LP KDP Eliminasi Fekal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN DASAR ELIMINASI FEKAL I.



Konsep Kebutuhan Eliminasi Fekal



I.1 Defenisi Eliminasi fekal (defekasi)



adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa



metabolisme berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. (Tarwoto dan Wartonah, 2003) Sedangkan menurut Kozier, et al. (2011), eliminasi fekal (defekasi) adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Defekasi juga disebut bowel movement (pergerakan usus). Eliminasi fekal adalah proses pengosongan usus yang sering disebut dengan buang air besar (Hidayat, 2006). I.2 Anatomi dan fisiologi eliminasi fekal Menurut Mubarak,W dan Chayatin (2007), saluran pencernaan bawah meliputi usus halus dan usus besar. Usus halus terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan ileum. Sedangkan usus besar terdiri atas empat bagian yaitu sekum, kolon, apendiks, dan rektum. a. Usus halus Usus halus merupakan lumen muskular yang dilapisi membran mukosa yang terletak di antara lambung dan usus besar. Sebagian besar proses pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung di sini. Usus halus terdiri atas : 1) Duodenum Duodenum adalah saluran berbentuk C dengan panjang sekitar 25 cm yang terletak di bagian belakang abdomen. 2) Jejunum dan ileum Panjang jejunum dan ileum bervariasi antara 300 dan 900 cm. Jejunum berukuran lebih besar, memiliki dinding yang tebal, lipatan membran mukosa yang lebih banyak, dan plak peyeri lebih sedikit. Adapun fungsi dari usus halus adalah menerima sekresi hati dan pankreas, mengabsorbsi saripati makanan, dan menyalurkan sisa hasil metabolisme ke usus besar. Pada usus halus hanya terjadi pencernaan secara kimiawi saja, dengan bantuan senyawa kimia yang dihasilkan oleh usus halus serta senyawa kimia dari kelenjar pankreas yang dilepaskan ke usus halus.



Senyawa yang dihasilkan oleh usus halus adalah sebagai berikut (Tarwoto & Wartonah, 2010): Senyawa Kimia Disakaridase



Menguraikan



Erepsinogen



monosakarida Erepsin yang belum aktif yang akan diubah



Hormon Sekretin



Fungsi disakarida



menjadi



erepsin.



menjadi



Erepsin



mengubah pepton menjadi asam amino. Merangsang kelenjar pankreas mengeluarkan senyawa kimia yang



Hormon CCK (kolesistokinin)



dihasilkan ke usus halus. Merangsang hati untuk mengeluarkan cairan empedu ke dalam usus halus.



Usus menerima makanan dari lambung dalam bentuk kimus (setengah padat) yang kemudian dengan bantuan peristaltik akan didorong menuju ke usus besar (Tarwoto & Wartonah, 2010). a. Usus besar (kolon) Kolon merupakan usus yang memiliki diameter lebih besar dari usus halus. Ia memiliki panjang 1,5 meter dan berbentuk seperti huruf U terbalik. Usus besar dibagi menjadi 3 daerah, yaitu : kolon asenden, kolon transversum, dan kolon desenden (Tarwoto & Wartonah, 2010). Fungsi kolon adalah (Tarwoto & Wartonah, 2010) : 



Menyerap air selama proses pencernaan.







Tempat dihasilkannya vitamin K dan vitamin H (Biotin) sebagai hasil simbiosis dengan bakteri usus, misalnya E.coli.







Membentuk massa faeses.







Mendorong sisa makanan hasil pencernaan ( feses) keluar dari tubuh.



a. Rektum Rektum merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang lewat anus, feses akan ditampung terlebih dahulu pada begian rektum. Apabila feses sudah siap dibuang, maka otot sfingter rektum mengatur pembukaan dan penutupan anus. Otot sfingter yang menyusun rektum ada 2 yaitu otot polos dan otot lurik (Tarwoto & Wartonah, 2010).



Fisiologi defekasi menurut Mubarak, W dan Chayatin (2007), yaitu sewaktu makanan masuk ke lambung terjadi gerakan massa di kolon yang disebabkan oleh refleks gastrokolon. Ketika gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum, terjadi peregangan rektum yang memicu refleks defekasi. Menurut Tarwoto dan Wartonah (2003), dalam proses defekasi terjadi dua macam refleks, yaitu : 



Reflek defekasi instrinsik



Refleks ini berasal dari feses yang masuk ke rectum sehingga terjadi distensi rectum, yang kemudian menyebabkan rangsangan pada fleksus mesentrikus dan terjadilah gerakan peristaltik. Setelah feses tiba di anus secara sistematis spinkter interna relaksasi maka terjadilah defekasi. 



Reflek defekasi parasimpatis



Feses yang masuk ke rektum akan merangsang saraf rectum yang kemudian diteruskan ke spinal cord. Dari spinal cord kemudian dikembalikan ke kolon desenden, sigmoid, dan rectum yang menyebabkan intensifnya peristaltik dan relaksasi spinkter interna, maka terjadilah defekasi. Selain itu dorongan feses juga dipengaruhi oleh kontraksi otot abdomen, tekanan diafragma dan kontraksi otot elevator ani. Defekasi juga dipermudah oleh fleksi otot femur dan posisi jongkok. I.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses defekasi Menurut Kozier, et al. (2011), pola defekasi beragam pada tahap kehidupan yang berbeda. Keadaan diet, asupan cairan, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, pengobatan, serta penyakit juga mempengaruhi defekasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi defekasi antara lain : a. Usia Pada bayi, kontrol defekasi belum berkembang dengan baik. Sedangkan pada lansia, kontrol defekasi menurun seiring dengan berkurangnya kemampuan fisiologis sejumlah organ. (Mubarak, W dan Chayatin, 2007) b. Asupan cairan Asupan cairan yang kurang akan menyebabkan feses lebih keras. Hal ini dikarenakan jumlah absorpsi cairan di kolon meningkat. (Mubarak, W dan Chayatin, 2007)



c. Tonus otot Tonus otot terutama otot abdomen yang ditunjang dengan aktivitas yang cukup akan membantu defekasi. (Mubarak, W dan Chayatin, 2007) d. Faktor psikologis Perasaan takut atau cemas akan mempengaruhi peristaltik atau mortilitas usus sehingga dapat menyebabkan diare. (Mubarak, W dan Chayatin, 2007) e. Pengobatan Beberapa jenis obat dapat menimbulkan efek konstipasi. Laksatif dan katartik dapat melunakkan feses. Obat-obat lain yang dapat menggangu pola defekasi antara lain analgesik narkotik, opiat, dan antikolinergik. (Mubarak, W dan Chayatin, 2007) f. Kerusakan sensorik dan motorik Kerusakan pada medula spinalis dan cidera di kepala akan mengakibatkan penurunan stimulus sensorik untuk defekasi. (Mubarak, W dan Chayatin, 2007) g. Penyakit Beberapa penyakit pencernaan dapat menyebabkan diare dan konstipasi. (Mubarak, W dan Chayatin, 2007) h.



Nyeri



Pada kondisi tertentu (hemoroid, bedah rektum, melahirkan), defekasi akan menyebabkan nyeri. Akibatnya pasien seringkali menekan keinginan untuk defekasi. Lama kelamaan kondisi ini dapat menyebabkan konstipasi. (Mubarak,W dan Chayatin, 2007) i. Diet Makanan berserat akan mempercepat produksi feses, banyaknya makanan yang masuk ke dalam tubuh juga mempengaruhi proses defekasi. (Tarwoto dan Wartonah, 2003) j. Gaya hidup Kebiasaan untuk melatih pola buang air besar sejak kecil secara teratur, fasilitas buang air besar dan kebiasaan menahan buang air besar. (Tarwoto dan Wartonah, 2003) 1.4 Masalah-masalah eliminasi fekal Menurut Kozier, et al. (2011), empat masalah umum yang terkait dengan eliminasi fekal, yaitu :



a. Konstipasi Konstipasi dapat didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali per minggu. Ini menunjukkan pengeluaran feses yang kering , keras atau tanpa pengeluaran feses. Konstipasi terjadi jika pergerakan feses di usus besar berjalan lambat, sehingga memungkinkan bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di usus besar. b. Impaksi fekal Impaksi fekal adalah suatu massa atau pengumpulan feses yang keras didalam lipatan rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi fekal yang berkepanjangan. Impaksi fekal dapat dikenali dengan keluarnya rembesan cairan fekal (diare) dan tidak ada feses normal. Penyebab impaksi fekal biasanya adalah kebiasaan defekasi yang buruk dan konstipasi. c. Diare Diare merujuk pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi defekasi. Diare merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan terjadi akibat cepatnya pergerakan isi fekal di usus besar.cepatnya pergerakan kime mengurangi waktu usus besar untuk menyerap kembali air dan elektrolit.# d. Inkontinensia alvi Inkontinensia alvi adalah hilangnya kemampuan volunter untuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas dari spingter anal. Dua tipe inkontinensia alvi digambarkan menjadi parsial dan mayor. Inkontinensia alvi parsial adalah ketidakmampuan untuk mengontrol flatus atau untuk mencegah pengotoran minor. Inkontinensia mayor adalah ketidakmampuan untuk mengontrol feses pada konsistensi normal. e. Flatulens Flatulens adalah keberadaan flatus yang berlebihan di usus dan menyebabkan peregangan dan inflasi usus (distensi usus). Flatulens dapat terjadi di kolon akibat beragam penyebab, seperti makanan, bedah abdomen, atau narkotik. I.



Rencana Asuhan Klien Dengan Gangguan Kebutuhan Eliminasi Fekal 2.1 Pengkajian 2.1.1



Riwayat keperawatan a. Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah



b. Perilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola c. Deskripsi feses : warna, bau, dan tekstur d. Diet : makanan yang mempengaruhi defekasi, makanan yang biasa dimakan,



makanan yang dihindari, dan pola makan



yang teratur atau tidak e. Cairan : jumlah dan jenis minuman per hari f. Aktivitas : kegiatan sehari-hari g. Kegiatan yang spesifik h. Penggunaan medikasi : obat-obatan yang mempengaruhi defekasi i. Stres : stres berkepanjangan atau pendek, koping untuk menghadapi atau bagaimana menerima j. Pembedahan atau penyakit menetap 2.1.2 Pemeriksaan fisik a. Abdomen : distensi, simetris, gerakan peristaltik, adanya massa pada perut, tenderness b. Rectum dan anus : tanda-tanda inflamasi, perubahan warna, lesi, fistula, hemoroid, adanya massa, tenderness c. Keadaan Feses Konsistensi, bentuk, bau, warna, jumlah, unsur abnormal dalam feses : lendir. 2.1.3 Pemeriksaan penunjang a. Anuskopi b. Proktosigmoidoskopi c. Rontgen dengan kontras 2.2 Diagnosa keperawatan Diagnosa 1 : Gangguan eliminasi fekal : Konstipasi 2.2.1 Definisi



Konstipasi adalah penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran feses tidak lengkap atau pengeluaran feses yang keras dan kering. 2.2.2.Batasan karakteristik a. Nyeri abdomen b. Nyeri tekan abdomen dengan resistensi otot yang dapat dipalpasi c. Anoreksia d. Darah merah pada feses e. Tidak dapat mengeluarkan feses 2.2.3 Faktor yang berhubungan a. Immobilisasi b. Menurunnya aktivitas fisik c. Ileus d. Stress e. Kurang privasi f. Penurunan atau pembatasan diet Diagnosa 2 : Gangguan eliminasi fekal : diare 2.2.4 Definisi Kondisi dimana klien mengalami perubahan pola dalam buang air besar dengan karakteristik feses yang lunak dan tidak berbentuk 2.2.5 Batasan karakteristik a. Nyeri abdomen sedikitnya tiga kali defekasi per hari b. Kram c. Bising usus hiperaktif d. Ada dorongan 2.2.6 Faktor yang berhubungan a. Ansietas b. Tingkat stress tinggi 2.3 Perencanaan Diagnosa 1 : Konstipasi berhubungan dengan asupan serat tidak cukup yang di tandai dengan nyeri abdomen. 2.3.1



Tujuan dan kriteria hasil :



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, diharapkan tidak terjadi tanda-tanda konstipasi dan gangguan eliminasi fekal berkurang. Dengan kriteria hasil BAB teratur, distensi abdomen berkurang 2.3.2



Intervensi keperawatan dan rasional : a. Pantau pergerakan, frekuensi, konsistensi, bentuk dan warna feses pada klien



R: Untuk mengetahui pergerakan, frekuensi, konsistensi, bentuk dan warna feses pada klien b. Pantau suara bising usus pada klien



R: Untuk mengetahui suara bising usus pada klien c. Berikan cairan hangat setelah makan



R: Mengonsumsi asupan cairan (hangat) dalam jumlah yang cukup dapat membantu melunakkan feses d. Gunakan



obat



supositoria



rektal



dan



kolaborasikan dengan dokter R: Membantu melancarkan pergerakan feses dalam usus e. Menyediakan pilihan makanan



R: Membantu dalam melakukan pencegahan lebih awal f.



Meningkatkan intake protein, nutrisi



R: Meningkat nutrisi klin sehingga membantu pemenuhan nutrisi g. Memastikan diet serat pasien tinggi untuk mencegah konstipasi R: Pemberian serat tinggi bisa membantu pencegahan konstipasi. Diagnose 2: Diare berhubungan dengan tingkat stress tinggi yang di tandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari. 2.3.1



Tujuan dan kriteria hasil :



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 di harapkan diare teratasi dengan kriteria hasil tidak ada diare, pola BAB normal, dan elektrolit normal. 2.3.2



Intervensi keperawatan dan rasional: a. Monitor/kaji kembali konsistensi, warna, bau fases, pergerakan usus, cek berat badan setiap hari



R: Dasar monitor kondisi b. Monitor dan cek elektrolit, intek dan output cairan R: Mengkaji status dehidrasi c. Kolaborasi dengan dokter pemberian cairan IV, oral, dan makanan lunak R: Mengurangi kerja usus d. Beri anti diare, tingkatkan intek cairan R: Mempertahankan statud hidrasi e. Cek kulit bagian parineal dan jaga dari gangguan integritas R: Frekuensi buang air besar yang meningkat menyebabkan iritasi kulit sekitar anus f.



Kolaborasi dengan ahli diet tentang diet rendah serat dan lunak



R: Menurunkan stimulasi bowel



Referensi Hidayat, A. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba medika. Kozier, et al. (2011). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses & praktik, edisi 7, volume 1. Jakarta: ECG Mubarak, W. & Chayatin. (2007). Buku ajar kebutuhan manusia. Jakarta: ECG Tarwoto dan Wartonah. (2003). Kebutuhan dasar manusia. Jakarta : Salemba Medika Makassar,



Oktober 2018 Pembimbing



( Ns. Evi Lusiana.,S.kep.,M.kep )