Laporan Praktikum Ekosistem Mangrove [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM EKOSISTEM MANGROVE ANALISA KERAPATAN VEGETASI EKOSISTEM MANGROVE DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO BENGKULU



Di susun oleh Leni Maryani E1I016052



PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BENGKULU 2019



Laporan praktikum LAPORAN PRAKTIKUM EKOSISTEM MANGROVE



LAPORAN PENYAJIAN ILMIAH Sebagai salah satu syarat untuk melengkapi mata kuliah Ekosistem Mangrove Program Studi Ilmu Kelautan



Oleh : Leni Maryani E1I016052



PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BENGKULU 2019



KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktikum ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan ekosistem mangrove ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Terimkasi juga sya ucapkan kepada Co Ass Rizky suryaman Simbolon, Edo Aglindoka, dan M. Yusuf Ridho yang telah membimbing dan meluangkan waktunya membimbing kami dengan sepenuh hati, dan terimakasi kepada teman teman yang telah membantu dalam praktikum ekosistem mangrove. Selanjutnya dengan rendah hati saya meminta kritik dan saran dari pembaca untuk laporan ekosistem mangrove ini supaya selanjutnya dapat saya revisi kembali. Karena saya sangat menyadari, bahwa laporan ekosistem mangrove yang telah saya buat ini masih memiliki banyak kekurangan. Demikianlah yang dapat saya sampaikan, kami berharap supaya laporan ekosistem mangrove yang telah saya buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..............................................................................................................................3 DAFTAR ISI .............................................................................................................................................4 I PENDAHULUAN ..................................................................................................................................5 1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................5 1.2 Tujuan ............................................................................................................................................6 II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................................7 2.1. Ekosistem Mangrove......................................................................................................................7 2.2. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove .....................................................................................9 2.3



Ekosistem Mangrove Indonesia ...................................................................................................9



3.1. Waktu dan Tempat ...................................................................................................................... 10 3.2. Alat dan Bahan ............................................................................................................................ 10 3.3. Prosedur Kerja............................................................................................................................. 10 3.3.1. Metode penentuan titik sampling ......................................................................................... 10 3.3.2. Metode Pengumpulan Data .................................................................................................. 10 3.3.3. Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove ....................................................................... 11 3.4. Analisis Data ............................................................................................................................... 11 IV HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................................................... 16 4.1 Hasil Pengamatan ......................................................................................................................... 16 4.1.1 Pengamatan Jenis mangrove ................................................................................................. 16 4.1.2 Parameter Perairan ................................................................................................................ 16 4.2 Pembahasan.................................................................................................................................. 16 4.2.1 Kondisi Umum Lingkungan ...................................................................................................... 16 3.2. Parameter lingkunganya ............................................................................................................. 16 3.3 Kondisi Fisik Ekosistem Mangrove Desa Kahyapu ..................................................................... 17 V PENUTUP .......................................................................................................................................... 19 5.1. Kesimpulan ................................................................................................................................. 19 5.2 Saran............................................................................................................................................. 19 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 21



I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Enggano adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di samudra Hindia. Pulau Enggano ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, dan merupakan satu kecamatan. Pulau ini berada di sebelah barat daya dari kota Bengkulu dengan koordinat 05° 23′ 21″ LS, 102° 24′ 40″ BT.



Gambar 1. Peta pulau enggano Secara geografis, Pulau Enggano berada di wilayah Samudera Indonesia yang posisiastronomisnya terletak pada 05°31'13 LS dan 102°16'00 BT. Secara administratif,Pulau Enggano termasuk dalam wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.Enggano merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara dengan pusatpemerintahan berada di Desa Apoho. Luas wilayah Pulau Enggano mencapai 400,6 km² yang terdiri dari enam desa yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana,dan Kahyapu. Kawasan Enggano memiliki beberapa pulau-pulau kecil, yaitu Pulau Dua,Merbau, Bangkai yang terletak di sebelah barat Pulau Enggano, dan Pulau Satu yangberada di sebelah selatan Pulau Enggano. Pulau Enggano merupakan salah satu pulau terdepan di Indonesia yang berada di samudera Hindia. Secara geografis, Pulau Enggano terletak pada posisi 05°31'13” LS dan 102°16'00” BT. Berdasarkan administratif, Pulau Enggano merupakan sebuah kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Pulau Enggano memiliki banyak potensi sumberdaya alam yang dapat dikelola, khususnya dalam bidang ekosistem mangrove. Pengembangan potensi ekosistem mangrove ini akan berperan secara langsung terhadap keadaan ekosistem pesisir, dimana mangrove memiliki fungsi penting baik secara fisik,



biologi maupun ekonomi untuk masyarakat. Ekosistem mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Ekosistem mangrove juga dapat membantu pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai. Secara ekologis, Pulau Enggano sebagai pulau kecil mempunyai sumberdaya alam yang dominan berupa berbagai ekosistem di wilayah pesisir baik pantai maupun laut. Menurut Dirjen P3K DKP (2002), jenis-jenis ekosistem yang dapat ditemukan di wilayah pesisir dan mempunyai potensi sumberdaya alam penting antara lain adalah ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun, ekosistem terumbu karang, ekosistem estuaria dan sumberdaya ikan.



Keadaan



ekosistem mangrove di Pulau Enggano masih tergolong alami, hal ini dikarenakan Pulau Enggano merupakan salah satu pulau terdepan yang masih jarang dijumpai oleh banyak orang. Keadaan wilayah pesisirnya pun masih sangat terjaga dengan baik, sehingga pulau ini sangat potensial untuk dikembangkan khususnya pada wilayah ekosistem mangrove yang banyak memiliki fungsi ekologis terhadap lingkungan. Melihat potensi dan begitu pentingnya ekosistem mangrove serta masih sedikitnya data mengenai ekosistem mangrove di Desa Kahyapu, perlu dilakukan adanya sebuah penelitian tentang strukur komunitas ekosistem mangrove di Desa Kahyapu Pulau Enggano. Penelitian struktur komunitas mangrove ini merupakan salah satu aspek penting untuk mengetahui kondisi suatu ekosistem pesisir dan melihat seberapa besar ekosistem mangrove itu berperan penting terhadap lingkungan khususnya di Desa Kahyapu Pulau Enggano. 1.2 Tujuan Menganalisis indeks nilai penting mangrove pada ekosistem mangrove desa kahyapu pulau enggano.



II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Kata mangrove merupakan kombinasi antara kata mangue yang berarti tumbuhan dan grove yang berarti belukar atas hutan kecil (Riyastini, 2015). Mangrove adalah tumbuhtumbuhan Dicotyledoneae dan atau Monocotyledoneae terdiri atas jenis tumbuhan yang mempunyai hubungan taksonomi sampai dengan taksa kelas (unrelated families) tetapi mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut (KepMen LH No. 201 Tahun 2004 dalam Pradana dkk., 2013). Ekosistem mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan menjadi salah satu produsen utama dalam perikanan laut. Ekosistem mangrove juga dapat membantu pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pesisir pantai. Keadaan ekosistem mangrove di Desa Kahyapu Pulau Enggano yang masih tergolong alami, hal ini dikarenakan Pulau Enggano salah satu pulau yang masih jarang dikunjungi oleh banyak orang. Komposisi jenis ekosistem mangrove yang ditemukan sebanyak 8 (delapan) jenis mangrove sejati yaitu jenis acrostichum, Rhizopora apiculata, sonneratia alba, dan xylocarpus granatum (Agustini, 2014). Keadaan wilayah pesisirnya masih terjaga dengan baik, sehingga pulau ini sangat potensial untuk dikembangkan khususnya pada kawasan ekosistem mangrove, melihat potensi sumberdaya alam seperti ekosistem mangrove yang masih alami maka sangat menarik untuk dijadikan sebagai ekowisata mangrove. Menurut Nybakken (1988) jenis mangrove tertentu (Rhizopora, Bruguiera) yang berkembang sendiri pada perairan lautan mempunyai perkembangan bentuk yang khusus pada perkembangan dan penebaran benih. Benih ini ketika masih pada tumbuhan induk, berkecambah dan mulai tumbuh didalam semaian tanpa mengalami istirahat. Hal ini merupakan salah satu faktor tingginya nilai kerapatan jenis pada semai Rhizopora apiculata Secara keseluruhan, nilai kerapatan jenis pada tingkat pohon lebih jarang jika dibandingkan dengan anakan dan semai. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya nilai kerapatan jenis tingkat pohon adalah besarnya nilai penutupan mangrove dengan diameter berkisar antara 10,19 cm - 63,69 cm, kondisi ini tidak memungkinkan untuk pertumbuhan pohon mangrove dalam kondisi rapat. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan mangrove relatif jarang adalah kondisi akar pohon yang tergolong besar sehingga pertumbuhan mangrove tersebut menjadi kurang optimal.



Menurut Indriyanto (2006) keanekaragaman spesies juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh Bengen (2000) bahwa secara umum nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove yang terdapat di Desa Kahyapu tergolong sedang melimpah dengan nilai H’ 1 ≤ H ≤’3. Hutan mangrove memiliki berbagai macam peran dan manfaat, baik itu ditinjau dari aspek ekologi, sosial maupun aspek ekonomi. Besarnya peranan hutan mangrove bagi kehidupan biota laut tersebut, dapat diketahui dari banyaknya jenis ikan, udang, kepiting bahkan manusia sekalipun yang tinggal di sekitar hutan mangrove dan hidupnya bergantung dari keberadaannya ( Pramudji, 2000 ). Tumbuhan yang hidup di dalam ekosistem mangrove merupakan campuran dari berbagai jenis atau membentuk komunitas mangrove. Penentuan kepekaan mangrove di dalam ekosistem mangrove harus mempertimbangkan karakteristik komunitas yang terbentuk. Karakteristik komunitas mangrove tercermin dari nilai INP (indeks nilai penting), di mana jenis tumbuhan yang memiliki INP tertinggi mengindikasikan sebagai jenis yang mengendalikan komunitas tersebut. INP dapat menjadi acuan dalam menentukan kepekaan komunitas mangrove (Saputro 2019). Hutan mangrove didefinisikan sebagai suatu kelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam jenis dari suku yang berbeda, tetapi mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut (Sukardjo 1999). Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara darat dan laut telah diketahui mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai penghasil bahan organik, tempat berlindung berbagai jenis binatang, tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang, sebagai pelindung pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar, kayu arang, dan tanin (Noor 1999). Fenomena yang muncul di kawasan pantai adalah terjadinya proses pengendapan sedimen dan kolonisasi oleh tumbuhan mangrove dari jenis Rhizophora stylosa yang dikenal sebagai jenis pioner, sehingga memungkinkan bertambahnya luas areal hutan mangrove. Kondisi sebaliknya juga dapat terjadi apabila kawasan pantai tersebut tidak terlindung, hal ini disebabkan oleh adanya proses erosi pantai sebagai akibat gelombang laut. Terkait dengan fenomena tersebut, (Percival & Womersley 1975)



Sebagaimana fenomena yang terjadi pada hutan mangrove yakni dicirikan dengan adanya zonasi atau permintakatan oleh jenis tumbuhan yang dominan, maka fauna penghuni hutan mangrove pun juga memperlihatkan adanya permintakatan. Terkait dengan sifat fauna yang pada umumnya sangat dinamis, maka batasan zonasi yang terjadi pada fauna penghuni mangrove kurang begitu jelas (KARTAWINATA dkk. 1979). Penyebaran fauna penghuni hutan mangrove memperlihatkan dua cara, yaitu penyebaran secara vertical dan secara horisontal. Penyebaran secara vertikal umumnya dilakukan oleh jenis fauna yang hidupnya menempel atau melekat pada, akar, cabang maupun batang pohon mangrove, misalnya jenis Liftorina scabra, Nerita albicilla, Menetaria annulus dan Melongena galeodes (Budiman & Darnaedi 1984; Soemodihardjo 1977) 2.2. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan (Pradana dkk., 2013). Ekosistem mangrove merupakan kawasan perairan yang subur karena pohon-pohon memiliki potensi sebagai penghasil bahan organik yang produktif melalui serasah daun-daunnya (Heriyanto, 2012). Selain itu serasah mangrove (berupa daun dan ranting) yang jatuh di perairan setelah melalui proses dekomposisi akan menjadi sumber pakan dalam lingkungan perairan (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, 2013). Besarnya peranan ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis florafauna yang hidup dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem mangrove (Motoku, 2014). 2.3 Ekosistem Mangrove Indonesia Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi.Hutan mangrove tidak hanya termasuk daerah yang bervegetasi tapi juga daerah terbuka atau berlumpur yang terletak diantara hutan dan laut. Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat dan memiliki jenis pohon yang selalu berdaun.Hutan mangrove memiliki berbagai peranan lingkungan yang penting terhadap lahan, satwa liar dan perikanan. Dan diolah manusia untuk memperoleh hasil-hasil alam. Pengelolahan hutan mangrove oleh manusia telah menimbulkan pengaruh-pengaruh yang penting terhadap ekosistem.



III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Praktikum ini dilakukan di desa Kahyapu Pulau Enggano Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu, Waktu praktikum



dilaksanakan pada hari Minggu, 29 April 2018. Lokasi



praktikum disajikan pada gambar berikut ini : 3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum tersaji dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Praktikum No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13



Alat/Bahan GPS Alat tulis Transek 10 x 10 m Transek 5 x 5 m Transek 1 x 1 m Buku identifikasi mangrove Jangka sorong Refraktometer Termometer Kertas pH Gunting/pisau Kantong plastic Kamera digital



Kegunaan Menentukan titik koordinat stasiun Mencatat data lapangan Mengukur sampel pohon Mengukur sampel anakan Mengukur sampel semai Mengidentifikasi spesies mangrove Mengukur diameter batang Mengukur salinitas Mengukur suhu Mengukur pH Memotong ranting untuk sampel Wadah herbarium dan sampel sedimen Mengambil dokumentasi



3.3. Prosedur Kerja 3.3.1. Metode penentuan titik sampling Metode penentuan titik sampling dalam praktikum ini adalah Purposive Sampling Method. Metode sampling purposive adalah metode pengambilan sampel yang dilakukan bukan didasarkan atas strata atau random, tetapi didasarkan atas tujuan tertentu. Metode ini dilakukan atas pertimbangan keterbatasan waktu, tenaga dan dana. Meskipun demikian, metode ini tetap memperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi, sebagai contohnya adalah syarat dimana sampel yang diambil benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mencirikan populasi (key subjectis) (Arikunto, 2010). 3.3.2. Metode Pengumpulan Data Praktikum ini terbagi menjadi beberapa bagian diantaranya pengumpulan data struktur vegetasi, komposisi vegetasi, kualitas perairan, kondisi oseanografi, curah hujan, tipe tekstur tanah, peraturan pemerintah setempat, peran lembaga, dan partisipasi masyarakat.



3.3.3. Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove Data struktur dan komposisi vegetasi mangrove dilakukan pengukuran secara insitu dengan menggunakan metode transek yang terdiri dari 3 ukuran plot yang berbeda. Masingmasing stasiun praktikum terdapat 3 titik transek dan masing-masing titik transek terdapat 3 plot yang berukuran 10x10 m, 5x5 m, dan 1x1 m. Masing-masing plot mempunyai fungsi yang berbeda berdasarkan diameter batang mangrove. Berdasarkan diameter batang, mangrove terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas pohon dengan diameter batang pohon ≥ 4 cm, kelas anakan dengan diameter antara 1-4 cm (1 cm ≤ diameter batang pohon < 4 cm, tinggi > 1 m) dan kelas semai dengan ketinggian < 1 m. Plot 10x10 m digunakan untuk pengambilan data pohon (tree). Plot 5x5 m digunakan untuk pengambilan data anakan (sapling). Sedangkan plot yang berukuran 1x1 m digunakan untuk pengambilan data semai (seedling). 3.4. Analisis Data Data yang diperoleh dari pengukuran secara insitu dilakuakan analisis vegetasi mangrove yang meliputi nilai Kerapatan (K), Basal Area (BA), Kerapatan Relatif (KR), Dominasi Relatif (DR), Nilai Penting (NP), Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (J’) dengan rumus masing-masing sebagai berikut : a.



Kerapatan (K) Definisi kerapatan menurut Cintron and Novelli (1984) adalah jumlah individu spesies



tertentu per unit area transek. Satuan dari kerapatan dalam praktikum ini adalah individu per hektar (ind/ha).



K (spesies A) 



Jumlah individu spesies A Luas area transek (ha)



b. Basal Area (BA) Definisi basal area menurut Cintron and Novelli (1984) adalah luas penutupan batang pohon pada areal hutan mangrove yang diamati. Data pengukuran deameter batang pohon mangrove tiap spesies kemudian diubah menjadi basal area dengan menggunakan rumus : BA 



Dimana,



BA : π : D :



 .D 2 4



Basal Area (Cm2) 3.14 (ketetapan) Diameter batang (Cm)



c. Kerapatan Relatif (KR) Kerapatan Relatif menurut English et al., (1997) adalah nilai prosentase jumlah individu tiap spesies dalam jumlah total individu seluruh spesies pada luasan transek pengamatan. Nilai kerapatan Relatif didapatkan dengan rumus :



KR ( spesies A)  100%  (ni / N ) dimana, KR : Kerapatan Relatif (%) ni : Jumlah individu spesies A (ind) N : Jumlah total individu seluruh spesies (ind) d. Dominansi Relatif (DR) Dominansi relatif menurut English et al., (1997) adalah nilai presentase dominasi suatu spesies terhadap suatu areal luasan transek pengamatan. Dominansi relatif didapatkan dari persentase nilai ratio basal area untuk spesies tertentu terhadap jumlah total basal area. Dominasi relatif kategori pohon menggunakan rumus : BAi DR = ----------- x 100% BA dimana,



DR : Dominansi Relatif (%) BAi : Basal area tiap spesies I (Cm2) BA : Jumlah total basal area (Cm2)



Untuk kategori seedling, perhitungan DR menggunakan rumus : DR = 100% ( Coi/Co) dimana : DR = Dominansi relatif (%) Coi = Rata-rata nilai tengah prosentase penutupan tiap spesies i (%) Co = Total prosentase penutupan dari semua spesies (%) e. Nilai Penting (NP) Nilai penting menurut Curtis, (1959) adalah nilai tingkat dominasi suatu spesies pada suatu areal. Nilai penting ini didapat dengan menjumlahkan nilai kerapatan relatif dan dominansi relatif : NP = KR + DR dimana, NP : Nilai Penting (%) KR : Kerapatan Relatif (%) DR : Dominansi Relatif (%)



f. Indeks Keanekaragaman (H’) Indeks Keanekaragaman menurut Odum, (1993) adalah karakteristik dari suatu komunitas yang menggambarkan tingkat keanekaragaman spesies dari organisme yang terdapat dalam komunitas tersebut. Indeks Keanekaragaman dihitung dengan rumus : 1 Σ ni log ni N



H' = log N dimana:



H' : Indeks Keanekaragaman Shannon ni : Jumlah individu spesies ke-I (ind) N : Jumlah total individu seluruh spesies (ind) Klasifikasi indeks keanekaragaman Shannon-Weaver menurut Wilhm dan Dorris (1986) adalah sebagai berikut : H' < 1 1 ≤ H' ≤ 3 H' > 3



: Indeks Keanekaragaman rendah : Indeks Keanekaragaman sedang : Indeks Keanekaragaman tinggi



g. Indeks Keseragaman (J’) Indeks Keseragaman spesies menurut Odum, (1993) adalah perbandingan antara nilai keanekaragaman dengan Logaritma natural dari jumlah spesies. Indeks Keseragaman spesies dihitung dengan rumus: J' =



H' Ln( S )



dimana, J' : Indeks Keseragaman spesies H' : Indeks Keanekaragaman Shannon S : Jumlah spesies Menurut Krebs (1989) bahwa Indeks keseragaman spesies berkisar antara 0 – 1 yang menyatakan besarnya, dimana: J' ≥ 0,6 : 0,4 < J' < 0,6 : J' ≤ 0,4 :



Keseragaman spesies tinggi Keseragaman spesies sedang Keseragaman spesies rendah



h. Indeks Dominansi (D) Indeks dominansi menurut Odum, (1993) adalah derajat pada dominansi dari satu, beberapa atau banyak spesies. Indeks Dominansi Simpson dihitung dengan menggunakan rumus :



D = Σ (ni/N)2 dimana : D = Indeks dominansi ni = Jumlah individu spesies ke-i (ind) N = Jumlah total individu (ind) Kriteria Indeks Dominansi menurut Simpson (1949) dalam Odum (1993): 0 < D < 0,5 0,5 < D < 1



: Tidak ada spesies yang mendominasi : Terdapat spesies yang mendominasi Ni Di = A



Keterangan: Di



: Kerapatan jenis i,



Ni



: Jumlah total tegakan dari jenis i



A



: Luas total area pengambilan sampel (luas total plot)



i. Kerapatan Relatif (RDi) Kerapatan relatif merupakan perbandingan jumlah spesies dengan jumlah total individu seluruh spesies. Nilai ini dihitung dengan rumus: RDi =



Ni x100 Σn



Keterangan: RDi



: Kerapatan Relatif



Ni



: Jumlah jenis



Ʃn



: Jumlah total tegakan seluruh jenis



j. Frekuensi jenis (Fi) Frekuensi merupakan peluang suatu jenis spesies ditemukan dalam titik contoh yang diamati, dirumuskan sebagai berikut : Fi =



Pi ΣP



Keterangan: Fi



: Frekuensi jenis ke-i



Pi



: Jumlah petak dimana ditemukan jenis ke-i



Ʃp



: Jumlah total petak sampel yang dibuat



K. Frekuensi relatif (RFi) Frekuensi Relatif adalah perbandingan antara frekuensi spesies-i dan jumlah frekuensi untuk seluruh spesies, dirumuskan sebagai berikut : Fi



RFi = ΣFx100 Keterangan: Rfi = Frekuensi Relatif Fi = Frekuensi jenis ke-i ∑fi = Jumlah total petak contoh yang akan diamati 3.4.5. Penutupan Jenis (Ci) Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis ke-i dalam suatu unit area tertentu. Ci = Σ



BA A



Keterangan : Ci



: Penutupan jenis



∑BA



: Diameter batang setinggi dada



A



: Luas total area pengambilan contoh (m2 )



3.4.6 Penutupan Relatif (RCi) Perbandingan antara penutupan individu spesies ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis, Penutupan Relatif (RCi) dapat dihitung menggunakan rumus persamaan : RCi =



Ci x100 ΣC



Keterangan: RCi



: Penutupan relative



Ci



: Penutupan jenis ke-i



C



: Penutupan total untuk seluruh jenis



3.47 Indeks nilai penting (INP) Rumus yang digunakan dalam menghitung INP adalah: INP = RFi + RDi + RCi Keterangan: INP



: Indeks nilai penting



RFi



: Frekuensi relatif



RDi



: Kerapatan relatif



Rci : Penutupan relatif



IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan 4.1.1 Pengamatan Jenis mangrove



4.1.2 Parameter Perairan



4.2 Pembahasan 4.2.1 Kondisi Umum Lingkungan Lokasi penelitian berada di Pulau Enggano, tepatnya di Kabupaten Bengkulu Utara Wilayah pesisir Desa Kahyapu ditumbuhi oleh ekosistem mangrove dengan keadaan yang tergolong alami, hal ini juga dikarenakan Pulau Enggano merupakan salah satu Pulau Kecil terdepan yang masih belum tersentuh oleh banyaknya aktivitas manusia didalamnya. Keberadaan ekosistem mangrove ini memberikan banyak peranan terhadap lingkungan pesisir, antara lain sebagai pelindung pantai dan mampu memberikan nuansa alami dan hijau di sepanjang pesisir pantai Desa Kahyapu.. 3.2. Parameter lingkunganya Kemudian parameter lingkunganya di ukur pada titik kordinat S 05025.457 E 1020461, kami melakukan tiga kali pengulanggan setiap kali percobaan dan mendapatkan suhu 290C pada ulangan pertama, pada ulangan kedua 29 0C dan pada ulangan ke tiga 29 0C



kemudian



pada penggulangan pertama didapatkan Ph 7.3, ulangan ke dua yaitu 7.8 dan ulangan ke tiga 7.7 pada pengukuran salinitas 18 ppt pada ulangan ke dua 20 ppt dan ulangan ketiga 19 ppt . dimana mengambarkan keadaan perairan pulau enggano yang masi sangat bagus dan belum terisolir oleh apapun. Suriadarma (2011)mengemukakan bahwa perairan yang memiliki kadar salinitas lebih kecil dari 0,5 pptbersifat tawar, sedangkan yang berkadar salinitas antara 0,5 – 30 ppt bersifat payau.Sehingga dapat disimpulkan bahwa perairan pulau paying tergolong payau sehingga cocok bagi ekosistem estuary dan juga biota laut. 3.3 Kondisi Fisik Ekosistem Mangrove Desa Kahyapu Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang terdiri dari kategori pohon (tree), kategori anakan (sapling), dan kategori semai (seedling) diketahui bahwa masing-masing spesies mangrove memiliki nilai kerapatan, dominasi, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan nilai penting yang berbeda-beda. a.



Kategori Pohon Kerapatan (K) vegetasi mangrove di Desa Kahyapu Pulau Enggano Bengkulu pada



Rhizophora Apiculata kategori pohon (tree) adalah pada stasiun 1(kelompok 1) memiliki 1000 ind/Ha kemudian pada stasiun(2) 1100 ind/Ha , dan stasiun ke (3) 1200 ind/Ha. Kemudian pada Xylocarpus granatum pada 1,2 dan 3 stasiun mempunyai 300 ind/Ha, dan pada stasiun 3 (kelompok 3) hanya menemukan 1 Terminalia catappa 100 ind/Ha lalu hanya terdapat di stasiun 3. sehingga dari seluruh jenis kerapatan seluas 4300 ind/ha, dimana kerapatan tertinggi dimiliki oleh spesies Rhizophora Apiculata adalah 330, dan kerapatan terendah dimiliki oleh spesies Terminalia catappa 100 ind/Ha, Basal Area (BA) untuk kategori pohon adalah 2984.153 cm2 dimana BA untuk spesies Rhizophora Apiculata sebesar 1422.687 cm2 spesies Xylocarpus granatum 526.7516 cm2 dan untuk jenis Terminalia catappa 1034.714 cm2 . Kerapatan dimiliki oleh spesies yaitu Rhizophora apiculata adalah 100%. Sementara itu, Nilai Penting (INP) yang dimiliki oleh R. apiculata yaitu 162.67474 dan Xylocarpus granatum 76.401631 serta Terminalia catappa 60.923629 untuk nilai tertinggidimilikioleh spesies R. apiculata yaitu 162.67474 dan yang paling rendah Terminalia catappa 60.923629 Ardiansyah dkk, (2012) menyatakan Komposisi vegetasi yang cukup tinggi ini disebabkan karena kawasan pesisir termasuk dalam lingkungan tropis, dimana daerah tropis merupakan pusat keragaman jenis mangrove dan semakin menuju daerah subtropis kelimpahan dan keragamannnya akan menurun. Pulau didominansi oleh spesies Rhizophora apiculata, dominansi oleh Rhizophora apiculata dikarenakan lokasi ini merupakan zona pionir yang berbatasan langsung dengan laut,



sehingga vegetasi yang tumbuh diatasnya terbatas pada spesies-spesies yang mempunyai toleransi tinggi terhadap penggenangan pasang lebih lama.



V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Struktur komunitas mangrove di Desa Kahyapu dari hasil analisis vegetasi yang terdiri dari kategori pohon (tree), kategori anakan (sapling), dan kategori semai (seedling) diketahui bahwa masing-masing spesies mangrove memiliki nilai kerapatan, dominasi, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan nilai penting yang berbeda-beda dan yang paling rapat adalah jenis R. apiculata. Komposisi vegetasi yang cukup tinggi ini disebabkan karena kawasan pesisir termasuk dalam lingkungan tropis, dimana daerah tropis merupakan pusat keragaman jenis mangrove dan semakin menuju daerah subtropis kelimpahan dan keragamannnya akan menurun. Pulau didominansi oleh spesies Rhizophora apiculata, dominansi oleh Rhizophora apiculata dikarenakan lokasi ini merupakan zona pionir yang berbatasan langsung dengan laut, sehingga vegetasi yang tumbuh diatasnya terbatas pada spesies-spesies yang mempunyai toleransi tinggi terhadap penggenangan pasang lebih lama. 5.2 Saran Diharapkan kepada seluruh praktikan untuk lebih teliti lagi dalam mengidentifikasi jenis mangrove agar mendapatkan hasil yang lebih akurat



DAFTAR PUSTAKA Agustini, N. T. 2014. Struktur Komunitas Ekosistem Mangrove di Desa Kahyapu Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu. Budiman, A., M. Djajasasmita dan F. Sabar 1977. Penyebaran keong dan kepeting hutan bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara, Jakarta. Motoku, A.W., S Umar., B Toknok. 2014. Nilai Manfaat Hutan Mangrove di Desa Sausu Peore Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong. Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako. Warta Rimba. 2 (2) :92-101. Noor, Y. R., M. Khazali Dan I. N. N. Sijryadipura 1999. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP, Bogor: 220 hall Nybakken,W.J. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta Peramuji. 2000. Dampak perilaku manusia pada ekosistem hutan mangrove di Indonesia. Jurnal oseana. Vol 25(2). Percival, M. and J. S. Womersley 1975. Floristics and ecology of the mangrove vegetation of Papua New &uinea. Bot. Bull. No. 8:1-96 Saputro, G.B., Hartini, S., Sukardjo, S., Susanto, A., dan Ponoman, A. 2009. Peta Mangrove Indonesia. Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal. Cibinong. Sukardjo, S. 1996. Gambaran umum ekologi mangrove di Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan. 76 hal.