Laporan Kajian Kesiapsiagaan Bencana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KAJIAN KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGANTISIPASI BENCANA GEMPA BUMI & TSUNAMI



iii



TIM KAJIAN



Penanggung Jawab : Prof. Dr. Jan Sopaheluwakan Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia



Penulis : Deny Hidayati Haryadi Permana Krishna Pribadi Febrin Ismail Koen Meyers Widayatun Titik Handayani Del Afriadi Bustami Daliyo Fitranita Laila Nagib Ngadi Yugo Kumoro Irina Rafliana Teti Argo



v



KATA PENGANTAR



Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang mewakili wilayah yang paling rentan terhadap berbagai bencana alam. Dalam kurang dari dua tahun terakhir, Indonesia mengalami dua bencana gempa bumi yang dahsyat, yaitu gempa Aceh dan Nias disusul tsunami yang kemudian menjadi bencana alam terbesar dalam dekade terakhir. Kemudian gempa Jogjakarta di bulan Mei 2006 yang menelan korban jiwa lebih dari 6500 jiwa serta kerugian harta benda, yang tak ternilai. Catatan sejarah serta temuan-temuan ilmiah semakin meyakinkan potensi pengulangan bencana alam di masa depan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Minimnya pengetahuan untuk memulai gerakan siaga bencana yang lebih terlembaga dalam masyarakat adalah penyebab utama tingginya korban akibat dinamika proses alam yang terus berlangsung. Kesiapsiagaan bencana juga menjadi kurang optimal dengan insitiatif – inisiatif sporadis yang dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli untuk mengurangi resiko bencana alam. Hal inilah yang menjadi pemahaman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, bekerja sama dengan UNESCO (United Nations Educational and Scientific Cooperation) yang didukung penuh oleh ISDR (International Strategy for Disaster Reduction) untuk mengembangkan Kerangka Kerja Kajian (Assessment Framework) Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Alam. Kerjasama kemudian digalang, untuk menggagas alat ukur tingkat kesiapsiagaan bencana masyarakat, termasuk pemerintah daerahnya, dalam mengantisipasi bencana alam. Alat ukur ini didesain dengan penekanan pada kesiapsiagaan terhadap potensi gempa serta tsunami. Desain alat ukur mengintegrasikan aspek sosial ekonomi, pendidikan, ekologi lingkungan, geologi, maupun teknik fisik. Namun diupayakan menjadi produk yang cukup generik serta sederhana untuk diterapkan dalam mengukur kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana alam lainnya, seperti banjir, longsor atau badai yang kerap muncul di wilayah pesisir Indonesia. Desain alat ukur dalam sebuah kerangka kerja (assessment framework) yang belum pernah dimiliki Indonesia ini, dikembangkan dengan upaya kerja keras lembaga ilmiah serta perguruan tinggi di Indonesia, diantaranya LIPI, Univeritas Andalas serta Institut Teknologi Bandung. Sejumlah lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah ikut serta dalam proses pengembangannya, diantaranya Bakornas, Palang Merah Indonesia, Departemen Dalam Negeri, Kogami, Departemen Komunikasi dan Informasi, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Walhi, Badan Meteorologi dan Geofisika dan lembaga lainnya yang bergerak di bidang kesiapsiagaan masyarakat. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



iii



iii



Aksesibilitas alat ukur ini diakomodasi melalui website www.siagabencana.lipi.go.id sehingga semua pihak dapat download informasi, panduan serta alat ukur tingkat individu, hingga komunitas masyarakat, sekolah dan pemerintah. Pengguna alat ukur juga dapat memasukan data hasil pengukuran tingkat kesiapsiagaannya dalam website tersebut, serta menyebarluaskan kebutuhan yang ditemukan berdasarkan temuan – temuan lapangan. Dengan memiliki tolok ukur yang jelas serta mengakomodasi faktor – faktor kritis yang paling sesuai dengan kondisi kelokalan di Indonesia, upaya dalam menuju peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang lebih terarah, menjadi lebih mudah. Tolok ukur ini juga mencerminkan bagaimana upaya membangun gerakan kesiapsiagaan untuk mengurangi resiko bencana yang terlembaga di dalam badan masyarakat, tidak dapat dilakukan oleh satu pihak, namun merupakan sinergi jangka panjang yang konsisten serta kerjasama erat semua pihak yang peduli terhadap kerentanan serta potensi bencana yang masih menghadang di masa depan.



Jakarta, Juni 2006 Prof. Dr. Jan Sopaheluwakan Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia



iv



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



KATA PENGANTAR



Dokumen cetak biru ini menyajikan suatu kerangka komprehensif untuk mengukur kesiapsiagaan komunitas dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Materi yang tercakup di dalamnya meliputi ringkasan hasil uji coba implementasi kerangka tersebut di tiga daerah studi, yaitu Aceh, Padang, dan Bengkulu. Hasil uji coba yang merefleksikan tingkat kesiapsiagaan masyarakat yang tinggal di kota besar, kota menengah, dan desa telah diperbarui dengan masukan teknis dan ilmiah melalui pendekatan holistik dan lintas sektoral. Di samping itu, cetak biru ini memuat hasil studi lapangan tentang pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan di Pulau Simeuleu sebagai suatu sistem peringatan dini berbasis lokal yang berkontribusi terhadap upaya kesiapsiagaan masyarakat. Terlepas dari komitmen pemerintah dan dukungan dari banyak negara untuk membangun suatu sistem peringatan bahaya tsunami dan bahaya-bahaya lainnya, isu utama yang terkait dengan kesiapsiagaan masyarakat masih perlu difokuskan. Pengembangan dan penggunaan sistem peringatan secara terpusat belum tentu menghasilkan tindakan respon yang diharapkan pada tingkat komunitas. Walaupun masyarakat telah diperingatkan akan terjadinya bencana, mereka mungkin masih ragu-ragu untuk melakukan evakuasi atau tindakan penyelamatan diri lainnya dikarenakan berbagai pertimbangan, seperti hilangnya mata pencaharian kelak. Oleh karena itu, strategi kesiapsiagaan terhadap bencana penting untuk dikembangkan dimana masyarakat dan pihak terkait lainnya diberikan sarana untuk mengukur dan mengenali tingkat kesiapan mereka dalam menghadapi bencana. Dengan begitu, mereka mampu memberikan respon yang tepat pada saat bencana terjadi. Sejalan dengan permintaan Pemerintah Republik Indonesia untuk turut serta mendukung dalam pengembangan sistem peringatan tsunami, UNESCO telah mengembangkan dan melakukan beragam kegiatan seperti penguatan kapasitas dalam pengoperasian teknis sistem peringatan dini bahaya sampai dengan kegiatan penguatan kesiapsiagaan masyarakat. Pada bulan Juni 2005, hasil diskusi antara UNESCO dan LIPI - institusi pemerintah yang ditunjuk oleh Wakil Presiden Republik Indonesia untuk bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan penyadaran publik untuk bencana - untuk memperkuat kesiapsiagaaan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar pantai barat Pulau Sumatera.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



v



v



Upaya kesiapsiagaan dapat meminimalkan dampak buruk dari bahaya melalui tindakan pencegahan yang efektif dan tepat. Integrasi pengetahuan lokal, struktur sosial yang berlaku, dan adat setempat ke dalam upaya kesiapsiagaaan masyarakat sangat direkomendasikan untuk memastikan bahwa masyarakat menjadi bagian dari upaya tersebut. Untuk menggarisbawahi pentingnya kesiapsiagaan komunitas sebagai komponen penting dari sistem, UNESCO dan LIPI telah mengembangkan kerjasama “Memperkuat Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana berbasis Masyarakat di Indonesia” yang bertujuan untuk membentuk resiliensi dan kesiapan pada tingkat komunitas terhadap bencana alam dan bencana yang diakibatkan oleh manusia, khususnya bencana gempa bumi dan tsunami. Kegiatan ini dilaksanakan dengan dukungan dari UN-ISDR, Komisi Eropa dan Pemerintah Finlandia, Jerman, Belanda, Norwegia, dan Swedia dibawah inisiatif UN/ISDR “Evaluasi dan Penguatan Sistem Peringatan Dini di negara-negara yang terkena bencana Tsunami 26 Desember 2004”. Sangat membahagiakan melihat bahwa kegiatan kerjasama LIPI/UNESCO/UN-ISDR telah menghasilkan suatu instrumen/alat ukur yang dapat digunakan dalam upaya pengurangan kerentanan komunitas, khususnya di sepanjang pantai barat Sumatera, Indonesia, terhadap bahaya gempa bumi dan tsunami.



Han Qunli Director a.i. UNESCO Office, Jakarta



vi



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR DIAGRA DAFTAR LAMPIRAN 1.



PENDAHULUAN



1



2.



PENGEMBANGAN FRAMEWORK UNTUK MENILAI KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT TERHADAP BENCANA ALAM



5



2.1.



2.2.



2.3. 2.4.



Konsep Kesiapsiagaan Masyarakat terhadap Bencana Alam 2.1.1. Pengertian 2.1.2. Sifat Kesiapsiagaan 2.1.3. Usaha Peningkatan Kesiapsiagaan 2.1.4. Elemen-elemen Penting Kesiapsiagaan 2.1.5. Sistem Peringatan Dini



5 7 8 9 9



Proses Pengembangan Framework



13



2.2.1. 2.2.2. 2.2.3. 2.2.4. 2.2.5.



13 17 18 18



Kajian Faktor-Faktor Kritis Pengembangan Indikator Kesiapsiagaan Masyarakat Pengembangan Instrumen-Instrumen Kajian Uji Coba Framework dan Instrumen-Instrumen Kajian Editing Framework dan Paket Instrumen Kajian Berdasarkan Pembelajaran dari Aceh Besar, Bengkulu dan Padang



Framework Stakeholders Utama Kesiapsiagaan Masyarakat Framework Stakeholders Pendukung Kesiapsiagaan Masyarakat



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



19 19 30



vii



vii



3.



viii



KAJIAN KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT 3.1.



Metode 3.1.1. Pengumpulan Data 3.1.2. Pengolahan dan Analisis Data



41 42 46



3.2.



Instrumen 3.2.1. Kuesioner 3.2.2. Panduan Diskusi Terfokus dan Workshop 3.2.3. Pedoman Wawancara Mendalam



50 50 51 52



3.3.



Sampling 3.3.1. Lokasi 3.3.1.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 3.3.1.2. Kota Bengkulu 3.3.1.3. Kota Padang 3.3.2. Responden 3.3.2.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besa 3.3.2.2. Kota Bengkulu 3.3.2.3. Kota Padang



52 52 53 54 56 59 59 61 63



3.4.



Kegiatan Lapangan 3.4.1. Jadwal Kegiatan 3.4.1.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 3.4.1.2. Kota Bengkulu 3.4.1.3. Kota Padang



67 67 67 71 75



3.4.2.



Survei/Angket 3.4.2.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 3.4.2.2. Kota Bengkulu 3.4.2.3. Kota Padang



78 78 79 83



3.4.3.



Diskusi Kelompok Terfokus 3.4.3.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 3.4.3.2. Kota Bengkulu 3.4.3.3. Kota Padang



84 84 88 89



3.4.4.



Workshop 3.4.4.1. Kota Bengkulu 3.4.4.2. Kota Padang



90 91 94



3.4.5.



Wawancara Mendalam



94



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



3.4.5.1. 3.4.5.2. 3.4.5.3. 3.4.6.



4.



Perdesaan Kabupaten Aceh Besar Kota Bengkulu Kota Padang



94 96 98



Anggota Tim 3.4.6.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 3.4.6.2. Kota Bengkulu 3.4.6.3. Kota Padang



99 99 99 100



HASIL KAJIAN 4.1.



Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 4.1.1. Karakteristik Lokasi Kajian 4.1.1.1. Kondisi Lingkungan 4.1.1.2. Fasilitas Fisik dan Keamanannya 4.1.1.3. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk



107 107 108 115 118



4.1.2. Kesiapsiagaan Individu dan Rumah Tangga 4.1.2.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.1.2.2. Rencana Tanggap Darurat 4.1.2.3. Peringatan Bencana 4.1.2.4. Mobilisasi Sumber Daya 4.1.2.5. Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat



127 127 137 141 143 145



4.1.3. Kesiapsiagaan Pemerintah 4.1.3.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.1.3.2. Kebijakan dan Panduan 4.1.3.3. Rencana Tanggap Darurat 4.1.3.4. Fasilitas Kritis 4.1.3.5. Sistim Peringatan Bencana 4.1.3.6. Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya 4.1.3.7. Tingkat Kesiapsiagaan



148 148 150 150 153 154 156 156



4.1.4. Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah 4.1.4.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.1.4.2. Kebijakan dan Arahan 4.1.4.3. Rencana Tanggap Darurat 4.1.4.4. Sistim Peringatan 4.1.4.5. Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya 4.1.4.6. Tingkat Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah



157 157 174 176 181 184 187



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



ix



ix



4.2.



x



4.1.5.



Stakeholders Pendukung 4.1.5.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.1.5.2. Rencana Tanggap Darurat 4.1.5.3. Sistim Peringatan Bencana 4.1.5.4. Memobilisasi Sumber Daya 4.1.5.5. Kapasitas Dukungan



190 191 192 192 192 193



4.1.6.



Tantangan 4.1.6.1. Tantangan Berkatian dengan Penggunaan Instrumen 4.1.6.2. Tantangan Berkaitan dengan Pelaksanaan Kajian 4.1.6.3. Tantangan Berkataian dengan Hasil Penelitian 4.1.6.4. Kendalan di Lapangan



194 194 195 196 198



4.1.7.



Sintesa



198



Kota Bengkulu 4.2.1. Karakteristik Lokasi Kajian 4.2.1.1. Kondisi Lingkungan 4.2.1.2. Fasilitas Fisik dan Keamanannya 4.2.1.3. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk



205 205 205 211 212



4.2.2.



Kesiapsiagaan Individu dan Rumah Tangga 4.2.2.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.2.2.2. Rencana Tanggap Darurat 4.2.2.3. Peringatan Bencana 4.2.2.4. Mobilisasi Sumber Daya 4.2.2.5. Tingkat Kesiapsiagaan



220 223 232 235 237 239



4.2.3.



Kesiapsiagaan Pemerintah 4.2.3.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.2.3.2. Kebijakan dan Panduan 4.2.3.3. Rencana Tanggap Darurat 4.2.3.4. Fasilitas Kritis 4.2.3.5. Sistim Peringatan Bencana 4.2.3.6. Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya 4.2.3.7. Tingkat Kesiapsiagaan



242 243 251 256 262 266 269 272



4.2.4.



Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah 4.2.4.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.2.4.2. Kebijakan dan Panduan 4.2.4.3. Rencana Tanggap Darurat 4.2.4.4. Sistim Peringatan Bencana



281 282 301 302 312



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



4.2.4.5. 4.2.4.6.



4.3.



Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya Tingkat Kesiapsiagaan



317 322



4.2.5.



Kesiapsiagaan Stakeholders Pendukung 4.2.5.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.2.5.2. Rencana Tanggap Darurat 4.2.5.3. Sistim Peringatan Bencana 4.2.5.4. Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya 4.2.5.5. Dukungan Stakeholders Pendukung



329 329 330 333 333 334



4.2.6.



Tantangan 4.2.6.1. Pelaksanaan Kajian 4.2.6.1. Penggunaan Instrumen 4.2.6.3. Kendala Di Lapangan



334 335 336 338



4.2.7.



Sintesa



341



Kota Padang 4.3.1. Karakteristik Lokasi Kajian 4.3.1.1. Kondisi Lingkungan 4.3.1.2. Fasilitas Fisik dan Keamanannya 4.3.1.3. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk



347 347 347 351 352



4.3.2.



Kesiapsiagaan Individu dan Rumah Tangga 4.3.2.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.3.2.2. Rencana Tanggap Darurat 4.3.2.3. Peringatan Bencana 4.3.2.4. Mobilisasi Sumber Daya 4.3.2.5. Tingkat Kesiapsiagaan



359 360 368 370 372 374



4.3.3.



Kesiapsiagaan Pemerintah 4.3.3.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.3.3.2. Kebijakan dan Panduan 4.3.3.3. Rencana Tanggap Darurat 4.3.3.4. Fasilitas Kritis 4.3.3.5. Sistim Peringatan Bencana 4.3.3.6. Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya 4.3.3.7. Tingkat Kesiapsiagaan



378 379 385 386 392 396 398 402



4.3.4.



Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah 4.3.4.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.3.4.2. Kebijakan dan Panduan



404 405 421



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xi



xi



5.



6.



4.3.4.3. Rencana Tanggap Darurat 4.3.4.4. Sistim Peringatan Bencana 4.3.4.5. Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya 4.3.4.6. Tingkat Kesiapsiagaan



423 431 435 441



4.3.5. Kesiapsiagaan Stakeholders Pendukung 4.3.5.1. Pengetahuan tentang Bencana 4.3.5.2. Rencana Tanggap Darurat 4.3.5.3. Sistim Peringatan Bencana 4.3.5.4. Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya 4.3.5.5. Dukungan Stakeholders Pendukung



447 447 450 451 452 455



4.3.6. Tantangan dan Kendala



457



4.3.7. Ringkasan



460



INISIATIF-INISIATIF UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT 5.1. Kebutuhan untuk Mendukung Kesiapsiagaan Masyarakat 5.2. Perdesaan Aceh Besar 5.3. Kota Bengkulu 5.4. Kota Padang 5.5. Kebutuhan yang Perlu Ditindak-lanjuti 5.5.1. Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat 5.5.2. Titik Temu antara Sistim Peringatan Bencana dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah/Kota sampai dengan Masyarakat 5.5.2. Kebutuhan Mendesak Spesifik Lokasi



465 465 466 469 475 481 481 482 483



KESIMPULAN DAN REKOMENDASI



485



DAFTAR PUSTAKA



507



7.



UCAPAN TERIMA KASIH



511



8.



LAMPIRAN



xii



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xiii



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xiii



xiv



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



DAFTAR TABEL



Tabel 3.3.1.1.



Lokasi Penelitian Rumah Tangga Menurut Zona di Kota Bengkulu



55



Lokasi Penelitian Komunitas Sekolah Menurut Zona di Kota Bengkulu



56



Tabel 3.3.1.3.



Lokasi Penelitian Rumah Tangga Menurut Zona di Kota Padang



58



Tabel 3.3.1.4.



Lokasi Penelitian Komunitas Sekolah Menurut Zona di Kota Padang



59



Distribusi Responden Menurut Lokasi Penelitian dan Macam Responden, Kabupaten Aceh Besar



60



Jumlah Responden Rumah Tangga Menurut Lokasi dan Zona, Kota Bengkulu



61



Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan Tingkatan Sekolah, Kota Bengkulu



62



Jumlah Responden Aparat Pemerintah Menurut Instansi Tempat Kerja di Kota Bengkulu



62



Jumlah Responden Rumah Tangga Menurut Lokasi dan Zona, Kota Padang



65



Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan Tingkatan Sekolah, Kota Padang



66



Jumlah Responden Aparat Pemerintah Menurut Instansi Tempat Kerja di Kota Padang



67



Tabel 3.3.1.2.



Tabel 3.3.2.1.



Tabel 3.3.2.2.



Tabel 3.3.2.3.



Tabel 3.3.2.4.



Tabel 3.3.2.5.



Tabel 3.3.2.6.



Tabel 3.3.2.7.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xv



xv



Tabel 3.4.1.1.



Jadwal Kegiatan Kajian di Perdesaan Kabupaten Aceh Barat, 2006



68



Tabel 3.4.1.2.



Jadwal Kegiatan Kajian di Kota Bengkulu, 2006



71



Tabel 3.4.1.3.



Jadwal Kegiatan Kajian di Kota Padang, 2006



75



Tabel 4.1.



Rekaman Kejadian Gempa Bumi dan Tsunami di Sumatera



104



Tabel 4.1.1.2.



Rencana Pembangunan Perumahan di Lokasi Studi 2006



116



Tabel 4.1.1.3.



Kondisi Prasarana Pendidikan Sebelum Tsunami 2003 dan Sesudah Tsunami 2006 di Lokasi Studi



116



Prasarana Kesehatan Sebelum Tsunami 2003 dan Sesudah Tsunami 2006, di Lokasi Studi



117



Distribusi Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Leupung Sebelum (2003) dan Sesudah Bencana Tsunami (2006)



119



Distribusi Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Pulo Aceh Sebelum (2003) dan Sesudah Tsunami (2006)



120



Distribusi Penduduk Menurut Lokasi Studi dan Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan, Tahun 2006



121



Distribusi Penduduk Menurut Lokasi Studi dan Jenis Pekerjaan (Persen)



124



Tabel 4.1.1.4.



Tabel 4.1.1.5.



Tabel 4.1.1.6:



Tabel 4.1.1.7



Tabel 4.1.1.8



Tabel 4.1.2.1.



Tabel 4.1.2.2.



Tabel 4.1.2.4.



Tabel 4.1.2.5.



xvi



Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Kejadian Alam yang Menimbulkan Bencana Alam dan Tingkat Pendidikan Persentase Responden Menurut Tindakan Keluarga Setelah Gempa dan Tsunami 2004



129 138



Persentase Responden Menurut Rencana Tindakan Apabila Mendengar Peringatan/ Tanda Bahaya Tsunami



143



Persentase responden yang telah mempersiapkan tabungan, asuransi dan tanah/rumah untuk kewaspadaan terhadap bencana alam dan tsunami



145



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.1.2.6.



Indeks kesiapsiagaan individu/rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami menurut tingkat pendidikan



146



Pendapat responden tentang penyebab terjadinya gempa bumi dan ciri-ciri gempa kuat (presentase yang menjawab “ya”)



159



Persentase responden yang berpendapat bahwa hal-hal berikut akan dilakukan apabila terjadi gempa



161



Pengetahuan Responden tentang Penyebab Gempa Bumi Menurut Kecamatan dan Tingkat Sekolah (Persentase jawaban ‘Ya’)



167



Pengetahuan Responden Tentang Ciri-ciri Gempa Kuat Menurut Kecamatan dan Tingkat Sekolah (% jawaban ‘Ya’)



168



Pendapatan responden tentang tindakan-tindakan yang akan dilakukan seandainya terjadi tsunami pada waktu sedang mengajar (persentase menjawab ya)



178



Distribusi Responden menurut Kegiatan Yang Pernah Diikuti Lokasi Kajian dan Tingkat Sekolah (%jawaban ‘Ya’)



187



Indeks Kesiapsiagaan Masyarakat Sekolah Menurut Komponen komunitas Sekolah dan Parameter



189



Tabel 4.1.4.8.



Nilai Indeks Siswa Menurut Lokasi Kajian dan Tingkat Sekolah



190



Tabel 4.2.1.1.



Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk Menurut Zone dan Kelurahan, Kota Bengkulu, 2005



214



Komposisi Penduduk Kota Bengkulu Menurut Umur Dan Jenis Kelamin, 2004



215



Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur, Zona dan Kelurahan Daerah Penelitian, Kota Bengkulu, 2005.



216



Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan, Zona dan Kelurahan, di Kota Bengkulu, 2005



217



Table 4.1.4.1.



Table 4.1.4.2.



Tabel 4.1.4.3



Tabel 4.1.4.4.



Table 4.1.4.5.



Tabel 4.1.4.6.



Tabel 4.1.4.7.



Tabel 4.2.1.2.



Tabel 4.2.1.3.



Tabel 4.2.1.4.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xvii



xvii



Tabel 4.2.1.5.



Tabel 4.2.1.6.



Tabel 4.2.2.1.



Tabel 4.2.2.2.



Tabel 4.2.2.3.



Tabel 4.2.2.4.



Tabel 4.2.2.5.



Tabel 4.2.2.6.



Tabel 4.2.2.7.



Tabel 4.2.2.8.



Tabel 4.2.3.1.



Tabel 4.2.3.2.



Tabel 4.2.3.3.



xviii



Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian, Zona dan Kelurahan, di Kota Bengkulu, 2005



218



Jumlah Rumah Tangga Miskin Menurut Kelurahan Sampel dan Zona, di Kota Bengkulu, 2005



220



Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi Responden, Kota Bengkulu, 2006



222



Pengetahuan Responden Tentang Gempa Bumi Menurut Zona, Kota Bengkulu, 2006



227



Pengetahuan Responden Tentang Tindakan Yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi Gempa Menurut Zona, Kota Bengkulu



229



Pengetahuan Responden Tentang Tsunami Menurut Zona, Kota Bengkulu, 2006



231



Rencana Tanggap Darurat Bagi Keluarga Menurut Zona, Kota Bengkulu,2006



234



Sistem/Cara Peringatan Bencana Tsunami Menurut Zona, Kota Bengkulu, 2006



237



Mobilisasi Sumber Daya Keluarga Responden Menurut Zona, Kota Bengkulu, 2006



239



Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Gempa dan Tsunami Menurut Tingkat Pendidikan Responden, Kota Bengkulu, 2006



242



Pengetahuan Responden Aparat Pemerintah Kota Bengkulu tentang Gempa Bumi Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Presentase yang Menjawab Ya), 2006



245



Pengetahuan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu tentang Tindakan yang Dilakukan Apabila Terjadi Gempa, Menurut Pendidikan yang Ditamatkan, 2006



247



Pengetahuan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu tentang Tsunami Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Persentase yang Menjawab Ya), 2006



248



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.3.4.



Tabel 4.2.3.5.



Tabel 4.2.3.6.



Tabel 4.2.3.7.



Tabel 4.2.3.8.



Tabel 4.2.3.9.



Tabel 4.2.4.1.



Tabel 4.2.4.2.



Tabel 4.2.4.3.



Tabel 4.2.4.4.



Tabel 4.2.4.5.



Tabel 4.2.4.6.



Tabel 4.2.4.7.



Sumber Informasi yang Diperoleh Aparat Pemerintah Kota Bengkulu (Persentase yang Menjawab Ya), 2006



251



Kesiapsiagaan Fasilitas Kritis Kota Bengkulu Untuk Tanggap Darurat Tahun 2006



263



Pengetahuan dan Tindakan yang Dilakukan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu Berkaitan dengan Peringatan Bencana (Presentase yang Menjawab Ya), 2006



268



Mobilisasi Sumber Daya Aparat Pemerintah Kota Bengkulu (Persentase yang Menjawab Ya), 2006



271



Nilai Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kota Bengkulu dalam Mengantisipasi Bencana, 2006



276



Nilai Indeks Kesiapsiagaan Responden Aparat Pemerintah Menurut Pendidikan



280



Pengetahuan Responden Guru terhadap Gempa (Persentase Guru yang Menjawab Ya)



285



Pengetahuan Responden Guru Mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi Gempa (Persentase yang Menjawab Ya)



289 xix



Pengetahuan Guru tentang Tsunami (Persentase Guru yang Menjawab Ya)



291



Pengetahuan Siswa tentang Gempa Bumi (Persentase Siswa yang Menjawab Ya)



295



Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi Gempa (Persentase yang Menjawab Ya)



297



Pengetahuan Siswa tentang Tsunami (Persentase Siswa yang Menjawab Ya)



298



Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Dilakukan Seandainya Air Laut Tiba-tiba Surut (Persentase Siswa yang Menjawab Ya)



299



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xix



Tabel 4.2.4.8.



Peran Sekolah dan Keinginan Siswa Memberikan Pengetahuan tentang Gempa dan Tsunami



300



Sumber-Sumber Informasi tentang Bencana (Persentase yang Menjawab Ya)



300



Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan untuk Meningkatkan Kewaspadaan terhadap Bencana (Persentase yang Menjawab ya)



301



Tabel 4.2.4.11.



Rencana Tanggap Darurat di Sekolah Sampel Kota Bengkulu



304



Tabel 4.2.4.12.



Pendapat Responden Guru mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan Seandainya Terjadi Gempa Bumi (Persentase yang menjawab Ya)



306



Pendapat Responden Siswa Mengenai Barang dan Perlengkapan yang Perlu Diselamatkan Jika Terjadi Gempa dan Tsunami (Persentase yang Menjawab Ya)



310



Pengetahuan Responden Siswa Mengenai Keberadaan Peralatan/ perlengkapan yang Berkaitan dengan Rencana Penyelamatan di Sekolah (Persentase yang Menjawab Ya)



311



Jenis Bahan dan Materi tentang Gempa dan Tsunami yang Diperoleh Siswa di Sekolah (Persentase yang Menjawab Ya)



312



Tabel 4.2.4.16.



Peringatan Bencana di Sekolah Sampel Kota Bengkulu



313



Tabel 4.2.4.17.



Pengetahuan Responden Guru tentang Cara/Sistem Peringatan Tsunami di Daerahnya dan Tindakan yang Akan Dilakukan Apabila Mendengar Peringatan



317



Pengetahuan Responden Siswa tentang Peringatan Tsunami dan Tindakan yang akan Dilakukan Apabila Mendengar Peringatan



316



Tabel 4.2.4.19.



Mobilisasi Sumber Daya Sekolah Sampel Kota Bengkulu



318



Tabel. 4.2.4.20.



Partisipasi Guru dalam Pelatihan, Workshop, Seminar tentang Kesiapsiagaan Bencana dan Menginformasikan Pengetahuan pada Masyarakat



319



Tabel 4.2.4.9.



Tabel 4.2.4.10.



Tabel 4.2.4.13.



Tabel 4.2.4.14.



Tabel 4.2.4.15.



Tabel 4.2.4.18.



xx



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.4.21.



Partisipasi Siswa dalam Kegiatan/Latihan/Pertemuan P3K, Simulasi Evakuasi dan Pertemuan/Ceramah tentang Bencana



321



Tabel 4.2.4.22.



Nilai Indeks Gabungan Tingkat Kesiapsiagaan Sekolah



326



Tabel 4.2.4.23.



Nilai Indeks Gabungan Tingkat Kesiapsiagaan Guru



327



Tabel 4.2.4.24.



Nilai Indeks Gabungan Tingkat Kesiapsiagaan Siswa



328



Tabel 4.2.7.1.



Indeks Kesiapsiagaan Kota Bengkulu untuk Mengantisipasi Bencana Alam



343



Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Di Kota Padang



353



Jumlah Penduduk Tiap Kecamatan Menurut Jenis Kelamin Di Kota Padang



354



Jumlah Penduduk Tiap Kecamatan Menurut Luas Wilayah dan Kepadatan Di Kota Padang



354



Tabel 4.3.1.3.1.



Tabel 4.3.1.3.2.



Tabel 4.3.1.3.3.



Tabel 4.3.1.3. 4. Jumlah Penduduk Kota Padang Yang Tinggal Di Lokasi/ Zona Rawan Menurut Kecamatan dan Kelurahan Tabel 4.3.1.3.5.



355



Penduduk Kota Padang Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan



357



Jumlah Keluarga Menurut Tingkat Kesejahteraan Keluarga dan Kecamatan Di Kota Padang



358



Pengetahuan Aparat Tentang Gempa Bumi Menurut Tingkat Pendidikan



380



Pengetahuan Aparat Tentang Tindakan Yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi Gempa , Menurut Tingkat Pendidikan



382



Pengetahuan Aparat Tentang Tsunami Menurut Tingkat Pendidikan



384



Tabel 4.3.3.3.1.



Resume Indikator Rencana Tanggap Darurat, Kota Padang



386



Tabel 4.3.3.3.2.



Tempat – Tempat Evakuasi yang telah diidentifikasi



388



Tabel 4.3.1.3.6.



Tabel 4.3.3.1.



Tabel 4.3.3.2.



Tabel 4.3.3. 3.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xxi



xxi



Tabel 4.3.3.3.3.



Resume Kegiatan Tanggap Darurat Tingkat Pemerintah Kecamatan



390



Kesiapsiagaan Fasilitas Kritis Kota Padang Untuk Tanggap Darurat



394



Tindakan Yang Akan Dilakukan Aparat Apabila Mendengar Peringatan Bencana



398



Mobilisasi Sumberdaya Di Kalangan Aparat Menurut Tingkat Pendidikan



400



Tabel 4.3.3.6.1.



Nilai Indeks Kesiapsiagaan Kota Padang



404



Tabel 4.3.4.1.1.



Sumber Informasi Mengenai Gempa dan Tsunami Menurut Zona dan Tingkat Sekolah



413



Pengetahuan Siswa Tentang Bencana Menurut Zona dan Tingkat Sekolah



415



Tindakan yang dilakukan Siswa untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya tsunami



420



Tabel 4.3.4.3.1.



Rencana Kesiapsiagaan Sekolah Menurut Zona



424



Tabel 4.3.4.3.2.



Tindakan yang dilakukan guru jika terjadi gempa bumi pada saat mengajar menurut tingkat sekolah



428



Tabel 4.3.4.3.3.



Rencana Penyelamatan Siswa Menurut Zona



429



Tabel 4.3.4.4.1.



Tindakan yang akan dilakukan guru apabila mendengar peringatan tsunami menurut Zona



435



Mobilisasi Sumber Daya Sekolah Menurut Zona



436



Tabel 4.3.3.4.1.



Tabel 4.3.3.5.1.



Tabel 4.3.3.6.1.



Tabel 4.3.4.1.2.



Tabel 4.3.4.1.3.



Tabel 4.3.4.5.1.



Tabel 4.3.4.5.2. Mobilisasi Sumberdaya Guru Menurut Zona



439



Tabel 4.3.4.5.3.



Mobilisasi Siswa Menurut Zona



440



Tabel 4.3.4.6.1.



Indeks Tingkat Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah



443



xxii



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.3.4.6.2.



Tingkat Kesiapsiagaan Sekolah Menurut Zona dan Tingkat Sekolah



444



Tabel 4.3.4.6.3. Tingkat Kesiapsiagaan Guru Menurut Zona dan Tingkat Sekolah.



445



Tabel 4.3.4.6.4.



Tingkat Kesiapsiagaan Siswa Menurut Zona dan Tingkat Sekolah



447



Tabel 4.3.5.4.1.



Resume Kegiatan Mobilisasi Sumberdaya Stakeholder Pendukung Dalam Kesiapsiagaan Kota Padang



455



Nilai Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga, Komunitas Sekolah dan Pemerintah Dalam Menghadapi Bencana, Kota Padang



463



Kelompok Target Prioritas, Materi yang Diperlukan dan Metode Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kesiapsiagaan Bencana Alam di Kota Bengkulu



473



Kelompok Target Prioritas, Materi yang Diperlukan dan Metode Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kesiapsiagaan Bencana Alam di Kota Padang



478



Tabel 4.3.7.1



Tabel 5.3.1.



Tabel 5.4.1.



xxiii



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xxiii



xxiv



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



DAFTAR DIAGRAM



Diagram 4.1.2.1. Persentase Responden menurut Pengetahuan Tentang Bencana Alam (N=144)



128



Diagram 4.1.2.2. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Kejadian Alam Penyebab Gempa Bumi (N=144)



130



Diagram 4.1.2.3. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Ciri-ciri Bangunan Tahan Gempa (N=144)



133



Diagram 4.1.2.4. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Penyebab Tsunami (N=144)



134



Diagram 4.1.2.5. Persentase Responden Menurut Kesiapsiagaan Dalam Menyiapkan Kotak P3K dan Obat-obatan Khusus untuk Pertolongan Pertama (N=144)



140 xxv



Diagram 4.1.2.6. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Adanya Sistem/cara Peringatan Akan Terjadinya Tsunami (N= 144)



141



Diagram 4.1.2.7. Persentase Responden dengan Keikutsertaan Anggota Rumah Tangganya Dalam Pelatihan, Seminar/ Pertemuan Kesiapsiagaan Menghadapi Gempa dan Tsunami



144



Diagram 4.1.4.1. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Bencana Alam



158



Diagram 4.1.4.2. Persentase Responden Dengan Pengetahuan Tentang Ciri Bangunan/rumah yang Tahan Tsunami Diagram 4.1.4.3. Distribusi Responden Tentang pernah/tidaknya Memberikan Pelajaran Gempa Bumi dan Tsunami Kepada Siswa Diagram 4.1.4.4. Pengetahuan Tentang Bencana Alam Menurut Tingkatan Sekolah LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



164 165 166 xxv



Diagram 4.1.4.5. Tindakan Yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi Gempa Menurut Tingkatan Sekolah



169



Diagram 4.1.4.6. Distribusi Pengetahuan Siswa Mengenai Apakah Setiap Gempa Dapat Menimbulkan Tsunami



170



Diagram 4.1.4.7. Pendapat Siswa Mengenai Penyebab Terjadinya Tsunami



171



Diagram 4.1.4.8. Distribusi Responden Siswa Mengenai Tindakan Yang Akan Dilakukan Apabila Air Laut Tiba-Tiba Surut



172



Diagram 4.1.4.9. Pendapat Responden Siswa Tentang Tindakan Yang Dilakukan Untuk Kewaspadaan Menurut Tingkatan Sekolah



173



Diagram 4.1.4.10: Pendapat Responden Siswa Tentang Barang Yang Harus Diselamatkan Bila Terjadi Bencana Menurut Tingkatan Sekolah



180



Diagram 4.1.4.11 Pendapat Responden Siswa Mengenai Bahan/Materi Yang Dapat Diperoleh Di Sekolah



181



Diagram 4.1.4.12. Distribusi responden tentang tahu tidaknya sistem/cara peringatan akan terjadinya tsunami di daerah setempat



183



Diagram 4.1.7.1 IndeksKesiapsiagaan Terhadap Bencana untuk Kecamatan di Aceh, 2006



199



Diagram 4.1.7.2. Kesiapsiagaan Rumah Tangga Terhadap Bencana di Kecamatan, di Aceh 2006



200



Diagram 4.1.7.3. Indeks Komunitas Menurut Parameter



201



Diagram 4.2.2.1. Pendapat Responden Rumah Tangga Mengenai Arti dari Bencana Alam, 2006



223



Diagram 4.2.2.2. Persentase Responden Rumah Tangga yang Menjawab “ya” Mengenai Kejadian Alam yang Dapat Menimbulkan Bencana, 2006 Diagram 4.2.2.3. Persentase Responden Rumah Tangga yang Menjawab “ya” Mengenai Sumber Informasi Tentang Gempa dan Tsunami, 2006



xxvi



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



224



232



Diagram 4.2.2.4. Persentase Responden Rumah Tangga mengenai Pernah atau Tidak Mendengar Peringatan Tsunami, 2006



236



Diagram 4.2.2.5. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga di Kota Bengkulu, 2006



240



Diagram 4.2.2.6. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menurut Zona, Kota Bengkulu, 2006



241



Diagram 4.2.3.1. Pengertian Bencana Alam Aparat Pemerintah Kota Bengkulu, 2006



244



Diagram 4.2.3.2. Tindakan Aparat Pemerintah Apabila Air Laut Tiba-tiba Surut, 2006



249



Diagram 4.2.3.3. Sumber Informasi yang Diperoleh Aparat Pemerintah Kota Bengkulu,2006



250



Diagram 4.2.3.4. Rencana Kesiapsiagaan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu Menurut Pendidikan (Persentase Responden yang Menjawab Ya), 2006



262



Diagram 4.2.3.5. Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah di Kota Bengkulu, 2006



272



Diagram 4.2.3.6. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kota dan Kecamatan serta Aparat di Kota Bengkulu, 2006



273



Diagram 4.2.3.7. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kota Bengkulu, 2006



276



Diagram 4.2.3.8. Nilai Indeks Rencana Tanggap Darurat Pemerintah Kecamatan di Kota Bengkulu, 2006



277



Diagram 4.2.3.9. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Kebijakan Pemerintah Kecamatan di Kota Bengkulu, 2006



278



Diagram 4.2.3.10. Nilai Indeks Mobilisasi Sumber Daya Pemerintah Kecamatan di Kota Bengkulu, 2006



279



Diagram 4.2.3.11. Nilai Indeks Pengetahuan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu, 2006



280



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xxvii



xxvii



Diagram 4.2.4.1. Pendapat Responden Guru Tentang Apa yang Dimaksud dengan Bencana Alam, 2006



283



Diagram 4.2.4.2. Persentase Responden Siswa yang Menjawab ya Tentang Kejadian Alam yang Dapat Menimbulkan Bencana, 2006



283



Diagram 4.2.4.3. Sumber Informasi Responden Guru Tentang Kesiapsiagaan Bencana, 2006



292



Diagram 4.2.4.4. Pendapat Responden Siswa Tentang Apa yang Dimaksud dengan Bencana Alam, 2006



293



Diagram 4.2.4.5. Persentase Responden Siswa yang Menjawab Ya Tentang Kejadian Alam yang Dapat Menimbulkan Bencana, 2006



294



Diagram 4.2.4.6. Persentase Responden Guru yang Telah Melakukan Persiapan dalam Rangka Rencana Penyelamatan untuk Kondisi Darurat Bencana, 2006



305



Diagram 4.2.4.7. Persentase Responden Siswa yang Telah Melakukan Persiapan dalam Rangka Rencana Penyelamatan untuk Kondisi Darurat Bencana, 2006



308



Diagram 4.2.4.8. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah, 2006



323



Diagram 4.2.4.9. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah Menurut Kelompok, 2006



324



Diagram 4.2.7.1. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Kota Bengkulu, 2006



342



Diagram 4.3.2.1.1.Pengetahuan Responden Tentang Bencana Alam



361



Diagram 4.3.2.1.2. Pengetahuan Responden Tentang Ciri-Ciri Bangunan Tahan Gempa



363



Diagram 4.3.21.3. Pendapat Responden Ttg “Apakah Gempa Bumi Dapat Menyebabkan Tsunami”



364



Diagram 4.3.2.1.4. Pengetahuan Responden Ttg Penyebab Terjadinya Gempa Bumi Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan



366



xxviii



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Diagram 4.3.2.1.5.



Pengetahuan Responden Tentang “Apakah Setiap Gempa Bumi Dapat Menyebabkan Terjadinya Tsunami “ Menurut Tingkat Pendidikan



367



Rencana Tindakan Yang Dilakukan Rumah Tangga Setelah Terjadi Gempa dan Tsunami Aceh dan Nias



369



Persiapan Rumah Tangga Terhadap Kemungkinan Terjadinya Bencana



373



Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menurut Parameter Di Kota Padang.



375



Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menurut Zona Di Kota Padang



376



Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menurut Tingkat Pendidikan Di Kota Padang



377



Pengetahuan Aparat Tentang “Apakah Gempa Besar Selalu Diikuti Dengan Gempa Kecil “ Menurut Tingkat Pendidikan



381



Rencana tanggap darurat Aparat Pemerintah Menurut Tingkat Pendidikan



392



Diagram 4.3.3. 5.1.



Aparat Yang Mengetahui Adanya Peringatan Bencana



397



Diagram 4.3.3.6.2.



Aparat Pemerintah Yang Pernah Mengikuti Pelatihan Berkaitan Dengan Kesiapsiagaan Bencana Menurut Tingkat Pendidikan



401



Diagram 4.3.3.6.1.



Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kota Padang



402



Diagram 4.3.4.1.1.



Pengetahuan Guru Tentang Bencana Alam



405



Diagram 4.3.4.1.2.



Pengetahuan Guru Tentang Keadian Alam Yang Dapat Menimbulkan Bencana.



406



Pengetahuan Guru Tentang Penyebab Terjadinya Gempa Bumi



407



Diagram 4.3.2.2.1.



Diagram 4.3.2.4.1.



Diagram 4.3.2.5.1.



Diagram 4.3.2.5.2.



Diagram 4.3.2.5.3



Diagram 4.3.3.3.1



Diagram 4.3.3.3.3



Diagram 4.3.4.1.3.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xxix



xxix



Diagram 4.3.4.1.4.



Pengetahuan Guru Tentang Bangunan Tahan Tsunami



408



Diagram 4.3.4.1.5.



Pengetahuan Guru Tentang Penyebab Tsunami



409



Diagram 4.3.4.1.6.



Pengetahuan Guru Tentang Tanda-Tanda Tsunami



410



Diagram 4.3.4.1.7.



Pengetahuan Guru Tentang Penyebab Terjadinya Tsunami Menurut Tingkat Sekolah



410



Sosialisasi Tentang Gempa dan Tsunami Pada Murid Menurut Zona dan Tingkat Sekolah



411



Pengetahuan Siswa Tentang Penyebab Terjadinya Gempa Bumi



416



Pengetahuan Siswa Tentang Tindakan yang Dilakukan Bila Terjadi Gempa



416



Diagram 4.3.4.1.11.



Pengetahuan Siswa Tentang Penyebab Tsunami



417



Diagram 4.3.4.1.12.



Pengetahuan Siswa Tentang Tanda-Tanda Tsunami



418



Diagram 4.3.4.1.13.



Pengetahuan Siswa Tentang Penyebab Terjadinya Tsunami Menurut Tingkat sekolah



418



Pengetahuan Siswa Tentang Tanda-Tanda Tsunami Menurut Tingkat Sekolah



419



Diagram 4.3.4.1.15.



Sumber Informasi Tentang Gempa dan Tsunami



421



Diagram 4.3.4.3.1.



Penyiapan Rencana Evakuasi Menurut Tingkat Zona



425



Diagram 4.3.4.3.2.



Penyiapan Rencana Evakuasi Menurut Tingkat sekolah



426



Diagram 4.3.4.3.3.



Perencanaan Penyelamatan Guru Menurut Tingkat Sekolah



427



Diagram 4.3.4.3.4.



Akses Murid Terhadap Materi Tentang Gempa dan Tsunami di Sekolah



430



Akses Murid Terhadap Fasilitas Penyelamatan Tanggap darurat Menurut Zona



430



Diagram 4.3.4.1.8.



Diagram 4.3.4.1.9.



Diagram 4.3.4.1.10.



Diagram 4.3.4.1.14



Diagram 4.3.4.3.3.



xxx



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Diagram 4.3.4.4.1.



Akses Sekolah Terhadap Peringatan Bencana Menurut Zona dan Tingkat Sekolah



431



Ketersediaan Peralatan Penyebarluasan Peringatan Bencana Di Sekolah Menurut Zona dan Tingkat Sekolah



432



Pengetahuan Guru Tentang adanya Peringatan bencana Menurut zona dan Tingkat Sekolah



434



Akses Guru Untuk Mengikuti Pelatihan Tentang Bencana Menurut Tingkat Sekolah



439



Diagram 4.3.4.5.2.



Mobilisasi Sumber Daya Guru Menurut Zona



441



Diagram 4.3.4.6.1.



Indeks Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah



441



Diagram 4.3.7.1.



Indeks Kesiapsiagaan Masyarakat Kota Padang Dalam Menghadapi Bencana



462



Diagram 4.3.4.4.2.



Diagram 4.3.4.4.3.



Diagram 4.3.4.5.1.



xxxi



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xxxi



xxxii



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



DAFTAR GAMBAR



Gambar 2.1.1.



Kesiapsiagaan dalam Model Siklus Pengelolaan Bencana



6



Gambar 2.1.2.



Kesiapsiagaan dalam Proses Manajemen Bencana (Model Expand-Contract)



6



Sifat Kesiapsiagaan dan Perubahan Cara Pandang Pengurangan Risiko Bencana



7



Gambar 2.1.3.



Gambar 2.1.4.



Mekanisme Peringatan Bencana



10



Gambar 2.1.5.



Frekuensi Ancaman Bencana dan Potensi Peringatan Dini



12



Gambar 3.3.1.1.



Peta Aceh Besar



53



Gambar 3.3.1.2.



Peta Kota Bengkulu



54



Gambar 3.3.1.3



Peta Kota Padang



57



Gambar 4.1.



Unsur Tektonik Daerah Sumatera: Patahan Sumatera (SF) di Daratan Sumatera dan Jalur Gunung Api (Bukit Barisan, segitiga hitam), Zona Sesar Mentawai (MFZ) di Kawasan Lepas Pantai Sumatera Barat



103



Sebaran Gempa Bumi Periode 1973-2004 di Kawasan Indonesia



104



Gambar 4.2.1.1.



Wilayah Administrasi Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu



205



Gambar 4.2.1.2.



Peta Topografi Kota Bengkulu Berupa Dataran Pantai, Banjir dan Perbukitan Bergelombang



206



Geologi Daerah Kota Bengkulu



206



Gambar 4.2.



Gambar 4.2.1.3.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xxxiii



xxxiii



Gambar 4.2.1.4. Gambar 4.2.1.5.



Peta Geologi Detil Kota Bengkulu



208



Penyebaran Jenis Kerusakan Akibat Gempa Bumi Juni 2000 yang Berpusat di Bawah Pulau Enggano



210



Gambar 4.3.1.1.1.



Peta topografi daerah Kota Padang dan sekitarnya.



347



Gambar 4.3.1.1.2.



Peta sebaran jenis batuan atau geologi daerah Kota Padang



348



Peta 4.3.3.3.1.



Peta Evakuasi Kota Padang Jika Terjadi Tsuami



387



Gambar 5.3.1.



Bagan Aliran Informasi Gempabumi dan Tsunami yang Diharapkan Berfungsi oleh Masyarakat Kota Bengkulu



472



Gambar 5.4.1.



Jaringan Informasi Peringatan Bencana di Kota Padang



477



Gambar 6.1.1.



Konsep Peta Evakuasi Kawasan Utara, Kecamatan Muara Bangka Hulu



498



Gambar 6.1.2.



Peta Evakuasi Kawasan Barat



499



Gambar 6.1.3.



Peta Evakuasi Kawasan Tengah yang Terbagi dalam Dua Zona



500



Gambar 6.1.4.



Peta Evakuasi Kawasan Selatan. Bandara Fatmawati



500



xxxiv



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



DAFTAR FOTO



Foto 3.4.2.1.



Pelatihan Interviewer di Aceh Besar



78



Foto 3.4.2.2.



Interviewer Sedang Mewawancarai Responden Rumah Tangga



78



Foto 3.4.2.3.



Pengisian Kuesioner oleh Siswa SD di Lampung



79



Foto 3.4.2.4.



Pengisian Kuesioner oleh Siswa Sekolah SD di Kota Bengkulu



81



Foto 3.4.2.5.



Pelatihan Supervisor dan Interviewer di Kota Padang



83



Foto 3.4.3.1.



Pendapat Peserta FGD Melalui Kartu



85



Foto 3.4.3.2.



FGD Masyarakat di Aceh Besar



86



Foto 3.4.3.3.



FGD Komunitas Sekolah di Kota Padang



88



Foto 3.4.3.4



FGD MAsyarakat di Kalurahan Lempuing, Bengkulu



89



Foto 3.4.3.5.



FGD Komunitas Sekolah di Kota Padang



90



Foto 3.4.4.1.



Workshop di Kota Bengkulu



92



Foto 3.4.4.2.



Diskusi Kelompok pada Kegiatan di Kota Bengkulu



92



Foto 3.4.5.1



Wawancara dengan Kepala Sekolah



95



Foto 3.4.5.2.



Wawancara dengan Ketua RT di Kelurahan Lempuing



97



Foto 3.4.5.3



Wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah dan Guru SMA I, Bengkulu



97



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xxxv



xxxv



Foto 3.4.5.4.



Wawancara dengan Guru-guru SD Pasie Nan Tigo, Padang



Foto 4.1.1.1.



Kondisi lapangan daerah Kecamatan Leupung: A: Desa Dayah Mamplam; B dan D: Desa Pulot; C: Dusun Matai dan Pulau Breuh, E dan F:Ulee Paya



Foto 4.1.1.1 (G-J). Gambaran kondisi lapangan Desa Gugop, Pulau Breuh. Foto 4.2.1.1A).



Foto 4.2.1.1 G).



xxxvi



98



111 112



Kota Bengkulu Dilihat dari Teluk Segara. B). Panorama Kota Bengkulu dan Teluk Segara. C). Dataran Pantai dan Gumuk Pasir Sepanjang Pantai Panjang. D). Morfologi Punggungan dengan KetinggianSekitar +25 m dpl di Daerah Air Sebakul. E). Daerah Danau Dendam Tak Sudah. F). Singkapan Batuan Andesitik di Pager Dewa



207



Singkapan Endapan Batu Lempung Tufaan di Padang Besi. H). Dataran Rawa Sekitar Danau Dendam dan Air Bengkulu dan I) di Teluk Sepang. J). Abrasi Pantai di Daerah Malabro. K) Penahan Abrasi di Teluk Segara



209



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



DAFTAR MATRIKS



Matriks 2.3.1.



Matriks 2.3.2.



Matriks 2.3.3.



Matriks 2.4.



Framework Kesiapsiagaan Individu dan Rumah Tangga dalam Mengantisipasi Bencana Alam



20



Framework Kesiapsiagaan Pemerintah Kota/Kabupaten dalam Mengantisipasi Bencana Alam



23



Framework Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah dalam Mengantisipasi Bencana Alam



28



Framework Peran Stakeholders Pendukung dalam Meningkatkan Kesiapsiagaan Masyarakat untuk Mengantisipasi Bencana Alam



31



xxxvii



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



xxxvii



xxxviii



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



1



PENDAHULUAN



“Bencana kembali melanda” merupakan judul berita yang sering kita baca di berbagai surat kabar pada tahun-tahun terakhir. Tsunami, gempa bumi, gunung meletus, longsor, banjir, dan kekeringan, menjadi berita utama di halaman depan berbagai surat kabar. Apa yang dimunculkan oleh media membuat kita merasa bahwa dunia ini telah menjadi tempat yang semakin tidak aman untuk dihuni. Dampak bencana yang dirasakan juga semakin parah, disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk diantaranya meningkatnya jumlah populasi penduduk yang tinggal di daerah yang rentan bahaya, rendahnya tingkat kesiapsiagaan dan upaya mitigasi di tingkat pemerintahan serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam upaya mempersiapkan diri menghadapi bencana. Perkembangan teknologi media yang berdampak pada pergerakan arus informasi tentang bencana yang terjadi dapat menarik perhatian jutaan penduduk di dunia dalam hitungan jam. Posisi yang strategis pada zona rawan bencana alam, membuat Indonesia harus kehilangan ratusan ribu penduduk dalam jangka waktu satu dekade terakhir akibat badai tropis, banjir, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, longsor dan kekeringan. Walaupun respon secara cepat dan efektif telah diupayakan seoptimal mungkin, namun dampak psikologis dan sosio-ekonomi jangka panjang dari bencana dapat terus menghantui komunitas yang terkena bencana dalam waktu relatif lama setelah bencana tersebut terjadi. Dari pengalaman sebelumnya terlihat bahwa bencana seringkali dipandang sebagai suatu kejadian yang terjadi secara acak, dimana respon yang reaktif hanya dibutuhkan ketika bencana terjadi. Fakta sejarah dan bukti empiris membuktikan bahwa banyak peristiwa bencana alam yang berulang dan seringkali terjadi secara periodik pada wilayah tertentu. Walaupun sulit memprediksi waktu dan skala intensitas suatu kejadian dengan tepat di masa depan, namun pemerintah dan masyarakat dapat melakukan suatu tindakan pencegahan yang telah terbukti berdampak positif dalam kaitannya dengan upaya mitigasi terhadap konsekuensi yang mungkin terjadi. Hingga saat ini, manajemen bencana seringkali hanya sebatas respon-respon reaktif jangka pendek dan kurang berorientasi pada tindakan proaktif kesiapsiagaan serta upaya mitigasi jangka panjang. Dengan tindakan pencegahan yang tepat, keadaan bahaya diupayakan tidak selalu berakhir dengan bencana. Tindakan pencegahan lebih baik daripada tindakan penanggulangan, mengingat adaptasi masyarakat terhadap bencana alam akan selalu menjadi tantangan dalam kaitannya terhadap tindakan respon, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Perkiraan biaya rekonstruksi yang dibutuhkan dalam menanggulangi dampak bencana di Aceh dan Jogjakarta adalah sejumlah US$6,000,000,000 dan US$3,000,000,000 (sumber: Bank Dunia). Biaya tersebut sebenarnya LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



1



1



dapat dikurangi andai saja terdapat skema kesiapsiagaan dan mitigasi yang telah diterapkan sebelum bencana terjadi. Berdasarkan laporan IEG-Bank Dunia, “Bahaya alam, risiko terhadap pembangunan”, setiap US$1 yang dikeluarkan untuk tindakan pencegahan dapat menghemat biaya yang diakibatkan oleh kerusakan sebesar US$40. Berdasarkan laporan yang sama, biaya yang dikeluarkan untuk bencana alam semakin meningkat dengan berjalannya waktu. Dalam kurs dolar konstan, biaya untuk bencana antara kurun waktu 1990 dan 1999 ($652 milyar berupa kerugian materi) adalah 15 kali lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan antara kurun waktu 1950 dan 1959 ($38 milyar pada nilai tukar tahun 1998). Meningkatnya biaya tersebut dikarenakan berbagai hal, termasuk pertumbuhan pada bidang infrastruktur, perubahan dan perkembangan sosial, dan peningkatan aktivitas ekonomi di daerah rawan bencana. Masalah ekonomi yang berkaitan dengan bencana merupakan suatu faktor penting yang patut diperhitungkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, karena harga yang harus dibayar akibat bencana sangat ditentukan oleh kemampuan mitigasi, kesiapsiagaan, dan respon terhadap suatu kejadian. Pengalaman dari berbagai kejadian bencana menunjukkan bahwa mereka yang tergolong miskin cenderung lebih rentan terhadap bencana dan juga memiliki kecenderungan yang lebih besar terkena dampak penderitaan akibat bencana dalam jangka panjang hal ini menekankan pentingnya hubungan intrinsik antara penanggulangan bencana dan pembangunan yang berkesinambungan. Hingga saat ini, masih terdapat keengganan dan pengabaian terhadap pentingnya melakukan tindakan investasi dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana karena tidak ada manfaat langsung yang terukur dari pengeluaran sejumlah biaya untuk kegiatan tersebut. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa tindakan manajemen bencana yang dilakukan sekarang , masih lebih berfokus pada upaya responsif dibandingkan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan. Kelemahan tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, seperti juga halnya tergambar pada dampak badai Katrina, ini menunjukkan adanya suatu kebutuhan untuk segera mengevaluasi pendekatan-pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai bencana dan mengubah paradigma dari upaya respon menuju upaya pengurangan risiko. Walaupun telah ada peningkatan minat dan dukungan terhadap upaya pengurangan risiko, transisi sikap dari masyarakat yang responsif terhadap bencana menuju masyarakat yang siapsiaga menghadapi bencana tidak hanya bergantung dari komitmen pemerintah, tetapi juga membutuhkan dukungan masyarakat secara menyeluruh. Terbentuknya masyarakat yang siapsiaga dalam menghadapi bencana merupakan hal penting bagi negara seperti Indonesia. Berdasarkan berbagai faktor, misalnya letak geografis, Indonesia terletak pada lokasi yang rentan terhadap berbagai jenis bencana alam, seperti:gempa bumi, tsunami, gunung meletus, longsor, kekeringan, dan banjir, yang melanda Indonesia hanya dalam kurun waktu Desember 2004 hingga Juli 2006. Dengan menyandang status sebagai negara yang rawan bencana, masyarakat Indonesia penting mempelajari cara hidup di tengah bahaya. Membangun budaya ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan mencegah dampak bencana memerlukan intervensi yang inovatif, tepat, ekonomis, logis, berorientasi pada manusia dan kebutuhannya.



2



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Visi dari pembangunan ketahanan masyarakat masyarakat perlu diintegrasikan ke dalam visi pembangunan bangsa. Seperti yang telah ditunjukkan pada kasus Aceh dan Jogjakarta, bencana dapat menimbulkan dampak yang serius pada komunitas sekitar dan bahkan pada negara, baik dalam ruang lingkup struktur sosial maupun perkembangan ekonomi. Karena bahaya tidak dipandang sebagai prioritas sosial hingga saat bencana datang melanda, prioritas tersebut ditempatkan pada hal-hal lain seperti penghidupan dan ekonomi dalam agenda pemerintahan dan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan mengintegrasikan risiko-risiko bahaya ke dalam agenda pembangunan suatu negara berarti negara tersebut melakukan suatu tindakan yang mengandung nilai strategis. Pembangunan berkesinambungan harus dilakukan melalui pendekatan-pendekatan tertentu yang dapat mengurangi terjadinya dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat bencana pada komunitas dan negaranya. Konferensi Dunia tentang Upaya Pengurngan Risiko Bencana pada tahun 2005 menghasilkan “Kerangka Aksi Hyogo” 20052015, dengan tema “Membangun Ketahanan Negara dan Masyarakat terhadap Bencana” menekankan bahwa berbagai upaya untuk mengurangi risiko bencana seyogyanya terintegrasi secara sistematis dalam kebijaksanaan, perencanaan, dan program bagi pembangunan berkesinambungan dan pengurangan kemiskinan. Konferensi tersebut mengadopsi 5 (lima) prioritas tindakan sebagai berikut: 1. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana ditempatkan sebagai prioritas nasional dan lokal dengan dasar institusional yang kuat dalam pelaksanaannya. 2. Mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memonitor risiko-risiko bencana dan meningkatkan pemanfaatan peringatan dini. 3. Menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun suatu budaya aman dan ketahanan pada semua tingkatan. 4. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar. 5. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana dengan respon yang efektif pada semua tingkatan. Konferensi Dunia mengenai Upaya Pengurangan Risiko Bencana juga menyebutkan bahwa dalam pendekatan-pendekatan yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, organisasi negara, bagian/regional, dan internasional berikut pelaku lainnya yang terlibat harus memperhitungkan aktivitas-aktivitas kunci yang termasuk dalam 5(lima) prioritas tindakan tersebut dan harus mengimplementasikan prioritas tersebut, setepat mungkin, sesuai situasi dan kondisi serta kapasitas masing-masing. Kelima prioritas tindakan di atas jelas memerlukan komitmen dari para pelaku dan pihak terkait, termasuk pemerintah nasional dan lokal, organisasi-organisasi internasional, warga negara, sektor swasta, dan komunitas ilmuwan. Komunitas ilmuwan dapat menawarkan landasan yang terpercaya melalui penelitian tentang bahaya dan bencana, juga melalui informasi relevan yang dihasilkan berkaitan dengan risiko-risiko, sebab dan akibat, dan cara-cara untuk menanggulangi bencana. Indonesia memiliki komunitas ilmuwan dari berbagai institusi yang secara moral terpanggil untuk turut serta membantu “Membangun Ketahanan Negara dan Masyarakat terhadap Bencana”, di bawah Kerangka Aksi Hyogo. Landasan ilmiah ini memberikan suatu pendekatan yang potensial LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



3



3



bagi pertukaran pengetahuan melalui kerja sama antar institusi, dan berkembangnya ide-ide dan konsep inovatif yang tepat secara lokal dalam kaitannya dengan manajemen bencana. Dengan dukungan dari UN-ISDR, dan bermitra dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), UNESCO telah memulai sebuah kegiatan untuk memperkuat kerjasama ilmiah selatanselatan mengenai manajemen bencana. Menyatukan sejumlah institusi-institusi ilmiah, universitas, dan organisasi lokal seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Andalas-Padang (UNAND), Universitas Bengkulu (UniB), di bawah bendera LIPI, kegiatan ini berfungsi sebagai katalisator bagi berbagai pendekatan inovatif terhadap manajemen bencana, dengan penekanan utama pada komponen kesiapsiagaan. Dengan dukungan sejumlah ilmuwan dan spesialis bencana dari berbagai disiplin ilmu, kerjasama ini telah berhasil mengembangkan dan menguji coba sebuah metodologi dan alat baru untuk mengevaluasi dan mengukur kesiapsiagaan komunitas dalam menghadapi bencana. Setelah bencana gempa bumi dan tsunami di tahun 2004, sejumlah pihak terkait telah diikutsertakan dalam berbagi aspek kesiapsiagaan bencana dan peringatan awal pada tingkat komunitas. Laporan dari Konferensi Dunia mengenai Pengurangan Risiko Bencana menggarisbawahi pentingnya memperkuat kapasitas-kapasitas pada tingkat komunitas untuk mengurangi resiko bencana pada tingkat lokal, mengingat bahwa ukuran pengurangan risiko bencana yang tepat pada tingkat ini memungkinkan komunitas dan inidivual secara signifikan mengurangi kerentanan terhadap bahaya. Namun, banyak intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan komunitas dalam menghadapi bencana dilakukan hanya berdasarkan modul-modul standar tanpa melakukan pengukuran yang efektif dan tanpa memperhatikan tahap awal kesiapsiagaan komunitas sasaran. Walaupun terdapat berbagai macam alat yang berfokus pada pemetaan risiko, kebanyakan alat tersebut tidak memperhitungkan unsur lokalitas. Dihadapkan dengan kenyataan kurangnya instrumen dan alat yang tepat untuk mengukur kesiapsiagaan komunitas dalam menghadapi bencana di Indonesia, Kantor UNESCO, Jakarta dan LIPI telah mengembangkan dan menguji sebuah kerangka evaluasi, yang memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap tingkat kesiapsiagaan komunitas dalam menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Kerangka tersebut berupa produk unik dan inovatif yang dikembangkan oleh ilmuwan Indonesia dan profesional di bidang bencana, yang dapat diadaptasikan ke dalam kerangka multi-bahaya. Dengan kemampuan untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan komunitas secara spesifik, maka sangatlah mungkin melakukan evaluasi terhadap berbagai dampak intervensi dan melacak kemajuan komunitas-komunitas dalam mempersiapkan diri bagi bencana. Hal ini diharapkan dapat membantu mencapai tujuan yang tertuang dalam Kerangka Aksi Hyogo, seperti “Membangun Ketahanan Negara dan Komunitas terhadap berbagai Bencana”.



4



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



2



PENGEMBANGAN FRAMEWORK UNTUK MENGUKUR KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT TERHADAP BENCANA ALAM



2.1. KONSEP KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT TERHADAP BENCANA ALAM 2.1.1. Pengertian Dari pengalaman dalam menangani berbagai kejadian bencana di berbagai belahan bumi ini, dalam 20 tahun terakhir ini telah dirasakan pentingnya meningkatkan kesiapsiagan masyarakat, bukan saja pada tingkat pemerintahan dari suatu negara atau suatu daerah, tetapi juga pada tingkatan komunitas yang langsung merasakan dan harus menghadapi bencana itu sendiri, terutama sebelum bantuan atau pertolongan datang dari instansi atau badan-badan pertolongan atau penanganan bencana yang resmi. Pengertian komunitas dapat didekati dengan definisi dari McMillan & Chavis (1986) sebagai berikut: “community is defined as a feeling that members have a belonging, a feeling that members matter to one another and to the group, and a shared faith that members’ need will be met through their commitment to be together”



5



Pada realitasnya, di masyarakat masih banyak terdapat berbagai penafsiran yang berbeda terhadap konsep kesiapsiagaan. Dalam kajian untuk pengembangan kerangka penilaian kesiapsiagaan masyarakat ini, telah digunakan suatu konsep atau pengertian dari Nick Carter (1991), mengenai kesiapsiagaan dari suatu pemerintahan, suatu kelompok masyarakat atau individu, sebagai berikut: “ tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasiorganisasi, masyarakat, komunitas dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna. Termasuk ke dalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharaan sumberdaya dan pelatihan personil.”



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



5



Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana dan di dalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadinya suatu bencana. Di dalam proses pengelolaan bencana yang direpresentasikan sebagai model siklus, peningkatan kesiapsiagaan merupakan bagian dari proses pengelolaan risiko bencana, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1.1. Model ini memiliki kelemahan karena seolah-olah komponen-komponen kegiatan pengelolaan bencana tersebut berjalan secara sekuensial (berurutan), padahal sesungguhnya tidak demikian. Gambar 2.1.2. memperlihatkan peranan peningkatan kesiapsiagaan terhadap bencana dalam suatu model pengelolaan bencana yang menerapkan konsep kembang- susut (expand – contract) , yang merepresentasikan secara lebih baik peranan dari berbagai komponen kegiatan pengelolaan bencana yang berjalan secara paralel. Fase pengurangan risiko sebelum bencana terjadi



Kesiapsiagaan



BENCANA



Fase pemulihan setelah bencana terjadi



Tanggap darurat



Mitigasi Pemulihan Pencegahan



Manajemen Risiko



Pembangunan



Manajemen Dampak



Gambar 2.1.1. Kesiapsiagaan dalam Model Siklus Pengelolaan Bencana



Gambar 2.1.2 Kesiapsiagaan dalam Proses Manajemen Bencana (Model Expand-Contract)



6



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



I



Konsep kesiapsiagaan yang digunakan pada kajian kerangka penilaian kesiapsiagaan masyarakat di sini lebih ditekankan pada menyiapkan kemampuan untuk dapat melaksanakan kegiatan tanggap darurat secara cepat dan tepat. Kegiatan tanggap darurat meliputi langkah-langkah tindakan sesaat sebelum bencana, seperti: peringatan dini (bila memungkinkan) meliputi penyampaian peringatan dan tanggapan terhadap peringatan; tindakan saat kejadian bencana, seperti: melindungi/ menyelamatkan diri, melindungi nyawa dan beberapa jenis benda berharga, tindakan evakuasi; dan tindakan yang harus dilakukan segera setelah terjadi bencana, seperti: SAR, evakuasi, penyediaan tempat berlindung sementara, perawatan darurat, dapur umum, bantuan darurat, survei untuk mengkaji kerusakan dan kebutuhan-kebutuhan darurat serta perencanaan untuk pemulihan segera (infrastuktur kritis, sarana sosial, seperti: pendidikan dan ibadah)



2.1.2. Sifat Kesiapsiagaan Terkait dengan definisi di atas, terlihat bahwa kesiapsiagaan suatu komunitas selalu tidak terlepas dari aspek-aspek lainnya dari kegiatan pengelolaan bencana (tanggap darurat, pemulihan dan rekonstruksi, pencegahan dan mitigasi). Untuk menjamin tercapainya suatu tingkat kesiapsiagaan tertentu, diperlukan berbagai langkah persiapan pra-bencana, sedangkan keefektifan dari kesiapsiagaan masyarakat dapat dilihat dari implementasi kegiatan tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana. Pada saat pelaksanaan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana, harus dibangun juga mekanisme kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan bencana berikutnya. Selain itu juga perlu diperhatikan sifat kedinamisan dari suatu kondisi kesiapsiagaan suatu komunitas. Tingkat kesiapsiagaan suatu komunitas dapat menurun setiap saat dengan berjalannya waktu dan dengan terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya, politik dan ekonomi dari suatu masyarakat. Karena itu sangat diperlukan untuk selalu memantau dan mengetahui kondisi kesiapsiagaan suatu masyarakat dan melakukan usaha-usaha untuk selalu menjaga dan meningkatkan tingkat kesiapsiagaan tersebut. Dalam konteks pengurangan risiko bencana, dalam jangka panjang diharapkan terjadinya proses pergeseran paradigma, dari pendekatan kesiapsiagaan ke pendekatan pencegahan dan mitigasi dan hal ini memerlukan perubahan cara pandang dari tindakan-tindakan individual ke pengembangan kebijakan dan arah dari para pengambil keputusan. Gambar 2.1.3 memperlihatkan konteks pergeseran paradigma tersebut di atas. •Terkait dengan semua aspek manajemen bencana •Dinamis, bisa menghilang bila tidak dijaga Pencegahan dan mitigasi



Kebijakan dan Pengarahan dari pengambil keputusan



Kesiapsiagaan



Tindakan oleh organisasi individual



Gambar 2.1.3. Sifat Kesiapsiagaan dan Perubahan Cara Pandang Pengurangan Risiko Bencana



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



7



7



2.1.3. Usaha Peningkatan Kesiapsiagaan Dalam mengembangkan kesiapsiagaan dari suatu masyarakat, terdapat beberapa aspek yang memerlukan perhatian, yaitu : - Perencanaan dan organisasi : adanya arahan dan kebijakan, perencanaan penanganan situasi darurat yang tepat dan selalu diperbaharui (tidak tertinggal), struktur organisasi penanggulangan bencana yang memadai - Sumberdaya : inventarisasi dari semua organisasi sumberdaya secara lengkap dan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas - Koordinasi : penguatan koordinasi antar lembaga/organisasi serta menghilangkan friksi dan meningkatkan kerjasama antar lembaga/organisasi terkait - Kesiapan : unit organisasi penanggulangan bencana harus bertanggung jawab penuh untuk memantau dan menjaga standar kesiapan semua elemen - Pelatihan dan Kesadaran Masyarakat : perlu adanya pelatihan yang memadai dan adanya kesadaran masyarakat serta ketersediaan informasi yang memadai dan akurat. Untuk mendukung usaha-usaha peningkatan kesiapsiagaan, diperlukan adanya unsur-unsur sebagai berikut : - Kebijakan dan Peraturan (produk hukum) yang memadai - Instansi/Unit Penanggulangan Bencana yang permanen dan bersifat spesialis untuk memantau dan menjaga tingkat kesiapsiagaan - Identifikasi, kajian dan pemantauan bentuk ancaman bencana (sumber, kemungkinan korban, kerugian, gangguan layanan, gangguan kegiatan ekonomi/sosial) - Perencanaan keadaan darurat/contingency planning, melibatkan berbagai organisasi sumberdaya, kejelasan tugas dan tanggungjawab - Pemanfaatan sumberdaya (perlu inventarisasi semua sumberdaya yang ada secara up-to-date). Usaha-usaha peningkatan kegiatan dapat dilakukan pada berbagai tingkatan, misalnya : 8



Tingkat Nasional Tingkat Propinsi/Daerah (Kabupaten/Kota)/Kecamatan Tingkat Organisasi Individual Tingkat Desa/Kelurahan/Nagari Tingkat RW/RT Tingkat Rumah Tangga Tingkat Individu/perseorangan. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



2.1.4. Elemen-elemen Penting Kesiapsiagaan Dalam mengembangkan dan memelihara suatu tingkat kesiapsiagaan, berbagai usaha perlu dilakukan untuk mengadakan elemen-elemen penting berikut ini : -



Kemampuan koordinasi semua tindakan (adanya mekanisme tetap koordinasi) Fasilitas dan sistim operasional Peralatan dan persediaan kebutuhan dasar atau supply Pelatihan Kesadaran masyarakat dan pendidikan, Informasi Kemampuan untuk menerima beban yang meningkat dalam situasi darurat/krisis.



Khususnya fasilitas dan sistim operasional dari suatu kesiapsiagaan, perlu disediakan elemenelemen berikut ini: -



Sistim komunikasi darurat/stand-by Sistem peringatan dini Sistim aktivasi organisasi darurat Pusat pengendalian operasi darurat (sebagai pusat pengelolaan informasi) Sistem untuk survey kerusakan dan pengkajian kebutuhan Pengaturan untuk bantuan darurat (makanan, perlindungan sementara, pengobatan dan lainnya).



Fasilitas-fasilitas penting yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan kegiatan tanggap darurat secara memadai meliputi sarana-sarana antara lain : -



Fasilitas pertolongan darurat (SAR, Ambulance) Rumah sakit/fasilitas kesehatan Pemadam kebakaran Pusat pengendalian operasi darurat Sistim komunikasi darurat (TELKOM/Operator Cell/ORARI/RAPI/SSB/Jaringan Internet) Media informasi (Radio Siaran, TV, dan lainnya) Sistim cadangan tenaga listrik (PLN) Penyediaan air bersih darurat (PAM/PDAM) Jalur logistik darurat (Jalan/Jembatan/Pelabuhan/Bandara/KA) Jalur pengungsian Bangunan umum yang aman untuk perlindungan (sekolah/mesjid dan lainnya).



2.1.5. Sistem Peringatan Dini Sistem peringatan dini menjadi bagian penting dari mekanisme kesiapsiagaan masyarakat, karena peringatan dapat menjadi faktor kunci penting yang menghubungkan antara tahap kesiapsiagaan LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



9



9



dan tanggap darurat. Secara teoritis bila peringatan dini disampaikan tepat waktu, maka suatu peristiwa yang dapat menimbulkan bencana dahsyat dapat diperkecil dampak negatifnya. Seberapa besar peringatan dapat mengurangi dampak suatu peristiwa bencana akan sangat bergantung pada banyak faktor, misalnya: - Ketepatan peringatan - Jarak waktu yang tersedia antara keluarnya peringatan sampai datangnya peristiwa yang dapat menimbulkan bencana - Seberapa siap perencanaan pra bencana dan kesiapsiagaan masyarakat, termasuk kemampuan masyarakat untuk menanggapi peringatan tersebut dan melakukan tindakan antisipasi secara tepat Gambar 2.1.4 memperlihatkan bagaimana proses urutan peringatan dini bencana terjadi, dari mulai didapatnya informasi mengenai suatu ancaman bencana sampai terjadinya suatu tindakan tanggap darurat untuk menanggapi peristiwa tersebut.



Gambar 2.1.4. Mekanisme Peringatan Bencana



Sumber informasi dari mekanisme peringatan bencana dapat berasal dari tempat kejadian peristiwa pertama dan tempat terjadinya situasi krisis. Kadang-kadang sumber ini bersifat dorman-tidak aktif dan memerlukan satu tindakan agar dapat menghasilkan informasi bencana secara aktif. Tanda peringatan dapat muncul dari sumber biasa, seperti masyarakat di tempat kejadian (misal orang yang melihat air surut setelah gempa kuat sebagai tanda awal), atau dari sumber-sumber khusus yang berwenang, misal dari sistem peringatan dini melalui pejabat/kantor yang disepakati mempunyai wewenang (polisi, BMG, Pengamat Gunung Api, Pengamat Peil Banjir dan sebagainya), atau dari citra satelit – foto udara dan sebagainya. Tahapan tanda peringatan ini mengaktifkan mekanisme sistem peringatan bencana.



10



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Di dalam sistem ini, proses transmisi pesan dapat terjadi melalui mekanisme dari mulut ke mulut/ pesan lisan, atau menggunakan alat-alat tradisional seperti kentongan-lonceng-bedug dan sebagainya, juga peralatan komunikasi lain seperti telepon/telex/fax/sms/mms dan sebagainya, atau pesan melalui jaringan internet. Radio siaran/TV, kemudian jaringan radio amatir/RAPI/HT/ SSB dsb dapat melakukan fungsi tranmisi pesan. Tanda alarm seperti sirene yang sudah disepakati bersama dapat menjadi alat penyampai pesan yang efektif. Penerimaan dan pencatatan pesan dalam sistem ini memegang peran penting, antara lain oleh pusat informasi : seperti Pusat Pengendalian Operasi Darurat, Markas Polisi dan LinMas atau posko-posko yang disepakati. Pusat informasi harus punya kemampuan mengolah dan menyimpan informasi serta menyampaikan (display/tampilan) informasi. Hal ini penting untuk memastikan adanya pencatatan informasi peringatan. Informasi dapat disampaikan dalam bentuk peta/gambar, papan pengumuman, proyeksi visual (TV, layar umum dan lainnya), baligo dan sebagainya. Proses kajian informasi merupakan fase pemanfaatan informasi. Kajian ini dapat dilakukan oleh individual berdasarkan masukan dari staffnya dan bila dilakukan oleh pemerintah, biasanya melalui suatu pertemuan khusus. Proses pengambilan keputusan merupakan suatu phase kritis yang mengubah informasi jadi tindakan nyata. Kegiatan ini dilakukan oleh individual/perseorangan yang bertanggung jawab penuh atas tindakannya, atau oleh seseorang yang memegang tanggung jawab tertentu atas konsultasi dengan staf atau penasihat ahlinya. Tindakan yang dilakukan berupa tindak lanjut dari keputusan yang diambil dalam bentuk serangkaian tindakan, baik dinamik maupun statik. Contoh tindakan dinamik : survei, SAR, evakuasi, mobilisasi sumberdaya, peringatan/instruksi untuk masyarakat, sedangkan tindakan statik bisa berupa menunggu informasi lebih lanjut/stand-by, atau tidak perlu mengambil tindakan apa-apa. Kemampuan-kemampuan tertentu sangat diperlukan agar peringatan menjadi efektif, seperti : - Kemampuan menerima peringatan dari sumber internasional (jaringan pemantau badai, jaringan pemantau tsunami, informasi meteorologi dari citra satelit dan sebagainya) - Kemampuan menyiapkan peringatan secara nasional-lokal - Kemampuan menyampaikan peringatan dari tingkat pusat dan tingkat pemerintahan lainnya - Kemampuan menyampaikan kepada masyarakat - Kemampuan menerima peringatan dan melakukan tindakan berdasarkan peringatan :



• Punya alat penerima pesan (radio/tv dsb • Mampu melihat/mendengar tanda peringatan • Memahami arti dari setiap tanda peringatan



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



11



11



• Memahami tindakan apa yang harus diambil • Faktor apa saja yang mempengaruhi pemanfaatan peringatan - Tenggang waktu yang cukup antara peringatan dini dan ketepatannya - Adanya kerangka-kerja perencanaan darurat (protap keadaan darurat?) dan organisasinya (SATLAK?) - Kesadaran masyarakat dan partisipasinya - Pelatihan/gladi/simulasi (hati-hati kejenuhan terhadap pelatihan!). Dengan sendirinya masyarakat sangat berperan dalam efektifitas sistem peringatan dini ini. Peran ini tercermin dari kesadaran atau kepedulian masyarakat serta pemahaman terhadap sistem peringatan, ditambah dengan kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan terkait (tindakan antisipatif, prosedur evakuasi dan sebagainya). Harus diperhatikan juga bahwa terlalu banyak peringatan yang salah (false alarm) dapat mengakibatkan kejenuhan atas peringatan yang terus menerus, sehingga akhirnya sistem peringatan menjadi tidak efektif lagi. Sistem peringatan dini juga tidak selalu efektif untuk semua jenis ancaman bahaya. Beberapa jenis bahaya bahkan tidak mempunyai peringatan dini, seperti bahaya gempa. Gambar 2.1.5 memperlihatkan beberapa jenis bahaya atau ancaman bencana dikaitkan frekuensi kejadiannya dan kemampuan untuk memberikan peringatan dini. Frekuensi Kejadian Sangat Rendah tsunami gempa Letusan gunung Tanpa Peringatan



Longsor Banjir bandan



Ada Peringatan



Badai Banjir Kebakaran hutan



Frekuensi Kejadian Tinggi Gambar 2.1.5. Frekuensi Ancaman Bencana dan Potensi Peringatan Dini



Dengan demikian pengembangan sistem peringatan bencana perlu memperhatikan secara realistis jenis-jenis ancaman bencana yang bisa memberikan peringatan dini. Juga perlu memperhatikan bahwa untuk beberapa jenis ancaman bencana yang memiliki frekuensi kejadian yang sangat rendah dalam sistem peringatan dininya akan memiliki permasalahan bagaimana menjaga dan



12



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



memelihara sistem peringatan tersebut dalam jangka waktu yang sangat panjang agar dapat selalu berfungsi secara andal. Untuk itu diperlukan kajian yang sangat mendalam, terutama dalam memberikan prioritas bagi pembangunan sistem peringatan bencana yang membutuhkan biaya investasi yang sangat besar serta membutuhkan tingkat pemeliharaan yang tinggi untuk menjamin keandalannya.



2.2. PROSES PENGEMBANGAN FRAMEWORK Framework Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat untuk Mengantisipasi Bencana Alam dikembangkan dengan pendekatan partisipatif melalui suatu proses pengembangan dan uji coba di perdesaan Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Kota Padang. Pada dasarnya proses ini meliputi 5 tahapan, yaitu: kajian terhadap faktor-faktor kritis yang berpengaruh secara signifikan terhadap kesiapsiagaan masyarakat, pengembangan indikator kesiapsiagaan masyarakat, pengembangan instrumen-instrumen, uji coba framework dan instrumen, dan perbaikan framework dan instrumen berdasarkan pembelajaran dari uji coba di lapangan. 2.2.1. Kajian Faktor-Faktor Kritis Pengembangan framework dimulai dengan melakukan kajian terhadap faktor-faktor kritis (critical factors) yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Kajian ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif melibatkan berbagai komponen yang mempunyai latar belakang dan/ atau pengalaman yang berkaitan dengan kebencanaan dan kesiapsiagaan masyarakat, seperti: peneliti geologi dan sosial dari LIPI, akademisi dari ITB dan Universitas Andalas (UNAND), Institusi Pemerintah yang relevan (Bakornas, Depdagri, Kominfo dan Diknas), PMI, International Federation of Red Cross (IFRC) dan LSM (Walhi). Kajian dilakukan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: brainstorming, diskusi kelompok, clue card dan desk review. Dengan kombinasi dari beberapa pendekatan ini setiap komponen/ peserta kajian mengemukakan pandangan/pendapat dan memberikan kontribusi terhadap faktorfaktor kritis kesiapsiagaan terhadap bencana. Pandangan dan pendapat peserta kajian ini kemudian di cross check dan dikombinasikan dengan hasil kajian literatur/dokumen, sehingga menghasilkan kesepakatan mengenai faktor-faktor kritis yang sangat dibutuhkan, penting, mendesak dan sensitif terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana alam. Dari kajian ini disepakati 5 faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami, yaitu: 1) Pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana 2) Kebijakan dan Panduan 3) Rencana untuk Keadaan Darurat Bencana 4) Sistim Peringatan Bencana 5) Kemampuan untuk Memobilisasi Sumber Daya LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



13



13



Parameter Ke lima faktor kritis ini kemudian disepakati menjadi parameter dalam assessment framework. Parameter pertama adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengalaman bencana tsunami di Aceh dan Nias, Jogyakarta serta berbagai bencana yang terjadi di berbagai daerah lainnya memberikan pelajaran yang sangat berarti akan pentingnya pengetahuan tentang bencana alam. Ketika air laut surut ke tengah laut, banyak penduduk pesisir di Aceh yang berlari ke pantai untuk mengambil ikan-ikan yang terdampar di pantai. Mereka tidak mengetahui kalau surutnya air laut tersebut merupakan suatu pertanda akan terjadinya tsunami. Akibatnya ketika gelombang tsunami yang maha dahsyat menghantam pantai, sebagian besar tidak sempat menyelamatkan diri dan menjadi korban tsunami. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah pesisir yang rentan terhadap bencana alam. Parameter ke dua adalah kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam. Kebijakan kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan merupakan upaya konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga bencana. Kebijakan yang signifikan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan meliputi: pendidikan publik, emergency planning, sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya, termasuk pendanaan, organisasi pengelola, SDM dan fasilitas-fasilitas penting untuk kondisi darurat bencana. Kebijakan-kebijakan dituangkan dalam berbagai bentuk, tetapi akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit dalam peraturan-peraturan, seperti: SK atau Perda yang disertai dengan job description yang jelas. Agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan optimal, maka dibutuhkan panduanpanduan operasionalnya. Parameter ke tiga adalah rencana untuk keadaan darurat bencana alam. Rencana ini menjadi bagian yang penting dalam kesiapsiagaan, terutama berkaitan dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar korban bencana dapat diminimalkan. Upaya ini sangat krusial, terutama pada saat terjadi bencana dan hari-hari pertama setelah bencana sebelum bantuan dari pemerintah dan dari pihak luar datang. Dari pengalaman bencana di Aceh dan berbagai pengalaman bencana lainnya di Indonesia, menggambarkan bahwa bantuan dari luar tidak dapat segera datang, karena rusaknya sarana infrastruktur, seperti jalan, jembatan dan pelabuhan. Parameter ke empat berkaitan dengan sistim peringatan bencana, terutama tsunami. Sistim ini meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Dengan peringatan bencana ini, masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan. Untuk itu diperlukan latihan dan simulasi, apa yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu, sesuai dengan lokasi dimana masyarakat sedang berada saat terjadinya peringatan. Parameter ke lima yaitu: mobilisasi sumber daya. Sumber daya yang tersedia, baik sumber daya manusia (SDM), maupun pendanaan dan sarana – prasarana penting untuk keadaan darurat 14



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana alam. Karena itu, mobilisasi sumber daya menjadi faktor yang krusial. Stakeholders Kesiapsiagaan Bencana Kelima parameter di atas merupakan parameter standar untuk mengukur kesiapsiagaan masyarakat. Padahal dalam kenyataannya apabila kita membicarakan masyarakat banyak stakeholders yang terlibat dan berpengaruh. Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif, maka kajian ini mengidentifikasi stakeholders kesiapsiagaan terhadap bencana dan mengelompokkan stakeholders tersebut ke dalam tujuh kelompok, yaitu: individu dan rumah tangga, pemerintah, komunitas sekolah, kelembagaan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop), kelompok profesi (seperti: ahli kontruksi bangunan, jurnalis, dan sebagainya) dan pihak swasta (kontraktor bangunan dan pelaku bisnis lainnya). Masing-masing stakeholder mempunyai peran dan tanggung jawab yang bervariasi terhadap peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. Berdasarkan tingkat kepentingan, tanggung jawab dan sensitifitasnya, maka kajian ini mengelompokkan tujuh stakeholders kesiapsiagaan bencana tersebut menjadi dua bagian, yaitu stakeholders utama dan stakeholders pendukung. Stakeholders Utama Dalam kajian ini disepakati tiga stakeholders yang termasuk dalam kelompok stakeholders utama, yaitu: 1. Individu dan rumah tangga 2. Pemerintah, dan 3. Komunitas Sekolah.



15



Ketiga stakeholders ini memegang peran yang sangat penting dalam kesiapsiagaan masyarakat. Individu dan rumah tangga merupakan ujung tombak, subjek dan objek dari kesiapsiagaan, karena berpengaruh secara langsung terhadap resiko bencana. Pemerintah juga mempunyai peran dan tanggung jawab yang sangat penting, terutama dalam kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih memerlukan peran pemerintah, terutama dalam pendidikan masyarakat yang berkaitan dengan bencana, penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana publik untuk keadaan darurat, seperti: tempat-tempat evakuasi atau bangunan untuk penyelamatan sementara, pertolongan dan evakuasi korban bencana, pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban bencana, peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya baik dari pemerintah maupun pihak luar. Sedangkan komunitas sekolah mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber pengetahuan, penyebar-luasan pengetahuan tentang bencana dan petunjuk praktis apa yang harus disiapkan sebelum terjadinya bencana dan apa yang harus dilakukan pada saat dan setelah terjadinya bencana.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



15



Stakeholders Pendukung Dari hasil kajian disepakati empat stakeholders pendukung, yaitu: 1. Kelembagaan masyarakat, seperti: PKK, karang taruna, majelis taklim, kerapatan adat, pemuda mesjid/gereja, dan lainnya 2. LSM dan Ornop 3. Kelompok profesi 4. Pihak swasta Ke empat stakeholders tersebut mempunyai potensi yang besar dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Peran dan kontribusi masing-masing stakeholder bervariasi sesuai dengan tujuan dan kemampuan masing-masing. Bentuk kontribusi juga bermacam-macam, baik dalam bentuk tenaga, pelatihan, bimbingan teknis, penyebaran informasi, pengadaan materi dan sarana/perlengkapan kesiapsiagaan maupun dalam bentuk dana. Variabel Untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat, maka lima parameter yang telah disepakati tersebut harus diterjemahkan menjadi variabel-variabel yang dapat dihitung nilainya. Jumlah variabel bervariasi antar parameter dan antar stakeholders, sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi masing-masing. Parameter 1: Pengetahuan dan sikap terdiri dari empat variabel, yaitu: - Pemahaman tentang bencana alam - Pemahaman tentang kerentanan lingkungan - Pemahaman tentang kerentanan bangunan fisik dan fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat bencana - Sikap dan kepedulian terhadap resiko bencana Parameter 2: Kebijakan, peraturan dan panduan dijabarkan kedalam tiga variabel, yaitu: - Jenis-jenis kebijakan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, seperti: organisasi pengelola bencana, rencana aksi untuk tanggap darurat, sistim peringatan bencana, pendidikan masyarakat dan alokasi dana - Peraturan-peraturan yang relevan, seperti: perda dan SK - Panduan-panduan yang relevan Parameter 3: Rencana untuk keadaan darurat diterjemahkan menjadi delapan variabel, yaitu: - Organisasi pengelola bencana, termasuk kesiapsiagaan bencana - Rencana evakuasi, temasuk lokasi dan tempat evakuasi, peta, jalur dan rambu-rambu evakuasi 16



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



- Posko bencana dan prosedur tetap (protap) pelaksanaan - Rencana Pertolongan pertama, penyelamatan, keselamatan dan keamanan ketika terjadi bencana - Rencana pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk makanan dan minuman, pakaian, tempat/ tenda pengungsian, air bersih, MCK dan sanitasi lingkungan, kesehatan dan informasi tentang bencana dan korban - Peralatan dan perlengkapan evakuasi - Fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat (Rumah sakit/posko kesehatan, Pemadam Kebakaran, PDAM, Telkom, PLN, pelabuhan, bandara) - Latihan dan simulasi evakuasi Parameter 4: Sistim Peringatan Bencana Tsunami dijabarkan kedalam tiga variabel, yaitu: - Sistim peringatan bencana secara tradisional yang telah berkembang/berlaku secara turun temurun dan/atau kesepakatan lokal - Sistim peringatan bencana berbasis teknologi yang bersumber dari pemerintah, termasuk instalasi peralatan, tanda peringatan, diseminasi informasi peringatan dan mekanismenya - Latihan dan simulasi Parameter 5: Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya tediri dari variabel-variabel sebagai berikut: - Pengaturan kelembagaan dan sistim komando - Sumber Daya Manusia, termasuk ketersediaan personnel dan relawan, keterampilan dan keahlian - Bimbingan teknis dan penyediaan bahan dan materi kesiapsiagaan bencana alam - Mobilisasi dana - Koordinasi dan komunikasi antar stakeholders yang terlibat dalam kesiapsiagaan bencana - Pemantauan dan evaluasi kegiatan kesiapsiagaan bencana Variabel-variabel di atas merupakan variabel-variabel yang masih bersifat umum. Untuk mendapatkan variabel yang lebih spesifik, maka kajian ini mengembangkan variabel berdasarkan stakeholder, karena masing-masing mempunyai spesifikasi yang berbeda dengan lainnya. Secara detail dapat dilihat pada matriks framework.



2.2.2.



Pengembangan Indikator Kesiapsiagaan Masyarakat



etelah menyepakati parameter dan variabel, langkah selanjutnya adalah mengembangkan indikator kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam. Setiap parameter dan variabel atau beberapa variabel mempunyai satu atau beberapa indikator disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Indikator juga bervariasi sesuai dengan stakeholders kesiapsiagaan bencana, seperti individu LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



17



17



dan rumah tangga, pemerintah, komunitas sekolah, kelembagaan masyarakat, LSM dan Ornop, kelompok profesi, dan sektor swasta. Indikator secara detail dapat dilihat pada matriks framework. Setelah disepakati indikator-indikator kesiapsiagaan masyarakat, maka proses selanjutnya adalah menyusun desain assessment framework berdasarkan stakeholder. Framework dikemas dalam bentuk matrik yang terdiri dari: parameter, variabel dan indikator kesiapsiagaan. Framework ini belum dapat dioperasionalkan untuk kegiatan kajian, karena masih memerlukan satu proses lanjutan yaitu pengembangan instrumen.



2.2.3. Pengembangan Instrumen-Instrumen Kajian Pengembangan instrumen disesuaikan dengan metode kajian yang mengkombinasikan antara metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif difokuskan pada kegiatan survei dengan menggunakan kuesioner yang bervariasi sesuai dengan stakeholder. Sedangkan metode kualitatif menggunakan beberapa cara, yaitu: wawancara mendalam dengan stakeholders, Diskusi Kelompok Terfokus atau Focus Group Discussions (FGD) dengan komunitas sekolah dan masyarakat, workshop dengan komponen-komponen masyarakat yang relevan dengan kesiapsiagaan bencana, dan pengamatan lapangan (keterangan secara detail dapat dilihat pada bab 3). Sesuai dengan metode yang digunakan, maka dalam kajian ini dikembangkan satu paket instrumen yang terdiri dari 3 set, yaitu: daftar pertanyaan atau kuesioner, panduan wawancara mendalam dan panduan FGD workshop (penjelasan detail dapat dilihat pada bab 3 bagian 3.2.). Ke tiga set instrumen ini disajikan pada lampiran 8.1. sampai 8.4.



2.2.4. Uji Coba Framework dan Instrumen-Instrumen Kajian Setelah paket instrumen selesai, maka dilakukan uji coba untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat di tiga lokasi kajian. Lokasi pertama dipilih perdesaan di Kabupaten Aceh Besar dimana masyarakat di kedua desa tersebut pernah mengalami bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2006. Lokasi ke dua adalah Kota Bengkulu yang termasuk sebagai daerah yang rentan bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami. Kota Bengkulu dengan jumlah penduduk hampir 300 ribu jiwa ini menjadi contoh untuk kota menengah/sedang di Indonesia. Lokasi ke tiga adalah Kota Padang yang juga sangat rentan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Kota dengan penduduk sekitar 800 ribu jiwa dan sebagian besar tinggal di wilayah pesisir ini menjadi contoh untuk kesiapsiagaan kota besar.



18



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Uji coba framework dan instrumen ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah framework dan paket instrumen yang telah dikembangkan dapat diterapkan di lapangan dan mengetahui kelemahan-kelemahannya agar dapat diperbaiki. Di samping itu, uji coba dilakukan untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat di ke tiga lokasi kajian.



2.2.5. Editing Framework dan Paket Instrumen Kajian Berdasarkan Pembelajaran dari Aceh Besar, Bengkulu dan Padang Berdasarkan hasil uji coba di Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Kota Padang, langkah selanjutnya adalah melakukan editing framework dan paket instrumen. Dengan demikian, framework dan instrumen-instumen yang dihasilkan adalah framwework dan paket instrumen yang sensitif dan operasional, sehingga dapat digunakan untuk mengkaji kesiapsiagaan masyarakat di daerahdaerah lain, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap bencana alam, di seluruh wilayah Indonesia.



2.3. FRAMEWORK UNTUK STAKEHOLDERS UTAMA KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT Dari kajian ini diidentifikasi tujuh stakeholders yang berkaitan erat dengan kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam, yaitu: individu dan rumah tangga, instansi pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan bencana, komunitas sekolah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi non pemerintah (ornop), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut disepakati tiga sebagai stakeholders utama dalam kesiapsiagaan bencana, yaitu: individu dan rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah. Ke tiga stakeholders utama ini mempunyai peran yang sangat besar dan menjadi key players untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Framework dari stakeholders utama, yaitu: individu dan rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah, dapat dilihat pada matrik 2.3.1., 2.3.2. dan 2.3.3.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



19



19



Matriks 2.3.1. Framework Kesiapsiagaan Individu dan Rumah Tangga dalam Mengantisipasi Bencana Alam



N



20



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Pertolongan Pertama, Penyelamatan, Keselamatan dan Keamanan



- Tersedianya kotak P3K atau obat-obatan penting untuk pertolongan pertama keluarga - Adanya rencana untuk penyelamatan dan keselamatan keluarga - Adanya anggota keluarga yang mengikuti pelatihan pertolongan pertama atau P3K - Adanya anggota keluarga yang mengikuti latihan dan keterampilan evakuasi - Adanya akses untuk merespon keadaan darurat



Pemenuhan Kebutuhan Dasar



- Tersedianya kebutuhan dasar untuk keadaan darurat (misal makanan siap saji seperlunya, minuman, senter dan batere) - Tersedianya alat/akses komunikasi alternatif keluarga (HP/radio/HT) - Tersedianya alat penerangan alternatif untuk keluarga pada saat darurat (senter/lampu/jenset)



Peralatan dan Perlengkapan



- Tersedianya tas dan perlengkapan siaga bencana



Fasilitas-Fasilitas Penting (Rumah sakit, Pemadam Kebakaran, Polisi, PAM, PLN, Telkom)



- Tersedianya alamat/no, telpon rumah sakit, pemadam kebakaran, polisi, PAM, PLN, Telkom - Adanya akses terhadap fasilitasfasilitas penting



Latihan dan simulasi/gladi



- Tersedianya akses untuk mendapatkan pendidikan dan materi kesiapsiagaan bencana - Frekuensi latihan (publik dan dalam rumah tangga)



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



21



21



4.



Sistim Peringatan Bencana



Tradisional yang berlaku secara turun temurun Kesepakatan lokal TWS/Sistim Peringatan Tsunami



- Tersedianya sumber-sumber informasi untuk peringatan bencana tsunami



- Diseminasi peringatan dan mekanisme



- Adanya akses untuk mendapatkan informasi peringatan bencana - Frekuensi latihan



Latihan dan simulasi 5.



Mobilisasi Sumber Daya



- Tersedianya sumber-sumber informasi untuk peringatan bencana baik dari sumber tradisional maupun lokal



Sumber Daya Manusia



- Adanya anggota keluarga yang terlibat dalam semianar/ workshop/pertemuan/pelatihan kesiapsiagaan bencana



Bimbingan Teknis dan Penyediaan Materi



- Tersedianya materi kesiapsiagaan bencana - Tersedianya akses informasi dari media dan sumber lainnya - Adanya keterampilan anggota keluarga yang berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap bencana



22



Pendanaan dan logistik



- Adanya alokasi dana/tabungan/investasi/asuransi/ bahan logistik berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana



Jaringan sosial



- Tersedianya jaringan sosial (keluarga/kerabat/teman) yang siap membantu pada saat darurat bencana



Pemantauan dan Evaluasi (Monev)



- Kesepakatan keluarga untuk melakukan latihan simulasi dan memantau tas siaga bencana secara reguler



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Matriks 2.3.2. Framework Kesiapsiagaan Pemerintah Kota/Kabupaten dalam Mengantisipasi Bencana Alam



No. 1.



Parameter Pengetahuan



Variabel Pengetahuan - Kejadian alam dan bencana (tipe, sumber, besaran, lokasi)



Indikator



- Menjelaskan sejarah terjadinya bencana dan dampak yang ditimbulkan - Menjelaskan tipe-tipe, sumber, penyebab dan besaran/skala bencana



- Bencana ikutan/turunan yang di akibatkan terjadinya gempa



2.



Kebijakan dan Panduan



- Kerentanan fisik (lokasi, kondisi fasilitas-fasilitas kritis, standar bangunan), Kebijakan



- Menyebutkan jenis-jenis bencana yang terjadi setelah gempa - Menjelaskan tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana alam - Menjelaskan kondisi dan rencana fasilitas-fasilitas kritis - Tersedianya kebijakan dan panduan tentang organisasi pengelola bencana, rencana aksi untuk tanggap darurat, sistim peringatan bencana, mobilisasi sumber daya, dan pendidikan masyarakat - Alokasi dana untuk kesiapsiagaan bencana



23



- Adanya fakta/data pelaksanaan kebijakan dan panduan - Adanya kebijakan lain yang mendukung kesiapsiagaan bencana (seperti: RTRW, Renstra, AKU/KUA, IMB, SNI) Peraturan



Tersedianya peraturan yang berkaitan dengan: - Organisasi pengelola bencana dan prosedur tetap (protap) pelaksanaan - Tempat-tempat evakuasi dan gedunggedung/bangunan untuk penyelamatan sementara, pengecekan dan pemeliharaan gedung-gedung tempat evakuasi - Pemenuhan kebutuhan dasar (penyediaan, penyimpanan dan distribusi dalam keadaan darurat) dan protap pelaksanaan



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



23



- Sistim peringatan bencana dan protap pelaksanaan - Adanya fakta/data tentang pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana 3.



Rencana Tanggap Darurat



Organisasi Pengelola Bencana



- Tersedianya organisasi pengelola bencana - Tersedia pembagian tugas dan tanggung jawab anggota organisasi dalam bentuk prosedur tetap (protap) pelaksanaan - Adanya sosialisasi tentang organisasi dan protap pelaksanaan kepada anggota organisasi



Rencana Evakuasi



- Tersedianya tempat-tempat evakuasi atau gedung-gedung/bangunan tempat pengungsian - Tersediannya peta-peta bahaya - Tersedianya peta evakuasi, ramburambu tanda bahaya dan rute/jalur evakuasi - Tersedianya rencana untuk mensosialisasikan peta/tempat/ bangunan/rute evakuasi kepada masyarakat



Posko Becana



- Tersedianya posko bencana dan protap pelaksanaan - Tersedianya nomor hotline informasi bencana



Pertolongan Pertama, Penyelamatan, Keselamatan dan Keamanan



- Tersedianya rencana untuk pertolongan pertama korban (obatobatan, tenaga medis, peralatan/ambulan) - Tersedianya rencana untuk penyelamatan korban bencana dan transportasi/sistim ambulan - Tersedianya unit SAR dan protap



Pemenuhan Kebutuhan Dasar



24



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



- Tersedianya data alokasi bahanbahan dan perlengkapan untuk kebutuhan dasar (stock)



- Adanya daftar tempat penyimpanan bahan-bahan dan perlengkapan untuk kebutuhan dasar (stocking places) - Tersedianya prosedur pengadaan bahan dan perlengkapan kebutuhan dasar dalam keadaan darurat



Peralatan dan Perlengkapan



Fasilitas-Fasilitas Penting (Rumah sakit, Pemadam Kebakaran, Polisi, PAM, PLN, Telkom)



- Tersedianya prosedur untuk distribusi bahan dan perlengkapan dalam keadaan darurat - Tersedianya peralatan dan perlengkapan untuk keadaan darurat (tenda, dapur umum, MCK) Keberadaan dan kapasitas fasilitasfasilitas penting: - Pemadam Kebakaran (Jumlah pos/km2, mobil dan tanki/10.000 penduduk, kondisi mobil dan peralatan, jumlah petugas terlatih/10.000 penduduk dan relawan terlatih/10.000 penduduk - Fasilitas Kesehatan dalam kondisi darurat (Jumlah rumah sakit/100 km2, tempat tidur/10.000 penduduk, dokter/ paramedis/relawan terlatih/10.000 penduduk untuk darurat bencana - Kapasitas untuk memperbaiki : penerangan listrik (jumlah hari/ km2) jaringan komunikasi (jumlah hari / 100 telepon), sistim distribusi air bersih, distribusi bantuan (rute/jalan/jembatan/pelabuhan/banda ra) dari daerah tetangga



4.



Sistim Peringatan Bencana



Latihan dan simulasi/gladi



- Latihan dan simulasi secara reguler (publik dan instansi)



Tradisional yang berlaku secara turun temurun



- Adanya pengakuan terhadap sistim peringatan bencana secara tradisional dan lokal



Kesepakatan lokal TWS/Sistim Perngatan Tsunami (Teknologi - tanda, sinyal, standar)



- Tersedianya teknologi sistim peringatan bencana dan protap pelaksanaan



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



25



25



5.



Mobilisasi Sumber Daya



- Instalasi (teknik, peralatan, tanda dan sinyal)



- Fakta adanya instalasi peralatan untuk peringatan bencana, pemeliharaan dan prosedur pemberian peringatan



- Diseminasi peringatan dan mekanisme



- Tersedianya sistim penyebar-luasan peringatan bencana dan prosedur tetap (Protap) pelaksanaan



Latihan dan simulasi



-



Jumlah staf yang mengikuti pelatihan



-



Jumlah staf yang menghadiri seminar/workshop



-



Frekuensi latihan dan simulasi



Penataan Kelembagaan



- Kesepakatan isntansi-instansi pemerintah untuk memobilisasi sumber daya (dana/peralatan/ petugas) dan protap pelaksanaan - Kesepakatan antara instansi-instansi pemerintah dengan masyarakat di lokasi bencana - Tersedianya mekanisme untuk mengelola sumber daya dari luar (pihak swasta, donatur, NGO, relawan)



Sistim komando



- Adanya komando untuk keadaan darurat dan protap sistim komando



Komunikasi dan Koordinasi antar Stakeholders yang relevan



- Tersedianya protokol untuk komunikasi dan koordinasi antar instansi dan lembaga pemerintah - Tersedianya protokol untuk komunikasi publik yang berkaitan dengan informasi keadaan darurat (secara reguler dan bertanggung jawab) - Tersedianya jaringan kerja di luar pemerintah untuk memobilisasi sektor swasta dan NGO dalam merespon keadaan darurat bencana



Sumber Daya Manusia



26



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



- Jumlah personil yang dilatih/terlatih kesiapsiagaan bencana dan sistim pengelolaan tanggap darurat



Sumber Daya Alam



- Teridentifikasinya jenis-jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan pangan alternatif pada saat darurat bencana



Bimbingan Teknis dan Penyediaan Materi



- Tersedianya bimbingan teknis/pelatihan kesiapsiagaan bencana - Tersedianya materi dan bahan untuk kesiapsiagaan masyarakat - Adanya fakta/data sosialisasi materi dan bahan kesiapsiagaan kepada masyarakat - Tersedianya informasi/dokumen bencana alam yang pernah terjadi



Pendanaan



- Tersedianya prosedur untuk mengalokasikan dan memobilisasi dana kesiapsiagaan bencana



Pemantauan dan Evaluasi (Monev)



- Tersedianya rencana untuk melakukan monev dan menindaklanjuti hasil monev



27



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



27



Matriks 2.3.3. Framework Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah dalam Mengantisipasi Bencana Alam No.



Parameter



1.



Pengetahuan dan Sikap



Variabel



Indikator



Pengetahuan - Menjelaskan tipe-tipe, sumber, penyebab dan intensitas bencana



- Kejadian alam dan bencana (tipe, sumber, besaran, lokasi)



-



- Bencana ikutan/turunan yang di akibatkan terjadinya gempa



Menyebutkan jenis-jenis bencana yang terjadi setelah gempa



- Menjelaskan kerentanan lingkungan dan bangunan fisik sekolah



- Kerentanan fisik (lokasi dan kondisi bangunan)



2.



Kebijakan dan Panduan



Sikap terhadap resiko bencana



-



Motivasi komunitas sekolah untuk kesiapsiagaan mengantisipasi terjadinya bencana alam



Kebijakan



- Adanya kebijakan pendidikan dan panduan untuk kesiapsiagaan bencana - Tersedianya fakta/data pelaksanaan kebijakan pendidikan kesiapsiagaan bencana



Peraturan



-



Adanya peraturan-peraturan pendidikan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana - Tersedianya fakta/data tentang pelaksanaan dari peraturan-peraturan pendidikan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana



3.



Rencana Tanggap Darurat



Rencana untuk Merespon Keadaan Darurat



- Tersedianya rencana sekolah untuk keadaan darurat - Tersedianya prosedur tetap (protap) sekolah untuk keadaan darurat bencana



Rencana Evakuasi



- Tersedianya rencana tempat-tempat, peta dan jalur evakuasi



Pertolongan Pertama, Penyelamatan, Keselamatan dan Keamanan



- Tersedianya rencana pertolongan pertama



Pemenuhan Kebutuhan Dasar



- Tersedianya back-up dokumen-dokumen penting sekolah



- Tersedianya rencana penyelamatan, keselamatan dan pengamanan sekolah



- Tersedianya data tentang alokasi kebutuhan dasar sekolah Peralatan dan Perlengkapan



28



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



- Tersedianya dokumen-dokumen, peralatan penting sekolah dan tempat penyimpanan yang aman



Fasilitas-Fasilitas Penting (Rumah sakit, Pemadam Kebakaran, Polisi, PAM, PLN, Telkom)



- Tersedianya alamat dan no. telpon fasilitasfasilitas penting



Latihan dan simulasi/gladi



- Adanya akses terhadap pendidikan kesiapsiagaan bencana



- Adanya akses terhadap fasilitas-fasilitas penting



- Frekuensi latihan dan simulasi/gladi (publik dan sekolah) 4.



Sistim Peringatan Bencana



Tradisional yang berlaku secara turun temurun Kesepakatan lokal



- Adanya akses terhadap sumber informasi peringatan bencana tradisional dan/atau lokal



TWS/Sistim Peringatan Tsunami (Teknologi - tanda, sinyal, standar)



- Adanya akses terhadap sumber informasi TWS



- Instalasi (teknik, peralatan, tanda dan sinyal)



- Adanya peralatan yang dapat menangkap informasi peringatan bencana



- Diseminasi peringatan dan mekanisme



- Tersedianya prosedur distrubusi informasi peringatan bencana



Latihan dan simulasi



- Jumlah guru dan siswa yang telah dilatih/terlatih - Frekuensi latihan dan simulasi



5.



Mobilisasi Sumber Daya



Penataan Kelembagaan



- Tersedianya tim yang bertugas untuk keadaan darurat



Sistim komando



- Tersedianya prosedur untuk keadaan darurat bencana



Komunikasi dan Koordinasi antar Stakeholders yang relevan



- Adanya keterlibatan sekolah dalam jaringan kesiapsiagaan bencana



Sumber Daya Manusia



- Jumlah guru dan murid yang dilatih/terlatih untuk kesiapsiagaan dan pengelolaan tanggap darurat bencana



Bimbingan Teknis dan Penyediaan Materi



- Tersedianya materi dan bahan kesiapsiagaan bencana



Pendanaan



- Adanya mobilisasi dana untuk kesiapsiagaan



Pemantauan dan Evaluasi (Monev)



- Tersedianya rencana untuk mengintegrasikan materi kesiapsiagaan bencana kedalam kurikulum mata pelajaran yang relevan, muatan lokal atau ekskul



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



29



29



2.4. FRAMEWORK UNTUK STAKEHOLDERS PENDUKUNG Di samping ke tiga stakeholders utama, stakeholders lain, yaitu: LSM dan Ornop, kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta, juga mempunyai peran yang cukup besar untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat. Framework ke empat stakeholders pendukung ini dapat dilihat pada matriks 2.3.4. LSM dan Ornop, dan kelembagaan masyarakat mempunyai potensi yang besar untuk membimbing masyarakat dalam meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Sebagai contoh, LSM KOGAMI (Komunitas Siaga Tsunami) di Padang berupaya meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gempa dan tsunami dan melakukan beberapa latihan simulasi evakuasi. PMI yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mempunyai kapasitas yang cukup besar, baik dari tenaga dan relawan maupun peralatan dan perlengkapan evakuasi, untuk membimbing dan melatih masyarakat. Peran kelompok profesi bervariasi, sesuai dengan keahlian dan pengalaman masing-masing profesi. Kelompok insinyur teknik atau ahli konstruksi dan bangunan, misalnya, dapat berperan secara aktif memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai rumah atau bangunan tahan gempa dan tsunami. Kelompok jurnalis mempunyai peran dalam menyebar-luaskan informasi mengenai kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana, dampak bencana, persiapan apa saja yang harus dilakukan untuk mengantisipasi bencana dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan ketika terjadinya bencana. Sedangkan pihak swasta mempunyai interes yang lebih besar dari stakeholders pendukung lain. Di satu sisi, pihak swasta termasuk para pelaku bisnis perlu meningkatkan kesiapsiagaan perusahaannya masing-masing dalam menghadapi bencana alam. Di sisi lain, pihak swasta juga mempunyai ‘kewajiban sosial’ untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, terutama yang bertempat tinggal di sekitar perusahaan.



30



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



kondisi fasilitas-fasilitas kritis, standar bangunan, bagaimana kejadian alam merusak fasilitas dan menyebabkan bencana



- Kerentanan fisik (lokasi,



- Bencana ikutan/turunan yang di akibatkan terjadinya gempa



- Kejadian alam dan bencana (tipe, sumber, besaran, lokasi)



Pengetahuan



Pengetahuan dan Sikap



Paremeter/ Variabel



- Menjelaskan kebijakan, peraturan dan panduan yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana



- Menjelaskan kerentanan masyarakat terhadap bahaya fisik



- Menjelaskan bencana ikutan yang diakibatkan terjadinya gempa



- Mendiskripsikan tipetipe kejadian alam yang menimbulkan bencana, sumber, penyebab dan besaran/skala bencana



Kelembagaan Masyarakat (KM)



- Menjelaskan kebijakan, peraturan dan panduan yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana



- Menjelaskan kerentanan masyarakat terhadap bahaya fisik



- Menjelaskan bencana ikutan yang diakibatkan terjadinya gempa



- Mendiskripsikan tipetipe kejadian alam yang menimbulkan bencana, sumber, penyebab dan besaran/skala bencana



- Adanya fakta/data kontribusi/partisipasi dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk mengurangi resiko dari kerentanan lingkungan dan fisik bangunan



- Adanya fakta/data kontribusi/partisipasi dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kejadian alam dan bencana alam



Indikator LSM dan Ornop Kelompok Profesi (KP)



- Adanya fakta/data kontribusi/partisipasi dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk mengurangi resiko dari kerentanan fisik bangunan



- Adanya fakta/data kontribusi/partisipasi dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kejadian alam dan bencana alam (penyediaan materi/ bahan, dana)



Pihak Swasta (PS)



Matriks 2.4. Framework Peran Stakeholders Pendukung dalam Meningkatkan Kesiapsiagaan Masyarakat untuk Mengantisipasi Bencana Alam



31



31



32



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kerentanan penduduk, sosial dan ekonomi



Orientasi terhadap resiko bencana, digambarkan dari motivasi LSM dan ornop untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat



Orientasi terhadap resiko bencana, digambarkan dari motivasi kelembagaan masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat



Rencana Evakuasi



- Adanya kontribusi Kelembagaan Masyarakat (KM) dalam membuat rencana tempat evakuasi masyarakat, peta, rambu dan jalur evakuasi



Peran LSM dan Ornop dalam: - mensosialissikan tempat-tempat, peta dan jalur evakuasi



- Menjelaskan tingkat kerentanan penduduk, sosial dan ekonomi (jumlah, kepadatan, penduduk yang perlu pertolongan khusus, pendidikan, kemiskinan) yang berkaitan dengan bencana



- Adanya fakta/data kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat



- Menjelaskan tingkat kerentanan penduduk, sosial dan ekonomi (jumlah, kepadatan, penduduk yang perlu pertolongan khusus, pendidikan, kemiskinan) yang berkaitan dengan bencana



Rencana Tanggap Darurat



Sikap terhadap resiko bencana



-



- Adanya fakta/data kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat



- Adanya kontribusi kelompok profesi (KP) dalam pembuatan rencana evakuasi (penentuan tempat, desain dan bimbingan teknis)



Orientasi terhadap resiko bencana, digambarkan dari motivasi kelompok profesi untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat



- Adanya kontribusi pihak swasta (PS) dalam pembuatan rencana evakuasi (bahan/material, dana)



Orientasi terhadap resiko bencana, digambarkan dari motivasi pihak swasta untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Penyediaan kebutuhan dasar



Pertolongan Pertama, Penyelamatan, Keselamatan dan Keamanan



- Adanya kontribusi KM dalam merencanakan penyediaan kebutuhan dasar masyarakat untuk keadaan darurat



- Adanya fakta yang menunjukkan partisipasi KM dalam pengembangan rencana untuk kegiatan pertolongan, penyelamatan dan pengamanan untuk keadaan darurat di lingkungan masyarakat



- Tersedianya rencana untuk penyelamatan dan pengamanan



- Tersedianya rencana untuk pertolongan pertama



33



33



- Adanya fakta yang menunjukkan kontribusiLSM dan Ornop dalam pengembangan rencana kegiatan pertolongan, penyelamatan dan pengamanan untuk keadaan darurat di lingkungan masyarakat Peran LSM dan Ornop: - membimbing masyarakat untuk menyiapkan kebutuhan dasar



- Tersedianya rencana untuk penyelamatan dan pengamanan



- Tersedianya rencana untuk pertolongan pertama



- membimbing masyarakat membuat peta, rambu dan jalur evakuasi di lingkungannya



- Adanya kontribusi PS untuk pengembangan rencana kegiatan pertolongan, penyelamatan, keselamatan dan pengamanan dalam keadaan darurat bencana



- Adanya kontribusi PS dalam penyediaan, penyimpanan dan distribusi kebutuhan dasar untuk keadaan darurat bencana



- Adanya kontribusi KP untuk pengembangan rencana kegiatan pertolongan, penyelamatan, keselamatan dan pengamanan dalam keadaan darurat bencana



- Adanya kontribusi KP dalam penyediaan, penyimpanan dan distribusi kebutuhan dasar untuk keadaan darurat bencana



34



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



untuk menyediakan dan memobilisasi peralatan dan perlengkapan dalam keadaan darurat di lingkungan masyarakat



- Tersedianya akses KM



- Tersedianya akses KM untuk menyediakan peralatan dan perlengkapan kesiapsiagaan bencana di lingkungan masyarakat



Fasilitas-Fasilitas Penting - Adanya kontribusi KM (Rumah sakit, Pemadam untuk memfasilitasi Kebakaran, PAM, PLN, masyarakat dalam Telkom, Jalan/jembatan mendapatkan akses dan utama, pelabuhan, pelayanan terhadap bandara) fasilitas-fasilitas penting dalam keadaan darurat bencana



Peralatan dan Perlengkapan



- Adanya akses dari pemerintah atau stakeholder lain untuk distribusi kebutuhan dasar kepada korban



mempunyai akses dari pemerintah atau stakeholder lain untuk distribusi kebutuhan dasar kepada korban



LSM dan Ornop untuk memfasilitasi masyarakat dalam mendapatkan akses dan pelayanan terhadap fasilitasfasilitas penting dalam keadaan darurat bencana



- Adanya kontribusi



- Tersedianya akses LSM dan Ornop untuk menyediakan dan memobilisasi peralatan dan perlengkapan dalam keadaan darurat



- Tersedianya akses LSM dan Ornop untuk menyediakan perlengkapan untuk kesiapsiagaan bencana



-



memfasilitasi masyarakat dalam mendapatkan akses dan pelayanan terhadap fasilitas-fasilitas penting dalam keadaan darurat bencana



- Adanya kontribusi KP untuk



untuk memfasilitasi masyarakat dalam mendapatkan akses dan pelayanan terhadap fasilitasfasilitas penting dalam keadaan darurat bencana



- Adanya kontribusi PS



- Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi untuk mengembangkan PS untuk dan menyediakan peralatan mengembangkan dan perlengkapan dan menyediakan kesiapsiagaan bencana peralatan dan perlengkapan kesiapsiagaan bencana



- Jumlah anggota KM yang terlatih kesiapsiagaan - Jumlah pelatihan/sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat - Frekuensi simulasi gladi (publik dan KM)



- Adanya akses KM untuk mendapatkan informasi dari sistim peringatan bencana berbasis teknologi



Teknologi (tanda, sinyal, standar)



Lokal



- Adanya kontribusi atau akses KM dalam pelaksanaan sistim peringatan bencana secara tradisional dan lokal



Tradisional



4. Sistim Peringatan Bencana



Latihan dan simulasi/gladi



35



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



35



- Adanya kontribusi PS dalam mengembangkan teknologi sistim peringatan bencana (bimbingan teknis dan dana) - Adanya kontribusi KP dalam mengembangkan teknologi sistim peringatan bencana



- Adanya akses LSM dan Ornop untuk mendapatkan informasi dari sistim peringatan bencana berbasis teknologi



- Adanya kontribusi/bimbingan teknis KP dalam pemasangan peralan dan perlengkapan peringatan bencana



- Adanya kontribusi PS dalam pelaksanaan sistim peringatan bencana secara lokal (peralatan, dana, bimbingan teknis)



- Adanya kontribusi PS dalam kegiatan simulasi (peralatan/bahan, tenaga, dana)



- Adanya kontribusi KP dalam pelaksanaan sistim peringatan bencana secara lokal (desain, bimbingan teknis)



- Adanya kontribusi KP dalam meningkatkan kemampuan masyarakat (konsep, training, panduan)



- Adanya kontribusi atau akses LSM dan Ornop dalam pelaksanaan sistim peringatan bencana secara tradisional dan lokal



- Jumlah staf yang terlatih - Jumlah pelatihan/sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat - Frekuensi simulasi gladi (publik dan LSM/Ornop)



36



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006 - Jumlah staf yang terlatih - Adanya kontribusi LSM dan Ornop dalam mensosialisasikan sistim peringatan bencana kepada masyarakat



- Jumlah staf yang terlatih - Adanya kontribusi KP dalam mensosialisasikan sistim peringatan bencana kepada masyarakat di lingkungannya



Penataan Kelembagaan



- Adanya tim/bagian yang menangani kesiapsiagaan/ penanggulangan bencana



(publik dan KM)



- Adanya organisasi/tim kesiapsiagaan/ penanggulangan bencana



(publik dan LSM/ Ornop)



- Frekuensi simulasi gladi



- Adanya kontribusi LSM dan Ornop dalam pengembangan rencana dan prosedur untuk penyebarluasan informasi peringatan bencana kepada masyarakat



- Adanya partisipasi KM dalam pengembangan rencana dan prosedur untuk penyebarluasan informasi peringatan bencana kepada masyarakat



- Frekuensi simulasi gladi



- Adanya rencana dan prosedur untuk penyebarluasan informasi peringatan bencana kepada masyarakat



- Adanya rencana dan prosedur untuk penyebarluasan informasi peringatan bencana kepada masyarakat



5. Mobilisasi Sumber Daya



Latihan dan simulasi



- Diseminasi peringatan dan mekanisme



- Adanya tim/bagian yang menangani kesiapsiagaan/ penanggulangan bencana



- Adanya kontribusi KP dalam kegiatan simulasi (konsep, protap, training)



- Adanya kontribusi KP dalam mendesain dan menyebar-luaskan informasi peringatan bencana



- Adanya tim/bagian yang menangani kesiapsiagaan/ penanggulangan bencana



- Adanya kontribusi PS dalam kegiatan simulasi (penyediaan bahan/perlengkapan/ dana)



- Adanya kontribusi PS dalam mendiseminasikan sistim peringatan bencana (penyediaan bahan/perlengkapan/ dana)



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Bimbingan Teknis dan Penyediaan Materi



Sumber Daya Manusia



Komunikasi dan Koordinasi antar Stakeholders yang relevan



- Adanya fakta/data bimbingan teknis yang diberikan KM kepada masyarakat



- Jumlah relawan dan jumlah yang terlatih untuk kesiapsiagaan



- Jumlah anggota/personil yang dapat dialokasikan dan dimobilisasi untuk kegiatan kesiapsiagaan bencana



- Adanya partisipasi KM dalam kegiatan kesiapsiagaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah dan stakeholders lain



- Adanya data tentang keikutsertaan KM dalam jaringan/ organisasi kesiapsiagaan bencana



37



37



- Adanya fakta/data bimbingan teknis yang diberikan LSM dan Ornop kepada masyarakat



- Jumlah relawan dan jumlah yang terlatih untuk kesiapsiagaan



- Jumlah anggota/personil yang dapat dialokasikan dan dimobilisasi untuk kegiatan kesiapsiagaan bencana



- Adanya kontribusi LSM dan Ornop dalam kegiatan kesiapsiagaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah dan stakeholders lain



- Adanya data keikutsertaan LSM dan Ornop dalam jaringan/organisasi kesiapsiagaan bencana



- Adanya kontribusi KP dalam kegiatan/ bimbingan teknis dan pengembangan materi kesiapsiagaan



- Jumlah anggota KP yang dapat dialokasikan dan dimobilisasi untuk kegiatan kesiapsiagaan bencana



- Adanya data tentang keikutsertaan KP dalam jaringan/ organisasi kesiapsiagaan bencana baik pemerintah maupun stakeholders lain



- Adanya kontribusi berupa bimbingan teknis, penyediaan materi/dana untuk kegiatan kesiapsiagaan



- Jumlah staf/personil yang dapat dialokasikan dan dimobilisasi untuk kegiatan kesiapsiagaan bencana



- Adanya data tentang keikutsertaan PS dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana yang dilakukan pemerintah dan stakeholders lain



38



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Pendanaan



- Adanya fakta/data penyediaan dan penyebarluasan materi kesiapsiagaan oleh KM kepada masyarakat - Adanya sumber dana, alokasi dan mobilisasi dana untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat



- Adanya fakta/data penyediaan dan penyebarluasan materi kesiapsiagaan oleh LSM dan Ornop kepada masyarakat - Adanya sumber dana, alokasi dan mobilisasi dana untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat - Adanya sumber dana, alokasi dan mobilisasi dana untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat



- Adanya alokasi dan mobilisasi dana untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat



39



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



39



3



KAJIAN KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT



Bab tiga terfokus pada kegiatan kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana alam yang dilaksanakan di tiga lokasi, yaitu: perdesaan Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang. Bab ini dimulai dengan penjelasan mengenai metodologi yang digunakan dalam kajian, meliputi: metode pengumpulan data, analisis data, instrumen dan pemilihan sampel atau sampling. Kemudian dikemukakan jadwal kegiatan dan aktivitas selama kajian di lapangan, termasuk survei, Diskusi Kelompok Terfokus atau FGD, workshop dan wawancara mendalam. Untuk mendapatkan gambaran yang utuh selama kajian, pada bagian akhir dikemukakan juga anggota tim yang terlibat dalam kajian, baik yang berasal dari tim LIPI maupun anggota tim daerah yang direkrut untuk membantu kajian di lapangan.



3.1. METODE Kajian ini menggunakan kombinasi antara metode kuantitiatif, kualitatif dan partisipatif. Masingmasing metode mempunyai kekuatan dan kelemahan, karena itu kombinasi ketiga metode ini diharapkan akan menghasilkan kajian yang komprehensif. Metode kuantitatif difokuskan pada kegiatan survei/angket dengan daftar pertanyaan yang didesain secara tertutup. Dengan survei/ angket analisa didasarkan pada data kuantitatif hasil survei/angket, bukan pada perkiraan atau subjektifitas peneliti atau penulis. Kelemahan dari survei/angket adalah data yang dikumpulkan terbatas pada pertanyaan tertutup di kuesioner, sehingga tidak memberikan ruang kepada pewawancara untuk mengeksplor informasi atau kepada responden untuk memberikan gambaran yang lebih mendalam sesuai dengan kejadian di lapangan. Dalam kajian ini, kelemahan dari metode survei/angket diatasi dengan menggunakan metode kualitatif dan partisipatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang menekankan pengumpulan data secara kualitatif, seperti: wawancara mendalam dan observasi lapangan. Metode ini memberikan peluang kepada peneliti untuk mengumpulkan data dan informasi secara mendalam dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan kejadian di lokasi kajian. Karena itu, data dan informasi yang dikumpulkan lebih kaya dan lebih sensitif, apabila dibandingkan dengan metode kuantitatif. Kajian ini juga menggunakan metode partisipatif dengan melibatkan stakeholders kesiapsiagaan masyarakat di lokasi-lokasi kajian. Metode ini dilakukan melalui dua cara, yaitu: Diskusi Kelompok LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



41



41



Terfokus atau Focus Group Discussions (FGD), terutama untuk stakeholders komunitas sekolah dan masyarakat, dan workshop di tingkat kota, yaitu di Kota Bengkulu dan Kota Padang. Peserta FGD dipilih berdasarkan pemahaman stakeholder yang sama, seperti: masyarakat dan komunitas sekolah. Sedangkan workshop melibatkan semua stakeholders kesiapsiagaan masyarakat, termasuk tiga stakeholders utama (individu dan rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah) dan empat stakeholders pendukung (kelembagaan masyarakat, LSM dan ORNOP, kelompok profesi dan pihak swasta). Baik dalam kegiatan FGD maupun workshop, stakeholders membahas kesiapsiagaan masyarakat, mulai dari pemahaman tentang bencana, kerentanan lingkungan dan fisik serta masyarakat, rencana tanggap darurat, peringatan bencana sampai dengan kemampuan dalam memobilisasi sumber daya sesuai dengan lingkup kajian. Materi pembahasan secara detail dapat di lihat pada bagian instrumen (3.2.).



3.1.1. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam kajian ini terdiri dari dua sumber, yaitu data primer dan sekunder. Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara survei/angket, wawancara mendalam, FGD dan Workshop. Daftar poin-poin data primer yang dikumpulkan dapat dilihat pada kuesioner, tabel variabel dan data pada instrumen penelitian. - Survei /Angket Survei/angket dilakukan pada stakeholders utama, yaitu: individu dan rumah tangga, komunitas sekolah dan pemerintah. Masing-masing stakeholder menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang berbeda dengan data set yang berbeda juga. Kuesioner didesain lengkap dengan petunjuk praktis untuk mengisi jawaban dan dikemas secara sederhana dengan bahasa yang mudah dimengerti, sehingga responden dapat mengisi sendiri pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner. Dengan desain kuesioner yang sederhana dan praktis ini diharapkan di masa yang akan datang, masyarakat, pemerintah dan komunitas sekolah dapat mengukur sendiri tingkat kesiapsiagaannya masing-masing. Pada kajian ini, pengumpulan data untuk stakeholder individu dan rumah tangga masih dibantu oleh pewawancara-pewawancara yang telah dilatih. Untuk Kota Bengkulu dan Padang, pewawancara adalah mahasiswa/mahasiswi dari Universitas Bengkulu (UNIB) dan Universitas Andalas (UNAND). Sedangkan untuk perdesaan di Kabupaten Aceh Besar, pewawancara adalah relawan-relawan PMI dari Banda Aceh.



42



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Metode yang digunakan untuk individu dan rumah tangga adalah survei dengan instrumen berupa kuesioner dengan seri RT. Jumlah responden bervariasi antar lokasi kajian, disesuaikan dengan jumlah dan kepadatan penduduk dan jarak rumah dengan pantai atau tingkat kerentanan terhadap bencana alam, khususnya tsunami. Keterangan pembagian responden secara rinci akan di jelaskan pada bagian 3.3. Sedangkan untuk komunitas sekolah dan pemerintah menggunakan angket dimana responden mengisi kuesioner sendiri. Sebelum pengisian kuesioner dimulai, mereka diberi penjelasan terlebih dahulu mengenai bagaimana cara mengisi kuesioner oleh anggota tim, mahasiswa UNIB dan UNAND serta relawan PMI yang telah mendapat pelatihan dari tim LIPI. Untuk komunitas sekolah, dipilih sekolah SD atau sederajat, SMP atau sederajat dan SMA atau sederajat. Pemilihan sekolah disesuaikan dengan lokasi-lokasi survei/angket untuk individu dan rumah tangga. Di samping itu, pemilihan sekolah juga disesuaikan dengan beberapa kriteria, seperti: jarak sekolah dengan pantai atau kerentanan lingkungan sekolah dari bencana tsunami, keterlibatan komunitas sekolah dengan kegiatan kesiapsiagaan (sekolah yang pernah dan belum pernah mendapat pelatihan kesiapsiagaan), dan tingkat keunggulan sekolah (sekolah yang unggul dengan fasilitas yang lengkap dan sekolah yang tidak unggul dengan sarana dan fasilitas belajar mengajar yang minim). Jumlah sekolah bervariasi antar tingkatan dan antar lokasi kajian, disesuaikan dengan jumlah sekolah dan siswa. Kuesioner untuk komunitas sekolah terdiri dari tiga seri. Kuesioner pertama (dengan seri S1) adalah daftar pertanyaan untuk kelembagaan sekolah yang diisi oleh kepala sekolah atau yang mewakili. Kuesioner ke dua (seri S2) merupakan daftar pertanyaan untuk guru dan diisi oleh guru-guru yang mewakili sekolah yang terpilih. Kuesioner-kuesioner diberikan pada guru-guru dan ditinggal beberapa hari untuk memberi kesempatan untuk mengisi. Kuesioner-kuesioner yang telah diisi ini kemudian diambil oleh anggota tim (mahasiswa) pada hari dan waktu yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan kuesioner ke tiga (seri S3) untuk siswa yang diisi oleh siswa kelas 5 dan 6 untuk tingkat SD, kelas 2 untuk tingkat SMP dan SMA. Berbeda dengan guru, pengisian kuesioner untuk siswa dilakukan di dalam kelas, setelah mendapat penjelasan dari anggota tim (mahasiswa). Jumlah responden guru dan siswa bervariasi antar sekolah dan daerah (keterangan detail dapat dilihat pada bagian 3.3). Seperti komunitas sekolah, pengumpulan data untuk pemerintah juga menggunakan angket berupa kuesioner yang terdiri dari tiga set. Kusioner pertama merupakan daftar pertanyaan untuk pemerintah kota (seri P1). Pertanyaan ditujukan pada berbagai instansi yang berkaitan dengan pengelolaan bencana dan BUMN yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan fasilitasfasilitas kritis untuk keadaan darurat bencana. Untuk memudahkan pengumpulan data, kuesioner P1 (satu kuesioner) diberikan kepada Ketua Bappeda Kota Bengkulu dan Padang untuk mengkoordinir pengisian kuesioner. Untuk memudahkan pengisian, maka anggota tim menjelaskan bagaimana cara mengisi kuesioner. Kuesioner yang telah diisi diambil kembali setelah beberapa hari sesuai dengan kesepakatan. Kuesioner yang ke dua (seri P2) ditujukan pada aparat/staf LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



43



43



instansi-instansi yang terlibat dalam pengelolaan bencana. Sejumlah kuesioner diberikan pada staf instansi dan diambil setelah beberapa hari sesuai dengan kesepakatan. Dengan cara yang sama dilakukan pengisian kuesioner ke tiga (seri P3) yang ditujukan untuk pemerintah di tingkat kecamatan. Jumlah kuesioner untuk P2 dan P3 bervariasi antar lokasi penelitian (keterangan secara detail dapat dilihat pada bagian 3.3.). Jumlah responden bervariasi antar stakeholders dan lokasi kajian, disesuaikan dengan jumlah dan kepadatan penduduk, jumlah sekolah dan siswa, dan tingkat kerentanan lokasi terhadap bencana alam, khususnya tsunami. Untuk perdesaan di Kabupaten Aceh Besar, jumlah responden sebanyak 200 orang. Untuk Kota Bengkulu yang merupakan contoh kota menengah, responden berjumlah 2000 orang. Sedangkan Kota Padang yang merupakan contoh kota besar, jumlah responden dua kali lebih banyak dari Kota Bengkulu, yaitu sebanyak 4000 responden. Keterangan pembagian responden secara rinci akan di jelaskan pada bagian 3.3.



- Diskusi Kelompok Terfokus Pengumpulan data secara partisipatif dengan kelompok masyarakat dan komunitas sekolah dilakukan melalui Diskusi Kelompok Terfokus atau Focus Group Discussions (FGD) di seluruh lokasi kajian. Kegiatan FGD bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan peserta FGD tentang bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami, dan kerentanan lingkungan fisik. Di samping itu, FGD juga bertujuan untuk memahami tingkat kesiapsiagaan kelompok masyarakat dan komunitas sekolah untuk mengantisipasi terjadinya bencana, termasuk rencana tanggap darurat, seperti: tempat dan jalur evakuasi, pertolongan, penyelamatan dan pengamanan, pemenuhan kebutuhan dasar; sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya ditingkat masyarakat dan komunitas sekolah. Kegiatan FGD menghasilkan data dan informasi umum mengenai tingkat pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat dan komunitas sekolah. Data dan informasi tersebut perlu digali lebih mendalam melalui metode pengumpulan data lain, seperti: wawancara mendalam.



- Workshop Pengumpulan data dan informasi juga dilakukan melalui workshop di Kota Bengkulu dan Padang. Kegiatan ini melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk: instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan bencana, kelembagaan dan tokoh masyarakat, LSM dan ORNOP, komunitas sekolah, kelompok profesi, kelompok perempuan dan pihak swasta. Tujuan workshop adalah untuk menjaring informasi secara cepat dan partisipatif mengenai (1) pengetahuan tentang bencana alam, kerentanan lingkungan, fisik dan masyarakat terhadap bencana, (2) kebijakan, peraturan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, 44



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



dan (3) kesiapsiagaan terhadap bencana, termasuk rencana untuk keadaan darurat bencana, sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya (keterangan detail dapat di lihat pada bagian 3.3). Dari hasil workshop diperoleh informasi umum mengenai tingkat pengetahuan, kondisi dan permasalahan berkaitan dengan kesiapsiagaan masyarakat di Kota Bengkulu dan Padang. Informasi tersebut perlu digali lebih mendalam melalui wawancara mendalam.



- Wawancara Mendalam Wawancara mendalam dilakukan pada wakil-wakil dari stakeholders utama (masyarakat, pemerintah dan komunitas sekolah) dan stakeholders pendukung (kelembagaan masyarakat, LSM dan ORNOP, kelompok profesi dan pihak swasta). Wawancara dilakukan pada informaninforman kunci dan narasumber di berbagai tingkatan administrasi, antara lain: - Tingkat Kota: - Satlak - Instansi-instansi pemerintah: Bappeda, Dinas Kesehatan, Sekertaris Kota, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Kesbang Linmas, Kesra, Infokom, Dinas Kimpraswil/PU, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan, BMG, Satpol PP, Polres, Kodim, Lanal - PLN, PDAM, Telkom - Komunitas sekolah - Kelembagaan Masyarakat: PKK, Karang Taruna, IKM (Ikatan Keluarga Melayu), BMA (Badan Musyawarah Adat), Tiga Setungku (Ninik-mamak, cerdik-pandai dan alim ulama) - LSM dan ORNOP: KOGAMI, Walhi, PMI - Kelompok Profesi: RAPI, Press Club, Radio, Inkindo - Pihak swasta: GAPENSI, Perusahaan (Semen Padang) - Tingkat Kecamatan: - Camat - Komunitas Sekolah: Kepala sekolah dan guru - Tingkat Kelurahan: -



Lurah dan staf kelurahan RT Tokoh masyarakat dan tokoh agama PKK Tokoh pemuda LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



45



45



- Observasi Lapangan Untuk mendapatkan pemahahaman yang komprehensif, maka pengumpulan data juga menggunakan cara observasi di lokasi kajian. Dengan observasi, peneliti dapat mengetahui dan melihat secara langsung kondisi di lapangan, bukan hanya berdasarkan informasi dari narasumber dan informan. Kegiatan ini sangat diperlukan sebagai salah satu upaya untuk check dan recheck dari berbagai informasi yang diperoleh dari kuesioner, FGD, workshop dan wawancara mendalam.



Data Sekunder Untuk melengkapi data primer, kajian ini juga mengumpulkan data dari sumber sekunder. Pada dasarnya data sekunder dikelompokkan dalam tiga bagian. Bagian pertama berupa data dasar, seperti: data penduduk (demografi, sosial-ekonomi), sekolah (jumlah sekolah, guru dan siswa) dan profil daerah. Bagian ke dua berupa kebijakan, peraturan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan pengelolaan bencana. Bagian ke tiga berupa hasil studi dan artikel yang relevan.



3.1.2. Pengolahan dan Analisis Data Data hasil survei individu, komunitas sekolah, dan pemerintah di ketiga lokasi (perdesaan Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang) diolah dengan komputer. Data dientry menggunakan SPSS data entry versi 4. Setelah melalui tahapan cleaning data, kemudian data tersebut dianalisis dengan SPSS 11.5 for Windows. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membuat tabel tiap-tiap variabel maupun tabel silang antar variabel, diagram batang, diagram lingkaran dan analisis indeks. Tabel tunggal, tabel silang antar variabel, maupun bar chart digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Analisis indeks dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Indeks merupakan angka perbandingan antara satu bilangan dengan bilangan lain yang berisi informasi tentang suatu kharakteristik tertentu pada waktu dan tempat yang sama atau berlainan. Agar lebih sederhana dan mudah dimengerti, nilai perbandingan tersebut dikalikan 100. Angka indeks dalam penelitian ini meliputi indeks per parameter yaitu knowledge and attitude (KA); emergency planning (EP), Warning System (WS), dan Resource Mobilization Capacity (RMC) pada setiap sumber data survey/angket. Selain itu ada indeks gabungan antar parameter dalam satu sumber data (indeks RT, indeks S1, indeks S2, dan seterusnya), maupun indeks gabungan satu parameter yang berasal dari beberapa sumber data, seperti: indeks KA untuk komunitas sekolah (KS), indeks KA untuk pemerintah (P), dan selanjutnya. Semakin tinggi angka indeks berarti semakin



46



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



tinggi pula tingkatan preparedness dari subjek yang diteliti. Tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam kajian ini dikategorikan menjadi lima, sebagai berikut : No 1 2 3 4 5



Nilai indeks



Kategori



80 - 100 65 – 79 55 – 64 40 – 54 Kurang dari 40 (0 – 39)



Sangat siap Siap Hampir siap Kurang siap Belum siap



Indeks per parameter pada individu (RT), sekolah (S1), guru (S2), siswa (S3), pemerintah kota (P1), staf pemerintah (P2), dan pemerintah kecamatan (P3) dalam kajian ini mengggunakan angka indeks gabungan tidak ditimbang, artinya semua pertanyaan dalam parameter tersebut mempunyai bobot yang sama. Penentuan nilai indeks untuk setiap parameter dihitung berdasar rumus : Indeks =



Total skor riil parameter Skor maksimum parameter



x 100



Skor maksimum parameter diperoleh dari jumlah pertanyaan dalam parameter yang diindeks (masing-masing pertanyaan bernilai satu). Apabila dalam 1 pertanyaan terdapat sub-sub pertanyaan (a,b,c dan seterusnya), maka setiap sub pertanyaan tersebut diberi skor 1/jumlah sub pertanyaan. Total skor riil parameter diperoleh dengan menjumlahkan skor riil seluruh pertanyaan dalam parameter yang bersangkutan. Indeks berada pada kisaran nilai 0 – 100, sehingga semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi pula tingkat preparednessnya. Setelah dihitung indeks parameter dari satu responden baik siswa, guru, maupun individu/rumah tangga kemudian dapat ditentukan nilai indeks keseluruhan sampel. Jika jumlah sampel adalah n, maka indeks keseluruhan sampel dapat dihitung dengan menjumlahkan indeks seluruh sampel dibagi dengan jumlah sampel (n). Indeks gabungan dari beberapa parameter dihitung menggunakan indeks gabungan ditimbang, artinya masing-masing parameter mempunyai bobot berbeda. Angka indeks gabungan dalam kajian ini meliputi: indeks individu dan rumah tangga, indeks komunitas sekolah (guru, siswa, dan institusi sekolah), dan indeks pemerintah (staff aparat, institusi pemerintah kota, dan institusi pemerintah kecamatan). Secara sederhana angka indeks gabungan diperoleh dengan rumus sebagai berikut :



- Indeks Individu dan Rumah Tangga (RT) = 0,45*indeks KA + 0,35*indeks EP + 0,15*indeks RMC + 0,05*indeksWS LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



47



47



- Indeks Komunitas Sekolah Bobot masing-masing parameter untuk indeks komunitas sekolah (%) No Komponen komunitas sekolah



Parameter EP WS



KA



PS



-



10



14



RMC



Total



4



6



34



1



Sekolah (S1)



2



Guru (S2)



30



-



7



2



3



42



3



Siswa (S3)



20



-



2



1



1



24



Total



50



10



23



7



10



100



Indeks sekolah (S1) = + (10/34)*indeksPS+ (14/34)*indeksEP + (4/34)* indeks WS + (6/34)*indeks RMC = + 0,29*indeksPS + 0,41*indeksEP + 0,12* indeks WS + 0,18*indeks RMC Indeks Guru (S2) = 0,71*indeksKA + 0,17*indeksEP + 0,05* indeks WS + 0,07*indeks RMC Indeks Siswa (S3) = 0,83*indeksKA + 0,08*indeksEP + 0,04* indeks WS + 0,04*indeks RMC



Indeks Komunitas Sekolah (KS) Indeks KA (KS)



= 30/50)*indeks KA(S2) + (20/50)*indeks KA(S3) = 0,60*indeks KA(S2) + 0,40*indeks KA(S3)



Indeks PS (KS)



= indeksPS(S1)



Indeks EP (KS)



= 0,61*indeksEP(S1) + 0,30*indeksEP(S2) + 0,09*indeksEP(S3)



Indeks WS (KS)



= 0,57*indeksRMC(S1) +0,29*indeksRMC(S2) +0,14*indeksRMC(S3)



Indeks RMC (KS)



= 0,60*indeksRMC(S1) +0,30*indeksRMC(S2) + 0,10*indeksRMC(S3)



Indeks KS total



= 0,50* indeksKA (KS) +0,10*indeksPS (KS) + 0,23*indeksEP (KS) +0,07*indeksWS (KS) + 0,10*indeksRMC (KS)



48



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



- Indeks pemerintah Bobot masing-masing parameter untuk indeks Pemerintah (%)



No



Parameter EP WS



Total



Komponen Pemerintah



KA



PS



1



P1



-



13



18



7



15



53



2



P2



20



-



2



2



3



27



3



P3



-



7



5



1



7



20



Total



20



20



25



10



25



100



RMC



Indeks (P1) = (13/53)*indeksPS + (18/53)*indeksEP + (7/53)* indeksWS + (15/53)*indeks RMC = 0,25*indeksPS + 0,34*indeksEP + 0,13* indeks WS + 0,28*indeks RMC Indeks (P2) = 0,74*indeksKA + 0,07*indeksEP + 0,07* indeks WS + 0,11*indeks RMC Indeks (P3) = 0,35*indeksPS + 0,25*indeksEP + 0,05*WS + 0,35*indeks RMC 49



Indeks Pemerintah (P) Indeks KA (P)



=



indeksKA(P2)



Indeks PS (P)



=



0,65*indeksPS(P1) + 0,35*indeksPS(P3)



Indeks EP (P)



=



0,72*indeksEP(P1)+0,08*indeksEP(P2) + 0,20*indeksEP(P3)



Indeks WS (P)



=



0,70*indeksWS(P1)+0,20*indeksWS(P2)+ 0,10*indeksWS(P3)



Indeks RMC (P)



=



0,60*indeksRMC(P1) + 0,12*indeksRMC(P2) +0,28*indeksRMC(P3)



Indeks P total



=



0,20*indeksKA(P) + 0,25*indeksEP(P) + 0,20*indeksPS(P) + 0,25*indeksRMC (P) + 0,10*indeksWS (P) LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



49



- Indeks Kota/Desa Bobot masing-masing stakeholder utama No.



Stakeholders Utama



Bobot



1.



Individu dan Rumah Tangga



35



2.



Pemerintah



35



3.



Komunitas Sekolah



30



Indeks gabungan kota/kabupaten/desa



100



Indeks gabungan kabupaten/kota/desa (individu+komunitas sekolah+pemerintah = 0,35*indeks(RT) + 0,35*indeks(P total) + 0,30*indeks (S total) Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, analisis data di atas juga dikombinasikan dengan analisa deskriptif, analisa situasi dan eksplanatoris. Analisa deskriptif didukung oleh data kualitatif yang menerangkan tingkat kesiapsiagaan masyarakat. Analisa situasi dengan pendekatan kontekstual dan eksplanatoris menerangkan kejadian di lapangan termasuk faktor-faktor yang berpengaruh. Analisa ini penting untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai pengetahuan masyarakat tentang bencana dan kerentanan lingkungan dan fisik serta kesiapsiagaan masyarakat yang digambarkan dari persiapan untuk keadaan darurat bencana, peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya.



3.2. INSTRUMEN Sesuai dengan metode yang digunakan, kajian ini dilengkapi dengan satu paket instrumen yang terdiri dari tiga set, yaitu: kuesioner, pedoman wawancara mendalam dan panduan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dan workshop. Semua instrumen, kecuali panduan workshop1, diaplikasikan di semua lokasi kajian, perdesaan di Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Kota Padang.



3.2.1. Kuesioner Kuesioner terdiri dari tiga seri. Seri pertama untuk individu dan rumah tangga dengan kode seri RT (Rumah Tangga). Kuesioner ini terdiri dari satu kuesioner yang dibagi ke dalam delapan bagian, yaitu: pengenalan tempat, pengetahuan tentang bencana, rencana kesiapsiagaan keluarga, peringatan bencana, mobilisasi sumber daya, keterangan rumah tangga, identitas responden dan keterangan pewawancara (kuesioner detail dapat dilihat pada lampiran 8.1.1). 1



Workshop dilaksanakan di tingkat kota.



50



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Seri ke dua merupakan kuesioner untuk pemerintah dengan kode P (Pemerintah) yang terdiri dari tiga seri, yaitu pemerintah kota (Seri: P1), aparat atau staf (Seri: P2) dan pemerintah kecamatan (Seri: P3). Seri: P1 meliputi enam bagian, yaitu: pengenalan tempat, gambaran umum kota, kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, sistim peringatan bencana dan kemampuan memobilisasi sumber daya. Seri: P2 mencakup tujuh bagian, yaitu: pengenalan tempat, pengetahuan tentang bencana, kesiapsiagaan bencana, peringatan bencana, mobilisasi sumber daya, identitas aparat dan pemeriksa kuesioner. Sedangkan Seri: P3 meliputi enam bagian, yaitu: pengenalan tempat, gambaran umum kecamatan, kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya. Untuk memudahkan pelaksanaan, pada halaman depan setiap seri dilengkapi dengan petunjuk pengisian kuesioner (Kuesioner Seri: P1, P2 dan P3 dapat dilihat pada lampiran 8.1.2.). Kuesioner seri ke tiga diperuntukkan bagi komunitas sekolah dengan kode S (Sekolah). Kuesioner ini terdiri dari tiga seri, yaitu: Seri: S1 untuk Sekolah, S2 untuk guru dan S3 untuk siswa. Kuesioner Seri: S1 meliputi enam bagian, yaitu: pengenalan tempat, keterangan sekolah, kebijakan kesiapsiagaan bencana, rencana tanggap darurat, peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya sekolah. Untuk memudahkan pengisian, maka pada halaman muka dilengkapi dengan petunjuk pengisian. Kuesioner Seri: S2 berupa pertanyaan untuk guru yang mecakup: pengenalan tempat, pengetahuan tentang bencana, rencana penyelamatan jika terjadi bencana, peringatan bencana, mobilisasi sumber daya, identitas guru dan pemeriksa kuesioner. Seperti untuk sekolah, pertanyaan untuk guru juga dilengkapi petunjuk pengisian pada halaman muka. Sedangkan kuesioner Seri: S3 adalah pertanyaan untuk siswa juga meliputi tujuh bagian, yaitu: pengenalan tempat, pengetahuan tentang bencana, rencana penyelamatan, peringatan bencana, mobilisasi sumber daya siswa, identitas siswa dan pemeriksa kuesioner (Kuesioner Seri: S1, S2 dan S3 dapat dilihat pada lampiran 8.1.3.). 51



3.2.2. Panduan Diskusi Kelompok Terfokus Agar diskusi kelompok terfokus atau FGD dapat berjalan sesuai dengan tujuan, maka diperlukan panduan FGD. Kajian ini dilengkapi dengan dua panduan, yaitu panduan FGD untuk kelompok masyarakat dan panduan FGD untuk komunitas sekolah. Kedua panduan ini menggunakan format yang sama, meliputi: tujuan kegiatan FGD, peserta FGD (jumlah dan kriteria) dan tugas fasilitator FGD. Ke dua panduan FGD dapat dilihat pada lampiran 8.3.1. dan 8.3.2.).



Panduan Workshop Panduan workshop diperlukan untuk mengarahkan kegiatan dan jalannya workshop sesuai dengan tujuan. Panduan ini berlaku untuk kegiatan workshop di Kota Bengkulu dan Padang. Panduan ini diawali dengan tujuan workshop dan peserta workshop. Kemudian dijelaskan mengenai tahapan kegiatan, termasuk pembagian dan tugas kelompok, kerja kelompok, persentasi dan diskusi LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



51



hasil kerja kelompok, dan diakhiri dengan rangkuman hasil workshop (lihat lampiran 8.4.). Dalam kajian ini, peserta workshop dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: - Kelompok 1: membahas tingkat pengetahuan dan kepedulian masyarakat dan pemerintah yang berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap bencana alam (gempa dan tsunami). - Kelompok 2: membahas kebijakan kesiapsiagaan (termasuk panduan dan produk legal). - Kelompok 3: membahas kesiapsiagaan dalam rencana tanggap darurat (emergency planning) dan pendidikan masyarakat.



3.2.3. Pedoman Wawancara Mendalam Wawancara mendalam dilakukan pada semua stakeholders kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam. Pedoman ini diperlukan agar wawancara dapat lebih terarah, sesuai dengan tujuan kajian. Pedoman wawancara mendalam berupa daftar dari poin-poin penting yang akan di kaji. Poin-poin ini kemudian di kembangkan dan di cek dan ricek di lapangan, sampai peneliti mendapat pemahaman yang komprehensif, mendalam dan solid dari informaninforman kunci dan narasumber yang mewakili stakeholders kesiapsiagaan masyarakat. Pada kajian ini, pedoman wawancara mendalam dikembangkan berdasarkan stakeholders, yaitu: kelembagaan dan tokoh masyarakat, pemerintah (tingkat kota dan desa/kelurahan), komunitas sekolah, LSM dan ORNOP, kelompok profesi dan pihak swasta. Pedoman ini kembangkan berdasarkan framework kajian dan dikemas berupa matrik yang terdiri dari kolom variabel informasi yang akan digali dan informasi lanjutan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. Pedoman secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 8.2.1. sampai dengan 8.2.6.



3.3. SAMPLING Penentuan sampling lokasi dilakukan berdasarkan pertimbangan tingkat kerawanan terhadap bencana tsunami yang dikelompokkan menjadi 3, yaitu: daerah rawan bencana yang jaraknya dekat dengan pantai (kurang dari 500 meter), daerah hati-hati yang jaraknya sedang (500-2000 meter) dan daerah aman yang jaraknya jauh dari pantai (lebih dari 2000 meter), dan/atau berdasarkan sektor, bagian atau letak wilayah, seperti: bagian utara, tengah dan selatan. Sedangkan sampling responden dilakukan menurut pertimbangan jumlah penduduk di lokasi tersebut.



3.3.1. Lokasi Pada bagian ini akan dijelaskan sampling lokasi di tiga lokasi kajian, yaitu: perdesaan di Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang.



52



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



3.3.1.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar Kajian di Kawasan Provinsi Nangggroe Aceh Darussalam (NAD) menetapkan Kabupaten Aceh Besar sebagai lokasi penelitian, dengan memilih secara purposif dua kecamatan, yaitu: satu kecamatan di daratan Aceh yaitu Kecamatan Leupung dan lainnya di Pulau Breuh (Pulau Beras) di Kecamatan Pulo Aceh. Kecamatan Leupung adalah wilayah pesisir yang dikelilingi daerah perbukitan, dan berjarak sekitar 20 km dari Kota Banda Aceh, ibukota Provinsi NAD. Sedangkan Kecamatan Pulo Aceh merupakan gugus pulau yang terpisah dari daratan utara Aceh, yang meliputi Pulau Breuh (Beras) dan Pulau Nasi. Pada masing-masing kecamatan dipilih secara purposif dua desa, sebagai sampel lokasi penelitian. Untuk Kecamatan Leupung dipilih dua desa yaitu Desa Dayah Mamplam dan Desa Pulot. Sedangkan untuk Kecamatan Pulo Aceh dipilih Desa Ulee Paya dan Desa Gugop, keduanya berada di Pulau Breuh. Selain adanya persamaan antara lokasi terpilih juga adanya perbedaan karakteristik fisik diantara lokasi-lokasi terpilih. Beberapa kriteria yang menjadi dasar pemilihan lokasi-lokasi kajian tersebut sebagai berikut: - Kedua kecamatan tersebut termasuk daerah rawan bencana, dengan kondisi fisik yang hampir sama yaitu relatif dekat dengan Sumber: GAM Reintegration laut lepas, dan mempunyai permukaan laut yang relatif dangkal. Need Assessment Report – Akibat bencana tsunami tahun 2004, banyak bangunan desa di Aceh Besar (GOI & WB 06) kedua kecamatan yang musnah terbawa gelombang, dengan jumlah korban jiwa yang relatif besar dan bervariasi diantara desa-desa tersebut. Gambar 3.3.1.1: Peta Aceh Besar



- Kedua desa di Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh merupakan desa pesisir atau desa pantai yang lokasinya dekat dengan laut lepas, dan juga merupakan daerah perbukitan yang bervariasi tingkat kelandaian dan kondisi fisiknya. - Pemilihan dua desa untuk masing-masing kecamatan, baik di darat maupun di pulau, juga didasarkan pada kriteria adanya perbedaan: dampak bencana tsunami tahun 2004. Aset kedua desa (perumahan dan bangunann lain) untuk masing-masing kecamatan musnah atau hancur tersapu gelombang, namun berbeda dalam jumlah korban jiwa. Kedua desa yaitu Ulee Paya (desa pulau) dan Pulot (desa pantai) merupakan area yang mewakili jumlah korban jiwa relatif tidak banyak (kurang dari 30 persen). Sedangkan Desa Gugop (desa pulau) dan Dayah Mamplam (desa pantai) mengalami jumlah korban yang relatif besar (lebih dari 80 persen), terutama perempuan dan anak-anak. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



53



53



- Pertimbangan lain dipilihnya dua desa di Pulau Breuh adalah pertimbangan adanya perbedaan intervensi kegiatan kesiapsiagaan yang pernah dilakukan antara kedua lokasi. Leupung belum pernah mendapatkan intervensi pengetahuan serta pemahaman terhadap proses alam dan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana bagi masyarakatnya. Sedangkan empat desa di Pulo Aceh (termasuk 2 lokasi sampel) telah mendapatkan pelatihan pengetahuan dasar pesisir dan laut serta proses alam, dan kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat, kurang lebih satu tahun sebelum kajian dilakukan di lokasi ini. Pulo Aceh juga mendapatkan bantuan dari Palang Merah Inggris (British Red Cross) yang dalam komitmen programnya, juga mengintegrasikan upaya-upaya pengurangan resiko terhadap bencana. Hal ini dapat dilihat dari program desain rekonstruksi rumah yang tahan berbagai jenis bencana, program penghijauan dan penanaman kembali wilayah pesisir, serta rencana pendidikan dan pelatihan bagi sekolah dan masyarakat dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana. 3.3.1.2. Kota Bengkulu Pengambilan lokasi sampel rumah tangga Bentuk wilayah Kota Bengkulu memanjang dari utara ke selatan dan sejajar dengan pantai, oleh karena itu, agar semua wilayah dapat terwakili maka dipilih 3 sektor, yaitu sektor utara, tengah dan selatan. Sektor utara diwakili oleh Kecamatan Muara Bangkahulu, sektor tengah Kecamatan Ratu Agung dan Gading Cempaka. Sedangkan sektor selatan diwakili Kecamatan Kampung Melayu dan Selebar. Kemudian di tiap sektor tersebut dibagi 3 zona wilayah, yaitu : (1) wilayah dekat pantai (berbatasan dengan pantai) disebut zona dekat/ rawan tsunami; (2) wilayah yang jarak dari pantai sedang disebut zona sedang/ hati-hati; dan (3) wilayah yang jauh dari pantai disebut zona jauh/ aman tsunami. Pembagian tiga zona tersebut mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Jarak wilayah dari pantai. 2. Zona-zona tingkat resiko kegempaan Kota Bengkulu dari Peta Kajian Bahaya yang dibuat Puslitbang Geologi Dep.ESDM, Bandung (2006). 3. Hasil diskusi dengan beberapa narasumber dari Universitas Bengkulu. 4. Observasi langsung di lapangan. Masing-masing sektor dan zona tersebut diwakili satu kelurahan, bilamana jumlah rumah tangga yang ditargetkan menjadi sampel jumlahnya terpenuhi. Namun apabila jumlah rumah tangga yang ditargetkan menjadi sampel dalam satu kelurahan tersebut tidak terpenuhi, maka perlu ditambah satu kelurahan terdekat dengan syarat yang kondisi geografisnya kurang lebih sama. 54



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



G S



Di sektor utara - Kecamatan Muara Bangkahulu, zona yang dekat pantai/ zona rawan perlu diwakili dua kelurahan, yaitu Kelurahan Beringin Raya dan Rawa Makmur. Pengambilan sampel dua kelurahan disebabkan jumlah rumah tangga sampel yang ditargetkan tidak terpenuhi bila hanya mengambil satu kelurahan. Untuk zona yang jarak dari pantai termasuk sedang/ zona hatihati, cukup diwakili satu Kelurahan, yaitu Kelurahan Kandang Limun. Sedangkan zona yang jauh dari pantai/ zona aman tsunami diwakili Kelurahan Bentiring. Di sektor tengah – diwakili Kecamatan Ratu Agung dan Gading Cempaka. Pengambilan dua kecamatan tersebut disebabkan sebagian besar kelurahan di Kecamatan Ratu Agung merupakan wilayah pantai, sebaliknya semua kelurahan di Kecamatan Gading Cempaka merupakan wilayah bukan pantai. Agar di sektor tengah masing-masing zone dapat diperoleh kelurahan sampel perlu diambil dua kecamatan. Di sektor tengah kelurahan sampel yang mewakili zona dekat pantai adalah Kelurahan Lempuing (Kecamatan Ratu Agung). Kelurahan sampel yang mewakili zona yang jaraknya sedang adalah Kelurahan Jembatan Kecil (Kecamatan Gading Cempaka) dan zona yang jauh dari pantai adalah Kelurahan Dusun Besar (Kecamatan Gading Cempaka). Di sektor selatan – sebagaimana di sektor tengah, sektor ini juga diwakili dua kecamatan, yakni Kecamatan Kampung Melayu dan Selebar. Alasan pengambilan dua kecamatan tersebut juga sama dengan di sektor tengah. Zona yang dekat pantai diwakili Kelurahan Teluk Sepang (Kecamatan Kampung Melayu). Sedangkan untuk zona yang jaraknya sedang dari pantai diwakili Kelurahan Betungan (Kecamatan Selebar) dan zona jauh diwakili Kelurahan Pagar Dewa (Kecamatan Selebar). Adapun pembagian sektor, zona, nama kecamatan, nama kelurahan sampel dapat dilihat pada Tabel 3.3.1.1. SEKTOR (1)



KECAMATAN (2)



ZONA/ JARAK DARI PANTAI (3)



Tabel 3.3.1.1. Lokasi Penelitian Rumah Tangga Menurut Zona di Kota Bengkulu RAWAN/ DEKAT



Beringin Raya Rawa Makmur



HATI –HATI/ SEDANG



Kandang Limun



AMAN/ JAUH/



Bentiring



Ratu Agung



RAWAN/ DEKAT



Lempuing



Gading Cempaka



HATI-HATI/ SEDANG



Jembatan Kecil



AMAN/ JAUH



Dusun Besar



Kampung Melayu



RAWAN/ DEKAT



Teluk Sepang



Selebar



HATI-HATI/ SEDANG



Betungan



AMAN/ JAUH



Pagar Dewa



Muara Bangkahulu



UTARA



TENGAH



SELATAN



KELURAHAN (4)



55



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



55



Pengambilan lokasi sampel sekolah Pengambilan lokasi sampel sekolah menyesuaikan dengan sampel wilayah untuk rumah tangga. Sekolah yang dipilih kurang lebih mempertimbangkan sektor dan zona. Ada 13 sekolah yang dipilih, di zona dekat dipilih 4 SD/MI (138 siswa dan 30 guru), 2 SMP (92 siswa dan 20 guru) dan 1 SMA (46 siswa dan 10 guru). Selanjutnya di zona sedang dipilih 2 SD/MI (69 siswa, 15 guru), 1 SMP (46 siswa, 10 guru) dan 1 SMA (31 siswa, 7 guru). Untuk zona jauh dipilih 1 SD (23 siswa, 5 guru) dan 1 SMP (15 siswa, 3 guru). Jenis dan tingkat sekolah menurut zona, jumlah guru dan siswa yang menjadi sampel tersaji pada Tabel 3.3.1.2. Tabel 3.3.1.2. Lokasi Penelitian Komunitas Sekolah Menurut Zona di Kota Bengkulu



TINGKAT SEKOLAH (2)



ZONE/ JARAK DARI PANTAI (1)



JUMLAH SEKOLAH (3)



RAWAN/ DEKAT



SD/MI SLTP SLTA



4 2 1



HATI-HATI/ SEDANG



SD/MI SLTP SLTA



2 1 1



AMAN/ JAUH



SD/MI SLTP SLTA



1 1 -



TOTAL



13



3.3.1.3. Kota Padang Kota Padang merupakan salah satu lokasi kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang dianggap sebagai representasi kota besar, di samping dua lokasi penelitian lainnya yaitu Kota Bengkulu dan Pulau Aceh. Penentuan lokasi di Kota Padang pada tingkat kecamatan maupun kelurahan dilakukan secara purposive. Lokasi kecamatan dipilih berdasarkan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap kemungkinan terjadinya bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami. Dari hasil pemetaan yang telah dibuat oleh salah satu NGO di Kota Padang, yaitu KOGAMI (Komunitas Siaga Tsunami), wilayah Kota Padang yang terdiri dari sebelas (11) kecamatan diidentifikasi ke dalam tiga zona yaitu zona rawan, hati-hati dan aman. 56



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Pengambilan Lokasi Sampel Rumah Tangga Berdasarkan peta lokasi tingkat kerawanan tersebut, dipilih lima kecamatan baik yang berada di lokasi rawan, hati-hati maupun aman. Lima kecamatan tersebut adalah: Kecamatan Kota Tangah, Padang Utara, Padang Timur, Bungus Teluk Kabung dan Pauh. Pemilihan kecamatan yang mewakili zona rawan, hati-hati dan aman tersebut dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana berdasarkan perbedaan ketiga zona tersebut. Gambar 3.3.1.3. Peta Kota Padang Pemilihan kecamatan selain Sumber : Walikota Padang mempertimbangkan tingkat kerawanan juga didasarkan pada pertimbangan geografis yang terpencar, sehingga penyebaran dari rumah tangga atau penduduk yang menjadi responden juga akan lebih menyebar. Kecamatan Koto Tangah merupakan wilayah yang berlokasi di sebelah utara dengan jumlah penduduk terbanyak dan merupakan kecamatan terluas yaitu mencapai 232,25 Km2. Sementara Kecamatan Bungus Teluk Kabung berada di sebelah selatan. Kecamatan Pauh berada di sebelah timur, sedangkan Kecamatan Padang Utara dan Padang Timur berlokasi di sebelah barat. Pemilihan pada tingkat kelurahan, selain mempertimbangkan tingkat kerawanan lokasi terhadap kemungkinan terjadi bencana juga dipertimbangkan adanya kegiatan intervensi yang pernah dilakukan di kelurahan yang bersangkutan. Dari lima kecamatan tersebut dipilih 11 kelurahan yang terdiri dari 6 kelurahan mewakili zona rawan, 3 kelurahan mewakili zona hati-hati dan 2 kelurahan dari zona aman tsunami. Berdasarkan pemetaan yang dibuat oleh KOGAMI, Kecamatan Koto Tangah merupakan kecamatan yang mempunyai lokasi rawan, hati - hati dan aman. Di kecamatan ini diambil 6 kelurahan sebagai sampel penelitian yang mewakili daerah rawan (3 kelurahan), hati-hati (2 kelurahan) dan aman (1 kelurahan). Tiga kelurahan yang masuk dalam kategori rawan yaitu Kelurahan Lubuk Buaya, Tabing dan Kelurahan Pasir Nan Tigo, sedangkan dua kelurahan yang masuk dalam kategori hati-hati adalah Kelurahan Koto Pulai dan Aia Pacah. Kelurahan Lubuk Minturun merupakan kelurahan dalam kategori zona aman yang diambil sebagai lokasi penelitian. Di wilayah Kecamatan Padang Utara, hanya diambil dua kelurahan yaitu Kelurahan Gunung Pangilun dan Lolong Belanti yang masuk dalam kategori daerah rawan. Di Kelurahan Gunung LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



57



57



Pangilun pernah dilakukan kegiatan pelatihan/simulasi evakuasi oleh Kogami bekerjasama dengan LIPI. Untuk Kecamatan Bungus Teluk Kabung hanya diambil satu kelurahan yaitu Kelurahan Bungus yang juga merupakan zona rawan. Di Kecamatan Padang Timur sampel kelurahan yang mewakili zona hati-hati adalah Kelurahan Andalas. Di Kecamatan Pauh diambil satu kelurahan mewakili zona aman, yaitu Kelurahan Pauh (lihat tabel 3.3.1.3.). Tabel 3.3.1.3. Lokasi Penelitian Rumah Tangga Menurut Zona di Kota Padang



Kecamatan 1. Koto Tangah



2. Padang Utara 3. Bungus Teluk Kabung 4. Padang Timur 5. Pauh



Kelurahan



Zona



1. Lubuk Buaya 2. Tabing 3. Pasie Nan Tigo 4. Koto Pulai 5. Aia Pacah 6. Lubuk Minturun 7. Gunung Pangilun 8. Lolong Belanti 9. Bungus 10. Andalas 11. Pauh



Rawan Rawan Rawan Hati Hati Aman Rawan Rawan Rawan Hati-hati Aman



Pengambilan Lokasi Sampel Sekolah Dalam kajian ini responden yang mewakili masyarakat, selain responden rumah tangga, juga terdapat responden dari komunitas sekolah dari tingkat SD, SMP dan SMA. Penentuan sekolah didasarkan pada sekolah yang berada di lima kecamatan terpilih, baik pada tingkat SD dan SMP maupun SMA baik berstatus negeri maupun swasta. Penentuan sekolah selain mempertimbangkan statusnya yaitu sekolah negeri dan swasta juga berdasarkan variasi pernah tidaknya sekolah mendapatkan sosialisasi tentang bencana tsunami yang pernah dilakukan oleh Kogami. Berdasarkan tingkat sekolah, jumlah SD umumnya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SMP dan SMA. Oleh karena itu, di tingkat SD jumlah sekolah yang diambil sebagai sampel sebanyak 13 SD, baik negeri maupun swasta. Pada tingkat sekolah SMP dan SMA, masing-masing diambil sampel 6 dan 3 sekolah. Dengan demikian perbandingan jumlah sekolah di tingkat SD dibanding SMP dan SMA adalah tiga dibanding dua dan satu. Nama - nama sekolah di tingkat SD, SMP dan SMA yang menjadi kajian di Kota Padang dapat dilihat pada Tabel 3.3.1.4.



58



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel: 3.3.1.4. Lokasi Penelitian Komunitas Sekolah Menurut Zona di Kota Padang



Zona Aman Hati-hati Rawan



Aman Hati-hati Rawan



Aman Hati-hati



Rawan



Nama Sekolah • 1. 2. 3.



Tingkat SMA SMA Negri 9 Pauh SMA 13 Kota Tangah SMA 8 Kota Tangah Jumlah • Tingkat SMP 1. SMP Muhamadiyah 8, Pauh 2. SMP 8 Dokter Sutomo 3. SMP 30 Padang Timur 4. SMP 19 Bungus Teluk Kabung 5. SMP 26 jln Perwira Koto Tangah 6. SMP 7 jln S Parman Lolong Jumlah • Tingkat SD 1. SD 11 Jln Surau Gadang Pauh 2. SD Dian Andalas Pauh 3. SD 6 Simpang Haru 4. SD Islam Budi Mulia 5. SD Air Pacah 6. SD Ulai 7. SD 18 Bungus 8. SD 24 Parupuk Tabing Koto Tangah 9. MIN Lubuk Buaya Koto Tangah 10. SD 6 Pasir Jambak Koto Tangah 11. SD 01 Ulak Karang Padang Utara 12. SD IKIP Air Tawar Padang Utara 13. SD 11 Lolong Padang Utara



59



3.3.2. Responden 3.3.2.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar Unit analisa untuk survei adalah rumah tangga dan komunitas sekolah. Survei dilakukan terhadap 205 responden yang mencakup masyarakat umum diwakili ru mah tangga sebanyak 145 KK (sekitar 33 persen dari total KK di 4 desa sampel), serta 60 orang komunitas sekolah (guru dan siswa). Pada umumnya responden masih menempati barak-barak pengungsian yang terdiri dari puluhan pintu dan tiap pintu pada umumnya dihuni untuk setiap keluarga. Namun dibeberapa lokasi yang banyak keluarga sudah tidak utuh lagi (menjadi korban tsunami) banyak KK yang tinggal sendirian, sehingga banyak pintu barak yang ditempati lebih dari satu KK, seperti pada LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



59



daerah pengungsian Matai di Desa Dayah Mamplam. Barak pengungsian ini bersifat sementara, sampai perumahan dan sekolah permanen selesai dibangun. Lokasi barak pengungsian ini sama atau berdekatan dengan lokasi perumahan mereka yang musnah terkena bencana tsunami. Responden untuk rumah tangga/individu adalah kepala keluarga atau anggota rumah tangga dewasa yang dapat mewakili. Pemilihan responden rumah tangga dilakukan secara accidental terhadap rumah tangga yang ada di barak pengungsian dan bersedia diwawancarai pada saat penelitian. Untuk barak pengungsian yang dihuni lebih dari 1 KK, maka setiap pintu barak hanya diambil salah satu KK yang kebetulan berada di lokasi dan bersedia menjadi responden. Wawancara terhadap responden rumah tangga dilakukan dengan mengunjungi rumah tangga terpilih, demikian seterusnya sampai mencapai jumlah rumah tangga yang ditargetkan di lokasi terpilih tersebut. Responden untuk komunitas sekolah yaitu guru dan siswa SD (kelas 5 dan 6), SMP (kelas 2 dan 3) dan SMA (kelas 2). Karena jumlah siswa dan guru yang hadir di sekolah pengungsian masih terbatas, maka hampir semua siswa dan guru di kelas tersebut yang kebetulan hadir dan bersedia mengisi kuesioner terpilih sebagai responden. Sebagian siswa lainnya yang selamat dari bencana masih ada yang dititipkan di sekolah lain di luar lokasi (antara lain di Banda Aceh). Demikian pula masih banyak guru tetap yang sampai sekarang tidak aktif mengajar dan tinggal di Banda Aceh, sehingga semua guru yang hadir pada saat penelitian dan bersedia mengisi kuesioner, dijadikan responden. Pada komunitas sekolah, responden diberi penjelasan tentang cara-cara pengisian kuesioner, kemudian diberi kesempatan untuk mengisi sendiri kuesioner. Khusus untuk siswa sekolah pengisian kuesioner dilakukan dengan bimbingan tim peneliti yang dibantu oleh tim pewawancara. Untuk menarik minat siswa-siswa sekolah, diberi acara tambahan yaitu pemutaran film kartun untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana. Perbandingan jumlah responden rumah tangga di masing-masing lokasi disesuaikan dengan jumlah penduduk yang tercatat di lokasi tersebut Adapun distribusi responden menurut lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 3.3.2.1. Tabel 3.3.2.1. Distribusi Responden Menurut Lokasi Penelitian dan Macam Responden, Kabupaten Aceh Besar



Lokasi



Jumlah *) Jumlah Responden KK Individu/ Guru Siswa Jumlah RT (KK)



A. Kecamatan Leupung -Desa Dayah Mamplam -Desa Pulot B.Kecamatan Pulo Aceh -Desa Gugop -Desa Ulee Paya Jumlah Sumber data:



60



108 157



30 45



10 -



24 -



64 45



129 43 437



45 25 145



4 14



22 46



45 51 205



*) 1 dan 2 data Kecamatan Leupung ; 3 dan 4 data British Red Cross (BRC), 2005.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



3.3.2.2. Kota Bengkulu Jumlah responden untuk Kota Bengkulu ditetapkan sebanyak 2000. Jumlah ini terdiri dari responden rumah tangga, komunitas sekolah dan aparat pemerintah. Penarikan sample responden rumah tangga Responden dalam penelitian rumah tangga adalah kepala rumah tangga. Apabila kepala rumah tangga berhalangan atau tidak ada di tempat pada saat penelitian dapat diwakili oleh anggota rumah tangga dewasa lain yang dianggap mampu memberikan jawaban. Target sampel rumah tangga di seluruh Kota Bengkulu sebanyak 1.400. Dari jumlah target rumah tangga tersebut dibagi ke 3 sektor, di mana untuk sektor tengah dan selatan masing-masing sektor diperlukan 467 rumah tangga dan untuk sektor utara sebanyak 466 rumah tangga (Tabel 3.3.2.2.). Selanjutnya di masing-masing sektor untuk zona dekat jumlah target sampel rumah tangga sebanyak 280, di zona sedang sebanyak 140 dan di zona jauh sebanyak 47, kecuali di Kelurahan Betiring (Kecamatan Muara Bangkahulu – sektor utara) hanya 46. Kemudian pengambilan sampel rumah tangga di masing-masing kelurahan diambil secara accidental dari quota sampling. Penarikan sampel dari tingkat sektor, zona, kelurahan dan rumah tangga tersebut diasumsikan telah mewakili Kota Bengkulu, sebab cara penarikannya dari tingkat sektor sampai kelurahan sudah diusahakan menyebar. Sedangkan untuk pemilihan rumah tangga diambil secara accidental. Tabel 3.3.2.2. Jumlah Responden Rumah Tangga Menurut Lokasi dan Zona, Kota Bengkulu



SEKTOR (1)



KECAMATAN (2)



ZONA/JARAK DARI PANTAI (3) RAWAN/DEKAT



UTARA



Muara Bangkahulu



HATI –HATI/SEDANG AMAN/JAUH/



Ratu Agung



RAWAN/ DEKAT HATI-HATI/SEDANG



TENGAH



RESPONDEN



Kandang Limun Bentiring Total Lempuing Jembatan Kecil



(5) 166 114



61



140 46 466 280 140



Gading Cempaka AMAN/JAUH



Kampung Melayu



SELATAN



KELURAHAN (4) Beringin Raya Rawa Makmur



Selebar



Dusun Besar Total



47 467



RAWAN/DEKAT



Teluk Sepang



280



HATI-HATI/SEDANG



Betungan



140



AMAN/JAUH



Pagar Dewa



47



Total TOTAL



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



467 1400



61



Penarikan sample responden sekolah Di dalam komunitas sekolah ada tiga segmen yang disurvei/angket, yaitu responden siswa, responden guru dan kepala sekolah. Untuk responden siswa diambil siswa kelas 5 untuk SD/ MI, kelas 2 untuk SMP/ sederajat dan SMA/ sederajat. Pengambilan kelas-kelas tersebut dengan pertimbangan tidak mengganggu kegiatan belajar. Sebab kelas paling atas (SD/MI kelas 6, SMP dan SMA kelas 3) saat penelitian dilakukan mereka sedang persiapan menghadapi ujian sekolah dan ujian nasional. Jumlah target siswa sampel adalah 460, yang dialokasikan untuk SD/MI sebanyak 230 siswa, SMP sebanyak 153 siswa dan SMA sebanyak 77 siswa. Di SD/MI dari 230 siswa, di zona dekat pantai diambil 138, di zona sedang 69 dan di zona jauh 23. Di SMP dari 153 siswa, di zona dekat pantai diambil 92 siswa, di zona sedang 46 siswa dan zona jauh 15 siswa. Di SMA dari 77 siswa, di zona dekat diambil 46, di zona sedang 31 siswa dan di zona jauh tidak diambil sebab jumlah sampelnya terlalu kecil. Pengambilan responden guru dari 13 sekolah dipilih 100 guru. Jumlah guru yang menjadi sampel di masing-masing sekolah kurang lebih proporsional terhadap jumlah siswa yang dijadikan sampel dan pengambilannya secara accidental. Kemudian untuk responden kepala sekolah masingmasing sekolah hanya satu, yaitu kepala sekolahnya sendiri atau wakil kepala sekolah. Jadi untuk 13 sekolah tersebut hanya memerlukan 13 responden kepala sekolah. Tabel 3.3.2.3. Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan Tingkatan Sekolah, Kota Bengkulu



ZONA/ JARAK DARI PANTAI (1) RAWAN/ DEKAT



TINGKAT SEKOLAH (2) SD/MI SLTP SLTA



JUMLAH SEKOLAH (3) 4 2 1



JUMLAH SISWA (4) 138 92 46



JUMLAH GURU (5) 30 20 10



HATI-HATI/ SEDANG



SD/MI SLTP SLTA



2 1 1



69 46 31



15 10 7



AMAN/ JAUH



SD/MI SLTP SLTA



1 1 -



23 15 -



5 3 -



13



460



100



TOTAL



62



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Responden Aparat Pemerintah Responden aparat pemerintah berjumlah 40 orang yang berasal dari berbagai instansi pemerintah yang relevan, seperti Bappeda, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, Komunikasi dan Informasi, Dinas Perhubungan, Bagian Kesra Setda, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial dan Satpol PP. Kuesioner diberikan kepada kepala dinas atau yang mewakili untuk mendistibusikan kuesioner tersebut kepada staf dari bagian yang berbeda. Kuesioner yang telah diisi diambil setelah beberapa hari sesuai dengan waktu yang disepakati. Tabel 3.3.2.4. Jumlah Responden Aparat Pemerintah Menurut Instansi Tempat Kerja di Kota Bengkulu No.



Aparat Pemerintah



Jumlah Responden



1.



à



Bappeda



8



2.



à



Dinas Pendidikan



5



3.



à



Dinas Ketenagakerjaan dan Sosial



5



4.



à



Dinas Kesehatan



5



5.



à



Dinas Perhubungan



5



6



à



Dinas Komunikasi dan Informasi



5



7.



à



Bagian Kesra Setda



2



8.



à



Satpol PP



5



à



Jumlah



40



63



3.3.2.3. Kota Padang Penentuan Jumlah Responden Jumlah responden secara keseluruhan yang ditetapkan di Kota Padang adalah sebanyak 4000 responden. Dari keseluruhan responden dibuat proporsi jumlah responden dengan komposisi sebagai berikut : 1. Responden individu/ rumah tangga merupakan responden dengan persentase terbesar yaitu 70 persen atau sebanyak 2800. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sasaran utama dari sistem siaga bencana adalah masyarakat. Kesiapsiagaan menghadapi bencana dimaksudkan untuk meminimalisir dampak dan korban yang akan menimpa penduduk atau LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



63



masyarakat. Dengan demikian assesment terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana perlu difokuskan pada tingkat masyarakat. Dari sebanyak 2800 responden individu/rumah tangga, sebaran responden antar kelurahan ditentukan menurut lokasi rawan, hati-hati dan aman tsunami dengan perbandingan persentase sebesar 60 persen (1680 responden ) berasal dari lokasi rawan; 30 persen (840 responden) berasal dari lokasi/zona hati-hati dan 10 persen atau 280 responden berasal dari lokasi aman. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penduduk yang tinggal di wilayah yang berada pada lokasi rawan memerlukan tingkat kesiapan yang lebih tinggi dibanding dengan penduduk yang tinggal di lokasi kategori hati-hati atau bahkan aman. Setelah diketahui jumlah responden dalam setiap lokasi/zona maka perlu ditetapkan pula sebaran responden antar kelurahan yang didasarkan pada jumlah kelurahan dan kepadatan penduduk (banyaknya rumah tangga per kelurahan). Jumlah responden untuk tiap kelurahan dan kecamatan serta perbedaan lokasi / zona , secara detail dapat dilihat pada tabel 3.3.2.5. 2. Responden komunitas sekolah, jumlahnya ditetapkan sebesar 28 persen dari total responden. Responden yang berasal dari sekolah terdiri dari responden murid 23 persen atau sebanyak 920 responden dan 5 persen responden guru atau sebanyak 200 responden. Relatif besarnya proporsi responden pada komunitas sekolah terkait dengan asumsi bahwa komunitas sekolah merupakan kelompok strategis bagi sosialisasi sistem siaga bencana. Seperti halnya responden individu/rumah tangga, sebaran responden untuk tiap sekolah juga didasarkan pada sekolah yang berada di lokasi rawan, hati-hati dan aman, dengan perbandingan 60 persen responden untuk lokasi rawan dan 30 persen untuk lokasi hati-hati dan 10 persen untuk lokasi aman. Pertimbangan lokasi rawan, hati-hati dan aman juga berlaku untuk responden guru. Sebaran jumlah responden menurut tingkat pendidikan, Sekolah Dasar (SD)/ sederajat mempunyai proporsi terbanyak, mengingat bahwa jumlah murid SD merupakan murid terbanyak yaitu sebesar 50 persen dari total responden murid sekolah (460 murid). Sedangkan jumlah murid SMP yang menjadi responden yaitu sekitar 33 persen dari total responden murid sekolah dan sisanya, sekitar 17 persen berasal dari murid SMA atau sebanyak 154 murid. Demikian pula untuk responden guru yang secara keseluruhan berjumlah 200 orang, proporsi terbesar adalah pada guru tingkat SD yaitu sebanyak 100 orang guru dan guru SMP sebanyak 67 orang serta guru SMA sebanyak 33 orang. Sedangkan responden guru yang merupakan wakil dari sekolah adalah sebanyak jumlah sekolah yaitu sekitar 22 orang yang berasal dari masing-masing sekolah yang bersangkutan. Secara detail jumlah dan komposisi responden murid dan guru menurut lokasi atau zona rawan, hati-hati dan aman serta tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 3.3.3.6. Banyaknya responden untuk kelompok aparat pemerintah telah ditetapkan sebanyak dua (2) persen dari total responden atau sebanyak 80 responden. Kendatipun demikian, dalam pelaksanaannya didapatkan jumlah responden yang lebih banyak. Secara rinci nama-nama instansi dan banyaknya responden dari masing-masing instansi dapat dilihat pada tabel 3.3.2.7. 64



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 3.3.2.5. Jumlah Responden Rumah Tangga Menurut Lokasi dan Zona, Kota Padang Kecamatan



Zona



Jumlah Responden



Rawan Rawan Rawan Hati Hati Aman Rawan Rawan Rawan



210 210 220 210 210 140 420 420 200



Hati-hati



420



Aman



140



Rawan Hati-hati Aman Total



1680 (60 %) 840 (30 %) 280 (10 %) 2800 (100%)



Kelurahan 1. Koto Tangah



2. Padang Utara 3. Bungus Teluk Kabung 4. Padang Timur 5. Pauh



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



Lubuk Buaya Tabing Pasie Nan Tigo Koto Pulai Aia Pacah Lubuk Minturun Gunung Pangilun Lolong Belanti Bungus



10. Andalas 11. Pauh



Total Responden Rumah Tangga



• Pemilihan Responden Individu dan Rumah Tangga



65



Responden individu yang merupakan wakil dari masyarakat adalah responden di tingkat rumah tangga-rumah tangga terpilih. Adapun pemilihan rumah tangga dalam masing-masing kelurahan yang telah ditetapkan jumlahnya dipilih secara accidental quota sampling. Artinya, rumah tangga dalam wilayah tertentu baik RT dan RW dipilih secara accidental. Apabila jumlah sampel telah mencukupi dari satu RW sesuai dengan quota atau jumlah sampel yang telah ditetapkan maka untuk kelurahan yang bersangkutan hanya diambil satu RW. Namun jika jumlah sampel belum mencukupi maka diambil RW ke dua dan seterusnya. Komunitas Sekolah Pemilihan responden untuk murid (kuesioner seri S-3), ditentukan secara purposive yaitu untuk tingkat SD, diambil kelas 5, mengingat bahwa murid kelas 5 diharapkan mempunyai pemahaman yang lebih baik dalam pengisian kuesioner dibanding murid-murid pada tingkatan dibawahnya. Sedangkan murid kelas 6 tidak diambil sebagai responden mengingat pada waktu diadakan kajian, mereka sedang melaksanakan ujian sekolah. Demikian pula untuk murid pada tingkatan



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



65



SMP dan SMA juga tidak diambil murid kelas 3, tetapi diambil murid kelas dua (2) dengan pertimbangan yang sama yaitu pada saat dilakukan kajian sedang akan mempersiapkan ujian. Sementara itu responden guru (kuesioner seri S2) berdasarkan jumlah yang telah ditetapkan untuk masing-masing sekolah, maka guru yang akan dijadikan responden adalah guru yang ditemui pada saat dilakukan kajian dan bersedia mengisi kuesioner. Demikian pula responden guru sebagai wakil dari sekolah (kuesioner seri S1), apabila dimungkinkan diisi oleh kepala sekolah atau wakil kepala sekolah tetapi apabila tidak memungkinkan maka daftar pertanyaan diisi oleh guru yang bersedia mengisi kuesioner tentang sekolah yang bersangkutan. Tabel: 3.3.2.6. Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan Tingkatan Sekolah, Kota Padang Zona



Aman Hati-hati Rawan



Aman Hati-hati Rawan



Aman Hati-hati



Rawan



66



Nama Sekolah • 1. 2. 3.



Tingkat SMA SMA Negri 9 Pauh SMA 13 Kota Tangah SMA 8 Kota Tangah Jumlah • Tingkat SMP 4. SMP Muhamadiyah 8, Pauh 5. SMP 8 Dokter Sutomo 6. SMP 30 Padang Timur 7. SMP 19 Bungus Teluk Kabung 8. SMP 26 jln Perwira Koto Tangah 9. SMP 7 jln S Parman Lolong Jumlah • Tingkat SD 10. SD 11 Jln Surau Gadang Pauh 11. SD Dian Andalas Pauh 12. SD 6 Simpang Haru 13. SD Islam Budi Mulia 14. SD Air Pacah 15. SD Ulai 16. SD 18 Bungus 17. SD 24 Parupuk Tabing Koto Tangah 18. MIN Lubuk Buaya Koto Tangah 19. SD 6 Pasir Jambak Koto Tangah 20. SD 01 Ulak Karang Padang Utara 21. SD IKIP Air Tawar Padang Utara 22. SD 11 Lolong Padang Utara Jumlah TOTAL SELURUH RESPONDEN



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Jumlah Responden Murid



Jumlah Responden Guru



26 51 77 154 (17 %)



6 11 16 33



52 51 51 51 51 51 307 (33 %)



12 11 11 11 11 11 67



40 37 40 40 40 32 30 35 35 30 35 35 30 460 (50 %) 921



7 10 8 9 8 8 5 7 7 6 8 8 9 100 200



Aparat Pemerintah Responden aparat pemerintah adalah kepala bagian atau staf dari seluruh instansi terkait dengan kesiapsiagaan bencana antara lain: Dinas Kesejahteraan Sosial, dan penaggulangan bencana, Dinas Pendidikan, Bakominfo dan staf dari sekertariat kota (Setko) Padang. Pemilihan responden juga dipilih secara accidental sebanyak jumlah yang telah ditetapkan pada masing-masing instansi. Tabel : 3.3.2.7. Jumlah Responden Aparat Pemerintah Menurut Instansi Tempat Kerja di Kota Padang



No



Instansi



Jumlah



1.



Dinas Pendidikan



10



2.



Pertambangan



10



3.



Kesbangpol



5



4.



Dinas Kesehatan



6



5.



Dinas Kesejahteraan Sosial, Penanggulangan Bencana dan Banjir.



10



6.



Litbang Propinsi



6



7.



Bappeda



10



8.



Bakominfo



10



9.



Sekretariat Daerah



20



Jumlah



87



67



3.4. KEGIATAN LAPANGAN 3.4.1. Jadwal Kegiatan 3.4.1.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar Aktivitas kajian di lapangan dilakukan sepenuhnya oleh 5 orang tim peneliti dari LIPI dan 3 orang peneliti lainnya (ITB dan UNAND) yang bergabung selama beberapa hari. Tim peneliti juga memperoleh dukungan dari PMI Aceh Besar yang menyediakan para relawannya (7 orang) untuk membantu kelancaran survei selama di lapangan. Dukungan lainnya diperoleh dari British Red Cross yang membantu dalam sosialisasi dan transportasi ke Pulo Aceh yang juga menjadi daerah sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan pelatihan kesiapsiagaan sebelumnya. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



67



Kajian di lapangan berlangsung selama 14 hari, dengan perincian kegiatan untuk pelatihan pewawancara 1 hari, di Kecamatan Leupung 6 hari, di Banda Aceh dan Kota Kabupaten Aceh Besar (Jonto) sehari dan selebihnya (5 hari) di Kecamatan Pulau Aceh. Secara rinci kegiatan tim peneliti selama di lapangan seperti dalam tabel 3.4.1.1. Tabel 3.4.1.1. Jadwal Kegiatan Kajian di Perdesaan Kabupaten Aceh Barat, 2006 HARI 1. Senin



TANGGAL 17 April



2. Selasa



18 April



KEGIATAN • • • • • •



3. Rabu



19 April



• •



4. Kamis



20 April



• • • • • • •



5. Jum’at



21 April



• •



68



Tiba di Banda Aceh Kontak dengan PMI Cabang Aceh Besar untuk persiapan tenaga pewawancara. Ke kantor Kecamatan Leupung (perkenalan dan diskusi lokasi untuk kajian) dan mencatat data dasar kecamatan Kunjungan awal ke beberapa lokasi/desa Mendiskusikan pemilihan lokasi terpilih dengan staf camat yaitu Desa Dayah Mamplam dan Desa Desa Pulot Ke kantor British Red Cross (BRC) untuk rencana ke Pulau Aceh dan wawancara. Perkenalan dengan calon pewawancara di kantor PMI Aceh Besar di Banda Aceh Pelatihan untuk 8 orang calon pewawancara dari PMI Aceh Besar (sehari) meliputi : - Penjelasan tentang kajian, bencana alam terutama gempa dan tsunami serta materi kuesioner dan cara pengisiannya - Pelatihan mengisi kuesioner ke lapangan (di lokasi tempat tinggal masing-masing, setiap pewawancara satu orang. Diskusi tentang hasil try-out tim pewawancara Sosialisasi dengan kepala desa dan masyarakat Desa Pulot Survei rumah tangga di Desa Pulot Sosialisasi ke sekolah-sekolah dan pengambilan sampel responden siswa SD, SMP Survei siswa SD di tintis di Dayah Mamplam Melakukan wawancara dengan beberapa guru dan wakil kepala sekolah SD Pertemuan untuk evaluasi kegiatan, pemeriksaan kuesioner dan mencatat kuesioner yang belum beres. Survei rumah tangga ke lokasi barak pengungsian Matai, Desa Dayah Mamplam (30 responden) rumah tangga Wawancara mendalam dengan wakil ketua posko desa dan beberapa tokoh masyarakat yang ada di lokasi di Matai.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



HARI



TANGGAL • • •



6. Sabtu



22 April



• • • • • • • • • •



7. Minggu



23 April



8. Senin



24 April



• •



• • 9. Selasa



25 April



• • • •







KEGIATAN Survei rumah tangga ke Desa Pulot, menemui kepala Desa Pulot untuk rencana FGD tokoh masyarakat. Sosialisasi dengan masyarakat Desa Pulot sambil memberi penjelasan tentang bencana alam di balai (meunasah) desa Pertemuan untuk evaluasi kegiatan, persiapan FGD di kedua desa, serta pemeriksaan kuesioner. Wawancara mendalam dengan kepala sekolah dan guru SMP Mengambil kuesioner guru dan kuesioner kesiapsiagaan sekolah Survei untuk siswa dan guru SMA (5 siswa dan 4 guru) Survei rumah tangga yang masih tersisa di Desa Pulot FGD bersama komunitas sekolah di Balai Pertemuan Posko Rintis Evaluasi kegiatan serta pemeriksaan kuesioner FGD dengan masyarakat Desa Pulot di balai desa (Meunasah) Wawancara mendalam dengan kades Pulot, mantan kades, tokoh pemuda/ kepala posko desa dan tokoh masyarakat lainnya FGD bersama masyarakat Desa Pulot di balai desa (20 orang tokoh/wakil berbagai profesi masyarakat) Wawancara mendalam dengan kades Pulot, mantan kades, tokoh pemuda (kepala posko desa) dan tokoh masyarakat lainnya. Wawancara mendalam dengan Camat Leupung, dan mengambil angket pemerintah. Wawancara dengan Camat Pulo Aceh di kantor perwakilan Banda Aceh tentang rencana kajian di Kecamatan Pulo Aceh, wawancara mendalam, pengisian angket pemerintah dan data sekunder kecamatan dan peta Kecamatan Pulo Aceh. Ke Jontho (kota kabupaten), khususnya ke BPS kabupaten dan Bappeda untuk memperoleh data sekunder (data kabupaten dan data Kecamatan Dalam Angka) Wawancara mendalam dengan staf pimpinan BRC di Banda Aceh. Ke Pulau Breuh di Pulo Aceh bersama dengan tim pewawancara dengan fasilitas kapal BRC Perkenalan dengan masyarakat Desa Ulee Paya, geucik (kades) dan sekdes sedang tidak ada di lokasi Survei rumah tangga di Desa Ulee Paya Perkenalan dan sosialisasi dengan tokoh-tokoh masyarakat Desa Ulee Paya, dilanjutkan dengan penjelasan tentang bencana alam oleh peneliti dari Geotek Sosialisasi ke Desa Gugop, wawancara dengan Geucik dan beberapa tokoh masyarakat, tentang kondisi desa dan rencana survei rumah tangga dan FGD dengan tokoh masyarakat.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



69



69



HARI 10. Rabu



TANGGAL KEGIATAN 26 April • Survei ke sekolah SD dan SMP Ulee Paya (24 siswa dan 6 guru) • Survei rumah tangga ke Desa Gugop (45 responden) • Wawancara mendalam dengan kepala desa, tokoh agama dan tokoh pemuda di Gugop • Melanjutkan kegiatan survei rumah tangga di Desa Ulee Paya • Wwawancara dengan Sekdes, tokoh agama dan tokoh adat dan editing kuesioner.



11. Kamis



27 April



• Wawancara mendalam kepala sekolah SD/SMP di Desa Ulee Paya • Survei/angket terhadap siswa SMP di Ulee Paya • FGD dengan 13 orang tokoh dan perwakilan masyarakat Desa Gugop • Pengamatan lapangan ke lokasi perbukitan • Wawancara mendalam dengan tokoh PKK di Desa Ulee Paya dan Gugop, serta seorang nelayan di Desa Serapong (saksi mata tsunami di tengah laut).



12. Jumat



28 April



• Melanjutkan wawancara mendalam dengan kepala sekolah SD dan SMP, mengambil kuesioner guru dan kesiapsiagaan kedua sekolah • Wawancara mendalam dengan sekdes Ulee Paya, ketua adat (mukim), guru bantu, guru SD, bidan desa dan tokoh agama • Wawancara mendalam dengan beberapa tokoh pemuda Desa Ulee Paya • Pengamatan lapangan ke daerah perbukitan yang menjadi tempat penyelamatan diri penduduk ketika bencana tsunami • FGD dengan tokoh-tokoh masyarakat Desa Ulee Paya. (22 orang) • Menyelesaikan pemeriksaan kuesioner .



13 Sabtu



29 April



14. Minggu



30 April



• Evaluasi kuesioner, angket dan data dasar, kesiapsiagaan sekolah/ pemerintah • Menyiapkan paper untuk workshop penanggulangan bencana, yang diadakan oleh Deparlu dan BRR di Banda Aceh • Presentasi tim peneliti tentang ‘Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Mengantisipasi Bencana di Aceh’, serta pengalaman LIPI melakukan simulasi kesiapsiagaan di Padang. • Tim peneliti kembali ke Jakarta.



70



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



3.4.1.2. Kota Bengkulu Kegiatan kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana alam di Kota Bengkulu dilaksanakan dari tanggal 19 April sampai dengan tanggal 4 Mei 2006. Tabel 3.4.1.2. Jadwal Kegiatan Kajian di Kota Bengkulu, 2006 WAKTU April 2006 19 20



21



KEGIATAN



CATATAN



Menuju Bengkulu; persiapan kajian dan mengurus perijinan Menuju Bengkulu • Menyelesaikan surat ijin kajian • Kordinasi dengan Diknas Kota Bengkulu mengenai lokasi sekolah dan diskusi kelompok (FGD) dan perijinan kegiatan untuk komunitas sekolah Training interviewer mahasiswa UNIB & supervisor (dosen FISIP UNIB)



Tim Bengkulu Haryadi & Deny Tim Bengkulu



Fisip Universitas Bengkulu (UNIB); (Dr. Titiek Kartika) Pengamatan lingkungan Pantai Panjang, Tim Bengkulu Bengkulu • Diskusi kegiatan FGD Kepala Diknas Kantor Diknas Kota Bengkulu • Wawancara kebijakan Kesiapsiagaan bencana dari Diknas • Diskusi untuk persiapan workshop Kantor Bappeda dengan Kepala Bappeda and staffs • Wawancara kesiapsiagaan Kota Bengkulu • Penyebaran kuesioner untuk pemerintah kota dan aparat dari Bappeda • Persiapan penyebaran kuisioner Univ. Bengkulu (pembagian tugas dan lokasi survei, pembagian kuesioner dan kit) • Try out pengisian kuesioner oleh pewawancara • Laporan kegiatan kajian pada Kantor Walikota sekretaris Kota Bengkulu mewakili Walikota



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



71



71



WAKTU 22



Jam 9-12 Jam 13-17



Jam 20-23 23 Jam 9-14



Jam 15-16 Jam 17-18 24



72



KEGIATAN CATATAN Fisip UNIB • Survei di Kota Bengkulu • Pemeriksaan kuesioner yang telah diisi oleh supervisor dan anggota tim LIPI Wawancara dengan Kepala sekolah (SD, SMP 12 dan SMA I) Wawancara dengan Lurah Malabero, Peninjauan ke Kecamatan Teluk Segara Wawancara dengan pimpinan informal masyarakat, Pak Bodet Pengamatan sepanjang pantai Panjang Pertemuan dengan Kepala dan anggota RAPI Bengkulu Wawancara dengan Kepala RT01/RW01 dan Ka. LPM Desa Teluk Sepang • Mengunjungi Pantai Teluk Sepang • Survei/angket rumah tangga dan komunitas sekolah Wawancara dengan Lurah Pager Dewa



Tim Bengkulu Rumah Lurah Rumah tokoh masyarakat pak Bodet di Lempuing Tim Bengkulu Rumah Ka. RAPI Rumah RT dan LPM Tim Bengkulu Tim survei



Rumah Lurah Pager Dewa Wawancara dengan Lurah Lempuing dan Rumah Lurah Lempuing diskusi kemungkinan FGD masyarakat Kec. Gading Cempaka, • Wawancara dengan camat di Kec. Kampung Melayu Kecamatan Kampung Melayu dan Gading Cempaka Tim Bengkulu • Pengisian kuesioner pemerintah kecamatan Kampung Melayu dan Gading Cempaka • Wawncara Kepala Dinas Kesehatan • Wawancara Kepala Dinas Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Bengkulu • Wawancara dengan kepala bagian Kesra/Satlak • Wawancara staff Pemadam Kebakaran • Mengunjungi PMI • Survei/angket rumah tangga dan Tim survei komunitas sekolah • Penyebaran kuesioner aparat Supervisor dari UNIB dan pemerintah tim LIPI • Pemeriksaan kuesioner yang telah diisi



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



WAKTU KEGIATAN Jam 20.30 – Diskusi dengan perwakilan LSM 22.00 WALHI 25 • FGD Komunitas Sekolah Jam 9-13 • Wawancara dengan camat Muara Bangkahulu dan Ratu Agung • Pengisian kuesioner pemerintah kecamatan Muara BAngkahulu dan Ratu Agung Jam 15-16 • Wawancara dengan Kepala Satpol PP • Diskusi dengan Kepala BMA (Badan Musyawarah Adat Bengkulu • Pemeriksaan kuesioner yang telah diisi 26 Jam 9-13



Jam 15-17



27 Jam 9-17



Jam 20-22



CATATAN Rio Hotel Hotel Bumi Endah Kantor Kecamatan Muara Bangkahulu dan Ratu Agung



Kantor Satpol PP Rumah Ka. BMA UNIB dan tim Bengkulu



• FGD masyarakat • Wawancara dengan camat Selebar • Pengisian kuesioner pemerintah kecamatan Selebar • Penyebaran kuesioner aparat pemerintah • Survei/angket rumah tangga dan komunitas sekolah • Pemeriksaan kuesioner yang telah diisi



Kelurahan Lempuing Tim Bengkulu



• Diskusi dengan Staff Kodim 0407 dan Komandan Kodim sebagai wakil ketua Satlak Kota Bengkulu • Survei dan pemeriksaan hasil survei • Pengambilan kuesioner aparat • Pak Febrin dan pak Krishna tiba di Bengkulu Workshop Kesiagaan masyarakat; Pembukaan dilakukan oleh Walikota Bengkulu



Kantor Kodim dan di Desa Padang Serai



Pemeriksaan kuesioner hasil survei/ angket Pertemuan dan diskusi mengenai Needbase workshop di Bengkulu and Padang; Teknis Laporan



UNIB Supervisor UNIB dan tim LIPI



Universitas Bengkulu



Hotel Bumi Endah



UNIB (Pak Febrin, Pak Krishna, Pak Haryadi and Bu Deny)



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



73



73



WAKTU 28



Jam 15-17 Jam 20 - 22



29



Jam 14-17



30



Mei 2006 1



2



3 Jam 9-17 Jam 18-19 Jam 20-23



4



74



KEGIATAN • Penyebaran Cheklist ke PLN, PDAM, Kimpraswil and Rumah Sakit; • Wawancara dengan pejabat dari Dinas Sosial Provinsi Bengkulu • Pak Krishna kembali ke Jakarta • Pengambilan kuesioner aparat • Pengamatan pantai sekitar pantai Besi • Akhir survei/angket dan pemeriksaan hasil survei • Wawancara dengan pimpinan GAPENSI dan konsultan bangunan • Wawancara dengan guru-guru di SD 20 dan SD 61 • Pak Febrin kembali ke Padang • Temu muka dengan pengurus LSM CCRR, PKBI; Warsi; Pramuka • Final check kuesioner survei/angket dan packing • Observasi morfologi dan geologi seputar kota Bengkulu • Beberapa anggota tim kembali ke Jakarta



CATATAN Pak Febrin, Pak Krishna, Pak Haryadi Deny dan Fitranita



Diskusi persiapan Needbase Workshop dengan staf Bappeda Kota Bengkulu Persiapan Needbase • Pengambilan formulir checklist di PLN, PDAM dan Rumah sakit • Wawancara dengan wakil Kepala Lanal • Pengaturan wawancara dengan Polres Needbase workshop



Kantor Bappeda



Diskusi dengan Ketua Komisi 2 DPRD Kota Bengkulu Diskusi seputar kegiatan dimasa depan dan kelanjutan program dengan RAPI dan Pramuka • Wawancara dengan Polres • Pengambilan peta di Lanal • Kembali ke Jakarta



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tim UNIB dan anggota tim LIPI Rumah pimpinan GAPENSI Tim Bengkulu



Kantor CCRR Kantor Pramuka



Haryadi



Di UNIB Kantor PLN, PDAM dan rumah sakit Rumah wakil kepala Lanal Kantor Polres Hotel Bumi Endah Rio Hotel Tim Bengkulu



Tim Bengkulu, Kantor Polres dan Kantor Lanal



3.4.1.3. Kota Padang Kegiatan penelitian di Kota Padang secara keseluruhan dilakukan selama empat belas (14) hari. Tabel 3.4.1.3. Jadwal Kegiatan Kajian di Kota Padang, 2006



Hari Waktu ke 1. Minggu sore - malam , 16 April 2006



2.



Senin,17 April 2006



3.



Selasa, 18 April 2006



4.



Rabu,19 April



5.



Kamis, 20 April



Agenda 1. Persiapan (Arrange) untuk training interviewer 2. Koordinasi dengan stakeholder untuk pelaksanaan workshop dan kegiatan penelitian 3. Persiapan bahan untuk training interviewer (handout dll) 1. Penentuan sampel daerah penelitian untuk kuestioner rumah tangga 2. Training interviewer untuk kuestioner Rumah Tangga 3. Persiapan FGD komunitas sekolah di Kantor Diknas 4. Pengurusan surat-surat dan ijin pelaksanaan penelitian (Survei, FGD dan Workshop). 1. Try out survei rumah tangga 2. Persiapan workshop : undangan dan Koordinasi 3. Training interviewer untuk kuesioner sekolah (S1,S2 dan S3) 4. Penentuan Sampel komunitas sekolah 5. Wawancara dengan Satlak Kota Padang 1. FGD Komunitas Sekolah 2. Survei rumah tangga dan penyebaran kuesioner aparat 3. Wawancara Kepala Dinas Sosial, Penaggulangan Banjir dan Bencana 4. Diskusi persiapan workhop 1. Workshop (Agenda workshop terlampir) 2. Survei/angket rumah tangga dan sekolah 3. Penyebaran kuesioner aparat pemerintah



6.



Jumat, 21 April



1. Koordinasi (persiapan FGD masyarakat) dengan Lurah Pas Pasie Nan Tigo (Zona Rawan) 2. Wawancara dengan guru di SD Pasie nan Tigo



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



75



75



Hari ke



Waktu



7.



Sabtu, 22 April



8.



Minggu,23 April 2006



9.



Senin, 24 April



10. Selasa, 25 April



76



Agenda 1. Progress meeting dengan supervisor dan interviewer 2. Wawancara dengan ORARI dan SAR 3. Koreksi kuesioner yang sudah masuk 4. Membuat field note hasil wawancara mendalam 1. Wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri 8 (lokasi sekolah di zona hati-hati) 2. Wawancara Guru SMA9 Pauh (lokasi sekolah di zona aman) 3. Progress meeting dengan supervisor dan interviewer 4. Koreksi kuesioner yang sudah masuk 5. Membuat field note hasil wawancara mendalam 1. Wawancara dengan tokoh masyarakat dan penulis buku BAM (Budaya Alam Minang) untuk tingkat SD, SMP dan SMA. 2. Observasi daerah penelitian – Kecamatan Pauh 3. Progress meeting dengan supervisor dan interviewer 4. Koreksi kuesioner yang sudah masuk 5. Membuat field note hasil wawancara mendalam 1. Ke Kantor Pemkot Kota Padang dan Bakominfo (untuk wawancara mendalam dan konfirmasi kuesioner ) 2. Focus Group Discussion dengan Masyarakat Kelurahan Pasie Nan Tigo 3. Progress Meeting dengan supervisor dan interviewer 4. Koreksi data-data survei yang sudah masuk 5. Membuat field note hasil wawancara mendalam 1. Wawancara dengan PMI 2. Wawancara dengan Ketua DPRD Kota Padang 3. Wawancara dengan wakil dari Kerapatan Adat Minang (KAN) 4. Wawancara dengan Ketua RAPI Kota Padang dan Wakil Kadinda Kota Padang. 5. Wawancara dengan wakil dari sektor swasta (PT Semen Padang) 6. Koreksi data-data survei yang sudah masuk



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Hari ke 11.



Waktu Rabu, 26 April



12.



Kamis, 27 April 2006



13.



Jumat, 28 April 2006



14.



Sabtu, 29 April 2006



Agenda 1. Menghadiri Undangan di Walikota Tentang Pengenalan ”Early Warning System Instrument For Multi Purpose”. 2. Wawancara dengan Dr.Saeful Zanin (Ketua Brigade Siaga Bencana Kota Padang- RS Djamil ) 3. Wawancara dengan Kepala Bakoninfo Kota Padang 4. Progress Meeting dengan Supervisor dan Interviewer 5. Koreksi data-data survei yang sudah masuk 6. Membuat field note hasil wawancara mendalam 1. Wawancara dengan Komandan KODIM Kota Padang 2. Wawancara dengan Satkorlak Propinsi Sumatera Barat. 3. Progress meeting dengan supervisor dan interviewer 4. Koreksi data-data survei yang sudah masuk 1. Wawancara dengan Kepala Dinas Sosial, Penanggulangan Banjir dan Bencana Kota Padang 2. Wawancara dengan PPC (Padang Press Club) 3. Progress Meeting dengan Supervisor dan Interviewer 4. Depth Interview dengan NGO ( Minang Bahari) 5. Koreksi data-data survei yang sudah masuk 6. Membuat field note hasil wawancara mendalam 1. Wawancara dengan NGO (KOGAMI) 2. Final chek kelengkapan kuestioner dan packing. 3. Pulang ke jakarta



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



77



77



3.4.2. Survei 3.4.2.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar Survei merupakan salah satu cara pengumpulan data primer dengan menggunakan kuesioner (daftar isian) yang telah dipersiapkan sebelum ke lapangan. Sesuai dengan target sasaran survei yaitu rumah tangga dan komunitas sekolah (guru dan siswa), maka kuesioner terdiri dari tiga jenis yaitu kuesioner rumah tangga, guru dan siswa. Pengisian kuesioner dilakukan dengan dua cara yaitu dengan wawancara tatap muka (untuk rumah tangga), dan dengan cara mengisi sendiri oleh responden (untuk guru dan siswa). Foto 3.4.2.1. Pelatihan Interviewer di Aceh Besar



Pengisian kuesioner dengan tatap muka (terhadap responden rumah tangga) dilakukan oleh interviewer yang sudah memperoleh latihan/training dari tim peneliti sebelumnya. Pengisian kuesioner oleh siswa, diawali dengan penjelasan cara mengisi oleh tim peneliti dibantu interviewer sehingga diharapkan mereka dapat mengisi dengan cara yang benar. Kuesioner untuk guru diisi sendiri dengan diawali penjelasan kemudian ditinggal untuk memberi kesempatan guru mengisinya, dan diambil kemudian oleh tim peneliti setelah selesai diisi dengan benar. Survei di lakukan terhadap masyarakat baik rumah tangga maupun sekolah dengan target jumlah responden sebanyak 200 untuk keempat lokasi terpilih. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner bersifat tertutup untuk memudahkan pengolahan data dan skoring yang akan dilakukan pada tahap berikutnya. Mengingat kedua kecamatan memiliki jarak yang sangat jauh, maka survei di Aceh dibagi dalam dua tahapan waktu yaitu tahap I (18-22) April 2006 di Kecamatan Leupung dan tahap II (24-29) April 2006 di Kecamatan Pulo Aceh. Kecamatan Leupung Survei di Leupung dilaksanakan oleh 7 orang interviewer yang berasal dari penduduk lokal dan sudah berpengalaman, rata-rata berpendidikan SMA ke atas. Survei lapangan didahului dengan pengurusan izin sekaligus pengenalan dan sosialisasi kepada aparat 78



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Foto 3.4.2.2. Interviewer Sedang Mewawancarai Responden Rumah Tangga



kecamatan. Pada hari ke dua dilakukan pelatihan pengisian kuisioner kepada para interviewer, hari-hari selanjutnya dilakukan survei ke masyarakat desa sasaran. Sebelum survei dilakukan ke rumah tangga, terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada aparat desa dan tokoh masyarakat, sehingga masyarakat maupun komunitas sekolah setempat dapat secara terbuka menerima sekaligus membantu kelancaran pelaksanaan survei. Dengan sosialisasi lebih dahulu, tim peneliti mengetahui mereka banyak di rumah pada hari Jum’at dan Minggu, sehingga kunjungan terhadap rumah tangga di lokasi sasaran disesuaikan waktunya.



Kecamatan Pulo Aceh Survei di Pulo Aceh dilaksanakan oleh interviewer yang sama dengan di Leupung sehingga tidak diperlukan pelatihan lagi. Sama halnya dengan di Leupung, survei lapangan di Pulo Aceh juga didahului dengan pengurusan izin sekaligus pengenalan dan sosialisasi kepada aparat kecamatan. Kegiatan pada hari Foto 3.4.2.3. pertama di Pulo Aceh adalah Pengisian kuesioner oleh siswa SD di Leupung sosialisasi kepada aparat dan tokoh masyarakat setempat. Sejak hari pertama di Pulo Aceh survei rumah tangga sudah dimulai yaitu di sekitar tempat menginap di Ulee Paya. Pendekatan ke masyarakat di Ulee Paya tidak terlalu bermasalah, karena selain sudah tersosialisasi sebelumnya (oleh BRR dan kawan-kawan PMI), juga karena tim peneliti tinggal di tempat yang sama dengan penduduk yaitu di barak pengungsian. Pada hari ke dua barulah kita mulai dengan survei ke komunitas sekolah maupun individu/rumah tangga di Desa Gugop, yang lokasinya sekitar 6 km dari Desa Ulee Paya (sekitar 45 menit jalan kaki).



3.4.2.2. Kota Bengkulu Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, responden survei secara keseluruhan berjumlah 2.019 responden yang terbagi dalam 1400 responden rumah tangga, 460 responden siswa, 100 responden guru, 13 sekolah, 40 responden yang mewakili aparat pemerintah, 5 kuesioner untuk kecamatan dan 1 kuesioner untuk pemerintah Kota Bengkulu. Jenis kuesioner yang disebar untuk masing-masing kelompok berbeda. Kuesioner dengan seri-RT disebar kepada rumah tangga, kuesioner dengan seri-S1 untuk sekolah, kuesioner seri-S2 untuk guru, kuesioner seri-



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



79



79



S3 untuk siswa, kuesioner dengan seri-P2 untuk aparat pemerintah, kuesioner seri-P3 untuk kecamatan dan kuesioner seri P1 untuk pemerintah kota. Dalam melakukan survei rumah tangga dan sekolah, peneliti dibantu oleh 1 koordinator lapangan, 3 supervisor dan 25 interviewer. Koordinator dan supervisor berasal dari tenaga pengajar (dosen) yang bertugas di Laboratorium Administrasi Negara Fakultas FISIP-UNIB, sedangkan interviewer adalah mahasiswa dari fakultas yang sama. Sebelum pelaksanaan survei, setiap supervisor dan interviewer harus mengikuti training atau pelatihan selama satu hari yang bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap tujuan kajian dan instrumen kuesioner yang akan digunakan. Selanjutnya setiap interviewer diwajibkan untuk melakukan uji coba pengisian kuesioner kepada responden terpilih yang hasilnya kemudian akan menentukan keberlanjutan keikutsertaan interviewer dalam penyebaran kuesioner. Uji coba ini dimaksudkan agar interviewer dapat memahami isi dan cara pengisian kuesioner dengan baik. Untuk survei rumah tangga, peneliti dibantu 1 orang koordinator lapangan, 3 (tiga) orang supervisor dan 21 orang interviewer. Masing-masing supervisor bertanggung jawab atas satu sektor wilayah (utara, tengah dan selatan) dengan dibantu masing-masing oleh 7 (tujuh) orang interviewer. Interviewer bertugas melakukan pengisian kuesioner dengan menggunakan metode wawancara (tatap muka) terhadap rumah tangga terpilih dan bertanggung jawab terhadap kelengkapan pengisian dan kebenaran jawaban berdasarkan pengakuan responden. Sementara itu supervisor bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan, kebenaran dan keabsahan kuesioner yang telah diisi oleh interviewer berdasarkan hasil wawancara dengan responden terpilih. Dalam pelaksanaannya, apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan isian jawaban yang dianggap belum benar atau tidak lengkap, maka supervisor wajib meminta kembali pada pewawancara untuk melengkapi/mengklarifikasi jawaban sampai kelengkapan dan kebenarannya terpenuhi. Kuesioner yang telah diperiksa oleh supervisor kemudian diserahkan kepada peneliti yang kemudian melakukan pengecekan ulang terhadap semua kuesioner. Dengan demikian diharapkan keabsahan dan kelengkapan pengisian kuesioner terpenuhi. Disamping itu supervisor juga bertanggung jawab memintakan ijin kepada lurah untuk pelaksanaan survei di wilayahnya. Kegiatan survei untuk rumah tangga dilakukan selama 7 (tujuh) hari, dimulai satu hari setelah dilakukan training dan uji coba pengisian kuesioner (Jadwal terlampir). Pelaksanaan survei untuk semua sektor (utara, tengah dan selatan) dilakukan secara simultan, masing-masing sektor simulai dari kelurahan yang terdekat. Pelaksanaan survei untuk sektor selatan memerlukan waktu yang lebih lama satu hari dibandingkan dengan sektor utara dan selatan terkait dengan jarak serta sarana transportasi untuk mencapai lokasi lebih sulit dibandingkan dengan lokasi lainnya. Selama pelaksanaan survei, supervisor dan peneliti selalu melakukan komunikasi dan koordinasi terhadap permasalahan yang muncul di lapangan pada saat penyebaran kuesioner, sehingga pada akhirnya penyebaran kuesioner rumah tangga dapat berjalan lancar sesuai dengan rencana.



80



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Pelaksanaan survei komunitas sekolah dilakukan mulai tanggal 23-28 Mei 2006 terhadap kelompok siswa, guru dan sekolah. Penyebaran kuesioner untuk satu sekolah dilakukan pada hari yang sama dengan penyebaran kuesioner untuk guru dan siswa di sekolah yang bersangkutan. Cara pengisian kuesioner untuk komunitas sekolah Foto 3.4.2.4. dilakukan dengan prosedur Pengisian Kuesioner oleh yang berbeda dengan survei Siswa Sekolah SD di Kota Bengkulu rumah tangga. Untuk responden siswa pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh siswa yang bersangkutan dengan cara dipandu di depan kelas. Dalam hal ini peneliti dibantu oleh 3 (tiga) orang mahasiswa FISIP-UNIB yang bertanggung jawab terhadap penyebaran kuesioner untuk komunitas sekolah. Pada tingkat SD/sederajat kuesioner diisi oleh siswa kelas 5, tingkat SMP/sederajat oleh siswa kelas 2 dan tingkat SMA/ sederajat oleh siswa kelas 2. Pengisian kuesioner guru dilakukan sendiri oleh guru terpilih diawali dengan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari kajian. Kuesioner sekolah diisi oleh kepala sekolah atau yang mewakili. 81 Survei/angket untuk aparat pemerintah, pemerintah kecamatan, dan pemerintah kota dilakukan dengan cara yang berbeda dengan survei rumah tangga. Kuesioner untuk aparat diisi oleh aparat pemerintah dari 8 instansi yang terkait dengan kajian (daftar terlampir). Penyebaran kuesioner dilakukan oleh peneliti pada saat mengadakan wawancara dengan kepala dinas-kepala dinas. Kuesioner aparat dititipkan kepada kepala dinas untuk diberikan kepada staf-staf/karyawan yang berada dilingkungan kerjanya masing-masing. Kuesioner diambil 1 atau 2 hari kemudian setelah diisi dengan lengkap dan diperiksa oleh peneliti. Pengisian kuesioner untuk kecamatan dilakukan sendiri oleh peneliti dengan melakukan wawancara langsung dengan 5 orang camat di 5 kecamatan yang menjadi lokasi kajian. Sementara itu kuesioner pemerintah kabupaten (Seri P1) diberikan kepada Ketua Bappeda untuk kemudian diteruskan pada instansi-instansi terkait.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



81



Tabel 3.4.2.1. Jadwal Pelaksanaan Survei dan Jumlah Kuesioner di Kota Bengkulu No 1



2



3.



82



Uraian Rumah Tangga à Kecamatan Muara Bangkahulu o Kelurahan Beringin Raya o Kelurahan Rawa Makmur o Kelurahan Kandang Limun o Kelurahan Bentiring à Kecamatan Ratu Agung o Kelurahan Lempuing à Kecamatan Gading Cempaka o Kelurahan Jembatan Kecil o Kecamatan Dusun Besar à Kecamatan Kampung Melayu o Kelurahan Teluk Sepang à Kecamatan Selebar o Kelurahan Betungan o Kelurahan Pagar Dewa Sekolah à Setingkat SD o SD 27 o SD 32 o SD 60 o SD 71 o SD83 o MI Al-Islam o MI Darussalam à Setingkat SMP o SMP 12 o SMP 5 o SMP Serunting I o SMP 17 à Setingkat SMA o SMA I Lempuing o SMA 4 Aparat Pemerintah à Bappeda à Dinas Pendidikan à Dinas Ketenagakerjaan dan Sosial à Dinas Kesehatan à Dinas Komunikasi dan Informasi à Dinas Perhubungan à Dinas Setda à Satpol PP



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tanggal Pelaksanaan



Jumlah kuesioner 1400 466 161 119 140 46 280 280 187 140 47 280 280 187 140 47



22-28 Mei



22-28 Mei



22-28 Mei



Siswa 230 35 34 34 23 35 34 35 153 46 46 46 15 77 46 31



Guru 50 8 7 7 5 8 7 8 33 10 10 10 3 17 10 7 40 8 5 5 5 5 6 2 5



3.4.2.3. Kota Padang Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa survei dilakukan terhadap 2800 responden rumah tangga, 920 responden murid, 200 responden guru, 22 responden wakil dari masingmasing sekolah dan 80 responden yang berasal dari aparat pemerintah. Dengan demikian jumlah kuesioner keseluruhan sebanyak 4022. Survei terhadap 2800 rumah tangga dilakukan di sebelas (11) kelurahan oleh 39 interviewer yang disupervisi oleh 11 supervisor. Dengan demikian satu supervisor membawahi satu kelurahan dengan jumlah interviewer tiap kelurahan sebanyak 2- 5 orang. Interviewer bertugas melakukan wawancara terhadap responden rumah tangga terpilih dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur serta mengkoreksi kelengkapan dan kebenaran jawaban sesuai dengan jawaban yang diberikan oleh responden. Sedangkan supervisor bertanggung jawab terhadap kelengkapan kuesioner, baik dari segi jumlah maupun isi kuesioner berdasarkan hasil wawancara interviewer dengan responden. Kegiatan survei untuk rumah tangga dilakukan selama 13 hari dengan jadwal waktu serta perincian perolehan kuesioner terlampir.



83



Foto 3.4.2.5. Pelatihan Supervisor dan Interviewer di Kota Padang



Sementara untuk komunitas sekolah mempunyai prosedur pengisian kuesioner yang berbeda dengan rumah tangga. Untuk responden siswa, pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh siswa yang bersangkutan dengan dipandu oleh supervisor serta diawali dengan penjelasan dan petunjuk pengisian kuesioner. Untuk daftar pertanyaan yang diitujukan pada sekolah, yaitu kuestioner untuk guru dan wakil dari sekolah juga diisi sendiri oleh guru yang diawali dengan penjelasan serta maksud dan tujuan dari kajian. Demikian pula untuk responden yang berasal dari pemerintah juga diisi sendiri oleh responden, diawali dengan penjelasan dari peneliti mengenai maksud dan tujuan dari kajian serta penjelasan tentang kuesioner.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



83



3.4.3. Diskusi Kelompok Terfokus Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana alam, kajian ini juga melakukan Diskusi Kelompok Terfokus atau Focus Group Discussions (FGD). FGD dilaksanakan pada kelompok komunitas sekolah dan masyarakat di semua lokasi kajian, Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Kota Padang.



3.4.3.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar FGD digunakan sebagai instrumen penelitian untuk melengkapi data survei, untuk melakukan cek dan ricek isu yang berkembang, berkaitan dengan subyek penelitian. FGD juga dilakukan untuk dapat mempertemukan para tokoh masyarakat desa maupun sekolah, sehingga dapat menjaring pendapat beberapa pihak sekaligus. Sesuai dengan panduan FGD, tujuan FGD adalah: - Untuk memahami tingkat pengetahuan peserta FGD terhadap bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami - Untuk mengetahui kepedulian peserta terhadap kesiapsiagaan menghadapi bencana alam - Memahami tingkat kesiapsiagaan sekolah dan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Pelaksanaan FGD dipandu oleh seorang fasilitator (peneliti), diawali dengan pengarahan FGD (maksud dan tujuan FGD) oleh koordinator lapangan, pencatatan hasil diskusi dan diakhiri dengan menyimpulkan hasil diskusi. Dalam setiap FGD para peserta juga diberi kesempatan untuk menanyakan berbagai hal tentang bencana alam untuk menambah pengetahuan peserta, dan umumnya dijelaskan oleh peneliti dari geotek dengan bantuan in focus. FGD melibatkan semua tim peneliti serta tokoh-tokoh masyarakat setempat dan masyarakat sekolah. Beberapa kegiatan FGD terutama di Pulo Aceh dibantu oleh tim pewawancara, baik untuk memperlancar komunikasi dengan bahasa setempat, maupun dalam pencatatan hasil diskusi. Selama penelitian di lapangan, kegiatan FGD dilakukan sebanyak empat kali atau sekali pada setiap lokasi penelitian. FGD untuk kelompok masyarakat dilakukan sebanyak 3 kali yaitu di Desa Pulot, Gugop dan Ulee Paya. Sedangkan FGD untuk kelompok komunitas sekolah dilakukan sekali di Desa Dayah Mamplam. Sesuai dengan kondisi masyarakat Aceh yang baru mengalami bencana tsunami, maka penekanan FGD pada 4 aspek yaitu : - Pengetahuan masyarakat tentang bencana alam - Tanggapan masyarakat tentang lingkungan fisik dan tingkat kerawanan daerah terhadap bencana alam - Kepedulian masyarakat untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam - Inventarisasi keperluan masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana.



84



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Jalannya FGD Setiap pelaksanan FGD berlangsung selama lebih kurang 2 hingga 3 jam, yang dimulai dengan perkenalan masing-masing peserta dan latar belakang profesinya. Koordinator tim peneliti kemudian memaparkan maksud, tujuan dan sekilas proses FGD yang akan dilakukan. Sebagaimana telah dipahami sebelumnya, bahwa masyarakat di pesisir dan pulau tersebut memiliki cukup kendala dalam menggunakan bahasa Indonesia secara formal, di dalam diskusi terutama FGD masyarakat, dilakukan penerjemahan proses diskusi dengan bahasa setempat (Aceh) yang dibantu oleh asisten peneliti dan relawan PMI. Suasana diskusi juga dibangun lebih santai agar mencairkan kekakuan. Fasilitator FGD menggunakan metode kartu metacard dengan 5 pertanyaan kunci yang sederhana, untuk menggali pengetahuan dan pemahaman kesiapsiagaan bencana di sekolah dan masyarakat. Pertanyaan kunci tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5.



Apakah itu bencana? Apakah daerah kita rawan? Apa yang perlu dilakukan (dalam parameter framework: pengetahuan, kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya)? Apa kendala, masalah atau isu yang berkaitan dengan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana? Apa yang sudah dilakukan?



Dalam proses diskusi, fasilitator juga menggunakan ilustrasi-ilustrasi sederhana yang digambarkan di kertas karton atau kertas plano untuk membantu peserta memahami apa yang dimaksudkan dari pertanyaan – pertanyaan tersebut. Misalnya gambar bukit dengan batu besar menuju seseorang yang berada di kaki bukit (bahaya), lalu gambar batu besar tersebut yang menimpa orang (bencana – segala sesuatu yang menimbulkan kerugian jiwa maupun harta). Analogi-analogi lain juga sangat membantu proses FGD, untuk membedakan ‘bahaya’ dan ‘bencana’ sehingga peserta dapat memberikan masukan yang lebih baik.



Foto 3.4.3.1 Pendapat Perserta FGD Melalui Kartu



Metacard atau kartu-kartu dari karton berwarna berukuran kertas A4 yang di gunting menjadi 3 bagian, dibagikan kepada peserta untuk mengisi sendiri pertanyaan nomor 1 dan 2 sepengetahuan dan sepemahaman peserta. Metode ini dilakukan agar peserta tidak perlu khawatir atau sungkan untuk berbicara banyak di awal proses diskusi, dan dapat langsung menuangkannya ke dalam tulisan. Proses ini juga membantu menghemat alokasi waktu, tanpa perlu bergiliran LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



85



85



menanyakannya kepada masing-masing peserta. Berbagai hasil dari pendapat peserta yang dituangkan dalam diskusi di tempel di papan tulis, lalu hasilnya dipaparkan kembali sekilas oleh fasilitator. Pertanyaan nomor 2 hingga selanjutnya dilakukan sebagian saja dengan metacard, dan tidak diisi oleh seluruh peserta. Dua atau tiga tanggapan dari peserta dicatat oleh fasilitator pada metacard lalu ditempel, untuk kemudian dikomentari dan ditambahkan lebih lanjut oleh peserta. Kadangkala, dengan metode ini, diskusi berkembang lebih luas lagi dan masing-masing peserta sudah dapat lebih banyak berpendapat dengan suasana yang lebih cair. Masukanmasukan baru dari para peserta dituliskan kembali di kartu, dan ditempelkan kembali di papan tulis, sesuai kategori parameternya.



Foto 3.4.3.2. FGD Masyarakat di Aceh Besar



Pada setiap akhir tahapan diskusi, koordinator memaparkan kembali kesimpulan sementara dari hasil proses kelompok diskusi terfokus. Pemaparan ini memberikan gambaran yang lebih baik bagi masyarakat sendiri, bagaimana menyikapi dan menindaklanjuti kebutuhan pengetahuan dan kegiatankegiatan kesiapsiagaan berbasis masyarakat, serta bagaimana mencari solusi terhadap kendala yang telah dipetakan bersama.



Kendala utama dari proses ini adalah bahasa, dimana masyarakat lebih dapat mengeluarkan pendapatnya dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Istilah bencana dan bahaya serta beberapa terminologi umum dari kesiapsiagaan bencana juga belum terlalu familiar bagi masyarakat peserta diskusi. Istilah lokal yang tidak dipahami oleh tim peneliti dan fasilitator, juga menjadi kendala untuk mengungkapkan poin-poin penting dalam diskusi kesiapsiagaan masyarakat, seperti hutan bakau, erosi, abrasi, kerak bumi dan sebagainya. Untuk itu, tim peneliti dan fasilitator sedapat mungkin menyederhanakan bahasanya. Kendala lain adalah minimnya partisipasi perempuan dalam mengemukakan pendapatnya. Perlu upaya tambahan untuk mendapatkan partisipasi para perwakilan dan tokoh kaum perempuan, seperti perlu ditanya terlebih dahulu, dipancing dengan analogi dan cerita atau pertanyaan diarahkan langsung kepada perwakilan perempuan. Namun demikian untuk FGD komunitas sekolah di Riting, kendala-kendala diatas tidak banyak ditemui, dan partisipasi perempuan termasuk wali siswanya sangat baik.



86



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Beberapa catatan dalam pelaksanaan FGD : 1. FGD dengan masyarakat sekolah di Rintis, Desa Dayah Mamplam. Undangan sebanyak 15 orang hadir 9 orang, selebihnya adalah 5 orang peneliti dari LIPI, dan beberapa dari tim pewawancara. Peserta FGD terdiri dari kepala sekolah SMA, guru SD dan SMA, wali siswa, ketua posko Rintis dan wakil siswa SMP dan SMA, masing-masing 2 orang. Komite sekolah seperti tokoh masyarakat setempat hanya seorang yang hadir yaitu ketua posko Rintis. Banyak undangan yang tidak bisa hadir karena beberapa guru sudah mempunyai acara keluarga. Dalam FGD ini semua peserta aktif menyampaikan pendapatnya, termasuk peserta perempuan baik yang menjadi wali siswa SMP maupun siswi SMA. 2. FGD dengan masyarakat rumah tangga di Desa Pulot, Kecamatan Leupung. Jumlah peserta FGD mencapai lebih dari 20 orang yang datang secara bertahap. Peserta FGD sangat bervariasi, terdiri dari para tokoh maupun warga biasa mewakili pekerjaan/profesi yang beragam seperti nelayan, petani, pedagang, jasa, industri rumah tangga, guru, mahasiswa dan ibu rumah tangga. FGD juga dihadiri oleh kepala desa (Pak Geucik) , mantan kepala desa, guru SD Pulot, Ketua Posko desa, tokoh pemuda dan ibu-ibu PKK. Dalam FGD ini, peserta laki-laki maupun perempuan aktif mengemukakan pendapatnya, dan isu tentang rencana tanggap darurat dan kendala yang dihadapi banyak didominasi oleh para tokoh masyarakat, khususnya mantan kepala desa yang termasuk pemilik kebun di bukit tempat evakuasi. 3. FGD dengan para tokoh masyarakat di Desa Gugop, Kecamatan Pulo Aceh. FGD dihadiri oleh sekitar 13 orang tokoh dan warga masyarakat, termasuk kepala desa, tokoh agama, tokoh pemuda, guru SD, guru TPA/pengajian, kepala dusun/kesenian, ibu rumah tangga, siswa SMA dan pedagang/pengusaha. Selain warga masyarakat setempat, FGD juga disemarakkan oleh kehadiran para staf BRC yang sedang bertugas, sukarelawan PMI (tim pewawancara). Peserta perempuan diwakili oleh beberapa siswa dan guru bantu yang cenderung diam dan kurang berani mengemukakan pendapat di tengah kelompok laki-laki yang cenderung sangat vokal dan kritis. Beberapa tokoh masyarakat lain yang diundang (termasuk ibu-ibu PKK) tidak dapat hadir, karena kesibukannya mengikuti pelatihan tentang ’Operacy dan perencanaan mukim’ yang diselenggarakan oleh NGO asing (CRS) bekerja sama dengan yayasan lokal (Yayasan Pembangunan Masyarakat Aceh). Dari masing-masing desa mengirim 10 orang wakil untuk mengikuti training selama 6 hari, dan kebanyakan peserta latihan adalah para tokoh masyarakat desa. 4. FGD dengan tokoh masyarakat di Desa Ulee Paya. Jumlah tokoh dan warga masyarakat desa yang hadir lebih dari 20 orang, di luar tim peneliti LIPI (termasuk tim pewawancara). Peserta dari masyarakat sangat bervariasi dilihat dari jenis pekerjaan dan profesinya (sekretaris desa, kepala mukim, kepala sekolah/guru SD dan SMP, imam mesjid/meunasah, ibu rumah tangga, siswa SMP, pedagang, petani, dan nelayan). Kendala dalam FGD ini adalah banyak peserta yang kurang lancar berbahasa Indonesia, sehingga kurang percaya diri dalam LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



87



87



mengemukakan pendapat. Untuk mengatasi masalah bahasa, tim sukarelawan dari PMI banyak berperan untuk menterjemahkan beberapa pendapat yang diutarakan dalam bahasa lokal. Namun demikian adanya beberapa tokoh masyarakat yang sangat menonjol dan vokal (kepala mukim/guru, kepala sekolah, tokoh agama), menyebabkan diskusi cenderung didominasi sekelompok kecil peserta FGD.



3.4.3.2. Kota Bengkulu Sesuai dengan rencana, kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) di Kota Bengkulu dilakukan dua kali, yaitu dengan komunitas sekolah dan kelompok masyarakat.



FGD Komunitas Sekolah



Foto 3.4.3.3. FGD Komunitas Sekolah di Kota Bengkulu



FGD komunitas sekolah dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 25 April 2006, bertempat di Ruang Rapat Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kota Bengkulu. FGD dihadiri 5 sekolah: SD 20 dan SD 56, SMP 12 dan SMP 17, dan SMA 1 yang terdiri dari pimpinan sekolah, wakil guru, wakil komite sekolah dan wakil siswa atau dari OSIS. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposif berdasarkan letak sekolah dari pantai (dekat pantai SD 20, SMP 12 dan SMA 1 dan jauh dari pantai SMP 17), tingkat keunggulan sekolah (sekolah unggul SMP 12 dan sekolah bukan unggulan), pernah dan belum pernah mendapat sosialisasi gempa dan gedung sekolah yang sesuai dengan standar tahan gempa (SD 20) dan belum menggunakan standar tahan gempa. Kegiatan FGD yang dibuka oleh kepala tata usaha Dinas Diknas Kota Bengkulu difasilitasi oleh tim LIPI menggunakan panduan FGD. Diskusi berlangsung secara dinamis dimana semua peserta, termasuk pimpinan sekolah, guru, komite sekolah dan siswa terlibat aktif dalam diskusi. 88



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



FGD Masyarakat FGD Masyarakat dilaksanakan di Kelurahan Lempuing, Kecamatan Ratu Agung, pada tanggal 26 April 2006. Kegiatan FGD dihadiri 20 peserta yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat, seperti: tokoh masyarakat, tokoh pemuda, kelompok perempuan (anggota PKK), wakil nelayan, guru, perawat dan staf kelurahan. FGD di awali dengan penjelasan maksud dan tujuan diadakannya FGD oleh tim LIPI. Agar diskusi tidak didominasi oleh beberapa peserta saja dan agar semua peserta FGD berpartisipasi aktif, maka dilakukan sedikit modifikasi kegiatan FGD. Diskusi dilakukan dua tahap, tahap pertama diskusi pada kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu, baru kemudian tahap ke dua dilakukan diskusi pada kelompok yang melibatkan semua peserta.



Foto 3.4.3.4. FGD Masyarakat di Kelurahan Lempuing, Bengkulu



89



Diskusi kelompok kecil terdiri dari 4 kelompok yang membahas tentang: sejarah kejadian alam yang menimbulkan bencana di lingkungan masyarakat Lempuing, rencana masyarakat untuk keadaan darurat bencana, peringatan bencana dan pemenuhan kebutuhan dasar untuk keadaan darurat bencana. Masing-masing kelompok diberikan waktu berdiskusi dan menuliskan hasil diskusi tersebut di atas kertas yang telah disediakan. Hasil diskusi kemudian disampaikan dalam diskusi pleno dan kemudian didiskusikan kembali secara bersama-sama.



3.4.3.3. Kota Padang Focus group discussion (FGD) bertujuan untuk memahami tingkat pengetahuan peserta terhadap bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Disamping itu, FGD juga dimaksudkan untuk mengetahui kepedulian peserta terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana serta memahami tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



89



Untuk wilayah kajian Kota Padang, dilakukan dua kali FGD. FGD yang pertama dilakukan dengan kominitas sekolah dan kedua dengan masyarakat. FGD dengan komunitas sekolah dilakukan pada tanggal 19 April 2006, bertempat di Ruang Rapat Diknas Kota Padang yang dihadiri oleh kurang lebih 20 peserta.



Foto 3.4.3.5. FGD Komunitas Sekolah di Kota Padang



Para peserta FGD sekolah meliputi wakil guru dan siswa dari tingkat SD, SMP dan SMA negeri maupun swasta, wakil dari Komite Sekolah dan wakil dari OSIS. Selain itu FGD ini juga dihadari oleh serta staf dari Dinas Pendidikan Kota Padang bidang pendidikan dasar dan menengah. FGD dengan masyarakat dilakukan di Kelurahan Pasir Nan Tigo yang merupakan lokasi rawan terhadap terjadinya bencana tsunami. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 24 April 2006 yang dihadiri oleh 25 peserta, terdiri dari wakil tokoh masyarakat dan agama, wakil kelompok/ kelembagaan masyarakat, wakil kelompok ibu-ibu dan wakil kelompok pemuda (karang taruna) serta kepala desa dan staf kelurahan.



3.4.4. Workshop Kajian secara partisipatif dilakukan dengan metode workshop yang melibatkan komponenkomponen masyarakat. Kegiatan ini hanya dilaksanakan di tingkat kota, yaitu: Kota Bengkulu dan Padang. Tujuan workshop adalah untuk memahami tingkat pengetahuan masyarakat tentang kejadian dan bencana alam, khususnya gempa dan tsunami, dan tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya bencana. Dalam workshop ini dibahas tiga topik yang berkaitan dengan kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya bencana, yaitu:



90



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



1. Memahami tingkat pengetahuan dan kepedulian masyarakat dan pemerintah yang berkaitan dengan: - Kejadian alam yang menimbulkan bencana di Kota Bengkulu dan Padang - Kondisi dan tingkat kerentanan Kota Bengkulu dan Padang dari aspek lingkungan - Kondisi dan tingkat kerentanan sarana dan prasarana fisik, terutama fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat bencana - Kondisi dan tingkat kerentanan masyarakat - Persepsi, aspirasi dan motivasi untuk kesiapsiagaan bencana. 2. Mengkaji kebijakan, peraturan dan panduan yang telah dikeluarkan, sedang direncanakan/ diproses atau diperlukan untuk Kota Bengkulu dan Padang, termasuk: -



Organisasi/unit pengelola bencana alam Pendidikan dan penyadaran masyarakat Rencana untuk keadaan darurat bencana Sistim peringatan dini bencana Fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat Mobilisasi sumber daya Alokasi dana.



3. Mengkaji rencana tanggap darurat (emergency planning), pendidikan dan penyadaran masyarakat, antara lain: - Rencana untuk keadaan darurat bencana • Rencana evakuasi (peta, lokasi/tempat/gedung, jalur, rambu-rambu, latihan/simulasi evakuasi) • Pertolongan pertama • Penyelamatan (rescue) • Keamanan • Pemenuhan kebutuhan dasar • Fasilitas/sarana penting dan pelayanan masyarakat. - Pendidikan dan penyadaran masyarakat.



3.4.4.1. Kota Bengkulu Workshop dilaksanakan pada tanggal 27 April 2006 bertempat di Hotel Bumi Endah di Kota Bengkulu. Workshop dibuka pada jam 9.00 WIB oleh Walikota Bengkulu, Dr.Ir. Hariadi Rukmana dan dihadiri pejabat-pejabat Kota Bengkulu, seeperti: Sekretaris Daerah Kota Bengkulu, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



91



91



Komandan Kodim 0407, Para Kepala Dinas dan Kepala Kantor yang termasuk wilayah Kota Bengkulu. Peserta workshop terdiri dari 90 orang, berasal dari instansi pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan bencana (Bappeda, Satlak, Kesbangpol, Dinas Diknas, Dinas Pariwisata dan Infokom, Dinas Perhubungan, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, BMG Kepahyang, Dinas Kimpraswil, Balibangda, Dinas Tata Ruang, Dinas Pertambangan, Poltabes, Kodim, dan Lanal), LSM dan ORNOP (Walhi, PMI, Ulayat), Kelompok profesi (RAPI, Radio, TV, Inkindo, Dosen Ilmu sosial dan Teknik), Kelembagaan Masyarakat (Badan Musyawarah Adat/BMA, Ikatan Keluarga Melayu/IKM, Karang Taruna), Kelompok wanita (Koalisi Perempuan, IWAPI, PKK). Setelah acara pembukaan, kegiatan workshop dilanjutkan dengan pengantar worshop berupa penjelasan ringkas mengenai potensi bencana alam oleh Dr. Haryadi Permana, konsep kesiapsiagaan terhadap bencana oleh Dr. Krisna S.Pribadi. Penjelasan tentang kegiatan assessment dan workshop, termasuk pembagian peserta workshop kedalam tiga kelompok dan tugas masing-masing kelompok, dikemukakan oleh Dr. Deny Hidayati. Foto 3.4.4.1. Diskusi kelompok yang dipandu oleh Workshop di Kota Bengkulu fasilitator dari tim LIPI berlangsung dinamis dengan antusiasme peserta membahas topik kajian masing-masing kelompok. Hasil diskusi kelompok, kemudian dipersentasikan oleh wakil masing-masing kelompok.



Kelompok 1 yang mengkaji pengetahuan dan kerentanan masyarakat menyimpulkan: Bengkulu merupakan kota yang rawan terhadap bencana alam, kerentanan masyarakat terhadap bencana alam cukup tinggi, dan persepsi masyarakat tentang bencana masih rendah. Kelompok 2 dengan topik kebijakan dan panduan berkaitan dengan kesiapsiagaan membahas: (1) organisasi pengelola bencana (Satlak) di Kota Bengkulu yang belum Foto 3.4.4.2. berjalan efektif, karena belum jelasnya Diskusi kelompok pada kegiatan workshop di Kota Bengkulu 92



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



tugas dan tanggung jawab anggota satlak serta belum tersosialisasinya organisasi ini, (2) kebijakan organisasi pengelola dilakukan secara berjenjang, pendidikan masyarakat sangat diperlukan, baik secara formal melalui pendidikan dari tingkat SD maupun non-formal melalui media elektronik dan cetak, rencana tanggap darurat dan sistim peringatan bencana juga sangat diperlukan, serta alokasi dana untuk masing-masing kegiatan, dan (3) pentingnya kebijakan untuk perlindungan anak dan perempuan dalam kesiapsiagaan bencana. Kelompok 3 membahas rencana tanggap darurat. Kelompok ini menyepakati: perlunya rencana evakuasi, pertolongan pertama, penyelamatan dan bentuk-bentuk keamanan, pemenuhan kebutuhan dasar dan fasilitas penting untuk keadaan darurat. Pentingnya latihan dan simulasi/ gladi evakuasi serta pendidikan masyarakat juga mengemuka dalam diskusi kelompok ini. Selain itu juga dibahas siapa atau instansi/lembaga apa saja yang terlibat dan bertanggung jawab dalam masing-masing kegiatan dan perlunya kerjasama dan koordinasi antar lembaga, misalnya dengan tim SAR, PMI, Pramuka, Kodim, dan Polri untuk kegiatan evakuasi dan pertolongan pertama, dan Dinas Sosial Kota, Pramuka, Lurah/RW/RT dan LSM untuk pemenuhan dan distribusi kebutuhan dasar. Rangkuman hasil workshop dikemukakan oleh Dr. Ir. Febrin dan Dr. Titik Kartika pada sesi akhir sebelum penutupan yang meliputi: 1. Kota Bengkulu merupakan daerah rawan terhadap bencana alam dalam bentuk banjir, gempa bumi dan angin kencang 2. Kesadaran penduduk untuk mengantisipasi terjadinya bencana masih rendah, karena itu perlu sosialisasi secara efektif dan efisien 3. Organisasi yang menangani bencana tidak efektif karena tupoksi tidak jelas, untuk itu perlu diperjelas tentang tanggung-jawab masing-masing anggota 4. Perlu kebijakan sosialisasi bencana melalui bidang pendidikan, media formal dan nonformal 5. Perlu kebijakan anggaran untuk rencana tanggap darurat 6. Perlu kebijakan untuk pembuatan peta jalur evakuasi 7. Perlu kebijakan khusus terhadap perempuan dan anak-anak 8. Perlunya sistem peringatan dini yang didukung oleh semua elemen, pemerintah, masyarakat dan dunia usaha 9. Perlu sistem pertolongan pertama, pengamanan, pemenuhan kebutuhan dasar dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada 10. Perlunya sistem pengamanan masyarakat yang dapat berfungsi dengan baik pada saat terjadinya bencana 11. Perlu manajemen yang baik dalam rangka menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



93



93



3.4.4.3. Kota Padang Workshop tentang Kesiapsiagaan Masyarakat Menghadapi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Kota Padang dilakukan pada tanggal 20 April 2006 dengan dihadiri oleh sekitar 70 peserta yang mewakili instansi pemerintah kota, pemerintah kecamatan, TNI, SAR, kelompok profesi, LSM dan ORNOP, kelompok perempuan sektor swasta dan wakil dari kelompok media elektronik dan cetak. Tujuan workshop adalah untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan tentang bencana alam, khususnya gempa dan tsunami, dan kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Selain itu, dari kegiatan workshop ini dapat diketahuai tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah Kota Padang dalam menghadapi bencana. Untuk mencapai tujuan workshop para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok diskusi. Kelompok pertama membahas mengenai masalah pendidikan, dan pengetahuan terkait dengan bencana alam dan kesiapsiagaan. Kelompok kedua membahas tentang kebijakan, peraturan dan panduan kesiapsiagaan menghadapi bencana dan kelompok ketiga membahas tentang rencana tanggap darurat.



3.4.5. Wawancara Mendalam Sesuai dengan panduan wawancara mendalam, kegiatan ini dilakukan dengan key informants dari stakeholders utama dan pendukung kesiapasiagaan masyarakat di semua lokasi kajian. Kegiatan wawancara bervariasi antar lokasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di masingmasing lokasi.



3.4.5.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar Wawancara mendalam dilakukan untuk melengkapi data yang sulit diperoleh dari survei berstruktur, mendalami permasalahan dan isu tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan mendapatkan data dasar baik di lokasi penelitian maupun di sekolah terpilih.Wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat, baik formal maupun non formal yang terkait dengan subyek penelitian, dilakukan oleh tim peneliti. Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya. Wawancara menggunakan beberapa pedoman, disesuaikan dengan target sasaran, antara lain: untuk kesiapsiagaan tingkat desa (kepala desa/wakil, Camat/Sekcam, tokoh masyarakat dan tokoh agama), kesiapsiagaan sekolah (Kepala sekolah/guru), LSM, organisasi kemasyarakatan, sektor swasta dan kelompok profesi. Untuk lokasi perdesaan Aceh, hanya dua pedoman wawancara yang digunakan yaitu untuk aparat desa dan komunitas sekolah, karena informan untuk kelompok lainnya tidak ditemukan di lokasi penelitian. Pedoman wawancara ini juga bersifat fleksibel agar mudah dikembangkan oleh peneliti untuk menggali informasi yang dibutuhkan.



94



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Jumlah informan untuk wawancara mendalam disesuaikan dengan kebutuhan penggalian informasi dan keberadaan informan sendiri selama penelitian. Sebagai daerah dengan kondisi darurat akibat bencana tsunami, dan masih menempati barak pengungsian, banyak informan sasaran yang tidak berada di lokasi atau jarang datang, karena berbagai alas an, seperti belum memiliki rumah tinggal, sulit transportasi dan kesibukan lainnya. Dari 4 desa sampel, hanya satu desa yang kepala desanya dapat diwawancarai. Selebihnya sulit ditemui karena umumnya baru menjabat atau tidak berada di lokasi penelitian. Demikian pula untuk komunitas sekolah, banyak guru tetap, terutama di Pulau Breuh (Kecamatan Pulo Aceh) yang belum aktif mengajar, meskipun hampir Foto 3.4.5.1 semua kepala sekolah atau wakilnya Wawancara dengan kepala sekolah dapat diwawancarai. Wawancara mendalam juga sering dilakukan terhadap kelompok kecil informan, seperti tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda, ibu-ibu dan guru-guru. Di Desa Dayah Mamplam, lokasi kajian yang mengalami korban jiwa terbesar di Kecamatan Leupung, wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat sangat terbatas, karena banyak tokoh yang menjadi korban bencana. Wawancara mendalam hanya berhasil dilakukan dengan sekretaris desa, wakil posko desa (dihadiri beberapa anggota masyarakat lain) dan ketua posko pengungsian Rintis. Di Desa Pulot, banyak tokoh masyarakat yang dapat dijumpai, seperti kepala desa (baru 3 bulan menjabat kepala desa), sekretaris desa, mantan kepala desa (mengundurkan diri), kepala sekolah /guru, kepala posko desa, dan beberapa tokoh masyarakat lainnya. Demikian pula untuk komunitas sekolah, kepala sekolah dan beberapa guru ketiga sekolah (SD, SMP dan SMA) berhasil diwawancarai di sela-sela waktu mereka mengajar. Tokoh masyarakat lain di Kecamatan Leupung yang menjadi informan adalah Camat, Sekretaris Camat dan Kasi Tantib. Meskipun jumlah LSM yang beraktivitas di Kecamatan Leupung cukup banyak, namun tidak ada satupun LSM yang aktivitasnya berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana, sehingga tidak ada yang menjadi informan. Semua LSM (lokal maupun asing) mempunyai aktivitas untuk rehabilitasi dan konstruksi Aceh, seperti perumahan, sarana pemerintah, dan sarana publik lainnya (pendidikan, kesehatan, lingkungan dan peribadatan), antara lain Usaid, Plant, ADB, World Vision, UN Habitat, Oxfam dan Islamic Relief. Keadaan ini disebabkan semua fasilitas publik dan perumahan rata dengan tanah akibat bencana tsunami. Sehingga kesibukan di lokasi adalah pembangunan fasilitas fisik, seperti: perumahan dan fasilitas lainnya. Wawancara mendalam untuk Kecamatan Pulo Aceh lebih terbatas dibandingkan Leupung. Absennya para tokoh desa selain karena kondisi yang sangat darurat yaitu hampir tidak ada LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



95



95



fasilitas publik dan perumahan yang tersisa (semua fasilitas yang ada berupa barak pengungsian atau bangunan sementara), juga banyak tokoh desa sedang mengikuti pelatihan perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi daerah selama 6 hari. Pelatihan diselenggarakan oleh yayasan lokal (Yayasan Pembangunan Pulo Aceh) bekerja sama dengan NGO (British Red Cross). Peserta latihan dari 10 desa dan tiap desa mengirimkan 10 orang wakil yang umumnya para tokoh desa di kecamatan tersebut. Untuk menutup kekurangan informan dalam wawancara mendalam, di setiap desa dilakukan FGD bersama tokoh masyarakat, kecuali Desa Dayah Mamplam dimana FGD dilakukan bersama komunitas sekolah. Seperti di Kecamatan Leupung, jumlah NGO yang beraktivitas di Pulo Aceh juga banyak, baik lokal maupun asing. NGO yang menonjol beroperasi di lokasi penelitian (Ulee Paya dan Gugop) adalah BRC (perumahan dan fasilitas publik), sedangkan di lokasi lain adalah Up-Link, Aceh Relief serta Yayasan Pembangunan Pulau Aceh. Beberapa informan yang berhasil untuk diwawancarai di kedua lokasi penelitian adalah Camat Pulo Aceh, kepala desa/sekdes, tokoh agama/adat, tokoh pemuda (beberapa orang), tokoh nelayan, bidan desa (baru 3 bulan), ibu PKK, kepala sekolah (SD/SMP) dan beberapa guru tetap di kedua sekolah. Untuk bapak Camat selain wawancara mendalam, juga mengisi angket kesiapsiagaan daerah menghadapi bencana. Tidak banyak NGO yang menjadi informan dalam wawancara mendalam, karena pada umumnya NGO memfokuskan operasinya di Aceh ke program rehabilitasi dan konstruksi. British Red Cross (BRC), termasuk NGO yang mempunyai agenda untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana sejalan dengan kegiatan pokoknya yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi Pulo Aceh. PMI dan Palang Merah Internasional lainnya juga berkaitan dengan kegiatan mengurangi resiko akibat bencana, misalnya pelatihan untuk pertolongan pertama. Sedangkan organisasi masyarakat, seperti: Karang Taruna, PKK, kelompok pengajian, Julujulu (semacam arisan) dan kelompok kesenian belum pulih aktivitasnya, selain karena banyak tokoh yang menjadi korban bencana, juga menunggu sampai meninggalkan lokasi pengungsian. Salah satu tokoh PKK di Desa Gugop (Pulo Aceh) sulit diwawancarai akibat trauma bencana tsunami yang telah banyak membawa korban keluarga dan harta bendanya.



3.4.5.2. Kota Bengkulu Di kota Bengkuku, wawancara mendalam dilakukan dengan (1) pejabat atau yang mewakili dari instansi pemerintah, termasuk: ketua Bappeda, kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, kepala bagian Kesra yang mengelola Satlak Kota Bengkulu, kepala Dinas Kesehatan, staf Pemadam Kebakaran, kepala Satpol PP, komandan Kodim 0407 yang menjadi wakil ketua Satlak, wakil kepala Laksda Lanal, kepala opersi Polri, Pemadam Kebakaran, lurah Pagar Dewa Kecamatan, Lurah Lempuing Kecamatan Ratu Agung, (2) komunitas sekolah: wakil kepala sekolah dan guru SMA I, wakil kepala sekolah dan guru SMP 12, guru SD 20, guru SD 61, pembina pramuka Provinsi Bengkulu, (3) kelembagaan dan tokoh masyarakat: ketua RT 10 Kelurahan Malabro, ketua RT 1 Kelurahan Teluk Sepang, anggota LPM Teluk Sepang, Badan Musyawarah Adat (BMA), (4) LSM dan ORNOP: Walhi, PMI, CCR, (5) kelompok profesi: RAPI, Dosen Ilmu Sosial Universitas Bengkulu, dan (6) Pihak swasta: GAPENSI. 96



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Foto 3.4.5.2 Wawancara dengan Ketua RT di Keluruhan Lempuing



Foto 3.4.5.3 Wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah dan Guru SMA I, Bengkulu



Wawancara dengan key informants dari instansi pemerintah terutama mengkaji kesiapsiagaan pemerintah untuk mengantisipasi bencana dengan fokus yang bervariasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tufoksi) masing-masing instansi. Wawancara dengan ketua Bappeda lebih ditekankan pada kerentanan kota terhadap bencana alam dan rencana pemerintah Kota Bengkulu berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, seperti: tempat-tempat evakuasi, sistim peringatan bencana dan alokasi dana, dan dengan pengelolaan bencana, seperti rencana tata ruang kota yang berkaitan dengan mitigasi bencana. Wawancara dengan kepala bagian kesra setda Kota Bangkulu membahas organisasi pengelola bencana (Satlak), implementasi dan permasalahan yang dihadapi, rencana tanggap darurat dan sistim peringatan bencana. Wawancara dengan kepala Diknas difokuskan pada kebijakan, program dan kegiatan pendidikan untuk kesiapsiagaan bencana, apa saja yang sudah dilakukan dan sedang direncanakan, serta kerentanan bangunan fisik sekolah. Sedangkan fokus wawancara dengan kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial adalah rencana tanggap darurat, khususnya pemenuhan kebutuhan dasar pada keadaan darurat bencana, termasuk penyediaan bahan pangan, tenda-tenda dan keperluan dapur umum untuk keperluan pengungsian. Untuk Dinas Kesehatan, wawancara diarahkan pada rencana tanggap darurat, khususnya yang berkaitan dengan pertolongan pertama dan pelayanan kesehatan bagi korban bencana, fasilitas yang tersedia dan kemampuan (jumlah dan keahlian) dokter dan paramedis di Kota Bengkulu. Wawancara dengan Dandim, Laksda, kepala Satpol PP dan kepala bagian operasi Polri membahas rencana tanggap darurat, khususnya keamanan dan pengamanan pada kondisi darurat, dan sistim peringatan bencana. Di samping fokus kajian sesuai dengan tupoksi masing-masing instansi, wawancara juga diarahkan pada pemahaman mereka tentang kejadian alam yang berpotensi menimbulkan bencana dan mobilisasi sumber daya di masing-masing instansi untuk kesiapsiagaan bencana, serta peran masing-masing dan koordinasi antar instansi dalam organisasi pengelola bencana (satlak). Seperti wawancara dengan informan dari pemerintah, wawancara dengan komunitas sekolah lebih difokuskan pada kesiapsiagaan sekolah untuk mengantisipasi bencana. Wawancara diawali dengan pemahaman informants mengenai kerentanan sekolah terhadap bencana alam dan pemahaman siswa dan guru tentang kejadian dan bencana alam. Kemudian wawancara mengarah pada kebijakan, program dan kegiatan kesiapsiaagaan apa yang telah dilakukan dan direncanakan LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



97



97



di sekolah, termasuk rencana tanggap darurat, sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya sekolah. Kegiatan wawancara dengan kelembagaan dan tokoh masyarakat dimulai dengan pengalaman mereka ketika mengalami bencana gempa pada tanggal 4 juni tahun 2000. Gempa kuat berskala 7,9 richter tersebut telah memporak-porandakan Kota Bengkulu menyebabkan banyak korban jiwa (sekitar 200 orang untuk Provinsi Bengkulu), menghancurkan rumah, bangunan dan fasilitas umum. Berdasarkan pengalaman tersebut, kemudian wawancara mulai diarahkan kepada kesiapsiagaan masyarakat, termasuk rencana untuk keadaan darurat, sistim peringatan bencana, dan potensi serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sedangkan untuk LSM dan Organisasi Non Pemerintah (ORNOP), wawancara lebih terfokus pada peran LSM dan ORNOP, terutama berkaitan dengan kegiatan masing-masing, seperti: Walhi yang menekankan pada kegiatan pendidikan publik dan PMI yang berkaitan dengan rencana tanggap darurat, khususnya pertolongan dan penyelamatan korban bencana serta pelayanan pada saat keadaan darurat. Fokus bahasan dalam wawancara juga dilakukan pada stakeholder kelompok profesi dan pihak swasta. Wawancara dengan ketua dan anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) ditekankan pada peran RAPI dalam kesiapsiagaan masyarakat, terutama penyebar-luasan informasi tentang bencana dan peringatan bencana. Peran RAPI sangat penting, terutama dalam keadaan darurat, menurut pengalaman aliran listrik biasanya mati, sehingga informasi melalui TV dan Radio terhambat. Demikian juga dengan jaringan telekomunikasi mengalami kerusakan, penggunaan telpon dan HP juga terputus. Dalam kondisi seperti ini, RAPI merupakan alternatif untuk kegiatan komunikasi dan informasi kebencanaan. Sedangkan wawancara dengan pihak swasta dari GAPENSI lebih difokuskan pada kerentanan dan ketahanan fisik bangunan perumahan dan fasilitas-fasilitas penting, seperti: rumah sakit, sekolah, perkantoran dan pusatpusat perdagangan. Wawancara juga diarahkan pada peran pihak swasta dalam kesiapsiagaan bencana, penyebar-luasan informasi dan penerapan standar bangunan tahan gempa.



3.4.5.3. Kota Padang Untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman permasalahan berkaitan dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana dari berbagai stakeholders dalam kajian ini juga dilakukan wawancara dengan berbagai narasumber. Nara sumber yang diwawancara untuk kajian di Kota Padang berasal dari berbagai instansi, institusi dan wakil dari kelompok profesi dan kelembagan masyarakat. Narasumber dari instansi Pemerintah Kota Padang, yaitu: Setda, Bappeda, Bakominfo, Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, DPRD dan unsur TNI yang ada 98



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Foto 3.4.5.4. Wawancara dengan Guru-guru SD Pasie Nan Tigo, Padang



di Kota Padang, diantaranya komandan Kodim. Dari perwakilan LSM dan ORNOP narasumber yang diwawancarai diantaranya adalah pengurus LSM Kogami (Komunitas Siaga Tsunami) dan wakil dari PMI Kota Padang. Narasumber dari kelompok profesi meliputi wakil dari kelompok SAR, Orari, RAPI dan Padang Press Club (Lihat Tabel Agenda Penelitian).



3.4.6. Anggota Tim 3.4.6.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar Kajian di lapangan untuk daerah perdesaan Aceh Besar dilakukan sepenuhnya oleh 5 orang tim peneliti dari LIPI, yaitu: 2 orang dari PPK-LIPI, seorang dari Geotek, dan 2 orang dari COREMAP-LIPI. Tiga peneliti lainnya yaitu 2 orang dari ITB dan seorang dari Universitas Andalas menyusul bergabung dan tidak sepenuhnya berada di lokasi penelitian, karena kesibukannya di dua lokasi asesmen lainnya yaitu Padang dan Bengkulu. Untuk pelaksanaan survei, tim peneliti dibantu oleh seorang asisten lapangan dari Banda Aceh, yang memiliki latar belakang pengalaman tidak langsung dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana. Selama pelaksanaan kajian di lapangan tim peneliti juga dibantu 7 orang pewawancara dari tim sukarelawan PMI Cabang Aceh Besar. Pada umumnya mereka berpendidikan minimal SLTA dan mempunyai banyak pengalaman dalam kegiatan kemanusiaan di berbagai bencana, serta pelatihan masyarakat dalam mengurangi resiko bencana, seperti pelatihan P3K di sekolah. Dalam berbagai kesempatan tim pewawancara juga membantu tim peneliti dalam kegiatan lainnya, seperti sosialisasi ke masyarakat di lokasi penelitian, pendamping dan sebagai perantara dalam memahami bahasa/istilah lokal dalam wawancara atau diskusi terfokus, terutama di Pulo Aceh. Selama di Pulau Breuh, tim peneliti dan tim pewawancara tinggal bersama di lokasi barak pengungsian Desa Ulee Paya, yang juga merupakan tempat tinggal sebagian penduduk yang menjadi sasaran kajian di Pulo Aceh.



3.4.6.2. Kota Bengkulu Susunan organisasi penelitian ‘Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantipasi Bencana’ di Kota Bengkulu terdiri dari 1 orang ketua tim penelitian, 3 orang anggota peneliti, 1 orang staf pendukung peneliti, 1 orang koordinator lapangan, 3 orang supervisor lapangan dan 25 orang interviewer. Adapun nama, jabatan dan instansi anggota peneliti di Kota Bengkulu tersebut tersaji pada tabel berikut :



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



99



99



4



HASIL KAJIAN



Pulau Sumatera terbentuk sebagai akibat penunjaman lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia. Penunjaman lempeng tersebut membentuk jajaran gunung-gunung api dan perbukitan volkanik yang dikenal dengan Bukit Barisan sepanjang daratan Sumatera dan patahan Sumatera (SF) yang membelah daratan Sumatera (Natawidjaja, 2004). Jauh di lepas pantai barat Sumatera, penunjaman lempeng membentuk kepulauan Mentawai yang dipisahkan dari daratan Sumatera oleh patahan Mentawai (MF) yang berada di dasar laut (Diament dkk., 1992, gambar 4.1) dan cekungan busur muka (fore arc basin). Sistem sesar Mentawai adalah sesar mendatar terbentuk mulai dari sekitar Lampung menerus hingga ke sekitar Nias di utara. Kegiatan konvergensi lempeng masih aktif sampai sekarang menimbulkan kegiatan kegunungapian dan kegempaan di sepanjang jalur patahan dan penunjaman lempeng. Gambar 4.1 memperlihatkan jalur penunjaman, patahan dan penyebaran gunung api di Pulau Sumatera, sedangkan gambar 4.2 memperlihatkan penyebaran rekaman kegempaan sampai dengan tahun 2004 menurut hasil pengukuran BMG.



103



Sumber : Natawidjaja, 2004 dan Diament dkk., 1992 Gambar 4.1. Unsur Tektonik Daerah Sumatera: Patahan Sumatera (SF) di Daratan Sumatera dan Jalur Gunung Api (Bukit Barisan, segitiga hitam), Zona Sesar Mentawai (MFZ) di Kawasan Lepas Pantai Sumatera Barat



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



103



Sumber : BMG dan Bakosurtanal, 2004



Gambar 4.2. Sebaran Gempa Bumi Periode 1973-2004 di Kawasan Indonesia



Sumatera merekam kejadian gempa bumi tektonik yang cukup merusak di kawasan barat Indonesia. Banyak dari gempa bumi tersebut berkekuatan diatas 6Mw, baik bersumber di sepanjang patahan Sumatera maupun sepanjang kepulauan Mentawai. Tabel 4.1 memperlihatkan catatan kejadian gempa bumi yang beberapa diantaranya menimbulkan tsunami, seperti di Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004. Fakta kejadian alam dan bencana tersebut di atas merupakan salah satu alasan mengapa kajian kesiapan masyarakat menghadapi bencana dilakukan di kawasan Sumatera. Tabel 4.1. Rekaman Kejadian Gempa Bumi dan Tsunami di Sumatera Gempa bumu di daerat Tahun



1822



1892 1893 1900



104



Payakumbuh



Sibolga Lahat Lubuklinggau



Tahun 1997 1999 1818 1833 1843 1861 1864 1904



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Gempa bumi di laut Kekuatan (Mw) Sipora Pagai 8,4 Sumatera Bengkulu Sipora Pagai, 8,7 Bengkulu Sumut, Gn. Sitoli Nias, P. Batu, Padang 8,5 Padang, Batu Sumatera Barat: Sirisir Lokasi



Tsunami Ya



Ya Ya



Gempa bumu di daerat 1908 Bandarlampung 1909 Sungaipenuh 1916 1921 1926 1933 1936 1942 1943 1952 1964 1967 1984 1990 1994 1995 1997 2006



Balige Singkel Batusangkar Pagaralam Kutacane Curup Sawahlunto Gn Seblat Banda Aceh Bireun Tarutung Takenon Liwa Kerinci Gayo Lues Lampung



1907 1908 1909 1914



Gempa bumi di laut Pantai barat Sumatera Sumatera Barat Kerinci Jambi 7,3 Bengkulu



1935 1936



Pulo Batu Sumatera



7,7 7



Sigli



6,5



Enggano, Bengkulu Simelue Simelue Nias, Siberut



7,8 7,6 9



Ya



1946



1967 1973 1981 2000 2002 2004 2005



Ya



Sumber : Natawidjaja, 2002, 2004 dan Latief 2005



Pada kondisi aktual, kegiatan manusia, proses pelapukan dan erosi mengakibatkan berubahnya bentuk bentang alam. Kemudian perubahan tata guna lahan akibat penebangan hutan, pertanian dan perkebunan telah meningkatkan proses erosi tersebut. Bahan-bahan erosi melalui aliran sungai maupun pantai kemudian diendapkan membentuk bentang alam dataran. Pengendapan sebagian ke arah timur Bukit Barisan membentuk dataran sisi timur Sumatera dan sebagian membentuk dataran sisi barat Sumatera. Bengkulu, Padang dan Kecamatan Leupung merupakan kota-kota dan perdesaan yang terletak di sisi barat dataran Sumatera, sementara itu Pulau Aceh atau Pulau Brueh/Pulau Beras merupakan kepulauan yang terbentuk akibat kegiatan gunung api yang sekarang sudah tidak aktif dan batuan karang disepanjang pantai.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



105



105



106



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



4.1. PERDESAAN KABUPATEN ACEH BESAR 4.1.1 Karakteristik Area Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu wilayah yang parah dan banyak korban jiwa, akibat bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004. Demikian juga jumlah pengungsi terbesar berasal dari wilayah kabupaten ini yaitu sekitar 46.998 orang atau 22,4 persen dari seluruh pengungsi di Provinsi NAD. Namun dilihat dari persentase jumlah pengungsi terhadap jumlah penduduk, wilayah ini termasuk terbesar keempat di Provinsi NAD yaitu sekitar 16 persen (BPS, 2005). Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh, merupakan 2 dari 8 kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang terpilih sebagai lokasi penelitian, mewakili kawasan daratan dan kepulauan. Berdasarkan data statistik kecamatan (Leupung Dalam Angka Tahun 2003), Kecamatan Leupung dengan ibukota Leupung, terdiri dari 6 gampong (desa), dan termasuk dalam satu mukim dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah utara adalah Kecamatan Lhoknga, sebelah selatan Kecamatan Lhoong, sebelah barat adalah Samudra Indonesia dan di sebelah timur adalah Kecamatan Indrapuri dan Cot Glie. Luas wilayah Kecamatan Leupung sekitar 7,600 Km2 (7,6 Ha), dengan area terluas adalah Desa Dayah Mamplam (1820 Km2) dan Desa Pulot (1510 Km2). Jarak kota kecamatan dari Banda Aceh sekitar 16 Km, sedangkan dari kota kabupaten sekitar 76 km. Dari kantor Kecamatan Leupung, Desa Dayah Mamplam berjarak sekitar 1,2 km dan Desa Pulot sekitar 7 km. Kecamatan Pulo Aceh dengan ibukota Lampuyang terdiri dari 17 gampong (desa) dan 3 mukim dengan luas wilayah adalah 24,075 Km2 atau 24.075 Ha. Batas-batas wilayah kecamatan adalah di sebelah utara Selat Malaka, dan di sebelah selatan, barat dan timur adalah Samudra Indonesia. Dua lokasi yang menjadi sampel penelitian yaitu Desa Ulee Paya dan Desa Gugop di Pulau Breuh, keduanya termasuk dalam Mukim Pulau Breuh Selatan yang luas areanya sekitar 17058 Km2. Jarak Desa Ulee Paya sekitar 11 Km dari kota kecamatan dan sekitar 98 km dari kota kabupaten. Sedangkan jarak Desa Gugop dari kota kecamatan dan kota kabupaten, masingmasing sekitar 6 Km dan 88 Km. (Pulo Aceh Dalam Angka, 2003). Letak geografis dari lokasi kajian ini dapat dilihat pada Gambar 4.1.1.1.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



107



107



4.1.1.1 Kondisi Lingkungan Lokasi daerah kajian adalah Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), terdiri dari 2 (dua) kecamatan yaitu Kecamatan Leupung yang mewakili kawasan Aceh Daratan dan Kecamatan Pulo Aceh yaitu di Pulau Brueh yang secara geografis terletak pada koordinat 5° 40’-5°45 LU; 95° 00’-95° 10 BT. Untuk lokasi Kecamatan Leupung diwakili oleh 2 desa yaitu Desa Dayah Mamplam dan Desa Pulot, sedang Kecamatan Pulo Aceh diwakili oleh Desa Gugop dan Desa Ulee Paya yang terletak di Pulau Brueh (Gambar 4.1.1.1).



U



Lokasi Kajian Kecamatan Leupung



Lokasi Kajian Kecamatan Pulo Aceh



Sumber: Natawidjaja, 2002, 2004 dan Latief , 2005 Gambar 4.1.1.1. Peta Lokasi Daerah Penelitian



Secara fisiografis, Pulau Breuh dan Leupung terletak di kawasan pantai barat Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Desa-desa tersebut secara umum dibentuk oleh endapan aluvial yang terdiri dari material pasir, lempung dan lanau yang bersifat lunak dan belum mengalami perkerasan. Perbukitan yang membatasi dataran pantai umumnya dibentuk oleh batuan yang lebih keras, yaitu batu gamping/batu kapur, batuan gunung api berupa lava dan breksi gunung api serta batupasir (Gambar 4.1.1.2). 108



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kawasan tersebut di atas termasuk daerah yang paling parah akibat terkena bencana gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Hal ini disebabkan jarak yang sangat dekat dengan sumber/pusat gempa yang disusul dengan gelombang tsunami. Secara geologis (Gambar 4.1.) merupakan daerah yang sangat rawan terhadap bencana gempa dan tsunami, hal ini antara lain dipengaruhi oleh: 1. Adanya gempa-gempa yang disebabkan pergerakan saling bertemu antara lempeng Hindia dan lempeng Eurasia yang terdapat di bagian barat (Samudra Hindia). 2. Adanya gempa-gempa yang disebabkan oleh pergerakan patahan aktif Sumatera segmen Aceh yang melalui area di sekitar Banda Aceh. Permukiman masyarakat yang terdapat di kedua kecamatan tersebut sebagian besar terletak pada dataran aluvial yang didominasi oleh pasir pantai yang bersifat lepas dan belum mengalami perkerasan. Ditinjau dari aspek kegempaan, maka bangunan yang terdapat di daerah ini sangat rawan terhadap goncangan gempa bumi. Hal ini disebabkan gelombang gempabumi yang mengenai lapisan pasir ini mengalami “amplifikasi” (perbesaran). Dengan demikian goncangannya lebih keras sehingga bangunan-bangunan yang berdiri pada tanah ini menjadi mudah roboh karena getaran terebut. Disamping itu terjadinya amblesan-amblesan yang disebabkan oleh proses “likuifaksi” pada pasir yang terkena getaran gelombang gempa sangat umum dijumpai dan bila terisi oleh air membetuk rawa-rawa kecil. Lokasi penelitian pertama adalah Kecamatan Leupung yang terletak di kawasan pantai barat bagian utara Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia di bagian baratnya (Gambar 4.1.1.1). Jarak kecamatan ini lebih kurang 35 Km dari kota Banda Aceh dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan waktu tempuh kira-kira 1 hingga 1,5 jam. Di bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Lhok Nga, bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Loong, sedang bagian timur berbatasan dengan perbukitan curam yang dibentuk oleh batu gamping/batu kapur (Gambar 4.1.1.2 dan Foto 4.1A-4.1D). Untuk Kecamatan Leupung lokasi kajian difokuskan di Desa Dayah Mamplam dan Desa Pulot. Desa-desa tersebut mengalami kerusakan yang sangat parah akibat gempa dan tsunami tahun 2004. Pembangunan sarana perumahan dan fasilitas umum lainnya seperti sekolah, puskesmas hingga kini masih berlangsung terus. Selama menunggu pembangunan perumahan selesai, sebagian besar masyarakat masih berada di tempat pengungsian sementara. Secara umum daerah permukiman Desa Dayah Mamplam dan Pulot terletak pada dataran pantai yang mempunyai topografi yang landai. Daerah tersebut disusun oleh endapan pasir pantai yang relatif lebih lunak dan belum mengalami perkerasan. Di beberapa tempat dataran pantai ini terisi oleh air yang membentuk rawa-rawa dan dilewati beberapa aliran sungai yang langsung bermuara di Samudera Hindia. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa bentuk garis pantainya relatif lurus (Foto 4.1D), menunjukkan bahwa arus/gelombang laut energinya lebih besar dibandingkan dengan proses sedimentasi yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara di pantai tersebut. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



109



109



Topografi daerah pantai dimana terdapat pemukiman relatif datar dengan sudut lereng 0 – 5o , materialnya terdiri pasir pantai yang merupakan hasil pengendapan arus/gelombang laut. Dataran Pantai saat ini sebagian besar telah ditumbuhi oleh rumput, belukar dan tumbuhan lain seperti pisang, papaya. Di sekitar desa banyak dijumpai oleh sisa-sisa bangunan yang hancur oleh gelombang tsunami. Di bagian timur dataran pantai di desa Dayah Mamplam dan desa Matai (Foto 4.1A dan 4.1C) dibatasi oleh perbukitan yang curam dan terjal yang dibentuk oleh batugamping/batukapur. Topografi perbukitan batukapur tesebut sangat curam dan membentuk tonjolan-tonjolan dengan sudut lereng berkisar antara 60 – 80o (foto 4.1A-4.1D). Perbukitan kapur inilah yang menjadi salah satu penghalang bagi masyarakat dalam usahanya mencapai daerah yang relatif tinggi pada saat gelombang tsunami datang. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak terjadi korban jiwa di desa ini. Di samping itu topografi yang terjal menyulitkan upaya masyarakat dalam penentuan lahan untuk evakuasi sebagai kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana tsunami.



Gambar 4.1.1.2. Jenis batuan dan geologi daerah Leupung dan Pulau Brueh Sumber : DGSM, 1990



110



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kondisi yang agak berbeda terdapat di Desa Pulot (Foto 4.1 B dan 4.1D), yaitu bagian timur dibentuk oleh topografi perbukitan dengan sudut lereng 25 – 45o . Topografi perbukitan ini disusun oleh batupasir yang lebih lunak dibanding dengan batukapur/batugamping, sehingga bentuk topografinya relatif lebih landai. Pada saat terjadi gelombang tsunami korban dari masyarakat lebih sedikit, karena banyak yang berhasil mencapai perbukitan, meskipun terhalang oleh pagar di sekeliling perbukitan. Berdasarkan wawancara mendalam dengan masyarakat Desa Pulot, kini telah dilakukan penyiapan lahan untuk tempat evakuasi (perbukitan) sebagai antisipasi menghadapi bencana tsunami.



111



Foto 4.1.1.1. Kondisi lapangan daerah Kecamatan Leupung: A: Desa Dayah Mamplam; B dan D: Desa Pulot; C: Dusun Matai dan Pulau Breuh, E dan F:Ulee Paya



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



111



Foto 4.1.1.1 (G-J). Gambaran kondisi lapangan Desa Gugop, Pulau Breuh.



Kondisi pantai saat ini telah mengalami kerusakan yang cukup parah, disebabkan oleh abrasi gerusan gelombang tsunami 26 Desember 2004. Terjadi kemunduran pantai ke arah daratan lebih kurang 100 – 300 meter, ditunjukkan oleh bekas jalan raya dan beberapa sisa pohon kelapa yang saat ini terdapat di laut yang sebelumnya terdapat di tepi pantai (daratan, foto 4.1.D). Dengan kondisi demikian maka luas daratan menjadi lebih sempit, pantai lebih terbuka disebabkan oleh tumbangnya pepohonan akibat kuatnya gelombang tsunami. Hal tersebut mengakibatkan pengaruh tiupan angin, terutama pada saat angin barat lebih keras. Di samping itu kejadian pasang naik juga sangat berpegaruh terhadap dataran pantai di sekitar Desa Dayah Mamplam dan Pulot, yaitu makin banyak kawasan pantai yang tergenang air. Kondisi yang agak menyulitkan untuk lokasi evakuasi terdapat di Desa Dayah Mamplam, yang disebabkan oleh topografi perbukitan yang terdapat di sebelah timur desa relatif curam dan terjal. Untuk kawasan ini tempat evakuasi sebaiknya dilakukan pada setiap dusun yang terdapat di Desa Dayah Mamplam seperti Dusun Riting, Matai, Meunasa Bau dan Desa Masjid. Kendala yang dihadapi dalam pembuatan tempat evakuasi ini adalah berkaitan dengan pemotongan bukit kapur yang keras, sehingga diperlukan biaya yang relatif besar untuk maksud tersebut. Hal yang agak menguntungkan adalah material hasil pemotongan bukit dapat langsung digunakan sebagai timbunan sekaligus melandaikan lerengnya. Sedangkan keperluan pasir dapat diperoleh di sepanjang pantai sekitar dusun-dusun tersebut. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah 112



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



pembuatan jalan dan jalur evakuasi untuk menuju tempat evakuasi yang telah ditentukan masyarakat Dusun Matai yang terletak 2 – 3 km dari desa tersebut. Kondisi yang berbeda dijumpai di Desa Pulot, karena perbukitan tempat evakuasi masyarakat cukup tersedia, dan kondisi fisik lahan yang cukup landai (sudut lereng antara 25 – 45o). sehingga relatif mudah untuk merealisasikan pembangunannya. Di samping lokasinya dekat dengan pemukiman, juga ditunjang oleh kondisi tanahnya yang merupakan pelapukan dari batu pasir yang relatif lunak dan stabil terhadap longsoran tanah. Hal lain yang masih perlu direalisasikan adalah adanya jalur evakuasi dan badan jalan menuju tempat evakuasi dan rumah atau “balee” untuk tempat evakuasinya, yang pada waktu bencana terhalang oleh pagar kebun milik warga setempat . Lokasi lain dari pengkajian kesiapsiagaan adalah Desa Gugop dan Desa Ulee Paya, yang terletak di Pulau Brueh bagian selatan, Kecamatan Pulo Aceh. Wilayah tersebut secara administrasi masuk dalam Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan ini terletak di bagian Utara Banda Aceh yang meliputi Pulau Brueh, Pulau Nasi, dan Pulau Teunom dengan ibukotanya di Lampuyang (di Pulau Nasi). Jarak Banda Aceh ke Desa Gugop dan Ulee Paya di Pulau Brueh lebih kurang 15 mil dan dapat dicapai dengan kapal kayu (boat) dengan waktu tempuh 2 – 3 jam pelayaran. Desa Gugop dan Desa Ulee Paya di bagian barat berbatasan dengan Samudera Indonesia, sedang di bagian timur berbatasan dengan Desa Blang Setungku, sebelah utara dengan perbukitan Pulau Brueh dan di sebelah selatan dengan Teluk Serapong yang berhubungan langsung dengan Samudera Indonesia (gambar 4.1.1.2). Desa Gugop dan Ulee Paya terletak pada dataran pantai dengan topografi yang datar (foto 4.1.I). Daerah tersebut disusun oleh endapan pasir pantai yang relatif lunak dan belum mengalami perkerasan (Gambar 4.1.1.4). Di beberapa tempat dataran pantai ini terisi oleh air yang membentuk rawa-rawa (foto 4.1.E). Di samping itu terdapat juga beberapa alur sungai yang bermuara di teluk kecil antara Desa Gugop dan Desa Serapong. Perbukitan yang terdapat di bagian utara desa-desa tersebut disusun oleh batuan gunungapi seperti lava dan breksi gunung api. Topografi wilayahnya cukup landai yaitu dengan sudut lereng antara 25 – 45o (foto 4.1.G dan 4.1.I) . Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa Desa Gugop terletak di tepi pantai yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia di bagian barat dan teluk kecil di bagian selatan, dimana terdapat badan jalan yang memotong teluk kecil tersebut menuju Desa Serapong (foto 4.1.H dan 4.1.J). Pantai barat ini di Desa Gugop membentuk teluk dengan arus gelombang laut yang cukup besar dan di tepiannya terdapat pematang bukit pasir dengan ketinggian 1 – 2 meter yang merupakan hasil pengendapan arus laut. Di samping itu kawasan pantainya saat ini lebih terbuka, hal ini menyebabkan angin laut yang menerpa permukiman lebih keras dibandingkan kondisi sebelumnya. Sebelum bencana tsunami, sebagian permukiman di Desa Gugop terdapat di tepian pantai yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hal ini dapat dilihat dari sisa-sisa bangunan yang terdapat di kawasan pantai (foto 4.1H), serta beberapa pohon kelapa yang kini posisinya sudah tergenang air laut. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi kemunduran pantai ke arah



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



113



113



daratan sekitar 100 – 200 meter. Kondisi ini disebabkan oleh tergerusnya pantai (abrasi) akibat gelombang tsunami, meskipun kondisi pantainya masih relatif baik. Kondisi yang agak berbeda terdapat di Desa Ulee Paya (Foto 4.1E dan 4.1F), dimana dataran pantainya lebih lebar dibandingkan dengan kondisi pantai di Desa Gugop. Dataran ini semula merupakan daerah persawahan, namun saat ini belum dipergunakan lagi. Di bagian selatan daerah ini berbatasan langsung dengan teluk dan sedikit tertutup oleh perbukitan dari Desa Serapong. Kondisi ini agak menguntungkan karena proses abrasinya tidak begitu kuat dan tiupan anginnya yang kencang agak terhalang oleh perbukitan tersebut. Keberadaan perbukitan di Desa Serapong ini, menyebabkan gelombang tsunami agak tertahan masuk desa ini, sehingga masyarakat mempunyai waktu untuk mencapai perbukitan. Akibatnya korban jiwa di Ulee Paya paling sedikit dibandingkan desa-desa lainnya (kurang dari 10 orang). Desa Gugop dan Ulee Paya dibatasi oleh perbukitan yang dibentuk oleh batuan hasil aktifitas gunung api. Batuannya terdiri dari lava dan breksi yang bersusunan andesit, sehingga di lapangan nampak membentuk bongkah bongkah (foto 4.1-G). Sebagian besar perbukitan merupakan ladang dan kebun masyarakat setempat yang ditanami dengan tanaman keras, seperti kopi, durian, kelapa dan coklat. Menyikapi kerawanan terhadap pasang naik, abrasi pantai, tiupan angin dan kemungkinan tsunami dimasa depan, selain perlu penataan ulang pemukiman juga diharapkan segera pula dilakukan penataan atau penanaman kembali kawasan pantai misal dengan tanaman mangroove, kelapa maupun cemara pantai atau tanaman produktif lainnya. Di samping itu pada lokasi-lokasi yang rawan abrasi pantai, terutama yang dekat dengan permukiman dibuat bangunan yang berfungsi sebagai pemecah ombak. Hal tersebut selain dapat mempercepat pemulihan kesejahteraan masyarakat juga berfungsi sebagai pemulihan dan pertahanan kondisi lingkungan yang ada. Berkaitan dengan lokasi evakuasi sebagai upaya penyelamatan diri dari kemungkinan terjadinya tsunami kembali, di Desa Gugop dan Ulee Paya telah menyediakan lahan yang cukup strategis di perbukitan yang letaknya berada di sebelah utara ke dua desa tersebut. Di Desa Gugop lokasi evakuasi telah ditentukan oleh masyarakat setempat berdasarkan kesepakatan setelah terjadi bencana tsunami tahun 2004. Lokasi tersebut berdekatan dengan sumber air bersih dan untuk menuju tempat tersebut sangat mudah karena sudut lerengnya cukup landai antara 30o – 50o . Sedangkan lokasi evakuasi di Desa Ulee Paya menggunakan tempat yang pernah dipergunakan oleh masyarakat setempat untuk penyelamatan diri pada saat bencana tsunami. Letak lokasinya cukup baik karena dekat dengan sumber air bersih dari aliran sungai kecil serta daerahnya relatif datar, sehingga memudahkan dalam pembuatan rumah atau “balee”. Disamping itu lerengnya cukup stabil (tidak longsor) jika terjadi gempa bumi dan tsunami, hal ini ditunjang oleh kondisi tanah yang berasal dari pelapukan tanah lava dan breksi gunung api. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pembuatan jalan dan jalur evakuasi yang lebih memadai untuk menuju tempat evakuasi yang telah ditentukan masyarakat setempat.



114



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



4.1.1.2. Fasilitas Fisik dan Keamanan Fasilitas fisik yang terdapat pada empat desa di lokasi kajian terdiri dari kantor kecamatan dan desa, perumahan dan balai pertemuan, prasarana pendidikan, prasarana kesehatan, mesjid dan meunasah, jaringan jalan, jaringan telekomunikasi (telpon, radio, TV) dan ketersediaan air bersih. Keempat desa tersebut pada bulan April 2006 ini sedang melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana gempa dan tsunami. Sebagian besar fasilitas fisik hancur. Fasilitas yang pernah ada saat ini berada pada kondisi: a) belum dibangun kembali sehingga fungsinya belum dijalankan; b) sedang dibangun kembali dan fungsinya ditenggarai oleh institusi sementara; c) sebagian lagi sudah difungsikan dengan kondisi sementara, dan d) sebagian sudah difungsikan dengan kondisi yang ada pada bulan tersebut. Hampir tidak ada fasilitas fisik yang sudah dibangun dan difungsikan sesuai dengan kondisi seperti sebelum bencana. Penilaian tingkat keselamatan (safety) yang mungkin diperoleh dari fasilitas fisik yang saat ini tersedia, sulit dilakukan. Hal ini disebabkan dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi, pembangunan fisik belum diselesaikan sehingga belum berfungsi pada kondisi normal. Kantor kecamatan baik Leupung maupun Pulo Aceh yang sekarang tersedia merupakan bangunan sementara yang sudah difungsikan. Sebagian besar kegiatan Kecamatan Pulo Aceh dilaksanakan pada bangunan ruko yang merupakan kantor penghubung atau perwakilan di Kota Banda Aceh. Sedangkan rencananya kantor Kecamatan Pulo Aceh tetap berlokasi di Pulau Nasi, yaitu salah satu dari tiga pulau di Kecamatan Pulo Aceh. Saat ini bangunan kecamatan di Pulau Nasi ini sedang dalam proses penyelesaian. Bangunan kantor Kecamatan Leupung sekarang merupakan bangunan sementara yang dikonstruksikan khusus untuk keperluan kantor kecamatan. Sedangkan kantor Kecamatan Leupung yang permanen direncanakan akan dibangun dengan bantuan LSM YIED,. Kantor desa untuk ke tiga lokasi masih menggunakan tempat tinggal geucik (kepala desa) sebagai lokasi kegiatan desa. Hanya Desa Pulot yang sudah memiliki bangunan kantor desa dan balai pertemuan yg permanen dan dibangun atas bantuan USAID. Balai pertemuan umumnya dibangun berdekatan dengan barak atau hunian sementara (huntara) penduduk, dan merupakan bagian dari pembangunan perumahan penduduk. Hampir semua desa telah memiliki balai pertemuan dalam bentuk fisik yang sementara dan sudah dapat digunakan baik untuk keperluan pertemuan perdesaan maupun untuk keperluan beribadah. Akibat tsunami, sebagian besar perumahan penduduk di empat desa tersebut, hancur. Banyak penduduk yang saat ini masih tinggal di barak atau di huntara. Barak atau huntara ini dibangun pada lahan dimana bangunan lama berlokasi. Umumnya juga tidak memiliki arah bangunan yang jelas, namun dibangun dalam lokasi yg berkelompok. Rata rata bahan material yang digunakan adalah tripleks, dan kayu. Sedangkan untuk huntara yang dibangun sendiri oleh warga, mengandalkan bahan kayu bekas, terpal dan atap rumbia. Dari sekitar 200 rumah permanen yang harus dibangun untuk Desa Gugop dan Ulee Paya, belum satupun yang sudah dilaksanakan. Bantuan pembangunan perumahan diberikan oleh British Red Cross (BRC). Sedangkan untuk LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



115



115



427 rumah yang rencananya akan dibangun di kedua desa di Kecamatan Leupung, sekitar 60% rumah sedang dibangun kembali. Bantuan pembangunan rumah dilaksanakan oleh World Vision dan BRR (Tabel 4.1.1.2). Tabel 4.1.1.2. Rencana Pembangunan Perumahan di Lokasi Studi 2006



Sumber: Kecamatan Pulo Aceh dan Leupung 2006.



Akibat bencana tsunami semua sarana pendidikan hilang terbawa gelombang tsunami. Saat ini telah dibangun gedung sekolah sementara yang sudah difungsikan. Bangunan dibuat dari kayu, dalam kondisi panggung. Di kedua desa, Kecamatan Pulo Aceh hanya terdapat 1 SD dan 1 SMP, yang saat ini menggunakan bangunan sementara. Sedangkan di kedua desa di Kecamatan Leupung terdapat ketiga tingkat sekolah yaitu SD, SMP dan SMA, masing-masing satu unit. Untuk Desa Pulot, bangunan SMP dan SMA sedang dibangun secara permanent. Sedangkan untuk Desa Dayah Mamplam, bangunan SD dan SMP dibangun bersifat sementara untuk segera difungsikan. Hal in mengingat kegiatan belajar mengajar masih menggunakan gedung milik orang lain (Tabel 4.1.1.3). Tabel 4.1.1.3. Kondisi Prasarana Pendidikan Sebelum Tsunami 2003 dan Sesudah Tsunami 2006 di Lokasi Studi



Sumber: Kantor Statistik Kab. Aceh Besar 2003, dan Kantor Kecamatan Pulo Aceh dan Leupung 2006.



116



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Di bidang kesehatan, sebelum bencana setiap desa kajian telah memiliki satu puskesmas. Bahkan Desa Gugop dan Dayah Mamplam juga pernah memiliki Polindes. Saat ini, kegiatan kesehatan sangat bergantung pada Puskeslit (Pusat Kesehatan Satelit) yang bertempat di satu lokasi hanya untuk tiga bulan. Puskeslit ini pernah ada di Desa Pulot. Saat ini untuk 4 desa kajian, sedang dibangun 3 buah Puskesmas atas bantuan LSM. Kegiatan kesehatan di Ulee Paya dan Gugop akan digabung menjadi satu puskesmas yang dibangun di perbatasan kedua desa tersebut. Selain puskesmas, desa desa ini memiliki pelayanan bidan, dan kesehatan ibu dan anak. Sedangkan untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit, tampaknya penduduk masih harus memanfaatkan rumah sakit yang berada di kota Banda Aceh (Tabel 4.1.14) Sebelum bencana, setiap desa minimal memiliki satu mesjid atau meunasah yang saat ini juga tidak tersisa lagi. Mesjid atau meunasah yang baru saat ini sudah difungsikan, walaupun merupakan bangunan sementara di kedua desa, Kecamatan Leupung. Sedangkan untuk kedua desa di Kecamatan Pulo Aceh, kegiatan beribadah masih menggunakan balai pertemuan yang tersedia di setiap barak. Tabel 4.1.1.4. Prasarana Kesehatan Sebelum Tsunami 2003 dan Sesudah Tsunami 2006, di Lokasi Studi Desa



Luas (km2)



Ulee Paya Gugop



12.30 18.82



Pulot



15.1



Dayah Mampla m



18.2



Polindes Tidak ada 1



Sebelum Tsunami Puskesmas PuskesPembantu mas Tidak ada 1 Tidak ada



1



Tidak ada



Tidak ada



1



1



Tidak ada



1



Puskeslit



1 (sdh digunakan)



Sesudah Tsunami Puskesmas Puskesmas Pembantu



1 (sedang dikerjakan ) 1 (sedang dikerjakan 30%, 1 selesai sementara



Keterangan



Dari FRC Dari Islamic relief Dari World Vision:



Sumber: Kantor Statistik Kab. Aceh Besar. 2003, Kecamatan Leupung 2006 dan Kecamatan Pulo Aceh 2006.



Jaringan jalan yang saat ini tersedia untuk kedua kecamatan cukup berbeda. Secara geografis, Kecamatan Leupung bersambungan langsung dengan Kota Banda Aceh. Jaringan jalan yg melewati kedua desa di Kecamatan Leupung ini juga merupakan jaringan jalan regional yang menghubungkan Kota Banda Aceh dan kota-kota di wilayah pantai barat. Akibatnya jalan ini ketika hancur akibat tsunami, termasuk relative cepat diperbaiki dan difungsikan kembali. Meskipun saat ini, angkutan umum belum berjalan seperti sediaka, namun kualitas jaringan jalan ini baik dan perjalanan antara Banda Aceh dan Kecamatan Leupung cukup lancar. Sebelum terjadi tsunami, sebuah dermaga berlokasi di Desa Dayah Maplam Kecamatan Leupung. Adanya dermaga ini memudahkan upaya bertransportasi ke kota Banda Aceh, kota kota lain di sekitar pantai Barat Aceh serta untuk mencapai pulau pulau kecil di utara. Kegiatan ekonomi yang bersandar pada sub sector perikanan memberi kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Namun saat ini dermaga ini hancur dan belum dibangun kembali.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



117



117



Kondisi jaringan transportasi yang lebih terbatas terdapat pada kedua desa kajian di Kecamatan Pulo Aceh. Jaringan transportasi laut digunakan dalam berhubungan antara kedua desa dengan kota Banda Aceh. Kedua desa ini berlokasi di pulau yang harus ditempuh sekitar dua jam untuk satu kali perjalanan laut dari Kota Banda Aceh. Saat ini penggunaan dermaga penumpang masih memanfaatkan dermaga yang biasa digunakan untuk kegiatan perikanan. Dermaga yang dibangun oleh LSM asing diperuntukkan untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, sehingga penggunaan untuk kepentingan publik terbatas. Sedangkan jaringan jalan di Pulau Beras, termasuk di kedua desa kajian, masih merupakan jalan tanah. Namun keempat desa di pulau tersebut sudah dilalui jaringan ini. Sarana transportasi masih terbatas pada penggunaan sepeda motor, sepeda dan berjalan kaki. Namun jaringan jalan tersebut dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, dan sudah menggapai keenam desa yang terdapat di Kecamatan Pulo Aceh. Selain jalan, jembatan juga termasuk yang sedang direhabilitasi di kawasan tersebut. Saat ini jembatan yg digunakan masih merupakan jembatan kayu yang kekuatannnya terbatas. Jaringan komunikasi dan telekomunikasi di kedua desa di Kecamatan Pulo Aceh masih sangat terbatas. Beberapa warga mulai mengakses TV dengan antenna parabola. TV menjadi salah satu sumber informasi penting bagi warga desa. Radio komersial atau RRI belum dapat dijangkau di lokasi. Di Desa Ulee Paya penggunaan telpon celular (HP) masih terbatas pada lokasi tertentu dimana sinyal komunikasi mudah terjangkau, sehingga mengakibatkan penggunaan telepon selular belum menjadi sumber informasi. Di Desa Gugop, HP lebih dapat digunakan karena mudahnya mendapat sinyal. Hubungan antar geucik (kepala desa) masih bergantung pada jaringan transportasi yang mengangkut informan dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Jaringan listrik yg pasokannya disuplai oleh PLN, saat ini sudah mulai masuk kembali ke kedua desa di Kecamatan Leupung. Sedangkan untuk keempat desa masih menggunakan genset yang pemasangannya terbatas pada waktu tertentu. Pembelian bahan bakar solar sebagian dibantu secara rutin oleh LSM (BRC). Sedangkan kekurangannya, masyarakat masih harus bergotong royong untuk membeli solar sendiri. Sumber air bersih untuk keempat desa kajian di Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh, sebelum tsunami mengandalkan sumur gali. Saat ini air bersih untuk keempat desa ini juga mengandalkan sumur yang airnya diolah terlebih dahulu. Pengolahan air ini, diperkenalkan oleh LSM, untuk membantu peningkatan kualitas air terutama mengurangi efek adanya tsunami tersebut. . 4.1.1.3. Kondisi Penduduk dan Sosial Ekonomi Jumlah dan kepadatan penduduk Pada tahun 2005 penduduk Kabupaten Aceh Besar berjumlah 296.541 jiwa atau sekitar 7,4 persen penduduk NAD. Jumlah penduduk Kecamatan Leupung pada tahun 2003 berjumlah 7878 jiwa dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) sebesar 96 (Leupung Dalam Angka, 2003:12). 118



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kecamatan Leupung terdiri dari 6 desa dan 18 dusun. Sebelum bencana tsunami tahun 2004, jumlah penduduk tercatat sebesar 8910 jiwa dan sesudah tsunami berdasarkan registrasi penduduk tahun 2006 tinggal 2567 jiwa (kurang dari 30%) dengan rasio jenis kelamin 131. Keadaan ini berarti perempuan jauh lebih banyak menjadi korban tsunami dibandingkan lakilaki. Dengan luas wilayah sebesar 7600 km2 maka kepadatan penduduk pada tahun 2003 mencapai 103-104 orang per km2, sedangkan pada tahun 2005 kepadatannya menjadi 34 jiwa per km2. Desa yang paling banyak mengalami korban jiwa adalah Desa Dayah Mamplam, karena penduduknya tinggal 557 jiwa (sekitar 12%). Sedangkan desa yang paling sedikit korban jiwa adalah Desa Pulot, karena sekitar 83% penduduknya selamat. Kedua desa tersebut menjadi sampel lokasi penelitian ini Secara rinci jumlah penduduk menurut desa sebelum dan sesudah bencana tsunami sebagai berikut: Tabel : 4.1.1.5. Distribusi Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Leupung Sebelum (2003) dan Sesudah Bencana Tsunami, 2006 NO



1 2 3 4 5 6



DESA



Meunasah Mesjid Deah Mamplam Meunasah Baku Pulot Lamseunia Layeun Kec. Leupung



Sebelum Tsunami



1015 4500 1110 515 820 950 8910



Sesudah Tsunami



KK 108 302 236 157 118 213 1134



Jiwa 174 557 376 427 288 745 2567



L 118 343 218 229 147 405 1458



P 58 214 158 198 141 340 1109



Sumber: Catatan di Kantor Kecamatan Leupung, 2006.



Berdasarkan data statistik yaitu Kecamatan Pulo Aceh Dalam Angka (2003:13), jumlah penduduk kecamatan pada tahun 2003 sebesar 6002 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 101. Pada tahun 2006 jumlah penduduk Pulo Aceh tinggal 4326 jiwa (sekitar 72 persen), dengan rasio jenis kelamin sebesar 120. Dengan luas Kecamatan Pulo Aceh sebesar 24075 km2, maka kepadatan penduduk pada tahun 2003 sekitar 25 jiwa per km2 dan pada tahun 2006 menjadi sekitar 18 orang per km2. Kecamatan Pulo Aceh terdiri dari 17 desa, dengan jumlah penduduk antara 87 jiwa (Desa Teunom) sampai 523 jiwa (Desa Alue Reuyeueng). Dua desa sampel yaitu Desa Gugop dengan jumlah penduduk 297 jiwa (132 KK), mempunyai rasio jenis kelamin sebesar 132, sedangkan Desa Ulee Paya berpenduduk sebesar 176 jiwa (48 KK) dengan rasio jenis kelamin sebesar 120. Data penduduk menurut desa sebelum tsunami hanya dapat diperoleh dari Kecamatan Dalam Angka tahun 2003 dari Kantor Statistik Kabupaten Aceh Besar. Secara rinci data penduduk menurut desa sebelum dan sesudah tsunami dapat dilihat pada Tabel 4.1.1.6.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



119



119



Tabel 4.1.1.6 Distribusi Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Pulo Aceh Sebelum (2003) dan Sesudah Tsunami, 2006



Sumber: Kantor Kecamatan (2005/2006). *) Kecamatan Pulo Aceh Dalam Angka, BPS, 2003.



Data di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan penduduk Pulo Aceh menurun tajam dari 6002 jiwa menjadi 4474 selama 2003-2005, atau menurun sebesar 25%. Penurunan ini akan lebih besar apabila dihitung dari jumlah penduduk menjelang terjadi tsunami. Penurunan yang lebih besar terjadi pada penduduk perempuan dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sekitar 32% untuk perempuan dan 19% untuk laki-laki. Desa yang paling awal terkena gelombang tsunami dan banyak kehilangan jiwa adalah Desa Gugop, karena lokasi desa ini persis di teluk yang berhadapan dengan Samudra Hindia. Desa Ulee Paya yang penduduknya paling banyak selamat dari bencana tsunami, jumlah penduduk sesudah bencana justru lebih banyak (2006) dibandingkan tahun 2003, akibat pertambahan penduduk alami yang lebih besar dibandingkan korban tsunami yang relatif kecil (kurang dari 10 jiwa). Pendidikan Gambaran kondisi pendidikan di suatu wilayah dapat dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Data tingkat pendidikan penduduk ini sebenarnya dapat dilihat dari data monografi desa ataupun dokumen-dokumen lain, namun seluruh dokumen kini musnah disapu gelombang tsunami Tahun 2004. Kondisi tingkat pendidikan di desa dalam laporan ini didasarkan pada hasil survei kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Sebagian besar responden di daerah lokasi studi berpendidikan SD ke bawah (sekitar 54 persen), tingkat SMP/ sederajat sebesar 28 persen sedangkan tingkat SMA ke atas sekitar 18 persen. Kondisi ini tidak jauh



120



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



berbeda dengan gambaran tingkat pendidikan secara nasional yang menunjukkan bahwa kualias sumber daya manusia di Indonesia secara umum masih relatif rendah (Tabel 4.1.1.7). Tabel 4.1.1.7 Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan Dan Lokasi Studi



DESA NO 1 2 3



PENDIDIKAN SD/Kurang SMP/sederajat SMA ke atas Total N



Gugop



Ulee paya



64,4 26,7 8,9 100,0 45



45,8 29,2 25,0 100,0 25



Dayah Mamplam 40,6 34,4 25,0 100,0 32



Pulot 57,1 23,8 19,0 100,0 42



Total 53,8 28,0 18,2 100,0 144



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Desa Gugop yang merupakan salah satu dari dua desa sampel kajian di Kecamatan Pulo Aceh, merupakan daerah dengan proporsi penduduk yang berpendidikan SD/kurang jauh lebih tinggi dibandingkan desa sampel (sekitar 64 persen). Sebaliknya penduduk yang berpendidikan SMA ke atas juga paling rendah (sekitar 9 persen). Hal ini dipengaruhi oleh terbatasnya fasilitas pendidikan dan rendahnya aksesibilitas penduduk Pulo Aceh pada umumnya untuk melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi. Daerah yang relatif terisolir dan selama ini dilanda konflik turut mempengaruhi kesulitan penduduk untuk mengakses fasilitas pendidikan di daerah lain, terutama di Kota Banda Aceh. Sebelum bencana, desa ini hanya memiliki 1 SD Negeri dan SLTP madrasah, sehingga untuk melanjutkan studi ke jenjang SMA atau lebih tinggi mereka harus pergi ke luar daerah. Di samping faktor ekonomi, jarak yang cukup jauh dan sarana transportasi yang masih sulit merupakan faktor penghambat utama bagi masyarakat untuk melanjutkan studi. Alat transportasi yang dapat digunakan dari daerah ini ke Banda Aceh adalah kapal kecil (boat), yang berlayar setiap hari kecuali Jum’at. Biaya perjalanan cukup mahal (Rp 10 ribu) dan waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam. Desa Ulee Paya merupakan desa yang letaknya bersebelahan dengan Desa Gugop, dengan fasilitas pendidikan yang sama dengan Desa Gugop (sekolah darurat sementara SD dan SMP berlokasi di Desa Ulee Paya). Bersumber dari data sampel menunjukkan keadaan pendidikan yang lebih baik, dibandingkan dengan Desa Gugop, namun secara umum kondisi faktual pendidikan penduduk di daerah ini hampir sama. Keterbatasan sarana dan prasarana di desa ini tampaknya juga berpengaruh terhadap terbatasnya tenaga pendidik di daerah ini. Pengangkatan guru sebagai PNS sering kali menjadi batu loncatan untuk dapat pindah ke daerah lain yang lebih nyaman (dekat dengan kota). Hal ini juga dilakukan oleh beberapa tenaga pendidik yang berasal dari daerah tersebut, yang menunjukkan masih kurangnya kesadaran warga untuk kemajuan pendidikan di daerahnya. Hal ini juga terjadi dengan warga Pulo Aceh yang berpendidikan relatif tinggi, kebanyakan juga berusaha untuk mendapatkan pekerjaan dan menetap di daerah perkotaan.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



121



121



Kondisi pendidikan di lokasi kajian semakin memburuk setelah bencana, karena semua fasilitas pendidikan musnah bersama dokumen-dokumen penting lainnya. Sampai saat ini pendidikan masih dilaksanakan di bangunan darurat, mengingat bangunan sekolah yang permanen tersedia. Fasilitas untuk belajar dan mengajarpun sangat terbatas, sehingga dikuatirkan pendidikan di daerah ini semakin etrtinggal dibandingkan daerah lain, terutama di daratan. Demikian pula tenaga pengajarnya banyak yang tidak aktif, karena kesulitan perumahan dan transportasi. Sebagai contoh jumlah guru tetap SMP di Desa Ulee Paya sebelum tsunami berjumlah 13 orang (PNS) dan 2 orang guru bantu, kini hanya ada 5 PNS (3 orang aktif, termasuk kepala sekolah), karena meninggal (2 orang) dan pindah ke Banda Aceh (6 orang). Untuk menutup kekurangan guru, terdapat beberapa guru bantu diantaranya 3 orang pendidikan sarjana, kontrak dengan Diknas Pusat dan 3 orang guru bantu merupakan bantuan sebuah NGO- BRC, yaitu guru matematik, Bahas Inggris dan Fisika. Guru bantu ini bersifat sementara sampai kekurangan guru tetap teratasi, biasanya dengan honor seadanya. Sesudah tsunami, Pemda NAD kesulitan mengatasi permasalahan guru dan siswa di Pulo Aceh, karena minimnya fasilitas perumahan dan transportasi di lokasi. Meskipun sering diadakan pertemuan rutin untuk mengatasi masalah pendidikan di Pulo Aceh, namun solusi sangat minim. Isu pendidikan di kedua lokasi kajian banyak terungkap pada saat diskusi terfokus (di Gugop), yang menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap penanganan pendidikan pasca tsunami. Pendidikan di kedua lokasi kajian dan di Pulo Aceh pada umumnya akan semakin tertinggal, karena minimnya perhatian pemerintah pada permasalahan Pulo Aceh. Kebanyakan masyarakat juga tidak mampu lagi untuk menyekolahkan anak ke Banda Aceh, karena kondisi sosial ekonomi mereka sesudah tsunami. Terbukti siswa dari Pulo Aceh yang bersekolah di Banda Aceh banyak berhasil, dibandingkan saudaranya yang hanya mampu dbersekolah di Pulo Aceh. Dua desa di Kecamatan Leupung yang menjadi sampel dalam studi ini mempunyai akses yang lebih baik jika dibandingkan dengan Desa Gugop dan Ulee Paya. Bangunan sekolah di Desa Dayah Mamplam adalah SD, SMP, dan SMA, sedangkan di Desa Pulot terdapat sekolah SD dan SMP yang saat ini masih dalam tahap pembangunan. Tsunami tahun 2004 telah menghancurkan seluruh bangunan di kedua desa ini termasuk bangunan sekolah. Oleh sebab itu kegiatan belajar mengajar sampai saat ini masih dilakukan di bangunan darurat. Akan tetapi pembangunan fasilitas sekolah di daerah ini tampaknya lebih cepat di bandingkan dengan bangunan di Pulo Aceh, karena aksesibilitasnya yang lebih baik. Hal yang wajar jika kondisi pendidikan penduduk di daerah ini lebih baik dibandingkan dengan penduduk di Ulee Paya dan Gugop. Desa Dayah Mamplam dan Pulot sama-sama dilalui oleh jalan provinsi, sehingga transportasi ke daerah perkotaan relatif lebih mudah dan lancar. Jumlah guru yang aktif mengajar juga lebih banyak, meskipun harus melaju ke Banda Aceh (karena belum ada perumahan di lokasi pengungsian). Pekerjaan Karena Desa Ulee Paya dan Gugop terletak di pinggir laut dan juga mempunyai tanah yang cukup luas, maka sebagian besar masyarakat bekerja di sektor pertanian atau sebagai nelayan. 122



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Jumlah penduduk Ulee Paya yang bekerja sebagai petani tanaman pangan maupun keras relatif banyak yaitu sekitar 62 persen dari keseluruhan sampel. Sedangkan sekitar 27 persen bekerja pada sektor perdagangan/angkutan/jasa. Sebagian penduduk selain bekerja sebagai nelayan juga bekerja sebagai petani. Kondisi ini dilakukan mengingat di daerah ini terdapat dua musim yang berbeda yaitu pada musim hujan, penduduk bekerja sebagai petani tanaman pangan karena ombak dilaut sangat besar. Sebaliknya pada musim kemarau sebagian penduduk melaut, karena pada waktu itu tanaman pangan tidak cukup air untuk dapat tumbuh. Jenis tanaman pertanian yang umum di daerah ini sebelum tsunami adalah padi, dan tanaman keras (kopi, cengkeh, kina, dan kelapa). Setelah tsunami, lahan untuk penanaman padi belum dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga penduduk lebih terfokus pada tanaman-tanaman keras. Lahan tersebut belum dapat ditanami karena lokasinya merupakan dataran rendah yang dekat dengan laut, sehingga banyak tertimbun lumpur tsunami. Tanaman lain yang sangat terpengaruh oleh tsunami adalah kelapa, karena kebanyakan tanaman ini ditanam di pinggir laut. Selain karena cocok untuk penanaman kelapa yang membutuhkan cukup air, penduduk menanam tanaman kelapa ini sebagai penahan angin dari laut yang biasanya cukup kencang. Tanaman keras lain (kinang, kopi, dan cengkeh) tidak terpengaruh oleh tsunami karena lokasi penanaman tanaman keras ini berada di daerah perbukitan yang tidak terjangkau oleh gelombang tsunami. Pemasaran hasil pertanian di daerah ini masih menjadi salah satu hambatan bagi masyarakat, karena mereka harus menjual ke Banda Aceh. Oleh sebab itu, meskipun hutan di daerah ini masih cukup luas tidak banyak penduduk yang berusaha untuk memperluas arealnya karena pemasaran yang masih sulit. Hasil lain yang menonjol dari Desa Gugop sebelum tsunami adalah rumput laut, namun pemasarannya sulit. Demikian pula potensi penghasil jahe cukup besar, karena setiap panen/tahun bisa mencapai sekitar 20 ton. Perekonomian Desa Ulee Paya didukung oleh 5 toko/kios, tetapi skala kios tersebut masih kecil dan masih terbatas pada penyediaan barang-barang kebutuhan sehari-hari, sehingga belum dapat menampung hasil pertanian masyarakat. Penduduk di Desa Gugop juga mempunyai pekerjaan yang hampir sama dengan Desa Ulee Paya, karena kondisi daya dukung sumber daya alam di daerah ini memang sama. Selain berdekatan dengan laut yang memungkinkan mereka melaut (menjadi nelayan), wilayah ini juga dikelilingi oleh bukit yang cukup luas sehingga memungkinkan penduduk setempat untuk bercocok tanam. Sebagian besar penduduk juga bekerja sebagai petani tanaman pangan dan keras sehingga mata pencaharian mereka tidak begitu terpengaruh oleh tsunami. Pengaruh tsunami terhadap mata pengaharian penduduk yang bekerja sebagai petani tanaman keras, disebabkan pada banyaknya peralatan yang hilang terbawa oleh air laut. Demikian pula sebagai nelayan, mereka tidak lagi memiliki sarana dan peralatan penangkap ikan di laut. Penduduk Desa Gugop dan Ulee Paya yang bekerja pada sektor perdagangan/angkutan/jasa relatif kurang dibandingkan petani, karena daerah ini memang daerah pertanian dengan lahan yang masih cukup luas. Di daerah ini industri pengolahan masih terbatas pada pengolahan hasil perikanan laut, dan sampai sekarang usaha industri rumah tangga ini belum berjalan normal, karena jumlah nelayan yang pergi melaut masih terbatas, akibat terbatasnya peralatan tangkap yang dimiliki.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



123



123



Sebagai daerah yang terletak di daerah pesisir, mata pencaharian penduduk Desa Dayah Mamplam dan Pulot tidak dapat dilepaskan dari sumber daya kelautan, sehingga sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Adanya dua musim yang sangat berbeda (musim angin barat dan musim angin timur) menyebabkan mereka harus mempunyai mata pencaharian selain sebagai nelayan. Ombak pada musim angin barat biasanya sangat besar sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk melaut. Pada musim tersebut sebagian besar nelayan bercocok tanam, sehingga penduduk umumnya berprofesi sebagai nelayan dan juga sebagai petani tanaman pangan. Dampak tsunami dirasakan lebih nyata terhadap mata pencaharian penduduk setempat, sebab sebagian besar penduduk belum dapat melakukan pekerjaannya sebagaimana biasa. Kondisi ini disebabkan peralatan dan perlengkapan untuk bekerja habis oleh tsunami. Sebagai contoh, pada waktu belum ada tsunami di Desa Pulot terdapat sekitar 90 bagan untuk menangkap ikan teri, tetapi sampai saat ini belum dapat dijumpai satu baganpun yang dimiliki oleh warga. Tabel 4.1.1.8 Persentase Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan dan Lokasi Studi No 1 2 3 4



Jenis pekerjaan Pertanian Perdagangan/ Angkutan/Jasa Industri Tidak bekerja Total N



Gugop 62,2



Desa Ulee Paya Dayah Mamplam 66,7 34,4



Total Pulot 23,8



45,5



26,7



12,5



37,5



38,1



30,1



0,0 11,1 100,0 45



0,0 20,8 100,0 25



3,1 25,0 100,0 32



4,8 33,3 100,0 42



2,1 22,4 100,0 144



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Aksesibilitas penduduk untuk memanfaatkan fasilitas publik di Desa Pulot dan Dayah Mamplam sudah jauh lebih baik daripada Ulee Paya dan Gugop, sehingga proporsi penduduk yang bekerja pada sektor perdagangan/angkutan/jasa lebih tinggi yaitu sekitar 38 persen untuk Dayah Mamplam dan Pulot. Pekerjaan perdagangan di daerah ini dapat berupa toko/kios yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, maupun pedagang ikan (hasil laut) dan pedagang tanaman pangan. Karena tsunami berpengaruh besar terhadap pekerjaan nelayan dan petani tanaman pangan, maka pedagangpun mengalami hal yang sama. Salah seorang warga yang bekerja sebagai pedagang juga menyebutkan bahwa sebelum tsunami ia dapat menjual ikan kering dengan kapasitas lebih dari 1 ton, tetapi saat ini ia hanya dapat menjual ikan segar kurang lebih 100 kg dan dijual dengan sepeda motor keliling desa. Pekerjaan di sektor jasa yang banyak digeluti penduduk laki-laki adalah sopir dan jasa angkutan. Penduduk yang bekerja sebagai sopir, biasanya mempunyai mobilitas yang lebih tinggi terutama keluar desa. Hal ini justru yang dapat menghindarkan mereka dari bahaya tsunami pada tahun 2004 yang lalu, sebab pada waktu terjadi tsunami, penduduk yang bekerja pada sektor ini sedang tidak berada di lokasi yang banyak membawa korban jiwa. Pekerjaan ini lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki, sehingga penduduk yang masih selamat 124



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



di desa Dayah Mamplam kebanyakan laki-laki. Sebagian besar penduduk yang saat itu berada di desa meninggal, dan yang selamat kebanyakan karena tidak berada di lokasi bencana, seperti anak sekolah yang sedang ada kegiatan di sekolah, dan penduduk yang sedang bekerja di kota. Kelembagaan Sosial Di setiap desa, baik di Leupung maupun Pulo Aceh, terdapat kelembagaan formal seperti PKK untuk ibu-ibu dan Karang Taruna untuk para pemuda. Sedangkan kelembagaan sosial informal biasanya berupa kelompok pengajian, yasinan, kesenian. Sedangkan lembaga perekonomian masih sangat terbatas, terutama di Pulo Aceh. Lembaga sosial yang ada sebelum tsunami terbatas pada Karang Taruna, PKK dan Kelompok Pngajian/TPA dan yasinan di masingmasing desa. Keberadaan lembaga seperti PKK dan Karang Taruna di setiap desa pada umum dibentuk secara formal oleh desa dengan ketua PKK isteri Geucik atau tokoh wanita lain. Di kedua lokasi kajian ketua PKK masih ada (bukan isteri geucik), meskipun praktis tidak ada kegiatannya Sebelum bencana, PKK di kedua desa memiliki balai pertemuan dan memperoleh setiap tahun juga memperoleh dana sebagai bagian dana yang diperoleh desa.. Meskipun demikian tidak ada kegiatan yang berarti untuk pengembangan masyarakat, terutama sesudah bencana. Selain beberapa pengurusnya menjadi korban tsunami, prioritas kegiatan saat ini memenuhi kebutuhan sehari-hari di pengungsian. Kegiatan kelompok pengajian, tetap djalankan minimal seminggu sekali di masing-masing desa. Lembaga sosial lain yang khas Aceh adalah Julu-julu yang kegiatannya semacam arisan di Jawa. Lembaga kesenian relative maju di Desa Gugop yaitu kesenian debus (Rafai Debus) dan likok pulo (liku-liku kehidupan pulo). Kesenian ini pernah menjadi 10 besar nasional, namun kurang berkembang, terutama sesudah tsunami, karena semua asetnya musnah bersama tsunami Mukim merupakan lembaga kepemimpinan tradisional Aceh, dimana setiap kepala mukim umumnya meliputi beberapa desa. Di Kecamatan Pulo Aceh terdapat tiga mukim yaitu Mukim Pulau Nasi (5 desa), Mukim Pulau Breuh Selatan (8 desa) dan Mukim Pulau Breuh Utara (4 desa). Kedua desa kajian yaitu Gugop dan Ulee Paya termasuk dalam satu mukim yaitu Mukim Pulau Breuh Selatan, dengan kepala mukim berlokasi di Desa Ulee Paya. Mukim sebagai pemimpin tradisional biasanya merupakan tokoh masyarakat atau tokoh agama yang disegani oleh masyarakat, bahkan dalam berbagai hal perkataannya lebih didengar dan menjadi panutan daripada kepemimpinan formal desa. Kelembagaan adat di Aceh biasa disebut sebagai Majlis Adat Aceh (MAA) terdapat di setiap kecamatan. Sedangkan di setiap desa persawahan terdapat ketua blank, biasanya berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan diantara masyarakat petani. Sedangkan untuk daerah perbukitan terdapat ketua Glee yang fungsinya menyelesaikan perselisihan lahan dan ternak dalam masyarakat. Secara adat di setiap wilayah kecamatan yang meliputi daerah pantai juga terdapat seorang Panglima Laut. Dalam setiap teluk terdapat ketua Teupin yang meliputi lima desa. Akibat tsunami banyak tokoh adat yang menjadi korban, termasuk panglima lautnya. Biasanya panglima laut LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



125



125



merupakan tokoh yang arif dan berpengalaman dalam kegiatan di laut, sehingga menjadi tempat rujukan untuk mengatasi permasalahan yang terkait dengan laut. Pada saat ini ketua adat untuk Kecamatan Pulo Aceh berdomisili di Desa Ulee Paya, dan menjadi salah satu informan untuk kajian di desa ini. Para pemimpin adat yang umumnya juga tokoh masyarakat dan atau tokoh agama sangat disegani di masyarakat perdesaan, melebihi pimpinan formal di desa.ataupun kecamatan. Pendekatan ke masyarkat lebih mudah melalui pimpinan adat daripada pimpinan formal. Atas inisiatif para pemuda di Desa Ulee Paya, dibentuk suatu gerakan siaga bencana yang dinamakan “Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat Tingkat Desa (Village Based Action Team) atau disingkat SIBAD. Anggotanya diusahakan semua pemuda terlibat. Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari pelatihan ‘kesiapsiagaan menghadapi bencana berbasis masyarakat’ yang pernah diselenggarakan di Desa Seumeubok pada tahun 2005. Pelatihan diselenggarakan oleh BRC bekerja sama dengan LIPI dan diikuti wakil-wakil pemuda dari 10 desa di Kecamatan Pulo Aceh (2 mukim). Dari Ulee Paya peserta sebanyak 7 orang pemuda dan peserta dari Gugop 10 orang. Peserta dari Ulee Paya adalah para pemuda dan pemudi, guru dan panglima laut. Pelatihan meliputi antara lain pemahaman tentang bencana, cara evakuasi, pertolongan pertama, memasang tenda dan menyelenggarakan dapur umum (takulubung). Terbentuknya SIBAD, sebagai gerakan kesiapsiagaan merupakan tindakan yang positif, sebagai tindak lanjut dari suatu pelatihan sebelumnya, meskipun belum banyak aktivitas yang terarah untuk suatu bentuk kesiapsiagaan berbasis masyarakat. Berdasarkan hasil diskusi dengan para pemuda setempat, kendala utama dari gerakan tersebut adalah makin berkurangnya pengurus yang aktif, karena berbagai kesibukan. Masalah lain untuk merealisasikan rencana ke depan membutuhkan dukungan kebijakan desa dan dana. Beberapa rencana yang telah dibuat antara lain : penghijauan, membuat jalan ke tempat evakuasi, dan membuat shelter di tempat evakuasi. Kesepakatan yang telah dibuat desa, bukit yang menjadi tempat penyelamatan diri penduduk deas, akan digunakan sebagai tempat evakuasi. Hasil yang sudah dicapai diantaranya adalah peta desa yang baru telah memasukkan gunung tempat penyelamatan warga sebagai tempat evakuasi. Pemukiman yang direncanakan dibangun untuk warga juga sudah lebih dekat sekitar ½ km ke gunung (sebelumnya berjarak 1 km). Penghijauan jalan di pantai dengan menanam pohon bakau (dibantu Japan Red Cross) dan pohon ketapang oleh BRC. Untuk merealisasikan tempat evakuasi perlu memperlebar jalan setapak dan tangga untuk pendakian. Meskipun dukungan desa cukup, tapi memerlukan dukungan kebijakan dan dana untuk merealisir semua rencana tersebut. Hal-hal yang masih diperlukan adalah memperbanyak pemuda yang terlatih dalam siaga bencana. Keterbatasan SDM terlatih (hanya 2 orang yang aktif), menyulitkan untuk transfer pengetahuan dan ketrampilan pada lainnya. Sosialisasi tentang kesiapsiagaan juga masih diperlukan terhadap masyarakat. Pada saat ini yang lebih dibutuhkan adalah memperbanyak orang yang terlatih menghadapi bencana, seperti latihan pertolongan pertama, evakuasi dan sebagainya.



126



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



4.1.2. Kesiapsiagaan Individu dan Rumah Tangga Kesiapsiagaan individu/rumah tangga menghadapi bencana khususnya gempa bumi dan tsunami dalam kajian ini dikelompokkan menjadi beberapa parameter yaitu pengetahuan dan sikap, perencanaan kedaruratan, sistem peringatan dan mobilisasi sumber daya. Parameter Pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga merupakan pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh individu meliputi pengetahuan tentang bencana, penyebab dan gejala-gejala, maupun apa yang harus dilakukan bila terjadi gempa bumi dan tsunami. Parameter perencanaan kedaruratan meliputi rencana yang dilakukan individu/rumah tangga untuk menghadapi kemungkinan terjadinya gempa bumi dan tsunami. Parameter ini dirinci dalam beberapa pertanyaan seperti rencana keluarga yang telah ada, tempat evakuasi keluarga, obat-obatan maupun kebutuhan dasar lainnya. Sistem peringatan meliputi keberadaan, sumber informasi maupun respon bila mendengar peringatan baik yang sudah ada dimasyarakat maupun yang diadakan pemerintah. Sedangkan parameter mobilisasi sumber daya dirinci ke dalam pertanyaan keikursertaan dalam pendidikan dan ketrampilan, jenis ketrampilan yang diikuti, mobilisasi dana maupun social capital masyarakat.



4.1.2.1. Pengetahuan dan Sikap Pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga dalam assessment ini diukur dengan beberapa indikator seperti pengertian bencana alam, jenis dan tipe bencana alam, penyebab dan tandatanda gempa bumi dan tsunami, aktifitas yang akan dilakukan jika terdapat bencana gempa bumi maupun tsunami. Individu/rumah tangga yang mempunyai pengetahuan lebih tinggi, diharapkan lebih siap menghadapi kemungkinan terjadinya bencana, sebab pengetahuan merupakan dasar dari kesadaran untuk melakukan perencanaan kedaruratan, mobilisasi sumber daya dan peringatan dini. Pengetahuan juga menjadi dasar untuk melakukan aktivitas yang benar dalam mengantisipasi datangnya bencana. Salah satu pertanyaan mendasar yang digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan masyarakat adalah apa yang dimaksud dengan bencana alam. Pendapat responden terhadap pertanyaan ini ternyata cukup bervariasi, namun sebagian besar (57 persen) menjawab bahwa bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam (Diagram 4.1.2.1). Beberapa contoh bencana alam yang mereka sebutkan adalah tsunami, gunung meletus, kebakaran hutan dan banjir. Pendapat tentang bencana alam ini tidak jauh berbeda antar responden berdasar tingkat pendidikan yaitu responden berpendidikan SD ke bawah sebesar 52 persen, sementara SMA ke atas sebesar 56,7 persen. Hanya sekitar 1 persen responden yang menyatakan bahwa bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh kerusuhan sosial/politik ataupun kebakaran hutan. Responden yang berpendapat bahwa bencana alam merupakan bencana yang disebabkan oleh perilaku manusia sebesar 41 persen. Pendapat ini berhubungan dengan kenyataan bahwa selama ini banyak warga/orang luar yang menebang hutan secara sembarangan, yang dalam waktu tertentu dapat menyebabkan terjadinya tanah gundul.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



127



127



Benc ana akibat kebakaran hutan 1% Benc ana akibat kejadian alam 57%



Benc ana akibat perilaku manus ia 41%



Benc ana akibat kerus uhan s os ial/politik 1%



Diagram 4.1.2.1. Persentase Responden menurut Pengetahuan Tentang Bencana Alam (N=144)



Tanah gundul dapat mengakibatkan terjadinya tanah longsor, maupun kelangkaan sumber air yang dapat berakibat pada terjadinya bencana kelaparan. Menjaga kelestarian alam seperti hutan adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya bencana ini, sehingga hukum harus ditegakkan. Selama ini memang belum terjadi bencana akibat penebangan hutan secara liar ini, tetapi jika tidak diantisipasi kemungkinan terjadinya bencana sangat besar. Perilaku manusia yang negative terutama yang bertentangan dengan ajaran agama mengakibatkan murka tuhan, sehingga memberikan peringatan maupun azab bagi umat manusia berupa bencana alam. Pendapat ini didukung oleh hasil FGD pada masyarakat desa yang secara mayoritas mengatakan bahwa bencana merupakan kehendak tuhan untuk mengingatkan umat manusia agar tidak melakukan perbuatan dosa. Oleh sebab itu, cara paling tepat untuk menghindari bencana adalah dengan berbuat baik dan tidak melanggar larangan tuhan. Bencana dapat terjadi karena berbagai sebab baik kejadian alam maupun ulah manusia sendiri, pertanyaan yang diajukan selanjutnya adalah kejadian alam apa saja yang dapat menimbulkan bencana. Dalam hal kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana, sebagian besar responden telah mengetahui bahwa gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung berapi dan badai dapat menimbulkan bencana (Tabel 4.1.2.1). Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar pula persentase penduduk yang berpendapat demikian, bahkan untuk gempa bumi, banjir, tanah longsor dan badai seluruh responden berpendidikan tinggi menyebutkan kejadian alam tersebut dapat menimbulkan bencana. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa kejadian alam tersebut sudah sangat dipahami oleh masyarakat. Pengalaman terjadinya tsunami, gempa bumi, banjir dan kejadian alam lainnya di Aceh ataupun beberapa daerah lain di Indonesia telah memberikan pengetahuan yang tidak akan terlupakan pada diri masyarakat baik kalangan terdidik sampai tidak terdidik. Hampir seluruh responden telah memahami bahwa gempa bumi merupakan salah



128



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



satu dari kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana sementara tanah yang mereka tempati sangat berpotensi terjadi gempa baik bersumber dari darat maupun laut. Tabel 4.1.2.1. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Kejadian Alam yang Menimbulkan Bencana Alam dan Tingkat Pendidikan



No



Kejadian alam



1 2 3 4 5 6



Gempa bumi Tsunami Banjir Tanah longsor Gunung Berapi Badai N



SD/kurang 94,9 98,7 94,9 93,6 85,9 96,2 78



Pendidikan SMP/ Sederajat 97,5 95,0 95,0 97,5 90,0 97,5 40



Total SMA ke atas 100,0 96,2 100,0 100,0 92,3 100,0 26



96,5 97,2 95,8 95,8 88,2 97,2 144



Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Dalam sebuah diskusi kelompok terarah bersama mayarakat di Desa Pulot, sebagian masyarakat menyebutkan bahwa kejadian alam yang paling potensial mengakibatkan bencana adalah badai yang berasal dari laut. Mereka memahami bahwa jarak antara desa dengan laut sudah semakin dekat bahkan mendekat kurang lebih 200 meter, sementara hampir seluruh tanaman dipinggir laut habis oleh tsunami tahun 2004 yang lalu. Jika badai datang, tidak ada lagi tanaman penghalang yang dapat melindungi mereka, sehingga sangat berbahaya bagi masyarakat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh masyarakat dalam diskusi kelompok terarah di Ulee Paya dan Gugop. Peserta diskusi mengganggap bahaya utama yang mengancam desa mereka saat ini adalah badai, sebab tanaman penghalang di pinggir laut sudah hilang, sementara jarak desa dari laut sudah semakin dekat. Khusus untuk banjir dan tanah longsor dirasakan oleh masyarakat Ulee Paya dan Gugop sebagai kejadian alam yang tidak akan terjadi di daerah mereka karena hutan di daerah ini masih sangat baik. Pertanyaan lebih jauh tentang kejadian alam yang dapat menimbulkan gempa bumi, hasilnya menunjukkan bahwa pengetahuan responden cukup bervariasi. Sebagian besar responden (70,1 persen) berpendapat bahwa gunung meletus merupakan salah satu penyebab terjadinya gempa bumi. Hal ini didasarkan pada berbagai pangalaman bahwa selama ini jika terjadi gunung meletus pasti disertai dengan gempa bumi. Pergeseran kerak bumi merupakan hal yang belum banyak diketahui warga sehingga hanya 56,9 persen yang menyatakan bahwa kejadian alam ini dapat menimbulkan gempa bumi. Istilah kerak bumi memang tidak populer bagi masyarakat bahkan selama ini banyak warga yang sama sekali belum tahu yang dimaksud dengan kerak bumi (Diagram 4.1.2.2).



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



129



129



Pendapat yang sangat bervariasi terjadi pada saat diberikan alternatif jawaban yang sebenarnya bukan sebagai penyebab terjadinya gempa bumi yaitu tanah longsor, angin topan dan halilintar serta pengeboran minyak. Responden yang berpendapat bahwa tanah longsor merupakan penyebab terjadinya gempa bumi sebesar 45,8 persen. Ketidaktahuan sebagian besar responden juga terjadi pada saat ditanyakan apakah angin topan dan halilintar dapat menimbulkan gempa bumi yaitu hanya 57,6 persen yang menjawab tidak. Jawaban kedua pertanyaan ini menunjukkan bahwa masih banyak responden yang belum mengetahui penyebab sebenarnya gempa bumi, terbukti masih cukup banyak diantara mereka yang menjawab tidak tahu. Ketidaktahuan sebagian responden juga terjadi pada saat ditanyakan apakah pengeboran minyak merupakan penyebab terjadinya gempa bumi yaitu hanya 40,3 persen menjawab tidak. Di sisi lain proporsi responden yang berpendapat bahwa pengeboran minyak dapat menjadi salah satu penyebab gempa bumi masih cukup banyak. Pendapat responden ini didasarkan pada pemikiran bahwa pengeboran minyak akan menimbulkan lubang yang cukup luas di dalam tanah. Suatu saat lubang ini dapat berdampak pada longsoran di bawah tanah yang dapat menimbulkan gempa bumi. Cukup banyak responden yang menjawab tidak tahu, apakah pengeboran minyak dapat mengakibatkan gempa bumi, sebab pada dasarnya mereka memang tidak tahu bagaimana sistem kerja pengeboran minyak tersebut termasuk menimbulkan lubang yang besar di dalam tanah atau tidak. Mereka yang merasa tidak tahu terhadap pernyataaan ini jauh lebih besar dibanding pernyataan yang lain. 80 Ya



70,1



70 60



tidak tidak tahu



57,6



56,9



50



45,8 40,3



39,6



40 30 20



32,6 25,7 17,4



27,1



25 18,1 11,8



14,6



17,4



10 0 Pergeseran kerak bumi



Gunung meletus



Tanah longsor



Angin topan dan halilintar



Pengeboran minyak



Diagram 4.1.2.2. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Kejadian Alam Penyebab Gempa Bumi (N=144)



Pemahaman tentang kejadian alam yang dapat menyebabkan gempa bumi tidak berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan, sehingga belum tentu semakin tinggi pendidikan responden 130



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



semakin banyak pula responden yang dapat menjawab secara benar. Dalam hal adanya pergeseran kerak bumi sebagai penyebab gempa, semakin tinggi tingkat pendidikan responden semakin banyak yang menjawab benar. Responden yang berpendidikan SMA ke atas sekitar 77 persen menjawab benar, kemudian menurun menjadi 62,5 persen untuk responden berpendidikan SMP sederajat dan 47,4 persen untuk SD ke bawah. Kondisi ini berbeda dengan pengeboran minyak sebagai penyebab gempa, di mana proporsi responden berpendidikan rendah yang dapat menjawab secara benar justru lebih tinggi daripada responden berpendidikan tinggi. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat belum mengetahui secara mendalam penyebab terjadinya gempa bumi. Mungkin karena selama ini informasi tentang pengetahuan ini memang masih sangat terbatas, bahkan untuk mereka yang berpendidikan lebih tinggi sekalipun. Gempa bumi dapat terjadi sewaktu-waktu bahkan pada saat manusia masih tidur dan saat ini belum ada alat yang dapat mengetahui secara pasti kapan gempa bumi akan tersebut. Oleh sebab itu manusia hanya perlu siapsiaga terhadap kemungkinan datangnya bencana, sebab sebagian besar bumi Indonesia sangat rawan terhadap gempa bumi. Gempa di Yogyakarta yang barubaru ini terjadi membuktikan bahwa tanah di Indonesia ini memang rawan terhadap gempa bumi. Sifat gempa ini tampaknya telah diketahui oleh sebagian besar responden sebab 80 persen responden mengatakan bahwa gempa bumi tidak dapat diperkirakan kapan terjadinya dan hanya 3 persen yang menyatakan sebaliknya. Sifat tidak dapat diperkirakan ini pula yang menyebabkan banyak orang menjadi panik pada saat terjadi gempa bumi berskala besar. Meskipun sebagian besar telah mengetahui bahwa gempa bumi tidak dapat diperkirakan kapan terjadinya tetapi masih terdapat 17 persen responden yang menyatakan tidak tahu (Lampiran diagram 4.1.2.1). Mereka yang tidak tahu ini sebagian besar berasal dari responden berpendidikan SD ke bawah. Gempa besar yang terjadi sebelum datang tsunami di Aceh tahun 2004 memberikan tambahan pengalaman nyata bagi responden untuk mengenali ciri-ciri gempa besar/kuat. Oleh sebab itu sebagian besar responden dapat menjawab pertanyaan tentang ciri-ciri gempa besar secara benar. Mayoritas responden menyatakan bahwa gempa besar menyebabkan bangunan retak dan roboh, goyangan kencang/keras sehingga tidak dapat berdiri, membuat pusing/limbung dan terjadi berulang-ulang. Gempa terjadi secara berulang-ulang dimaksudkan setelah terjadi gempa besar kemudian akan dikuti gempa-gempa lain yang skalanya lebih kecil. Bahkan hingga beberapa bulan setelah gempa besar masih sering terjadi gempa-gempa yang lebih kecil. Meskipun gempa-gempa susulan tersebut relatif lebih kecil biasanya warga akan tetap takut dan trauma terhadap kemungkinan terjadinya gempa yang besar lagi. Pengetahuan responden tentang ciri-ciri gempa kuat sudah cukup tinggi, sebab responden di Aceh telah merasakan gempa besar yang terjadi sebelum datangnya tsunami di Aceh pada tahun 2004 yang lalu. Berdasar pengalaman responden, gempa besar menyebabkan goyangan yang keras/kencang sehingga orang menjadi pusing dan limbung/tidak bisa berdiri tegak. Oleh sebab itu lebih dari 90 persen responden menjawab ciri tersebut sebagai salah satu ciri gempa kuat.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



131



131



Selain itu hampir keseluruhan responden menyatakan bahwa gempa besar menyebabkan sebagian bangunan retak dan roboh. Pendapat responden tersebut tidak jauh berbeda antar tingkat pendidikan, karena mereka belajar dari pengalaman yang dialami sendiri. Beberapa responden menambahkan bahwa ciri gempa kuat yang lain adalah adanya dorongan baik vertikal maupun horisontal yang begitu kuat yang menyebabkan mereka tidak dapat berdiri dengan tegak (Lampiran tabel 4.1.2.2). Pada saat ditanyakan apakah setelah gempa besar selalu diikuti oleh gempa-gempa yang lebih kecil, hampir keseluruhan responden (99 persen) menyatakan ya. Untuk gempa bumi di Aceh tahun 2004 bahkan sampai saat ini masih sering terjadi gempa, meskipun mereka tidak tahu persis apakah gempa tersebut mempunyai sumber yang sama. Gempa-gempa kecil ini akan terus terjadi hingga terdapat keseimbangan alam baru. Baik responden berpendidikan rendah maupun tinggi menjawab hal yang sama karena pengetahuan ini didapat dari pengalaman yang mereka rasakan sendiri. Gempa-gempa kecil yang mengikuti gempa besar tersebut pada awalnya sering terjadi dan secara berangsur menurun. Pengetahuan responden tentang ciri-ciri bangunan yang tahan gempa ternyata belum tinggi. Ciri umum bangunan tahan gempa yang diketahui oleh mayoritas responden adalah fundasi bangunan tertanam cukup dalam (81,3 persen menyatakan ya). Salah satu ciri yang sulit dimengerti oleh responden adalah bentuk bangunan yang berimbang/simetris, sebab istilah ini masih asing bagi masyarakat sehingga terdapat 25,7 persen responden menyatakan tidak tahu. Demikian pula halnya dengan bagian-bagian bangunan yang tersambung dengan kuat dan bangunan rumah terbuat dari material yang ringan masih banyak responden yang menyatakan tidak tahu. Ketidaktahuan responden ini bisa terjadi karena istilah yang digunakan dalam daftar pertanyaan tersebut tidak populer, atau responden memang bukan seoerang tukang bangunan sehingga kurang paham terhadap istilah-istilah dalam pertukangan. Padahal banyak informan menyatakan kebanyakan bangunan rumah di lokasi kajian tidak pernah roboh (hanya retak-retak) meskipun beberapa kali dilanda gempa besar (Tahun 1960 dan 1983). Kehancuran rumah secara total baru dialami masyarakat, ketika terjadi bencana tsunami. Seorang informan di Desa Gugop menjelaskan secara tradisional masyarakat sudah mengenal bangunan rumah panggung dari kayu/papan yang tahan gempa, karena fondasi bangunan dibuat dari semen atau batu, dengan ikatan kuat pada sambungansambungan bangunan, dengan menggunakan tali yang dibuat dari pohon enau (tidak membusuk). Responden yang menyatakan bahwa bentuk bangunan berimbang dan bangunan terbuat dari material yang ringan merupakan ciri-ciri rumah tahan gempa masih di bawah 50 persen. Persentase ini semakin kecil dengan semakin rendahnya tingkat pendidikan responden. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi pula yang mengetahui ciri-ciri bangunan yang tahan terhadap gempa. Respoden berpendidikan SD ke bawah yang menyatakan bahwa bangunan/rumah terbuat dari material ringan merupakan ciri bangunan tahan gempa hanya 41,0 persen, dan meningkat menjadi 61,5 persen untuk responden berpendidikan SMA ke atas. Meskipun demikian hanya fundasi bangunan tertanam cukup kuat yang diketahui oleh mayoritas responden.



132



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



90



81,3



Ya tidak tidak tahu



80 67,4



70 60



49,3



49,3



50 38,2



40 30



25 25,7



20



21,5 21,5 12,5



10,4 8,3



10 0 Bentuk bangunan berimbang



Pondasi bangunan tertanam cukup dalam



Bagian-bangian bangunan tersambung dengan kuat



Bangunan/rumah terbuat dari material yang ringan



Diagram 4.1.2.3. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Ciri-ciri Bangunan Tahan Gempa (N=144)



Pendapat yang cukup bervariasi terjadi pada waktu responden ditanyakan hal-hal yang akan dilakukan jika terjadi gempa bumi. Mayoritas responden (lebih dari 80 persen) menjawab bahwa mereka akan segera menuju lapangan yang terbuka, menjauhi benda-benda yang tergantung, menjauhi jendela/kaca, dan berlari keluar rumah pada saat gempa. Pendapat ini merata untuk seluruh responden baik menurut kecamatan maupun tingkat pendidikan yang ditamatkan. Secara spontanitas responden akan berusaha mencari tempat yang aman dari gempat dan tempat itu adalah tempat terbuka sehingga mereka harus keluar rumah. Menjauhi jendela kaca perlu dilakukan, karena jendela kaca mudah pecah dan pecahan kaca tersebut dapat membahayakan responden. Demikian pula halnya dengan benda-benda tergantung, dalam keadaan gempa keras benda-benda tersebut dapat terjatuh dan mengenai responden, sehingga perlu dijauhi (Lampiran tabel 4.1.2.3). Mereka yang menyatakan akan merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda hanya sebesar 32,6 persen artinya lebih banyak responden yang tidak setuju terhadap langkah ini. Berbeda halnya dengan negara Jepang yang telah menggunakan dinding terbuat dari benda-benda yang ringan dan cukup kuat, di Indonesia kebanyakan dinding terbuat dari bahan yang berat atau bahan ringan tetapi kurang memperhitungkan beban gempa bumi. Responden berpendapat sangat beresiko jika pada waktu gempa mereka harus merapat ke dinding karena jika dinding tersebut roboh dapat berbahaya bagi keselaman responden. Menjauhi ruangan setelah gempa reda juga bukan menjadi pilihan mayoritas responden sebab hanya 48,6 persen yang akan melakukannya. Menjauhi ruangan tidak perlu dilakukan menunggu gempa reda, tetap pada saat gempa tersebut terjadi. Sebab jika gempa terlalu kuat, ruangan bisa hancur dan membahayakan mereka. Dalam hal melindungi kepala, responden yang akan melindungi kepala jika terjadi gempa tidak terlalu besar (55,6 persen), tidak jauh berbeda dengan berlindung di tempat yang aman (misal di bawah meja). LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



133



133



Dalam hal kejadian alam yang dapat menimbulkan tsunami, responden mempunyai pendapat yang cukup bervariasi. Gempa bumi di bawah laut, dan gunung meletus di bawah laut merupakan kejadian alam yang menurut lebih dari 60 responden dapat menimbulkan tsunami (Diagram 4.1.2.4.). Pengalaman tsunami yang terjadi karena gempa bumi di bawah laut pada tahun 2004 yang diawali dengan gempa di bawah membuat sebagian besar responden memberikan jawaban ini. Meskipun sudah belajar dari pengalaman yang terjadi di Aceh, tetapi diantara responden tersebut masih terdapat sekitar 23,6 persen yang menjawab tidak tahu dan 15,3 persen yang menjawab tidak terhadap pertanyaan tersebut. Hal ini menunjukkan masih cukup banyak responden yang belum memahami penyebab tsunami, sehingga pemahaman yang cukup tentang penyebab terjadinya tsunami perlu diberikan pada masyarakat perdesaan Aceh, agar mereka selalu siaga dalam menghadapi bencana alam, terutama tsunami.



Diagram 4.1.2.4. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Penyebab Tsunami (N=144)



Bahkan sampai sekarang sebagian masyarakat masih berpendapat bahwa bencana tsunami hanya akan terjadi sekali dalam hidup mereka, yang diyakini sebagai akibat ulah manusia yang melanggar ketentuan dan hukum Allah. Penduduk yang mengetahui bahwa badai/angin puting beliung bukan sebagai kejadian alam yang dapat mengakibatkan tsunami ternyata masih rendah (47,2 persen). Demikian juga dengan jawaban bahwa tsunami terjadi karena ‘longsoran di bawah laut’ hanya sekitar 16 persen responden yang mengetahui bukan sebagai penyebab tsunami. Ketidaktahuan responden semakin nampak karena lebih dari 25 persen mengatakan tidak tahu apakah kedua kejadian itu dapat menyebabkan tsunami. Ketidaktahuan penduduk ini dapat dipahami karena pengetahuan ini cukup spesifik dan belum diajarkan secara luas. Pendapat responden tentang beberapa kejadian alam yang dapat menimbulkan tsunami ini merata menurut kecamatan dan jenis kelamin.



134



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tidak setiap gempa bumi dapat menimbulkan tsunami, sebab hanya gempa bumi dengan skala besar dan terjadi di lautan yang tidak terlalu dalam yang dapat menyebabkan tsunami (Lampiran diagram 4.1.2.4). Hal ini tampaknya sudah cukup diketahui oleh responden terbukti 76 responden menyatakan bahwa tidak semua gempa bumi dapat menimbulkan tsunami. Berdasar pengalaman responden selama ini, adanya gempa di darat yang pasti tidak menimbulkan tsunami dan gempa-gempa lain meskipun bersumber dari dalam laut, namun tidak menimbulkan tsunami. Meskipun demikian mayoritas responden juga menyatakan tidak mengetahui secara jelas gempa bumi seperti apa yang dapat menimbulkan tsunami. Berdasarkan tingkat pendidikan responden, terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin tinggi pemahaman responden bahwa tidak semua gempa bumi dapat menyebabkan tsunami yaitu masingmasing 73,1 persen (SD ke bawah), 77,5 persen (SMP sederajat) dan 80,8 persen (SMA ke atas). Kejadian tsunami tahun 2004 memberikan pengetahuan yang berharga bagi penduduk Aceh khususnya di lokasi kajian. Tsunami yang terjadi secara mendadak menyebabkan korban yang demikian dahsyat, karena hampir seluruh penduduk belum mempunyai dasar pengetahuan yang cukup untuk mengenali tanda-tanda tsunami. Pengalaman tsunami membuat sebagian besar responden mengenali ciri-ciri kejadian tsunami. Hal ini terbukti dengan data yang menunjukkan bahwa sebanyak 91,7 persen responden menyatakan terjadi gempa bumi yang cukup besar sebelum datang gelombang tsunami di wilayah tersebut. Selisih waktu antara gempa bumi dengan datangnya tsunami sebenarnya cukup lama (kurang lebih 30 menit), sehingga dapat dimanfaatkan untuk menyelamatkan diri. Ketidaktahuan warga untuk mengenali tanda-tanda tsunami, menyebabkan banyak warga yang saat itu berada di tempat yang aman (bukit), justru pulang karena mengkhawatirkan keluarganya yang berada di rumah. Mayoritas responden juga mengetahui tanda-tanda tsunami lainnya, yaitu sebanyak 92,4 persen juga menyebutkan datangnya gelombang besar yang nampak di cakrawala. Gelombang ini disertai dengan suara yang gemuruh seperti suara pesawat/jet, bahkan ada yang mengira sebagai suara lebah, sehingga salah satu keluarga lari bersembunyi di dalam rumah, untuk menghindari serangan lebah. Gelombang besar terjadi sebanyak tiga kali dan semakin membesar, sehingga pada gelombang besar ketiga mampu menghancurkan dan menyeret seluruh bangunan yang terdapat di lokasi kajian serta menewaskan banyak jiwa di sekitarnya. Ketidaktahuan warga tentang tanda-tanda datangnya tsunami, berakibat fatal meskipun potensi untuk menyelamatkan diri di desa kajian cukup besar, karena pada umumnya lokasi desa kajian memiliki tanah perbukitan yang relatif mudah dicapai dari permukiman mereka. Ciri kejadian tsunami lain yang disebutkan oleh 95,1 persen responden berdasar pengalaman yang mereka alami adalah air laut tiba-tiba surut yang didahului suara ledakan yang sangat keras dari laut sebanyak tiga kali. Salah satu informan menceritakan pengalamannya waktu ada kejadian tsunami sebagai berikut : “.... waktu itu saya bersama tiga orang anak saya di rumah dan ibu mertua saya yang lumpuh. Tiba-tiba ada gempa besar yang LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



135



135



mengguncang dan beberapa waktu kemudian terdengar suara ledakan yang keras sekali dari laut. Dalam keadaan yang panik sebagian warga justru penasaran ingin tahu jenis suara yang ada tersebut, sehingga mereka berlari ke arah laut. Sesampai di laut mereka melihat adanya air laut yang surut sampai beberapa ratus meter. Sebagian penduduk yang ada di pantai berusaha untuk menangkap ikan yang ada di daerah bekas air laut yang surut tersebut. Dalam hitungan kurang lebih 10 menit kemudian nampak air laut naik dan warga berusaha berlari ke tempat yang tinggi. Saya bersama anak saya lari duluan dan anak terkecil saya digendong di sulung yang sekarang sekolah SMA. Suami saya terlambat menyelamatkan diri karena berusaha untuk membawa ibu yang lumpuh, tetapi akhirnya suami dan ibu mertua tidak sampai ke bukit dan meninggal.....”. Pengetahuan bahwa tsunami didahului oleh surutnya air laut sampai beberapa ratus meter tampaknya tidak akan terlupakan oleh warga, sehingga sebesar 94,4 persen responden menyatakan akan berlari menjauhi laut ke tempat yang aman jika air laut tiba-tiba surut (Lampiran diagram 4.1.2.5). Bagi masyarakat Ulee Paya, Gugop, dan Pulot tidak sulit untuk lari ke tempat yang tinggi/aman ini, karena perumahan mereka berdekatan dengan bukit dan hanya diperukan 5-10 menit untuk mencapai ketinggian yang aman dari tsunami. Hal yang perlu dilakukan adalah bagaimana menjaga agar pengetahuan ini tidak pernah terlupakan dari generasi satu ke generasi berikutnya. Sebab tsunami terjadi dalam periode ratusan tahun sehingga beberapa generasi berikutnya baru akan merasakan terulangnya bencana tsunami. Jika tidak selalu diingatkan baik melalui dunia pendidikan formal, dongeng-dongeng maupun lagu-lagu, dikhawatirkan tanda akan datangnya bencana ini akan kembali dilupakan oleh masyarakat. Pengalaman masyarakat di Pulau Simeleu yang selalu menceritakan kembali pada generasi berikutnya melalui dongeng atau nyanyian, dapat menjadi contoh di daerah Aceh, sehingga tsunami yang baru dialaminya tidak menyebabkan banyak korban jiwa. Secara umum responden di Aceh menyatakan bahwa tidak ada satupun rumah yang akan tahan terhadap tsunami, karena kekuatan dan kecepatan gelombang tsunami sanggup merobohkan berbagai bangunan dan pepohonan ketika benda-benda tersebut masih berada pada jarak 2 meter dari kejaran air laut. Demikian pula yang dialami oleh sebagian masyarakat yang tiba-tiba mengalami kelumpuhan ketika berada pada jarak sekitar 2 meter dari air laut yang naik ke darat, sehingga tidak dapat berdiri lagi/lumpuh. Bahkan ada rumah yang seperti dipotong/diiris bagian atas fundasi kemudian dipindah ke tempat lain yang terbuka. Memang tidak semua mengatakan hal yang sama, karena ada sebagian orang yang terbawa tsunami, dan mereka tetap masih sadar bahkan mampu berenang di tengah air laut yang menyeret mereka. Akan tetapi sebagian besar responden mengatakan bahwa sebagian besar rumah tahan pada gempa bumi, tetapi tidak akan tahan untuk mengahadapi tsunami. Hal ini didasarkan pada fakta pada saat gempa datang tidak ada satupun rumah yang roboh, tetapi begitu tsunami datang rumah-rumah hancur seperti disapu oleh air laut. Namun demikian terhadap ciri-ciri bangunan yang benar-benar tahan gempa banyak 136



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



responden tidak mengetahuinya. Hal ini dapat dilihat dari data hanya terdapat sekitar 23 persen responden yang menyatakan bahwa rumah dengan ciri bagian bangunan yang panjang tegak lurus dengan garis pantai akan tahan terhadap tsunami. Selanjutnya hanya terdapat 34,7 persen yang menjawab bahwa rumah yang dilengkapi dengan ruang-ruang untuk jalannya air akan tahan terhadap tsunami (Lampiran tabel 4.1.2.6). Jenis rumah dengan ciri-ciri tersebut diantaranya adalah bangunan masjid yang sebagian masih dapat berdiri dengan tegak, meskipun terlewati oleh gelombang air laut. Transfer pengetahuan ke masyarakat tidak dapat terlepas dari media yang dapat menyampaikan informasi/pengetahuan pada masyarakat. Sumber pengetahuan yang umum bagi penduduk di lokasi kajian adalah radio, TV dan Koran, majalah, bulletin terbukti lebih dari 60 persen responden menyatakan bahwa mereka mendapat pengetahuan dari media-media tersebut (Lampiran tabel 4.1.2.7). Radio, TV dan media cetak (koran, majalah, bulletin) memang lebih dapat menjangkau masyarakat terpencil seperti halnya Desa Ulee Paya dan Gugop. Sumber informasi lain yang lebih banyak didapat responden adalah saudara, kerabat, teman, ataupun tetangga yang dapat terjadi melalui pertemuan-pertemuan informal seperti obrolan di warung kopi. Sebagai masyarakat desa yang masih mempunyai budaya gotong royong dan hubungan kekerabatan yang tinggi media ini memang cukup efektif bagi masyarakat. Petugas pemerintah ternyata masih sedikit yang menjadi sumber pengetahuan bagi warga tentang gempa dan tsunami yaitu 18,8 persen. Kondisi ini memang dapat dimaklumi sebab selama ini pemerintah masih terfokus pada kegiatan untuk rekontruksi daerah pasca bencana. Selain itu, tingkat pengetahuan aparat sendiri belum cukup memadai untuk ditransfer pada masyarakat, karena selama ini belum ada pendidikan khusus tentang tsunami bagi aparat khususnya yang berada di daerah perdesaan. Pilihan media dalam menyampaikan informasi atau pengetahuan kepada masyarakat mesti dipilih yang efektif dan dapat diterima oleh masyarakat. Potensi local merupakan unsur yang mesti diperhatikan dalam mentranser suatu pengetahuan/informasi kepada masyarakat. Perpaduan antar berbagai media informasi juga dapat di tempuh guna memperoleh hasil yang optimal.



4.1.2.2. Rencana Tanggap Darurat Perencanaan kedaruratan merupakan bagian penting dari aktivitas yang perlu dilakukan dalam rangka kesiapsiagaan masyarakat untuk menggantisipasi terjadinya gempa bumi dan tsunami. Hal umum yang dilakukan oleh responden untuk perencanaan ini adalah dengan menambah pengetahuan tentang gempa dan tsunami yaitu 87,5 persen (Tabel 4.1.2.2). Tambahan pengetahuan ini dapat saja berasal dari media elektronik, media cetak, maupun aparat pemerintah. Kesadaran warga terhadap kenyataan bahwa sebenarnya mereka masih dapat menyelamatkan diri dari tsunami jika memiliki pengetahuan yang cukup, menjadi alasan utama mengapa mereka mau menambah pengetahuan tersebut. Tindakan lain yang dilakukan sebagian besar rensponden (77,8 persen) adalah dengan membuat rencana pengungsian/evakuasi keluarga. Meskipun tempat LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



137



137



evakuasi tersebut masih sangat sederhana karena belum ada bangunan untuk berteduh, tetapi minimal terdapat tempat yang aman terhadap gelombang tsunami. Penentuan tempat ini biasanya tidak terlepas dari pengalaman kejadian tsunami tahun 2004 yang tidak menjangkau tempat aman tersebut. Tabel 4.1.2.2. Persentase Responden Menurut Tindakan Keluarga Setelah Gempa dan Tsunami 2004



No 1 2 3 4 5



Tindakan keluarga Menambah pengetahuan tentang gempa dan tsunami Membuat rencana pengungsian/ evakuasi keluarga Melakukan latihan simulasi vakuasi keluarga Membangun rumah tahan gempa Pindah rumah dari pantai ke daratan yang lebih tinggi N



SD ke bawah



Pendidikan SMP/sedera jat



SMA ke atas



Total



88,5



85,0



88,5



87,5



79,5



77,5



73,1



77,8



25,0 46,2



13,2 47,5



10,4 57,7



48,6 48,6



66,7



72,5



73,1



69,4



78



40



26



144



Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Pindah rumah ke tempat yang tinggi tampaknya merupakan salah satu alternative yang dipilih oleh sebagian responden terbukti sekitar 69 persen ingin melakukannya. Meskipun demikian tempat baru tersebut harus memperhatikan mata pencaharian penduduk dan berbagai saranaprasarana yang dibutuhkan. Seperti yang terjadi di Dayah Mamplam, sebagian besar penduduk ragu untuk pindah ke tempat yang tinggi meskipun mereka telah dibuatkan rumah di bukit yang relatif aman dari tsunami. Alasan utamanya adalah di daerah baru tersebut sumber air sangat sulit di dapat. Mereka tidak akan mampu membayar biaya air setiap bulan, seandainya harus menggunakan air PAM. Melakukan latihan evakuasi dan membangun rumah tahan gempa merupakan tindakan yang belum dilakukan oleh sebagian besar penduduk, karena terbukti hanya 48,6 persen yang melakukannya. Dalam hal rumah tahan gempa, responden tidak dapat melakukan aktivitas ini sebab rumah tersebut telah dibuat oleh pihak luar (kontraktor) dan mereka tinggal menempatinya. Pelatihan evakuasi juga belum dilakukan oleh sebagian besar penduduk sebab selama ini memang belum ada pihak-pihak yang melakukan pelatihan bagi masyarakat. Data juga menunjukkan bahwa rencana yang telah dilakukan oleh keluarga responden untuk kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam dan tsunami terfokus pada dua hal yaitu menyepakati tempat pengungsian/evakuasi keluarga (78,5 persen), dan menyiapkan alamat-alamat/no telpon yang penting (66,0 persen). Kedua hal ini telah dilakukan oleh sebagian besar responden sebab memang mudah dan praktis, tidak memerlukan biaya dan tenaga yang berarti. Dalam hal tempat pengungsian, sebagian besar keluarga mengatakan tempat yang disepakati adalah perbukitan yang pernah digunakan untuk mengungsi ketika terjadi tsunami. Meskipun belum ada bangunan yang siap huni, tetapi tempat tersebut dirasa aman terhadap tsunami (Lampiran tabel 4.1.2.8). Berkaitan dengan tempat evakuasi sebagian desa juga telah



138



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



membuat peta perumahan di perdesaan secara partisipatif yang juga memasukkan rencana membuat jalan yang cukup lebar menuju tempat evakuasi. Dalam diskusi kelompok terfokus di Desa Pulot juga terungkap betapa masyarakat menginginkan penyiapan tempat evakuasi yang dapat digunakan jika sewaktu-waktu terjadi bencana khususnya tsunami. Tempat yang diusulkan warga ini terletak di bukit yang tidak jauh dari permukiman penduduk. Pada waktu tsunami datang tahun 2004, sebagian besar warga selamat karena dapat menjangkau bukit tersebut meskipun pada waktu itu ada hambatan berupa pagar besi berduri yang menghalangi jalan menuju bukit. Sebagian warga tidak sempat melewati pagar berduri tersebut sehingga tersapu gelombang tsunami. Meskipun bukit tersebut dapat dijadikan tempat evakuasi, masih perlu dibuat jalur evakuasi yang cukup, sehingga memudahkan warga menuju tempat evakuasi. Selama ini kebun dibukit tertutup pagar untuk keamanan tanaman dari babi. Mengingat lahan yang akan digunakan untuk jalur evakuasi harus bebas hambatan, maka pembebasan lahan tersebut masih memerlukan negosiasi dengan pemiliknya. Berdasarkan pengalaman waktu terjadi bencana, warga umumnya menyadari bahwa penyiapan tempat evakuasi yang lebih baik diperlukan, agar warga di tempat evakuasi dapat memperoleh makanan dan minuman yang layak. Di Desa Ulee Paya dan Gugop misalnya masyarakat yang berhasil menyelamatkan diri di perbukitan, hanya minum dan makan dari kelapa yang banyak tumbuh di bukit selama 6 hari, sebelum pertolongan datang. Begitu pula warga Pulot yang harus makan dan minum dari kelapa selama 3 hari, dan makan super mi yang secara tidak sengaja ditemukan dalam sebuah truk yang terdampar di bukit dan menyelamatkan banyak orang yang berada di sekitarnya selama beberapa hari. Pengalaman ini memberikan kesadaran kepada warga betapa perlunya menyiapkan tempat pengungsian yang juga dapat digunakan untuk tempat istirahat dan pertolongan pertama ketika terjadi bencana. Responden yang menyepakati tempat pengungsian keluarga di Kecamatan Pulo Aceh jauh lebih besar dibanding responden di Leupung masing-masing 90 persen dan 67,6 persen. Hal ini disebabkan kedua desa di Kecamatan Pulo Aceh memang mempunyai akses yang relative mudah menuju tempat yang aman dari tsunami. Penduduk di kedua desa ini hanya memerlukan waktu kurang lebih 5 menit untuk dapat sampai ke bukit. Oleh sebab itu, tempat pengungsian khususnya untuk tsunami bukan hal sulit untuk ditentukan. Berbeda halnya dengan dua desa di Kecamatan Leupung di mana satu desa mempunyai akses yang mudah untuk menuju ke bukit, tetapi desa yang lain sangat sulit untuk mencapai bukit. Hal yang sangat sulit untuk menentukan lokasi yang aman khususnya terhadap tsunami di salah satu desa tersebut. Hal yang sama terjadi pada penentuan peta dan rute pengungsian dimana terdapat 68,6 persen responden di Kecamatan Pulo Aceh yang telah melakukannya sedangkan di Kecamatan Leupung baru 41,9 persen (Lampiran tabel 4.1.2.9). Fasilitasi BRC dalam membuat pemetaan perumahan perdesaan yang berbasis masyarakat cukup memberikan pengaruh yang besar bagi kesiapan warga. Terbukti peta perumahan tersebut juga mencakup jalur evakuasi yang diperlukan oleh masyarakat jika suatu saat terjadi bencana gempa maupun tsunami. Dokumen-dokumen penting dan bernilai merupakan komponen yang mendesak dan mudah untuk disiapkan sehingga terdapat 56,9 persen responden yang telah melakukannya. Akan tetapi



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



139



139



sebagian responden yang lain belum menyiapkan dengan alasan dokumen mereka telah habis terkena tsunami sehingga tidak ada lagi yang perlu disiapkan. Meskipun demikian jika kondisi telah pulih dan mereka mempunyai dokumen-dokumen penting tentu mereka akan mempersiapkannya. Menyiapkan makanan siap saji juga belum banyak dilakukan oleh warga, dengan pertimbangan persediaan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan saat ini artinya belum ada sisa pendapatan yang dapat digunakan untuk membeli makanan siap saji. Pengalaman responden selama dipengungsian tanpa persiapan memang sangat menyedihkan karena tidak tersedia makanan dan minuman yang mencukupi, tetapi pengadaan dan penyiapannya tentu memerlukan biaya. Sebagian responden memang mengaku telah mengikuti latihan/simulasi evakuasi (34,5 persen) tetapi sebagian besar dari mereka mengaku bahwa pelatihan tersebut masih kurang dan mereka belum bisa mensosialisasikan kepada warga yang lain. Secara eksplisit mereka berharap agar ada pelatihan dengan peserta yang lebih banyak sehingga seluruh warga mempunyai ketrampilan tersebut. 80 70



72,5



69,2



Ya



67,4



64,1



Tidak



60 50 40



35,9 27,5



30



32,6



30,8



20 10 0 SD ke baw ah



SMP/sederajat



SMA ke atas



keseluruhan responden



Diagram 4.1.2.5. Persentase Responden Menurut Kesiapsiagaan Dalam Menyiapkan Kotak P3K dan Obat-obatan Khusus untuk Pertolongan Pertama (N=144)



Cukup banyak responden yang menyiapkan kotak P3K dan obat-obatan khusus untuk pertolongan pertama (67,4 persen). Keadaan ini hampir sama pada responden dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Kondisi ini menunjukkan kesadaran yang tinggi dari masyarakat bahwa kesehatan merupakan kebutuhan utama jika terjadi suatu bencana seperti halnya gempa bumi dan tsunami. Pengalaman menunjukkan banyaknya orang yang sakit/luka karena terkena benda berat ataupun sebab lain. Oleh sebab itu obat-obatan merupakan kebutuhan pokok yang harus disediakan untuk mengantisipasi terjadinya musibah tersebut. Program lembaga-lembaga kesehatan seperti PMI, dan BRC cukup berpengaruh terhadap perencanaan keluarga untuk menyiapkan kota P3K dan obat-obatan. Hal ini dapat dilihat dari responden Kecamatan Pulo Aceh sebagai daerah yang telah mendapat program BRC dan PMI sebanyak 78,6 persen responden telah menyiapkan kota P3K. Jumlah ini lebih besar dari responden di Kecamatan Leupung yang belum ada program BRC dan PMI sebanyak 56,8 persen responden telah menyiapkannya. 140



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



4.1.2.3. Sistem Peringatan Sistem peringatan (Warning system) merupakan bagian penting dari kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi gempa dan tsunami. Tanda yang diberikan dari sistem peringatan akan disampaikan kepada masyarakat luas baik langsung maupun tidak langsung, kemudian masyarakat dapat merespon peringatan tersebut. Sistem peringatan yang efektif sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menghindarkan diri dari bahaya yang mungkin terjadi. Berkaitan dengan warning sistem ini sebagian besar responden (82,3 persen) menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya system peringatan akan terjadinya tsunami di daerahnya baik dari pemerintah maupun masyarakat lokal. Hanya 17,7 persen yang mengetahui adanya sistem peringatan tersebut, itupun berdasar pada pengalaman ketika terjadi tsunami yang lalu yaitu berupa tanda-tanda alam. Ketidaktahuan responden ini merata menurut jenjang pendidikan, karena selama ini memang belum ada sistem peringatan yang diberikan oleh pemerintah. Semikian pula dengan pengetahuan lokal, meskipun di daerah ini pernah terjadi tsunami pada waktu lebih dari 200 tahun yang lalu, tetapi tidak ada cerita ataupun transfer pengetahuan yang dilakukan oleh pendahulu mereka. Secara umum penduduk setempat berpendapat bahwa tsunami hanya akan terjadi sekali saja dan tidak akan pernah terulang lagi selama manusia tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar norma agama.



100 90



Ya Tidak



87,2



83,3



80



82,3



70,8



70



141



60 50 40



29,2



30 20



16,7



12,8



10 0 SD ke baw ah



SMP/sederajat



Diagram 4.1.2.6. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Adanya Sistem/cara Peringatan Akan Terjadinya Tsunami (N= 144) 17,7



SMA ke atas



keseluruhan responden



Dari berbagai diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam dengan masyarakat setempat, dapat diketahui pada dasarnya masyarakat juga menginginkan sistem peringatan dini tersebut. Selama ini masyarakat lokal menggunakan bedug untuk kepentingan sosial seperti kerja bakti, rapat desa, dan informasi kematian, namun belum pernah dipikirkan untuk menyepakati suatu tanda jika terdapat bahaya yang mengancam. Tanda bahaya tersebut perlu dirumuskan oleh masyarakat secara musyawarah. Untuk mengingat bahwa di daerah ini terjadi tsunami yang memakan kurban begitu dahsyat, masyarakat juga mengusulkan perlunya pembuatan monumen atau tugu peringatan yang memuat kapan terjadinya tsunami, berapa kurban meninggal dan kerugian yang ditimbulkan. Tugu/monumen ini dapat dipasang ditempat yang strategis sehingga orang dapat selalu mengingat peristiwa yang luar biasa tersebut. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



141



Mayoritas masyarakat memang berpendapat bahwa sistem peringatan dini diperlukan oleh mereka tetapi seberapa cepat peringatan itu sampai ke masyarakat juga menjadi salah satu pertanyaan mendasar bagi mereka. Tidak ada gunanya jika sistem peringatan tersebut terlambat diterima oleh masyarakat, sebab pengalaman menunjukkan tsunami begitu cepat datang sehingga keterlambatan informasi akan berdampak fatal bagi masyarakat. Dalam kondisi seperti ini mengenali tanda-tanda alam akan terjadinya tsunami tampaknya merupakan peringatan yang paling efektif bagi masyarakat. Hal yang perlu dilakukan adalah menggabungkan antara sistem peringatan yang mungkin diadakan pemerintah dengan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Pemanfaatan kelembagaan lokal seperti penglima laut, maupun tokoh masyarakat lain juga menjadi salah satu solusi, mengingat saat ini peran mereka di masyarakat cukup besar. Peringatan yang disampaikan kepada masyarakat tidak akan berguna jika tidak ditindaklanjuti dengan benar. Oleh sebab itu respon seseorang apabila mendengar peringatan atau tanda bahaya tsunami merupakan bagian tak terpisahkan dari warning system. Hampir seluruh responden mengatakan bahwa mereka akan membantu anak-anak, ibu hamil, orang tua dan orang cacat untuk keluar rumah menuju tempat aman sementara (96,2 persen). Tindakan selanjutnya adalah bergegas menjauhi pantai menuju ke tempat yang aman (92,3 persen). Tempat yang aman itu dapat berupa tempat/gedung yang tinggi maupun tempat penyelamatan/pengungsian/evakuasi sehingga renponden yang akan melakukan dua tindakan ini hampir sama jumlahnya. Hanya sedikit responden yang akan mematikan listrik, kompor, gas di rumah (36,1 persen), dan mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah (38,9 persen) jika mereka mendengar peringatan atau tanda bahaya tsunami. Tindakan ini tidak akan dilakukan dengan alasan jika tsunami datang seperti yang terjadi pada tahun 2004 semua rumah pasti akan hancur jadi untuk apalagi dikunci demikian pula halnya dengan listrik, dan kompor gas di rumah. Perbedaan cukup tinggi antar responden menurut tingkatan pendidikan terdapat pada tindakan membawa tas/kotak/kantong siaga bencana yaitu untuk SD ke bawah 59,0 persen, SMP sederajat 75,0 persen, dan SMA ke atas 80,8 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula kesadaran untuk membawa tas/kotak/kantong siaga bencana. Ketidaktahuan responden berpendidikan rendah pentingnya tas/kotak/kantong siaga bencana ini merupakan alasan mengapa mereka tidak perlu membawanya. Pelatihan yang telah dilakukan terhadap sebagian kecil warga desa di Kecamatan Pulo Aceh tempaknya juga berpengaruh terhadap tindakan yang akan dilakukan jika mereka mendengar tanda peringatan tsunami. Sebagai contoh dalam hal tindakan menjauhi pantai dan lari ke tempat yang aman terdapat 95,7 persen responden pulo aceh yang akan melakukannya sedangkan di Leupung hanya 87,8 persen. Demikian pula dalam hal bergegas menuju tempat penyelamatan/pengungsian/evakuasi terdapat 95,7 persen responden di Pulo Aceh yang akan melakukannya, sedangkan di Leupung hanya sekitar 85 persen (Lampiran tabel 4.1.2.10).



142



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Dari kenyataan ini nampak bahwa pelatihan maupun program yang masuk ke Pulo Aceh pada saat ini cukup memberikan dampak positif bagi masyarakat. Tabel 4.1.2.4. Persentase Responden Menurut Rencana Tindakan Apabila Mendengar Peringatan/ Tanda Bahaya Tsunami No 1 2 3 4 5 6 7



Alternatif Tindakan Menjauhi pantai dan lari ke tempat/ gedung yang tinggi Bergegas menuju tempat penyelamatan/ pengungsian/evakuasi Membawa tas/kotak/kantong siaga bencana Membantu anak-anak, ibu hamil, orang tua dan orang cacat keluar rumah menuju tempat aman sementara Menenangkan diri/tidak panik Mematikan listrik, kompor gas di rumah Mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah N



SD ke bawah



Pendidikan SMP/seder ajat



SMA ke atas



Total



88,5



97,5



92,3



91,7



85,9



97,5



92,3



90,3



59,0



75,0



80,8



67,4



91,0



97,5



96,2



93,8



93,6 29,5 34,6 78



100,0 40,0 40,0 40



92,3 50,0 50,0 26



95,1 36,1 38,9 144



Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



4.1.2.4. Mobilisasi Sumber Daya Mobilisasi sumberdaya dalam kajian ini dapat merupakan suatu program pelatihan (sumber daya), tindakan masyarakat, dana, sosial capital masyarakat. Pendidikan mengenai gempa dan tsunami kepada masyarakat luas ternyata masih sangat rendah, terbukti kurang lebih 79,2 persen responden mengatakan bahwa anggota keluarga mereka belum pernah mengikuti pelatihan, seminar, atau pertemuan berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa dan tsunami. Baik secara formal maupun informal sebagian besar responden mengatakan bahwa mereka belum pernah mengikuti acara tersebut. Responden yang mengaku bahwa anggota keluarga mereka ada yang telah mengikuti pelatihan, seminar, atau pertemuan sbesar 18,1 persen dan pertemuan atau pelatihan tersebut biasanya dilakukan oleh tokoh masyarakat atau aparat pemerintah desa. Tokoh masyarakat umumnya merupakan individu yang lebih dekat dengan masyarakat sehingga lebih mampu mengkomunikasikan pengetahuannya kepada masyarakat baik formal maupun informal. Berkaitan dengan pelatihan untuk untuk kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi dan tsunami ini beberapa masyarakat di Desa Ulee Paya dan Pulot pernah mengikutinya, namun pengetahuan yang didapat tersebut belum mencukupi sehingga mereka tidak mensosialisasikan kepada masyarakat yang lain. Selain waktunya sangat pendek, peserta dibagi-bagi dalam beberapa kelompok, sehingga tidak semua materi pelatihan dapat diterima oleh semua peserta. Harapan yang muncul dari mereka adalah perlunya pelatihan lebih lanjut yang lebih dapat diterima oleh LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



143



143



masyarakat. Selain itu perlunya penambahan jumlah peserta dalam satu desa, sehingga antar peserta dapat saling melengkapi pengetahuan yang mereka dapat. Pelatihan yang lengkap disertai simulasi ke tempat pengungsian, atau menolong korban yang luka juga perlu dilakukan secara lengkap, artinya semua peserta dapat mengikutinya.



90



79,5



80



80,8



77,5



79,2



70 60 50 40 30



19,2



17,5



20 10



1,3



18,1



15,4 5



3,8



2,8



0 SD ke baw ah Ya Tidak Tidak Tahu



SMP/sederajat



SMA ke atas



Keseluruhan responden



Diagram 4.1.2.7. Persentase Responden dengan Keikutsertaan Anggota Rumah Tangganya Dalam Pelatihan, Seminar/ Pertemuan Kesiapsiagaan Menghadapi Gempa dan Tsunami



Ada beberapa tindakan yang telah dilakukan sebagian responden untuk mengantisipasi jika tsunami dan gempa bumi datang baik berupa tabungan, asuransi, maupun investasi tanah/rumah di tempat yang aman. Keseluruhan alternatif persiapan hanya dilakukan oleh kurang dari 60 persen responden dalam lokasi penelitian, dan jumlah yang sangat kecil terdapat pada asuransi jiwa/harta dan kepemilikan tanah/rumah ditempat lain. Responden yang mempunyai tabungan relatif lebih tinggi sebab tabungan memang dapat berfungsi ganda yaitu sebagai alternatif untuk mengamankan uang sekaligus persiapan jika sewaktu-waktu membutuhkan biaya. Tabungan masyarakat tersebut dapat berupa natura, uang, maupun perhiasan. Meskipun masih tinggal di barak pengungsian, proporsi responden yang menabung cukup besar khususnya di Kecamatan Pulo Aceh (77,1 persen), karena sebagian besar penduduk di kedua desa tersebut memiliki lahan perkebunan di perbukitan yang tidak terjangkau oleh tsunami. Meskipun ditimpa tsunami sebagian besar penduduk masih dapat menabung dari hasil perkebunan.



144



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.1.2.5. PersentaseResponden Yang Telah Mempersiapkan Tabungan, Asuransi Dan Tanah/Rumah untuk Kewaspadaan Terhadap Bencana Alam Dan Tsunami



Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Kepemilikian tanah/rumah di tempat lain memerlukan biaya yang cukup mahal, sehingga tidak semua orang dapat melakukannya. Persiapan ini biasanya hanya dilakukan oleh penduduk dengan ekonomi yang sudah cukup baik. Bisa saja investasi berupa tanah perkebunan/pertanian di tempat yang tinggi, tetapi itupun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Responden yang melakukan asuransi jiwa/harta/benda paling sedikit dibanding yang lain sebab lokasi penelitian ini dilakukan di daerah perdesaan yang cukup terpencil, sehingga tidak mudah bagi masyarakat untuk mengakses asuransi. Dari ketiga jenis persiapan ini menabung menjadi jenis persiapan yang paling banyak dilakukan oleh warga mengingat sebelumnya masyarakat aceh memang sudah terbiasa menabung dalam bentuk perhiasan. Pendidikan No 1 2 3



Jenis persiapan



Total SM P/sederaja SM A ke SD ke bawah t atas Sebagian besar penduduk pesisir di aceh merupakan penduduk asli daerah setempat, sehingga Tabungan 48,7 62,5 69,2 sebagian besar memiliki saudara dekat dan teman yang tinggal tidak jauh56,3 dari tempat tinggal Asuransi jiwa/harta/benda 17,9 15,0 34,6 20,1 mereka. Tsunami tahun 2004 telah berdampak pada meninggalnya sebagian besar famili dan Tanah/rumah di tempat 15,4 32,5 30,8 22,9 lain teman mereka. Oleh sebab itu sebagian besar responden menyatakan bahwa pada saat ini mereka N 78 yang bisa segera 40membantu jika 26terjadi bencana 144 lagi. Keadaan tidak mempunyai kerabat/teman



ini merata untuk semua tingkatan pendidikan, sebab sebagian besar diantara mereka memang kehilangan banyak kerabat/famili tersebut. Hal yang berbeda akan terjadi jika pertanyaan dilakukan sebelum tsunami, sebab sebagian besar responden menyatakan bahwa sekarang mereka tidak punya siapapun, tetapi sebelum tsunami mereka punya. Bantuan dari teman/kerabat dapat berupa materi, maupun bantuan psikologis dengan saling mendukung dan mengingatkan.



4.1.2.5. Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat Tingkat pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga Aceh terhadap bencana alam ternyata masuk dalam kategori siap dengan nilai indeks 72 artinya penduduk telah mengetahui jenis, gejala, dan apa yang perlu dilakukan jika suatu kejadian alam yang dapat menyebabkan bencana terjadi. Kondisi ini disebabkan oleh pengalaman yang terjadi selama ini, sehingga mereka dapat LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



145



145



belajar dari kejadian yang telah memakan kurban sangat besar. Bencana tsunami diawali dengan tanda-tanda yang spesifik seperti air laut surut, gempa yang besar dan suara yang sangat keras tampaknya tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat. Jika saja mereka dapat mengenali tanda-tanda ini sebelum datangnya tsunami tentu korban baik harta maupun jiwa dapat dihindari atau diminimalkan. Akan tetapi pengetahuan ini belum dilengkapi dengan rencana kedaruratan, sistem peringatan dini, maupun mobilisasi sumber daya yang cukup, terbukti tingkat kesiapsiagaan dalam parameter ini sangat rendah. Indeks rencana kedaruratan = 53 (kurang siap), sistem peringatan = 45 (kurang siap), mobilisasi sumber daya = 25 (belum siap), dan indeks gabungan =57 (hampir siap). Mayoritas masyarakat bependapat bahwa yang paling utama dilakukan saat ini bagi mereka adalah pemilihan perumahan dan sarana prasarana desa lainnya. Sejak awal perumahan penduduk ini memang semestinya didesain dengan memperhitungkan kemungkinan bencana yang akan datang. Selain itu pemulihan mata pencaharian penduduk yang hancur karena diterjang oleh tsunami juga menjadi agenda utama harus dilakukan. Dalam hal tanggap darurat masih sedikit responden yang telah menyiapkan kelengkapan untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan, makan, dan kebutuhan penting lainnya yang secara rinci telah dijelaskan dalam subbab rencana kedaruratan. Kebutuhan-kebutuhan yang secara alami tersedia oleh alam ataupun tidak memerlukan biaya dan tenaga yang besar seperti tempat pengungsian, no telpon penting dan sebagainya memang telah direncanakan dan disediakan. Akan tetapi fasilitas yang melengkapinya masih sangat sederhana seperti tempat pengungsian yang tidak dilengkapi sarana dan prasarana apapun. Beda halnya dengan kebutuhan yang memerlukan biaya meskipun tidak terlalu besar, sebagian responden belum dapat menyiapkannya. Tabel 4.1.2.6. Indeks Kesiapsiagaan Individu/Rumah tangga Dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Menurut Tingkat Pendidikan No 1 2 3 4



Parameter Pengetahuan dan sikap Rencana kedaruratan Sistem Peringatan Mobilisasi sumberdaya Total



SD ke bawah 70 52 43 22 55



Pendidikan SMP/sederajat 75 52 45 24 58



SMA ke atas 75 61 53 35 63



Total 72 53 45 25 57



Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Indeks sistem peringatan dini menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang siap baik dalam penyediaan sistem peringatan, maupun merespons jika mendengar tanda peringatan tersebut. Sistem peringatan terhadap akan terjadinya bencana tsunami memang belum tersedia di lokasi assessment, sebab selama ini masyarakat belum tahu bahwa ada salah satu bahaya yang



146



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



mengancam yaitu tsunami. Meskipun dalam sejarahnya daerah ini pernah terjadi tsunami kurang lebih 200 tahun yang lalu, tetapi ilmu itu tidak pernah sampai kepada mereka. Untuk itu sebelum ini, masyarakat belum pernah memikirkannya bahkan berfikir kejadian alam tersebut akan datang di daerah mereka. Karena belum pernah ada sistem peringatan, maka cara merespon jika mereka mendengar bahaya akan terjadinya tsunamipun belum tahun. Secara alamiah yang akan dilakukan adalah lari ke tempat yang aman. Indeks mobilisasi sumber daya di lokasi assessment masih rendah (nilai indeks 25) sebab selama ini masyarakat masih terfokus pada kegiatan pemulihan pasca tsunami. Pembangunan rumah kembali, pemulihan mata pencaharian penduduk menjadi fokus utama kegiatan mereka. Selain itu belum ada suatu lembaga yang memfokuskan pada peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. Meskipun mobilisasi sumber daya individu/rumah tangga di desa lokasi studi masih rendah, tetapi beberapa desa juga telah melakukan langkah-langkah positif untuk mengantisipasi bencana. Salah satu kegiatan ini adalah dengan menanam tanaman pelindung di pantai guna menahan ombak maupun angin dari laut. Kondisi ini didasari oleh hancurnya tanaman pelindung yang semula ada di pantai, karena terkena tsunami. Selain itu, tanah dipantai saat ini sudah berkurang hingga ratusan meter menjadi laut. Jika tidak diantisipasi masyarakat khawatir tanah akan semakin terkikis dan kehidupan mereka menjadi terganggu. Indeks emergency planning, warning system, dan resources mobilization berkorelasi dengan tingkat pendidikan yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula angka indeksnya. Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran penduduk berpendidikan tinggi dalam kesiapsiagaan lebih tinggi dibanding penduduk berpendidikan rendah. Penduduk berpendidikan tinggi sudah mulai mempersiapkan tempat-tempat yang cocok untuk evakuasi, obat-obatan yang diperlukan dalam kondisi gawat darurat, maupun pakaian seperlunya. Secara bersama-sama masyarakat khususnya di Desa Ulee Paya dan Gugop sebenarnya juga telah membuat perencanaan kedepan tata ruang perumahan di perdesaan termasuk tempat evakuasi terdekat, lorong/jalan menuju tempat evakuasi, dan jarak antar rumah yang memudahkan untuk saling membantu. Alternatif lain yang ditempuh oleh masyarakat dayah mamplam adalah dengan berpindah ke daerah yang lebih tinggi, meskipun hingga kini keputusan tentang perpindahan ini belum ada titik temu. Intervensi dari luar berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap gempa bumi dan tsunami tampaknya juga sangat berpengaruh pada tingkat kesiapsiagaan masyarakat. Fakta empirik menunjukkan responden yang tinggal di Pulo Aceh mempunyai indeks kesiapsiagaan 59, lebih tinggi dibanding dengan masyarakat yang tinggal di Kecamatan Leupung dengan indeks kesiapsiagaan 55 (Lampiran tabel 4.1.2.11). Kedua nilai indeks ini berada pada kriteria hampir siap, tetapi level hampir siapnya akan berbeda mengingat nilai indeksnya juga berbeda. Dua desa di Pulo Aceh yang digunakan untuk assessment ini telah mendapatkan berbagai program termasuk pelatihan bencana dan pemetaan perumahan perdesaan secara partisipatif.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



147



147



4.1.3. Kesiapsiagaan Pemerintah Penelitian dan pengkajian tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana di lingkungan pemerintahan telah dilakukan di Aceh yang diwakili oleh Kecamatan Leupung dan Kecamatan Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Dalam penelitian ini telah dilakukan dengan metode wawancara langsung dan pengisian angket dengan parameter-parameter mencakup pengenalan tempat, gambaran umum, pengetahuan dan sikap tentang bencana alam, kebijakan dan panduan, dan rencana tanggap darurat. Sebagai nara sumber yang mewakili pemerintah adalah camat dan sekretaris camat yang membawahi ke 2 (dua) kecamatan tersebut di atas. 4.1.3.1. Pengetahuan dan Sikap Peristiwa gempa bumi dan tsunami tahun 2004 memberikan pembelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Aceh khususnya dalam memberikan pengetahuan tentang bencana. Pernyataan tersebut di atas juga didukung sepenuhnya bagi pemerintahan baik untuk kecamatan Leupung maupun kecamatan Pulau Aceh. Secara aktual data-data atau informasi mengenai bencana yang pernah terjadi di ke 2 kecamatan seperti gempa bumi, tsunami, kebakaran, banjir longsor dll, belum ada atau hilang saat terjadi gempa bumi dan tsunami. Namun pihak kecamatan yang diwakili oleh Camat/Sekretaris Camat masih ingat peristiwa-peristiwa gempa bumi sebelum tahun 2004, seperti yang pernah terjadi tahun 1967 dan tahun 1983 dengan pusat gempa di patahan sumatra.. Pengetahuan tentang bencana Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan aparat kecamatan yang diwakili oleh Sekretaris Camat Leupung dan camat Pulau Aceh menunjukkan bahwa pengetahuan tentang gempa bumi dan tsunami cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan pengalaman yang pernah dialami pada peristiwa gempa bumi dan tsunami tahun 2004. Disamping itu juga pernah mengalami gempa-gempa sebelumnya seperti yang terjadi tahun 1967 dan 1983 dengan pusat gempa di patahan Sumatra. Gempa-gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami dan hanya bangunan-bangunan yang terdapat di Banda Aceh yang mengalami kerusakan. Data-data tersebut tidak terekam dalam data kecamatan, hal ini didukung dengan tidak adanya jawaban di pertanyaan kuisioner yang mewakili pemerintah kecamatan. Demikian juga dokumen-dokumen berkaitan dengan kebencanaan seperti peta bahaya (gempa, tsunami, longsor), peta evakuasi sekaligus tempat jalur dan tempat evakuasi dan lain-lain sama sekali tidak dimiliki oleh kecamatan. Dimungkinkan data tersebut belum ada atau hilang pada saat bencana tsunami tahun 2004 yang lalu. Disamping itu dimungkinkan pemerintah kecamatan masih terfokus dalam pembangunan kembali (rehabilitasi dan rekonstruksi) lahan dan perumahan yang rusak oleh gempa bumi dan tsunami tahun 2004. Dari segi pengetahuan aparat kecamatan tentang gambaran umum dari keberadaan daerahnya seperti kondisi geografi, topografi dan jenis tanahnya sangat baik. Hal ini ditunjukkan oleh responden (camat/sekcam) mengetahui bahwa keberadaan wilayahnya terdapat di wilayah pantai,



148



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



topografinya rendah lebih rendah 25 meter dan kondisi tanahnya yang terdiri dari batuan, tanah sedang dan tanah lunak. Aparat kecamatan juga menyatakan tidak ada gejala atau tanda alam sebelum terjadi gempa, hal ini berbeda dengan sebelum terjadi tsunami terdengar suara gemuruh yang berasal dari laut. Pada saat tsunami banyak masyarakat yang menjadi korban meninggal dan hilang. Korban terbesar terutama di desa Dayah Mamplam, kecamatan Leupung yang disebabkan curam dan terjalnya perbukitan yang terdapat di bagian timurnya, sehingga sulit untuk mencapai tempat yang tinggi. Sedang desa Gugop kecamatan Pulau Aceh dikarenakan tidak adanya waktu untuk menyelamatkan diri, yang disebabkan adanya pematang bukit pasir (beach ridge) yang menghalangi pandangan ke arah laut. Disamping korban manusia juga hampir seluruh harta benda berupa rumah, ladang, sawah menjadi hancur semua. Demikian juga lahan di kawasan pantai sebagian besar hilang, karena adanya abrasi dan penggerusan oleh gelombang tsunami yang menyebabkan berkurangnya luas dataran pantainya, sedang lautnya lebih menjorok ke arah daratan. Akibat lainnya adalah beberapa tempat di dataran pantainya terisi oleh air akibat adanya amblesanamblesan dan membentuk rawa-rawa, hal ini tentunya mengurangi lagi luas lahan yang ada. Pengetahuan tentang kerentanan wilayah (Lingkungan Fisik) Kondisi kerawanan wilayah menurut aparat sangat rentan terhadap gempa bumi, tsunami, abrasi air laut dan angin kencang. Bahkan untuk gempa bumi setelah tahun 2004, goncangan gempa masih sering terjadi dengan skala yang lebih kecil. Abrasi gelombang laut juga banyak menggerus kawasan pantai barat kecamatan Leupung dan kecamatan Pulau Aceh (desa Gugop). Bahkan di desa Pulot pada sisi jalan yang dekat dengan laut dipasang tumpukan batu guna menghindari abrasi laut dan gelombang pasang. Kondisi lain yang menjadikan daerah ini menjadi rawan menurut aparat adalah kencangnya tiupan angin, sehingga masyarakat menjadi terganggu dan takut. Memang hampir seluruh desa-desa baik di kecamatan Leupung maupun Pulau Aceh (desa Gugop dan Ulee Paya) sering mengeluh dengan kencangnya angin laut, terutama pada musim angin barat yang menerpa pemukiman. Tidak adanya pepohonan dikawasan pantai yang tumbang akibat bencana tsunami menambah terbukanya kawasan ini dan menjadikan tiupan angin ini menjadi lebih kencang. Aparat juga telah mengajukan permohonan untuk dilakukan penanaman pohon “kasuarina” (sejenis pinus) seperti yang telah dilakukan di kecamatan Lhok Nga di sebelah utaranya. Pembangunan perumahan masyarakat di desa-desa yang termasuk dalam kecamatan Leupung hingga kini masih berlangsung, sedang di desa Gugop dan Ulee Paya kecamatan Pulau Aceh pada saat penelitian ini dilakukan masih menunggu bahan material. Menurut aparat kecamatan jenis konstruksi bangunan adalah hanya mengikuti dari badan atau lembaga yang memberi bantuan perumahan. Jenis bangunan rumahnya menurut aparat adalah berkonstruksi ringan dengan sistem “bongkar pasang”. Disamping itu terdapat pertemuan-pertemuan antara aparat kecamatan dengan NGO (organisasi non pemerintah) yang dilakukan setiap bulannya. Pertemuan ini membahas perkembangan dari pembangunan perumahan tersebut. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



149



149



Berdasarkan ulasan di atas yang merupakan hasil wawancara dengan aparat pemerintah kecamatan tentang tingkat pengetahuan kebencanaan, maka dapat disimpulkan bahwa sebagai aparat mempunyai tingkatan hampir siap, sedang kecamatan sendiri sebagai lembaga atau institusi mempunyai tingkat kurang siap dalam kesiap siagaan menghadapi bencana. Hal ini disebabkan oleh minimnya atau tidak adanya fasilitas ketersediaan data dan dokumen yang berkaitan dengan bencana alam.



4.1.3.2. Kebijakan Terkait dengan Kesiapsiagaan Masyarakat Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada sekretaris camat Leupung dan camat Pulau Aceh menunjukkan gambaran bahwa belum adanya struktur di lembaga kecamatan yang mengurusi mengenai bencana. Walaupun demikian menurut aparat bahwa pemerintah kecamatan menyatakan siap mendukung setiap kegiatan yang berkaitan dengan kesiap siagaan bencana yang mungkin akan diusulkan dari setiap desa desa yang terdapat di lingkungannya. Disamping itu hasil wawancara dengan camat dan sekretaris camat Leupung dan camat Pulau Aceh mengatakan perlunya dibentuk lembaga khusus dalam menangani masalah kesiap siagaan bencana. Hal lain yang cukup menggembirakan adalah sikap dan keinginan pemerintah tingkat kecamatan yang diambil dalam mengurangi resiko jika bencana tersebut terjadi lagi. Keinginan tersebut seperti perlunya dilakukan penambahan pengetahuan kebencanaan (gempabumi dan tsunami) dan pelatihan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya benana tersebut di atas. Memang menurut aparat di kecamatan Leupung sebelum dan setelah peristiwa gempa dan tsunami tahun 2004 belum pernah dilakukan sosialisasi tentang pengetahuan dan pemahaman tentang kesiap siagaan menghadapi bencana. Sebaliknya 4 desa di kecamatan Pulau Aceh termasuk didalamnya desa Gugop dan Ulee Paya pernah mendapatkan pelatihan pengetahuan tentang kesiap siagaan bencana berbasis masyarakat yang dilakukan lebih kurang satu tahun yang lalu. Untuk kebijakan yang berhubungan dengan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana hingga saat ini dapat dikatakan belum ada, hal ini disebabkan konsentrasi utama dari pemerintahan kecamatan masih terfokus pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana gempa dan tsunami tahun 2004. Kendala lainnya adalah keterbatasan fasilitas kecamatan dan sumberdaya manusia yang ada di kecamatan tersebut.



4.1.3.3. Rencana Tanggap Darurat Perencanaan untuk tanggap darurat untuk kedua kecamatan yang sudah ada saat ini masih tergolong minim. Mengikuti aturan yang diberlakukan melalui Kepmendagri No. 131 tahun 2003 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah, beberapa hal harus dilakukan kecamatan. Dalam hal perencanaan tanggap darurat, beberapa hal perlu dilakukan oleh pihak kecamatan.



150



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kondisi sementara pada kedua kecamatan, belum memungkinkan bagi mereka untuk membuat dokumentasi berkenaan dengan peta rawan bencana, juklak dan juknis penanganan bencana, serta protab. Sedangkan data dasar seperti peta pendukung kepadatan penduduk, peta pendukung penggunaan lahan belum sempat dibuat kembali. Kondisi sementara ini masih akan terus berjalan terutama untuk membangun mekanisme pengumpulan data yang dapat dijalankan secara normal. Sedangkan dari sisi sumber daya manusia, pihak kecamatan memiliki posko bencana yang saat ini digunakan dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Terdapat 8 buah posko bencana yang berlokasi di Kecamatan Leupung dan 3 buah posko bencana di Kecamatan Pulo Aceh. Kesebelas posko ini membantu dalam mengkoordinasikan kegiatan penyaluran bantuan rutin seperti bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya, minyak tanah dan solar. Pada saat bencana terjadi, kegiatan yang harus ada tersebut tidak sempat dijalankan karena pihak kecamatan dan pemerintah daerah lainnya merupakan pihak yang lumpuh atau tidak dapat beroperasi secara normal. Pada tahap sesudah bencana, ketika kantor kecamatan sementara sudah dapat berfungsi, kecamatan mulai dilibatkan lagi dalam kegiatan inventarisasi korban bencana, dan penyaluran bantuan. Saat ini dengan fasilitas dan sumber daya manusia yang minim, pihak kecamatan menginventarisasi kebutuhan dan memberi masukan dan memonitor rencana dan pelaksanaan pembangunan yang akan / sedang berjalan di kecamatannya. Dalam melakukan kegiatan ini, pihak kecamatan mendapat bantuan dari LSM asing baik berupa program pendataan, maupun sumber daya manusia yang ditempatkan di kantor kecamatan1.. Mekanisme Pelaksanaan Penanganan Bencana pada tahap Perencanaan Tanggap Darurat Berdasarkan Kepmendagri No. 131 tahun 2003 Terjadi Bencana Sebelum



Saat ini



Setelah



Mekanisme - membuat peta rawan bencana dan menginformasikan daerah rawan bencana dan daerah alternative pengungsian korban bencana; - mengadakan bimbingan dan penyuluhan kepada potensi Hansip/ Linmas dan masyarakat di daerah rawan bencana, - memberi Pertolongan pertama pada korban bencana dan menyiapkan dapur umum - menyiapkan tempat penampungan sementara - mengungsikan korban bencana - mengamankan daerah bencana - menerima dan menyalurkan bantuan - inventarisasi jumlah korban bencana - menerima dan menyalurkan bantuan serta mempertanggungjawabkannya



Pemerintah kecamatan dalam hal ini kurang berperan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, bahkan cenderung menjadi penonton hiruk pikuknya pembangunan kembali Aceh, baik oleh 1



Untuk kantor penghubung kecamatan Pulo Aceh, bantuan sumber daya manusia didapat melalui program yang digerakkan oleh AIPRD.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



151



151



kategoris ketiga adalah fasilitas kritis pelayanan kesehatan / keselamatan yang termasuk pelayanan dari dinas Kesehatan, rumah sakit, SAR / Ambulans, dan Pemadam Kebakaran. Penjelasan mengenai fasilitas kritis ini meliputi kerentanan fisik, prosedur tanggap darurat, system back up atau redudansi, dan kapasitas untuk merestorasi dan recovery dari fasilitas kritis ini. Penjelasan mengenai fasilitas kritis pada desa desa ini akan dibagi berdasarkan kecamatan yaitu Leupung dan Pulo Aceh. Hal ini didasarkan pada pembagian administrasi dan karakteristik fasilitas yang dibutuhkan untuk menjalankan kesiapsiagaan di kedua kecamatan ini. Belajar dari pengalaman menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004, sebagian besar fasilitas kritis yang mendukung kesiapsiagaan terhadap bencana telah rusak atau hancur. Untuk itu penilaian terhadap kerentanan dari fasilitas kritis ini didasarkan pada kondisi keberadaan fasilitas kritis pada saat ini. Bagi kedua desa yg berlokasi di kecamatan Leupung, kerentanan dari fasilitas kritis jaringan transportasi terletak pada jaringan jalan dan jembatan. Cepatnya proses rehabilitasi di kedua desa ini, dikarenakan cepatnya pula pembangunan jaringan jalan regional yang menghubungkan mereka dengan kota Banda Aceh. Jaringan jalan menjadi jalur vital bagi penduduk di kedua desa tersebut. Sedangkan untuk jaringan transportasi laut masih terbatas pemfungsiannya. Hal ini mengingat kerusakan selain pada prasarana dermaga juga kurangnya sarana berupa kapal dan nakhoda yang dapat menjalankan kapal tersebut masih terbatas. Bagi kedua desa di kecamatan Pulo Aceh, yang menjadi rentan adalah mengenai jaringan transportasi laut. Dengan hilangnya dermaga, dan hilangnya kapal milik masyarakat yg sedianya digunakan untuk mengangkut orang serta barang kebutuhan warga, maka hubungan antar pulau2 tersebut dengan daratan Aceh menjadi tidak ada. Padahal jaringan transportasi laut ini lah yang membantu pengembangan jaringan jalan di pulau Beras. Sedangkan jaringan jalan antar desa di setiap pulau di kecamatan ini bergantung pada perkerasan jalan yang peralatan dan bahan bakunya harus didatangkan dari luar pulau. Keberadaan dermaga yang dapat menerima barang, peralatan seperti ini dibutuhkan sekali. Jaringan lifelines untuk desa desa di kedua kecamatan pada saat ini bersifat sementara. Apalagi keberadaan jaringan transportasi menjadi penting bagi pergerakan orang dan barang terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti beras, pangan lainnya, obat2 an, buku, pakaian, bahan bangunan, dan alat produksi yang memadai, keberadaan jaringan lifelines berkenaan dengan berjalannya kehidupan sehari hari seperti listrik, telekomunikasi, dan air bersih. Untuk listrik sementara ini masih menggunakan jenset bantuan pihak LSM. Untuk keperluan berkomunikasi, sebagian besar warga menggunakan TV yg bersifat satu arah, radio HT, dan sebagian mereka yg tinggal di desa Gugop dapat menggunakan telpon selular (HP). Kondisi darurat ini menunjukkan tingkat kerentanan yang masih sangat tinggi terutama karena untuk ketersediaan pelayanannya masih memerlukan bantuan rutin dari pihak luar seperti LSM. Masyarakat local sendiri belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, ataupun dengan bantuan pemerintah. Hal ini mengingat pemerintah juga belum melakukan pemulihan jaringan listrik, TV yang sebelum terjadi tsunami



152



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



BRR maupun NGO. Kondisi serba darurat juga menyulitkan camat dalam melakukan kebijakan sektoral, karena pemerintah desa belum sepenuhnya pulih, masih menempati barak pengungsian. Masyarakat juga cenderung lebih focus pada percepatan pemulihan situasi kearah normal, terutama untuk ketiga kebutuhan pokok yaitu kebutuhan perumahan, pendidikan dan kesehatan. Itulah sebabnya kebijakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana menjadi terabaikan. Kalaupun terdapat kegiatan yang mengarah pada tindakan darurat, biasanya dilakukan masyarakat atas bantuan NGO.



4.1.3.4. Fasilitas Kritis Dalam kondisi keempat desa lokasi studi sedang dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, maka keberadaan fasilitas kritis tidak dalam kondisi normal, sehingga sulit untuk dapat dimobilisasikan bagi kepentingan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Ada sekitar sebelas fasilitas kritis yang akan diamati dan dibagi menjadi tiga kategori utama. Kategori pertama adalah fasilitas kritis jaringan transportasi yang terdiri dari jalan dan jembatan, pelabuhan dan bandara. Kategori kedua adalah fasilitas kritis lifelines yaitu PLN, Telkom, PDAM, dan Radio/TV. Sedangkan merupakan pelayanan standar masyarakat di kedua desa Pulo Aceh. Untuk kedua desa di kecamatan Leupung, kondisi lifelines hampir sama dengan yang di kecamatan Pulo Aceh. Perbedaan mendasar, adalah berkenaan dengan kemudahan menggunakan HP untuk berkomunikasi. Untuk pelayanan kesehatan di keempat desa, pada saat ini bergantung pada adanya Puskeslit yang bersifat sementara, karena Puskesmas yang permanen untuk keempat desa ini sedang dalam proses pembangunan. Pemilihan lokasi fasilitas ini menunjukkan areal yang mudah dijangkau dan cukup aman terlindungi. Tidak ada rumah sakit, kegiatan SAR maupun pemadam kebakaran di ke empat desa ini. Prosedur tanggap darurat untuk ketiga kategori ini tidak dimiliki secara khusus untuk skala kecamatan dan juga skala desa. Pemerintahan desa pada saat ini pada kondisi sementara, dimana perangkat dan peraturan desa belum sempat dikonsolidasikan. Sedangkan pemulihan kegiatan kecamatan lebih diprioritaskan oleh pemerintah pusat, terutama untuk melakukan pendataan kembali pada asset yang tersisa termasuk kondisi penduduk. Pada saat ini, meskipun kondisi bangunannya darurat, kegiatan di kecamatan sudah intensif, terutama dalam pendataan dan monitoring kegiatan di desa desanya. Demikian pula dengan sistem pendukung (back up system), akibat tsunami tidak ada lagi yang tersisa. Sistem back up yang ada, bergantung pada kondisi alam yang mendukung dan dan pada kegiatan pertanian di perbukitan. Back up system untuk jaringan transportasi tidak ada untuk desa desa di Pulo Aceh. Sedangkan untuk Kecamatan Leupung, back up system untuk sistem transportasi bergantung pada upaya rehabilitasi yang dilakukan pihak luar. Demikian pula back up system untuk lifelines, bergantung pada pihak luar untuk membantu membuka isolasi desa desa ini. Pelayanan kesehatan di desa ini bergantung pada ‘kemampuan warga local’ untuk mencari LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



153



153



tempat yang baik untuk pengobatan, atau menemukan tempat peristirahatan yg dulunya merupakan tempat bertani mereka. Untuk kapasitas restore dan recovery, hampir di semua kategori bergantung pada pihak luar. Kehilangan yg dihadapi masyarakat di keempat desa ini meliputi lapangan kerja yang hilang dan setelah satu tahun belum kembali normal, kemandirian desanya dalam mencukupi kebutuhan lokalnya seperti keperluan pangan, serta keaktifan warga dalam mendorong pembangunan di desa desanya. Pada kondisi dimana kehidupan masyarakat masih bergantung pada pihak luar, termasuk pemerintah dan LSM, dan masyarakat belum dapat menentukan sendiri prose mana yang akan diutamakan, maka kapasitas untuk recovery dan restore dalam kondisi mandiri belum terbangun baik.



4.1.3.5. Sistem Peringatan Dari sisi sistem peringatan yang telah ada saat ini, pada lokasi studi di perdesaan Aceh, pihak pemerintah kecamatan merupakan pihak yang bertanggung jawab. Sebelum terjadinya bencana, tidak secara spesifik pemerintah kecamatan memiliki perangkat atau unit Operasi Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. Menurut Kepmendagri No. 131 tahun 2003 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah, pemerintah kecamatan memiliki fungsi mengkoordinasikan kegiatan organisasi masyarakat struktural dan non struktural yg dimulai dari tahap sebelum, saat dan setelah terjadi bencana. Salah satu mekanisme yang harus dimiliki oleh kecamatan sebelum bencana adalah memberikan peringatan dini kepada masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Kondisi sosial politik dan keamanan sebelum terjadinya bencana 2004 mengakibatkan pemerintahan sipil (terutama kecamatan dan desa) berjalan dengan memberikan pelayanan umum yang minimal. Cara kerja yang dilakukan pemerintah sipil termasuk stagnan serta kurang menyesuaikan terhadap peraturan-peraturan baru yg dibuat di tingkat pusat. Kondisi yang dapat digambarkan mengenai peringatan dini di tingkat kecamatan hampir dikatakan tidak ada. Hal ini juga mengingat pengalaman masyarakat dan pemerintah menghadapi bencana alam minimal2. Pengalaman kebencanaan yang seringkali dialami justru dalam menghadapi konflik sosial politik yang melibatkan pihak militer. Pihak kecamatan bekerjasama dengan polisi atau militer dalam menyampaikan pesan yang bersifat publik kepada masyarakat terutama dalam menghadapi bahaya pertikaian bersenjata. Pemerintah kecamatan juga bekerjasama dengan pihak pemerintah desa yang kemudian menggantungkan kepada keberadaan mesjid sebagai pihak yang dapat menyampaikan pesan secara komunal kepada warganya. Dengan jenis bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami, sistem peringatan bergantung pada pihak yang memiliki kemampuan saintifik dan berwenang memberikan peringatan kepada masyarakat. Untuk Desa Gugop,



2



Pengalaman masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana alam sebelum tahun 2004, terjadi pada tahun 1983 yaitu gempa bumi.



154



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kecamatan Pulo Aceh dan Desa Dayah Mamplam, Kkecamatan Leupung, yang memiliki korban terbanyak akibat gempa bumi dan tsunami, ketiadaan sistem peringatan serta pendeknya waktu yang tersedia antara terjadinya bencana dan kesempatan untuk menyelamatkan diri, dianggap sebagai salah satu penyebab tingginya jumlah korban yang meninggal. Pada kasus Desa Dayah Mamplam, kondisi geografisnya dekat dengan pantai dan terjalnya lokasi evakuasi mempersulit upaya evakuasi warga. Sedangkan Desa Gugop, di wilayah pantai Pulau Beras, juga termasuk desa yang tidak banyak berkomunikasi intensif, baik dengan pihak pemerintah maupun dengan pihak non pemerintah lainnya. Desa Ulee Payee, yang merupakan desa yang memiliki jumlah korban paling kecil di Kecamatan Pulo Aceh, diuntungkan oleh lokasi desa yang tidak langsung terkena gelombang tsunami, karena gelombang pertama hanya melewati desa tersebut. Hal ini memberi kesempatan warga untuk mengevakuasi diri ke bukit-bukit di sekitarnya. Pada hari naas yang tidak terduga sebelumnya, sebagian warga juga sedang melakukan aktivitas bertani di perbukitan, sehingga secara tidak langsung berhasil menyelamatkan diri. Dapat disimpulkan bahwa pada waktu bencana tsunami terjadi di Aceh, penyelamatan diri boleh dikatakan tergantung pada warga sendiri dengan kapasitas merespons secara alami terhadap kejadian yang tidak biasa, sehingga terdapat perbedaan kemudahan warga dalam upaya menyelamatkan diri. Situasi politik pada saat itu tidak memungkinkan banyak desa di Aceh dapat berkomunikasi secara intensif dengan pihak luar. Desa- desa yg berlokasi di Pulau Breueh, Kecamatan Pulo Aceh termasuk desa yang kurang tersentuh dengan komunikasi pihak pemerintah, kurang memiliki jaringan telekomunikasi yang baik pula. Sedangkan desa- desa di Kecamatan Leupung termasuk desa yang lebih terbuka, cukup ramai dan mandiri. Jika bencana terjadi, mereka yang tinggal di Kecamatan Leupung akan bergantung pada aparat desa/ muspida untuk memberi informasi atau peringatan mengenai kejadian bencana. Sedangkan di Kecamatan Pulo Aceh, aparat kecamatanlah yang menentukan kondisi bencana di desa- desa tersebut. 155 Kecamatan merupakan lini pemerintahan yang difungsikan terlebih dahulu di Aceh sejak bencana tsunami 2004, daripada pemerintah desa. Kegiatan di kecamatan menitikberatkan pada pendataan penduduk, aset-aset masyarakat, dan memonitor rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedang berjalan di lapangan. Sedangkan pemerintah desa bekerja terutama untuk mendata anggota masyarakat di desanya yang masih ada. Lokasi kantor pemerintah kecamatan masih sementara, jumlah staf juga masih terbatas, lokasi masyarakat yang dilayani masih tersebar di lokasi tempat tinggal sementara, bantuan dari lembaga asing seperti AIPRD mempermudah upaya menjalankan pemerintahan kecamatan. Namun, kegiatan pelayanan umum dari pemerintah kecamatan masih minimal dan belum membentuk pemerintah dengan struktur yang dapat memasukkan unsur unit operasi kebencanaan. Dari sisi warning system yang telah ada saat ini, pihak pemerintahan kecamatan menggantungkan pada keberadaan mesjid sebagai pihak yang dapat menyampaikan pesan secara komunal kepada warganya. Selama ini sistem peringatan sangat bergantung pada pihak luar untuk memberikan informasi mengenai adanya bencana. Untuk Desa Gugop di Kecamatan Pulo Aceh dan Dayah



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



155



Mamplam di Kecamatan Leupung, yang memiliki korban terbanyak akibat gempa bumi dan tsunami, ketiadaan siystem peringatan dianggap sebagai salah satu penyebab tingginya jumlah korban yang meninggal. Pada kasus Dayah Mamplam, meskipun kondisi geografisnya dekat dengan pantai dan tidak jauh dari lokasi perbukitan, namun kondisi bukit yang berbatuan dan sangat terjal, mempersulit upaya evakuasi warga ke daerah perbukitan. Sedangkan Desa Gugop, yang selama ini berlokasi di wilayah pantai dan tepat berada di teluk Pulau Beras selatan, juga termasuk desa yang sebetulnya memiliki daerah perbukitan yang ideal untuk tempat evakuasi (hanya sekitar 10 menit dari permukiman), namun terbesar mengalami dampak bencana. Salah satu sebab adalah kondisi masyarakat desa yang selama ini tidak biasa menjalin komunikasi intensif dengan pihak lain, baik dengan pemerintah maupun non pemerintah.



4.1.3.6. Mobilisasi Sumber Daya Meskipun peralatan untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana yang saat ini dimiliki oleh pihak kecamatan minim, namun pihak kecamatan memiliki satuan dari Hansip/Linmas yang dapat diberdayakan untuk keperluan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Di kecamatan Leupung terdapat 43 personnel hansip / linmas. Sedangkan di kecamatan Pulo Aceh terdapat 6 orang yg menjadi hansip / linmas. Namun pelatihan periodic berkenaan dengan kesiapsiagaan seperti yang digariskan melalui Kepmendagri tersebut, tidak dilakukan pada saat ini. Pihak kecamatan Leupung mengaku siap untuk menolong warganya ketika bencana terjadi melalui pendirian posko bencana, penyiapan dapur umum, penyaluran bantuan. Sedangkan di kecamatan Pulo Aceh kesiapan ini lebih lemah. Hal yang utama dilakukan di kecamatan Pulo Aceh adalah menyalurkan bantuan kepada warga. Kondisi di Pulo Aceh yang terdiri dari beberapa pulau dan tidak dekat dengan daratan Aceh, mengakibatkan koordinasi kegiatan pada skala kecamatan dan pelaksanaan pertolongan yg dikoordinir kecamatan sulit dilaksanakan. Lebih mudah, apabila pihak desa dikuatkan unit operasi penanggulangan bencananya terutama pada sisi resource mobilization and capacity. Hal ini dapat memperkuat keselamatan dan ketahanan warga dalam menghadapi bencana.



4.1.3.7. Tingkat Kesiapsiagaan Dari hasil kajian terungkap bahwa pemerintah kecamatan di Kabupaten Aceh Besar masih kurang siap dalam mengantisipasi bencana, diindikasikan dari nilai indeks kesiapsiagaan yang hanya mencapai 48. Tetapi penilaian ini tidak dapat mencerminkan kondisi yang sesungguhnya karena kajian ini dilakukan hanya di 2 kecamatan dan kedua pimpinan pemerintahan kecamatan tersebut juga masih relatif baru (sekitar 3 bulan), sehingga kemungkinan informasi yang diperoleh tentang kesiapsiagaan juga terbatas. Di samping itu, kondisi Aceh belum sepenuhnya pulih dan saat ini masih konsentrasi pada kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan-bangunan yang hancur 156



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



total. Sumber daya yang masih serba terbatas menyebabkan lemahnya peran pemerintah dalam menggerakkan sumber daya yang serba terbatas. Pemerintah kecamatan juga hampir tidak berperan dalam rencana pemulihan daerahnya, sehingga hampir tidak lagi memiliki sumber daya untuk dimobilisasikan dalam kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Namun demikian diharapkan nilai indeks ini akan terus berubah sejalan dengan semakin normalnya kegiatan kepemerintahan di Aceh, yang didukung dengan semakin lengkapnya pembangunan fasilitas publik.



4.1.4. Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah Kajian tentang kesiapsiagaan untuk komunitas sekolah mencakup 3 kelompok yaitu kesiapsiagaan sekolah (S1), guru (S2) dan siswa (S3). Kesiapsiagaan sekolah dinilai terutama berdasarkan pengisian kuesioner oleh kepala sekolah masing-masing sekolah. Jumlah sekolah di lokasi kajian 5 unit yaitu 2 unit di Pulo Aceh (SD dan SMP) dan 3 unit sekolah di Leupung.(SD,SMP dan SMA), sehingga 5 kuesioner yang terisi adalah keseluruhan sekolah yang tersedia dilokasi saat dilakukan asesmen. Kesiapsiagaan komunitas sekolah lainnya adalah 14 guru dari kelima sekolah tersebut, yaitu 6 orang di Pulo Aceh dan 8 orang di Leupung. Jumlah guru yang menjadi responden merupakan sebagian besar dari komunitas guru yang ada pada saat asesmen. Komunitas sekolah lainnya adalah siswa dari kelima sekolah tersebut. Jumlah siswa sebagai responden mencapai 46 siswa, terdiri dari 22 siswa di Pulo Aceh dan 24 di Leupung. Dilihat dari masing-masing tingkat sekolah responden terdiri dari 19 orang (SD), 22 orang (SMP) dan 5 orang (SMA). Jumlah siswa yang menjadi responden merupakan sebagian besar dari siswa klas 5 dan 6 di tingkat SD, klas 2 dan 3 di SMP dan klas 2 SMA. Data lain diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dengan masyarakat sekolah, terutama dengan kepala sekolah, guru dan komite sekolah (wakil orang tua siswa) Untuk keperluan analisa, tabulasi silang untuk siswa di SMP dan SMA digabung karena jumlah responden di SMA relative kecil (5 orang), sehingga kurang bemakna jika dipisah dengan siswa lainnya (SMP).



4.1.4.1. Pengetahuan dan Sikap/ Tindakan Terhadap Resiko Bencana Guru Guru mempunyai peran yang sangat strategis untuk kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Sebagai pendidik guru dapat mentransfer ilmu kepada siswa dari beberapa periode, sekaligus penggerak dan pelaku utama kesiapsiagaan sekolah. Dalam hal apa yang dimaksud bencana alam terdapat 12 responden (85,7 persen) yang menyebutkan bahwa bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam. Karena disebabkan oleh kejadian alam bencana tidak dapat ditolak atau dicegah, yang dapat dilakukan hanyalah mengantisipasi agar jika bencana datang tidak menimbulkan kerugian baik jiwa maupun harta. Antisipasi ini dapat dilakukan dengan mengetahui tanda-tanda akan terjadinya



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



157



157



bencana alam; membuat sistem peringatan dini akan terjadinya bencana alam; perencanaan kedaruratan seperti lokasi evakuasi, perlengkapan evakuasi, persiapan kebutuhan pokok; maupun persiapan mobilisasi sumber daya baik dana, tenaga, maupun sarana prasarana jika terjadi bencana. Pendapat bahwa bencana alam merupakan bencana akibat perilaku manusia dinyatakan oleh 14,3 persen responden. Perilaku manusia yang tidak benar dalam mengelola sumber daya alam, juga dapat berdampak pada bencana alam. Seperti halnya manusia yang menebang hutan secara tidak beraturan, sehingga hutan menjadi gundul dan jika hujan datang dapat terjadi bencana banjir. Kebakaran hutan, banjir maupun tanah longsor merupakan bencana yang dipengaruhi oleh ulah tangan manusia. Bencana jenis ini sebenarnya dapat dihindari jika manusia mau bertindak arif dan bijak dalam mengelola sumber daya alam.



Bencana akibat perilaku manusia 14%



Bencana akibat kejadian alam 86%



Diagram 4.1.4.1. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Bencana Alam



Pada waktu ditanyakan tentang kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana hampir seluruh guru (lebih dari 90 persen) menjawab bahwa gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung berapi, dan badai merupakan kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana. Gempa bumi sangat potensial terjadi di daerah Aceh baik bersumber dari darat dan laut karena Aceh merupakan bagian dari daratan Sumatra yang mempunyai patahan di darat dan laut. Tsunami juga merupakan salah satu kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana terutama di Aceh. Periode tsunami mencapai lebih dari 200 tahun menjadi tantangan tersendiri untuk selalu mengingatkan kejadian tersebut kepada generasi selanjutnya, sebab jika tidak selalu diingatkan, generasi tersebut bisa jadi akan melupakan kejadian yang memakan korban demikian besarnya. Gunung berapi yang meletus juga sebagai kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Gunung Merapi di Yogyakarta yang saat ini sedang aktif merupakan salah satu contoh bahwa gunung berapi meletus merupakan kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana.



158



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.1.4.1 Pendapat responden tentang penyebab terjadinya gempa bumi dan ciri-ciri gempa kuat (presentase yang menjawab “ya”)



Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Setelah ditanyakan lebih lanjut tentang apa saja penyebab gempa bumi, sebagian besar guru menjawab pergesean kerak bumi dan gunung meletus. Alternatif jawaban yang salah dalam pertanyaan ini (tanah longsor, angin topan dan halilintar, serta pengeboran minyak) hanya dipilih oleh sebagian kecil guru. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan guru tentang penyebab gempa bumi sudah cukup baik. Pergeseran kerak bumi merupakan salah satu penyebab terjadinya NO URAIAN PERSENTASE gempa bumi seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004. Pada waktu itu, gempa yang sangat besar PENYEBAB BUMI pergeseran kerak bumi di bawah laut. Gempa dengan intensitas yang terjadi GEMBA karena adanya 1 Pergeseran 92,9 disusul oleh tsunami. sangatkerak besarbumi telah membuat sebagian besar masyarakat panik, apalagi setelah 2 3 4 5 1 2 3 4



Gunung meletus 85,7 TanahGempa longsor bumi menurut sebagian besar guru (57,1 persen) tidak dapat diperkirakan 28,6 kapan terjadinya, Anginsehingga topan dansebagian halilintar besar orang menjadi bingung pada waktu terjadi gempa 7,1 besar. Kepanikan ini Pengeboran minyak 14,3 akan berlanjut ke pasca gempa, seandainya gempa menimbulkan kerusakan yang parah terhadap CIRI-CIRI GEMPA KUAT rumah maupun barang-barang yang lain. Oleh sebab itu, tindakan yang paling baik adalah antisipasi Gempa terjadi berulang-ulang 78,6 atau kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi tersebut, terutama gempa yang Gempa membuat pusing/limbung 71,4 besar. Sebab gempa bumi yang besar dapat menyebabkan kerugian yang besar baik harta maupun Gempa menyebabkan goyangan kencang/keras 100,0 jiwa. Antisipasi terhadap gempa dapat berupa antisipasi pada waktu terjadi gempa, maupun Bangunan retak dan roboh 92,9 pasca gempa seperti tempat N evakuasi/pengungsian, barang-barang 14kebutuhan pokok, dan



mobilisasi sumber daya (Lampiran tabel 4.1.4.1). . Gempa besar memiliki ciri-ciri tertentu, dan pada saat ditanyakan ciri-ciri tersebut kepada guru sebagian besar menjawab gempa terjadi berulang-ulang, membuat pusing/limbung, menyebabkan goyangan keras/kencang dan bangunan retak/roboh. Gempa terjadi berulang-ulang artinya setelah gempa besar pasti akan diikuti oleh gempa-gempa lain yang lebih kecil. Sehingga 100 persen guru mengatakan bahwa setelah gempa besar selalu diikuti oleh gempa-gempa kecil. GempaLIPI – UNESCO/ISDR, 2006



159



159



gempa kecil ini pada dasarnya merupakan bagian proses alam untuk membentuk keseimbangan baru setelah terjadinya gempa besar. Gempa membuat pusing/limbung merupakan ciri lain dari gempa besar, sehingga orang biasanya tidak dapat berdiri secara tegak. Itulah sebabnya pada waktu terjadi gempa besar disarankan seseorang tidak keluar rumah/ruangan terlebih dahulu, tetapi perlu menunggu sampai gempa mereda. Tindakan inipun dapat menimbulkan resiko, jika bangunan yang ditempati tidak tahan terhadap gempa. Dengan mudah rumah tersebut dapat hancur dan menimpa orang yang bersangkutan. Dalam kondisi seperti ini, rumah tahan gempa dan terbuat dari material yang ringan menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi adanya resiko gempa. Goyangan yang kencang/ keras dari gempa dapat berakibat pada bangunan menjadi retak maupun roboh, terutama bangunan yang tidak memperhitungkan beban gempa. Sebagai daerah yang rawan terhadap gempa, sudah semestinya apabila semua jenis bangunan direncanakan sesuai dengan standard bangunan yang tahan terhadap gempa bumi. Keadaan ini merupakan salah satu alternative untuk mencegah terjadinya korban yang besar baik harta maupun jiwa. Pada saat ditanyakan ciri-ciri bangunan yang tahan terhadap gempa, sebagian besar guru menjawab bahwa fondasi bangunan tertanam cukup dalam, dan bangunan/rumah terbuat dari material yang ringan. Material yang ringan tersebut selain lebih tahan terhadap gempa, juga tidak terlalu berbahaya bagi manusia. Bangunan seperti di Yogyakarta dan sekitarnya yang rata-rata terbuat dari tembok misalnya ternyata tidak cukup tahan terhadap gempa. Selain itu bangunan ini juga berbahaya bagi manusia terbukti banyak diantara mereka yang mati tertimpa reruntuhan bangunan rumah. Bentuk bangunan berimbang dan bagian-bagian bangunan tersambung dengan kuat, tampaknya belum banyak diketahui oleh informan, sehingga masih 50 persen ke bawah yang berpendapat sebagai ciri bangunan yang tahan gempa. Islilah simetris/berimbang nampaknya tidak familier bagi sebagian guru, sehingga mereka tidak dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap alternative pilihan tersebut (Lampiran tabel 4.1.4.2). Dalam hal tindakan yang akan dilakukan apabila terjadi gempa besar, mayoritas guru telah dapat menjawab secara benar. Keluar gedung menggunakan tangga bila berada di gedung bertingkat setelah gempa reda merupakan alternative jawaban yang dipilih oleh sebagian kecil guru (35,7 persen). Kekhawatiran gempa dapat menyebabkan bangunan hancur, tampaknya menjadi alasan guru tidak memilih alternative ini. Yang perlu dilakukan adalah segera keluar bangunan tersebut, sehingga jika bangunan hancur manusia masih bisa selamat. Kondisi bangunan daerah setempat yang terbuat dari material tidak ringan dan konstruksi bangunan yang belum disesuaikan dengan standard gempa menjadi alasan guru untuk tidak memilih jawaban ini. Berbeda halnya dengan daerah/negara lain yang telah membuat bangunan rumah yang tahan gempa material bangunan terbuat dari bahan-bahan ringan dan fondasi bangunan kuat. Oleh sebab itu tinggal digedung pada waktu ada gempa merupakan tindakan yang aman. Memang disadari sulit untuk keluar dari rumah pada saat gempa terjadi, karena orang tidak dapat berdiri dengan tegak dan bisa pusing/ limbung tetapi tinggal di gedung juga mempuyai resiko yang sama. 160



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Merapat ke dinding yang terbebas dari benda-benda merupakan alternatif tindakan yang akan dilakukan oleh 57,1 persen responden bila terjadi gempa. Pilihan ini memang mengandung resiko cukup besar, sebab jika orang merapat ke dinding pada waktu gempa, dinding tersebut dapat hancur dan mengenai tubuh manusia. Beberapa kasus di Yogyakarta menunjukkan cukup banyak warga yang meninggal karena tertimpa reruntuhan termasuk dinding yang ambrol. Resiko inilah tampaknya yang membuat para responden tidak memilih untuk melakukannya pada waktu terjadi gempa. Yang semestinya dilakukan adalah keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Sama halnya dengan meninggalkan rumah setelah gempa reda yang hanya dipilih oleh 57,1 persen responden. Pilihan ini tidak menjadi pilihan mayoritas karena yang semestinya dilakukan adalah segera keluar ruangan pada waktu ada gempa. Dengan demikian manusia dapat terhindar dari bahaya jika bangunan yang ditempati tersebut hancur. Table 4.1.4.2. Persentase responden yang berpendapat bahwa hal-hal berikut akan dilakukan apabila terjadi gempa



NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11



TINDAKAN YANG AKAN DILAKUKAN Berlindung di tempat yang aman (misal bawah meja yang kokoh) Melindungi kepala Segera menuju lapangan yang terbuka Menjauhi benda-benda yang tergantung Merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda Menjauhi jendela/dinding kaca Meninggalkan ruangan setelah gempa reda Keluar gedung menggunakan tangga bila berada di gedung bertingkat setelah gempa reda Memarkir mobil di pinggir jalan jika sedang berada di dalam kendaraan Menjauhi jembatan Berlari keluar rumah pada saat gempa N



PERSENTASE 71,4 71,4 100 78,6 57,1 92,9 57,1 35,7



161



100 92,9 92,9 14



Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Pengetahuan guru terhadap gempa bumi yang dapat menyebabkan tsunami ternyata masih rendah, terbukti baru 50 persen yang menyatakan bahwa tidak semua gempa bumi dapat menyebabkan tsunami. Karena kurang memahami apakah setiap gempa dapat menyebabkan tsunami, sebanyak 35,7 persen guru memilih menjawab tidak tahu. Kondisi ini dapat terjadi karena guru yang menjadi responden dalam assessment ini memang berasal dari latar belakang pendidikan yang berbedabeda. Jangankan mendapat palajaran tentang tsunami, sedangkan istilah tsunamipun baru mereka dengar akhir-akhir ini melalui media. Hal yang sangat mereka sayangkan adalah mengapa pemerintah tidak cepat merespon kemungkinan terjadinya tsunami, padahal tsunami memang potensial terjadi di Aceh (Lampiran tabel 4.1.4.3).



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



161



Ketidaktahuan guru semakin nyata pada waktu ditanyakan kejadian alam yang dapat menyebabkan terjadinya tsunami. Sebagian besar guru juga masih memilih alternatif jawaban yang salah. Mereka yang berpendapat bahwa longsoran di bawah laut dapat menimbulkan tsunami sebesar 71,4 persen, sementara yang menjawab bahwa badai/puting beliung dapat menyebabkan tsunami sebesar 35,7 persen (Lampiran tabel 4.1.4.4). Kedua alternatif jawaban tersebut sebenarnya tidak dapat menimbulkan tsunami Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengetahuan guru selaku pelaku utama transfer ilmu pengetahuan kepada siswa maupun masyarakat luas masih perlu ditingkatkan. Sebagai tenaga pendidikan sudah semestinya jika guru lebih paham tentang apa itu tsunami, penyebab tsunami, tanda-tanda dan cara agar dapat selamat dari tsunami. Dalam hal pengetahuan tentang tsunami mayoritas guru mengakui bahwa selama ini pengetahuan mereka masih sangat sedikit, sehingga sulit untuk mentransfer ilmu kepada siswa dan masyarakat umum. Selama ini memang telah terdengar kejadian tsunami khususnya di Jepang, tetapi informasi kemungkinan terjadi di Indonesia khususnya Aceh masih belum ada. Itulah sebabnya keluarga dan bahkan guru-guru dalam satu sekolahan banyak yang menjadi korban. Salah satu guru geografi mengakui bahwa selama ini ada pelajaran tentang bencana di mata pelajaran yang diajarkannya. Tetapi muatannya sangat sedikit, sehingga dirasa tidak cukup bermanfaat bagi para siswa. Di pelajaran tersebut memang ada disinggung bencana tsunami sebagai salah satu jenis bencana yang ada di dunia, tetapi eksplorasi lebih lanjut tentang apa tsunami, gejala-gejala apa yang mendahului jika akan terjadi tsunami, dan bahasan lainnya tidak dimuat dalam pelajaran tersebut. Oleh karena itu, ia juga merasa bahwa selama ini ia telah gagal dalam memberikan pendidikan kepada siswa, bahkan keluarga sendiri menjadi korban karena tidak tahu apa yang harus dilakukan pada waktu terjadi tsunami. Meskipun selama ini pengetahuan yang dimiliki oleh guru tentang tsunami masih sangat sedikit, tetapi pengalaman tsunami tahun 2004 yang lalu memberikan tambahan pengetahuan secara alami bagi para guru. Pada waktu kejadian tsunami para guru memang juga tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan bumi mereka, sehingga tidak tahu apa yang harus diperbuat. Ketidaktahuan kalangan pendidik tentu berdampak pada kejadian yang sangat tidak diinginkan oleh semua pihak dimana banyak sekali terjadi korban tsunami. Pengenalan tanda/gejala akan terjadinya bencana tsunami merupakan salah satu cara untuk dapat menyelamatkan diri dari tsunami. Sebab kurang lebih 30 menit sebelum gelombang besar tersebut datang terdapat tandatanda yang memungkinkan orang dapat menyelamatkan diri. Salah tanda yang disebutkan oleh seluruh guru adalah terjadinya gempa yang menyebabkan goyangan sangat kencang/keras sehingga tidak bisa berdiri. Gempa besar yang terjadi pada tahun 2004 dirasakan oleh seluruh masyarakat di Aceh dan menimbulkan kepanikan, karena tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Ciri lain yang menandai akan adanya tsunami adalah air laut tiba-tiba surut sampai ratusan meter. Salah seorang guru di SD Ulee paya menceritakan pengalaman kejadian dan tanda-tanda tsunami ini sebagai berikut :



162



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



“....Waktu itu hari minggu, kebetulan di sekolah kami sedang ada acara sekolah yang dihadiri oleh siswa kelas 4 ke atas. Kebetulan acara tidak dilakukan di SD Ulee Paya yang terletak ditepi laut, tetapi meminjam tempat di SMP Ulee Paya. Pada waktu acara belum dimulai tiba-tiba ada gempa besar sehingga membuat panik semua yang telah datang. Kami belum menyadari apa sebenarnya yang sedang terjadi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dari jauh terdengar masyarakat berteriak “air laut surut” berkali-kali. Beberapa menit kemudian ada salah satu nelayan yang datang ke sekolah kami, dan mengatakan bahwa ada gelombang besar yang datang dari kejauhan. Serentak secara bersama-sama kami berusaha untuk menyelamatkan diri ke bukit. Karena ada pagar kawat berduri yang menghalangi sekolahan tersebut untuk dapat ke bukit, terpaksa kami harus membuka terlebih dahulu. Beruntung kami dapat membukanya dan dapat segera ke bukit. Dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama datanglah gelombang itu. Gelombang pertama tidak terlalu besar, dan disusul gelombang kedua yang sangat besar dan menghabiskan seluruh bangunan di desa ini termasuk sekolah SMP yang digunakan untuk acara tersebut. Semua siswa yang mengikuti acara dan telah sampai di sekolahan selamat, tetapi mereka yang masih di jalan tidak dapat selamat. Dan siswa yang masih dibawah kelas 4 juga tidak dapat diselamatkan karena ada di rumah ...”. Karena tidak semua guru mengetahui secara persis tanda-tanda sebelum terjadinya tsunami tahun 2004, maka hanya 50 persen yang menjawab adanya gelombang besar di cakrawala. Sama halnya dengan masyarakat umum, para guru juga memberitahukan ciri lain sebelum datangnya tsunami yaitu adanya suara ledakan yang sangat keras dari laut. Beberapa menit setelah ledakan tersebut kemudian terjadi gelombang besar yang membuat desa Ulee Paya rata dengan tanah. Tidak ada bangunan yang tersisa karena diterjang ombak besar. Setelah terjadinya tsunami sampai beberapa minggu, praktis kegiatan belajar mengajar di desa ini lumpuh total, karena seluruh masyarakat ikut mengungsi ke Kabupaten Banda Aceh. Salah satu ciri akan datangnya tsunami adalah adanya air surut sampai ratusan meter, sehingga pada waktu ditanyakan kepada para guru apa yang akan dilakukan jika air laut tiba-tiba surut semua responden mengatakan bahwa mereka akan berlari menjauhi pantai. Akan tetapi berapa meter air laut tersebut surut tentunya juga harus diperhatikan, sebab selama ini di daerah juga sering terjadi air surut karena pasang surut dan bukan tanda akan terjadi tsunami. Jika setiap air surut seseorang harus menjauhi pantai tentu kurang pas, sehingga perlu kombinasi antara air laut surut dengan tanda-tanda lainnya. Meskipun demikian untuk mengantisipasi terjadinya tsunami, langkah aman yang perlu diambil jika air laut tiba-tiba surut adalah dengan menjauhi pantai.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



163



163



Pada waktu ditanyakan apa saja ciri-ciri bangunan yang tahan tsunami, para guru cukup kesulitan untuk menjawabnya sebab berdasar pengalaman selama ini tidak ada bangunan yang tersisa di keempat desa lokasi assessment ini. Di beberapa daerah lain memang ada beberapa bangunan yang masih utuh, tidak hancur oleh tsunami tetapi sulit bagi mereka untuk mengidentifikasi mengapa bangunan tersebut tidak hancur. Secara faktual ada salah satu guru yang mengatakan bahwa bangunan di desa ini masih utuh pada waktu ada gempa. Gelombang pertama meratakan sebagian bangunan yang dekat dengan laut dan pada waktu gelombang terakhir seluruh bangunan sudah tidak ada yang tersisa lagi. Setelah diajukan beberapa alternative jawaban sebanyak 78,6 persen guru menjawab bahwa bangunan yang direncanakan sesuai dengan standard beban tsunami yang dapat tahan. Akan tetapi pendapat inipun masih dalam taraf pemikiran karena selama ini mereka memang belum tahu standard bangunan seperti apa yang tahan terhadap tsunami. Namun jika ada standard bangunan tahan tsunami, bangunan yang mengikuti standard tersebut pasti akan tahan. 90 78,6



80 64,3



70 60



57,1



50 40 30 20 10 0 Adanya ruang-ruang untuk jalannya air



Bagian bangunan yang panjang tegak lurus terhadap garis pantai



Direncanakan sesuai dengan standar beban tsunami



Diagram 4.1.4.2. Persentase Responden Dengan Pengetahuan Tentang Ciri Bangunan/rumah yang Tahan Tsunami



Adanya ruang-ruang untuk jalannya air juga menjadi alternative jawaban yang dipilih oleh 57,1 persen guru sebagai ciri bangunan yang tahan tsunami. Alternative jawaban ini didasarkan pada kenyataan adanya sebagian masjid yang masih berdiri tegak tidak hancur oleh tsunami. Adannya celah yang cukup untuk jalannya air akan mengurangi bagian bangunan yang menahan air sehingga beban berkurang. Meskipun demikian kombinasi antara beberapa ciri perlu dilakukan sehingga bangunan dapat tahan terhadap tsunami. Ciri lainnya yang disebut oleh 64,3 persen responden adalah bagian bangunan yang panjang tegak lurus terhadap garis pantai. Tipe bangunan ini hanya menahan air lebih sedikit dibanding jika bagian bangunan yang bagian panjangnya sejajar dengan pantai sehingga bangunan lebih tahan terhadap tsunami. Sumber pengetahuan tentang bencana baik gempa maupun tsunami dapat berupa media cetak, media elektronik, petugas pemerintah, LSM maupun masyarakat. Dalam hal sumber pengetahuan 164



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



ini sebagian besar guru (78,6 persen) menyatakan bahwa mereka mendapatkan pengetahuan dari TV maupun media cetak (koran, majalah, dan bulletin). Sebagai kalangan yang cukup terpelajar media ini memang lebih populer dan mudah diakses oleh para guru. Pada saat ini TV tampaknya menjadi media yang paling banyak memberikan pengetahuan bagi guru, terutama pemberitaan setelah terjadinya tsunami di Aceh. Seluruh stakeholder di daerah assessment termasuk guru menyadari bahwa Bangsa Indonesia telah kecolongan oleh tsunami yang memakan korban begitu besar. Oleh sebab itu kesadaran untuk dapat berperan serta mengantisipasi bencana tersebut menjadi hal yang sangat fundamental. Guru sebagai salah satu elemen penting untuk penyiapan generasi penerus juga telah menyadari kondisi ini, terbukti sebesar 64,3 persen dari mereka berusaha untuk memberikan pelajaran tentang gempa dan tsunami kepada siswa. Mayoritas guru menyadari bahwa ilmu yang mereka miliki tentang gempa dan tsunami memang masih sangat kurang, tetapi minimal mereka dapat mengingatkan bahwa semua orang harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya bencana. Pembelajaran tentang bencana ini dirasakan masih sangat minim, karena pengetahuan para guru tentang bencana sendiri masih minim, dan pelajaran ini belum dimuat dalam bagian khusus mata pelajaran di sekolah. Bagaimanapun pelajaran tentang bencana ini akan sangat kurang jika tidak ada mata pelajaran tertentu yang memuatnya, karena sekolah sudah dituntut untuk menyelesaikan kurikulum yang telah ada.



Tidak 36%



165



Diagram 4.1.4.3 Pernah Distribusi Responden Tentang pernah/tidaknya Memberikan 64% Pelajaran Gempa Bumi dan Tsunami Kepada Siswa



Siswa Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan sikap siswa terhadap bencana alam khususnya gempa bumi dan tsunami, beberapa pertanyaan dalam kuesioner meliputi antara lain pengertian bencana alam, macam kejadian alam, penyebab dan gejala/tanda-tanda bencana, hubungan gempa dan tsunami, pengetahuan tentang beberapa kejadian tsunami di Indonesia dan sumber pengetahuan tersebut. Juga ditanyakan peran sekolah/masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan siswa tentang bencana.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



165



Tingkat pengetahuan responden (siswa) tentang bencana alam diperoleh dari jawaban atas pertanyaan “apa yang dimaksud dengan bencana alam?”. Dari empat pilihan jawaban yang tersedia, pada umumnya responden hanya memfokuskan pada dua jawaban yaitu bencana sebagai ‘kejadian alam’ dan bencana karena ‘ulah manusia’ dengan persentase yang hampir sama yaitu sebesar 50% dan 48 % (Diagram 4.1.4.4). Perbedaan tekanan jawaban responden dapat dilihat untuk kedua kecamatan, yaitu jawaban ’karena ulah manusia’ lebih banyak dinyatakan oleh siswa sekolah di Pulo Aceh (64%), sedangkan jawaban sebagai ’kejadian alam’ lebih banyak diberikan oleh siswa sekolah di Leupung (63%). Tampaknya akses mendapatkan informasi yang lebih baik di Leupung dibandingkan Pulo Aceh, berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan siswasiswa sekolah, baik dari sekolah maupun dari suber lainnya. Hal ini terbukti dari siswa yang memberikan jawaban ’sebagai kejadian alam’ lebih banyak terdapat pada siswa SD (68%), dibandingkan dari tingkat sekolah yang lebih tinggi (SMP/ SMA) yaitu sekitar 37%. Jawaban ’karena ulah manusia’ justru lebih banyak dinyatakan oleh siswa sekolah yang lebih tinggi (SMP dan SMA) yang mayoritas sekolah di Leupung. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh informasi yang banyak mereka dengar tentang berbagai bencana yang disebabkan oleh ulah manusia seperti banjir, longsor dan kebakaran hutan. Kemungkinan lain adalah kesulitan siswa dalam membedakan bencana alam dengan kejadian alam, seperti tercermin dalam diskusi kelompok dengan masyarakat sekolah. Kesulitan ini bukan hanya pada para siswa, bahkan juga pada orang dewasa, sehingga memungkinkan terjadi salah persepsi, karena kurang paham dengan istilah-istilah dalam kuesioner. Sedangkan tingginya persentase responden di SD yang menjawab benar, kemungkinan dipengaruhi oleh adanya aktivitas dari peneliti sebelum acara pengisian kuesioner, baik dengan pemutaran film kartun maupun permainan sederhana yang menggambarkan tentang bencana alam dan bahayanya yang dapat menambah pengetahuan siswa SD.



.



Diagram : 4.1.4.4 Pengetahuan Tentang Bencana Alam Menurut Tingkat Sekolah



166



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tingkat pengetahuan siswa juga cukup baik dalam memahami jenis-jenis kejadian alam yang menimbulkan bencana, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Mayoritas siswa (di atas 90%) menyatakan gempa dan tsunami yang menimbulkan bencana dan konsisten untuk semua lokasi dan semua tingkat sekolah, bahkan untuk tingkat SD semua siswa menyatakannya (100%). Hal ini dapat dimengerti karena kedua kejadian alam ini baru saja dialami dan membekas terlalu dalam di benak mereka, karena terdapat korban jiwa dan harta yang besar di sekitar mereka. Kejadian alam yang paling sedikit diketahui siswa adalah gunung berapi (sekitar 57%). Pola ini konsisten untuk semua daerah kajian dan tingkat sekolah (terendah). Mungkin bencana yang disebabkan oleh gunung berapi, kurang dikenal di lokasi kajian (Lampiran tabel 4.1.4.5) Temuan menarik lainnya adalah kecenderungan siswa-siswa SD untuk menyatakan pada umumnya semua kejadian alam tersebut berpotensi menimbulkan bencana (persentase di atas 70%), sementara untuk siswa tingkat SMP/SMA rata-rata persentase di bawah 60%, kecuali untuk gempa bumi dan tsunami. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh paparan fim kartun dan penjelasan sebelumnya yang diberikan staf peneliti ke siswa tingkat SD, sebelum pengisian kuesioner. Keadaan agak berbeda ketika pertanyaan mendalam tentang penyebab gempa bumi, karena meskipun lebih dari separuh memberikan jawaban yang benar yaitu ’pergeseran kerak bumi’ dan ’gunung meletus’, namun persentasenya masing-masing hanya sekitar 65% dan 59% Hal ini wajar karena tidak semua mengetahui penyebab gempa, meskipun mereka mengalaminya. Pengetahuan ini tergantung pada informasi yanga sampai pada mereka, bukan pengalaman seperti pertanyaan sebelumnya. Sedangkan untuk jawaban lainnya seperti tanah longsor, angin topan dan pengeboran minyak merupakan 3 jawaban terendah persentasenya (kurang dari 50%). Hal ini berarti sebagian besar responden memahami penyebab gempa yang benar yaitu pergeseran kerak bumi dan gunung meletus. Namun dilihat lebih jeli, sebagian besar responden yang lebih memahami penyebab gempa terutama siswa dari sekolah di Leupung (sekitar 79 dan 63%), Penyebab Gempa Bumi Kecamatan (%) Tingkat Sekolah (%) sementara dari sekolah di wilayah yang relative tertinggal (Pulo Aceh) persentase siswa untuk P. Aceh Leupung Total SD SMP/SMA Total kedua jawaban yang benar, relative rendah (sekitar 50%) (Tabel 4.1.4.3). Pergeseran kerak bumi 50.0 79.2 65.2 47.4 77.8 65.2



a. b. Gunung meletus c. Tanah longsor d. Angin topan & halilintar e. Pengeboran minyak Jumlah Responden



54.5 62.5 58.7 73.7 48.1 58.7 4.1.4.3 29.6 59.1 45.8 52.2 Tabel 84.2 52.2 63.6 20.8 41.3 63.2 Penyebab 25.9 Gempa Bumi 41.3 Pengetahuan Responden tentang 13.6Menurut Kecamatan 37.5 26.1Tingkat15.8 33.3 26.1 ‘Ya’) dan Sekolah (Persentase jawaban 22 24 46 19 27 46



167



Sumber: Kajian kesiapsiagaan masyarakat mengantisipasi bencana , LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Dilihat dari tingkat sekolah/pendidikan, tidak banyak perbedaan rata-rata persentase untuk kedua jawaban yang benar, namun perbedaan menonjol pada jenis penyebab bencana, yaitu persentase tertinggi untuk siswa SD lebih pada jawaban ‘gunung meletus’ (sekitar 79%), sedangkan pada siswa SMP/SMA, persentase tertinggi pada jawaban ’pergeseran kerak bumi, dan pada kedua tingkat sekolah untuk jawaban lainnya, relatif rendah (sekitar 48%). Namun secara keseluruhan



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



167



siswa yang lebih tinggi tingkat sekolahnya lebih banyak memilih jawaban ‘tidak’ untuk jawabanjawaban yang salah, dibandingkan siswa SD Sedangkan siswa di Pulo Aceh diakui relative tertinggal dibandingkan di daratan, terutama pada pasca bencana yang semakin memprihatinkan karena belum dipulihkannya kegiatan belajar dan mengajar secara normal. Penduduk di kedua lokasi kajian sangat mengeluhkan kondisi pendidikan di Pulo Aceh yang serba terbatas baik lokasi sekolah maupun pasifnya guru-guru yang mengajar. Pemahaman yang relatif baik terhadap bencana alam, terutama yang berdasarkan pengalaman juga terlihat dari jawaban siswa terhadap pertanyaan” apakah gempa bumi dapat diperkirakan sebelumnya?”. Pada umumnya siswa menjawab tidak dapat diperkirakan (87%), dan konsisten untuk kedua lokasi dan tingkat sekolah. Demikian pula pemahaman responden tentang ciri-ciri gempa yang kuat, untuk beberapa jawaban seperti ’ goyangan yang keras’ dan ’bangunan retak/ roboh’ persentasenya cukup tinggi (di atas 80%), dan merata untuk semua lokasi dan tingkat sekolah. Sedangkan persentase terendah pada jawaban ’gempa membuat pusing dan limbung’ (sekitar 59%). Lagi-lagi temuan yang menarik diperlihatkan oleh siswa tingkat SD, dimana persentase untuk semua jawaban yang merupakan ciri-ciri gempa kuat, lebih tinggi (63-90%) dibandingkan siswa di tingkat SMP/SMA (56-82%). Dari kedua pertanyaan ini nampak bahwa pengalaman gempa yang sering dirasakan di kedua lokasi, terutama gempa besar yang mendahului tsunami, memberikan pemahaman yang benar bahwa gempa datang secara tiba-tiba tanpa gejala apapun, namun sebagian besar responden masih ingat akan ciri-cirinya (Tabel 4.1.4.4). Agak menarik menyimak jawaban responden ketika ditanya tentang adanya gempa susulan sesudah gempa besar, karena mayoritas responden (87%) menunjukkan jawaban yang benar. Hal ini konsisten untuk semua lokasi dan tingkat sekolah. Padahal pada jawaban sebelumnya untuk ciri-ciri gempa kuat, jawaban tersebut (gempa terjadi berulang) relatif kurang dipahami responden. Mungkin istilah ’berulang’ dan ’susulan’ membingungkan banyak siawa meskipun secara pengertian tidak berbeda. Namun keseluruhan jawaban, menunjukkan sebagian besar responden mempunyai pemahaman yang baik tentang bencana. Mungkin karena pasca tsunami, banyak guru yang menyelipkan pelajaran tentang bencana pada setiap kesempatan mengajar, atau mendengar dari sumber lain. Tabel 4.1.4.4 Pengetahuan Responden Tentang Ciri-ciri Gempa Kuat Menurut Kecamatan dan Tingkat Sekolah (% jawaban ‘Ya’)



Ciri-ciri Gempa Kuat a. Gempa terjadi berulang b. Gempa membuat pusing/limbung c. Goyangan keras d. Bangunan retak/roboh Jumlah Responden



Kecamatan (%) P. Aceh Leupung 77.3 54.2 54.5 62.5



Total 65.2 58.7



Tingkat Sekolah (%) SD SMP/SMA 73.7 59.3 63.2 55.6



81.8 81.8



79.2 83.3



80.4 82.6



89.5 84.2



74.1 81.5



22



24



46



19



27



Sumber: Kajian kesiapsiagaan masyarakat mengantisipasi bencana , LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



168



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Untuk mengetahui apakah pengetahuan responden tentang gempa bumi juga tercermin dalam tindakan yang akan dilakukan, apabila terjadi gempa, dapat dilihat pada diagram 4.1.4.5. Berdasarkan persentase untuk setiap jawaban (5 jawaban), menunjukkan bahwa mayoritas responden (78 - 94%) memahami tindakan untuk mengurangi resiko bencana gempa. Kondisi ini konsisten untuk kedua lokasi kajian dan tingkat sekolah. Secara keseluruhan persentase tertinggi (sekitar 94%) adalah responden dengan jawaban ’menjauh dari jendela kaca’ sedangkan persentase terendah adalah jawaban ’Berlindung di bawah meja’ dan ’Jangan berdesakan ketika keluar ruang’ (masing-masing 78%). Secara keseluruhan siswa di tingkat SD, menjawab dengan persentase yang lebih tinggi (84-100%) dibandingkan siswa di tingkat SMP/SMA (70-89%). Hal ini menunjukkan pemahaman siswa SD yang umumnya relatif lebih baik daripada tingkat sekolah yang lebih tinggi (SMP/SMA), terutama untuk pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, terbukti juga diikuti dengan sikap/tindakan yang benar apabila terjadi gempa. Tindakan bila gempa menurut tkt sekolah 120 100 80 60 40 20 0



SD



ru a



ng



de s be rla ri ke



be r n



te rb uk a



ak an



a en de l dr j ja ng a



uh en ja



m



h en ja u m



be



rli n



du ng



di



dr ra k



bw h



m



bu ku



ej a



SMP/SMA



Diagram 4.1.4.5 Tindakan bila Gempa menurut Tingkat Sekolah



169



Dalam memahami hubungan antara gempa dan tsunami, pertanyaan yang diajukan kepada responden siswa sekolah adalah ’apakah setiap gempa bumi menimbulkan tsunami?’. Diagram 4.1.4.6 menunjukkan lebih dari separuh responden (sekitar 67%) mengerti bahwa tidak semua gempa menimbulkan tsunami, dan hanya sekitar 22% yang memberikan jawaban salah. Namun hal yang menarik adalah sekitar 11% menyatakan ’tidak tahu’ dan dilihat dari tingkat sekolah, persentase tidah tahu siswa tingkat SMP/SMA lebih tinggi (sekitar 15%) dibandingkan siswa tingkat SD yang hanya sekitar 5%. Padahal dari segi pengalaman, kedua tingkat sekolah mempunyai pengalaman yang relatif sama yaitu baru sekali mengalami bencana tsunami dan gempa besar. Tampaknya gempa kecil yang sering melanda daerahnya dan tidak menimbulkan tsunami kurang mendapat perhatian mereka.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



169



Diagram 4.1.4.6 Pengetahuan tentang Setiap Gempa Menimbulkan Tsunami menurut Tingkat Sekolah



Bencana Tsunami benar-benar asing bagi kebanyakan siswa sekolah di kedua lokasi, kecuali yang mereka alami yaitu Tsunami Aceh dan Nias (sekitar 96%). Sedangkan bencana tsunami lainnya yang pernah terjadi di banyak daerah di Indonesia, ternyata tidak banyak diketahui oleh responden. Tsunami di Simelue tahun 1907, yang juga di wilayah Sumatera hanya diketahui oleh sebagian kecil siswa dan semakin sedikit siswa yang mengetahui kejadian tsunami ditempat lain, seperti tsunami di Flores (1992). Krakatau (1883). Hal yang menarik adalah persentase siswa di sekolah SD yang mengetahui kejadian tersebut selalu lebih tinggi (26-95%) dari siswa di tingkat sekolah yang lebih tinggi (7-96%). Dengan sistem memilih jawaban yang tersedia, sulit mengetahui kedalaman pengetahuan responden (Lampiran tabel 4.1.4.6). Tampaknya bencana gempa dan tsunami yang dialami di Aceh, telah menyebabkan siswa sekolah cukup paham tentang bencana tersebut termasuk penyebab dan ciri-ciri tsunami. Diagram 4.1.4.7 menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang penyebab tsunami cukup baik, karena mayoritas responden cenderung memberikan jawaban yang benar tentang penyebab tsunami yaitu ’gempa bumi di bawah laut’ (sekitar 85%) dan ’gunung meletus di bawah laut’ (sekitar 74%). Sementara persentase responden yang memberikan jawaban yang salah, relatif rendah, yaitu tsunami disebabkan oleh ’Badai/puting beliung’ (39%) dan ’longsoran bawah laut’ (sekitar 57%). Meskipun pengetahuan mereka terbatas tentang penyebab tsunami, namun pengalaman tsunami yang banyak dirasakan responden, seperti terjadinya gempa kuat dan berulang sebelum tsunami, serta ledakan keras sebanyak tiga kali yang mendahului tsunami, memberikan inspirasi bahwa keduanya berhubungan dengan gempa dan gunung meletus yang terjadi di laut. Pola yang sama juga dapat dilihat pada lokasi dan tingkat sekolah yang berbeda, meskipun dengan tingkat persentase yang berbeda. Persentase untuk siswa tingkat SD yang memberikan 2 jawaban yang benar jauh lebih tinggi (90-95%) dari pada siswa SMP/SMA (63-78%). Namun sebaliknya, persentase responden untuk 2 jawaban yang salah pada siswa di sekolah SMP/SMA, juga lebih rendah (19-44%) dibandingkan dengan responden di tingkat SD (68-74%). Jadi tampaknya sulit untuk menyimpulkan apakah mereka benar-benar mengetahui atau hanya perkiraan saja, mengingat metode chek 170



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



point dengan beberapa jawaban yang tersedia, memungkinkan responden memilih jawaban yang dianggap tepat.



Diagram 4.1.4.7 Pengetahuan tentang Penyebab Tsunami Menurut Tingkat Sekolah



Bervariasinya persentase untuk tiap jawaban, menunjukkan bahwa responden juga kurang yakin akan jawaban yang diberikan. Untuk jawaban seperti tsunami disebabkan oleh badai/puting beliung, persentase siswa di Leupung sangat rendah (sekitar 21%) dibandingkan siswa sekolah di Pulo Aceh yang mencapai hampir 60%.



100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0



Hal yang lebih mudah dirasakan oleh responden adalah pertanyaan tentang tanda-tanda tsunami, karena mereka baru saja merasakannya ketika bencana tersebut terjadi. Itulah sebabnya mayoritas responden memberikan jawaban yang positif untuk ketiga jawaan yang disediakan (antara sekitar Peng ttg penyebab tsunami menurut tkt sekolah 85 – 96%), dan konsisten untuk kedua lokasi dan semua tingkat sekolah. Persentase tertinggi adalah responden dengan jawaban “air laut tiba-tiba surut’ (sekitar 95%), yang banyak diceritakan sebagai gejala yang terlihat jelas di pantai, sebelum datangnya tsunami. Meskipun kebanyakan SD mereka tidak menyaksikan, namun banyak yang memberi informasi tentang surutnya air sampai SMP/SMA sekitar 200m dari pantai, sebelum gelombang besar tsunami melanda desanya. Bahkan di Pulo Total Aceh, semua siswa memberi jawaban tentang tanda tsunami tersebut, juga tanda “gelombang besar di Cakrawala. Sedangkan persentase siswa sekolah di Leupung hanya sekitar 92% untuk gempa bumi gunung longsoran badai /putting jawaban ’air laut tiba-tiba surut’ dan 75% untuk jawaban lainnya. Keadaan ini dapat berarti dibwh laut meletus bawah laut beliung adanya pengalaman yang sama diantara siswa kedua lokasi, belum tentu menyebabkan dibwh laut pemahaman yang sama (Lampiran tabel 4.1.4.7).. Pengalaman sebelumnya mengajarkan pada responden bahwa banyak diantara mereka yang selamat, karena mereka berada jauh dari laut, atau lari ke daerah perbukitan. Hal ini terjadi di semua lokasi kecuali di Desa Dayah Mamplam yang sulit menemukan tempat untuk menyelamatkan diri. Namun demikian mayoritas siswa (91%) memahami tindakan yang harus dilakukan apabila air laut tiba-tiba surut yaitu ’berlari menjauh dari pantai’



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



171



171



Diagram 4.1.4.8. Tindakan yang Dilakukan Apabila Tiba-tiba Air Surut



Sedangkan jawaban lainnya yang merupakan tindakan ceroboh seperti : ’bermain pantai’, ’mengambil ikan yang terdampar’, hanya diberikan oleh beberapa orang siswa saja. Mungkin dari pengalaman banyak orang mereka mendengar bahwa banyak anak-anak yang terseret gelombang tsunami ketika asyik mengambil ikan yang terdampar ke pantai, karena mereka tidak mengetahui surutnya air sebagai gejala akan datangnya tsunami. Hal yang menarik adalah masih adanya yang menjawab ’tidak tahu’ baik untuk siswa tinkat SD maupun tingkat SDSMP/SMA. Untuk kelompok siswa tersebut, yang sebagian besar berada di Leupung, jumlah responden yang memberikan jawaban tidak benar dan tidak tahu mencapai sekitar 13%. Besar kemungkinan mereka tidak membaca dengan baik jawabannya atau benar-benar memang tidak tahu jawaban yang benar. Pengetahuan siswa sekolah yang cukup baik tentang bencana tersebut nampaknya didukung oleh upaya sekolah dalam memberikan pelajaran terkait. Sebagian besar responden (sekitar 83%) mengaku pernah memperoleh pelajaran tentang gempa bumi dan tsunami, terutama siswa SMP/SMA (sekitar 93%).. Hal ini wajar karena mata pelajaran yang berkaitan dengan kebumian yaitu geografi merupakan pelajaran di tingkat SMP dan SMA. Sedangkan di SD mungkin hanya merupakan selingan dari mata pelajaran lainnya, terutama sesudah tsunami. Dilihat dari lokasi, persentase siswa yang menjawab memperoleh pelajaran lebih menonjol di Pulo Aceh daripada di Leupung, Hal ini sesuai dengan informasi dari kepala sekolah SMP dan SD, dimana setelah tsunami sering diberikan pengetahuan tentang gempa dan tsunami, meskipun belum ada mata pelajaran khusus untuk itu. Demikian pula adanya buku tentang gempa dan tsunami yang pernah diperoleh dari NGO (buku terbitan cormap-LIPI) untuk semua sekolah di lokasi, juga memungkinkan mereka menambah pengetahuannya.



172



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Menambah pengetahuan bagi siswa-siswa sekolah, ternyata bukan cuma karena kebetulan diperoleh dari mata pelajaran di sekolah. Terbukti ketika ditanyakan tentang tindakan yang akan dilakukan siswa untuk kewaspadaan mengantisipasi bencana, maka mayoritas (lebi dari 80%) siswa memberikan jawaban ’menambah pengetahuan tentang gempa dan tsunami’, dan ’mendengarkan informasi tentang gempa dan tsunami dari media’. Sedangkan persentase terendah adalah tindakan pengamanan yaitu ’menyimpan buku-buku dan peralatan sekolah di tempat aman dan mudah dijangkau’ (sekitar 67%). Pola ini konsisten untuk responden di tingkat SMP/ SMA, namun hampir semua jawaban siswa SD persentasenya lebih tinggi dari tingkat SMP/ SMA yaitu antara 74-100%. Persentase terendah untuk siswa tingkat SD adalah jawaban tentang ’mengikuti simulasi’. Kecenderungan untuk selalu menjawab ’Ya’ yang kebetulan merupakan tindakan positif terutama oleh siswa tingkat sekolah SD, agaknya turut mempengaruhi kesan adanya pemahaman siswa SD yang lebih baik dibandingkan siswa SMP/SMA.



tindakan untuk kewaspadaan menurut tkt sekolah 120



173



100 SDDiagram 4.1.4.9.



80



Tindakan untuk Kewaspadaan Menurut Tingkat Sekolah SMP/SMA



60 40



Total



20 mendengarkan informasi dr media



ikut simulasi gempa dan tsunami



Mengenai sumber pengetahuan tentang bencana, terbukti sekolah sebagai sumber utama bagi siswa (82%), sedangkan buku, komik,poster, leaflet dan sebagainya dianggap sebagai sumber pengetahuan yang paling rendahbagi siswa (sekitar 46%). Dilihat dari lokasi tempat tinggal, semakin tinggi akses lokasi terhadap informasi luar, semakin kecil peran sekolah. Kondisi ini jelas terlihat pada siswa sekolah di Leupung, dimana persentase sumber pengetahuan merata pada sumbersumber yang ada, baik sekolah maupun sumber lainnya. Sedangkan untuk lokasi Pulo Aceh, sebagai daerah yang relatif terisolir, sumber utama pengetahuan siswa dari sekolah (90%), sementara persentase responden dengan sumber lain jauh lebih rendah dibandingkan Leupung. Bagi masyarakat di lokasi yang relatif terisolir ini, fasilitas dan akses untuk sekolah yang baik menjadi dambaan masyarakat, karena sumber pengetahuan lainnya sangat terbatas. Bahkan dalam berbagai diskusi kelompok dan wawancara mendalam terungkap bahwa untuk meningkatkan kesiapsiagaan, kurikulum khusus diperlukan siswa, agar dapat mengurangi resiko bencana. Isu menyimpan buku dan alat sekolah



menambah peng ttg bencana



0



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



173



pendidikan yang semakin tertinggal sesudah bencana mengemuka dalam berbagai diskusi di lokasi kajian Pulo Aceh, sehingga semakin menguatkan ide pentingnya mempercepat pemulihan sekolah, terutama di lokasi yang terpencil, agar mereka tidak selalu tertinggal dengan siswasiswa lain di daratan (Lampiran tabel 4.1.4.8).



4.1.4.2. Kebijakan dan Arahan Kebijakan dan arahan sekolah sangat penting artinya untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat sekolah dalam mengantisipasi kamungkinan terjadinya bencana, khususnya gempa dan tsunami. Data tentang kebijakan dan arahan sekolah, diperoleh terutama dari kuesioner kesiapsiagaan sekolah yang diisi oleh kepala sekolah masing-masing sekolah. Pada saat dilakukan asesmen lapangan, jumlah keseluruhan siswa pada kelima sekolah sebanyak 263 siswa, yaitu 126 siswa di Leupung dan sisanya 137 siswa di Pulo Aceh. Sedangkan jumlah guru untuk kelima sekolah sebanyak 52 orang, 42 guru di Leupung dan hanya sepuluh di Pulo Aceh. Berdasarkan perbandingan jumlah guru dan siswa di setiap sekolah, maka tampak adanya ketimpangan rasio guru dan siswa antara Leupung dan Pulo Aceh. Rasio guru dan siswa di Leupung mencapai 1: 3, sementara di Pulo Aceh hanya 1: 14. Ketimpangan rasio guru dan siswa di kedua lokasi, disebabkan di Pulo Aceh banyak guru yang tidak aktif mengajar, dan atau pindah ke lokasi lain yang lebih aman. Sementara sekolah yang ada masih harus menampung siswa yang mengungsi dari daerah lain. Akibatnya sekolah yang bersifat darurat ini tidak lagi mengikuti standar sekolah yang ada, sampai sekolah yang normal selesai dibangun. Hal ini menunjukkan betapa memprihatinkan masa depan pendidikan di Pulo Aceh, apabila gambaran tersebut mewakili keadaan di kedua lokasi, terutama apabila sekolah yang baru tidak jelas kapan direalisir. Berdasarkan kondisi fisik sekolah, semua bangunan sekolah bersifat darurat atau bangunan sementara, sambil menunggu bangunan permanen selesai dibangun. Kondisi ini sangat rawan baik dilihat dari fisik bangunan, maupun dari lokasi bangunan (dekat pantai dan hampir sejajar dengan permukaan laut). Kecuali untuk sekolah SMA di Leupung yang lokasinya agak di ketinggian dan agak jauh dari pantai. Pada umumnya bangunan sekolah sementara ini tidak mengikuti standar tahan gempa, apalagi tahan tsunami. Sesuai dengan peraturan, kebijakan sekolah harus mengikuti kebijakan dan arahan Dinas Kabupaten. Kelima sekolah yang menjadi sasaran kajian, mencoba untuk memulihkan kegiatan belajar mengajar, sesuai dengan kemampuan yang ada, pindah dari satu lokasi pengungsian ke lokasi lainnya. Dengan kondisi demikian, dan beban sekolah yang cukup berat, hampir semua kepala sekolah hanya dapat berupaya mengikuti arahan kebijakan Diknas kabupaten seoptimal mungkin, tanpa upaya lain di luar kebijakan yang sudah ada. Oleh karena kebijakan Diknas kabupaten belum pernah menyentuh aspek kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, maka sekolahsekolah tersebut pun tidak ada yang mempunyai kebijakan serupa, meskipun semua kepala sekolah mengakui pentingnya kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi bencana. Pentingnya 174



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



kesiapsiagaan sekolah, sangat dirasakan oleh kepala sekolah di Ulee Paya, yang kebetulan sedang ada acara di sekolah ketika tsunami terjadi. Tanpa pengetahuan dan bekal yang memadai mereka berusaha lari bersama siswa-siswa untuk menyelamatkan diri. Beruntung lokasi sekolah relatif dekat dengan bukit yang agak tinggi, sehingga mereka mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri. Pengalaman ini dirasakan para kepala sekolah penting untuk ditindak lanjuti dengan berbagai pelatihan untuk penyelamatan diri. Seorang informan di salah satu sekolah di Pulo Aceh mengungkapkan, kurangnya perhatian pemerintah kabupaten terhadap permasalahan sekolah pasca tsunami terutama untuk daerah terpencil, sehingga pemulihan kegiatan belajar mengajar di sekolah berjalan lambat. Sampai sekarang belum terpikirkan untuk mengeluarkan peraturan sekolah di luar arahan Diknas. Dana yang terbatas juga tidak memungkinkan untuk mengalihkan pada kegiatan untuk kegiatan kewaspadaan sekolah terhadap bencana. Bahkan untuk memberi honor yang memadai bagi para guru bantupun sekolah hampir tidak mampu. Untuk menambah pengetahuan tentang bencana, para kepala sekolah beranggapan pentingnya dimasukkan pelajaran tentang kesiapsiagaan dalam kurikulum sekolah yang bersifat nasional. Seorang kepala sekolah (informan) mengungkapkan pentingnya mata pelajaran kesiapsiagaan menghadapi bencana dengan mengingatkan keadaan di Indonesia pada umumnya: “Bukankah sebagian besar daerah di Indonesia rawan bencana? Jangan sampai daerah lain mengalami musibah seperti Aceh, karena minimnya pengetahuan terhadap bencana”. Untuk daerah terisolir seperti Pulo Aceh peran sekolah sangat penting untuk menginformasikan berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan bencana. Temuan dari hasil survei menunjukkan sekolah sebagai sumber informasi utama bagi siswa dalam menyampaikan pengetahuan tenatang bencana. Menurut informan di sekolah SMA, pernah ada kebijakan untuk memberikan tambahan pelajaran tentang kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, namun kebijakan tersebut tidak diikuti dengan peraturan yang jelas, dan tidak ada disertai kurikulum khusus, sehingga implementasinya terserah pada para guru terkait. Beberapa sekolah berusaha untuk menyelipkan pengetahuan tentang bencana pada beberapa mata pelajaran yang ada, seperti geografi, pengetahuan umum, muatan lokal, bahkan pelajaran agama. Namun karena tidak ada kurikulum khusus, maka pelaksanaannya tergantung pada guru yang bersangkutan. Sekolah pada umunya siap untuk melaksanakannya, apabila ada kurikulum khusus untuk itu. Para siswa dan guru sebetulnya dapat menambah pengetahuan tentang kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, apabila tersedia buku-buku, leaflet dan sebagainya. Namun sampai sekarang, semua sekolah hanya menyimpan buku tentang bencana tsunami dari LIPIdan BRR, yang dibawa oleh NGO (BRC). Leaflet juga pernah dibagikan, namun hilang karena pindah sekolah. Menurut salah seorang informan, meskipun komunitas sekolah perlu pelatihan kesiapsiagaan untuk guru dan siswa, namun tidak bisa dilakukan sekarang karena keterbatasan dana. Sebuah NGO dari India pernah menjanjikan bantuan program pelatihan kesiapsiagaan, namun sampai sekarang tidak ada realisasinya. Pelatihan pernah diperoleh dari luar antar lain dari PMI (untuk



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



175



175



guru dan siswa tentang pertolongan pertama), dan dari NGO (World Vision) tentang tsunami untuk siswa.



4.1.4.3. Rencana Tanggap Darurat Rencana tanggap darurat merupakan parameter lain yang disepakati untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat sekolah dalam mengantisipasi bencana. Pemahaman tentang bencana menjadi kurang bermakna, apabila tidak diikuti dengan tindakan konkrit untuk mengantisipasi bencana, seperti melakukan perencanaan penyelamatan baik dokumen sekolah, tempat evakuasi, melakukan pertolongan pertama dan sebagainya sesuai dengan porsi masing-masing sebagai lembaga (sekolah), sebagai pendidik guru dan sebagai siswa. Sekolah Setelah bencana tsunami, semua aset sekolah musnah, termasuk dokumen penting sekolah, tersapu gelombang bersamaan dengan lenyapnya semua gedung sekolah. Tidak ada satupun benda yang dapat diselamatkan, dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa bencana sedahsyat tsunami akan memusnahkan semua yang dimiliki. Dengan pengalaman tersebut, rencana tanggap darurat menjadi sangat penting bagi sekolah seperti penyimpanan back up dokumen, membuat rencana evakuasi dan latihan pertolongan pertama. Namun kesibukan sekolah menata kembali kegiatan belajar mengajar, menempati sekolah darurat di pengungsian, menyebabkan sampai sekarang hampir tidak ada sekolah yang sengaja menyimpan copy dokumen dengan maksud untuk mengantisipasi datangnya bencana.Namun beberapa sekolah mengaku kini lebih berhati-hati dalam menyimpan dokumen, bahkan ada kepala sekolah yang menyimpan dokumen sekolah di rumah kepala sekolah, karena kuatir hilang di sekolah pengungsian. Mereka beranggapan apabila sekolah sudah permanen, penyimpanan dokumen akan lebih baik, karena lokasi sekolah yang baru relatif lebih tinggi dari sekolah lama. Demikian pula untuk rencana evakuasi, hampir semua sekolah belum ada yang benar-benar menyiapkan rencana evakuasi, seperti peta evakuasi, rute dan tempat khusus untuk evakuasi. Namun berdasarkan pengalaman penyelamatan diri sebelumnya, sewaktu bencana tsunami datang, mereka sempat lari ke daetrah perbukitan yang tidak terjangkau oleh gelombang tsunami. Lokasi itulah yang kemudian disepakati oleh masyarakat desa (termasuk komunitas sekolah) untuk menjadi tempat evakuasi apabila terjadi bencana. Yang diperlukan untuk komunitas sekolah adalah kesepakatan untuk menentukan jalur dari sekolah ke tempat evakuasi, shelter di bukit yang kesemuanya perlu bantuan dana. Belum pernah ada rencana pembuatan peta dan jalur evakuasi oleh sekolah yang ada. Mungkin karena sekolah masih di pengungsian, sehingga belum terpikirkan untuk menyiapkan peta dan jalur evakuasi. Mereka beranggapan peta evakuasi, jalur, juga akan berubah lagi apabila lokasi sekolah yang baru berbeda dengan sekolah sekarang di pengungsian. Menurut beberapa kepala sekolah untuk tindakan menyiapkan evakuasi memerlukan dana bantuan, karena sekolah dengan kondisi sekarang tidak mungkin dapat 176



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



meakukannya, karena masih banyak prioritas lain yang dianggap lebih penting. Sebuah NGO dari India pernah menjanjikan untuk memberikan latihan penyelamatan diri untuk siswa SMP Ulee Paya di Pulo Aceh, namun belum pernah direalisir. Khusus untuk sekolah di Rintis (Desa Dayah Mamplam) beranggapan latihan evakuasi sangat penting untuk daerahnya yang sebagian besar penduduknya menjadi korban keganasan tsunami akibat sulit menemukan bukit yang dapat di capai dengan mudah. Satu-satunya daerah perbukitan yang dekat dengan lokasi permukiman desa dan sekolah kondisinya sangat terjal dan tinggi sehingga sulit dijadikan tempat evakuasi apabila terjadi bencana tsunami. Tindakan lain dalam tanggap darurat yang diperlukan adalah kegiatan untuk pertolongan pertama, seperti pengadaan kotak P3K, obat-obatan, posko kesehatan sekolah, dokter kecil/PMR dan latihan untuk pertolongan I. Namun hanya satu kegiatan yang pernah dilakukan oleh hampir semua sekolah yaitu latihan P3K oleh PMI Aceh Besar. Hanya sekolah SD Leupung dan SD Ulee Paya yang belum melakukan kegiatan tersebut. Menurut kepala sekolah SD di Leupung, sekolah telah beberapa kali mengusulkan ke PMI untuk mengadakan pelatihan P3K ke sekolahnya, namun belum pernah ditanggapi PMI. Berdasarkan informasi dari relawan PMI Aceh Besar, program untuk P3K di PMI tidak diperuntukkan bagi sekolah SD, tetapi sekolah yang tingkatannya lebih tinggi. Hampir semua pelatihan P3K untuk sekolah-sekolah dilakukan oleh PMI setempat, namun minimal untuk tingkat SMP. Guru Rencana tanggap darurat guru setelah terjadi tsunami tahun 2004 merupakan salah satu hal yang perlu dilihat, karena tanpa ada perencanaan sesuatu yang semestinya berdampak baik justru dapat berdampak buruk. Demikian pula halnya dengan bencana, tanpa ada rencana kedaruratan bencana yang menimpa manusia akan berdampak lebih buruk lagi dan dapat mengakibatkan korban yang lebih besar. Untuk kewaspadaan terhadap tsunami, sebanyak 92,9 persen guru telah menyiapkan/copy dokumen-dokumen kelas/mata pelajaran yang diajarkan dan menyimpannya di tempat yang aman. Dalam hal penyimpanan dokumen ini, seluruh guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama khususnya menyangkut dokumen mata pelajaran yang mereka ajarkan. Langkah ini diambil mengingat pada waktu terjadi tsunami yang lalu, hampir seluruh dokumen sekolahan musnah sehingga mengganggu kelancaran belajar mengajar di sekolah. Meskipun kegiatan belajar mengajar masih berada di tempat darurat, semua guru tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya bencana lagi. Kegiatan melatih siswa untuk menyelamatkan diri jika terjadi bencana juga dilakukan oleh 78,6 persen responden. Pelatihan ini memang belum merupakan pelatihan intensif karena hanya dilakukan di sela-sela mata pelajaran yang diajarkan, termasuk pada waktu olah raga. Tetapi pelatihan demikian diharapkan tetap bermanfaat bagi siswa, sehingga mereka dapat selalu waspada terhadap segala bentuk kemungkinan terjadinya bencana. Keterbatasan materi pelatihan dan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki guru merupakan kendala utama dalam pelaksanaan pelatihan ini. Kegiatan memaku/mengikat rak-rak buku ke dinding atau lantai juga dilakukan



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



177



177



oleh 71,4 persen responden. Kegiatan ini sebenarnya bukan dalam rangka menghadapi tsunami, tetapi lebih disebabkan oleh kondisi bangunan yang masih panggung dan ruangan yang terbuat dari dinding triplek. Tidak ada pilihan lain kecuali menaruh rak-rak tersebut dilantai dan menempelkan ke dinding bangunan. Kondisi demikian juga terjadi pada penempatan barangbarang dan buku-buku sekolah. Table 4.1.4.5. Pendapatan Responden Tentang Tindakan-Tindakan Yang Akan Dilakukan Seandainya Terjadi Tsunami Pada Waktu Sedang Mengajar (Persentase Menjawab Ya)



Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Sebagai tenaga pengajar guru memiliki tugas ganda pada waktu terjadi bencana sementara mereka berada di sekolah yaitu terhadap keselamatan diri sendiri dan siswa. Hal utama yang akan dilakukan sebagian besar guru (92,9 persen) jika terjadi gempa bumi adalah menenangkan diri dan siswa. Keadaan tenang ini dibutuhkan karena mereka dapat berfikir jernih dan melakukan tindakan yang benar. Sebaliknya kondisi yang tidak tenang/ panik dapat berdampak pada tindakan yang salah dan membahayakan jiwa mereka. Salah satu kasus di Bantul Yogyakarta baru-baru ini juga mencatat salah seorang yang tidak tenang pada waktu terjadi bencana, akhirnya meloncat ke bawah dari lantai dua dan nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi. Mereka yang dapat tenang/ tidak panik dan tetap berada di lantai dua justru dapat selamat dari gempa. Tindakan lainnya adalah memandu siswa untuk menjauh dari rak-rak buku/barang dan bendabenda yang tergantung atau jendela kaca. Tindakan ini sangat perlu mengingat benda-benda tersebut sangat rentan jatuh ataupun pecah jika terjadi bencana dan berpotensi menimbulkan luka pada siswa. Selain itu sebesar 92,9 persen guru juga akan memandu siswa keluar ruangan/ gedung secara teratur dan tidak berdesak-desakan. Hanya dengan pikiran yang tenang semua ini dapat terjadi dengan lancar. Berbeda halnya jika pada siswa dan guru panik, kemungkinan tabrakan antar teman dapat terjadi yang berakibat pada meningkatnya korban. Sebagai orang yang berfungsi untuk mendidik dan membimbing siswa tidak sepantasnya jika guru berlari menyelamatkan diri sendiri sementara siswa masih di dalam ruangan. Alternatif jawaban ini memang masih dipilih oleh



178



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



85,7 persen responden, tetapi penyelamatan diri yang dimaksud oleh guru di sini adalah penyelamatan diri bersama siswa. Siswa Setelah diketahui pemahaman siswa tentang bencana, penting artinya untuk mengetahui tentang rencana tindakan siswa untuk penyelamatan diri, barang-barang penting yang perlu diselamatkan serta peran sekolah dalam menyiapkan materi yang diperlukan. Untuk mengetahui tindakan yang dilakukan siswa untuk penyelamatan diri, siswa ditanya tentang ’apa saja yang perlu kamu siapkan agar selamat dari bencana gempa dan tsunami”? dari beberapa alternatif jawaban yang tersedia, nampaknya mayoritas siswa (di atas 80%) cenderung memilih 2 jawaban yaitu tindakan ’mengetahui tempat yang aman’ (85%) dan ’mengikuti latihan penyelamatan diri’. Menonjolnya kedua tindakan ini juga konsisten untuk kedua lokasi kajian dan pada semua tingkat sekolah dari SD hingga SMP/SMA. Meskipun mereka tidak mengetahui tentang bahaya tsunami, namun berdasarkan pengalaman mereka mengetahui kebanyakan yang sekarang selamat dari bencana, adalah mereka yang sempat lari ke tempat aman yaitu daerah perbukitan. Secara alami mereka mengikuti orang tua atau guru untuk menyelamatkan diri dari kejaran gelombang tsunami. Sedangkan untuk proporsi terendah adalah siswa dengan jawaban tindakan ’mencatat alamat dan nomor telpon penting’ (50%). Meski demikian proporsi siswa SD yang akan melakukan tindakan ini cukup menonjol dibandingkan siswa di SMP/SMA (masing-masing sekitar 79 dan 30%). Mungkin siswa SD dibayangi kekuatiran mereka tidak dapat ketemu keluarganya, apabila tidak tahu alamat dan nomor telpon penting. Namun siswa yang lebih tinggi tingkat sekolah, justru menganggap tindakan tersebut kurang penting karena bencana menghabiskan semuanya, termasuk semua dokumen. Belajar dari pengalaman, mass media banyak memaparkan gambar anak-anak hilang ketika bencana tsunami terjadi akibat terpisahnya mereka dengan sanak keluarga. Perbedaan tindakan siswa antar lokasi kajian tidak terlalu menonjol, namun pola yang konsisten terdapat pada siswa menurut tingkat sekolah, yaitu siswa tingkat SD cenderung menunjukkan lebih banyak melakukan tindakan yang positif dibandingkan siswa di tingkat SMP/SMA, yaitu rata-rata persentasenya siswa SD pada setiap tindakan lebih tinggi dari siswa di tingkat sekolah SMP/SMA (Lampiran tabel 4.1.4.9). Untuk tindakan menyelamatkan barang/perlengkapan bila terjadi bencana , mayoritas siswa menyatakan akan menyelamatkan barang-barang seperti rapot/ijazah , surat dan barang penting (di atas 70%). Sedangkan proporsi terkecil barang yang akan diselamatkan siswa adalah barang kesayangan (63%), terutama untuk siswa tingkat SMP/SMA. Secara umum para siswa cenderung mempunyai prioritas barang untuk diselamatkan apabila terjadi bencana, sesuai dengan urutan kegunaannya. Pola yang kosisiten juga terlihat yaitu persentase yang lebih menonjol justru pada siswa tingkat SD (di atas 80%) untuk semua jawaban, sementara untuk tingkat SMP/SMA ratarata proporsi di bawah 60%. Hal ini makin enguatkan bahwa mayoritas siswa SD cenderung menganggap semua barang perlu diselamatkan, sementara siswa tingkat sekolah yang lebih tinggi lebih selektif dan membatasi pada yang benar-benar penting untuk diselamatkan sepert raport/ijazah. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



179



179



barang yang diselamatkan bilaterjadi bencana menurut tkt sekolah 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0



SD SMP/SMA



Raport/ijazah Tas sekolah



surat penting



barang kesayangan



Diagram 4.1.4.10 Barang yang Diselamatkan bila Terjadi Bencana Menurut Tingkat Sekolah



Tindakan siswa untuk rencana tanggap darurat juga dipengaruhi oleh kesiapan sekolah dalam menyediakan bahan /materi yang berkaitan dengan bencana. Makin banyak siswa tahu sekolah menyediakan bahan-bahan yang dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang gempa dan tsunami baik berupa buku, poster, buku saku, leaflet maupun berupa VCD/kaset, makin meningkatkan kesiapsiagaan mereka dalam mengantisipasi bencana. Ketika ditanyakan kepada siswa tentang bahan-bahan yang dapat diperoleh di sekolah, mayoritas siswa SD (rata-rata di atas 80%) menyatakan dapat memperoleh bahan-bahan tersebut di sekolah, sementara siswa SMP/SMA rata-rata lebih kecil proporsinya (rata-rata di bawah 50%). Proporsi terbesar siswa menyatakan dapat memperoleh buku-buku tentang gempa dan tsunami di sekolah (sekitar 74%), sedangkan proporsi terkecil untuk bahan seperti poster, leaflet dan sebagainya (50%) (Diagram 4.1.4.11). Namun dari wawancara mendalam dengan informan di sekolah (kepala sekolah dan guru), hampir semua bahan tersebut tidak dapat diperoleh di sekolah-sekolah darurat sekarang, kecuali buku tentang tsunami yang dikeluarkan oleh Cormap LIPI yang pernah mereka terima dari sebuah NGO lokal dan pada saat asesmen dibagikan cuma-cuma untuk tiap siswa yang mengisi kuesioner dan untuk sekolah. Mungkin jawaban siswa tentang keberadaan materi tersebut merupakan keinginan siswa untuk sekolah dapat menyediakan, atau karena tidak begitu memahami maksud pertanyaan. Seorang informan di sekolah pernah menyatakan sebelum pindah ke sekolah darurat sekarang, pernah memiliki poster, leaflet dan buku saku tentang bencana yang diterima dari beberapa NGO, namun semua materi tersebut tidak terbawa ke sekolah sekarang (baru 3 bulan pindah dari pengungsian lama). Sebagai sekolah yang sifatnya sementara, belum memiliki materi-materi yang diperlukan untuk tindakan tanggap darurat, namun sebagian besar siswa menyatakan dapat memperoleh di sekolah. Dalam menilai tingkat kesiapsiagaan sekolah, beberapa pertanyaan semacam ini perlu disikapi secara hati-hati, sehingga penilaian indeks untuk tiap stakeholder mendekati keadaan obyektif. Masalahnya adalah apakah siswa SD yang mempunyai persentase tinggi untuk jawaban pertanyaan ini berarti lebih siap dari siswa SMP/SMA yang persentasenya lebih kecil tapi sesuai dengan realitas sekolahnya?.



180



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Diagram 4.1.4.11 Materi yang Dapat Diperoleh di Sekolah Menurut Tingkat Sekolah



Keadaan yang sama juga diberikan oleh siswa untuk pertanyaan apakah pernah mengetahui keberadaan barang-barang di sekolah seperti peta evakuasi, peralatan untuk penyelamatan diri, kotak P3K, posko kesehatansekolah dan Palang Merah Remaja (PMR). Meskipun untuk semua jawaban persentasenya kecil (di bawah 50%), bahkan untuk kotak P3K, namun lebih dari separuh siswa SD memberi jawaban pernah mengetahui. Sedangkan dari wawancara mendalam dengan pihak sekolah, selain kotak P3K di beberapa sekolah, tidak pernah sekolah di pengungsian menyediakannya. materi yang dpt diperoleh di sekolah menurut tkt sekolah 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0



4.1.4.4. Sistem Peringatan



181



Di negara maju seperti Jepang yang rawan bencana gempa, sistem peringatan bencana menjadi SD andalan untuk secara cepat mengevakuasi warganya, setiap bahaya gempa mengancam masyarakat. Namun di IndonesiaSMP/SMA yang juga rawan bencana gempa dan tsunami, belum pernah memiliki sistem peringatan bencana baik nasional maupun lokal. Salah satu sebab timbulnya banyak korban jiwa di Aceh karena baik pemerintah daerah maupun masyarakat tidak memiliki buku ttg poster,peringatan leaflet dll vcd, kasetdapat ttg sistem yang mengurangi resiko bencana tersebut. Bahkan peringatan yang gempa/tsunami bencana diberikan alam seperti gempa besar yang mendahului tsunami, gelombang tinggi di tengah laut dan surutnya air laut secara tiba-tiba banyak diabaikan masyarakat, karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang bencana tsunami. Sistem peringatan bencana juga diperlukan bagi masyarakat sekolah untuk mengantisipasi terjadinya bencana, terutama ketika mereka sedang berada di sekolah. Sekolah Untuk sistem peringatan bencana di sekolah didasarkan pada hasil pengisian kuesioner kesiapsiagaan sekolah yang diisi oleh Kepala Sekolah masing-masing. Pertanyaan diajukan untuk



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



181



mengetahui apakah sekolah mempunyai akses informasi, memiliki fasilitas peralatan serta respon untuk peringatan bencana. Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh 5 sekolah di lokasi kajian, hanya 1 sekolah SMP di Leupung yang menyatakan mempunyai akses informasi peringatan dini. Mungkin jawaban ini didasarkan pada bunyi sirene yang pernah didengar masyarakat di Leupung dari TNI, POLRI dan pemadan kebakaran.agar masyarakat tidak panik akan gempa susulan yang sering terjadi sesudah bencana tsunami. Namun akses demikian belum pernah dimiliki oleh sekolah di Pulo Aceh, khususnya di lokasi kajian. Demikian pula tidak satupun sekolah yang menyatakan memiliki peralatan untuk memberikan tanda peringatan atau penyebar luasan informasi. Beberapa sekolah di Leupung menyatakan siap merespon peringatan bencana, minimal dengan peralatan sederhana yang dimiliki sekolah seperti pengeras suara dan tanda bel berbunyi untuk memberi aba-aba agar cepat menyelamatkan diri. Hal ini pernah dialami oleh sekolah di Desa Ulee Paya yang sempat menyelamatkan semua siswanya yang sedang mempunyai kegiatan di sekolah, ketika bencana tsunami terjadi. Terbatasnya fasilitas komunikasi dan akses memperoleh informasi di Pulo Aceh pada umumnya, menyulitkan masyarakat dalam menyiapkan sistem peringatan bencana, meskipun masyarakat sangat memerlukannya. Dalam beberapa diskusi kelompok dan wawancara mendalam dengan para tokoh masyarakat, mereka sangat mendambakan adanya akses dan fasilitas sistem peringatan yang dapat mengurangi resiko bencana. Terjadinya banyak korban jiwa di Desa Gugop (Pulo Aceh), lebih disebabkan tidak diperolehnya peringatan apapun sebelumnya, sampai gelomban tsunami di depan mata. Padahal desa ini memilki tanah perbukitan yang landai di dekat permukiman yang mudah dicapai masyarakat, seandainya mereka memperoleh peringatan bencana sebelumnya. Guru Peringatan bencana merupakan bagian penting dari kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam mengantisipasi datangnya tsunami. Tanda yang diberikan dari sistem peringatan akan disampaikan kepada masyarakat sekolah baik langsung maupun tidak langsung, kemudian komunitas sekolah dapat menindaklanjuti peringatan tersebut. Sistem peringatan yang efektif sangat bermanfaat bagi komunitas sekolah untuk menghindarkan diri dari bahaya yang mungkin terjadi. Berkaitan dengan warning sistem ini sebagian guru (57,1 persen) menyatakan bahwa mereka telah mengetahui adanya system peringatan akan terjadinya tsunami di daerahnya. Sistem peringatan yang diketahui ini memang bukan sistem yang secara formal diadakan oleh pemerintah ataupun secara informal oleh masyarakat sekitar, tetapi lebih ke tanda-tanda alam jika akan terjadi tsunami. Guru berpendapat bahwa sebelum tsunami sebenarnya telah terdapat tanda-tanda alam yang dapat menjadi sistem peringatan yang efekive bagi masyarakat. Untuk itu pengenalan tanda-tanda alam perlu dilakukan, sehingga masyarakat sekolah dan lainnya dapat segera menyelamatkan diri jika bencana ini akan terjadi.



182



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Diagram 4.1.4.12. Distribusi responden tentang tahu tidaknya sistem/cara peringatan akan terjadinya tsunami di daerah setempat



Tidak 43%



Sama halnya dengan masyarakat umum, komunitas sekolah pada dasarnya juga menginginkan sistem peringatan formal yang diadakan pemerintah. Selama ini sekolah menggunakan bunyi lonceng untuk memberitahukan jam-jam penting bagi siswa yang mungkin dapat dikembangkan untuk tanda bahaya. Jika saja tsunami tahun 2004 terjadi sementara kegiatan belajar mengajar sedang berjalan, para guru juga memprediksi korban di sekolah yang dekat dengan pantai pasti lebih besar, sebab tidak ada sistem peringatan yang memberitahukan akan terjadinya bencana tsunami kepada komunitas sekolah maupun masyarakat umum. Berkaitan dengan sistem peringatan dini ini sebagian guru berpendapat bahwa sistem peringatan alami (tanda-tanda alam) memang terbukti cukup efektive untuk menyelamatkan siswa khususnya SD Ulee Paya. Efektivitas ini dapat dilihat dari seorang nelayan yang dapat menyelamatkan siswa-siswa SD Ulee Paya setelah ia dapat membaca tanda akan terjadinya tsunami. Setelah melihat tanda akan terjadi gelombang besar seorang nelayan dengan cepat memberitahukan kepada para siswa dan guru untuk segera ke bukit, sehingga semua siswa yang ada di sekolah tersebut selamat. Untuk itu perlu ada kombinasi antara sistem peringatan formal dengan peringatan alam sehingga lebih efektive untuk menyelamatkan seluruh komponen Ya masyarakat termasuk komunitas sekolah. 57%



Tanda/peringatan yang disampaikan kepada komunitas sekolah perlu direspon secara benar, sehingga dapat berfungsi optimal. Berkaitan dengan respon guru terhadap tanda bahaya tsunami, dalam assessment ini ditanyakan apa saja yang akan dilakukan guru seandainya mendengar peringatan atau tanda bahaya tsunami. Keseluruhan guru (100 persen) mengatakan bahwa mereka akan menenangkan diri/tidak panik, memandu siswa lari ke empat yang tinggi, memandu siswa ke tempat pengungsian, dan membantu anak-anak,ibu hamil, orang tua dan orang cacat keluar rumah menuju ke tempat aman sementara. Pada waktu ditanyakan apakah tempat tinggi tersebut telah disiapkan beberapa guru ada yang mengatakan sudah, tetapi sebagian juga menjawab belum. Guru yang belum menyiapkan tempat yang tinggi tersebut berpendapat tempat tinggi untuk evakuasi memang diperlukan, tetapi setinggi apa tempat tersebut sehingga aman dari tsunami



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



183



183



juga perlu kejelasan. Berbeda halnya dengan guru di daerah pulo aceh yang mempunyai akses ke perbukitan di dekat sekolah. Mereka mengatakan bahwa tempat evakuasi tersebut telah tersedia, karena menurut pengalaman masa lalu bukit tersebut tidak terjangkau oleh tsunami. Penyelamatan dokumen penting juga perlu dilakukan, sehingga terdapat 85,7 persen guru yang akan melakukannya. Dokumen penting untuk guru dapat berupa buku mata pelajaran yang diajarkan, catatan-catatan penting, dan sebagainya. Jika ingin lebih praktis sebenarnya dokumendokumen tersebut dapat disiapkan sedini mungkin dalam bentuk tas siaga bencana. Hal yang tidak akan dilakukan oleh sebagian besar guru adalah segera pulang ke rumah pada waktu mendengar tanda/peringatan akan terjadinya tsunami. Kondisi ini dapat dimengerti mengingat guru mempunyai tugas untuk menyelamatkan anak-anak sekolah jika suatu saat terjadi tsunami. Siswa Kesiapsiagaan siswa dalam sistem peringatan bencana terutama berdasarkan hasil survei terhadap siswa di lima sekolah tersebut. Untuk pertanyaan tentang pengetahuan siswa akan sistem peringatan bencana di daerahnya, lebih dari separuh siswa menyatakan tidak mengetahui sistem peringatan tersebut (sekitar 59%), dan semakin kecil proporsinya untuk siswa di tingkat SD (sekitar 39%). Sedangkan untuk kedua lokasi kajian, hampir tidak ada perbedaaan yang mencolok. Hal ini wajar karena mungkin di daerahnya tidak pernah tersedia sistem peringatan bencana, meskipun bencana besar pernah terjadi di daerahnya. Meskipun dari wawancara mendalam terungkap bahwa wacana tentang sistem peringatan sering dibicarakan, tapi untuk merealisasikannya memerlukan kesepakatan formal dari masyarakat tentang macam bunyi peringatan, alat yang dipakai untuk menyebarluaskan informasi. Bahkan ide untuk peringatan bencana dilontarkan oleh tokoh masyarakat di Pulo Aceh untuk membuat sistem peringatan yang aman dari bencana misalnya peralatan ditempatkan di ketinggian, sehingga tidak mudah rusak. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kesiapsiagaan mengantisipasi bencana tsunami, khususnya dari aspek sistem peringatan bencana, ditanyakan tentang tindakan atau respon para siswa apabila mendengar tanda bahaya tsunami. Mayoritas siswa merespon dengan baik tanda bahaya dengan melakukan tindakan-tindakan positif seperti ’menjauhi pantai dan lari ke tempat ketinggian’ (87 %), ’menenangkan diri’ dan ’bergegas menuju tempat evakuasi’ (di atas 70%). Pola ini konsisten untuk kedua lokasi dan semua tingkat sekolah. Proporsi terkecil yaitu tindakan ’membawa tas siaga bencana’, terutama untuk siswa di Leupung dan siswa tingkat sekolah SMP/SMA, karena dianggap bukan prioritas utama dalam mengambil tindakan yang diperlukan, dan lebih mengedepankan tindakan lainnya terutama secepat mungkin lari untuk menyelamatkan diri (Lampiran tabel 4.1.4.10).



4.1.4.5. Mobilisasi Sumberdaya Dalam mengantisipasi bencana, komunitas sekolah juga perlu mengetahui sumberdaya yang dimiliki baik oleh sekolah sebagai lembaga maupun sumberdaya manusia sebagai pendukung kegiatan 184



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



tersebut (guru dan siswa). Diharapkan denan memobilisasi semua kekuatan sekolah, dapat meningkatkan kesiapsiagaan sekolah pada umumnya. Sebagai lembaga pendidikan, mobilisasi sumberdaya umumnya berupa upaya sekolah maupun personelnya dalam meningkatkan kualitas sekolah atau SDM pendukungnya untuk lebih mampu mengantisipasi bencana yang terjadi. Sekolah Untuk mengetahui kesiapsiagaan sekolah dalam memobilisasi sumberdaynya, serangkaian pertanyaan diajukan ke kepala sekolah tentang beberapa tindakan konkrit yang pernah dilakukan sekolah seperti pelatihan tentang kesiapsiagaan, keberadaan petugas khusus, adanya mata pelajaran khusus untuk kesiapsiagaan, menyediakan materi atau bahan tentang bencana, mengadakan simulasi untuk evakuasi, adanya anggaran khusus untuk tindakan tersebut dan keberadaan bantuan pihak lain untuk meningkatkan kesiapsiagaan sekolah. Berdasarkan hasil jawaban kuesioner yang diajukan kepada kepala sekolah, hampir semua sekolah tidak pernah melakukan tindakan mobilisasi sumberdaya terutama yang memerlukan dana seperti menyediakan petugas khusus, simulasi untuk evakuasi dan menyediakan anggaran khusus untuk keperluan kesiapsiagaan. Hampir semua sekolah juga menyatakan tidak pernah ada bantuan dana baik dari pemerintah maupun NGO untuk keperluan tersebut. Tampaknya situasi sekolah yang belum normal sesudah bencana, menyebabkan mobilisasi sumberdaya lebih ditujukan untuk memulihkan kegiatan belajar dan mengajar baik dalam hal prasarana maupu sarana. Sampai sekarang banyak sekolah terutama di Pulo Aceh yang disibukkan dengan banyaknya guru yang tidak aktif, siswa yang masih tersebar di banyak sekolah, sehingga kegiatan kesiapsiagaan menjadi terabaikan. Khusus untuk kegiatan pelatihan untuk kesiapsiagaan mengantisipasi bencana berbasis masyarakat dan simulasi evakuasi pernah diadakan di Pulo Aceh, dimana sekolah –sekolah di Ulee Paya pernah mengirimkan wakilnya yaitu 3 orang guru SD. Pelatihan diselenggarakan oleh BRR bekerjasama dengan Cormap LIPI dengan mengikut sertakan perwakilan 10 desa di Kecamatan Pulo Aceh. Sekolah lainnya yaitu SMP pernah mengikut sertakan wakilnya untuk mengikuti pelatihan tentang pengetahuan bencana yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Aceh Besar. Meskipun belum ada kurikulum khusus, namun sebagian sekolah mengaku memberikan materi tentang bencana dalam mata pelajaran yang relevan, seperti geografi, agama dan muatan lokal. Untuk menyediakan kurikulum khusus, semua sekolah merasakan kesulitan, karena terikat peraturan dari instansi terkait, namun pada umumnya siap melaksanakan kurikulum tersebut, apabila ada kebijakan yang mendukungnya. Sekolah juga belum pernah menerima bantuan dana untuk pelatihan, kecuali adanya sumbangan berupa materi pelatihan yang pernah diperoleh dan buku tentang bencana tsunami dari Cormap-LIPI. Materi berupa leaflet, poster beebrapa sekolah pernah menerimanya di lokasi pengungsian sebelumnya, namun kini tidak ada lagi. Keterbatasan dana dan SDM yang mampu untuk melakukan pelatihan evakuasi/simulasi menyebabkan sampai sekarang sekolah belum pernah melakukannya, meskipun beberapa sekolah beranggapan sangat penting untuk dilakukan.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



185



185



Dari hasil wawancara mendalam dengan komunitas sekolah, seorang informan dari sebuah sekolah di Pulo Aceh bahkan mengususulkan pentingnya memasukkan mata pelajaran kesiapsiagaan dalam kurikulum nasional, mengingat Indonesia pada umumnya merupakan daerah rawan bencana. Ungkapan yang sering didengar di lokasi kajian Aceh adalah “apakah memberikan informasi tentang bencana harus menunggu jatuhnya korban lebih banyak lagi?’ Pada saat dilakukan asesmen, semua sekolah antusias sekali menerima peneliti untuk memberi penjelasan tentang bencana, memutar film kartun untuk para siswa, sehingga menyediakan jam pelajaran yang cukup untuk kegiatan peneliti sebelum pengisian kuesioner untuk siswa dilakukan di sekolah tersebut. Guru Mobilisasi sumberdaya bagi guru dalam assessment ini diukur dari program pelatihan (pengembangan sumber daya) yang pernah diikuti dan penyampaian materi yang didapat tersebut kepada siswa. Dari alternatif jawaban yang disediakan terdapat 42,9 persen yang telah mengikuti pelatihan, workshop, dan seminar tentang kesiapsiagaan terhadap bencana. Program pelatihan pengetahuan tentang bencana, perencanaan tanggap darurat, dan sistem peringatan dini tersebut dilakukan dalam satu paket sehingga peserta pelatihan akan mendapat semua materi tersebut (Lampiran tabel 4.1.4.11). Salah satu pelatihan yang telah diikuti adalah psikologi bencana yang dilakukan oleh dinas sosial, seminar sehari bencana alam yang diselenggarakan oleh dinas sosial bekerja sama dengan NGO. Mobilisasi guru sendiri menghadapi kendala mengingat saat ini masih banyak guru yang trauma dengan kejadian tsunami tahun 2004 yang lalu. Selain banyak guru yang meninggal dunia terkena tsunami, banyak diantara mereka yang kehilangan anggota keluarga. Oleh sebab itu program pemulihan psikologis guru sebenarnya juga diperlukan. Banyak diantara guru yang saat ini harus tinggal di barak pengungsian, sehingga belum bisa memberikan pendidikan yang optimal bagi siswa. Pada waktu ditanyakan apakah mereka telah menyampaikan materi yang mereka dapat tersebut kepada siswa, seluruh responden mengatakan bahwa mereka telah menyampaikannya. Penyampaian materi dilakukan pada waktu mengajar mata pelajaran yang diajarkan ataupun jika guru yang bertugas mengajar tidak hadir. Selain memberikan transfer pengetahuan kepada para siswa, mereka juga memberikan kepada guru lain yang belum mengikuti program tersebut. Siswa Mobilisasi sumberdaya di kalangan siswa dari kelima sekolah berdasarkan pada dua pertanyaan dalam kuesioner survei, yaitu tentang pengalaman siswa dalam mengikuti kegiatan pelatihan atau pertemuan tentang kesiapsiagaan, dan pengalaman siswa dalam menyebarluaskan pengalaman atau ilmu pengetahuan yang pernah diperolehnya. Beberapa kegiatan yang ditanyakan meliputi Pelatihan P3K (termasuk dokter kecil da PMR), kepramukaan dan simulasi evakuasi dan keikutsertaan siswa dalam pertemuan/ceramah tentang bencana. Secara umum partisispasi siswa dalam kegiatan-kegiatan tersebut rendah (kurang dari separuh), kecuali kegiatan pertemuan/ 186



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



ceramah tentang bencana (sekitar 61%). Kegiatan ini lebih menonjol untuk siswa di Leupung (75%), khususnya untuk tingkat sekolah SMP/SMA (63%) (Tabel 4.1.4.6). Hal ini wajar karena hanya Kecamatan Leupung yang sekarang memiliki tingkat SMA dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap informasi dan transportasi ke Banda Aceh. Demikian pula kegiatan seperti P3K yang banyak dilakukan PMI untuk tingkat sekolah SMP ke atas merupakan proporsi terbesar kedua sesudah partisipasi siswa dalam pertemuan/ceramah (sekitar 44%) Pertanyaan yang lebih rinci untuk siswa yang pernah mengikuti kegiatan di atas (Tabel 4.1.4.6) adalah apakah siswa melakukan kegiatan penyebaran informasi tentang pengetahuan dan ketrampilan yang pernah diterimanya. Menarik untuk melihat kecenderungan bahwa mayoritas siswa melakukannya (lebih dari 70%). Persentase ini lebih tinggi untuk siswa tingkat SD (sekitar 82%) dibandingkan tingkat sekolah yang lebih tinggi (SMP/SMA) yaitu hanya sekitar 68% dan lebih tinggi untukn siswa di Pulo Aceh daripada di Leupung. Hal ini menarik karena justru yang banyak berparisipasi ikut kegiatan pertemuan/ceramah justru siswa di SMP/SMA di Leupung. Mungkin siswa yang lebih tinggi tingkat sekolahnya lebih sibuk untuk kegiatan sekolah, sehingga kurang mempunyai kesempatan dalam penyebarluasan informasi ke masyarakat luas (Lampiran tabel 4.1.4.12).



Tabel 4.1.4.6 Distribusi Responden menurut Kegiatan Yang Pernah Diikuti Lokasi Kajian dan Tingkat Sekolah (%jawaban ‘Ya’) Kegiatan Responden Kecamatan (%) Total Tingkat Sekolah (%) P. Aceh Leupung SD SMP/SMA a. P3K termasuk dokter kecil, PMR 40.9 33.3 26.3 44.4 37.0 b. Kepramukaan (tali temali, pasang tenda dan membuat tandu) 27.3 29.2 31.6 25.9 28.3 c. Latihan dan simulasi evakuasi d. Pertemuan /ceramah tentang 31.8 29.2 42.1 22.2 30.4 bencana 45.5 75.0 57.9 63.0 60.9 Jumlah Responden



22



24



46



19



187



27



Sumber: Kajian kesiapsiagaan masyarakat mengantisipasi bencana , LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



4.1.4.6. Tingkat Kesiapsiagaan komunitas sekolah Tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah merupakan angka komulatif dari angka indeks masingmasing parameter pada setiap unsur dari komunitas tersebut, sehingga dapat diketahui angka indeks total untuk kesiapsiagaan sekolah (S1), guru (S2) dan siswa (S3). Berdasarkan hasil



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



187



perhitungan indeks untuk setiap unsur komunitas sekolah dapat diperoleh nilai indeks total dari komunitas sekolah tersebut (lihat Tabel 4.1.4.7) Berdasarkan tabel indeks tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa angka indeks untuk komunitas sekolah secara keseluruhan hanya mencapai 50 atau dalam kondisi Kurang Siap untuk mengantisipasi bencana. Nilai total angka indeks tertinggi yang mendukung nilai total adalah angka indeks parameter KAP (68) dan nilai indeks terendah adalah parameter RMC. Sedangkan unsur komunitas sekolah yang paling berpengaruh atas rendahnya tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah adalah S1-Sekolah yang hanya mempunyai angka indeks 17 atau sekolah dalam kondisi belum siap dalam mengantisipasi bencana terutama gempa dan tsunami. Angka indeks S1-sekolah yang menunjukkan kondisi belum siap ini konsisiten pada semua parameter pendukungnya yaitu semua parameter hanya mempunyai angka indeks kurang dari 40 (belum siap). Indeks parameter terendah untuk sekolah terdapat pada indeks PS yaitu kebijakan dan arahan , yang memang semua sekolah tidak memiliki kebijakan untuk kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Sekolah sebagai lembaga yang tidak otonom dan terikat dengan kebijakan instansi terkait (Dik Bud), tidak bisa berbuat banyak terkait kebijakan sekolah, meskipun sekolah mempunyai kewenangan dalam sistem belajar mengajar, sepanjang tidak merubah kurikulum yang sudah ditentukan. Kebijakan sekolah menambah pelajaran terkait dengan kesiapsiagaan bencana memang dimungkinkan sepanjang menempel pada mata pelajaran yang relevan, sehingga beberapa sekolah dapat menambah pengetahuan tentang bencana dalam mata pelajaran terkait seperti Geografi, Muatan Lokal dan pelajaran Agama. Fokus semua sekolah yang masih menempati bangunan sekolah sementara di lokasi pengungsian, adalah memulihkan kondisi belajar dan mengajar agar cepat normal. Diantara parameter pendukung angka indeks S1, nilai indeks tertinggi adalah Indeks WS (sistem peringatan) yaitu 27, meskipun masih dalam kategori belum siap untuk sistem peringatan mengantisipasi bencana. Nilai yang relative tinggi untuk indeks WS adalah kesiapan sebagian besar sekolah untuk merespon sistem peringatan apabila tersedia peralatannya. Sebaliknya dari angka indeks S1- Sekolah, untuk kedua unsur komunitas lainnya mempunyai angka indeks yang relative tinggi yaitu 67 untuk S2-Guru dan 69 untuk S3- Siswa, atau kedua unsur komunitas sekolah ini dapat dikategorikan dalam kondisi Siap untuk mengantisipasi bencana. Parameter tertinggi yang menjadi pendudukung kondisi siap kedua unsur komunitas sekolah ini adalah indeks parameter KAP (pengetahuan dan sikap) untuk kelompok S3- Siswa (72) dan indeks parameter EP (rencana tanggap darurat) untuk kelompok S2- Guru (76). Angka indeks KAP yang menonjol pada kelompok siswa, merupakan satu-satunya parameter yang mendukung lebih tingginya angka indeks komunitas siswa dibandingkan guru, karena angka indeks pada parameter lainnya, kelompok siswa lebih rendah dari komunitas guru. Proporsi pertanyaan KAP yang jauh lebih besar, sistem memilih jawaban dengan check point, dan beberapa pertanyaan yang cenderung memberi nilai plus untuk jawaban ‘Ya’, kadang-kadang meragukan apabila dalam realitasnya nilai plus harusnya diberikan pada yang menjawab ‘tidak’ (lihat analisa pada subbab 4.1.4.3 untuk rencana tanggap darurat bagi kelompok siswa). Sementara pada kelompok guru 188



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



kemungkinan lebih hati-hati dalam menjawab pertanyaan kuesioner, sehingga lebih menunjukkan kondisi yang lebih obyektif.. Namun demikian memang banyak kelompok siswa terutama di tingkat SD yang dalam jawaban-jawaban pertanyaan mengundang decak kagum karena dapat menambah nilai positif untuk angka indeks KAP S3- Siswa. Tabel 4.1.4.7. Indeks Kesiapsiagaan Masyarakat Sekolah Menurut Komponen komunitas Sekolah dan Parameters



NO 1 2 3 4 5



Parameter Indeks KAP Indeks PS (Kebijakan) Indeks EP Indeks WS Indeks RMC TOTAL



S1- Sekolah 10 18 27 19 17



S2- Guru 65 76 72 57 67



S3- Siswa 72 62 60 48 69



Total 68 10 39 44 33 50



Sumber: Hasil kajian kesiapsiagaan masyarakat mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Angka indeks terendah untuk kedua komunitas sekolah ini sama yaitu untuk parameter mobilisasi sumber daya (RMC), meskipun untuk kelompok siswa jauh lebih rendah dari guru. Hal ini wajar karena hampir tidak ada tindakan siswa yang dapat menjadi pendukung parameter ini kecuali keikut sertaan siswa (khususnya tingkat SMP/SMA) dalam pertemuan /ceramah, serta kecenderungan siswa dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan atau ketrampilan yang pernah diperoleh sebelumnya. Sementara kegiatan guru dalam mobilisasi sumber daya terutama dalam berbagai latihan di beberapa sekolah cukup menentukan nilai indek spada parameter tersebut. Namun rendahnya angka indeks untuk parameter mobilisasi sumber daya bagi semua komunitas sekolah sangat dimaklumi untuk kondisi Aceh saat ini, terutama untuk lokasi Pulo Aceh yang relative terisolir dan cenderung kurang mendapat perhatian. Boleh dikatakan kondisi Aceh belum normal untuk kehidupan dasar masyarakat baik dalam bidang perumahan, pendidikan maupun kesehatan penduduk. Apabila dilihat lebih rinci untuk angka indeks siswa pada setiap tingkatan sekolah dan lokasi kajian, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan angka indeks komunitas siswa untuk kedua lokasi leupung dan Pulo Aceh yaitu 67, namun angka indeks cukup bervariasi untuk tingkatan sekolah SD, SMP dan SMA. Nilai indeks tertinggi siswa terdapat pada sekolah SD yang jauh mengalahkan tingkat sekolah SMP (60) dan SMA (68). Untuk tingkat sekolah SMP dan SMA, nilai indeks parameter yang mendukung hanya tertentu seperti KAP, sedangkan untuk tingkat SD selain KAP juga terdapat parameter lain yang menonjol yaitu rencana tanggap darurat (77) (Tabel 4.1.4.8).. Untuk parameter tersebut penilaian beberapa jawaban pertanyaan agak meragukan kebenarannya. Rendahnya angka indeks parameter mobilisasi sumber daya, konsisten untuk semua lokasi dan tingkat sekolah. Nilai indeks yang agak menonjol untuk parameter ini



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



189



189



adalah untuk tingkatan sekolah SMP yang dipengaruhi oleh keikut sertaan beberapa siswa SMP di Leupung dalam pelatihan kesiapsiagaan yang diadakan oleh LSM. Tabel 4.1.4.8. Nilai Indeks Siswa Menurut Lokasi Kajian dan Tingkat Sekolah Parameter KAP EP WS RMC Indeks siswa



Kecamatan Pulo Aceh Leupung 71 73 67 58 60 60 40 56 67



67



SD 78 77 61 46 74



Tingkat Sekolah SMP SMA 63 88 53 43 61 50 58 13 60



68



Total 72 62 60 48 67



Sumber: Kajian kesiapsiagaan masyarakat mengantisipasi bencana , LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



4.1.5. Stakeholder Pendukung Di dalam kelembagaan tingkat desa di kedua lokasi penelitian, tidak terdapat secara khusus organisasi, maupun stakeholders yang terintegrasi dalam badan masyarakat itu sendiri, misalnya staf kepala desa, petugas kesehatan dan sebagainya yang bekerja dalam kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana. Pasca tsunami 2004, ada sejumlah organisasi lokal, nasional maupun internasional yang membantu masyarakat desa dalam upaya pemulihan serta rekonstruksi. Bantuan berupa dukungan fasilitas pendidikan, dukungan psikososial atau pembangunan fisik dan sarana kritis (jalan, sumber air bersih, sumber energi listrik solar sel dan sebagainya). Pada umumnya masyarakat mengetahui kehadiran lembaga – lembaga yang memberikan bantuan ini. Namun banyak juga keluhan yang keluar dari masyarakat mengenai ketidakjelasan program, manfaat yang belum dirasakan oleh masyarakat, hingga pekerjaan yang belum rampung diselesaikan. Ini membuat masyarakat memandang kebanyakan NGO (non-government organizations) tidak memenuhi janjinya. Tindak lanjut kegiatan yang dijanjikan beberapa NGO juga dirasa lambat. Di lain pihak, kehadiran berbagai NGO juga membantu masyarakat untuk dapat membangun dengan tatanan yang lebih terarah, karena dapat bertukar pikiran. Sejumlah NGO yang ditemui tim peneliti adalah British Red Cross, Palang Merah Indonesia, AIPRD-AusAID serta International Federation Red Cross, yang programnya juga ada di Pulo Aceh. Di Leupung, tidak banyak ditemui NGO yang bekerja dan bertinggal dengan masyarakat. Kebanyakan dari NGO tersebut bertitik berat pada aktivitas rekonstruksi (pembangunan rumah dan fasilitas fisik desa lainnya), seperti World Vision dan Oxfam GB. Masyarakat desa setempat di Leupung, termasuk juga penduduk Blangbintang yang berada di luar kecamatan sepakat bahwa kecamatan Leupung termasuk diantara wilayah yang minim perhatian dan tindak lanjut untuk program rehabilitasi dan rekonstruksi, apalagi pendidikan kesiapsiagaan bencana, baik dari pemerintah, donor maupun NGO.



190



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Jadi untuk kasus Aceh, stakeholder pendukung yang dikaji terutama untuk melihat kaitan kegiatan di lokasi kajian dengan kesiapsiagaan masyarakat, termasuk organisasi di luar desa, yang secara langsung memiliki aktvitas atau program di desa, serta langsung atau tidak langsung dapat memberikan kontribusi dalam kesiapsiagaan masyarakat.



4.1.5.1. Pengetahuan dan sikap Dalam membangun pengetahuan dan sikap masyarakat, beberapa NGO memiliki peran yang cukup besar untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan di tingkat desa dan sekolah. International Federation Red Cross & Red Crescent (IFRC), yang berkantor di Banda Aceh, memiliki aktivitas utama yaitu ICBRR (Integrated Community Based Risk Reduction, dengan sasaran 64 desa di wilayah Aceh dan Nias yang terkena dampak tsunami (Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Jaya, Sabang, Nias, Simeulue, dan Aceh Besar). ICBRR menjadi kebijakan pelaksanaan program dari setiap palang merah di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia yang memiliki organisasi palang merah di bawah naungan IFRC. Tidak hanya di Aceh dan Nias yang terkena dampak terbesar akibat tsunami 2004, namun dimanapun palang merah melakukan aktivitas, dikaitkan dengan upaya ICBRR. Khusus untuk Aceh, program rehabilitasi dan rekonstruksi pun diintegrasikan dengan ICBRR, namun masih dalam tahap yang sangat awal. Baik IFRC, mapun palang merah nasional lainnya (French Red Cross, British Red Cross, Japan Red Cross, Danish Red Cross, dan lainnya) memiliki program masing-masing. Tim peneliti menemui staf pengelolaan bencana (DM staffs atau DM Delegates) dari IFRC dan British Red Cross yang telah melakukan aktivitas-aktivitas pendidikan berkaitan dengan pengurangan resiko bencana di Pulo Aceh dan Leupung. BRC bekerjasama dengan LIPI telah memberikan pelatihan kesiapsiagaan bencana kepada masyarakat Pulo Aceh, pada pertengahan 2005. Sedangkan Leupung masih dalam tahap rencana intervensi. Namun demikian IFRC telah juga menyebarluaskan materi pendidikan serta produk-produk pengetahuan kesiapsiagaan bencana LIPI, yang digandakan IFRC dan disebarluaskan di seluruh daerah lokasi binaan ICBRR, termasuk juga ke sekolah-sekolah di Leupung. BRC bersama dengan relawan PMI Aceh Besar juga telah melakukan sosialisasi awal mengenai pengelolaan bencana kepada beberapa desa di Pulo Aceh, setelah pelatihan di lakukan bagi masyarakat desa tersebut. BRC yang juga menyempatkan diri untuk mengikuti sebagian kecil dari proses FGD di Desa Gugop (Pulo Aceh), langsung menangkap kebutuhan-kebutuhan di bidang pengetahuan bagi desa untuk meningkatkan kesiapsiagaannya. BRC kemudian membuat perencanaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sejalan dengan proses pembangunan rumah penduduk tahan gempa, serta jalur evakuasi masing-masing desa. IFRC dan palang merah internasional maupun palang merah Indonesia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam pengelolaan bencana. Organisasi-organisasi tersebut juga memahami kerentanan desa serta kebutuhan desa dari segi pengetahuan dan pendidikan, oleh karenanya mendukung atau paling tidak merencanakan dukungan pengetahuan dan pendidikan di Leupung dan Pulo Aceh, juga lokasi binaan lainnya. German Red Cross, selain fokus pada LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



191



191



pembangunan sekolah, juga mempunyai rencana mendukung kebutuhan pengetahuan dan pendidikan di lokasi-lokasi yang menjadi perhatiannya, namun bukan di Leupung dan Pulo Aceh.



4.1.5.2. Rencana Tanggap Darurat Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh termasuk daerah sasaran aktivitas ICBRR yang baru dimulai di tahap Community Planning Process atau proses perencanaan pengurangan resiko bencana tingkat masyarakat desa. Organisasi-organisasi yang beraktivitas mendukung secara tidak langsung maupun langsung dalam emergency planning desa di Leupung dan Pulo Aceh antara lain Japan Red Cross (penghijauan pantai), dan British Red Cross. Lebih lanjut IFRC juga menyampaikan bahwa lingkup perhatian palang merah terhadap upaya pengurangan resiko bencana mencakup program sekolah, pelatihan, penyadaran masyarakat, aspek ekonomi/mata pencaharian alternatif, buffer stock, shelter serta pembangunan radio masyarakat/community radio. Di bidang kebijakan, organisasi AIPRD-AusAID memiliki program mendukung peningkatan kapasitas kecamatan dan perencanaan desa berbasis masyarakat. Namun diungkapkan bahwa organisasi ini belum atau tidak memberikan perhatian khusus terhadap upaya mengurangi resiko bencana maupun dukungan terhadap kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana. Pada saat tim peneliti berada di Pulo Aceh, sedang dilakukan workshop spatial planning dengan perwakilan tokoh masyarakat, serta sekitar 6 NGO lokal dan internasional yang membantu proses pemulihan dan rekonstruksi di Pulo Aceh. Namun, diketahui bahwa dalam workshop tersebut, bahwa perencanaan desa tidak mempertimbangkan aspek kesiapsiagaan bencana.



4.1.5.3. Sistem Peringatan Bencana French Red Cross, serta IFRC memiliki program khusus untuk sistem peringatan dini atau early warning system. Namun program ini dititikberatkan pada pembangunan kapasitas staf PMI Aceh Besar serta kabupaten lainnya. Program tersebut juga lebih dititik beratkan pada penyediaan alat-alat komunikasi untuk mendiseminasi peringatan bahaya. IFRC menyampaikan bahwa aktivitas program diantaranya adalah membuat kajian kebutuhan peralatan, serta memonitor peralatan apa saja yang sudah disiapkan di masing-masing kantor cabang PMI. SOP serta mekanisme dari PMI menuju masyarakat sedang dalam tahap pengembangan. Tidak ada bentuk program khusus bagi masyarakat untuk membangun sistem peringatan tingkat desa.



4.1.5.4. Mobilisasi Sumber Daya Kapasitas masyarakat desa di kedua lokasi sangat terbatas, terlebih pasca tsunami 2004. Untuk menghimpun sumberdaya dan mengukur tingkat mobilisasi, sangat memerlukan bantuan dan



192



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



dukungan dari pihak luar desa, dalam mengantisipasi kemungkinan bencana di masa datang. Unutk leupung, tidak ada organisasi yang mendukung RM ini. Di Pulo Aceh, British Red Cross berencana membuatkan jalur evakuasi, termasuk barak penampungan di titik tujuan evakuasi, berupa pondok yang dapat menyimpan cadangan kebutuhan penduduk dalam keadaan darurat. BRC juga membantu pembangunan pengolahan air bersih yang bersumber dari gunung. Sedang dibicarakan untuk meningkatkan keterampilan medis dari penduduk setempat, akibat sangat terbatasnya tenaga medis termasuk bidan.



4.1.5.4. Kapasitas Dukungan Dalam membangun pengetahuan dan sikap masyarakat, beberapa NGO memiliki potensi peran yang cukup besar untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan di tingkat desa dan sekolah di Aceh. International Federation Red Cross & Red Crescent (IFRC), yang berkantor di Banda Aceh, memiliki ICBRR (Integrated Community Based Risk Reduction), dengan sasaran 64 desa di wilayah Aceh dan Nias yang terkena dampak tsunami. Di bidang kebijakan, organisasi AIPRDAusAID memiliki program mendukung peningkatan kapasitas kecamatan dan perencanaan desa berbasis masyarakat. Namun diungkapkan bahwa organisasi ini belum atau tidak memberikan perhatian khusus terhadap upaya mengurangi resiko bencana maupun dukungan terhadap kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana. French Red Cross, serta IFRC memiliki program khusus untuk sistem peringatan dini atau early warning system. Namun program ini dititikberatkan pada pembangunan kapasitas staf PMI Aceh Besar serta kabupaten lainnya. Tidak ada bentuk program khusus bagi masyarakat untuk membangun sistem peringatan tingkat desa. Di Pulo Aceh, British Red Cross berencana membuatkan jalur evakuasi, termasuk pondok di titik tujuan evakuasi, yang dapat menyimpan cadangan kebutuhan penduduk dalam keadaan darurat. Sedang dibicarakan untuk meningkatkan keterampilan medis dari penduduk setempat, akibat sangat terbatasnya tenaga medis termasuk bidan. Dari pemahaman, sikap dan persepsi IFRC dan BRC tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua organisasi non pemerintah ini siap dalam mendukung peningkatan pengetahuan masyarakat desa di Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh. Pemberian materi dan pemahaman kepada masyarakat desa sudah mulai dilakukan, meskipun belum optimal. Kedua lembaga ini juga hampir siap dalam mendukung rencana siaga darurat (emergency planning) desa di Pulo Aceh. Sudah ada proses perencanaan desa dan pendampingan dalam tahap awal. Untuk dukungan rencana siaga darurat dan mobilisasi sumber daya (resource mobilization), belum ada aktivitas konkrit, karenanya dapat dikatakan belum siap. Untuk aktivitas organisasi potensial mendukung kesiapsiagaan bencana seperti AIPRD-AusAID dan NGO lain yang bekerja di Pulo Aceh, pada umumnya tingkat dukungan lembaga tersebut dapat dikatakan belum siap secara keseluruhan. Ini adalah karena prioritas utama mereka adalah kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi desa di Aceh.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



193



193



4.1.6. Tantangan 4.1.6.1 Tantangan berkaitan dengan penggunaan instrumen 1. Bervariasinya metode yang dipakai untuk pengumpulan data membutuhkan pemahaman yang cukup bagi para pengguna framework ini. Instrumen yang digunakan untuk survei, pengisian angket, maupun pedoman wawancara mempunyai variasi yang beragam sesuai dengan kebutuhan stakeholder yang menjadi sasaran kajian. Daftar pertanyaan untuk survei terdiri dari :rumah tangga, komunitas sekolah (sekolah, guru dan siswa), serta daftar pertanyaan untuk pemerintah (3 macam). Sedangkan pedoman wawancara terdiri dari 7 pedoman pertanyaan sesuai dengan ragam stakehoder di lokasi kajian. Beragamnya instrumen dimaksudkan untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat dari semua stakehoder dalam masyarakat yang menjadi sasaran asesmen. Namun demikian memerlukan SDM yang memadai dan dana yang cukup besar. Artinya bagi pengguna framework tersebut perlu menyesuaikan dengan kapasitas SDM dan dana yang tersedia. Dalam memilih instrumen yang akan dipakai perlu dipertimbangkan tujuan, target sasaran dan kemampuan dana sebagai pendukungnya. Semakin banyak target sasaran, dan pendekatan yang dipakai (kuantitatif dan kualitatif) semakin banyak dana dan SDM pendukung yang dibutuhkan . Pihak lain yang kelak ingin menggunakan alat ukur ini dapat menyesuaikan dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki, dengan beberapa catatan tentang kelemahannya. Namun juga penting untuk memahami kebutuhan keterampilan khusus yang lebih kompleks, jika ingin menggunakan alat ukur seperti wawancara mendalam serta kelompok diskusi terfokus, atau didampingi oleh pihak yang lebih kompeten dalam penelitian. 2.



Dalam hal menggunakan instrumen kuesioner dalam survei, penting untuk menyediakan panduan penggunaan instrumen.



Beberapa istilah memerlukan persepsi yang sama diantara pelaku kajian dan responden. Demikian pula pemilihan untuk pewawancara perlu disesuaikan dengan kreteria yang dibutuhkan, sehingga dapat melakukan kegiatan penelitian dengan baik, untuk mengurangi resiko validitas data. 3. Pengetahuan dan pemahaman substansi materi kesiapsiagaan bencana bagi pengguna alat ukur penelitian Pada proses perumusan alat ukur, termasuk uji coba di lapangan, banyak pihak termasuk tim peneliti sendiri merasakan perlunya pemahaman pengetahuan dasar kesiapsiagaan bencana dan proses alam, yang baik. Hal ini kemudian menjadi tantangan yang lebih besar, saat alat ukur dipakai oleh pihak lain selain tim peneliti, yang memiliki latar belakang pengetahuan beragam. Diakui, pengetahuan dasar ini masih minim dikuasai oleh berbagai pihak, selain juga masih adanya kesimpangsiuran terminologi dan pemahaman. Hal ini potensi menimbulkan bias ketika berhadapan



194



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



dengan responden atau informan, saat menggali informasi dari mereka. Demikian juga ketika menanggapi respons informan atau responden, tanpa pengetahuan dasar yang memadai, para pengguna alat ukur juga berpotensi menimbulkan kebingungan maksud dan tujuan assessment itu sendiri.



4.1.6.2 Tantangan berkaitan dengan pelaksanaan kajian 4. Pengenalan dan pemahaman metode penelitian kepada pengguna alat ukur penelitian Bagi beberapa pihak yang membantu proses pelaksanaan survei di daerah perdesaan Aceh (seperti PMI), metode survei dengan kuesioner, wawancara mendalam serta diskusi kelompok terfokus, merupakan metode yang masih asing, selain dari tupoksi PMI sendiri yang bukan ditiitkberatkan di bidang penelitian dan kajian. Memahami bahwa survei merupakan salah satu instrument penelitian dengan semua kelebihan dan kekurangannya, maka diperlukan beberapa instrument lain untuk melengkapi, cek ulang dengan bantuan metode lain, yaitu wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus, untuk lebih membantu memberikan gambaran komprehensif dari rangkaian proses penelitian lapangan yang ideal untuk dilakukan.



5. Penggunaan pendekatan yang paling sesuai dan bahasa yang sederhana kepada masyarakat (responden / informan / beneficiaries). Bahasa penyampaian disini juga sangat instrumental, baik bahasa verbal menggunakan bahasa setempat atau bahasa Indonesia yang sesederhana mungkin. Tim peneliti Aceh menemukan bahwa penggunaan analogi serta pendekatan agamis mempermudah penerimaan serta pemahaman masyarakat terhadap tujuan penelitian. Bagi masyarakat Aceh untuk memahami fenomena alam, tidak cukup dengan ilmu pengetahuan yang kadang sulit dicerna, namun dengan perspektif agama, akan memudahkan mereka dalam memahami kejadian alam. 6. Pentingnya SDM sebagai pelaku kajian sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kondisi sosial politik yang selama ini dihadapi masyarakat di perdesaan Aceh kurang memberi akses pada masyarakat untuk berkomunikasi dengan masyarakat luar. Untuk mendapatkan data yang akurat dan valid diperlukan pendekatan yang hati-hati dan pemahaman religius yang relevan dengan maksud penelitian. Pendekatan ini memerlukan pelaku kajian yang sesuai dengan bidang studi dan memahami kondisi masyarakat sasaran. Bahasa religius yang menjadi bahasa seharihari masyarakat, sering membantu dalam mencairkan situasi untuk mempercepat hubungan baik diantara pelaku kajian dan masyarakat sasaran. Demikian pula halnya untuk asisten peneliti di lapangan diperlukan SDM yang mengetahui subyek penelitian dan juga cepat bersosialisasi dengan masyarakat sasaran.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



195



195



7.



Self-reliance harus menjadi nuansa utama dalam mengembangkan pengukuran tingkat kesiapsiagaan komunitas



Belajar dari pengalaman bencana tsunami 2004, ketergantungan masyarakat sangat tinggi terhadap bantuan luar, termasuk pemerintah daerah sendiri. Dimulai dari bantuan pertolongan pertama, evakuasi hingga logistik. Satu tahun setengah setelah bencana berlalu, masyarakat masih juga tergantung inisiatif pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan serta kesiapsiagaan diri, dan hal ini menjadi kendala, ketika prioritas pemerintah kemudian adalah rekonstruksi dan pembangunan kembali tempat tinggal dan bangunan fisik penting lainnya. Self-reliance adalah peningkatan kapasitas diri untuk membantu diri dan lingkungan terdekat ketika bahaya atau bencana menimpa. Self-reliance akan merupakan proses yang cukup besar tantangannya, karena menyangkut perubahan paradigma sentralistik menuju desentralistik serta budaya ketergantungan yang cukup kental mewarnai masyarakat di Indonesia pada umumnya. Namun demikan, self-reliance adalah mungkin untuk dilakukan, sejalan dengan otonomi daerah, yang kemudian perlu dijabarkan lebih jauh ke tingkat atau unit yang lebih kecil dalam masyarakat, keluarga dan individu



4.1.6.3 Tantangan berkaitan dengan hasil penelitian 8.



Akses masyarakat terhadap hasil penelitian serta upaya dan dukungan tindak lanjutnya



Tantangan sebuah aktivitas penelitian di sebuah daerah, adalah minimnya manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Sedangkan kontribusi responden dan informan sangat besar dalam mewujudkan kesuksesan sebuah penelitian. Oleh karenanya, penting untuk paling tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mengetahui hasil – hasil dari penelitian tersebut, untuk kemudian menjadi bahan pemberdayaan swadaya oleh masyarakat sendiri ketika membangun perencanaan desa. Namun demikian, hasil penelitian yang disampaikan kepada masyarakat, perlu diterjemahkan dalam presentasi yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Bentuknya dapat berupa ringkasan hasil atau dimodifikasi cara untuk memudahkan penyampaian terhadap masyarakat. Sebuah penelitian akan menjadi lebih besar maknanya bagi masyarakat, ketika masyarakat juga mendapatkan akses untuk menindaklanjuti hasil dari penelitian tersebut. Misalnya, dari hasil penelitian diindikasikan bahwa desa sebenarnya sudah mampu membentuk kesepakatan setempat untuk membangun sistem peringatan bencana. Maka masyarakat melalui tokoh yang berperan penting dalam komunitasnya dapat memulai upaya pembangunan sistem tersebut, tanpa perlu menunggu intervensi atau bantuan pihak lain di luar desa. Namun untuk beberapa aktivitas tindak lanjut yang tidak dapat dimobilisasi semata-mata dari sumberdaya desa, maka penting juga untuk mendiseminasikan peluang bantuan bagi desa. Sebagai contoh, tim peneliti Aceh juga menyampaikan peluang dukungan bagi desa kepada beberapa NGO (non-governmental



196



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



organization), untuk menangkap dan menindaklanjuti kebutuhan dasar masyarakat, seperti pelatihan kesiapsiagaan bencana berbasis sekolah dan desa, berkenaan dengan isu penelitian. 9. Kemudahan akses penggunaan alat ukur (dengan software?) untuk mengkaji hasil penelitian dengan lebih mudah dan lebih baik Pengguna alat ukur dalam framework ini bisa jadi berbeda-beda. Ini bisa jadi berpotensi menimbulkan perbedaan kualitas hasil ukur di wilayah yang berbeda juga. Untuk meminimalisir kemungkinan tersebut, akan sangat membantu pengguna alat ukur, juga disediakan software yang dapat mengintegrasikan hasil data kuantitatif menjadi luaran yang baik dan lebih valid. Ini juga menjadi salah satu cara mengendalikan kualitas variatif dari pengguna alat ukur yang berbeda. Software semacam ini akan sangat bermanfaat untuk memudahkan pengguna alat ukur dalam mengelola dan menganalisa data kuantitatifnya, menggunakan metode seragam dengan pengguna alat ukur di wilayah atau lingkup penelitian lain. 10. Akses publik terhadap hasil penelitian (pemerintah daerah, LSM, universitas setempat, donor, akses antar daerah) Paradigma lain yang perlu diubah adalah berbagai instansi keilmu-pengetahuan atau berbasis riset yang perlu terus ‘membumikan’ temuan-temuan ilmiah baik bidang teknis maupun sosialekonomi, agar manfaat terbanyak dirasakan oleh masyarakat sendiri. Akses publik dapat berupa terjemahan ilmu pengetahuan dan riset ke dalam berbagai program inovatif formal, non formal maupun informal. Khusus bagi hasil penelitian tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, yang kerangka umumnya dikembangkan oleh LIPI, sudah selayaknya dibuka akses seluas-luasnya kepada pemerintah daerah, universitas setempat, donor pemberi dukungan bagi program kesiapsiagaan masyarakat serta pihak lain yang berpotensi mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya dari hasil riset tersebut. Akses berbasis website (internet) adalah salah satu pilihan yang idealnya dapat menjadi solusi tersebut. 11. Pemanfaatan tools assessment (alat ukur) dalam contingency plan (rencana kontinjensi) Bakornas (terutama alat ukur tingkat pemerintah daerah), serta pihak – pihak lain yang memiliki program yang terlembaga (isu sustainability use of the framework) Keberlanjutan pemanfaatan dan penyempurnaan kerangka kajian (assessment framework) perlu dilakukan secara konsisten dan bersifat periodik. Kondisi Aceh yang belum normal, menyebabkan hasil pengukuran tingkat kesiapsiagaannya juga bersifat sementara dan akan berubah sesuai dengan proses rehabilitasi di lapangan (missal dalam mobilisasi sumber daya). Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kerangka kesiapsiagaan bencana yang dihadirkan oleh berbagai lembaga/ organisasi yang bekerja dalam lingkup pengurangan resiko bencana di Indonesia.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



197



197



4.1.6.4. Kendala di lapangan •



Penggunaan metode wawancara mendalam dan kelompok diskusi terfokus, sangat diperlukan untuk menutupi kekurangan survei yang terbatas kemampuannya dalam menggali informasi. Metode yang cukup fleksibel diperlukan baik sasaran maupun cara pelaksanaannya, seperti FGD dan wawancara tidak berstruktur.. Namun dalam menentukan jadwal dan sasaran diskusi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan, kadang menimbulkan kesulitan dalam mempersiapkannya terutama untuk membuat penjadwalan yang jelas, dan mengidentifikasi narasumber yang sangat tergantung dengan kondisi di lapangan. Hal ini kadangkala juga menjadi kendala, dalam mensosialisasikan maksud tujuan penelitian kepada masyarakat, dan menjelaskan rencana penelitian secara pasti dimana diperlukan keterlibatan sekelompok masyarakat dalam setiap metode yang dipakai.







Mungkin perlu dikaji kembali jumlah pertanyaan dalam survei serta proporsi lingkup pertanyaan untuk masing-masing parameter, agar hasilnya lebih proporsional untuk semua parameter. Sedangkan metode lainnya merupakan komplemen dalam melengkapi kekurangan survei yang serba terbatas dan rigid. Metode lainnya juga menjadi pendukung dalam menginterpretasikan temuan data di survei. Namun demikian para pengguna framework ini memerlukan latihan khusus atau pendampingan sementara dari pihak yang lebih kompeten untuk menjaga tingkat validitasnya.







Beberapa pertanyaan dalam survei perlu dikaji kembali tentang relevansinya untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat yang menjadi sasaran. Pertanyaan yang menimbulkan bias penilaian harus dihindari, untuk tidak membuat penilaian yang kurang obyektif, terutama pertanyaan yang dapat menimbulkan perbedaan jawaban dengan kondisi riel di lapangan (misal pertanyaan no 19 dan 20 pada komunitas siswa). Kajian tentang kesiapsiagaan masyarakat dengan menggunakan framework yang cukup rumit untuk daerah seperti Aceh yang kondisinya belum normal, hasilnya hanya bersifat sementara, sehingga memerlukan kajian semacam yang sifatnya berulang, sejalan dengan proses pemulihan kondisi daerah, pemerintahan dan masyarakatnya. Pengalaman menghadapi bencana besar, perubahan politik pasca tsunami akan banyak membawa perubahan kebijakan maupun perkembangan masyarakat, sehingga memerlukan kajian yang sifatnya periodik (misal 5 tahun sekali).







4.1.7. Sintesa Hasil survei untuk ketiga komunitas yaitu rumah tangga , sekolah dan pemerintah menjadi dasar perhitungan indeks kesiapsiagaan setiap kelompok komunitas. Indeks pada setiap komunitas merupakan gabungan dari kelima parameter yang disepakati menjadi ukuran kesiapsiagaan tiap komunitas yaitu: 1) Pengetahuan dan sikap (KAP); 2) Kebijakan dan arahan (PS); 3) Rencana tanggap darurat (EP); 4) Sistem peringatan (WS) dan 5) Mobilisasi sumber daya (RMC). 198



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



69



67 57



48



52



Total



To ta l



Ke ca m at an



M ur id



Gu ru



17



Ta ng ga Se ko la h



80 70 60 50 40 30 20 10 0



Ru m ah



Indeks Kesiapsiagaan thd Be



Berdasarkan hasil perhitungan mengenai kesiapsiagaan masyarakat perdesaan Aceh dalam mengantisipasi bencana, angka indeks total yang diperoleh adalah 52, atau dapat dikategorikan sebagai kondisi kurang siap Penilaian tingkat kesiapsiagaan masyarakat perdesaan Aceh tersebut didukung kuat oleh komunitas rumah tangga (RT) yang mempunyai nilai indeks tertinggi yaitu 57 diantara ketiga komunitas atau dapat dikatakan dalam kondisi yang hampir siap. Dukungan masyarakat sekolah dengan nilai indeks 50 dan pemerintah kecamatan dengan nilai indeks 48, dapat dikatakan dalam kondisi kurang siap dalam mengantisipasi bencana (lihat Diagram 4.1.7.1).



Pelaku



Gambar 4.1.7.1 Indeks Kesiapsiagaan thd Bencana untuk Kecamatan di Aceh, 2006



Diagram 4.1.7.1. Indeks Kesiapsiagaan Terhadap Bencana untuk Kecamatan di Aceh, 2006



199



Pada komunitas rumah tangga, tingkat kesiapsiagaan mengantisipasi bencana didukung oleh nilai indeks parameter KAP yang merupakan nilai tertinggi dari semua parameter. Hal ini berarti tingkat pemahaman masyarakat (rumah tangga) yg ditangkap melalui tingkat pengetahuan dan perilaku cukup tinggi dalam mengenali kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pengetahuan dan perilaku ini juga didukung oleh kesiapan dalam melakukan rencana tanggap darurat dengan nilai indeks 53, disusul dengan system peringatan dengan indeks 45. Namun tingginya pengetahuan, perilaku yang kemudian dapat diejawantahkan dalam perencanaan dan system peringatan ini belum didukung oleh penguatan dalam kapasitas dan sumber daya. Nilai indeks parameter mobilisasi sumber daya dan peningkatan kapasitas hanya mencapai 25. Dengan demikian, kekurangan terbesar pada tingkat masyarakat adalah pada penggalangan sumber daya dan peningkatan kapasitas (Diagram 4.1.7.2).



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



199



80 70



72



60 Indeks 50 Rumah 40 Tangga 30 20 10 0



57



53 45 25



Nilai RT KA



PS



EP



WS



RMC Total



Parameter



Gambar 4.1.7.2 Kesiapsiagaan Rumah Tangga thd Bencana di Kecamatan, di Aceh 2006 Diagram 4.1.7.2 Kesiapsiagaan Rumah Tangga Terhadap Bencana di Kecamatan, Di Aceh, 2006



Pada komunitas sekolah, indeks yang tinggi didukung juga oleh tingkat pengetahuan dan perilaku yang paham akan kesiapsiagaan menghadapi bencana (indeks = 68). Pengejawantahan tingkat pengetahuan dan perilaku ini, terdapat pada sistem peringatan (indeks = 44), daripada pada rencana tanggap darurat (indeks = 39). Pada sistem peringatan, dukungan didapat dari peran guru (indeks = 72) dan siswa (indeks = 60) dalam menggerakkan sistem peringatan, sedangkan sekolah memiliki indeks yg kurang membantu (indeks = 27). Lebih pentingnya sistem peringatan daripada rencana tanggap darurat dapat dipahami, mengingat lamanya siswa dan guru berinteraksi di kelas hanya sekitar 5 jam saja dalam sehari. Sisa waktunya digunakan untuk interaksi di masyarakat, termasuk dalam keluarganya. Rencana tanggap darurat juga sangat didukung oleh peran guru (indeks = 76) dan siswa (indeks = 62) sedangkan sekolah hanya membantu dalam sedikit situasi (indeks = 18). Meskipun nilai indeks untuk mobilisasi sumber daya merupakan nilai parameter terendah untuk semua komunitas, namun pada komunitas sekolah, nilai indeks tingkat mobilisasi sumber daya dan kapasitas cukup baik dibandingkan 2 komunitas lainnya (Indeks = 33), meskipun perbedaannya relatif kecil. Indeks ini didukung olah peran guru dan siswa sebagai pelaku aktif dalam mendorong mobilisasi ini. Sedangkan pihak sekolah sendiri tidak banyak memiliki sumber daya yang dapat digerakkan, sehingga nilai indeks untuk parameter ini terendah (19). Peran kebijakan sekolah dalam menggerakkan kesiapsiagaan menghadapi bencana memiliki indeks yang sangat rendah (indeks = 10). Secara keseluruhan dengan nilai indeks 50, komunitas sekolah dapat dikategorikan dalam kondisi kurang siap. Dari seluruh parameter yang dipertimbangkan peran siswa (indeks = 69) dan guru (indeks = 67) sangat menentukan berhasilnya komunitas sekolah memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana Sedangkan dengan nilai indeks untuk S1-Sekolah yang hanya mencapai



200



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



sebesar 17, sekolah dapat dikatakan kurang memiliki peran penting dalam menggerakkan komunitas sekolah dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana alam, minimal dalam kondisi serba darurat seperti sekarang (Diagram 4.1.7.3.). Indeks komunitas sekolah menurut parameter 80 70 60



S1-Sekolah



50



S2-Guru



40



S3-Siswa



30



Total



20 10 0 indeks KAP



Indeks PS Indeks EP Indeks WS



Indeks RMC



Diagram 4.1.7.3 Indeks Komunitas Sekolah Menurut Parameter



Sangat rendahnya kesiapsiagaan sekolah untuk kebijakan dan arahan (nilai indeks 10), menunjukkan hampir tidak ada kebijakan dan arahan dari instansi terkait (Dinas Pendidikan) untuk melakukan kesiapsiagaan di sekolah. Padahal pengalaman di satu lokasi kajian (Desa Ulee Paya) menunjukkan bahwa peran para guru dalam menyelamatkan anak didik cukup besar ketika terjadi bencana, meskipun hanya mengandalkan reflek alami. 201 Pelaku komunitas pemerintah yang dipertimbangkan dalam studi di Aceh, adalah pemerintah di tingkat kecamatan. Sesuai dengan lokasi kajian di 2 kecamatan, hanya terdapat dua responden untuk pemerintah tingkat kecamatan yang mewakili kecamatan Leupung dan Pulo Aceh. Untuk itu perlakuan terhadap hasil indeks ini perlu hati hati, terutama karena kedua pimpinan pemerintahan kecamatan ini juga masih relatif baru (sekitar 3 bulan), sehingga kemungkinan informasi yang diperoleh tentang kesiapsiagaan juga terbatas. Seperti pada komunitas lainnya, terdapat empat parameter yang dipertimbangkan dalam mengamati tingkat kesiapsiagaan pemerintah kecamatan dalam mengantisipasi bencana, yaitu: pembuatan kebijakan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan, dan mobilisasi sumber daya dan kapasitas. Dari keempat parameter tersebut, tiga parameter pertama memiliki kepentingan yang sama atau setara. Sedangkan untuk parameter mobilisasi sumber daya dan kapasitas, perlu diingat bahwa pemerintah kecamatan saat ini menghadapi taraf rekontruksi dan rehabilitasi untuk daerahnya yang hancur total.. Sumber daya yang masih serba terbatas baik di tingkat komunitas maupun pemeritah kecamatan, juga menyebabkan lemahnya peran pemerintah dalam menggerakkan sumber daya yang serba terbatas. Pemerintah kecamatan juga hampir tidak berperan dalam rencana pemulihan daerahnya,



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



201



sehingga hampir tidak lagi memiliki sumber daya untuk dimobilisasikan dalam kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Namun demikian nilai indeks ini akan terus berubah sejalan dengan semakin normalnya kegiatan kepemerintahan di Aceh, yang didukung dengan semakin lengkapnya pembangunan fasilitas publik Indeks tertinggi pada masyarakat rumah tangga, yang diikuti dengan indeks sekolah mengindikasikan adanya peran masyarakat sendiri dan pihak sekolah, yang berupaya membangun kembali kesiapsiagaan terhadap bencana, terutama dengan modal pengalaman menghadapi bencana yang masih segar dalam ingatan kedua masyarakat tersebut. Meskipun institusi resmi seperti pemerintah belum bekerja secara normal, namun masyarakat mulai mempersiapkan diri dalam kehidupan dengan memasukkan unsur kesiapsiagaan terhadap bencana, terutama sebagai suatu pengetahuan dan perilaku. Kekuatan yang terdapat pada masyarakat meskipun belum optimal, membentuk tingkat kesiapsiagaan menghadapi bencana. Meskipun kekuatan pada masyarakat dan komunitas sekolah yang mendukung tingginya kesiapsiagaan menghadapi bencana, namun peran pemerintah masih menentukan. Tingkat kesiapsiagaan pemerintah kecamatan menghadapi bencana yang termasuk dalam kategori kurang siap (indeks 48), mempengaruhi bagaimana parameter lainnya mengenai rencana tanggap darurat, sistem peringatan, dan mobilisasi sumber daya dan kapasitas dapat digerakkan. Penggerakan kegiatan yang ditunjukkan oleh parameter tersebut membutuhkan peran pemerintah yang utama, terutama sebagai koordinator. Namun demikian, perlu dikaji secara lebih mendalam mengenai peran kecamatan dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana, terutama di wilayah perdesaan. Sifat koordinatif yang harus dibangun dan upaya mendekatkan antara masyarakat dan pihak pemerintah yang lebih tinggi memerlukan perangkat kecamatan dan aturan kecamatan yang lebih diarahkan. Hal ini mengingat bahwa kecamatan bukan perangkat pemerintah dengan kekuasaan desentralisasi, lebih banyak fungsi dekonsentrasi yang dilaksanakan pada pihak kecamatan. Parameter yang cukup berperan dalam mendukung nilai indeks rumah tangga dan sekolah adalah nilai indeks KAP (72 dan 68). Tingginya pemahaman tentang bencana lebih disebabkan karena pengalaman menghadapi bencana gempa dan tsunami, yang masih segar dalam ingatan masyarakat umumnya termasuk para siswa dan guru. Bagi kebanyakan siswa, pengetahuan tersebut juga diperoleh dari berbagai sumber yang banyak didengar setelah bencana, baik yang langsung berasal dari pelajaran sekolah maupun sumber lainnya seperti radio, tv dan sebagainya. Namun demikian melihat relatif rendahnya angka indeks parameter lainnya, menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki masyarakat terhadap bencana belum diikuti dengan kesiapan dalam kebijakan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan dini, maupun mobilisasi sumber daya yang cukup, sehingga kurang mendukung kesiapan masyarakat perdesaan Aceh secara keseluruhan dalam mengantisipasi bencana. Hal ini terutama disebabkan prioritas masyarakat Aceh pada saat ini adalah percepatan ke arah kondisi normal, terutama berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat yaitu perumahan, pendidikan dan kesehatan.



202



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Indeks sistem peringatan dini pada semua komunitas menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang siap baik dalam penyediaan sistem peringatan, maupun merespons jika mendengar tanda peringatan tersebut. Sampai sekarang, sistem peringatan terhadap akan terjadinya bencana tsunami belum tersedia di lokasi kajian, meskipun keterlambatan mengetahui adanya bencana, telah banyak menyebabkan korban jiwa di daerahnya. Selama ini masyarakat tidak menyadari bahwa daerahnya rawan bencana, sampai bencana tsunami memusnahkan semuanya. Karena keawaman masyarakat dalam hal bencana, maka satu-satunya peringatan yang dimiliki oleh sebagian komunitas merupakan gerakan reflek masyarakat untuk menyelamatkan diri ke tempat yang dianggap aman dalam waktu yang sangat singkat. Karena pengalaman tersebut sebagian komunitas sepakat tentang pentingnya sistem peringatan yang dapat dijadikan pedoman untuk mengurangi resiko bencana. Sedangkan nilai indeks mobilisasi sumber daya yang merupakan nilai parameter terendah untuk semua komunitas (kurang dari 40), menunjukkan keadaan masyarakat yang belum siap untuk menggerakkan kesiapsiagaan. Hal ini lebih disebabkan oleh masih tingginya ketergantungan kehidupan masyarakat pada pihak luar, sehingga kurang memperhatikan kebutuhan untuk meningkatkan kesiapsiagaan, kecuali mendapat bantuan dari pihak lain.



203



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



203



204



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



4.2. KOTA BENGKULU 4.2.1. Karakteristik Lokasi Kajian Secara geografis, kota Bengkulu terletak pada koordinat 102° 15’BT-102° 22’ 30"BT; 3° 44’ 30"LS-3° 58’ 30". Di sisi barat, Kota Bengkulu dibatasi oleh Samudera Hindia, di selatan berbatasan dengan Kabupaten Seluma sedangkan di utara dan di timur dibatasi Kabupaten Bengkulu Utara. Kota Bengkulu terbagi dalam 8 kecamatan antara lain mulai dari utara adalah Kecamatan Muara Bangka Hulu, Teluk Segara, Sungai Serut, Ratu Samban, Ratu Agung, Gading Cempaka, Selebar dan Kecamatan Kampung Melayu (gambar 4.2.1.1.).



4.2.1.1. Kondisi Lingkungan Bentang alam Kota Bengkulu membentuk perbukitan bergelombang (gambar 4.2.1.2.) memanjang sejajar pantai. Kota ini berada pada ketinggian 0-5 meter di atas permukaan laut (dpl) menempati kawasan sekitar pantai dengan lebar 50 m sampai 500 m, sekitar pusat kota (foto 4.2.1.1A, B dan C) dan melebar sampai sekitar 1-2 km sekitar Kandang dan Teluk Sepang. Berikutnya adalah ketinggian antara 5-20 m terdapat pusat kota dan ketinggian di atas 20 m menempati sebelah timur-tenggara Kelurahan Pager Dewa-Air Sebakul (foto 4.2.1.1D). Disisi timur dan selatan Kota Bengkulu di tempati daerah dataran rendah atau berawa seperti sekitar Danau Dendam Tak Sudah (ketinggian 5-10 m dpl, foto 4.2.1.1E), Talang Ampat dan Teluk Sepang (ketinggian 1-5 m dpl). Daerah dataran rendah lainnya yaitu merupakan dataran banjir menempati sepanjang aliran Sungai Air Bengkulu dan Sungai Jenggalu. Kota Bengkulu dibatasi oleh dataran pantai landai berbentuk tanjung dan teluk di sisi barat, daerah rendah berawa atau danau dan perbukitan di sisi timur dan selatan. Kawasan Gambar 4.2.1.1. pantai ditempati oleh Tanjung Agung dan Teluk Segara di Wilayah Administrasi Kota Bengkulu, sisi utara, sedangkan di selatan dibatasi oleh Tanjung Kerbau Provinsi Bengkulu Sumber : Bappeda Kota Bengkulu, 2005 dan Teluk Pulau Baai. Kawasan pantai landai dengan kedalaman 0-5 m menjorok sampai sekitar 500 m lebarnya, kedalaman sampai -10 lebarnya sekitar 1-1,5 km, kecuali di sekitar Tanjung Pulau Baai yang relatif sempit, dan kedalaman sampai -20 m dengan lebar sekitar 1,5-2 km. Dibeberapa tempat teramati tinggian dengan kedalam sampai -5 m atau -10 m yang ditempati oleh batuan karang



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



205



205



seperti Pulau Tikus atau Pulau Karang Lebar. Batuan karang juga menutupi sebagian kawasan pantai Panjang. Ke arah selatan, pantai Bengkulu dibentuk oleh suatu beting pasir memanjang sejajar pantai dan gumuk pasir dengan daerah rawa di sebelah dalamnya (gambar 4.2.1.2).



Gambar 4.2.1.2. Peta Topografi Kota Bengkulu Berupa Dataran Pantai, Banjir dan Perbukitan Bergelombang Sumber : Peta Jantop TNI AD dan Peta digital, Bakosurtanal, 2005



Gambar 4.2.1.3. Geologi Daerah Kota Bengkulu Sumber : Gafoer, S., 1992 Catatan : Garis-garis putus menunjukan kelurusan retakan atau zona lemah



206



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Foto 4.2.1.1A). Kota Bengkulu Dilihat dari Teluk Segara. B). Panorama Kota Bengkulu dan Teluk Segara. C). Dataran Pantai dan Gumuk Pasir Sepanjang Pantai Panjang. D). Morfologi Punggungan dengan KetinggianSekitar +25 m dpl di Daerah Air Sebakul. E). Daerah Danau Dendam Tak Sudah. F). Singkapan Batuan Andesitik di Pager Dewa Daerah kota Bengkulu secara fisik disusun oleh batuan lava andesit (Tpan, foto 4.2.1.1F). Batuan lava andesit tersingkap disekitar Pager Dewa-Air Sebakul (foto 4.2.1.1F). Lapukan batuan tersebut berupa soil tebal berwarna merah yang dibeberapa tempat dijadikan bahan pembuatan bata dan genting. Batuan ini bersifat keras dan kompak. Di atas batuan lava ditutupi endapan breksi gunung api, batu lempung tufaan berbatu apung (Qtb, foto 4.2.1.1G) tersingkap pada tebing pantai di Pondok Besi. Batuan ini mempunyai sifat fisik lunak, sehingga mudah terombak seperti teramati pantai yang terabrasi sekitar Pondok Besi. Kemungkinan batuan tersebut penyebarannya lebih luas terutama sekitar perkotaan. Informasi penduduk menyebutkan batuan “napal” untuk batuan keras yang kemungkinan adalah endapan breksi volkanik (Qtb). Batuanbatuan ini bersifat keras dan kompak membentuk punggungan/perbukitan bergelombang ditengah Kota Bengkulu. Di atas batuan breksi volkanik ditutupi endapan undak aluvium (Qat, foto 4.2.1.1B) yang disusun oleh pasir, lanau, lempung dan kerikil. Endapan undak aluvium bersifat lunak dan tidak kompak menempati kawasan pantai mulai dari kampung Cina-Lempuing-Kandang LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



207



207



sampai Teluk Sepang (gambar 4.2.1.3). Kemudian endapan rawa (Qs) yang disusun oleh pasir, lanau, lumpur dengan sisa tumbuhan. Endapan rawa (Qs) penyebarannya terbatas sekitar Air Hitam, Danau Dendam dan Teluk Sepang (foto 4.2.1.1H dan I). Pembentukan kawasan rawa tersebut erat kaitannya dengan pembentukan undak sehingga aliran air tertahan membentuk genangan-genangan. Baik undak aluvium/ teras maupun endapan rawa bersifat lunak, tidak kompak dan jenuh air cenderung mengalami retakan tanah, amblasan dan longsoran maupun likifaksi seperti pada gempa bumi Juni 2000. Batu gamping terumbu, batuan kapur atan batu koral (Ql) dijumpai di pantai Kampung Cina maupun di lepas pantai Panjang, sekitar Teluk Baai dan Teluk Sepang. Beberapa dangkalan melingkar di lepas pantai kemungkinan batuan koral terangkat/tumbuh seperti yang membentuk Pulau Tikus. Batuan tersebut bersifat cukup keras dan kompak sehingga bermanfaat sebagai pelindung pantai dari abrasi air laut. Batuan penutup permukaan tanah berupa endapan aluvium (Qa) berupa bongkah, kerikil, pasir, lanau, lempung dan lumpur. Lapisan aluvium tersebut terbentuk sebagai hasil endapan pantai maupun sungai menempati sepanjang kawasan pantai dan aliran sungai. Batuan bersifat lunak dan lepas dan cenderung tidak stabil bila terjadi gempa bumi serta mudah terosi maupun abrasi. Gambar 4.2.1.2 memperlihatkan penyebaran jenis batuan di Kota Bengkulu. Lebih detil mengenai informasi jenis batuan diperlihatkan pada gambar 4.2.1.3 yaitu peta geologi yang dikeluarkan oleh Bappeda Kota Bengkulu (2005) yang dimodifikasi.



Gambar 4.2.1.4. Peta Geologi Detil Kota Bengkulu Sumber : Bappeda Kota Bengkulu, 2005 208



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Foto 4.2.1.1 G). Singkapan Endapan Batu Lempung Tufaan di Padang Besi. H). Dataran Rawa Sekitar Danau Dendam dan Air Bengkulu dan I) di Teluk Sepang. J). Abrasi Pantai di Daerah Malabro. K) Penahan Abrasi di Teluk Segara Bahaya alam di kawasan Kota Bengkulu antara lain gempa bumi, tanah retak dan amblas, abrasi, longsor, banjir, dan badai laut. Sementara itu, bahaya tsunami belum pernah tercatat pada kondisi aktual. Gempa bumi merupakan kejadian alam yang paling merusak dirasakan oleh warga Kota Bengkulu, seperti yang pernah terjadi pada 4 Juni 2000 dengan kekuatan 7,9 Mw. Walaupun pusat gempa bumi berada di bawah Pulau Enggano, kerusakan bangunan dan lingkungan juga terjadi di Kota Bengkulu. Catatan sejarah gempa bumi yang pernah melanda Bengkulu antara lain gempabumi tahun 1833 (9Mw), 1914 (?Mw), 1940 (7Mw) dan 1980 (8Mw). Data dari Bappeda Kota Bengkulu (2005) dan informasi dari masyarakat (2006) menunjukan bahwa kerusakan bangunan akibat gempa bumi diakibatkan oleh kualitas bangunan yang tidak memenuhi syarat tahan gempa bumi maupun diakibatkan oleh amblasan dan retakan tanah. Dua hal terkhir mengakibatkan bangunan amblas maupun terbelah. Retakan tanah, oleh penduduk disebut sebagai ‘urat gempa” memiliki keteraturan berupa kelurusan dengan arah paralel dengan kelurusan garis pantai atau berarah barat laut-tenggara (gambar 4.2.1.4) terutama pada batuan LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



209



209



lepas berupa pasir, lumpur sebagai hasil pengendapan pantai. Amblasan maupun retakan adalah gejala alam yang disebut sebagai ‘liquifaction” atau peluluhan terutama terjadi pada batuan pasirlanau lepas yang bersifat tidak kompak. Gambar 4.2.1.5 menunjukan sebaran jenis kerusakan akibat gempabumi Juni 2000.



Gambar 4.2.1.5. Penyebaran Jenis Kerusakan Akibat Gempa Bumi Juni 2000 yang Berpusat di Bawah Pulau Enggano Sumber : Bappeda Kota Bengkulu, 2005



Banjir adalah kejadian alam yang sering terjadi terutama sepanjang aliran sungai Bengkulu. Daerah rawan bencana banjir antara lain adalah Tanjung Agung, Tanjung Jaya, Semarang dan Surabaya. Sementara itu daerah yang perlu waspada adalah sepanjang aliran Sungai Janggalu. Banjir diperkotaan sering diakibatkan tersumbatnya saluran pembuangan (siring) maupun akibat hujan besar dan lama maupun pasang naik. Longsor, menurut informasi jarang terjadi di Kota Bengkulu. Walaupun demikian perlu diwaspadai potensi longsor terutama pada tebing batuan undak/teras yang kelurusannya sejajar dengan yang disebut sebagai “urat gempa”, seperti yang pernah terjadi pada saat gempa bumi pada tahun 2000. Badai laut merupakan kejadian alam yang pernah terjadi, seperti pernah melanda Pasar Bengkulu, dan Kampung Cina. Daerah lainnya yang perlu waspada adalah sepanjang tepian pantai Panjang, muara air Jenggalu, Desa Kandang maupun kawasan Desa Teluk Sepang. Kejadian alam lainnya 210



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



yang merusak dan merugikan adalah abrasi pantai seperti teramati di Pondok Besi, Kampung Cina dan kawasan pantai Teluk Sepang (foto 4.2.1.1J, K dan L). Dalam menghadapi bencana tsunami atau gempabumi, dengan mengacu pada data pengamatan bentang alam dan sifat fisik lingkungan, Kota Bengkulu memiliki banyak pilihan jalur dan tempat evakuasi, baik sementara maupun permanen. Untuk sementara Kota Bengkulu paling selatan atau Teluk Sepang relatif akan mendapat kesulitan akibat terisolir bila ada bencana besar seperti gempa bumi kecuali ada ruas-ruas jalan baru. Beberapa keuntungan Kota Bengkulu adalah dataran rendah tepi pantainya cukup sempit hanya sekitar 300 m sampai 500 m, tidak jauh dari pantai sudah sampai pada ketinggian 2-5 m atau sampai 10 m, kecuali daerah Kandang dan Teluk Sepang.



4.2.1.2. Fasilitas Fisik dan Keamanannya Fasilitas fisik yang ada di kota Bengkulu terdiri dari fasilitas perumahan, pendidikan, kesehatan, perkantoran, prasarana kota, serta sarana dan prasarana transportasi. Berikut ini akan dijelaskan secara garis besar tentang fasilitas fisik dan tingkat keamanannya berdasarkan data buku Bengkulu Dalam Angka tahun 2004, buku Selayang Pandang kota Bengkulu, laporan RT/RW kota Bengkulu tahun 2005 dan juga berdasarkan pengamatan langsung di lapangan. Fasilitas perumahan terdiri dari rumah permanen, rumah semi permanen, dan rumah temporer. Jumlah rumah yang ada di kota Bengkulu hingga tahun 2005 adalah 32.681 unit untuk yang permanen, 10.237 unit untuk yang semi permanen dan 1.695 unit untuk yang temporer. Penyebaran rumah mengikuti lokasi pemukiman yang umumnya terkonsentrasi pada dua kecamatan, yaitu: Kecamatan Gading Cempaka dan Kecamatan Teluk Segara. Kerentanannya terhadap bahaya tsunami belum diketahui secara pasti karena belum adanya peta bencana tsunami. Namun secara pengamatan lapangan cukup rentan karena banyaknya pemukiman yang tersebar memanjang di daerah pantai. Fasilitas pendidikan terdiri dari pendidikan tinggi, pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Jumlah pendidikan tinggi sebanyak 10 unit yang terdiri dari 2 perguruan tinggi negeri dan 8 perguruan tinggi swasta. Sementara jumlah pendidikan dasar dan menengah sebanyak 154 buah yang terdiri dari 30 unit TK, 76 unit SD, 27 unit SMP/MTS dan 21 unit SMU/MAN/Kejuruan. Penyebarannya mengikuti lokasi pemukiman yang cukup rentan terhadap bahaya tsunami. Fasilitas kesehatan terdiri dari rumah sakit, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan posyandu. Jumlah rumah sakit umum daerah ada 1 unit, puskesmas 13 unit, puskesmas pembantu 49 unit, klinik KB 63 unit, rumah bersalin 10 unit, klinik sanitasi 13 unit, balai pengobatan 15 unit, dan posyandu 193 unit. Kecuali rumah sakit umum yang cukup jauh dari pantai, fasilitas kesehatan lainnya menyebar mengikuti lokasi pemukiman yang cukup rentan terhadap tsunami.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



211



211



Fasilitas perkantoran meliputi perkantoran pemerintah provinsi, pemerintah kota, pemerintahan kecamatan dan pemerintahan kelurahan. Lokasi pemerintahan provinsi mengelompok pada kawasan pusat kota. Jumlah perkantoran ada 117 buah dengan luas areal 87,75 hektar. Tingkat kerentanannya terhadap tsunami cukup tinggi karena tidak jauh dari pantai. Prasarana kota meliputi instalasi air bersih, jaringan listrik, dan jaringan telpon. Kapasitas air bersih sebesar 150 l/detik dengan total produksi 9.381.192 m3. Kapasitas listrik terpasang 150,52 MW yang melebihi kebutuhan masyarakat. Sementara sarana telekomunikasi berkembang dengan pesat dengan adanya jaringan telpon selluler. Penyebaran tempat pengolahan air bersih sebagian besar berada cukup jauh dari pantai sehingga tingkat kerentanannya terhadap tsunami cukup kecil. Begitu juga untuk pembangkit listrik yang sudah interkoneksi dengan daerah di luar kota Bengkulu, sehingga pemasokan tidak akan terganggu kecuali kerusakan pada jaringan ke pengguna. Jaringan telkom menyebar sesuai dengan penyebaran pemukiman, namun dengan adanya telpon selluler permasalahan komunikasi ini tidak ada masalah seandainya bencana tsunami datang. Sarana dan prasarana transportasi meliputi transportasi darat, transportasi laut dan transportasi udara. Panjang jaringan jalan sebesar 676,048 km yang terdiri dari 64,980 jalan negara, 54,180 jalan provinsi, dan 557,048 km jalan kota. Terminal yang ada sebanyak 3 buah. Sarana transportasi laut yang ada yaitu pelabuhan Baai yang berfungsi sebagai tempat melayani penumpang dari Bengkulu ke Enggano. Sementara transportasi udara dilakukan dari pelabuhan udara Fatmawati yang mampu didarati pesawat Boing 737. Jaringan jalan sekitar pantai cukup rentan terhadap tsunami, namun banyaknya jalan yang vertikal menjauh dari garis pantai memudahkan untuk evakuasi masyarakat. Sementara itu bandara udara Fatmawati relatif aman dari tsunami karena cukup jauh dari pantai.



4.2.1.3. Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Jumlah, pertumbuhan dan penyebaran penduduk Penduduk Kota Bengkulu pada tahun 1971 (Sensus Penduduk 1971) hanya sebanyak 31.866 orang. Jumlah penduduk tersebut pada 10 tahun berikutnya (tahun 1980) telah mencapai lebih dua kali lipat, yakni 64.783 orang. Kemudian dari jumlah tersebut hampir tiga kali lipat pada dasawarsa berikutnya (tahun 1990) sebesar 170.327 orang. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Kota Bengkulu adalah 259.176 orang. Dari jumlah tersebut pada jangka waktu 5 tahun (tahun 2005) telah mencapai 287.868 orang. Pertumbuhan penduduk Kota Bengkulu selama 3 dasawarsa ini memang termasuk tinggi. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun pada kurun waktu 1971 – 1980 telah mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu 8,1 persen. Laju pertumbuhan tersebut nampaknya semakin tak terbendung pada kurun waktu berikutnya (19801990) menjadi 10,1 persen. Kemudian tingkat pertumbuhan tersebut menurun pada dasa warsa berikutnya, namun masih menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pada kurun waktu 1990-2005 212



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



rata-rata tingkat pertumbuhan per tahun masih mencapai 3,6 persen. Pertumbuhan yang tinggi selama 3 dasawarsa tersebut nampaknya banyak dipengaruhi oleh adanya migrasi penduduk yang masuk ke kota ini dan reklasifikasi kota dari pada oleh pertambahan alami (kelahiran dikurangi kematian). Tingkat kepadatan penduduk Kota Bengkulu pada tahun 2000 sebesar 1.793 orang/ km². Angka tersebut pada 5 tahun kemudian (2005) telah meningkat menjadi hampir 2000 orang/ km² (tepatnya 1.992 orang/ km²). Dengan memperhatikan tingkat kepadatannya, Kota Bengkulu termasuk kota yang padat penduduk. Penyebaran penduduk di masing-masing zona wilayah dan kelurahan, ternyata ada gambaran yang menarik. Di zona jauh/aman jumlah penduduknya jauh lebih banyak (34.583 orang) dibandingkan zone lainnya. Jumlah penduduk di masing-masing kelurahaan di zona jauh ini antara 6.856 orang sampai 15.581 orang. Kemudian di zona sedang/hati-hati jumlah penduduknya hanya mencapai 13.781 orang. Jumlah penduduk di masing-masing kelurahan berkisar antara 3.776 orang sampai 5.306 orang. Selanjutnya yang paling sedikit di zona dekat/ rawan jumlah penduduk kelurahan sampel hanya sebanyak 8.088 orang dan jumlah penduduk di masingmasing kelurahan berkisar antara 2.277 orang sampai 3.010 orang. Gambaran variasi jumlah penduduk antar zona ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kota Bengkulu nampaknya lebih senang bertempat tinggal di wilayah yang lebih aman dan jauh dari pantai. Berdasarkan kelurahan-kelurahan yang menjadi sampel, ternyata ada variasi tingkat kepadatan penduduk. Kemudian dibedakan antar zona, ternyata tingkat kepadatan penduduk di zona dekat pantai/ zona rawan paling rendah dibandingkan dengan zona lainnya. Hal ini disebabkan di zona dekat pantai ini ada kelurahan yang wilayahnya cukup luas. Kelurahan Teluk Sepang merupakan kelurahan yang terluas (21 Km²) yang terdiri dari areal pemukiman, perkebunan kelapa sawit, rawa dan pantai. Jumlah penduduk kelurahan tersebut hanya 2.801 orang, sehingga tingkat kepadatan penduduk di kelurahan tersebut hanya sekitar 138 Km². Total tingkat kepadatan penduduk di kelurahan-kelurahan sampel di zona dekat hanya 477/ Km². Sedangkan di zona sedang dan zona jauh tingkat kepadatan penduduknya semuanya di atas 1000 orang/ Km². Sebagian besar wilayah di zona sedang dan zona jauh tersebut hanya merupakan perumahan penduduk, perkantoran dan tempat bisnis.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



213



213



Tabel 4.2.1.1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk Menurut Zona dan Kelurahan, Kota Bengkulu, 2005



ZONA



KELURAHAN



LUAS WILAYAH (Km²)



(1)



(2)



(3)



(4)



TINGKAT KEPADATAN PENDUDUK (Orang/Km²) (5)



Beringin Raya Rawa Makmur Lempuing Teluk Sepang



1,3 1,6 1,5 21,0



2.277 3.010 4.042 2.801



1.751/ Km² 1.905/ Km²2.694/Km² 138/ Km²



Total



25.4



12.130



477/Km²



Kandang Limun Jembatan Kecil Betungan



4,5 0,8 2,2



5.306 4.699 3.776



1.166/ Km² 5.874/ Km² 1.716/ Km²



Total



7,5



13.781



1.837/Km²



Betiring Dusun Besar Pagar Dewa



10,0 5,3 14,7



6.856 12.146 15.581



685/ Km² 2.270/ Km² 1.055/ Km²



Total



30,0



34.583



1.153/Km²



RAWAN/ DEKAT



HATI-HATI/ SEDANG



AMAN/ JAUH



JUMLAH PENDUDUK



Sumber : Diolah dari Profil Kelurahan di Kota Bengkulu, 2005



Komposisi Penduduk Menurut kelompok umur penduduk Kota Bengkulu sekitar 72,1 persen merupakan kelompok penduduk umur produktif, yakni 13 – 65 tahun. Kaitannya dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana, segmen penduduk ini yang perlu diperdayakan agar mampu berpatisipasi baik untuk rumah tangganya sendiri maupun masyarakat sekitarnya. Dalam demografi segmen penduduk tersebut merupakan kelompok tenaga yang usia produktif. Kemudian ada segmen penduduk yang perlu mendapatkan pertolongan khusus adalah penduduk usia 0-6 tahun. Di kota ini ada sekitar 13,3 persen yang termasuk kelompok tersebut. Kemudian ada segmen penduduk usia tua (di atas 65 tahun) hanya sekitar 2,8 persen. Jadi beban tanggungan antara kelompok yang tergantung (perlu pertolongan pada usia 0-6 tahun dan 65 ke atas) dengan yang secara teoritis mampu menolong (13 – 55 tahun) sekitar 22,3 persen. Artinya setiap 100 orang usia produktif perlu menolong sekitar 22 orang yang perlu pertolongan khusus. Hanya di sini belum termasuk orang-orang cacat yang tidak mampu menolong dirinya sendiri, hanya jumlah orang-orang cacat tersebut biasanya tidak begitu banyak.



214



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.1.2. Komposisi Penduduk Kota Bengkulu Menurut Umur Dan Jenis Kelamin, 2004



LAKI-LAKI KELOMPOK UMUR



PEREMPUAN



TOTAL



(1)



Absulut (000) (2)



Persentase (3)



Absulut (000) (4)



Persentase (5)



Absulut (000) (6)



Persentase (7)



0–6 7 – 12 13 – 18 19 – 24 25 – 65 66 +



19,30 15,18 16,64 16,96 59,47 3,73



14,7 11,6 12,7 12,9 45,3 2,8



15,50 15,73 19,39 21,72 55,07 3,69



11,8 12,0 14,8 16,5 42,0 2,8



34,80 30,91 36,03 38,68 114,57 7,43



13,3 11,8 13,7 14,7 43,7 2,8



TOTAL



131,32



100,0



131,11



100,0



262,44



100,0



Sumber : Diolah dari BPS & Bappeda, Kota Bengkulu Dalam Angka 2004 Catatan : Data kelompok penduduk umur 5 tahunan tidak tersedia.sehingga kelompok penduduk usia produktif diasumsikan 13 – 65 tahun.



Di kelurahan-kelurahan sampel, apabila dibandingkan antar zona ada perbedaan besarnya beban tanggungan. Di zona dekat pantai jumlah segmen penduduk yang perlu pertolongan (kelompok 0 – 6 dan 65 tahun ke atas) diperkirakan sekitar 22,8 persen, di zona sedang 19,1 persen dan di zona jauh 18,3 persen. Apabila dihitung tingkat beban tanggunganya di zona dekat ini sekitar 35,7 orang tiap 100 orang penduduk usia produktif. Angka ini ternyata paling tinggi (lebih berat) dibandingkan dengan tingkat beban penduduk di zona sedang dan zona jauh, di mana masingmasing hanya sebesar 29,1 dan 27,7. Dalam hal ini perbedaan tingkat beban tanggungan tersebut relatif tidak begitu besar. Namun dengan fakta tersebut berarti bahwa bantuan tenaga, sarana dan prasarana angkutan untuk evakuasi lebih baik agak difokuskan di zona dekat pantai.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



215



215



Tabel 4.2.1.3. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur, Zona dan Kelurahan Daerah Penelitian, Kota Bengkulu, 2005.



ZONA



KELURAHAN



(1)



(2)



RAWAN/ DEKAT



HATI – HATI/ SEDANG



AMAN/ JAUH



KELOMPOK UMUR (Persentase) 13 – 18 19 – 24 (5) (6)



0-6 (3)



7 – 12 (4)



Beringin Raya Rawa Makmur Lempuing Teluk Sepang



7,2 21,6 18,5 14,1



9,4 7,4 20,6 15,8



5,7 16,5 20,7 13,9



Total



15,4



13,3



Kandang Limun Jembatan Kecil Betungan



7,1 14,8 13,4



Total



TOTAL (Persen) 25 -65 (7)



66 + (8)



(9)



15,4 7,5 19,2 12,9



34,9 35,6 16,8 36,9



13,1 11,3 4,1 6,3



100,0 100,0 100,0 100,0



14,2



13,7



36,0



7,4



100,0



10,3 17,5 17,7



13,6 12,5 19,6



25,5 17,1 15,3



39,9 31,5 28,2



3,5 6,5 5,7



100,0 100,0 100,0



11,8



15,2



15,2



19,3



31,1



7,3



100,0



Betiring Dusun Besar Pagar Dewa



12,5 13,5 16,2



12,4 11,1 15,6



13,1 26,2 17,8



10,4 13,1 17,8



46,8 36,0 24,7



4,8 0,0 7,9



100,0 100,0 100,0



Total



14,1



13,0



19,0



13,8



33,2



4,2



100,0



Sumber : Diolah dari Profil Kelurahan di Kota Bengkulu, 2005 Catatan : Data kelompok penduduk umur 5 tahunan tidak tersedia, sehingga kelompok penduduk usia produktif diasumsikan 13- 65 tahun.



Pendidikan Penduduk Menurut data tahun 2004 (BPS dan Bappeda Kota Bengkulu, 2005) ternyata sebagian besar (65 persen) penduduk Kota Bengkulu yang berusia 15 tahun ke atas memiliki latar belakang pendidikan cukup tinggi, yaitu SLTA ke atas. Hanya sebagian kecil (35 persen) yang memiliki pendidikan rendah atau SLTP ke bawah. Dengan kata lain sebagian besar kualitas sumber daya manusia di Kota Bengkulu sudah cukup baik ditinjau dari tingkat pendidikannya. Kondisi kualitas penduduk dari segi pendidikan ini merupakan salah satu potensi yang cukup baik untuk mengembangkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam di Kota Bengkulu. Sosialisasi usaha kesiapsiagaan menjadi lebih mudah diterima bagi sebagian besar penduduk Kota Bengkulu. Kesiapsiagaan tersebut tidak hanya disosialisasikan melalui media elektronik, tetapi juga media cetak serta media lainnya. Tingkat pendidikan penduduk apabila dibedakan menurut zona wilayah menunjukkan gambaran yang cukup menarik, di mana ada kecenderungan penduduk yang latar belakang pendidikannya tinggi cenderung tinggal di lokasi yang jauh dari pantai. Tabel 4.2.1.4 menunjukkan bahwa proporsi penduduk yang berpendidikan tinggi (SLTA ke atas) di zona jauh/ aman paling tinggi (46,5 persen),



216



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



kemudian lebih rendah pada zona sedang (26 persen) dan yang paling rendah pada zona dekat pantai (25 persen). Sebaliknya proporsi penduduk yang berpendidikan rendah (tamat SD/tidak tamat SD) paling banyak terdapat di zona dekat/ rawan (46 persen). Selanjutnya angka tersebut menurun menjadi 42,5 persen pada zona sedang dan yang paling sedikit hanya 36,3 persen di zona jauh dari pantai. Untuk pemberdayaan penduduk untuk kesiapsiagaan perlu lebih memprioritaskan kelurahan-kelurahan pada zona dekat pantai. Hal tersebut mengingat potensi penduduk yang berpendidikan rendah relatif lebih banyak. Tabel 4.2.1.4. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan, Zona dan Kelurahan, di Kota Bengkulu, 2005



ZONA



KELURAHAN



(1)



(2)



RAWAN/ DEKAT



HATI – HATI/ SEDANG



AMAN/ JAUH



TINGKAT PENDIDIKAN (Persentase) Tak Tamat SD/ Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA + (3) (4) (5)



JUMLAH (6)



Beringin Raya Rawa Makmur Lempuing Teluk Sepang



27,6 42,9 48,2 65,2



6,5 57,1 35,5 16,9



65,9 0,0 16,3 17,9



100,0 100,0 100,0 100,0



Total



46,0



29,0



25,0



100,0



Kandang Lamun Jembatan Kecil Betungan



50,1 15,8 61,7



43,9 28,9 22,6



6,0 55,3 15,6



100,0 100,0 100,0



Total



42,5



31,8



25,6



100,0



Betiring Dusun Besar Pagar Dewa



58,0 35,8 15,1



25,1 20,6 5,7



16,8 43,5 79,2



100,0 100,0 100,0



Total



36,3



17,1



46,5



100,0



217



Sumber : Diolah dari Profil Kelurahan di Kota Bengkulu, 2005



Mata Pencaharian Penduduk Sebagai wilayah perkotaan secara umum mata pencaharian penduduk Kota Bengkulu yang paling menonjol adalah di sektor jasa (37 persen) dan perdagangan (27 persen) (BPS dan Bappeda Kota Bengkulu,2005). Mereka yang bekerja di sektor jasa tersebut meliputi para pegawai/ karyawan negeri (PNS) dan swasta serta para buruh perusahaan/ pabrik. Di sektor perdagangan adalah para pedagang yang status pekerjaannya sebagai usaha sendiri, usaha dibantu anggota keluarga, usaha dibantu buruh tetap dan mereka yang membantu atau sebagai buruh/ pekerja di perdagangan.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



217



Di kelurahan-kelurahan sampel apabila dibandingkan antar zona, ternyata ada perbedaan pola mata pencaharian penduduk yang cukup jelas. Di zona dekat pantai/ rawan jenis mata pencaharian yang paling mencolok adalah pekerjaan di pertanian (52,6 persen). Dalam hal ini termasuk di dalamnya petani sawah dan ladang, petani perkebunan, peternak dan nelayan. Nelayan terutama dilakukan oleh penduduk yang sangat dekat dengan pantai. Sekitar 47,4 persen bekerja di luar pertanian, antara lain pegawai/karyawan, TNI/Polri, pedagang dan usaha swasta (Tabel 4.2.1.5). Di zona wilayah sedang, sebaliknya sebagian besar penduduk (sekitar 79 persen) bekerja di luar pertanian. Mereka adalah pegawai/ karyawan negeri dan swasta/ TNI/ Polri (31,7 persen), pedagang (24,9 persen) dan usaha swasta (18,8 persen). Sedangkan di zona jauh dari pantai lebih mencolok lagi, lebih dari 90 persen penduduk bekerja di luar pertanian. Dari jumlah tersebut proporsi yang paling menonjol adalah pegawai/ karyawan negeri dan swasta/ TNI/ Polri (33,6 persen), selanjutnya usaha swasta (26,6 persen) dan pedagang (23,9 persen). Perbedaan pola mata pencaharian tersebut berpengaruh terhadap status ekonomi penduduk. Biasanya penduduk yang bekerja di luar pertanian utamanya di sektor formal status ekonominya lebih baik dibandingkan penduduk yang bekerja di sektor informal khususnya di pertanian. Dengan melihat perbedaan pola mata pencaharian penduduk yang cukup mencolok antar zona tersebut diperkirakan status ekonomi penduduk di zona jauh dan zona sedang lebih baik dibandingkan di zona dekat pantai. Dengan kata lain kondisi ekonomi penduduk di zona dekat pantai paling rendah dibandingkan di zona sedang dan zona jauh. Tabel 4.2.1.5. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian, Zona dan Kelurahan, di Kota Bengkulu, 2005 TINGKAT PENDIDIKAN (Persentase) ZONA



KELURAHAN



Pagawai/ TNI/Polri



Pedagang



Swasta



Lainnya



(3)



(4)



(5)



(6)



(7)



(8)



Beringin Raya Rawa Makmur Lempuing Teluk Sepang



28,9 9,5 75,0 96,8



11,9 42,8 7,0 2,1



21,0 10,3 8,1 0,0



35,8 20,6 8,5 1,1



2,3 16,7 0,0 o,o



100,0 100,0 100,0 100,0



Total



52,6



16,0



10,0



16,6



4,8



100,0



Kandang Lamun Jemb. Kecil Betungan



0,0 8,1 54,8



58,1 33,0 3,8



14,6 26,9 32,9



18,9 29,3 8,3



8,3 2,6 0,0



100,0 100,0 100,0



Total



21,0



31,7



24,9



18,8



3,6



100,0



Betiring Dusun Besar Pagar Dewa



17,7 7,7 4,2



47,2 31,8 21,7



9,9 41,7 20,2



9,9 16,1 53,8



15,3 2,6 0,0



100,0 100,0 100,0



Total



9,9



33,6



23,9



26,6



6,0



100,0



(1)



RAWAN/ DEKAT



HATI – HATI/ SEDANG



AMAN/ JAUH



JUMLAH



Petani/ Peternak/ Nelayan



(2)



Sumber : Diolah dari Profil Kelurahan di Kota Bengkulu, 2005 Catatan : *) petani = termasuk nelayan dan peternak



218



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Suku Bangsa dan Mobilitas Penduduk Kota Bengkulu sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia merupakan daerah penerima migran. Mereka berasal dari wilayah sekitar Kota Bengkulu (satu provinsi) maupun dari berbagai wilayah provinsi di luar Bengkulu. Adanya banyak migran yang masuk Kota Bengkulu dari berbagai wilayah tersebut menyebabkan penghuni kota tersebut berasal dari multietnik, yaitu Suku Melayu (sekitar 15 persen), Suku Serawai (15 persen), Suku Minangkabau (12 persen), Suku Rejang (7 persen), Suku Lembak (4 persen), Suku Muko-muko (0,6 persen), Suku Jawa dan Sunda (14 persen) dan Suku Batak 5 persen) (Bappeda Pemkot Bengkulu, 2005). Penduduk yang multietnik dan banyak yang berasal dari luar Kota Bengkulu tersebut yang menyebabkan kurangnya adat dan budaya yang dapat dimiliki bersama. Apalagi adat dan budaya yang akan dikembangkan untuk kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Hal ini mungkin juga yang menjadi salah satu hambatan untuk membuat kesepakatan yang terkait dengan adat kebiasaan dan budaya mereka.



Keluarga Miskin di Kota Bengkulu Data BKKBN Kota Bengkulu tahun 2004 menunjukkan bahwa sebanyak 1.206 (2,3 persen) termasuk rumah tangga para-sejahtera (miskin sekali). Sebanyak 17.890 (34,6 persen) termasuk klasifikasi rumah tangga sejahtera 1 (miskin). Penyebaran menurut kecamatan (4 kecamatan lama, data kecamatan baru belum ada) rumah tangga pra sejahtera terbanyak berada di Kecamatan Selebar (55 persen) dan 45 persen tersebar di Kecamatan Gading Cempaka, Teluk Segara dan Muara Bangkahulu. Keluarga sejahtera 1 yang paling banyak (58 persen) terjadi di Kecamatan Gading Cempaka. Kemudian 42 persen lainnya tersebar di Kecamatan Selebar,Teluk Segara dan Muara Bangkahulu. Sedangkan menurut klasifikasi rumah tangga miskin yang dilakukan BPS (data untuk pembagian uang kompensasi kenaikan BBM) apabila diterapkan para zona wilayah dan kelurahan sampel menunjukkan gambaran adanya perbedaan antar zona. Di kelurahan-kelurahan sampel di zona dekat pantai/ zona rawan ternyata proporsi rumah tangga yang termasuk miskin paling tinggi dibandingkan dengan zone lainnya. Di zona dekat tersebut jumlah rumah tangga yang diklasifikasikan miskin sebanyak 32,4 persen. Sedangkan di zona sedang berada pada posisi sedikit di bawahnya, yaitu 32 persen. Kondisi yang paling baik berada di zona jauh dari pantai, di mana jumlah keluarga miskin hanya mencapai 20 persen (Tabel 4.2.1.6). Ini menunjukkan bahwa di daerah-daerah yang dapat dikatakan zona dekat/ zona rawan ternyata merupakan daerah yang relatif banyak memiliki rumah tangga miskin. Hal ini disebabkan karena akses pilihan lokasi bagi rumah tangga miskin lebih terbatas dibandingkan keluarga yang tidak miskin. Di daerah-daerah yang rawan biasanya merupakan tempat tinggal yang relatif murah dan terjangkau secara ekonomi bagi rumah tangga miskin. Hal tersebut berbeda bagi rumah tangga tidak miskin, mereka cenderung memiliki akses tinggal di mana saja termasuk lokasi yang paling aman, seperti di daerah yang paling jauh dari pantai. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



219



219



Tabel 4.2.1.6. Jumlah Rumah Tangga Miskin Menurut Kelurahan Sampel dan Zone, di Kota Bengkulu, 2005 JUMLAH RUMAH TANGGA MISKIN (4)



PERSENTASE RUMAH TANGGA MISKIN (5)



ZONA



KELURAHAN SAMPEL



(1)



(2)



JUMLAH RUMAH TANGGA (3)



Beringin Raya Rawa Makmur Lempuing Teluk Sepang



564 1.212 609



122 214 435



12,6 17,7 71,4



Total



2.385



771



32,4



586 727 825



251 164 270



42,8 22,5 32,7



2.138



685



32,0



1.596 825 3.488



334 158 689



20,9 19,1 19,7



5.909



1.161



20,0



1. 2. 3. 4.



RAWAN/ DEKAT



HATI-HATI/ SEDANG



1. 2. 3.



Kandang Limun Jembatan Kecil Betungan Total



AMAN/ JAUH



1. 2. 3.



Betiring Dusun Besar Pagar Dewa Total



Sumber : Diolah dari Profil Kelurahan di Kota Bengkulu, 2006 Catatan : tanda ( –) data tak tersedia



4.2.2. Kesiapsiagaan Individu dan Rumah Tangga Individu dan rumah tangga merupakan salah satu stakeholder dalam assessment kesiapsiagaan masyarakat menghadapi/ mengantipasi adanya bencana. Bagian ini akan mengkaji tentang kesiapsiagaan individu dan rumah tangga dalam mengantipasi bencana alam. Sebelum mengkaji tentang kesiapsiagaan tersebut, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang karakteristik responden. Karakteristik responden dibahas sebagai faktor-faktor yang ikut melatar-belakangi parameter-perameter dalam kesiapsiagaan. Parameter tersebut adalah : (1). Pengetahuan tentang bencana alam (Knowledge Attitude Behavior); (2). Rencana kesiapsiagaan rumah tangga (Emergency Planning); (3). Peringatan bencana (Warning System); dan (4). Mobilisasi sumberdaya rumah tangga (Resources Mobilization Capacity). Karakteristik responden yang disajikan dalam bagian ini meliputi kondisi demografi dan sosial ekonomi responden. Secara demografis hampir sebagian besar (57,1 persen) responden adalah laki-laki (Tabel 4.2.2.1). Sedangkan dilihat dari statusnya dalam rumah tangga persentase terbanyak adalah kepala rumah 220



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



tangga (50,7 persen). Dalam adat budaya di daerah penelitian kepala rumah tangga umumnya adalah laki-laki dan status sebagai suami. Kemudian ada sekitar 43 persen responden ternyata adalah perempuan. Dilihat statusnya dalam rumah tangga nampaknya kebanyakan dari mereka adalah isteri kepala rumah tangga. Sebagaimana telah disajikan dalam Bab Field Assessment bahwa kriteria responden memang kepala rumah tangga, namun apabila tidak dapat ditemui/ berhalangan digantikan anggota rumah tangga dewasa yang lain. Dalam kajian ini kebanyakan pengganti kepala rumah tangga adalah ibu rumah tangga, karena mereka yang paling banyak tinggal di rumah dan paling mudah ditemui. Menurut kelompok umur, mayoritas (90,6 persen) responden ternyata mereka yang sudah berumur 20 – 59 tahun. Hanya sekitar 4,4 persen responden adalah yang berusia di bawah 20 tahun dan ada sekitar 5 persen responden yang berumur 60 tahun ke atas. Sedangkan dari latar belakang pendidikannya, sebagian besar (65,2 persen) responden telah memiliki pendidikan SMP/sederajat ke atas. Kemudian apabila diperinci lagi dari SMP/ sederajat ke atas tersebut 45,5 persen ternyata adalah telah berpendidikan SMA/sederajat ke atas. Jadi cukup banyak responden yang memiliki pendidikan tinggi. Hanya sekitar 35 persen yang memiliki pendidikan tamat SD ke bawah. Kegiatan ekonomi responden, sebagian besar (63,3 persen) responden kegiatannya adalah bekerja. Hal ini wajar sebab kebanyakan mereka kepala rumah tangga yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Sekitar 23 persen responden hanya mengurus rumah tangga yang mungkin isteri kepala rumah tangga. Sebanyak 6,9 persen masih menganggur, 1,6 persen masih mencari kerja serta 4,8 persen responden masih sekolah. Kemudian dari responden yang bekerja tersebut, sebagian besar (63,8 persen) adalah mereka yang bekerja di sektor jasa. Mereka antara lain adalah pegawai/ karyawan negeri atau swasta, pengusaha, pedagang dan pekerja jasa lainnya. Responden yang bekerja di pertanian sebesar 33,4 persen. Mereka termasuk pekebun, peternak, petani dan nelayan. Dalam status ekonomi rumah tangga kajian ini menggunakan daftar rumah tangga miskin yang dibuat BPS untuk membagikan bantuan langsung tunai dan beras raskin dari pemerintah. Sebesar 28,1 persen responden ternyata berasal dari rumah tangga miskin yang mendapatkan bantuan uang langsung tunai. Kemudian 46 persen responden termasuk rumah tangga miskin yang pernah mendapat bantuan beras miskin (raskin).



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



221



221



Tabel 4.2.2.1. Kharakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi Responden, Kota Bengkulu NO



URAIAN



(1) 1.



(2) Jenis kelamin responden : 1. Laki-laki 2. Perempuan Total Status dalam rumah tangga : 1. Kepala rumah tangga 2. Istri/ suami 3. Anak 4. Lainnya Total Kelompok umur responden : 1. Kurang 20 tahun 2. 20 – 29 3. 30 – 39 4. 40 – 49 5. 50 – 59 6. 60 tahun ke atas Total Pendidikan tertinggi responden : 1. Tamat SD ke bawah 2. SMP/ sederajat 3. SMA/ sederajat ke atas Total Kegiatan ekonomi responden : 1. Bekerja 2. Menganggur 3. Cari kerja 4. Sekolah 5. Mengurus rumah tangga Total Lapangan pekerjaan responden : 1. Pertanian (termasuk pekebun, peternak, petani, nelayan) 2. Jasa & perdagangan (termasuk pegawai/ karyawan, pedagang & jasa lainnya) 3. Manufaktur Total Status ekonomi rumah tangga : 1. Rumah tangga miskin yang mendapat bantuan langsung tunai (BLT) 2. Rumah tangga miskin yang mendapat bantuan beras (raskin)



2.



3.



4.



5.



6.



7.



FREKUENSI Absulut (3)



Persentase (4)



799 601 1.400



57,1 42,9 100,0



710 512 167 11 1.400



50,7 36,6 11,9 0,8 100,0



62 366 423 323 157 69 1.400



4,4 26.1 30,2 23,1 11,2 4,9 100,0



487 276 637 1.400



34,8 19,7 45,5 100,0



886 96 23 67 328 1.400



63,3 6,9 1,6 4,8 23,4 100,0



296



33,4



565 25 886



63,8 2,8 100,0



393



28,1



644



46,0



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



222



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



4.2.2.1. Pengetahuan Tentang Bencana Pengetahuan yang akan diungkap dari penduduk Kota Bengkulu meliputi arti/ maksud dari bencana alam dan kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana. Kaitannya dengan pengetahuan gempabumi mengungkap penyebab terjadinya gempabumi, kapan terjadinya gempabumi, ciriciri gempa kuat, ciri-ciri bangunan/ rumah yang tahan gempa, dan apa yang dilakukan apabila terjadi gempa. Selanjutnya terkait dengan pengetahuan tentang tsunami mengungkap apakah setiap gempabumi menyebabkan tsunami, tanda-tanda/ gejala tsunami, ciri-ciri bangunan/ rumah yang tahan terhadap tsunami, yang dilakukan seandainya air laut tiba-tiba surut serta sumbersumber informasi tentang gempa dan tsunami. 79,3



78,8



78,3 71,4



27,9 20,2



0,6



20,5



19,0



0,0



Raw an/dekat



0,9



1,3



Hati-hati/sedang



0,7



0,0



0,7



Aman/Jauh



0,5



Total



Akibat perilaku manusia Akibat kerusuhan sos/pol Akibat kejadian alam Akibat kebakaran hutan/serangan hama



223



Diagram 4.2.2.1. Pendapat Responden Rumah Tangga Mengenai Arti dari Bencana Alam, 2006



Hasil kajian terungkap bahwa arti/ maksud bencana alam, bagi sebagian besar responden (78,3 persen) menyatakan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam (Diagram 4.2.2.1). Hanya sebagian kecil responden yang mengemukakan jawaban yang lain dan tidak begitu tepat, seperti akibat perilaku manusia, akibat kerusuhan sosial politik dan akibat kebakaran hutan/ serangan hama. Apabila dikaji menurut zona, ternyata proporsi responden paling tinggi adalah mereka yang mengatakan bahwa bencana alam adalah bencana akibat kejadian alam dan hal itu justru pada responden di zona dekat (79,3 persen), kemudian lebih rendah lagi di zona sedang (78,8 persen) dan paling rendah di zona jauh (71,4 persen). Hal tersebut kemungkinan disebabkan para responden di zona dekat yang paling banyak mengalami atau merasakan bencana alam dan kemungkinan lain lebih banyak menerima informasi atau sosialisasi tentang bencana alam. Menurut berbagai informan menunjukkan bahwa sosialisasi dan pelatihan yang terkait dengan bencana alam selama ini masih lebih terfokus di zona dekat atau zona rawan. Meskipun pelatihan dan sosialisasi tersebut belum merata ke masyarakat yang lebih luas di zona



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



223



tersebut. Pelatihan diberikan hanya kepada anggota satgana, satpol PP, hansip dsb. Persentase responden yang menjawab bencana akibat kejadian alam tersebut apabila dibedakan menurut tingkat pendidikan responden, ternyata menunjukkan adanya korelasi positif. Di mana makin tinggi tingkat pendidikan makin tinggi persentase responden yang menjawab bencana akibat kejadian alam dan sebaliknya makin rendah tingkat pendidikan makin rendah persentase responden yang menyampaikan jawaban tersebut (Lampiran Tabel 4.2.2.1). Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa makin tinggi pendidikan penduduk makin tinggi pengetahuan tentang bencana alam, meskipun perbedaannya tidak begitu besar. Dalam hal ini ada faktor lain yang berpengaruh seperti akses informasi juga mempunyai peran penting untuk meningkatkan pengetahuan penduduk. Pengetahuan tentang kejadian-kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana, hampir seluruh (lebih 90 persen) responden ternyata mengetahui kejadian-kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana, mulai dari gempabumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung berapi dan badai (Diagram 4.2.2.2.). Dari 6 jenis bencana tersebut, nampaknya yang paling populer dan menyentuh hati responden adalah gempabumi, tsunami dan banjir. Hal tersebut tercermin dari 98,9 persen responden menyebut gempa bumi. Hal ini disebabkan karena daerah kajian merupakan daerah yang rawan gempa. Gempa biasa terjadi setiap saat dan gempa yang akhir-akhir ini paling dasyat dan banyak korban jiwa, rumah dan harta benda adalah tahun 2000. Kemudian jumlah responden yang cukup tinggi (97,8 persen) yang menyebutkan bencana tsunami. Masih menjadi ingatan segar bagi responden di Kota Bengkulu bahwa bencana tsunami telah menimbulkan trauma bagi banyak penduduk wilayah pantai barat Sumatera termasuk di Kota Bengkulu dan merupakan bencana nasional yang memakan korban jiwa ratusan ribu. Bagi penduduk pantai Kota Bengkulu sampai saat ini masih ada rasa kekawatiran bila sewaktu-waktu akan terjadi bencana tsunami. Sedangkan kejadian alam banjir selalu menjadi ingatan penduduk, sebab bencana ini melanda sebagian wilayah Kota Bengkulu hampir setiap tahun. Bencana ini jarang memakan korban jiwa, namun korban harta benda sering terjadi dan penduduk biasanya sementara harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. 94,8



94,6



94,3



94,7



95,1



92,3



97,1



94,2



93,8



93,2



98,6



94



98,9



97,8



98,6



98,4



98,7



96,5



98,6



97,8



99,2



98,5



99,3



98,9



Rawan/dekat



Hati-hati/sedang



Aman/Jauh



Total



Gem pabumi



Tsunami



Banjir



Tanah Longsor



Gunung berapi



Badai



Diagram 4.2.2.2. Persentase Responden Rumah Tangga yang Menjawab “ya” Mengenai Kejadian Alam yang Dapat Menimbulkan Bencana, 2006



224



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kemudian apabila dilihat menurut zona, nampaknya tidak ada perbedaan yang signifikan antar zona. Lebih dari 90 persen jumlah responden di masing-masing zona menyebutkan semua kejadiankejadian alam dapat menimbulkan bencana. Fakta ini menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar responden dan di semua zona mempunyai pengetahuan yang hampir sama tentang bencana alam. Penyebab terjadinya gempabumi, secara umum yang dipahami oleh responden adalah adanya pergeseran kerak bumi dan akibat gunung meletus. Dua jawaban tersebut masing-masing disampaikan oleh lebih dari 80 persen jumlah responden (Tabel 4.2.2.2). Dari berbagai kejadian alam yang cukup dasyat yang menimbulkan gempabumi dan diekspos di media massa terutama dua kejadian alam (pergeseran kerak bumi dan gunung meletus) tersebut. Sedangkan tiga jawaban lainnya, yakni tanah longsor, pengeboran minyak, angin topan dan halilintar bukan penyebab terjadinya gempa bumi. Namun masih ada responden yang menyebutkan 3 jawaban tersebut, antara lain tanah longsor 45,7 persen, pengeboran minyak 35,5 persen dan angin topan/ halilintar 19,4. Berarti mereka memang belum mengerti bahwa jawaban-jawaban tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya gempabumi yang besar. Nampaknya pengetahuan tentang penyebab terjadinya gempabumi bagi responden di zona jauh sedikit lebih baik dari pada di zona dekat. Perbedaan tersebut makin jelas apabila dibedakan menurut latar belakang pendidikan responden. Kajian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara tingginya tingkat pendidikan dan besar proporsi responden yang memilih dua jawaban tersebut. Di mana makin tinggi tingkat pendidikan responden makin tinggi yang menjawab pergeseran kerak bumi dan gunung meletus, serta sebaliknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi ada kecenderungan makin banyak yang mengetahui sebab-sebab terjadinya gempabumi yang sebenarnya. Tentang pengetahuan kapan diperkirakan gempabumi akan terjadi, sebagaimana teknologi geologis yang dikuasai dan dimiliki instansi terkait dengan kebencanaan alam selama ini di mana gempabumi, utamanya gempabumi yang episentrum di laut belum bisa diperkirakan kapan akan terjadi. Sebagian besar responden (69,1 persen) ternyata juga memahami dengan mengatakan bahwa gempabumi tidak dapat diperkirakan kapan akan terjadi. Hanya sebanyak 20,1 persen jumlah responden tidak memberikan jawaban ’ya’ atau ’tidak’, sebab tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Selanjutnya masih ada sekitar 10,8 persen responden yang berani mengatakan ’ya, dapat diperkirakan kapan gempa akan terjadi’. Sebetulnya jawaban ya tersebut dianggap kurang tepat terutama gempabumi yang pusatnya di laut, sebab dengan teknologi yang ada sekarangpun belum mampu memperkirakan secara tepat kapan gempabumi akan terjadi. Sebagai contoh bencana gempa besar yang terjadi di Bengkulu tahun 2000 dan gempa dasyat yang melanda Daerah Istimewa Yogyakarta pada Sabtu (27 Mei 2006) kelabu yang lalu, pusat gempanya berada di laut dalam. Oleh karena itu, tidak ada teknologi (termasuk seismogram) di daerah tersebut yang mampu memprediksi secara tepat kapan bencana akan terjadi. Hal ini yang menyebabkan banyak penduduk terkejut dan tidak tahu apa yang harus segera dilakukan dan akhirnya memakan korban jiwa yang cukup besar.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



225



225



Tentang bagaimana ciri-ciri gempa yang kuat, hampir seluruh responden (92,8 persen) mengatakan bahwa gempa yang kuat adalah yang menyebabkan goncangan yang kencang/ keras, sehingga menyebabkan orang tidak mampu berdiri tegak. Menurut beberapa informan pada gempa besar ini orang bisa jatuh bangun bilamana akan berusaha lari meninggalkan rumah pada saat gempa. Hampir semua responden (95,5 persen) juga mengatakan gempa tersebut membuat bangunan/ rumah retak atau roboh. Keadaan ini merupakan jawaban yang paling mudah dari sisi pengamatan umum. Apabila gempa sampai merusak bangunan bahkan untuk bangunan yang kelihatan kokoh tetap retak-retak sampai roboh berarti gempa tersebut cukup besar. Kemudian masih sebagian besar responden (69,8 persen) mengatakan bahwa gempa yang kuat tersebut dapat membuat orang pusing/ limbung. Hanya sekitar 49,8 persen responden yang menjawab gempa yang kuat adalah gempa yang terjadi berulang-ulang. Jawaban-jawaban tersebut barangkali disampaikan responden berdasarkan pengalaman dan apa yang sering dilihat di daerahnya selama ini, mengingat Kota Bengkulu termasuk daerah yang rawan gempa dan ini telah disadari oleh sebagian penduduk Bengkulu. Hampir seluruh responden (96,3 persen) juga memahami bahwa kejadian gempa yang besar biasanya diikuti gempa-gempa susulan yang lebih kecil. Pengalaman ini yang nampaknya belum banyak dipahami oleh sebagian para korban bencana di Yogyakarta yang sebelumnya belum pernah merasakan gempa yang besar. Mereka masih terus kawatir akan terjadinya gempa susulan yang lebih besar. Di daerah kajian nampaknya lebih banyak proporsi responden di zona dekat/ rawan yang menyampaikan jawaban ’kejadian gempa yang besar biasanya diikuti gempa-gempa susulan yang lebih kecil’ tersebut dari pada di zona sedang dan zona jauh. Hal ini disebabkan penduduk di zona dekat/ rawan yang nampaknya paling sering mengalami atau merasakan getaran gempa bumi yang magnitudenya berbedabeda. Untuk mengurangi resiko akibat gempabumi membuat bangunan/ rumah yang tahan gempa merupakan salah satu pilihan yang tepat. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ciri bangunan/ rumah yang tahan gempa menjadi sangat penting. Dari hasil kajian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (71,9 persen) ternyata mengatakan bahwa bangunan yang tahan gempa adalah bangunan/ rumah yang terbuat dari material ringan (misal kayu, bambu, seng dsb). Mungkin mereka beranggapan bahwa bangunan/ rumah dari material yang ringan akan banyak mengurangi resiko akibat gempa dari pada model bangunan yang lain. Pengetahuan tentang bangunan/ rumah terbuat dari material ringan tersebut bagi responden Kota Bengkulu barangkali berkaitan dengan pengalaman melihat kerusakan akibat gempa selama ini. Juga melihat bangunan/ rumah yang selama ini tidak mengalami kerusakan ketika ada gempa besar dan atap yang lebih aman seperti seng. Menurut beberapa informan, setelah terjadinya gempa besar tahun 2000 banyak penduduk Kota Bengkulu yang membangun rumah dengan material yang lebih ringan. Atap rumah yang semula menggunakan genteng tanah atau genteng semen, sekarang banyak yang kembali menggunakan atap seng. Adat kebiasaan masyarakat Bengkulu dahulu sebetulnya telah terbiasa membuat rumah dengan atap seng dan kemungkinan mereka telah mengantipasi untuk mengurangi resiko gempa. Di samping genteng seng lebih ringan, tidak begitu membahayakan seperti genteng tanah/ semen. Apabila ada goyangan gempa besar genteng tanah/ semen bisa lepas-lepas dan dapat jatuh menimpa orang-orang yang tinggal di bawahnya. Penggantian bahan ringan ini juga telah dilakukan oleh salah seorang informan Lurah Pagar Dewa, di mana setelah kejadian gempa besar besar tahun 2000 yang lalu semua atap bangunan rumahnya diganti dengan seng. Menurut pengakuannya untuk mengurangi resiko apabila terjadi bencana gempa bumi yang besar lagi. 226



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Di samping bahan bangunan yang ringan, ada sekitar 56 persen responden yang mengatakan bahwa ciri bangunan/ rumah yang tahan gempa adalah yang fondasinya ditanam cukup dalam. Kemudian sekitar 52 persen menyatakan bahwa bagian bangunan ( fondasi, tiang, balok, kudakuda) yang terbuat dari bata/ beton/ kayu tersambung dengan kuat. Akibat gempa besar tahun 2000 yang lalu, bangunan-bangunan baru di Kota Bengkulu nampaknya mulai memperhatikan ciri-ciri bangunan yang tahan gempa tersebut. Meskipun kenyataan ada kasus bangunan sekolah baru yang dibangun setelah kejadian gempa tahun 2000, namun dindingnya sudah mulai retakretak meskipun belum ada gempa besar. Padahal bangunan baru tersebut menggunakan tenaga arsitek dan mendapatkan pendanaan dari luar negeri. Pihak pimpinan sekolah selama ini mengkawatirkan apabila ada gempa besar nanti akan runtuh dan membahayakan keselamatan anak didiknya. Tabel 4.2.2.2. Pengetahuan Responden Tentang Gempabumi Menurut Zona, Kota Bengkulu



NO (1) 1. a. b. c. d. e. 2. 1. 2. 3. 3. a. b. c. d. 4. 1. 2. 3. 5. a. b. c.



d.



URAIAN (2) Penyebab terjadinya gempabumi : Pergeseran kerak bumi Gunung meletus Tanah longsor Angin topan dan halilintar Pengeboran minyak Gempabumi dapat diperkirakan kapan terjadi: Ya Tidak Tidak Tahu Total Apa ciri-ciri gempa kuat : Gempa terjadi berulang-ulang Gempa membuat pusing/ limbung Gempa menyebabkan goyangan kencang/ keras, sehingga tak bisa berdiri Bangunan retak atau roboh Gempa besar biasanya diikuti gempa susulan yang lebih kecil : Ya Tidak Tidak tahu Total Ciri-ciri bangunan/rumah tahan gempa : Bentuk bangunan berimbang (simtri, spt segi empat dan bujur sangkar. Fondasi bengunan tertanam cukup dalam. Bagian-bagian bangunan (fondasi, tiang, balok, kuda-kuda) yang terbuat dari bata/beton/kayu tersambung dengan kuat. Bangunan/ rumah terbuat dari material yang ringan (misal kayu, bambu, seng) (N)



Rawan/ Dekat (3)



ZONE (Persentase) Hati-hati/ Aman/ Sedang Jauh (4) (5)



TOTAL (6)



78,9 84,6 45,8 22,8 39,4



84,5 77,5 41,6 14,2 27,3



85,0 85,7 55,7 22,1 47,1



81,7 82,0 45,7 19,4 35,5



9,2 75,8 15,1 100,0



12,4 60,7 26,9 100,0



12,9 67,6 19,4 100,0



10,8 69,1 20,1 100,0



45,1 75,5



54,5 63,5



55,7 65,7



49,8 69,8



93,8 95,9



91,3 94,1



93,6 98,6



92,8 95,5



96,8 2,5 0,7 100.0



96,7 1,3 2,0 100,0



92,9 2,1 5,0 100,0



96,3 2,0 1,7 100,0



23,8



30,4



20,0



26,0



54,9



59,3



52,9



56,4



48,6



57,6



46,4



51,9



77,5 (831)



65,0 (420)



70,0 (140)



71,9 (1391)



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



227



227



Kurang ada perbedaan yang jelas antar zone mengenai tingginya persentase responden yang mengemukakan ciri-ciri bangunan yang tahan gempa. Namun apabila dibedakan menurut tingkat pendidikan responden, untuk jawaban bentuk bangunan yang berimbang (semitri), pondasi bangunan tertanam cukup dalam, dan bagian-bagian bangunan tersambung dengan kuat masih menunjukkan adanya korelasi yang positif. Nampaknya makin tinggi tingkat pendidikan responden ada kecenderungan makin tinggi proporsi responden yang mengemukakan 3 jawaban tersebut. Meskipun secara umum persentase responden yang mengemukakan 3 jawaban tersebut tidak besar. Mengenai pengetahuan tentang apa yang dilakukan apabila terjadi gempa, hampir semua responden memilih segera menuju lapangan terbuka (95,8 persen). Sebagian besar responden ada yang memilih menjauhi benda-benda yang tergantung (76,4 persen) agar tidak tertimpa apabila bendabenda tersebut berjatuhan. Sebagian besar juga ada yang memilih menjauhi jendela/ dinding kaca (71,7 persen) agar tidak terkena pecahan kaca dan ada yang memilih melindungi kepala dengan berbagai alat (60,7 persen) mengingat kepala merupakan organ tubuh yang paling vital. Ada sebagian besar responden (93,5 persen) yang mempunyai pilihan berlari ke luar rumah pada saat gempa. Dari pengalaman responden pada kejadian gempa besar tahun 2000, nampaknya penduduk yang selamat adalah mereka yang segera meninggalkan rumah saat terjadinya gempa. Meskipun mereka harus jatuh bangun saat berlari ke luar rumah. Selanjutnya dalam jumlah yang tidak besar ada responden yang ikut memilih berlindung di tempat yang aman (53,6 persen), meninggalkan ruangan setelah gempa (36,3 persen), dan merapat dinding yang bebas dari benda-benda (26,8 persen). Jawaban yang terakhir ini juga mengandung resiko bilamana gempanya cukup kuat dan dinding tempat untuk berlindung ikut runtuh. Kasus ini ternyata juga terjadi pada peristiwa gempa di Yogyakarta Sabtu, 24 Mei 2006 yang lalu, di mana mereka yang berlindung di dekat dinding juga masih terkena reruntuhan dinding. Mungkin kasus tersebut berbeda dengan di negara-negara rawan gempa, seperti Jepang yang kesiapsiagaan penduduknya menghadapi bencana gempabumi sudah cukup tinggi. Dinding rumah penduduk di negara-negara tersebut dibuat dari bahan yang ringan dan kuat, sehingga masih dapat digunakan untuk berlindung pada saat gempa bumi terjadi. Selanjutnya apabila dibedakan menurut zona, hampir semua pilihan jawaban di atas di zona jauh persentase jumlah respondennya lebih tinggi dibandingkan di zona dekat dan zona sedang. Apabila dibedakan menurut tingkat pendidikannya, hanya pada jawaban melindungi kepala dan menjauhi benda-benda yang tergantung yang ada korelasi positif antara tingkat pendidikan responden dan besarnya proporsi responden yang mengemukakan jawaban tersebut (Lampiran Tabel 4.2.2.2). Pengalaman selama ini, ancaman korban bencana yang banyak adalah kepala karena tertimpa benda-benda yang jatuh saat kejadian gempa. Karena merupakan organ tubuh yang sangat vital, apabila kepala tertimpa benda-benda keras akibatnya adalah kematian dan gegar otak. Kasus tersebut ternyata terjadi pada bencana gempa di Yogyakarta yang lalu, banyak korban luka di kepala yang disebabkan kejatuhan genteng dan perabotan rumah yang lain.



228



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.2.3. Pengetahuan Responden Tentang Tindakan Yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi Gempa Menurut Zona, Kota Bengkulu



NO



URAIAN



(1)



a. b. c. d. e. f. g. h.



(2) Apa saja yang dilakukan apabila terjadi gempa : Berlindung di tempat yang aman (misal bawah meja yang kokoh). Melindungi kepala Segera menuju lapangan terbuka Menjauhi benda-benda yang tergantung Merapat ke dinding yang bebas dari bendabenda. Menjauhi jendela/ dinding kaca Meninggalkan ruangan setelah gempa reda. Berlari ke luar rumah pada saat gempa (N)



Rawan/ Dekat (3)



ZONE (Persentase) Hati-hati/ Aman/ Sedang Jauh (4) (5)



TOTAL (6)



46,9 61,8 95,2 74,4



59,1 57,8 96,5 76,8



66,4 66,4 95,7 85,7



53,6 60,7 95,8 76,4



26,6 69,4 33,2 94,9



22,5 71,8 38,2 91,0



45,0 82,9 44,3 95,7



26,8 71,7 36,3 93,5



(831)



(420)



(140)



(1391)



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Berkaitan dengan bencana tsunami, ditanyakan tentang apakah setiap gempabumi akan menyebabkan tsunami. Sebagian besar responden (76,7 persen) ternyata mengatakan ’tidak’ (Tabel 4.2.2.4). Ini berarti sebagian besar mereka telah memahami bahwa tidak setiap gempa akan menghasilkan tsunami. Namun hal ini berbeda kasus yang terjadi pada gempabumi tahun 2005 yang lalu. Menurut beberapa informan pada waktu itu pemahaman masyarakat tentang tsunami masih kurang, sehingga pada waktu gempa terjadi spontan penduduk berlarian menuju tempat yang lebih tinggi. Kebetulan ada isu akan terjadi tsunami setelah gempa terjadi. Meskipun belum pernah mengalami tsunami, mungkin penduduk masih trauma mengingat kejadian bencana tersebut di Aceh Desember 2004 yang lalu. Pada waktu itu banyak korban berjatuhan karena panik dan saling bertabrakan. Setelah ada penjelasan dari pihak aparat bahwa tidak akan terjadi tsunami, kemudian ada sebagian penduduk yang kembali ke rumahnya masing-masing serta setelah beberapa saat ternyata tidak terjadi tsunami. Dari pengalaman tersebut mungkin telah merubah opini penduduk Kota Bengkulu tentang pengetahuan gempabumi dan tsunami. Sehingga pada waktu penelitian dilakukan banyak responden yang telah memahami bahwa tidak setiap gempa akan menimbulkan tsunami. Hanya sebagian kecil (15,2 persen) yang masih beranggapan bahwa setiap ada gempa akan memungkinkan terjadinya tsunami. Dibedakan menurut zona, ternyata proporsi responden yang mengatakan ’tidak setiap gempa akan menimbulkan tsunami’ untuk di zona aman lebih tinggi dibandingkan di daerah dekat maupun zona sedang. Perbedaan ini nampaknya terkait dengan perbedaan tingkat pendidikan responden. Kajian ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara tingginya tingkat pendidikan dengan pengetahuan yang benar tentang tsunami. Dalam kajian ini memperlihatkan bahwa makin tinggi LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



229



229



tingkat pendidikan responden ternyata makin banyak proporsi responden yang menjawab ’tidak setiap gempa bumi menyebabkan tsunami’ dan sebaliknya. Pengetahuan tentang sebab-sebab ternjadinya tsunami, jawaban yang paling menonjol adalah disebabkan adanya gempabumi di bawah laut (85,4 persen) dan karena gunung meletus di bawah laut (66 persen). Dua jawaban tersebut adalah jawaban yang secara geologis paling benar. Kemudian ada jawaban yang kurang tepat, yaitu akibat longsoran di bawah laut (52,2 persen) dan karena badai/ puting beliung (26,4 persen). Kemudian dibedakan menurut zona, ternyata pada dua jawaban yang benar tersebut, persentase respondennya untuk zona jauh lebih tinggi dibandingkan di zona sedang dan zona dekat pantai. Fenomena tersebut dapat didukung dengan melihat tingkat pendidikan responden. Di mana makin tinggi pendidikan makin banyak responden yang memberikan dua jawaban tersebut dan di zona jauh/ aman nampaknya lebih banyak proporsi responden yang berpendidikan tinggi dibandingkan dengan yang di zona dekat. Selanjutnya ditanyakan juga tentang tanda-tanda/ gejala akan adanya tsunami, jawaban yang paling tinggi pada pilihan air laut tiba-tiba surut (82,7 persen). Pengetahuan ini sangat mungkin menimba dari pengalaman tragedi Aceh yang disiarkan melalui berbagai media dan pengalaman adanya isu yang tidak benar mengenai akan terjadinya tsunami di Kota Bengkulu pada tahun 2005 yang ternyata tidak terjadi sebab tanda-tanda utamanya tidak terlihat. Sehingga membuat sebagian besar responden mengetahui betul gejala/tanda-tanda utama akan ternjadinya tsunami. Kemudian dalam persentase yang tinggi adalah yang menjawab gempa menyebabkan goyangan yang kencang/ keras sehingga tidak bisa berdiri dan gelombang besar di cakrawala. Apabila dibedakan menurut zona, ternyata tidak ada pola perbedaan yang jelas antar zona. Namun bila dibedakan menurut tingkat pendidikan responden di semua jawaban tanda-tanda/ gejala tsunami tersebut ada korelasinya, yakni korelasi positif. Mengenai ciri-ciri bangunan/ rumah yang tahan terhadap bencana tsunami, ada dua alternatif jawaban yang perlu dipilih oleh responden, yakni adanya ruang-ruang untuk jalannya air dan bagian bangunan yang panjang tegak lurus terhadap garis pantai. Dua pilihan jawaban tersebut ternyata kurang dipahami oleh para responden. Hanya 31,9 persen responden yang memilih adanya ruang-ruang untuk jalannya air dan hanya 15,1 persen yang memilih bagian bangunan yang panjang tegak lurus terhadap garis pantai. Apabila dibedakan menurut zona wilayah ternyata tidak ada pola perbedaan yang jelas. Dalam pengetahuan apa yang perlu dilakukan seandainya air laut tiba-tiba surut, berkaitan dengan telah dipahaminya sebagian besar responden tentang tanda-tanda/ gejala terjadinya tsunami di atas juga tercermin pada jawaban pertanyaan tersebut. Mayoritas responden (90,7 persen) mengatakan mereka harus lari menjauh dari pantai. Sedangkan alternatif jawaban lain yang sebenarnya tidak tepat hanya dinyatakan oleh sebagian kecil responden. Dibedakan menurut zona wilayah, ternyata proporsi responden yang memilih berlari menjauhi pantai di zona jauh sedikit lebih tinggi dari pada di zona dekat dan zona sedang.



230



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.2.4. Pengetahuan Responden Tentang Tsunami Menurut Zona, Kota Bengkulu ZONA (Persentase) NO



(1) 1. 1. 2. 3. 2. a. b. c. d. 3. a. b. c. 4. a. b. 5. 1. 2. 3. 4.



URAIAN



(2) Apakah setiap gempabumi menyebabkan tsunami : Ya Tidak Tidak tahu Total Apa yang bisa menyebabkan terjadinya tsunami : Gempabumi di bawah laut Gunung meletus di bawah laut Longsoran di bawah laut Badai/ puting beliung Tanda/gejala tsunami yang diketahui : Gempa menyebabkan goyangan yang kencang/keras sehingga tidak bisa berdiri Air laut tiba-tiba surut Gelombang besar di cakrawala Ciri-ciri bangunan/rumah tahan tsunami : Adanya ruang-ruang untuk jalannya air Bagian bangunan yang panjang tegak lurus terhadap garis pantai Apa yang dilakukan seandainya air laut tiba – tiba surut : Berlari menjauh dari laut Mendekati pantai Mengambil ikan yang terdampar di pantai Tidak tahu Total (N)



Rawan/ Dekat (3)



Hati-hati/ sedang (4)



Aman/ Jauh (5)



TOTAL



15,9 77,2 6,9 100,0



15,3 74,8 9,9 100,0



11,4 82,1 6,4 100,0



15,2 76,7 8,0 100,0



84,2 68,1 55,5 26,4



85,4 62,5 47,8 26,6



91,4 68,6 52,9 25,7



85,4 66,0 52,2 26,4



63,8 83,1 53,7



55,8 82,1 50,3



57,9 82,9 48,6



60,1 82,7 51,9



32,4



31,9



29,3



31,9



12,8



19,9



8,6



15,1



91,0 2,0 1,7 5,4 100,0 (831)



89,1 3,5 2,4 5,0 100,0 (420)



95,0 0,7 0,7 3,6 100,0 (140)



90,7 2,4 1,9 5,0 100,0 (1391)



(6)



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Dari mana sumber informasi tentang gempa dan tsunami, ternyata sumber yang paling populer adalah televisi, radio, media cetak, saudara/ kerabat/ teman dan tetangga (Diagram 4.2.2.3.). Empat sumber informasi tersebut disampaikan masing-masing oleh lebih dari 70 persen responden. Sehingga sumber informasi tersebut merupakan sumber informasi yang paling efektif bagi masyarakat Kota Bengkulu untuk menyampaikan pesan/ berita dan mengadakan sosialisasi tentang kesiapsiagaan bencana. Sedangkan peran aparat pemerintah, LSM/ Ornop dan media lain masih kecil peranannya apabila digunakan untuk menyebarluasan kesiapsiagaan bencana.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



231



231



LSM & ORNOP (spt. PMI)



19,0



Petugas pemerintah



32,4



Saudara, kerabat, tem an, tetangga



Sosioalisasi, seminar, pertemuan Buku saku, poster, leaflet, bilboard, rambu peringatan Koran, m ajalah, buletin



Televis i



Radio



76,5



15,9



21,0



72,2



92,7



85,6



Diagram 4.2.2.3. Persentase Responden Rumah Tangga yang Menjawab “ya” Mengenai Sumber Informasi Tentang Gempa dan Tsunami, 2006



4.2.2.2. Rencana Tanggap Darurat Dalam rencana penyelamatan/ tanggap darurat rumah tangga ada 4 indikator yang dikaji, yaitu tindakan apa saja yang dilakukan rumah tangga setelah terjadinya gempa dan tsunami tahun 2004 yang lalu, di mana tempat penyelamatan anggota rumah tangga apabila terjadi gempa dan tsunami, rencana-rencana yang dimiliki rumah tangga untuk kewaspadaan kemungkinan terjadinya gempa dan tsunami dan apakah ada penyiapan kotak P3K dan obat-obatan khusus untuk pertolongan pertama. Masing-masing indikator tersebut akan dibahas dalam uraian berikut. Tentang tindakan apa yang dilakukan rumah tangga responden setelah terjadinya gempa dan tsunami, nampaknya yang paling banyak dilakukan adalah menambah pengetahuan tentang gempa dan tsunami (75,7 persen). Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui berbagai sumber seperti media elektronik, media cetak maupun informasi dari sumber lain (keluarga, teman, tetangga). Kemudian sekitar 47 persen telah membuat rencana pengungsian, antara lain lari ke tempat yang tinggi/ aman dan mengungsi ke tempat kerabat yang lokasinya aman. Sedangkan pilihan tindakan yang lain proporsi jumlah respondennya hanya kecil, seperti membangun rumah yang tahan gempa (19,2 persen) dan pindah rumah ke tempat yang tinggi (18,2 persen). Dua pilihan tindakan terakhir ini memerlukan kemampuan biaya yang besar. Oleh karena itu, tidak semua responden mau memilihnya. Selanjutnya yang paling kecil proporsi responden yang memilih melakukan latihan simulasi evakuasi keluarga. Tindakan ini sangat tergantung pada pihak pemerintah apakah perlu melakukan atau tidak, nampaknya tidak mungkin dilakukan sendirisendiri oleh rumah tangga. Dilihat menurut zona, tidak ada pola yang jelas antar zona di daerah kajian. Namun apabila dilihat menurut tingkat pendidikan, untuk jawaban menambah pengetahuan tentang gempa/ tsunami



232



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



dan membangun rumah yang tahan gempa ada korelasinya dengan tingkat pendidikan responden. Untuk dua jawaban tersebut makin tinggi pendidikan makin tinggi persentasenya. Mengenai rencana tempat penyelamatan keluarga apabila terjadi gempa dan tsunami, ternyata pilihan yang paling tinggi (79 persen) ke lapangan terbuka (Tabel 4.2.2.5). Dalam hal ini tentunya juga di lokasi yang aman dan tinggi untuk bahaya tsunami. Pilihan kedua adalah lari ke gedung/ bangunan terdekat yang aman (70,8 persen). Dibandingkan antar zona, responden yang memilih ini di zona jauh dan zona sedang lebih tinggi dari pada di zona dekat. Hal ini disebabkan gedung/ bangunan yang tinggi lebih banyak yang berada di zona sedang dan jauh dari pada di zona dekat. Kemudian responden yang memilih posko bencana yang disediakan sebanyak 69 persen dan yang memilih mengungsi ke rumah kerabat dan teman sebesar 51 persen. Dibedakan menurut tingkat pendidikan, tempat menyelamatkan keluarga yang polanya jelas adalah di posko bencana yang disediakan dan di gedung/ bangunan terdekat yang aman. Di mana makin tinggi pendidikan responden proporsi yang menyebutkan 2 jawaban tersebut makin tinggi juga. Rencana-rencana yang dimiliki rumah tangga untuk kewaspadaan kemungkinan terjadinya gempa dan tsunami, ada 8 hal yang mungkin dapat dilakukan oleh rumah tangga responden. Hasil wawancara menunjukkan bahwa hanya ada 3 hal yang paling banyak dikemukakan oleh responden. Ketiga jawaban terbanyak tersebut adalah menyiapkan dokumen-dokumen penting dan bernilai (71,4 persen), memufakati tempat pengungsian keluarga (63,8 persen) dan menyiapkan pakaian dan kebutuhan khusus/ darurat keluarga (56,1 persen). Sedangkan alternatif jawaban lainnya hanya kecil jumlah responden yang memilihnya, seperti menyiapkan alamat-alamat/ nomor telepon yang penting (49,8 persen), menyiapkan photo keluarga (37,5 persen), dan menyiapkan makanan siap santap yang tahan lama (28,2 persen). Rendahnya mereka yang memilih 3 hal tersebut mungkin dianggap tidak begitu penting sekali dan juga memerlukan biaya. Penyiapan peta dan rute pengungsian hanya diakui oleh 32,7 persen responden, untuk penyiapan tersebut sangat tergantung ketersediaan di tingkat pemerintah kota sampai tingkat kelurahan, RW (Rukun Warga)/ lingkungan dan RT Rukun Tetangga) dan juga sosialisasinya ke masyarakat yang selama ini masih kurang. Selanjutnya yang paling kecil adalah mengikuti latihan/ simulasi (10,0 persen), untuk kegiatan ini sangat tergantung pada kebijakan dan program pemerintah kota. Saat ini kegiatan latihan dan simulasi tersebut masih untuk kalangan terbatas, terutama kalangan para petugas penanggulangan bencana saja. Dengan membandingkan antar zona, ternyata tidak ada pola perbedaan yang jelas. Juga dengan membandingkan tingkat pendidikan responden, hanya pada 3 jawaban, yakni menyiapkan dokumen-dokumen penting/ bernilai, menyiapkan alamat-alamat/ nomer telpon penting dan jawaban menyiapkan pakaian dan kebutuhan khusus/ darurat keluarga yang menunjukkan ada pola yang jelas. Ada korelasi positif antara tingginya tingkat pendidikan dengan tingginya persentase responden yang menjawab di 3 jawaban terakhir.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



233



233



Tabel 4.2.2.5. Rencana Tanggap Darurat Bagi Keluarga Menurut Zona, Kota Bengkulu



1



a



b



c d



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Di samping 8 hal tersebut di atas, apakah keluarga juga sudah menyiapkan kotak P3K dan obatobatan khusus untuk pertolongan pertama. Ternyata hanya sebagian kecil keluarga responden yang menyiapkan, terutama barangkali bagi keluarga yang sudah terbiasa menyediakan kotak obat di rumah mereka. Di daerah zona jauh proporsi mereka yang menyiapkan kotak P3K dan obat-obatan khusus jauh lebih besar dari pada di zona dekat. Sangat mungkin mereka adalah keluarga yang latar belakang pendidikannya lebih baik. Kajian ini juga menunjukkan bahwa ada



2



a b c d 3



a b



c



d



234



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



e f



g



4



1 2



korelasi positif antara tingkat pendidikan responden dengan besarnya proporsi keluarga responden yang menyiapkan kotak P3K dan obat-obatan khusus pertolongan pertama.



4.2.2.3. Peringatan Bencana Ada 3 indikator yang digunakan dalam kajian sistem peringatan bencana (warning system), yaitu apakah mengetahui ada sistem/ cara peringatan akan terjadinya bencana tsunami, sumber informasi tentang sistem/ cara peringatan akan terjadinya bencana tsunami dan kegiatan yang dilakukan apabila mendengar peringatan atau tanda bahaya tsunami. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa ternyata hanya sebagian kecil dari jumlah responden (35,1 persen) yang mengetahui ada sistem/ cara peringatan akan terjadinya bencana tsunami (Diagram 4.2.2.4.). Adapun sumber informasi tentang sistem/ cara peringatan akan terjadinya tsunami tersebut proporsi responden yang banyak berasal dari pemerintah kota/ kelurahan, polisi dan aparat keamanan, radio dan televisi. Masing-masing sumber informasi tersebut mencapai lebih dari 60 persen. Cara peringatan dari pemerintah kota, polisi dan aparat keamanan, biasanya apabila ada berita yang harus segera disampaikan langsung ke masyarakat biasanya melalui pengeras suara yang dibawa mobil keliling/ mobil patroli polisi/ aparat keamanan. Seperti pada waktu gempa besar yang terjadi tahun 2005, waktu itu penduduk sudah cukup panik berlarian menuju tempat yang aman dan tinggi mengira bahwa akan terjadi bencana tsunami. Padahal waktu itu tidak terjadi tsunami, sebagaimana telah diungkap di atas pihak aparat keamanan dengan menggunakan mobil patroli keliling kota melalui pengeras suara berusaha menenangkan penduduk. Dibedakan menurut zona, ternyata proporsi responden tertinggi yang mengaku mendapatkan sumber informasi cara peringatan dari pemerintah kota, polisi/ aparat keamanan, radio dan televisi yang ada di zone sedang. Tingginya persentase responden di zona sedang tersebut menunjukkan bahwa akses di zona ini terhadap sumber informasi tersebut lebih besar dari pada zona lainnya. Sangat mungkin karena zona sedang merupakan pusat kota yang berada di tengahtengah Kota Bengkulu, sehingga lebih mudah terjangkau informasi atau paling dahulu menerima informasi.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



235



235



100 69,8



80



64,9



64,3



58,7



60 41,3



40



35,7



30,2



35,1



Ya Tidak



20 0



Rawan/dekat



Hatihati/sedang



Aman/Jauh



Total



Diagram 4.2.2.4. Persentase Responden Rumah Tangga mengenai Pernah atau Tidak Mendengar Peringatan Tsunami, 2006



Kegiatan apa yang dilakukan apabila mendengar peringatan/ tanda bahaya tsunami. Ada 7 alternatif jawaban yang perlu dipilih oleh responden, ternyata sebagian besar (masing-masing di atas 60 persen) telah memilih 7 alternatif tersebut. Dari 7 alternatif jawaban tersebut yang tertinggi persentasenya adalah memilih menjauhi pantai dan lari ke tempat/ gedung yang tinggi. Hal ini relevan dengan pertanyaan sebelumnya mengenai pengetahuan yang perlu dilakukan apabila air laut tiba-tiba surut mereka berlari menjauhi pantai (Tabel 4.2.2.6.). Dalam persentase yang cukup tinggi adalah yang memilih bergegas menuju tempat penyelamatan/ pengungsian/ evakuasi (88,8 persen), membantu anak-anak, ibu hamil, orang tua dan orang cacat keluar rumah menuju ke tempat aman sementara (74,5 persen), mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah (74,9 persen), mematikan listrik dan kompor di rumah (72 persen) dan menenangkan diri/ tidak panik (71,5 persen). Kemudian yang terakhir perlu membawa tas/ kotak/ kantong siaga bencana hanya sebesar 63,2 persen. Dibandingkan antar zone ternyata tidak ada perbedaan pola yang jelas. Juga pada perbandingan menurut tingkat pendidikan, hanya pada jawaban membawa tas/ kotak/ kantong siaga bencana dan jawaban mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah ternyata ada pola korelasinya. Makin tingkat pendidikan responden makin tinggi proporsi responden yang menyampaikan jawaban-jawaban tersebut.



236



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.2.6. Sistem/Cara Peringatan Bencana Tsunami Menurut Zona, Kota Bengkulu



NO (1) 1. a. b. c. d. e. f. g. 2. a. b. c. d. e. f. g.



ZONA (Persentase) Rawan/dalamHati-hati/ Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat MengantipasiAman/ Bencana, LIPI – TOTAL Dekat Sedang Jauh UNESCO/ISDR, 2006 (2) (3) (4) (5) (6) Sumber informasi adanya sistem/ cara peringatan akan terjadinya tsunami : 65,3 Pemerintah kota/kabupaten/desa 56,1 Sumber 75,9 4.2.2.4. Kemampuan Memobilisasi Daya 59,3 66,4 Polisi dan aparat keamanan 60,3 73,2 63,0 65,8 RRI dan radio swasta 60,7 71,1 64,8 60,7 rumah tangga dalam TVRI & TV Swasta/ media cetak 54,9 65,8 63,0 dan peran Kemampuan memobilisasi sumberdaya merupakan potensi 46,7 Masjid, mushola, gereja, klenteng 44,0 49,6 46,3 kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa dan tsunami. 22,2 Dalam mengkaji potensi dan peran 26,5 RAPI. ORARI, PMI & Ornop lainnya 20,9 33,0 keluarga tersebut ada 4 indikator yang digunakan, yaitu keikutsertaan anggota keluarga responden Tokoh masyarakat/cerita rakyat/turun 40,7 menghadapi bencana temurun/pengalaman pribadi 40,3 40,4dengan kesiapsiagaan 44,4 dalam pelatihan/ seminar/ pertemuan yang terkait Apa yang dilakukan apabila mendengar gempabahaya dan tsunami, latihan/ ketrampilan yang sudah diikuti oleh anggota keluarga responden, peringatan/tanda tsunamijenis : Menjauhi pantai & lari ke tempat/gedung yang responden untuk kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya beberapa penyiapan keluarga 92,5 tinggi. 93,1 bencana danpenyelamatan/ keradaan kerabat/ teman yang siap91,1 membantu94,3 apabila terjadi bencana. Bergegas menuju tempat 88,8 pengungsian/ evakuasi 89,3 88,0 89,3 Membawa tas/kotak/ kantong siaga bencana Dari hasil kajian menunjukkan bahwa ternyata mayoritas responden (86 persen) mengemukakan 63,2 Membantu anak-anak, ibu hamil, orang tua & 63,1 62,4 66,9 ada anggota keluarganya yang mengikuti pelatihan/ seminar/ pertemuan yang terkait orang cacat belum ke luar pernah rumah menuju ke tempat 74,5 4.2.2.7). Meskipun aman sementara 74,5 74,6 74,3 dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa dan tsunami (Tabel 71,5 Menenangkan diri/ tidak panik 67,2 67,2 74,3 informasi dari ada pelatihan-pelatihan yang terkait 72,0 Mematikan listrik, kompor di aparat rumah pemerintah di tingkat 70,6 kecamatan 70,6 pernah 72,9 74,9 Mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah. 76,4 76,4 72,1 dengan kesiapsiagaan bencana, namun diakuinya masih terbatas pada petugas-petugas seperti (N) (831) (420) (140) (1391) URAIAN



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



237



237



anggota Satpol PP. Pelatihan tersebut belum sampai ke tingkat masyarakat yang lebih luas. Dari PMI kota juga menyebutkan bahwa latihan kesiapsiagaan terhadap bencana baru terbatas pada tingkat anggota PMI, seperti anggota Satgana (Satuan Penanggulangan Bencana). Itupun baru sekali dilakukan. Dari tabel 4.2.2.7 menunjukkan hanya sekitar 10 persen responden yang anggota rumah tangganya pernah ikut pelatihan/ seminar/ pertemuan. Tidak ada perbedaan pola yang jelas antar zone, tapi ada pola yang berbeda dalam tingkat pendidikan yang berbeda. Makin tinggi pendidikan responden ada kecenderungan makin tinggi proporsi responden yang anggota keluarganya ikut pelatihan/ seminar/ pertemuan. Kemudian jenis-jenis latihan/ ketrampilan yang diikuti oleh anggota rumah tangga, yang paling banyak diikuti adalah yang berkaitan dengan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan). Persentase responden yang anggota rumah tangganya ikut pelatihan P3K sebanyak 69,1 persen. Mereka adalah anak sekolah/ remaja anggota PMR (Palang Merah Remaja) yang biasanya berada di SD, SLTP dan SLTA. Selanjutnya ada latihan kepramukaan (tali temali, memasang tenda dan membuat tandu) sebesar 62,4 persen dari jumlah reponden. Ini adalah para rumah tangga yang anggotanya/ anaknya ikut menjadi anggota pramuka. Kemudian dalam proporsi yang lebih rendah (56,7 persen) jumlah responden yang anggota rumah tangganya ikut pelatihan evakuasi korban, mungkin mereka itu anggota satgana, anggota SAR dll. Mereka ikut pelatihan pengolahan air bersih juga ada meskipun hanya 33,5 persen. Mengenai persiapan rumah tangga untuk kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya bencana umumnya masih sangat rendah. Jumlah rumah tangga responden yang telah menyiapkan tabungan hanya sekitar 32 persen. Kemudian yang mempunyai persiapan dengan memiliki tanah/ rumah di tempat lain (18,6 persen). Tempat tersebut kemungkinan dianggap aman dan sewaktu-waktu ada bencana bisa digunakan untuk tempat mengungsi. Sedangkan yang memiliki inisiatif berupa asuransi jiwa/ harta benda hanya kecil sekali sebesar 14,4 persen. Apabila dibandingkan antar zone wilayah ternyata tidak menunjukkan pola perbedaan yang jelas. Selanjutnya apabila dibandingkan menurut tingkat pendidikan responden ternyata di semua jawaban tersebut menunjukkan ada korelasi positif. Indikator yang terakhir, adakah kerabat/ teman keluarga responden yang siap membantu apabila terjadi bencana. Data menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar (74 persen) responden mengaku memiliki kerabat/ teman yang siap membantu andaikata ada bencana yang menimpa keluarganya. Fakta ini memperlihatkan masih kentalnya hubungan perkerabatan/ pertemanan di masyarakat Kota Bengkulu untuk sayang tolong-menolong.. Menurut perbedaan wilayah, ternyata justru keluarga di zona dekat/ rawan yang paling banyak memiliki kerabat/ teman yang siap membantu apabila ada bencana dibandingkan di zona sedang dan zona jauh/ aman. Nampaknya kekerabatan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat di daerah rawan dan miskin lebih kental dari pada di daerah yang tidak miskin.



238



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.2.7. Mobilisasi Sumber Daya Keluarga Responden Menurut Zona, Kota Bengkulu



NO (1) 1.



1. 2. 3. 2. a. b. c. d. 3. a. b. c. 4. 1. 2.



URAIAN (2) Ada anggota rumah tangga pernah ikut pelatihan/seminar/pertemuan terkait kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa & tsunami : Ya Tidak Tidak tahu Total Jenis latihan dan ketrampilan yang diikuti anggota rumah tangga : P3K Evakuasi korban Kepramukaan (tali temali, memasang tenda & membuat tandu) Pengolahan air bersih Keluarga telah mempersiapkan hal-hal berikut ini : Tabungan Asuransi jiwa/ harta/ benda Tanah/ rumah tmpat lain Mempunyai kerabat/teman yang siap membantu apabila terjadi bencana : Ya Tidak Total (N)



Rawan/ Dekat (3)



ZONA (Persentase) Hati-hati/ Aman/ Sedang Jauh (4) (5)



TOTAL (6)



11,7 84,9 3,4 100,0



8,7 87,4 3,9 100,0



10,0 86,4 3,6 100,0



10,4 86,0 3,6 100,0



72,6 51,9



70,8 70,8



50,0 50,0



69,1 56,7



64,2 27,1



64,6 45,8



50,0 37,5



62,4 33,5



31,8 13,9 19,5



30,8 14,7 19,0



34,3 15,7 12,9



31,7 14,4 18,6



76,0 24,0 100,0 (831)



73,5 26,5 100,0 (420)



65,9 34,1 100,0 (140)



74,0 26,0 100,0 (1391)



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



239



4.2.2.5. Tingkat Kesiapsiagaan Setelah pembahasan tentang parameter dan indikator-indikator pendukung kesiapsiagaan dalam subbab-subbab sebelumnya, untuk memudahkan atau menyederhanaan dalam assessment kesiapsiagaan rumah tangga di Kota Bengkulu perlu disajikan dalam bentuk angka indeks. Angka indeks dapat digunakan untuk meng-essess secara cepat dan mudah tentang tingkat kesiapsiagaan bencana di suatu wilayah dan membandingkan antar wilayah serta antar waktu apabila datanya tersedia. Indeks tersebut dapat disajikan baik untuk indeks gabungannya maupun indeks dari masing-masing komponen pendukungnya. Tingkat kesiapsiagaan masyarakat Kota Bengkulu dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana gempabumi dan tsunami secara umum dapat direfleksikan dalam bentuk indeks gabungan rumah tangga (household joint score index). Di mana indeks tersebut merupakan komposit dari 4 parameter, yaitu Indeks Pengetahuan (KAP = Knowledge, Attitude & Practices), Indeks Rencana Tanggap Darurat (EP = Emergency Planning), Indeks Sistem Peringatan Bencana (WS = Warning System) dan Indeks Kemampuan Mobilisasi Sumberdaya (RMC = Resources Mobilization Capacity). LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



239



Secara umum hasil perhitungan yang dilakukan tim peneliti menunjukkan bahwa indeks gabungan kesiapsiagaan rumah tangga Kota Bengkulu masih menunjukkan angka yang rendah, yaitu 51 (Diagram 4.2.2.5.). Dalam klasifikasi kesiapsiagaan, indeks tersebut dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi ’kurang siap’. Apa yang menyebabkan indeks kesiapsiagaan rumah tangga di Kota Bengkulu masih rendah? Untuk mengkaji sebab rendahnya indeks kesiapsiagaan tersebut dapat dirunut dari masing-masing komponen indeks yang menjadi kontributornya/ pendukungnya. Dari 4 komponen yang digunakan ternyata kontribusi indeks yang cukup besar hanya terletak pada indeks pengetahuan (KAP) saja. Di mana indeks KAP sendiri telah mencapai 69. Indeks KAP tersebut apabila dimasukkan dalam klasifikasi kesiapsiagaan sudah termasuk ’siap’. Kontribusi berikutnya atau yang kedua adalah indeks sistem peringatan bencana (WS) hanya mencapai 56 atau dengan klasifikasi ’hampir siap’. Sedangkan yang berkontribusi menjatuhkan angka indeks gabungan di Kota Bengkulu adalah indeks rencana tanggap darurat (EP) hanya sebesar 38 dan indeks kemampuan mobilisasi sumberdaya (RMC) hanya sebesar 28. Keduanya masih termasuk klasifikasi indeks ’belum siap’. Fakta ini menunjukkan bahwa emergency planning dan resourse mobilization capacity di Kota Bengkulu masih lemah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa ternyata tingkat pengetahuan kesiapsiagaan mengantipasi bencana alam cukup tinggi yang dimiliki penduduk Kota Bengkulu belum menjamin akan diikuti dengan tingkat rencana tanggap darurat dan kemampuan mobilisasi sumberdaya yang tinggi pula. Dalam kata lain tingkat pengetahuan kesiapsiagaan mengantisipasi adanya bencana alam yang dimiliki masyarakat Kota Bengkulu yang cukup tinggi, ternyata belum mampu menggerakan masyarakat untuk bertindak pada sistem peringatan bencana, perencanaan tanggap darurat dan kemampuan memobilisasi sumberdaya dalam rumah tangga yang lebih tinggi. Untuk meningkatkan kesiapsiagaan penduduk di Kota Bengkulu tidak hanya berhenti sampai tingkat pengetahuan saja, namun harus ditindaklanjuti pada tiga parameter/ komponen indeks lainnya.



100



80



69 56 51



60 38 28



40



20



0 Pengetahuan



Rencana Tanggap Darurat



Sistim Peringatan Bencana



Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya



Indeks rumah tangga



Diagram 4.2.2.5. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga di Kota Bengkulu, 2006



240



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Variasi antar daerah dalam tingkat kesiapsiagaan rumah tangga mengantipasi kemungkinan terjadinya bencana akan berbeda, apabila ada variasi latar belakang sosial ekonomi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Namun dalam kajian tingkat kesiapsiagaan rumah tangga di Kota Bengkulu ini apabila dibedakan menurut zona/ wilayah, ternyata masih kurang menunjukkan pola perbedaan indeks kesiapsiagaan yang signifikan (Diagram 4.2.2.6.). Hampir tidak ada perbedaan besarnya tingkat kesiapsiagaan dalam rumah tangga di tiga zona tersebut. Ketiganya terletak dalam posisi klasifikasi indeks ’kurang siap’. Dalam tingkat pengetahuan (KAP) di masingmasing zona telah menunjukkan tingkat yang cukup tinggi, kontribusi indeks yang tinggi, namun perbedaan antar zona tidak begitu besar. Di tiga zona tersebut juga ada kesamaan, di mana titik lemahnya terletak pada rencana tanggap darurat dan kemampuan memobilisasi sumberdaya. Besarnya indeks pada dua komponen tersebut semuanya masih di bawah 40. Untuk indeks rencana tanggap darurat masing-masing zona hanya antara 36-38. Kemudian untuk indeks kemampuan memobilisasi sumberdaya di masing-masing zona hanya di bawah 30. 100



Nilai Indeks



80



69



69



69



57



59



60



52



53



50



51



40 38



38



36 27



20



26



20



0 Raw an/Dekat



Hati-hati/Sedang



Aman/Jauh



Pengetahuan



Rencana Tanggap Darurat



Sistim Peringatan Bencana



Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya



241



Indeks kesiapsiagaan



Diagram 4.2.2.6. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menurut Zona, Kota Bengkulu, 2006



Variasi tingkat kesiapsiagaan tersebut ternyata cenderung lebih jelas pada latar belakang pendidikan masyarakat yang berbeda. Hal tersebut terbukti dari Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga tersebut apabila dihubungkan dengan tingkat pendidikan responden menunjukkan gambaran yang cukup menarik (Tabel 4.2.2.8). Ternyata ada korelasi positif antara besarnya indeks gabungan kesiapsiagaan rumah tangga (IH) dengan tingginya tingkat pendidikan responden. Di mana makin tinggi tingkat pendidikan responden besarnya indeks gabungan kesiapsiagaan rumah tangga juga makin tinggi, sebaliknya makin rendah tingkat pendidikan responden juga makin rendah indeks gabungan kesiapsiagaan keluarga. Kemudian yang lebih menarik lagi ternyata masing-masing komponen indeks gabungan rumah tangga, yakni Indeks KAP, Indeks EP, Indeks WS dan



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



241



Indeks RMC ada korelasinya yang positif juga dengan tingkat pendidikan responden. Ternyata makin tinggi tingkat pendidikan responden makin tinggi juga semua angka komponen indeks gabungan dan sebaliknya makin rendah tingkat pendidikan makin rendah angka komponen indeks gabungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan penduduk merupakan variabel yang sangat berpengaruh terhadap besarnya tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Sebab makin tinggi pendidikan makin mudah menerima informasi dari berbagai sumber dan makin tinggi pendidikan makin cepat mendapatkan akses informasi yang terkait dengan kesiapsiagaan keluarga menghadapi bencana gempa dan tsunami. Tabel 4.2.2.8. Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Gempa dan Tsunami Menurut Tingkat Pendidikan Responden, Kota Bengkulu



TINGKAT PENDIDIKAN NO



PARAMETER Tak Sek.



(1) 1. 2. 3. 4.



Tamat SD (5)



Tamat SMP/ Sederajat (6)



Tamat SMA/ Se derajat (7)



Tamat Akademi/ PT (8)



(2)



(3)



Tak Tamat SD (4)



Pengetahuan Rencana Penyelamatan/ Tanggap Darurat Sistem Peringatan Bencana Kemampuan Mobilisasi Sumberdaya Indeks Kesiapsiagaan Rumah angga



64



67



68



69



69



72



29



34



34



38



41



44



42



51



54



55



60



59



22



21



24



26



31



39



44



48



49



51



53



57



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



4.2.3. Kesiapsiagaan Pemerintah Kesiapsiagaan pemerintah Kota Bengkulu digambarkan dari kesiapsiagaan pemerintah sebagai kelembagaan di tingkat kota dan kecamatan, dan aparat pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan bencana. Kesiapsiagaan pemerintah diukur berdasarkan indikator yang telah ditentukan dalam framework, terdiri dari lima parameter, yaitu: pengetahuan dan sikap pemerintah terhadap resiko bencana alam atau knowledge and attitude (KA), kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan pengelolaan bencana atau policy statement (PS), rencana untuk keadaan darurat bencana atau emergency planning (EP), sistim peringatan bencana atau warning system (WS) dan kemampuan memobilisasi sumber daya atau resource mobilization capacity (RMC).



242



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Untuk menentukan tingkat kesiapsiagaan, masing-masing parameter mempunyai nilai indeks dengan bobot penilaian yang berbeda (lihat penjelasan bab 3.1.). Dalam kajian ini disepakati bahwa tingkat kesiapsiagaan di bagi dalam lima kategori, yaitu: 1) belum siap dengan nilai indeks kurang dari 40; 2) kurang siap dengan nilai indeks antara 40 sampai 54; 3) hampir siap dengan nilai indeks antara 55 dan 64; 4) siap dengan indeks antara 65 dan 79; dan 5) sangat siap dengan nilai indeks antara 80 dan 100. Pengelompokan ini berlaku untuk semua parameter yang diukur. Tingkat kesiapsiagaan Kota Bengkulu dinilai berdasarkan hasil angket menggunakan kuesioner, wawancara dengan informan dan narasumber dari instansi-instansi yang relevan, dan workshop yang melibatkan semua stakeholders kesiapsiagaan masyarakat, baik stakeholders utama maupun pendukung. Angket dilaksanakan dengan menyebar kuesioner kepada pemerintah kota (seri P1), aparat pemerintah dari instansi yang relevan (seri P2) dan pemerintah kecamatan (seri P3). Sesuai dengan rencana, kuesioner untuk pemerintah kota (seri P1) diserahkan kepada Ketua Bappeda untuk mengkoordinir pengisian kuesioner yang datanya berasal dari berbagai instansi yang terlibat dalam pengelolaan bencana, khususnya kesiapsiagaan bencana. Kuesioner ini kemudian diambil sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Kuesioner untuk aparat (seri P2) sebanyak 40 diberikan kepada kepala-kepala dinas atau yang mewakili, yaitu: Bappeda (8), Bagian Kesra - Sekda Kota Bengkulu (2), Dinas Kesehatan (5), Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (5), Dinas Pariwisata dan Komunikasi Informasi (5), Dinas Pendidikan Nasional (5), Dinas Perhubungan (5) dan Satpol PP (5). Seperti kuesioner seri P1, kuesioner tersebut ditinggal dan diambil beberapa hari kemudian, sesuai dengan kesepakatan. Agar kuesioner ini dapat dijawab dengan baik, maka pada sampul kuesioner diberikan penjelasan singkat mengenai cara pengisian. Sedangkan kuesioner dengan Seri P3 untuk kecamatan diisi oleh camat dan/atau yang mewakili di lima lokasi survei, yaitu: Kecamatan Ratu Agung, Kecamatan Kampung Melayu, Kecamatan Selebar, Kecamatan Muara Bangkahulu dan Kecamatan Gading Cempaka. 243 4.2.3.1. Pengetahuan Tentang Bencana Pengetahuan tentang bencana merupakan landasan untuk mengukur kesiapsiagaan aparat pemerintah. Dengan pengetahuan yang semakin tinggi, diharapkan aparat akan semakin peduli akan pentingnya kesiapsiagaan dan karena itu akan berupaya lebih giat untuk merencanakan penyelamatan untuk keadaan darurat, menyiapkan dan merespon peringatan bencana serta meningkatkan kemampuan untuk memobilisasi sumber daya yang ada, baik dari dirinya sendiri maupun masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Kesiapsiagaan yang berkaitan dengan pengetahuan digambarkan dari tingkat pengetahuan dasar aparat pemerintah tentang kejadian alam yang menimbulkan bencana, penyebab dan ciri-ciri gempa bumi dan tsunami serta kegiatan yang dilakukan apabila terjadi gempa dan tsunami. Pengetahuan aparat dapat diketahui dari hasil angket Seri P2 yang disebarkan kepada 40 aparat pemerintah Kota Bengkulu. Pengetahuan yang mendasar tentang bencana adalah pengertian tentang bencana. Hasil kajian ini menggambarkan bahwa responden aparat pemerintah Kota Bengkulu mempunyai pengetahuan LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



243



yang sangat baik. Gambaran ini dapat dilihat dari diagram 4.2.3.1. yang menunjukkan lebih dari 90 persen aparat mengetahui bahwa bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam. Gambaran ini berlaku untuk semua tingkat pendidikan aparat, kecuali aparat yang tingkat pendidikannya Diploma/Akademi. Hanya sebagian kecil responden, dari semua tingkatan pendidikan, mengemukakan bahwa bencana alam diakibatkan perilaku manusia. Jawaban ini didasarkan pada alasan bahwa bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, merupakan dampak perbuatan manusia yang merusak alam, terutama penebangan dan penggundulan hutan di wilayah perbukitan dan pesisir. 96 100



93



90



75 80



Persentase



60



Bencana akibat perilaku manusia Bencana akibat kejadian alam



40 25



20



10 7 4



0 SMA/sederajat



Diploma/Akademi



Perguruan Tinggi



Total



Diagram 4.2.3.1. Pengertian Bencana Alam Aparat Pemerintah Kota Bengkulu, 2006



Dari hasil angket juga terungkap bahwa semua responden aparat mengetahui kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana. Dari pertanyaan apakah gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, genung berapi dan badai dapat menimbulkan bencana, 100 persen responden menjawab ke enam kejadian alam tersebut dapat menimbulkan bencana. Menurut sebagaian aparat, kejadian alam yang menimbulkan bencana di Kota Bengkulu adalah gempa bumi dan banjir. Tsunami dalam dasa warsa ini belum pernah terjadi, meskipun kota ini seringkali terjadi gempa. Pengetahuan umum aparat pemerintah tentang gempa bumi relatif baik. Hampir semua responden menjawab gempa bumi tidak dapat diperkirakan kapan terjadinya. Dari tabel 4.2.3.1. dapat diketahui bahwa semua responden mengetahui gempa bumi terjadi karena adanya pergeseran kerak bumi. Hampir semua juga mengemukakan gunung meletus sebagai penyebab gempa. Sedangkan pengetahuan tentang tanah longsor sebagai penyebab gempa bervariasi menurut pendidikan. Sebagian besar responden yang berpendidikan SMA atau sederajat mengemukakan bahwa tanah longsor menyebabkan terjadinya gempa. Sebaliknya semua responden yang berpendidikan Diploma/Akademi dan lebih dari separuh responden yang tamat Perguruan Tinggi menjawab pertanyaan angket dengan benar, tanah longsor tidak menyebabkan terjadinya gempa bumi. Di samping itu, umumnya responden mengetahui kalau angin topan dan halilintar serta pengeboran minyak bukan penyebab terjadinya gempa. 244



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.3.1. Pengetahuan Responden Aparat Pemerintah Kota Bengkulu tentang Gempa Bumi Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Presentase yang Menjawab Ya) Pendidikan Terakhir Total



No.



Pengetahuan tentang Gempa



SMA sederajat



Diploma/ Akademi



Perguruan Tinggi



a. Pergeseran kerak bumi



100,0



100,0



100,0



100,0



b. Gunung meletus



100,0



83,3



100,0



97,5



c. Tanah longsor



80,0



0,0



41,7



52,5



d. Angin topan dan halilintar



20,0



0,0



12,5



12,5



e. Pengeboran minyak



20,0



16,7



25,0



22,5



2.



Gempa bumi dapat diperkirakan kapan terjadinya



0,0



16,7



12,5



10,0



3.



Ciri-ciri gempa kuat Gempa terjadi berulang-ulang



70,0



50,0



62,5



62,5



b. Gempa membuat pusing/ limbung



90,0



66,7



58,3



67,5



80,0



100,0



100,0



d. Bangunan retak atau roboh



100,0



100,0



95,8



97,5



Setelah terjadi gempa besar biasanya diikuti oleh gempa-gempa susulan yang lebih kecil



100,0



100,0



100,0



100,0



a. Bentuk bangunan berimbang (simetri, seperti: segiempat dan bujur sangkar)



60,0



66,7



37,5



47,5



b. Pondasi bangunan tertanam cukup dalam



80,0



83,3



79,2



80,0



c. Bagian-bagian bangunan (pondasi, tiang, balok, kuda kuda) yang terbuat dari bata/beton/kayu tersambung dengan kuat



90,0



75,0



79,2



80,0



Bangunan/rumah terbuat dari material yang ringan (misal kayu, bambu, seng)



90,0



83,3



75,0



80,0



10



6



24



40



1.



Penyebab terjadinya gempa bumi



a. c.



4.



5.



Gempa menyebabkan goncangan kencang/ keras sehingga tidak bisa berdiri



95,0



Ciri-ciri bangunan/rumah yang tahan gempa



N



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



245



245



Dari tabel 4.2.3.1. juga terungkap adanya variasi pengetahuan responden tentang ciri-ciri gempa kuat. Variasi jawaban terutama terlihat pada ciri gempa yang terjadi berulang-ulang dan membuat pusing/limbung. Hanya sebagian responden yang berpendidikan Diploma/Akademi, yang menjawab gempa terjadi berulang-ulang sebagai ciri gempa kuat, karena yang mereka alami gempa kuat hanya terjadi sekali. Sedangkan gempa kuat menyebabkan pusing dan limbung dijawab oleh sebagian besar responden yang berpendidikan SMA dan hanya sebagian responden yang berpendidikan Perguruan Tinggi. Jawaban ini kemungkinan didasarkan pada pengalaman ketika mereka mengalami gempa kuat yang terjadi di Kota Bengkulu. Namun demikian, umumnya responden menyepakati gempa kuat menyebabkan goyangan yang kencang/keras, sehingga tidak bisa berdiri dan bangunan menjadi retak/roboh. Berdasarkan pengalaman semua responden, setelah gempa kuat diikuti oleh gempa-gempa susulan yang lebih kecil. Di samping pengetahuan umum tentang gempa, dalam kajian ini juga ditanyakan pengetahuan responden tentang kerentanan fisik bangunan terhadap gempa yang digambarkan dari ciri-ciri bangunan tahan gempa. Dari empat ciri yang dikemukakan dalam kuesioner, sebagian besar responden menjawab tiga ciri, yaitu: pondasi bangunan tertanam cukup dalam, bagian-bagian bangunan (pondasi, tiang, balok, kuda-kuda) yang terbuat dari bata/beton/kayu tersambung dengan kuat dan bangunan/rumah terbuat dari meterial yang ringan (misal kayu, bambu dan seng). Sedangkan bentuk bangunan berimbang sebagai bangunan tahan gempa, jawabannya bervariasi, dua per tiga dari jumlah responden yang berpendidikan diploma/akademi dan hanya sepertiga responden yang berpendidikan perguruan tinggi. Gambaran ini menunjukkan pengetahuan mengenai bentuk bangunan yang berimbang atau simetris belum banyak diketahui oleh aparat sebagai salah satu ciri bangunan tahan gempa. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, hampir semua responden mengetahui kegiatan yang dilakukan apabila terjadi gempa adalah: menjauhi benda-benda yang tergantung dan jendela/ dinding kaca, berlari keluar rumah pada saat gempa, segera menuju lapangan terbuka dan melindungi kepala dan berlindung di tempat yang aman. Tetapi, hanya sebagian kecil responden saja yang akan merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda. Rendahnya persentase responden ini berkaitan erat dengan pengalaman dimana sebagian besar dinding rumah yang terbuat dari beton mengalami keretakan dan kerusakan (runtuh) ketika terjadi gempa tahun 2000, karena itu dianggap tidak cukup aman dan bahkan berbahaya jika mereka merapat didinding. Tabel 4.2.3.2. menggambarkan adanya variasi tindakan yang dilakukan responden apabila terjadi bencana gempa. Semua responden menjawab langsung keluar ruangan ketika terjadi gempa, tetapi, dua per tiga responden juga menjawab akan meninggalkan ruangan setelah gempa reda. Ketidak konsistenan jawaban ini dijelaskan responden dengan dua alasan, yaitu: gempa di Kota Bengkulu biasanya berlangsung sangat cepat, hanya beberapa detik, sehingga gempa sudah berhenti sebelum mereka sempat keluar ruangan, dan ketika mereka sedang berada di ruangan atau gedung yang tidak memungkinkan untuk segera keluar pada saat terjadi gempa. Jika sedang berada di gedung yang bertingkat, sebagian besar responden setuju untuk keluar gedung setelah gempa reda dengan menggunakan tangga. Apabila gempa terjadi saat mereka sedang berada di 246



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



dalam kendaraan, semua responden berpendidikan SMA dan sebagian besar responden lainnya menjawab akan memarkir mobil di pinggir jalan. Tabel 4.2.3.2. Pengetahuan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu tentang Tindakan yang Dilakukan Apabila Terjadi Gempa, Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Persentase yang Menjawab Ya) No.



Kegiatan



SMA sederajat



Pendidikan D1/D2/D3/ Akademi



Perguruan Tinggi



Total



1.



Berlindung di tempat yang aman (misal bawah meja yang kokoh)



90,0



83,3



91,7



90,0



2.



Melindungi kepala



100,0



100,0



87,5



92,5



3.



Segera menuju lapangan yang terbuka



100,0



100,0



100,0



100,0



4.



Menjauhi benda-benda yang tergantung



100,0



100,0



95,8



97,5



5.



Merapat ke dinding yang bebas dari bendabenda



10,0



33,3



37,5



30,0



6.



Menjauhi jendela/dinding kaca



90,0



100,0



79,2



85,0



7.



Meninggalkan ruangan setelah gempa reda



8.



Keluar gedung menggunakan tangga bila berada di gedung yang bertingkat setelah gempa reda



80,0



9.



Memarkir mobil di pinggir jalan jika sedang berada di dalam kendaraan



100,0



10.



Menjauhi jembatan



100,0



11.



Berlari keluar rumah pada saat gempa N



60,0



66,7



83,3



66,7



65,0



58,3



67,5



87,5



90,0



100,0



91,7



95,0



90,0



83,3



95,8



92,5



10



6



24



40



83,3



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI UNESCO/ISDR, 2006



Pengalaman seringnya terjadi gempa bumi di Kota Bengkulu membuat hampir semua responden mengetahui bahwa tidak setiap gempa bumi menyebabkan tsunami, melainkan gempa bumi yang terjadi di bawah laut sebagai penyebab tsunami. Di samping itu, hasil angket menggambarkan sebagian besar responden mengetahui gunung meletus dan longsoran di bawah laut merupakan penyebab terjadinya tsunami. Hanya seperempat dari jumlah responden yang menjawab badai atau puting beliung menyebabkan terjadinya tsunami, berarti sebagian besar responden mengetahui jawaban yang benar, badai dan puting beliung bukan penyebab tsunami. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, pengetahuan responden tersebut bervariasi, semua responden yang berpendidikan



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



247



247



Diploma/Akademi menjawab dengan benar, sedangkan responden yang berpendidikan SMA, hanya sebagian yang mengetahui jawaban yang benar. Dari tabel 4.2.3.3. mengungkapkan pengetahuan aparat pemerintah mengenai tanda-tanda/gejala tsunami. Tanda yang dikenal hampir semua responden adalah air laut tiba-tiba surut dan jika terjadi tanda ini maka mereka akan segera berlari menjauh dari laut. Pengalaman surutnya air laut ketika terjadi tsunami di Aceh dan adanya pemberitaan secara intensif oleh berbagai media elektronik dan media cetak memberikan pelajaran yang berarti bagi aparat pemerintah di Kota Bengkulu. Tabel 4.2.3.3. Pengetahuan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu tentang Tsunami Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Persentase yang Menjawab Ya) Pendidikan No.



1.



Pengetahuan tentang Tsunami



D1/D2/D3/ Akademi



100,0



100,0



95,8



97,5



90,0



83,3



70,8



77,5



90,0



100,0



66,7



77,5



50,0



0,0



20,8



25,0



50,0



50,0



62,5



57,5



b. Air laut tiba-tiba surut



90,0



83,3



100,0



95,0



c. Gelombang besar di cakrawala



80,0



83,3



58,3



67,5



Penyebab terjadinya tsunami a.



Gempa bumi di bawah



b.



Gunung meletus di



c.



Longsoran di bawah laut



laut



bawah laut



d. Badai/puting beliung 2.



Tanda-tanda/gejala tsunami a.



3.



Perguruan Tinggi



Total



SMA sederajat



Gempa meyebabkan goyangan yang kencang/keras sehingga tidak bisa berdiri



Ciri-ciri bangunan/rumah yang tahan tsunami a.



Adanya ruang-ruang kosong untuk jalannya air



70,0



50,0



58,3



60,0



b.



Penempatan bagian yang panjang bangunan tegak lurus terhadap garis pantai



50,0



33,3



45,8



45,0



10



6



24



40



N



Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI UNESCO/ISDR, 2006



Pengetahuan tentang adanya gelombang besar di cakrawala sebagai tanda akan terjadinya tsunami hanya diketahui oleh dua pertiga responden. Sedangkan gempa yang menyebabkan goyangan yang kencang/keras, sehingga tidak bisa berdiri, sebagai tanda tsunami hanya dijawab sebagian responden saja. Jawaban tersebut lebih didasarkan pada pengalaman responden ketika terjadi



248



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



gempa dengan goyangan yang keras, gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami di Kota Bengkulu. Di samping pengetahuan umum tentang tsunami, dalam kajian ini juga ditanyakan pengetahuan aparat mengenai ciri-ciri bangunan/rumah yang tahan tsunami. Pengetahuan ini sangat penting untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana tsunami. Tetapi hasil angket menunjukkan pengetahuan sebagian responden masih terbatas pada adanya ruang-ruang kosong untuk jalannya air. Sedangkan ciri yang lain, seperti penempatan bagian yang panjang bangunan tegak lurus terhadap garis pantai masih belum diketahui oleh sebagian besar responden dari semua tingkat pendidikan. Pengetahuan responden aparat mengenai ciri-ciri tsunami digambarkan juga dari tindakan yang akan dilakukan apabila air laut tiba-tiba surut. Hampir semua responden menjawab akan segera berlari menjauhi laut. Tindakan ini berlaku untuk semua tingkat pendidikan responden, meskipun presentase responden yang berpendidikan diploma/akademi lebih rendah dari yang berpendidikan SMA/sederajat dan perguruan tinggi. Pemberitaan pengalaman bencana tsunami di Aceh dan Nias memberikan pengaruh yang sukup signifikan terhadap jawaban responden aparat pemerintah Kota Bengkulu. 100



95



96



100



83



80 60



Berlari menjauh dari laut Mendekati pantai



40 17 20 0



249



5



4



0 SMA/sederajat



Diploma/akademi Perguruan Tinggi



Total



Diagram 4.2.3.2. Tindakan Aparat Pemerintah Apabila Air Laut Tiba-tiba Surut, 2006 Pengetahuan responden aparat tentang bencana gempa dan tsunami diperoleh dari berbagai sumber. Dari diagram 4.2.3.3 diketahui bahwa TV merupakan sumber utama yang diperoleh semua responden untuk semua tingkatan pendidikan. Sumber informasi lain yang dominan adalah radio dan koran. Radio merupakan sumber informasi bagi semua responden, kecuali sebagian kecil responden yang berpendidikan sarjana. Demikian juga dengan koran, merupakan sumber informasi bagi semua responden, kecuali sebagian kecil responden dengan pendidikan tamat SMA atau yang sederajat.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



249



67



LSM dan ORNOP



80



Petugas pemerintah



85



Saudara, kerabat, teman, tetangga 65



Sosialisasi, seminar, pertemuan 50



Buku saku, leaflet, poster



97



Koran



100



TV



92



Radio 0



20



40



60



80



100



Persentase



Diagram 4.2.3.3. Sumber Informasi yang Diperoleh Aparat Pemerintah Kota Bengkulu, 2006



Dari hasil angket terlihat bahwa aparat dengan pendidikan sarjana lebih memilih koran daripada radio sebagai sumber informasi, dan sebaliknya dengan aparat dengan pendidikan SMA lebih banyak mendapatkan informasi dari mendengarkan radio daripada membaca koran (tabel 4.2.3.4.) Meskipun responden adalah aparat pemerintah, informasi yang berasal dari petugas pemerintah lebih kecil jika dibandingkan dengan informasi dari saudara, kerabat, teman atau tetangga. Hal ini mungkin berkaitan erat dengan masih terbatasnya informasi kesiapsiagaan bencana yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di samping itu, pengalaman terjadinya gempa di Kota Bengkulu, juga berkontribusi meningkatkan pengetahuan responden aparat tentang gempa bumi. Dari tabel 4.2.3.4. juga terungkap bahwa informasi yang berasal dari barang cetakan, seperti: buku saku, poster, leaflet dan papan pengumuman atau billboard masih sangat terbatas. Gambaran ini diindiksikan dari persentase responden yang mendapatkan informasi dari sumber tersebut menduduki posisi yang terendah. Hanya sebagian responden yang pernah mendapat informasi dari buku saku, poster, leaflet dan billboard. Hal ini berkaitan erat dengan masih minimya buku saku, poster, leaflet dan billboard yang berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap bencana di Kota Bengkulu.



250



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.3.4. Sumber Informasi yang Diperoleh Aparat Pemerintah Kota Bengkulu Menurut Tingkat Pendidikan (Persentase yang Menjawab Ya) Sumber Informasi



Radio



100,0



Pendidikan Diploma/ Akademi 100,0



TV



100,0



100,0



100,0



Koran, majalah, buletin



90,0



100,0



100,0



Buku saku, poster, leaflet, billboard



50,0



33,3



54,2



Sosialisasi, seminar, pertemuan



70,0



50,0



66,7



Saudara, kerabat, teman, tetangga



90,0



100,0



79,2



100,0



66,7



75,0



LSM dan lembaga non pemerintah lain



90,0



50,0



62,5



N



10



6



24



SMA / sederajat



Petugas pemerintah



Perguruan Tinggi 87,5



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI UNESCO/ISDR, 2006



4.2.3.2. Kebijakan dan Panduan Kesiapsiagaan pemerintah untuk mengantisipasi bencana alam juga tercermin dari adanya kebijakan, peraturan dan panduan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijakan, peraturan dan panduan adalah bentuk komitmen pemerintah yang sangat penting, merupakan langkah awal yang memayungi semua program dan kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana. Dalam kajian ini penilaian kebijakan didasarkan pada data yang dikumpulkan melalui: 1) kuesioner angket dengan seri P1 untuk Pemerintah Kota dan seri P3 untuk Pemerintah Kecamatan, 2) workshop yang melibatkan semua komponen masyarakat, dan 3) untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan detail, maka dilakukan wawancara dengan pimpinan, atau yang mewakili, dari instansi-instansi yang terlibat dalam pengelolaan bencana, seperti: Bappeda, Bagian Kesra, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Dinas Pariwisata dan Informasi Komunikasi, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Perhubungan, Dinas Pemadam Kebakaran, Kodim 0407, Polres, LANAL dan Satpol PP Kota Bengkulu.



- Pemerintah Kota Kajian ini menggunakan 5 kelompok indikator untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan pemerintah kota yang berkaitan dengan kebijakan, peraturan dan panduan. Kelompok indikator tersebut terdiri dari: 1) keberadaan organisasi pengelola kesiapsiagaan, termasuk organisasi Satlak PB,



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



251



251



organisasi manajemen bencana yang ada hanya pada waktu terjadinya bencana, organisasi yang mengatur sistim peringatan dini bencana, organisasi yang memiliki alat/unsur pendukung untuk menolong wilayah yang terkena bencana dan organisasi yang melakukan pelatihan menghadapi bencana yang dilakukan secara periodik; 2) adanya alokasi dana, termasuk APBD, lembaga donor asing, swadaya masyarakat dan dana kontigensi; 3) tersedianya rencana tanggap darurat, termasuk dokumen prosedur tetap (protap) penanggulangan bencana bagi anggota Satlak, rencana aksi untuk kesiapsiagaan, petunjuk teknis untuk merespon keadaan darurat, petunjuk teknis untuk penanggulangan bencana dan protap Ruang Pusat Pengendalian dan Operasi Penanggulangan Bencana (protap rupusdalop PB), serta dokumen pendukung, seperti: RTRW atau RDTL, Renstra dan AKU, KUA, APBD; 4) keberadaan sistim peringatan bencana; dan 5) tersedianya kebijakan pendidikan masyarakat. Berbeda dengan pengetahuan dasar aparat, kesiapsiagaan Pemerintah Kota Bengkulu yang berkaitan dengan kebijakan relatif rendah. Gambaran ini dicerminkan dari masih terbatasnya kebijakan, peraturan dan panduan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bengkulu, terutama yang berhubungan dengan organisasi pengelola bencana, alokasi dana, rencana untuk keadaan darurat, sistim peringatan bencana, mobilisasi sumber daya dan pendidikan publik. Organisasi Pengelola Organisasi pengelola bencana berupa Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Satlak PBP) telah dibentuk di Kota Bengkulu melalui Surat Keputusan (SK) nomor 22 yang dikeluarkan oleh Walikota Bengkulu pada tanggal 1 Maret 2005. SK ini merupakan perubahan dari SK Walikota Bengkulu nomor 5 tahun 2004 dan nomor 56 tahun 2002 . Pembentukan Satlak di Kota Bengkulu didasarkan pada ketentuan pemerintah pusat, seperti: Keputusan Presiden RI nomor 3 tahun 2000, Keputusan Mentri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 131 Tahun 2003 dan Keputusan Sekretaris Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi nomor 2 tahun 2001. Sesuai dengan standar, Satlak Kota Bengkulu diketuai oleh Walikota Bengkulu, dengan wakil ketua: Dandim 0407 dan Kapolres Bengkulu dan sekretaris Sekretaris Daerah Kota Bengkulu. Organisasi ini melibatkan seluruh instansi pemerintah dan komponen masyarakat yang relevan, termasuk LSM, KSR PMI, GAPENSI, Darma Wanita dan PKK. Satlak Kota Bengkulu terdiri dari 4 bidang, yaitu: (1) pengamanan, penyelamatan dan kesehatan, (2) perlengkapan dan dapur umum, (3) penerimaan dan penyaluran bantuan, dan (4) administrasi dan keuangan. Hasil kajian ini menggambarkan bahwa organisasi penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi ini belum berjalan optimal, meskipun Satlak Kota Bengkulu sudah terbentuk sejak tahun 2002 dan telah mengalami perubahan sebanyak dua kali. Hal ini terungkap dari hasil workshop yang melibatkan semua instansi pemerintah dan komponen masyarakat yang relevan, dan hasil wawancara dengan narasumber dari instansi-instansi yang relevan. Meskipun dalam kuesioner seri P1 dikatakan Satlak berperaan ketika bencana terjadi, tetapi peran ini hanya 252



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



terjadi di tingkat pimpinan, diindikasikan dari dilakukannya rapat-rapat koordinasi. Sedangkan di tingkat lapangan atau lokasi-lokasi bencana, menurut narasumber, kegiatan yang dilakukan merupakan tugas pokok dan fungsi (tupokosi) masing-masing dinas. Sebagai contoh, jika terjadi banjir, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial segera melakukan penanganan korban, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan dan papan. Sedangkan Polres Kota Bengkulu lebih berkonsentrasi pada kegiatan pengamanan di lokasi-lokasi yang tertimpa banjir tersebut. Belum optimalnya kegiatan Satlak berkaitan erat dengan beberapa alasan. Pertama, sosialisasi Satlak masih sangat terbatas, sehingga banyak anggota yang tidak mengetahui apa wewenang, tugas dan fungsi Satlak. Minimnya sosialisasi juga menyebabkan belum pahamnya anggota satlak mengenai tugas instansi mereka di organisasi ini. Sebagai contoh, seorang wakil ketua Satlak terkejut ketika diberitahu dan diperlihatkan SK Satlak, lembaganya menjadi anggota bidang perlengkapan dan dapur umum. Padahal, wewenang, tugas dan fungsi lembaga tersebut lebih fokus pada bidang pengamanan dan penyelamatan. Contoh lain, pimpinan LSM belum mengetahui kalau LSM termasuk anggota Satlak bidang pengamanan, penyelamatan dan kesehatan. Ke dua, pembagian tugas, fungsi dan tanggung jawab masing-masing instansi atau lembaga yang termasuk dalam anggota Satlak (siapa melakukan apa) belum tersedia. Keadaan ini mengindikasikan belum adanya prosedur tetap (protap) pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana di Kota Bengkulu. Pada waktu kajian ini dilakukan, pemerintah Provinsi Bengkulu sedang mengembangkan protap untuk tingkat provinsi, draft protap penanggulangan bencana alam dan penanganan pengungsi Provinsi Bengkulu sedang dibahas. Ke tiga, anggota Satlak kebanyakan adalah birokrat, pejabat-pejabat dari instansi-instansi pemerintah yang sibuk dengan tugas dan tanggung jawab di instansi masing-masing, di samping itu person in-charge dari masingmasing instansi atau lembagan seringkali tidak jelas dan berganti-ganti, karena pindah tugas atau promosi jabatan, sehingga menyebabkan terputusnya informasi dan mempengaruhi kinerja Satlak. 253



Alokasi Dana Pemerintah Kota Bengkulu mengalokasikan dana dalam Anggaran Belanja Pemerintah Daerah (APBD) untuk penanggulangan bencana. Pada tahun 2006 anggaran yang direncanakan sebesar Rp 1,5 miliar, dikelola oleh Bagian Kesra, Sekda Kota Bengkulu. Pada waktu kajian ini dilakukan bulan April 2006, anggaran tersebut belum turun. Menurut Kepala Bagian Kesra, dana penanggulangan bencana di kota ini termasuk untuk kegiatan kesiapsiagaan bencana, seperti pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Satgas. Tetapi berdasarkan hasil workshop dan narasumber dari instansi-instansi yang terlibat penanggulangan bencana, belum ada alokasi dana untuk kesiapsiagaan terhadap bencana. Belum adanya alokasi dana tersebut juga dikemukakan oleh anggota DPRD dari Komisi D. Anggota dewan tersebut menyatakan pentingnya pendidikan dan kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana, mengingat Kota Bengkulu terletak di daerah yang rawan bencana. Oleh karena itu beliau menganjurkan agar pemerintah kota mengajukan usulan dana untuk dialokasikan pada anggaran daerah. Selama ini, upaya pelatihan kesiapsiagaan bencana, seperti yang dilakukan LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



253



oleh Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, dananya berasal dari Dinas Sosial Provinsi Bengkulu yang bersumber dari Departemen Sosial Republik Indonesia. Rencana Aksi untuk Tanggap Darurat Hasil kajian mengungkapkan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan rencana tanggap darurat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bengkulu masih minim. Sebagai contoh, kebijakan penentuan tempat-tempat evakuasi dikeluarkan atas dasar surat dari pemerintah Provinsi Bengkulu yang merekomendasikan tempat-tempat tertentu aman dari bencana tsunami. Selama ini, ketika terjadi bencana, seperti: banjir yang melanda Kota Bengkulu, kegiatan tanggap darurat dilakukan oleh masing-masing instansi, yang relevan dengan penanggulangan bencana, secara insidental sesuai dengan kebijakan dan tupoksi masing-masing instansi. Gambaran ini mengindikasikan action plan untuk keadaan darurat bencana juga belum tersedia. Sistim Peringatan Bencana Sampai kajian ini dilakukan, pemerintah Kota Bengkulu belum mempunyai sistim peringatan bencana, khususnya tsunami. Latihan secara periodik untuk merespon tanda peringatan juga belum masuk dalam rencana pemerintah Kota Bengkulu. Selama ini peringatan dini secara berantai diberikan oleh BMG kepada masyarakat, agar berhati-hati akan kemungkinan terjadinya banjir dan badai pada musim hujan. Kebijakan Pendidikan Masyarakat Meskipun Kota Bengkulu pernah mengalami bencana gempa yang cukup dahsyat pada tahun 2000, pendidikan masyarakat, baik formal maupun non-formal, berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap bencana belum menjadi prioritas penting di kota ini. Berdasarkan hasil angket, FGD dan workshop dapat diketahui bahwa pemerintah kota Bengkulu belum mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan masyarakat. Untuk pendidikan formal, materi gempa dimasukkan dalam mata pelajaran yang relevan sesuai dengan tingkat pendidikan, SD/SMP/SMA. Untuk tingkat SD dan SMP, materi gempa masuk dalam pelajaran IPA dan IPS, sedangkan untuk SMA masuk dalam pelajaran geografi dan fisika. Sedangkan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan, terutama gempa, diberikan secara insidentil melibatkan guru dan siswa dari sebagian kecil sekolah di kota ini. Sosialisasi kesiapsiagaan dilakukan dalam bentuk pelatihan dan penyebaran brosur, terutama setelah terjadinya bencana gempa di Bengkulu yang lalu dan akhir-akhir ini setelah terjadinya bencana tsunami di Aceh. Kesiapsiagaan bencana penting bagi siswa, tetapi belum prioritas, menurut salah seorang pejabat pemerintah kota yang relevan. Pemerintah kota masih menitikberatkan pada pembangunan fisik bangunan sekolah akibat kerusakan yang terjadi karena bencana gempa tahun 2000.



254



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Menurut seorang pejabat dari Dinas Pendidikan Nasional dan sebagian guru di Kota Bengkulu, sekolah dapat membuat kebijakan yang memasukkan materi kesiapsiagaan bencana ke dalam muatan lokal (mulok) untuk tingkat SD dan SMP. Di samping itu, sekolah juga dapat mengintegrasikan materi ini kedalam kegiatan ekstra kurikuler (ekskul), seperti: pramuka, Palang Merah Remaja (PMR) dan olah raga. Dalam kegiatan ekskul, bukan hanya materi yang dibahas, tetapi yang lebih penting adalah praktek atau latihan untuk kesiapsiagaan dalam mengantisipasi terjadinya bencana. Seperti pendidikan formal, pemerintah kota Bengkulu juga belum mempunyai kebijakan pendidikan masyarakat secara non-formal. Kegiatan sosialisasi diklaim beberapa instansi seperti Kesra dan Beppeda telah dilaksanakan di Kota Bengkulu, tetapi kegiatan ini masih dilakukan secara insidntil dan sporadis. Kegiatan pendidikan masyarakat dilaksanakan oleh instansi atau lembaga, seperti Dinas Sosial dan Kodim 0407 Bengkulu. Kodim melalui salah satu kegiatan TMMD (Tentara Manunggal Masuk Desa) merencanakan untuk melakukan sosialisasi secara rutin setiap tahun. Pada kegiatan TMMD bulan April 2006, pihak Kodim telah melakukan sosialisasi gempa dan tsunami menggunakan bahan-bahan dari Departemen ESDM dan LIPI. Kodim juga mengenalkan tanda-tanda bahaya, seperti tanda peringatan untuk bencana alam dan kebakaran serta tanda untuk menyatakan keadaan aman, tanda terjadinya pencurian dan tanda untuk mengumpulkan warga. Kebijakan Perlindungan Perempuan dan Anak untuk Keadaan Darurat Bencana Meskipun belum ada di Kota Bengkulu, dari hasil workshop disepakati bahwa salah satu kebijakan yang penting dalam rencana tanggap darurat adalah kebijakan perlindungan perempuan dan anak. Selama ini kebijakan ini masih diabaikan, tetapi berdasarkan pengalaman-pengalaman dari berbagai bencana alam yang terjadi di Bengkulu dan daerah-daerah lain di Indonesia, perlindungan untuk perempuan dan anak dari kekerasan, penjualan dan perkosaan perlu dimasukkan dalam kebijakan untuk kesiapsiagaan terhadap bencana. Kebijakan ini dapat diintegrasikan ke dalam jaring penanganan terpadu yang dikelola oleh tim penanggulangan dan perlindungan dari tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ada di tingkat kota, kecamatan dan kelurahan. - Pemerintah Kecamatan Dalam kajian ini kesiapsiagaan pemerintah kecamatan diwakili oleh 5 kecamatan yang menjadi lokasi survei rumah tangga, yaitu: Kecamatan Muara Bangkahulu, Selebar, Kampung Melayu, Ratu Agung dan Gading Cempaka. Penilaian kesiapsiagaan yang berkaitan dengan parameter kebijakan dilakukan berdasarkan 4 indikator yang terdiri dari: 1) keberadaan unit/ institusi di tingkat kecamatan yang mengurusi bencana; 2) keberadaan dokumen-dokumen yang terkait dengan kebencanaan yang dimiliki pemerintah kcamatan; 3) penyediaan anggaran untuk menanganan bencana; dan 4) keberadaan petunjuk pelaksanaan (juklak) posko bencana.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



255



255



Dari hasil kajian terungkap bahwa dari kelima kecamatan sampel, semuanya memiliki unit yang menangani masalah bencana di wilayah masing-masing. Hanya unit yang menangani tersebut berbeda, tiga kecamatan menyerahkan tugas penanganan bencana pada Seksi Kesra (Kesejahteraan Rakyat) Kantor Kecamatan, satu kecamatan menyerahkan pada Seksi Trantib (Ketentraman dan Ketertiban) Kantor Kecamatan dan satu kecamatan lagi pada Seksi Ketertiban dan Keamanan Kantor Kecamatan. Meskipun terdapat unit yang menangani bencana, tetapi dari kelima kecamatan sampel tersebut belum ada kebijakan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebencanaan, seperti: 1) prosedur tetap penanggulangan bencana (Protap PB); 2) action plan kesiapsiagaan bencana; 3) petunjuk teknis emergency respons; 4) petunjuk teknis penanggulangan bencana; dan 5) protap Ruang Pusat Pengendalian dan operasi Penanggulangan Bencana (Protap Rupusdalops PB). Menurut beberapa informan biasanya penanganan bencana dilakukan secara spontan apabila terjadi bencana dan semua petunjuk pelaksanaan disampaikan secara lisan tanpa dokumen tertulis. Demikian juga dengan petunjuk pelaksanaan untuk posko bencana, belum satu kecamatanpun yang mempunyai dokumen tertulis. Sedangkan kebijakan yang berkaitan dengan alokasi anggaran untuk kesiapsiagaan bencana juga belum tersedia di semua kecamatan sampel. Selama ini, anggaran penanganan bencana di seluruh kecamatan berasal dari dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Sebanyak empat dari lima kecamatan juga mendapatkan dana daripemerintah kota yang berasal dari dana APBD (Anggaran Pembangunan Belanja Daerah). Hanya satu kecamatan yaitu: Kecamatan Muara Bangkahulu yang mengharapkan peran swasta, khususnya perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah kecamatan tersebut, untuk berpartisipasi dalam mendanai kegiatan kebencanaan. Gambaran di atas mencerminkan bahwa pemerintah kecamatan di Kota Bengkulu belum siap dengan kebijakan, peraturan dan panduan untuk menghadapi bencana. Dari ke empat indikator yang diukur, hanya indikator keberadaan unit yang menangani bencana yang tersedia di kelima kecamatan tersebut.



4.2.3.3. Rencana Tanggap Darurat Kesiapsiagaan pemerintah yang berkaitan dengan rencana untuk keadaan darurat bencana didasarkan dari hasil angket yang ditanyakan pada Pemerintah Kota (kuesioner seri P1), aparat pemerintah (seri P2) dan pemerintah Kecamatan (seri P3). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan untuk melakukan cek dan ricek terhadap data yang dikumpulkan tersebut, maka dalam kajian ini juga dilakukan wawancara dengan narasumber yang berasal dari instansi-instansi relevan dan workshop yang melibatkan berbagai stakeholders.



256



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



- Pemerintah Kota Bengkulu Meskipun pemerintah Kota Bengkulu telah menyiapkan rencana tanggap darurat untuk mengantisipasi bencana, hasil kajian ini mengungkapkan kesiapsiagaan rencana tanggap darurat pemerintah kota belum optimal, dicerminkan dari terbatasnya rencana yang berkaitan dengan: (1) tempat evakuasi, (2) pertolongan pertama, penyelamatan, keselamatan dan pengamanan korban bencana, (3) persediaan pemenuhan kebutuhan dasar, dan (4) fasilitas-fasilitas kritis untuk keadaan darurat bencana. Tempat Evakuasi Kota Bengkulu yang terletak di ibukota Provinsi Bengkulu mempunyai akses, termasuk akses kesiapsiagaan bencana, lebih besar dari kabupaten lainnya terhadap potensi dan sumber daya dari pemerintah Provinsi Bengkulu. Pemerintah provinsi melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengidentifikasi tempat-tempat yang aman terhadap bahaya tsunami, sehingga dapat dijadikan lokasi-lokasi evakuasi di Kota Bengkulu, seperti: sepanjang jalan dri UNIHAZ – Suprapto – Simpang Lima – simpang SKIP – Tanah Patah – P. Natadirja – Simpang Km 8 – Polda. Air Sebakul – STQ dan Tahura juga direkomendasikan sebagai tempat-tempat evakuasi. Sedangkan Simpang Pagar Dewa dinyatakan relatif aman terhadap tsunami dan dapat dijadikan sebagai jalur evakuasi pertama. Tempat-tempat tersebut kemudian ditetapkan Pemerintah Kota Bengkulu sebagai tempat-tempat evakuasi. Setelah terjadi bencana gempa tahun 2000 dan mengingat Kota Bengkulu rentan terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh kejadian alam, ITB telah membuat peta bahaya, khususnya gempa bumi, di wilayah Kota Bengkulu. Peta bahaya ini sebetulnya dapat dijadikan landasan bagi pemerintah kota Bengkulu untuk menentukan lokasi-lokasi yang berbahaya dan aman, sehingga dapat digunakan sebagai tempat-tempat pengungsian apabila terjadi bencana alam. Meskipun tempat-tempat evakuasi sudah diidentifikasi oleh pemerintah provinsi dan peta bahaya sudah disediakan ITB, pemerintah kota Bengkulu belum menindak-lanjutinya dengan membuat peta dan jalur-jalur evakuasi. Padahal, pembuatan peta dan jalur-jalur evakuasi sangat penting mengingat Kota Bengkulu terletak pada daerah yang rawan terhadap bencana, terutama gempa dan tsunami. Pembuatan peta dan jalur-jalur evakuasi sangat berguna sebagai petunjuk bagi masyarakat untuk mengetahui kemana dan melalui arah mana saja mereka dapat menyelamatkan diri apabila terjadi bencana. Dengan demikian, penumpukan pada tempat tertentu saja dapat dikurangi ketika terjadi evakuasi besar-besaran pada keadaan darurat. Gambaran ini mengindikasikan bahwa rambu-rambu evakuasi belum tersedia di kota ini. ESDM Provinsi Bengkulu juga telah mengidentifikasi beberapa gedung, seperti: Kantor Gubernur, DPRD, RSUD dan Polda, sebagai tempat pengungsian sementara. Gedung-gedung ini juga telah diklaim dan ditetapkan oleh pemerintah kota sebagai tempat pengungsian di Kota Bengkulu. Dari hasil kajian juga terungkap bahwa sekolah-sekolah dan mesjid-mesjid yang terletak di LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



257



257



dataran tinggi juga direkomendasikan sebagai tempat-tempat evakuasi, meskipun gedung-gedung tersebut belum diketahui ketahanannya terhadap bencana, seperti gempa dan tsunami. Penetapan sekolah dan mesjid lebih didasarkan pada pengalaman bencana banjir dimana korban banjir di evakuasi di sekolah-sekolah, sedangkan pengalaman tsunami di Aceh mengungkapkan banyaknya mesjid yang tahan terhadap gelombang tsunami, sehingga menjadi tempat-tempat yang penting untuk pengungsian korban bencana. Posko Bencana Pengalaman Kota Bengkulu mengalami bencana gempa bumi yang meluluh-lantakkan kota dengan korban jiwa yang cukup besar seharusnya menjadi pelajaran yang berharga bagi pemerintah kota untuk kesiapsiagaan terhadap bencana. Sayangnya, posko bencana yang beroperasi pada waktu terjadinya gempa tahun 2000 tersebut sekarang sudah tidak aktif lagi. Posko diaktifkan apabila terjadi bencana, padahal keberadaan dan aktivitas posko bencana sangat penting untuk kesiapsiagaan mengantisipasi terjadinya bencana, bukan hanya pada saat terjadinya bencana saja. Pertolongan, Penyelamatan dan Pengamanan Dari kajian ini dapat diketahui pemerintah kota Bengkulu belum mempunyai rencana pertolongan, penyelamatan dan pengamanan yang khusus didesain untuk keadaan darurat bencana. Tetapi, berdasarkan pengalaman bencana gempa tahun 2000 dan bencana banjir yang sering terjadi di Kota Bengkulu, kegiatan pertolongan, penyelamatan dan pengamanan dilakukan secara insidental apabila terjadi bencana. Kegiatan ini dilaksanakan oleh instansi-instansi atau lembaga yang relevan, seperti: pertolongan pertama oleh Dinas Kesehatan, penyelamatan dan pengamanan oleh Polres, Kodim, Lanal dan Satpol PP. Kegiatan pertolongan pertama korban bencana di bawah koordinasi Dinas Kesehatan. Korban bencana yang memerlukan pertolongan di evakuasi ke rumah sakit M. Yunus, dan jika telah melebihi kapasiatas rumah sakit ini, maka korban akan dikirim ke rumah sakit (RS) Polisi, RS Tentara dan RS Raflesia dengan kapasitas: 485 tempat tidur, 40 dokter dan 384 paramedis untuk semua rumah sakit. Korban juga dapat dievakuasi di 17 puskesmas dan 16 klinik yang tersebar di Kota Bengkulu. Untuk kegiatan evakuasi digunakan mobil ambulan, baik ambulan rumah sakit maupun ambulan-ambulan yang ada di setiap puskesmas dan puskes keliling di Kota Bengkulu (keterangan secara detail dapat dilihat pada bagian 4.3.3.4). Persediaan obat-obatan juga sangat penting untuk pertolongan pertama dan pelayanan kesehatan korban bencana. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, sebanyak 20 persen dari jumlah persediaan obat untuk kebutuhan Kota Bengkulu dialokasikan untuk Kejadian Luar Biasa (KLB). Mengingat di Dinas Kesehatan tidak terdapat istilah bencana, maka keadaan darurat bencana dianalogikan dengan KLB. Alokasi 20 persen tersebut termasuk obat-obatan untuk keadaan darurat bencana, seperti: obat-obatan untuk pertolongan pertama dan cairan infus. 258



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Persediaan obat-obatan ini disimpan di Gudang Farmasi Kota Bengkulu. Jika keadaan mendesak, maka Dinas Kesehatan dapat meminta tambahan ke Dinas Kesehatan tingkat provinsi, dananya kemudian di klaim ke Pemerintah Kota Bengkulu. Mengingat di Kota Bengkulu belum terbentuk Unit SAR, maka selama ini kegiatan penyelamatan korban bencana dilakukan oleh LANAL yang mempunyai unit SAR dan Pramuka (SAR Pramuka) dengan dibantu oleh personnel dari Kodim, Polri, PMI, RAPI, Satpol pp dan instansi-instansi lain yang relevan. Kegiatan penyelamatan berkaitan erat dengan peralatan dan perlengkapan evakuasi yang tersedia, jumlah dan kapasitas personil yang terlibat dalam kegiatan penyelamatan. Peralatan dan perlengkapan penyelamatan korban masih sangat terbatas dan tersebar di berbagai lembaga, seperti: LANAL mempunyai satu speed boat, satu perahu fiber glass dan dua perahu karet. Satpol pp mempunyai satu speedboat dan satu perahu. Dinas Sosial Provinsi Bengkulu memiliki 3 unit perahu karet dan 33 pelampung. Pengamanan dalam keadaan darurat di tangani oleh Kodim 0407 dan Polres Kota Bengkulu di bawah komando Dandim dan Kapolres. Pengamanan di permukiman penduduk dilakukan oleh polisi, satpol pp dan hansip setempat. Dalam melaksanakan pengamanan, kodim 0407 mempunyai Prosedur Tetap (protap) No. VII/2005 tentang penanggulangan bencana alam, gempa bumi dan tsunami. Dalam protap ini dicantumkan bahwa pengamanan dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengamanan langsung mencakup: (1) pengamanan jiwa para korban di daerah sasaran peristiwa, (2) penyelamatan harta benda milik korban agar terhindar dari kemusnahan karena bencana maupun dari orang yang tidak bertanggung jawab, dan (3) pengaturan evakuasi menuju tempat-tempat yang telah ditentukan dan terjaga keamanannya. Sedangkan pengamanan tidak langsung meliputi: (1) pemberian bantuan untuk mengawasi pendistribusian pangan, sandang dan menentukan tempat tinggal sementara bagi para korban bencana sesuai dengan alokasi yang diberikan, (2) Pemberian semangat kepada korban bencana, dan (3) pengawasan distribusi bantuan, baik dari dalam maupun luar negeri. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Seperti rencana untuk keadaan darurat yang lain, pemerintah kota Bengkulu juga belum mempunyai rencana khusus untuk pemenuhan kebutuhan dasar dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam. Selama ini persediaan kebutuhan dasar dikelola oleh Dinas Tenaga kerja berdasarkan standar Dinas Sosial Provinsi Bengkulu yang mengacu pada ketentuan Departemen Sosial RI. Menurut Keputusan Mentri Sosial (Kepmensos), stok beras untuk tingkat kota/kabupaten sebanyak 5 ton, sedangkan untuk tingkat provinsi sebanyak 50 ton. Tetapi untuk kejadian luar biasa, maka stok beras dapat ditingkatkan dengan menggunakan stok nasional, sehingga stok untuk provinsi dapat mencapai 200 ton beras. Untuk Kota Bengkulu beras sebanyak 5 ton tersebut disimpan di toko dengan perjanjian dapat diambil setiap saat jika diperlukan. Penyimpanan beras di toko ini didasarkan pada pertimbangan agar stok beras tersebut selalu dalam keadaan dan kualitas yang baik. Di samping beras, Depsos LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



259



259



juga menyediakan bahan makanan lainnya (lauk pauk), seperti: super mie, sarden, kecap, saos dan minyak goreng. Bahan pangan ini dikirim dari Dinas Sosial Provinsi yang mendapat supply dari Departemen Sosial. Korban bencana akan mendapatkan beras, super mie, sarden, lauk pauk (telur, wartel, kacang panjang, minyak goreng) dan air minum. Pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana sangat tergantung dari skala bencana. Menurut standar Departemen Sosial, korban bencana mendapatkan 20 – 50 kg beras per kepala keluarga (KK) atau 400 gram beras per orang yang diberikan selama 7 hari dan dapat diperpanjang jika diperlukan. Apabila ada informasi terjadinya bencana, staf Dinas Sosial langsung mengecek ke lokasi bencana untuk mengidentifikasi kebutuhan apa saja yang mendesak dan berapa banyak untuk korban bencana, membuat posko dan dapur umum. Peralatan dan perlengkapan dapur umum yang dimiliki Dinas Sosial Kota Bengkulu, antara lain: 5 unit tenda, peralatan masak dan piring. Peralatan ini disimpan di Dinas Sosial Kota, sehingga dapat sewaktu-waktu digunakan. - Pemerintah Kecamatan Untuk tingkat kecamatan, kesiapsiagaan pemerintah kecamatan yang berkaitan dengan rencana tanggap darurat diukur menggunakan lima indikator. Indikator tersebut meliputi: 1) keberadaan peta bahaya di tingkat kecamatan (termasuk peta banjir, peta gempa, peta lokasi tanah longsor, tsunami dan lainnya); 2) keberadaan peta evakuasi termasuk lokasi/tempat evakuasi dan jalur/ rute alternatif dalam situasi bahaya; 3) penentuan lokasi posko bencana; 4) kesiapan kecamatan dalam pertolongan pertama dalam bencana; dan 5) kesiapan kecamatan dalam penyiapan tempat penampungan sementara bagi korban bencana. Dari hasil kajian dapat diketahui bahwa belum satupun kecamatan yang dikaji mempunyai peta bahaya di wilayah kecamatan masing-masing. Demikian juga dengan peta evakuasi, belum tersedia di kantor kecamatan. Padahal peta bahaya dan evakuasi sangat diperlukan, mengingat kecamatankecamatan di Kota Bengkulu merupakan wilayah yang rawan bencana (gempa, banjir dan tsunami). Kepemilikan dokumen tersebut cukup penting untuk membantu kelancaran evakuasi korban. Semua camat di kecamatan sampel mengaku mengetahui dan turut menentukan posko bencana apabila ada kejadian bencana. Posko tersebut penempatannya bervariasi antar kecamatan, ada yang terletak di tingkat kecamatan, kelurahan dan RT, tergantung jenis bencana dan skala besarnya bencana. Para camat di Kota Bengkulu yang diwawancarai semuanya mengaku sebagai anggota Satlak dan bilamana ada kejadian bencana, camat bertanggung jawab dalam penanganan bencana di wilayah kecamatannya. Hasil kajian juga menggambarkan bahwa hanya sebagian kecil pemerintah kecamatan yang telah mempunyai rencana tanggap darurat yang berkaitan dengan pertolongan pertama korban bencana. Dari lima kecamatan sampel hanya dua kecamatan, yaitu Kecamatan Muara Bangkahulu dan Selebar yang menyebutkan telah menyiapkan rencana untuk pertolongan pertama. Pelaksana 260



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



kegiatan ini adalah Puskesmas Kecamatan bersama dengan paramedisnya, sedangkan camat adalah penanggung jawab. Di tingkat kelurahan kegiatan pertolongan dilaksanakan oleh LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) yang telah terbentuk di masing-masing kelurahan. Jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata hanya sebagian kecil kecamatan yang menyiapkan tempat penampungan sementara bagi korban bencana. Seperti rencana pertolongan korban, hanya dua kecamatan (Kecamatan Muara Bangkahulu dan Selebar) yang menyebutkan telah menyiapkan tempat penampungan sementara. Pemerintah Kecamatan Muara Bangkahulu telah menyiapkan tempat penampungan sementara yang berada di masing-masing kelurahan dan tempat penampungan utama di wilayah Tahura (Taman Hutan Raya) di Kelurahan Betiring. Taman tersebut terletak di lokasi yang cukup tinggi dan aman terhadap gempa, tsunami dan banjir. Sedangkan Pemerintah Kecamatan Selebar telah menyiapkan tempat penampungan di wilayah Kampus STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri). Lokasi tersebut tingginya diperkirakan di atas 20 meter dari permukaan laut dan tersedia jalan bebas hambatan yang menuju lokasi tersebut, sehingga agak mudah dijangkau. Apabila ada bencana tsunami relatif aman sebagai tempat pengungsian. - Aparat Pemerintah Berbeda dengan pemerintah kota, rencana aparat pemerintah untuk keadaan darurat lebih difokuskan pada rencana kesiapsiagaan aparat tersebut yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka di kantor. Diagram 4.2.3.4. menggambarkan variasi kesiapsiagaan aparat, baik berdasarkan tingkat pendidikan maupun kegiatan yang disiapkan. Sebagian besar responden menjawab menyiapkan duplikasi dokumen dan surat-surat penting. Jawaban ini berlaku bagi semua tingkatan pendidikan responden, dengan kecenderungan semakin rendah pendidikan, semakin tinggi persentase responden yang menyiapkan dokumen penting. Sebaliknya, kurang dari separuh responden yang pernah mendengar atau membaca protap yang berkaitan dengan tugas pada saat darurat bencana. Rendahnya persentase responden ini kemungkinan dikarenakan tidak tersedianya protap yang dimaksud tersebut. Hanya sebagian responden, kecuali responden dengan tingkat pendidikan SMA atau sederajat, yang menata ruang dan barang sebagai upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana. Sebagian besar responden berpendidikan SMA melakukan penataan ruang dan barang sebagai bentuk antisipasi, mungkin berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab yang berbeda dengan responden yang berpendidikan Diploma/Akademi dan Perguruan Tinggi.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



261



261



100 100 83



82 75



80



70



Persentase



60



57



Menyiapkan duplikasi dan menyimpan dokumen penting di tempat aman



54



60



50



50



47



Menata ruang dan barang Mendengar atau membaca protap tugas pada saat darurat bencana



40



17 20



0 SMA/sederajat



Diploma/Akademi



Perguruan Tinggi



Total



Diagram 4.2.3.4. Rencana Kesiapsiagaan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu Menurut Pendidikan (Persentase Responden yang Menjawab Ya), 2006



4.2.3.4. Fasilitas-Fasilitas Kritis Fasilitas kritis adalah fasilitas yang diharapkan masih dapat berfungsi ketika bencana alam terjadi karena sangat dibutuhkan untuk tindak darurat. Fasilitas kritis dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok besar yaitu jaringan transportasi, lifelines, dan fasilitas pelayanan kesehatan dan keselamatan. Jaringan transportasi meliputi transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara. Lifelines meliputi jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan air bersih, dan jaringan informasi radio/tv. Sementara itu fasilitas pelayanan kesehatan dan keselamatan meliputi dinas kesehatan, rumah sakit, SAR/ ambulance, dan pemadam kebakaran. Berdasarkan hasil survey dan pengamatan lapangan di kota Bengkulu kesiapsiagaan fasilitas kritis dapat dijelaskan sebagai berikut. Jenis fasilitas kritis yang tersedia di kota Bengkulu adalah SAR/ Ambulans, Dinas Kesehatan , Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran, Radio / TV, Telkom, PT PLN , PDAM, Dinas Kimpraswil, Pelabuhan, dan Bandar Udara. Kesiapsiagaan dievaluasi berdasarkan parameter-parameter berikut: a) Kapasitas Pelayanan Terpasang (kemampuan pelayanan), b) Identifikasi Komponen-komponen Vital untuk Layanan Fasilitas, c) Identifikasi Kerusakan/ Kegagalan Yang Mungkin Terjadi Akibat Suatu Bencana Pada Komponen-komponen tersebut, d) Dampak dari Kerusakan pada Komponen-komponen Vital terhadap fungsi layanan, khususnya layanan darurat, e) Kemampuan Pengoperasian Kembali Layanan Setelah Ada Gangguan Akibat Bencana (dalam jam/hari/minggu), f) Persiapan Sistim Cadangan/Stand-by System, g) Jenis Unit/Bagian/Seksi Layanan Darurat yang Tersedia beserta Kapasitas/ Kemampuannya, h) Antisipasi Kesiapan Terhadap Keadaan Darurat (Pelatihan/Gladi/ Simulasi Darurat/Prosedur Pengecekan Kesiapan Sistem). Hasil evaluasi dituliskan dalam bentuk matriks seperti pada tabel 4.2.3.5. 262



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Masih seringnya ada gangguan telpon kpd yg diisolir krn tidak disediakan dana utk banjir;



Identifikasi Komponen2 Vital untuk Layanan Fasilitas



Dinas Kesehatan



5 RS (449 t.t.); 17 Puskesmas, 17 bh; puskesmas pembantu 48 bh



SAR / Ambulans



Kapasitas Pelayanan Terpasang (kemampuan pelayanan)



Nama Instansi/Fasilitas Penting Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan Kapasitas: 1. Meja operasi Cyto 2. a. meja tindakan medis 3 buah b. meja tindakan non medis 3 buah 3. genset 1. IGD 2. BSB 3. PPGD 4. Bankes + Ambulance



Rumah Sakit Dr. M. Yunus



Dapur umum



5 unit lokasi: Lingkar timur, ps. Minggu; Kp Bali; Ps. Kemuning; Pemda Prop



Uang, pakaian, tenaga



Tim Penggerak PKK kota



Kantor Pemadam Kebakaran



Radio / TV



Telkom



RSUD, telkom, kantor pemerintahan



PT PLN (Persero) WSAJB cabang Bengkulu Daya 68 053 605 VA Pelanggan: 56406



Intake instalasi pengolahan, jaringan pipa transmisi dan distribusi



38% jumlah penduduk kota Bengkulu atau 22156 pelanggan



PDAM kota Bengkulu



Buldozer 1 bh, Truck 1 bh, Pickup 1 bh, walles 6 bh



Jalan, Jembatan. Gedung, Irigasi Kota



Dinas Kimpraswil Kota Bengkulu



Dermaga samudera; dermaga nusantara; dermaga local; bongkar 188536 ton/thn; muat 623256 ton/thn



Pelabuhan Pulau Baai



Tabel 4.2.3.5. Kesiapsiagaan Fasilitas Kritis Kota Bengkulu Untuk Tanggap Darurat Tahun 2006



263



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



263



Fasilitas: radio, listrik, navigasi, landasan pacu



Panjang runway 2.250 M x 30 M mengangkut 106014 org yg datang; 108689 org yg pergi; barang 602509 ton bongkar & 211846 ton muat



Bandara Fatmawati Soekarno Km 14



264



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006 Sering adanya kerusakan obat2an yg hrs disimpan Lemari es



Penerangan yang berhubungan dgn alat medis



24 jam hrs sdh lapor/ sesuai dgn juknis yang ada



Identifikasi Kerusakan/ Kegagalan Yang Mungkin Terjadi Akibat Suatu Bencana Pada Komponen2 tersebut



Dampak dari Kerusakan pada Komponen2 Vital terhadap fungsi layanan, khususnya layanan darurat



Kemampuan Pengoperasian Kembali Layanan Setelah Ada Gangguan Akibat Bencana (dalam jam/hari/minggu) - Tergantung tingkat keparahan kerusakan; - Pengalaman yang lalu tahun 2000, 1 tahun



Terganggu / tidak berfungsinya tindakan layanan darurat



Kerusakan ruangan dan peralatan



Tergantung besar kecilnya gangguan, bisa 1 hari atau 1 minggu



Keterlambatan / terganggunya pemasukan listrik



Jaringan listrik, Pembangkit listrik Kerusakan intake, kerusakan WTP, putusnya jaringan transmisi, disitrbusi, putusnya jaringan listrik Terputusnya produksi, terhentinya pendistribusian air dan susahnya mendapat air bersih WTP = jika ada peralatan 3 minggu Intake = jika ada peralatan 2 minggu Listrik tergantung PLN Jaringan pipa = jika ada peralatan 3 minggu Maksimum 1 minggu



Penanggulangan pasca bencana terhambat



- kerusakan alat - jumlah alat sangat minim



Tersedia cukup



Dalam beberapa jam



Dapat ditanggulangi secara darurat



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Alat transportasi dgn alat teknis medis yg lebih baik Dinas Kesehatan / subdin P2PL seksi Bankes



Diharapkan adanya pelatihan secara kontinu sesuai dgn sikon



Persiapan Sistim Cadangan/Stand-by System



Jenis Unit/Bagian/Seksi Layanan Darurat yang Tersedia beserta Kapasitas/Kemampuannya



Antisipasi Kesiapan Terhadap Keadaan Darurat (Pelatihan/Gladi/Simulasi Darurat/Prosedur Pengecekan Kesiapan Sistem)



instalasi Gawat Darurat (IGD) dgn kapasitas: - Meja operasi cyto 1 bh - Meja tindakan medis 3 bh - Mejadi tindakan ruang triage 5 bh - Tempat tidur di ruangan observasi 10 bh - Genset - baru sebatas pelatihan penanggulangan tanggap darurat - Protap No. 0302002 B 2003 ttg Prosedur Basic Life Support - Protap No. 0302003 B 2003 ttg Penanggulangan Bencana di dalam dan Luar RS



265



265



Belum ada



Belum terlaksana



Pelatihan, prosedur, pengecekan kesiapan system



Standby system belum ada, Cuma ada genset; kapasitas 800 KVA



Sudah terorganisir



Genset dan trafo



-



Pelati han tenag a untuk rumah tahan gemp aÆ ITB



- subdin Alkal (peralatan) - Bina Marga + Cipta Karya



- koordinasi dukungan dgn PU Provinsi mitra kerja



Radio SSB, NDB, Genset 250 KVa, ambulans, pemadam kebakaran Jam operasi 06.00 – 18.00 dapat digerakkan saat emergensi cukup dgn perintah kepala bandara



Dari data yang ada secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut. Fasilitas kesehatan terdiri dari rumah sakit, dan puskesmas. Jumlah rumah sakit di kota Bengkulu berjumlah 5 RS (449 t.t.), 17 Puskesmas, 17 bh puskesmas pembantu 48 bh. Umumnya rumah sakit yang besar sudah memiliki sistem operasional dalam keadaan darurat seperti bencana alam. Hal ini terlihat dari data yang diberikan Rumah Sakit Umum M. Yunus dimana mereka sudah memiliki protap kedaruratan diantaranya kemampuan mendirikan Rumah Sakit lapangan serta tersedianya fasilitas pendukung seperti genset dan listrik dalam keadaan darurat. Semua ini dapat dilakukan selama kondisi fisik bangunan tidak roboh terkena bencana. Simulasi dalam keadaan darurat juga sudah pernah dilakukan pada R.S. M. Yunus beberapa tahun yang lalu, namun saat ini tidak dilakukan lagi karena keterbatasan anggaran. Fasilitas lifeline terdiri dari listrik, telpon, dan air bersih. Untuk pengadaan listrik dalam kondisi kebencanaan dapat dipulihkan tergantung tingkat kerusakan jaringan yang ada. Ketersediaan pasokan listrik dari pembangkit tidak masalah karena sudah dilakukan interkoneksi dengan wilayah lainnya di luar kota Bengkulu. Begitu juga untuk jaringan telekomunikasi, dalam keadaan bencana alam komunikasi dapat dilakukan dengan telpon seluler yang sudah banyak digunakan masyarakat yaitu dengan memperkuat kapasitas radius pemancaran pada jaringan transmisi yang masih berdiri. Sementara itu ketersediaan air bersih di Instalasi Pengolahan Air dalam kondisi bencana alam tsunami cukup aman, karena tempatnya yang cukup jauh dari pantai dan berada di daerah ketinggian. Dalam kondisi pipa penyaluran rusak, transportasi air bersih dapat dilakukan dengan kenderaan. Masa perbaikan jaringan pipa yang rusak, sangat bergantung pada tingkat kerusakannya. Sarana dan prasarana transportasi meliputi transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara. Panjang jaringan jalan sebesar 676,048 km yang terdiri dari 64,980 jalan negara, 54,180 jalan provinsi, dan 557,048 km jalan kota. Jaringan jalan dan jembatan ini umumnya tersebar relatif merata ke seluruh arah sehingga dalam keadaan darurat akses jalan dapat dilakukan dengan berbagai alternatif. Alat berat yang dimiliki pemerintah sangat terbatas sehingga kapasitasnya sangat kecil untuk melakukan perbaikan dalam keadaan bencana alam. Sementara itu pelabuhan yang dimiliki kota Bengkulu ada 1 buah yang melayani bongkar muat barang dan penumpang ke Pulau Enggano. Kemampuan pemulihannya saat bencana alam, sangat bergantung dari jenis kerusakan yang terjadi. Transportasi udara dilakukan dari pelabuhan udara Fatmawati yang mampu didarati pesawat Boing 737. Lokasi bandara ini relatif jauh dari pantai, sehingga kerusakan akibat tsunami relatif tidak ada.



4.2.3.5. Sistim Peringatan Bencana Sistim peringatan bencana merupakan elemen penting dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana. Dalam kajian ini penilaian dilakukan melalui angket yang ditanyakan kepada pemerintah kota tentang sistim peringatan berbasis teknologi yang dikembangkan oleh pemerintah Kota Bengkulu (P1) dan respon aparat apabila mendengar tanda peringatan (P2). Untuk mendapatkan 266



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



pemahaman yang lebih komprehensif, maka dalam kajian ini juga melakukan wawancara dengan narasumber terpilih dan workshop yang melibatkan instansi-instansi pemerintah dan komponen masyarakat yang relevan. - Pemerintah Kota Kajian ini menggunakan dua indikator untuk menilai tingkat kesiapsiagaan pemerintah kota yang berkaitan dengan sistim peringatan bencana. Indikator pertama lebih difokuskan pada keberadaan sistim peringatan bencana, terutama tsunami, yang berbasis teknologi. Sedangkan indikator ke dua adalah diseminasi sistim peringatan bencana, termasuk bencana tsunami dan bencana lain, seperti banjir yang sering melanda kota Bengkulu. Sampai kajian ini dilakukan pada bulan April 2006, pemerintah Kota Bengkulu belum mempunyai sistim peringatan bencana, khususnya tsunami. Rencana untuk mengembangkan sistim peringatan belum menjadi prioritas, masih menunggu sistim yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Pada bulan Februari tahun 2006, BMG pusat bekerjasama dengan Jerman melalui German Indonesia Tsunami Warning System (GITEWS) telah memasang beberapa peralatan, seperti: buoy dipermukaan laut (sekitar 150 mil dari Enggano) dan Ocean Bottom Pressure (OBP) yang ditanam di dasar laut. Alat-alat tersebut berfungsi untuk mendeteksi terjadinya tsunami secara dini, tetapi pada waktu kajian ini dilakukan pada bulan April 2006 ada peralatan yang putus, sehingga diambil untuk sementara. Meskipun sistim peringatan bencana tsunami belum tersedia, pemerintah kota melalui BMG Kepahyang telah memberikan peringatan untuk mengantisipasi bencana banjir dan badai, terutama pada musim hujan. BMG memberikan peringatan dalam bentuk surat pemberitahuan kepada sekertariat Satlak. Kemudian, Satlak mendistribusikan surat tersebut ke kecamatan-kecamatan, dan pihak kecamatan mengirimkan berita kepada kelurahan-kelurahan. Pihak kelurahan menyebarluaskan pemberitahuan ini kepada masyarakat melalui pertemuan-pertemuan di kelurahan, RT/RW, kelompok masyarakat dan perorangan. - Pemerintah Kecamatan Dalam kajian sistim peringatan bencana terdapat dua indikator yang digunakan untuk menilai kesiapsiagaan pemerintah di tingkat kecamatan. Indikator tersebut adalah keberadaan akses mendapatkan informasi tentang peringatan bencana dan adanya person yang bertanggung jawab untuk merespon tanda peringatan. Hasil wawancara dengan para camat di kecamatan sampel menunjukkan bahwa ternyata seluruh kecamatan mengemukakan bahwa mereka punya akses untuk mendapatkan informasi peringatan bencana. Akses tersebut dapat berasal dari bawah (lurah) maupun dari atas (walikota). Peralatan yang digunakan untuk komunikasi adalah HT, HP dan telpon. Selama ini sistem dan peralatan komunikasi tersebut yang digunakan terutama untuk keadaan darurat atau sangat penting. Sedangkan yang berkaitan dengan penaggung jawab untuk



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



267



267



merespon tanda peringatan, semua pemerintah kecamatan yang dikaji setuju bahwa camat adalah penanggung jawab dan berwenang untuk mengevakuasi masyarakat di wilayah kecamatannya. - Aparat Pemerintah Hasil kajian ini menunjukkan bahwa kesiapsiagaan responden aparat pemerintah Kota Bengkulu yang berkaitan dengan sistim peringatan bencana masih terbatas. Dari tabel 4.2.3.6. dapat diketahui kurang dari separuh responden yang mengetahui sistim ini dengan persentase terendah adalah responden dengan tingkat pendidikan Diploma/Akademi dan yang tertinggi adalah responden berpendidikan SMA atau sederajat. Masih minimnya pengetahuan responden tersebut mungkin berkaitan erat dengan belum tersedianya sistim peringatan bencana tsunami tersebut di Kota Bengkulu. Tabel 4.2.3.6. Pengetahuan dan Tindakan yang Dilakukan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu Berkaitan dengan Peringatan Bencana (Presentase yang Menjawab Ya) No. 1. 2.



3.



Peringatan Bencana



SMA sederajat



Pendidikan D1/D2/D3 Akademi



Perguruan Tinggi



Total



37,5



40,0



100,0



100,0



87,5



92,5



100,0



100,0



91,7



92,5



4,2



15,0



75,0



70,0



20,8



15,0



24



40



Pengetahuan tentang sistim peringatan 60,0 16,7 bencana tsunami di daerah ini Kegiatan yang dilakukan bila mendengat tanda peringatan tsunami a. Menyelamatkan dokumen 100,0 100,0 penting b. Menyebarluaskan informasi tanda bahaya di lingkungan 100,0 100,0 kantor dan institusi lainnya c. Menghubungi keluarga untuk 100,0 100,0 siap siaga d. Membantu teman sekerja/ orang lain menuju ke tempat aman 90,0 100,0 sementara Tindakan yang dilakukan bila terjadi bencana saat sedang bertugas a. Tetap menjalankan tugas sesuai 40,0 16,7 dengan prosedur yang berlaku b. Pulang ke rumah untuk 60,0 66,7 menyelamatkan keluarga c. Menyelamatkan diri masing0,0 16,7 masing N 10 6



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI UNESCO/ISDR, 2006



Meskipun pengetahuan responden masih terbatas, secara umum responden aparat mengetahui kegiatan yang harus dilakukan apabila mendengar tanda peringatan tsunami. Semua responden untuk semua tingkatan pendidikan menjawab kegiatan yang dilakukan adalah menyelamatkan dokumen penting dan menghubungi keluarga untuk siap siaga. Selain itu, sebagian besar responden,



268



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



juga menurut semua tingkat pendidikan, akan menyebar-luaskan informasi tanda bahaya di lingkungan kantor dan institusi lainnya dan membantu teman sekerja atau orang lain menuju ke tempat aman sementara.



4.2.3.6. Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya Kemampuan memobilisasi sumber daya yang dimiliki pemerintah sangat penting dan menjadi salah satu kunci keberhasilan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana di Kota Bengkulu. Dalam kajian ini, mobilisasi yang dinilai meliputi: dana, peralatan, personil, bimbingan teknis dan penyediaan materi, koordinasi dan komunikasi dengan stakeholders yang relevan serta pemantauan dan evaluasi kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana. Penilaian dilakukan pada pemerintah Kota Bengkulu menggunakan angket (P1), aparat pemerintah (P2) dan pemerintah kecamatan (P3). Di samping angket, dalam kajian ini juga dilakukan workshop dan wawancara untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan penilaian yang lebih objektif. - Pemerintah Kota Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa kemampuan pemerintah Kota Bengkulu untuk memobilisasi sumber daya yang dimiliki kota ini masih terbatas. Masih terbatasnya mobilisasi sumber daya ini berkaitan erat dengan beberapa alasan, seperti masih minimnya mobilisasi dana karena alokasi dana untuk kesiapsiagaan bencana juga masih sangat minim. Keadaan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap mobilisasi peralatan, personil, bimbingan teknis dan penyediaan materi kesiapsiagaan masyarakat. Di samping itu, koordinasi dan komunikasi pemerintah kota dengan stakeholders yang relevan, seperti LSM dan pihak swasta, untuk kesiapsiagaan mengantisipasi bencana juga masih sangat terbatas, karena biasanya hal ini dilakukan setelah terjadinya bencana. - Pemerintah Kecamatan Dalam mengkaji kemampuan pemerintah kecamatan untuk memobilisasi sumber daya di wilayah kecamatan, kajian ini menggunakan tujuh indikator kesiapsiagaan. Indikator tersebut meliputi: 1) pemilikan informasi mengenai bencana di kecamatan penelitian; 2) kepemilikan dokumen yang terkait dengan kebencanaan di kecamatan berupa peta pendukung kajian bencana; 3) peta pendukung kajian kerentanan; 4) keberadaan pemberitaan di media masa; 5) hansip/ linmas kecamatan yang mendapatkan bimbingan dan penyuluhan tanggap darurat bencana; 6) komunikasi dengan Ormas/ LSM yang mengurusi kebencanaan; dan 7) keberadaan Ormas/LSM yang membantu kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Berbeda dengan pemerintah kota dan aparat pemerintah, pemerintah kecamatan lebih mampu untuk mobilisasi sumber daya di tingkat kecamatan Kota Bengkulu. Kemampuan pemerintah LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



269



269



bervariasi antar kecamatan. Semua pemerintah kecamatan yang dikaji melaporkan bahwa kecamatannya pernah mengalami bencana gempa bumi dan banjir dan empat dari lima kecamatan pernah mengalami bencana kebakaran rumah, dua kecamatan pernah mengalami bencana angin ribut dan satu kecamatan pernah mengalami bencana abrasi laut. Bencana gempa bumi besar terakhir terjadi di Kota Bengkulu pada tahun 2000, di Kecamatan Gading Cempaka korban jiwa sebanyak 20 orang dan 300 rumah roboh. Di Kecamatan Kampung Melayu banyak rumah rusak, namun tidak ada korban jiwa. Di Kecamatan Muara Bangkahulu ada lebih dari 100 rumah roboh dan tidak ada korban jiwa. Di kecamatan Selebar ada korban 4 orang meninggal dan lebih 300 rumah penduduk roboh. Di Kecamatan Ratu Agung, di mana ada Kelurahan Lempuing banyak rumah roboh dan korban jiwa (sayang tidak ada catatan jumlahnya). Sedangkan bencana banjir yang terjadi hampir setiap tahun, pada awal tahun 2006 memakan korban 3 orang meninggal dunia, banyak kerusakan pada perabotan rumah dan bangunan rumah serta tanaman pangan. Bencana kebakaran tahun 2006 menelan korban 5 rumah hangus di Kecamatan Gading Cempaka, 3 rumah hangus di Kecamatan Ratu Agung dan 4 rumah hangus di Kecamatan Muara Bangkahulu dan Selebar. Bencana angin ribut tahun 2006 melanda Kecamatan Selebar dan Ratu Agung, dampaknya satu orang meninggal dan 5 rumah roboh serta banyak pohon tumbang. Bencana abrasi terakhir terjadi pada awal tahun 2006, dampaknya adalah 5 rumah rusak. Dari hasil kajian dapat dikemukakan bahwa pemerintah kecamatan belum memiliki dokumendokumen yang terkait dengan kebencanaan, khususnya berupa peta pendukung kajian bahaya seperti peta topografi, geologi, betimetri dsb dan peta pendukung kajian kerentanan seperti peta demografi, jaringan pipa, tata guna lahan dan lainnya. Padahal keberadaan peta-peta ini sangat diperlukan untuk merencanakan kegiatan kesiapsiagaan masyarakat di wilayah kecamatan. Semua kecamatan mengemukakan bahwa ketika di daerahnya dilanda bencana, berita kejadian tersebut selalu dimuat di media masa. Media cetak yang paling sering memuat berita tentang bencana adalah surat kabar daerah, yaitu Harian Bengkulu Ekpres dan Harian Rakyat Bengkulu. Untuk media elektronik RRI daerah, TVRI dan TV Swasta juga sering memuat berita tentang bencana alam di daerah Bengkulu terutama untuk bencana-bencana besar. Bencana tersebut antara lain gempa bumi besar tahun 2000 yang menimbulkan banyak kerusakan dan gempa bumi tahun 2005 yang memicu adanya isu akan terjadi bencana tsunami, sehingga sempat membuat kepanikan bagi penduduk Kota Bengkulu. Sedangkan yang berkaitan dengan mobilisasi sumber daya manusia (SDM) di tingkat kecamatan, sebagian besar kecamatan atau empat dari lima kecamatan, melakukan upaya untuk meningkatkan kapasitas staf kecamatan. Peningkatan kapasitas SDM ini berupa bimbingan dan penyuluhan kepada anggota hansip/ limas yang berkaitan dengan kegiatan tanggap darurat bencana. Kegiatan ini baru dilakukan sekali, sehingga belum menjadi kegiatan yang berkala.



270



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Meskipun ada 4 kecamatan yang selama ini sering berkomunikasi dengan Ormas/ LSM yang mengurusi kebencanaan, tetapi komunikasi ini dilakukan setelah terjadinya bencana. Organisasi tersebut antara lain RAPI dan ORARI, tim SAR, LSM Segar, LPM dan PKK Kelurahan. Organisasi-organisasi tersebut sering membantu pemerintah kecamatan dalam penanganan bencana alam di wilayah kecamatan, seperti: menyebarluaskan informasi tentang bencana, tenaga relawan, bantuan logistik dan bimbingan psikologis. Di samping itu, menurut informan ada juga organisasi lain seperti RCTI, Indosiar dan pihak swasta atau perusahaan-perusahaan di daerah yang membantu bahan logistik dan tenda kepada para korban bencana. Komunikasi yang berkaitan dengan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana belum menjadi prioritas, baik bagi kelembagaan masyarakat dan LSM maupun pihak swasta. - Aparat Pemerintah Hasil kajian ini mengungkapkan bahwa mobilisasi sumber daya responden aparat pemerintah Kota Bengkulu masih rendah. Rendahnya mobilisasi sumber daya aparat juga dapat dilihat dari tabel 4.2.3.7. yang menggambarkan minimnya keikutsertaan responden aparat dalam latihan, gladi/simulasi evakuasi bila terjadi keadaan darurat bencana. Demikian juga dengan keikutsertaan responden aparat dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana masih terbatas. Gambaran ini cenderung berlaku untuk responden pada setiap tingkat pendidikan, terutama responden dengan tingkat pendidikan diploma/ akademi. Tabel 4.2.3.7. Mobilisasi Sumber Daya Aparat Pemerintah Kota Bengkulu (Presentase yang Menjawab Ya) No. 1.



2. 3.



Pendidikan SMA Diploma/ Perguruan sederajat Akademi Tinggi Keikursertaan dalam pelatihan, workshop, seminar a. Pengetahuan tentang 30,0 16,7 50,0 bencana b. Darurat bencana 30,0 0,0 29,2 c. Sistim peringatan dini 50,0 0,0 33,3 d. Pengelolaan bantuan 50,0 0,0 25,0 e. Mitigasi bencana 30,0 0,0 20,8 Latihan, gladi/simulasi darurat 20,0 16,7 12,5 bencana di kantor Memberikan informasi kesiapsiagaan menghadapi 70,0 33,3 79,2 bencana kepada masyarakat N 10 6 24 Mobilisasi Sumber Daya



271 Total



40,0 25,0 32,5 27,5 20,0 15,0 70,0 40



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI UNESCO/ISDR, 2006



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



271



Meskipun mobilisasi sumber daya aparat pemerintah yang berkaitan dengan capacity building mereka rendah, sebagian besar responden, kecuali responden dengan pendidikan Diploma/ Akademisi, membagi informasi kesiapsiagaan bencana kepada masyarakat. Upaya ini sangat penting dan perlu terus dilakukan, karena pada analisa pada bagian sebelumnya sudah diungkapkan bahwa responden aparat mempunyai pengetahuan yang cukup baik tentang bencana dan tindakan yang harus dilakukan jika terjadi bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. Aparat dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dalam pendidikan masyarakat di Kota Bengkulu.



4.2.3.7. Tingkat Kesiapsiagaan Tingkat kesiapsiagaan pemerintah diindikasikan dari total nilai indeks yang berasal dari indeks gabungan atau komposit pemerintah kota (P1), aparat pemerintah (P2) dan pemerintah kecamatan (P3) di Kota Bengkulu. Sedangkan indeks gabungan P1, P2 dan P3 dihitung berdasarkan indeks gabungan ke lima parameter kunci dalam framework kesiapsiagaan masyarakat, yaitu: pengetahunan dan sikap terhadap resiko bencana (KA), kebijakan dan panduan (PS), rencana tanggap darurat (EP), sistim peringatan bencana (WS) dan kemampuan memobilisasi sumber daya (MRC). Untuk mendapatkan tingkat kesiapsiagaan, total nilai indeks yang dihasilkan kemudian dikelompokkan menjadi lima kategori sesuai dengan kesepakatan, yaitu: 1) sangat siap dengan nilai indeks antara 80 - 100, 2) siap dengan indeks antara 65-79, 3) hampir siap dengan indeks antara 55-64, 4) kurang siap dengan indeks antara 40-54, dan 5) belum siap dengan indeks kurang dari 40.



100 80 80 52



52



54



60 40



38



40



20



0 KA



PS



EP



WS



RMC



Indeks Pemerintah



Diagram 4.2.3.5. Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah di Kota Bengkulu, 2006



272



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Hasil kajian ini menggambarkan bahwa Pemerintah di Kota Bengkulu kurang siap untuk mengantisipasi bencana alam. Kurangnya kesiapsiagaan pemerintah ini dicerminkan dari total nilai indeks yang mencapai angka 54 (lihat diagram 4.2.3.5.). Angka ini terutama diperoleh dari indeks pengetahuan yang mencapai angka tertinggi (80) dan termasuk dalam kategori sangat siap. Sebaliknya, sistim peringatan bencana memiliki nilai indeks yang paling rendah atau tergolong dalam kategori belum siap, sehingga menghambat tingkat kesiapsiagaan pemerintah. Sedangkan indeks kesiapsiagaan dari parameter lainnya (kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat dan kemampuan memobilisasi sumber daya) berada pada level yang sama, yaitu: kurang siap. Nilai indeks pengetahuan yang tinggi untuk pemerintah di Kota Bengkulu diperoleh dari responden aparat pemerintah kota yang mewakili berbagai instansi yang relevan dengan pengelolaan bencana. Pengetahuan tentang bencana terutama bersumber dari media elektronik, TV dan radio, dan media cetak, koran dan majalah. Media-media tersebut banyak memberitakan bencana gempa bumi di Bengkulu tahun 2000, gempa dan tsunami di Aceh dan Nias tahun 2004 serta rumor akan terjadinya tsunami di Padang dan Bengkulu pada tahun 2005. Di samping itu, responden juga mendapatkan pengetahuan, khususnya gempa bumi, dari pengalaman terjadinya gempa bumi yang sering kali melanda kota ini, 100 100



90



80 72



80 63



Nilai Indeks



70 60 50



63



50



55



50



43



53



52



45 34



40



37



30 20



25



273



10 0 Pemerintah Kota



Pemerintah Kecamatan



Aparat



Pengetahuan



Kebijakan



Rencana Tanggap Darurat



Sistim Peringatan Bencana



Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya



Indeks kesiapsiagaan



Diagram 4.2.3.6. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kota dan Kecamatan serta Aparat di Kota Bengkulu, 2006 Dari Diagram 4.2.3.6. terungkap bahwa nilai indeks sistim peringatan bencana yang rendah dan termasuk kategori belum siap, hanya mencapai nilai 38, terutama dikarenakan rendahnya nilai indeks pemerintah kota (25). Hal ini mungkin berkaitan erat dengan belum tersedianya sistim peringatan bencana di Kota Bengkulu. Keadaan ini dapat dipahami, mengingat sistim peringatan bencana di tingkat nasionalpun juga masih dalam tahap pengembangan. Meskipun pemerintah di tingkat kecamatan mempunyai nilai indeks yang sangat tinggi (100), bukan berarti pemerintah LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



273



kecamatan sangat siap dengan sistim peringatan bencana. Tingginya nilai indeks tersebut disebabkan pada tingkat kecamatan, indikator utama adalah akses yang dimiliki pemerintah kecamatan untuk mendapat informasi peringatan bencana. Selama ini, pemerintah kecamatan mendapatkan informasi bencana, terutama banjir, yang berasal dari kelurahan atau bottom-up, akses tersebut belum dapat meningkatkan nilai indeks peringatan bencana pemerintah secara signifikan, karena bobot nilainya yang relatif rendah. Hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa tingkat kesiapsiagaan yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah masih berada pada kategori kurang siap dengan nilai indeks sebesar 40. Kekurang siapan ini terjadi di semua tingkatan, baik pada tingkat pemerintah kota maupun pemerintah kecamatan. Nilai indeks pemerintah kecamatan bahkan hanya mencapai angka 34, dengan demikian termasuk dalam kategori terendah, yaitu: belum siap. Rendahnya nilai indeks tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap bencana, baik di tingkat kota maupun kecamatan, masih minim. Analisa pada bagian 4.2.3.2. mengungkapkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kota masih terbatas pada organisasi pengelola bencana (Satlak PB) yang merupakan kelanjutan dari ketentuan pemerintah pusat. Panduan yang mengatur tugas, fungsi dan tanggung jawab anggota Satlak dan mekanisme pelaksanaannya belum tersedia, sehingga Satlak yang terbentuk belum bisa berjalan sesuai dengan tujuannya. Sedangkan kebijakan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, seperti: rencana tanggap darurat, sistim peringatan bencana, mobilisasi sumber daya dan pendidikan masyarakat belum menjadi prioritas, baik bagi pemerintah kota maupun pemerintah di tingkat kecamatan. Di tingkat kecamatan, enam dari delapan indikator kesiapsiagaan yang berkaitan dengan kebijakan belum tersedia. Hanya dua indikator yang memberikan kontribusi positif pada nilai indeks pemerintah kecamatan, yaitu: keberadaan unit yang khusus menangani bencana alam dan ketersediaan anggaran untuk menangani bencana, meskipun belum terfokus pada dana kesiapsiagaan. Gambaran mengenai kebijakan di atas, juga berlaku untuk rencana tanggap darurat. Hasil perhitungan indeks menunjukkan bahwa pemerintah Kota Bengkulu kurang siap untuk mengantisipasi bencana, meskipun nilai indeksnya (52) lebih tinggi dari nilai indeks kebijakan. Untuk rencana tanggap darurat, nilai indeks tertinggi disumbangkan oleh aparat pemerintah yang mencapai angka 63 dan masuk kategori hampir siap. Rencana tanggap darurat aparat pemerintah lebih ditekankan pada kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang berkaitan dengan tugasnya di kantor, prosedur dan kegiatan yang harus dilakukan apabila terjadi bencana ketika sedang berada di kantor. Nilai indeks pemerintah kecamatan (55) lebih tinggi dari nilai indeks pemerintah kota (50), meskipun perbedaannya tidak signifikan. Di tingkat kecamatan, rencana tanggap darurat dilakukan pemerintah di bawah satu pintu (kantor), yaitu kantor kecamatan yang dikoordinasi oleh camat. Sedangkan di tingkat kota, rencana tanggap darurat tersebar di dinas-dinas atau instansi yang relevan, sehingga penentuan rencana didominasi oleh tupoksi dinas atau instansi masing-masing 274



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



dan political will dan kepedulian dinas atau instansi akan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana. Hasil perhitungan juga menggambarkan nilai indeks pemerintah untuk rencana tanggap darurat sama dengan nilai kemampuan pemerintah untuk memobilisasi sumber daya di Kota Bengkulu. Berbeda dengan rencana tanggap darurat, untuk mobilisasi sumber daya ini, nilai indeks yang terendah (37) disumbangkan oleh aparat pemerintah. Rendahnya nilai indeks aparat ini berkaitan erat dengan minimnya upaya aparat untuk meningkatkan kapasitasnya di bidang kesiapsiagaan, meskipun kebanyakan aparat membagi pengetahuan tentang bencana yang dimiliki dengan masyarakat di sekitarnya. Sedangkan nilai indeks tertinggi (63) berasal dari pemerintah kecamatan, mungkin berkaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan aparat, khususnya hansip, yang berkaitan dengan tanggap darurat bencana dan komunikasi serta koordinasi pihak kecamatan dengan kelembagaan masyarakat dan LSM yang mengurusi kebencanaan. Tingkat Kesiapsiagaan Pemerintah Kota Dari diagram 4.2.3.7. dapat diketahui tingkat kesiapsiagaan pemerintah Kota Bengkulu berada pada level ke dua dari bawah, yaitu: kategori kurang siap. Kekurang siapan ini bersumber dari semua parameter kesiapsiagaan, dengan nilai indeks terendah berasal dari sistim peringatan bencana. Sedangkan rencana tanggap darurat dan kemampuan memobilisasi sumber daya mempunyai nilai indeks yang sama. Hasil ini menggambarkan bahwa pengalaman terjadinya bencana gempa di Bengkulu tahun 2000 belum memberikan pelajaran yang berharga bagi pemerintah Kota Bengkulu untuk siap siaga dalam menghadapi bencana. Apabila di bandingkan dengan unsur pemerintah yang lain, nilai indeks kesiapsiagaan pemerintah kota Bengkulu menduduki posisi terendah. Tetapi jika di lihat dari tingkat kesiapsiagaan, pemerintah kota berada pada posisi yang sama dengan pemerintah kecamatan, yaitu pada level kurang siap. Sedangkan bila dibandingkan dengan aparat pemerintah, tingkat kesiapsiagaan pemerintah kota dua tingkat lebih rendah. Gambaran ini mengindikasikan bahwa kesiapsiagaan pemerintah kota perlu ditingkatkan, utamanya dikarenakan tingkat kerentanan Kota Bengkulu terhadap bencana cukup tinggi (penjelasan detail dapat dilihat pada bagian 4.2.1).



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



275



275



Diagram 4.2.3.7. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kota Bengkulu, 2006



Tingkat Kesiapsiagaan Pemerintah Kecamatan Tingkat kesiapsiagaan pemerintah kecamatan di Kota Bengkulu termasuk dalam kategori kurang siap dengan nilai indeks tertinggi diperoleh dari peringatan bencana dan sebaliknya nilai terendah dari kebijakan dan panduan. Pola ini berlaku untuk semua kecamatan yang dikaji, yaitu: Kecamatan Muara Bangkahulu, Selebar, Kampung Melayu, Ratu Agung dan Gading Cempaka (lihat tabel 4.2.3.8.). Tabel 4.2.3.8. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kecamatan untuk Mengantisipasi Bencana di Kota Bengkulu



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI UNESCO/ISDR, 2006



276



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tingkat kesiapsiagaan pemerintah kecamatan bervariasi antara kurang siap dan hampir siap. Dari lima kecamatan yang dikaji, empat diantaranya termasuk kategori kurang siap. Berarti, hanya satu kecamatan, yaitu Kecamatan Muara Bangkahulu, yang mencapai tingkatan hampir siap. Perbedaan tingkat kesiapsiagaan antara Kecamatan Muara Bangkahulu dengan kecamatankecamatan lainnya, terutama bersumber dari rencana tanggap darurat yang nilai indeksnya dua kali lipat lebih tinggi dari indeks kecamatan lain, kecuali Kecamatan Selebar. Bila ditelusuri berdasarkan parameter, rencana tanggap darurat pemerintah kecamatan di Kota Bengkulu hampir siap untuk menghadapi bencana alam. Namun demikian, kesiapsiagaan untuk rencana tanggap darurat ini masih perlu mendapat perhatian serius, karena nilai indeks tersebut berada pada posisi terendah untuk kategori hampir siap, hanya satu poin di atas kategori kurang siap. Diagram 4.2.3.8. mengungkapkan bahwa dari kelima kecamatan yang dikaji terdapat variasi tingkat kesiapsiagaan yang berkaitan dengan rencana tanggap darurat, mulai dari kurang siap sampai dengan sangat siap untuk mengantisipasi bencana. Namun demikian, tiga dari lima kecamatan, yaitu: Kampung Melayu, Ratu Agung dan Gading Cempaka, nilai indeksnya hanya mencapai angka 40 yang berarti berada pada kategori kurang siap. Sedangkan Kecamatan Selebar, tingkat kesiapsiagaannya satu level lebih tinggi dari ketiga kecamatan tersebut, yaitu hampir siap. Satu-satunya kecamatan yang nilai indeks rencana tanggap daruratnya tinggi adalah Kecamatan Muara Bangkahulu (80), sehingga kecamatan ini termasuk dalam kategori yang paling tinggi, yaitu sangat siap, berbeda cukup signifikan dari kecamatan-kecamatan lainnya.



100 80



277



80 60 55 60 40



40



40



40



20



0 Kec . Muara Bengkulu



Kec. Selebar



Kec. Kampung Melayu



Kec. Rat u agung



Kec. Gading



Pemerint ah



Cempaka



Kecamat an



Diagram 4.2.3.8. Nilai Indeks Rencana Tanggap Darurat Pemerintah Kecamatan di Kota Bengkulu, 2006



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



277



Dari hasil kajian dapat dikemukakan bahwa pemerintah kecamatan di Kota Bengkulu belum siap dengan kebijakan, peraturan dan panduan untuk menghadapi bencana, dicerminkan dari nilai indeks yang hanya mencapai angka 34 (lihat diagram 4.2.3.9.). Dari lima kecamatan yang menjadi lokasi kajian ini terdapat variasi tingkatan kesiapsiagaan. Dua kecamatan, yaitu: Kecamatan Ratu Agung dan Kampung Melayu, berada pada tingkatan yang terendah – belum siap – dengan nilai indeks terendah (17) berasal dari pemerintah Kecamatan Ratu Agung. Sedangkan tiga kecamatan lain, Muara Bangkahulu, Selebar dan Gading Cempaka berada setingkat lebih tinggi dari Kecamatan Ratu Agung dan Kampung Melayu, yaitu pada level kurang siap dengan nilai indeks yang sama yaitu sebesar 42.



100



Nilai Indeks Kebijakan



90 80 70 60 50



42



42



42 34



33



40 30



17



20 10 0 Kec. Muara Bengkulu



Kec. Selebar



Kec. Kampung Melayu



Kec. Ratu Kec. Gading Pemerintah Agung Cempaka Kecamatan



Diagram 4.2.3.9. Nilai Indeks Kesiapsiagaan Kebijakan Pemerintah Kecamatan di Kota Bengkulu, 2006



Berbeda dengan pemerintah kota, kemampuan pemerintah kecamatan untuk memobilisasi sumber daya di tingkat kecamatan cukup baik, digambarkan dari indeks mobilisasi yang mencapai angka 63 atau termasuk dalam kategori hampir siap. Dari diagram dapat diketahui bahwa kemampuan pemerintah bervariasi antar kecamatan, mulai dari belum siap sampai dengan siap. Tiga dari lima kecamatan, yaitu: Pemerintah Kecamatan Muara Bangkahulu, Ratu agung dan Gading Cempaka, mampu untuk memobilisasi sumber daya yang ada di wilayah kecamatannya. Sebaliknya, Pemerintah Kecamatan Gading Cempaka belum mampu, diindikasikan dari nilai indeks yang sangat rendah hanya mencapai angka 33 (lihat diagram 4.2.3.10.). Dari Indeks mobilisasi sumber daya tersebut apabila dirunut dari indikator-indikator pendukungnya, hampir semua indikator memberikan kontribusi positif, hanya ketersediaan dokumen-dokumen terkait dengan kebencanaan, seperti: peta pendukung kajian bahaya dan peta pendukung kajian kerentanan yang tidak memberikan kontribusi atau mempunyai nilai 0.



278



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



100



80



60



67



67



67



63



50



33 40



20



0 Kec. Muara Kec. Selebar Kec. Bengkulu Kampung Melayu



Kec. Ratu Kec. Gading Pemerintah Agung Cempaka Kecamatan



Diagram 4.2.3.10. Nilai Indeks Mobilisasi Sumber Daya Pemerintah Kecamatan di Kota Bengkulu, 2006



Berbeda dengan tingkat kesiapsiagaan dari parameter sebelumnya yang bervariasi, semua pemerintah kecamatan mempunyai tingkat kesiapsiagaan peringatan bencana yang sama, yaitu sangat siap dengan nilai indeks yang maksimum sebesar 100. Semua kecamatan yang dikaji mempunyai akses untuk mendapatkan informasi mengenai bencana, terutama yang berasal dari bawah, yaitu tingkat kelurahan. Keadaan ini perlu terus dipertahankan, mengingat kecamatankecamatan di wilayah Kota Bengkulu sering terjadi bencana, seperti banjir.



Tingkat Kesiapsiagaan Aparat Pemerintah 279 Dari kajian ini dapat dikemukakan bahwa responden aparat pemerintah telah siap untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam, diindikasikan dari nilai indeks yang mencapai angka 72 (lihat diagram 4.2.3.6.). Kontribusi terbesar dari kesiapan ini berasal dari pengetahuan aparat, sebaliknya yang terkecil dari kemampuan untuk mobilisasi sumber daya dan yang berkaitan dengan peringatan bencana. Meskipun tingkat kesiapsiagaannya sama, dari tabel 4.2.3.9. terlihat adanya kecenderungan nilai indeks responden aparat yang berpendidikan diploma/akademi lebih rendah dari responden yang berpendidikan SMA/sedrajat dan perguruan tinggi. Kecenderungan ini berlaku untuk semua parameter kesiapsiagaan. Sebaliknya dengan responden yang berpendidikan SMA/sederajat, nilai indeksnya lebih tinggi dari responden lainnya yang mempunyai pendidikan lebih tinggi.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



279



Tabel 4.2.3.9. Indeks Kesiapsiagaan Responden Aparat Pemerintah Menurut Pendidikan Pendidikan Terakhir SMA/ sederajat



D1/D2/D3/ Akademi



Perguruan Tinggi



Total



Pengetahuan & Sikap



83



78



80



80



Rencana Tanggap Darurat



77



50



60



63



Peringatan Bencana



66



44



45



52



Mobilisasi Sumber Daya



43



18



41



37



Indeks



77



67



72



72



Parameter



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI UNESCO/ISDR, 2006



Hasil kajian ini menggambarkan bahwa aparat pemerintah Kota Bengkulu mempunyai pengetahuan dasar yang sangat baik tentang bencana alam, diindikasikan dari indeks pengetahuan aparat yang mencapai angka 80 dari nilai maksimum 100 (lihat diagram 4.2.3.11.). Jika dilihat dari tingkat pendidikan, pengetahuan aparat, terutama tentang gempa bumi dan tsunami, hampir merata, semuanya, kecuali aparat yang berpendidikan diploma/akademi, berada pada tingkatan yang paling tinggi. Pengetahuan responden juga hampir sama apabila dilihat dari instansi tempat bekerja, yaitu: Bappeda, Kesra, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata dan Infokom, Dinas Perhubungan dan Satpol PP. Gambaran pengetahuan aparat secara detail dapat dilihat pada lampiran tabel 4.2.3.10.



Diagram 4.2.3.11. Nilai Indeks Pengetahuan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu, 2006 280



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Nilai indeks aparat nomor dua tertinggi setelah pengetahuan adalah rencana tanggap darurat. Hasil kajian menunjukkan bahwa aparat pemerintah Kota Bengkulu hampir siap dengan rencana tanggap darurat, diindikasikan dari nilai indeks yang mencapai angka 63. Nilai ini terutama diperoleh dari aparat yang berpendidikan SMA/sederajat yang sudah siap dengan rencananya. Sedangkan indeks terendah berasal dari aparat dengan pendidikan diploma/akademi. Gambaran ini mengindikasikan bahwa pendidikan yang lebih tinggi belum menjamin tingkat kesiapsiagaan terhadap bencana. Jika dibandingkan dengan unsur pemerintah lainnya, aparat pemerintah mempunyai nilai indeks tertinggi, sehingga tingkat kesiapsiagaannya satu tingkat lebih tinggi dari pemerintah kota, tetapi tetap sama levelnya dengan pemerintah kecamatan. Hasil penilaian dari kajian ini juga menunjukkan bahwa kesiapsiagaan responden aparat pemerintah Kota Bengkulu yang berkaitan dengan sistim peringatan bencana masih kurang, dicerminkan dari indeks kesiapsiagaannya yang hanya mencapai angka 52. Tingkat kesiapsiagaan bervariasi menurut pendidikan. Seperti parameter sebelumnya, aparat yang berpendidikan SMA/sederajat memiliki tingkat kesiapsiagaan yang lebih tinggi, yaitu hampir siap, sedangkan aparat yang berpendidikan diploma/akademi dan perguruan tinggi hanya mencapai level kurang siap. Rendahnya indeks ini tercermin dari pengetahuan responden aparat tentang sistim peringatan bencana tsunami yang masih rendah. Keadaan ini dapat dipahami karena sistim peringatan bencana belum tersedia di Kota Bengkulu dan informasi yang relevan dari berbagai sumber juga masih sangat terbatas. Sebaliknya dengan pengetahuan yang indeksnya tinggi, indeks kesiapsiagaan aparat pemerintah yang berkaitan dengan mobilisasi sumber daya masih rendah, dua kali lebih rendah jika dibandingkan dengan indeks pengetahuan. Dengan demikian aparat pemerintah menduduki peringkat paling bawah dari kesiapsiagaan, yaitu belum siap. Keadaan ini berlaku untuk semua kelompok pendidikan aparat, dengan nilai terendah diberasal dari aparat yang berpendidikan diploma/akademi. Aparat belum mampu untuk memobilisasi sumber daya. Hal ini mungkin berkaitan erat dengan kurangnya kesempatan yang tersedia bagi aparat pemerintah Kota Bengkulu untuk meningkatkan kemampuannya atau capacity building. Secara umum pemerintah di kota Bengkulu masih kurang siap dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam. Pengalaman terjadinya bencana gempa yang menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda pada tahun 2000, belum memberikan pelajaran yang berarti bagi pemerintah untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat Kota Bengkulu terletak di daerah yang rawan bencana dan pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mengurangi resiko bencana. Kita tidak ingin pengalaman pahit dari bencana gempa terulang kembali di kota ini.



4.2.4. Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah Kesiapsigaan komunitas sekolah diukur berdasarkan lima parameter yaitu pengetahuan dan sikap komunitas sekolah terhadap resiko bencana, kebijakan dan pedoman terkait dengan kesiapsiagaan LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



281



281



bencana, rencana untuk keadaan darurat, sistem peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya. Komunitas sekolah diwakili oleh tiga kelompok yaitu kelompok sekolah, kelompok guru dan kelompok siswa dari tingkat SD/sederajat, SMP/sederajat dan SMA/sederajat. Data kesiapsiagaan komunitas sekolah untuk mengantisipasi bencana diperoleh dari angket yang disebar pada sekolah, guru dan siswa. Angket dengan kode Seri-S1 digunakan untuk mendapatkan data tentang kesiapsiagaan sekolah, disebar pada 13 sekolah dan diisi oleh kepala sekolah atau dapat diwakili oleh guru yang dianggap mengetahui kondisi kesiapsiagaan sekolah. Angket Seri-S2 diisi oleh 100 orang guru dari berbagai bidang studi dan tingkatan. Angket S3 untuk siswa diisi oleh siswa kelas 5 (lima) SD, siswa kelas 2 (dua) SMP/sederajat dan siswa kelas 2 (dua) SMA/sederajat sejumlah 460 angket. Dalam melakukan analisa, masing-masing parameter akan dibedakan berdasarkan kelompok, zona dan tingkatan sekolah. Cara pengambilan sampel dan penyebaran angket untuk masing-masing kelompok telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Di samping menggunakan angket, data kesiapsiagaan komunitas sekolah juga diperoleh dari wawancara dan diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk memperdalam analisa dan mengklarifikasi data-data yang diperoleh dari angket.



4.2.4.1. Pengetahuan tentang Bencana Pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana untuk komunitas sekolah digambarkan oleh pengetahuan guru dan siswa. Indikator yang digunakan untuk mengukur pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana adalah pengetahuan guru dan siswa terhadap jenis-jenis, penyebab dan intensitas bencana alam serta sikap terhadap resiko bencana terutama bencana gempa dan tsunami. Kelompok Guru Pengukuran pengetahuan guru tentang bencana diawali dengan pertanyaan mendasar tentang definisi dari bencana alam. Diagram 4.2.4.1 menunjukkan bahwa mayoritas (lebih dari 80 persen) guru menjawab dengan benar bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam, sekitar 11 persen sebagai akibat ulah manusia, 2 persen akibat kerusuhan sosial/ politik dan tidak ada yang memilih bencana akibat kebakaran hutan/serangan hama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar guru memahami perbedaan antara bencana alam dengan bencana-bencana lainnya. Dari ketiga pengertian yang salah tentang bencana alam, bencana akibat perilaku manusia mendapat proporsi tertinggi. Pendapat ini dilatarbelakangi pada kenyataaan bahwa banyak bencana yang timbul karena ulah manusia. Diantaranya adalah bencana tanah longsor dan banjir yang terjadi sebagai dampak dari penggundulan hutan yang dilakukan oleh manusia. Pendapat serupa juga muncul dalam diskusi kelompok terfokus untuk komunitas sekolah yang juga dihadiri oleh guru-guru sekolah di Kota Bengkulu.



282



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kebakaran hutan/seran gan hama 0%



Perilaku manusia 11%



Kerusuhan sosial/politik 2%



Kejadian alam 87%



Diagram 4.2.4.1. Pendapat Responden Guru Tentang Apa yang Dimaksud dengan Bencana Alam, 2006



Tingkatan sekolah yang diajar nampaknya mempengaruhi jawaban guru. Guru yang mengajar pada tingkatan sekolah yang lebih tinggi mempunyai pengetahuan tentang definisi bencana alam lebih baik dibandingkan guru yang mengajar di tingkatan sekolah yang lebih rendah (Lampiran tabel 4.2.4.1). Guru SD yang menjawab dengan benar sebesar 82 persen, meningkat menjadi 91 persen pada guru SMP dan tertinggi pada guru SMA sebesar 94 persen. Namun jawaban guru tidak menunjukkan pola yang jelas apabila dibedakan menurut zona lokasi sekolah. 100



97 86



Gempa bumi



Tsunami



283 91



88 81



Banjir



Tanah longsor



Gunung Berapi



Badai



Diagram 4.2.4.2. Persentase Responden Siswa yang Menjawab ya Tentang Kejadian Alam yang Dapat Menimbulkan Bencana, 2006



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



283



Kejadian-kejadian alam dapat berubah menjadi bencana apabila mengganggu kehidupan sosial ekonomi manusia. Gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung berapi dan badai merupakan contoh kejadian-kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana. Diagram 4.2.4.2. menunjukkan pengetahuan guru tentang kejadian-kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana cukup tinggi. Lebih dari 70 persen guru menjawab “ya” untuk semua pilihan kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana. Gambaran ini berlaku di semua zona dan tingkatan sekolah yang diajar (Lampiran tabel 4.2.4.1). Pendapat guru kemungkinan juga dilatarbelakangi oleh kondisi Kota Bengkulu yang cukup rawan terhadap bencana. Sebagian besar dari bencana yang disebutkan dalam pertanyaan sudah pernah dialami oleh masyarakat Kota Bengkulu yaitu gempa bumi, banjir, tanah longsor dan badai. Bencana-bencana tersebut ternyata memperoleh persentase tertinggi dibandingkan dengan bencana tsunami dan gunung meletus yang belum pernah terjadi di Kota Bengkulu dalam dekade ini. Namun bencana alam terbesar yang pernah terjadi di kota ini adalah bencana gempa bumi berkekuatan 7,9 skala richter pada tahun 2000 yang banyak menimbulkan korban jiwa dan harta. Hal inilah yang menyebabkan semua guru memilih gempa bumi sebagai kejadian alam pertama yang dapat menimbulkan bencana. Disamping gempa bumi, banjir, tanah longsor, badai, tsunami, dan letusan gunung berapi, abrasi muncul sebagai salah satu jenis bencana alam oleh komunitas sekolah. Jenis bencana ini muncul dalam diskusi kelompok terfokus untuk komunitas sekolah. Bencana badai dialami oleh sebagian penduduk Kota Bengkulu terutama yang bermukim di wilayah pantai. Akibat abrasi, banyak rumah-rumah yang tadinya terletak di tepi pantai terpaksa harus ditinggalkan. Salah satu lokasi yang mengalami abrasi pantai di Kota Bengkulu adalah daerah Pasar Bengkulu yang mencapai 100 meter dan penduduknya kemudian dipindahkan ke daerah lain yaitu di daerah Teluk Sepang. Pengetahuan guru tentang gempa bumi digambarkan oleh jawaban guru pada pertanyaan tentang penyebab, intensitas dan ciri-ciri bangunan yang relatif tahan terhadap gempa. Berdasarkan Tabel 4.2.4.1 dapat diketahui bahwa pengetahuan guru terhadap penyebab terjadinya gempa bumi cukup baik, diindikasikan oleh tingginya persentase guru yang memilih jawaban yang benar yaitu pergeseran kerak bumi dan gunung meletus (lebih dari 90 persen). Gambaran ini merata untuk semua tingkatan sekolah dan zona lokasi sekolah. Disamping dua jawaban yang benar tentang penyebab terjadinya gempa bumi, responden guru juga diberikan tiga pilihan yang salah yaitu angin topan/halilintar, pengeboran minyak dan tanah longsor. Tingginya pengetahuan responden guru tentang penyebab terjadinya gempa bumi ternyata juga didukung oleh rendahnya persentase responden guru yang memilih ketiga jawaban yang salah tersebut kecuali untuk tanah longsor karena sekitar 51 persen responden guru kurang memahami keterkaitan tanah longsor dengan gempa bumi. Munculya pendapat bahwa tanah longsor merupakan salah satu penyebab terjadinya gempa bumi kemungkinan timbul karena pada saat terjadi tanah longsor timbul getaran seperti gempa yang dapat dirasakan oleh penduduk di sekitar daerah lokasi kejadian.



284



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.4.1. Pengetahuan Responden Guru terhadap Gempa



Zona Uraian



Rawan



Tingkatan sekolah yang diajar



Hati-hati



Aman



SD/ sederajat



SMP/ sederajat



SMA/ sederajat



Total



Penyebab gempa bumi 1



Pergeseran kerak bumi



96,7



100,0



100,0



2



Gunung meletus



3



Tanah Longsor



4 5



96,0



100,0



100,0



93,3



90,6



100,0



94,0



90,9



94,1



93,0



50,0



53,1



50,0



54,0



39,4



64,7



51,0



Angin Topan dan halilintar



25,0



21,9



12,5



24,0



18,2



29,4



23,0



Pengeboran minyak



26,7



40,6



12,5



34,0



27,3



23,5



30,0



285



98,0



Gempa bumi bisa diperkirakan terjadinya 1



Ya



13,3



21,9



0,0



12,0



18,2



17,6



15,0



2



Tidak



43,3



40,6



75,0



36,0



45,5



70,6



45,0



3



Tidak tahu



43,3 37,5 Masyarakat 25,0 52,0Mengantisipasi 36,4 11,8 40,0 Sumber: Kajian Kesiapsiagaan dalam Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Ciri-ciri gempa kuat



Gempa dapat terjadi kapan saja bahkan ketika sedang mengajar di sekolah. Oleh karena itu 78,3 46,9 37,5 72,0 54,5 64,7 65,0 diperlukan kewaspadaan yang cukup untuk mengurangi resiko yang64,0 terjadi pada saat gempa. 2 Gempa membuat pusing/limbung 66,7 59,4 62,5 tinggi68,0 60,6 58,8 Gempa menyebabkanTerutama goyangan bagi mereka yang berada di daerah-daerah yang rawan gempa seperti Kota Bengkulu yang kencang/keras sehingga karena sampai saat ditemukan teknologi97,0 yang dapat 3 tidak bisa berdiri 93,3 ini belum 84,4 100,0 86,0 94,1 mendeteksi 91,0 terjadinya gempa 4 Bangunan retak/roboh 86,7 berkata 90,6lain,100,0 86,0 responden 97,0 guru82,4 89,0 bumi. Namun data pengetahuan di Kota Bengkulu tentang hal ini masih kurang. Jawaban yang benar hanya diberikan oleh 45 persen guru sedangkan sekitar 55 Gempa kuat diikuti oleh gempa 1



Gempa terjadi berulang-ulang



susulan yang lebih kecil 1



Ya



98,3



100,0



100,0



98,0



100,0



2



Tidak



0,0



0,0



0,0



2,0



0,0



100,0



99,0



3



Tidak tahu



1,7



0,0



0,0



0,0



0,0



0,0



0,0



1,0 LIPI0,0 – UNESCO/ISDR, 2006



Ciri-ciri bangunan/rumah tahan gempa 1



Bentuk bangunan berimbang



53,3



25,0



12,5



40,0



33,3



58,8



41,0



2



Pondasi tertanam cukup dalam Bagian-bagian bangunan



76,7



68,8



75,0



66,0



84,8



76,5



74,0



285



persen lainnya menjawab tidak tahu atau mempunyai persepsi yang salah (gempa bisa diprediksi). Apabila dibedakan menurut tingkatan pendidikan terlihat adanya peningkatan proporsi guru yang menjawab dengan benar dengan semakin tingginya tingkat sekolah yang diajar. Hal ini menunjukkan bahwa tingkatan sekolah yang diajar memberi pengaruh pada jawaban responden tentang perkiraan terjadinya gempa. Namun apabila dirinci menurut zona, proporsi guru yang mengajar di zona rawan dan hati-hati jauh lebih rendah dibandingkan guru yang mengajar di sekolah yang berada di zona aman. Hal ini agak mengherankan mengingat mereka yang mengajar di zona rawan lebih sering mengalami gempa dibandingkan dengan guru yang mengajar di zona aman. Apabila diperhatikan lebih lanjut terlihat bahwa hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan guru di kedua zona yang lebih rawan tersebut. Gempa bumi merupakan kejadian alam yang paling sering dialami masyarakat di Kota Bengkulu. Akibatnya, sebagian masyarakat Kota Bengkulu beranggapan bahwa mereka dapat memprediksi kekuatan gempa serta ciri-cirinya, mulai dari gempa yang berkekuatan kecil sampai gempa berkekuatan besar. Gempa kecil biasanya tidak menimbulkan getaran yang kuat dan menurut sebagian masyarakat sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak dirasakan lagi. Namun tidak demikian halnya dengan gempa yang berkekuatan besar atau disebut dengan gempa kuat. Gempa kuat mempunyai ciri-ciri yang dapat diamati baik pada saat terjadi atau dari dampak yang ditimbulkannya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, gempa berkekuatan 7,9 skala richter pernah dialami masyarakat di Kota Bengkulu pada tahun 2000. Peristiwa ini telah memberikan pengetahuan pada masyarakat termasuk guru tentang gempa ciri-ciri gempa kuat seperti yang terlihat pada Tabel 4.2.4.1. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar guru mengetahui bahwa ciri-ciri gempa kuat adalah gempa yang menyebabkan goyangan yang kencang/ keras (91 persen), bangunan retak/roboh (89 persen), gempa terjadi berulang-ulang, (65 persen) dan gempa membuat pusing/limbung (64 persen). Persentase guru yang memilih dua ciri-ciri yang disebutkan pertama jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua ciri-ciri lainnya. Kemungkinan dua ciri-ciri inilah yang paling membekas di pikiran guru dari pengalaman gempa kuat tahun 2000. Hal ini juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan beberapa orang guru yang menyebutkan bahwa gempa yang terjadi pada saat itu sangat kuat, goncangnya sangat keras sehingga menyebabkan banyak bangunan sekolah yang roboh dan rusak berat. Sebagian rumah/bangunan bahkan ada yang masuk kedalam tanah. Sementara itu, persentase guru yang menjawab gempa yang terjadi berulang-ulang dan gempa yang membuat pusing atau limbung jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan sebagian responden guru beranggapan gempa yang terjadi berulang-ulang dianggap tidak selalu berkekuatan besar. Tetapi gempa kuat biasanya selalu diikuti oleh gempa-gempa susulan yang lebih kecil. Apabila dibedakan menurut zona lokasi sekolah persentase guru yang mengetahui ciri-ciri gempa kuat bervariasi. Variasi terbesar terlihat pada ciri-ciri gempa yang terjadi berulang-ulang. Persentase guru di zona rawan (78 persen) yang mengetahui ciri-ciri ini hampir dua kali lipat lebih tinggi dari pada guru di zona aman (37 persen) dan hati-hati (48 persen). Hal ini berkaitan dengan tingginya kemungkinan guru di zona rawan mengalami gempa dibandingkan zona aman dan hati-hati. Seperti pada pertanyaan sebelumnya, pengalaman gempa besar pada tahun 2000 tampaknya mempengaruhi jawaban guru pada pertanyaan “apakah gempa kuat selalu diikuti oleh gempa 286



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



yang lebih kecil”. Akibatnya, hampir seluruh responden guru memberikan jawaban yang benar. Pendapat serupa juga ditemukan dalam diskusi kelompok terfokus dengan komunitas sekolah. Menurut seorang peserta, setelah gempa kuat terjadi gempa susulan kurang lebih sebanyak 2000 kali dalam waktu beberapa hari saja. Gempa kuat dapat meruntuhkan bangunan apa saja termasuk sekolah. Akibat yang ditimbulkan akan menjadi lebih besar apabila reruntuhan bangunan menimpa manusia dan menyebabkan kematian. Resiko kerusakan bangunan serta jatuhnya korban akibat bencana gempa dapat dikurangi apabila dibangun dengan menggunakan metode atau ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri bangunan tahan gempa tersebut adalah bentuk bangunan berimbang, pondasi tertanam cukup dalam, bagianbagian bangunan tersambung dengan kuat dan terbuat dari material yang ringan. Tabel 4.2.4.1 menunjukkan bahwa mayoritas guru sudah mengetahui ciri-ciri bangunan tahan gempa kecuali untuk ciri bentuk bangunan berimbang. Pondasi yang tertanam cukup dalam (74 persen) menempati peringkat pertama. Beberapa bangunan sekolah yang terdapat di Kota Bengkulu bahkan sudah menggunakan metode ini (diantaranya disebut metode cakar ayam). Salah satunya adalah gedung SMA I Lempuing yang dibangun dengan bantuan dana dari pemerintah dan luar negeri. Biaya yang diperlukan dua kali lebih besar dibandingkan bangunan dengan pondasi biasa. Peringkat kedua dimiliki oleh ciri bangunan terbuat dari material ringan (67 persen). Sebelum gempa, sebagian besar bangunan/rumah termasuk di Kota Bengkulu adalah rumah permanen dan menggunakan atap genteng. Kondisi ini berkaitan erat dengan penilaian masyarakat bahwa rumah permanen dengan atap genteng lebih mentereng dibandingkan dengan rumah semi permanen atau kayu dan beratap seng. Namun saat terjadi gempa ternyata rumah-rumah permanen dan beratap genteng mengalami kerusakan yang lebih parah dan menimbulkan lebih banyak korban dibandingkan dengan rumah semi permanen atau rumah kayu dan beratap seng. Belajar dari pengalaman tersebut, saat ini banyak rumah atau bangunan yang dibangun kembali dengan menggunakan atap seng, termasuk bangunan sekolah. Bangunan berimbang merupakan ciri bangunan tahan gempa yang paling sedikit dikenal guru (41 persen), jauh lebih rendah dibanding tiga ciri-ciri lainnya. Hal ini mungkin disebabkan ketidakmengertian guru dengan maksud istilah bangunan berimbang. Bangunan berimbang diartikan bahwa bangunan tersebut berbentuk simetri seperti segiempat, persegi panjang atau lingkaran. Pendapat responden guru tentang ciri-ciri ini semakin meningkat dengan semakin rawannya zona sekolah. Proporsi responden guru yang menjawab “ya” di zona rawan dua kali lipat dibandingkan responden guru di zona hati-hati dan empat kali lipat dari proporsi guru di zona aman. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan guru tentang ciri bangunan berimbang semakin membaik di zona yang lebih rawan. Meskipun mayoritas masyarakat di Kota Bengkulu mengetahui ciri-ciri bangunan tahan gempa namun sebagian lainnya memberikan pendapat yang berbeda. Pendapat tersebut menyatakan bahwa tidak ada bangunan yang bisa selamat dari gempa apabila terletak di urat gempa (istilah yang dipakai oleh masyarakat setempat untuk daerah pusat gempa). Munculnya pendapat ini didasari oleh kenyataan yang terjadi pada peristiwa gempa kuat tahun 2000. Pada saat itu, hampir seluruh rumah/bangunan yang terletak di urat gempa mengalami kerusakan yang cukup LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



287



287



parah. Kondisi ini berbeda dengan kejadian yang menimpa rumah-rumah atau bangunan-bangunan di luar urat gempa yang pada umumnya tingkat kerusakannya tergantung pada kekuatan bangunan. Selain ciri-ciri bangunan tahan gempa yang telah disebutkan di atas, masyarakat Kota Bengkulu sebenarnya mempunyai cara membuat bangunan tahan gempa yang diturunkan oleh orang-orang tua namun saat ini sudah jarang digunakan. Ciri bangunan tahan gempa tersebut terletak pada cara pembuatan dinding yang disebut dengan “bidai”. Bidai merupakan dinding yang dibangun dengan menggunakan rangka bambu yang dijalin dengan rangka besi dan dicampur dengan pasir dan semen. Menurut salah seorang pemilik rumah bidai, gempa tahun 2000 tidak meruntuhkan dinding yang dibuat dengan system bidai, kerusakan yang terjadi sangat kecil yaitu sedikit retak dan mengeluarkan serpihan kecil-kecil dibeberapa bagian. Ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan pada saat gempa. Pengetahuan tentang hal ini penting untuk mengurangi resiko yang tidak diinginkan. Hasil survei menunjukkan bahwa pengetahuan guru mengenai tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat gempa sudah cukup baik (Tabel 4.2.4.2). Sebagian besar guru (lebih dari 50 persen) menjawab “ya” untuk semua tindakan yang harus dilakukan. Pendapat guru tersebut adalah segera menuju lapangan terbuka (97 persen), menjauhi benda-benda yang tergantung (95 persen), menjauhi jendela/ dinding kaca (94 persen), berlari keluar rumah (93 persen), menjauhi jembatan (92 persen), melindungi kepala (89 persen), memarkir mobil di pinggir jalan jika sedang berada dalam kendaraan(89 persen), berlindung di tempat aman (83 persen), keluar gedung menggunakan tangga bila berada di gedung yang bertingkat (67 persen) dan keluar ruangan setelah gempa reda (57,6 persen). Gambaran ini tidak berbeda jika dirinci menurut zona dan tingkat sekolah yang diajar terkecuali untuk keluar ruangan setelah gempa reda. Merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda tidak dipilih oleh sebagian besar guru karena dianggap membahayakan. Hal ini terbukti pada peristiwa gempa tahun 2000, banyak korban yang jatuh akibat terkena reruntuhan dinding. Berbeda dengan apa yang terjadi di Jepang. Bangunan di Jepang pada umumnya terbuat dari bahan yang kuat dan ringan, sehingga tindakan merapat ke dinding lebih aman. Di Indonesia, dinding bangunan pada umumnya terbuat dari bahan yang berat atau ringan yang tidak memperhitungkan beban gempa bumi, sehingga apabila dilakukan justru akan membahayakan. Berdasarkan pengalaman gempa tahun 2000, muncul tindakan lain yang oleh sebagian masyarakat diyakini dapat menyelamatkan diri mereka dari reruntuhan dinding akibat gempa. Tindakan tersebut adalah berdiri di bawah kusen kayu pintu yang kokoh. Pengalaman ini pernah dialami oleh salah seorang penduduk yang selamat pada saat gempa tahun 2000. Cerita ini kemudian tersebar dan menjadi salah satu tindakan yang dianggap oleh masyarakat sebagai tindakan penyelamatan diri apabila terjadi gempa besar lagi dan mereka tidak sempat ke luar rumah.



288



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.4.2. Pengetahuan Responden Guru Mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi Gempa (Persentase yang Menjawab Ya) Zona Uraian



Rawan



Hatihati



Tingkatan sekolah yang diajar Aman



SD/ sederajat



SMP/ sederajat



SMA/ sederajat



Total



1



Berlindung di tempat aman



83,3



81,3



87,5



80,0



87,9



82,4



83,0



2



Melindungi kepala



95,0



78,1



87,5



92,0



87,9



82,4



89,0



3



10



Segera menuju lapangan terbuka Menjauhi benda-benda yang tergantung Merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda Menjauhi jendela/dinding kaca Meninggalkan ruangan setelah gempa reda Keluar gedung menggunakan tangga bila berada di gedung yang bertingkat setelah gempa reda Memarkir mobil di pinggir jalan jika sedang berada dalam kendaraan Menjauhi jembatan



11



Berlari keluar rumah pada saat gempa



4 5 6 7 8 9



N



98,3



93,8



100,0



96,0



100,0



94,1



97,0



98,3



90,6



87,5



96,0



93,9



94,1



95,0



43,3



21,9



75,0



42,0



27,3



52,9



39,0



96,7



87,5



100,0



92,0



93,9



100,0



94,0



61,0



50,0



62,5



62,0



46,9



64,7



57,6



76,7



53,1



50,0



66,0



60,6



82,4



67,0



95,0



81,3



75,0



92,0



87,9



82,4



89,0



95,0



90,6



75,0



96,0



84,8



94,1



92,0



98,3



87,5



75,0



86,0



100,0



100,0



93,0



60



32



8



50



33



17



100



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Selain gempa bumi, pengetahuan guru tentang bencana digali dari pertanyaan-pertanyaan tentang penyebab, intensitas dan ciri-ciri bangunan yang relatif tahan terhadap bencana tsunami. Tabel 4.2.4.3. menunjukkan bahwa mayoritas guru mengetahui dengan benar penyebab terjadinya tsunami yaitu gempa bumi dibawah laut (96 persen) dan gunung meletus dibawah laut (79 persen). Pendapat guru terhadap kedua penyebab tsunami tersebut merata menurut zona dan tingkatan sekolah yang diajar. Kondisi ini juga didukung oleh rendahnya persentase guru yang memilih badai/puting beliung karena kejadian alam ini tidak dapat menyebabkan terjadinya tsunami. Pendapat guru yang menjawab “ya” untuk badai/puting semakin rendah dengan semakin tingginya tingkat sekolah yang diajar. Hal ini menunjukkan bahwa guru yang mengajar pada tingkatan sekolah yang lebih tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang keterkaitan antara badai/puting beliung dengan gempa dibandingkan guru yang mengajar di tingkatan sekolah yang lebih rendah. Namun apabila dibedakan menurut zona sekolah terlihat adanya peningkatan persentase responden guru dengan semakin rawannya zona lokasi sekolah tempat mengajar. Kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh pengalaman guru di zona rawan pada saat mengalami badai/angin puting beliung (daerah pantai). Ketika peristiwa ini terjadi, gelombang laut menjadi besar dan air menjadi pasang sehingga menimbulkan ketakutan akan terjadinya terjadinya tsunami. Meskipun pengetahuan guru terhadap kedua penyebab terjadinya tsunami cukup tinggi dan didukung oleh rendahnya persentase guru yang memilih badai/angin puting beliung. Namun pengetahuan tersebut tidak disokong oleh jawaban guru terhadap longsoran bawah laut. Tabel



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



289



289



4.2.4.3. menunjukkan bahwa sebagian besar responden guru menjawab “ya” untuk longsoran di bawah laut. Pendapat ini tidak benar, karena longsoran bawah laut tidak dapat menyebabkan terjadinya tsunami. Apabila dibedakan menurut zona sekolah ditemukan hal yang menarik yaitu persentase guru yang berpendapat salah tentang keterkaitan tanah longsor dan tsunami semakin besar di zona yang lebih rawan. Persentase guru di zona aman adalah 50 persen, meningkat menjadi 72 persen di zona hati-hati dan bertambah lagi menjadi 83 persen di zona rawan. Tampaknya pengalaman guru di zona rawan yang dekat pantai terhadap berbagai bencana memunculkan ketakutan guru terhadap longsoran dibawah laut. Longsoran ini dianggap dapat menyebabkan naiknya air laut dan kemudian ditakutkan menjadi tsunami. Mayoritas guru mengetahui bahwa tidak semua gempa bumi dapat menimbulkan tsunami diindikasikan oleh lebih dari 50 persen guru menjawab “tidak”. Jawaban ini kemungkinan berasal dari pengalaman yang dialami sendiri oleh guru. Kota Bengkulu merupakan kota rawan gempa, belakangan frekuensi terjadinya gempa cukup tinggi namun belum pernah terjadi tsunami. Persentase guru yang menjawab dengan benar tidak terlalu berbeda jika dibedakan menurut tingkat sekolah yang diajar. Namun jika dirinci menurut zona lokasi sekolah, proporsi guru yang menjawab dengan benar paling rendah di zona aman. Kondisi ini bisa dimaklumi mengingat frekuensi gempa di zona aman lebih rendah dibandingkan di zona rawan dan hati-hati sehingga dapat mempengaruhi jawaban guru. Berbeda dengan kejadian gempa yang tidak dapat diperkirakan terjadinya, tsunami mempunyai beberapa tanda sebelum terjadi. Tanda-tanda tersebut antara lain adalah air laut tiba-tiba surut, gelombang besar di cakrawala dan gempa dengan goncangan yang kuat sehingga susah untuk berdiri. Tabel 4.2.4.3. menunjukkan bahwa sebagian besar (lebih dari 50 persen guru mengetahui tanda-tanda terjadinya tsunami. Tanda tsunami yang paling banyak diketahui oleh guru adalah air laut tiba-tiba surut (99 persen). Informasi mengenai surutnya air laut di Aceh, sebelum terjadinya tsunami tampaknya mempengaruhi jawaban guru. Tingginya pengetahuan tersebut mempengaruhi respon guru pada pertanyaan “apa yang akan dilakukan apabila air laut tiba-tiba surut”. Hampir semua guru memberikan respon yang benar yaitu berlari menjauhi pantai. Persentase guru yang memilih gelombang besar di cakrawala (58 persen) dan gempa dengan goncangan yang kuat sehingga susah berdiri (59 persen) jauh lebih rendah dibandingkan air laut tiba-tiba surut. Hal ini disebabkan sebagian responden guru berpendapat gempa bumi yang kuat belum tentu dapat menimbulkan tsunami. Pendapat ini dikemukakan berdasarkan pengalaman gempa tahun 2000, gempa kuat yang terjadi pada saat itu tidak disertai dengan tsunami. Seperti halnya dengan gempa, resiko yang ditimbulkan akibat tsunami dapat dikurangi apabila suatu bangunan dibuat dengan memperhatikan ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut antara lain mempunyai ruang-ruang kosong, penempatan bangunannya tegak lurus garis pantai. Tabel 4.2.4.3. menunjukkan bahwa sebagian besar guru tidak mengetahui ciri-ciri bangunan yang relatif aman terhadap tsunami. Guru yang menjawab ya untuk kedua ciri-ciri bangunan tahan tsunami kurang dari 50 persen. Jawaban guru bervariasi menurut zona dan tingkatan sekolah yang diajar. Ciri 290



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



adanya ruang-ruang kosong diketahui oleh sebagian besar guru di zona aman (62 persen) dan rawan (53 persen), tetapi tidak dikenal mayoritas guru di zona hati-hati. Menurut tingkat sekolah yang diajar, mayoritas guru SMP/sederajat dan SMA/sederajat lebih tahu dibanding guru SD/ sederajat. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan guru tentang kedua hal ciri-ciri ini dipengaruhi oleh tingkatan sekolah yang diajarnya. Semakin tinggi tingkatan pendidikan siswa yang diajar maka diperlukan guru yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Ciri penempatan bangunan tegak lurus garis pantai, diketahui oleh dua kali lipat guru dizona rawan dan hati-hati dibanding zona aman. Tabel 4.2.4.3. Pengetahuan Guru tentang Tsunami (Persentase Guru yang Menjawab Ya) Zona Uraian



Rawan



Tingkatan sekolah yang diajar



Hatihati



Aman



SD/ sederajat



SMP/ sederajat



SMA/ sederajat



Total



Penyebab terjadinya tsunami 1



Gempa bumi bawah laut



96,7



93,8



100,0



96,0



97,0



94,1



96,0



2



Gunung meletus di bawah laut



76,7



84,4



75,0



74,0



84,8



82,4



79,0



3



Longsoran di bawah laut



83,3



71,9



50,0



74,0



84,8



70,6



77,0



4



Badai/puting beliung



25,0



15,6



12,5



10,0



24,2



47,1



21,0



Apakah setiap gempa bumi dapat menyebabkan tsunami Ya



6,7



0,0



12,5



2,0



6,1



11,8



5,0



2



Tidak



86,7



96,9



62,5



90,0



84,8



88,2



88,0



3



Tidak tahu



6,7



3,1



25,0



8,0



9,1



0,0



7,0



56,7



56,3



87,5



60,0



63,6



47,1



59,0



1



Tanda-tanda/gejala tsunami yang diketahui 1 Gempa menimbulkan goyangan yang kencang/keras sehingga tidak bisa berdiri 2 3



Air laut tiba-tiba surut



95,0



96,9



100,0



94,0



100,0



94,1



96,0



Gelombang besar di cakrawala



51,7



71,9



50,0



48,0



72,7



58,8



58,0



Yang harus dilakukan jika air laut surut 1



Berlari menjauhi pantai



100,0



96,9



100,0



100,0



100,0



94,1



99,0



2



0,0



0,0



0,0



0,0



0,0



0,0



0,0



3



Mendekati pantai Mengambil ikan yang terdampar di pantai



0,0



0,0



0,0



0,0



0,0



0,0



0,0



4



Tidak tahu



0,0



3,1



0,0



0,0



0,0



5,9



1,0



53,3



37,5



62,5



40,0



57,6



58,8



49,0



31,7



28,1



12,5



22,0



36,4



35,3



29,0



60



32



8



50



33



17



100



Ciri-ciri bangunan/rumah yang tahan tsunami 1 Adanya ruang-ruang kosong untuk jalannya air 2 Penempatan bagian yang panjang bangunan tegak lurus garis pantai N



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



291



291



LSM dan ornop lainnya (Misal PMI)



64 71



Petugas pemerintah Saudara, kerabat, teman, tetangga Sosialisasi, seminar, pertemuan Buku saku, poster, leaf let, bilboard, rambu peringatan Koran,majalah,bulletin



90 52 54 92



TV



Radio



99 96



Diagram 4.2.4.3. Sumber Informasi Responden Guru Tentang Kesiapsiagaan Bencana, 2006



Keberadaan sumber informasi merupakan bagian yang sangat penting dalam menyebarluaskan pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana. Semakin banyak sumber informasi, akses informasi tentang bencana semakin baik. Akhir-akhir ini peran media elektronik seperti radio dan televisi serta media cetak seperti koran/majalah sangat besar dalam menyebarluaskan berbagai informasi termasuk tentang bencana gempa dan tsunami. Sebagai contoh kejadian gempa dan tsunami di Aceh serta bencana gempa yang baru-baru ini melanda DI Yogyakarta dan Jawa Tengah dapat diketahui dengan cepat melalui media ini. Besarnya peran media elektronik seperti TV/radio dan media cetak juga terlihat dari jawaban responden guru tentang sumber informasi gempa dan tsunami (Diagram 4.2.4.3.). Hampir semua responden mengaku memperoleh informasi melalui ketiga sumber ini. Saudara, kerabat, teman dan tetangga juga menjadi sumber informasi yang banyak dipilih guru (90 persen). Peran petugas pemerintah dan LSM atau lembaga non pemerintah lainnya seperti PMI masih jauh lebih rendah dibandingkan media elektronik dan media cetak. Dari hasil wawancara dengan beberapa pihak ditemukan hampir tidak ada LSM di Bengkulu yang terlibat dalam penyebarluasan informasi tentang gempa dan tsunami. Jenis sumber informasi berupa buku saku, poster, leaflet, bilboard dan sosialisasi seminar, pertemuan dan rambu peringatan memperoleh paling sedikit dibandingkan dengan sumber informasi lainnya. Kondisi ini juga terkait dengan kurangnya sosialisasi tentang gempa dan tsunami yang dilakukan di Kota Bengkulu.



292



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kelompok Siswa Tingkat pengetahuan siswa tentang bencana alam diukur berdasarkan pengetahuan siswa terhadap bencana secara umum, jenis-jenis bencana alam, penyebab terjadinya, intensitas bencana serta sikap untuk mengurangi dampak dari bencana terutama bencana gempa dan tsunami.



Kebakaran hutan/serangan hama 3%



Perilaku manusia 20%



Kerusuhan sosial/politik 2%



Kejadian alam 75%



Diagram 4.2.4.4. Pendapat Responden Siswa Tentang Apa yang Dimaksud dengan Bencana Alam, 2006



Pengetahuan siswa tentang bencana secara umum diketahui dari pemahaman siswa tentang pengertian bencana. Dari diagram 4.2.4.4. diketahui bahwa tingkat pengetahuan siswa tentang pengertian dari bencana alam termasuk tinggi. Lebih dari 70 persen responden siswa menjawab dengan benar bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam, sekitar 20 persen responden siswa menjawab akibat perilaku manusia dan hanya sebagian kecil yang menjawab akibat kerusuhan sosial/politik dan akibat kebakaran hutan/serangan hama. Tingginya tingkat pemahaman siswa terhadap pengertian bencana alam tampaknya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan siswa (Lampiran tabel 4.2.4.2). Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi proporsi siswa yang menjawab dengan benar. Apabila dibedakan menurut zona, jawaban siswa bervariasi. Siswa di zona rawan menjawab jauh lebih baik dibandingkan siswa di zona hati-hati, dan sedikit lebih tinggi dari zona aman. Kondisi ini kemungkinan berkaitan dengan kenyataan bahwa siswa di zona rawan lebih sering mengalami bencana dibandingkan dengan siswa di zona aman dan hati-hati. Dari tiga pernyataan yang salah tentang pengertian bencana alam, bencana alam sebagai bencana akibat perilaku manusia mempunyai persentase tertinggi. Seperti halnya pada responden guru, pendapat siswa ini tampaknya dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa bencana tanah longsor dan banjir terjadi sebagai akibat ulah manusia yang melakukan penebangan hutan secara liar. Penebangan hutan berdampak pada berkurangnya kemampuan tanah untuk



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



293



293



menyerap air sehingga pada waktu hujan dapat menimbulkan banjir. Demikian pula halnya dengan tanah longsor, bisa terjadi akibat penggundulan hutan oleh manusia.



Diagram 4.2.4.5. Persentase Responden Siswa yang Menjawab Ya Tentang Kejadian Alam yang Dapat Menimbulkan Bencana, 2006



Bencana alam terjadi sebagai akibat dari berbagai kejadian alam. Dari pertanyaan tentang jenisjenis kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana terlihat bahwa mayoritas siswa mengetahui bahwa gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung berapi dan badai dapat menimbulkan bencana (Diagram 4.2.4.5.). Gambaran ini berlaku untuk semua zona lokasi sekolah dan tingkat pendidikan (Lampiran tabel 4.2.4.2). Di antara 6 kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana, gempa bumi, banjir dan badai merupakan kejadian alam yang paling sering dialami oleh penduduk Kota Bengkulu. Pengalaman terhadap gempa bumi besar berkekuatan 7,9 skala richter pada tahun 2000 menempatkan gempa bumi sebagai peringkat pertama dan dipilih oleh hampir semua siswa. Para siswa juga menyadari bahwa sebagian wilayah Kota Bengkulu sering mengalami banjir, bencana ini menempati peringkat kedua. Tanah longsor pernah juga pernah terjadi di beberapa wilayah Kota Bengkulu dan menjadi pilihan ketiga terbesar oleh para siswa. Demikian pula halnya dengan bencana badai yang sering terjadi daerah pantai dan pernah menyebabkan kerusakan bangunan salah satu sekolah di zona rawan menjadi pilihan bagi mayoritas responden siswa sebagai salah satu kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana. Gempa bumi dapat terjadi karena pergeseran kerak bumi dan gunung meletus. Hal ini tampaknya sudah dipahami oleh sebagian besar siswa di Kota Bengkulu. Sekitar 80 persen siswa menjawab “ya” untuk kedua penyebab utama gempa bumi tersebut. Tingkat pendidikan tampaknya berpengaruh terhadap tingkat pemahaman siswa terhadap penyebab terjadinya gempa bumi. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi persentase siswa yang mengetahui bahwa penyebab gempa bumi adalah pergeseran kerak bumi dan gunung meletus. Apabila dibedakan menurut zona, jawaban siswa tidak menunjukkan pola yang jelas. Sementara itu kurang dari



294



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



seperempat siswa mempunyai persepsi yang salah tentang penyebab terjadinya gempa bumi dengan memberikan jawaban “ya” untuk tanah longsor, angin topan dan halilintar dan pengeboran minyak. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian siswa masih kurang memahami keterkaitan antara tanah longsor, angin topan dan halilintar serta pengeboran minyak dengan gempa. Tabel 4.2.4.4. Pengetahuan Siswa tentang Gempa Bumi (Persentase Siswa yang Menjawab Ya)



Zona Uraian



Tingkat Pendidikan



Rawan



Hati-hati



Aman



SD/ Sederajat



SMP/ Sederajat



SMA/ Sederajat



Total



Penyebab terjadinya gempa bumi 1 Pergeseran kerak bumi



78,5



81,6



76,3



70,9



86,8



88,9



79,3



2



Gunung meletus



86,2



83,7



71,1



74,4



90,1



100,0



84,1



3



Tanah Longsor



25,8



20,4



18,4



24,7



21,1



24,7



23,5



4



Angin Topan dan halilintar



13,5



14,3



13,2



15,9



11,2



12,3



13,7



Pengeboran minyak



16,8



16,3



13,2



15,0



16,4



19,8



16,3



Gempa bumi bisa diperkirakan terjadinya 1 Ya



23,3



25,2



34,2



33,0



9,9



29,6



24,8



2



Tidak



49,5



38,8



44,7



36,1



57,9



49,4



45,7



3



Tidak Tahu



5



295



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Mengantisipasi Bencana, 2006 27,3 36,1 Masyarakat 21,1 dalam 30,8 32,2 21,0 LIPI-UNESCO/ISDR, 29,6



Sebagaimana halnya yang terjadi pada responden guru, pengetahuan siswa tentang “apakah gempa bumi dapat waktunya” Sekitar siswa menjawab Gempa terjadi berulang-ulang 52,7 diperkirakan 60,5 44,7 57,7masih kurang. 52,6 49,4 45 persen 54,6 Gempa membuat pusing/limbung dengan benar (tidak dapat 2531,7 persen menjawab ya dan sisanya 33,5 39,5 diketahui), 10,5 30,9 43,2(bisa diprediksi) 33,5 Gempa menyebabkan goyangan tidak tahu. Kondisi ini agak bertentangan dengan kenyataan bahwa masyarakat Kota menjawab



Ciri-ciri gempa kuat 1 2 3



4



yang kencang/keras sehingga tidak bisa berdiri Bangunan retak/roboh



84,0



79,6



81,6



79,7



81,6



91,4



82,4



87,3



95,9



89,5



85,9



92,1



98,8



90,2



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Gempa kuat diikuti oleh gempa susulan yang lebih kecil 1 Ya



81,8



89,8



63,2



76,2



87,5



92,6



82,8



2



Tidak



10,2



3,4



7,9



13,2



3,3



1,2



7,8



3



Tidak Tahu



8,0



6,8



28,9



10,6



9,2



6,2



9,3



276



146



38



230



152



77



460



N



295



Bengkulu sudah sering mengalami gempa. Pendapat responden siswa tentang hal ini tidak menunjukkan pola yang jelas jika dibedakan menurut zona dan tingkat pendidikan siswa. Adapun pengetahuan siswa tentang ciri-ciri gempa kuat bervariasi. Sama halnya dengan yang terjadi pada responden guru, pengalaman dari gempa kuat pada tahun 2000 menempatkan bangunan retak roboh (90 persen) dan gempa menyebabkan goyangan yang kencang (82 persen) sebagai ciri-ciri gempa yang paling banyak diketahui oleh siswa. Apabila membedakan tingkat pendidikan terlihat adanya pola hubungan yang positif antara kedua jawaban dengan tingkat pendidikan. Persentase siswa yang memilih kedua ciri-ciri gempa kuat ini semakin meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan siswa. Ciri gempa kuat lain yaitu gempa yang terjadi berulang-ulang dipilih oleh 55 persen siswa. Sementara itu, ciri-ciri yang paling sedikit dipilih oleh siswa adalah gempa yang menyebabkan pusing/limbung hanya dipilih oleh 34 persen siswa. Kondisi ini terjadi karena sebagian siswa berpendapat gempa gempa yang menyebabkan pusing atau limbung tidak selalu menjadi ciri-ciri dari gempa kuat. Dampak dari gempa terhadap seseorang sangat tergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut. Gempa kuat biasanya selalu dikuti oleh gempa susulan yang lebih kecil, hal ini tampaknya juga telah dipahami oleh sebagian besar responden siswa. Lebih dari 80 persen siswa menjawab dengan benar. Pengetahuan ini juga diperoleh dari pengalaman pribadi siswa pada saat menghadapi gempa besar pada tahun 2000. Setelah terjadi gempa besar, dalam selang beberapa hari terjadi gempa susulan yang berkekuatan kecil kurang lebih sebanyak 2000 kali. Pendapat siswa tentang hal ini semakin meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Jika dirinci menurut zona terlihat bahwa persentase responden di zona rawan dan hati-hati jauh lebih tinggi dibandingkan zona aman. Hal ini kemungkinan disebabkan siswa di zona raman dan hati-hati lebih berpengalaman terhadap gempa dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di zona yang aman. Pengetahuan siswa tentang hal-hal yang harus dilakukan pada saat gempa termasuk tinggi yaitu berkisar antara 78-90 persen kecuali untuk pernyataan berlindung dibawah meja yang kokoh sambil berpegangan pada kaki meja (Tabel 4.2.4.5). Tindakan yang mendapat peringkat tertinggi adalah berlari menuju ruang/lapangan terbuka sambil melindungi kepala. Kondisi ini juga ditemui dari hasil wawancara dengan salah seorang guru SD. Menurut informan biasanya pada saat terjadi gempa siswa secara otomatis akan berlari keluar ruangan sambil melindungi kepala. Tindakan yang mendapat peringkat terendah adalah berlindung di bawah meja sambil berpegangan pada kaki meja yaitu kurang dari 50 persen. Kondisi ini terjadi karena sebagian siswa beranggapan bahwa meja di sekolah yang mereka miliki saat ini kurang kokoh sehingga tidak aman untuk dijadikan sebagai tempat berlindung apabila terjadi gempa. Jika dibedakan menurut tingkat pendidikan terlihat bahwa sikap siswa SMP dan SMA terhadap hal-hal yang seharusnya dilakukan pada saat gempa lebih baik dibandingkan siswa SD. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan menentukan respon siswa terhadap apa yang harus dilakukan pada saat gempa. Namun jika dibedakan menurut zona tidak menunjukkan perbedaan yang berarti.



296



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Tabel 4.2.4.5. Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi Gempa (Persentase yang Menjawab Ya) Zona Uraian



1



2 3 4 5



Berlindung di bawah meja yang kokoh sambil berpegangan pada kaki meja Menjauh dari rak-rak buku/barang dan benda-benda yang tergantung Menjauh dari jendela kaca Jangan berdesak-desakan pada saat keluar ruangan/gedung Berlari menuju ruang/lapangan terbuka sambil melindungi kepala N



Tingkat Pendidikan SMP/ Sederajat



SMA/ Sederajat



Total



Rawan



Hati-hati



Aman



SD/ Sederajat



44,0



35,4



44,7



28,2



61,2



40,7



41,3



84,0



88,4



81,6



74,4



94,7



97,5



85,2



81,1



83,7



73,7



70,5



91,4



92,6



81,3



77,5



79,6



78,9



74,4



82,9



80,2



78,3



88,0



93,9



89,5



82,4



98,0



96,3



90,0



276



146



38



230



152



77



460



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Selanjutnya pengetahuan siswa tentang sejarah tsunami. Dari empat kejadian tsunami yang ditanyakan pada siswa yaitu Simelue 1907, Flores 1992, Aceh dan Nias tanggal 26 Desember 2004 dan Krakatau 1883, hanya kejadian tsunami di Aceh dan Nias yang banyak diketahui oleh siswa (lebih dari 80 persen). Kejadian-kejadian tsunami lainnya hanya diketahui oleh sepertiga responden siswa. Hal ini bisa dimaklumi karena kejadian tsunami di Aceh dan Nias baru saja terjadi dan menelan korban yang sangat besar dan diekspose oleh semua media baik cetak maupun elektronik bertaraf nasional maupun internasional. Sementara itu informasi tentang kejadian-kejadian tsunami lainnya masih sangat kurang. Pengetahuan siswa tentang sejarah tsunami ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti jika dibedakan menurut zona dan tingkat pendidikan. Mayoritas (64 persen) siswa mengetahui bahwa tidak semua gempa dapat menimbulkan tsunami. Sekitar seperlima siswa mempunyai persepsi yang salah dengan mengatakan bahwa setiap gempa dapat menimbulkan tsunami dan sisanya menjawab tidak tahu. Tingkat pemahaman terhadap hal ini tampaknya juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan siswa. Proporsi siswa yang menjawab dengan benar semakin membaik dengan semakin bertambahnya tingkat pendidikan. Namun apabila dibedakan menurut zona tidak memperlihatkan pola yang jelas. Dari empat pilihan penyebab terjadinya tsunami hanya dua yang pernyataaan yang benar. Kedua kejadian alam tersebut adalah gempa bumi di bawah laut dan gunung meletus di bawah laut. Dari tabel 4.2.4.6. diketahui bahwa mayoritas siswa menjawab “ya” untuk kedua hal tersebut. Apabila dirinci menurut tingkat pendidikan, terlihat adanya peningkatan pemahaman siswa mengenai penyebab tsunami pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Namun jika dibedakan menurut zona sekolah, proporsi siswa di zona rawan ternyata lebih rendah dibandingkan zona hati-hati dan aman. Kondisi ini sebenarnya kurang menguntungkan mengingat siswa yang bersekolah di zona rawan mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami tsunami. Sementara itu kurang



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



297



297



dari sepertiga siswa mempunyai pengertian yang salah dengan menjawab ya untuk longsoran di bawah laut dan badai/puting beliung disebabkan kurangnya pemahaman siswa tentang keterkaitan antara kedua kejadian tersebut dengan gempa bumi. Tabel 4.2.4.6. Pengetahuan Siswa tentang Tsunami (Persentase Siswa yang Menjawab Ya) Zona Uraian



Tingkatan sekolah Total



Rawan



Hatihati



Aman



SD/ sederajat



SMP/ Sederajat



SMA/ Sederajat



Simeleu 1907



13,5



8,8



18,4



15,9



9,2



8,6



12,4



2



Flores 1992



20,7



15,0



34,2



22,9



17,8



16,0



20,0



3



Aceh dan Nias 26 Desember 2004



93,8



89,1



97,4



93,8



92,1



90,1



92,6



4



Krakatau 1883



34,2



27,2



36,8



30,4



33,6



34,6



32,2



Pernah mendengar/melihat/membaca mengalami bencana tsunami di 1



Setiap gempa bumi dapat menimbulkan tsunami 1



Ya



20,7



20,4



10,5



33,0



7,2



6,2



19,8



2



Tidak



64,7



57,1



78,9



53,7



69,1



80,2



63,5



3



Tidak Tahu



14,5



22,4



10,5



13,2



23,7



13,6



16,7



Penyebab terjadinya tsunami 1



Gempa bumi bawah laut



85,1



92,5



86,8



81,9



92,8



93,8



87,6



2



Gunung meletus di bawah laut



49,1



68,7



57,9



44,9



66,4



67,9



56,1



3



Longsoran di bawah laut



26,9



43,5



28,9



25,6



38,8



39,5



32,4



4



Badai/puting beliung



20,0



24,5



31,6



30,4



16,4



11,1



22,4



Tanda-tanda/gejala tsunami yang diketahui 1 Gempa menimbulkan goyangan yang kencang/keras sehingga tidak bisa berdiri 2 Air laut tiba-tiba surut



55,3



51,7



52,6



57,7



50,0



50,6



53,9



86,2



79,6



94,7



74,9



93,4



96,3



84,8



3



Gelombang besar di cakrawala



56,0



58,9



57,9



54,2



55,9



67,5



57,1



N



276



146



38



230



152



77



460



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Jika gempa tidak dapat diprediksi waktunya maka tsunami mempunyai beberapa tanda-tanda yang dapat diamati sebelum terjadi. Tanda-tanda tersebut antara lain air laut tiba-tiba surut, gempa kuat dengan goyangan yang kencang sehingga susah berdiri, dan gelombang besar di cakrawala. Secara umum, mayoritas siswa mengetahui dengan benar ciri-ciri tsunami diindikasikan oleh tingginya persentase siswa yang menjawab “ya” (lebih dari 50 persen). Tanda-tanda tsunami yang paling banyak diketahui oleh siswa adalah air laut yang tiba-tiba surut (lebih dari 80 persen). Kondisi ini dilatarbelakangi oleh adanya informasi tentang kejadian tsunami di Aceh tahun 2004. Pengetahuan siswa terhadap ciri-ciri ini mempengaruhi jawaban siswa pada pertanyaan “tindakan



298



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



apa yang harus dilakukan apabila terjadi air laut tiba-tiba surut” (Tabel 4.2.4.7). Mayoritas siswa menjawab dengan benar yaitu berlari menjauhi pantai. Pendapat siswa untuk menjauhi pantai merata di semua zona dan tingkat pendidikan. Siswa yang memilih gelombang besar di cakrawala dan gempa besar yang menimbulkan goyangan kencang sehingga susah berdiri jauh lebih rendah dibandingkan dengan air laut tiba-tiba surut. Pendapat ini juga dilatarbelakangi oleh kejadian gempa besar tahun 2000. Meskipun pada saat itu terjadi gempa besar sehingga sulit untuk berdiri namun tidak menyebabkan terjadinya tsunami. Tabel 4.2.4.7. Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Dilakukan Seandainya Air Laut Tiba-tiba Surut (Persentase Siswa yang Menjawab Ya) Zona Uraian



Tingkatan sekolah



Hati-hati



Aman



SD/ sederajat



SMP/ Sederajat



SMA/ Sederajat



Total



Rawan 1



Berlari menjauhi pantai



92,7



87,8



97,4



88,1



95,4



93,8



91,5



2



Bermain di pantai Mengambil ikan yang terdampar Tidak tahu



2,5



5,4



0,0



4,0



3,3



1,2



3,3



0,0



2,7



0,0



1,3



0,0



1,2



0,9



4,7



4,1



2,6



6,6



1,3



3,7



4,3



N



276



146



38



230



152



77



460



3 4



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Peran sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang gempa dan tsunami pada siswa cukup besar. Hal ini diindikasikan oleh tingginya persentase siswa yang mengaku pernah mendapatkan pengetahuan tentang gempa dan tsunami di sekolah (72 persen). Apabila dibedakan menurut tingkat pendidikan terlihat adanya variasi yang cukup besar. Siswa yang pernah mendapatkan pelajaran tentang gempa dan tsunami terbesar di tingkat SMA dengan persentase 90 persen sedangkan yang terendah adalah siswa SMP. Menurut pengakuan salah seorang guru SMA, pelajaran tentang gempa dan tsunami diberikan dalam mata pelajaran geografi dan fisika. Apabila dibedakan menurut zona terlihat bahwa persentase siswa yang pernah mendapat pelajaran tentang gempa dan tsunami merata di semua zona. Pengetahuan tentang gempa dan tsunami tidak hanya dapat diperoleh di sekolah tetapi juga dapat diperoleh dari pembicaraan dengan orang lain seperti teman dan keluarga. Untuk menjaring siswa yang tidak mendapatkan pengetahuan tentang gempa dan tsunami di sekolah, diberikan pertanyaan “apakah pernah membicarakan gempa dan tsunami dengan teman atau keluarga”. Dari hasil survei diketahui bahwa persentase siswa yang membicarakan gempa dan tsunami dengan teman atau keluarga termasuk tinggi (lebih dari 80 persen). Artinya, meskipun siswasiswa tersebut tidak mendapat pelajaran tentang gempa dan tsunami di sekolah tetapi perhatian siswa terhadap bencana ini cukup tinggi. Jika tidak mendapatkan pelajaran di sekolah, mereka berusaha untuk mengetahuinya dari orang lain. Apabila dibedakan menurut tingkat pendidikan terlihat adanya peningkatan proporsi siswa yang menjawab “ya” pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Terutama pada siswa SMA/sederajat (100 persen). Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, keinginan siswa untuk memperoleh informasi tentang bencana semakin meningkat. LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



299



299



Tabel 4.2.4.8. Peran Sekolah dan Keinginan Siswa Memberikan Pengetahuan tentang Gempa dan Tsunami Zona Uraian



Tingkatan sekolah



Rawan



Hati-hati



Aman



SD/ sederajat



SMP/ Sederajat



SMA/ Sederajat



Total



Pernah mendapat pelajaran gempa bumi dan tsunami di sekolah 1



Ya



72,4



71,4



71,1



77,1



54,4



90,1



72,0



2



Tidak



27,6



28,6



28,9



22,9



45,6



9,9



28,0



276



146



38



230



152



77



460



N Pernah membicarakan gempa bumi dan tsunami dengan teman atau keluarga 1



Ya



82,2



77,1



94,1



74,7



87,2



100,0



81,9



2



Tidak



17,8



22,9



5,9



25,3



12,8



0,0



18,1



101



48



17



79



78



9



166



N



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Seperti sudah dijelaskan sebelumnya tidak semua siswa memperoleh pelajaran tentang bencana di sekolah. Meskipun demikian, informasi tentang bencana juga dapat diperoleh dari sumbersumber lain. Berdasarkan tabel 4.2.4.9. diketahui bahwa informasi tentang bencana paling banyak diperoleh siswa melalui media cetak seperti koran dan majalah dengan persentase lebih dari 90 persen. Sekitar 80 persen memperoleh informasi dari keluarga/saudara/teman, sekolah 70 persen dan hanya sekitar 37 persen yang memperoleh pengetahuan tentang bencana dari buku-buku, komik, poester, leaflet, papan pengumuman maupun selebaran. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa media cetak dapat menjadi sumber informasi yang paling efektif dalam penyebar luasan informasi tentang bencana. Keluarga/saudara dan teman serta sekolah juga bisa menjadi sumber informasi yang cukup baik. Sementara itu keberadaan buku, komik, poster, papan pengumuman dan selebaran masih perlu ditingkatkan. Tabel 4.2.4.9. Sumber-Sumber Informasi tentang Bencana (Persentase yang Menjawab Ya) Zona Uraian



Rawan



Hati-hati



Aman



Tingkat Pendidikan SD/ SMP/ SMA/ sederajat Sederajat Sederajat 63,9 71,1 90,1 90,3 96,7 100,0



Total



1 2 3



Sekolah Media cetak Buku, komik, poster, leaflet, papan pengumuman, selebaran



70,5 94,2



75,5 92,5



55,3 100,0



37,5



40,1



26,3



32,6



42,1



42,0



37,4



4



Keluarga/saudara/teman



84,4



81,6



76,3



71,8



90,8



98,8



82,8



276



146



38



230



152



77



460



N



70,9 94,1



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI- UNESCO/ISDR, 2006



300



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Untuk meningkatkan kewaspadaan siswa terhadap bencana dapat dilakukan dengan beberapa hal seperti menambah pengetahuan tentang gempa dan tsunami, menyimpan buku-buku dan peralatan sekolah di tempat yang aman dan mudah dijangkau, mengikuti simulasi tentang gempa dan tsunami di sekolah, dan mendengarkan informasi tentang gempa dan tsunami dari radio, TV dan media lain. Jawaban siswa terhadap pertanyaan-pertanyaan ini bervariasi. Dari keempat tindakan, mendengarkan informasi tentang gempa dan tsunami mendapat peringkat pertama (lebih dari 90 persen). Menambah pengetahuan tentang gempa dan tsunami serta mengikuti simulasi menduduki peringkat kedua dan ketiga dengan persentase sebesar 78 persen. Namun hanya 36 persen siswa yang menganggap menyimpan buku-buku dan peralatan sekolah di tempat yang aman dan mudah dijangkau perlu dilakukan. Tabel 4.2.4.10. Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan untuk Meningkatkan Kewaspadaan terhadap Bencana (Persentase yang Menjawab ya) Zona Uraian 1 2



3 4



Menambah pengetahuan tentang gempa dan tsunami Menyimpan buku-buku dan peralatan sekolah di tempat yang aman dan mudah dijangkau Mengikuti simulasi tentang gempa dan tsunami di sekolah Mendengarkan informasi tentang gempa dan tsunami dari radio, TV dan media lain N



Rawan



Hati-hati



Tingkat Pendidikan Aman



SD/ sederajat



SMP/ Sederajat



SMA/ Sederajat



Total



79,3



77,4



71,1



67,7



82,2



98,8



78,0



35,6



40,8



21,1



26,4



42,8



50,6



36,1



80,7



78,2



55,3



65,6



90,1



88,9



77,8



97,1 276



94,6 146



89,5 38



93,0 230



98,7 152



97,5 77



95,7 460



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Apabila dibedakan menurut zona terlihat adanya kenaikan proporsi siswa pada zona yang lebih rawan kecuali untuk tindakan menyimpan buku-buku dan peralatan sekolah di tempat yang aman dan mudah dijangkau. Artinya, kewaspadaan siswa di zona yang rawan terhadap bencana gempa dan tsunami lebih tinggi dibandingkan siswa di zona yang lebih aman. Dengan kondisi ini diharapkan para siswa di zona rawan lebih siap dibandingkan dengan siswa di zona lainnya. Data juga menunjukkan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan jawaban siswa mengenai tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat terjadi bencana. Tingkat pendidikan yang tinggi memberikan pemahaman yang lebih baik pada siswa mengenai hal tersebut.



4.2.4.2. Kebijakan dan Pedoman Kebijakan dan pedoman menjadi salah satu parameter untuk mengukur kesiapsiagaan komunitas sekolah. Pada komunitas sekolah, parameter ini hanya dipunyai oleh sekolah. Ada dua indikator yang digunakan untuk mengukur paramater kebijakan dan pedoman yaitu adanya kebijakan



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



301



301



pendidikan tentang kesiapsiagaan bencana untuk Kota Bengkulu baik berupa kebijakan Peraturan Departemen Pendidikan Nasional, Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan pendidikan kota/ kabuapten maupun kebijakan yang dibuat oleh sekolah terkait dengan kesiapsiagan bencana. Berdasarkan hasil wawancara dengan instansi pemerintah yang terkait dengan pendidikan dan diskusi kelompok terfokus diketahui bahwa sampai saat ini, Kota Bengkulu belum mempunyai kebijakan maupun program pendidikan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana. Meskipun dianggap penting, kebijakan ini belum menjadi prioritas. Pemerintah sampai saat ini masih menitikberatkan pada pembangunan fisik. Keterbatasan dana untuk program pendidikan masih menjadi salah satu kendala dalam pembuatan kebijakan tersebut. Namun diharapkan di masa mendatang kebijakan pendidikan kesiapsiagaan terhadap bencana sudah ada terkait dengan kerawanan Kota Bengkulu terhadap bencana. Ketidakadaan kebijakan pendidikan kesiapsiagaan bencana dapat diantisipasi oleh sekolah dengan membuat kebijakan sendiri. Namun hasil survei di tingkat sekolah menunjukkan bahwa ternyata dari 13 sekolah yang terkena sampel di Kota Bengkulu ada 2 sekolah yang melaporkan telah membuat kebijakan sendiri yang terkait dengan kesiapsigaan bencana. Dua sekolah tersebut adalah satu SMP yang terletak di zone dekat/ rawan dan satu SMA di zone jauh/aman. Dari hasil wawancara dengan salah satu sekolah diketahui ada sekolah yang membuat kebijakan untuk kesiapsiagaan bencana. Kebijakan kesiapsiagaan yang dibuat oleh sekolah tersebut adalah kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana banjir, karena sekolah ini berada di daerah yang rawan banjir. Kebijakan tersebut diimplementasikan dalam bentuk membuat kolam-kolam di sekeliling sekolah sebagai penampung air dan kemudian mengalirkannya pada gorong-gorong air yang mengarah ke luar sekolah. Hal ini dimaksudkan agar air tidak tergenang di lokasi sekolah. Dalam melakukan implementasi kebijakan ini, sekolah sangat dibantu oleh komite sekolah dalam bentuk sokongan dana.



4.2.4.3. Rencana Penyelamatan untuk Kondisi Darurat Bencana Sekolah Perencanaan penyelamatan di tingkat sekolah diukur dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan sekolah terkait dengan pertolongan pertama, rencana evakuasi dan penyelamatan terhadap dokumen-dokumen penting. Kesiapan sekolah untuk perencanaan pertolongan pertama sangat penting untuk mengurangi resiko pada saat terjadi bencana. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pertolongan pertama tersebut meliputi penyediaan kotak P3K dan obat-obatan penting, menyediakan posko kesehatan sekolah, mengaktifkan dokter kecil atau PMR dan mengadakan latihan pertolongan pertama. Dari hasil survei menunjukkan bahwa ternyata di semua sekolah yang terkena sampel telah menyediakan kotak P3K dan obat-obatan penting. Sebagian besar atau sekitar 60 persen sekolah juga telah mengadakan pelatihan untuk pertolongan pertama. Pelatihan pertolongan pertama ini 302



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



dilakukan terhadap siswa pada kegiatan kepramukaan, PMR atau dokter kecil yang merupakan kegiatan ekstrakokurikuler (ekskul) di sekolah. Karena merupakan bagian dari kegiatan ekskul maka siswa yang mengikuti pelatihan terbatas yaitu hanya diikuti oleh siswa yang berminat. Meskipun demikian, keberadaan posko kesehatan sekolah dan dokter kecil atau PMR juga masih terbatas. Jumlah sekolah yang telah mempunyai posko kesehatan, dokter kecil ataupun PMR masih kurang dari 50 persen. Ketersediaan kotak P3K dan obat-obatan penting tidak dibarengi dengan keterampilan untuk melakukan pertolongan pertama di sekolah terutama apabila dalam kondisi darurat bencana. Pada saat terjadi bencana terutama bencana gempa dan tsunami, sekolah diharapkan telah mempunyai rencana evakuasi seperti menyepakati tempat-tempat evakuasi/pengungsian, membuat peta dan jalur evakuasi sekolah, menyiapkan peralatan dan perlengkapan evakuasi serta melakukan latihan/simulasi evakuasi. Namun hasil survei menunjukkan bahwa masih sangat jarang sekolah yang telah melakukan rencana evakuasi, hanya ada 2 sekolah dari 13 sekolah. Hal ini juga terungkap dalam diskusi kelompok terfokus komunitas sekolah. Pada umumnya belum menyepakati tempat-tempat pengungsian atau evakuasi, tetapi sebagian besar sudah mengetahui tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat untuk menyelamatkan diri. Sebagai contoh siswasiswa dan guru-guru di SMA I Lempuing secara otomatis akan menyelamatkan diri ke Kantor Pemda yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari sekolah tersebut tanpa adanya kesepakatan di sekolah. Kantor ini dianggap sebagai tempat yang aman dan paling dekat karena terletak di tempat yang agak tinggi dengan gedung yang bertingkat. Namun dikatakan bahwa lokasi tersebut hanya aman untuk sementara. Kemudian tentang penyiapan back-up atau copy dokumen-dokumen penting sekolah untuk mengantipasi seandainya ada gempa dan tsunami, ternyata hanya satu dari 13 sekolah yang telah melakukannya. Sehingga bisa dikatakan masih sangat kecil sekolah yang peduli akan perlunya mengamankan dokumen-dokumen penting sekolah dari ancaman bencana. Pengalaman dari salah satu sekolah yang mengalami kerusakan parah pada saat gempa, banyak dokumen-dokumen yang rusak atau hilang. Namun saat ini, sekolah tersebut masih belum melakukan tindakan untuk memback-up dokumen-dokumen dan menyimpannya di tempat aman. Dokumen yang ada hanya disimpan di lemari kayu. Penyimpanan dokumen-dokumen juga dapat dilakukan dalam bentuk elektronik-file (e-file) seperti cd/disket yang lebih ringan, simpel dan tidak memakan tempat. Namun dari hasil wawancara dengan beberapa sekolah tidak ditemukan satu sekolah pun yang menyimpan dokumen penting dalam bentuk e-file tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan keterbatas dana dan ketersediaan komputer di sekolah. Terkait dengan keberadaan peta/jalur evakuasi di sekolah, hanya ada 1 dari 13 sekolah yang disurvei yang mengaku telah membuat peta/jalur evakuasi di sekolah. Kondisi ini juga didukung oleh hasil wawancara dan diskusi kelompok terfokus dengan komunitas sekolah. Dari kedua metode ini tidak ditemukan sekolah yang memiliki peta dan jalur evakuasi tersebut. Meskipun demikian pada umumnya sekolah atau komunitas sekolah sudah guru/siswa sudah mengetahui lokasi-lokasi tertentu yang dianggap aman sebagai tempat untuk melarikan diri. Pembuatan peta LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



303



303



dan jalur-jalur evakuasi perlu dilakukan agar tempat tujuan evakuasi dapat dijangkau dalam waktu singkat dan aman. Sementara itu untuk kesiapan evakuasi yang lain, ternyata hampir tidak ada sekolah yang telah memiliki perlengkapan/peralatan untuk evakuasi. Hal ini menurut informan sangat terkait dengan kemampuan dana yang dimiliki sekolah masih sangat terbatas. Peralatan evakuasi seperti tandu dan tenda yang dimiliki oleh sebagian sekolah saat ini, berasal dari bantuan berbagai pihak pada sekolah-sekolah yang terkena bencana gempa bumi tahun 2000 lalu. Hanya dua dari tiga belas sekolah yang mengisi pernah melakukan kegiatan simulasi-evakuasi. Kedua sekolah tersebut terletak di zona rawan. Penyelengaraan kegiatan ini sangat terkait dengan kebijakan sekolah untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana di sekolah. Masih sangat jarang sekolah yang mempunyai kebijakan untuk mengadakan pelatihan simulasi di sekolah terkait dengan kurangnya pengetahuan sekolah akan pentingnya kegiatan simulasi untuk antisipasi bencana. Kemungkinan lain adalah adanya anggapan bahwa kegiatan simulasi kurang penting seperti yang terungkap dalam diskusi kelompok terfokus untuk komunitas sekolah. Pendapat ini muncul dengan anggapan bahwa masyarakat Kota Bengkulu sudah terbiasa dengan gempa. Apabila terjadi gempa besar dan dicurigai akan terjadi tsunami masyarakat secara spontan akan lari ke tempat tinggi. Meskipun demikan dari wawancara dengan sekolah ditemukan satu sekolah yang pernah melakukan kegiatan simulasi. Kegiatan ini diadakan setelah salah seorang guru mendapat pelatihan tentang gempa. Meskipun baru dilakukan satu kali hal ini menunjukkan bahwa pelatihan kesiapsiagaan bencana telah menumbuhkan kesadaran dan memberi pengetahuan akan pentingnya kegiatan simulasi dalam meningkatkan kesiapsiagaan komunitas sekolah. Tabel 4.2.4.11. Rencana Tanggap Darurat di Sekolah Sampel Kota Bengkulu URAIAN



Sekolah yang ada kegiatan berkaitan pertolongan pertama : a. Menyiapkan kotak P3K & obat-obatan penting b. Menyiapkan posko kesehatan sekolah c. Mengaktifkan dokter kecil/ PMR d. Latihan pertongan pertama Sekolah yang menyiapkan back-up/ copy dokumen- dokumen penting : 1. Ya 2. Tidak Total Sekolah yg telah menyiapkan rencana evakuasi : a. Sepakati tempat evakuasi/ pengungsian b. Membuat peta dan jalur evakuasi sekolah c. Menyiapkan peralatan dan perlengkapan sek. d. Melakukan latihan/ simulasi evakuasi



FREKUENSI Absulut



Persentase



13 6 5 8



100,0 46,2 38,5 61,5



1 12 13



7,7 92,3 100,0



2 1 2 2



15,4 7,7 15,4 15,4



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



304



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kelompok Guru Parameter rencana penyelamatan untuk antisipasi bencana kelompok guru diterjemahkan dalam dua indikator yaitu persiapan yang telah dilakukan guru dalam mengantisipasi bencana serta tindakan yang akan dilakukan pada saat terjadi bencana. Secara umum rencana penyelamatan untuk antisipasi bencana yang telah dilakukan oleh guru masih perlu ditingkatkan. Persentase guru yang telah melakukan tindakan rencana penyelamatan baru berkisar antara 31-59 persen. Rendahnya partisipasi guru menunjukkan masih kurangnya pemahaman guru terhadap perlunya melakukan beberapa tindakan terkait dengan rencana penyelamatan untuk mengantisipasi bencana. Selain itu, tindakan-tindakan tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan sekolah. Seperti sudah dijelaskan dalam rencana penyelamatan sekolah, masih sangat jarang ditemukan sekolah yang mempunyai kebijakan untuk melakukan tindakan-tindakan rencana penyelamatan terkait dengan masalah dana dan kurangnya pengetahuan. Apabila ditelusuri lebih lanjut, persiapan yang paling banyak dilakukan guru adalah melatih siswa menyelamatkan diri (59 persen). Pelatihan tersebut dapat dilakukan pada saat memberikan mata pelajaran yang terkait dengan bencana. Meskipun demikian, hal ini sangat tergantung pada inisiatif guru yang bersangkutan. Kedua, menyiapkan copy dokumen-dokumen kelas/mata pelajaran yang diajarkan dan menyimpannya ditempat yang aman (56 persen). Ketiga adalah mengikat rak-rak buku ke dinding atau lantai (40 persen) sedangkan persiapan yang paling jarang dilakukan guru adalah meletakkan barang-barang dan buku-buku di tempat rendah/lantai (31 persen).



Meletakkan barang-barang dan buku-buku di tempat rendah/lantai



Memaku/mengikat rak-rak buku ke dinding atau lantai



Melatih sisw a untuk menyelamatkan diri



Menyiapkan/copy dokumen-dokumen kelas/mata pelajaran yang diajarkan dan menyimpannya di tempat aman



31



305 40



59



56



Diagram 4.2.4.6. Persentase Responden Guru yang Telah Melakukan Persiapan dalam Rangka Rencana Penyelamatan untuk Kondisi Darurat Bencana, 2006



Lokasi sekolah tampaknya mempengaruhi tingkat persiapan yang telah dilakukan guru. Data menunjukkan adanya kecenderungan semakin rawan zona sekolah tempat seorang guru mengajar semakin baik persiapan yang telah dilakukan kecuali untuk tindakan menyiapkan copy dokumen-



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



305



dokumen (Lampiran tabel 4.2.4.3.). Namun jika dibedakan berdasarkan tingkatan sekolah yang diajar terlihat adanya penurunan persentase guru untuk melakukan persiapan penyelamatan dengan semakin tingginya tingkatan sekolah yang diajar kecuali untuk tindakan melatih siswa untuk menyelamatkan diri. Kondisi ini agak bertentangan dengan anggapan umum bahwa seharusnya guru yang mengajar pada tingkat sekolah yang lebih tinggi mempunyai persiapan yang lebih baik dibandingkan guru pada tingkat sekolah yang lebih rendah. Seperti disebutkan sebelumnya hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan guru akan pentingnya melakukan persiapan-persiapan untuk mengantisipasi bencana atau tidak adanya kebijakan sekolah untuk mendukung persiapan-persiapan tersebut akibat keterbatasan dana. Berbeda dengan tingkat persiapan guru yang kurang baik untuk mengantisipasi bencana, respon guru terhadap hal-hal yang harus dilakukan apabila terjadi gempa dan tsunami sangat baik. Kondisi ini terlihat dari tingginya persentase guru yang menjawab “ya” terhadap semua tindakan yang harus dilakukan pada saat terjadi gempa bumi ketika sedang mengajar di sekolah (lebih dari 75 persen). Pendapat guru tentang hal ini merata di semua zona dan tingkatan sekolah yang diajar. Pengetahuan guru tentang hal tersebut diantaranya diperoleh dari pengalaman gempa yang sering dialami penduduk di Kota Bengkulu. Tabel 4.2.4.12. Pendapat Responden Guru mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan Seandainya Terjadi Gempa Bumi (Persentase yang menjawab Ya) Zona



Tingkatan sekolah yang diajar



Uraian



Total Rawan



Hatihati



Aman



SD



SMP



SMA



1



Menangkan diri dan siswa



93,3



100,0



100,0



96,0



97,0



94,1



96,0



2



Memberi aba-aba agar siswa berlindung dibawah meja yang kokoh sampai getaran gempa berhenti



75,0



75,0



87,5



76,0



78,8



70,6



76,0



3



Memandu siswa untuk menjauh dari rak-rak buku/barang dan benda-benda yang tergantung atau jendela kaca



90,0



100,0



100,0



96,0



90,9



94,1



94,0



4



Memandu siswa untuk merunduk ke arah pintu sambil melindungi kepala



85,0



90,6



87,5



86,0



90,9



82,4



87,0



5



Memandu siswa keluar ruangan/gedung secara teratur dan tidak berdesak-desakan



96,7



96,9



87,5



94,0



100,0



94,1



96,0



6



Jika berada di lantai dua atau lebih, memandu siswa untuk menggunakan tangga dan tidak menggunakan elevator/lif



78,3



87,5



75,0



80,0



78,8



88,2



81,0



7



Lari menyelamatkan diri



85,0



81,3



75,0



90,0



69,7



88,2



83,0



60



32



8



50



33



17



100



N



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



306



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Memberi aba-aba agar siswa berlindung di bawah meja yang kokoh sampai getaran gempa berhenti menjadi tindakan yang paling sedikit dipilih oleh guru dibandingkan tindakan lainnya. Salah satu alasan yang muncul adalah tidak semua meja yang terdapat di sekolah dalam kondisi yang kokoh, bahkan di beberapa sekolah terdapat meja dalam kondisi yang kurang baik. Apabila tindakan tersebut dilakukan, justru akan membahayakan. Sementara itu, sebagian besar guru (83 persen) memilih lari menyelamatkan diri apabila terjadi gempa, padahal tindakan ini seharusnya tidak dipilih. Alasan yang agak masuk akal untuk jawaban tersebut adalah bahwa pilihan guru tersebut kemungkinan dilatarbelakangi oleh respon sepontan dari seorang manusia yaitu berusaha lari menyelamatkan diri ketika terancam bahaya. Kelompok Siswa Rencana penyelamatan dalam kondisi darurat bencana diperlukan sebagai antisipasi untuk mengurangi resiko bencana terutama gempa dan tsunami. Untuk siswa, hal ini digambarkan oleh 4 (empat) indikator yaitu pendapat siswa tentang tindakan-tindakan penting apa saja yang harus dilakukan untuk agar selamat dari bencana gempa dan tsunami, pendapat siswa terhadap barangbarang yang perlu diselamatkan, keberadaan peta dan jalur evakuasi serta fasilitas untuk pertolongan pertama di sekolah, dan ketersediaan bahan atau materi tentang gempa dan tsunami di sekolah. Pendapat siswa tentang tindakan-tindakan penting yang harus dilakukan agar selamat dari bencana gempa dan tsunami bervariasi (Diagram 4.2.4.7). Tindakan yang mendapat persentase paling tinggi adalah mengetahui tempat yang aman yaitu mencapai 85 persen. Informasi tentang tempattempat aman dapat diperoleh siswa berbagai sumber seperti dari orang tua atau guru, teman disekolah dan media massa. Dari hasil diskusi kelompok terfokus dengan komunitas sekolah diketahui bahwa informasi tentang tempat-tempat aman tsunami telah dibuat oleh pemerintah Propinsi Bengkulu dan juga pernah dimuat di koran. Sekolah-sekolah yang berada di lokasi yang rawan terhadap tsunami sudah mengetahui lokasi-lokasi yang aman untuk menyelamatkan diri apabila terjadi gempa dan tsunami. Sebagai contoh siswa dan guru di SMA I Lempuing akan lari ke kantor gubernur yang terletak kurang lebih 200 meter yang dianggap tempat aman apabila terjadi bencana gempa dan tsunami. Gedung tersebut berada di lokasi yang cukup tinggi dan bertingkat sehingga dianggap cukup aman sebagai tempat untukmenyelamatkan diri meskipun hanya untuk sementara. Disamping itu, isu tsunami di Kota Bengkulu pada akhir tahun 2005 lalu juga memberi pengetahuan pada siswa pentingnya mengetahui tempat-tempat aman. Gambaran tentang tingginya persentase siswa yang menjawab pentingnya mengetahui tempat-tempat yang aman merata untuk semua zona dan tingkat pendidikan (Lampiran tabel 4.2.4.4).



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



307



307



Menyepakati tempat berkumpul anggota keluarga Mengetahui tempat-tempat penting seperti rumah sakit, pemadam kebakaran, polisi, PMI dan PLN Mencatat alamat-alamat atau nomor telpon penting keluarga dan kerabat



65



48



53



Mengetahui tempat yang aman



Mengikuti latihan menyelamatkan diri



85



59



Diagram 4.2.4.7. Persentase Responden Siswa yang Telah Melakukan Persiapan dalam Rangka Rencana Penyelamatan untuk Kondisi Darurat Bencana, 2006



Pada saat terjadi bencana anggota keluarga sering tercerai berai karena tidak berada di lokasi yang sama pada saat kejadian atau terpisah pada saat menyelamatkan diri masing-masing. Pengalaman ini terjadi pada masyarakat Aceh dalam peristiwa tsunami tahun 2004 lalu. Banyak anak-anak yang terpisah dari orang tua atau saudara, beberapa diantaranya baru bisa bertemu kembali setelah melakukan pencarian selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Oleh karena itu penting untuk menyepakati tempat berkumpul dengan anggota keluarga terutama bagi siswa apabila bencana terjadi pada saat berada di sekolah. Tindakan ini menjadi tindakan kedua yang dianggap perlu disiapkan oleh siswa (65 persen) namun dengan persentase yang jauh lebih rendah dibandingkan mengetahui tempat-tempat aman. Sekitar 2 persen siswa menganggap hal ini tidak perlu, dan sekitar 33 persen menjawab tidak tahu. Ketidaktahuan siswa merupakan cerminan dari ketidaktahuan keluarga. Untuk memperbaiki hal tersebut perlu diinformasikan pada siswa akan perlunya menyepakati tempat berkumpul keluarga pada saat terjadi bencana. Apabila dirinci menurut zona terlihat adanya peningkatan proporsi siswa yang menjawab ya pada zona yang lebih rawan. Artinya adanya kesadaran yang lebih tinggi pada siswa di zona yang rawan akan pentingya menyepakati tempat berkumpul keluarga dibanding siswa di zona yang lebih aman. Pendapat siswa tersebut merata jika dibedakan menurut tingkat pendidikan. Sekitar 60 persen responden siswa mengatakan perlu mengikuti latihan penyelamatan diri, 33 persen menganggap tidak dan 8 persen menjawab tidak tahu. Angka-angka ini menunjukkan bahwa mayoritas siswa menganggap latihan menyelamatkan diri penting dilakukan sebagai persiapan untuk mengantisipasi bencana. Gambaran ini berlaku merata di semua zona dan tingkat pendidikan. Kemungkinan sebagian siswa mengalami trauma akan kejadian gempa besar tahun 2000 serta kejadian tsunami di Aceh tahun 2004. Dengan adanya latihan untuk menyelamatkan



308



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



diri siswa diharapkan menjadi lebih siap untuk menghadapi bencana. Meskipun demikian, sekitar sepertiga siswa menganggap kegiatan tersebut tidak penting untuk dilakukan. Pendapat siswa tersebut kemungkinan disebabkan siswa tidak menyadari manfaat dari mengikuti latihan menyelamatkan diri. Pendapat yang sama juga muncul dalam diskusi kelompok terfokus untuk komunitas sekolah dengan alasan bahwa masyarakat Kota Bengkulu sudah terbiasa merasakan dengan gempa dan apabila terjadi gempa besar masyarakat secara spontan akan menyelamatkan diri ke tempat tinggi. Mengetahui tempat-tempat strategis seperti rumah sakit, pemadam kebakaran, polisi, PMI maupun PLN hanya dipilih oleh (48 persen). Apabila ditelusuri lebih dalam, hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman siswa akan pentingnya mengetahui tempat-tempat kritis hal ini tercermin dari tingginya persentase siswa yang menjawab tidak tahu (40 persen). Jika dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan terlihat bahwa tingkat pemahaman siswa akan perlunya mengetahui tempattempat fasilits kritis semakin baik dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Siswa pada tingkatan yang lebih tinggi menganggap penting mengetahui tempat-tempat kritis dibandingkan siswa pada tingkatan yang lebih rendah. Apabila dibedakan menurut zona, terlihat bahwa persentase siswa yang tidak tahu atau merasa tidak perlu mengetahui lokasi fasilitas penting paling tinggi di zona aman. Kemungkinan siswa menganggap lokasi sekolahnya sudah berada di zona aman sehingga tidak perlu mengetahui fasilitas-fasilitas penting tersebut. Menyelamatkan barang-barang yang dianggap penting merupakan bagian dari tindakan penyelamatan untuk kondisi darurat bencana. Dalam penelitian ini barang-barang yang dianggap perlu diselamatkan oleh siswa adalah raport/ijazah, Tas/kantong/kotak yang berisi buku dan keperluan sekolah, surat-surat dan barang-barang penting lainnya. Disamping itu juga diberikan satu pilihan yang seharusnya tidak menjadi barang yang urgent untuk diselamatkan yaitu barangbarang kesayangan. Jawaban siswa terhadap barang-barang yang perlu diselamatkan bervariasi. Barang yang dianggap paling penting diselamatkan oleh siswa adalah rapor/ijazah dan suratsurat penting lainnya (dipilih oleh 85 persen siswa). Dikhawatirkan banyak masalah yang akan muncul apabila kehilangan rapor/ijasah terutama terutama terkait dengan dokumentasi untuk pendidikan. Apabila memperhatikan tingkat pendidikan terlihat adanya hubungan yang positif antara jawaban dengan tingkat pendidikan siswa. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi persentase siswa yang menjawab ya untuk rapor/ijazah dan barang-barang penting lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa raport/ijasah dan surat-surat penting lainnya semakin berarti bagi siswa di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



309



309



Tabel 4.2.4.13. Pendapat Responden Siswa Mengenai Barang dan Perlengkapan yang Perlu Diselamatkan Jika Terjadi Gempa dan Tsunami (Persentase yang Menjawab Ya) Zona



Tingkat pendidikan



Uraian



1



Rapor/ijazah



2



Tas/kantong/kotak yang berisi buku dan keperluan sekolah



3



Surat-surat dan barang-barang penting lainnya



4



Barang-barang kesayangan N



SMP/ Sederajat



SMA/ Sederajat



Total



Rawan



Hati-hati



Aman



SD/ Sederajat



86,9



85,0



78,9



78,4



90,1



97,5



85,7



49,5



50,3



31,6



41,9



50,7



61,7



48,3



85,5



83,7



86,8



79,7



86,8



96,3



85,0



30,9



36,7



23,7



32,2



23,0



49,4



32,2



276



146



38



230



152



77



460



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Tas/kantong/kotak yang berisi buku dan keperluan sekolah hanya dipilih oleh 48 persen siswa. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi bencana menyelamatkan tas/kantong/kotak berisi keperluan sekolah secara umum dianggap lebih tidak penting dibandingkan menyelamatkan raport/ ijazah dan surat-surat penting lainnya. Terlihat adanya peningkatan proporsi siswa yang memilih menyelamatkan tas/kantong/kotak yang berisi buku dan keperluan sekolah dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Siswa yang berpendidikan lebih tinggi lebih menganggap barang ini perlu diselamatkan dibandingkan siswa yang berpendidikan lebih rendah. Namun apabila dibedakan menurut zona tidak memperlihatkan pola yang jelas. Lain halnya dengan barangbarang kesayangan karena tidak termasuk barang yang harus diselamatkan apabila terjadi bencana. Hal ini tampaknya sudah disadari oleh sebagian besar siswa, diindikasikan oleh rendahnya persentase siswa yang menjawab ya untuk barang-barang kesayangan (32 persen). Sebagian besar siswa menjawab tidak perlu (58 persen) dan hanya sedikit yang menjawab tidak tahu. Keberadaan peta dan jalur evakuasi/penyelamatan, peralatan dan perlengkapan evakuasi, perlengkapan pertolongan pertama seperti Kotak P3K dan obat-obatan penting, Posko kesehatan sekolah, dan Palang Merah Remaja di sekolah sangat penting untuk mendukung rencana penyelamatan siswa dalam kondisi darurat bencana. Jawaban siswa terhadap keberadaan halhal tersebut di sekolah bervariasi. Tabel 4.2.4.14 menunjukkan bahwa Kotak P3K dan obatobatan penting merupakan perlengkapan pertolongan pertama yang paling banyak diketahui oleh siswa dapat ditemukan disekolah (85 persen). Kedua dan ketiga, Posko kesehatan sekolah (67 persen) dan dan Palang Merah Remaja (66 persen) dengan persentase yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Kotak P3K dan obat-obatan penting lainnya. Hal ini disebabkan sebagian siswa mengaku tidak dapat menemukan kedua tempat yang disebutkan terakhir di sekolah. Kondisi ini juga diperkuat dari hasil wawancara dengan salah satu sekolah yang menunjukkan bahwa keterbatasan ruangan menyebabkan sekolah tidak dapat menyediakan ruangan khusus untuk posko kesehatan seperti UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Di satu sekolah ditemukan 310



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



ruangan UKS digabung dengan ruangan perpustakaan sehingga menyebabkan sebagian siswa tidak mengetahui adanya posko tersebut. Tabel 4.2.4.14. Pengetahuan Responden Siswa Mengenai Keberadaan Peralatan/perlengkapan yang Berkaitan dengan Rencana Penyelamatan di Sekolah (Persentase yang Menjawab Ya) Zona Uraian



Tingkat pendidikan



Rawan



Hati-hati



Aman



SD/ Sederajat



SMP/ Sederajat



SMA/ Sederajat



Total



1



Peta dan jalur evakuasi/penyelamatan



29,5



42,2



36,8



47,6



21,7



19,8



34,1



2



Peralatan dan perlengkapan evakuasi/penyelamatan



28,7



39,7



31,6



38,9



27,0



24,7



32,5



3



Kotak P3K dan obat-obatan penting



85,8



85,7



76,3



77,1



92,1



93,8



85,0



4



Posko kesehatan sekolah



65,5



73,5



60,5



70,5



63,2



67,9



67,6



5



Palang Merah Remaja



72,7



57,8



52,6



56,4



75,0



77,8



66,3



276



146



38



230



152



77



460



N



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Peta/jalur evakuasi (34 persen) dan peralatan/perlengkapan evakuasi (33 persen) adalah hal-hal yang paling sedikit dapat ditemukan siswa di sekolah. Rendahnya proporsi siswa yang mengetahui keberadaan kedua hal ini merata di semua zona dan tingkat pendidikan siswa. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa sangat sedikit sekolah yang telah membuat peta/jalur evakuasi atau pun memiliki peralatan/perlengkapan evakuasi.. Data survei di tingkat sekolah ternyata mendukung pendapat siswa, dari 13 sekolah yang menjadi sampel hanya satu sekolah yang mengaku telah mempunyai peta/jalur evakuasi dan hanya 2 dari 13 sekolah yang telah menyiapkan peralatan/perlengkapan evakuasi. Hasil diskusi kelompok terfokus untuk komunitas sekolah juga menunjukkan hal yang sama. Tidak ada satu sekolah pun yang menjadi peserta diskusi sudah mempunyai peta/jalur evakuasi dan sangat sedikit sekolah yang mempunyai peralatan/perlengkapan evakuasi. Peralatan/perlengkapan evakuasi tidak disiapkan secara khusus. Perlengkapan seperti tenda/tandu biasanya ada di pramuka. Ketersediaan bahan dan materi tentang bencana di sekolah membantu meningkatkan pengetahuan siswa dan pada akhirnya akan meningkatkan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana. Semakin tinggi akses siswa untuk memperoleh bahan dan materi tentang bencana dalam berbagai bentuk diharapkan akan dapat meningkatkan kesiapsiagaan siswa terhadap bencana. Jawaban siswa mengenai bahan dan materi tentang gempa dan tsunami bervariasi. Dari tiga jenis bahan dan materi tentang bencana, bahan dan materi dalam bentuk buku adalah yang paling banyak LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



311



311



diperoleh siswa di sekolah (lebih dari 60 persen). Ketersediaan buku-buku tentang gempa dan tsunami sangat terkait dengan pemberian materi gempa untuk siswa di sekolah. Materi tentang gempa dapat diperoleh dari buku-buku mata pelajaran pelajaran IPA dan IPS ditingkat SD dan buku pelajaran Geografi dan Fisika di tingkat SMP dan SMA. Tingginya persentase siswa yang memperoleh buku-buku dalam bentuk buku-buku merata untuk semua zona dan tingkat pendidikan siswa. Tabel 4.2.4.15. Jenis Bahan dan Materi tentang Gempa dan Tsunami yang Diperoleh Siswa di Sekolah (Persentase yang Menjawab Ya) Zona Uraian



1



2 3



Buku-buku tentang gempa dan tsunami Poster, laflet, buku saku, komik, kliping koran tentang gempa dan tsunami VCD, kaset tentang gempa dan tsunami N



Tingkat pendidikan SD/ SMP/ SMA/ sederajat Sederajat Sederajat



Total



Rawan



Hati-hati



Aman



71,6



76,2



63,2



78,0



66,4



67,9



72,4



39,6



40,8



48,6



39,6



41,1



43,2



40,7



38,2



53,7



57,9



54,2



35,5



35,8



44,8



276



146



38



230



152



77



460



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Sementara itu, akses siswa untuk mendapatkan bahan dan materi tentang bencana dalam bentuk VCD/kaset dan poster/leaflet/buku saku/komik/kliping koran jauh lebih rendah dibandingkan dalam bentuk buku-buku. Kondisi ini berkaitan erat dengan kurangnya penyebaran informasi tentang gempa dan tsunami yang diberikan dalam kedua bentuk tersebut. Apabila dibedakan menurut lokasi sekolah, terlihat bahwa akses siswa di zona rawan untuk mendapatkan materi dalam bentuk VCD dan kaset tentang gempa dan tsunami paling kecil dibandingkan zona aman dan hati-hati padahal seharusnya mempunyai akses yang lebih baik. Untuk tingkat pendidikan, siswa SD/sederajat mempunyai akses lebih baik dibandingkan siswa SMP/sederajat dan SMA/ sederajat. Meskipun demikian secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa keberadaan bahan dan materi tentang gempa dan tsunami dalam bentuk VCD/kaset dan poster/leaflet/buku saku/ komik/kliping koran masih kurang sehingga penyediaan materi dalam kedua bentuk ini perlu ditingkatkan.



4.2.4.4. Peringatan Bencana Sekolah Indikator yang digunakan untuk mengukur peringatan bencana adalah : (1) keberadaan akses informasi tentang peringatan bencana; (2) pemilikan peralatan untuk menyampaikan peringatan bencana; dan (3) sekolah menyiapkan rencana/ langkah untuk merespon peringatan bencana.



312



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Hasil survei menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil sekolah yang memiliki akses informasi tentang peringatan bencana atau 4 sekolah dari 13 sekolah sampel. Kondisi ini menunjukkan bahwa akses sekolah untuk mendapatkan informasi tentang peringatan bencana masih perlu ditingkatkan. Hasil wawancara dengan beberapa pihak sekolah menyebutkan bahwa peringatan bencana biasanya diperoleh dari patroli yang dilakukan oleh patroli polisi keliling dengan menggunakan sirine atau pengeras suara. Hanya sebagian kecil sekolah (2 sekolah) yang memiliki peralatan untuk menyampaikan/menyebarluaskan peringatan bencana. Sedikitnya jumlah sekolah yang mengisi mempunyai peralatan yang dapat digunakan untuk menyebarluaskan peringatan bencana ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pemahaman kepala sekolah/guru yang mengisi angket bahwa bel atau lonceng dapat digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan peringatan bencana. Dalam diskusi terfokus dengan komunitas sekolah dikemukakan beberapa alat yang dapat digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan peringatan bencana. Alat-alat tersebut antara lain mikrofon/bel panjang yang bisa digunakan pada saat listrik masih menyala, lonceng, tiang listrik dan TOA apabila listrik mati. Peluang pemakaian tiang listrik sebagai alat untuk menyebarluaskan peringatan bencana menjadi berkurang terkait dengan adanya penggantian jenis bahan yang digunakan untuk tiang listrik dari besi/logam menjadi beton. Jawaban sekolah tentang apakah telah menyiapkan respon terhadap peringatan bencana berbeda dengan jawaban ada atau tidaknya alat untuk menyebarluaskan peringatan bencana. Dari 7 dari 13 sekolah mengaku telah menyiapkan tindakan sebagai usaha untuk merespon apabila ada peringatan bencana. Artinya, sebagian besar sekolah yang disurvei sudah menyiapkan tindakantindakan yang harus dilakukan apabila terjadi bencana. Tabel 4.2.4.16. Peringatan Bencana di Sekolah Sampel Kota Bengkulu URAIAN



313



FREKUENSI



Sekolah punya akses informasi peringatan bencana : 1. Ya 2. Tidak Total Sekolah punya peralatan menyampaikan peringatan bencana : 1. Ya 2. Tidak Total Sekolah telah menyiapkan rencana/ langkah merespon peringatan bencana : 1. Ya 2. Tidak Total



Absulut



Persentase



4 9 13



30,8 69,2 100,0



2 11 13



15,4 84,6 100,0



7 6 13



53,8 46,2 100,0



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI -UNESCO/ISDR, 2006



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



313



Kelompok Guru Ada 3 (tiga) indikator yang digunakan untuk mengukur parameter sistim peringatan bencana (Warning system) di tingkat guru. Indikator tersebut adalah pengetahuan guru terhadap keberadaan cara/sistem peringatan bencana tsunami dan pendapat guru tentang tindakan yang seharusnya dilakukan apabila mendengar peringatan bencana tsunami. Berdasarkan data survei diketahui bahwa hanya sebagian kecil guru yang mengetahui adanya cara/sistim peringatan bencana tsunami di Kota Bengkulu (32 persen). Rendahnya persentase guru yang mengetahui adanya cara/system peringatan tsunami juga dilatarbelakangi oleh belum adanya cara/sistem yang disepakati oleh pemerintah Kota Bengkulu sebagai pihak yang paling berwenang untuk peringatan adanya tsunami. Cara/system peringatan tsunami yang diketahui oleh sebagian guru adalah cara yang biasa digunakan untuk memberi tahu adanya bahaya kebakaran dan kemalingan misalnya sirine dari mobil patroli polisi, pengeras suara atau TOA. Cara lain yang bisa digunakan adalah memukul tiang listrik atau pelek mobil. Gambaran tentang rendahnya pengetahuan guru tentang adanya cara/sistem peringatan tsunami di daerahnya merata di semua zona dan tingkatan sekolah yang diajar. Tabel 4.2.4.17. Pengetahuan Responden Guru tentang Cara/Sistem Peringatan Tsunami di Daerahnya dan Tindakan yang Akan Dilakukan Apabila Mendengar Peringatan Zona



Uraian Rawan



Hati-hati



Tingkatan sekolah yang diajar Aman



SD



SMP



Total



SMA



Mengetahui cara/sistem peringatan tsunami 1



Ya



36,7



25,0



25,0



26,0



33,3



47,1



32,0



2



Tidak



63,3



75,0



75,0



74,0



66,7



52,9



68,0



Hal yang akan dilakukan apabila mendengar peringatan atau tanda bahaya tsunami ketika sedang mengajar (menjawab ya) 1 Memandu siswa untuk lari ke tempat yang tinggi 2 Memandu siswa menuju tempat pengungsian/evakuasi 3 Menyelamatkan dokumen penting 4 Membantu anak-anak, ibu hamil, orang tua dan orang cacat di sekitar sekolah ke tempat aman sementara 5 Menenangkan diri/tidak panik 6 Mematikan listrik di sekolah 7



Segera pulang ke rumah N



100,0



96,9



100,0



98,0



100,0



100,0



99,0



96,7



96,9



100,0



96,0



100,0



94,1



97,0



91,7



75,0



100,0



92,0



90,9



64,7



87,0



85,0



78,1



75,0



84,0



87,9



64,7



82,0



100,0



100,0



100,0



100,0



100,0



100,0



100,0



80,0



77,4



87,5



92,0



71,9



58,8



79,8



79,7



68,8



50,0



71,4



78,8



70,6



73,7



60



32



8



50



33



17



100



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



Pemberitaan media masa tentang bencana terutama tentang gempa dan tsunami di Aceh tampaknya memberikan pengetahuan dan pelajaran pada guru tentang tindakan-tindakan yang harus dilakukan apabila mendengar tanda bahaya tsunami terutama jika sedang mengajar di sekolah. Mayoritas 314



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



guru menjawab “ya” untuk semua tindakan yang harus dilakukan (lebih dari 70 persen). Menenangkan diri dan tidak panik mendapat respon tertinggi dan dipilih oleh semua responden guru. Tindakan ini dipilih berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari kejadian gempa besar tahun 2000. Pada saat itu banyak korban yang jatuh karena panik. Dalam keadaan panik seorang guru tidak akan bisa memandu siswa untuk lari ke tempat yang tinggi (dipilih oleh 99 persen responden guru), memandu siswa untuk menuju tempat pengungsian (97 persen), menyelamatkan dokumen penting (87 persen), membantu anak-anak, ibu hamil, orang tua dan orang-orang cacat di sekitar sekolah ke tempat yang aman (82 persen) dan mematikan listrik di sekolah. Meskipun mayoritas guru memberikan respon yang baik terhadap tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan apabila mendengar peringatan tsunami tetapi jawaban guru untuk tindakan yang seharusnya dijawab “tidak” yaitu segera pulang ke rumah juga cukup tinggi (dipilih oleh 74 persen guru). Apabila peringatan tsunami terdengar ketika sedang mengajar seorang guru berkewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan penyelamatan tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga siswa, orang-orang yang berada di tempat terdekat serta barang-barang yang dianggap penting terkait dengan tugasnya sebagai seorang pengajar. Kemungkinan pendapat guru ini didasari oleh keinginan manusiawi guru sebagai seorang manusia untuk menyelamatkan keluarga yang dicintainya. Kelompok Siswa Seperti halnya pada kelompok guru. Kesiapsiagaan siswa terkait dengan peringatan bencana diukur berdasarkan pengetahuan siswa terhadap keberadaan sistem peringatan bencana tsunami di daerahnya dan tindakan yang akan dilakukan apabila mendengar adanya tanda peringatan tersebut. Data survei menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mengetahui adanya cara/sistem peringatan tsunami tetapi dengan persentase yang tidak jauh berbeda dibandingkan persentase siswa yang menjawab tidak (Tabel 4.2.4.18.). Gambaran tentang pendapat responden siswa mengenai cara/ sistem peringatan tsunami tersebut merata di semua zona dan tingkat pendidikan siswa. Informasi tentang cara/sistem peringatan ini dapat diperoleh media masa atau mendengar dari orang lain.Dari hasil wawancara diketahui bahwa cara yang dapat dipakai untuk peringatan tsunami di masyarakat di Kota Bengkulu sama dengan cara yang digunakan untuk kondisi bahaya lainnya. Pada saat listrik tidak mati bisa menggunakan pengeras suara, atau bel jika di sekolah. Namun pada saat tidak ada listrik dapat menggunakan tiang listik, pelek mobil atau TOA. Sementara itu cara/ sistem peringatan khusus untuk tsunami dari pemerintah belum ada. Cara yang digunakan pemerintah masih sama dengan cara untuk kondisi bahaya lainnya seperti sirine patroli polisi. Peringatan bencana tsunami bertujuan untuk memberi tanda kepada masyarakat akan bahaya yang mengancam. Dengan adanya peringatan tersebut diharapkan masyarakat termasuk siswa dapat mengambil tindakan yang tepat untuk mengantisipasi berbagai resiko yang tidak diinginkan. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa respon siswa terhadap peringatan peringatan bencana LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



315



315



tsunami cukup baik. Mayoritas siswa mengetahui hal-hal yang harus mereka lakukan apabila mendengar peringatan akan adanya bencana tsunami. Tercermin dari tingginya persentase siswa yang menjawab ya untuk semua tindakan yang harus dilakukan (lebih dari 75 persen). Pendapat siswa ini merata pada semua zona dan tingkat pendidikan. Tindakan yang mendapat peringkat tertinggi adalah menjauhi pantai dan lari ke tempat yang tinggi (96 persen). Pengetahuan ini diperoleh siswa dari kejadian tsunami yang dialami masyarakat Aceh pada tahun 2004. Menyelamatkan diri ke daerah yang lebih tinggi pernah dipraktekkan pada saat berkembang isu tsunami di Kota Bengkulu pada akhir tahun 2005 lalu. Pada saat itu peringatan adanya tsunami diperoleh dari sumber yang tidak diketahui yang direspon oleh masyarakat dengan berbondongbondong menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Pemerintah melalui patroli polisi berusaha memberitahukan melalui pengeras suara bahwa isu tersebut tidak benar dan akhirnya ternyata terbukti bencana tsunami tidak terjadi. Tindakan kedua yang banyak dipilih siswa adalah bergegas ke tempat pengungsian (79 persen) dan ketiga adalah menenangkan diri atau tidak panik. Tabel 4.2.4.18. Pengetahuan Responden Siswa tentang Peringatan Tsunami dan Tindakan yang akan Dilakukan Apabila Mendengar Peringatan Zona Uraian



Rawan



Hatihati



Tingkat Pendidikan Aman



SD/ sederajat



SMP/ sederajat



SMA/ sederajat



Total



Mengetahui adanya cara/sistem peringatan bencana di daerah ini 1



Ya



57,8



40,8



63,2



56,4



47,4



53,1



52,8



2



Tidak



42,2



59,2



36,8



43,6



52,6



46,9



47,2



94,9



96,6



97,4



93,4



99,3



95,1



95,7



Hal-hal yang dilakukan apabila mendengar tanda bahaya tsunami (menjawab ya) 1



Menjauhi pantai dan lari ke tempat yang tinggi



2



Bergegas menuju tempat pengungsian/evakuasi



3



Menenangkan diri/tidak panik



N



79,6



82,3



65,8



74,0



83,6



86,4



79,3



75,6



80,3



78,9



70,9



82,2



86,4



77,4



276



146



38



230



152



77



460



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



316



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



4.2.4.5. Mobilisasi Sumberdaya Sekolah Ada banyak indikator yang digunakan untuk mengukur sumberdaya sekolah. Indikator sumberdaya tersebut antara lain meliputi ketersediaan tenaga di sekolah yang sudah terlatih, penyediaan bahan dan materi untuk kesiap-siagaan menghadapi bencana, penyebarluasan pengetahuan dan simulasi tentang bencana kepada siswa, alokasi anggaran dan bantuan/bimbingan dalam kesiapsiagaan bencana. Sebagian besar sekolah belum memiliki petugas/ kelompok/ gugus khusus yang berkaitan dengan kesiap-siagaan menghadapi bencana. Hanya ada 3 sekolah yang melaporkan bahwa di sekolah mereka telah ada petugas/ kelompok/ gugus khusus tersebut. Mereka adalah para siswa yang terpilih menjadi anggota PMR (Palang Merah Remaja). Kelompok ini biasanya mendapatkan pelatihan tentang cara pemberian bantuan terhadap korban bencana. Pelatihan dilakukan oleh PMI di tingkat kota atau provinsi. Apakah ada pimpinan/ pengajar/ staf sekolah yang pernah diikutkan pelatihan/ seminar/ workshop/ pertemuan yang berkaitan dengan kesiap-siagaan menghadapi bencana. Sebagian besar sekolah sampel belum pernah mengikutkan pimpinan/ pengajar/ staf sekolahnya dalam kegiatan tersebut. Hanya 3 sekolah sampel yang mengikutsertakan dalam kegiatan tersebut yang materinya adalah pengetahuan tentang bencana. Untuk kegiatan tentang rencana evakuasi, pertolongan pertama, sistem peringatan dini dan simulasi evakuasi masing-masing hanya satu sekolah yang mengaku pernah mengikutsertakan tenaganya. Sedikitnya jumlah sekolah yang pernah mengikutsertakan pimpinan/pengajar/staf sekolah dalam pelatihan/workshop/pertemuan terkait dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana ini disebabkan oleh kurangnya penyelenggaraan kegiatan tersebut untuk sekolah di Kota Bengkulu. Tentang penyediaan bahan dan materi oleh sekolah yang berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana, ternyata hanya satu sekolah yang melaporkan telah menyediakan bukubuku tentang gempa dan tsunami. Kemudian tentang bahan dan materi lainnya, seperti poster, leaflet, kliping koran tentang gempa dan tsunami, VCD dan kaset tentang gempa dan tsunami belum ada satu sekolahpun yang mengaku ada. Hal ini menunjukkan bahwa materi tentang gempa dan tsunami di sekolah masih sangat kurang. Penyediaan bahan dan materi tersebut juga dipengaruhi oleh alokasi anggaran untuk kesiapsiagaan bencana di sekolah. Dari survei sekolah diperoleh data bahwa belum ada satu sekolahpun yang telah mengalokasikan. Hal ini disebabkan masih rendahnya kemampuan anggaran sekolah. Menurut pengakuan beberapa kepala sekolah anggaran yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar saja kadang kekurangan anggaran, apalagi untuk mengalokasikan kesiap-siagaan bencana. Keberadaan sekolah yang telah memasukkan materi tentang bencana dalam mata pelajaran yang relevan, ternyata sebagian besar dari sekolah sampel melaporkan telah melaksanakan. Materi LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



317



317



tentang bencana seperti gempa bumi sudah masuk dalam kurikulum. Di tingkat SD materi ini dimasukan dalam mata pelajaran IPA dan IPS, di SMP dan SMA pada pelajaran geografi dan Fisika. Dari hasil diskusi terfokus dengan tingkat sekolah juga diketahui bahwa materi tentang bencana juga bisa diberikan lewat kegiatan ekstrakokurikuler tetapi lebih menitikberatkan pada praktek untuk penanggulangan bencana seperti pada kegiatan P3K, Pramuka, PMR, UKS dan olahraga. Tabel 4.2.4.19. Mobilisasi Sumber Daya Sekolah Sampel Kota Bengkulu URAIAN Sekolah ada petugas/kelompok/gugus khusus menghadapi bencana : 1. Ya 2. Tidak Total Pimpinan/guru/staf sekolah pernah ikut pelatihan/ seminar/workshop/ pertemuan terkait dengan bencana : a. Pengetahuan tentang bencana b. Rencana evakuasi c. Pertolongan pertama d. Sistem peringatan dini e. Simulasi evakuasi Sekolah menyediakan bahan & materi terkait kesiap-siagaan menghadapi bencana : a. Buku tentang gempa dan tsunami. b. Poster, leaflet, kliping ttg gempa dan tsunami c. VCD, kaset ttg gempa dan tsunami Sekolah telah memasukkan materi tentang bencana dalam mata pelajaran relevan : 1. Ya 2. Tidak Total Sekolah telah melakukan simulasi evakuasi untuk siswa : 1. Ya 2. Tidak Total Ada alokasi anggaran kesiapsiagaan hadapi bencana gempa dan tsunami : 1. Ya 2. Tidak Total Bimbingan/bantuan terkait kesiapsiagaan bencana dari pemerintah : 1. Ya 2. Tidak Total



FREKUENSI Absulut Persentase 3 10 13



23,1 76,9 100,0



3 1 1 1 1



23,1 8,3 8,3 8,3 8,3



1 0 0



7,7 0,0 0,0



9 4 13



69,2 30,8 100,0



1 11 13



7,7 92,3 100,0



0 13 13



0 100,0 100,0



2 11 13



15,4 84,6 100,0



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI -UNESCO/ISDR, 2006



Kelompok Guru Tentang simulasi evakuasi untuk latihan siswa, ternyata sebagian besar sekolah belum pernah melakukannya. Dari hasil diskusi kelompok terfokus dengan kumonitas sekolah ditemukan adanya anggapan bahwa kegiatan simulasi evakuasi “kurang penting” dengan alasan bahwa apabila terjadi gempa atau tsunami orang-orang secara spontan akan menyelamatkan diri ke tempat yang tinggi. 318



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



Kemudian ada 2 sekolah yang mengaku pernah ada bantuan dari pemerintah untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana sedangkan bantuan dari LSM, organisani non politik ataupun belum ada. Jenis bantuan yang diterima tersebut adalah dalam bentuk penyediaan materi. Dari hasil wawancara dengan beberapa pihak sekolah, bantuan penyediaan bahan dan materi kesiapsiagaan ini kemungkinan diperoleh dari pelatihan yang diikuti oleh guru/kepala sekolah. Tetapi kegiatan tersebut pada umumnya dilakukan oleh pihak di luar Pemerintah Kota Bengkulu. Mobilisasi sumber daya guru diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu partisipasi guru pada kegiatan pelatihan, workshop dan seminar baik menyangkut pengetahuan tentang bencana, rencana pada kondisi darurat bencana, sistem peringatan dini dan keikutsertaan guru dalam melakukan penyebaran pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana kepada masyarakat. Semakin banyak guru yang mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana alam terutama bencana gempa dan tsunami. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan terkait dengan mobilisasi sumberdaya guru untuk antisipasi bencana di Kota Bengkulu masih sangat minim. Kondisi ini terefleksi pada rendahnya persentase guru yang mengikuti pelatihan, workshop maupun seminar yang terkait dengan bencana (Tabel 4.2.4.20.). Data survei menunjukkan persentase guru yang mengaku pernah mengikuti kegiatan terkait dengan pengetahuan tentang bencana, rencana penyelamatan pada saat darurat bencana, dan sistem peringatan dini tidak mencapai 20 persen. Beberapa kegiatan pelatihan workshop dan seminar terkait dengan kesiapsiagaan bencana yang diikuti oleh sebagian kecil guru, diselenggarakan oleh pemerintahan propinsi atau universitas seperti UNIB dan ITB tetapi jumlahnya masih terbatas. Kegiatan sosialisasi ini pada umumnya baru dilakukan setelah Kota Bengkulu mengalami gempa kuat pada tahun 2000. Tabel. 4.2.4.20. Partisipasi Guru dalam Pelatihan, Workshop, Seminar tentang Kesiapsiagaan Bencana dan Menginformasikan Pengetahuan pada Masyarakat Zona Uraian



Rawan



Hati-hati



Aman



Tingkatan sekolah yang diajar SD/ SMP/sede SMA/sede Sederajat rajat rajt



319



Total



Mengikuti pelatihan, workshop, seminar tentang (menjawab ya) 1 Pengetahuan tentang bencana



11,7



31,3



12,5



16,0



12,1



35,3



2



Perencanaan tanggap darurat



8,3



12,5



0,0



12,0



3,0



11,8



9,0



3



Sistem peringatan dini



11,7



15,6



0,0



18,0



3,0



11,8



12,0



18,0



Menginformasikan pengetahuan tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana kepada masyarakat 1



Ya



40,0



37,5



50,0



42,0



30,3



52,9



40,0



2



Tidak



60,0



62,5



50,0



58,0



69,7



47,1



60,0



60



32



8



50



33



17



100



N



Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



319



Apabila memperhatikan lokasi sekolah terlihat persentase guru yang mengikuti pelatihan/workshop/ seminar yang terkait dengan kesiapsiagaan bencana di zona hati-hati lebih tinggi dibandingkan dengan guru di zona rawan yang seharusnya lebih banyak mengikuti kegiatan tersebut. Dari data juga ditemukan tidak ada satupun guru di zona aman yang pernah mengikuti pelatihan/workshop/ seminar terkait dengan perencanaan tanggap dan darurat dan peringatan dini. Kondisi ini menunjukkan bahwa perlu peningkatan jumlah guru yang mendapat pelatihan kesiapsiagaan bencana di zona rawan. Partisipasi responden guru tidak memperlihatkan pola yang jelas jika dirinci menurut tingkat sekolah yang diajar. Guru merupakan salah satu aktor yang diharapkan dapat menyebarkan pengetahuan tentang bencana tidak hanya pada siswa tetapi juga pada masyarakat. Kemampuan guru dalam memberikan penjelasan di depan kelas akan sangat bermanfaat dalam penyampaian informasi tentang kesiapsiagaan bencana. Tetapi ternyata kemampuan guru ini tidak dimanfaatkan dengan optimal. Persentase guru yang mengaku pernah menyampaikan informasi tentang kesiapsiagaan bencana kepada masyarakat hanya sebesar 40 persen, 60 persen lainnya mengaku tidak pernah melakukannya. Hal ini terkait dengan penjelasan sebelumnya bahwa sangat sedikit guru yang pernah mengikuti kegiatan terkait dengan kesiapsiagaan dalam mengantisiapsi bencana sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh guru masih terbatas. Keterbatasan pengetahuan guru menjadi menjadi penghalang utama bagi guru untuk menyampaikan informasi tentang kesiapsiagaan bencana pada masyarakat. Apabila memperhatikan tingkatan sekolah yang diajar terlihat partisipasi guru dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat kebanyakan dilakukan oleh guru SMA. Sementara itu apabila dibedakan menurut zona lokasi sekolah partisipasi tertinggi dilakukan oleh responden guru yang berada di zona aman. Kelompok Siswa Mobilisasi sumberdaya merupakan kegiatan yang sangat penting dalam kesiapsiagaan bencana. Di tingkat siswa, mobilisasi sumberdaya diukur dengan menggunakan dua indikator yaitu partisipasi siswa dalam kegiatan-kegiatan seperti pertemuan/ceramah tentang bencana, pelatihan P3K seperti dokter kecil atau PMR, kepramukaan (tali temali, memasang tenda dan membuat tandu), latihan dan simulasi evakuasi. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa untuk mengantisipasi bencana. Secara umum partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan/pelatihan/pertemuan yang telah disebutkan di atas masih kurang yaitu berkisar antara 32-52 persen. Dari empat kegiatan yang ditanyakan hanya kegiatan pertemuan/ceramah tentang bencana yang diikuti oleh lebih dari separuh siswa. Salah satu alasan yang menyebabkan cukup tingginya persentase siswa mengikuti kegiatan ini adalah keterlibatan guru dalam memberikan pengetahuan tentang bencana disekolah. Pengetahuan tentang bencana tidak hanya dilakukan secara khusus dalam pertemuan yang besar tetapi dapat diselipkan dalam mata pelajaran sekolah yang terkait dengan topik-topik kejadian-kejadian alam seperti gempa. Di tingkat SD melalui mata pelajaran IPA dan IPS, di tingkat SMP dan SMA dalam mata pelajaran Geografi dan Fisika. Dari hasil wawancara dengan beberapa guru di sekolah 320



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



ditemukan bahwa sebagian guru juga memberikan pengetahuan dan ceramah tentang bencana melalui mata pelajaran agama. Melalui pendekatan agama ini, siswa diharapkan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjadi tenang sehingga tidak panik pada saat terjadi bencana. Partisipasi siswa untuk mengikuti pertemuan/ceramah tentang bencana tidak terlalu berbeda apabila dibedakan menurut zona dan tingkat pendidikan. Tabel 4.2.4.21. Partisipasi Siswa dalam Kegiatan/Latihan/Pertemuan P3K, Simulasi Evakuasi dan Pertemuan/Ceramah tentang Bencana Zona



Tingkat Pendidikan Aman



SD/ Sederajat



SMP/sede rajat



SMA/sede rajt



Total



23,8



34,2



30,0



28,3



46,9



32,4



53,7



63,2



45,8



39,5



46,9



43,9



23,6



20,4



13,2



26,0



16,4



19,8



21,7



Pertemuan/ceramah tentang bencana



52,0



54,4



47,4



55,9



46,7



53,1



52,4



N



276



146



38



230



152



77



460



Uraian



Rawan



Hatihati



P3K termasuk dokter kecil, PMR Kepramukaan (tali-temali, memasang tenda dan membuat tandu) Latihan dan simulasi evakuasi



36,7 36,0



Pernah mengikuti kegiatan/latihan/ pertemuan (menjawab ya) 1 2 3 4



Pernah memberitahu/menceritakan pengetahuan dan keterampilan tersebut pada teman/keluarga/tetangga 1



Ya



76,4



72,0



82,4



79,4



70,5



73,1



75,5



2



Tidak



23,6



28,0



17,6



20,6



29,5



26,9



24,5



N



216



118



34



189



112



67



368



Sumber: Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI –UNESCO/ISDR, 2006



Kegiatan kepramukaan dan P3K termasuk dokter kecil dan PMR hanya diikuti oleh masingmasing 44 persen dan 32 persen siswa, artinya kurang dari separuh siswa. Rendahnya keikusertaan siswa sangat terkait dengan kebijakan pendidikan yang berlaku saat ini. Di sekolah, kegiatan P3K termasuk dokter kecil/PMR termasuk dalam kegiatan ekskul, sehingga keterlibatan siswa sangat tergantung pada minat dan pilihannya. Kegiatan dokter kecil terdapat di tingkat SD sedangkan kegiatan PMR di tingkat SMP dan SMA. Semakin besar minat siswa maka semakin banyak yang akan memilih kegiatan ini sebagai kegiatan ekskul di sekolah. Alasan lain adalah semakin beratnya beban pelajaran yang ditanggung oleh siswa sehingga banyak siswa yang tidak mengikuti kegiatan ekskul. Pendapat ini dikemukakan oleh salah seorang guru SD pada saat dilakukan wawancara dengan guru di sekolah. Apabila memperhatikan zona sekolah terlihat adanya kecenderungan penurunan keikutsertaan siswa dalam kegiatan kepramukaan di zona yang lebih rawan. Partisipasi siswa yang mengikuti kegiatan kepramukaan di zona aman mencapai 63 persen, menurun menjadi 54 persen di zona hati-hati dan terendah berada di zona rawan (36 persen). Kondisi ini kurang menguntungkan mengingat zona rawan mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk terkena bencana. Jika dirinci menurut tingkat pendidikan, keikutsertaan siswa pada kegiatan kepramukaan dan P3K termasuk PMR dan dokter kecil ditingkat SMP LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



321



321



selalu lebih rendah dibandingkan siswa SD dan SMA. Hal ini berkaitan dengan kurangnya minat siswa SMP untuk mengikuti kegiatan ini dibandingkan kedua tingkatan sekolah lainnya. Sementara itu, kegiatan simulasi evakuasi merupakan kegiatan yang paling sedikit diikuti oleh siswa (22 persen). Rendahnya partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan di tingkat sekolah. Hasil angket sekolah (Seri-S1) menunjukkan bahwa masih sangat jarang sekolah yang melakukan kegiatan simulasi evakuasi, yaitu hanya 1 dari 13 sekolah. Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru-guru atau kepala sekolah simulasi evakuasi dapat menjadi salah satu alasan kurangnya penyelenggaraan kegiatan ini di sekolah. Pengetahuan tentang simulasi evakuasi dapat diperoleh melalui kegiatan sosialisasi tentang kesiapsiagaan bencana, namun penyelenggaraannya masih jarang dilakukan di Kota Bengkulu. Dari kajian ditemukan satu sekolah yang pernah melakukan kegiatan simulasi pada saat gempa. Kegiatan ini dilakukan setelah salah seorang guru di sekolah tersebut mendapat pelatihan mengenai penanggulangan gempa dari ITB. Namun kegiatan simulasi di sekolah ini hanya pernah dilakukan sekali, belum dilakukan secara regular. Beberapa sekolah menganggap kegiatan latihan simulasi evakuasi perlu dilakukan, disisi lain muncul pendapat bahwa simulasi evakuasi kurang penting untuk masyarakat Kota Bengkulu. Anggapan ini juga muncul dalam diskusi kelompok terfokus dengan komunitas sekolah dengan alasan bahwa masyarakat Kota Bengkulu sudah terbiasa dengan gempa sehingga apabila terjadi gempa besar, masyarakat tanpa diberitahu secara spontan akan berlari menuju tempat yang tinggi untuk antisipasi terjadinya tsunami. Indikator keterlibatan siswa dalam menyampaikan informasi kepada aman/keluarga/kerabat dipakai untuk menjaring partisipasi siswa dalam menyebarluaskan pengetahuan dan keterampilan terkait dengan kesiapsiagaan bencana. Pertanyaan diajukan pada siswa yang mengaku pernah mendapatkan kegiatan/pelatihan/pertemuan terkait dengan P3K termasuk dokter kecil/PMR, kepramukaan, simulasi evakuasi dan pengetahuan tentang bencana. Data angket menunjukkan bahwa sebagian besar atau lebih dari 70 persen siswa mengaku pernah melakukannya. Angka ini menunjukkan bahwa siswa berpotensi untuk dijadikan sebagai salah satu aktor dalam mobilisasi sumberdaya untuk kesiapsiagaan bencana. Gambaran tentang partisipasi siswa ini merata apabila dirinci menurut zona maupun tingkat pendidikan.



4.2.4.6. Tingkat Kesiapsiagaan Tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah Kota Bengkulu dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami dapat direfleksikan dalam bentuk indeks gabungan komunitas sekolah yang merupakan gabungan dari indeks kesiapsiagaan kelompok sekolah, guru dan siswa. Indeks sekolah merupakan gabungan dari indeks 4 parameter yaitu Indeks Kebijakan dan Pedoman, Indeks Rencana Penyelamatan dalam Kondisi Darurat Bencana, Indeks Sistem Peringatan dan Indeks Mobilisasi sumberdaya. Sementara itu Indeks guru dan siswa diperoleh dari gabungan Indeks Pengetahuan dan Sikap terhadap resiko bencana Rencana Penyelamatan dalam Kondisi Darurat Bencana, Indeks Sistem Peringatan dan Indeks Mobilisasi 322



LIPI – UNESCO/ISDR, 2006



sumberdaya. Nilai-nilai indeks kemudian dikelompokkan menjadi 5 kategori yaitu sangat siap (80+), siap (65-79), hampir siap (55-64), kurang siap (40-54) dan belum siap (