Laporan Praktikum Biofarmasetika Absorpsi Obat Oral in Situ [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA ABSORBSI OBAT PERORAL (METODE IN SITU)



Dosen : Dr. apt. Lina Winarti, S.Farm., M.Sc.



Kelompok A2-1 1. Fasya Nadhira Sariful



(172210101030)



2. Talidah Alqibtiyah Roja



(172210101141)



3. Ayu Mega Lestari



(172210101142)



4. Amanda Della Yudatama



(182210101008)



5. Karisa Erisna Sitorus



(182210101009)



BAGIAN FARMASETIKA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER 2021



I. TUJUAN Mempelajari pengaruh pH terhadap absorbsi obat, yang diabsorbsi melalui difusi pasif dan percobaan dilakukan secara in situ



II. DASAR TEORI Ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat fisikokimia formulasi terhadap bioavaibilitas obat serta dinyatakan dengan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dikenal sebagai Biofarmasetika (Shargel dan Yu, 2005). Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur terkait, dimulai dari pemberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif yang bergantung pada rute pemberian dan bentuk sediaan. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi (pelarutan) dan absorbsi (penyerapan). Absorbsi merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan tahap awal dari fase farmakokinetika dimana molekul-molekul obat masuk ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah setelah melewati membran biologik. Penyerapan zat aktif sendiri bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisikokimia molekul obat, dimana absorbsi hanya terjadi apabila zat aktif sudah dibebaskan dari sediaan dan melarut dalam cairan biologis (Aiache, 1993). Sehingga dijabarkan oleh Shargel dan Yu (2005) produk obat akan mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses yang meliputi: 1. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat 2. Pelarutan obat dalam media aqueous Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, mengakibatkan laju pelarutannya sering kali merupakan tahap yang paling lambat. Oleh karena itu kelarutan dianggap sebagai efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat. Tahap yang paling lambat didalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu kecepatan (rate-limiting step) (Shargel et al., 1999). 3. Absorbsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Absorbsi suatu obat dapat didefinisikan sebagai proses perpindahan obat dari tempat pemberiannya, melewati sawar biologis ke dalam aliran darah maupun ke dalam sistem limfatik. Maka dapat dikatakan agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Percobaan absorbsi obat secara in situ melalui usus halus didasarkan atas penentuan kecepatan hilangnya obat dari lumen usus halus setelah larutan obat dengan kadar tertentu



dilewatkan melalui lumen usus halus secara perfusi dengan kecepatan tertentu. Cara ini dikenal pula dengan nama teknik perfusi, karena usus dilubangi untuk masuknya ujung kanul, satu kanul di bagian ujung atas usus untuk masuknya sampel cairan percobaan dan satu lagi bagian bawah untuk keluarnya cairan tersebut. Absorbs obat per-oral umumnya banyak terjadi di usus halus, yang terdapat proses difusi pasif, transport, dan endositosis. Absorpsi obat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Sifat fisika-kimia obat : a. pKa b. kelarutan c. log P d. PSA e. Potensi ikatan H f. Berat/ukuran molekul 2. Kondisi saluran cerna : pH, motilitas, kecepatan pengosongan lambung, metabolisme usus, sekresi usus, surfaktan asli, luas permukaan membran, aliran getah bening, mekanisme transport. 3. Bentuk sediaan : laju disolusi, disintegrasi, formulasi obat, mekanisme pelepasan obat, ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-bahan tambahan dalam sediaan. 4. Faktor-faktor lain : usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat dengan obat lain, penyakit tertentu, dan kompleksasi. Pemberian obat secara per-oral merupakan rute yang paling banyak dan nyaman untuk terapi pengobatan. Obat masuk ke tubuh secaea per-oral akan melewati juga proses absorbsi. Absorbsi merupakan proses penyerapan obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh melalui jalurnya hingga sampai ke pembuluh darah ( Cao, X, et. Al. 2008). Proses absorbsi obat penting untuk mengetahui biovaibilitas karena jika secara per-oral obat tersebut dapat ditentukan luasan dan tingkatnya (fraksi) sampai ke sirkulasi sistemik dalam bentuk tak berubah. Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa obat yang dicobakan stabil, tidak mengalami metbolisme dalam lumen usus, sehingga hilangnya obat dari lumen usus akan muncul dalam darah atau plasma darah, atau dengan perkataan lain hilangnya obat dari lumen usus tersebut adalah karena proses absorbsi. Bagi obat-obat yang berupa asam lemah atau basa lemah, pengaruh PH terhadap kecepatan absorbsi sangat besar, karena PH akan menentukan besarnya



fraksi obat dalam bentuk tak terionkan. Bentuk ini yang dapat terabsorbsi secara baik melalui mekanisme difusi pasif. Berikut merupakan gambaran model umum penyerapan GI :



Perubahan obat pada sirkulasi darah terjadi kondisi non-steady state yang dipengaruhi oleh panjang usus dan laju eliminasi, laju absorbsi, kecepatan pengosongan lambung dan tingkat penyebaran zat terlarut di sepanjang saluran. Metode absorbsi obat secara per-oral dibedakan menjadi 3, yaitu : 1. Metode in Vivo



Metode ini menggunakan seluruh organisme hidup agar menghindari dari penggunaan organ secara parsial atau mati. Keuntungan metode in vivo yaitu menghindari kondisi nin-fisiologis anestesi (mempengaruhi kinetika absorbsi), hanya saja membutuhkan keterampilan bedah dan penanganan dan etika hewan yang intensif dan baik 2. Metode in Vitro



Metode ini berada diluar dan menggunakan media/organ yang lingkungan biologis sama persis seperti organ aslinya. Diatur oleh pH, suhu, osmolaritas. Metode in vitro ini dapat mengidentifikasi absorbsi obat dan tingkat first-pass metabolism. 3. Metode in Situ



Metode in situ ini menggunakan organ usus halus berdasarkan penentuan kecepatan hialngnya obat dari lumen usus halus dengan kadar tertentu. Metode ini digunakan untuk melihat hubungan permeabilitas usus dan digunakan untuk merancang obat dalam pengoptimalam kecepatan absorbsi obat yang sulit dan/atau tidak dapat langsung diabsorbsi (Ganiswara, 1995). Metode dengan cara ini disebut juga teknik perfusi, karena usus dilubangi untuk masuknya ujung kanul, satu kanul di bagian ujung atas usus untuk masuknya sampel cairan percobaan dan lainnya bagian bawah untuk keluarnya cairan. Cara



ini diasumsikan obat stabil, mengalami metabolisme di lumen usus sehingga absorbsi obat di lumen usus akan muncul di darah. Metode ini dilakukan dengan membius hewan dan membedah tetapi suplai darah, endokrin, limfatik utuh karena mekanisme transport harus berfungsi. Model ini telah terbukti kolerasi dengan data manusia in vivo untuk meprediksi absorbsi dan sampel dapat diambil beberapa untuk uji kinetika dan hasil absorbsi lebih realistis daripada in vitro. Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari berbagai factor yang dapat berpengaruh pada permeabilitas dinding usus dari berebagai macam obat. Pengembangan lebih lanjut dapat digunakan untuk merancang obat dalam upaya mengoptimalkan kecepatan absorbsinya melalui pembentukan prodrug, khususnya untuk obat-obat yang sangat sulit atau praktis tidak dapat terabsorbsi. Melalui metode ini akan dapat diungkapkan pula besarnya permeabilitas membran usus terhadap obat melalui lipoid pathway, pori, dan aqueous boundary layer. Metode Through and Through merupakan salah satu cara pengujian in situ. Cara ini dilakukan dengan menentukan fraksi obat yang terabsorbsi, setelah larutan obat dialirkan melalui lumen intestine yang panjangnya tertentu dan kecepatan alirnya tertentu pula. Dalam keadaan tunak proses absorbsi dapat dinyatakan dengan persamaan : Peff = - (Q/A) ln (C(1) / C(0)) Peff = - (Q/2πrl) ln (C(1) / C(0)) Dari persamaan tersebut terlihat bahwa semakin besar nilai jari-jari dan panjang usus maka nilai Peff yang diperoleh kecil (berbanding terbalik). Semakin rendah nilai Peff maka permeabilitasnya rendah maka obat akan cepat keluar dan efek yang diinginkan tidak dicapai sebaliknya jika nilai Peff semakin tinggi maka waktu obat didalam membran untuk diabsorbsi semakin lama sehingga efek yang diinginkan dicapai. Yang dimaksud Peff adalah tetapan permeabilitas semu. Nilai Peff yang diperoleh menunjukkan suatu kemampuan obat untuk berada pada membran, semakin tinggi nilai Peff yang diperoleh maka semakin baik obat untuk terabsorbsi pada membran. Sedangkan bila nilai Peff yang diperoleh rendah maka obat akan cepat terekskresikeluar sehingga jumlah obat yang terabsorbsi rendah. Bila obat yang terabsorbsi melalui membran tersebut rendah maka efektivitas obat tersebut juga rendah. Pada percobaan absorbs obat per oral secara in situ, dilakukan percobaan dalam dua kondisi pengujian yaitu pada kondisi asam dengan menggunakan CLB (cairam lambung buatan) tanpa enzim yang memiliki pH 1,2 dan pada kondisi basa dengan menggunakan CUB



(cairan usus buatan) tanpa enzim yang memiliki pH 6,8. Hal tersebut memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui pengaruh pH terhadap absorbs obat. Komposisi dari CLB tanpa enzim dan CUB tanpa enzim berdasarkan Farmakope Indonesia edisi VI halaman 2206 sebagai berikut : 







Komposisi CLB tanpa enzim pH 1,2 : -



2 gram natrium klorida P



-



7 ml asam klorida P



-



Air ad 1000 ml



Komposisi CUB tanpa enzim pH 6,8 0,1 : -



6,8 gram kalium fosfat monobasa P



-



77 ml natrium hidroksida 0,2 N



-



Natrium hidroksida 0,2 N atau asam hidroklorida 0,2 N



-



Air ad 1000 ml



Parasetamol



Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesic yang populer dan digunakan untuk meredakan sakit kepala, sengat-sengat dan sakit ringan, serta demam. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesic dan flu. Parasetamol aman dalam dosis standar, overdosis obat ini dapat terjadi jika digunakan dosis yang berlebih. Parasetamol merupakan turunan senyawa sintesis p-aminofenol yang memberikan efek analgesic dan antipiretik. Nama kimia senyawa ini yaitu N-asetil-p-aminifenol atau pacetaminofenol atau 4’-hidroksiasetaniud dengan bobot molekul 151,16 dan memiliki rumus kimia C8H9NO2. Parasetamol memiliki waktu paruh eliminasi antara 1-3 jam. Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dari 101,0 % C8H9NO2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemeriaannya adalah hablur/serbuk, hablur berwarna putih dan tidak berbau, dan memiliki rasa pahit. Suhu lebur parasetamol 169ºC-172ºC dengan pH larutan antara 3,8-6,1.



Parasetamol pada suhu 740ºC akan mudah tergradasi dan akan lebih mudah terurai dengan adanya udara dan cahaya dari luar. Parasetamol diabsorbsi dengan depat dan sempurna melalui saluran cerna obat ini tersebar diseluruh cairan tubuh dan 25 % terikat dengan protein plasma. Sedangkan sebagian besar parasetamol (80%) dikonjugasi dengan asam glukonat dan sisanya dengan asam sulfat. Metabolit hasil hidrosilasi obat ini dapat menimbulkan methamoglobinomia dan hemolysis entrosis. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diekskresikan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi melalui ginjal akibat dosis toksis yang serius adalah nekrosis hati. Nekrosis tubuli renaus serta koma hipoglikemia dapat juga terjadi hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 g (200-250 mg/kg BB). III. ALAT DAN BAHAN 







Alat -



Satu set Kanula



-



Cutter listrik



-



Timer/jam



-



Gelas piala besar (untuk tempat anastesi)



-



Spektrofotometer



-



Alat/perlengkapan operasi (meja operasi, gunting, pinset, benang, penggaris)



-



Pompa peristaltic



-



Alat-alat gelas



-



Timbangan hewan percobaan



Bahan -



Cairan lambung buatan (CLB) tanpa enzim



-



Cairan usus buatan (CUB) tanpa enzim



-



Larutan PCT pada CLB dan CUB tanpa enzim



-



Tikus putih jantan dengan berat 150-170 gram



-



Larutan eter



-



Larutan natrium klorida 0,9 % b/v



IV. METODE KERJA a. Pembuatan Larutan CLB dan CUB tanpa Enzim  Larutan CLB tanpa Enzim Ditimbang sebanyak 2 gram NaCl lalu dilarutkan dalam 7 mL HCL pekat dan ditambahkan air ad 1000 mL



Diukur pH hingga 1,2  Larutan CUB tanpa Enzim Ditimbang sebanyak 6,8 gram KH2PO4 dan dilarutkan dalam 250 mL air. Lalu, dicampur dan ditambahkan 77 mL NaOH dalam 500 mL air



Diukur pH hingga 6,8 ± 0,1 dan dengan di-adjust dengan HCl 0,2 N atau NaOH 0,2N dan ditambahkan air ad1000 mL.



b. Pembuatan Kurva Baku Paracetamol CLB dan CUB tanpa Enzim Dibuat standar baku penimbangan paracetamol : 50 𝑚𝑔 500 𝑚𝐿



x 1000 = 100 ppm



Ditimbang sebanyak 50 mg paracetamol dan dilarutkan dalam 500 mL CLB untuk replikasi 1 dan 500 mL CUB untuk replikasi 2 Konsentrasi pengenceran larutan baku induk : - 2 ppm =



0,5 𝑚𝐿 25 𝑚𝐿



x 100 ppm 1 𝑚𝐿



- 4 ppm = 25 𝑚𝐿 x 100 ppm 3 𝑚𝐿



- 6 ppm = 50 𝑚𝐿 x 100 ppm 2 𝑚𝐿



- 8 ppm = 25 𝑚𝐿 x 100 ppm - 10 ppm =



1 𝑚𝐿 10 𝑚𝐿



x 100 ppm 3 𝑚𝐿



- 12 ppm = 25 𝑚𝐿 x 100 ppm



c. Pembuatan Larutan Paracetamol (Sampel) Ditimbang sebanyak 125 mg paracetamol masing-masing dalam larutan CLB dan larutan CUB tanpa enzim ad 50 mL Didapatkan konsentrasi larutan : 125 𝑚𝑔 50 𝑚𝑔



x 1000 = 2500 ppm



d. Penetapan Kadar Paracetamol dalam CLB dan CUB Sebagai Konsentrasi Awal (Cp 0) Dipipet masing-masing larutan Paracetamol sebanyak 5 mL (bagian c) dari CLB dan CUB dan diencerkan hingga volume 250 mL



Didapatkan konsentrasi perkiraan paracetamol setelah pengenceran : 5 𝑚𝐿 250 𝑚𝐿



x 2500 = 50 ppm



Absorbansi pengenceran larutan paracetamol diukur pada λ maks. CUB dan CLB tanpa enzim (bagian b) e. Percobaan Absorpsi pada Tikus Teranestesi Sebanyak 2 ekor tikus putih jantan, tikus pertama digunakan untuk uji menggunakan CLB tanpa enzim. Tikus kedua untuk uji menggunakan CUB



Sebelumnya, tikus dipuasakan 24 jam, dan hanya diberi minum



Anestesi tikus menggunakan eter. Lalu sepanjang linea medina perut tikus dibedah hinga terlihat jelas bagian ususnya. Bagian lambung diukur dari 15 cm dari arah lambung ke arah anal menggunakan benang secara hati-hati dan dibuat lubang dan kanul dimasukkan mengarah ke anal. Kanul dihubungkan dengan selang infus menuju labu infus yang berisi larutan CUB dan CLB tanpa enzim



Diukur usus dari ujung kanul dengan bantuan benang ke arah anal sepanjang 20 cm dan dibuat lubang ke-2. Lalu, dipasang kanal ke-2 dengan ujung kanul mengarah ke bagian oral dari usus dengan benang. Kanul berhubungan dengan selang infus menuju beaker glass Kran infus dibuka dan dibiarkan CUB atau CLB mengalir melalui usus dan keluar sampai ke beaker glass, sampai cairan yang keluar jernih Labu infus diganti menggunakan CUB atau CLB yang mengandung paracetamol. Dan, usus dialiri selama 30 menit Volume CUB atau CLB dicatat yang tertampung di beaker glass dan kecepatan alirnya (Q) ditentukan = volume terukur / 30 menit Usus tikus antara kedua ujung dipotong dan ukur panjangnya menggunakan penggaris. Ujung usus diikat dan dimasukkan aquades melalui ujung yang lain sampai usus menggelembung. Diukur diameter dan (r) usus dengan jangka sorong f. Penetapan kadar Paracetamol dalam CUB/CLB yang tertampung sebagai konsentrasi akhir (C1) Absorbansi masing-masing diukur menggunakan λ maks. yang sudah dicari (bagian b)



Kadar paracetamol dihitung mengunakan persamaan kurva kalibrasi yang didapat (bagian b)



g. Perhitungan Peff Dihitung Peff (CUB) dan Peff (CLB) menggunakan data yang telah didapat dengan memasukkan pada persamaan rumus



Kedua Peff tersebut dibandingkan. Dan, dilakukan analisis data.



Tugas Sebelum Praktikum a. Penimbangan dan pengenceran kurva baku paracetamol 50



× 1000 = 100 ppm



500



Ditimbang 50 mg paracetamol dalam 500 ml CLB untuk replikasi 1 dan 500 ml untuk replikasi 2



b. Pengenceran larutan baku induk 



25



× 100 ppm = 2 ppm



x = 0,5 ml 



25



× 100 ppm = 4 ppm



x = 1 ml 



50



× 100 ppm = 6 ppm



x = 3 ml 



25



× 100 ppm = 8 ppm



x = 2 ml 



10



× 100 ppm = 10 ppm



x = 1 ml 



50



× 100 ppm = 12 ppm



x = 6 ml



c. Pembuatan larutan sampel paracetamol 125 50



× 1000 = 2500 ppm



Ditimbang 125 mg paracetamol masing-masing dalam CLB dan CUB tanpa enzim hingga 50 ml CLB



V.



PEMBAHASAN 1. Absorbsi Obat secara In Situ Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan absorbsi paracetamol peroral. Percobaan



dilakukan dalam dua kondisi uji yaitu pada kondisi asam menggunakan cairan lambung buatan (CLB) tanpa enzim pH 1,2 dan pada kondisi basa menggunakan cairan usus buatan (CUB)



tanpa



enzim



pH



6,8.



Kadar



paracetamol



diukur



menggunakan



metode



spektrofotometri. Percobaan ini dilakukan untuk mengamati pengaruh pH terhadap absorbsi parasetamol melalui difusi pasif dan percobaan dilakukan secara in situ. Metode in situ merupakan suatu metode uji yang dilakukan dalam organ target tertentu yang masih berada dalam sistem organisme hidup. Bedanya dengan uji in vivo, ialah karena pada uji in situ organ target diusahakan tidak dipengaruhi oleh organ lain sehingga profil obat yang diamati hanya berdasarkan pada proses yang terjadi pada organ tersebut tanpa dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada organ lain. Sedangkan bedanya dengan uji in vitro ialah organ pada uji in situ masih menyatu dengan sistem organisme hidup, masih mendapat suplai darah dan suplai oksigen. Metode in-situ memiliki kelebihan dibandingkan metode in-vitro. Walaupun hewan percobaan sudah dianastesi dan dimanipulasi dengan pembedahan, suplai darah mesentris, neural, endokrin, dan limpatik masih utuh sehingga mekanisme transpor seperti yang terdapat pada mahluk hidup masih fungsional. Sebagai hasilnya, laju dari metode ini lebih realistik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro). Metode absorbsi in situ sering disebut teknik perfusi karena usus dilubangi satu untuk memasukkan sampel dan dilubangi satu lagi untuk keluarnya sampel. Cara ini didasarkan asumsi bahwa hilangnya obat dari lumen usus dikarenakan proses absorbsi, obat dianggap stabil dan tidak mengalami metabolisme di usus. Metode in situ digunakan untuk mempelajari faktor yang mempengaruhi permeabilitas usus, untuk mengoptimalkan kecepatan absorbsi pada sediaan prodrug dan pada obat yang sangat sulit atau praktis tidak dapat terabsorbsi. Pada percobaan kali ini absorbsi obat melalui difusi pasif, artinya absorbsi tidak menggunakan energi, terjadi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah dan tidak melawan gradien konsentrasi. Peranan terpenting untuk menentukan efektivitas suatu obat adalah adanya proses absorbsi itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan besarnya absorbsi yaitu dosis, jalur atau rute masuknya obat, aliran darah ke tempat pemberian, fungsi saluran pencernaan (gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain yang menyebabkan interaksi



yang tidak diinginkan, sifat fisika kimia dari obat, dan tempat absorbsi yang menentukan ph lingkungan absorbsi seperti lambung yang memiliki pH rendah (asam), pH usus yang tinggi (basa), dan kecepatan absorbsi obat yang sangat dipengaruhi oleh koefisien partisi obat. Hal ini disebabkan oleh komponen dinding usus yang sebagian besar lipid. Dengan demikian obat-obatan yang mudah larut dalam lipid tersebut akan muda melaluinya. Lipofilisitas molekul adalah dasar dari nilai log p dengan p dinyatakan sebagai koefisien partisi. 2. Tahapan Praktikum Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui abaorbsi obat per oral secara in situ. Pada praktikum ini, setiap kelompok melakukan satu percobaan absorbsi parasetamol menggunakan satu kondisi saja, yaitu pada kondisi asam menggunakan CLB tanpa enzim dengan pH 1,2 atau kondisi normal-basa menggunakan CUB tanpa enzim pH 6,8. Proses yang dilakukan pada praktikum kali ini umumnya sama, hanya saja secara online. Kondisi uji berupa cairan lambung buatan (CLB) tanpa enzim pH 1,2 dan cairan usus buatan (CUB) tanpa enzim pH 6,8. Cairan lambung buatan (CLB) tanpa enzim pH 1,2 dibuat dengan mencampurkan sebanyak 2 gram NaCl lalu dilarutkan dalam 7 ml HCl pekat dan ditambahkan air ad 1000 ml, selanjutnya diukur pH hingga 1,2. Cairan usus buatan tanpa enzim dibuat dengan 6,8 gram KH2PO4 dan dilarutkan dalam 250 ml air. Lalu, dicampur dan ditambahkan 77 ml NaOH dalam 500 ml air kemudian diukur pH nya hingga 6,8 dengan di adjust dengan HCl 0,2 N atau NaOH 0,2 N dan ditambahkan air ad 1000 ml. Selanjutnya membuat kurva baku parasetamol dalam CLB tanpa enzim dengan kadar 2 ppm, 6 ppm, 10 ppm, 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm. Kemudian pembuatan larutan parasetamol (sampel), ditimbang sebanyak 125 mg parasetamol masing-masing dalam larutan CLB dan larutan CUB tanpa enzim ad 50 ml. Penetapan kadar parasetamol dalam CLB dan CUB sebagai konsentrasi awal (Cp0) dipipet masing-masing larutan parasetamol sebanyak 5 ml dari CLB dan CUB dan diencerkan hingga volume 250 ml, didapatkan konsentrasi perkiraan parasetamol setelah pengenceran yaitu 50 ppm absorbansi pengenceran larutan parasetamol diukur pada λ maks CUB dan CLB tanpa enzim. Setelah itu kita mulai prosedur pembedahan tikus, siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam percobaan, timbang holder tikus kosong dan catat beratnya, kemudian masukkan tikus ke dalam holder tikus dan catat beratnya, kurangi berat holder yang berisi tikus dengan berat holder kosong lalu didapatkan berat tikusnya, injeksikan ketamine 1 mg/kg



BB untuk membius tikus, siapkan tabung infus dan isi dengan CUB atau CLB. Tusuk kaki tikus yang telah terbius dengan posisi terlentang pada papan fiksasi, bedah perut tikus kemudian cari bagian usus halus, cari bagian usus dengan jarak 15 cm dari lambung, lubangi dan pasangi kanul (yang terhubung dengan botol infus, dengan ujung mengarah ke bagian kanul), dari kanul pertama, ukur sepanjang 20 cm menggunakan benang dan pasang kanul kedua dengan ujung mengarah ke bagian oral, ujung akhir kanul selanjutnya diletakkan pada beaker glass. Buka kran infus, bilas usus tikus dengan CUB atau CLB hingga didapatkan cairan beneing pada beaker glass, bius tikus dengan kloroform bila tikus terbangun ditengah percobaan Ganti cairan infus dengan 250 ml larutan parasetamol pada CUB atau CLB, buka kembali keran infus, pastikan seluruh selang kanul (dari bagian bawah botol infus hingga ujung di beaker penampung terbilas dengan larutan parasetamol). Atur tetesan infus dengan kecepatan 0,1-0,3 ml/menit. Lalu letakkan beaker bersih dan kering pada ujung kanul, nyalakan timer selama 30 menit, ukur volume cairan yang tertampung, ukur kadar parasetamol pada tampungan (kadar akhir) dan botol infus (kadar awal) menggunakan spektrofotpmeter UV-Vis, terakhir bunuh tikus menggunakan cairan kloroform atau potong jantung tikus. Setelah itu memotong usus tikus antara ke dua ujung selang dan mengukur panjangnya menggunakan penggaris. Data yang terukur sebagai l. Selanjutnya mengikat ujung usus dan memasukkan aquades melalui ujung yang lain sampai usus menggelembung maksimal dan mengukur keliling dari usus tersebut. Kemudian melakukan perhitungan untuk mendapatkan jari-jari usus. Data yang didapatkan sebagai berikut : 1. Data kurva baku parasetamol dalam CUB Kadar (ppm)



Absorbansi



2



0,118



4



0,244



6



0,381



8



0,511



10



0,627



12



0,759



2. Data kurva baku parasetamol dalam CLB



Kadar (ppm)



Absorbansi



2



0,125



4



0,254



6



0,391



8



0,518



10



0,639



12



0,769



3. Data absorpsi obat dalam CUB Panjang usus tikus = 20 cm Diameter usus tikus = 0,495 cm Kadar parasetamol awal (C0) = 50 ppm Volume sampel tertampung setelah 30 menit = 11 ml Absorbansi sampel (C1) = 0,133 (pengenceran 1 ml sampel dalam 10 ml)



4. Data absorpsi obat dalam CLB Panjang usus tikus = 20 cm Diameter usus tikus = 0,485 cm Kadar parasetamol awal (C0) = 50 ppm Volume sampel tertampung setelah 30 menit = 12,5 ml Absorbansi sampel (C1) = 0,245 (pengenceran 1 ml sampel dalam 10 ml)



Yang terakhir adalah melakukan perhitungan Peff (CLB) dan (CUB) menggunakan data yang telah didapat dengan memasukkan pada persamaan Peff. 3. Absorbsi Parasetamol Secara Teoritis Secara umum, absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik. Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat. Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada umumnya, membran sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel. Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan (serta cepat-lambatnya melarut) menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah



cairan gastrointestinal; dari sini melalui membran biologis obat masuk ke peredaran sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan obat dari bentuk sediaannya. Banyak faktor mempengaruhi kecepatan dan besarnya absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute masuk obat, aliran darah ke tempat pemberian, fungsi saluran pencernaan (gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain, dan variabel lainnya. Bentuk obat merupakan penentu utama bioavailability (bagian dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik dan mampu bekerja pada tubuh sel). Dalam bentuk obat intravena hampir 100% bioavailable; obat oral hampir selalu kurang dari 100% bioavailablenya karena beberapa tidak diserap dari saluran cerna dan beberapa menuju hati dan sebagian di metabolism sebelum mencapai sistem sirkulasi. Parasetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik dan analgesik. Parasetamol utamanya digunakan untuk menurunkan panas badan yang disebabkan olehkarena infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping itu, parasetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Secara teoritis parasetamol memiliki pH antara 5,5 – 6,5. Hal ini mengartikan bahwa parasetamol bersifat asam lemah dan hampir mendekati netral/ basa. Absorbsi parasetamol tergantung pada pH lambung dan usus. Absorbsi parasetamol lebih cepat dalam pH basa usus dibandingkan dengan pH asam pada lambung. Adanya makanan di dalam lambung akan sedikit memperlambat absorbsi dari parasetamol. Pada praktikum yang kami lakukan pengukuran absorbansi parasetamol dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Dari hasil percobaan diperoleh absorbansi sampel (C1) pada CUB sebesar 0,133 dan pada CLB sebesar 0,245 dengan pengenceran 1ml sampel dalam 10 ml. Serta juga didapat persamaan regresi pada CUB: y = 0,064x – 0,008 dan pada CLB: y = 0,064x – 8,6 x 10-4. Dari persamaan regresi tersebut dapat dihitung kadar parasetamol sehingga diperoleh pada CUB 22,03 ppm dan untuk CLB 38,42 ppm. Absorpsi obat tergantung dari sifat fisika dan kimia obat yang berbeda-beda tiap senyawa, dan tempat absorpsi obat yang menentukan pH lingkungan absorpsi seperti lambung memiliki pH rendah (asam), usus pH tinggi (basa). Selain itu ada pengaruh bentuk obat, yang berbentuk partikel kecil sangat mudah/cepat absorpsinya. Begitu juga dengan bentuk obat yang tersedia di lokasi absorpsi, apakah bentuk ion atau molekul. Hanya obat dalam bentuk molekul yang akan mengalami absorpsi karena bentuk molekul yang larut dalam lipid akan mudah menembus membran tubuh tempat absorpsi obat (membran tubuh bersifat lipid



bilayer). Oleh karena itu, tempat absorpsi obat dapat diperkirakan berdasarkan pH obat. Obat bersifat asam seperti akan mengalami absorpsi di lambung. Karena dalam lambung yang bersuasana asam obat-obat asam akan mengalami bentuk molekul yang lebih banyak dibandingkan bentuk ionnya (bentuk ion larut air mudah diekskresikan, bukan diabsorpsi). Selama proses absorpsi, obat mengalami penurunan jumlah karena tak semua obat diabsorpsi. Selain itu selama proses absorpsi, jika obat diberikan secara oral maka akan mengalami siklus enterohepatik (perjalanan dari pembuluh darah di usus ke portal hepar di mana terdapat enzim beta-glikosidase yang mengolah sebagian obat sebelum sampai di reseptornya). 4. Perhitungan Koefisien Permeabilitas Intestinal Efektif (Peff) Dalam keadaan tunak proses absorbsi dinyatakan dengan persamaan : Peff = [



0



] ln [ 1]



Peff merupakan koefisien permeabilitas intestinal efektif yang dapat menunjukkan suatu kemampuan obat untuk berada pada membran, semakin tinggi nilai Peff maka proses absorbsi semakin baik dan efek obat akan cepat tercapai, sedangkan jika nilai P eff semakin rendah maka obat akan cepat dibuang dari tempat absorbsi dan obat yang diabsorbsi sedikit, sehingga efektivitas obat akan rendah juga. Berikut perhitungan nilai Peff untuk sampel parasetamol dalam CUB dan CLB: 1. Peff CUB y = 0,064x – 0,008 r = 0,999 Absorbansi = 0,133 Kadar = 0,133 = 0,064x – 0,008 x = 2,203 ppm × 10 ml / 1 ml x = 22,03 ppm Q = 11ml/30 menit = 0,367 ml/menit Peff



= -(Q/A) ln (C1/C0) = - (0,367 / 2 × 3,14 × 0,248 × 20) ln (22,03 / 50) = -0,012 × -0,819



= 9,828 × 10-3 2. Peff CLB y = 0,064x – 8,6x10-4 r = 0,999 Absorbansi = 0,245 Kadar = 0,245 = 0,064x – 8,6x10-4 x = 3,842 ppm × 10 ml / 1 ml x = 38,42 ppm



Q = 12,5ml/30 menit = 0,417 ml/menit



Peff



= - (Q/A) ln (C1/C0) = - (0,417 / 2 × 3,14 × 0,243 × 20) ln (38,42 / 50) = -0,014 × -0,264 = 3,696 x 10-3



Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin kecil nilai Peff maka permeabilitas semakin rendah sehingga obat akan cepat keluar dan efek yang diinginkan sulit dicapai karena obat sulit diabsorpsi. Sebaliknya, semakin besar nilai Peff maka permeabilitas semakin tinggi sehingga obat tidak akan cepat keluar dan terabsorpsi sehingga efek yang diinginkan cepat tercapai. VI. TITIK KRITIS Titik kritis dari praktikum ini adalah sebagai berikut : 1. Ketepatan dalam perhitungan dan pembuatan larutan 2. Penentuan dosis, anestesi, dan pembedahan tikus 3. Pemasangan kanul dan penentuan laju infus 4. Ketelitian pengukuran sampel seperti jari-jari usus, panjang usus, dll



VII. KESIMPULAN Absorbsi obat merupakan suatu proses berpindahnya senyawa obat dari tempat absorbs ke dalam sirkulasi sistemik. Banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan besarnya



absorbsi yaitu dosis, jalur atau rute masuknya obat, aliran darah ke tempat pemberian, fungsi saluran pencernaan (gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain yang menyebabkan interaksi yang tidak diinginkan, sifat fisika kimia dari obat, dan tempat absorbsi yang menentukan ph lingkungan absorbsi seperti lambung yang memiliki pH rendah (asam), pH usus yang tinggi (basa), dan kecepatan absorbsi obat yang sangat dipengaruhi oleh koefisien partisi obat. Metode in situ merupakan suatu metode uji yang dilakukan dalam organ target tertentu yang masih berada dalam sistem organisme hidup. Peff merupakan koefisien permeabilitas intestinal efektif yang dapat menunjukkan suatu kemampuan obat untuk berada pada membrane. Dari hasil praktikum diperoleh data sebagai berikut : 



Kadar Parasetamol



: CUB = 22,03 ppm ; CLB = 38,42 ppm







Q larutan



: CUB = 0,367 ml/menit ; CLB = 0,417 ml/menit







Peff



: CUB = 9,828 × 10-3 ; CLB = 3,696 x 10-3



Dari data tersebut, semakin kecil nilai Peff maka permeabilitas semakin rendah sehingga obat akan cepat keluar dan efek yang diinginkan sulit dicapai karena obat sulit terabsorpsi. Sebaliknya, semakin besar nilai Peff maka permeabilitas semakin tinggi sehingga obat tidak akan cepat keluar dan terabsorpsi sehingga efek yang diinginkan cepat tercapai.



DAFTAR PUSTAKA



Anonim. 2020. Farmakope Indonesia Edisi VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Gandjar, Ibnu Gholib, Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Husniati, dkk. 2008. Studi Bioaktivitas Dari Pengaruh Lipofilitas Senyawa Anti Kanker Analog UK-3A Secara In-Vitro dan In-Silico. Teknologi Indonesia, Vol (I), No 31, Hal. 57. Noviani, Nita dan Vitri Nurilawati. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi Farmakologi. Jakarta: KemenKes RI. Priharjo, Robert. 2017. Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Shargel, L., Yu, A., and Wu, S.. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Wibowo,



Andy



Eko.



2011.



Pharmacokinetics



Drug



Interaction.



http://andyew.staff.umy.ac.id/2011/03/31/pharmacokinetics-drug-interactioninteraksi-obat-pada-tahap-farmakokinetika/. Diakses 07 Maret 2021.