LP Cos Dan Ich Imam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UNIVERSITAS JEMBER LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN COS (CIDERA OTAK SEDANG INTRA CEREBRAL HEMATOM (ICH) DI RUANG GARDENA RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER



OLEH: Imam Mansyur S.Kep. NIM 192311101131



PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2020



A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persarafan



Gambar 1. Anatomi kepala



Gambar 2. Fungsi otak 1) Tengkorak Tulang tengkorak menurut Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fossa; fossa anterior di dalamnya terdapat lobus frontalis, fossa tengah 1



berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fossa posterior berisi otak tengah dan sereblum.



Gambar 3. Lapisan cranium 1. Meningen Pearce (2008) mengatakan bahwa otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningen yang melindungi struktur saraf yang halus itu, membawa pembuluh darah dan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3 lapisan yaitu: a) Dura mater Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. 2



Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. b) Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. c)



Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.



3



2. Otak Menurut Price (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu: a) Cerebrum



Gambar 4. Lobus-lobus otak Cerebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu: 1) Lobus frontalis Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motoric tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada 4



ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam. 2) Lobus parietalis Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. 3) Lobus temporalis Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri 5



menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual. 4) Lobus oksipital Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan. b) Cerebellum Terdapat dibagian belakang sophag menepati fosa serebri posterior dibawah lapisan durameter. Cerebellum mempunyai aksi yaitu merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori. c) Brainstem Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan sophag oblongata. Otak tengah midbrain/ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin. 3. Syaraf-Syaraf Kranial Smeltzer (2001) mengatakan bahwa nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus yaitu: 6



a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I) Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak. b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II) Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak. c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III) Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris. d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV) Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata. e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V) Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyaitiga buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu: 1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan kelopak mata atas, selaput sopha kelopak mata dan bola mata. a. Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris. b. Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu. f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI) Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata. g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII) Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf



otonom (parasimpatis)



untuk wajah



dan



kepalafungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa pengecap. 7



kulit



h)



Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII) Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.



i)



Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX) Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.



j)



Nervus Vagus (Nervus Kranialis X) Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa.



k)



Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI) Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan.



l)



Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII) Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung.



Gambar 5. saraf Kranial



8



Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial



SARAF KRANIAL I Olfaktorius II Optikus III Okulomotorius



KOMPO NEN Sensorik Sensorik Motorik



IV Troklearis V Trigeminus



Motorik Motorik Sensorik



VI Abdusens VII Fasialis



Motorik Motorik Sensorik



VIII Cabang Vestibularis Cabang koklearis IX Glossofaringeus X Vagus



Sensorik Sensorik Motorik Sensorik Motorik Sensorik



XI Asesorius



Motorik



FUNGSI Penciuman Penglihatan Mengangkat kelopak mata atas, konstriksi pupil, sebagian besar gerakan ekstraokular Gerakan mata ke bawah dan ke dalam Otot temporalis dan maseter (menutup rahang dan mengunyah) gerakan rahang ke lateral - Kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala, mukosa mata, mukosa hidung dan rongga mulut, lidah dan gigi - Refleks kornea atau refleks mengedip, komponen sensorik dibawa oleh saraf kranial V, respons motorik melalui saraf kranial VI Deviasi mata ke lateral Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot dahi, sekeliling mata serta mulut, lakrimasi dan salivasi Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa, manis, asam, dan asin) Keseimbangan Pendengaran Faring: menelan, refleks muntah Parotis: salivasi Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit Faring: menelan, refleks muntah, fonasi; visera abdomen Faring, laring: refleks muntah, visera leher, thoraks dan abdomen Otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari otot trapezius: pergerakan kepala dan bahu 9



XII Hipoglosus Motorik Sumber: Muttaqin, 2008:17



Pergerakan lidah



B. Definisi Cidera Otak Sedang (COS) Intra Cerebral Haemorrhage (ICH) Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif – non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau permanen. Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 2005). Cedera otak sedang atau COS adalah kerusakan fungsi otak akibat traumatik dengan beberapa manifestasi klinik seperti kehilangan kesadaran, kehilangan memori sebelum atau sesudah terjadinya insiden. Menurut WHO cedera otak sedang adalah kerusakan otak akut akibat dari tidak optimalnya suplai energi ke otak (AANN dan ARN, 2011). Menurut Smeltzer dan Bare (2002) cedera otak adalah kejadian cedera minor yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Cedera otak sedang adalah cedera kepala dengan skala koma glassgow 9 - 13, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, 1999). Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai



10



lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural. (Paula, 2009) Intra Cerebral Hematom adalah perdarahan kedalam substansi otak . Hemorragi ini biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil dapat terjadi pada luka tembak ,cidera tumpul. (Suharyanto, 2009) Intra Cerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri. Hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala terbuka. Intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik akibat melebarnya pembuluh nadi. (Corwin, 2009) C. Klasifikasi Cidera Otak Menurut Mansjoer (2000), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) yang terdiri dari: 1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15 a) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi. b) Tidak ada kehilangan kesadaran c) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang d) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing e) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala 2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13 a) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan b) Amnesia pasca trauma c) Muntah d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal) e) Kejang 3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8. a) Penurunan kesadaran sacara progresif b) Tanda neorologis fokal c) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium d) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam 11



e) Disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania f) Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).



Gambar 6. Perdarahan Intrakranial Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004). 1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu: a. cedera kepala tumpul. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak. b. Cedera tembus. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004) 2. Berdasarkan morfologi cedera kepala. Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi: a. Laserasi kulit kepala



12



Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak. b. Fraktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi: 1) Fraktur linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial. 2) Fraktur diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural. 3) Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur. 4) Fraktur impresi Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang



kecal.



Fraktur



impresi



pada



tulang



kepala



dapat



menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan 13



jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat. 5) Fraktur basis kranii Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril



(konsultasi



otorrhea/otoliquorrhea.



ahli Pada



bloody/otorrhea/otoliquorrhea



THT)



pada



penderita



dengan



bloody/



tanda-tanda



penderita tidur dengan posisi



terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat. c. Cedera kepala di area intrakranial. 14



tanda



Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus. 1) Cedera otak fokal yang meliputi: a) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak



dan



durameter.



Epidural



hematom



dapat



menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis. b) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut. Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural. c) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga 15



terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang. d) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami. e) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH) Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai



perdarahan



subarahnoit



(PSA).



Luasnya



PSA



menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu



terjadinya



vasospasme



pembuluh



darah



dan



menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri. 2) Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011) Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya 16



cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi



gaya



rotasi



dan



translasi



yang



menyebabkan



bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang



sebelah



dalam.



Fasospasme



luas



pembuluh



darah



dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi: a) Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan. b) Kontsuio cerebri Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas



adalah



kerusakan



jaringan



parenkim



otak



yang



berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala. c) Edema cerebri



17



Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik. d) Iskemia cerebri Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.



D. Epidemiologi Cidera Otak Sedang (COS) Intra Cerebral Haemorrhage (ICH) Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007). Cedera kepala juga menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan orang dewasa umur 1-45 tahun. Cedera kepala sedang dan berat menjadi faktor penyebab peningkatan kasus penyakit Alzheimer 4,5 kali lebih tinggi (Turliuc, 2010). Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus cedera kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Kasus yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). 18



Angka kejadian cidera kepala di RSUD Dr. Moewardi dari bulan JanuariOktober 2012 sebanyak 453 kasus., sedangkan di IGD sendiri berdasarkan kenyataan yang dilihat penulis selama praktek dari tanggal 2 Juli-29 Juli 2012 (1 bulan) di RSUD Dr.Moewardi Surakarta terdapat 43 pasien cidera kepala yang terdiri dari 29 ( 68,4%) laki-laki dan 14 (31,5%) perempuan yang mengalami cedera kepala ringan sampai berat. Pasien dengan cidera kepala ringan (CKR) sebanyak 21 (48,8%), cidera kepala sedang (CKS) 8 (18,6%) dan cidera kepala berat (CKB) 14 (32,5%). Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan. Angka kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang terlambat. E. Etiologi Cidera Otak Sedang (COS) Intra Cerebral Haemorrhage (ICH) Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya cidera kepala berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut Nurarif dan Kusuma (2013) yaitu sebagai berikut: a. Akselerasi Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang diam kemudian dipukul atau dilempari batu. Bila kepala yang bergerak kesuatu arah atau kepala sedang dalam keadaan tidak bergerak, tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Mula-mula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat , jaringan otak masih diam, kemudian jaringan otak ikut bergerak ke arah yang sama. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat. Pada peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar tengkorak serta terjadi benturan antara jaringan otak dan dinding tengkorak. Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan 19



luka/robekan/laserasi pada bagian bawah jaringan otak dan memar pada jaringan otak serta putusnya vena – vena kecil yang berjalan dari permukaan otak ke duramater (Bridging veins) b. Deselerasi Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang terbentur benda padat. Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan oleh suatu benda , misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba akan terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi (perlambatan) secara mendadak. Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya , jaringan otak masih bergerak kemudian jaringan otak terhenti gerakannya karena “menabrak “ tengkorak. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan kelainan serupa seperti pada mekanisme akselerasi. c. Akselerasi-deselerasi Terjadi pada kecelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan kendaraan yang berjalan d. Coup-counter coup Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan yang terbentur dan area yang pertama terbentur. Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah 20



lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).



e. Rotasional Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak Etiologi Intra Cerebral Haemorrhage (ICH) menurut Suyono (2011) adalah : a. Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala b. Fraktur depresi tulang tengkorak c. Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba d. Cedera penetrasi peluru e. Jatuh f. Kecelakaan kendaraan bermotor g. Hipertensi h. Malformasi Arteri Venosa i. Aneurisma j. Distrasia darah k. Obat l. Merokok F. Manifestasi



Klinis



Cidera



Otak



Sedang



(COS)



Intra



Cerebral



Haemorrhage (ICH) Tanda gejala yang muncul pada pasien dengan cedera otak sedang menurut Nurarif dan Kusuma (2013) yaitu nilai GCS 9-13, kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur 21



tengkorak, dan diikuti kontusio serebral, laserasi dan hematoma intracranial. Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Pada pemeriksaan CT Scan indikasi dilakukan operasi adanya daerah hiperdens dnegan diameter >3 cm. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK. Manifestasi klinik cedera otak sedang menurut (Oman, 2008) meliputi : 1. Gangguan kesadaran 2. Konfusi 3. Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan 4. Tiba-tiba defisit neurologik 5. Perubahan TTV 6. Gangguan penglihatan 7. Disfungsi sensorik 8. Lemah otak Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) manifestasi klinik cedera otak sedang meliputi 1. Pola pernafasan Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal. 2. Kerusakan mobilitas fisik Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak. 3. Ketidakseimbangan hidrasi Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK. 4. Aktifitas menelan Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali. 5. Kerusakan komunikasi Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa. Intra Cerebral hematom mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang, hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun begitu, pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada. Dugaan gejala terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana peluasan pendarahaan. 22



Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa, seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit. Menurut Corwin (2009) manifestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu : a. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan b. c. d. e.



membesarnya hematom. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan intra cranium



G. Patofisiologi Cidera Otak Sedang (COS) Intra Cerebral Haemorrhage (ICH) Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, Arifin (2002) membagi cedera kepala menjadi dua : 1. Cedera otak primer Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper otak hingga batang otak. 2. Cedera otak sekunder Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan 23



kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi (peningkatan aliran darah dalam pembuluh darah di beberapa jaringan tubuh yang berbeda. Biasanya di tandai dengan munculnya warna kemerahan pada kulit), peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria serebri yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari pembuluh darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau 24



didekatnya, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan. Darah yang keluar dari pembuluh darah sangat mengiritasi otak, sehingga mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar perdarahan, spasme ini dapat menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi, perdarahan aneorismaaneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang menonjol pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan kadangkadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak. Bila aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan menjadi penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala ini masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang tidak putih lagi (ireversibel) dan kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan tekanan intrakranial dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan, sehingga dapat berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun lokal. Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa menit, jam bahkan beberapa hari. (Corwin, 2009) H. Komplikasi Cidera Otak Sedang (COS) Intra Cerebral Haemorrhage (ICH) Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah: a. Perluasan hematoma intracranial b. Edema serebral dan herniasi Edema serebral adalah penyebab paling umum dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi pada cedera kepala kurang lebih 72 jam pasaca cedera. Tekanan intrkranial meningkat akibat ketidakmampuan tengkorak untuk membesar 25



meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak akibat trauma. Akibat dari peningkatan TIK dan edema adalah penyebaran tekanan pada jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku. Bergantung pada area pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kakau akan mengakibatkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel dan kematian. I.



Pemeriksaan Penunjang Cidera Otak Sedang (COS) Intra Cerebral Haemorrhage (ICH) 1) CT-Scan Kepala Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati, dan pergeseran jaringan otak



2)



Foto



tengkorak atau cranium Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak. 3) MRI (Magnetic Resonan Imaging) Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan



gelombang



elektomagnetik. 4) Laboratorium (pemeriksaan darah) Mengetahui ketidakseimbangan elektrolit Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi menyebabkan penurunan kesadaran. 26



pengaruh



obat



sehingga



5) Cerebral Angiography Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. 6) Serial EEG Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis 7) X-Ray Kepala Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang. 8) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil 9) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak 10) CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid. 11) ABG: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial



J.



Penatalaksanaan



Cidera



Otak



Sedang



(COS)



Intra



Cerebral



Haemorrhage (ICH) a) Terapi Oksigenasi Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau memerbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2) ke jaringan. Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan terapi oksigen (O2) jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang (long-term oxygen therapy). Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas. Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang 27



dibutuhkan pada pesien-pa-sien dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskuler dan emboli paru sedangkan terapi oksigen (O2) jangka panjang merupakan terapi yang dibutuhkan pada pesienpasien dengan keadaan hipoksemia kronis, di antaranya penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kor pulmonal dan polisitemia. Cara pemberian terapi oksigen (O2) dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) sistem arus rendah dan (2) sistem arus tinggi. Alat-alat yang umum digunakan dalam sistem arus rendah adalah: nasal kanul, nasal kateter, sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung dan oksigen (O2) transtrakeal sedangkan alat yang digunakan dalam sistem arus tinggi adalah sungkup venturi. Terapi oksigen (O2) juga dapat menimbulkan efek samping, terutama terhadap sistem pernapasan, su-sunan saraf pusat dan mata. Adapun efek samping tersebut di antaranya dapat menyebabkan terjadinya depresi napas, keracunan oksigen (O2), nyeri substernal, parestesia, nyeri pada sendi dan retrolental fibroplasia pada bayi prematur 1. Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskuler dan emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen (O2) harus segera diberikan dengan adekuat di mana pemberian oksigen (O2) yang tidak adekuat akan dapat menimbulkan terjadinya kecacatan tetap ataupun kematian. Pada kondisi ini, oksigen (O2) diberikan dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) berkisar antara 60-100% dalam jangka waktu yang pendek sampai kondisi klinik membaik dan terapi yang spesifik diberikan.4 Adapun pedoman untuk pemberian terapi oksigen (O2) berdasarkan rekomendasi oleh American College of Che-st Physicians, the National Heart, Lung and Blood Institute ditunjukkan pada Indikasi Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek Indikasi yang sudah direkomendasi: 28







Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)







Henti jantung dan henti napas







Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)







Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolic







(bikarbonat < 18 mmol/ L)







Distress pernapasan (frekuensi pernapasan > 24 kali/ menit)



2. Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Terapi oksigen (O2) jangka panjang pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) selama empat sampai delapan minggu bisa menurunkan hematokrit, memerbaiki toleransi latihan dan menurunkan tekanan vaskuler pulmoner. Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan kor pulmonal, terapi oksigen (O2) jangka panjang dapat meningkatkan angka harapan hidup sekitar enam sampai dengan tujuh tahun. Selain itu, angka kematian bisa diturunkan dan dapat tercapai manfaat survival yang lebih besar pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila terapi oksigen (O2) diberikan lebih dari dua belas jam dalam satu hari dan berkesinambungan. Oleh karena terdapat perbaikan pada kondisi pasien dengan pemberian terapi oksigen (O2) jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88%), terapi oksigen (O2) diberikan secara terus menerus selama dua puluh empat jam dalam satu hari. Pasien dengan PaO2 56 sampai dengan 59 mmHg atau SaO2 89%, kor pulmonal dan polisitemia juga memerlukan terapi oksigen (O2) jangka panjang. Pada keadaan ini, awal pemberian terapi oksigen (O2) harus dengan konsentrasi rendah (FiO2 24-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan tujuan 29



mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH di bawah 7,26. Terapi oksigen (O2) dosis tinggi yang diberikan kepada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang sudah mengalami gagal napas tipe II akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernapas dan meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi. Hal ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang berakibat fatal. Pasien yang menerima terapi oksigen (O2) jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen (O2). Sekitar 40% pasien yang mendapat terapi oksigen (O2) akan mengalami perbaikan setelah satu bulan dan tidak perlu lagi meneruskan terapi oksigen (O2). Adapun indikasi terapi oksigen (O2) jangka panjang yang telah direkomendasi. 3. Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Rendah a. Nasal kanul dan nasal kateter. Nasal kanul dan nasal kateter merupakan alat terapi oksigen (O2) dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul terdiri dari sepasang tube dengan panjang + dua cm yang dipasangkan pada lubang hidung pasien dan tube dihubungkan secara langsung menuju oxygen flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat sungkup muka, terutama bagi pasien yang membutuhkan konsentrasi oksigen (O2) rendah oleh karena tergolong sebagai alat yang sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya. Nasal kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 liter/ menit dengan fraksi oksigen (O2) (Fi-O2) antara 24-44%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan fraksi oksigen (O2) (FiO2) secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Adapun keuntungan dari nasal kanul yaitu pemberian oksigen (O2) yang stabil serta pemasangannya mudah dan nyaman oleh karena pasien 30



masih dapat makan, minum, bergerak dan berbicara. Walaupun nasal kanul nyaman digunakan tetapi pemasangan nasal kanul dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada mukosa hidung, mudah lepas, tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen (O2) lebih dari 44% dan tidak dapat digunakan pada pasien dengan obstruksi nasal. Nasal kateter mirip dengan nasal kanul di mana sama-sama memi-liki sifat yang sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya serta tersedia dalam berbagai ukuran sesuai dengan usia dan jenis kelamin pasien. Untuk pasien anakanak digunakan kateter nomor 8-10 F, untuk wanita digunakan kateter nomor 10-12 F dan untuk pria digunakan kateter nomor 12-14 F. Fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang dihasilkan sama dengan nasal kanul.3 Adapun gambar nasal kanul dan nasal kateter secara berturut-turut ditunjukkan pada gambar sebagai berikut:



Gambar: Nasal Kanul



Gambar: Nasal Kateter



b. Sungkup muka tanpa kantong penampung. Sungkup muka tanpa kantong penampung merupakan alat terapi oksigen (O2) yang terbuat dari bahan plastik di mana penggunaannya dilakukan dengan cara diikatkan pada wajah pasien dengan ikat kepala elastis yang berfungsi untuk menutupi hidung dan mulut. Tubuh sungkup berfungsi sebagai penampung untuk oksi-gen (O2) dan karbon dioksida (CO2) hasil ekspirasi. Alat ini mampu menyediakan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sekitar 40-60% dengan aliran sekitar 5-10 liter/ menit. Pada penggunaan alat ini, direkomendasikan



agar 31



aliran



oksigen



(O2)



dapat



tetap



dipertahankan sekitar 5 liter/ menit atau lebih yang bertujuan untuk mencegah karbon dioksida (CO2) yang telah dikeluarkan dan tertahan pada sungkup untuk terhirup kembali. Adapun keuntungan dari penggunaan sungkup muka tanpa kantong penampung adalah alat ini mampu memberikan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang lebih tinggi daripada nasal kanul ataupun nasal kateter dan sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlubang besar sedangkan kerugian dari alat ini yaitu tidak dapat memberikan fraksi oksigen (O2) (FiO2) kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan karbon dioksida (CO2) jika aliran oksigen (O2) rendah dan oleh karena penggunaannya menutupi mulut, pasien seringkali kesulitan untuk makan dan minum serta suara pasien akan teredam. Sungkup muka tanpa kantong penampung paling cocok untuk pasien yang membutuhkan fraksi oksigen (O2) (FiO2) yang lebih tinggi daripada nasal kanul ataupun nasal kateter dalam jangka waktu yang singkat, seperti terapi oksigen (O2) pada unit perawatan pasca anestesi. Sungkup muka tanpa kantong penampung sebaiknya juga tidak digunakan pada pasien yang tidak mampu untuk melindungi jalan napas mereka dari resiko aspirasi. Adapun gambar sungkup muka tanpa kantong penampung ditunjukkan sebagai berikut:



Gambar: Sungkup Muka Tanpa Kantong Penampung c. Sungkup muka dengan kantong penampung. 32



Terdapat dua jenis sungkup muka dengan kantong penampung yang seringkali digunakan dalam pemberian terapi oksigen (O2), yaitu sungkup muka partial rebreathing dan sungkup muka nonrebreathing. Keduanya terbuat dari bahan plastik namun perbedaan di antara kedua jenis sungkup muka tersebut terkait dengan adanya katup pada tubuh sungkup dan di antara sungkup dan kantong penampung. Sungkup muka partial rebreathing tidak memiliki katup satu arah di antara sungkup dengan kantong penampung sehingga udara ekspirasi dapat terhirup kembali saat fase inspirasi sedangkan pada sungkup muka nonrebreathing, terdapat katup satu arah antara sungkup dan kantong penampung sehingga pasien hanya dapat menghirup udara yang terdapat pada kantong penam-pung dan menghembuskannya melalui katup terpisah yang terletak pada sisi tubuh sungkup. Sungkup muka dengan kantong penampung dapat mengantarkan oksigen (O2) sebanyak 10-15 liter/ menit dengan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sebesar 80-85% pada sungkup muka partial rebreathing bahkan hingga 100% pada sungkup muka nonrebreathing. Kedua jenis sungkup muka ini sangat dianjurkan penggunaannya pada pasienpasien yang membutuhkan terapi oksigen (O2) oleh karena infark miokard dan keracunan karbon monoksida (CO). Adapun sungkup muka partial rebreathing dan nonrebreathing secara berturut-turut ditunjukkan melalui gambar sebagai berikut:



33



Gambar: Partial Rebreathing dan Nonrebreathing d. Oksigen (O2) transtrakeal. Oksigen (O2) transtrakeal dapat mengalirkan oksigen (O2) secara langsung melalui kateter di dalam trakea. Oksigen (O2) transtrakeal dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk menggunakan terapi oksigen (O2) secara kontinyu selama 24 jam dan seringkali berhasil untuk mengatasi hipoksemia refrakter. Oksigen (O2) transtrakeal dapat menghemat penggunaan oksigen (O2) sekitar 30- 60-%. Keuntungan dari pemberian oksigen (O2) transtrakeal yaitu tidak ada iritasi muka ataupun hidung dengan rata-rata oksigen (O2) yang dapat diterima pasien mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan alat ini yaitu biayanya yang tergolong tinggi dan resiko terjadinya infeksi lokal. Selain itu, ada pula berbagai komplikasi lainnya yang seringkali terjadi pada pemberian oksigen (O2) transtrakeal antara lain emfisema subkutan, bronkospasme, batuk paroksismal dan infeksi stoma. Adapun gambar dari oksigen (O2) transtrakeal ditunjukkan pada gambar sebagai berikut:



Gambar: Oksigen (O2) Transtrakeal 2. Alat Terapi Oksigen (O2) Arus Tinggi



34



Terdapat dua indikasi klinis untuk penggunaan terapi oksigen (O2) dengan arus tinggi, di antaranya adalah pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian fraksi oksigen (O2) (FiO2) dan pasien hipoksia dengan ventilasi yang abnormal. Adapun alat terapi oksigen (O2) arus tinggi yang seringkali digunakan, salah satunya yaitu sungkup venturi. Sungkup venturi merupakan alat terapi oksigen (O2) dengan prinsip jet mixing yang dapat memberikan fraksi oksigen (O2) (FiO2) sesuai dengan yang dikehendaki. Alat ini sangat bermanfaat untuk dapat mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen (O2) rendah sekitar 24-35% dengan arus tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan gagal napas tipe II di mana dapat mengurangi resiko terjadinya retensi karbon dioksida (CO2) sekaligus juga memerbaiki hipoksemia. Alat ini juga lebih nyaman untuk digunakan dan oleh karena adanya pendorongan oleh arus tinggi, maka masalah rebreathing akan dapat teratasi. Adapun sungkup venturi ditunjukkan pada gambar sebai berikut:



Gambar: Sungkup Venturi a) Perawatan sebelum ke Rumah Sakit 1. Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah. 2. Berikan O2 dan monitor 3. Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang dari 90 mmHg. 4. Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler 35



5. Stop makanan dan minuman 6. Imobilisasi 7. Kirim kerumah sakit. b) Perawatan di bagian Emergensi 1. Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg. 2. Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obatobatan sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila diperlukan. 3. Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk menambah drainase vena. 4. Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan tekanan intra kranial. 5. Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial 6. Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang sebelumnya. c) Terapi obat-obatan: 1. Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan intrakranial



dan metabolisme



otak.



Pemakaian



tiophental



tidak



dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol dapat



digunakan



untuk



mengurangi



tekanan



intrakranial



dan



memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa 36



pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O, dapat digunakan norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg. 2. Diuretik Osmotik Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv. Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru, dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang progresiv. Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah otak dan kebutuhan oksigen. 3. Antiepilepsi Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh berlebihan dari 50 (Dilantin) mg/menit. Kontraindikasi; pada penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes. Fungsi : Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma. d) Terapi Bedah 1. Craniotomy Craniotomy merupakan proses pembedahan otak yang dilakukan dengan



mengangkat



sebagian



kecil



tulang



tengkorak



dan



memasangkannya kembali. Praoperasi Jika kondisi Anda memerlukan craniotomy, hal pertama yang akan Anda jalani adalah melakukan CT scan guna melihat lokasi bagian otak Anda yang memerlukan prosedur craniotomy. Pada bagian ini, akan dilakukan juga pemeriksaan fungsi syaraf. Sebelum operasi craniotomy, Anda akan diminta untuk menjalani puasa selama 8 jam. Selain itu, Anda diminta keramas dengan menggunakan sampo khusus yang menggunakan antiseptik untuk membersihkan rambut. Sebagian rambut juga akan dicukur guna memudahkan prosedur craniotomy dan menghindari infeksi.



37



Pascaoperasi Pada pascaoperasi, dokter akan memantau kondisi Anda dan melakukan beberapa hal seperti, meminta Anda berbaring dengan posisi kepala lebih tinggi daripada posisi kaki, untuk mencegah kepala dan wajah bengkak. Setelah stabil, Anda akan dilatih menghirup napas dalamdalam untuk menghindari pneumonia dan mengembalikan fungsi paruparu. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan dan memberikan terapi untuk melihat kinerja syaraf. Begitu pula sebelum Anda pulang, dokter akan mengajari beberapa cara untuk menjaga kebersihan bagian bekas operasi.Pascaoperasi, Anda akan merasa sakit pada bagian bekas sayatan saat batuk, melakukan sesuatu yang mengerahkan tenaga, atau menghirup napas dalam-dalam. Dibutuhkan beberapa minggu sebelum energi Anda kembali pulih, oleh karena itu Anda perlu memerhatikan baik-baik aktifitas yang dilakukan. Jangan mengendarai kendaraan dan jangan mengangkat beban terlalu berat untuk mencegah ketegangan pada bagian bekas sayatan. Tunggu sampai dokter memperbolehkan Anda melakukan hal-hal tersebut. Jika pada pascaoperasi craniotomy Anda mengalami beberapa hal di bawah ini, sebaiknya segera mengonsultasikannya kepada dokter, 



Kejang, kesulitan berbicara, dan lengan atau kaki menjadi lemah.







Kemampuan penglihatan menurun atau terus-terusan mengantuk.







Tubuh menjadi demam atau menggigil.







Bekas sayatan terasa makin sakit, bengkak, kemerahan, serta mengalami pendarahan atau bernanah.







Dada terasa sakit, sulit bernapas, merasa gelisah.



1. Terapi yang perlu diperhatikan 1. Airway dan Breathing Perhatikan adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita 38



dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg. 2. Circulation Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari. 3. Disability (pemeriksaan neurologis) Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai sebagai data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai respon pasien yang menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera otak sedang perlu dilakukan pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali idealnya. Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi membuka mata, reaksi verbal, reaksi motorik.



39



Glasgow Coma Scale Respon membuka mata (E)



Nilai



Buka mata spontan



4



Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara



3



Buka mata bila dirangsang nyeri



2



Tak ada respon Respon verbal (V)



1



Komunikasi verbal baik, jawaban tepat



5



Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang



4



Kata-kata tidak teratur



3



Suara tidak jelas



2



Tak ada respon Respon motorik (M)



1



Mengikuti perintah



6



Melokalisir rangsangan nyeri



5



Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri



4



Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri



3



Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri



2



Tak ada respon



1



40



41



K. Clinical Pathway



Trauma, luka, fraktur kepala Laserasi pada pembuluh darah arteri meningea media (durameter dengan tengkorak)



Hambatan Mobilitas Fisik (00085)



Risiko Jatuh (00155)



Pecahnya pembuluh darah otak (perdarahan intracranial) Darah masuk ke dalam jaringan otak



Hemiparese/plegi Fiksasi pupil



Darah membentuk massa atau hematoma



Refleks babinski + Kelemahan respon motorik kontralateral



Tekanan pada jaras kortikospinalis asendens



- Dilatasi pupil ipsilateral - ptosis



Menekan N. III (okulomotoris)



Menekan hemisfer otak Peningkatan Tekanan Intracranial Menekan saraf pada M. Oblongata



Suplai darah arteri dan aliran balik vena terganggu



Fungsi pernapasan terganggu



Menekan formasio retikularis M. Oblongata



Hiperventilasi



Perubahan CSF Penurunan Kesadaran Peregangan durameter & pembuluh darah Stimulus mediator nyeri Nyeri kepala



Nyeri akut (00132)



Triase Gejala Klinik



Peningkatan TIK Tirah baring lama



Ketidakefektifan Pola Nafas (00032) Risiko Dekubitus (00249)



Penurunan CBF Iskemia



42



Gerakan peristaltik usus menurun



Defisit Perawatan Diri (00108)



Respon muntah proyektil



Anoreksia



Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002)



Pembengkakkan diskus optikus Papilodema



Hipoksia



Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak (00201)



Asidosis Respiratorik Rusaknya BBB (Blood Brain Barrier)



Merusak saraf optikus Kerusakan jaringan otak Kebutaan



Resiko Jatuh (00155)



43



Hambatan Komunikasi Verbal (00051)



L. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe, lokasi dan keparahan cedera meliputi : Data yang perlu dikaji 1. Identitas klien meliputi: a) Nama b) Umur: cidera otak biasanya sering terjadi pada usia produktif dihubungkan kejadian kecelakaan yang rata-rata sering dialami oleh usia produktif c) Jenis kelamin: cidera otak dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan 2. Riwayat kesehatan: a) Keluhan utama: keluhan utama biasanya nyeri kepala setelah kecelakaan, dapat menjadi lucid interval (kehilangan kesadaran secara mendadak) ketika cidera otak tidak ditangani dengan segera. b) Riwayat penyakit sekarang berisi tentang kejadian yang mencetuskan cidera otak, kondisi paseien saat ini serta uapaya yang c)



sudah dilakukan pada pasien. Riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang



digunakan, riwayat penyakit keluarga 3. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon) 4. Pemeriksaan fisik a) Keadaan umum, tanda vital b) Breathing Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. c) Blood Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan 44



mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). d) Brain Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh. e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma. f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. g) Pengkajian saraf kranial : Pengkajian saraf kranial yang ditemui pada Epidural Hematom: 1) Saraf



I



:



klien



akan



mengalami



penciuman/anosmia unilateral dan bilateral



45



gangguan



2) Saraf II : klien yang mengalami hematom palpebra akan mengalami penurunan lapang pandang dan mengganggu fungsi saraf optikus 3) Saraf III, IV, dan VI : klien mengalami gangguan anisokoria 4) Saraf V : klien



mengalami



gangguan



koordinasi



kemampuan dalam mengunyah 5) Saraf VII : persepsi pengecapan mengalami perubahan 6) Saraf VIII ; pendengaran mengalami perubahan 7) Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan dalam membuka mulut 8) Saraf XI : klien tidak mampu mobilisasi 9) Saraf XII : indra pengecapan mengalami perubahan e) Bladder Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi. f) Bowel Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. g) Bone Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otototot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. 2. Diagnosa Keperawatan 1 Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan suplai 2 3



darah ke otak menurun Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik



46



4



Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan sensasi rasa, ketidakmampuan memakan makanan, tonus



5



otot menurun Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan ketrampilan motorik, penurunan rentang gerak, kesulitan membolak balik posisi, gerakan tidak terkoordinasi, intoleran aktivitas, penurunan kekuatan otot,



6 7



penurunan ketahanan tubuh Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neurologis Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan ketidakmampuan menjangkau kamar mandi, ketidakmampuan mengenakan dan melepaskan atribut pakaian, ketidakmampuan memasukkan makan kemulut,



8 9



ketidakmampuan eliminasi Resiko jatuh berhubungan dengan hanbatan mobilitas Resiko Dekubitus berhubungan dengan tirah baring lama



47



3. Intervensi Keperawatan No. 1.



2.



Masalah Keperawatan



Tujuan & Kriteria Hasil (NOC)



Risiko ketidakefektifan NOC : Perfusi Jaringan otak Status Neurologi (0909) (00201) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam perfusi jaringan otak membaik dengan kriteria hasil: 1. Kesadaran membaik 2. Mampu mengontrol motorik sentral 3. mampu melakukan fungsi sensorik dan motorik kranial 4. Komunkasi yang tepat dengan situasi Ketidakefektifan pola NOC nafas (00032) Status pernafasan (0415)



Intervensi (NIC) NIC Monitor Neurologi (2620) 1. Monitor tingkat kesadaran 2. Monitor tanda-tanda vital : suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan respirasi 3. Monitor kesimetrisan wajah 4. Monitor karakteristik berbicara : kelancaran, adaya aphasia, atau kesulitan menemukan kata 5. Monitor respon terhadap stimulasi : verbal, taktil, dan (respon) bahaya 6. Monitor paresthesia : mati rasa dan kesemutan



NIC Manajemen jalan nafas (3140) 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 2. Monitor status pernafasan dan oksigensi Status pernafasan: ventilasi (0403) 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan Monitor pernafasan (3350) Status pernafasan (kepatenan jalan 4. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan nafas) (0410) kesulitan bernafas 5. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan Setelah dilakukan tindakan keperawatan penggunaan otot bantu nafas selama 3x24 jam, pola nafas pasien 6. Monitor suara nafas kembali efektif dengan kriteria hasil: 7. Monitor pola nafas (bradipneu, takipneu,



48



3.



Nyeri akut (00132)



1. Frekuensi nafas normal (16-20 x/menit) 2. Irama pernafasan reguler 3. Tidak menggunakan otot bantu pernafasan 4. Retraksi dinding dada 5. Tidak terdapat pernafasan bibir 6. Tidak terdapat sianosis 7. Tidak terdapat suara nafas tambahan NOC Kontrol nyeri (1605) Tingkat nyeri (2102) Kepuasan klien: manajemen nyeri (3016) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, nyeri akut pasien kembali normal dengan kriteria hasil: 1. Pasien dapat mengenali kapan nyeri terjadi 2. Pasien mampu menyampaikan faktor penyebab nyeri 3. Mampu menyampaikan tanda dan gejala nyeri 4. Penurunan skala nyeri 5. Ekspresi wajah tidak mengerang dan meringis kesakitan 6. Nyeri terkontrol



49



hiperventilasi, kusmaul) 8. Monitor saturasi oksigen Monitor tanda-tanda vital (6680) 9. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan dengan tepat



NIC Manajemen nyeri (1400) 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi, dan intensitas nyeri) 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri 3. Pastikan analgesik dipantau dengan ketat 4. Jelaskan pada pasien terkait nyeri yang dirasakan Terapi relaksasi (6040) 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti nafas dalam dan musik 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman Pemberian analgesik (2210) 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan nyeri sebelum mengobati pasien



4.



8. Cek adanya riwayat alergi obat 9. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgesik yang diresepkan NIC



Ketidakseimbangan NOC nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) Status nutrisi (1004)



Manajemen nutrisi (1100)



Status nutrisi: asupan nutrisi (1009) Nafsu makan (1014) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, intake nutrisi pasien adekuat dengan kriteria hasil: 1. Asupan makanan secara oral meningkat (porsi makan habis) 2. Asupan cairan secara oral meningkat 3. Nafsu makan meningkat 4. Ekspresi wajah tidak meringis



5.



1. Monitor intake makanan dan cairan pasien 2. Ciptakan lingkungan yang optimal saat mengonsumsi makanan (bersih dan bebas dari bau yang menyengat) 3. Anjurkan keluarga untuk membawa makanan favorit pasien (yang tidak berbahaya bagi kesehatan pasien) 4. Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering 5. Beri dukungan (kesempatan untuk membicarakan perasaan) untuk meningkatkan peningkatan makan 6. Anjurkan pasien menjaga kebersihan mulut 7. Kolaborasi pemberian obat Monitor nutrisi (1160) 8. Timbang berat badan pasien 9. Monitor turgor kulit dan mobilitas 10. Monitor adanya mual dan muntah NIC



Hambatan mobilitas fisik NOC



50



(00085)



Koordinasi pergerakan(0212)



Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)



setelah dilakukan perwatan selama 3 x 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi 24 jam mobilitas fisik pasien membanik mobilisasi sesuai indikasi 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi dengan kriteria hasil: penyebab nyeri otot atau sendi 1. Dapat mengontrol kontraksi 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam pergerakkan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh 2. Dapat melakukan kemantapan sesuai indiksi pergerakkan Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201) 3. Dapat menahan keseimbangan 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan pergerakkan fisiologis, dan konsekuensi dari penyalahgunaannya 5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan untuk terlibat dalam latihan otot progresif 6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi latihan menurut lefel kebugaran dan ada atau tidaknya faktor resiko 7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap selesai satu set jika dipelukan 8. Bantu klien untuk menyampaikan atau mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar sudah di pelajari



51



Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224)



6.



Hambatan Komunikasi (00051)



9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya terhadap fungsi sendi 10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam mengembangkan dan menerapan sebuah program latihan 11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang teraktur dan terencana 12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan latihan ROM pasif, dan aktif 13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM 14. Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan NIC



NOC Verbal



Status Neurologi : Peningkatan Komunikasi: kurang bicara (4976) Sensorikranial/Fungsi Motoric (0913) 1. Monitor proses kognitif, anatomis, dan fisiologi Setelah dilakukan perawatan selama terkait dengan kemampuan berbicara (misalnya 3x24 jam, klien menunjukkan memori, pendengaran, dan bahasa) melakukan komunikasi dengan baik 2. Monitor pasien terkait dengan perasaan frustasi, kemarahan, depresi, atau respon-rspon lain dengan kriteria hasil: disebabkan karena adanya gangguan kemampuan 1. Dapat berbicara berbicara 2. Dapat menggerakkan otot wajah 3. Kenali emosi dan perilaku fisik (pasien) sebagai 3. Terlihat wajaah simetris bentuk komunikasi



52



7.



Defisit perawatan (00108)



diri NOC Perawatan diri: mandi (0305)



4. Sediakan metode alternatif untuk berkomunikasi dengan berbicara (misalnya menulis di meja, menggunakan kartu, kedipan mata, papan komunikasi dengan gambar dan huruf, tanda dengan tangan atau postur, dan menggunakan computer) 5. Ulangi apa yang disampaikan pasien untuk menjamin akulturasi NIC Bantuan perawatan diri: mandi/kebersihan (1801)



1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi dengan tepat 2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Monitor kebersihan kuku selama 2x24 jam diharapkan perawatan 4. Monitor integritas kulit diri pasien: mandi tidak mengalami 5. Jaga kebersihan secara berkala gangguan dengan kriteria hasil: 6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam mempertahankan kebersihan dengan tepat 1. Keluarga mampu melakukan 2. Mencuci tangan pasien 3. Membersihkan telinga 4. Menjaga kebersihan untuk kemudahan bernafas 5. Mempertahankan kebersihan mulut 6. Memperhatikan kuku jari tangan Perawatan diri: kebersihan (0301)



53



7. Memperhatikan kuku jari kaki Mempertahankan kebersihan tubuh 8.



Resiko Jatuh (00155)



NOC Resiko Trauma Resiko Terluka Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam tidak terjadi jatuh pada pasien dengan kriteria hasil : 1. Kemampuan untuk mempertahankan ekuilibrium 2. Otot mampu melakukan gerakan yang bertujuan 3. Tidak ada kejadian jatuh



9



Resiko dekubitus (00249)



NOC Integritas Jaringan: Kulit & Membran Mukosa (1101) Setelah dilakukan tindakan keperawatan



54



NIC Pencegahan Jatuh (6490) 1. Mengidentifikasi deficit kognitif atau fisik pasien yang dapat meningkatkan potensi jatuh dalam lingkungan tertentu 2. Mengidentifikasi perilaku dan faktor yang mempengaruhi risiko jatuh 3. Sarankan perubahan dalam gaya berjalan kepada pasien 4. Mendorong pasien untuk menggunkan tongkat atau alat pembantu berjalan 5. Ajarkan pasien bagaimana jatuh untuk meminimalkan cedera 6. Kunci roda dari kursi roda,tempat tidur, atau brankar selama transfer pasien 7. Menandai ambang pintu dan tepi langkah sesuai kebutuhan 8. Membantu ke toilet seringkali, interval dijadwalkan NIC Pengecekan kulit (3590) 1. Periksa kulit adanya kemerahan, kehangatan



selama 2x24 jam diharapkan pasien tidak mengalami dekubitus dengan kriteria hasil: 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Suhu Kulit Sensasi Hidrasi Keringat Perfusi jaringan Integritas kulit



55



ekstrim, edema, dan drainase 2. Gunakan alat pengkajian untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami kerusakan kulit (missal Skala Braden) 3. Monitor sumber tekanan dan gesekan 4. Dokumentasikan perubahan membran mukosa 5. Lakukan langkah-langkah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (misalnya, melapisi Kasur, menjadwalkan reposisi 6. Ajarkan anggota keluarga mengenai tanda-tanda kerusakan kulit



4. Evaluasi Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa



keperawatan,



intervensi



keperawatan,



dan



implementasi



keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana: S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan tindakan keperawatan. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi, teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi 5. Discharge Planning 1.



Memastikan keamanan bagi pasien setelah pemulangan



2.



Memilih perawatan, bantuan, atau peralatan khusus yang dibutuhkan



3.



Merancang untuk pelayanan rehabilitasi lanjut atau tindakan lainnya di rumah (misal kunjungan rumah oleh tim kesehatan)



4.



Penunjukkan health care provider yang akan memonitor status kesehatan pasien



5.



Menentukan pemberi bantuan yang akan bekerja sebagai partner dengan pasien untuk memberikan perawatan dan bantuan harian di rumah, dan mengajarkan tindakan yang dibutuhkan.



56



DAFTAR PUSTAKA Baughman, D. C & Hackley, J. C. 2005. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC. Brunicardi, Charles. 2004. Principles of Surgery Ninth Edition. Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi 6. Jakarta: EGC. Bulechek, G. M., H. K. Butcher, J. M. Dochteman, C. M. Wagner. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC). Edisi 6. Jakarta: EGC. Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media. Herdman, T Heather. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC. Johnson, M.,et all, 2012, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby. Mansjoer, A., dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby. Meagher, J Richard. 2013. Subdural hematoma. Medscape. Moorhead, S et al. 2016. Nursing Intervension Classification (NIC) Terjemahan Edisi ke 5. Singapore: Elsevier Moorhead, S et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Terjemahan Edisi ke 5. Singapore: Elsevier Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika. Nanda Internasional 2015. Diagnosis Keperawatan 2015-2017. Oxford: Willey Backwell. Nurarif, A.H. & Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Kepreawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing



57



Pearce, E.C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia. Jakarta: Erlangga. Price, S. & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. Ratnasari, Nia Yunianti. 2012. Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup para penderita tuberkulosis paru (TB Paru) di balai pengobatan penyakit paru (BP4) Yogyakarta unit Minggiran. Jurnal Tuberkulosis Indonesia Vol. 8: 9 Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306. FK USU: Medan. Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC. Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua hal 818, Jong W.D. Jakarta : EGC. Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC. Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner dan Suddart, Volume 1. Edisi 8. Alih bahasa oleh Agung Waluyo, dkk. Jakarta: EGC. Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC. Wim de jong; Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.



58