Logbook Tutor 2 Chantika Septidianti G1B118010 Kep Kritis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LOGBOOK KASUS II MATA KULIAH KEPERAWATAN KRITIS “SYOK OBSTRUKTIF DAN EMBOLI PARU”



DOSEN PEMBIMBING : Ns. Yosi Oktarina, S.kep, M.Kep.



DISUSUN OLEH : Chantika Septidianti



(G1B118010)



PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI TAHUN 2021



Kasus II Seorang wanita berusia 55 tahun dengan riwayat medis AIDS di masa lalu di rawat di ICU. Pasien mengalami kardiomiopati dilatasi (perkiraan fraksi ejeksi ventrikel kiri 15% pada ekokardiogram transtoraks sebelumnya), dan trombosis vena dalam (DVT), hipotensi dan dispnea. Pasien dibawa ke gawat darurat, dengan kondisi tanda-tanda vital : suhu 39 ° C, HR = 142/min, BP-90/60 mmHg, dengan saturasi oksigen 99% saat menghirup oksigen 100% melalui non-breathing mask. Hasil CT-scan pulmonary angiogram menunjukkan adanya trombus besar di arteri pulmonalis utama kanan dan kiri dengan oklusi tidak lengkap, selain trombus segmental multipel di lobus kanan atas, tengah dan bawah. Tidak ada trombosis vena dalam ekstremitas bawah yang dicatat pada venogram. Kesimpulan CT- scan dada menunjukkan emboli paru di arteri pulmonalis utama bilateral. Step 1 1. kardiomiopaty dilatasi 2. pulmonary angiogram 3. trombus segmental multiple 4. tombosis vena dalam 5. ekokardiogram transthorax 6. disneu Jawab. 1. Kardiomiopati dilatasi atau dilated cardiomyopathy (DCM) adalah gangguan miokard yang didefinisikan oleh dilatasi dan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri, atau kedua ventrikel, tanpa adanya penyakit arteri koroner, kelainan katup, atau penyakit perikard. 2. Angiografi paru adalah prosedur fluoroskopi medis yang digunakan untuk



memvisualisasikan arteri pulmonalis dan lebih jarang, yaitu vena paru. Angiografi paru konvensional adalah prosedur invasif minimal yang paling sering dilakukan oleh ahli radiologi intervensi atau ahli jantung intervensi. 3. Trombus adalah gumpalan darah yang terbentuk pada dinding pembuluh darah. Gumpalan darah sebenarnya bermanfaat untuk menghentikan perdarahan, sebagai respons terhadap cedera atau luka. Namun ketika terjadi di luar kondisi tersebut, trombus dapat menyebabkan masalah kesehatan serius. 4. trombosis vena dalam adalah penggumpalan darah pada satu atau lebih pembuluh darah vena dalam. Pada sebagian besar kasus, DVT terbentuk di pembuluh darah paha atau betis, tetapi bisa juga terbentuk di pembuluh darah bagian tubuh lain. 5. Ekokardiografi (USG jantung) adalah metode pemeriksaan yang menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk menangkap gambaran struktur organ jantung. Ekokardiografi biasanya dibantu dengan teknologi Doppler yang dapat mengukur kecepatan dan arah aliran darah. Ekokardiografi bertujuan untuk memeriksa adanya kelainan pada struktur jantung, pembuluh darah, aliran darah, serta kemampuan otot jantung dalam memompa darah. Metode pencitraan ini dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit jantung, menentukan pengobatan yang tepat, dan mengevaluasi pengobatan yang diberikan.    6. Sesak napas, atau yang dalam bahasa medis disebut dispnea, adalah kondisi kesehatan di mana seseorang mengalami kesulitan bernapas. Beberapa orang yang mengalami kondisi ini menggambarkannya sebagai sensasi yang membuat tubuh seakan membutuhkan udara lebih banyak, dada menyempit, serta merasa tidak berdaya. Dispnea atau sesak napas adalah kondisi yang tidak nyaman, bahkan menyakitkan. Biasanya, ini menjadi gejala atau tanda adanya penyakit atau gangguan kesehatan.



Step 2 1. bagaimana bisa terjadi emboli paru di arteri pulmonalis utama bilateral 2. apa tindakan utama pada pasien emboli paru seperti pada kasus? 3. apakah setiap orang mengalami penyakit aids mengalami kardiopati dilatasi 4. mengapa pasien diberi terapi non nibreating mask 5. komplikasi yang bisa terjadi akibat kasus? 6. bagaimana penataaksanaan perawat terhadap pasien kardiomiopati? 7. dampak dari emboli paru 8. kondisi seperti apakah yang dapat menyebabkan emboliparu selain pada kasus?



Step 3 1.



emboli adalah penyumbatan pada paru2, penyebabnya adanya tulang patah emboli paru disebabkan oleh gumpalan darah pada arteri pulmonalis,



2. Tindakan utama perawat pada pasien yg terjadi emboli paru yaitu : Pemberian obat trombolitik untuk memecahkan bekuan darah Dan bisa melakukan bedah embolektomi untuk mengeluarkan gumpalan darah. Tujuan prosedur ini dilakukan jika gumpalan darah terlalu besar dan mengancam nyawa pasien. 3. hiv bisa saja terjadi komplikasi kardiopati, karena virus menyerang pertahanan tubuh 4.



karena pada kasus pasien mengalami dispneu, dan hasil TTV HR 142x/menit dan BP 90/60 untuk mencegah pasien terjadi hipoksia maka pasien diberikan terapi non rebreathing mask dengan saturasi oksigen 99% dngn aliran 10-15 liter



5. komplikasi yang berpotensi terjadi pada kasus karna terdapat emboli paru memungkinkan terjadi emboli pulmonal,yaitu pembekuan darah yang terjadi di arteri pulmonalis atau di salah satu paru paru, karna pembekuan darah tersebut bisa penyebabkan gagal ginjal. komplikasi yg bisa terjadi pd kasus: Pada kasus pasien memiliki tannda vital dengan heart rate abnormal yaitu 140/m, normalnya 60-100, karena heart rate tergolong abnormal maka yg terjadi adalah takikardi (jantung yang berdetak cepat melebihi normal hingga lebih dari 100 kali per



menit juga bisa menjadi tanda adanya gangguan kerja jantung 6.



tergantung keadaan pasien, dimulai dengan penanganan gejala, penanganan komplikasi seperti aritmia implantable cardiorverter defibrillator (ICD) atau left ventricular assist device. Tekanan darah tinggi di pembuluh arteri paru-paru (hipertensi pulmonal),Kematian jaringan paru-paru (infark paru) ,Gangguan irama jantung (aritmia), Henti jantung, Dampak emboli paru, Penumpukan cairan di membran paru-paru (efusi pleura), Tekanan darah tinggi di pembuluh arteri paru-paru (hipertensi pulmonal) Kematian jaringan paru-paru (infark paru), Gangguan irama jantung (aritmia), Henti jantung karean adanya kerusakan langsung hiv, karena adanya virus.



7. bisa menyebabkan hipertensi paru karena tekanan darah pada jantung tinggi kematian paru-paru, gangguan irama jatung penumpukan cariran di membrane paru-paru, henti jantung. 8. Cedera seperti patah tulang atau robekan otot dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, yang menyebabkan penggumpalan atau pembekuan darah dan penyakit jantung, kanker, dan Covid-19 dapat menyebabkan darah menggumpal terlalu mudah, yang bisa menyebabkan emboli paru



STEP 4



Ny. X 55thn



Riwayat Penyakit lalu: kardiomiopati dilatasi



Riwayat kesehatan TTV :



suhu 39 ° C



-Hipotensi -Dispnea



-BP-90/60 mmHg saturasi oksigen 99% -



Tatalaksana : - CT Scan



- pulmonary angiography - Venogram Syok Obstruktif dan Emboli paru



Trombus besar artiri kiri kanan emboli paru



STEP V KONSEP MANDIRI “SYOK OBSTRUKTIF” A. Definisi Syok Obstruktif Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 1 faktor utama yaitu curah jantung, volume darah, dan tonus vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokonstriksi perifer meningkat. Jika hipotensi menetap dan vasokonstruksi berlanjut, hipoperfusi mengakibatkan asidosis laktat, oliguria, dan ileus. Jika tekanan arteri cukup rendah, terjadi disfungsi



otak dan otot jantung (Mansjoer,1999). Syok obstruktif merupakan gangguan kontraksi jantung akibat dari luar atau



gangguan



aliran



balik



menuju



jantung



terhambat,



akibatnya



berkurangnya preload sehingga cardiac output berkurang. Syok obstruktif adalah syok yang terjadi karena sumbatan pembuluh darah baik karena tromboemboli paru maupun karena tamponade jantung. Syok obstruktif adalah syok yang terjadi akibat penyumbatan pada pembuluh darah sentral baik arteri maupun vena di mana tidak terdapat system kolateral. B. Etiologi Syok Obstruktif Syok obstruktif terjadi akibat aliran darah dari ventrikel mengalami hambatan se!ara mekanik, diakibatkan oleh gangguan pengisian pada ventrikel kanan maupun kiri yang dalam keadaan berat bisa menyebabkan penurunan cardiaac output. Hal ini biasa terjadi pada obstruksi vena cava, emboli pulmonal, pneumotoraks, gangguan pada pericardium (misalnya : tamponade jantung) ataupun berupa atrial myxoma. 1) EMBOLI PARU (PULMONARY EMBOLISM) Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh suatuembolus, yang terjadi secara tiba-tiba. Suatu emboli bisa merupakan gumpalan darah (thrombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara, yang akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah. 2) TAMPONADE JANTUNG Tamponade jantung yaitu pengumpulan cairan di dalam kantong jantung (kantong perikardium, kantong pericardial), yang menyebabkan penekanan terhadap jantung dan kemampuan memompa jantung. Tamponade jantung terjadi secara mendadak jika begitu banyak cairan



terkumpul sehingga jantung tidak dapat berdenyut secara normal. Sebelum timbulnya tamponade, penderita biasanya merasakan nyeri samar-samar atau tekanan di dada, yang akan bertambah buruk jika berbaring dan akan membaik jika duduk tegak. Dasar kelainan : terkumpulnya banyak cairan dalam kavumperikard. Tamponade jantung merupakan suatu sindroma klinis akibat penumpukan cairan berlebihan di rongga perikard yang menyebabkan penurunan pengisian ventrikel disertai gangguan hemodinamik (Dharma, 2009:67). Jumlah cairan yang cukup untuk menimbulkan tamponade jantung adalah 250 cc bila pengumpulan cairan tersebut berlangsung cepat, dan 100 cc bila pengumpulan cairan tersebut berlangsung lambat, karena pericardium mempunyai kesempatan untuk meregang dan menyesuaikan diri dengan volume cairan yang bertambah tersebut (Muttaqin, 2009: 137). C. Manifestasi Klinis a. Gejala obyektif  Pernapasan cepat dan dangkal  Nadi cepat dan lemah  Akral pucat, dingin danlembab  Sianosis : bibir, kuku, lidah dan cuping hidung  Pandangan hampa dan pupil melebar b. Gejala Subyektif  Mual dan mungkin muntah  Rasa haus  Badan lemah



 Kepala terasa pusing



D. Patofisiologi Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu (Komite Medik. 2000): 1) Fase Kompensasi Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun. tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun. 2) Fase Progresif Terjadi



jika



tekanan



darah



arteri



tidak



lagi



mampu



mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi. sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler.



metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus. pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi



bakteri



dan



penurunan



fungsi



detoksikasi



hepar



memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikulo endotelial rusak. integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahanmetabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik. terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan. 3) Fase Irevesibel Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.



E. Derajat Syok 1) Syok ringan Penurunan perfusi pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot dan tulang. Jaringan ini relative dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan perubahan jaringan yang menetap. Kesadaan tidak terganggu , prodduksi urin normal sedikit menurun dan asidosis metabolic tidak aada. 2) Syok sedang Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun( hati, usus, ginjal). Organ organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit, dan otot. Pada keadaan ini terdapat oligurri (urin kurang ari 0.5/ jam )dan asidosis metabolic. Akan tetapi kesadaran relative masih baik. 3) Syok berat Perfusi jaringan ke jantung dan otak tidak adekuat, mekanisme kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lajut vasokontraksi di semua pembuluh daraah lain. Terjadi oliguri dan sidosis berat, gagguan kesadaran, tanda tanda vital hopoksia dan EKG abnormal. F. Penatalaksanaan Pasien di letakkan dalam posisi telentang arau telanjang dengan kaki di tinggikan untuk syok yang tidak terdiagnosis: 1) Bebaskan jalan nafas sehingga adekuat 2) Pasang akses ke intravena



3) Pengembalian cairan 4) Pertahankan produksi urine G. Komplikasi 1) Kegagalan multi organ akibat penurunan darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan 2) Sindrom distress pernfaasan dewasa akibat distraksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia 3) DIC( koagulasi intravaskuler diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan jenjang koagulasi.



ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS SYOK OBSTRUKTIF A. Pengkajian Pendekatan ABCDE Airway  Yakinkan kepatenan jalan napas 



Berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal)







Jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan bawa segera mungkin ke ICU



Breathing 



Kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang signifikan







Kaji saturasi oksigen







Periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan asidosis







Berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask







Auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada periksa foto



thorak Circulation 



Kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan







Monitoring tekanan darah, tekanan darah







Periksa waktu pengisian kapiler







Pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar







Berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel







Pasang kateter







Lakukan pemeriksaan darah lengkap







Siapkan untuk pemeriksaan kultur







Catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang dari 36oC







Siapkan pemeriksaan urin dan sputum







Berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan setempat.



Disability Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU. Exposure Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dantempat sumber infeksi lainnya. Tanda ancaman terhadap kehidupan Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan



kegagalan fungsiorgan. Jika sudah menyembabkan ancaman terhadap kehidupan maka pasien harusdibawa ke ICU, adapun indikasinya sebagai berikut: 



Penurunan fungsi ginjal







Penurunan fungsi jantung







Hyposia







Asidosis







Gangguan pembekuan







Acute respiratory distress syndrome (ards) – tanda cardinal oedema pulmonal.



B. Pengkajian Umum 1) Aktifitas Gejala : Malaise 2) Sirkulasi Tanda : 



Tekanan darah normal atau sedikit dibawah normal (selama hasil curah jantung tetap meningkat).







Denyut perifer kuat, cepat (perifer hiperdinamik): lemah / lembut / mudah hilang, takikardi ekstrem (syok).







Suara jantung : disritmia dan perkembangan S3 dapat mengakibatkan disfungsi miokard, efek dari asidosis atau ketidak seimbangan elektrolit.







Kulit hangat, kering, bercahaya (vasodilatasi), pucat, lembab, burik (vasokontriksi).



3) Eliminasi Gejala : Diare



4) Makanan/Cairan Gejala : Anoreksia, Mual, Muntah: Penurunan haluaran, konsentrasi urine, perkembangan ke arah oliguri,anuria. 5) Nyeri/Kenyamanan:



Kejang



abdominal,lakalisasi



rasa



sakit



atau ketidaknyamanan, urtikaria,pruritus. 6) Pernafasan Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan,penggunaan kortikosteroid, infeksi baru, penyakit viral. Suhu : umumnya meningkat (37,9°C atau lebih) tetapi mungkin normal pada lansia atau mengganggu pasien, kadang subnormal. Luka yang sulit atau lama sembuh, drainase purulen,lokalisasi eritema. Ruam eritema macular 7) Seksualitas Gejala : Pruritus perineal. Tanda : Maserasi vulva, pengeringan vaginal purulen. 8) Pendidikan kesehatan Gejala : Masalah kesehatan kronis atau melemah, misalnya hati,ginjal,sakitjantung, kanker,DM, kecanduan alcohol. Riwayat splenektomi: Baru saja menjalani operasi / prosedur invasive, luka traumatic. Penggunaan antibiotic ( baru saja atau jangka panjang ). C. Analisa Data



Data



Etiologi



Masalah



DS:



Infasi mikroba



Risiko Infeksi



Pasien atau keluarga pasien mengatakan pasien menderita sakit kronis,



Pelepasan endotoksin atau eksotoksin



demam DO (f.risiko): 



adanya penyakit kronis







terhadap infeksi



penekanan sistem imun







Respon sistemik tubuh



SEPSIS



pertahanan primer yang tidak adekuat (luka, trauma jaringan kulit)







Stimulasi sel imun tubuh



pertahanan sekunder inadekuat (Hb turun, leukopenia)







prosedur infasif







malnutrisi



DS:



produksi sitokin proinflamasi berlebih Risiko infeksi Infasi mikroba



jaringan perifer



Perubahan sensasi DO: 



TD turun/hipotensi







RR meningkat







CRT >2 detik







akral ekstremitas



Ketidakefektifan perfusi



Pelepasan endotoksin atau eksotoksin



Respon sistemik tubuh terhadap infeksi



dingin 



kulit pucat







edema ekstremitas







nadi lemah



SEPSIS



Efek berbagai mediator inflamasi (protaglandin, kinin, histamin)



respon inflamasi masif di jaringan vaskuler



agregasi leukosit dan penimbunan fibrin



penyumbatan kapiler



Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer DS:-



Infasi mikroba



DO (f.risiko): 



hipotensi







hipovolemia



Pelepasan endotoksin atau eksotoksin



Risiko Syok







hipoksemia







hipoksia







infeksi







sepsis



Respon sistemik tubuh terhadap infeksi



SEPSIS



Efek berbagai mediator inflamasi (protaglandin, kinin, histamin)



Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler



Volume intravaskuler



Volume sirkulasi efektif



TVS



CO meningkat u/ kompensasi



Asedemia laktat



responsivitas terhadap katekolamin



fs. jantung terganggu (fraksi ejeksi ventrikel turun, gangguan kontraktilitas)



risiko syok



DS:-



Infasi mikroba



DO: 



gas Pernafasan abnormal



Pelepasan endotoksin atau eksotoksin Respon sistemik tubuh



(kecepatan, irama, 



Gangguan pertukaran



terhadap infeksi



kedalaman)



SEPSIS



Warna kulit



neutrofil teraktivasi



abnormal (pucat, kehitaman) 



hiperkapnia







hipoksemia







hipoksia







takikardi



infiltrasi di jar. pulmonal dan vaskuler



akumulasi cairan ekstravaskuler di paru edema pulmonal kompliance paru gg. pertukaran gas



D. Rencana Intervensi Keperawatan Tujuan dan No 1.



Dx Kep Risiko Syok



Intervensi



Kriteria Hasil Tujuan:



NIC: shock management



Setelah dilakukan



1) Monitor TTV, tekanan



tindakan



darah ortostatik,



keperawatan selama



statusmental dan urine



1x24 jam



output



diharapkan klien



2) Monitor nilai laboratorium



dapat terhindar dari



sebagai buktiterjadinya



risiko syok



perfusi jaringan yang



NOC: Risk



inadekuat(misalnya



Control: Shock



peningkatan kadar asam



Prevention



laktat,penurunan pH



Kriteria Hasil:



arteri)



o Tekanan darah



3) Berikan cairan IV



DBN (110-



kristaloid sesuai



130/70-90



dengankebutuhan (NaCl



mmHg)



0,9%; RL; D5%W)



o Nadi DBN (7090x/menit) o RR DBN (16-20 x/menit) o Suhu DBN (36,537,50C) o Hb DBN (12 – 18 gr/dL) o CRT < 3 detik



4) Berikan medikasi vasoaktif 5) Berikan terapi oksigen dan ventilasi mekanik 6) Monitor trend hemodinamik 7) Monitor frekuensi jantung fetal (bradikardia bilaHR 160 kali per menit) berlangsung lebih lamadari 10 menit 8) Ambil sampel darah untuk pemeriksaan AGD dan monitor oksigenasi jaringan 9) Dapatkan patensi akses vena 10) Berikan cairan untuk mempertahankan tekanandarah atau cardiac Output



11) Monitor penentu pengiriman oksigen kejaringan (SaPO2, level Hb, cardiac output) 12) Catat bila terjadi bradicardia atau penurunantekanan darah, atau abnormalitas tekananarteri sistemik yang rendah misalnya pucat,cyanosis atau diaphoresis 13) Monitor tanda dan gejala gagal nafas(rendahnya PaO2, peningkatan PCO2,kelumpuhan otot pernafasan) 14) Monitor kadar glukosa darah dan tangani bilaada abnormalitas 15) Monitor koagulasi dan complete blood countdengan WBC differential 16) Monitor status cairan meliputi intake dan output 17) Monitor fungsi ginjal (nilai BUN dan creatinin) 18) Lakukan pemasangan



kateter urinaria



19) Lakukan pemasangan NGT dan monitor residulambung 20) Atur posisi pasien untuk mengoptimalkanperfusi 21) Berikan dukungan emosional kepada keluarga 22) Berikan harapan yang realistic kepada keluarga



2.



Risiko Infeksi



Tujuan:



NIC: Infection Control



Setelah dilakukan



1) Instruksikan pengunjung



tindakan



untuk mencucitangan saat



keperawatan selama



memasukidan keluar



1x24 jam



dariruangan pasien



diharapkan klien



2) Gunakan sarung tangan



dapat terhindar dari



dalam setiaptindakan pada



risiko infeksi



pasien



NOC: Risk



3) Kolaborasi dengan tenaga



Control: Infectious



medis pemberianterapi



Process



antibiotic



Kriteria Hasil: o Suhu DBN (36,5-37,50C) o Jumlah leukosit DBN o Tidak terdapat tanda-tanda infeksi yang semakin o memburuk



4) Monitor kerentanan terhadap infeksi



3.



Gangguan pertukaran gas



Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kondisi klinis klien terkait pertukaran gas membaik NOC: Respiratory Status: Gas Exchange Kriteria Hasil:



NIC: Acid Base management, Respiratory Monitoring 1) Kaji pola pernapasan pasien Monitor TTV 2) Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia danhiperkapnia 3) Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaransetiap jam, laporkan perubahan tingkatkesadaran. 4) Pantau dan catat pemeriksaan gas



o Pernafasan



darah,kaji adanya



normal



kecenderungan kenaikan



(kecepatan,



dalamPaCO2 atau



irama,



penurunan dalam PaO2



kedalaman) o Warna kulit



5) Bantu dengan pemberian ventilasi mekaniksesuai



normal (tidak



indikasi, kaji perlunya



pucat/kehitaman)



CPAP atauPEEP.



o RR DBN o Hb DBN o Nadi DBN o BGA normal



6) Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyinafas setiap jam 7) Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dadaharian, perhatikan peningkatan ataupenyimpangan 8) Pantau irama jantung



9) Berikan cairan parenteral sesuai hasil Kolaborasi 10) Berikan obat-obatan sesuai pesanan:bronkodilator, antibiotik, steroid. 11) Evaluasi AKS dalam hubungannya denganpenurunan kebutuhan oksigen.



4.



Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer



Tujuan:



NIC: Circulation Care



Setelah dilakukan



1) Lakukan pengkajian



tindakan



komprehensif



keperawatan selama



terhadapsirkulasi perifer



3x24 jam



2) Pantau tingkat



diharapkan perfusi



ketidaknyamanan atau



jaringan perifer klien



nyerisaat melakukan



meningkat



latihan fisik



NOC: Circulation



3) Pantau status cairan



Status



termasuk asupan



Kriteria Hasil:



danhaluaran



o TD DBN



4) Pantau perbedaan ketajaman



o RR DBN



atauketumpulan, panas



o CRT < 3 detik



atau dingin



o akral ekstremitas hangat o warna kulit tidak pucat o ekstremitas tidak edema



5) Pantau parestesia, kebas, kesemutan,hiperestesia dan hipoestesia 6) Pantau tromboflebitis dan thrombosis venaprofunda



o kekuatan nadi normal



7) Anjurkan pasien atau keluarga untukmemantau posisi bagian tubuh saat pasienmandi, duduk, berbaring atau mengubahposisi 8) Ajarkan pasien atau keluarga untukmemeriksa kulit setiap hari untuk mengetahuiperubahan integritas kulit



KONSEP MANDIRI “EMBOLI PARU” A. Pengertian Emboli Paru Pulmonary embolism atau Emboli paru adalah peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis oleh peristiwa emboli. Keadaan ini dapat memberikan gambaran klinis dengan spektrum luas, mulai dari suatu gambaran klinis yang asimptomatik sampai keadaan yang mengancam nyawa berupa hipotensi, shock kardiogenik dan keadaan henti jantung yang tibatiba (sudden cardiac death).2,3 Insidensi emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan hampir 200.000 kasus pertahun dengan angka kematian mencapai 15% yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih merupakan problema yang menakutkan dan salah satu penyebab emergensi kardiovaskuler yang tersering.4,5 Laporan lain menyebutkan bahwa emboli paru secara langsung menyebabkan 100.000 kematian dan menjadi faktor kontribusi kematian oleh penyakit-penyakit lainnya. Penyebab utama dari suatu emboli paru adalah tromboemboli vena (venous



thromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis. Diagnosis suatu emboli paru dapat ditegakkan dari penilaian gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berupa foto toraks, D-Dimer test, pencitraan ventilasi- perfusi (ventilation-perfussion scanning), CT angiografi toraks dengan kontras, angiografi paru, Magnetic Resonance Angiography, Duplex ultrasound ekstremitas dan ekokardiografi transtorakal. Penatalaksanaan khusus emboli paru dapat berupa pemberian antikoagulasi, antitrombolitik atau embolektomi baik dengan intervensi kateterisasi maupun dengan pembedahan. B. Patofisiologi Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga faktoryang dapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu : 1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah 2. Hiperkoagulobilitas darah (blood hypercoagulability) 3. Statis vena Trauma lokal pada dinding pembuluh darah dapat terjadi oleh karena cedera pada dinding pembuluh darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan tromboflebitis sebelumnya. Sedangkan keadaan hiperkoagulobilitas darah dapat disebabkan oleh therapi obat-obat tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone replacement theraphy dan steroid. Di samping itu masih ada sejumlah faktor genetik yang menjadi faktor predisposisi suatu trombosis. Sementara statis vena dapat terjadi akibat immobilisasi yang berkepanjangan atau katup vena yang inkompeten yang dimungkinkan terjadi oleh proses tromboemboli sebelumnya Bila trombi vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan mengikuti aliran sistem vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri pulmonalis. Jika emboli ini cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri pulmonalis dan membentuk saddle embolus. Tidak jarang pembuluh darah paru



tersumbat karenanya. Kedaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang akan melepaskan senyawa-senyawa vasokonstriktor seperti serotonin, refleks vasokonstriksi arteri pulmonalis dan hipoksemia yang pada akhirnya akan menimbulkan hipertensi arteri pulmonalis. Peningkatan arteri pulmonalis yang tiba- tiba akan meningkatkan tekanan ventrikel kanan dengan konsekuensi dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan yang pada gilirannya akan menimbulkan septum interventrikuler tertekan ke sisi kiri dengan dampak terjadinya gangguan pengisian ventrikel dan penurunan distensi diastolik. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri maka curah jantung sistemik (systemic cardiac output) akan menurun yang akan mengurangi perfusi koroner dan menyebabkan iskemia miokard. Peninggian tekanan dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya emboli paru massif akan menurunkan aliran koroner kanan dan menyebabkan kebutuhan oksigen ventrikel kanan meningkat yang selanjutnya menimbulkan iskemia dan kardiogenik shok. Siklus ini dapat menimbulkan infark ventrikel kanan, kollaps sirkulasi dan kematian. Secara garis besar emboli paru akan memberikan efek patofisiologi berikut : 1. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi, neurohumoral, atau baroreseptor arteri pulmonalis atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis 2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari dampak obstruksi vaskuler dan hipoksemia karena hipoventilasi alveolar, rendahnya unit ventilasi-perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga gangguan transfer karbonmonoksida 3. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi refleks oleh iritasi reseptor 4. Peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena bronkokonstriksi Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru, perdarahan paru dan hilangnya surfaktan.



C. Diagnosis Diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan dan pencegahannya. Pendekatan diagnostic non invasif, khususnya pemeriksaan D-dimer, ELISA (Enzym-linked immunosorbent assay) , CT-Scan dan ultrasonografi vena saat ini semakin meningkatkan nilai kepercayaan dalam menegakkan diagnosis emboli paru. Bagaimanapun juga, di samping adanya kemajuan tekhnologi diagnosis, ternyata emboli paru yang besar selalu tidak terdiagnosis dan hanya dijumpai saat autopsi. D. Gambaran Klinis Kecurigaan emboli paru merupakan dasar dalam menentukan test diagnostik. Dispnoe merupakan gejala yang paling sering muncul, dan tachypnoe adalah tanda emboli paru yang paling khas. Pada umumnya, dispnoe berat, sinkop atau sianosis merupakan tanda utama emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru kecil dan terletak di arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura. Emboli paru patut dicurigai pada penderita hipotensi jika : 1. Adanya bukti trombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru 2. Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut) seperti distensi vena leher, S3 gallop, pulsasi jantung kanan di dinding dada (a right ventricular heave) , takikardia, atau takipnea 3. Adanya temuan ekokardiografis berupa gagal jantung kanan dengan hipokinesis atau bukti EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor pulmonale dengan gambaran S1Q3T3, gambaran incomplete right bundle branch block atau iskemia ventrikel kanan Wells dan kawan-kawan membuat probabilitas pretes klinik dengan menghitung skor Ada enam sindroma klinis emboli paru akut dengan gambaran sebagai berikut :



1. Emboli Paru massif Presentasi klinis: Sesak nafas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri sistemik persisten; khas > 50 persen obstruksi pada vaskulatur paru. Disfungsi ventrikel kanan dapat dijumpai. 2. Emboli Paru sedang sampai besar (submassif) Presentasi klinis: Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas > 30 persen defek pada perfusi scan paru dengan tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan 3. Emboli Paru Kecil sampai Sedang Presentasi klinis: Tekanan darah arteri sistemik yang normal tanpa disertai tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan 4. Infark Paru (Pulmonary Infarction) Presentasi klinis: Nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural rub, atau bukti adanya konsolidasi paru; khasnya berupa emboli perifer yang kecil, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan 5. Emboli Paru Paradoksikal (Paradoxical Embolism) Presentasi klinis: Kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan 6. Emboli Nontrombus (Nonthrombotic embolism) Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau cairan amnion. Disfungsi ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.



E. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang emboli paru mencakup : 1. Foto Toraks Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto toraks



adalah tanda spesifik emboli paru. Foto toraks juga dapat menunjukkan kelainan lain seperti efusi pleura atau atelektasis yang sering bersamaan insidensinya dengan penyakit ini.. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan keadaan lain khususnya pneumothorax. 2. Analisa Gas Darah Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting akibat ventilasi yang berkurang. Secara simultan pCO 2 dapat normal atau sedikit menurun disebabkan oleh keadaan hiperventilasi. Bagaimanapun juga sensitivitas dan spesifisitas analisa gas darah untuk penunjang diagnostik emboli paru relatif rendah. 3. D-dimer Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh proses fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. Pemeriksaan ini merupakan skrining yang bermanfaat dengan sensitivitas yang tinggi (94%) namun kurang spesifisitas (45%). D-dimer dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti recent MCI . Spesifisitas D-dimer secara ELISA untuk memprediksi emboli paru meningkat bila ratio D-dimer / fibrinogen > 1000. Plasma D-dimer yang normal dapat menyingkirkan diagnosis emboli paru. 4. Elektrokardiogram (EKG) Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama pada kasus yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru massif dapat terjadi perubahan EKG antara lain : -



Pola S1 Q3 T3 , gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III, disertai gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang dikarenakan dilatasi atrium dan ventrikel kanan.



-



P Pulmonal



-



Right bundle branch block yang baru



-



Right ventricular strain dengan T inverted di lead V1 sampai V4



Gambaran EKG dengan emboli paru pada cabang utama kiri arteri pulmonalis yang telah dikonfirmasi dengan CT scan thorax.



5. Scanning Ventilasi-Perfusi Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non invasive yang penting untuk sangkaan emboli paru selama bertahun-tahun. Keterbatasan alat ini pada kasus alergi kontras, insufisiensi ginjal, atau kehamilan. 6. Spiral Pulmonary Computed Tomography scanning Test ini sangat sensitive dan spesifik dalam mendiagnosis emboli paru dan dapat dilakukan pada penderita yang tidak dapat menjalani pemeriksaan scanning ventilasi-perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan



injeksi kontras medium melalui vena perifer dan dapat mencapai arteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal sampai ke cabang segmentalnya. 7. Pulmonary Scintigraphy Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu tekhnik yang cukup sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Defisit perfusi dapat dikarenakan oleh ketidakseimbangan aliran darah ke bagian paru atau disebabkan masalah paru seperti efusi atau kollaps paru. Untuk menambah spesifisitasnya, tekhnik ini selalu dikombinasi dengan ventilation scan dengan menggunakan radioaktif gas xenon. Gambaran yang menunjukkan non- perfusi tapi adanya zona ventilasi menunjukkan emboli paru. Bagaimanapun juga pada penderita dengan penyakit paru sebelumnya, nilai diagnostik pemeriksaan ini menjadi menurun. 8. Angiografi paru Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard) dalam diagnostik emboli paru. Namun tekhnik ini merupakan penyelidikan invasif yang cukup berisiko terutama pada penderita yang sudah kritis. Karenanya saat ini peran angiografi paru sudah digantikan oleh spiral CT scan yang memiliki akurasi yang sama. Berikut ini satu tampilan hasil pemeriksaan pulmonary angiography terhadap seorang pasien perempuan usia 77 tahun dengan gagal jantung kanan yang sudah mendapat heparinisasi 3 hari. Pasien ini menjalani kateterisasi jantung kanan dan didapatkan emboli paru yang cukup besar pada bagian tengah kanan dan bagian atas kanan (right middle and right upper lobe) . Dikarenakan adanya kontraindikasi trombolitik, beliau menjalani kombinasi suction cathether embolectomy dan cathether directed thrombolysis dengan bolus spray tissue plasminogen activator dilanjutkan dengan infus satu malam 1 mg/ jam. Gambaran angiogram ulangan (B).11 9. Magnetic Resonance Angiografi (MRA)



Alat ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang sama dengan CT angiografi, bahkan dapat digunakan tanpa kontras sehingga aman untuk pasien dengan gangguan ginjal. Namun alat ini tidak dianjurkan pada pasien gawat karena adanya bahan metal seperti infus peralatan bantu nafas, dll. 10. Duplex Ultrasound Ekstremitas Merupakan pencitraan non invasif pada kasus dengan sangkaan trombosis vena dalam yang simptomatik pada tungkai maupun lengan yang relatif mudah dan akurat. Ultrasound bermanfaat pada sangkaan emboli paru yang kuat dengan skor Wells > 7. 11. Ekokardiografi Ekokardiografi transtorakal muncul sebagai alat diagnostik non invasif yang berperan dalam menilai suatu pressure overload dari ventrikel kanan yang dapat diakibatkan oleh emboli paru massif. Penderita emboli paru akut menunjukkan pergerakan dinding segmental abnormal yang spesifik yang sering disebut sebagai tanda McConnell, hipokinesis dinding disertai pergerakan apeks ventrikel kanan yang masih normal. Dilatasi ventrikel kanan merupakan tanda tidak langsung dari beban ventrikel kanan yang berlebihan. Rasio pengukuran ventrikel kanan dibanding ventrikel kiri ≥ 1 pada pengambilan gambar apical four chamber. Pada teknik pengambilan gambar parasternal short axis akan terlihat septum interventrikuler menjadi datar dan menyebabkan gambaran ekokardiografi D shape ventrikel kiri. Tanda lain dari disfungsi ventrikel kanan adalah regurgitasi tricuspid dengan kecepatan ≥ 2,6 m/detik dan dilatasi vena kava inferior. 12. Biomarker jantung Troponin T (Trop T) adalah marker jantung yang sangat sensitif dan spesifik untuk suatu nekrosis sel miokard. Pada pasien emboli paru terjadi sedikit peningkatan kadar Trop T dibandingkan dengan peningkatan yang cukup tinggi pada kasus sindroma koroner akut (nilai abnormal terendah 0,03-0,1 ng/ml).



Kadar Trop T berkorelasi dengan disfungsi ventrikel kanan, dimana iskemi miokard terjadi akibat gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dari ventrikel kanan sehingga terjadi pelepasan Trop T ke dalam sirkulasi tanpa adanya penyakit jantung koroner. Natriuretic peptide merupakan suatu marker yang berguna untuk diagnostik dan prognostik gagal jantung kongestif. Peregangan sel miosit jantung akan merangsang sintesa dan sekresi BNP. Pro BNP dalam miosit ventrikel yang masih normal tidak disimpan dalam jumlah yang besar. Peningkatan kadar BNP dan Pro BNP berhubungan dengan disfungsi ventrikel kanan pada pasien dengan emboli paru. Kadar BNP ≥ 50 pg/ml memberikan nilai prognostik emboli paru yang buruk.



F. DIAGNOSIS BANDING Emboli paru dapat didiferensial diagnosis dengan : 1. Pneumonia atau bronchitis 2. Asthma bronchiale 3. Penyakit Paru Obstruksi Menahun eksaserbasi 4. Miokard infark 5. Edema Paru 6. Anxietas 7. Diseksi Aorta 8. Pericardial Tamponade 9. Kanker Paru 10. Hipertensi Pulmonal Primer 11. Fraktur Costae



12. Pneumothoraks 13. Costochondritis 14. Nyeri Muskuloskletal G. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus. Tatalaksana yang umum anatara lain : 1. Tirah baring di ruang intensif 2. Pemberian oksigen 2 – 4 l/menit 3. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan 4. Pemantauan tekanan darah 5. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg , bila tidak ditoleransi gunakan 20- 30 mmHg) Sementara terapi yang bersifat khusus adalah : 1. Trombolitik: diindikasikan pada emboli paru massif dan sub massif Sediaan yang diberikan : -



Streptokinase 1,5 juta dalam 1 jam



-



rt-PA (alteplase) 100 mg intravena dalam 2 jam



-



Urokinase 4400 / kg/ jam dalam 12 jam



-



Dilanjutkan dengan unfractionated heparin / low molecular weight heparin selama 5 hari



-



Ventilator mekanik diperlukan pada emboli paru massif



-



Heparinisasi sebagai pilihan pada emboli paru non massif / non sub massif



-



Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada komplikasi perdarahan



-



Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi heparinisasi / trombolitik pada emboli paru massif dan sub massif



-



Pemasangan filter vena cava dilakukan bila ada perdarahan yang memerlukan



transfusi,



emboli



paru



berulang



meskipun



telah



menggunakan antikoagulan jangka panjang Secara skematik penanganan khusus suatu emboli paru dapat dilihat pada bagan di bawah ini Penggunaan trombolitik pada emboli paru masih menjadi perdebatan dikarenakan masih sedikitnya uji klinis. Namun ada suatu konsensus yang merekomendasi penggunaannya pada kasus emboli paru massif tetapi kontraversi timbul dikarenakan kebanyakan penderita yang akan ditrombolitik memiliki disfungsi ventrikel kanan yang berat. Food and Drug Administration (FDA) telah merekomendasi penggunan t- PA (alteplase) 100 mg diberikan perinfus selama 2 jam pada kasus emboli paru massif. Data dari The International Cooperative Pulmonary Embolism Registry (ICOPER) menunjukkan bahwa fibrinolitik tidak menurunkan angka kematian atau kekambuhan emboli paru pada 90 hari. Sementara pada emboli paru submassif, The Management Strategies and Prognosis of Pulmonary Embolism-3 Trial (MAPPET-3) menunjukkan bahwa terjadi penurunan penggunaan therapy ekskalasi diantara penderita yang mendapat alteplase. Penderita emboli paru massif atau submassif dengan kontraindikasi fibrinolitik, embolektomi



maka embolektomi secara



akan menjadi



pembedahan



lainnya



pilihan therapi. Indikasi



mencakup



emboli



paradoks



(paradoxical emboli), emboli yang menetap pada jantung kanan (persistent right heart thrombi), ketidakseimbangan hemodinamik atau respiratorik yang memerlukan resusitasi kardiopulmoner.



Embolektomi



pulmoner



dengan



teknik



kateterisasi



(catheter-based



pulmonary embolectomy) saat ini berkembang menjadi therapi primer pilihan pada emboli paru akut. Tekhnik ini diindikasikan bila fibrinolisis dan embolektomi pembedahan merupakan kontraindikasi. Pada umumnya, embolektomi dengan



kateterisasi akan berhasil jika dilakukan pada fresh thrombus dalam kurun waktu 5 hari sejak ditemukan gejala .Pemberian antikoagulan merupakan komponen utama dalam penatalaksanaan emboli paru. Low-molecular weight heparins (LMWH) seperti enoxaparin nyata-nyata memberikan efek yang aman dan efektif dibanding unfractionated heparin intravena. Keuntungan LMWH dibandingkan dengan heparin antara lain LMWH memiliki dosis yang lebih sesuai dan cukup respons, tidak perlu monitoring, tidak memerlukan penyesuaian dosis, insidensi trombositopenia lebih kecil, tidak menyebabkan perdarahan berlebihan dan dapat dilakukan pasien sendiri di rumah sehingga memperpendek masa perawatan. Antagonis vitamin K oral seperti warfarin masih tetap menjadi pilihan sebagai anrikoagulan oral pada kasus-kasus tromboemboli vena dengan target INR (International normalized ratio) 2,0 sampai 3,0. Penggunaan optimal



antikoagulan bergantung pada risiko terjadinya kekambuhan tromboemboli. Beberapa studi merekomendasikan penggunaan antikoagulasi tanpa batas waktu pada kasus-kasus tromboemboli idiopatik. Saat ini telah berkembang tekhnik filter vena cava inferior (Inferior vena cava filters) yang prosedurnya dilakukan melalui vena jugularis interna atau vena femoralis yang dengan panduan flouroskopi dimasukkan sampai ke vena cava inferior. Indikasi pemasangan teknik ini adalah : a. Penderita dengan risiko tinggi trombosis vena dalam proksimal yang mana antikoagulasi merupakan kontraindikasi b. Tromboemboli vena yang rekuren walaupun dengan antikoagulasi c. Tromboemboli vena rekuren kronis dengan hipertensi pulmonal d. Dilakukan secara simultan bersamaan dengan operasi embolektomi atau endarterectomy.17 H. PENCEGAHAN Pencegahan emboli paru menjadi salah satu hal penting dikarenakan kelainan ini sulit dideteksi dan penatalaksanaannya tidak selalu berhasil. Setiap penderita yang dirawat seharusnya dilakukan stratifikasi risiko emboli paru dan bila perlu mendapat therapy profilaksis. Pencegahan non farmakologis yang dapat dilakukan adalah penggunaan graduated-compression stockings , suatu alat yang memberikan kompresi berkala dan filter vena cava inferior atau kombinasi keduanya. Disamping itu regimen farmakologis profilaksis lainnya dapat diberikan seperti pada table berikut ini :



Dikutip dari Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism II: Treatment and prophylaxis. Circulation 2006;114:42-47



ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS Seorang wanita berusia 55 tahun dengan riwayat medis AIDS di masa lalu di rawat di ICU. Pasien mengalami kardiomiopati dilatasi (perkiraan fraksi ejeksi ventrikel kiri 15% pada ekokardiogram transtoraks sebelumnya), dan trombosis vena dalam (DVT), hipotensi dan dispnea. Pasien dibawa ke gawat darurat, dengan kondisi tanda-tanda vital : suhu 39 ° C, HR = 142/min, BP-90/60 mmHg, dengan saturasi oksigen 99% saat menghirup oksigen 100% melalui non- breathing mask. Hasil CT-scan pulmonary angiogram menunjukkan adanya trombus besar di arteri pulmonalis utama kanan dan kiri dengan oklusi tidak lengkap, selain trombus segmental multipel di lobus kanan atas, tengah dan bawah. Tidak ada trombosis vena dalam ekstremitas bawah yang dicatat pada venogram. Kesimpulan CT-scan dada menunjukkan emboli paru di arteri pulmonalis utama bilateral. I.



Pengkajian



A. Identitas Identitas Klien Nama



: Ny.X



Umur



: 55 tahun



Agama



: Tidak terkaji



Pendidikan



: Tidak terkaji



Alamat



: Tidak terkaji



Suku bangsa



: Tidak terkaji



Pekerjaan



:Tidak terkaji



Status perkawinan



: Tidak terkaji



Ruang rawat



:Tidak terkaji



Diagnosa medis



: Tidak terkaji



Tanggal masuk



:Tidak terkaji



Tanggal pengkajian



:Tidak terkaji



Identitas Penanggung Jawab



1.



Nama



: Tidak terkaji



2.



Umur



: Tidak terkaji



3.



Jenis Kelamin



: Tidak terkaji



4.



Agama



: Tidak terkaji



5.



Alamat



: Tidak terkaji



6.



Hubungan



: Tidak terkaji



B. Alasan Masuk Rumah Sakit: Tidak terkaji C. Riwayat Kesehatan 1.



Riwayat Kesehatan Dulu Klien memiliki riwayat AIDS di masa lalu dan pernah di rawat di ICU.



2.



Riwayat Kesehatan Sekarang Klien dibawa ke gawat darurat, dengan kondisi tanda-tanda vital : suhu 39



° C, HR = 142/min, BP-90/60 mmHg, dengan saturasi oksigen 99% saat menghirup oksigen 100% melalui non-breathing mask. klien mengalami kardiomiopati dilatasi (perkiraan fraksi ejeksi ventrikel kiri 15% pada ekokardiogram transtoraks sebelumnya), dan trombosis vena dalam (DVT), hipotensi dan dispnea. 3.



Riwayat Kesehatan Keluarga Tidakterkaji



4.



Riwayat Alergi Tidak terkaji



D. Riwayat Kebiasaan Sehari-hari 1.



Pola Nutrisi Tidak terkaji



2.



Pola Eliminasi a. BAK Tidak terkaji b. BAB Terpasang kolostomi



3.



Pola Personal Higiene Tidak terkaji



4.



Pola Istirahat Dan Tidur Tidak terkaji



5.



Pola Aktivitas Dan Latihan Tidak terkaji



6.



Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan Tidak terkaji



7.



Pola Nilai dan Keyakinan Tidak terkaji



8.



Pola Seksual Tidak terkaji



9.



Pola Peran dan Hubungan Tidak terkaji



10. Pola Persepsi dan Konsep Diri Tidak terkaji 11. Pola Koping-Toleransi Stress Tidak terkaji 12. Pola Kognitif-Persepsi Tidak terkaji



13. Pola Persepsi Kesehatan Tidak terkaji Pemeriksaan Fisik 14. Pemeriksaan Umum a.



Keadaan umum



: tidak terkaji



b.



Kesadaran



: tidak terkaji



c.



Tanda –Tanda Vital Suhu HR



: 142/min



TD



: 90/60 mmHg,



: 39 ° C



15. Pemeriksaan Fisik Review Of System (ROS) 1) Sistem Pernafasan Respirasi



: lombus mengalami embesaran kanan dan



Kiri Keluhan



: Tidak terkaji



Sekret



: Tidak terkaji



Konsistensi



: Tidak terkaji



Warna



: Tidak terkaji



Bau



: Tidak terkaji



Penggunaan otot bantuh nafas PCH



: Tidak terkaji



: Tidak terkaji



Irama nafas



: Tidak terkaji



Pleura friction



: Tidak terkaji



Pola nafas



: Tidak terkaji



Suara nafas



: Tidak terkaji



Alat bantuh nafas



: non-rebreathing mask



dengan saturasi oksigen 99% saat menghirup oksigen 100% Penggunaan WSD



: Tidak terkaji



Trocheostomi



: Tidak terkaji



2) Sistem Kardiovaskuler a. TD



: 90/60 mmHg



b. Nadi



: tidak terkaji



c. Keluhan nyeri dada



: Tidak terkaji



d. Irama jantung



: Tidak terkaji



e. Bunyi jantung



: Tidak terkaji



f. Letus



: Tidak terkaji



g. CRT



: Tidak terkaji



h. JVP



: Tidak terkaji



i. CVP



: Tidak terkaji



j. CTR



: Tidak terkaji



k. EGC & Interpretasinya



: Tidak terkaji



l. Lain –lain



:-



3) Sistem Persyarafan



a. GCS



: Tidak terkaji



b. Refleks psikologis



: Tidak terkaji



c. Refleks patologis



: Tidak terkaji



d. Keluhan pusing



:Tidak terkaji



e. Pemeriksaan saraf kranial



: Tidak terkaji



f. Kekuatanotot



: Tidak terkaji



g. Pupil



: Tidak terkaji



h. Sklera



: Tidak terkaji



i. Konjungtiva



: Tidak terkaji



j. Istirahat/tidur



: Tidak terkaji



4) Sistem Perkemihan a. Kebersihan getelia



: Tidak terkaji



b. Sekret



: Tidak terkaji



c. Ulkus



: Tidak terkaji



d. Kebersihan meatus uretra



: Tidak terkaji



e. Keluhan kencing



: Tidak terkaji



f. Produksi urine



: Tidak terkaji



g. Kandung kemih



: Tidak terkaji



h. Nyeri tekan



: Tidak terkaji



i. Intake cairan oral



: Tidak terkaji



j. Balance cairan



: Tidak terkaji



5) Sistem Pencernaan a. TB



:-



BB



:-



b. IMT



:-



c. Mulut



: Tidak terkaji



d. Membran mukosa



: Tidak terkaji



e. Tenggorokan



: Tidak terkaji



f. Abdomen



: Tidak terkaji



g. Nyeri tekan



: Tidak terkaji



h. Luka operasi



: Tidak terkaji



i. Peristaltik



: Tidak terkaji



j. BAB



: Tidak terkaji



k. Konsentrasi



: Tidak terkaji



l. Warna feses



: Tidak terkaji



m. Diet



: Tidak terkaji



n. Diet khusus



: Tidak terkaji



o. Nafsu makan



: Tidak terkaji



p. Porsi makan



: Tidak terkaji



q. Lain-lain



: Tidak terkaji



Interprestasi: -



6) Sistem Penglihatan



: Tidak terkaji



7) Sistem Pendengaran



: Tidak terkaji



8) Sistem Muskuloskeletal a. Pergerakan sendi



: Tidak terkaji



b. Kekuatan otot



: Tidak terkaji



c. Kelainan ekstremitas



: Tidak terkaji



d. Kelainan tulang belkang



: Tidak terkaji



e. Fraktur



: Tidak terkaji



f. Fraksi



: Tidak terkaji



g. Penggunaan spak/gips



: Tidak terkaji



h. Keluhan nyeri



: Tidak terkaji



i. Sirkulasi perifer



: Tidak terkaji



j. Kompartemen syndrome



: Tidak terkaji



k. Luka operasi



: Tidak terkaji



l. ROM



: Tidak terkaji



m. Lain-lain



:-



9) Sistem Integumen



: Tidak terkaji



10) Sistem Endokrin



: Tidak terkaji



16. Pemeriksaan Penunjang CT-scan pulmonary angiogram, hasil menunjukkan adanya trombus besar di arteri pulmonalis utama kanan dan kiri dengan oklusi tidak lengkap, selain trombus segmental multipel di lobus kanan atas, tengah dan bawah. Tidak ada trombosis vena dalam ekstremitas bawah yang dicatat pada venogram. Kesimpulan CT- scan dada menunjukkan emboli paru di arteri pulmonalis utama bilateral. 17. Terapi Saat Ini Ventilasi oksigen melalui non-breathing mask dengan saturasi 99% saat menghirup oksigen 100%



2. Analisa Data No. 1.



Data DS :



Etiologi



Masalah



hiperventilasi



Ketidakefektifan pola



Ny. A mengalami dyspnea



nafas



DO : Ny. A menggunakan alat bantu non-breathing maskSaturasi O2 99% TD : 90/60 mmHg HR : 142/min Suhu : 39o C 2.



DS : Ny. A mengalami dyspnea DO: TD : 90/60 mmHg HR : 142/min Suhu : 39o C



Perubahan volume jantung



Penurunan curah jantung



3.



DS : Ny. A mengalami kardiomiopati



Penurunan aliran



Resiko Perfusi Serebral



vena



tidak efektif



Trombosis paru



Resiko Gangguan



dilatasi DO : Fraksi ejeksi ventrikel kiri 15% Trombosis vena dalam (DVT) 4.



DS : -



Sirkulasi Spontan



DO : CT-scan pulmonary : Trombus besar di arteri pulmonalis kanan



dan kiri, oklusi tidak lengkap, Thrombus segmental multiple lobus kanan atas, tengah, dan bawah 5.



DS: -



Peningkatan Suhu



Hipertermi



tubuh



DO: suhu tubuh 390C 2. Diagnosa Keperawatan a. Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi b. Penurunan curah jantung b.d perubahan volume jantung c. Resiko Perfusi Serebral tidak efektif b.d penurunan aliran vena d. Resiko gangguan sirkulasi b.d trombosis paru e. Hipertermi b.d peningkatan suhu tubuh



3. Intervensi Keperawatan Diagnosa N o 1.



Keperawatan Ketidak efektifan pola nafas b.d hiperventilasi



Tujuan Dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24



Intervensi Monitoring Pernafasan



jam diharapkan ketidak efektifan pola nafas dapat teratasi,



1.



Monitoring tanda-tandavital



dengan kreteria hasil:



2.



Menegemenpernafasan



1) Pola nafas dalam keadaan normal (16- 20x/mnt).



3.



Bantuan



2) Irama nafas teratur.



4.



ventilasi



3) Tidakadanyaototbantupernafasan.



5.



Stabilisasidan Membuka JalanNafas



4) Tidak adanya secret dan batuk darah



6.



PemberianAnalgesik



7.



FisioterapiDada



8.



Penggurangankecemasan



9.



Dukungan



10. Emosional 11. ManagemenPengobatan 12. Pengaturanposisi 13. Menghadirkan Diri



14. Relaksasi Otot Progresif 15. Bantuan Penghentian Merokok



2.



Penurunan



Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan curah



1.



Identifikasi tanda/gejala primer penurunan



curah jantung



jantung meningkat.



curah jantung (meliputi dipsnea, kelelahan,



b.d perubahan



Kriteriahasil : (curahjantung L.02008)



edema ortopnea paroxysmal nocturnal



volume



1. Tanda vital dalamrentang normal



dyspnea, peningkatan CVP)



jantung



2. Kekuatan nadi perifer meningkat



2.



3. Tidak ada edema



Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung



3.



Monitor intake dan outpu cairan



4.



Monitor keluhan nyeri dada



5.



Berikan terapi terapi relaksasi untuk mengurangi strees, jikaperlu



6.



Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi



7.



Anjurkan berakitifitas fisik secara bertahap



8.



Kolaborasi pemberian anti aritmia, jika perlu



3



Resiko Perfusi



Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24



1.



Serebral tidak



jam diharapkan perfusi serebral meningkat dengan criteria



(mis. Lesi, gangguan metabolisme, edema



efektif b.d



hasil:



serebral)



penurunan



1. Tingkat kesadaranmeningkat



aliran vena



2. Tekanan intra kranialmenurun



(mis. Tekanan darah meningkat, tekanan



3.Nilai rata-rata tekanandarahmembaik



nadi melebar, bradikardia, pola napas



4. Tekanan darah diastolic membaik



ireguler, kesadaran menurun)



2.



5. Gelisah menurun 1.



Identifikasi penyebab peningkatan TIK



Monitor tanda/gejala peningkatan TIK



3.



Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)



4.



Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu



5.



Monitor PAWP, jika perlu



6.



Monitor PAP, jika perlu



7.



Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia



8.



Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)



9.



Monitor gelombang ICP



10. Monitor status pernapasan 11. Monitor intake dan output cairan



12. Monitor cairan serebro-spinalis (mis. Warna, konsisten



4. Resiko gangguan Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam1.Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi sirkulasi spontandiharapkan sirkulasi spontan meningkat dapat teratasi, dengan



factor pemicu dan pereda. kualitas, lokasi radiasi. skala.



b.d trombosis



Frekuensi dan durasi



paru



criteria hasil: 1)Tingkat kesadaran meningkat



2.Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan



2)Saturasi oksigen meningkat



3.Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)



3)Gambaran EKG aritmia menurun.



4.



4)Frekuensi.nadi membaik 5)Tekanan darah membaik 6)Frekuensi nafas membaik



Monitor elektrolit yang Meningkatkan resiko a (mis.kalium. magnesium serum)



5.Monitor enzim jantung (mis. CK. CK- MB.Tropon Troponin 1)



7)Suhu tubuh membaik



6.Monitor saturasi oksigen



8)ETCO2 membaik



7.Identifikasi Stratifikasi pada sindrom coroner akut (mi



9)Produksi urine



TIMI, killip



Trusade) 5.



Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24



1.



Kompres hangat



peningkatan



jam diharapkan suhu tubuh pasien dalam rentang normal,



2.



Observasi Identifikasi penyebab



suhu tubuh



dengan criteria hasil:



Hipertermi b.d



hipertermia (mis. Dehidrasi, terpapar



1. Suhu tubuh dalam rentang normal



lingkungan panas, penggunaan incubator)



2. Nadi dan respirasi dalam rentang normal



3.



Monitor suhu tubuh



3. Tidak adaperubahan warna kulitdan tidak pusing



4.



Monitor kadar elektrolit



4. Intervens i(Tim Pokja SIKI DPP PPNI,2018)



5.



Monitor haluaran urine



6.



Monitor komplikasi akibat hipertermia Terapiutik



7.



Sediakan lingkungan yang dingin



8.



Longgarkan atau lepaskan pakaian



9.



Basahi dan kipasi permukaan tubuh



10. Berikan cairan oral 11. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidosis (Keringat berlebihan).



12. Lakukan pendinginan eksternal (mis. Selimut hipotermia atau kompres dingin 13. pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila) 14. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin 15. Berikanoksigen, jika perlu 16. Edukasi Anjurkan tirah baring 17. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolitintravena, jikaperlu



DAFTAR PUSTAKA



1. Guyton A.C., Hall J.E.(1997), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC, Jakarta. Bakta I Made., Suastika I Ketut.( 1987), Gawat darurat di Bidang Penyakit 2. Dalam . EGC Jakarta 3. Mansjoer 1999, Kapita Elekta Kedokteran, Edisi ke 23 Jilid 1 Media Ecepplus, Jakrta. 4. Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Brunner Suddarth, Vol. 1. EGC Jakarta.