LP Status Epileptikus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN STATUS EPILEPTIKUS Departemen Keperawatan Anak IRNA IV Ruang 7A RS dr. Saiful Anwar Malang



Disusun oleh : Ardean Wahyu Nengtyas 201410461011021



PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2014



LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENDAHULUAN DEPARTEMEN KEPERAWATAN ANAK Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini dibuat dalam rangka PRAKTIK PROFESI Ners mahasiswa Program Pendidikan Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang di IRNA IV Ruang 7A RS dr. Saiful Anwar Malang mulai tanggal 22 Desember – 28 Desember 2014.



Malang,



Desember 2014



Nama Mahasiswa (Ners Muda)



Ardean Wahyu Nengtyas NIM.201410461011021



Mengetahui,



Pembimbing Institusi



(



Pembimbing Lahan (RS)



)



(



)



STATUS EPILEPTIKUS I.



DEFINISI Epilepsi adalah gangguan susunan saraf pusat (SSP) kronik dengan berbagai macam penyebab yang ditandai oleh terjadinya serangan kejang yang bersifat spontan dan berulang (Harsono, 2007). Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak akibat lepas muatan listrik neuron-neuron serebral secara berlebihan yang bersifat mendadak, sinkron, dan berirama. Status Epileptikus merupakan suatu rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara serangan. Status Epileptikus adalah keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit (Harsono, 2007).



II.



EPIDEMIOLOGI Data WHO menunjukkan bahwa terdapat 50 juta lebih penderita epilepsi di seluruh dunia, dimana 85% dari total penderita hidup di negara berkembang, salah satunya adalah di Indonesia. Penderita epilepsi selalu bertambah setiap tahunnya dan diperkirakan terjadi pertambahan 2,4 juta kasus setiap tahunnya. Setengah dari total kasus epilepsi telah diderita semenjak pasien masih anak-anak atau remaja (Valentina, 2007). Penelitian epidemiologi di Amerika Serikat melaporkan angka kejadian status epileptikus pada anak berkisar 17/100.000 hingga 23-58/100.000 anak per tahun. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak usia di bawah 1 tahun, yaitu 135,2 – 156 per 100.000 anak/tahun dengan angka mortalitas sekitar 22,5%. Di Indonesia kasus status epileptikus tidak diketahui secara pasti karena tidak terdapat data epidemiologi yang akurat, tetapi hingga saat ini diperkirakan terdapat 100/100.000 anak yang mengalami status epileptikus setiap tahunnya. Pendataan secara global ditemukan 3,5 juta kasus baru per tahun, diantaranya 40% adalah anak-anak, dewasa sekitar 40%, dan 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.



III.



ETIOLOGI Penyebab status epileptikus pada anak diantaranya adalah : 1. Infeksi serebral (meningitis bakteri, meningitis viral, dan ensefalitis). 2. Gangguan metabolik (hipoglikemi, hiperglikemi, hiponatremi, dan hipokalsemia) 3. Demam (sebagai respon terhadap infeksi akut).



4. Trauma lahir, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia dan asfiksia neonatorum) serta kerusakan karena tindakan. 5. Trauma kepala yang dapat menyebabkan kerusakan otak. 6. Tumor otak. 7. Kelainan kongenital otak. 8. Ketidakpatuhan minum obat anti epilepsi. 9. Intoksikasi obat-obatan / alkhohol. 10. Idiopatik. IV.



KLASIFIKASI Terdapat tiga tipe utama epilepsi, yaitu : 1. Tipe Umum a. Tonik-klonik Tipe tonik-klonik terjadi dengan karakteristik kekakuan pada otot, diikuti irama menyentak-nyentak pada badan dan ekstremitas, gerakan abnormal, nafas cepat, lidah tergigit, tekanan darah naik, kulit sianotik, nyeri kepala pasca serangan, dan amnesia parsial pasca serangan. Klien dengan segera mengalami penurunan kesadaran dan dapat mengalami inkontinensia urine atau feses atau terjadi liur berbusa. Terjadi pada usia 1 – 3 tahun, berlangsung sekitar 16 – 20 menit, dan bersifat idiopatik. Kejang ini disebut Grand mal. b. Absence Tipe absence terjadi dengan karakteristik jatuh mendadak (drop attack), badan dan ekstremitas berkejut-kejut, timbul spasme pada otot (fleksor, ekstensor, leher, dan punggung) pasca serangan, dan leher tertekuk ke depan pasca serangan. Klien kehilangan kesadaran secara singkat (datang dan menghilang secara mendadak dalam beberapa detik). Terjadi pada usia 24 – 26 tahun, berlangsung selama 5 – 6 menit, serangan melibatkan kedua hemisferium otak. Kejang ini disebut Ptit Mal. c. Mioklonik Tipe mioklonik terjadi dengan karakteristik kedutan fokal wajah, terjadi ptosis, terjadi sikap menyentak secara umum, kekakuan pada ekstremitas, tubuh bergetar pasca serangan, terdapat tekanan pada vesika urinaria (ngompol), dan terjadi pada saat tidur. Klien tidak mengalami penurunan kesadaran, terjadi pada usia 4 – 6 tahun, berlangsung sekitar 7 – 8 menit, dan serangan melibatkan kedua hemisferium otak. d. Atonik Tipe atonik terjadi dengan karakteristik tiba-tiba kehilangan tonus otot, pada banyak kasus klien sering terjatuh. 2. Tipe Kejang Sebagian (Parsial)



a. Komplek Pada tipe ini klien mengalami kehilangan kesadaran (Black out) dalam beberapa detik. Karakteristik tingkah laku yang diketahui sebagai automatism, seperti mengecap-ngecap bibir dan makanan. b. Sederhana Pada tipe ini bisa terjadi persepsi penciuman yang kurang menyenagkan, Jaksonian : Deretan kejang dari bagian tubuh ke bagian tubuh lain. 3. Tipe Idiopatik (tidak diklasifikasikan) Kejang terjadi tanpa diketahui sebab atau alasan. V.



MANIFESTASI KLINIS Pada status epileptikus manifestasi klinis dapat diikuti perkembangannya melalui stadium-stadium sebagai berikut : 1. Pre-status, adalah suatu fase sebelum status, yang ditandai dengan meningkatnya serangan-serangan kejang sebelum menjadi status. Penanganan yang tepat pada fase ini dapat mencegah terjadinya status epileptikus. 2. Early status, yaitu 30 menit pertama dimana aktivitas serangan konvulsif terusmenerus bersamaan dengan aktivitas serangan kejang elektrografik. Gangguan metabolik akibat status epileptikus merupakan mekanisme homeostasis. 3. Established status, yang berlangsung 30 – 60 menit dimana pada awalnya mekanisme homeostasis gagal melakukan kompensasi dan terjadilah perubahanperubahan dan gangguan sistemik pada fungsi vital tubuh. 4. Refracter status, jika kejang berlangsung lebih dari 60 menit, meskipun telah mendapatkan terapi adekuat dengan obat-obatan antikonvulsan lini pertama. 5. Substle status / Super Refrakter Status, akan muncul jika serangan terus berlangsung selama berjam-jam, ditandai dengan aktivitas motorik berkurang secara bertahap, penderita koma, dengan aktivitas motorik terbatas, dapat berupa gerakan-gerakan halus (twitching) sekitar mata dan mulut. Perubahan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan gambaran EEG menjadi flat diantara letupan-letupan epileptiform.



VI.



PATHWAY STATUS EPILEPTIKUS Demam, Infeksi Serebral, Trauma Kepala, Gangguan metabolik (hipoglikemi, hiperglikemi, hiponatremi, dan hipokalsemia), Ketidakpatuhan minum Obat Anti Epilepsi, Intoksikasi obat-obatan / alkhohol, dan Idiopatik. Trauma infeksi selaput otak berupa lesi



Produksi GABA menurun Kekurangan neuron tidak terkendali



Ketidakseimbangan ion



Disfungsi Na dan Ca berlebih KEJANG Depolarisasi membran STATUS EPILEPTIKUS Mempengaruhi Medulla oblongata



Kerusakan neurologi



Suplai O2 ke otak menurun Reflek kontrol respirasi terganggu



Gangguan Ventilasi



Ketidakefektifan Pola Nafas Hipersalivasi



Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas



Hipoksia otak



Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak



Muatan listrik lepas Kerusakan Lobus temporal



Spasme otot



Kehilangan kontrol bladder



Rahang mengatup kuat Penurunan fungsi sensorik, Kontraksi otot motorik / otonom berulang / tunggal



Resiko Tinggi Kejang Berulang



Terjadi secara mendadak dan singkat, tanpa kehilangan kesadaran



Sentakan terjadi pada tubuh atau ekstremitas



Resiko Cidera



Mengompol Lidah tergigit / jatuh



Intake inadekuat



Ketidakseimbangan Nutrisi : Kurang dari Kebutuhan Tubuh



Inkontinensia Urine Refleks



VII.



PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan status epileptikus mencakup terminasi bangkitan sesegera mungkin, perlindungan jalan nafas, pencegahan aspirasi, penanganan faktor presipitasi yang potensial, penanganan komplikasi, pencegahan serangan berulang, dan penanganan penyakit yang mendasari. Penanganan dibagi dalam dua tahap, yaitu penanganan di luar rumah sakit dan di dalam rumah sakit. Penanganan dalam rumah sakit adalah bantuan hidup dasar (0 – 10 menit) dan terapi farmakologik (10 – 60 menit). Obat-obatan yang digunakan diantaranya adalah obat anti spasme: Diazepam, Lorazepam, Midazolam, Propofol, Phenobarbital, Phenytoin, Asam Valproate, dan lain-lain. Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus Stadium Stadium I (0 – 10 menit)



Penatalaksanaan - Memperbaiki fungsi kardiorespirasi. - Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, dan lakukan resusitasi.



Stadium II (1 – 60 menit)



- Lakukan anamnesa dan pemeriksaan neurologis. -



Stadium III (0 – 60 / 90 menit) Stadium IV (30 – 90 menit) -



Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu. EKG. Pemasangan infus. Pemberian obat anti epilepsi emergensi : diazepam 0,3 – 0,5 mg/ kgBB. Menangani asidosis. Menentukan etiologi. Bila kejang berlangsung terus selama 30 menit setelah pemberian diazepam pertama, beri Phenytoin. Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan. Mengkoreksi komplikasi. Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30 - 60 menit, transfer pasien ke ICU



Algoritme Terapi Status Epileptikus 5 menit Kejang 10 - 20 menit



Kejang (+) : Obat Anti Spasme: Diazepam 0, 3 0,5 mg/ kg BB Per Rektal atau Midazolam 0,5 mg /kgBB Buccal Pencarian akses vena dan Pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, gula darah, elektrolit, fungsi ginjal)



Di luar Rumah Sakit Di Rumah Sakit



Kejang (+) : Obat Anti Spasme : Diazepam IV 0,3 – 0,5 mg/ kgBB Kecepatan 0,5 – 1 mg/kgBB/menit selama 3 – 5 menit, hati-hati depresi pernapasan Kejang (-) Kejang (+)  Bila disebabkan ensefalitis / meningitis,  Obat Anti Spasme: Phenitoin 10 – 20 terapi rumatan perlu dilanjutkan dengan mg/ kgBB. Phenobarbital 8 – 10 mg/ kgBB/ hari  Kecepatan 0,5 – 1 mg/menit. selama 2 hari, kemudian dilanjutkan dengan 4 – 5 mg/ kgBB/ hari sampai resiko untuk kejang berulang tidak ada.  Bila epilepsi, lanjutkan obat anti epilepsi Kejang (+) dengan menaikkan dosis.  Transfer ke ruangan perawatan intensif.  Phenobarbital 5 – 15 mg/ kgBB/ hari bolus IV dilanjutkan dosis 1 – 6 mg/ kgBB/ menit drip atau midazolam 0,2 mg/ kgBB dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 mg/ kgBB/ jam.



Penanganan pada pasien Status Epileptikus setelah diberikan obat-obatan



dilakukan beberapa pemeriksaan, diantaranya adalah : a. Pemeriksaan Laboratorium : Darah lengkap dan kimia klinik b. CT-Scan CT Scan digunakan untuk mendeteksi adanya lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskular abnormal, dan perubahan degenerative serebral. c. Elektro Ensefalo Grafi (EEG) Elektro Ensefalo Grafi (EEG) sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area tertentu pada otak. Pemeriksaan EEG telah direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada pasien dengan status epileptikus. d. Lumbal Punksi Proses inflamasi maupun infeksi dapat menyebabkan kejang melalui mekanisme perangsangan langsung pada susunan saraf pusat, seperti pada meningitis dan ensefalitis. Sampai saat ini pemeriksaan lumbal punksi tidak rutin dilakukan pada status epileptikus, kecuali direkomendasikan hanya pada pasien status epileptikus yang memiliki manifestasi klinis infeksi SSP. VIII. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi pada status epileptikus diantaranya adalah : 1. Kerusakan otak akibat hipoksia dan peningkatan tekanan intra kranial. 2. Edema otak. 3. Trombosis arteri dan vena otak. 4. Retardasi mental akibat kejang yang berulang. 5. Gagal ginjal akut : myoglobinuria, rhabdominalis. 6. Gagal nafas : apnea, pneumonia, hipoksia. 7. Pelepasan katekolamin : hipertensi, edema paru, hipertermi, arimia, glikosuria, dilatasi pupil, hipersekresi, hiperpireksi. 8. Jantung : hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme.



9. Metabolik dan sistemik : dehidrasi, asidosis, hipoglikemia, kegagalan multi organ. 10. Idiopatik : fraktur, tromboplebitis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). IX.



PEMERIKSAAN 1. Anamnesis - Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik, klonik, tonik-klonik). - Tingkat kesadaran diantara kejang. - Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga. - Adanya demam dan trauma kepala. - Riwayat persalinan dan tumbuh kembang. - Riwayat penyakit yang sedang diderita / Riwayat penyakit dahulu. 2. Pemeriksaan Fisik Pada pengkajian fisik secara umum sering didapatkan pada awal pasca kejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada kondisi yang lebih berat -



sering dijumpai adanya penurunan kesadaran. B1 (BREATHING) Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada



-



klien epilepsi disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. B2 (BLOOD) Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien



-



epilepsi tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok. B3 (BRAIN) Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya. Tingkat Kesadaran Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Fungsi Serebral Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien, gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien epilepsi tahap lanjut biasanya mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi. Pemeriksaan Saraf Kranial Saraf I. Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan fungsi penciuman. Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Saraf III, IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien epilepsi mengeluh mengalami fotofobia (sensitif berlebihan pada cahaya).



Saraf V. Pada klien epilepsi umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal. Pemeriksaan Refleks Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respon normal.



Gerakan Involunter Tidak ditemukan adanya tremor, TIC, dan distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, pada anak dengan epilepsi disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan epilepsi. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka. -



B4 (BLADDER) Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan



-



penurunan curah jantung ke ginjal. B5 (BOWEL) Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun karena anoreksia dan



-



adanya kejang. B6 (BONE) Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada epilepsi tahap lanjut mengalami perubahan. Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri.



X.



DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas berhubungan dengan Peningkatan Sekresi Saliva. 2. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan Gangguan Neurologis.



3. 4. 5. 6.



Resiko Cidera dengan faktor resiko Kejang yang Berulang. Inkontinensia Urine Refleks berhubungan dengan Gangguan Neurologis. Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak dengan faktor resiko Hipoksia Otak. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan



Intake Nutrisi Inadekuat. 7. Resiko Tinggi Kejang Berulang berhubungan dengan Kerusakan Lobus Temporal.



XI.



RENCANA KEPERAWATAN



No. Dignosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan



NOC Setelah dilakukan tindakan



NIC Pantau Pernapasan:



Bersihan Jalan Nafas



keperawatan selama 2x24 jam



1. Monitor kecepatan, irama, keda-



berhubungan dengan



jalan nafas paten, dengan



Peningkatan Sekresi



indikator :



laman, dan upaya pernapasan. 2. Perhatikan gerakan dada, peng-



Saliva.



1. Jalan napas paten (5) 2. Pernapasan normal (5) 3. Tidak ada suara napas tambahan (5) 4. Tidak terjadi aspirasi (5) 5. Pasien dapat batuk efektif (5)



gunaan otot aksesori, dan supraklavikula dan retraksi otot interkostal. 3. Monitor ventilasi. 4. Auskultasi suara pada daerah tertentu. 5. Monitor sistem respirasi dan sekret. 6. Buka jalan nafas dengan menggunakan teknik chin lift. 7. Tingkatkan terapi respirasi



2.



Resiko cedera dengan



Setelah dilakukan tindakan



(Nebulizer). Manajemen Lingkungan



faktor resiko Kejang



keperawatan selama1x24 jam



1. Sediakan lingkungan yang aman



yang berulang.



resiko cedera pada pasien



bagi pasien. 2. Identifikasi keamanan lingku-



dapat diminimalkan dengan indikator: 1. Mengindari cedera fisik (5) 2. Keluarga mampu mempersiapkan lingkunagn yang aman (5) 3. Mampu mengidentifikasi



ngan (misal: fisik, biologi, dan kimia). 3. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu



resiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cedera (5)



pasien. 4. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan). 5. Memasang side rail tempat tidur. 6. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien. 7. Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan. 8. Berikan penjelasan pada pasien atau pengunjung adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit. 9. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam menciptakan lingkungan yang aman



XII.



DAFTAR PUSTAKA Harsono. 2007. Epilepsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.



Judha, Muhamad dan Nazwar. 2011. Sistem Persarafan dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Gosyen Publishing.



Widagdo, W., Toto, Suharyanto, dan Ratna, A. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: TIM.



Purba, Jan Sudir. 2008. Epilepsi: Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter. Medicines, Vol 21.



Octaviana, Fitri. 2008. Epilepsi: Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter. Medicines, Vol 21.



Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Christian M. Korff Douglas R. Nordli Jr. Current Pediatric Therapy, 18th ed. In: Burg DF, editor. Status Epilepticus. USA: Saunders; 2006. Lazuardi S. Buku Ajar. Neurologi Anak. Dalam: editor Soetomenggolo T, Ismael S. Pengobatan Epilepsi. Jakarta: BP IDAI; 2012.pp 237-38 Hassan R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Epilepsi. Jakarta: FKUI;2013.pp 855-59. Lee J, et al. Guideline for the management of convulsive status epilepticus in infants and children. Issue: BCMJ, Vol. 53, No. 6, July, August 2011, page(s) 279285 Gretchen MB, et al. Guidelines for the Evaluation and Management of Status Epilepticus. Neurocrit Care 2012 DOI 10.1007/s12028-012-9695-z