Laporan Akhir Reproduksi PPDH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Reproduksi dan Kebidanan



Tanggal Pelaksanaan



Kelompok A



(28/09/2020-09/10/2020)



FKH 514



LAPORAN KEGIATAN INTRAMURAL di Divisi Reproduksi dan Kebidanan



Disusun oleh: Muhammad Farhan, SKH B0901201035 Kelompok A PPDH Periode I Tahun Ajaran 2020/2021



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2020



LEMBAR PENGESAHAN PROGRAM PENDIDIKAN KEDOKTERAN HEWAN LAPORAN AKHIR MATA KULIAH REPRODUKSI DAN KEBIDANAN (FKH 514) Oleh: Muhammad Farhan, SKH



B0901201035



Disetujui oleh Koordinator Mata Kuliah Reproduksi dan Kebidanan



Dosen Pembimbing Mata Kuliah Reproduksi dan Kebidanan



Prof. Drh. Ni Wayan K Karja, MP, PhD NIP. 196902071996012001



Dr. Drh Mokhamad Fakhrul lUlum, MSi NIP. 198210242012121002



Diketahui oleh Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB



Prof Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet NIP. 19630810 198803 1 004



Tanggal Pengesahan:



REVIEW FISIOLOGI REPRODUKSI HEWAN JANTAN Dr drh Ligaya Ita Tumbelaka, SPMp, MSc Sistem reproduksi jantan meliputi berbagai organ yang saling bekerjasama, meliputi gonad (testis), saluran reproduksi (uretra, vas deferens, epididimis), kelenjar aksesorius (vesikularis, prostat, bulbourethralis), dan organ kopulasi (penis). Testis adalah gonad pada jantan, yang menjadi tempat terjadinya spermatogenesis yang menjadi komponen utama dalam semen. Sel Leydig dalam tubulus seminiferus akan mensekresikan hormon testosteron yang berperan penting dalam spermatogenesis. Proses spermatogenesis memerlukan nutrisi yang dihasilkan oleh sel sertoli dalam proses maturasi spermatid menjadi spermatozoa. Pematangan spermatozoa terjadi pada epididimis testis. Epididimis terbagi menjadi tiga bagian yaitu caput, corpus, dan cauda. Spermatozoa yang sudah matang disimpan dalam cauda epididymis sebelum disalurkan menuju vas deferens apabila terjadi ejakulasi. Fungsi utama dari gonad jantan (testis) adalah menghasilkan sel gamet (spermatozoa) yang bersifat motil, bergerak secara progresif, mampu melakukan fertilisasi pada oosit, dan diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak dalam satu siklus spermatogenesis.



Gambar 1 Organ reproduksi hewan jantan Cairan pembawa spermatozoa atau yang disebut sebagai plasma semen dihasilkan oleh organ bernama kelenjar asesorius. Kelenjar asesorius merupakan pelengkap alat kelamin jantan yang mensekresikan plasma semen yang mengandung banyak karbohidrat, protein, asam-asam amino, beberapa enzim, vitamin yang larut dalam air, beberapa mineral, asam sitrat dan bahan-bahan organik lainnya. Plasma semen mempunyai daya buffer yang tinggi terhadap semen, sehingga spermatozoa mampu memiliki daya hidup yang lama. Kelenjar asesoris terdiri dari kelenjar vesikularis, prostat, dan bulbouretralis (cowper). Kelenjar vesikularis akan mensekresikan seminogelin, fruktosa, dan prostaglandin. Kelenjar prstat mensekresikan PSA Protease, acid phospatase, dan asam sitrat.



Kelenjar cowper atau bulbourethralis mensekresikan mukus atau urethral lubrication. Aktivitas kelenjar asesoris tergantung pad hormon testosteron. Pada ternak kastrasi aktivitas kelenjar asesoris menjadi menurun dan kemudian akan menjadi rudimenter. Penis hewan terdiri atas dua jenis atau tipe yaitu, tipe cavernosus/muskularis yang tidak memiliki fleksura sigmoidea (carnivora, macaca, dan kuda) dan tipe fibroelastik yang memiliki fleksura sigmoidea yang tetap keras walaupun tidak ereksi (ruminansia kecuali rusa dan babi). Spermatogenesis adalah suatu proses pembentukan spermatozoa (sel gamet jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testis. Proses spermatogenesis merupakan dua proses pembelahan: 1) pembelahan mitosis dan meiosis disebut dengan spermatositogenesis (2n menjadi n), yaitu pembelahan dari spermatogonium sampai dengan spematosit primer. Miosis I meliputi pembelahan dari spermatosit primer ke spermatosit sekunder (2n menjadi n), sedangkan miosis II adalah pembelahan dari spermatosit sekunder menjadi spermatid (dari n menjadi n ) dan 2) perubahan spermatid menjadi spermatozoa disebut dengan spermiogenesis.



Gambar 2 Proses Spermatogenesis yang terjadi pada testis Spermatositogenesis dikendalikan oleh folicle stimulating hormone (FSH) dari adenohipofisa dan spermiogenesis berada di bawah pengaruh lutenizing hormone (LH) dan testosteron. Spermatozoa pada masing-masing spesies mempunyai ukuran yang berbeda-beda akan tetapi bentuknya relatif sama. Pada kepala spermatozoa terdapat akrosom, sedangkan pada ekor secara anatomis terdapat bagian middle piece, principal piece, dan bagian ekor yang terdapat central axonemal yang terdapat 9+2 mikrotubulua, dan dibalut dengan outer fibril, lapisan mitokondria yang membentuk kolom longitudinal pada dorsal dan ventral dan circumferial ribs.



REVIEW FISIOLOGI REPRODUKSI HEWAN BETINA Prof drh Muhammad Agus Setiadi, PhD Sistem reproduksi pada betina terdiri atas sistem ovarium, sistem duktus (oviduct, uterus, vagina), dan organ kelamin luar (vulva dan klitoris). Pada mamalia, ovarium dan bagian duktus dari sistem reproduksi berhubungan satu dengan yang lain dan melekat pada dinding tubuh dengan sebuah seri dari ligamenligamen. Alat –alat reproduksi betina terletak di dalam cavum pelvis (rongga pinggul). Cavum pelvis dibentuk oleh tulang-tulang sacrum, vertebra coccygea kesatu hingga ke lima dan oleh dua os coxae. Os coxae dibentuk oleh ilium, ischium, dan pubis. Secara anatomi alat reproduksi betina dapat dibagi menjadi ovarium, oviduct, cervis, vagina, dan vulva. Ovarium berfungsi untuk mensekresikan ovum dan sekaligus bertindak sebagai organ endokrin, dengan memproduksi hormon steroid dan peptida seperti estrogen dan progesteron. Estrogen dan progesteron berfungsi penting dalam persiapan dinding uterus untuk implantasi ovum yang telah dibuahi. Oviduct atau tuba fallopi yang juga disebut tuba uterine adalah saluran yang berpasangan dan berkonvolusi yang menghantarkan ova dari ovarium menuju tanduk uterus, dan juga merupakan tempat terjadinya fertilisasi oleh spermatozoa. Oviduct terdiri dari infundibulum, ampula, dan isthmus. Terdapat pembatas antara oviduct dengan uterus yaitu uterotubaljunction. Uterus merupakan tempat implantasi zigot yang telah berkembang menjadi embrio. Pada uterus inilah juga terjadi proses pemeliharaaan kebuntingan apabila terjadi fertilisasi. Bentk uterus bervariasi tergantung dari spesies hewan, seperti duplex (pada rodensia dan kelinci) yang ditandai dengan dua cervix, bicornua (pada sapi dan domba) ditandai dengan besarnya bagian cornua, bipartitus (pada karnivora) yang memiliki cornua tetapi kurang berkembang, dan simplex (manusia dan primata) yang ditandai dengan tidak adanya cornua. Vagina merupakan perpanjangan dari cervix sampai ketempat sambungan uretra dengan saluran alat kelamin adalah bagian yang berdinding tipis. Vagina merupakan bagian dari organ repoduksi merupakan organ kopulasi pertemuan antara organ reproduksi jantan dan betina. Vagina pada hewan betina juga memiliki fungsi sebagai saluran kelahiran saat proses partus.



Gambar 3 Organ reproduksi hewan betina Oogenesis merupakan proses gametogenesis pada hewan betina. Oogenesis diawali dengan pembentukan oogonium. Oogonia kemudian akan mengalami pembelahan secara mitosis dan menghasilkan oosit primer. Oosit primer akan membelah secara meiosis menjadi oosit sekunder dan badan polar primer. Oosit sekunder akan membelah menjadi dua sel, yaitu ootid dan badan polar sekunder. Ootid kemudian yang akan berkembang menjadi ovum, sedangkan badan polar akan mengalami degenerasi. Proses oogenesis dikendalikan oleh interaksi antara hipotalamus, pituitari, dan ovarium. Siklus estrus terdiri dari dua fase (fase folikular dan fase luteal). Fese folikular terdiri dari proestrus pada hari ke 18-21 dan estrus pada hari ke 21/0. Fase folikular merupakan fase saat terjadi pembentukan folikel mulai dari luteolisis corpus luteum sehingga terjadi penurunan kadar progresteron dalam darah. Penurunan kadar progresteron dapat menghentikan feedback negatif terhadap hipotalamus dan menyebabkan peningkatan sekresi GnRH (Gonadotropin Realising Hormon) pada hipotalamus. Kadar GnRH yang tinggi menyebabkan peningkatan sekresi FSH (Folikel stimulating hormon) dan LH (Luteal Hormon) pada hipofisa anterior/ adenohipofise sehingga menginisiasi perkembangan folikel ovarium. Fase folikular didominasi oleh hormon estrogen yang dihasilkan oleh sel theka interna pada folikel ovarium. Fase folikular berakhir ketika terjadi ovulasi akibat adanya LH surge dan dimulainya fase luteal. Fase luteal terdiri dari metestrus pada hari ke 1-4 dan diestrus pada hari ke 5-17. Fase luteal dimulai ketika terjadi pembentukan CL (Corpus luteaum) dan saat folikel ovarium ruptur hingga terjadi terbentuk corpus rubrum/haemoragikum. Fase luteal didominansi oleh hormon progresteron yang dihasilkan oleh CL. Akhir dari fase CL adalah luteolisis atau regresi dan pembentukan corpus albicans. Fase metestrus yang merupakan awal dari perkembangan CL belum terjadi perkembangan reseptor dari prostaglandin sehingga penyuntikan PGF 2α pada



periode ini untuk sinkrosinasi estrus tidak berguna. Teknologi superovulasi dan transfer embrio dilakukan pada fase diestrus karena reseptor terhadap PGF 2α telah berkembang dengan baik. Gelombang folikel juga dapat ditemui pada fase ini, sehingga penyuntikan gonadotropin selama 4 hari berturut turut sejak hari ke 7 dengan penambahan PGF 2α pada hari ke 11 dan 12 akan memaksimalkan superovulasi. Pemeriksaan kebuntingan pada hewan betina dapat dilakukan dengan pengamatan kadar progesteron pada hari ke 18, 21, dan 24 setelah dilakukan inseminasi buatan atau kawin secara alam terakhir. Berdasarkan fase estrus yang telah dijelaskan pada paragraf diatas juga dapat diketahui waktu inseminasi buatan yang terbaik. Estrus akan berlangsung selama 12-18 jam dan ovulasi terjadi sekitar 10-12 jam setelah tanda terakhir estrus. Berdasarkan hal tersebut inseminasi paling baik dilakukan 9 jam setelah muncul tanda estrus hingga 6 jam setelah terjadi ovulasi.



REVIEW KEBIDANAN DAN KEMAJIRAN Prof drh Bambang Purwantara, MSc PhD Dr drh Yudi, Msi Kebidanan merupakan bidang yang berkaitan tentang kebuntingan (proses, diagnosa, dan kelainan), partus, kasus teratologi, dan teknik bedah reproduksi. Umumnya kebidanan lebih banyak membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan hewan betina. Sementara itu, kemajiran adalah kondisi dari hewan baik jantan maupun betina yang berkaitan tentang gangguan kemampuan reproduksinya (gangguan anatomis dan fungsional, serta efisiensi reproduksi) akibat penyebabpenyebab tertentu seperti abnormalitas genetik, gangguan perkembangan kongenital, gangguan hormonal, penyakit infeksius dan kondisi patologik, serta manajemen yang kurang tepat. Salah satu penerapan kebidanan yang cukup penting adalah pemeriksaan kebuntingan. Pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu pemeriksaan biologi, pemeriksaan kimia, pemeriksaan hormon progesteron, dan metabolik progesteron, pemeriksaan ultrasonografi (USG), dan palpasi perektal. Palpasi perektal merupakan diagnosa kebuntingan yang paling umum dilakukan pada ternak. Palpasi rektal dapat menunjukkan adanya tanda-tanda kebuntingan pada hewan. Tanda-tanda kebuntingan pada hewan muncul berdasarkan usia kebuntingan. Pada usia kebuntingan 35 hari, dapat ditemukan adanya foetal membran slip atau kantung amnion fetus dan salah satu cornua mengalami pembesaran asimetris. Pada usia kebuntingan 60 hari, cornua uteri semakin asimetris dan kantong amnion akan berukuran seperti telur ayam kampung. Usia kebuntingan 90 hari ditandai dengan uterus yang mulai turun dari rongga pelvis ke rongga abdomen. Usia kebuntingan 120 hari akan ditandai dengan kantong amnion yang sebesar bola untuk sepak bola (diameter ±30cm). Selain itu,



pada usia kebuntingan ini juga ditemui fremitus arteri uterina media dengan desiran yang lemah dan karunkula mulai teraba dengan diameter berkisar antara 1,5-2,5 cm. Fremitus arteri uterina media berdenyut semakin kuat hingga berdesir ringan pada usia kandungan 150 hari. Usia 150 hari, cornua bunting sudah berada di dasar abdomen. Usia kebuntingan 180-210 hari, fremitus semakin berdesir kuat dan karunkula semakin jelas teraba. Fetus mulai mengarah ke jalan kelahiran di usia kebuntingan 240 hari dan masuk di jalan kelahiran pada usia kebuntingan 270 hari. Di dalam kebidanan dan kemajiran salah satu metode pemeriksaan yang sering digunakan adalah palpasi rektal oleh karena itu perlu diketahui anatomis bagain daerah pelvis yang dekat dengan organ reproduksi. Di daerah pelvis organ reproduksi betina letaknya dekat dengan saluran pencernaan (rectum), ligamentum daerah pelvis (ligamentum sacroiliaca, ligamentum saccroischiadica, tendon pubis), ateri uterine yang dapat dimanfaatkan pada pemeriksaan kebuntingan, tulang coxae (os illium, os ischium, os pubicum), vertebrae coccygea, os sacrum, dan os vertebrae lumbalis. Fungsi utama organ reproduksi betina mengahasilkan ovum dan menyalurkannya, menyediakan lingkungan yang cocok untuk pembuahan dan implantasi, perkembangan fetus dan menyediakan mekanisme partus. Pada gonad terdapat aktivitas yang normal sesuai fisiologis hewan betina. Pemahaman terkait fisiologis ini penting agar dapat dimanfaatkan pada bidang kebidanan dan kemajiran, salah satunya adalah penentuan waktu inseminasi buatan yang baik agar sesuai siklus fisiologi dan meningkatkan tingkat keberhasilannya. Fertilisasi dapat terjadi apabila plasma membran dan enzim hyaluronidase oleh akrosom spermatozoa mampu menembus cumulus oophorus oosit (ciri oosit matang cumulus oophorus membesar areanya). Kemudian bagian akrosom spermatozoa dengan beberapa enzimya akan menembus corona radiata. Selanjutnya membrane akrosom bagian terdalam yang tersisa akan mempenetrasi zona pelusida dengan bantuan enzim akrosin. Ketika ada spermatozoa yang berhasil menembus plasma oosit terjadi perubahan pada zona pelusida sehingga terjadi pengerasan. Penyatuan dua inti gamet (pronucleus) akan menghasilkan zygot. Zygot akan berkembang menjadi embrio kemudian bersel dua, empat (hari ke 2), delapan, enam belas (hari ke 3), morula (hari ke 4), blastosis (hari ke 5), dan implantasi blastosis di endometrium setelah blastosis pecah. Perkembangan embrio didalam uterus dilengkapi oleh perkembangan lapisan ekstraembrionik yang disebut plasenta. Plasenta memiliki 4 tipe berdasarkan persebaran dari vili kotiledon di bagian chorion plasentanya meliputi difusa (menyebar merata, pada babi dan kuda), kotiledonaria (berkumpul menyebar di beberapa titik plasenta, pada sapi dan domba), Zonaria (berkumpul di satu titik bagian tengah plasenta, pada anjing dan kucing), dan discoid (pada titik ujung tertentu, pada primate). Plasenta berfungsi sebagai media terjadinya aktivitas organ seperti hormon, respirasi, pencernaan, dan eksresi, serta barrier infeksi mikroba.



Proses partus pada hewan dapat berjalan secara normal (eutokia) atau secara tidak normal (distokia). Partus yang berjalan secara normal terdiri dari 3 tahap kelahiran, yaitu tahap persiapan, tahap pengeluaran fetus, dan tahap pengeluaran plasenta. Gangguan atau kesulitan pada partus (distokia) pada hewan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu herediter, pakan, dan manajemen, kejadian traumatik, dan adanya penyakit pada saluran reproduksi. Distokia terdiri dari dua jenis yaitu distokia karena induk (distokia maternalis) dan distokia karena fetus (distokia fetalis). Penanganan pada kondisi ini dapat dilakukan dengan mutasi/reposisi, penarikan fetus secara paksa, fetotomi, atau operasi sectio caecaria. Gangguan reproduksi merupakan sebuah penyakit pada saluran reproduksi atau suatu proses yang menyebabkan hewan terhambat untuk memiliki keturunan. Gangguan reproduksi dapat digolongkan menjadi gangguan fungsional, patologi kebuntingan, komplikasi partus, kelainan genetic, dan teratogenesis. Gangguan fungsional meliputi anestrus, hipofungsi ovari, endometritis, dan cystic ovari. Patologi kebuntingan seperti repeat breeder, macerasi, mumifikasi, dan abortus. Komplikasi partus seperti torsio uteri, inersia uteri, prolaps dan rupture uteri, distokia, dan retensi plasenta. Anestrus merupakan kegagalan seekor hewan menunjukkan gejala estrus. Anestrus dapat diakibatkan gangguan kongenital, defisiensi nutrisi, atau adanya keadaan patologi yang menyebabkan terjadinya anestrus pada hewan. Anestrus terdiri dari 2 kelompok, yaitu kelompok 1 dimana masih terdapat corpus luteum pada ovarium dan kelompok 2 yang memiliki ovarium kecil atau tidak ada corpus luteum fungsional. Anestrus pada kelompok 1 dapat diakibatkan karena kebuntingan, corpus luteum persisten, silent heat, cystic ovari, atau akibat estrus yang tidak teramati. Anestrus kelompok 2 berkaitan erat dengan defisiensi nutrisi, cystic ovari, dan kelainan seperti freemartin atau tumor uteri. Hipofungsi ovari ditandai dengan menurun/hilangnya fungsi ovarium. Hal ini dapat disebabkan oleh gangguan hormone, malnutrisi, dan gangguan penyakit/stress. Gejalanya biasnya hewan tersebut tidak menunjukan siklus yang normal, ketika dipalpasi rektal di ovarium tidak terdapat aktivitas folikel ataupun CL. Ovarium dapat juga ditemukan mengecil dan mengeras (atropi). Cystic ovari merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya perkembangan folikel yang lebih besar dan bersifat patologis pada ovarium dengan gejala nymphomania atau anestrus. Gangguan ini disebabkan oleh kegagalan pelepasan luteinizing hormon (LH) yang tidak hanya menyebabkan kegagalan ovulasi, namun juga menyebabkan tertahannya folikel besar lainnya. Cystic ovari dibedakan menjadi cystic folikuler, cystic luteal, dan cystic corpora lutea. Kondisi medis ini dapat diobati dengan pemberian terapi hormon sesuai jenis cystic. Endometritis merupakan peradangan pada endometrium. Endometritis berbeda dengan pyometra dan metritis. Pyometra merupakan peradangan uterus yang disertai terjadinya akumulasi eksudat yang bersifat pustula atau purulent di



dalam uterus. Metritis merupakan peradangan yang melibatkan bagian otot tebal pada uterus. Kejadian endometritis dapat meningkatka durasi interval kelahiran dan dapat menyebabkan hewan menjadi steril akibat perubahan organ genital yang bersifat irreversible atau tidak dapat disembuhkan. Repeat breeder adalah kondisi hewan tidak bunting setelah dikawinkan/IB lebih dari 2 kali tetapi siklus normal. Hal ini dapat disebabkan kegagalan fertilisasi akibat kelainan saluran reproduksi, gangguan gamet, gangguan ovulasi, dan kematian embrio dini. Macerasi adalah keadaan fetus yang mati yang hancur dan membusuk karena mikroba. Sementara itu mumifikasi adalah keadaan fetus mati yang tidak membusuk sehingga mengeras seperti batu. Gejala yang dapat ditemukan adalah bunting yang tidak bertambah besar dan partus. Ketika dilakukan palpasi rektal akan ditemukan perbesaran pada uterus berupa krepitasi (macerasi) atau pengerasan seperti batu (mumifikasi). Selain itu dapat juga ditemukan abortus yakni lahirnya fetus sebelum waktunya dalam keadaan hidup atau mati akibat penyebab infeksius (mikrioba) ataupun non infeksius (obat, racun, trauma) Torsio uteri merupakan perputaran uterus terhadap sumbunya yang biasnya terjadi dekat masa partus. Predisposisi kejadian ini adalah sapi kurang exercise, fetus terlalu aktif, trauma terjatuh/terguling. Gejala yang timbul biasanya tidak tenang, vulva terlihat tertarik ke salah satu sisi. Inersia uteri merupakan kegagalan uterus berkontraksi secara fisiologis. Hal ini dapat disebabkan karena ukuran fetus yang besar, gangguan pada dinding uterus, ataupun hormonal. Inersia uteri ditandai dengan waktu partus yang diperpanjang dengan kantong amnion yang tidak keluar. Distokia merupakan kesulitan partus secara normal. Hal ini dapat disebabkan manajemen reproduksi (umur dan bobot badan) dan pakan (defisiensi mineral), traumatic, penyakit, ataupun herediter dari fetusnya. Secara umum distokia dapat disebabkan karena factor induk atau factor fetus. Retensi plasenta merupakan tertahannya plasenta post partus lebih dari 8 jam. Penyebabnya dapat karena atoni uteri, defisiensi nutrient, serviks menutup, dan hormonal. Retensi plasenta ditandai dengan plasenta yang menggantung di vulva, adanya discharge yang bau, dan ketika dipalpasi prevaginal ditemukan plasenta yang tetinggal.



BREEDING SOUNDNESS EXAMINATION (BSE) Prof drh Iman Supriatna PhD Breeding Soundness Examination (BSE) merupakan sebuah metode praktis dalam memilih sapi pejantan yang berpotensi sebagai bibit. Dalam memilih sapi pejantan terdapat prosedur yang digunakan sebagai standar dalam penilaian BSE seperti dilakukan pemeriksaan fisik, observasi sapi jantan terhadap keinginan dan



kemampuan sapi jantan dalam melakukan perkawinan, bebas dari penyakit sistem reproduksi, dan dalam kondisi sehat. Protokol dasar BSE pada sapi jantan adalah sebagai berikut : 1. Pemeriksaan fisik dan riwayat Kesehatan a. Pemeriksaan skor tubuh atau body condition score b. Pemeriksaan kaki dan kuku c. Pemeriksaan kesehatan mata dan gigi Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik pejantan yang sesuai kriteria untuk digunakan sebagai pembibit. Pemeriksaan ini menggunakan metode inspeksi dan palpasi meliputi pemeriksaan sistem lokomosi, kelainan konformitas, BCS (body condition score), kesehatan mata, mulut, gigi, dan ekstremitas. Selain itu juga dilakukan sinyalemen dan anamnesa untuk mengetahui riwayat kesehatan pejantan. Pemeriksaan riwayatpenyakit hewan terutama terhadap adanya penyakit reproduksi atau penyakit menular terutama penyakit menular saluran reproduksi. 2. Pemeriksaan organ reproduksi a. Palpasi organ kelamin internal b. Pemeriksaan testis c. Pemeriksaan penis, preputeum dan sheath Pemeriksaan organ reproduksi dilakukan dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan organ reproduksi internal dan eksternal. Pemeriksaan organ reproduksi internal atau pemeriksaan organ reproduksi bagian dalam yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik palpasi rektal kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap kelenjar aksesorius seperti ampula vas deferens, kelenjar vesikularis, kelenjar prostat, dan kelenjar burbo-urethralis. Pemeriksaan organ reproduksi eksternal meliputi pemeriksaan reproduksi bagian luar seperti testis, scrotum, epididymis, funiculus spermaticus, preputium, dan penis. Pemeriksaan pada penis dengan cara mengamati bentuk dan ukuran penis, kebersihan penis, serta kondisi preputium terutama terhadap adanya fenile prenulum. Hal ini dilakukan untuk memastikan pejantan dapat memanjangkan penisnya secara sempurna pada saat kopulasi atau pada saat penampungan semen. 3. Pengukuran lingkar skrotum Pengukuran lingkar skrotum merupakan parameter yang paling menggambarkan hubungan dengan output sperma dikarenakan lingkar skrotum berkaitan dengan volume semen dan konsentrasi spermatozoa yang dapat dihasilkan pejantan. Pengukuran dilakukan pada area yang paling lebar. Ketepatan pengukuran haus dikonfirmasi dengan pengukuran kedua. Pemeriksaan pada penis dilakukan ketika pejantan akan ejakulasi. Hal ini dilakuakan untuk memastikan pejantan dapat memanjangkan penisnya secara sempurna. 4. Evaluasi libido dan serving capacity Pemeriksaan terhadap serving capacity berkaitan erat dengan kemampuan pejantan untuk mengawini betina. Metode test libido yaitu dengan cara



menempatkan 2 betina (disedasi ringan) di kandang jepit (jarak 5-7m), kemudian beberapa jantan distimuli seks (biarkan di kandang) melihat jantan lain menaiki betina di kandang jepit, setelah itu beberapa jantan dimasukkan kandang dgn beberapa betina direstrain, aktivitas seks dicatat. 5. Koleksi dan evaluasi semen Setiap pejantan diambil semen dari hasil ejakulasinya. Koleksi semen bisa dilakukan dengan metode rectal massage, elektro ejakulasi dan vagina buatan. Pemeriksaan semen meliputi; volume, warna, konsentrasi, motilitas dan morfologi spermatozoa. dan masing- masing diperiksa volume dan konsentrasi sperma. Penampakan warna sperma normal adalah putih krem. Warna hijau kekuningan, merah gelap, merah muda, kecoklatan, dan adanya gumpalan, bekuan atau kepingan dalam semen menandakan semen terkontaminasi. Bebas dari kontaminasi termasuk darah, urine, kotoran, dan nanah. 6. Pemeriksaan mikrobiologi/ parasitistik Pemeriksaan mikrobiologi perlu dilakukan untuk mencegah penurunan kualitas pada sperma yang digunakan dalam Inseminasi buatan. Pemeriksan ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya mikroorganisme patogen yang terdapat didalam semen sehingga kualitas semen dapat dipastikan baik dan bebas patogen yang dapat menyebabkan penularan penyakit secara venereal. 7. Klasifikasi Breeding Soundness Examination (BSE) a. Bibit potensial yang memuaskan (Satisfactory Potential Breeder). Sapi jantan harus lulus Pemeriksaan Fisik, dan mencapai nilai minimum dari Lingkar skrotal : sesuaikan dengan umur, Motilitas sperma : > 30%, Morfologi spermatozoa : > 70% normal. Pejantan yang ditempatkan pada klasifikasi ini telah siap sebagai Bibit b. Bibit potensial tidak memuaskan (Unsatisfactory Potential Breeder) Pejantan tidak mencapai nilai minimal dari penilaian BSE. Pejantan yang ditempatkan pada kaegori ini tidak akan dijadikan Bibit. c. Penundaan klasifikasi (Classification deferred) Pejantan dapat menjalani pemeriksaan kembali dilain waktu untuk menetapkan apakah dia dapat ditempatkan pada kategori Bibit potensial yang memuaskan atau tidak



MANAJEMEN REPRODUKSI HEWAN TERNAK Prof drh Bambang Purwantara, MSc PhD Dr drh Muhammad Agil, MSc.Agr. Manajemen reproduksi pada ternak bertujuan untuk mengefisiensikan kemampuan ternak dalam menghasilkan keturunan dengan memanipulasi proses biologis reproduksi pada ternak. Parameter yang digunakan sebagai acuan manajemen reproduksi pada terna terdiri dari body condition score (BCR),



conception rate (jumlah betina yang berhasil bunting dari inseminasi buatan pertama), service per conception (inseminasi buatan yang dibutuhkan untuk menghasilkan kebuntingan), calving internal (jarak antara melahirkan yang satu dengan melahirkan berikutnya), dan calf crop (jumlah anak sapi yang dilahirkan oleh sekelompok sapi dalam suatu musim). Siklus estrus pada hewan ternak meliputi 4 fase, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase prosestrus merupakan fase persiapan yang ditandai dengan pemacuan pertumbuhan folikel oleh FSH. FSH yang disekresikan oleh kelenjar adenohipofisa akan memicu perkembangan folikel di dalam ovarium. Sementara itu, hormon LH akan menyebabkan terjadinya ovulasi. Estrus merupakan masa saat hewan ingin melaksanakan perkawinan atau coitus. Fase estrus pada didominansi dan dipengaruhi oleh estrogen. Metestrus merupakan fase mulai tumbuhnya corpus luteum setelah terjadi ovulasi. Terjadi peningkatan sekresi progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum dan sekresi estrogen menurun. Diestrus merupakan fase yang berlangsung paling lama. Penebalan pada endometrium, kelenjar uterina membesar, serviks akan menutup, dan lendir vagina menjadi keruh dan lengket terjadi pada fase ini. Manajemen reproduksi hewan ternak salah satunya dilakukan melalui manajemen sinkronisasi estrus. Manfaat sinkronisasi estrus antara lain dapat mengendalikan interval beranak dengan lebih baik (12-13 bulan), penurunan ketergantungan pada deteksi berahi, mengurangi kesalahan dalam deteksi berahi, meningkatkan kinerja reproduksi dengan jumlah sapi yang sama, mempertahankan produksi dengan jumlah sapi yang sama, meningkatkan keekonomian program ib, mengurangi biaya tenaga kerja. Manfaat-manfaat tersebut dapat diperoleh apabila factor dari hewan dapat dikendalikan. Faktor-faktor yang perlu dipernuhi untuk hewan bereproduksi dengan baik meliputi hewan harus sehat dan bebas penyakit, terutama penyakit reproduksi, hewan harus mencapai dewasa kelamin pada berat >200-250 kg, pakan harus memadai dengan keseimbangan nutrisi yang baik, waktu postpartum yang memadai (involusi, kembali bersiklus), untuk penggunaan PGF2⍶, hewan harus bersiklus berahi, hewan harus memiliki saluran reproduksi yang normal tidak bunting. Hormon yang berpengaruh dalam sinkronisasi estrus adalah estrogen, progesteron, prostaglandin, dan GnRH. Estrogen berperan untuk mengingkatkan birahi atau estrus dan akan menyebabkan regresi corpus luteum yang baru berumur 1-5 hari. Progesteron berperan dalam menjaga kebuntingan, menekan ovulasi, dan dapat menahan betina untuk tidak menunjukkan birahi. Progesteron dapat berbentuk MGA (melangesterol asetate) atau norgestromet. MGA merupakan progesteron yang dapat ditambahkan dalam pakan. Prostaglandin (PGF) akan menyebabkan luteolisis atau regresi corpus luteum yang ada di ovarium. Prostaglandin akan menghilangkan “feedback negative” pada progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum dan akan menyebabkan folikel tumbuh dan ovulasi. GnRH berperan dalam menstimulasi ovulasi dengan tujuan melepaskan oosit,



membentuk corpus luteum, dan mereset pembentukan folikel. Program sinkronisasi dapat dilakukan melalui berbagai macam pilihan metode, seperti pemberian kombinasi sediaan MGA-PGF, 7-11 synch, two shoot PGF, dan heat synch. Metode sinkronisasi yang paling banyak digunakan pada sapi dara adalah 5 hari PG + CIDR, sedangkan pada sapi induk biasa digunakan metode 7 hari Cosynch + CIDR. Sinkronisasi estrus dapat memberikan hasil conseption rate sebesar 45 sampai 75%.



MANAJEMEN REPRODUKSI KUDA Drh Amrozi, PhD Manajemen reproduksi pada kuda sangat berbeda dengan manajemen reproduksi pada ruminansia. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan siklus berahi pada kuda, perbedaan anatomi organ reproduksi pada kuda, perilaku kuda, dan manajemen pemeliharaan pada kuda. Selain itu, kuda merupakan hewan dengan masa perkawinan yang tergolong pada long day breeder, atau memiliki waktu estrus yang panjang pada musim tertentu. Kuda betina akan mencapai dewasa kelamin pada umur 12-18 bulan. Umur pubertas dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan, pakan dan genetik. Fakor lain yang berpengaruh yaitu bangsa, umur dan bobot tubuh. Beberapa kuda memperlihatkan keinginan kawin yang besar pada awal musim kawin selama masa estrus yang panjang tetapi tidak terjadi ovulasi. Kuda akan mengalami estrus tenang atau silent heat ketika terjadi ovulasi tetapi tidak memperlihatkan keinginan untuk kawin. Kejadian seperti ini banyak ditemukan pada kuda. Perkawinan akan berhasil bila dilakukan saat estrus (birahi). Panjang siklus estrus pada kuda berlangsung selama 22 hari dengan panjang fase estrus 5-7 hari. Durasi estrus bergantung pada jenis spesies dan bervariasi antar spesies, dan terkait dengan waktu pencapaian ovulasi. Fase estrus pada kuda ratarata terjadi selama 7 hari. Deteksi estrus pada kuda dapat dilakukan dengan teasing system. Metode ini merupakan metode deteksi estrus menggunakan kuda teaser (kuda jantan pengganggu). Kuda betina yang diduga sedang estrus apabila didekatkan dengan kuda teaser maka ia akan menghampiri kuda teaser tersebut. Metode teasing system ini terdiri dari pen teasing, paddock teasing, pasture teasing, teasing chute, stall door teasing, teasing trail, dan teasing mill. Fertilitas induk mencapai puncak tertinggi pada 2 hari sebelum estrus. Perkawinan bisa dilakukan pada hari pertama estrus khusus untuk induk dengan masa estrus yang pendek dengan durasi antara 1-3 hari. Induk dengan lama estrus 5-10 hari sebaiknya dikawinkan pada hari ke-2 dan diulang pada hari ke-4 setelah gejala estrus tampak. Ovulasi pada kuda terjasi 4-6 hari setelah mulai atau munculnya tanda estrus atau 1-2 hari sebelum estrus. Beberapa kuda memperlihatkan keinginan kawin yang besar pada awal musim kawin selama masa estrus yang panjang tetapi tidak terjadi ovulasi. Siklus estrus pada kuda terbagi menjadi 4 fase yaitu proestrus selama 3



hari, estrus selama 4-7 hari, metestrus 3-5 hari, dan diestrus 6-10 hari. Lama siklus estrus pada kuda berkisar antara 19-23 hari, sementara itu sapi 21 hari. Fase proestrus menunjukkan vulva yang agak mengalami pembengkakan dan vestibulum menjadi berwarna kemerahan karena adanya kongesti pembuluh darah. selain itu juga terjadi pembengkakan pada vagina dan servix. Periode estrus ditandai dengan kuda yang mengalami kegelisahan, nafsu makan menurun, vulva semakin bengkak, mukosa vulva berwarna merah tua, dan terlihat jelas adanya pengeluaran discharge. Kuda betina yang mengalami estrus akan menunjukkan urin yg berwarna kuning selain itu terdapat gerakan spontan pada vulva yaitu vagina flap. Periode metestrus ditandai dengan berhentinya pengeluaran discharge vagina dan pengecilan ukuran vagina. Periode diestrus merupakan periode akhir dari siklus birahi dimana ditandai dengan berkembangnya korpus luteum dan didominansi oleh hormon progesteron. Kuda yang hendak dikawinkan sebaiknya diberi perlakuan khusus 3 bulan sebelum dikawinkan. Pemberian pakan yang berkualitas diharapkan bisa menyiapkan fisik kuda menjelang kebuntingan dan atau perkawinan. Perkawinan dilakukan 2 hari setelah muncul gejala birahi dan diulang sekali lagi pada 2 hari berikutnya. Kuda betina pacu yang akan dijadikan induk terlebih dahulu diistirahatkan selama 6 bulan sebelum dikawinkan. Kuda betina dara sebaiknya dikawinkan pada umur 2-3 tahun. Saat mana dewasa tubuh telah tercapai. Sedangkan kuda jantan bisa digunakan untuk mengawini betina setelah umur 2 tahun. Estrus setelah partus pada kuda (Estrus post partum) terjadi lebih cepat daripada hewan ternak lainnya, yaitu 5 sampai 10 hari pasca partus atau minggu pertama pasca partus. Walaupun estrus terjadi lebih cepat, induk kuda sebaiknya dikawinkan lagi pada waktu 40 sampai 60 hari setelah partus. Hal ini dikarenakan uterus memerlukan waktu selama kurang lebih 40 hari untuk mengalami involusi hingga normal kembali. Masa kebuntingan pada kuda terjadi dengan durasi antara 335 sampai 340 hari atau kurang lebih 11 bulan. Gejala yang ditunjukkan induk bunting yaitu perut nampak membesar, rambut tubuh mengilap, pergerakan lambat, dan gelisah. Pemeriksaan kebuntingan dapat dilakukan 21 hari pasca perkawinan. Bila tidak terjadi estrus, kemungkinan terjadi kebuntingan. Kuda akan mengalami silent heat ketika terjadi ovulasi tetapi tidak memperlihatkan keinginan untuk kawin. Kejadian seperti ini banyak ditemukan pada kuda.



MANAJEMEN REPRODUKSI SATWA LIAR Dr drh Ligaya Ita Tumbelaka, SpMP MSc Satwa liar merupakan semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang diperlihara manusia. Manajemen reproduksi satwa liar ditujukan untuk konservasi atau pengelolaannya baik di habitatnya (in situ) atau di luar habitatnya



(ex situ). Konservasi satwa liar merupakan kegiatan perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan satwa liar. Kegiatan konservasi di in situ salah satunya adalah penentuan populasi hewan di habitatnya baik jumlah maupun factor yang memengaruhinya. Kegiatan ini menjadi titik dari konservasi untuk menjaga kelestarian populasi baik secara jumlah maupun genetic. Oleh sebab itu peran manajemen reproduksi penting dalam aktivitas konservasi. Strategi manajemen reproduksi bergantung pada kondisi jumlah populasi, angka kematian dan kelahiran, keberagaman genetic, dan tantangan yang dihadapi populasi hewan di habitatnya. Salah satu strategi yang digunakan adalah menangkapnya dari beberapa habitat lalu dikonservasi secara ex situ kemudian setelah dilakukan manajemen reproduksi berupa pengembangbiakan di introduksi kembali ke habitat aslinya. Konservasi ex situ ditujukan untuk memastikan tersedianya populasi satwa, melindungi pelanggaran aturan untuk memelihara hewan eksotik, meningkatkan kesejahteraan hewan, dan mengurangi perburuan liar. Lembaga konservasi memiliki fungsi utama sebagai pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Konservasi in-situ dengan konservasi ex-situ harus berjalan beriringan guna menjaga populasi hewan. Manajemen populasi meliputi 3 elemen, yaitu demography, genetik, dan husbandry (pemeliharaan satwa). Demography meliputi beberapa aspek diantaranya yaitu, birth rate, death rate, growth rate, dan lain sebagainya. Demography digambarkan melalui diagram pohon yang menunjukkan jumlah individu per klasifikasi umur. Diagram ini dapat menggambarkan sebaran kelompok umur dari hewan, sehingga dari diagram tersebut dapat diperkirakan ketersediaan hewan pada masa berikutnya. Husbandary meliputi beberapa aspek diantaranya yaitu, kandang, nutrisi, veterinary care, dan perilaku satwa. Kegiatan inbreeding atau perkawinan sedarah pada hewan tidak selalu memberikan hasil yang buruk, namun sebaiknya tetap dihindari untuk memperkecil risiko timbulnya generasi resesif pada anak. Tidak semua sifat resesif buruk, namun sifat resesif yang dihindari adalah sifat resesif yang dapat merugikan bagi hewan tersebut. Pengelolaan populasi yang baik akan meningkatkan viabilitas populasi rendah dengan perkembangbiakan. Pada satwa liar terdapat beberapa teknologi reproduksi yang dapat digunakan untuk tetap melestarikan populasi, salah satunya adalah inseminasi buatan. Tingkat perlakuan inseminasi buatan pada satwa liar tidak setinggi dengan tingkat perlakuan inseminasi buatan pada hewan ternak. Hal ini dikarenakan inseminasi buatan pada satwa liar hanya dilakukan pada kondisi yang tidak lagi memungkinkan pada satwa liar untuk kawin secara alami.



MANAJEMEN REPRODUKSI HEWAN KESAYANGAN Prof drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP PhD Kucing memiliki vagina yang pendek sehingga jarang mengalami infeksi pada vagina. Traktus urinary pada kucing terhubung satu dengan lainnya dan berpengaruh terhadap fertilitas. Kucing jantan memiliki penile spines yang berfungsi untuk menginduksi syaraf-syaraf yang ada di vagina betina sehingga terjadi lonjakan luteinizing hormone (LH) untuk terjadi ovulasi. Hal ini secara fisiologis berperan dalam reproduksi kucing, sebeb ovulasi pada kucing terjadi secara tidak spontan. Ovulasi hanya akan terjadi bila terdapat rangsangan kopulasi oleh jantan, tepatnya oleh bagian penile spines pada penis jantan yang menyebabkan rangsangan.. Kucing merupakan hewan yang bersifat polygamous yang dapat melakukan perkawinan dengan kucing jantan manapun. Kondisi tersebut memungkinkan kucing mengalami superfecundasi atau superfetasi. Superfecundasi merupakan keadaan dimana terdapat 2 atau lebih ovum yang diovulasikan dalam 1 kali siklus estrus kemudian dapat dibuahi oleh 2 atau lebih spermatozoa dari pejantan yang berbeda. Siklus estrus pada kucing berlangsung selama 14 sampai 21 hari dengan fase estrus berlangsung selama 7 hari. Siklus estrus kucing meliputi fase proestrus, estrus, dan interestrus. Fase proestrus pada kucing terjadi antara 1 sampai 2 hari, pada fase ini kucing akan terlihat menggaruk-garukkan kepalanya ke manusia atau ke tembok. Fase estrus berlangsung selama 4 sampai 7 hari. Kucing pada fase estrus ini akan menunjukkan sikap badan lordosis atau kucing siap menerima pejantan. Fase estrus juga ditunjukkan dengan adanya hyperemi pada vulva dan sedikit discharge yang bening dan berbau khas. Kucing yang melakukan perkawinan pada fase ini hingga terjadi ovulasi namun tidak disertai fertilisasi maka dapat menunjukkan gejala pseudopregancy. Pseudopregnancy merupakan suatu keadaan dimana kucing menunjukkan gejala kebuntingan, namun kucing tersebut tidak mengalami kebunting. Ovulasi yang disertai dengan adanya fertilisasi pada kucing akan menyebabkan kebuntingan pada kucing tersebut. Kebuntingan pada kucing terjadi selama 63-66 hari pasca ovulasi. Kebuntingan pada kucing ini dapat didiagnosa melalui palpasi abdomen, ultrasonografi (USG), atau radiografi. Fase interestrus merupakan fase dimana sedang tidak ada aktivitas reproduksi kucing. Kadar estrogen dan progesteron pada fase ini sangat sedikit tapi tetap ada. Anestrus pada kucing dapat terjadi setelah masa laktasi pada kucing. Fase anestrus berlangsung sekitar 45 sampai 150 hari.



Hewan kesayangan yang banyak ditemui saat ini adalah anjing dan kucing. Manajemen reproduksi pada kucing dan anjing memiliki perbedaan dengan manajemen reproduksi pada hewan lainnya terutama pada manajemen reproduksi hewan besar yang biasanya dipelajari. Anjing dan kucing memiliki perbedaan siklus



estrus dan sistem perkawinan dibandingkan dengan hewan besar. Anjing jantan memiliki anatomi yang berbeda pada penisnya yaitu terdapat sebuah bulbus glandis. Sementara itu, kucing jantan memiliki anatomi penis yang berbeda dengan hewan lainnya. Penis kucing jantan memiliki penile spines yang akan merangsang terjadinya ovulasi pada kucing betina. Ovulasi pada kucing betina bersifat tidak spontan/aspontan, sehingga harus ada kopulasi terlebih dahulu agar kucing dapat mengalami ovulasi. Kucing jantan dapat melakukan perkawinan (kopulasi) hingga 10 kali dalam satu jam, namun volume semen yang dihasilkan hanya sedikit. Kopulasi yang terjadi pada kucing betina akan meningkatkan sekresi hormon LH yang berperan dalam proses ovulasi. Oleh karena itu, dibutuhkan minimal 4 kali perkawinan dengan interval yang berdekatan agar dapat terjadi perangsangan yang optimal untuk sekresi LH sehingga kucing dapat ovulasi dan terjadi fertilisasi. Siklus estrus pada anjing hanya terjadi sebanyak 1 kali dalam 1 tahun atau disebut sebagai monoestrus. Siklus estrus tersebut meliputi fase proestrus, estrus, diestrus, dan anestrus. Fase proestrus terjadi selama 9 hari ditandai dengan bloody discharge pada vagina akibat adanya peningkatan jumlah estrogen. Fase estrus juga terjadi selama 9 hari dimana ovulasi terjadi pada hari ke-2 estrus. Oosit yang diovulasikan pada anjing adalah oosit yang berada pada fase GV (Germinal Vesicle). Discharge bening pada vulva disertai warna kemerahan pada vulva akan ditemui pada fase estrus. Anjing juga akan melakukan tail flagging dan flirting. Anjing betina akan mengeluarkan aroma feromon yang akan tercium oleh anjing jantan. Fase diestrus dan fase anestrus merupakan fase terlama dalam siklus estrus anjing. Fase diestrus akan terjadi selama 60 hari dan fase anestrus akan terjadi selama 150 hari. Oosit anjing dapat bertahan hingga 72 jam, sementara itu sperma dapat bertahan selama 7 hari. Fertilisasi pada anjing terjadi paling cepat pada hari ke-4 sampai hari ke-5 setelah estrus. Diagnosa kebuntingan dapat dilakukan melalui palpasi abdomen, identifikasi detak jantung fetus, relaxin assay, ultrasonografi (USG), dan radiografi. Untuk menentukan umum kebuntingan pada anjing dapat dilihat dari tanggal anjing kawin.



TEKNOLOGI REPRODUKSI Prof drh Iman Supriatna, PhD Prof drh Mohamad Agus Setiadi, PhD Teknologi reproduksi pada hewan terdiri atas 5 generasi diantaranya yaitu inseminasi buatan (generasi 1), transfer embrio (generasi 2), fertilisasi in vitro (generasi 3), kloning (generasi 4) dan rekayasa genetik (generasi 5). Transfer embrio dan fertilisasi in vitro merupakan teknologi reproduksi yang sering dimanfaatkan pada hewan selain inseminasi buatan.



Transfer Embrio .Transfer embrio adalah proses penempatan embrio (dari donor) kedalam organ reproduksi resipien, yang secara prosedural menyangkut beberapa proses seperti superovulasi, recovery dan evaluasi embrio sebelum ditransfer. Embrio merupakan hasil fertilisasi spermatozoa dan oosit yang terjadi secara alami maupun buatan (in vivo dan in vitro). Transfer embrio berperan sebagai inovasi dan pengembangan tehnik inseminasi buatan untuk meningkatkan kualitas ternak sapi perah mupun sapi potong melalui peningkatan mutu genetik ternak, terlaksananya percepatan peningkatan mutu genetik ternak nasional, pemenuhan kebutuhan bibit sapi yang bermutu dan berkualitas, dan menunjang upaya pemuliaan dan pemurnian ternak lokal. Sapi yang akan digunakan sebagai donor embrio harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Memiliki genetik unggul (genetic superiority) 2. Memiliki kemampuan reproduksi (reproductive ability) 3. Keturunannya memiliki nilai pasar (market value of progeny)] Embrio pada transfer embrio generasi ke 2 dilakukan secara in vivo. Transfer embrio juga dimanfaatkan pada fertilisasi in vitro generasi ke 3. Produksi embrio secara in vitro berlangsung di luar tubuh sapi dengan tahapan tertentu, sedangkan produksi embrio secara in vivo merupakan proses produksi embrio yang berlangsung di dalam tubuh sapi dengan memberikan perlakuan tertentu (secara hormonal) pada sapi donor. Produksi embrio secara in vivo, sapi donor dimanipulasi untuk terjadi superovulasi menggunakan hormon FSH sehingga ovum yang dihasilkan banyak. Setelah terjadi superovulasi, sapi kemudian diinseminasi sebanyak 3 kali menggunakan semen dari pejantan unggul. Setelah 7 hari, dilakukan pemanenan (flushing) embrio. Embrio yang telah dipanen lalu dievaluasi dan disimpan. Prosedur transfer embrio terdiri dari seleksi donor, superovulasi donor, inseminasi buatan, transfer embrio, sinkronisasi estrus, dan transfer embrio ke resipien. Aplikasi transfer embrio meliputi tiga tahap, yaitu seleksi lokasi, seleksi peternak, dan seleksi betina sebagai resipien. Lokasi yang akan dilakukan pelayanan transfer embrio harus merupakan lokasi yang telah intensif dalam pelaksanaan inseminasi buatan, tersedia calon resipien yang memenuhi syarat teknis yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya, terbebas dari penyakit hewan menular secara umum khsusnya secara reproduksi, dan mudah untuk dilakukan monitoring serta evaluasi. Peternak harus bersedia mengikuti semua aturan/kesepakatan yang akan ditetapkan berkaitan dengan ternak hasil, pola usahanya sebagai usaha pokok dengan kepemilikan ternak lebih dari 5 ekor, dan memiliki calon sapi betina sebagai resipien yang memenuhi syarat. Sapi betina akan diseleksi secara langsung saat pelaksanaan transfer embrio. Resipien yang digunakan harus merupakan sapi dengan umur relatif muda/dara atau dewasa yang telah beranak minimal 1 kali, memiliki berat badan minimal 300 kg, memiliki siklus



estrus yang normal yaitu selama rentang 18-21 hari, dan terbebas dari penyakit menular khsusnya penyakit reproduksi. Metode transfer embrio yang sering digunakan yaitu, segar, direct, dan kultur. Metode transfer embrio segar dilakukan dengan menggunakan embrio yang telah dipanen dari sapi donor yang kemudian langsung ditransfer ke betina resipien. Metode transfer embrio direct dan kultur dilakukan dengan menggunakan embrio yang telah dibekukan kemudian di-thawing terlebih dahulu sebelum ditransfer ke betina resipien. Dalam aplikasi transfer embrio, alat dan bahan secara lengkap harus dipersiapkan terlebih dahulu. Resipien yang akan mendapatkan transfer embrio direstrain dan dilakukan anestesi secara epidural. Embrio di-thawing kemudian dimasukkan pada gun TE. Vulva resipien dibersihkan terlebih dahulu sebelum memasukkan gun. Vagina dibersihkan dengan cara dibuka dengan jari lalu dimasukkan gun TE hingga 1/3 bagian apex cornua kanan atau kiri. Transfer embrio dilakukan pada cornua yang ipsilateral dengan keberadaan corpus luteum. Fertilisasi in vitro Fertilisasi in vitro merupakan pengembangan dari transfer embrio yang melaksanakan kultur embrio secara in vitro. Teknologi ini merupakan teknologi reproduksi generasi ke-3. Produksi embryo secara In vitro merupakan proses produksi untuk menghasilkan atau mengembangbiakan sel telur dan spermatozoa menjadi zigot kemudian berkembang menjadi embryo pada kultur jaringan atau kultur media di luar tubuh hewan. Fertilisasi in vitro merupakan teknologi untuk produksi embrio pada lingkungan buatan di luar tubuh hewan. seluruh proses pada fertilisasi in vitro dilakukan secara in vitro. Fertilisasi in vitro meliputi proses koleksi spermatozoa, kapasitasi, koleksi oosit, pematangan oosit, dan proses pematangan (in vitro). Koleksi oosit dapat dilakukan pada hewan yang sudah mati maupun hewan yang masih hidup. Koleksi oosit pada hewan dapat dilakukan pasca penyembelihan melalui teknik aspirasi oosit, teknik mengiris ovarium (slicing ovary), dan pembelahan folikel. Aspirasi oosit merupakan pengambilan oosit dengan cara aspirasi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai peralatan. Teknik ini merupakan teknik yang paling sering dilakukan pada ovarium sapi yang telah dipotong. Teknik slicing ovary merupakan teknik yang paling baik untuk memproduksi sejumlah besar embrio. Teknik ini dapat dilakukan pada ovarium setelah aspirasi maupun tanpa aspirasi terlebih dahulu. Koleksi oosit pada hewan hidup dapat dilakukan dengan teknik laparoskopi, teknik endoskopi, teknik flushing, dan teknik ovarium pick up (OPU). Teknik laparoskopi dapat dilakukan untuk menjamin ketersediaan oosit dari donor hidup. Hewan donor terlebih dahulu dipreparasi dengan dipuasakan selama 18 sampai 24 jam sebelum laparoskopi, hewan juga dianastesi secara intramuskular. Teknik flushing dilakukan pada hari ke-7 atau hari ke-8 setelah estrus. Teknik ini menggunakan media cair untuk mengambil embrio. Teknik ovarium pick up (OPU)



memiliki keuntungan potensial daripada teknik lainnya dan lebih mudah untuk dilakukan. Sebelum dilakukan OPU sebaiknya hewan distimulasi dengan hormon gonadotropin untuk menghasilkan jumlah folikel agar memperoleh oosit yang maksimal. Setelah oosit dikoleksi, pematangan oosit kemudian dilakukan untuk mencapai tahap metafase II. Proses ini dilakukan secara in vitro dengan menggunakan larutan TCM-199, 10% serum fetus anak sapi, dan gonadotropin. Jika sapi donor yang akan dilakukan OPU jauh dari laboratorium pengolahan, pematangan dapat dilakukan selama transportasi dari tempat koleksi hingga laboratorium. Hal ini dilakukan dengan menggunakan alat inkubator portabel bertenaga baterai. Setelah oosit matang, selanjutnya dilakukan fertilisasi secara in vitro. Proses fertilisasi pada produksi embryo secara in vitro diawali dengan kapasitasi spermatozoa. Proses kapasitasi spermatozoa dilakukan secara in vitro dengan penambahan glikosaminoglikan (GAG), heparin, dan epinefrin. Setelah kapasitasi spermatozoa selesai maka dilanjutkan dengan proses fertilisasi. Fertilisasi dapat dilakukan secara langsung. Proses fertilisasi juga dapat dilakukan dengan teknik injeksi sperma intra sitoplasma (ICSI) atau teknik subzonal sperma intersection (SUZI). ICSI sangat efektif untuk diterapkan saat spermatozoa yang dikoleksi jumlahnya sangat sedikit. Spermatozoa disuntikkan ke dalam sel telur dengan bantuan pipet khusus. Pada teknik ini, hanya diperlukan satu sel spermatozoa. Teknik SUZI dilakukan dengan menyemprotkan spermatozoa ke sel telur dengan membuat celah pada dinding sel telur. Pada teknik ini, jumlah spermatozoa yang dimasukkan lebih dari satu sel. Sel spermatozoa dan sel telur yang berhasil terfertilisasi kemudian dikultur di dalam inkubator hingga menjadi tahap balstocyt atau morulla dan dilakukan evaluasi sebelum di transfer pada resipien.



INSEMINASI PADA UNGGAS DAN DOMBA Drh Mokhamad Fakhrul Ulum, Msi Produksi Semen Beku Ayam untuk Inseminasi Buatan Semen dikoleksi dari kloaka ayam pejantan, dan ditampung dalam sebuah tabung. Semen ayam yang baik adalah semen dengan konsentrasi tinggi, umumnya berwarna putih. Tabung koleksi semen kemudian diberikan label untuk pendataan, kemudian diencerkan dengan NaCl dengan rasio 1:1. Tabung dihomogenkan,dan dilakukan pendataan terhadap identitas, jumlah, dan berat semen. Pendataan dilakukan secara digital untuk meningkatka keamanan dan mengurangi tingkat error dalam proses rekapitulasi. Tabung semen kemudian dimasukkan dalam cooling box atau kotak pendingin. Analisis mikroskopis semen dilakukan di dalam laboratorium. 24 mikron



semen digunakan untuk mengukur konsentrasi semen (jumlah spermatozoa per ml). Analisis mikroskopis secara kualitatif juga dilakukan untuk mencegah adanya mikroorganisme patogen, dan juga mengamati motilitas semen. Semen yang sudah dievaluasi kemudian disortir berdasarkan kualitas dan hsilnya didata dalam laporan harian. Straws kemudian dicetak berdasarkan jumlah yang sudah diperkirakan sebelumnya. Data straws dapat dilihat pada permukaannya, dicetak oleh mesin pencetak straw. Semen diencerkan hingga mencapai end point di dalam cooling kabinet, sebelum diisikan dalam straws dan disegel. Straws kemudian dihitung dan dipackaging, sebelum dibekukan. Pembekuan straws semen beku dilakukan di dalam tabungberisi nitrogen beku (CRYO-IS). Jumlah, kualitas, dant tempat penyimpanan didata sebelum dapat dikirimkan ke peternakan-peternakan untuk bisa digunakan. Semen beku wajib dithawing (dilelehkan) pada water bath/ wadah air sebelum dapat digunakan. Setelah dithawing, barulah semen beku tersebut dapat digunakan. Inseminasi pada Kalkun Video dokumentasi mengenai inseminasi buatan pada kalkun tersebut mengambil narasumber seorang manajer kandang bernama Régine Guillemot di sebuah peternakan kalkun Bois Batailly di Plessala, Brittany, Prancis. Inseminasi buatan sudah sering dilakukan pada kalkun-kalkun pada peternakan tersebut. Mnurut Régine, inseminasi pada kalkun cukup sulit dikarenakan ukuran kalkun yang lebih besar dibandingkan ayam, sehingga proses inseminasi dirasa cukup melelahkan. Bahkan Régine dan rekannya sering mengeluhkan sakit punggung akibat proses inseminasi tersebut. Peternakan kemudian menyediakan alat bernama Gallicomfort bench, dengan tujuan mempercepat proses inseminasi pada kalkun. Alat tersebut juga dirasa meringankan beban para inseminator, karena tidak perlu lagi menahan bobot kalkun (12 -15 kg) dengan membungkuk. Kalkun juga tidak akan merasakan stres karena proses inseminasi berlangsung sangat cepat dan tubuh kalkun ditahan oleh meja tanpa tekanan yang berlebihan, sehingga animal welfare juga diterapkan. Alat tersebut selain juga sangat mudah untuk dipindahkan dari satu pen ke pen yang lain, juga dapat mempermudah pelatihan inseminator muda. Proses Pembentukan Telur pada Unggas Ovarium dan oviduk, adalah bagian utama dalam sistem reproduksi unggas dalam memproduksi sebuah telur. Kuning telur (Yolk) diproduksi di ovarium, sedangkan komonen lain dalam telur (albumin, kerabang, dll) diproduksi dalam oviduk. Unggas,hanya memiliki satu ovarium yang fungsional, ayam betina misalnya hanya memiliki ovarium kiri. Oviduct pada ayam dapat mencapai panjang setengah meter jika dibentangkan. Oviduct ayam terdiri dari lima bagian yaitu



infundibulum, magnum, isthmus, shell gland, dan vagina. Sebagian dari nutrisi yang masuk pada ayam akan disalurkan malalui pembuluh darah ke ovarium dan dikonversikan menjadi yolk. Folikel yang berisi bakal yolk, kemudian tumbuh seiring dengan penyaluran nutrisi. Setelah folikel menjadi besar dan matang, folikel akan melepaskan yolk pada satu hari berikutnya, diikuti dengan folikel yang lain. Folikel mebutuhkan waktu selama satu minggu untuk dapat memproduksi yolk matang dengan ukuran 25x lipat lebih besar. Saat yolk matang, terjadilah ruptur folikel yang menyebabkan bebasnya yolk dari vaskularisasi pembuluh darah. Infundibulum adalah bagian pertama yang dilalui yolk setelah dilepaskan dari ovarium. Pada proses inilah fertilisasi/pembuahan telur dapat dilakukan, karena yolk masih belum diselubungi oleh albumin. Pemilihan waktu inseinasi buatan pada ayam dilakukan berdasarkan perkiraan kondisi yolk saat sudah di infundibulum. Bakteri patogen yang menempel di dinding oviduct juga dapat masuk ke dalam telur dan menginfeksi embrio yang akan berkembang di dalamnya. Setelah 15 menit di dalam infundibulum, yolk bergerak ke magnum danterjadilah pembentukan albumin/putih telur selama 3 jam. Permukaan magnum yang bergerigi spiral menyebabkan yolk berputar. Perputaran yolk tersebut bertujuan untuk memutar bagian albumin di bagian posterior dan anterior yolk berpilin dan membentuk khalaza. Khalaza bertujuan untuk mencegah yolk untuk bergerak terlalu banyak di dalam telur. Bagian berikutnya adalah isthmus Pada isthmus terjadi pembentukan membran cangkang yaitu protein tipis yang melapisi albumin dan yolk. Selanjutnya pada shell gland terjadilah pembentukan cangkang telur. Proses ini memerlukan waktu paling lama, yaitu 20 jam. Proses ini mencakup pembentukan membran tipis albumin dengan tujuan memberi bentuk telur, pembentukan kristal kalsium karbonat yang tumbuh sangat rapat membentuk lapisan dasar dari kerabang telur, dan lapisan protein bernama kutikula yang diproduksi di permukaan kerabang telur untuk mencegah bakteri dan mikroorganisme masuk menembus kerabang telur. Proses terakhir yaitu proses ovoposisi, dimana telur akan diposisikan sesuai dengan posisi vagina. Proses bertelur terjadi akibat kontraksi dari uterus, yang terjadi bersamaan dengan relaksasi otot vagina,sehingga telur didorong keluar dari tubuh ayam. Saat telur mendingin, akan terbentuk ruang udara (air cell) diantara dua membran cangkang. Ruang udara ini akan menjadi tempat DOC untuk bernafas sebelum mematuk keluar kerabang telur.sat menetas. Inseminasi Buatan Ayam dengan Sistem Penampung Tahap pertama adalah dengan melakukan proses pengambilan semen.. Proses pengambilan semen dilakukan dengan cara memasangkan wadah penampung pada kloaka ayam pejantan, dengan cara diikatkan di pangkal ekornya. Ayam jantan kemudian distimulasi dengan menempatkan meletakkan betina pemancing di dekatnya, agar terjadi proses ejakulasi semen. Semen kemudian dikoleksi dari wadah yang sudah dipasang tadi. Semen yang sudah dikoleksi tersebut kemudian diencerkan dengan



menggunakan NaCl 0.9% sebanyak 2 ml dan dihomogenkan secara satu arah untuk mencegah stres. Proses inseminasi buatan kemudian dapat dilakukan dengan semen yang sudah diencerkan ini. Pertama-tama, ayam betina diberikan rangsangan berupa pemijatan dari leher hingga ke pangkal ekor, sampai vagina dapat terlihat dari kloaka ayam. Spoit dimasukkan kira-kira 2 cm dan diinjeksikan semen sebanyak 0.1 ml per ekor. Inseminasi Buatan Ayam dengan Sistem Pemijatan Peralatan yang perlu dipersiapkan adalah spoit 1 ml yag sudah dimodifikasi (menggunakan karet pentil untuk digunakan pada kloaka betina), cairan infus NaCl 0.9%, dan gelas sebagai penampung semen. Narasumber mnyatakan bahwa metode inseminasi buatan yang sudah diaplikasikan pada kandangnya menunjukkan tingkat keberhasilan sebesar 50-60%. Pertama-tama, pejantan dipilih dalam kondisi sehat dan produktif. Perangsangan diberikan dengan memberikan rangsangan berupa pemijatan bagian pangkal ekor hingga kloaka. Semen akan menetes dari bagian papilla kloaka yang akan menyembul keluar saat dipijat. Semen kemudian diencerkan dengan rasio 1:1 menggunakan NaCl 0.9%. Semen yang sudah diencerkan tersebut diambil menggunakan spoit yang sudah dimodifikasi tadi,dan dimasukkan melalui kloaka betina sebanyak 0.15 ml per ekor. Teknik Inseminasi Buatan pada Domba Inseminasi buatan pada domba dapat dilakukan melalui berbagai metode. Pemilihan metode inseminasi harus sesuai dengan kondisi yang ditemukan dalam lapangan. Misalnya, apabila semen yang digunakan adalah semen segar/cair, umumnya dilakukan inseminasi sederhana secara intravaginal atau intraservikal. Hal tersebut dikarenakan umumnya pada semen segar memiliki tingkat motilitas yang tinggi, dan rasio hidup/mati spermatozoa yang baik, sehingga deposit pada vagina dirasa sudah cukup untuk membuahi oosit pada tuba fallopi. Sedangkan semen beku umumnya dilakukan secara transervikal menggunakan alat bantu deposit, umumnya endoskopi. Transervikal berarti mendepositkan semen langsung menuju uterus. Akan tetapi,apabila serviks sulit/ rapat untuk ditembus, dan dosis semen segar cukup rendah untuk digunakan secara intracervical, maka dilakukan metode secara invasif yaitu dengan melakukan laparoskopi. Dosis inseminasi juga berbeda tergantung dengan targetnya. Metode intracervical, umumnya membutuhkan jumlah spermatozoa yang lebih banyak dibandingkan dengan laparoskopi misalnya. Tempat deposit lebih jauh dari tuba fallopii, menandakan semakin banyak hambatan yang dihadapi oleh speramotozoa dalam perjalanannya, sehingga untuk meningkatkan kemungkinan pembuahan, maka jumlah sperma juga perlu ditambah sesuai dengan jaraknya terhadap tuba fallopii.



Teknik Inseminasi Buatan dengan Metode Laparoskopi pada Domba Teknik inseminasi buatan metode laparoskopi adalah metode indeminasi buatan dengan cara mendepositkan langsung semen pejantan ke cornua uteri tanpa melalui servix dengan metode operasi. Laparoskopi memerlukan inseminating gun yang sudah dimodifikasi untuk laparoskopi, laparoskopi light source, dan trokar untuk membuka akses ke corpus uteri dari luar. Sama seperti inseminasi buatan konvensioonal, proses dimulai dengan koleksi semen pejantan. Koleksi semen domba menggunakan metode vagina buatan, yaitu metode koleksi semen dengan memanfaatkan posisi standing heat pejantan untuk mengawini betina, akan tetapi vagina buatan ini yang digunakan sebagai tujuan ejakulasi sperma, bukan si betina estrus tersebut. Vagina buatan terbuat dari karet latex yang diisi air hangat, dan dibentuk sedemikian rupa agar mirip kondisinya seperti vagina asli.Semen kemudian dievaluasi kualitasnya, baik secara mikroskopis maupun makroskopis. Pemeriksaan dilakukan pad water bath dengan suhu 37 C, yaitu suhu fisiologis normal tubuh domba betina. Setelah kualitas baik, maka semen diencerkan dan siap digunakan. Vagina domba betina terkadang tertutup sangat rapat, sehingga untuk mencegah ketidakseimbangan hormon, metode laparoskopi dapat dilakukan. Sebelum dilakukan inseminasi buatan, dua minggu sebelumnya domba dilakukan sinkronisasi birahi dengan memberikan PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin) untuk memastikan terjadinya ovulasi saat inseminasi buatan nantinya. Sapi betina dibaringkan dalam posisi ventrodorsal recumbency dalam keadaan terbius. Lokasi uterus dipalpasi , sebelum ditusukkan trokar untuk membuka akses ke uterus. Trokar kedua ditusukkan pada sisi yang laiin. Trokar tersebut memiliki rongga, yang kemudian digunakan untuk memasukkan laparoskopi insemination gun dan lampu laparoskopi. Laparoskopi menggunakan gas/udara untuk “menggeser” bagian organ yang menghalangi, seperti usus, VU, dll. Kontrol penggunaan gas ini diletakkan pada pedal. Setelah kondisi uterine yang mulai terlihat setelah mereposisikan organ lainnya, gun IB dimasukkan melalui trokar dan semen cair tadi langsung didepositkan ke uterus. Kemudain trookar dan laparoskopi dicabut. Bekas luka laparoskopi tidak dijahit, hanya diberikan spray anti nyeri dan antibiotik. Antibiotik secara oral juga diadministrasikan setelah kondisi bangun.



RESTRAIN PADA SAPI Drh Amrozi, PhD Dr drh Muhammad Agil, MSc.Agr Restrain pada sapi sering dilakukan dengan menggunakan kandang jepit dan menggunakan tali. Restrain dilakukan dengan membawa sapi ke posisi sapi tidak bergerak dengan menggunakan tekanann yang paling kecil aman untuk sapi



maupun petugas. Kandang jepit (cattle crush) memiliki persyaratan seperti ukuran yang harus pas dengan sapi (tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar), sapi tidak dapat loncat atau memutar pada kandang jepit, dan terdapat pengaman untuk sapi yang lepas atau kabur serta pengaman bagi pemeriksa sapi. Kandang jepit terdiri atas tiga jenis, yaitu built in, modifikasi gangway, dan kandang jepit manual. Kandang jepit yang berjenis built in memiliki pengekang yang sudah terpasang, sedangkan kandang jepit model modifikasi gangway memiliki pengekang yang dapat dipasang dan disesuaikan serta berbahan dasar besi atau kayu yang berbentuk gilig yang dapat dilepas. Kandang jepit manual merupakan kandang jepit yang dibuat berdasarkan kebutuhan lapang. Kandang jepit manual ini memiliki prinsip yang mirip dengan modifikasi gangway tetapi kandang jepit ini tidak memerlukan gangway, sapi dapat langsung masuk dan disesuaikan dengan ukuran tubuhnya dengan mengatur penghalang sapi. Metode restrain yang lain yaitu dengan menggunakan tali pengikat, namun dalam pengguanannya harus menggunakan trik dan membutuhkan lebih dari 1 org. Restrain dengan tali pengikat dapat dilakukan dengan Reuff’s methode atau alternated methode. Selain Reuff’s methode dan alternated methode, restrain sapi dengan tali juga dapat dilakukan pada kaki sapi. Restrain pada kaki dilakukan untuk perlakuan yang membutuhkan sapi dalam posisi berdiri dengan gerakan yang minimal. Restrain ini dilakukan dengan mengikat salah satu kaki depan sapi kemudian ditekuk dan tali pengikatnya dililitkan dileher kemudian ditahan sehingga kaki sapi seakan menggantung. Hal ini bertujuan untuk mencegah sapi bergerak maju maupun menendang. Metode restrain pengikatan kaki ini dapat dilakukan untuk palpasi perektal tanpa adanya kandang jepit. Anestesi epidural digunakan untuk mencegah/mengendalikan rasa sakit selama operasi yang melibatkan ekor, anus, vulva, perineum, ambing, skrotum, dan tungkai belakang bagian atas. Teknik ini termasuk teknik yang mudah, murah, dan efektif. Pemberian anestesi epidural diantaranya dilakukan saat proses reposisi pada kasus distokia dan saat operasi sesar. Selain itu, anastesi epidural juga dilakukan untuk mereposisi prolaps vagina dan uterus, retropulsi fetus, retensi secundinae secara manual, dan operasi penutupan rupture atau kerobekan vagina akibat traksi. Anastesi epidural dapat dilakukan secara paralumbal maupun di os coccigea. Paralumbal dilakukan di antara L1 – L2, L2-L3, L3-L4, L4-L5 dan bisa juga diantara OC 1- OC 2 dengan menggunakan jarum nomor 20 atau 22 pada sapi. Anastesi epidural ini biasa digunakan dalam penanganan operasi caesar, retensi plasenta, dan penanganan gangguan organ reproduksi lainnya



PEMERIKSAAN GANGGUAN REPRODUKSI Drh Mokhmad Fakhrul Ulum, Msi Mengukur lubang kelahiran Pengukuran lubang kelahiran pada sapi menjadi salah satu acuan penting dalam melakukan scoring atau penilaian terhadap kesiapan seekor sapi dara untuk bereproduksi. Pemeriksaan puberty pada sapi dara secara langsung dirasa tidak efisien baik dalam waktu dan tenaga. Pengukuran lubang kelahiran juga dapat bertujuan untuk menentukan individu sapi mana yang nantinya akan mengalami kesulitan dalam melahirkan (distokia). Pengukuran liang pelvis umumnya dilakukan secara ex vivo (dari luar) dan in vivo (di dalam). Untuk metode pengukuran secara ex vivo, sebuah alat bernama pelvimeter dimasukkan melalui rektum sapi. Ketinggian dari lubang pelvis diukur dari bagian cranial dari symphisis pubis hingga ke dorsal yaitu os vertebrae sacralis. Lebar dari lubang pelvis diukur dari jarak terlebar dari kedua ujung os ilium. Hasil perkalian antara tinggi dan lebar liang pelvis menghasilkan angka yagng menjadi area dari pelvis dari sapi yang diukur. Biasanya pengukuran liang pelvis ini dilakukan 4-6 bulan sebelum musim kawin. Pengukuran juga bisa dilakukan apabila sapi dilakukan sinkronisasi estrus, misal dengan protokol CIDR selama 14 hari., karena pengukuran pelvis bisa dilakkan bersamaan dengan pemeriksaaan kesehatan reproduktif, deteksi estrus, dan pemberian sediaan hormon. Ukuran pelvis tidak ditujukan sebagai metode seleksi, melainkan metode screening. Tidak direkomendasikan merangking sapi berdasarkan ukuran pelvisnya, karena sangat berkorelasi dengan ukuran tubuh, ras, genetik, dll.Ukuran pelvis sapi yang puberty minimal 150 cm2, sedangkan untuk syarat kebuntingan adalah minimal 180 cm2. Pengukuran secara in vivo dilakukan dengan menerapkan scoring, yang berkaitan dengan tingkat kesiapan sapi dara dalam bereproduksi. Metode in vivo dilakukan dengan menggunakan panjang cornuea, ukuran ovarium, dan jumlah folikel sebagai acuan untuk menetapkan scoring. Skor 1 menandakan sapi masih belum dewasa dan belum siap bereproduksi, sedangkan skor tertinggi, yaitu 5 menandakan sapi tersebut sudah memulai siklus estrusnya, menandakan kesiapan untuk dikawinkan. Bobot badan terhadap ukuran dari sapi juga menjadi pertimbangan untuk menentukan kesiapan dalam bereproduksi. Jika tidak dilakukan sinkronisasi estrus, direkomendasikan untuk sapi dengan skoring kurang dari tiga untuk dipotong, terutama jika sapi tersebut memiliki genetik yang kurang menonjol. Untuk proses sinkronisasi estrus, mungkin sapi dengan skor dua masih dapat dimanfaatkan. Biasanya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan liang pelvis (ex vivo).



Untuk dapat menentukan ukuran pedet yang mampu dilahirkan oleh seekor sapi, dapat digunakan metode rasio dari area pelvis dengan bobot pedet lahir. Area pelvis dibagi dengan rasio yang tertera di tabel, dimana rasio tersebut tergantung dari usia dan bobot sapi. Hasilnya adalah perkiraan dari bobot maksimal pedet yang dapat dilahirkan secara normal oleh sapi tersebut.



Vaginoskopi Vaginoskopi adalah metode pengamatan vagina dengan melebarkan dinding vagina menggunakan spekulum, dengan tujuan baik untuk pemeriksaan reproduksi, maupun untuk inseminasi buatan. Spekulum sederhana umumnya hanya berfungsi untuk melebarkan saja, tanpa disertai alat penerangan maupun kamera untuk pengamatan. Vaginoskopi yang canggih, disertai kamera dan penerangan yang bersifat real-time, sehingga dapat meningkatkan keakuratan pemeriksaan. Dari pemeriksaan liang vagina dapat dilakukan pengamatan meliputi kondisi servix, mukus servix, abnormalitas, metritis, malformasi, kontrol estrus, dan lain-lain.



Untuk inseminasi dengan menggunakan vagioskopi, perlu diamati apakah ada double cervix, karena hal tersebut menandakan hewan tersebut dalam kondisi siap kawin. Kondisi lainnya meliputi lendir vagina, vaginal cyst, suhu vagina yang lebih tinggi juga dapat mendukung konfirmasi siapnya sapi untuk diinseminasi. Akan tetapi, kondisi sapi belum siap seperti metritis, ivolusi uteri yang masih berlangsung, tidak direkomendasikan untuk diinseminasi. Metricheck Metricheck adalah metode pemeriksaan lendir vagina dengan tujuan untuk mendeteksi adanya gangguan pada uterus. Dalam melakukan pemeriksaan metricheck, hal yang perlu dipersiapkan adalah tabung slinder, air, larutan desinfektan, tisu, sarung tangan, larutan alkohol 70%, alat metricheck, dan termometer rectal. Untuk mempersiapkan desinfektan, tabung silinder diiskan dengankomposisi berupa ¾ air, dan ¼ larutan desinfektan. Alat metricheck dimasukkan ke dalam silinder dan diaduk. Dua buah tisu dimasukkan setengahnya ke silinder tadi, dan diambil bersamaan dengan alat metricheck. Alat metricheck dalam keadaan aseptik, sehingga tidak boleh terkena kontak dengan benda lain. Ekor sapi disampingkan agar vulva terlihat jelas. Bagian eksterior dari vulva kemudian dibersihkan dengan kertas tisu yang sudah dicelupkan desinfektan tadi, dan dikeringkan dengan sisi kering dari tisu tersebut. Alat metricheck kemudian dimasukkan melalui vulva, dimana satu tangan masih memegangi ekor dengan sudut 45 terhadap sisi atas. Alat metricheck terus didorong hingga berhenti, yang menandakan ujung alat telah mencapai servix. Setelah beberapa detik, alat metricheck diambil kembali secara perlahan-lahan, debngan posisi tegak saat alat kemeninggalkan vulva, dengan tujuan agar vaginal discharge tidak menetes jatuh. Jika tidak ditemukan discharge vagina, pemeriksaan dilakukan kembali dengan posisi yang berbeda,mungkin digeser ke kanan atau ke kiri. Hasil dari pemeriksaan metricheck diilai dalam bentuk score. Bau discharge tersebut berpengaruh terhadap proses scoring, scor nol apabila tidak berbau, dan skor tiga apabila berbau busuk. Warna juga berpengaruh terhadap scoring, terutama berkaitan dengan diagnosa endometritis. Warna discharge vagina yang normal memiliki nilai satu yaitu bening, dan dua yang agak keruh. Jika nilai skor melebihi angka tiga, diduga sapi mengalami metritis. Skor lima juga menandakan apabila terdapat darah pada discharge. Setelah dievaluasi, sapi juga dilakukan pemeriksaan suhu melalui rektal, untuk mencari tahu bagaimana kondisi umum sapi tersebut. Simulasi Palpasi Rektal Hal yang sangat penting dalam palpasi rektal adalah identifikasi bagian organ reproduksi betina hanya dengan sentuhan saja.Bagian pertam ayang mudah diidentifikasi dalam palpasi rektal adalah servix. Servix dikarakteristikkan dengan konosistensi yang agak keras akibat adanya cincin pelvis, dan kondisi yang menggantung sehingga bisa diangkat ke arah pelvis. Konsistensi servix dan



ukurannya hampir sama seperti saat memegang leher ayam. Setelah menemukan servix, saluran dapat diangkat lagi ke bagian atas, dan di bagian cranial pelvix, dapat teraba dengan jari adalah bifurcate. Bifurcate adalah celah antara cornua uteri kanan dan kiri. Pemeriksaan cornua uteri secara lebih lanjut, dapat dilakukan untuk mendeteksi kehamilan dini. Umumnya ditemukan vesikel embrional dan slip membrane saat sapi tersebut bunting. Ovarium ditemukan pada ujung cornua uteri. Pada palpasi ovarium, dapat ditemukan folikel, maupun corpus luteum yang menjadi parameter yang penting untuk mendeteksi siklus estrus. Agar dapat mudah menemukan ovarium, posisi uterus harus dalam keadaan posisi awal. Akan sulit menemukan ovarium dalam kondisi uterus dalm kondisi retraksi..Perabaan dimulai dari servix, kemudian bifurcatio, dan mengikuti salah satu cornua uteri hingga ke ujungnya sampai menemukan sedikit gumpalan yang berbeda konsistensinya.Ovarium diambil dari bawah, dan dijepit diantara jadi tengah dan jari manis. Setelah dijepit, barulah ovarium dapat dipalpasi permukaanya dengan ibu jari maupun telapak tangan. Palpasi rektal Palpasi rektal adalah metode pemeriksaan reproduksi yang umum dilakukan karena sangat murah, cepat, akurat, namun sangat bergantung terhadap keterampilan dokter hewan. Palpasi rektal bertujuan ntuk memeriksa kesehatan organ reproduksi, pemeriksaan kebuntingan, aplikasi teknologi reproduksi berbantuan ( Inseminasi Buatan, Transfer Embrio,dll), Pencitraan organ reproduksi transrektal, dan pengobatan intrauterine.Alat dan bahan yang perlu dipersiapkan meliputi pelindung diri seperti baju kandang, apron, sepatu kandang,dan sarung tangan plastik. Pelicin juga perlu disediakan untuk meminimalisir adanya perlukaan. Pelicin yang dapat digunakan seperti gel, sabun cair, air sabun dan sejenisnya. Sapi betina harus diposisikan dalam kandang jepit. Sebelum melakukan palpasi rektal, kondisi dokter hewan sudah harus memenuhi syaratnya, seperti dilarang memakai aksesoris di tangan, rambut panjang harus diikat, dan kuku dalam keadaan pendek. Teknik palpasi rektal adalah sebagai berikut • Tangan (memakai glove) dibasahi dengan pelicin/air sabun • Berdiri kuda-kuda samping sejajar sumbu tubuh sapi • Tangan dimasukkan ke rektum sapi, dengan posisi telapak tangan menguncup, dan didorong dengan bobot badan cenderung ke arah rektum • Feses dikeluarkan tanpa mencabut keluar tangan dari rektum. Feses dikeluarkan dengan tujuan memudahkan eksplorasi • Organ dieksplorasi dengan meraba lantai rektum untuk merasakan organ reproduksi betina • Bagian yang dapat terpalpasi seperti: servix, vagina, korpus uteri, kornua uteri, ovarium, arteri uterine media, plasentom, dan fetus



• •



Bila rektum berkontraksi terlalu keras, maka dilakukan pemijatan bagian punggung untuk mengurangi kontraksi Bila balloning, maka dilakukan dua jurus legendaris, yaitu jurus tinju, dan jurus gelitik jari. Akan ada reflek flatus



KOLEKSI DAN PENGOLAHAN SEMEN Prof Dra R Iis Arifiantini, MS Semen beku merupakan semen segar yang telah diencerkan menggunakan pengencer tertentu, sesuai proses produksi sehingga beku dan disimpan di dalam nitrogen cair suhu -196 C dalam kontainer cryogenik (SNI Semen beku sapi 2017). Koleksi semen segar dilakukan umumnya pada pejantan unggul, yaitu pejantan yang telah diseleksi berdasarkan garis keturunanny, kemampuan produksi, dan reproduksinya. KOLEKSI SEMEN → EVALUASI SEMEN → PENGENCERAN → PENGEPAKAN STRAW ⇋ EKUILIBRASI → PRE FREEZING → PENYIMPANAN -196 C * Tanda ⇋ menunjukkan bahwa beberapa balai inseminasi melakukan pengepakan straw terlebih dahulu, dilanjutkan ekuilibrasi, namun ada juga yang melakukan sebaliknya. Pada dasarnya keduanya menunjukkan hasil yang sama, hanya saja proses ekuilibrasi yang dilakukan di awal untuk menghemat straw apabila ternyata sperma tidak beradaptasi dengan baik terhadap perubahan suhu. Koleksi Semen Koleksi Semen dimulai dengan persiapan pejantan. Kondisi sekitar penis disesuaikan, seperti pencukuran rambut preputium, pencucian dengan air bersih / NaCL fisiologis, dan dimandikan. Vagina buatan dipersiapkan sedemikian rupa untuk semirip mungkin dengan kondisi vagina agar dapat menstimulasi ejakulasi. Terdapat beberapa poin penting dalam proses ejakulasi agar dapat terjadi, yaitu suhu, tekanan dari vagina, dan kelembaban. KY Gel hanya diberikan pada 1/3 bagian depan vagina buatan untuk mengurangi friksi antara ujung penis dengan vagina buatan. Gel hanya diberikan di bagian mulut untuk mencegah adanya kontaminasi berupa leleran gel yang jatuh pada tabung koleksi. Suhu vagina buatan yang siap digunakan umumnya sekitar 42-44 C. Berdasarkan Japan Livestock technology association (2004), kualitas semen dapat terjaga dengan baik hingga tiga kali koleksi dalam satu hari. Terdapat aturan bahwa ejakulasi minimal dua kali dalam satu proses koleksi, dan setiap minggunya harus didapatkan minimal dua kali tiap ekor pada proses koleksi. Jeda waktu antar ejakulasi sebaiknya sekitar 30 menit – 1 jam tergantung individu sapi.



Evaluasi Semen Semen kemudian dievaluasi, baik secara makroskopis dan mikroskopis. Untuk mencegah temperature shock akibat perubahan lingkungan, maka tabung semen dihangatkan pada waterbath dnegan suhu 34 C. Evaluasi mikroskopis meliputi volume, warna, konsistensi, dan pH. Sedangkan evaluasi mikroskopis meliputi gerakan massa, motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, viabilitas (spermatozoa hidup dan mati), dan abnormalitas. Gerakan massa adalah gerakan spermatozoa secara masif (awan spermatozoa), dapat terlihat pada pembesaran mikroskop 10x, dan dinilai dari kecepatan pergerakan dan juga tebal tipisnya “awan” yang bergerak. Motilitas spermatozoa dinilai secara individual, baik kecepatan atau perbandingan antar bergerak aktif maupun yang tidak bergerak. Motilitas dinilai dengan media komputer (CASA) atau secara subjektif kuantitatif. Konsentrasi spermatozoa adalah jumlah spermatozoa dalam 1 ml semen, dan dapat diukur dengan menggunakan CASA maupun Photometer SDM 4,5, dan 6. Abnormalitas spermatozoa dinilai apakah ada penyimpangan dari bentuk dan morfologi satu spermatozoa. Umumnya dilakukan hanya untuk seleksi pejantan, atau saat pertama kali masuk kandang/tempat baru. Pengenceran Bahan yang umum digunakan sebagai pengencer adalah Skim, kombinasi tris sitrat, fruktosa, yolk, dan kombinasi tris, laktosa, sitrat, rafinosa, dan yolk. Pengencer komersial juga sering digunakan. Pengenceran dapat dilakukan secara 1 tahap, 2 tahap, dan lebih dari dua tahap. Direkomendasikan pengenceran 1 tahap, karena untuk mencegah perubahan suhu terus menerus akibat pembukaan tutup coolpot berulang”. Equilibrasi Equilibrasi adalah periode yang diperlukan spermatozoa sebelum pembekuan untuk menyesuaikan diri dengan pengencer agar kematian spermatozoa akibat pembekuan yang berlebihan dapat dicegah.Bisa dilakukan selama 2 jam dalam Cooltop. Pre Freezing dan Post thawing Pembekuan dilakukan secara slow (freezer) atau rapid (styrofoam). Setelah semen dibekukan selama 24 jam, maka harus diperiksa post thawing motility. Postthawing motility juga diukur untuk menguji tingkat kualitas sperma saat setelah di thawing. Nilai persentase motilitas post-thawing dan pre-thawing umumnya disebut dengan nilai recovery rate. Proses thawing dinyatakan berhasil apabila nilai recovery rate semen bernilai lebih dari 50% (SNI). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai motilitas post-thawing semen beku merupakan setengah dari nilai



motilitas pre-thawing semen beku. Turunnya tingkat motilitas memang sudah diantisipasi, karena perubahan suhu yang mendadak membuat beberapa spermatozoa stres dan akhirnya mati. Sehingga, pemilihan kryoprotektan sangatlah penting dalam proses pembuatan semen beku.



STUDI KASUS GANGGUAN REPRODUKSI Dr drh Muhammad Agil, MSc Agr Endometritis Endometritis merupakan peradangan pada lapisan endometrium, yang dapat terjadi pada masa post partus. Penyebabnya dapat berupa perineum yang relaksasi, vulva dan cervix yang dilatasi pada saat partus, bakteri serta lingkungan yang buruk. Gejala klinis yang dapat dilihat yaitu terdapat purulent dan mucopurulent pada vulva, diameter serviks melebar, Polymorphonuclear leucocytes (PMN), cairan di lumen uterus (USG), kejadian akut berupa selalu merejan, demam, nafsu makan turun dan kejadian kronis berupa gumpalan nanah di vulva. Diagnosa yang dapat dilakukan berupa Palpasi rektal, USG, Vaginoscope, Metricheck (skoring) dan Biopsi. Terapi yang dapat diberikan yaitu antibiotik piperachillin, clindamycin, metronidazole dan chepapirin benzhatine, penyuntikan hormon PGF2α, dan irigasi lumen uterus dengan povidon iodin 2%. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu : o Penerapan manajemen peternakan yang baik (sanitasi kandang yang baik, prosedur penanganan kelahiran yang tepat, pelaksanaan IB yang aseptis, manajemen pakan yang baik terutama pada periode kritis) o Edukasi untuk meningkatkan pengetahuan peternak Prognosa terhadap endometritis secara umum yaitu dubius, bergantung kepada manajemen penanganan penyakit. Predisposisi terhadap penyakit ini yaitu kelanjutan abnormalitas partus berupa : o Abortus o Retensi sekundinarum o Distokia o Perlukaan saat partus Retensi Plasenta Retensi plasenta yaitu kegagalan pelepasan plasenta vitalis (vili kotiledon) fetus dari kripta karunkula induk melebihi waktu normal, yaitu sampai 8 jam pasca partus. Penyebab terjadinya karena selaput fetus yang sudah terlepas dari dinding uterus, tetapi tidak dapat terlepas dan keluar dari alat kelamin karena masuk dalam kornua uteri yang tidak bunting serta Induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan plasenta setelah melahirkan.



Gejala klinis dari retensi plasenta dapat berupa placenta vitalis (vili kotiledon) menggantung dari vulva secara progresif membusuk akibat terkontaminasi lantai kandang dan feses, serta respirasi cepat, suhu meningkat, vulva bengkak dan merah, discharge mukopurulen, pulsus meningkat, diare, serta nafsu makan dan produksi susu menurun. Faktor predisposisi yaitu manajemen pakan yang buruk, distokia, milk fever, kelahiran kembar, dan stres. Prognosa terhadap penyakit retensi plasenta tanpa adanya komplikasi akan fausta dan angka kematian sekitar 1 – 2%. Penanganan yang dapat diberikan yaitu pengeluaran secara manual dan pemberian antibiotik, dan pemberian hormon oksitosin. Pencegahan yang dilakukan berupa pemberian pakan dengan nutrisi yang baik dan seimbang, kondisi kandang dan sirkulasi udara yang baik, kebersihan ternak dan kendang, serta anamnesis tentang riwayat penyakit.



Gambar 3 Retensi plasenta pada sapi Kista Ovarium Kista Ovarium yaitu stuktur pada ovarium yang berisi cairan. Kista Luteal yaitu permukaan folikel akan terjadi proses luteinisasi sehingga terbentuk sel luteal pada permukaan folikel. Kista Folikel yaitu dinding tipis, terisi cairan dan berdiamter >25mm. Kista Korpus Luteum yaitu folikel yang telah mengalami ovulasi dan terbentuk korpus luteum yang normal, namun dalam perkembangannya pada bagian tengah korpus luteum terbentuk rongga yang berisi cairan. Kista Korpus Luteum Persisten yaitu korpus luteum yang tidak mengalami regresi (lisis) pada akhir siklus estrus atau setelah melahirkan sehingga tetap berfungsi menghasilkan progesteron. Predisposisi penyakit ini yaitu puerperium abnormal dan terdapat infeksi rahim. Terapi yang dapat dilakukan berupa ovariohisterektomi (OH, spay), kista folikel : pemberian hormon pelepas GnRH, kista luteal : pemberian hormon Prostaglandin. Prognosanya yaitu apabila terjadi Estrus → Bereproduksi kembali dan apabila dilakukan OH → Tidak dapat bereproduksi kembali. Pencegahan yang dapat dilakukan berupa : o Pemilihan genetik untuk breeding



o Mempertahankan BSC : 3,5 - 3,75 o Meminimalisir stres o Pemberian nutrisi yang baik o Formulasi ransum o Asupan mineral dan vitamin yang cukup



Gambar 3 Cystic folikular dan corpus luteum pada sapi Mumifikasi dan Maserasi pada Sapi Mumifikasi yaitu kematian fetus di dalam uterus tanpa adanya infeksi mikrooganisme pembusuk dan dilatasi serviks yang disertai penyerapan cairan fetus. Maserasi yaitu kematian fetus di dalam uterus yang diikuti infeksi mikroorganisme. Penyebab mumifikasi yaitu infeksi BVD, leptospirosis, neospora caninum, kompresi dan/atau torsio tali pusar, torsio uteri, gangguan genetik, abnormalitas hormonal, abnormalitas kromosom, dan kecacatan plasenta. Penyebab terjadinya maserasi yaitu serviks terbuka, bakteri dari vagina masuk ke uterus, dan sepsis. Gejala Klinis penyakit mumifikasi yaitu nafsu makan menurun, sulit defekasi, feses keras, tidak ada perkembangan ambing di trimester akhir, tidak melahirkan pada waktunya, kesakitan, dan saat berdiri sering melihat ke belakang dan merejan. Gejala Klinis maserasi yaitu discharge vagina berbau busuk, terdapat krepitasi saat palpasi rektal, sering merejan, suhu tubuh naik, napas frekuen, anoreksia, dan produksi susu turun. Predisposisi terjadinya penyakit mumifikasi dan maserasi yaitu perdarahan saat ruptur uterus atau tanda-tanda adanya infeksi, kebuntingan bulan ke-3 dan ke8, sudah pernah terjadi (risiko 30% lebih tinggi), Breed Jersey dan Guernsey. Terapi yang dapat diberikan pada mumifikasi dengan pemberian PGF2α pada hewan tersebut, sedangkan terapi yang diberikan pada maserasi yaitu PGF2α, Valethamate bromide, Oestradiol benzoate, Antibiotik, dan Liver extract. Prognosis pada mumifikasi bersifat fausta, sedangkan maserasi bersifat infausta saat terjadi kerusakan dan kematian jaringan dinding endometrium akibat infeksi bakteri, serta terdapat tulang fetus membuat perforasi dinding uterus. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mumifikasi dan maserasi yaitu seleksi genetik, manajemen pakan, manajemen Kesehatan, dan sanitasi kandang.



Gambar 4 dan 5 Kasus mumifikasi (kanan) dan maserasi (kiri) pada fetus sapi