Laparoskopi Kolelitiasis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT LAPAROSKOPI KOLELITIASIS



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2 II.1 Definisi Kolelitiasis................................................................................... 2 II.1.1 Anatomi Kandung Empedu ....................................................................... 2 II.1.2 Fisiologi .................................................................................................... 4 II.1.3 Epidemiologi ............................................................................................. 6 II.2. Patogenesis Kolelitiasis............................................................................. 6 II.2.1 Klasifikasi Batu Empedu .......................................................................... 7 II.2.2 Penegakan Diagnosis ................................................................................ 9 II.2.3 Gejala Klinis ............................................................................................. 9 II.2.4 Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 10 II.2.5 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 11 II.2.6 Tatalaksana.............................................................................................. 13 II.2.7 Open Kolesistektomi ............................................................................... 14 II.2.8 Laparoskopi Kolesistektomi ................................................................... 18 II.2.9 Komplikasi .............................................................................................. 24 II.2.10 Prognosis ................................................................................................. 25 BAB III Kesimpulan ............................................................................................. 26 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 27



2



3



BAB I PENDAHULUAN



I.1 Latar Belakang Batu empedu terjadi pada 10-20 % populasi dewasa di Negara berkembang, di Amerika Serikat lebih dari 20 juta orang menderita penyakit ini dan ditemukan 1 juta pasien baru setiap tahunnya. Di Inggris lebih dari 5,5 juta orang menderita batu empedu dengan lebih dari 50 ribu orang yang menjalani cholesistektomi setiap tahunnya. Batu empedu dengan berbagai komplikasinya merupakan penyebab utama morbiditas penyakit gastrointestinal yang menyebabkan penderita dirawat di rumah sakit. Penyakit batu empedu merupakan masalah kesehatan yang penting di Negara Barat sedangkan di Indonesia kejadian batu empedu terus meningkat terutama pada usia muda, dan baru mendapat perhatian secara klinis.13 penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari penderitanya karena minimnya gejala yang tampak pada penderitanya. Pasien-pasien yang memiliki batu empedu jarang mengalami komplikasi, namun apabila batu empedu telah menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



II.1 Definisi Kolelitiasis atau batu empedu adalah suatu konkresi abnormal yang membentuk material seperti batu yang dapat ditemukan pada kandung empedu (kolesistolitiasis), saluran empedu (koledokolitiasis), ataupun keduanya.1



II.2 Anatomi Kandung Empedu Kandung empedu adalah kantung berbentuk seperti buah pir, memiliki panjang sekitar 7 hingga 10 cm. Kapasitas rata-rata kandung empedu adalah 30-50 mL namun kapasitas ini dapat meningkat hingga 300 mL ketika terjadi obstruksi. Kandung empedu terletak pada fossa di permukaan inferior hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomis yaitu; fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus berbentuk bulat dengan ujung yang buntu dan dalam kondisi normal 1-2 cm melewati batas hati. Sebagian besar otot polos kandung empedu berada di area fundus, sebaliknya sebagian besar jaringan elastis berada pada area korpus. Infundibulum (Hartmann pouch) adalah segmen yang membesar diantara korpus dan kolum. Kolum adalah area berbentuk corong yang terhubung ke ductus cysticus.3 Kandung empedu dilapisi oleh epitel kolumnar tinggi selapis yang mengandung globulus lemak. Kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan pada lapisan mukosa di infundibulum dan kolum kandung empedu menghasilkan mukus yang disekresikan ke kandung empedu. Di bawah lapisan epitel terdapat lamina propia. Lapisan-lapisan otot terdiri atas sirkular, longitudinal, dan oblik, namun lapisannya tidak terbentuk dengan baik. Perimuscular subserosa mengandung jaringan ikat, saraf, pembuluh dara, limfa, dan adiposit.3



2



Kandung empedu diperdarahi oleh arteria cystica cabang dari arteri hepatic dextra. Arteria cystica akan terbagi menjadi dua cabang yaitu anterior dan posterior. Venous return dapat melalui vena-vena kecil yang langsung menuju hati atau secara lebih jarang melewati vena besar cystica yang menuju vena porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian leher. Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju aferen simpatis melewati nervus splanchic memediasi nyeri kolik bilier.3



Gambar 1 Anatomi sistem empedu aspek anterior. a = right hepatic duct, b = left hepatic duct, c = common hepatic duct, d = portal vein, e = hepatic artery, f = gastroduodenal artery, g = left gastric artery, h = common bile duct, i = fundus of gallbladder, j = body of gallbladder, k = infundibulum, l = cystic duct, m = cystic artery, n = superior pancreatoduodenal artery



Saluran empedu ekstrahepatik terdiri atas ductus hepaticus dextra dan sinistra, ductus hepaticus communis, ductus cysticus, dan ductus choledocus. Saluran-saluran ini terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale dengan batas atasnya adalah porta hepatis dan batas bawahnya distal papila vateri. Curahan empedu yang disekresikan oleh hati diteruskan oleh canaliculi biliaris menuju



3



ductus interlobaris lalu ductus lobaris dan akhirnya mencapai ductus hepaticus di hilus. Panjang ductus hepaticus dextra dan sinistra bervariasi antara 1-4 cm, kedua ductus ini bersatu menjadi ductus hepaticus communis. Ductus cysticus memanjang dari hati ke arah kandung empedu. Permukaan dalam ductus cysticus tersusun lipatan mukosa yang disebut valve of heister, berfungsi untuk mengatur pasase empedu ke dalam dan keluar kandung empedu. Panjang ductus cysticus cukup bervariasi, bisa jadi berukuran pendek atau absen, atau panjang dan berjalan paralel, dibelakang atau spiral terhadap ductus hepaticus communis yang akhirnya bersatu membentuk ductus choledochus. Ductus choledocus memanjang menuju duodenum, menembus pankreas, bergabung dengan ductus pancreaticus wirsungi dan kemudian bermuara di papilla vatteri di duodenu. Distal papilla vatteri terdapat sfingter oddi yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum.3 4



Gambar 2. Sphincter oddi di papilla vatteri



4



II.3 Fisiologi Sel hepatosit menghasilkan empedu sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam keadaan puasa, empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Fungsi kandung empedu adalah untuk memekatkan empedu dengan cara absorpsi air dan natrium, pemekatan yang terjadi sekitar 50%.4 Empedu memiliki dua fungsi penting yaitu: 1. Membantu pencernaan dan absorpsi lemak. Asam empedu membantu emulsifikasi partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase dari pankreas. Selain itu asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang telah dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal. 2. Empedu bekerja sebagai alat untuk membuang produk akhir/buangan seperti bilirubin, kelebih kolesterol yang dibentuk oleh hati, untuk dieliminasi di feses.5 Garam empedu, lesitin, dan kolesterol adalah komponen utama penyusun cairan empedu (90%), dan sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam organik. Garam empedu adalah steroid turunan kolesterol yang dibuat oleh hepatosit.1 Garam empedu berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan partikel lemak dalam makanan agar dapat dipecah menjadi partikel-partikel yang lebih kecil selain itu juga membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol, dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E, dan K). Garam empedu di dalam lumen usus akan diubah menjadi deoxycholat dan lithocolat oleh kuman usus. Garam empedu akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus di bagian distal dari ilium (90%) sedangkan sisanya akan dieksresikan bersama feses dalam bentuk lithocholat.6



5



Gambar 3. Fisiologi Kandung dan Saluran Empedu



Kandung empedu mengalirkan empedu dengan cara kontraksi parsial. Ketika makanan berlemak masuk ke dalam duodenum, zat lemak dalam makanan akan merangsang mukosa duodenum untuk melepaskan hormon cholecystokinin yang menyebabkan kontraksi kandung empedu dan pada saat yang sama sphincter oddi akan relaksasi sehingga memungkinkan empedu yang kental untuk masuk ke duodenum. Selain dirangsang oleh cholecystokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh stimulasi vagal.7 II.4 Epidemiologi Kolelitiasis merupakan salah satu gangguan saluran pencernaan yang paling umum dijumpai. Sekitar 10-20% populasi orang dewasa di Amerika Serikat memiliki batu empedu. Kejadian pada wanita lebih banyak dibanding pria dengan perbandingan 2-3 wanita berbanding 1 pria. Puncak kejadian penyakit ini terjadi pada orang dengan usia lebih dari 40 tahun.2 Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”5 F’s” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair (orang kulit putih), dan forty (empat puluh tahun). Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.14



6



II.5 Patogenesis Kolelitiasis Kolelitiasis disebabkan oleh presipitasi zat-zat yang terkandung dalam empedu, utamanya kolesterol dan bilirubin. Ada tiga faktor predisposisi pembentukan batu empedu yaitu, abnormalitas komposisi empedu, stasis empedu dan inflamasi kandung empedu. Estrogen meningkatkan kolesterol dan saturasinya di dalam empedu, selain itu juga menurunkan motilitas kandung empedu. Motilitas yang menurun mengakibatkan penurunan pengosongan kandung empedu yang mempermudah terjadinya stasis, meningkatkan pembentukan sludge, dan litogenisitas. Studi terbaru menunjukan bahwa kolonisasi kandung empedu oleh Propionibacterium acnes mungkin berperan sebagai faktor predisposisi pending dalam pembentukan batu empedu. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan batu empedu dirangkum dalam gambar 3.8 9



Gambar 3. Patofisiologi kolelitiasis8



II.6 Klasifikasi Batu Empedu Batu empedu dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan komposisi kimia dan gambaran makroskopiknya, ketiga kategori tersebut adalah10: 1. Batu kolesterol Kolesterol dalam keadaan normal tidak mengalami presipitasi di empedu karena memiliki garam empedu terkonjugasi dan phosphatidylcoline yang cukup. Apabila rasio konsentrasi [Ch]/[Bs + Pch] meningkat maka



7



kolesterol akan berada dalam kondisi “supersaturated” micellar solution. Kondisi ini menyebabkan kolesterol terpresipitasi dalam lingkungan aqueous dalam bentuk kristal kolesterol. Kristal-kristal ini adalah prekursor dari batu empedu.10



Gambar 4. Pembentukan Batu Empedu



Rasio konsentrasi [Ch]/[Bs + Pch] dapat meningkat apabila terjadi peningkatan sekresi kolesterol, penurunan sekresi garam empedu, dan penurunan sekresi phosphatidylcholine. Peningkatan sekresi kolesterol dapat disebabkan oleh peningkatan sintesis kolesterol atau inhibisi esterifikasi kolesterol, seperti pada ibu hamil selama kehamilan. Penurunan sekresi garam empedu dapat terjadi karena berkurangnya garam empedu seperti pada crohn’s disease, reseksi usus, puasa, dan diet parenteral.



8



Penurunan sekresi phosphatidylcholine disebabkan oleh diet tidak seimbang seperti hanya diet sayur-sayuran.10 2. Batu pigmen Batu pigmen tersusun atas calcium bilirubinate, yang memberikan warna hitam atau coklat. Batu pigmen hitam mengandung tambahan calcium carbonate dan phosphate, sementara batu pigmen coklat juga mengandung stearate, palmitate, dan kolesterol. Penyebab utama pembentukan batu pigmen adalah meningkatnya bilirubin tidak terkonjugasi. Pada batu pigmen hitam, peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi dapat disebabkan peningkatan pembebasan hemoglobin, berkurangnya kapasitas konjugasi di hati, dan dekonjugasi non-enzimatik, sementara pada batu pogmen coklat penyebab utama adalah dekonjugasi enzimatik (ß-glucosidase) oleh bakteri. Bakteri juga menyebabkan dekonjugasi enzimatik garam empedu dan membebaskan palmitate dan stearate.10



Gambar 5. Pembentukan Batu Pigmen



II.7 Penegakan Diagnosis II.7.1 Gejala Klinis Berdasarkan gejala klinisnya, pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu sebagai berikut: 1. Asimtomatik



9



Pasien dengan batu empedu sering kali tidak menunjukan gejala (asimtomatik). Kebanyakan pasien batu empedu akan tetap dalam keadaan asimtomatik sepanjang hidupnya. Untuk alasan yang belum diketahui beberapa pasien dengan batu empedu asimtomatik berprogresi menjadi batu empedu simtomatik. Setiap tahunnya diperkirakan 3% pasien batu empedu asimtomatik menjadi simtomatik. Batu empedu asimtomatik biasanya didiagnosis secara tidak sengaja pada pemeriksaan ultrasonography, CT scan, radiografi abdomen atau saat laparotomi.13 2. Simtomatik Gejala batu empedu yang khas adalah kolik bilier, keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam, biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan prekordial. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba. Nyeri yang timbul perlahan-lahan dirasakan terus meningkat selama 30 menit pertama, dapat bertahan 1-5 jam. Nyeri yang datang secara tiba-tiba, biasanya pasca makan makanan berlemak dan disertai dengan mual dan terkadang muntah. Apabila nyeri bertahan >24 jam maka harus dicurigai adanya sumbatan batu di ductus cystikus atau kolesistitis akut. Gejala kolik ini terjadi jika terdapat batu yang menyumbat duktus sistikus atau duktus biliaris komunis untuk sementara waktu sehingga tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan kontraksi peristaltik di tempat penyumbatan mengakibatkan nyeri viscera di daerah epigastrium, mungkin dengan penjalaran ke punggung yang disertai muntah.13



3. Komplikasi Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering menyebabkan kedaruratan abdomen. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut



10



kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke punggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda klasik murphy, yaitu pasien akan berhenti bernafas sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat.11 II.7.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas dengan pucntum maximum di sekitar lokasi anatomis dari kandung empedu. Tanda Murphy dikatakan postitif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.13 II.7.3 Pemeriksan penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Pada umumnya batu empedu yang asimtomatik tidak menunjukan kelainan pada hasil pemeriksaan laboratorium. Ketika peradangan akut hasil lab menunjukan leukositosis. Pada kondisi sindrom mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, sementara kenaikan kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh adanya batu di dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan kadar amilase serum umumnya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. 2. Pencitraan Foto polos abdomen biasanya tidak dapat memperlihatkan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Kandung empedu yang membesar atau hidrops pada fase peradangan akut terlihat sebagai massa



11



jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.12 Pemeriksaan



ultrasonography



mempunyai



derajat



spesifisitas



dan



sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatic maupun ekstra hepatic. USG dapat memperlihatkan dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau edema yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Koledokolitiasis distal sulit untuk dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Sonographic murphyś sign adalah nyeri saat probe USG ditekan pada daerah kandung empedu.12 Pada beberapa penderita, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif lebih murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Namun, cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.12 Metode HIDA (hepatobiliary iminodiacetic acid) adalah metode untuk menentukan adanya obstruksi di duktus sistikus yang misalnya disebabkan oleh batu. Selain itu, HIDA juga berguna untuk membedakan batu empedu dengan beberapa nyeri abdomen akut. Normalnya HIDA akan diabsorpsi di hati untuk kemudian disekresikan ke kantong empedu dan dapat dideteksi dengan kamera gamma. Kegagalan dalam mengisi kantong empedu menandakan adanya batu, HIDA yang gagal mengisi kantong empedu terisi ke dalam duodenum.12 Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC) dan Endoscopic Retrograde



Cholangiopancreatography



(ERCP)



adalah



metode



kolangiografi direk untuk menentukan ada tidaknya obstruksi bilier dan penyebab obstruksinya, seperti koledokolitiasis. ERCP tidak hanya berfungsi untuk menegakan diagnosis namun juga dapat digunakan untuk terapi dengan melakukan sfingterotomi ampula vateri diikuti ekstraksi batu.



12



Tes ini bersifat invasif berisiko untuk meningkatkan insidens kolangitis dalam saluran empedu yang tersumbat sebagian.12 Endoscopic



Ultrasonography



(EUS)



adalah



metode



pemeriksaan



menggunakan instrumen gastroskop dengan echoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar. Dibandingkan ultrasound transabdominal, hasil gambaran pencitraan dari EUS jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya diletakan di dekat organ yang diperiksa.13 Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) adalah modalitas pencitraan menggunakan gema magnet. Gambaran saluran empedu pada MRCP akan terlihat sebagai struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi bila dibandingkan dengan batu saluran empedu. MRCP mampu mencitrakan saluran empedu tanpa risiko yang berhubungan dengan instrumentasi, zat kontras, dan radiasi.13



II.8 Tatalaksana Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimtomatik tidak dianjurkan karena sebagian besar pasien dengan batu asimtomatik tidak akan mengalami keluhan dan apabila nantinya muncul keluhan umumnya bersifat ringan sehingga penanganan dapat elektif.13 Kolesistektomi merupakan terapi gold standar untuk kolelitiasis, yang dapat dilakukan dengan metode bedah laparoskopik dan terbuka, namun dalam 96% kasus, prosedur dapat dilaksanakan secara laparoskopik. Teknik kolesistektomi laparoskopik telah menggantikan operasi kolesistektomi terbuka pada sebagian besar kasus batu kandung empedu simtomatik. Kolesistektomi terbuka masih diperlukan apabila kolesistektomi laparoskopik gagal atau tidak memungkinkan. Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal menggunakan endokamera dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh langsung kandung empedunya, dilakukan dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum. Kelebihan teknik operasi ini



13



adalah luka operasi yang kecil, sehingga nyeri pasca bedah minimal, dan dari segi kosmetik lebih baik.13 ERCP terapetik adalah dengan melakukan sfingteroktomi endoskopik untuk mengeluarkan batu saluran empedu menggunakan basket kawat atau balon-balon ekstraksi melalui muara pappila vatteri yang sudah besar menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja atau dikeluarkan dari mulut bersama skopnya.13 Batu saluran empedu sulit adalah batu empedu yang berukuran besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di atas saluran empedu yang sempit. Untuk mengeluarkan batu empedu sulit diperlukan prosedur tambahan sesudah sfingterotomi. Prosedur tambahan berupa pemecahan batu dengan litotripsi mekanik,



litotripsi



laser,



electro-hydraulic



shock



wave



lithotripsy



dan



extracorporeal shock wave lithotripsy. Apabila usaha pemecahan batu gagal maka dapat dilakukan pemasangan stent bilier perendoskopik di sepanjang batu yang terjepit dengan tujuan drainase empedu.13



II.8.1 Open Kolesistektomi Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 % 15. Terdapat 2 incisi yang sering digunakan yaitu vertical pada midline dan subcostal oblique. Incisi linea mediana digunakan jika terdapat keadaan patologi seperti hernia hiatus atau ulkus duodenal yang memerlukan pertimbangan pembedahan. Incisi subcostal digunakan karena dipercaya memberikan area



14



pandang yang baik, luka postoperatif yang lebih nyaman dan insidensi hernia postoperatif lebih jarang daripada incisi vertikal pada linea mediana. Setelah dilakukan incisi, detail prosedur tindakan tetap serupa 15. Sarung tangan steril yang telah dilembabkan dengan larutan garam fisiologis yang telah dihangatkan digunakan untuk eksplorasi cavum abdomen untuk mendeteksi adanya infeksi supuratif akut yang melibatkan kandung empedu. Perut dan terutama duodenum dilakukan inspeksi dan palpasi dan kemudian ekplorasi abdomen secara menyeluruh termasuk evaluasi hiatus esophagus. Kemudian ahli bedah akan memasukkan tangannya melintasi kubah liver sehingga membiarkan udara diantara diafragma dan liver untuk mendorong liver kearah bawah. Ketika bantuan sangat terbatas, retraktor halsted digunakan pada sisi kanan untuk menarik kearah tepi costa. Klem digunakan untuk memegang ligamentum falsiform dan 1 klem lagi untuk memegang fundus kandung empedu. Sebagian besar ahli bedah lebih suka membelah ligamentum falsiform kemudian kedua ujungnya diligasi jika tidak maka akan terjadi perdarahan aktif dari arteri. Traksi ke bawah dipertahankan dengan klem pada fundus kandung empedu 15.



15



Gambar 6. Visualisasi kandung empedu 16



Setelah liver ditarik ke bawah sejauh mungkin, klem ditarik kearah tepi costa untuk memvisualisasi permukaan bawah liver dan kandung empedu. Asisten akan memegang klem ini sementara ahli bedah mempersiapkan area visualisasi. Jika kandung empedu mengalami inflamasi akut dan distensi sebaiknya dilakukan aspirasi isinya terlebih dulu dengan trokar sebelum memasang klem pada fundus. Jika tidak batu kecil akan terdorong ke cyst dan duktus komunis. Adhesi antara permukaan bawah kandung empedu dengan jaringan sekitarnya seringkali ditemukan.



Lapang pandang yang baik dipertahankan oleh asisten. Adhesi



dipisahkan dengan gunting lengkung sampai tervisualisasi jaringan avascular dari sekitar dinding kandung empedu. Setelah incisi awal dibuat, sangat mungkin menyingkirkan adhesi berikutnya dengan kassa spons yang dipegang dengan forsep16. Setelah kandung empedu dibebaskan dari adhesi maka kandung empedu dapat diangkat ke atas untuk memberikan lapang pandang yang lebih baik. Untuk melakukan hal tersebut, jaringan sekitarnya dapat disingkirkan dengan kassa lembab, ahli bedah memasukkan tangan kiri ke luka iris mendorong kassa kebawah untuk mengarahkan kassa tersebut. Lambung dan colon transversum ditutup dengan kassa ke arah foramen winslow (Gambar 6). Kassa dipegang dengan retraktor S sepanjang bagian tepi bawah medan operasi atau dengan tangan kiri asisten 1, dimana, dengan jari secara perlahan menahan kearah bawah 16. Setelah area operasi telah tampak cukup, ahli bedah memasukkan jari telunjuk tangan kiri ke foramen winslow dan dengan ibu jari secara perlahan melakukan palpasi pada area untuk membuktikan adanya batu pada duktus komunis dan penebalan pada kaput pankreas. Sebuah klem digunakan untuk mencengkram permukaan bawah kandung empedu supaya tervisualisasi oleh operator. Pemasangan klem pertama kali pada area ampula pada kandung empedu adalah penyebab utama cedera pada duktus komunis. Hal ini terjadi terutama kandung empedu bengkak akut karena ampula kandung empedu berjalan paralel terhadap duktus komunis. Jika pemasangan klem dilakukan secara sembarangan dimana



16



bagian leher dari kandung empedu melewati ductus sistikus, maka sebagian atau seluruh ductus komunis akan ikut tercengkram16. Karena alasan tersebut selalu disarankan untuk memasang klem dengan baik ke arah atas pada permukaan bawah kandung empedu sebelum usaha apapun untuk visualisasi area ampula kandung empedu. Proses enukleasi kandung empedu dimulai saat memisahkan peritoneum pada aspek inferior dari kandung empedu dan melebarkannya kearah bawah ampula. Peritoneum biasanya dipisahkan dengan elektrokauter atau gunting metzenbaum. Incisi harus dilakukan dengan hati- hati sepanjang ligamentum hepatoduodenal. Sehingga diseksi tumpul pada ampula dibebaskan ke bawah area duktus sistikus. Setelah ampula kandung empedu terlihat jelas klem yang telah terpasang pada permukaan bawah kandung empedu diarahkan ke lebih rendah ke area ampula16. Dengan traksi dipertahankan pada ampula, ductus sistikus tervisualisasi dengan diseksi tumpul. Klem berukuran panjang dilewatkan di belakang ductus sistikus. Bilah dari klem tersebut dilebarkan secara hati- hati. Secara perlahan ductus sistikus dipisahkan dari ductus komunis. Arteri sistikus diisolasi dengan klem panjang. Pada keadaan tersebut cedera pada duktus komunis atau cabangnya dapat terjadi ketika klem dipasang. Kejadian yang tidak diinginkan dapat terjadi ketika eksposure tampak terlalu mudah pada pasien yang kurus16. Setelah duktus sistikus terisolasi, kemudian dipalpasi ada tidaknya batu yang terdorong ke duktus komunis karena pemasangan klem. Ukuran duktus sistikus diamati sebelum diregangkan. Jika duktus sistikus dilatasi dan dari palpasi teraba batu kecil- kecil sehingga mereka dapat lewat dengan mudah disarankan dilakukan koledokoostomi. Sebelumnya kolangiogram dilakukan rutin melalui ductus sistikus setelah dipisahkan16.



17



Gambar 7. Visualisasi Kandung Empedu melalui retrogard 16



Ketika memungkinkan kecuali terjadi inflamasi berat duktus sistikus dan arteri sistikus diisolasi secara terpisah dengan ligasi. Setelah dilakukan kolangogram, duktus sistikus diligasi dengan benang transfixing. Secara umum area antar ikatan diperkirakan sesuai dengan diameter duktus atau pembuluh darah16. Kelainan letak suplai pembuluh darah pada area ini sangat sering terjadi sehingga setiap melakukan tindakan perlu dipertimbangkan ditiap kasus. Ligasi ductus sistikus dapat dilakukan setelah ligasi arteri sistikus. Jika klem arteri sistikus lepas sehingga menyebabkan perdarahan hebat, arteri hepatic dapat ditekan pada ligamentum gastrohepatik menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kanan (pringle manuver)16.



18



Setelah duktus sistikus dan arteri diligasi, pengambilan kandung empedu dimulai. Inciseipada permukaan inferior kandung kencing 1 cm dari tepi liver diperluas memutari fundus. Kemudian kandung empedu diambil secara tajam16.



II.8.2 Laparoskopi Kolesistektomi Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga15. Laparoskopi kolesistektomi adalah laparoskopi yang paling umum dilakukan di dunia. Penatalaksanaan awal dari kolesistitis akut termasuk bowel rest, hidrasi intravena, koreksi kelainan elektrolit, analgesia, dan antibiotik intravena. Setelah diberikan tatalaksana ini, pasien dengan penyakit tanpa komplikasi direncanakan untuk rawat jalan dan dilakukan laparoskopi kolesistektomi setelah periode 6-8 minggu. Pada kasus kolesistitis akut laparoskopi kolesistektomi dihindari karena kekhawatiran tentang adanya potensi timbulnya bahaya komplikasi, terutama common bile duct injury dan tingkat konversi yang tinggi pada kolesistektomi. Laparoskopi kolesistektomi awalnya dilakukan untuk kolesistitis kronis tetapi dengan munculnya instrumentasi modern dan perkembangan dalam teknik bedah dan tingkat pengalaman yang tinggi, ahli bedah memilih melakukan prosedur ini dalam kasus kolesistitis akut15. Posisi pasien operasi laparoskopik kolesistektomi adalah pasien tidur terlentang dalam posisi anti trendelenburg, miring kekiri 30° kearah operator, operator berada disebelah kiri pasien, asisten dan instrumen sebelah kanan pasien.1



19



Posisi pasien saat operasi laparoskopik kolesistektomi dapat dilihat pada gambar di bawah



Gambar 8. Posisi pasien saat operasi laparoskopik kolesistektomi1



Instrumen minor dan instrumen khusus yang digunakan saat operasi laparoskopik kolesistektomi adalah sebagai berikut17: a.



Instrumen minor 1) Desinfektan klem 2) Kom kecil 3) Neerbeken (bengkok) 4) Kocher 5) Forceps mosquito (Klem bengkok) 6) Towl forceps (doek klem)



20



7) Needle holder 8) Scalpel 9) Bisturi no.11



b.



Instrumen khusus laparoskopik 1) Monopolar grasping forceps 2) Babcock 3) Endo scissor (gunting jaringan) 4) Clickline hook scissor (gunting benang) 5) Slooder hemolock atau endoclip (Titanium) 6) Hemolock (endoclop plastik) 7) Lensa 0° 8) Troicard no. 10 mm 9) Troicard no. 5 mm 10) Clickline hook 11) Clickline spatel 12) Parrot jaw neddle 13) Disposible spuit 20 cc



Adapun langkah-langkah operasi laparoskopi kolesistektomi adalah sebagai berikut17: 1. Persiapan alat a. Instrumen minor b. Instrumen laparoscopy c. Monitor laparoscopy: 1) LCD Monitor 2) Light Source 3) Kamera 4) Mesin dan Tabung CO2 5) Tabung suction d. ESU



21



e. Kabel-kabel : 1) Kabel light source 2) Kabel monopolar 3) Selang gas CO2 4) Selang suction 5) Selang irigasi f. Kantong plastik untuk: 1) kamera 2) jaringan 2. Sign in 3. Time out 4. Cek ketajaman pada layar monitor denngan melakukan white balance pada kamera 5. Cek respon anastesi dengan menggunakan pinset chirugis 6. Insisi di daerah umbilikal dengan menggunakan bisturi no.11 7. Dilatasi lemak hingga fasia dengan menggunakan pean 8. Gunakan langenback untuk membantu operator dalam mengeksplorasi fasia 9. Gunakan dua kocher lurus untuk menjepit dan memegang fasia pada dua sisi lalu insisi dengan bisturi no. 11 10. Gunakan forceps mosquito untuk melubangi peritonium lalu berikan troicard no.10 untuk membuat jalan ke rongga abdomen 11. Lalu hidupkan CO2 dan masukkan ke rongga abdomen dengan kekuatan 12 bar 12. berikan kamera dan light source untuk mengecek, melihat isi rongga abdomen dan membantu dalam membuat lubang pada regio perut atas kanan (epigastrium) dan lumbal kiri 13. lalu dengan bantuan monitor berikan bisturi no. 11 pada operator untuk membuat insisi di epigastrium dan lumbal kiri lalu berikan troicard yang no. 5 mm untuk membuat lubang. 14. Bila terlihat kntong empedu yang terlalu pucat, maka dilakukan pungsi dengan parrot jaw neddle dan spuit 20 cc



22



15. Asisten bertugas mengarahkan kamera dan instrumen memberikan merilen (grasping forceps) serta babcock pada operator untuk mengeskplorasi kantung empedu terhadap ductus chole dan pembuluh darah. Merilen di troicard yang di epigastrium dan babcock di troicard yang ilumbal 16. Sambungkan ESU pada grasping forceps dan bebaskan kantung empedu dengan menggunakan electro couter 17. setelah ductus coleductus terlihat berikan hemoloc atau endoclips untuk mengeklem sisi atas dan bawah 18. Berikan (endo scissor) gunting jaringan untuk memisahkannya 19. setelah pembuluh darah terlihat berikan hemoloc atau endoclip untuk menjepitnya dan dipisahkan dengan gunting jaringan 20. setelah keduanya terpisah berikan hoock desection untuk melepaskan kantung empedu dari lengketan dengan jaringan sekitar termasuk hepar 21. Setelah kantung empedu terlepas lakukan irigasi dengan suction untuk mengambil sisa perdarahan 22. lalu tarik kamera dan masukkan plastik menggunakan merilene untuk mengangkat jaringan melalui troicard no. 10 mm 23. masukkan lagi kamera dan raih palstik dan masukkan kantong empedu dengan bantuan merilen dan babcock 24. lalu matikan gas CO2 dan buka penutup troicard untuk membuang sisa gas CO2 dari rongga abdomen 25. tarik plastik keluar dan letakkan di bengkok 26. gunakan langenback untuk membantu operator meraih peritonium dan gunakan kocher lurus untuk menjepit fascia 27. lakukan sign out 28. lalu jahit dengan PGA 2/0 jarum tapper (polisorb) dibagian umbilikal 29. lanjutkan menjahit lemak-kulit dengan menggunakan monofilamen 4/0 (biosyn) 30. pada epigastrium dan lumbal kiri cukup jahit dengan monofilamen 4/0 31. bersihkan area operasi dengan kassa betadine lalu bersihkan dengan kassa kering pada daerah sekitar insisi 32. Tutup luka insisi dengan transparan dressing (semilas)



23



33. Bersihkan instrumen laparascopy dan lakukan dekontaminasi



Gambar perbedaan operasi laparoskopik kolesistektomi dengan open kolesistektomi adalah sebagai berikut.



Gambar 9. Perbedaan operasi laparoskopik kolesistektomi dengan open kolesistektomi18



24



Gambar saat dilakukan intra-operasi laparoskopik kolesistektomi adalah sebagai berikut.



II.9 Komplikasi Duodenum dirangsang oleh adanya makanan menghasilkan kolesistokinin yang menyebabkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menyumbat duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata. Bila penyumbatan batu di duktus sistikus menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema.1 Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di



25



duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankreatitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesistoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.1



II.10 Prognosis Prognosis dari kolelitiasis adalah tergantung pada keberadaan dan tingkat keparahan komplikasi. Diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil.



26



BAB III PENUTUP



III.1 Kesimpulan Kolelitiasis atau batu empedu adalah suatu konkresi abnormal yang membentuk material seperti batu yang dapat ditemukan pada kandung empedu (kolesistolitiasis),



saluran



empedu



(koledokolitiasis),



ataupun



keduanya.



Kolelitiasis merupakan salah satu gangguan saluran pencernaan yang paling umum dijumpai. Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”5 F’s” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair (orang kulit putih), dan forty (empat puluh tahun). Kolelitiasis disebabkan oleh presipitasi zat-zat yang terkandung dalam empedu, utamanya kolesterol dan bilirubin. Ada tiga faktor predisposisi pembentukan batu empedu yaitu, abnormalitas komposisi empedu, stasis empedu dan inflamasi kandung empedu. Batu empedu dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan komposisi kimia dan gambaran makroskopiknya, ketiga kategori tersebut adalah Penegakan diagnosis batu empedu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. USG merupakan pemeriksaan standard yang sangat baik untuk menegakan batu empedu. Kolesistektomi merupakan terapi gold standar untuk kolelitiasis, yang dapat dilakukan dengan metode bedah laparoskopik dan terbuka, namun dalam 96% kasus, prosedur dapat dilaksanakan secara laparoskopik.



27



DAFTAR PUSTAKA



1. Sjamsuhidajat R, Prasetyono TO, Rudiman R, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Vol 1-3. Edisi 4. Jakarta: EGC. 2017 2. Afdhal NH. Epidemiology of and risk factors for gallstones. In: Post TW, ed.



UpToDate.



Waltham,



MA:



UpToDate.



https://www.uptodate.com/contents/epidemiology-of-and-risk-factors-forgallstones. Last updated November 28, 2016. Accessed March 1, 2017. 3. Pham, TH & Hunter, JG. 2015.Gallstones Diseases. Gallbladder and the Extrahepatic Biliary System. In : Brunicardi, F.C., editor. Schwart’s Principles of Surgery. 10 th.Ed. New York: McGraw-Hill.p.1309-1340 4. Doherty, GM. 2010. Biliary Tract. In : Doherty, G.M., editor. Current Diagnosis & Treatment Surgery. 13 th. Ed. New York: McGraw-Hill.p. 54455 5. Hall, JE. 2016. Guyton and Hall textbook of medical physiology (13th edition.). Philadelphia, PA: Elsevier 6. Townsend, C.M., Beauchamp, R.D., Evers. B,M., Mattox, K.L. 2004. Biliary Tract. In: Townsend, C.M., editor. Sabiston Textbook of Surgery.17th. Ed. New York: Elsevier. P.300-3010. 7. Tjandra, JJ & Gordon, AJ. 2006. Cholelitiasis. In: Gordon, A.J., editor. Textbook Of Surgery. 3 th. Ed. New Delhi:Blackwell.p.206-230. 8. Ciorba, MA. 2019. Gastrointestinal Disease, In: Hammer, GD & McPhee, SJ., editor. Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine 8th Edition. New York: McGraw-Hill 9. Porth, CM & Matfin, G. 2009. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States 8th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 10. Silbernagl, S & Lang, F. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme



28



11. Garden, OJ. 2017. Gallstone.In: Garden, J & Parks, RW. editor. Principles and Practice of Surgery. Edinburgh: Elseiver.p. 23-28. 12. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 477-8 13. Lesmana, L A. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 477-8 14. Reeves CJ. Penyakit Kandung Empedu. Dalam : Keperawatan Medika Bedah. Edisi I.Jakarta : Salemba Medika, 2001: 149-51. 15. Fried GM, Feldman LS, Klassen DR, Cholecystectomy and common bile duct exploration. In Wiley SW, Mitchel FP, Gregory JJ, Larry KR,Wiliam PH, Jhon, Nathaniel SJ, editors ACS surgery : 6th Edition 2007: 21. 16. Zollinger, Robert M., Zollinger’s Atlas of Surgical Operations 9th edition, international edition: McGraw Hill. United State Of America. 2011. 17. Bland K. I, Beenken S.W, and Copeland E.E (from e-book). 2007. Gall Blader and ExtrahepaticBilliary System. In: Brunicardi F.C., Andersen D.K., Billiar T.R., Dunn D.L., Hunter J.L., Pollock R.E, ed. Schwartz’s Manual Surgery. Eight edition. United States of America: McGraw-Hill Books Company. 18. Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and Pysiology. A guide to Gastrointestinal Motility Disorder, Springer; 2016:1-13.



29