Layout Pit Pogi PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Proceeding Book



PIT POGI Surabaya 2019 in Collaboration with AOFOG “ Mempertahankan profesionalisme layanan obstetri ginekologi di era jaminan kesehatan nasional”



Shangri-La Hotel Surabaya 8th - 10th July 2019



i



PIT POGI Surabaya 2019 in Collaboration with AOFOG “Mempertahankan profesionalisme layanan obstetri ginekologi di era jaminan kesehatan nasional” ISBN: 978-602-5758-62-1 Cetakan I: Juli 2019 Penulis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.



Fernandi Moegni, dr., SpOG(K) H Amir Fauzi, dr., Sp.OG(K) Rahajeng, dr., Sp.OG(K) Dr. Siti Maisuri T. Chalid, dr. SpOG (K) Dr. Bambang Rahardjo, dr., Sp.OG(K) Prof. Dr. Andrijono, dr., Sp.OG(K) Dr. Brahmana Askandar, dr., Sp.OG(K) Dr. T Mirza Iskandar, dr., Sp.OG(K) Dr. Soerjo Hadijono, dr., Sp.OG(K) Arietta Pusponegoro, dr., Sp.OG(K) Dr. Omo Abdul Majid, dr., Sp.OG(K) Dr. Sri Ratna Dwiningsih, dr., Sp.OG(K) Dr. Hartanto Bayuadji, dr., Sp.OG(K) Dudy Aldiansyah, dr., Mked(OG), SpOG(K) Dr. Aditiawarman, dr., Sp.OG(K) Dr. Agus Sulistyono, dr., Sp.OG(K) Dr. Wita Saraswati, dr., Sp.OG(K) Dr. Sigit Purbadi, dr., Sp.OG(K) Nuswil Bernolian, dr., Sp.OG(K) Tjokorda Gde Agung Suwardewa, dr., Sp.OG(K) IB Putra Adnyana, dr., Sp.OG(K) Malvin Emeraldi, dr., Sp.OG(K) Dr. Hariyono Winarto, dr., Sp.OG(K) Prof. Dr. Ketut Suwiyoga, dr., Sp.OG(K) Dr. Hendy Hendarto, dr., Sp.OG(K) Dr. Erwinanto, dr., Sp.OG(K) Tyas Priyantini, dr., Sp.OG(K) Dr. Benny Hasan, dr., Sp.OG(K) Dr. Sutrisno, dr., Sp.OG(K) Agung Dewanto, dr., Sp.OG(K) Dr. Ashon Saadi, dr., Sp.OG(K) Dr. Adhi Pribadi, Sp.OG(K) Yudianto Budi Saroyo, dr., Sp.OG(K) Besari Adi Pramono, dr., Sp.OG(K), M.Si.Med. Muchammad Adrian Bachnes, dr., Sp.OG(K) Prof. Dr. Erry Gumilar, dr. Sp.OG(K) Dr. Budiana, dr., Sp.OG(K) Andi Darma Putra, dr., Sp.OG(K)



ii



39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68.



Dr. Poedjo Hartono, dr., Sp.OG(K) Lies, dr., SpRad(K) Dr. Nuring Pangastuti, dr., Sp.OG(K) Eighty Mardiyan Kurniawati, dr., Sp.OG(K) Dr. Syarief Thaufik Hidayat, dr., Sp.OG(K) Dr. Jimmy Yanuar Annas, dr., Sp.OG(K) Dr. Andon Hestiantoro, dr., Sp.OG(K) Indra Yuliati dr., Sp.OG(K) Roy Yustin Simanjutak, dr., Sp.OG(K) Prof. Dr. Andrijono, dr., Sp.OG(K) Mochammad Hud Suhargono, dr , SpOG (K) Dr. Dwiyani Octaviani, dr., Sp.OG(K) Dr. Suskhan Djusad, dr., Sp.OG(K) Nalini Muhdi, dr., Sp.KJ(K) Tauhid Islamy, dr., Sp.OG Prof. Dr. dr. Budi Iman Santoso, Sp.OG(K) Dr. Fathema Djan Rachmat, dr., Sp.BTKV(K) MPH Manggala Pasca Wardhana, dr., Sp.OG Achmad Danuri, Amd.PK, SKM. Prof. Fidel Ganis, dr., Sp.OG(K) Dr. IW Arsana Wiyasa, dr., Sp.OG(K) Dr. Hermanus Suhartono, dr., Sp.OG(K) Prof Dr. Haryono Suyono, M.A., Ph.D Dr.I Wayan Agung Indrawan, dr., Sp.OG(K) Dr.I Wayan Agung Indrawan, dr., Sp.OG(K) Prof. Gus Dekker Prof. Samsulhadi, dr., Sp.OG(K) Dr. Budi Prasetyo, dr., Sp.OG(K) FISCM Dr. Ernawati, dr., Sp.OG(K) Muhammad Ilham Aldika Akbar, dr., Sp.OG(K)



Editor 1. Dr. Ernawati, dr., Sp.OG(K) 2. Rizza Maulana Azmi, dr. 3. Alvin Saputra, dr.



Penerbit CV. SAGA JAWADWIPA PUSTAKA SAGA Jl. Kedinding Lor,Gg.vDelima,no 4A. Kenjeran, Surabaya Email: [email protected], HP: +62 856 5539 6657 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit iii



KATA PENGANTAR Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya sehingga buku Pertemuan Ilmiah Tahunan POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia) 2019 ini dapat terbit. Buku ini merupakan hasil pemikiran dan rangkuman para dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi beserta para konsultan yang dengan adanya diharapkan menjadi tuntunan ilmu dalam mempertahankan profesionalisme layanan obstetri ginekologi di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tidak terasa waktu berlalu cepat, sebentar lagi kita menyambut Pertemuan Ilmiah tahunan POGI ke-24 yang seluruh rangkaian acara akan berlangsung di Surabaya dari tanggal 4 Juli 2019 sampai dengan tanggal 10 Juli 2019. Tema PIT POGI 2019 adalah ―Mempertahankan Profesionalisme Layanan Obstetri Ginekologi Di Era Jaminan Kesehatan Nasional‖. Kami sangat berharap sejawat dapat mengikuti acara PIT POGI 2019 di Surabaya sebagai ajang menambah ilmu dan ajang silaturahmi antar sejawat anggota POGI. Era Jaminan kesehatan nasional membawa perubahan besar dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia, di sisi lain kita tetap tidak boleh tertinggal dengan negara tetangga. Kita tidak boleh terlena, tetap semangat mencari ilmu dan pengetahuan baru di bidang obstetri ginekologi . Diharap acara PIT POGI 2019 dapat menjadi media menambah pengetahuan baik melalui workshop, course, kuliah, video session dan media interaktif lain yang telah kami rencanakan dengan baik sehingga dapat menjadi bekal mempertahankan layanan obstetri ginekologi di Indonesia agar tetap prima dan professional. Pertemuan Ilmiah Tahunan POGI 2019 diadakan di kota Surabaya, Kota Pahlawan, Kota seribu taman, dan kota yang sering mendapat penghargaan baik di dalam maupun luar negeri, sehingga diharap para sejawat dan keluarga di tengah waktu senggang ilmiah dapat menikmati kota Surabaya, menikmati sejarah, menikmati kuliner dan menikmati ruang terbuka kota Surabaya. Tidak lupa yang tidak kalah penting dan paling utama adalah Rahmat dan Ridho Allah SWT. Surabaya, 8 Juli 2019 Dr. dr. Brahmana Askandar, SpOG (K) dan Tim Penulis & Editor



iv



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR | iv DAFTAR ISI | v DAY 1 SYMPOSIUM I: UROGYNAECOLOFY RECONSTRUCTION 1 PELVIC ORGAN PROLAPSE (POP) | 1 1. 2. 3.



Updates in Conservative Management of Pelvic Organ Prolapse | 2 Fernandi Moegni, dr., SpOG(K) Update Manajemen Operatif Prolaps Organ Panggul | 3 H Amir Fauzi, dr., Sp.OG(K) New Hope in Pelvic Organ Prolapse Management | 17 Rahajeng, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM II: FETOMATERNAL MEDICINE 1 EXCELLENT ANTENATAL CARE | 26 4. Antenatal Care yang Berkualitas di Era JKN | 27 Dr. Siti Maisuri T. Chalid, dr. SpOG (K) 5. Pemeriksaan Serum Marker sebagai Bagian dari Skrining pada ANC Rutin | 42 Dr. Bambang Rahardjo, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM III: ONCOLOGY GYNECOLOGY 1 PRECANCEROUS LESION TREATMENT- RECENT EVIDENCE BASED | 55 6. 7. 8.



HPV Test as Primary Screening for Cervical Cancer | 56 Prof. Dr. Andrijono, dr., Sp.OG(K) Is LSIL considered as a Precancerous Lesion of The Cervix | 57 Dr. Brahmana Askandar, dr., Sp.OG(K) Update on Bivalent vs Quadrivalent HPV Vaccine | 59 Dr. T Mirza Iskandar, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM IV: OBSTETRIC AND GYNAECOLOGY SOCIAL 1 MANAGEMENT OF NCD IN ATTEMPT ON DECREASING AKI | 62 9.



Early Detection of Non-Communicable Disease in Pregnancy | 63 Dr. Soerjo Hadijono, dr., Sp.OG(K) 10. Rujukan dan Manajemen Penyakit Tidak Menular (PTM) | 74 Arietta Pusponegoro, dr., Sp.OG(K) 11. Non-Communicable Disease-care in JKN Era | 84 Dr. Omo Abdul Majid, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM V: FERTILITY AND ENDOCRINOLOGY REPRODUCTION 1 ENDOMETRIOSIS | 88 v



12. Endometriosis Pada Remaja (Nyeri dan Kista) | 89 Dr. Sri Ratna Dwiningsih, dr., Sp.OG(K) 13. Strategi Stimulasi Ovarium pada Endometriosis | 94 Dr. Hartanto Bayuadji, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM VI: FETOMATERNAL MEDICINE 2 HIDRANCE OF PLACENTAL ATTACHMENT | 102 14. Skrining Plasenta Akreta pada Trimester 1 | 103 Dudy Aldiansyah, dr., Mked(OG), SpOG(K) 15. Skrining dan Deteksi Awal Suatu Kelainan Perlekatan Plasenta pada Usia Kehamilan Lanjut |112 Dr. Aditiawarman, dr., Sp.OG(K) 16. Manajemen Plasenta Akreta pada Kondisi Darurat | 115 Dr. Agus Sulistyono, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM VII: ONCOLOGY GYNAECOLOGY 2 MANAGEMENT OF ELECTIVE PERIOPERATIVE IN GYNAECOLOGICAL PATIENT | 116 17. Adequate Imaging for Elective Gynecology Surgery | 117 Dr. Wita Saraswati, dr., Sp.OG(K) 18. Pengendalian Infeksi Luka Operasi pada Operasi Ginekologi | 123 Dr. Sigit Purbadi, dr., Sp.OG(K)



DAY 2 CONTROVERSY FETO PREECLAMPSIA POST DELIVERY DISCHARGED, CLASSIC AND UPDATE TREATMENT | 129 19. Preeclampsia Post Delivery Discharged Update Treatment | 130 Nuswil Bernolian, dr., Sp.OG(K) 20. Classic Treatment of Preeclampsia Postpartum Discharged | 148 Tjokorda Gde Agung Suwardewa, dr., Sp.OG(K)



CONTROVERSY FER ENDOMETRIOMA ON TEENAGER: SURGERY VS NON-SURGERY | 155 21. Endometrioma on Teenager Surgery | 156 IB Putra Adnyana, dr., Sp.OG(K) 22. Endometrioma on Teenager NonSurgery | 163 Malvin Emeraldi, dr., Sp.OG(K)



vi



CONTROVERSY ONCO CERVICAL CANCER SCREENING UPDATE: HPV TEST ONLY VS PAP SMEAR ONLY | 166 23. Tes HPV sebagai Alat Skrining Kanker Serviks | 167 Dr. Hariyono Winarto, dr., Sp.OG(K) 24. Papanicolaou Smear Saja sebagai Upaya Deteksi Kanker Serviks | 171 Prof. Dr. I Ketut Suwiyoga, dr., Sp.OG(K)



PLENARY 1: FERTILITY ASSEMBLAGE |178



ENDOCRINOLOGY



REPRODUCTION



25. Tantangan Pelayanan Fertilitas Endrokrinologi Reproduksi pada Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) | 179 Dr. Hendy Hendarto, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM VIII: UROGYNAECOLOGY RECONSTRUCTION 2 URINARY INCONTINENCE | 181 26. OAB, Alternatif Terapi apabila Obat Antimuskarinik Tidak Membuahkan Hasil | 182 Dr. Erwinanto, dr., Sp.OG(K) 27. Terapi Pembedahan Minimal untuk Inkontinensia Urin (Stress Urinary Incotinence) |187 Tyas Priyantini, dr., Sp.OG(K) 28. Panduan Tata Laksana Inkontinensia Urin Pada Perempuan | 189 Dr. Benny Hasan, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM IX: FERTILITY AND ENDOCRINOLOGY REPRODUCTION 2 POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME (PCOS) | 196 29. Diagnosis dan Manajemen Polycystic Ovary Syndrome (PCOs) pada Remaja | 197 Dr. Sutrisno, dr., Sp.OG(K) 30. Manajemen Hiperandrogenism pada Pasien SPOK | 208 Agung Dewanto, dr., Sp.OG(K) 31. Stimulasi Ovulasi pada Penderita PCOS | 210 Dr. Ashon Saadi, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM X: FETOMATERNAL MEDICINE 3 UPDATE IN OBSTETRIC EMERGENCY (PE, PPH, CARDIAC) | 212 32. Tatalaksana Hipertensi dalam Kehamilan di Era JKN | 213 Dr. Adhi Pribadi, Sp.OG(K) 33. Management of PPH Emergency (Latest Update) | 217 Yudianto Budi Saroyo, dr., Sp.OG(K) 34. Skrining Kehamilan dengan Penyakit Jantung | 231 Besari Adi Pramono, dr., Sp.OG(K), M.Si.Med. 35. Fetal Neuroprotection: The Role of Magnesium Sulphate (MgSO4) | 239 Prof. Gus Dekker



vii



SYMPOSIUM XI: ONCOLOGY GYNAECOLOGY 3 EVIDENCE BASED MEDICINE IN GYNAECOLOGIC CANCER | 240 36. Evidence Based Medicine (EBM) in Ovarian Cancer | 241 Dr. Budiana, dr., Sp.OG(K) 37. Evidence-Based Medicine in Cervical Cancer- Why Do We Need It | 254 Andi Darma Putra, dr., Sp.OG(K) 38. Kanker Endometrium Berbasis Evidence Based Medicine (EBM) | 258 Dr. Poedjo Hartono, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM XII: UROGYNAECOLOGY RECONSTRUCTION 3 GYNAECOLOGY CONGENITAL MALFORMATION | 262 39. Pemeriksaan Imejing pada Anomali Duktus Mullerian | 263 Lies, dr., SpRad(K) 40. Laparaskopi pada Anomali Duktus Mullerian | 270 Dr. Nuring Pangastuti, dr., Sp.OG(K) 41. Vaginal Approach for Mullerian Anomaly | 276 Eighty Mardiyan Kurniawati, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM XIII: FERTILITY AND ENDOCRINOLOGY REPRODUCTION 3 AMENORRHEA AND ABNORMAL UTERINE BLEEDING | 286 42. Classification of Amenorhhea (WHO/DSD Classification) | 287 Dr. Syarief Thaufik Hidayat, dr., Sp.OG(K) 43. Evaluasi dan manajemen praktis Perdarahan Uterus Abnormal | 300 Dr. Jimmy Yanuar Annas, dr., Sp.OG(K) 44. Amenore sekunder akibat hiperprolaktinemia | 303 Dr. Andon Hestiantoro, dr., Sp.OG(K)



VIDEO SESSION ONCOLOGY GYNAECOLOGY ALL ABOUT IVA TEST | 308 45. Visual Inspection with Acetic Acid | 309 Indra Yuliati dr., Sp.OG(K) 46. Prosedur Tes IVA | 311 Roy Yustin Simanjutak, dr., Sp.OG(K) 47. VIA test result interpretation and management | 317 Prof. Dr. Andrijono, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM XIV: OBSTETRIC AND GYNAECOLOGY SOCIAL 2 MATERNAL PERINATAL AUDIT AND HOSPITAL MANAGEMENT | 318 48. Gratifikasi Rujukan Maternal dan Dampaknya terhadap Mutu Pelayanan KIA | 319 Mochammad Hud Suhargono, dr , SpOG (K) 49. Tatalaksana Holistik Kasus-kasus Obstetri dan Ginekologi pada Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) | 323 Dr. Dwiyani Octaviani, dr., Sp.OG(K)



viii



DAY 3



CONTROVERSY UROGYN GYNAECOLOGICAL AESTHETIC | 326 50. The Impact of Genital Rejuvenation on Sexual Function | 327 Dr. Suskhan Djusad, dr., Sp.OG(K) 51. Body Dysmorphic Disorder | 337 Nalini Muhdi, dr., Sp.KJ(K)



JKN ERA INCREASE OF CESAREAN SECTION RATE IN UHC ERA; PROFESSIONAL VS UHC PERSPECTIVE | 338 52. Increase of Cesarean Section Rate in UHC Era | 339 Tauhid Islamy, dr., Sp.OG



PLENARY 5: FETOMATERNAL MEDICINE ASSEMBLAGE | 340 53. Etiopatogenesis dan Penanganan Kehamilan Ganda | 341 Dr. Aditiawarman, dr., Sp.OG(K)



PLENARY 7: UROGYNAECOLOGY REPRODUCTION ASSEMBLAGE | 345 54. Kontroversi Ginekologi Estetika dalam Praktik Sehari-hari | 346 Prof. Dr. dr. Budi Iman Santoso, Sp.OG(K)



PLENARY 8: NATIONAL HEALTH INSURANCE | 351 55. Kepemimpinan Klinis: Membuka Nilai Manfaat Disrupsi Sistem Kesehatan Indonesia; Pembelajaran dari Rumah Sakit Pelni | 352 Dr. Fathema Djan Rachmat, dr., Sp.BTKV(K) MPH



SYMPOSIUM XV: NATION HEALTH INSURANCE (JKN) | 354 56. Update Reklasifikasi INACBGS Obgyn dan Mispersepsi dari Sistem INACBGS | 355 Manggala Pasca Wardhana, dr., Sp.OG 57. Akurasi Coding Kasus Persalinan dan Optimalisasi dalam Menyelesaikan Rekam Medis | 359 Achmad Danuri, Amd.PK, SKM.



SYMPOSIUM XVI: FERTILITY AND ENDOCRINOLOGY REPRODUCTION 4 MENOPAUSE, INFERTILITY AND CONTRACEPTION | 368 58. Terapi Hormone Menopause Setelah Era Penelitian Women's Health Initiative (WHI) | 369 Prof. Fidel Ganis, dr., Sp.OG(K) 59. Efektivitas Fitoestrogen Pasca Menopause | 384 Dr. IW Arsana Wiyasa, dr., Sp.OG(K)



ix



60. Kontrasepsi Reversibel Bertindak Panjang | 392 Dr. Hermanus Suhartono, dr., Sp.OG(K)



SYMPOSIUM XVII: OBSTETRIC AND GYNAECOLOGY SOCIAL 3 FAMILY PLANNING AND HIV | 409 61. Peranan Program Keluarga Berencana di Indonesia, Re-Orientasi Program KB untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Balita |410 Prof Dr. Haryono Suyono, M.A., Ph.D 62. Penggunaan Kontrasepsi pada Perempuan dengan HIV | 415 Dr.I Wayan Agung Indrawan, dr., Sp.OG(K) 63. Awareness on Sexual and Reproductive Health Rights and Relation to HIV Infection Control |421 Prof. dr. Ova Emilia MMedEd, SpOG(K), PhD



AOFOG SESSION |423 64. Repeat Cesarean Section versus VBAC (Vaginal Birth after Cesarean section) after One Prior Lower Segment Caesarean Section : What is the better choice ? | 424 Prof. Gus Dekker 65. Endometriosis: Patofisiologi, Phenotipe, Simptom, Klasifikasi | 429 Prof. Samsulhadi, dr., Sp.OG(K) 66. Ulipristal Acetate: Pengobatan Medikamentosa Oral untuk Mioma Uteri dengan Keluhan | 432 Dr. Hendy Hendarto, dr., Sp.OG(K) 67. Mismatch Placenta Accreta Spectrum Disorder Management-Risk and How to Deal with Lawsuit | 435 Dr. Budi Prasetyo, dr., Sp.OG(K) FISCM 68. Follow Up Pasca Persalinan dan Dampak Jangka Panjang Preeklampsia | 440 Dr. Ernawati, dr., Sp.OG(K), Dr. Aditiawarman, dr., Sp.OG(K), Muhammad Ilham Aldika Akbar, dr., Sp.OG(K)



x



DAY 1



SYMPOSIUM I: UROGYNAECOLOFY RECONSTRUCTION 1 PELVIC ORGAN PROLAPSE (POP)



1



UPDATES IN CONSERVATIVE MANAGEMENT OF PELVIC ORGAN PROLAPSE Fernandi Moegni, dr., SpOG(K) Reconstructive Urogynecology Division - Dept. of Obstetrics Gynecology Faculty of Medicine Universitas Indonesia Dr.Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta Abstract Conservative management until today still has a role in dealing with pelvic organ prolapse (POP). It usually suggested as the first line therapy, applied for managing mild to moderate stage of POP, and mainly intended to prevent condition getting worse rather than really fixing the problem. The three main therapy consist of lifestyle advice, pelvic floor muscle training and pessary management. One developed pessary is not inserted intravaginally but only placed at the introitus to push prolapse inside and maintain its positioned (Femicushion). This device was kept in place by some pad that was hold by special underware. This special pessary has advantages of preventing vaginal discharge and erosion because of its positioned outside. Souto et al preliminary study with 5 participants evaluated with ICIQ-VS QoL questionaires after 3 months with result score significantly reduced from range score 10-44 to 10-22, especially score about pain in lower abdomen, lump or bulge presence and visual lump or bulge outside the vagina. For pelvic floor muscle training, the usage of electromagnetic chair was developed to stimulate pelvic floor muscle contraction without any exercise effort from the person. Moegni et al quasi-experimental study outcome revealed increased muscle strength significantly which was evaluated by perineometry from 25,1(+15,5) cmH2O to 41,3(+11,4) cmH2O, p 2.5 MoM), hCG (> 3.0 MoM), dan atau inhibin-A (> 2.0 MoM) atau decreased level of maternal serum AFP (< 0.25 MoM) dan atau unconjugated estriol (< 0.5 MoM) berhubungan dengan komplikasi kehamilan, walaupun belum ada protokol manajemen spesifik sampai saat ini (II-2A) Wanita hamil dengan unexplained elevated PAPP-A atau hCG pada trimester pertama dan unexplained low hCG atau inhibin-A dan unexplained elevated unconjugated estriol pada trimester kedua dapat dilakukan ANC rutin dan gambaran hasil serum marker tsb tidak berhubungan dengan outcome perinatal yang jelek (II-2A) Pada kasus placenta praevia pada trimester kedua dan ketiga dengan unexplained elevated maternal serum AFP meningkatkan kecurigaan placenta accreta, increta, atau percreta (II-2B). Pemeriksaan dengan menggunakan ultrasound atau MRI terhadap placental–uterine interface sebaiknya dilakukan. Invasi abnormal plasenta harus dicurigai dan persalinan direncanakan pada tempat dan tehnik yang memadai (III-C) Konsultasi prenatal dengan departemen genentik medical direkomendasikan pada kadar unconjugated estriol rendah ( 35 th b. Ada riwayat keluarga lahir dengan cacat bawaan c. Anak sebelulmnya lahir dengan cacat bawaan d. Riwayat kehamilan sebelumnya dengan IDDM ANC merupakan salah satu cara untuk menjaga kehamilan dan proses kehamilan dapat berjalan secara normal tanpa komplikasi. Untuk itu sudah seharusnya pada waktu ANC rutin, provider harus dapat mengidentifikasi faktor resiko kehamilan baik resiko terhadap janin maupun ibu. Komplikasi kehamilan dapat dideteksi atau paling tidak diduga dari hasil pemeriksaan serum marker untuk skrening kongenital anomaly. Tetapi yang patut diingat oleh provider dalam hal ini SpOG adalah penggunaan serum marker pada ANC perlu kehati-hatian karena selain biaya juga bisa menambah stress yang tidak perlu pada ibu hamil. Untuk itu perlu dilakukan penapisan faktor resiko dan survailans secara sistematis pada pemeriksaan ANC rutin salah satunya dengan menggunakan USG yang dipakai pada praktek sehari-hari. Adanya temuan kelainan plasenta seperti periplacental haemorrhage, intraplacental venous lakes, penebalan placenta dan lesi echogenic cystic berhubungan dengan hasil yang kurang menggembirakan. Survailans anatomi janin, pengukuran NT, pemantauan pertumbuhan janin maupun penggunaan soft marker dapat membantu sebelum kita menyarankan pemeriksaan serum marker. Diperlukan edukasi terhadap pasien secara komprehesif tentang hasil pemeriksaan rutin ANC, USG maupun serum marker untuk tidak memberikan stress kepada ibu hamil yang tidak perlu maupun langkah-langkah berikutnya yang perlu dilakukan sehingga ibu hamil dapat menjalani proses kehamilan dan melahirkan secara aman dan nyaman tanpa mengurangi kewaspadaan.



52



DAFTAR PUSTAKA 1. Agathokleous, M.; Chaveeva, P.; Poon, L.C.Y.; Kosinski, P.; Nicolaides, K.H. 2013. Meta-analysis of second-trimester markers for trisomy 21. Ultrasound Obstet. Gynecol., 41, 247–261. 2. Akolekar R, Minekawa R, Veduta A, Romero XC, Nicolaides KH., 2009. Maternal plasma inhibin A at 11-13 weeks of gestation in hypertensive disorders of pregnancy. Prenat Diagn.;29:753–60. 3. Alain Gagnon, Vancouver BC R. Douglas Wilson, 2008. Obstetrical Complications Associated With Abnormal Maternal Serum Markers Analyte, SOGC TECHNICAL UPDATE, 217:918-932 4. Audibert F, Benchimol Y, Benattar C, Champagne C, Frydman R., 2005. Prediction of preeclampsia or intrauterine growth restriction by second trimester serum screening and uterine Doppler velocimetry. Fetal Diagn Ther;20:48–53. 5. Borrell A, Casals E, Fortuny A, Farre MT, Gonce A, Sanchez A, Soler A, Cararach V, Vanrell JA, 2004. First trimester screening for trisomy 21 combining biochemistry and ultrasound at individually optimal gestational ages. An interventional study. Prenat Diagn.;24(7):541-5. 6. Howard Cuckle, 2014. Prenatal Screening Using Maternal Markers, J. Clin. Med., 3, 504-520; doi:10.3390/jcm3020504 7. Kiran TS, Bethel J, Bhal PS., 2005. Correlation of abnormal second trimester maternal serum alpha-fetoprotein (MSAFP) levels and adverse pregnancy outcome. J Obstet Gynecol; 25(3):253–6 8. Krantz DA, Hallahan TW, Orlandi F, Buchanan P, Larsen JW Jr, Macri JN, 2000. First-trimester Down syndrome screening using dried blood biochemistry and nuchal translucency. Obstet Gynecol.;96(2):207-13. 9. Malone FD, Canick JA, Ball RH, Nyberg DA, Comstock CH, Bukowski R, 2005. First-trimester or second-trimester screening, or both, for Down‘s Syndrome. N Engl J Med; 109:217–27.



53



10. Nisha Lakhi, Abha Govind, Michael Moretti, Johannes Jones, 2012. Maternal serum analytes as markers of adverse obstetric outcome. The Obstetrician & Gynaecologist, 14:267-73 11. Schuchter K, Hafner E, Stangl G, Metzenbauer M, Hofinger D, Philipp K, 2002 The first trimester ‗combined test‘ for the detection of Down syndrome pregnancies in 4939 unselected pregnancies. Prenat Diagn.;22(3):211-5. 12. Sibai BM, Koch MA, Freire S, Pinto e Silva JL, Rudge MV, Martins-Costa S, 2008. Serum inhibin A and angiogenic factor levels in pregnancies with previous preeclampsia and/or chronic hypertension: are they useful markers for prediction of subsequent preeclampsia? Am J Obstet Gynecol;199:268.e1–9. 13. Sonek, J.; Nicolaides, K. 2010 Additional first-trimester markers. Clin. Lab. Med., 30, 573–592 14. Spencer K, Cowans NJ, Molina F, Kagan KO, Nicolaides KH., 2008. First trimester ultrasound and biochemical markers of aneuploidy and the prediction of preterm or early preterm delivery. Ultrasound Obstet Gynecol.;31:147–52. 15. Spencer, K.; Nicolaides, K.H. 2002. A first trimester trisomy 13/trisomy 18 risk algorithm combining fetal nuchal translucency thickness, maternal serum free βhCG and PAPP-A. Prenat. Diagn., 22, 877–879. 16. Stenhouse EJ, Crossley JA, Aitken DA, Brogan K, Cameron AD, Connor JM, 2004. First-trimester combined ultrasound and biochemical screening for Down syndrome in routine clinical practice. Prenat Diagn.;24(10):774-80. 17. Wald NJ, Huttly WJ, Hackshaw AK, 2003. Antenatal screening for Down‘s syndrome with the quadruple test. Lancet; 361:835-6.



54



SYMPOSIUM III: ONCOLOGY GYNECOLOGY 1 PRECANCEROUS LESION TREATMENT- RECENT EVIDENCE BASED



55



HPV-DNA TEST AS PRIMARY CERVICAL CANCER SCREENING Prof. Dr. Andrijono, dr., Sp.OG(K) Divisi Ginekologi Onkologi Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Unikversitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ABSTRAK TUJUAN : Menjelaskan manfaat Tes DNA-HPV saja sebagai metode skrining dengan sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode skrining lainnya. METODE : Tinjauan pustaka HASIL : Terdapat tiga metode skrining di Indonesia, metode IVA (inspeksi visual asetat), metode sitologi (pap smear, thin prep, LBC/liquid base cytology). Sensitivitas IVA sangat dipengaruhi oleh keahlian pemeriksa dan pengalaman pemeriksa dengan sensitivitas berkisar 69-88%, sensitivitas sitology berkisar 55,4% dan sesitivitas tes DNA-HPV berkisar 94,6-100%. Sedangkan kombinasi sitologi dengan tes DNA-HPV mempunyai sensitivitas hamper 100%, tetapi dengan biaya tertinggi. FDA (Food and Drug Association) menganjurkan metode skrining tes DNA-HPV saja. SIMPULAN : Tes DNA-HPV saja dapat digunakan di Indonesia sebagai metode skrining dengan sensitivitas yang tinggi dan tidak berbiaya mahal. KATA KUNCI : skrining, sensitivitas



56



IS LSIL CONSIDERED AS A PRECANCEROUS LESION OF THE CERVIX ? Dr. dr. Brahmana Askandar, SpOG (K) Divisi Ginekologi Onkologi – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya Lesi prakanker serviks merupakan tahap perubahan epitel serviks sebelum epitel serviks menunjukkan perubahan menjadi ganas. Pada sel skuamos, berdasar sistem Bethesda, benign cellular changes terbagi menjadi : Atypical squamous cell of undetermined significance (ASCUS), low grade squamous intraepithelial lesion (LSIL), high grade squamous intraepithelial lesion (HSIL) dan squamous cell carcinoma. Low Grade squamous intraepithelial lesion (LSIL) disebabkan oleh HPV risiko rendah maupun HPV risiko tinggi. Salah satu gambaran histopatologi yang ditemukan pada LSIL adalah koilosistosis yang merupakan petanda infeki virus HPV. Human papillomavirus risiko tinggi ditemukan pada sekitar 77% kasus LSIL. Sebagian besar LSIL akan mengalami regresi , hanya sebagian kecil yang persisten atau progresif. Namun demikian tetap harus dilakukan pengamatan pada beberapa kasus. Pada tahun 2012, panduan yang dikeluarkan oleh American Society for Colpocopy and Cervical Pathology (ASCCP) memasukkan LSIL ke dalam golongan ―lesser abnormalities‖, satu golongan dengan : ASCUS atau HPV infection only. Dalam hal progresifitas, salah satu penelitian terhadap 1 juta orang dengan LSIL, menunjukkan bahwa risiko berubah menjadi ganas hanya sekitar 0,16%. Bahkan pengamatan selama 5 tahun pada usia kelompok usia muda dibawah 29 tahun yang terkena LSIL menunjukkan tidak ada satupun yang menjadi kanker serviks. Hal ini berbeda dengan HSIL, pada CIN 2 yang tidak dilakukan terapi, sekitar 50% akan progresif, bahkan pada CIN3, sekitar 12-40% akan berubah menjadi ganas bila tidak dilakukan terapi. Melihat gambaran progresifitas LSIL menjadi kanker serviks yang sangat kecil, maka ke depan apakah LSIL masih dianggap sebagai lesi pra kanker serviks? DAFTAR PUSTAKA 1. Nayar, R. and Wilbur, D. (2015). The Pap test and Bethesda 2014. Cancer Cytopathology, 123(5), pp.271-281. 2. Katki, H., Schiffman, M., Castle, P., Fetterman, B., Poitras, N., Lorey, T., Cheung, L., Raine-Bennett, T., Gage, J. and Kinney, W. (2013). Five-Year Risks of CIN 2+ and CIN 3+ Among Women With HPV-Positive and HPV-Negative LSIL Pap Results. Journal of Lower Genital Tract Disease, 17, pp.S43-S49. 3. Uptodate.com. (2019). UpToDate. [online] Available at: https://www.uptodate.com/contents/cervical-cytology-evaluation-of-low-gradesquamous-intraepithelial-lesions-lsil [Accessed 11 Jun. 2019]. 57



4.



Uptodate.com. (2019). UpToDate. [online] Available https://www.uptodate.com/contents/cervical-intraepithelial-neoplasiamanagement-of-low-grade-and-high-grade-lesions [Accessed 11 Jun. 2019].



58



at:



UPDATE ON BIVALENT VS QUADRIVALENT HPV VACCINE Dr. T. Mirza Iskandar, dr., Sp.OG(K) Divisi Onkologi Ginekologi – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi Semarang ABSTRAK Tujuan : Tulisan ini untuk memberikan gambaran efikasi serta efektifitas klinik masing2 jenis vaksin antara bivalen dan quadri valent. Metode : Tulisan ini dalam bentuk Tinjauan Pustaka Hasil : Dari sisi keamanan, adanya sindroma orstatik takikardi postural ,sindroma nyeri regional kompleks serta sindroma guillaik Barre yang pernah dilaporkan ternyata tidak pernah terbukti. hilangnya nafsu makan, peningkatan tempoeratur serta nyeri kepala pernah dilaporkan. Pembengkakan pada daerah suntikan terlihat pada bivalen 93,8% ,sedang quadrivalen 86,3 %. Pembegkakan lokasi suntik ini biasanya terjadi pada hari pertama. Pembengkakan ini jarang melebihidari 4 hari. Sakit kepala yang terjadi bersifat ringan, dimana kejadian pasca suntikan cervarix 49 % dan 47,1 % gardasil. Penurunan nafsu makan yang terjadi bersifat ringan dimana terjadi 8,3 % cervarix dan 8,8% Gardasil. Pada penelitian terakhir di tingkat asia, tidak termasuk Indonesia,dikatakan bahwa vaksinasi HPV profilaksis dapat mengurangi beban penyakit terkait HPV. Vaksin Bivalen dan Quadrivalen berpotensi mencegah sektar 70 % kasus kanker serviks yang disebabkan HPV type 16 dan 18. Disamping itu vaksin quadrivalen juga melindungi sekitar 90 % kasus penyakit kutil genital yang terkai HPV type 6 dan 11. Vaksinasi terhadap laki2, efikasi dari vaksin quadrivalen setelah pengamatan 36 bulan dalam pencegahan HPV type 6,11,16 dan 1 mencapai 77,5 %. Simpulan: Kemampuan Vaksin HPV bivalen dan quadrivalen dalam meningkatkan imunogenisitas terhadap HPV type 16 dan 18 relatif tidak berbeda dengan efek samping yang terbanyak pembengkakakan pada daerah suntikan. Ektifitas kedua jenis vaksin terhadap kejadian high grade cervical displasia mencapai 45,7 %. Kata kunci : Vaksin HPV, efektifitas, keamanan PENDAHULUAN Kanker serviks masih merupakan penyebab kematian terbesar dibandingkan kanker ginekologi lainnya. Kejadian Kanker serviks uteri (KSU) sangan berhubungan dengan adanya Human Papillomavirus (HPV) sebagai faktor penyebabnya. Type HPV yang paling sering menyebabkan kanker serviks adalah type 18,16,52,45,31. Untuk mengantisiasi meningkatnya angka kejadian KSU, Program HPV vaksin telah digunakan dibanyak negara, termasuk Indonesia, meski di Indonesia secara nyata belum berjalan optimal.



59



Dipikirkan pencegahan jangka panjang dengan memberikan vaksinasi HPV. Generasi pertama yaitu HPV yang keluar adalah vaksin bi valen dan quadrivalen, yang mana bi valent berorientasi pencegahan untuk HPV ype 16 dan 18, sedangkan vaksin quadrivalen untuk pencegahan HPV type 6,11,16 dan 18. Masing masing jenis vaksin mempunyai keuntungan dan keruguannya. Dasar dari pemberian vaksin oleh karena kadar antibodi alamiah tidak cukup memberikan perlindungan terhadap infeksi baru dengan tipe HPV yang sama. IMUNOGENISITAS DAN KEAMANAN Bagaimana pemahaman mengenai imunogenisitas dan keamanan vaksin HPV baik itu bivalen maupun quadrivalen, baik pemberian jadwal 3 dosis dan 2 dosis harus dipahami. Adjuvan yang digunakan merupakan molekul agonis terhadap Toll like reseptor 4 yang akan memfasilitasi innate immun responsmelalui stimulasi Toll like reseptor 4. Dari sisi keamanan, adanya sindroma orstatik takikardi postural ,sindroma nyeri regional kompleks serta sindroma guillaik Barre yang pernah dilaporkan ternyata tidak pernah terbukti. Meski gejala lokal maupun sistemik sering dilaporkan seperti nyeri dan kemerahan pada lokasi suntikan, hilangnya nafsu makan, peningkatan tempoeratur serta nyeri kepala pernah dilaporkan. Pembengkakan pada daerah suntikan terlihat pada bivalen 93,8% ,sedang quadrivalen 86,3 %. Pembegkakan lokasi suntik ini biasanya terjadi pada hari pertama. Pembengkakan ini jarang melebihidari 4 hari. Reaksi sistemik sering dilaporkan pada hari 0 dan hari pertama suntikan , dan biasanya menghilangsetelah 4 hari. Tidak ada perbedaan reaksi sistemik antara bivalen dan quadrivalen. Kelelahan ditimbulkan pada suntikan ke 3 terlihat berbeda, dimana cervarix 11,5 % sedangkan gardasil 3 %. Sakit kepala yang terjadi bersifat ringan, dimana kejadian pasca suntikan cervarix 49 % dan 47,1 % gardasil. Penurunan nafsu makan yang terjadi bersifat ringan dimana terjadi 8,3 % cervarix dan 8,8% Gardasil. Reaksi rangsangan imuniogenistas yng ditimbulkan dilaporkan yang dikaitkan dengan adjuvan ASO4 yang akan merangsang imunogenisitas thd HPV 16 dan 18 yang lebih tinggi dibandingkan dengan garam aluminium saja, melalui interaksi reseptor sel T dan jalur pensinyalan sitokin. Pada pengamatan awal 10 tahun pertama , kadar antibodi HPV 16 dan 18 yang tinggi bertahan lama (9,4 tahun). Pada PATRICIA phase IIItrial pada perempuan 15-25 tahun, evikasi vaksin bivalen masih tinggi. 17 % seropositif untuk HPV 16, 12 % seropositif ntuk HPV 18. Sedangkan efikasi untuk CIN II 94,9 % dan untuk CIN III 91,7 %. Efikasi terhadap HPV 31,33 dan 45 Pada uji pivotal fase III, CIN 2 HPV 31 89,4 %, HPV 33 : 82,3 % dan HPV 45 : 100 %. Pada penelitian terakhir di tingkat asia, tidak termasuk Indonesia,dikatakan bahwa vaksinasi HPV profilaksis dapat mengurangi beban penyakit terkait HPV. Vaksin Bivalen dan Quadrivalen yang diperkenalakan selama dekade terakhir 60



berpotensi mencegah sektar 70 % kasus kanker serviks yang disebabkan HPV type 16 dan 18. Disamping itu vaksin quadrivalen juga melindungi sekitar 90 % kasus penyakit kutil genital yang terkai HPV type 6 dan 11. Karena perlindungan silang parsial terhadap tipe HPV onkogenik terkait filogenetik dinilai tidak konsisten, sehingga saat ini mulai dirintis adanya vaksin 9-valen HPV. EFEKTIFITAS Semua jenis vaksin menunjukkan efikasi yang tinggi dalam poencehagan KSU terhadap infeksi HPV type spesifik , dan juga berhubungan dengan high grade cervical displasia. Pada awal dengan pengamatan kohort study, bivalent dan quadrivalent menunjukkan mampu mengurangi rata2 prevalen HPV type 16 dan 18. Pada penatan setelah 48 bulan, seropositif terhadapp HPV 16 dan 18 mencapai 98,5 % dan 64,8% dengan total Ig G mencapai 100% dan 96,7 %. Terhadap respons immun humoral dengan pengamatan terhadap respons CD4 T-Cell dan respons memori B-Cell relatif sama antara bivalen dan quadrivalen. Pengamatan setelah 8,5 tahun vaksinasi pada perempuan usia 16-23 tahun didapatkan seropositif 86 % terhadap HPV Type 16. Vaksinasi terhadap laki2, efikasi dari vaksin quadrivalen setelah pengamatan 36 bulan dalam pencegahan HPV type 6,11,16 dan 1 mencapai 77,5 %. Terhadap Low grade squamous intraepitelial lesion (CIN 1)pada pengamatan 9 tahunefikasi mencapoai 100 %. KESIMPULAN Kemampuan Vaksin HPV bivalen dan quadrivalen dalam meningkatkan imunogenisitas terhadap HPV type 16 dan 18 relatif tidak berbeda dengan efek samping yang terbanyak pembengkakakan pada daerah suntikan. Ektifitas kedua jenis vaksin terhadap kejadian high grade cervical displasia mencapai 45,7 %. DAFTAR PUSTAKA 1. Lehtinen M, Lagheden C, Luostarinen T et al. Ten year follow up of humanpapillomavirus Vaccine efficacy against the most stringent cervical neoplasia end point registry based follow up of three cohorts from randomizedtrials. BMJ Open 2017;7:e015867.2017 2. Vicenso R. Conte C, Ricci C. Loong-term efficacy and safety of humanpapillomavirus vaccination. International J of WomensHealth 2015:6 999-1010.



61



SYMPOSIUM IV: OBSTETRIC AND GYNAECOLOGY SOCIAL 1 MANAGEMENT OF NCD IN ATTEMPT ON DECREASING AKI



62



EARLY DETECTION OF NON-COMMUNICABLE DISEASE (NCD) IN PREGNANCY Dr. R. Soerjo Hadijono, dr., Sp.OG(K) Divisi Obstetri Ginekologi Sosial – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP dr. Kariadi Semarang



Abstract Non-communicable diseases (NCDs) and maternal health are closely linked. NCDs such as diabetes, obesity and hypertension have a significant adverse impact on maternal health and pregnancy outcomes, and through the mechanism of intrauterine programming maternal health impacts the burden of NCDs in future generations. A careful history at the initial meeting of the antenatal examination will increase the alertness of the maternal health care system to the possibility of complications in pregnancy. The use of a careful anamnesis on the family history of NCDs (incl. anemia and micronutrient deficiency) combined with findings on screening checks on the possibility of predicting the incidence of complications (in this case the Modified Early Obstetric Warning System - MEOWS) can be combined to get better results for integrated screening for both NCD, pregnancy and birth complication possibilities. Keywords: Non-communicable disease, early detection. INTRODUCTION The commonest causes of maternal death are the so-called direct causes, due to obstetric complications like haemorrhage during childbirth, eclampsia, abortion, obstructed labour and sepsis.1 For these reasons, efforts to reduce global maternal mortality have focused on obstetric interventions and maternity services. Less attention has been paid to the general health of women and medical conditions during pregnancy that result in maternal mortality and morbidity. This article focuses attention on the relatively neglected problem of non-communicable diseases (NCDs) during pregnancy in Low and Middle Income Countries (LMIC), and investigates the public health implications of changing patterns of health in pregnancy.2 NCDs are the leading cause of death and disability around the world. 63



NCDs including cardiovascular disease, diabetes, chronic respiratory disease, allergy, some forms of cancer, cognitive decline, mental health, violence, osteoporosis, sarcopenia, and effective disorders, are the world‘s biggest killers. They account for 35 million deaths per year, which is 60% of all deaths globally. 3 NCDs result in tremendous health care costs and lost productivity, impacting global economies and health security. The problem is most urgent in low-and middle-income countries, where the burden of disease and premature deaths from NCDs are increasing and contributing to the cycle of poverty. Non-communicable diseases (NCDs), also known as chronic diseases, tend to be of long duration and are the result of a combination of genetic, physiological, environmental and behaviors factors, partly due to lifestyle modifications, diet change and environmental hazards resulting from globalization.4 5 The main types of NCDs are cardiovascular diseases (like heart attacks and stroke), cancers, chronic respiratory diseases (such as chronic obstructive pulmonary disease and asthma) and diabetes. It is estimated that in 2008, 29 million people died from NCDs in LMIC, making up 63% - 80% of NCD-related deaths worldwide (80% occur in low- and middle-income countries).6 By 2030, a 50% increase is expected. NCDs are by no means confined to the older age groups. Those in reproductive age groups are increasingly affected, including women, during pregnancy.7 Indirect maternal deaths are a consequence of ‗previous existing disease or disease that developed during pregnancy and not due to direct obstetric causes, but aggravated by physiologic effects of pregnancy.‘ 8 Indirect deaths make up almost one-third of all maternal deaths and can be due to NCDs, or communicable diseases, like HIV or malaria (Figure 1). Almost 15% of maternal deaths are due to preexisting medical conditions. 1 Over the last two decades, there have been decreases in the absolute number of maternal deaths from obstetric causes, possibly as a result of effective interventions to provide emergency obstetric care. On the other hand, only borderline declines have been observed for the indirect causes of maternal deaths. In terms of the proportion of deaths, an increase in indirect maternal deaths has occurred globally, from less than 10% to nearly 11%.



64



Fig. 1. The burden of non-communicable diseases in pregnancy. If women have non-communicable diseases (NCDs)-like cancer and diabetes-―at the time of pregnancy, [it] can hugely impact future generations‖ Adya Misra, associate editor of PLOS One ―If we do not address NCDs in a maternal health continuum of care, we will, for so many issues, be short changing the progress we have seen [in maternal health] because NCDs are on the rise‖ Katja Iversen, president and CEO of Women Deliver NCD RISK IN PREGNANCY NCDs important in pregnancy include a large number of different medical conditions, which can affect all organ systems in the body. NCDs important in pregnancy include neoplasms; mental conditions; endocrine or metabolic conditions like diabetes mellitus, hypo and hyperthyroidism; conditions affecting the cardiovascular system, such as hypertension and chronic rheumatic heart disease; and the haematological conditions of anaemia, sickle cell disease or thalassemia. They cover the spectrum of acute, transient, chronic and permanent conditions. Medical and obstetric complications can often be closely interrelated. For example, in diabetes mellitus, immediate medical concerns are focused on glycemic control with related obstetric complications such as macrosomia, obstructed labour and increased risk of infection. Longer term medical complications such as chronic hypertension and obesity are pertinent to obstetric sequelae, which include the future need for Caesarean section with concurrent risks of surgical intervention and requirements for anaesthesia, in line with the individual‘s overall health. Medical complications can thus affect not only the current pregnancy, but also future 65



pregnancies and long-term health. There is also increasing evidence of the intergenerational effects of medical complications in pregnancy, which lead to compromised development and health of the offspring and their children.9 10 NCDs affect the health of women and girls and also the health and life chances of their children. Being born to a malnourished mother increases the chances of the infant suffering under-nutrition, late physical and cognitive development, and NCDs in adulthood. Deaths of women or men from NCDs during their most productive years (40-60 years) can result in tragedy for families and catastrophic expenditure. The loss of women‘s labour can push vulnerable families deeper into poverty, particularly in rural areas in developing countries where the number of female-headed households is increasing as men migrate for employment. The major impact of adult female mortality on household welfare is well established, including higher mortality amongst small children, food insecurity, children withdrawn from school, increased work burden on children and loss of assets. Women are often responsible for household work that is also critical to family wellbeing, such as gathering water and firewood, preparing food and tending livestock. This vital contribution is compromised by NCDs. In many low- and middle-income countries, the low socio-economic, legal and political status of girls and women is increasing their exposure and vulnerability to the risk factors of NCDs. Sixty percent of the world‘s poor are women, twice as many women as men suffer from malnutrition, and two-thirds of illiterate adults are women. These underlying determinants are putting girls and women at a disadvantage in their capacity to protect themselves from the main NCD risk factors. Due to the concept of ‗fetal programming‘, maternal under-nutrition during pregnancy increases the risk of the infant developing chronic conditions such as diabetes and cardiovascular disease later in life. Urban living is often associated with lower levels of physical activity than rural living, increasing the risk of overweight and obesity, diabetes, cardiovascular disease and certain cancers. Evidence worldwide suggests disparities between the sexes in physical activity levels, particularly during the school years. Adolescent girls in many low- and middle-income countries are less active and place less value on participating in physical activity. 11 Global alcohol consumption has increased in recent decades, with most or all of this increase occurring in developing countries. 12 In many societies, women are both expected and assumed to drink less than men. As a result, early detection and 66



treatment of alcohol-related complications in women is limited and alcohol treatment programmes tend to be based on the needs of men. NCD IN INDONESIA Anemia and multi-micronutrients deficiency is a worldwide problem particularly in developing countries including Indonesia. WHO estimates 35% to 75% (56% on average) of pregnant women in developing countries, and 18% of women from industrialized countries are anemic. 13 14 As a result of Basic Health Research (Riskesdas) which was held in 2013, 37% of Indonesian pregnant women were found to be anemic. 15 Maternal nutrition before and during pregnancy is important for a healthy pregnancy outcome. The first trimester is the most critical period because during this first 13 weeks, conception, implantation, and organogenesis take place. Deficiencies of macro and micronutrient potentially give negative effects to health of the mother and the fetus. Suboptimal nutrient status has been found to lead to miscarriage, intrauterine growth restriction, preeclampsia, infection, preterm delivery, low birth weight, and anemia. Furthermore, it increases the risk of maternal and neonatal mortality. 16 17 Maternal nutrition has also major effects on the long term health of the children including ‗programming‘ of non-communicable disorders. Many studies have proven that the first 1,000 days of life (during pregnancy and the first two years of life) is a crucial period for optimizing the growth and the development of children. Good nutrition and healthy growth at this period would give lasting benefits throughout life. 18 19 The shift of food system also influences the food selection, with easier access to ―empty calorie‖ foods and beverages. Thus, it explains the low intake of micronutrients. 20 Choosing micronutrient-dense foods can be challenging due to the access and expensive prices. 21 22 For the first-trimester-pregnant-women, it is recommended to take multi-micronutrient supplementation to improve nutrient intake and status. Riskesdas 2018 also shows a condition that is nearly the same as Riskesdas 2013 in incidence of chronic energy deficiency in pregnant women (17.3%) and not pregnant (14.5%), anemia in pregnant women (48.9% and 37.1%). While antenatal examinations that will play a major role in NCD screening and the proportion of deliveries in health facilities that are expected to detect the possibility of early complications in pregnancy and childbirth have shown improvement. 67



Table 1 The prevalence of NCD in Indonesia according to Basic Health Research (Riskesdas) 2013 and 2018 15 23 Age (year) 160 Yellow 150-60 or 90-100 Red > 100 Yellow 90-100 Red < 40 or > 120 Yellow 100-120 or 40-50 Red 30 Yellow 21-30 < 95 Yellow: 2-3



Red: unresponsive to pain Yellow: unresponsive to voice -



Cardiovascular disease, hypertension or diabetes Cardiovascular disease, hypertension or diabetes



Cardiovascular disease, diabetes or hyperthyroid Cardiovascular disease or Chronic respiratory disease Cardiovascular disease or Chronic respiratory disease Chronic kidney failure Some forms of cancer or Chronic kidney failure



Mental health



One red trigger or two yellow triggers



CONCLUSION A careful and in-depth anamnesis on the family history of NCDs combined with the findings on screening checks on the possibility of predicting the incidence of complications (in this case the Modified Early Obstetric Warning System MEOWS), can be combined to get better results and effort in integrated screening for both NCD, pregnancy and birth complication possibilities.27



71



REFERENCE Say L, Chou D, Gemmil A, et al. Global causes of maternal death: A WHO systematic analysis. Lancet Global Health 2014; 2: e323–e333. 2 Hussein J. Non-communicable diseases during pregnancy in low and middle income countries. Obstet Med. 2017;10(1):26–9. 3 Hanson M, Gluckman P. Developmental origins of non-communicable disease: population and public health implications. Am J Clin Nutr 2011; 94(suppl):1754S–8S. 4 Adesina OS. The negative impact of globalisation on Nigeria. International Journal of Humanities and Social Science 2012; 2(15): 193–201. 5 Yach D, Bettcher D. The globalisation of public health I: Threats and opportunities. American Journal of Public Health, 1998; 88(5): 735–744. 6 WHO, 10 Facts on noncommunicable diseases. Updated March 2013. Available from: https://www.who.int/features/factfiles/noncommunicable_diseases/en/ 7 WHO. Noncommunicable diseases key facts. World Health Organization [Internet]. 2018; (June). Available from: http://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/noncommunicable-diseases 8 WHO. 2012. The WHO application of ICD-10 to deaths during pregnancy, childbirth and puerperium: ICD MM. https://doi.org/10.1016/S2214109X(14)70227-X Available from: https://www.thelancet.com/action/showPdf?pii=S2214-109X%2814%2970227-X 9 Hussein J. Non-communicable diseases during pregnancy in low and middle income countries. Obstet Med. 2017;10(1):26–9. 10 Battista MC, Hivert MF, Duval K, Baillargeon JP. Intergenerational cycle of obesity and diabetes: How can we reduce the burdens of these conditions on the health of future generations? Exp Diabetes Res. 2011;2011(Table 1). 11 World Health Organization. Women and Health: Today‘s evidence, tomorrow‘s agenda. Geneva. 2009 12 World Bank. World Development Indicators. Washington DC. 2009. 13 Allen LH. Anemia and iron deficiency: effects on pregnancy outcome. Am J Clin Nutr. 2000; 71(5 Suppl):1280S-4S. 14 apps.who.int [Internet]. The WHO Reproductive Health Library. Treatments for iron-deficienct anemia in pregnancy. [updated 2007]. Available from: http://apps. who.int/rhl/pregnancy_childbirth/medical/anaemia/ cfcom/en/ 11



72



15



Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2013:16. Indonesian. 16 www.who.int [Internet]. Nutrition counselling during pregnancy. [Update 2016; Cited 2016 Oct] Available from: http://www.who.int/elena/bbc/nutrition_ counselling_pregnancy/en/ 17 Haider BA, Bhutta ZA. Multiple-micronutrient supplementation for women during pregnancy. Cochrane Database Syst Rev. 2012;11(CD004905):1–127. 18 Brenseke B, Praater MR, Bahamonde J, Gutierrez JC. Current thoughts on maternal nutrition and fetal programming of the metabolic syndrome. J Pregnancy. 2013; (368461):1–13. 19 Black RE, Alderman H, Bhutta ZA, Gillespie S, Haddad L, et al. Maternal and child nutrition: building momentum for impact. The Lancet. 2013; 382(9890):372–5. 20 Popkin BM, Adair LS, Ng SW. Now and then: the global nutrition transition: the pandemic of obesity in developing countries. Nutr Rev. 2012; 70(1):3–21. 21 www.unicef.org [Internet]. Micronutrients. [Update Dec 2015; Cited 2016 Oct Oct] 15. Available from: http://www.unicef.org/nutrition/index_iodine.html. 22 Wibowo N, Bardosono S, Irwinda R, Syafitri I, Putri AS, Prameswari N. Assessment of the nutrient intake and micronutrient status in the first trimester of pregnant women in Jakarta. Med J Indones. 2017;26:109–15 23 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018 24 Arora KS, Shields LE, Grobman WA, D‘Alton ME, Lappen JR, Mercer BM. Triggers, bundles, protocols, and checklists-what every maternal care provider needs to know. Am J Obstet Gynecol. 2016; 214(4):444–451. 25 Lappen JR, Keene M, Lore M, Grobman WA, Gossett DR, et al. Existing models fail to predict sepsis in an obstetric population with intrauterine infection. Am J Obstet Gynecol. 2010; 203(6): 573.e1-5. 2626 Singh S, McGlennan A, England A, Simons R. A validation study of the CEMACH recommended modified early obstetric warning system (MEOWS). Anaesthesia. 2012; 67(1):12–18.



73



RUJUKAN DAN TATALAKSANA PENYAKIT TIDAK MENULAR DALAM KEHAMILAN DI RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO Arietta Pusponegoro, dr., Sp.OG(K) Divisi Obstetri Ginekologi Sosial – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ABSTRAK Tujuan : Kematian akibat penyakit yang tidak berhubungan terhadap kehamilannya saat ini masih kurang diperhatikan. WHO menyebutkan bahwa kematian Ibu yang disebabkan oleh penyakit tidk menular pada kehamilan sebesar 30% dari total kematian Ibu. Hal ini membuka perspektif mengenai pencegahan sedini mungkin. Oleh karena itu, diharapkan studi ini dapat menigkatkan upaya pencegahan kematian Ibu yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular (PTM) pada kehamilan. Metode : Penelitian ini menggunakan desain deskriptif studi potong lintang dengan menggunakan data sekunder pasien hamil di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2017 hingga 2018. Hasil : Didapatkan 13 kasus PTM pada kehamilan selama tahun 2017 sampai tahun 2018 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Sebesar 30,76% terdapat pada kelompok usia 25-29 tahun. Didapatkan sebaran jenis penyakit sebesar 46,14% adalah penyakit kardiovaskuler, 23,07% AML, 15,38 % AFLP, 15,38 % penyakit autoimun dan 7,69% masing-masing pada keganasan dan penyakit tiroid. Berdasarkan usia kehamilan didapatkan sebanyak 53,84% adalah kehamilan pada trimester ketiga dan sebanyak 61,53% adalah kasus rujukan. Tatalaksana selanjutnya didapatkan sebanyak 84,61% dilakukan manajemen konservatif dan sebanyak 15,39% dilakukan terminasi kehamilan. Tidak didapatkan angka mortalitas pada luaran Ibu pasca tatalaksana, namun pada luaran bayi didapatkan mortalitas sebesar 7,69%. Kesimpulan : Selain penyebab utama kematian Ibu (perdarahan dan hipertensi dalam kehamilan), perlu diperhatikan pula penyebab lain yaitu PTM pada kehamilan. Oleh karena itu perlu ditingkatkan pengenalan dan edukasi PTM pada kehamilan sehingga rujukan dan tata laksana dapat segera diberikan. Upaya-upaya ini diharapkan dapat membantu menurunkan kematian Ibu akibat PTM pada kehamilan dan AKI pada umumnya. Kata kunci : Penyakit tidak menular, angka kematian Ibu. PENDAHULUAN Penyakit Tidak Menular (PTM) disebut juga penyakit kronis sebagai kombinasi dari genetik, fisiologi, pengaruh lingkungan dan faktor kebiasaan.(1) Tipe utama dari penyakit kardiovaskular, kanker, gangguan pernapasan kronis dan 74



diabetes.(1) Menurut survey yang dilakukan oleh WHO pada tahun 2012, didapatkan peningkatan mortalitas, morbiditas dan faktor risiko dari PTM dari tahun 2000 hingga 2010. Peningkatan ini didapatkan di negara dengan pendapatan rendah, menengah maupun tinggi.(1) Dari keseluruhan data , didapatkan 43% negara dengan kebijakan yang berhubungan dengan PTM dan 31% negara dengan kebijakan dan pembiayaan yang berhubungan dengan PTM.(1) Dari keseluruhan data, didapatkan 43% negara dengan kebijakan yang berhubungan dengan PTM dan 31% negara dengan kebijakan dan pembiayaan yang berhubungan dengan PTM.(1) Dengan mortalitas dan morbiditas yang disebabkan oleh PTM, sikap yang dilakukan untuk penatalaksanaan dan pencegahannya dianggap sangat kurang. Dengan kematian sebesar 63% pada tahun 2008 yang sebagian besar disebabkan oleh penyakit jantung dan diabetes, kanker dan penyakit paru kronik. 80% dari jumlah tersebut terjadi di negara dengan pendapatan rendah hingga menengah.(1) Kematian ibu di berbagai negara masih sangat tinggi. Pada tahun 2015 diperkirakan terjadi 303.000 kematian ibu di seluruh dunia, 99% terjadi di negara dengan pendapatan rendah hingga sedang. Kematian ibu secara global adalah 216 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Angka paling tinggi diperoleh dari Afrika sub-Sahara dengan 546 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini bertolakbelakang dengan angka kematian di negara berkembang yaitu 12 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu secara global menurun 44% sejak tahun 1990, namun penurunan tersebut hanya sebesar 4% di Asia Selatan dan Asia Tenggara dan hanya sebesar 2,4% di Afrika sub-Sahara.(2) Kematian ibu sebagian besar disebabkan oleh komplikasi yang berkaitan langsung dengan kehamilan seperti perdarahan pasca persalinan, eklampsia, aborsi, distosia pada persalinan dan sepsis,(3) sehingga umumnya fokus untuk menurunkan angka kematian ibu adalah pada hal-hal tersebut dan perhatian terhadap kematian yang berkaitan dengan NCD dalam menurunkan angka kematian ibu masih sangat jarang dibahas. Pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 29 juta orang meninggal karena PTM dan diperkirakan pada tahun 2030 akan terjadi peningkatan sebesar 50%. PTM tidak lagi berkaitan dengan usia tua. Usia reproduksi juga terkait, termasuk wanita dan wanita yang sedang hamil.(4) Kematian ibu akibat PTM tidak secara langsung berkaitan dengan adanya penyakit penyerta atau penyakit yang berkembang selama kehamilan dan bukan disebabkan oleh komplikasi obstetri, namun berhubungan dengan efek fisiologi kehamilan.(5) WHO menyatakan penyebab kematian tidak langsung (seperti HIV atau malaria) diperkirakan sebesar sepertiga dari keseluruhan angka kematian ibu. Hampir 15 % kematian ibu berkaitan dengan kondisi medis penyerta saat kehamilan.(3)



75



Pada dua dekade belakangan ini didapatkan angka kematian ibu yang disebabkan komplikasi obstetri menurun secara signifikan, kemungkinan disebabkan penanganan kegawatdaruratan yang semakin membaik dalam pelayanan obstetri. Sedangkan angka kematian ibu karena penyebab tidak langsung meningkat dari sebelumnya sebesar kurang dari 10% menjadi lebih dari 11%.(6) PTM dinilai penting pada kehamilan pada berbagai kondisi medis yang berbeda karena dapat memengaruhi seluruh organ tubuh. PTM pada kehamilan mencakup neoplasma; kondisi mental; endokrin atau kelainan metabolik seperti diabetes melitus, hipo dan hipertiroid; kondisi yang memengaruhi sistem kardiovaskular seperti hipertensi dan penyakit jantung rematik; kelainan hematologi seperti anemia, penyakit sickle-cell anemia atau talasemia yang mencakup kondisi akut, transient, kronis dan permanen. Komplikasi medis dapat memengaruhi kehamilan saat ini, namun juga dapat memengaruhi kehamilan selanjutnya dan kesehatan jangka panjang pasien. Juga terdapat meningkatnya bukti bahwa adanya efek komplikasi medis pada kehamilan dapat menyebabkan gangguan perkembangan dan kesehatan pada anak dan keturunannya.(7)



Gambar 1. Penyakit Tidak Menular pada kehamilan (8)



76



Gambar 2. Penyebab kematian Ibu berdasarkan data UNICEF (9), Direktorat kesehatan Ibu tahun 2013 (10) dan tahun 2016 (11)



Gambar 3. Data Sebaran Asal Rujukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo 2017-2019 77



MANAJEMEN PENYAKIT TIDAK MENULAR PTM pada kehamilan membuka perspektif untuk pencegahan sejak dini. Sebagai contoh, wanita hamil dengan diabetes gestasional, atau wanita hamil dengan hipertensi akan memiliki risiko penyakit kardiovaskuler yang lebih tinggi di kemudian hari. Lebih baik dilakukan perbaikan pola makan, gaya hidup dan skrining pada wanita usia muda dibanding menunggu munculnya penyakit di kemudian hari. Dapat juga dengan memperluas konsep pencegahan primer menjadi pencegahan primordial misalnya pencegahan terhadap faktor risiko.(12) Prediksi luaran kehamilan mampu mengidentifikasi wanita yang berisiko di masa mendatang. Pada negara industri didapatkan bukti bahwa wanita dengan persalinan preterm atau wanita yang melahirkan bayi dengan pertumbuhan janin terhambat memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Secara global, WHO sudah mempersiapkan rencana untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas yang disebabkan PTM, yaitu : (1) 1. Meningkatkan prioritas terhadap PTM pada tahap global dan nasional, dan mengintegrasikan pencegahan untuk mengontrolnya dengan menyarankan untuk dikeluarkannya kebijakan dari pemerintah. 2. Untuk mengembangkan dan memperkuat kebijakan nasional dan rencana pencegahan untuk mengontrol PTM. 3. Untuk mempromosikan intervensi dalam rangka menurunkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi; seperti penggunaan tembakau, diet yang tidak sehat, aktivitas fisik yang kurang dan penggunaan alcohol yang membahayakan. 4. Untuk mempromosikan penelitian untuk mencegah dan mengontrol NCD 5. Untuk mempromosikan kerjasama untuk mencegah dan mengontrol NCD. 6. Untuk memonitor PTM dan hal yang berkaitan, untuk mengevaluasi kemajuan pada tingkat nasional, regional dan global. Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari faktor risiko yaitu : 1. Penggunaan alkohol yang berlebihan 2. Kurangnya aktivitas fisik 3. Penguunaan garam 4. Penggunaan rokok 5. Tekanan darah yang tinggi 6. Diabetes 7. Obesitas 8. Polusi udara Yang menjadi target penekanan faktor risiko oleh WHO di Indonesia pada tahun 2018 adalah konsumsi alkohol, garam, rokok, kurangnya aktivitas fisik, naiknya tekanan darah dan obesitas. Masa transisi obstetri memengaruhi sistem kesehatan dan pelayanan perlu disesuaikan agar dapat memenuhi kebutuhan di masa depan. Kita tidak dapat mengesampingkan kompleksitas dan kebutuhan sumber daya untuk wanita dengan PTM dalam kehamilan.(8) 78



Dibutuhkan pelayanan secara individu untuk mencegah dan memberikan intervensi dini dan untuk mengembangkan sistem kesehatan dengan pelayanan yang terintegrasi pada komunitas primer atau tingkat rujukan, lintas spesialis, klinis dan sosial. Kondisi medis yang ada adalah berbeda, sehingga dibutuhkan pelayanan secara individu. (8) PTM PADA KEHAMULAN DI RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO RSCM sebagai pusat rujukan nasional merupakan tempat rujukan untuk pasien-pasien hamil dengan penyulit. Dalam hal ini PTM termasuk juga sebagai penyulit dalam kehamilan yang tidak dapat ditangani di puskesmas ataupun rumah sakit. Kami mengumpulkan kasus-kasus PTM pada kehamilan yang telah dilakukan pembahasan multidisiplin di RSCM sejak tahun 2017 hingga 2018, dan didapatkan sebanyak 13 kasus. Berikut adalah sebaran kasus PTM pada Kehamilan di RSCM sejak 2017-2018 :



79



80



PEMBAHASAN Dari 13 kasus didapatkan sebagian besar ibu hamil dengan PTM yaitu 30,76% adalah berusia 25-29 tahun. Kelompok usia paling sedikit adalah usia 20-24 tahun yaitu 7,69%. Didapatkan sebaran jenis penyakit sebesar 46,14% adalah penyakit kardiovaskuler, 23,07% AML, 15,38 % AFLP, 15,38 % penyakit autoimun dan 7,69% masing-masing pada keganasan dan penyakit tiroid. Berdasarkan usia kehamilan didapatkan pasien yang datang ke RSCM sebanyak 53,84% di trimester ketiga, 30,76% di trimester 2 dan 15,38% di trimester pertama, dengan keseluruhan pasien 61,53 % merupakan pasien rujukan. Dari hasil diskusi kasus sulit atau diskusi multidisiplin, didapatkan 84,61% kasus ditatalaksana dengan manajemen konservatif dan 15,38% kasus dilakukan terminasi. Tidak didapatkan angka mortalitas pada luaran Ibu pasca tatalaksana, namun pada luaran bayi didapatkan mortalitas sebesar 7,69%. TATALAKSANA Program pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular oleh 81



Kementerian Kesehatan, antara lain: 1. Pengembangan Regulasi dalam upaya pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular dengan menerbitkan Permenkes. antara lain mengenai: Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk, Pencantuman Informasi Kandungan Untuk Pangan Olahan Dan Pangan Siap Saji, Penanggulangan Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim, Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan.) 2. Pengembangan Pedoman untuk menjamin kegiatan penanggulangan penyakit tidak menular yang terstandar di semua fasilitas kesehatan (Pos Pembinaan Terpadu PTM, Pedoman Surveilans PTM) 3. Pengembangan Modul Pelatihan PTM (Posbindu PTM dan modul e-learning, TOT Pandu PTM di FKTP) 4. Penguatan Pelayanan Kesehatan PTM di Puskesmas (Peningkatan Upaya Deteksi Dini PTM, Pengembangan Posbindu PTM, Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Pengendalian Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas Darat). (13) KESIMPULAN Data di RSCM sejak tahun 2017-2018 memperlihatkan bahwa sebagian besar kasus PTM pada kehamilan yang ditangani di RSCM merupakan kasus rujukan dan sebagian besar kasus dirujuk pada trimester ketiga. Alangkah baiknya jika deteksi terhadap PTM pada kehamilan dilakukan sejak dini, sehingga pasien lebih cepat dirujuk untuk mendapatkan tata laksana selanjutnya. Seperti negara-negara dunia ketiga dan negara berkembang, negara industri juga menghadapi kesulitan dalam menyedikan pelayanan yang bersifat individu. Di negara-negara dunia ketiga, tentu tidak mudah untuk mempersiapkan pelayanan tersebut, karena masih berjuang untuk menghadapi kematian ibu yang diakibatkan oleh komplikasi langsung pada kehamilan. Namun hal tersebut tidak boleh menghalangi negara-negara dunia ketiga untuk mengatasi persoalan kematian ibu akibat PTM pada kehamilan, karena hal ini akan memberikan perbaikan bagi ibu maupun kualitas bayi mereka hari ini dan juga generasi di masa mendatang.(8) Data sudah menyatakan bahwa kematian akibat PTM pada kehamilan kurang diperhatikan. Kita harus bersiap menghadapi adanya transisi dari penyebab langsung kematian ibu pada kehamilan menuju penyebab tidak langsung kematian ibu. Oleh karena itu untuk menurunkan angka kematian ibu, maka harus diperhatikan juga penyebab yang berkaitan dengan PTM pada kehamilan. Dengan menurunkan angka PTM pada kehamilan, diharapkan turut menurunkan angka kematian ibu. DAFTAR PUSTAKA 1. Assesing national capacity for the prevention and control noncomunicable disease, (2012). 82



2. 3. 4. 5. 6.



7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.



Organization Wh. Trends in maternal mortality : 1990 t 2015. In: WHO U, UNFPA, the world bank and the United Nations Population Division, editor. Geneva, Switzerland: WHO publisher; 2015. L. Say DC, A. Gemmil, et al. Global causes of maternal death: A WHO systematic analysis. Lancet global health. 2014;2:323-3. The growing danger of non-communicable diseases. Acting now to reverse the course. , (2011). The WHO application of ICD-10 to deaths during pregnancy, childbirth and puerperium: ICD MM, (2012). NJ Kassebaum AV-B, MS Cogeshall, et al. Global, regional, and national levels and causes of maternal mortality during 1990-2013: A systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2013. Lancet global health. 2014;384:9801004. MC Battista MH, K Duval, et al. Intergenerational cycle of obesity and diabetes: How can we reduce the burdens of these conditions on the health of future generations? Experimental Diabetes Research. 2011:1-19. Hussein J. Noncommunicable disease during pregnancy in low and middle income countries. Obstetric medicine 2017. 2017;10(1):26-9. J Bohrer DE. Other adverse pregnancy outcomes and future chronic disease. Seminars in Perinatology. 2015;39:259-63. Data.unicef.org/topic/maternal-health/maternal-mortality Direktorat Kesehatan Ibu, 2013. Direktorat Kesehatan Ibu, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Tahun 2015-2019



83



NON COMMUNICABLE DISEASE (NCD) – CARE IN JKN ERA DR. dr. Omo Abdul Madjid, SpOG(K), MPH Divisi Obstetri Ginekologi Sosial - Departemen Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ANGKA KEMATIAN IBU Angka Kematian Ibu, menurut berbagai sumber dari tahun 1994 sebesar 390 turun pada tahun 2017 sebesar 305. Dalam periode tersebut terdapat variasi, terendah pada tahun 2007 sebesar 228. Diperkirakan terdapat 5,3 juta kehamilan pertahun, lebih dari 15.000 kematian ibu pertahun, atau satu kematian ibu setiap jam. Lawn et al. 2014. Capaian program kesehatan maternal dan neonatal, TFR sebesar 2,4, kunjungan antenatal K1 sebesar 98%, K4 sebesar 77%. Persalinan di fasilitas kesehatan sebesar 74%. Sementara itu, hanya 19% dari 9000 Puskesmas yang mampu memberikan pelayanan PONEK dan kurang dari 50% rumah sakit umum yang mempunyai kualifikasi mampu menyediakan sumber daya manusia, peralatan dan suplai darah sesuai standar.



Target penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia selama periode 2000 – 2015 tidak pernah dicapai, sedangkan untuk RPJMN 2020 – 2024 sebesar 183 dan target SDGs 2030 sebesar 131 merupakan tantangan.



84



Kebijakan nasional tentang kesehatan reproduksi yang mencakup masa di luar kehamilan, masa hamil sampai sesudah melahirkan dan peningkatan kesehatan reproduksi terpadu responsif gender serta penguatan manajemen program kesehatan ibu tertuang dalam Permenkes Nomor 97 tahun 2014.



Upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu dalam lingkup global dan nasional secara sistematis dan terstruktur dilaksanakan sejak inisiatif safe motherhood tahun 1987, kemudian dilanjutkan dengan MPS (Making Pregnancy Safer) dan MDGs selanjutnya SDGs. Upaya safe motherhood berdasarkan pada pendekatan 3 (tiga) terlambat dan strategi 5 (lima) pilar safe motherhood yaitu KB, ANC, APN, PONED dan PONEK. MPS mempertajam fokus strategi pada determinan-determinan dekat Angka Kematian Ibu. Sedangkan MDGs sudah menerapkan pendekatan kemitraan global dalam upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu. Beberapa sasaran program yang telah dicapai tetapi masih banyak sasaran yang masih merupakan tantangan. Menjawab tantangan terhadap kematian ibu tujuan dan sasaran program dalam konteks waktu harus dibedakan tujuan dan sasaran jangka pendek adalah penurunan Angka Kematian Ibu yang bersifat kuantitatif dan tujuan sasaran jangka panjang kesehatan maternal neonatal yang bersifat kualitatif. Tantangan program saat ini adalah menyelaraskan upaya kuantitatif dan kualitatif. JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) Program JKN yang sudah berjalan 4 (empat) tahun menghadapi berbagai tantangan. Rancangan sistem JKN terdiri dari komponen BPJS Kesehatan, Peserta Jaminan Kesehatan, Fasilitas Kesehatan dan regulator. JKN berdasarkan prinsip asuransi sosial yang menuntut kesiapan komponen tersebut. Sistem pelayanan kesehatan menurut Permenkes 28 tahun 2014, mensyaratkan berjenjang, efektif dan 85



efisien dengan prinsip kendali mutu dan kendali biaya. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya diberikan atas rujukan dari tingkat pertama, kecuali dalam keadaan darurat kekhususan permasalahan klinis, pertimbangan geografis dan pertimbangan ketersediaan fasilitas. Beberapa upaya yang sebaiknya dilakukan rumah sakit sebagai komponen pemberi pelayanan menurut Permenkes Nomor 27 tahun 2014 yaitu membangun tim rumah sakit dan pembayaran jasa medis. Manajemen dan profesi serta komponen rumah sakit yang lain harus mempunyai persepsi dan komitmen yang sama serta mampu bekerja sama untuk menghasilkan produk pelayanan rumah sakit yang bermutu dan cost effective. Bukan sekedar untuk mencari keuntungan sebesarbesarnya. Perubahan metode pembayaran jasa medis dengan pembayaran paket INA CBGs sebaiknya diikuti dengan cara pembayaran jasa medis menggunakan sistem remunerasi berbasis kinerja. Permasalahan saat ini terkait dengan ketidaksemimbangan antara beban dan kemampuan BPJS Kesehatan dalam mengelola pembiayaan. Peranan organisasi profesi POGI yaitu membantu mengawal, mengarahkan, berkoordinasi untuk kebijakan JKN yang berkeadilan dan mendukung profesionalisme Obgyn demi perbaikan pelayanan kesehatan reproduksi. Pengetahuan mengenai aturan, penulisan rekam medis dan koding yang optimal, pengendalian tata kelola klinis dan pelayanan, serta penggunaan teknologi informasi digital merupakan tantangan yang dihadapi di era JKN. NON COMMUNICABLE DISEASE (NCD) Berdasarkan pendekatan epidemiologi terjadinya penyakit hasil interaksi Agen, Pejamu (House), dan lingkungan (environment). Agen diklasifikasikan sebagai penyebab, faktor determinan, yang terdiri dari faktor predisposisi dan faktor resiko. Kematian Ibu adalah kematian perempuan yang berhubungan dengan kehamilan. Penyebab kematian ibu secara konvensional terdiri dari perdarahan, infeksi, preeklampsia dan sebab lain. Secara patologi penyebab-penyebab tersebut bukan satu kesatuan penyakit yang sama yang perjalanan alamiah penyakitnya berbeda satu dengan yang lain. Kemajuan teknologi biomedik beberapa penyakit pada kehamilan telah diketahui perjalanan alamiah penyakitnya sehingga efektifitas dan efisiensi tata laksana dapat lebih baik. Masih banyak penyakit dalam kehamilan yang perjalanan alamiahnya masih berupa teori. Sehingga tata laksana klinis dan peranannya masih menghadapi tantangan. Tujuan jangka pendek penurunan Angka Kematian Ibu dan pendekatan 3 (tiga) terlambat secara konseptual menggunakan paradigma negatif. Upaya penurunan Angka Kematian Ibu dengan fokus pada upaya kuratif. Pendekatan 3 (tiga) terlambat fokus pada menemukan kesalahan. Untuk jangka panjang upaya penurunan Angka Kematian Ibu lebih berfokus pada paradigma sehat. Upaya berbasis pada kolaborasi antar pihak-pihak yang terkait yaitu pemerinta, komunitas dan profesional. Indikator-indikator program harus 86



lebih bersifat kualitatif. Program-program dalam upaya penurunan Angka Kematian Ibu harus dirancang sesuai dengan konteks geografis, nilai budaya, dan sumberdaya setempat. KESIMPULAN  Kematian Ibu merupakan bagian dari kesehatan maternal. Upaya penurunan Angka Kematian Ibu yang menggunakan paradigma negatif (sakit) harus dilengkapi dengan upaya peningkatan kesehatan maternal yang menggunakan paradigma sehat. Upaya penurunan Angka Kematian Ibu merupakan target dan sasaran jangka pendek dan upaya peningkatan kesehatan maternal merupakan target jangka panjang.  Kematian ibu adalah kematian perempuan yang berhubungan dengan kehamilan. Penyebab kematian ibu oleh penyakit kehamilan bukan merupakan penyakit tunggal tetapi terdiri dari berbagai penyakit yang mempunyai perjalanan alamiah yang berbeda. Mutu, efektifitas dan efisiensi tata kelola klinis dan pelayanan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang harus diperhatikan.  JKN bertujuan meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan. Pencapaian tujuan JKN ditentukan oleh kolaborasi yang harmonis antara komponen-komponen BPJS Kesehatan, Peserta Jaminan Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Regulator.



87



SYMPOSIUM V: FERTILITY AND ENDOCRINOLOGY REPRODUCTION 1 ENDOMETRIOSIS



88



ENDOMETRIOSIS PADA REMAJA (NYERI DAN KISTA) Dr. Sri Ratna D, dr. SpOG (K) Divisi Fertilitas Endokrin Reproduksi – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya ABSTRAK Dismenorea atau nyeri haid merupakan keluhan yang paling banyak pada remaja putri dan dewasa muda. Sebagian besar dismenorea pada remaja adalah dismenorea primer (tanpa ada kelainan patologi pelvis) tetapi jika setelah mendapatkan terapi 3-6 bulan tidak ada perbaikan keluhan dismenorea, maka klinisi seharusnya melakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab sekunder dan terapi yang tepat. Endometriosis merupakan penyebab terbanyak dismenorea sekunder, terutama pada remaja putri yang keluhan dismenorea tidak mengalami perbaikan dengan terapi hormonal dan obat anti inflamasi non steroid, ada riwayat endometriosis di keluarga, hasil pemeriksaan fisik dan ultrasonografi pelvis mendukung diagnosis endometriosis. Endometriosis pada remaja termasuk penyakit kronis yang bersifat progresif jika tidak mendapat terapi yang tepat. Tujuan terapi pada endometriosis remaja adalah: menghilangkan keluhan, menekan progresivitas penyakit dan menjaga kesuburan di masa yang akan datang. Keywords: Endometriosis, adolescent, dysmenorrhea, pelvic pain, endometriosis cyst. PENDAHULUAN Sebagian besar remaja putri pernah mengalami dismenorea primer, yaitu nyeri saat haid tanpa ada kelainan patologi di pelvis. Dismenorea primer umumnya dimulai setelah remaja putri mengalami siklus ovulasi, yaitu 6-12 bulan setelah menarke. Pada dismenorea sekunder, nyeri haid yang timbul disebabkan karena kelainan patologi di pelvis. Endometriosis merupakan salah satu penyebab terbanyak dismenorea sekunder pada remaja putri. Diperkirakan 10-15% wanita usia reproduksi menderita endometriosis dan 70% wanita dengan nyeri pelvis kronis menderita endometriosis. Prevalensi endometriosis pada remaja putri dengan nyeri pelvis yang dilakukan laparoskopi sekitar 47%. 70%-73% nyeri pelvis pada remaja putri yang tidak membaik dengan terapi medisinal ternyata disebabkan endometriosis. Sebagian besar remaja putri yang menderita dismenorea primer akan mengalami perbaikan keluhan dengan pemberian obat anti inflamasi non steroid atau supresi hormonal. Remaja putri dengan dismenorea yang menetap setelah mendapat terapi sebagai dismenorea primer membutuhkan evaluasi lebih lanjut.



89



EVALUASI DISMENOREA SEKUNDER Remaja putri dengan nyeri haid 3-6 bulan yang tidak membaik dengan pemberian obat anti inflamasi non steroid atau supresi hormonal sebaiknya dilakukan anamnesis dan pemeriksaan khusus untuk mencari penyebab dismenorea sekunder. Selain endometriosis penyebab dismenorea sekunder antara lain: congenital obstructive mullerian malformations, stenosis servik, Kista ovarium, polip uterus, leiomyoma, adenomiosis, penyakit radang panggul dan adesi pelvis.



Gambar 1. Algoritma evaluasi dismenorea pada remaja putri Untuk menegakkan endometriosis dapat diawali dengan anamnesis apakah ada keluarga yang menderita endometriosis. Jika ada keluarga yang menderita endometriosis akan meningkatkan risiko terkena endometriosis 7-10 kali lipat. 90



Pemeriksaan imaging pelvis dengan ultrasonografi tergantung pada hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan. Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi endometrioma tetapi tidak bermanfaat untuk lesi endometriosis non ovarium. Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempunyai sensitivitas yang sama dengan ultrasonografi untuk mendeteksi endometrioma, tetapi MRI tidak bermanfaat untuk mengidentifikasi lesi endometriosis peritoneum maupun menentukan luas endometriosis. Gambaran ultrasonografi dan hasil pemeriksaan fisik yang normal masih belum bisa menyingkirkan adanya endometriosis. Diagnosis pasti endometriosis dengan cara visual dan biopsi melalui laparoskopi. Gambaran lesi endometriosis pada remaja putri berbeda dengan lesi endometriosis dewasa. Pada remaja putri lesi endometriosis terlihat jernih atau merah dengan sedikit fibrosis. Sebagian besar remaja putri didiagnosis endometriosis stadium awal (AFS stadium 1 atau 2) saat dilakukan laparoskopi. Meskipun seringkali didiagnosis endometriosis stadium dini pada remaja putri, tetapi lesi endometriosis yang jernih atau merah ini lebih bersifat metabolik aktif dan memproduksi prostaglandin lebih tinggi dibandingkan lesi ―powder burn‖ pada wanita dewasa. TATA LAKSANA ENDOMETRIOSIS PADA REMAJA Endometriosis pada remaja putri merupakan penyakit kronis yang berpotensi progresif jika tidak ditangani dengan baik. Tujuan terapi antara lain: mengurangi keluhan, mencegah progresivitas penyakit, dan menjaga kesuburan di masa depan. Terapi endometriosis pada remaja putri bersifat individual, dengan memperhatikan pilihan terapi oleh pasien dan keluarganya, kebutuhan kontrasepsi, kontra indikasi pemakaian hormon, potensi efek samping yang timbul. Endometriosis merupakan penyakit inflamasi yang tergantung pada estrogen. Estrogen yang diproduksi oleh ovarium dan lesi endometriosis melalui aktivitas aromatase akan meningkatkan produksi prostaglandin yang akhirnya menyebabkan nyeri. The American College of Obstetricians and Gynecologists merekomendasikan terapi pembedahan konservatif untuk diagnosis dan terapi endometriosis yang dikombinasikan dengan terapi medisinal untuk menekan proliferasi endometrium. Penderita yang masih tetap nyeri dengan terapi pembedahan konservatif dan supresi hormonal seringkali membaik dengan terapi GnRH agonis dan terapi add back selama 6 bulan. Obat non steroid anti inflamasi tetap diberikan untuk mengurangi nyeri. Narkotik jangka panjang untuk mengatasi nyeri endometriosis tidak seharusnya diberikan selain oleh tim managemen nyeri. Penatalaksanaan endometriosis pada remaja putri secara ekspektatif masih menjadi perdebatan. Pemakaian pil kontrasepsi kombinasi secara kontinyu untuk nyeri pelvis akibat endometriosis pada remaja putri aman dan efektif sehingga bisa dijadikan pilihan terapi lini pertama (Evidence Level B). Pil kontrasepsi kombinasi yang diberikan kontinyu dapat menurunkan rekurensi (Evidence Level C). Progestin juga dapat dipakai untuk nyeri pelvis akibat endometriosis pada remaja putri dan 91



memberikan hasil yang sama dengan GnRH agonis (Evidence Level A). Progestin terbaru (Dienogest) dapat mengurangi nyeri dan dapat dipakai jangka panjang. GnRH agonis hanya boleh diberikan untuk remaja putri usia > 16 tahun (Evidence Level A). Endometriosis Treatment Italian Club (ETIC) menyampaikan opini yang dipublikasi pada Juni 2019 dalam ―10 don‘ts in endometriosis management‖, yaitu: 1. Jangan menyarakankan laparoskopi untuk mendeteksi dan terapi endometriosis peritoneum superfisial pada wanita infertil tanpa nyeri pelvis (quality of the evidence, high; strong suggestion) 2. Jangan merekomendasikan stimulasi ovarium dan inseminasi intra uterin pada wanita dengan endometriosis stadium berapapun (quality of the evidence, moderate; weak suggestion) 3. Jangan mengangkat endometrioma kecil (diameter < 4 cm) dengan tujuan untuk meningkatkan keberhasilan konsepsi pada pasien endometriosis yang dilakukan Fertilisasi invitro (quality of the evidence, high; strong suggestion) 4. Jangan mengangkat lesi deep endometriosis pada wanita yang asimptomatik maupun yang simptomatik yang belum ingin hamil jika terapi medisinal memberikan hasil yang efektif dan dapat ditoleransi (quality of the evidence, moderate; weak suggestion) 5. Jangan melakukan evaluasi dengan MRI pada wanita yang diketahui maupun diduga deep endometriosis infiltrasi ke bowel yang memberi respon baik terhadap terapi medisinal (quality of the evidence, low; weak suggestion) 6. Jangan melakukan pemeriksaan CA-125 (atau biomarker lainnya) pada wanita endometriosis yang memberi respon baik pada terapi medisinal dan tidak didapatkan endometrioma ovarium (quality of the evidence, low; weak suggestion) 7. Jangan membiarkan wanita yang telah dilakukan pembedahan endometrioma dan belum ingin hamil tanpa terapi jangka panjang estrogen-progestin atau progestin (quality of the evidence, high; strong suggestion) 8. Jangan melakukan laparoskopi pada remaja putri (usia < 20 tahun) dengan dismenorea sedang-berat yang secara klinis diduga endometriosis dini sebelum memberikan terapi estrogen-progestin atau progestin untuk mengurangi keluhan dismenorea (quality of the evidence, low; weak suggestion) 9. Jangan menuliskan resep obat yang tidak dapat dipakai untuk jangka panjang disebabkan karena keamanannya serta masalah harga obat tersebut sebagai terapi lini pertama kecuali jika estrogen-progestin atau progestin terbukti tidak efektif atau kontra indikasi untuk diberikan (quality of the evidence, high; strong suggestion) 10. Jangan memakai pembedahan dengan robotic-assisted laparoscopic kecuali untuk penelitian (quality of the evidence, moderate; weak suggestion)



92



REFERENSI 1. ACOG Committee opinion, 2018. Dysmenorrhea and Endometriosis in the Adolescent.Obstetrics & gynecology. 132, e249-e257. 2. ETIC Endometriosis Treatment Italian Club, 2019. When more is not better: 10‘don‘ts‘ in endometriosis management. An ETIC position statement. Human Reproduction Open. 1-15. 3. Benagiano G, Guo SW, Puttemans P, Gordts S, Brosens I, 2018. Review: Progress and management of adolescent endometriosis‖ an opinion. Reproductive Biomedicine Online. 36, 102-114. 4. Dessole M, Benedetto G, Angioni S, 2012. Endometriosis in adolescent. Obstetrics and Ginecology International. 1-4. 5. Dun EC, Kho KA, Morozov VV, Kearney S, Zurawin JJ, Nezhat CH. 2015. Endometriosis in adolescent. Journal of the Society of Laparoscopic Surgions. 19. 6. Dunselman GAJ, Vermeulen N, Becker C, Jorge C, Hooghe TD, Bie BD, Heikinheimo O, Horne AW, Kiesel L, Nap A, Prentice A, Saridogan E, Soriano D, Nelen W, 2014. ESHRE guideline: management of women with endometriosis. Human Reprod. 29, 400-412. 7. Mukherjee B, Tandulwadkhar S, Sharma A, Yelikar K, Pal B, Bhatla N, Kurian R, Bansal K, Verma M, Arora M, Das V, Malik S, 2016. Good Clinical Practice Recommendation on endometriosis. 8. Nanthakumar MP, Arumugam SC. 2017. Adolescent endometriosis. International Journal of Reproduction, Contraception, Pbstetrics and Gynecology. 6, 3213-3218. 9. Yeung P, Gupta S, Gieg S. 2017. Endometriosis in adolescent: a systematic review. J Endometr Pelvic Pain Disord. 9, 17-29.



93



STRATEGI STIMULASI OVARIUM PADA ENDOMETRIOSIS Dr. Hartanto Bayuaji, dr, SpOG(K) Divisi Fertilitas, Endokrin dan Reproduksi Departemen Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung ABSTRAK Tujuan: melakukan ulasan strategi stimulasi ovarium pada endometriosis dalam upaya mendapatkan oosit yang optimal untuk penatalaksanaan infertilitas. Metode: telaah pustaka Hasil: dari beberapa manifestasi klinis endometriosis, endometrioma merupakan faktor terpenting yang dapat memengaruhi respon terhadap stimulasi maupun kualitas oosit. Terdapat beberapa perubahan morfologi maupun parameter klinis oosit dari ovarium yang mengandung endometrioma. Respon yang tidak optimal terhadap stimulasi ovarium banyak didapatkan pada pasien yang sebelumnya menjalani pengangkatan endometrioma. Walaupun demikian, hal tersebut tampaknya lebih memengaruhi aspek kuantitas dibandingkan kualitas oosit pascastimulasi. Tindakan operatif terhadap endometrioma hanya dipertimbangkan bila didapat nyeri yang berkaitan erat dengan endometrioma, pertumbuhan yang cepat, temuan sonografis yang mengarah kepada keganasan, akses ke folikel yang terganggu saat pengambilan sel telur, dan kekhawatiran ruptur kista saat kehamilan. Pemberian GnRH agonis, atau pil kontrasepsi oral dapat meningkatkan luaran fertilisasi in vitro yang diketahui dari beberapa analisis sistematik dan penelitan klinik acak. Simpulan: stimulasi ovarium pada endometriosis dilakukan dengan strategi yang berbeda dengan pasien non-endometriosis. Tindakan operatif terhadap endometrioma berpotensi menimbulkan penurunan respon terhadap stimulasi ovarium. Kata kunci: endometriosis, endometrioma, infertilitas, stimulasi ovarium, teknologi reproduksi berbantu. PENDAHULUAN Endometriosis merupakan penyebab infertilitas yang penting. Pada wanita subfertil, angka prevalensi endometriosis adalah sekitar 20-50%.1, 2 Selain prevalensinya yang tinggi, endometriosis juga menurunkan angka fekunditas penderitanya yaitu menjadi 2-10%. Angka ini jauh lebih rendah dibanding dengan fekunditas wanita normal yaitu sekitar 15-20%.3 Lebih jauh, 10-25% wanita infertil yang menderita endometriosis akan membutuhkan teknologi reproduksi berbantu sebagai modalitas utama penanganan infertilitasnya.4 Hal lain yang menarik adalah rekurensi endometriosis yang tinggi sehingga penanganan kondisi infertilitas karena 94



endometriosis ini menjadi berbeda dengan infertilitas karena penyebab lain. Oleh karena itu dengan mempertimbangkan karakteristik tersebut, diperlukan metode penatalaksanaan infertilitas yang berbeda. Dalam tulisan ini akan dibahas strategi melakukan stimulasi ovarium dalam upaya mengatasi infertilitas yang disebabkan oleh endometriosis. MEKANISME INFERTILITAS KARENA ENDOMETRIOSIS Infertilitas dapat terjadi pada endometriosis akibat distorsi anatomik berupa perlekatan organ dan obstruksi tuba, inflamasi, dan gangguan reseptivitas endometrium.3 Beberapa mekanisme telah dikemukakan sebagai penyebab infertilitas pada penderita endometriosis, yaitu: 1. Rongga pelvis: lesi endometriosis banyak dikaitkan dengan perubahan yang berat pada cairan peritoneum. Inflamasi pelvis ternyata tidak hanya disebabkan oleh lesi endometriosis, namun juga oleh faktor-faktor yang merangsang proliferasi dan pertumbuhan endometrium ektopik. Dalam hal ini telah teridentifikasi beberapa kelainan yaitu disfungsi makrofag, sekresi faktor-faktor proinflamasi dan angiogenik, serta disfungsi natural killer cells dan limfosit T.5 2. Ovarium: endometrioma dapat ditemukan pada sekitar 20-40% penderita endometriosis dan infertil.4 Endometrioma diduga merupakan penyebab dari penurunan kualitas oosit. Hal ini disebabkan oleh kadar besi6, reactive oxygen species (ROS), enzim proteolitik, dan molekul inflamasi yang tinggi. Kadar zat-zat tersebut dapat mencapai puluhan hingga ratusan kali lipat lebih tinggi dibandingkan kadar di serum. Penghalang fisik antara cairan endometrioma dengan jaringan ovarium normal adalah dinding yang tipis atau jaringan fibroreaktif. ROS dan enzim proteolitik dapat menembus penghalang tersebut sehingga menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosa serta penurunan jaringan stroma spesifik.7, 8 3.



Gambar 1. Perubahan morfologis oosit akibat endometrioma. Dikutip dari Sanchez dkk9 95



Kualitas oosit juga dapat terpengaruh oleh endometrioma, seperti dikemukakan oleh Sanchez dkk.9 Dalam ulasannya, mereka menemukan bahwa oosit dari ovarium yang mengandung endometrioma mempunyai beberapa gangguan morfologis dan penurunan parameter-parameter klinis. Gangguan morfologis yang terjadi antara lain granulasi sentral yang lebih gelap, pengerasan zona pellucida, abnormalitas spindle, dan penurunan kandungan mitokondria (gambar 1). 4.



Uterus: terdapat bukti bahwa endometrium eutopikpun mengalami gangguan akibat endometriosis. Perubahan endometrium ini tampaknya bersifat independen dari pengaruh estrogen dan progesteron yang bersirkulasi. Dengan kata lain dampak buruk endometriosis terhadap endometrium eutopik lebih bersifat lokal akibat produksi lokal estradiol terkait inflamasi, dan resistansi progesteron. Selain hal tersebut, perubahan produksi prostaglandin lokal juga berperan dalam kelainan ini. Aktivitas enzim COX2 dan hormon prostaglandin E2 yang dihasilkan oleh makrofag merupakan salah satu hal yang terjadi pada endometrium eutopik ini. Lebih lanjut, jumlah makrofag dan sel dendritik juga meningkat pada endometrium eutopik penderita endometriosis.3, 5



Gambar 2. Patofisiologi infertilitas karena endometriosis. Dikutip dari de Ziegler dkk.5 96



Ringkasan dari uraian di atas dapat dilihat pada gambar 2. Dari uraian tersebut tampak bahwa endometriosis dapat memengaruhi seluruh organ reproduksi wanita hingga terjadi infertilitas. Walaupun demikian, terkait dengan upaya mendapatkan oosit yang baik melalui stimulasi ovarium, endometrioma merupakan tampilan klinis endometriosis yang berperan penting. Oleh karena itu pada titik berat pembahasan selanjutnya adalah mengenai pengaruh endometrioma terhadap stimulasi ovarium. STRATEGI STIMULASI OVARIUM Sekitar 10-25% wanita infertil dengan endometriosis akan membutuhkan teknologi reproduksi berbantu.4 Fertilisasi in vitro (FIV) dapat mem-bypass efek peritoneal endometriosis yang merugikan, terutama pada tingkat penyakit yang sudah lanjut.10 Di sisi lain, untuk meningkatkan peluang kehamilan melalui teknologi reproduksi berbantu dibutuhkan oosit dalam jumlah yang optimal. Dalam FIV jumlah oosit optimal agar didapatkan peluang kehamilan yang baik adalah sekitar 10-15 oosit yang diperoleh melalui stimulasi ovarium.11 Oleh karena itu stimulasi ovarium merupakan bagian terpadu dalam teknologi reproduksi berbantu. Berbeda dengan kondisi-kondisi seperti sindrom ovarium polikistik atau diminished ovarian reserve, tidak ditemukan protokol khusus untuk stimulasi ovarium pada endometriosis. Walaupun demikian, terdapat beberapa upaya untuk meningkatkan luaran FIV. Metode-metode yang digunakan pada dasarnya ditujukan untuk melakukan downregulation maupun koreksi terkait faktor inflamasi dan hormonal terkait endometriosis. Metode-metode tersebut antara lain: 1. Pemberian GnRH agonis 3-6 bulan sebelum stimulasi Dalam analisis sistematiknya, Sallam dkk12 telah melakukan telaah terhadap tiga studi klinik acak terhadap 165 wanita. Angka kelahiran hidup pada kelompok yang mendapat GnRH agonis sebelum memasuki program FIV lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol (OR 9,19, 95% IK 1,08-78,22). Angka kehamilan klinis juga lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (OR 4,28, 95% IK 2-9,15). Mereka berkesimpulan bahwa pemberian GnRH agonis 3-6 bulan sebelum stimulasi ovarium meningkatkan peluang kehamilan klinis hingga empat kali lipat. Mekanisme GnRH agonis dapat meningkatkan luaran FIV secara pasti belum diketahui. Diduga GnRH agonis menekan kerja protein-protein inflamasi, menghambat kerja enzim matriks metalloproteinase, dan meningkatkan kerja protein proapoptotik. Selain itu diduga GnRH agonis menurunkan sintesis oksida nitrit pada endometrium, serta mengembalikan ekspresi 3-integrin ke kadar normal.13 GnRH agonis dapat diberikan dengan dosis 3,75 mg intramuskuler tiap 28 hari sekali selama 3 bulan pemberian dan setelah itu dilakukan stimulasi ovarium. Dengan protokol tersebut, Surrey dkk mendapatkan hasil peningkatan angka implantasi dan kehamilan klinis seperti pada gambar 3.



97



Gambar 3. Perbandingan angka kehamilan dan angka implantasi pada kelompok yang mendapat terapi GnRH agonis sebelum stimulasi dengan kelompok kontrol. Dikutip dari Surrey dkk.14, 15 2. Pemberian pil kontrasepsi oral sebelum stimulasi Seperti halnya pada pemberian GnRH agonis sebelum stimulasi ovarium, pemberian pil kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dan progestin dimaksudkan untuk menormalkan anomali endometrium yang timbul akibat endometriosis.10 De Ziegler dkk menyebutkan bahwa dengan pemberian pil kontrasepsi oral (0,03 mg etinil estradiol dan 0,125 mg levonorgestrel) selama 6-8 minggu sebelum stimulasi menghasilkan luaran yang serupa dengan pemberian GnRH agonis selama 3-6 bulan. Walaupun terdapat kekhawatiran bahwa pemberian pil kontrasepsi oral dapat menurunkan sensitivitas ovarium terhadap FSH eksogen, namun hal tersebut tidak didapatkan pada penelitiannya.10 3. Tidak melakukan operasi pengangkatan endometrioma secara rutin sebelum stimulasi Endometrioma mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan kista non-endometriosis.7 Pengangkatan endometrioma ternyata dapat memengaruhi cadangan ovarium dan respon ovarium terhadap stimulasi. Goodman dkk16 menemukan bahwa pasca pengangkatan endometrioma terjadi penurunan penurunan kadar anti-Mullerian hormone (AMH) yang bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak menjalani pengangkatan endometrioma (1,8 ng/mL vs 3,2 ng/mL; p1500 cc.7 124



Selain itu, lingkungan kamar operasi berperan penting untuk pencegahan infeksi operasi. Kasus infeksi superfisial sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebersihan operasi. Saat ini, High Efficency Particulate Absorbing (HEPA) filter dipergunakan untuk mengisolasi daerah operasi untuk mengurangi kejadian ILO. HEPA dapat menyaring udara dengan tingkat efisiensi 99,97%, sehingga partikel di udara dengan ukuran 0.3µm dapat disingkirkan.8 Pada saat intraoperasi, antiseptik daerah operasi dilakukan dengan penggunakan chlorhexidine gluconate 2%. Metaanalisis dari 13 RCT, menunjukkan bahwa penggunaan chlorhexidine gluconate mengurangi kejadian ILO lebih besar dibandingkan penggunaan povidone iodine pada operasi bersih dan bersih-tercemar (RR, 0.70; 95%CI, 0.60-0.83), terutama pada kasus ILO superfisial dan dalam, tapi tidak pada ILO organ.9 Kontrol gula darah, terutama pada pasien Diabetes Mellitus (DM) merupakan hal yang krusial. Kadar gula yang tinggi dapat merusak fungsi neutrophil, meningkatkan kadar Reactive Oxygen Species, asam lemak bebas, dan inflamasi, yang pada akhirnya akan merusak sel, pembuluh darah, dan regulasi imun.10, 11 Target gula darah pada intraoperasi adalah 80U, Steroids > 20mg prednisone daily



141-180 (7.7-10)



Sensitif Insulin* Usia > 70, GFR < 45mL/menit, Tidak ada riwayat DM 0



2



3



Gula Darah mg/dL (mmol/L)



181-220 (10-12.2)



2



3



4



221-260 (12.2-14.4)



3



4



5



261-300 (14.4-16.6)



4



6



8



301-350 (16.6-19.4)



5



8



10



351-400 (19.4-22.2)



6



10



12



> 400 (> 22.2)



8



12



14



125



*Bila pasien masuk pada lebih dari satu kategori terapi insulin, pilih kategori dengan dosis koreksi terendah untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. TDD Total daily dose Duggan EW, Carlson K, Umpierrez GE. Perioperative hyperglycemia management: An update. Anesthesiology. 2017;126(3):547-560. Tabel 2. Laju Pemberian Insulin Intravena Blood Glucose mg/dL (mmol/L) > 241 (13.4)



If BG increased from BG decreased from prior previous measurement measurement by less than 30mg/dL Naikan dosis 3U/h Naikan dosis 3U/h



BG decreased from prior measurement by greater than 30mg/dL Pertahankan dosis



211-240 (11.713.4)



Naikan dosis 2U/h



Naikan dosis 2U/h



Pertahankan dosis



181-210 (10-11.7)



Naikan dosis 1U/h



Naikan dosis 1U/h



Pertahankan dosis



141-180 (7.8-10)



Pertahankan dosis



Pertahankan dosis



Pertahankan dosis



110-140 (6.1-7.8)



Pertahankan dosis



Turunkan dosis ½ U/h



Tunda pemberian insulin



100-109 (5.5-6.1) 1. 2. 3.



Tunda pemberian insulin Cek ulang gula darah setiap jam Ulang pemberian insulin 1/2 dari dosis sebelumnya bila gula darah> 180mg/dL (10mmol/L)



71-99 (3.9-5.5)



Tunda pemberian insulin Check BG every 30 minutes until BG > 100mg/dL (5.5mmol/L) Resume BG checks every hour Ulang pemberian insulin 1/2 dari dosis sebelumnya bila gula darah > 180mg/dL (10mmol/L)



1. 2. 3. 4.



70 (3.9) or lower Jika gula darah < 50mg/dL 1. Berikan 25mL D50 2. Cek gula darah setiap 30 menit hingga > 100mg/dL (5.5mmol/L) Jika gula darah < 50mg/dL (2.8mmol/L) 1. Give 50mL D50 2. Cek gula darah setiap 15 menit hingga > 70mg/dL (3.9mmol/L) 3. Bila gula darah > 70mg/dL, cek gula darah setiap 30 minutes hingga > 100mg/dL (5.5mmol/L). Ulangi pemberian 50mL D50, bila gula darah masih < 50mg/dL unuk kedua kalinya mulai pemberian D10 intravena. 4. Setelah gula darah > 100mg/dL (5.5mmol/L), Lanjutkan pemeriksaan setiap jam Ulang pemberian insulin 1/2 dari dosis sebelumnya bila gula darah> 180mg/dL (5.5mmol/L)



Duggan EW, Carlson K, Umpierrez GE. Perioperative hyperglycemia management: An update. Anesthesiology. 2017;126(3):547-560.



126



Tabel 3. Pencegahan Infeksi Luka Operasi Preoperatif Mandi dengan sabun antiseptik (chlorhexidine gluconate 4%) Normothermia pada are preoperatif Penggunaan antibiotik profilaksis Pada pasien dengan komorbid seperti Diabetes Mellitus, kontrol gula darah terlebih dahulu. Intraoperatif Peraturan ketat untuk jumlah personil dan alur masuk keluar personil di ruang operasi Hindari menggunakan cukuran, apabila dibutuhkan pilihannya adalah dengan gunting Lakukan aseptic lapangan operasi dengan chlorhexidine 2% dan alkohol 70% Pemberian antibiotik ulang setelah 3-4 operasi Normothermia Untuk laparotomi, pergunakan baki steril terpisah pada saat menutup fascia dan kulit, pergunakan sarung tangan baru untuk menutup fascia dan kulit Pada pasien Diabetes Mellitus, kontrol gula darah Postoperatif Edukasi pasien Mengganti balutan luka dalam 48 jam Untuk pasien Diabetes Mellitus, kontrol gula darah Nguyen JMV, Sadeghi M, Gien LT, Covens A, Kupets R, Nathens AB, et al. Impact of a preventive bundle to reduce surgical site infections in gynecologic oncology. Gynecol Oncol. 2019;152(3):480-485. DAFTAR PUSTAKA 1. Owens CD, Stoessel K. Surgical site infections: Epidemiology, microbiology and prevention. J Hosp Infect. 2008;70 Suppl 2:3-10. 2. Steiner HL, Strand EA. Surgical-site infection in gynecologic surgery: Pathophysiology and prevention. Am J Obstet Gynecol. 2017;217(2):121-128. 3. Black JD, de Haydu C, Fan L, Sheth SS. Surgical site infections in gynecology. Obstet Gynecol Surv. 2014;69(8):501-510. 4. Pathak A, Mahadik K, Swami MB, Roy PK, Sharma M, Mahadik VK, et al. Incidence and risk factors for surgical site infections in obstetric and gynecological surgeries from a teaching hospital in rural india. Antimicrobial resistance and infection control. 2017;6:66-66. 5. Klevens RM, Edwards JR, Richards CL, Jr., Horan TC, Gaynes RP, Pollock DA, et al. Estimating health care-associated infections and deaths in u.S. Hospitals, 2002. Public Health Rep. 2007;122(2):160-166.



127



6.



Nguyen JMV, Sadeghi M, Gien LT, Covens A, Kupets R, Nathens AB, et al. Impact of a preventive bundle to reduce surgical site infections in gynecologic oncology. Gynecol Oncol. 2019;152(3):480-485. 7. Nelson G, Altman AD, Nick A, Meyer LA, Ramirez PT, Achtari C, et al. Guidelines for pre- and intra-operative care in gynecologic/oncology surgery: Enhanced recovery after surgery (eras(r)) society recommendations--part i. Gynecol Oncol. 2016;140(2):313-322. 8. Spagnolo AM, Ottria G, Amicizia D, Perdelli F, Cristina ML. Operating theatre quality and prevention of surgical site infections. J Prev Med Hyg. 2013;54(3):131-137. 9. Zhang D, Wang XC, Yang ZX, Gan JX, Pan JB, Yin LN. Preoperative chlorhexidine versus povidone-iodine antisepsis for preventing surgical site infection: A meta-analysis and trial sequential analysis of randomized controlled trials. Int J Surg. 2017;44:176-184. 10. Duggan EW, Carlson K, Umpierrez GE. Perioperative hyperglycemia management: An update. Anesthesiology. 2017;126(3):547-560. 11. Sudhakaran S, Surani SR. Guidelines for perioperative management of the diabetic patient. Surgery research and practice. 2015;2015:284063-284063.



128



DAY 2



CONTROVERSY FETO PREECLAMPSIA POST DELIVERY DISCHARGED, CLASSIC AND UPDATE TREATMENT



129



PREECLAMPSIA POST DELIVERY: DISCHARGED UPDATE TREATMENT Nuswil Bernolian, dr., Sp.OG(K) Divisi Kedokteran Fetomaternal – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang PENDAHULUAN Hipertensi dalam Kehamilan (HDK) merupakan salah satu penyebab utama mortalitas maternal dan perinatal di seluruh dunia dan menyebabkan 60.000 kematian ibu setiap tahun di seluruh dunia.1,2 Secara global, sebanyak 2-8% kehamilan mengalami preeklampsia. Di Amerika Latin dan Caribbean, sebanyak 26% kematian maternal disebabkan oleh HDK, sedangkan di Afrika dan Asia, HDK berkontribusi terhadap 9% kematian maternal. Walaupun mortalitas maternal lebih rendah pada negara maju daripada negara berkembang, 16% kematian maternal disebabkan oleh HDK.1 Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.3 Sebanyak 10% kematian maternal akibat hipertensi terjadi selama periode pasca salin.4 Di Amerika Serikat, preeklampsia meningkat sebanyak 25% antara 1987 hingga 2004. Jika dibandingkan dengan wanita yang melahirkan pada tahun 1980, mereka yang melahirkan pada 2003 berisiko 6,7 kali lipat mengalami preeklampsia berat (PEB).1 Selain itu, prevalensi hipertensi dan preeklampsia pasca salin berkisar antara 0,3 – 27,5%. Tiga studi kohort prospektif di UK menunjukkan 32 – 44% kasus eklampsia terjadi pasca salin.5 Pada serial kasus dari 28 wanita dengan preeklampsia dengan gejala berat dan stroke, satu wanita mengalami hipertensi sistolik berat sebelum stroke hemoragik dan 54% meninggal, dimana hanya 13% mengalami hipertensi diastolik dalam beberapa jam sebelum stroke. Gejala-gejala preeklampsia pasca salin muncul setelah melahirkan. Mayoritas kasus berkembang dalam 48 jam setelah persalinan, walaupun sindrom dapat muncul hingga 6 minggu setelah persalinan.4,6 TEKANAN DARAH NORMAL SELAMA KEHAMILAN DAN PASCA SALIN Vasodilatasi sistemik generalisata terjadi selama kehamilan walaupun terdapat 40-50% peningkatan output jantung, Mean Arterial Pressure (MAP) menurun sebesar 10 mmHg untuk mencapai nilai terendahnya pada tengah kehamilan. Selama trimester akhir, tekanan darah meningkat secara perlahan mencapai nilai sebelum kehamilan. Tekanan darah biasanya menurun setelah persalinan, akan meningkat mencapai puncak 3-6 hari pasca salin pada wanita dengan tekanan darah normal dan hipertensi selama kehamilan. Hipertensi transien dapat terjadi pasca salin setelah kehamilan tanpa komplikasi. Ini dapat sekunder terhadap nyeri, obat-obatan, pemberian cairan 130



berlebihan, garam dan air yang terakumulasi selama kehamilan, pindah ke kompartemen intravaskuler atau menjaga tonus vaskuler pada kondisi non-hamil. Tekanan darah yang meningkat biasanya akan menjadi normal beberapa hari pasca salin (29-57% dalam 3 hari; 50-85% dalam 7 hari) pada mayoritas wanita, dengan kecepatan resolusi dan prevalensi hipertensi persisten tergantung pada diagnosisnya. Proporsi wanita yang tetap mengalami hipertensi dalam 6-12 minggu pasca salin bergantung pada populasi. Wanita dengan hipertensi kronik sebelumnya, pemberian antihipertensi selama kehamilan dalam durasi lama, tekanan darah sistolik dan diastolik maksimum yang lebih tinggi, IMT yang lebih tinggi, dan preeklampsia preterm lebih mungkin untuk mengalami hipertensi berkelanjutan.5 FAKTOR RISIKO Beberapa faktor risiko preeklampsia di antaranya nulipara, kehamilan ganda, preeklampsia pada kehamilan sebelumya, hipertensi kronik, diabetes pregestasional, diabetes gestasional, trombofilia, lupus eritematosus sistemik, Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelum hamil > 30, sindrom antifosfolipid, usia ibu ≥ 35 tahun, penyakit ginjal, Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB), Obstructive Sleep Apnea (OSA).1 DEFINISI Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuria yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuria. Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.3 Pada tahun 2014, definisi preeklampsia mengalami revisi, yaitu hipertensi yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu dengan satu atau lebih kriteria sebagai berikut: proteinuria, disfungsi organ ibu (termasuk komplikasi ginjal, hati, hematologis atau neurologis) atau Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT). Definisi ini tidak membutuhkan proteinuria untuk memenuhi kriteria diagnostik. Dengan memasukkan PJT dalam definisi ini, dapat meningkatkan jumlah wanita yang memenuhi kriteria diagnostik preeklampsia dan memberikan perubahan signifikan.2 Hipertensi gestasional merupakan peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg, atau keduanya, pada dua pemeriksaan setidaknya 4 jam setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang memiliki tekanan darah normal sebelumnya.1 Hipertensi gestasional disebut berat jika tekanan darah sistolik mencapai 160 mmHg atau diastolik mencapai 110 mmHg atau keduanya.1 Douglas dan Redman melaporkan tidak adanya hipertensi dan proteinuria pada 38% wanita yang mengalami eklampsia, menunjukkan efek samping ibu yang berat dapat terjadi bahkan ketika definisi klinis preeklampsia tidak terpenuhi. 131



Gangguan janin yang tidak dikenali dapat menyebabkan peningkatan kematian janin, dan 1 dari 20 stillbirth tanpa kelainan kongenital disebabkan oleh preeklampsia.2 Kriteria Diagnostik1 Tekanan Darah  Sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada 2 kejadian setidaknya dalam 4 jam setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang memiliki tekanan darah normal sebelumnya.  Sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg Dan Proteinuria  ≥ 300 mg pada urine 24 jam atau  Rasio protein/kreatinin 0,3 mg/dL atau  Dipstik 2+ (digunakan jika metode kuantitatif lain tidak tersedia) Atau jika proteinuria tidak ada, hipertensi onset baru dengan onset baru sebagai berikut:  Trombositopenia: trombosit ≤ 100.000 x 109/L  Insufisiensi ginjal: konsentrasi kreatinin serum > 1,1 mg/dL atau konsentrasi kreatinin serum dua kali lipat jika tidak terdapat penyakit ginjal  Gangguan fungsi hati: peningkatan konsentrasi transaminase hati hingga 2 kali konsentrasi normal  Edema paru: sakit kepala onset baru tidak responsif terhadap obat-obatan dan tidak disebabkan oleh diagnosis alternatif atau gejala visual Panduan NICE merekomendasikan pemantauan TD pasca salin rutin untuk wanita dengan preeklampsia (setiap 1-2 jam selama 2 minggu) dan hipertensi gestasional (setidaknya 1 kali antara hari ke-3 dan 5), perawatan rutin pasca salin merekomendasikan pemeriksaan tekanan darah dalam 6 jam pasca salin pada semua wanita normotensi tanpa komplikasi kehamilan.5,6 Mereka juga merekomendasikan pemeriksaan tekanan darah pada hari kelima pasca salin untuk mengidentifikasi wanita dengan preeklampsia onset lambat. Pemeriksaan proteinuria pasca salin tidak direkomendasikan karena terdapat lokia. Panduan NICE untuk manajemen hipertensi dalam kehamilan merekomendasikan untuk menginformasikan semua wanita mengenai kemungkinan hipertensi, preeklampsia, atau eklampsia dan memberikan informasi mengenai gejala-gejala relevan seperti sakit kepala hebat (peningkatan frekuensi dan tidak membaik dengan analgesia reguler), gangguan penglihatan seperti pandangan kabur, melihat cahaya, diplopia atau bintik melayang, mual dan muntah, malaise, sesak nafas akibat edema paru, pembengkakan muka, tangan atau kaki secara tiba-tiba, kejang hingga 4 minggu pasca salin.5 ACOG merekomendasikan pemantauan TD di RS selama 72 jam pasca salin dan diperiksa kembali 7-10 hari pasca salin (lebih cepat jika wanita memiliki gejala). ACOG menyarankan untuk terapi jika ≥ 150/100 mmHg, setidaknya 2 kali pengukuran dengan interval 4-6 jam. Pemberian aspirin sebagai profilaksis pada 132



wanita berisiko tinggi sebelum usia kehamilan 16 minggu dapat mengurangi risiko preeklampsia sebesar 17%. Selain itu, terdapat pengurangan risiko relatif sebesar 8% dari persalinan preterm dan pengurangan kematian janin dan neonatus sebesar 14%.2 NICE merekomendasikan faktor wanita yang dapat mengidentifikasi wanita yang berisiko tinggi mengalami preeklampsia dimana aspirin sebaiknya dimulai sejak usia kehamilan 12 minggu.2 Studi terbaru menunjukkan bahwa wanita yang mengalami preeklampsia memiliki konsentrasi vitamin D yang lebih rendah pada usia kehamilan 14 minggu dibandingkan dengan wanita pada kelompok kontrol (rerata 47,2 vs 52,3 mmol/L, p < 0,0001). Wanita dengan kadar di bawah 30 nmol/L dibandingkan dengan mereka yang setidaknya 50 nmol/L memiliki risiko tinggi mengalami preekampsia – rasio odds 2,23; IK 95% 1,29 – 3,83, menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D ibu merupakan faktor risiko independen untuk perkembangan preeklampsia. Studi kohort SCOPE (Screening for Pregnancy Endpoints) menunjukkan bahwa terdapat insiden untuk mengalami preeklampsia yang lebih rendah dengan bayi Kecil Masa Kehamilan (KMK) dengan konsentrasi 25(OH)D > 75 nmol/L pada usia kehamilan 15 minggu.2 Diet rendah kalsium dan konsentrasi kalsium serum yang rendah berhubungan dengan preeklampsia. Suplementasi kalsium dosis tinggi mengurangi preeklampsia pada wanita dari area dengan diet rendah kalsium (RR 0,36, IK 95% 0,23 – 0,57). WHO merekomendasikan suplementasi kalsium (1,5 – 2 gram setiap hari) pada kehamilan trimester kedua untuk wanita dengan diet rendah kalsium.2 Tabel 1. Faktor Risiko Klinis dan Penggunaan Aspirin1,2 Tingkat Risiko Tinggi



Moderat



Rendah



Faktor Risiko



Rekomendasi



 Riwayat preeklampsia, terutama ketika terjadi efek samping  Kehamilan ganda  Hipertensi kronik  Diabetes tipe 1 atau 2  Penyakit ginjal  Penyakit autoimun (seperti lupus eritematosus sistemik, sindrom antifosfolipid)  Nuliparitas  Obesitas (IMT > 30)  Riwayat preeklampsia dalam keluarga (ibu atau saudara perempuan)  Karakteristik sosiodemografik (ras Afrika Amerika, status sosioekonomi rendah)  Usia ≥ 35 tahun  Riwayat personal (BBLR atau KMK, riwayat kehamilan sebelumnya, interval kehamilan > 10 tahun)  Persalinan aterm tanpa komplikasi sebelumnya



Berikan aspirin dosis rendah jika pasien memiliki satu atau lebih faktor-faktor risiko tinggi



133



Pertimbangkan aspirin dosis rendah jika pasien memiliki > 1 faktor risiko moderat



Aspirin dosis rendah tidak direkomendasikan



Tabel 2. Konsentrasi dan Toksisitas Magnesium Serum1 Konsentrasi Magnesium Serum (mmol/L) 2 – 3,5 > 3,5 >5 > 12,5



MEq/L



mg/dL



4–7 >7 > 10 > 25



5–9 >9 > 12 > 30



Efek



Dosis terapeutik Refleks patela hilang Paralisis pernafasan Henti jantung



Tabel 3. Agen Antihipertensi untuk Kontrol Tekanan Darah Urgen dalam Kehamilan1 Obat Labetalol



Hidralazin



Nifedipin (lepas cepat)



Dosis 10-20 mg IV, lalu 20-80 mg setiap 10-30 menit hingga dosis kumulatif maksimum 300 mg atau infus konstan 5 mg IV atau IM, lalu 5-10 mg IV setiap 20-40 menit hingga dosis kumulatif maksimum 20 mg atau infus konstan 0,5-10 mg/hari



10-20 mg oral, diulangi dalam 20 menit jika dibutuhkan; lalu 10-20 mg setiap 2-6 jam; dosis maksimum sebesar 180 mg



Keterangan Takikardia jarang terjadi dan efek samping lebih sedikit Dosis lebih banyak atau frekuen berhubungan dengan hipotensi maternal, sakit kepala, dan detak jantung janin abnormal; lebih sering daripada agen lainnya Observasi refleks takikardia dan sakit kepala



Onset 1-2 menit



10-20 menit



5-10 menit



Tabel 4. Dosis Obat-obatan untuk Ibu Menyusui 134



PEMBERIAN ANTIHIPERTENSI: OBAT DAN AMBANG BATAS TERAPI Tujuan terapi hipertensi berat adalah untuk mencegah gagal jantung kongestif, iskemia miokardium, cedera atau gagal ginjal, dan stroke iskemik atau hemoragik. Terapi antihipertensi sebaiknya dimulai sesegera mungkin untuk hipertensi berat onset akut (tekanan darah sistolik 160 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih atau keduanya). Literatur menunjukkan agen antihipertensi sebaiknya diberikan dalam 30-60 menit. Namun, terapi antihipertensi sebaiknya diberikan sesegara mungkin setelah kriteria hipertensi berat onset akut terpenuhi. Hidralazin atau labetalol intravena atau nifedipin oral merupakan tiga agen yang paling sering digunakan. Labetalol oral dan penghambat kanal kalsium biasanya digunakan, diberikan labetalol 200 mg setiap 12 jam secara oral dan meningkatkan dosis hingga 800 mg setiap 8-12 jam secara oral jika dibutuhkan (dosis maksimum 2.400 mg/hari). Jika dosis maksimum tidak cukup untuk mencapai target tekanan darah, atau dosis dibatasi karena efek samping, lalu nifedipin oral kerja pendek dapat ditambahkan secara perlahan.1 Pemilihan antihipertensi pasca salin yaitu berikatan kuat dengan protein dan solubilitas lipid yang rendah sehingga lebih sedikit yang masuk ke ASI. Ibu yang menyusui bayi yang lahir preterm sebaiknya diterapi oleh dokter spesialis yang berhubungan dengan neonatologis. NICE merekomendasikan bahwa metildopa diganti ke obat lain karena berhubungan dengan sedasi, hipertensi postural, dan depresi. Akan tetapi, Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA) mempertimbangkan metildopa sebagai obat pilihan selama menyusui. Untuk wanita berkulit hitam dari suku Afrika atau Caribbean, dimana renin plasma rendah pada usia muda, penghambat kanal kalsium seperti nifedipin merupakan pilihan dan Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor sebagai lini kedua karena penghambat beta kurang bermanfaat pada kelompok wanita ini. Walaupun ACE inhibitor dan Angiotensin Receptor Blockers (ARB) kontraindikasi dalam kehamilan, enalapril dapat digunakan secara aman pada wanita yang menyusui.5 HIPERTENSI PASCA SALIN DAN SAKIT KEPALA PASCA SALIN Hipertensi dan preeklampsia pasca salin baik hipertensi persisten atau eksaserbasi dengan kehamilan dengan penyakit hipertensi sebelumnya atau kondisi onset baru. Penting untuk memberikan edukasi pada pasien untuk mencari saran medis jika gejala-gejala yang mendahului eklampsia, ensefalopati hipertensi, edema paru, atau stroke terjadi pada periode pasca salin. Mayoritas wanita dengan eklampsia dan stroke pada periode pasca salin mengalami gejala-gejala selama beberapa jam atau hari sebelum muncul. Beberapa obat dan zat-zat yang digunakan untuk periode pasca salin dapat memperparah hipertensi melalui 3 mekanisme utama: retensi volume, aktivasi simpatomimetik, dan vasokonstriksi langsung. Analgesik pasca salin yang dapat digunakan adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid).1



135



OAINS sebaiknya digunakan dibandingkan dengan analgesik opioid, tetapi wanita dengan hipertensi kronik karena membutuhkan pengukuran tekanan darah dan penyesuaian regimen obat-obatan. Pada RCT (Randomized Controlled Trial) membandingkan ibuprofen dengan asetaminofen pada pasien pasca salin dengan preeklampsia dengan gejala berat, ibuprofen tidak memperpanjang durasi tekanan darah berat. Pada kohort 399 pasien dengan preeklampsia dengan gejala berat, tidak terdapat hubungan antara penggunaan OAINS dan peningkatan tekanan darah pasca salin. Selain itu, studi kohort lainnya mengenai magnesium pada pasien pasca salin untuk profilaksis kejang pada preeklampsia tidak menunjukkan perbedaan tekanan darah, kebutuhan antihipertensi atau efek samping lainnya untuk pasien yang diterapi dengan OAINS pada periode pasca salin.1



Bagan 1. Terapi Rawat Inap pada Hipertensi Pasca Salin.5



136



Bagan 2. Terapi Rawat Jalan pada Hipertensi Pasca Salin.5



137



HIPERTENSI PASCA SALIN DAN SAKIT KEPALA PASCA SALIN Hipertensi dan preeklampsia pasca salin baik hipertensi persisten atau eksaserbasi dengan kehamilan dengan penyakit hipertensi sebelumnya atau kondisi onset baru. Penting untuk memberikan edukasi pada pasien untuk mencari saran medis jika gejala-gejala yang mendahului eklampsia, ensefalopati hipertensi, edema paru, atau stroke terjadi pada periode pasca salin. Mayoritas wanita dengan eklampsia dan stroke pada periode pasca salin mengalami gejala-gejala selama beberapa jam atau hari sebelum muncul. Beberapa obat dan zat-zat yang digunakan untuk periode pasca salin dapat memperparah hipertensi melalui 3 mekanisme utama: retensi volume, aktivasi simpatomimetik, dan vasokonstriksi langsung. Analgesik pasca salin yang dapat digunakan adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid).1 OAINS sebaiknya digunakan dibandingkan dengan analgesik opioid, tetapi wanita dengan hipertensi kronik karena membutuhkan pengukuran tekanan darah dan penyesuaian regimen obat-obatan. Pada RCT (Randomized Controlled Trial) membandingkan ibuprofen dengan asetaminofen pada pasien pasca salin dengan preeklampsia dengan gejala berat, ibuprofen tidak memperpanjang durasi tekanan darah berat. Pada kohort 399 pasien dengan preeklampsia dengan gejala berat, tidak terdapat hubungan antara penggunaan OAINS dan peningkatan tekanan darah pasca salin. Selain itu, studi kohort lainnya mengenai magnesium pada pasien pasca salin untuk profilaksis kejang pada preeklampsia tidak menunjukkan perbedaan tekanan darah, kebutuhan antihipertensi atau efek samping lainnya untuk pasien yang diterapi dengan OAINS pada periode pasca salin.1 TERAPI EMERGENSI UNTUK HIPERTENSI BERAT ONSET AKUT SELAMA PERIODE PASCA SALIN Rekomendasi ACOG adalah sebagai berikut:7  Mengenalkan panduan klinis yang terstandarisasi dan berbasis bukti untuk manajemen pasien dengan preeklampsia dan eklampsia untuk mengurangi insidens efek samping pada ibu.  Wanita hamil atau wanita pada periode pasca salin dengan hipertensi sistolik dan diastolik berat onset akut atau keduanya membutuhkan terapi antihipertensi segera.  Pemantauan ketat pada ibu dan janin oleh dokter dan perawat disarankan selama terapi hipertensi berat onset akut.  Setelah stabilisasi dini, tim sebaiknya memantau tekanan darah secara ketat dan memulai terapi perawatan sesuai yang dibutuhkan.  Labetalol dan hidralazin intravena telah lama dianggap sebagai terapi lini pertama untuk manajemen hipertensi berat onset akut pada wanita hamil dan wanita pada periode pasca salin. Terapi lini pertama sebaiknya diberikan sesegera mungkin dalam 30-60 menit pada kasus hipertensi berat (tekanan darah > 160/110 mmHg dan persisten selama 15 menit) untuk mengurangi risiko 138







  











stroke maternal. Hidralazin parenteral dapat meningkatkan risiko hipotensi maternal (TD sistolik ≤ 90 mmHg). Labetalol parenteral dapat menyebabkan bradikardia neonatus dan sebaiknya dihindari pada wanita dengan asma, penyakit jantung, dan gagal jantung kongestif. Kedua obat ini memiliki keluaran ibu dan perinatal yang serupa dan tidak terdapat perubahan signifikan dalam aliran darah umbilikal. Nifedipin oral lepas cepat juga dianggap sebagai terapi lini pertama, terutama ketika akses intravena tidak tersedia. Nifedipin sebaiknya tidak diberikan secara sublingual karena risiko hipotensi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita yang mendapatkan nifedipin oral lepas cepat mengalami penurunan tekanan darah lebih cepat daripada labetalol atau hidralazin intravena dan mengalami peningkatan urine secara signifikan. Nifedipin berhubungan dengan peningkatan detak jantung ibu dan risiko hipotensi yang lebih rendah (< 2%). Tidak terdapat perubahan signifikan dalam aliran darah uteroplasenta atau DJJ pada penggunaan nifedipin oral. Jika nifedipin oral lepas cepat tidak tersedia, labetalol 200 mg dapat diberikan secara oral dan dapat diulangi dalam 30 menit jika tidak terdapat perbaikan. Penggunaan labetalol dan hidralazin intravena atau nifedipin oral lepas cepat untuk terapi hipertensi berat onset akut untuk pasien hamil atau pasca salin tidak membutuhkan pemantauan jantung. Pada kasus yang jarang dimana labetalol dan hidralazin iv bolus atau nifedipin oral lepas cepat gagal untuk mengobati hipertensi berat onset akut dan diberikan pada dosis yang sesuai, konsultasi segera dengan spesialis anestesi, subspesialis fetomaternal atau subspesialis perawatan kritis untuk diskusi mengenai intervensi lini kedua direkomendasikan. Magnesium sulfat tidak direkomendasikan sebagai agen antihipertensi tetapi magnesium sulfat tetap menjadi obat pilihan untuk profilaksis kejang pada wanita dengan hipertensi berat onset akut selama kehamilan dan periode pasca salin. Memulai magnesium sebaiknya tidak ditunda pada hipertensi berat akut; direkomendasikan bahwa pasien dengan hipertensi gestasional dengan gejala berat, preeklampsia dengan gejala berat, atau eklampsia. Target tekanan darah adalah 140-150/90-100 mmHg untuk mencegah paparan prolong dan berulang terhadap hipertensi sistolik berat dengan kehilangan autoregulasi vaskularisasi serebral.



Contoh terapi hipertensi pasca salin atau intrapartum lini pertama dengan nifedipin oral lepas cepat:7  Beritahu dokter jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg.  Pemantauan janin jika belum dilahirkan dan janin viabel.  Jika peningkatan TD berat selama 15 menit atau lebih, berikan nifedipin kapsul lepas cepat (10 mg secara oral). 139



     



 



Ulangi pengukuran TD dalam 20 menit dan catat hasilnya. Jika ambang batas TD masih terlampaui, berikan nifedipin kapsul lepas cepat (20 mg secara oral). Jika tekanan darah di bawah ambang batas, lanjutkan pemantauan TD secara ketat. Ulangi pengukuran TD dalam 20 menit dan catat hasilnya. Jika ambang batas TD masih terlampaui, berikan nifedipin kapsul lepas cepat (20 mg secara oral). Jika tekanan darah di bawah ambang batas, lanjutkan pemantauan TD secara ketat. Ulangi pengukuran TD dalam 20 menit dan catat hasilnya. Jika ambang batas TD masih terlampaui, berikan labetalol (20 mg intravena selama lebih dari 2 menit) dan konsultasi emergensi dengan subspesialis fetomaternal, spesialis penyakit dalam, anestesi, dan subspesialis perawatan kritis. Berikan obat antihipertensi tambahan sesuai order spesifik. Jika ambang batas TD tercapai, ulangi pengukuran TD setiap 10 menit selama 1 jam, lalu setiap 15 menit selama 1 jam lalu setiap 30 menit selama 1 jam, dan setiap jam selama 4 jam.



Contoh terapi hipertensi pasca salin atau intrapartum lini pertama dengan hidralazin:7  Beritahu dokter jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg.  Pemantauan janin jika belum dilahirkan dan janin viabel.  Jika peningkatan TD berat selama 15 menit atau lebih, berikan hidralazin (5 mg atau 10 mg secara intravena selama lebih dari 2 menit).  Ulangi pengukuran TD dalam 20 menit dan catat hasilnya.  Jika ambang batas TD masih terlampaui, berikan nifedipin hidralazin (10 mg intravena selama lebih dari 2 menit). Jika tekanan darah di bawah ambang batas, lanjutkan pemantauan TD secara ketat.  Ulangi pengukuran TD dalam 20 menit dan catat hasilnya.  Jika ambang batas TD masih terlampaui, berikan labetalol (20 mg intravena selama lebih dari 2 menit). Jika tekanan darah di bawah ambang batas, lanjutkan pemantauan TD secara ketat.  Ulangi pengukuran TD dalam 10 menit dan catat hasilnya.  Jika ambang batas TD masih terlampaui, berikan labetalol (40 mg intravena selama lebih dari 2 menit) dan konsultasi emergensi dengan subspesialis fetomaternal, spesialis penyakit dalam, anestesi, dan subspesialis perawatan kritis.  Berikan obat antihipertensi tambahan sesuai order spesifik.  Jika ambang batas TD tercapai, ulangi pengukuran TD setiap 10 menit selama 1 jam, lalu setiap 15 menit selama 1 jam lalu setiap 30 menit selama 1 jam, dan setiap jam selama 4 jam. 140



Contoh terapi hipertensi pasca salin atau intrapartum lini pertama dengan labetalol:7  Beritahu dokter jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg.  Pemantauan janin jika belum dilahirkan dan janin viabel.  Jika peningkatan TD berat selama 15 menit atau lebih, berikan labetalol (20 mg intravena selama lebih dari 2 menit).  Ulangi pengukuran TD dalam 10 menit dan catat hasilnya.  Jika ambang batas TD masih terlampaui, berikan labetalol (40 mg intravena selama lebih dari 2 menit). Jika tekanan darah di bawah ambang batas, lanjutkan pemantauan TD secara ketat.  Ulangi pengukuran TD dalam 10 menit dan catat hasilnya.  Jika ambang batas TD masih terlampaui, berikan labetalol (80 mg intravena selama lebih dari 2 menit). Jika tekanan darah di bawah ambang batas, lanjutkan pemantauan TD secara ketat.  Ulangi pengukuran TD dalam 10 menit dan catat hasilnya.  Jika ambang batas TD masih terlampaui, berikan hidralazin (10 mg intravena selama lebih dari 2 menit). Jika tekanan darah di bawah ambang batas, lanjutkan pemantauan TD secara ketat.  Ulangi pengukuran TD dalam 20 menit dan catat hasilnya.  Jika ambang batas TD masih terlampaui, konsultasi emergensi dengan subspesialis fetomaternal, spesialis penyakit dalam, anestesi, dan subspesialis perawatan kritis.  Berikan obat antihipertensi tambahan sesuai order spesifik.  Jika ambang batas TD tercapai, ulangi pengukuran TD setiap 10 menit selama 1 jam, lalu setiap 15 menit selama 1 jam lalu setiap 30 menit selama 1 jam, dan setiap jam selama 4 jam. TERAPI HIPERTENSI RESISTEN Pada kondisi jarang dimana labetalol dan hidralazin intravena atau nifedipin oral lepas cepat gagal untuk mengobati hipertensi berat onset akut, konsultasi segera dengan spesialis anestesi, subspesialis fetomaternal dan perawatan kritis untuk mendiskusikan terapi lini kedua. Terapi lini kedua yang disarankan termasuk nikardipin atau esmolol melalui pompa infus.7 Natrium nitroprusid sebaiknya diberikan pada emergensi ekstrim dan biasanya digunakan dalam jangka waktu sesingkat mungkin karena toksisitas sianida dan tiosianat pada wanita dan janin serta peningkatan tekanan intrakranial dengan potensi perburukan edema serebri pada wanita.7 TERAPI OPTIMAL EKLAMPSIA Langkah awal untuk manajemen wanita dengan eklampsia termasuk terapi suportif seperti memanggil bantuan, mencegah cedera maternal, memposisikan 141



pasien dalam posisi lateral dekubitus, mencegah aspirasi, pemberian oksigen, dan memonitor tanda-tanda vital termasuk saturasi oksigen. Mayoritas kejang eklampsia dapat berhenti sendiri. Pemberian Magnesium Sulfat tidak bermanfaat untuk menghentikan kejang tetapi untuk mencegah kejang rekuren.1 Selama kejang eklampsia, biasanya terdapat deselerasi DJJ prolong bahkan hingga bradikardia fetus dan terkadang peningkatan kontraktilitas uterus dan tonus basal. Setelah kejang, karena terjadi hipoksia dan hiperkarbia maternal, DJJ menunjukkan deselerasi rekuren, takikardia, dan penurunan variabilitas. Setelah stabilisasi hemodinamik maternal, persalinan dapat dilakukan. Selain itu, resusitasi maternal biasanya diikuti dengan normalisasi pelacakan janin.1 Tinjauan Cochrane dari negara berkembang, menunjukkan pengurangan secara signifikan kejang rekuren dan mortalitas maternal akibat eklampsia dengan penggunaan Magnesium sulfat. Magnesium sulfat yang diberikan secara intramuskuler atau intravena superior daripada fenitoin, diazepam atau lytic cocktail (biasanya klorpromazin, prometazin, dan petidin) dan biasanya berhubungan dengan morbiditas maternal dan neonatal yang lebih sedikit. Pada pasien yang mengalami agitasi parah, pemberian klonazepam 1 mg, diazepam 10 mg atau midazolam secara intravena dapat digunakan sedasi untuk pemasangan infus, kateter Foley, dan pengambilan spesimen darah. Obat ini harus digunakan secara hati-hati karena mereka menghambat refleks laring, meningkatkan risiko aspirasi, dan menyebabkan depresi pusat pernafasan sehingga menyebabkan apneu.1 Jika kejang terjadi lagi, pemberian 2-4 gram magnesium sulfat dapat diberikan secara intravena selama 5 menit. Pada kasus yang refraktori terhadap magnesium sufat (tetap kejang 20 menit setelah bolus atau lebih dari 2 kali rekurensi), dokter dapat menggunakan natrium amobarbital (250 mg iv dalam 3 menit), tiopental, atau fenitoin (1.250 mg iv dengan kecepatan 50 mg/menit). Intubasi endotrakea dan ventilasi berbantu di ICU dapat dilakukan pada kasus ini. Pencitraan kepala sebaiknya dipertimbangkan pada kasus yang refraktori terhadap magnesium sulfat karena dapat menunjukkan temuan abnormal pada pencitraan otak.1 MANAJEMEN KOMPLIKASI AKUT PADA PREEKLAMPSIA DENGAN



HELLP SYNDROME Efek antiinflamasi dan imunosupresi dari kortikosteroid dapat memodifikasi beberapa temuan proinflamasi dari preeklampsia dengan gejala berat dan biasanya mempengaruhi perjalanan klinis. Beberapa RCT dari terapi kortikosteroid dosis tinggi untuk stabilisasi sindrom HELLP pasca persalinan telah dilakukan. Penggunaan kortikoid dalam manajemen sindrom HELLP dibandingkan dengan plasebo atau tanpa terapi telah ditinjau pada Cochrane Database Systematic Review termasuk 11 RCT (550 wanita). Tidak terdapat perbedaan risiko kematian ibu, morbiditas maternal berat, atau kematian bayi atau perinatal. Efek terapi bagi individu yaitu perbaikan jumlah trombosit (SMD 0,67; 95% IK, 0,24 - 1,10). Dapat 142



disimpulkan bahwa tidak terdapat bukti yang cukup yang mendukung penggunaan kortikosteroid untuk mengurangi proses penyakit pada sindrom HELLP.1 Monitor ketat diperlukan pada sindrom HELLP sampai melahirkan dan periode pasca salin, dengan pemeriksaan laboratorium setidaknya interval 12 jam. Kadar aspartat aminotransferase > 2.000 IU/L atau LDH > 3.000 IU/L menunjukkan peningkatan risiko mortalitas. Selama evolusi penyakit, trombosit biasanya menurun dalam kecepatan rerata hingga mencapai 40% per hari dimana kadar enzim hati biasanya meningkat. Jumlah trombosit yang terendah terjadi pada 23 jam setelah persalinan. Penyakit ini dapat mencapai intensitas puncak selama 2 hari pertama setelah persalinan, termasuk tren menurun pada hematokrit. Jika jumlah trombosit semakin menurun dan enzim hati meningkat setelah 4 jam pasca salin, validitas dari diagnosis inisial sindrom HELLP sebaiknya dinilai kembali. Dengan perawatan suportif saja, 90% pasien dengan sindrom HELLP akan memiliki jumlah trombosit lebih dari 100.000 x 109/L dan tren menurun pada kadar enzim hati selama 7 hari pasca salin. Jarang terjadi fenomena rebound pada kadar trombosit mencapai 400.000 – 871.000 x 109/L.1 RISIKO DAN STRATEGI PREVENTIF PENYAKIT KARDIOVASKULER PADA WANITA DENGAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Beberapa tinjauan sistematis dan metaanalisis menghubungkan preeklampsia dengan peningkatan penyakit kardiovaskuler (hipertensi, infark miokard, gagal jantung kongestif), penyakit kardiovaskuler (stroke), penyakit arterial perifer, dan mortalitas kardiovaskuler, dengan risiko 2 kali lipat daripada wanita tanpa preeklampsia. Analisis meta-regeresi menunjukkan hubungan antara keparahan preeklampsia atau eklampsia dan risiko penyakit jantung (RR ringan 2,00; 95% IK 1,83 – 2,19; RR moderat 2,99; IK 95% 2,51 – 3,58; RR berat 5,36; IK 95% 3,96 – 7,27, p < 0,0001). Risiko semakin tinggi (4-8 kali lipat daripada wanita dengan kehamilan normal) pada wanita dengan preeklampsia rekuren dan wanita dengan preeklampsia onset dini atau preeklampsia yang membutuhkan persalinan preterm.1 Mekanisme wanita dengan preeklampsia mengalami peningkatan penyakit kardiovaskuler tidak dimengerti, tetapi disfungsi endotel yang berhubungan dengan aterosklerosis terjadi pada wanita dengan riwayat preeklampsia bertahun-tahun setelah kehamilan yang terkena. Sebuah studi faktor risiko kardiovaskuler sebelum dan sesudah kehamilan menunjukkan sekitar setengah peningkatan risiko hipertensi setelah preeklampsia dapat dijelaskan oleh faktor risiko sebelum kehamilan. Stres yang terjadi terhadap sistem kardiovaskuler selama kehamilan dapat memicu respon biologis yang mungkin tidak terjadi pada faktor risiko atau predisposisi genetik apapun.1 KOMPLIKASI Riwayat preeklampsia merupakan faktor risiko independen untuk kejadian jantung dan sroke. Wanita dari studi HYPITAT yang menginvestigasi waktu 143



optimum untuk persalinan pada wanita dengan hipertensi gestasional atau preeklampsia, pemantauan kardiovaskuler 2-5 tahun pasca salin. Hasil ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari preeklampsia onset dini mengalami hipertensi sebesar 39% dan 25% pada wanita yang mengalami hipertensi gestasional dan preeklampsia onset lambat. Selain itu, setelah 30 tahun kehamilan yang dikomplikasi oleh preeklampsia, skor kalsifikasi arteri koronaria lebih dari 50 Agatson unit sebesar 2,61(IK 0,95 – 7,14) kali lebih besar daripada wanita tanpa preeklampsia.2 Sejumlah kecil wanita dengan hipertensi berhubungan dengan sakit kepala hebat atau baru (atau keduanya), gangguan penglihatan, atau defisit neurologis untuk patologi intraserebral. Faktor risiko untuk stroke dan trombosis vena serebral pasca salin termasuk usia lanjut ibu, hipertensi, seksio caesaria, gangguan cairan dan elektrolit. Sindrom vasokonstriksi serebral reversibel merupakan gangguan serebrovaskuler yang berhubungan dengan konstriksi dan dilatasi arterial multifokal yang biasanya terjadi 3-14 hari pasca salin dan berhubungan dengan sakit kepala hebat.5 Tabel 5 . Outcome Primer dan Data Keamanan pada Beberapa Studi6



144



145



DAFTAR PUSTAKA 1. American College of Obstetricians and Gynecologists Bulletin. Gestacional Hypertension and Preeclampsia. Am Coll Obstet Gynecol. 2019;95(76):1-9. 2. Duhig K, Vandermolen B, Shennan A. Recent advances in the diagnosis and management of pre-eclampsia. F1000Research. 2018;7:242. 146



3. Obstetri P. PRE-EKLAMSIA. 2016. 4. Ybarra N, Laperouse E. Postpartum Preeclampsia. J Obstet Gynecol Neonatal Nurs. 2016;45(3):S20. 5. Bramham K, Nelson-Piercy C, Brown MJ, Chappell LC. Postpartum management of hypertension. BMJ. 2013;346(7897):1-9. 6. Cairns AE, Pealing L, Duffy JMN, et al. Postpartum management of hypertensive disorders of pregnancy : a systematic review. BMJ Open. 2017;7:1-14. 7. Pregnancy HD. Committee Opinion Emergent Therapy for Severe Hypertension e175. 2019;133(767):174-180.



147



PENGOBATAN KLASIK PREEKLAMPSIA PASCA SALIN (Classic Treatment of Preeclampsia Postpartum Discharged) Tjokorda Gde Agung Suwardewa, dr., Sp.OG(K) Divisi Kedokteran Fetomaternal – Dept. Obstetrik dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Univeristas Udayana RSUP Sanglah Denpasar Abstrak Preeklampsia adalah hipertensi dalam kehamilan yang timbul setelah 20 minggu disertai proteinuria dan/ gangguan fungsi organ, seperti keluhan sisten syaraf pusat (nyeri kepala dan/ gangguan penglihtan), edema paru, thrombositopenia, insufisiensi ginjal, dan gangguan fungsi hati. Peeklampsia/eklampsia, merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Sampai saat ini penyebab yang pasti preeklampsia/eklampsia belum diketahui, ―the disease of theory‖, sehingga terapinya tidak bersifat definitif, tetapi lebih bersifat pencegahan agar tidak terjadi komplikasi yang lebih berat. Hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia/eklampsia) dapat timbul saat hamil, saat persalinan, dan pasca lahir. Pada 4 dekade terakhir, jarang sekali dibahas terapi tentang preeklampsia pasca ssalin, sehingga data dari literatur-literatur yang ada terfokus pada manajemen preeklampsia antenatal dan perinatal (Sibaia, 2012), sehingga beberapa pasien bisa berkembang menjadi eklampsia dan sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet count) pada periode pasca lahir lanjut (Sibaib, 2004; Sibaic, 2009). Pada tulisan ini akan dibahas bagaimana pengobatan secara klasik preeklampsia pasca lahir. PENDAHULUAN Preeklampsia adalah bagian dari hipertensi dalam kehamilan yang timbul setelah 20 minggu disertai proteinuria dan/atau gangguan fungsi organ seperti, keluhan sistem syaraf pusat (nyeri kepala dan/ gangguan penglihatan), edema paru, thrombositopenia, insufisiensi ginjal, dan ganngguan fungsi hati. Preeklampsia adalah penyebab morbiditas yang berat, disabilitas jangka panjang, dan penyebab kematian baik pada ibu maupun bayinya. Hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan ke dalam 4 subgrup, yaitu, hipertensi kronis, hipertensi gestational, preeklampsia/eklampsia, dan superimposed preeklampsia yang berasal dari hipertensi kronis (ACOG, 2013). Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik  140 mmHg atau tekanan darah diastolik  90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan periode waktu yang terpisah. Preeklampsia adalah hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan disertai 148



adanya proteinuria > 300mg/hari. Sedangkan sindroma HELLP adalah merupakan variasi preeklampsia dengan gambaran berat (severe feature), dan tidak secara spesifik sebagai entitas yang terpisah menurut American College of Obstetrics and Gynaecology (ACOG) (CDC, 1999). Preeklampsia merupakan masalah kesehatan global dan mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun ketahun. Preeklampsia terjadi 2% - 8% dari semua kehamilan, dan berkontribusi terhadap 15% kelahiran preterm, serta 9% 26% terhadap kematian ibu di seluruh dunia (WHO, 2005; Steegers, et al, 2010). Walau secara gamblang diketahui bahwa preeklampsia timbul dari kegagalan pertumbuhan normal maternal-fetal interface pada plasenta (Redman, 1991; Granger et al, 2001), namun patogenesis dari penyakit ini tidak diketahui dengan pasti, sehingga disebut, ―the disease of theory‖. Secara klasik, preeklampsia timbul pada kehamilan preterm akhir (late preterm) atau sesudah kehamilan aterm. Namun sejak tahun 1990 – 2010, terjadi peningkatan insiden early onset preeklampsia (Shih, et al, 2016). Preeklampsia tidak saja berisiko pada periode segera setelah persalinan, tetapi bisa berdampak jangka panjang terhadap anak yang dilahirkan. Wanita penderita preeklampsia/eklampsia meningkatkan risiko penyakit kardiaovaskuler sepanjang hidupnya, dan anak yang lahir dari ibu tersebut lebih rentan menderita penyakit sindroma metabolik, kardiovaskuler, dan hipertensi pada usia muda (Wu, et al, 2009). DIAGNOSIS Preeklampssia adalah new-onset hipertensi dengan proteinuria, atau keluhan sistem syaraf pusat, edema paru, thrombositopenia, insufisiensi ginjal, serta gangguan fungsi hati. Sedangkan hipertensi dimaksud adalah tekanan darah sistolik  140 mmHg dan/ tekanan darah diastolik  90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu. Proteinuria tidak merupakan hal penting dalam mendiagnosis preeklampsia, namun pada kebanyakan kasus, diagnosis preeklampsia didasarkan pada adanya hipertensi dan proteinuria (CDC, 1999). Preeklampsia dibedakan menjadi preeklampsia dengan gambaran berat (severe features) dan tidak berat (table 1). Diagnosis sindroma HELLP didapat dari adanya hasil pemeriksaan laboratorium seperti Hemolisis (pada hapusan darah tepi dijumpai; hiperbilirubinemia tidak langsung, haptoglobin serum yang rendah, atau lactate dehydrogenase sangat meningkat), digabungkan dengan thombositopenia (hitung platelet < 100.000/mm) dan adanya peningkatan enzim hati (aspartate aminotransferase [AST] atau alanine aminotransferase [ALT] melebihi dua kali harga normal) (Sibaid, 2004).



149



PERAWATAN PASCA SALIN Preeklampsia/eklampsia secara klasik adalah penyakit yang timbul karena adanya gangguan pada pertumbuhan maternal-fetal interfase, yaitu penyakit plasenta. Oleh karena itu, maka dengan kelahiran plasenta, preeklampsia/eclampsia dan penyakit yang berkaitan akan segermembaik. Pada kenyataannya, masalah bukannya segera dapat diatasi, dan bahkan banyak wanita mengalami perburukan segera atau beberapa hari setelah melahirkan. Dengan alasan itu, terapi preeklampsia/eklampsia tidak berhenti sampai bayi dan plasenta lahir. Pemberian anti-hipertensi dilanjutkan sampai tekanan darah < 150/100 mmHg dan pemberian magnesium sulfat (MgSO4) harus dipertahankan sampai 24 jam pasca salin (postpartum). TERAPI HIPERTENSI PASCA SALIN Pada kehamilan normal, tekanan darah akan segera kembali ke tekanan darah awal pasca salin, dan paling tidak memerlukan waktu 2 – 3 hari. Sedangkan pada wanita hipertensi, ini merupakan suatu kasus, yang mana sering terjadi peningkatan tekanan darah setelah ibu melahirkan. Hipertensi pasca salin paling sering terjadi pada hari ke 3-6 dan ibu-ibu sudah dipulangkan. Peningkatan tekanan darah yang bermakna ini mungkin sangat berbahaya, namun data tentang bagaimana mencegah dan mengobati hipertensi pasca salin masih terbatas. Preeklampsia dapat timbul segera setelah persalinan walaupun saat hamil dan selama persalinan tekanan darahnya masih dalam batas normal (Al-Safi, et al, 2011). Kenyataannya 32% - 44% dari semua eklampsia terjadi setelah bayi lahir (Bramham, et al, 2013). Eklampsia dapat timbul pertama kalik pasca lahir, dan dengan alas an tersebut, pengukuran tekanan darah harus terus dilanjutkan selama periode pasca salin tanpa melihat riwayat kehamilan sebelumnya. Beberapa faktor yang bisa menimbulkan peningkatan kembali tekanan darah pasca salin adalah 150



adanya; nyeri, kecemasan, dan penggunaan obat nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAIDS), dan metil ergometrin, serta kelebihan cairan (overload) selama proses persalinan. Faktor-faktor tersebut harus dinilai dan diantisipasi dengan pemberian analgetik dan pembatasan pemberian cairan berlebihan. Pemberian NSAIDS dihindarkan pada pasien yang diketahui mempunyai riwayat hipertensi karena akan berisiko eksaserbasi baik hipertensi dan penyakit ginjal lainnya. Target utama mengontrol tekanan darah pasca salin adalah tercapainya tekanan darah 150/100 mmHg dalam dua kali pengukuran dengan rentang minimal 20 menit. Kebanyakan wanita mendapat antihipertensi pasca salin paling tidak 2 minggu, tetapi wanita dengan early onset preeclampsia atau dengan tanda-tanda berat, bisa bisa mendapat obat antihipertensi sampai melebihi 6 minggu (Ferrazzani, et al, 1994). Dosis obat harus diturunkan apabila tekanan darah sudah mencapai 130-140/80-90 mmHg. Namun jika tekanan darah tetap tinggi melebihi 6 minggu pasca salin, harus dicari kemungkinan ada penyebab yang mendasari. Lebih dari 13% pasien preeklampsia atau hipertensi dalam kehamilan yang sebelumnya tidak dicurigai ada penyakit dasar saat antenatal, ternyata postnatal baru diketahui memang ada (Chandiramani, et al, 2007). Penapisan adanya hipertensi sebelumnya (pre-existing hypertension) dan adanya penyakit ginjal yang mendasari hendaknya dilakukan jika preeklampsia dengan ciriciri: (1) onsetnya sebelum 34 minggu atau gambaran berat, atau (2) proteinuria masih berlangsung sampai 3 – 6 bulan dalam follow-up, estimasi GFR (glomerular filtration rate) < 60mL/menit, atau adanya sedimen urine abnormal. Pada penyakit dengan gambaran berat atau early onset, kemungkinan risiko berulang pada kehamilan berikutnya adalah 40%, sedangkan penyakit dengan tanda tidak berat, 10% (Smith, et al, 2013). RANGKUMAN 1. Tekanan darah hendaknya diukur selama memuncaknya tekanan darah pasca salin, kira-kira hari ke 3–6 pasca lahir. 2. Pada hipertensi pasca lahir, sebaiknya dievaluasi kemungkinan adanya preeklampsia (baru timbul atau perburukan saat antenatal) 3. Antihipertensi diteruskan sampai periode pasca lahir terutama pada wanita dengan preeklampsia antenatal dan kelahiran preterm.



4. Hipertensi berat pasca lahir, diberikan antihipertensi sampai tekanan darah < 160/110 mmHg, sedangkan yang tidak berat, tekanan darah dipertahankan < 140/90 mmHg. DAFTAR PUSTAKA 1. Al-Safi, Z., Imudia, AN., Filetti, LC., Hobson, DT., Bahado-Singh, RO., Awonuga, AO. 2011. Delayed postpartum preeclampsia and eclampsia: demographics, clinical course, and complications. Obstet Gynecol. 2011 Nov;118(5):1102–1107. 152



2.



3. 4. 5.



6.



7.



8.



9.



10.



11. 12.



13. 14. 15. 16.



American College of Obstetricians and Gynaecologist. 2013. Task Force on Hypertension in Pregnancy. Hypertension in pregnancy: report of the American College of Obstetricians and Gynecologists. Task Force on Hypertension in Pregnancy Obstet Gynecol. 2013;122(5): 1122–1131. Bramham. K., Nelson-Piercy, C., Brown, MJ., Chappell, LC. 2013. Postpartum management of hypertension. BMJ. 2013;346: f894. Centers for Disease Control and Prevention (CDC).1999. Achievements in public health, 1990-1999: Control of Infectious Disease. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 1999; 48(29):621–9. Chandiramani, M., Shennan, AH., Waugh, JJS. 2007. Modern management of postpartum hypertension. Trends in Urology Gynecol Sexual Health 2007; 12: 37– 42. Chappell, LC., Enye, S., Seed, P., Briley, AL., Poston, L., Shennan, AH. 2008. Adverse perinatal outcomes and risk factors for preeclampsia in women with chronic hypertension: a prospective study. Hypertension. 2008; 51: 1002–1009. Ferrazzani, S., DeCarolis, S., Pomini, F., Testa, AC., Mastromarino, C., Caruso, A. 1994. The duration of hypertension in the puerperium of preeclamptic women: relationship with renal impairment and week of delivery. Am J Obstet Gynecol 1994; 171: 506–12. Granger, JP., Alexander, BT., Llinas, MT., Bennett, WA., Khalil, RA. 2001. Pathophysiology of hypertension during preeclampsia linking placental ischemia with endothelial dysfunction. Hypertension. 2001; 38(3 Pt 2): 718–722. Magee, L., Sadeghi, S., von Dadelszen, P. 2005. Prevention and treatment of postpartum hypertension. Cochrane Database of Systematic Reviews, 2005, (1): CD004351. Martin, J Jr., Thigpen, B., Moore. R., Rose, CH., Cushman, J., May, W. 2005. Stroke and severe preeclampsia and eclampsia: a paradigm shift focusing on systolic blood pressure. Obstet Gynecol 2005; 105: 246–54. Redman, CW. 1991. Current topic: pre-eclampsia and the placenta. Placenta. 1991; 12(4): 301–308. Shih, T., Peneva, D., Xu, et al. 2016. The rising burden of preeclampsia in the United States impacts both maternal and child health. Am J Perinatol 2016; 33(4): 329–38. Sibaia. BM. 2012. Etiology and Management of Postpartum hypertensionpreeclampsia. American Journal of Obstetrics & Gynecology. JUNE 2012 Sibaib, BM. (b). 2004. Diagnosis and management of HELLP syndrome. Obstet Gynecol 2004; 105: 402-10. Sibaic, BM. (c). 2009. Stella CL. Diagnosis and manage- ment of atypical preeclampsia-eclampsia. Am J Obstet Gynecol 2009; 200: 481. e1-7. Sibaid, BM. 2004. Diagnosis, controversies, and management of the syndrome of hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count. Obstet Gynecol 2004; 103(5 Pt 1):981–91. 153



17. Smith. M., Waugh, J., Nelson-Piercy, C. 2013. Management of postpartum hypertension. The Obstetrician & Gynaecologist 2013; 15: 45–50. 18. Steegers, EA., von Dadelszen, P., Pijnenborg, R. 2010. Pre-eclampsia. Lancet. 2010; 376(9741): 631–644. 19. World Health Organisation. 2005. The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2005. 20. Wu, CS., Nohr, EA., Bech, BH., Vestergaard, M., Catov, JM., Olsen, J. 2009. Health of children born to mothers who had preeclampsia: a population-based cohort study. Am J Obstet Gynecol. 2009; 201(3): 269.e1–269.e10.



154



CONTROVERSY FER ENDOMETRIOMA ON TEENAGER: SURGERY VS NON-SURGERY



155



ENDOMETRIOMA ON TEENAGERS: SURGERY VS NON-SURGERY dr. IB Putra Adnyana, Sp.OG(K) Divisi Fertilitas Endokrin dan Reproduksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Bali ABSTRACT Endometriosis is not just a disease of adult women, and may have its origin in youth. The nature and severity of endometriosis appearing during adolescence has been the object of a controversy, both in general and for the ovarian variant, that has yet to be resolved. The reason is that, as of today, there is no way to predict in which cases the disease will progress, leading to disagreement on the best approach to management. Endometriomas, although rare, can be encountered in adolescents and young women. There is very limited data about endometriosis and endometriomas in adolescents and young women. Currently, there is no consensus as to whether surgery should be avoided as much as possible to prevent multiple operations in the long term, or surgical treatment should be considered at an early stage before more severe lesions develop. However, as endometriosis is assumed to be a progressive disease, the ACOG recommends the early diagnosis and treatment in the adolescent. Although surgery is effective in treating endometriosis in adults, it may well be a double-edged sword in adolescents. Decisions to operate should be carefully balanced against the growing concern of potential damage of surgery upon the ovarian reserve. It is however questionable if the size of the ovarian endometrioma is of any importance in this decision process. The suggested diameter of 3 cm in the ESHRE guidelines is pure arbitrarily and not based upon any scientific evidence. Although laparoscopy is traditionally recommended, transvaginal laparoscopy as a less invasive ablative surgery has been shown to be most effective in ablating endometriomas with a maximum diameter of 3 cm. Surgery for ovarian endometrioma larger than 5 cm in a three-step approach (laparoscopic drainage, GnRH analogue for 3 months, and laparoscopic CO2 laser vaporization) enabling more accurate surgery on a smaller cyst in the second time and minimizing the risk of damaging the ovarian reserve. Further studies are urgently needed to determine whether early diagnosis and treatment of teenage endometriosis lead to better long term outcomes or simply increase number of interventions without preventing progression of the disease. Keywords: Ovarian endometriosis, adolescence, surgery



156



INTRODUCTION There has been increasing awareness of endometriosis in teenagers, but our understanding of the optimum management methods is still far from clear. The clinicians are taking a more proactive approach in the diagnosis and treatment of endometriosis in this young age group and both medical and surgical treatment options are being utilized. Endometriosis is a chronic inflammatory condition defined by the presence of functional endometrial glands and stroma outside the uterus. Traditionally, endometriosis had been thought to occur in adult women, but with an increasing awareness of the disease it is being diagnosed more frequently in the younger ages. In adolescents with a history of chronic pelvic pain, studies have reported a 25%-38% incidence of endometriosis.1 The incidence and severity of endometriosis in adolescent are comparable with the incidence in adult women. The mean delay between the onset of symptoms and the final diagnosis varies between 6.4 and 11.7 years. The longer the diagnosis is delayed, the more the endometriosis can progress to a more severe stage certainly in the group of patients with pelvic pain. The evolution of endometriosis and its progressivity are not predictable, and the severity of the disease is not directly related to the degree of pain.2 Ovarian endometrioma is a common disease lesion occurring in 17%-44% of patients affected by endometriosis.3
There is very limited data about endometriosis and endometriomas in adolescents and young women.1 Endometriotic cysts differ from other benign cysts as they are extra-ovarian pseudocysts with the absence of a clear delineated capsule and not restricting the disease to the cyst itself but affecting the surrounding cortex by mesenchymal cell metaplasia and fibrosis. This explains the difference in ovarian reserve between patients with a dermoid cyst and an endometriotic cyst, with a negative impact on the latter. Early detection and intervention will contribute to a better quality of life in these adolescents and also to a lower damage of the ovarian tissue by a less invasive ablative surgery.2 ENDOMETRIOMA DURING ADOLESCENCE AND OVARIAN FUNCTION; A DOUBLE EDGE SWORD Endometriotic cysts have a detrimental effect on the ovarian reserve by the evolution in time and the surgical excision technique. Already, in small endometriotic cysts ( 10cm ) dan atau mengganggu organ lain © Tidak respon dengan pengobatan medisinalis Curiga lesi endometriosis lain selain endometnoma Lakukan operasi ―conservative‖  Operasi ―conservative‖ ©Memerlukan skill khusus 164



© Angkat lesi endometriosis lain diluar endometrioma © Perbaiki distorsi anatomi ©Lakukan tindakan menggunakan energi ( plasma jet dil ) yang tidak merusak jaringan ovarium © Pungsi + sclerotizing agent dapat dipertimbangkan TAKE HOME MESSAGE © Endometriosis adalah penyakit kronis yang sulit disembuhkan © Memerlukan tatalaksana jangka panjang, oleh karena angka kekambuhan cukup tinggi © Endometrioma jarang berdiri sendiri O Pada usia remaja © Keluhan utama adalah nyeri. * Alasi nyeri dengan tatalaksana nonsurgical sebagai pilihan pertama * Opsi medikamentosa banyak pilihan © Tunda operasi minimal sampai dengan menikah dan telah melakukan usaha memiiliki keturunan O Operasi hanya bila * Kista besar dan atau menggangeu organ lain * Tidak respon dengan pengobatan medisinalis • Memiliki skill khusus untuk melakukan operasi ―conservative‖ pada kasus endometriosis DAFTAR PUSTAKA 1. Dunselman G, Vermeulen N, Becker C, et al. ESHRE guideline: management of women with endometriosis. Hum Rep 2014:29(3):400-12 2. Somigliana E, et al. Does laparoscopic excision of endometriotic ovarian cyst significantly affect ovarian reserve? Insights from [VF cycles. Hum Reprod. 2003;18(11): 2450-3 3. Goodman LR, Goldberg JM, Flyckt RL, Gupta M, Harwalker J, Falcone T. effect of sutery on ovarian reserve in women with endometriomas, endometriosis, and controls. Am J Obstet Gynecol. 2016 ; 215(5): 589 el — e6 4. Cohen A, Almog B, Tulandi T. Scleroterapy in the management of ovarian endometrioma: systematic review and meta — analysis. Fertil Stel. 2017;108:11727 5. Ballweg M. Big picture of endometriosis helps provide guidance on approach to teens: comparative historical data show endo starting younger, is more severe. J pediatr adolese gynecol 2003; 16:S214 6. ACOG committee opinion: Dysmenorrhea and endometriosis in the adolescent. Obstet Gynecol 2018:132(6): e249 -57



165



CONTROVERSY ONCO CERVICAL CANCER SCREENING UPDATE: HPV TEST ONLY VS PAP SMEAR ONLY



166



TES HPV SEBAGAI ALAT SKRINING KANKER SERVIKS Dr. Hariyono Winarto, dr., SpOG(K) Divisi Onkologi Ginekologi - Dept. Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunnkusumo Jakarta ABSTRAK Tujuan: menelaah Tes HPV saja sebagai metoda skrining kanker serviks saat ini Metode: Studi literatur dari berbagai penelitian mengenai efektivitas pemeriksaan Tes HPV sebagai modalitas skrining dibandingkan dengan pap smear. Data kemudian dianalisis dan dikolaborasi menjadi suatu kajian Hasil: Uji Pap‘s smear mempunyai angka sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan uji DNA HPV dari berbagai penelitian yang ada, dengan spesifisitas yang sedikit lebih rendah. Tes HPV lebih praktis dari sisi pelaksanaan dan dari sisi kesiapan infrastruktur. Simpulan: Uji DNA HPV mempunyai sensitivitas dan PPV lebih unggul dibandingkan dengan uji Pap‘s smear. Uji DNA HPV lebih baik jika fasilitas tersedia. Kata Kunci: HPV testing, Cytology, Cervical Cancer PENDAHULUAN Angka kejadian kanker serviks di Indonesia masih tinggi. Skrining ini sangat penting dilakukan karena sudah terbukti dapat menurunkan kejadian morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh kanker serviks. Di Indonesia merupakan kanker pada wanita terbanyak kedua sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas. 1 Skrining berkualitas tinggi sangat berperan dalam upaya menurunkan insiden kanker serviks. Skrining yang pertama ditemukan adalah Pap‘s smear, yaitu dengan mengambil dan memeriksa sel yang lepas dari permukaan epitel leher Rahim. 2 Teknik skrining yang mencari agen kausatif karsinogenik risiko tinggi (Tes HPV) pada sel permukaan leher rahim ditemukan sebagai cara yang lebih efektif sebagai metode skrining. Panduan tatalaksana yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2013 sudah menempatkan pemeriksaan DNA HPV menjadi pilihan Skrining utama.3 Namun, dikarenakan keterbatasan fasilitas dan biaya, pemeriksaan DNA HPV belum banyak tersedia di Indonesia. TINJAUAN PUSTAKA Pap smear adalah pemeriksaan sel-sel eksfoliatif di bawah mikroskop yang walaupun berkesan mudah sebenarnnya sangat bergantung pada ketersediaan infrastruktur dan fasilitas yang tersedia mulai dari teknik pengambilan sampel dan 167



keterampilan pekerja dan pemeriksa. Selain itu, pemeriksaan Pap‘s smear juga mempunyai sensitivitas, spesifisitas dan angka positif palsu yang tinggi.2 Selain itu juga pap smear itu memerlukan dukungan infrastruktur yang matang. Dimana skrining massal pap smear dapat dengan sukses diadakan bila tersedia fasilitas seperti tersedianya Well-trained pap smear provider (di garis depan adalah dokter umum atau bidan) yang menjamin pemeriksaan panggul atau pemeriksaan dalam dengan inspekulo yang benar sehingga dapat mengambil sample pap smear dengan benar, akses terhadap alat-alat yang digunakan mulai dari kamar periksa yang memadai sampai dengan alat sampling yang memadai, transportasi yang memadai untuk mengirimkan sediaan pap smear, dan tersedianya tenaga ahli dalam hal ini dokter spesialis patologi anatomi.4 Dalam hal penyediaan tenaga dokter spesialis patologi anatomi ini yang menjadi lebih kompleks.5 HPV merupakan papillomavirus DNA yang menular terutama melalui kontak kulit dalam aktivitas seksual. Lebih dari 100 tipe HPV telah ditemukan, namun hanya 30-40 tipe yang ditemukan dapat menginfeksi manusia. HPV dibagi menjadi dua tipe, yaitu risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, dan 58) dan risiko rendah (6, 11, 40, 42, 43, 44, dan 54). HPV tipe 16 dan 18 merupakan tipe dengan risiko tertinggi, dimana 60-70% kejadian kanker serviks disebabkan oleh kedua tipe tersebut. 6 Sampai saat ini terdapat dua tipe pemeriksaan DNA HPV yang paling umum dipakai, yaitu Hybrid Capture 2 (HC-2) dan GP5+/6+ - PCR enzyme immunoassay (GP5+/6+ - PCR EIA). Keduanya mempunyai sensitivitas hingga 90-95% dalam mendeteksi CIN ≥2. Kedua dari pemeriksaan ini menggunakan sel dari leher rahim. Pengerjaannya sering kali bersamaan dengan pengambilan sampel untuk Pap‘s smear. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika dan Eropa, sensitivitas HC2 adalah 97,5% dan spesifisitas 84,3%. Sedangkan untuk EIA, sensitivitas sekitar 9597,3%, spesifisitas sekitar 84,5 – 87,2%. 7 Pemeriksaan tes HPV tidak membutuhkan tenaga dokter spesialis PA, tetapi membutuhkan tenaga laboratoris yang terdidik, yang lebih mudah mengadakannya. Pemeriksaan Pap smear kovensional mempunyai sensitivitas 75,8% dan spesifisitas 98,05%. Sensitivitas yang rendah banyak disebabkan oleh pengambilan sampel yang salah dan tingkat keterampilan pengambil sampel dan pemeriksa yang variatif. 2 ANJURAN TATALAKSANA Pemeriksaan DNA HPV memiliki keunggulan sensitivitas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Pap‘s smear sendiri. Sebuah studi kohort jangka panjang membandingkan Pap‘s smear dengan DNA HPV, menunjukkan bahwa sitologi negatif tetap mempunyai angka kejadian kanker serviks pada wanita lebih 30 tahun dengan probabilitas kumulatif sebesar 8,9 , sedangkan pada populasi dengan uji DNA HPV negatif, probabilitas kumulatif hanya sebesar 0,6. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sangrajang et al. di Thailand (2017), sensitivitas sitologi 168



konvensional vs. DNA HPV adalah 2,2% vs. 71,8%. Positive predictive value (PPV) dari sitologi konvensional juga rendah dibandingkan DNA HPV, yaitu 3,4% vs. 13%. 8 Latar belakang sumber daya manusia sangat berpengaruh dalam pengambilan sampel. Anjuran yang diberikan oleh WHO (2013) adalah penggunaan DNA HPV lebih superior dibandingkan Pap‘s smear. Berikut adalah algoritma yang disajikan oleh WHO:



Gambar 1. Algoritma Guideline WHO. Skrining pada wanita usia risiko sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya progresivitas lesi prekanker. Uji DNA-HPV mempunyai sensitivitas, spesifisitas, PPV yang lebih unggul dari Pap‘s smear, 3namun sumber daya untuk melalukan uji DNA HPV tidak perlu adalah seorang dokter spesialis patologi anatomi. Jika fasilitas mendukung, maka Tes HPV merupakan modalitas terpilih. DAFTAR PUSTAKA 1. The Global Cancer Observatory, Indonesia.; 2018. http://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/360-indonesia-factsheets.pdf. 2. Pankaj S, Kumari A, Kumari S, et al. Evaluation of Sensitivity and Specificity of 169



3. 4.



5. 6. 7.



8.



Pap Smear, LBC and HPV in Screening of Cervical Cancer. Indian J Gynecol Oncol. 2018;16(3):49. doi:10.1007/s40944-018-0221-x WHO. Guidelines for screening and treatment of precancerous lesions for cervical cancer prevention. WHO Guidel. 2013. EngenderHealth. Planning and Implementing Cervical Cancer Prevention and Control Programs A MANUAL FOR MANAGERS Endorsing Agencies World Health Organization Geneva AFRO International Network for Cancer Treatment and Research. http://www.searo.who.int/nepal/mediacentre/2004_planning_and_implement ing_cervical_cancer_prevention_n_control_programs.pdf. Accessed June 9, 2019. Society W, Money PT. Appraising the Pap Smear. Lab Med. 1997;28(7):440-449. European Agency for Safety and Health at work. Biological Agents. Vol 100B.; 2012. https://osha.europa.eu/en/tools-andpublications/publications/factsheets/41. Karla Alfaro, Silvina Arrossi, Alicia Campanera, Milca Cuberli, Jose Jeronimo, Francesca Holmes, Rosa Laudi, Rolando Herrero, Silvana Luciani, Rufino Luna, Oscar Marin, Mauricio Maza, Luis Paul, Melisa Paolino, Doug Perin, Mona Saraiya, Laura Thouyaret, M EU and CW. Integrating HPV Testing in Cervical Cancer Screening Programs. Washington. Washington DC: Pan American Health Organization, 2016. WHO. CDC; 2016. www.paho.org. Accessed June 7, 2019. Sangrajrang S, Laowahutanont P, Wongsena M, et al. Comparative accuracy of Pap smear and HPV screening in Ubon Ratchathani in Thailand. Papillomavirus Res. 2017;3(December 2016):30-35. doi:10.1016/j.pvr.2016.12.004



170



PAPANICOLAOU SMEAR SAJA SEBAGAI UPAYA DETEKSI KANKER SERVIKS Prof. Dr. I Ketut Suwiyoga, dr., Sp.OG(K) Divisi Ginekologi Onkologi – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah Denpasar ABSTRAK Pap smear sebagai modalitas diagnosis kanker serviks sangat akurat; terutama metode berbasis cairan. Hal ini ditunjang oleh bahwa metode tersebut adalah sederhana, tidak menyakiti, dan memungkinkan. Selain itu, Pap smear dapat diterapkan pada setiap personal tanpa memandang faktor risiko klinis yang menyertai. Nilai Pap smear merupakan kondisi akhir karsinogenesis tanpa harus mendeteksi keberadaan HPV sebagai penyebab kanker serviks itu sendiri. Berbagai kendala yang muncul dapat diatasi dengan ketersediaan teknologi informasi. Kata kunci: Pap smear saja, kanker serviks PENDAHULUAN George Papanicolaou (1895) menemukan cara mendeteksi sel eksfoliatif epitel endometrial, serviks dan vagina untuk dilakukan identifikasi seluler di mana telah mengalami beberapa kali perbaikan; selanjutnya dikenal dengan Pap smear. Sejak tahun 1941, Pap smear telah dipakai untuk mendeteksi kelainan sel dan ikutan kelainan pada serviks, selain endometrium dan vagina. Pada tahun 1948, American Cancer Society (ACS) melalui kegiatan National Cytology Conference mempromosikan penggunaan Pap smear untuk menurunkan insiden kanker serviks (Tambouret, 2013). Pap smear telah dikenal dan dipakai di Indonesia sejak tahun 1980, namun belum terbukti mampu menurunkan prevalensi kanker serviks. Hal ini terkait dengan cakupan, sumber daya, sederhana-kompleksivitas prosedur, akurasi, dan kesadaran/kepedulian/ kesinambungan, dan lainnya. Sedangkan, jangkauan dan prosedur adalah sangat menjajikan terkait dengan kemampuan deteksi seluler kelainan epitel serviks. Oleh karena itu, Pap smear menunjukkan berbagai keunggulan tanpa memperhatikan dan menimbang kendala sumber daya dan kesinambungan program. Ini berarti, temuan kanker serviks bukanlah akibat dari metode itu sendiri. Namun ketika dipilih sebagai program maka multifaktorial mempengaruhi keberhasilannya.



171



PERJALANAN ALAMIAH PAPARAN HUMAN PAPILLOMAVIRUS, PATOGENESIS KANKER SERVIKS, DAN FAKTOR RISIKO LAIN Human Papilloma Virus (HPV) onkogenik tipe 16, 18, 33, 35, 48, 52, dan 62 tersebar berbeda prevalensi pada setiap negara di seluruh dunia; tanpa kecuali. Masuk dan cara penyebaran HPV ke dalam vagina terutama terkait dengan hubungan seksual/sexually transmittted disease, selain instrumentasi, iatrogenik lainnya. Reseptornya berupa integrin berada pada stratum basale epitel serviks sehingga untuk dapat mencapai stratum basal haruslah lapisan intermediate dan superfisial tergerus. Selanjutnya, infeksi virus ini dapat dieliminasi oleh imunitas seluler dan mukosal serviks sehingga dapat terjadi infeksi berulang. Infeksi berulang ini mengakibatkan infeksi laten yang juga dapat terjadi eliminasi keberadaan jumlah virion di dalam sel epitel mukosa serviks. Virus ini sulit ditemukan di dalam darah sehingga dikategorikan sebagai infeksi lokal yang persisten. Ketika jumlah virion per sel mencapai titik kritis, respon imun tidak memadai dan onkogenisitas virus maka terjadilah integrasi DNA HPV dengan DNA host yang pada akhirnya menghasilkan gen mutan atau patologik. Gen patologik ini tidak dapat dikendalikan oleh guardian genom p53 dan associated proteins lainya serta pRB tidak berfungsi baik maka muncullah sel kanker. Hal ini berarti tidak semua infeksi HPV onkogenik mengakibatkan kanker serviks dan membutuhkan waktu relatif lama untuk dapat terjadinya kanker epitelial tersebut. Apalagi untuk dapat terjadi invasi jaringan sekitar dan metastasis kelenjar getah bening pelvik maka butuh waktu yang lama. FAKTOR RISIKO LAIN Berbagai faktor risiko baik yang terkait dengan risiko paparan HPV kelompok onkogenik risiko tinggi maupun risiko lain seperti seksual multipartner, instrumentasi, patologi genetika, akan berakhir pada patologi epitel serviks itu sendiri. Hal berarti berbagai faktor risiko yang sulit dikenadikan dalam upaya cervical cancer controls diapastikan dapat terselesaikan pada fase hilir yaitu deteksi sel patologi itu sendiri. Dengan demikian, Pap smear sebagai upaya mendeteksi sel kanker adalah sangat rasional; apapun faktor risikonya. PAP SMEAR: TAHAPAN, KEUNTUNGAN, DAN KERUGIAN Pada saat ini, dikenal 2 (dua) jenis Pap Smear yaitu: 1. Metode Konvensional 2. Metode Berbasis Cairan Metode Konvensional Metode ini dinyatakan konvensional terkait dengan ditemukannya metode berbasis cairan sebagai upaya pemurnian seluler atau mengurangi risiko artefak. 172



Keberadaan artefak ini mengurangi akurasi pembacaan sediaan akibat berbagai gangguan materi lain, selain seluler. Metode ini lebih sederhana, mudah dikerjakan, serta membutuhkan biaya yang lebih sedikit. Namun, hasil spesimen yang didapatkan kadang tidak memuaskan oleh karena efek pengeringan udara (air-drying effect), distribusi sel yang tidak merata, serta efek terhalangnya visualisasi sel serviks oleh artifak seperti darah, sel-sel inflamasi, serta mukus (Cox, 2004). Sensitivitas metode konvensional untuk semua grade cervical intraepithelial neoplasia (CIN) berkisar antara 51-66%. Khusus untuk CIN II atau III, sensitivitas metode konvensional lebih tinggi namun jarang melewati angka 70-80% (Saslow, 2002). Rendahnya sensitivitas metode konvensional berkaitan dengan angka negatif palsu yang lebih tinggi (Hoda, 2013). Berikut adalah tahapan, kendala-kekuranganketerbatasan, dan kelebihan Pap smear konvensional. Tahapan Sel epitel serviks diambil baik dari ektoserviks dan endoserviks menggunakan spatula atau brush. Selanjutnya, spatula atau brush segera diaplikasikan pada slide kaca secara merata. Slide kaca segera difiksasi ke dalam medium cairan preservatif agar tidak mengalami pengeringan oleh udara. Cairan fiksasi yang digunakan seperti campuran ethyl ether dan ethyl alcohol 95% atau ethyl alcohol 95% saja. Jika menggunakan spray cairan fiksasi, penyemprotan cairan harus berjarak minimal 10 inchi (± 25 cm) untuk mencegah berhamburnya sel akibat efek semprotan (Hoda, 2013). Keuntungan Keuntungan metode konvensional adalah mudah dikerjakan, mudah diulang (reproducible), transfer spesimen lebih sederhana, serta membutuhkan biaya untuk pengambilan spesimen yang lebih sedikit (Hoda 2013). Kerugian Kerugian metode konvensional antara lain (Cox, 2004): 1. Prosedur manual untuk menempatkan spesimen pada slide kaca tidak terstandardisasi sehingga dapat terjadi distribusi sel yang tidak merata pada slide kaca. 2. Visualisasi sel epitel serviks dapat terganggu efek menumpuknya sel-sel (overlapping effect) dan terhalang darah, sel inflamasi, atau mukus (obscuring effect) 3. Efek pengeringan udara (air-drying effect) dapat menyebabkan distorsi arsitektur seluler dan menyulitkan proses interpretasi. Faktor-faktor tersebut diatas menyebabkan angka negatif palsu metode konvensional cukup tinggi sehingga menurunkan sensitivitasnya. Angka negatif palsu metode konvensional berkisar antara 14-33% (Hartmann, 2011). 173



Metode Berbasis Cairan Metode berbasis cairan atau liquid-based cytology merupakan alternatif teknik Pap smear revolusioner yang telah menyebabkan perbaikan secara signifikan pada teknik pengambilan sampel, kualitas spesimen, serta angka deteksi lesi prekursor neoplasia serviks. Kriteria diagnostik yang digunakan pada metode konvensional juga dapat diterapkan pada metode berbasis cairan. Pada tahun 1996, ThinPrep® Pap test (Hologic, Inc, Marlborough, MA) menjadi metode berbasis cairan yang pertama disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) (Gibb, 2011). Survei yang dilakukan oleh American College of Obstetricians and Gynecologysts (ACOG) pada tahun 2003 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 80% pap smear dikerjakan dengan metode berbasis cairan (Noller, 2003). Metode berbasis cairan terbukti mendeteksi lebih banyak kasus low grade squamous intraepithelial lesion (LSIL) dibanding metode konvensional (Cox, 2004). Deteksi high grade squamous intraepithelial lesion (HSIL) juga meningkat dari 88% menjadi 93% (Gibb, 2011). Sensitivitas metode berbasis cairan dalam mendeteksi CIN II atau III lebih baik dibanding metode konvensional. Sensitivitas metode konvensional berkisar antara 50-75%. Sensitivitas agregat metode konvensional sebesar 71,5% sedangkan metode berbasis cairan sebesar 80,1% (Karnon, 2004). Hasil meta-analisis terhadap 17 penelitian menunjukkan bahwa spesifisitas metode berbasis cairan (ThinPrep) lebih tinggi dibanding metode konvensional (86% vs. 79%) (Abulafia, 2003). Angka ketidakpuasan spesimen (unsatisfactory rate) metode berbasis cairan (ThinPrep) lebih rendah dibanding metode konvensional, yakni berkisar antara 0,3-8,3% (Pang, 2008). Tahapan Sama seperti metode konvensional, spesimen diambil dari permukaan luar serviks (ektoserviks) dan kanalis servikalis (endoserviks) untuk mengevaluasi zona transformasi atau sambungan skuamokolumnar yang merupakan area paling berisiko untuk perkembangan neoplasia. Pada metode berbasis cairan, sel-sel yang terambil dilarutkan ke dalam medium cairan preservatif, seperti CytoLyt pada metode ThinPrep dan CytoRich pada metode SurePath. Fiksasi segera pada medium cairan ini menjamin preservasi spesimen yang baik. Sampel yang telah terambil diaduk ke dalam cairan fiksasi. Jika diambil dengan menggunakan spatula atau brush, dilakukan rotasi pada cairan fiksasi sebanyak 10 kali. Dapat juga dilakukan penekanan brush pada dinding vial penampung spesimen. Pada metode SurePath, ujung cytobrush dibiarkan tertinggal dalam cairan fiksatif (Hoda, 2013). Spesimen kemudian ditansfer ke laboratorium untuk proses analisis. Sel-sel yang terlarut dalam medium cairan akan disaring dan selanjutnya ditempelkan dalam 1 lapisan (monolayer) pada slide kaca (Hoda, 2013).



174



Keuntungan Keuntungan dari metode berbasis cairan antara lain (Hoda, 2013): 1. Prosedur pengambilan sampel yang seragam dan terstandardisasi, secara teoretis 100% sampel yang diinginkan dapat terambil. 2. Fiksasi segera ke dalam medium cairan preservatif dapat mempertahankan morfologi seluler dengan baik dan mencegah efek pengeringan oleh udara (air drying effect) 3. Efek artifak seperti sel-sel yang hancur (crush artifact), cell overlap, dan distribusi sel yang tidak merata dapat dihindari 4. Teknik yang terstandardisasi memastikan sampel dengan distribusi sel yang homogen dan merata. 5. Mudah diulang (reproducible). 6. Waktu skrining yang lebih efisien. 7. Hasil lebih mudah diinterpretasi oleh karena tidak terganggu elemen-elemen atau artifak yang mengganggu lapangan pandang. 8. Memungkinkan dilakukannya tes tambahan (ancillary test) seperti tes HPV, Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhea pada sisa spesimen. 9. Spesimen dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama (sampai dengan 3 bulan pada sediaan ThinPrep dan 3 minggu pada sediaan SurePath). 10. Adanya peralatan dengan metode pembacaan sel yang terotomatisasi dan terkomputerisasi memudahkan proses skrining sel abnormal. Kerugian Kerugian metode berbasis cairan khususnya berkaitan dengan teknik fiksasi dan persiapan spesimen, antara lain (Hoda, 2013): 1. Langkah-langkah dispersi sel dalam cairan fiksatif dan sentrifugasi dapat memicu perubahan morfologi seluler. Pola arsitektur seluler yang terganggu meliputi rusaknya papilla, sel yang mengelompok (cell groupings), dan diskohesi. 2. Perubahan sitologik meliputi ukuran sel dan nukleus yang lebih kecil. 3. Material dasar (background material) sel dapat hilang, berkurang, atau mengalami perubahan. 4. Peningkatan biaya material yang digunakan dalam proses pengambilan sampel dan persiapan preparat. Namun, analisis permodelan (modeling analysis) yang dikeluarkan oleh Health Technology Assessment Program (HTA) membuktikan bahwa metode berbasis cairan merupakan alternatif yang hemat biaya (cost-effective) mengingat metode berbasis cairan menurunkan angka negatif palsu, menurunkan angka spesimen yang tidak layak (unsatisfactory rate), dan meningkatkan efisiensi waktu untuk proses analisis spesimen (Karnon, 2004).



175



Perbandingan metode berbasis cairan (ThinPrep dan SurePath) dan metode konvensional. Tabel 1. Perbandingan Metode Berbasis Cairan dan Metode Konvensional (Hoda, 2013). Aspek ThinPrep SurePath Konvensional Biaya Relatif mahal Relatif mahal Relatif lebih murah Pengambilan Seragam, Seragam, Bervariasi sampel terstandardisasi terstandardisasi Transfer sampel Hampir 100% 100% 300.000 Evaluasi slide Mudah Mudah hingga sulit Sulit Preservasi sel Baik Baik Bervariasi Faktor penghalang Tidak ada Tidak ada Berpotensi ada visualisasi (obscuring factors) Efek pengeringan Tidak ada Tidak ada Berpotensi ada udara (air drying) Waktu skrining Berkurang Berkurang Lebih panjang sebanyak 60% Ya Ya Tidak Reproducibility Tes tambahan Memungkinkan Memungkinkan Tidak (ancillary study) KESIMPULAN Pap smear sebagai modalitas tunggal deteksi kanker serviks epitelial masih menjadi pilihan utama terkait dengan akurasi. Akan tetapi, Pap smear sebagai skrining membutuhkan berbagai kesadaran dan komitmen berkesinambungan semua pihak; terutama medik. Keunggulan Pap smear adalah akurasi, sederhana, tidak sakit, teknologist, dan onsite. Apapun faktor risiko dan bagaimanapun perjalanan/mekanisme terjadinya kanker serviks maka Pap smear adalah jawaban akhir yang memadai. PENUTUP Demikinalah modalitas tunggal Pap smear sebagai upaya deteksi kanker serviks, semoga bermanfaat. 176



DAFTAR PUSTAKA 1. Abulafia O, Pezzullo JC, Sherer DM. Performance of ThinPrep liquid-based cervical cytology in comparison with conventionally prepared Papanicolaou smears: a quantitative survey. Gynecol Oncol 2003;90:137–144. 2. Cox, JT. Liquid-Based Cytology: Evaluation of Effectiveness, CostEffectiveness, and Application to Present Practice. Journal of the National Comprehensive Cancer Network 2004;2(6):597-611. 3. Gibb RK, Martens MG. The Impact of Liquid-Based Cytology in Decreasing the Incidence of Cervical Cancer. Rev Obstet Gynecol. 2011;4(suppl 1):S2S11 doi: 10.3909/riogV4S1S0002. 4. Hartmann K, Hall SA, Nanda K, et al. 2011. Systematic Evidence Review Number 25: Screening for Cervical Cancer. Rockville, MD: US Department of Health and Human Services. http://www.ahrq.gov/downloads/pub/prevent/pdfser/cervcanser.pdf. 5. Hoda, RS. Gynecologic cytology on conventional and liquid-based preparations: a comprehensive review of similarities and differences. Diagn Cytopathol 2013;41(3): 257-278. 6. Karnon J, Peters J, Platt J, et al. Liquid-based cytology in cervical screening: an updated rapid and systematic review and economic analysis. Health Technol Assess. 2004;8:1–78. 7. Noller KL, Bettes B, Zinberg S, et al. Cervical cytology screening practices among obstetrician-gynecologists. Obstet Gynecol 2003;102:259–265. 8. Pang Y, Smola B, Pu RT, Michael CW. Restoring satisfactory status in ThinPrep Pap test specimens with too few squamous cells and containing microscopic red blood cells. Diagn Cytopathol 2008;36:696–700. 9. Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, et al., for the American Cancer Society. American Cancer Society guideline for the early detection of cervical neoplasia and cancer. CA Cancer J Clin. 2002;52:342–362. 10. Tambouret, RH. The Evolution of the Papanicolaou Smear. CLINICAL OBSTETRICS AND GYNECOLOGY 2013;56(1):3–9



177



PLENARY 1: FERTILITY ENDOCRINOLOGY REPRODUCTION ASSEMBLAGE



178



TANTANGAN PELAYANAN FERTILITAS ENDOKRINOLOGI REPRODUKSI DI ERA JKN Dr. Hendy Hendarto, dr., Sp.OG(K) Ketua Himpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Indonesia-POGI Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi – Dept. Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Jaminan kesehatan bagi semua orang merupakan hak azasi manusia, karena itu perlu pengembangan universal health coverage (kepesertaan semesta) melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk menjamin pembiayaan kesehatan yang bekelanjutan. Saat ini negara Indonesia sudah memberlakukan JKN (Jaminan Kesehtan Nasional) atau Asuransi Kesehatan Sosial, dengan harapan biaya dan mutu kesehatan dapat dikendalikan, dan kenaikan biaya kesehatan dapat ditekan, serta tercapainya manfat pelayanan kesehatan komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dibidang Fertilitas Endokrinologi Reproduksi (FER) juga mengikuti pola pelayanan sesuai JKN. Terdapat 2 (dua) tantangan yang harus menjadi perhatian, yaitu pelayanan FER yang dijamin BPJS kesehatan, dan pelayanan FER yang tidak dijamin BPJS kesehatan. Diperlukan pemahaman yang sama tentang pelayanan FER baik ditingkat lini primer, maupun sampai di lini sekunder atau tersier, agar pelayanan kesehatan komprehensif dapat tercapai dan mendapat pembiayaan sesuai JKN. TANTANGAN 1 BESERTA SOLUSI PELAYANAN FER YANG DIJAMIN BPJS KESEHATAN Terdapat beberapa penyakit atau penanganan dibidang FER yang dijamin oleh BPJS kesehatan, antara lain yaitu: endometriosis dengan nyeri atau endometrioma tanpa keluhan infertilitas, perdarahan uterus abnormal, pelayanan kontrasepsi serta menopause. Dibutuhkan suatu PNPK (Panduan Nasional Pelayanan kedokteran) yang dipahami para petugas kesehatan di lini primer, sekunder dan tersier. PNPK ini dibuat oleh HIFERI yang berisi pernyataan sistematis berdasarkan bukti ilmiah agar petugas kesehatan mampu membuat tatalaksana penyakit tertentu. Selanjutnya disetiap lini pelayanan menerjemahkan PNPK dengan membuat PPK (Panduan Pelayanan Klinik). PNPK tersebut akan menjadi bahan penting bagi penyelenggara JKN untuk diterjemahkan dalam bentuk INA CBGs. Saat ini HIFERI telah membuat beberapa konsensus yang akan dikembangkan menjadi PNPK, antara lain: konsensus nyeri endometriosis, keguguran berulang, perdarahan uterus abnormal, infertilitas dll. Selanjutnya telah disusun Fornas (Formularium Nasional) obat-obat dibidang FER yang disesuaikan dengan materi PNPK. 179



TANTANGAN 2 BESERTA SOLUSI PELAYANAN FER YANG TIDAK DIJAMIN BPJS KESEHATAN Infertilitas dan pengobatan untuk mendapatkan keturunan merupakan pelayanan FER yang tidak dijamin oleh BPJS kesehatan. Keadaan ini menjadi rumit karena para pasangan infertil harus mengeluarkan uang mereka sendiri untuk tindakan yang mungkin menjadi mahal bila sampai pada prosedur fertilisasi invitro. Keterlambatan menjadi faktor penting penyebab kegagalan penanganan infertilitas, karena itu perlu penerapan skor infertilitas ―Samsulhadi‖ yang sederhana untuk memudahkan sistem rujukan infertilitas. Konsensus Infertilitas yang dikeluarkan HIFERI telah menjadi panduan bagi petugas kesehatan di lapangan. Untuk menekan biaya terutama untuk pelayanan fertilisasi in vitro, prosedur stimulasi ovarium minimal sangat membantu meringankan biaya dengan tanpa menurunkan kualitas. KESIMPULAN Telah dibahas 2 tantangan dibidang pelayanan fertilitas endokrinologi reproduksi di era JKN. Pemanfaatan PNPK, Formularium Nasional serta stimulasi ovarium minimal merupakan solusi pada tantangan tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Kesehatan RI. Jaminan Kesehatan Nasional dalam sistem jaminan sosial nasional. Jakarta 2013 2. Samsulhadi. Sistem Rujukan Kasus Infertilitas (Berdasarkan Faktor Risiko). Indonesia J Obstet Gynecol 2007, 31-1: 49-57 3. Menteri Kesehatan RI. Standar Pelayanan Kedokteran. Diakses tanggal 14 Juni 2019 dari www.djpp.depkumham.go.id 4. Hendarto H, Wiweko B, Kemal A. Konsensus Penanganan Infertilitas. HIFERI 2019 5. Kementerian Kesehatan RI. Buku Panduan Penilaian Teknologi Kesehatan, Efektivitas Klinis dan Evaluasi Ekonomi. Jakarta 2017



180



SYMPOSIUM VIII: UROGYNAECOLOGY RECONSTRUCTION 2 URINARY INCONTINENCE



181



OVER ACTIVE BLADDER ALTERNATIF TERAPI BILA ANTIMUSKARINIK TIDAK MEMBUAHKAN HASIL Dr. dr. Erwinanto, SpOG(K) Divisi Uroginekologi – Rekonstruksi Departemen Obstetri-Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP dr. Kariadi Semarang PENDAHULUAN Kandung kemih terlalu aktif (OAB) adalah masalah yang ditandai dengan urgensi; keinginan yang tiba-tiba untuk buang air kecil yang tidak bisa ditunda. Menurut International Continence Society (ICS) ―urgensi, dengan atau tanpa dorongan inkontinensia, biasanya dengan frekuensi dan nocturia, dapat digambarkan sebagai sindrom kandung kemih yang terlalu aktif, sindrom urge, atau sindrom frekuensi urgensi. Istilah-istilah ini dapat digunakan jika tidak ada infeksi yang terbukti atau patologi yang jelas. Ini dapat dikaitkan dengan frekuensi dan nokturia, dan itu dapat terjadi dengan inkontinensia urin.1 Kandung kemih yang terlalu aktif adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan penyimpanan urin di kandung kemih. Dalam kondisi ini otot di dinding kandung kemih mungkin tidak stabil, yang dapat menyebabkan kebocoran urin. Sekitar 19 persen orang dewasa di Amerika Serikat diketahui gejala OAB. Gejala utama OAB termasuk kebutuhan tiba-tiba atau tidak terkendali untuk buang air kecil dan sering buang air kecil.2 Ada beberapa pilihan untuk mengelola gejala OAB. Pada awalnya direkomendasikan perubahan gaya hidup atau perilaku, dilanjutkan dengan beberapa pilihan obat juga tersedia. Pengelolaan lebih lanjut dan opsi bedah juga menjadi pilihan dalam kasus yang parah. PERAWATAN AWAL Karena OAB digolongkan sebagai "gejala kompleks" dan bukan penyakit, sebagian besar rencana perawatan fokus pada mengatasi gejala. Opsi awal berisiko rendah meliputi: perubahan gaya hidup bermanfaat, latihan fisik, teknik mental, dan latihan penguatan. 3 Latihan penguatan Gejala OAB dapat dikontrol dengan latihan yang membantu memperkuat dasar panggul dan otot perut bagian bawah. Otot perut yang kuat, punggung bagian bawah, serta otot paha dan pinggul bagian dalam juga dapat membantu. Salah satu latihan OAB yang paling umum digunakan, yang disebut Kegels, menargetkan otot-otot dasar panggul dan sfingter urin. Ada opsi lain untuk 182



membantu mengondisikan dasar panggul, seperti: biofeedback, stimulasi elektrik dan perubahan diet.4 Perubahan diet Perubahan diet seringkali dapat membantu gejala OAB. Diuretik meningkatkan keluaran urin dan harus dihindari, ini termasuk: kafein, alkohol, dan makanan asin. Makanan dan minuman pedas dan asam juga mengandung bahan kimia yang mengiritasi lapisan kandung kemih. Memantau asupan cairan Pemantauan asupan cairan juga merupakan komponen besar dari sebagian besar rencana perawatan OAB. Mengetahui berapa banyak cairan yang diminum dan berapa lama yang dibutuhkan untuk keluar dari tubuh membantu memberikan konteks pada gejala. Meskipun tetap terhidrasi adalah penting, mengurangi tingkat asupan cairan hingga 25 persen telah terbukti mengurangi urgensi, frekuensi, dan nokturia kemih (terbangun di malam hari untuk buang air kecil).5 Strategi mental Strategi mental dan teknik lainnya juga dapat membantu individu mendapatkan lebih banyak kontrol atas gejala OAB dan pada gilirannya mengurangi keparahan mereka. Ini termasuk:    



Teknik latihan kandung kemih membantu kondisi pikiran untuk mengabaikan atau menunda keinginan untuk buang air kecil. Ini bekerja dengan perlahan-lahan meningkatkan waktu antara perjalanan ke kamar kecil. Pengaturan dan berpegang teguh pada jadwal buang air kecil yang ditetapkan juga dapat melatih pikiran untuk menunda dorongan. Mengenakan bantalan penyerap dapat membantu mereka dengan kasus OAB sedang hingga parah untuk mengatasi ketakutan awal kecelakaan. Menyimpan catatan harian tentang gejala dan kecelakaan OAB juga dapat membantu mengidentifikasi faktor individu yang memperburuk gejala.



Perubahan gaya hidup Terapi perilaku tambahan untuk mengobati OAB termasuk menghentikan atau mengatasi kebiasaan gaya hidup tertentu yang meningkatkan gejala OAB. Ini termasuk: menghindari rokok, mengendalikan tekanan darah tinggi, mencegah diabetes gestasional. Kelebihan berat badan juga memberi tekanan pada kandung kemih dan organ urin mengintensifkan gejala OAB. OBAT-OBATAN Jika perawatan awal tidak berhasil mengurangi gejala OAB, ada banyak pilihan pengobatan yang melibatkan obat. Kelas obat yang paling sering diresepkan yang digunakan untuk mengobati gejala OAB adalah jenis anti-kolinergik, yang disebut anti-muskarinik. Anti-otot mengurangi aktivitas otot di dinding kandung 183



kemih dengan menghalangi reseptornya. Ini biasanya mengurangi urgensi dan frekuensi kemih.4 Obat anti-muskarinik yang paling sering diresepkan termasuk:6       



oxybutynin solifenacin tolterodine fesoterodine trospium oxybutynin chloride darifencin



Semua obat anti-muskarinik membawa efek samping yang serupa. Mulut kering dan sembelit adalah yang paling umum. Namun, efek samping bervariasi antar individu. Mirabegron Mirabegron, menjadi lebih banyak digunakan tergantung pada riwayat individu dan faktor risiko. Obat ini berfungsi untuk mengendurkan otot kandung kemih, meningkatkan jumlah urin yang bisa dipertahankan oleh kandung kemih. Meningkatkan kapasitas kandung kemih juga meningkatkan jumlah urin yang dikeluarkan saat buang air kecil. Ini mengurangi jumlah kunjungan kamar kecil secara individual sepanjang hari.7 Mirabegron memiliki beberapa efek samping yang diketahui, termasuk:         



gejala flu biasa mulut kering Infeksi saluran kemih retensi urin sembelit peningkatan tekanan darah sakit kepala atau sakit punggung kelelahan atau kantuk peningkatan risiko gagal, terutama pada mereka yang berusia di atas 65 tahun



PERAWATAN LEBIH LANJUT Jika pengobatan tidak efektif, perawatan lebih lanjut untuk OAB termasuk penggunaan perangkat untuk mengirim sinyal listrik ke saraf, mengubah cara kerjanya. Perawatan ini disebut terapi neuromodulation. Ini hanya digunakan dalam kasus OAB yang parah atau ketika semua pilihan pengobatan lain telah gagal.8



184



Neuromodulasi sakral Salah satu jenis terapi neuromodulasi spesifik yang digunakan disebut sakral neuromodulation (SNS). Ini melibatkan dua operasi untuk menanamkan alat pacu jantung elektronik. Setelah diaktifkan, alat pacu jantung menetapkan tingkat aktivitas saraf sakral, yang menyampaikan sinyal antara sumsum tulang belakang dan kandung kemih. Salah satu penelitian telah menemukan bahwa terapi SNS mungkin rata-rata 20 persen lebih efektif daripada perawatan medis standar dalam mengobati gejala kandung kemih yang terlalu aktif. Simulasi saraf tibialis perkutan Pilihan yang kurang invasif yang disebut stimulasi saraf tibialis perkutan (PNTS) juga tersedia. Hanya perlu sekitar setengah jam per sesi untuk melakukan dan biasanya dilakukan di kantor dokter. Dalam PNTS, jarum elektroda dimasukkan di dekat pergelangan kaki yang memberikan pulsa listrik ke saraf tibialis. Saraf ini terhubung langsung ke saraf sakral. Seperti pada SNS, pulsa elektrik ini membantu menghalangi pensinyalan kandung kemih yang tidak tepat. Suntikan OAB juga dapat diobati dengan suntikan Botox. Botox dapat disuntikkan ke otot kandung kemih dengan proses yang disebut cystoscopy. Botox memblokir reseptor dan membatasi aktivitas otot kandung kemih. Untuk beberapa orang dengan OAB, Botox dapat menawarkan pilihan perawatan yang lebih nyaman. Efek injeksi Botox dapat bertahan selama beberapa bulan dan sesi perawatan hanya diperlukan sekali atau dua kali setahun. Botox juga dapat digunakan dalam kombinasi dengan obat anti-muskarinik dan dianggap memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada banyak perawatan lainnya.7 Operasi Jika opsi perawatan OAB lebih lanjut terbukti tidak efektif atau tidak sesuai untuk individu tertentu, operasi dapat dilakukan. Sebagian besar operasi OAB bertujuan untuk mengurangi gejala parah dengan meningkatkan kapasitas penyimpanan kandung kemih dan mengurangi tekanan kandung kemih secara keseluruhan. Dalam kasus yang ekstrem, kandung kemih dapat diangkat dan diganti dengan versi organ yang dibuat dengan pembedahan atau kantung eksternal untuk menampung urin.1,3 Obat alternatif Beberapa pengobatan alternatif atau terapi komplementer direkomendasikan untuk perawatan OAB. Akupunktur dan electroacupuncture telah terbukti membantu meningkatkan gejala urgensi, frekuensi, dan inkontinensia urin. Beberapa obat herbal juga terbukti berpotensi membantu mengurangi gejala OAB.9



185



DAFTAR PUSTAKA 1. Markland AD, Vaughan CP, II TMJ, Burgio KL, Goode PS. Incontinence. Medical Clinics of North America. 2011;93(5):539-54. 2. Onukwugha E, Zuckerman IH, McNally D, Coyne KS, Vats V, Mullins CD. The total economic burden of overactive bladder in the United States: a disease specific approach. American Journal of Managed Care. 2009;15(4):90-7. 3. Palmer, Gray W. Overactive bladder in women. American Jlournal of Nursing. 2017;117(4):34-41. 4. Chugtai B, Levin R, De E. Choice of antimuscarinic agents for overactive bladder in the older patient: focus on darifenacin. Clinical Intervention in Aging. 2008;3(3):503-9. 5. Hashin H, Abrams P. How should patients with an overative bladder manipulate their fluid intake? British Journal of Urology. 2007;102:62-6. 6. Robinson D, Cardozo L. Antimuscarinic drugs to treat overative bladder. British Medical Journal. 2012;344:43-6. 7. Liao C-H, Kuo H-C. High satisfaction with direct switching from antimuscarinics to mirabegron in patients receiving stable antimuscarinic tratment. Medicine. 2016;95:1-5. 8. Siegel S, Noblett K, Mangel J, Griebling TL, Sutherland SE, Bird ET, et al. Result of prospective, randomized, multicenter study evaluating sacral neuromodulation with InterStim therapy compared to standard medical therapy at 6-months in subject with mild symptoms of overative bladder. Neurology and Urodynamics. 2014;34(3):224-30. 9. Chugtai B, Kavaler E, Lee R, Te A, Kaplan SA, Lowe F. Use of herbal supplements for overative bladder. Reviews in Urology. 2013;15(3):93-6.



186



TERAPI PEMBEDAHAN MINIMAL UNTUK INKONTINENSIA URIN TEKANAN (STRESS URINARY INCOTINENCE) Tyas Priyatini, dr., Sp.OG(K) Divisi Uroginekologi dan Bedah Rekonstruksi Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ABSTRAK Inkontinensia Urin tekanan (Stress Urinary incontinence) dialami oleh 18-55% perempuan adalah ketidakmampuan menahan keluarnya urin saat aktivitas fisik seperti batuk, bersin, tertawa dan berolahraga. Tatalaksana inkontinensia urin tekanan dapat berupa tatalaksana konservatif berupa latihan otot dasar panggul atau penggunaan pesarium dengan penyangga urethra atau tatalaksana pembedahan. Baku emas terapi pembedahan dahulu adalah kolposuspensi Burch, namun dengan perkembangan ilmu dan teknologi sling midurethra menjadi baku emas yang digunakan saat ini. Terdapat berbagai jenis sling midurethra yang digunakan saat ini, diantaranya adalah sling transobturator, sling retropubik dan minisling ( single incision sling). Dari data Cochrane didapatkan bahwa tidak ditemukan perbedaan angka kesembuhan jangka menengah (3-5 tahun) dan jangka panjang (> 5 tahun) antara sling transobturator dan retropubik namun dengan angka morbiditas yang lebih tinggi pada penggunaan sling retropubik. Sedangkan angka kesembuhan objektif pada minisling lebih rendah dibanding sling transobturator. Modalitas pembedahan minimal lain yang juga dikembangkan adalah penyuntikan bulking agent periurethra yang ditujukan untuk meningkatkan koaptasi mukosa urethra dan meningkatkan resistensi outlet dalam upaya menurunkan kebocoran akibat inkontinensia urin tekanan, namun sampai saat ini upaya untuk mendapatkan materi terbaik untuk disuntikkan masih terus dalam pengembangan. Modalitas terapi terbaru yang sedang dikembangkan juga adalah penggunaan rejuvenasi menggunakan laser untuk inkontinensia urin tekanan yang masih ringan. Namun masih belum banyak penelitian mengenai penggunaan laser ini untuk terapi inkontinensia urin tekanan. DAFTAR PUSTAKA 1. Guin G, Choudhary A, Dabhich R. Prevalence of stress urinary incontinence and its associated risk amongst females attending tertiary refferal centre. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol, 2018; 7(6):2115-9. 2. Hunskaar , Lose G, Sykes D, Voss S. The prevalence of urinary incontinence in women in four European countries. BJU Int 2004;93:324-30 187



3. 4.



5. 6.



Ford AA, Rogerson L, Cody JD, Aluko P, Ogah JA. Mid-urethral sling operation for stress urinary incontinence in women (Review). Cochrane database of systematic review 2017, Issue 7. Art No: CD006375. Pascom ALG, Djehdian LM, Bortolini MAT, Jermy-DiBella ZLK, Delroy CA, Tamanini JTN. Randomized controlled trial comparing single incision and transobturator midurethral sling for the treatment of stress urinary incontinence: 3 3-years follow-up result. Neurourology and urodynamics. 2018;1-7. Mamut A, Kevin V, Carlson. Periurethral bulking agents for female stress urinary incontinence in Canada. Can Urol Assoc J. 2017;11 (6suppl2): S152-4. Jasim SM, Khalil Al-Rawi RY. Efficacy and safety of vaginal CO2 Laser treatment in females stress urinary incontinence. Med J Babylon . 2018;15:2517.



188



PANDUAN TATA LAKSANA INKONTINENSIA URIN PADA PEREMPUAN Dr. Benny Hasan, dr., Sp.OG(K) Divisi Uroginekologi – Rekonstruksi Departemen Obstetri-Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung ABSTRAK Inkontinensia urin adalah keluhan yang sangat umum di setiap populasi. Keluhan dapat ini dapat berdampak terhadap kehidupan sehari hari penderitanya, selain itu dapat pula berimbas terhadap, pengengeluaran biaya yang signifikan, baik bagi individu maupun masyarakat. Perkiraan prevalensi bervariasi sesuai dengan definisi inkontinensia dan populasi yang diteliti. Namun, ada kesepakatan universal tentang pentingnya masalah dalam hal penderitaan manusia dan biaya ekonomi. Pedoman dari tentang penaganan Inkontinensia Urin ini ditulis oleh para ahli urologi,uroginekologi, penyakit dalam, syaraf dan para ahli bidang rehabilitasi medik di Indonesia, yang tergabung dalam perkumpulan seminat inkontinensia urine (PERKINA). Mereka bertujuan untuk memberikan panduan berbasis bukti yang masuk akal dan praktis pada masalah klinis. Fokus dari Panduan ini sepenuhnya pada penilaian dan perawatan yang mencerminkan praktik klinis. PENDAHULUAN Prevalensi inkontinensia urine meningkat seiring dengan bertambahnya 1,3 usia. walaupun inkontinensia urine bukan merupakan kondisi yang mengancam jiwa, inkontinensia urine dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup, karena mempengaruhi aktivitas sehari-hari, hubungan interpersonal dan seksual, kesehatan psikologis, dan juga interaksi sosial.4,5 Secara klinis, inkontinensia urine dapat dibedakan menjadi akut dan persisten. Inkontinensia urine akut biasanya berkaitan dengan penyakit akut atau masalah iatrogenis dan bersifat sementara, sehingga dapat sembuh bila masalah yang mendasarinya telah diatasi. Inkontinensia urine persisten tidak terkait penyakit akut dan bersifat menetap. Inkontinensia urine saat ini dibagi menjadi 5 tipe yaitu, inkontinensia urine tekanan (Stress Urinary Incontinence), ditandai dengan keluarnya urin di luar kehendak yang berhubungan dengan meningkatnya tekanan intraabdominal misal ketika bersin, batuk, atau tekanan fisik lainnya. Inkontinensia urine desakan (Urgency Urinary Incontinence) ditandai dengan keluarnya urin di luar kehendak yang diawali oleh desakan berkemih . Inkontinensia urine campuran (Mixed Urinary Incontinence) ditandai dengan keluarnya urin di luar kehendak yang diawali dengan desakan berkemih dan juga berkaitan dengan peningkatan tekanan intra abdominal.



189



Inkontinensia urine luapan (Overflow Urinary Incontinence) keluarnya urin di luar kehendak, disebabkan karena luapan urin yang berkaitan oleh sumbatan infravesika atau kelemahan otot detrusor kandung kemih. Inkontinensia urineterusmenerus / kontinua (continuous urinary incontinence) keluarnya urin di luar kehendak secara terus-menerus. Inkontinensia urine desakan merupakan salah satu gejala dalam suatu sindrom klinis yang dikenal dengan overactive bladder (OAB), yang ditandai dengan desakan kuat untuk berkemih (urgensi),dengan inkontinensia urine desakan (OAB basah) atau tanpa inkontinensia urine desakan (OAB kering). Biasanya disertaidengan sering berkemih di siang hari (frekuensi) maupun malam hari (nokturia). EPIDEMIOLOGI Prevalensi inkontinensia urine pada perempuan dewasa menurut penelitian dari 17 negara pada tahun 2004 berkisar antara 5% hingga 69%.7 Perempuan usia lanjut lebih cenderung mengalami inkontinensia urine campuran dan desakan, sedangkan perempuan muda dan usia pertengahan umumnya mengalami inkontinensia urine tekanan. Secara keseluruhan, sekitar setengah dari seluruh perempuan dengan inkontinensia urine diklasifikasikan sebagai inkontinensia urine tekanan.2 faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan prevalensi inkontinensia urinepada perempuan antara lain usia, riwayat kehamilan, obesitas, hormon, diabetes mellitus, histerektomi, infeksi saluran kemih, fungsi fisik yang terganggu, gangguan kognitif, depresi, menopause, aktivitas fisik, merokok, batuk kronik, penyakit paru kronik, diet, riwayat keluarga, genetik, serta penyakit jantung koroner.6 Perkumpulan inkontinesia indonesia (PERKINA) telah melakukan penelitian mengenai profil inkontinensia urine di indonesia pada tahun 2008. Penelitian ini melibatkan enam rumah sakit pendidikan yaitu: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makasar, dan Medan. Dari total 2.765 responden yang memenuhi kriteria inklusi, didapatkan prevalensi total inkontinensia urine sebesar 13%. Secara umum, OAB basah dan inkontinensia urine tekanan merupakan dua tipe yang paling banyak ditemukan, yaitu sebesar 4,1% dan 4,0%. Sedangkan prevalensi inkontinensia urine yang lain secara berurutan: OAB kering (1,8%), inkontinensia urinecampuran (1,6%), inkontinensia urineluapan (0.4%), enuresis (0.4%), dan inkontinensia urineurin tipe lain (0.7%). Dalam penelitian ini OAB kering dimasukkan walaupun keadaan ini tidak dimasukkan pada tipe inkontinensia urineyang ditetapkan oleh perkina. Prevalensi inkontinensia urine ditemukan meningkat seiring pertambahan usia. Jumlahnya pada populasi geriatri (≥ 60 tahun) sebesar 22,2%, lebih banyak secara bermakna bila dibandingkan populasi dewasa (18-59 tahun) sebesar 12,0%. Tidak ditemukan perbedaan angka prevalensi inkontinensia urinesecara bermakna antara jenis kelamin pria dan wanita. OAB basah dan inkontinensia urinetekanan



190



menjadi yang terbanyak ditemukan pada populasi usia lanjut, dengan prevalensi masingmasing sebesar 4,6%.7 PATOFISIOLOGI Inkontinensia urine tekanan, dapat disebakan oleh gangguan pada struktur intrinsik sfingter uretra, hipermobilitas uretra, gangguan pada jaringan pendukung uretra (dinding vagina anterior, levator Ani, struktur ekstrinsik dari uretra). Inkontinensia urine desakan dapat disebabkan oleh kelainan neurogenik dan non neurogenik, seperti, sumbatan infravesika, adanya patologi kandung kemih Seperti batu, tumor, dan infeksi. Inkontinensia urine campuran merupakan gabungan antara tekanan dan desakan. Inkontinensia urineluapan, dapat disebabkan gangguan kontraktilitas kandung kemih dan sumbatan infravesika sedangkan, inkontinensia urine terus-menerus/kontinua biasanya disebabkan gangguan kontinuitas jaringan saluran kemih dan genitalia. Beberapa faktor risiko pada perempuan yang dapat di identifikasi antara lain, kehamilan dan persalinan per vaginam, proses penuaan, menopause, Diabetes, obesitas, trauma pembedahan 8,9 Penilaian awal Inkontinensia urine, yaitu dilakukan pertanyaaan penapis. Pertanyaan berkisar skitar masalah saat dan pola terjadinya gangguan penyimpanan dan pengeluaran yrine yang dirasakan. Keluar urin di luar kehendak sebaiknya ditanyakan kepada penderita sebagai Pertanyaan penapis.8 Pada penilaian awal, harus dapat dibedakan antara penderita inkontinensia urine dengan atau tanpa Komplikasi. Rujukan penanganan spesialistik dibutuhkan pada penderita inkontinensia urine yang disertai Gejala, berupa nyeri, hematuria, Infeksi saluran kemih berulang, gangguan berkemih, Prolaps organ panggul deraja dua atau lebih, riwayat operasi inkontinensia urinesebelumnya yang gagal, riwayat radioterapi pada daerah panggul, riwayat operasi pada daerah panggul, tersangka adanya fistula. Selain itu penanganan spesialitik dilakukan bila ditemukan Volume residu urine lebih dari 100 cc, adanya massa di daerah panggul. Pada anamnesis juga perlu dilakukan penilaian pola berkemih menggunakan catatan harian Berkemih, serta kualitas hidup, dan keinginan untuk mendapatkan terapi. Selain itu untuk membantu memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem penilaian dengan menggunakan kuesioner Seperti OABSS atau IPSS. Pemeriksaan fisik umum meliputi daerah abdomen, panggul, genitalia, dan colok dubur. Sedangkan pemeriksaan fisik khusus antara lain meliputi beberapa test yaitu, stress test, bonney test, q-tip test. Pemeriksaan penunjang lain antara lain pemeriksaan status estrogen (genitalia eksterna), methylene blue test (bila dicurigai terdapat fistula). Pemeriksaan penunjang para klinis dapat meliputi, antara lain urinalisis ± kultur urin à bila ada infeksi diobati dan dinilai ulang, test fungsi ginjal, gula darah, USG abdomen dan transvaginal bila diperlukan.



191



PENGELOLAAN KASUS Penanganan awal inkontinensia urine tekanan, desakan atau campuran meliputi anjuran untuk Memperbaiki gaya hidup, terapi fisik, pengaturan jadwal berkemih, terapi perilaku dan Medikasi/obat-obatan. Perbaikan gaya hidup meliputi, menurunkan berat badan pada obesitas, mengurangi asupan kafein. Terapi fisik meliputi, Latihan otot dasar panggul, merupakan terapi konservatif lini pertama inkontinensia urine desakan, Tekanan, atau campuran dan pada wanita tiga bulan pasca melahirkan dengan gejala Inkontinensia urineyang menetap. Latihan otot dasar panggul lebih efektif dibandingkan latihan kandung kemih sebagai terapi Lini pertama pada inkontinensia urine tekanan. Latihan otot dasar panggul dapat dilakukan pada wanita hamil untuk mencegah inkontinensia urine pasca melahirkan. Latihan dengan menggunakan vaginal cones, dapat ditawarkan pada inkontinensia urine desakan atau Campuran. Stimulasi elektrik dapat ditawarkan pada inkontinensia urinetekanan, desakan, dan campuran.Latihan kandung kemih, merupakan terapi lini pertama untuk inkontinensia urine desakan, Pengaturan jadwal berkemih dengan interval dua jam dapat disarankan pada inkontinensia urine ringan. Penanganan spesialistik dapat berupa Pemeriksaan tambahan seperti sitologi urin, uretrosistokopi atau pencitraan saluran kemih, Dibutuhkan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Apabila pemeriksaan tersebut Tidak menunjukkan adanya penyakit lain, penderita dapat ditangani dengan pilihan Penanganan awal atau spesialistik yang sesuai. Penanganan lebih lanjut, seperti terapi invasif diperlukan pada penderita yang mengalami Kegagalan pada penanganan awal dan mengalami penurunan kualitas hidup. Pemeriksaan Urodinamik untuk mendiagnosis tipe inkontinensia urinesangat dianjurkan sebelum dilakukan tindakan Invasif. Penanganan yang dapat dilakukan antara lain, Jika inkontinensia urine tekanan telah terdiagnosis dengan urodinamik, maka beberapa pilihan terapi dapat dianjurkan kepada penderita dengan hipermobilitas leher kandung kemih dan uretra tersebut. Penanganan berupa tindakan invasif antara lain prosedur suspensi retropubik, operasi ambin (sling) leher kandung kemih atau uretra, bila disertai pop dianjurkan untuk ditangani pada waktu yang bersamaan. Pada penderita dengan mobilitas leher vesika urinaria terbatas, dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan ambin pada leher kandung kemih, injeksi bulking agents. Pada inkontinensia urinedesakan yang tidak ada perbaikan gejala setelah terapi awal selama tiga bulan, dapat dipertimbangkan untuk augmentasi kandung kemih, injeksi botulinum toksin, dan Neuromodulator. Penderita dengan Residu urine pasca berkemih ≥ 100 cc, dapat disebabkan karena sumbatan uretra atau kelemahan otot detrusor atau Prolaps organ panggul. Terapi pembedahan untuk inkontinensia urine pada perempuan, dipertimbangkan sebagai pilihan setelah kegagalan pada terapi konservatif atau



192



terapi medikamentosa. Walupun begitu tujuan dari semua operasi inkontinensia urine adalah menghasilkan suatu keadaan kontinensia. Di bawah ini kami sampaikan pola algoritme penangan inkontinensia urine pada perempuan. Algoritme tersebut meupakan panduan yang diajukan oleh PERKINA, dan pengelolaan inkontinensia urine yang lengkap telah pula di ajukan oleh PERKINA. Bagi para dokter yang tertarik untuk mempelajari lebih lanjut, dapat mempelajarinya dalam buku panduan yang telah dikeluarkan oleh PERKINA. Dibawah ini Algoritme penganan Inkontinensia urine perempuan 9 Dikutip dari Buku panduan penaganan Inkontinesia urine yang dikeluarkan oleh PERKINA



193



194



KESIMPULAN Banyak pola algoritme yang ditawarka oleh berbagai perkumpulan urologi, uroginekologi dar berbagai negara, namun mengingat inkontinensia urine ini berkaitan dengan status sosial penderita serta pola sosial yang berbeda di tiap negara maka, kami menanjurkan bagi penangan pasien inkontinensia urine di Indonesia sebaiknya menggunakan panduan yang telah dikeluarkan oleh PERKINA. DAFTAR PUSTAKA 1. Oxford centre for evidence-based medicine levels of evidence (may 2001). Produced By bob phillips, chris ball, dave sackett, doug badenoch, sharon straus, brian Haynes, martin dawes since november 1998. 2. Chapple CR, Milsom I. Urinary incontinence and pelvic prolapse: epidemiology and pathophysiology. In: kavoussi lr, novick ac, partin aw, peters ca. Campbellwalsh Urology 10th edition. Philadelphia: elsevier saunders; 2012. P. 1872-95. 3. Shamliyan T, Wyman J, Bbliss DZ, Kane RL, Wilt TJ. Prevention of fecal and urinary Incontinence in adults. Evidence report/technology assessment no. 161. Agency for Healthcare research and quality (ahrq). Rockville, md: ahrq; 2007. Ahrq Publication 08–e003. 4. Athanasopoulos A, Guzman SA. Reevaluating the health-related quality of life impact And the economic burden of urgency urinary incontinence. European urology Supplements. Mar 2011;10(1):3-7. 5. Corcos J, Beaulieu S, Donovan J, Naughton M, Gotoh M. Quality of life assessment in Men and women with urinary incontinence. J urol. Sept 2002;168(3):896-905. 6. Urinary (ui) and faecal (fi) incontinence and pelvic organ prolapse (pop). Who-ics International consultation on incontinence. World health organization. 2005. 7. Rochani, Mochtar CA, Rahardjo HE, Yunisaf, Santoso BI, setiati s, et al. Prevalence of Urinary incontinence, risk factors and its impact: multivariate analysis from indonesian Nation-wide survey. Perkina, 2008. 8. Milsom I, Altman D, Lapitan MC, Nelson R, Sillen U, Thom U. Epidemiology of Urinary and faecal incontinence and pelvic organ prolapse. In: Abrams P, Cardozo L, Khoury S, Wein A. Incontinence. 4th ed. Paris: 4th international consultation on Incontinence. Hal. 55-60, 90 9. European association of urology (eau). Thuroff JW, Abrams P, Anderson KE, Artibani W, Capple CR, Drake MJ, et al. Guidelines on urinary incontinence. EAU;2012.



195



SYMPOSIUM IX: FERTILITY AND ENDOCRINOLOGY REPRODUCTION 2 POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME (PCOS)



196



DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME (PCOS) PADA REMAJA Dr. Sutrisno, dr., Sp.OG(K) Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi – Dept. Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya RS Dr. Saiful Anwar , Malang ABSTRAK Polycystic Ovary Syndrome (PCOs) adalah kelainan endokrin yang umum pada remaja perempuan yang berimplikasi pada system reproduksi dan metabolisme. Pasien dengan PCOs biasanya datang ke dokter untuk evaluasi ketidakteraturan menstruasi dan tanda-tanda hiperandrogenisme, seperti hirsutisme dan jerawat. Diagnosis PCOs dibuat berdasarkan gejala klinis dan evaluasi laboratorium. Diagnosis PCOs pada orang dewasa didasarkan pada kriteria Rotterdam 2003 yaitu setidaknya dua dari tanda-tanda berikut harus ada: oligoovulasi dan/atau anovulasi, bukti klinis atau biokimia dari hiperandrogenisme, dan ovarium polikistik dengan ultrasonografi (US) yaitu didefinisikan sebagai adanya folikel dengan diameter 2-9 mm dalam jumlah yang banyak, atau volume ovarium (OV) lebih besar dari 10 cm3. Kriteria Rotterdam sukar diterapkan pada remaja karena gejalanya tumpang tindih dengan perkembangan pubertas. TVS tidak dilakukan secara rutin pada anak perempuan yang tidak aktif secara seksual, dan US transabdominal kurang membantu dalam menganalisis morfologi ovarium atau jumlah folikel. Modifikasi gaya hidup adalah landasan pengobatan untuk remaja dengan PCOs, namun obat hormonal seperti pil kontrasepsi oral dan agen sensitisasi insulin berguna dan efektif sebagai tambahan terapi. Tujuan dari perawatan untuk anak remaja perempuan dengan PCOs adalah untuk menekan manifestasi klinis yang timbul dan jangka panjang mencegah penyulit yang terkait dengan PCOs berupa gangguan endokrin metabolik, infertilitas, kardiovaskuler dan gangguan sosial dan psikis. PENGANTAR Sindrom ovarium polikistik (PCOs) adalah salah satu gangguan endokrin yang paling umum pada wanita. PCOs erat hubungannya dengan morbiditas terkait aspek kesehatan reproduksi (infertilitas), disfungsi psikososial, sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular, dan risiko kanker. Stein dan Leventhal pertama kali menggambarkan gangguan ini pada tahun 1935 setelah melakukan observasi yang lama mengenai keluhan klinis wanita yang kelebihan berat badan yang mengalami amenore dan mengalami infertilitas. Pengamatan mengarah kepada adanya abnormalitas ovarium yang menjadi pangkal utama masalah klinis dari PCOs ini. Permasalahan menjadi komplek bila yang mengalami PCOs masih diusia remaja, karena pada usia remaja jaras H-P-O masih belajar aktif, keluhan-keluhan 197



klinis banyak menyerupai penyakit lain, dan pemeriksaan ginekologis/imaging ada keterbatasan karena belum menikah. Kontroversi berlanjut tentang etiopatogenesis, kriteria diagnostik, dan rekomendasi yang mendasari PCOs pada remaja. Hiperandrogen memegang peran kunci untuk PCOs di usia remaja PERMASALAHAN PATOGENSIS Ditinjau dari segi patogenesis, terdapat heterogenitas pada PCOs ini. Meskipun patogenesisnya belum bisa dipahami dengan baik, PCOs diketahui merupakan interaksi yang kompleks antara genetik dan lingkungan. Beberapa teori etiologi yang sudah diterima antara lain: gangguan sekresi neuroendokrin dan gonadotropin, hiperandrogenisme, resistensi insulin, dan hiperinsulinemia atau kombinasi diantaranya. Hiperandrogenisme ovarium menjadi disfungsi primer dengan temuan tambahan berupa hiperinsulinisme, resistensi insulin, peningkatan hormon luteinizing (LH) dan obesitas. PCOs KLASIK (CLASSIC POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME) PCOs klasik dideskripsikan pada tahun 1935 oleh Stein dan Leventhal dalam bentuk klinis adanya amenore dengan ovarium polikistik pada wanita, disertai adanya bulu-bulu panjang di tubuhnya dan obesitas. Istilah PCOs diperkenalkan setelah pengenalan spektrum yang lebih luas dari gejala klinis dan histologi ovarium, termasuk hiperplasia stroma dengan banyak folikel subkapsular. Sekitar dua pertiga pasien dengan PCOs klasik memiliki hirsutisme (akne vulgaris atau alopecia), dua pertiga memiliki gejala anovulasi (dimanifestasikan sebagai amenorea, oligomenorea, perdarahan uterus abnormal), dan tampilan tubuh obesitas. Dengan demikian, hanya sekitar sepertiga dari kasus klasik yang memiliki gambaran klinis lengkap. Kriteria diagnostik laboratorium untuk PCOs klasik adalah adanya hiperandrogenisme secara biokimia, dengan ovarium polikistik dengan ultrasonografi atau peningkatan kadar serum hormon luteinizing (LH) atau peningkatan rasio LH terhadap FSH. PCOs



NONKLASIK



(NONCLASSIC



AND



ATYPICAL



POLYCYSTIC



OVARIAN SYNDROME) Konferensi National Institutes of Health (NIH) tahun 1990 tentang PCOs menyetujui definisi baru untuk sindroma ini sebagai bagian penting untuk membuat diagnosis PCOs. Dalam konferensi disetujui kriteria untuk PCOs harus terdiri dari anovulasi kronis dengan tanda-tanda klinis atau biokimia dari hiperandrogen yang tidak dijelaskan oleh etiologi lain. Ini membuka kesepakatan bahwa hiperandrogen dan anovulasi beserta aspek klinisnya menjadi pemain sentral dari sindroma ini meskipun tidak didukung adanya kelainan secara USG dan kelainan gonadotropin. Ini yang disebut sebagai PCOS non-klasik (Nonclassic and atypical polycystic ovary syndrome)



198



Gambaran klinis Kriteria diagnostik PCOs pada remaja berbeda dengan dewasa. Pada remaja haid yang tidak teratur sering di jumpai dan dikategorikan normal karena poros hipotalamus-hipofisis-ovarium (HPO) masih belum matang sehingga siklus haid sering tidak normal. Tanda-tanda kelebihan androgen (misalnya jerawat) sering normal dijumpai pada fase pubertas dan bukan karena PCOs. Kadar testosteron masih belum didapatkan angka standart. Profil morfologi ovarium normal pada remaja menyerupai morfologi ovarium pada PCOs. Pada tahun 1990, panel ahli bertemu di National Institutes of Health dan mengusulkan kriteria diagnostik untuk PCOs klasik, yaitu oligo atau anovulasi, dan adanya tanda-tanda hiperandrogenisme secara biokimia atau klinis setelah menyingkirkan penyebab hiperandrogenisme yang lainnya dan adanya disfungsi ovulasi. Disfungsi ovulasi ditandai adanya gangguan menstruasi. Disfungsi menstruasi dapat berupa amenore, oligomenorea, sub atau infertilitas, dan perdarahan uterus abnormal (AUB). Karena ovulasi sulit diukur, ketidakteraturan menstruasi biasanya digunakan sebagai pengganti untuk kelainan ovulasi. Hiperandrogenisme ditandai oleh hirsutisme, munculnya jerawat, kebotakan pola pria atau alopecia, dan satu atau lebih hormon androgen yang meningkat (total testosteron, testosteron bebas, dehydroepiandrosterone-sulfate (DHEA-S) dan / atau androstenedione) Pada tahun 2003, pada pertemuan di Roterdam, kriteria diagnostik diperbarui dan diperluas, memperluas spektrum temuan klinis untuk mengakomodasi pasien yang menunjukkan gejala PCOS tetapi tidak memenuhi kriteria NIH. Menurut kriteria Rotterdam, dua dari tiga dari gejala hiperandrogenisme, oligo atau anovulasi dan ovarium polikistik pada USG sudah cukup untuk diagnosis PCOs. Temuan klinis untuk mendukung diagnosis meliputi: obesitas, resistensi insulin, dan peningkatan kadar hormon luteinizing (LH). Tahun 2006, Hiperandrogen task force menghasilkan pedoman diagnostik dan menyimpulkan bahwa PCOs terutama merupakan kelainan hiperandrogenisme dan keberadaannya diperlukan untuk diagnosis. Pasien dengan PCOs yang memiliki kadar androgen sirkulasi tinggi memiliki risiko kardiometabolik yang lebih besar dibandingkan dengan pasien yang memiliki kadar androgen yang lebih rendah atau normal, sehingga memahami kriteria yang digunakan untuk diagnosis adalah penting untuk skrining dan konseling. Oleh karena itu harus dieksplorasi penyebab hiperandrogen lainnya termasuk hirsutisme idiopatik, hiperplasia adrenal kongenital, tumor ovarium atau adrenal, dan sindrom Cushing Saat ini ada tiga set kriteria diagnostik untuk PCOs pada orang dewasa. Kriteria National Institutes of Health (NIH) membutuhkan ketidakteraturan menstruasi dan bukti kelebihan androgen. Pedoman Rotterdam menerima dua dari tiga kriteria yang terdiri dari ketidakteraturan menstruasi, kelebihan androgen, dan morfologi ovarium polikistik (PCO) pada USG. Hiperandrogen dan PCOs Society



199



(AE-PCOS) merekomendasikan diagnosis dengan adanya hiperandrogenisme, dengan ketidakteraturan menstruasi atau gambaran ovarium PCO. Berbagai jenis disfungsi ovulasi pada remaja dapat berupa: (I) interval menstruasi berturut-turut > 90 hari, (II) interval haid secara persisten 45 hari 2 tahun atau lebih setelah menarche; dan (III) tidak terjadi menstruasi pada usia 15 tahun atau 2–3 tahun setelah pertumbuhan payudara. Bukti hiperandrogen adalah adanya peningkatan serum testosteron total atau testosterone bebas oleh laboratorium yang berkuakitas baik. Meskipun hirsutisme ringan bisa merupakan hal yang normal pada fase pubertas, namun hirsutisme sedang hingga berat merupakan bukti klinis kelebihan androgen, yang dapat bermanifes dalam bentuk jerawat persisten yang tidak responsif terhadap terapi topikal. Kadar androgen sebaiknya diukur sebelum mulai pengobatan. Sehubungan dengan tampilan morfologi PCO pada USG, konsensus menyimpulkan bahwa pencitraan ovarium dapat ditunda selama evaluasi diagnostik PCOs pada remaja. Dengan demikian, diagnosis PCOS pada remaja saat ini bergantung pada bukti disfungsi ovulasi dan kelebihan androgen. Hal-hal penting berkaitan dengan PCOs adalah: (I) Diagnosis PCOs yang pasti tidak diperlukan untuk memulai pengobatan. Pengobatan dapat mengurangi risiko komorbiditas di masa depan bahkan tanpa adanya diagnosis pasti. (II) Menunda diagnosis PCOs, sambil memulai pengobatan sesuai simptom adalah pilihan terbaik yang hendaknya dikerjakan para dokter. (III) Obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi insulin diakui sebagai hal yang umum pada remaja dengan PCOs, sehingga gambaran ini tidak boleh digunakan untuk tujuan diagnostik; (IV) Penyebab lain dari hiperandrogenemia dan pola menstruasi yang tidak teratur harus disingkirkan sebelum diagnosis PCOs dapat ditegakkan.



Manmohan et al, 2017



200



EVALUASI KLINIS Pendekatan diagnostik untuk PCOs pada remaja meliputi langkah-langkah berikut: 1. Melakukan proses skrining 2. Membuktikan adanya androgen berlebih 3. Mengesampingkan gangguan yang menyerupai PCOs 4. Menentukan sumber kelebihan androgen. 1. Skrining untuk sindrom ovarium polikistik Sindrom ovarium polikistik dicurigai pada remaja dengan keluhan hirsutisme (atau jerawat yang berlebih), adanya menstruasi yang tidak teratur, atau obesitas. Anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama ditujukan untuk mencari kelainan lain yang menyerupai PCOs. Pubarche prematur atau jerawat prapubertas menunjukkan hiperplasia adrenal kongenital nonklassik. Bila terdapat virilisasi ditandai adanya defeminisasi atau klitoromegali. Galaktorea menunjukkan hiperprolaktinemia. Sindrom Cushing ditandai adanya distribusi lemak sentral dan striae violaceous. Evaluasi klinis mencakup penilaian riwayat pubertas (misalnya adrenarche prematur), riwayat menstruasi (menarche, pola menstruasi), riwayat kesehatan reproduksi (penggunaan kontrasepsi dan kehamilan,) riwayat kesehatan masa lalu, eksplorasi kelainan yang menyerupai tampilan PCOs (perubahan rambut atau kulit, penambahan berat badan) dan untuk menyingkirkan gangguan lain yang dapat menyebabkan amenorea atau perdarahan abnormal (sakit kepala, galaktorea, perubahan berat badan, perubahan kulit / kuku) dan riwayat keluarga yang berfokus pada kesehatan reproduksi dan gangguan endokrin. Digali juga penggunaan obat bebas atau resep dan prosedur kosmetik seperti waxing, mencukur atau menghilangkan rambut yang mungkin telah mengubah penampilan jerawat atau hirsutisme. Pemeriksaan fisik yang teliti mengenai : 1. Tanda-tanda vital (hipertensi), 2. Penilaian antropometrik (nilai BMI meningkat), 3. Penampilan umum (evaluasi massa otot tubuh bagian atas), 4. Penilaian kulit (nilai untuk rambut, jerawat, hirsutisme / skor Ferriman-Gallwey) untuk mencari tanda adanya kelebihan androgen, dan acanthosis nigricans sebagai bukti resistensi insulin, 5. Pemeriksaan genitalia eksternal (bukti virilisasi seperti klitoromegali (ukuran klitoris> diameter 5mm)) dan 6. Pemeriksaan bimanual (informed consent dahulu). 2. Membuktikan adanya androgen berlebih Tanda-tanda hiperandrogenisme klinis dan biokimia terdeteksi adanya pertumbuhan rambut yang berlebihan, akne yang berlebihan, wajah berminyak dan lain-lainnya. Disfungsi ovarium, menstruasi yang tidak teratur, juga merupakan manifestasi hiperandrogen secara tidak langsung. Gadis dengan PCOs memiliki kadar LH yang lebih tinggi dan lebih banyak kasus resistensi insulin daripada rekanrekan mereka yang sehat. Banyak gejala PCOs (misalnya jerawat, menstruasi tidak 201



teratur, dan peningkatan androgen) dapat hadir dengan perubahan pubertas normal, tetapi pada akhirnya membaik seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu perlu perhatian tersendiri untuk mendiagnosis PCOs pada masa menarche. Nilai testosterone total sukar mencari angka patokannya, karena nilai laboratorium bisa berbeda-beda antar metode. Beberapa laboratorium memberikan kisaran normal yang luas, sehingga banyak tes untuk testosterone tidak akurat. Para penulis merekomendasikan skrining untuk hiperandrogenisme dengan menggunakan panel androgen yang meliputi testosteron total plasma, testosteron bebas, dan androgen lain seperti DHEA sulfat (DHEAs). Interpretasi kadar androgen menimbulkan masalah tertentu, karena androgen diproduksi oleh ovarium dan adrenal atau oleh metabolisme di perifer. Testosteron plasma mengalami perubahan pulsatil, diurnal, dan siklik, dan bervariasi. Level testosteron total 90 ng / dL, merupakan bukti yang baik adanya kelebihan androgen (beberapa referensi menulis konsentrasi total testosterone > 55 ng/dL umumnya dianggap konsisten dengan hiperandrogenisme). Tingkat androgen pada waktu sore normal tidak selalu menyingkirkan hiperandrogenemia. Jika seorang pasien memenuhi kriteria klinis untuk PCOs tetapi evaluasi laboratorium gagal menunjukkan hiperandrogenemia, ulangi pemeriksaan kadar hormon pada pagi hari. Testosteron bebas dalam plasma adalah indikator tunggal terbaik kelebihan androgen. Di dalam darah hormone androgen diikat oleh protein pengikat sehingga kadar testosterone bebas (tidak diikat oleh protein) yang akan menentukan efek di jaringan. Tidak ada standar laboratorium yang seragam untuk testosteron bebas, jadi kisaran normal uji khusus berbeda. Kisaran normal pagi hari untuk wanita fase folikuler tanpa hirsutisme, jerawat, atau ovarium polikistik adalah 3 hingga 10 pg / mL. Level dewasa dicapai pada saat menarche. Resistensi insulin merupakan komponen penting yang mendasari patogenesis PCOs karena insulin meningkatkan respons androgen ovarium terhadap LH25 dan insulin dapat meningkatkan sekresi LH dan berkontribusi terhadap disregulasi LH pada tingkat hipofisis . Penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan dengan PCOs memiliki kadar LH yang lebih tinggi dan lebih banyak resistensi insulin dibandingkan anak perempuan yang tidak hiperandrogenik selama proses pubertas. 3. Mencari kelainan yang menyerupai PCOs Skrining metabolik dengan memeriksa kolesterol dan glukosa puasa diteruskan dengan profil lipid dan glukosa 2 jam postprandial dan hemoglobin A1C akan menyingkirkan adanya diabetes. Pasien dilakukan skrining setiap 1-2 tahun bila baseline normal untuk mendeteksi intoleransi glukosa atau diabetes di tahun berikutnya. Tes kehamilan urin, prolaktin serum, dan hormon TSH adalah tes skrining penting untuk mengevaluasi kehamilan, hiperprolaktinemia, dan disfungsi tiroid sebagai penyebab umum disfungsi menstruasi pada anak perempuan yang gejalanya menyerupai PCOs.



202



4. Menyingkirkan penyebab lain dari hiperandrogen Kadar testosteron bebas, testosteron total dan dehydroepiandroseteronesulfate (DHEA-S) harus diukur karena kadar yang meningkat secara signifikan menunjukkan kemungkinan adanya tumor adrenal atau ovarium. Jika diduga adanya hiperplasia adrenal kongenital, 17-hidroksiprogesteron harus diperiksa. Pada PCOs kadar LH akan meningkat, sehingga rasio LH terhadap FSH (follicle stimulating hormone) akan meningkat, Namun, tidak absolut terjadi pada PCOs karena banyak wanita dengan PCOs tidak memiliki rasio LH / FSH yang meningkat. Hormon anti-mullerian yang meningkat (AMH) juga berperan dalam anovulasi dan infertilitas terkait dengan PCOs. AMH juga merupakan penanda biokimia prognostik potensial setelah memulai pengobatan dengan obat sensitisasi insulin (metformin). Pemeriksaan laboratorium tambahan dapat dilakukan secara individual sesuai kebutuhan untuk menyingkirkan penyebab lain dari hiperandrogenemia atau menstruasi yang tidak teratur. Hormon-hormon yang diperiksa antara lain 17hidroksiprogesteron (17-OHP), androstenedion, tiroksin bebas (FT4), hormon perangsang tiroid (TSH), LH, FSH, dan prolaktin. Kehamilan harus dikesampingkan pada semua pasien. Tes ACTH sebaiknya dilakukan untuk menyaring hiperplasia adrenal kongenital non-klasik (NC-CAH). Namun, melakukan tes stimulasi ACTH pada semua pasien mungkin tidak praktis. kadar 17OHP pagi hari> 200 mg / dL menunjukkan adanya NC-CAH. PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI Ultrasonografi pelvis dilakukan pada pasien dengan PCOs untuk mendeteksi apakah morfologi ovarium klasik (menebal, kapsul putih, ovarium membesar (volume> 10 cc) dengan banyak folikel kecil, atau sedikitnya 10 folikel, berdiameter 2-8 mm). Sementara penelitian mengkonfirmasi peningkatan volume ovarium dan morfologi klasik pada remaja yang terkena PCOs dibandingkan dengan kontrol menunjukkan bahwa gambaran USG diatas tidak spesifik untuk PCOs pada remaja. Ovarium polikistik terdapat pada 92% wanita dengan hirsutisme idiopatik, 87% wanita dengan oligomenore, 30–40% wanita dengan amenore, dan 23% wanita dengan siklus teratur. Ultrasound dilakukan untuk remaja dengan dugaan patologi ovarium (pembesaran ukuran ovarium) pada pemeriksaan bimanual/ rektal. MANAJEMEN PCOs PADA REMAJA Manajemen PCOs tergantung pada gejalanya, dan beberapa pilihan pengobatan yang ada, termasuk pil KB kombinasi (OCPs), progestin, glukokortikoid, antiandrogen, dan obat sensitisasi insulin. Tujuan akhir dari perawatan PCOs adalah untuk memperbaiki keluhan klinis, HRQL, dan mencegah komplikasi jangka panjang. Prioritas jangka pendek untuk anak perempuan remaja adalah untuk menurunkan kadar androgen ovarium. Idealnya, mengendalikan kadar androgen ini menyebabkan menstruasi akan teratur dan akan mencegah terjadinya hiperplasia 203



endometrium. Pada beberapa pasien, pengobatan menargetkan meningkatnya sensitivitas insulin untuk membantu mengurangi komplikasi jangka panjang dengan sindrom metabolik dan diabetes. Pasien juga mungkin ingin mengatasi masalah estetika yang terkait dengan PCOs, (misalnya hirsutisme dan jerawat) karena masalah ini telah dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan pada remaja. PENGOBATAN NONFARMAKOLOGI DAN PERUBAHAN GAYA HIDUP (LIFESTYLE) Perawatan non-farmakologis, seperti penurunan berat badan dan modifikasi gaya hidup antara lain olah raga, dapat berkontribusi untuk meningkatkan keteraturan menstruasi. Sebuah studi 2011 menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup yang meliputi modifikasi pola makan dan olahraga meningkatkan komposisi tubuh, memperbaiki hiperandrogenisme dan resistensi insulin pada wanita dengan PCOs. INTERVENSI FARMAKOLOGI Manajemen Menstruasi Terapi farmakologis merupakan strategi penting dalam manajemen PCOs. Pil KB kombinasi (estrogen-progestogen) telah lama menjadi andalan pengobatan farmakologis bagi sebagian besar pasien yang belum ingin hamil. Pil KB kombinasi (PKK) menurunkan kadar LH dan menurunkan produksi androgen, juga meningkatkan kadar globulin pengikat hormon seks (SHBG) dan pengikatan testosteron, sehingga kadar testosteron bebas berkurang. Selain itu, PKK/OCPs menghambat 5 alpha-reductase, yang mengurangi konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron (bentuknya yang lebih aktif). Inisiasi pengobatan yang lebih dini sangat penting untuk mencegah perkembangan perubahan penampilan fisik. Alternatif lainnya adalah berupa pilihan medroxyprogesterone 10 mg setiap hari selama 10-15 hari selama 3 bulan dapat membantu mengatur menstruasi dan mengurangi risiko kanker endometrium. Namun, karena POPs tidak mempengaruhi kadar androgen, POPs tidak mampu meregulasi menstruasi yang optimal atau menghilangkan gejala seperti dengan OCPs/PKK. Dalam PKK bisa memilih jenisjenis progestogen yang mempunyai kemampuan menekan androgen seperti jenis siproteron asetat dan drospirenon. Terapi hirsutisme dan jerawat/akne Dalam praktek klinik, banyak pasien PCOs telah menggunakan obat untuk mengatasi hirsutisme dan jerawat secara mandiri menggunakan produk-produk yang dijual bebas. Skor Ferriman-Gallwey kurang dari 8 dianggap normal, sedangkan 8-15 menunjukkan hirsutisme ringan dan > 15 menunjukkan hirsutisme sedang hingga parah. Aspek lain yang perlu dinilai adalah ketebalan rambut tubuh, jenis intervensi yang telah dilakukan, dan rasa sakit saat pengangkatan (rambut kasar seringkali lebih



204



menyakitkan untuk dihilangkan) dapat memberikan wawasan tambahan tentang kebutuhan pasien. Pil KB kombinasi (OCPs) memainkan peran kunci dalam pengelolaan hirsutisme, di samping pengaturan menstruasi. Metode hair removal juga diperlukan untuk meminimalkan tampilan hirsutisme. Metode yang ada saat ini untuk menghilangkan rambut adalah pencukuran, depilatori kimia, penjepit, dan waxing. Efek samping dari metode mekanis diatas dapat berupa iritasi kulit, alergi, pembentukan jaringan parut, dan folikulitis. Ada juga pilihan krim topikal, seperti eflornithine 13.9%, yang bekerja pada tingkat folikel rambut dan paling efektif jika digunakan bersama dengan metode hair removal mekanis. Efek samping berupa rasa terbakar dan folikulitis. Metode penghilangan rambut permanen berupa elektrolisis, termolisis, dan perawatan laser bisa menjadi pertimbangan. Perawatan laser efektif untuk merawat area yang luas dengan efek samping yang lebih sedikit daripada elektrolisis atau termolisis. Secara keseluruhan, perawatan laser paling efektif pada pasien dengan kulit terang dan rambut gelap. Efek samping yang sering terjadi (misalnya hiperpigmentasi, hipopigmentasi, dan jaringan parut) telah diamati pada pasien dengan kulit yang lebih gelap, tetapi teknik laser yang lebih baru telah terbukti meningkatkan hasil di seluruh kulit. Hormon Anti-androgen seperti spironolactone dapat mengurangi diameter rambut selama 12 bulan penggunaan. Dosis awal spironolactone [50-100 mg] paling baik digunakan bersama dengan PKK karena merupakan obat kategori C untuk kehamilan dan hasilnya akan lebih baik bila kedua obat tersebut digunakan bersama. Data terbaru juga menunjukkan bahwa kombinasi OCPs/PKK dan metformin, dan spironolactone secara signifikan mengurangi hiperandrogenisme klinis. Spironolactone secara klinis diindikasikan untuk pasien dengan hirsutisme sedang / berat, pasien yang membutuhkan metode penghilangan rambut secara kosmetik, dan pasien hirsutisme yang tidak cocok dengan OCPs dan metode lainnya. Efek samping penggunaan spironolakton bisa berupa hipotensi, lemah badan, frekuensi buang air kecil, hiperkalemia, dan mual. Mengenai pengobatan jerawat, kontrasepsi hormonal kombinasi telah dibuktikan dapat mengurangi jerawat. Pengobatan standar untuk jerawat ringan termasuk penggunaan pembersih kulit wajah, benzoil peroksida topikal atau asam salisilat dan pelembab hypoallergenic dapat dipertimbangkan untuk digunakan. Pasien dengan jerawat sedang hingga parah juga mendapat manfaat dari pembersihan rutin, tetapi antibiotik topikal, asam retinoat, dan asam azelaic merupakan tambahan yang berguna. Pengobatan resistensi insulin, intoleransi glukosa dan obesitas Pasien remaja dengan PCOs berisiko mengalami sindrom metabolik dan diabetes tipe 2 yang lebih tinggi, dan penurunan berat badan adalah komponen penting dari perawatan mereka, karena dengan olah raga akan mengurangi produksi 205



estrogen perifer, risiko kardiovaskular dan resistensi insulin akan berkurang dan akan menekan produksi androgen ovarium. Pasien harus didorong untuk melakukan olahraga teratur dan mengurangi asupan kalori . Bahan sensitisasi insulin merupakan tambahan efektif untuk modifikasi gaya hidup dan penurunan berat badan. Metformin merupakan jenis obat yang paling disukai dan paling aman untuk digunakan pada remaja. Pasien remaja dengan PCOs yang merupakan kandidat untuk pengobatan metformin termasuk mereka yang juga menderita diabetes, intoleransi glukosa, obesitas atau bukti resistensi insulin, serta mereka yang memiliki riwayat keluarga yang kuat diabetes dalam konteks PCOS. Dosis yang dianjurkan adalah 500 mg TID, 850 mg BID, atau jenis lepas lambat (beberapa formulasi 500mg, kemudian meningkat menjadi 1-2 g per hari untuk sebagian besar formulasi). Efek samping utamanya adalah gastrointestinal dan termasuk perut kembung, kram, dan diare. Karena metformin dapat mengakibatkan kembalinya ovulasi, penggunaan obat ini pada remaja yang aktif secara seksual harus mendorong diskusi tentang kontrasepsi mengingat potensi peningkatan kesuburan. Demikian pula, penurunan berat badan yang sukses sering disertai dengan kembalinya keteraturan menstruasi dan peningkatan kesuburan PERMASALAHAN INFERTILITAS Remaja dengan PCOs cenderung kurang aktif secara seksual daripada remaja non-PCOS (36% pasien PCOs, dibandingkan dengan 55% pasien non-PCOs). Sebanyak 68% dari remaja PCOs mengungkapkan kekuatiran dalam hal kesuburan dan beberapa pasien PCOs melaporkan bahwa kelainan ini ―tidak berdampak apaapa dalam hidup mereka‖ selain membuat mereka ―takut tidak akan pernah bisa punya anak.‖ Beberapa remaja dengan PCOs secara berkala akan mengalami ovulasi atau kembali ke ovulasi dengan pengobatan dan selanjutnya berisiko mengalami kehamilan. Pendidikan seksualitas dan konseling kontrasepsi dengan skrining IMS rutin tetap merupakan komponen penting dari perawatan klinis untuk wanita muda dengan PCOs. EVALUASI PENYAKIT PENYERTA PCOs erat kaitannya dengan morbiditas metabolik dan psikologis. Prevalensi yang tinggi kejadian resistensi insulin dan hiperinsulinemia telah diketahui dengan jelas terkait dengan PCOs. Hipertensi, diabetes tipe 2, obesitas terkait erat dengan komplikasi jangka panjang dari PCOs. Untuk mendeteksi adanya resistensi insulin skrining dengan gula puasa dan 2 jam post prandial merupakan cara yang efektif dan murah. Pengukuran tekanan darah secara rutin dan pengukuran indek massa tubuh (BMI) merupakan cara murah untuk deteksi hipertensi dan obesitas. Dampak terhadap kejiwaan remaja dengan PCOs juga tidak boleh diabaikan. Peningkatan prevalensi depresi dan kecemasan telah terbukti sering dijumpai di praktek klinik sehari-hari dan cukup sulit penanganannya. Gangguan 206



haid menimbulkan kecemasan tersendiri, obesitas menimbulkan permasalahan dalam pergaulan diantara remaja serta hipertensi merupakan masalah klinik dan kejiwaan yang memerlukan pendekatan tersendiri. DAFTAR PUSTAKA 1. Lanzo E., Monge M., Trent M., 2015. Diagnostic and management op polycystic ovary syndrome in adolescent girls. Pediatr Ann. September ; 44(9): e223–e230 doi: 10.3928 / 00904481-20150910-10. 2. Manmohan K., Kamboj, Andr Bonny., 2017. Polycystic ovary syndrome in adolescence: diagnostic and therapeutic strategies. Transl Pediatr 17;6(4):248255 3. Buggs C., Rosenfield RL., 2005. Polycystic Ovary Syndrome in Adolescent. Endocrinol Metab Clin North Am. 2005 September ; 34(3): 677–x. doi:10.1016/j.ecl. 4. Fondin, 2018. Polycystic Ovary Syndrome in adolescent : Which MR Imagingbased Diagnostic Criteria?. Radiology.rsna.org 5. Livadas S., Diamanti-Kandarakis E., 2013. Polycystic Ovary Syndrome: Definitions, Phenotypes and Diagnostic Approach. Macut D, Pfeifer M, Yildiz BO, Diamanti-Kandarakis E (eds): Polycystic Ovary Syndrome. Novel Insights into Causesand Therapy. Front Horm Res. Basel, Karger, 2013, vol 40, pp 1–21 (DOI: 10.1159/000341673) 6. Morris S., Grover S., and Sabin MS., 2015. What does a diagnostic label of ‗polycystic ovary syndrome‘ really mean in adolescence? a review of current practice recommendations. World Obesity. clinical obesity 6, 1–18 7. Witchel SF., Oberfield S., Rosenfield RL., Codner E., Bonny A., Ibáñez L., Pena A., Horikawa R., 2015. The Diagnosis of Polycystic Ovary Syndrome during Adolescence. Horm Res Paediatr 2015;83:376–389. DOI: 10.1159/000375530 8. The Amsterdam ESHRE/ASRM-Sponsored 3rd PCOS Consensus Workshop Group. 2011. Consensus on women‘s health aspects of polycystic ovary syndrome (PCOS). Human Reproduction, Vol.27, No.1 pp. 14–24, 2012 Advanced Access publication on December 5, 2011 9. Takara Stanleya and Madhusmita Misraa., 2008. Polycystic ovary syndrome in obese adolescents. Current Opinion in Endocrinology, Diabetes &Obesity, 15:30–36 10. Hickey M., Doherty DA., Atkinson H., Sloboda DM., Franks S., 2011. Clinical, ultrasound and biochemical features of polycystic ovary syndrome in adolescents: implications for diagnosis. Human Reproduction, Vol.26, No.6 pp. 1469–1477, 2011. Advanced Access publication on April 8, 2011 doi:10.1093/humrep/der102



207



MANAJEMEN HIPERANDROGENISM PADA PASIEN SPOK Agung Dewanto, dr., Sp.OG(K) Divisi Fertilitas Endokrin Reproduksi - Dept. Obstetri dan Ginekologi FK-KMK UGM / RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta LATAR BELAKANG Sindroma ovarium polikistik (SPOK) melingkupi masalah endokrinopati yang kompleks dan mempengaruhi wanita usia reproduksi dengan gambaran berupa gangguan reproduksi, metabolisme, dan psikologi. Penilaian dan manajemen yang tidak konsisten dalam praktik klinis membuat wanita dengan SPOK tidak puas dengan perawatan dan keterlambatan diagnosis. Hiperandrogenisme adalah salah satu fitur klinis SPOK yang perlu segera ditangani karena dampak klinisnya yang luas seperti gejala kulit hiperandrogenik (jerawat, hirsutisme, sebore, dan alopesia). Hirsutisme dan jerawat dapat dan berdampak negatif secara signifikan pada kualitas hidup dan menyebabkan kecemasan dan depresi. Patofisiologi hiperandrogenisme tidak sepenuhnya dipahami. Produksi androgen pada wanita PCOS dikeluarkan tidak hanya dari ovarium tetapi juga kelenjar adrenal. Ovarium menghasilkan hingga 60% androgen, sedangkan adrenal berkontribusi 40% sisanya. Tingkat Sex hormone binding globulin (SHBG) juga berkontribusi terhadap kadar testosteron bebas yang tinggi pada wanita dengan SPOK, dengan mengurangi pengikatan testosteron. Tingkat SHBG berkorelasi negatif dengan tingkat sirkulasi insulin atau dengan tingkat resistensi insulin pada wanita dengan atau tanpa SPOK, seperti yang ditunjukkan dalam banyak penelitian. Androgenik hiper-responsif yang menjadi ciri wanita dengan SPOK mungkin disebabkan oleh faktor-faktor yang dikontrol oleh sensitisasi insulin daripada LH, ACTH atau steroid ovarium. Management yang tepat sangat diperlukan mengingat terdapat variasi fenotipe yang luas pada SPOK. METODE Tinjauan literatur HASIL Metformin mungkin telah memperbaiki hiperandrogenemia pada wanita ini terutama dengan mengurangi kadar insulin. Hasil positif ditunjukkan bahkan pada wanita SPOK normoinsulinemia non-obesitas, hiperandrogenemia berhubungan dengan aksi insulin dan mungkin hasil dari peningkatan aksi insulin pada biosintesis androgen. Rosiglitazone menurunkan hiperandrogenemia tanpa menurunkan kadar insulin, memberi kesan bahwa agonis PPAR mungkin dapat secara langsung meningkatkan hiper-responsif androgenik terhadap insulin. Dampak klinis hiperandrogenisme pada kulit membutuhkan perawatan lebih lanjut. Keputusan apakah hirsutisme harus diobati atau tidak dengan mengevaluasi 208



tingkat keparahannya dan juga mempertimbangkan persepsi subjektif pasien terhadap kondisi tersebut. Salah satu masalah utama adalah bahwa evaluasi hirsutisme dilakukan oleh penilaian visual (skor Ferriman-Gallwey yang dimodifikasi), yang telah terbukti berpotensi menjadi subyek variabilitas antar pengamat karena aspek subjektifitasnya. Antiandrogen bersama kombinasi dengan COCP dapat dipertimbangkan dalam SPOK untuk mengobati hirsutisme, setelah enam bulan atau lebih mendpat terapi COCP dan terapi kosmetik namun gagal untuk memperbaiki gejala (EHSRE guideline: Rekomendasi berbasis bukti, kepercayaan sedang, rekomendasi bersyarat). Jika COCP merupakan kontraindikasi atau ditoleransi dengan buruk, antiandrogen dapat dipertimbangkan untuk mengobati hirsutisme dan alopesia terkait androgen (EHSRE guideline: rekomendasi berdasarkan bukti, rekomendasi bersyarat). KESIMPULAN Pengobatan untuk hiperandrogenisme pada wanita PCOS bertujuan untuk mengontrol tingkat insulin. Penggunaan Metformin dan agonis PPARγ telah terbukti menurunkan kadar insulin. COCP dalam kombinasi dengan anti-androgen telah direkomendasikan untuk mengobati hirsutisme pada wanita PCOS. KATA KUNCI hiperandrogenisme, PCOS, hirsutisme, metformin, COCP



209



STIMULASI OVULASI PADA PENDERITA PCOS Dr. Ashon Sa’adi, dr., Sp.OG(K) Divisi Fertilitas Endokrin Reproduksi – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya Infertilitas adalah masalah medis dan psikososial yang menyedihkan yang menimpa sebagian besar pasangan yang ingin mendapatkan keturunannya. Mayoritas masalah anovulasi pada wanita, sebagai penyebab infertilitas, disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik (PCOS). Kondisi ini adalah faktor-faktor yang saling mempengaruhi dan sangat komplek, serta mempengaruhi wanita bahkan di luar kasus kesuburan mereka. Pada PCOS ditemukan juga risiko yang dapat meningkatkan kondisi buruk lainnya seperti : sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus tipe II, dan kanker endometrium serta infertilitasnya sendiri. Kriteria Rotterdam yang digunakan dalam diagnosis PCOS terutama menekankan kegagalan fungsi reproduksi pada penyakit komplek ini. Pengobatan infertilitas anovulasi pada PCOS sama membingungkannya dengan penyakitnya. Berbagai metode telah digunakan untuk mengobati anovulasi dengan keberhasilan yang bervariasi. Klomifen sitrat adalah obat lini pertama tradisional dalam mengobati anovulasi pada wanita dengan PCOS. Pengurangan berat badan (sebagai bentuk perbaikan gaya hidup), letrozole, metformin, folliclestimulating hormone (FSH) dan ovarian drilling (kelompok pembedahan) adalah beberapa cara lain dimana anovulasi telah dikerjakan pada kelainan tersebut. Metode apa yang lebih mungkin untuk berhasil dalam mengobati infertilitas dengan anovulasi pada PCOS dan dalam keadaan apa yang menjadi pokok bahasan ini ?. Pedoman berbasis bukti internasional termasuk 166 rekomendasi dengan poin-poin praktis, membahas pertanyaan yang diprioritaskan untuk mempromosikan pengelolaan yang konsisten dan berbasis bukti serta meningkatkan pengalaman juga mutu kesehatan penderita PCOS. Hasil rekomendasi internasional Agustus 2018 tersebut, terhadap dasar-dasar pengelolaan PCOS dengan focus meliputi : 1. Penyempurnaan kriteria diagnostik individu, guna peningkatan akurasinya. 2. Mengurangi pengujian / pemeriksaan yang tidak perlu. 3. Meningkatkan peran pada pendidikan, modifikasi gaya hidup, kesejahteraan emosional dan kualitas hidup. 4. Menekankan terapi medis berbasis bukti dan manajemen kesuburan yang lebih murah, mudah, rasional dan lebih aman. Kontroversi dengan metode mengobati infertilitas dengan anovulasi pada wanita PCOS akan berlanjut terus seiring dengan kajian akademiknya. Tinjauan sistematik menemukan bahwa klomifen sitrat dalam kombinasi dengan metformin adalah yang paling banyak dikerjakan, diikuti oleh penggunaan hormon perangsang folikel, letrozole, metformin, tamoxifen, ovarian drilling per-laparoskopi, terkait 210



urutannya. Namun, ketika terkait peringkat keberhasilan dalam hal tingkat kelahiran hidup yang telah dilakukan, hormon perangsang folikel, klomifen-metformin, letrozole, tamoxifen, klomifen sitrat, metformin, plasebo atau tanpa pengobatan (perbaikan gaya hidup). Karena itu akan masuk akal untuk memasukkan letrozole, clomiphene citrate dan kombinasi clomiphene citrate dengan metformin (atau golongan obat lain yang meningkatkan sensitivitas insulin) sebagai obat lini pertama yang digunakan untuk pengobatan infertilitas anovulasi pada wanita PCOS. Induksi ovulasi dengan follicle stimulating hormone (FSH) adalah pengobatan lini kedua pada wanita PCOS yang tidak mengalami ovulasi atau hamil dengan clomiphene citrate. Pada kesimpulan cochrane menyebutkan bahwa, mungkin ada sedikit atau tidak ada perbedaan dalam LBR, kehamilan ganda, PR, atau tingkat keguguran antara gonadotropin urin dan hormon rekombinan pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik. Perlu ditekankan bahwa haruslah mempertimbangkan biaya dan kenyamanan dalam keputusan untuk menggunakan salah satu gonadotropin. Pada wanita dengan kegagalan klomifen sitrat, gonadotropin menghasilkan lebih banyak kelahiran hidup daripada klomifen sitrat yang berlanjut tanpa meningkatkan kehamilan ganda Setelah gonadotropin dicadangkan sebagai obat lini kedua untuk wanitawanita ini terkait biaya dan efek yang ditimbulkannya, ovarian drilling dianjurkan setelah kegagalan dengan gonadotropin atau setiap kali laparoskopi diindikasikan untuk alasan lain pada PCOS dengan resistensi klomifen atau yang gagal hamil dengan klomifen. Dianjurkan untuk merujuk pasien yang gagal mencapai kehamilan menggunakan metode di atas untuk terapi reproduksi berbantuan untuk pengobatan infertilitas anovulasi mereka. DAFTAR PUSTAKA 1. Adam H. Balen, Lara C. Morley, Marie Misso, Stephen Franks, Richard S. Legro, (2016) : The management of anovulatory infertility in women with polycystic ovary syndrome: an analysis of the evidence to support the development of global WHO guidance; Human Reproduction Update, Vol.22, No.6 pp. 687–708. 2. Helena J Teede, Marie L Misso, Michael F Costello, Anuja Dokras, Joop Laven, Lisa Moran,Terhi Piltonen, Robert J Norman (2018) : Recommendations from the international evidence-based guideline for the assessment and management of polycystic ovary syndrome; Human Reproduction 33(9): 1602–1618. 3. McCartney CR, Marshall JC (2016) : Clinical practice: polycystic ovary syndrome, N Engl J Med 375:54–64. 4. Vaduneme K. Oriji and Kennedy Nyengidiki (2018) Ovulation Induction in women with Polycystic Ovary Syndrome : What is the optimal option ? 5. Weiss NS, Kostova E, Nahuis M, Mol BWJ, van der Veen F, van Wely M. (2019) : Gonadotrophins for ovulation induction in women with polycystic ovary syndrome. 6. Cochrane Database Syst Rev. 2019 Jan 16;1:CD010290. 211



SYMPOSIUM X: FETOMATERNAL MEDICINE 3 UPDATE IN OBSTETRIC EMERGENCY (PE, PPH, CARDIAC)



212



TATALAKSANA HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN DI ERA JKN ―Idealisme VS Realita‖ Adhi Pribadi, dr., Sp.OG(K) Divisi Kedokteran Fetomaternal Dept. Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung PENDAHULUAN Kematian ibu disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan (HDK) secara global menempati nomor dua setelah kasus perdarahan, demikian pula di Indonesia.1 Pada tahun 2016 dalam rangka menunjang kegiatan penurunan angka kematian ibu, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) bersama Kantor Kementerian Kesehatan mengeluarkan Panduan Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) tentang preeklamsi yang menjadi dasar untuk pembuatan standar pelayanan preeklamsi di seluruh Indonesia dan diharapkan mampu membantu mempercepat penurunkan AKI. Meskipun nomor dua sebagai penyebab kematian ibu tetapi mempunyai potensi untuk diturunkan segera dan lebih cepat dibandingkan perdarahan pascasalin. Upaya penurunan AKI dari perdarahan pascasalin meskipun merupakan pembunuh ibu yang utama tetapi mempunyai banyak keterbatasan dan hal ini mengakibatkan penurunan AKI sangat sulit terutama dengan kondisi geografis beragam dan luas serta banyak penduduk seperti di Indonesia. Lembaga kesehatan dunia WHO dalam ulasan mengenai perdarahan pascasalin mengakui sampai saat ini belum tersedia langkah terobosan untuk menurunkan AKI dari perdarahan pascasalin. ―Remaining challenges: While substantial progress has been made towards improving on the existing interventions for managing PPH, the burden of PPH still persists because there is no “silver bullet” for either the prevention or treatment of PPH. The current interventions are inadequate. Efforts to address the following research opportunities will help meet the PPH prevention and treatment needs in most populations.(Priority Medicines for Europe and the World 2013:WHO )‖2 Bercermin dari penanganan kasus-kasus rujukan fatal pada kasus perdarahan pascasalin, terdapat beberapa kebijakan yang harus di evaluasi untuk mengurangi risiko perdarahan pascasalin, yaitu: 1. Bersalin saat ini masih diperbolehkan untuk dilakukan di luar sarana kesehatan (seharusnya dilakukan di instalasi kesehatan seperti puskesmas PONED) 2. Tenaga kesehatan menolong hanya di sarana kesehatan 3. Memperketat persalinan hanya di sarana primer untuk kasus risiko rendah. (permasalahan skrining kasus atau masalah keinginan untuk merujuk ?) 213



Bagaimanakah dengan hipertensi dalam kehamilan? TATALAKSANA IDEAL HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Pada saat ini beberapa seminat, kumpulan atau asosiasi para klinisi dan lembaga kesehatan global seperti WHO, memberikan beberapa prosedur tatalaksana (guidelines) yang secara prosedur tidak berbeda banyak. Inti tatalaksana preeklamsi atau hipertensi dalam kehamilan adalah tidak menunda pengakhiran kehamilan (terminasi) bila keadaan ibu telah terganggu meskipun janin masih dalam kondisi preterm (hidup ibu menjadi no 1). Sehingga dalam masa singkat kebutuhan untuk tenaga penanganan bayi preterm sangat dibutuhkan termasuk sarana dan prasarananya. Penjelasan dalam beberapa guidelines global menawarkan bila ibu dapat hidup pada kehamilan yang mengancam nyawa, dapat diupayakan pada kehamilan berikutnya dengan prosedur pencegahan terhadap preeklamsi yang banyak dianut saat ini. Tetapi bila ibu meninggal meskipun bayi ternyata dapat hidup karena mengupayakan mencapai aterm, kehidupan selanjutnya sang bayi kemungkinan tidak optimal karena ibu kandung tidak bertahan. Pada gambar di bawah ini merupakan contoh tatalaksana dari ACOG, beberapa tatalaksana seperti WHO dan RCOG, mempunyai langkah tatalaksana hampir mirip.



214



B



Gambar A,B : rekomendasi dari ACOG tahun 20133 REALITA ERA JKN a. Biaya perawatan terbatas (termasuk laboratorium dan obat-obatan) b. Keterbatasan jumlah hari perawatan yang ditanggung c. Perbedaan kriteria antara JKN dan keilmuan preeklamsi terkini yang seharusnya diterapkan di klinik praktis sehari-hari d. Peningkatan bayi prematur: ICU/NICU penuh e. Kontroversi terminasi 34 minggu atau 37 minggu SOLUSI: DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN Alasan pilihan preeklamsi sebagai target pertama untuk menurunkan AKI 1. Adanya metode deteksi dini Deteksi dini didasarkan pada tiga hal utama yang difokuskan dan saling melengkapi satu sama lain.4,5,6 sebagai berikut: a. Riwayat medis atau faktor risiko sebelum kehamilan. b. Kumpulan parameter biofisik seperti tekanan darah, kekakuan arteri, pemeriksaan Doppler pada pembuluh darah ibu. c. Parameter biokimia, yang bisa memberi petunjuk tentang gangguan fungsi plasenta. 2. Obat untuk upaya pencegahan terjangkau, murah dan mudah di dapatkan, seperti: kalsium dan asetosal dosis rendah DAFTAR PUSTAKA 1. Pusat Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hipertensi dalam Kehamilan. Didapatkan dari: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodati n-ibu. (diunduh 1 Maret 2018) 2. https://www.who.int/medicines/areas/priority_medicines/Ch6_16PPH.pdf (diunduh 30April 2019). 215



3. The American college of obstetricians & gynecologists. Hypertension in pregnancy. Guidelines 2013. 4. Yu C K H, Smith G C S, Papageorghiou A T, Cacho A M, Nicolaides K H. An integrated model for the prediction of preeclampsia using maternal factors and uterine artery Doppler velocimetry in unselected low-risk women. Am J Obstet Gynecol. 2005; 193( 2): 429–36. 5. Sibai B, Dekker G, and Kupferminc M.Pre-eclampsia. The Lancet.2005;365(9461):785–99. 6. 6. Steegers E , von Dadelszen A, Duvekot J J, Pijnenborg R. Preeclampsia. The Lancet.2010;376 (9741):631–44.



216



MANAGEMENT OF PPH EMERGENCY (LASTEST UPDATE) Yudianto Budi Saroyo, dr., SpOG(K), MPH Divisi Kedokteran Fetomaternal – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta PENDAHULUAN Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan 500 cc atau lebih dalam 24 jam setelah persalinan. PPP merupakan penyebab utama Angka Kematian Ibu (AKI) diikuti oleh pre/eklamsi dan infeksi. Di Indonesia, pada tahun 2007 hingga tahun 2012 terjadi peningkatan signifikan AKI dari 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup menjadi 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup, angka ini lalu mengalami penurunan pada tahun 2015, yaitu 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Pada beberapa negara berkembang , sebagian besar tempat kematian maternal terjadi di rumah sakit dan di rumah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Qomariyah, dkk (2009) pada dua rumah sakit di Pandeglang dan Banten, ditemukan 155 kasus kematian maternal, dimana 61 kasus (39,4%) terjadi di kamar bersalin, 43 kasus (27,7%) di bangal kebidanan, 29 kasus (18,7%) di ICU/ ICCU, 9 kasus (5,8%) di IGD, 8 kasus (5,2%) di bangsal IPD, dan 4 kasus (2,6%) di bangsal umum dan 1 kasus (0,6%) di bangsal bedah. PENYEBAB PERDARAHAN POSTPARTUM Perdarahan post partum disebabkan oleh 4T yaitu 1. TONUS, disebabkan atonia uteri Atonia uteri adalah gagalnya uterus untuk kontraksi secara adekuat setelah persalinan untuk menahan perdarahan dari pembuluh darah pada bekas menempelnya plasenta, bila tidak ditangai dengan cepat dapat menyebabkan terjadinya syok hipovolemik. Sebesar 70% penyebab PPP disebabkan oleh atonia uteri. Identifikasi faktor risiko PPP diperlukan untuk tindakan preventif, sehingga wanita dengan faktor risiko harus melakukan persalinan di rumah sakit. Penanganan awal atonia uteri berupa kompresi uterus bimanual dan masase uterus, diikuti oleh uterotonika. 2. TRAUMA, disebabkan laserasi, hematoma, uterus inversi, ruptur uteri. Robekan jalan lahir terjadi pada 20% kasus PPP, hal ini dapat juga terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Setelah persalinan perdarahan dari jalan lahir harus dievaluasi sumber dan jumlahnya. 3. TISSUE, disebabkan sisa plasenta atau plasenta akreta, dengan insidens 10% 217



Sisa plasenta yang tertinggal di uterus menyebabkan uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik sehingga menyebabkan perdarahan. Jika plasenta yang lahir tidak lengkap, maka harus dilakukan eksplorasi manual untuk mengeluarkan sisa plasenta. 4. THROMBIN, disebabkan koagulopati, dengan insidens 1% Kelainan koagulasi merupakan kasus jarang yaitu 1% dari kasus PPP. Koagulopati teridentifikasi sebelum persalinan, sehingga dapat melakukan perencanaan lanjut untuk mencegah PPP. Yang termasuk koagulopati adalah idiopathic thrombocytopenic purpura, thrombotic trhombocytopenic purpura, penyakit von Willebrand, dan hemofilia. Pemeriksaan harus meliputi prothrombin time, partial thromboplastin time, level fibrinogen dan D-dimer. Penanganan berupa mengobati proses penyakit yang mendasari,volume intravaskular yang cukup, dan evaluasi status koagulasi berkala. Penggunaan rekombinan faktor VIIa atau obat yang memicu pembekuan darah (asam traneksamat) dapat dipertimbangkan.



Gambar 1 - Manajemen aktif kala 3xxviii MANAJEMEN PERDARAHAN POSTPARTUM Estimasi waktu menuju kematian pada PPP hanya berlangsung selama 2 jam. Oleh sebab itu sangat penting untuk deteksi dini dan memberikan terapi awal yang sesuai. Untuk mendapatkan penanganan lanjut dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai dan kondisi kegawatan dapat distabilisasi dengan baik.



218



Untuk mengurangi keterlambatan penanganan kegawatan dalam obstetri dan penanganan neonatus diperlukan kerjasama berkesinambungan dan pengetahuan yang baik dimulai dari pasien (komunitas) sampai ke tingkat pelayan kesehatan terpadu dalam penanganan kegawatan obstetri. Kemungkinan keterlambatan dalam mengetahui dan segera mengambil keputusan untuk mencari bantuan dapat dipersiapkan dengan menyiapkan kendaraan untuk mobilisasi ke palayanan kesehatan terdekat, mempersiapkan kebutuhan dalam melahirkan, dan pengetahuan tentang penanganan awal dan stabilisasi yang baik dalam suatu komunitas. Keterlambatan dalam melakukan transport ke pelayanan kesehatan terdekat dapat dipersiapkan dengan kebutuhan finansial yang cukup, Teknologi komunikasi yang baik dalam menghubungi komunitas terdekat/pelayanan kesehatan terdekat. Keterlambatan dalam menerima penanganan yang tepat oleh pelayanan kesehatan awal dapat dipersiapkan dengan mempersiapkan petugas terlatih dalam menangani kasus gawat darurat obstetri, resusitasi neonatus dan penanganan setelah resusitasi. Jika dibutuhkan akan dilakukan rujukan ke tempat fasilitas kesehatan terpadu yang lebih memadai untuk menangani kegawat daruratan yang tidak dapat ditanganni di fasilitas kesehatan awal. Sehingga yang perlu dipersiapkan adalah transport yang memadai dan stabiilisasi yang baik dalam memobilisasi pasien dengan kasus gawat darurat obstetri dan penanganan neonatus.



Gambar 2 - NEWS parametersxxix



219



Gambar 3 - MEOWS parametersxxx Parameter NEWS dan MEOWS (Modified Early Obstetric Warning System) dapat membantu dalam mengenali kondisi – kondisi yang mudah terlewatkan seperti perdarahan (ditandai oleh hipotensi dan takikardi), sepsis (demam, hipotensi, takikardia, hipoksia), tromboemboli vena (takikardia, takipneu, hipoksia), preeklampsia (hipertensi, hipoksia), komplikasi kardiovaskular (takikardia, bradikardi, hipoksia, hipotensi)



Gambar 4 - Alogaritma MEWT. HR, heart rate; bpm, beats per minute; MAP, mean arterial pressure; mmHg, millimeters mercury; AMS, altered mental state; AT, abnormal temperature; RR, respiratory rate; SpO2, oxygen saturationxxxi 220



Algoritme berdasarkan 2 atau lebih tanda bahaya awal maternal (Maternal Early Warning Trigger) yang berlangsung menetap selama 30 menit atau lebih. Bila ditemukan MEWT seperti nadi > 110x/menit. MAP = 38 , RR > 24x/ menit, SaO2< 94% maka perlu dilakukan penanganan sesuai dengan penyebab yang mendasari, seperti : 1. Sepsis dengan atau tanpa disertai shock sepsis, ditandai dengan suhu abnormal dan trigger lainnya 2. Kardiopulmoner : ditandai dengan suhu yang normal dan trigger lainnya 3. Hipertensi : tekanan darah tinggi dengan trigger lainnya 4. Perdarahan : penurunan tekanan darah dan trigger lainnya. Bila ditemukan penyebab di atas, maka segera diperlukan pemeriksaan oleh tenaga kesehatan. Penanganan terhadap trigger sign maternal, pada pemeriksaan maternal, perlu dinilai beberapa trigger sign seperti : 1. Suhu >38 atau 110 atau < 50 3. Pulse oxymetri 24 atau < 12 5. Tekanan darah sistolik > 155 atau < 85, diastolik >105 atau < 45 Bila hasil pemeriksaan maternal normal, maka penanganan yang diberikan adalah observasi. Bila didapatkan 2 atau lebih trigger abnornal, maka harus dipersiapkan. Bila menetap maka perlu ditentukan penyebabnya, seperti sepsis, kardiopulmoner, hipertensi atau akibat perdarahan obstetri. Bila dicurigai adanya sepsis atau infeksi yang ditandai oleh adanya suhu yg tidak normal, nadi >110x/menit, dan/ atau MAP 4 mmol/L, maka pasien segera diberi resusitasi caitan kristaloid sebanyak 30cc/kgBB selama 1 jam, dengan target MAP > 65, nadi 110x/ menit, MAP < 65, saturasi oksigen < 93%, RR >24 kali/menit atau perubahan status mental, maka perlu dipertimbangkan adanya kelainan pada kardiopulmoner seperti kardiomiopati atau congestive heart failure, infark miokard, oedem paru, emboli paru/ DVT, atau akibat penggunaan obat – obat terlarang. Lakukan pemeriksaan BNP, enzim jantung, EKG, echocardiography, dan pertimbangkan CTscan. Konsulkan pasien pada ahli anestesi dan perinatologi. Jika tekanan darah meningkat, dimana TD sistolik>155 dan/atau TD diastolik >105, atau tekanan darah >160/110 yang menetap, maka diberikan terapi sesuai dengan protap hipertensi dalam kehamilan. Pasien yang mengalami perdarahan atau baru 221



menjalani operasi/ pembedahan, disertai dengan nadi >110 kali/menit, MAP 100x/mnt) dan penurunan Tekanan Darah (92%. Tujuan penanganana lain berupa perbaikan disfungsi sistem organ dengan cara menjaga urin output >0,5 ml/kgBB/jam.



Gambar 5. Contoh menaksir jumlah perdarahan secara piktorial



223



Prakiraan jumlah perdarahan penting karena berperan dalam tatalaksana resusitasi untuk mencegah morbiditas dan mortalitas. Untuk mempermudah deteksi perdarahan, saat ini digunakan piktorial. Piktorial merupakan simbolik gambar yang menyerupai kondisi sebenarnya. Prakiraan jumlah perdarahan menggunakan piktorial mempercepat penghitungan estimasi jumlah perdarahan, penegakkan diagnosis derajat peradarahan dan tatalaksana resusitasi cairan. Estimasi perdarahan berdasarkan piktorial sangat membantu dalam penengakkan diagnosis perdarahan obstetri, terutama dalam menentukan derajat syok. Tujuan penggunakan piktorial adalah untuk menentukan jumlah perdarahan secara efektif dan efisien sehingga tatalaksana resusitasi cairan dapat segera dilakukan. Hal ini akan sangat mempengaruhi keluaran, morbiditas dan mortalitas akibat perdarahan obstetri KORSET ANTISYOK (NONPNEUMATIC ANTISHOCK GARMENT / NASG) Pada kondisi perdarahan masif, tindakan pembedahan seringkali menjadi pilihan utama sebagai tatalaksana definitif perdarahan post partum. Namun, tindakan ini hanya dapat dilakukan pada pelayanan tersier sistem kesehatan. Hal ini menjadi salah satu permasalahan karena keterbatasan sumber fasilitas, termasuk layanan rujukan. Tatalaksana pasien saat rujukan mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien. Saat ini, telah dikembangkan metode kompresi menggunakan korset antisyok atau dikenal dengan Non-Pneumatic Anti Shock Garment (NASG). NASG merupakan alat bantu yang berperan dalam mempertahankan kondisi pasien agar tetap stabil pada saat terjadi keterlambatan rujukan atau keterlambatan tatalaksana definitif. NASG menekan segmen bawah tubuh, meliputi tungkai, panggul dan perut. Ada NASG terdapat bola busa (foam ball) yang digunakan untuk meningkatan tekanan. Pada NASG, tekanan melingkar yang dihasilkan menurunkan volume pembuluh darah disekitar daerah kompresi, sekaligus meningkatkan sirkulasi sentral dengan meningkatkan preload, resistensi perifer dan cardiac output. Adanya tamponade pada abdomen, pelvic dan uterus dapat mengurangi kehilangan darah. NASG merupakan alat sederhana serta dapat dilatih dan diaplikasikan secara cepat. NASG menjadi alat yang ideal dalam tatalaksana perdarahan obstetri, karena : 1. Adanya panel untuk bagian perut yang membentang sehingga penekanan atau kompresi uterus eksternal tetap dapat dilakukan. 2. Desain alat yang memiliki akses ke daerah perineum sehingga tindakan evaluasi perdarahan pervaginam ( penjahitan laserasi, manual plasenta, eksplorais intra cavum dan/ kompresi bimanual) tetap dapat dilakukan. 3. Tidak menyulitkan tindakan pembedahan. Alat kompresi dapat tetap dipasang selama dilakukan persiapan pembedahan, serta tidak menghambat tindakan pembedahan yang akan dilakukan. Sisi panel dapat dibuka segera sebelum tindakan pembedahan akan dilakukan 224



Gambar 5 Skematik Non-Pneumatic Anti-Shock Garment TRANSFUSI DARAH Dalam melakukan transfusi perlu melihat dari kadar Hb. Kadar Hb II atau sianosis 3. Obstruksi jantung kiri (luas area katup mitral < 2 cm2, luas area katup aorta < 1,5 cm2, atau gradien saluran keluar ventrikel kiri > 30 mm Hg pada pemeriksaan echokardiografi) 4. Menurunnya fungsi sistolik ventrikel sistemik (fraksi ejeksi < 40%). Pada ibu hamil dengan penyakit jantung, ada 5 prediktor kejadian neonatal yaitu7: 1. Kelas NYHA > II atau sianosis selama periode prenatal. 2. Obstruksi jantung kiri ibu 3. Merokok selama kehamilan 4. Multiparitas 5. Penggunaan antikoagulan selama kehamilan.



232



Jika tidak ada salah satu dari point diatas pada saat kehamilan, maka tingkat kematian janin atau neonatal adalah 2% dan bila terdapat 1 prediktor maka janin atau tingkat kematian neonatal adalah 4%. Tabel 2. Prediktor terjadinya komplikasi kardiovaskuler pada ibu hamil dan janin7



STRATIFIKASI RISIKO Beberapa model stratifikasi risiko dibuat untuk menggambarkan risiko ibu dengan penyakit jantung bawaan. Model prediktor risiko CARPREG7 dapat diterapkan untuk wanita dengan penyakit jantung bawaan. Dalam model ini, ada empat prediksi peristiwa jantung primer selama kehamilan. Satu poin ditetapkan untuk masing-masing faktor risiko yang ada. Risiko komplikasi jantung diperkirakan terjadi selama kehamilan dengan angka kejadian 5%, 27%, dan 75% untuk kehamilan dengan 0, 1, atau > 1 poin.7 Meskipun pendekatan ini sangat membantu selama konseling pra-konsepsi, mungkin memberikan penilaian risiko yang kurang akurat untuk ibu dengan penyakit jantung bawaan karena banyak kondisi yang mempengaruhinya, seperti disfungsi jantung kanan. Tabel 3. prediktor komplikasi jantung berdasar ZAHARA studi8,9



233



Tabel 4. Persentase komplikasi jantung yang muncul berdasar ZAHARA Studi8,9



Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menstratifikasi risiko komplikasi jantung ke dalam empat kelas, dengan rekomendasi tindak lanjut selama kehamilan berdasarkan strata risiko ini (Tabel 5).10 Tabel 5. Klasifikasi WHO untuk ibu dengan risiko kardiovaskuler8,10



Beberapa model kuisoner juga telah dikembangkan untuk menilai risiko kardiovaskuler pada ibu hamil, Valdes dalam publikasinya tahun 201711 membuat contoh kuisoner yang dapat dijadikan pegangan oleh klinisi, kardiolog dan spesialis obstetri ginekologi, dalam kuisoner ini tidak ditentukan atau terdapat nilai yang harus dihitung, hanya menilai ada atau tidaknya beberapa variable risiko dimana bila ada, maka harus menjadi perhatian khusus bagi dokter yang menangani pasien tersebut



234



Tabel 6. Kuisoner bagi klinisi menilai risiko kardiovaskuler pada ibu hamil11



Tabel 7. Kuisoner untuk mengevaluasi riwayat obstetri dan ginekologi pada ibu dengan suspek penyakit jantung koroner11



PEMERIKSAAN PENUNJANG Rontgen dada harus dilakukan jika ada indikasi, memakai dosis radiasi yang minimal untuk janin dengan cara memakai pelindung perut pada ibu. Ketiadaan foto rontgen dada ternyata berkontribusi terhadap perawatan di bawah standar yang menyebabkan kematian pada tiga dari sembilan ibu akibat aneurisma aorta yang terjadi pada tahun 1991 hingga 1993 di Inggris.4 Elektrokardiografi adalah alat diagnostik yang penting dan pemantauan Holter 24 jam mungkin diperlukan untuk mendiagnosis aritmia paroksismal. Echokardiografi sangat berguna pada pasien hamil dengan kecurigaan penyakit jantung karena tidak invasif dan aman, dengan M-mode, dua dimensi, dan doppler (berdenyut, gelombang kontinu, dan aliran warna) kemampuan, kelainan struktural bawaan dapat dideteksi dan status fungsional jantung termasuk ukuran ruang, tekanan arteri pulmonalis, kontraktilitas ventrikel, adanya trombus, fungsi katup, 235



dan iskemia miokard dapat dinilai. Transoesofageal Echokardiografi mungkin bermanfaat untuk beberapa, seperti pada penilaian infektif endokarditis, diseksi aorta, atau secara teknis studi transthorakal sulit dilakukan.12 Kateterisasi jantung kiri jarang dilakukan pada kehamilan karena echokardiografi dua dimensi dan doppler dapat memberikan informasi yang diperlukan. Pemeriksaan kateterisasi mungkin diperlukan pada pasien yang memiliki dekompensasi jantung, terutama ketika operasi jantung sedang dipertimbangkan dan informasi yang memadai tidak dapat diperoleh dengan pendekatan lain. Risiko radiasi janin dari fluoroskopi mungkin diminimalkan dengan pelindung perut ibu, metode puncture di arteri brakialis, atau dengan menggabungkan pemeriksaan dengan echokardiografi. 4,13 BIOMARKER JANTUNG DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM Biomarker jantung telah banyak digunakan pada populasi umum sebagai bagian dari pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi kelainan patologi pada jantung dan untuk memantau pasien dengan penyakit kardiovaskuler, misalnya gagal jantung atau infark miokard. Penggunaan biomarker jantung pada kehamilan masih perlu identifikasi dan penelitian lebih lanjut, nilai yang meningkat selama kehamilan dapat mengidentifikasi lebih lanjut tentang kecurigaan akan penyakit jantung yang sedang terjadi.14 Tabel 8. Biomarker jantung yang digunakan pada kehamilan.14



236



Biomarker yang banyak digunakan sesuai dengan data: 1. Natriuretic peptide (NP) 2. CKMB (Creatine Kinase MB) dan Troponin 3. Pemeriksaan khusus untuk jantung rematik 4. Biomarker Preeklampsia KESIMPULAN Pemahaman yang baik tentang fisiologi perubahan kardiovaskuler pada kehamilan dan tantangan spesifik pada setiap penyakit jantung sangat diperlukan, dokter dapat menyesuaikan perawatan pasien untuk optimalisasi pemantauan kehamilannya dan mempersiapkan untuk waktu dan mode persalinan. Pemahaman ini juga memberi dokter kesempatan untuk mentransfer perawatan ibu hamil yang berisiko tinggi untuk penyakit jantung ke pusat rujukan yang memiliki sumber daya untuk memberikan perawatan jantung yang komprehensif, perawatan kondisi kritis, operasi kardiovaskuler, dan perawatan neonatal. DAFTAR PUSTAKA 1. Ray P, Murphy GJ, Shutt LE. Recognition and management of maternal cardiac disease in pregnancy. Br J Anaesth 2004; 93: 428–439. 2. Melchiorre K, Thilaganathan B. Maternal cardiac function in preeclampsia. Curr Opin Obstet Gynecol 2011; 23: 440–447. 3. Adam K. Pregnancy in Women with Cardiovascular Disease. Methodist Debakey Cardiovasc J 2017; 13: 209–215. 4. Li C, Sanderson J. Cardiac Disease in Pregnancy. HKMJ 1997; 3: 391–9. 5. Grubb NR. Cardiac symptoms. Medicine (Baltimore) 2006; 34: 119–122. 6. Metcalfe J, Ueland K. Maternal cardiovascular adjustments to pregnancy. Prog Cardiovasc Dis 1974; 16: 363–374. 7. Siu SC, Sermer M, Colman JM, Alvarez AN, Mercier L, Brian C, et al. Clinical Investigation and Reports Prospective Multicenter Study of Pregnancy Outcomes in Women With Heart Disease. Circulation 2001; 104: 515–521. 8. Phillips S, Pirics M. Congenital Heart Disease and Reproductive Risk: An Overview for Obstetricians, Cardiologists, and Primary Care Providers. Methodist Debakey Cardiovasc J 2017; 13: 238–242. 9. Drenthen W, Boersma E, Balci A, Moons P, Roos-Hesselink JW, Mulder BJM, et al. Predictors of pregnancy complications in women with congenital heart disease. Eur Heart J 2010; 31: 2124–2132. 10. Regitz-Zagrosek V. ‗Ten Commandments‘ of the 2018 ESC Guidelines for the management of cardiovascular diseases during pregnancy. Epub ahead of print 2018. DOI: 10.1093/eurheartj/ehy340. 11. Gloria V. Preeclampsia and cardiovascular disease: Interconnected paths that enable detection of the subclinical stages of obstetric and cardiovascular diseases. Integr Blood Press Control 2017; 10: 17–23. 237



12. Mishra M, Chambers J, Jackson G. Murmurs in pregnancy: an audit of echocardiography. Bmj 1992; 304: 1413–1414. 13. Ntusi N, Samuels P, Moosa S, Mocumbi A. Diagnosing cardiac disease during pregnancy: imaging modalities. Cardiovasc J Afr 2016; 27: 95–103. 14. Lau ES, Sarma A. The Role of Cardiac Biomarkers in Pregnancy. Curr Treat Options Cardiovasc Med 2017; 19: 1–12.



238



FETAL NEUROPROTECTION: THE ROLE OF MAGNESIUM SULPHATE (MgSO4) Muhammad Adrianes Bachnas, dr., Sp.OG(K) Muhammad Ilham Aldika Akbar, dr., Sp.OG(K) Prof. Dr. Erry Gumilar Dachlan, dr., Sp.OG(K) Prof. Gustaaf Dekker (presenter) Maternal-Fetal Medicine Division, Obstetrics and Gynecology Department, Faculty of Medicine Universitas Sebelas Maret, Dr.Moewardi General Hospital, Indonesia Maternal-Fetal Medicine Division, Obstetrics and Gynecology Department, Faculty of Medicine Universitas Airlangga, Dr. Soetomo General Hospital, Indonesia Maternal-Fetal Medicine Division, Obstetrics and Gynecology Department, Faculty of Medicine Universitas Airlangga, Universitas Airlangga Hospital, Indonesia Department of Obstetrics and Gynaecology Department, Lyell-McEwin Hospital, the University of Adelaide, South Australia ABSTRACT Prevention of neurologic disability associated with preterm birth is one of the major challenges in current perinatal medicine. Magnesium Sulphate (MgSO4) has been proposed as major step forward for that matter. MgSO4 is easily accessible, cheap and has been proposed as a mandatory part of the management of inevitable preterm birth. The results of the various RCT‘s on the use of MgSO4 for neuroprotection has been the subject of many systematic reviews, other studies focused on dosing schedules, side effects and only a few focused on exploring Magnesium‘s mechanism of action. Meanwhile, many guidelines worldwide have plugged MgSO4 as an essential ingredient of daily best practice when managing inevitable preterm birth because it has been shown to reduce the risk of severe neurologic deficit, in particular, cerebral palsy (CP) in appropriately selected patients. The more premature, the greater benefit associated with the use of antenatal MgSO4. The dose of 4 gram given intravenously 15 minutes continued by 1 gram/ hour until maximum 24 hours and minimum for 4 hours is the standard regiment proposed in most guidelines. It should be noted however that a recent study found that a total dose of 64 gram was associated with the maximum protective effect. Only the protocol used by the largest RCT, the BEAM trial, with a loading dose of 6 gram initially followed by a 2 gram/ hour maintenance dose, if continued for 24 hours would give a total dose over 50 g. Other studies report on an increased risk of neonatal death with these high doses. Several studies expressed concerns about the risk of serious side effects for both mother and neonate. The results from the systematic review showed that the most commonly used dosage, 4 g bolus continued by 1 g/ hour maintenance, did not increase neonatal mortality and other suspected neonatal complication such as neonatal asphyxia, spontaneous intestinal perforation, necrotizing enterocolitis, and feeding intolerance. Giving 4 grams magnesium for stimulating BDNF production in highly ‗suspicious‘ preterm labour , and 4 grams again when preterm birth become inevitable may be best from a safety perspective and also appears to have a stronger rationale.



239



SYMPOSIUM XI: ONCOLOGY GYNAECOLOGY 3 EVIDENCE BASED MEDICINE IN GYNAECOLOGIC CANCER



240



EVIDENCE-BASED MEDICINE (EBM) IN OVARIAN CANCER ―Integrasi bukti ilmiah, pengalaman klinis dan harapan pasien untuk lebih optimalnya penanganan kanker ovarium di Indonesia‖ Dr. Budiana, dr., Sp.OG(K) Divisi Ginekologi-Onkologi Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Bali ABSTRAK Berbicara tentang kanker, terutama kanker organ ginekologi, masyarakat dan praktisi kesehatan yang terlibat di dalamnya memiliki pemikiran yang hampir homogen. Biaya tinggi, kesembuhan yang sulit dan vonis perburukan di depan mata. Sisi lainnya, pertambahan angka insiden dan angka kematian kanker ginekologi tampaknya ―berkompetisi‖ dengan segala upaya untuk menekan angka insiden maupun angka kematian kanker ginekologi itu sendiri. Kanker ovarium saat ini menduduki peringkat kedua insiden kanker ginekologi di Indonesia berdasarkan register kanker Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (2018). Ketika dianalisis lebih lanjut, hampir 70% datang pada stadium lanjut. Serta lebih dari 90% kasus merupakan tipe epithelial, yang juga secara epidemiologi memberikan angka progression-free survival yang belum memuaskan. Kondisi ini memberikan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam penanganan kanker ovarium, tidak hanya upaya kuratif, namun juga upayaupaya preventif yang dapat dikerjakan. Dalam memberikan pelayanan kedokteran yang optimal dan professional terhadap penanganan kanker ovarium, dibutuhkan pendekatan pelayanan yang berbasis Evidence-Based Medicine (EBM). Sejak dipopulerkan oleh Professor David L. Sacket pada tahun 1995, EBM menjadi suatu hal yang sangat melekat dibicarakan oleh siapapun yang terlibat dalam tata laksana komprehensif suatu penyakit. Tata laksana kanker ovarium berkorelasi dengan kesatuan hulu-hilir proses patologi ovarium yang tidak dapat terlepas satu sama lain. Melalui EBM, kita akan dapat memilah dan memilih opsi mana yang paling memberikan manfaat bagi pasien. Utamanya berkaitan dengan kondisi nyata yang ada di masyarakat Indonesia, baik dari segi kultur budaya, sosial, ekonomi, hingga sistem pembiayaan kesehatannya. Kata kunci: kanker ovarium, Evidence-Based Medicine PENDAHULUAN Kesehatan merupakan kunci utama kesejahteraan hidup. Individu yang sehat dapat berperan aktif dan menyumbang kepada pembangunan agama, bangsa dan 241



negara. World Health Organization (WHO, 1948) mendefinisikan kesehatan sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang sehat, optimal, cerdas, serta bebas dari sembarang penyakit. Definisi ini menegaskan bahwa status kesehatan ditunjang oleh faktor fisik, mental dan sosial yang sehat, berfungsi dengan baik dan optimal serta tidak diancam oleh sembarang penyakit yang dapat menimbulkan kerugian bagi seseorang. Termasuk ketika berhadapan dengan kanker ginekologi, khususnya kanker ovarium, harapan pasien seringkali melebihi apa yang saat ini dapat dilaksanakan menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karenanya, di sini lah peran klinisi untuk menerapkan EBM, dengan mengintegrasikan bukti ilmiah berbasis research, pengalaman klinis dan ekspektasi pasien atas kondisi sakit yang dialaminya. Perkembangan penanganan atas kanker ovarium juga semakin berkembang dalam dua dasawarsa terakhir. Penanganan yang dimaksud adalah penanganan yang terkait dengan skrining, tata laksana (baik pembedahan, kemoterapi, maupun targeted therapy), hingga upaya preventif yang berbasis pada patologi molekuler terjadinya kanker ovarium. Arus informasi ilmiah yang berkembang ini, di sisi lain memberikan suatu kebingungan dalam penerapannya. Karena sekali lagi bahwa patient value ternyata salah satu kunci ―keberhasilan‖ terapi kanker ovarium. Melalui tulisan ini akan dibahas beberapa hal pokok berkaitan dengan EBM yang dapat diterapkan pada tata laksana kanker ovarium di Indonesia. Tentunya jika kita ingin membahas secara utuh EBM terkait kanker ovarium, dibutuhkan suatu panel tim ahli dari seluruh disiplin ilmu yang terkait kanker ovarium.



EVIDENCE-BASED MEDICINE Evidence-Based Medicine per definisi merupakan integrasi antara bukti research terbaik, dikombinasikan dengan pengalaman klinis (clinical expertise) dan harapan pasien (patient values). Perpotongan antara ketiga faktor ini yang kemudian disebut sebagai EBM. Pelopor EBM adalah Professor David Lawrence Sackett yang terkenal sebagai penulis buku Clinical Epidemiology and Evidence-Based Medicine. Penerapan EBM dimulai dengan suatu siklus, yaitu: memformulasikan suatu pertanyaan medis, dilanjutkan dengan mencari bukti ilmiah terbaik, melakukan critical appraisal terhadap bukti ilmiah yang didapat, mengintegrasikan dengan pengalaman klinis dan harapan pasien, dan terakhir mengevaluasi efektivitas serta efikasi temuan tadi.(1) Area EBM dapat berupa diagnosis, etiologi, tata laksana, dan prognosis. Termasuk pada kanker ovarium, area penerapan EBM juga dapat dilakukan pada area-area tersebut. Berkaitan dengan EBM, perlu kiranya kita mengingat kembali tentang Levels of Evidence dan Grade of Recommendation menurut Infectious Diseases Society of America.(2)



242



Tabel 1. Levels of Evidence(2) I Evidence from at least one large randomised, controlled trial of good methodological quality (low potential for bias) or meta-analyses of well conducted randomised trials without heterogeneity II Small randomised trials or large randomised trials with a suspicion of bias (lower methodological quality) or meta-analyses of such trials or of trials with demonstrated heterogeneity III Prospective cohort studies IV Retrospective cohort studies or case–control studies V Studies without control group, case reports, expert opinions Tabel 2. Grade of Recommendation(2) A Strong evidence for efficacy with a substantial clinical benefit, strongly recommended B Strong or moderate evidence for efficacy but with a limited clinical benefit, generally recommended C Insufficient evidence for efficacy orbenefit does not outweigh the risk or the disadvantages (adverse events,costs, etc), optional D Moderate evidence against efficacyor for adverse outcome, generally not recommended E Strong evidence against efficacy or for adverse outcome, never recommended PATOLOGI MOLEKULER KANKER OVARIUM EPITELIAL Pada era precision medicine saat ini, keberadaan teknologi informasi menawarkan suatu kemampuan untuk mengolah dan mengorganisasi data, kemudian mengintegrasikannya untuk menjelaskan suatu sistem biologi. Set data DNA, RNA, protein, produk metabolit memberikan titik acuan untuk lebih memahami gangguan pada sel dan menilai dampaknya pada tubuh. Harapannya adalah terapi akhir yang diberikan benar-benar ―presisi‖ dan berdampak positif atas suatu kondisi patologis tertentu.(3) Studi terbaru yang telah berjalan menunjukkan ekspresi gen homologous recombinant (HR) pada kanker ovarium high-grade epitelial. Pada kelompok yang menjalani primary debulking surgery (PDS), tiga gen HR (NBN, FANCF, RAD50) dan pada kelompok yang menerima kemoterapi neoadjuvan, yakni satu gen HR (RAD51) berhubungan signifikan dengan survival ketika dianalisis berdasarkan optimalisasi tindakan debulking yang dikerjakan.(4) Pada kanker ovarium tipe mucinous, memiliki patologi biomolekular yang melibatkan banyak gen, di antaranya mutasi TP53 (75%), mutasi KRAS (71%), dan/atau mutasi CDKN2A/B homozygous. Kanker ovarium tipe mucinous memiliki profil imunohistokimia yang hampir mirip dengan tipe endometrioid, di mana untuk membedakan di antara keduanya adalah frekuensi KRAS, TP53, CDKN2A, FBXW7, PIK3CA dan/atau mutasi APC. (5) 243



Adanya ekspresi mRNA BRCA1/2 pada kanker ovarium menunjukkan respon yang lebih baik terhadap kemoterapi Platinum-based dan PARP inhibitor. Ekspresi BRCA1 yang rendah berkaitan dengan overall survival (OS) yang lebih baik. Sedangkan ekspresi BRCA2 yang rendah berkaitan dengan OS dan progression-free survival (PFS) yang lebih baik, khusus pada tipe high-grade serous.(6) SKRINING KANKER OVARIUM Sampai dengan saat ini belum terdapat strategi skrining kanker ovarium yang betul-betul bermanfaat untuk mendeteksi peluang seorang wanita menderita kanker ovarium. Smith, et al (2018) dalam tulisannya menyampaikan bahwa belum ada satu organisasi yang merekomendasikan metode skrining yang memberikan hasil optimal. Pendekatan yang dapat dikerjakan adalah berdasarkan penelitian yang dikerjakan oleh US Collaborative Trial of Ovarian Cancer Screening, yang menilai efikasi penggunaan skrining multimodalitas. Penelitian ini menilai pemeriksaan Ca-125 rutin setiap tahun dengan menggunakan algoritme risiko kanker ovarium dan USG transvaginal sebagai metode lini kedua; dibandingkan USG sebagai modalitas tunggal, dan pemeriksaan fisik pada penelitian acak terkontrol yang melibatkan 202.638 wanita usia 50-74 tahun berasal dari 13 pusat pelayanan di Inggris. Analisis awal menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan penurunan mortalitas antara pemeriksaan multimodalitas dan hanya dengan menggunakan TVS saja. Pada analisis kesintasan yang dilakukan terhadap kasus yang di-censored, pemeriksaan multimodalitas berhubungan dengan reduksi mortalitas 20% dan hasil ini bermakna secara statistik. Peneliti pada penelitian ini menekankan perlunya follow up jangka panjang sebelum dijadikan suatu kebijakan yang berlaku di populasi umum.(7-9) MEMBEDAKAN BORDERLINE OVARIUM TUMOR DAN NEOPLASIA OVARIUM INVASIF Membedakan borderline ovarian tumor (BOT) dan suatu karsinoma secara klasik adalah adanya invasi stromal yang bersifat destruktif. Namun, pada tipe mucinous dan endometrioid, dapat memberikan gambaran, baik non destruktif ataupun destruktif. Invasi yang bersifat destruktif pada tipe mucinous akan memberikan gambaran glandular kompleks, struktur papiliferum dan atau kribriform dengan sebuah anastomosis, serta perluasan stroma yang minimal atau bahkan tidak ada.(10, 11) Serous BOT (sBOT) ekstraovarium juga dapat diklasifikasikan menjadi noninvasive dan invasive. Menurut klasifikasi WHO tahun 2014, terminology low grade serous carcinoma (LGSC) ekstraovarium digunakan untuk menyebutkan implant invasif yang berkaitan dengan sBOT. Hal ini diperkuat oleh rekomendasi yang dikeluarkan oleh ESGO pada tahun 2018, bahwa implant invasif ekstraovarium yang berkaitan dengan sBOT merupakan nama lain dari LGSC ekstraovarium.(12) Adanya mikroinvasi ( 6 bulan, skor Arbeitsgemeinschaft Gynaekologische Onkologie (AGO) positif (performance score yang bagus, reseksi komplit pada operasi pertama, dan tidak terdapat ascites > 500 ml), tidak ada lesi yang tidak mampu direseksi berdasarkan imaging, serta tidak ada kontraindikasi menjalani operasi (penyakit komorbid, komplikasi berat pada operasi sebelumnya).(28) Penting untuk menjadi catatan bahwa interval pemberian kemoterapi Platinum dan skor AGO merupakan prediktor positif untuk dilakukannya reseksi komplit, namun bukan menjadi faktor eksklusi kriteria pasien yang menjalani pembedahan. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan operasi sitoreduktif adalah tersedianya sumber daya manusia (tim multidisiplin) dan fasilitas yang memenuhi standar.(10, 28)



247



IDENTIFIKASI TUMOR YANG BERESPON BAIK TERHADAP TARGETED THERAPIES DAN PEMBERIAN TARGETED THERAPIES PADA KANKER OVARIUM REKUREN Sampai dengan saat ini, penelitian terkait pemberian targeted therapies pada kanker ovarium, seperti agen antiangiogenic, poly (adenosine diphospate-ribose) polymerase (PARP) inhibitor, hormone receptor modulators dan immune checkpoint inhibitors masih berjalan. Rekomendasi berdasarkan penelitian yang telah atau sedang berjalan adalah PARP inhibitors memiliki aktivitas terapi yang baik pada pasien dengan mutasi BRCA1/2; pemeriksaan BRCA1/2 direkomendasikan pada seluruh pasien dengan tipe histologi non-mucinous; mempertimbangkan pemeriksaan mutasi gen homologous recombination (HR) seperti RAD51C/D, BRIP1, BRIP, PALB2 pada pemberian PARP inhibitor; pemeriksaan estrogen receptor (ER) untuk menilai respon hormone therapy. Hingga saat ini belum terdapat biomarker yang telah divalidasi untuk menilai respon immune checkpoint inhibitors.(10, 29) Pada kanker ovarium yang mengalami rekurens, pemberian Bevacizumab yang dikombinasi dengan kemoterapi Platinum-based lini kedua (Gemcitabine atau Paclitaxel) menunjukkan manfaat dalam hal mengurangi massa tumor dan PFS. Pemberian Bevacizumab yang dikombinasi dengan kemoterapi non-Platinum lini kedua atau ketiga (Cisplatin weekly, Pegylated Liposomal Doxorubicin/PLD, Topotecan) juga memberikan respon terapi dan PFS yang memuaskan, serta perbaikan kualitas hidup pasien. Pemberian PARP inhibiotrs (Olaparib, Niraparib, Ricaparib) yang diberikan sebagai maintenance therapy pasca kemoterapi Platinumbased lini kedua atau yang lebih tinggi, menunjukkan respon terapi dan PFS yang lebih baik. Rucaparib dan Olaparib dapat dipertimbangkan sebagai monoterapi pada pasien dengan mutasi BRCA.(29-31) DURASI PEMBERIAN TERAPI PADA KANKER OVARIUM REKUREN Hingga saat ini belum terdapat penelitian acak terkontrol yang menilai durasi terapi kanker ovarium rekurens. Berdasarkan studi yang telah berjalan (CALYPSO trial dan AGO), hampir sebagian besar pasien memperoleh kemoterapi berbasis Platinum sebanyak 6 siklus. Jumlah kemoterapi lebih sedikit atau lebih banyak tidak memiliki manfaat dan efek toksisitas juga menjadi salah satu pertimbangan. Untuk kemoterapi non-Platinum, kemoterapi dilanjutkan sampai dengan terdapat manfaat klinis dan dapat ditolerasi dengan baik.(10) Pemberian Bevacizumab pada kondisi penyakit yang mengalami progresifitas, masih menjadi kontroversial. Penelitian OCEANS dan GOG 213 merekemondasikan penghentian penggunaan Bevacizumab. Sedangkan pada penelitian AURELIA, Bevacizumab dapat tetap diberikan sebagai salah satu regimen kombinasi pada kondisi progresi, namun tidak sebagai maintenance therapy.(10)



248



BIOMARKER JARINGAN UNTUK MENENTUKAN RESPON TERAPI DAN RISIKO REKUREN KANKER OVARIUM The Gynecologic Cancer InterGroup (GCIG) merekomendasikan penggunaan Ca125 untuk menentukan respon terapi maupun memprediksi risiko kekambuhan, namun tetap dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik dan imaging. Rekomendasi ini berlaku khususnya untuk kanker ovarium tipe epitelial. Pada tipe non-HGSC, peran Ca125 belum jelas dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.(32) Circulating tumour cells (CTCs) dan circulating cell-free DNA (cfDNA) juga dapat digunakan sebagai sarana diagnostic dan menilai prognosis kanker ovarium. Kedua teknik pemeriksaan ini memiliki problematika spesifik lanjutan, seperti preanalisis terhadap volume sampel yang diambil, ukuran container untuk menampung sampel, penyimpanan sampel dan waktu untuk mengerjakan analisis, termasuk quality control dan validasi terhadap alat yang digunakan. Perlu dilakukan studi lanjutan untuk menilai validasi, standardisasi, dan quality control sebelum menerapkannya dalam praktik sehari-hari. (33) Biomarker lain yang dapat dipakai untuk menentukan respon terapi adalah Chemotherapy Respon Score (CRS). Kriterianya adalah sebagai berikut:(34) Tabel 3. Kriteria Chemotherapy response score CRS Criteria CRS1: No or Mainly viable tumour with no or minimal regression-associated minimal tumour fibroinflammatory changes* limited to a few foci. Note: cases in response which it is difficult to decide between regression and tumourassociated desmoplasia or inflammatory cell infiltration CRS2: Partial Appreciable tumour response amidst viable tumour, both tumour readily identifiable response and tumour regularly distributed. Note: cases ranging from multifocal or diffuse regression-associated fibroinflammatory changes*, with viable tumour in sheets, streaks or nodules, to extensive regression associated fibroinflammatory changes*with multifocal residual tumour which is easily identifiable CRS3: Total No residual tumour OR minimal irregularly scattered tumour or near total foci seen as individual cells, cell groups or nodules up to 2 mm tumour in maximum size. Note: cases showing mainly regressionresponse associated fibroinflammatory changes* or, in rare cases, no/very little residual tumour incomplete absence of any inflammatory response; advisable to record whether ‗noresidual tumour‘ or ‗microscopic residual tumour present‘ Catatan: *Regression-associated fibroinflammatory changes: fibrosis associated with macrophages, including foam cells, mixed inflammatory cells and psammoma bodies; to distinguish from tumour-related inflammation or desmoplasia 249



PENUTUP Kanker ovarium hampir 70% datang pada stadium lanjut. Kondisi ini memberikan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam penanganan kanker ovarium, tidak hanya upaya kuratif, namun juga upaya-upaya preventif yang dapat dikerjakan. Di sisi lain, tata laksana kanker ovarium berkorelasi dengan kesatuan hulu-hilir proses patologi ovarium yang tidak dapat terlepas satu sama lain. Melalui EBM, kita akan dapat memilah dan memilih opsi mana yang paling memberikan manfaat bagi pasien. Utamanya berkaitan dengan kondisi nyata yang ada di masyarakat Indonesia, baik dari segi kultur budaya, sosial, ekonomi, hingga sistem pembiayaan kesehatannya. DAFTAR PUSTAKA 1. Sackett D, Rosenber W, Gray J, Haynes R, Richardson W. Evidence based medicine: what it is and what it isn/t. BMJ. 1996;312(1):71-2. 2. Dykewicz C. Summary of the Guidelines for Preventing Opportunistic Infections among Hematopoietic Stem Cell TRansplant Recipients. Clinical Infectious Disease. 2001(33):139-44. 3. André A, Vignaux J-J. Precision Medicine. Digital Medicine. Health Informatics2019. p. 49-58. 4. Kessous R, Octeau D, Klein K, Tonin PN, Greenwood CMT, Pelmus M, et al. Distinct homologous recombination gene expression profiles after neoadjuvant chemotherapy associated with clinical outcome in patients with ovarian cancer. Gynecol Oncol. 2018;148(3):553-8. 5. Mueller JJ, Schlappe BA, Kumar R, Olvera N, Dao F, Abu-Rustum N, et al. Massively parallel sequencing analysis of mucinous ovarian carcinomas: genomic profiling and differential diagnoses. Gynecol Oncol. 2018;150(1):127-35. 6. Tsibulak I, Wieser V, Degasper C, Shivalingaiah G, Wenzel S, Sprung S, et al. BRCA1 and BRCA2 mRNA-expression prove to be of clinical impact in ovarian cancer. Br J Cancer. 2018;119(6):683-92. 7. Smith RA, Andrews KS, Brooks D, Fedewa SA, Manassaram-Baptiste D, Saslow D, et al. Cancer screening in the United States, 2018: A review of current American Cancer Society guidelines and current issues in cancer screening. CA Cancer J Clin. 2018;68(4):297-316. 8. Minig L. Screening for ovarian and fallopian tube cancer. ESGO. 2018:6. 9. Jacobs IJ, Menon U, Ryan A, Gentry-Maharaj A, Burnell M, Kalsi JK, et al. Ovarian cancer screening and mortality in the UK Collaborative Trial of Ovarian Cancer Screening (UKCTOCS): a randomised controlled trial. The Lancet. 2016;387(10022):945-56. 10. Colombo N, Sessa C, Bois AD, Ledermann J, McCluggage WG, McNeish I, et al. ESMO-ESGO consensus conference recommendations on ovarian cancer: pathology and molecular biology, early and advanced stages, borderline tumours and recurrent disease. Int J Gynecol Cancer. 2019. 250



11. Gouy S, Saidani M, Maulard A, Bach-Hamba S, Bentivegna E, Leary A, et al. Characteristics and Prognosis of Stage I Ovarian Mucinous Tumors According to Expansile or Infiltrative Type. International Journal of Gynecologic Cancer. 2018;28(3):493-9. 12. Hauptmann S, Friedrich K, Redline R, Avril S. Ovarian borderline tumors in the 2014 WHO classification: evolving concepts and diagnostic criteria. Virchows Arch. 2017;470(2):125-42. 13. Matias-Guiu X, Stewart CJR. Endometriosis-associated ovarian neoplasia. Pathology. 2018;50(2):190-204. 14. Park HJ, Kim DW, Yim GW, Nam EJ, Kim S, Kim YT. Staging laparoscopy for the management of early-stage ovarian cancer: a metaanalysis. Am J Obstet Gynecol. 2013;209(1):58 e1-8. 15. Minig L, Heitz F, Cibula D, Bakkum-Gamez JN, Germanova A, Dowdy SC, et al. Patterns of Lymph Node Metastases in Apparent Stage I Low-Grade Epithelial Ovarian Cancer: A Multicenter Study. Ann Surg Oncol. 2017;24(9):2720-6. 16. Bentivegna E, Gouy S, Maulard A, Pautier P, Leary A, Colombo N, Morice P. Fertility Sparing Surgery in Epithelial Ovarian Cancer: A Systematic Review of Oncological Issues. Oxford University Press. 2016. 17. Bentivegna E, Gouy S, Maulard A, Chargari C, Leary A, Morice P. Oncological outcomes after fertility-sparing surgery for cervical cancer: a systematic review. The Lancet Oncology. 2016;17(6):e240-e53. 18. Bentivegna E, Fruscio R, Roussin S, Ceppi L, Satoh T, Kajiyama H, et al. Longterm follow-up of patients with an isolated ovarian recurrence after conservative treatment of epithelial ovarian cancer: review of the results of an international multicenter study comprising 545 patients. Fertil Steril. 2015;104(5):1319-24. 19. Trimbos J, Parmar M, Vergote I, Guthrie D, Bolis G, et al. International Collaborative Ovarian Neoplasm Trial 1 and Adjuvant Chemotherapy in Ovarian Neoplasm Trial: Two Parallel Randomized Phase III Trials of Adjuvant Chemotherapy in Patients with Early-Stage Ovarian Carcinoma. Journal of The National Cancer Institute. 2003;95(2):105-11. 20. Colombo N, Guthrie D, Chiari S, Parmar M, Qian W, et al. International Collaborative Ovarian Neoplasm Trial 1: A Randomized Trial of Adjuvant Chemotherapy in Women With Eraly-Stage Ovarian Cancer. Journal of the National Cancer Institute. 2003;95(2):125-32. 21. Chatterjee S, Chen L, Tergas AI, Burke WM, Hou JY, Hu JC, et al. Utilization and Outcomes of Chemotherapy in Women With Intermediate-Risk, EarlyStage Ovarian Cancer. Obstet Gynecol. 2016;127(6):992-1002. 22. Oseledchyk A, Leitao M, Konner J, O'Cearbill R, Zamarin D. Adjuvant chemotherapy in patients with stage I endometrioid or clear cell ovarian cancer in the Platinum era: A surveillance, epidemiology, and end results cohort stufy, 2000-2013. Oxford University Press. 2017. 251



23. Kehoe S, Hook J, Nankivell M, Jayson GC, Kitchener H, Lopes T, et al. Primary chemotherapy versus primary surgery for newly diagnosed advanced ovarian cancer (CHORUS): an open-label, randomised, controlled, non-inferiority trial. The Lancet. 2015;386(9990):249-57. 24. Querleu D, Planchamp F, Chiva L, Fotopoulou C, Barton D, Cibula D, et al. European Society of Gynaecological Oncology (ESGO) Guidelines for Ovarian Cancer Surgery. International Journal of Gynecologic Cancer. 2017;27(7):153442. 25. Oza AM, Cook AD, Pfisterer J, Embleton A, Ledermann JA, Pujade-Lauraine E, et al. Standard chemotherapy with or without bevacizumab for women with newly diagnosed ovarian cancer (ICON7): overall survival results of a phase 3 randomised trial. The Lancet Oncology. 2015;16(8):928-36. 26. Fader AN, Bergstrom J, Jernigan A, Tanner EJ, 3rd, Roche KL, Stone RL, et al. Primary cytoreductive surgery and adjuvant hormonal monotherapy in women with advanced low-grade serous ovarian carcinoma: Reducing overtreatment without compromising survival? Gynecol Oncol. 2017;147(1):85-91. 27. Joly F, Hilpert F, Okamoto A, Stuart G, Ochiai K, Friedlander M, et al. Fifth Ovarian Cancer Consensus Conference of the Gynecologic Cancer InterGroup: Recommendations on incorporating patient-reported outcomes in clinical trials in epithelial ovarian cancer. Eur J Cancer. 2017;78:133-8. 28. Harter P, Sehouli J, Reuss A, Hasenburg A, Scambia G, Cibula D, et al. Prospective validation study of a predictive score for operability of recurrent ovarian cancer: the Multicenter Intergroup Study DESKTOP II. A project of the AGO Kommission OVAR, AGO Study Group, NOGGO, AGO-Austria, and MITO. Int J Gynecol Cancer. 2011;21(2):289-95. 29. Oza AM, Tinker AV, Oaknin A, Shapira-Frommer R, McNeish IA, Swisher EM, et al. Antitumor activity and safety of the PARP inhibitor rucaparib in patients with high-grade ovarian carcinoma and a germline or somatic BRCA1 or BRCA2 mutation: Integrated analysis of data from Study 10 and ARIEL2. Gynecol Oncol. 2017;147(2):267-75. 30. Domchek SM, Aghajanian C, Shapira-Frommer R, Schmutzler RK, Audeh MW, Friedlander M, et al. Efficacy and safety of olaparib monotherapy in germline BRCA1/2 mutation carriers with advanced ovarian cancer and three or more lines of prior therapy. Gynecol Oncol. 2016;140(2):199-203. 31. Coleman RL, Brady MF, Herzog TJ, Sabbatini P, Armstrong DK, Walker JL, et al. Bevacizumab and paclitaxel–carboplatin chemotherapy and secondary cytoreduction in recurrent, platinum-sensitive ovarian cancer (NRG Oncology/Gynecologic Oncology Group study GOG-0213): a multicentre, open-label, randomised, phase 3 trial. The Lancet Oncology. 2017;18(6):779-91. 32. Rustin GJ, Vergote I, Eisenhauer E, Pujade-Lauraine E, Quinn M, Thigpen T, et al. Definitions for response and progression in ovarian cancer clinical trials



252



incorporating RECIST 1.1 and CA 125 agreed by the Gynecological Cancer Intergroup (GCIG). Int J Gynecol Cancer. 2011;21(2):419-23. 33. Giannopoulou L, Kasimir-Bauer S, Lianidou ES. Liquid biopsy in ovarian cancer: recent advances on circulating tumor cells and circulating tumor DNA. Clin Chem Lab Med. 2018;56(2):186-97. 34. Said I, Bohm S, Beasley J, Ellery P, Faruqi AZ, Ganesan R, et al. The Chemotherapy Response Score (CRS): Interobserver Reproducibility in a Simple and Prognostically Relevant System for Reporting the Histologic Response to Neoadjuvant Chemotherapy in Tuboovarian High-grade Serous Carcinoma. Int J Gynecol Pathol. 2017;36(2):172-9.



253



EVIDENCE-BASED MEDICINE IN CERVICAL CANCER: WHY DO WE NEED IT? Andi Darma Putra, dr., Sp.OG(K) Division of Gynecology-Oncology Department of Obstetrics and Gynecology Faculty of Medicine University of Indonesia Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital Jakarta INTRODUCTION Cervical cancer is a malignant epithelial tumor that forms in the uterine cervix. It continues to be a public health problem in Indonesia. Data from GLOBOCAN 2018 showed that cancer of cervix uteri ranked number two after breast cancer in women with 32.469 (17.2%) new cases in 2018. xxxiii The most important etiological factor of cervical cancer development is the persistent infection of the human papillomavirus (HPV).xxxivSquamous cell carcinomas account for approximately 80% of all cervical cancers while adenocarcinomas accounts for the rest 20%. International guidelines have long been used in oncology practice for the purpose of diagnosis, staging, treatment and follow-up. However, treatment response and patients‘ survival may still vary. Practice guidelines are continuously updated or revised to improve the management of cancer patients. New criteria and guidelines are usually based on new evidence from clinical trial, ideally from the randomized, double blind, controlled studies. Therefore, it is important for all clinical oncologists, including gynecologists, to update their knowledge and skill continuously. Regarding the evidence-based practice in cervical cancer, two important guidelines have been recently published, i.e. the new FIGO staging system and the NCCN guidelines. NEW FIGO STAGING Until recently, the International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) evaluation procedures for staging are limited to colposcopy, biopsy, conization of the cervix, cystoscopy, and proctosigmoidoscopy. Imaging studies are limited to radiographs of the chest and skeleton, intravenous urography and barium enema.xxxv These modalities were chosen since most cases are found in low-income countries where advanced imaging techniques are not available or too expensive. However, the staging system has been inaccurate, with understaging of 20%–40% of stages IB–IIIB cancers, and overstaging of up to 64% of IIIB cancers.xxxvi In 2018, new FIGO staging has included advanced imaging studies such as computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI) and positron emission tomography (PET)-CT.xxxvii One of the major changes from the prior FIGO staging system is that the updated staging system now includes 3 subgroups for stage IB disease rather than 2 254



subgroups, i.e.: stage IB1 ( 50 tahun, dengan usia median diagnosis 63 tahun, dengan 4% pasien berusia < 40 tahun dimana kesuburan masih dipertimbangkan.2 kebanyakan kanker didiagnosis pada stadium awal (80% stadium I), dengan angka ketahanan 5 tahun lebih dari 95%. Walaupun, angka tersebut akan lebih rendah jika terjadi penyebaran regional (68%) atau metastasis jauh (17%).3 Kanker endometrium dibagi menjadi 2 secara klinik patologis dan tipe molekuler: tipe I adalah endometrioid adenocarcinoma (80-90%) merupakan tipe tersering, dan tipe II merupakan tipe non endometrioid seperti serous, clear cell dan undifferentiated carcinomas, dan juga carcinosarcoma (10-20%).4 Endometrial adenocarcinoma herediter sering kali ditemukan pada keluarga dengan HNPCC (Hereditary Non-Polyposis Colon Cancer) atau disebut juga dengan sindroma Lynch, dan walaupun kebanyakan kanker endometrium pada kelompok pasien tersebut merupakan tipe I, tapi proporsi tipe II lebih tinggi dibandingkan dengan kanker endometrium non herediter.7 PENCEGAHAN DAN PENAPISAN Faktor Risiko Kebanyakan pasien memiliki kondisi dimana terjadi kelebihan produksi estrogen dan memiliki profil fisik BMI (Body Mass Index) yang tinggi antara lain overweight (BMI 25-30) atau obesitas (BMI 30), seringkali dengan komponen sindroma metabolic yang lain (seperti hipertensi, diabetes).10 BMI yang tinggi memiliki korelasi dengan gambaran prognosis yang bagus, termasuk grade tumor yang rendah, tipe endometrioid dan stadium awal.11 Berdasarkan data dari meta analisis melibatkan 6 studi dan 3.132 kasus kanker, RR (Relative Risk) untuk mendapatkan kanker endometrium pada wanita dengan sindroma metabolic adalah 1.89, pada wanita overweight adalah 1.32, pada obesitas adalah 2.54.13 Pada wanita hipertensi adalah1.8, pada wanita dengan hiper trigliserid adalah 1.17.12 Pada wanita diabetes mellitus tipe II dengan OR (Odd Ratio) 2.1,14 258



Nuliparitas dan infertilitas juga merupakan faktor risiko klasik. PCOS (Poly Cystic Ovarian Syndrome) meningkatkan risiko 3x lipat (OR 2.79-2.89).16 terapi estrogen (tanpa progesterone) bila diberikan 5 tahun atau lebih akan meningkatkan risiko kanker endometrium 10-30 kali lipat.18 Tumor yang memproduksi estrogen seperti granulosa cell tumor meningkatkan risiko kanker endometrium (20% pasien tersebut disertai juga dengan kanker endometrium saat diagnosis).19 menarche dini dan menopause yang lanjut juga meningkatkan risiko kanker endometrium 2 kali lipat.21 Pasien kanker payudara yang mengkonsumsi tamoxifen memiliki risiko 2.53 lipat menderita kanker endometrium, terutama kelompok pasca menopause.22 Wanita dengan LS atau HNPCC memiliki risiko seumur hidup 40-60% untuk menderita kanker endometrium dan kolorektal, dan juga 9-12% menderita kanker ovarium.23 Skrining dan Pencegahan Kanker Endometrium Kebanyakan kasus tidak bisa dicegah, tetapi dengan menurunkan faktor risiko dan menyarankan faktor protektif ke dalam gaya hidup sehari-hari, dapat menurunkan risiko menderita penyakit tersebut. Penggunaan pil KB secara lama akan secara signifikan menurunkan risiko. REKOMENDASI 1.1: Tidak ada pemeriksaan penapisan yang disarankan untuk kanker endometrium yang tidak memiliki gejala (LEVEL OF EVIDENCE II, REKOMENDASI A) skrining tersebut hanya direkomendasikan untuk pasien LS.24,25 Pada wanita pasca menopause dan kelompok risiko tinggi di atas yang mengalami perdarahan, baik bercak atau banyak sangat disarankan untuk ke dokter untuk mendapatkan diagnosis dan terapi dari kelainan endometrium. Wanita dengan faktor risiko tinggi dengan penebalan endometrium diatas 11 mm dan faktor lain pada USG sebaiknya memerlukan observasi yang ketat dan jika diperlukan biopsi endometrium. REKOMENDASI 1.2: terapi estrogen (tanpa progesterone) tidak boleh diberikan pada wanita yang memiliki Rahim (LEVEL OF EVIDENCE III, REKOMENDASI A) REKOMENDASI 1.3: pemantauan rutin pada wanita tanpa gejala dengan obesitas, PCOS, DM, infertilitas, atau menopause yang lanjut tidak direkomendasikan (LEVEL OF EVIDENCE III, REKOMENDASI B) REKOMENDASI 1.4: Wanita dengan tumor sel granulosa, jika histerektomi tidak dilakukan, sampling endometrium direkomendasikan. Dan jika tidak didapatkan kelainan, skrining endometrium lebih lanjut tidak diperlkukan (LEVEL OF EVIDENCE IV, REKOMENDASI B) 259



REKOMENDASI 1.5: pasien dengan kanker ovarium tipe epitel yang menjalani terapi fertility sparring, sampling endometrium direkomendasikan saat diagnosis (LEVEL OF EVIDENCE IV, REKOMENDASI B) REKOMENDASI 1.6: skrining rutin untuk kanker endometrium pada pengguna tamoxifen yang tidak menunjukkan gejala tidak diperlukan (LEVEL OF EVIDENCE III, REKOMENDASI B) Pada wanita dengan HNPCC/ LS, pilihan dibawah dapat dilakukan:30 -



Skrining dengan histeroskopi dan biopsi endometrium dapat dilakukan mulai usia 35 tahun Penggunaan LNG-IUD direkomendasikan Histerektomi dan Bilateral Oovorektomi disarankan pada usia 35-40 tahun dimana pasangan sudah tidak menginginkan keturunan



REKOMENDASI 1.7: monitoring rutin berupa pemeriksaan ginekologi, USG transvaginal dan biopsi endometrium dimulai pada usia 35 tahun (setiap tahun sampai dilakukan histerektomi) sebaiknya disarankan pada semua pasien HNPCCLS (LEVEL OF EVIDENCE IV, REKOMENDASI B) REKOMENDASI 1.8: operasi TAH-BSO profilaksis, sebaiknya didiskusikan dilakukan pada usia 40 tahun pada pasien LS sebagai pencegahan kanker ovarium dan endometrium (LEVEL OF EVIDENCE IV, REKOMENDASI B)



FERTILITY PRESERVING THERAPY Terapi standart tetap TAH-BSO baik dengan atau tanpa lymfadenektomi, walau efekasi tinggi namun pada kelompok ini akan terjadi kehilangan kemampuan reproduksi yang permanen. Terapi konservatif dapat dipertimbangkan bila pasien memiliki histologi kanker endometrium grade 1 atau hyperplasia dengan atypia.31 metode yang optimal untuk mendapatkan karakteristik itu dengan menggunakan kuretase, prosedur itu lebih superior dan akurat dibandingankan dengan biopsi menggunakan pipelle.34 MRI sebaiknya dilakukan untuk memastikan tidak ada invasi myometrium, adneksa atau KGB pelvis.36 Pasien harud diinformasikan bahwa ini bukan terapi standart dan mereka harus melakukan follow up rutin selama dan setelah terapi di pusat kanker, juga harus diberitahukan perlunya dilakukan histerektomi di masa depan pada kasus kegagalan terapi dan atau setelah kehamilan yang sukses. Terapi konservatif yang dilakukan berdasar pada progestin dengan medroxyprogesterone acetate (MPA; 400-600 mg/ hari) atau megestrol acetate (MA; 160-320 mg/ hari).33 Penilaian respon terapi harus dilakukan tiap 6 bulan dengan kuretase dan pencitraan.38



260



Angka respon berhubungan dengan manajemen konservatif berkisar 75%,39 tetapi memiliki angka rekurensi 30-40%,39 pada pasien dengan respon yang jelek, histerektomi harus dilakukan.33 Kehamilan sendiri menurunkan risiko rekurensi kanker endometrium.40 Angka kelahiran hidup pada pasien yang menjalani metode konservatif sebesar 2839% ketika IVF dilakukan.39 Pasien yang mengalami remisi setelah 6 bulan sangat disarankan menjalani IVF sesegera mungkin OPERASI Pemeriksaan pre operasi tentang riwayat HNPCC/LS penting, pasien kanker endometrium seringkali menderita obesitas, hipertensi dan diabetes, kondisi yang potensial menyebabkan luas operasi yang diperlukan kadang tidak memungkinkan, pada kasus tersebut, penilaian risiko dan keuntungan masing-masing tindakan disesuaikan secara indivual. CT scan dan atau PET-CT dapat dilakukan pada pasein kanker endometrium yang secara klinis stadium lanjut. Pada pasien stadium awal, MRI atau USG transvaginal dapat dilakukan untuk untuk mengevaluasi penyebaran penyakit.68 Terapi standart kanker endometrium adalah Extrafascial Total Hysterectomy, BSO dilakukan juga untuk mencegah kanker ovarium dan menyingkirkan adanya metastasis ovarium. Histerektomi dapat dilakukan dengan pendekatan laparotomi, laparoskopi atau vaginal. Pada pasien dengan kontraindikasi operasi atau secara medis tidak fit, radioterapi (EBRT dan brakiterapi) atau terapi hormonal dapat dilakukan. Limfadenektomi pelvis merupakan bagian penting meliputi pengangkatan limadenektomi pelvis, para-aorta sampai arteri mesenterika inferior atau sampai vasa renalis. Efek terapetik dari limfadenektomi belum jelas. Pasien dengan penyakit risiko rendah (grade 1 dan 2 dengan invasi myometrium < 50 %) memiliki kemungkinan penyebaran KGB yang rendah dan tidak akan mendapatkan keuntungan dari limfadenektomi yang sistematis. Sebaiknya pada grade 3 dan invasi myometrium > 50% limfadenektomi harus dilakukan. Pada kanker endometrium stadium II (penyebaran serviks), radikal histerektomi tidak direkomendasikan.104 Pada kanker endometrium stadium III-IV sebaiknya dilakukan terapi multimodal diawali dengan operasi sitoreduksi yang radikal.107 Pada kanker endometrium non endometrioid terapi standart adalah TAHBSO dan lymfadenektomi, dengan omentektomi sebaiknya dikerjakan untuk tipe serous.108 ESMO-ESGO-ESTRO Consensus Confrence on Endometrial Cancer



261



SYMPOSIUM XII: UROGYNAECOLOGY RECONSTRUCTION 3 GYNAECOLOGY CONGENITAL MALFORMATION



262



PEMERIKSAAN IMEJING PADA ANOMALI DUKTUS MULLERIAN Lies Mardiyana, dr. SpRad (K) Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya ABSTRAK Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan gambaran serta peran imejing pada anomali Duktus Mullerian. Pemeriksaan imejing pada anomali Duktus Mullerian sangat penting karena akan membantu pada deteksi dan identifikasi, diagnosis serta bisa ikut menentukan jenis tindakan terapi. Modalitas imejing yang bisa dilakukan meliputi histerosalpingography, ultrasound dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Walaupun beberapa abnormalitas bisa dideteksi dengan hysterosalpingography dan ultrasound sebagai imejing awal, tetapi MRI merupakan modalitas imejing non invasif yang paling akurat dalam menentukan klasifikasi anomali Duktus Mullerian dibandingkan modalitas lainnya.Pengetahuan gambaran imejing dan klasifikasi anomali Duktus Mullerian dari seorang ahli radiologi sangat penting karena perencanaan terapi yang tepat tergantung pada diagnosis yang akurat. Kata kunci : Anomali Duktus Mullerian, histerosalpingography, ultrasonography, MRI. PENDAHULUAN Angka kejadian anomali Duktus Mullerian cukup jarang, tetapi abnormalitas ini merupakan penyebab infertilitas yang memungkinkan dilakukan terapi (1). Pasien tidak saja beresiko tinggi untuk terjadi infertilitas, tetapi juga bisa terjadi aborsi spontan pada trimester pertama yang berulang, keterlambatan pertumbuhan janin dalam kandungan, malposisi janin, persalinan premature dan retensi plasenta (1). Imejing berperan untuk mendeteksi dan mengklasifikasi anomali Duktus Mullerian sehingga tindakan yang tepat dapat segera dilakukan. TINJAUAN PUSTAKA EMBRIOLOGI Sistem reproduksi perempuan berkembang dari sepasang Duktus Mullerian yang membentuk struktur tuba fallopii, uterus, cervix dan dua pertiga proksimal vagina (1). Sementara ovarium dan sepertiga distal vagina mempunyai asal embriologi yang berbeda (2). Pertumbuhan normal duktus Mullerian tergantung pada tiga fase yang lengkap yaitu : organogenesis, fusi dan resorpsi septum. Kegagalan organogenesis menyebabkan terjadinya agenesis/hypogenesis atau uterus unicornu. Kegagalan fusi 263



mengakibatkan uterus bicornu atau uterus didelphys. Kegagalan resorpsi septum menimbulkan uterus septata atau uterus arkuata (1). SISTEM KLASIFIKASI



Gambar 1. Sistem klasifikasi berdasarkan American Fertility Society (1, 3). MODALITAS IMEJING Histerosalpingography (4,5)  E v a lu a s i a n a t o mi c a v u m ut e r i da n pa t e ns i t u b a  tidak bisa menggambarkan kontur uterus eksterna Ultrasound (6,7)  biasanya dilakukan pada awal pemeriksaan  cepat, tersedia, murah dan tanpa radiasi  gambar tidak jelas pada pasien gemuk, tertutup bayangan gas usus sehingga sulit 264



melihat kontur uterus eksterna  kadang-kadang tidak dapat mengidentifikasi tipe anomali ( khususnya pada 2D)  tehnologi terbaru ultrasound 3D dengan operator yang berpengalaman lebih akurat dibandingkan 2D dan bahkan disetarakan dengan MRI. MRI (5, 8, 9)  tehnik non invasif yang sangat penting  modalitas imejing terbaik untuk anomali Duktus Mullerian  tanpa radiasi  menggambarkan bentuk anatomi uterus interna dan eksterna dengan jelas  menggambarkan subtipe dari anomali Duktus Mullerian secara akurat  sekaligus mengevaluasi anatomi pelvis Anomali duktus Mullerian dihubungkan dengan kejadian infertilitas dan masalah obstetrik, sehingga identifikasi anomali menjadi sangat penting pada terapi intertilitas maupun gejala yang timbul akibat adanya obstruksi atau deformitas saluran reproduksi. Peran imejing radiologi , histerosalpingography, ultrasound dan MRI, pada diagnosis kasus infertilitas dan anomali obstruksi uterovaginal tampak pada gambar 1 dan 2.



Gambar 1. Sistematik pendekatan imejing diagnosis pada infertilitas (5).



265



Gambar 2. Sistematik diagnosis pada pasien dengan anomali uterovaginal obstruktif. Singkatan : OHVIRA : obstructed hemivagina and ipsilateral renal anomaly, MRI : Magnetic Resonance Imaging (10) CLASS I: HIPOPLASIA DAN AGENESIS UTERUS Histerosalpingography (HSG) tidak mempunyai peran pada evaluasi agenesis dan hypoplasia uterus. Pada USG, tidak tampak adanya uterus normal. Evaluasi sisa uterus sulit dan bisa tertutup jendela akustik dan bayangan gas di pelvis. USG dan MRI akan saling melengkapi. Akurasi MRI mencapai 100% pada evaluasi agenesis dan hypoplasia uterus (4).



Gambar 3. Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser syndrome pada perempuan usia 18 tahun, dengan amenore primer. Pada MRI T2 potongan sagital, tidak tampak uterus, cervix dan vagina proksimal, disertai dengan anomali ginjal yang berada di pelvis ( panah ) dan tampak adanya sisa vagina distal ( anak panah ) (10). 266



CLASS II: UTERUS UNICORNU



4a 4b 5 Gambar 4,5 : Uterus Unicornu kanan . (4) Axial(a) dan coronal oblique (b), MRI T2 menunjukkan uterus unicornu kanan yang terdeviasi ke lateral berbentuk ― pisang‖ (panah), dengan tanduk kiri yang rudimenter tanpa rongga (anak panah) ( b) . Histerosalpingography menunjukkan opasitas cavum uterus tunggal (10). CLASS III: UTERUS DIDELPHYS



Gambar 6 : Uterus didelphys (a, b) USG pelvis (a) dan MRI axial oblique T2 (b) , menunjukkan 2 dua buah fundus uterus ( panah) disertai distensi cavum endometrium kanan (anak panah)(b). (c) MRI T1 fat suppressed potongan sagittal menunjukkan intensitas signal yang tinggi yang menyebabkan distensi cavum uterus dan cevix ( anak panah), sesuai dengan hematometrocolpos kanan . Septum vagina horizontal kanan yang mengobstruksi, selanjutnya dilakukan reseksi. (d) MRI T2 coronal menunjukkan keterkaitan agenesis ginjal kanan (anak panah) (10). 267



CLASS IV: UTERUS BICORNU



Gambar 7: Uterus Bicornu,MRI T2 potongan coronal oblique menunjukkan dua buah fundus uterus yang simetris ( anak panah) dengan celah fundus yang dalam (panah). Intensitas signal yang rendah pada cavum uterus kanan dikarenakan biopsi yang terbukti sebagai karsinoma endometrium (10). CLASS V: UTERUS SEPTATA



Gambar 8. Uterus septata. (a, b) MRI T2 potongan coronal oblique menunjukkan bentukan sisi luar fundus uterus yang yang normal (panah) dan septa fibrous ber intensitas signal rendah (anak panah) yang meluas hingga canalis cervicalis luar (panah) (b). (c) MRI T2 potongan axial, menunjukkan perluasan septa hingga vagina dengan saluran vagina kanan dan kiri yang terpisah (panah) (10). CLASS VI: UTERUS ARCUATA



Gambar 9.10. Uterus Arkuata,USG tiga dimensi (9)dan MRI T2 potongan coronal oblique (10) pada pasien yang berbeda , menunjukkan endometrium yang halus , berdasar lebar dan dangkal, (panah), dengan bentukan sisi luar fundus uterus yang normal (anak panah). (10) 268



CLASS VII: ANOMALI UTERUS TERKAIT DES



Gambar 11 : Anomali uterus terkait DES, Histerosalpingography menunjukkan uterus berbentuk ―T‖ yang hipoplasi, pasien tersebut telah terekspos DES sejak didalam kandungan (10). DAFTAR PUSTAKA 1. Chandler T M, MD, Machan L S, MD, et.al. Mullerian duct anomalies : from diagnosis to intervention. The British Journal of Radiology, 82 (2009), 1034 – 1042. 2. Behr S C, MD, Courtier J L, MD et.al. Imaging of Mullerian Duct Anomalies. Radiographics 2012; 32: E233 – E250. 3. Anne-Marie E, Amies O, MD, et.al. Management of Acute Obstructive Uterovaginal Anomalies. Obstetric & Gynecology vol.133, no.6, June 2019. 4. Sharma S, Anggarwal N, et.al., Atypical Mayer –Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome with scoliosis, renal & anorectal malformation – case report. Ind J Radiol Imag 2006 16:4:809-812. 5. Dykes M T, Siegel C, et.al. Imaging of Congenital Uterine Anomalies : Review and Self-Assessment Module. AJR : 189, September 2007. 6. Raga F, MD, Musoles F B, MD et,al. Congenital Mullerian anomalies : diagnostic accuracy of three-dimensional ultrasound. Fertility and Sterility vol 65, No 3 March 1996. 7. Graupera B, Pascual M A, et.al. Accuracy of three-dimensional ultrasound compared with magnetic resonance imaging in diagnosis of Mullerian duct anomalies using ESHRE –ESGE consensus on the classification of congenital anomalies of the female genital tract. Ultrasound Obstet Gynecol 2015; 46: 616622. 8. Saleem S N. MR Imaging Diagnosis of Uterovaginal Anomalies : Current State of the Art. RSNA : Radiographics Sept 2003. 9. Acien P, Acien M. Diagnostic imaging and cataloguing of female genital malformations. Insight Imaging (2016) 7 : 713 -726. 10. Steinkeler J A, MD, Woodfield C A, MD, et al. Female Infertility : A Systemic Approach to Radiologic Imaging and Diagnosis. Radiographics 2009; 29:13531370. 269



LAPAROSKOPI PADA ANOMALI DUKTUS MULLERIAN Dr. dr. Nuring Pangastuti, SpOG(K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi – Dept. Obstetri dan Ginekologi FK-KMK Universitas Gadjah Mada RSUP Dr Sardjito Yogyakarta ABSTRAK Tujuan: mengetahui penggunaan laparoskopi pada anomali Mullerian. Metode: tinjauan pustaka. Hasil: pada penegakan diagnosis anomali Mullerian, laparoskopi dilakukan untuk mengkonfirmasi secara lebih tepat anomali yang terjadi, evaluasi patensi tuba, serta proses adhesiolisis. Pembedahan melalui rute vaginal dapat berupa histeroskopi septektomi atau metroplasty. Pembedahan melalui abdominal secara laparoskopi dilakukan untuk prosedur metroplasti serta vaginoplasti. Simpulan: anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menegakkan diagnosis anomali Mullerian. Pengelolaan pembedahan dilakukan melalui jalur vaginal maupun abdominal, menggunakan laparoskopi atau laparotomi. Kata Kunci: Mullerian anomaly, female genital anomaly, laparoscopy PENDAHULUAN Kelainan bawaan saluran genitalia perempuan atau yang lebih dikenal sebagai anomali Mullerian merupakan satu kondisi malformasi duktus Mullerian yang terjadi dari masa embrio. Penegakan diagnosis anomali tersebut memerlukan ketelitian sehingga kelainan dapat dikenali lebih awal, dan akan mengurangi beratnya keluhan atau komplikasi yang mungkin terjadi. Secara umum penegakan diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta didukung pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis yang benar akan menggiring pengelolaan pasien yang lebih tepat. Pengelolaan dapat secara non bedah atau dengan pembedahan. Penggunaan laparoskopi pada kasus-kasus anomali Mullerian dapat sebagai bagian dari proses penegakan diagnosis, namun sekaligus juga dapat berfungsi pada upaya pembedahan untuk perbaikan anatomi yang bersangkutan. TINJAUAN PUSTAKA ANOMALI MULLERIAN Kelainan bawaan bentuk anatomi saluran genitalia perempuan (malformasi kongenital) merupakan suatu penyimpangan anatomi normal, yang dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan umum maupun reproduksi perempuan yang bersangkutan. Penyimpangan anatomi terjadi sebagai akibat dari malformasi 270



embriologis duktus Mullerian atau paramesonefrik. Kondisi ini merupakan kelainan yang bersifat jinak, dengan angka prevalensi mencapai 4-7%. Jenis dan beratnya penyimpangan anatomi yang terjadi akan berpengaruh pada keluhan klinis dan beratnya masalah kesehatan atau reproduksi yang dihadapi (Grimbizis, et al., 2013). Sistem klasifikasi anomali saluran genitalia perempuan diawali menggunakan salah satu dari tiga sistem yaitu menurut the American Fertility Society's (AFS) atau dikenal sebagai American Society of Reproductive Medicine system, the embryological-clinical classification system of genitourinary malformations dan the Vagina, Cervix, Uterus, Adnexae and associated Malformations system based on the tumor nodes metastases (TNM) yang sering digunakan dalam bidang onkologi (Grimbizis, et al., 2013; Acien and Acien, 2011). Selanjutnya, European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE) dan European Society for Gynaecological Endoscopy (ESGE) telah membentuk suatu unit kerja dengan nama CONUTA (CONgenital UTerine Anomalies), yang bertujuan mengikuti perkembangan sistem klasifikasi anomali tersebut (Grimbizis, et al., 2013).



Klasifikasi menurut ESHRE/ESGE adalah sistem klasifikasi yang mendasarkan pembagiannya pada kelainan struktur anatomi, dengan mengikuti karakteristik umum sebagai berikut. Kondisi struktur anatomi menjadi dasar kategorisasi anomali secara sistematis. Penyimpangan anatomi uterus dengan kesamaan asal embriologi menjadi dasar penentuan desain kelas utama anomali. Variasi anatomi dari kelas-kelas utama dengan tampilan derajat deformitas uterus berbeda serta dengan makna klinis yang signifikan, menjadi dasar penentuan desain sub-kelas utama anomali. Anomali serviks dan vagina diklasifikasikan tersendiri 271



dalam subkelas suplementer. Sistem klasifikasi ESHRE/ESGE dapat digunakan sebagai langkah awal penegakan diagnosis serta perencanaan pengelolaanya (Grimbizis, et al., 2013).



Gambar skema klasifikasi anomali saluran genitalia perempuan mengacu pada sistem klasifikasi ESHRE/ESGE (Grimbizis, et al., 2013). PENEGAKAN DIAGNOSIS ANOMALI MULLERIAN Penegakan diagnosis anomali Mullerian merupakan hal yang sangat penting. Identifikasi gejala harus dilakukan sejak awal dengan teliti. Penegakan diagnosis sebagian terjadi pada saat sedang dilakukan evaluasi terhadap adanya kondisi infertil. Kadangkala kondisi anomali ini juga ditemukan tidak sengaja pada saat operasi obstetri (Kachhawa and Kriplani, 2017; Patel et al., 2015). Pemeriksaan yang dilakukan dalam proses penegakan diagnosis meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan klinis maupun pemeriksaan penunjang baik radiologis maupun endoskopi. Pemeriksaan radiologis umumnya menggunakan ultrasonografi, bisa tanpa MRI, sedangkan pemeriksaan endoskopi meliputi laparoskopi dan histeroskopi (Patel et al., 2015). Penggunaan alat bantu ultrasonografi (USG) sebagai pemeriksaan penunjang banyak dilakukan untuk membantu proses penegakan diagnosis anomali Mullerian 272



dikarenakan dapat menggambarkan kelainan struktur anatomi dengan tepat. Adanya USG tiga dimensi memberikan manfaat keakuratan sama dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI), dengan keunggulan sifatnya yang non invasif, tersedia mudah, biaya terjangkau, hasil dapat diketahui secara langsung (Kachhawa and Kriplani, 2017. Selama ini pemeriksaan MRI telah menjadi baku emas penegakan diagnosis anomali pada struktur uteroserviks dikarenakan akurasinya yang tinggi. Disisi lain penggunaan MRI memerlukan biaya cukup besar, pasien seringkali tidak nyaman, serta keahlian khusus petugas untuk mengoperasikan alat. Keadaan tersebut mungkin berakibat posisinya akan digantikan oleh ultrasonografi sebagai baku emas baru penegakan diagnosis anomali Mullerian (Kachhawa and Kriplani, 2017. Laparoskopi dilakukan untuk mengkonfirmasi secara lebih tepat anomali yang terjadi, serta lebih disukai digunakan sebagai penilai patensi tuba bila dibandingkan histerosalpingografi. Laparoskopi juga bermanfaat untuk membebaskan perlengketan (adhesiolisis) terutama pada endometriosis maupun penyebab yang lain. Namun demikian tindakan ini memerlukan keahlian khusus serta ketersediaan alat yang lengkap (Kachhawa and Kriplani, 2017; Sorrentino et.al., 2018). Anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan ultrasonografi yang cermat dapat mendiagnosis dengan baik pasien dengan agenesis vagina, uterus didelfis maupun bikornu, septum vagina transfersa dan hymen imperforata. Gangguan menstruasi yang didapatkan awal masa adolesen dan segera dikelola, akan lebih memperbaiki kondisi kesehatan psikis maupun reproduksi secara umum. Keterlambatan penegakan diagnosis dapat mengakibatkan komplikasi serius dan potensi infertilitas (Patel et al., 2015). Laparoskopi diperlukan pada penegakan diagnosis Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH) syndrome dan uterus unikornu. Histeroskopi diperlukan pada kasuskasus uterus dengan septum, sementara uterus arkuata didiagnosis saat Lower (Uterine) Segment Caesarean Section (LSCS) (Patel et al., 2015). Histerosalpingografi (HSG) telah lama digunakan untuk mengevaluasi struktur anatomi khususnya rongga uterus dan patensi tuba. Keterbatasan HSG membuat penelusuran patologi rongga uterus untuk kasus-kasus infertil lebih sering dilakukan dengan endoskopi, yaitu histeroskopi yang dikombinasikan dengan laparoskopi. Penelitian menyebutkan bahwa tingkat positif palsu HSG untuk faktor tuba pada kasus infertil mencapai 25%, sedangkan negatif palsu untuk faktor uterus mencapai 12%, dengan nilai sensitivitas HSG 75% dan spesifisitas mencapai 88% bila dibandingkan hasil pemeriksaan histeroskopi laparoskopi (Maiti, 2018).



PENGELOLAAN ANOMALI MULLERIAN Pengelolaan secara pembedahan banyak dilakukan sebagai koreksi kelainan struktur anatomi pada kondisi anomali Mullerian. Jenis pembedahan yang dipilih tergantung jenis anomali, keterkaitan embriologis, beratnya keluhan, tampilan klinis 273



pasien dan sebagainya. Pembedahan dapat sederhana, namun seringkali sangat rumit sampai dengan memerlukan keterlibatan beberapa ahli dan alat-alat penunjang pembedahan yang memadai. Diperlukan sistem rujukan yang berjalan baik dalam rangka pengelolaan kasus-kasus anomali Mullerian secara komprehensif (Kachhawa and Kriplani, 2017). Evaluasi sebelum pembedahan harus dilakukan dengan cermat, mempertimbangkan kepentingan dan target yang hendak dicapai. Jalur pembedahan dapat melalui rute vagina atau menggunakan histeroskopi, dapat juga melalui akses abdomen dengan laparoskopi maupun laparotomi (Kachhawa and Kriplani, 2017). Pembedahan melalui rute vaginal dapat berupa histeroskopi septektomi atau metroplasty. Pembedahan secara laparoskopi juga dapat dilakukan untuk prosedur metroplasty, umum dilakukan pada vaginoplasti Vecchietti, cara Williams yang menggunakan usus, serta Davydov yang menggunakan peritoneum sebagai materi neovagina (Creatsas et al., 2010; Kowalik et al., 2010; Maiti, 2018; Omotayo et al., 2016). DAFTAR PUSTAKA 1. Acién P, Acién M. The presentation and management of complex female genital malformations. Hum Reprod Update. 2016;22(1):48–69. 2. Creatsas G, Deligeoroglou E. Vaginal aplasia and reconstruction. Best Practice & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology. Volume 24, Issue 2, April 2010, Pages 185-191https://doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2009.11.002. 3. Grimbizis GF, Gordts S, Sardo ADS, Brucker S, De Angelis C, Gergolet M, et al. The ESHRE/ESGE consensus on the classification of female genital tract congenital anomalies. Human Reproduction, Vol.28, No.8 pp. 2032–2044, 2013; doi:10.1093/humrep/det098. 4. Kachhawa G, Kriplani A. Management of Reproductive Tract Anomalies. The Journal of Obstetrics and Gynecology of India (May–June 2017) 67(3):162–167. DOI 10.1007/s13224-017-1001-8. 5. Kowalik CR, Goddijn M, Emanuel MH, Bongers MY, Spinder T, de Kruif JH, Mol BWJ, Heineman MJ. Metroplasty versus expectant management for women with recurrent miscarriage and a septate uterus. Cochrane Database of Systematic Reviews 2010, Issue 7. Art. No.: CD008576. DOI: 10.1002/14651858.CD008576. 6. Maiti GD, Lele P. Hysterosalpingography (HSG), hysteroscopy and laparoscopic evaluation of female genital tract of patient attending tertiary infertility centre and correlation of various modalities. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2018 Apr;7(4):1597-1601, www.ijrcog.org, pISSN 2320-1770 | eISSN 2320-1789. DOI: http://dx.doi.org/10.18203/23201770.ijrcog20181362. 274



7.



8.



9.



10.



Omotayo OL, Ogunkeyede AO, Adewole MA, Olatinwo AO. Successful laparoscopic-assisted Davydov operation for the treatment of complete congenital vaginal agenesis at a public health facility in Ilorin, Nigeria. Saudi J Health Sci 2016;5:93-6. Patel SN, Desai AN, Pamnani DH, Modi KP. Analysis of Mullerian developmental defects in a tertiary care hospital: a four year experience. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2015 Jun;4(3):570-574, www.ijrcog.org, pISSN 2320-1770 | eISSN 2320-1789. DOI: 10.18203/2320-1770.ijrcog20150053. Sorrentino F, Angioni S, Pontis A, Greco F, Scutiero G, Nappi L. Laparoscopically assisted treatment of imperforate hymen in a patient with ventriculo-peritoneal (VP) shunt for congenital hydrocephalous: A case report. International Journal of Surgery Open. Journal homepage: www.elsevier.com/locate/ijso. https://doi.org/10.1016/j.ijso.2018.11.003. Viola MI, van der Merwe JP, Siebert TI, Kruger TF. Neovagina creation – laparoscopic Vecchietti-based approach with the new kit. SAJOG (South African Journal of Obstetrics and Gynaecology). Vol 19, No 1 (2013).



275



VAGINAL APPROACH FOR MULLERIAN ANOMALY Eighty Mardiyan Kurniawati, dr., Sp.OG(K) Divisi Uroginekologi Rekonstruksi – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Sistem reproduksi wanita manusia terdiri dari gonad, genitalia eksternal, dan sistem saluran Mullerian [1]. Awalnya dalam embrio, ada saluran Wolffian (mesonefrik) dan Mullerian (paramesonefrik), di mana pengembangan saluran Wolffian menimbulkan saluran reproduksi pria dan perkembangan saluran Mullerian menimbulkan saluran reproduksi wanita [1] [2]. Saluran-saluran ini identik sampai kira-kira minggu ke 6 perkembangan embrionik. Pada laki-laki, gen daerah penentu jenis kelamin (SRY) pada kromosom Y menekan perkembangan saluran Mullerian, dengan memulai produksi hormon anti-Mullerian oleh sel Sertoli dari testis. Saluran Mullerian hanya berkembang tanpa adanya hormon anti-Mullerian, di mana sebaliknya saluran Wolffian akan mengalami kemunduran [1] [2]. PERKEMBANGAN SALURAN MULLERIAN Perkembangan saluran reproduksi wanita dimulai sekitar minggu ke 8 perkembangan embrionik. Perkembangan sistem saluran Mullerian biasanya selesai pada akhir trimester pertama [3] [4]. Saluran Mullerian berkembang untuk memunculkan tuba falopii, uterus, serviks dan dua pertiga bagian atas vagina. Ovarium bukan bagian dari sistem Mullerian dan muncul dari sel benih primordial, yang berkembang di punggungan gonad. Pembentukan saluran reproduksi wanita melalui saluran Mullerian memiliki 3 tahap yang berbeda. Berbagai anomali Mullerian dapat terjadi jika salah satu dari proses ini ditangkap atau dirusak [3] [4] [5]. 1. Tahap pertama pengembangan saluran Mullerian adalah organogenesis, di mana kedua saluran Mullerian terbentuk [5]. Jika pembentukan saluran Mullerian terganggu atau tidak terjadi, ini dapat menimbulkan hipoplasia atau agenesis uterus, serviks, dan / atau vagina [4]. Agenesis Mullerian, juga dikenal sebagai sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser (MRKH), menghasilkan bawaan bawaan dari vagina atau rahim [7]. Wanita dengan sindrom MRKH umumnya dating dengan keluhan amenore primer. Yakni menstruasi tidak terjadi pada usia 16 tahun. Pada tahap pertama perkembangan, juga dapat terjadi hanya satu saluran Mullerian yang berkembang. Ini menimbulkan tanduk uterus tunggal (uterus unicornuate) [4]. Uterus unicornuate umumnya berkembang di sisi kanan, meskipun alasan untuk preferensi ini tetap sulit dipahami [3]. 276



2. Tahap kedua dari pengembangan saluran Mullerian melibatkan penggabungan (fusi) bagian inferior dari saluran untuk membentuk uterus, leher rahim dan dua pertiga bagian atas vagina [5]. Bagian superior dari saluran Mullerian dapat tidak melebur dan membentuk bagian kiri dan kiri. Gangguan pada tahap perkembangan ini dapat menyebabkan didelphys atau bicornuate uterus [4]. Dalam kasus didelphys dan bicornuate uterus, saluran Mullerian yang mengalami non fusi akan menghasilkan dua rongga uterus yang berbeda. 3. Tahap ketiga dan terakhir dari pengembangan saluran Mullerian adalah resorpsi septum [4]. Setelah saluran Mullerian bawah berfusi, septum sentral tertinggal, dan partisi ini harus dihilangkan untuk menimbulkan rongga uterus tunggal, kanal serviks, dan kanal vagina. Cacat dalam resorpsi septum dapat menghasilkan uterus bersepta atau uterus arkuata. Pada kasus ini, septum akan membagi rongga uterus. Lebih dari 50% wanita dengan anomali Mullerian dilaporkan memiliki uteri septate [3]. Adalah umum untuk kelainan perkembangan lainnya terjadi bersamaan dengan anomali Mullerian, termasuk kelainan ginjal, tulang, pendengaran dan jantung [6] [7]. PENYEBAB Penyebab anomali Mullerian tidak dipahami dengan baik [5] [6] [7] [8]. Etiologi penyakit bawaan ini mungkin multifaktorial, dengan genetika, faktor sosial ekonomi, dan faktor geografis yang berperan dalam perkembangan saluran Mullerian yang disfungsional [5]. Anomali Mullerian kemungkinan terjadi pada awal perkembangan, karena gangguan kongenital sering terjadi terkait dengan gangguan ginjal dan anorektal [6] [7]. Biasanya, wanita dengan kelainan Mullerian memiliki kariotipe wanita normal (46, XX). Sebagian besar kejadian anomali Mullerian terjadi secara sporadis, dengan contoh-contoh warisan familial yang kurang umum. Komponen genetik penyakit secara klasik mengikuti pola dominan autosom, dengan tingkat ekspresi genotip yang bervariasi. PEMBAGIAN DAN KLASIFIKASI Jenis anomali mullerian yang paling umum adalah:  Agenesis Mullerian, yang merupakan kegagalan untuk membentuk rahim dan saluran tuba  Gangguan fusi, yang terjadi ketika saluran mullerian gagal bersatu dengan benar  Gangguan resorbsi septum (gangguan kanalisasi) Agenesis Müllerian (kadang-kadang disebut sindrom Mayer-RokitanskyKusterHauser [MRKH]) terjadi ketika rahim, leher rahim (pembukaan rahim), dan vagina bagian atas tidak berkembang dengan benar atau tidak sama sekali. Sebagai gantinya, ada lubang vagina kecil atau lesung pipit. Wanita dengan MRKH memiliki



277



ovarium normal dan akan memiliki perkembangan normal payudara, klitoris, (bagian dari vulva) dan vulva (genitalia eksternal). Seorang wanita tidak menyadari bahwa dia memiliki MRKH sampai dia lebih tua. Gejala utamanya adalah tidak adanya menstruasi dan / atau rasa sakit saat melakukan hubungan seksual. Seorang wanita dengan MRKH terkadang dapat menjalani operasi untuk memperbesar vagina. Juga, karena seorang wanita dengan MRKH memiliki ovarium yang menghasilkan telur, dia dapat memiliki anak tetapi akan perlu menggunakan fertilisasi in vitro (IVF) dan pembawa kehamilan. Gangguan fusi saluran mullerian bisa berupa: • Duplikasi uterus lengkap. Dalam situasi ini, seorang wanita memiliki dua rahim, serviks dan vagina. • Rahim bikornuata, di mana dua uterus berbagi satu serviks dan vagina. • Rahim bersepta. Dalam situasi ini, ada pita jaringan fibrosa yang melewati rahim. Dokter dapat mengangkat pita fibrosa melalui prosedur invasif minimal yang dikenal sebagai histeroskopi. • Rahim arkuata, yang berarti ada lekukan di bagian atas rahim. Situasi ini tidak menyebabkan masalah dengan kehamilan. Sementara definisi anomali rahim yang diusulkan oleh American Fertility Society [12] mengklasifikasikan malformasi uterus menjadi tujuh kategori terpisah: Kelas I: Hipoplasia / agenesis uterus. Kelas II: Rahim Unicornuate: a) Memiliki fungsi endometrium dan komunikasi dengan rongga uterus utama. b) Juga memiliki struktur endometrium yang merespons stimulus hormon; Namun, tidak ada komunikasi dengan saluran genital eksternal. c) Memiliki struktur yang belum sempurna tanpa aktivitas, melekat pada tanduk uterus yang lebih berkembang. d) Hasil dari pengembangan hanya satu saluran Mullerian, dengan agenesis lengkap dari saluran kontralateral. Kelas III: Uterus didelphys. Kelas IV: Bicornuate uterus: a) Lengkap: ketika lekukan yang dihasilkan di daerah fundus dalam, sehingga menunjukkan bahwa fusi gagal dari tingkat wilayah serviks. b) Tidak lengkap: ketika pembelahan lebih tinggi, tidak meluas ke tingkat serviks, ditunjukkan oleh lekukan yang lebih dangkal dalam kontur wilayah fundus uteri. Kelas V: Rahim bersepta a) Ketika septum meluas ke dalam ostium serviks internal, kemungkinan termasuk kanal serviks, dan membelah serviks menjadi dua rongga terowongan. Septum vagina sering juga hadir. b) Ketika septum tidak membagi rongga uterus sepanjang panjangnya, dan sirkulasi ada di antara kedua bilik.



278



Kelas VI: Rahim Arcuate: Ini adalah anomali yang tidak signifikan dari rongga rahim di mana, secara umum, tidak ada kelainan dalam kontur eksternal rahim. Kelas VII: Rahim berbentuk T yang dihasilkan dari penggunaan DES. TATALAKSANA ANOMALI MULLERIAN Perawatan untuk anomali Mullerian bervariasi sesuai dengan jenis malformasi spesifik yang ditemukan pada setiap pasien. Salah satu jenis anomali yang sering ditemukan yakni agenesis Mullerian atau MRKH. Pada kasus MRKH, American College of Obstetricians dan Gynaecologists membuat rekomendasi dan kesimpulan berikut: a. Pasien dengan agenesis mullerian biasanya diidentifikasi ketika mereka dievaluasi untuk amenore primer dengan pertumbuhan khas dan perkembangan pubertas. b. Struktur mullerian rudimenter ditemukan pada 90% pasien dengan agenesis mullerian oleh pencitraan resonansi magnetik. Pada ultrasonografi, struktur mullerian sederhana ini sulit diinterpretasikan dan mungkin sangat menyesatkan sebelum masa pubertas. c. Evaluasi untuk anomali kongenital terkait sangat penting karena hingga 53% pasien dengan agenesis mullerian memiliki malformasi kongenital secara bersamaan, terutama pada saluran kemih dan kerangka. d. Semua pasien dengan agenesis mullerian harus ditawari konseling dan didorong untuk terhubung dengan kelompok pendukung sebaya. e. Pilihan masa depan untuk memiliki anak harus didiskusikan dengan pasien. f. Pemanjangan vagina primer dengan dilatasi adalah pendekatan lini pertama yang tepat pada sebagian besar pasien karena lebih aman, terkontrol, dan lebih hemat biaya daripada operasi. g. Karena pelebaran vagina primer berhasil untuk lebih dari 90-96% pasien, pembedahan hanya diperuntukkan bagi pasien yang tidak berhasil dengan terapi dilator primer atau yang lebih memilih pembedahan . Diskusi dilakukan dengan persetujuan yang seksama dengan mempertimbangkan perawatan ginekologi dan orang tuanya masing-masing. h. Terlepas dari teknik bedah yang dipilih, rujukan ke pusat dengan keahlian harus ditawarkan. Dokter bedah harus berpengalaman dengan prosedur ini karena prosedur awal lebih mungkin berhasil daripada prosedur tindak lanjut. i. Walaupun mungkin terjadi neoplasia vulva dan intraepitel vagina, tes sitologi rutin tidak direkomendasikan secara rutin karena ketiadaan serviks. j. Wanita yang aktif secara seksual dengan agenesis mullerian harus sadar bahwa mereka berisiko mengalami infeksi menular seksual dan, dengan demikian, kondom harus digunakan untuk hubungan seksual. Pasien harus diskrining secara tepat untuk infeksi menular seksual sesuai dengan pedoman untuk wanita tanpa agenesis mullerian.



279



k. Pasien harus diberikan ringkasan medis tertulis tentang kondisinya, termasuk ringkasan malformasi yang terjadi bersamaan. Informasi ini mungkin berguna jika pasien memerlukan perawatan medis darurat atau operasi darurat oleh penyedia layanan kesehatan yang tidak terbiasa dengan agenesis mullerian. Pembuatan vagina dengan pembedahan membutuhkan dilatasi pasca operasi atau hubungan seks vagina yang berkelanjutan untuk mempertahankan panjang dan diameter vagina yang memadai. Oleh karena itu, pembedahan bukan metode untuk menghindari terapi dilator vagina. Karena pelebaran vagina primer berhasil untuk lebih dari 90-96% pasien, pembedahan harus menjadi alternative untuk pasien yang tidak berhasil dengan terapi dilator primer [2] [3], atau yang lebih memilih operasi. . Tidak seperti terapi pelebaran vagina primer, kegagalan untuk mengikuti pelebaran pascaoperasi dapat memiliki efek buruk. Tujuan utama pembedahan adalah pembuatan saluran vagina untuk memungkinkan hubungan penetrasi. Waktu operasi tergantung pada pasien dan jenis prosedur yang direncanakan. Prosedur bedah sering dilakukan pada akhir masa remaja atau dewasa muda ketika pasien cukup dewasa untuk menyetujui prosedur dan untuk dapat mengikuti pelebaran pasca operasi. Beberapa teknik bedah dapat digunakan untuk membuat neovagina. Terlepas dari teknik bedah yang dipilih, rujukan ke pusat dengan keahlian harus ditawarkan. Dokter bedah harus berpengalaman dengan prosedur ini karena prosedur awal lebih mungkin berhasil daripada prosedur tindak lanjut. Pasien harus dikonsultasikan secara menyeluruh tentang nyeri bedah dan perlunya perawatan pasca operasi yang sangat dekat. Dibandingkan dengan pelebaran vagina primer, komplikasi vaginoplasty jauh lebih berat. Misalnya perforasi kandung kemih atau rektum, nekrosis, , fistula, kolitis penyakit radang usus, dan adenokarsinoma (7). Saat ini, tidak ada konsensus dalam literatur mengenai pilihan terbaik untuk teknik bedah untuk mendapatkan hasil fungsional terbaik dan kepuasan seksual (12). Secara historis, prosedur bedah pendekatan pervaginam yang paling umum digunakan untuk membuat neovagina adalah operasi Abbe-McIndoe yang dimodifikasi. Prosedur ini melibatkan diseksi ruang antara rektum dan kandung kemih, penempatan stent yang ditutup dengan cangkok kulit split-thickness ke dalam ruang, dan penggunaan dilatasi vagina pasca operasi. Prosedur lain untuk pembuatan neovagina adalah prosedur Vecchietti dan modifikasi laparoskopi lainnya (sebelumnya dilakukan oleh laparotomi )(13). Prosedur laparoskopi Vecchietti adalah modifikasi dari teknik terbuka di mana neovagina dibuat menggunakan perangkat traksi eksternal yang ditempelkan sementara ke dinding perut (38). Prosedur lain, prosedur Davydov, dikembangkan sebagai operasi tiga tahap yang membutuhkan diseksi ruang rektovesikuler dengan mobilisasi abdomen dari segmen peritoneum dan selanjutnya pemasangan peritoneum ke introitus (14-17). Pilihan cangkok vaginoplasti lainnya termasuk usus, mukosa bukal, amnion, dan berbagai allograft lainnya. 280



Dilatasi pasca operasi sangat penting untuk mencegah stenosis dan kontraktur neovaginal yang signifikan. Karena itu, teknik-teknik ini tidak dianjurkan jika pasien keberatan dengan pelebaran. Dilator harus digunakan seawall mungkin sampai pasien melakukan hubungan seksual yang teratur dan sering. Kelainan lain yakni anomali septum vagina. Kasus septum vagina yang menyebabkan hambatan drainase darah menstruasi dan hubungan seksual, harus dilakukan reseksi. Harapannya, dapat menyelesaikan masalah dispareunia dan memungkinkan drainase yang memadai dari aliran menstruasi [8]. Penegakan diagnosis pra operasi sangat penting untuk menentukan keberhasilan tindakan. Penggunaan MRI dengan kontras pada kasus kelainan saluran Muller dapat menunjang keberhasilan terapi. Dengan MRI ini dapat dievaluasi jenis septum, ketebalannya maupun kelainan penyerta lainnya. Pada kasus septum transversal yang tidak tebal, reseksi dapat dilakukan pervaginamBeberapa metode ditunjukkan pada gambar 1,2 dan 3 [1]. Apabila septum tebal dan tinggi, reseksi harus dilakukan secara histeroskopi. Ini untuk meningkatkan prognosis reproduksi untuk pasien-pasien ini dengan mengurangi kejadian keguguran, kelahiran prematur dan infertilitas [17]. Keuntungan histeroskopi meliputi durasi operasi yang lebih pendek, kehilangan darah yang lebih kecil, biaya lebih rendah, morbiditas berkurang dan lebih pendek tinggal di rumah sakit, dibandingkan dengan operasi perut [6], [7].



Gambar 1. Posisi septum yang mengakibatkan obstruksi vagina komplit A) High , B) Mid, C) Low [1] 281



Gambar 2. Tatalaksana pervaginam pada septum letak tinggi [1]



Gambar 3. Pemakaian dilatasi secara progressif untuk mengawali tindakan eksisi septum vagina [1] 282



Dalam kasus septum uterus komplit, reseksi septum serviks mungkin berhubungan dengan inkompetensi serviks dan infertilitas sekunder. Sebuah uji coba terkontrol secara acak dilakukan untuk 2m2engevaluasi keamanan dan kemanjuran reseksi septum serviks selama histeroskopi metroplasti menunjukkan bahwa prosedur ini lebih aman dan lebih mudah dengan reseksi daripada dengan mempertahankan septum serviks [8]. Tapi, bila didapatkan pasien dengan diagnosis agenesis serviks yang sudah tegak, maka pembedahan konservatif sulit menjadi pilihan. Beberapa upaya pembedahan untuk membuat serviks telah menghasilkan hasil yang tidak memuaskan. Sering dikaitkan dengan komplikasi fatal akibat pembuntuan ulang . Prospek kehamilan menggunakan teknik fertilisasi in vitro harus dievaluasi dengan mempertimbangkan komplikasi kebidanan, dan kemungkinan alternatif harus ditawarkan kepada para wanita ini. Penggunaan rahim pengganti mungkin menjadi pilihan terbaik dalam kasus-kasus seperti itu. Penggunaan terapi estrogen atau alat kontrasepsi merupakan alternatif pascaoperasi untuk meminimalkan pembentukan kepatuhan rahim (synechiae) [8], [9]. Tindak lanjut dalam kasus-kasus ini termasuk histeroskopi, satu hingga tiga bulan setelah operasi awal [7]. KESIMPULAN Anomali kongenital dari sistem miillerian dapat berupa agenesisnonfusi (didelphys atau bicornuate uterus), atau gangguan kanalisasi yang rusak pada saluran miillerian (uterus/ vagina bersepta). Prosedur diagnostik utama termasuk MRI, HSG, laparoskopi, histeroskopi dapat dilakukan untuk menunjang pemilihan terapi. Presentasi klinis bervariasi dari gejala obstruksi aliran menstruasi pada remaja hingga hipomenore dan masalah kesuburan dalam kehidupan dewasa, juga gangguan seksual. Pemilihan terapi dapat berupa tindakan konservatif (dilatasi vagina pada kasus agenesis Mullerian (MRKH), tindakan operasi pervaginam (dengan atau tanpa histeroskopi), tindakan operasi perabdominam maupun laparaskopi. DAFTAR PUSTAKA 1. Rock J.A, Breech L.L. Surgery for Anomalies of the Mullerian Ducts in Te Linde‘s Operative Gynecology (tenth edition) pages 539-584. Lippincott Willians& Wilkins. 2011 2. Roberts CP, Haber MJ, Rock JA. Vaginal creation for müllerian agenesis. Am J Obstet Gynecol 2001;185:1349–52; discussion 1352–3. ⇦ 3. Edmonds DK, Rose GL, Lipton MG, Quek J. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome: a review of 245 consecutive cases managed by a multidisciplinary approach with vaginal dilators. Fertil Steril 2012;97:686–90. ⇦ 4. Patel V, Hakim J, Gomez-Lobo V, Oelschlager AA. Providers‘ experiences with vaginal dilator training for patients with vaginal agenesis. J Pediatr Adolesc 283



5.



6.



7.



8.



9. 10.



11.



12.



13.



14.



15.



Gynecol 2017. Available at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1083318817302656. Retrieved September 14, 2017. ⇦ Adeyemi-Fowode OA, Dietrich JE. Assessing the experience of vaginal dilator use and potential barriers to ongoing use among a focus group of women with Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome. J Pediatr Adolesc Gynecol 2017;30:491–4. ⇦ Oelschlager AM, Debiec K, Appelbaum H. Primary vaginal dilation for vaginal agenesis: strategies to anticipate challenges and optimize outcomes. Curr Opin Obstet Gynecol 2016;28:345–9. ⇦ Callens N, De Cuypere G, De Sutter P, Monstrey S, Weyers S, Hoebeke P, et al. An update on surgical and non-surgical treatments for vaginal hypoplasia. Hum Reprod Update 2014;20:775–801. ⇦ McVearry ME, Warner WB. Use of physical therapy to augment dilator treatment for vaginal agenesis. Female Pelvic Med Reconstr Surg 2011;17:153– 6. ⇦ Moen MH. Vaginal agenesis treated by coital dilatation in 20 patients. Int J Gynaecol Obstet 2014;125:282–3. ⇦ Callens N, Weyers S, Monstrey S, Stockman S, van Hoorde B, van Hoecke E, et al. Vaginal dilation treatment in women with vaginal hypoplasia: a prospective one-year follow-up study. Am J Obstet Gynecol 2014;211:228.e1– 12. ⇦ Michala L, Strawbridge L, Bikoo M, Cutner AS, Creighton SM. Lower urinary tract symptoms in women with vaginal agenesis. Int Urogynecol J 2013;24:425–9. ⇦ Laufer MR. Congenital absence of the vagina: in search of the perfect solution. When, and by what technique, should a vagina be created? Curr Opin Obstet Gynecol 2002;14:441–4. ⇦ Brucker SY, Gegusch M, Zubke W, Rall K, Gauwerky JF, Wallwiener D. Neovagina creation in vaginal agenesis: development of a new laparoscopic Vecchietti-based procedure and optimized instruments in a prospective comparative interventional study in 101 patients. Fertil Steril 2008;90:1940– 52. ⇦ Borruto F, Chasen ST, Chervenak FA, Fedele L. The Vecchietti procedure for surgical treatment of vaginal agenesis: comparison of laparoscopy and laparotomy. Int J Gynaecol Obstet 1999;64:153–8. ⇦ Adamyan LV. Laparoscopic management of vaginal aplasia with or without functional noncommunicating rudimentary uterus. In: Arregui ME, Fitzgibbons RJ Jr, Katkhouda N, McKernan JB, Reich H, editors. Principles of laparoscopic surgery: basic and advanced techniques. New York (NY): SpringerVerlag; 1995. p. 646–51. ⇦ 284



16. 17.



Davydov SN, Zhvitiashvili OD. Formation of vagina (colpopoiesis) from peritoneum of Douglas pouch. Acta Chir Plast 1974;16:35–41. ⇦ Adamyan LV. Therapeutic and endoscopic perspectives. In: Nichols DH, Clarke-Pearson DL, editors. Gynecologic, obstetric, and related surgery. 2nd ed. St. Louis (MO): Mosby; 2000. p. 1209–17. ⇦



285



SYMPOSIUM XIII: FERTILITY AND ENDOCRINOLOGY REPRODUCTION 3 AMENORRHEA AND ABNORMAL UTERINE BLEEDING



286



CLASSIFICATION OF AMENORRHEA (WHO / DSD CLASSIFICATION) Dr. Syarief Thaufik Hidayat, dr., Sp.OG(K) Divisi Fertilitas Endokrin Reproduksi – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP dr. Kariadi Semarang Amenorrhea is the absence or abnormal cessation of the mens. Primary and secondary amenorrhea descibe the occurrence of amenorrhea before and after menarche, respectively. the majority of the causes of primary and secondary amenorrhea are similar. The prevalence of amenorrhea not due to pregnancy, lactation or menopause is approximately 3% to 4%. A complex hormonal interaction must take place in order for normal menstruation to occur. The hypothalamus must secrete gonadotropin-releasing hormone (GnRH) in a pulsatile fashion, which is modulated by neurotransmitters and hormones. The GnRH stimulates secretion of follicle-stimulating hormone (FSH) and luteinizing hormone (LH) from the pituitary, which promotes ovarian follicular development and ovulation. A normally functioning ovarian follicle secretes estrogen; after ovulation, the follicle is converted to corpus luteum, and progesterone is secreted in addition to estrogen. These hormones stimulate endometrial development. If pregnancy does not occur, estrogen and progesterone secretion decrease and withdrawal bleeding begins. If any of the components (hypothalamus, pituitary, ovary, uterus, and outflow tract) are nonfunctional, bleeding cannot occur. Classification of amenorrhea is difficult because a multitude of factors may cause dysfunction. Traditionally, amenorrhea is classified as primary (a patient who has never menstruated) or secondary (a patient who previously had normal menstrual function). This distinction is descriptive and artificial, because the underlying pathophysiologic conditions responsible for primary or secondary amenorrhea may be similar. However, it has some practical clinical value in that it may give a clue to etiology and prognosis. Most congenital anomalies involving genetic aberrations and gross developmental anomalies of either the ovarian or müllerian structures present as primary amenorrhea. Secondary amenorrhea is more likely to result from acquired disease, is generally more amenable to treatment, and has a much better prognosis, at least for the restoration of fertility. Primary amenorrhea is the absence of menstruation in a woman who has never menstruated. Because children do not normally menstruate before puberty, the age at which primary amenorrhea is diagnosed depends on the presence or absence of secondary sexual characteristics. Primary amenorhoea is defined as absence of menses by 14 years of age in the absence of growth or development of secondary sexual characteristics or absence of 287



menses by 16 years of age regardless of the presence of normal growth and development including secondary sexual characteristics.The majority of patients with primary amenorrhea will be found to have either gonadal dysgenesis (49%) or müllerian agenesis (16%). Amenorrhoea may result from an abnormality at any level of the reproductive tract and there is a long list of potential causes. An aetiological classification can be derived based on the defects in the following 4 compartments. • Compartment I- Disorders of the outflow uterus- vagina / anomalies of outflow tract • Compartment II- Disorders of the ovary / Primary ovarian insufficiency • Compartment III- Disorders of the anterior pituitary / Central anomalies • Compartment IV- Disorders of the CNS / Other endocrine disorders In general, primary amenorrhea may be caused by gonadal or extragonadal malfunction. A detailed description of the various genetic and developmental aberrations is given in the appropriate chapters. Here, such aberrations will be described only in general terms sufficient for a diagnosis. The etiologic classification of primary amenorrhea is summarized as follows: I.



II.



Gonadal abnormalities A. Gonadal dysgenesis (Turner's syndrome) B. Pure gonadal dysgenesis C. XY gonadal dysgenesis (Swyer's syndrome) D. Mixed gonadal dysgenesis E. Ovarian insensitivity syndrome (Savage's syndrome) F. 17 α-hydroxylase deficiency G. Chronic functional anovulation of pubertal onset Extragonadal anomalies A. Congenital absence of the uterus and vagina B. Male pseudohermaphroditism C. Female pseudohermaphroditism D. Abnormal hypothalamic-pituitary function



288



289



GONADAL ABNORMALITIES In about 60% of patients with primary amenorrhea, the cause is failure of gonadal differentiation or inappropriate gonadal function during early fetal and neonatal development. As a result, the external genitalia fail to mature, or they are inappropriate for the genetic sex of the patient. In about 40% of women with primary amenorrhea, the cause is either gonadal dysgenesis or gonadal failure in phenotypic females who are actually genetic males. The following is a brief review of the clinical conditions in this category. EXTRAGONADAL ANOMALIES Extragonadal anomalies account for about 40% of primary amenorrhea cases. The gonads in these patients usually are normal and functioning. If gonads are nonfunctional because of lack of gonadotropic stimulation, ovulation can be induced with exogenous gonadotropins Secondary amenorrhea refers to cessation of menses after establishment of menstruation for reasons other than pregnancy, lactation, or menopause. By convention, the diagnosis is applied after menses have been absent for a length of time equivalent to at least 3 of the previous menstrual cycle intervals or 6 months. The incidence of secondary amenorrhea not due to pregnancy, lactation, or menopause is approximately 4%. Secondary amenorrhea is defined as secondary when no menses have occurred for 6 months in a woman who previously had normal menstrual function, or for 12 months if her cycles were irregular. Secondary amenorrhea is an end point in a spectrum of pathophysiologic conditions ranging from apparently normal ovarian function to complete absence of ovarian function. In the early stages of ovarian dysfunction, the cycles may become slightly abnormal, progressing to amenorrhea. Because multiple factors may play a role in the development of secondary amenorrhea, it is difficult to construct a complete etiologic classification. The brief outline given here, based on assessment of ovarian function, enables one to reach a logical diagnosis and outline a treatment. I. II.



Secondary amenorrhea with normal ovarian function A. Asherman's syndrome B. Endometrial destruction (tuberculosis, schistosomiasis, irradiation) Secondary amenorrhea with decreased ovarian function A. High gonadotropins 1. Premature ovarian failure 2. Surgical castration 3. Radiation castration B. Low or normal gonadotropins 1. Functional aberrations of the hypothalamic-pituitary axis 290



a. b. c. d. e. f.



Psychogenic Nutritional (starvation, anorexia nervosa) Exercise-induced Pseudocyesis Central nervous system lesions Nongonadal endocrine disorders (thyroid, adrenal, pancreas) g. Pharmacologic (postpill, psychotropic drugs, drug addiction) h. Systemic infectious and chronic diseases i. Idiopathic 2. Neoplastic, vascular, or traumatic central nervous system disease 3. Feminizing ovarian tumors III. Secondary amenorrhea with increased ovarian androgen secretion A. Polycystic ovary syndrome B. Masculinizing ovarian tumors CLASSIFICATION OF AMENORRHEA, BOTH PRIMARY AND SECONDARY I. Anatomic defects (outflow tract) A. Müllerian agenesis (Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser syndrome) B. Complete androgen resistance (testicular feminization) C. Intrauterine synechiae (Asherman syndrome) D. Imperforate hymen E. Transverse vaginal septum F. Cervical agenesis—isolated G. Cervical stenosis—iatrogenic H. Vaginal agenesis—isolated I. Endometrial hypoplasia or aplasia—congenital II. Primary hypogonadism A. Gonadal dysgenesis 1. Abnormal karyotype (Incomplete gonadal dysgenesis) a. Turner syndrome 45,X b. Mosaicism 2. Normal karyotype a. Pure gonadal dysgenesis i. 46,XX ii. 46,XY (Swyer syndrome) B. Gonadal agenesis C. Enzymatic deficiency 291



1. 17α-Hydroxylase deficiency 2. 17,20-Lyase deficiency 3. Aromatase deficiency D. Premature ovarian failure 1. Idiopathic 2. Injury a. Chemotherapy b. Radiation c. Mumps oophoritis 3. Resistant ovary a. Idiopathic III. Hypothalamic causes A. Dysfunctional 1. Stress 2. Exercise 3. Nutrition-related a. Weight loss, diet, malnutrition b. Eating disorders (anorexia nervosa, bulimia) 4. Pseudocyesis B. Other disorders 1. Isolated gonadotropin deficiency a. Kallmann syndrome b. Idiopathic hypogonadotropic hypogonadism 2. Infection a. Tuberculosis b. Syphilis c. Encephalitis/meningitis d. Sarcoidosis 3. Chronic debilitating disease 4. Tumors a. Craniopharyngioma b. Germinoma c. Hamartoma d. Langerhans cell histiocytosis e. Teratoma f. Endodermal sinus tumor g. Metastatic carcinoma IV. Pituitary causes A. Tumors 1. Prolactinomas 292



2. Other hormone-secreting pituitary tumor (corticotropin, thyrotropin- stimulating hormone, growth hormone, gonadotropin) a. Mutations of FSH receptor b. Mutations of LH receptor c. Fragile X syndrome 3. Autoimmune disease 4. Galactosemia V. Other endocrine gland disorders A. Adrenal disease 1. Adult-onset adrenal hyperplasia 2. Cushing syndrome B. Thyroid disease 1. Hypothyroidism 2. Hyperthyroidism C. Ovarian tumors 1. Granulosa-theca cell tumors 2. Brenner tumors 3. Cystic teratomas 4. Mucinous/serous cystadenomas 5. Krukenberg tumors 6. Nonfunctional tumors (craniopharyngioma) 7. Metastatic carcinoma D. Space-occupying lesions 1. Empty sella 2. Arterial aneurysm E. Necrosis 1. Sheehan syndrome 2. Panhypopituitarism F. Inflammatory/infiltrative 1. Sarcoidosis 2. Hemochromatosis 3. Lymphocytic hypophysitis G. Gonadotropin mutations (FSH) VI. Multifactorial causes A. Polycystic ovary syndrome Classification In 1973 the WHO Scientific Group proposed a classification of anovulatory patients which was meant to provide guidance for ovulation induction . This classification was based on the levels of gonadotropins and oestrogens and is still 293



being used. In the intervening 30 years diagnostic and therapeutic possibilities have evolved considerably, hence, one may wonder whether this simple classification is still relevant and of practical. value. The World Health Organization (WHO) has summarized the causes: in WHO group I there is no evidence of endogenous estrogen production, normal or low FSH levels, normal prolactin levels,and no evidence of a lesion in the hypothalamicpituitary region; WHO group II is associated with evidence of estrogen production and normal levels of prolactin and FSH; and WHO group III involves elevated serum FSH levels indicating gonadal failure.



This WHO amenorrhea classification is designed to help the practicing clinician summarize the causes of amenorrhea to assist in evaluating the condition. Group I include individuals who lack endogenous estrogen production, in association with normal or low follicle-stimulating hormone (FSH) levels, and no evidence of hypothalamic-pituitary pathology or elevated prolactin levels. Group II is associated with evidence of estrogen production and normal levels of prolactin and FSH. Finally, Group III involves elevated serum FSH levels that indicate gonadal failure. Although amenorrhea can occur among patients with sexual ambiguity or virilization, it is rarely the cause for initial consultation. WHO CLASSIFICATION OF AMENORRHEA



294



WHO Group I also known as hypogonadotrophic hypogonadism, are caused by hypothalamic pituitary failure. Women with these conditions typically present with amenorrhoea (primary or secondary), often called hypothalamic amenorrhoea, which is characterized by low gonadotrophins levels and oestrogen deficiency. Hypogonadotrophic hypogonadism has usually an unknown cause. However, it may be congenital, for example when it is associated with anosmia it is known as Kallmann‘s syndrome. Hypothalamic amenorrhoea commonly develops as a result of low body weight or excessive exercise. WHO Group 2, Polycystic ovary syndrome (PCOS) is a heterogenous group of disorders affecting 5–10% of women of reproductive age and is the most commonly encountered type of WHO Group II. Common clinical features of PCOS include oligo- or amenorrhoea, anovulatory infertility, obesity and hyperandrogenism. Insulin resistance plays an important role in the pathogenesis of the disorder. Ultrasound examination of the ovaries reveals characteristic appearances, with multiple (12 or more) small antral follicles present. WHO Group 3 indicate gonadal failure There are a few problems with the WHO classification. The most trivial but practically important one is that the numerical denomination does not communicate anything about the underlying aetiology. A further problem is that the diagnostic procedures advocated are no longer up to themodern standards of investigation and the new insights in the physiopathology ofanovulation. For example, the role of transvaginal ultrasound in the evaluation of the ovarian function and the endometrial development is not included. Furthermore, the therapeutic flow chart that follows from it does not take into account the complex variety of etiologies, particularly concerning Group II. For all these reasons, it would be useful to devise a classification that refers to the etiology of amenorrhea and at the same time gives a clue to the most appropriate therapy. Group I can be categorized as hypothalamic dysfunction, characterised either by a hypogonadotropic and consequently hypo-oestrogenic state or a normogonadotropic state. Group II can simply be called PCO-syndrome (PCOS) or ovarian dysfunction. At an expert meeting in 2003 in Rotterdam it was stated that PCO is a syndrome of ovarian dysfunction along with the cardinal features of hyperandrogenism and polycystic ovary morphology. Group III represents patients in whom anovulation is due to hyperprolactinemia and should be a category apart because both the etiology and the treatment are is specific. Group IV represents the patients with ovarian failure. 295



Patients may develop slight alterations in the hypothalamic–pituitary–ovarian axis that are not severe enough to cause amenorrhea but instead cause irregular menses (oligomenorrhea) associated with absent or infrequent ovulation. These patients may bleed excessively during menstruation because estrogen is unopposed. The etiologies of oligomenorrhea overlap with the etiologies of amenorrhea, with the exception that certain anatomic (e.g., absent uterine development) and karyotypic abnormalities (e.g., Turner syndrome), are largely associated with primary amenorrhea. Another, and physiologically more logical, classification is based on the patient's hormonal status. By combining these two classifications, the clinician can arrive at the shortest and most fruitful approach to the problem and its solution GENITAL TRACT ABNORMALITIES ASSOCIATED WITH AMENORRHEA



A multidisciplinary meeting of medical and nonmedical experts in Chicago in 2005 (The Chicago Consensus) established revised nomenclature and treatment recommendations in individuals with the newly defined term disorders of sex differentiation (DSDs) replacing terms such as intersex, hermaphroditism, and pseudohermaphroditism. DSDs are defined as congenital conditions associated with atypical development of chromosomal, gonadal, of anatomical sex. DSD CLASSIFICATION PROPOSED BY THE CHICAGO CONSENSUS



296



DSD, disorder of sex development; CAIS, complete androgen insensitivity syndrome; PAIS, partial androgen insensitivity syndrome; LH, luteinizing hormone; AMH, anti-müllerian hormone; POR, cytochrome P450 oxidoreductase; MURCS, müllerian duct aplasia; renal aplasia, and cervicothoracic somite dysplasia Due to the classification of amenore according to WHO has not explisitly included the relation with DSD, the classification of amenore according to the involvement of uterus organ and ovari may depict the relation of amenore and DSD.



In order to understand how primary amenorrhea is evaluated, it is necessary to understand the basic embryology of sex development, how the internal and external genitalia form and under what influences. Prior to 6–9 weeks of gestation, the fetus contains bipotential gonads, and both the mullerian and wolffian ducts. The SRY region on the Y-chromosome then acts on the bipotential gonad to differentiate into a testis instead of an ovary (the default). Once formed, the testes secrete two substances. The first is testosterone, which causes further growth of the wolffian ducts and testicular descent. Eventually the wolffian ducts become the seminal vesicles, the vas deferens, and the epididymis. Testosterone is converted into dihydrotestosterone which is responsible for male secondary sex characteristics such as changes in voice, penile growth, and pubic hair growth. The second substance secreted by the testis is mullerian inhibiting substance (MIS), which causes regression of the mullerian ducts. In women, with the absence of the SRY gene, the germ cells in the bipotential gonad develop into the ovaries and there is no MIS to inhibit the growth of the mullerian ducts. Since there is nothing to support wolffian duct development, they regress. The mullerian ducts eventually become the fallopian tubes, uterus, and the upper third of the vagina. The lower two-thirds of the vagina is formed from the 297



urogenital sinus. The estrogen secreted by the ovaries supports female secondary characterstics such as breast development at puberty. Based on the presence or absence of a uterus and breast development, there are four distinct phenotypes of individuals with primary amenorrhea. • Group I: absent breast development but uterus present • Group II: breast development present but uterus absent • Group III: absence of both breast and uterus • Group IV: presence of both breast development and uterus Classification of disorders with primary amenorrhea according to breast and uterine development



REFERENCE 1. Practice Committee of American Society for Reproductive Medicine. Current evaluation of amenorrhea. Fertil Steril. 2008;90(5 Suppl):S219-25. 2. Yen SSC, Jaffe RB: Reproductive Endocrinology: Physiology, Pathophysiology, and Clinical Management, 3rd ed, p 364. Philadelphia, WB Saunders, 1991 3. Speroff L, Glass RH, Kase NG: Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, p 391. Baltimore, Williams & Wilkins, 1989 4. Practice Committee of American Society for Reproductive Medicine. Current evaluation of amenorrhea. Fertil Steril. 2008;90(5 suppl): S219-S225. 5. Speroff L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 7th ed. Philadelphia, Pa.: Lippincott Williams & Wilkins; 2005:401-464. 6. Gordon CM. Clinical practice. Functional hypothalamic amenorrhea. N Engl J Med. 2010;363(4):365-371.



298



7. Master-Hunter T, Heiman DL. Amenorrhea: evaluation and treatment. Am Fam Physician. 2006;73(8):1374-1382. 8. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA; International Consensus Conference on Intersex organized by the Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society and the European Society forPaediatric Endocrinology. Consensus statement on management of intersex disorders. International Consensus Conference on Intersex. Pediatrics 2006;118:e488-500



299



EVALUASI DAN MANAJEMEN PRAKTIS PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL Dr. Jimmy Yanuar Annas, dr., SpOG(K) Divisi Fertilitas Endokrin Reproduksi – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Perdarahan uterus abnormal (PUA) merupakan penyakit ginekologi yang sering kita temui dengan prevalensi berkisar 10% hingga 30%. Penyebab PUA ini sangat banyak sehingga hal ini menyebabkan para klinisi melakukan pemeriksaan yang memerlukan biaya yang cukup besar namun dengan efektifitas yang rendah. Evaluasi dan penanganan PUA yang kurang tepat dan komprehensif dapat menimbulkan gangguan psikologis, menurunkan kualitas hidup wanita bahkan mengancam jiwa. Indonesia yang mempunyai kemampuan sumber daya manusia dan fasilitas yang sangat beragam merupakan tantangan tersendiri dalam upaya memberikan penanganan yang baik pada PUA untuk meminimalisir komplikasi oleh karena itu diperlukan Teknik evaluasi PUA yang praktis sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat. ETIOLOGI PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL FIGO pada tahun 2011 mengklasifikasikan penyebab PUA 2 bagian besar yakni strukutral dan non structural. Kelainan structural diantaranya adalah Polip endometrium, Adenomyosis, Leiomyoma uteri khususnya adalah semua tipe (0-2) myoma uteri submucosa, dan keganasan endometrium. Kelainan non structural yakni gangguan koagulasi baik akibat kekurangan salah satu faktor pembekuan darah maupun akibat meminum obat obatan antikoagulan, anovulasi, endometrial, iatrogenic atau PUA yang disebabkan oleh efek samping Kontrasepsi AKDR maupun hormonal dan Not specified yang salah satunya disebabkan oleh adanya endometritis. Pada wanita Usia reproduktif, Angka kejadian PUA akibat anovulasi atau PUA-O adalah paling tinggi yakni 57,7% diikuti Polip endometrium (PUA-P) 16,2%, myoma submucosa (PUA-L) 12%, Adenomyosis (PUA-A) 4,94%, endometrial (PUA-E) 2%, Iatrogenik (PUA-I) 2%, Keganasan endometrium (PUAM) 1,9%, gangguan koagulasi (PUA-C) 1% dan Not specified (PUA-N) 0,9%. Prevalensi ini sangat dipengaruhi banyak faktor seperti perbedaan ras, etnis, kondisi geografis, dan budaya. EVALUASI DAN MANAJEMEN DIAGNOSIS PUA PUA dapat disebabkan oleh banyak sebab dan distribusinya juga dipengaruhi oleh banyak faktor disisi lain biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan cukup mahal. Evaluasi yang benar sangat diperlukan pada kasus PUA sehingga pemeriksaan yang dilakukan terarah dan efektif. Anamnesa yang teliti dan 300



pemeriksaan fisik dasar merupakan kunci utama dalam evaluasi kasus PUA. Anamnesa tentang pola haid dapat memberikan petunjuk tentang etiologi PUA. PUA-O sekitar 37-63% didapatkan intermenstrual bleeding (IMB), 56% didapatkan perubahan durasi dan jumlah haid dan hanya 7% didapatkan riwayat heavy menstrual bleeding (HMB). PUA-C mempunyai pola haid dengan siklus teratur namun didapatkan peningkatan jumlah dan durasi haid bahkan sering didapatkan HMB, pada PUA-P ini juga didapatkan riwayat perdarahan spontan pada gusi maupun ekimosis atau hematoma berulang. PUA akibat kelainan structural pada umumnya mempunyai interval haid yang teratur namun didapatkan riwayat HMB berulang. PUA-P 80% mempunyai pola haid yang teratur dan hanya 13% dengan riwayat HMB. PUA-L 51% didapatkan riwayat HMB, 44% durasi haid memanjang namun 71% interval haidnya teratur. Begitu juga PUA-A 40% didapatkan riwayat durasi haid yang memanjang namun 77% interval haidnya teratur. Berdasarkan data tersebut, bila kita mendapatkan pasien dengan HMB yang diikuti dengan perpanjangan durasi dan jumlah haid, sebaiknya kita lebih fokus pada struktur anatomi uterus dengan pemeriksaan transvaginal USG yang lebih teliti bahkan bila perlu Saline infusion sonography (SIS) atau histeroskopi diagnostik Usia wanita juga mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam investigasi kasus PUA. PUA-O angka kejadiannya paling tinggi pada 20-29 tahun, PUA-C yang disebabkan kelainan komponen pembekuan darah seperti penyakit von Willebrand Factor (VWF) juga sering didapatkan pada usia sekitar menarke. PUA-L dan PUA-A angka kejadiannya mulai meningkat pada usia diatas 30 tahun dan paling tinggi pada sekitar 40-49 tahun. PUA-P tidak mempunyai distribusi usia yang khas, namun biasanya disertai keluhan gangguan fertilitas. PUA-M, salah satu faktor resikonya adalah usia diatas 40 tahun sehingga perlu dipikirkan untuk tindakan biopsi endometrium terutama bila didapatkan riwayat PUA berulang, infertilitas, obesitas, diabetes melitus dan hipertensi kronis. Anamnesis untuk menggali informasi tentang minum obat kontrasepsi, minum obat antikoagulan, nyeri saat haid, dan lain lain, dapat sangat membantu investigasi kasus PUA. Pemeriksaan laboratorium penunjang rutin darah lengkap penting untuk melihat kadar hemoglobin terutama pada penderita dengan riwayat PUA berkepanjangan dan dalam jumlah banyak. Skrining pemeriksaan faal hemostasis dan waktu pembekuan darah pada penderita yang didapatkan kecurigaan PUA-C dari anamnesis dapat meningkatkan sensitivitas deteksi gangguan koagulasi hingga 90%. Pada penderita kecurigaan anovulasi, penyebab PUA-O pada usia reproduksi 60% adalah sindroma ovarium polikistik sebaiknya perlu dilakukan pemeriksaan hormonal seperti fungsi hormon tiroid dan prolaktin untuk menyingkirkan kemungkinan hiperprolaktinoma atau gangguan tiroid. Pemeriksaan struktur uterus pada kasus PUA mempunyai peran dalam penegakkan diagnosis. Transvagina USG sudah selayaknya menjadi bagian dari evaluasi rutin penderita PUA dimana memungkinkan yang bertujuan untuk 301



melakukan pemeriksaan pada struktur endometrial line. Bila dicurigai ada myoma submukosa atau polip endometrium maka saline infusion sonography (SIS) atau hysteroscopy dapat ditawarkan untuk konfirmasi diagnosis. Hysteroscopy mempunyai kemampuan see and treat pada kecurigaan kelainan di cavum uteri sehingga lebih diutamakan bila sumber daya manusia dan sarana memungkinkan. DAFTAR PUSTAKA 1. Harlow SD, Campbell OM (2004). Epidemiology of menstrual disorders in developing countries: A systematic review. BJOG. 111:6–16 2. Hauk L. American College of Obstetricians and GynecologistsACOG releases guidelines on management of abnormal uterine bleeding associated with ovulatorydysfunction. Am Fam Physician 2014;89: 987–8 3. Lujan ME, Chizen DR, Pierson R, (2010) Diagnostic criteria of Polycystic ovarian syndrome: Pitfalls and controversies. J. Obstet. Gynecol. Can. 30(8): 671-9 4. Munro M, Critchley H, Fraser IS, (2018) The Two FIGO system for normal and abnormal uterine bleeding symptoms and classification of causes of abnormal uterine bleeding in reproductive years : 2018 revisions. International journal of obstetric & gynecology 143: 393-408 5. Sun Y. Msc, Wang Y., Mao L. PhD., Wen J. Msc, Bai W. MD (2018) Prevalence of abnormal uterine bleeding according to new international ferderation of obstetric & gynecology classification in Chinese women in reproductive age: A cross sectional study. Medicine 97:31



302



AMENORE SEKUNDER SEBAGAI AKIBAT DARI HIPERPROLAKTINEMIA Dr. Andon Hestiantoro, dr., Sp.OG(K) Divisi Imunoendokrinologi Reproduksi Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia PENDAHULUAN Amenore sekunder adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan tidak adanya haid minimal tiga siklus berturut-turut, pada perempuan dengan siklus haid teratur sebelumnya. Terdapat beberapa faktor yang sering menjadi penyebab terjadinya amenore sekunder antara lain adalah kehamilan, perlekatan intrauterin, gangguan pada hipotalamus, gangguan pada hipofisis, penurunan fungsi ovarium, gangguan pada kelenjar suprarenal, gangguan pada kelenjar tiroid dan keganasan pada ovarium. Prolaktin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis , yang memiliki peran penting di dalam berbagai fungsi reproduksi. Salah satu fungsi dari hormon prolaktin adalah sebagai regulator produksi air susu ibu setelah proses persalinan, juga sebagai modulator sekresi hormon hipofisis yang bertanggung jawab terhadap fungsi gonad secara negatif, seperti hormon LH dan FSH.. Kelebihan prolaktin, atau hiperprolaktinemia, dapat berkaitan dengan gangguan poros hipotalamus-hipofisis-ovarium yang berdampak terhadap gangguan regulasi fungsi ovarium dan berkaitan dengan gangguan pola siklus haid. Sekitar 0,4 – 5 % perempuan usia reproduksi, dilaporkan memiliki kadar prolaktin yang lebih tinggi daripada kadar normal. Sehingga setiap perempuan usia reproduksi dengan keluhan oligomenore, amenore, galaktore atau infertilitas perlu dinilai kadar prolaktinnya. Pada tulisan ini akan dibahas hubungan antara amenore sekunder dengan hiperprolaktinemia. Ruang lingkup tulisan ini meliputi batasan, diagnosis dan rekomendasi tatalaksana amenore sekunder sebagai akibat dari hiperprolaktinemia. PENGATURAN PRODUKSI PROLAKTIN Prolaktin dihasilkan oleh sel laktotrop di kelenjar hipofisis anterior. Regulasi sekresi prolaktin dikendalikan oleh hormon yang diproduksi oleh hipotalamus. Secara umum prinsip kendali produksi prolaktin adalah penghambatan oleh neurotransmiter dopamin, dan dikenal sebagai prolactin inhibiting factor (PIF). Sedangkan sinyal stimulasi produksi prolaktin diatur oleh hormon pelepas tirotropin atau yang dikenal sebagai thyrotropin releasing hormone (TRH). Keseimbangan regulasi kedua jenis hormon hipotalamus ini bermanfaat untuk mengendalikan produksi 303



prolaktin oleh sel laktotrop di kelenjar hipofisis anterior. Disamping itu, kemampuan eliminasi ginjal juga turut menentukan pengaturan kadar prolaktin di dalam sirkulasi darah. PENYEBAB HIPERPROLAKTINEMIA Terdapat beberapa penyebab terjadinya hiperprolaktinemia, antara lain terkait dengan beberapa hal, yaitu : 1. MAKROPROLAKTINEMIA Subjek tanpa gejala, dengan fungsi gonad dan fungsi reproduksi yang normal dan memiliki kadar prolaktin yang lebih tinggi daripada normal, seringkali terkait dengan sebuah kondisi yang disebut sebagai makroprolaktinemia. Kondisi makroprolaktinemia tidaklah sama dengan istilah makroprolaktinoma yang berkaitan dengan tumor hipofisis dengan ukuran lebih besar daripada ukuran10 mm. Sedangkan makroprolaktinemia adalah bentuk polimerik prolaktin yang membentuk struktur molekul prolaktin berukuran besar. Prolaktin dengan berat molekul yang besar ini akan dideteksi oleh pemeriksaan laboratorium berbasis ELISA sebagai peningkatan konsentrasi prolaktin di dalam sirkulasi. Prolaktin dengan bentuk polimer yang besar ini tidak dapat berkerja pada reseptor prolaktin, sehingga tidak memiliki pengaruh biologis. Jika dicurigai terdapat makroprolaktinemia, maka spesimen dapat dipaparkan terlebih dahulu dengan polietilen glikol agar terbentuk presipitasi, sebelum dilanjutkan dengan analisis pemeriksaan kadar prolaktin serum. Kondisi makroprolaktinemia tidak memerlukan terapi khusus. 2. HIPOTIROIDISME Kondisi hipotiroidisme, terjadi akibat sekresi hormon tiroid yang tidak memadai. Sebagai kompensasi produksi hormon tiroid yang rendah, maka hipotalamus akan mensekresi TRH lebih banyak, sehingga berdampak kepada peningkat produksi prolaktin oleh hipofisis anterior. Peningkat produksi TRH juga dapat disebabkan oleh adanya kegagalan fungsi kelenjar suprarenal. Kondisi hipotiroidisme primer dapat disertai dengan pembesaran difus kelenjar hipofisis yang akan kembali normal setelah diberikan terapi sulih hormon tiroid. 3. TUMOR KELENJAR HIPOFISIS Tumor hipofisis atau yang dikenal sebagai adenoma hipofisis adalah neoplasma pada hipofisis anterior yang menunjukkan berbagai perilaku biologis, sebagaimana sebagian besar dibuktikan dengan adanya produksi berlebihan hormon hipofisis. Sebagian kecil adenoma hipofisis tidak menunjukkan gejala berupa peningkatan produksi hormon hipofisis, melainkan gejala lain akibat penekanan



304



tumor intrakranial seperti sakit kepala, mual, muntah dan gangguan lapang pandang. Diantara adenoma hipofisis, maka tumor yang menghasilkan prolaktin (prolactin-producing tumor) merupakan tipe tumor yang paling sering dijumpai. Adenoma hipofisis yang berukuran lebih besar dari 10 mm dikenal sebagai makroadenoma hipofisis, sedangkan jika ukurannya lebih kecil daripada 10 mm, dikenal sebagai mikoadenoma hipofisis. Selain itu, karena adanya ekstensi suprasellar, tumor pada tangkai hipofisis dapat mengganggu pengiriman dopamin dari hipotalamus ke hipofisis, yang mengakibatkan hilangnya penghambatan pelepasan prolaktin, atau hal ini disebut juga sebagai stalk effect. Perlu diperhatikan, pada tumor hipofisis yang menghasilkan hormon pertumbuhan (growth hormone), sekitar 25% kasus juga meghasilkan prolaktin yang berlebihan. Sehingga kondisi ini perlu disingkirkan terlebih dahulu. 4. FAKTOR IATROGENIK Kondisi hiperprolaktinemia dapat pula dijumpai pada subjek yang mendapatkan terapi obat neuroleptic seperti fenotiazin dan haloperidol, terapi obat spikotropik seperti antidepresan trisiklik, terapi antihipertensif seperti penghambat kanal kalsium dan metildopa, terapi anti tukak lambung seperti antagonis H2 dan terapi opioat. 5. FAKTOR NEUROGENIK Pada kondisi tertentu seperti adanya stimulasi pada puting susu, atau adanya penekanan pada daerah dada, dapat pula menyebabkan terjadinya peningkatan produksi prolactin. 6. KEGAGALAN ELIMINASI PROLAKTIN Kondisi gagal ginjal baik akut maupun kronis, serta kegagalan fungsi hati, dapat menjadi penyebab hiperprolaktinemia. 7. FAKTOR FISIOLOGIS Hamil dan menyusui merupakan faktor fisiologis peningkatan produksi prolaktin oleh hipofisis. Sehingga pada subjek dengan amenore sekunder dan hiperprolaktinemia, maka perlu difikirkan adanya kehamilan dan laktasi. HUBUNGAN ANTARA HIPERPROLAKTINEMIA DAN SIKLUS HAID Pada perempuan usia reproduksi, peningkatan kadar prolaktin memiliki kaitan dengan siklus haid. Hubungan antara kadar prolaktin dan siklus haid adalah sebagai berikut ; a. Kadar prolaktin > 100 ng/ml dapat menyebabkan terjadinya kondisi hipogonadisme. Gejala klinik yang timbul adalah galatore dan amenore. 305



b. Kadar prolaktin antara 51-75 ng/ml dapat menyebabkan gangguan ovulasi, dan gejala klinik yang terjadi adalah oligomenore. c. Kadar prolaktin antara 31-50 ng/ml dapat menyebabkan gangguan ovulasi parsial, dengan gejala klinis berupa pemendekan fase luteal, penurunan libido dan gangguan fertilitas pada perempuan. DIAGNOSIS HIPERPROLAKTINEMIA Tujuan diagnosis hiperprolaktinemia adalah sebagai upaya menyingkirkan adanya kelainan fisiologik, farmakologi atau faktor sekunder sebagai penyebab terjadinya hiperprolaktinemia. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorik merupakan modalitas diagnostik utama dari hiperprolaktinemia. Kadar prolaktin yang normal adalah berkisar antara 5 – 25 ng/ml. Jika diperlukan untuk mengetahui adanya kelainan anatomi hipofisis, maka perlu ditambahkan dengan pemeriksaan diagnostic tambahan pencitraan. Diutamakan adalah pemeriksaan MRI kepala yang memiliki akurasi diagnostik kelainan pada fossa hipofisis yang lebih baik jika dibandingkan dengan pemeriksaan CT scan kepala. TATALAKSANA HIPERPROLAKTINEMIA Tujuan utama tatalaksana hiperprolaktinemia adalah : 1. Memperbaiki fungsi hormon gonad. 2. Memperbaiki fungsi fertilitas. 3. Mencegah terjadinya osteoporosis 4. Mengatasi keluhan sakit kepala atau ganggua fungsi lapang pandang. TERAPI MEDISINAL Agonis dopamine merupakan terapi medisinal terbaik untuk mengatasi hiperprolaktinemia. Terdapat empat jenis agonis dopamine, yaitu bromokriptin, kabergolin, kuinagolid dan pergolid. Namun yang paling sering digunakan adalah bromokriptin dan kabergolin. Terapi bromokriptin harus diberikan setiap hari, seringkali berkaitan dengan keluhan gastrointestinal, sedangkan terapi kabergolin dapat diberikan setiap minggu saja, dengan efek samping gastrointestinal yang sangat jarang dijumpai. Terapi bromokriptin dapat diberikan selama kehamilan, sedangkan kabergolin belum memiliki bukti keamanan jika diberikan kepada ibu yang sedang hamil. TERAPI PEMBEDAHAN Terapi pembedahan ditujukan untuk mengatasi kelainan hiperprolaktinemia akibat tumor intraselar, yang gagal atau intoleransi dengan terapi medisinal. Terapi pembedahan terutama ditujukan jika terdapat gejala penekanan masa tumor intrakranial, seperti sakit kepala, mual, muntah dan gangguan lapang pandang. 306



DAFTAR PUSTAKA 1. Serri O, Chik CL, Ur E, Ezzat S. Diagnosis and management of hyperprolactinemia. Can Med Ass J 2003;169(6):575-581 2. Melmed S, Casanueva FP, Hoffman AR, Kleinberg DL, Montori VM, Schlechte JA, Wass JAH. Diagnosis and treatment of hyperprolactinemia: an endocrine society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab 2011;96(2):273-288 3. Fourman LT, Fazeli PK. Neuroendocrine causes of amenorrhea – an update. J Clin Endocrinol Metab 2015;10.1210/jc.2014-3344



307



VIDEO SESSION ONCOLOGY GYNAECOLOGY ALL ABOUT IVA TEST



308



VISUAL INSPECTION WITH ACETIC ACID: PREPARATION OF TOOLS AND ACETIC ACID Indra Yuliati, dr.,Sp.OG(K) Divisi Onkologi Ginekologi – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya IVA (Inspeksi Visual dgn Asam Asetat) atau VIA ( visual inspection with acetic acid) adalah salah satu metode deteksi dini/ skrining kanker leher rahim. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman pada tahun 1925. Pemeriksaan ini dilakukan oleh (dokter/bidan/ paramedis) dgn mengamati serviks yang telah diberi asam asetat / asam cuka 3-5% secara inspeculo dan dilihat dengan penglihatan mata langsung ( mata telanjang). Dan pada saat ini, hasil pemeriksaan juga bisa didokumentasikan dengan kamera. Peralatan dan persiapan yang diperlukan untuk melakukan IVA:



          



Lembar Informed Consent. Bed ginek untuk posisi Litotomi Lampu pemeriksaan untuk mendapatkan Visualisasi yg Baik Spekulum cocor bebek Jelly Asam Asetat (3-5%) Hand scoon Tampon tang Kassa / lidi kapas larutan chlorin 0.5% untuk dekontaminasi. Tempat sampah medis dan non medis



309



CARA MEMBUAT ASAM ASETAT



310



PROSEDUR TES IVA Roy Yustin Simanjuntak, dr., SpOG(K) Divisi Onkologi Ginekologi - Departemen Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H Adam Malik – RSUD Pirngadi Medan ABSTRAK Tujuan: Melakukan ulasan mengenai tes IVA dan aplikasinya di lapangan dalam upaya skrining dan deteksi dini kanker serviks Metode: Telaah pustaka Hasil: Keuntungan dari IVA tes adalah mudah, praktis, mampu laksana; dapat dilaksanakan oleh seluruh tenaga kesehatan; alat-alat yang dibutuhkan sederhana; sesuai untuk pusat pelayanan sederhana; kinerja tes sama dengan tes deteksi dini kanker leher rahim lainnya; serta memberikan hasil segera sehingga dapat diambil keputusan mengenai penatalaksanaannya. Simpulan: Penapisan lesi pra kanker maupun kanker serviks dengan menggunakan inspeksi/ penilaian visual dengan bantuan asam asetat dapat menjadi alternatif dengan biaya rendah serta dapat mengendalikan kanker serviks di fasilitas saranan kesehatan yang kurang memadai Kata kunci: kanker serviks, skrining, tes IVA. PENDAHULUAN Kanker serviks merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dan menjadi kanker paling umum kedua pada wanita di seluruh dunia. Kanker serviks menduduki penyebab kematian nomor satu bagi wanita di Indonesia. Diperkirakan dalam setiap harinya terjadi 41 kasus baru kanker leher rahim dan 20 wanita meninggal dunia karena kanker tersebut. Infeksi Human Papillomavirus (HPV) genotipe resiko tinggi merupakan penyebab utama kanker serviks yang invasif pada manusia; lebih dari 70% penyebab kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV-16 dan 18. Faktor-faktor risiko yang terkait termasuk usia muda pada hubungan seksual, merokok, ras, paritas tinggi, dan status sosial ekonomi yang lebih rendah. Insiden kanker serviks sebenarnya dapat ditekan dengan melakukan upaya pencegahan primer seperti meningkatkan atau intensifikasi kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk menjalankan pola hidup sehat, menghindari faktor risiko terkena kanker, melakukan immunisasi dengan vaksin HPV dan diikuti dengan deteksi dini kanker serviks. Beberapa metode skrining telah dikembangkan, salah satunya adalah tes IVA (Inspeksi Visual dengan menggunakan Asam asetat) yang prosedurnya murah dan dapat dilakukan di tempat dengan sumber daya apa adanya.



311



TES IVA Tes IVA adalah pemeriksaan leher rahim (serviks) dengan cara melihat langsung (dengan mata telanjang). IVA tes dilakukan dengan mengoleskan asam asetat 3-5% kemudian dilihat dengan mata telanjang apakah ada perubahan pada leher rahim tersebut. Daerah yang tidak normal akan berubah warna dengan batas yang tegas menjadi putih (acetowhite), yang mengindikasikan bahwa leher rahim mungkin memiliki lesi prakanker. Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselmen (1925) dengan cara memulas serviks dengan kapas yang telah dicelupkan ke adalm asam asetat 3 – 5%. Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antarsel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abrnomal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih.



Gambar 1. Epitel normal



Gambar 2. Epitel abnormal (atopik) 312



Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam asetatm tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan histologinya. Demikian pula, makin tajam batasya, makin tinggi derajat kelainan jaringannya. Dibutuhkan satu sampai dengan dua menit untuk dapat melihat perubahan – perubahan pada epitel. Serviks yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespon lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50 – 60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran serviks yang normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, terapi disebut leukoplakia, biasanya disebabkan oleh proses keratosis. Pemeriksaan IVA tes merupakan pemeriksaan skrining alternatif dari pap smear karena biasanya lebih murah, praktis, sangat mudah untuk dilakukan dan peralatan yang digunakan sederhana serta dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter ginekologi. Tujuan dari pemeriksaan IVA tes adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dari penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasuskasus yang ditemukan dan untuk mengetahui kelainan yang terjadi pada leher rahim. Pemeriksaan skrining yang pada saat ini lazim digunakan untuk lesi prakanker serviks adalah tes pap. Sebagi suatu pemeriksaan skrining alternatif, pemeriksaan IVA memiliki beberapa manfaat jika dibandingkan dengan uji yang sudah ada, yaitu mudah, praktis, mampu laksana; dapat dilaksanakan oleh seluruh tenaga kesehatan; alat-alat yang dibutuhkan sederhana; sesuai untuk pusat pelayanan sederhana; kinerja tes sama dengan tes deteksi dini kanker leher rahim lainnya; memberikan hasil segera sehingga dapat diambil keputusan mengenai penatalaksanaannya dan tidak memerlukan kunjungan ulang; pada tahap penapisan tidak dibutuhkan tenaga skiner untuk memeriksa sediaan sitologi. Keadaan ini lebih memungkinkan dilakukan di negara berkembang, seperti Indonesia, karena hingga kini tenaga skiner sitologi masih sangat terbatas. PERSIAPAN DAN TAHAP PEMERIKSAAN IVA Mempersiapkan alat dan tempat



 Meja ginekologi / Meja biasa  Sumber cahaya yang tutup  Asam asetat 3 – 5 %  Kapas lidi dengan kepalabesar dan disiapkan beberapa berkepala kecil  Sarung tangan bersih (lebih baik steril)  Spekulum vagina Mempersiapkan larutan Asam asetat  Bahan cuka dapur (mengandung asam asetat 25%)



313







Larutan asam asetat 3 – 5 %



Untukmembuat asam asetat 5% dengan cara mengambil: 1 bagian cuka dapur + 4 bagian air Untuk membuat asm asetat 3% dengan cara mengambil: 1 bagian cuka dapur + 7 bagian air



Gambar 3. Tahapan pemeriksaan IVA HASIL TEMUAN IVA Normal Atipik Abnormal



Kanker serviks



Licin ,merah mudah, bentuk porsio normal Servisitis (inflamasi, hiperemis) Banyak fluor ektropion Plak putih Tukak Epitel acetowhite (bercak putih) Pertumbuhan seperti bunga kol Tukak menggaung Pertumbuhan mudah berdarah 314



Gambar 4. Serviks normal (kiri), IVA test positif (tengah) dan kanker serviks (kanan)



POINTS TO REMEMBER 1. Karena prevalensi yang sangat tinggi, beberapa alat skrining telah dikemukakan termasuk pemeriksaan IVA 2. Tes IVA sangat aplikatif di negara berkembang terutama di Indonesia, yang hanya memerlukan sumber daya tidak terlalu mahal, dan tidak membutuhkan tenaga skinner atau spesialis patologi antomi dalam penapisannya 3. Tes IVA dapat dilakukan di semua tingkat pelayanan kesehatan, dan oleh tenaga kesehatan dimulai dari bidan, dokter umum dan dokter spesialis 4. Diperlukan edukasi mengenai hasil tes IVA, tatalaksana dan rujukan bila diperlukan pada setiap pasien yang telah menjalani pemeriksaan. DAFTAR PUSTAKA 1. Skrining kanker serviks dengan IVA dan model aplikasi di lapangan. FK UI. 2011. 2. Kotaniemi-Talonen L, Malila N, Anttila A, Nieminen P, Hakama M. Intensified screening among high risk women within the organised screening programme for cervical cancer in Finland. Acta Oncol. 2011;50(1):106–11. 3. Vesco KK, Whitlock EP, Eder M, Burda BU, Senger CA, Lutz K. Risk factors and other epidemiologic considerations for cervical cancer screening: a narrative review for the U.S. Preventive Services Task Force. Ann Intern Med.2011;155(10):698–705. 4. Nuranna L, Aziz MF, Santoso Cornain, Gatot Purwoto, Sigit Purbadi, Setyawati Budiningsih, et al. Cervical cancer prevention program in Jakarta, Indonesia: See and Treat model in developing country. J Gynecol Oncol. 2012;23(3):147–52. 5. Bosch FX, Qiao YL, Castellsague‘ X. CHAPTER 2 The epidemiology of human papillomavirus infection and its association with cervical cancer. Int Jf Gynecol Obstet. 2006;94(Suppl 1):S8–S21. 6. Smith JS, Lindsay L, Hoots B, Keys J, Franceschi S, Winer R, et al. Human papillomavirus type distribution in invasive cervical cancer and high-grade cervical lesions: a meta-analysis update. Int J Cancer. 2007;121(3):621–32. 315



7. Harris RP, Helfand M, Woolf SH, Lohr KN, Mulrow CD, Teutsch SM, et al. Current methods of the US Preventive Services Task Force: a review of the process. Am J Prev Med. 2001;20(3 Suppl):21–35.



316



VIA TEST RESULT INTERPRETATION AND MANAGEMENT Prof. Dr. Andrijono, dr., Sp.OG(K) Divisi Onkologi Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Abstrak Tujuan : Menjelaskan program skrining dengan menggunakan metode IVA (inspeksi visual asam asetat) dan manajemen IVA abnormal Metode : Tinjauan pustaka Hasil : Metode skrining IVA telah ditetapkan sebagai metode skrining kanker serviks di Indonesia, penemuan lesi putih pada porsio ditetapkan sebagai IVA positif. Manajemen IVA positif dapat dilakukan segera dengan metode see and treat. Terapi segera dilakukan setelah penemuan lesi putih, penemuan lesi putih segera ditindak lanjuti dengan terapi ablasi (krio, LETZ, kauterisasi). Terdapat kendala ketersediaan alat terapi ablasi terutama di daerah terpencil. Terapi alternative pada penemuan lesi putih dapat dilakukan aplikasi TCA (trichloroasetat), dan pada penelitian didapatkan bahwa hasil terapi aplikasi TCA 95% tidak berbeda dengan hasil terapi krio. Simpulan : Program see and treat IVA dengan terapi ablasi atau terapi aplikasi TCA dapat dilakukan untuk mencegah kanker serviks Kata Kunci : IVA, see and treat, terapi ablasi, TCA



317



SYMPOSIUM XIV: OBSTETRIC AND GYNAECOLOGY SOCIAL 2 MATERNAL PERINATAL AUDIT AND HOSPITAL MANAGEMENT



318



GRATIFIKASI RUJUKAN MATERNAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP MUTU PELAYANAN KIA Mochammad Hud Suhargono, dr , SpOG (K) Pokja Anti Gratifikasi Rujukan Forum Penurunan Angka Kematian Ibu Hamil Jawa Timur Instalasi Maternal Perinatal RSUD Bangil Pasuruan ABSTRAK Praktek Gratifikasi Rujukan maternal sebagai suatu fenomena praktik yang tidak sesuai dengan etika profesi jamak dilakukan di Jawa Timur. Hasil survey awal persepsi tenaga kesehatan terhadap praktek gratifikasi rujukan februari 2018 97 persen dari tenaga kesehatan mengetahui adanya praktek tersebut. Dari hasil survey itu 57 persen berpendapat praktek tersebut mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien dan 70 persen responden berpendapat dapat meningkatkan kasus Sectio Caesaria. Gratifikasi rujukan juga disebut Fee splitting menyebabkan terjadi konflik kepentingan bias antara kepentingan ekonomi dan proses pengambilan keputusan klinis, memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standard dan adanya pemberian informasi yang tidak seimbang kepada penderita ( asymmetrical information ). Pada beberapa kajian kasus kematian maternal menyebabkan rujukan maternal ke rumah sakit rujukan yang tidak tepat baik dari segi jarak maupun fasilitas rumah sakit rujukannya. Melihat Banyaknya praktek Gratifikasi tersebut Forum Penakib Jawa Timur bersama Organisasi Profesi diantaranya POGI , IBI, IDI, PERSI dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur melakukan kampanye Gerakan Moral Anti Gratifikasi Rujukan pada bulan Februari 2018. Gerakan Moral tersebut selanjutnya dilakukan di kabupaten dan kota di JawaTimur dengan mengikutsertakan organisasi profesi dan dinas kesehatan setempat. Setelah satu tahun dicanangkan kampanye anti gratifikasi rujukan dilakukan Survey evaluasi online persepsi tenaga kesehatan terhadap Gerakan Moral tersebut dengan hasil 60 persen responden berpendapat praktek gratifikasi rujukan tersebut masih ada. Diperlakukannya JKN melalui program nasional BPJS kesehatan diharapkan dapat menghapus praktek tersebut ternyata di lapangan masih banyak terjadi terutama masyarakat yang belum menjadi peserta BPJS. Dari survey hanya 58 persen responden berpendapat program JKN sudah dapat mengurangi praktek gratifikasi rujukan dan 48 persen responden tidak yakin program BPJS on line dapat menghapus praktek tersebut terlebih apabila belum semua masyarakat menjadi peserta BPJS. Kedepan untuk menghapus praktek Gratifikasi rujukan diperlukan langkah secara terus menerus dan berkelanjutan dengan melalui berbagai pendekatan yaitu pendekatan sistem , pendekatan regulasi , pendekatan edukasi masyarakat dan mendorong Universal Coverage program JKN sehingga seluruh masyarakat tercover pelayanan BPJS kesehatan termasuk didalamnya mengatur alur 319



rujukan kasus maternal dari faskes pertama ke rujukan yang lebih transparan dan mengutamakan keselamatan ibu hamil. Kata kunci : Gratifikasi rujukan maternal , Pokja Anti Gratifikasi Rujukan , JKN , Universal Coverage PENDAHULUAN Definisi gratifikasi rujukan berdasar American Medical Association Code of Medical Ethics Opinion 11.3.4 adalah : Payment by or to a physician or health care institution solely for referral of a patient is fee splitting and is unethical ( Pemberian upah oleh dokter atau institusi kesehatan karena jasa rujukan dinamakan fee splitting dan hal tersebut melanggar etik ). Komisi Kedokteran Indonesia Pada Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran 2006 menegaskan bahwa praktek meminta atau menerima imbalan jasa atau membuat kesepakatan dengan pihak lain diluar ketentuan etika profesi atau dikenal dengan sebutan lain Kick-back atau fee splitting tidak dibenarkan secara etik profesi . Secara definisi Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cumacuma, dan fasilitas lainnya. Menurut Malaysian Medical Council Fee splitting menyebabkan terjadi konflik kepentingan bias antara kepentingan ekonomi dan proses pengambilan keputusan klinis, memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standard dan adanya pemberian informasi yang tidak seimbang kepada penderita ( asymmetrical information ). Komisi Kedokteran Indonesia menyebutkan bahwa praktek tidak etis tersebut dapat mempengaruhi independensi dokter dalam menjalankan tugasnya. Praktek Gratifikasi atau Fee splitting juga diduga jamak terjadi pada kasus rujukan maternal dari fasilitas kesehatan pertama di Bidan Praktek Mandiri ke Rumah Sakit Rujukan . Pada beberapa kajian kasus kematian maternal diduga menyebabkan rujukan maternal ke rumah sakit rujukan yang tidak tepat baik dari segi jarak maupun tersedianya fasilitas di rumah sakit rujukannya. Forum Penakib Jawa Timur telah melakukan survey awal untuk mengetahui persepsi tenaga kesehatan terhadap praktek gratifikasi rujukan maternal pada bulan februari 2018 dilakukan secara on line selama 4 hari. Didapatkan 250 responden yang mengisi kuesioner melalui Google survey . Responden terbanyak adalah bidan (129), disusul oleh SpOG (100) dan profesi kesehatan lainnya. Berdasarkan tempat kerjanya 30% di sektor swasta, 30% di RS Pemerintah, dan 18% berkerja di Bidan Praktek Mandiri. 97% responden mengetahui adanya praktek gratifikasi rujukan, Dari survey 57 % responden berpendapat praktek tersebut mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien dan 70 % responden berpendapat dapat meningkatkan kasus Sectio Caesaria.



320



Dari survey awal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Adanya praktek gratifikasi rujukan kasus maternal adalah sebuah kenyataan dan fenomena dalam proses layanan kesehatan, mulai dari faskes pertama sampai dengan Rumah sakit rujukan 2. Praktek gratifikasi sangat rentan untuk menyebabkan terjadinya praktek pelayanan yang tidak berfokus pada pasien yang pada akhirnya merugikan pasien, seperti rujukan terlambat, estafet rujukan yang tidak perlu , merujuk pada rumah sakit rujukan yang tidak tepat baik dari jarak maupun dari kemampuan dan fasilitas rumah sakit rujukan tindakan sc yang tidak diperlukan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan prinsip mutu pelayanan kesehatan dimana kepentingan dan keamanan pasien menjadi pertimbangan utama dalam setiap keputusan atau tindakan medis 3. Praktek gratifikasi juga sarat dengan kepentingan ekonomi, hal tersebut bertendensi terjadinya pelanggaran kode etik profesi, disipilin serta hukum. Melihat Banyaknya praktek Gratifikasi Rujukan tersebut Forum Penakib Jawa Timur bersama Organisasi Profesi diantaranya POGI , IBI, IDI, PERSI dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur melakukan kampanye Gerakan Moral Anti Gratifikasi Rujukan pada bulan Februari 2018. Fokus pertama kegiatannya adalah kampanye dan deklarasi bersama di tingkat provinsi dan disebarluaskan di kabupaten dan kota di Jawa Timur. Setelah satu tahun dicanangkan kampanye anti gratifikasi rujukan dilakukan Survey evaluasi online persepsi tenaga kesehatan terhadap Gerakan Moral tersebut dengan hasil 60 persen responden berpendapat praktek gratifikasi rujukan tersebut masih ada. Diperlakukannya JKN melalui program nasional BPJS kesehatan diharapkan dapat menghapus praktek tersebut ternyata di lapangan masih banyak terjadi terutama masyarakat yang belum menjadi peserta BPJS. Dari survey hanya 58 persen responden berpendapat program JKN sudah dapat mengurangi praktek gratifikasi rujukan dan 48 persen responden tidak yakin program BPJS on line yang diberlakukan mulai Oktober 2018 dapat menghapus praktek tersebut terlebih apabila belum semua masyarakat menjadi peserta BPJS. Kedepan untuk menghapus praktek Gratifikasi rujukan diperlukan langkah secara terus menerus dan berkelanjutan dengan melalui berbagai pendekatan yaitu pendekatan sistem , pendekatan regulasi , pendekatan edukasi masyarakat dan mendorong Universal Coverage program JKN sehingga seluruh masyarakat tercover pelayanan BPJS kesehatan termasuk didalamnya mengatur alur rujukan kasus maternal dari faskes pertama ke rujukan yang lebih transparan dan mengutamakan keselamatan ibu hamil.



321



DAFTAR PUSTAKA 1. Undang Undang No 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi 2. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2006 Tentang Pedoman Penegakkan Disiplin Profesi Kedokteran Indonesia 3. Code of Medical Ethics Opinion 11.34 AMA https;//www.ama.assn.org 4. Hasil Survey Persepsi Tenaga Kesehatan terhadap Gratifikasi Rujukan on line POKJA Anti Gratifikasi Rujukan Februari 2018 5. Hasil Survey Persepsi Tenaga Kesehatan terhadap Gratifikasi Rujukan on line POKJA Anti Gratifikasi Rujukan Februari 2019



322



TATALAKSANA HOLISTIK KASUS-KASUS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI PADA ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) Dr. Dwiana Ocviyanti, dr., Sp.OG(K) Divisi Obstetri Ginekologi Sosial – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan di Indonesia diharapkan akan lebih berkualitas dan dapat dimanfaatkan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat dengan keberadaan program Jaminan Kesehatan Nasional. Kualitas pelayanan yang baik diharapkan akan meliputi kemudahan akses mendapatkan pelayanan, peningkatan upaya menjaga keselamatan pasien serta peningkatan respon pemberi pelayanan. Keberhasil pemberian layanan kesehatan ternyata dipengaruhi oleh saling keterkaitan yang kompleks antara faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi, kultural dan lingkungan, dimana faktor-faktor ini harus dilihat oleh pemberi pelayanan dalam konteks yang lebih luas yang umumnya melibatkan banyak profesi yang mampu melakukan kerja sama interprofesi. Diperlukan penguatan kembali nilai inti dari layanan kesehatan dimana kesehatan dan kesejahteraan pasien harus selalu menjadi tujuan utama. Untuk itu diperlukan layanan kesehatan dengan pendekatan yang lebih holistik dan berfokus pada klien/pasien. TATALAKSANA HOLISTIK PADA KASUS – KASUS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI Layanan Obstetri dan Ginekologi merupakan layanan kesehatan yang sangat erat berkaitan dengan tatalaksana holistik, karena kasus-kasus Obstetri dan Ginekologi merupakan kasus-kasus yang sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, sosial, ekonomi, kultural dan lingkungan. Contoh yang paling penting saat ini adalah kematian ibu dan kematian perempuan karena kanker serviks. Kematian ibu tidak dapat hanya diatasi dengan meningkatkan kemampuan dan kualitas pelayanan di sarana-sarana kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit, tetapi ternyata sangat erat berkaitan dengan perilaku dan kesehatan ibu serta pasangannya semenjak masa kanak-kanak dan remaja, faktor pendidikan khususnya terkait kesehatan reproduksi, penerimaan terhadap konsep perencanaan keluarga, masalah sosial dan ekonomi, serta faktor-faktor lain yang sebagian besarnya berada di luar jangkauan petugas kesehatan. Begitu juga dengan upaya menurunkan morbiditas dan mortalitas perempuan akibat kanker serviks.



323



Meskipun sudah ditemukan upaya-upaya pencegahan kanker serviks yang sangat efektif seperti pemeriksaan rutin dengan teknik IVA (Inspeksi Visual dengan aplikasi Asam Asetat) yang sederhana dan murah, teknik Pap smir, hingga pemberian vaksinasi untuk pencegahan terhadap infeksi HPV (human papilloma virus) yang sudah diketahui sebagai penyebab kanker serviks, namun ternyata adanya akses terhadap berbagai upaya pencegahan kanker serviks ini setelah lebih dari 3 dekade tidak kunjung dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita kanker serviks di Indonesia. Berbagai faktor yang lagi-lagi sangat terkait dengan faktor-faktor sosial, ekonomi, kultural ditambah dengan kurangnya kerjasama interprofesi yang menyebabkan cakupan perempuan yang mendapatkan pelayanan pencegahan terhadap kanker serviks tidak kunjung meningkat di Indonesia. TATALAKSANA HOLISTIK KASUS – KASUS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI DI RUMAH SAKIT Kasus-kasus Obstetri dan Ginekologi yang dirujuk ke Rumah Sakit umumnya sudah merupakan kasus-kasus yang amat kompleks dan harus ditatalaksana secara interprofesional dengan melibatkan berbagai pihak yang diyakini akan meningkatkan kualitas ibu serta bayi yang dikandungnya (untuk kasus-kasus Obstetri) serta memberikan kualitas hidup yang optimal ditinjau dari segi kesehatan serta kesejahteraan pasien (untuk kasus-kasus Ginekologi). Contohnya pada kasus Obstetri yaitu terjadinya kehamilan akibat suatu perkosaan pada seorang remaja yang menderita keterbelakangan mental. Tugas pemberi pelayanan di Rumah Sakit tidak hanya sekadar memastikan ibu dan bayinya hidup saat proses persalinan di Rumah Sakit, tetapi pemberian pelayanan yang berfokus pada pasien dan janin yang dikandungnya dengan melibatkan berbagai profesi dan kelompok masyarakat sudah harus dimulai semenjak awal kasus tersebut dikirim ke rumah sakit pada awal kehamilannya dan akan terus berlangsung hingga diyakini bahwa sang ibu dapat terlindung dari kemungkinan terjadinya kehamilan yang ditidak diinginkan kembali, serta anak yang dilahirkan dapat menjalani proses tumbuh kembang secara optimal. Untuk kasus infertilitas pada pasangan dengan kasus adenomiosis uteri, maka fokus perhatian dokter di Rumah Sakit tentu saja tidak dapat hanya pada keberhasilan terjadinya kehamilan, namun juga pada pasangan yang tidak berhasil hamil dimana pasangan perempuan masih harus mengalami banyak masalah dengan adenomiosisnya seperti nyeri dan perdarahan dan harus menjalani kehidupan yang mungkin menimbulkan perasaan tidak nyaman dan bahkan kerap menimbulkan tekanan psikologis karena ketidak berhasilannya untuk memiliki keturunan. Kasuskasus seperti contoh di atas ini umumnya tidak dapat hanya ditatalaksana oleh sekelompok dokter dengan berbagai bidang keahlian tetapi juga harus melibatkan para pemerintah (dari aspek hukum, sosial dan penanggung jawab wilayah), psikolog, petugas sosial hingga masyarakat.



324



TATALAKSANA HOLISTIK KASUS-KASUS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI DI ERA JKN Aturan-aturan terkait BPJS di era JKN ini memang masih banyak yang belum mengakomodir keinginan pemberi layanan kesehatan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien atau kliennya, karena fokus dari BPJS masih pada penyakit yang diderita pasien (diagnosis). Perlu dilakukan pendekatan pada berbagai pihak untuk memberikan layanan kesehatan yang optimal pada pasien terutama pada pasien-pasien dengan masalah yang kompleks terkait fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan tatalaksana interprofesi, sehingga pasien mendapatkan layanan yang optimal dan pemberi pelayanan juga mendapatkan penghargaan yang sesuai dengan kinerjanya. DAFTAR PUSTAKA 1. WHO 2007. People-Centred Health Care: A policy framework. 2. Savithri Y. Direktorat Jendral Pelayanan Rujukan 2018; Kebijakan Pelayanan Kesehatan Era Jaminan Kesehatan Nasional.



325



DAY 3



CONTROVERSY UROGYN GYNAECOLOGICAL AESTHETIC



326



THE IMPACT OF GENITAL REJUVENATION ON SEXUAL FUNCTION Dr. Suskhan Djusad, dr., Sp.OG(K) Reconstructive Urogynecology Division - Dept. of Obstetrics Gynecology Faculty of Medicine Universitas Indonesia Dr.Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta ABSTRACT Sexual function is one of important aspects in women‘s quality of life (QoL). The disruption of sexual function may result in poor QoL that affects both physical and mental health. Sexual dysfunction is a multifactorial disorder that involved biological, psychosocial, and relationships aspects. Common sexual dysfunction aetiology includes loss of vaginal tightening that occurs gradually with aging and vaginal prolapse. Management of sexual dysfunction by genital rejuvenation may help women improve their sexual ability, thus resulting in better quality of their sexual life. Several known procedures such as vaginoplasty, labiaplasty, G-Spot amplification had been performed extensively to restore the women‘s ability of having sexual satisfaction. One study showed that vaginal size is related to sexual sensation in women presented with wide or relaxed vagina, among those participants, 96% of women experienced decreased of vaginal sensation, 73% had difficulty of achieving orgasm, and 27% could not having orgasm prior to surgery. However, following vaginal repair and tightening, 90 % of women reported that their sexual satisfaction improved significantly and 94% of them achieved satisfactory orgasms. Nevertheless, genital rejuvenation has several side effects that need to be considered. Nerve damage, scaring, and urinary retention are some of the side effects which may occur during procedure. Hence, the indication for genital rejuvenation should be thoroughly examined before the procedure is established and surgical repair should be conducted in meticulous manner. Keywords: sexual function, genital rejuvenation, PENDAHULUAN Vaginal Rejuvenation suatu tindakan seperti facelift vagina atau vulva, dimana untuk peremajaan daerah vulva. İstilah dari vaginal Rejuvenation biasanya digunakan untuk menggambarkan perbaikan saluran vagina dan introitus setelah melahirkan dan atau penuaan dini untuk sebagai perawatan disfungsi seksual terkait relaksasi vagina. Tindakan ini juga dapat membuat vagina lebih kencang dan diyakini meningkatkan kenikmatan seksual. Tindakan ini dapat juga untuk mengurangi diameter saluran dan pembukaan vagina, seperti eksisi jaringan vagina



327



yang berlebihan, pengencangan otot dengan pengencangan otot median levator, remodeling perineum, dan eksisi kulit berlebih.1 Persalinan pervaginam normal adalah faktor predisposisi utama hilangnya kekuatan otot vagina yang baru-baru ini dikenal sebagai Sindrom Relaksasi Vagina (VRS), kehilangan pengencangan vagina juga disebabkan oleh penuaan karena perubahan hormon yang berhubungan dengan menopause, serta sembelit kronis, batuk dan kelebihan berat badan. Diketahui juga bahwa prolaps vagina dapat menyebabkan disfungsi seksual.2,3 Prosedur vaginal Rejuvenation sendiri sayangnya belum ada prosedur khusus yang jelas. Tujuannya dari prosedur ini bukan untuk memperbaiki cacat dasar panggul, melainkan berfokus pada pengetatan vagina untuk meningkatkan fungsi seksual dan meningkatkan penampilan kosmetik. Vaginal Rejuvenation suatu tindakan operatif non-rekonstruktif yang bertujuan untuk mengencangkan vagina, dengan menghilangkan mukosa yang berlebihan dan mengencangkan struktur pendukung yang disebabkan oleh penuaan atau proses kelahiran, tanpa adanya indikasi medis yang jelas. 2,3 Prosedur yang bertujuan untuk "mengencangkan" saluran vagina dan introitus, mengangkat dan memperkuat tubuh perineum.4 Prosedur yang biasa dilakukan untuk tindakan peremajaan vagina antara lain :  Vaginoplasty, merupakan suatu tindakan pembedahan rekonstruksi vagina dan sering dilakukan untuk mengencangkan otot dinding vagina  Labiaplasty, Prosedur untuk mengurangi ukuran dan bentuk labia majora atau labia minora. Prosedur memperbaiki bentuk labia mayora agar menjadi simetris. Lebar rata-rata labia minora adalah 2,5 cm  Amplifikasi G-Spot, melibatkan injeksi kolagen ke dinding anterior vagina  Clitoral unhooding, pengangkatan sebagian jaringan yang menutupi clitoris, dengan tujuan gairah seksual lebih cepat dan kuat. TIPE DARI VAGINAL REJUVENATION :5 1. Reconstructive VR.1 Termasuk semua operasi yang bertujuan untuk memperbaiki dan / atau memperbaiki strüktür anatomi vagina .Operasi vagina seperti :  Prolaps organ panggul dan inkontinensia (anterior, posterior colporrhaphy, hysteropexy, urethral sling and anal sphincteroplasty)  Mengurangi diameter vagina yang lebar (perineoplasty) setelah persalinan pervaginam atau proses penuaan, perbaiki cacat lahir setelah persalinan pervaginam  Memperbaiki vagina yang cacat bawaan (vaginoplasty) seperti agenesis, septum.



328



2. Cosmetic VR.6 • Mengubah penampilan vulva dan lubang vagina. • Labioplasty: membuat bentuk vagina simetris, mengurangi atau menghilangkan labia bagian dalam, menghilangkan lemak yang tidak diinginkan dari mons pubis dan bagian atas labia mayor, melakukan liposculturing, augmentasi labiaplasty • Revirginization: perbaikan selaput dara, hymenoplasty. Hoodektomi ( mengurangi clitoris ―hood‖ ) • Peremajaan Vagina: memperpendek dan mengencangkan saluran vagina dan introitus, dengan menghilangkan mukosa dan kulit yang berlebihan yang tidak diinginkan.



3. Functional VR Fokus utama pada peningkatkan sensasi seksual, termasuk: 8  Clitorial Unhooding : untuk meningkatkan stimulasi klitoris sehingga meningkatkan kenikmatan seksual  Amplifikasi G-Spot : membuat daerah tersebut lebih sensitif dengan dilakukannya penyuntikan kolagen.  Vaginal Rejuvenation : mengencangkan saluran vagina dan introitus vagina • Vaginal Rejuvenation menyediakan perawatan kosmetik dan fungsional , tetapi bukan untuk perawatan rekonstruksi . LASER VAGINAL REJUVENATION.8 • Prosedur bedah non-tradisional • Tidak ada komplikasi • Kemanjuran tinggi • Teknik bedah konservatif minimal invasif untuk peningkatan fungsi seksual pada wanita dengan sensasi kelemahan vagina •



Pengertian dari laser vaginal rejuvenation adalah penggunaan efek photothermal pada mukosa vagina untuk mengencangkan saluran vagina yang longgar/lebar dan introitus vagina



329



Mekanisme dari tindakan laser vaginal rejuvenation • Menstimulasi pembentukan kolagen, menghasilkan regenerasi kolagen baru, yang mengarah pada penebalan dinding vagina dengan hasil akhir dari pengetatan vagina. • Penyusutan fasia endopelvis, ligamen, dan mukosa dinding vagina untuk meningkatkan stres inkontinensia urin. • Memperbaiki pelumasan vagina dengan merevitalisasi dan mengembalikan elastisitas dan hidrasi mukosa saluran genital perempuan bagian bawah • Teknologi laser • laser fractional CO2 • Erbium YAG laser • Mengobati masalah vagina yang umum, sindrom genito-urinaria menopause (GSM), sindrom relaksasi vagina (VRS), atrofi vagina menopause, tingkat stres inkontinensia urin ringan. Laser fractional CO2 • Sesi perawatan laser biasanya berlangsung 10 - 20 menit • Mengangkat keprihatinan tentang keamanan prosedur laser, karena kerusakan jaringan dan remodelling akibat penggunaan laser berpotensi meningkatkan nyeri urogenital dan dispareunia; selain itu, efek distal energi laser pada organ proksimal seperti rektum, uretra, dan kandung kemih sebenarnya tidak diketahui Disfungsi Seksual Wanita • Didefinisikan sebagai gangguan hasrat seksual, gairah, orgasme, dan / atau nyeri seksual, berkontribusi terhadap tekanan pribadi. • Disfungsi seksual adalah gangguan multifaktorial; faktor biologis, psikososial, dan relasional dapat berkontribusi terhadap disfungsi seksual wanita. Di antara faktor-faktor ini, dasar panggul tampaknya memiliki pengaruh penting. Disfungsi dukungan vagina yang menyebabkan inkontinensia, prolaps, dan disfungsi seksual sangat lazim. Dampak Prolaps / Relaksasi Vagina pada Fungsi Seksual Karena itu, pertanyaan yang harus dijawab: 1. Apakah prolaps dan / atau Relaksasi Vagina menyebabkan disfungsi seksual? 2. Apakah perbaikan meningkatkan fungsi seksual dan / atau sensasi vagina wanita? Perbaikan prolaps tidak hanya meningkatkan fungsi seksual wanita, tetapi juga meningkatkan fungsi seksual pria Kuhn et al, mengevaluasi fungsi seksual pada pasien wanita dan pasangan pria mereka dengan menggunakan Indeks Fungsi Seksual Wanita (FSFI) untuk pasien wanita dan Inventarisasi Seksual Pria Singkat (BMSI) untuk pasangan mereka.15  Skor FSFI pada wanita meningkat secara signifikan dalam keinginan domain, gairah, pelumasan, kepuasan keseluruhan, dan rasa sakit 330



  



Untuk pasangan mereka, ada peningkatan yang signifikan dalam dorongan seksual dan kepuasan keseluruhan Namun, ereksi, fungsi ejakulasi, dan orgasme tetap tidak berubah. Jelas dengan data di atas bahwa prolaps memiliki peran dalam menciptakan disfungsi seksual



Sangat jelas bahwa perbaikan vagina meningkatkan fungsi seksual dan kualitas kehidupan seksual.16  Apakah karena prolaps yang menyebabkan ketidaknyamanan yang menyebabkan wanita menghindari hubungan seksual atau karena masalah citra diri mengenai prolaps?  Atau apakah karena relaksasi dan prolaps vagina dapat menyebabkan penurunan sensasi yang mengarah ke disfungsi seksual, yaitu, merasa kurang, mengalami kesulitan mencapai orgasme atau merasa sadar diri tentang kenyataan bahwa ia merasa vaginanya kendur, tegang, atau santai? Sekali lagi, masalah yang sangat sulit untuk dipelajari dan sampai saat ini literatur kurang dalam hal ini. Ozel dkk. laporan baru-baru ini diterbitkan mengevaluasi libido, kegembiraan seksual, sensasi vagina, dan kemampuan untuk orgasme dalam kelompok wanita dengan prolaps dibandingkan dengan wanita tanpa prolaps.17 Mereka menemukan bahwa wanita dengan prolaps dan relaksasi vagina secara signifikan lebih mungkin melaporkan tidak adanya libido, kurangnya gairah seksual selama hubungan intim, dan frekuensi yang jauh lebih rendah untuk mencapai orgasme selama hubungan seksual dibandingkan dengan wanita dengan demografi yang sama tanpa prolaps (yaitu, multipara, usia yang sama, status perkawinan, dll). Relaksasi atau prolaps vagina dapat memengaruhi sensasi. Telah ditunjukkan bahwa ketika berkontraksi secara sukarela, otot-otot dasar panggul dapat mengintensifkan orgasme untuk wanita. Sensasi yang menurun dan kesulitan mencapai orgasme mungkin disebabkan oleh kerusakan saraf akibat persalinan, perubahan otot, dan perubahan jaringan lunak. Peremajaan Kanal Vagina dan Introitus  Perbaikan dinding vagina posterior dan introitus adalah aspek kunci dari prosedur peremajaan vagina.  Operasi peremajaan vagina adalah perubahan dan modifikasi perbaikan vagina untuk prolaps yang berfokus pada diameter akhir dan kaliber vagina dan berupaya mengembalikannya kembali ke keadaan prapersalinan.



331



Fokus dari prosedur sebelumnya  Cukup untuk mengembalikan dan mengurangi tonjolan, sedangkan fokus peremajaan vagina mengembalikan kaliber vagina dan hiatus genital kembali ke keadaan pra-persalinan dari introitus sampai ke puncak.  Selain itu, penampilan kosmetik dari introitus dan tubuh perineum, mengembalikan fungsi introitus, tetapi juga untuk mendapatkan penampilan yang diinginkan oleh wanita. DATA YANG MENDUKUNG PROSEDUR VAGINAL REJUVENATION Pardo et al. • Ukuran vagina yang berhubungan dengan sensasi seksual telah diteliti pada sekelompok wanita yang mengalami gejala vagina yang lebar atau santai dan tertarik pada perbaikan vagina untuk fungsi seksual saja.  96% pasien mengalami penurunan sensasi vagina  73% menggambarkan kesulitan mencapai orgasme  27% tidak bisa mencapai orgasme sebelum operasi • Mengikuti perbaikan bedah kaliber vagina dan pengetatan vagina  90% wanita melaporkan kepuasan seksual mereka jauh atau cukup meningkat  94% wanita mampu mencapai orgasme • Ini menegaskan bahwa ukuran vagina memiliki dampak langsung pada sensasi dan kemampuan untuk orgasme dan ketika fungsi seksual yang diperbaiki membaik. Pardo et al • Menggunakan kolporafi untuk mengobati vagina yang abnormal atau lebar secara subyektif pada wanita dengan ketidakpuasan seksual sekunder dan gangguan / ketidakmampuan untuk mencapai orgasme.5 • 53 wanita yang terdaftar dalam penelitian ini menjalani perbaikan anterior dan posterior spesifik-lokasi • Pada akhir prosedur, diameter vagina menurun sehingga hanya dua jari yang dapat dimasukkan setidaknya dua pertiga bagian bawah vagina. • 6 bulan pasca operasi,  66% wanita mengalami peningkatan besar dalam kehidupan seksual,  24% peningkatan signifikan,  sedangkan hanya 10% sedikit atau tidak ada perbaikan sama sekali. Abedi et al Fungsi seksual dinilai setelah pengetatan vagina dilakukan untuk sensasi kelemahan vagina.3 Teknik pembedahan yang digunakan melibatkan sayatan vertikal pembukaan vagina, paparan jaringan rekto vaginal dan otot levator ani, 332



pengangkatan jumlah jaringan yang tepat sesuai dengan derajat relaksasi, dan jahitan dari jaringan vagina yang tersisa. Setelah 6 bulan, fungsi seksual yang diukur dengan instrumen yang divalidasi (yaitu, Indeks Fungsi Seksual Wanita [FSFI]) meningkat secara global, tetapi tingkat dispareunia baru dan pelumasan vagina yang rendah dicatat, membatasi efek menguntungkan dari jenis operasi ini.3 Salvatore et al. Menyelidiki efek laser fractional CO2 pada fungsi seksual dan kepuasan pada 77 wanita pasca-menopause dengan atrofi vulvo vaginal. Kualitas hidup dan fungsi seksual dievaluasi dengan kuesioner internasional yang disahkan (yaitu, Short Form12 [SF-12] dan FSFI) pada awal dan setelah 12 minggu. 19 Pada follow-up 12 minggu, penulis menemukan peningkatan yang signifikan dengan mengurangi intensitas gejala vagina, seperti terbakar pada vagina, kekeringan, gatal, dan dispareunia, (yaitu, hasrat perbaikan, gairah, pelumasan, nyeri, orgasme, kepuasan).19 Filippini et al Menyelidiki efek laser fractional CO2 pada 386 wanita pascamenopause yang melaporkan gejala atrofi vulvo vaginal (kekeringan, gatal, terbakar, dispareunia, ketidaknyamanan gejala berkemih). Pada menopause, karena kurangnya dukungan estrogenik pada mukosa genital, peremajaan vagina sering melibatkan pemulihan jaringan ikat dinding vagina dan kadar air jaringan yang memadai, selain koreksi bedah anatomi belaka untuk mengencangkan diameter vagina.20 Para penulis menemukan bahwa laser CO2 microablative fraksional efektif dalam mengobati epitel vagina dan memperbaiki gejala dan dispareunia yang tidak nyaman akibat atrofi vagina. Sekiguchi et al 30 wanita pramenopause diobati dengan satu sesi terapi Radio Frequency (RF) pada 90 J/cm2. Penulis melaporkan peningkatan signifikan dalam fungsi seksual dan penurunan tekanan terkait dengan aktivitas seksual pada follow-up 6 bulan. Wanita juga melaporkan penurunan kelemahan vagina dalam beberapa bulan pertama setelah perawatan RF.21 Ostrzenski Mengusulkan metode lain untuk mengobati kelemahan vagina, yaitu, peremajaan mukosa vagina (restorasi). Penulis pertama-tama mendefinisikan vagina halus yang ditandai dengan tidak adanya atau penurunan rugasi vagina, yang dapat menyebabkan penurunan sensasi gesekan penis selama koitus. Rugae vagina yang menurun tampaknya terkait dengan usia lanjut dan tingkat estrogenik yang rendah. Prosedur bedah melibatkan penggunaan laser CO2 dalam mode kontinu 8-10 W dengan defocus. Kedalaman penguapan rugae kolumnar vagina adalah antara 2 dan 5 mm lebar, dan penguapan harus berhenti pada tingkat fasia endo pelvis. Perbaikan 333



fungsi seksual diamati pada 10 peserta wanita, tanpa ada komplikasi yang dilaporkan.22 Sebuah studi cross-sectional multicenter besar FGCS27 termasuk 258 wanita dan 341 intervensi plastik genital yang berbeda dilakukan untuk menilai beberapa hasil, seperti alasan untuk mempertimbangkan operasi, hasil dan komplikasi bedah, dan kepuasan pasien. 47 wanita menjalani prosedur vaginoplasty/perineoplasty dengan tingkat kepuasan yang tinggi dalam hal peningkatan fungsi seksual untuk wanita dan pasangan. ADMINISTRASI MAKANAN DAN OBAT / FDA 











2018: FDA mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan bahwa beberapa perawatan ―peremajaan vagina‖ di pasaran dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya, seperti luka bakar pada vagina, jaringan parut, dan rasa sakit. FDA menjadi sadar akan semakin banyaknya produsen yang memasarkan perangkat ―peremajaan vagina‖ ke momen dan mengklaim prosedur ini akan mengobati kondisi dan gejala terkait menopause, inkontinensia urin, atau fungsi seksual. Prosedur menggunakan laser dan perangkat berbasis energi lainnya untuk menghancurkan atau membentuk kembali jaringan vagina, produk memiliki risiko serius dan tidak memiliki bukti yang memadai untuk mendukung penggunaannya untuk tujuan ini.



Cara yang Lebih Aman untuk "Meremajakan" Vagina • • • • • •



Pelumas: pelumas berbahan dasar silikon akan menjadi sahabat saat berhubungan intim Pelembab vagina: tidak seperti pelumas, pelembab akan membantu jaringan vagina lebih tebal, lebih elastis, dan mampu melumasi sendiri dari waktu ke waktu. Estrogen vagina: krim vagina, tablet vagina, dan cincin vagina. Tidak ada masalah keamanan yang terbukti dengan produk itu. Pil oral: bekerja dengan mengaktifkan reseptor estrogen di vagina untuk membantu meringankan rasa sakit saat berhubungan seks, terutama pada wanita pasca-menopause. Supositoria vagina: membantu meningkatkan pelumasan dan elastisitas Perawatan laser CO2 medis harus dilakukan oleh gnecologyst dan faktur merangsang sel vagina dan vulva untuk regenerasi



KESIMPULAN • Pembedahan Vaginal rejuvenation adalah satu dari metode yang paling terkini dalam pembedahan elektif untuk wanita. • Merupakan tekhnik untuk memperbaiki jaringan vagina pada wanita yang mengalami penurunan sensasi fungsi seksual atau yang merasa vagina yang longgar atau lebaryang memperngaruhi kehidupan seksual mereka..



334



• Dalam banyak kasus, wanita dengan gejala seperti ini ditemukan memiliki patologi uroginekologi lain seperti prolaps yang juga harus dibahas dalam setiap perbaikan yang dimaksud. • Prolapse dan relaksasi vagina dan menyebabkan disfungsi seksual dan memperbaikiny.a dapat merubah banyak wanita • Namun, ketika berhadapan dengan disfungsi seksual saja serta kaliber atau lebar vagina, perbaikan bedah harus sangat cermat dan tepat untuk meningkatkan sensasi dan fungsi dan tidak merusaknya. Ini meringkas pernyataan " The Art of Surgery "! REFERENSI 1. Moore R, Miklos J, Chinthakanan ) (2014) Vaginal Recontruction/ Rejuvenation: is there data to support improved sexual function? An Update and review of literature. Surg Technol Int 25: 179-190. 2. Gaviria J, Lanz J (2012) Laser vaginal tightening (LVT)-evaluation of a novel noninvasive laser treatment for vaginal relaxation syndrome. Journal of the Laser and Health Academy 2012(1): 59-66. 3. Abedi P, Jamali S, Tadayon M, Parhizkar S, Mogharab F (2014) Effectiveness of selective vaginal tightening on sexual function among reproductive aged women in Iran with vaginal laxity: a quasi-expermental study. J Obstet Gynaecol Res 40(2): 526-531. 4. Goodman MP. Female cosmetic genital surgery. Obstet Gynecol 2009;113(1):154 [PMID: 19104372 DOI: 10.1097/AOG. 0b013e318190c0ea]. 5. Pardo JS, Solà VD, Ricci PA, et al. Colpoperineoplasty in women with a sensation of a wide vagina. Acta Obstat Gynecol Scand 2006;85(9):1125 [PMID: 16929420]. 6. http://www.berkeleywellness.com/self-care/sexual-health/article/what-vaginalrejuvenation 7. Iglesio CB, Yurteri Kaplan L, Alinsod R (2013) Female genital cosmetic surgery: a review of techniques and outcomes. Int Urogynecol J 24(12): 1997-2009. 8. DeLancey JO, Kearney R, Chou Q, et al. The appearance of levator ani muscle abnormalities in magnetic resonance images after vaginal delivery.Obstet Gynecol 2003;101(1):46 9. Gambacciani M, Torelli MG, Martella L, Bracco GL, Casagrande AG, et al. (2015) Rationale and Design for the Vaginal Erbium Laser Academy Study (VELAS): An international multicenter observational study on genitourinary syndrome of menopasue and stress urinary incontinence. Climacteric (18):1 4348 10. Gambacciani M, Levancini < Cervigni M (2015) Vaginal erbium laser: the second generation thermotherapy for the genitourinary syndrome of menopasue. Climacteric 18(5): 757-763.



335



11. Karcher C, Sadick N. Vaginal rejuvenation using energy-based devices. Int J Womens Dermatology. 2016;2:85–88. 12. Basson R, Berman J, Burnett A, et al. Report of the international consensus development conference on female sexual dysfunction: definitions and classifications. J Urol 2000;163(3):888 13. Pauls RN, Segal JL, Silva WA, et al. Sexual function in patients presenting to a urogynecology practice. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 2006;17(6):576. 14. Barber MD, Maher C. Epidemiology and outcome assessment of pelvic organ prolapse. Int Urogynecol J 2013;24(11):1783. 15. Kuhn A, Brunnmayr G, Stadlmayr W, et al. Male and female sexual function after surgical repair of female organ prolapse. J Sex Med 2009;6(5):1324. 16. Shaw D, Lefebvre G, Bouchard C, et al. Female genital cosmetic surgery. J Obstet Gynaecol Can 2013;35(12):1108. 17. Özel B, White T, Urwitz-Lane R, et al. The impact of pelvic organ prolapse on sexual function in women with urinary incontinence. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 2006;17(1):14. 18. Brandner S, Monga A, Mueller MD, et al. Sexual function after rectocele repair. J Sex Med 2011;8(2):583. 19. Salvatore S, Nappi RE, Parma M, et al. Sexual function after fractional microablative CO(2) laser in women with vulvovaginal atrophy. Climateric. 2015;18(2):219–225. 20. Filippini M, Del Duca E, Negosanti F, et al. Fractional CO2 laser: from skin rejuvenation to vulvovaginal reshaping. Photomed Laser Surg. 2017;35(3):171– 175. 21. Sekiguchi Y, Utsugisawa Y, Azekosi Y, et al. Laxity of the vaginal introitus after childbirth: nonsurgical outpatient procedure for vaginal tissue restoration and improved sexual satisfaction using low-energy radiofrequency thermal therapy. J Womens Health. 2013;22(9): 775–781. 22. Ostrzenski A. Vaginal rugation rejuvenation (restoration): a new surgi- cal technique for an acquired sensation of wide/smooth vagina. Gynecol Obstet Invest. 2012;73(1):48–52. 23. Barbara G, Facchin F, Buggio L, Alberico D, Frattaruolo MP, Kustermann A. Rejuvenation : current perspectives. International Journal of Women‘s Health 2017:9 513–519.



336



BODY DYSMORPHIC DISORDER Nalini Muhdi, dr., Sp.KJ(K) Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya Gambaran tubuh perempuan kontemporer yang ideal bergeser dari yang berpinggul dan berpayudara besar, menjadi tubuh yang langsing tapi payudara tetap besar. Apalagi iklan industri kosmetik dan di media menggaris bawahi dengan membuat persepsi tubuh perempuan yang ideal adalah berkulit putih, hidung mancung, wajah mulus dan tubuh tinggi semampai. Sungguh gambaran penampilan fisik ideal yang sulit dicapai. Hal ini, terutama pada perempuan muda, menimbulkan preokupasi terhadap kesempurnaan yang nampak mustahil tersebut. Faktor yang dapat mempengaruhi citra tubuh (Body Image) yang kemudian bisa menjadi Gangguan pada citra tubuhnya, bahkan memicu Gangguan makan (Eating Disorder) dan Depresi. Sesungguhnya prevalensi Body Dysmorphic Disorder (BDD) pada perempuan dan laki-laki sama. Individu dengan BDD mempunyai preokupasi terhadap perasaan adanya defek minor pada satu atau lebih tubuhnya dan berpengaruh pada aspek penampilannya. Umumnya preokupasi pada aspek tubuh mengenai rambut, hidung, dan pada kulit, meskipun tidak menutup bagian tubuh yang lain. Pada perempuan secara umum biasanya preokupasi pada berat badan, pinggul, payudara, kaki, kulit, atau rambut yang tumbuh berlebihan di bagian tubuh selain kepala. Sedang pada laki-laki umumnya preokupasi pada besar alat kelamin, bentuk tubuh berotot (muscularity), dan kebotakan rambut. Hampir semua individu dengan BDD memperlihatkan perilaku kompulsif dimana mereka sering memeriksa, memperbaiki atau menyembunyikan bagian tubuh yang dianggap defect. Misalnya sering bercermin atau justru menghindari cermin, sering berganti pakaian, meraba kulit, dan khusus pada Laki-laki mereka melakukan latihan membesarkan otot secara berlebihan. Sayangnya, individu dengan BDD sering tidak terdiagnosis karena mereka menyembunyikan gejala-gejala BDD yang dirasakan memalukan. Selain itu mereka cenderung berkonsultasi pada Dokter spesialis kulit, Dokter bedah plastik, Dokter gigi, atau Dokter kandungan, dibanding mencari bantuan ke Psikiater. Padahal dengan hanya memperbaiki penampilan yang dirasakan defek, tidak menghilangkan gejala-gejala BDD, bahkan umumnya berkembang lebih frustrasi, memicu depresi yang berakibat lebih berat, serta mempengaruhi kualitas hidup. Saat ini dan kedepan, kolaborasi antar dokter spesialis sangat diharapkan. Kata Kunci: Body Dysmorphic Disorder, Body Image, Kualitas hidup



337



JKN ERA INCREASE OF CESAREAN SECTION RATE IN UHC ERA; PROFESSIONAL VS UHC PERSPECTIVE



338



INCREASE OF CESAREAN SECTION RATE IN UHC ERA PROFESSIONAL VS UHC PERSPECTIVE Tauhid Islamy, dr., Sp.OG Dept. Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. Soedono Madiun ABSTRAK Importance : World Health Organization ( WHO ) merekomendasikan Cesarean Section Rate tidak boleh lebih dari 10 -15 per 100 kelahiran hidup Tujuan : review peningkatan SC rate di Indonesia Metode : telaah pustaka Pembahasan : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ) Kesehatan selaku operator tunggal Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN ) secara berkesinambungan terus menerus melakukan pemantauan klaim yang diajukan oleh Rumah Sakit ( RS ) terutama yang menunjukkan trend high volume, high cost, mengalami lonjakan drastis dan berpotensi kecurangan. Berdasarkan data BPJS Kesehatan pada tahun 2017, sebanyak 57% proses persalinan di RS dilakukan dengan operasi Caesar. Akibatnya BPJS harus mengeluarkan dana hingga Rp 4,1 triliun. Angka tersebut meningkat drastis dibandingkan tahun 2016, yang hanya 39% dengan nilai klaim sebesar Rp 2,8 triliun sehingga ada kenaikan sebesar Rp 1,3 triliun. Bila mundur ke belakang pada tahun 2015, sebesar Rp 2,3 triliun. Mundur lagi ke belakang pada tahun 2014, sebesar Rp 1,6 triliun. Dengan jumlah kepesertaan JKN pada tahun 2018 mencapai 196,66 juta jiwa setara dengan 74% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 265 juta jiwa apakah lonjakan angka persalinan Caesar sebesar 57% dapat serta merta ditarik kepada angka SC rate populasi ? Bagaimana POGI selaku organisasi profesi menjawab permasalahan ini ? Masalah : Untuk memberikan analisis professional terhadap data data kenaikan biaya klaim yang diajukan oleh BPJS, maka tentunya dibutuhkan data banding berbasis populasi, tidak hanya dalam cakupan satu negara tapi juga perlu angka angka dari negara lain, dalam satu kawasan atau barangkali data global pun diperlukan. Sayangnya bahkan studi terbaru yang dikerjakan oleh The Lancet memakai data dari WHO dan dari the United Nations Children's Fund hanya berhenti sampai dengan data 169 negara antara tahun 2000 – 2015 karena hanya sedikit negara yang terus mencatat SC rate nya di atas tahun 2015. Ditengah ketiadaan data populasi sebagai pembanding, profesi juga dihadapkan pada definisi antara Necessary dan Unnecessary Caesarean Section serta dampaknya terhadap upaya penurunan Angka Kematian Ibu/Angka Kematian Bayi ( AKI/AKB ). Solusi : dibutuhkan instrument untuk mengukur apakah SC rate berbasis populasi dalam sebuah negara masih underuse ataukah sudah appropriate ataukah malah mengalami overuse. Kata kunci : SC rate, Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, JKN



339



PLENARY 5: FETOMATERNAL MEDICINE ASSEMBLAGE



340



ETIOPATOGENESIS DAN PENANGANAN KEHAMILAN GANDA Dr. Aditiawarman, dr., Sp.OG(K) Divisi Kedokteran Fetomaternal – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya PENDAHULUAN Kehamilan ganda merupakan salah satu masalah dalam bidang obstetric ginekologi. Masalah yang mungkin terjadi adalah Pertumbuhan janin yang tak optimal, TAPS atau TTTS. Kejadian prematuritas meningkat. Kejadian IUGR=14– 25% ; 25% perlu NICU. Kejadian Cerebral palsy: 4x (gemelli), 17x (triplet). Kejadian IUFD: 4x. Ibu dengan kehamilan ganda mempunyai risiko preeklamsia. Morbiditas pada ibu dan bayi sampai mortalitas. EPIDEMIOLOGI Kejadian kehamilan ganda bervariasi ( 6.7 per 1000 kelahiran di Jepang sampai 40 per 1,000 kelahiran di Nigeria ). Terbanyak adalah 35% berjenis Diamniotic monohorionic. Monoamniotic Monochorionic hanya sebesar 2% tetapi merupakan penyumbang kematian janin terbesar yaitu 44%. Jenis lainnya adalah Diamnitic dichorionic sebesar 35% dan diamniotic dichorionic sebesar 27%. PATOGENESIS Bila 2 zigot terjadi dari fertilisasi 2 oocyt yang berbeda akan terjadi kehamilan ganda. Pada kehamilan ini akan tumbuh pada 2 amnion dan mempunyai 2 chorion. Hal ini bisa terjadi bersamaan dan satu siklus fertilasasi. Dalam tulisan yang dikutip William obstetric, terjadi kehamilan ganda pada seorang wanita dengan sperma dari individu berbeda, satu bayi berkulit putih, lainnya berkulit hitam. Terjadinya pembelahan zigot yang akan menjadi beberapa jenis kehamilan ganda menurut waktu pemisahannya. Bila terjadi pembelahan pada zigot hari ke empat atau sebelumnya akan menjadi kehamilan ganda 2 amnion 2 chorion. Bila antara 4-8 hari, akan terjadi Monochorionic diamniotic. Bila antara 8-13 akan menjadi monoamniotic monochorionic. Bila > 13 hari akan terjadi conjoined twin. PEMERIKSAAN Pemeriksaan pada ibu dengan kehamilan ganda dimulai dengan anamnesa. Pada beberapa kasus, reaksi emesis lebih parah dari kehamilan tunggal. Mengidentifikasi factor yang berisiko kehamilan ganda merupakan hal penting. Saat ini sering didapat suatu kehamilan ganda dari IVF. Ultrasound pada kembar (evidence based) 1. Menentukan chorionicity (II-3 C) 341



2. 91% monochorionic dan 96% dichorionic dapat ditentukan saat10-14 weeks. (II-3 C) 3. Hampir 100% chorionicity dapat dipastikan bila dikerjakan sebelum 14 minggu , DIAGNOSIS Diagnosis terbaik dilakukan bila dilakukan USG pada trimester pertama ( 14 minggu) karena tingkat akurasi mencapai 96-100% ( Ref). Pada kehamilan ganda, pemeriksaan fisik biasa mungkin mempunyai akurasi yang kurang. Pada trimester pertama saat dilakukan USG, merupakan waktu untuk menentukan kehamilan ganda dengan tingkat akurasi tinggi. Pada trimester 1 pemeriksa dapat menentukan chorionicity dengan lebih baik. Saat pemeriksaan USG trimester satu, pemeriksaan USG sebaiknya melaporkan jumlah kantong gestasi, embrio, lokasi plasenta, tipe pemisahan membran amnion, jumlah volume ketuban, Yolk Sac dan detak Jantung janin. Pemeriksaan USG trimester pertama pada kehamilan multiple meliputi: Jumlah kantong gestasi dan embrio, Lokasi plasenta, Tipe pemisahan membran amnion dan chorionicity dengan mencari gambaran Y sign pada dichorionic dan T sign pada monochorionic, Jumlah volume ketuban, Yolk Sac , Detak Jantung janin. Pada pemeriksaan lanjut kehamilan multiple harus diperoleh data: Laju pertumbuhan yang tidak normal, Anastomosis vaskular yang abnormal, Perbedaan jumlah volume cairan ketuban, Malformasi janin, Tali pusat yang saling melilit PENANGANAN Kehamilan ganda merupakan merupakan suatu kehamilan patologis. Hal yang harus diperhatikan adalah risiko komplikasi dari kahamilan ganda. Masalah gangguan pertumbuhan janin (Fetal discordance ) Pemantauan pertumbuhan janin merupakan hal pertama yang harus dikerjakan pada kehamilan multiple. Pada kehamilan kembar terjadi pertumbuhan janin yang sedikit berbeda sehingga diperlukan grafik pertumbuhan yang berbeda. Faktor ras dan jenis kelamin ternyata juga berbeda pada pertumbuhan janin sehingga diperlukan grafik yang berbeda. Dilaporkan adanya perbedaan yang signifikan berbeda pada kehamilan gemelli dan triplet (t = 15.4, P < 0.0001, t = 21.7, P < 0.0001 dan t = 19.9, P < 0.0001) dibanding janin tunggal (Papageorghiou, 2008, Ultrasound Obstet Gynecol). Masalah anastomosis vaskular Monochorionic (MC) merupakan 20% kehamilan multiple dengan risiko risiko kematian setelah 24 minggu pada MC sebesar 12% dan DC 2%. Pada kehamilan Monochorionic , terdapat 1 plasenta untuk 2 janin sehingga 95% - 96% 342



dari MC terjadi anastomosis vaskular antara janin pertama dan kedua. Kondisi ―Unbalanced inter-twin blood transfusion‖ merupakan komplikasi khas pada MC twins yang menyebakan : 1.The twin anemia polycythemia sequence (TAPS) ; 2. Twin-to-twin transfusion syndrome (TTTS); 3. The twin reversed arterial perfusion syndrome (TRAP) ; 4. Monoamniotic twinning. Masalah kelainan Struktur /anatomi Kelainan anatomi secara umum terjadi pada 8.9% % kasus MC dan 6.1% kasus DC. Kelainan tersering adalah Cardiovascular (MC 2.1%, DC 1.5%) dan CNS (MC 1.0%, DC 1.4%). Prosedur penanganan gangguan vaskular pada kehamilan multiple. Pada TTTS quitero 2-4 dapat dilakukan tindakan 1. Amnoreduction. 2. Septotomi 3. Laser coagulation. 4. Amnioreduksi Pada kondisi TTS yang parah, terapi konservative menyebabkan janin dalam risiko kematian janin ( 73-100%). Karena tingginya kematian janin, seringkali dilakukan tindakan agresive, walaupun masih dikerjakan dengan berbagai macam cara. Beberapa tindakan terlihat sebagai tindakan suportive / simptomatis saja, tanpa memutus mata rantai penyebab. Bermacam tindakan medis, seperti pemberian digoxin untuk mengatasi gagal jantung, pemberian Indomethasin untuk mengurangi Polihidramnion, membiarkan darah janin keluar untuk mengatasi hipervolemia merupakan tindakan suportif yang diragukan keberhasilannya.



Amnioreduction (AR) atau amnioreduksi Merupakan cara pertama yang di temukan dan sudah dikerjakan sejak lama untuk membantu TTTS. Tindakan ini akan memperbaiki kondisi ibu sehingga lebih nyaman karena volume amnion akibat polihidramnion akan berkurang. Ternyata tindakan ini masih menjadi tindakan tersering dilakukan pada TTTS. Pada kasus TTTS dapat dilakukan Serial amnioreduction dengan tujuan mengurangi tekanan intra uteri, mencegah regangan uterus berlebihan dan mencegah prematuritas Tindakan amnio reduksi seringkali harus diulangi karena cairan amnion akan kembali banyak. Kelebihan dari tindakan amnioreduksi adalah dapat dilakukan secara luas karena tidak memerlukan peralatan canggih. Walaupun amnioreduction dapat dilakukan serial , tetapi berdasarkan ―randomized studies and literature research‖ , penggunaan ―laser therapy‖ lebih baik dibandingkan ―Serial amnioreduction‖ Baik Amnioreduksi dan Laser Therapi dilaporkan memperbaiki luaran janin. Secara umum, perinatal survival rate dengan amnioreduksi serial adalah 47 - 80%.



343



Septostomy Tindakan lain yang dapat dilakukan pada TTTS adalah septomomy, yakni tindakan dengan memberi lubang pada selaput amnion sebingga amnion janin pertama dan kedua saling berhuungan. Dengan adanya lubang tersebut, volume cairan amnion pada kantong janin donor menjadi seimbang dengan janin resipient



Cord Ligation Ligasi dapat dilakukan dengan bipolar diathermia. Tindakan ini merupakan tindakan feticide



Laser Photocoagualation Fetoscopic laser coagulation ditemukan pertama oleh De Lia tahun 1990. Tujuan tindakan adalah melakukan ―koagulasi‖ jaringan vaskular yang beranatomosis melalui tindakan coagulasi laser pada daerah kutub2 ―chorionic plate‖ Saat dilakukan laser photocoagulation, sekaligus dilakukan tindakan amnioreduksi (sedikitnya sekali pada janin resipien) guna mengurangi polihidramnion (tindakan causa dan simptomatis). ―Perinatal survival rates‖ untuk fetoscopic laser coagulation berkisar 48 - 71%. Tehnik terkini/advancepada laser photocoagulation adalah selective photocoagulation yakni suatu tindakan koagulasi hanya pada pembuluh yang terlibat anastomosis saja DAFTAR PUSTAKA 1. TYT Tan and W. Sepulveda. 2003. Acardiac twin: a systematic review of minimally invasive. . Obstet Gynecol . 22: 409–419. DOI: 10.1002/uog.224. 2. Weingertner AS, Kohler A. Kohler M, Bouffer N, Hunsinger MC, Mager C. Hornecker F. Neumann M, Scmerber E. Tanghe M. Viville B. and Favre R.2010. Clinical and placental characteristics in four new cases of twin anemia– polycythemia sequence. Ultrasound Obstet Gynecol .35: 490–494. DOI: 10.1002/uog.7508. 3. Bhide A. , Sankaran S , Sairam S , Papageorghiou AT and Thilaganathan B . 2009. Relationship of intertwin crown–rump length discrepancy to chorionicity, fetal demise and birth-weight discordance. Ultrasound Obstet Gynecol; 34: 131–135. DOI: 10.1002/uog.6396. 4. Quintero AR MD. 20017. Twin–Twin Tranfusion Syndrome. Informa Healthcare.UK.



344



PLENARY 7: UROGYNAECOLOGY REPRODUCTION ASSEMBLAGE



345



VAGINAL REJUVENATION SEBAGAI SALAH SATU KONTROVERSI GINEKOLOGI ESTETIKA Prof. Dr. dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K) MPH Divisi Uroginekologi-Rekonstruksi Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta ABSTRAK Tujuan: Memberikan informasi mengenai vaginal rejuvenation sebagai salah satu kontroversi ginekologi estetika. Metode: Pembahasan permasalahan vaginal rejuvenation menjadi kontroversi ginekologi estetika Hasil : Terdapat berbagai kontroversi dalam permasalahan ginekologi estetika dalam praktik sehari-hari Simpulan : Vaginal rejuvenation masih menjadi permasalahan ginekologi estetika yang kontroversi di berbagai kalangan Kata Kunci: Vaginal, rejuvenation, kontroversi PENDAHULUAN Ginekologi estetika adalah salah satu cabang subspesialisasi uroginekologi dan termasuk spesialis pada bidang ginekologi, urologi, dan bedah plastik. Hal ini berkaitan dengan tindakan kosmetik untuk meningkatkan penampakan estetika pada area vulvo atau vagina, serta perbaikan fungsional vagina dalam upaya untuk memperbaiki reproduksi seksual yang dapat terjadi setelah melahirkan ataupun penuaan.1,2 Uroginekologi reproduksi adalah bidang yang berkaitan dengan perubahan anatomi dasar panggul perempuan sebagai akibat proses persalinan, penuaan, dan faktor lainnya. Selain itu juga dapat terjadi perubahan fungsi organ seksual dan ginekologi estetika. Proses persalinan, penuaan, dan faktor genetik seringkali menyebabkan gangguan fungsi vagina. Selama proses persalinan saat bayi keluar melalui jalan lahir, otot, fasia dan ligamen dapat mengalami robekan dan menjadi lemah dan longgar. Otot perineum dan dasar panggul yang turut menyokong vagina juga dapat mengalami hal yang sama. Namun ternyata lemahnya otot vagina dan panggul juga dapat dialami wanita yang belum melahirkan, penyebabnya bisa karena lemahnya jaringan penyokong otot (genetik), batuk lama, dan peningkatan tekanan rongga perut seperti mengangkat berat, atau kegemukan.3,4



346



DISKUSI Salah satu yang akan kita bahas adalah vaginal rejuvenation atau peremajaan miss V. Peremajaan genitalia eksterna merupakan tindakan bedah yang dilakukan pada kulit serta kosmetik dan plastik ahli bedah (plastik-kosmetik) sudah semakin banyak yang melakukannya saat ini. Keterlibatan ahli bedah plastik-kosmetik yang makin berkembang ini pada ginekologi estetika telah menciptakan kontroversi tentang apakah mereka memenuhi syarat untuk melakukan operasi pada organ genitalia eksternal perempuan.1-4 Di antara berbagai prosedur yang dicakup oleh subspesialisasi ini, dan yang paling kontroversial adalah operasi vaginal rejuvenation sebagai salah satu bagian yang diminati oleh masyarakat. Masalah ini dapat menyebabkan permasalahan dalam kepercayaan diri, kenikmatan dalam berhubungan intim dan kehidupan seksual rumah tangga. Manfaat dari vaginal rejuvenation itu sendiri secara umum antara lain meningkatkan tonus dan kekuatan otot vagina secara efektif, mengecilkan diameter vagina dan memperkuat bagian perineum, untuk operasi ginekologik yang digunakan untuk mengatasi stress urinary incontinence (sulit mengontrol kencing bila tekanan dalam perut meningkat seperti saat bersin, tertawa, batuk atau berolahraga). Pardo et al menggunakan kolporafi untuk mengatasi vagina yang abnormal secara subyektif pada wanita dengan ketidakpuasan seksual sekunder dan gangguan / ketidakmampuan untuk mencapai orgasme. Dalam hampir semua kasus, ahli bedah juga melakukan perineoplasty. Pada akhir prosedur, diameter vagina berkurang hingga hanya dua jari yang bisa dimasukkan setidaknya dua pertiga bagian bawah vagina. Penulis melaporkan bahwa 6 bulan pasca operasi, 66% wanita mengalami peningkatan besar dalam kehidupan seksual, 24% peningkatan yang signifikan, sedangkan hanya 10% sedikit atau tidak ada perbaikan sama sekali. Fungsi seksual tidak dievaluasi dengan kuesioner seksual yang divalidasi. Secara signifikan, sebelum operasi, sebagian besar wanita menyatakan bahwa, selain keinginan mereka akan vagina yang lebih ketat, mereka ingin pasangan mereka merasakan vagina yang lebih ketat juga. Penulis melaporkan tidak ada komplikasi intraoperatif yang signifikan dan hanya dua komplikasi minor pasca operasi (yaitu, dehiscence luka bedah).5 Salah satu teknik menggunakan laser CO fraksional pada wanita dilaporkan mempunyai gejala atrofi vulvovaginal (kekeringan, gatal, terbakar, nyeri saat berhubungan, ketidaknyamanan saat berkemih) baru-baru ini dievaluasi oleh Filippini et al pada 386 wanita pascamenopause. Pada menopause, karena kurangnya hormon estrogen pada mukosa genital, peremajaan vagina sering mengakibatkan pemulihan jaringan ikat dinding vagina yang kurang baik. Selain dari itu ada juga efek samping dan risiko yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi, cedera kandung kemih, adanya jaringan parut, rasa sakit saat berhubungan intim.6



347



Permasalahan ini dapat diatasi dengan melakukan peremajaan vagina (vaginal rejuvenation) yang juga dikenal sebagai vaginoplasty. Vaginoplasty adalah tindakan pembedahan atau operasi yang bertujuan untuk memperbaiki stuktur anatomi vagina. Vaginoplasty merupakan salah satu bagian dari operasi rekonstruksi dasar panggul. Tindakan operatif yang dikerjakan untuk merekonstruksi vagina dan dasar panggul bertujuan untuk menghilangkan keluhan, mengembalikan fungsi, restorasi anatomi, estetika. Pemahaman vaginoplasty secara umum sering dikelirukan dengan operasi komestik vagina. Operasi kosmetik vagina lebih banyak berhubungan dengan estetika dan fungsi seksual pada wanita. Tindakan ini lebih mudah diakses di media popular dibandingkan media berbasis ilmiah. Kemungkinan karena mulai terbukanya wanita terhadap masalahmasalah yang sebelumnya dianggap tabu. Keluhan yang dirasakan oleh wanita yang berhubungan dengan fungsi vagina dan yang berhubungan dengan fungsi penyangga dasar panggul umumnya tidak mengancam nyawa.7,8,9 Vaginoplasty bahkan sangat dianjurkan pada wanita yang mengalami ―penurunan‖ organ perut seperti kandung kemih (sistokel), saluran uretra (uretrokel), rektum (rektokel) atau usus (enterokel). Juga pada keluhan inkontinensia dimana penderita tidak dapat menahan keluarnya air seni atau feses yang keluar secara spontan. Operasi kosmetik genital perempuan juga mencakup prosedur estetika untuk meningkatkan penampilan kosmetik wilayah vulva/vagina eksternal. Tindakan ini termasuk labiaplasti, perbaikan introital vagina terhadap kosmetik serta lipodistrofi di wilayah mons pubis.9,10,11 Operasi vaginoplasty untuk tujuan estetika ini sering dihubungkan dengan bedah kosmetik vagina. Prosedur vaginoplasty dengan tujuan untuk kosmetik tidak selalu berhubungan dengan perbaikan fungsi dan menghilangkan keluhan. Beberapa operasi vaginoplasty yang sudah banyak dikerjakan untuk bedah komestik vagina ini adalah labiaplasti, perineoplasti, dan rekonstruksi mons pubis. Operasi hymenoplasti yang di beberapa negara menjadi kontroversi, tidak bisa dijelaskan fungsinya. Apakah untuk menghilangkan keluhan, mengembalikan fungsi, restorasi anatomi atau sebagai estetika saja.12-14 KESIMPULAN Dengan perkembangan zaman dan keinginan masing-masing individu maka ginekologi estetika menjadi salah satu hal yang kontroversi dan menjadi perdebatan berbagai pihak. Salah satunya adalah mengenai hal apakah diperbolehkannya vaginal rejuvenation atau peremajaan miss V. Namun dengan berbagai polemik yang ada kita harus dapat memilah agar ginekologi estetika masih berada di jalur yang tepat sesuai dengan tujuan awalnya. Perlu diketahui bahwa dengan fisik yang normal tidak menjamin terhadap kepuasan seksual karena hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kultur, relasi dan fisiologis. Banyak yang beranggapan bahwa kekurangan kepuasan seksual yang didapatkan akibat dari bentuk fisik yang tidak sempurna, oleh karena itu diperlukan 348



konseling oleh psikolog dan seksologi. Hal ini diperlukan agar dapat menyingkirkan kelainan kejiwaaan yang mungkin ada, selain itu juga membantu seseorang menemukan permasalahan disfungsi seksual. DAFTAR PUSTAKA 1. Magon N, Alinsod R. Female Cosmetic Genital Surgery : Delivering What Women Want. J Obstet Gynaecol India. 2017 Feb; 67(1): 15–19. 2. Aylin Güne , Red M. Alinsod. A mini-review of aesthetic gynecology and leading gynecology associations approaches to this issue. Turk J Obstet Gynecol. 2018;15:105-11. 
 3. Schick VR, Rima BN, Calabrese SK. Evulvalution: the portrayal of women‘s external genitalia and physique across time and the current Barbie doll ideals. J Sex Res. 2010;48(1):74–8. 4. Lowenstein L, Salonia A, Shechter A, Porst H, Burri A, Reisman Y. Physicians‘ attitude toward female genital plastic surgery: a multinational survey. J Sex Med. 2014;11(1):33–39. 5. Pardo JS, Sola VD, Ricci PA, Guiloff EF, Freundlich OK. Colpoperi- neoplasty in women with a sensation of a wide vagina. Acta Obstet Gynecol Scand. 2006;85(9):1125–7. 6. Filippini M, Del Duca E, Negosanti F, et al. Fractional CO2 laser: from skin rejuvenation to vulvo-vaginal reshaping. Photomed Laser Surg. 2017;35(3):171–5.
 7. The Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists RANZCOG College Statement: C-Gyn 24. Vaginal ―Rejuvenation‖ and Cosmetic Vaginal Procedures. 2008. 8. Giussy B, Federica F, Laura B, Daniela A, Maria PF, Alessandra K. Vaginal rejuvenation: current perspectives. Int J Womens Health. 2017;9:513–19. 9. Committee on Gynecologic Practice. American College of Obstetricians and Gynecologists ACOG Committee Opinion No.378: vaginal ―rejuvenation‖ and cosmetic vaginal procedures. Obstet Gynecol. 2007;110(3):737–38. 10. Royal College of Obstetricians and Gynaecologist . Ethical considerations in relation to female genital cosmetic surgery. RCOG Ethics Committee. 2013. 11. Aylin Güne , Red M. Alinsod. A mini-review of aesthetic gynecology and leading gynecology association‘s approaches to this issue. Turk J Obstet Gynecol. 2018 Jun; 15(2): 105–11. 12. 12.Goel, G., Gill, R. Hymenectomy, Labial Fusion Release, Introital Widening, Schuchartdt‘s Incision. In: State-of- the-Art Vaginal Surgery. 2nd Edition. Jaypee Brothers Medical Publishers, 2016.



349



13. 13.Antoniou, A., Yassin, A. Vaginal Rejuvenation and the regulation of New Technologies: Controls are still Lacking. Europian Medical Journal, 2017;2(2):12-14. 14. 14.Barbarra, G., Facchin, F., Buggio, L. Vaginal Rejuvenation: current perspectives. International of Womens Health. 2017:9 513–19.



350



PLENARY 8: NATIONAL HEALTH INSURANCE



351



KEPEMIMPINAN KLINIS: MEMBUKA NILAI MANFAAT DISRUPSI SISTEM KESEHATAN INDONESIA PEMBELAJARAN DARI RUMAH SAKIT PELNI Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, SpBKTV(K), MPH ABSTRAK Sistem kesehatan di Indonesia menghadapi dua disrupsi besar, yaitu sistem jaminan kesehatan yang mendorong pada digitalisasi layanan kesehatan dan revolusi industri 4.0 membawa perubahan mendasar pada cara kerja klinisi. Diperlukan kepemimpinan klinis berbeda dari sebelumnya, untuk membuka nilai manfaat kondisi ini secara maksimal bagi pasien sebagai pelanggan akhir maupun bagi para klinisi sendiri. Tujuan pembahasan ini adalah memberikan cara pandang berbeda bagi klinis dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan klinis di rumah sakit. Pengalaman mempraktikkan lean management di RS Pelni yang kami sebut dengan Budaya Ringkas, membuktikan teori dari berbagai literature. Bahwa kualitas asuhan klinis terbaik hanya dapat dihasilkan dari proses yang baik. Bukan pada fasilitas atau alat yang paling canggih. Sehingga fokus perbaikan berkelanjutan di RS Pelni yang dilakukan oleh semua pegawai, termasuk para dokter dan dokter spesialis adalah untuk memperbaiki proses. Penerapan standar akreditasi rumah sakit, menjalankan regulasi formularium nasional, serta penghitungan kinerja klinis semua mengacu pada proses. Digitalisasi yang dilakukan di RS Pelni, merupakan salah satu hasil inovasi untuk meningkatkan nilai manfaat dalam proses asuhan. Pencatatan rekam medis elektronik yang sudah banyak menggunakan automatisasi dan error proofing, ditujukan agar para klinisi memiliki lebih banyak waktu untuk menjalankan asuhan medis. Pengembangan terus menerus sistem informasi rumah sakit memanfaatkan chat bot, artificial intelligence, mobile technology dan lainnya bertujuan untuk menciptakan model baru. Yaitu model baru interaksi yang menyembuhkan antara pemberi asuhan dengan pasien. Dalam 5 tahun terakhir, RS Pelni bersama para klinisinya mengarungi gelombang demi gelombang turbulensi perubahan regulasi terkait JKN dan tantangan lainnya. Tahap transisi kearah digitaliasi berlangsung cukup lancar. Hal ini dapat terlaksana utamanya dikarenakan pemahaman tentang proses yang ditanamkan kepada seluruh pegawai. Kepemimpinan klinis di era disrupsi ini harus memiliki wawasan luas, tidak hanya terkait regulasi JKN, standardisasi profesi masing-masing, dan perannya dalam sebuah organisasi fasilitas kesehatan. Penting sekali para klinis memiliki pemahaman tentang proses. 352



Proses asuhan medis yang klinisi berikan, bukan berdiri sendiri. Semuanya saling terkait dengan ribuan proses dan sub proses lainnya di rumah sakit. Pengukuran kinerja yang kini masih fokus pada output, pun akan bergeser kepada outcome. Sehingga cara berpikir tentang value based care juga perlu dimiliki oleh para klinisi sebagai pemimpin klinis di profesinya masing-masing. Hasil yang diperoleh RS Pelni dalam 5 tahun terakhir; kinerja keuangan relatif stabil, pemenuhan indikator kualitas layanan sesuai standar akreditasi rumah sakit, pemberian remunerasi dokter spesialis tepat waktu secara konsisten (keterlambatan diluar hari libur 10%



Stadium 4 Sakit berat (AIDS) Sindroma wasting HIV



Tidak ada gejala atau hanya Limfadenopati generalisata persisten



Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)



Kandidiasis oral atau vaginal



Kandidiasis esophageal



Oral hairy leukoplakia



Herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan



Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo) Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir



Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari satu bulan



Limfoma Sarkoma Kaposi Kanker invasive



serviks



Retinitis cytomegalovirus



416



Stadium 1 Asimptomatik



Stadium 2 Sakit ringan ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis



Stadium 3 Sakit sedang Infeksi bacterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)



Stadium 4 Sakit berat (AIDS) Pneumonia pnemosistis



Ulkus berulang



TB paru dalam satu tahun terakhir



Abses otak toksoplasmosis



mulut



TB limfadenopati



TB ekstra-paru



Meningitis kriptokokus Encefalopati HIV



Gingivitis/ periodontitis ulseratif nekrotika akut



Gangguan fungsi neurologis dan tidak oleh penyebab lain, sering kali membaik dengan ART



PENGGUNAAN KONTRASEPSI UNTUK PERENCANAAN KEHAMILAN Perencanaan kehamilan untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan merupakan cara utama untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi (PMTCT). Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya, namun pada perempuan dengan HIV perencanaan kehamilan harus dilakukan dengan lebih hatihati dan matang karena adanya risiko penularan HIV kepada bayinya. Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap perempuan dengan HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan kontrasepsi berdasarkan urutan prioritas untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut. 1. Kontrasepsi mantap atau sterilisasi Dengan adanya risiko penularan HIV ke bayi, bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang cukup, dipertimbangkan kontrasepsi mantap. 2. Kontrasepsi jangka panjang a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Metoda ini disarankan bila risiko IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya pemasangan dilakukan segera setelah plasenta lahir, walaupun tidak tertutup kemungkinan dipasang pada fase interval. Syarat-syarat pemasangan AKDR mengikuti standar yang berlaku. Perlu perhatian khusus bila ada keluhan efek samping, seperti nyeri dan perdarahan. 417



b. Hormonal i. Pil KB kombinasi. Aman dan efektif untuk perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV dan obat lain yang dapat meningkatkan enzim hati. ARV dapat menurunkan efektivitas pil KB kombinasi. Obat-obatan yang menginduksi enzim dapat menurunkan efikasi pil KB kombinasi. ARV dapat mempercepat metabolism hepar dan dapat menurunkan kadar hormon estrogen sehingga akan mengurangi efektivitasnya. Penggunaan ARV efavirens diketahui dapat menurunkan efektivitas pil KB kombinasi. Karena semua kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati, demikian juga ARV, penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati. ii. Pil progesterone. Direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil progesteron. iii. Suntik progesteron jangka panjang. DMPA dapat digunakan bagi perempuan dengan HIV yang diberi ARV tanpa kehilangan efektivitas kontrasepsi. Metabolisme DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan tetap dapat diberikan dengan interval 12 minggu. iv. Implan progesterone. Implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang amat efektif dan aman pada perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV. 3. Metode Barier i. Kondom laki-laki Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan penularan IMS, termasuk HIV dan AIDS, bila digunakan secara disiplin, terus-menerus dan benar. Karena itu kondom harus digunakan oleh semua pasangan, baik yang hanya satu maupun yang keduanya HIV positif. Kondom tidak melindungi infeksi yang berasal dari ulkus/lesi pada selangkangan yang tidak tertutup olehnya.Kondom memberikan proteksi tinggi terhadap transmisi seksual HIV jika digunakan secara konsisten. Sebagian besar penularan HIV terjadi karena kondom tidak digunakan sama sekali pada saat berhubungan seksual. Kegagalan penggunaan kondom sekitar 12%. Walaupun telah menggunakan kondom, perempuan dengan HIV dianjurkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lain untuk pencegahan kehamilan (perlindungan ganda).



418



ii. Kondom Wanita Kondom wanita merupakan lapisan polyurethane dengan 2 cincin fleksible pada masing-masing ujungnya; salah satu cincin diletakkan pada dinding vagina atas, dan cincin lainnya pada introitus vagina. Kegagalan kontrasepsi diperkirakan sekitar 5-21% dalam 12 bulan. 4. Kontrasepsi Darurat Kontrasepsi darurat yang direkomendasikan adalah levonorgestrel (LNG) 750 mg sebanyak 2 tablet sekali minum. Waktu yang paling efektif bila diminum dalam 24 jam pertama setelah hubungan seksual yang tidak menggunakan pengaman. Untuk wanita yang positif HIV dengan penyakit yang lebih serius, perdarahan per vaginam berat atau siklus menstruasi yang tidak teratur direkomendasikan penggunaan IUD LNG-IUS (Mirena) dan injeksi DMPA, karena keduanya mampu mengurangi perdarahan pervaginam dan tidak memerlukan dosis harian PERENCANAAN KEHAMILAN Bila perempuan dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya anak, maka kehamilan perlu direncanakan dengan matang. Persyaratan mencakup aspek medis dan aspek sosial sebagai berikut. Aspek medis meliputi hal-hal sebagai berikut. i. Viral load tidak terdeteksi. Bila viral load sudah tidak terdeteksi, maka kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi rendah. ii. Kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm. Kadar CD4 yang tinggi merupakan tanda bahwa kekebalan tubuh ibu cukup baik dan layak untuk hamil. Dengan kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm maka ibu akan rentan terhadap infeksi sekunder yang akan membahayakan ibu dan dan janin di masa kehamilannya. Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini. i. Perencanaan kehamilan oleh pasangan. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan,persalinan dan aspek pengasuhan anak. ii. Kesepakatan/persetujuan dari keluarga. Untuk menghindari penelantaran pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang tuanya.



419



Persiapan perempuan dengan HIV yang ingin hamil seperti berikut. i. Pemeriksaan kadar CD4 dan viral load, untuk mengetahui apakah sudah layak untuk hamil. ii. Bila VL tidak terdeteksi atau kadar CD4 lebih dari 350 sel/mm3, sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan, terutama pada masa subur. iii. Bila kadar CD4 masih kurang dari 350 sel/mm3, minum ARV secara teratur dan disiplin minimal selama enam bulan dan tetap menggunakan kondom selama sanggama. Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV yang ingin hamil: i. Bila dipastikan serologis HIV non-reaktif (negatif), maka kapan pun boleh sanggama tanpa kondom, setelah pihak perempuan dipastikan layak untuk hamil. ii. Apabila serologis reaktif (positif), perlu dilakukan pemeriksaan viral load, untuk mengetahui risiko penularan. iii. Apabila VL tidak terdeteksi sanggama tanpa kontrasepsi dapat dilakukan pada masa subur pasangan. iv. Apabila VL masih terdeteksi atau kadar CD4 kurang dari 350 sel/mm, maka sebaiknya rencana kehamilan ditunda dulu. KESIMPULAN Perencanaan kehamilan untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan merupakan cara utama untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi (PMTCT). Penggunaan kontrasepsi harus segera dibicarakan dengan setiap perempuan dengan HIV setelah diagnosisnya ditegakkan. Pilihan kontrasepsi yang direkomendasi untuk wanita dengan HIV adalah dual protection yaitu penggunaan kondom secara konsisten dan benar diikuti dengan penggunaan kontrasepsi efektif seperti IUD LNG-IUS dan injeksi DMPA. Perencanaan kehamilan pada wanita dengan HIV benar-benar harus dipersiapkan dengan cermat dan memerlukan evaluasi dari tenaga kesehatan dan konseling terhadap wanita dengan HIV dan pasangannya. DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Pedoman



pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2014. 2. The INFO Project. Focus On Integrating Family Planning and HIV/AIDS Services. Available at www.infoforhealth.org. July 2006. 3. Mitchell H.S., Stephens E. Contraception Choice for HIV Positive Women. Sex Transmission Infection 2004;80:167–173. 4. WHO. Medical Eligibility Criteria for Contraceptive Use 5th ed. World Health Organization. 2015 420



AWARENESS ON SEXUAL AND REPRODUCTIVE HEALTH RIGHTS AND RELATION TO HIV INFECTION CONTROL Prof. dr. Ova Emilia MMedEd, SpOG(K), PhD FK-KMK Universitas Gadjah Mada The term sexual and reproductive health rights (SRHR) was defined nearly 25 years ago at the Cairo International Conference on Population and Development. SRHR is an umbrella for various issues that affect men and women alike. It represents four separate areas: sexual health, sexual rights, reproductive health, and reproductive rights. Sexual health is physical, mental, and social wellbeing in terms of sexuality. This means safety from sexual illnesses and violence. Sexual rights are the ability to decide on your own about sexuality. This means expressing your sexuality by making your own decisions about partners, privacy, and pleasure. Reproductive health ensures a healthy reproductive system and healthy pregnancies through access to healthcare, medication, and education. Reproductive rights include the right to decide if and when to have children. As a framework, SRHR is very important because it links health issues related with sex and reproduction and delineates the vital health services peoples need to protect their health including family planning, care during pregnancy and childbirth, prevention and treatment of HIV and other sexually transmitted infections. Related to the HIV infection control, the connection between SRHR and HIV infection control is undeniable: the majority of infections are sexually transmitted. Biologically women are more vulnerable to HIV infection during heterosexual sex than men, and they often have less power to refuse sex or negotiate condom use. Poverty, gender inequality and social marginalization are factors that contribute to both HIV infection andd poor reproductive health. The offer of HIV services in an integrated manner has numerous advantages, including reaching a larger number of women in an environment women familiar and comfortable with, offering a wider range of services in an efficient way, contributing to destigmatizing HIV, increasing access to family planning services and counseling for HIV positive women who want to have children, and raising awareness about HIV among women who are unaware of their risk. The followings show how awareness on sexual and reproductive health rights relates to HIV infection control.  HIV is predominantly sexually transmitted or associated with pregnancy, childbirth and breastfeeding.  HIV is the leading cause of death in women of reproductive age and the second leading cause of death among adolescent girls globally.  HIV-associated maternal death contributes to maternal mortality.  Gender-based violence can increase after an HIV-positive diagnosis. 421



    



  



HIV can be transmitted to infants during pregnancy, delivery, and breastfeeding; without ART and care interventions HIV transmission to infants ranges from 15–45%. Sexually transmitted infections (STIs), such as gonorrhoea, HSV, chlamydia, and syphilis, greatly increase the risk of HIV acquisition and transmission. Male and female condoms provide triple protection from unintended pregnancies, HIV, and other STIs. SRHR and HIV strategies and policies should be interconnected to increase comprehensive service provision, and effective responses must go beyond health services to address human rights, gender equality, and development. Integrating SRHR and HIV services requires strengthening health systems including: coordination; joint partnerships; planning and budgeting; human resources; procurement and supply chain management; and monitoring and evaluation Providing integrated SRHR and HIV services could enable clients to receive as many quality services as possible at the same time and in the same place, especially at the primary healthcare level. Young people need access to a range of SRHR and HIV information and services related to their physical, social, emotional, and sexual development. Key populations – including men who have sex with men, people who inject drugs, people in prisons and other closed settings, sex workers, and transgender people – typically have higher HIV prevalence than the general population, are often not adequately reached with health services, and frequently experience violations of their human rights.



Some challenges remain and should be addressed according to the context faced by each countries. At least there are four main problems: lack flexibility of funding streams between different agencies; lack of coordination among government agencies; opposition to comprehensive sexuality education; and lack of attention to human rights. REFERENCE 1. Barroso C, & Sippel S. 2011. Sexual and reproductive health and rights: integration as a holistic and rights-based response to HIV/AIDS. Women‘s Health Issues 21-6S; S250-4. 2. SRHR and HIV Linkages: navigating the work In progress 2017. www.srhhivlinkages.org



422



AOFOG SESSION



423



REPEAT CESAREAN SECTION VERSUS VBAC (VAGINAL BIRTH AFTER CESAREAN SECTION) AFTER ONE PRIOR LOWER SEGMENT CESAREAN SECTION: WHAT IS THE BETTER CHOCIE? Professor Gus Dekker Maternal-Fetal Medicine Division, Obstetrics and Gynecology Department, Faculty of Medicine Universitas Airlangga, Universitas Airlangga Hospital, Indonesia Department of Obstetrics and Gynaecology Department, Lyell-McEwin Hospital, the University of Adelaide, South Australia Risks of primary lower segment caesarean section (LSCS) have increased all over the world over the last 20 years. Consequently, increasing numbers of women have to face the issue of mode of delivery after a preceding LSCS. The risks, benefits, and relative safety of vaginal birth after cesarean (VBAC) have been subjects of interest for well over 100 years. Edward Cragin first coined the phrase ―once a caesarean, always a caesarean‖ in 1916, and this clinical dictum predominated in the United States until the early 1970s, despite the widespread use of VBAC in Europe during the same time period. The dictum of ―once a caesarean always a caesarean‖ largely applied to the USA at least till the 1980s, but to a much lesser extend in the United Kingdom, continental Europe and Australasia and New Zealand. Following a series of series of studies in the 1980‘s reporting the relative safety of vaginal birth after LSCS, rates of Vaginal Birth After Caesarean (VBAC) increased in most developed countries and in particular the USA. One of the key papers published was by Lydon-Rochelle et al in the NEJM in 2001. These authors conducted a population-based, retrospective cohort analysis using data from all primiparous women who gave birth to live singleton infants by LSCS in civilian hospitals in Washington State from 1987 through 1996 and who delivered a 2nd singleton child during the same period (a total of 20,095 women). This was one of the largest retrospective cohorts published at that time. In this study uterine rupture occurred at 0.52 % in women with spontaneous onset of labour, 0.77% 5.2 among women whose labor was induced without prostaglandins, and a staggering 2.45 % among women with prostaglandin-induced labour. As compared with the risk in women with repeated LSCS without labor, the relative risk for uterine rupture was uterine rupture was 3.3 (95 percent confidence [95%CI] interval 1.8 - 6.0) among women with spontaneous onset of labour, 4.9 (95% CII 2.4-9.7) among women with induction of labour without prostaglandins, and 15.6 (95%CI 8.1 -30.0) among women induced with prostaglandins. This publication had a major international impact. The proportion of women attempting VBAC started to decline 424



(12.2% reported in the 2003 USA National Vital Statistics report 2003) and in particular many hospitals around the world stopped prostaglandin induction in women with a prior LSCS. At the same time many obstetricians could not easily reconcile the high risk of uterine rupture associated with prostaglandin induction in women with a prior LSCS. Dekker et al reported on the largest retrospective study of this kind ever reported from Australia, with the aim to quantify the risk of uterine rupture and to determine if there is an increased risk of uterine rupture among these groups of women, compared with women who have an elective caesarean section: (1) women who have a spontaneous onset of labour; (2) women who have an induction of labour without prostaglandins; (3) women who have an induction of labour with prostaglandins; and comparing these Australian population-based data from 4 Australian states with the literature and in particular with the landmark study by LydonRochelle et al (NEJM 2001). Data were collected from the 4 participating States; Queensland, Victoria, Western Australia and South-Australia on all women having their second birth (i.e. para 1) from 1998-2000, where the previous birth was a live born singleton delivered by lower segment caesarean section (LSCS) and the current birth is a singleton one. The episode 1998-2000 was chosen because (a) this episode still reflects currents standards of care, (b) preceded the introduction of misoprostol for induction of labour, and (c) preceded the publication of the Lydon-Rochelle publication (ref), i.e. captured a cohort with still a reasonable cohort of patients with a prior LSCS subjected to prostaglandin induction of labour (IOL). In this 3-year period 29,022 women fulfilled the inclusion criteria, 47 out of these had a confirmed uterine rupture, i.e. 0.162 %. Overall data relating to the risk of uterine rupture (as percentage) associated with spontaneous onset of labour; induced labour, type of induction (with or without prostaglandins) and no-labour are presented in table 1. Table 2 presents the odds ratios of the various types of onset of labour, augmentation etc, all compared with no labour, i.e. elective LSCS. A further analysis on the effect of maternal age (< 25, 25-34, > 35 yr) on the risk of uterine rupture did not show any significant differences (data not shown). Table 3 present some selected outcomes of the current study compared with major comparable studies in the recent literature. Discussion The optimal mode of delivery after 1 prior LSCS remains a topic of heated debates, within countries and also at an international level. Even in 2006, Dodd and Crowther completed a Cochrane review to conclude that no proper randomized controlled trials had been completed up to 2006. The large Australian retrospective 425



study by Dekker et al found (1) a significantly lower risk of uterine rupture (0.68% versus 2.45%; Odds Ratio 0.2726; 95% Confidence Interval 0.083 to 0.89) associated with the use of prostaglandins compared with the Lydon-Rochelle study published in the NEJM in 2001, and (2) more or less surprisingly the risk of oxytocin being quite comparable to that of the risk seen with using prostaglandins. The reason for the significantly lower risk associated with the use of prostaglandins compared with the Lydon-Rochelle et al study is not clear. The USA study did include 1 year with misoprostol, but in their discussion Lydon-Rochelle and her colleagues explain that the use of misoprostol could not truly influence their results. To our best knowledge, misoprostol was not used in Australia for term induction till after 2000. The Australian Misoprostol trial (Dodd et al ) started in April 2001. In the absence of any proper randomized controlled trials is it hard to make firm recommendations. Not surprisingly the risk for uterine rupture is by far the lowest in the absence of labour. Considering the fact that vaginal breech deliveries have been more or less abandoned because of a ‗unacceptable‘ risk of about 1/400 for infant mortality or major morbidity, and using this 1/400 risk for major morbidity as benchmark, one can take another look at these data. Assuming that true uterine rupture equates 1 on 1 with serious perinatal morbidity and or mortality, only VBAC with spontaneous onset of labour without any need for further augmentation would ‗qualify‘. Induction of labour with prostaglandins and/or oxytocin are both associated with risks in the 0.5-1% range, and would, when following the 1/400 benchmark be associated with an unacceptable risk. One would hope that the final answer would come from randomized controlled trials. However, proper randomized trials are difficult because of (a) recruitment being hampered by a high percentage of patients with a fixed preference with regard to the mode of delivery of their 2nd infant, (b) the low frequency of clinically relevant adverse pregnancy outcome would by default result in large sample size requirements in the order of 1000 truly randomized patients per arm. The recent large Californian study (Gregory et al, 2008) with detailed data on more than 40,000 VBAC‘s concluded that the ideal VBAC candidate should have no maternal, fetal, or placental conditions complicating pregnancy. Although the design of the Californian study is totally different than the current study, the consistent message appears to be VBAC is still a viable option but only if associated with spontaneous onset of labour, in pregnant women without any significant associated perinatal risk factor and/or pre-existing maternal phenotypical (primarily morbid obesity) or medical risk factors. The data derived from this large retrospective Australian study could and should be used in counselling Australian pregnant primiparous patients with a prior LSCS who are contemplating their birth options



426



Table 1 Overall outcome, type of onset of labour and uterine rupture status Uterine Rupture Method of induction NO YES no labour 18,416 4 99.98% 0.02% spontaneous onset of labour 5,921 13 99.78% 0.22% spontaneous onset of labour, labour 2,915 14 augmented 99.52% 0.48% labour induced, only prostaglandins 582 4 99.32% 0.68% labour induced, only oxytocin 729 6 99.18% 0.82% labour induced, prostaglandins and 222 4 oxytocin 98.23% 1.77% other methods of labour induction



510 99.61%



2 0.39%



Total 18,420 100% 5934 100% 2,929 100% 586 100% 735 100% 226 100% 512 100%



Table 2 Odds ratios of various types of onset and augmentation UR versus NUR Odds ratio SOL, no augmentation 13/5934 10.11



95% CI 3.47-29.44



SOL, only OXY



8/624



59.79



19.10-187.00



IOL, only PG



4/586



31.64



8.66-115.68



IOL, only OXY



6/735



37.89



11.46-125.20



IOL, PG + OXY



4/226



82.95



22.59-304.65



The no labour group with 4 ruptures in 18416 women serves as reference for all Fisher‘s exact tests; UR versus NUR = cases exposed with uterine rupture versus cases exposed without uterine rupture; SOL = spontaneous onset of labour; OXY = oxytocin; PG = prostaglandins; 95% CI = 95% confidence interval of odds ratio 427



Table 3 Comparison with comparable major recent published studies N= uterine rupture risk (%) 4 states Australia 1998-2000



No labour 18,416 0.02%



Lydon-Rochelle et 6960 al 2001 0.16%



Stone et al 2000



4663 0%



SOL (+ or augmentation) 8836 0.3%



IOL without PG 735 0.82%



IOL only PG 586 0.68%



10789 0.52%



1960 0.77%



366 2.45%



1482 0.2%



This paper describes delivery outcomes for women from Victoria, Australia, who gave birth in 1995 and whose immediately previous (penultimate) delivery, within a 5-year search period, was a Caesarean section. Because of the large numbers of records involved, dedicated computer software for record linkage was used to identify the previous delivery and link it with the woman's current birth in 1995. Overall, 79% of the records from multiparous women were linked successfully. Approximately 15% were not linked because the previous birth was before the search period or was an abortion that would not have been reported to the Perinatal Data Collection Unit. Reasons for not being able to link the last 6% of the records include the previous pregnancy being overseas or interstate. Women who had a vaginal birth as the penultimate birth or a multiple birth at either event were excluded, resulting in a study population of 4663 linked records. More women (68%) had a repeat Caesarean than went into labour and, of the remaining women who laboured, 56% delivered vaginally. Overall, 18% of the women delivered vaginally. For the women who went into labour, the reported number experiencing a uterine rupture was two per 1000 births. Uterine rupture was not reported in the two-thirds who did not labour but had a repeat Caesarean. A review of the perinatal deaths identified only two deaths, one baby being born by elective Caesarean and one by a vaginal birth after a previous Caesarean (VBAC) where the choice of delivery methods may have contributed to the death. This large study is one of the few in the literature to provide population-based information on vaginal births after a previous Caesarean and related outcomes. 428



ENDOMETRIOSIS PATOFISIOLOGI, PHENOTIPE, SIMPTOM, KLASIFIKASI Prof. Samsulhadi, dr., Sp.OG(K) Divisi Fertilitas, Endokrinologi Reproduksi - Dept. Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya LATAR BELAKANG Sampai saat ini endometriosis masih menyimpan banyak misteri. Banyak kajian yang masih terus berlangsung untuk mengungkap misteri yang meliputinya. METODE Kajian pustaka mutakhir yang membahas patofisiologi, phenotype, simptom dan klasifikasi endometriosis. PATOFISIOLOGI Patofisiologi endometriosis, keberadaan jaringan ―mirip‖ endometrium diluar kavum uteri, belum sepenuhnya diketahui dengan pasti. Secara garis besar terdapat 3 teoridasar : I. Transplantasi, jaringan endometrium migrasi ke tempat lain, akibat: 1. Iatrogenik (operasi). 2. Lymphogenik/hematogenik. 3. Retrograde darah menstruasi. Padaumumnya menjadi dasar patofisiologi implant endometriosis. II.



Coelomic metaplasia. Mesothelium/ peritoneum mengalami transformasi menjadi jaringan endometrium. OSE (Ovarian Surface Epithelium) - peritoneum, ditambahkan ES (Endometrial Stroma), dan Estrogen akan mengalami transformasi menjadi jaringan endometrium (in Vitro). Menjadi dasar patofisiologi endometrioma.



III.



Mullerian Duct Remnant (mesothelium) Transformasi menjadi jaringan endometrium, dasar patofisiologi DIE (Kav.Douglasi, lig. Sacrouterinum, septum recto-vaginal, endometriosis pada RKH).



Adenomiosis / endometriosis interna (20-65%), patofisiologinya juga belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori menyebutkan bahwa, adenomiosis disebabkan adanya invasi jaringan endometrium lewat defek otot miometrium (kehamilan, operasi sesar). Teori diperkuat data, bahwa 80% adenomiosis dijumpai 429



pada multipara. Beberapa hormone reproduksi, juga berperan pada patofisiologia denomiosis. Hormon estrogen, polymorphismereseptor estrogen, prolactin (PRL), dan FSH. Pada hewan coba kadar PRL yang tinggi, mengakibatkan degenerasi otot miometrium. Prevalensi tertinggi adenomiosis dijumpai pada wanita umur 40-50 tahun, saat kadar FSH meningkat. Adenomiosispada RKH, memperkuat teori Coelomic metaplasia. Selain itu endometrium wanita adenomiosis mengandung growth factor lebih tinggi dari wanita normal. Pertumbuhan endometrium ektopik, wanita endometriosis dipengaruhi oleh lingkungan hormone, genetic, dan inflamasi. Endometrium eutopik wanita endometriosis mempunyai aktivitas enzim aromatase tinggi, sehingga sintesa estrogen dan PGE2 naik, dan diperkuat /ditunjang adanya inflamasi. PGE2 naik mengakibatkan : 1. Kemampuan pagositosis macrophage turun 2. Memacu steroidogenesis, E2 semakin tinggi. 3. Memacu angiogenesis. Keadaan tersebut mengakibatkan retrograde darah menstruasi (stem sel), akan tetap bertahan hidup dan terus tumbuh. PHENOTIPE. Phenotipe endometriosis dapat berupa : I. Implan . 1. Visible/tampak,jernih, red , black atau white lesion. 2. IME (Invisible Microscopic Endometriosis), tidak kasad mata. II. Endomtrioma, dideteksi dengan TVS ataulaparoskopi. III. DIE, sulit di deteksi. SIMPTOM. Simptom endometriosis dapat berupa, I. Nyeri, nyeri panggul kronis( usia reprodukasi 12-32%, masa remaja 50%), nyeri haid (90%), nyerisanggama (50%) II. Tumor / endometrioma (15-20%). III. Infertilitas (9-50%).



+



Patofisiologi nyeri akibat kelainan inervasi perifer, dan sentral. Sedangkan patofisologi infertilitas disebabkan karena, penurunan baik, gerak sperma, fungsi sel granulosa ,kwalitas oosit , maupun pertumbuhan embrio. KLASIFIKASI. Klasifikasi endometriosis : I. ASRM (American Society for Reproductive Medicine -1985).



430



II.



III.



Menilailuas implant endometriosis yang tampak. Terbagi menjadi 2 kelompok besar : A. Luas implant endometriosis. B. Perlekatan. EFI ( Endometriosis Fertility Index - 2010) EFI merupakan kelanjutan ASRM, meramalkan prognosis ( pregnancy rate) dinilai : 1. Historical score, umuristeri, lama infertilitas, riwayat kehamilan sebelumnya. 2. Surgical score, yang terdiridari : a. LF (least function) score disimpulkan saat pembedahan. Bagaimana keadaan tuba kanan & kiri, Fimbrie kanan & kiri, dan ovarium kanan & kiri. b. AFS (American Fertility Score – 1979 sebelumrevisiASRM) Endometriosis ringan atau berat. c. AFS total score. Total score berat atau ringan. EFI merupakan total , historical score ditambah surgical score. ENZIAN (2012). Klasifikasi Enzian melengkapi ASRM, Enzian menilai DIE. Enzian terdiri dari dua kelompok besar : Kelompok pelvis : A. Recto vaginal. B. Lig. SacroUterinum, Cardinale, dindinglat pelvis, kompresi eksternal ureter. C. Fokus usus bag bawah, rectum sigmoid. Masing masing dibagi berdasarkan luas lesi, 1, 2-3, > 3 cm.



Kelompok extension ―F‖ : Uterus danekstragenital. FA (Uterine Adenomyosis), FB (bladder), FU (Intrinsic Ureter),FI (Intestine,sigmoid,caecum,ileum), FO (Others localization, diaphragm)



431



ULIPRISTAL ACETATE: PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA ORAL UNTUK MIOMA UTERI DENGAN KELUHAN Dr. Hendy Hendarto, dr., Sp.OG(K) Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi – Dept. Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya ABSTRAK Mioma uteri adalah tumor jinak sel otot myometrium, terjadi sekitar 20-40% pada wanita usia reproduksi, dengan keluhan perdarahan uterus abnormal, perdarahan haid banyak, nyeri panggul, infertilitas. Saat ini mulai dipikirkan mengembangkan terapi alternatif mioma uteri selain tindakan pembedahan terutama bila preservasi fertilitas diutamakan. Ulipristal acetate (UPA), salah satu sediaan SPRM, pada studi invitro dapat menginduksi apoptosis secara selektif pada sel mioma uteri dengan cara menekan faktor antiapoptosis, aktivitas antifibrotik, dan menekan ekspresi growth factor. UPA terbukti efektif mengontrol perdarahanan dan nyeri, dan menurunkan volume mioma serta dapat memperbaiki kualitas hidup.



Kata kunci: ulipristal acetate, mioma uteri, perdarahan uterus, nyeri PENDAHULUAN Mioma uteri adalah tumor jinak sel otot miometrium uterus yang sensitif terhadap hormon. Mioma uteri terjadi sekitar 20-40% pada wanita usia reproduksi dengan keluhan perdarahan uterus abnormal, perdarahan haid banyak, nyeri panggul, infertilitas, yang pada gilirannya akan berakibat gangguan pada kesehatan, peningkatan beban biaya pengobatan, sampai pada penurunan kualitas hidup. Sekitar 30% penderita mioma uteri mengharapkan pengobatan, dan saat ini intervensi pembedahan berupa histerektomi, maupun miomektomi menjadi pilihan untuk mengatasi mioma uteri (1,2). KEBUTUHAN PILIHAN BARU PENANGANAN MIOMA UTERI Mioma uteri saat ini telah menjadi salah satu masalah kesehatan dengan beban pembiayaan yang tinggi, karena penderita mioma uteri membutuhan penanganan yang optimal agar terbebas dari keluhan. Sebagian besar penanganan mioma uteri dilakukan dengan tindakan pembedahan yang mahal. Penurunan jumlah tindakan pembedahan histerektomi atau tindakan lain pada mioma uteri akan menurunkan biaya dan morbiditas. Karena itu menjadi penting dipikirkan mengembangkan terapi alternatif selain tindakan pembedahan terutama bila preservasi fertilitas diutamakan (3). 432



CARA KERJA ULIPRISTAL ACETATE Sebagaimana kita ketahui progesteron mempunyai peran pada promosi pertumbuhan dan proliferasi sel otot uterus, sehingga memunculkan pemikiran penggunaan Selective Progesterone Receptor Modulator (SPRM) untuk pengobatan mioma uteri. SPRM merupakan sediaan sintetik yang akan menduduki reseptor progesteron dengan menunjukkan aktivitas agonis maupun antagonis. Ulipristal acetate (UPA), salah satu sediaan SPRM, pada studi invitro dapat menginduksi apoptosis secara selektif pada sel mioma uteri dengan cara menekan faktor antiapoptosis, aktivitas antifibrotik, dan menekan ekspresi growth factor. Selain itu Ulipristal acetate mempunyai efek perubahan langsung pada endometrium berupa dilatasi kistik pada kelenjar endometrium, serta epitel yang inaktif dengan stroma asimetri (4). PENGUNAAN ULIPRISTAL ACETATE PADA MIOMA UTERI Penelitian PEARL 1 (PGL4001 Efficacy Assessment in Reduction of symptoms because of uterine Leiomyomata) randomised, double-blind, placebo-controlled trial mengevaluasi penggunaan UPA tablet 5 mg /hari dan 10mg/hari dalam 1 seri (3 bulan) pada penderita mioma uteri dengan keluhan perdarahan haid banyak dan anemia. Didapatkan hasil 91% perdarahan uterus terkontol pada yang menggunakan UPA 5 mg, 92% perdarahan uterus terkontol pada yang menggunakan UPA 10 mg, sedangkan hanya 19% perdarahan uterus terkontol pada yang menggunakan placebo (6). Penelitian PEARL 2 membandingkan penggunaan UPA 5mg dan 10mg dengan Leuprolide asetat (LA) 3,75mg injeksi/bulan. Hasilnya didapatkan 90% perdarahan uterus terkontol pada penggunaan UPA 5 mg, 98% perdarahan terkontol pada penggunaan UPA 10 mg, dan 89% pada penggunaan LA. Dibutuhkan median waktu 5-7 hari bagi UPA 5mg dan 10 mg untuk kontrol perdarahan, namun 21 hari untuk penggunaan LA (7). Penelitian PEARL 3 mengevaluasi penggunaan UPA 10mg (3 bulan) jangka panjang sampai 4 seri, didapatkan hasil UPA efektif mengontrol perdarahanan dan nyeri, menurunkan volume mioma serta dapat memperbaiki kualitas hidup. KESIMPULAN Ulipristal acetate, yang bekerja sebagai Selective Progesterone Receptor Modulation, dapat digunakan sebagai pengobatan oral untuk mioma uteri dengan keluhan perdarahan uterus abnormal dan nyeri DAFTAR PUSTAKA 1. Donnez J, Vazquez F, Tomaszewski J, Nouri K, Bouchard P, Fauser BCJM. Longterm treatment of uterine fibroids with ulipristal acetate. Fertil Steril 2014; 101:1565–73
 2. Aymara M,
 Tarazona M, Carrasco JD, Estaca G, Cristóbal I, Monleón J. 433



3. 4. 5.



6.



Updated approaches for management of uterine fibroids. Inter J of Women‘s Health 2017:9 607–617 Donnez J and Dolmans MM. Uterine fibroid management: from the present to the future. Hum Reprod Update 2016, 22, 6: 665–686 Piecak K, Milart P, Wozniakowska E, Paszkowski T. Ulipristal acetate as a treatment option for uterine fibroids. Menopause Rev 2017; 16, 4: 133-136 Donnez J, Tatarchuk TF, Bouchard P, Puscasiu L, Zakharenko NF, Ivanova T, et al. Ulipristal Acetate versus Placebo for Fibroid Treatment before Surgery. N Engl J Med 2012; 366:409-20. Donnez J, Tomaszewski J, Vázquez F, Bouchard P, Lemieszczuk B, Baró F, et al. Ulipristal Acetate versus Leuprolide Acetate for Uterine Fibroids. N Engl J Med 2012; 366:421-32.



434



MISMATCH PLACENTA ACCRETA SPECTRUM DISORDER MANAGEMENT- RISK AND HOW TO DEAL WITH LAWSUIT Dr. Budi Prasetyo, dr., SpOG(K), FISCM Divisi Obstetri Ginekologi Sosial – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr Soetomo Surabaya Abstrak Salah satu masalah kebidanan yang cukup sering ditemukan akhir-akhir ini dan mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi adalah kejadian plasenta akreta. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan di bidang medis maupun hukum oleh karena risiko yang ditimbulkan dari operasi kasus tersebut cukup berat. upaya menghindarkan diri dari tuntutan hukum antara lain dengan pemberian informasi yang jelas, adanya persetujuan tindakan medik dan rekam medis yang baik. Kata kunci: plasenta akreta, risiko medik, dan tuntutan hukum. LATAR BELAKANG Perkembangan iImu kedokteran yang pesat bidang diagnostik dan terapi perlu diketahui oleh para dokter yang terkait bidang tersebut. Perkembangan tersebut terkadang tidak dapat diikuti seorang dokter yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Padahal ada kewajiban dari dokter untuk selalu mengikuti perkembangan keilmuan yang ditekuninya. Pasal 2 Kode Etik Kedokteran Indonesia menyatakan bahwa Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan professional secara independent, dan mempertahankan perilaku professional dalam ukuran yang tertinggi. Sedangkan Pasal 21 menyatakan, Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan. (KODEKI, 2012) Salah satu masalah kebidanan yang cukup sering ditemukan akhir-akhir ini dan mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi adalah kejadian plasenta akreta. Meningkatnya kejadian operasi sesar dan kehamilan pada usia lanjut diduga menjadi penyebab meningkatnya kejadian plasenta akreta secara global. Case fatality rate untuk kasus ini sekitar 7/1000, dan perinatal mortality rate 39/1000 kelahiran. (Farquhar CM et al, 2017) Kekhawatiran para klinisi akan tuduhan malpraktek saat ini, meningkatkan insiden operasi sesar dan menurunkan angka persalinan pervaginam setelah operasi sesar (VBAC/ vaginal birth delivery after caesarean). Hal ini menyebabkan bertambahnya risiko terjadinya plasenta akreta. Sehingga, permasalahan ini perlu mendapatkan perhatian serius di seluruh stake holder terkait. (Schifrin BS et al, 2013)



435



Ketidaktahuan akan kejadian akreta (misdiagnosa) dapat menimbulkan permasalahan oleh karena risiko yang ditimbulkan dari operasi kasus tersebut cukup berat, mulai angkat kandungan (histerektomi) sekitar 66,4%, trauma organ sekitar uterus (usus, kandung kemih) 29% dimana 78 % mengenai kandung kemih dan 17% terkena ureter, sampai kematian. Selain itu, ketidakmampuan mendeteksi kejadian plasenta akreta, yang juga dapat menimbulkan ketidakpuasan pasien karena mengakibatkan ketidakmampuan menginformasikan risiko tindakan pembedahan pada kasus ini. (Allen et al, 2018) Tabel 1: kelainan uterus primer dan sekunder yang berhubungan dengan kelainan Placenta accreta spectrum (PAS) (Jauniaux et al, 2018)



Mengingat besarnya risiko pembedahan pada kasus ini, dikhawatirkan bila tidak ada informasi yang diberikan oleh dokter terkait kondisi diatas sebelum dilakukan tindakan pembedahan, baik informasi kemungkinan plasenta akreta ataupun informasi risiko yang bisa terjadi pada pembedahan pada kasus plasenta akreta, dapat menimbulkan ketidakpuasan pasien/keluarga. Bila berlarut-larut, hal ini dapat menimbulkan dugaan malpraktik dan akhirnya terjadi sengketa medik.



436



Tabel 2: insiden komplikasi yang bisa terjadi pada operasi plasenta akreta (Allen et al, 2018



SENGKETA MEDIK Sengketa medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit / fasilitas kesehatan. Dokter pada saat memberikan pelayanan kesehatan hanya bertanggung jawab atas proses atau upaya yang dilakukan (Inspanning Verbintennis) dan tidak bisa menjamin hasil akhir yang baik (Resultalte Verbintennis). Sehingga bila ada kegagalan dalam tindakan medis, dalam arti pasien tidak menjadi sembuh, cacat atau meninggal, hal ini merupakan resiko medis yang harus dimengerti oleh pasien. (Nasser, 2011) Dalam hal kejadian plasenta akreta, kemungkinan risiko angkat rahim, cedera kandung kemih ataupun kematian harus dijelaskan sebelum dilakukan tindakan operasi. Jadi sebagai dokter tidak menjanjikan hasil yang diluar kuasanya, hanya menjanjikan akan melakukan upaya semaksimal mungkin. Dan bila perlu, dilakukan tindakan rujukan. Sejak dimulainya kegiatan anamnesa antara dokter dengan pasien, saat itu dimulai hubungan hukum antara pasien dan dokter dalam pelayanan kesehatan, yaitu hubungan karena terjadinya kontrak terapeutik dan hubungan karena adanya peraturan-perundangan. Kedua hubungan tersebut melahirkan tanggung jawab hukum, tanggung jawab profesi dan tanggung jawab etika dari seorang dokter. Seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan pelanggaran dapat saja dituntut dalam beberapa pengadilan, misalnya dalam bidang hukum ada pengadilan perdata, pengadilan pidana dan pengadilan administratif. Selain itu dokter atau dokter gigi juga dapat diperhadapkan pada Pengadilan Etik pada organisasi profesi (MKEK dan MKEKG), dan Pengadilan Disiplin Profesi oleh (MKDKI). (Mangkey, 2014) Hal yang dapat menimbulkan sengketa antara dokter dengan pasien adalah masalah ketidakpahaman pasien mengenai tindakan ataupun risiko tindakan yang dilakukan oleh, dokter. Dalam pemahaman pasien, apabila bila terjadi kegagalan 437



tindakan menurut pengertian pasien, dalam arti pasien tidak menjadi sembuh, cacat atau bahkan meninggal, maka pasien menganggap bahwa dokter tidak memenuhi , padahal menurut hukum, hubungan dokter dengan pasien merupakan suatu perjanjian yang obyeknya berupa pelayanan medik atau upaya penyembuhan. Pengertian malpraktek dalam arti umum adalah suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi. malpraktek dapat terjadi tidak saja selama waktu menjalankan operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis sampai sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien. (Rompis, 2017) Untuk membedakan antara malpraktek medik dengan resiko medik yaitu adanya unsur kelalaian. Adanya kelalaian ini harus dapat dibuktikan sehingga kelalaian ada hubungannya dengan akibat meninggalnya atau cacatnya pasien. Bila unsur kelalaian ini tidak ada, berarti kematian atau cacatnya pasien bukan sebagai akibat dari adanya malpraktek, tetapi merupakan resiko medik yang mungkin dapat terjadi atau karena perjalanan penyakitnya memang demikian. (Nasser, 2011) Untuk menyelesaikan sengketa medik di Indonesia, dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan atau jalur non litigasi ( di luar peradilan ), tetapi biasanya perkara-perkara tuntutan malpraktek medik melalui jalur litigasi selalu kandas ditengah jalan karena kendalanya adalah pembuktiannya yang sukar diberikan oleh pihak pasien / pengacaranya. Oleh karena itu sebagian besar kasus malpraktek medik diselesaikan secara damai melalui mediasi yang dilakukan di luar jalur litigasi. Mediasi bisa dilakukan dengan bantuan seorang mediator yang ditunjuk untuk kedua belah pihak. Mediasi merupakan kegiatan negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Saat ini, POGI telah mempunyai beberapa mediator bersertifikat yang telah terlatih. (Sohn DH et al, 2012) Hal-hal yang dapat dilakukan dalam upaya menghindarkan diri dari tuntutan hukum antara lain: 1. Informed concent dan information for concent Adanya penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan, disertai penjelasan risiko dan manfaat akan mengurangi risiko miskomunikasi antara dokter dan pasien. Informed concent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan tindakan medis yang akan dilakukan serta risiko dan manfaat. 2. Rekam medik Membuat rekam medik secara lengkap dan jelas merupakan kewajiban tenaga kesehatan. Manfaat rekam medik antara lain untuk peningkatan kualitas pelayanan, Pendidikan dan penelitian, pembiayaan, pembuktian hukum dan pengobatan pasien. (Mangkey, 2014)



438



DAFTAR PUSTAKA 1. Allen L, jauniaux E, Hobson S, Papillon-Smith J, Belfort MA. 2018. FIGO concencus guidelines on plasenta accrete spectrum disorders: Nonconservative surgical management. Int J Gynecol Obstet 2018; 140: 281–290 2. Farquhar CM, Li Z, Lensen S, et al. Incidence, risk factors and perinatal outcomes for placenta accreta in Australia and New Zealand: a case–control study. BMJ Open 2017;7:e017713. doi:10.1136/ bmjopen-2017-017713 3. PB IDI. 2012. Kode Etik Kedokteran Indonesia 4. Rompis MGM. Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan medical malpraktek. 2017. Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017 5. Mangkey MD. 2014. Perlindungan hokum terhadap dokter dalam memberikan pelayanan medias. 2014. Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014 6. Nasser M. 2011. Sengketa medis dalam pelayanan kesehatan. Annual Scientific Meeting UGM-Yogyakarta , Lustrum FK UGM 7. Schifrin BS, Cohen WR. 2013. The effect of malpractice claims on the use of caesarean section. st Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 27 ; 269–283 8. Sohn DH, Bal S. 2012. Medical malpractice reform: the role of alternative dispute. Clin Orthop Relat Res (2012) 470:1370–1378



439



FOLLOW UP PASCA PERSALINAN DAN DAMPAK JANGKA PANJANG PREEKLAMPSIA Dr. Ernawati, dr., Sp.OG(K) Muhammad Ilham Aldika Akbar, dr., Sp.OG(K) Dr. Aditiawarman, dr., Sp.OG(K) Divisi Kedokteran Fetomaternal – Dept. Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo – RS Universitas Airlangga, Surabaya Gejala klinis preeklampsia seharusnya akan membaik setelah lahirnya plasenta, namun beberapa pasien preeklampsia mempunyai gejala klinis yang menetap bahkan memburuk setelah melahirkan. Berbagai penelitian juga menunjukkan adanya resiko kardiovaskuler seperti penyakit jantung koroner, stroke, dan tromboemboli vena 2x lebih tinggi dibanding pasien hamil normal selama 5–15 tahun setelah melahirkan. Wanita ini juga memiliki risiko lebih besar meninggal akibat penyakit serebrovaskuler setelah kehamilan (Amaral et al., 2015). Systematic review dan meta-analisis sebelumnya menunjukkan peningkatan mortalitas kardiovaskuler (karena penyakit arteri koroner, infark miokard atau gagal jantung kongestif) dengan riwayat preeklampsia (OR 2,29, 95% CI: 1,73-3,04). Wanita dengan riwayat preeklampsia tipe dini dilaporkan memiliki peningkatan risiko morbiditas kardiovaskuler pada usia paruh baya lebih tinggi disbanding tipe lambat. (HR 8,12 [95% CI 4,31-15,33] dan 1,65 [95% CI 1.01-2.07]) (Ahmed et al., 2014; Stekkinger et al., 2009). Sehingga follow pasca persalinan diperlukan untuk mengantisipasi komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang preeklampsi. FOLLOW UP PASCA PERSALINAN Perawatan pasca salin direkomendasikan selama 3-6 hari pasca salain (SOGC grade B level III). International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP) merekomendasikan perawatan pasien dengan preeklampsia minimal ≥ 3 hari paska salin.   



Evaluasi klinis dilakukan minimal tiap 4 jam sekali saat pasien bangun. Evaluasi tanda-tanda adanya komplikasi baru atau perburukan dari gejala sebelumnya (SOGC grade B level II-2) Anti hipertensi :



-



Antihipertensi sebelum persalinan segera diberikan dan dilanjutkan. Terutama untuk pasien preeklampsia yang sudah terdiagnosa sebelum persalinan. Dilakukan penurunan dosis secara gradual dalam beberapa hari kemudian sesuai dengan respon klinis.



-



Pada pasien dengan hipertensi berat Target TD adalah < 160/110 mmHg (SOGC grade A level I) 440



-



Pada pasien hipertensi tidak berat atau dengan komorbid lain selain diabetes pregestasional target TD adalah < 140/90 mmHg (SOGC grade C level III)



-



Pasien dengan diabet pregestasional target TD adalah < 130/ 80 mmHg (SOGC grade C level III)



-



 







Antihipertensi yang direkomendasikan digunakan pada ibu menyusui adalah :  nifedipine extended-release  labetalol
  methyldopa
  captopril  enalapril  quinapril Pastikan perbaikan dari disfungsi organ (SOGC grade C level III) nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) tidak boleh diberikan jika muncul gejala :



-



Hipertensi sulit dikontrol Adanya tanda gagal ginjal (oliguri dana tau SK > 9)



Platelets < 50x109/L Pertimbangkan tromboprofilaksis pada wanita dengan factor resiko (SOGC grade B level II-2).



FOLLOW UP 6 MINGGU PASCA PERSALINAN 







 



Untuk pasien preeklampsia onset atau yang dilakukan terminasi < 34 minggu, periksa adanya kemungkinan :



-



Hipertensi menetap (SOGC grade B level II-2)



-



Hipertensi paska salin sulit dikontrol



Gangguan ginjal (SOGC grade A level II-2) Rujuk ke spesialis penyakit dalam atau nefrologi bila : Proteinuria yang tidak hilang, penurunan glomerular filtration rate (GFR), dan / adanya tanda gangguan ginjal ( seperti sedimen urin abnormal) (SOGC grade A level III) Motivasi pasien dengan BMI overweight untuk menurunkan Berat badan untuk mengurangi resko pada kehamilan berikutknya (SOGC grade A level II-2) dan untuk kesehatan jangka panjang (SOGC grade A level I) Perikas adanya tanda berikut bila hipertensi menetap : 441











Urinalisis K/ Na serum, Kreatinin serum Gula darah puasa Profil lipid puasa



Electrocardiography standar 12-lead Pertimbangkan pemeriksaan marker resiko kardiovaskuler pada pasien dengan tensi normal yang mempunyai riwayat hipertensi dalam kehamilan (SOGC grade B. level II-2) Motivasi semua wanita dengan riwayat hipertensi dalam kehamilan untuk hidup sehat (diet dan life style)



DAFTAR PUSTAKA 1. Ahmed R, Dunford J, Mehran R, Robson S and Kunadian V. 2014. Preeclampsia and Future Cardiovascular Risk among Women: A Review. Journal of the American College of Cardiology (2014), doi: 10.1016/j.jacc.2014.02.529. 2. Amaral LM, Cunningham MW, Cornelius DC and LaMarca B. Preeclampsia: Long-term Consequences for Vascular Health. 2015. Vascular Health and Risk Management 2015: 11 403-415. 3. Brown MA, Magee LA, Kenny LC, et al; International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP). 2018. The hypertensive disorders of pregnancy: ISSHP classification, diagnosis & management recommendations for international practice. Pregnancy Hypertens;13:291- 310 4. DynaMed Plus.Ipswich (MA): EBSCO Information Services. 1995 - . Record No. T116522, Hypertensive disorders of pregnancy; (updated 2018 Dec 01) 5. Magee LA, Helewa M, Rey E, von Dadelszen P, Canadian Hypertensive Disorders of Pregnancy Working Group. 2014. Diagnosis, evaluation, and management of the hypertensive disorders of pregnancy: executive summary. J Obstet Gynaecol Can: 36(5):416-41 6. Stekkinger E, Zandstra M, Peeters L and Spaanderman M. 2009. Early-Onset Preeclampsia and the Prevalence of Postpartum Metabolic Syndrome. Obstet Gynecol 2009;114:1076–84.



442



443



444