Laporan Fitokimia Biji Labu Kuning [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA IDENTIFIKASI KOMPONEN SENYAWA PADA BIJI LABU KUNING (Cucurbita moschata Semen)



Oleh :



Kelompok I Transfer 2014 Nama : Sitti Farah Diba Hamid Sri Reski Ananda Riza Rosita Tutut Purnama Sari Marjulyati Zainal Abidin



Fitri Tri Putri Kerolina Seba Nurwulan Halubangga Erfina Irene marlin Jabal Rahman



Asisten : Reny Syahruni S.Farm., Msc.



LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR 2014 BAB I



PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Indonesia terkenal dengan kekayaan alam yang memiliki berbagai jenis



tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Obat tradisional Indonesia telah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat dalam menjaga kesehataan dan mengobati penyakit yang diderita. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewariskan banyak obat- obatan yang telah teruji khasiatnya dan tetap lestari hingga saat ini dengan didukung oleh pembuktian ilmiah melalui uji praklinik dan uji klinik. Penggunaan obat tradisional dimasyrakat memiliki kecenderungan untuk kembali ke alam dengan memanfaatkan berbagai tanaman obat (Hendri Wasito, 2011) Sebagai mahasiswa farmasi yang menekuni obat-obatan maka mengenal asal, habitat, spesies dan sifat spesifikasinya hal yang penting. Pengetahuan yang cukup mengenai berbagai macam tumbuhan yang berkhasiat obat, baik bentuk simplisia, morfologi secara umum, kegunaan, cara ekstraksi, dan identifikasi komponen kimia yang terdapat dalam suatu simplisia merupakan hal yang harus diketahui oleh seorang mahasiswa farmasi. Pengetahuan ini dapat digunakan sebagai salah satu jalan untuk memberikan penjelasan masyarakat sebagai informasi obat bahan alam. Salah satu simplisia nabati yang digunakan dalam praktikum ini adalah biji labu kuning (Cucurbita moschata Durch) . Biji labu kuning ini memiliki khasiat sebagai obat cacing, antikanker, antihipertensi, antidiabetes. Biji labu kuning (Cucurbita moschata Durch) mengandung senyawa kimia steroid, mineral, asam amino. Pada praktikum ini dilakukan identifikasi komponen kimia pada biji labu kuning secara kualitatif.



1.2



Maksud dan Tujuan Percobaan



1.2.1



Maksud Percobaan Mengidentifikasi komponen senyawa kimia yang terdapat pada biji labu



kuning (Cucurbita moschata Durch). 1.2.2



Tujuan Praktikum



Mengidentifikasi komponen senyawa kimia yang terdapat pada biji labu kuning (Cucurbita moschata Durch) secara kualitatif dengan menggunakan pereaksi warna dan teknikk KLT.



I.3



Prinsip Percobaan Simplisia biji labu kuning diektraksi dengan metode refluks. Selanjutnya



ekstrak yang diperoleh diidentifikasi komponen kimianya secara kualitatif dengan menggunakan pereaksi warna dan teknik KLT.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



II.1



Morfologi Tanaman



II.1.1 Sistematika Tanaman Divisi



: Spermatophyta



Sub divisi



: Angiospermae



Kelas



: Dicotyledonae



Ordo



: Cucurbitales



Familia



: Cucurbitaceae



Genus



: Cucurbita



Spesies



: Cucurbita moschata Durch (Hutapea, J.R, et al., 1994)



Biji Labu Kuning (Cucurbita moschata Durch) II.1.2 Nama Daerah Tanaman Cucurbita moschata Durch. ini memiliki beberapa nama daerah, yaitu Labu parang ( Melayu), Waluh (Sunda), Waluh (Jawa Tengah). II.1.3 Ciri Morfologi Tanaman labu kuning berasal dari Ambon (Indonesia). Ada lima spesies labu yang umum dikenal, yaitu Cucurbita maxima Duchenes, Cucurbita ficifolia Bouche, Cucurbita mixta, Cucurbita moschata Duchenes, dan Cucurbita pipo L. Kelima spesies cucurbita tersebut di Indonesia disebut labu kuning (waluh), karena mempunyai ciri-ciri yang hampir sama. Waluh (Cucurbita) mencakup sekelompok tumbuhan merambat anggota suku labu-labuan (Cucurbitaceae) penghasil buah konsumsi berukuran besar bernama sama. Tumbuhan ini berasal dari benua Amerika, tetapi sekarang menyebar di banyak tempat yang memiliki iklim hangat.



Waluh mencakup beberapa spesies anggota genus Cucurbita, yaitu C. argyrosperma, C. maxima, C. moschata, dan C. pepo. Dalam beberapa pengertian setempat di Indonesia, waluh disebut sebagai "labu" saja, meskipun sebenarnya labu mencakup kelompok tanaman yang lebih luas, seperti labu air, labu ular, labu siam, dan beligo. Waluh dibedakan dari labu lainnya karena buahnya dimakan yang telah masak (biasanya berwarna jingga), berukuran relatif besar, berbentuk bulat sampai bulat telur dengan lekukan daun buah yang tampak jelas, dan berkulit keras. Pengertian waluh agak bermiripan dengan gabungan pumpkin dan beberapa squash dalam bahasa Inggris. Buah waluh berwarna oranye karena mengandung beta-karotena (salah satu provitamin A dan juga sebagai antioksidan). Jika dipotong, buah ini mempunyai penampang yang mirip bintang, berbiji besar dan berwarna coklat atau putih. Daging buahnya renyah, rasanya manis dan sedikit asam. Daun muda waluh juga dapat dibuat sebagai sayur. Buah labu kuning berbentuk bulat pipih, lonjong, atau panjang dengan banyak alur (15-30 alur). Ukuran pertumbuhannya cepat sekali, mencapai 350 gram per hari. Seperti daun tumbuhan pada umumnnya, warna daun labu adalah hijau, tapi pada daun labu pada pemukaaannya kasar. Labu tumbuh merambat atau menjalar dengan kait pada batangnya dan jarang berkayu. Kait pada batang labu berbentuk melingkar seperti spiral. Batang tumbuhan ini berwarna hijau muda dan berbulu halus serta berakar lekat. Panjang batangnya mencapai lebih dari 5 meter. Labu umumnya memiliki banyak biji yang berbentuk pipih, bundar telur, sampai bundar memanjang. Bagian ujung membulat, sedangkan bagian pangkal meruncing. Permukaan biji buram, licin. Biji terdapat bagian tegah-tengah buah. II.1.4 Ciri Fisiologi Cucurbita moschata Durch. termasuk tumbuhan C3, karena fiksasi karbon organik pertama ialah senyawa berkarbon tiga, 3-fofogliserat. Tumbuhan C3 yaitu tumbuhan yang fiksasi karbon awal terjadi melalui rubisco, enzim siklus Calvin yang menambahkan CO2 pada ribulosa bifosfat. Tumbuhan ini memproduksi sedikit makanan apabila stomata tertutup pada hari yang panas dan kering. II.1.5 Ciri Mikroskopik



Bagian yang diamati pada mikroskop adalah rambut halus pada permukaan daun. Pembesaran yang digunakan 10 x 40. Bagian tersebut memperlihatkan adanya sel-sel yang berbentuk jarum atau lebih dikenal dengan trikoma jarum. Pada penampang melintang biji, tampak kulit biji, terdiri dari lapisan kutikula tebal, jernih, di bawahnya terdapat lapian sel berbentuk silindris berupa jaringan palisade dengan dinding berkelok-kelok dan parenkim termampat, di bawahnya terdapat lapisan sel batu, lumen jelas dan tersusun tegak, jaringan berikutnya terdiri dari sel parenkim yang bentuknya tidak beraturan, dinding sel tebal, warna jernih. Keping biji terdiri dari epidermis keping biji berbentuk segi empat memanjang, parenkim keping biji berdinding tebal berisi aleuron dan minyak. Serbuk warna putih kecoklatan. Fragmen pengenal adalah fragmen kulit biji serupa jaringan palisade, sel batu parenkim, parenkim keping biji dan tetes minyak dan butir aleuron. II.1.6 Kandungan Kimia Dan Produksi Kandungan senyawa kimia dalam biji labu kuning antara lain jenis asam amino yang langka (seperti m-karboksifenilalanina, pirazoalanina, asam aminobutirat, etilasparagina, dan sitrulina) dan sejumlah asam amino lain yang diperlukan kelenjar prostat (semisal alanina, glisina, dan asam glutamat). Biji labu kuning juga mengandung unsur mineral Zn (seng) dan Mg (magnesium) yang sangat penting bagi kesehatan organ reproduksi, termasuk kelenjar prostat. Kandungan lainnya berupa asam lemak utama, yaitu asam linoleat, asam oleat, dan sedikit asam linolenat. Selain itu vitamin E (tokoferol) dan karotenoid, yakni lutein dan beta-karoten juga ada di dalam daging bijinya. Hormon beta-sitosterol itulah yang menyimpan khasiat menghambat atau menekan kerja enzim 5-alfareduktase. Enzim ini akan mengurangi terbentuknya hormon dihidrotestosteron dari hormon testosteron. Dengan begitu, membesarnya kelenjar prostat dapat dicegah. Selain itu, zat gizi dalam labu, diantaranya: a



Vitamin A dan beta karoten Beta karoten adalah pigmen warna kuning-oranye yang jika dicerna di dalam tubuh kita, akan berubah menjadi vitamin A. fungsi vitamin A dan beta



karoten antara lain berguna bagai kesehatan mata dan kulit, kekebalan tubuh serta reproduksi. Selain itu, zat gizi ini mempunyai manfaat sebagai antioksidan sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya kanker dan penyakit jantung. b



Vitamin C Salah satu jenis vitamin yang larut dalam air ini, sangat diperlukan untuk metabolisme tubuh. Vitamin C juga berperan pada fungsi kekebalan tubuh dan sebagai antioksidan.



c



Zat besi Zat gizi ini terutam diperlukan dalam pembentukan darah, khususnya hemoglobin (Hb). Makanan yang mengandung zat besi perlu, karena belak zat besi dari ibu saat bayi dilahirkan akan berangsur-angsur habis.



d



Kalium Fungsi utama kalium adalah menunjang kelancaran metabolisme tubuh. Hal ini penting dalam menjaga keseimbangan air dfan elektrolit (asam-basa) di dalam sel tubuh.



II.2



Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut



sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Pemabagian metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) yaitu :



A. Cara dingin 1. Maserasi



Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan terpekat didesak keluar (Ditjen POM, 2000). 2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena: -



Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.



-



Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi (Ditjen POM, 2000).



B. Cara Panas 1. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru dan yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 2. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50 0C.



3. Infundasi



Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Proses ini dilakukan pada suhu 90 0C selama 15 menit. 4. Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-100 0C (Ditjen POM, 2000). 5. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali menuju labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai penyarian sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4 jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan. Skema alat refluks. pemanasan suhu tinggi tanpa ada zat yang dilepaskan. Tabung kondensor dihubungkan dengan selang berisi air dingin. Selang air masuk ada di bagian bawah dan selang air keluar di bagian atas. Prinsip kerjanya adalah pada rangkaian refluks ini terjadi empat proses, yaitu proses heating, evaporating, kondensasi dan coolong. Heating terjadi pada saat feed dipanaskan di labu didih, evaporating (penguapan) terjadi ketika feed mencapai titik didih dan berubah fase menjadi uap yang kemudian uap tersebut masuk ke kondensor dalam. Cooling terjadi di dalam ember, di dalam ember kita masukkan batu es dan air , sehingga ketika kita menghidupkan pompa, air dingin akan mengalir dari bawah menuju kondensor luar, air harus dialirkan dari bawah kondensor bukan dari atas agar tidak ada turbulensi udara yang menghalangi dan agar air terisi penuh. Proses yang terakhir adalah kondensasi (Pengembunan), proses ini terjadi di kondensor, jadi terjadi perbedaan suhu antara kondensor dalam yang berisi uap panas dengan kondensor luar yang



berisikan air dingin, hal ini menyebabkan penurunan suhu dan perubahan fase dari steam tersebut untuk menjadi liquid kembali (Sediaan galenik, 1986).



Gambar rangkaian alat refluks II.3



Ekstraksi Cair-Cair Ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaitu ecampuran



secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu sesempurna mungkin. Pada saat pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media pembawa) dan masuk ke dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut (atau hanya dalam daerah yang sempit). Agar terjadi perpindahan massa yang baik berarti performasi ekstraksi yang besar haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin diantara kedua cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan didistribusikan menjadi tetestetes kecil (misalnya dengan bantuan perkakas pengaduk). Tentu saja pendistribusian ini tidak boleh terlalu jauh karena akan menyebabkan terbentuknya emulsi



yang tidak dapat lagi



atau sukar



sekali dipisah. Turbulensi pada saat mencampur tidak perlu terlalu besar. Yang penting perbedaan konsentrasi sebagai gaya penggerak pada bidang batas tetap ada. Hal ini berarti bahwa bahan yang telah terlarutkan sedapat mungkin segera disingkirkan dari bidang batas. Pada saat pemisahan, cairan yang telah terdistribusi menjadi tetes-tetes hanis menyatu kembali menjadi sebuah fasa



homogen dan berdasarkan perbedaan kerapatan yang cukup besar dapat dipisahkan dari cairan yang lain (Khamidinal, 2009). Pada metode ekstraksi cair-cair, ekstraksi dapat dilakukan dengan cara bertahap (batch) atau dengan cara kontinyu. Cara paling sederhana dan banyak dilakukan adalah ekstraksi bertahap. Tekniknya cukup dengan menambahkan pelarut pengekstrak yang tidak bercampur dengan pelarut pertama melalui corong pemisah, kemudian dilakukan pengocokan sampai terjadi kesetimbangan konsentrasi solut pada kedua pelarut. Setelah didiamkan beberapa saat akan terbentuk dua lapisan dan lapisan yang berada di bawah dengan kerapatan lebih besar dapat dipisahkan untuk dilakukan analisis selanjutnya (Khamidinal, 2009). Diantara berbagai jenis metode pemisahan, ekstraksi pelarut atau dise but juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan populer. Alasan utamanya adalah bahwa pemisahan ini dapat dilakukan baik dalam tingkat makro maupun mikro. Seseorang tidak memerlukan alat yang khusus atau canggih kecuali corong pemisah. Prinsip metode ini didasarkan padsa distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidang saling bercampur, seperti benzen, karbon tetraklorida, atau kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase pelarut. Teknik ini dapat digunakan untuk kegunaan preparatif, pemurnian, memperkaya, pemisahan serta analisis pada semua skala kerja. Mula-mula metode ini dikenal dalam kimia analisis, kemudian berkembang menjadi metode yang baik, sederhana, cepat dan dapat digunakan untuk ion-ion logamyang bertindak sebagai trace (pengotor) dan ion-ion logam dalam jumlah makro gram (Khopkar, 2010). Cara ini digunakan jika harga D cukup besar (˃ 1000). Bila hal ini terjadi, maka satu kali ekstraksi sudah cukup untuk memperoleh solut secara kuantitatif. Nmaun demikian, ekstraksi akan semakin efektif jika dilakukan berulangkali menggunakan pelarut dengan volume sedikit demi sedikit (Estien Yazid, 2005).



II.4



Skrining Fitokimia



Pendekatan skrining fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan kimia dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, buah, bunga, biji), terutama kandungan metabolit sekunder yang bioaktif, yaitu alkaloid, antrakinon, flavonoid, glikosida jantung, kumarin, saponin (steroid dan triterpenoid), tanin (polifenolat), minyak atsiri (terpenoid), dan sebagainya. Adapun tujuan pendekatan skrining fitokimia adalah mengetahui kandungan bioaktif atau kandungan yang berguna untuk pengobatan dalam tumbuhan (Farnsworth, 1966). Metode yang digunakan atau dipilih untuk melakukan skrining fitokimia harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain sederhana, cepat, dapat dilakukan dengan peralatan minimal, bersifat semikuantitatif yaitu memiliki batas kepekaan untuk senyawa yang bersangkutan, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari, dan dapat memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya senyawa tertentu dalam dari golongan senyawa yang dipelajari. Analisis kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa dapat dilakukan dengan uji tabung dan atau dengan uji penegasan KLT. Uji tabung dilakukan terhadap golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak. Misalnya, sari dalam petroleum eter mengandung zat-zat kimia yang larut dalam minyak (lemak dan asam lemak tinggi, steroid, terpenoid dan karotenoid). Sari dalam eter mengandung senyawa alkaloid, senyawa-senyawa fenolik (fenol-fenol, asam fenolat, fenil propanoid, flavonoid, antrakinon), komponen minyak atsiri tertentu, dan asam lemak. Sedangkan sari etanol-air mengandung zat-zat kimia seperti garam alkaloid, antosian, glikosida, saponin, tanin, dan flavonoid. Uji penegasan dengan KLT hanya dilakukan terhadap senyawa yang memberikan hasil positif pada uji tabung (Stahl, 1985).



II.5



Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi cair-padat dan



merupakan metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok (Sastrohamidjojo, 1973).



Fase diam tersebut dapat berupa lapisan tipis alumina, silika gel atau bahan serbuk lainnya. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah pelat ditempatkan dalam larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan yang terjadi adalah adsorbsi. Kekuatan adsorbsi tergantung pada kuat lemahnya interaksi antara senyawa, pelarut, dan adsorben (Padmawinata, 1991). Fase gerak untuk KLT terdiri dari campuran dua atau tiga sistem pelarut yang berbeda kepolarannya. Sistem fase gerak yang biasa digunakan antara lain, n-heksana/etil



asetat,



eter/n-heksana,



diklorometan/n-heksana,



diklorometan/metanol (Still, 1978). Pemisahan dengan KLT dengan mudah diamati jika semua senyawa yang dipisahkan berwarna. Namun, jika beberapa atau semua senyawa tidak berwarna harus dilakukan penampakan bercak. Bercak yang terbentuk berdasarkan hasil pengembangan diamati dibawah sinar tampak dan sinar UV. Jika senyawa yang diteliti mengandung ikatan rangkap terkonjugasi atau cincin aromatik, bercak akan tampak gelap dengan latar belakang bersinar pada UV 254 nm. Pada UV 365 nm, bercak yang sama akan nampak berpendar. Jika pengamatan di bawah sinar UV tidak dapat mendeteksi suatu senyawa, perlu dilakukan pengujian reaksi dengan penyemprotan atau penguapan suatu reagen. Pengujian berdasarkan warna dilakukan untuk uji kualitatif. KLT sering digunakan untuk mencari sistem eluen untuk pemisahan campuran senyawa dengan kromatografi kolom. Identifikasi dari senyawa yang terpisah pada lapis tipis diperoleh dari harga faktor retensi (Rf), yaitu dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut dengan jarak tempuh pelarut. Harga Rf = Jarak yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal Jarak yang ditempuh pelarut dari titik asal (Padmawinata, 1985). Kelebihan KLT adalah dapat melakukan pemisahan senyawa yang sangat berbeda seperti senyawa organik alam dan organik sintetik, kompleks anorganikorganik, dan bahkan ion anorganik dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal. Selain itu, KLT hanya



memerlukan pelarut dan cuplikan dalam jumlah sedikit (beberapa mikrogram sampai lima gram). Prinsip Penampakan Noda a. Pada UV 254 nm Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. b. Pada UV 366 nm Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm. c. Pereaksi Semprot H2SO4 10% Prinsip penampakan noda pereaksi semprot H2SO410% adalah berdasarkan kemampuan asam sulfat yang bersifat reduktor dalam merusak gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga panjang gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi VIS) sehingga noda menjadi tampak oleh mata.



BAB III METODE PERCOBAAN



III.1



Tempat Percobaan Percobaan dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Sekolah Tinggi



Ilmu Farmasi (STIFA) Makassar.



III.2



Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah: Alat-alat gelas,



timbangan analitik, tabung reaksi dan rak tabung, batang pengaduk, bunsen, plat tetes, pipet tetes, corong pisah, lampu UV 254 nm dan 366 nm, dan seperangkat alat kromatografi lapis tipis (KLT). Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah: Sampel biji Labu Kuning (Cucurbita moschata Durch), n-Heksan, etil asetat, butanol, metanol, etanol, eter, FeCl3, Serbuk Mg, kloroform, aquadest, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf, pereaksi Wagner, pereaksi H2SO4, dan lempeng KLT. III.3



Metode Kerja



III.3.1 Pengambilan sampel Sampel biji labu kuning (Cucurbita moschata Durch) diperoleh dari Desa Pakabba’ Dusun Jalumata, Kec. Galesong Utara, Kab. Takalar-Makassar. III.3.2 Pengolahan sampel Biji labu kuning (Cucurbita moschata Durch) yang telah dikumpulkan disortasi basah lalu dicuci. Sampel kemudian dikeringkan dan dirajang (dipotong kecil-kecil) kemudian dilakukan sortasi kering lalu diserbukkan (serbuk kasar). III.3.3 Pembuatan Ekstrak Simplisia biji labu kuning (Cucurbita moschata Durch) diekstraksi sebanyak 200 gram dengan metode refluks menggunakan 1 liter pelarut etanol selama 2-3 jam. Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan cara diangin-anginkan hingga diperoleh ekstrak kental.



III.3.4 Proses Pemisahan III.3.4.1 Ekstraksi Cair-Cair Ekstrak sebanyak 5 g dilarutkan dengan 50 ml klorofom dan dimasukkan kedalam corong pisah kemudian ditambahkan 50 ml aquadest, dimasukkan kedalam corong pisah tersebut. Setelah itu, dikocok dan didiamkan hingga terbentuk 2 lapisan. Dipisahkan lapisan yang larut kloroform dan lapisan yang larut air, lalu lapisan yang larut kloroform dimasukkan kembali ke dalam corong pisah dan ditambahkan 50 ml etil asetat. Dikocok dan didiamkan hingga terbentuk 2 lapisan. Masing-masing lapisan kloroform dan etil asetat kemudian dipisahkan dan ditampung dalam vial berupa fraksi. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya diuapkan. III.3.4.2 Kromatografi Lapis Tipis Lempeng diberi batas atas 0,5 cm dan batas bawah 1 cm. Lempeng yang telah diberi garis diaktifkan dalam oven dengan suhu 115°C selama 15 menit. Selanjutnya fraksi dilarutkan dengan masing-masing pelarut yg sesuai dan ditotolkan pada lempeng yang telah diaktifkan. Dibuat eluen yang sesuai, yaitu kloroform : metanol (9 : 1). Kemudian masing-masing eluen dimasukkan ke dalam chamber, setelah itu dijenuhkan dengan kertas saring. Dimasukan lempeng yang telah ditotolkan kedalam chamber dan kemudian dielusi. Dilakukan pengamatan pada penampakan noda dengan menggunakan UV 254 nm dan 366 nm. III.3.5 Uji Identifikasi Senyawa 1.



Uji Saponim Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan alkohol



70%, kemudian ditambahkan 10 ml air hangat/panas lalu dikocok selama 30 menit. Dilihat busanya dan diukur berapa cm busa yang terbentuk. Dibiarkan selama 10 menit dan jika busanya tidak hilang ditambahkan HCl. Apabila masih terdapat busa yang konstan maka menunjukan hasil yang positif. 2.



Uji Flavonoid Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan etanol 70%,



kemudian ditambahkan serbuk Magnesium sebanyak 0,5 mg lalu ditambahkan



HCl pekat 3 tetes. Endapan merah menunjukan senyawa flavon, endapan merah tua menunjukan senyawa flavonol/flavonon dan endapan hijau menunjukan senyawa glikosida/aglikon. 3.



Uji Alkaloid Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan etanol 70%,



kemudian ditambahkan 5 tetes HCl 2 N dan dipanaskan. Setelah itu ditambahkan NaCl dan disaring lalu ditambahkan 5 tetes HCl 2 N. Dipipet 1 ml dan dimasukan dalam tabung reaksi, dimana masing-masing tabung reaksi ditambahkan pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer dan pereaksi Wagner. Untuk pereaksi Dragendorf endapan merah/jingga menunjukan positif senyawa alkaloid, pada pereaksi Mayer endapan putih menunjukan positif senyawa alkaloid dan pada pereaksi Wagner endapan coklat menujukan hasil yang positif. 4.



Uji Terpenoid/Steroid Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan etanol 70%,



kemudian ditambahkan eter sebanyak 5 tetes hingga terbentuk 2 lapisan antara larutan air dan etanol. Lapisan bagian atas (larut etanol) dipisahkan dan diuapkan dalam plat tetes lalu ditambahkan H2SO4. Endapan warna hijau menunjukan hasil yang positif. 5.



Uji Tanin Ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan etanol 70%,



kemudian ditambahkan 2 mL air. Setelah itu ditambahkan 3 tetes FeCl 3. Endapan warna hijau kehitaman menunjukan hasil yang positif.



BAB V PENUTUP



V.1



Kesimpulan Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa



ekstrak etanol Biji Labu Kuning mengandung steroid, alkaloid, flavonoid, dan tanin.



V.2



Saran Sebaiknya dilakukan orientasi pemilihan eluan secara gradien hingga



diperoleh komposisi yang baik, yang dapat menarik senyawa aktif pada lempeng silika gel. Jika noda yang terbetuk berekor



DAFTAR PUSTAKA



Anomim, 1995, Materia Medika Indonesia VI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Anonim, 1997, Ensiklopedia Nasional Indonesia, P.T. Delta Pamungkas. Anonim, 2004. Wuluh, http://id.wikipedia.org/wiki/Waluh. Diakses tanggal 19 Desember 2014. Anonim, 2014. Kromatografi Lapis Tipis.http://id.wikipedia.org/wiki/Kromatogra fi_lapis_tipis. Diakses tanggal 19 Desember 2014. Anonim,2011. Labu Kuning. http://riyanpharmacy.blogspot.com/2011/01/labukuning-cucurbitae-moschata.html. Di akses tanggal19 Desember 2014. Byrd Graft, Alfred, 1992, Tropica, Roehrs Company, East Rutherford. Campbell, N. A., 2000, Biologi, Edisi Kelima, Jilid I, 196, Jakarta: Erlangga. Ditjen POM, 1986, Sediaan Galenik , Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Estien Yazid, 2005, Kimia Fisika untuk Paramedis, Yogyakarta: Andi. Heyne, K., 1987, Tumbuhan berguna Indonesia III, Jakarta: Badan Litbang Departemen Kehutanan Indonesia. Khamidinal, 2009, Teknik Laboratorium Kimia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Khopkar, 2010, Konsep Dasar kimia Analitik, Jakarta: UI-PRESS. Padmawinata, K. dan I. Soediro, 1985, Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, Penerbit ITB, Bandung. Terjemahan : Drugs Analisis by Chromatography and Microscopy, Stahl, E., Michigan Sastrohamidjojo, H., 2005. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty. Stahl, Egon. 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB. Still, Clark., Kahn, M., and Mitra, A., 1978. Rapid Chromatographic Technique for Preparatives Separations with Moderate Resolution. Journal of Organic Chemistry. Vol. 43. No. 14. Sudjadi, Drs., 1986. Metode Pemisahan, Yogyakarta: UGM Press.



LAMPIRAN



LAMPIRAN 1 Gambar Buah dan Biji Labu Kuning



Lampiran 2 Gambar Hasil Kromatografi Pada Panjang Gelombang UV 366 nm



Kloroform : Metanol



Kloroform : Metanol



Kloroform : Metanol (0,5 : 9,5)



(9,5 : 0,5)



( 9 : 1)



LAMPIRAN 3 Gambar Hasil Kromatografi Pada Panjang Gelombang UV 254 nm



Kloroform : Metanol



Kloroform : Metanol (0,5 : 9,5)



Kloroform : Metanol (9,5 : 0,5)



( 9 : 1)



LAMPIRAN 4 Gambar Lempeng yang telah di semprot dengan H2SO4



Kloroform : Metanol Kloroform : Metanol (9,5 : 0,5)



( 9 : 1)



LAMPIRAN 5 IDENTIFIKASI KOMPONEN SENYAWA 1.



Uji Alkaloid



Pereaksi Mayer



Pereaksi Dragendorf



Pereaksi Wagner (+) Endapan Putih



(+) Endapan Orange



(+) Endapan Coklat 2.



Tanin



(+) Endapan Hijau Hitam



3.



Uji Saponin



(-) Saponin