, Jakarta No. 110.



c.



Pengadilan Landreform Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam melaksanakan peraturan-peraturan Landreform, yang dianggap perlu dilakukan secara cepat agar tidak menghambat program diperlukan badan pengadilan tersendiri dengan susunan, kekuatan dan acara yang khusus. Dengan UU No. 21 tahun 1964, dibentuklah pengadilan Landreform. Tetapi kemudian dibubarkan dengan UU No. 7 Tahun 1970 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.



G. Ruang Lingkup Landreform Indonesia A.



Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah Pokok-pokok ketentuan mengenai hal-hal tersebut diatur dalam pasal 7 dan pasal 17



UUPA No. 5 Tahun 1960. Apa yang diatur dalam pasal 7 diatur lebih lanjut dalam pasal 17. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas, merugikan kepentingan umum karena terbatasnya persediaan tanah pertanian khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya. Hal itu menyebabkan menjadi sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri. Menurut taksiran 60% dari jumlah petani adalah petani tak bertanah. Mereka itu menjadi buruh tani atau penggarap tanah kepunyaan orang lain (penyewa, pembagi hasil). Yang dilarang oleh pasal 7 itu bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi penguasaan tanah. Penguasaan itu selain dengan Hak Milik dapat dilakukan juga dengan Hak Gadai, sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil dan lain-lainnya. Sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 17 UUPA No. 5 Tahun 1960, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 56 Tahun 1960 pada tanggal 6



29 Desember 1960 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1961. Perppu tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960. UU No. 56/Prp/1960 terkenal sebagai Undang-undang Landreform.



Ada 3 hal yang diatur dalam UU No. 56 tersebut: 1.



Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.



2.



Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian.



3.



Penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Dengan demikian maka sungguhpun pasal 17 menunjuk pada semua macam tanah, UU No. 56 tersebut baru mengatur soal tanah pertanian saja. Maksimal luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya akan diatur sendiri dengan suatu Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan itu hingga kini belum ada.



B. Redistribusi tanah Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 jo No. 41 Tahun 1964. Kedua PP ini memuat peraturan tentang tanah yang akan dibagikan (diredistribusikan). Ternyata tanah yang dibagikan itu tidak terbatas pada tanah kelebihan dari batas maksimal yang diambil oleh Pemerintah, tetapi juga tanah yang diambil oleh Pemerintah karena pemiliknya absentee, tanah swapraja dan bekas swapraja, serta tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, misalnya tanah-tanah bekas perkebunan besar, tanah-tanah bekas tanah partikelir. Kedua PP dimaksud di atas memuat pula peraturan tentang pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik, pembagian tanah dan syaratsyaratnya. Selain dari redistribusi, kedua PP itu memuat pula: a)



Pembentukan Yayasan Dana Landreform



b)



Perlunya dibentuknya Koperasi Pertanian



c)



Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee



C. Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee Azas “tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya” yang dimuat dalam pasal 10 ayat 2 UUPA diatur pelaksanaannya dalam pasal 3 PP No. 224/1960 dan pasal 1 PP No. 41/1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e). Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa Sunda: guntai, yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat tinggal yang empunya. Perubahan tersebut pada pokoknya melarang pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya. 7



Larangan itu tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien.



D. Peraturan Kembali Gadai Tanah Pertanian dan Tanaman Keras Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960 memuat ketentuan-ketentuan tentang pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan. Ketentuan-ketentuan itu merupakan perubahan daripada peraturan gadai-menggadai tanah menurut hukum adat. Dengan Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. Sk/10/Ka/1963 ketentuan pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga terhadap gadai tanaman keras, seperti pohon kelapa, pohon buah-buahan dan lain sebagainya, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya. Gadai adalah hubungan hukum antara seorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai itu belum dikembalikan, maka tanah tersebut dikuasai oleh “pemegang gadai”, selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut “penebusan kembali tanahnya” tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.



Gadai-menggadai menurut ketentuan hukum adat mengandung eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya jauh lebih besar daripada apa yang diterima pemilik tanah. Untuk menghilangkan unsurunsurnya yang bersifat pemerasan itu, pasal 53 UUPA menghendaki supaya gadai-menggadai diatur. Sepanjang yang mengenai tanah pertanian hal itu diatur sekaligus dalam UU No. 56/Prp/1960, karena mungkin ada hubungannya langsung dengan pelaksanaan ketentuan mengenai luas maksimum.



E. Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Sebagaimana diketahui, yang dimaksudkan dengan Perjanjian Bagi Hasil menurut UU No. 2 Tahun 1960 adalah perjanjian yang diadakan antara pemilik tanah dengan seseorang atau badan



hukum



yang



disebut



penggarap,



berdasarkan



perjanjian



mana



penggarap



diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, yang hasilnya dibagi antara kedua belah pihak menurut imbalan yang disetujui sebelumnya. UU No. 2 Tahun 1960 yang bertujuan untuk memperbaiki nasib para penggarap tanah milik pihak lain, jika benar-benar dilaksanakan akan mempunyai efek yang sama 8



dengan penyelenggaraan redistribusi tanah kelebihan dan tanah absentee terhadap penghasilan para petani penggarap. Mereka akan menerima bagian yang lebih besar dari hasil tanahnya.



F. Penetapan Luas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian Untuk mempertinggi taraf hidup petani, kepada mereka perlu diberikan tanah garapan yang cukup luasnya. Oleh karena itu, maka pasal 17 UUPA selain luas maksimum menghendaki juga pengaturan tentang luas minimumnya. Berhubungan dengan itu dalam pasal 8 UU No. 56/Prp/1960 diperintahkan kepada Pemerintah untuk mengadakan usahausaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimal 2 ha. Menurut penjelasannya, 2 ha tanah pertanian itu bisa berupa sawah, tanah kering atau sawah dan tanah kering. Ditetapkannya luas minimum tersebut tidak berarti bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari 2 ha akan diwajibkan untuk melepaskan tanahnya. 2 ha itu merupakan tujuan yang harus diusahakan tercapainya secara berangsur-angsur (pasal 17 ayat 4 UUPA).



9