LP Kejang Neonatus [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Asdar
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NICU RSUP.Dr.Wahidin Sudirohusodo



LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG NEONATUS



OLEH : NURSAKTIANI C121 12 026



CI INSTITUSI



CI LAHAN



(...............................)



(.................................)



PROGRAM PROFESI NERS PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN F A K U L T A S K E D O K T E R AN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 BAB I KONSEP MEDIS A. DEFINISI Kejang merupakan salah satu keadaan yang merupakan suatu tanda bahaya yang sering terjadi pada neonatus, karena kejang dapat menyebabkan hipoksia otak yang berbahaya bagi kehidupan bayi sekaligus dapat menyebabkan terbentuknyan sekuele yang menetap dan berakibat buruk pada kehidupan bayi di masa depan. Selain itu, kejang dapat merupakan suatu tanda atau gejala signifikan dari suatu masalah SSP pada neonatus. Kejang didefinikan secara klinis sebagai perubahan paroksismal dari fungsi neurologis seperti fungsi kebiasaan, motorik atau otonom. Neonatal adalah bayi dengan kelahiran berumur kurang dari 28 hari.



Kejang bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari gangguan saraf pusat, lokal atau sistemik. Kejang ini merupakan gejala gangguan syaraf dan tanda penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang tersebut, yang dapat mengakibatkan gejala sisa yang menetap di kemudian hari. Bila penyebab tersebut diketahui harus segera di obati. Hal yang paling penting dari kejang pada bayi baru lahir adalah mengenal kejangnya, mendiagnosis penyakit penyebabnya dan memberikan pertolongan terarah, bukan hanya mencoba menanggulangi kejang tersebut dengan obat antikonvulsan.



B. ETIOLOGI 1. Metabolik a. Hipoglikemia Bila kadar darah gula kurang dari 30 mg% pada neonatus cukup bulan dan kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah. Hipoglikemia dapat dengan/tanpa gejala. Gejala dapat berupa serangan apnea, kejang sianosis, minum lemah, biasanya terdapat pada bayi berat badan lahir rendah, bayi kembar yang kecil, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, asfiksia.



b. Hipokalsemia 



Yaitu: keadaan kadar kalsium pada plasma kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang dari 4 MEq/L







Gejala: tangis dengan nada tinggi, tonus berkurang, kejang dan diantara dua serangan bayi dalam keadaan baik.



c. Hipomagnesemia 



Yaitu kadar magnesium dalam darah kurang dari 1,2 mEg/l. biasanya terdapat bersama-sama dengan hipokalsemia, hipoglikemia dan lain-lain.







Gejala kejang yang tidak dapat di atasi atau hipokalsemia yang tidak dapat sembuh dengan pengobatan yang adekuat.



d. Hiponatremia dan hipernatremia 



Hiponatremia adalah kadar Na dalam serum kurang dari 130 mEg/l, gejalanya adalah kejang, tremor.







Hipertremia, kadar Na dalam darah lebih dari 145 mEg/l. Kejang yang biasanya disebabkan oleh karena trombosis vena atau adanya petekis dalam otak.



e. Defisiensi pirodiksin dan dependensi piridoksisn Merupakan akibat kekurangan vitamin B6. gejalanya adalah kejang yang hebat dan tidak hilang dengan pemberian obat anti kejang, kalsium, glukosa, dan lain-lain. Pengobatan dengan memberikan 50 mg pirodiksin. f. Asfiksia Suatu keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir etiologi karena adanya gangguan pertukaran gas dan transfer O 2 dari ibu ke janin. 2. Perdarahan intracranial Dapat disebabkan oleh trauma lahir seperti asfiksia atau hipoksia, defisiensi vitamin K, trombositopenia. Perdarahan dapat terjadi sub dural, dub aroknoid, intraventrikulus dan intraserebral. Biasanya disertai hipoglikemia, hipokalsemia. Diagnosis yang tepat sukar ditetapkan, fungsi lumbal dan offalmoskopi mungkin dapat membantu diagnosis. Terapi : pemberian obat anti kejang dan perbaikan gangguan metabolism bila ada. 3. Infeksi Infeksi dapat menyebabkan kejang, seperti : tetanus dan meningitis 4. Genetik/kelainan bawaan Penyebab lain a. Polisikemia Biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah, infufisiensi placenta, transfuse dari bayi kembar yang satunya ke bayi kembar yang lain dengan kadar hemoktrokit di atas 65% b. Kejang idiopatik Tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, bila tidak diketahui penyebabnya berikan oksigen untuk sianosisnya c. Toksin estrogen Misalnya : hexachlorophene



C. KLASIFIKASI 1. Bentuk kejang yang hampir tidak terlihat (Subtle) yang sering tidak di insafi sebagai kejang. Terbanyak di dapat pada neonatus berupa : 



Deviasi horizontal bola mata







Getaran dari kelopak mata (berkedip-kedip)







Gerakan pipi dan mulut seperti menghisap, mengunyah, mengecap, dan menguap







Opnu berulang







Gerakan tonik tungkai



2. Kejang klonik multifokal (miogratory) Gerakan klonik berpindah-pindah dari satu anggota gerak ke yang lain secara tidak teratur, kadang-kadang kejang yang satu dengan yang lain dapat menyerupai kejang umum. 3. Kejang tonik Ekstensi kedua tungkai, kadang-kadang dengan flexi kedua lengan menyerupai dekortikasi 4. Kejang miokolik Berupa gerakan flexi seketika seluruh tubuh, jarang terlihat pada neonates 5. Kejang umum Kejang seluruh badan, sianosis, kesadaran menurun 6.



Kejang fokal Gerakan ritmik 2-3 x/detik. Sentakan yang dimulai dari salah satu kaki, tangan atau muka (gerakan mata yang berputar-putar, menguap, mata berkedip-kedip, nistagmus, tangis dengan nada tinggi).



D. MANIFESTASI KLINIS a. Kejang tersamar 



Hampir tidak terlihat







Menggambarkan perubahan tingkah laku



b. Bentuk kejang : 



Otot muka, mulut, lidah menunjukan gerakan menyeringai







Gerakan terkejut-kejut pada mulut dan pipi secara tiba-tiba menghisap, mengunyah, menelan menguap







Gerakan bola mata ; deviasi bola mata secara horisontal, kelopak mata berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola mata







Gerakan pada ekstremitas : pergerakan seperti berenang, mangayuh pada anggota gerak atas dan bawah







Pernafasan apnea, BBLR hiperpnea







Untuk memastikan : pemeriksaan EEG



c. Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai 1) Kejang klonik 



Berlangsung selama 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran Dapat disebabkan trauma fokal







BBL dengan kejang klonik fokal perlu pemeriksaan USG, pemeriksaan kepala untuk mengetahui adanya perdarahan otak, kemungkinan infark serebri







Kejang klonik multifokal sering terjadi pada BBL, terutama bayi cukup bulan dengan BB>2500 gram







Bentuk kejang : gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misal kejang klonik lengan kiri diikuti kejang klonik tungkai bawah kanan



2) Kejang tonik







Terdapat pada BBLR, masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat







Bentuk kejang : berupa pergerakan tonik satu ekstremitas, pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai, menyerupai sikap deserebasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi



3) Kejang mioklonik



Gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat, gerakan menyerupai refleks moro d. Gemetar







Sering membingungkan







Kadang terdapat pada bayi normal yang dalam keadaan lapar (hipoglikemia, hipokalsemia, hiperiritabilitas neuromuscular)







Gerakan tremor cepat







Tidak disertai gerakan cara melihatabnormal atau gerakan bola mata







Dapat timbul dengan merangsang bayi, sedangkan kejang tidak timbul dengan perangsangan







Gerakan dominan adalah gerakan tremor







Pergerakan ritmik anggota gerak pada gemetar dihentikan dengan melakukan fleksi anggota gerak



e. Apnea



f.







Pada BBLR pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti nafas 3-6 detik, sering diikuti dengan hiperapnea 10-15 detik







Berhentinya pernafasan tidak disertai perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit







Bentuk pernafasan disebut pernafasan periodik disebabkan belum sempurnanya pusat pernafasan di batang otak







Serangan apnea tiba-tiba disertai kesadaran menurun pada BBLR dicurigai adanya perdarahan intracranial







Perlu pemeriksaan USG



Manifestasi kejang pada BBL 



Tremor/gemetar







Hiperaktif







Kejang-kejang







Tiba-tiba menangis melengking







Tonus otot hilang diserati atau tidak dengan hilangnya kesadaran







Pergerakan tidak terkendali







Nistagmus atau mata mengedip ngedip paroksismal



E. PATFISIOLOGI



Konsep epileptogenesis pada otak imatur sangat kompleks dan cepat berkembang. Terdapat faktor khusus dalam perkembangan otak yang membuat otak imatur lebih sensitif dalam menghasilkan kejang. Faktor tersebut meliputi karakteristik dari neuron, neurotransmitter, sinaps, reseptor, mielinisasi, glia, dan sirkuit neuron seluler maupun regional. Fungsi dasar neuron adalah depolarisasi dan hiperpolarisasi membran yang menghasilkan aliran ion yang melintasi membran melalui voltage dependent and transmitter-gated channel. Depolarisasi membran mengawali potensial aksi yang menyebabkan lepasnya neurotransmitter dari regio presinaps di akson terminal. Transmitter berkaitan dengan reseptor post-sinap untuk mengawali eksitasi potensial postsinap atau inhibisi potensial post-sinaps. Fungsi otak secara normal didasarkan pada keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Kejang timbul akibat timbulnya muatan listrik (depolarisasi) berlebihan pada susunan saraf pusat sehingga terbentul gelombang listrik yang berlebihan. Neuron dalam sistem saraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil dari perpindahan natrium ke arah dalam, sedangkan repolarisasi terjadi akibat keluarnya kalium. Untuk mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang berasal dari ATP dan bergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya natrium dan masuknya kalium. Meskipun mekanisme dasar kejang pada neonatus tidak sepenuhnya dipahami, data terbaru menunjukkan bahwa depolarisasi berlebihan dapat diakibatkan oleh: 



Gangguan dalam produksi energi dapat mengakibatkan kegagalan pompa natrium dan kalium







Rangsang berlebihan dari neurotransmitter di susunan saraf pusat







Adanya kekurangan relatif dari inhibitor neurotransmitter dibanding eksitatorik dapat menyebabkan depolarisasi berlebihan







Perubahan membran neuron menyebabkan inhibisi dari pergerakan natrium



Perubahan fisiologis pada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa otak yang tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan otak yang tidak dapat dipenuhi secara adekuat. Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat esensial untuk mencukup kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat terkumpul dan berakumulasi selama terjadikejang, sehingga PH arteri menurun dengan cepat. Hal ini menyebabkan tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah ke otak naik. Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat mulai dari sejak lahir hingga usia dua tahun yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps serta kepadatan dendrit pada sumsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar kehamilan sampai bulan pertama setelah kelahiran. Pada saat bayi baru lahir, merupakan periode tertinggi dari aktifitas eksitasi sinaps fisiologis. Menurut penelitian, pada periode ini keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi pada sinaps cenderung mengarah pada eksitasi untuk memberi jalan pada pembentukan sinaps yang bergantung pada aktivitasnya. Otak manusia memiliki neurotransmitter seperti glutamat, α-amino-3-hydroxy-5methyl-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan N-methyl-D-aspartate (NMDA). Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap tikus yang memiliki otak homolog dengan otak manusia, didapatkna bahwa reseptor NMDA meningkat tajam pada dua minggu awal kelahiran untuk membantu sinaps yang bergantung pada aktivitasnya. Selain itu, pada periode ini merupakan saat dimana sensitivitas terhadap magnesium berada di titik terendah. Magnesium merupakan penghalang reseptor endogen alamiah, sehingga berdampak pada meningkatnya eksitabilitas neuronal. Literatur lain menjelaskan mengenai mekanisme penting sehubungan dengan terjadinya kejang pada neonatus adalah: a. Penurunan efektifitas inhibisi neurotransmitter pada otak imatur Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang secara perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan fungsi pengikatan reseptor GABA, pembentukan enzim dan ekspresi dari reseptor lebih rendah pada masa-masa awal kehidupan. Hal ini mendukung terjadinya kejang sehubungannya dengan aktivitas sel saraf pada neonatus yang lebih mengakomodasi aktivitas eksitabilitas. b. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal kehidupan Regulasi kanal ion mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor neurotransmiter, regulasinya terbentuk serta berkembang perlahan seperti yang terjadi pada mutasi kanal ion kalium (KCNQ2 dan KCNQ3) yang berhubungan dengan terjadinya kejang neonatus familial, menyebabkan proses hiperpolarisasi kalium yang berakibat terjadinya penembakan potensial aksi yang berulang secara cepat.



Otak imatur memiliki ekspresi yang relatif lebih rendah terhadap HCN1 isoform yang berfungsi untuk menurunkan eksitabilitas dendritik pada otak dewasa. Mutasi kanal ion daoat juga berkontribusi dalam hipereksitabilitas pada otak imatur dan dapat memiliki efek kumulatif. c. Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak imatur Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal seperti yang terjadi pada Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang memicu terjadinya potensi eksitasi pada neuron. Jika dibandingkan dengan fase kehidupan selanjutnya, CRH dikeluarkan lebih tinggi pada dua minggu awal kehidupan seperti yang terlihat pada tikus percobaan. CRH juga meningkat pada keadaan stres seperti halnya saat terjadi kejang pada otak yang imatur akan memicu kejadian kejang yang berulang. F. KOMPLIKASI Kejang neonatal merupakan faktor risiko yang nyata meningkatkan tingkat morbiditas jangka panjang dan kematian neonatal. Timbulnya kejang neonatal adalah prediktor terbaik jangka panjang khususnya defisit fisik dan kemampuan kognitif. Komplikasi dari kejang neonatal dapat mencakup sebagai berikut: 



kejang berulang







retardasi mental







palsi cerebralis







Cerebral atrofi







Hydrocephalus ex-vacuo







Epilepsi







Kelenturan







Kesulitan makan



G. PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan laboratorium Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus digunakan informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan jasmani dengan baik untuk mencari penyebab yang lebih spesifik







Kimia darah Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium pada darah serta analisa gas darah harus dilakukan.







Pemeriksaan darah rutin Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit , leukosit, hitung jenis leukosit







Kelainan metabolic Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, bau yang khas pada bayi baru lahir, intoleransi laktosa, asidosis, alkalosis atau kejang yang tidak responsif terhadap antikonvulsan, harus dicari penyebab-penyebab metabolik yang mungkin. 1) Kadar amonia dalam darah harus diperiksa 2) Asam amino di plasma darah dan urin. Pada urin sebaiknya diperiksa untuk mencari substansi reduksi



2. Pemeriksaan radiologis a. USG kepala dilakukan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk mencari adanya perdarahan intraventrikular atau periventrikular. Perdarahan subarakhnoid atau lesi kortikal sulit dinilai dengan pemeriksaan ini. b. CT-scan kranium Merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai adanya penyakit intrakranial. CT scan sangat membantu dalam menentukan bukti-bukti adanya infark, perdaraham, kalsifikasi dan malformasi serebral.Melalui catatan sebelumnya, pemeriksaan ini memberikan hasil yang penting pada kasus kejang neonatus, terutama bila kejang terjadi asimetris. c. MRI Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya malformasi subtle yang kadang tidak terdeteksi dengan CT-scan kranium.. 3. Pemeriksaan lain a. EEG(electroencephalography) EEG yang dilakukan selama kejang akan memperlhiatkan tanda abnormal. EEG interiktal mungkin memperlihatkan tanda normal. Pemeriksaan EEG akan jauh lebih bernilai pabila dilakukan pada 1-2 hari awal terjadinya kejang, untuk mencegah kehilangan tanda-tanda diagnostik yang penting untuk menentukan



prognosis di masa depan bayi. EEG sangat signifikan dalam menentukan prognosis pada bayi cukup bulan dengan gejala kejang yang jelas. EEG sangat penting untuk memeastikan adanya kejang di saat manifestasi klinis yang timbul subtle atau apabila obat-obatan penenang neuromuscular telah diberikan. Untuk menginterpretasikan hasil EEG dengan benar, sangatlah penting untuk mengetahui status klinis bayi (termasuk keadaan tidur) dan obat-obatan yabg diberikan. The International League Against Epilepsy mempertimbangkan kriteria sebagai berikut : 



Non epileptikus







Epileptikus : Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG. Secara klinis mungkin tidak terlihat kejang, namun dari gambaran EEG masih mengalami kejang.



: berdasarkan gejala klinis kejang semata



1) Kejang elektrografik Kejang pada neonatus mempunyai tipe dan lokasi onset, morfologi dan perambatan yang bervariasi. Bayi preterm maupun aterm, keduanya mempunyai kemampuan menciptakan peristiwa ictal yang sangat bervariasi, lokasi asal kejang yang paling umum adalah lobus temporal. Beberapa penelitian telah menghitung durasi kejang pada neonatus. Umumnya digunakan batasan 5 detik, namun Clancy dan Ledigo menggunakan pembatasan menurut mereka sendiri yaitu 10 detik sebagai durasi minimal dan definisi ini juga diadopsi oleh Sher dkk. 2) Disosiasi elektroklinik Terdapat ketidaksesuaian antara diagnosis klinis dan gambaran EEG, hanya sepertiga dari kasus yang dipelajari dengan rekaman video yang manifestasi klinis dan gelombang listriknya sesuai. Pada 349 neonatus yang diteliti oleh Mizrahi, ditemukan 415 kejang pada 71 neonatus secara klinis, sedangkan 11 neonatus lain ditemukan secra elektrografis walaupun secara klinis tidak kejang. Manifestasi klinis timbul karena adanya gelombang dari batang otak dan medula spinalis dilepaskan dan kurangnya inhibisi dari pusat yang lebih tinggi.



H. PENATALAKSANAAN 1. Prinsip dasar tindakan mengatasi kejang pada bayi baru lahir sebagai berikut:







Mengatasi kejang dengan memberikan obat anti kejang-kejang (Misal : diazepam, fenobarbital, fenotin/dilantin)







Menjaga jalan nafas tetap bebas dengan resusitasi







Mencari faktor penyebab kejang







Mengobati penyebab kejang (mengobati hipoglikemia, hipokalsemia dan lain-lain)



2. Obat anti kejang (Buku Acuan Nasional Maternatal dan Neonatal, 2002) a. Diazepam Dosis 0,1-0,3 mg/kg BB IV disuntikan perlahan-lahan sampai kejang hilang atau berhenti. Dapat diulangi pada kejang beruang, tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan pada dosis pemeliharaan b. Fenobarbital Dosis 5-10 mg/kg BB IV disuntikkan perlahan-lahan, jika kejang berlanjut lagi dalam 5-10 menit. Fenitoin diberikan apabila kejang tidak dapat di berikan 4-7 mg/kg BB IV pada hari pertama di lanjutkan dengan dosis pemeliharaan 4-7 mg/kg BB atau oral dalam 2 dosis. 3. Penanganan kejang pada bayi baru lahir a. Bayi diletakkan dalam tempat yang hangat pastikan bahwa bayi tidak kedinginan. o



o



Suhu dipertahankan 36,5 C - 37 C b. Jalan nafas bayi dibersihkan dengan tindakan penghisap lendir di seputar mulut, hidung sampai nasofaring c. Bila bayi apnea dilakukan pertolongan agar bayi bernafas lagi dengan alat bantu balon dan sungkup, diberikan oksigen dengan kecepatan 2 liter/menit d. Dilakukan pemasangan infus intravena di pembuluh darah perifer di tangan, kaki, atau kepala. Bila bayi diduga dilahirkan oleh ibu berpenyakit diabetesmiletus dilakukan pemasangan infus melalui vena umbilikostis e. Bila infus sudah terpasang di beri obat anti kejang diazepam 0,5 mg/kg supositoria IM setiap 2 menit sampai kejang teratasi, kemudian di tambah luminal (fenobarbital 30 mg IM/IV) f. Nilai kondisi bayi selama 15 menit. Perhatikan kelainan fisik yang ada



g. Bila kejang sudah teratasi, diberi cairan dextrose 10% dengan kecepatan 60 ml/kg BB/hari h. Dilakukan anamnesis mengenai keadaan bayi untuk mencari faktor penyebab kejang



i.







Apakah kemungkinan bayi dilahirkan oleh ibu yang berpenyakit DM







Apakah kemungkinan bayi premature







Apakah kemungkinan bayi mengalami asfiksia







Apakah kemungkinan ibu bayi mengidap/menggunakan narkotika



Bila sudah teratasi di ambil bahan untuk pemeriksaan laboratorium untuk mencari faktor penyebab kejang, misalnya : 1) Darah tepi 2) Elektrolit darah 3) Gula darah 4) Kimia darah (kalsium, magnesium)



j.



Bila kecurigaan kearah pepsis dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal



k. Obat diberikan sesuai dengan hasil penelitian ulang l.



Apabila kejang masih berulang, diazepam dapat diberikan lagi sampai 2 kali.



BAB II KONSEP KEPERAWATAN



A. Pengkajian Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan? 1. Identitas Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. 2. Keluhan utama Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS. Biasanya anak sering kejang 3. Riwayat penyakit sekarang Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul. 4. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.



5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.



Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah 6. Riwayat penyakit keluarga Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot. Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya. 1. Selama serangan : 



Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.







Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.







Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.







Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.







Apakah pasien menggigit lidah.







Apakah mulut berbuih.







Apakah ada inkontinen urin.







Apakah bibir atau muka berubah warna.







Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.







Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya.



2. Sesudah serangan 



Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara







Apakah ada perubahan dalam gerakan.







Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan.







Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.







Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.



3. Riwayat sebelum serangan 



Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.







Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.







Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual.



4. Riwayat Penyakit 



Sejak kapan serangan terjadi.







Pada usia berapa serangan pertama.







Frekuensi serangan.







Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional.







Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.







Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak







Apakah makan obat-obat tertentu







Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga



Pemeriksaan fisik a. Aktivitas Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.



Tanda : kelemahan otot, somnolen. b. Sirkulasi Gejala : palpitasi. Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat. c. Eliminasi Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran urine. d. Makanan / cairan Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia. Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi gusi mengindikasikan leukemia monositik akut). e.



Integritas ego Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan. Tanda : depresi, ansietas, marah.



f. Neurosensori Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing, kesemutan. Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang. g. Nyeri / kenyamanan Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot. Tanda : gelisah, distraksi. h. Pernafasan Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal. Tanda : dispnea, takipnea, batuk. i. Keamanan Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan, perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal. Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau hati. B. Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan



2. Resiko cedera. 3. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis 4. Defisiensi pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi. 5. Hipertermi berhubungan dengan kejang 6. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral C. Intervensi 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan pasien tidak mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil : - RR dalam batas normal sesuai umur - Nadi dalam batas normal sesuai umur



Intervensi



Rasional



1. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/dada, abdomen



1. Memfasilitasi usaha bernapas/ekspansi dada



2. Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan



2. Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan lendir, atau memberi sokongan pernapasan jika diperlukan 3. Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia



3. Lakukan penghisapan sesuai sesuai indikasi



Kolaborasi 4. Dapat menurunkan hipoksia



Kolaborasi



serebral



4. Berikan tambahan O2 2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan, nyeri klien berkurang kriteria hasil: -



Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri yang dialami



-



Klien tidak menangis lagi



-



Wajah klien tampak ceria



Intervensi



Rasional



1. Kaji PQRST dengan menggunakan 1. Karakteristik nyeri yang dialami sebagai tindakan intervensi media gambar selanjutnya



2. Berikan posisi yang nyaman sesuai 2. Dengan kebutuhan



3. Berikan lingkungan yang nyaman bagi klien



4. Libatkan keluarga mendampingi klien



posisi yang nyaman sesuai kebutuhan dapat menurunkan stimulasi yang berlebihan yang dapat mengurangi nyeri yang dirasakan



3. Ketidaknyaman yang dirasakan baik dari reaksi non verbal menunjukan derajat nyeri yang tidak langsung dialami. Nyeri untuk yang dirasakan mungkin bersifat atau kronik



5. Kolaborasi untuk pemberian obat



analgesic 4.



Kehadiran keluarga memberikan efek psikologis pada anak untuk mengurangi nyeri



5. Pemberian obat analgesik untuk mengurangi nyeri



3. Resiko cedera Kriteria hasil : -



Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien



-



Kriteria pengkajian fokus makna klinis



-



Riwayat kejang



-



Tingkatan kejangnya Intervensi 1. Kaji karakteristik kejang



Rasional Untuk mngetahui seberapa besar tingkatan kejang yang dialami pasien sehingga pemberian intervensi berjalan lebih baik



2. Jauhkan pasien dari benda benda tajam/ Benda tajam dapat melukai dan membahayakan bagi pasien mencederai fisik pasien



3. Segera letakkan sendok di mulut pasien yaitu diantara rahang pasien



4.



Dengan meletakkan sendok diantara rahang atas dan rahang bawah, maka resiko pasien menggigit lidahnya tidak terjadi dan jalan nafas pasien menjadi lebih lancer



Kolaborasi dalam pemberian obat Obat anti kejang dapat anti kejang mengurangi derajat kejang yang dialami pasien, sehingga resiko untuk cidera pun berkurang



4. Defisiensi pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi Tujuan : -



pengetahuan keluarga meningkat



-



keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi



-



keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.



Intervensi Kriteria pengkajian focus 1. Kaji tingkat pendidikan keluarga klien.



2. Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien.



Makna klinis 1. pendidikan merupakan salah satu faktor penentu tingkat pengetahuan seseorang 2. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang telah mereka ketahui,sehingga pengetahuan yang nantinya akan diberikan dapat sesuai dengan kebutuhan keluarga 3. untuk meningkatkan pengetahuan



3. Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes. 4. Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. 5. Libatkan keluarga dalam tindakan pada klien.



4. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang sudah dipahami 5. agar keluarga dapat memberikan penanngan yang tepat jika suatu-waktu klien mengalami kejang berikutnnya.



setiap



D. Evaluasi 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan RR dalam batas normal sesuai umur Nadi dalam batas normal sesuai umur 2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa nyeri yang dialami Klien tidak menangis lagi Wajah klien tampak ceria 3. Resiko cedera Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien Kriteria pengkajian fokus makna klinis a. Riwayat kejang b. Tingkatan kejangnya 4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi. Pengetahuan keluarga meningkat, Keluarga mengerti dengan proses penyakit



BAB III WEB OF CAUTION



Proses infeksi



Peningkatan metabolisme berlebihan



Pelepasan pirogen



basal dan kebutuhan O2



endogen (IL- 1)



Mengubah keseimbangan



Prostaglandin



Membrane sel neuron



Difusi Ion K dan Na



Hipotalamus Meningkatkan Sel point



Evaporasi



Resiko kekurangan



Terjadi lepasan muatan listrik



Peningkatan suhu tubuh



Perubahan status kesehatan pada



Yang besar



Meluas keseluruh sel sekitarya



Hipertermi



Melalui membrane neurotransmitter



Kurang pemajanan informasi pada



Kejang



Koping orangtua/keluarg a tidak efektif



Konstriksi pembuluh darah Defisiensi pengetahuan



Sirkulasi tidak lancer



Kekurangan O2 otak dan seluruh tubuh



Ketidakefektifa n perfusi jaringan



Kompensasi tubuh dengan otot pernapasan



Ketidakefektifa n pola nafas



Ansietas



DAFTAR PUSTAKA



Bulechek, G. M., et.al. (2015). Nursing interventions classification (NIC). United States of America: Elsevier. Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses : Definitions and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC. Ngastiyah, 2005,Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, EGC, Jakarta



Marilyn E. Doenges. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC:Jakarta



Moorhead, S., et.al. (2015). Nursing outcomes classification (NOC). United States of America: Elsevier. Wong, D et al. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2. EGC: Jakarta.



Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis Proses penyakit. EGC: Jakarta