LP Trauma Abdomen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPERAWATAN INTENSIF LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA ABDOMEN DI RUANG ICU TIMUR RSUP SANGLAH DENPASAR



OLEH : NI MADE KRISNA DEWI WIDYA PERMATA ADI NIM. 1902621020



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2019



A. KONSEP DASAR PENYAKIT



1. DEFINISI Trauma adalah suatu keadaan yang menyebabkan kerusakan tubuh atau organ tubuh yang faktor penyebabnya berasal dari luar tubuh. Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ. (Ignativicus & Workman, 2006). Sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma abdomen adalah terjadinya kerusakan pada organ abdomen yang diakibatkan oleh trauma tumpul ataupun menusuk yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme, perubahan fisiologis, dan psikologis. 2. EPIDEMIOLOGI Trauma adalah penyebab kematian ketiga di Amerika serikat setelah aterosklerosis dan kanker. Trauma abdomen menduduki peringkat ketiga dari seluruh kejadian trauma dan sekitar 25% dari kasus memerlukan tindakan operasi (Hemmila & Wahl, 2010). Di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar 8,2%, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4 persen) dan terendah di Papua (19,4%) (Riskesdas 2013). 3. ETIOLOGI Penyebab trauma abdomen berdasarkan klasifikasinya: 1) Penyebab trauma tumpul abdomen: a. Terkena kompresi setir mobil atau tekanan dari luar tubuh b. Hancur (tertabrak mobil) c. Terjepit sabuk pengaman karena terlalu menekan perut d. Cidera akselerasi / deselerasi karena kecelakaan olahraga Pasien dengan trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cedera yang tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi. Insiden komplikasi berkaitan dengan trauma



yang penanganannya terlambat lebih besar dari insiden yang berhubungan dari luka tusuk, khususnya cedera tumpul yang mengenai hati, limpa, ginjal, atau pembuluh darah (Legome, 2019) 2) Penyebab trauma tembus abdomen (Offner, 2017): a. Luka akibat terkena tembakan senapan sebesar 64% b. Luka akibat tusukan sebesar 31% c. Luka akibat terkena tembakan pistol sebesar 5%



4. PATOFISIOLOGI Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (63%), kecelakaan kerja (terjatuh) (43%), olahraga (11%), kecelakaan pada pejalan kaki (4%), dan perkelahian (Kitrey & Erlich, 2018; Herlina, 2014). Beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal pada trauma tumpul yang disebabkan beberapa mekanisme (Weledji & Tambe, 2018) :  Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.  Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.  Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.



Konsekuensi utama pada trauma abdomen adalah perdarahan dan sepsis, dari mekanisme tersebut kematian biasanya disebabkan oleh perdarahan yang tidak terdeteksi di organ intraperitoneal. Sementara itu trauma penetrasi yang disebabkan oleh tusukan benda tajam atau peluru juga dapat menyebabkan perdarahan dan umumnya penyebab kematian pasien adalah sepsis yang erjadi 48 jam setelah trauma terjadi (Weledji & Tambe, 2018). Senjata berkecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang lebih besar karena peluru mengirimkan sejumlah besar energi ke jaringan. Mereka membentuk kavitasi ekspansif sementara yang kemudian hancur dan menciptakan gaya geser dan kerusakan di area yang jauh lebih besar daripada saluran proyektil itu sendiri. Pembentukan rongga dapat memutuskan jaringan, merupturkan pembuluh darah dan saraf serta mungkin mematahkan tulang jauh dari jalur peluru. Dalam kecepatan yang lebih rendah, cedera biasanya terbatas pada jalur proyektil (Kitrey & Erlich, 2018). 5. KLASIFIKASI Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu (Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2014). : a. Trauma tumpul (blunt injury) Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir). Pemakaian airbag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal. b. Trauma tajam (penetration injury) Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan



menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).



Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen dan trauma pada isi abdomen (Wulandari, 2007). a. Trauma pada dinding abdomen Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi. 1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor. 2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di eksplorasi atau terjadi karena trauma penetrasi. b. Trauma pada isi abdomen Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, terdiri dari: 1) Perforasi organ viseral intraperitoneum Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen. 2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah. 3) Cedera thorak abdomen Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus dieksplorasi



6. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis dari adanya trauma abdomen menunjukkan manifestasi adalah sebagai berikut (Guldner & Magee, 2019; Rosen, Legome, & Wolfe, 2013; Aitken, Marshall, & Chaboyer, 2019).:



1)



Nyeri pada daerah abdomen



2)



Ekimosis



3)



Hematemesis



4)



Hipotensi



5)



Pasien dalam kondisi syok mengalami takikardia



6)



Tanda Kehrs adalah nyeri di pundak sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.



7)



Tanda Cullen adalah ekimosis periumbilikal pada perdarahan intrabdomen atau perdarahan retroperitoneal



8)



Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada perdarahan retroperitoneal



9)



Tanda seat belt yaitu adanya eritema, ekimosis, atau abrasi sesuai pola sabuk pengaman yang dihubungkan dengan cedera intraperitoneal



10) Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum, skrotum atau labia pada fraktur pelvis atau cedera organ pelvis 11) Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe



7. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang terkena trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil analisis riwayat trauma. Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif ataupun negatif didokumentasi dengan baik pada status. (American College of Surgeons, 2018) Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan kesulitan pada pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat menghilangkan gejala-gejala perut. a) Inspeksi Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada dinding perut dapat menolong ke arah kemungkinan adanya trauma abdomen. Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi ataupun memar karena alat pengaman, adakah laserasi, liang tusukan, benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian usus yang keluar, dan status kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.



b) Auskultasi Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang penting adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi perut yang keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus. Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan. Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan untuk tindakan selanjutnya.3 Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus tidak diagnostik untuk trauma intraabdominal. c) Perkusi Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum. Adanya darah dalam rongga perut dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang. d) Palpasi Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh pasien) mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang bermakna. Sebaliknya, kekakuan perut yang involunter merupakan tanda yang bermakna untuk rangsang peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang menekan kita lepaskan dengan cepat menunjukkan peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi usus, maupun hemoperitoneum tahap awal. e) Evaluasi luka tusuk Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi eksplorasi karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Luka tembak yang tangensial sering tidak betul-betul tangensial, dan trauma akibat ledakan bisa mengakibatkan cedera intraperitoneal walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka tusukan pisau biasanya ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami cedera intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk dengan hemodinamik yang tidak stabil harus di laparotomi segera.



Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnya superfisial dan nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah yang berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka terlebih dahulu untuk menentukan kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka sejenis diatas iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk pasien dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33% luka tusuk di abdomen anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada pasien seperti ini menjadi kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi lokal disuntikkan dan jalur luka diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila terbukti peritoneum tembus, pasien mengaiami risiko lebih besar untuk cedera intraabdominal, dan banyak ahli bedah menganggap ini sudah indikasi untuk melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang sulit kita eksplorasi secara lokal karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena perdarahan jaringan lunak yang mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk evaluasi ulang ataupun kalau perlu untuk laparotomi.



8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Beberapa jenis pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada trauma abdomen yaitu : 1. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) DPL adalah pemeriksaan diagnostik yang bertujuan untuk mendeteksi adanya perdarahan di rongga abdomen setelah terjadinya trauma tumpul atau trauma penetrasi. DPL dapat digunakan pada pasien trauma dengan hemodinamik tidak stabil dan dapat mengkonfirmasi dengan cepat ada atau tidaknya perdarahan intraperitoneal. Dengan demikian, pasien dengan cedera kepala tertutup, pasien tidak stabil yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, atau pasien dengan fraktur panggul dan potensi perdarahan retroperitoneal dapat dengan tepat diprioritaskan ke laparotomi darurat. Dalam evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen atau luka tusukan abdominal anterior, DPL memberikan manfaat sebagai berikut: 



Penentuan cepat ada atau tidaknya hemoperitoneum







Deteksi cedera intraperitoneal yang membutuhkan laparotomi pada pasien stabil







Triase cepat ketika sumber ketidakstabilan hemodinamik tidak diketahui



Salah satu kontraindikasi absolut untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas dilakukan laparatomi. Kontraindikasi relatif antara lain adanya pernah operasi abdomen sebelumnya, infeksi dinding abdomen, adanya koagulopati sebelumnya, dan kehamilan trimester dua atau tiga. Tindakan DPL dilakukan dalam dua tahap, yaitu 



Aspirasi darah segar dari intraperitoneal, jika darah yang diaspirasi mencapai 10 ml atau lebih. Hentikan tindakan karena terdapat trauma intraperitoneal







Bila jumlah darah < 10 ml atau tidak ada darah segar dilakukan lavase dengan cairan Ringer Laktat atau normal salin (Jagminas, 2019)



Menurut American College of Surgeons, (2018), test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+) untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm3 atau lebih. 2. FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma) Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Ultrasound memliki sensifitas dan ketajaman untuk mendeteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT Scan abdomen. Ultrasound memberikan cara yang tepat, noninvansif, akurat, murah untuk mendeteksi hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL (American College of Surgeons, 2018). 3. Computed Tomography (CT) Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL (American College of Surgeons, 2018).



Pemeriksaan Radiologi 1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis



AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal 2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilikus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur. 3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus a) Urethrografi Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan urethrografi sebelum pemasangan kateter urin bila kita curigai adanya ruptur uretra. Pemeriksaan urethrografi digunakan dengan memakai kateter no. 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada pelvis. b) Sistografi Ruptur buli-buli intra ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan sistografi. Dipasang kateter uretra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam buli-buli atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya (American College of Surgeons, 2018)



c) CT Scan/IVP Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu sisi nonvisualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik putusnya arteri renalis, ataupun parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki. d) Gastrointestinal Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum,



colon



ascendens,



colon



descendens)



tidak



akan



menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus dilakukan (American College of Surgeons, 2018)



Pemeriksaan Laboratorium 



Serum amilase untuk monitor adanya trauma pankreas, peningkatan serum amilase menunjukkan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma terjadi pada hati







Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin (Hb), hematokrit (Hct) dan platelet (PLT). Hb dan Hct yang cenderung menurun saat diperiksa lebih dari satu kali, menandakan kemungkinan adanya



proses perdarahan didalam perut yang sedang berlangsung. Tanda ini sebagai faktor prediktif terjadinya cedera intraabdomen sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang lainya. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak terutama pada cedera lien 



Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya disfungsi ginjal.







Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.







Analisa gas darah, yang mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.







Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT, untuk menilai adanya koagulopati







Pemeriksaan transaminase (aspartate aminotransferase atau alanine aminotransferase) untuk menilai kemungkinan cedera hati (Vlies et al., 2011).



9. PENATALAKSANAAN Menurut Azlina (2013) penatalaksanaan medis trauma abdomen yaitu: a. Pre Hospital Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas. 1. Airway Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya. 2. Breathing Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak. Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).



3. Circulation Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas). Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul) 1. Stop makanan dan minuman 2. Imobilisasi 3. Kirim kerumah sakit. Penetrasi (trauma tajam) 1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis. 2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kasa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka. 3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban steril. 4.



Imobilisasi pasien.



5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum. 6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang. 7. Kirim ke rumah sakit. b. Hospital Secara umum penatalaksanaan yang dapat dilakukan di rumah sakit adalah resusitasi dengan cairan intravena kristaloid (normal salin atau RL) sesuai kebutuhan. Namun, pasien yang tampak mengalami syok hemoragik harus menerima resusitasi kontrol kerusakan sampai perdarahan dapat dikontrol. Resusitasi kontrol kerusakan menggunakan produk darah dalam perbandingan kira-kira 1: 1: 1 plasma terhadap trombosit dengan sel darah merah untuk meminimalkan penggunaan larutan kristaloid Beberapa pasien hemodinamik yang tidak stabil diambil untuk laparotomi eksplorasi segera. Untuk sebagian besar pasien yang tidak memerlukan pembedahan segera tetapi yang memiliki cedera intraabdomen yang diidentifikasi selama pencitraan, pilihan manajemen termasuk observasi dan embolisasi angiografi. 



Observasi(dimulai pada unit perawatan intensif (ICU)



Biasanya perawatan dilakukan untuk pasien dengan hemodinamik yang stabil dengan cedera organ padat, banyak di antaranya sembuh secara spontan. Pasien dengan cairan bebas terlihat selama CT tetapi tidak ada cedera organ spesifik yang diidentifikasi juga dapat diobservasi asalkan mereka tidak memiliki tanda peritoneal. Namun, cairan bebas tanpa bukti cedera organ padat juga merupakan temuan radiografi yang paling sering pada cedera viskus berongga, meskipun temuan ini memiliki spesifisitas rendah. Karena pengamatan tidak sesuai untuk perforasi viskus berongga (pasien biasanya mengalami sepsis karena peritonitis). Selama observasi, dilakukan pemeriksaan darah lengkap setiap 4 hingga 6 jam. Penilaian bertujuan untuk mengidentifikasi perdarahan dan peritonitis yang sedang berlangsung. Adanya perdarahan yang terus terjadi ditandai dengan status hemodinamik yang tidak stabil, memerlukan transfusi secara berkelanjutan (2 – 4 unit dalam 12 jam), dan adanya penurunan hematokrit yang signifikan 



Laparotomi Laparotomi



dipilih baik



karena



dapat



dilakukan pada pasien



dengan



ketidakstabilan hemodinamik atau karena dekompensasi klinis berikutnya. Sebagian besar pasien dapat memiliki prosedur tunggal di mana perdarahan dikendalikan dan cedera diperbaiki. Namun, pasien dengan cedera intraabdominal yang luas yang menjalani prosedur bedah awal yang berkepanjangan cenderung tidak berhasil, terutama ketika mereka memiliki cedera serius lainnya, telah mengalami syok untuk periode yang lama, atau keduanya. Semakin luas dan panjangnya prosedur pembedahan awal, semakin besar kemungkinan pasien tersebut untuk mengembangkan kombinasi asidosis, koagulopati, dan hipotermia yang sangat mematikan dengan disfungsi organ multipel berikutnya. Pasien kemudian distabilkan di ICU (terutama koreksi pH dan suhu) (Van, 2019).



B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN



1. Pengkajian Keperawatan Intensif a. Breathing Umumnya pasien tidak ada masalah pada pernafasan, namun apabila trauma abdomen mengenai organ yang berada di region thoraks maka kemungkinan pasien mengalami sesak nafas, adanya retraksi otot bantu nafas, peningkatan RR, menggunakan alat bantu nafas, adanya pernafasan perut yang tertinggal b. Blood Umumnya pasien dengan trauma abdomen rentan mengalami perdarahan yang cukup banyak, kemungkinan terdapat tanda – tanda syok hipovolemik yaitu nadi melemah, tekanan darah menurun, pasien tampak pucat, CRT > 2 detik, akral dingin, turgor lambat, dan memiliki riwayat kehilangan darah yang berlebihan c. Brain Umumnya pasien dapat datang dengan tingkat kesadaran komposmentis hingga koma, mengeluh cemas karena tidak mengetahui kondisinya d. Bladder Kemungkinan adanya nyeri pada pinggang, hematuria, atau penurunan produksi urin sebagai tanda terjadinya syok e. Bowel Kemungkinan adanya distensi pada dinding perut, penurunan bising usus hingga tidak ada bising usus f. Bone Adanya keluhan nyeri pada region abdomen, ekimosis, laserasi, kontusio, fraktur kosta, fraktur pelvis



Pemeriksaan fisik : 1. Kepala: Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan mulut. Temuan yang dianggap kritis: 



Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ?







Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?







Robekan/laserasi pada kulit kepala?







Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?







Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung?







Battle sign dan racoon eyes?



2. Leher: Lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher bagian belakang.. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena jugularis, deviasi trakea, emfisema kulit 3. Dada: Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail chest dengan gerakan dada paradoksikal, suara paru hilang atau melemah, gerakan dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris). 4. Abdomen: Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang, lakukan auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan yang dianggap kritis ditekuannya penurunan bising usus, nyeri tekan pada abdomen bunyi dullness. 5. Pelvis: Daerah pubik, stabilitas pelvis, krepitasi dan nyeri tekan. Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta pembengkakan di daerah pubik 6. Extremitas: Kemungkinan ditemukan fraktur atau luka laserasi pada tangan/kaki, fungsi motorik, fungsi sensorik. Temuan yang dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau menghilangnya fungsi sensorik dan motorik. 7. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah. 8. Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale): terjadi penurunan kesadaran pada pasien.



2. Diagnosa Keperawatan 



Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan ekspresi wajah nyeri, melaporkan nyeri secara verbal, sikap tubuh melindungi area



nyeri, keluhan tentang intensitas dan karakteristik nyeri menggunakan standar instrument nyeri 



Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini, ancaman kematian ditandai dengan gelisah, sangat khawatir, tremor, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi







Risiko syok berhubungan dengan faktor risiko hipovolemia dan hipotensi







Risiko perdarahan berhubungan dengan faktor risiko trauma tumpul abdomen







Risiko infeksi berhubungan dengan faktor risiko gangguan integritas kulit (terdapat luka yang terbuka) dan prosedur invasif



3. Rencana Asuhan Keperawatan Diagnosa



Tujuan dan Kriteria



Keperawatan



Hasil



Nyeri akut



Setelah diberikan asuhan



Intervensi



1. Untuk



mengetahui



nyeri komperhensif



lokasi,



karakteristik,



yang meliputi lokasi,



durasi,



kualitas,



dirasakan



karakteristik,



intensitas,



dan



faktor



dengan



onset/durasi,



pencetus



nyeri



pada



frekuensi, kualitas,



tubuh pasien dan untuk



intensitas atau



mengetahui lebih dalam



nyeri (tahu penyebab



beratnya nyeri dan



mengenai pencetus nyeri



nyeri,



faktor pencetus.



untuk



keperawatan 1x24



jam



nyeri



yang



selama diharapkan



berkurang kriteria hasil : 1. Mampu



mengontrol



mampu



menggunakan teknik



1. Lakukan pengkajian



Rasional



2. Pastikan perawatan



menentukan



rencana



tindak



lanjut



nonfarmakologi



analgesik bagi pasien



untuk



mengurangi



dilakukan dengan



2. Memastikan perawatan



nyeri,



mencari



pemantauan ketat.



analgesik bagi pasien



bantuan)



3. Gunakan strategi



2. Melaporkan



dilakukan



dengan



komunikasi



pemantauan



terapeutik untuk



dengan prinsip 6 benar



dengan menggunakan



mengetahui



agar



manajemen nyeri



pengalaman nyei dan



kesalahan



sampaikan



pemberian



penerimaan pasien



nyeri



nyeri



3. Mampu nyeri



bahwa



yang sesuai



berkurang



mengenali (skala,



ketat



tidak



yang



tejadi dalam



obat



agar



dirasakan



intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri) 4. Menyatakan



terhadap nyeri. 4. Berikan informasi



rasa



terhadap nyeri,



oleh



pasien



dapat



berkurang. 3. Komunikasi



terapeutik



nyaman setelah nyeri



seperti penyebab



dapat



berkurang



nyeri, berapa lama



hubungan saling percaya



nyeri akan dirasakan,



antara perawat dengan



dan antisispasi dari



pasien sehingga perawat



ketidaknyamanan



dapat



akibat prosedur.



pengalaman



dan



penerimaan



pasien



5. Pasien tidak tampak melokalisasi dan



tidak



nyeri tampak



meringis 6. Respiration



rate



5. Informasikan



pasien normal



terhadap tim



(16-20x /menit)



kesehatan/ anggota



7. Tekanan normal



darah (120/80



mmHg) 8. Nadi



normal



100x/menit)



(60-



memningkatkan



mengetahui



terhadap nyeri 4. Agar pasien mengetahui



keluarga mengenai



dan



strategi



penyebab nyeri, durasi



nonfarmakologi yang



nyeri dan mengantisipasi



sedang digunakan



ketidaknyamanan



untuk mendorong



prosedur



pendekatan preventif



dilakukan



terkait dengan



memahami



yang



akan



5. Memberikan



informasi



manajemen nyeri.



terhadap



keluarga



6. Dorong pasien untuk



mengenai



strategi



memonitor nyeri dan



nonfarmakologi



menangani nyerinya



keluarga



dengan tepat.



membantu



7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan keparahan nyeri



dapat mengurangi



nyeri yang dialami oleh pasien 6. Mengajarkan



kepada



sebelum mengobati



pasien secara mandiri



pasien



untuk dapat memonitor



8. Cek perintah pengobatan yang meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat



dan menangani nyerinya dengan tepat. 7. Lokasi



yang



karakteristik,



tepat, kualitas



analgesik yang



dan



diresepkan



akan



9. Monitor tanda vital



keparahan



nyeri



menentukan



pemberian



analgesik



sebelum dan setelah



yang



memberikan



diberikan kepada pasien



analgesik pada



nantinya



akan



8. Memastikan obat yang



pemberian dosis



akan diberikan kepada



pertama kali atau jika



pasien sudah tepat



ditemukan tanda-



9. Memonitor tanda-tanda



tanda tidak biasa



vital



pada pasien



berkala akan membantu



10. Berikan kebutuhan



pasien



perawat



secara



memeriksa



kenyamanan yang



keadaan pasien apabila



dapat membantu



terjadi hal-hal yang tidak



relaksasi untuk



diinginkan



memfasilitasi penurunan nyeri 11. Dokumentasikan



10. Posisi tirah baring yang nyaman



dapat



meminimalkan tekanan



respon terhadap



pada área yang nyeri



analgesik dan adanya



sehingga pasien dapat



efek samping



merasa lebih relaks



12. Evaluasi keefektifan



11. Untuk



mengetahui



analgesik dengan



respon



terhadap



interval yang teratur



analgesik



pada setiap setelah



samping dari pemberian



pemberian



analgesik yang diberikan



khususnya setelah



kepada pasien



pemberian pertama



dan



12. Untuk



efek



melihat



kali, juga observasi



bagaimana



adanya tanda dan



pasien setelah diberikan



gejala efek samping.



obat



analgesik



mengobservasi



respon



serta adanya



tanda dan gejala efek



samping. Ansietas



Setelah diberikan asuhan



1. Jelaskan informasi



1. Memberikan gambaran



keperawatan selama 1x2



yang faktual



nyata mengenai situasi



jam diharapkan ansietas



mengenai diagnosis,



pasien



berkurang dengan



penatalaksanaan, dan



diharapkan



kriteria hasil:



prognosis



menurunkan kecemasan



1. Pasien mencari



2. Anjurkan agar



informasi untuk



keluarga tetap



meredakan



bersama pasien



kecemasan



3. Informasikan pada



2. Pasien menerapkan



pasien dan keluarga



sehingga



pasien 2. Agar



pasien



mendapatkan dukungan dari keluarga 3. Pasien



dan



strategi koping yang



mengenai jadwal,



dapat



efektif



durasi, dan lokasi



diri lebih awal



3. Pasien mengenali status kesehatannya



operasi



dapat



keluarga



mempersiapkan



4. Mengurangi kecemasan



4. Jelaskan pada pasien



pasien karena persepsi



semua prosedur



yang menakutkan dalam



mengatasi status



sebelum dan setelah



tindakan medis



kesehatannya



operasi



4. Pasien berupaya



5. Menginstruksikan



5. Mengurangi kecemasan dilakukan



dengan



agar pasien dapat



strategi



koping



yang



menggunakan strategi



efektif dapat membantu



koping yang efektif



mengarahkan pemikiran



seperti menceritakan



pasien ke arah yang



tentang kecemasan



lebih positif



yang dirasakan dan cara mengatasinya Risiko Syok



Setelah diberikan asuhan



1. Monitor status



1. Mengetahui



keperawatan selama



hemodinamik seperti



keseimbangan



1x24 jam diharapkan



denyut nadi, tekanan



hemodinamik di dalam



risiko syok dapat



darah, MAP)



tubuh pasien sehingga



diminimalkan dengan kriteria hasil:



2. Monitor tanda dehidrasi (turgor kulit



bisa dievaluasi sesuai dengan nilai normalnya



1. Tidak ada penurunan



menurun, CRT >2



2. Dehidrasi



mean arterial



detik, denyut nadi



salah



pressure (MAP



teraba lemah,



terjadinya syok sehingga



minimal 60 mmHg)



membran mukosa



perlu untuk dilakukan



kering, adanya



monitoring



2. Tidak ada penurunan



merupakan satu



tanda



tekanan darah (TD



penurunan produksi



3. Kehilangan



cairan



normal 120/80



urin, pasien merasa



berlebihan



mmHg)



sangat haus)



perdarahan, muntah, dan



3. Tidak ada



3. Monitor adanya



berupa



diare



dapat risiko



peningkatan denyut



kehilangan cairan



meningkatkan



nadi (HR normal 60 –



(perdarahan, muntah,



syok hipovolemik



100x/menit)



diare)



4. Tidak ada



4. Monitor hasil



4. Penurunan hemoglobin dan



hematokrit



peningkatan RR (RR



laboratorium yang



merupakan tanda awal



normal 16 –



menunjukkan



terjadinya



20x/menit)



kehilangan darah



peningkatan hematokrit



(hemoglobin,



sebagai tanda terjadinya



hematokrit)



dehidrasi



5. Denyut nadi teraba kuat 6. CRT