LN 5 Religion and Contemporary Issues [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LECTURE NOTES



Character Building: Agama Week ke - 5



RELIGION AND CONTEMPORY ISSUES



1



LEARNING OUTCOMES



LO2: Interpret the religious formalism, contemporer issues, science and digital era



OUTLINE MATERI : Setelah mengikuti sesi ini mahasiswa diharapkan mampu: •



menjelaskan isu-isu-isu kontemporer yang menantang agama







memecahkan isu-isu kontemporer dewasa ini







menunjukkan pemikiran yang terbuka, empati dan peduli



2



ISI MATERI A.



PENDAHULUAN Dunia kita terus berubah bahkan berakselerasi cepat dalam berbagai dimensi kehidupan. Kita



tidak dapat menyangkal fenomena ini. Perubahan sosial yang terjadi dalam realitas menuntut proses refleksi dan adaptasi serta sikap bijaksana dari kita sebagai manusia religius yang menganut kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Ada banyak isu yang hadir menyertai perjalanan atau ziarah kaum beragama dalam dinamika kehidupan. Hal ini menjadi peluang bagi kita untuk beragama secara kontekstual dengan berakar pada tradisi agama sendiri, namun pada saat yang sama terbuka untuk secara kritis dan reflektif menyaring isu-isu kekinian kontemporer untuk tetap kita hidup sebagai manusia yang bermakna. Kita semakin menunjukkan sikap empati, peduli, kritis sekaligus semakin bertumbuh dewasa/matang dan beriman kepada Tuhan dalam perjalanan kekinian kita di dalam dinamika perubahan yang terus berlangsung ini.



B.



PEMBAHASAN



1.



Isu-isu Kontemporer a. Sekularisme Terminologi sekularisme berasal dari masyarakat dunia barat. Kata-kata sekuler dan sekularisasi berasal dari bahasa Barat yakni Inggris, Belanda, dan lain-lain (Nurcholish Madjid: 1998, hal 216). Kamus Bahasa Indonesia memaknai kata sekuler sebagai duniawi kebendaan atau bukan bersifat kerohanian atau kebendaan. Kata sekuler berakar dari kata bahasa Latin ‘ saeculum’ yang makna awalnya berarti masa kini atau generasi sekarang. Bahasa Prancis menggunakan istilah la cit yang merujuk pada kelompok masyarakat biasa dan bukan kalangan pendeta atau klerus. Sekularisme kontras atau beroposisi dengan istilah religius, agama dan yang rohaniah-spiritual. Sekularisme paham yang bernuansa duniawi belaka. Pemikiran sekularisme dimunculkan oleh para ilmuwan yang beraliran agnostik (mengutamakan sains melebihi hal lain) seperti Charles Darwin (biologi), Sigmund Freud (psikoanalisis), Karl Marx (ekonomi), Einstein (IPA), George Elliot, Hardy, Tolstoy Dostoievsky dll yang mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmiah yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur kitab suci dan teologi (R.Coles: 1999, hal. 50). Bukan hanya ajaran kristianisme yang dilawan, sekularisme juga tentu dalam arti tertentu bertentangan dengan agama-agama lain seperti Islam, Budha, Hindu, dan Konghucu sebagai warisan keyakinan agama yang bernilai luhur oleh penganutnya yang tersebar secara sporadis di seantero bumi. Dengan asumsi-asumsi ilmiah, para ilmuwan sekuler ini dengan lantang menyuarakan asumsi mereka bahwa ilmu pengetahuan dan rasio bisa mengatasi berbagai persoalan hidup di dunia, sehingga peran agama dan religiositas terdepak ke titik fragil dan periferi. Perkembangan sains dan pemikiran ilmiah menjadi primadona, sehingga entitas agama 3



dianggap sebagai aspek yang tidak populer, ketinggalan zaman atau hal yang tidak penting lagi dalam persepsi masyarakat modern hingga kontemporer. Sekularisme merupakan suatu ideologi keduniawian yang tertutup dan mau melepaskan diri dari agama atau menolak adanya kehidupan lain di luar kehidupan dunia ini (Madjid: 1998: hal. 218, 257). Ada asumsi, kehidupan hanya berlangsung di dunia ini saja dan tidak ada kehidupan lagi sesudah kematian sebagaimana diyakini oleh agama-agama tentang keselamatan akan datang, surga, nibana, zaman akhir, parusia atau zaman eskatologis. Tidak ada surga, tidak ada akhirat, tidak ada nibana dll. Sekularisme mengagungkan kebebasan liberal dan menolak hidup di bawah tekanan institusi-instusi religius yang berfungsi mengatur secara normatif dan mengarahkan masa depan manusia. Steve Bruce dalam bukunya “God is Dead: Secularitation in the West” mengatakan sekularisasi dimulai di belahan dunia barat dengan adanya reformasi Protestan lalu menurunkan paham relativisme, spesialisasi ke dalam bagian-bagian (compartmentalization), dan kebebasan pribadi (privatitation). Akar-akar sekularisme juga bisa dilacak mulai dari perkembangan pemikiran manusia sejak Auguste Comte (tahap positif berpikir ilmiah yang menyingkirkan teologi-agama), Karl Marx (agama sebagai candu/opium masyarakat), Max Weber (modernitas harus berdasarkan ratio bukan agama). Sekularisme juga berkembang seiring dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengglobal. Sekularisme merembes masuk ke segala dimensi kehidupan manusia di ruang publik hingga ruang privat penghayatan iman keagamaan kaum beragama alias orang-orang yang beriman pada Tuhan. Semangat utama yang dibawa oleh fenomena sekularisme yakni kecenderungan dasariah untuk mengutamakan sistem-sistem filsafat politik dan sosial yang menolak dengan tegas bentukbentuk iman keagamaan dan praktik-praktik ritual peribadatan agama. Dampaknya, pelaksanaan aktivitas kerja di ruang-ruang publik misalnya politik, ekonomi dan sosial serta pendidikan harus dilakukan tanpa didasarkan pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai profan (materialisme-duniawi) menjadi pegangan dan orientasi utama sekularisme yang mengarahkan pola sikap, pola pikir dan pola tindakan manusia masa kini. b. Penyalahgunaan Kekuasaan Lord Action dari Inggris pernah mensinyalir bahwa setiap bentuk kekuasaan itu pada hakikatnya cenderung korup. “Power tends corrupt”, katanya. Kebenaran historis ini terjadi sepanjang sejarah kekuasaan politik manusia di bumi ini. Memegang kekuasaan dan berkuasa atas orang lain adalah suatu kenikmatan, sehingga banyak orang ingin memilikinya (Gea: 2004, hlm. 231). Terkadang orang bisa menggunakan cara-cara jahat, licik, kejam dan kotor untuk mendapatkan kekuasaan yang ingin dicapai. Orang yang memiliki kuasa atau kekuasaan biasanya akan menggunakan kekuasaan untuk menindas atau menekan orang lain. Hal ini merupakan suatu hal yang melekat erat di dalam kata “kekuasaan” karena kekuasaan memberi peluang bagi seseorang/kelompok masyarakat untuk memaksakan kehendak kepada orang lain yang menjadi sasaran represi. Kekuasaan mendatangkan 4



rasa tunduk, taat dan hormat dari orang lain yang ada di bawah pengaruh kekuasaan itu. Secara ekstrem, seorang penguasa bisa saja memperlakukan orang lain secara negatif atau tidak adil bahkan tidak manusiawi asalkan kepentingan penguasa tercapai. Terjadilah apa yang disebut abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan misalnya korupsi, sewenang-wenang, memaksakan kehendak, menindas, bertindak tidak adil, berlaku tidak jujur, menghancurkan lawan, menggunakan orang lain sebagai alat pemuas keinginan diri dan lain sebagainya. Umumnya kekuasaan didapatkan oleh manusia dengan cara perjuangan atau kerja keras dan bisa juga diberikan sebagai hadiah dari orang lain kepada seseorang atau sekelompok orang untuk berkuasa. Sering kekuasaan juga bisa didapatkan karena keahlian/skill, kekayaan, pengetahuan ataupun pendidikan yang kompeten. Namun kekuasaan juga bisa didapatkan karena keberanian seseorang misalnya menang konflik atau perang, unsur kegantengan atau kecantikan, bakat atau talenta spektakuler seseorang dalam hal memimpin dan lain sebagainya. Perlu kita sadari bahwa kekuasaan itu tidak salah, namun yang salah terletak pada orang yang menjalankan kekuasaan itu untuk tujuan baik atau buruk, dengan cara etis atau tidak etis. Kekuasaan penting bagi manusia agar tujuan hidup bersama tercapai, rencana direalisasikan, kegiatan bisa terlaksana dengan baik, organisasi atau kelompok dapat bergerak maju mencapai target dan lain sebagainya. Kekuasaan menjadi salah atau disalahgunakan ketika orang yang memegang kekuasaan mengedepankan ego sendiri dalam praksis kekuasaan tanpa memperhatikan aspirasi, rambu-rambu etis yang berlaku apalagi sampai menindas orang lain secara kejam dan tidak manusiawi sekali.



c. Godaan Materi Satu hal yang tidak bisa kita sangkali adanya yakni bahwa setiap manusia ingin maju dan berkembang secara material dalam hidup. Karena salah satu indikator kesejahteraan manusia yakni indikator akumulasi material yang dimilikinya entah berupa aset tanah, rumah mewah, kendaraan (mobil), uang dan lain-lain. Kepemilikan materi merupakan satu daya pikat yang menguasai hati semua orang (Gea: 2004, hlm. 233). Fenomena ini sering menjadi suatu keinginan atau kehausan besar yang seolah-olah tak pernah terpuaskan hingga tuntas. Ketika muncul suatu produk barang baru di pasaran, orang akan berlomba-lomba untuk membeli demi mendapatkannya. Nafsu untuk memiliki barang melecut manusia untuk terus membeli dan membeli. Fenomena inilah yang oleh Magnis Suseno dinilai sebagai megatrend masyarakat zaman kini. Orang menghayati gaya hidup konsumisme yakni semacam nafsu untuk membeli dan terus membeli tanpa pernah puas ataupun berhenti (Makalah Seminar Character Building di Binus University, 2012). Lihat saja di mall-mall dan pusat perbelanjaaan di kota Jakarta dan kota-kota besar. Banyak orang mulai dari kalangan bawah hingga elit menjadikan mall sebagai tempat rekreasi untuk menghabiskan uang yang didapatkannya entah dengan cara halal ataupun tidak. Disadari atau tidak, nafsu untuk membeli barang



5



merupakan kekuatan yang sudah seakan menghipnotis banyak orang. Disadari ataupun tidak nafsu untuk terus membelanjakan uang, membeli barang atau memiliki produk trend tertentu merupakan masalah serius di dalam zaman edan kita sekarang ini. Jika tidak diwaspadai, maka lama kelamaan akan mempolusikan bening spiritual dimensi jiwa manusia. Karena orang bisa saja menggunakan caracara tak halal untuk mendapatkan materi atau uang misalnya dengan cara korupsi untuk bisa memenuhi nafsu membeli barang material yang diinginkannya. Tentu materi bukan unsur yang salah atau negatif, karena ia perlu bagi kita manusia untuk bertahan hidup di dunia sementara ini. Letak kesalahannya justru pada keinginan hati atau nafsu liar manusia untuk memiliki banyak barang secara irasional dan membabi buta sampai tidak peduli pada sesama yang lain. Sehingga ujung-ujungnya nafsu itu mendatangkan kerugian fatal bagi diri manusia dan orang lain. Nafsu memiliki barang malah bisa mendatangkan neraka (derita) bagi manusia dan bukannya surga (bahagia) di hati manusia. Dan inilah salah satu ancaman serius bagi kita manusia beragama yang hidup di era globalisasi ini. d. Godaan Seks Manusia dibedakan sebagai pria (laki-laki) dan wanita (perempuan) lengkap dengan organ genital atau alat kelamin yang membedakan keduanya secara dilahirkan. Dengan alat kelamin inilah orang bisa mencari kebahagiaan badaniah bagi dirinya sendiri. Orang bisa menggunakan alat kelamin untuk menghasilkan rangsang seksual demi kepuasan atau kesenangan badan semata-mata. Kita tidak bisa menyangkal hakikat tubuh manusia yang penuh pesona dan indah itu. Justru karena daya tarik seks inilah maka hubungan antara pria dan wanita menjadi menarik, indah dan selalu baru (Gea: 2004, hlm. 234). Namun pesona keindahan seks manusia ini banyak kali disalahgunakan secara tidak etis dan tidak bertanggung jawab sehingga keindahan seks akhirnya tercemari. Itu tampak dalam berbagai tindakan yang tidak etis dan inferior-rendah seperti prostitusi, seks bebas, perkosaan, pelecehan seks, selingkuh, perzinahan, kekerasan seksual dan berbagai bentuk manipulasi seksual lain yang merusakkan makna seks yang sejati sebagai hubungan intim antarmanusia yang bersifat personal, indah, sejati dan suci. Seksualitas yang dihayati secara salah akan tergerus nilainya menjadi sebuah fenomena objektivasi antarmanusia. Ketika ini terjadi maka hubungan subjek-subjek menjadi ternodai. Yang ada hanyalah hubungan subjek-objek yang saling mengobjekkan, memperalat dan memanipulasi satu sama lain. Seks harus dihayati sebagai karunia Tuhan yang indah bagi manusia, dan karena itu ia harus diekspresikan secara sadar, etis, dan bertanggung jawab agar tidak mendatangkan efek merusak bagi diri sendiri maupun orang lain. Makna hubungan antarmanusia perlu dihayati secara tepat: etis, estetis dan spiritual sesuai dengan norma-norma sosial, hukum, adat istiadat dan religius yang berlaku.



6



e. Saintisme dan Agnotisisme Saintisme merupakan suatu pandangan yang memegang teguh paham/prinsip/anggapan dasar bahwa metode ilmu pengetahuan dapat digunakan dan diterapkan untuk memahami segala hal dan bahwa segala sesuatu peristiwa dapat dipikirkan dan diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan metode ilmu pengetahuan saja. Stenmark (1995) mengatakan bahwa bentuk terkuat dari saintisme yakni ia tidak memiliki batasan dan bahwa semua masalah manusia dan semua aspek usaha manusia, seiring waktu, akan ditangani dan diselesaikan hanya oleh sains saja, sehingga semua persoalan direduksikan solusi penyelesaiannya hanya pada soal pengetahuan sains. Belum ditambah lagi dengan pandangan agnotisisme-ateistik yang tentu juga bertumbuh seiring dengan dinamika pengetahuan dan sains yang terus berkembang di era digital saat ini. Pandangan seperti ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi agama dan kaum religius di masa sekarang ini dan ke depannya. Dibutuhkan pemahaman yang komprehensif dan sikap kritis berbasis nilai-nilai religius untuk merespons hal-hal seperti ini agar tidak terjebak dan jatuh ke dalam pola berpikir yang saintis-agnostik secara absolut atau mutlak. f. Artificial Intelligence Kecerdasan buatan (AI) sebetulnya ditemukan pertama kali filsuf muda bernama Alan M. Turing (1912-1954) usai perang dunia ke-2 pada tahun 1947. Dalam “Buku The Essential Turing: Seminal Writings in Computing, Logic, Philosophy, Artificial Intelligence, and Artificial Life: Plus The Secrets of Enigma”, Turing mengatakan bahwa manusia dapat mengolah informasi dan memecahkan masalah termasuk mengambil keputusan berdasarkan informasi tersebut, sehingga dengan demikian maka mesin juga dapat melakukan hal yang sama. Sistem penciptaan kecerdasan buatan di dalam dunia komputer menggunakan logika dan simbol-simbol algoritma dalam pengembangannya. Aritifial intelligence (AI) beroperasi berdasarkan pemrograman algoritma pada sistem komputer dalam proses konstruksi logika dan mekanisme prosesnya. Karena kemampuan efisiensi kerja yang diciptakan AI mampu menyelesaikan masalah/persoalan pekerjaan manusia berbasis data maka manusia semakin tergantung dan menggantungkan diri pada AI. AI ini dapat menjadi sesuatu yang diagungkan atau diidolakan oleh manusia, sehingga lama-lama kelamaan manusia menyerahkan keyakinannya, obsesinya, optimismenya pada AI dan bahkan bisa mentuhankan AI dalam pandangan-pandangannya. Ini tantangan juga dalam konteks era digital masa kini, khususnya bagi kaum religius dan anak muda milenial yang melek dan familiar dengan hal-hal yang bersifat teknologis. g. Aborsi, Euthanasia, dan Hukuman Mati Dewasa ini persoalan yang berkaitan dengan kehidupan merupakan salah satu isu penting dan mendesak untuk diperhatikan. Persoalan aborsi atas janin manusia di dalam rahim atau kandugan, euthanasia, dan juga hukuman mati atas para penjahat di dalam masyarakat juga merupakan hal yang debatable. Di satu sisi ada free choice (pilihan bebas) dari pihak manusia berkaitan dengan suatu keputusan dan tindakan yang mau diambilnya berhadapan dengan kesulitan-kesulitan pragmatis, ekonomis, maupun psikologis yang melatarbelakangi dan mendasarinya. Namun kita perlu menyadari bahwa kehidupan itu, secara kodrati, merupakan anugerah Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. 7



Oleh karena itu itu kehidupan perlu dijaga, dipelihara, dilestarikan dengan penuh rasa hormat dan tanggung jawab etis-religius kepada kemanusiaan dan Sang Pencipta. Secara religius, agama-agama mengambil posisi untuk melawan segala bentuk pembunuhan, penghilangan atas nyawa manusia maupun hukuman mati atas pelaku kejahatan dalam kehidupan ini. Kehidupan itu mulia dan perlu dijalankan dan dihayati dengan penuh sikap hormat pada Sang Pemberi dan Pemilik Kehidupan itu sendiri yang adalah Tuhan sendiri. Biarkanlah kehidupan itu berlangsung secara alamiah sesuai dengan rencana dan kehendak Sang Ilahi Pencipta. 2.



Solusi Mengatasi Isu-Isu Kontemporer a. Bertindak Bijaksana-Rasional Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan ciri khasnya yang paling menonjol (Polanyi:



2001, hlm. 15). Kualitas berpikir ini menjadi kekuatan utama manusia untuk mengatur dan mengarahkan instingnya menuju tindakan-tindakan yang baik secara etis. Kualifikasi rasionalitas inilah yang merupakan ciri dasar pembeda khas manusia dari binatang yang memang hanya hidup dengan mengandalkan insting untuk bertahan hidup (survive). Manusia tidak akan hidup baik, bahagia dan damai kalau hanya mengikuti dorongan insting belaka. Ia akan hidup tenang dan bahagia, asal saja ia bertindak menurut rasionya; ia akan menguasai nafsu-nafsunya dan mengendalikan diri secara sempurna, supaya dengan penuh keinsyafan ia menaklukkan diri pada hukum-hukum alam (Bertens: 2000, hlm. 16). Orang yang hidup menurut rasionya akan mencapai kebebasan sejati dan tidak tunduk atau terbelenggu di bawah kuasa, tekanan atau kendali insting-insting rendahan. Ia akan bertindak rasional untuk mencapai kebebasan sejati yang membahagiakan diri maupun sesamanya. Orang yang bertindak rasional tidak lagi tunduk pada kuasa insting, tetapi tunduk dan mengarahkan diri pada hal-hal yang benar sesuai pertimbangan rasio sehingga membuatnya hidup gembira dan bahagia secara sempurna. Karena terlalu banyak mengikuti kesenangan badaniah manusia, akan menggelisahkan batin manusia (Bertens: 2000, hlm. 17). Karena itu manusia perlu membebaskan diri dari kungkungan insting kesenangan badaniah sesaat itu dengan mendasarkan tindakannya di atas pikiran atau rasio. Hanya dengan ini manusia menjadi bebas-otonom dari belenggun kuasa-kuasa instingtif badaniah yang menghancurkan diri. b. Percaya dan Beriman Teguh kepada Tuhan Orang bijaksana tahu membebaskan diri (dari godaan) dan terutama mencari kebahagiaan rohani supaya keadaan batin tetap tenang (Bertens: 2001, hlm. 17). Orang yang bijak tidak mencari kebahagiaan di dalam daya tarik duniawi yang sesaat dan menyesatkan dirinya. Namun kebahagiaan rohani seorang yang bijak diarahkan secara absolut pada nilai-nilai religius-spiritual yang abadi dan perennial. Sumber kebahagiaan diri tidak ditemukan dalam daya tarik material duniawi, tetapi dicari dan ditemukan dalam dimensi rohani-spiritual. Dalam konteks inilah kita bicara tentang pentingnya beriman dan mendekatkan diri pada Tuhan. 8



Menghadapi daya tarik duniawi yang menggiurkan, kita tentu tidak hanya mengandalkan diri sendiri saja. Sebab kepercayaan diri manusiawi yang berlebihan tanpa sikap iman pada Tuhan, hanya akan melorotkan manusia kembali pada godaan-godaan yang sama. Sebagai orang yang beriman pada Tuhan, usaha mengatasi godaan-godaan kita butuhkan intervensi atau penyelenggaraan Ilahi Tuhan. Karakter kerapuhan yang melekat pada dimensi kemanusiaan kita menuntut kita untuk mengandalkan pertolongan Tuhan yang Maha Kuasa. Karena kendatipun tubuh kita berkarakter rapuh terhadap godaan, namun kita bisa kuat mengatasi kerapuhan itu di dalam nama Tuhan. Bersama dan di dalam Tuhan, kita percaya diri dan berharap mampu mengatasi segala godaan dan daya tarik duniawi. Bersama Tuhan kita menang, tanpa Tuhan kita kalah. Mendekatkan diri pada Tuhan dalam konteks seorang beriman, artinya kita perlu selalu bersikap rendah hati dan berdoa mohon kepada Tuhan untuk membantu kita mengatasi kelemahan-kelemahan manusiawi kita. Doa permohonan itu kita sampaikan terus-menerus kepada Tuhan tanpa henti siang dan malam. Dan kita yakin, dalam semuanya itu Tuhan pasti akan memberikan kekuatan spiritual bagi kita untuk menghadapi godaan-godaan itu dengan penuh keberanian dan jiwa besar. Doa yang kita panjatkan dengan tulus-ikhlas kepada Tuhan akan dikabulkan Tuhan pada waktunya. Sehingga kita tidak hidup di bawah kuasa bayang-bayang godaan duniawi, namun hidup bebas sebagai anak-anak Tuhan yang spiritual. Alhasil, diri kita bisa bertransformasi dari kerapuhan pada godaan menuju pada kekuatan untuk bertahan di tengah godaan dan akhirnya muncul sebagai pahlawan pemenang yang kukuh dalam Tuhan. Kita bisa menjadi bebas dari godaan duniawi. Pada suatu ketika memperoleh penerangan, sekali lagi kita mendapat hasrat akan yang surgawi, dan menyucikan diri dari segala kotoran duniawi: “Orang harus mengabaikan segala sesuatu yang lain untuk berpaling pada Tuhan dan mempersatukan diri dengan-Nya” (Bertens: 2000, hlm. 38). Dekat dengan Tuhan, manusia makin jauh dari godaan-godaan duniawi. Sebaliknya jauh dari Tuhan, manusia makin dekat dengan godaan-godaan duniawi. c. Saling Menjaga Satu Sama Lain Sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan, kita perlu bekerja sama untuk melawan berbagai godaan yang dibawa oleh pengaruh sekularisme itu. Kita perlu peduli pada kebaikan sesama dan tidak menjerumuskan sesama ke dalam godaan-godaan duniawi itu. Kita perlu menjaga satu sama lain, membebaskan sesama dari belenggu godaan. Kita perlu memiliki keberanian moral dan keteguhan hati untuk sama-sama berjuang melawan dosa atau berjuang terus untuk tidak hanyut di bawah oleh arus utama tarikan godaan-godaan itu. Kita harus saling membantu, saling menasihati, saling menjaga untuk tidak menjerumuskan satu sama lain ke dalam godaan-godaan duniawi yang ada. Hanya dengan itu kita sungguh bersikap solider dan ikut bertanggung jawab menjaga kehidupan dan masa depan sesama kita menuju kebaikan.1 1



Diadaptasi dari Frederikus Fios dan Atosokhi Gea (2017). Character Building: Spiritual Development. Binus University: Jakarta.



9



Mengendalikan diri tentu kita tidak bermaksud menghilangkan secara total nafsu-nafsu yang ada di dalam diri kita. Pengendalian diri tidak boleh dipikirkan seperti kita memberikan obat instan-efektif bagi diri kita agar tidak bereaksi sama sekali pada godaan-godaan. Bukan artinya kita membius mati insting-insting manusiawi kita. Bukan begitu maksudnya. Karena bagaimanapun juga insting atau nafsu, adalah libido sexualis (energy hidup) menurut Freud sebagai prayarat mutlak bagi kondisi kemanusiaan kita. Namun yang penting bagi kita dalam konteks wacana CB agama ini yakni usaha kita secara sadar dan kritis untuk selalu memegang kendali dalam menghadapi godaan-godaan baik itu godaan material, godaan kuasa maupun godaan seks. Kita perlu berusaha menjadi pribadi yang selalu berpikir jernih dan bertekad kuat untuk menang melawan godaan-godaan itu. Mengendalikan diri merupakan bentuk tanggung jawab etis-religius kita terhadap Tuhan, sesama dan terhadap diri kita sendiri. Dengan berusaha terus-menerus untuk mengendalikan diri, kita mau berikhtiar mencapai suatu taraf penghayatan kualitas hidup rohani-religius yang lebih tinggi dan lebih baik lagi. Dengan mengendalikan diri, kita mau membentuk pribadi kita menjadi sosok yang semakin mencintai sesama dengan murni dari waktu ke waktu, dari hari ke hari sebagai manusia sepanjang hidup. Godaan-godaan yang kita ikuti biasanya menjauhkan kita dari Tuhan dan sesama. Karena kita akan diarahkan untuk cenderung bersikap egoistik demi memenuhi keinginan atau kesenangan sendiri. Dan kita mau bangkit dari situasi keterpurukan ini dalam cinta kasih yang murni pada sesama. Kita mau menjadi pribadi yang semakin mengasihi dan mencintai Tuhan dan sesama dengan tulus- ikhlas. Ini artinya kita mau berusaha dan bangkit untuk bersikap solider atau setia kawan terhadap sesama yang lain. Godaan materi atau harta bisa membuat kita merusakkan alam lingkungan hidup (untuk mendapatkan barang dan uang) dengan mengurasnya untuk kepentingan egoistik kita. Godaan kekuasaan membuat kita melecehkan harga diri sesama karena kita menindas dan memanipulasi mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan. Godaan seks membuat kita mengeksploitasi tubuh tanpa cinta dan menghancurkan hidup serta masa depan orang lain. Semua godaan ini mendatangkan dampak destruktif bagi sesama dan lingkungan kita. Dalam konteks pemikiran di atas kita mau melakukan sebuah “metanoia religius” untuk tidak lagi terjatuh atau melakukan kesesatan-kesesatan yang sama melalui tindakan-tindakan mengikuti rayuan gombal godaan-godaan yang menggiurkan. Kita mau berbalik haluan ke arah dan jalur rel yang benar. Semuanya kita lakukan dengan penuh keikhlasan, ketulusan, cinta kasih, dan rasa solider pada sesama yang lain. Kita mau mengendalikan godaan materi agar orang lain pun ikut berkembang dan menikmati kesejahteraan seperti kita. Kita mau mengendalikan godaan kuasa, agar orang lain senang dan bahagia berada di dekat kita. Kita mau mengendalikan godaan seks itu, agar hubungan manusiawi kita terkondisikan berlangsung dalam suasana subjek-subjek dan bukannya subjek-objek untuk saling melecehkan dan melukai perasaan masing-masing. Kita mau mengendalikan diri dalam suasana solidaritas atau setia kawan terhadap sesama kita, khususnya yang susah dan menderita. Kita mau 10



berbagi, peduli, peka, dan mengasihi orang lain dengan ikhlas dan tulus sehingga tercipta dunia yang damai, harmonis dan nyaman bagi siapa saja. Inilah saatnya kita menciptakan “surga spiritual” bagi sesama dan bukannya “surga duniawi” untuk kepentingan egoistik kita yang rendah dan murahan. d. Rendah Hati dan Menerima Sifat Keterbatasan Duniawi Untuk dapat menyikapi secara bijaksana isu-isu yang berkaitan dengan saintisme, agnotisisme, artificial intelligent kita tentu perlu menanamkan sikap rendah hati dan penerimaan akan sifat keterbatasan manusia kita sebagai makhluk fana di dunia ini. Segala unsur ciptaan Tuhan adalah fana dan tentu ada kelemahan, kekurangan, dan keterbatasannya. Kita perlu menyadari bahwa pemikiran logis kita terbatas, alat yang kita ciptakan pun terbatas dan inferior, tidak ada yang sempurna. Hanya Tuhan yang Maha Sempurna. Tuhan yang Maha Sempurna, Dia pencipta dan pemilik segala sesuatu di dalam realitas alam semesta ini. Maka kita perlu menanamkan sikap kerendahan hati yang religius untuk dapat terus merefleksikan kelemahan dan kekurangan kita sebagai manusia dalam proses pengembangan diri menjadi pribadi yang semakin religius-spiritual dalam perjalanan kehidupan kita ke arah yang lebih ideal.



Tugas Diskusi Kelompok Setelah mempelajari materi ini refleksikan secara kelompok: 1. Apa saja isu-isu kontemporer yang menantang dan berpengaruh bagi perkembangan iman dan agama kalian sebagai anak muda dan bagaimana sebaiknya kita menyikapinya? 2. Mengapa kita tidak boleh mentuhankan sains, artificial intelligence, dan materi? Kemukakan alasan-alasan mendasar untuk memperkuat argumentasi kalian!



11



Referensi







Alan M. Turing (2004). The Essential Turing: Seminal Writings in Computing, Logic, Philosophy, Artificial Intelligence, and Artificial Life: Plus The Secrets of Enigma. Oxford University Press.







Antonius Atosokhi Gea (2004). CB III: Relasi dengan Tuhan. Elex Media Komputindo: Jakarta.







Departermen Pendidikan dan Kebudayaan (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka







Frederikus Fios dan Antonius Atosokhi Gea (2017). CB: Spiritual Development. Bina Nusantara University: Jakarta







Mikael Stenmark (1995). Rationality in Science, Religion, and Everyday Life A Critical Evaluation of Four Models of Rationality. Indiana: University of Notre Dame Press.







Nurcholish Madjid (1998). Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.







Robert Coles (1999). Secular Mind. New Jersey: Princeton University Press.







Tim Penulis CB Agama (2014). Character Building: Agama. Jakarta: Binus University



12