Laporan Pendahuluan PKK Jiwa P18074 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI, HALUSINASI, RESIKO PERILAKU KEKERASAN, ISOLASI SOSIAL, HARGA DIRI RENDAH



DISUSUN OLEH :



EKA LISTYANINGRUM P18074



PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM DIPLOMA TIGA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2021



LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI



A. Masalah Utama Defisit Perawatan Diri B. Proses Terjadinya Masalah 1. Definisi Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannnya guna mempertahankan kehidupannya kesehatan dan kesejahteraan sesai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri. Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (depkes, 2000 dalam kusuma 2020) Defisit perawatan diri adalah suatau kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara mandiri sepeti mandi, berpakaian atau berhias, makan dan bab bak (Fitriana, 2009 dalam kusuma 2020) 2. Faktor Predisposisi a. Faktor Perkembangan : Keluarga yang terlalu memanjakan dan melindungi klien dapat menghambat perkembangan insiatif dan ketrampilan.



b. Faktor Biologis : Penyakit yang diderita membuat klian merasa tidak dapat melalukan perawatan diri secara mandiri. c. Faktor Kemampuan : Kemampuan realitas yang menurun, sehingga tidak memperdulikan dirinya sendiri. d. Faktor Sosial : Kurang dukungan dan latihan dari lingkungan membuat klien merasa kurang mandiri 3. Faktor Presipitasi Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya atau penurunan motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual,cemas, lelah/lemah



yang dialami



individu sehingga



menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri. Sedangkan menurut Depkes tahun 2000 faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah body Image, praktik sosial, status sosial ekonomi, pengetahuan, budaya, kebiasaan dan kondisi fisik. Berikut penjelasaannya. Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak perduli dengan dirinya. Pada anak anak selalu dimanja dalam kebersihan diri maka,kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene. Personal hygiene memerlukan alat dan bahan, seperti sabun, sikat gigi, shampoo dan alat mandi lainnya yang membutuhkan uang untuk menyediakannya.



Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan, misalnya pada pasien penderita DM yang harus menjaga kebersihan kakinya. Pada faktor Budaya, terdapat budaya di sebagian masyarakat tertentu jika individu sakit tidak boleh dimandikan. Ada pula kebiasaan seseorang yang enggan menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri, missal sabun, shampoo, dll. Sedangkan, untuk faktor kondisi fisik, pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukan nya. . (Direja, 2011) 4. Tanda dan Gejala a. Mandi / hygiene Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu, atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi. b. Berpakaian Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan pakaian,



menangalkan pakaian, serta



memperoleh atau menukar pakaian.



Klien juga memiliki



ketidakmampuan mengenakan pakaian dalam, memiliki pakaian, menggunakan



alat



tambahan,



menggunakan



kancing



tarik,



melepaskan pakaian menggunakan kaos kaki, mempertahankan



penampilan pada tigkat yang memuaskan, mengamnil pakaian dan mengenakan sepatu. c. Makan Klien makanan,



mempunyai menangani



ketidakmampuan perkakas,



dalam



mengunyah



menelan makanan,



menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut, menggambil makanan dari wadah lalu memasukkannya ke dalam mulut, melengkapi makanan, mencerna makanan



menurut cara yang



diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman. d. Toileting Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipilasi untuk toileting, dan menyiram toilet atau kamar kecil. Keterbatasan perawatan diri diatas biasanya diakibatkan karena setressor yang cukup berat ditangani oleh klien (klien bisa mengalami harga diri rendah ), sehingga dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan, maupun bab dan bak. Bila tidak dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bisa mengalami masalah resiko tinggi isolasi sosial. . (Direja, 2011)



5. Akibat Terjadinya masalah a. Gangguan integritas kulit b. Gangguan membrane mukosa mulut c. Resiko infeksi d. Gangguan fisik pada kuku e. Gangguan kebutuhan rasa nyaman f. Gangguan Kebutuhan mencintai dan dicintai g. Gangguan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Arvian, 2018) 6. Pohon masalah Effect



Resiko tinggi perilaku kekerasan



Core problem



Defisit perawatan diri



Causa



Harga diri rendah kronik Koping individu tidak efektif



. (Direja, 2011) C. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji 1. Defisit Perawatan Diri DS : pasien mengatakan tidak mau mandi, gosok gigi dan berhias menolak melakukan perawatan



DO :



tidak mampu mandi, mengenakan pakaian, makan, ke toilet, berhias secara mandiri minat melakukan perawatan diri kurang 2. Harga diri rendah kronik DS : Pasien mengatakan dirinya tidak berguna Pasien mengatakan merasa malu Pasien menolak penilaian positif tentang diri sendiri DO : Berbicara pelan dan lirih Menolak berinteraksi dengan orang lain Kontak mata kurang Tidak mampu membuat keputusan 3. Resiko perilaku kekerasan DS : Mengancam Mengumpat dengan kata-kata kasar Suara keras Bicara ketus DO : Menyerang orang Melukai diri sendiri atau orang lain Merusak lingkungan



Perilaku agresif (Tim POKJA SDKI DPP PPNI, 2017)



D. Diagnosa Keperawatan 1. Defisit perawatan diri 2. Harga diri rendah kronik 3. Resiko perilaku kekerasan (Budi, dkk, 2019) E. Rencana Keperawatan No 1.



Tujuan dan Kriteria hasil Intrvensi Setelah dilakukan SP1



Defisit



kunjungan selama 3 kali -Identifikasi



perawatan maka diri



perawatan



diri diri,



TTD kebersihan



berdandan,



makan,



meningkat dengan kriteria dan BAB/BAK. hasil :



-Jelaskan



1. Kemampuan



mandi kebersihan diri.



meningkat



-Jelaskan alat dan cara



2. Kemampuan



untuk kebersihan diri.



mengenakan pakaian -Masukan meningkat



jadwal



kegiatan pasien.



3. Kemampuan



makan



meningkat 4. Kemampuan ke toilet (BAB/BAK) meningkat 5. Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri meningkat 6. Minat



pentingnya



melakukan



dalam



perawatan



diri



meningkat SP2 -Evaluasi



kegiatan



yang



lalu(SP1). -Jelaskan



pentingnya



berdandan. -Latih cara berdandan. -Masukan



jadwal



dalam



kegiatan pasien. SP3 -Evaluasi



kegiatan



yang



lalu(SP1 dan SP2). -Jelaskan cara dan alat makan yang benar. -Latih kegiatan makan. -Masukan



dalam



jadwal



kegiatan pasien. SP4 -Evaluasi



kegiatan



yang



lalu(SP1,2,3) -Latih



cara



BAB/BAK



yang baik. -Jelaskan



tempat



BAB/BAK yang sesuai. -Jelaskan



cara



membersihkan diri setelah Setelah pertemuan keluarga



BAB/BAK. dilakukan SP1 selama



3x -Identifikasi



masalah



mampu keluarga dalam merawat



meneruskan



melatih pasien



dengan



masalah



pasien dan mendukung kebersihan diri, berdandan, agar kemampuan pasien makan, BAB/BAK. dalam perawatan dirinya -Jelaskan defisit perawatan meningkat.



diri. -Jelaskan



cra



merawat



kerbersihan



diir,



berdandan,



makan,



BAB/BAK. -Bermain



peran



cara



merawat. -Rencana atau tindak lanjut keluarga



atau



jadwal



keluarga untuk merawat pasien. SP2 -Evaluasi SP1 -Latih keluarga merawat langsung



ke



pasien,kebersihan diri dan berdandan. -RTL keluarga atau jadwal keluarga untuk merawat pasien SP3 -Evaluasi SP1 dan SP2. -Latih keluarga merawat langsung



pasien



cara



makan. -RTL keluarga atau jadwal keluarga untuk merawat



pasien. SP4 -Evaluasi SP1 SP2 dan SP3. -Evaluasi



kemampuan



pasien RTL



keluarga



untuk



rujukan. dilakukan SP 1 :



Harga diri Setelah rendah



kunjungan selama 3 kali Mendiskusikan



kronik



maka :



kemampuan



dan



aspek



1. Penilaian diri positif positif pasien, membantu meningkat



pasien menilai kemampuan



2. Perasaan



memiliki yang



kelebihan



masih



digunakan,



atau membantu pasien memilih



kemampuan



positif kemampuan



meningkat



dilatih,



yang



akan melatih



3. Positif terhadap diri kemampuan yang sudah sendiri meningkat 4. Berjalan



dipilih, menyusun jadwal pelaksanaan kegiatan yang



menampakkan wajah telah dilatih dalam rencana meningkat



harian SP 2 : Melatih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan kemampuan pasien dilakukan SP 1 :



Resiko



Setelah



perilaku



kunjungan selama 3 kali Identifikasi



kekerasan



maka :



kekerasan dan latih cara



1. Verbalisasi kepada menurun



Perilaku



ancaman fisik 1



orang



lain



2. Verbalisasi



umpatan



menurun 3. Perilaku



menyerang



menurun 4. Perilaku melukai diri menurun 5. Perilaku



agresif



menurun 6. Bicara keras menurun SP 2 : Latih minum obat SP 3 : Latih cara verbal yang baik SP 4 : Latih cara spiritual SP 5 : Evaluasi kegiatan fisik 1, 2, obat, verbal dan spiritual (budi, dkk, 2019)



DAFTAR PUSTAKA



Arvian, Ricko, (2018), Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Defisit Perawatan Diri Di Ruang Cenderawasih Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung Budi, dkk. (2019). Asuhan keperawatan jiwa. Jakarta. ECG Direja, Ade Herman Surya, (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta. Nuha Medika. Kusuma, dkk (2020). Pendahuluan pada pasien defisit perawatan diri Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) Standar Diagnosis keperawatan Indonesia definisi dan indicator diagnostic Jakarta : DPP PPNI Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2019) Standar luaran keperawatan Indonesia definisi dan kriteria hasil keperawatan. Jakarta : DPP PPNI



LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH



A. Masalah Utama Harga Diri Rendah B. Proses terjadinya masalah 1. Definisi Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. Harga diri seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain (Keliat, 2011). Gangguan jiwa adalah terganggunya kondisi mental atau psikologi seseorang yang dapat dipengaruhi dari faktor diri sendiri dan lingkungan. Hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur, sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat istiadat, kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang dicintai, rasa permusuhan, hubungan antara manusia (Direja, 2011). Harga diri rendah adalah evaluasi atau perasaan negative terhadap diri sendiri atau kemampuan klien seperti tidak berarti, tidak berharga, tidak berdaya yang berlangsung dalam waktu lama dan terus menerus (Tim POKJA SDKI, DPP PPNI, 2019)



2. Faktor predisposisi Terjadinya harga diri rendah kronis menurut adalah penolakan orangtua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis (Prabowo 2014). Faktor Presdisposisi citra tubuh adalah : a. Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh, b. Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh akibat penyakit, c. Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh, d. Proses pengobatan seperti radiasi dan kemoterapi. Faktor Presdisposisi harga diri rendah adalah : a. Penolakan. b. Kurang penghargaan, pola asuh over protektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu dituntut. c. Persaingan antara saudara, d. Kesalahan dan kegagalan berulang. e. Tidak mampu mencapai standar. Faktor predisposisi gangguan peran adalah : a. Stereotipik peran sex. b. Tuntutan peran kerja c. Harapan peran kultural



Faktor Presdisposisi gangguan identitas adalah : a. Ketidak percayaan orangtua b. Tekanan dari per grup c. Perubahan struktur social.



3. Faktor presipitasi Terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas. Harga dirikronisini dapat terjadi secara situasional maupun kronik. a. Trauma : masalah spesifik dengan konsep diri adalah situasi yang membuat individu sulit menyesuaikan diri, khususnya trauma emosi seperti penganiayaan, seksual dan psikologis pada masa anak-anak atau merasa terancam atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan. b. Ketegangan peran : rasa frustasi saat individu merasa tidak mampu melakukan peran yang bertentangan dengan hatinya atau tidak merasa sesuai dalam melakukan perannya. Ketegangan peran ini sering dijumpai saat terjadi konflik peran, keraguan peran dan terlalu banyak peran. Konflik peran terjadi saat individu menghadapi dua harapan yang bertentangan dan tidak dapat dipenuhi. Keraguan peran terjadi bila individu tidak mengetahui harapan peran yang spesifik atau bingung tentang



peran yang sesuai trauma peran perkembangan, perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan, transisi peran situasi, perubahan jumlah anggota keluarga baik bertambah atau berkurang, transisi peran sehat sakit, pergeseran kondisi pasien yang menyebabkan kehilangan bagian tubuh. c. Perilaku 1) Citra tubuh yaitu menolak menyentuh atau terlihat bagian tubuh



tertentu,



menolak



bercermin,



tidak



mau



mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh, menolak usaha rehabilitas, usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat, dan menyangkal cacat tubuh. 2) Harga diri rendah diantaranya :mengkritik diri atau orang lain,



profuktivitas



menurun,



gangguan



berhubungan,



ketegangan peran, persimis menghadapi hidup, keluhan fisik, penolakan kemampuan diri, pandangan hidup bertentangan, destruktif kepada diri, menarik diri secara social, penyalahgunaan zat, menarik diri dari realitas, khawatir, merasa diri paling penting, destruktif pada orang lain, merasa tidak mampu, merasa bersalah, mudah tersinggung atau marah, perasaan negative terhadap tubuh. 3) Keracunan identitas diantaranya :tidak ada kode moral, kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal yang ekploitatif, perasaan hampa, perasaan mengambang



tentang diri, kehancuran gender, tingkat ansietas tinggi, tidak mampu empati kepada orang lain, masalah estimasi. 4) Depersonalisasi meliputi afektif :kehidupan identitas, perasaan terpisah dari diri, perasaan tidak realistis, rasa terisolasi yang kuat, kurang rasa berkesinambungan, tidak mampu mencari kesenangan. Perseptual :halusinasi dengar dan



lihat,



bingung



tentang



seksusalitas



diri,



sulit



membedakan diri dari orang lain, gangguan citra tubuh, dunia seperti dalam mimpi. Kognitif :bingung, disorientasi waktu, gangguan berpikir, gangguan daya ingat, gangguan penilaian, kepribadian ganda. 4. Tanda dan gejala Menurut prabowo (2014) a.



Data subjektif 1) Mengkritik diri sendiri atau orang lain 2) Perasaan tidak mampu 3) Pandangan hidup yang pesimis 4) Perasaan lemah dan takut 5) Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri 6) Pengurangan diri / mengejek diri sendiri 7) Hidup yang berpolarisasi 8) Ketidakmampuan menentukan tujuan 9) Mengungkapkan kegagalan pribadi



10) Merasionalisasi penolakan b.



Data objektif 1) Produktivitas menurun. 2) Perilaku



destruktif



pada diri



sendiri dan



orang lain



penyalahgunaan zat. 3) Menarik diri dari hubungan social. 4) Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah. 5) Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan). 6) Tampak mudah tersinggung atau mudah marah. 5. Akibat terjadinya masalah a. Hilangnya kepercayaan diri b. Merasa gagal mencapai keinginan c. Penurunan prodiktifitas kerja d. Hubungan intrapersonal yang buruk e. Perawatan diri yang buruk f. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan (Putri, 2015)



6. Pohon masalah Resiko tinggi perilaku kekerasan Effect



Perubahan persepsi sensori : Halusinasi Isolasi sosial



Core problem



Harga diri rendah



Causa Koping individu tidak efektif C. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji 1. Harga diri rendah kronik DS : Menilai diri negative Merasa malu Melebih-lebihkan penilaian negative tentang diri sendiri DO : Berbicara pelan dan lirih Menolak berinteraksi dengan orang lain Postur tubuh menunduk



2. Resiko Perilaku kekerasan DS : Mengancam



Mengumpat dengan kata-kata kasar Susra keras Bicara ketus DO : Menyerang orang lain Melukai diri sendiri atau orang lain Merusak lingkungan Perilaku agresif atau mengamuk 3. Isolasi sosial DS : Merasa ingin sendirian Merasa tidak aman ditempat umum Merasa berbeda dengan orang lain Merasa asik dengan pikiran sendiri DO : Menarik diri Tidak berminat atau menolak berinteraksi dengan orang lain Afek datar Afek sedih Tidak ada kontak mata (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) D. Diagnosis keperawatan 1. Harga diri rendah kronik 2. Resiko perilaku kekerasan



3. Isolasi sosial (Budi, dkk, 2019) E. Rencana Keperawatan Diagnosis Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Harga Diri Setelah dilakukan SP 1 : Rendah



tindakan



TTD



keperawatan Mendiskusikan kemampuan



selama 3 x 24 jam maka dan aspek positif pasien, harga



diri



meningkat membantu pasien menilai



dengan kriteria hasil : 1. Penilaian



kemampuan diri digunakan,



positif meningkat



yang



masih



membantu



pasien memilih kemampuan



2. Perasaan memiliki yang akan dilatih, melatih kelebihan



atau kemampuan



yang



sudah



kemampuan positif dipilih, menyusun jadwal meningkat 3. Positif



pelaksanaan kegiatan yang terhadap telah dilatih dalam rencana



diri



sendiri harian



meningkat 4. Berjalan menampakkan wajah meningkat SP 2 : Melatih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan kemampuan pasien dilakukan SP 1 :



Resiko



Setelah



perilaku



kunjungan selama 3 kali Identifikasi



kekerasan



maka :



kekerasan dan latih cara



1. Verbalisasi ancaman fisik 1 kepada orang lain menurun



Perilaku



2. Verbalisasi



umpatan



menurun 3. Perilaku



menyerang



menurun 4. Perilaku melukai diri menurun 5. Perilaku



agresif



menurun 6. Bicara keras menurun SP 2 : Latih minum obat SP 3 : Latih cara verbal yang baik SP 4 : Latih cara spiritual SP 5 : Evaluasi kegiatan fisik 1,2, Isolasi sosial



obat, verbal dan spiritual dilakukan SP 1 :



Setelah



kunjungan selama 3 kali Mengidentifikasi isos dan maka :



latihan berkenalan



1. Interaksi meningkat 2. Kontak



mata



menigkat 3. Keinginana untuk bertemu



orang



lain meningkat SP 2 : Melatih berinteraksi dengan dua orang SP 3 :



Melatih interaksi dengan 45 orang SP 4 : Melatih kegiatan sosial (Budi, dkk, 2019)



DAFTAR PUSTAKA



Direja, A,H,S. (2011). Buku ajar asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta:Nuha Medika Budi, dkk (2019). Asuhan keperawatan jiwa, Jakarta : ECG Keliat,B,A. (2011). Keperawatan kesehatan jiwa komunitas. Jakarta : ECG Prabowo, E. (2014). Konsep dan aplikasi asuhan keperawatan jiwa Yogyakarta : Nuha Medika Putri, Eka. (2015). Modul praktikum keperawatan jiwa program studi S1 keperawatan fakultas keperawatan universitas andalas padang Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017). Standar diagnosis keperawatan Indonesia definisi dan indicator diagnostic. Jakarta : DPP PPNI Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2019). Standar luaran keperawatan Indonesia definisi dan kriteria hasil keperawatan. Jakarta : DPP PPNI



LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN



A. Masalah utama Resiko perilaku kekerasan B. Proses terjadinya masalah 1. Definisi Perilaku kekerasan adalah perilaku mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan Karakteristik klien perilaku kekerasan lebih dominan yaitu laki-laki, memiliki riwayat kekerasan sebelumnya, tipe skizoprenia paranoid dan frekuensi dirawat 3 kali atau lebih (Wahyuningsih, D. dkk. 2011). Resiko perilaku kekerasan adalah kemarahan yang diekspresikan secara berlebihan dan tidak terkendali secara verbal sampai dengan mencederai orang lain atau merusak lingkungan (Tim POKJA DPP PPNI, 2017) Perilaku kekerasan adalah konsekuensi daristigmatisasi terhadap ODGJ. Sebaliknya stigmatisasi adalah akibat dari perilaku kekerasan oleh ODGJ. Stigmatisasi sangat mungkin masih dilakukan perawat. Sangat penting memasukan materi stigmatisasi gangguan jiwa dalam kurikulum pendidikan calon perawat. Meraka kemungkinan akan menghadapi resiko perilaku kekerasan dari pasien jika bekerja diarea keperawatan jiwa. Keperawatan jiwa merupakan area yang beresiko mendapatkan



ancaman



dan



kekerasan



sehingga



seringkali



membenarkan beberapa jenis intervensi, seperti pengikatan, isolasi, atau pengasingan yang merugikan hubungan perawat dengan pasien (Subu, 2016).



2. Faktor predisposisi Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah faktor biologis, psikologis dan sosiokultural : a. Faktor biologis 1) Instinctual Drive Theory (Teori Dorongan Naluri). Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebakan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat 2) Psychosomatic Theory (teori Psikosomatik) Pengalaman marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini system limbic berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah. b. Faktor psikologis 1) Frustration Aggression Theory (teori agresif frustasi) Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.



2) Behavior Theory (Teori Perilaku) Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas/situasi yang mendukung. 3) Eksistensial Theory (Teory Eksistensi) 4) Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka individu akan memenuhinya melalui berperilaku destruktif. c. Faktor sosiokultural 1) Social Environment Theory (Teori Lingkungan Sosial) Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu untuk merespon asertif dan agresif 2) Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial) Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialitas. 3. Faktor presipitasi Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilangan, kematian dan lain-lain) maupun dalam (putus hubungan dengan orang yang berarti, kehilangan rasa cinta, takut terhadap penyakit fisik, dan lain-lain). Selain itu lingkungan yang



terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan (Dermawan, 2013). 4. Tanda dan gejala Menurut Kartika (2015) klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukkan adanya antara lain : a. Data subjektif 1) Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam. 2) Klien mengungkapkan perasaan tidak berguna. 3) Klien mengungkapkan perasaan jengkel. 4) Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar, rasa tercekik, dada terasa sekal dan bingung. 5) Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. 6) Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya. b. Data objektif 1)



Muka merah.



2)



Mata melototRahang dan bibir mengatup.



3)



Tangan dan kaki tegang, tangan mengepal.



4)



Tampak mondar-mandir.



5)



Tampak bicara sendiri dan ketakutan.



6)



Tampak berbicara dengan suara tinggi.



7)



Tekanan darah meningkat.



8)



Frekuensi denyut nadi meningkat.



9)



Nafas pendek.



5. Akibat terjadinya masalah a.



Melukai diri sendiri



b.



Melukai orang lain



c.



Kehilangan hubungan yang dianggap bermakna



d.



Adanya kritikan dari orang lain



e.



Gagal dalam bekerja



f.



Merasa kehilanagn orang yang dicintai



g.



Ketakutan terhadap penyakit yang diderita (pardede, 2017)



6. Pohon masalah Perilaku kekerasan



Halusinasi



Harga diri rendah



Isolasi sosial :



kronis



menarik diri



Rigmen terapeutik infektif



Koping keluarga tidak efektif Berduka disfungsisosial C. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji 1. Resiko perilaku kekerasan DS : Pasien mengatakan kata-kata yang kasar Membentak atau berbicara dengan nada tinggi DO :



Mata merah Raut wajah tidak ramah Menunjukkan sikap permusuhan 2.



Isolasi sosial



DS : Merasa ingin sendirian Merasa tidak aman di tempat umum Merasa berbeda dengan orang lain Merasa asik dengan pikiran sendiri DO : Menarik diri Tidak berminat atau menolak berinteraksi dengan orang lain Afek sedih Tidak ada kontak mata Tidak bergairah 3. Harga diri rendah kronik DS : Meniai diri negative Merasa malu atau bersalah Merasa tidak mampu melakukan apapaun Menolak penilaian positif tentang diri sendiri



DO :



Enggan mencoba hal baru Berjalan menunduk Postur tubuh menunduk



D. Diagnosis keperawatan 1. Resiko perilaku kekerasan 2. Isolasi sosial 3. Harga diri rendah kronik (budi, dkk, 2019)



E. Rencana keperawatan Diagnosis Resiko



Tujuan dan kriteria hasil Setelah dilakukan SP 1 :



Intervensi



perilaku



kunjungan selama 3 kali Identifikasi



kekerasan



maka :



TTD perilaku



kekerasan dan latih cara



1. Verbalisasi ancaman



fisik 1 kepada



orang lain menurun 2. Verbalisasi umpatan menurun 3. Perilaku menyerang menurun 4. Perilaku



melukai



diri menurun 5. Perilaku menurun



agresif



6. Bicara



keras



menurun SP 2 : Melatih minum obat SP 3 : Latih cara verbal yang baik SP 4 : Latih cara spiritual SP 5 : Evaluasi kegiatan fisik 1, Isolasi sosial



2, obat verbal dan spiritual dilakukan SP 1 :



Setelah



kunjungan selama 3 kali Mengidentifikasi



isolasi



maka :



latihan



sosial



1. Interaksi



dan



berkenalan



meningkat 2. Kontak



mata



menigkat 3. Keinginana



untuk



bertemu orang lain meningkat SP 2 : Melatih



berinteraksi



dengan 2 orang SP 3 : Melatih interaksi dengan 4 – 5 orang SP 4 : Harga



diri Setelah



rendah kronik



Melatih kegiatan sosial dilakukan SP 1 :



kunjungan selama 3 kali Mendiskusikan maka : 1.



kemampuan



dan



aspek



Penilaian diri positif positif pasien, membantu



meningkat 2.



Perasaan



pasien memiliki kemampuan yang



kelebihan



atau digunakan,



kemampuan positif pasien meningkat 3. 4.



menilai



kemampuan



Positif terhadap diri dilatih,



asih



membantu memilih yang



akan



melatih



sendiri meningkat



kemampuan yang sudah



Berjalan



dipilih, menyusun jadwal



menampakkan



pelaksanaan kegiatan yang



wajah meningkat



telah dilatih dalam rencana harian SP 2 : Melatih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan kemampuan pasien



(Budi,dkk, 2019)



DAFTAR PUSTAKA



Direja, A.H.S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha medika Budi, dkk (2019), Asuhan keperawatan jiwa, Jakarta : ECG Keliat, B. A., Akemat.(2015). Keperawatan jiwa: Terapi aktivitas kelompok (ed.2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC Subu, M.A. (2016). Stigamatisasi dan Perilaku Kekerasan pada Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Indonesia. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume 19. Jakarta : Stikes Binawan Pardede, Amidos. (2015). Standar asuhan keperawatan jiwa dengan masalah resiko perilaku kekerasan Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) Standar diagnosis keperawatan Indonesia, definisi dan indicator diagnostik. Jakarta : DPP PPNI Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2019) standar luaran keperawatan Indonesia definisi dan kriteria hasil keperawatan. Jakarta : DPP PPNI Wahyuningsih, D. dkk. (2011). Penurunan Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizoprenia dengan Assertuveness Training (AT). Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 14. Jawa Tengah : Poltekkes Semarang Wijayantiningsih, S.K. (2015). Paduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Transinfo media Ardani, Tristiadi Ardi, (2013). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa; Bandung: Karya Putra Darwati.



Dermawan, Deden,dkk, (2013). Keperawatan Jiwa Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa; penerbit Gosyen Publishing, Yogyakarta. Faija & Sidik Abubakar, (2012). Penerapan Strategi Pelaksanaan Keperawatan Pada Pasien Halusinasi Pendengaran Di Ruang Merpati RS Ernadi Bahar Provinsi Sumatera Selatan. Herdiansyah, Haris, (2013). Wawancara, Observasi, Dan Fokus Groups Sebagai Instrumen Penggalian Data Kualitatif; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Keliat, Budi Anna & Akemat, (2015). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok; Jakarta: EGC. Muhith, Abdul, (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa; Penerbit CV Andi Offset,Yogyakarta. Trimelia, (2011). Asuhan keperawatan klien halusinasi; Penerbit CV.Trans Info Media,Jakarta. Wijayaningsih, (2015). Praktik klinik keperawatan jiwa; Penerbit CV.Trans Info Media,Jakarta. Yusuf, AH dkk, (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa; Penerbit Salemba Medika, Jakarta.



LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI



A. Masalah utama Halusinasi B. Proses terjadinya masalah 1. Definisi Halusinasi adalah gejala jiwa berupa respons panca-indra yaitu penglihata, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan terhadap sumber yang tidak nyata. (Keliat & Akemat, 2007; Stuart, Keliat, & Pasaribu, 2017). Halusinasi



adalah



hilangnya



kemampuan



manusia



dalam



membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia



luar).



Klien



memberi



persepsi



atau



pendapat



tentang



lingkungantanpa ada obyek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara. Halusinasi adalah salah satu gangguan jiwa dimana pasien mengalami perubahan sensori persepsi: merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghinduan. Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/rangsangan dari luar.



2. Faktor predisposisi a.



Genetika.



b.



Neurobiologi.



c.



Neurotrasmitter.



d.



Abnormal perkembangan syaraf.



e.



Psikologis.



3. Faktor presipitasi a.



Proses



pengolahan



informasi



yang



berlebihan. b.



Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.



c.



Adanya gejala pemicu.



4. Tanda dan gejala a.



Tanda mayor 1) Subyektif a) Mendengar suara orang bicara tanpa ada orangnya. b) Melihat benda, orang atau sinar tanpa ada objeknya. c) Menghidu bau-bauan yang tidak sedap, seperti bau badan padahal tidak. d) Merasakan pengecapan yang tidak enak. e) Merasakan rabaan atau gerakan badan 2) Obyektif a) Bicara sendiri.



b) Tertawa sendiri. c) Melihat ke satu arah. d) Mengarahkan telinga ke arah tertentu. e) Tidak dapat memfokuskan pikiran. f) Diam sambil menikmati halusinasinya. b. Minor 1) Subyektif a) Sulit tidur b) Khawatir c) Takut 2) Objektif a) Konsentrasi buruk. b) Disorientasii waktu, tempat, orang atau situasi. c) Afek datar. d) Curiga. e) Menyendiri, melamun. f) Mondar-mandir. g) Kurang mampu merawat diri. 5. Akibat terjadinya masalah a. Depresi b. Datangnya pikiran kuat pengidap untuk bunuh diri c. Kecenderungan tinggi untuk melakukan bunuh diri d. Malnutrisi



e. Kehilangan kepedulian terhadap diri sendiri f. Perilaku tidak wajar dan negative yang berujung pada tindak criminal dan asusila g. Ketidakmampuan diri untuk belajar atau melakukan pekerjaan h. Munculnya penyakit lain yang berhubungan erat dengan kesalahan haya hidup yang tidak terkendali, seperti misalnya merokok atau penyalahgunaan narkoba 6. Pohon masalah Resiko perilaku kekerasan Halusinasi Isolasi diri C. Masalah keperawatan dan data yang diperlukan di kaji 1. Halusinasi DS : Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan Merasakan sesuatu melalui indra perabaan, pencium, perabaan, atau pengecapan DO : Distori sensori Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba atau mencium sesuatu 2.



Resiko perilaku kekerasan DS :



Mengancam Mengumpat degan kata-kata kasar Suara keras Bicara ketus DO : Menyerang orang lain Melukai diri sendiri atau orang lain Merusak lingkungan Perilaku agresif atau mengamuk Mata melotot atau tatapan tajam 3.



Isolasi sosial DS : Merasa ingin sendiri Merasa tidak aman ditempat umum Merasa berbeda dengan yang lain Merasa asik dengan pikiran sendiri DO : Menarik diri Tidak berminat dan menolak berinteraksi dengan orang lain Afek datar Tidak ada kontak mata (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)



D. Diagnosis keperawatan 1.



Halusinasi



2.



Resiko perilaku kekerasan



3.



Isolasi sosial (Budi, dkk, 2019)



E. Rencana keperawatan Diagnosis Halusinasi



Tujuan dan kriteria hasil Setelah dilakukan SP 1 :



Intervensi



kunjungan selama 3 kali Identifikasi maka :



halusinasi



TTD dan



latih menghardik



1. Verbalisasi mendengar



bisikan



menurun 2. Verbalisasi melihat bayangan menurun 3. Verbalisasi merasakan



sesuatu



melalui



indra



perabaan menurun 4. Verbalisasi merasakan



sesuatu



dari indra pengecapan menurun 5. Perilaku



halusinasi



menurun SP 2 : Latih



cara



mengontrol



halusinasi dengan obat SP 3 : Latih



cara



mengontrol



halusinasi dengan bercakapcakap SP 4 :



Latih



cara



mengontrol



halusinasi dengan aktivitas atau kegiatan harian dilakukan SP 1 :



Resiko



Setelah



perilaku



kunjungan selama 3 kali Identifikasi



kekerasan



maka :



perilaku



kekerasan dan latih cara fisik



1. Verbalisasi



1



ancaman kepada orang



lain



menurun 2. Verbalisasi umpatan menurun 3. Perilaku menyerang menurun 4. Perilaku melukai diri menurun 5. Perilaku



agresif



menurun 6. Bicara



keras



menurun SP 2 : Latih minum obat SP 3 : Latih cara verbal yang baik SP 4 : Latih cara spiritual SP 5 : Evaluasi kegiatan fisik 1,2, Isolasi sosial



Setelah



obat, verbal dan spiritual dilakukan SP 1 :



kunjungan selama 3 kali Mengidentifikasi maka :



isolasi



sosial dan latihan berkenalan



1. Interaksi meningkat 2. Kontak



mata



menigkat 3. Keinginana untuk bertemu



orang



lain meningkat SP 2 : Melatih berinteraksi dengan 2 orang SP 3 : Melatih interaksi dengan 4 – 5 orang SP 4 : Melatih kegiatan sosial (Budi, dkk 2019)



DAFTAR PUSTAKA



Direja, Ade Herman Surya. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika. Keliat, Budi Anna, dkk. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar diagnosis keperawatan Indonesia, definisi dan indicator diagnostik. Jakarta : DPP PPNI Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2019). Standar luaran keperawatan Indonesia, definisi dan kriteria hasil keperawatan. Jakarta : DPP PPNI Wijayaningsih, Kartika Sari. (2015). Panduan Lengkap Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta Timur : CV. Trans Info Media.



LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL



A. Masalah Utama Isolasi Sosial B. Proses terjadinya masalah 1. Definisi Menarik diri adalah suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian atau pun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap (Keliat, 2011) Menarik diri yaitu keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Bob.P,2015) Isolasi sosial adalah ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat, hangat, terbuka dan interdependen dengan orang lain (Tim POKJA SDKI DPP PPNI, 2017) 2. Faktor predisposisi a. Faktor perkembangan Pada dasarnya kemampuan seseorang untuk berhubungan sosial berkembang sesuai dengan proses tumbuh kembang mulai dari usia bayi sampai dewasa lanjut untuk dapat mengembangkan hubungan sosial yang positif, diharapkan setiap tahapan perkembangan dapat dilalui dengan sukses. Sistem keluarga yang terganggu dapat menunjukkan perkembangan respon sosial maladaptif.



b. Faktor biologis Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif.



c. Faktor sosiokultural Isolasi



sosial



merupakan



faktor



utama



dalam



gangguan



berhubungan. Hal ini diakibatkan oleh norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, tidak mempunyai anggota masyarakat yang kurang produktif seperti lanjut usia, orang cacat, dan penderita penyakit kronis. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas. d. Faktor dalam keluarga Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam gangguan



dalam



berhubungan,



bila



keluarga



hanya



menginformasikan hal-hal yang negatif akan mendorongkan anak dalam mengembangkan harga diri rendah. Adanya dua pesan yang bertentangan disampaikan pada saat bersama, mengakibatkan anak menjadi enggan berkomunikasi dengan orang lain 3. Faktor presipitasi a. Stressor sosiokultural Stress dapat ditimbulkan oleh karena menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti, misalnya karena di rawat di rumah sakit.



b. Stressor psikologi Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersama dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan ansietas. 4. Tanda dan gejala a. Gejala subjektif 1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain 2) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain 3) Respon verbal kurang dan sangat singkat 4) Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain 5) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu 6) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan b. Gejala objektif 1) Klien banyak diam dan tidak banyak bicara 2) Kontak mata kurang 3) Kurang spontan 4) Apatis 5) Mengisolasi diri 6) Aktifitas menurun 5. Akibat terjadinya masalah a.



Tidak mampu berinteraksi dengan orang lain



b.



Selalu merasa ditolak oleh orang disekitarnya



c.



Selalu merasa kesepian



d.



Kesulitan dalam membina hubungan yang berari dengan orang lain



e.



Merasa tidak aman untuk berhubungan dengan orang lain



f.



Regresi atau kemunduran



g.



Kurangnya perhatian tentang perawatan diri



h.



Kehilangan kepercayaan diri



i.



Diisolasi dari lingkungan yang ada



6. Pohon masalah Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri



akibat



Gangguan sensori atau persepsi: halusinasi pendengaran



Isolasi sosial: menarik diri masalah utama



Ketidakefektifan koping keluarga ketidakmampuan keluarga merawat klien dirumah



Gangguan konsep diri :harga diri rendah kronis



penyebab



C. Masalah keperawatan dan data yang perlu di kaji 1. Isolasi sosial DS : Merasa ingin sendirian Merasa tidak aman di tempat umum Merasa berbeda dengan orang lain DO : Menarik diri Tidak berminat atau menolak berinteraksi dengan orang lain Afek sedih Menunjukkan permusuhan Tidak ada kontak mata 2. Harga diri rendah DS : Menilai diri negative Merasa malu atau bersalah Merasa tidak mampu melakukan apapaun Merasa tidak memiliki kelebihan Menolak penilaian positif tentang diri sendiri DO : Enggan mencoba hal baru Berjalan menunduk Postur tubuh menunduk



Kontak mata kurang Berbicara pelan dan lirih Bergantun pada pendapat orang lain Sulit membuat keputusan 3. Halusinasi DS : Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan Merasakan



sesuatu



melalui



indra



perabaaan,



penciuman



atau



pengecapan Menyatakan kesal DO : Distorsi sensori Respon tidak sesuai Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba atau mencium sesuatu Menyendiri Melamun Konsentrasi buruk Mondar-mandir Bicara sendiri (Tim POKJA SDKI, DPP PPNI, 2017)



D. Diagnosis keperawatan 1. Isolasi sosial 2. Harga diri rendah 3. Halusinasi (Budi, dkk, 2019)



E. Rencana keperawatan Diagnosis Isolasi



Tujuan dan kriteria hasil Setelah dilakuan SP 1 :



sosial



kunjungan selama 3 kali Mengidentifikasi isolasi sosial maka :



Intervensi



dan latihan berkenalan



1. Interaksi meningkat 2. Kontak



mata



menigkat 3. Keinginana untuk bertemu



orang



lain meningkat SP 2 : Melatih berinteraksi dengan dua orang SP 3 : Melatih interaksi dengan 4-5 orang SP 4 : Harga



diri Setelah



Melatih kegiatan sosial dilakukan SP 1 :



TTD



rendah



kunjungan selama 3 kali Mendiskusikan maka :



dan



1. Interaksi



aspek



membantu



meningkat



positif pasien



kemampuan



2. Kontak



kemampuan pasien, menilai



yang



masih



mata digunakan, membantu pasien



menigkat



3. Keinginana untuk memilih bertemu



orang



sudah



kemampuan dipilih,



yang



menyusun



lain meningkat jadwal pelaksanaan kegiatan yang



telah



dilatih



dalam



rencana harian SP 2 :



Halusinasi



Melatih



pasien



kegiatan



lain



melakukan yang



sesuai



dengan kemampuan pasien dilakukan SP 1 :



Setelah



kunjungan selama 3 kali Identifikasi halusinasi dan latih maka :



menghardik



1. Verbalisasi mendengar bisikan menurun 2. Verbalisasi melihat bayangan menurun 3. Verbalisasi merasakan melalui



sesuatu indra



perabaan menurun



4. Verbalisasi merasakan



sesuatu



dari indra pengecapan menurun 5. Perilaku



halusinasi



menurun SP 2 : Latih



cara



mengontrol



halusinasi dengan obat SP 3 : Latih



cara



mengontrol



halusinasi dengan bercakapcakap SP 4 : Latih



cara



mengontrol



halusnasi dengan aktivitas atau kegiatan harian



DAFTAR PUSTAKA



Azizah,L.M. A. (2011). Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta : Graha Ilmu Bob,P. (2015). Approaches To Counter Loneliness And Social Isolation. Nursing Older People : London 27.7:31. Budi, dkk. (2019). Asuhan keperawatan Jiwa, Jakarta. ECG Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017), Standar diagnostic keperawatan Indonesia definisi dan indicator diagnostik, Jakarta : DPP PPNI Cha,A. (2016). Loneliness May Be Detrimental To Your Heart The Washington,D.C.(Washington.D .C)Edisi6 Keliat (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.Jakarta:EGC. Keliat. (2010). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2.Jakarta:EGC. Yosep. (2010). Keperawatan Jiwa Edisi Revisi.Bandung:PT.Revika Aditama.