Laporan Kasus Rhinitis Atrofi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS RHINITIS ATROFI



Disusun Oleh : Agatha Kartika (07120110045)



Pembimbing : dr. Pulo Raja Soaloon Banjarnahor, Sp.THT



KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN RUMAH SAKIT UMUM SILOAM PERIODE 26 JANUARI 2015 – 28 FEBRUARI 2015



DAFTAR ISI DAFTAR ISI......................................................................................................................2



LAPORAN KASUS......................................................................................................4 Identitas Pasien................................................................................................................4 Anamnesis..........................................................................................................................4 Keluhan Utama.................................................................................................................4 Keluhan Tambahan...........................................................................................................4 Riwayat Penyakit Sekarang.............................................................................................5 Riwayat Penyakit Dahulu................................................................................................6 Riwayat Penyakit Keluarga.............................................................................................6 Riwayat Alergi...................................................................................................................6 Riwayat Operasi................................................................................................................6 Riwayat Transfusi Darah.................................................................................................7 Riwayat Kebiasaan...........................................................................................................7 Riwayat Ekonomi, Lingkungan dan Sosial....................................................................7



Anamnesis Sistem / Review of System.....................................................................7 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................................8 Pemeriksaan Penunjang yang Dilakukan.............................................................13 Resume..............................................................................................................................14 Diagnosis...........................................................................................................................15 Diagnosis Kerja...............................................................................................................15 Diagnosis Banding...........................................................................................................16



Pemeriksaan Penunjang / Anjuran Lainnya.......................................................20 Penatalaksanaan............................................................................................................23 Prognosis…………………………………………………………………...……………24



TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................25 Rhinitis atrofi..................................................................................................................25 Definition.........................................................................................................................25 Synonyms.........................................................................................................................25 History..............................................................................................................................25 Etiology............................................................................................................................26 Predisposing Factors.......................................................................................................26 Pathophysiology..............................................................................................................27 Epidemiology...................................................................................................................27 Classification...................................................................................................................28 2



Clinical Features.............................................................................................................28 Management:...................................................................................................................31 Conclusion.......................................................................................................................34



DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................35



LAPORAN KASUS



3



IDENTITAS PASIEN        



Nama Jenis Kelamin Tanggal Lahir Usia Status Pekerjaan Agama Alamat







No. Rekam Medis



: Ny. U : Perempuan : 10 Juni 1956 : 58 tahun : Sudah Menikah : Ibu Rumah Tangga : Islam : Kp. Cibunar Kompa RT 002 / RW 001 Kel. Cibunar / Kec. Parung Panjang Tangerang 16360 : RSUS 00-63-12-06



ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis terhadap pasien langsung dan juga alloanamnesis terhadap anak pasien, pada Selasa, 27 Januari 2015 pukul 10.30 di Poliklinik THT Rumah Sakit Umum Siloam (RSUS).







Keluhan Utama : Hidung tersumbat yang semakin memburuk sejak 8 hari sebelum datang ke rumah sakit.







Keluhan Tambahan :  Tidak bisa mencium aroma bau  Hidung meler  Sering tercium bau busuk dari hidung yang dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya







Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat (mampet) yang semakin memburuk sejak 8 hari sebelum datang ke rumah sakit. Hidung tersumbat sebenarnya sudah dirasakan sejak lama (sekitar 3 tahun yang lalu), yang dialami setiap jangka waktu tertentu dan hilang timbul. Hidung tersumbat awalnya dirasakan pada 1 lubang hidung, namun sekarang menjadi dirasakan pada kedua lubang hidung. Hidung tersumbat dirasakan sepanjang hari secara terus menerus (pagi, siang, dan sore) dan dirasakan setiap hari. Dalam 1 minggu terakhir ini, hidung tersumbat yang dirasakannya semakin parah. 4



Tidak ada faktor yang mencetuskan, memperberat ataupun memperingan keluhan hidung tersumbat yang dialami oleh pasien ini. Hidung meler juga dialami oleh pasien sejak 12 hari sebelum datang ke rumah sakit. Cairan / ingus yang keluar dari hidung konsistensinya kental, berwarna putih agak kehijauan, dan tidak ada darah. Volume ingus setiap keluar sekitar ½ sendok teh. Tidak ada faktor yang memperberat ataupun memperingan gejala hidung meler yang dialami pasien. Orang-orang di sekitar tempat tinggal pasien seperti (anak-anak, cucu, dan tetangganya) sering merasakan bau busuk yang berasal dari dalam hidung pasien, sejak 1 bulan sebelum pasien datang ke rumah sakit. Namun, pasien sendiri tidak mampu mencium / merasakan bau yang berasal dari dalam hidungnya. Gangguan penciuman sudah dialami pasien sejak 4 bulan yang lalu. Pasien menjadi lebih sulit dalam mencium dan membedakan aroma / bau yang ada di sekitarnya. Semakin hari, gangguan penciumannya semakin bertambah parah dari sebelumnya. Sebelum berobat ke dokter, pasien tidak meminum obat apapun untuk mengurangi gejala-gejala yang dialaminya tersebut. Pasien juga mengaku tidak pernah berkonsultasi ke dokter mengenai keluhan-keluhan yang terdapat dalam hidungnya tersebut. Ia hanya berobat ke dokter untuk mengkontrol penyakit Diabetes Mellitusnya saja.







Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Mellitus dan juga hipertensi sejak 12 tahun yang lalu, yaitu tepatnya pada tahun 2003. Penyakit tersebut didiagnosis oleh dokter di sebuah rumah sakit di Tangerang berdasarkan hasil kadar gula darah puasa pasien (≥ 126 mg/dl), kadar gula darah sewaktu (≥ 200 mg/dl) dan juga tekanan darahnya (170/120 mmHg). Sampai saat ini, pasien rutin meminum obat yang diberikan oleh dokter secara teratur, yaitu obat Metformin untuk DM nya dan Nifedipine untuk hipertensinya. Pasien juga selalu mengkontrol kadar gula darah dan tekanan darahnya ke dokter setiap 3 bulan sekali. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain seperti asma, jantung, ginjal, kanker, dan yang lainnya.



5







Riwayat Penyakit Keluarga : Ayah pasien juga memiliki riwayat penyakit Diabetes Mellitus yang tidak terkontrol dan sudah meninggal sejak 10 tahun yang lalu akibat komplikasi dari penyakit Diabetes Mellitus yang dideritanya. Ibu pasien tidak memiliki riwayat penyakit apapun, namun sudah meninggal sejak 8 tahun yang lalu karena usia yang sudah menua. Suami pasien (berusia 60 tahun) sehat-sehat saja dan tidak memiliki riwayat penyakit apapun. Begitu juga dengan tiga orang anaknya (berusia 35, 40 dan 45 tahun) tidak memiliki penyakit apapun dan sehat-sehat saja.







Riwayat Alergi : Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, obat maupun benda-benda tertentu.







Riwayat Operasi : Pada 2 tahun yang lalu yaitu tahun 2013, pasien pernah dioperasi katarak pada kedua matanya di sebuah rumah sakit di Tangerang. Lama perawatan pasca operasi yaitu 2 hari. Saat ini, kedua matanya sudah membaik.







Riwayat Transfusi Darah : Pasien tidak pernah menjadi pendonor darah maupun resipien / penerima donor darah.







Riwayat Kebiasaan : Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, mengkonsumsi minuman beralkohol, maupun NAPZA. Namun, memang sejak dulu pasien mengaku sering mengkonsumsi makanan manis (seperti kue, buah-buahan yang diberi gula terlalu banyak) dan makanan asin yang berlebihan. Tetapi, sejak didiagnosis menderita Diabetes Mellitus dan hipertensi, pasien sudah mengurangi kebiasaan makan tersebut.



6







Riwayat Ekonomi, Lingkungan dan Sosial : Pasien termasuk dalam keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup mampu. Pasien tinggal berdua dengan suaminya. Walaupun pasien dan suaminya sudah pensiun, namun pasien memiliki 3 orang anak yang sudah mapan dan cukup membiayai kehidupan pasien dan suaminya sehari-hari. Namun, pasien tinggal di sebuah rumah yang terletak di sebelah tempat pembakaran / pengasapan kotoran sapi. Dahulu sebelum pensiun (sekitar 3-10 tahun yang lalu), pasien merupakan seorang pedagang warung yang berjualan di depan rumahnya tersebut, sehingga setiap hari, pasien selalu terpapar dengan polusi asap pembakaran kotoran sapi di sebelah rumahnya tersebut. Di sekitar tempat tinggal pasien, ada beberapa tetangga pasien yang mengalami gejala seperti yang dialami oleh pasien seperti hidung tersumbat, hidung meler yang kronik, namun mereka juga sudah berobat ke dokter. Suami pasien tidak memiliki gejala yang sama seperti yang dialami oleh pasien. Begitu juga dengan anak-anak dan cucu pasien juga tidak memiliki gejala yang sama seperti pasien.



Anamnesis Sistem / Review of System • Sistem Serebrospinal : sakit kepala (-), pusing (-), demam (-), gelisah (-), penurunan kesadaran (-), lumpuh (-), kejang (-), mata kunang (-), lemas (-).



• Sistem Kardiovaskular : nyeri dada (-), sesak nafas (-), mengi (-), sianosis (-), jantung berdebar (-).



• Sistem Respiratoris : hidung tersumbat (+/+), hidung meler (+/+), anosmia (+/+), bau busuk dari hidung (+/+), suara bindeng (-), batuk (-), pilek (-), sakit tenggorokan (-), bersin (-), sesak nafas (-).



• Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), diare (-), konstipasi (-), nyeri perut (-), perut membuncit (-), feses berlendir (-), feses berdarah (-).



• Sistem Urogenital : frekuensi buang air kecil normal, warna air kencing bening. • Sistem Muskuloskeletal : pegal linu (-), badan lemas (-), deformitas (-), nyeri otot (-), bengkak (-), kaku sendi (-), memar (-).



7



• Sistem Integumentum : bintik merah (-), kulit kering (-), kulit pucat (-), sianotik (-), kulit kemerahan (-).



PEMERIKSAAN FISIK  Keadaan umum  Kesadaran  Tanda - tanda vital o Nadi o Tekanan darah o Laju pernafasan o Suhu tubuh (axilla)



: tampak sakit ringan (masih bisa berjalan). : Compos Mentis (GCS 15) : 80 x / menit (regular, isi cukup) : tidak diukur : tidak diukur : tidak diukur







Pengukuran berat dan tinggi badan o Berat badan : 50 kg o Tinggi badan : 156 cm o BMI (Body Mass Index) : 20.5 (normal)







Status Generalis o Kepala  Rambut



: persebaran rambut merata, botak (-), rontok (-),



berminyak (-), ketombe (-), rambut hitam, lurus, tebal.  Struktur tulang : tidak tampak deformitas. o Wajah  Kulit : oedem (-), sianosis (-), ikterik (-), pucat (-).  Mata : pupil bulat (+/+), gerakan kedua bola mata baik, kedua sclera putih, konjungtiva pucat (-/-), gerak kedua bola mata normal, visual acuity kedua mata normal, reflex cahaya normal. 



Alis



: gundul (-/-).  Hidung



: kedua lubang hidung simetris, masih



dalam 1 alignment, septum lurus, polip (-/-), benda asing (-/-), sekret (+/+), mukosa atrofi (+/+), mukosa hiperemis (-/-).  Telinga : lubang telinga normal, ketajaman pendengaran normal, sekret (-/-), serumen (-/-), membran timpani intact, tidak ada nyeri tekan tragus, tidak ada nyeri tekan mastoid.



8



 Mulut



: halitosis (-), mulut kering (-), lidah merah &



bersih, karies (-), gigi ompong (-), gusi berdarah (-), sariawan (-), faring hiperemis (-).  Tenggorokan : tonsil T1-T1 tenang, uvula terletak di 



tengah, faring hiperemis (-). Bibir : cyanotic (-), sariawan (-), pecah-pecah (-), bibir kering (-).  Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid, kaku kuduk (-), massa (-), otot leher simetris kiri dan kanan, trakea teraba di tengah.



o Thorax (Paru & Jantung)  Anterior  Inspeksi



: pernafasan simetris saat statis dan dinamis,



ictus cordis tidak terlihat, bentuk dada normal, retraksi (-), deformitas (-), scar (-), lesi (-).  Palpasi : pengembangan parunya sama pada kedua sisi, tactile vocal fremitus yang dirasakan sama antara paru kanan dan kiri  Perkusi



: sonor pada seluruh lapang paru, batas paru hati



pada ICS 5 dextra dari sonor ke pekak, batas paru lambung pada ICS 6 sinistra dari sonor ke timpani  Auskultasi : suara nafas vesicular, ronchii (-/-), wheezing (-/-), stridor (-/-), gallop (-/-), murmur (-/-).  Posterior  Inspeksi



: pernafasan simetris saat statis dan dinamis,



tidak ada deformitas, scar, lesion, rash.  Palpasi : tactile vocal fremitus dirasakan sama antara paru kanan dan kiri, lordosis (-), kifosis (-), skoliosis (-).  Perkusi : sonor pada seluruh bagian paru  Auskultasi : suara nafas vesicular, ronchii (-/-), wheezing (-/-), stridor (-/-), gallop (-/-), murmur (-/-).



o Abdomen  Inspeksi



: cembung, distensi (-), scar (-), dilatasi vena (-),



striae (-), rash (-), lesi (-).



9



 Auskultasi : bising usus meningkat pada masing-masing kuadran (30 x / menit), borgborigmi (-), metallic sound (-).  Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada palpasi ringan dan dalam, tidak ada massa, tidak ada pembesaran hati, limfa dan ginjal.  Perkusi



: timpani pada seluruh region abdomen, asites



(-), peritonitis lokalis (-), traube’s space timpani, shifting dullness (-). o Genitalia : tidak diperiksa. o Ekstremitas  Superior



: Sianosis (-/-), akral hangat, edema (-/-),



deformitas (-/-),  Inferior







capillary refill time kurang dari 3 detik



(normal). : Sianosis (-/-), edema (-/-), deformitas (-/-).



Status Lokalis THT (Telinga, Hidung dan Tenggorokan) a. Telinga Daun telinga Preaurikular Retroaurikular Liang telinga luar /



Kanan Normotia Fistula (-), nyeri ketuk (-) Nyeri tekan (-), sikatriks (-),



Kiri Normotia Fistula (-), nyeri ketuk (-) Nyeri tekan (-), sikatriks (-),



fistula (-), abses (-) Tidak penuh serumen



fistula (-), abses (-) Tidak penuh serumen



Canalis Auricular Externa (dgn otoskop) :  Mukosa  Sekret / Discharge  Serumen  Benda asing  Jaringan granulasi  Spora / Hifa jamur  Benjolan  Laserasi



Membran timpani (dengan otoskop)



:



Hiperemis (-) (-) (+) (-) (-) (-) (-) (-)



Hiperemis (-) (-) (+) (-) (-) (-) (-)



Intact, reflex cahaya (+) di arah jam 4, Perforasi (-), Retraksi (-)



(-) Intact, Reflex cahaya (+) di arah jam 8, Perforasi (-), Retraksi (-) 10



Nyeri tekan tragus Nyeri tarik telinga



(-) (-)



(-) (-)



b. Hidung Kanan (-)



Kiri (-)



(-)



(-)



(-)



(-)



(-) (-) Rambut (+)



(-) (-) Rambut (+)



Mukosa : atrofi (+),



Mukosa : atrofi (+),



hiperemis (-)



hiperemis (-)



Sekret : (+) kental, putih



Sekret : (+) kental, putih



kehijauan



kehijauan



Massa (-) (-)



Massa (-) (-)



Dasar hidung



Sekret (+)



Sekret (+)



(dengan rhinoskop dan endoskop)



Krusta (+) Edema (-)



Krusta (+) Edema (-)



Hiperemis (-) Sekret (+)



Hiperemis (-) Sekret (+)



Edema (-)



Edema (-)



Hiperemis (-) Sekret (+)



Hiperemis (-) Sekret (+)



Deformitas Nyeri tekan :   



Pangkal hidung Pipi Dahi



Krepitasi Vestibulum (dengan rhinoskop dan endoskop)



Septum deviasi (dengan rhinoskop dan endoskop)



Konka inferior (dengan rhinoskop dan endoskop)



Konka media (dengan rhinoskop dan endoskop)



Meatus media c. Tenggorokan Arkus faring Uvula palatina Dinding faring Mukosa faring Tonsilla palatina Gigi geligi KGB regional Palatum durum Palatum molle



Simetris, massa (-) Ukuran dan bentuk normal, terletak di tengah. Nodule / granule (-), Cobblestone appearance (-) Hiperemis (-), Massa (-), Pseudomembran (-), Granul (-) T1-T1, hiperemis (-/-), detritus (-/-) Lengkap, karies (-), tambalan (+), nyeri ketok (-) Tidak ada pembesaran KGB Simetris, massa (-) Simetris, massa (-)



11



PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DILAKUKAN  Pemeriksaan nasoendoskopi : Pada pasien, dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi hidung kiri, dan ditemukan adanya : 



Krusta-krusta berwarna hijau kekuningan yang berbau busuk pada mukosa hidung. Krusta-krusta tersebut merupakan tanda khas dari atrofi mukosa hidung







akibat dari infeksi mukosa hidung yang terus-menerus dan kronik. Lendir / sekret yang kental, berwarna putih, agak kehijauan.



12



Gambar : mukosa hidung kiri pasien yang telah diambil krustanya.



RESUME Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat di kedua hidung yang semakin memburuk sejak 8 hari sebelum datang ke rumah sakit. Hidung tersumbat sudah dialami sejak lama (3 tahun yang lalu), dan dirasakan sepanjang hari secara terus-menerus. Tidak ada faktor yang memperingan / memperberat. Pasien juga menjadi tidak bisa mencium aroma bau di kedua hidung sejak 4 bulan lalu. Namun, orang-orang di sekitarnya sering mencium aroma bau busuk dari lubang hidung pasien sejak 1 bulan sebelum pasien datang ke rumah sakit, walaupun pasien sama sekali tidak bisa merasakannya. Dari hidung pasien juga sering meler cairan / sekret yang agak kental berwarna putih kehijauan sejak 12 hari lalu. Pasien sama sekali belum pernah berobat ke dokter untuk mengatasi gejala-gejala yang dialami pada hidungnya. Ia hanya berkonsultasi ke dokter mengenai penyakit DM dan hipertensi yang dimilikinya sejak 12 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi rokok, alkohol dan NAPZA. Namun, pasien memang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan manis (kue dan gula) dan makanan yang terlalu asin. Pasien tidak memiliki riwayat alergi. Namun, pasien tinggal di sebuah rumah yang terletak di sebelah tempat pembakaran kotoran 13



sapi. Sebelum pensiun, pasien memang seorang pedagang warung yang berjualan di depan rumahnya sehingga ia sering terpapar asap pembakaran kotoran sapi tersebut. Pemeriksaan fisik telinga dalam batas normal. Namun pada rhinoskopi anterior dan endoskopi, ditemukan mukosa hidung yang atrofi, terdapat sekret kental berwarna putih kehijauan dan terdapat krusta-krusta berwarna hijau kekuningan yang berbau busuk. Pemeriksaan fisik tenggorokan dalam batas normal. Pemeriksaan radiologi dan histopatologi tidak dilakukan.



DIAGNOSIS  Diagnosis Kerja : RHINITIS ATROFI PRIMER - MODERATE.  Pengkajian :  Dari anamnesis, terdapat keluhan hidung tersumbat, hidung meler, tidak bisa mencium bau (anosmia), namun sering tercium bau busuk dari kedua lubang hidung pasien yang dirasakan oleh orang-orang di sekitar pasien. Gejala-gejala tersebut merupakan ciri khas dari rhinitis atrofi. Apalagi, pasien memiliki riwayat terpapar polusi udara kendaraan bermotor dan juga asap pembakaran kotoran sapi dalam jangka waktu yang lama dan intensitas yang sering. Pasien juga memiliki 



riwayat penyakit Diabetes Mellitus. Dari nasoendoskopi, ditemukan mukosa hidung yang atrofi, terdapat sekret yang kental berwarna putih kehijauan dan krusta-krusta kering berwarna hijau kekuningan pada mukosa hidung pasien. Ukuran dari konka inferior dan konka







media pasien tidak membesar dan tidak menyumbat rongga hidung. Walaupun rongga hidung pasien lebar dan tidak ada sumbatan, namun pasien selalu merasa hidungnya tersumbat. Ini timbul akibat dari atrofi ujung saraf sensoris trigeminal yang menyebabkan tidak ada lagi sensasi udara yang masuk sehingga udara seakan-akan terasa tidak masuk. Ini disebut empty nose syndrome. Selain itu, terdapat ketidaksensitifan ujung-ujung saraf olfaktori (saraf pembauan) pada rongga atas hidung akibat dari atrofi mukosa hidung, sehingga pasien mengalami gangguan penciuman (anosmia). Selain itu, pada mukosa hidung yang atrofi, bila dilakukan pemeriksaan histopatologi, maka hasilnya sel goblet yang ada di permukaan epitel hidung tidak akan ada lagi, sehingga tidak ada lagi yang dapat menghasilkan mucin untuk melembabkan udara yang masuk saat inspirasi, sehingga mukosa hidung pasien menjadi kering dan pasien merasa tidak ada udara



14



yang masuk ke dalam hidungnya, sehingga ia merasa seolah-olah hidungnya 



tersumbat. Bau busuk yang keluar dari hidung pasien (yang biasa disebut ozena) merupakan







tanda adanya infeksi oleh bakteri Klebsiella ozaenae. Namun, bau busuk yang keluar dari hidung pasien tidak bisa dirasakan / dicium oleh pasien sendiri, karena pasien mengalami gangguan penciuman, oleh karena itu







gejala ini disebut merciful anosmia. Ini merupakan tanda khas dari rhinitis atrofi. Rhinitis atrofi yang diderita pasien ini termasuk dalam kategori primer, karena masih belum jelas penyebabnya. Mungkin atrofi dari mukosa hidung pasien ini bisa disebabkan oleh :  Pengaruh hormonal (defisiensi estrogen yang dialami oleh pasien). Rhinitis atrofi memang lebih banyak menyerang wanita dibandingkan pria, apalagi pada wanita yang berusia tua dan sudah mengalami menopause. Pada wanita yang sudah mengalami menopause, maka ia akan mengalami defisiensi estrogen. Defisiensi estrogen diduga dapat menimbulkan atrofi pada mukosa-mukosa rongga tubuh, seperti rongga hidung, rongga vagina, dan lainnya.1 Pasien ini berusia 58 tahun dan sudah mengalami menopause sejak 7 tahun yang lalu, sehingga kemungkinan besar rhinitis atrofi yang dideritanya berasal dari defisiensi estrogen yang dialaminya.  Terpaparnya pasien dengan polusi asap pembakaran kotoran sapi selama bertahun-tahun dengan intensitas yang sering. Diduga, asap pembakaran kotoran hewan (sampah organik) mengandung gas beracun ammonia yang dapat menimbulkan kerusakan (atrofi) dari mukosa hidung yang menghirup







gas beracun tersebut.2 Rhinitis atrofi yang diderita oleh pasien ini termasuk dalam grade yang moderate, karena selain terdapat krusta, juga sudah terdapat anosmia (gangguan penciuman) dan juga terdapat bau busuk yang keluar dari hidung pasien yang sering tercium oleh orang-orang yang ada di sekitar pasien.



 Diagnosis Banding : 1. Rhinitis Infeksi  Pengkajian : Gejala pada pasien rhinitis infeksi mirip dengan rhinitis atrofi yaitu hidung tersumbat dan hidung meler. Rhinitis infeksi biasanya disebabkan oleh virus atau bakteri. Lendir pada pasien rhinitis infeksi juga bisa berwarna putih (bila disebabkan oleh virus) ataupun hijau kental (bila disebabkan oleh bakteri). 15



Namun biasanya pada rhinitis infeksi bisa disertai dengan bersin-bersin, sakit tenggorokan, dan batuk. Pada rhinitis infeksi juga biasanya tidak terdapat bau busuk yang berasal dari lubang hidung pasien. Selain itu, rhinitis infeksi juga biasanya gejalanya ringan, hanya sebentar (maksimal 1 minggu) dan dapat sembuh sendiri tanpa obat. Namun, pada pasien ini terdapat bau busuk yang tercium dari kedua lubang hidung dan gejala yang muncul sudah bertahuntahun serta tidak sembuh sendiri. Selain itu, pada rhinoskopi anterior, mukosa hidung pasien dengan rhinitis infeksi biasanya hiperemis, bisa terdapat edema, dan tidak terdapat krusta. Namun pada mukosa hidung pasien ini terdapat krusta-krusta yang kering, dan tidak ada hiperemis & edema pada mukosa hidungnya. Oleh karena itulah, diagnosis rhinitis infeksi untuk pasien ini kurang tepat. 2. Rhinitis Alergi  Pengkajian : Gejala-gejala yang timbul karena rhinitis alergi juga bersifat kronik dan berulang seperti rhinitis atrofi. Namun, gejala khas rhinitis alergi biasanya berupa gatal-gatal pada hidung dan bersin-bersin, walaupun kadang terdapat juga hidung tersumbat, hyposmia dan rhinorrhea seperti pada rhinitis atrofi. Namun, lendir yang keluar pada pasien rhinitis alergi biasanya sangat encer dan banyak. Selain itu, pasien rhinitis alergi juga memiliki riwayat alergi terhadap debu, tungau, makanan (susu, telur, ikan, udang, kacang-kacangan, coklat) dan juga obat-obatan seperti penisilin. Pada pasien dengan rhinitis alergi juga biasanya ditemukan tanda-tanda seperti allergic shiner (bayangan gelap di bagian bawah mata akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung), allergic salute (menggosok-gosok hidung yang gatal dengan punggung tangan), dan allergic crease (garis melintang di sepertiga bawah dorsum nasi). Sedangkan pada pasien ini, tidak terdapat riwayat alergi, tidak terdapat tanda-tanda allergic shiner, allergic salute, dan allergic crease serta tidak mengalami bersin-bersin serta gatal-gatal pada hidung, sehingga diagnosis rhinitis alergi untuk pasien ini kurang tepat. Untuk lebih akurat, dapat dilakukan pemeriksaan IgE dan eosinophil. Juga tes alergi (patch test / prick test untuk menentukan apakah pasien memiliki alergi terhadap bahan-



16



bahan tertentu). Kemudian, bila terdapat peningkatan IgE dan eosinophil, maka diagnosis rhinitis alergi lebih tepat. 3. Rhinitis Vasomotor  Pengkajian : Pasien dengan rhinitis vasomotor juga sama-sama tidak memiliki riwayat alergi seperti pada pasien dengan rhinitis atrofi. Gejala khas rhinitis vasomotor juga sama dengan rhinitis atrofi, yaitu hidung tersumbat dan hidung meler. Namun, biasanya hidung tersumbat yang dialami oleh pasien dengan rhinitis vasomotor biasanya bergantian kiri dan kanan, bergantung dari posisi pasien, dan juga gejala hidung tersumbat akan lebih memburuk pada pagi hari saat bangun tidur. Sedangkan, pada pasien ini hidung tersumbat dialami pada kedua lubang hidung secara bersamaan dan tidak ada waktu tertentu yang memperburuk gejalanya. Selain itu, pada rhinitis vasomotor juga biasanya gejala yang muncul sering dicetuskan oleh rangsangan tertentu seperti asap / rokok, bau yang menyengat, perubahan suhu dan kelembaban udara, stress/emosi. Sedangkan, pada rhinitis atrofi gejala yang muncul tidak dicetuskan oleh apapun, melainkan timbul sepanjang hari dan terus-menerus. Pada rhinoskopi anterior dari pasien dengan rhinitis vasomotor biasanya ditemukan edema mukosa hidung, konka yang berwarna merah gelap atau pucat, dan permukaan konka yang licin atau berbenjol. Namun pada pasien ini tidak terdapat itu semua, melainkan hanya terdapat krusta dan sedikit sekret berwarna putih kehijauan. Oleh karena itulah, diagnosis rhinitis vasomotor untuk pasien ini kurang tepat.







4. Rhinitis Medikamentosa / Drug-Induced Rhinitis Pengkajian : Pasien dengan rhinitis medikamentosa juga memiliki gejala yang sama dengan rhinitis atrofi yaitu hidung tersumbat yang dialami secara terus-menerus dan hidung meler. Namun perbedaannya, pasien dengan rhinitis medikamentosa memiliki riwayat penggunaan obat-obatan dekongestan hidung (obat tetes hidug atau semprot hidung) dalam jangka waktu yang lama ( > 1 minggu) dan berlebihan. Sedangkan, pasien ini sama sekali tidak pernah menggunakan obatobatan dekongestan hidung seperti obat tetes hidung maupun semprot hidung, sehingga diagnosis rhinitis medikamentosa kurang tepat untuk pasien ini. 17



Walaupun pasien ini mengkonsumsi obat-obatan untuk diabetes mellitus dan hipertensi yaitu Metformin dan Nifedipine, namun obat-obatan tersebut tidak termasuk dalam daftar obat yang dapat menimbulkan drug induced rhinitis, sehingga diagnosis drug induced rhinitis juga tersingkirkan.



5. Rhinitis et causa Polyp  Pengkajian : Pada pasien dengan polip hidung juga dapat mengalami rhinitis dengan gejala hidung tersumbat, hyposmia, dan hidung meler, sama seperti yang dialami oleh pasien ini. Namun mekanisme hidung tersumbat yang dialami oleh pasien dengan polip berbeda dengan pasien rhinitis atrofi. Pada pasien dengan rhinitis akibat polip, pada rhinoskopi anterior dan endoskopi ditemukan massa bulat berwarna putih keabuan yang menyumbat masuknya aliran udara ke dalam hidung. Sedangkan, pada pasien ini, rongga hidungnya longgar, tidak ada sumbatan, melainkan hanya terdapat kerusakan mukosa hidung (yang mengakibatkan hilangnya sel goblet) dan krusta-krusta yang kering (akibat kerusakan mukosa) sehingga ujung saraf olfaktori pun rusak dan pasien menjadi merasa hidungnya tersumbat. Pasien dengan polip hidung juga biasanya memiliki riwayat alergi dan riwayat penyakit atopi seperti asma, rhinitis alergi. Kemudian, biasanya gejala pada pasien dengan polip bisa disertai dengan gejala sinusitis seperti nyeri tekan pada wajah, wajah terasa penuh akibat polip yang menyumbat aliran sinus. Namun, pada pasien ini tidak ada tanda-tanda sinusitis dan tidak ada riwayat alergi dan riwayat penyakit atopi, sehingga diagnosis rhinitis dengan polip pun tersingkirkan.



PEMERIKSAAN PENUNJANG / ANJURAN LAINNYA 1. Pemeriksaan radiologi : Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan radiologi apapun, namun agar lebih kuat dalam menegakkan diagnosis, sebaiknya dapat dilakukan pemeriksaan radiologi seperti : 



X-Ray Hidung 18



Pada pasien rhinitis atrofi, biasanya pada X-Ray hidung akan ditemukan3 :  Lateral bowing dari nasal turbinate / concha hidung.  Hypoplasia dari sinus maxillary. 



CT Scan Hidung



Pada pasien rhinitis atrofi, biasanya pada CT Scan hidung akan ditemukan3 :      



Penebalan mukoperiosteal dari sinus paranasal. Batas-batas osteomeatal complex yang menjadi tidak jelas. Lateral bowing dari nasal turbinate / concha hidung. Rongga hidung yang lebih lebar dengan erosi pada dinding lateral hidung. Hypoplasia dari sinus maxillary. Atrofi dari inferior turbinate dan middle turbinate.



Normalnya :



19



2. Pemeriksaan Histopatologi : Pada pasien ini, tidak dilakukan pengambilan / biopsy mukosa hidung dan juga pemeriksaan histopatologinya. Namun, agar lebih akurat dalam mendiagnosis, sebaiknya dapat dilakukan pengambilan biopsy dari mukosa hidung dan melakukan pemeriksaan



histopatologi.



Biasanya,



pada



rhinitis



atrofi,



hasil



biopsinya



menunjukkan adanya3 :  Perubahan mukosa hidung, yaitu yang normalnya berbentuk ciliated pseudostratified columnar epithelium, berubah menjadi squamous epithelium pada permukaan atas mukosa hidung.



 Hilangnya / berkurangnya jumlah dan ukuran sel goblet pada epitel mukosa hidung yang menghasilkan mucin.  Pelebaran pembuluh darah kapiler.



Normalnya :



20



Histologi dari mukosa hidung yang normal : yang terdiri atas epitel berlapis gepeng (stratified squamous epithelium) di bagian bawah dan epitel bertingkat lonjong bersilia (ciliated pseudostratified columnar epithelium) dengan sel goblet di permukaan.5



3. Pemeriksaan Kultur Bakteri : Sekret pada hidung pasien rhinitis atrofi dapat diambil dan dikultur untuk menentukan apakah terdapat infeksi bakteri. Biasanya, pada penderita rhinitis atrofi, kultur sekretnya menunjukkan adanya infeksi oleh bakteri Klebsiella ozaenae. 4. Pemeriksaan kadar Iron dalam darah : Rhinitis atrofi bisa disebabkan oleh defisiensi iron dalam tubuh, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan serum ferritin, serum transferrin dan TIBC (Total Iron Binding Capacity) untuk memastikan apakah pasien ini mengalami defisiensi iron. 5. Pemeriksaan Seroimunologik : Rhinitis atrofi juga bisa disebabkan oleh penyakit autoimun, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan ANA (Antinuclear Antibody). Bila hasilnya positif, berarti terdapat autoantibodi dalam tubuh pasien dan kemungkinan besar rhinitis atrofi yang dialami oleh pasien ditimbulkan dari penyakit autoimun yang dimilikinya. Dapat juga dilakukan pemeriksaan C3 dan C4. Bila hasilnya dibawah nilai normal, maka berarti terdapat penyakit autoimun pada pasien. 6. Pemeriksaan kadar VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) : Rhinitis atrofi juga bisa disebabkan oleh penyakit sifilis. Oleh karena itu, apabila pada pasien memang terdapat gejala dan tanda sifilis (seperti ulcer pada bagian genitalia), maka untuk lebih akurat, dapat dilakukan tes screening sifilis, yaitu tes kadar VDRL. Normalnya, hasilnya negative. Bila hasilnya positif, maka artinya terdapat antibody terhadap sifilis.



PENATALAKSANAAN 1. Irigasi hidung :  Irigasi hidung berfungsi untuk membersihkan bagian hidung dari debu dan kotoran, mencegah radang dan infeksi pada rongga hidung 21







Irigasi hidung dapat menggunakan ½ sendok teh garam (NaCl) yang dicampur dengan 200 ml air hangat. Lalu, disemprotkan ke dalam hidung dengan



 



menggunakan spuit 10 ml, sebanyak 2 semprot. Irigasi hidung dapat dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam sehari. Pilihan lain selain NaCl bisa juga : Natrium bicarbonate ataupun Natrium diborate.



2. Antibiotik (Ciprofloxacin) :  Infeksi yang terdapat pada rhinitis atrofi biasanya ditimbulkan oleh bakteri Klebsiella ozaenae. Bakteri ini paling sensitive terhadap antibiotik Ciprofloxacin. Oleh karena itu, antibiotik inilah yang dipilih untuk pengobatan rhinitis atrofi. Dosis Ciprofloxacin yang diberikan 2 x 500 mg, diberikan selama 5 hari sampai tanda infeksi (lendir / hidung meler) mereda. 3. Mengambil krusta-krusta tersebut dengan forceps atau suction 4. Vitamin A, D atau Iron :  Pasien dengan defisiensi vitamin A, D atau iron juga dapat mengalami rhinitis atrofi. Oleh karena itu, pasien dapat diberikan suplemen vitamin A, D atau iron. Di samping itu, pasien juga sebaiknya meningkatkan konsumsi makanan bergizi yang mengandung vitamin A, D dan juga iron, seperti wortel, sayur bayam, daging merah dan susu. 5. Operasi :  Turbinoplasty : memindahkan mukosa yang baik dipindahkan ke mukosa yang rusak.



PROGNOSIS   



Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam



: dubia ad bonam : dubia : dubia



FIFE  



Feeling : Pasien merasa tidak nyaman dengan penyakit yang dideritanya. Idea : Pasien kurang mengerti tentang penyakit yang sedang dideritanya.



22







Function : Penciuman pasien sangat terganggu dan pasien juga menjadi sulit bernafas







karena hidungnya terasa mampet. Expectation : Pasien ingin segera sembuh dari sakitnya dan berharap penyakitnya tidak kambuh lagi.



TINJAUAN PUSTAKA RHINITIS ATROFI DEFINITION Atrophic rhinitis is defined as a chronic nasal disease characterised by progressive atrophy of the nasal mucosa along with the underlying bones of turbinates. There is also associated presence of viscid secretion which rapidly dries up forming foul smelling crusts. This fetid odor is also known as ozaena. The nasal cavity is also abnormally patent. The patient is fortunately unaware of the stench emitting from the nose as this disorder is associated with merciful anosmia. This disease is rather rare in developed countries, but are rather common in developing countries. Now a days it is more common as a sequelae of medical interventions. Overzealous turbinate surgery has been implicated as a probable iatrogenic cause.



SYNONYMS The following are the various terminologies used to indicate the same condition: 1. Rhinitis sicca



23



2. Dry rhinitis 3. Ozena 4. Open nose syndrome 5. Empty nose syndrome



HISTORY It was Spenser Watson of London who first coined the term Ozena to describe this condition. He was the first to describe clinical features of this disease. He classified this disease into mild, moderate and severe varieties. Mild variety of atrophic rhinitis according to Watson is characterized by heavy crusting. These crusts can easily be removed by nasal douching. Moderate variety features anosmia and stench emanating from the nasal cavity. Severe variety is invariably caused by syphilis. Bone destruction and cosmetic deformities of nose is rather common in this variety. In 1876 Dr Bernhard Fraenkel first described the classic triad of symptoms which was virtually diagnostic of this disorder. This triad is still known as Fraenkel’s triad in his honor include: Fetor, Crusting and Atrophy of nasal structures. Frank Bosworth in 1881 noted that “Breath from these patients were not only unpleasant but virtually unbearable. The sufferer perse was mercifully unaware because of the presence of anosmia.”



ETIOLOGY The etiology of this problem still remains obscure. Numerous pathogens have been associated with this condition, the most important of them are: 1. Coccobacillus 2. Bacillus mucosus 3. Coccobacillus foetidus ozaenae 4. Diptheroid bacilli 5. Klebsiella ozaenae. These organisms despite being isolated from the nose of diseased patients have not categorically been proved as the cause for the same. 24



PREDISPOSING FACTORS 1. Chronic sinusitis, considered atrophic rhinitis to be infective in nature. He reported atrophic rhinitis in 7 children of a family after a child with atrophic rhinitis spent a night in their house. Common organism isolated from nasal cavities of these children was Klebsiella ozenae 2. Excessive surgical destruction of the nasal mucosa and turbiantes 3. Nutritional deficiencies: Bernat in 1965 demonstrated that 50% of patients with atrophic Rhinitis benefited with iron therapy. Hansen demonstrated symptomatic improvement in majority of this patients with atrophic rhinitis when treated with vitamin A. 4. Syphilis. 5. Endocrine imbalances (decreased estrogen). 6. Heredity: This was first reported by Barton and Sibert (Autosomal dominent pattern of inheritance identified). 7. Autoimmune disease. If total ANA, anti-DNA and RNP were positive, indicating the presence of an autoimmune process. 8. Developmental: Hagrass reported shortened Antero Posterior nasal lengths and poor maxillary antral pneumatization in patients with atrophic rhinitis. 9. Vascular: Excess sympathetic activity was observed in these patients by Ruskin



PATHOPHYSIOLOGY The exact pathophysiologic mechanism is still unknown in atrophic rhinitis. However, as supported by the literature, exposure to flour dust and smoke may have facilitated colonization of the nasal mucosa by Klebsiella ozaenae in our patient and an autoimmune process leading to atrophic rhinitis with iron deficiency was initiated.1



25



EPIDEMIOLOGY Atrophic rhinitis is still a common disease in developing countries, whereas it is unusual in US and other developed countries. The disease appears to be endemic in subtropical and temperate regions like South Asia, Africa, Eastern Europe and the Mediterranean, and the patients are usually poor and live in unhygienic conditions. There is a slight female predominance to. The patient in the present study was a woman living in poor conditions. Mickiewicz et al. found atrophic rhinitis in workers exposed to phosphorite and apatite dusts.1 Age of onset: Usually atrophic rhinitis commences at puberty. Sex predilection: Females are more commonly affected than males



CLASSIFICATION  Primary atrophic rhinitis: This classic form of atrophic rhinitis is supposed to arise de novo. Primary atrophic rhinitis occurs in a previously healthy nose. This is in facta diagnosis of exclusion. This type of atrophic rhinitis is common in China, India and Middle East. In almost all these patients Klebsiella ozenae has been isolated. 



Secondary atrophic rhinitis: This is the most common form of atrophic rhinitis seen in developed countries. In this type the predisposing cause is clearly evident. Secondary atrophic rhinitis occurs most commonly as a late postoperative complication following excessive surgical destruction of the nasal mucous membrane. Common causes of secondary atrophic rhinitis include:  Surgical procedures involving nose and paranasal sinuses – They include turbinectomies, sinus surgeries, maxillectomy etc.  Irradiation  Trauma  Granulomatous diseases: Include Sarcoidosis, Leprosy and Rhinoscleroma  Infections: This includes tuberculosis and syphilis



26



CLINICAL FEATURES The presenting symptoms are commonly nasal obstruction and epistaxis. Anosmia i.e. merciful may be present making the patient unaware of the smell emanating from the nose. These patients may also have pharyngitis sicca. Choking attacks may also be seen due to slippage of detached crusts from the nasopharynx into the oropharynx. These patients also appear to be dejected and depressed psychologically. Clinical examination of these patients show that their nasal cavities filled with foul smelling greenish, yellow or black crusts, the nasal cavity appear to be enormously roomy. When these crusts are removed bleeding starts to occur. Nasal obstruction present in the roomy nasal cavity’s of atrophy rhinitis patient, because the nasal cavity is filled with sensory nerve endings (trigeminal nerve) close to the nasal valve area. These receptors sense the flow of air through this area thus giving a sense of freeness in the nasal cavity. These nerve endings are destroyed in patients with atrophic rhinitis thus depriving the patient of this sensation. In the absence of these sensation the nose feels blocked.



27



Radiologic features of atrophic rhinitis: Radiologic features are similar for both types of atrophic rhinitis. 1. Plain x-rays : show lateral bowing of nasal walls, thin or absent turbinates and hypoplastic maxillary sinuses. 2. CT scan findings:  Mucoperiosteal thickening of paranasal sinuses  Loss of definition of osteomeatal complex due to resorption of ethmoidal bulla and  



uncinate process Hypoplastic maxillary sinuses Enlargement of nasal cavity with erosion of the lateral nasal wall.



Histopathological features: 1. Metaplasia of ciliated columnar nasal epithelium into squamous epithelium.3 2. There is a decrease in the number and size of compound alveolar glands.3 3. Dilated capillaries are also seen.3 4. Chronic nonspecific inflammation with lymphocytes and plasma cells.1 5. Absence of columnar and goblet cells.1



28



Pathologically atrophic rhinitis has been divided into two types:  Type I: is characterised by the presence of endarteritis and periarteritis of the terminal arterioles. This could be caused by chronic infections. These patients benefit from the vasodilator effects of oestrogen therapy.  Type II: is characterised by vasodilatation of the capillaries, these patients may worsen with estrogen therapy. The endothelial cells lining the dilated capillaries have been demonstrated to contain more cytoplasm than those of normal capillaries and they also showed a positive reaction for alkaline phosphatase suggesting the presence of active bone resorption. It has also been demonstrated that a majority of patients with atrophic rhinitis belong to type I category.



MANAGEMENT: Conservative:  Nasal douching – The patient must be asked to douche the nose atleast twice a day 



with a solution prepared with: Sodium bicarbonate – 28.4 g  Sodium diborate – 28.4 g  Sodium chloride – 56.7 g mixed in 280 ml of luke warm water.  The crusts may be removed by forceps or suction. 25% glucose in glycerin drops can be applied to the nose thus inhibiting the growth of proteolytic organism.  In patients with histological type I atrophic rhinitis oestradiol in arachis oil 10,000 units/ml can be used as nasal drops.  Kemecetine antiozaena solution – is prepared with chloramphenicol 90mg, oestradiol dipropionate 0.64mg, vitamin D2 900 IU and propylene glycol in 1 ml of saline.  Potassium iodide can be prescribed orally to the patient in an attempt to increase the nasal secretion.  Systemic use of placental extracts have been attempted with varying degrees of success.  Antibiotic (Ciprofloxacin) that is sensitive for Klebsiella ozaenae.



Surgical management: 29



 Submucous injections of paraffin, and operations aimed at displacing the lateral nasal wall medially. This surgical procedure is known as Lautenslauger’s operation.  Recently teflon strips, and autogenous cartilages have been inserted along the floor and lateral nasal wall after elevation of flaps.  Wilson’s operation – Submucosal injection of 50% Teflon in glycerin paste.  Repeated stellate ganglion blocks have also been employed with some success  Young’s operation – This surgery aims at closure of one or both nasal cavities by plastic surgery. Young’s method is to raise folds of skin inside the nostril and suturing these folds together thus closing the nasal cavities. After a period of 6 to 9 months when these flaps are opened up, the mucosa of the nasal cavities have found to be healed. This can be verified by postnasal examination before revision surgery is performed. Modifications of this procedure has been suggested (modified Young’s operation) where a 3 mm hole is left while closing the flaps in the nasal vestibule. This enables the patient to breath through the nasal cavities. It is better if these surgical procedures are done in a staged manner, while waiting for one nose to heal before attempting on the other side.3



The Method of Young’s operation6 :



1. Wide roomy



nasal cavity.



2. Infiltration of Xylocaine epinephrine for hydro edema at medial nasal wall.



30



3. Infiltration of Xylocaine with epinephrine for hydro edema at lateral nasal wall.



5. Creation of lateral skin flap.



7. Creation of medial mucosal flap.



9. Suturing of Mucosal flap



11. The skin flaps are sutured together



4. Incision at lateral nasal wall.



6. Creation of medial skin flap.



8. Creation of lateral mucosal flap.



10. Placement of thin polythene tube to maintain 3 mm hole



12. Securing of polythene tube in the vestibule 31



13. Complete suturing of skin flap



14. Ointment placed over the sutures



15. No alteration in the shape of the nose



16. No alteration in the shape of the nose



There is no satisfactory treatment for atrophic rhinitis. The mainstays of conservative treatment are the removal of crusts from the nose and the use of antibiotics. Ciprofloxacin therapy, endoscopic removal of the crusts and long-term nasal irrigation hopefully could be successful enough in the management of atrophic rhinitis patient.1



CONCLUSION Atrophic rhinitis is an uncommon disorder in many parts of the world. This has led to controversies in regards to every portion of the disease, from etiology to management. Current understanding suggests that this is a single condition which may arise either primarily from yet unconfirmed factors, or results secondarily from insult to the nasal cavities. The treatment of this condition often involves multiple treatment modalities; and can be local, systemic, or surgical. Since cases are rare, no formal recommendations for treatment exist, and care must be tailored to the needs or desires of the patient. In cases of doubt, however, it is useful to remember the course of the disease process. Atrophic rhinitis has been noted to resolve or lessen dramatically, typically during the fifth decade of life. When 32



considering the timing or consequence of therapies, this should always be tempered with the understanding that the patient is likely to undergo resolution or improvement with a tincture of time.4



DAFTAR PUSTAKA 1. Yucel A, Aktepe O, Derekoy FS. Atrophic rhinitis : A case report. Turk J Med Sci. 2003 July 28; 33:405-407. 2. Hamilton TD, Roe JM, Hayes CM, Jones P, Pearson GR, et al. Contributory and exacerbating roles of gaseous ammonia and organic dust in the etiology of atrophic rhinitis. Clin Diagn Lab Immunol. 1999 March 6; 2:199-203. 3. Thiagarajan B. Atrophic rhinitis : A review. ENT Scholar. 2012 March 3; 20:1-6. 4. Cowan A. Atrophic rhinitis. Grand Rounds Presentation. 2005 March 2; 5:1-7. 5. Tambayong J, Suryadinata N, Ulaan RA. Buku Praktikum Histologi: Sediaan Fotografik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999. 6. Sinha V, Chhaya VA, Barot DA, Patel P, Patil S, Parmar V, et al. Modified Young’s



Operation for the Treatment of Atrophic Rhinitis. World Articles in Ear, Nose, Throat. 2010. http://www.waent.org/archives/2010/Vol3-2/20100910-atrophicrhinitis/atrophic-rhinitis-manuscript.htm. Accessed February 15, 2015.



33