14 0 410 KB
LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI
Oleh :
Nama
: Risa Hartati
NIM
: P07120216083
Semester
: IV
Prodi
: Diploma IV
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLTEKKES KEMENKES BANJARMASIN JURUSAN KEPERAWATAN BANJARMASIN 2018
LEMBAR PENGESAHAN
Nama
: Risa Hartati
NIM
: P07120216083
Judul
: Laporan Pendahuluan Epilepsi
Pembimbing Akademik
Pembimbing Klinik
Akhmad Rizani, SKp, M.Kes
Ricca Desy Widiya Purwati, S.Kep, Ns
LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI
A. Konsep Dasar Penyakit 1. Definisi Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat atau sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh disfungsi otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motoric, sensorik, otonomik, atau psikis yang abnormal. Epilepsy merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan serangan kejang spontan yang berulang (Satyanegara, 2010) Epilepsy adalah gejala komplek dari gangguan fungsi otak berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Sehingga epilepsy bukan penyakit tetapi suatu gejala (Smeltzer, 2006) Epilepsy dapat diklasifikasikan sebagai idiopatik atau simptomatik: (Sylvia A. Price) a. Pada epilepsy idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya lesi sentral b. Pada epilepsy simptomatik atau sekunder, suatu kelainan otak menyebabkan timbulnya respon kejang. Penyakit-penyakit yang berkaitan dengan epilepsy sekunder adalah cedera kepala, gangguan metabolisme dan gizi (hipoglikemia, feniketonuria, defisiensi vitamin B6), factor toksik (uremia, intoksikasi alcohol, putus obat narkotik), ensefalitis, stroke, hipoksia atau neoplasma otak, dan gangguan elektrolit, terutama hiponatremia dan hipokalsemia
2. Etiologi Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik disritmia pada sel saraf pada salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listirk abnormal, berulang, dan tidak terkontrol (Smeltzer, 2006)
Menurut Mansjoer, Arif etiologi dari epilepsy adalah : a. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsy idiopatik b. Factor herediter; ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sclerosis tuberose, neurofibromatosis, hipoglikemi,
hipopratirodisme,
angiomatosis
ensefalotrigenimal,
fenilketonuria c. Factor genetic; pada kejang demam dan breath holding spell d. Kelainan kongenital otak; atrofi, poresenfali, agenesis korpus kolosum e. Gangguan metabolic; hypernatremia, hiponatremia, hipkalsemia, hipoglikemia f. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya, toksoplasmosis g. Trauma; kontusio serebri, ematoma subaraknoid, hematoma subdural h. Neoplasma otak dan selaputnya i. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen j. Keracunan; timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air k. Lain-lain;
penyakit
darah,
gangguan
keseimbangan
hormone,
degenerasi serebral, dll
3. Tanda dan Gejala a. Gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya. Jenis kejang dapat bervariasi antara pasien, namun cenderung serupa b. Kejang komplek parsial dapat termasuk gambaran somatosensory atau motorfokal c. Kejang komplek parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran d. Ketiadaan kejang dapat tampak relative ringan, dengan periode perubahan kesadaran hanya sangat singkat (detik) e. Kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu dikaitkan dengan kehilangan kesadaran (Yuliana, 2009)
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang pada epilepsy dibagi menjadi : (Ali, 2001) a. Kejang umum (generalized seizure); jika aktivitasi terjadi pada kedua hemisfer otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas : 1) Tonik-clonic convulsion (grand mal) Merupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur, bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala 2) Abcense attacks/ lena (petit mal) Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai kejadiannya Cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari 3) Myoclonic seizure Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba. Jenis yang sama (tapi nonepileptik) bisa terjadi pada pasien normal 4) Atonic seizure Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera recovered
b. Kejang parsial/ focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejang parsial terbagi menjadi : 1) Simple partial seizure Pasien tidak kehiangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh 2) Complex partial seizure Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan mengunyah, meringis, dan lain-lain tanpa kesadaran
4. Patofisiologi Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui
sinaps.
Dalam
sinaps
terdapat
zat
yang
dinamakan
neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain
yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut : a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan. c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama- aminobutirat (GABA). d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga
terjadi
keseimbangan
kelainan
ini
depolarisasi
menyebabkan
neuron.
peningkatan
Gangguan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan
oleh
meningkatkannya
kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.
Pathway Idiopatik, herediter, trauma kelahiran, infeksi perinatal, meningitis, dll
Sistem saraf
Ketidakseimbangan aliran listrik pada sel syaraf
Hilang tonus otot
Kerusakan mobilitas fisik
Epilepsy
petitmal
akimetis
mylonik
Keadaan lemah dan tidak sadar
Kontraksi tidak sadar yang mendadak
Isolasi social Defisiensi pegetahuan
Perubahan status kesehatan
Aktivitas kejang
jatuh
Hipoksia
Risiko cidera
Kerusakan memori
Ketidakmampuan keluarga mengambil tindakan yang tepat
Pengobatan, keperawatan, keterbatasan
Defisiensi pengetahuan ansietas
Penyakit kronik
psikomotor
Ketidakmampuan koping keluarga
grandmal Aktivitas kejang
Perubahan proses keluarga
Hilang kesadaran Gangguan respiratori
Gangguan neurologis Gangguan perkembangan HDR
Spasme otot pernapasan Obstruksi trakheobronkial Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
5. Komplikasi a. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul
akibat kejang yang berulang b. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas
( Elizabeth, 2001 : 174 )
6. Pemeriksaan Khusus a. Elektroensefalogram (EEG) b. Magnetic resonance imaging (MRI) c. Computed tomography (CT Scan)
7. Penatalaksanaan Terapi (Perdossi, 2017) Tujuan utama dari terapi epilepsy adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian. a. Non farmakologi 1) Amati factor pemicu 2) Menghindari factor pemicu (jika ada), misalnya stress, OR, konsumsi kopi atau alcohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dan lain-lain
b. Farmakologi Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsy yakni : 1) Obat antiepilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsy sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih
dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut. 2) Terapi dimulai dengan monoterapi 3) Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat 4) Apabila dengan penggunaan OAE dosis maksimum tidak dapat mengomtrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan 5) Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua
Menggunakan obat-obat antiepilepsi yaitu : (Arif, Mansjoer) a. Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ Inaktivasi
kanal
Na,
menurunkan
kemampuan
syaraf
untuk
menghantarkan muatan listrik. Contoh : fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproate b. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik : 1) Agonis reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA, contoh: benzodiazepine, barbiturate 2) Menghambat GABA transaminase, konsentrasi GABA meningkat, contoh: vigabatrin. Menghambat GABA transporter, memperlama aksi GABA, contoh: tiagabin 3) Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien mungkin dengan menstimulasi pelepasan GABA dari nonvesikular pool contoh: gabapentin
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsy, penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE yakni: (Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI) a. Syarat umum yang meliputi 1) Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien atau keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan 2) Gambaran EEG normal 3) Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan 4) Bila penderita menggunakan lebih dari 1 OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama
b. Kemungkinan kekambuhan setelah penghentian OAE 1) Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhan 2) Epilepsy simptomatik 3) Gambaran EEG abnormal 4) Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan 5) Penggunaan OAE lebih dari 1 6) Masih mendapatkan 1 atau lebih bangkitan setelah memulai terapi 7) Mendapat terapi 10 tahun atau lebih 8) Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya apabila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun.
Bila
bangkitan
timbul
kembali
maka
menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi
pengobatan
B. Konsep Keperawatan 1. Pengkajian a. Identitas Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Pasien sering mangalami kejang.
c. Riwayat penyakit sekarang Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan (pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.
d. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.
e. Riwayat kehamilan dan kelahiran Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk
anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah kelahariran dan pertumbuhan dan perkembanagannya.
f. Riwayat penyakit keluarga Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya. a) Selama serangan : Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan. Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena. Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai. Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik. Apakah pasien menggigit lidah. Apakah mulut berbuih. Apakah ada inkontinen urin. Apakah bibir atau muka berubah warna. Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi. Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya. b) Sesudah serangan Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara Apakah ada perubahan dalam gerakan.
Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan. Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung. Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c) Riwayat sebelum serangan
Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual.
d) Riwayat Penyakit
Sejak kapan serangan terjadi.
Pada usia berapa serangan pertama.
Frekuensi serangan.
Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional.
Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
Apakah makan obat-obat tertentu
Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
Pemeriksaan fisik 1. Tingkat kesadaran pasien 2. Sirkulasi Gejala : palpitasi. Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat. 3. Penglihatan (mata) Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil 4. Makanan / cairan Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia. Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi 5. Ekstremitas: Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak 6. Integritas ego Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan. Tanda : depresi, ansietas, marah. 7. Neurosensori Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing. Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang. 8. Nyeri / kenyamanan Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot. Tanda : gelisah, distraksi. 9. Pernafasan Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi cairan. Tanda : dispnea, apnea, batuk
2. Diagnosa Keperawatan a. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan). b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva c. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat d. Ketidakefektifan pola napas b.d terganggunya saraf pusat pernafasan e. Ansietas b.d kurang pengetahuan mengenai penyakit
3. Rencana Asuhan Keperawatan a. Dx
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol
(gangguan keseimbangan). Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh Kriteria hasil : Tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh Intervensi
Rasional
Kaji : Kaji tanda-tanda vital
Untuk mengetahui tindakan keperawatan selanjutnya.
Observasi: Identivikasi factor lingkungan
Barang- barang di sekitar pasien
yang memungkinkan resiko
dapat membahayakan saat terjadi
terjadinya cedera
kejang
Pantau status neurologis setiap
Mengidentifikasi perkembangan
8 jam
atau penyimpangan hasil yang diharapkan
Jauhkan benda- benda yang
Mengurangi terjadinya cedera
dapat mengakibatkan
seperti akibat aktivitas kejang
terjadinya cedera pada pasien
yang tidak terkontrol
saat terjadi kejang Pasang penghalang tempat
Penjagaan untuk keamanan, untuk
tidur pasien
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat
Area yang rendah dan datar dapat
yang rendah dan datar
mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam
Memberi penjagaan untuk
waktu beberapa lama setelah
keamanan pasien untuk
kejang
kemungkinan terjadi kejang kembali
Menyiapkan kain lunak untuk
Lidah berpotensi tergigit saat
mencegah terjadinya
kejang karena menjulur keluar
tergigitnya lidah saat terjadi kejang Tanyakan pasien bila ada
Untuk mengidentifikasi
perasaan yang tidak biasa yang
manifestasi awal sebelum
dialami beberapa saat sebelum
terjadinya kejang pada pasien
kejang Kolaborasi: Berikan obat anti konvulsan
Mengurangi aktivitas kejang yang
sesuai advice dokter
berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak
Edukasi: Anjurkan pasien untuk
Sebagai informasi pada perawat
memberi tahu jika merasa ada
untuk segera melakukan tindakan
sesuatu yang tidak nyaman,
sebelum terjadinya kejang
atau mengalami sesuatu yang
berkelanjutan
tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang. Berikan informasi pada
Melibatkan keluarga untuk
keluarga tentang tindakan yang mengurangi resiko cedera harus dilakukan selama pasien kejang
b. Dx 2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva Tujuan : jalan nafas menjadi efektif Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea Intervensi
Rasional
Kaji : Kaji tanda-tanda vital
Untuk mengetahui tindakan keperawatan selanjutnya
Observasi Identifikasi bersihan jalan
Mengurangi terjadinya subatan
nafas
jalan nafas
Mandiri Anjurkan klien untuk
Menurunkan resiko aspirasi atau
mengosongkan mulut dari
masuknya sesuatu benda asing ke
benda / zat tertentu / gigi palsu
faring.
atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
Letakkan pasien dalam posisi
meningkatkan aliran (drainase)
miring, permukaan datar
sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
Tanggalkan pakaian pada
untuk memfasilitasi usaha
daerah leher / dada dan
bernafas / ekspansi dada
abdomen
Melakukan suction sesuai
Mengeluarkan mukus yang
indikasi
berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
Kolaborasi Berikan oksigen sesuai
Membantu memenuhi kebutuhan
program terapi
oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder
terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang. Edukasi Anjurkan keluarga untuk
Keluarga sebagai orang terdekat
memberi motivasi kepada
pasien, sangat mempunyai
pasien
pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
c. Dx 3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat Tujuan: mengurangi rendah diri pasien Kriteria hasil: -
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
-
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat Intervensi
Rasional
Kaji : Kaji tanda-tanda sosial pasien
Untuk mengetahui apakah pasien rendah diri atau tidak
Observasi: Identifikasi dengan pasien,
Memberi informasi pada perawat
factor- factor yang
tentang factor yang menyebabkan
berpengaruh pada perasaan
isolasi sosial pasien
isolasi sosial pasien Mandiri Memberikan dukungan
Dukungan psikologis dan
psikologis dan motivasi pada
motivasi dapat membuat pasien
pasien
lebih percaya diri
Kolaborasi: Kolaborasi dengan tim
Konseling dapat membantu
psikiater
mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
Rujuk pasien/ orang terdekat
Memberikan kesempatan untuk
pada kelompok penyokong,
mendapatkan informasi,
seperti yayasan epilepsi dan
dukungan ide-ide untuk
sebagainya.
mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Edukasi: Anjurkan keluarga untuk
Keluarga sebagai orang terdekat
memberi motivasi kepada
pasien, sangat mempunyai
pasien
pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
Memberi informasi pada
Menghilangkan stigma buruk
keluarga dan teman dekat
terhadap penderita epilepsi
pasien bahwa penyakit epilepsi
(bahwa penyakit epilepsi dapat
tidak menular
menular).
d. Dx 4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan saraf pernafasan Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama pasien tidak mengalami gangguan pola napas kriteria hasil : -
RR dalam batas normal sesuai umur
-
Nadi dalam batas normal sesuai umur
Intervensi
Rasional
Kaji : Kaji tanda-tanda vital
Untuk
mengetahui
tindakan
keperawatan selanjutnya Observasi : Identifikasi pola napas
Untuk mengetahui adanya tanda hipoksia
Mandiri : Tanggalkan pakaian pada daerah
Memfasilitasi usaha
leher/dada, abdomen
bernapas/ekspansi dada
Masukkan spatel lidah/jalan
Dapat mencegah tergigitnya lidah,
napas buatan
dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan lendir, atau memberi sokongan pernapasan jika diperlukan
Lakukan
penghisapan
sesuai Menurunkan risiko aspirasi atau
sesuai indikasi
asfiksia
Kolaborasi: Berikan tambahan O2
Dapat
menurunkan
hipoksia
serebral Edukasi : Menganjurkan keluarga untuk Keluarga sebagai orang terdekat memberi motivasi kepada pasien
pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
e. Dx 5. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai penyakit Tujuan : Setelah dilakukan askep Selama ... masalah kurang pengetahuan mengenai
kondisi dan aturan pengobatan teratasi dengan,
kriteria hasil : Mampu mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsangan yang telah diberikan, mulai merubah perilaku, mentaati peraturan obat yang diresepkan. Intervensi
Rasional
Kaji : Kaji pengetahuan orang tua
Untuk mengetahui pengetahuan
pasien.
keluarga tentang penyakit yg diderita pasien
Observasi : Identifikasi dengan orng tua
Memberi informasi kepada perawat
pasien, factor-factor tentang
tentang factor pengetahuan orng tua
pengetahuan orang tua pasien
pasien
terhadap penyakit. Mandiri : Jelaskan mengenai prognosis
Memberikan kesempatan untuk
penyakit dan perlunya
mengklarifikasi kesalahan persepsi
pengobatan
& keadaan penyakit yang ada
Kolaborasi : Diskusikan manfaat kesalahan
Aktivitas yang sedang & teratur
umum yang baik, seperti diet
dapat membantu
yang adekuat, & istirahat yang
menurunkan/mengendalikan faktor
cukup
presdiposisi
Edukasi : Berikan informasi yang adekuat
Pengetahuan yang diberikan
tentang prognosis penyakit dan
mampu menurunkan resiko dari
tentang interaksi obat yang
efek bahay satu penyakit & cara
potensial
menanganinya
Tekankan perlunya untuk
Kebutuhan terpeutik dapat berubah
melakukan evaluasi yang
sehingga mempersiapkan
teratur/melakukan pemeriksaan
kemungkinan yang akan terjadi
laboratorium sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Huda Amin dan Nardhi Kusuma. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus Jilid 1. Jogjakarta: Mediaction https://datenpdf.com/queue/lp-epilepsi--2_pdf?queue_id=-1 https://www.scribd.com/doc/273830253/Lp-Epilepsi https://www.scribd.com/document/355235863/Laporan-Pendahuluan-LengkapEpilepsi