Laporan Kasus Pneumothorax Zakki [PDF]

  • Author / Uploaded
  • hari
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan global utama didunia yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini dapat menyerang berbagai organ tetapi yang sering mengenai paru dimana penyebarannya melaui transmisi udara dari seseorang yang terinfeksi TB paru.6 Pada tahun 2014, diperkirakan terdapat 9,6 juta kasus TB baru: 5,4 juta di antara laki-laki, 3,2 juta di antara wanita dan 1,0 juta di antara anak-anak.(Global TB report 2015). Laporan dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 menyebutkan terdapat 9,6 juta kasus TB paru di dunia dan 58% kasus terjadi di daerah Asia Tenggara dan Afrika. Tiga negara dengan insidensi kasus terbanyak tahun 2015 yaitu India (23%), Indonesia (10%), dan China (10%). Indonesia sekarang berada pada ranking kedua negara dengan beban TB tertinggi di dunia.7 pneumotoraks adalah kondisi adanya udara di rongga pleura.2 Kondisi ini merupakan gangguan pernapasan yang relatif umum dan dapat terjadi dalam berbagai penyakit dan pada individu dari segala usia.3 pneumotorakss ditandai dengan dispnea dan nyeri dada yang berasal dari paru-paru maupun dinding dada yang disebabkan oleh adanya udara pada rongga pleura yang diikuti pecahnya bula.4 Klasifikasi pneumotorakss berdasarkan penyebab dan gejalaklinis yang timbul. pneumotorakss dapat dibagi menjadi spontan primer (PSP) dan sekunder (PSS), serta traumatik dan iatrogenik.5 Insiden pneumotoraks pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan (5:1).6 Kasus PSP di Amerika 7,4/100.000 per tahun untuk laki-laki dan 1,2/100.000 per tahun untuk perempuan sedangkan insiden PSS dilaporkan 6,3/100.000 untuk laki-laki dan 2/100.000 untuk perempuan.7 PSS yang paling 1



sering terjadi yaitu pada PPOK sedangkan penelitian oleh Myers melapor-kan bahwa tuberkulosis selalu menunjuk-kan terjadinya pneumotorakss.8 Penelitian Weissberg9 terhadap 1.199 pasien pneumo-toraks mengenai insiden beberapa jenis pneumotorakss mendapatkan 218 pasien PSP, 505 PSS, 403 pneumotorakss traumatik, dan 73 pneumotorakss iatrogenik. Untuk letak lesi pneumotorakss, lesi kanan lebih banyak ditemukan dibandingkan lesi kiri10 sedangkan pada penelitian Sadikot11 didapatkan letak lesi kiri lebih banyak ditemukan. Salah satu komplikasi dari tuberkulosis paru adalah pneumotoraks yang memerlukan penanganan cepat dan tepat. Pengenalan gejala & tanda dari pneumotoraks untuk penatalaksanaan segera sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pentingnya masalah ini membuat penulis tertarik untuk membahas kasus tentang pneumotoraks akibat komplikasi tuberkulosis. Laporan kasus ini membahas mengenai penegakan diagnosis pneumotoraks. Diharapkan de ngan adanya laporan kasus ini bisa menambah pengetahuan tentang pneumotoraks sehingga angka kesakitan dan kematian yang ditimbulkan bisa berkurang.



.



BAB II ILUSTRASI KASUS Telah dirawat pasien laki laki usia 40 tahun 2



Keluhan utama : sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit Riwayat penyakit sekarang: 



sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit . Sesak napas tidak menciut dan dirasakan tiba- tiba setelah sebelumnya pasien mengalami batuk- batuk keras. Riwayat sesak napas sebelumnya dirasakan sejak 1 bulan yang lalu, dirasakan terutama saat pasien beraktivitas. Karena sesaknya pasien masuk ke IGD RSUD Solok selatan, dilakukan rontgen torak dan dirujuk ke RSUP Dr. M.Djamil Padang untuk penatalaksanaan







selanjutnya. Batuk dirasakan meningkat sejak 1 minggu yang lalu. Batuk berdahak berwarna putih kekuningan, sukar dikeluarkan. Batuk batuk sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, batuk bersifat hilang- timbul. Pasien sebelumnya telah didiagnosis Tuberkulosis Paru (TB Paru) dan telah diberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kategori 1 sejak tanggal 11 Oktober 2018 berdasarkan pemeriksaan Bakteri Tahan Asam(BTA) dahak dengan hasil 2+, obat OAT telah diminum selama 2 bulan 17 hari dan saat



  



ini tengah mengkonsumsi OAT fase lanjutan. Batuk darah tidak ada, riwayat batuk darah tidak ada Nyeri dada tidak ada Demam dikeluhkan dalam 1 minggu ini bersifat hilang timbul, demam







dirasakan tidak tinggi dan tidak menggigil. Keringat malam dirasakan 2 bulan lalu, tetapi saat ini keringat malam



   



tidak dikeluhkan lagi. Nyeri ulu hati tidak ada Penurunan nafsu makan sejak 1 bulan ini Penurunan berat badan sejak 1 bulan ini, 5 kg BAB dan BAK tidak ada keluhan



Riwayat penyakit dahulu: 



Riwayat TB tidak ada, DM tidak ada, hipertensi tidak ada



Riwayat penyakit keluarga: 



Riwayat TB dan DM tidak ada



3



Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan    



Pasien seorang pedagang pakaian Pasien tidak merokok Pasien belum menikah Riwayat sex bebas disangkal, riwayat minum alkohol disangkal, riwayat narkoba disangkal



Pemeriksaan fisik KU



: tampak sakit sedang



Kesadaran



: Komposmentis kooperatif



Tekanan darah: 110/70 mmHg Nadi



: 94x/menit



Nafas



: 25x/ menit



Suhu



: 36,8 0C



Mata



: konjungtiva tidak anemis sklera tidak ikterik



Leher



: JVP 5-2 cmH2O



Torak : Paru



: Inspeksi



: Asimetris, dada kanan lebih cembung dari kiri (statis), pergerakan dada kanan tertinggal dari kiri (dinamis)



Palpasi



: fremitus dada kanan melemah dari kiri



Perkusi



: Hipersonor (kanan) Sonor (kiri)



Auskultasi



: Kanan : suara napas menghilang Kiri



: suara nafas ekspirasi memanjang , whee



zing + , ronki + Ekstremitas



: edema -/-



4



Hasil laboratorium:      



Hb Leukosit Trombosit GDS Ureum Kreatinine



: 11.5 mg/dl : 15.320 g/dl : 641.000 mg/dl : 75 mg/dl : 11 : 0,7



     



Natrium Kalium Clorida Albumin Globulin Bil. Total



: 140 : 3,4 : 111 : 3.9 : 3.0 : 0.4



5



Analisa gas darah: dengan FiO2 = 0.35       



pH : 7.32 pCO2 : 52 pO2 : 89 Base ekses : -2.3 HCO3: 24 SO2 : 97% Kesan : asidosis respiratorik



Gambar 1. Rontgen toraks Kesan : pneumotoraks dekstra + tb paru + bronkiektasis terinfeksi. Dilakukan proof di LAM dekstra RIC V keluar udara Diagnosis kerja : pneumotoraks spontan sekunder dextra ec tuberkulosis paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT kat 1 Fase lanjutan bulan 1 + bronkiektasis terinfeksi Terapi     



Pemasangan Thorax Tube no 28 di LAM RIC V dextra O2 3L/Menit via nasal kanul IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf Drip aminofilin 10cc+40cc Nacl 0,9 % via syringe pump 4,2cc/jam Inj.Metilprednisolon 2x125 mg (Tappering Off)



     



Injeksi Ceftriaxon 1x2gram azitromisin tablet 1x 500 mg OAT FDC 1X 3 tab vit B6 1x 10 mg Ipratropium bromida dan salbutamol 6x1 respul Nebu asetilsistein 2x1 ampul



Follow up H-1 Subjektif



: Sesak napas sudah berkurang batuk berdahak ada sukar dikeluarkan, Demam tidak ada



Objektif



: tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 94 x/menit Nafas 24 x/menit Suhu 36.8 Paru : Auskultasi



: Kanan : suara napas melemah Kiri



: suara nafas ekspirasi memanjang ,



wheezing + , ronki + WSD : Undulasi ada Buble ada Cairan tidak ada Krepitasi tidak ada Kesan : WSD lancar Assesment



: pneumotoraks spontan sekunder dextra ec tuberkulosis paru



kasus



baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT kat 1 Fase Lanjutan Bulan 1 + bronkiektasis terinfeksi Planning



: o Terapi Oksigen dengan NRM 10L/i pada pukul 18.00- 06.00



o o o o o o o o o o



IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf Drip aminofilin 10cc+40cc Nacl 0,9 % via syringe pump 4,2cc/jam Inj. Metilprednisolon 2x125 mg Injeksi Ceftriaxon 1x2gram Azitromisin tablet 1x 500 mg OAT FDC 1X 3 tab vit B6 1x 10 mg Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 6x1 respul Nebu asetilsistein 2x1 ampul Kirim kultur dan sensitivit kuman banal sputum



Follow up H-2 Subjektif



: Sesak napas sudah berkurang batuk berdahak ada sukar dikeluarkan, Demam tidak ada



Objektif



: tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 88x/menit Nafas 23 x/menit Suhu 36.8 Paru : Auskultasi



: Kanan : suara napas melemah Kiri



: suara nafas ekspirasi memanjang ,



wheezing + , ronki + WSD : Undulasi ada Buble ada Cairan tidak ada Krepitasi tidak ada Kesan : WSD lancar Assesment



: pneumotoraks spontan sekunder dextra ec tuberkulosis paru



kasus



baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT kat 1 Fase Lanjutan Bulan 1 + bronkiektasis terinfeksi



Planning



: o Terapi Oksigen dengan NRM 10L/i pada pukul 18.00- 06.00 o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf o Drip aminofilin 10cc+40cc Nacl 0,9 % via syringe pump 4,2cc/jam o Inj. Metilprednisolon 2x125 mg o Injeksi Ceftriaxon 1x2gram o Azitromisin tablet 1x 500 mg o OAT FDC 1X 3 tab o vit B6 1x 10 mg o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 6x1 respul o Nebu asetilsistein 2x1 ampul



Follow up H-3 Subjektif



: Sesak napas sudah berkurang batuk berdahak ada sukar dikeluarkan, Demam tidak ada



Objektif



: tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 92 x/menit Nafas 22 x/menit Suhu 36.8 Paru : Auskultasi : Kanan : suara napas melemah sudah terdengar di Apeks Paru Kiri



: suara nafas ekspirasi memanjang , nki + berkurang , wheezing -



WSD : Undulasi ada



, ro



Buble ada Cairan tidak ada Krepitasi tidak ada Kesan : WSD lancar Laboratorium : Hb



: 11,7



Ht



: 36



Leukosit



: 6670



Trombosit : 445.000 Hitung jenis: 0/14/1/58/15/12. Kesan : Leukosit dalam batas normal Hasil labor sebelumnya Assesment



: pneumotoraks spontan sekunder dextra ec tuberkulosis paru



kasus



baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT kat 1 Fase Lanjutan Bulan 1 + bronkiektasis terinfeksi



Planning



: o Terapi Oksigen dengan NRM 10L/i pada pukul 18.00- 06.00 o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf o Aminophilin tablet 3 x 150 mg o Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg o Injeksi Ceftriaxon 1x2gram o Azitromisin tablet 1x 500 mg o OAT FDC 1X 3 tab o vit B6 1x 10 mg o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 6x1 respul o Nebu asetilsistein 2x1 ampu



Follow up H-4 Subjektif



: Sesak napas sudah berkurang batuk berdahak ada sukar dikeluarkan, Demam tidak ada



Objektif



: tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 92 x/menit Nafas 22 x/menit Suhu 36.8 Paru : Auskultasi : Kanan : suara napas melemah sudah terdengar di Apeks Paru Kiri



: suara nafas ekspirasi memanjang ,



, ronki + berkurang , wheezing WSD : Undulasi ada Buble ada Cairan tidak ada Krepitasi tidak ada Kesan : WSD lancar Assesment



: pneumotoraks spontan sekunder dextra ec tuberkulosis paru



kasus



baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT kat 1 Fase Lanjutan Bulan 1 + bronkiektasis terinfeksi



Planning



: o Terapi Oksigen dengan NRM 10L/i pada pukul 18.00- 06.00 o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf o Aminophilin tablet 3 x 150 mg



o Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg o Injeksi Ceftriaxon 1x2gram o Azitromisin tablet 1x 500 mg o OAT FDC 1X 3 tab o vit B6 1x 10 mg o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 6x1 respul o Nebu asetilsistein 2x1 ampul Follow up H-5 Subjektif



: Sesak napas tidak ada batuk berdahak sesekali, Demam tidak ada



Objektif



: tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 89 x/menit Nafas 20 x/menit Suhu 36.8 Paru : Auskultasi : Kanan : suara napas sama dengan yang kiri dan sudah terdengar di Apeks Paru Kiri



: suara nafas ekspirasi memanjang ,



, ro



nki + berkurang , wheezing WSD : Undulasi tidak ada Buble tidak ada Cairan tidak ada Krepitasi tidak ada Kesan : WSD tersumbat Telah dilakukan aspirasi pada selang torak tube, tetapi setelah aspirasi undulasi dan bubble tidak ada, sehingga dinilai bahwa paru telah kembang



Laboratorium : Hb



: 11,5



Ht



: 36



Leukosit : 5870 Trombosit : 445.000 Hitung jenis: 0/15/0/39/14/15. Kesan : Leukosit dalam batas normal



Assesment



: pneumotoraks spontan sekunder dextra ec tuberkulosis paru



kasus



baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT kat 1 Fase Lanjutan Bulan 1 + bronkiektasis terinfeksi Planning



: o Roentgen thorax o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf o Aminophilin tablet 3 x 150 mg o



Metilprednisolon tablet 2x8 mg



o Cefixim 2x 200 mg o Azitromisin tablet 1x 500 mg o OAT FDC 1X 3 tab o vit B6 1x 10 mg o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 4 x1 respul o Asetil sistein tablet 2x 200 mg Follow up H-6



Subjektif



: Sesak napas tidak ada batuk berdahak sesekali, Demam tidak ada



Objektif



: tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 87 x/menit Nafas 20 x/menit Suhu 36.8 Paru : Auskultasi



:



Suara napas bronkovesikuler ronki (-/-) wheezing (-/- ),Intensitas suara napas kanan sama dengan yang kiri dan sudah terdengar di Apeks Paru WSD : Undulasi tidak ada Buble tidak ada Cairan tidak ada Krepitasi tidak ada Kesan : WSD tersumbat (Paru Kembang) Roentgen :



Berdasarkan rontgen torak di atas, kesan paru telah kembang, tidak tampak lagi gambaran pneumotoraks sehingga torak tube di klemp selama 2x24 jam dan dilakukan evaluasi pengembangan paru. Dilakukan evaluasi secara klinis terutama adanya keluhan sesak napas yang muncul atau peningkatan keluhan sesak napas, pemeriksaan fisik torak dan evaluasi torak tube dalam 2x 24 jam. Setelah 2x 24 jam setelah evaluasi, kondisi pasien stabil atau tidak terdapat klinis dan tanda munculnya pneumotoraks kembali, akan dilakukan rontgen torak ulang untuk konfirmasi akhir sebelum torak tube di buka. Assesment



: pneumotoraks spontan sekunder dextra ec tuberkulosis paru



kasus



baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT kat 1 Fase Lanjutan Bulan 1 + bronkiektasis terinfeksi Planning



: o IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf o Aminophilin tablet 3 x 150 mg o



Metilprednisolon tablet 2x8 mg



o Cefixim 2x 200 mg o Azitromisin tablet 1x 500 mg o OAT FDC 1X 3 tab o vit B6 1x 10 mg o Nebu Ipratropium bromida dan salbutamol 3 x1 respul o Asetil sistein tablet 2x 200 mg



Follow up H-7 Subjektif



: Sesak napas tidak ada batuk berdahak sesekali, Demam tidak ada



Objektif



: tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 86 x/menit Nafas 20 x/menit Suhu 36.8 Paru : Auskultasi



:



Suara napas bronkovesikuler ronki (-/-) wheezing (-/- ),Intensitas suara napas kanan sama dengan yang kiri dan sudah terdengar di Apeks Paru WSD : Undulasi tidak ada Buble tidak ada Cairan tidak ada Krepitasi tidak ada Kesan : WSD tersumbat (Paru Kembang) Roentgen :



Dilakukan rongten torak ulang setelah torak tube di klemp selama 2x 24 jam. Berdasarkan rongten torak di atas tampak paru tetap kembang setelah dilakukan klemp torak tube 2x 24 jam, sehingga torak tube dapat di lepas Assesment



: pneumotoraks spontan sekunder dextra ec tuberkulosis paru



kasus



baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT kat 1 Fase Lanjutan Bulan 1 + bronkiektasis terinfeksi Planning



: o Rencana Pulang o Salbutamol tablet 3 x 2 mg o Aminophilin tablet 3 x 150 mg o



Metilprednisolon tablet 2x8 mg



o Cefixim 2x 200 mg o Azitromisin tablet 1x 500 mg o OAT FDC 1X 3 tab o vit B6 1x 10 mg o Asetil sistein tablet 2x 200 mg



BAB III DISKUSI DAN PEMBAHASAN Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 39 tahun di bangsal Paru RSUP Dr M. Djamil Padang selama 8 hari dengan keluhan utama sesak napas sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas tidak menciut dan dirasakan tiba-tiba setelah sebelumnya pasien mengalami batuk- batuk keras. Pasien didiagnosis kerja dengan pneumotoraks spontan sekunder dextra ec tuberkulosis paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT kat 1 fase lanjutan bulan 1+ bronkiektasis terinfeksi, berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium darah dan rongten torak. Pada kasus ini terjadi pneumotoraks sebagai komplikasi dari penyakit tuberkulosis paru yang termasuk dalam kategori pneumotoraks spontan sekunder (PSS). Penelitian oleh Myers melaporkan bahwa tuberkulosis selalu menunjuk-kan terjadinya pneumotorakss. Pasien sebelumnya telah didiagnosis tuberkulosis paru dan telah mendapatkan 2 bulan OAT fase intensif dengan hasil pemeriksaan BTA sputum awal 2+ kemudian konversi menjadi negatif pada akhir pengobatan fase intensif sehingga pada pasien pengobatan dilanjutkan dengan OAT fase lanjutan, telah diminum selama 17 hari. pneumotoraks terjadi setelah sebelumnya pasien batukbatuk keras yang menyebabkan pecahnya bleb/kavitas subpleura akibat peningkatan tekanan intrapulmoner. Batuk-batuk timbul didasari adanya penyakit bronkiektasis terinfeksi. Pasien telah dilakukan pemasangan torak tube no 28 berdasarkan hasil rontgen torak dengan luas pneumotoraks 58 %, pasien dirawat di bangsal paru dan diberi terapi oksigen untuk mempercepat pengembangan paru dan untuk bronkiektasis terinfeksinya diterapi berupa drip amino philin 1 ampul dengan syringe pump, nebu combiven, nebu flumucyl, injeksi methylprednisolone, injeksi ceftriaxone, dilakukan evaluasi berdasarkan klinis dan pemeriksaan fisik harian serta laboratorium per 3 hari untuk menurunkan terapi



bronkodilator dan antibiotic. Selama rawatan kemudian OAT FDC dilanjutkan untuk tatalaksana TB paru nya. Evaluasi pengembangan paru dinilai berdasarkan klinis, pemeriksaan fisik paru dengan melakukan pemeriksaan auskultasi paru, membandingkan intensitas suara napas antara kedua hemitorak dan menilai apakah suara napas telah terdengar sampai apeks paru. Selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap WSD, dilakukan penilaian terhadap undulasi, bubble, cairan dan kemungkinan komplikasi berupa emfisema subkutis yang ditandai adanya krepitasi pada kulit di torak. Pemeriksaan yang menunjukkan bahwa paru telah kembang adalah suara napas telah terdengar di seluruh lapangan paru hingga ke apeks paru dan intensitas suara napas antara kedua hemitorak sama atau hampir sama. Selanjutnya pada pemeriksaan WSD tak tampak lagi adanya undulasi ataupun bubble. Bila paru telah kembang secara klinis, maka dperlukan konfirmasi lewat pemeriksaan rontgen torak. Bila pada pemerikssaan rontgen torak telah terbukti kembang, maka dilakukan klemp WSD selama 2x24 jam untuk uji coba pengembangan paru, selanjutnya dilakukan rontgen torak ulang setelah 2x24 jam, jika paru tetap kembang maka torak tube dapat dilepas. Pengembangan paru pada pasien ini terjadi pada rawatan hari ke 4 sesuai pemeriksaan klinis dan WSD selanjutnya dibuktikan dengan rongten torak, dilakukan klemp WSD selama 2x24 jam dan pada rawatan hari ke 8, selang torak tube dapat dilepas setelah dilakukan rontgen ulang. Pasien kemudian direncanakan control kembali ke poli paru setelah 5 hari, dengan melanjutkan obat OAT. Diberikan edukasi terhadap pasien sebelum pulang terhadap penyakitnya Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi menular, yang menyerang paru yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberkulosis.4 Sekitar 80% Mycobacterium tuberkulosis menginfeksi paru, tetapi dapat juga menginfeksi organ tubuh lainnya seperti kelenjer getah bening, tulang belakang, kulit, saluran kemih, otak, usus, mata dan organ lain karena penyakit tuberkulosis merupakan penyakit



sistemik yaitu penyakit yang dapat menyerang seluruh bagian tubuh dan dapat menimbulkan kerusakan progresif.13 Penyebab penyakit TB paru adalah Mycobacterium tuberkulosis. Bakteri ini panjangnya 1-4 mikron x 0,3-0,6 mikron, tumbuh optimal pada suhu sekitar 37˚C dengan pH optimal 6,4-7, dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak mempunyai selubung tetapi lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid.4,5 Gambar 2.1 Mycobacterium tuberkulosis



Sebagian besar komponen M. tuberkulosis adalah lemak/lipid sehingga bakteri mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Bakteri ini juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob. Bakteri ini mati pada pemanasan 100˚C selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60˚C selama 30 menit. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap, namun tidak tahan terhadap sinar ultraviolet.4 Patogenesis Sumber penularan adalah penderita TB paru BTA positif (+) yang dapat menularkan kepada orang yang berada disekitarnya atau disekelilingnya terutama kontak erat dengan penderita. Pada waktu batuk atau bersin penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet nuklei. Partikel yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, tergantung ada tidaknya sinar matahari, ventilasi yang baik dan kelembapan.4 Bakteri TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe atau langsung ke organ terdekatnya. Tidak semua kuman TB paru yang masuk ke dalam tubuh akan berkembang menjadi penyakit TB paru. Mekanisme pertahanan tubuh akan segera bekerja dan kuman yang masuk tersebut akan dilumpuhkan. Namun jika kondisi kesehatan sedang buruk maka daya tahan tubuh akan berkurang, sehingga kemungkinan terjadinya penyakit TB paru akan lebih besar.1,5,8



Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya infeksi adalah:16 a. Harus ada sumber infeksi. b. Jumlah basil sebagai penyebab infeksi harus besar. c. Virulensi yang tinggi dari basil TB. d. Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang.



Tuberkulosis Paru Primer Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Infeksi ini dapat terjadi dalam paru dan organ lain seperti hidung, tonsil, usus, kulit, kelenjar parotis, dan konjungtiva. Namun sebagian besar (95%) infeksi primer terjadi di dalam paru. Hal ini disebabkan penularan basil TB sebagian besar melalui udara, masuk melalui saluran pernapasan dan karena jaringan paru mudah terkena infeksi TB (susceptible). Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainya seperti bagian paru lain, selaput otak, otak, tulang, hati, ginjal, dan lain-lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, dan saluran napas.14 TB paru primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil TB pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil tersebut. Tiga ribu droplet nuklei akan dikeluarkan oleh pasien TB BTA positif yang sedang batuk dan berbicara selama 5 menit. Droplet nuklei ini dapat terhirup oleh orang-orang yang ada di sekitar penderita ini, sampai kejauhan sekitar 3 meter.



Kuman TB yang ada dalam droplet nuklei yang terhirup, dapat menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkus dan alveoli.169 Pada permulaan infeksi, basil TB masuk ke dalam tubuh yang belum mempunyai kekebalan, selanjutnya tubuh mengadakan perlawanan dengan cara yang umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil TB. Reaksi tubuh ini disebut reaksi non spesifik yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada tahap ini tubuh menunjukkan reaksi radang yakni kalor, rubor, tumor, tetapi uji kulit dengan tuberkulin masih negatif. 16 Setelah reaksi radang non spesifik dilampaui, reaksi tubuh memasuki tahap alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada saat itu sudah terbentuk zat anti sehingga tubuh dapat menunjukkan reaksi yang khas yaitu peradangan umum ditambah uji kulit dengan tuberkulin yang positif.17 Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh. Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB paru. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten. Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB paru.18



Tuberkulosis Paru Post Primer19 Banyak istilah yang digunakan seperti: post primary tuberkulosis, progressive tuberkulosis, adult type tuberkulosis, phthysis dan lain-lain. Infeksi dapat berasal dari : a. Dari luar (eksogen): infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB. b.Dari dalam (endogen): infeksi berasal dari basil yang sudah berada dalam tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya tenang dan oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali.



Gambaran Klinis Gambaran klinis TB paru dibagi atas 2 golongan yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik.11 Gejala Sistemik a. Demam Biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip dengan influenza yang segera mereda. Demam seperti ini dapat hilang timbul. Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40˚C. b. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun.5 Gejala Respiratorik5 a. Batuk Gejala batuk timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk bersifat ringan sehingga dianggap batuk biasa. Pada



penderita TB paru, batuk akan timbul ketika penyakit telah mengenai bronkus, dan batuk mula-mula disebabkan karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat terjadi peradangan pada bronkus sehingga terjadi batuk yang produktif, batuk ini dapat terjadi 2-3 minggu. b. Batuk Darah Batuk darah jarang merupakan tanda dari permulaan dari penyakit tuberkulosis atau initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Seringkali darah yang dibatukkan pada penyakit tuberkulosis bercampur dahak yang mengandung basil tahan asam. Batuk darah juga dapat terjadi pada tuberkulosis yang sudah sembuh, hal ini disebabkan karena adanya robekan jaringan paru. Pada keadaan ini dahak sering tidak mengandung basil tahan asam (negatif).12 c. Sesak napas Sesak napas pada tuberkulosis disebabkan oleh penyakit yang luas pada paru atau karena adanya penggumpalan cairan di rongga pleura sebagai komplikasi TB paru. Penderita yang sesak napas sering mengalami demam dan berat badan menurun. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapat. d. Nyeri dada Gejala ini biasanya ditemukan pada penderita yang mempunyai keluhan batuk kering (non produktif) dan nyeri ini akan timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.



Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru5 Tuberkulosis paru adalah TB yang hanya menyerang jaringan paru tidak termasuk pleura (selaput paru). Tuberkulosis paru terbagi atas : a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) a.1 TB Paru BTA positif a.1.1 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. a.1.2 Hasil dari pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif dan terdapat kelainan radiologik yang menunjukkan gambaran TB aktif. a.1.3 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan hasil BTA positif dan biakan positif.13



a.2 TB Paru BTA negatif a.2.1 Hasil pemerikasaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif, sedangkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. a.2.2 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, dan biakan M. tuberkulosis positif.



b. Berdasarkan riwayat pengobatan13 Berdasarkan riwayat pengobatan penderita, dapat digolongkan atas tipe: b.1 Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b.2 Kasus Kambuh (Relaps) adalah penderita yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan OAT dan dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. b.3 Lalai (Defaulted/Drop out) adalah penderita yang sudah mengalami pengobatan kurang lebih 1 bulan, dan berturut-turut tidak mengambil obat 2 bulan atau lebih, sebelum masa pengobatannya selesai kemudian datang lagi berobat. b.4 Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau akhir pengobatan. b.5 Kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan BTA positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori dua dengan pengawasan yang baik.



Tuberkulosis Ekstra Paru5 Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya pleura, kelenjer getah bening, selaput otak, tulang, ginjal dan lain-lain.



TB ekstra paru berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:14



a. TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar limfe, pleuritis eksudative unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b. TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, perikarditis, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.



Komplikasi5 Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin timbul pada penderita tuberkulosis paru adalah: a. Efusi pleura Efusi pleura adalah suatu keadaan di mana terdapatnya penumpukan cairan dalam rongga pleura. Efusi pleura dapat disebabkan kerena kondisi gangguan pada reabsorbsi dan peningkatan produksi cairan pleura (akibat infeksi pada pleura). Pada penderita tuberkulosis paru, efusi pleura disebabkan karena meningkatnya permeabilitas kapiler yang disebabkan karena infeksi bakteri Mycobacterium tuberkulosis20 b. Batuk darah (Hemoptisis) Hemoptisis adalah darah yang keluar dari mulut saat batuk. Darah yang dikeluarkan pada penderita tuberkulosis paru dapat berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang banyak. Batuk darah pada tuberkulosis paru merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitis.2115 b. Bronkiektaksis



Bronkiektaksis merupakan dilatasi bronchus dan bronkhiolus kronis permanen. Bronkietaksis sering kali ditunjukkan oleh tanda klinis infeksi yang kronis atau berulang pada jalan napas yang melebar dan adanya sekret yang menumpuk pada jalan napas. Pada penderita tuberkulosis paru, bronkiektaksis ditandai dengan gejala batuk kronis dan produksi sputum purulen kehitaman.5 c. Empiema Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga pleura. Awalnya, cairan pleura adalah cairan encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi sering berlanjut menjadi stadium fibropurulen dan akhirnya sampai pada keadaan dimana paru-paru tertutup oleh membran eksudat yang kental. Hal ini terjadi jika abses paru-paru meluas sampai rongga pleura.20 d. Gagal napas Gagal



nafas



adalah



suatu



kondisi



medis



yang



ditandai



dengan



ketidakmampuan paru untuk mensuplai oksigen secukupnya ke seluruh tubuh atau mengeluarkan karbondioksida dari aliran darah. Banyak keadaan-keadaan dan faktorfaktor, seperti overdosis obat-obatan atau alkohol, keracunan karbonmonoksida, komplikasi dari penyakit paru obstruktif kronis dan trauma dada, dapat menyebabkan gagal nafas. Kondisi ini merupakan suatu keadaan yang mengancam keselamatan jiwa karena suplai oksigen yang tidak cukup atau terlalu banyak kandungan karbondioksida dalam suplai darah dapat menyebabkan kerusakan jaringan, yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kegagalan organ yang multipel.516 e. pneumotorakss



pneumotorakss



adalah



suatu



kondisi



medis



yang



ditandai



dengan



mengempisnya paru akibat bocornya udara ke ruangan antara dua lapisan pleura (rongga pleura). Pleura adalah kantung yang terdiri dari dua lapisan yang meliputi paru-paru dan memisahkannya dari dinding dada. Sejumlah kecil cairan di dalam rongga pleura mengurangi gesekan dan memfasilitasi gerakan pernafasan. Cairan ini juga membantu paru-paru untuk tetap mengembang dengan menciptakan tekanan negatif. Pada pneumotorakss, adanya udara antara dua lapisan pleura meningkatkan tekanan pada rongga dada dan menyebabkan paru-paru yang elastis tertekan, menyebabkan paru mengempis. Oleh karena itu, paru-paru tidak lagi dapat mengembang sebagaimana biasanya. pneumotorakss dapat menyebabkan nyeri dada tajam yang tiba-tiba ketika paru-paru mengempis, diikuti dengan kesulitan bernafas dan pernafasan yang pendek.5 pneumotorakss adalah keadaan terdapatnya udara bebas di dalam rongga pleura.



pneumotorakss



dapat



dibagi



menjadi



pneumotorakss



spontan



dan



pneumotorakss traumatik.1 pneumotorakss spontan terjadi tanpa didahului oleh trauma sebelumnya sedangkan pneumotorakss traumatik didahului oleh trauma baik berupa trauma langsung ataupun tidak langsung. pneumotorakss spontan dibagi menjadi dua yaitu pneumotorakss spontan primer dan pneumotorakss spontan sekunder (tabel 1). pneumotorakss spontan primer terjadi pada orang yang sehat tanpa riwayat sakit paru sebelumnya sedangkan pneumotorakss spontan sekunder terjadi akibat komplikasi dari penyakit paru sebelumnya.1,3,4



Paru dilapisi oleh dua lapisan pleura dan dibatasi oleh rongga pleura. 5 Tekanan pada rongga ini negatif terhadap tekanan atmosfer. Apabila udara dapat masuk ke dalam rongga pleura maka rongga pleura akan kehilangan tekanan negatifnya sehingga mendesak paru menjauh dari dinding dada sampai tercapai tekanan yang sama antara tekanan di rongga pleura dengan tekanan atmosfer atau sampai terjadi penutupan kebocoran. Apabila udara yang masuk ke rongga pleura saat inspirasi dan saat ekspirasi tidak dapat keluar oleh karena mekanisme seperti katup ventil sehingga tekanan rongga pleura lebih tinggi dari atmosfer dan akan menekan mediastinum serta vena kava disebut sebagai tension pneumotorax. Tension pneumotorax adalah keadaan kegawatdaruratan medis yang sering ditandai dengan ketidakstabilan hemodinamik dan dapat berakibat kematian.1,3 High resolution computed tomoghraphy (HRCT) merupakan modalitas diagnostik untuk penyakit paru. Kemampuan Computed Tomography scan (CT scan) konvensional dalam menilai penyakit parenkim paru terbatas pada ketidakmampuan untuk menampilkan detail anatomis parenkim paru sehingga mempersulit penilaian secara tepat anatomis paru normal atau abnormal.



Penyempurnaan tehnik dan



teknologi CT scan menjadi HRCT diperkenalkan oleh Todo dkk dikutip dari 6 tahun 1982 yang menampilkan peningkatan resolusi CT scan untuk penilaian penyakit paru. Penatalaksanaan pneumotorakss spontan primer ditujukan dua hal yaitu evakuasi udara dari rongga pleura dan mengurangi kemungkinan kekambuhan. 5,6 Diantara klinisi



terdapat



kontroversi



dalam



pneumotorakss spontan primer.7,8,9



penatalaksanaan



pencegahan



rekurensi



Tabel 1. Klasifikasi pneumotorakss



pneumotoraks



Traumatik



Spontan



Primer



Sekunder



Non-iatrogenik



Kecelakaan



Iatrogenik



Buatan



Dikutip dari (1)



PNEUMOTHORAKS SPONTAN PRIMER Pneumotoraks spontan primer adalah pneumotorakss yang terjadi pada orang yang sehat tidak memiliki riwayat penyakit paru sebelumya. pneumotorakss spontan primer terutama pada usia dewasa muda dan sangat jarang terjadi pada anak. Rentang usia antara 15-34 tahun paling sering terjadi pada usia dekade ketiga dan jarang



terjadi pada usia di atas 40 tahun. 1,9,10 pneumotorakS spontan primer lebih sering terjadi pada laki–laki dibandingkan dengan perempuan dengan rasio perbandingan 18–28 per 100.000 laki–laki pertahun dan 2–6 per 100.000 perempuan pertahun. Studi survey di masyarakat Swedia yang melibatkan 2414 pasien menunjukkan rasio 3 : 1. Studi yang dilakukan di Minnesota USA insidens pneumotorakss spontan primer 7,4 per 100.000 laki–laki pertahun dan 1,2 per 100.000 perempuan pertahun. Frekuensi kejadian pneumotorakss spontan primer pada paru kanan dan paru kiri relatif sama. pneumotorakss spontan primer dapat berhubungan dengan kelainan kongenital seperti sindrom Marfan, defisiensi enzim alfa 1-antitripsin atau beberapa faktor lingkungan seperti merokok.1,4



Patogenesis Pada awal abad ke 20 pneumotorakss spontan dipahami oleh para klinisi disebabkan oleh tuberkulosis paru yang kemudian disadari bahwa banyak kasus pneumotorakss yang terjadi tanpa penyakit paru yang mendasarinya. Kjaergaard dari 1



dikutip



melakukan pengamatan pada 51 kasus pneumotorakss spontan tanpa penyakit



paru yang mendasarinya dan mengemukakan tentang konsep pneumotorakss spontan primer.1 Mekanisme terjadinya pneumotorakss spontan primer oleh karena ruptur bleb yang terletak pada parenkim paru yang berhubungan dengan pleura viseral. Bleb dapat terjadi oleh karena defek kongenital dari jaringan penyangga alveolus subpleura dan studi dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan terdapatnya hubungan antara bleb dengan rongga alveoli. Pada pasien pneumotorakss spontan



primer yang dilakukan pembedahan lebih dari 90 persen ditemukan bleb sering ditemukan lebih dari satu dan lebih banyak terletak di apeks paru bahkan sering ditemukan di paru kontralateral.1,2,10,11 Mekanisme terjadinya pneumotorakss spontan primer masih controversial. Dahulu dipercaya bahwa inflamasi saluran napas distal dan obstruksi yang disebabkan faktor internal dan eksternal kemudian menghasilkan bula yang kecil (bleb) serta tidak menimbulkan gejala. Bleb ini sering ditemukan di apeks paru. Studi yang dilakukan oleh Noppen dkk mengemukakan konsep tentang pleural porosity.10 Pada awalnya mereka mengamati sebuah kasus pada pasien yang diinhalasi dengan fluorescein 10 – 15 menit sebelum dilakukan tindakan torakoskopi. Mereka menemukan bahwa terdapat area yang terlihat normal dengan lampu putih kemudian menjadi abnormal ketika dilakukan dengan menggunakan fluoresein-enhanced autofluorescence thoracoscopy. Hal ini menunjukkan bahwa pleural porosity terjadi pada pleura viseral. Mekanisme terjadinya pleural porosity adalah sel mesotel digantikan oleh lapisan elastofibrotik sel – sel inflamasi yang meningkatkan pleural porosity.1,11,12 Tinggi badan merupakan faktor risiko terjadinya pneumotorakss spontan primer oleh karena gradien tekanan pleura pada apeks paru lebih tinggi dari paru bagian bawah disebabkan oleh gravitasi. Hal ini dapat diilustrasikan seperti sebuah per, bagian atas per akan lebih teregang dibandingkan bagian bawah per (gambar 1). Alveoli pada apeks paru pada orang yang lebih tinggi lebih terdistensi dibandingkan orang yang lebih pendek, hal ini menyebabkan bleb subpleura mudah terjadi pada



orang yang lebih tinggi. Selain stres mekanis tersebut, apeks paru relatif iskemia sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Bleb lebih mudah terjadi karena inflamasi yang terjadi pada zona maksimal stres.1,4 Studi pada penerimaan militer dengan pneumotorakss yang dilakukan oleh Withers dkk



dikutip dari 4



menemukan bahwa orang



yang mengalami pneumotorakss 5 cm lebih tinggi dan 11 kg lebih



rendah



dibandingkan dengan rerata prajurit yang diterima.



Gambar 1 Ilustrasi per ketergangan dipengaruhi gravitasi . Dikutip dari (1) Hasil yang sama juga ditunjukkan pada studi di Inggris menunjukkan hasil yang sama, studi di Jepang yang membandingkan antara pasien pneumotorakss dengan



kontrol tidak menemukan perbedaan tinggi badan akan tetapi panjang paru pasien pneumotorakss lebih panjang dan lebih kurus dibandingkan dengan kontrol. Studi di Amerika menunjukkan bahwa prevalensi laki–laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan juga disebabkan oleh tinggi badan.4 Kebiasaan



merokok



berhubungan



dengan



tingginya



angka



kejadian



pneumotorakss spontan primer dan merupakan salah satu faktor predisposisi. Studi yang dilakukan di swedia menemukan hubungan bermakna antara jumlah rokok dan timbulnya pneumotorakss spontan primer. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko terjadinya pneumotorakss 22 kali pada laki–laki dan 9 kali pada perempuan.1,2,13 Suatu studi epidemiologi di masyarakat menunjukkan terdapatnya hubungan waktu antara kebiasaan merokok dengan insidens terjadinya pneumotorakss spontan. Penurunan konsumsi rokok diikuti dengan penurunan insidens kejadian pneumotorakss spontan primer di masyarakat dalam waktu 1-2 tahun. Bronkiolitis ditemukan pada 70 dari 79 pasien pneumotorakss spontan primer dan perokok yang dilakukan operasi. 14 Patogenesis terjadinya pneumotorakss spontan primer salah satunya adalah ruptur bleb subpleura. Bleb kemungkinan timbul oleh karena akibat terjadinya inflamasi pada saluran napas salah satunya adalah bronkiolitis.1,3,14 Dua buah studi menyimpulkan bahwa pneumotorakss spontan lebih mudah timbul dalam beberapa hari ketika terjadi perubahan tekanan atmosfer. Diasumsikan bahwa udara pada bleb di apeks paru tidak berhubungan bebas dengan saluran napas sehingga ketika terjadi perubahan tekanan atmosfer, tekanan pengembangan blebs meningkat dan terjadi ruptur bleb. Akan tetapi dua studi yang lain menemukan tidak



terdapat



hubungan



bermakna



antara



perubahan



atmosfer



dan



terjadinya



pneumotorakss spontan.4 Pada satu studi terdapat hubungan antara badai dan guntur dengan terjadinya pneumotorakss spontan. Noppen dkkdikutipdari



4



mengemukakan



tentang kejadian 5 episode pneumotorakss spontan primer pada 4 pasien dengan paparan musik yang keras. pneumotorakss spontan primer kemngkinan merupakan penyakit herediter. Hal ini dikemukakan pada studi yang dilakukan di angkatan bersenjata Israel 11,5% dari 208 pasien dengan pneumotorakss spontan primer memiliki hubungan keluarga. Pada analisis lebih dalam terdapat 15 keluarga dengan kemungkinan pneumotorakss spontan primer herediter dengan pola autosomal dominan X link resesif. Laporan lain tentang pneumotorakss familial berhubungan dengan human leukocyte antigen (HLA) halotype A2 , B40, akan tetapi penelitian lain tidak dapat menemukan hubungan antara HLA dengan kejadian pneumotorakss. Penyakit – penyakit herediter yang berhubungan



dengan



pneumotorakss



spontan



termasuk



sindrom



Marfan,



homosistinuria, sindrom Ehlers-Danlos dan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin.4 Selain itu terdapat sindrom birt-hogg-duboac yang berhubungan dengan kejadian pneumotorakss, tumor jinak kulit dan sindrom tumor ginjal ditandai dengan mutasi gen Foliculin (FLCN) dan merupakan autosomal dominan gen ini terletak pada kromosom17p11.2. Terdapat pula sindrom yang berhubungan dengan kejadian pneumotorakss dengan mutasi FLCN akan tetapi tidak terdapat tumor jinak kulit dan tumor ginjal.,15



Manifestasi klinis Usia puncak timbulnya pneumotorakss spontan primer pada usia 20 tahunan dan sangat jarang terjadi pada usia diatas 40 tahun. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah nyeri dada dan sesak. Nyeri dada terutama terlokalisir pada dada yang terdapat pneumotorakss. Nyeri terutama bila pasien menarik napas dan berubah posisi. Gejala pada pneumotorakss spontan primer terkadang ringan bahkan tak bergejala dan datang mencari pertolongan beberapa hari setelah gejala.1 Makin lama dilakukan tindakan makin besar risiko terjadinya reexpansion pulmonary edema (REPE). Beratnya gejala tidak berbanding lurus dengan luasnya pneumotorakss, ketika gejala yang berat disertai dengan gangguan kardiovaskular yang berat harus dicurigai terdapat tension pneumotorax. Tension pneumotorax dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya sindrom horner yang disebabkan karena traksi pada ganglion simpatis akibat pergeseran mediastinum.4 Diagnosis Pada pasien dengan perawakan muda, tinggi, kurus diagnosis biasanya ditegakkan dengan riwayat klinis dan pemeriksaan fisis. Sebagian besar pneumotorakss spontan primer ditegakkan dari foto toraks tegak posteroanterior. Dari foto toraks dapat terlihat garis pleura dengan atau tanpa terdapatnya air fluid level akan tetapi terkadang sulit untuk dideteksi terutama pada pneumotorakss yang minimal, emfisema atau foto toraks yang terlalu keras. Selain itu pneumotorakss juga



dapat ditegakkan dengan menggunakan ultrasound.4 Computed tomography (CT scan) dada dapat digunakan untuk mendeteksi pasien dengan pneumotorakss yang minimal (2 cm. 2 Sedangkan ACCP menggunakan kriteria 3 cm sebagai pneumotorakss besar.16



Gambar 2 Pengukuran besar pneumotorakss ACCP (a) dan BTS (b) Dikutip dari (4)



Kekambuhan pneumotorakss spontan primer Angka kekambuhan pneumotorakss spontan primer berkisar antara 23 % sampai 50% dengan rerata 25%. Kekambuhan biasanya terjadi dalam waktu 1-2 tahun setelah episode pertama. Angka kekambuhan meningkat 62 % setelah episode kedua pneumotorakss dan 83 persen setelah episode ketiga. Tidak ada predileksi lokasi hemitoraks kiri atau kanan pada pneumotorakss pertama. Lebih dari 75 % kekambuhan lebih banyak terjadi pada lokasi pneumotorakss yang sama. Walaupun bleb diketemukan di kedua hemitoraks pada banyak pasien pneumotorakss spontan primer akan tetapi risiko terjadinya pneumotorakss pada hemitoraks kontralateral hanya 5-10 %. Kematian sangat jarang terjadi pada pneumotorakss spontan primer. Angka yang dilaporkan adalah 0,09 % pada laki–laki dan 0,06 % pada perempuan.1 Peran high resolution CT scan pada pneumotorakss spontan primer High resolution CT adalah CT scan yang menggunakan potongan tipis (0,625 – 2 mm) dan menggunakan high spatial frequency reconstruction algorithm untuk mendeteksi dan menggambarkan kelainan yang melibatkan parenkim paru dan saluran



napas.



High



resolution



CT



scan



mempuyai



keunggulan



dalam



menggambarkan morfologi paru terutama pada diffuse lung disease yang terlihat normal pada foto toraks. High resolution CT menggambarkan kontur dan morfologi paru dengan lebih jelas dibandingkan dengan CT scan biasa. Pada kasus pneumotorakss spontan primer HRCT dapat mendeteksi bleb atau bula subpleura dengan lebih jelas.



Penggunaan HRCT disarankan menggunakan teknik dosis



paparan rendah untuk pasien muda dan memerlukan serial HRCT untuk evaluasi.5



American College of Chest Physicians guidelines tidak merekomendasikan penggunaan CT scan secara rutin pada pasien dengan pneumotorakss spontan primer episode pertama dan tidak ada peran yang jelas dari CT scan pada pasien dengan pneumotorakss spontan primer yang berulang, kebocoran udara persisten atau perencanaan intervensi bedah.16 British Thoracic Society guidelines tidak menyatakan secara eksplisit tentang peran CT scan dalam penatalaksanaan pneumotorakss spontan primer dan menyatakan bahwa CT scan adalah baku emas untuk diagnosis pneumotorakss spontan primer akan tetapi terdapat kendala kepraktisan dalam penggunaan klinis.2 Huang dkk17 menggunakan HRCT pada pasien dengan pneumotorakss spontan primer untuk melihat terdapatnya bula atau bleb dengan ketebalan potongan 1 mm setiap 5 mm dan menemukan bahwa terdapat hubungan antara rekurensi pneumotorakss spontan primer pada hemitoraks kontralateral dengan terdapatnya bula atau bleb pada paru kontralateral. Sihoe dkk18 juga menggunakan HRCT pada 28 pasien dengan pneumotorakss spontan primer dengan ketebalan potongan 1 mm setiap 10 mm menemukan bahwa terdapat hubungan bermakna antara terdapatnya bula atau bleb (gambar 3) dengan peningkatan risiko terjadinya pneumotorakss pada hemitoraks tersebut. Penelitian oleh Huang dan Sihoe menunjukkan pentingnya penggunaan HRCT pada pasien dengan pneumotorakss spontan primer dalam memprediksi kemungkinan terjadinya rekurensi. Tetapi pada penelitian terakhir yang dilakukan oleh Ouanes-Berbes 19 pada 80 pasien dengan pneumotorakss spontan primer menggunakan HRCT dengan ketebalan potongan 1 mm setiap 10 mm menemukan bahwa tidak terdapat hubungan



bermakna antara lesi pada CT scan dengan rekurensi pneumotorakss. Perbedaan ini dapat terjadi oleh karena terdapat perbedaan protokol HRCT dan follow up dari masing–masing penelitian. Dibutuhkan penelitian dengan desain prospektif, protokol HRCT dengan lebih sensitif, jumlah sampel yang lebih banyak dan waktu follow up yang lebih lama. Jika CT scan dapat memprediksi kemungkinan terjadinya rekurensi maka CT scan dapat mempunyai peran dalam menentukan intervensi pencegahan primer pada individu dengan risiko tinggi seperti penerbang atau penyelam.4



A



B



Gambar 3 Gambaran bleb pada apex paru kanan (A) dan gambaran bula pada apeks paru kanan



(B)



Dikutip dari (6)



Tatalaksana Perdebatan tentang penatalaksanaan bedah pada pasien pneumotorakss spontan primer didasari oleh patogenesis terjadinya pneumotorakss spontan primer yaitu pecahnya bleb atau bula subpleura dan terdapatnya pleural porosity.1,4 Insidens terjadinya kebocoran udara pada pecahnya bleb atau bula berkisar antara 3,6-73 % dan insidens rekurensi pada pasien pneumotorakss spontan primer yang dilakukan reseksi bula atau bleb sekitar 20%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penyebab lain terjadinya kebocoran udara yaitu pleural porosity.1 Penatalaksanaan ditujukan pada 2 hal yaitu pengeluaran udara dari rongga pleura dan mencegah rekurensi. British thoracic society 2011 mengeluarkan panduan tentang penatalaksanaan pneumotorakss spontan (gambar 3). Terdapat kontroversi tentang penatalaksanaan awal pneumotorakss spontan primer ACCP menyatakan tindakan aspirasi tidak sesuai untuk penatalaksanaan pneumotorakss spontan primer yang luas akan tetapi BTS merekomendasikan tindakan aspirasi pada penatalaksanaan awal pneumotorakss spontan primer yang luas.9 Tatalaksana pencegahan rekurensi meliputi pleurodesis lewat selang dada, Video Assisted Thoracoscopy Surgery (VATS) dan torakotomi. Torakotomi mempunyai kemungkinan rekurensi yang paling kecil yaitu 1% sedangkan metode VATS



mempunyai



rekurensi



sebesar



5%,



sedangkan



pleurodesis



dengan



menggunakan selang dada memiliki angka rekurensi sebesar 8-25%. Penelitian yang dilakukan oleh Schoop dkk20 menunjukkan penatalaksanaan pneumotorakss spontan primer pertama kali dengan menggunakan metode VATS lebih efektif secara biaya



dibandingkan dengan drainase. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Schramel dkk.21 mengemukakan bahwa VATS lebih efektif dalam hal dibandingkan dengan penatalaksanaan secara konservatif



biaya



pada pneumotorakss



spontan primer pertama kali maupun rekurens. American College of Chest Physician merekomendasikan tindakan untuk mencegah rekurensi pada penumotoraks spontan primer dilakukan setelah terjadi rekurensi.16



Gambar 4. Alur Penatalaksanaan pneumotorakss spontan BTS 2011 (2)



Dikutip dari



BAB IV KESIMPULAN 1. pneumotoraks



adalah



suatu



kondisi



medis



yang



ditandai



dengan



mengempisnya paru akibat bocornya udara ke ruangan antara dua lapisan pleura (rongga pleura). 2. Diagnosis pneumotoraks pada pasien ditegakkan dari anamnesis,:Sesak napas tidak menciut dan dirasakan tiba-tiba setelah sebelumnya pasien mengalami batuk- batuk keras , Pemeriksaan fisik , Pemeriksaan penunjang dari roentgen berupa gambaran hiperradiolusen avaskuler di hemitorak kanan dengan batas paru kolaps (pleural line), 3. Pada kasus ini terjadi pneumotoraks sebagai komplikasi dari penyakit tuberkulosis paru yang termasuk dalam kategori pneumotoraks spontan sekunder 4. Pengenalan gejala & tanda dari pneumotoraks sangat penting karena dengan peatalaksanaan yang tepat dan segera dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas.



DAFTAR PUSTAKA



1. Light RW ed. Pleural Diseases, 5th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins; 2007.



2. Noppen T, Keukeleire P, Pneumothorax. Respiration. 2008: 121-7. 3. Chang AK, Barton ED. Pneumoyhorax Iatrogenic, Spontaneous, and Pneumomediastinum. USA: Chang and Associates; 2012. Diakses dari http://www.emedicine.com/. 14 Agustus 2016.



4. Bascom R, Alam S. Pneumothorax. USA: Bascom and Associates; 2010. Diakses dari http://www.emedicine.com/. 14 Agustus 2016.



5. Bauman MH, Strange C, Heffner JE, Light R, Kirby TJ, Kien J, et al. Management of Spontaneous Pneumothorax: an American College of Chest Phycians Delphi Consensus Statement. 2001; 119:590-602. Diakses dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. 14 Agustus 2016.



6. Gupta D, Hansell A, Nichols T, Duong T, Ayres JG, Strachan D. Epidemiology of Pneumothorax in England. Thorax. 2000; 55(1):666-71.



7. Weissberg D, Refaely Y. Pneumothorax Experience with 1,199 Patients. Chest Journal. 2000; 117(1):1279-85.



8. Khan N, Jadoon H, Zaman M, Subhani A, Khan AR, Ihsanullah M. Frequency and Management Outcome of Pneumothorax Patients. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2009; 21(1):122-424.



9. Nugroho APA. Pengelolaan Penderita Pneumothoraks Spontan yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Semarang selama periode 2000-2006. Artikel Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2007.



10. Arief N, Elisna S. Pneumothoraks. 2009; p.1-2.



11. Steven AS, John EH. Spontaneous Pneumothorax. The new England Journal of Medicine;2010:869.



12. Sahn SA, Heffner JE, Spontaneous Pneumothorax. The new England Journal of Medicine;2000:868-74. 27



13. Roman M, Weinstein JE, Macaluso S, Primary Spontaneous Pneumothorax. Medsurg Nursing: The Journal of Adult Health. 2003; 12(3): 161- 69.



14. Graham RB, Nolasco M, Peterlin B, Garcia CK, Nonsense Mutations in Folliculin Presenting as Isolated Familial Spontaneous Pneumothorax in Adults. American Journal of Respiratory and Critical care Medicine. 2005; 172(1): 39-44.



15. Cheng YL, Huang TW, Lin CK, Lee SC, Tzao C, Chen JC, Chang H. The Impact of Smoking in Primary Spontaneous Pneumothorax. Journal Thorac Cardiovascular Surgery. 2009; 138(1):192-5.



16. Gupta D, Hansell A, Nichols T, et al. Epidemiology of Pneumothorax in England. Thorax. 2000;55:666-671.



17. Bense L, Lawander R, Eklund G, et al. Nonsmoking, Non-alpha 1-antitrypsin Defisiency-Induced Emphysema in Nonsmokers with Healed Spontaneous Pneumothorax, Identified by Computed Tomography of the Lungs. Chest. 1993;103:433-8.



18. Cottin V, Streichenberger N, Gamondes JP, et al. Respiratory Bronchiolitis in Smokers with Spontaneous Pneumothorax. European Respiratory Journal. 1998;12:702-4.



19. Light RW. Mechanics of Respiration. In: George RB, Light RW, Matthay MA, et al., eds. Chest Medicine: Essentials of Pulmonary and Critical Care medicine, 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williamms & Wilkins. 2005; 24-38.



20. Light RW ed. Pleural Diseases, 5th ed. Ch. 2, Physiology of the pleural space. Tennessee: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 8–16.



21. Miserocchi G. Mechanisms controlling the volume of pleural fluid and extravascular lung water. Eur Respir Rev. 2009;114(18):244–52.



22. Lee P, Colt HG eds. Flex-rigid Pleuroscopy Step-by-step. Steps to understanding thoracic anatomy. Singapore: CMPMedica Asia Pte Ltd; 2005. p. 10.



23. Guyton AC, Hall JE, eds. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. Ch. 37, Pulmonary Ventilation. Philadelphia: WB Saunders Co.; 2006. p. 471–82. 28 24. Wang NS. Anatomy and physiology of the pleural space. Clin Chest Med. 1985;6(1):3-16.



25. Wang NS. Anatomy of the pleura. Clin Chest Med. 1998;19(2):229-40.



26. Antony VB. Immunological mechanisms in pleural disease. Eur Respir J. 2003;21:539-44.



27. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR eds. Clinically Oriented Anatomy, 6th ed. Ch. 1, Thorax. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 72-180.



28. Neas JF. Respiratory system – embryological development. In: Martini FH, Tallitsch RB, Timmons MJ, eds. Human Anatomy, 6th ed. San Fransisco: BenjaminCummings Pub. Co.; 2008. p. 638-56.



29. Zocchi L. Physiology and pathophysiology of pleural fluid turnover. Eur Respir J. 2002;20:1545-58.



30. Astowo P. Pneumotoraks. In: Swidarmoko B, Susanto AD, eds. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Jakarta: Penerbit Departemen Pulmonologi dan



Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 5471.



31. Lai-Fook SJ. Pleural mechanics and fluid exchange. Physiol Rev. 2004:84;385410.



32. Amjadi K, Alvarez GG, Vanderhelst E, et al. The prevalence of blebs and bullae among young healthy adults: a thoracoscopic evaluation. Chest 2007; 132: 1140-5.



33. Schramel F, Postmus PE, Vanderschueren RG. Current aspects of spontaneous pneumothorax. Eur Respir J 1997; 10: 1372-9.



34. Randomsky JBH, Hartel W. Pleuraporositat beim idiopatischen spontanpneumothorax (Pleural porosity in idiopathic spontaneous pneumothorax). Pneumologie 1989; 43: 250-3.



35. Masshof W, Hofer W. Zur pathologie der sogenannten idiopatischen spontanpneumothorax (Pathology of so-called idiopathic spontaneous pneumothorax). Dtsch Med Wochenschr 1973; 98: 801-5.



36. Ohata M, Suzuki H. Pathogenesis of spontaneous pneumothorax. With special reference to the ultratsructure of emphysematous bullae. Chest 1980;77:771-6.



37. Hatz RA, Kaps MF, Meimerakis G, et al. Long-term results after video-assisted thoracoscopic surgery for first-time and recurrent spontaneous pneumothorax. Ann Thorac Surg 2000; 70: 253-7.



38. Horio H, Nomori H, Kobayashi R, et al. Impact of additional pleurodesis in video-assisted thoracoscopic bullectomy for primary spontaneous pneumothorax. Surg Endosc 2002; 16: 630-4.



39. Morrison PJ, Lowry RC, Nevin NC. Familial primary spontaneous pneumothorax consistent with true autosomal dominant inheritance. Thorax 1998; 53: 151-2.



40. Bense L, Eklund G, Wiman LG. Bilateral bronchial anomaly. A pathogenetic factor in spontaneous pneumothorax. Am Rev Respir Dis 1992; 146: 513-6.