LP Perioperatif Kista Ovarium (Wenie) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN POST OPERATIF KISTA OVARIUM DENGAN LAPAROSKOPI



DISUSUN OLEH: WENIE



YAYASAN STIKES EKA HARAP PALANGKARAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN TAHUN 2021



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses produksi (Kemenkes,2014). Kista ovarium adalah kantung berisi cairan yang terletak di ovarium. Kista ovarium merupakan kasus umum dalam ginekologi yang dapat terbentuk kapan saja, pada masa pubertas sampai menopause juga selama kehamilan (Nugroho, 2012). Insiden kista ovarium di Amerika Serikat adalah sekitar 15 kasus per 100.000 wanita per tahun. Kista ovarium didiagnosis lebih dari 21.000 perempuan per tahun, dan di perkirakan menyebabkan 14.600 kematian (American Cancer Society,2009). Penderita kista ovarium di Malaysia pada tahun 2008 terdata 428 kasus, dimana terdapat 20% diantaranya meninggal dunia dan 60% diantaranya adalah wanita karir yang telah berumah tangga. Sedangkan pada tahun 2009 terdata 768 kasus penderita kista, dan 25% diantaranya meninggal dunia dan 70% diantaranya wanita karier yang telah berumah tangga (Siringo, 2013). Angka kejadian kista ovarium di Indonesia belum diketahui dengan pasti karena pencatatan dan pelaporan yang kurang baik. Penderita kista ovarium di Rumah Sakit Tk.III dr.Reksodiwiryo Padang dari tahun 2015-2016 juga mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2015 tercatat sebanyak 11 kasus sedangkan pada tahun 2016 tercatat sebanyak 20 kasus (Data Rekam Medis RS Tk.III dr.Reksodiwiryo Padang). Sekitar 75% massa di ovarium bersifat jinak (benigna). Massa yang umum dialami oleh wanita berusia 20 tahun sampai 40 tahun dapat berupa kista ovarium fungsional, kistadenoma, kista teratoma, fibroma, endometrioma (kista coklat) dan kehamilan tuboovarium (kehamilan ektopik). Setengah dari massa ovarium tersebut adalah kista fungsional. Kista fungsional termasuk kista di kopus luteum dan folikel biasanya lebih kecil dari 3 cm dan sering kali hilang dengan sendirinya dalam 1 sampai 2 bulan. Wanita yang mengidap kista ovarium kecil kembali menjalani pemeriksaaan dalam 1 sampai 2 bulan. Namun pada massa ovarium yang tidak



menghilang yang berukuran lebih dari 3 cm, dapat menimbulkan nyeri persisten atau menunjukkan karakteristik mencurigakan yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut (Reeder, 2013). Banyaknya kasus kista ovarium ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi dan kurangnya kesadaran untuk memeriksakan kesehatan pribadinya. Kista ovarium dapat menunjukkan suatu proses keganasan atau pun kondisi yang lebih berbahaya, seperti kehamilan ektopik, torsi ovarium, atau usus buntu. Penanganan kista ovarium, baik neoplastik jinak (benigna) maupun ganas (maligna) dapat dilakukan dengan tindakan operasi. Untuk itu, deteksi dini mengenai kista ovarium pada pasien merupakan hal yang sangat penting untuk kelangsungan hidup pasien (Arif, Purwanti, Soelistiono, 2016). Kista berbeda dengan kanker, meskipun begitu apabila dibiarkan kista bisa bermutasi dan berubah menjadi sel kanker. Jika semakin lama dibiarkan kista akan semakin membesar dan menggangu kesehatan (Mumpuni dan Andang, 2013). Menurut hasil penelitan Siringo, dkk (2013) di Rumah Sakit ST Elizabeth Medan menemukan 116 orang penderita kista ovarium pada tahun 2008-2012 yang terjadi pada kelompok umur 27-39 tahun (29,7%) dengan kista ovarium jinak (94,8%) dan kista ovarium ganas (5,2%). Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis



menerapkan



asuhan



keperawatan pada pasien post operatif dengan kasus Kista Ovarium di kebidanan Rumah Sakit Tk.III dr.Reksodiwiryo Padang. 1.2 Rumusan Masalah Perumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien post operatif Kista Ovarium di kebidanan Rumah Sakit Tk.III dr.Reksodiwiryo Padang pada tahun 2017?” 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum Mampu mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien post operatif Kista Ovarium di kebidanan Rumah Sakit Tk.III dr.Reksodiwiryo Padang pada tahun 2017. 1.4 Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum dapat dibuat tujuan khusus sebagai berikut:



1.4.1



Mampu mendeskripsikan hasil pengkajian pada pasien dengan post operatif Kista Ovarium.



1.4.2



Mampu mendeskripsikan rumusan diagnosa keperawatan pada pasien post operatif dengan Kista Ovarium.



1.4.3



Mampu mendeskripsikan rencana keperawatan pada pasien dengan post opertif Kista Ovarium.



1.4.4



Mampu mendeskripsikan tindakan keperawatan pada pasien dengan post operatif Kista Ovarium.



1.4.5



Mampu mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada pasien dengan post operatif Kista Ovarium.



1.4.6



Mampu melakukan pendokumentasian pada pasien dengan post opertif Kista Ovarium.



1.5 Manfaat Penulisan 1.5.1



Peneliti Penelitian karya tulis ilmiah ini dapat menambah wawasan ilmu



pengetahuan serta kemampuan peneliti dalam menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operatif Kista Ovarium yang telah dipelajari. 1.6 Rumah Sakit Penelitian karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operaitf Kista Ovarium 1.7 Institusi Pendidikan Penelitian karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operatif Kista Ovarium.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Konsep Kasus Kista Ovarium 2.1.1



Pengertian Menurut Saydam (2012), kista ovarium merupakan penyakit tumor jinak



yang bertumbuh pada indung telur perempuan. Biasanya berupa kantong kecil yang berbeda dengan penyakit kanker yang berisi cairan atau setengah cairan. 2.2 Etiologi Menurut Nugroho (2012), kista ovarium disebabkan oleh gangguan pembentukan hormone pada hipotalamaus, hipofisis dan ovarium. Penyebab lain timbulnya kista adalah ovarium adalah adanya penyumbatan pada saluran yang berisi cairan karena adanya bakteri dan virus, adanya zat dioksin dan asap pabrik dan pembakaran gas bermotor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh manusia yang akan membantu tumbuhnya kista, faktor makan makanan yang berlemak yang mengakibatkan zat-zat lemak tidak dapat dipecah dalam proses metabolisme sehingga akan meningkatkan resiko timbulnya kista (Mumpuni dan Andang, 2013). Arif,dkk (2016) mengatakan faktor resiko pembentukan kista ovarium terdiri dari: 2.2.1 Usia Umumnya, kista ovarium jinak (tidak bersifat kanker) pada wanita kelompok usia reproduktif. Kista ovarium bersifat ganas sangat jarang, akan tetapi wanita yang memasuki masa menopause (usia 50-70 tahun) lebih beresiko memiliki kista ovarium ganas. 2.2.2 Status menopause Ketika wanita telah memasuki masa menopause, ovarium dapat menjadi tidak aktif dan dapat menghasilkan kista akibat tingkat aktifitas wanita menopause yang rendah. 2.2.3 Pengobatan infertilitas Pengobatan infertilitas dengan konsumsi obat kesuburan dilakukan dengan induksi ovulasi dengan gonadotropin (konsumsi obat kesuburan). Gonadotropin



yang terdiri dari FSH dan LH dapat menyebabkan kista berkembang. 2.2.4 Kehamilan Pada wanita hamil, kista ovarium dapat terbentuk pada trimester kedua pada puncak kadar hCG (human chorionic gonadotrpin). 2.2.5



Hipotiroid



Hipotiroid merupakan kondisi menurunnya sekresi hormone tiroid yang dapat menyebabkan kelenjar pituitary memproduksi TSH (Thyroid Stimulating Hormone) lebih banyak sehingga kadar TSH meningkat. TSH merupakan faktor yang memfasilitasi perkembangan kista ovarium folikel. 2.2.6



Merokok



Kebiasaan merokok juga merupakan faktor resiko untuk pertumbuhan kista ovarium fungsional. Semakin meningkat resiko kista ovarium dan semakin menurun indeks massa tubuh (BMI) jika seseorang merokok. 2.2.7



Ukuran massa



Kista ovarium fungsional pada umumnya berukuran kurang dari 5 cm dan akan menghilang



dalam



waktu



4-6



minggu.



Sedangkan



pada



wanita



pascamenopause, kista ovarium lebih dari 5 cm memiliki kemungkinan besar bersifat ganas. 2.2.8



Kadar serum petanda tumor CA-125



Kadar CA 125 yang meningkat menunjukkan bahwa kista ovarium tersebut bersifat ganas. Kadar abnormal CA125 pada wanita pada usia reproduktif dan premenopause adalah lebih dari 200 U/mL, sedangkan pada wanita menopause adalah 35 U/mL atau lebih. 2.2.9



Riwayat keluarga



Riwayat keluarga menderita kanker ovarium, endometrium, payudara, dan kolon menjadi perhatian khusus. Semakin banyak jumlah keluarga yang memiliki riwayat kanker tersebut, dan semakin dekat tingkat hubungan keluarga, maka semakin besar resiko seorang wanita terkena kista ovarium. 2.2.10



Konsumsi alkohol



Konsumsi alkohol dapat meningkatkan resiko terbentuknya kista ovarium,



karena alkohol dapat meningkatkan kadar estrogen. Kadar estrogen yang meningkat ini dapat mempengaruhi pertumbuhan folikel. 2.2.11



Obesitas Wanita obesitas (BMI besar sama 30kg/m2) lebih beresiko terkena kista ovarium baik jinak maupun ganas. Jaringan lemak memproduksi banyak jenis zat kimia, salah satunya adalah hormone estrogen, yang dapat mempengaruhi tubuh. Hormone estrogen merupakan faktor utama dalam terbentuknya kista ovarium.



2.3 Jenis-jenis Kista ovarium Menurut Wiknjosastro (2008), kista ovarium terbagi dua yaitu: 2.3.1



Kista ovarium neoplastik



2.3.1.1 Kistadenoma ovarii serosum Kista ini mencakup sekitar 15-25% dari keseluruhan tumor jinak ovarium. Usia penderita berkisar antara 20-50 tahun. Pada 12-50% kasus, kista ini terjadi pada kedua ovarium (bilateral). Ukuran kista berkisar antara 5-15 cm dan ukuran ini lebih keil dari rata-rata ukuran kistadenoma musinosum. Kista berisi cairan serosa, jernih kekuningan. 2.3.1.2 Kistadenoma ovarii musinosum Kistadenoma ovarii musinosum mencakup 16-30% dari total tumor jinak ovarium dan 85% diantaranya adalah jinak. Tumor ini pada umumnya multilokuler dan lokulus yang berisi cairan musinosum tampak bewarna kebiruan di dalam kapsul yang dindingnya tegang. Dinding tumor tersusun dari epitel kolumner yang tinggi dengan inti sel bewarna sel gelap terletak di bagian basal. Dinding kistadenoma musinosum ini, pada 50% kasus mirip dengan struktul epitel endoserviks dan 50% lagi mirip dengan struktur epitel kolon di mana cairan musin di dalam lokulus kista mengandung sel-sel goblet. 2.3.1.3 Kista dermoid Kista dermoid merupakan tumor terbanyak (10% dari total tumor ovarium) yang berisi sel germinativum dan paling banyak diderita oleh gadis yang berusia di bawah 20 tahun. 2.3.1.4 Kista ovarii simpleks Kista ini mempunyai permukaan rata dan halus, biasanya bertangkai sering



kali bilateral dan dapat menjadi besar. Dinding kista tipis dan cairan di dalam kista jernih, serus dan berwarna kuning. Pada dinding kista tampak lapisan epitel kubik. Berhubung dengan adanya tangkai, dapat terjad putaran tungkai dengan gejala-gejala mendadak. 2.3.1.5 Kista endometroid Kista ini biasanya unilateral dengan permukaan licin pada dinding dalam satu lapisan sel-sel ang menyerupai lapisan epitel endometrium. 2.3.2



Kista ovarium non neoplastik



2.3.2.1 Ovarium polisistik (Stein-Leventhal Syndrome) Penyakit ovarium polisistik ditandai dengan pertumbuhan polisistik kedua ovarium, amnorea sekunder atau oligomenorea dan infertilitas. Sekitar 50% pasien mengalami hirsutiseme dan obesitas. Walaupun mengalami pembesaran ovarium, ovarium polisistik juga mengalami sklerotika yang menyebabkan permukaannya bewarna putih tanpa identasi seperti mutiara sehingga disebut juga sebagai ovarium kerang. Ditemukan banyak folikel berisis cairan di bawah fibrosa korteks yang mengalami penebalan. Teka interna terlihat kekuningan karena mengalami luteinisasi, sebagian stroma juga mengalami hal yang sama. 2.3.2.2 Kista folikuler Kista folikel merupakan kista yang paling sering ditemukan di ovarium dan biasanya sedikit lebih besar (3-8 cm) dari folikel pra ovulasi (2,5 cm). Kista ini terjadi karena kegagalan ovulasi (LH surge) dan kemudian cairan intrafolikel tidak diabsorpsi kembali. Pada beberapa keadaan, kegagalan ovulasi juga dapat terjadi secara artificial dimana gonatropin diberikan secara berlebihan untuk menginduksi ovulasi. Kista ini tidak menimbulkan gejala yang spesifik. Jarang sekali terjadi torsi, ruptur, atau perdarahan. 2.3.2.3 Kista korpus luteum Kista korpus luteum terjadi akibat pertumbuhan lanjut korpus luteum atau perdarahan yang mengisi rongga yang terjadi setelah ovulasi. Terdapat 2 jenis kista lutein, yaitu kista granulosa dan kista teka. 2.3.2.3.1



Kista granulosa lutein Kista granulosa merupakan pembesaran non-neoplastik ovarium.



Setelah ovulasi, dinding sel garnulosa mengalami luteinisasi. Pada tahap berikutnya vaskularisasi baru, darah terkumpul di tengah rongga membentuk korpus hemoragikum. Reabsorpsi darah ini menyebabkan terbentuknya kista korpus luteum. Kista lutein yang persisten dapat menimbulkan nyeri lokal dan tegang dinding perut yang juga disertai amenorea atau menstruasi terlambat yang menyerupai gambaran kehamilan ektopik. Kista lutein juga dapat menyebabkan torsi ovarium sehingga menimbulkan nyeri hebat atau perdarahan. 2.3.2.3.2 Kista theka lutein Biasanya bersifat bilateral dan berisi cairan jernih kekuningan. Kista sering kali bersamaan dengan ovarium polisistilk, mola hodatidosa, koro karsinoma, terapi hCG dan klomifen sitrat. Tidak banyak keluhan yang ditimbulkan oleh kista ini. Pada umunya tidak diperlukan tindakan pembedahan untuk menangani kista ini karena kista dapat menghilang secara spontan setelah evakuasi mola, terapi korio karsinoma, dan penghentian stimulasi ovulasi dengan klomifen. Walaupun demikian, apabila terjadi ruptur kista dan terjadi perdarahan ke dalam rongga peritoneum maka diperlukan tindakan laparatomi untuk menyelamatkan penderita. 2.3.2.4



Kista inklusi germinal Terjadi karena invagimasi dan isolasi bagian-bagian kecil dari epitel



germinativum pada permukaan ovarium. Tumor ini lebih banyak pada wanita yang lanjut umurnya dan besarnya jarang melebihi diameter 1 cm. Kista biasanya ditemukan pada pemeriksaan histologik ovarium yang diangkat waktu operasi. Kista terletak dibawah permukaan ovarium, dindingnya terdiri atad satu lapisan epitel kubik dan isinya jernih dan serus. 2.4 Patofisiologi Perkembangan ovarium setelah lahir didapatkan kurang lebih sebanyak 1.000.000 sel germinal yang akan menjadi folikel, dan sampai pada umur satu tahun ovarium berisi folikel kistikdalam berbagai ukuran yang dirasngsang oleh peningkatan gonadotropin secara mendadak, bersamaan dengan lepasnya steroid fetoplasental yang merupakan umpan balik negative pada hipotalamus- pituitari neonatal. Pada awal pubertas sel germinal berkurang menjadi 300.000 sampai 500.000 unit dari selama 35-40 tahun dalam masa kehidupan reproduksi, 400-



500 mengalamai proses ovulasi, folikel primer akan menipis sehingga pada saat menopause tinggal beberapa ratus sel germinal.pada rentang 10-15 tahun sebelum menopause terjadi peningkatan hilangnya folikel berhubungan dengan peningkatan FSH. Peningkatan hilangnya folikel kemungkinan disebabkan peningkatan stimulasi FSH. Pada masa reproduksi akan terjadi maturasi folikel yang khas termasuk ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Proses ini terjadi akibat interaksi hipotalamus-hipofisis-gonad di mana melibatkan folikel dan korpus luteum, hormone steroid, gonadotropin hipofisis dan faktor autokrin atau parakrin bersatu untuk menimbulkan ovulasi. Kista ovarium yang berasal dari proses ovulasi normal disebut kista fungsional jinak. Kista dapat berupa folikular dan luteal. Kista ini terjadi karena kegagalan ovulasi (LH surge) dan kemudian cairan intrafolikel tidak diabsorpsi kembali. Pada beberapa keadaan, kegagalan ovulasi juga dapat terjadi secara artificial dimana gonatropin diberikan secara berlebihan



untuk



menginduksi



ovulasi.



Hipotalamus



menghasilkan



gonadotrophin releasing hormone (GnRH), yang disekresi secara pulpasi dalam rentang kritis. Kemudian GnRH memacu hipofisis untuk menghasilkan gonadotropin (FSH dan LH) yang disekresi secara pulpasi juga. Segera setelah menopause tidak ada folikel ovarium yang tersisa. Terjadi peningkatan FSH 1020 kali lipat dan peningkatan LH sekitar 3 kali lipat dan kadar maksimal dicapai 1-3 tahun pasca menopause, selanjutnya terjadi penurunan yang bertahap walaupun sedikit pada kedua gonadotropin tersebut. Peningkatan kadar FSH dan LH pada saat kehidupan merupakan bukti pasti terjadi kegagalan ovarium (Prawirohardjo,2011). Ukuran kista ovarium bervariasi, misalnya kista korpus luteum yang berukuran sekitar 2 cm-6 cm, dalam keadaan normal lambat laun akan mengecil dan menjadi korpus albikans. Kadang-kadang korpus luteum akan mempertahankan diri, perdarahan yang sering terjadi di dalamnya menyebabkan terjadinya kista, berisi cairan bewarna merah coklat tua karena darah tua. Korpus luteum dapat menimbulkan gangguan haid, berupa amnorea diikuti perdarahan tidak teratur. Adanya kista dapat pula menyebabkan rasa berat di perut bagian bawah dan perdarahan berulang dalam kista dapat menyebabkan ruptur (Wiknjosastro, 2008).



2.5 Manifestasi klinis Menurut Nugroho (2012), tanda dan gejala kista ovarium antara lain: 2.5.1 Sering tanpa gejala. 2.5.2 Nyeri saat menstruasi. 2.5.3 Nyeri pada perut bagian bawah. 2.5.4 Nyeri saat berhubungan badan. 2.5.5 Nyeri pada punggung terkadang menjalar sampai kaki. 2.5.6 Terkadang disertai nyeri saat buang air kecil. 2.5.7 Siklus menstruasi tidak teratur, bisa juga jumlah darah yang keluar banyak.



7. Respon tubuh terhadap fisiologis Respon tubuh terhadap perubahan fisiologi menurut Wiknjosastro (2008) adalah sebagai berikut: a. Sistem gastrointestinal Tumor di dalam abdomen bagian bawah dapat menyebabkan pembengkakan perut. Apabila tumor menekan kandung kemih dapat menimbulkan gangguan miksi. b. Sistem pencernaan Kista yang besar akan menekan organ disekitarnya seperti lambung. Penekan pada lambung dapat mengakibatkan mual muntah serta kehilangan nafsu makan. c. Sistem pernafasan Akibat dari pertumbuhan tumor yang membesar mengakibatkan paruparu menjadi terdesak sehingga sirkulasi oksigen terganggu maka timbul rasa sesak. d. Sistem reproduksi Sel telur yang gagal berovulasi mengakibatkan produksi hormon meningkat, pertumbuhan folikel menjadi tidak teratur, kegagalan sel telur menjadi matang menimbulkan kista ovarium. Akibat dari komplikasi kista, terjadi perdarahan ke dalam kista dan menimbulkan gejala yang minimal. Akan tetapi saat terjadi perdarahan sekonyong-konyong dalam jumlah yang banyak akan terjadi distensi cepat dari kista yang menimbulkan nyeri perut mendadak. e. Sistem kardiovaskuler Putaran tungkai pada kista ovarium dapat menyebabkan gangguan sirkulasi meskipun jarang bersifat total. Adanya putaran tungkai menimbulkan tarikan ligamentum infundibulopelvikum terhadap



peritoneum parietale yang akan menimbulkan rasa sakit. Karena vena lebih mudah tertekan, terjadilah pembendungan darah dalam tumor dengan akibat dari pembesaran terjadi perdarahan didalamnya. 8. Pemeriksaan penunjang Menurut



(Wiknjosastro,2008)



dan



(Nugroho,2012),



pemeriksaan



penunjang yang perlu dilakukan sebagai berikut: a. Laparaskopi Kaji ada lesi, kebersihan mulut, warna bibir, mukosa bibir 6) Leher Kaji adanya pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran vena jugularis 7) Thorak Tidak ada pergerakan otot diafragma, gerakan dada simetris 8) Paru-paru Biasanya pasien merasakan sesak karena kista menekan organ disekitarnya 9) Jantung (a) Inspeksi ictus cordis tidak terlihat (b) Palpasi Ictus cordis teraba (c) Perkusi Pekak (d) Auskultasi Bunyi jantung S1 dan S2 normal 10) Payudara/mamae Simetris kiri dan kanan, areola mamae hiperpigmentasi, papilla mamae menonjol, dan tidak ada pembengkakan 11) Abdomen (a) Inspeksi



Biasanya perut tampak membuncit (b) Palpasi Terdapat nyeri tekan pada abdomen, teraba masa pada abdomen (c) Perkusi Biasanya redup (d) Auskultasi Bising usus normal 12) Genitalia Biasanya siklus menstruasi tidak teratur, nyeri yang berlangsung lama saat menstruasi (Nugroho,2012) 13) Ekstermitas Biasanya tekanan pada tumor dapat menyebabkan edema pada tungkai 14) Pemeriksaan penunjang (a) Hasil USG abdomen untuk menentukan sifat-sifat kista (b) Hasil laparaskopi,



untuk



mengetahui



asal



tumor



dan



untuk menentukan sifat-sifat tumor. (c) Hasil pemeriksaan darah untuk mengetahui penurunan atau peningkatan hemoglobin, leukosit, eritrosit. 2.2 Tindakan Laparoskopi Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga memberikan



akses



endoskopi



ke



dalam



rongga



peritoneum



tersebut.Teknik laparoskopi atau pembedahan minimally invasive diperkirakan menjadi trend bedah masa depan. Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS



Husada



Jakarta.



Ahmadsyah dari



RS



Selang Cipto



setahun



kemudian,



Dr



Ibrahim



Mangunkusumo melakukan



operasi



laparoskopi pengangkatan batu dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy)



yang



pertama.



Sejak



1997, Laparoscopic



Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. Beberapa keuntungan dari tindakan laparascopy ini antara lain : 1) Nyeri pasca bedah jauh lebih ringan 2) Membantu menegakkan diagnosa lebih akurat 3) Proses pemulihan lebih cepat 4) Rawat inap lebih singkat 5) Luka bekas operasi lebih kecil Posisi pasien operasi Laparascopy Chole adalah pasien tidur terlentang dalam posisi anti trendelenburg, miring kekiri 30°



kearah operator,



operator berada disebelah kiri pasien, asisten dan instrumen sebelah kanan pasien



2.2.1 Teknik Penyimpanan Instrumen Laparascopy Instrumen- instrumen laparascopy idealnya disimpan dalam almari kaca disertai dengan penghangat sebesar 45 watt. Teknik Mensterilkan



Alat medis harus didekontaminasi secara menyeluruh sebelum digunakan, termasuk instrumen laparascopy. Bahan untuk mensterilkan harus mendapatkan kontak dengan permukaan alat agar proses sterilisasi pada objek tersebut dapat terjadi. Ada 2 macam sterilisasi yang dapat digunakan, yaitu : 1. Sterilisasi Suhu Tinggi Teknik sterilisasi suhu tinggi menggunakan uap air sebagai medianya, dengan mekanisme koagulasi sel protein. Suhu yang digunakan antara 1100 – 1340 C. Tetapi, tidak semua instrumen dapat disterilkan dengan suhu tinggi, contohnya : instrumen yang terbuat dari kaca/lensa, karet, atau plastik Keuntungannya : -



Tidak beracun



-



Ramah lingkungan



-



Waktu pemrosesan yang cepat



-



Ekonomis



-



Efektif untuk alat-alat logam dan tenun



Mesin Autoclave



2. Sterilisasi Suhu Rendah Teknik sterilisasi suhu rendah digunakan untuk memproses



instrumen yang tidak tahan panas. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan mesin Sterrad / Plasma (hydrogen Peroxide), mesin EO gas / ethylene oxide (EtO), atau menggunakan cairan cidex / Glutaraldehyde (Desinfektan Tingkat Tinggi). Sterilisasi dengan menggunakan mesin Sterrad / Plasma (hydrogen Peroxide) membutuhkan waktu selama 45 menit. Sebelumnya, instrumen dikemas dalam kantong medipac.



Sterilisasi dengan mesin EO gas / ethylene oxide (EtO) hanya dapat diterapkan pada instrumen fiber optic, alat-alat anestesi, alat-alat respirator, dan alat-alat implant. Waktu yang dibutuhkan adalah 3,5 jam.



Sterilisasi dengan menggunakan cairan cidex / Glutaraldehyde (Desinfektan Tingkat Tinggi) digunakan untuk mensterilkan alat-alat laparascopy. Dilakukan dengan merendam instrumen dalam campuran 16 cc cidex dan 4 liter steril water selama 30 menit. Selama proses merendam, pastikan semua bagian instrumen terendam, atur posisi agar tidak saling silang, untuk kabel sebaiknya direndam dalam posisi melingkar. Selanjutnya, tutup bak perendaman, agar tidak terjadi penguapan konsentrat cidex. Setelah perendaman selesai, bilas dengan steril water, kemudian keringkan dengan lap kain steril.



Teknik Pencucian Instrumen habis pakai dibersihkan dari kotoran dan darah. Kemudian dilepas perbagian dengan hati-hati dan direndam dalam cairan cidex.



A. Proses Keperawatan 1.



Pengakajian a. Pengkajian fase Pre Operatif 1) Pengkajian Psikologispasienmeliputi perasaan takut / cemas dan keadaan emosi pasien 2) Pengkajian Fisik pasien pengkajian tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu. 3) Sistem integumen pasien apakah pasien pucat, sianosis dan adakah penyakit kulit di area badan. 4) Sistem Kardiovaskuler pasien apakah ada gangguan pada sisitem cardio, validasi apakah pasien menderita penyakit jantung ?, kebiasaan minum obat jantung sebelum operasi., Kebiasaan merokok, minum alcohol, Oedema, Irama dan frekuensi jantung. 5) Sistem pernafasan pasien apakah pasien bernafas teratur dan batuk secara tiba-tiba di kamar operasi. 6) Sistem gastrointestinal pasien apakah pasien diare ? 7) Sistem reproduksi pasien apakah pasien wanita mengalami menstruasi ? 8) Sistem saraf pasien bagaimana kesadaran ?



9) Validasi persiapan fisik pasien. Apakah pasien puasa, lavement, kapter, perhiasan, Make up, Scheren, pakaian pasien / perlengkapan operasi dan validasi apakah pasien alaergi terhadap obat ? b. Pengkajian fase Intra Operatif Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi pasien yang diberi anaesthesi total adalah yang bersifat fisik saja, sedangkan pada pasien yang diberi anaesthesi lokal ditambah dengan pengkajian psikososial. Secara garis besar yang perlu dikaji adalah : 1) Pengkajian mental pasienBila pasien diberi anaesthesi lokal dan pasien masih sadar atau terjaga maka sebaiknya perawat menjelaskan prosedur yang sedang dilakukan terhadapnya dan memberi dukungan agar pasien tidak cemas atau takut menghadapi prosedur tersebut. 2) Pengkajian



fisikpasienTanda-tanda



ketidaknormalan



maka



perawat



vital harus



(bila



terjadi



memberitahukan



ketidaknormalan tersebut kepada ahli bedah). 3) Transfusi dan infuse pasien. Monitor flabot sudah habis apa belum. 4) Pengeluaran urin pasien. Normalnya pasien akan mengeluarkan urin sebanyak 1 cc/kg BB/jam. c. Pengkajian fase Post Operatif 1) Status respirasi pasienMeliputi : kebersihan jalan nafas, kedalaman pernafasaan, kecepatan dan sifat pernafasan dan bunyi nafas. 2) Status sirkulatori pasienMeliputi : nadi, tekanan darah, suhu dan warna kulit. 3) Status neurologis pasien meliputi tingkat kesadaran. 4) Balutan pasien meliputi : balutan luka 5) Kenyamanan pasien Meliputi : terdapat nyeri, mual dan muntah 6) Keselamatan pasien meliputi : diperlukan penghalang samping tempat tidur, kabel panggil yang mudah dijangkau dan alat pemantau dipasang dan dapat berfungsi. 7) Perawatan pasien meliputi : cairan infus, kecepatan, jumlah cairan, kelancaran cairan.



8) Nyeri pasien meliputi : waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan faktor yang memperberat atau memperingan 2. NO. 1.



Asuhan Keperawatan Perioperatif NANDA Pre



NOC NIC Tujuan : cemas dapat Penurunan kecemasan



Operatif



terkontrol.



1.Bina hubungan saling



Cemas b.d Kriteria hasil :



percaya dengan klien /



krisis



1.Secara verbal dapat keluarga



situasional



mendemonstrasikan



Operasi



teknik



2.Kaji tingkat kecemasan



menurunkan klien.



cemas. 2.Mencari



·  3. Tenangkan klien dan informasi dengarkan keluhan klien



yang dapat menurunkan dengan atensi cemas



·  4.Jelaskan semua prosedur



3.Menggunakan teknik tindakan relaksasi



untuk setiap



menurunkan cemas 4.Menerima



kepada akan



klien



melakukan



tindakan



status ·  5. Dampingi klien dan



kesehatan.



ajak berkomunikasi yang terapeutik ·  6.



Berikan



pada



kesempatan



klien



untuk



mengungkapkan perasaannya. ·  7.Ajarkan teknik relaksasi ·  8.



Bantu



klien



mengungkapkan



untuk hal-hal



yang membuat cemas. 2.



Pre



Tujuan : bertambah-nya Pendidikan kesehatan :



Operatif



pengetahuan



Kurang



tentang penyakitnya.



Pengetahu



Pengetahuan:



pasien proses penyakit 1.Kaji tingkat pengetahuan



Proses klien.



an



b.d Penyakit



2.Jelaskan



proses



keterbatas



Kriteria hasil :



terjadinya penyakit, tanda



an



1. Pasien mampu men- gejala



informasi



jelaskan



penyebab, yang mungkin terjadi



tentang



komplikasi



dan



penyakit



pencegahannya



serta



komplikasi



cara ·  3. Berikan informasi pada keluarga



tentang



dan proses 2. Klien dan keluarga perkembangan klien. operasi



kooperatif



saat ·  4. Berikan informasi pada



dilakukan tindakan



klien dan keluarga tentang tindakan



yang



akan



dilakukan. 5.



Berikan



tentang



penjelasan pentingnya



ambulasi dini 6.



Jelaskan



komplikasi



kronik yang mungkin akan muncul 3.



Intra



Tujuan



Operatif



combustio



Resiko



diminimalisir



prosedur.



cedera



Ktriteria hasil :



2.memfiksasi arde secara



(combusti



tidak terjadi combustio.



adekuat



o



b.d



:



resiko 1.memasang dapat electrocoter



3.menggunakan



arde sesuai



power



pemajana



output sesuai kebutuhan



n



4.mengawasi



peralatan



pemakaian alat



selama



kesehatan (pemasang an



arde



electrocou 4.



ter) Post



Tujuan : kerusakan per- Pengelolaan jalan napas



Operatif



tukaran gas tidak terjadi



Gangguan



Status



pertukara



ventilasi



1.



Kaji



bunyi



paru,



Pernapasan: frekuensi nafas, kedalaman dan usaha nafas.



n gas b.d Kriteria hasil :



2. Auskultasi bunyi napas,



efek



tandai area penurunan atau



·  1.Dispnea tidak ada



samping 2.PaO2, PaCO2, pH arteri hilangnya



ventilasi



dan



dari



dan SaO2 dalam batas adanya bunyi tambahan



anaesthesi.



normal



3.Tidak



3.Pantau hasil gas darah ada



gelisah, dan kadar elektrolit



sianosis, dan keletihan ·   4.Pantau status mental ·  



Observasi



terhadap



sianosis,



terutama



membran mukosa mulut 5.Pantau status pernapasan dan oksigenasi ·  



6Jelaskan



penggunaan



alat bantu yang diperlukan (oksigen, pengisap,spirometer) 7.Ajarkan teknik bernapas dan relaksasi ·  



8.Laporkan



perubahan



sehubungan pengkajian



dengan data



(misal:



bunyi napas, pola napas, sputum,efek



dari



pengobatan) ·  9.Berikan 5.



:



oksigen



atau



sesuai dengan kebutuhan kerusakan Perawatan luka



Post



Tujuan



Operatif



integritas



Kerusaka



terjadi.



n



Penyembuhan



kulit



tidak ·  1.Ganti balutan plester dan debris Luka: ·  2. Catat karakteristik luka



integritas kulit luka



Tahap Pertama



bekas operasi



b.d Kriteria hasil :



·  3. Catat katakteristik dari



post ·  Kerusakan kulit tidak beberapa



operasi



ada



·  4.Bersihkan



luka



bekas



·  Eritema kulit tidak ada



operasi



·  Luka tidak ada pus



antibakteri yang cocok



· 



Suhu



tubuh



dengan



sabun



antara ·  5.Sediakan perawatan luka



36°C-37°C



bekas



operasi



sesuai



kebutuhan 6. Ajarkan pasien dan anggota 6.



keluarga



Post



prosedur perawatan luka Tujuan : Nyeri dapat Manajemen Nyeri :



Operatif



teratasi.



·  1.



Kaji



nyeri



Nyeri akut Kontrol Resiko



komprehensif



b.d proses Kriteria hasil :



karakteristik,



pembedah·      an



Klien



nyeri



melaporkan frekuensi,



berkurang



scala 2-3



secara



(



lokasi, durasi,



kualitas



dan



dg faktor presipitasi ). 2.Observasi  reaksi nyeri



·      Ekspresi wajah tenang dari ketidak nyamanan. ·      klien dapat istirahat 3.Gunakan dan tidur ·      v/s dbn



teknik



komunikasi untuk



terapeutik mengetahui



pengalaman nyeri klien 4.Kontrol



faktor



lingkungan



yang



mempengaruhi



nyeri



seperti



suhu



ruangan,



pencahayaan, kebisingan. 5.Pilih



dan



penanganan (farmakologis/non farmakologis).



lakukan nyeri



·  6.Ajarkan



teknik



farmakologis distraksi



non



(relaksasi, dll)



untuk



mengetasi nyeri. 7. Kolaborasi pemberian analgetik



untuk



mengurangi nyeri. 8.Evaluasi



tindakan



pengurang nyeri



3.



Implementasi Keperawatan



Setelah rencana tindakan keperawatan disusun secara sistemik. Selanjutnya rencana tindakan tersebut diharapkan dalam bentuk kegiatan yang nyata dan terpadu guna memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan yang diharapkan. 4.



Evaluasi



Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan (Diagnosa, tujuan intervensi) harus di evaluasi, dengan melibatkan



klien,



perawat dan anggota



tim



kesehatan lainnya dan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan tercapai atau tidak untuk melakukan pengkajian ulang jika tindakan belum berhasil. Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan berhasil atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapun alternatif tersebut adalah : tujuan tercapai, tujuan tercapai sebagian, tujuan tidak tercapai. S : Subjek yaitu data yang di dapatkan dari pasien mengenai apa yang di rasakan pasien. O : Objektif yaitu data yang di dapatkan baik dari hasil pengukuran vital sains maupun data yang tampak secara psikis dari pasien. A : Assignment yaitu keterangan mengenai tindakan keperawatan



berhasil tidaknya di lakukan pada pasien. P : Planning yaitu tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah pasien



DAFTAR PUSTAKA



Laurentius A. Lesmana. 2006. PenyakitBatuEmpedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi Ke-4.h481-483 Friedman LS. 2007. Liver, Biliary Tract,& Pancreas. In: LM Tierney, SJ McPhee, MA Papadakis (eds), Current Medical Diagnosis & Treatment, 46e. New York, McGraw-Hill R. Sjamsuhidayat. Wim de Jong. 2005. Saluran empedu dan hati. Dalam: R. Sjamsuhidayat, Wim de Jong, ed. Buku Ajar IlmuBedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. h. 561,570-73 Bland K. I, Beenken S.W, and Copeland E.E (from e-book).  2007. Gall Blader and ExtrahepaticBilliary System. In: Brunicardi F.C., Andersen D.K., Billiar T.R., Dunn D.L., Hunter J.L., Pollock R.E, ed. Schwartz’s Manual Surgery. Eight edition. United States of America: McGraw-Hill Books Company.