21 0 215 KB
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA ISOLASI SOSIAL
Disusun oleh : TRI WULAN DARI S17208
PRODI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2019/2020
ISOLASI SOSIAL A. DEFINISI Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Isolasi Sosial merupakan ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat, hangat, terbuka, dan independen dengan orang lain (Purba, dkk. 2018). Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Twondsend, 2016). B. ETIOLOGI 1. Faktor Predisposisi Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah: a. Faktor Perkembangan Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat
pertama
yang memberikan pengalaman bagi individu dalam
menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai objek. Menurut Purba, dkk. (2018) tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan terdiri dari: 1) Masa Bayi Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara
ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya. 2) Masa Kanak-kanak Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai
mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina
hubungan dengan teman- temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain. 3) Masa Praremaja dan Remaja Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja. 4) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan
kemandiriannya
serta
mempertahankan
hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality). 5) Masa Dewasa Tengah Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anakanak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang interdependen antara orang tua dengan anak. 6) Masa Dewasa Akhir Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan. b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku. 1) Sikap bermusuhan/hostilitas Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak 2) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya. 3) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang
tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah. 4) Ekspresi emosi yang tinggi Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat) c. Faktor Sosial Budaya Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan factor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu
keluarga. seperti
anggota
tidak produktif diasingkan dari
lingkungan sosial. d. Factor Biologis Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya
menderita
skizofrenia
adalah
58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia. e. Faktor Presipitasi Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal, meliputi: 1) Stressor Sosial Budaya Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.. 2) Stressor Biokimia
a) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia. b) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO
juga
dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia. c) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena
dihambat
oleh
dopamin.
Hypertiroidisme,
adanya
peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik. d) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejalagejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak. 3) Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis. 4) Stressor Psikologis Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik. Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.
C. MANIFESTASI KLINIS Menurut Purba, dkk. (2018) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan dengan wawancara, adalah: a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan f. Pasien merasa tidak berguna g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) tanda dan gejala isolasi sosial sebagai berikut : 1. Gejala dan Tanda Mayor isolasi social Subjektif : Merasa ingin sendiri, Merasa tidak aman di tempat umum Objektif : Menarik diri, Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan 2. Gejala dan Tanda Minor Subjektif : Merasa berbeda dengan orang lain, Merasa asik dengan pikiran Sendiri, Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas Objektif : Afek datar, Afek sedih, Riwayat ditolak, Menunjukkan permusuhan,Tidak mampu memenuhi harapan orang lain, Kondisi difabel, Tindakan tidak berarti, Tidak ada kontak mata, Perkembangan terlambat, Tidak bergairah/lesu D. PATOFISIOLOGI Menurut Dalami (2010), salah satu gangguan berhubungan social dengan diantaranya menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga, dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan,
ketegangan, kekecewaan, dan kecemasan. Perjalanan dari tingkah laku masa lalu serta tingkah laku menyendiri yaitu pembicaraan yang austitik dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi. Pathway Halusinasi
Isolasi Sosial
Harga Diri Rendah
E.PEMERIKSAAN PENUNJANG Menurut Direja (2011:145), dalam pemeriksaan penunjang ada jenis alat untuk memeriksa gangguan struktur otak yang mempengaruhi gangguan jiwa dapat menggunakan alat sebagai berikut: a. Electroencephalogram (EEG) adalah suatu pemeriksaan yang bertujuan memberikan informasi penting tentang kerja dan fungsi otak. b.Single Photon EmissonComputed Tomography (SPECT) untuk melihat wilayah
otak
dan
tanda-tanda
abnormalitas
pada
otak
dan
menggambarkan perubahan-perubahan aliran darah yang terjadi. c.Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu teknik radiologi dengan menggunakan magnet, gelombang radio dan komputer untuk mendapatkan gambaran struktur tubuh atau otak dan dapat mendeteksi perubahan yang kecil sekalipun dalam struktur tubuh atau otak.
d. Menurut Copel (2007) yaitu dengan terapi Elektro Convulsif Teraphy (ECT), kejutan listrik dialirkan ke otak dengan cara menempatkan elektroda–elektroda pada pelipis. F. PENGOBATAN 1. Terapi Psikofarmaka a. Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat mental:
faham,
halusinasi.
dalam
Gangguan
fungsi-fungsi
perasaan dan perilaku
yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi
(hypotensi) antikolinergik/parasimpatik, mulut kering,
kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung.
Gangguan
ekstra
pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin agranulosis.
(amenorhe). Biasanya
Metabolic untuk
(Soundiee).
pemakaian
Hematologik,
jangka
panjang.
Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2019). b. Haloperidol (HLP) Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2019).
c. Trihexyphenidil (THP) Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine. Memiliki efek samping penglihatan
kabur,
pusing,
diantaranya
mulut
kering,
mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2019). 2 Terapi Individu Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2018) 3. Terapi kelompok Menurut (Purba, 2018), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmam puan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: a. Activity Daily Living (ADL) Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:
1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun tidur. 2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK. 3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan sesudah mandi. 4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti pakaian. 5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan setelah makan dan minum. 6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain. 7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif. 8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali tidurnya. b. Tingkah laku sosial Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi: 1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.
2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya. 3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap
sebagai
tanda
adanya
kesungguhan
dalam
berkomunikasi. 4) Bergaul,
yaitu
tingkah
laku
yang
berhubungan
dengan
kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang). 5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit. 6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain. 7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat
mengendalikan
diri
untuk
tidak
mengotori
lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya
ASUHAN KEPERAWATAN 1. Masalah keperawatan yang mungkin muncul a. Harga diri rendah kronis (D.0086)
b. Isolasi sosial (D.0121) c. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi (D.0085) 2. Diagnosa keperawatan (berdasarkan SDKI) No. 1.
Diagnosis Harga diri rendah kronis
Definisi atau perasaan
Evaluasi
(D.0086)
negative terhadap diri sendiri
Tanda Mayor S:
S: 1. Menilai diri negative (mis.
atau kemampuan klien seperti
tidak
tidak berarti, tidak berharga,
tidak tertolong)
tidak
berdaya
berlangsung
dalam
yang waktu
Tanda Minor
merasa
berguna,
lama dan terus menerus
Merasa
tidak
mampu O: 1. Kontak mata kurang
4. Meremehkan kemampuan mengatasi masalah Merasa
tidak
Mengungkapkan keputusasaan
melakukan apapun
5.
2. Sulit tidur 3.
2. Merasa malu/bersalah 3.
1. Merasa sulit konsentrasi
3. Berbicara pelan dan lirih
memiliki
kelebihan kemampuan positif
2. Lesu dan tidak bergairah
atau
4. Pasif 5. Prilaku tidak asertif 6. Mencari penguatan secara
No.
Diagnosis
Definisi
Tanda Mayor 6. Melebihi-lebihkan penilaian
Tanda Minor berlebihan
negatif tentang diri sendiri
7. Bergantung pada pendapat
7. Menolak penilaian positif
orang lain
tentang diri sendiri
8. Sulit membuat keputusan
O: 1. Enggan mencoba hal baru 2. Berjalan menunduk 3. Postur tubuh menunduk 2.
Isolasi sosial
Ketidakmampuan
(D.0121)
membina
hubungan
erat,
hangat,
terbuka,
dan
untuk S:
S: 1. Merasa ingin sendirian 2. Merasa tidak aman di
interdependen dengan orang lain
1. Merasa berbeda dengan orang lain
tempat umum
2. Merasa asyik dengan pikiran
O:
sendiri
1. Menarik diri
3. Merasa tidak mempunyai
2. Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan
tujuan yang jelas O: 1. Afek datar 2. Afek sedih 3. Riwayat di tolak
No.
Diagnosis
Definisi
Tanda Mayor
Tanda Minor 4. Menunjukkan permusuhan 5. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain 6. Kondisi difabel 7. Tindakan tidak berarti 8. Tidak ada kontak mata 9. Perkembangan terlambat 10.Tidak bergairah/ lesu
3.
Gangguan persepsi
Perubahan persepsi terhadap S:
sensori: Halusinasi
stimulus baik internal maupun
1. Mendengar suara bisikan
(D.0085)
eksternal yang disertai dengan
atau melihat bayangan
respon
yang
berkurang,
S:
2. Merasakan sesuatu melalui
berlebihan atau terdistorsi.
indera
perabaan,
1. Menyatakan kesal O: 1. Menyendiri 2. Melamun
penciuman, pendengaran
3. Konsentrasi buruk
atau pengecapan.
4. Disorientasi waktu, tempat,
O:
orang, atau situasi 1. Distorsi sensori
5. Curiga
2. Respon tidak sesuai
6. Melihat ke satu arah
3. Bersikap seolah melihat,
7. Mondar-mandir
No.
Diagnosis
Definisi
Tanda Mayor mendengar, mengecap, meraba,
atau
Tanda Minor 8. Bicara sendiri
mencium
sesuatu.
Rencana asuhan keperawatan (Tujuan dan kriteria hasil menggunakan SLKI dan intervensi berdasarkan SIKI)
No. 1.
Diagnosis Keperawatan Harga diri rendah kronis (D.0086)
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Promosi Harga Diri (I.10320) 3x24 jam masalah harga diri meningkat dengan
No.
Diagnosis Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
kriteria hasil :
Observasi
Harga Diri (L.09069)
Identifikasi budaya, agama, ras, jenis
Perasaan memiliki kelebihan atau kemampuan
kelamin, dan usia terhadap harga diri
positif dari skala 2 cukup menurun menjadi Monitor tingkat harga diri setiap skala 4 cukup meningkat
waktu, sesuai kebutuhan
Berjalan menampakkan wajah dari skala 2 cukup menurun menjadi skala 4 cukup meningkat Percaya diri berbicara dari skala skala 2 cukup menurun menjadi skala 4 cukup meningkat
Terapeutik Motivasi terlibat dalam verbalisasi positif untuk diri sendiri Diskusikan
pengalaman
yang
meningkatkan harga diri Berikan umpan balik positif atas peningkatan mencapai tujuan Fasilitasi lingkungan dan aktivitas
No.
Diagnosis Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi yang meningkatkan harga diri Edukasi Jelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan
dalam
perkembangan
konsep positif diri pasien Anjurkan mata
saat
mempertahankan
kontak
berkomunikasi
dengan
orang lain Latih cara berfikir dan berperilaku positif 2.
Isolasi sosial (D.0121)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Promosi Sosialisasi (I.14509) 3x24 jam masalah sosial meningkat dengan kriteria hasil : Keterlibatan Sosial (L.13115) Minat interaksi dari skala 1 menurun menjadi
Observasi Identifikasi
hambatan
interaksi dengan orang lain
melakukan
No.
Diagnosis Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil skala 4 cukup meningkat Verbalisasi ketidak amanan di tempat umum
Intervensi Identifikasi
hambatan
melakukan
interaksi dengan orang lain
dari skala 2 cukup menurun menjadi skala 4 cukup meningkat Perilaku menarik diri dari skala 2 cukup menurun menjadi skala 4 cukup meningkat Afek murung/sedih dari skala 4 cukup menurun menjadi skala 2 cukup meningkat
Terapeutik Motivasi meningkatkan keterlibatan dalam suatu hubungan Diskusikan kekuatan dan keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orang
Kontak mata dari skala 2 cukup memburuk lain menjadi skala 4 cukup meningkat
Berikan umpan balik positif pada setiap peningkatan kemampuan Edukasi Anjurkan berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
No.
Diagnosis Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi Anjurkan berbagi pengalaman dengan orang lain Latih
bermain
meningkatkan
peran
untuk
keterampilan
komunikasi 3.
Gangguan persepsi sensori:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen Halusinasi (I.10300)
Halusinasi (D.0085)
3x24 jam masalah persepsi sensori membaik dengan kriteria hasil : Persepsi Sensori (L.09083) Verbalisasi mendengar bisikan dari skala 2 cukup meningkat menjadi skala 4 cukup menurun Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indera peraba dari skala 2 cukup meningkat menjadi skala 4 cukup menurun
Observasi Monitor perilaku yang mengindikasi halusinasi Monitor
dan
sesuaikan
tingkat
aktivitas dan stimulasi lingkungan Monitor
isi
halusinasi
(mis.
Kekerasan atau membahayakan diri) Terapeutik
No.
Diagnosis Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indera Diskusikan perasaan dan respons penciuman dari skala 2 cukup meningkat terhadap halusinasi menjadi skala 4 cukup menurun
Pertahankan lingkungan yang aman
Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indera pengecap dari skala 2 cukup meningkat menjadi skala 4 cukup menurun Perilaku
halusinasi
dari
skala
Lakukan tindakan keselamatan ketika tidak dapat mengontrol perilaku (mis. Limit setting, pembatasan wilayah,
2
cukup pengekangan fisik, seklusi)
meningkat menjadi skala 4 cukup menurun
Hindari perdebatan tentang validitas halusinasi Edukasi Ajarkan pasien dan keluarga cara mengontrol halusinasi Anjurkan memonitor sendiri situasi terjadinya halusinasi
No.
Diagnosis Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi Anjurkan berbicara pada orang yang dipercaya untuk memberi dukungan dan umpan balik korektif terhadap halusinasi Anjurkan melakukan distraksi (mis. Mendengarkan
music,
melakukan
akivitas dan teknik relaksasi) Kolaborasi Kolaborasi
pemeberian
antipsikotik dan antiansietas
obat
C. Implementasi Keperawatan Menurut Kozier & Synder (2010), implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya D. Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Setidaknya ada dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam tahap evaluasi. Pertama, perkembangan klien terhadap hasil yang sudah dicapai, dan kedua adalah efektif atau tidaknya rencana keperawatan yang sudah disusun sebelumnya (Ratnawati, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Amar, Z. &. (2016). Buku Ajaran Keperawatan kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomesia Pustaka. Anna Budi Keliat, SKp. (2016). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Duden, D. (2013). Keperawatan Jiwa Kosep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing. Keliat Budi Ana. 2017. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC Kusumawati dan Hartono . 2013 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika Stuart dan Sundeen . 2015 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I). Jakarta. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.