Lelaki Di Tengah Hujan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LELAKI DI TENGAH HUJAN; FIKSIONALITAS, FAKTUALITAS, DAN TUGU INGATAN



Sastra adalah fiksi atau rekaan yang bertujuan mengungkap kebenaran. Sastra memberikan pengalaman (seni) mengolah emosi untuk memaknai realitas dengan cara yang berbeda1. (Prof. Melani Budianta, Guru Besar Bidang Sastra dan Kajian Budaya)



PENGANTAR Awal mula membaca Lelaki di Tengah Hujan karya Wenri Wanhar ini, saya dibayangi oleh riuhnya penayangan dari adaptasi novel Bumi Manusia Pramodya Ananta Toer ke layar lebar. Kesamaan kedua karya ini adalah keduanya berbicara tentang masa lampau atau sejarah Indonesia. Tanpa bermaksud menyandingkan, apalagi membandingkan kedua karya ini, saya (hanya) ingin mengatakan bahwa momentum novel ini ada di tangan saya ber amaan dengan penanyangan film tersebut, dan juga ketika Papua sedang bergejolak. Dalam kajian sastra dan kajian budaya, kita mengenal apa yang disebut sebagai masa ‘kolonial’ dan masa ‘pascakolonial’, era reformasi, dan barangkali adalagi era ‘pasca-reformasi’. Bumi Manusia memiliki setting masa ‘kolonial’, sementara Lelaki di Tengah Hujan memiliki setting ‘pasca-kolonial’ di masa Indonesia telah meredeka (secara fisik). Novel ini bercerita tentang peristiwa 98. Baik peristiwa sebelum, maupun setelah jatuhnya Soeharto dari puncak kekuasaannya setelah 32 tahun berkuasa. Orde Soeharto yang sering disebutnya sebagai Orde Baru dikenal dan dikenang sebagai orde yang otoriter dan represif. Karena watak yang demikian, maka perlawanan sebagai respond dan reaksi terhadapnya pun muncul dengan berbagai gaya dan kisahnya. Novel ini merekam dan mengisahkan salah satu dari sekian banyak kisah tentang itu. Oleh penulisnya, dan beberapa ulasan tentang novel ini, cerita, kisah, story, di novel ini diambil dari ‘cerita rahasia’ dari gerakan bawah tanah yang ada dibalik apa yang diketahui oleh publik/masyarakat awam. FOKALISASI DAN TEKNIK NARATIF Secara sudut pandang penceritaan, novel ini pada umumnya menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dia (Bujang Parewa) sebagai tokoh utama sebagai inti dalam cerita ini. meskipun Kutipan ini diambil dari presentasi Prof. Melani Budianta pada Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman 18-19 Juli 2019. 1



demikian novel ini bisa pula dikatakan sebagai cerita dalam cerita. Kisah diceritakan oleh narrator setelah peristiwanya terjadi. Sebuah teknik penceritaan yang lazim dalam karya memoir ataupun karya sejarah bergenre sastra (fiksi). Teknik fokalisasi adalah teknik percakapan dalam cerita. Siapa mengatakan apa kepada siapa. Di karya ini, tokoh utama diceritakan secara naratif oleh pengarang, ataupun oleh melalui narrator. Salah satunya oleh si pencerita kisah di warung kopi yang ada di awal cerita kepada pengarang (author). Dalam narasi oleh narrator dan author, fokalisasi seringkali dilakukan oleh tokoh Bujang Parewa kepada lawan bicaranya untuk menyampaikan pandangannya. Dari pembacaan atas dialog dan percakapan serta alur cerita di novel ini, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama adalah fokalisator dari ide- ide dan pemikirannya. Selain itu narrator dan author juga menjadi penarasi /pencerita dari apa yang dialami oleeh tokoh utama. Begitu pula dengan alur cerita yang ada, fokalizasi dan narasi secara bergantian dilakukan oleh tokoh dalam novel dan juga tak jarang diambil alih oleh narrator ataupun penulis secara langsung2. FIKSIONALITAS (SASTRA) DAN FAKTUALITAS (SEJARAH)? Dalam kacamata New Historicism (Historisisme Baru), sastra dan sejarah tidak lagi berbicara mengenai aspek ‘fiksionalitas’ dan ‘faktualitas’ sebagaimana historisisme lama menganutnya. Sastra dan sejarah tidak lagi dilihat secara hierarkis di hadapan kebenaran faktual (tentang masa lalu). Historisisme lama menganggap bahwa sejarah lebih ‘benar’ dan ‘faktual’ dibanding sastra, sedangkan historisisme baru menganggapnya setara. Bahwa yang diklaim sebagai sejarah, tidak boleh menganggap yang sastra, yang fiksional tidak lebih rendah derajat kebenarannya dari sejarah3. Memandang sampul novel ini, dari perspektif historisisme baru di atas, maka label ‘novel sejarah’ dan ‘based on true story’ menjadi sedikit menempatkan karya ini kurang percaya diri untuk mendeklarasikan diri sebagai sebuah kebenaran tentang masa lampau (the past). Akan tetapi, terlepas dari itu semua, novel ini telah berbicara akan masa lampau dalam genre sastra. Dia memiliki kebenarannya sendiri di mata batin pembacanya masing – masing.



Perihal ini dapat dijelaskan secara rinci pada kajian khusus mengenai aspek intrinsic karya ini di kesempatan yang lain. 3 Tentang new historicism ini, Lihat Ann B. Dobbie, Theory into Practice, An Introduction to Literary Criticism hlm.175-199 2



ANTARA SASTRA DAN SEJARAH; SIAPA PEMILIK TUGU INGATAN? Membaca novel Lelaki di Tengah Hujan, saya lantas kembali ke ingatan relasi antara ‘sastra’ dan ‘sejarah’. Dua entitas, yang oleh Pierre Noora4 disebut sebagai saudara kembar yang kadang mesra dan tak jarang pula bersilang sengketa. Antara memory (ingatan) dan history (sejarah), keduanya memiliki objek bawaan, yakni masa lampau. Sastra disebut sebagai saudara kembar dari sejarah yang menjadi wadah tempat menyimpan ingatan. Sementara sejarah, tak jarang ‘dituduh’ milik para penguasa (pemenang). Masih dalam penjelasan Noora, sastra sebagai penyimpan ingatan seringkali disebut memiliki sifat menubuh (embodied), sedangkan sejarah bersifat menempel/ditempelkan (embedded). Olehnya itu, karya Wenri Wanhar ini bisa dibilang ‘berpotensi’menubuhkan ingatan tentang peristiwa 98, menyandingi ‘sejarah resmi’ ataupun pengetahuan awam yang ‘ditempelkan’ lewat sejarah. Dengan demikian, kehadiran novel ini dapat memberikan kita asupan berbeda, kisah berbeda, strory berbeda dengan kebenarannya sendiri mengenai peristiwa 98. Karya Bang Henri Wanhar ini bisa dibilang turut memperebutkan memori atas ‘tugu ingatan’ tentang peristiwa 98. Mengutip Pierre Noora dan Ann Rigney bahwa “Sastra adalah Portable Monument of Memory – Tugu Ingatan yang selalu terbawa”5. Tugu ingatan itu lekat dengan memory budaya (cultural memory). Hal yang menjadi warisan untuk generasi hari ini dan generasi mendatang. Itu kenapa sastra tak pernah berhenti dalam mengungkap kebenarannya, seperti kutipan Prof. Melani di awal tulisan ini. Demikian, Wassalam.



Nasrullah, M.A. (Pengajar Bidang Sastra dan Kajian Budaya (cultural studies) FIB UNMUL Samarinda)



Noora adalah serang sejarawan Prancis yang menulis karya terkenal yang dalam bahasa Inggris berjudul Between Memory and History (Antara Ingatan dan Sejarah). 5 Ann Rigney. 2004. Portable Monuments: Literature, Cultural Memory, and the case Jeanie Deans 4