LP Apendiktomi Lisna Shopiyah 201FK04082 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN APENDIKTOMI



Disusun Oleh : LISNA SHOPIYAH 201FK04082



PROGRAM PROFESI NERS BHAKTI KENCANA UNIVERSITY BANDUNG 2020



Laporan Pendahuluan Apendiktomi



A. Konsep Dasar Teori 1. Pengertian Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002). Apendiksitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007). Appendiktomi merupakan pengangkatan apendiks terinflamasi, dapat dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan  pendekatan endoskopis. Adanya perlengketan multipel, posisi reteroperitonial dari apendiks, atau robek perlu dilakukan prosedur pembukaan (Doenges, 2000). 2. Klasifikasi 1) Apendisitis akut Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa : a. Hiperplasi limfono di sub mukosa dinding apendiks. b. Fekalit c. Benda asing d. Tumor.



Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks. 2) Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum. 3) Apendisitis Kronik Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria  mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen. 4) Apendisitis Rekurens Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk



aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut. 5) Mukokel Apendik Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi. 6) Tumor Apendiks Adenokarsinoma apendiks, penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan  hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi. 7) Karsinoid Apendiks Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan 3. Etiologi



Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor prediposisi yaitu: 1) Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena: a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak. b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks c. Adanya benda asing seperti biji-bijian d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya. 2) Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus. 3) Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut. 4) Tergantung pada bentuk apendiks: a. Appendik yang terlalu panjang b. Massa appendiks yang pendek c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks d. Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009). 4. Patofisiologi Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks



yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) . 5. Pathway



6. Anatomi fisiologi 1) Anatomi Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan



embriologi



minggu



ke



delapan



yaitu



bagian



ujung



dari protuberans sekum. Pada saatantenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju



katup ileocaecal. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.



2) Fisiologi



Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin



sekretoar



yang



dihasilkan



oleh Gut



Associated



Lymphoid



Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah



penetrasi



enterotoksin



dan



antigen



intestinal



lainnya.



Namun,



pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh. 7. Manifestasi klinis 1) Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. 2) Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan. 3) Nyeri tekan lepas dijumpai. 4) Terdapat konstipasi atau diare. 5) Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum. 6) Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal. 7) Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter. 8) Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis. 9) Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan. 10) Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat ileus paralitik. 11) Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks. 12) Demam,  terjadi  bila  sudah ada komplikasi,  bila  belum  ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C. Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa menunjukkan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak



spesifik ini sering diagnosis apendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarangterlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. 13) Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering jugaterjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong kekraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih keregio lumbal kanan. Gejala klinis berdasarkan letak anatomis apendiks : Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut: 1) Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. 2) Bila apendiks terletak di rongga pelvis :Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare). Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya. Nama pemeriksaan



Tanda dan gejala



Rovsing’s sign



Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.



Psoas sign atau Obraztsova’s sign



Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.



Obturator sign



Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi



internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.



Dunphy’s sign



Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk



Ten Horn sign



Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda spermatic kanan



Kocher (Kosher)’s sign



Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.



Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign



Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri



Aure-Rozanova’s sign



Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan (akan positif Shchetkin-Bloomberg’s sign)



Blumberg sign



Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba



8. Skor Alvarado Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor 6. Selanjutnya ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.



Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis Keterangan: 0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil 5-6 : bukan diagnosis Appendicitis 7-8 : kemungkinan besar Appendicitis 9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan. Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas 9. Komplikasi Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang



tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya: 1) Abses Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum 2) Perforasi Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis. 3) Peritononitis Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis. 10. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan



meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%. 2) Radiologi Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 9094% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CTScan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%. 3) Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah. 4) Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas. 5) Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan. 6) Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon. 7) Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan. 11. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi. 1. Penanggulangan konservatif Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,



sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik 2. Operasi Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah). Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu: 1) Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi atau septikemia. 2) Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral 3) Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah. 4) Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi. 5) Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif. Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika profilaksisharus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob. Antibiotika preoperative  Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post opersi.  Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob .  Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.  Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides. Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendektomi. Keterlambatan



dalam



tatalaksana



dapat



meningkatkan



kejadian



perforasi.



Penggunaan ligasi ganda pada setelah appendektomi terbuka dilakukan dengan jahitan yang mudah diserap tubuh. Ligasi yang biasa dilakukan pada apendektomi adalah dengan purse string (z-stich atau tobacco sac) dan ligasi ganda. Pada keadaan normal, digunakan jahitan purse string. Ligasi ganda digunakan pada saat pembalikkan tunggul tidak dapat dicapai dengan aman, sehingga yang dilakukan adalah meligasi ganda tunggul dengan dua baris jahitan. Dengan peningkatan penggunaan laparoskopi dan peningkatan teknik laparoskopik, apendektomi laparoskopik menjadi lebih sering. Prosedur ini sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita. Beberapa studi mengatakan bahwa laparoskopi meningkatkan kemampuan dokter bedah untuk operasi. Tabel 5. Macam-mavam insisi apendiktomi Insisi Grid Iron (McBurney Incision)11 Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi parallel dengan otot oblikus eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan spina liaka anterior superior kanan dan umbilikus. Lanz transverse incision12 Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis miklavikulamidinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik dari pada insisi grid iron.



Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)13 Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.



Low Midline Incision13 Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.



Insisi paramedian kanan bawah13 Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas pubis.



3. Pencegahan Tersier Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen. 12. Teknik Operasi Apenditomi



a. Open Appendectomy 1) Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik. 2) Dibuat sayatan kulit: Horizontal



Oblique



3) Dibuat sayatan otot, ada dua cara: a) Pararectal/ Paramedian Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot disisihkanke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominiskarena fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu penjahitan. Bila yangterjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi hernia cicatricalis.



b) Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot 1. Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas kemedial bawah.



Keterangan gambar: Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis externus. 2. Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral bawah.



Keterangan gambar: Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah dengan seratnya ke arah lateral. 3. Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.



Keterangan gambar: Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar tidak terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N. iliohipogastricus dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di sebelah lateral di antara M.obliquus externus dan internus. Tarikan yang terlalu keras akan merobek pembuluh dan membahayakan saraf. 4. Peritoneum dibuka.



Keterangan gambar: Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar.Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat. 5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri untukmencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem



dengan klemBabcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi



ke



jaringansekitarnya).Appendix



dibebaskan



dari



mesoappendix dengan cara:Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya, diklem,kemudian dipotong di antara 2 ikatan.



Keterangan gambar: Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi. 6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi lebih kuatkarena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum). Klemdipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat dengan benangyang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk rongga dan bilaterbentuk pus akan masuk ke dalam Caecum).



7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine



8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara:  Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan kedalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z.  Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko kontaminasi dan adhesi.  Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung rapuh, dapatdilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.



9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru dilepaskandan mesenteriolumnya (retrograde). 10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis. b. Laparoscopic Appendectomy Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasiendengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta. Komplikasi Post Operasi 1. Fistel berfaeces, Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis.



2. Hernia cicatricalis. 3. Ileus 4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah ecchymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster atau duodenum. Komplikasi Komplikasi yang paling sering adalah apendisitis perforasi. Apendisitis perforsi dapat mengakibatkan periappendiceal abses (kumpulan nanah yang hasil infeksi) atau peritonitis difus (infeksi selaput seluruh perut dan panggul). Apendisitis perforasi terjadi biasanya karena keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan. Secara umum, semakin lama penundaan antara diagnosis dan operasi, semakin besar kemungkinan perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah timbulnya gejala paling tidak 15%. Oleh karena itu, setelah ditetapkan diagnosa apendisitis akut, operasi harus segera dilakukan tanpa penundaan lagi. Komplikasi yang jarang dari apendisitis adalah penyumbatan usus. Penyumbatan terjadi ketika peradangan apendisitis sekitarnya menyebabkan otot usus untuk berhenti bekerja, dan ini menghambat pasase di usus. Bila usus yang terhambat tersebut mulai terisi dengan cairan dan gas, maka akan terjadi distensi abdomen, kemudian timbul mual dan muntah. Bila terjadi demikian maka perlu menguras isi dari usus melalui pipa melewati hidung dan kerongkongan dan masuk ke dalam perut dan usus. Sedangkan komplikasi paling ditakuti dari apendisitis adalah sepsis, suatu kondisi dimana bakteri menginfeksi masuk ke darah dan perjalanan ke bagian lain dari tubuh. Ini adalah komplikasi yang sangat serius bahkan mengancam nyawa. Untungnya, hal tersebut jarang terjadi.



B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian 1) Wawancara a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas. b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan klien sekarang. c. Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat. d. Kebiasaan eliminasi 2) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat. a. Sirkulasi : Takikardia. b. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal. c. Aktivitas/istirahat : Malaise. d. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang. e. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus. f. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak. g. Demam lebih dari 38ºC. h. Data psikologis klien nampak gelisah. i. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. j. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi. k. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat. 2. Diagnosa Keperawatan 1) Pre Operasi



a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi) b. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik. c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah. d. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi. 2) Post Operasi a. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi). b. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan). c. Defisit self care berhubungan dengan nyeri. d. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi. 3. Pelaksanaan Keperawatan Implementasi keperawatan adalah tindakan keperawatan yang disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Implemetasi adalah tahap ketiga dari proses keperawatan dimana rencana keperawatan dilaksanakan, melaksanakan/ aktivitas yang lebih ditentukan. 4. Evaluasi Keperawatan Evaluasi keperawatan adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Setelah melaksanakan tindakan keperawatan maka hasil yang diharapkan adalah sesuai dengan rencana tujuan yakni : 1. Pre Operasi 1) Nyeri akut a. Klien mampu mengontrol nyeri b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang c. Tanda vital dalam rentang normal d. Klien tampak rileks mampu tidur/istirahat 2) Perubahan pola eliminasi (konstipasi) a. BAB 1-2 kali/hari b. Feses lunak c. Bising usus 5-30 kali/menit



3) Kekurangan volume cairan a. kelembaban membrane mukosa b. turgor kulit baik c. Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg BB/jam 4) Cemas  a. Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat teratasi b. Tampak rileks 2. Post Operasi 1) Nyeri akut a. Melaporkan nyeri berkurang b. Klien tampak rileks c. Dapat tidur dengan tepat d. Tanda-tanda vital dalam batas normal 2) Resiko infeksi a. Klien bebas dari tanda-tanda infeksi b.  Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi c. Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul) 3) Defisit self care a. Klien bebas dari bau badan b. Klien tampak bersih c. ADL klien dapat mandiri atau dengan bantuan 4) Kurang pengetahuan a. Menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan b. Berpartisipasi dalam program pengobatan



DAFTAR PUSTAKA



Elizabeth, J, Corwin. (2009). Buku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.



Fatma. (2010). Askep Appendicitis. Diakses  pada tanggal 14-8-2018.



Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.



Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI



Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.



NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.



Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC



R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku ajar ilmu bedah: Apendiks veriformis. Edisi III. Jakarta: EGC. Jakarta; 2010.h.755-62.



Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta; 2005.h. 26-42