Lembar Jawaban Tugas Kriminologi 3-Dikonversi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 3



Nama Mahasiswa



: Farli Akbar Rapsanjani Simatupang



Nomor Induk Mahasiswa/ NIM



: 041441411



Kode/Nama Mata Kuliah



: HKUM4205/Kriminologi



Kode/Nama UPBJJ



: 87/Jayarpura



Masa Ujian



: 2019/20.2 (2020.1)



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA



Soal : 1. Jelaskan faktor kriminogen dari kasus tersebut dengan mengacu pada Teori Anomie yang diadopsi oleh Robert K. Merton! 2. Label atau stigma sebagai narapidana tidak akan lepas meskipun narapidana tersebut telah menjalani hukuman dan ini akan berpotensi narapidana akan kembali melakukan kejahatan dimasa datang . Salah satu teori yang menguatkan teori ini adalah teori Lebelling, jelaskan apa yang saudara ketahui tentang teoi Lebelling ? 3. Anggapan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat bagi orang belajar kejahatan. jelaskan masalah tersebut dengan teori Differential Association dengan mengemukakan 9 proposisi sebagai kekuatan teori tersebut.?



Jawaban : 1. Teori anomie Robert K. Merton pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara perilaku delinkuen dengan tahapan tertentu pada struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan dan menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Untuk itu, ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan kultural. Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means . Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuan-tujuan dan kepentingan membudaya meliputi kerangka aspirasi dasar manusia. Sedangkan means diartikan aturan dan cara kontrol yang melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan. Karena itu, Robert K. Merton membagi norma sosial berupa tujuan sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable means) untuk mencapai tujuan tersebut. Konsep Anomie tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : “dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan tetapi dalam kenyataannya tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia tersebut. Hal ini menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan, maka dengan demikian akan timbul penyimpangan dalam mencapai tujuan tersebut”. dalam setiap masyarakat terdapat sturuktur sosial (berbentuk kelas-kelas), kelas ini dapat menyebabkan perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya, mereka yang berasal dari kelas rendah (lowerclass) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi (uper class). Keadaan tersebut (tidak samanya sarana serta perbedaan struktur) akan menimbulkan frustasi di kalangan warga yang tidak mempunyai kesempatan dalam mencapai tujuan. Walaupun adanya ketidakpuasaan, namun ada cara untuk mengatasi keadaan anomie tersebut. Beberapa ahli kriminologi sepakat bahwa anomie dapat teratasi denganc ara-cara sebagai berikut : • Masyarakat harus tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat, karena adanya tekanan moral (konformitas/conforming). • Harus tetap memelihara tujuan yang terdapat dalam masyarakat, tetapi masyarakat pun diperbolehkan merubah sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut (asalkan yang halal) (inovasi/innovation). Mengubah sarana-sarana yang salah misalnya untuk mencapai uang yang banyak mereka mengubah sarana menabung dengan srana merampok bank. • Masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan (dipositifkan) dan memakai tujuan yang telah ditentukan (oleh Tuhan) (Ritualisme/ritualism).



• Untuk mengatasi anomie, warga masyarakat juga harus mengadakan pemberontakan (rebellion) terhadap sarana dan tujuan yang ada dalam masyarakat, dan kemudian warga masyarakat harus berusaha untuk mengubahnya dan menggantinya menjadi sarana dan tujuan yang terbaik untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, namun sebelum masyarakat mengadakan rebillion, terlebih dahulu harus mengadakan penarikan diri (retreatisme) dari tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena itulah dalam ciri khas dalam tindakan atau prilaku yang tergolong bentuk anomi (anomie) ini antara lain adalah sebagai berikut; 1. Pemberontakan, yaitu perbutan yang dilakukan oleh seseorang secara individu atau kelompok orang untuk menolak sarana dan tujuan-tujuan, yang mana sara dan tujuan tersebut disahkan oleh masyarakatnya secara legal dan malah memilih untuk menggantinya dengan cara baru. Contohnya, pemberontakan yang dilakukan di Papua dengan menamakan diri sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang terus menerus melakukan pemberontakan pada pemerintahan yang sah, yakni NKRI. 2. Ritualisme, adalah tindakan yang dijalankan oleh seseorang secara konvensional, akan tetapi dari tindakan tersebut melupakan tujuan yang sebenarnya ada. Cara-cara yang dilakukan bahwa tetap menjadi kebiasaan akan tetapi yang perlu diingat fungsi dan maknanya sudah hilang. Contohnya, banyak siswa di lingkungan pendidikan yang tertib mengikuti upacara bendera hanya sekadar untuk ikut peraturan sekolah dan bukan untuk semangat nasionalisme.



2. TEORI LABELING Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Lahirnya teori labeling Diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.



Penerapan teori labeling Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga



orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya. 3. Teori asosiasi diferensial atau differential association dikemukkan pertama kali oleh Edwin H Suterland pada tahun 1934 dalam bukunya Principle of Criminology. Sutherland dalam teori ini berpendapat bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial. Artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Karena itu, perbedaan tingkah laku yang conform dengan kriminal adalah bertolak ukur pada apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari. Teori asosiasi diferensial ini memiliki 2 versi. Versi pertama dikemukakan tahun 1939 lebih menekankan pada konflik budaya dan disorganisasi sosial serta asosiasi diferensial. Dalam versi pertama, Sutherland mendefinisikan asosiasi diferensial sebagai “the contents of pattern presented in association would differ from individual to individual” (isi atau konten yang disajikan dari sebuah asosiasi akan berbeda dari satu individu ke individu lain). Hal ini tidak berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan seseorang berprilaku kriminal. Yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain. Hal ini jelas menerangkan bahwa kejahatan atau perilaku jahat itu timbul karena komunikasi dengan orang lain yang jahat pula. Pada tahun 1947, Sutherland memaparkan versi kedua nya yang lebih menekankan pada semua tingkah laku dapat dipelajari dan mengganti istilah social disorganization dengan differential social organization. Teori ini menentang bahwa tidak ada tingkah laku jahat yang diturunkan dari kedua orangtuanya. Pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. DIFFERENTIAL SOCIAL ORGANIZATION Differential Social organization mengemukakan bahwa kelompok-kelompok sosial tertata secara berbeda, beberapa terorganisasi dalam mendukung aktivitas kriminal dan yang lain terorganisasi melawan aktivitas kriminal. Menurut Sutherland perilaku jahat itu dipelajari melalui pergaulan yang dekat dengan pelaku kejahatan yang sebelumnya dan inilah yang merupakan proses differential association. Lebih lanjut, menurutnya setiap orang mungkin saja melakukan kontak (hubungan) dengan kelompok yang terorganisasi dalam melakukan aktivitas kriminal atau dengan kelompok yang melawan aktivitas kriminal. Dan dalam kontak yang terjadi tersebut terjadi sebuah proses belajar yang meliputi teknik kejahatan, motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi melakukan suatu kejahatan. Dasar dari differential social organization theory adalah sebagai berikut : 1.Criminal behavior is learned (Perilaku kejahatan dipelajari); 2.Criminal behavior is learned in Interaction with other person in a proccess of communication; (Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dari komunikasi); 3.The principal part of the learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups (Dasar perilaku jahat terjadi dalam kelompok pribadi yang intim); 4.When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes (Ketika perilaku jahat dipelajari, pembelajaran termasuk juga teknik melakukan kejahatan yang sulit maupun yang sederhana dan arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap); 5.The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable or unfavorable (Arah khusus dari motif dan dorongan dipelajari dari definisi aturan hukum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan); 6.A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorble to violation of law (Seseorang menjadi delinkuen disebabkan pemahaman terhadap definisi-definisi yang menguntungkan dari pelanggaran terhadap hukum melebihi definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum); 7.Differential associations may vary in frequency, duration, priority, and intencity (Asosiasi yang berbeda mungkin beraneka ragam dalam frekuensi, lamanya, prioritas, dan intensitas); 8.The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning (Proses pembelajaran perilaku jahat melalui



persekutuan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan meliputi seluruh mekanisme yang rumit dalam setiap pembelajaran lainnya); 9.While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and values (Walaupun perilaku jahat merupakan penjelasan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut sejak perilaku tidak jahat adalah sebuah penjelasan dari kebutuhan dan nilai nilai yang sama); Dari 9 proposisi ini, dapat disimpulkan bahwa menurut teori ini tingkah laku jahat dapat dipelajari melalui interaksi dan komunikasi yang dipelajari dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan alasan yang mendukung perbuatan jahat tersebut. Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjelaskan pandangannya tentang sebab-sebab terjadinya kejahatan.