LAPORAN Akhir (PRESENTASI) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN AKHIR



KAJIAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM UPAYA PENANGGULANGAN BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KONAWEHA



Tim Peneliti : Ketua Tim: Dr.Rudy Iskandar Ichlas, S.H.,M.H.,M.Kn. Anggota Tim: Dirawati, S.H.,M.H. Irwansyah, S.H.,L.L.M.



BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA KENDARI 2021 i



LAPORAN AKHIR KAJIAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM UPAYA PENANGGULANGAN BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI KONAWEHA



Tim Peneliti : Ketua Tim: Dr.Rudy Iskandar Ichlas, S.H.,M.H.,M.Kn. Anggota Tim: Dirawati, S.H.,M.H. Irwansyah, S.H.,L.L.M.



ii



HAK CIPTA



Dengan ini saya menyatakan bahwa dokumen kelitbangan ini menjadi Hak Cipta atau hak khusus bagi Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara, sebagai penerima hak atas hasil karya tulis ilmiah kelitbangan yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mempublikasikan atau memperbanyak maupun memberi izin dengan tidak mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Kendari,



2021



Dr. Rudy Iskandar Ichlas, S.H.,M.H.,M.Kn. Ketua Tim Peneliti



iii



ABSTRAK Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yakni: 1. Bagaimana penerapan Perda No.1/2015 dalam pengelolaan DAS Konaweha ?; 2. Bagaimana problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha? ; 3. Bagaimana solusi hukum atas problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha?. Sedangkan tujuan penelitian ini: 1. Mendiskripsikan penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 dalam pengelolaan DAS Konaweha. ; 2. Mengidentifikasi dan menguraikan problematika hukum upaya penanggulangan banjir terkait DAS Konaweha. ;3. Untuk mengetahui kemudian merumuskan solusi hukum atas problematika hukum upaya penanggulangan banjir terkait DAS Konaweha. Adapun metode penelitianya terdiri dari: Lokasi dan Waktu Pelaksanaan; Paradigma ; Jenis Penelitian; Pendekatan ; Sumber Data; Teknik Pengumpulan Data ; Teknik Analisis Data ; Teknik Validasi Data. Kesimpulan penelitian ini : 1. Penerapan Perda No.1/2015 tentang Pengelolaan DAS hingga saat ini mengalami kendala teknis karena perencanaan sesuai Pasal 6 ayat (1) Perda No.1/2015 huruf b tidak dapat terapkan. Pengelolaan DAS membutuhkan instrument hukum yakni Peraturan Gubernur sebagai dasar mengimplementasikan Perencanaan, Pelaksanaan, Monitoring dan Evaluasi serta Pembinaan dan Pengawasan. Tanpa Peraturan Gubernur dimaksud maka sulit bagi instansi pelaksana untuk menerapkan pengelolaan DAS yang bersifat teknis.; 2. Problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha meliputi masalah yuridis dan non yuridis. Secara yuridis Perda No.1/2015 memerlukan pernyesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Problem yuridis lainnya yaitu dibutuhkannya Peraturan Gubernur sebagaimana perintah Perda No.1/2015 yang meliputi Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3). Secara non yuridis yaitu adanya pemukiman warga di garis sempadan sungai. Pemukiman warga terkait erat dengan penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang merupakan wewenang pemerintah Kabupaten/Kota.; 3. Solusi hukum atas problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha dilakukan melalui revisi terhadap Perda No.1/2015 karena sejumlah payung hukumnya mengalami perubahan akibat dinamika perundang-undangan di pusat. Selanjutnya kendala teknis pengelolaan DAS memerlukan solusi hukum dengan segera diterbitkan Peraturan Gubernur sebagai rujukan instansi pelaksana. Selain itu perlunya rekonstruksi hukum atas Perda No.1/2015 baik pada bagian konsiderans, dasar hukum serta batang tubuh yang terdiri dari Pasal 11 ayat (3), Pasal 42 ayat (3), Pasal 48, Pasal 56, serta Pasal 65. Kata kunci: Kajian, Produk Hukum, Upaya, Banjir, Sungai



iv



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN DALAM .................................................................................. ii HAK CIPTA .................................................................................................. iii ABSTRAK .................................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................. vii BAB I.



PENDAHULUAN ............................................................................ 1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.1. Rumusan Masalah.......................................................................... 4 1.2. Maksud dan Tujuan ....................................................................... 4 1.3. Maksud dan Tujuan ....................................................................... 4 1.4. Ruang Lingkup .............................................................................. 5



BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 5 2.1. Produk Hukum



6



a. Pembentukan Produk Hukum................................................... 6 2.1.1.1. Pembentukan Produk Hukum Bersifat Beschikking 6 2.1.1.2. Pembentukan Produk Hukum Bersifat Regeling. . . 6 b. Penerapan Hukum..................................................................... 7 i. Penerapan Hukum Beschikking......................................... 7 ii. Penerapan Hukum Regeling............................................... 8 c. Problematika Hukum................................................................ 8 i. Penerapan Hukum Beschikking......................................... 8 2.2.



Tinjauan Tentang Banjir............................ 8 2.2.1. Dampak Sosial Banjir............................................... 9 2.2.2. Penyelenggaraan Penanggulangan Banjir................ 9 2.2.3. Kebijakan HukumTentang Banjir............................. 10



2.3. Daerah Aliran Sungai



10



2.3.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai........................... 10 2.3.2. Problematika Daerah Aliran Sungai......................... 11 2.3.3. Hukum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.............. 11 2.4. Sungai Konaweha



12 v



LANDASAN TEORI........................................................................................ 12 2.1.



Teori Negara Hukum (Grand Theory) ..... 12



2.2.



Teori Politik Hukum (Middle Range Theory) 12



2.3. Teori Hukum Responsif Philippe Nunet dan Philip Zelznick (Applied Theory)



................................................................. 13



BAB IV. METODOLOGI............................................................................... 14 3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan ................................................... 14 3.2. Paradigma .................................................................................... 14 3.3. Jenis Penelitian ............................................................................ 14 3.4. Pendekatan .................................................................................. 15 3.5. Sumber Data ................................................................................ 15 3.6. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 15 3.7. Teknik Analisis Data .................................................................... 16 3.8. Teknik Validasi Data..................................................................... 16 IV. ANALISIS DATA.................................................................................. 18 4.1. Analisis Data Terhadap Nama dan Jumlah Kecamatan Masing-masing Kabupaten/Kota di DAS Konaweha ................... 18 4.2. Analisis Data Terhadap Luas DAS Berdasarkan Lahan Kritis...... 24 4.3. Analisis Data Terhadap Luas Lahan Berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi Di DAS Konaweha.................................................. 26 4.4. Analisis Peristiwa Banjir DAS Konaweha Berdasarkan Data Kejadian Bencana Kabupaten Kolaka Timur Tahun 2020............ 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 30 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 30 5.2. Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 Dalam Pengelolaan DAS Konaweha............ 36 5.2.1. Latar Belakang Pembentukan Perda No.1/2015....................... 37 5.2.2. Penerapan Perda No.1/2015 Dalam Pengelolaan DAS Konaweha.................................................................................. 39 a. Perencanaan....................................................................... 40



vi



b. Pelaksanaan........................................................................ 43 c. Monitoring dan Evaluasi.................................................... 45 d. Pembinaan dan Pengawasan.............................................. 48 5.3. Problematika Penanggulangan Banjir di DAS Konaweha................. 51 5.3.1. Masalah Penyesuaian dengan Peraturan yang Lebih Tinggi........................................................................................ 51 a. Penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja........................................ 51 b. Penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air............................. 54 5.3.2. Masalah Peraturan Pelaksanaan Dari Perda No.1/2015........... 55 5.3.3. Masalah Pendanaan................................................................... 57 5.3.4. Masalah Deforestrasi................................................................. 60 a. Deforestrasi akibat Perambahan......................................... 60 b. Deforestrasi Akibat Pertambangan.................................... 62 c. Deforestrasi Akibat Perkebunan Kelapa Sawit.................. 64 5.3.5. Pemanfaatan Bantaran Sungai Konaweha................................ 66 5.4. Solusi Hukum Atas Problematika Penanggulangan Banjir di DAS Konaweha)............................................................................ 68 5.4.1. Solusi



Hukum



Terkait Revisi



Perda No. 1 / 2015



sebagai Penyesuaian Pada Aturan Yang Lebih Tinggi.......... 69 a. Penyesuaian dengan Undang-Undang............................... 69 1. Penyesuaian Terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja............................ 69 2. Penyesuaian



Terhadap



Undang - Undang



Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air............................................................................... 70 b. Penyesuaian dengan Peraturan Pemerintah........................ 71 5.4.2. Solusi Atas Masalah Peraturan Pelaksanaan Perda No.1/2015.................................................................................. 81 5.4.3. Solusi Hukum Atas Masalah Pendanaan dan Deforestrasi...... 92



vii



5.4.4. Solusi Hukum Atas Masalah Pemukiman di Bantaran Sungai........................................................................................ 96 5.4.5. Solusi Hukum



Atas Masalah Kepastian Terbitnya



Peraturan Pelaksana Perda No.1/2015...................................... 98 5.4.6. Solusi Hukum



Yang Merupakan Penyesuaian Perda



No.1/2015 Menyangkut Istilah Dinas di Pasal 11 ayat (3) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Pasal 56 100 VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 103 6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 103 6.2. Saran................................................................................................... 104 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



viii



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak terlepas dari fungsi lahan yang ada di hulu, hilir serta di kiri dan kanan aliran sungai yang ada. Keberadaan lahannya harus memiliki fungsi strategis sehingga pengelolaanya diarahkan pada kelestarian atas fungsi lahan itu sendiri. Perubahan fungsi lahan tentu memiliki konsekuensi atas kelestarian DAS. Perubahan yang terjadi, salah satunya adalah perilaku manusia. Perilaku buruk terhadap pemanfaatan sumber daya alam di dalam DAS adalah ancaman. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai



dan Hutan Lindung



(BPDASHL) Sampara, Kota Kendari, yang menangani DAS Konaweha memiliki fungsi strategis. Secara administrasi DAS Konaweha meliputi tujuh daerah otonom yakni Kabupaten Konawe, Kolaka Timur, Kolaka, Konawe Selatan, Kolaka Utara, Konawe Utara dan Kota Kendari . Dengan cakupan yang begitu luas, DAS Konaweha berpotensi besar menjadi faktor penyebab banjir di tujuh daerah otonom tersebut diatas. Pengelolaan DAS Konaweha yang baik tentu akan meminimalisir potensi banjir. Pengelolaan tersebut harus selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Pada sisi lain fakta adanya ancaman banjir itu secara yuridis telah terdeteksi sejak 6 (enam) tahun lalu. Regulasi terkait pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara menunjukkan hal itu dengan terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015



tentang Pengelolaan



Daerah Aliran Sungai (Perda No.1/2015). Alasan pembentukan Perda No.1/2015 pada konsiderans huruf b dengan jelas dan tegas menyatakan “kerusakan



daerah



aliran



sungai



di



Sulawesi



Tenggara



makin



memprihatinkan sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir, tanah longsor, penurunan kualitas air, krisis air dan atau kekeringan, erosi dan sedimentasi yang telah berdampak pada perekonomian dan tata kehidupan masyarakat.”



1



Sejalan dengan hal tersebut diatas maka pemanfaatan lahan di daerah aliran sungai perlu dikelola dengan penuh kehati-hatian mengingat fungsinya sebagai konservasi air. Pada wilayah ini juga ditemukan ragam tumbuhan baik berupa pohon ataupun rumput liar. Dampak negatif pemanfaatan lahan dapat menjadi salah satu ancaman terhadap ekologi di daerah aliran sungai. Populasi penduduk yang terus meningkat tentu berdampak bagi kebutuhan lahan yang makin banyak luasannya. Sebagai akibat ikutannya yaitu daya dukung lahan juga mengalami penurunan sebagai dampak populasi dimaksud. Daya dukung lahan tersebut merupakan tingkat kemampuan bagi lahan dalam mendukung berbagai aktifitas masyarakat di lingkungannya. Data atas lahan DAS Konaweha dengan berbagai penggunaanya adalah potensi nyata bagi ancaman secara ekologis. Penelitian dari pihak Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo Kendari tahun 2014, (Marwah, S.,2014), telah menunjukkan fakta bahwa antara tahun 1991 hingga tahun 2010 tercatat ada delapan macam penggunnaan lahan pada DAS Konaweha Hulu sebagaimana ditampilkan tabel berikut ini:



Keberadaan lahan berupa Perkebunan, Kebun Campuran, Sawah serta pemukiman menunjukkan secara signifikan bahwa fakta adanya ancaman fungsi hutan sebagai resapan air di kawasan DAS. Pengelolaan DAS yang memiliki sisi kelemahan atas upaya mempertahankan luasan hutan tentu akan berakibat pada meningkatnya debit air di sungai akibat hutan sebagai resapan air yang mengalami degradasi. Ancaman ini sangat terbuka ketika investor perkebunan melakukan ekspansi lahan secara berlebihan.



2



Hasil observasi juga menunjukkan,



selain persoalan yang



mengemuka diatas, lahan kritis juga merupakan persoalan tersendiri. Upaya pengendalian terhadap lahan kritis sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah berupa penghijauan atau reboisasi namun keberadaan lahan kritis dalam lingkungan DAS tetap ada. Dijelaskan juga oleh pihak BPDASHL Sampara bahwa di wilayah DAS Konaweha banyak ditemui adanya lahan kritis. “Pernah dilakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) 2013 s/d 2018 oleh Dinas Kehutanan .DAS Konaweha banyak lahan kritis, yang masuk kategori kritis 32 ribu ha.Yang sangat kritis 93 ha, pihak kami hanya mampu merehabilitasi 450 ha.Selain keterbatasan sumber daya manusia juga masalah pendanaan.”(Wawancara Sigit, Staf Analisa BPDASHL Sampara, Rabu 13 Januari 2021) Tujuh daerah otonom yang secara administrasi menaungi DAS Konaweha tentu setidaknya memiliki tanggung jawab moral atas upaya penanggulangan banjir. Kondisi daerah aliran sungai yang diabaikan berdampak pada ancaman banjir sewaktu-waktu ketika air sungai Konaweha meluap. Bentuk upaya bersama terkait penaggulangan banjir sungai Konaweha tersebut seharusnya bukan lagi pada tataran wacana tetapi harus diwujudkan baik secara hukum ataupun non hukum. Dari sejumlah fakta atas ancaman secara ekologi di wilayah DAS Konaweha yang telah diungkap



diatas maka urgensi atas upaya



penanggulangan banjir menjadi manarik dari sisi kajian hukum. Berbagai permasalahan telah dikemukakan terkait pengelolaan DAS Konaweha dalam kaitannya dengan bahaya banjir. Masalah-masalah yang muncul itu mulai dari



populasi penduduk yang terus meningkat, pemanfaatan lahan DAS



Konaweha untuk berbagai keperluan , hutan yang terus terancam dengan degradasi, penanganan lahan kritis, rehabilitasi lahan hingga ancaman ekspansi lahan untuk perkebunan oleh investor. Sudah selayaknya dimulai adanya kajian yang memungkinkan pembentukan produk hukum yang menjadi landasan ideal bagi pengelolaan DAS Konaweha. Dalam upaya tersebut penelitian ini mengetengahkan judul ”Kajian Pembentukan



3



Produk Hukum Upaya Penanggulangan Banjir di Daerah Aliran Sungai Konaweha.” 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 dalam pengelolaan DAS Konaweha ? 2. Bagaimana problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha? 3. Bagaimana solusi hukum atas problematika penanggulangan banjir



di



DAS Konaweha? 1.3. Maksud dan Tujuan Maksud pelaksanaan penelitian tentang kajian pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis tentang kajian pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha sehingga melahirkan produk hukum yang selaras dengan fungsi ideal dari hukum. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendiskripsikan langkah penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 dalam pengelolaan DAS Konaweha. 2. Mengidentifikasi dan menguraikan lebih lanjut perihal problematika hukum upaya penanggulangan banjir terkait DAS Konaweha. 3. Untuk mengetahui kemudian merumuskan solusi hukum atas problematika hukum upaya penanggulangan banjir terkait DAS Konaweha. 1.4. Sasaran Sasaran dari kegiatan ini adalah terwujudnya hasil penelitian yang berfungsi sebagai bahan dasar pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha, dimana antara lain meliputi: 1. Mendiskripsikan hasil analisis kajian pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai konaweha.



4



2. Mengidentifikasi dan menguraikan lebih lanjut perihal problematika hukum upaya penanggulangan banjir terkait DAS Konaweha



3. Untuk mengetahui kemudian merumuskan pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha. 1.5. Ruang Lingkup Ruang



lingkup



kajian



pembentukan



produk



hukum



upaya



penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha meliputi substansi



sebagai berikut: -



Melaksanakan



pengumpulan



bahan



hukum



sehubungan



pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha. -



Mengidentifikasi



kendala-kendala



yang



dihadapi



dalamupaya



penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha. -



Melakukan kajian analisis atas pembentukan produk hukum dalam upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha



-



Melahirkan sebuah rekomendasi tentang pembentukan produk hukum dalam upaya penanggulangan banjir di daerah aliran sungai Konaweha



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA TELAAHAN PUSTAKA 2.1. Produk Hukum Secara etimologis produk hukum merupakan rangkaian kata yang terdiri dari “produk” dan “hukum”. Kata Produk menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung pengertian barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu(https://kbbi.web.id/produk , diunduh Minggu 17 Januari 2021). Sementara kata hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. (https://kbbi.web.id/hukum , diunduh Minggu 17 Januari 2021) Dari ke



dua pengertian tersebut maka pengertian dari produk hukum adalah peraturan atau adat yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintahyang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu. 2.1.1. Pembentukan Produk Hukum 2.1.1.1. Pembentukan Produk Hukum Bersifat Beschikking Beschikking atau keputusan tata usaha negara merupakan produk hukum bersifat memutuskan atau menetapkan. Konsekuensi dari sifatnya yang menetapkan tersebut maka beschikking bentuknya kongkret dan individual, Philipus M Hadjon, dkk. (2015). Meskipun bentuknya kongkret dan individual beschikking diterbitkan



dalam



kerangka



penyelenggraan



pemerintahan.



Berkenaan dengan hal tersebut maka produk hukum bersifat beschikking pembentukannya dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. 2.1.1.2. Pembentukan Produk Hukum Bersifat Regeling



6



Regeling sebagai produk hukum dari segi sifatnya tentu berbeda dengan beschikking.Regeling memiliki sifat mengatur sehingga konsekuensinya mengikat tidak secara individual tetapi berlaku umum.Akibat dari sifat keberlakuannya yang umum itu maka regeling memiliki bentuk yang abstrak sebagaimana peraturan perundang-undangan. Membentuk produk hukum yang memiliki sifat Regeling dimana menyangkut kepentingan umum tentu ada tujuannya yang jelas (beginsel van duideleijke doelstelling),Muhammad Ishom (2017) sebagaimana terlihat dalam peraturan perundang-undangan. Secara jelas tujuan ini terlihat pada dasar pertimbangan pembentukannya yang memiliki 3 landasan pokok yang terdiri dari: 2.1.2. Penerapan Hukum Keberhasilan berkontribusi



positif



dilakukan.Sementara



suatu



penegakan



hukum



tentu



atas



penerapan



hukum



yang



dalam



penegakan



hukum



itu



sendiri,



komponen sistim hukum juga tidak kalah pentingnya.Menurut Lawrence M. Friedman komponen sistem hukum terdiri atas kultur hukum, substansi hukum, dan struktur hukum. Kultur hukum adalah budaya hukum masyarakat, substansi hukum artinya materi hukum yangtermuat dalam perundang-undangan dan struktur hukum berarti lembaga pelaksana hukum (Freidman,2001:43). 2.1.2.1. Penerapan Produk Hukum Beschikking Yang



berhak



mengeluarkan



produk



hukum



beschikking telah ditentukan yaitu badan dan/atau pejabat pemerintahan sehingga badan hukum perdata atau pribadi meskipun bersifat konkret dan individual bukanlah beschikking. Sebagai bagian dari tata usaha Negara, beschikkingdikategorikan sebagai keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara



yang



melaksanakan



urusan



pemerintahan



7



berdasarkan peraturan perundang-undangan (Ps.1 angka 7,UU No.30/2014). 2.1.2.2. Penerapan Produk Hukum Regeling Sebagaimana dikemukakan Maria Farida Indrati S (2007).yang membedakan produk hukum regeling dengan beschikking yaitu sifatnya yang berlaku terus-menerus (dauerhaftig) , dan produk hukum beschikking bersifat sekali selesai (enmahlig). Produk hukum yang berlaku terus-menerus (dauerhaftig) artinya sejak ditetapkan maka produk hukum tersebut diberlakukan untuk seterusnya yang tidak terikat oleh waktu sampai dinyatakan dicabut atau diganti aturan baru.Sedangkan produk hukum bersifat sekali selesai (enmahlig) hanya berlaku sekali saja dan selesai sejak ditetapkan. 2.1.3. Problematika Hukum Dalam konsep negara hukum, penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum.Pada praktek hukum sering ditemukan adanya permasalahan sehingga sengketa yang terjadi tidak terhindarkan.Tidak mengherankan dalam negara yang memiliki paham yang demikian tidak lepas dari problematika hukum.Di dalam konteks negara yang berdasarkan atashukum, maka problematika atau permasalahan hukum yang muncul harus segera mendapatkan solusi,agar ada kepastian hukumnya.Problematika yang muncul tersebut dapat disebabkan oleh ketidakjelasan dalam pengaturan atau belum lengkapnya dalam pengaturan atau sebab yang lain dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (Saraswati, 2013: 97). 2.2. Tinjauan Tentang Banjir Secara etimologis, bencana banjir merupakan rangkaian kata yang meliputi kata”Bencana” dan “Banjir”. Pengertian bencana menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang



8



menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya. Demikian halnya pengertian banjir dalam KBBI adalah berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap (tentang kali dan sebagainya).Dari pengertian tersebut maka pengertian tentang bencana banjir adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan di suatu wilayah yang berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap.Pengertian secara etimologis ini tentu kurang memuaskan sehingga memerlukan pemahaman lebih lanjut tentang banjir. 2.2.1. Dampak Sosial Banjir Banjir yang berupa air yang melimpah bukan menjadi jaminan atas ketersediaan air bersih bagi warga yang terkena musibah.Air yang terbawa banjir bukanlah air yang memiliki kualitas yang memadai karena pada dasarnya air yang tidak terjamin kebersihanya apalagi dari segi kesehatan. Sejalan dengan kondisi tersebut maka peran rumah tangga menjadi penting untuk dikedepankan. Pengetahuan yang dimiliki rumah tangga tentang banjir akan mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi banjir. Oleh karena itu, rumah tangga seharusnya berpartisipasi dan memiliki pemahaman tentang kesiapsiagaan menghadapi banjir untuk mengurangi resiko, mengantisipasi bencana dan mengurangi dampak negatif yang kemungkinan bisa terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka. Partisipasi pada lingkup yang paling kecil adalah kesiapsiagaan diri dan keluarga masing- masing. Berdasarkan hal ini maka diperlukan sebuah kajian tentang kesiapsiagaan rumah tangga dalam mengantisipasi bencana banjir. (Murbawan, I., Ma'ruf, A., & Manan, A. , 2018: 60) 2.2.2.Penyelenggaraan Penanggulangan Banjir Banjir sebuah malapetaka yang selalu ingin dihindari setiap orang. Berbagai kerugian akan dirasakan ketika luapan air menggenangi suatu wilayah, utamanya area pemukiman.



9



Banjir yang membawa dampak merugikan sesungguhnya yang membuat orang ingin menghindarinya sehingga terpikir untuk berupaya menanggulanginya. Hal ini dipahami karena banjir tidak dapat dicegah, tetapi bisa dikontrol dan dikurangi dampak kerugian yang ditimbulkannya (Sebastian, L,2008:104). 2.2.3. Kebijakan HukumTentang Banjir Kebijakan hukum lahir melalui institusi atau pejabat yang berwenang untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan hukum sering juga dinamai politik hukum dimana peran pemerintah ada di dalamnya.Dinamakan politik hukum sebagai bagian dari politik sosial dimana nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang memegang kendali pemerintahan (Apriansyah,2017:189). 2.3. Daerah Aliran Sungai Pembangunan



berkelanjutan



dalam



upaya



pelestarian



sumberdaya air pada Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam, sumberdaya air, dan juga sumberdaya manusia secara berkelanjutan. Mengingat debit air sungai yang selalu berubah akibat tergantung dengan curah hujan maka DAS sebagai ruang sungai perlu dilindungi agar tidak digunakan untuk kepentingan lain (Muhjad,2015:111). 2.3.1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (Watershed) atau dalam skala luasan kecil disebut Catchment Area adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh punggung bukit atau batas-batas pemisah topografi, yang berfungsi menerima, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke alur-alur sungai dan terus mengalir ke anak sungai dan ke sungai utama, akhirnya bermuara ke danau/waduk atau ke laut.Air dalam jumlah yang besar sebagai bagian dari daerah aliran sungai memerlukan perlindungan dan pengendalian. Menurut Koesnadi



10



Hardjosoemantri



pengaturan



terkait



perlindungan



dan



pengendalian pemanfaatan air bumi(air tanah) hendaknya ditingkatkan kualitasnya terutama kejelasan pengaturan tentang wewenang pemerintah agar sumber air yang besar tersebut tidak rusak akan tetapi dikelola secara lestari ((Muhjad,2015:104).. 2.3.2. Problematika Daerah Aliran Sungai Untuk mendukung tujuan pengelolaan DAS secara lestari, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 26 kawasan hutan. Artinya, daerah hulu yang berfungsi untuk memberikan perlindungan kawasan di bawahnya dan daerah sempadan sungai seharusnya merupakan kawasan hutan dan hal ini telah diamanatkan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.Namun pada kenyataannya, melihat fenomena yang terjadi dalam tiga dekade terakhir ini di kawasan DAS Indonesia, lahan di daerah hulu dan sempadan sungai sudah menjadi hak milik pribadi dan berubah menjadi lahan pertanian. Untuk mengembalikan kawasan tersebut sesuai fungsinya sebagai kawasan hutan sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan fungsinya seperti sediakala (Sofyan, Thamrin & Mubarak: 59-70). 2.3.3. Hukum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian dari bumi yang mengandung air dan mengandung kekayaan alam sehingga harus dilindungi, diatur, dikuasai dan dikelola



oleh negara



dalam rangka untuk mewujudkan



kemakmuran bagi rakyat.Penguasaan negara dimaksud berkaitan dengan pembangunan bagi rakyatnya. Namun merujuk pada 11



etika lingkungan maka perlu direfleksikan dengan pembangunan berkelanjutan (Sinamo, 2010:73). 2.4. Sungai Konaweha Sungai Konoweha atau Sungai Sampara adalah sungai di Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia dan merupakan salah satu sungai terpanjang serta terbesar di pulau Sulawesi dengan panjang sekitar 341 Km.Sungai ini berhulu di Gunung Bulu Brama, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur dan bermuara ke Laut Banda dekat Kecamatan Kapoiala, Kabupaten Konawe melintasi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Kolaka Timur, Kabupaten Konawe Selatan , Kabupaten Konawe. Salah satu peranannya yang sangat vital adalah sebagai sumber air bagi pemenuhan



kebutuhan



domestik,



industri



dan



irigasi



(Marwah,2014:209). LANDASAN TEORI 2.1. Teori Negara Hukum (Grand Theory) Secara



kesejarahan,



konsep



negara



hukum



bercirikan



demokrasi ditemukan di negara kota (polis) Athena di Yunani sejak berabad-abad yang lalu. Namun dalam negara hukum modern di abad ke 20 sekarang ini memunculkan tipe negara hukum materiil/modern atau negara kesejahteraan.Cirinya, hubungan antara negara dan masyarakat bersifat aktif. Artinya rakyat berpastisipasi dalam pemerintahan dan negara aktif mengatur dan mengurus perekonomian dan



kesejahteraan



masyarakat



(Atmadja



,Wiyono



dan



Sudarsono,2015:13). 2.2. Teori Politik Hukum (Middle Range Theory) Pada setiap negara memiliki politik hukumnya masingmasing sebagai bagian dari kebijakan negara. Pengertian mengenai politik hukum sama halnya dengan pengertian hukum dimana para ilmuan hukum belum ada pemahaman yang sama. Hal mana para ilmuan dimaksud memandang hukum atau politik hukum berdasarkan perspektif



mereka



masing-masing.Namun



dari



berbagai



pengertian/definisi itu pada substansinya sama(Mahfud MD,2011:1).



12



2.3. Teori Hukum Responsif (Applied Theory)



Philippe Nunet dan Philip Zelznick



Teori hukum responsif yang dimunculkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick merupakan bentuk ketidappuasan atas krisis yang terjadi pada otoritas hukum.Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif.Nonet dan Selznick melalui konsep yang dibawakannya itu menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik, (Tanya,2011:78-79).



13



BAB IV METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Lokasi penelitian meliputi Kab. Kolaka, Kab. Kolaka Utara, Kab. Kolaka Timur, Kab. Konawe, Kab.Konawe Utara, Kab. Konawe Selatan, dan Kota Kendari. Waktu penelitian dengan 7 lokasi tersebut , sebagaimana direncanakan selama 4 bulan, dengan rincian kegiatan sebagai berikut: Juni, Juli, Agustus, serta September 2021 3.2. Paradigma Penulis



dalam



penelitian



ini



menggunakan



paradigma



kostruktivisme, operasionalisasi paradigma konstruktivisme pada penelitian ini untuk mendapatkan data material yang empirik didalam praktek metedologi dilakukan dengan kajian pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di Daerah Aliran Sungai Konaweha.Metode penelitian in concreto yang diadopsi, untuk menguji apakah sebuah postulat normatif dapat atau tidak dapat dipergunakan atau diterapkan untuk peristiwa kongret seperti halnya bencana banjir. Keberhasilan penelitian perkara hukumin concreto sangat dipengaruhi oleh kemampuan penelitian dalam mengumpulkan fakta-fakta yang akurat tentang peristiwa banjir di Daerah Aliran Sungai Konaweha yang menjadi obyek penelitian, (Irwansyah,2020:114-115). 3.3. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan fokus kajian normatif-empiris. Secara kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas social, sikap, kepercayaan, persepsi , pemikiran orang secara individual maupun kelompok, Suteki & Taufani(2018). Normatif-Empiris yakni secara normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.Dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu



14



hukum, Amiruddin dan Asikin (2014), sementara secara empiris meninjau fungsi dari suatu hukum atau aturan dalam hal penerapannya di ruang lingkup masyarakat.Peneliti harus memeriksa kembali informasi yang diperoleh dari responden atau informan dan nara sumber, terutama kelengkapan jawaban yang diterima apabila peneliti menggunakan banyak tenaga dalam pengambilan data (Fajar dan Achmad, 2015:181). 3.4. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial legal research .Sosiolegal bersifat interdisipliner dari studi besar tentang ilmu hukum dan ilmu-ilmu tentang hukum dari perspektif kemasyarakatan yang lahir sebelumnya. Studi sosiolegal melakukan studi tekstual, pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan dapat dianalisis secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subyek hukum.Dalam hal ini dapat dijelaskan bagaimanakah makna yang terkandung dalam pasalpasal tersebut merugikan atau menguntungkan kelompok masyarakat tertentu dan dengan cara bagaimana, (Irianto,2011:177-178). 3.5. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh di lapangan sebagai sumber pertama, yakni perilaku masyarakat,melalui penelitian, Soerjono Soekanto(2014).. Data primer merupakan hasil observasi serta wawancara ke berbagai pihak terkait kajian pembentukan produk hukum upaya penanggulangan banjir di Daerah Aliran Sungai Konaweha.Sementara data sekunder telah tersususn dalam bentuk dokumen-dokumen,Suryabrata (2012).Data sekunder/bahan hukum ini dikualifikasikan sebagai bahan hukum primer: perundang-undangan,catatancatatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi: buku-buku teks,jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan, (Marzuki,2010:181). 3.6. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan wawancara yang mendalam dengan para key informan yang sudah



15



ditentukan peneliti berdasarkan karakteristik penelitian. Menurut Larry Cristensen,Sugiyono(2017).



Observasi



diartikan



sebagai



pengamatan



terhadap perilaku manusia dalam situasi tertentu,untuk mendapatkan informasi



tentang fenomena yang diinginkan. Menurut Sutrisno Hadi



bahwa dalam wawancara anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Bahwa subyek (informan/responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri. 2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya 3. Bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud peneliti, (Sugiyono, 2017:188). Informan (responden) yang akan diwawancarai antara lain Kepala BNPB Sultra (atau Staf yang ditunjuk), Kadis Kehutanan (atau Staf yang ditunjuk), pihak BPDASHL Sampara, pihak Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV, pihak BKSDA Sulawesi Tenggara, Pihak Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tenggara, Pihak Dinas Lingkungan Hidup di Kolaka, Koltim, Konawe, Konawe Utara, Konsel dan Kota Kendari, Pihak BNPB di di Kolaka, Koltim, Konawe, Konawe Utara, Konsel dan Kota Kendari, dan LSM Lingkungan. Sementara pengumpulan data sekunder, dilakukan dengan studi kepustakaan (dokumentasi) yaitu serangkain usaha untuk memperoleh data dengan cara membaca, menelaah, mengklasifikasikan dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan-peraturan, literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan yang dikemukakan, (Soekanto & Mamudji,2011:12-14). 3.7. Teknik Analisis Data Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sanagt kritis dalam penelitian. Peneliti harus menentukan pola analisis mana yang akandigunakan. Penelitian ini memakai metode analisis kualitatif yang berlandaskan pada filsafat post-positivisme, diugnakan untuk meneliti



16



obyek yang alamiah , dimana peneliti sebagai instrument kunci, Suteki & Taufani (2018).Data serta bahan hukum yang telah dikumpulkan menjadi sebuah data kualitatif dianalisis secara mendalam dan terperinci sehingga sifatnya panjang lebar. Akibatnya datanya bersifat spesifik, terutama untuk meringkas data dan menyatukannya dalam satu alur analisis yang mudah dipahami pihak lain. 3.8. Teknik Validasi Data Teknik validasi data bertujuan untuk mengetahui sejauhmana keabsahan data yang telah diperoleh dalam penelitian. Teknik yang digunakan adalah triangulasi pada sumber, yakni (1) melakukan perbandingan antara data yang diperoleh dari hasil observasi dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan; (2) melakukan perbandingan antara persepsi, pandangan dan pendapat umum dengan persepsi, pandangan dan pendapat peneliti; (3) melakukan perbandingan antara hasil wawancara dengan dokumen-dokumen hasil kajian pustaka. Setelah proses triangulasi dilakukan, barulah peneliti menentukan data yang dinilai sah untuk digunakan sebagai bahan penelitian.



17



BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Analisis Data Terhadap Nama dan Jumlah Kecamatan MasingMasing Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Analisis data secara administratif wilayah pemerintahan di area DAS Konaweha dirasakan sangat penting karena dampak atas keberadaan DAS apakah berkorelasi dengan bencana banjir yang terjadi. Data secara administratif wilayah pemerintahan tersebut akan dianalisis berdasarkan data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Sampara, Kota Kendari tentang Rencana Pengelolaan DAS Konaweha (Revisi Tahun 2013-2018). Hal ini dipahami karena BPDASHL berugas melaksanakan penyusunan rencana, pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi tanah dan air, pengembangan kelembagaan, pengendalian kerusakan perairan darat, dan evaluasi pengelolaan daerah aliran sungai dan hutan lindung berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Sebagaimana dikatahui bahwa BPDASHL Sampara merupakan unit pelaksanaan teknis di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan hutan lindung yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.10 / Menlhk/ Setjen/ OTL/ 0/ 1 / 2016). Berdasarkan otoritas yang dimiliki oleh BPDASHL tersebut menjadi relevan untuk menganalisis data secara administratif wilayah pemerintahan di area DAS Konaweha dari aspek dampak lingkungan yang terjadi, khususnya bencana banjir. Berdasarkan data BPDASHL Sampara tersebut akan dicoba dianalisis dengan cara sebagai berikut:



18



Tabel. 4.1. Nama dan Jumlah Kecamatan Masing-masing Kabupaten/Kota di DAS Konaweha No. Kabupaten/Kota 1.



Konawe



Kecamatan



Jumlah Kecamatan



Abuki, Amonggedo, Anggaberi, Asinua, Besulutu, Bondoala, Kapoiala, Konawe, Lalonggasumeeto, Lambuya, Latoma, Meluhu, Onembute,



21



Pondidaha, Puriala, Sampara, Tongauna, Uepay, Unaaha, 2.



Konawe Selatan



Wawotobi, Wonggeduku Angata, Baito, Basala, Benua, Buke, Konda, Landono,



3. 4. 5.



Konawe Utara Kolaka Kolaka Timur



Mowila, Ranomeeto,



11



Ranomeeto Barat, Wolasi Asera, Lasolo, Lembo, Sawa Wolo Ladongi, Lalolae, Labandia,



4 1



Latambaga, Loea, Mowewe,



11



Polipolia, Samaturu, Tinondo, 6. 7.



Kolaka Utara



Tirawuta, Uluiwoi Pakue, Pakue Tengah, Pakue



Kendari



Utara, Wawo Baruga, Mandonga, Puwatu, Wua-Wua



4 4



Sumber: BPDASHL Sampara tentang RPDAST DAS Konaweha 2014



Sebagaimana data yang tersaji diatas terlihat, akan dianalisis 3 daerah administratif sebagai sampel yang dianggap sebagai repsentasi keseluruhan Kabupaten/Kota di DAS Konaweha. Analisis disajikan tidak memperhitungkan ferkuensi kejadian selama setahun tetapi berdasarkan ada atau tidaknya fakta yang terjadi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan



19



gambaran bahwa di suatu daerah tertentu memang memiliki rekam jejak atas kejadian bencana banjir. Tiga daerah yang akan dianalisis ini sengaja diberi warna sebagai pembeda dengan 4 daerah DAS Konaweha lainnya. Ketiga daerah administratif dimaksud masing-masing Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka Timur serta Kota Kendari. Kabupaten Konawe dipilih disamping memiliki kecamatan terbanyak di DAS Konaweha karena baik Kabupaten Konawe Selatan maupun Konawe Utara adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Konawe sebagai daerah induk. Sementara, Kabupaten Kolaka Timur dipilih, selain sebagai tempat keberadaan hulu sungai Konaweha, juga memiliki kecamatan di DAS Konaweha yang jauh lebih banyak dibandingkan Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara. Kota Kendari menjadi sampel, selain satu-satunya wilayah administratif yang berstatus kota yang menjadi cakupan DAS Konaweha, juga karena kedudukannya sebagai ibu kota provinsi yang memiliki fungsi strategis sebagai pusat pemerintahan provinsi. Bencana banjir sebagai dampak meluapnya sungai Konaweha tidak dapat dipisahkan dengan DAS Konaweha itu sendiri. Wilayah Kabupaten Konawe juga merupakan cakupan DAS Konaweha sehingga memiliki urgensi untuk dianalis sehubungan potensi banjir yang ada. Sebagaimana informasi pihak BPBD Kabupaten, diwilayah Kabupaten Konawe pernah mengalami bencana banjir yang cukup luar biasa pada tahun 2019. Rekam jejak terjadinya banjir di Kabupaten Konawe itu tentu merupakan bahan riset yang penting untuk dianalisis. Bencana banjir yang terjadi dalam cakupan DAS Konaweha di wilayah Kabupaten Konawe dapat disaksikan melalui Data BPBD Konawe tahun 2019, berikut ini.



Tabel 4.2.



20



Rekapitulasi Bencana Banjir Tahun 2019



Sumber: BPBD Kabupaten Konawe



Dengan mengkomparasikan antara data BPDASHL dengan Data milik BPBD Kabupaten Konawe tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 18 Kecamatan dari 21 Kecamatan di wilayah DAS Konaweha yang berada di daerah administrasi Kabupaten Konaweha mengalami bencana banjir. Hal ini menunjukkan 86 % daerah administrasi Kabupaten Konawe yang menjadi cakupan DAS Konaweha terlanda banjir pada tahun 2019 silam. Diketahui juga bahwa



secara keseluruhan saat ini Kabupaten Konawe



memiliki 30 Kecamatan berdasarkan Permendagri Nomor 66 Tahun 2011. Dengan mencermati data bencana banjir milik BPBD Konawe tahun 2019 diketahui juga bahwa sebanyak 60% kecamatan yang ada di Kabupaten Konawe yang mengalami banjir pada tahun 2019 terletak di daerah cakupan DAS Konaweha. Selanjutnya, bencana banjir di wilayah cakupan DAS Konaweha yang terjadi di Kabupaten Kolaka Timur dianalisis berdasarkan Data Resume Kegiatan Terhadap Kejadian Bencana Tahun 2019 Bidang Penanganan Darurat Dan Logistik , milik BPBD Kabupaten Kolaka Timur.



21



Data tersebut salah satunya menunjukkan bencana banjir tahun 2019 yang terjadi di tujuh kecamatan: Tabel 4.3. Data Resume Kejadian Bencana Kabupaten Kolaka TimurTahun 2019 No 1 2 3 5 6 7



Kecamatan Ladongi Loea Dangia Tirawuta Uluiwoi Ueesi Jumlah



Desa 4 Desa 1 Desa 10 Desa 4 Desa 9 Desa 11 Desa 39 Desa



Sumber: BPBD Kabupaten Kolaka Timur



Berdasarkan data kejadian bencana tahun 2019 tersebut diatas terlihat adanya bencana banjir di kecamatan yang merupakan wilayah cakupan DAS Konaweha. Sebagaimana diketahui kecamatan yang merupakan cakupan DAS Konaweha di Kabupaten Kolaka Timur masingmasing terdiri dari: Ladongi, Lalolae, Labandia, Latambaga, Loea, Mowewe, Polipolia, Samaturu, Tinondo, Tirawuta, Uluiwoi. Dari 11 kecamatan cakupan DAS Konaweha tersebut, berdasarkan data kejadian bencana tahun 2019 tercatat ada 4 kecamatan yang mengalami bencana banjir yaitu kecamatan : Ladongi, Loea, Tirawuta, Uluiwoi. Dari peristiwa ini menunjukkan bahwa 36 % kecamatan yang ada di cakupan DAS Konaweha di Kolaka Timur mengalami banjir. Dari total kejadian bencana banjir tahun 2019 di seluruh kecamatan Kolaka Timur yang berjumlah 12 kecamatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Kolaka Timur, ternyata sebanyak 33% kecamatan yang banjir di Kolaka Timur berasal dari wilayah DAS Konaweha. Untuk, bencana banjir di Kota Kendari akan dianalisis berdasarkan Data Laporan Kejadian Bencana milik Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWS) IV Kendari. Dari data tersebut merekam kejadian bencana banjir 3 Juni 2019 di Kota Kendari. Tabel 4.4. Laporan Kejadian Bencana Di Kota Kendari 3 Juni 2019



22



No 1. 2.



Kecamatan Baruga Poasia



Kelurahan Kel. Lepo-lepo Kel. Kambu



Sumber: BWS IV Kendari, 4Juni2019



Data BWS IV Kendari terlihat bahwa 1 dari dua Kecamatan yang mengalami peristiwa banjir menunjukkan bahwa Kecamatan Baruga merupakan cakupan wilayah DAS Konaweha. Kondisi yang demikian dapat dimengerti jika dari 7 daerah administratif yang ada di DAS Konaweha, 4 kecamatan (Baruga, Mandonga, Puwatu , Wua-Wua) Kota Kendari merupakan wilayah cakupan DAS tersebut. Itu artinya hanya 20% dari kecamatan di Kota Kendari yang terletak di DAS Konaweha yang mengalami banjir. Dapat dimaknai juga bahwa 10% dari keseluruhan kecamatan yang ada di Kota Kendari yang berjumlah 10 kecamatan telah mengalami banjir. Dan 10 % kecamatan dimaksud termasuk wilayah cakupan DAS Konaweha. Berdasarkan rekam jejak adanya bencana banjir pada tahun 2019 sebagaimana telah diuraikan diatas dengan sendirinya memerlukan pengawasan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai langkah antisispasi bencana. Terkait dengan bencana banjir di wilayah cakupan DAS Konaweha, pengawasan mengacu pada Pasal 17 ayat (2) huruf a, b dan c Undang-Undang



Nomor 24 Tahun 2007 tentang



Penanggulangan Bencana : a. sumber ancaman atau bahaya bencana; b. kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana; c. kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana; Dengan melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 diharapkan potensi bencana banjir di wilayah cakupan DAS Konaweha dapat diminimalisir. 4.2.



Analisis Data Terhadap Luas DAS Berdasarkan Lahan Kritis Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah Dan Air memberi pengertian bahwa Lahan Kritis adalah



23



lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan atau yang tidak dibudidayakan. Dari pengertian tersebut diketahui bahwa lahan kritis kurang baik sebagai media produksi untuk menumbuhkan tanaman. Sementara tanaman merupakana yang ada di hutan-hutan wilayah DAS memiliki fungsi untuk menyerap air. Jika kondisi lahan kritis sangat dominan di wilayah DAS dengan sendirinya ancaman bencana banjir juga demikian besar akibat air tidak terserap dengan baik. Akibat air tidak terserap dengan baik pada musin hujan dengan curah yang tinggi tentu membuat debit air sungai meningkat. Ketika volume air tidak tertampung di badan sungai akan terjadi bencana banjir. DAS Konaweha yang berada di tujuh kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara juga memiliki laha-lahan yang berkategori kritis. Hal ini harus menjadi perhatian agar dapat mengantisipasi banjir dari aspek lahan kritis yang ada. Eksploitasi lahan yang berlebihan dapat ditimbulkan oleh minimnya tindakan konservasi pada wilayah DAS. Jika kondisi yang demikian dilakukan pembiaran tentu merupakan ancaman bagi kualitas lahan. Hal inilah yang menyebabkan penambahan terhadap adanya lahan kritis dan lahan-lahan potensial kritis. Pengendalian lahan kritis menjadi penting agar luasannya tidak mendominasi di wilayah DAS Konaweha . Tabel 4.5.



Sumber: BPDAS Sampara 2013



Hasil kajian pihak BPDASHL Sampara berdasarkan “Rencana Pengelolaan DAS Konaweha (Revisi Tahun 2013-2018“ telah menunjukkan sekitar 94,94 % lahan di DAS Konaweha perlu mendapat perhatian serius . Luasan tersebut merupakan akumulasi dari lahan potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis. Potensi ini harus dianggap sebagai ancaman yang



24



sangat serius atas kelestarian hutan pada wilayah DAS Konaweha akibat serapan air yang menuju sungai Konaweha menjadi minim. Daya serap yang begitu rendah akan berpengaruh pada meningkatnya debit air sungai Konaweha ketika curah hujan cukup tinggi. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan banjir ketika badan sungai tidak mampu lagi menampung debit air yang ada. Kondisi 94,94 % lahan di DAS yang secara akumulatif terdiri dari lahan potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis memerlukan perhatian yang serius. Dengan hal ini diperlukan adanya kebijakan yang sifatnya mengendalikan. Tindakan pengendalian



lahan kritis tersebut



diarahkan agar :  pengurangan luas lahan kritis terealisasi.  kemampuan lahan untuk mendukung fungsi dan peruntukannya mengalami peningkatan.  masyarakat menjadi peduli pada rehabilitasi dan pemulihan lahan kritis.  pemulihan kesuburan tanah dan meningkatnya produktifitas lahan terwujud. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan mengenai kondisi serius tetang lahan kritis di wilayah DAS Konaweha tidak dapat hanya ditopang oleh Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Secara substantif



peraturan



daerah ini tidak akan mampu mengakomodir pengaturan tentang lahan kritis di Sulawesi Tenggara. Dipahami juga bahwa berdasarkan Lampiran Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 dikatahui ada sebanyak 722 DAS di Sulawesi Tenggara. Dengan DAS yang sejumlah itu maka dipandang perlu untuk melahirkan adanya produk hukum daerah yang pro terhadap pengedalian lahan kritis di Sulawesi Tenggara. Berlandaskan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah Dan Air tentu dipandang pantas dan layak untuk membentuk regulasi daerah terkait pengendalian lahan kritis.



25



4.3. Analisis Data Terhadap Luas Lahan Berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi Di DAS Konaweha Dalam pemanfaatan lahan pada daerah aliran sungai sudah selayaknya mematuhi kaidah konservasi tanah dan air. Jika mengabaikan kaidah dimaksud maka merupakan ancaman tersendiri bagi DAS bersangkutan, terutama bahaya erosi (Komaruddin, N., 2008). Berdasarkan pandangan tersebut maka pemanfaatan lahan pada DAS Konaweha memerlukan perlakuan yang sama agar bahaya erosi dapat dihindari atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir. Berdasarkan data yang dimiliki oleh pihak BPDASHL Sampara, Kendari, Sulawesi Tenggara, terdapat lahan dengan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) seluas 697.947,51 ha dengan berbagai kategori mulai dari yang sangat ringan, ringan, sedang , berat hingga sangat berat. Tabel 4.6.



Sumber: BPDAS Sampara 2013



Berangkat dari fakta adanya lahan dengan Tingkat Bahaya Erosi tersebut pihak BPDASHL Sampara sebagaimana yang dituangkan dalam ”Rencana Pengelolaan DAS Konaweha (Revisi Tahun 2013-2018)“ menilai bahwa tingkat bahaya erosi (TBE) dengan kategori sedang sampai sangat berat mencapai angka luas 348.059,43 hektar atau 49,9 % dan kategori sangat ringan dan ringan mencapai luas 349.888,08 hektar atau 50,1 % dari luas DAS Konaweha.



Berdasarkan angka-angka tersebut maka dapat



disimpulkan bahwa salah satu masalah yang dihadapi di DAS Konaweha adalah erosi.



Masalah erosi tersebut akan disertai dengan tingkat



sedimentasi yang tinggi.



26



Erosi yang tinggi pada lahan berpotensi untuk menurunkan atau kemampuan tanah memasukkan dan menahan air. Keadaan yang demikian tidak mungkin dibiarkan terus menerus. Erosi yang tinggi pada DAS Konaweha mengandung arti bahwa ancaman banjir pada sungai Konaweha sangat terbuka akibah kemampuan lahan DAS yang mengalami penurunan kemampuan tanah memasukkan dan menahan air. Menyikapi bahaya erosi yang menimbulkan potensi bahaya banjir pada sungai Konaweha maka diperlukan adanya sikap untuk mematuhi kaidah konservasi tanah dan air bagi seluruh kalangan yang berkepentingan. Kaidah- kaidah yang mengatur konservasi tanah dan air dapat ditemukan pada norma-norma yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah Dan Air serta produk hukum turunannya. 4.4. Analisis Peristiwa Banjir DAS Konaweha Berdasarkan Data Kejadian Bencana Kabupaten Kolaka Timur Tahun 2020 Sebagaimana diketahui bahwa sungai Konaweha memiliki hulu di Gunung Bulu Brama, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka Timur. Hulu sungai yang berada di Kabupaten Kolaka Timur perlu dicermati secara seksama karena kejadian di hulu tentu akan memiliki pengaruh di sepanjang sungai hingga ke muara. Bencana banjir yang terjadi di hulu sungai Konaweha dan sekitarnya sebagai bagian dari DAS juga menjadi relevan untuk dicermati karena berdampak bagi sungai tersebut. Atas pertimbangan ini maka peristiwa banjir di kawasan ini perlu dianalisis berdasarkan data banjir di wilayah DAS Konaweha di Kabupaten Kolaka Timur. Berdasakan Laporan Kejadian Bencana Tahun 2020 milik BPBD Kabupaten Kolaka Timur diperoleh data sebagai berikut.



Tabel 4.7. Data Peristiwa Banjir Tahun 2020 di DAS Konaweha Kolaka Timur



27



Sumber:BPBD Kolaka Timur



Berdasarkan data yang tersaji bahwa dari 11 kecamatan sebagai locus yang menjadi cakupan DAS Konaweha di Kabupaten Kolaka Timur menunjukkan adanya 7 kecamatan yang mengalami banjir. Ini artinya 60% kecamatan yang menjadi cakupan DAS Konaweha di Kabupaten Kolaka Timur mengalami pertiwa banjir. Melihat tempus-nya maka pada bulan Juli menunjukkan akumulasi banjir yang signifikan. Pada tempus a quo ada locus sebanyak 3 kecamatan (Lambandia, Loea serta Uluiwoi) mengalami lebih dari satu kali peristiwa banjir. Aspek penyebab banjir menunjukan bahwa semua kecamatan yang menjadi cakupan DAS Konaweha di Kabupaten Kolaka Timur pada tahun 2020 itu disebabkan oleh tingginya curah hujan. Berdasarkan fenomena ini menunjukkan bahwa Kecamatan Uluiwoi dan sekitarnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hulu sungai Konaweha memiliki kecenderungan banjir ketika curah hujan yang tinggi. Yang perlu diwaspadai adalah curah hujan yang tinggi di bulan Juli karena ada kecenderungan banjir akan terjadi lebih dari satu kali. Kecederungan ini berpotensi terjadi pada 3 kecamatan ,masing-masing yaitu: Lambandia, Loea serta Uluiwoi. Fakta atas peristiwa banjir di wilayah hulu sungai Konaweha perlu penanganan yang serius dari aspek pengelolaan DAS. Kabupaten Kolaka Timur yang memiliki 11 kecamatan dalam cakupan DAS Konaweha harus dikelola secara optimal agar meminimalisir potensi banjir. Pentingnya pengelolaan ini tidak semata-mata fakta empirik yang telah diuraikan diatas. Secara yuridis juga tidak lepas dari Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai



28



(Perda No.1/2015). Dimana Perda dimaksud lahir sebagai akibat adanya kerusakan daerah di Sulawesi Tenggara yang semakin memprihatinkan sebagaimana dituangkan dalam konsiderans menimbang pada huruf b.



BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 29



5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sebagai lokasi penelitian, Daerah Aliran Sungai (DAS) Konaweha merupakan DAS terluas yang ada di provinsi Sulawesi Tenggara. Pada wilayah DAS ini memiliki dua musim yakni musim Kemarau dan musim hujan. Pada musim penghujan berlangsung antara bulan Mei dan bulan Agustus, sementara untuk musin kemarau terjadi antara bulan September sampai dengan bulan Januari. DAS Konaweha mempunyai curah hujan kurang dari 2.000 mm/tahun, meliputi wilayah sebelah selatan, batas antara Kabupaten Konawe – Kabupaten Kolaka. Curah hujan yang paling dekat dengan DAS Konaweha dapat diperoleh dari stasiun Abuki, Lambuya, Mowewe, Kendari dan Motaha, curah hujan rata-rata pada ke lima stasiun tersebut 1.194,49 mm per tahun (http: // sda. pu. go. id/ produk/ view_ produk/ Pola_ PSDA_Wilayah_Sungai_Lasolo-Konaweha, diakses 12 Mei 2021). Secara yuridis sejak tahun 2011, Konaweha merupakan DAS yang menjadi prioritas pengelolaannya sesuai Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : SK.511/Menhut-V/2011 tentang Penetapan Peta Daerah Aliran Sungai. Hal-hal yang menjadi pertimbangan yang menjadikan DAS Konaweha sebagai DAS prioritas antara lain: (1) merupakan DAS terluas di Sulawesi Tenggara; (2) secara administrasi mencakup 7 (tujuh) daerah otonom yakni Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka Timur, Kolaka Utara, Konawe Utara dan Kota Kendari (BPDASHL Sampara,2014: 2) Urgensi atas pengelolaan DAS tersebut tidak lepas dari ketersediaan lahan di kawasan tersebut. Penggunaan lahan yang tidak terkendali merusak DAS irusendiri sebagai kawasan tadah hujan. Gambar 5.1. Peta Wilayah DAS Konaweha



30



Sumber: Tanika, L. (2013).



Dari aspek ekosistem, DAS Konaweha sangatlah kompleks kelestariannya tentu sangat bergantung dari dinamika tata guna lahan yang terjadi. Ketika dinamika tersebut aktifitasnya positif tentu keberlangsungan DAS itu terjaga, jika sebaliknya kelestarian DAS Konaweha akan terancam. Dalam pemanfaatannya, sungai Konaweha merupakan pemasok atas kebutuhan air pada sejumlah wilayah seperti Kolaka, Kolaka Utara, Kolaka Timur, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan serta Kota Kendari. Sungai merupakan salah satu bagian terpenting, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap DAS Konaweha. Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai maka keberadaan palung dan sempadan yang ada pada sungai merupakan bagian yang menentukan keberadaan sebuah DAS karena keduanya memiliki fungsi membentuk ruang sungai. Hal ini dipahami karena palung sungai memiliki manfaat untuk tempat mengalir yang di dalamnya terdapat keberlangsungan kehidupan ekosistem yang ada di sungai. Sementara itu, sempadan sungainya juga memiliki kemampuan sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Sebagaimana diketahui, DAS Konaweha yang meliputi sungai dan anak-anak sungainya, berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang



31



batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Kondisi ini menggambarkan relasi antara sungai Konaweha dengan DASnya memiliki pengaruh yang sangat kuat. Ketika DAS yang ada mengalami gangguan akan berpengaruh pada sungai Konaweha itu sendiri. Fakta menunjukkan bahwa perubahan atas penggunaan lahan pada wilayah DAS Konaweha membawa akibat pada debit air sungai. Perubahan dimaksud dapat mengakibatkan terjadinya penurunan debit minimum dan peningkatan debit maksimum. Fakta menunjukkan bahwa pada Mei 2000 terjadi banjir dengan debit + 380 m3/ det yang menyebabkan lebih dari 10.000 ha sawah di wilayah irigasi Wawotobi terendam banjir. Pada tahun yang sama dari September sampai November terjadi kekeringan dengan debit minimum rata-rata 10,6 m3/ det yang mengakibatkan lebih dari 5.000 ha sawah di wilayah tersebut tidak mendapatkan pasokan air yang cukup. September 2003, debit minimum Sungai Konaweha sebesar 27 m3/ det, tahun 2006 dan 2008 pada bulan yang sama, debit minimum menjadi 23 m3/ det dan 20 m3/ det (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sultra, 2010). Jika kecenderungan penurunan ini terus berlanjut, maka diperkirakan akan terjadi defisit air pada musim kemarau (Marwah,2014:208-209). Kawasan hutan pada kawasan DAS Konaweha memiliki fungsi yang tidak semata-mata strategis tetapi sangat vital. Pada periode 1991-1999 luas hutan tersebut mengalami penurunan 1,25% per tahun, periode 20012005 turun 0,52% per tahun dan laju penurunan luas hutan periode 20062011 adalah 0,90% per tahun, dengan laju rata-rata 0,89% per tahun,sehingga diperkirakan luas hutan tahun 2030 adalah 27,4%, tahun 2040 menjadi 18,5% dan tahun 2050 menjadi 9,6%. Koefisien aliran permukaan dan debit maksimum akan meningkat dan debit minimum menurun seiring dengan penurunan luas hutan dan peningkatan luas penggunaan lahan lain. Neraca ketersediaan dan kebutuhan air tahunan dan neraca ketersediaan dan kebutuhan air musim hujan masih surplus air,namun demikian pada musim kemarau terjadi defisit air khususnya bulan september dan oktober yang mulai terjadi tahun 2019 (La Baco dkk.,2013). Berkaitan



32



dengan ini maka kebijakan serta program pengelolaan sumber daya hutan oleh pemerintah perlu mempertimbangkan secara lebih cermat aspek untung ruginya. Dipahami kemudian bahwa hutan pada wilayah cakupan DAS Konaweha



selain berfungsi untuk menyerap karbon untuk keperluan



mengurangi efek pemanasan global secara lokal, di dalam hutanya juga menghasilkan komoditi yang bersifat ekonomis semisal madu ataupun rotan dam kayu. Selain itu fungsi hutan sendiri pada kawasan dimaksud merupakan pengatur tata air secara alami yang akan memenuhi kebutuhan berbagai sektor baik industri, pertanian mamupun kebutuhan domestik warga. Ketersediaan air bagi wilayah DAS Konaweha yang meliputi Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka, Kolaka Timur, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan serta Kota Kendari sangat tergantung dari pasokan air sungai Konaweha yang didukung oleh kelestarian fungsi hutan DAS Konaweha. Perkembangan yang kurang menggembirakan terjadi pada DAS Konaweha akibat terjadi perubahan fungsi lahan. Di kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe sejak tahun 2011 telah terlihat adanya perkebunan sawit. Hadirnya hamparan sawit ini cukup diirasakan oleh warga Desa Laikandonga Kecamatan Ranomeeto Barat Kabupaten Konawe Selatan. Sebagimana diketahui bahwa Desa Laikandonga dan wilayah Besulutu letaknya berseberangan karena sama-sama dilintasi oleh sungai Konaweha. Hadirnya perkebunan sawit tersebut jelas-jelas merupakan ancaman secara ekologis bagi wilayah DAS Konaweha akibat adanya konversi lahan dimana menurut riwayatnya merupakan wilayah hutan yang saat ini telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Konversi lahan ini dirasakan benar oleh warga Desa Laikandonga yang berada di seberang wilayah Besulutu, dimana air sungai yang mengalami pendangkalan yang pada akhirnya mengikis lahan bibir sungai. Wilayah bibir sungai di Desa Laikandongan terus mengalami



pengkisan



akibat



sungai



Konaweha



yang



mengalami



pendangkalan.



33



Perubahan yang terjadi pada DAS tidak semata berdampak pada perubahan lahan, kualitas air sungai Konaweha juga menurun. Irwan, Kepala Desa Laikandonga mengatakan bahwa pada tahun 2019 wilayahnya terisolir akibat terkepung air banjir. Lahan di belakang rumahnya sebelumnya cukup jauh dari bibir sungai namun di tahun 2021 ini sisa sekitar 7 meter dari sungai akibat terkikis air dari waktu ke waktu. Sehingga tidak mengherankan ketika banjir pada tahun 2019 lalu air naik hingga mencapai 5 meter. Warga Laikandonga pergi mengungsi 49 Kepala Keluarga (KK) kebanyakan menghuni rumah berbahan papan. Penurunan kualitas air sungai Konaweha ini imbasnya juga ikan, udang serta belut di dalamnya. Warga Laikandonga dulunya cukup sering menjumpai hewanhewan air tersebut namun kini sudah sulit ditemukan. “Waktu saya masih SD hingga SMA itu air tidak cepat kabur ketika hujan. Dulu sangat stabil, kalau hujan permukaan sungai tidak tinggi dan kemarau tidak mengering. Sekarang ini biar hujan sedikit saja air naik dan keruh demikian juga kalau kemarau permukaan sungai sangat jauh menyusut” (Wawancara, Irwan, Kepala Desa Laikandonga, Rabu 18 Agustus 2021) Penurunan kualitas air sungai Konaweha tersebut sulit dipisahkan dengan keberadaan kebun sawit di sekitarnya. Perubahan fungsi lahan dari tanaman hutan yang heterogen yang tergantikan oleh kelapa sawit yang homogen tentu akan mempengaruhi fungsi DAS. Erosi yang terjadi membuat sungai dangkal serta permukaannya melebar akibat terjadi pengikisan. Kondisi di Kabupaten Konawe juga tidak kalah gentingnya, di wilayah ini pada tahun 2019 banjir menggenangi hamper seluruh wilayah. Sebanyak 25 kecamatan terdampak banjir. Bagian paling parah terjadi di Desa Hongoa Kecamatan Pondidaha sebagai akibat bahwa desa ini merupakan pertemuan tiga sungai yang meliputi sungai Konaweha, sungai Rawa Aopa serta sungai Lahumbuti. Sainal, Kabid.Pencegahan dan Kesipasiagaan



Badan



Penanggulangan



Bencana



Daerah



Konawe,



mengatakan, alih fungsi lahan di wilayah DAS Konaweha juga berkaitan



34



dengan bencana kejadian banjir sungai Lahumbuti sebagai anak sungai Konaweha. “Selain karena curah hujan yang tinggi karena di daerah atas telah banyak alih fungsi lahan. Akibat alih fungsi lahan seperti perkebunan sawit, banjir yang tadinya tidak sampai mencapai tinggi jembatan di Kecamatan Anggaberi kini sudah sampai banjirnya.” (Wawancara Sainal, Kabid. Pencegahan dan Kesipasiagaan BPBD Konawe, Senin 9 Mei 2021) Fenomena perkebunan kelapa sawit di sejumlah wilayah administrasi pemerintahan yang merupakan wilayah cakupan DAS Konaweha bukan semata-mata di Konawe Selatan dan Konawe. Kabupaten Kolaka Timur juga dapat dijumpai adanya tanaman kelapa Sawit. Kecamatan Ladongi yang sebelumnya meliputi wilayah Dangia juga banyak ditemui



pohon kelapa sawit. Wilayah Dangia yang menjadi



kecamatan yang definitif kini juga sering mengalami banjir. Kepala



Desa



Dangia



H.Kamaruddin,



Kecamatan



Dangia,



Kabupaten Kolaka Timur, mengatakan, Desa Dangi merupakan desa yang tidak jauh dari Rawa Aopa dimana anak sungai Konaweha banyak mengalir ke rawa tersebut. Dirinya tidak memungkiri kalau lahan-lahan di Desa Dangia dan sekitarnya banyak ditemui kebun-kebun sawit. Kondisi yang sedikit berbeda di Wilayah DAS Konaweha Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka. Keberadaan areal pertambangan serta perkebunana milik warga di wilayah ini telah merambah lahan yang cukup luas. Dampak dari penggalian tanah untuk diolah menjadi biji nikel telah mencemari wilayah DAS yang kebetulan tidak jauh dari pantai muara Lapao-pao. Keaslian hutan yang ada di wilayah ketinggian yang juga dijadikan kebun oleh warga telah berdampak pada desa-desa di wilayah Kecamatan Wolo. Bencana banjir di Kecamatan Wolo merupakan kejadian yang cukup sering ketika hujanya yang terjadi cukup lebat. Kondisi lahan di wilayah ini memang di kerendahan sehingga sungai Lana yang ada di wilayah ini menjadi banjir. Sutarno, S.T.,M.Si., Kepala Bidang Penanganan Darurat dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten



35



Kolaka, mengatakan, Di Desa Ulu Lapao-pao setiap tahun banjir serta bertambah tingginya akibatnya area terdampak semakin meluas. “Yang jelas ada pengurangan terhadap luasan hutan yang ada, Dulu waktu kita lewat di jalan terlihat yang mengkilat-kilat (rumah beratap seng) di atas kawasan hutan atas bukit itu sedikit tetapi seiring berjalannnya waktu jumlah kilatan tersebut bertambah banyak.”( Wawancara ,Sutarno, S.T.,M.Si., Kabid. Penanganan Darurat dan Logistik BPBD Kabupaten Kolaka, Kamis, 3 Juni 2021) Sekretaris Desa Ulu Lapao-pao Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka, Masjidin, AMd.Com, mengatakan, di wilayah sekitar desanya memang merupakan daerah tambang, sawah dan kebun warga. Ketika musim penghujan banjir juga melanda desanya serta desa sebelahnya seperti Desa Donggala serta Muara Lapao-pao. Air sungai Desa Babarina yang juga masih di Kecamatan Wolo warnanyapun berubah. Air sungainya merah bisa dicek di sungai yang ada di Desa Babarina. Gunung yang ada saat ini belum merupakan ancaman, jika nanti telah ditambang ore nikelnya baru ada ancaman. (Wawancara Sekretaris Desa Ulu Lapao-pao Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka, Masjidin, AMd.Com, Kamis 8 Juli 2021) Berdasarkan hasil wawancara dari berbagai informan yang ada di berbagai daerah tersebut telah memberi gambaran bagaimana kualitas DAS Konaweha saat ini yang jauh menurun. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan DAS yang dijalankan saat ini tidak menjamin kelestarian DAS itu sendiri. Kualitas DAS Konaweha saat ini tidak mampu menjamin bahwa bencana banjir masih terus menjadi ancaman bagi wilayah-wilayah DAS Konaweha dan sekitarnya. 5.2. Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 Dalam Pengelolaan DAS Konaweha Penerapan



Peraturan



Daerah



Provinsi



Sulawesi



Tenggara



Nomor 1 Tahun 2015 dalam Pengelolaan DAS Konaweha masih terikat dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,



36



Tambahan



Lembaran



Negara



Republik



Indonesia



Nomor



5587)



sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (l,embaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573). Sejak ditetapkannya Peraturan tentang



Daerah



Nomor 1 Tahun 2015



Pengelolaan DAS (Perda No.1/2015) konsekuensinya adalah



seluruh pengelolaan DAS di Provinsi Sulawesi Tenggara sebagaimana termuat di dalam lampirannya, tunduk pada Perda No.1/2015 tersebut, tanpa kecuali DAS Konaweha. Sebagai regulasi daerah, pembentukan atas Perda No.1/2015 ini tidak lepas dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana pelaksanaan pengelolaan DAS lintas kabupaten/kota dan dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah provinsi. 5.2.1. Latar Belakang Pembentukan Perda No.1/2015 Untuk memahami lebih jauh penerapan Perda No.1/2015 tersebut



menjadi



penting



untuk



memahami



latar



belakang



pembentukan perda tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dalam memahami penerapan Perda No.1/2015 tidak hanya dipahami secara tekstual semata tetapi juga makna histrorisnya. Ketua Forum DAS Sultra, Dr.Ir. La Baco Sudia, M.Si., mengatakan, hal yang melatarbelakangi Perda No.1/2015, selain akibat disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai juga karena difasilitasi oleh lembaga donor asal Kanada yakni Program The Environmental Governance and Sustainable Livehoods Program (EGSLP) di Sulawesi. Saat itu telah berjalan hampir lima tahun setelah ditandatangani Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, pihak



EGSLP bersedia



membiayai



penyusunan naskah akademik peraturan daerah tentang pengelolaan DAS. Dipahami kemudian bahwa kunci pengelolaan DAS ada pada pengaturannya serta bagaimana mengatur tata ruang, kawasan lindung dan kawasan rawan banjir. Itu semua harus dibicarakan dalam satu



37



kesatuan pengelolaan DAS yang diimplementasikan dalam rencana pengelolaan DAS Konaweha. Berdasarkan kenyataan itu maka timbul gagasan bagaimana kalau seluruh DAS yang ada di Sulawesi Tenggara



dibuatkan



aturannya.



Dalam



menyusun



naskah



akademiknya kurang lebih ada 5 DAS di Sultra dijadikan sampel yakni selain DAS Konaweha, ada DAS Lasolo, DAS Wanggu, DAS Baubau dan DAS Jompi. ”Pihak donor menanggung penyusunan naskah akademik sampai Perda itu disahkan”( Wawancara Dr.Ir. La Baco Sudia, M.Si., Sabtu 1 Mei 2021 di Kendari ) Bahwa apa yang disampaikan oleh Ketua Forum DAS Sultra diatas memberi gambaran tentang ada aturan yang lebih tinggi serta hadirnya pihak donor yang memberi ruang untuk mewujudkan peraturan daerah tentang pengelolaan DAS di provinsi Sulawesi Tenggara. Hal tak kalah pentingnya, memang produk hukum yang hendak diwujudkan saat itu dirasakan mendesak mengingat kerusakan DAS di Sulawesi Tenggara yang sangat memprihatinkan sehingga menyebabkan banjir, tanah longsor, penurunan kualitas air , kekeringan , erosi dan sedimentasi yang telah berdampak pada perekonomian dan tata kehidupan masyarakat. Fakta tersebut tertulis jelas dalam salah satu konsiderans menimbang huruf b Perda No.1/2015. Hal-hal yang telah diuraikan diatas secara teoritis merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum. Penetapan Perda No.1/2015 harus dimaknai sebagai bentuk perlindungan konstitusional bagi warga negara. Dimana secara hirarki Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sebagai konstitusi negera Republik Indonesia merupakan hukum dasar yang melandasi segala bentuk perundang-undngan di Indonesia termasuk UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 ,serta Perda No.1/2015. Dari segi politik hukum, ditetapkannya Perda No.1/2015 tersebut selain produk hukum yang



38



dianggap ideal, politik hukum tersebut merupakan mekanisme untuk merealisasikan hukum yang dilandasi oleh wewenang serta keinginan penguasa. Dalam pandangan teori hukum responsif sebagaimana dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, keberadaan Perda No.1/2015 merupakan sebuah kebijakan akomodatif dari pemegang kekuasaan menyikapi perubahan sosial yang ada untuk meminimalisir efek negatif dari pengelolaan DAS di provinsi Sulawesi Tenggara. 5.2.2. Penerapan Perda No.1/2015 Dalam Pengelolaan DAS Konaweha Jika mencermati politik hukum pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara maka penerapan atas pengelolaan DAS Konaweha tidak lepas dari Pasal 6 ayat (1) Perda No.1/2015 yang menyatakan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara meliputi tahapan kegiatan sebagai berikut: a. Perencanaan b. Pelaksanaan c. Monitoring dan evaluasi d. Pembinaan dan pengawasan Adanya



4



(empat)



tahapan



yang



dijalankan



dalam



pengelolaan DAS Konaweha sebagaimana Pasal 6 ayat (1) Perda No.1/2015 merupakan langkah standarisasi pengelolaan DAS yang dilakukan pemerintah daerah provinisi. Dimana setiap DAS yang ada di Sulawesi Tenggara dikelola dengan pola tahapan yang sama berdasarkan ketentuan hukum yang telah digariskan sehingga pengelolaan



dimaksud



memiliki



konsekuensi



berupa



pertanggunganjawab secara hukum. Sebagai hukum prosedur akan menentukan keabsahan dalam pengelolaan DAS. Hukum prosedur harus dijalankan agar dijunjung tinggi karena sebagai negara hukum berlakunya standar hukum akan menjamin perlakuan yang sama di hadapan hukum



agar menghadirkan hukum yang adil dan tidak



memihak.



39



Kondisi riil tentang penerapan Perda No.1/2015 dalam pengelolaan DAS Konaweha akan diuraikan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Perda No.1/2015 dengan tahapan-tahapan berikut ini: a. Perencanaan Perencanaan



terhadap



pengelolaan



DAS



Konaweha



dituangkan dalam suatu dokumen resmi dengan nomenklatur” Rencana Pengelolaan DAS Konaweha”. Penyusunan dokumen dimaksud



agar



pengelolaan



DAS



Konaweha



dilaksanakan



berdasarkan prinsip keterpaduan dan kesetaraan. Pengelolaan DAS tersebut juga disertai komitmen menerapkan penyelenggaraan sumber daya alam yang adil, efektif dan efisien. Urgensi dari tahap perencanaan karena menentukan tentang tindakan selanjutnya untuk meminimalisir dampak negatif dari keberadaan DAS Konaweha. Sejumlah wilayah telah merasakan benar dampak negatifnya. Secara ilustratif pihak BPBD Provinsi Sultra menggambarkan kondisi banjir di wilayah DAS Konaweha di Kabupaten Konawe pada tahun 2019. Dedet Ilnari Yusta, S.E., M.A.in CD., Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan



Penanggulangan



Bencana



Daerah



(BPBD)



Provinsi



Sulawesi Tenggara, mengatakan, peristiwa di tahun 2019 merupakan bencana paling besar dalam 5 (lima) tahun terakhir. “Bahkan sampai ada jembatan yang putus. Seperti di Jembatan Ameroro diantara Kecamatan Uepai dan Unaaha,Konawe.” (Wawancara Dedet Ilnari Yusta, S.E., M.A.in CD.,di Kendari, Rabu 28 April 2021) Apa yang disampaikan oleh pihak BPBD Provinsi Sulawesi Tenggara tersebut diatas merupakan sebagian kecil dari dampak banjir di Kabupaten Konawe. Kerusakan di wilayah ini pada tahun 2019 sebagai akibat bencana banjir tidak semata-mata berdampak pada jembatan tetapi korban jiwa, kerusakan rumah, sekolah, tempat ibadah, fasilitas umum bahkan pertanian, perikatan serta peternakan.



40



Secara lebih lengkap pihak BPBD Kabupaten Konawe telah mencatat atas adanya dampak bencana banjir pada tahun 2019. Dimana dampak yang tercatat meliputi sebagaimana tercatat di bawah ini: Gambar 5.6 Data Dampak Banjir 16 Juni 2019 di Kabupaten Konawe



Sumber BPBD Konawe 2021



Dampak Konaweha



perusakan



yang



ditimbulkan



oleh



sungai



sebagaimana terungkap diatas memerlukan adanya



41



suatu tindakan antisipatif. Sebuah perencanaan yang baik merupakan bentuk antisipasi meskipun belum tentu mampu menghentikan secara tuntas adanya bencana yang timbul diwilayah DAS Konaweha. Namun setidaknya dengan perencanaan yang terprogram dengan baik diharapkan mencegah ekses negatif yang ditimbulkan akibat keberadaan DAS Konaweha. Berdasarkan pemahaman Pasal 6 ayat (1) Perda No.1/2015 itu maka penerapan



pengelolaan DAS Konaweha harus



dilaksanakan melalui tahapan-tahapan sebagaimana dimaksudkan. Muhmmad Aziz Absoni, Kepala BPDASHL Sampara, mengatakan bahwa tahap perencanaan pengelolaan DAS Konaweha melibatkan instansi terkait yang ditetapkan melalui SK Gubernur. Tim selanjutnya akan menyusun perencanaan berdasarkan potensi masalah dalam bentuk matriks yang dituangkan dalam bentuk rencana aksi. Penyusunan perencanaan itu akan disetujui oleh Gubernur yang selanjutnya disosialisasikan oleh pihak BPDASHL kepada instansi – instansi berkompeten. Sementara pada tahap Pelaksanaan secara operasional dilakukan oleh tim yang telah termuat dalam matriks perencanaan. Tim pelaksana yang terlibat ditentukan berdasarkan urgensi yang telihat dalam Matriks yang berisi rencana aksi pengelolaan DAS tersebut. ”Kemudian ini tergantung pihak-pihak yang disosialisasi karena apa yang disampaikan oleh BPDAS tidak mengikat. Dari matriks tersebut termuat sebuah rencana aksi dan akan kelihatan tentang siapa bertanggung jawab apa” (Wawancara Muhammad Aziz Absoni, di Kendari, Jumat 30 Juli 2021) Implementasi atas perencanaan pengelolaan DAS yang dikemas dalam bentuk rencana aksi merupakan persoalan tersendiri. Tim yang ditetapkan melalui SK Gubernur tersebut seharusnya dipandang sebagai pihak yang memiliki legalitas. SK Gubernur



yang



menjadi



dasar



pelaksanaan



perencanaan



pengelolaan DAS merupakan dasar legalitas tindakan administrasi,



42



yang artinya perencanaan pengelolaan DAS sebagai suatu dokumen resmi adalah sah adanya. Namun perencanaan sebagai produk tindakan administrasi belum tentu mengikat semua pihak. Otoritas Gubernur hanya berlaku dalam lingkup wewenangnya sementara dalam pengelolaan DAS yang sifatnya lintas sektoral tidak terjangkau semua oleh wewenang dimaksud. Pada sisi lain, sekalipun perangkat daerah di bawah kendali gubernur jika produk tim perencanaan itu bukan merupakan prioritas penganggaran dalam pengelolaan DAS maka hal ini juga merupakan suatu kendala. Organisasi Perangkat Daerah akan menolak membiayai jika mereka memandang sebagai suatu penyimpangan anggaran atau bukan penyimpangan anggaran tetapi bukan merupakan prioritas untuk dibiayai. b. Pelaksanaan Perihal tahapan pelaksanaan Pasal 6 ayat (1) Perda No.1/2015 itu juga disampaikan oleh La Ode Yulardhi Yunus, Kepala Bidang Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan



(PDAS



RHL)



Dinas



Kehutanan



Provinsi



Sultra.



Menurutnya, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi lintas kabupaten/kota merupakan wewenang pemerintah provinsi. “Jadi kalau ada dana APBD maka dilaksanakan di luar kawasan hutan kita di lahan-lahan APL (Areal Penggunaan Lain). Kalau di dalam DAS bukan domain kami.” (Wawancara La Ode Yulardhi Yunus, Rabu, di Kendari,14 April 2021) Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) tidak menganulir bahkan mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (PP No.37/2012). Diketahui juga bahwa kententuan Pasal 42 huruf b PP No.37/2012 bahwa pengelolaan DAS dalam provinsi dan/ atau lintas kabupaten/kota merupakan 43



wewenang Gubernur. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 huruf b PP No.37/2012 itu maka dalam rangka pengelolaan DAS bukanlah hal yang dilarang jika menggunakan dana APBD. Bahkan ketika menyangkut inventarisasi hutan di tingkat DAS Konaweha sebagai wilayah administratif Provinsi Sulawesi Tenggara. Tindakan inventarisasi hutan ini dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Pasal 9 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, sebagai peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja, menyatakan sebagai berikut: “Inventarisasi hutan tingkat DAS diselenggarakan oleh gubernur pada DAS yang wilayahnya di dalam provinsi.” Dengan berlakunya norma-norma yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 maka harus menjadi rujukan materi muatan perubahan Perda No.1/2015 nantinya agar kendala dalam tahapan pengelolaan di sektor inventarisasi hutan tingkat DAS di dalam provinsi memiliki solusi hukum. Masuknya norma-norma itu sebagai salah satu langkah untuk menyelaraskan secara hirarkis sebagaimana seharusnya politik hukum perundang-undangan. Secara politik hukum, penyelarasan yang dilakukan ini sebagai langkah agar pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara berjalan sebagaimana tujuan hukum dalam rangka mencapai tujuan negara. Pada sisi lain berlakunya hukum yang baru yang asalnya dari aturan yang lebih tinggi tentu akan berpengaruh secara sosial. Langkah penyesuaian secara hirarkis vertikal ke bawah juga melahirkan hukum secara responsif di masyarakat. Secara teoritis hukum yang responsif harus



terbuka



mengedepakan



perubahan-perubahan



sosial



akomodasi



demi



untuk



mencapai



menerima



keadilan



dan



emansipasi publik agar meminimalisir efek negatif dari perubahan 44



sosial yang ada akibat penerapan hukum. Hal ini dipahami karena hukum merupakan media untuk merespon kebutuhan dan aspirasi sosial. c. Monitoring dan Evaluasi Tahap monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS Konaweha belum terlaksana secara optimal. Karena dari tahap pelaksanaannya yang melibatkan berbagai bidang institusi yang memiliki



otoritas



masing-masing.



Persinggungan



antara



kewenangan masing-masing institusi dalam tahapan pelaksanaan terbawa-bawa juga pada tahap monitoring dan evaluasi. Masing masing pihak belum terpola menjadi menjadi satu dalam menjalankan tugas monitoring dan evaluasi. “Tahap monitoring dan evaluasi belum pernah dilakukan karena melibatkan banyak sektor tergantung seberapa besar akan tergerak untuk melaksanakan rencana aksi. Setiap instansi ada keterbatasan - keterbatasan tersendiri pada setiap tahunnya.” (Wawancara Muhammad Aziz Absoni, di Kendari, Jumat 30 Juli 2021) Ketiadaan tahapan monitoring dalam pengelolaan DAS Konaweha saat ini telah memunculkan sejumlah masalah di wilayah cakupan DAS Konaweha. Riswan Mangidi, ST., selaku Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Konawe Selatan, mengungkapkan, Kecamatan Mowila yang meliputi Desa Amasara sampai di Desa Pudahoa merupakan daerah hutan tanaman industri. Pohon-pohon di wilayah itu yang berada di tepian sungai telah banyak di tebang oleh warga. “ Di sekitar Pudahoa tadinya merupakan hutan lindung kemudian mau diturunkan statusnya menjadi hutan rakyat. Ternyata sampai sekarang belum diturunkan statusnya tapi tanahnya telah banyak diperjualbelikan.” (Wawancara Riswan Mangidi, ST., di Andoolo, Selasa 13 April 2021) Tabel 5.1 Klasifikasi Fungsi Kawasan Hutan di Kabupaten Konawe Selatan



45



Sumber: Data olahan AreGIS 2019 (Hardianti, A., & Harudu, L. (2019). Pemetaan Persebaran Hutan Menurut Klasifikasi Arahan Fungsi Kawasan Hutan Di Kabupaten Konawe Selatan Berbasis Sig. Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi, 4(3), 79-88.)



Berdasarkan hal yang telah diuraikan oleh pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Konawe Selatan dengan tabel klasifikasi kawasan hutan di Konawe Selatan tersebut diatas, terlihat ada kesesuaian. Ada ketimpangan antara luasan hutan lindung dengan hutan produksi. Dimana kondisi hutan lindung di tahun 2019 tersisa tinggal 24% (109.495,28 Ha) dari jumlah keseluruhan luasan hutan 421.364,64 Ha. Sementara sebanyak 76 % merupakan kawasan hutan produksi. Permasalahan juga ditemukan di Kabupaten Konawe yang memerlukan tindakan monitoring dan evaluasi. Sainal, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Konawe, mengatakan, alih fungsi lahan merupakan faktor yang membuat semakin parah banjir yang terjadi. Pada tahun 2020 sebanyak 18 (delapan belas) kecamatan



mengalami bencana banjir akibat



sungai Konaweha dan Lahumbuti akibat di wilayah ketinggian terjadi alih fungsi lahan. “Akibat alih fungsi lahan seperti perkebunan sawit , banjir yang tadinya tidak sampai mencapai tinggi jembatan di Kecamatan Anggaberi kini sudah sampai banjirnya.” (Wawancara Sainal, di Unaaha, Selasa 20 April 2021) Pada tahun 2019 silam peristiwa banjir terjadi di Kecamatan Anggaberi. Berdasarkan laporan



Balai Wilayah



Sungai Sulawesi IV Kendari kepada POSKO PB PU Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Jakarta pada tanggal 16 Juni 2019 juga mencatat



46



kejadian banjir di Desa Wundongohi dan Desa Andabia di Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe pada 9 Juni 2019. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit pada DAS Konaweha terlihat di wilayah Kabupaten Konawe. Di Desa Duriasih Kecamatan Wonggeduku, terlihat secara jelas perkebunan sawit dengan areal persawahan yang berdampingan. Sebagaimana dikatahui, dari sisi investasi buah sawit sebagai komoditi perdagangan baik dalam negeri atau luar negeri dinilai sangat menguntungkan. Tidak mengherangkan jika perkebunan sawit terus berkembang seiring tingginya permintaan komoditi ini, tidak terkecuali di wilayah Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa Duriasih secara administratif berada kecamatan Wonggeduku yang merupakan wilayah cakupan DAS Konaweha. Ancaman ekspansi lahan sawit di wilayah ini begitu nyata yang tidak menutup kemungkinan ketika perkebunan sawit tersebut berkembang pesat maka lahan sawahnya akan dikonversi menjadi kebun sawit. Kondisi ini dapat terlihat nyata ketika tim peneliti melakukan kunjungan lanpangan di Kabupaten Konawe. Fakta yang terungkap di Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan tersebut diatas dapat diantisipasi sejak awal kalau monitoring dan evaluasi dijalankan secara terintegrasi masingmasing instansi serta berkala disertai kedisiplinan yang tinggi. Stake holder yang membidangi lahan dan tata ruang akan bersikap terhadap alih fungsi lahan yang terjadi. Perizinan yang yang tidak terkendali akan disikapi oleh stake holder agar ekses negatif yang menjadikan degradasi lahan ditiadakan atau ditetapkan dengan syarat yang ketat. Berlakunya Perda No.1/2015 idealnya menjadi perekat antar institusi ketika kepentingan mereka bersinggungan dengan pengelolaan DAS Konaweha. Semua pihak harus tunduk pada Perda No.1/2015 sehingga



norma-norma yang terkandung 47



didalamnya menjadi acuan untuk menyikapi pengelolaan DAS Konaweha. Perencanaan yang di dalamnya memuat rencana aksi secara jelas melibatkan instansi-instansi yang terlibat dalam monitoring dan evaluasi. Adanya fakta yang mengemuka sebagaimana disampaikan oleh informan diatas bukan semata-mata yang menjadi kendala dalam tahapan monitoring dan evaluasi. Perda No.1/2015 sendiri telah memberi wewenang secara atribusi kepada Gubernur untuk menjalankan monitoring dan evaluasi atas pengelolaan DAS. Namun dalam menjalankan wewenang tersebut memerlukan suatu tata cara monitoring dan evaluasi. Untuk merealisasikan suatu tata cara monitoring dan evaluasi juga memerlukan peraturan delegasi setingkat peraturan Gubernur, sebagaimana Pasal 37 Perda No.1/2015 menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara monitoring dan evaluasi Pengelolaan DAS, diatur dengan Peraturan Gubernur.” Hal yang dikemukakan oleh informan Muhammad Aziz Absoni bahwa monitoring dan evaluasi belum pernah dilakukan bukan semata-mata keterbatasan-keterbatasan instansi. Lebih dari hal itu instrument hukumnya belum direalisasikan. Peraturan Gubernur yang mengatur mengenai tata cara monitoring dan evaluasi Pengelolaan DAS sebagaimana termaktub dalam Pasal 37 Perda No.1/2015 belum ditetapkan sama sekali hingga saat ini. d. Pembinaan dan Pengawasan Pembinaan dan Pengawasan dalam pengelolaan DAS Konaweha harus selaras dengan Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 56 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan



Daerah



Aliran



Sungai,



dimana



pembinaan



dilaksanakan pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi. Sementara dari aspek pengawasannya, Gubernur berdasarkan wewenangnya melakukan pengawasan terhadap pengelolaan DAS Konaweha. 48



Permasalahan yang terjadi pada tahap monitoring dan evaluasi sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas kemudian berimbas pada tahap pembinaan dan pengawasan akibat Perda No.1/2015 yang sudah ditetapkan belum ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaannya. Padahal sesuai Pasal 40 ayat (2) Perda No.1/2015 , menegaskan bahwa: “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan DAS diatur dengan Peraturan Gubernur.” Pihak BPDASHL Sampara sebagai salah satu unsur yang terlibat dalam pengelolaan DAS Konaweha merasakan betul perihal dampak belum ditetapkannya tata cara pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan DAS di wilayah Sulawesi Tenggara.



Kondisi ini



memiliki



dampak



ikutan terhadap



pengelolaan DAS Konaweha. “Ketika Perdanya tidak memiliki peraturan pelaksana maka pengelolaan DAS mengalami stagnasi. Pelaksana di lapangan akan ragu bertindak kalau tidak ada peraturan pelaksanannya karena merasa belum memiliki legitimasi.” (Wawancara Muhammad Aziz Absoni, di Kendari, Jumat 30 Juli 2021) Ekses yang terjadi akibat pengelolaan DAS yang stagnan akan terlihat pada kondisi riil yang terjadi di wilayah DAS Konaweha. Ekses negatif yang timbul diantaranya bencana banjir, tanah langsor, , erosi, dampak industri tambang, degradasi lahan serta pendangkalan sungai semakin tidak terkendali. Di Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka kehadiran industry tambang Nikel telah berdampak pada kondisi lingkungan. Masjidin, AMd.Kom. Sekretaris Desa Ulu Lapao-pao, mengatakan PT Ceria yang beroperasi



di sekitar



kecamatan



Wolo



dianggapnya



telah



berkontribusi atas terjadinya pencemaran sungai atas kondisi ini tidak dapat dihindari terjadinya perairan laut di sekitar Desa Ulu Lapao-pao.



49



“Kami pernah pergi cek naik katinting. Sekarang petani rumput laut sudah tidak ada lagi di lokasi akibat pencemaran. Gunung masih ada saat ini belum merupakan ancaman. Jika nanti telah ditambang ore nikelnya baru ada ancaman.” ( Wawancara Masjidin, AMd.Kom., di Wolo, Kamis 8 Juli 2021) Apa yang dikeluhkan oleh warga kecamatan Wolo mengenai pencemaran akibat aktifitas tambang sudah dirasakan sejak tahun 2013. Data sekunder yang menunjukkan peristiwa itu terlihat dalam pemberitaan media siber pada kurun waktu tersebut. Portal berita Kompas.com - 23/12/2013, 13:26 WIB mengangkat judul "Lingkungan di Wolo Terbukti Tercemari Limbah Tambang" (https://regional.kompas.com/read/2013/12/23/1326124/Lingkunga n.di.Wolo.Terbukti.Tercemari.Limbah.Tambang,diakses Jumat 15 Oktober 2021) Di Kabupaten Konawe degradasi lahan terjadi dimana area yang tadinya hutan telah dikonversi menjadi perkebuan warga serta perkebunan industry kelapa sawit. Agusalim, S.H., Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Konawe, mengatakan, masyarakat yang menanam di ketinggian kemudian turun hujan sehingga menimbulkan erosi dimana air dengan kecepatan tinggi menuju sungai tidak lagi sempat terserap oleh tumbuhan sehingga terjadi sedimen lumpur. Semakin hari pendangkalan sungai terus terjadi sehingga permukaan air terus naik. Sementara perkebunan kelapa sawit kurang menguntungkan dari sisi lingkungan karena banyak membutuhkan air. Sepanjang bantaran sungai Konaweha dan Lahumbuti dapat ditemui perkebunan sawit. “Degradasi lahan dari tahun ke tahun akan bertambah jika tidak diantisipasi pemerintah, akan terus meluas. Harus ada langkah pengendalian. Kan lebih bagus ada pengendalian dari pada dipulihkan.” (Wawancara Agusalim, S.H., di Unaaha, Senin 19 April 2021)



50



Fakta yang terungkap berdasarkan informan penelitian di Kabupaten Kolaka serta Kabupaten Konawe tersebut diatas menggambarkan betapa dampak adanya stagnasi pengelolaan DAS Konaweha akibat pembinaan dan pengawasan yang belum berjalan menimbulkan kerugian yang besar dari sisi pelestarian alam di wilayah DAS Konaweha. Ancaman terhadap bahaya banjir sangat besar resikonya akibat degradasi lahan baik oleh perkebunan warga ataupun perkebunan kelapa sawit. Peraturan Gubernur tentang tata cara pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan DAS dirasakan begitu mendesak agar penerapan Perda No.1/2015 tidak mengalami hambatan secara operasional. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 Dalam



Pengelolaan DAS Konaweha, secara operasional belum dapat



berjalan secara optimal. Dari segi pengelolaan DAS Konaweha mengalami kendala yang serius karena mengalami stagnasi dari aspek perencanaan. Pengelolaan DAS Konaweha yang begitu stagnan karena peraturan pelaksanaan yang dituangkan ke dalam Peraturan Gubernur belum pernah ditetapkan sejak lahirnya peraturan daeran tentang pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara pada tahun 2015 silam. 5.3. Problematika Penanggulangan Banjir di DAS Konaweha Setelah mencermati permasalahan penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 (Perda No.1/2015) dalam pengelolaan DAS Konaweha sebagaimana telah dibahas pada sub bahasan Bab V point 5.2. penelitian ini maka problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha akan dibahas berdasarkan hal-hal berikut ini: 5.3.1. Masalah Penyesuaian dengan Peraturan yang Lebih Tinggi a. Penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) memerlukan operasionalisasi sehubungan dengan diterbitkannya sejumlah peraturan delegasinya. Hingga per 24 Februari 2021, pemerintah 51



telah menerbitkan sebanyak 45 Peraturan Pemerintah sebagai produk turunan dari UU Cipta Kerja. Dinamika perundangundangan tersebut tentu memberi konsekuensi perundangundangan di level bawah termasuk di dalamnya Peraturan Daerah Provinsi



Sulawesi



Tenggara



Nomor 1 Tahun 2015 (Perda



No.1/2015). Sebagaimana dipahami bahwa sebagai hukum positif Perda No.1/2015 tersebut terikat dengan asas hukum lex superior derogat legi inferior yang berarti peraturan yang lebih rendah (lex inferior) tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior). Kondisi ini harus dimaknai bahwa landasan hukum dipakai oleh Perda No.1/2015 yang telah dibatalkan sebagai konsekuensi lahir oleh UU Cipta Kerja sebagai aturan baru menggantikan undang-undang yang lama telah usang. Berangkat dari kenyataan tersebut maka dibutuhkan tindakan penyesuaian



dengan



peraturan



yang



lebih



tinggi



yang



menggantikan landasan hukum Perda No.1/2015 yang telah usang tersebut. Pihak Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara telah mencermati dinamika hukum yang terjadi sebagai akibat terbitnya UU Cipta Kerja tersebut. La Ode Yulardhi Yunus, Kepala Bidang Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan,



Dinas



mengatakan,



Kehutanan



banyaknya



Provinsi



regulasi



pemerintah pusat membuat



yang



Sulawesi



Tenggara,



diperbaharui



oleh



Perda No.1/2015 mengalami



kesulitan untuk diterapkan. Menurutnya, pengelolaan DAS di daerah memerlukan revisi atas peraturan daerah yang telah ada. “Kalau berbicara DAS maka kita harus merevisi Perdanya dulu. Bahkan sejak tahun 2015 banyak keluar regulasi baru.” (wawancara La Ode Yulardhi Junus di Kendari, Rabu 14 April 2021)



52



Adapun konsekuensi atas diterbitkannya UU Cipta Kerja maka sejak per 24 Februari 2021, pemerintah pusat telah menerbitkan sebanyak 45 Peraturan Pemerintah serta 4 Peraturan Presiden, berdasarkan publikasi



pihak Sekretaris



Kabinet



Republik Indonesia (https: // setkab. go. id/ daftar- tautan -49 -aturan- pelaksana- uu –cipta -kerja/,diakses Rabu 25 Agustus 2021) . Dengan pemahaman bahwa ke 49 (empat puluh Sembilan) peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja tersebut diatas telah mempunyai kekuatan mengikat secara hukum maka dengan sendirinya Perda No.1/2015 harus segera menyesuaikan dengan mengganti payung hukumnya yang telah usang. Dampak hukum dari



berlakunya



peraturan



pemerintah



sebagai



peraturan



pelaksanaan UU Cipta Kerja bagi Perda No.1/2015, terlihat ada dua peraturan pemerintah yaitu: 1. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berdampak pada pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air yang menjadi landasan hukum Perda No.1/2015 pada bagian dasar hukum (mengingat) no: 12 2. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan berdampak pada pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, yang menjadi landasan hukum Perda No.1/2015 pada bagian dasar hukum (mengingat) no: 13 Atas pencabutan tersebut maka agar nantinya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka bagian dasar hukum (mengingat) pada nomor 12 dan 13 dalam Perda No.1/2015 segera digantikan dengan memasukan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021.



53



b. Penyesuaian dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air Sebagaimana diketahui bahwa terbitnya UndangUndang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air maka berdasarkan ketentuan penutup Pasal 76 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 secara tegas menyatakan: “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tenrang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;” Konsekuensi hukum atas kekuatan mengikat dari Pasal 76 huruf a Undang-Undang Nomor I7 Tahun 2019 maka mengharuskan adanya perubahan pada bagian dasar hukum (mengingat) angka 3 dengan menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tenrang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046) dengan peraturan yang baru berupa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190) Pada sisi lain, dengan ditetapkannya Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ternyata telah mengubah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Perubahan oleh undang-undang yang baru ini berdampak pada redaksi bagian dasar hukum (mengingat) angka 3 Perda No.1/2015 yaitu: “3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (l,embaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).”



54



Urgensi dari penambahan atas redaksi bagian dasar hukum (mengingat) angka 3 Perda No.1/2015 menegaskan bahwa landasan hukumnya telah mengadopsi Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air yang telah diubah oleh Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 5.3.2. Masalah Peraturan Pelaksanaan Dari Perda No.1/2015 Masalah peraturan delegasi atau peraturan pelaksanaan dalam pengelolaan DAS Konaweha telah mengemuka pada pembahasan di sub bahasan Bab V point 5.2. penelitian ini. Kendala yuridis yang mengemuka yaitu sejumlah peraturan delegasi dalam bentuk



Peraturan



Gubernur



yang



seharusnya



ada



setelah



ditetapkannya Perda No.1/2015 belum direalisasikan. Sebagaimana diketahui, sebanyak 9 (Sembilan) rancangan peraturan gubernur (Rapergub) sebagai peraturan delegasi atas Perda No.1/2015 telah diserahkan sejak tahun 2018 lalu tetapi belum ditetapkan. Belum diterbitkannya 9 (Sembilan) Rapergub itu merupakan sesuatu yang problematik dari implementasi rencana pengelolaan DAS yang sejalan dengan Perda No.1/2015. Muhmmad Aziz Absoni, Kepala BPDASHL Sampara, mengatakan Perda No.1/2015 belum efektif karena peraturan pelaksanaannya belum terbit. Bahkan para inisiator Perda tersebut yang tergabung



dalam Forum DAS Sultra telah berupaya ke



Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia



agar peraturan



pelaksana itu terbit. “Proses di Mendagri memberi petunjuk agar 9 (Sembilan) Rapergub itu di jadikan satu saja. Ini sementara tahap finalisasi tetapi akibat pandemik Covid-19 mandeg, pertemuan-pertemuan juga mandeg.” (Wawancara Muhmmad Aziz Absoni, di Kendari, Jumat 30 Juli 2021) Penerapan Tenggara



Peraturan



Nomor 1 Tahun 2015



Daerah Dalam



Provinsi



Sulawesi



Pengelolaan DAS



Konaweha belum operasional secara penuh. Penetapannya sebagai sebuah norma yang mengatur tentang pengelolaan DAS hanya 55



menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah regulasi daerah saja. Namun keberadaannya sebagai peraturan yang besifat mengikat bagi berbagai pihak di wilayah yurisdiksi Sulawesi Tenggara belum operasional secara penuh. Disamping banyaknya perundangan baru yang memerlukan penyesuaian peraturan di bawahnya, fakta juga menunjukkan bahwa Perda No.1/2015 dalam



pengelolaan DAS



Konaweha memerlukan sejumlah peraturan pelaksanaan agar regulasi daerah dimaksud mampu dioperasionalkan oleh instansi pelaksana. Keberadaan peraturan daerah tentang Pengelolaan DAS sejak tahun 2015 yang tidak segera dilengkapi oleh peraturan delegasi membuat penerapannya belum optimal sama sekali. Sebagaimana dipahami bahwa Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015



tentang



Pengelolaan DAS memerlukan peraturan delegasi



yang lebih teknis berupa Peraturan Gubernur agar menjadi acuan instansi pelaksana dan impelemtasinya di masyarakat tidak menimbulkan berbagai interpretasi. Dalam perspektif lain pihak Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara menilai Rapergub yang akan menjadi peraturan delegasi tersebut sangat tergantung dengan Perda No.1/2015 tersebut. Dimana Perda yang ditetapkan pada enam tahun lalu itu masih memerlukan penyesuaian lebih lanjut dengan peraturan yang baru diterbitkan oleh pusat saat ini. La Ode Yulardhi Junus, Kabid. Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (PDAS RHL) Dishut Sultra, mengatakan, untuk merubah peraturan daerah itu memerlukan pendanaan. “Kendala utama pada masalah finansial, sehingga gagasan untuk melanjutkan Perda itu menjadi stagnan. Tahun 2019 mulai lagi menindaklanjuti penyusunan Pergubnya.” (wawancara La Ode Yulardhi Junus di Kendari, Rabu 14 April 2021)



56



Keberadaan peraturan gubernur sebagai produk turunan dari Perda No.1/2015 yang tidak pernah diterbitkan sejak ditetapkannya pada tahun 2015 hingga saat ini di tahun 2021 menunjukkan politik hukum yang telah ditetapkan belum disikapi sebagai suatu prioritas. Hal ini artinya masa 6 tahun yang telah berlalu sejak lahirnya Perda No.1/2015 dapat dimaknai bahwa pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara belum dipandang sebagai prioritas di bandingkan kebutuhan di sektor hukum lainnya. Sebagaimana dikatakan pihak Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, penerapan Perda No.1/2015 mengalami stagnasi akibat belum ada peraturan gubernur yang dapat dipakai sebagai pedoman pelaksanaannya di lapangan. Kebuntuan atas penerapan Perda No.1/2015 tersebut merupakan kendala tersendiri dalam pengelolaan DAS Konaweha. Pelaksanaan pengelolaan DAS melibatkan berbagai stake holder. Fakta menunjukkan sejumlah permasalahan akibat penerapan hukum dalam pengelolaan DAS Konaweha belum optimal sepenuhnya. Pasal 6 Perda No.1/2015 telah mengatur bagaimana pengelolaan DAS di Provinsi Sulawesi Tenggara, termasuk DAS Konaweha di dalamnya. 5.3.3. Masalah Pendanaan Dalam pengelolaan DAS Konaweha saat ini juga mengalami kendala dari segi pendanaan baik dari



aspek



pembentukan peraturannya serta aspek teknis operasionalnya. Permasalahan dana ini sebenarnya sudah mengemuka sejak pembentukan dari Perda No.1/2015 itu sendiri karena pembentukan tersebut didanai oleh lembaga donor dari Kanada yakni The Environmental Governance and Sustainable Livehoods Program (EGSLP) yang membiayai operasional Forum DAS Sulawesi Tenggara selaku inisiator Perda No.1/2015. Ketua Forum DAS Sulawesi Tenggara, Dr. La Baco Sudia, M.Si., mengatakan, katika lembaga donor tersebut menghentikan bantuanya pada tahun 2015 sangat dirasakan perihal pendanaan itu.Terhentinya bantuan lembaga 57



donor bukan satu-satunya masalah terkait pendanaan, merebaknya pandemi Covid-19 juga menjadi persoalan lainnya terkait pendanaan. “Ada kendala pendanaan Forum DAS sejak tahun 2015, donor internasional terhenti.Terkait Covid-19 pendanaan dari BPDASHL juga terhenti, nanti tahun 2021 baru dialokasikan lagi.” (Wawancara Dr. La Baco Sudia, M.Si.,di Kendari, Sabtu, 1 Mei 2021) Pada aspek pembentukan peraturanya menyangkut revisi atas Perda No.1/2015 dan peraturan pelaksanaannya. Akibat dari keterbatasan dana yang tersedia maka penyempurnaan perda tersebut melalui revisi mengalami kendala bahkan peraturan pelaksanaannya belum diterbitkan hingga saat ini. La Ode Yulardhi Junus, Kabid. Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (PDAS RHL) Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara. "Kendala utama pada masalah finansial, sehingga gagasan untuk melanjutkan Perda itu menjadi stagnan.Tahun 2019 mulai lagi menindaklanjuti penyusunan Pergubnya...” (Wawancara La Ode Yulardhi Junus, di Kendari, Rabu 14 April 2021) Persoalan pendanaan dalam revisi Perda No.1/2015 serta pembentukan peraturan pelaksanaannya merupakan problematika tersendiri. Pada satu sisi politik anggaran daerah pada saat ini belum menempatkan anggaran revisi perda itu sendiri sebagai prioritas untuk di biayai. Dampak penularan virus corona yang sedang berlangsung saat ini membutuhkan dana anggara yang bersifat ekstra sehingga tidak mengherankan terjadi refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19 di Indonesia. Dampak dari kondisi anggaran yang demikian bukan hanya menghambat revisi Perda No.1/2015 semata tetapi juga pembentukan Rapergub sebagai peraturan pelaksanaannya. Permasalahan pendanaan sehubungan dengan peraturan daerah tentang pengelolaan DAS Sultra serta produk turunannya seperti peraturan gubernur merupakan produk hukum daerah. Atas kenyataan



ini,



sebagai



produk



hukum



daerah



maka



baik 58



pembentukan ataupun yang bersifat revisi seharusnya menjadi tanggung jawab daerah untuk menyediakan dananya. Harus diakui ketika menyangkut DAS, pengeloaannya melibatkan berbagai pihak baik pusat maupun daerah. Ketika berbicara produk hukum daerah sudah seharusnya pendanaannya oleh daerah. Apalagi ketika penyangkut pelaksanaan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara secara yuridis tunduk pada Pasal 42 huruf b dan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dinyatakan: Pasal 42 Pelaksanaan Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 menjadi wewenang dan tanggung jawab: a. Menteri dan menteri terkait sesuai kewenangannya untuk DAS lintas Negara dan lintas Provinsi; b. gubernur sesuai kewenangannya untuk DAS dalam provinsi dan/atau lintas kabupaten/kota; dan c. bupati/walikota sesuai kewenangannya untuk DAS dalam kabupaten/kota. Pasal 43 Dalam hal pemerintah provinsi dan/atau kabupaten/kota melalaikan penyelenggaraan kewenangan dalam pengelolaan DAS, penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan pembiayaan bersumber dari APBD daerah yang bersangkutan. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka sepatutnya pendanaan pengelolaan DAS Konaweha sebagai bagian dari keseluruhan DAS di Sulawesi Tenggara tidak dapat lagi hanya mengandalkan dana dari pendonor atau di luar kas pemerintah daerah. Dengan mencermati Pasal 42 huruf b dan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tersebut diatas maka revisi Perda No.1/2015 dan produk turunannya sebagai landasan hukum pengelolaan DAS di Sultra maka pendanaannya harus diakomodir di APBD Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini mengingat ancaman bencana banjir terus terjadi sepanjang tahun akibat



59



pengelolaan DAS Konaweha serta DAS-DAS lainnya belum dijangkau oleh Perda No.1/2015 serta peraturan pelaksanaannya. 5.3.4. Masalah Deforestrasi Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa deforestasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya banjir. Deforestasi tersebut merupakan tindakan manusia yang merubah lahan yang tadinya berfungsi sebagai hutan menjadi lahan untuk fungsi yang lain secara permanen. Demikian halnya dengan peristiwa banjir di ecoregion DAS Konaweha, ditemukan juga adanya deforestasi. Secara umum data dari pihak Institut Pertanian Bogor menunjukkan bahwa Sulawesi



Tenggara mengalami



deforestasi



sekitar 63.7 ribu ha/tahun pada periode 2000–2009 dan luas lahan memiliki hutan sekitar 1.4 juta ha (Dirjen Planologi 2009). Bila laju deforestasi tidak berubah maka 20 tahun kemudian berhutan



di



Sulawesi



lahan



Tenggara dimungkinkan akan hilang.



Deforestrasi sendiri menimbulkan lahan yang rawan erosi dan bencana longsor maupun banjir. Fakta menunjukkan bencana banjir dialami 21 desa/kelurahan di 6 Kecamatan di Kabupaten Konawe pada bulan Juli 2013 (BPBD Sultra 2013). (Setiawan, H., Jaya, I. N. S., & Puspaningsih, N.,2015). Deforestrasi di ecoregion DAS Konaweha secara empirik diakibatkan oleh: a. Deforestrasi akibat Perambahan Perambahan terjadi di ecoregion DAS Konaweha dapat ditemukan di Kabupaten Kolaka Timur, Konawe serta Konawe Selatan. Riswan Mangidi, ST., Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Konawe Selatan,mengatakan, Desa Amasara hingga Pudahoa merupakan daerah hutan tanaman Industri. Pohon-pohon di sekitar aliran sungai kini telah habis ditebang oleh masyarakat. Termasuk di wilayah Kecamatan Landono, Mowila serta Buke di kiri-kanan sungai telah berubah akibat banyaknya pemukiman. ”Di sekitar Pudahoa (Kec.Mowila) tadinya merupakan hutan lindung telah menjadi hutan 60



rakyat. Ternyata sampai sekarang belum diturunkan statusnya telah banyak dijualbelikan oleh warga”(Wawancara Riswan Mangidi, ST., di Andoolo Kabupaten Konawe Selatan, Senin, 12 Aril 2021) Sementara dari data dari Jurnal Penelitian Pendidikan Biologi Universitas Haluoleo Kendari, terungkap bahwa kawasan Hutan Lindung Wolasi telah banyak terjadi perambahan dan pembukaan lahan untuk kegiatan berladang. Berdasarkan data KPH menyebutkan bahwa 1.137,32 Ha Kawasan Hutan Lindung Wolasi telah mengalami perambahan dari total luas kawasan, yaitu 5.957,02 Ha (KPH Gularaya, 2014). Terjadinya kerusakan lahan pada kawasan tersebut tentunya akan membawa dampak terhadap keseimbangan ekosistem (Adha, N., Munir, A., & Darlian, L.,2018). Perambahan di Kabupaten Kolaka Timur juga terjadi dengan pola yang berbeda. Kepala BPBD Kabupaten Kolaka Timur, Ir. H.M. Anzarullah, M.Si., mengatakan, pengelolaan kebun oleh rakyat di wilayah kecamatan Lalolae dilakukan dengan cara membakar. Hal ini berakibat terjadinya kebakaran hutan di wilayah itu hampir setiap tahun karena kebun yang dibakar tidak terkendali lagi apinya. ”Di sana itu ada rawa Tinondo dimana dasarnya ada batubara muda. Panas 40 derajat saja terbakar karena ada batubara. Biar tidak dibakar akan terbakar.”( Wawancara Kolaka Timur, Ir. H.M. Anzarullah, M.Si., di kompleks perkantoran Kabupaten Kolaka Timur, Senin 19 April 2021) Bentuk perambahan yang terjadi di Kabupaten Konawe diungkapkan oleh Agusalim, SH., Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup



Kabupaten



Konawe.



Dikatakan,



masyarakat



telah



melakukan penanaman di ketinggian kemudian turun hujan dan terjadi erosi dimana air tak sempat terserap tumbuhan tetapi



61



langsung ke sungai sehingga terjadi sedimentasi lumpur yang menyebabkan perubahan arah sungai. Makin hari kedangkalan sungai makin rendah air dari arah hulu sungai tidak sanggup memuat lagi sehingga air naik ke permukaan. Sebagaimana diketahui data dari pihak BPDASHL Sampara menunjukkan bahwa Kabupaten Konawe sebagai ecoregion DAS Konaweha meliputi 21 kecamatan yang terdiri dari



Kecamatan Abuki,



Besulutu, Bondoala,



Amonggedo, Anggaberi,



Asinua,



Kapoiala, Konawe, Lalonggasumeeto,



Lambuya, Latoma, Meluhu, Onembute, Pondidaha, Puriala, Sampara,



Tongauna,



Uepay,



Unaaha,



Wawotobi,



serta



Wonggeduku. “Kebun warga di ketinggian menyebabkan erosi tebing karena air mengikis lahan di ketinggian sehingga terjadi sedimentasi pendangkalan/ pelebaran sungai,” (Wawancara Agusalim, SH., di Unaaha Kabupaten Konawe, Rabu 21 April 2021) Hasil penelitian di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor menunjukkan, seiring dengan bertambahnya waktu dan jumlah penduduk, lahan dikawasan hutan banyak beralih fungsi menjadi areal tanaman perkebunan mente, kakao dan kelapa sawit (perambahan hutan) di Kabupaten Konawe. Akibat dari aktivitas pembalakan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan tersebut menyebabkan meningkatnya luas lahan kritis di DAS Konaweha,(Surya, R. A., Purwanto, J., Yanuar, M., Sapei, A., & Widiatmaka, W.,2015). b. Deforestrasi Akibat Pertambangan Deforestrasi



sebagai



akibat



pertambangan



mengakibatkan hilangnya hutan selain hilangnya keanekaragaman hayati tindakan ini juga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Deforestrasi sebagai dampak aktifitas pertambangan di ecoregion



62



DAS Konaweha juga ditemukan di Kabupaten Konawe , Konawe Selatan, Kolaka Utara, Kolaka, Konawe Utara. Sebagaimana diketahui, data investasi tahun 2014 dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Konawe menunjukkan 14 perusahaan tambang di ecoregion DAS Konaweha . Tabel 5.2. Perusahaan Tambang di Kabupaten Konawe Pada Ecoregion DAS Konaweha



Sumber: http://ptsp.konawekab.go.id/main/fullprofile/32



Sekretaris



Dinas



Lingkungan



Hidup



Kabupaten



Konawe, Agusalim, SH., mengakui adanya aktifitas tambang di DAS Konaweha . ”Pada DAS Sampara (sebut lain dari DAS Konaweha) ini kalau bukan perkebunan sawit ya perusahaan tambang. Kalau warga umumnya memanfaatkan penambangan pasir sungai.”( Wawancara Agusalim, SH., di Unaaha Kabupaten Konawe,Rabu 21 April 2021) Hadirnya perusahaan tambang di Kabupaten Konawe akan menjadi ancaman ketika berada di ecoregion DAS Konaweha. Alih fungsi lahan hutan untuk pertambangan 63



berakibat pada hilangnya fungsi hutan yang memiliki potensi menunda serta mengurangi aliran air banjir ketika hujan dengan durasi yang pendek. c. Deforestrasi Akibat Perkebunan Kelapa Sawit Ancaman bahaya banjir sebagai akibat deforestrasi untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah DAS Konaweha juga terlihat nyata adanya. Irwan, Kepala Desa Laikandonga, Kecamatan Ranomeeto Barat, Kabupaten Konawe Selatan, megalami betul akibat deforestrasi untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah DAS Konaweha. Rumahnya yang hanya berjarak 7 meter dari bibir sungai Konaweha telah dua kali mengalami banjir besar sebagai akibat luapan sungai Konaweha yaitu tahun 2013 dan tahun 2019. Desa yang dipimpinya itu sempat terisolir akibat banjir luapan sungai Konaweha di Desa Laikandonga. Fenomena banjir di Desa Laikandonga menjadi sering terjadi ketika timbul hujan sejak munculnya perkebunan kelapa sawit yang terletak di seberang sungai Konaweha yang secara administrasi berada di Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe. Sejak adanya sawit di seberang sungai di Desa Laikandonga juga mengakibatkan turunnya kualitas air dimana sebelumnya tidak sekeruh sekarang ini akibat tercemar air lumpur. “Dulu memang ada juga banjir tapi tidak seberat dan sesering seperti sekarang ini. Sejak ada sawit kita di sini sering mendapat banjir. Airnya kalau hujan cepat sekali tingginya kalau kemarau air jauh berkurang hingga dasar sungai sebagain mengering.” ( Wawancara Irwan, di Desa Laikandonga, Kecamatan Ranomeeto Barat, Kabupaten Konawe Selatan, Senin, 16 Agustus 2021) Fakta atas keberadaan perkebunan sawit di Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe yang berseberangan langsung dengan Desa Laikandonga nyata adanya. Data menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit milik PT.Mega Utama Tani di Kabupaten Konawe seluas 346.92 hektar dengan luas tanaman 64



346.49



hektar



di



Kecamatan



Besulutu



Kabupaten



Konawe(Ahmad, S. W., Jamili, J., & Mustang, M. 2016). Berdasarkan data dari Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Daerah Kabupaten Konawe (http://ptsp.konawekab.go.id/main/fullprofile/32)



menunjukkan



10 perusahaan yang memiliki izin untuk mengelola perkebunan kelapa sawit, sebagaimana telah dikutip di bawah ini: Tabel 5.3. Data Perusahaan Yang Mendapatkan Izin Lokasi/Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Konawe Tahun 2014



Sumber: http://ptsp.konawekab.go.id/main/fullprofile/32



Mencermati data perusahaan yang mendapatkan izin lokasi/usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Konawe Tahun 2014 tersebut diatas ternyata berkesesuaian dengan kondisi yang dijelaskan oleh Kepala Desa Laikandonga tersebut diatas. Artinya ekspansi lahan kelapa sawit sebagai tindakan deforestrasi telah mengancam DAS Konaweha. Sebagaimana juga diberitakan oleh



sebuah



portal



berita



lingkungan



bernama



Berita



Lingkungan.Com, yang berjudul “Ketika Perkebunan Sawit Membawa Sengsara” bahwa : “Dampak lain dari kehadiran perusahaan sawit ternyata telah menyebabkan krisis air di



65



areal persawahan di sejumlah wilayah di Konawe. Semata bukan karena dampak musim kemarau panjang, tetapi juga dipicu oleh ekspansi perusahaan sawit yang secara seporadis mengolah lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Konaweha.” ( http: // www. beritalingkungan. com/ 2016/ 07/ ketikaperkebunan –sawit -membawa- sengsara. html, diakses Kamis 26 Agustus 2021) Atas hal-hal yang telah diuraikan diatas membuktikan jika



deforestrasi



akibat



perkebunan



kelapa



sawit



telah



menurunkan kualitas air sekaligus menghadirkan ancaman banjir sewaktu-waktu di sebagian wilayah DAS Konaweha. 5.3.5. Pemanfaatan Bantaran Sungai Konaweha Pemanfaatan bantaran sungai Konaweha juga merupakan bentuk lain dari kontribusi banjir di wilayah DAS Konaweha. Pemanfaatan yang demikian merupakan masalah tersendiri yang memerlukan pendekatan infrastruktur dan sosial serta tidak terkecuali pendekatan hukum juga. Permasalahan yang umumnya terjadi terkait pemafaatan bantaran sungai yaitu adanya pemukiman bantaran serta garis sempadan sungai. Konsekuensi atas adanya fenomena pemukiman tersebut maka pemanfatan sungai serta lahan disekitarnya seperti transportasi air, mandi, cuci, kakus hingga pembuangan limbah dan sampah rumah tangga. Bahkan lahan di kiri-kanan sungai yang masih tersisa akan dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Adanya pemanfaatan bantaran sungai akan merugukan sungai bukan hanya kualitas air yang terganggu volume sampah terutama dari rumah tangga di sekitar sungai faktor penyebab banjir yang terjadi. Menghadapi situasi yang demikian tentu memerlukan penyelesaian dari berbagai aspek diantaranya aspek birokrasi dan aspek hukum. Suryaningrat dari pihak Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV Kendari, menyatakan pendapatnya bahwa seharusnya ada larangan dari pihak Badan Pertanahan Nasional untuk sertifikat di garis sempadan sungai yaitu suatu garis maya di kiri dan kanan 66



palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai. Sebagaimana dipahami, ketika seseorang memiliki hak atas tanah di sempadan sungai maka hak dia untuk membangun padahal bangunan itu akan memicu banjir. Di kawasan sungai Konaweha di wilayah Desa



Pohara



banyak



masyarakat



bermukim.



Ada



kendala



pembebasan lahan untuk membuat tanggul sungai. “Pembebasan lahan tanggung jawab Pemda. Idealnya rumah warga dibangun menghadap sungai menghindari sungai itu jadi tempat pembuangan sampah runah tangga.” (Wawancara Suryaningrat di Kota Kendari, Rabu 14 April 2021) Secara faktual pemanfaatan bantaran sungai juga terjadi di Desa Laikandonga Kecamatan Ranomeeto Barat Kabupaten Konawe Selatan. Rumah Kepala Desa Laikandonga hanya berjarak 5 mater dari bibir sungai Konaweha yang ada di wilayah administratif desa tersebut. Banjir sebagai akibat meluapnya sungai Konaweha sudah sering kali terjadi di desa tersebut. Ancaman atas dampak sungai Konaweha di Laikandinga bukan hanya banjir, pengikisan bibir sungai mengakibatkan badan sungai semakin melebar sehingga rumah warga di banran sungai semakin dekat dengan bibir sungai. “ Belakang rumah saya ini dulunya sekitar 7 meter dari pinggir sungai. Sekarang semakin dekat belakang rumah. Waktu hujan 2019 lalu air naik sangat tinggi sampai banjir di sini.”( Wawancara Irwan, di Desa Laikandonga Kecamatan Ranomeeto Barat Kabupaten Konawe Selatan, Senin, 16 Agustus 2021) Menyadari dampak buruk adanya pemukimann pada garis sempadan sungai Konaweha maka hal ini memerlukan adanya instrument hukum yang mengatur tentang pemukiman di bantaran sungai termasuk juga di garis sempadan sungai agar setidak-tidaknya mengurangi potensi banjir di wilayah DAS Konaweha. Mereka yang bermukim pada garis sempadan sungai Konaweha harus memiliki izin mendirikan bangunan yang diatur secara ketat.



67



Guna menjaga kelestarian sungai Konaweha tersebut maka instrument hukum perizinan yang merupakan wewenang pemerintah Kabupaten/Kota hendaknya memulai untuk mengatur pemukiman pada garis sempadan sungai Konaweha. Keberadaan instrument hukum tersebut nantinya akan menghadirkan pemukiman ramah lingkungan yang bertalian dengan pelestarian wilayah DAS Konaweha. 5.4 Solusi Hukum Atas Problematika Penanggulangan Banjir Konaweha



di DAS



Solusi hukum merupakan salah satu alternatif penyelesaian atas persoalan yang dialami masyarakat. Dalam pengelolaan DAS Konaweha yang telah dipayungi oleh Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Perda No.1/2015), ternyata belum mampu menjawab sejumlah problematika yang terjadi yang memerlukan adanya solusi secara hukum. Problematika yang mengemuka pada sub bahasan 5.3 Bab V pada pokoknya bukan semata-mata masalah revisi Perda No.1/2015 sebagai akibat dinamika sosial serta adanya produk hukum baru yang lebih tinggi. Kondisi yang demikian tentu mempengaruhi materi muatan Perda No.1/2015 sebagai produk hukum pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara dimana mutatis-mutandis berlaku pada DAS Konaweha. Pada sisi lain Peraturan Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan Perda No.1/2015 juga belum ditetapkan karena 9 (Sembilan) Rapergub yang akan dibentuk memerlukan penyempurnaan berdasarkan pertimbangan yuridis dan sosiologis. Dengan demikian maka solusi hukum yang diharapkan dalam penelitian ini, menyangkut revisi Perda No.1/2015 kemudian peraturan pelaksanaannya serta masalah pendanaan dan deforestrasi. Selanjutnya mengenai hasil dan pembahasan penelitian ini akan diuraikan lebih lanjut ke



68



dalam suatu solusi hukum berdasarkan permasalahan yang ada, sebagaimana dikemukakan dibawah ini: 5.4.1. Solusi Hukum Terkait Revisi Perda No. 1 / 2015 sebagai Penyesuaian Pada Aturan Yang Lebih Tinggi Setelah enam tahun penetapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara



Nomor: 1 Tahun 2015



tentang Pengelolaan



Daerah Aliran Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015 Nomor No.Reg Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun (1/2015)



dirasakan perlu dilakukan berbagai



perubahan sebagai bentuk penyesuaian secara yuridis, sebagaimana diuraikan pada sub bahasan 5.3. Adapun penyesuaian segi yuridis maupun non yuridis dimaksud meliputi hal-hal berikut ini: a. Penyesuaian dengan Undang-Undang: 1. Penyesuaian Terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573), merupakan peristiwa hukum yang cukup menarik perhatian di tahun 2020 lalu. Secara umum undang-undang ini dikenal dengan sebutan UU Cipta Kerja yang bercorak omnibus law. Corak yang sama berlaku di negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Hal ini sedikit berbeda dengan sistim di Indonesia yang memakai sistem eropa kontinental yang pernah selama 3 (tiga) abad dijajah Belanda yang juga menganut sistem hukum yang sama. Sebagai produk hukum yang berpengaruh terhadap perundang-undangan di bawahnya maka UU Cipta Kerja harus diadopsi menjadi payung hukum. Peraturan Daerah yang dipengaruhi oleh UU Cipta Kerja harus menjadikannya sebagai dasar hukum keberlakuannya. Tidak terkecuali juga Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015



69



tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Perda No.1/2015). Meskipun 5 (lima) tahun lebih dahulu diterbitkan, Perda No.1/2015 harus menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja yang secara hirarki lebih tinggi. Ditambah lagi peraturan pemerintah yang menjadi pelaksanaan dari UU Cipta Kerja juga terhadap Perda No.1/2015. Berdasarkan fakta tersebut diatas maka dasar hukum (mengingat) pada Perda No.1/2015 harus mengadopsi UU



Cipta



Kerja



menjadi



salah



satu



dasar



hukum



keberlakukannya. 2. Penyesuaian Terhadap Undang - Undang



Nomor 17



Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air Sebagaimana diketahui bahwa terbitnya UndangUndang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air merupakan bentuk pembaharuan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tenrang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046). Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 kemudian dicabut oleh pemerintah berdasarkan ketentuan penutup Pasal 76 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 secara tegas menyatakan: “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tenrang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;” Konsekuensi hukum atas kekuatan mengikat dari Pasal 76 huruf a Undang-Undang Nomor I7 Tahun 2019 maka mengharuskan adanya perubahan pada bagian dasar hukum (mengingat) angka 3 Perda No.1/2015 dengan menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan



70



Lembaran Negara Nomor 3046) dengan peraturan yang baru berupa Undang-Undang Nomor I7 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190) b. Penyesuaian dengan Peraturan Pemerintah Keberlakuan



UU



Cipta



Kerja



agar



menjadi



operasional memerlukan peraturan pelaksanaan. Konsekuensi peraturan pelaksanaan seperti halnya Peraturan Pemerintah (PP) membuat sejumlah PP yang telah terlebih dahulu terbit dicabut karena dianggap tidak selaras dengan UU Cipta Kerja tersebut. Sebagai dampak lanjutannya yaitu peraturan di tingkat bawah seperti halnya peraturan daerah (Perda) yang menjadikannya sebagai payung hukum terkena imbasnya. Ketika sebuah Perda memakai landasan hukum yang berasal dari peraturan yang lebih tinggi seperti PP yang kemudian dibatalkan, tentu Perda tersebut harus melakukan penyesuaian dengan PP yang baru. Hal ini wajar karena Perda sebagai aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi sesuai asas hukum Lex Superior Derogat Legi Inferior . Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015



tentang Pengelolaan Daerah Aliran



Sungai (Perda No.1/2015) juga tidak terkecuali harus menyesuaikan dengan berlakunya UU Cipta Kerja tersebut diatas. Selain harus mencantumkan UU Cipat Kerja sebagai dasar hukum pembentukannnya, sejumlah aturan di bawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah (PP) yang juga menjadi dasar hukum juga harus digantikan yaitu: 1. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berdampak pada pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001



tentang



Pengelolaan



Kualitas



Air



Dan



71



Pengendalian Pencemaran Air yang menjadi landasan hukum



Perda



No.1/2015



pada



bagian



dasar



hukumnya, (mengingat) no: 12 2. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan berdampak pada pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, yang menjadi landasan hukum Perda No.1/2015 pada bagian dasar hukumnya, mengingat no: 13 Sebagaimana diketahui, baik Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 (PP No.23/2021) merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja. Berhubung ke PP tersebut juga merupakan pembaharuan dari PP yang menjadi dasar hukum Perda No.1/2015 maka peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja itu harus dimasukan kembali sebagai bagian dari dasar hukum serta batang tubuh dari Perda No.1/2015. Pada bagian batang tubuh Perda No.1/2015mengalami penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 yang meliputi Pasal 7 ayat (1) huruf a hingga Pasal 9 sampai Pasal 11 Perda No.1/2015. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: 1) Pasal 7 ayat (1) huruf a Pasal 7 ayat (1) huruf a Perda No.1/2015 yang semula nomenklaturnya “Inventarisasi karakteristik DAS” harus meyesuaikan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (4) huruf b PP No.23/2021 yakni menjadi ”Inventarisasi Hutan tingkat DAS dalam provinsi ”. 2) Pasal 8 , Pasal 9 dan Pasal 10 Pasal 8 , Pasal 9 dan Pasal 10 Perda No.1/2015 yang semula berkaitan dengan Pasal 7 sehingga harus diubah secara keseluruhan sebagai bentuk penyesuaian dengan PP



72



No.23/2021. Pasal 10 terpaksa dihapus karena unsur yang terkandung pada pasal dimaksud terlau teknis sifatnya sehingga tidak sesuai lagi dengan dengan PP No.23/2021 tersebut. 5) Pasal 11 Perubahan yang terjadi pada Pasal 11 Perda No.1/2015 merupakan dampak penyesuaian Pasal 8 Perda No.1/2015 terhadap PP No.23/2021. Berdasarkan



hal-hal



yang



diuraikan



diatas,jika



direkonstruksikan ke Perda No.1/2015. maka hasilnya sebagai berikut: a. BAGIAN DASAR HUKUM : Sebelum direkonstruksi: Mengingat 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara : Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat I Sulawesi tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2687); 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3064); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49); 5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan 73



Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432); 10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657) 11. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan



74



Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608); 12. Peraturan pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 13. Peraturan pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 14. Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5230); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292); 18. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292); Setelah direkonstruksi: Mengingat 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara : Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti



75



3.



4.



5.



6.



7.



Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat I Sulawesi tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2687); Undang - Undang Nomor I7 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49); Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran



76



Negara Republik Indonesia Nomor 5059) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 11. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608) 12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia



77



Tahun 2021 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6634); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6635); 15. Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5230); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292); 19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292); b. BAGIAN BATANG TUBUH: Pasal 7 ayat (1) huruf a Perda No1/2015 Sebelum direkonstruksi : Pasal 7 (1) Perencanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan tahapan kegiatan: 78



a. Inventarisasi karakteristik DAS; b. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS;dan c. Penetapan Rencana Pengelolaan DAS; Setelah mengalami rekonstruksi Pasal 7 (1) Perencanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan tahapan kegiatan: a. Inventarisasi Hutan Tingkat DAS di dalam Provinsi ; b. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS;dan c. Penetapan Rencana Pengelolaan DAS; Pasal 8 Perda No1/2015 Sebelum direkonstruksi : Bagian Kedua Inventarisasi Karakteristik DAS Pasal 8 (1) Inventarisasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat(1) huruf a meliputi: a. Proses penetapan batas DAS;dan b. Penyusunan klasifikasi DAS. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas DAS diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan Setelah direkonstruksi : Bagian Kedua Inventarisasi Hutan Tingkat DAS Pasal 8 a. Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) dilakukan untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan penyusunan rencana pengelolaan DAS. b. Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. c. Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) paling sedikit mencakup data dan informasi: a. Penutupan Hutan;



79



b. jenis dan potensi tegakan Hutan; dan c. hidrologi atau tata air Pasal 9 Perda No1/2015 Sebelum direkonstruksi : Bagian Ketiga Penyusunan Kalsifikasi DAS Pasal 9 (1) Berdasarkan hasil proses penetapan batas DAS yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan klasifikasi DAS. (2) Penyusunan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menetukan: a. DAS dipulihkan;dan b. DAS yang dipertahankan daya dukungnya. (3) Persatuan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria: a. kondisi lahan; b. kulitas,kuantitas dan kontinuitas air; c. sosial ekonomi; d. inventarisasi bangunan air;dan e. pemanfaatan ruang wilayah. (4) Penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Setelah direkonstruksi : Pasal 9 (1) Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana Pasal 7 ayat (1) mengacu pedoman Inventarisasi Hutan dan hasil Inventarisasi Hutan tingkat nasional dan provinsi. (2) Penyelenggaraan kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (1) dilaksanakan oleh OPD dengan berkoordinasi dengan unit kerja Kementerian DAS. (3) Kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur. (4) Dalam hal OPD tidak memiliki kemampuan teknis melaksanakan kegiatan Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2), selanjutnya dilaksanakan sesuai



80



peraturan perundang-undangan



Pasal 10 dihapus Pasal 11 Perda No1/2015 Sebelum direkonstruksi : Bagian Keempat Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Pasal 11 (1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS. (2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur. (3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari dinas instansi terkait dan melibatkan perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya. Setelah direkonstruksi : Bagian Keempat Rencana Pengelolaan DAS Pasal 11 (1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS. (2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur. (3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari OPD terkait dan melibatkan perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya. 5.4.2. Solusi Atas Masalah Peraturan Pelaksanaan Perda No.1/2015 Sebagaimana telah dikemukakan pada sub bahasan 5.3 Bab V maka peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015 merupakan implementasi dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 81



2015



tentang



Pengelolaan DAS. Ketentuan pada pasal-pasal



dimaksud memberikan suatu delegasi yang secara teknis diwujudkan ke dalam bentuK suatu “ Peraturan Gubernur”. Implementasi



atas



Perda



No.1/2015



belum



dapat



dioperasionalkan karena ada hal-hal yang lebih teknis sebagaimana pasal-pasal yang merupakan “delegans” atas peraturan gubernur yang hendak dibentuk. Akibat peraturan gubernur tersebut tidak kunjung ditetapkan tenyata menjadi kendala tersendiri. Instansi pelaksana mengalami kesulitan untuk melaksanakan rencana pengelolaan DAS yang telah ada. Norma-norma yang terkandung di dalam Perda No.1/2015 dirasakan masih bermakna luas. Kehadiran Peraturan Gubernur selaku “delegataris” atas Perda No.1/2015 nantinya akan memberikan solusi agar tidak menimbulkan multi interpretasi. Ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 , maka akan melahirkan 9 Rancangan Peraturan Gubernur (Rapergub) yang terdiri dari: 1. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara Penetapan Batas DAS sesuai perintah Pasal 8 ayat (2) Perda No.1/2015. 2. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara Inventarisasi Dalam Hutan Tingkat DAS sesuai perintah Pasal 9 ayat (3) Perda No.1/2015. 3. Rancangan Peraturan Gubernur tentang tata cara penetapan Rencana Pengelolaan DAS sesuai perintah Pasal 25 Perda No.1/2015. 4. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipulihkan dan DAS yang Dipertahankan



sesuai



perintah



Pasal



30



Perda



No.1/2015.



82



5. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS sesuai perintah Pasal 37 Perda No.1/2015. 6. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Kegiatan Pengelolaan DAS sesuai perintah Pasal 41 Perda No.1/2015. 7. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara Pemberdayaan



Masyarakat



Dalam



Kegiatan



Pengelolaan DAS sesuai perintah Pasal 46 ayat (2) Perda No.1/2015. 8. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara dan Keanggotaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS sesuai perintah Pasal 51 ayat (5) Perda No.1/2015. 9. Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara Penetapan



dan



Pemberian



Penghargaan



Dalam



Pengelolaan dan Mempertahankan Kelestarian DAS sesuai perintah Pasal 62 ayat (3) Perda No.1/2015. Jika mencermati pasal - pasal yang mendelegasikan ke 9 (Sembilan) Rapergub tersebut diatas secara tegas dan nyata keseluruhannya bahwa hal itu menyangkut petunjuk



pelaksanaan



pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara. Menyikapi hal ini maka secara praktis hendaknya disatukan menjadi satu Repergub . Hal ini didasari bahwa ke 9 (Sembilan) Rapergub tersebut diatas jelas-jelas merupakan peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015. Selain itu, secara subtantif merupakan suatu peraturan gubernur tentang petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah Tenggara



Nomor 1 Tahun 2015



tentang



Provinsi



Sulawesi



Pengelolaan DAS.



Diharapkan dengan penyatuan ke 9 (Sembilan) Rapergub itu maka akan menghemat



waktu, tenaga , pikiran serta anggaran dalam



pembentukan suatu perundang-undangan seperti halnya Rapergub tersebut. Ide penyatuan ini juga selaras dengan hasil konsultasi pihak Forum DAS Sultra kepada pihak Kementerian Dalam Negeri



83



Republik Indonesia yang pada dasarnya memberi petunjuk tentang penyatuan ke 9 (Sembilan) Rapergub dimaksud. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Ir. La Baco Sudia, M.Si Ketua Forum DAS Sultra: “Terakhir kita konsultasikan di Depdagri lagi dianjurkan agar 9 Pergub tersebut digabung menjadi satu saja tetapi secara substansi dimasukkan semua” (Wawancara Dr. Ir. La Baco Sudia, M.Si., Ketua Forum DAS Sultra, Sabtu, 1 Mei 2021) Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka sebagai suatu perundang-undangan maka Rapergub yang memuat perintah berasal dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan DAS dimana sebelumnya diformulasikan menjadi 9 (Sembilan) Rapergub maka idealnya menjadi satu Rapergub yang secara substantif memuat judul, pembukaan serta batang tubuh. Hal ini dapat menjadi usulan dalam perancangan Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015. Adapun wujud substansi Rancangan Peraturan Gubernur yang hendak dibentuk, diuraikan secara Outline sebagaimana berikut ini: I. JUDUL: “Rancangan Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai” II. PEMBUKAAN 2.1. Konsiderans: Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan DAS perlu menetapkan Peraturan



84



Gubernur Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan DAS. 2.2. Dasar Hukum: Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat I Sulawesi tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi SelatanTenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2687); 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 38881) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); 3. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia



85



Nomor 5432) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); 7. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah Dan Air (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608); 8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190) sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); 9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4453) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5056); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2012 Nomor 62 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5292); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6635);



86



13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 60/MenhutII/2013 tentang Tata Cara Penyusunan Dan Penetapan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu; 14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 61/MenhutII/2013 tentang Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; 15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 17/MenhutII/2014 tentang tata cara pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai; 16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 67/MenhutII/2014 tentang Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Informasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Provinsi; 17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik lndonesia Tahun 2015 Nomor 2036); 18. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034; 19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015 Nomor No.Reg Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun (1/2015) III. BATANG TUBUH 3.1. BAB I KETENTUAN UMUM: Pasal 1 Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara 3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara 4. Instansi Terkait adalah Perangkat Daerah Provinsi dan Instansi Vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumber daya Daerah Aliran Sungai, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 5. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut Bappeda adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 6. Daerah Aliran Sungai selanjutnya disingkat dengan DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah



87



7. 8.



9.



10.



11.



12.



13.



14.



15.



topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan dan dilakukan secara terpadu. Pengelolaan DAS Provinsi Sulawesi Tenggara yang selanjutnya disebut Pengelolaan DAS Provinsi adalah pengeloiaan DAS yang secara geografis berada di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara. Daya Dukung DAS adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. DAS yang dipulihkan daya dukungnya adatah DAS yang kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. DAS yang dipertahankan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah berfungsi sebagaimana meshnya. Konservasi Tanah dan Air adalah upaya pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Penyuluh kehutanan pegawai negeri sipil yang selanjutnya disingkat penrrluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan kehutanan.



88



16. Pendampingan adalah aktivitas penyuluhan yang dilakukan secara terus menerus pada kegiatan pembangunan kehutanan untuk meningkatkan keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan kehutanan serta keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. 17. Para pihak adalah pihak pihak terkait yang terdiri dari unsur pemerintah dan bukan pemerintah yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS. 18. Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut Forum DAS adalah wadah koordinasi antar instansi penyeienggara Pengelolaan DAS. 19. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. 20. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. 3.2. BAB II RUANG LINGKUP; Pasal 2 Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Gubernur ini meliputi : a. Tata Cara Penetapan Batas, Klasifikasi dan Rencana Pengelolaan DAS b. Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipulihkan dan DAS yang Dipertahankan c. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS d. Tata Cara Pembinaan, Pengawasan dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kegiatan Pengelolaan DAS e. Tata Cara dan Keanggotaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS f. Tata Cara Penetapan dan Pemberian Penghargaan Dalam Pengelolaan dan Mempertahankan Kelestarian DAS 3.3. BAB III TATA CARA PENETAPAN BATAS DAN PENETAPAN KLASIFIKASI DAS Bagian Kesatu Tata Cara Penetapan Batas DAS Bagian Kedua Penetapan Klasifikasi DAS



89



Bagian Ketiga Tata Cara Penetapan Rencana Pengelolaan DAS 3.4. BAB IV TATA CARA PENGELOLAAN DAS YANG DIPULIHKAN DAN YANG DIPERTAHANKAN Bagian Kesatu Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipulihkan Bagian Kedua Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipertahankan 3.5. BAB V MONITORING DAN EVALUASI KEGIATAN PENGELOLAAN DAS



PELAKSANAAN



Bagian Kesatu Monitoring Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS Bagian Kedua Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS 3.6. BAB VI TATA CARA PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN PENGELOLAAN DAS Bagian Kesatu Tata Cara Pembinaan Kegiatan Pengelolaan DAS Bagian Kedua Tata Cara Pengawasan Kegiatan Pengelolaan DAS Bagian Ketiga Tata Cara Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kegiatan Pengelolaan DAS 3.7. BAB VII TATA CARA DAN KEANGGOTAAN KOORDINASI PENGELOLAAN DAS



FORUM



3.8. BAB VIII TATA CARA PENETAPAN DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN DALAM PENGELOLAAN DAN MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN DAS 3.9. BAB IX KETENTUAN PENUTUP. Solusi hukum yang dikemukakan diatas merupakan sebuah kerangka acuan yang menjamin suatu penulisan bersifat 90



konseptual, menyeluruh serta terarah dalam penyusunan Rancangan Peraturan



Gubernur



Sulawesi



Tenggara



tentang



Petunjuk



Pelaksanaan Pengelolaan DAS. Kerangka acuan yang ada pada Bab III diatas yaitu TATA CARA PENETAPAN BATAS DAN INVENTARISASI DALAM HUTAN TINGKAT DAS merupakan gabungan tiga Raperda yang seharusnya telah diusulkan sebelumnya, sebagaimana diperintahkan Pasal 8 ayat (2) , Pasal 9 ayat (3) serta Pasal 25 Perda No.1/2015 yang diuraikan lebih lanjut menjadi Bagian Kesatu, Bagian Kedua serta Bagian Ketiga. Adapun yang termuat dalam kerangka acuan yang tercantum pada BAB IV yakni TATA CARA PENGELOLAAN DAS YANG DIPULIHKAN DAN YANG DIPERTAHANKAN peraturan gubernur yang diperintahkan Pasal 30 Perda No.1/2015 yang diintegrasikan ke dalam Rancangan Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan DAS. Sama halnya dengan BAB V MONITORING DAN EVALUASI PELAKSANAAN



KEGIATAN



PENGELOLAAN



DAS



juga



membahas mengenai monitoring dan evaluasi yang seharusnya dituangkan dalam sebuah Rapergub sesuai yang diamanatkan Pasal 37 Perda No.1/2015. Sementara itu, apa yang terkandung dalam BAB VI yaitu TATA



CARA



PEMBERDAYAAN



PEMBINAAN, MASYARAKAT



PENGAWASAN DALAM



DAN



KEGIATAN



PENGELOLAAN DAS. Pada Bab ini terbagi tiga yaitu Bagian Kesatu, Bagian Kedua serta Bagian Ketiga, dimana ketika mencermati Pasal 41 Perda dan Pasal 46 ayat (2) Perda No.1/2015 seharusnya diimplementasikan ke dalam dua Peraturan Gubernur yang disederhanakan menjadi satu bahasan dalam BAB VI Rancangan Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan DAS yang hendak dibentuk. Yang kemudian tercantum pada BAB VII dan BAB VIII merupakan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara dan



91



Keanggotaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS sesuai perintah Pasal 51 ayat (5) Perda No.1/2015 dan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara Penetapan dan Pemberian Penghargaan Dalam Pengelolaan dan Mempertahankan Kelestarian DAS sesuai perintah Pasal 62 ayat (3) Perda No.1/2015. Meskipun bukan dalam bentuk draft perundang-undangan yang utuh namun kerangka acuan tersebut diatas akan menjadi bagian dari Peraturan Gubernur juga yang merupakan suatu produk hukum daerah yang bersifat ius constituendum (hukum yang dicita-citakan) yang diharapkan menjadi solusi hukum dalam upaya pembentukan gabungan 9 (Sembilan) Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara sebagai peraturan pelaksanaan dari Sulawesi Tenggara



Peraturan Daerah Provinsi



Nomor: 1 Tahun 2015



tentang Pengelolaan



Daerah Aliran Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015 Nomor No.Reg Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun (1/2015) 5.4.3. Solusi Hukum Atas Masalah Kelestraian dan Sumber Daya Alam Masalah pendanaan dan deforestrasi yang mengemuka di Bab V pada sub bahasan 5.3.3. dan 5.3.4., meliputi aspek pembentukan peraturannya serta aspek teknis operasionalnya. Artinya Perda



No.1/2015



yang



memerlukan



revisi



akibat



dinamika



perundang-undangan yang lebih tinggi serta pembentukan peraturan pelaksanaannya sebagai upaya agar operasionalisasi dari Perda No.1/2015 dapat dijalankan oleh instansi pelaksana. Pernyataan dari pihak Ketua Forum DAS Sulawesi Tenggara serta pihak Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara sebagaimana sub bahasan 5.4.3., diatas, telah menunjukkan bahwa Pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara



dimana



DAS



Konaweha



didalamnya,



mengalami



permasalahan pendanaan pada aspek pembentukan peraturannya serta aspek teknis operasionalnya. Sementara pada sisi lain, berdasarkan Pasal 42 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, menyatakan bahwa Gubernur



92



memiliki kewenangan dalam pengelolaan DAS dalam provinsi dan/atau lintas kabupaten/kota. Sebagaimana diketahui Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 hingga saat ini masih eksis keberlakuannya meskipun UU Cipta Kerja telah mengubah isi dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Solusi hukum atas adanya permasalahan pendanaan ini maka sesuai kewenangan pemerintah daerah berdasarkan Pasal 42 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 maka daerah perlu memberikan penyelesaian atas pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara. Jika mencermati Pasal 58 Perda No.1/2015 sumber pembiayaan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara meliputi 3 (tiga) hal sebagaimana disebutkan pada pasal tersebut: Pasal 58 Pembiayaan yang dibutuhkan untuk Pengelolaan DAS dapat dibebankan pada: a. APBN b. APBD, dan c. Sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat. Dengan



mengandalkan



3



sumber



pembiayaan



sebagaimana Pasal 58 Perda No.1/2015 tersebut, pada sisi lain kondisi proporsi anggaran lebih diporsikan untuk penanganan pandemi Covid-19 saat ini, pengelolaan DAS tentu sulit menjadi prioritas untuk mendapatkan pembiayaan APBN atau APBD. Politik anggaran lebih berpihak pada pembiayaan penanggulangan Covid-19. Sementara ketentuan Pasal 58 huruf c Perda No.1/2015 belum begitu tegas dan konkret tentang siapa yang dimaksud “sumber lainnya” untuk membiayai pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara. Di pihak lain kegiatan industrialisasi tambang dan perkebunan sawit di wilayah DAS seperti DAS Konaweha telah merusak keaslian hutan (deforestrasi) sebagai daerah resapan air. Perusahaan-perusahaan tersebut tentunya memiliki dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Fakta yang terjadi di lapangan, kecenderungan banjir masih saja terjadi di wilayah DAS Konaweha. Sebagaimana dipahami 93



bersama, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas bahwa : Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundangundangan. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tersebut diatas dapat diartikan bahwa dalam memanfaatkan dana CSR merupakan subyektifitas dari perusahaan. Artinya, sesuai kebijakan internal perusahaan dimana agenda lingkungan yang dijalankan perusahaan belum tentu bersinergi dengan agenda untuk kepentingan pengelolaan DAS. Atas hal itu maka sebagai pertimbangan rasionalnya maka diperlukan pendanaan dari segala jenis perusahaan yang ada sebagai kompensasi pemanfaatan lahan serta adanya konversi hutan wilayah DAS. Sejalan dengan pertimbangan itu maka dibutuhkan peran serta badan usaha dalam pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara. Peran badan usaha tersebut cukup dirasakan bagi daerah seperti halnya terjadi di Kabupaten Kolaka. Yusnaningsih Andi Hamid, S.P.,M.Si., Kepala Bidang Tata Lingkungan



Dinas



Lingkungan



Hidup



Kabupaten



Kolaka



mengatakan, melalui kerja sama dengan salah satu perusahaan pertambangan pada tahun 2021 ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kolaka melahirkan satu program yang disebut sebagai “Kampung Iklim”. “Kerjasama dengan PT Ceria. Dinas Lingkungan Hidup dari segi pembinaanya sementara PT. Ceria segi pendanaannya dalam bentuk CSR. Program Kampung Iklim tidak semata-mata menanam tetapi ada tujuan konservasi di dalamnya” (Wawancara Yusnaningsih Andi Hamid, S.P.,M.Si., di Kabupaten Kolaka, Kamis 3 Juni 2021)



94



Keterlibatan badan usaha dalam pengelolaan DAS merupakan bentuk kontribusi dari pihak swasta yang berperan dalam pengelolaan DAS. Kondisi ini sejalan dengan Pasal 47 ayat (2) Perda No.1/2015 yang secara normatif menataka: “Pihak swasta dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS secara individu, kelompok, perkumpulan atau melalui Forum Koordimasi Pengelolaan DAS.” Apa yang dilaksanakan oleh pihak DLH Kabupaten Kolada dan PT Ceria tersebut merupakan kontribusi positif terhadap kelestarian DAS. Kegiatan-kegiatan yang demikian seharusnya menjadi model percontohan di daerah lain, utamanya di wilayah daerah otonom merupakan cakupan DAS Konaweha. Pada sisi lain, terdapat kendala yuridis pada Pasal 47 dan Pasal 48 Perda No.1/2015 tersebut. Akibat normanya bersifat”wajib” maka harus dimaknai sebagai perintah, artinya mutlak harus dilaksanakan. Sebuah norma yang sifatnya memerintahkan tanpa disertai sanksi tentu tidak menimbulkan konsekuensi”sanksi” ketika terjadi pelanggaran atas norma tersebut, dalam hal ini Pasal 47 dan Pasal 48 Perda No.1/2015. Tanpa keberadaan sanksi yang menyertai norma yang bersifat memerintahkan maka sulit untuk menerapkan Pasal 47 dan Pasal 48 Perda No.1/2015 ketika terjadi ketidakpatuhan masyarakat. Dengan demikian menjadi relefan untuk menyertakan sanksi sebagai akibat keberadaan



Pasal 47 dan Pasal 48 Perda



No.1/2015. Mencermati hal ini maka perlu menyertakan adanya sanksi atas pemberlakuan Pasal 48 sebagai norma lanjutan Pasal 47 ayat (1). Adapun caranya yaitu dengan merekonstruksi Pasal 48 Perda No.1/2015 menjadi 2 (dua) ayat sebagaimana di bawah ini: Sebelum rekonstruksi: Pasal 48 Peran serta pihak swasta wajib dalam pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) mencakup:



95



a. dalam melaksanakan kegiatan usaha harus mempertimbangkan aspek kelestarian DAS, membuka kesempatan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi; b. memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengelolaan DAS; c. melakukan pemulihan terhadap kerusakan sumber daya alam akibat kegiatan usaha yang dilakukan; d. terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait kegiatan pengelolaan DAS;dan e. aktif dalam dan mendukung Forum Koordimasi Pengelolaan DAS. Setelah rekonstruksi: Pasal 48 (1) Peran serta pihak swasta wajib dalam pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) mencakup: a. dalam melaksanakan kegiatan usaha harus mempertimbangkan aspek kelestarian DAS, membuka kesempatan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi; b. memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengelolaan DAS; c. melakukan pemulihan terhadap kerusakan sumber daya alam akibat kegiatan usaha yang dilakukan; d. terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait kegiatan pengelolaan DAS;dan e. aktif dalam dan mendukung Forum Koordimasi Pengelolaan DAS. (2) Pihak swasta yang tidak mengindahkan ketentuan ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai perundangundangan yang berlaku. Dengan



menempatkan



sanksi



administratif



sesuai



perundang-undangan yang berlaku maka sanksi yang diberikan akan mengacu pada norma sanksi yang berada di berbagai peraturan perundangan-undangan yang ada. Sementara istilah “ dapat” akan memberi alternatif untuk penjatuhan sanksi sesuai tingkat kesalahan yang diperbuat oleh pihak swasta. Dengan keberadaan Pasal 48 ayat (2) tersebut nantinya diharapkan ada kepatuhan terhadap Perda No.1/2015, khususnya Pasal 47 dan Pasal 48. 5.4.4. Solusi Hukum Atas Masalah Pemukiman di Bantaran Sungai Masalah



pemukiman



di



wilayah



bantaran



sungai



Konaweha juga menjadi permasalahan tersendiri. Keberadaan pemukiman tersebut selain beresiko terhadap luapan air sungai ketika 96



debit airnya meninggi tidak terkendali juga berpotensi untuk menjadikan sungai sebagai tempat membuang sampah rumah tangga. Munculnya permasalahan sebagaimana diatas maka perlu adanya norma yang mengtur pemukiman di sepanjang DAS agar meminimalisir potensi permasalahan pemukiman warga di bantaran sungai Konaweha. Pihak Suryaningrat dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV Kendari menilai, keberadaan warga yang bermukim di bantaran sungai Konaweha perlu diatur radius keberadaannya dari bibir sungai. Sebaiknya rumah warga menghadap ke sungai dengan jarak yang aman, bukan membelakangi sungai. Dengan mengatur jarak dari bibir sungai maka selain potensi bahwa berkurang maka kelestarian sungai juga terjaga. “Dengan rumah warga yang menghadap ke sungai diharapkan diantara warga akan saling mengawasi agar tidak membuang sampah ke sungai. (Wawancara Suryaningrat di Kota Kendari, Rabu 14 April 2021) Berdasarkan wewenang pengeloaan DAS sebagaimana ketentuan Pasal 42 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai maka pemerintah provinsi dapat mengatur rumah warga sehubungan pengelolaan DAS. Atas hal ini maka perlu adanya norma dalam Perda No.1/2015 yang mengatur tentang himbauan untuk tidak membangun rumah di bantaran sungai berdasarkan wewenang pemerintah provinsi. Untuk mengimplementasikan hal ini maka Pasal 42 Perda No.1/2015 perlu direkonstruksi dengan cara sebagai berikut. Sebelum rekonstruksi: Pasal 42 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik perseorangan maupun melalui forum koordinasi pengelolaan DAS (3) Forum koordinasi pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membantu dalam mendukung keterpaduan penyelenggaraan pengelolaan DAS



97



Setelah rekonstruksi: (1) (2) (3) (4)



Pasal 42 Masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik perseorangan maupun melalui forum koordinasi pengelolaan DAS Peran serta masyarakat dapat dengan tidak membangun rumah di bantaran sungai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota Forum koordinasi pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membantu dalam mendukung keterpaduan penyelenggaraan pengelolaan DAS Dengan memasukan norma yang ada pada Pasal 42a ayat



(3) sebagaimana diatas memang tidak memiliki kekuatan untuk memaksa agar warga tidak bermukim di wilayah bantaran sungai. Akan tetapi setidaknya, adanya himbauan itu secara tersirat tentang pentingnya untuk menjaga keaslian bantaran sungai yang memiliki fungsi ekologis. Secara tersirat pula bahwa setiap norma ada maksudnya sehingga masyarakat tersadarkan. Dengan demikian maka Pasal 42a ayat (3) Perda No.1/2015 tersebut diharapkan akan meminimalisir pemukiman warga di bantaran sungai. 5.4.5. Solusi Hukum Atas Masalah Kepastian Terbitnya Peraturan Pelaksana Perda No.1/2015 Pada sisi lain,agar pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara dimana DAS Konaweha tercakup di dalamnya maka harus ada jaminan bahwa Perda No.1/2015 akan dimplementasikan secepatnya. Diketahui juga bahwa selama ini terdapat kendala dari aspek penerbitan peraturan gubernur sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015. Selama kurun masa 6 tahun peraturan gubernur sebagai peraturan pelaksanaan tidak terbit. Agar memiliki kepastian hukum tentang penerbitan peraturan gubernur tersebut maka perlu pengaturan lebih lanjut di bagian BAB XX mengenai KETENTUAN



PERALIHAN



Perda



No.1/2015



tersebut



dengan



menambahkan norma pada Pasal 65 setelah ayat (2) . Sejalan dengan hal itu Pasal 65 Perda No.1/2015 mengalami rekonstruksi sebagai berikut: Sebelum rekonstruksi:



BAB XX 98



KETENTUAN PERALIHAN Pasal 65 (1)Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini. Maka semua kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan DAS di daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Kebijakan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini, harus menyesuaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Setelah mengalami rekonstruksi: BAB XX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 65 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini. Maka semua kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan DAS di daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Kebijakan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini, harus menyesuaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. (3) Peraturan Gubernur sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) diatas, harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun setelah Peraturan Daerah ini diundangkan perubahannya. Dengan menambahkan norma sebagaimana Pasal 65a ayat (3) sebagaimana diatas menandakan adanya urgensi dari terbitnya Peraturan Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015. Norma tersebut merupakan politik hukum pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara yang lebih pro terhadap pelestarian DAS guna mencegah terjadinyabanjir, tanah longsor, penurunan kualitas air, krisis air dam/atau kekeringan, erosi dan sedimentasi yang telah berdampak pada perekonomian dan tata kehidupan masyarakat. Selain itu, penambahan norma dimaksud juga sebagai jawaban atas keterlambatan terbitnya Peraturan Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015 sejak pertama kali disahkan pada tahun 2015 silam serta adanya kepastian akan terbitnya peraturan gubernur sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda No.1/2015.



99



5.4.6. Solusi Hukum Yang Merupakan Penyesuaian Perda No.1/2015 Menyangkut Istilah Dinas di Pasal 11 ayat (3) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Pasal 56 Ketentuan yang ada pada Pasal 11 ayat (3) mernyatakan bahwa :”Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana



dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari dinas terkait dan melibatkan perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya”. Istilah”dinas” sebagaimana dimaksud memberi makna yang sempit sebab perangkat daerah yang ada tidak semata-mata hanya dinas tetapi meliputi unsur pembantu kepala Daerah dan Dewan Perwakilan



Rakyat



Daerah



dalam



penyelenggaraan



Urusan



Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah sesuai Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (PP No.18/2016). Sementara sebagai unsur pembantu kepala daerah tidak hanya dinas karena sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) PP No.18/2016 meliputi: a. sekretariat Daerah; b. sekretariat DPRD; c. inspektorat; d.



dinas; dan e. badan. Atas hal ini maka Pasal 11 ayat (3) Perda No.1/2015 tersebut juga perlu mengalami rekonstruksi sebagaimana berikut ini: Sebelum rekonstruksi:



Pasal 11 (1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS. (2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur. (3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari dinas terkait dan melibatkan perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya. Sesudah rekonstruksi:



Pasal 11 (4) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS. (5) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur. (6) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari organisasi perangkat daerah terkait dan melibatkan perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya.



100



Atas hal tersebut diatas maka “dinas terkait” sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (3) Perda No.1/2015 memiliki makna yang sempit jika merujuk Pasal 5 ayat (1) PP No.18/2016. Sebagaimana dipahami pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS sebagaimana Pasal 11 ayat (3) Perda No.1/2015 tidak hanya dinas tetapi ada juga yang berbentuk badan seperti halnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Untuk menghindari



kerancuan tersebut maka harus memilih kata yang memiliki makna yang luas agar tidak menyesatkan. Sebagai pengganti yang tepat atas istilah “dinas” pada Pasal 11 ayat (3) Perda No.1/2015 tersebut adalah “organisasi perangkat daerah” yang lebih merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dengan mengadopsi istilah “organisasi perangkat daerah” maka maknanya diperluas karena yang terlibat dalam perencanaan pengelolaan DAS sebagai Pasal 11 ayat (3) Perda No.1/2015 tidak semata-mata hanya “dinas” tetapi juga dapat melibatkan “badan”. Permasalahan juga terjadi pada Pasal 56 Perda No.1/2015 yang menyatakan: “Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS



dibangun sistem informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan dikelola oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan mengikutsertakan instansi terkait.” Jika menyangkut pengelolaan informasi pada perangkat daerak ada



yang



lebih



berkompeten



dibandingkan



Badan



Perencanaan



Pembangunan Daerah. Sebagai oragnisasi perangkat daerah yang menjalankan fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang komunikasi di Sulawesi Tenggara adalah Dinas Komunikasi dan Informatika yang diatur dalam Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 87 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 67 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Komunikasi Dan Informatika Provinsi Sulawesi tenggara. Atas permasalahan Pasal 56 Perda No.1/2015 ini maka dirasakan perlu adanya penyesuaian dengan melakukan rekonstruksi. Adapun rekonstruksinya adalah sebagai berikut:



101



Sebelum rekonstruksi:



Pasal 56 Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dibangun sistem informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan dikelola oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan mengikutsertakan instansi terkait. Setelah rekonstruksi:



Pasal 56 Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dibangun sistem informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan dikelola oleh Dinas Komunikasi dan Informatika dengan mengikutsertakan instansi terkait. Dengan merekonstruksi Pasal 56 Perda No.1/2015 maka sistem



informasi pengelolaan DAS didasari oleh organisasi perangkat daerah yang tepat. Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan unsur pelaksana urusan pemerintahan di bidang komunikasi, informatika, statistik dan persandian. Dengan menempatkan Dinas



Komunikasi



dan



Informasi



menangani



sistem



informasi



pengelolaan DAS sesungguhnya telah menempatkan instusi sesuai proporsinya.



BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam Bab V penelitian ini maka kesimpulan penelitian yanh dihasilkan adalah sebagai berikut:



102



6.1.1.



Penerapan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan DAS hingga saat ini mengalami kendala teknis karena perencanaan sesuai Pasal 6 ayat (1) Perda No.1/2015 huruf b tidak dapat terapkan. Pengelolaan DAS membutuhkan instrument hukum yakni Peraturan Gubernur sebagai dasar



mengimplementasikan



Perencanaan,



Pelaksanaan,



Monitoring dan Evaluasi serta Pembinaan dan Pengawasan. Tanpa Peraturan Gubernur dimaksud maka sulit bagi instansi pelaksana untuk menerapkan pengelolaan DAS yang bersifat teknis. 6.1.2.



Problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha meliputi masalah yuridis dan non yuridis. Secara yuridis Perda No.1/2015 memerlukan pernyesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Problem yuridis lainnya yaitu dibutuhkannya Peraturan Gubernur sebagaimana perintah Perda No.1/2015. Secara non yuridis yaitu adanya pemukiman warga di garis sempadan sungai. Pemukiman warga terkait erat dengan penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung



(PBG)



yang



merupakan



wewenang



pemerintah



Kabupaten/Kota. 6.1.3.



Solusi hukum atas problematika penanggulangan banjir di DAS Konaweha dilakukan melalui revisi terhadap Perda No.1/2015 karena sejumlah payung hukumnya mengalami perubahan akibat dinamika perundang-undangan di pusat. Selanjutnya kendala teknis pengelolaan DAS memerlukan solusi hukum dengan segera diterbitkan Peraturan Gubernur sebagai rujukan instansi pelaksana. Selain itu perlunya rekonstruksi hukum atas Perda No.1/2015 baik pada bagian konsiderans, dasar hukum serta batang tubuh .



6.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian ini maka dihasilkan sejumlah rekomendasi sebagaimana diuraikan berikut ini: 6.2.1.



Agar pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara segera mengeluarkan kebijakan hukum tentang perubahan atas Peraturan Provinsi



Sulawesi



Tenggara



Daerah



Nomor 1 Tahun 2015 (Perda



103



No.1/2015) Gubernur



dan



membentuk



sebagaimana



serta



perintah



menerbitakan Perda



Peraturan



No.1/2015,



guna



terlaksananya pengelolaan DAS di Provinsi Sulawesi Tenggara. 6.2.2.



Agar pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara membentuk Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015



Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dengan



melakukan rekonstruksi hukum atas Perda No.1/2015 baik pada bagian konsiderans, dasar hukum serta batang tubuh, sebagaimana terlampir dalam laporan hasil penelitian ini. 6.2.3.



Agar pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara membentuk Peraturan Gubernur sebagaimana perintah Perubahan Perda No.1/2015 dalam satu Rapergub yang mencakup 9 sembilan substansi pengaturan. Adapun Rapergub yang mencakup 9 sembilan substansi tersebut dilampirkan dalam bentuk Outline pada Laporan Akhir Penelitian ini.



104



DAFTAR PUSTAKA Ali, M. I., Abidin, M. R., & Suarlin, S. 2019. Analisis Indeks Pencemaran (IP) Sungai Konaweha Akibat Pengaruh Aktifitas Tambang Nikel di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. PROSIDING SEMINAR NASIONAL LP2M UNM - 2019 “Peran Penelitian dalam Menunjang Percepatan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia” ISBN: 978-623-7496-14-4, Ruang Teater Menara Pinisi UNM. Anthon F. Susanto.2017. Hukum Dari Consilience Ke Paradigm Hukum Konstruktif-Transgresif. Bandung: Refika Aditama Apriansyah, N. (2017). Peran Pemerintahan Dalam Pembentukan Kebijakan Hukum (Role Of Government In Legal Policy-Making). Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Austin, K. G., Mosnier, A., Pirker, J., McCallum, I., Fritz, S., & Kasibhatla, P. S. 2017.Shifting patterns of Oil Palm Driven Deforestation in Indonesia and Implications for Zero-Deforestation Commitments.Land Use Policy, 69, Ahmad, S. W., Jamili, J., & Mustang, M. 2016.Keanekaragaman Jenis Burung Pada Areal Perkebunan Kelapa Sawit Di Kecamatan Besulutu Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. BioWallacea: Jurnal Penelitian Biologi (Journal of Biological Research), 3(1) Amiruddin dan Zainal Asikin.2014.Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada Adha, N., Munir, A., & Darlian, L. Identifikasi Tumbuhan Palem Di Kawasan Hutan Lindung Wolasi Kabupaten Konawe Selatan. AMPIBI: Jurnal Alumni Pendidikan Biologi, 2(1) Ariyani, N., Ariyanti, D. O., & Ramadhan, M. (2020).Pengaturan Ideal tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia (Studi di Sungai Serang Kabupaten Kulon Progo). Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 27(3) Asshiddiqie, J. (2011, November). Gagasan Negara Hukum Indonesia. Makalah Disampaikan dalam Forum Dialog Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional yang Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum B. Arief Sidharta. 2013. Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Cetakan Keempat. Bandung: Refika Aditama Bernard L. Tanya.2011. Politik Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak & Markus Y. Hage.2013.Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi.Yogyakarta: Genta Publishing



BPDASHL Sampara.2014. RPDAST DAS Konaweha 2014 (Revisi Tahun 20132018) Budiono Kusumohamidjojo.2019. Teori Hukum Dilemma Antara Hukum dan Kekuasaan.Cetakan ke III.Bandung: Yrama Widya Budoyo, S. (2014). Konsep Langkah Sistemik Harmonisasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. CIVIS, 4(2/Juli). Bungkolu, I. P., & Rumagit, G. A. 2017.Analisis Kerentanan Kawasan Permukiman Pada Kawasan Rawan Banjir Di Bagian Hilir Sungai Sario. Agri-sosioekonomi, 13(3A), Blomquist, W., & Schlager, E. (2005).Political Pitfalls of Integrated Watershed Management. Society and Natural Resources, 18(2) Deby, R., Dermawan, V., & Sisinggih, D. 2019. Analysis of Wanggu River Flood Inundation Kendari City Southeast Sulawesi Province Using HEC RAS 5.0. 6. International Research Journal of Advanced Engineering and Science, 4(2) Deni Bram.2014.Hukum Lingkungan Hidup.Jakarta: Gramata Publishing Dossy Iskandar Prasetyo dan Bernard L. Tanya.2011.Hukum Etika dan Kekuasaan. Yogyakarta: Genta Publishing Fitriana, M. K. (2018). Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Negara (Laws And Regulations In Indonesia As The Means Of Realizing The Country’S Goal). Jurnal Legislasi Indonesia, 12(2) H.M. Hadin Muhjad .2015. Hukum Lingkungan sebuah pengatar untuk konteks Indonesia.Yogyakarta: Genta Publishing H.L.A. Hart.2016. Konsep Hukum.Cetakan VIII (Diterjemahkan oleh M. Khozim).Bandung:Nusa Media H.M.Aries



Djaenuri.2015.Kepemimpinan, Etika, Pemerintahan.Bogor: Ghalia Indonesia



&



Kebijakan



Halim, F. (2014).Pengaruh Hubungan Tata Guna Lahan Dengan Debit Banjir Pada Daerah Aliran Sungai Malalayang.Jurnal Ilmiah Media Engineering, 4(1). Hadi, S. 2015. Pengaruh Konfigurasi Politik Pemerintah Terhadap Produk Hukum. Addin, 9(2). I Dewa Gede Atmadja ,Suko Wiyono dan Sudarsono.2015. Teori Konstitusi & Konsep Negara Hukum.Malang:Setara Press Inu Kencana Safiie.2016.Ilmu Pemerintahan.Cetakan ke keempat, Jakarta:Bumi Aksara Irwansyah.2020. Penelitian Hukum Pilihan Metode & PraktikPenulisan Artikel. Yogyakarta:Mitra Buana Media J.J.H. Bruggink. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti



Kelley, L. C., & Prabowo, A. 2019. Flooding and land use change in Southeast Sulawesi, Indonesia. Land, 8(9) Komaruddin, N.,2008, Penilaian Tingkat Bahaya Erosi di Sub Daerah Aliran Sungai Cileungsi, Bogor. Agrikultura, 19(3) Kusumaratna, R. K.2003. Profil Penanganan Kesehatan Selama dan Sesudah Banjir di Jakarta. Jurnal Kedokteran Trisakti, 3(22) La Baco, S., Kahirun, K., & Hasani, U. O. (2017). Analisis Daerah Rawan Banjir Dan Tanah Longsor Di Daerah Aliran Sungai Latoma Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Ecogreen, 3(2), Lawrence Meir Freidmen.2001. American Law an Introduction (diterjemahkan oleh Wisnhu Basuki). Jakarta: Tata Nusa Jakarta Murbawan, I., Ma'ruf, A., & Manan, A. 2018. Kesiapsiagaan Rumah Tangga Dalam Mengantisipasi Bencana Banjir Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Wanggu. Jurnal Ecogreen, 3(2). Marwah, S. 2014. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Propinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Agroteknos, 4(3) Maria Farida Indrati S.2007.Ilmu Perundang-Undangan I.Yogyakarta: Kanisius Moh.Mahfud MD.2011.Pilitik Hukum Di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada Moh.Mahfud MD.2003.Demokrasi dan Konstitusi Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta Mohammad Askin.2010.Seluk Beluk Hukum Lingkungan.Jakarta:Nekamatra Mukti Fajar dan Yulianto Achmad .2015.Dualisme Penelitian Hukum Normatif &Empiris.Yogyakarta : Putaka Pelajar Muhammad Ishom.2017.Legal Drafting. Malang: Setara Press Nomensen Sinamo.2010. Hukum Lingkungan Indonesia.Tengerang: Pustaka Sejati Ni’matul Huda.2011.Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: UII Press Otje Salman & Anthon F. Susanto.2015.Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: Refika Aditama Philipus M Hadjon, Sri Soemantri Martosoewignyo, Sjachran Basah, Bagir Manan, H.M.Laica Marzuki , J.B.J.M. ten Berge, P.J.J. van Buuren dan F.A.M. Stroink.2015.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan keduabelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Peter Mahmud Marzuki.2010.Penelitian Hukum.Jakarta: Prenada Media R. Wiyono.2016. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Cetakan keempat. Jakarta: Sinar Grafika



Sukiyah, E., & Jaassin, A. M. 2019.Kondisi Tektonik Rencana Tapak Bendungan Pelosika Berdasarkan Analisis Citra Satelit Dan Sistem Informasi Geografis. Bulletin of Scientific Contribution: GEOLOGY, 17(2) Suteki



&



Galang Taufani.2018.Metodologi Penelitian (Filsafat,Teori&Praktik).Jakarta: RajaGrafindo Persada



Hukum



Sugiyono.2017. Metode Penelitian Kombinasi.Bandung: Alfabeta, Surya, R. A., Purwanto, J., Yanuar, M., Sapei, A., & Widiatmaka, W. 2015. Pengembangan Kebijakan Pengelolaan Air Baku Berkelanjutan di Sub DAS Konaweha Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 12(3) Setiawan, H., Jaya, I. N. S., & Puspaningsih, N.2015. Model Spasial Deforestasi di Kabupaten Konawe Utara dan Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Media Konservasi, 20(2). Soerjono Soekanto.2014.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta:UI Press Saraswati, R. 2013. Problematika Hukum Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Yustisia Sumadi Suryabrata.2012.Metodologi Penelitian.Jakarta: RajaGrafindo Persada Sulistyowati Irianto.2011.Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi (Bunga Rampai). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Soerjono Soekanto & Sri Mamudji.2011.Penelitian Hukum Normatif.Jakarta: RajaGrafindo Persada Susilo, A. B. 2011. Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia. Biroli, A. 2015.Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia (Kajian Dengan Perspektif Sosiologi Hukum).DIMENSI-Journal of Sociology Perspektif, 16(4). Sebastian, L. 2008. Pendekatan Pencegahan Dan Penanggulangan Banjir., Jurnal Geografi Volume 12 No 1 Suwitri, S. 2008.Jejaring Kebijakan Dalam Perumusan Kebijakan Publik Suatu Kajian Tentang Perumusan Kebijakan Penanggulangan Banjir dan Rob Pemerintah Kota Semarang. Jurnal Delegasi, Jurnal Ilmu Administrasi, STIA Banjarmasin, 6(3), Sofyan, H., Thamrin, T., & Mubarak, M. Model pengelolaan daerah aliran sungai terpadu (sub das tapung kanan). Jurnal Ilmu Lingkungan, 9(1), Tanika, L. 2013. Dampak Perubahan Tutupan Lahan Dan Iklim Terhadap Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai Konaweha Hulu. Jurnal Sumber Daya Air, 9(2) Utomo, P. 2020. Omnibus Law: Dalam Perspektif Hukum Responsif. Nurani Hukum, 2(1)



Wahyudi Kumorotomo.2015.Etika Administrasi Pemerintahan,cetakan ke 113. Jakarta: Rajagrafindo Persada Xiao, S. C., Li, J. X., Xiao, H. L., & Liu, F. M. (2008).Comprehensive Assessment of Water Security for Inland Watersheds in the Hexi Corridor, Northwest China. Environmental geology, 55(2), Yudha Bhakti Ardhiwisastra.2012.Penafsiran Dan Konstruksi Hukum,cetakan ke3.Bandung:Alumni ………...2012.Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Konaweha. Kementerian Pekerjaan Umum



Lasolo-



PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai Dan Garis Sempadan Danau Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.60/Menhut-II/2013 Tentang Tata Cara Penyusunan dan Penetapan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai SK Menteri Kehutanan Nomor SK. 328/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas. INTERNET http:



//sda.pu.go.id/produk/view_produk/Pola_PSDA_Wilayah_Sungai_LasoloKonaweha,diakses 12 Mei 2021



barito.or.id/pengelolaan-daerah-aliran-sungai-terpadu (diunduh Februari 2021) https://kbbi.web.id/produk , diunduh Minggu 17 Januari 2021 https://kbbi.web.id/hukum, diunduh Minggu 17 Januari 2021



Lampiran 1



GUBERNUR SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR:…TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR: 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGGARA, Menimbang



Mengingat :



: b. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu sampai hilir yang terdiri dari unsure-unsur utama tanah, vegetasi, air maupun udara dan memiliki fungsi penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan; c. bahwa kerusakan Daerah Aliran Sungai di Sulawesi Tenggara semakin memprihatinkan, sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinyabanjir, tanah longsor, penurunan kualitas air, krisis air dam/atau kekeringan, erosi dan sedimentasi yang telah berdampak pada perekonomian dan tata kehidupan masyarakat; d. bahwa karena perkembangan keadaan khususnya pengaturan teknis dan hal lain terkait dengan pelaksanaan Pengelolaan DAS lintas kabupaten/kota dan dalam daerah kabupaten/kota yang ditentukan oleh perundangundangan yang lebih tinggi, terdapat beberapa substansi dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang perlu disesuaikan; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;



2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat I Sulawesi tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2687); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49); 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432) sebagaimana telah diubah dengan



Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 10. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608) 11. Undang - Undang Nomor I7 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190) sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6634); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6635); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik



Indonesia Nomor 5230); 18. Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292); Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA



dan



Menetapkan :



GUBERNUR SULAWESI TENGGARA MEMUTUSKAN: PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR: 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Pasal I



Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015 Nomor:…), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara 2. Pemerintah daerah adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara 3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara 4. Organisasi Perangkat Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut OPD Provinsi adalah unsur pembantu Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang Kehutanan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi. 5. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang beraasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan.



6. Instansi terkait adalah Kementerian/Lembaga Pemerintah non kementerian di bidang sumber daya air, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 7. Inventarisasi Hutan Tingkat DAS dalam wilayah provinsi yang selanjutnya disebut Inventarisasi Hutan Tingkat DAS adalah kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam Hutan serta lingkungannya secara lengkap di DAS dalam wilayah provinsi. 8. Karakteristik DAS adalah kekhasan yang dimiliki oleh suatu DAS yang ditentukan berdasarkan besaran dan sifatnya dengan indikator biofisik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan. 9. Permasalahan DAS adalah kesenjangan antara kondisi yang terjadi dengan kondisi yang seharusnya dalam suatu DAS yang meliputi aspek biofisik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan. 10. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagimanusia secara berkelanjutan. 11. Bagian hulu daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam kesatuan daerah aliran sungai yang memiliki cirri topografi bergelombang, berbukit dan/atau bergunung, dengan kerapatan drainase relative tinggi, merupakan sumber air yang masuk langsung ke sungai utama dan/atau melalui anak-anak sungai, serta sumber erosi yang sebagiannya tersangkut ke daerah hilir sungai menjadi sedimen. 12. Bagian tengah daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam kesatuan DAS yang membentang mulai dari daerah hulu sampai hilir termasuk sempadan sungai, merupakan sumber sumber penghidupan manusia dan satwa lainnya. 13. Bagian hilir daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam kesatuan daerah aliran sungai yang memiliki cirri topografi datar sampai landai, merupakan daerah endapan sedimen atau alluvial. 14. Sumberdaya Daerah Aliran Sungai adalah seluruh sumber daya dalam kawasan DAS yang dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan pembengunan sosial, ekonomi dan penopang system penyengga kehidupan manusia maupun satwa lainnya. 15. Konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan, pemulihan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. 16. Partisipasi Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat yang tinggal dan memiliki ketergantungan terhadap daerah aliran sungai atau sekitarnya yakni tokoh adat, tokoh agama dan lain-lain dengan sejumlah pengalaman dan kearifannya dalam menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam pada masing-masing kawasan daerah lairan sungai. 17. Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Provinsi yang selanjutnya disebut Forum DAS adalah lembaga koordinatif yang



18.



19.



20.



21.



beranggotakan berbagai pihak dan bersifat lintas sektor dalam mengelola DAS regional. Mekanisme Insentif dan Disinsentif adalah pengaturan tentang pemberian penghargaan/kompensasi terhadap semua bentuk dorongan spesifik atau rangsangan untuk mempengaruhi atau memotivasi semua pihak terutama masyarakat, baik secara individu atau kelompok untuk bertindak atau melaksanakan kegiatan dengan tujuan memperbaiki atau menjaga kondisi DAS serta pemberian sanksi terhadap semua bentuk tindakan yang mengakibatkan kerusakan DAS. Penyelesaian sengketa adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistemayis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik yang berkaitan dengan pengelolaan DAS. Pengarustamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program dan kegiatan pembangunan daerah. Kerjasama antar daerah adalah kesepakatan antara daerah dalam pengembangan dan pengelolaan DAS yang didukung dan difasilitasi oleh pemerintah daerah.



2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 7 (1) Perencanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan tahapan kegiatan: a. Inventarisasi Hutan Tingkat DAS ; b. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS;dan c. Penetapan Rencana Pengelolaan DAS; (2) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. (3) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kajian kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah. 3. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 8 (1) Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan tingkat DAS dalam wilayah provinsi sebagaimana Pasal 7 ayat (1) mengacu pedoman Inventarisasi Hutan dan hasil Inventarisasi Hutan tingkat nasional dan provinsi. (2) Penyelenggaraan kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (1) dilaksanakan oleh OPD dengan berkoordinasi dengan unit kerja Kementerian DAS. (3) Kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur. (4) Dalam hal OPD tidak memiliki kemampuan teknis melaksanakan kegiatan Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2), selanjutnya dilaksanakan



sesuai peraturan perundang-undangan



4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana Pasal 7 ayat (1) mengacu pedoman Inventarisasi Hutan dan hasil Inventarisasi Hutan tingkat nasional dan provinsi. (2) Penyelenggaraan kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (1) dilaksanakan oleh OPD dengan berkoordinasi dengan unit kerja Kementerian DAS. (3) Kegiatan Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur. (4) Dalam hal OPD tidak memiliki kemampuan teknis melaksanakan kegiatan Inventarisasi Hutan tingkat DAS sebagaimana ayat (2), selanjutnya dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan



5. Ketentuan Pasal 10 Dihapus 6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 11 (1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS. (2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur. (3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari OPD terkait dan melibatkan perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya. 7. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 42 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik perseorangan maupun melalui forum koordinasi pengelolaan DAS (3) Peran serta masyarakat dilakukan dengan tidak membangun rumah di bantaran sungai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota (4) Forum koordinasi pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membantu dalam mendukung keterpaduan penyelenggaraan pengelolaan DAS 8. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 48 (1) Peran serta pihak swasta wajib dalam pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) mencakup: a. dalam melaksanakan kegiatan usaha harus mempertimbangkan aspek kelestarian DAS, membuka kesempatan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi;



b. memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengelolaan DAS; c. melakukan pemulihan terhadap kerusakan sumber daya alam akibat kegiatan usaha yang dilakukan; d. terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait kegiatan pengelolaan DAS;dan e. aktif dalam dan mendukung Forum Koordimasi Pengelolaan DAS. (2) Pihak swasta yang melanggar ketentuan ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai perundang-undangan yang berlaku. 9. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 56 Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dibangun sistem informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan dikelola oleh Dinas Komunikasi dan Informatika dengan mengikutsertakan instansi terkait. 10. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Pasal 65 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini. Maka semua kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan DAS di daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Kebijakan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini, harus menyesuaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. (3)Peraturan Gubernur sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3),Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan perubahannya, harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun setelah Peraturan Daerah ini diundangkan perubahannya. Pasal II Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.



Ditetapkan di Kendari Pada tanggal …………….. GUBENRNUR SULAWESI TENGGARA



TTD



H. ALI MAZI, S.H. Diundangkan di Kendari Pada tanggal ……………. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TTD Dr. Hj. NUR ENDANG ABBAS, SE., M.Si.



LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2021 NOMOR………… NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA : (…/ …/…)



Lampiran 2



Outline



GUBERNUR SULAWESI TENGGARA PERATURAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA NOMOR -- TAHUN 2O21 TENTANG RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGGARA, Menimbang



:



Mengingat



:



bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 25, Pasal 30, Pasal 37 , Pasal 41, Pasal 46 ayat (2), Pasal 51 ayat (5), serta Pasal 62 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan DAS perlu menetapkan Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan DAS. 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat I Sulawesi tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 94,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2687); 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 38881) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang



3.



4.



5.



6.



7.



8.



Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah Dan Air (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190) sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran



Negara Republik Indonesia Nomor 6573); 9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6573); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4453) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5056); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2012 Nomor 62 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5292); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6635); 13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 60/MenhutII/2013 tentang Tata Cara Penyusunan Dan Penetapan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu; 14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 61/MenhutII/2013 tentang Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; 15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 17/MenhutII/2014 tentang tata cara pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai; 16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 67/MenhutII/2014 tentang Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Informasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Provinsi; 17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik lndonesia Tahun 2015 Nomor 2036); 18. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034; 19. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor: 1 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015 Nomor No.Reg Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun (1/2015) MEMUTUSKAN:



Menetapkan



: PERATURAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1



Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan : 1. 2. 3. 4.



Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara Instansi Terkait adalah Perangkat Daerah Provinsi dan Instansi Vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan sumber daya Daerah Aliran Sungai, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 5. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut Bappeda adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 6. Daerah Aliran Sungai selanjutnya disingkat dengan DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 7. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. 8. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan dan dilakukan secara terpadu. 9. Pengelolaan DAS Provinsi Sulawesi Tenggara yang selanjutnya disebut Pengelolaan DAS Provinsi adalah pengeloiaan DAS yang secara geografis berada di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara. 10. Daya Dukung DAS adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. 11. DAS yang dipulihkan daya dukungnya adatah DAS yang kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.



12. DAS yang dipertahankan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air, dan pemanfaatan ruang wilayah berfungsi sebagaimana meshnya. 13. Konservasi Tanah dan Air adalah upaya pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. 14. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. 15. Penyuluh kehutanan pegawai negeri sipil yang selanjutnya disingkat penrrluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan kehutanan. 16. Pendampingan adalah aktivitas penyuluhan yang dilakukan secara terus menerus pada kegiatan pembangunan kehutanan untuk meningkatkan keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan kehutanan serta keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. 17. Para pihak adalah pihak pihak terkait yang terdiri dari unsur pemerintah dan bukan pemerintah yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS. 18. Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut Forum DAS adalah wadah koordinasi antar instansi penyeienggara Pengelolaan DAS. 19. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. 20. Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. BAB II MAKSUD, ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Gubernur ini meliputi : a. Tata Cara Penetapan Batas, Klasifikasi dan Rencana Pengelolaan DAS b. Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipulihkan dan DAS yang Dipertahankan c. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS d. Tata Cara Pembinaan, Pengawasan dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kegiatan Pengelolaan DAS e. Tata Cara dan Keanggotaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS



f. Tata Cara Penetapan dan Pemberian Penghargaan Dalam Pengelolaan dan Mempertahankan Kelestarian DAS BAB III TATA CARA PENETAPAN BATAS DAN PENETAPAN KLASIFIKASI DAS Bagian Kesatu Tata Cara Penetapan Batas DAS Pasal …dst



Bagian Kedua Inventarisasi dalam Hutan tingkat DAS Pasal…dst



Bagian Ketiga Tata Cara Penetapan Rencana Pengelolaan DAS Pasal…dst



BAB IV TATA CARA PENGELOLAAN DAS YANG DIPULIHKAN DAN YANG DIPERTAHANKAN Bagian Kesatu Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipulihkan Pasal…dst



Bagian Kedua Tata Cara Pengelolaan DAS yang Dipertahankan Pasal…dst BAB V MONITORING DAN EVALUASI



PELAKSANAAN KEGIATAN PENGELOLAAN DAS Bagian Kesatu Monitoring Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS Pasal…dst.



Bagian Kedua Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan DAS Pasal…dst. BAB VI TATA CARA PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN PENGELOLAAN DAS Bagian Kesatu Tata Cara Pembinaan Kegiatan Pengelolaan DAS Pasal…dst. Bagian Kedua Tata Cara Pengawasan Kegiatan Pengelolaan DAS Pasal…dst.



Bagian Ketiga Tata Cara Pemberdayaan Masyarakat Dalam Kegiatan Pengelolaan DAS Pasal…dst. BAB VII TATA CARA DAN KEANGGOTAAN FORUM KOORDINASI PENGELOLAAN DAS Pasal…dst.



BAB VIII TATA CARA PENETAPAN DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN DALAM PENGELOLAAN DAN MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN DAS Pasal…dst. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal… Peraturan Gubernur ini berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara.



Ditetapkan di Kendari pada tanggal 2021 GUBERNUR SULAWESI TENGGARA



H. ALI MAZI, S.H. Diundangkan di Bandung pada tanggal ……..2021 SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA,



Dr. Hj. NUR ENDANG ABBAS, SE., M.Si. BERITA DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2O21 NOMOR



Lampiran 3



GUBERNUR SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOMOR: 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGGARA, Menimbang



:



a. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu sampai hilir yang terdiri dari unsure-unsur utama tanah, vegetasi, air maupun udara dan memiliki fungsi penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan; b. bahwa kerusakan Daerah Aliran Sungai di Sulawesi Tenggara semakin memprihatinkan, sehingga menjadi salah satu penyebab terjadinyabanjir, tanah longsor, penurunan kualitas air, krisis air dam/atau kekeringan, erosi dan sedimentasi yang telah berdampak pada perekonomian dan tata kehidupan masyarakat; c. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pelaksanaan Pengelolaan DAS lintas kabupaten/kota, menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.



Mengingat



:



1. Pasal 18 ayat (6) Undang_Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan daeran tingkat I Sulawesi tenggara dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor



94,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2687); 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3064); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49); 5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432); 10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun



2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5657) 11. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608); 12. Peraturan pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 13. Peraturan pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 14. Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5230); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292); 18. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014-2034 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292).



Menetapkan



Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA dan GUBERNUR SULAWESI TENGGARA MEMUTUSKAN: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI



BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara 2. Pemerintah daerah adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara 3. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Tenggara 4. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang beraasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan. 5. Instansi terkait adalah Kementerian/Lembaga Pemerintah non kementerian di bidang sumber daya air, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 6. Karakteristik DAS adalah kekhasan yang dimiliki oleh suatu DAS yang ditentukan berdasarkan besaran dan sifatnya dengan indikator biofisik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan. 7. Permasalahan DAS adalah kesenjangan antara kondisi yang terjadi dengan kondisi yang seharusnya dalam suatu DAS yang meliputi aspek biofisik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan. 8. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagimanusia secara berkelanjutan. 9. Bagian hulu daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam kesatuan daerah aliran sungai yang memiliki cirri topografi bergelombang, berbukit dan/atau bergunung, dengan kerapatan drainase relative tinggi, merupakan sumber air yang masuk langsung ke sungai utama dan/atau melalui anakanak sungai, serta sumber erosi yang sebagiannya tersangkut ke daerah hilir sungai menjadi sedimen. 10. Bagian tengah daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam kesatuan DAS yang membentang mulai dari daerah hulu sampai hilir termasuk sempadan sungai, merupakan sumber sumber penghidupan manusia dan satwa lainnya. 11. Bagian hilir daerah aliran sungai adalah wilayah daratan dalam kesatuan daerah aliran sungai yang memiliki cirri topografi datar sampai landai, merupakan daerah endapan sedimen atau alluvial. 12. Sumberdaya Daerah Aliran Sungai adalah seluruh sumber daya dalam kawasan DAS yang dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan pembengunan sosial, ekonomi dan penopang system penyengga kehidupan manusia maupun satwa lainnya. 13. Konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan, pemulihan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan sesuai dengan kemampuan dan



14.



15.



16.



17.



18.



19.



peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. Partisipasi Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat yang tinggal dan memiliki ketergantungan terhadap daerah aliran sungai atau sekitarnya yakni tokoh adat, tokoh agama dan lain-lain dengan sejumlah pengalaman dan kearifannya dalam menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam pada masing-masing kawasan daerah lairan sungai. Forum Koordinasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Provinsi yang selanjutnya disebut Forum DAS adalah lembaga koordinatif yang beranggotakan berbagai pihak dan bersifat lintas sektor dalam mengelola DAS regional. Mekanisme Insentif dan Disinsentif adalah pengaturan tentang pemberian penghargaan/kompensasi terhadap semua bentuk dorongan spesifik atau rangsangan untuk mempengaruhi atau memotivasi semua pihak terutama masyarakat, baik secara individu atau kelompok untuk bertindak atau melaksanakan kegiatan dengan tujuan memperbaiki atau menjaga kondisi DAS serta pemberian sanksi terhadap semua bentuk tindakan yang mengakibatkan kerusakan DAS. Penyelesaian sengketa adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistemayis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pasca konflik yang berkaitan dengan pengelolaan DAS. Pengarustamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program dan kegiatan pembangunan daerah. Kerjasama antar daerah adalah kesepakatan antara daerah dalam pengembangan dan pengelolaan DAS yang didukung dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. BAB II MAKSUD, ASAS DAN TUJUAN Pasal 2



Pengelolaan DAS disusun dengan maksud untuk mengkoordinasikan, mengintegrasikan, mensingkronisasikan dan mensinergikan pengelolaan DAS dalam rangka meningkatkan daya dukung DAS Pasal 3 Pengelolaan DAS dilakukan berdasarkan asas: a. kemanfaatan dan kelestarian; b. keseimbangan; c. keterpaduan; d. keadilan; e. kemadirian; f. pemberdayaan masyarakat;



g. kesetaraan dan keadilan gender; h. akuntabel dan transparan; dan i. pengakuan terhadap kearifan lokal. Pasal 4 Pengelolaan DAS bertujuan untuk: a. mewujudkan koordinasi, integritas, singkronisasi dan sinergi antar berbagai pihak dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan DAS; b. mewujudkan kondisi tata air di DAS yang optimal meliputi jumlah, kualitas dan distribusinya; c. mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai daya dukung dan daya tamping lingkungan DAS; d. mewujudkan kesejahteraan masyarakat; e. kesetaraan dan keadilan gender memberikan ruang kepada perempuan untuk berperan dalammenikmati manfaat kegiatan pembangunan DAS serta kesejajaran kedudukan pada situasi konflik. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 5 (1) Ruang lingkup DAS meliputi pengelolaan seluruh DAS di wilayah Sulawesi Tenggara. (2) Nama-nama DAS dan peta DAS Sulawesi Tenggara tercantum dalam lampiran dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah. Pasal 6 (1)Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi tahapan kegiatan sebagai berikut: a. perencanaan; b. pelaksanaan; c. monitoring dan evaluasi; d. pembinaan dan pengawasan. (2)Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang dan pola pengelolaan sumber daya air Provinsi Sulawesi Tenggara. (3)Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi Terkait, kabupaten/kota maupun lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. BAB IV PERENCANAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Perencanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6



ayat (1) huruf a, dilakukan dengan tahapan kegiatan: a. Inventarisasi karakteristik DAS; b. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS;dan c. Penetapan Rencana Pengelolaan DAS; (2) Kegiatan perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. (3) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kajian kondisi lahan, kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah. Bagian Kedua Inventarisasi Karakteristik DAS Pasal 8 (1) Inventarisasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat(1) huruf a meliputi: a. Proses penetapan batas DAS;dan b. Penyusunan klasifikasi DAS. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas DAS diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Bagian Ketiga Penyusunan Kalsifikasi DAS Pasal 9 (1) Berdasarkan hasil proses penetapan batas DAS yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan klasifikasi DAS. (2) Penyusunan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menetukan: a. DAS dipulihkan;dan b. DAS yang dipertahankan daya dukungnya. (3) Persatuan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kriteria: a. kondisi lahan; b. kulitas,kuantitas dan kontinuitas air; c. sosial ekonomi; d. inventarisasi bangunan air;dan e. pemanfaatan ruang wilayah. (4) Penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur berdasarkan ketentuan perundangundangan. Pasal 10 (1) Klasifikasi DAS dievaluasi sekali dalam 5 (lima) tahun sejak ditetapkan. (2) Dalam hal tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar klasifikasi DAS dapat ditinjau kembali kurang dari 5 (lima) tahun.



Bagian Keempat Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Pasal 11 (1) Berdasarkan penetapan klasifikasi DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan penyusunan rencana pengelolaan DAS. (2) Penyusunan rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Gubernur. (3) Dalam menyusun rencana pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk tim yang terdiri dari dinas terkait dan melibatkan perguruan tinggi serta pemangku kepentingan lainnya. Pasal 12 Penyusunan rencana pengelolaan DAS meliputi: a. penyusunan rencana pengelolaan DAS yang dipulihkan daya dukungnya; dan b. penyusunan rencana pengelolaan DAS yang dipertahankan daya dukungnya Pasal 13 Penyusunan rencana pengelolaan DAS yang dipulihkan daya dukiugnya sebagaimana dimaksud dalam Pasdal 12 huruf a dilakukan dengan perumusan : a. permasalahan DAS; b. tujuan pemulihan daya dukung DAS; c. strategi pemulihan daya dukung DAS;dan d. monitoring dan evaluasi DAS. Pasal 14 Perumusan permasalahan DAS yang dipulihkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, dilakukan melalui: a. identifikasi dan analisis masalah;dan b. rumusan masalah. Pasal 15 (1) Perumusan tujuan pemulihan daya dukung DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b dilakukan dengan mengacu pada hasil perumusan masalah. (2) Perumusan tujuan pemulihan daya dukung DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mendapatkan keterpaduan kepentingan antar dan di dalam sektor serta wilayah administrasi. Pasal 16 (1) Hasil perumusan tujuan pemulihan daya dukung DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dijadikan dasar dalam perumusan monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS. (2) Perumusan strategi pemulihan daya dukung DAS sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi perumusan kebijakan, program dan



kegiatan. Pasal 17 (1) Berdasarkan hasil perumusan strategi pemulihan daya dukung DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan perumusan monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS. (2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) harus memperhatikan faktor-faktor antara lain: a. sistim analisis; b. kriteria indikator kinerja; c. pelaksana; dan d. capaian hasil. Pasal 18 Penyusunan rencana pengelolaan DAS yang dipertahankan daya dukungnya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 huruf b, dilakukan dengan perumusan: a. permasalahan DAS; b. tujuan mempertahankan daya dukung DAS; c. strategi mempertahankan daya dukung DAS; dan d. monitoring dan evaluasi DAS. Pasal 19 Perumusan permasalahan DAS yang dipertahankan daya dukungnya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 huruf a, dilakukan melalui: a. identifikasi dan analisis masalah;dan b. rumusan masalah. Pasal 20 (1) Perumusan tujuan mempertahankan daya dukung DAS sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 huruf b dilakukan dengan cara mengacu pada hasil perumusan masalah. (2) Perumusan tujuan mempertahankan daya dukung DAS sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengedepankan keterpaduan kepentingan antar dan di dalam sektor dan wilayah administrasi. Pasal 21 (1) Hasil perumusan tujuan mempertahankan daya dukung DAS sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 20 dijadikan dasar dalam perumusan strategi pengelolaan DAS yang dipertahankan daya dukungnya. (2) Perumusan strategi mempertahankan daya dukung DAS sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi perumusan kebijakan, program dan kegiatan. Pasal 22 (1) Berdasarkan hasil perumusan strategi mempertahankan daya dukung



DAS sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 huruf c dilakukan perumusan menitoring dan evaluasi pengelolaan DAS. (2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) herus mempertahitikan faktor-faktor antara lain: a. sistem analisis; b. kriteria indikator kinerja; c. pelaksana;dan d. capaian hasil. Bagian Kelima Penetapan Rencana Pengelolaan DAS Pasal 23 (1) Berdasarkan Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 , dilakukan penetapan Rencana Pengelolaan DAS untuk yang dipulihkan daya dukungnya dan/atau yang dipertahankan daya dukungnya. (2) Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) menjadi salah satu dasar dalam penyusunan rencana pembangunan sektor dan wilayah di tiap-tiap kabupaten/kota yang masuk dalam ruang lingkup DAS. Pasal 24 (1) Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18 ditetapkan untuk jangka waktu 15 (lima belas) tahun. (2) Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dievaluasi dan ditinjau kembali minimal 5 (lima) tahun sekali. Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan Rencana Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diatur dengan Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V PELAKSANAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 26 Kegiatan Pengelolaan DAS dilakukan berdasarkan rencana pengelolaan DAS untuk yang telah ditetapkan menjadi acuan dalam menyusun rencana pembangunan sektor dan rencana pembangunan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2). Pasal 27 Kegiatan Pengelolaan DAS dilakukan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 26 dilaksanakan pada: a. DAS yang dipulihkan daya dukungnya;dan



b. DAS yang dipertahankan daya dukungnya. Pasal 28 (1) Pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang akan dipulihkan daya dukungnya sebagaiman dimaksud dalam Pasal 27 huruf a meliputi: a. Optimalisasi penggunaan lahan sesuai dengan fungsi dan daya dukung wilayah; b. Penerapan teknik konservasi tanah dan air dilakukan dalam rangka pemeliharaan kelangsungan daerah tangkapan air, menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air; c. Pengelolaan vegetasi dilakukan dalam rangka pelestarian keanekaragaman hayati, peningkatan peroduktivitas lahan, restorasi ekosistem, rehabilitasi dan reklamasi lahan; d. Peningkatan kepedulian dan peran serta instansi terkait dalam pengelolaan DAS ; dan/atau e. Pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan sinergi lintas sektor dan wilayah administrasi. (2) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai persyaratan teknis masing-masing kegiatan. Pasal 29 (1) Pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang dipertahankan daya dukungnya sebagaiman dimaksud dalam Pasal 27 huruf b meliputi: a. Menjaga dan memelihara produktifitas dan keutuhan ekosistem dalam DAS secara berkelanjutan; b. Bimbingan teknis dan fasilitasi dalam rangka penerapan teknik konservasi tanah dan air demi kelangsungan daerah tangkapan air, untuk menjaga kualitas, konstinuitas dan distribusi air; c. Peningkatan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan sinergi antar sektor dan wilayah administrasi dalam rangka mempertahankan kelestarian vegetasi, keanekaragaman hayati dan produktifitas lahan; dan/atau d. Peningkatan kapasistas kelembagaan pengelolaan DAS untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, singkronisasi dan sinergi antar sektor dan wilayah administrasi. (2) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai persyaratan teknis masing-masing kegiatan. Pasal 30 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan DAS yang dipulihkan dan DAS yang dipertahankan diatur dengan Peraturan Gubernur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI MONITORING DAN EVALUASI Pasal 31 Monitoring dan evaluasi wajib dilakukan dalam Pengelolaan DAS baik



dalam pemulihan maupun mempertahankan Daya Dukung DAS Pasal 32 (1) Monitoring dilakukan dalamuntuk mendapatkan data indikator kinerja DAS (2) Indikator kinerja DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan indikator dari kriteria biofisik, sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan. (3) Kriteria biofisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. Kondisi lahan, yang terdiri dari luas lahan kritis, penutupan vegetasi, tingkat erosi, dan kesesuaian penggunaan lahan dengan kelas kesesuaian dan kemampuan lahan. b. Kondisi hidrologi, yang terdiri atas kualitas, kuantitas, kontinuitas, dan distribusi air. (4) Kriteria sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi tingkat partisipasi masyarakat, tingkat kepedulian masyarakat, tingkat pendidikan masyarakat, dan tekanan penduduk terhadap DAS. (5) Kriteria ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Tingkatan dan distribusi pendapatan masyarakat. (6) Kriteria kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi keberadaan lembaga kearifan lokal dan keberadaan lembaga sesuai peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan DAS serta penegakan hukum. Pasal 33 (1) Monitoring terhadap indikator kinerja DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan secara periodik paling sedikit sekali dalam setahun. (2) Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk melakukan evaluasi kinerja pengelolaan DAS. Pasal 34 (1) Evaluasi kinerja pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dilakukan untuk memperoleh gambaran perubahan kondisi DAS. (2) Evaluasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup evaluasi sebelum, sedang dan setelah kegiatan berjalan. (3) Evaluasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara periodik paling sedikit sekali dalam 2 (dua) setahun. Pasal 35 Hasil evaluasi kinerja pengelolaan DAS digunakan untuk: a. Penyempurnaan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dan; b. Pelaksanaan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. Pasal 36 Gubernur melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan



pengelolaan DAS Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS, diatur dengan Peraturan Gubernur. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembinaan Pasal 38 (1) Pembinaan kegiatan Pengelolaan DAS dilakukan oleh Gubernur (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi. Pasal 39 Pembinaan sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 38 dilakukan dengan kegiatan: a. Koordinasi; b. Pemebrian pedoman, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis; c. Pemberian bimbingan, supervise dan konsultasi; d. Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan; e. Pemberian bantuan teknis; f. Fasilitasi; g. Sosialisasi dan diseminasi; dan/atau h. Penyediaan sarana dan prasarana. Bagian Kesdua Pengawasan Pasal 40 (1) Pengawasan bertujuan untuk mewujudkan efektifitas serta singkronisasi pelaksanaan Pengelolaan DAS Provinsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pengawasan terhadap pelaksanaan Pengelolaan DAS dilakukan oleh Gubernur Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut menegnai tata cara pembinaan dan pengawasan kegiatan Pengelolaan DAS diatur dengan Peraturan Gubernur. BAB VIII PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Peran Serta Pasal 42 (4) Masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS (5) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan baik perseorangan maupun melalui forum koordinasi



pengelolaan DAS (6) Forum koordinasi pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membantu dalam mendukung keterpaduan penyelenggaraan pengelolaan DAS Bagian Kedua Pemberdayaan Masyarakat Pasal 44 Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kapasitas, kapabilitas, kepedulian dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan DAS Pasal 45 (1) Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilakukan oleh Pemerintah Daerah. (2) Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, BUMS, BUMDes, Koperasi, dan organisasi masyarakat. Pasal 46 (1) Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dilakukan melalui: a. Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan; b. Pendampingan; c. Pemberian bantuan modal; d. Sosialisasi dan diseminasi; dan/atau e. Penyediaan sarana dan prasarana (2) Ketentuan lebih lanjut menegnai tata cara pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan Pengelolaan DAS diatur dengan Peraturan Gubernur. BAB IX PERAN SERTA SWASTA Pasal 47 (1) Pihak swasta wajib berperan serta dalam pengelolaan DAS sesuai dengan bidang usaha/kegiatan. (2) Pihak swasta dapat berperan serta dalam pengelolaan DAS secara individu, kelompok, perkumpulan atau melalui Forum Koordimasi Pengelolaan DAS. Pasal 48 Peran serta pihak swasta wajib dalam pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) mencakup: a. dalam melaksanakan kegiatan usaha harus mempertimbangkan aspek kelestarian DAS, membuka kesempatan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi; b. memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengelolaan DAS;



c. melakukan pemulihan terhadap kerusakan sumber daya alam akibat kegiatan usaha yang dilakukan; d. terlibat dalam kegiatanpemberdayaan masyarakat terkait kegiatan pengelolaan DAS;dan e. aktif dalam dan mendukung Forum Koordimasi Pengelolaan DAS. BAB X PERAN SERTA AKADEMISI Pasal 49 (1) Akademisi dapat dilibatkan untuk beroeran serta dalam pengelolaan DAS. (2) Peran serta akademisi dalam pengelolaan DAS bersifat konsultatif dan aksi sesuai dengan kompetensi keilmuannya. (3) Peran serta akademisi dalam pengelolaan DAS dapat dilakukan secara perorangan atau kelompok seperti Pusat Studi atau Forum Koordimasi Pengelolaan DAS. Pasal 50 Peran serta akademisi dalam pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) dapat dilakukan melalui: a. pemberian informasi atau rekomendasi berdasarkan hasil penelitian dan pemikiran yang berkaitan dengan pengelolaan DAS; b. pemberian informasi teknologi ramah lingkungan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan DAS; c. keterlibatan dalam penyusunan rencana pengelolaan DAS, monitoring dan evaluasi, penyusunan system informasi pengelolaan DAS, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat;dan d. ikut aktif menggerakan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS. BAB XI FORUM KOORDINASI PENGELOLAAN DAS Pasal 51 (1) Guna terciptanya keterpaduan penyelenggaraan pengelolaan DAS, Gubernur membentuk Forum Koordimasi Pengelolaan DAS. (2) Forum Koordimasi Pengelolaan DAS mempunyai fungsi untuk: a. menampung dan menyakurkan aspirasi masyarakat terkait pengelolaan DAS; b. memberikan sumbangan pemikiran dalam pengelolaan DAS; dan c. menumbuhkan dan mengembangkan peran pengawasan masyarakat dalam pengelolaan DAS. d. memfasilitasi terselenggaranya Koordinasi, Integrasi, Singkronisasi dan Sinergi Pengelolaan DAS (3) Forum Koordimasi Pengelolaan DAS sebagaiman dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsure pemerintah, pemerintah daerah, swasta, akademisi, Organisasi Masyarakat Sipil dan masyarakat. (4) Masa kerja dan kepengurusan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS adalah selama 3 (tiga) tahun. (5) Tata Cara dan keanggotaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS diatur



melalui Peraturan Gubernur. (6) Forum Koordimasi Pengelolaan DAS setiap tahun melaporkan pelaksanaan fungsi kepada Gubernur melalui Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dan ditembuskan ke DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara. (7) Pembiayaan Forum Koordimasi Pengelolaan DAS dibebankan kepada APBN, APBD dan sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat. BAB XII KERJASAMA PENGELOLAAN DAS Pasal 52 Guna menunjang kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan DAS dari hulu sampai ke hilir, maka dilaksanakan kerjasama antar Kabupaten/Kota atau pihak ketiga. Pasal 53 Kerjasama dengan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan DAS sebagaiman dimaksud pada Pasal 52 adalah kerjasama antara Gubernur dengan Bupati/Walikota dengan Bupati/Walikota lain atau antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga yang dibuat secara tertulis dan menimbulkan hak dan kewajiban. Pasal 54 Kerjasama antar daerah dalam pengelolaan DAS bertujuan untuk: a. Memantapkan hubungan dan keterkaitan antar daerah dalam pengelolaan DAS; b. Menyerasikan dan mensinergikan pelaksanaan pembangunan antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga; c. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan teknologi untuk penguatan ekonomi masyarakat d sekitar kawasan DAS; d. Mengurangi kesenjangan antar daerah hulu dan hilir dalam DAS , khususnya yang ada di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah dan daerah tertinggal; dan e. Meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan asli daerah. Pasal 55 (1) Kerjasama antar daerah dalam pengelolaan DAS dilakukan dalam bentuk perjanjian kerjasama. (2) Tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku BAB XIII SISTIM INFORMASI PENGELOLAAN DAS Pasal 56 Untuk mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dibangun system informasi pengelolaan DAS yang dibangun dan dikelola oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan mengikutsertakan instansi terkait.



Pasal 57 (1) Sistem informasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 harus dapat diakses oleh seluruh pihak yang berkepntingan dengan pengelolaan DAS. (2) Sistem informasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. data pokok DAS baik secara spasial maupun non spasial; dan b. sistem pendukung pengambilan keputusan dalam pengelolaan DAS. (3) Sistem informasi Pengelolaan DAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabarkan secara makro dalam pola umum kriteria dan standar pengelolaan DAS BAB XIV PEMBIAYAAN Pasal 58 Pembiayaan yang dibutuhkan untuk Pengelolaan DAS dapat dibebankan pada: a. APBN b. APBD, dan c. Sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat. BAB XV LARANGAN Pasal 59 Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya DAS dan/atau menyebabkan kesrusakan sumber daya DAS. BAB XVI SENGKETA PENGELOLAAN DAS Bagian Kesatu Subyek dan Obyek Sengketa Pasal 60 (1) Subyek sengketa pengelolaan DAS meliputi: a. Pemerintah daerah; b. Swasta; c. Masyarakat (2) Obyek sengekta pengelolaan DAS meliputi: a. Air; b. Pemanfaatan ruang. Bagian Kdua Penyelesaian Sengketa DAS Pasal 61



(1) Penyelesaian sengketa dalam pengelolaan DAS dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai maka diselesaikan melalui pengadilan. BAB XVII PENGHARGAAN Pasal 62 (1) Gubernur dapat memberikan penghargaan kepada pihak yang berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan dan mempertahankan kelestarian DAS. (2) Pihak yang berhak menerima penghargaan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penetapan dan pemberian penghargaan diatur dengan Paraturan Gubernur. BAB XVIII KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 63 (1) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia , Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah, diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Hukum Acara Pidana. (2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. menerima laporan atau pengadian dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda dan/atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret tersangka; f. memanggil seseorang untuk dijadikan tersangka atau saksi; g. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara; h. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik Polri bahwa tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, dan selanjutnya melalui penyidik Polri memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka dan keluarganya; i. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tugasnya di bawah koordinasi penyidik Polri. BAB XIX



KETENTUAN PIDANA Pasal 64 Setiap orang atau badan usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan ketentuan peraturan perundangundangan. BAB XX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 65 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini. Maka semua kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang terkait dengan pengelolaan DAS di daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Kebijakan pengelolaan DAS di Sulawesi Tenggara yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini, harus menyesuaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. BAB XX KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. Ditetapkan di Kendari Pada tanggal 10-6- 2015 GUBERNUR SULAWESI TENGGARA TTD NUR ALAM



Diundangkan di Kendari Pada tanggal 10-6-2015 SEKRETARIS DAERAH



PROVINSI SULAWESI TENGGARA TTD LUKMAN ABUNAWAS LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2015 NOMOR NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN (1/2015)