12 0 181 KB
LAPORAN PENDAHULUAN ATRESIA DUODENUM
Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Mata Kuliah Keperawatan Anak
Disusun Oleh : Sigit Purnomo, S.Kep
PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG 2018
LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT ATRESIA DUODENUM
A. Pengertian Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik. Pada kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis. Atresia adalah tidak terbentukknya atau tersumbatnya suatu saluran dari organ-organ. Atresia Duodenal adalah tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum (bagian terkecil dari usus halus) sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan ke usus dan biasanya terjadi pada ampula vuteri. Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus. B. Anatomi dan Fisiologi Sistem pencernaan atau gastrointestinal (mulsi dari mulut sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi menerima makanan serta mencernanya menjadi zat-zat dan energi dan membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, faring, tenggorokan, lambung, usus halus, usus besar, rectum, dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak dari luar saluran pencernaan yaitu pangkreas, hati, dan kandung empedu. 1. Usus Halus
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui
vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.Lapisan usus halus ; lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (M longitidinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum). a. Duodenum (Usus dua belas jari)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halusyang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong(jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari. Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan. b. Jejenum (Usus Kosong)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari(duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian
usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh denganmesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secarahistologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnyakelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti "lapar" dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti "kosong". c. Ileum (Usus Penyerapan)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsimenyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu. Absorbsi : Absorbsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung didalam usus halus melalui 2 saliran yaitu pembuluh darah kapiler dalam darah dan saluran limfe disebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vili berisi laktat, pembuluh darah epithelium dan jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epithelium. Fungsi usus halus :
Menerima zat-zat makanan yang sudah di cernah untuk di serap melalui kapiler – kapiler darah dan saluran – saluran limfe.
Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
Karbohidrat dalam bentuk monosakarida.
Di dalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yaitu:
Enterokinase , mengaktifkan enzim proteolitik.
Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.
Laktase mengubah lactase manjadi monosakarida.
Maltose mengubah maltase menjadi monosakarida.
Sukrose mengubah sukrosa manjadi monosakarida.
2. Usus Besar
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntudan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari :
Kolon asendens (kanan)
Kolon transversum
Kolon desendens (kiri)
Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum) Banyaknya
bakteri
yang
terdapat
di
dalam
usus
besar
berfungsimencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare. 3. Rektum dan Anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di
mana penyerapan air akan kembali dilakukan.Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar - BAB), yang merupakan fungsi utama anus. Fungsi usus besar adalah: a. Menyerap air dan makanan b. Tempat tinggal bakteri koli c. Tempat feses 4. Fisiologi Usus Halus
Usus halus mempunyai 2 fungsi utama adalah pencernaan dan absorbs bahan-bahan nutrisi dan air. Proses pencernaan dimulai oleh mulut dan lambung oleh kerja ptyalin asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk. Proses selanjutnya didalam suodenum terutama oleh kerja enzim pancreas yang menghidrolisis karbohidrat lemak dan protein menjadi zat-zat yang lebih sedaerhana. Sekresi empedu dan hati membantu proses pencernaan dan mengemulsikan lemak. Dua hormone penting dalam pencernaa usus yaitu lemak yang bersentuhan dengan mukosa duodenum menyebabkan kontraksi kandung empedu dan hasil pencernaan protein tak lengkap yang bersentuhan dengan mukosa duodenum merangsang sekresi getah pancreas yang kaya akan enzim. Pergerakan
segmental
usus halus
mencampur
zat-zat yang
dinamakan dengan pancreas, hepatobiliar dan sekresi usus. Pergerakan peristaltic mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absirbsi optimal dan supali kontinyu isi lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat,
lemak, ptotein (gula sederhana) asam lemak dan asam amino melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Walaupun banyak zat diabsorbsi di sepanjang usus halus, tetapi terdapat tempat-tempat absorbs utama bagi zat-zat gizi tertentu. Besi dan kalsium sebagian besar di absorbs dalam duodenum dan memerlukan garam-garam empedu. Absorbsi gula, asam amino dan lemak sebagian besar selesaikan menjelang kimus mencapai jejunum. ABsorbsi B12 berlangsung pada ileum terminal yang memerlukan factor intrinsic lambung. Asam-asam empedu yang dikeluarkan kandung mpedu ke dalam duodenum dakan direabsorbsi pada ileum terminal dan masuk kehati. C. Etiologi Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini belum diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan. Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena karena gangguan pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia duodenum, juga diduga disebabkan karena kegagalan proses rekanalisasi. Faktor risiko maternal sampai saat ini tidak ditemukan sebagai penyebab signifikan terjadinya anomali ini. Pada sepertiga pasien dengan atresia duodenal menderita pula trisomi 21 (sindrom down), akan tetapi ini bukanlah faktor risiko yang signifikan menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal disebabkan karena polihidramnion. Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular pankreas berhubungan dengan terjadinya atresia duodenal.
D. PERKEMBANGAN EMBRIOLOGI DUODENUM Deodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian sefalik dari usus tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di sebelah distal pangkal tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum mengambil bentuk melengkung seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini bersama-sama dengan tumbuhnya kaput pankreas, menyebabkan duodenum membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga abdomen. Deodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan, dan permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritonium yang ada didekatnya. Kedua lapisan tersebut selanjutnya menghilang dan duodenum serta kaput pankreas menjadi terfikasasi di posisi retroperitonial. Mesoduodenum dorsal menghilang sama sekali kecuali didaerah pilorus lambung, dengan sebagian kecil duodenum ( tutup duodenum) yang tetap intraperitonial. Selama bulan ke dua, lumen duodenum tersumbat oleh ploriferasi sel di dindingnya. Akan tetapi, lumen ini akan mengalami rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus depan akan disuplai oleh pembuluh darah yang berasal dari arteri sefalika dan usus tengah oleh arteri mesenterika superior, sehingga duodenum akan disuplai oleh kedua pembuluh darah tersebut. E. PATOGENESIS Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8-10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum. Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan kegagalan rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa epitel duodenum berploriferasi
dalam usia kehamilan 30-60 hari ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan. Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan suatu gangguan pada perkembangan duodenum. F. KLASIFIKASI Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi : 1. Atresia tipe I terjadi pada lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi
duodenum. Kandungan lumen diafragma meliputi mukosa dan submukosa. Terdapar windsock deformity, dimana bagian duodenum yang terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang obstruksi. 2. Pada tipe I ini, tidak ada fibrous cord dan duodenum masih kontinu.
Atresia tipe II, dikarakteristikan dengan dilatasi proksimal dan kolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous cord. 3. Atresia tipe III memiliki gap pemisah yang nyata antara duodenal segmen
distal dan segmen proksimal. G. MANIFESTASI KLINIS Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran.
Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F, maka kemungkinan pasien mengalami ruptur
intestinal atau peritonitis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamanya pasien tidak dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentari menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid. Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut. H. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun saat postnatal. 1. Prenatal : Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan menggunakan
prenatal
ultrasonografi.
Sonografi
dapat
mengevaluasi
adanya
polihidramnion dengan melihat adanya struktur yang terisi dua cairan dengan gambaran double bubble pada 44% kasus. Sebagian besar kasus atresia duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan, akan tetapi pada beberapa penelitian bisa terdeteksi pada minggu ke 20. 2. Postnatal : Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir
dengan kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin progresive sehingga pasien akan mengalami gangguan elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan menyebabkan
terjadinya metabolik alkalosis dengan hipokalemia atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena itu, gangguan elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi. Disamping itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien mengalami demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum. Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain abdominal x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak gambaran gambaran lambung yang terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari duodenum proksimal pada garis tengah agak kekanan. Apabila pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus yang mengalami dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan gambaran double-bubble. I. KOMPLIKASI Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi, terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi beberapa komplikasi
lanjut
seperti
pembengkakan
duodenum
(megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks gastroesofageal. J. PENATALAKSANAAN Tata laksana yang dilakukan meliputi tata laksana preoperatif, intraoperatif serta postoperatif : 1. Preoperatif
Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan dengan
melakukan
koreksi
terhadap
keseimbangan
cairan
dan
abnormalitas elektrolit serta melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan menjaga hidrasi IV. Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian besar pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan
mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi. Sebaiknya pesien dirawat dalam inkubator. 2. Intraoperatif
Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang dipilih untuk mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis maupun atresia. Kemudian, berdasarkan perkembangannya, ditemukan berbagai
teknik
yang
bervariasi,
meliputi
side-to-side
duodenoduodenostomi, diamnond shape duodenoduodenostomi, partial web resection with heineke mikulick type duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty. Side-to-side duodenoplasty yang panjang, walaupun dianggap efektif, akan tetapi pada beberapa penelitian teknik ini memyebabkan terjadinya disfungsi anatomi dan obstruksi yang lama. Pada pasien dengan duodenoduodenostomi sering mengalami blind-loop syndrome. Saat ini, prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi maupun open duodenoduodenostomi. Teknik untuk anastomosisnya dilakukan pada bagian proksimal secara melintang ke bagian distal secara longitudinal atau diamond shape. Dilakukan anastomosis diamond-shape pada bagian proksimal secara tranversal dan distal secara longitudinal. Melalui teknik ini akan didapatkan diamater anatomosis yang lebih besar, dimana kondisi ini lebih baik untuk mengosongkan duodenum bagian atas. Pada beberapa kasus, duodenoduodenostomi dapat sebagai alternatif dan menyebabkan proses perbaikan yang lebih mudah dengan cara proses pembedahan minimal. Untuk open duodenoduodenostomi, dapat dilakukan insisi secara tranversal pada kuadran kanan atas pada suprambilikal. Untuk membuka abdomen maka diperlukan insisi pada kulit secara tranversal, dimulai kurang lebih 2 cm diatas umbilikus dari garis tengah dan meluas kurang lebih 5 cm ke kuadran 11 kanan atas. Setelah kita menggeser kolon ascending dan tranversum ke kiri, kemudian kita akan melihat duodenal yang mengalami obstruksi. Disamping mengevaluasi duodenal stresia, dapat dievaluasi adanya
malrotasi karena 30% obstruksi duodenal kongenital dihubungkan dengan adanya malrotasi. Kemudian dilakukan duodenotomi secara tranversal pada dinding anterior bagian distal dari duodenum proksimal yang terdilatasi serta duodenostomi yang sama panjangnya dibuat secara vertikal pada batas antimesenterik pada duodenum distal. Kemudian akan dilakukan anstomosis dengan menyatukan akhir dari tiap insisi dengan bagian
insisi
yang
lain.
Disamping
melakukan
open
duodenoduodenostomi, pada negara maju dapat dilakukan teknik operasi menggunakan laparoscopic. Teknik dimulai dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi, kemudian akan diinsersikan dua instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada mid-epigastik kanan. Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio yang mengalami obstruksi. Kemudian dilakukan diamond shape anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan laparoscopik anatomosis dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi teknik ini memerlukan banyak jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan, kondisi ini dapat diselesaikan dengan menggunakan nitinol Uclips untuk membuat duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan bayi akan lebih untuk dapat segera menyusui dibandingkan open duodenoduodenostomi secara konvensional. Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular pankreas, maka dilakukan duodenoduodenostomi antara segmen duodenum diatas dan dibawah area cincin pankreas. Operator tidak boleh melakukan pembedahan pada pankreas karena akan menyebabkan pankreatik fistula, kondisi demikian menyebabkan stenosis atau atresia duodenum akan menetap. 3. Post Operasi
Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan. Pasien menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat mulai menyusui setelah 48 jam pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi jangka panjang, maka dapat dipasang kateter intravena baik sentral maupun perifer apabila transanastomotic enteral tidak adekuat untuk memberi suplai nutrisi serta tidak ditoleransi oleh pasien. Semua pasien memiliki periode aspirasi asam lambung yang berwarna empedu. Kondisi
ini terjadi karena peristaltik yang tidak efektif atau distensi pada duodenum bagian atas. Permulaan awal memberi makanan oral tergantung pada penurunan volume gastrik yang diaspirasi. K. PENGKAJIAN
Lakukan pengajian fisik
Kaji pemahaman anak atau keluarga tentang rencana pengobatan dan apa yang akan terjadi pada pasca operasi
Kaji adanya bukti infeksi pada anak
Tinjau ulang hasil tes lab untuk temuan abnormal
L. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ansietas (orang tua) yang berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang penyakit, pemeriksaan diagnostic, dan terapi. Hasil yang diharapkan: orang tua akan mengalami penurunan rasa cemas yang ditandai oleh ungkapan pemahaman tentang gangguan tersebut dan kebutuhan tentang uji diagnostic dan terapi. Intervensi Rasional 1. Jelaskan kepada orang tua anatomi 1. Dengan
memahami
sistem
dan proses pengeluaran makanan
saluran cerna dapat membantu
melalui traktus gastrointestinal atas
orang tua memahami dengan
normal
lebih baik gangguan menjalani
.
pemeriksaan dan terapi.
2. Beri
orang
tua
jadwal
uji
diagnostic yang diprogramkan
2. Memiliki
jadwal pemeriksaan
diagnostic, membantu orang tua mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi.
3. Ajarkan orang tua tentang setiap
uji
diagnostik
(rangkaian
3. Mengetahui
membantu
informasi
ini
mengurangi
rasa
pemeriksaan saluran cernah atas,
cemas
pemeriksaan penunjang)
meningkatkan dukungan
orang dan
tua kerja
dan sama,
keterlibatan
mereka
dalam
pemeriksaan
diagnostic. 4. Beri orang tua tentang peristiwa
4. Mengetahui
apa
yang
akan
pra dan pasca bedah. Jelaskan juga
terjadi membantu mengurangi
perincian
tentang
rasa cemas, serta meningkatkan
pemberian
makanan
pemeriksaan
menahan per
oral,
laboratorium,
keterlibatan
mereka
dalam
perawatan bayi.
radiologi dan intubasi nasogastric. 2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
muntah proyektil yang sering. Hasil yang diharapkan: bayi akan mempertahankan status nutrisi yang adekuat, ditandai dengan bayi dapat menerima makanan dan muntah berkurang. Intervensi Rasional 1. Beri bayi makanan dalam posisi 1. Memberikan tegak,
sendawakan
setiap
kali
makan
menyendawakan
dan bayi
menelan sebanyak 15-30 ml cairan
dengan cara ini, mencega
makanan.
Ciptakan
aerofagia dan memastikan
lingkungan
yang
suasana
tenang
dan
nyaman. 2. Tawarkan
bayi
menerima
makanan
dalam jumlah yang optimal. porsi
makan
dalam
2. Pemberian
makan
dengan
porsi
jumlah sedikit dengan frekuensi
sedikit
sering, setiap 1-2 jam. Beri lagi
sering, mengurangi volume
setiap kali muntah.
cairan
total
frekuensi di
dalam
lambung untuk sekali waktu, yang resiko
dapat
mengurangi
muntah
memberikan
dan
hidrasi
yang
optimal. 3. Tawarkan makanan oral berupa
larutan
elektrolit
selama
3. Larutan
elektrolit
menggantikan elektrolit yang
pemeriksaan diagnostic.
hilang
akibat
muntah
berulang. 4. Kaji
bayi
untuk
perburukan
mendeteksi
dehidrasi,
termasuk
4. Dokter
dapat
memprogramkan pemberian
penurunan haluaran urine, kulit
cairan
kering. Laporkan tanda ini segera.
mengganti
intravena,
untuk
cairan
dan
mencegah syok. 5.
Atur posisi bayi supaya tegak setiap
kali
selesai
pemberian
5. Posisi
tegak
membantu
mencegah aspirasi.
makan. 3. Kekurangan colume cairan berhubungan dengan dehidrasi atau syok.
Hasil yang diharapkan: bayi akan mempartahankan keseimbangan cairan dan elektrolit yang normal yang dibuktikan oleh haluaran urine normal. Intervensi 1. Rehidrasi
bayi
sesuai
Rasional indikasi 1. Larutan
elektrolit
dengan larutan elektrolit oral atau
dan
cairan
cairan intravena.
menggantikan
peroral intravena
cairan
dan
elektrolit yang hilang akibat muntah dan dehidrasi. 2. Pantau hasil uji laboratorium untuk
2. Dehidrasi
menyebabkan
hitung darah, berat jenis, eletrolit,
peningkatan
nitrogen urea darah, dan kadar gas
hemoglobin dan hematocrit.
darah arteri.
Muntah
nilai menyebabkan
penurunan kadar kalium dan natrium, peningkatan berat jenis. 3. Pantau bayi setiap 2-4 jam untuk
3. Pemantauan
yang
sering
deteksi tanda-tanda syok, termasuk
memungkinkan deteksi dini
peningkatan frekuensi napas dan
dan terapi syok, yang dapat
jantung.
terjadi akibat muntah dan hipovolemik pasca operasi.
4. Kaji kulit bayi untuk deteksi tanda-
tanda
dehidrasi
termasuk
kulit
keabu-abuan, kulit kering, dan
4. Tanda ini mengindikasikan
perlunya peningkatan asupan cairan.
fontanel cekung. 5. Timbang berat badan bayi setiap
hari
berat
badan
pantau
asupan
serta
setiap hari serta pemantauan
cairanya
setiap
jam.
asupan dan haluaran yang
dan
haluaran
5. Menimbang
Termasuk asupan melalui intra
sering,
memastikan
vena dan oral.
pengkajian
terus-menerus
status cairan bayi.
4. Post Operatif : Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan
terputusnya kontuinitas jaringan ditandai dengan adanya insisi bedah. Nyeri bisa berkurang atau hilang dalam 3 x 24 jam perawatan Kriteria Hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal Intervensi 1. Kaji
nyeri,
catat
Rasional lokasi, 1. Berguna
dalam
proses
karakteristik, beratnya (skala 0-5),
pengawasan, keefektifan obat,
selidiki dan laporkan perubahan
kemajuan
nyeri dengan tepat
perubahan pada karakteristik
penyembuhan,
nyeri menunjukan terjadinya peritonitis atau anses yang memerlukan upaya evaluasi medik dan intervensi 2. Pertahankan
istirahat
dengan 2. Gravitasi melokalisasi eksudat
posisi yang nyaman
inflamasi
dalam
bawah
atau
menghilangkan abdomen
abdomen
yang
pelvis, tegangan bertambah
dengan posisi terlentang 3. Pertahankan
puasa
atau
3. Menurunkan
penghisapan
NGT
pada
awal
ketidaknyamanan
setelah operasi
pada
peristaltik usus dini dan iritasi gaster
4. Berikan analgesik sesuai indikasi
4. Menghilangkan
nyeri
serta
mempermudah
kerja
sama
dengan intervensi terapi lain 5. Berikan kantong es pada daerah 5. Menghilangkan
abdomen
mengurangi
dan
nyeri
melalui
penghilangan rasa ujung baal (efek baal) 5. Post Operatif : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan utama ditandai dengan adanya prosedur infasif insisi bedah Setelah dilakukan perawatan pasien terbebas dari resiko infeksi selama proses perawatan Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital dalam batas normal
Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar
Terbebas terhadap tanda-tanda infeksi/ inflamasi
Terhindar dari Drainase purulen, eritema dari demam
Intervensi 1. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan demam,
mengigil,
Rasional 1. Dugaan adanya
berkeringat,
terjadinya
perubahan mental, meningkatkan
peritonitis
intervensi
sepsis,
abses,
nyeri abdomen 2. Lihat insisi dan balutan, catat
2. Memberikan
deteksi
dini
karakteristik drainase luka/drain,
terjadinya proses infeksi, dan
adatu adanya eritema
atau penyembuhan
pengawasan peritonitis
yang telah ada sebelumnya 3. Lakukan pencucian tangan yang
3. Menurunkan
resiko
baik dan perawatan luka aseptik
penyebaran infeksi
4. Berikan informasi yang tepat, jujur
4. Pengetahuan
tentang
dan jelas pada pasien atau orang
kemajuan
situasi
terdekat
memberikan
dukungan
emosi,
membantu
menurunkan ansietas 5. Ambil
contoh
drainase
bila
diindikasikan
5. Kultur pewarnaan gram dan
sensitivitas berguna untuk mengidentifikasikan organisme
penyebab
dan
pilihan terapi 6. Berikan antibiotik yang sesuai
6. Dilakukan secara profilaktik
atau
menurunkan
jumlah
mikroorganisme 7. Bantu dalam irigasi dan drainase
bila diindikasikan
7. Dapat
diperlukan
mengalirkan terlokalisir
isi
untuk abses
DAFTAR PUSTAKA
Daengaoes, Maryllin E.1999. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC Ngastiyah.1995. perawatan anak sakit . Jakarta :EGC Syamsuhidajat, R. 2004.Buku ajar Ilmu bedah. Jakatra:EGC Wong, Dona L. 2004. pedoman klinis keperawatan pediatric. Jakatra : EGC