Laporan DIKPLHD SULSEL Tahun 2018 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pemerintah Daerah Provinsi Sulawei Selatan Tahun 2018



Dokumen Informasi Kinerja PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP daerah provinsi sulawesi selatan



2018



DIKPLHD-SULSEL



Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan



Pemerintah Daerah Provinsi Sulawei Selatan Tahun 2018



Dokumen Informasi Kinerja PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP daerah provinsi sulawesi selatan



2018



DIKPLHD-SULSEL



Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan



GUBERNUR SULAWESI SELATAN Konsisten dengan tiga pilar pembangunan berkelanjutan yang diintrodusir dari hasil kesepatakan dunia dalam Konfrensi PBB tantang Lingkungan hidup yang diadakan di Stockholm Tahun1972 dan Deklarasi Lingkungan Hidup pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro Tahun 1992, yakni : ekologi (lingkungan hidup) sebagai pilar pertama, ekonomi (pembangunan) sebagai pilar kedua, dan sosial (kelembagaan) sebagai pilar ketiga, maka penyusunan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Sulawesi Selatan menggunakan pendekatan konseptual yang juga diintrodusir dari tiga pilar pembangunan yang dimaksud, yaitu : kondisi lingkungan hidup dan kecenderungan perubahannya (state-ekologi), tekanan pada lingkungan hidup (pressure-ekonomi), dan upaya pengelolaan lingkungan (respons-sosial). Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2018 ini disusun untuk memberikan pemahaman tentang kondisi lingkungan hidup di Sulawesi Selatan dan bagaimana para pemangku kepentingan (stakeholders) berupaya melindungi dan mengelolanya. Laporan ini secara lengkap menyajikan tentang : pendekatan dan isu-isu prioritas lingkungan hidup yang menuntut untuk dikelola di masa datang, kondisi lingkungan hidup dan kecenderungan perubahannya, tekanan pada lingkungan, upaya dan inovasi dalam pengelolaan lingkungan hidup di Sulawesi Selatan saat ini. Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah disusun dalam dua buku (Buku Ringkasan Eksekutif dan Buku Laporan Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Dearah) merupakan sarana penyediaan data dan informasi lingkungan hidup untuk menjadi acuan Kebijakan dan



i



Perencanaan Pemerintah Sulawesi Selatan dalam mengarahkan pembangunan sesuai dengan prinsip-prinsip atau pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Tim Penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi secara konstruktif dalam penyusunan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018. Mudah-mudahan kedua buku ini dapat bermanfaat bagi para pemangku kepentingan, yakni pembuat kebijakan, dunia akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, media massa, dan masyarakat luas.



Makassar,



2018



ii



Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan 2018 Diterbitkan oleh : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Provinsi Sulawesi Selatan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Gedung H Lantai 3 Jl. Urip Sumoharjo Nomor 269 MAKASSAR Telepon (Fax) : 0411 450 478 E~mail : [email protected] Website : http://dplh.sulselprov.go.id



Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Isi dan materi yang ada dalam buku ini boleh digandakan dan disebarluaskan dengan tidak mengurangi isi dan arti dari dokumen ini. Diperbolehkan mengutip isi buku ini dengan menyebut sumbernya. Pelindung : Prof. Dr. Ir.H.M Nurdin Abdullah, M.Agr, Gubernur Sulawesi Selatan Pembina : Dr. H. Ashari Fakhsirie Radjamilo, M.Si, P.J. Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Ketua : Ir. Andi Hasbi, M.T, Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Wakil Ketua : Ir. Andi Sarrafah,M.Si, Sekretaris Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Penulis/Editor : Dr. Syamsu Arif, M.Si , Dr. Rijal M. Idrus, H. Muhammad Nuhrahim, S.H, Hj.Indiani Ismu,S.E.,M.M, Ir. A. Sarrafah, M.Si, , Naskah Filaillah, Pg.Dip.Sc,M.Si, dan Muhammad Ridwan, S.E, M.Si., Sri Hidayat, S.Si, M.Si,



iii



La Ode Sir Muhammad Iqbal, ST, La Idris Hadi Kumala, S.PWK, Asriani Anhsar, ST, Minarsi Paramita M.Rasay, S.KM, A.Asrayadi Pramita, S.Hut, Nurul Anugrah Waty, S.Hut Sekretariat : Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) DPLH Prov.Sulsel., Pejabat Fungsional Perencana DPLH Prov.Sulsel., Muhammad Nur Salam S.H.,M,Si, Kartini A.R., S.E., Maidawati, S.Hut.,M.Si., Sumarni,M.Si., Darmayanti, S.Hut.,M.Si., Rosmah., S.ST.,Fransiskus Jeharu, S.E., Husnul Khatimah,S.Sos, Herman Rachman, S.Hut., Herdayanti Patandean, S.T., Myrza Syahrianti, Akhmad Supriadi., S.T., T.P Mahas Harsel, S.T.,M.T., Andi Panguriseng, Asis. Pendukung : Mila Karmelia Faisal, Mujtahidah, dan Lani. Ucapan Terima Kasih Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (DPLH) Provinsi Sulawesi Selatan Mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan berkontribusi dalam penyusunan Laporan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Sulawesi Selatan 2017. Kontributor : BPS Provinsi Sulawesi Selatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Sulawesi Selatan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Provinsi Sulawesi Selatan, Stasiun Klimatologi BMKG Maros, Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Balai Pengelolaan DAS Jeneberang Sa’dan, Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VII, Dinas Kesehatan, Dinas Perdagangan, dan lain-lain.



iv



Halaman KATA PENGANTAR................................................................... i DAFTAR ISI .............................................................................



v



DAFTAR TABEL ........................................................................



ix



DAFTAR GAMBAR ....................................................................



xiv



BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................



I-1



1.1.



Latar Belakang .......................................................



I-2



1.2.



Profil dan Kondisi Umum ........................................



I-3



1.2.1.



Kondisi Wilayah ............................................................



I-3



1.2.2.



Kondisi Biofisik..............................................................



I-5



1.3.



Proses Penyusunan DIKPLHD ................................



I-18



1.3.1.



Ruang Lingkup Wilayah .................................................



I-18



1.3.2.



Ruang Lingkup Substansi ..............................................



I-18



1.3.3.



Pendekatan dan Metodologi...........................................



I-19



1.3.3.1.



Metode Dialog dan Konsultasi Publik ...............................................



I-20



1.3.3.2.



Metode Analisis Data ......................................................................



I-23



1.4.



Maksud dan Tujuan Penyusuan DIKPLHD ..............



I-24



1.5.



Ruang Lingkup Penulisan DIKPLHD .......................



I-25



BAB II ANALISIS DPSIR .........................................................



II-1



2.1.



Tata Guna Lahan ....................................................



II-2



2.1.1.



Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan (Lahan Utama) .........



II-3



2.1.2.



Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian .......................



II-7



2.1.3.



Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status ..........................



II-11



v



2.1.4.



Kawasan Lindung Berdasarkan RTRW dan Tutupan Lahan ..........................................................................



II-11



2.1.5.



Lahan Kritis ..................................................................



II-15



2.1.6.



Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil .........................................



II-20



2.1.6.1. Mangrove ..........................................................................



II-20



2.1.6.2. Padang Lamun ...................................................................



II-22



2.1.6.3. Terumbu Karang ................................................................



II-24



2.1.7.



Kerusakan Tanah di Lahan Kering ..................................



II-27



2.1.8.



Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air II-29



2.1.9.



Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah .....................



II-31



2.1.10. Luas Areal dan Produksi Pertambangan Menurut Jenis Bahan Galian ...............................................................



II-32



2.1.11. Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi ...............



II-35



2.1.12. Keadaan Flora dan Fauna ..............................................



II-39



2.1.13. Penangkaran Satwa dan tumbuhan Liar .........................



II-42



2.2.



Kualitas Air ............................................................. II-43



2.2.1.



Kualitas Air Sumur ........................................................



II-43



2.2.2.



Kualitas Air Laut ...........................................................



II-46



2.2.3.



Kualitas Air Sungai ........................................................



II-48



2.2.4.



Curah Hujan dan Rata-Rata Bulanan ..............................



II-51



2.2.5.



Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum ...............



II-53



2.2.6.



Kualitas Air Hujan .........................................................



II-54



2.2.7.



Kondisi Sungai ..............................................................



II-56



2.2.8.



Kondisi Danau/Waduk/Embung ......................................



II-58



2.2.9.



Kualitas Air Danau/Waduk/Situ/Embung .........................



II-60



2.3.



Kualitas Udara ........................................................ II-62



2.3.1.



Suhu Udara Rata-Rata Bulanan ......................................



II-62



2.3.2.



Kualitas Udara Ambien ..................................................



II-65



2.3.3.



Penggunaan Bahan Industri dan Rumah Tangga .............



II-66



2.3.4.



Jumlah Kendaraan Bermotor dan Jenis Bahan Bakar yang di gunakan ...................................................................



II-69



vi



2.3.5.



Perubahan Penambahan Ruas Jalan ..............................



2.4.



Resiko Bencana ...................................................... II-71



2.4.1.



Bencana Banjir, Korban, dan Kerugian ...........................



II-73



2.4.2.



Bencana Kekeringan, Luas, dan Kekeringan ....................



II-75



2.4.3.



Bencana Kebakaran Hutan/Lahan, Luas, dan Kerugian ....



II-76



2.4.4.



Bencana Alam Tanah Longsor dan Gempa Bumi, Korban, Kerugian ......................................................................



II-70



II-79



2.5.



Isu Perkotaan......................................................... II-80



2.5.1.



Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Buang Air Besar ......



2.5.2.



Jumlah Limbah Padat dan Cair berdasarkan Sumber Pencemaran .................................................................



2.5.3.



II-81 II-84



Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk ..............................................



II-89



2.5.4.



Jenis Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah .............



II-93



2.5.5.



Perkiraan Jumlah Timbunan Sampah per Hari .................



II-97



2.5.6



Jumlah Bank Sampah .................................................... II-100



2.5.7.



Kegiatan Fisik Lainnya Oleh Instansi .............................. II-108



2.6.



Tata Kelola ............................................................ II-109



2.6.1.



Pelestarian Kearifan Lokal ............................................. II-109



2.6.2.



Peran Serta Masyarakat ................................................ II-113



2.6.2.1. Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan....... II-113 2.6.2.2. Penerimaan Penghargaan Lingkungan Hidup ......................... II-116 2.6.2.3. Program yang Diinisiasi Masyarakat ...................................... II-127



2.6.3.



Kelembagaan ............................................................... II-129



2.6.3.1. Produk Hukum Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan ........................................................................ II-129 2.6.3.2. Jumlah Personil Pengelolaan Lingkungan Hidup ..................... II-130



2.6.4.



Anggaran Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pendapatan Asli Daerah ................................................................... II-132



2.6.4.1. Anggaran Pengelolaan Lingkungan Hidup .............................. II-132 2.6.4.2. Pendapatan Asli Daerah ...................................................... II-138



vii



2.6.4.3. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku .................. II-140 2.6.4.4. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan ................. II-142



2.6.5.



Izin Usaha Pemanfaan Hasil Hutan ................................ II-143



2.6.1.1. Jumlah dan Luas Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu .... II-145 2.6.1.2. Jumlah dan Luas Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu........................................................................ II-146



2.6.6.



Jumlah dan Izin usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam ........................................................... II-149



2.6.7.



Perdagangan Satwa dan Tumbuhan ............................... II-153



2.6.8.



Dokumen Izin Lingkungan Provinsi Sulawesi Selatan ....... II-154



2.6.9.



Status Pengaduan Masyarakat ....................................... II-157



2.7.



Kondisi Demografi ................................................. II-165



2.7.1.



Jumlah Pendidikan laki-laki dan perempuan menurut tingkat pendidikan ........................................................ II-165



2.7.2.



Jenis Penyakit uutama yang diderita penduduk ............... II-170



2.7.3.



Jumlah Rumah Tangga Miskin ....................................... II-171



BAB III ISU PRIORITAS LINGKUNGAN HIDUP ...................... 3.1.



Mekanisme Penggalian Isu Perioritas ...................



3.2.



Permasalahan dan Isu Strategis Lingkungan



III-1 III-2



Hidup.....................................................................



III-3



3.2.1



Permasalahan dan Isu Strategis ...................................



III-3



3.2.2



Analisis DPSIR ............................................................



III-5



3.3.



Isu-Isu Perioritas Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan .................................................................. III-15



BAB IV INOVASI DAERAH DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ................................................



IV-1



4.1.



Inovasi Daerah Dalam Urusan Lingkungan Hidup .



IV-2



4.2.



Inovasi Daerah Dalam Urusan Kehutanan ............ IV-11



BAB V PENUTUP .....................................................................



V-1



Daftar Pustaka Lampiran



viii



Halaman 1.1



Luas wilayah, nama Ibukota di Provinsi Sulawesi Selatan ........................................................................



I-4



1.2



Luas Tutupan Lahan Sulawesi Selatan ............................ I – 14



1.3



Identifikasi masyarakat dan pemangku .......................... I – 21



2.1.1. Luas Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ............................



II-18



2.1.2. Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Kering di Kabupaten Bantaeng .....................................................................



II-27



2.1.3. Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Kering di Kepulauan Selayar.........................................................................



II-27



2.1.4. Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Kering Kepulauan Selayar.........................................................................



II-28



2.1.5. Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Kering di Kabupaten Pangkep .......................................................................



II-28



2.1.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ..............



II-30



2.1.7. Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Basah di Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................................................



II-31



ix



2.1.8. Luas Areal dan Produksi Pertambangan Menurut Jenis Bahan Galian yang ada Di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................................................



II-32



2.1.9. Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ............................



II-35



2.1.10. Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ............................



II-37



2.1.11. Penangkaran Satwa dan Tumbuhan Liar di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ............................



II-42



2.2.1. Data beberapa parameter kualitas air sumur di Provinsi Sulawesi Selatan periode tahun 2016 – 2018 ..................



II-44



2.2.2. Kualitas Air Laut Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ...



II-46



2.2.3. Kualitas Air Laut Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ...



II-47



2.2.4. Kualitas Air Sungai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



II-49



2.2.5. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........



II-54



2.2.6. Kualitas Air Hujan di Sulawesi Selatan Tahun 2018 .........



II-55



2.2.7. Kondisi Sungai di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018..



II-57



2.2.8. Kualitas Air Danau/Waduk/Situ/Embung Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........................................



II-60



2.2.9. Data hasil pengukuran kualitas air Danau Matano dan Danau Towuti di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ..



II-61



2.3.1. Suhu Udara rata-rata Bulanan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018...................................................................



II-64



2.3.2. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dan Indeks Status Mutu (ISM) Provinsi Sulawesi Selatan ..................



II-66



2.3.3. Penggunaan Bahan Industri dan Rumah Tangga Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........................................



II-67



2.3.4. Jumlah Kendaraan Bermotor dan Jenis Bahan Bakar yang di gunakan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ..



II-69



x



2.3.5. Perubahan Penambahan Ruas Jalan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................................................



II-71



2.4.1. Bencana Banjir, Korban, dan Kerugian di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................................................



II-75



2.4.2. Bencana Banjir, Korban, dan Kerugian Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................................................



II-79



2.4.3. Bencana Alam Tanah Longsor dan Gempa Bumi,Korban, Kerugian Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ..............



II-81



2.5.1. Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Buang Air Besar Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ............................



II-83



2.5.2. Jumlah Limbah Padat dan Cair berdasarkan Sumber Pencemaran di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 .....



II-86



2.5.3. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........................................



II-92



2.5.4. Jenis Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018 .........................................



II-96



2.5.5. Perkiraan Jumlah Timbunan Sampah per Hari di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........................................ II-100 2.5.6.



Jumlah Bank Sampah di Kota Makassar Tahun 2018................................................................ II-105



2.5.7. Kegiatan Fisik Lainnya Oleh Instansi di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ...................................................... II-112 2.6.1. Pelestarian Kearifan Lokal Lingkungan Hidup di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........................................ II-115 2.6.2. Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan Hidup di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 .............. II-118 2.6.3. Penerima Penghargaan Tingkat Provinsi dan Nasional di Lingkungan Hidup di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ....................................... II-122



xi



2.6.4. Penerima Penghargaan ADIPURA Lingkungan Hidup di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ............................ II-129 2.6.5. Program yang diinisiasi masyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan ........................................................................ II-132 2.6.6.



Produk Hukum Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 .......



2.6.7.



II – 130



Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup menurut Tingkat Pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ..................................................................



2.6.8.



II – 130



Jumlah Staf Fungsional Bidang Lingkungan Hidup dan Staf yang Telah Mengikuti Diklat di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................................................



2.6.9.



II – 132



Anggaran Pengelolaan Lingkungan Hidup di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........................................



II – 132



2.6.10. Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan.......



II – 139



2.6.11. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ............................



II – 141



2.6.12. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........................



II – 142



2.6.13. Jumlah dan Luas Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ................



II – 145



2.6.14 Jumlah dan Izin usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ..



II – 150



2.6.15 Perdagangan Satwa dan Tumbuhan di Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................................................



II - 153



2.6.16 Dokumen Izin Lingkungan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018...................................................................



II - 154



2.6.17 Status Pengaduan Masyarakat .......................................



II - 157



2.7.1



Jumlah Pendidikan laki-laki dan perempuan menurut tingkat pendidikan ........................................................



II - 167



xii



2.7.2



Jenis Penyakit Utama yang di derita Penduduk Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........................................



2.7.3



Jumlah Rumah Tangga Miskin Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 .................................................................



3.1



II - 170 II - 171



Permasalahan utama dan potensi permasalahan lingkungan hidup di Provinsi Sulawesi Selatan ................



IV - 6



xiii



Halaman Gambar 1.1



Peta Wilayah Administrasi Provinsi Sulawesi selatan ..........................................................



I-5



Gambar 1.2



Peta Geologi Sulawesi ....................................



I-7



Gambar 1.3



Kenampakan Karts Maros-Pangkep .................



I-8



Gambar 1.4



Peta Sistem lahan Sulawesi selatan .................



I - 11



Gambar 1.5



Peta Iklim Sulawesi Selatan ............................



I - 12



Gambar 1.6



Peta Penutupan Lahan Sulawesi Selatan ..........



I - 14



Gambar 2.1.1



Persentase Penggunaan lahan/Tutupan lahan di Provinsi Sulawesi selatan ............................



Gambar 2.1.2



Peta Penggunaan Lahan Utama di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 .........................



Gambar 2.1.3



Presentase Utama



di



Perubahan Provinsi



Penggunaan Sulawesi



II - 6



Lahan Selatan



Tahun 2018 ................................................... Gambar 2.1.4



II - 5



II - 9



Peta Perubahan Penggunaan Lahan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................... II - 10



Gambar 2.1.5



Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi dan Statusnya di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018 ............................................................. II - 11



xiv



Gambar 2.1.6



Persentase Luas Kawasan Lindung Berdasarkan RTRW di provinsi Sulawesi Selatan .................. II - 12



Gambar 2.1.7



Persentase Penutupan Lahan Untuk setiap Kawasan Lindung di Provinsi Sulawesi Selatan . II - 13



Gambar 2.1.8



peta Penutupan di setiap kawasan lindung di provinsi Sulawesi Selatan................................ II - 14



Gambar 2.1.9



Persentase Lahan Kritis dan sangat Kritis di Provinsi Sulawesi selatan ................................ II - 16



Gambar 2.1.10 Peta lahan kritis di Dalam dan luar kawasan Hutan di Provinsi Sulaweesi Selatan Tahun 2018 ............................................................. II - 19 Gambar 2.1.11 Luas Mangrove di provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ................................................... II - 22 Gambar 2.1.12 Luas Padang Lamun di provinsi Selatan ........... II - 23 Gambar 2.1.13 Persentase



kerusakan



Padang



Lamun



di



Provinsi Selatan tahun 2018 ........................... II - 24 Gambar 2.1.14 Luas Tutupan terumbu karang di provinsi Sulawesi Selatan ............................................ II - 26 Gambar 2.1.15 Persentase Kondisi Terumbu karang di Provinsi Sulawesi Selatan ............................................ II - 26 Gambar 2.1.16 Grafik evaluasi kerusakan tanah di Lahan kering Akibat Erosi Air provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ................................................... II - 30 Gambar 2.1.17 Diagram Evaluasi Kerusakan tanah di lahan kering akibat Erosi Air Provinsi Sulawesi Selatan ................................................................. II - 30 Gambar 2.1.18 Produksi (Ton/Tahun) Bahan Galian Tambang di Sulawesi Selatan ........................................ II - 34 Gambar 2.1.19 Luas Ijin Usaha Penambahan (Ha) Bahan Galian Tambang di Sulawesi Selatan ............... II - 34



xv



Gambar 2.1.20 Realisasi Penghijauan di Sulawesi Selatan Tahun 2016-2018 .......................................... II - 38 Gambar 2.1.21 Realisasi Reboisasi di Sulawesi Selatan tahun 2016-2018 ..................................................... II - 38 Gambar 2.1.22 Perbandingan



perubahan



Luas



Areal



penghijauan dan Reboisasi di Sulawesi Selatan tahun 2016-2018 ........................................... II - 38 Gambar 2.1.23 Jumlah



Spesiaes



Hewan



(Fauna)



yang



dilindungi Berdasarkan Golongan di Sulsel tahun 2018 .................................................... II - 39 Gambar 2.1.24 Jumlah



Spesiaes



Hewan



(Fauna)



yang



dilindungi Berdasarkan Golongan di Sulsel tahun 2018 .................................................... II - 40 Gambar 2.2.1



Kandungan TDS dan TSS air sumur dalam wilayah Provinsi ............................................. II - 44



Gambar 2.2.2



Nilai Parameter DO, BODS, dan COD dalam air sumur di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018 .................................................... II - 45



Gambar 2.2.3



Kandungan detergen serta minyak dan lemak air sumur di wilayah Sulawesi selatan tahun 2018 ............................................................. II - 45



Gambar 2.2.4



Rata-rata curah Hujan per bulan disulawesi Selatan Tahun 2018 ...................................... II - 52



Gambar 2.2.5



Jumlah tangga dan sumber air minum di Sulawesi tahun 2018 ...................................... II - 53



Gambar 2.2.6



Kualitas Air Hujan di Sulawesi Selatan tahun 2018 ............................................................. II - 55



Gambar 2.2.7



Grafik Jumlah Danau, Waduk, Embung di Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................... II - 58



xvi



Gambar 2.2.8



Gambar, kondisi sedimentasi di waduk Bili-bil, Sungai Jenebarang di Sulawesi Selatan tahun 2018 ............................................................. II - 59



Gambar 2.3.1



Grafik Jumlah Kendaraan Bermotor ................. II - 70



Gambar 2.3.2



Grafik Jenis bahan bakar yang digunakan ........ II - 70



Gambar 2.3.3



perubahan Penambahan Ruas Jalan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................... II - 71



Gambar 2.4.1



Grafik Bencana Banjir, Korban, dan Kerugian Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018 .............. II - 74



Gambar 2.4.2



Grafik Bencana kekeringan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018 ........................................ II - 75



Gambar 2.4.3



Bencana Kekerinngan, Luas, dan kekeringan yang berdasarkan perkiraan kerugiann di masing-masing kabupaten .............................. II - 76



Gambar 2.4.4



Bencana banjir, Korban, dan Kerugian Sulawesi Selatan Tahun 2018 ....................................... II - 78



Gambar 2.5.1



Jumlah Rumah Tangga Berdasarkan Jumlah KK ..................................................... II - 82



Gambar 2.5.2



Fasilitas



Tempat



Buang



Air



Besar



yang



digunakan sendiri ........................................... II - 82 Gambar 2.5.3



Fasilitas Tempat Buang Air Besar yang di gunakan sendir ............................................. II - 83



Gambar 2.5.4



Fasilitas Tempat Buang Air Besar yang di gunakan Umum ............................................ II - 83



Gambar 2.5.5



Fasilitas Tempat Buang Air Besar yang di yang langsung ke sungai ........................................ II - 83



Gambar 2.5.6



Luas



Wilayah



berdasarkan



Limbah Sumber



Padat



dan



Pencemaran



bergerak Provinsi Sulawesi Selatan



Cair yang Tahun



2018 ............................................................. II - 88



xvii



Gambar 2.5.7



Jumlah Limbah Padat berdasarkan Sumber Pencemaran yang bergerak Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ....................................... II - 89



Gambar 2.5.8



Jumlah



Penduduk



menurut



dalam



angka



Sulawesi Selatan Tahun 2018 ......................... II - 91 Gambar 2.5.9



grafik



terkait



Pertumbuhan



Penduduk



di



masing-masing Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 201 ..................................................... II - 91 Gambar 2.5.10 Peta Penutupan Lahan Sulawesi Selatan .......... II - 92 Gambar 2.5.11 Hasil Dari Kepadatan Penduduk Menurut BPS Tahun 2018 ................................................... II - 92 Gambar 2.5.12.



Kapasitas (M3) di Sulawesi Selatan Tahun 2018 ....



Gambar 2.5.13.



Perkiraan Jumlah Penduduk Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ...........................................



Gambar 2.5.14.



II - 99



Perkiraan Jumlah Timbunan Sampah per Hari Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ..................



Gambar 2.5.15.



II - 96



II - 99



Jumlah Bank Sampah di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ....................................................... II - 106



Gambar 2.5.15.



Jumlah Bank Sampah Menurut Status di Sulawesi Selatan Tahun 2018 ........................................ II - 106



Gambar 2.5.16.



Jumlah Karyawan Bank Sampah di Sulawesi Selatan Tahun 2018 ....................................................... II - 107



Gambar 2.5.17.



Omset Bank Sampah di Sulawesi Selatan Tahun 2018 ................................................................. II - 107



Gambar 2.6.1.



Tradisi Mappadendang Tanah Bugis Sulawesi Selatan ............................................................. II - 110



Gambar 2.6.2.



Jumlah Personil Lembaga Pengelola Lingkungan Hidup menurut



Tingkat Pendidikan di Provinsi



Sulawesi Selatan Tahun 2018 .............................. II - 131 Gambar 2.6.3.



Jumlah Anggaran Pengelolaan Lingkungan Hidup di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 .................. II - 137



Gambar 2.6.4.



Pendapatan Asli Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ....................................................... II – 140



xviii



Gambar 2.6.5.



Jumlah Izin Usaha Pemanfaatn Hasil Hutan Bukan Kayu di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 ...... II - 147



Gambar 2.7.1



Jumlah Penduduk di tiap kabupaten di Provinsi Sulawesi



selatan



yang



tidak



sekolah



(tidak



mengenyam pendidikan) ..................................... II - 168 Gambar 2.7.2



Jumlah Penduduk di tiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan pada Tingkat SD........................ II - 168



Gambar 2.7.3



Jumlah Penduduk di tiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan pada Tingkat SLTP .................... II - 168



Gambar 2.7.4



Jumlah Penduduk di tiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan pada Tingkat SLTA .................... II - 169



Gambar 2.7.5



Jumlah Penduduk di tiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan pada Tingkat Diploma ................ II - 169



Gambar 2.7.6



Jumlah Penduduk di tiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan pada Tingkat S1/S2/S3 .............. II - 169



Gambar 2.7.7



Jenis Penyakit Utama yang di derita Penduduk Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 .................. II - 171



Gambar 2.7.8



Grafik Jumlah Rumah Tangga Miskin Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 .............................. II - 173



Gambar 4.1



Penanaman Mangrove Serentak di Pesisir Sulawesi Selatan .............................................................



IV - 4



Gambar 4.2



Pembinaan Sekolah Adiwiyata .............................



IV - 5



Gambar 4.3



Lauching Gerbang Sulsel Bersatu Tahun 2018 .......



IV - 6



Gambar 4.4



Kegiatan Kerja Bakti Membersihan Lingkungan Tahun 2018 .......................................................



Gambar 4.5



Pemberian Penghargaan Inovasi Pelayanan Publik ke Pada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.......



Gambar 4.6



Program



Hutan



Kemasyarakatan



di



IV - 17



Kawasan Hutan Adat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan ...................



Gambar 4.8



IV - 9



Sulawesi



Selatan Tahun 2018 ........................................... Gambar 4.7



IV - 7



Bintek



Peningkatan



Kesadaran



IV - 18



Masyarakat



Terhadap Bahaya Merkuri di Sulawesi Selatan .......



IV - 18



xix



Gambar 4.9



Sosialisasi Pengelolaan Ramah Lingkungan Skala Rumah Tangga ..................................................



Gambar 4.10



IV - 19



FGD Pengelolaan Sampah di Wilayah Pesisir dan Penyerahan Alat Biopori ......................................



IV - 19



xx



1



1.1 Latar Belakang Keterbukaan informasi merupakan salah satu sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara. Hak memperoleh informasi adalah hak asasi manusia, yang dijamin oleh UUD 1945. Keterbukaan informasi



akan melahirkan negara yang



demokratis, dimana peran serta masyarakat dalam pembangunan diakomodir melalui keterbukaan informasi, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh badan publik lainnya. Dalam kaitannya dengan keterbukaan informasi di sektor lingkungan hidup, akses masyarakat untuk mendapatkan informasi lingkungan hidup masih dirasakan sangat rendah. Dalam



UU



32/2009



tentang



Perlindungan



dan



Pengelolaan



Lingkungan Hidup, dijamin bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka peluang bagi



2



masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat. Pada pasal 62 ayat 1 dan 3 UU 32/2019 telah mengamanatkan



bahwa



Pemerintah



dan



pemerintah



daerah



mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain. Informasi lingkungan hidup memiliki fungsi yang strategis sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan di daerah, khusus pada upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.



Informasi



lingkungan



hidup



diharapkan



dapat



memberikan



gambaran kondisi daerah secara periodik, perkembangan isu lingkungan perioritas dan ketepatan kebijakan yang dilaksanakan sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka disusunlah Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (DIKPLHD) Provinsi Sulawesi Selatan sebagai sarana penyediaan data dan informasi lingkungan hidup di Sulsel, serta menjadi alat yang berguna dalam menilai, menentukan prioritas masalah, membuat rekomendasi bagi penyusunan kebijakan



dan



perencanaan



untuk



membantu



pemerintah



dalam



pengelolaan lingkungan hidup dan penerapan mandat pembangunan berkelanjutan. 1.2 Profil dan Kondisi Umum Sulawesi Selatan 1.2.1 Kondisi Wilayah Secara geografis, Provinsi Sulawesi Selatan terletak pada 1 o51’ sampai 8o00’ Lintang Selatan dan 116o48’ sampai 122o36’ Bujur Timur. Luas daratan Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan adalah 45.764,53 Km². Wilayah



3



daratan dikelilingi oleh laut yang cukup luas: di sebelah selatan terdapat laut Flores, di sebelah barat terdapat selat Makassar dan di sebelah Timur terdapat teluk Bone. Batas-batas geografis wilayah Provinsi Sulawesi Selatan secara lengkap adalah sebagai berikut: 



di sebelah utara dengan Provinsi Sulawesi Barat







di sebelah timur dengan Teluk Bone dan Provinsi Sulawesi Tenggara







di sebelah barat dengan Selat Makassar







di sebelah selatan dengan Laut Flores. Secara Administrasi, wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terbagi



menjadi 21 Kabupaten dan 3 Kota, yang terdiri dari 304 Kecamatan (Gambar 2), dan



beribukota di Makassar.



Kabupaten Luwu Utara



merupakan kabupaten terluas yaitu 7.502,58 km2 atau 32,45%, sedangkan Kabupaten Bantaeng adalah yang terkecil yakni 395,83 km2 (Tabel 1). Tabel 1.1. Luas wilayah, nama Ibukota di Provinsi Sulawesi Selatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.



Kabupaten/ Kota Selayar Bulukumba Bantaeng Janeponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Makassar Parepare



Ibukota Benteng Bulukumba Bantaeng Bontosunggu Pattalasang Sungguminasa Sinjai Maros Pangkajene Barru Watampone Watansoppeng Sengkang Sidenreng Pinrang Enrekang Belopa Makale Masamba Malili Makassar Parepare



Luas Wilayah (km2) 903,50 1.154,67 395,83 903,35 566,51 1.883,32 819,96 1.619,12 1.112,29 1.174,71 4.559,00 1.359,44 2.506,20 1.883,25 1.961,17 1.786,01 3.000,25 2.054,30 7.502,68 6.944,88 175,77 99,33



4



No. 23. 24



Kabupaten/ Kota Palopo Toraja Utara Total



Ibukota Palopo Rantepao



Luas Wilayah (km2) 247,52 1.151,47 45.764,53



Sumber: Analisis Spasial, 2017



Gambar 1.1. Peta Wilayah Administrasi Provinsi Sulawesi Selatan 1.2.2 Kondisi Biofisik a. Geologi Secara regional, geologi Pulau Sulawesi dan sekitarnya termasuk kompleks, yang disebabkan oleh proses divergensi dari tiga lempeng litosfer, yaitu : Lempeng Australia yang bergerak ke utara, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat, dan Lempeng Eurasia yang bergerak ke selatantenggara. Selat Makassar yang memisahkan platform Sunda (bagian Lempeng Eurasia) dari Lengan Selatan dan Tengah, terbentuk dari proses pemekaran lantai samudera pada Miosen. Bagian utara Pulau Sulawesi adalah Palung Sulawesi Utara yang terbentuk akibat proses subduksi kerak samudera Laut Sulawesi. Di Lengan tenggara, proses konvergensi terjadi antara Lengan



5



Tenggara dengan bagian utara Laut Banda sepanjang Tunjaman Tolo (Silver et al., 1983a,b). Kedua struktur mayor tersebut (Palung Sulawesi Utara dan Tunjaman Tolo) dihubungkan oleh Sistem Sesar Palu-KoroMatano. Daerah Sulawesi Selatan termasuk ke dalam provinsi Busur Volkanik Tersier Sulawesi Barat, yang memanjang dari Lengan Selatan sampai ke Lengan Utara. Secara umum, busur ini tersusun oleh batuan-batuan plutonik-volkanik berumur Paleogen-Kuarter serta batuan-batuan metamorf dan sedimen berumur Tersier. Geologi Sulawesi Selatan bagian timur dan barat sangat berbeda, di mana keduanya dipisahkan oleh Depresi Walanae yang berarah UUB-SST. Secara struktural, Sulawesi Selatan terpisah dari anggota Busur Barat Sulawesi lainnya oleh suatu depresi berarah UB-ST yang melintas di sepanjang Danau Tempe. Struktur geologi batuan di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki karakteristik geologi yang dicirikan oleh adanya berbagai jenis satuan batuan yang bervariasi. Struktur dan formasi geologi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari volkan tersier, Sebaran formasi volkan tersier ini relatif luas mulai dari Cenrana sampai perbatasan Mamuju, daerah Pegunungan Salapati (Quarles) sampai Pegunungan Molegraf, Pegunungan Perombengan sampai Palopo, dari Makale sampai utara Enrekang, di sekitar Sungai Mamasa, Sinjai sampai Tanjung Pattiro, di deretan pegunungan sebelah barat dan timur Ujung Lamuru sampai Bukit Matinggi. Batuan volkan kwarter, Formasi batuan ini ditemukan di sekitar Limbong (Luwu Utara), sekitar Gunung Karua (Tana Toraja) dan di Gunung Lompobatang (Gowa) (lihat Gambar 3). Sebaran formasi geologi di 24 kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Selatan bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Total terdapat 48 formasi geologi yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu aluvium, anggauta taccipi dari formasi walanae, anggota batugamping formasi toraja, anggota batugamping formasi walanae, anggota rantepao, formasi toraja, batuan gunungapi, batuan gunungapi baturape-cindako, batuan



6



gunungapi



formasi



camba, batuan gunungapi



kalamiseng, batuan



gunungapi lamasi, batuan gunungapi lompobatang, batuan gunungapi lompobattang, batuan gunungapi masamba, batuan gunungapi pare-pare, batuan gunungapi soppeng, batuan gunungapi terpropilitkan, batuan gunungapi tineba, batuan malihan, batuan serpentinit, batuan terobosan, batugamping formasi camba, batugamping meta, endapan aluvium dan pantai, endapan danau, formasi bone-bone, formasi camba, formasi date, formasi larona, formasi latimojong, formasi loka, formasi makale, formasi matano, formasi salo kalupang, formasi sekala, formasi tomata, formasi tonasa, formasi toraja, formasi walanae, granit kambuno, granit palopo, kompleks melange, kompleks pompangeo, kompleks tektonik bantimala, komplex



ultrabasa, mamuju, melange wasuponda, tuf rampi, dan tuff



barupu.



Didominasi oleh formasi geologi endapan aluvium dan pantai



seluas 529,480.17 ha, disusul formasi walanae seluas 411,145.23 ha, batuan gunungapi lompobatang seluas 364,553.08 ha, dan batuan gunungapi formasi camba seluas 352,201.35 ha. Gambar 3. menampilkan peta sebaran formasi geologi di Provinsi Sulawesi Selatan.



Gambar 1.2. Peta Geologi Sulawesi Selatan 7



b. Landform Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Wilayah daratan terluas berada pada 100 hingga 400 meter DPL, dan sebagian merupakan dataran yang berada pada 400 hingga 1000 meter dpl. Geografi wilayah mencakup pesisir dan pulau, dataran rendah dan dataran tinggi, dengan 67 aliran sungai dan tiga danau. Terdapat Gunung Bawakaraeng di selatan, serta Gunung Lompobattang dan Rante Mario di Utara, pada bagian tengah membentang bukit karst sepanjang Maros dan Pangkep, dengan klimatologi yang terbedakan antar musim pada pantai Barat dan Timur. Keunikan landform di Provinsi Sulawesi Selatan adalah terdapatnya kawasan karst di wilayah Maros-Pangkep. Kawasan karst merupakan bentang alam yang unik dan langka dan terbentuk dengan proses yang berlangsung lama dan hanya dijumpai pada daerah-daerah tertentu. Karst Maros di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan tipe karst menara di Indonesia. Batugamping pembentuknya adalah anggota Formasi Tonasa yang mengalami tektonik, dan penerobosan oleh batuan beku. Karst Maros dicirikan oleh bentukan morfologi karst menara, dan disebelahnya terhampar dataran fluvial pantai Maros - Pangkajene, lereng bukit karst layaknya menara yang membentuk sudut lereng hampir vertikal dengan ketinggian bukit mencapai 200 meter (lihat Gambar 4.).



Gambar 1.3. Kenampakan Karst Maros-Pangkep



8



Keberadaan karst Maros - Pangkep dapat dengan mudah diamati ketika melintas di jalan prorokol antara Maros dan Pangkep, hamparan perbukitan mempunyai luas ± 43.750 Ha. Kawasan karst terindah di Maros berada di dalam Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, dimana karst ini dikelilingi dengan hutan lindung dengan luas ± 43 ribu Ha, dan sebanyak 20 ribu Ha merupakan kawasan karst. Menurut beberapa penelitian menyebutkan kawasan karst Maros merupakan habitat bagi sekitar 270 jenis kupu- kupu dan hewan langka seperti halnya burung Enggang Sulawesi (Penelopides exarhartus), kera tanpa ekor (Macaca



maura), Tersius (Tarsius sp), Kuskus (Phalanger ursius), Musang Sulawesi (Macrogilidia mussen braecki), Rusa (Carvus timorensis), dan aneka satwa liar lainnya. Dalam sejarahnya, kawasan pegunungan karst ini menjadi satusatunya kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional di Indonesia dengan luas ± 40 ribu hektare. Padahal lazimnya, kawasan karst lain di Indonesia mendapat pengakuan hanya dengan luas areal sekitar 5 ribu Ha. Inilah yang antara lain menjadi alasan mengapa pemerintah berobsesi menjadikan karst ini menjadi kawasan world heritage atau warisan dunia. Area karst Maros-Pangkep dinominasikan ke status World Heritage (kategori alam) atas dasar pertimbangan bahwa wilayah tersebut bisa menjadi sampel yang mewakili perkembangan manusia, khususnya di Sulawesi. Di kawasan tersebut memang terdapat berbagai gua, yang menjadi tempat tinggal manusia pra sejarah. Beberapa yang terkenal di antaranya adalah gua Leang-Leang, Pettae dan Pettakere. Gambar 5. menampilkan peta sebaran formasi geologi di Provinsi Sulawesi Selatan. c. System Lahan dan Kemampuan Lahan Sistem lahan yang mengindikasikan karakteristik lahan di 24 kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Selatan bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Total terdapat 73 tipe system lahan yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu ACG, AHK, AMI, APA, BBG, BBR, BDG, BGA, BKN, BMS, BOM, BPD, BRA, BRI, BRU, BTG, BTK, BTS, BUU, BYN, DKP, DLU,



9



GBJ, GBT, GDG, GJO, GPI, GSM, HBU, KAS, KHY, KJP, KLG, KLR, KNJ, KPR, KTT, LBS, LME, LNG, LTG, LWW, MDO, MDW, MKO, MKS, MNA, MPT, MTL, NODA, OKI, PDH, PGA, PLB, PLU, PRT, PTG, SAR, SBG, SFO, SMA, SMD, SMI, SST, TBO, TDO, TGM, TRO, TTG, TWH, TWI, UPG, dan WTE (RePProT, 1988). Tipe system lahan terluas yaitu BBG dengan luas 874,244.41 ha, disusul KHY dengan luas 364,355.52 ha, dan BPD dengan luas 333,753.60 ha. Gambar 5. menampilkan peta sebaran sistem lahan di Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan sistem lahan yang bervariasi tersebut memberikan kelas kemampuan lahan yang juga bervariasi. Klasifikasi kemampuan lahan adalah merupakan klasifikasi interpretatif yang berdasarkan pada kualitas dan karakteristik lahan yang permanen. Kelas dinyatakan dengan angka Romawi dan terdiri dari 8 kategori, yakni kelas I hingga VIII. Kelas kemampuan I hingga IV disebut juga sebagai kelas arable karena kemampuannya untuk mendukung berbagai usaha pertanian intensif



(arable) sedangkan V hingga VIII disebut non-arable yakni hanya untuk usaha non-pertanian, meskipun dapat juga digunakan untuk usaha pertanian yang dibarengi dengan teknik-teknik pengelolaan lahan yang seksama. Lahan dalam kelas yang sama memiliki derajat pembatas yang sama, akan tetapi tidak harus memiliki kesamaan dalam hal jenis pembatas atau pengelolaan yang diperlukan, misalnya dalam satu kelas mungkin terdapat beberapa jenis tanah yang berbeda. Kemampuan lahan, menurut Permen LH No 17 Tahun 2009 merupakan indikator daya dukung lahan. Semakin tinggi kelas (kelas VI, VII, dan VIII), semakin rendah daya dukung lahan, sehingga peruntukan lahan hanya dibatasi pada upaya perlindungan. Sebaran kemampuan lahan setiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan berturut-turut mulai dari kelas kemampuan lahan terendah yaitu kelas II dominan terdapat di Kabupaten Wajo, kelas III dominan di Luwu Timur, kelas IV dominan di Bone, kelas V dominan di Luwu Utara, kelas VI dominan di Luwu Utara, kelas VII dominan di Luwu Timur, kelas VIII dominan di Luwu Timur.



10



Luas setiap kelas kemampuan lahan di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yaitu kelas kemampuan lahan II seluas 308.802,38 ha, kelas III seluas 13.613,119 ha, kelas IV seluas 233.343,67 ha, kelas V seluas 1.025.774,00 ha, kelas VI seluas 1.439.539,60 ha, kelas VII seluas 348.906,42 ha, dan kelas VIII seluas 901.693,79 ha. Jadi kelas kemampuan lahan yang paling dominan di Sulawesi Selatan adalah kelas VI seluas 1.439.539,60 ha, dikuti oleh kelas kemampuan V dan VII. Sebaran kemampuan lahan pada setiap kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan disajikan pada Gambar 5. Tampak dalam angka-angka tersebut bahwa kelas lahan menengah V dan VI menempati areal hampir setengah dari keseluruhan luas wilayah daratan Provinsi Sulawesi Selatan.



Gambar 1.4. Peta Sistem Lahan Sulawesi Selatan d. Iklim Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya sama dengan daerah lain yang ada di Indonesia, mempunyai dua musim yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Juni sampai September dan musim penghujan yang terjadi pada bulan Desember sampai dengan Maret. Berdasarkan pengamatan di tiga Stasiun Klimatologi (Maros, Hasanuddin dan Maritim Paotere) selama Tahun 2010 rata-rata suhu udara 27,4 C di Kota Makassar



11



dan sekitarnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Suhu udara maksimum di Stasiun Klimatologi Hasanuddin 32,1°C dan suhu minimum 24,0°C. Berdasarkan klasifikasi tipe iklim menurut oldeman, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 5 jenis iklim, yaitu Tipe iklim A termasuk kategori iklim sangat basah dimana curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/Tahun. Wilayah yang termasuk ke dalam tipe ini adalah Kabupaten Enrekang, Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur. Tipe Iklim B, termasuk iklim basah dimana Curah hujan rata-rata 3000 - 3500 mm/Tahun (Gambar 6.). Wilayah tipe ini terbagi 2 tipe yaitu (B1) meliputi Kabupaten Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur, Tipe B2 meliputi Gowa, Bulukumba, dan Bantaeng. Tipe iklim C termasuk iklim agak basah dimana Curah hujan rata-rata 2500 - 3000 mm/Tahun. Tipe iklim C terbagi 3 yaitu Iklim tipe C1 meliputi Kabupaten Wajo, Luwu, dan Tana Toraja. Iklim C2 meliputi Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Barru, Pangkep, Enrekang, Maros dan Jeneponto. Sedangkan tipe iklim C3 terdiri dari Makassar, Bulukumba, Jeneponto, Pangkep, Barru, Maros, Sinjai, Gowa, Enrekang, Tana Toraja, Parepare, Selayar.



Gambar 1.5. Peta Iklim Sulawesi Selatan



12



Selanjutnya, tipe iklim D dengan Curah hujan rata-rata 2000 - 2500 mm/Tahun. Tipe iklim ini terbagi 3 yaitu Wilayah yang masuk ke dalam iklim D1 meliputi Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Luwu, Tana Toraja, dan Enrekang. Wilayah yang termasuk ke dalam iklim D2 terdiri dari Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Sinjai, Luwu, Enrekang, dan Maros. Wilayah yang termasuk iklim D3 meliputi Kabupaten Bulukumba, Gowa, Pangkep, Jeneponto, Takalar, Sinjai dan Kota Makassar. Tipe iklim E dengan Curah hujan rata-rata antara 1500 - 2000 mm/Tahun dimana tipe iklim ini disebut sebagai tipe iklim kering. Tipe iklim E1 terdapat di Kabupaten Maros, Bone dan Enrekang. Tipe iklim E2 terdapat di Kabupaten Maros, Bantaeng, dan Selayar. e. Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Penggunaan lahan/tutupan lahan merupakan parameter lingkungan hidup yang dinamis. Perubahan cepat terjadi pada wilayah-wilayah yang berkembang. Sebaran penggunaan lahan Provinsi Sulawesi Selatan ditampilkan pada Gambar 7. dan Tabel 2. Penggunaan lahan didominasi oleh pertanian lahan kering bercampur semak seluas 1,565,894.28 ha, disusul hutan lahan kering sekunder (765,380.40 ha), sawah (605,871.23 ha), hutan lahan kering primer (587,853.85 ha), dan semak/belukar (507,798.62 ha). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Baja et al. (2011), perubahan penggunaan lahan di Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup besar terjadi untuk 2 dekade yang lalu adalah dari semak dan kebun menjadi persawahan, dan hanya sebahagian kecil untuk permukiman dan industri. Namun, akhir-akhir ini perubahan penggunaan lahan kebun dan semak termasuk persawahan telah banyak terjadi, dan umumnya menjadi kawasan perkotaan, khususnya permukiman dan industri. Berdasarkan penelitian tersebut dinamika tersebut sangat ditentukan oleh beberapa faktor pendorong (driving faktor), diantaranya (i) factor aktor, (ii) faktor fisik, (iii)



13



faktor ekonomi, (iv) faktor social budaya, dan (v) factor institusional dan kebijakan.



Gambar 1.6. Peta Penutupan Lahan Sulawesi Selatan Tabel 1.2 Luas Tutupan Lahan Sulawesi Selatan Tutupan Lahan Luas (ha) Airport 789.15 Belukar Rawa 14,990.47 Danau 111,574.58 Hutan Lahan Kering Primer 587,853.85 Hutan Lahan Kering Sekunder 765,380.40 Hutan Mangrove Primer 1,219.88 Hutan Mangrove Sekunder 20,437.72 Hutan Rawa Sekunder 53.83 Hutan Tanaman 14,173.54 Perkebunan 40,049.99 Permukiman 21,888.49 Pertambangan 2,377.99 Pertanian Lahan Kering 41,399.82 Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak 1,565,894.28 Rawa 758.06 Savana 87,920.62 Sawah 605,871.23 Semak/Belukar 507,798.62 Tambak 110,181.65 Tanah Terbuka 10,276.47 Transmigrasi 1,872.29 Sumber: Analisis Spasial, 2017



14



f. Oseanografi Kondisi oseanografi di perairan laut Sulawesi Selatan dapat digambarkan dari tiga wilayah laut, yaitu Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone. Ketiga perairan laut ini memiliki kondisi oseanografi yang berbeda.



Perbeaannya terutama dalam hal pergerakan dan pola arus.



Selain itu, kondisi suhu dan salintas serta kesuburan dan produktifitas juga bervariasi secara musiman. Di Selat Makassar, pergerakan massa air umumnya berasal dari Samudera Pasifik melalui selat Makassar ke Samudera Hindia dengan debit sekitar 12 Sv,



(1 Sverdrup) = 10



6



m3 /det). Perlintasan Pasifik-Hindia



merupakan salah satu Arus Laut Lintas Indonesia (Arlindo) terpenting. Tetapi, pada bulan Mei-Juni massa air cenderung bergerak dari selatan ke utara (Pasaribu dkk., 2013). Pergerakan massa air Utara-selatan mengalami fluktuasi, terjadi penurunan nilai transpor pada peride musim dingin di benua Asia. Nilai transpor relatif kecil sebesar 0,5 hingga 0,7 Sv pada bulan Mei-Juni 1989 dan 0,3 Sv pada bulan Oktober tahun 1997. Nilai transpor maksimum ke arah selatan terjadi pada bulan November 1988 sebesar 14,5 Sv, dan bulan Juni 1997 sebesar 11,8 Sv. Nilai transpor berfluktuasi sesuai dengan fase yang terjadi di Samudera Pasifik ekuatorial, yaitu fasa El Niño atau La Niña (Sudjono dkk., 2004). Massa air selat Makassar memiliki karakteristik Massa Air Subtropis Pasifik Utara (North Pacific Subtropical



Water) dan Massa Air Lapisan Pertengahan Pasifik Utara (North Pacific Intermediate Water). Pergerakan massa air ini juga mempengaruhi pasang surut. Dari hasil pengamatan pasut dapat diketahui tipe atau jenis pasut yang (Stasiun di Pulau Dutungan, Kab.Barru ) adalah pasang surut tipe campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut tetapi kadang kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda (Hasriyanti, 2015). Suhu rata-rata lapisan permukaan perairan Selat Makassar yaitu 29,5oC. Rata-rata lapisan permukaan tercampur berada (mixed layer) sampai kedalaman 40 m. Menurut Illahude (1970), pada



musim barat



15



lapisan homogen dapat mencapai kedalaman 100 meter yang dimulai dari permukaan suhu berkisar antara 27-28oC, salinitas berkisar antara 32,533,5 ‰. Lapisan termoklin spesifik memiliki dua lapisan, Pada lapisan termoklin atas gradian suhu menurun lebih cepat dibandingkan lapisan termoklin bawah (Iskandar dkk., 2013). Variasi Suhu Permukaan Laut (SPL) dapat



menggambarkan,



selain



stratifikasi



horizontal



untuk



alur



ruaya/migrasi ikan-ikan pelagis, juga mengindikasikan adanya penaikan massa air dari bawah (up welling).



Up welling menjadikan kawasan perairan sangat produktif karena massa air dari laut dalam yang mengandung nutrient terangkat ke permukaan kemudian selanjutnya digunakan oleh phytoplankton untuk berkembang-biak. Pola penyebaran upwelling pada musim timur dimulai pada bulan Juni (tahun 2009 dan 2010) dan memuncak di bulan Agustus serta berakhir pada bulan Oktober. Hasil pola distribusi spasial SPL dan konsentrasi klorofil-a di selatan perairan Selat Makassar pada musim timur juga nunjukkan bahwa pola penyebarannya bergerak ke arah barat daya dengan total



stimasi luasan mencapai ± 46.000 km2 (Inaku, 2015).



Illahude (1970) menjelaskan bahwa selama angin musim tenggara (Agustus) upwelling terjadi secara rutin di Selat Makassar bagian Selatan. Pada periode



yang hampir bersamaan, Di Selat Makassar,



spot-spot



penangkapan ikan pelagis terjadi umumnya pada bulan Jun, Juli, Agustus dan September (Dokumen Rencana Zonasi, 2017). Di laut Flores, pergerakan massa air melewati sebelau utara dan selatan Pulau Selayat. Pola pergerakan arus lebh bervariasi pada bulan Januari, arus bergerak dari arah barat ke timur. Pada bulan Februari- April terjadi perbedaan arah pergerakan arus antara bagian utara Pulau Selayar yang bergerak ke barat, sedangkan bagian selatan P. Selayar bergerak ke arah timur. Pada bulan Mei - Desember arus seluruhnya bergerak dari arah barat ke timur. Pola arus global di Kawasan Taka Bone Rate umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi musim. Saat musim Barat, arus permukaan di kawasan mengalir ke arah Timur dengan kecepatan 33 - 50 cm /det. Pada



16



awal musim Timur (April), arus permukaan mengalir ke arah Barat dengan kecepatan lemah, 12 - 38 cm/det (RPTN, 1997). Suhu permukaan bulan Mei ratarata 28,4°C dan salinitas 33,6 ‰. Suhu dan salinitas perairan Pulau Selayar pada musim timur berturut-turut lebih rendah 2°C dan lebih tinggi 0,5 ‰ dibandingkan pada musim peralihan 1. Perbedaan nilai kecepatan arus rata-rata cenderung lebih dipengaruhi oleh kondisi pasang surut lokal, sedangkan kondisi suhu dan salinitas yang berbeda diduga dipengaruhi oleh fenomena upwelling dan faktor klimatik lokal seperti curah hujan, angin, dan debit aliran sungai (Bayhaqy dkk., 2017). Di Teluk Bone, pada bulan Januari sampai April, arus bergerak dari arah tenggara masuk ke pesisir timur dengan kecepatan 25-40 cm/s berputar menyusur pinggiran teluk ke bagian barat dengan kepatan yang melemah menjadi 5 cm/s. Sementara pada bulan Mei sampai Desember, arah arus dari tenggara langsung menuju bagian barat Teluk kemudian berputar ke arah timur di dalam teluk dan menyusur pinggirana barat ke timur. Dampak perubahan iklim pada ekosistem laut di Sulawesi Selatan diindikasikan dengan kenaikan tinggi muka laut (TML), kenaikan suhu dan asidfikasi. dan Estimasi kenaikan tinggi muka laut (TML) dilakukan dengan menggunakan data altimeter



dan model. Hasil analisa dengan



menggunakan tren analysis menunjukkan bahwa kenaikan TML di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan berkisar antara 0,2 cm/tahun sampai 1 cm/tahun. Kenaikan TML tertinggi terjadi di Samudera Pasifik, sebelah utara Pulau Papua, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan TML di Samudera Hindia pola arus geostrofik akan lebih mendominasi dibandingkan dengan kondisi sekarang. Sementara itu, kenaikan TML mempengaruhi pola arus dan kerentanan bahaya erosi, perubahan garis pantai dan mereduksi daerah wetland (lahan basah) di sepanjang pantai. Ekosistem lahan basah di daerah pantai mungkin akan mengalami kerusakan jika tingkat kenaikan tinggi dan suhu muka air laut melebihi batas



17



maksimal dari kapasitas adaptasi biota pantai. (Sofian dan Nahib, 2010). Perubahan iklim ternyata telah mengubah dinamika upwelling di pantai. Jika pada



tahun



1950-1999



jarang



ditemukan



adanya



hipoksia



dan



anoksia (berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut dalam kolom air), maka sejak tahun 2000 hingga 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kejadian hipoksia. Bahkan di tahun 2006 ditemukan terjadinya anoksia di inner-shelf (Levitus et. al., 2000). 1.3 Proses Penyusunan DIKPLHD Provinsi Sulawesi Selatan 1.3.1 Ruang Lingkup Wilayah Penyusunan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan data dan informasi yang melibatkan 21 Kabupaten dan 3 Kota yang ada dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten yang terlimbat dalam penyusunan dokumen ini adalah Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, Sidrap, Pinrang, Luwu, Wajo, Bone, Soppeng, Sinjai, Bulukumba, Selayar, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Luwu Utara, Luwu Timur, Enrekang, Tana Toraja dan Toraja Utara. Sementara 3 Kota yang terlibat adalah Kota Makassar, Pare-Pare dan Palopo. Pengumpulan data dan informasi pada lingkup wilayah tersebut dilakukan secara bottom up dan juga top down. Data dan informasi yang berasal dari bottom up dilakukan pengumpulan dari 24 kab/kota tersebut diatas, sedangan yang berasal dari top down dilakukan pengumpulan melalui perangkat daerah dan instansi vertikal yang ada ditingkat provinsi. 1.3.2 Ruang Lingkup Substansi Lingkup kegiatan pada penyusunan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan pada dasarnya terbagi atas 5 tahap utama yaitu tahap persiapan, tahap pengkajian (analisis data), tahap perumusan isu-isu perioritas; tahap analisis kinerja, pengembangan



inovasi



dan



perumusan



rekomendasi,



dan



tahap



pendokumentasian. Adapun uraian secara rinci dari keseluruhan tahapan tersebut adalah sebagai berikut :



18



a. Tahap Persiapan -



Menyusun kerangka acuan kerja



-



Membentu Pokja Penyusunan DIKPLHD Sulsel



-



Identifikasi Pemangku Kepentingan



b. Tahap Pengkajian (Analisis Data) -



Pengumpulan Data



-



Penginputan tabel dan pengisian aplikasi SIKLHD



-



Analisis Data Tabel



-



Studi Literatur.



c. Tahap Perumusan Isu-Isu Perioritas -



Pengumpulan Isu-Isu Lingkungan dari Kab/Kota, Perangkat Daerah Tingkat Provinsi dan Pokja penyusunan DIKPLHD.



-



Pemusatan Isu-Isu Lingkungan



-



Penetapan Isu-Isu Perioritas dengan DPISR.



d. Tahap Analisis Kinerja Pengelolaan Lingkungan, Pengembangan Inovasi dan Rekomendasi. -



Analisis keberhasilan pengelolaan lingkungan



-



Identifikasi Inovasi dalam Pengelolaan LH



-



Perumusan Rekomendasi



e. Pendokumentasi -



Penyusunan Laporan



-



Pemaparan Hasil



1.3.3 Pendekatan dan Metodologi Pada



penyusunan



Dokumen



Informasi



Kinerja



Pengelolaan



Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan pendekatan yang digunakan tidak hanya berupa kajian teknokratik namun juga lebih bersifat partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan teknoratik dilakukan melalui analisis data oleh para pakar atau ahli sesui disiplin ilmu berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh pokja. Sementara pendekatan partisipatif dan kolaboratif dilakukan pada tahap persiapan, pengumpulan data, perumusan isu-isu perioritas



dan



perumusan



rekomendasi.



Melalui



pendekatan



yang



19



partisipatif dan kolabortaif ini dipercaya akan menghasilkan dokumen yang lebih baik, dikarenakan data dan informasi yang disajikan lebih akuntabel. Selain itu pelibatan multipihak dalam proses penyusunan DIKPLHD akan meningkatkan kapasitas dan kepedulian para pihak dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun metodologi yang digunakan untuk melaksanakan tahapan-tahapan penyusunan DIKPLHD ini, secara umum dibagi dua yaitu metode dialog melalui konsultasi publik (FGD) dan analisis data. 1.3.3.1 Metode Dialog dan Konsultasi Publik DIKPLHD bukanlah kajian teknokratik/ilmiah semata, melainkan juga proses partisipatif yang mengutamakan keterlibatan masyarakat. Dengan demikian, proses penyusunan DIKPLHD sarat dengan proses negosiasi untuk mengelola komunikasi. Menjadi penting bagi siapapun yang akan terlibat untuk mempunyai kemampuan mengembangkan dialog, diskusi, konsultasi publik, dan bahkan konflik. Pada prakteknya, pengembangan teknik dialog/komunikasi harus dirancang prosesnya dengan sangat cermat. Mekanisme dialog dan pengambilan keputusan menjadi sangat penting jika prosesnya menyangkut perwakilan institusi. Cara pelaksanaan DIKPLHD yang tepat sangat dipengaruhi bagaimana masyarakat dan pemangku kepentingan diidentifikasi. Tujuan identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan adalah: 1) Menentukan secara tepat pihak-pihak yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan penyusunan DIKPLHD; 2) Menjamin diterapkannya azas partisipasi yang diamanatkan UU PPLH; 3) Menjamin bahwa hasil perencanaan dan evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program memperoleh legitimasi atau penerimaan oleh publik; 4) Agar masyarakat dan pemangku kepentingan mendapatkan akses untuk menyampaikan informasi, saran, pendapat, dan pertimbangan



20



tentang pembangunan berkelanjutan melalui proses penyusunan DIKPLHD. Identifikasi



masyarakat



dan



pemangku



kepentingan



yang



representatif dapat diawali dengan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder analysis). Pemetaan ini untuk membantu pemilihan pemangku kepentingan yang tidak saja berpengaruh, tetapi juga mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi terhadap kebijakan, rencana, dan/atau program yang akan dirumuskan serta peduli terhadap lingkungan hidup. Selain itu pemangku kepentingan juga berbeperan dalam penyediaan data DIKPLHD. Berdasarkan



pada



pertimbangan



tersebut,



pada



pelaksanaan



dan



penyusunan penyusunan DIKPLHD dilakukan identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan yang dilibatkan. Hasil



identifikasi



tersebut



diperlihatkan pada tabel dibawah ini : Tabel 1.3. Identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan yang dilibatkan Posisi dan Peran Pembuat keputusan dan/atau penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program Lembaga/instansi terkait



Masyarakat/Lembaga/Instansi/Pem angku Kepentingan a. Gubernur Sulawesi Selatan b. Wakil Gubernur Sulawesi Selatan a. DPRD Sulsel b. Dinas Tata Ruang dan Pemukiman c. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup d. Bappeda e. BPS f. Dinas Kehutanan g. BKSDA h. Badan Penanggulangan Bencana i. BMKG j. Dinas Kesehatan k. BPN l. Dinas ESDM m. Dinas Perkebunan n. Balitbangda o. Badan Pengelolaan Keuangan Daerah p. Dinas PU q. Dinas Pertanian dan Perkebunan r. Dinas Perhubungan



21



Posisi dan Peran



Masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian perorangan informasi dan/atau keahlian (perorangan/tokoh/kelom pok) Masyarakat yang terkena dampak



Berdasarkan



hasil



Masyarakat/Lembaga/Instansi/Pem angku Kepentingan s. Dinas Perindustrian dan Perdagangan t. Dinas Kelautan dan Perikanan a. LSM Lingkungan b. Tokoh Masyarakat c. Perguruan Tinggi d. Tenaga ahli perguruan tinggi



a. b. c. d. e.



Asosiasi Pedagang Nelayan Petani Tokoh Masyarakat Lembaga Adat



identifikasi



masyarakat



dan



pemangku



kepentingan, ditentukan teknik konsultasi publik atau teknik komunikasi yang sesuai dalam pelaksanaan penyusunan DIKPLHD ini. Teknik komunikasi yang dipilih untuk melibatkan masyarakat dalam penyusunan DIKPLHD ini adalah konsultasi publik. Konsultasi publik dimaksudkan untuk menyampaikan



informasi,



menjaring



masukan



dan



merumuskan



kesepakatan bersama. Untuk membangun komunikasi dan dialog agar proses penyusunan DIKPLHD berjalan efektif, maka dipersiapkan dan dilakukan beberapa hal sebagai berikut : 1.



Menyiapkan bahan tertulis secara ringkas, lengkap dan jelas;



2.



Menentukan waktu dan tempat secara tepat;



3.



Melakukan presentasi secara jelas dan tegas; tidak berkesan menggurui; dan



4.



Menyediakan moderator atau fasilitator yang handal dan efektif serta dapat diterima oleh para pemangku kepentingan. Untuk mempermudah dalam membangun keterlibatan para pihak



dalam proses konsultasi publik maka digunakan beberapa media fasilitasi seperti penggunaan kertas meta plan, kertas flip chard, dan papan flip chard. Selain itu dilakukan diskusi dalam bentuk kelompok yang terfokus



22



(focus group discussion) untuk membahas beberapa isu secara khusus dengan anggota yang terbatas daripada model diskusi publik terbuka (public hearing). Kelebihan metode ini agar diskusi mengenai beberapa isu spesifik dapat dilakukan secara khusus dan tajam dengan peserta yang terbatas, sehingga dialog dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih efektif. Dengan cara ini, keberatan publik atas hasil penyusunan diharapkan dapat ditanggapi melalui dialog yang konstruktif. 1.3.3.2 Metode Analisis Data Proses Analisa dilakukan dilakukan pada beberapa tahap, khususnya pada tahap analisis data tabel DIKPLHD dan penentuan isu-isu perioritas, dimana teknik analisa yang digunakan antara lain : a. Analisis skoring dengan skala likert Skala likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur persepsi, sikap atau pendapat seseorang atau kelompok mengenai sebuah peristiwa atau fenomena sosial, berdasarkan definisi operasional yang telah ditetapkan oleh peneliti. Skala ini merupakan suatu skala psikometrik yang biasa diaplikasikan dalam angket dan paling sering digunakan untuk riset yang berupa survei, termasuk dalam penelitian survei deskriptif. Skala likert digunakan pada proses penentuan isu perioritas. b. Analisis DPSIR (Driver - Pressure-State -Impact-Response) Analisa DPISR digunakan guna mengidentifikasi dampak dan resiko terhadap lingkungan di Provinsi Sulawesi Selatan. DPSR merupakan metode dalam melakukan analisis sistem untuk mengamati masalah lingkungan dan menemukan akar permasalahan beserta mengidentifikasi resiko dari dampak yang telah ditimbulkan. DPSIR secara terminologi merupakan cara penilaian terhadap perkembangan sosial & ekonomi (Driver) dalam mengendalikan tekanan (Pressure) terhadap lingkungan dan, sebagai konsekuensinya, adalah bentuk (State) dari perubahan lingkungan. Hal ini akan menyebabkan dampak (Impact) pada sistem sosial yang pada



23



akhirnya menimbulkan respon (Response) masyarakat sebagai umpan balik terhadap Driver/Pressure/State/Impact. c. Analisis kualitatif (deskriptif comparatif) Analisa kualitatif digunakan dalam analisis kinerja untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan perumusan alternative rekomendasi penyempurnaan kebijakan kedepannya. Secara umum analisa kualitatif yang digunakan pada kajian ini adalah teknik analisa deskriptif comparative dengan membandingkan teori-teori mengenai pembangunan berkelanjutan yang ada dikaitkan dengan kondisi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam analisa kualitatif. Landasan teori yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan dimanfaatkan sebagai pilar topangan dalam bahasan Analisa yang disusun. Landasan teori bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Analisa kualitatif berawal dari dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu deskripsi berdasarkan hasil komparasi sumber – sumber yang menjadi landasan. 1.4 Maksud dan Tujuan Penyusuan DIKPLHD Penyusunan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah



dimaksudkan untuk mendokumentasikan perubahan dan



kecenderungan kondisi lingkungan dimana pelaporan yang rutin dan akurat akan menjamin akses informasi lingkungan yang terkini dan akurat secara ilmiah bagi publik, masyarakat umum termasuk juga beberapa kelompok masyarakat. dengan kepentingan tertentu, sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat lanjut, kelompok industri, pengambil keputusan, perencana dan pengelola sumber daya alam, media cetak, dan elektronik, serta lembaga Internasional. Adapun tujuan



secara umum yang diperoleh dari penyusunan



Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah : a. Telah tersedianya referensi dan data dasar, tentang kondisi dan kecenderungan perubahan lingkungan hidup di Provinsi Sulawesi



24



Selatan, sebagai bahan masukan dalam proses pengambilan keputusan pada semua tingkat dalam rangka mempertahankan proses ekologis serta meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. b. Meningkatnya mutu informasi lingkungan hidup sebagai bagian dari sistem pelaporan publik dan bentuk akuntabilitas yang merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. c. Telah tersedianya media peningkatan kesadaran dan pemahaman akan kecenderungan kondisi lingkungan bagi setiap pihak, baik dari masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah, untuk senantiasa memelihara dan menjaga kualitas lingkungan hidup di Provinsi Sulawesi Selatan serta mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan. d. Memfasilitasi pengukuran kemajuan kinerja pengelolaan lingkungan sehingga



pelaporan



keadaan



lingkungan



yang



berhasil,



telah



dipergunakan untuk berbagai keperluan antara lain : 



Merumuskan kebijakan dalam penyusunan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2023 dan Rencana Strategis Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2023.







Sumber analisis data base pada tahapan penyusunan KLHS dan Dokumen Lingkungan lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan.



1.5 Ruang Lingkup Penulisan DIKPLHD Adapun ruang lingkup penulisan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan ini meliputi 5 bab, antara lain : BAB I



Mengemukakan secara umum latar belakang, profil Sulawesi Selatan, gambaran singkat penyusunan dan perumusan isu prioritas, maksud dan tujuan penulisan serta ruang lingkup penulisan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah.



25



BAB II Memuat informasi analisis Driver, Pressure, State, Impact dan



Response isu lingkungan hidup daerah yang meliputi tata guna lahan, kualitas air, kualitas udara, resiko bencana, dan perkotaan BAB III Memuat informasi isu prioritas lingkungan hidup daerah, termasuk perumusan isu prioritas yang prosesnya dimulai dari tahapan penyaringan isu hingga proses analisis untuk menetapkan isu prioritas. BAB IV Mengemukakan inovasi daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup muatan yang ada berisi inisiatif – inisiatif yang dilakukan oleh kepala daerah dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup. BAB V Memuat simpulan dan saran tindak lanjut termasuk implikasi kepada kebijakan kepala daerah.



26



1



BAB II (Analisis Driving Force, Pressure, State, Impact, dan Response Isu Lingkungan Hidup Daerah)



Kondisi Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan yang dikaji dalam Status Lingkungan Hidup Daerah ini



adalah mencakup kondisi komponen



lingkungan sumberdaya alam: Lahan dan Hutan, Keanekaragaman Hayati, Air, Udara, Pesisir Pantai dan Laut, Iklim, dan Bencana Alam. Perubahan kondisi komponen lingkungan hidup tersebut akan ditinjau dalam kurun waktu tertentu (sesuai data yang tersedia) sehingga dapat diketahui secara aktual kondisi terkini dan kecenderungan perubahannya. 2.1.



Tata Guna Lahan Kawasan hutan di Sulawesi Selatan lebih kurang 58,30 % dari total



luas provinsi seluas



2.725.796 Ha. Isu utama terkait dengan lahan dan



hutan Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir tidak mengalami perubahan, yaitu: 1. Alih fungsi lahan (okupasi)/pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan serta kaitannya dengan penurunan Gas Rumah Kaca (GRK). 2. Lahan kritis yang cukup luas di beberapa daerah yang belum diikuti upaya rehabilitasi yang signifikan yaitu Kabupaten Luwu Timur, Luwu Utara, Gowa. 3. Kerusakan hutan pada kabupaten/kota.



2



2.1.1. Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan (Lahan Utama). Penggunaan lahan adalah segala campur tangan manusia, baik secara permanen maupun secara siklus terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumber daya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya baik secara kebendaan maupun spiritual ataupun kedua-duanya. Dalam rangka pembangunan nasional dan sektoral pengelolaan sumber daya lahan dan aspek pendukungnya menempati posisi yang semakin penting. Kenyataan ini ditunjukkan dengan makin tingginya kegiatan pemerintah dan masyarakat yang langsung berhubungan dengan fungsi lahan. Penggunaan lahan berubah menurut ruang dan waktu,hal ini disebabkan karena lahan sebagai salah satu sumber daya alam merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bertambahnya jumlah manusia yang mendiami permukaan bumi diikuti perkembangan kegiatan usaha dan budayanya maka semakin bertambah pula tuntutan kehidupan yang dikehendaki untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Semakin meningkatnya kebutuhan manusia akan persediaan lahan yang cukup untuk menopang kehidupan manusia diatasnya, maka diperlukan usaha –usaha pengelolaan penggunaan lahan. Analisis perubahan penggunaan lahan sangat penting karena penggunaan lahan tersebut bersifat dinamis. Secara berkala cepat atau lambatnya aspek penggunaan lahan akan dipengaruhi oleh faktor alam dan karakter manusia didalamya. Pinggiran kota adalah daerah yang mempunyai sifat dualistik, yaitu mempunyai sifat kekotaan dan sifat kedesaan. Pada umumnya daerah piggiran kota akan mengalami perkembangan fisik cukup signifikan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Perkembangan kota adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Penggunaan lahan utama yang paling dominan di Sulawesi Selatan berupa lahan kering (2.101.105,59 Ha), hutan (1.333.799,57 Ha), sawah (665.445,51 Ha), badan air (238.068,16 Ha), non pertanian (104.767,32



3



Ha), dan Perkebunan (59.711,39 Ha). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Baja et al. (2011), perubahan penggunaan lahan di Provinsi Sulawesi Selatan yang cukup besar terjadi untuk 2 dekade yang lalu adalah dari semak dan kebun menjadi persawahan, dan hanya sebahagian kecil untuk permukiman dan industri. Namun, akhir-akhir ini perubahan penggunaan lahan kebun dan semak termasuk persawahan telah banyak terjadi, dan umumnya menjadi kawasan perkotaan, khususnya permukiman dan industri. Berdasarkan penelitian tersebut dinamika tersebut sangat ditentukan oleh beberapa faktor pendorong (driving faktor), diantaranya (i) factor aktor, (ii) faktor fisik, (iii) faktor ekonomi, (iv) faktor social budaya, dan (v) factor institusional dan kebijakan. Kabupaten Bone merupakan daerah yang memiliki lahan kering terluas (296.318,98 Ha), kemudian disusul Kabupaten Luwu Utara (493.215,69 Ha) dan Luwu Timur (360.434,04 Ha). Bukan hanya itu, Kabupaten Luwu Utara (493.215,69 Ha) dan Luwu Timur (360.434,04 Ha) juga merupakan Kabupaten yang memiliki luas kawasan hutan yang terbesar di Sulawesi Selatan, serta Luwu Timur yang mendominasi luas lahan badan air (92.172,19 Ha) dan luas lahan non pertanian (18.044,64 Ha). Sementara untuk persawahan yang memiliki potensi penghasil padi terbesar yaitu Kabupaten Wajo (111.882,92 Ha) dan Kabupaten Bone (97.436,47 Ha).



4



Persentase Menurut Penggunaan Lahan Utama 90,00 80,00



Persentase (%)



70,00 60,00



50,00 40,00 30,00 20,00



10,00 0,00



Persentase Lahan Non Pertanian (%)



Persentase Lahan Sawah (%)



Persentase Lahan Kering (%)



Persentase Lahan Perkebunan (%)



Persentase Lahan Hutan (%)



Persentase Lahan Badan Air (%)



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-2 (a) DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.1.1. Persentase Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



5



Sumber: Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar



Gambar 2.1.2. Peta Penggunaan Lahan Utama di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



6



2.1.2. Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kebutuhan kedua-duanya. Pola penggunaan lahan mencerminkan kegiatan manusia dari wilayah yang mendukungnya. Semakin tinggi kegiatan masyarakat maka semakin cepat pula terjadinya perubahan-perubahan penggunaan lahan. Evolusi penggunaan lahan di Indonesia selalu dimulai dari wilayah lahan yang lingkungan fisiknya alamnya paling baik. Setelah wilayah dengan lingkungan fisik alamnya paling baik itu habis dimanfaatkan, lalu bergerak ke lahan yang marjinal. Dalam prosesnya, perubahan bentuk penggunaan lahan pertanian senantiasa berkaitan erat dengan ekspansi atau perluasan kawasan perkotaan sebagai wujud fisik dari proses urbanisasi. Faktor non fisik yang memberikan pengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan di wilayah pinggiran kota, yaitu faktor sosial, faktor kultural, faktor sarana dan prasarana, dan faktor kebijakan pemerintah Klasifikasi kelas penggunaan lahan dilakukan berdasarkan hasil interpretasi citra secara visual .Hasil interpretasi data citra satelit tersebut adalah penutup/penggunaan lahan yang diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Tubuh air merupakan semua kenampakan perairan, termasuk dalam klas ini adalahsungai, danau dan empang. 2. Hutan, seluruh hutan yang tumbuh dan berkembang pada habitat lahan kering maupun lahan basah/ payau. 3. Tegalan/ladang, merupakan area yang digunakan untuk kegiatan pertanian dengan jenis tanaman semusim di lahan kering. 4. Perkebunan/kebun, lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama dua tahun. 5. Pemukiman dan tempat kegiatan, areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan



7



tempat kegiatan yang mendukung kehidupan, dicirikan oleh adanya substitusi penutup lahan yang bersifat alamaiah atau semialami oleh penutup lahan yang bersifat artifisial dan sering kedap air. 6. Sawah, areal pertanian yang digenangi air atau diberi air, baik dengan teknologi pengairan, tadah hujan, maupun pasang surut. Areal pertanian dicirikan oleh pola pematang, dengan ditanami jenis tanaman berumur pendek (padi). 7.



Lainnya termasuk dalam klas ini adalah penutup lahan berupa semak/belukar, padang rumput, dan tanah terbuka. Setiap daerah mempunyai aturan masing-masing yang menetapkan



suatu kawasan. Dilhat pada gambar di bawah ini, pada tahun 2016 yang mengalami peningkatan perubahan lahan yaitu pada sawah dan pada tahun 2017 yaitu pemukiman. Sementara yang mengalami penurunan yaitu pada tahun 2016 pertanian lahan kering campur semak, dan pada tahun 2017 yaitu tanah terbuka. Luas sawah pada tahun 2016 (454.946,06 Ha) dan pada tahun 2017 (502.008,93 Ha). Selain itu pemukiman juga mengalami peningkatan yaitu dari 20.691,82 Ha pada tahun 2016 menjadi 28.245,05 Ha pada tahun 2017. Selanjutnya untuk yang mengalami penurunan yaitu lahan kering campur semak 486.087,80 Ha (2016) menjadi 442.077,58 Ha (2017), juga untuk tanah terbuka pada tahun 2016 seluas 1.723,77 Ha menjadi 738,31 pada tahun 2017.



8



Badan Air



-40.000,00 -60,00



-60.000,00 -80,00



60.000,00 60,00



40.000,00 40,00



20.000,00



-20.000,00



Badan Air Bandara/Pelabuhan Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Hutan Tanaman Pemukiman Perkebunan Pertambangan Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Campur… Rawa Savana Sawah Semak Belukar Semak Belukar Rawa Tambak Tanah Terbuka Transmigrasi



Transmigrasi



Tanah Terbuka



Tambak



Semak Belukar Rawa



Semak Belukar



Sawah



Savana



Rawa



Pertanian Lahan Kering Campur…



Pertanian Lahan Kering



Pertambangan



Perkebunan



Pemukiman



Hutan Tanaman



Hutan Mangrove Sekunder



Hutan Mangrove Primer



Hutan Lahan Kering Sekunder



Hutan Lahan Kering Primer



Bandara/Pelabuhan



Luas Perubahan Penggunaan di Lahan Pertanian Persentase Perubahan Penggunaan di Lahan Pertanian



20,00



0,00 0,00



-20,00



-40,00



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-13 (a) DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.3. Persentase Perubahan Penggunaan Lahan Utama di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



9



Sumber: Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar



Gambar 2.1.4. Peta Perubahan Penggunaan Lahan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



10



2.1.3. Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Statusnya Luas kawasan hutan di Sulawesi Selatan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.434/Menhut-II/2009 Tanggal 23 Juli 2009 dan Perda No.9 Tahun 2009 Tentang RTRWP Sulsel seluas ±2.610.803,92 Ha atau sekitar 58,32 % dari Total Wilayah Sulsel, yang Berdasarkan Fungsinya terdiri atas 8 yaitu Hutan Produksi (640.577,03 Ha), Hutan Lindung (1.219.934,74 Ha), Hutan Nasional (43,556.72 Ha), Hutan Wisata Alam (22,837.20 Ha), Hutan Buru (4.159,37 Ha), Cagar Alam (91.228,59 Ha), Suaka Margasatwa (2.673,21 Ha), Taman Hutan Raya (4.203,01 Ha).



Berdasarkan Status Hutan terdiri atas 5 yaitu Hutan Negara/Kawasan Hutan, Hutan Hak/Hutan Rakyat, Hutan Kota, Taman Hutan Raya (4.203,01 Ha), Taman Keanekaragaman Hayati.



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-3 DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.5. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi dan Statusnya di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



2.1.4. Kawasan



Lindung



Berdasarkan



RTRW



dan



Tutupan



Lahannya Luas kawasan lindung di Sulsel berdasarkan RTRW baik yang didaratan maupun di perairan adalah 1.872.503,16 Ha(sumber : Tabel-1



(a) DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018). Dari total kawasan lindung tersebut, luas hutan lindung adalah kawasan lindung terluas yaitu 1.219.934,74 Ha. Kemudian diikuti kawasan Taman Nasional dan Taman



11



Nasional Laut Seluas 472.553,95 Ha. Kawasan Cagar Alam dan Cagar Alam Laut seluas 91.228,59 Ha. Kawasan Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut seluas 66.279,71 Ha. Kawasan Rawan Banjir seluas 15.673,59 Ha. Kawasan Taman Buru seluas 4.159,37 Ha. Dan kasawan yang terkecil adalah Suaka Margasatwa dan Suaka Margasatwa Laut yaitu seluas 2.673,21 Ha. Luas Kawasan Lindung Berdasarkan RTRWP Kawasan Hutan Lindung Suaka Margasatwa dan Suaka Margasatwa Laut Cagar Alam dan Cagar Alam Laut Taman Nasional dan Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut Kawasan Rawan Banjir Taman Buru



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-1 (a) DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.6. Persentase Luas Kawasan Lindung Berdasarkan RTRW di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Tutupan lahan pada setiap kawasan lindung diperlihatkan pada Tabel-1 (a) DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018, umumnya penutupan lahan berupa lahan vegetasi sekitar 70,40%, kemudian area terbangun 0,22%, tanah terbuka 2,63%, dan badan air 26,75%. Pada kawasan hutan lindung 93,55% tutupan lahannya berupa lahan vegetasi dan sisanya area terbangun 0,26%, tanah terbuka 3,94%, dan badan air 2,25%. Hal ini menggambarkan bahwa pada kawasan hutan lindung telah terdapat berbagai aktivitas masyarakat baik berupa penambangan, dan pemukiman. Meningkatnya aktivitas masyarakat disekitar kawasan lindung didorong oleh kegiatan perambahan hutan atau alih fungsi lahan yang dilakukan masyarakat di sekitar kawasan hutan.



12



Persentase Tutupan Lahan Kawasan Lindung Taman Buru Kawasan Rawan Banjir Taman Wisata Alam dan Taman Wisata… Taman Nasional dan Taman Nasional Laut Cagar Alam dan Cagar Alam Laut Suaka Margasatwa dan Suaka Margasatwa… Kawasan Hutan Lindung Vegetasi



Area Terbangun



10



20



30



40



50



Tanah Terbuka



60



70



80



90 100



Badan Air



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-1 (a) DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.7. Persentase Penutupan Lahan untuk Setiap Kawasan Lindung di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Untuk kawasan Suaka Margasatwa dan Suaka Margasatwa Laut, Cagar Alam dan Cagar Alam Laut, Kawasan Rawan Banjir, dan Kawasan Taman Buru masing-masing persentase luas penutupannya didominasi oleh tutupan vegetasi yaitu



100%, 99,16%, 89,11% dan 99,99%. Hal ini



menggambarkan bahwa kawasan tersebut diatas masih memiliki penutupan lahan yang sesuai dengan peruntukannya. Berbeda halnya dengan kawasan Taman Nasional dan Taman Nasional Laut, Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut yang memang kawasannya sebagian besar di perairan jadi tutupan lahannya didominasi badan air. Untuk luas kawasan budidaya berdasarkan RTRW di Sulawesi selatan sekitar 2,011,293.17 Ha. Bila dibandingkan dengan kawasan lindung maka luas kawasan budidaya lebih besar dibandingkan kawasan lindung. Tutupan lahan di Kawasan budidaya masih didominasi oleh lahan vegetasi yaitu mencapai 90,59%, kemudian diikuti Badan Air 5,47% dari luas total kawasan Budidaya (sumber : sumber : Tabel-1 (b) DIKPLH Provinsi Sulsel



Tahun 2018). Tutupan lahan vegetasi pada kawasan budidaya umumnya berupa perkebunan, perkebunan campuran, sawah, dan hutan.



13



Sumber: - Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar - RTRWP Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2019



Gambar 2.1.8. Peta Penutupan di Setiap Kawasan Lindung Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



14



2.1.5. Lahan Kritis Istilah lahan kritis dipakai untuk menyebut kondisi suatu lahan yang telah mengalami degradasi sehingga lahan tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya. Suatu lahan dinilai sebagai lahan kritis bila usaha untuk mengambil manfaat dari produktivitasnya tidak sebanding dengan hasil produksinya. Meskipun dikelola, produktivitas lahan kritis sangat rendah, bahkan dapat terjadi hasil produksi yang diterima jauh lebih sedikit daripada biaya produksinya. Lahan kritis bersifat tandus, gundul, dan tidak dapat digunakan untuk usaha pertanian, karena tingkat kesuburannya sangat rendah. Lahan kritis merupakan salah satu indikator adanya degradasi lingkungan sebagai akibat dari berbagai jenis pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana. Dampak lahan kritis sesungguhnya tidak hanya



pemunduran



sifat-sifat



tanah,



namun



juga



mengakibatkan



penurunan fungsi konservasi, fungsi produksi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis, adalah sebagai berikut. 1. Genangan air yang terus-menerus seperti di daerah pantai dan rawarawa. 2. Kekeringan, biasanya terjadi di daerah bayangan hujan. 3. Erosi tanah atau masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan, dan daerah miring lainnya. 4. Pengelolaan



lahan



yang



kurang



memerhatikan



aspek-aspek



kelestarian lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi baik di dataran tinggi, pegunungan, daerah yang miring maupun di dataran rendah. 5. Masuknya material yang dapat bertahan lama ke lahan pertanian, misalnya plastik. Plastik dapat bertahan 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kelestarian lahan pertanian. 6. Terjadinya pembekuan air, biasanya terjadi di daerah kutub atau pegunungan yang sangat tinggi. 7. Masuknya zat pencemar (misal pestisida dan limbah pabrik) ke dalam tanah sehingga tanah menjadi tidak subur.



15



Pemetaan lahan kritis sangat penting untuk dilakukan agar pelaksanaan kegiatan rehabilitasi bisa dilaksanakan secara optimal dan permasalahan yang ditimbulkan dari keberadaan lahan kritis bisa teratasi. Lahan yang dianalisis tingkat kekritisannya di bagi menjadi dua, yaitu lahan yang ada di dalam kawasan hutan maupun lahan yang berada di luar kawasan hutan. Kawasan hutan yang dimaksud adalah kawasan hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Sedangkan untuk kelas lahan kritis dianalisis berdasarkan kelas kategori kritis dan sangat kritis. Untuk Provinsi Sulawesi Selatan luas lahan yang berada dalam kategori kelas kritis di dominasi oleh lahan yang berada diluar kawasan hutan dengan total luas 375.949,05 ha. Sedangkan lahan yang berada didalam kawasan hutan seluas 23.445,91 ha. Namun berbeda halnya dengan kelas kategori yang sangat kritis, luas lahan pada kategori ini di dominasi oleh lahan yang berada didalam kawasan hutan dengan luas 393.548,29 ha. Hal ini perlu perhatian menjadi perhatian khusus oleh Provinsi Sulawesi Selatan kepada daerah yang memiliki lahan kritis dan melakukan upaya-upaya perbaikan agar luas lahan kritis tersebut bisa berkurang. Berikut ini adalah persentase lahan kritis yang ada didalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan. Luas Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan Hutan



Luas Lahan Sangat Kritis di Dalam dan Luar Kawasan Hutan



Hutan Produksi



Hutan Lindung



Hutan Produksi



Hutan Lindung



Hutan Konservasi



Luar Kawasan Hutan



Hutan Konservasi



Luar Kawasan Hutan



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-6 DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.9. Persentase Lahan Kritis dan Sangat Kritis di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



16



Untuk



Kabupaten/Kota



yang



tergolong



kritis



diperoleh



5



kabupaten/kota yang paling luas dibanding daerah lainnya yaitu Kabupaten Luwu Timur (7.319,08 Ha), Kabupaten Bone (3.016,34 Ha), Kabupaten Bulukumba (2.777,35 Ha), Kabupaten Gowa (2.593,12 Ha) dan Kabupaten Pinrang (2.095,92 Ha). Selain dari yang telah disebutkan di atas, juga terdapat beberapa Kabupaten/Kota yang tergolong dalam kerusakan kawasan hutan yang sangat kritis, diantaranya Kabupaten Tana Toraja (55.920,46 Ha), Kabupaten Bone (46.711,53 Ha), dan Kabupaten Gowa (40.790,58 Ha). Tabel di bawah ini menunjukkan luas lahan kritis di dalam dan luar kawasan hutan Provinsi Sulawesei Selatan.



17



Tabel 2.1.1. Luas Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 No



(1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24



Kabupaten/ Kota



(2) Bantaeng Barru Bone Bulukumba Enrekang Gowa Jeneponto Luwu Luwu Timur Luwu Utara Makassar Maros Palopo Pangkep Parepare Pinrang Selayar Sidrap Sinjai Soppeng Takalar Tana Toraja Toraja Utara Wajo



Hutan Produksi



Kritis (Ha) Hutan Hutan Lindung Konservasi



(3) 6,95 1.423,35 125,90 862,85 14,86 6.951,57 434,95 91,15 182,37 60,73 2.095,92 904,69 1,59 837,41 123,19



(4) 1.592,99 2.777,35 273,20 166,58 124,80 32,65 343,38 209,81 4,00 98,59 61,29 61,49 207,86 693,54 670,79 3,51 5,14 121,44



(5) 1.563,69 24,13 37,19 33,47 231,53 -



Luar Kawasan Hutan (6) 11.130,59 15.116,19 24.611,08 25.559,86 29.336,46 9.329,67 5.879,87 46.583,56 5.502,15 25.820,78 463,96 15.037,98 4.876,85 4.768,41 1.091,66 5.879,90 10.564,96 12.018,99 26.154,13 15.039,44 1.700,90 42.394,78 24.943,50 12.144,29



Hutan Produksi



Sangat Kritis (Ha) Hutan Hutan Lindung Konservasi



(7) 3.044,67 6.462,84 33.342,98 1.376,23 4.240,10 30.956,91 324,77 6.870,35 17.576,86 15.790,34 15.070,65 70,01 3.354,07 200,74 10.699,56 1,46 8.967,15 2.693,40 3.802,63 2.918,34 12.241,80 2.628,45



(8) 317,81 19.520,99 13.320,67 1.207,60 21.135,93 8.653,00 3.886,42 12.002,12 11.823,17 8.129,63 4.782,37 836,60 4.741,51 1.436,11 20.098,24 421,26 2.976,62 6.183,11 5.803,08 387,11 43.678,65 4.625,30 484,86



(9) 47,87 1.180,68 60,16 635,81 4.703,53 459,23 6.454,62 222,77 697,13 -



Luar Kawasan Hutan (10) 64,04 6.291,26 22.042,27 4.370,98 16.696,66 2.622,54 9.380,32 14.787,18 9.353,40 5.751,29 353,66 2.753,58 58,97 3.778,99 34,25 10.987,28 4.001,63 2.271,56 1.226,04 5.441,66 5.198,20 14.442,97 8.596,96 434,48



Penyebab Lahan Kritis



(11) N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-6 DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



18



Sumber: Olahan Data Lahan Kritis Tahun 2018 dan Arahan Ruang Provinsi Sulawesi Selatan



Gambar 2.1.10. Peta Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



19



2.1.6. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai provinsi maritim (pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), Sulawesi Selatan memiliki pesisir dan pantai yang cukup panjang mulai dari pantai Barat, Selatan, hingga pantai Timur atau dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 18 kabupaten/kota diantaranya ditetapkan sebagai kabupaten/kota pesisir pantai dan laut. Sebagai provinsi pesisir pantai dan laut, Sulawesi Selatan memiliki kekayaan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang dengan segala keanekaragaman hayati yang hidup pada ketiga tipe ekosistem pesisir pantai dan laut yang dimaksud. Kelangsungan hidup kekayaan alam mangrove, padang lamun, dan terumbu karang banyak bergantung pada kualitas air perairan yang pada umumnya tercemar baik oleh limbah domestik, limbah industri, maupun karena peralihan fungsi dan pengelolaan lahan pertanian yang tidak sesuai dengan persyaratan pengelolaan lingkungan. 2.1.6.1. Mangrove Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumberdaya alam pesisir yang potensial, baik sumberdaya alam hayati maupun non hayati. Diantara sumberdaya alam hayati tersebut adalah hutan mangrove, perikanan, terumbu karang dan lain sebagainya. Sedangkan sumberdaya non hayati di antaranya adalah mineral dan bahan tambang. Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi. Potensi tersebut disertai dengan kemudahan aksesibilitas, sehingga wilayah pesisir dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Sumberdaya pesisir memiliki peran penting dalam mendukung



pembangunan



ekonomi



daerah



dan



nasional



untuk



meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk. Salah satu wilayah pesisir yang berperan penting dalam pembangunan adalah hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove ini merupakan ciri khas dari wilayah pesisir yang ada di daerah tropis dan sub tropis. Dari sekitar 16.9 juta hektar hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 persen berada di Indonesia. Hutan mangrove tersebut



20



memberikan manfaat dan fungsi yang penting bagi kelangsungan hidup manusia sebagai pengguna sumberdaya. Keberadaan hutan mangrove memberikan kontribusi yang besar bagi manusia dan pembangunan serta keberlangsungan hewan yang hidup di dalamnya atau sekitarnya, bahkan bagi mahluk hidup yang hanya tinggal untuk sementara waktu. Secara ekologis, hutan mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan fisik, seperti penahan ombak, angin dan intrusi air laut, serta merupakan tempat perkembangbiakan bagi berbagai jenis kehidupan laut seperti ikan, udang, kepiting, kerang, siput, dan hewan jenis lainnya. Arti penting hutan mangrove dari aspek sosial ekonominya dapat dibuktikan dengan kegiatan masyarakat memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari kayu dan juga sebagai tempat wisata alam. Selain itu, hutan mangrove dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat nelayan dan petani tepian pantai yang kehidupannya sangat tergantung kepada sumberdaya alam dari hutan mangrove (Harahab, 2010). Pada gambar di bawah ini terlihat bahwa Kabupaten Luwu Timur kemudian Kabupaten Luwu Utara yang masing masing seluas 18.922,00 Ha dan 16. 538,00 Ha yang memiliki luas dan kerapatan tutupan mangrove yang terbesar. Untuk luasan wilayah dan kerapatan mangrove terkecil yaitu pada Kabupaten Pare-pare (22,00 Ha) dan Kabupaten Bantaeng (58,00). Dampak menurunan luasan kawasan mangrove terututama adalah menurunnya secara drastis produktifitas perikanan, terutama jenis kepiting dan krustaceae lainnya. Selain itu, degradasi mangrove juga mengurangi fungsi proteksi terhadap kekuatan hidro-oseanografi sehingga sebagian besar kawasan pesisi daratan mengalami abrasi dan intrusi air laut.



21



Parepare



Makassar



Luwu Timur



Maros



Sinjai



Palopo



Luwu



Luwu Utara



Pinrang



Wajo



Bone



Barru



Takalar



Pangkep



Jeneponto



Bantaeng



Bulukumba



20.000,00 18.000,00 16.000,00 14.000,00 12.000,00 10.000,00 8.000,00 6.000,00 4.000,00 2.000,00 -



Selayar



Luas (ha)



Luas dan Kerapatan Tutupan Mangrove



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-10 DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.11. Luas Mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



2.1.6.2. Padang Lamun Lamun adalah tumbuhan berbunga (spermatophyte) yang telah beradaaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut. Lamun tumbuh di perairan dangkal zona intertidal hingga daerah subtidal dengan kedalaman 40 m. Sekitar 60 jenis lamun,saat ini, diketahui tersebar di seluruh dunia. Jenis lamun tersebut dikelompokkan ke dalam enam familia dan 12 genus. Tujuh genus diantaranya tersebar di daerah tropis. Di Indonesia, lamun tumbuh membentuk tegakan monospesifik yang didominasi oleh satu spesies tunggal atau membentuk komunitas campuran (mixed meadows) dengan jumlah jenis lamun berkisar antara 2 spesies hingga 8 spesies. Total keseluruhan jenis lamun yang ditemukan di Indonesia saat ini berjumlah 12-13 spesies. Komunitas lamun berkembang di perairan dangkal, membentuk suatu habitat yang disebut Padang Lamun. Habitat ini menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis organisme laut. Struktur tiga dimensi yang dibentuk oleh kanopi, rhizoma dan akar lamun menjadi tempat menetap, berlindung, mencari makan, kawin, bertelur, memijah, membesarkan anak dan bagi berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut. Secara fisik, lamun mampu menstabilkan substrat (sedimen), menahan ombak dan menyerap bahan pencemar. Namun pada kenyataanya saat ini kerusakan lamun sudah sangat banyak terjadi yang dapat menyebabkan 22



tidak seimbangnya ekosistem di lautan. Kerusakan terbesar terlihat di Kabupaten Pangkep (1.813,00 Ha), Luwu Timur (64,88 Ha), Bulukumba (22,51 Ha), Takalar (5,00 Ha) dan Pinrang (2,20 Ha). Penyebab utama kerusakan kawasan padang lamun adalah kegiatan reklamasi, penggalian pasir, sedimentasi,



abrasi,



tumpukan sampah padat, dan limbah cair. Secara agregat peningkatan kegiatan antropogenik yang menyebabkan tingginya kekeruhan (TSS) yang secara langsung menggangu kesehatan padang lamun (Amri dkk., 2007). Pengaruh sampah laut terhadap kondisi padang lamun di P2K Sulawesi Selatan sudah mencapai pada tahap mengkhawatirkan (Mandasari, 2014). Hasil Penelitian Mandasari (2017) menunjukkan bahwa sampah laut yang yang menutupi lamun mengakibatkan penurunan penutupan lamun, kerapatan lamun, perubahan warna daun lamun, serta menghambat pertumbuhan lamun khususnya jenis Halodule uninervis. Luas Padang Lamun Provinsi Sulawesi Selatan 4.000,00 3.500,00



Luas (ha)



3.000,00 2.500,00 2.000,00 1.500,00 1.000,00 500,00



Parepare



Makassar



Luwu Timur



Maros



Sinjai



Palopo



Luwu Utara



Luwu



Pinrang



Wajo



Bone



Barru



Pangkep



Takalar



Jeneponto



Bantaeng



Bulukumba



Selayar



-



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-11 (a) DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.12. Luas Padang Lamun di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



23



Parepare



Makassar



Luwu Timur



Maros



Sinjai



Palopo



Luwu Utara



Luwu



Pinrang



Wajo



Bone



Barru



Pangkep



Takalar



Jeneponto



Bantaeng



Bulukumba



100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 -



Selayar



Persentase (%)



Persentase Kerusakan Padang Lamun Provinsi Sulawesi Selatan



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-11 (a) DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.13. Persentase Kerusakan Padang Lamun di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



2.1.6.3. Terumbu Karang Terumbu karang adalah batuan sedimen kapur yang terbentuk dari kalsium karbonat



yang dihasilkan oleh biota laut penghasil kalsium



karbonat yang kemudian tersedimentasikan. Sedimentasi yang terjadi pada terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Didalam dan sekitar terumbu karang hidup beraneka ragam biota yang umumnya merupakan hewan avertebrata. Hewan – hewan tersebut adalah seperti crustacea, siput dan kerang-kerangan, bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut, ikan – ikan kecil, ular laut, penyu laut, ganggang dan juga alga. Berbagai manfaat dapat dihasilkan oleh terumbu karang tetapi perlu diatur pengelolaannya karena terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal yang ada pada iklim tropis yang paling kompleks dan produktif tetapi juga merupakan ekosistem yang paling rentan terhadap perubahan lingkungan dan juga daya dukung yang terbatas. Terumbu karang banyak memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan dan lingkungan biota yang hidup di sekitarnya dan juga bagi kehidupan manusia. Nerdasarkan manfaat yang diberikan, manfaat terumbu karang dibagi menjadi tiga kategori. Diantaranya adalah:



24



1. Manfaat terumbu karang secara ekologi dapat diartikan sebagai manfaat terumbu karang dalam hal hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. 2. Secara



sosial



terumbu



karang



dapat



dimanfaatkan



sebagai



penunjang kegiatan pendidikan dan penelitian agar ekosistem di dalamnya dan sekitarnya, serta tumbuhan dan hewan laut yang ada dalam ekosistem terumbu karang tersebut dapat lebih dikenal sehingga mudah untuk dipelajari. Hal ini akan sangat bermanfaat sebagai pengetahuan agar tindakan pengelolaan dan pelestarian yang dilakukan terumbu karang lebih tepat sehingga kerusakan terumbu karang dapat diatasi dengan mudah. 3. Terumbu karang secara ekonomi, yaitu terumbu karang dapat dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi masyarakat, baik masyarakat lokal maupun masyarakat asing yang ingin melihat keindahan yang dihasilkan oleh ekosistem terumbu karang. Selain itu, manfaat secara ekonomi juga dapat dilihat dari terumbu karang merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya berbagai jenis ikan yang dapat ditangkap untuk kebutuhan pangan manusia. Luas kawasan terumbu karang di Provinsi Sulawesi Selatan seluas lebih dari 128.881,12 Ha. Terumbu karang khususnya di Sulawesi Selatan juga terdapat di beberapa daerah pesisir, yang terluas tutupan lahan dengan kondisi terumbu karang yang paling baik yaitu pada Kabupaten Selayar (74.722,00 Ha dengan persentase tutupan sebesar 79,64% dan dengan luas kerusakan 13.146,20 Ha), kemudian Kabupaten Pangkep (22.664,00 Ha dengan persentase 0,50% dan dengan luas kerusakan sebesar 187,00 Ha). Umum kerusakan terumbu karang disebabkan oleh destructive fishing, utamanya penggunaan bom ikan dan bius ikan. Penggunaan bom ikan sudah digunakan nelayan di Sulewesi Selatan sejak tahun 1948 (Pet-Soede, 1998). Menurut Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016), pelanggaran destructive fishing tertinggi terjadi di Perairan Sulawesi



25



Selatan. Hasil penelitian Asri (2017) dalam Satria (2017) menyebutkan bahwa bahan peledak bom ikan (Pupuk Cap Matahari) dipasok dari Malaysia melalui Belitung, Kep. Kangean, P. Sabalana dan kemudian tiba di Takabonerate (Kab. Selayar). Selanjutnya, Koordinator Nasional Destuctive Fishing Watch Indonesia, Moh. Abdi menyebutkan bahwa 64% nelayan di Kepulauan Spermonde mengangkap ikan dengan merusak lingkungan, 68% di antaranya menggunakan bom, 27% bius dan 5% pelaku keduanya (Berita-Sulsel.Com, 2016). Secara umum, kondisi terumbu karang yang tergolong baik sebesar 62,07%; sedang sebesar 23,77%; dan dalam kondisi rusak sebesar 15,15%.



Parepare



Makassar



Luwu Timur



Sinjai



Maros



Palopo



Luwu



Luwu Utara



Pinrang



Wajo



Bone



Barru



Pangkep



Takalar



Jeneponto



Bantaeng



Selayar



100.000,00 80.000,00 60.000,00 40.000,00 20.000,00 -



Bulukumba



Luas (ha)



Luas Tutupan Terumbu Karang Provinsi Sulawesi Selatan



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-11 (a) DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.14. Luas Tutupan Terumbu Karang di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Persentase Kondisi Terumbu Karang di Provinsi Sulawesi Selatan Rusak ; 15,15



Sedang ; 23,77



Baik ; 61,07



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel-11 (a) DIKPLH Provinsi Sulsel Tahun 2018



Gambar 2.1.15. Persentase Kondisi Terumbu Karang di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



26



2.1.7. Kerusakan Tanah di Lahan Kering Hasil evaluasi kerusakan tanah di lahan kering di 11 (sebelas) lokasi kabupaten Pangkep secara umum hasil pemantauan masih dapat digolongkan sebagai status tidak melebihi baku mutu kecuali 2 parameter yaitu ketebalan solum dan derajat pelulusan air. Secara umum disemua lokasi pemantauan memiliki status kerusakan tanah rusak ringan. Jenis tanah dan sistem pengelolaan lahan mempunyai dampak pada kerusakan lahan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengamatan dan analisis tanah menunjukkan beberapa parameter melewati ambang baku kerusakan tanah, yaitu: parameter ketebalan solum dan derajad pelulusan air. Tabel 2.1.2 Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Kering di Kabupaten Bantaeng No



(1) 1 2 3.A 3.B 4 5 6 7 8 9 10



parameter



(2) ketebalan solum kebatuan permukaan komposisi fraksi komposisi fraksi berat isi forositas total derajat pelulusan air pH (H2O) 1 : 2,5 daya hantar listrik/ DHL Redoks jumlah mikroba



Ambang kritis erosi (PP 150/2000)



Besaran Erosi (mm/ 10 tahun)



Status Melebihi/tidak



(3)



(4)



(5)



< 20 cm > 40% < 18% koloid > 80% pasir kuarsitik > 1,4g/ cm3 < 30%; > 70% 8,0 8,5 > 4,0 mS/cm < 200 mV < 102 cfu/g tanah



25 cm 25% 10% 75% 0,09 g/cm³ 40% 6 cm/Jam 7,6 3,4 mS/cm -



Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak



Tabel 2.1.3. Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Kering di Kepulauan Selayar



No



(1) 1 2 3.A 3.B 4 5 6 7 8 9 10



parameter



(2) ketebalan solum kebatuan permukaan komposisi fraksi komposisi fraksi berat isi forositas total derajat pelulusan air pH (H2O) 1 : 2,5 daya hantar listrik/ DHL Redoks jumlah mikroba



Ambang kritis erosi (PP 150/2000) (3) < 20 cm > 40% < 18% koloid > 80% pasir kuarsitik > 1,4g/ cm3 < 30%; > 70% 8,0 8,5 > 4,0 mS/cm < 200 mV < 102 cfu/g tanah



Besaran Erosi (mm/ 10 tahun) (4) 30 cm 0,20% 0,914 0,04 g/cm³ 0,9811 5 0,1033 mS/cm 286 mV -



Status Melebihi/tidak (5) Melebihi Tidak Melebihi Tidak Melebihi Tidak Tidak Melebihi -



27



Tabel 2.1.4. Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Kering Kepulauan Selayar No



parameter



(1) 1 2 3.A 3.B 4 5 6 7 8 9 10



(2) ketebalan solum kebatuan permukaan komposisi fraksi komposisi fraksi berat isi forositas total derajat pelulusan air pH (H2O) 1 : 2,5 daya hantar listrik/ DHL Redoks jumlah mikroba



Ambang kritis erosi (PP 150/2000)



Besaran Erosi (mm/ 10 tahun)



Status Melebihi/tidak



(3)



(4)



(5)



< 20 cm > 40% < 18% koloid > 80% pasir kuarsitik > 1,4g/ cm3 < 30%; > 70% 8,0 8,5 > 4,0 mS/cm < 200 mV < 102 cfu/g tanah



26 cm 0,024 0,7805 0,13 g/cm³ 0,9286 6,77 0,1434 mS/cm 349 mV -



Melebihi Tidak Tidak Tidak Melebihi Tidak Tidak Melebihi -



Tabel 2.1.5. Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Kering di Kabupaten Pangkep No



parameter



Ambang kritis erosi (PP 150/2000) (3) < 20 cm > 40% < 18% koloid > 80% pasir kuarsitik > 1,4g/ cm3 < 30%; > 70% 8,0 8,5 > 4,0 mS/cm < 200 mV < 102 cfu/g tanah



Besaran Erosi (mm/ 10 tahun) (4) 0,32 0,37 1,48 gr/cm³ 0,64 6,04 0,506 37 mV 2,7 x 10⁵



(1) (2) 1 ketebalan solum 2 kebatuan permukaan 3.A komposisi fraksi 3.B komposisi fraksi 4 berat isi 5 forositas total 6 derajat pelulusan air 7 pH (H2O) 1 : 2,5 8 daya hantar listrik/ DHL 9 Redoks 10 jumlah mikroba Keterangan: (-) Tidak di lakukan pengukuran Sumber: Lampiran Tabel DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Status Melebihi/tidak (5) Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Melebihi Tidak



Provinsi Sulawesi Selatan, sesuai hasil pengukuran yang dilakukan, maka di peroleh data yang dapat kita lihat pada tabel 2.1.2 s/d 2.1.5 di atas. Data di atas menjelaskan bahwa ada beberapa wilayah yang tercatat terjadi kerusakan tanah pada lahan kering di antaranya adalah Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Selayar dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Ketebalan solum kemungkinan besar disebabkan karena kondisi tanah yang kering, sehingga menyebabkan solum tanah menjadi tipis. Langkah untuk memperdalam solum tanah dapat dilakukan dengan membuat terasering atau menanam tanaman keras dan tanaman penutup tanah.



28



Parameter



permeabilitas



tanah



atau



derajad



pelulusan



air



dipengaruhi oleh tingkat ruang pori tanah dan kemampatan tanah. Derajad pelulusan air yang di luar ambang baku kerusakan adalah tanah yang mempunyai nilai di bawah ambang baku. Hal ini menunjukkan bahwa derajad pelulusan airnya rendah sehingga air limpasan permukaan (run off) akan meningkat yang akan meningkatkan erosi. Jika erosi berlangsung besar maka akan berakibat pada kerusakan tanah. Langkah untuk memperbaiki permeabilitas tanah atau infiltrasi tanah dapat dilakukan dengan cara pengolahan tanah dan pemberian bahan organik. 2.1.8. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air. Dampak perubahan iklim pada ekosistem laut di Sulawesi Selatan diindikasikan dengan kenaikan tinggi muka laut (TML), kenaikan suhu dan asidfikasi. dan Estimasi kenaikan tinggi muka laut (TML) dilakukan dengan menggunakan



data



altimeter



dan



model.



Hasil



analisa



dengan



menggunakan tren analysis menunjukkan bahwa kenaikan TML di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan berkisar antara 0,2 cm/tahun sampai 1 cm/tahun. Kenaikan TML tertinggi terjadi di Samudera Pasifik, sebelah utara Pulau Papua, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan TML di Samudera Hindia pola arus geostrofik akan lebih mendominasi dibandingkan dengan kondisi sekarang. Sementara itu, kenaikan TML mempengaruhi pola arus dan kerentanan bahaya erosi, perubahan garis pantai dan mereduksi daerah wetland (lahan basah) di sepanjang pantai. Ekosistem lahan basah di daerah pantai mungkin akan mengalami kerusakan jika tingkat kenaikan tinggi dan suhu muka air laut melebihi batas maksimal dari kapasitas adaptasi biota pantai. (Sofian dan Nahib, 2010). Perubahan iklim ternyata telah mengubah dinamika upwelling di pantai. Jika pada tahun 1950-1999 jarang ditemukan adanya hipoksia dan anoksia (berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut dalam kolom air), maka sejak tahun 2000 hingga 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kejadian hipoksia. Bahkan di tahun 2006 ditemukan terjadinya anoksia di inner-shelf (Levitus et. al., 2000).



29



Tabel 2.1.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 Besaran Ambang Kritis Erosi Status erosi No. Tebal Tanah (PP 150/2000) Melebihi/ (mm/10 (mm/10 tahun) Tidak tahun)



(1)



(2)



(3)



(4)



(5)



1 2 3 4 5



< 20 cm 20 - < 50 cm 50 - < 100 cm 100 – 150 cm > 150 cm



0,2 – 1,3 1,3 - < 4 4,0 - < 9,0 9,0 – 12 > 12



0,5 3 5 10,5 10



Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak



Sumber : Lampiran Tabel 7 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



BE SAR AN E R OSI (M M / 10 T AH UN)



0,5 < 20 CM



3 20 - < 50 CM



10,5



10



100 – 150 CM



> 150 CM



5



50 - < 100 CM



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel 7 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.1.16. Grafik Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel 7 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.1.17. Diagram Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Berdasarkan grafik dan diagram diatas, dapat dilihat bahwa tanah yang mengalami erosi paling besar adalah pada tanah dengan ketebalan



30



100-150 cm, sedangkan tanah dengan tebal 150 cm besaran erosi mencapai 10 mm/10 tahun. Secara umum hasil menunjukkan bahwa besaran erosi tidak melebihi ambang kritis erosi untuk semua tebal tanah. Hal tersebut juga sudah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000. 2.1.9. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah Lahan basah meliputi sebagian kecil dari permukaan bumi ini, namun merupakan sistem yang sangat penting bagi alam seperti pembuluh darah bagi seluruh bentang alam. Kekayaan alamnya sangat besar dan penting untuk kehidupan manusia. Lahan basah berfungsi sebagai sumber dan pemurni air, pelinding pantai dan penyimpan karbon terbesar di planet ini. Lahan basah juga sangat penting untuk pertanian dan perikanan. Oleh karenanya dunia tanpa lahan basah seperti dunia tanpa air. Tabel 2.1.7. Evaluasi Kerusakan Tanah Lahan Basah di Sulawesi Selatan Tahun 2018 No



Parameter



(1)



(2)



1 Subsidensi gambut di atas pasir kuarsa 2 Kedalaman lapisan berpirit dari permukaan tanah



Ambang kritis (PP 150/2000) (3) > 35 cm/ tahun untuk ketebalan gambut ≥ 3 m atau 10%/ 5 tahun untuk ketebalan gambut< 3 m < 25 cm dengan pH ≤ 2,5



Hasil Status Pengamatan Melebihi/tid (4) (5) -



-



20 cm dengan pH 2.0



Tidak



3 Kedalaman air tanah dangkal > 25 cm 20 cm Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Tidak



Pemantauan kerusakan tanah di lahan basah pada Tahun 2018 mengambil lokasi di Kabupaten Pangkep. Hasil pemantauan menunjukkan



31



untuk parameter kedalaman lapisan berpirit dari permukaan tanah adalah 20 cm dengan pH 2,0, dan kedalaman air tanah dangkal adalah 20 cm. Secara umum hasil pemantauan tersebut masih berada dibawah ambang kritis baku mutu kerusakan tanah di lahan basah sesuai Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000, sementara parameter subsidensi gambut atau pasir kuarsa tidak ada data karena di Provinsi Sulawesi Selatan tidak memiliki Lahan Gambut. 2.1.10. Luas Areal dan Produksi Pertambangan Menurut Jenis Bahan Galian yang ada. Ancaman utama terhadap ekosistem estuaria di Sulawesi Selatan adalah pencemaran dan pendangkalan. Ancaman pencemaran di ekosistem estuaria Sulawesi Selatan umumnya berasal dari kegiatan rumah tangga, indutri tepi sungai dan pertanian di kawasan hulu sungai. Menurut UNEP (1990), lebih dari 80% bahan pencemar yang ditemukan di wilayah pesisir dan laut berasal dari kegiatan manusia di darat. Pencemran di kasawan estuaria Teluk Laikang, Kab. Takalar akibat industri PLTU (Fatma, 2014). Sementara ancaman pendangkalan dari sedimentasi umumya disebabkan oleh kegiatan penambangan (galian-C) dan kerusakan sempadan sungai. Tabel 2.1.8. Luas Areal dan Produksi Pertambangan Menurut Jenis Bahan Galian yang ada Di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 No.



Jenis Bahan Galian



(1)



(2)



1



Marmer



2



Marmer



3



Marmer



4



Marmer



5



Marmer



6



Marmer



Luas Ijin Usaha Penamba-ngan (Ha)



Luas Areal (Ha)



Produksi (Ton/ Tahun)



Lokasi Penambangan



(3)



(4)



(5)



(6)



(7)



PT. Indokal Prima Jaya PT. Dayacayo Astritama PT. Celebes Marmerindo PT. Graha Tunggal Tata Persada PT. Marmerindo Kuari Abadi PT. Makmur Agung Perkasa



21,00



N/A



554,04 Kabupaten Maros



35,00



N/A



84.214,00



14,30



N/A



18,41



32,81



N/A



1.073,34



Kabupaten Pangkep



25,00



N/A



49,13



Kabupaten Pangkep



13,00



N/A



84,99 Kabupaten Maros



Nama Perusahaan



Kabupaten Pangkep Kabupaten Pangkep



32



No.



Jenis Bahan Galian



Nama Perusahaan PT. Wutama Tri Makmur PT. Muliya Visindo CV. Pa'Bentengan CV. Bulu Tamangura CV. Sudarman Putra Sdr. Hj. Nurhaeda Dg. Nonang CV. Usaha Maju PT. Vale Indonesia PT. Prima Utama Lestari PT. Citra Lampia Mandiri CV. Sudarman Putra



Luas Ijin Usaha Penamba-ngan (Ha)



Luas Areal (Ha)



Produksi (Ton/ Tahun)



46,00



N/A



1.354,58



41,70



N/A



3.637,08



40,15



N/A



40.435,29 Kabupaten Gowa



17,03



N/A



7.014,38 Kabupaten Maros



5,00



N/A



812,24



Kabupaten Sidrap



16,92



N/A



23.837,40



Kabupaten Takalar



1,00



N/A



2.803,98



Kabupaten Enrekang



70,98



N/A



3.490.659 Kab. Luwu Timur



535,60



N/A



35.538,00 Kab. Luwu Timur



2660,00



N/A



168.503,00 Kab. Luwu Timur



5,00



N/A



282,52



Lokasi Penambangan Kabupaten Pangkep Kabupaten Pangkep



7



Marmer



8



Marmer



9



Tanah Urug



10



Tanah Urug



11



Tanah Urug



12



Sirtu



13



Sirtu



14



Nikel Matte



15



Biji Nikel (Ore)



16



Biji Nikel (Ore)



17



Batu Gunung



18



Batu Gunung



CV. Irwan



5,33



N/A



9.799,82



19



Batu Gunung



CV. Wander



5,12



N/A



2.688,33



20



Batu Gunung



CV. Wander



9,60



N/A



4.440,82



21



Batu Gunung



Sdr. H. Lasibe Salihi



5,00



N/A



6.224,21



22



Batu Gunung



CV. Armin



5,50



N/A



9.199,47



280,00



N/A



653.806,00



22,10



N/A



255.537,00



269,00



N/A



204.496,00 Kabupaten Maros



199,00



N/A



46.120,18 Kabupaten Bone



694,00



N/A



2.005.927 Kabupaten Maros



PT. Semen Tonasa PT. Semen 24 Tanah Liat Tonasa PT. Semen 25 Tanah Liat Bosowa PT. Pasir 26 Batubara Walanae Batu PT. Semen 27 Gamping Bosowa Keterangan : (N/A) Not Available 23



Tanah Liat



Sumber



Kabupaten Sidrap Kabupaten Sidrap Kabupaten Sidrap Kabupaten Sidrap Kabupaten Sidrap Kabupaten Sidrap Kabupaten Pangkep Kabupaten Pangkep



: Diolah dari Lampiran Tabel 15.1 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Berdasarkan penjabaran pada tabel diatas, bahwa jenis bahan galin berupa Marmer banyak ditemukan pada wilayah Kabupaten Pangkep dan Maros dengan produksi terbesar dilakukan oleh PT. Mulyo Visindo dengan



33



luas ijin usaha sebesar 41,7 Ha dengan produksi Ton/Tahunnya mencapai 3.637,08 Ton/Tahun, sedangkan untuk produksi paling sedikit untuk jenis bahan galian Marmer dilakukan oleh PT. Celebes Marmerindo dengan luas ijin usaha penambangan 14,3 Ha dengan jumlah produksi 18,41 Ton/Tahun. Adapun untuk jenis bahan galian Nikel Matte menjadi jenis bahan galian tambang dengan nilai produksi terbesar yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan yakni sebesar 3.490.659 Ton/Tahun dengan luas ijin usaha penambangan seluas 70,98 Ha. Untuk jenis bahan galian tambang berupa Batu Gunung banyak ditemukan pada Kabupaten Sidrap dengan nilai prouksi terbesar sebanyak 9.799,82 Ton/Tahun dengan luas ijin usah penambangan 5,33 Ha yang dilakukan oleh CV. Irwan. Adapun untuk jenis bahan galian Tanah Liat juga banyak ditemukn pada Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros dengan nilai produksi terbesar masing-masing 653.806 Ton/Tahun (Kab. Pangkep) oleh PT. Semen Tonasa dan 204.496 Ton/Tahun (Kab. Maros) oleh PT. Semen Bosowa.



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel 15.1 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.1.18. Produksi (Ton/Tahun) Bahan Galian Tambang di Sulawesi Selatan Tahun 2018



34



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel 15.1 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.1.19. Luas Ijin Usaha Panambangan (Ha) Bahan Galian Tambang di Sulawesi Selatan Tahun 2018



2.1.11. Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari olahan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2018, luas areal yang mengalami penghijaun dan reboisasi tidak mengalami perubahan yang signifikan pada data tahun 2017. Sehingga data tahun 2017 masih menjadi data yang digunakan dalam mengukur realisasi Kegiatan penghijauan dan reboisasi di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2018. Berikut tabel jabaran data realisasi kegiatan penghijauan dan reboisasi di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2018



No.



(1) 1 2 3 4 5 6 7 8



Tabel 2.1.9. Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 Penghijauan Reboisasi Realisasi Realisasi Luas Luas Kabupaten Target Jumlah Target Jumlah Realisas Realisas (Ha) Pohon (Ha) Pohon (Ha) (Ha) (batang) (batang)



(2) Kepulauan Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros



(3)



(4)



(5)



(6)



N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A



20.000 20.000 48.000 20.000 60.000 22.000 0 60.000



N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A



N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A



(7) 0 390.500 176.000 220.000 51.700 440.000 192.500 495.000



(8) N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A



35



No.



Kabupaten



Target (Ha)



(1)



(2)



(3)



9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24



Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Toraja Utara Makassar Pare-pare Palopo



Penghijauan Realisasi Luas Jumlah Realisas Pohon (Ha) (batang)



N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A



(4) 0 200.000 20.000 127.400 18.800 536 20.000 140.400 65.200 48.000 80.000 20.000 0 0 22 0



Reboisasi Target (Ha)



Luas Realisas (Ha)



Realisasi Jumlah Pohon (batang)



(5)



(6)



(7)



(8)



N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A



N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A



0 280.500 581.900 220.000 0 0,00 82.500 0 0 121.000 203.500 33.000 0 0 0 0



N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A N/A



Keterangan : (N/A) Not Available



Sumber : Lampiran Tabel 16 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Tabel 2.1.10. Realisasi Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 No



Kabupaten



(1)



(2)



1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17



Kepulauan Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu



Luas Areal Penghijauan (Ha) 2016 2018



(3) 50,00 50,00 120,00 50,00 150,00 55,00 0,00 150,00 0,00 500,00 50,00 318,50 47,00 250,00 50,00 351,00 163,00



(4) 20.000,00 20.000,00 48.000,00 20.000,00 60.000,00 22.000,00 0,00 60.000,00 0,00 200.000,00 20.000,00 127.400,00 18.800,00 535,60 20.000,00 140.400,00 65.200,00



Luas Areal Reboisasi (Ha) 2016 2018



(5) 0,00 355,00 160,00 200,00 47,00 400,00 175,00 450,00 0,00 255,00 529,00 200,00 0,00 490,00 75,00 0,00 0,00



(6) 0,00 390.500,00 176.000,00 220.000,00 51.700,00 440.000,00 192.500,00 495.000,00 0,00 280.500,00 581.900,00 220.000,00 0,00 0,00 82.500,00 0,00 0,00



36



No 18 19 20 21 22 23 24



Kabupaten Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Toraja Utara Makassar Pare-pare Palopo



Luas Areal Penghijauan (Ha) 2016 2018 120,00 48.000,00 200,00 80.000,00 50,00 20.000,00 0,00 0,00 0,00 0,00 22,10 0,00 0,00 2.724,50 990.357,70



Luas Areal Reboisasi (Ha) 2016 2018 110,00 121.000,00 185,00 203.500,00 30,00 33.000,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3.661,00 3.488.100,00



Keterangan : (-) tidak ada data



Sumber : Lampiran Tabel 16.1 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Berdasarkan uraian data pada tabel diatas, bahwa kabupaten yang mengalami perubahan luas areal penghijauan terbesar terdapat pada Kabupaten Barru dengan luas penghijauan dari 500 Ha ditahun 2016 menjadi 200.000 Ha ditahun 2018. Data tersebut menandakan bahwa terjadi perubahan hingga mencapai 199.500 Ha pada Kabupten Barru untuk areal penghijauannya. Sementara untuk areal reboisasinya juga mengalami peningkatan yang cukup besar dari 255 Ha menjadi 280.500 Ha, sehingga besaran penambahan luas areal reboisasinya mencapai 280.245 Ha. Namun untuk kabupaten dengan perubahan luas areal reboisasi terbesar terjadi di Kabupaten Bone yakni dari 529 Ha ditahun 2016 berubah menjadi 581.900 Ha pada tahun 2018. Sedangkan untuk Kabupaten Bone, perubahan areal reboisasi



yang



besar



tidak



disertai



dengan



perubahan



areal



penghijauannya, Kabupaten Bone hanya mengalami perubahan areal penghijauan sebesar 19.950 Ha dari tahun 2016 hingga tahun 2018. Dan untuk kabupaten yang tidak mengalami perubahan signifikan atau perbuahan luas yang kecil terhadap areal penghijauan terdapat di Kota Parepare dan Kabupaten Sidrap yang masing-masingnya mengalami perubahan/bertambah seluas 22 Ha (Kota Parepare) dan 285,6 Ha (Kab.Sidrap). Khusus pada Kabupaten Sidrap mengalami penurunan areal reboisasi mencapai 490 Ha dan menjadi satu-satunya wilayah yang mengalami penurunan areal reboisasi di Sulawesi Selatan pada tahun 2018.



37



Sumber : Diolah dari Lampiran Tabel 16.1 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.1.20. Realisasi Penghijauan di Sulawesi Selatan Tahun 2016-2018



Sumber : Diolah dari Lampiran Tabel 16.1 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.1.21. Realisasi Reboisasi di Sulawesi Selatan Tahun 2016-2018



Sumber : Diolah dari Lampiran Tabel 16.1 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.1.22. Perbandingan Perubahan Luas Areal Penghijauan dan Reboisasi di Sulawesi Selatan Tahun 2016-2018



38



2.1.12. Keadaan Flora dan Fauna Sulawesi Selatan memiliki sekurang-kurangnya 3 (tiga) tipe ekosistem yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati, yakni : (1) Tipe Ekosistem Dataran Tinggi-Pegunungan, (2) Tipe Ekosistem Dataran Rendah-Pedalaman, dan (3) Tipe Ekosistem Pesisir Pantai dan Laut. Dari dua tipe ekosistem yang disebutkan pertama ditemukan tidak kurang dari 64 spesies fauna dan 149 spesies flora dilindungi. Data yang bersumber dari Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam Provinsi Sulawesi Selatan (2015 - 2018) tidak terdapat perubahan jumlah spesies flora dan fauna dilindungi, kecuali jumlah spesies dalam status dilindungi atau endemik yang mengalami perubahan. Ada spesies yang berstatus dilindungi atau endemik ditemukan menurun (khususnya dari golongan hewan menyusui, burung, serangga, dan keong), tetapi ada juga spesies yang berstatus dilindungi atau endemik yang ditemukan meningkat (khususnya ari golongan : reptil, ikan, dan tumbuh-tumbuhan). a.



Fauna 16



14 12 10 8 6 4 2 0 Terancam



Mamalia 7



Burung 7



Reptil 0



Ikan 0



Serangga 0



Dilindungi



8



15



7



0



4



Sumber: Di olah dari lampiran tabel 4 DIKPLH Sulsel tahun 2018



Gambar 2.1.23. Jumlah Spesies Hewan (Fauna) yang Dilindungi Berdasarkan Golongan di Sulsel Tahun 2018



39



Pada jenis



Fauna golongan:



(1)



Mamalia ditemukan 8 (delapan) spesies yang berstatus



dilindungi,



termasuk



tiga



diantaranya berstatus endemik berurut dari yang pertama, yakni: Anoa depressicomis,



Anoa quariesi, Babyrousa babyrussa dan di temukan 7 hewan yang berstatus terancam. (2) Burung ditemukan 15 (lima belas) spesies yang berstatus dilindungi, termasuk Gambar: Cacatua Sulphurea



satu diantaranya berstatus endemik-berurut



dari yang pertama, yakni: Aramidopsis platen dan 7 hewan yang berstatus terancam. (3) Reptil ditemukan 7 (tujuh) spesies yang berstatus dilindungi dan tidak ditemukan hewan yang berstatus terancam. (4) Ikan tidak ditemukan spesies yang berstatus dilindungi, dan juga tidak di temukan hewan yang terancam. Kemudian (5) Serangga ditemukan 4 (empat) spesies dilindungi, yakni: Cethosia myrina, Troides haliphron, Troides



Helena, dan Troides hypolitus dan tidak di temukan hewan yang berstatus terancam. Visualisasi jumlah dan persentase fauna tersebut di atas dapat dilihat pada Grafik. Di atas. b. Flora



7 6 5



4 3 2 1 0



Tanaman Keras



Dilindungi



1



Palem dan Paku-pakuan 0



Terancam



7



2



Orchidaceae



Nephentaceae



0



3



1



3



Sumber: Di olah dari lampiran tabel 4 DIKPLH Sulsel tahun 2018



Gambar 2.1.24. Jumlah Spesies Tumbuhan (Flora) yang Dilindungi Berdasarkan Golongan di Sulsel Tahun 2018



40



Selanjutnya pada jenis Flora (tumbuhan) juga



dapat



dikelompokkan



berdasarkan



golongan (lihat Grafik) : (1) Tanaman Keras dari 44 spesies, tidak ditemukan spesies dilindungi dengan 7 (tujuh) spesies terancam termasuk empat diantaranya berstatus endemik-berurut dari yang pertama, yaitu : Diosypros celebica,



Colona Gambar: Acriopsis odorata



celebica,



Macademia



hildebrandill



Steenis, Ficus minahasea Miq, Agathis sp.,



Diosypros macrophylla, Diosypros buxifolia, Durio, Shorea spp., Palaquium spp., Anthocephallus spp., Syzigium spp., Cananga spp., Spondias spp., Terminalia spp., Aquilaria filarial, Tectona grandis, Ceiba pentandra, Ficus benjamina,



Ficus



geacarpa,



Gracinia



balica,



Gracinia



dulculis,



Gymnacranthera bancana, Lithocarpus celebius, Manikara fasciculate, Ormosia calavensis, Pometia pinnata, Alstonia scholaris, Delphacea glabra, Tabernaemontana sphaerocarpa, Chionanthus ramifora, Colona celebica, Gynnostoma sumatrana, Macademia hildebrandill Steenis, Lagestroemia speciosa,



Gronophyllum



microcarpum,



Callophyllum



inophyllum,



Callophyllum soulattria, Dillenia pteropada, Harpullia arborea, Vatica rassak Pinus spp., Elmerilla spp., Swietenia macrophylla, Mimosops elengi , dan Samanea saman, (2) Palem dan Paku-pakuan dari 9 (sembilan) spesies tidak ditemukan spesies yang dilindungi dengan 2 (dua) spesies yang terancam termasuk satu diantaranya



berstatus



endemik-urutan



pertama, yaitu : Areca vestiara, Pinanga caesia,



Pinanga celebica, Cyanthea celebica, Cyanthea contaminans,



Cycas



rumphii,



Borassus



flabellifer, Calamus, dan Arenga piñata, (3) Orchidaceae dari 6 (enam) spesies tidak ditemukan spesies yang dilindungi diantaranya Gambar: Aerides inflexum



terdapat 1 (satu) spesies yang terancam.



41



Nama spesies tumbuhan itu yaitu : Abdominea minimiflora, Acanthephipium



splendidum, Acriopsis lilifolia, Aerides inflexum, Acriopsis odorata, Agrostophyllum bicuspidatum, dan (4) Nephentanceae ditemukan 3 (tiga) sepsies yang dilindungi dan berstatus terancam yaitu : Nephentes maxima



Ness, Nephentes mirabilis Druce, dan Nephentes tomoiana Dans. Seluruh spesies fauna dan flora tersebut di atas kondisinya tergolong terancam seiring dengan semakin rusaknya ekosistem hutan yang merupakan habitat atau tempat keberlangsungan hidup mereka. 2.1.13. Penangkaran Satwa dan tumbuhan Liar. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.19/MenhutII/2005 tanggal 19 Juli 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Tabel 2.1.11. Penangkaran Satwa dan Tumbuhan Liar di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 No.



Nama Perusahaan



SK Penangkar



Jenis Satwa Yang Ditangkar



(1)



(2)



(5)



(7)



1



Ir. H. Muh. Yusuf Gau, MM.MBA



SK.1506/BBKSDASS-19/2/PF/2014



Rusa timor



2



UD. Kopi Luwak Malino



SK.273/IV-SET/2013



Binturong



3



PT. Dinar Darum Lestari Perwakilan Makassar



4



Andi Muh Gian Gilland



5



H. Sairing Jafar



6



Baco Ahmad



7



Kol. Purn. H.A.Asmidin



SK. 2033/BBKSDASS-19/2/PF/2014



Rusa timor



8



H. Mustari, S.P



SK.129/K.8/BIDTEK/KSA/3/2018



Rusa timor



9



Drs. Insmerda Lebang



SK. 802/BBKSDASS-19/2/PF/2014



Rusa timor



10



Erlin Harry



SK. 865/BBKSDASS-19/2/PF/2015



Rusa timor



11



Koperasi Pegawai Negeri UNHAS



SK. 391/BBKSDASS-23/2/PF/8/2017



Rusa totol



12



CV. Mitra Hasil Bahari Badi



SK. 926/BBKSDASS-19/2/PF/2015



Kuda laut



13 14



CV. Paraikatte Abadi CV. Kafinnur Assagaf Badi



SK. 319/K.8/BIDTEK/KSA/7/2018 SK. 1563/BBKSDASS-19/2/PF/2013



Kuda laut Kuda laut



15 16 17 18 19



drg. Danny Permadi, M.Sc PT. Dinar Darum Lestari PT. Dinar Darum Lestari CV Rezky Bahari Abdul Hayyi, S.Pd, SH



SK. 358/BBKSDASS-23/2/PF/2016 SK. 2154/BBKSDASS-19/2/PF/2014 SK. 66/BBKSDASS-23/2/PF/2016 SK.271/BBKSDASS-23/2/PF/5/2017 SK. 512/BBKSDASS-23/2/PF/10/2017



Musang Luwak Kuda laut Koral/karang hias Koral/karang hias Kuda laut



20



Kani



SK. 513/BBKSDASS-23/2/PF/10/2018



Kuda laut



21



SK.574/BBKSDASS-23/2/PF/12/2017



Kupu-Kupu



23



Ali Butterfly Lembaga Budidaya Ikan Nemo & Kuda Laut Bahari Lestari Tajuddin



24



PT. Sulotco Jaya Abadi



25



PT. Dirga Mega Cipta Koperasi Tani Ternak SPR Karya Sejahterah Komunitas Tondok Bakaru Orchid



22



26 27



SK.53/IV-SET/2015



Kima



SK.271/BBKSDASS-19/2/PF/2014



Rusa timor



SK.272/BBKSDASS-19/2/PF/2014



Rusa timor



SK. 1262/BBKSDASS-23/2/PF/2015



Rusa timor



SK.130/K.8/BIDTEK/KSA/3/2018



Kuda laut



SK.181/K.8/BIDTEK/KSA/4/2018



Kupu-Kupu



SK. 406/BBKSDASS-19/2/PF/2015



Musang Luwak



SK. 131/K.8/BIDTEK/KSA/3/2018



Koral/karang hias



SK.439/BBKSDASS-23/2/PF/9/2017



Rusa totol



SK.299/K.8/BIDTEK/KSA/7/2018



Anggrek tidak dilindungi UU



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel 5 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



42



Di Sulawesi Selatan penangkaran satwa dan tumbuhan liar tercatat 27 perusahaan yang melakukan penangkaran dan memiliki surat keputusan yang sah. Jenis satwadan tumbuhan yang di tangkar antara lain: rusa timor, rusa totol, binturong, kima, kuda laut, kupu-kupu, musang luwak, koral/karang hias, dan anggrek yang tidak dilindungi UU. 2.2 Kualitas Air Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, indeks kualitas lingkungan hidup diukur dari tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas udara, kualitas air, dan persentase tutupan hutan. Tingkat kualitas masing-masing parameter diukur dari indeks pencemaran air (IPA), indeks pencemaran udara (IPU), dan indeks tutupan hutan (ITH). Jika dikaji dari sisi sistem lingkungan, tiga parameter tersebut saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, dan bahkan komponen lingkungan airpun berkaitan dengan tiga komponen tersebut. Untuk itu berdasarkan analisis DPSIR, maka kualitas air yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan dibagi berdasarkan di Provinsi Sulawesi Selatan yang sumberdaya airnya cukup luas, meliputi sungai, danau, waduk, embung dan lainnya. 2.2.1 Kualitas Air Sumur Kualitas air tanah atau air sumur di Provinsi Sulawesi Selatan secara umum masih tergolong baik berdasarkan data hasil pemantauan Tahun 2018, namun masih terdapat diantaranya yang tergolong tercemar, berdasarkan beberapa parameter uji. Secara fisik, kandungan TDS ratarata masih dibawah baku mutu namun masih terdapat yang nilainya di atas baku mutu sementara dan TSS ratarata sedikit diatas baku mutu. Kandungan TSS yang tinggi tersebut diduga karena sebagian sumur penduduk merupakan sumur dangkal dan secara alamiah bahan tersuspensi mudah merembes ke dalam badan air, terutama pada musim hujan.



43



Tabel. 2.2.1. Data beberapa parameter kualitas air sumur di Provinsi Sulawesi Selatan periode tahun 2016 – 2018



Sumber : Diolah dari Tabel SD-14 Buku 2 SLHD Provinsi Sulsel



Kualitas air tanah atau air sumur di Provinsi Sulawesi Selatan secara umum masih tergolong baik berdasarkan data hasil pemantauan Tahun 2015, namun masih terdapat diantaranya yang tergolong tercemar, berdasarkan beberapa parameter uji. Secara fisik, kandungan TDS ratarata masih dibawah baku mutu namun masih terdapat yang nilainya di atas baku mutu sementara dan TSS ratarata sedikit diatas baku mutu. Kandungan TSS yang tinggi tersebut diduga karena sebagian sumur penduduk merupakan sumur dangkal dan secara alamiah bahan tersuspensi mudah merembes ke dalam badan air, terutama pada musim hujan.



Sumber : Diolah dari Tabel SD-16 Buku 2 SLHD Provinsi Sulsel



Gambar 2.2.1 Kandungan TDS dan TSS air sumur dalam wilayah Provinsi



Walaupun DO masih normal, namun parameter kebutuhan oksigen (BOD5 dan COD) dalam bebrapa sampel air tampak telah melampaui baku mutu yang ditetapkan (Gambar 2.19). Hal ini menggambarkan bahwa limbah domestik atau limbah pertanian/perkebunan masih merupakan sumber utama pencemaran air tanah terutama bila tidak didukung oleh sistem drainase yang baik.



44



Sumber : Diolah dari Tabel SD-16 Buku Data SLHD Provinsi Sulsel



Gambar 2.2.2 Nilai parameter DO, BOD5 dan COD dalam air sumur di wialayah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Kualitas sampel air tanah juga digambarkan oleh kandungan detergen, minyak dan lemak serta senyawa nitrogen (Gambar 2.20). Dua parameter pertama tersebut nilainya relatif tinggi dalam beberapa sampel air yang diuji. Disamping itu, amonia ditemukan pada perariran tertentu melampau baku mutu sementara nitrat dan nitrit masih relatif rendah. Limbah domestik tampaknya masih berpengaruh signifikan terhadap kualitas beberapa sampel air sumur di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan disamping adanya sumber lainnya.



Sumber : Diolah dari Tabel SD-16 Buku Data SLHD Provinsi Sulsel



Gambar 2.2.3 Kandungan detergen serta minyak dan lemak air sumur di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



45



2.2.2. Kualitas Air Laut Hasil pengkajian AMDAL Pelabuhan Makassar, PT. Pelabuhan Indonesia IV (Persero) dan Status Lingkungan Hidup Daerah tahun 2016 - 2018 dengan mengambil sampel pada sejumlah titik di pantai Barat Sulawesi Selatan (Muara Kanal Pannampu, Laut Sekitar PT. IKI, Muara Sungai Jeneberang, Gussung Tallang, dan Pantai Losari), Lihat Tabel 2.2.4, menunjukkan beberapa variable kualitas air laut memiliki kecenderungan meningkat bahkan ada yang telah melampaui Baku Mutu Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, baik : (1) yang bersifat fisika yakni : kecerahan, kekeruhan, dan residu tersuspensi (TSS), (2) yang bersifat kimia, yakni : fosfat (PO4-P), amonia total, tembaga (Cu), dan timbal (Pb), maupun (3) yang bersifat microbiologi, yakni coliform. Tabel. 2.2.2. Kualitas Air Laut Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 No



nama lokasi



waktu smpling lokasi sampling Warna (tgl/bln/thn) (Mt)



(1)



(2)



(3)



1



Biota Laut



04-Mei-16



2 Pelabuhan 3 Pelabuhan



13-Jul-17



4 Pelabuhan



13-Jul-17



5 Pelabuhan



13-Jul-17



6 Wisata Bahari



13-Jul-17



7 Wisata Bahari



09-Mei-17



8 Wisata Bahari



09-Mei-17



13-Jul-17



9 Wisata Bahari



15-Agu-17



10 Wisata Bahari



09-Mei-17



11 Wisata Bahari



13-Jul-17



(4)



(5)



bau



(6)



Pantai Alami Alami Pelelangan Ikan Pantai PT.IKI (-) Normal PT.KIMA Pabrik Terigu (PT.Eastern) Pantai Peti Kemas (Belakang Pelabuhan Soeta) Pantai Gapura/Belakang MGH Pantai Arya Duta(CPI) Belakang Trans Maal Pantai Akarena Pantai Tanjung Bayang Muara Sungai Tallo



kecerahan Kekeruhan TSS sampah (M) (NTU) (mg/L)



(7)



(8)



3



1,56



(9)



(10)



lapisan minyak



temperatur (°c)



pH



(11)



(12)



(13)



(14)



(15)



30,9



7,85



24,5



7,04



Tidak ada Tidak ada



Salinitas DO (mg/L) (%'')



COD (mg/L)



Amonia total (mg/L)



NO2 (mg/L)



NO3 (mg/L)



(16)



(17)



(18)



(19)



(20)



(21)



(22)



26,4



64,52



0,05



0,01



(-)



0,12



‹0,01



BOD (mg/L)



Sulfida PO4-P (CN- Sianida(C (H2S)(mg/L )(mg/L) N-)(mg/L) )



Klor (mg/L)



Minyak Bumi (mg/L)



(23)



(24)



‹0,01



(-)



Phenol (mg/L)



Pestisida (mg/L)



PCB (mg/L)



(25)



(26)



(27)



(28)



(-)



‹0,002



(-)



(-)



2



2,18



6



(-)



(-)



29,5



7,73



23,2



7



31,5



76,92



‹0,05



‹0,01



0,02



‹0,01



‹0,01



‹0,01



22490,39



(-)



‹0,002



(-)



(-)



(-)



Normal



1



6,09



26



(-)



(-)



29,7



7,25



25,1



7,2



31,5



76,92



‹0,05



‹0,01



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



21234,38



(-)



‹0,002



(-)



(-)



(-)



Normal



3



2,16



10



(-)



(-)



30,1



7,72



2,6



7,2



31,5



76,92



‹0,05



0,02



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



22961,39



(-)



‹0,002



(-)



(-)



(-)



Normal



3,5



0



6



(-)



(-)



27,9



7,93



24,6



7,2



28,16



68,96



‹0,05



‹0,01



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



19911,36



(-)



3,114



(-)



(-)



(-)



Normal



2



1,38



6



(-)



(-)



28



7,92



24,4



7,2



28,16



68,96



‹0,05



‹0,01



0,13



‹0,01



‹0,01



‹0,01



22943,95



(-)



1,844



(-)



(-)



(-)



Normal



4



1,13



16



(-)



(-)



27,9



7,95



24,7



7,04



35,2



86,21



‹0,05



‹0,01



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



20908,82



(-)



2,256



(-)



(-)



(-)



Normal



4



1,48



14



(-)



(-)



28



7,88



24,7



7,2



28,16



86,96



‹0,05



‹0,01



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



22904,05



(-)



1,48



(-)



(-)



5



Normal



(-)



(-)



46



(-)



(-)



30,8



8,15



26,2



7,04



28,8



(-)



‹0,05



(-)



0,01



‹0,01



(-)



‹0,01



(-)



(-)



0,33



(-)



(-)



5



Normal



3,5



1,99



14



(-)



(-)



28



7,9



24,5



7,04



35,2



86,21



‹0,05



‹0,01



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



22586,83



(-)



0,829



(-)



(-)



5



Normal



1



12,3



18



(-)



(-)



29,4



7,56



25,3



7



31,5



76,92



‹0,05



0,01



0,01



‹0,01



‹0,01



‹0,01



21675,95



(-)



‹0,002



(-)



(-)



46



(1)



(2)



(3)



1



Biota Laut



04-Mei-16



2 Pelabuhan 3 Pelabuhan



13-Jul-17



4 Pelabuhan



13-Jul-17



5 Pelabuhan



13-Jul-17



(4)



(5)



11 Wisata Bahari



(7)



(8)



3



1,56



(9)



(10)



(11)



Tidak ada Tidak ada



(12)



(13)



(14)



(15)



(16)



(17)



(18)



(19)



(20)



(21)



(22)



(23)



(24)



(25)



(26)



(27)



(28)



30,9



7,85



24,5



7,04



26,4



64,52



0,05



0,01



(-)



0,12



‹0,01



‹0,01



(-)



(-)



‹0,002



(-)



(-)



2



2,18



6



(-)



(-)



29,5



7,73



23,2



7



31,5



76,92



‹0,05



‹0,01



0,02



‹0,01



‹0,01



‹0,01



22490,39



(-)



‹0,002



(-)



(-)



(-)



Normal



1



6,09



26



(-)



(-)



29,7



7,25



25,1



7,2



31,5



76,92



‹0,05



‹0,01



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



21234,38



(-)



‹0,002



(-)



(-)



(-)



Normal



3



2,16



10



(-)



(-)



30,1



7,72



2,6



7,2



31,5



76,92



‹0,05



0,02



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



22961,39



(-)



‹0,002



(-)



(-)



(-)



Normal



3,5



0



6



(-)



(-)



27,9



7,93



24,6



7,2



28,16



68,96



‹0,05



‹0,01



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



19911,36



(-)



3,114



(-)



(-)



lapisan (-) minyak



temperatur 28 (°c)



7,92 pH



BOD 28,16 (mg/L)



COD 68,96 (mg/L)



Amonia ‹0,05 total (mg/L)



NO2 ‹0,01 (mg/L)



NO3 0,13 (mg/L)



Minyak (-) Bumi (mg/L)



Phenol 1,844 (mg/L)



Pestisida (-) (mg/L)



PCB (-) (mg/L)



(-) (11)



27,9 (12)



7,95 (13)



24,7 (14)



7,04 (15)



35,2 (16)



86,21 (17)



‹0,05 (18)



‹0,01 (19)



‹0,05 (20)



‹0,01 (21)



‹0,01 (22)



‹0,01 (23)



20908,82 (24)



(-) (25)



2,256 (26)



(-) (27)



(-) (28)



30,9 28



7,85 7,88



24,5 24,7



7,04 7,2



26,4 28,16



64,52 86,96



0,05 ‹0,05



0,01 ‹0,01



(-) ‹0,05



0,12 ‹0,01



‹0,01



‹0,01



(-) 22904,05



(-)



‹0,002 1,48



(-)



(-)



29,5 30,8 29,7 28 30,1 29,4



7,73 8,15 7,25 7,9 7,72 7,56



23,2 26,2 25,1 24,5 2,6 25,3



7 7,04 7,2 7,04 7,2 7



31,5 28,8 31,5 35,2 31,5 31,5



76,92 (-) 76,92 86,21 76,92 76,92



‹0,05 ‹0,05 ‹0,05 ‹0,05 ‹0,05



‹0,01 (-) ‹0,01 ‹0,01 0,02 0,01



0,02 0,01 ‹0,05 ‹0,05 ‹0,05 0,01



‹0,01 ‹0,01 ‹0,01 ‹0,01 ‹0,01



‹0,01 (-) ‹0,01 ‹0,01 ‹0,01 ‹0,01



‹0,01 ‹0,01 ‹0,01 ‹0,01 ‹0,01



22490,39 (-) 21234,38 22586,83 22961,39 21675,95



(-) (-) (-) (-) (-)



‹0,002 0,33 ‹0,002 0,829 ‹0,002 ‹0,002



(-) (-) (-) (-) (-)



(-) (-) (-) (-) (-)



‹0,01



‹0,05



‹0,01



‹0,01



‹0,01



19911,36



(-)



3,114



(-)



(-)



: 1. Kajian Kualitas Air Laut, Sedimen dan Biota Laut Tahun 2017 Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar Pantai 13-Jul-17 Gapura/Belakang Normal 2 Kualitas 1,38 Lingkungan 6 (-) (-) 28 Dinas 7,92 Lingkungan 24,4 7,2 Hidup 28,16Kota68,96 ‹0,05 2. Laporan Kegiatan(-)Pemantauan tahun 2017 Makassar MGH 3. Lampiran Tabel 23 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



‹0,01



0,13



‹0,01



‹0,01



‹0,01



22943,95



(-)



1,844



(-)



(-)



09-Mei-17



‹0,01



‹0,05



‹0,01



13-Jul-17



PT.KIMA Pabrik Terigu (PT.Eastern) Pantai Peti Kemas (Belakang Pelabuhan Soeta)



Pantai waktu smpling Gapura/Belakang lokasi sampling 6 Wisata 13-Jul-17 (-) No nama Bahari lokasi Warna (tgl/bln/thn) MGH (Mt) Pantai Arya (-) (1)7 Wisata(2)Bahari 09-Mei-17 (3) (4) (5) Duta(CPI) Pantai Belakang Trans Biota Bahari Laut 04-Mei-16 Alami 09-Mei-17 (-) 81 Wisata Pelelangan Ikan Maal Pelabuhan 13-Jul-17 PT.IKI (-) 92 Wisata Bahari 15-Agu-17 Pantai Akarena 5



3 Pelabuhan 10 Wisata Bahari 4 Pelabuhan



(6)



Pantai Alami Alami Pelelangan Ikan Pantai PT.IKI (-) Normal



13-Jul-17 09-Mei-17 13-Jul-17 13-Jul-17



Pantai Tanjung PT.KIMA Bayang Pabrik Terigu Muara Sungai (PT.Eastern) Tallo Pantai Peti



(-) 5 (-) 5



kecerahan Kekeruhan Normal 2 1,38 bau



TSS 6 (-) sampah (mg/L)



(M)



(NTU)



Normal (6)



4 (7)



1,13 (8)



16 (9)



Alami Normal



43



1,56 1,48



14



Normal Normal Normal Normal Normal



2 (-) 1 3,5 3 1



2,18 (-) 6,09 1,99 2,16 12,3



6 46 26 14 10 18



(-) (10)



Tidak (-)ada Tidak (-) ada (-) (-) (-) (-) (-)



(-) (-) (-) (-) (-)



Salinitas 24,4 DO (mg/L) 7,2 (%'')



Kemas (Belakang



5 Pelabuhan 13-Jul-17 Normal 3,5 0 6 (-) (-) 27,9 7,93 24,6 7,2 28,16 68,96 ‹0,05 Keterangan : 1. (-) Parameter tidak(-) diukur Pelabuhan 2. Parameter uji yang digunakan berdasarkan Kepmen LH No.51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Soeta)



Sumber



6 Wisata Bahari 7 Wisata Bahari 8 Wisata Bahari 9 Wisata Bahari No



nama lokasi



(1)



(2) Wisata Bahari



10 Wisata Bahari



11 1



Dermaga Baru Cappa Ujung Kota Pare-pare



Pantai Arya Duta(CPI) Belakang Trans 09-Mei-17 Maal 15-Agu-17 Pantai Akarena waktu smpling lokasi Pantai Tanjung (tgl/bln/thn) sampling (Mt) 09-Mei-17 Bayang (3) (4) Muara Sungai 13-Jul-17 Tallo (-)



(-)



Sulfida PO4-P Klor ‹0,01(CN- Sianida(C ‹0,01 (H2S)(mg/L ‹0,01 22943,95 )(mg/L) N-)(mg/L) (mg/L) )



(-)



Normal



4



1,13



‹0,01



‹0,01



20908,82



(-)



2,256



(-)



(-)



(-)



Normal



4



1,48 14 2.2.3. (-) (-)Kualitas 28 7,88 Laut 24,7 Provinsi 7,2 28,16 86,96 ‹0,05 ‹0,01 Tahun ‹0,05 ‹0,01 Tabel. Air Sulawesi Selatan 2018‹0,01



‹0,01



22904,05



(-)



1,48



(-)



(-)



5



Normal



Warna



bau



5 Normal (5) (6) 5 Normal (-)



(-)



(-)



kecerahan (M)



3,5 (7) 2,51



16



(-)



46



Kekeruhan



(-)



TSS



(-)



(-)



(-) sampah



27,9



lapisan



7,95



30,8



8,15



temperatur



24,7



26,2 pH



7,04



7,04



Salinitas



35,2



DO



28,8



86,21



BOD



(-)



‹0,05



COD



‹0,05 (-) Amonia total



NO2



0,01



NO3



‹0,01 PO4-P (CN-



(-) ‹0,01 Sianida( Sulfida CN-



(H2S)(



(-)



Klor



(mg/L) (mg/L) (mg/L) 1,99(NTU) 14 (mg/L) (-) (-) minyak 28 (°c) 7,9 24,5 (%'')7,04(mg/L)35,2(mg/L)86,21(mg/L)‹0,05 ‹0,05 ‹0,01 (mg/L) ‹0,01 )(mg/L) ‹0,01 )(mg/L) ‹0,01 mg/L) 22586,83 (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) (24) 12,3 18 (-) (-) 29,4 7,56 25,3 7 31,5 76,92 ‹0,05 0,01 0,01 ‹0,01 ‹0,01 ‹0,01 21675,95



(-)



18



(-)



(-)



(-)



7,84



29,9



(-)



(-)



(-)



0,09



(-)



(-)



(-)



(-)



0,012



(-)



(-)



0,33



(-)



(-)



Minyak Bumi (-) (mg/L)



Phenol (mg/L)



Pestisida (mg/L)



PCB (mg/L)



(25) (-)



0,829 (26) ‹0,002



(-)



(-)



(-)



(-)



(-) (27) (-)



Keterangan : (-) Parameter tidak diukur



Sumber : Uji Lab. DPLH Provinsi Sulawesi Selatan & Lampiran Tabel 23 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



47



(-) (28) (-)



2.2.3 Kualitas Air Sungai Kulitas air di Sulawesi Selatan cukup beragam, dan beberapa sungai tergolong cemar berat. Berdasarkan hasil Pemantauan Kualitas air sungai untuk 20 dari 27 sungai lintas kabupaten/kota yang merupakan kewenangan provinsi, 2 danau prioritas di Sulawesi Selatan berada pada tingkat cemar ringan hingga cemar sedang dengan menggunakan standar baku mutu Peraturan Gubernur Nomor 69 Tahun 2010 (DPLH Provinsi Sulawesi Selatan, 2018). Kemudian, berdasarkan hasil analisis status mutu air pada 20 sungai dan 2 danau yang dipantau hampir semuanya termasuk kategori cemar ringan. Cemar sedang hanya terdapat di beberapa titik yaitu Sungai Awo, Sungai Walanae, Sungai Pangkajene pada titik hilir sungai dan sungai karajae pada titik tengah dan hilir sungai. Sedangkan untuk kualitas air Danau Matano dan Danau Towuti telah memenuhi stastus baku mutu air danau sesuai Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 69 Tahun 2010 tentang Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan Lingkungan. Secara umum, pencemaran air berasal dari: limbah cair domestik dan limbah cair industri yang tidak dikelola dengan baik, sampah domestik, pemakaian air berlebihan, dan penataan fungsi lahan yang tidak baik. Hal ini diperparah dengan masih banyaknya penduduk yang membuang hajat sembarangan di badan air (sungai, danau, dan rawa). Peristiwa tersebut dapat mengakibatkan kualitas air menurun. Bukan hanya itu, ketersediaan air juga dapat terganggu akibat alih fungsi lahan yang berakibat pada peningkatan aliran permukaan (run-off) di kawasan hilir yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan banjir. Kondisi tersebut yang menyebabkan kualitas air pada badan air dalam wilayah provinsi Sulawesi Selatan berfluktuasi sebagaimana data hasil pemantauan Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (Tahun 2015 - 2018) terhadap air sungai (Sungai Jeneberang dan Sungai Saddang), air danau (Danau Tempe) dan air tanah.



48



Di antara parameter fisik yang dilaporkan hasil pemantauan tahun 2015 - 2018, hanya TSS telah melampaui baku mutu nasional (50 mg/l) untuk beberapa air sungai di Sulawesi Selatan. TSS yang tinggi tersebut hanya terjadi pada lokasi sampling dan periode tertentu, terutama pada musim hujan pada air Sungai Jene Berang maupun Sungai Sa’dang. Kondisi fisik ini sesunguhnya secara fluktuatif telah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya, namun pada tahun terakhir tampak lebih tinggi. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya peningkatan TSS dalam badan air ini adalah erosi pada lahan-lahan penduduk di sepanjang bantaran sungai dan peritiwa ini cenderung lebih intensif terjadi pada aliran sungai Sa’dang dibanding pada aliran Sungai Jeneberang Tabel. 2.2.4. Kualitas Air Sungai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 Sungai



Sa’dang



Jeneberang



WalanaeCenranae



Lokasi Kec. Sa’dang Kab. Toraja Utara Kec. Makale Kab. Tana Toraja Kec. Enrekang Kab. Enrekang (Anak Sungai) Kec. Enrekang Kab. Enrekang Kec. Cendana Kab. Enrekang Kec. Duampanua, Kab. Pinrang Kec. Duampanua Kab. Enrekang Desa Bontolero, Kec. Tinggi Moncong Kab. Gowa/Jembatan Merah Anak Sungai Lonjoboko, Kec. Parangloe, Kab. Gowa Desa Parangloe, Kab. Gowa DAM Bili bili, Desa Bili Bili Kab. Gowa Jembatan Kembar Kec. Pallangga/Desa Moncongloe Kec. Manuju, Kab. Gowa Desa Bontomarannu, Kec. Bontomarannu, Kab. Gowa Bendungan Karet, Benteng Somba Opu Kec. Tamalate Makassar Jembatan Leppangeng, Desa Cenrana, Kec. Lappariaja, Kab. Bone Sungai Walanae – Cenranae, Jembatan Cabbenge/Macanre, Desa Ujung, Kec. Lilirialu, Kab. Soppeng Sungai Walanae – Cenranae, Jembatan Allimbangeng, Kec. Sabbangparu, Kab. Wajo



Status Mutu Air Tahun 2016 Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Cemar Cemar Cemar



Ringan Ringan Ringan Ringan



Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Sedang Cemar Sedang Cemar Sedang Cemar Berat Cemar Berat



49



Sungai



Tangka



Larona



Lokasi Sungai Walanae – Cenranae, Jembatan Tapangeng, Kel. Tampae, Kec. Tempe, Kab. Wajo Sungai Walanae - Cenranae, Jembatan Paduppa, Kel. Paduppa, Kec. Tempe, Kab. Wajo Sungai Cenranae, Dermaga Uloe (pertemuan Sungai Unyi – Cenranae) Desa Uloe, Kec. Dua Boccoe, Kab. Bone Sungai Cenranae, Muara Ujung Tana – Pallimekel. Cenrana, Kec. Cenrana, Kab. Bone Hulu Sungai, Tangka (Air Terjun) Desa Pao Kec. Tombolo Pao Kab. Gowa Jembatan Desa Bontosalama Kec. Sinjai Barat, Kab. Sinjai Sungai Tangka Desa Tompobulu, Kec. Bulupodo, Kab. Sinjai Sungai Tangka dusun Mattirodeceng, Desa Duampanua, Kab. Sinjai Sungai Tangka Desa Abbumpungeng Kec. Kajuara, Kab. Bone Sungai Tangka Desa Massangke, Kec. Kajuaran Kab. Bone Sungai Bontosunggu desa Bontosalama Kec. Sinjai Barat Kab. Sinjai Inlet PLTA Larona, Desa Balambano, Kec. Wasuponda, Kab. Luwu Timur Jembatan pintu Larona, Desa Balambano, Kec. Wasuponda, Kab. Luwu Timur Sungai Balambano, Jembatan Balambano, Desa Balambano, Kec. Wasuponda, Kab. Luwu Timur



Status Mutu Air Tahun 2016 Cemar Berat Cemar Berat Cemar Berat Cemar Berat Cemar Berat Cemar Berat Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Berat Cemar Berat Cemar Berat Cemar Ringan Cemar Ringan Cemar Berat



Sumber : Dokumen RPPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Dari Tabel 2.2.6. dapat diartikan bahwa kualitas air Sungai Saddang rendah atau berada pada keadaan yang cukup memprihatinkan, hal ini ditunjukkan dengan status mutu air yang umumnya dari semua titik pemantauan berada pada tingkat cemar ringan, untuk kualitas air Sungai Jeneberang bervariasi dari cemar ringan pada titik hulu dan cemar sedang sebelum tengah aliran sungai dan cemar berat pada daerah hilir. Hasil analisis menunjukkan bahwa, kualitas air Sungai WalanaeCenranae mengalami penurunan kualitas pada Tahun 2018 dibandingkan Tahun 2015 ini dibuktikan semua titik dengan status mutu adalah cemar berat, untuk kualitas air Sungai Larona mengalami peningkatan kualitas air



50



dibandingkan Tahun 2015, dimana semua titik berstatus cemar berat sedangkan pada Tahun 2016 pada daerah hulu berstatus cemar ringan dan pada daerah tengah sungai berstatus memenuhi baku mutu. Untuk Sungai Tangka baru pertama kali dipantau dan kualitas air Sungai Tangka status mutunya bervariasi dari cemar ringan sampai semar berat. Satu parameter dengan persentase yang cukup besar melewati baku mutu, ini menunjukkan tingginya tingkat sedimentasi pada Sungai Sadang dan Jeneberang, sedimentasi ini disebabkan lumpur yang terbawah oleh aliran air sungai disebabkan pada daerah hulu terjadi erosi akibat pembukaan lahan untuk kegiatan pertanian, pengolahan kayu dan penambangan galian C di pinggiran Sungai Saddang dan Jeneberang. Parameter BOD, COD, NO2, PO4 dan Fecal Coli yang melewati baku mutu pada beberapa titik pemantauan, merupakan indikator akan tingginya buangan limbah kegiatan domestik, untuk parameter Total Coli juga merupakan parameter yang cukup besar persenrase melewati baku mutu sangat berkaitan dengan pertumbuhan penduduk dan peternakan di sekitar sungai. 2.2.4 Curah Hujan dan Rata-Rata Bulanan Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya sama dengan daerah lain yang ada di Indonesia, mempunyai dua musim yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Juni sampai September dan musim penghujan yang terjadi pada bulan Desember sampai dengan Maret. Berdasarkan pengamatan di tiga Stasiun Klimatologi (Maros, Hasanuddin dan Maritim Paotere) selama Tahun 2015 rata-rata suhu udara 27,4 C di Kota Makassar dan sekitarnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Suhu udara maksimum di Stasiun Klimatologi Hasanuddin 32,1°C dan suhu minimum 24,0°C. Berdasarkan klasifikasi tipe iklim menurut oldeman, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 5 jenis iklim, yaitu Tipe iklim A termasuk kategori iklim sangat basah dimana curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/Tahun. Wilayah yang termasuk ke dalam tipe ini adalah Kabupaten Enrekang, Luwu, Luwu 51



Utara dan Luwu Timur. Tipe Iklim B, termasuk iklim basah dimana Curah hujan rata-rata 3000 - 3500 mm/Tahun (Gambar 6.). Wilayah tipe ini terbagi 2 tipe yaitu (B1) meliputi Kabupaten Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur, Tipe B2 meliputi Gowa, Bulukumba, dan Bantaeng. Tipe iklim C termasuk iklim agak basah dimana Curah hujan rata-rata 2500 - 3000 mm/Tahun. Tipe iklim C terbagi 3 yaitu Iklim tipe C1 meliputi Kabupaten Wajo, Luwu, dan Tana Toraja. Iklim C2 meliputi Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Barru, Pangkep, Enrekang, Maros dan Jeneponto. Sedangkan tipe iklim C3 terdiri dari Makassar, Bulukumba, Jeneponto, Pangkep, Barru, Maros, Sinjai, Gowa, Enrekang, Tana Toraja, Parepare, Selayar. Selanjutnya, tipe iklim D dengan Curah hujan rata-rata 2000 - 2500 mm/Tahun. Tipe iklim ini terbagi 3 yaitu Wilayah yang masuk ke dalam iklim D1 meliputi Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Luwu, Tana Toraja, dan Enrekang. Wilayah yang termasuk ke dalam iklim D2 terdiri dari Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Sinjai, Luwu, Enrekang, dan Maros. Wilayah yang termasuk iklim D3 meliputi Kabupaten Bulukumba, Gowa, Pangkep, Jeneponto, Takalar, Sinjai dan Kota Makassar. Tipe iklim E dengan Curah hujan rata-rata antara 1500 - 2000 mm/Tahun dimana tipe iklim ini disebut sebagai tipe iklim kering. Tipe iklim E1 terdapat di Kabupaten Maros, Bone dan Enrekang. Tipe iklim E2 terdapat di Kabupaten Maros, Bantaeng, dan



1000 800 600 400 200 0



Bantaeng Barru Bone Bulukumba Enrekang Gowa Jeneponto Luwu Luwu Timur Luwu Utara Makassar Maros Palopo Pangkep Pare-pare Pinrang Selayar Sidrap Sinjai Soppeng Takalar Tana Toraja Toraja Utara Wajo



mm/bulan



Selayar.



JAN



FEB



MAR



APR



MEI



JUN



JUL



AGU



SEP



OKT



NOV



DES



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel 24 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.2.4. Rata-rata Curah Hujan per bulan di Sulawesi Selatan Tahun 2018



52



Rata- rata curah hujan tertinggi di Sulawesi Selatan terjadi di Kabupaten Pangkep pada bulan desember yaitu sebanyak 952 mm/bulan yang di lakukan pada stasiun pemantauan Minasa Tene. Sementara rata-rata curah hujan terendah terjadi di beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan dengan nilai 0 mm/bulan. 2.2.5 Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Sumber air minum penduduk Sulawsi Selatan juga dapat menjadi gambaran kualitas hidup masyarakatnya. Dalam hal ini berkaitan dengan jumlah penduduk yang dapat mengakses air bersih untuk air minum. Sumber air minum yang digunakan oleh penduduk Sulawesi Selatan meliputi air ledeng, air sumur, air sungai, air hujan, air kemasan dan sumber air lainnya, seperti mata air dan air isi ulang.



250.000



Ledeng/ PAM



200.000



Sumur



150.000



Sungai



100.000



Hujan Kemasan



50.000



Lainnya



Selayar Bulukumba Bantaeng Jeneponto Takalar Gowa Sinjai Maros Pangkep Barru Bone Soppeng Wajo Sidrap Pinrang Enrekang Luwu Tana Toraja Luwu Utara Luwu Timur Toraja Utara Makassar Parepare Palopo



-



Sumber: Diolah dari Lampiran Tabel 24 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.2.5. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum di Sulawesi Selatan Tahun 2018



Pengguanaan sumber air lain/isi ulang cukup tinggi, terutama di beberapa kota seperti Makassar dan Kabupaten Gowa. Data ini menunjukkan masih perlunya program-program berkelanjutan agar secara umum penduduk Provinsi Sulawsi Selatan bisa mendapatkan sumber air minum yang bersih. Sumber air minium rumah tangga di berbagai



53



kota/kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat dalam Tabel berikut : Tabel 2.2.5. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 No.



Kabupaten/Kota



(1)



(2)



Mata Air



Ledeng/ PAM



Sumur



Sungai



Hujan



(5)



(6)



(7)



Kemasan Lainnya



(3)



(4)



Selayar



N/A



12.705



15.808



676



997



7.444



0



Bulukumba



N/A



31.337



67.065



0



0



20.448



0



3



Bantaeng



N/A



32.414



15.163



0



0



4.198



0



4



Jeneponto



N/A



35.767



44.654



102



229



12.275



0



5



Takalar



N/A



29.952



48.476



238



939



9.528



0



6



Gowa



N/A



46.269



111.338



0



0



53.936



0



7



Sinjai



N/A



22.131



26.769



211



1.093



7.385



0



8



Maros



N/A



42.082



110.549



1.229



8.239



27.399



276



9



28.432



42.104



126



5.110



27.912



0



1 2



(8)



(9)



Pangkep



N/A



10



Barru



N/A



39.979



297



378



8.700



0



11



Bone



N/A



16.690



27.945



1.996



5.089



16.047



0



12



Soppeng



N/A



16.020



38.012



2.489



0



6.363



0



13



Wajo



N/A



29.444



72.272



6.522



1.245



16.370



0



14



Sidrap



N/A



12.284



50.031



2.679



23



0



30.449



15



Pinrang



N/A



14.700



62.387



294



199



22.961



0



16



28338



Enrekang



N/A



12.971



20.466



2.288



66



2.814



0



17



Luwu



N/A



12.074



50.995



2.661



602



15.643



0



18



Tana Toraja



N/A



11.129



27.854



1.696



126



2.930



0



19



Luwu Utara



N/A



11.456



52.338



1.896



0



11.606



0



20



Luwu Timur



N/A



12.227



32.335



639



962



19.725



852



21



Toraja Utara



N/A



13.222



33.682



148



0



2.845



0



22



Makassar



N/A



202.437



47.580



405



101



208.013



0



23



Parepare



N/A



20.363



8.697



0



0



17.626



0



24



Palopo



N/A



24.798



7.393



0



0



15.606



0



Sumber: Lampiran Tabel 25 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



2.2.6 Kualitas Air Hujan Hujan merupakan masukan dalam sistem hidrologi. Ditinjau dari kualitasnya dibandingkan dengan air alami lainnya, air hujan merupakan air paling murni dalam arti komposisinya hampir mendekati H2O. Namun demikian, pada hakekatnya tidak pernah dijumpai air hujan yang betul-betul hanya tersusun atas H2O saja, berbagai faktor lingkungan telah mempengaruhi kualitas air hujan tersebut. Pencemaran udara yang terjadi di kota -kota besar, baik yang berupa buangan gas



maupun emisi dari



54



kendaraan bermotor.



Serta buangan



gas



dari pabrik



telah



mempengaruhi kualitas air hujan yang jatuh di daerah kota. Air hujan di daerah pantai juga terpengaruh oleh laut dengan segala aktifitas dan komposisi airnya. Di daerah gunung api yang masih aktif air hujan juga dipengaruhi oleh akti fitas tersebut. Masingmasing lingkungan tersebut di atas mempengaruhi komposisi air hujan. Tabel 2.2.6. Kualitas Air Hujan di Sulawesi Selatan Tahun 2018 Waktu Pemantauan



pH



DHL



SO 4



NO 3



Cr



NH4



Na



Ca2 +



Mg2 +



(1)



(2)



(3)



(4)



(5)



(6)



(7)



(8)



(9)



(10)



Jan



5,74



5,4



0,462



0,595



N/A



0,203



0,265



0,481



0,056



Feb



5,21



5,9



0,617



0,717



N/A



0,123



0,388



0,198



0,063



Mar



6,14



5,1



0,441



0,213



N/A



0,197



0,345



0,552



0,053



Apr



5,53



8,6



0,808



0,595



N/A



0,556



0,267



0,86



0,077



Mei



5,87



9,8



0,399



0,415



N/A



0,868



0,134



1,191



0,063



Jun



6,04



5,7



0,172



0,084



N/A



0,36



0,202



0,623



0,045



Jul



5,8



7,1



0,429



0,274



N/A



0,158



0,318



0,699



0,033



X



X



X



X



X 1,116



X 1,958



X 0,25



Ags



X



X



X



X



N/A



Sep



X 23,6



X 1,726



X 1,579



N/A



Okt



X 5,23



N/A



X 0,512



Nop



5,09



10,1



0,725



0,776



N/A



0,136



0,262



0,687



0,058



Des



5,49



5,1



0,313



0,089



N/A



0,011



0,202



0,5



0,043



Sumber: Lampiran Tabel 26 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Kajian kualitas air hujan di lakukan dengan Melihat olah data yang dilakukan berdasarkan hasil pemantauan yang di lakukan dengan menggunakan analisis KAH di Provinsi Sulawesi Selatan sebagai berikut: Keterangan : satuan Derajat Keasaman = pH, Daya Hantar (DH) = mho/cm Kalsium (Ca), Magnesiun (Mg), Natrium (Na), Amonium (NH4), Klorida (Cl), Sulphat (SO4), Nitrat (NO3) = mg/l (X) Tidak dilakukan pengukuran (N/A) Data tidak Valid



55



25



Axis Title



20 15 10 5 0 Jan



Feb



Mar



Apr



Mei



Jun



Jul



Ags



Sep



Okt



Nop



Des



Axis Title pH



DHL



SO4



NO3



NH4



Na



Ca2+



Mg2+



Sumber: Di olah dari Lampiran Tabel 26 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.2.6. Kualitas Air Hujan di Sulawesi Selatan Tahun 2018



Pada bulan agustus dan bulan september tidak dilakukan analisis KAH dikarenakan sample air hujan tidak mencukupi. Dan pada data Cr tidak memiliki data yang valid sehingga tidak dilanjutkan analisis KAH. 2.2.7 Kondisi Sungai Selama dua dekade terakhir, kinerja sungai-sungai utama di masingmasing wilayah sungai telah mengalami penurunan yang signifikan, terutama terkait dengan kriteria lahan dan tata air. Kriteria lahan meliputi Persentase Lahan Kritis (PLK), Persentase Penutupan Vegetasi (PPV) dan Indeks Erosi (IE), sedangkan kriteria meliputi Koefisien Regim Aliran (KRA), Koefisien Aliran Tahunan (KAT), Muatan Sedimen (MS), Banjir, dan Indeks Penggunaan Air (IPA). Faktor penyebabnya adalah tuntutan pembangunan yang membutuhkan alihfungsi lahan, bencana alam, dan implementasi peraturan



perundang-undangan



yang



mestinya,



seperti



Menteri



Peraturan



tidak



berjalan



Kehutanan



sebagaimana RI



No.



P.



61/Menhut/II/2014 tentang Monitoring dan Evaluasi Daerah Pengelolaan DAS.



56



Penurunan kinerja DAS sangat nyata ditunjukkan oleh kondisi Sungai Jeneberang sebagai sungai utama di wilayah selatan dan Sungai WalanaeCenranae di wilayah utara Sulawesi Selatan. Sungai Jeneberang dimana terletak Waduk Multifungsi Bili-Bili (penggenangan tahun 1991) telah mengalami pendangkalan akibat sedimentasi yang luar biasa (sejak 2004) akibat bencana longsor atau runtuhnya caldera Gunung Bawakaraeng. Dead Storage Sediment (DSS) waduk yang dirancang 50 tahun menjadi lebih singkat dengan level sedimen yang sudah mencapai intake air baku pada tahun 2007.



Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan bagi



keberlangsungan fungsi waduk sebagai sumber air baku, irigasi, dan pengendali banjir di Kawasan Mamminasata. Kondisi sedimentasi di Waduk Bili-Bili tahun disajikan pada Gambar. Tabel 2.2.7. Kondisi Sungai di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 No.



Nama Sungai



(1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19



(2) Kariango Karajae Kalibone Pangkajene Segeri Maros Rongkong Lamasi Pareman Siwa Awo Tarumpakkae Walanae-Cenranae Bila Tangka Bua (Sungai Lolisang) Balantiyeng Bialo Tino



20 21 22 23 24 25 27



Kabupaten



(3)



Lebar Panjang Permukaan (km) (m)



Lebar Dasar



Kedalaman



(m)



(m)



(7) 3,20 1,00 3,21 4,00 2,30 2,17 3,20 2,70 2,50 3,10 3,68 2,50 8,00 6,50 14,00 5,00 3,56 3,10 3,56



(5) 40,00 20,00 50,00 50,00 30,00 75,00 125,00 35,00 25,00 20,00 40,00 40,00 40,00 50,00 70,00 25,00 40,00 40,00 40,00



(6) 32,00 14,00 44,00 42,00 22,00 67,00 117,00



Bantaeng, Jeneponto



(4) 64,00 34,50 41,30 52,00 29,00 65,00 108,00 42,00 73,00 55,00 70,00 64,00 64,00 64,00 64,00 79,70 53,00 64,00 64,00



Jeneponto(Sungai Kelara)



Jeneponto, Gowa



64,00



40,00



49,00



4,25



Binanga Allu Pappa(Sungai Pamukkulu) Jeneberang Tallo Gilireng Saddang



Jeneponto, Gowa



64,00



40,00



24,00



3,20



Takalar



64,00



40,00



45,00



Gowa, Makassar



64,00 64,00 64,00 64,00



40,00 40,00 40,00 40,00



92,00 42,00 26,00 105,00



Pinrang, Enrekang, Sidrap Pare-pare, Sidrap Maros, Pangkep Pangkep, Barru, Bone Pangkep, Barru Maros, Gowa Luwu, Luwu Utara Luwu, Luwu Utara Luwu, Tator Wajo, Sidrap Wajo, Sidrap Wajo Wajo, Bone Wajo, Sidrap Gowa, Sinjai Luwu Bulukumba Bantaeng, Bulukumba



Gowa, Makassar, Maros Sidrap, wajo Tator, Enrekang, Pinrang



19,00 16,00 19,00 92,00 20,00 24,00



Debit Debit Min Maks (M3/dtk) (M3/dtk)



(8) 27,70 222,00 245,22 104,00 1450,00 463,00 350,00



(9) 0,005 0,010 0,230 1,700 35,100 4,500 6,120



1.000,00 -



2,120 -



1.170,00



13,030



273,00



14,900



195



-



-



-



-



104,68



0,930



3,25



34,00



0,040



3,76 4,00 3,00 4,25



967,00



0,100



2.332,00



0,022



57



2.2.8 Kondisi Danau/Waduk/Embung Danau adalah salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Ketersediaan



sumberdaya



air



sangat



mendasar



untuk



menunjang



pengembangan ekonomi wilayah. Sumber daya air yang terbatas disuatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya kegiatan ekonomipun terbatas sehingga kemakmuran rakyat makin lama tercapai. Air danau/waduk dapat digunakan untuk berbagai pemanfaatan antara lain sumber baku air minum air irigasi, pembangkit listrik, penggelontoran, perikanan dsb. Grafik. Jumlah Danau, Waduk, Embung di Sulawesi Selatan Tahun 2018 30



25



20



15



10



5



0 Jumlah



Danau



Waduk



Embung



24



8



8



Sumber: Di olah dari Lampiran Tabel 26 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.2.7. Grafik Jumlah Danau, Waduk, Embung di Sulawesi Selatan Tahun 2018



58



Di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat 24 danau yaitu: danau taparang masapi, danau sukoyo, danau lapompaka/buaya, danau lawuloi/wawontoa, danau lapapolo, danau lapapolo, danau mahalona, danau taparang palisu, danau taparang alicopenge, danau taparang lasepang, danau wawontoa, danau mangappa, danau kalappa, danau limbo pendonge, danau limbo panawumpada, danau limbo kasimbo, danau matano, danau penrangriawa, danau sidenreng, danau sido, danau tana malea, danau tempe, danau towuti, dan danau wiring tasi. Sementara waduk yang terdapat di Sulawesi Selatan ada 8 yakni: Waduk Kalola, Waduk Bili-Bili, Waduk Bakaru, Waduk B.Larona, Waduk B.Salomekko, Waduk Pantai(Long storeage)jeneberang, Waduk Lurah, Waduk Tunggu Pampang. Kemudian untuk 8 embung yang terdapat di Sulawesi Selatan yaitu: Embung Bontomanai, Embung Matajang, Embung Garing, Embung Lassang, Embung Pattiro, Embung Maero, Embung Tabuakang, Embung Pabentengang.



Sumber: Di olah dari Lampiran Tabel 26 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



Gambar 2.2.8. Gambar. Kondisi sedimentasi di Waduk Bili-Bili, Sungai Jenebarang di Sulawesi Selatan Tahun 2018



59



2.2.9 Kualitas Air Danau/Waduk/Situ/Embung. Danau yang memiliki volume tertinggi adalah Danau Matano (24.600 juta m3) dan danau yang memiliki volume tertendah adalah Danau Dori (0,27 juta m3). Secara fisik danau terluas adalah Danau Towuti (56,108 Ha) dan tersempit adalah Danau Bori (6 Ha). Untuk itu berdasarkan pemantauan kualitas air danau yang ada di sulawesi selatan, memberikan informasi nilai pH pada danau Tempe berada dikisaran 7,3-7,4.



Fecal colifo rm (jmlh / 100 ml)



Total coliform (jmlh/ 100 ml)



Sianida (mg/L)



H2S (mg/L)



(28)



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



2,6 9,2 0,06 0,7



-



-



-



-



-



2



Air danau yang diambil dari air danau tempe 1 (sidrap) Jl. Lajonga Kel. 20-Des-18 Wette Kec. Panca Lautan Kab. Sidrap kedalaman 150 cm



-



-



-



-



-



7,4 361 352 4748



-



2,8



25 0,14 0,8



-



-



-



-



3



Air danau yang diambil dari air danau tempe 3 (wajo) Jl. Ambo Ewang Kel. 20-Des-18 Assorajang Kec. Tana Silolo Kab. Wajo. Kedalaman 150 cm



-



-



-



-



-



7,3 331 488



-



2,5



16 0,19 0,1



-



-



-



-



NO2



Minyak & Lemak (µg/L)



-



Fenol (µg/L)



556



T-P (mg/ L)



7,3 401 160



Klorin bebas (mg/L)



-



NH3 (mg/ L)



-



NO3 (mg/ L)



-



L)



-



COD (mg/ L)



-



BOD (mg/ L)



1



Air danau yang diambil dari danau Tempe 1 (soppeng) Jl. Annitute Kel. 20-Des-18 Kaca Kec. Marioriwawo Kab. Soppeng kedalam 110 Cm



DO (mg/ L)



(8)



(3)



TSS (mg/ L)



(7)



(2)



TDS (mg/ L)



(6)



(1)



DHL



(5)



Nama



Titik Koordinat



pH



(4)



No



Waktu sampling (tgl/bln/ thn)



Detergen (µg/L)



(27)



Residu Tersuspensi (mg/L)



(26)



Bujur



Residu Terlarut (mg/ L)



(25)



Lintang



Temperatur (ºC)



(mg/



Tabel 2.2.8. Kualitas Air Danau/Waduk/Situ/Embung Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



(9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (22) (23) (24)



678



Keterangan : (-) tidak ada data Sumber



: Lampiran Tabel 30 DIKPLH Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018



60



Kulitas air di Sulawesi Selatan cukup beragam, dan berdasarkan hasil analisis terakhir status mutu air pada Danau Matano dan Danau Towuti telah memenuhi stastus baku mutu air danau sesuai Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 69 Tahun 2010 tentang Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan Lingkungan. Kualitas air danau yang ada diprovinsi Sulawesi Selatan tahun terakhir (2018) dapat digambarkan dari hasil pemantauan kualitas air Danau Matano dan Danau Towuti dalam dua periode pemantauan. Selama dua periode pemantauan tidak ada paramater yang mengalami perubahan yang tajam, baik fisik kimai maupun mikrobiologi. Hanya saja, Danau Towuti terindikasi tercemar oleh bahan organik maupun anorganik berdasarkan dua parameter



kebutuhan



oksigen



(BOD5



dan



COD)



dalam



periode



pemantauan. Sebaliknya, Danau Matano tampak mengandung kandungan bakteri coli relatif tinggi bahkan telah melampau baku mutu yang ditetapkan. Tampaknya dengan tiga parameter uji tersebut menjadi warning terhadap buruknya pengelolaan sistem drainase dan sanitasi lingkungan pada pemukiman di sekitar danau. Tabel. 2.2.9. Data hasil pengukuran kualitas air Danau Matano dan Tabel 2.6. Data hasil pengukuran kualitas air Danau Matano dan Danau Towuti Danau Towuti di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018 di Provinsi Sulawesi Selatan Danau Matano Danau Towuti Baku mutu Minium Maksimum Ratarata Minium Maksimum Ratarata TDS mg/L 42 168 118,5 48 118 83,5 1000 TSS mg/L >3 >3 >3 >3 >3 >3 50 pH 7,8 8,2 8,1 8 8,3 8,1 6,0 - 8,5 DO mg/L 6,6 7,3 7 6,8 7,1 6,9 4 BOD5 mg/L 1,7 2,1 1,9 1,3 2,9 2 3 COD mg/L 16 16 16 8 48 22 25 NO3-N mg/L