M Natsir Capita Selecta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

M. NATSIR



CAPITA SELECTA II Sumbangan Dr Joke Moeliono



PUSTAKA



PENDIS



- JAKARTA



PENDAHULUAN Seperti jilid I, Capita Selecta jilid II ini, juga memuat kumpulan buah pikiran sdr. M. Natsir. Kalau jilid I, memuat tulisan2-nya antara tahun 1936 — 1941, maka jilid II ini, ialah kumpulan tulisan, pidato dan interpiu-persnya antara tahun 1950— 1955, yakni semenjak terbentuknya Negara Kesatuan sampai dengan terbentuknya Kabinet Burhanuddin Harahap. Dengan demikian dapat dianggap merupakan sebagian dokumentasi dari perkembangan Negara selama 5 tahun itu. Berkenaan dengan Pasal I dapat kami jelaskan bahwa pidato yang pertama, ialah pidato tentang pembentukan Negara Kesatuan, yakni pidato yang terkenal dengan sebutan „mosi integral Natsir". Pidato yang keempat, ialah pidato menghadapi Kabinet Sukiman-Suwirjo, sedang pidato yang kelima dan keenam, adalah pidato menghadapi Kabinet Mr. Ali Sastroamijojo I. Mengenai Pidato di Karachi dapat diterangkan, bahwa pidato tsb. telah disiarkan lagi yang bahasa Inggrisnya (aslinya) oleh Cornell University, Ithaka New York, Department of Far Eastern Studies, sebagai penerbitannya yang ke 16, September 1954, dengan nama Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs. Bagian Interpiu dan Guntingan Pers, Pasal IV, rapat hubungannya terutama dengan Pasal III. Di bawah tiap2 interpiu kami bubuhkan nama harian (siaran) tempat kami mengutip. Hal itu tentu tidak berarti bahwa hanya harian tsb.



saja yang memuat interpiu itu. Interpiu sdr. M. Natsir, umumnya dimuat oleh segala harian. Pasal V, Dari Hati ke Hati ialah kumpulan tulisan2 yang berbentuk kejiwaan, umumnya kami kumpulkan dari majalah sdr. M. Natsir sendiri, yaitu mingguan Hikmah. Selanjutnya kami nyatakan, karena kekurangan tanda2 yang diperlukan, maka salinan Ayat2 Quran kehuruf Latin, tidak dapat dilakukan tepat sebagaimana mestinya. Akhirnya, dengan ini kami nyatakan terima kasih kami terhadap bantuan yang kami terima, baik dari perseorangan maupun dari pers dan lain2-nya, sampai kumpulan ini dapat terwujud. Kepada N.V. Mij Vorkink di Bandung yang telah menyelenggarakan percetakan dan penjilidannya, kami haturkan banyak2 terima kasih. Petunjuk dari para pembaca untuk perbaikan pada cetakan2 selanjutnya, selalu kami hargakan tinggi. Terima kasih. Jakarta, 8 Juli 1957.



Penghimpun D. P. SATI ALIMIN



ISI I. PIDATO DIPARLEMEN DAN PIDATO RADIO ( 6 )……..



1



II. PIDATO DAN KHOTBAH ( 1 3 ) … … … … … … … … … …



51



III. BUNGA RAMPAI ( 26 )……………………………………….



155



IV. INTERPIU DAN GUNTINGAN PERS ( 29 )………………



267



V. DARI HATI KEHATI ( 1 6 ) … … … … … … … … … … … … . . 3 1 1



PIDATO DI PARLEMEN DAN PIDATO RADIO Capita Selecta M. Natsir jilid II



Diedit ulang oleh Purnawarman Ibn Atim http://Purnaislam.wordpress.com



PIDATO DI PARLEMEN DAN PIDATO RADIO



1 . Pidato tentang pembentukan Negara Kesatuan ......................................... 6 2 . Pidato radio tanggal 14 Nopember 1950 .................................................... 5 3 . Keterangan tentang Irian-Barat................................................................ 11 4 . Pidato tanggal 31 Mei 1951 ...................................................................... 19 5 . Pidato tanggal 28 Agustus 1953 .............................................................. 28 Pemandangan umum babak ke-I. 6 . Pidato tanggal 6 September 1953 ............................................................ 39 Pemandangan umum babak ke-II.



PIDATO DI PARLEMEN TANGGAL 3 APRIL 1950 TENTANG PEMBENTUKAN NEGARA KESATUAN



Saudara Ketua, Dalam menentukan sikap fraksi saya terhadap mosi ini, fraksi adalah terlepas dari soal „apakah kami dapat menerima oper semua keterangan2 yang tercantum dalam mosi ini atau tidak !". Juga menjauhkan diri dari pada pembicaraan soal unitarisme dan federalisme dalam hubungan mosi ini, sebab pusat persoalannya tidak ada hubungannya dengan hal2 itu, akan tetapi jauh di lapangan lain. Pembicara2 yang mendahului saya, sudah dengan panjang lebar mengemukakan hal2 ini. Orang yang setuju dengan mosi ini tidak usah berarti, bahwa orang itu unitaris ; orang federalispun mungkin juga dapat menye- tujuinya. Sebab soal ini sebagaimana saya katakan, bukan soal teori struktur negara unitarisme atau federalisme, akan tetapi soal menyele- saikan hasil dari perjuangan kita masa yang lampau yang tetap masih menjadi duri di dalam daging. Tiap2 orang yang meneliti jalan persengketaan Indonesia - Belanda, tentu akan mengetahui bagaimana riwayat timbulnya N.S.T. dan bagaimana funksinya N.S.T. itu. Walaupun bagaimana juga ditimbang, ditinjau dan dikupas, tetapi rakyat dalam perjuangannya melihat struktur itu sebagai bekas alat lawan untuk meruntuhkan perjuangan Republik Indonesia. Maka inilah yang menimbulkan reaksi dari pihak rakyat, bukan soal teori unitarisme atau federalisme. Kejadian2 yang bergolak di N.S.T. sekarang bukan satu hal yang kunstmatig atau di-bikin2 akan tetapi adalah satu akibat yang tidak



dapat dielakkan dan yang harus kita selesaikan sekarang, karena belum kita selesaikan dengan K.M.B. sebagai hasil perundingan dengan Belanda dahulu. Orang bisa berkata, bahwa semua mosi atau resolusi dari rakyat dan demonstrasi2 yang telah berlaku di N.S.T. itu menurut juridiskhe vormnya belum dapat dianggap sebagai suatu manifestasi dari kehendak rakyat. Tapi coba, apakah akibatnya jikalau mosi ini ditolak lantaran dianggap prestisenya belum cukup? Ia akan berarti pancingan bagi rakyat untuk menghebat dalam demonstrasi ! Saya teringat kepada pidato Presiden pada pembukaan sidang Parlemen ini. Beliau berkata, bahwa dalam satu tahun ini kita tetap konstitusionil. Kita akan menuruti apa yang disebut dalam Konstitusi dan tidak akan menyimpang dari Konstitusi. Akan tetapi kita dapat menyimpang dari padanya, jikalau keadaan memaksa. Hal ini diperhatikan oleh rakyat dan diartikannya bahwa jika keadaan biasa, tidak memaksa, tidak memberikan jalan baginya untuk mencapai cita2nya, maka diciptakannya keadaan yang memaksa dengan segala akibatnya yang dipikul oleh rakyat itu sendiri. Barangkali di dalam meninjau mosi ini, Pemerintah merasa khawatir, kalau2 mosi ini akan mengakibatkan suatu bentrokan. Akan tetapi menolak dan mematikan mosi ini berarti memperhebat apa yang telah terjadi. Oleh karena itu letakkanlah titik berat dari mosi ini pada apa yang disebut dalam keputusan, yaitu supaya Pemerintah R.I.S. menempuh jalan biasa dengan kebijaksanaannya untuk menyelesaikan soal ini. Jikalau Pemerintah menganggap bahwa jika pekerjaan itu dengan sekali gus dan serentak dijalankan, akan menimbulkan ber-macam2 kekacauan, maka bagi Pemerintah cukup terbuka jalan mengadakan undang2 darurat untuk mengadakan masa peralihan,



sehingga R.I.S. dapat bertindak tidak membiarkan rakyat di N.S.T. bergolak, dan diberikan kepada mereka kesempatan untuk menyelesaikan soalnya sendiri. Maka dalam fasal2 yang ada dalam undang2 darurat itu terbuka jalan bagi Pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan dengan se-baik2-nya. Saudara Ketua, ijinkanlah saya sekarang berbicara terlepas atau tidak terlepas dari pada soal unitarisme atau federalisme, akan tetapi dalam hubungan yang lebih besar mengenai mosi ini. Sebagai hendak mengemukakan sedikit pemandangan mengenai dasar dari pada kejadian2 yang kita hadapi sekarang, dari mulai kedaulatan diserahkan kepada kita, baik kiranya kalau kita terlebih dahulu melihat posisinya mosi ini di dalam hubungan yang lebih besar. Tatkala Konstitusi Sementara ditanda-tangani dan diratifisir, umumnya orang, baik Pemerintah ataupun Parlemen menganggap bahwa Konstitusi itu dan struktur-tata-negara dengan segala sipat2 yang baik dan cacat2 yang ada dalamnya, dapat dipakai sebagai dasar pemerintahan sementara sampai Konstituante yang akan datang. Akan tetapi rupanya jalan sejarah menghendaki lain. Segera sesudah penyerahan kedaulatan, di daerah timbul pergolakan. Apa yang terpendam dan tertekan selama beberapa tahun jl. dalam hati rakyat, sekarang meluap dan meletus dengan berupa demonstrasi dan resolusi untuk merombak segala apa yang dirasakan oleh rakyat sebagai restan2 dari struktur kolonial di daerahnya, terutama di-daerah2 Republik di pulau Jawa, Sumatera dan Madura. Ini semua tidak mengherankan, akan tetapi adalah memang pembawaan riwayat perjuangan dan inhaerent dengan cara penyelesaian persengketaan Indonesia - Belanda yang diakhiri dengan K.M.B.



Soal2 yang harus dihadapi oleh Negara kita yang muda ini sekaligus ber-timbun2 di hadapan kita. Soal kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, yang sudah begitu lama menderita, soal demokratisering pemerintahan, soal pembangunan ekonomi, soal keamanan, ketentaraan dan 1001 macam soal lain2 lagi, semuanya sama urgent, dan harus dipecahkan dengan segera. Kita bisa menyusun prioritetnya menurut pendapat kita masing2, akan tetapi yang sudah terang ialah, pemecahan soal yang satu bersangkut-paut dengan yang lain, tidak dapat di-pisah2. Usaha kemakmuran rakyat, penjaminan keamanan, tidak dapat berjalan selama belum ada ketentuan politik dalam negeri. Politieke rust ini tidak dapat diciptakan selama masih ada „duri2-dalam-daging" yang dirasakan oleh rakyat, yang walaupun kedaulatan sudah di tangan kita, tapi kita masih berhadapan dengan struktur2 kolonial serta alat2 politik pengepungan yang diciptakan oleh Van Mook di-daerah2. Dalam menghadapi pergolakan untuk melenyapkan duri2 dalam daging itu orang terbentur kepada Konstitusi Sementara, lebih lekas dari yang disangka tadinya. Pikiran terumbang-ambing antara : a. kehendak akan tetap bersikap „konstitusionil". b. desakan untuk keluar Konstitusi dari lubang2 yang ada dalam Konstitusi itu sendiri. Inisiatif terlepas dari tangan Pemerintah. Tak ada konsepsi untuk menghadapi soal ini dalam jangka yang tertentu. Semboyan yang ada hanyalah : „Terserah kepada kemauan rakyat".



Rakyat bergolak di-mana2. Hasilnya hujan resolusi dan mosi. Parlemen menerima dan tinggal mengoperkan semuanya itu kepada Pemerintah dengan tambahan argumentasi juridis dll., dan kalau perlu dengan citaten dan encyclopaedie. Dengan begitu Pemerintah lambat laun terdesak kepada posisi yang defensif. Lalu Pemerintah terpaksa menyesuaikan diri setapak demi setapak dengan undang2 darurat sebagai legalisasi. Dan setiap kali ada „persesuaian dalam hal ini", saudara Ketua, Parlemen dan Pemerintah merasa „berbahagia" lantaran ada persesuaian itu. Dalam pada itu pintu kebahagiaan bagi rakyat belum kunjung kelihatan. Jalan pikiran tetap kabur dan samar. Dikaburkan oleh begripsverwarring, berkacaunya beberapa pengertian, seperti berkacaunya pengertian unitarisme dan federalisme dalam masyarakat, yang bukan lantaran federalisme atau unitarisme itu sendiri, sebagai bentuk struktur negara akan tetapi lantaran kabur dan bercampur-aduknya pengertian2 itu dengan sentimen anargonisme, sebagai warisan dari persengketaan Indonesia - Belanda. Kekacauan pikiran melumpuhkan jalannya usaha pembangunan kemakmuran rakyat. Dengan begini kita tidak terlepas dari satu vicieuse cirkel yang tidak tentu di mana ujungnya. Saya bertanya bagaimanakah mengertikan, „terserah kepada kehendak rakyat itu"? Apakah itu berarti menyerahkan kepada rakyat untuk mengadu tenaga mereka didaerah, untuk memperjuangkan kehendak mereka ditempat masing2 dengan segala akibat2-nya dan ekses2-nya? Habis itu lantas kita mengkonstatir dan melegalisir hasil dari pergolakan itu?



Sekali lagi saya bertanya sampai berapa langkahkah kesediaan hanyut seperti ini? Apakah sampai kita terbentur kepada satu batu karang nanti? Tidak, saudara Ketua! Bukan begitu semestinya! Tapi sikap macam sekarang, saya kuatir Pemerintah lambat laun akan hanyut kepada jurusan itu. Pemerintah yang timbul dari rakyat dan untuk rakyat dan yang terdiri dari pemimpin perjuangan kemerdekaan sendiri, tentu tahu benar2 dan sudah dapat merasakan, apa yang hidup dalam keinginan rakyat itu. Berdasar kepada pengetahuannya, Pemerintah sewajarnyalah memelopori dan menyusun langkah2-nya dengan program yang tertentu dan teratur dalam jangka yang agak panjang, di mana sesuatu soal ketatanegaraan dapat ditinjau dan dipecahkan dalam hubungannya dengan yang lain2. Inilah saudara Ketua, menurut pendapat saya, arti mendasarkan politik kepada kehendak rakyat. Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh Pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa Pemerintah terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang. Dengan begitulah mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baharu, bebas dari bekas persengketaan2 yang lama, elan dan gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan Negara kita ini. Semuanya itu diliputi oleh suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme dan propinsialisme.



Berhubung dengan ini, saya ingin memajukan satu mosi kepada Pemerintah yang bunyinya demikian: Dewan Perwakilan Rakyat Sementara R.I.S. dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan programatis terhadap akibat2 perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu yang akhir2 ini. Memperhatikan : Suara2 rakyat dari berbagai daerah, dan mosi2 Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara2 rakyat itu, untuk melebur daerah2 buatan Belanda dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia. Kompak untuk menampung segala akibat2 yang tumbuh karenanya, dan persiapan2 untuk itu harus diatur begitu rupa, dan menjadi program politik dari Pemerintah yang bersangkutan dan dari Pemerintah R.I.S. Politik pengleburan dan penggabungan itu membawa pengaruh besar tentang jalannya politik umum di dalam negeri dari pemerintahan di seluruh Indonesia. Memutuskan : Menganjurkan kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau se-kurang2-nya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal2 yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu yang akhir2 ini dengan cara integral dan program yang tertentu. M. Natsir - Soebadio Sastrasatomo - Hamid Algadri - Ir. Sakirman - K. Werdojo - Mr. A. M. Tambunan - Ngadiman



Harjosubroto - B. Sahetapy Engel - Dr. Cokronegoro - Moch. Tauchid - Amelz - H. Siradjuddin Abbas.



PIDATO RADIO TANGGAL 14 NOPEMBER 1950.



Malam ini saya hendak minta perhatian umum, khususnya perhatian para pejuang yang sampai sekarang belum kembali kepada masyarakat biasa dan terlepas pula dari organisasi2 Pemerintah dan sistim produksi umum. Pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa kita telah memproklamirkan kemerdekaannya dan dengan semangat berjuang yang ber-api2 serentak para pemuda dan rakyat umumnya mengangkat senjata secara total untuk menegakkan Kemerdekaan yang sudah diproklamirkan itu, didorong oleh hasrat yang timbul dari hati sanubari yang spontan menggelora, meliputi seluruh alam pikiran dan perasaan bangsa kita. Dengan spontanitet dan hasrat berkurban untuk perjuangan kemerdekaan itu sebagai modal, maka dengan ber-angsur2 tersusunlah tentara nasional kita sebagai alat pertahanan Negara di samping tersusunnya pula perlengkapan kenegaraan yang lain2. Dalam lima tahun kita terus-menerus berjuang di medan pertempuran dan di lapangan politik sambil menyusun Negara dan menyusun alat Negara dengan segala kekuatan dan kekurangan2 yang ada pada diri kita. Semuanya dilakukan dalam suasana pertempuran, silih-berganti dengan perletakan senjata-sementara dan peperangan gerilya, melalui beberapa pasang turun dan pasang naiknya perjuangan, suatu hal yang tidak dapat diceraikan dari tiap2 suatu perjuangan kemerdekaan-bangsa. Saudara2 ! Di dalam perjuangan lima tahun itu kita telah berjumpa dengan pelbagai kesulitan2 yang timbul sebagai soal2 barA yang belum pernah



kita hadapi tadinya, tapi yang kita harus selesaikan dengan tenaga dan pikiran yang ada pada kita. Tidak semua kesulitan itu dapat segera kita pecahkan dengan cara yang memuaskan. Maka dapatlah dimengerti bahwa di samping hasil2 yang menggembirakan, tidak urung pula timbul perasaan2 yang kurang puas dalam beberapa lapangan, hal mana menimbulkan kegentingan2 di dalam masyarakat. Satu dan lainnya adalah menjadi salah satu sebab dari pertentangan2 yang melemahkan kekuatan kita. Walaupun 'bagaimana, perjuangan kita yang tidak putus2-nya selama lima tahun ber-turut2 itu, telah menghasilkan terlepasnya bangsa kita dari penjajahan. Sudah tercapai oleh kita satu Negara yang merdeka dan berdaulat, Negara Kesatuan Republik Indonesia, „berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna", sebagaimana yang termaktub dalam Undang2 Dasar Negara kita. Sudah tercapai pula oleh kita kedudukan yang patut dan sepantasnya sebagai Negara yang berdaulat dalam hubungan dan pergaulan Kekeluargaan Bangsa2 berdasarkan saling-mengerti dan harga-menghargai antara satu dengan yang lain. Dalam pada itu saudara2, salah satu akibat dari perjuangan kita yang bersifat total itu adalah, bahwa setelah pertikaian dengan pihak lawan sudah selesai, setelah kemerdekaan serta kedaulatan Negara sudah tercapai, masih ada ribuan para pemuda dan para pejuang yang masih tersisih atau menyisihkan diri dari masyarakat biasa, tidak



menyatukan diri dalam alat2 pertahanan dan keamanan negara, dan terlepas pula dari lapangan usaha produksi untuk mempertinggi kemakmuran rakyat. Bermacam pula sebab makanya memisahkan diri itu, antaranya:



mereka



menyendiri



dan



1. Ada dari antara mereka yang merasa belum puas dengan hasil



perjuangan yang telah diperoleh sekarang. 2. Ada di antara mereka yang menyisihkan diri sebagai akibat



bentrokan antara kita sama kita di dalam masa perjuangan yang lampau. 3. Ada pula orang2 yang memisahkan diri dari masyarakat biasa



karena memang sudah menjadi pembawaan dan tujuan bagi dirinya untuk terus-menerus melakukan perbuatan2 yang mengakibatkan kekacauan masyarakat. Mereka ini menjadikan masyarakat sebagai objek untuk melepaskan * hawa-nafsu dan angkara murkanya. Tetapi golongan ini tidak menjadi pokok pembicaraan kita pada malam ini. Ucapan saya ini khusus saya tujukan terhadap mereka para pejuang dalam golongan 1 dan 2 seperti yang saya sebutkan tadi. Terhadapmereka ini saya berseru: „Tingkatan perjuangan kita telah berganti. Tingkatan sekarang ini menghendaki cara perjuangan yang berlainan dari tingkatan peperangan gerilya menentang musuh seperti yang telah sudah itu. Tingkatan perjuangan sekarang tidak menghendaki lagi bahwa saudara2 meneruskan hidup memanggul senjata di pegunungan, terlepas dari ikatan keluarga dan masyarakat biasa.



Tenaga dan pikiran saudara diperlukan di lain lapangan. Tenaga dan pikiran saudara diperlukan untuk membangunkan kehidupan yang lebih layak, baik dalam hubungan kekeluargaan dan rumah tangga sendiri ataupun dalam hubungan produksi dan pembangunan kesejahteraan umum. Tenaga dan pikiran saudara diperlukan untuk membangun Negara dengan arti yang lebih luas, menyempurnakan Negara kita yang masih muda ini dalam pelbagai lapangan. Sudah datang saatnya untuk menutup sejarah lama dan memulai lembaran baru. Sudah datang saatnya untuk memperbaiki persaudaraan kembali atas dasar saling-mengerti, untuk hidup bersama dalam udara Negara merdeka yang sudah sama2 kita tebus dengan pengurbanan yang demikian besarnya. Mungkin ada hal2 yang bagi saudara belum memberi kepuasan dalam Negara kita yang muda ini. Memang masih ada hal2 yang terasa sebagai duri dalam daging. Akan tetapi hal demikian, se-kali2 tidak boleh menjadikan sebab untuk saudara menutup mata dari hasil2 yang sudah ada di tangan kita. Memang masih banyak yang harus disempurnakan. Kita baru saja mulai menyusun Negara dengan memakai hasil yang sudah ada sebagai modal atau pangkalan. Walaupun bagaimana, juga bagi saudara terbuka jalan untuk menyumbangkan pikiran dan tenaga saudara2 menurut cita2 yang terkandung, dengan cara yang tertib-teratur melalui saluran2 yang biasa, yang terbuka bagi tiap2 warga dari Negara Hukum yang berdasarkan Kedaulatan Rakyat ini.



Mari ber-sama2 bersanding-bahu, dengan tenaga tersusun menulis halaman baharu dalam riwayat Nusa dan Bangsa menuju kepada kebahagiaan lahir batin bagi segenap warga, serta diliputi keredaan Ilahi, Tuhan Yang Maha Esa. Buat yang demikian jalan telah terbuka. Pakailah kesempatan yang terbuka sekarang ini dengan cara2 yang segera akan dimaklumkan. Demikianlah seman saya terhadap dua golongan yang saya sebutkan tadi 1 4 Nopember 1950 (Pidato sebagai Perdana Menteri)



KETERANGAN PEMERINTAH TENTANG I RIAN BARAT



Saudara Ketua, 1. Dasar kerja-sama Indonesia-Belanda dalam Unie harus ditinjau kembali dan dicari dasar2 baru. 2. Pemerintah bersedia berunding kembali atas dasar penyerahan Kedaulatan Irian Barat pada Republik Indonesia. 3. Kerja-sama dalam bentuk sekarang ini akan hilang jiwanya dan tidak dapat dilangsungkan. 4. Kegagalan perundingan mengakibatkan ketegangan dalam perhubungan antara Indonesia dan Belanda. Konperensi Irian yang dimulai pada tanggal 4 Desember 1950 mempunyai dasar dalam pasal 2 dari Piagam Penyerahan Kedaulatan, di mana dinyatakan bahwa status politik Irian Barat akan ditentukan dengan jalan perundingan antara Nederland dan Indonesia dalam 1 tahun sesudah penyerahan Kedaulatan. Soal Irian Barat ini ialah peninggalan dari pada perselisihan Indonesia-Nederland yang pada Konperensi Meja Bundar tidak dapat diselesaikan. Tuntutan bangsa Indonesia atas Irian Barat itu ialah tuntutan yang nyata yang sebelum dan sesudah Konperensi Meja Bundar dan Penyerahan Kedaulatan dinyatakan dengan tegas. Meskipun dari pihak Belanda terhadap tuntutan itu dimajukan macam2 alasan yang didasarkan kepada ilmu pengetahuan, keberatan2 etnografiskh, raciaal dan sebagainya, terhadap keberatan itu dari pihak Indonesia pun dapat dimajukan alasannya berdasar kepada ilmu pe-



ngetahuan. Semua itu dapat dibaca dalam laporan Komisi Irian Barat yang panjang-lebar, tapi satu alasan yang tidak dapat disangkal ialah, bahwa riwayat bangsa Indonesia dari bangsa yang dijajah yang berlangsung beberapa ratus tahun menimbulkan suatu keyakinan dan kenyataan, bahwa bangsa Indonesia itu adalah bangsa yang satu, bahwa Tanah Indonesia itu adalah Tanah Air yang meliputi seluruh daerah jajahan Belanda, Nederlands-Indie dahulu. Siapa yang waktu kecilnya mendapat pelajaran dan sebagian terbesar dari pada pelajaran yang diberikan kepada rakyat Indonesia itu adalah pelajaran Belanda, akan mendapat didikan bahwa Tanah Air bangsa Indonesia itu ialah dari Sabang sampai ke Merauke di NieuwGuinea. Dan dasar satu2-nya bagi satu bangsa, ialah tidak persamaan agama atau persamaan keturunan, tapi bersamaan keyakinan hidup, bahwa bangsa itu mempunyai tanah air yang satu, dan bernegara yang satu. Dan ini pula dasar dari pada hak yang kita namakan hak untuk menentukan nasib sendiri (right of self determination). Maka tuntutan bangsa Indonesia itu adalah tuntutan yang terang dan mudah dan terhadap tuntutan itu bangsa Belanda tidak dapat menyatakan bahwa Irian Barat harus tetap menjadi bagian negara Belanda kalau Belanda tidak akan tetap menjadi negara kolonial di Asia, yang untuk kolonial ini, di zaman sekarang sudah tidak ada tempatnya. Maka oleh karena itu di dalam inisiatif dan usul yang kita majukan, hak itu menjadi dasar, sedang di samping itu tidak kita lupakan kepentingan2 Belanda yang di dalam kerja-sama kita akui dan akan kita pelihara. Di dalam kerja-sama dengan Belanda sebagai dua negara yang penuh merdeka dan berdaulat, pihak kita dengan ikhlas dan sungguh telah menjalankan, karena kita mengetahui bahwa pihak



Belanda mempunyai kepentingan, tidak hanya materiil tetapi juga idiil. Tapi satu kepentingan yang Belanda katakan idiil kita tidak dapat akui, yaitu jika Belanda hendak tetap bertanggung-jawab sebagai negara kolonial. Tetapi lain2 kepentingan di dalam usul2 itu, kita bersedia memelihara atas dasar penyerahan kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia. Belanda mempunyai rasa tanggung-jawab akan ikut membantu memajukan Irian. Bangsa Belanda mempunyai keinginan untuk meneruskan usaha mereka di lapangan missi dan zending. Kepentingan itu akan kita pelihara ! Negeri Belanda kebanyakan orang, kebanyakan pula orang yang terpelajar dan mempunyai kelebihan modal, yang harus ditanam di negeri lain. Semua itu kita bersedia menerima dan memelihara di Irian Barat dan semuanya itu sudah kita letakkan di dalam 7 pasal. Dalam oral note yang kita sampaikan kepada Belanda pada tanggal 11 Desember, 7 pasal yang dimajukan oleh delegasi Indonesia itu tidak boleh dipisahkan, akan tetapi tergantung kepada pokok persoalan yaitu penyerahan Kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1950.



7 pasal itu ialah: 1. Di dalam lingkungan kerja-sama antara Indonesia dan Nederland di lapangan ekonomi, Pemerintah Indonesia mengakui hak dan konsesi yang sekarang ada dan akan diberi perhatian yang istimewa kepada Nederland mengenai pemberian konsesi baru dan menempatkan kapital: Selanjutnya di dalam mengembangkan sumber2 alam di Irian Barat akan diberikan perhatian yang khusus kepada kepentingan2



Belanda di sana. Antara lain dalam mengusahakan perkembangan kekayaan tanah. Pada umumnya Pemerintah Indonesia bersedia dalam memajukan Irian Barat di lapangan ekonomi, memperhatikan dengan sepenuhnya kepentingan Belanda di lapangan perdagangan, perkapalan dan industri. 2. Dalam aparat administrasi di Irian Barat akan dapat dipergunakan tenaga2 Belanda. 3. Pensiun pegawai2 Belanda di Irian akan dijamin seperti dalam persetujuan K.M.B. 4. Imigrasi rakyat Belanda akan diperbolehkan oleh Pemerintah Indonesia. Selanjutnya akan diperhatikan benar2 supaya diadakan tenaga buruh yang diperlukan untuk Irian Barat. 5. Pemerintah Indonesia akan memajukan supaya Irian Barat dimasukkan dalam sistem perhubungan Pemerintah Indonesia (perhubungan laut, udara, tilpon, telegraf dan radio), dengan memperhatikan konsesi2 yang sudah diperoleh oleh maskapai Belanda atau maskapai campuran. 6. Kemerdekaan agama akan dijamin se-penuh2-nya dan usaha2 dari zending dan missi dalam lapangan kemanusiaan, seperti pengajaran dan pemeliharaan orang sakit dapat diteruskan. Dalam usaha kemanusiaan itu jika diperlukan missi dan zending akan dapat bantuan dari Pemerintah Indonesia. 7. Di Irian Barat akan diusahakan supaya Pemerintahnya berjalan dengan cara demokrasi yang penuh. Kepada daerah itu akan diberikan otonom dan hak ikut memerintah (medebewind).'Segera akan dimulai dengan pembentukan badan perwakilan sendiri.



Berdasar atas 7 pasal itu Pemerintah Indonesia bersedia mengadakan persetujuan2 khusus supaya sesudah penyerahan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia, kepentingan2 Belanda akan tetap terpelihara. Saudara Ketua, Keterangan saya ini akan berat sebelah, jika saya tidak mengemukakan pula sikap Belanda terhadap Irian di dalam menyelesaikan soal Irian ini. Belanda berpendapat bahwa status yang terakhir harus diserahkan kepada rakyat Irian asli, berdasar kepada hak menentukan nasib sendiri (zelfbeskhikkingsrekht). Dengan hak itu, katanya, rakyat Irian asli boleh memilih, apakah akan bersatu dengan rakyat Indonesia, menjadi negara sendiri, atau akan tetap menjadi bagian dari Belanda. Kalau kita mendengar perkataan2 itu maka perkataan itu sangat terkenal bagi kita, sebab teori itu adalah teori yang dipakai waktu Belanda akan memecah Indonesia di dalam beberapa negara. Hak zelfbeskhikkingsrekht kita tidak tolak, sebab hak itu adalah hak yang diakui oleh dunia internasional, hak yang menjadi dasar bagi hidup kita sendiri, tapi hak itu adalah haknya suatu bangsa yang mempunyai negara yang satu, yaitu negara yang meliputi seluruh Hindia Belanda dahulu dan disebut Negara Indonesia sekarang. Dengan demikian meskipun kita akui hak zelfbeskhikkingsrekht itu sebagai dasar kehidupan bangsa, tapi tentu saja kita tidak dapat menerima konsepsi hak itu, yang diajukan oleh pihak Belanda atas Irian Barat tsb. Kalau umpamanya kita setuju dengan konsepsi Belanda itu, maka konsepsi yang demikian itupun tidak dapat dilaksanakan. Sebab



siapa yang dinamakan penduduk asli? Apakah hanya mereka yang masih hidup di-hutan2 itu yang dinamakan bangsa asli? Kecuali itu, bilakah masanya rakyat itu akan diberi kesempatan untuk menentukan nasib sendiri? Lagi pula hak menentukan nasib sendiri itu tidak dapat dipakai se-wenang2 hingga sesuatu daerah bagian dari satu negara, misalnya propinsi atau kota kecil, juga mempergunakannya! Berdasar kepada pengalaman pada waktu Perang Dunia ke I, di mana zelfbeskhikkingsrekht itu dipergunakan oleh yang berkepen-tingan untuk menghasut bagian2 dari negara musuh untuk me-misah2-kan negara2 itu dan untuk melemahkannya, maka hukum interna-sional mengakui zelfbeskhikkingsrekht hanya untuk dilakukan oleh bangsa2 yang mempunyai keyakinan yang hidup menjadi bangsa yang satu, mempunyai negara di atas daerah yang diakui oleh seluruh bangsa sebagai tumpah darahnya. Pula mengherankan dalam tuntutan Belanda terhadap Irian Barat itu, ialah bahwa di zaman Hindia-Belanda, zelfbeskhikkingsrekht yang menjadi tuntutan seluruh bangsa Indonesia untuk kemerdekaan Indonesia, ditolak oleh Pemerintah Belanda. Sekarang Belanda menuntutnya untuk daerah-bahagian Indonesia, yang oleh Belanda sendiri diakui daerah itu masih belum „matang". Apakah matangnya 10 tahun lagi, — 100 tahun lagi atau — 1.000 tahun lagi? Apakah matangnya itu Belanda yang akan menentukan atau harus dengan persetujuan ke dua belah pihak. Dan kalau tidak, tentu akan ter-tangguh2 lagi perundingan, dan kalau ada persetujuan yang demikian, apakah tidak mulai saat kita bersetuju itu, kita mulai telah berselisih? Karena tentu mulai saat itu, masing2 pihak mengadakan perjuangan supaya rakyat memilih salah satu pihak dan kalau Belanda masih ada di sana memegang pemerintahan tentu Belanda



akan bertindak se-wenang2 seperti kita alami di dalam masa penjajahan Nederlands-Indie dengan memakai P.I.D.-nya dan exhorbitante rekhtennya. Mula2 saudara Ketua, konsepsi itu lain bunyinya, yaitu di atas pemerintah Belanda yang berjalan di Irian Barat itu dengan kedaulatan di tangan Belanda diadakan suatu Nieuw Guinea-Raad, yang terdiri dari anggota Indonesia dan Belanda atas dasar parit-air. Tapi kalau tidak bisa mengambil keputusan tentu akan terus berlangsung Pemerintah Belanda. Usul itu tentu kita tidak dapat menerimanya. Demikianlah perundingan Irian berjalan untuk beberapa waktu, sehingga pada tanggal 15 Desember, delegasi Indonesia perlu mengadakan pembicaraan dengan Pemerintah Belanda. Sesudah sampai lagi di Negeri Belanda pada tanggal 23 Desember, delegasi Indonesia memajukan lagi konsepsi yang disusun baru sebagai usaha mendekati pihak Belanda untuk mengatasi kesulitan2. Hari 27 Desember 1950 sudah dekat dan penyelesaian status politik Irian tidak dapat diselesaikan dengan penuh karena kekurangan waktu. Maka oleh karena itu oleh Pemerintah, delegasi Indonesia dikuasakan memajukan formulering baru dengan maksud mengadakan jembatan antara pendapat ke dua belah pihak. Formulering baru itu demikian bunyinya : Pertama: Kedua pihak bersetuju tentang penyerahan Kedaulatan atas Irian Barat oleh Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia. Kedua: Penyerahan itu akan dilangsungkan pada hari yang tertentu di pertengahan tahun 1951. Ketiga: Sebelum itu akan diadakan Konperensi untuk membuat perjanjian2 yang khusus berdasar kepada 7 pasal yang telah dima-



jukan oleh delegasi Indonesia bagi memelihara kepentingan2 Belanda di Irian Barat. Formulering itu cukup memberi kesempatan bagi Pemerintah Belanda untuk mendapat pengesahan dari pada parlemennya dan untuk menghilangkan keberatan2-nya di lapangan internasional, jika keberatan itu ada ! Terhadap Konperensi yang akan diadakan itu tidak ada sesuatu keberatan internasional dapat dimajukan, karena Konperensi itu adalah atas persetujuan ke dua belah pihak dengan dihadiri Unci, sebagai badan internasional. Persetujuan yang mungkin terdapat dalam Konperensi itu adalah hanya tergantung dari kedua pihak saja, yaitu Indonesia dan Belanda. Sesudah delegasi Belanda mempergunakan kesempatan untuk mengadakan kontak dengan mereka yang diperlukan, maka pada tanggal 26 Desember sore diadakan persidangan lagi dan di dalam persidangan itu Belanda menolak formulering yang penghabisan dari pihak Indonesia itu, dan pada malam penghabisan menghadapi tanggal 27 Desember hari yang fatal bagi soal Irian Barat, Belanda masih memajukan dua buah usul. Usul yang pertama, yaitu supaya Kedaulatan diserahkan kepada Unie sedang pemerintahan atas Irian Barat masih tetap di tangan Belanda. Usul yang baru ini pada saat itu juga ditolak delegasi kita dengan tidak perlu lagi mengadakan hubungan dengan Pemerintah kita, meskipun hal yang demikian ditanyakan oleh Belanda. Delegasi memandang bahwa usul itu bukan usul untuk mencari suatu penyelesaian, tetapi suatu usul yang hanya dikemukakan untuk



membikin efek keluar saja, seperti juga hal yang demikian, dikatakan oleh dua surat kabar Belanda yang penting. Di dalam persetujuan Konperensi Meja Bundar maka Unie itu dinyatakan bukan suatu staat atau suatu super-staat. Memang mula2 benar bahwa Belanda mempunyai konsepsi ini, sebagai Unie yang berat, tapi statut Unie yang dilahirkan atas persetujuan Konperensi Meja Bundar ialah suatu Unie yang ringan. Memberikan kedaulatan kepada Unie berarti akan memberi sipat kepada Unie yang tidak mempunyai dasar dalam sama sekali itu, jadi Unie yang berat. Di samping itu hubungan Belanda dengan Irian lain dengan hubungan kita dengan Irian. Irian Barat suatu jajahan bagi Belanda. Bangsa Indonesia di Irian ialah bangsa yang dijajah oleh Belanda. Kalau kita bersatu dengan Belanda di dalam Unie itu artinya kita mempersatukan diri atau menjadi compagnon dengan suatu bangsa yang menjajah sebagian bangsa kita sendiri. Juga lanjutan pemerintahan Belanda atas Irian Barat berarti suatu pemerintahan asing di bagian yang menurut keyakinan dan pendirian kita adalah sebagian dari pada Tanah Air kita sendiri. Bagaimana kita dapat menyetujui lanjutan pemerintah yang demikian itu ? Kemudian saudara Ketua, pada saat itu juga pihak Belanda memajukan suatu usul supaya meneruskan perundingan itu dengan bantuan Unie atau lain2 badan. Pemerintah Belanda tahu bahwa tanggal 27 Desember itu adalah hari harus berakhirnya Konperensi. Pada malam menghadapi hari terakhir itu, delegasi Belanda masih memajukan dua buah usul, inipun kita tolak karena pasal 2 dari Piagam Penyerahan Kedaulatan tidak



memberi dasar bagi melanjutkan perundingan lagi, dan perundingan sudah mesti kita akhiri pada tanggal 27 Desember 1950 itu. Di dalam sidang terakhir itu usaha ke dua belah pihak untuk mengadakan komunike-bersama tidak berhasil pula, karena Belanda tidak bersedia mengatakan bahwa rapat itu adalah rapat yang penghabisan, sehingga sesudah sidang itu tiap pihak menyampaikanlah kepada pers keterangannya masing2 dan meskipun sudah terang bahwa bagi kita rapat itu adalah rapat yang terakhir, tetapi Belanda masih menyatakan bahwa mereka masih menunggu jawaban dari Pemerintah Indonesia, sehingga di kalangan rakyat Belanda timbul kesan se-olah2 Pemerintah Indonesia masih akan beri jawaban lagi. Saudara Ketua, Demikianlah, Konperensi Irian berakhir dengan tidak membawa hasil yang di-cita2kan oleh bangsa Indonesia. Tidak usah diterangkan dengan panjang lebar, bahwa kegagalan Konperensi itu sangat memburukkan dan membawa kegagalan dalam perhubungan Indonesia-Be- landa. Soal Irian Barat ini adalah soal yang penting sekali bagi rakyat Indonesia. Terhadap itu tidak ada perbedaan pendapat dalam negeri. Seluruh rakyat Indonesia memandang dan merasa bahwa Irian itu adalah sebagian dari Tanah Air kita. Pihak Belanda tidak ragu2 tentang hal ini dan bahwa rakyat Indonesia bersatu dalam perjuangannya menuntut Irian itu, diketahui pula oleh pihak Belanda selama tahun2 yang lalu. Selama tahun yang lalu itu pula kita telah menjalankan dengan sungguh2 kerja-sama antara Belanda dengan kita. Dua kali Konperensi



para Menteri telah diadakan dan berjalan dengan baik. Bangsa Indonesia tak dapat mengerti dan tak dapat menerima, bahwa di samping kerja-sama yang berjalan dengan baik itu pihak Belanda, meskipun mengerti, tapi tidak mau memenuhi tuntutan bangsa Indonesia atas Irian Barat. Oleh karena itu kerja-sama dalam bentuk sekarang ini akan hilang jiwanya dan tidak dapat dilangsungkan lagi. Berhubung dengan gagalnya Konperensi Irian, Pemerintah Republik Indonesia berpendapat sebagai berikut : 1. Pemerintah tetap memegang teguh dan terus memperjuangkan claim nasional terhadap Irian Barat dengan cara2 yang patut; dan jikalau akan ada perundingan maka itu hanya akan dapat dilakukan atas dasar penyerahan Kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia. Menurut pendapat Pemerintah, Konperensi yang tidak didasarkan atas penyerahan Kedaulatan tersebut tidak akan berhasil, walaupun disertai oleh pihak ketiga. 2. Pemerintah berpendapat bahwa tiap2 perundingan yang tidak menghasilkan penyerahan Kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia, akan mengakibatkan ketegangan dalam perhubungan antara Belanda dan Indonesia. Oleh kegagalan Konperensi itu ditimbulkan satu situasi yang baru; oleh karena itu perhubungan antara Belanda dan Indonesia harus didasarkan atas situasi yang baru itu. Saudara Ketua, Soal Irian adalah peninggalan dari perselisihan antara pihak Belanda dengan Indonesia yang penyelesaiannya di K.M.B. diundurkan, se-



hingga Irian Barat sementara memperoleh posisi yang berbeda dari lain daerah Indonesia. Soal ini dirasakan oleh bangsa kita sebagai tekanan, sebagaimana juga beberapa hal dalam hubungan Indonesia-Belanda yang demikian sipatnya dalam persetujuan itu. Berhubung dengan ini Pemerintah berpendapat, bahwa persetujuan2 Indonesia-Belanda, di antara Statut Unie, memerlukan peninjauan kembali dan dicari dasar2 baru. Demikianlah pendirian Pemerintah. 3 Januari 1951 (Pidato sebagai Perdana Menteri)



PIDATO DI PARLEMEN, TANGGAL 31 MEI 1951 MENYAMBUT KETERANGAN PEMERINTAH BABAK PERTAMA Gunung mosi ternyata hanya gunung-salju yang cepat lumer. Saudara Ketua ! Keterangan Pemerintah pada hakikatnya sedikit sekali memberi alasan bagi saya untuk membuka pembicaraan yang panjang lebar. Pembicaraan tentang Anggaran Belanja yang sedikit waktu lagi akan dilakukan diruangan ini, menurut pendapat saya akan memberi kesempatan yang lebih baik untuk meninjau kebijaksanaan Pemerintah sekarang. Manakala saat itu datang, saya ingin kembali kepada pembahasan keterangan Pemerintah yang mengenai beleidnya itu. Satu beleid pemerintahan akan dapat diberi nilai yang lebih tepat, apabila dilihat dalam rangkaiannya dengan keadaan umum dan dengan perkembangan2 dalam Negara kita sekarang. Tanpa satu analisa yang tajam dari tenaga dan faktor2 objektif yang ada dalam masyarakat dan tenaga yang berpengaruh atasnya dari luar, amat sulit kiranya merancangkan satu politik yang konstruktif, apalagi untuk memban- dingnya. Barangkali saudara Ketua dapat memaafkan saya, apabila saya saat ini agak enggan memasuki perdebatan politik, yang akan minta diskusi ber-panjang2. Apa yang amat diperlukan oleh kita bersama pada saat ini, dan yang amat di-nanti2-kan oleh rakyat Indonesia seluruhnyal ialah bahwa Pemerintah segera dapat bekerja, dengan bantuan dari Parlemen yang telah menemui keinsafan akan tugas dan



tanggung-jawabnya sendiri sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Kabinet ini perlu diberi kesempatan secukupnya untuk melaksanakan tugasnya yang berat di- liari2 depan ini, agar rakyat dapat merasakan kemampuan Pemerintah itu. Saya rasa, saudara Ketua, kesinilah perlu kita pusatkan perhatian kita. Bukankah, titik berat dari politik problem yang dihadapkan oleh krisis kabinet, pada hakikatnya, ternyata telah berpindah dari program pemerintahan kepada pelaksanaan praktis dari beleid pemerintahan. Telah dinyatakan, bahwa program politik dari Kabinet sekarang ini, tidak berbeda dari Kabinet yang mendahuluinya. Sesungguhnya lah demikian saudara Ketua, kecuali tentu di sana-sini lain susunan redaksi dan kata2-nya. Malah adanya partijlozen duduk dalam Dewan Menteri yang sekarang ini, yang tempoh hari telah menimbulkan satu kampanye yang riuh dan deras terhadap susunan Kabinet yang dulu, sekarang tidak lagi dirasakan sebagai hal yang pincang. Dan itu gunung-gemunung mosi, yang tadinya memisahkan Pemerintah dulu dari Parlemen, sehingga Pemerintah itu merasa perlu mengundurkan diri ternyata rupanya hanya gunung salju yang sudah lama cair dan lenyap tidak ketahuan kemana hanyutnya, dilenyapkan oleh temperatur-terik yang rupanya memuncak tinggi, sejalan dengan memuncaknya kegiatan para formatur yang silih berganti! Dan saya rasa saudara Mr. Asaat yang sekarang duduk bersama sebagai teman sejawat kita dalam Parlemen akan melihat spiegelbeeld dari pada keterangannya sendiri waktu beliau duduk di bangku Pemerintah tentang Peraturan Pemerintah No. 39, bila beliau sekarang



mendengarkan keterangan Pemerintah yang berkenaan dengan P.P. 39 itu juga. Maka adalah satu kejujuran politik dari Pemerintah, yang patut mendapat penghargaan, apabila kita mendengar pengakuan Pemerintah yang terus-terang, bahwa perbedaan yang esensiil dari Kabinet dulu dan sekarang tidaklah terletak dalam politik programnya, akan tetapi dalam pelaksanaan dan kebijaksanaan menjalankan yang akan dilakukan. Tepat sekali alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah untuk yang demikian itu, ialah bahwa pokok2 persoalan yang kita hadapi sekarang ini tidak berbeda dari pokok2 persoalan yang dihadapi oleh Kabinet yang lalu. Apabila ini sudah terang, apabila ini sudah memang begitu, tidak adalah lagi yang hendak dibicarakan. Yang tinggal hanyalah kemungkinan orang bertanya, terutama orang di luar Parlemen, yang ingin belayar politik parlementer dari pada perkembangan2 di dalam Parlemen ini, yaitu di manakah gerangan terletaknya dasar dari kemestian adanya kabinet krisis, selain dari pada suatu praemissie yang mungkin dianut oleh oposisi yang menjatuhkan kabinet, bahwa hanya dialah yang paling tepat untuk menjalankan suatu politik program yang disusun dan yang sedang dijalankan oleh orang lain. (tertawa). Oleh karena sudah ternyata bahwa program Pemerintah yang sekarang ini seperti diterangkan tidak banyak berbeda dari program yang dijalankan oleh Pemerintah yang lalu, maka menjadi ringanlah pekerjaan kita sekarang, sebab terbebaslah kita dari kewajiban membahas dan mendalaminya. Oleh karena itu saya akan membatasi diri pada pembahasan politis dari beberapa kejadian politik yang



berkenaan dengan timbulnya kabinetkrisis dan cara kita mengatasi kabinetkrisis itu. Dalam keterangannya Pemerintah menyatakan antara lain, bahwa „tidak akan banyak gunanya meng-usik2 hal yang menyebabkan ketegangan antara kita dengan kita". Dalam pengertiannya yang umum, pernyataan itu tepat sekali, dan cocok betul dengan jiwa bangsa Timur yang asli-murni. Dengan segala kerelaan saya akan menyatakan persetujuan saya dengan pendirian Pemerintah itu, jika sekiranya, peristiwa2 politik parlementer di-akhir2 ini tidak sangat meninggalkan gambaran yang suram dan kabur dalam sejarah Negara kita yang muda ini. Meninjau ke belakang itu, tempo2 perlu, dan dalam beberapa hal sangat perlu! Memang ada orang berkata: „Oude koeien uit de stinkende sloot halen", bukanlah satu pekerjaan yang enak, akan tetapi dapatkah seorang dokter menetapkan satu diagnose, apabila ia tidak memperhatikan simptom2 penyakit dengan sungguh2. Meninjau ke belakang, menilik kejadian yang lampau, dengan tinjauan politik yang objektif, tidak selalu mesti diartikan sebagai pembicaraan yang mengakibatkan perjauhan dari kita sama kita. Ini adalah satu keharusan politik dalam perjuangan parlementarisme untuk menentukan pertanggungan jawab politik di dalam soal2 kesalahan dan kesilapan yang telah terperbuat disengaja atau tidak disengaja ! Janganlah kita lupakan, bahwa tiap2 peristiwa dalam keaktifan parlementer kita menjelmakan satu precedent, yang mempunyai arti



yang tertentu bagi perbuatan kita dikemudian hari dalam lapangan parlementer ini. Pengalaman yang kita. kuburkan dengan maaf-memaafkan, dengan tidak tentu mana yang memberi, dan mana yang menerima maaf, tanpa dikupas secara politis dan teliti, tidaklah akan memberikan pelajaran kepada kita bersama, untuk menghindarkan tindakan2 yang tak berguna di belakang hari. Apakah kita, lantaran pertimbangan opportuniteit akan menghindarkan kritik dan zelfcorrectie? Saya kuatir kalau2 cara dan lagu lagam oposisi yang telah silam itu akan menjadi satu tata-kesopanan dan tradisi yang lazim dalam „parlementair-fatsoen" di negeri kita ini. Apabila kita hendak mendidik rakyat kita ke arah parlementer demokrasi, sepatutnyalah kita menghindarkan diri, dari menjadikan demokrasi, itu jadi satu karikatur yang membikian orang tertawa. Barang siapa yang memperlemahkan demokrasi, merobohkan kekuatannya sebagai dasar bagi satu pemerintahan yang kuat, karena kepentingan perseorangan atau golongan, pada hakikatnya ia sadar atau tidak sadar, dengan diam2 telah menanamkan semangat diktatur dalam sanubari rakyat kita. Sebagaimana kita ketahui, Kabinet yang lama itu telah mengembalikan mandatnya disebabkan oleh penerimaan mosi Hadikusumo oleh Parlemen ini. Pemerintah itu ber-ulang2 menyatakan bahwa berdasar kepada pertimbangan praktis dan juridis konstitusionil, tidak mungkin baginya memenuhi tuntutan dalam mosi itu, yang nyata2 inconstitutioneel. Walau bagaimanapun paham orang terhadap materi-persoalan ini, tapi sudah terang, bahwa Kabinet yang lama itu telah mengambil segala konsekwensi dari beleid-politiknya, dan



membuka-kan jalan bagi oposisi untuk menjalankan beleid yang diingininya. Tetapi sampai saat itu, sama sekali tidak ada kejadian yang abnormal dalam arti parlementer. Suatu Kabinet terpaksa dijatuhkan oleh oposisi, memanglah sudah menjadi kelumrahan oposisi parlementer. Tidak seorangpun di antara kita yang berada di sini dapat mencerca dan menjalankan perbuatan oposisi itu. Tetapi di sini, yang kita sesalkan ialah, gegabah dan cerobohnya pihak oposisi menumbangkan barang yang ada, sedangkan mereka rupanya tidak se-kali2 mempunyai persediaan untuk yang baru, seperti juga ternyata dari kegagalan saudara Ketua sendiri sebagai formatur dalam pembentukan kabinet yang baru. Saudara Ketua, di dalam kegiatan dan enthousiasme kita besilat, tidak boleh kita meningalkan syarat2 yang penting bagi kehidupan parlementer, suatu hal yang harus dipenuhi untuk bisa beroposisi dan bergerak dan hal itu dilakukan mestilah sudah mempunyai rencana dan garis2 politik yang tertentu, yang banyak sedikitnya berlainan, kalau tidak akan bertentangan sama sekali dengan rencana Pemerintah yang ada. Selain dari itu pihak oposisi juga lebih dahulu harus insaf akan politieke samenhang, hubungan politik mereka antara kawan seoposisi dan mengetahui betul duduknya perbandingan kekuatan yang riil di dalam suasana politik kita, untuk bisa menaksir kekuatan dan innerlijke dynamiek sendiri, guna menebusi tanggung-jawab yang dipikulkan oleh perbuatan politik yang digerakkan. Bunyi pepatah Indonesia „tangan mencencang bahu memikul". Andai kata2 faktor2 ini tidak dipikirkan lebih dahulu masak2, tidak lebih dahulu dikalkulir di dalam perhitungan kita beroposisi secara seksama dan semestinya, maka tiap2 oposisi yang bermaksud baik sekalipun, mau tidak mau,



mestilah merupakan kesan2 yang bersifat destruktif, yang akhir2-nya gampang sekali membawa kita sekalian kejurang anarkhisme. Kegagalan dari segala percobaan yang sungguh2 dan ulet untuk membentuk kabinet oleh saudara Ketua sendiri yang jadi formatur, sebagai salah seorang dari figur yang eminent dalam kumpulan inteligensia dari partai P.N.I., seorang pemimpin yang memperoleh penghormatan dan penghargaan tinggi dari sebagian besar rakyat kita, tidaklah boleh dipersalahkan kepada leiderscapaciteit Saudara sendiri, akan tetapi se-mata2 karena kekeliruan taksir yang sangat menyolok mata dari satu oposisi, yang menggelora merompak parit dan pematang di dalam menganalisir dan memberi nilai kepada perbandingan kekuatan politik yang ada, baik di dalam atau di luar Parlemen ini. Dari keinginan dan lamunan semata, orang tidak akan dapat membangunkan apa2, bangunan hanyalah dapat berdiri dari barang2 bahan yang nyata. Setelahnya saudara Ketua mengembalikan mandat sebagai formatur, maka dilakukan lagi satu percobaan yang kedua. Untuk melaksanakan satu ciptaan koalisi, Presiden menunjuk sdr. Sidik Jojosukarto dari P.N.I. dan saudara Sukiman dari Masyumi. Opzetnya sudah terang. P.N.I. dan Masyumi harus dijadikan saripati dari kabinet yang hendak dibentuk itu, dan dengan mensiter keterangan Pemerintah: „disertai oleh lain2 partai yang juga diharapkan bantuannya". Dalam opzetnya yang demikian diharapkan membawa kebaikan, untuk menjamin kekokohan kabinet baru, terutama dalam Parlemen. Tetapi apakah sesuatu schematische opzet saja sudah cukup menjamin satu kerja sama yang harmonis ?



Keragaman-jiwa dalam koalisi yang semacam itu sangat tergantung kepada cara yang soepel di dalam melaksanakannya. Apakah yang demikian itu sudah cukup diperhatikan dalam melakukan percobaan kedua kalinya untuk membentuk kabinet koalisi itu? Apabila kita turuti kembali segala tingkatan2 pembentukan itu dari saat- kesaat, peristiwa- demi peristiwa, saya hanya dapat menjawab : 'Tidak cukup diperhatikan. Satu demokrasi parlementer hanya bisa berdiri atas adanya satu partijwezen yang sehat dan bermutu tinggi. Maka adalah kewajiban kita semua, menaikkan mutu partijwezen itu. Akan tetapi menaikkan mutu partijwezen umumnya, sebagai sendi dari parlementer demokrasi yang sehat hanya dapat dicapai, apabila bukan satu atau dua partai, tapi semua partai sama2 harus berpegang kepada prinsip itu, dan apabila sesuatu pihak yang dapat, semestinya ia memberikan sumbangannya untuk mempertinggi mutu partijwezen partai2 yang lain itu, dan ia berpegang teguh pula kepada prinsip itu. Maka apabila sesuatu pihak yang seperti itu sadar akan otoritet yang ada pada dirinya, dan justru diharapkan akan berpegang kepada prinsip2 tsb., tapi justru partai itu sendiri yang menyimpang dari padanya, maka sungguh bukan saja mutu dari partijwezen tak dapat dipertinggi, malah dapat menimbulkan bahaya desintegrasi, disadari atau tidak disadari. Syukur, saya panyatkan kepada Tuhan yang telah memberikan sinar-Nya pada ketika bahaya yang semacam itu mulai terbayang, kami di pihak Masyumi segera dapat menghadapinya dengan tawakal dan penuh kesadaran, sehingga terhindarlah bahaya itu. Bahaya telah lewat, saudara Ketua, yang tinggal ialah pengalaman, untuk menjadi pedoman bagi masa depan.



Saya mengharapkan sungguh, bahwa dengan keterangan fraksi kami untuk memberikan sokongan sejauh mungkin kepada Kabinet Sukiman-Suwirjo sekarang ini, hilanglah segala syak-wasangka tentang pendirian kami serta segala macam kesangsian yang mungkin sudah diper-belit2-kan dengan soal2 pembentukan Pemerintah sekarang. Saya hendak menjelaskan, bahwa segala fatamorgana yang diimpikan oleh setengah para spekulant dengan sendirinya akan lenyap ibarat salju ditimpa panas. Tikam belakang yang digerakkan guna melumpuhkan kekuatan disiplin Masyumi maupun secara terang2-an ataupun secara siluman, insya Allah akan menghasilkan bertambah kokohnya persatuan dan disiplin partai kami se-mata2. Kami sekalian tidak lupa mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang melindungi akan umatnya, bahwa Allah tidak mengizinkan umat Islam menurutkan langkah partai2 lain, untuk berpisah, berpecah belah dan ber-cakar2-an di dalam partai, yakni suatu perkembangan yang berbahaya di dalam masyarakat kita sekarang ini, yang sama2 kita cegah. Saya tidak se-mena2 mempergunakan thesis di atas, yang mungkin sekali kurang diperhatikan orang dengan baik. Terlepas dari kehendak dan cita2 subjektif dari kita masing2-nya menghadapi umat Islam, artinya terlepas dari anti- atau simpati orang menghadapi soal keagamaan umumnya, kita tidak boleh memicingkan mata, bahwa kenyataan objektif yang konkrit telah membuktikan, bahwa umat Islam, ataupun se-tidak2-nya rakyat Indonesia yang di bawah pengaruh filsafat Islam, maupun dalam pengertian aktif atau pasif, di Indonesia kita ini adalah merupakan sektor yang terbesar dari kesatuan bangsa, bahkan pula dipandang dari sudut perjuangan anti-imperialis, pasti merupakan anasir2 yang paling aktif dan fanatik-konsekwen.



Memang, saya mengerti bahwa kerap kali terdengar suara2 yang menggemuruh, dan tampak perbuatan2 yang se-akan2 digerakkan oleh pandangan hidup yang tampaknya bertentangan di dalam kalangan umat Islam itu. Tetapi apa yang sering kali kita dengar dan kita lihat itu, kerap kali pula membuktikan kepada kita, bahwa sesungguhnya hati sanubari mereka tetap terpaut kepada kesatuan kepercayaan dan kesatuan keyakinan tentang ke-Esa-an Tuhan dan ajaran Agama-Nya; meskipun mungkin tidak senantiasa mereka sadari akan isi tamsil yang kekal dalam ayat Quran: Fa-ammaz-zahadu fayazhhabu jufa-an, yang maksudnya : Air bertepuk-riuh, beriak-gelombang, menimbulkan kebesaran buih. Tetapi buih terapung-hanyut, akhirnya lenyap, tidak meninggalkan bekas diperatasan air (Qs. Ar-Ra'd : 17). Beberapa peristiwa dalam lima tahun ini, adalah suatu bukti yang terang benderang bagaimana kokohnya kepercayaan ideologi Islam itu, apabila ia terancam dan berada di dalam bahaya. Mungkin ada orang yang jika mendengar ini mengangkat bahu, bersenyum-simpul. Memang, manusia biasanya tidak begitu senang bila diperingatkan pada bukti2 kenyataan yang pahit2 kedengarannya dan sebab itu ia enggan menoleh kebelakang. Saya tegaskan sekali lagi, umat Islam di Indonesia bukan saja merupakan sektor yang terbesar, tetapi juga sampai kepada saat ini ternyata secara ideologis dan politis-organisatoris adalah sektor yang tersusun kuat, se-tidak2-nya yang pasti mempunyai syarat2 cukup untuk mencapai titik kesempurnaan secepat-mungkin. Lapangan Islam dapat kita katakan sektor yang terpadu, yang paling homogeen sekali, yang sampai sekarang hampir tidak terpecah-belah walau



kelihatannya hidup dalam bermacam-ragam serta rangkaian partai politik. Gambaran ini mungkin menyolok mata kita, apabila orang mau menolehkan pandangannya kelapangan lain2 sektor, di mana ideologi rupanya tidak mampu untuk menjadi dasar ikatan yang dapat mencegah percerai- beraian tenaga dan desintegrasi. Inilah sebabnya maka saya mengatakan tadi, bahwa terpeliharanya kesatuan yang erat di dalam kalangan Masyumi khususnya, dan dikalangan Islam umumnya, adalah satu syarat yang penting sekali, yang memang tidak boleh diabaikan. Ia bukanlah se-mata2 kepentingan partai2 Islam saja, tapi juga membenteng keutuhan bangsa. Memelihara dan menegakkan kesatuan organisasi, di samping kebulatan ideologi, dalam partai kami adalah lebih dari pada kepentingan partai se-mata2. Dalam tingkat terakhir, yang demikian itu pada hakikatnya merupakan satu kepentingan nasional umumnya, yang lebih tinggi dari pengertian yang sempit tentang apa yang dinamakan partai interesse. Siapa yang menginsafi dalam2 situasi politik dan sosial kita sebagai terdapat di Indonesia sekarang ini, maka sebenarnya ia harus berbesar hati melihat homogeniteit dari umat Islam yang bersatu bila menghadapi segala macam kesulitan rakyat dan Negara, dan selalu tetap bersatu serta siap menyokong Pemerintah dalam menyelesaikan tugasnya yang berat2. Saya tidak me-lebih2-i kalau saya katakan, bahwa di dalam tingkatan pertumbuhan politik di Indonesia sekarang, partai kami Masyumi tidak dapat disingkirkan begitu saja. Oleh karena itu percobaan untuk memecah-belah tenaga Masyumi, walaupun bersipat tersembunyi, adalah sama akibatnya dengan memotong tiang-tunggal dari perumahan Negara kita.



Di mana perpecahan di kalangan lain sudah lebih dari menyedihkan, maka penerusan proses yang semacam itu kalau dimasukkan di kalangan umat Islam pasti akan meruntuhkan benteng pertahanan kita bersama yang terakhir. Saya terus-terang mengatakan, bahwa saya bukan penyembah skhema dan tradisi, lebih2 lagi bukan seorang yang gemar contoh-mencontoh kebiasaan orang di luar negeri, seperti sebagian kita yang hidup-mati hendak membuntut saja kepada kelaziman internasional. Kelaziman dan tradisi parlementer kita di Indonesia dalam tilikan saya akan lahir dari pengalaman sendiri dan perkembangan perjuangan politik di negeri sendiri. Kebiasaan dan peraturan parlementer di negeri asing paling tinggi hanya akan jadi cermin dan penuntun saja bagi kita. Sekalipun saya tidak membuta saja kepada kebiasaan parlementer di luar negeri itu dan mengakui bahwa kita mempunyai kebebasan berbuat seperti yang kita butuhkan, namun cara2 mengadakan krisis dan mengatasi krisis seperti yang baru kita alami, patut juga menimbulkan pertanyaan: apakah, yang demikian itu ada akan mempertinggi prestise demokrasi parlementer kita? Cara2 kita menimbulkan krisis, dan cara2 kita memecahkannya, bukan saja menyangsikan kepercayaan dunia luar atas kekokohan dasar bernegara bagi bangsa Indonesia, tetapi juga, lebih2 lagi sangat merugikan kepada pembangunan Negara dan masyarakat kita sendiri. Marilah sepintas lalu kita rekapitulir apa yang telah kita kurbankan. Dua bulan rakyat kita tidak mendapat pimpinan pemerintahan; dua bulan terpaksa segala inisiatif pemerintah dipadamkan, atau se-tidak2nya terpaksa ditunda sampai mendapat ketentuan yang tegas. Dua bulan rakyat di dalam ragu2 !



Sekarang ternyata kurban moril yang sebanyak itu tidaklah menelorkan hasil yang sepadan dengan lama dan uletnya permainan parlementer yang kita jalankan, sehingga se-akan2 diruang sidang Parlemen tak pernah terdengar gemuruh, tak pernah terjadi tabrakan dan sengkeletan2, tahu2 sekarang terdengar suara: „Sebetulnya program Pemerintah sekarang sama dengan dulu. Titik beratnya hanya diletakkan, dalam beleid yang akan dijalankan". Demikianlah akibatnya kalau demokrasi parlementer itu kita jadi-kan objek permainan, kalau hanya kita nyanyikan secara dogmatis dan skhematis. Sesungguhnya bangun pemerintahan yang demokratis itu, adalah jauh lebih baik, dan lebih disukai dari pemerintahan diktatur, meskipun ada lain pihak, yang diktatur itu begitu digemari dan di-berhala2-kan. Akan tetapi demokrasi parlementer, yang tidak ditafsirkan dan dipraktekkan secara dinamis, akan menimbulkan kesan2 yang menyedihkan, yang pasti akan memesumkan nama baik demokrasi di mata rakyat umum. Ini hendaklah dipikirkan dan diperhatikan betul2 oleh oposisi yang akan datang. Pada hemat saya, tidak guna saya memakai banyak perkataan lagi untuk melukiskan karakteristik dari krisis kabinet yang lampau, yang ditimbulkan oleh penggugatan oposisi yang kurang memenuhi syarat2, yang sebetulnya perlu untuk sanggup bertanggung-jawab. Perjalanan pembentukan Kabinet baru, lamanya perundingan yang berlaku, dan akhir2-nya hasil yang tercapai olehnya, semua itu cukup konkrit untuk memperkenalkan diri kepada rakyat yang diwakili oleh Parlemen ini, dan untuk memberi kwalifikasi kepada diri sendiri.



Atas nama fraksi saya, kami menerangkan sebagai kesimpulan dari uraian saya di atas, bahwa pihak kami akan memberi kesempatan kepada Kabinet Sukiman-Suwirjo melakukan tugasnya dan memberikan bantuan. Dalam hubungan ini, Masyumi akan menunjukkan politik yang tegas dan konsekwen, keluar dan ke dalam dengan secara zakelijk dan sans rancune, berpedoman kepada kepentingan Negara dan cita2 umat yang diwakili oleh partai kami. Insya Allah ! 31 Mei 1951



PIDATO DI PARLEMEN TANGGAL 28 AGUSTUS 1953 PEMANDANGAN UMUM (BABAK KE-I) Sebetulnya tidaklah dengan hati yang gembira saya meminta kesempatan kepada saudara Ketua untuk minta bicara di hadapan majelis yang terhormat ini. Akan tetapi sebab didorong oleh kelaziman parlementer, yang sama2 kita hormati dan taati, maka terpaksalah juga saya memberi sambutan barang sekedarnya terhadap keterangan Pemerintah yang telah dipaparkan di muka rapat yang terhormat ini. Apakah kita menganut apa yang dinamakan demokrasi Barat, atau berpedoman kepada demokrasi-Ketimuran, tidaklah akan saya jadikan persoalan di sini, karena segala itu adalah perbedaan penglaksanaan tehniknya saja. Intisari dari tiap2 demokrasi dalam asas dan hakikatnya tak lain tak bukan, ialah hasil permusyawaratan pikiran yang bebas dan merdeka antara kita yang bergaul, sekalipun antara pendapat2 dan penglihatan yang bertentangan. Berdasarkan atas intisari dari pengertian demokrasi itu, maka memang sudah seharusnya „gayung bersambut, kata berjawab”, supaya jangan sampai menimbulkan kesan, seolah2 partai kami tukang perusak main, pemecah kesatuan nasional, dan lain2 tuduhan, yang pada waktu belakangan ini justru oleh pihak2 tertentu kerap kali secara sembrono dilemparkan ke muka kami. Oleh karena partai kami lebih konsekwen dan lebih bertanggung-jawab menurutkan politik yang



diselenggara- kannya, maka itulah sebabnya saya tidak mau meninggalkan apa yang sudah kita lazimkan itu. Mengapa tak gembira ? Tadi telah saya katakan, bahwa tidak sedikit juga saya gembira membuka kata di hadapan majelis yang terhormat ini, oleh karena sesungguhnya tidak ada satu unsur dan satu sebab dalam komposisi dan konsepsi Pemerintah itu yang bisa menimbulkan gairah hati kami untuk memperdebatkannya dalam2. Saya mau berterus-terang, bahwa saya merasa kecewa sekali mendengar keterangan beleid-politik yang akan dijalankan oleh Kabinet sekarang, sekalipun tadinya kita tidak menggantungkan harapan kita setinggi langit. Apabila harapan tinggi yang digantungkan kepada nilai keterangan Pemerintah menjadi hilang laksana salju ditimpa panas, setelah mendengar keterangan2 Pemerintah itu, maka sungguh2 yang demikian tidak lah terletak pada ketiadaan loyaliteit dan goodwill sidang, tetapi terutama harus dicari di dalam politik yang dibentangkan Pemerintah itu yang sama sekali tidak mempunyai perspektif.



Diambil dari laci arsif. Mendengar dan membaca keterangan Pemerintah yang diberikannya, yang tidak sedikit juga memberikan analisa tentang keadaan nasional dan internasional pada waktu sekarang, memberikan kepada kami suatu kesan, se-olah2 program politik Pemerintah ini dicabutkan dari salah satu laci arsif yang tersembunyi, untuk dijadikan



„passepartout" dalam segala hal dan keadaan, se-akan2 dunia kita tidak bergerak dan tenaga2 yang menggerakkannya itu bersifat tetap dan tidak ber-ubah2. Keterangan Pemerintah seperti yang disajikan ke muka kami sekarang ini, menimbulkan suatu kesangsian dari sidang D.P.R. terhadap cara2-nya Kabinet ini bekerja, yang rupanya tidak memperhatikan pergolakan dunia yang dihadapinya pada saat ini. Dalam rangka peninjauan umum ini, maka heranlah saya melihat Pemerintah menggantungkan ber-macam2 cita2 dan maksud yang muluk2 untuk dijadikan taruhan (inzet) dari hidup-matinya Kabinet ini. Menyusun, meregistrir serta melukiskan sesuatu program-kerja di atas kertas, memang tidak begitu sulit, dan jikalau kita pandai pula membacakannya dengan pathos dan intonatie yang menarik, pasti kita akan menggembirakan claqueurs yang gampang dipengaruhi. Sebagai seorang realis, yang berdiri dengan dua kaki atas kenyataan2 yang kita alami se-hari2, bukanlah suatu program-politik di atas kertas yang penting, akan tetapi realisasinya dan cara merealisirnya. Untuk mengetahui caranya kita melaksanakan sesuatu strategi politik, maka hendaklah angan2 dan keinginan kita disesuaikan dengan syarat2 serta keadaan2 yang kita hadapi yang meliputi lapangan pekerjaan kita. Untuk menyesuaikan dan mengontrole cita2 serta keinginan2 itu, maka mau tak mau haruslah banyak sedikitnya kita lebih menganalisir keadaan masyarakat kita dalam pengertian nasional, dan meninjau perubahan2 dalam situasi internasional. Apa yang saya sinyalir di atas bukanlah kelemahan yang terpenting dalam keterangan Pemerintah yang kita hadapi ini, tetapi adalah yang



karakteristik untuk penaksir harga beleid-politik Kabinet sekarang ini. Oleh karena orang tidak lebih dulu menganalisir, dan tidak mau memperhatikan syarat2 serta keadaan objektif dan konkrit, yang terkembang di mukanya, yang meliputi usaha2 subjektif kita, maka dengan sendirinya tidaklah pula dapat kita secara tepat dan teliti menentukan langkah2 yang urgent berhubung dengan soal2 yang aktuil. Tiap2 nakhoda haruslah lebih dulu melihat dan memperhitungkan siasat angin, barulah mencoba menyeberangi lautan, yang hendak diarunginya. Program Pemerintah, sekalipun banyak mengandung pokok2 yang „an sich" mempunyai nilai serta boleh mendapat penghargaan dari kita, tetapi di dalam kombinasi dan komposisinya kalau diprojektirkan pada latar kenyataan yang di belakangnya, menunjukkan kepada saya sebagai kompilasi pekerjaan politik yang ter-gopoh2, yang tidak mungkin dapat merayu sidang D.P-R. yang terhormat ini, usahkan pula menanamkan harapan di kalangan rakyat Indonesia yang banyak itu. Pasal2 dari program politik Kabinet sekarang adalah suatu kompilasi dari beberapa „gemeenplaatsen" yang memang tidak baru lagi terdengar dikuping kita. Se-olah2 Pemerintah ingin berkata kepada oposisi, maupun yang sudah nyata ataupun yang potensil: „Dengarkanlah, kamipun memakai terminologi dan kata2 yang sering kali Tuan perdengarkan itu. Tuan mau apa lagi! Apa lagi yang akan Tuan o posisikan?" Se-olah2 Pemerintah berpikir, dalam menghadapi sidang kita ini: „Telanlah ini, sudah itu basta!" Secara parlementer maka metode ini tidak dapat kita pertahankan.



Orang Perancis berkata : „C'est le ton qui fait la musique". Dalam keterangan Pemerintah yang disajikan ke muka sidang D.P.R. ini, saya memang mendengar „de rumoerige en uitdagende toon" yang mengagumkan matanya, tetapi musik dan iramanya tak dapat sedikitpun saya tangkap. Kalau saya tinjau2 apa sebab Pemerintah meninggalkan kelaziman memberikan suatu politieke expose dalam keterangan2 yang dike mukakannya, di masa suasana dan keadaan setegang dan segenting sekarang, maka adalah dua faktor yang bisa saya kemukakan : Pertama: Pemerintah sengaja mengelakkan perdebatan yang prinsipil dan yang tidak dikehendakinya. Kedua : Pemerintah sangat ter-gopoh2 sekali menyusun keterangan yang serba kurang itu. Dalam kedua kemungkinan di atas, maupun yang satu ataupun yang lain, terletaklah „de moreel politieke zwakte" dari Kabinet baru ini. Dalam hubungan ini, ingatlah saya, akan pepatah Rus yang dikemukakan oleh Presiden tanggal 17 Agustus jalan., yakni: „Kalau pergi ke sirkus, jangan tidak melihat gajah". Kelemahan moreel-politis dari Kabinet dapat bersembunyi seperti gajah di belakang tirai kata2 dan istilah2. Tapi, jangan kita tidak melihat „gajah" itu, lantaran silau melihat kata2 dan kalimat yang menutupinya! Buat apa Kabinet Wilopo dikurbankan. Orang bertanya untuk apakah gerangan Kabinet Wilopo dikurbankan, apabila sekarang kita melihat, bagaimana dalam program Pemerintah bertebaran kalimat2 yang dimulai dengan perkataan:



„memperbaharui”, „mempercepat”, dan selanjutnya „memperbaiki”, „menitik-beratkan”, „melanjutkan” dan yang semacam itu. Dengan panjang dan terurai keterangan Pemerintah itu disebutkan lagi dalam pidato Presiden di muka sidang istimewa Parlemen pada tanggal 16 Agustus yang baru lalu, yang menerangkan apa yang sudah dicapai selama 1 tahun oleh Kabinet yang lampau itu dalam usahanya. Keterangan tersebut diakhiri oleh Pemerintah dengan pernyataan, bahwa hasilnya sampai akhir windu pertama ini, „dapat dikatakan memuaskan". Kalau demikian, apa gerangan yang menyebabkan geger2 krisis selama ini? Untuk menghindarkan salah paham, perlu kiranya saya lebih dulu menjelaskan, bahwa apabila dalam kupasan saya dan teman sefraksi saya seterusnya, ada terdengar istilah pidato Presiden, maka yang demikian itu sama sekali tidaklah menyinggung kedudukan dari Kepala Negara sebagai Presiden. Kami berpendirian, bahwa pidato Presiden a priori adalah keterangan Pemerintah yang bertanggung-jawab kepada Parlemen. Presiden tak dapat diganggu-gugat. Dan kami men- junjung tinggi akan ketentuan dalam U.U.D.S. kita itu. Adapun istilah pidato Presiden adalah kwalifikasi bagi bentuk suatu keterangan Pemerintah. Dalam mata kami pidato Presiden itu se-mata2 satu zakelijk begrip terlepas dari segala apa yang bersifat subjektif. Maka bilamana ada diskusi tentang materi sesuatu pidato Presiden itu, kami hadapkan diskusi itu langsung kepada Pemerintah yang bertanggung-jawab sendiri. Sekian sekedar mendudukkan perkara ! Kalau jawab pertanyaan tadi itu harus dicari bukan dalam program politik, tetapi dalam formulering mengenai soal2 kebijaksanaan, maka riwayat mencatat, bahwa kabinet Wilopo jl. bukan mempunyai



keberatan yang prinsipil terhadap pembukaan kedutaan di Moskow, akan tetapi tidak bersedia diikat dengan sesuatu ultimatieve datum dalam melaksanakan beleidnya itu. Orang bertanya sekarang, mana dia sekarang itu ultimatieve datum dari mosi Rondonuwu tentang pembukaan kedutaan Moskow itu? Riwayat mencatat, bahwa Dewan Ekonomi dan Keuangan dalam Kabinet Wilopo jl. telah memutuskan, supaya tambang minjak di Sumatera Utara dikembalikan kepada B.P.M. Dan Kabinet Wilopo telah memutuskan bahwa berdasar kepada pengembalian itu, lebih dulu akan diserahkan kepada suatu panitia tehnis untuk merancangkan cara pengembalian mengingat kepentingan buruh dan rakyat. Riwayat juga mencatat, bahwa terutama dari partai sdr. P.M. Wilopo dan sdr. P.M. Ali Sastroamijojo, demikian keras desakan supaya tambang minjak tersebut dinasionalisir. Sekarang, partai2 yang senantiasa dianggap sebagai penghalang dari maksud itu tidak ada lagi dalam Kabinet, sudah tersingkir kesamping ! Orang bertanya, mana pendirian yang tegas untuk menjalankan nasionalisasi dalam keterangan Pemerintah sekarang itu ? Tidak ada ! Adapun tentang pendirian partai kami tentang nasionalisasi ini akan dijelaskan oleh teman-sefraksi saya seterusnya. Riwayat mencatat, bahwa sebab yang langsung menyebabkan Kabinet Wilopo jatuh, ialah oleh karena soal pembagian tanah di Sumatera Timur. Bukan lantaran Kabinet Wilopo tidak setuju dengan beleid Menteri Dalam Negeri, malah seluruh Kabinet itu berdiri di belakang kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri, Mr. Mohd. Roem, akan tetapi oleh karena Kabinet Wilopo itu tidak bersedia menjalankan tuntutan oposisi yang sudah nyata dituangkan dalam bentuk suatu



mosi yang isinya a.l. supaya dasar2 pembagian tanah tsb. ditinjau sama sekali, dan yang ditahan berkenaan dengan peristiwa Tanjung Morawa itu dibebaskan. Siapa sekarang mempelajari keterangan Pemerintah dalam hal ini, hanya dapat melihat beberapa daftar usaha, bagaimana memperbaiki penglaksanaan yang sudah ada. Cara2 yang dikemukakan sebagian besarnya bukan barang baru, dan praktis sudah lama berjalan demikian. Sedangkan tentang soal Tanjung Morawa, kata Pemerintah : „Akan diselesaikan menurut jalan hukum !" Juga di sini rupanya berlaku peribahasa orang : „De berg heeft een muis gebaard". Besar dugaan saya, rencana pembagian tanah di Sumatera Timur akan berjalan terus, menurut plan sebagaimana yang sudah dan yang sedang berjalan. Pelaksanaannya sudah hampir selesai. Dan 28.000 rakyat Sum. Timur akan bersyukur atas itu semua. Sekarang yang sedang pindah ketempatnya yang baru, hanya tinggal 2000 orang lagi. Bagi mereka yang berbahagia ini kegegeran2 Kabinet akan berarti hanya sebagai „ships that pass in the n 'tght". Sejarah berulang. Dua tahun yang lalu, pernah saya dalam majelis yang terhormat ini berkata : „Dan itu gunung-gemunung mosi, yang tadinya memisahkan Pemerintah dulu dari Parlemen, sehingga Pemerintah itu merasa perlu mengundurkan diri, ternyata rupanya hanya gunung salju yang sudah lama cair dan lenyap tidak ketahuan kemana hanyutnya, dilenyapkan oleh temperatur-terik yang rupanya memuncak tinggi, sejalan dengan memuncaknya kegiatan para formatur yang silih-berganti 1 ” Demikian



1



lihat hal 20.



pernah saya kemukakan dalam sidang yang terhormat ini dua tahun yang lalu. Rupanya, zaman bertukar, musim berganti, tetapi keadaan belum berubah. Dia kembali lagi. Kembali dalam bentuk yang lebih hebat. Satu Kabinet telah jatuh lagi, bukan lantaran sesuatu politiknya yang prinsipil keliru, akan tetapi, di sini rupanya terletak „des Pudels Kern" lantaran satu atau lebih dari partai2 yang berkombinasi dengan beberapa partai lain duduk bersama dalam Kabinet tapi di Parlemen partai pendukung Pemerintah tersebut mengadakan kombinasi dengan oposisi dan sama2 mendesakkan beleid yang tidak dapat dijalankan oleh Kabinet. Gejala yang demikian inilah, yang telah tumbuh dalam parlementer stelsel kita sekarang ini. Kita sedang mencoba mengadakan satu parlementer stelsel secara Barat. Stelsel ini tidak akan bisa berjalan dan tidak memberi manfaat kepada kehidupan Negara apabila kita tidak berjalan menurut cara2 permainannya. Apa yang kita pertontonkan sekarang ini ialah ibarat orang yang mau bermain tenis tanpa net dan tanpa garis. Hal inilah yang telah kami kemukakan sebagai analisa yang zakelijk pada saatnya Kabinet Wilopo jatuh dengan perkataan : „Tidak mungkin mengadakan satu pemerintahan parlementer yang stabil selama partai Pemerintah dalam Parlemen mengadakan koalisi dengan oposisi". Jawaban dari pertanyaan tentang turun naiknya kabinet di negeri kita ini, tidak dapat dijawab dengan perbandingan politik program atau beleid kabinet2 itu. Jawabnya terletak lebih dalam. Letaknya a.l. ialah dalam hakikatnya dasar yang sedang kita pakai untuk menjalankan parlementer stelsel dalam pemerintahan Negara, yakni



Dewan Perwakilan Rakyat, yang sebenarnya tidak sesuai dengan perkembangan partijwezen, yaitu D.P.R. yang tidak dipilih oleh Rakyat dan tidak bisa pula dibubarkan ini. Pemilihan - Umum. Keadaan terumbang-ambing seperti ini akan terus berjalan, sebelumnya ada pemilihan-umum, yakni satu2-nya jalan untuk meletakkan dasar yang lebih kuat dan sehat. Dengan demikian, maka ada tugas yang sangat primair bagi Kabinet ini untuk menolong demokrasi di negeri kita, ialah melaksanakan pemilihan-umum secepat mungkin. Saya menyesal melihat bahwa dari pihak Pemerintah ini tidak ada kelihatan tanda2 untuk betul2 segera melaksanakan pembinaan dasar pertumbuhan parlementer stelsel ini. Yang kelihatan ialah sebaliknya: Dalam penjelasan Pemerintah lebih lanjut, dengan sangat heran dan kecewa saya membaca, bahwa „pemilihan-umum" itu akan dilaksanakan menurut rencana 16 bulan lagi, terhitung mulai Januari 1954 di muka. Artinya kalau tidak ada aral melintang, Kabinet ini harus kita hidupkan se-kurang-2nya dalam tempo kira2 dua tahun lagi. Dalam zaman yang dinamis ini, di mana kita setiap waktu mengalami perubahan dan pertukaran kekuasaan tangan di lapangan dunia internasional, di mana perimbangan kekuatan dunia itu sebentar2 berganti posisi, yang memaksa kita mengambil putusan2 siasat dan taktik yang prinsipil, maka 20 bulan itu berarti waktu yang sangat lama. Dengan demikian sifat darurat dari Kabinet sekarang ini menjadi hilang, dan oleh sebab itulah Pemerintah ini maunya dari tadinya mesti disusun secara teliti dan hemat sekali, sehingga memenuhi syarat2 yang sanggup mempertahankannya selama itu. Karena hal tersebut tidak terjadi, maka jelaslah bahwa kita terpaksa sangat sceptis sekali



menghadapi kemungkinan2 yang akan dilaksanakan oleh Kabinet baru ini. Saya kira perlu saya berterus-terang di sini, bahwa buat kami tidaklah dapat „pemilihan-umum" sampai kepada penglaksanaannya itu, di- jadikan senjata untuk mempertahankan Kabinet ini. Soal keamanan. Di bawah kibaran palu-arit, pernah di Ibu-Kota ini gemuruh demonstrasi2 untuk memulihkan keamanan, dan memberantas „gerombolan D.I., T.I.I. dan lain2-nya". (Gerombolan M.M.C., Bambu-Runcing, Barisan-Sakit-Hati rupanya dimasukkan „geruisloos" ke dalam istilah „dan-lain2" itu sehingga tidak di-sebut2). Di tengah2 itu lahirlah pernyataan dari Wakil Perdana Menteri ke-I Mr. Wongsonegoro, yang sekarang pernyataan itu sudah menjadi kata-bersayap: „komando-terakhir" dan bertemu dengan formulering berupa keterangan Pemerintah dalam pidato-Presiden, bahwa „apabila bicara dengan mulut tidak mempan lagi, suruhlah senjata dan bedil berbicara". Saya hendak bertanya kepada Pemerintah ini: „Apakah yang telah berbicara semenjak tahun 1950 sampai sekarang, selain dari bedil?" Malah lebih dari bedil, mortir dan bom, sudah kita suruh berbicara! Kenyataan bahwa tokh sampai sekarang belum kunjung juga keamanan terpulihkan, adalah bukti bahwa soal ini bukanlah soal dangkal yang dapat diatasi dengan se-mata2 „komando-terakhir", perintah kepada tentara untuk mempergunakan senjata bedil, mortir dan bom itu. Semenjak dua tahun kami ber-ulang2 mengemukakan, bahwa soal keamanan ini tidak dapat diselesaikan secara militair-centriskh. Dan bukan cukup sekedar meng-ulang2-i saja. Kami tahu, bahwa perlu



kami bantu dalam lapangan lain dari lapangan senjata itu. Kami membantu dalam lapangan yang dapat kami kerjakan. Kami peringatkan akan tanggung-jawab kami yang besar untuk menjaga keselamatan Republik Indonesia ini, sebagai hasil jihad kami umat Islam ber-sama2 dengan segenap golongan sebangsa atas dasar kata-persamaan. Kami serukan suara kami, kami tunjukkan dengan tegas bahwa chaos dan kekacauan akan membawa kita ke jalan buntu, dan keruntuhan seluruhnya. Kami lakukan, bukan satu kali atau dua kali, tapi ber-kali-2 ber-turut2, kapan saja dirasakan perlu. „Masyumi", sebagai demokratis-parlementer bolwerk. Dan apabila pada suatu saat bertambah besarnya kesulitan yang ditemui oleh tentara kita lantaran kurang paham dan keliru tampa, tidak segan2 kami mengeluarkan penerangan2 untuk menghindarkan tindakan2 yang keliru itu. Tempo2 atas permintaan pihak pimpinan tentara sendiri. Kami lakukan ini, oleh karena insaf akan kewajiban partai kami sebagai demokratis parlementer bolwerk dari kaum Muslimin dalam Republik Indonesia ini. Ada kelihatan tendens sekarang ini, justru hendak memukul-ambrukkan demokratis parlementer bolwerk kaum Muslimin ini dengan segala macam agitasi dan tuduhan2. Insafkah orang, apa yang mungkin terjadi apabila parlementer bolwerk ini dapat mereka hancurkan? Yang akan timbul ialah kekacauan yang lebih besar lagi. Dan memang chaos dan kekacauan itulah yang diingini golongan tertentu itu, yang mereka pelihara di bawah slogan, menghilangkan kekacauan.



Sekarang Pemerintah mengatakan, bahwa ikhtiarnya akan dapat berhasil baik, apabila mendapat sokongan dari rakyat. Apa yang dimaksudkan oleh Pemerintah dengan „sokongan rakyat" itu tidak dapat saya tafsirkan sendiri. Tetapi apabila saya melihat disekeliling kita sekarang ini, dan mendengar pendirian Menteri Pertahanan baru2 ini tentang pasukan2 sukarela, benar2 mencemaskan saya. Apakah rakyat itu akan kita persenjatai buat ikut aktif bertempur dan bergerilya mengembalikan keamanan umum itu? Yang menarik perhatian di waktu belakangan ini, justru suara2 yang menuntut supaya diadakan organisasi2 pembela rakyat, yang akan dilengkapi dengan alat2, yang perlu buat membasmi pengacau itu, katanya! Kalau ini terjadi akan kalah-lah limau oleh benalu, dan kita pun mau tidak mau linia recta akan terperosok kepada peperangan saudara yang tidak kita maksudkan. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa tiap2 usaha macam manapun, entah dengan kwalifikasi militairistis, politis atau apapun saja namanya untuk mengembalikan keamanan itu, tak dapat tidak haruslah didasarkan kepada pengertian yang dalam tentang: a. Sociale structuur dari masyarakat kita, b. Tentang psykhologie dari rakyat. Dan semuanya dilakukan dengan politiek inzikht yang agak tajam. Menyesal, saya tak dapat melihat tanda2 ke arah itu dalam keterangan2 yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah, baik di luar atau di dalam Parlemen ini.



Dengan tidak memberikan analisa sedikit juapun tentang keadaan ekonomi dan keuangan sekarang, kita harus menerima saja secara apodictis, bahwa „tidak ada alasan untuk pesimistis, malah ada untuk gematigd optimisme". Sayang ! Keuangan-ekonomi. Dalam lapangan keuangan-ekonomi menurut hemat saya, keterangan Pemerintah itu menunjukkan suatu kehendak menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Atau apakah benar2 Pemerintah belum mengetahui keadaan yang sesungguhnya! Tidak usah kita jadi seorang expert dalam soal ekonomi dan keuangan untuk mengetahui ini. Ambil sajalah angka2 yang umum diketahui ! Dalam Rencana Anggaran Belanja tahun 1953, kekurangan Pemerintah ditaksir sebesar Rp. 1800 milliun. Untuk memelihara se-dapat2-nya keseimbangan moneter (monetair evenwikht), maka terhadap deficit ini direncanakan Pemerintah pemakaian sebagian dari persediaan devizen (deviezen intering) sebesar Rp. 1300 juta. Sisa kekurangan sebesar Rp. 500 juta yang masih mengancam keseimbangan moneter diharap akan dapat dielakkan dengan tambahan produksi di dalam negeri. Saya sangsikan, apakah pemakaian devizen sebesar Rp. 1300 juta itu cukup untuk mengimbangi tekanan inflatoir yang ditimbulkan oleh deficit Pemerintah sebesar Rp. 1800 juta itu. Tetapi, kalau kita boleh mempercayai keterangan Menteri Keuangan dr. Ong Eng Die, — keterangan mana rupanya oleh Pemerintah dianggap kurang penting



hingga tidak termuat dalam keterangan Pemerintah, melainkan hanya diberikan kepada pers saja —, maka kekurangan anggaran tahun 1953 bukan akan berjumlah Rp. 1800 juta, melainkan Rp. 2500 juta, jadi Rp. 700 juta lebih banyak dari rancangan semula. Apabila pemakaian devizen (deviezen intering) hanya terbatas pada Rp. 1300 juta seperti rencana Pemerintah yang sudah, maka itu berarti, bahwa dalam masa yang akan datang, kita akan mengalami suatu inflasi yang hebat, yang akan terlihat nanti dalam meningkatnya barang2 keperluan se-hari2, yang pasti akan disusul dengan kenaikan2 upah. Semua itu akhirnya akan menekan produksi dan ekspor, menstimulir penyelundupan, pendek kata, proses ekonomi akan terhalang dan persediaan devizen yang sudah buruk akan lebih buruk lagi. Jika Pemerintah tahun ini juga memperbesar deviezen-intering itu di atas jumlah Rp. 1300 juta yang telah direncanakan, maka itu berarti bahwa buat tahun yang akan datang persediaan devizen untuk menampung deficit anggaran Negara akan lebih berkurang lagi. Di samping itu, saya ingin mendapat gambaran tentang Anggaran Belanja dan deficit yang akan direncanakan oleh Pemerintah sekarang, meskipun secara global. Utang Pemerintah. Melihat utang Pemerintah yang setiap minggu dapat kita baca diberita „Antara", semenjak utang Pemerintah dahulu kepada Javaskhe Bank sebesar lebih kurang 3,7 milliard dibekukan, dalam dua bulan ini utang Pemerintah itu sudah meningkat sampai 413 juta pada 26 Agustus. Itu berarti, bahwa kekurangan kas Pemerintah tiap2 bulan berjumlah lebih dari 200 juta. Apabila dalam keadaan ini tidak ada perbaikan, — dan saya tidak melihat tanda2 perbaikan —, maka pada



akhir 1953 utang Pemerintah pada Bank Indonesia akan berjumlah lebih dari 1.2 miliard. Pada akhir tahun 1954 kalau tidak ada tindakan2 yang rigoureus dari pihak Pemerintah, maka utangnya akan berjumlah 1.2 miliard ditambah 3 miliard, menjadi 3.6 miliard, jadi persis sebesar utang yang sudah geconsolideerd. Mungkin jumlah ini tidak akan tercapai karena U.U. Pokok Bank Indonesia memberi batas2 yang tertentu, baik terhadap jumlah uang yang boleh dipinjam oleh Pemerintah dari Bank Indonesia, maupun terhadap jumlah uang yang boleh dicetak oleh Bank tersebut. Saya kuatir bahwa Pemerintah pada satu saat yang tidak jauh lagi tidak dapat memenuhi kewajiban2-nya, misalnya membayar gaji pegawai2 dsb.nya, kecuali apabila Parlemen memberi izin kepada Pemerintah untuk meminjam lagi kepada Bank Indonesia atau mencetak uang lagi dengan segala akibat2-nya. Politik-parlementer-struktur Negara kita, sebagai pangkalan yang terpenting untuk pembinaan dan penyelamatan kehidupan Negara dan mengatasi kesulitan lainnya, dalam keadaan lumpuh dan belum kelihatan, apabilakah akan diperoleh obatnya. Dalam pada itu soal demi soal tampil di hadapan kita, soal keamanan, soal kemakmuran rakyat, yang meminta penyelesaian segera ! Semuanya merupakan gambaran yang suram. Yang ter-lebih2 menyuramkan, ialah bahwa Kabinet yang mengendalikan pemerintahan Negara ini tidak bersedia melihat kesuraman itu, dan mengayak kita sama2 optimistis saja.



Satu bagian dari keterangan Pemerintah adalah tepat sekali yakni, bahwa syarat mutlak bagi mengatasi kesulitan2 yang kita hadapi sekarang ini, adalah „persatuan kehendak dan semangat yang kokoh". Akan tetapi, cara terbentuknya Kabinet ini, di mana kepentingan partai lebih diutamakan dari pada kepentingan Negara, dan cara Pemerintah sekarang memandang dan menilai masalah2 yang dihadapinya, tidak memberi harapan bahwa ia akan sanggup mengatasi persoalan2. Se-olah2 dipandang tak perlu memobilisir tenaga2 yang konstruktif dan penuh semangat untuk memberikan apa yang dapat disumbangkannya bagi Negara dan bangsa dalam saat yang kritis ini. 28 Agustus 1953



PIDATO DI PARLEMEN TANGGAL 6 SEPTEMBER 1953 PEMANDANGAN UMUM (BABAK KE II) Saya sangat berterima kasih, yang Pemerintah telah memakai waktu dengan sungguh2, sudah berjerih-payah memberi jawaban atas pemandangan umum yang dikemukakan oleh beberapa anggota dalam D.P.R. ini. Sayapun tidak segan2 mengakui, bahwa ini adalah suatu jasa yang patut dihargai dari Pemerintah ini. Memang, tidak dapat disangkal, bahwa jawaban Pemerintah adalah cukup panjangnya. Dan cukup gedetaileerd dalam soal2 detail. Saya mengucapkan banyak terima kasih lagi atas kesediaan Pemerintah memberikan prioritet dalam reaksinya terhadap pemandangan umum saya babak pertama itu, walaupun Pemerintah sudah merasa perlu sekali untuk menunjukkan „geregetnya" dengan memberikan kepada saya persoonlijk, satu panggilan atau kwalifikasi yang orisinil sekali, dan kawan2 yang mengerti betul apa artinya kwalifikasi itu dalam kamus peribahasa, menerangkan kepada saya, bahwa pendeknya, saya tidak perlu sangat bangga menerima gelaran itu. Saya tidak ingin memasuki ketelanjuran lidah Pemerintah terhadap sesuatu kupasan tajam dan zakelijk yang telah saya kemukakan dalam babak pertama. Malah saya lebih ingin melupakannya. Makin lekas dilupakan makin baik ! Memberikan kesimpulan yang zakelijk terhadap peristiwa itu adalah berarti memberikan gambaran yang lebih nyata, bagaimana



sesungguhnya cara dan geestelijke toestand serta bagaimanakah Pemerintah melihat persoalan2 yang timbul di hadapannya. Cara dan geestelijke toestand demikian adalah satu cara yang sukar sekali untuk menimbulkan kekaguman kita. Mungkin karena kesamaran yang tidak pada tempatnya atau lantaran sesuatu alam pikiran yang menyelimutinya, maka Pemerintah rupanya se-akan2 kehilangan pedoman dan pegangan dalam pen jawabannya itu. Tidak ada analisa sama sekali. Pemerintah menampik dengan keras, bahwa penjelasan Pemerintah tidak disusun secara ter-gopoh2. Apakah ini hanya suatu perbedaan dalam pendapat yang subjektif, dengan arti dipengaruhi oleh sentimen? Tidak, sebab keterangan Pemerintah dalam babak pertama itu nyata, bahwa sama sekali tidak disajikan dalam rangka pandangan2 politik dan ekonomi seperti semestinya, tetapi hanya beberapa punten pekerjaan yang disusun dalam suatu daftar. Tentang dasar dan pertimbangan2 apa, makanya segala punten2 itu disusun sedemikian rupa, kita cuma dapat menerka sebagai suatu „puzzle zonder ge- gevens". Pemerintah menggeletarkan dengan suara yang agak geram, bahwa Pemerintah memang tidak memajukan analisa yang muluk2. Kekecewaan kami bukan tentang soal muluk2-nya, tetapi tentang sama sekali tidak mendapatkan analisanya sebagai pengantar beleid politik Pemerintah yang dihasratkan, sekalipun analisa yang bersipat sederhana sekalipun! Saya kira, orang tidak perlu takut tenggelam dalam lautan analisa, asal saja mampu dan bijaksana mempergunakannya. Tidak ada suatu



perbuatan politik, yang tidak berpangkal kepada suatu konsepsi politik, yaitu kesimpulan analisa situasi yang kita hadapi. Apabila kita melaksanakan tindakan2 gerak-cepat secara ter-gopoh2 belaka dengan tidak diperhitungkan lebih dahulu, jangankan dalam lautan, di air keruh yang dangkal sekalipun kita bisa kelelep dan dihanyutkan, justru karena kita berada dan di lingkungan, —saya ambil oper perkataan Pemerintah sendiri, masyarakat yang begitu besar dinamiknya-/ Masalah- tidak tetap. Pemerintah ini tidak mau dipersalahkan bersipat ter-gopoh2. Pemerintah bersabda: Semuanya sudah dianalisir, se-gala2-nya sudah dipertimbangkan. „Ikh habe skhon alles hereinkalkuliert". Saya menyesal tidak bisa memeriksa apakah „calculation" tersebut barangkali juga disandarkan kepada salah suatu „inspirasi" sendiri, seperti di zaman yang lampau pernah digeletarkan oleh seorang pemimpin. Tetapi saya agak sedikit kagum mendengar „pertinente bewermg" dari Pemerintah ini, yaitu bahwa „segala masalah2 politik, sosial dan ekonomi dalam garis2 besarnya, tinggal tetap, tidak saja dilingkungan Republik Indonesia melainkan juga di seluruh Asia Tenggara, diukur dari Kabinet Hatta sampai sekarang". Andai kata „kesimpulan analisa" yang demikian itu tidak keluar dari mulut Pemerintah, yang bertanggung-jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya, saya akan menerimanya dengan senyum-manis. Akan tetapi karena ucapan ini merupakan pendapat resmi, se-tidak2-nya pendapat yang harus dianggap „ernstig", maka terpaksa juga saya menegor kegegabahan keterangan itu. Bagaimanakah pendapat ini dapat disesuaikan dengan pengakuan Pemerintah sendiri, bahwa kita berada dalam „masyarakat yang begitu besar dinamiknya” ?, sedangkan seba- liknya dalam tempo 4 a 5 tahun sejarah politik internasional



semua- nya tinggal tetap. Benar2-kah dapat kita pertahankan, bahwa selama waktu yang berjalan itu sama sekali tidak ada perubahan2 dalam perimbangan tenaga2 yang bertarungan dan berkepentingan ? Apakah „economiskhe en politieke spanningen" antara tenaga2 Eropah dan Amerika, antara jago2 imperialis satu sama lain, antara dunia imperialis dan dunia „anti-imperialis", antara negara2 anti-imperialis sendiri satu dengan lainnya, benar2 tidak ada sedikitpun yang berubah, tidak sedikitpun yang beralih posisinya terhadap satu dengan lain, dan terhadap seluruhnya? Dapatkah secara „ernstig" diterima, se-olah2 benar tidak ada yang bergerak, tidak ada yang berangsur semenjak 4 a 5 tahun yang sudah? Apakah kejadian2 yang berlaku di seluruh Asia Tenggara harus kita lihat secara „an sich", ataukah dalam rangka hubungannya dengan pergolakan dan pergeseran2 perkembangan di Barat dan di Timur? Bukan hanya berubah. Dalam meninjau dan menaksir perkembangan tenaga2 di dunia ini, orang hendaknya jangan terlampau membuta kepada bentuk dan patokan2 yang lahir saja, orang harus lebih tajam melihat „gerak-gerik yang tersembunyi”, lebih memperhatikan „perkembangan yang di dalam” dan „innerlijke spanningen” yang berlaku, sekalipun ini biasanya tidak diregistrir secara resmi. Pertumbuhan dan perkembangan tenaga2 dunia, dari dahulu sampai sekarang, dan mungkin juga akan seterusnya, bukan saja bersipat dinamis, berubah dan berbalik, akan tetapi, — maafkan keberanian saya menolehkan mata Pemerintah kepada faktor ini —, akan tetap bersipat tidak merata, tidak lempang-lurus (ongelijkmatig en niet rechtlijnig), melainkan ber-ombak2, dahulu-mendahului, serta berpusing seperti spiral. Justru syarat2 inilah yang menimbulkan



pertikaian, pergeseran, pertentangan, dan akhir2-nya penghancuran satu oleh yang lain, dan justru akibat2-nya itulah pula yang harus menentukan taktik dan strategi politik pada waktu2 yang tertentu. Kalau ini saya kemukakan di hadapan sidang ini, bukanlah ini berarti suatu „gemeenplaats", tetapi suatu „aksioma" yang sampai sekarang tak dapat dirobah oleh siapapun juga, bahkan tidak oleh sejarah masyarakat sendiri, terlepas dari penghargaan dan pendapat subjektif kita masing2. Yang dikatakan „gemeenplaatsen" yaitu buah pikiran manusia sendiri, yang di-ulang2, di-kunyah2, dijadikan „mode" dan „passepartout" untuk setiap waktu dan keadaan, yang mungkin tidak sesuai lagi dengan saat dan situasi baru. Juga di dalam negeri ada perubahan2 Tentang pembekuan masalah2 di seluruh Asia Tenggara ini, biarlah saya tinggalkan sampai di sini saja, dan saya pulangkan segalanya itu kepada debet dan kredit Pemerintah ini sendiri. Bahwa masalah2 dalam lingkungan Republik Indonesia juga tidak berubah dalam garis besarnya semenjak waktu Kabinet Hatta sampai sekarang, ini adalah satu keterangan yang sangat menyolok-mata sekali, sebab rakyat kita langsung dapat mengkonfrontirkannya dengan kenyataan2 yang konkrit, yang dialaminya sejak 4 tahun yang sudah sampai sekarang. Lebih baik tidak saya jadikan buah perdebatan di sini tentang perbedaan posisi ekonomi dan politik Republik Indonesia terhadap keluar, di waktu tahun 1949 dan sekarang pada tahun 1953. Kalau saya bayangkan saja soal Irian, sudah cukup dimengerti apa yang saya maksudkan. Juga soal2 dalam Negeri, baik dalam keadaan ekonomi dan keuangan maupun keadaan moril dan materiil ataupun



kepentingan yang berada dalam segala lapangan masyarakat kita ini. Kalau sekiranya benar2 tidak ada berubah, —tetap seperti sediakala seperti di zaman Kabinet Hatta —, maka buat saya memanglah menjadi teka-teki yang luar biasa untuk mencari alasan, apakah sebabnya kita sebentar2 krisis, sebentar2 tukar kabinet, se-akan2 kejadian2 dalam Parlemen ini sama sekali terlepas dari perubahan2 dinamik yang ada dalam masyarakat kita sendiri. Jawaban saya kepada Pemerintah akan berpanjang-lebar dan akan mengambil tempo yang banyak, kalau segala perubahan2 yang ada dan yang berlaku dalam lingkungan R.I. ini, semenjak Kabinet Hatta sampai pada saat ini, saya uraikan dan saya luku di sini. Saya cuma mengemukakan satu contoh saja, guna „mencamkan" perubahan2 yang sudah banyak dialami dan dilihat. Empat tahun yang lalu seluruh partai2 nasional serentak dan sepakat mengasingkan diri dari kerjasama dengan partai yang menjadi promotor pemberontakan-Madiun. 4 tahun jl. partainya sdr. Sakirman cs. takut2 mengeluarkan gertak-sambalnya, tapi sekarang ini, mendengarkan angkuh-angkah P.K.I. di dalam dan di luar D.P.R. maka rakyat Indonesia mendapat kesan, se-olah2 jago2 pemberontakanMadiun ini, yang tadinya mencoba menikam R.I. dari belakang itu, oleh Pemerintah yang disebut berdasarkan dan bersipat nasional ini, sudah dijadikan kepala dapur dalam peralatan Kabinet. Saya tahu siapa yang gelak-senyum sekarang ini, tetapi pasti bukan rakyat Indonesia, yang ingin mempertahankan Kemerdekaannya hidup-mati dari penjajahan imperialis asing, dan imperialis merah! Ekonomi ■ Keuangan Untuk menggambarkan keadaan suram dalam lapangan ekonomi dan keuangan, saya telah kemukakan dalam pemandangan umum



saya babak pertama, beberapa angka2 resmi yang mudah diambil dari berita „Antara" dari minggu keminggu. Dengan gambaran suram itu kita sukar untuk bersikap optimistis yang seyogianya, sebagaimana yang dianjurkan oleh Pemerintah dalam keterangannya yang mula2 itu. Saya berterima kasih, atas kesediaan Pemerintah untuk memberikan reaksinya. Pemerintah menyangkal, bahwa Pemerintah menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dan bahwa angka2 yang „memperlihatkan keadaan yang lebih suram" yang saya kemukakan itu, menurut Pemerintah sudah dikemukakan oleh Menteri Keuangan kepada pers. Tadinya saya akan dapat lebih menghargai apabila keterangan yang penting itu, dicantumkan dalam keterangan Pemerintah kepada Parlemen ini, tidak disambil-lalukan kepada pers saja. Dalam pada itu Pemerintah membawa perhatian kita kepada faktor2 yang lain dari pada faktor kekurangan anggaran dan pemakaiannya (begrootingdeficit dikurangi dengan kekurangan neraca-pembayaran). Pemerintah menunjukkan faktor yang membawa keentengan a.l. pembayaran uang muka 75% untuk impor yang mempunyai effect deflatoir. Tapi bukanlah, sebagaimana yang dapat dipahamkan dari keterangan Pemerintah berikutnya, bahwa maksimum pembayaran uang impor 75% sedang tercapai. Dan lantaran itu kekuatan deflatoir effectnya sudah berhenti. Bukankah Pemerintah sekarang ini sudah mesti membayar porsekot itu kembali, hal mana bukan lagi mempunyai deflatoir, melainkan inflatoir effect?



Pemerintah menerangkan, bahwa adalah kurang benar, apabila saya katakan, bahwa kas Pemerintah kekurangan lebih 200 juta rupiah karena menaiknya debet stand Pemerintah pada Bank Indonesia itu, terutama disebabkan karena turunnya jumlah pembayaran 75% untuk impor (300 juta rupiah) „bukan karena pembayaran guna anggaran Pemerintah". Tetapi, dari keterangan Pemerintah itu sendiri, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa utang Pemerintah yang berjangka pendek adalah sebesar utang kepada Bank Indonesia ditambah dengan pembayaran uang muka dari para importir. Pada saatnya barang2 para-importir sampai di Indonesia, Pemerintah mesti membayar kembali utang itu kepada pihak importir. Oleh Pemerintah disebut angka 300 juta rupiah. Maka untuk membayar kembali utang ini, Pemerintah harus lagi meminjam uang kepada Bank Indonesia. Jadi benar, bahwa pinjaman itu adalah untuk membayar kembali kepada importir, tetapi janganlah lupa, bahwa uang itu sudah terpakai oleh Pemerintah guna anggaran Pemerintah. Kalau tidak terpakai untuk anggaran Pemerintah apa perlunya meminjam kepada Bank Indonesia, untuk pengembalian uang muka tsb.? Saya berterima kasih atas counter analisa yang diberikan oleh Pemerintah terhadap beberapa angka2. Adapun hasilnya ialah memper jelas keadaan yang lebih suram, jauh dari satu keadaan yang memungkinkan kita turut optimis yang seyogianya, sebagaimana yang dianjurkan oleh Pemerintah dalam keterangan Pemerintah pertama kali.



Kami berpendapat, bahwa perlu bagi Pemerintah, adanya satu analisa yang menjadi dasar atau latar belakang dari program itu, justru untuk menilai sesuatu program politik dan untuk mengukur sampai ke mana, mungkin atau tidaknya, program politik itu dijalankan oleh Pemerintah. Akan tetapi rupanya Pemerintah ini bertegang mempertahankan, bahwa dalam cara ia bekerja tidak memerlukan dasar dan latar belakang yang demikian itu. Apa mau dikata ! Memang rupanya, kunci untuk mengetahui tata cara Pemerintah ini hendak bekerja, tergambar dalam salah satu pasal dari programnya dan tafsirnya. Dengan kunci inilah kita dapat memahamkan alampikiran Pemerintah ini. Dalam fasal tsb. Pemerintah berkata : „Mengusahakan penyelesaian segala perselisihan politik yang tidak dapat diselesaikan di dalam Kabinet dengan menyerahkan keputusannya kepada Parlemen”. Jadi bilamana timbul sesuatu pertentangan pendirian di antara anggota Kabinet, maka Pemerintah bertahkim kepada Parlemen. Apabila keputusan Parlemen sudah ada, lalu seluruh Kabinet akan tunduk kepada keputusan itu dan seluruh anggota Kabinet yang setuju dengan yang tak-setuju akan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian seorang Menteri yang tidak setuju dengan beleid yang sedang dilakukan itu tidak usah mengundurkan diri sebagaimana yang lazim berlaku, tetapi dapat duduk terus. Soal tanggung-jawab sesuatu beleid kepada Parlemen sudah berpindah kepada tangan Parlemen sendiri, yang dengan demikian pada hakikatnya Parlemen tsb. menjelma menjadi semacam Super-Kabinet. Pemerintah akan merupakan sekedar Panitia Pelaksana yang dalam



rangkaian ini tidak lagi mempunyai tanggung-jawab politik dengan arti yang lazim. Dalam keterangan tentang fasal tsb. kita dapat membaca, bahwa apabila sesuatu keputusan dari Parlemen sedang dilaksanakan oleh Pemerintah dan ternyata tidak bisa dijalankan menurut kehendak Parlemen maka Pemerintah akan melaporkan kepada Parlemen hasil usahanya, serta membawa bahan2 baru. Dari Parlemen diharapkan, bahwa setelahnya mendengar laporan itu, Parlemen akan mengambil keputusan baru. Kemudian tentu Kabinet, setuju atau tidak setuju, dengan keadaan utuh akan menjalankan atau mencoba-menjalankan keputusan itu. Tata-cara yang semacam ini adalah satu tata-cara yang „unik" dalam rangkaian parlementerstelsel kita sekarang ini. Di mana sekarang istilah beroposisi sekedar untuk „beroposisi", satu istilah yang baru2 ini dilemparkan oleh Pemerintah ke-tengah2 masyarakat, sudah mulai merupakan kata-bersayap pula, orang ber-tanya2 apakah gerangan dengan tata-cara yang demikian ini, Pemerintah bukan hendak memerintah untuk tetap duduk dikursi Pemerintah? Tentu Pemerintah akan membantah keras kesan kami yang demikian itu! Yang terang sekarang ialah, bahwa memang dalam rangkaian pikiran yang semacam itu, tak usahlah kita mengharapkan banyak analisa, dan garis2 politik atau yang semacam itu dari Pemerintah di hadapan Parlemen ini. Sebab, dalam rangkaian pikiran yang semacam ini, tokh Parlemen yang akan mengendalikan arah manakah yang harus ditempuh Pemerintah. Pemerintah tinggal akan menjalankannya saja, dan di mana perlu akan melaporkan usahanya kepada Parlemen.



Dalam rangkaian pikiran ini pula, rupanya memang bukan Pemerintah yang harus berusaha-payah membuat analisa dan mendasarkan politiknya atas dasar analisa itu, sebagaimana tadinya disangka dapat diharapkan, menurut kelaziman yang berlaku. Tetapi rupanya ber-sama2 dengan tanggung-jawabnya, juga kewajiban untuk membentuk dan menentukan satu garis politik, berpindah dari Kabinet kepada Parlemen. Dengan demikian kedudukan Kabinet walaupun bagaimana, akan tetap stabil seperti stabilnya satu Presidentil-Kabinet. Bedanya hanyalah, bahwa kedudukan Presiden dalam Presidentil-Kabinet, di sini digantikan oleh Parlemen. Orang yang tadinya tidak setuju dengan pembentukan satu Presidentil-Kabinet, di bawah pimpinan Kepala Negara yang tak dapat diganggu-gugat, sekarang dikonfrontir dengan satu bentuk diktatur oleh beberapa fraksi yang kebetulan memiliki kelebihan suara dalam Parlemen Sementara sekarang ini, yang dapat memberikan diktatnya kepada Kabinet tanpa risiko, bahwa Kabinet atau salah satu anggota Kabinet akan mengundurkan diri, sehingga pihak yang mendiktekan tak menghadapi risiko akan dikonfrontir dengan tanggung-jawab atas perbuatannya. Saya tahu golongan mana yang akan tersenyum melihat perkembangan yang demikian ini. Akan tetapi Negara dan rakyat kita dengan ini menghadapi satu perkembangan parlementerstelsel yang menuju kepada kekaburan pertanggungan-jawab kolektif atau individuil dari Kabinet serta kekaburan batas2 kewajiban dan tanggung-jawab antara perlengkapan2 Negara. Satu perkembangan yang sangat suram, saudara Ketua !



„Meesterstuk" dari Agitasi. Setelah Pemerintah, „mengharapkan pengertian, kepercayaan dan kesabaran" dari saudara2 anggota yang memajukan pertanyaan tentang rencana penyelesaian masalah keamanan dan penglaksanaannya dengan alasan bahwa „sukarlah bagi Pemerintah pada waktu sekarang memberikan keterangan2 tentang rencana itu dan penglaksanaannya", maka dengan satu tarikan napas Pemerintah berkata lagi: „Kalau saudara2 yang saya sebut nama2-nya di atas dalam jawaban saya ini memberikan saran2 yang konstruktif dan berharga, maka adalah lain sekali suara dari pihak oposisi yang memasukkan program dan keterangan Pemerintah tentang keamanan di dalam terminologi „vis nokh vlees". „Pemerintah merasa", demikian kata Pemerintah selanjutnya — „heran bahwa kritik yang tidak serius demikian itu diu- capkan oleh anggota2 yang menurut penyelidikan kami dari dokumentasi pemerintahan dalam keterangannya di dalam sidang ini, tak pernah mengutamakan ketegasan". Lalu Pemerintah menutup paragraf tentang keamanan ini dengan melancarkan anak panahnya : „Maka dari itu timbullah pertanyaan tidak saja pada Pemerintah akan tetapi menurut hemat kami, juga di kalangan khalayak ramai, bagaimanakah sikap yang sebenarnya dari oposisi itu terhadap pernyataan Pemerintah yang begitu tegas, tentang penggangguan keamanan dan pengrusak kemerdekaan kita, sampai sekarang sikap oposisi masih samar2". Demikian kata Pemerintah. Kalimat2 ini, dalam satu passage yang teratur rapi tak dapat lagi dinamakan satu „ketelanjuran lidah". Dengan sengaja dan dengan maksud yang tertentu nampaknya, Pemerintah memulai sebagai



pangkalannya menyelundupkan satu istilah „vis nokh vlees" yang pernah saya ucapkan di luar Parlemen ini sebagai kwalifikasi dari keterangan Pemerintah keseluruhannya. Istilah itu diselundupkan oleh Pemerintah ke dalam keterangan saya dalam babak pertama, khususnya yang mengenai paragraf keamanan. Dan setelah itu dengan barang-penyelundupan ini sebagai basis, dapatlah Pemerintah menyusun serangannya terhadap kami oposisi, dalam soal keamanan. Sesungguhnya saya harus mengakui, bahwa passage ini dari keterangan Pemerintah adalah satu „meesterstuk van agitatie". Saya bertanya : „Apakah sesungguhnya yang dimaukan orang dengan perkataan „tegas" itu? Kalau yang dinamakan tegas itu tindakan operatif militer, lupakah Pemerintah ini, akan kenyataan dalam dokumentasi sejarah, bahwa tatkala oposisi ini mengendalikan pemerintahan semenjak tahun 1951 dua kali ber-turut2 telah berulang dan ber-gelombang2, dilancarkan operasi militer dengan nama operasi „merdeka", operasi „halilintar"? Apa ini masih hendak dinamakan orang samar2? Cobalah Pemerintah ini mempelajari benar2 lebih dahulu apa yang disebutkannya dokumentasi Pemerintah itu, dari mula sampai terakhir, yakni semenjak pertengahan tahun 1950 sampai beserta waktunya Pemerintah ini mengambil oper pemerintahan dari Kabinet Wilopo, sebelumnya melancarkan anak panahnya yang berbisa itu ke arah oposisi. Kalau yang dinamakan tegas itu ialah, menunjukkan dengan nyata tentang persimpangan jalan antara cara2 yang dipakai oleh kami oposisi sebagai partai, dengan jalan buntu yang ditempuh oleh gerombolan2 yang dimaksudkan orang itu, maka periksalah dengan adil dan seksama dokumentasi khalayak ramai dengan berupa



pernyataan2 yang tegas yang telah kami umumkan, bahwa tindakan2 dari pada gerom- bolan2 itu melumpuhkan Negara serta alat2-nya, dan bahwa partai kami „Masyumi" sebagai demokratis-parlementer bolwerk dari Muslimin di Indonesia ini menolak tiap2 cara yang demikian itu. Kalau yang dinamakan tegas itu, ialah istilah yang dipakai untuk memberikan kwalifikasi kepada pengacau2, umpamanya : „organisasi2 yang terlarang dan di luar hukum", ataupun „pemberontak2 yang harus diberantas", maka ketahuilah, bahwa istilah2 yang semacam itu pasti akan bertemu dalam dokumentasi kenegaraan yang disindirkan oleh Pemerintah itu, semasa oposisi ini mengendalikan pemerintahan. Dan jikalau orang hendak mencari kekuatan dari istilah, ada yang lebih hebat lagi, yakni istilah „musuh negara", silahkan! Dan kami tidak berkeberatan walaupun andai kata ada orang akan memakai istilah yang lebih seram lagi, „musuh dunia", terserah ! Dalam hubungan ini, dari atas mimbar ini kami ingin memperingatkan bahwa ada tanda2 dan tendens2 dalam kalangan yang tertentu, untuk memakai istilah ini khusus bagi golongan gerombolan yang bernama D.L, dan dengan maksud tersembunyi atau terang2an, dengan itu untuk memanah partai kami sendiri. Yang begini akan kami hadapi dengan kepala dingin ! Kami tegaskan, bahwa soalnya tidak terletak pada terminologi yang gagah-menggarang seperti „komando-terakhir" dsb.nya, tetapi kepada apa isi komando itu, apa dan bagaimana aparat, dan bagaimana cara melaksanakannya. Dengan niat hendak menyumbangkan buah pikiran kepada Pemerintah ini, kata2 yang kami kemukakan justru berdasar kepada



pengalaman2 tragis di masa yang lampau, dengan memperingatkan kepada Pemerintah, bahwa soal keamanan ini tidaklah dapat se-mata2 diselesaikan dengan „komando-terakhir", sebagaimana yang dijanjikan oleh formatur Mr. Wongsonegoro kepada demonstranten P.K.I. itu. Tidak dapat diselesaikan dengan mendirikan pasukan2 sukarela yang dipersenjatai oleh Pemerintah atau rakyat, sebagaimana yang dijanjikan oleh Menteri Pertahanan Mr. Iwa Kusumasumantri. Kami terangkan ber-ulang2, baik dalam Parlemen ataupun di tengah2 apa yang dinamakan „khalayak ramai" oleh Pemerintah ini, bahwa soal keamanan ini mempunyai dua aspek yang tak boleh dipisahkan : 1. menaklukkan senjata dengan senjata, 2. memulihkan kepercayaan dan hati rakyat. Kami peringatkan sekali lagi bahwa walaupun istilah apa yang akan dipakai untuk tindakan2 keamanan itu, satu syarat mutlak ialah, bahwa semua itu tidak dapat dikerjakan dengan sembrono, akan tetapi „harus didasarkan kepada pengertian yang agak mendalam" tentang : a. sociologiskhe structuur dari masyarakat kita, b. jiwa dan psykhologie rakyat, yang harus dijalankan dengan politiek inzikht yang agak tajam". Demikian sumbangan yang telah dikemukakan oleh oposisi ini kepada Pemerintah. Adapun yang diberikan oleh Pemerintah ini kepada oposisi atas sumbangan itu tidak lain rupanya dari pada satu kwalifikasi „oposisi untuk beroposisi” dan oposisi yang „negatif.



Dalam pada itu apabila Pemerintah ini belum memiliki syarat2 yang saya kemukakan tadi, dan merasa lebih aman dengan bertamengkan kata2 steriotype, dan bahwa sukarlah bagi Pemerintah pada waktu sekarang memberikan keterangan2 tentang rencana dan penglaksanaannya dan bahwa untuk menjamin hasil se-besar2-nya harus dirahasiakan se-baik2-nya dulu, maka kalau demikian, ya, soit ! Tetapi alangkah janggalnya terdengar oleh khalayak ramai apabila satu detik sesudah itu Pemerintah ini membalas sumbangan yang diberikan oleh oposisi ini, dengan satu agitatoriskhe verdakhtmaking, bahwa khalayak ramai menyangsikan sikap oposisi tentang soal keamanan ini. Memang satu2 masa orang dapat mengabui khalayak ramai. Tetapi tidak seluruhnya dan tidak setiap masa khalayak ramai itu dapat diabui. Umum diketahui orang bahwa „offensief" adalah yang se-baik2- nya dan saya se-kali2 tidak menyalahkan apabila Pemerintah mengambil taktik ini untuk menutupi kelemahan2-nya dalam memberi jawabannya kepada sidang ini pada babak pertama. Tetapi apabila saya membaca dengan teliti keterangan Pemerintah dan melihat di dalamnya kilat-beliung yang dipermainkan, dan buang kaki yang diarahkan, serta gaya kepala yang di-geleng2-kan, terbayanglah di hadapan saya gambaran Gatotkoco tegak berdandan mencari lawan, maka tidaklah luput saya dari perasaan menyesal dan iba mendengar penjelasan2 Pemerintah yang dipanahkannya dalam jawabnya. „Offensief" terus-menerus, tanpa memperhatikan „stellingen" lawan yang dihadapi, dan tanpa memperhitungkan tenaga materiil dan moril „barisan" sendiri, adakalanya bukan lagi merupakan taktik



dan strategi yang diharapkan, tetapi mungkin merendahkan derajat Pemerintah sampai berlaku sebagai seorang politieke-strateeg yang sedang sesak-napas. Saya menyesal, karena insaf bahwa Pemerintah ini dalam hakikatnya tidak se-mata2 menghadapi oposisi di dalam Parlemen ini, yang mata-hidungnya dapat dihitung satu persatu, tetapi di luar D.P.R. ini kita akan menemui kehendak dari rakyat banyak yang angkanya selalu tidak bersamaan dan sejalan dengan perimbangan Pemerintah kontra oposisi dalam sidang ini. Dan saya merasa iba, karena mengetahui adanya perbedaan esensiil antara kenyataan yang sebenarnya kontra menjalankan lakon dengan pernyataan perkataan. Sambil menegaskan, bahwa kesulitan2 yang dihadapi oleh Negara kita sekarang ini hanya bisa diatasi dengan Persatuan Nasional, Pemerintah menerangkan bahwa : „Pemerintah sedang mempertimbangkan, apakah perlu lagi melayani kami sebagai oposisi". Baiklah ini terserah kepada hasil pertimbangan2 Pemerintah itu nanti ! Adapun kami, kami sadar bahwa sebagai oposisi, kami harus melakukan fungsi, yang wajib ada dalam sistim kenegaraan yang demokratis ini. Ideologi kami telah menetapkan garis2nya dalam ajaran2 Islam: „Amar ma'ruf nahi munkar". Fungsi yang demikian itu kami lakukan dengan penuh rasa tangung-jawab terhadap llahi-Rabbi untuk keselamatan Negara, Bangsa dan Agama. „Hasbunallah wani'mal wakil".Terima kasih ! ' 6 September 1953



2



PIDATO & KHUTBAH Capita Selecta M. Natsir jilid II



Diedit ulang oleh Purnawarman Ibn Atim http://Purnaislam.wordpress.com



II. PIDATO DAN KHOTBAH 1. Jangan Terhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut....... 75 2. Pidato dalam Resepsi Konferensi Guru Taman Pendidikan Islam, Medan, 20 September 1951……………………………………………………. ....... 83 3. Sumbangan Islam bagi Perdamaian Dunia…………………………… ...... 88 4. Sari Khotbah 'Idulftri, 1 Syawal 1369…...……………………………….. 115 5. Sari Khotbah 'Idulftri 1 Syawal 1371 ........................................................... 125 6. Seruan ............................................................................................................ 134 7. Pidato pada hari Iqbal, 21 April 1953, di D Jakarta ...................................... 98 8. Sari pidato di depan Mahasiswa P.T.1.1. Medan, 2 Desember 1953............ UI 9. Pidato memperingati lahirnya Mohammad Ali Jinnah, 25 Desember 1953 . 168 10.Revolusi Indonesia ……………………………………………………



177



11.Pengaruh Isra dan Mi 'raj dalam perkembangan Masyarakat………



140



12.Apakah Pancasila bertentangan dengan ajaran Al-Quran?........ .....



144



13.Kemerdekaan membawa tanggung-jawab …. ……………………….



218



JANGAN TERHENTI TANGAN MENDAYUNG, NANTI ARUS MEMBAWA HANYUT. Dulu : kehilangan Kini : mendapat



rasa mendapat, rasa kehilangan.



Hari ini, kita memperingati hari ulang-tahun Negara kita. Tanggal 17 Agustus adalah hari yang kita hormati. Pada tanggal itulah, pada 6 tahun yang lalu, terjadi suatu peristiwa besar di Tanah Air kita. Suatu peristiwa yang mengubah keadaan seluruhnya bagi sejarah bangsa kita. Sebagai bangsa, pada saat itu, kita melepaskan diri dari suasana penjajahan berpindah kesuasana Kemerdekaan. Dalam jiwa bangsa kita yang jumlahnya 70 juta itu, bergemuruh semangat revolusi yang total di-tiap2 penjuru Tanah Air. Saat kita mulai meletuskan revolusi itu, merupakan suatu keadaan baru, yang sungguh2 luar biasa. Luar biasa menurut pandangan kita sendiri, dan lebih luar biasa dalam pandangan luar negeri. Pada saat itu, seluruh kita maju ke muka dengan tidak pernah melengong kekiri dan kekanan, tak pernah mengingat bahaya dan derita yang akan ditanggung, akibat perjuangan itu. Kita berjuang melaksanakan revolusi dan bertempur di medan pertempuran bergelimang darah, dengan jiwa penuh, semangat bulat. Walaupun kita baru mulai mencoba hidup baru, dan hidup baru itu belumlah merupakan kepastian, karena hebat dan dahsyatnya reaksi musuh untuk membatalkan Proklamasi kita, namun bangsa kita seluruhnya, sudahlah yakin dengan bulatnya, bahwa Indonesia takkan kembali lagi menjadi negara dan bangsa jajahan.



Kita memandang Proklamasi itu, adalah buah dari keyakinan yang bulat. Tak dapat diganggu-gugat lagi. Ia akan tumbuh dan berakar dan se-lama2-nya akan kita miliki sampai akhir zaman. Tak seorang pun di antara bangsa kita yang ragu2, akan kebenaran Proklamasi itu. Kalaupun ada, maka rasanya dapat dihitung dengan jari, ialah dari pihak orang2 yang sebenarnya berjiwa budak. Karena semangat yang demikian dipunyai dan dimiliki oleh bangsa kita, maka segala kesulitan dapat dihadapi dan diatasi. Semua orang menyediakan dirinya dengan ikhlas. Uangnya, harta bendanya, anaknya, suaminya, keluarganya, pendeknya apa saja yang diminta perjuangan, dengan ikhlas dan cepat diberikan. Mereka rela memberikan bantuan untuk perjuangan itu, sampai bersedia memberikan semuanya apa yang ada padanya, hatta jiwanya sendiri ! Mereka tak pernah merasa rugi. Tak pernah merasa kehilangan, tetapi sebaliknya mereka merasa mendapat dan beruntung. Rumahnya dibakar musuh, hatinya gembira, ia merasa beruntung. Harta bendanya habis untuk perjuangan, ia tertawa senyum ! Mereka kehilangan, tetapi rasa mendapat! Suatu hal yang aneh, tetapi benar telah kejadian dan kita saksikan. Perjuangan revolusi, menimbulkan jiwa yang besar. Rugi yang tak ter-kira2 dirasakan keuntungan dan kehormatan besar. Semua orang meniadakan dirinya untuk kepentingan masyarakat ! Bangsa Indonesia, merupakan suatu beton yang telah berpadu-satu. Batu dan pasir, semen dan kapur sebagai bagian2-nya, tak pernah lagi kelihatan. Bersatu-padu dalam satu tekad. Tidak ada perbedaan pendirian, perbedaan ideologi, yang kelihatan. Tak ada perselisihan paham antara kaum desa dan kaum kota, antara kaum



pergerakan dan kaum pegawai, antara golongan kiri dan golongan kanan. Semuanya bersatu-padu dalam satu ideologi negara, ialah merebut Kemerdekaan dari tangan penjajah. Kita melihat bermacam barisan yang didirikan oleh rakyat yang anggotanya mati di medan pertempuran untuk mencapai Kemerde-kaan. Kita melihat ulama2 Islam mengeluarkan fatwa perang sabilnya, dan ikut berkuah darah dalam medan pertempuran bersama barisan Hizbullah dan Sabilillah. Dengan senjata bambu runcing atau golok belaka, mereka maju ke muka. Tak banyak perundingan, tak banyak perhitungan. Mereka yakin menang. "Walaupun sebenarnya keadaan mereka di dalam kelemahan, dipandang dari sudut materiil, tetapi dari sudut jiwa dan moril, cukup kuat dan perkasa. Perjuangan yang dilakukan, tidak punya perhitungan, menurut kemestian strategi yang biasa dipakai, akan tetapi justru karena itulah, orang tidak mempedulikan bahaya, dan akhirnya sebagai kita lihat, perjuangan kita mendapat hasil yang sangat memuaskan. Walaupun kesulitan selama pertempuran itu, dirasakan begitu besarnya, dan kurban begitu banyaknya yang kita berikan, baik harta maupun jiwa, tetapi semua itu se-akan2 tidak dirasakan sama sekali. Semua itu didukung oleh satu hasrat, satu Idee-besar, yakni: melepaskan diri dari penjajahan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Buat itulah kita memberikan seluruh kekuatan, kekayaan dan apa yang ada pada kita, dengan ikhlas dan suci. Kini !



Telah 6 tahun masa berlalu. Telah hampir 2 tahun Negara kita memiliki kedaulatan yang tak terganggu-gugat. Musuh yang merupakan kolonialisme, sudah berlalu dari alam kita. Kedudukan bangsa kita telah merupakan kedudukan bangsa yang merdeka. Telah sejayar dengan bangsa2 lain di dunia. Telah menjadi anggota Keluarga Bangsa2. Penarikan tentara Belanda, sudah selesai dari Tanah Air kita. Rasanya sudahlah boleh bangsa kita lebih bergembira dari masa2 yang lalu. Dan memang begitulah semestinya! Akan tetapi apakah yang kita lihat sebenarnya? Masyarakat, apabila dilihat wajah mukanya, tidaklah terlalu berseri2. Seolah2 ni'mat Kemerdekaan yang telah dimiliknya ini, sedikit sekali paedahnya. Tidak seimbang tampaknya laba yang diperoleh dengan sambutan yang memperoleh ! „Mendapat seperti kehilangan". Kebalikan dari saat permulaan revolusi. Bermacam keluhan terdengar waktu ini. Orang kecewa dan kehilangan pegangan. Perasaan tidak puas, perasaan jengkel dan perasaan putus asa, menampakkan diri. Inilah yang tampak pada saat akhir2 ini, justeru sesudah hampir 2 tahun mempunyai Negara merdeka dan berdaulat. Dahulu mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar atau anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu Negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita2-kan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau. Mengapa keadaan berubah demikian ?



Kita takkan dapat memberikan jawab atas pertanyaan itu dengan satu atau dua perkataan saja. Semuanya harus ditinjau kepada perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Yang dapat kita saksikan ialah beberapa anasir dalam masyarakat sekarang ini, di antaranya : Semua orang menghitung pengurbanannya, dan minta dihargai. Sengaja di-tonjol2-kan ke muka apa yang telah dikurbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengurbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal. Memang tiap2 orang tentu ada andilnya dalam perjuangan revolusi ini, dalam artian pengurbanan. Harta, tenaga dan keluarga, seperti diterangkan di atas ! Tiap orang merasakan punggung yang tak bertutup, periuk yang tak berisi. Sekarang telah timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sipat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri ! Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita2 yang di luar dirinya. Lampu cita2-nya sudah padam kehabisan minjak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat! Kita bertanya kepada umat Islam !



Apakah memang begini yang di-cita2-kan oleh masyarakat umat Islam, dan apakah memang ini yang dikehendaki oleh bapa dan ibu2 yang telah merelakan anak2-nya berjuang? Apakah masyarakat yang begini yang di-idam2-kan oleh umat Islam ? Saudara akan menjawab: „tidak". Kalau memang tidak, adalah suatu tanda bahwa perjuangan saudara belum selesai, malah perjuangan saudara baru mulai. Itu, suatu tanda bahwa musuh saudara belum hilang ! Hanya musuh saudara bertukar rupa dan bertukar tempat. Dahulu musuh di luar menghadapi saudara dengan terang2-an, sekarang musuh yang di dalam diri yang meremukkan kekuatan bangsa menjadi bubuk. Sudahkah turut pula saudara dihinggapi penyakit lesu hingga mulai bersikap masa bodoh terhadap apa yang terjadi disekeliling saudara? Sudahkah saudara turut pula kena penyakit bakhil menyingsingkan lengan baju dan bakhil mencucurkan keringat? Sudahkah turut tumpul pula perasaan saudara membedakan hak dengan batil? Sudahkah turut pula saudara „mencari diri", memperhitungkan jasa dan laba ? Sudahkah turut pula saudara merasa jiwa yang kosong, sunyi dari cita2, yang pada satu saat pernah cita2 itu menjadi penggerak bagi segenap pikiran dan anggota badan saudara, menjadikan saudara dinamis, penuh inisiatif ?



Sudahkah saudara beranggapan, tugasku telah selesai dan sekarang ialah zamannya mem-bagi2 laba dari hasil perjuangan yang telah lalu? Saudara! Kalau demikian, saudara telah mulai termasuk pada golongan orang yang mendapat, akan tetapi kehilangan. Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkayuh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara terus menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini! Bagi saudara akan berlaku firman Ilahi dalam surat An-Nur, ayat 39 : „Amal mereka ibarat fatamorgana di padang pasir; disangka oleh musafir yang kehausan sumber air yang sejuk, tapi demi ia sampai ketempat itu ia tak menemui air setetes juapun". Saudara akan ibarat musafir di padang pasir yang terik itu dan tak akan menemui idam2-an, akan tetapi yang akan ditemui ialah hukum Allah sebagai akibat dari pada usaha yang salah-dasar dan tidak mempunyai rencana. Maukah saudara terlepas dari pada genggaman arus? Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkalai.



Kemiskinan masyarakat di tengah2 kekayaan alam kurnia Ilahi, kelesuan batin dan kekosongan jiwa dari budi pekerti dan cita2 yang tinggi, di tengah2 kecemerlangan palsu yang menyilaukan mata, bahaya desintegrasi dan kekacauan yang sedang mengancam, yang digerakkan oleh tangan yang bersembunyi, semua ini merupakan suatu lapangan perjuangan yang berkehendak kepada ketabahan hati dan keberanian! Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthusiasme yang ber-kobar2 dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana. Usaha besar yang kita hadapi pada waktu ini, telah pernah kita hadapi dengan kerelaan menerima segenap konsekwensinya. Dan perjuangan yang terbentang di hadapan kita ini, tidak kurang berkehendak kepada keberanian untuk menegakkan kedudukan bangsa dan falsafah hidupnya, juga dengan segenap konsekwensinya dengan berupa „keringat, air mata dan darah". Dan jikalau pada saat ini kita bergembira dan kegembiraan itu bersumber kepada rasa bahagia dan kehormatan karena ikut memikul konsekwensi dari perjuangan, dengan elan dan enthousiasme yang menghiasi jiwa kita bersama, maka perajaan 17 Agustus ini adalah mempunyai arti yang sebenarnya. Itulah hakikatnya yang dinamakan Semangat Proklamasi itu ! 17 Agustus 1951



PIDATO DALAM RESEPSI KONFERENSI GURU TAMAN PENDIDIKAN ISLAM, MEDAN, TANGGAL 20 SEPTEMBER 1951.



Saya mengucapkan syukur alhamdulillah, karena pada malam ini saya dapat menghadiri satu pertemuan dengan pengurus dari Taman Pendidikan Islam yang sudah pernah terdengar namanya oleh kawan2 di Jakarta, akan tetapi belum mengetahui benar2 bagaimanakah usaha dan tindakan dari Taman Pendidikan ini. Sekarang saya berada di tengah saudara2. Saya rasanya berada kembali pada tangga saya sendiri. Sebab tatkala saya keluar dari bangku pelajaran, maka yang mula2 saya hadapi dalam lapangan pekerjaan dan perjuangan, ialah lapangan pendidikan Islam ini. Adapun yang sedang saudara2 kerjakan sekarang, bukanlah suatu pekerjaan yang lekas2 diketahui orang. Bukan suatu pekerjaan yang saban hari tertulis di-surat2 kabar, bukan pula pekerjaan yang dianggap orang herois, pekerjaan pahlawan yang dipuja-puji setiap hari. Saudara mencari pekerjaan jauh dari kota, yakni di-kebun2 onderneming, menanamkan Agama di kalangan buruh2 perkebunan di-gunung2. Akan tetapi ketahuilah saudara2, bahwa ibarat orang memanah, sasaran saudara sudah tepat pada tampuknya benar, sebab orang sering kali lupa, bahwa potensi dan tenaga dari umat kita, sebenarnya terletak di luar kota, di desa, di tepi2 gunung, di tengah2 alam raya yang besar itulah ! Sekarang saudara menghadapi satu masyarakat yang terpisah, yang dinamakan masyarakat kebun, yang mempunyai sipat sendiri,



penuh dengan penderitaan poenale-sanctie dan lain2 sisa alam penjajahan. Itulah batang terendam yang saudara2 pikul sekarang. Ini adalah pekerjaan yang menghendaki kepada meniadakan diri, meniadakan diri dengan pengertian, membuat sesuatu pekerjaan hanya karena besarnya kesadaran dan tidak ingin kepada puji dan puja. Cukup saudara2 puas dengan mendapat keredaan Ilahi yang Ia-nya melihat usaha saudara2. Bolehlah saya di sini menyatakan kegembiraan hati dan syukur saya, karena dapat bertemu dengan teman2 yang meletakkan dasar pikirannya bahwa dalam membangun sesuatu umat, dan membangkitkan tenaga umat, dasarnya harus diatur dengan satu falsafah hidup yang tidak didasarkan kepada kebendaan dan materiil. Jikalau sekarang sebahagian bangsa kita tenggelam di alam kebendaan yang merajalela, maka saudara2 sekarang mencarikan imbangannya antara kejayaan jasmani dan kemakmuran batin. Saudara2 sedang melakukan pekerjaan yang bersipat merintis dalam alam perjuangan ini. Masih banyak orang yang belum mengetahui, apakah yang hendak dituju oleh Agama Islam kita ini. Orang masih sering berkata: „Islam adalah agama, yang tempatnya di surau atau di langgar2. Orang Islam itu salat, berpuasa sekali setahun, naik haji, membayar zakat; hanya itu sajalah yang dinamakan Islam! Mereka kurang mengerti, bahwa Islam tidak terbatas hanya sampai di situ saja. Islam tidaklah se-mata2 urusan manusia dengan Tuhan saja, akan tetapi juga urusan manusia dengan alam, urusan manusia dengan manusia. Falsafah hidup yang demikian itu, dilupakan kepada keluarga2 yang hanya dihargai menurut titik keringatnya yang keluar waktu bekerja; keluarga yang dilupakan orang, bahwa dia adalah manusia, bukan mesin; manusia yang hidup



dan mencari penghidupan sebagai kita, manusia yang berpikir dan merasa juga. Saudara2 akan meletakkan pandangan hidup mereka itu lebih dari pada yang biasa, lebih tinggi nilainya. Mereka tidak hanya bekerja untuk menutup punggung yang tidak bertutup, bukan bekerja hanya sekedar mengisi perut yang lapar, tetapi sebagai manusia lain2-nya juga untuk mendapatkan budi pekerti dan pandangan hidup yang lebih tinggi. Baik anak2-nya yang saudara2 didik, maupun ibu bapanya yang telah terlanjur dalam masyarakat yang demikian rupa, tetaplah ada tujuan bahwa mereka harus sedar akan harga dirinya sebagai manusia. Mereka bekerja tidak hanya sekedar untuk menutupi keperluan2 jasmani, bukanlah se-mata2 merupakan barang dagangan yang dihargai menurut jam dan dihitung dengan sen, tetapi bekerja itu bagi mereka, dan bagi kita semua, dapat dilihat sebagai suatu alat untuk mengisi batin, ruhani di samping jasmani, sebagai suatu culturele-functie yang menjadikan manusia itu lebih dari pada hewan. Jikalau kita sudah mengetahui, bahwa Islam adalah sistem kehidupan, sistem pemecahan soal hidup yang ada di atas dunia ini, jikalau orang telah merasakan bahwa Islam itu adalah untuk kesempurnaan dunia, untuk kesempurnaan masyarakat dan dapat memberikan jiwa kepada pelbagai aspek dalam soal2 peri kehidupan, — baik di lapangan pembangunan, baik di lapangan politik, maupun di lapangan sosial —, maka nanti lambat laun orang akan mengerti bahwa Islam adalah suatu ideologi, ya bukan ideologi se-mata2, tetapi juga adalah suatu falsafah hidup.



Maka jikalau saudara2 sudah mulai melangkah ke arah demikian, adalah saudara2 telah membawa satu risalah, satu missi yang suci dalam perlombaan hidup yang begitu menghebat seperti sekarang. Boleh saudara2 menganggap bahwa perbuatan itu tidak berarti, akan tetapi kalau dilihat dalam hubungan yang lebih luas, saudara2 nanti akan merasakan, bahwa saudara2 adalah prajurit dari suatu pekerjaan suci yang menghendaki kepada meniadakan diri, yang menghendaki jiwa yang ikhlas dan suci. Mudah2-an apa yang telah dicapai dalam setahun yang telah sudah, cukup mendapat perhatian dari masyarakat, dari majikan2 dan jawatan2 selanjutnya. Saudara2 pandanglah semua pertolongan itu sebagai suatu ni'mat Ilahi yang akan saudara2 pergunakan se-baik2-nya. Jikalau saudara2 terus-menerus melakukan tindakan yang demikian itu dengan tidak mengenal capek dan tidak mengenal payah, insya Allah masyarakat akan membantu apa yang saudara2 telah kerjakan. Terutama boleh saya nyatakan penghormatan saya terhadap saudara2 yang telah rela menjadi guru di daerah2 yang demikian itu. Mudah2-an saudara akan cukup kekuatan terus dalam menghadapi pekerjaan itu, walaupun keadaan saudara susah-sulit, tidak cukup se-gala2-nya, dan mungkin saudara2 harus bekerja lebih keras dari pada biasa. Saudara2 adalah guru, seorang yang lain dari pada yang lain. Kalau orang bertanya apakah ustaz dan muballigh itu jawabnya, ustaz itu adalah manusia yang biasanya melakukan pekerjaannya dengan tidak dibayar. Dibayar hanya dengan „lillahi Ta'ala", dibayar dengan ucapan alhamdulillah. Jikalau ustaz atau muballigh itu di zaman yang lalu



memanggil orang untuk ber-sama2 mengerjakan sesuatu pekerjaan dan memerlukan kepada alat2 dan materiil, sering kali ia diberikan jawaban kata2 yang kata orang lebih baik dari pada sedekah, akan tetapi syukur masih ada makhluk yang demikian, makhluk yang melupakan kepentingan dirinya sendiri,- tetapi mementingkan apa yang perlu di bawanya kepada umat dengan rasa penuh tanggung-jawab, dan ia bersyukur melihat murid2-nya berguna bagi masyarakat. Lupa ia akan periuknya di rumah yang belum berisi. Ia telah merasa menerima ni'mat yang paling besar apabila ia dapat melihat muridnya menjadi manusia yang berharga dalam masyarakat. Itulah yang dianggapnya upah se-tinggi2-nya! Akan tetapi jikalau saudara2 telah mengirimkan 43 orang guru dan ustaz ke-daerah2 itu, di samping mendidik mereka itu dengan sipat guru, haruslah juga dipikirkan agar jangan dibiarkan mereka menjadi malaikat terus-menerus. Mereka adalah manusia yang memerlukan kepada keperluan2 sebagai manusia biasa. Ini adalah soal yang harus kita perhatikan benar2. 20 September 1951



SUMBANGAN ISLAM BAGI PERDAMAIAN DUNIA. Pidato di Karachi, 9 April 1952. (Diterjemahkan dari bahasa Inggris). Assalamu'alaikum w.w. Sdr. Ketua, sdr2. se-Agama serta sdr2 yang hadir, yang hidup di bawah Sinar-Ilahi, Tuhan Maha Esa dan Maha Kuasa, Al-Khalik dan Pencipta alam-semesta, yang tiada berbatas kasih dan sayang-Nya, Tuhan bagi semua makhluk. Saya ucapkan syukur alhamduli’llah kepada Allah s.w.t. yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengucapkan kata di depan rapat khusus dari Lembaga-Pakistan untuk Soal2-Internasional ini. Girang dan bangga saya mendapat keistimewaan begini, tapi saya harapkan pula kemurahan hati dan maaf sdr2., jika andai kata ceramah saya nantinya tidak sampai kepada harkat yang sewajarnya, sepadan dengan rapat utama ini. Sebenarnya tidaklah berani saya ziarah ke Pakistan ini dengan tiada persiapan yang akan diucapkan sekedarnya. Pertama sekali perlulah saya putuskan acara manakah selayaknya akan saya ucapkan di depan sdr2. Alhamduli'llah tidaklah begitu sulit menentukan yang demikian, karena sudah tentu seharusnyalah soal2 yang mengenai Islam. Pakistan adalah Negara Islam. Hal itu pasti, baik oleh kenyataan penduduknya maupun oleh gerak-gerik haluan Negaranya. Dan saya katakan Indonesia juga adalah Negara Islam, oleh kenyataan bahwa Islam diakui sebagai Agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, meskipun tidak disebutkan dalam Konstitusi bahwa Islam itu adalah Agama



Negara. Indonesia tidak memisahkan Agama dari Kenegaraan. Dengan tegas, Indonesia menyatakan percaya kepada Tuhan Maha Esa jadi tiang pertama dari Pancasila, — Kaedah yang Lima —, yang dianut sebagai dasar ruhani, dasar akhlak dan susila oleh Negara dan bangsa Indonesia. Demikianlah, oleh kedua Negara dan umat kita ini, Islam mendapat tempat asasi dalam kehidupannya. Tapi yang demikian tidak berarti bahwa organisasi dan susunan Negara kita adalah theokrasi. Soal theokrasi ini insya Allah akan saya uraikan sekedarnya di belakang nanti. Inilah yang menggerakkan hati saya untuk menentukan yang ceramah saya ini bersipat dan bercorak Islam. Di samping itu perlu pula saya kemukakan soal2 internasional, sebab Lembaga ini bertujuan memperhatikan soal2 yang bersangkut-paut dengan peristiwa bangsa demi bangsa itu. Berbicara tentang soal2 internasional ini, pada hemat saya tidaklah ada seorang pun di antara kita yang tidak melihat, bahwa dunia dewasa ini sedang diancam oleh mara bahaya yang ngeri sekali. Kepada kenyataan dunia yang demikian, adalah amat tepat sekali gambaran yang diberikan Quran, surat Ar-Rum : 41 : „Telah bertebaran cedera dan malapetaka, di darat dan di laut, disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah akan menimpakan sebagian dari malapetaka itu kepada mereka, dengan sebab perbuatan tangan mereka. Moga2 hal itu menjadikan mereka kembali kepada jalan yang benar". Dalam zaman yang begini, baiklah kita memperhatikan seruan2 Wahyu Ilahi kepada para Nabi dan Rasul2-Nya, yang seorang di antara- nya adalah Muhammad s.a.w. Muhammad datang membawa pesan Ilahi penghabisan, berupa Al-Quran yang mengandung penegasan dari Kitab2 Suci yang telah diturunkan terlebih dulu.



Muhammad s.a.w. datang bukanlah untuk menghapuskan Agama dan Kepercayaan yang berdasarkan Kitab2 Suci, tapi adalah untuk mewujudkan „kemerdekaan-beragama" yang se-benaiA-nya. Keadaan ini telah dibuktikan oleh riwayat Negara2 Islam sepanjang abad. Pada hakikatnya tidaklah ada satupun dalam ajaran dan paham Islam, sesuatu yang menentang akan hukum susila atau inti dari agama manapun juga. Sebagai halnya dengan agama2 yang terdahulu, dalam kemurniannya yang asli, Islam pun membawa ajaran „Perdamaian" dan „Kemerdekaan". Untuk memelihara dan menjaga perdamaian itu. Islam tidak mengemukakan suatu cara atau aturan yang tertentu, tapi dititik-beratkannya kepada menilik suasana dan keadaan. Beberapa petunjuk diajarkannya supaya tujuan dapat dicapai, antaranya supaya „diajak manusia kepada jalan Tuhan dengan kebijaksanaan dan pimpinan2 yang mengandung hikmah !" (Al-Quran surat An-Nahl: 125) dan bahwa „tidaklah sama yang jelek dengan yang baik, dan yang d jelek itu haruslah disingkirkan dengan memperbuat sesuatu yang lebih baik" (Al Quran, surat Ha-Mim As-Sajdah : 34). Siapa yang rela berusaha barang sedikit akan menemui Ayat2 Quran dan Hadits2 Nabi yang sangat banyak berkenaan dengan ketentuan yang saya kemukakan itu. Sangat disesalkan, bila dinyatakan oleh umat Islam bahwa mereka suka bekerjasama dengan bangsa2 lain untuk kepentingan „perdamaian", kenyataan menunjukkan penghargaan terhadap cita dan tujuan suci Islam itu tidak dihargai sewajarnya oleh dunia di luar Islam. Bahkan di antara orang2 yang mengaku beragama Islam sendiri pun ada yang salah tampa tentang tujuan dan maksud yang sesungguhnya dari ajaran2 Islam itu. Penindasan yang ber-abad2 di bawah kekuasaan asing, sesudah kejayaan dan kebesaran dahulunya,



telah menyebabkan hancurnya rasa harga-diri pada umat Islam itu. Dalam pada itu Dunia Barat yang pernah mengalami kehebatan pedang Islam, masih belumlah melupakan sama sekali akan tenaga dan kekuatan yang terpendam dalam Alam Islam itu. Itulah sebabnya maka usaha umat Islam dalam abad ke 19, supaya dapat bangun-kembali dalam suatu Dunia Islam yang Bersatu, — Gerakan Pan-Islam —, ditinjau oleh Dunia Barat dengan penuh curiga dan dipandangnya jadi ancaman yang akan membahayakan kedudukan dan kekuasaan mereka di tanah2 yang mereka kuasai, yaitu di daerah2 yang menghasilkan bahan2 mentah untuk kemakmuran negeri2 mereka. Tulisan Lothrop Stoddard, dalam „The New World of Islam", dan „The Rising Tide of Colour", dan tulisan2 dalam „Encyclopaedia Brittanica" mengenai Pan-Islam itu, melukiskan dengan nyata tentang sikap permusuhan dan pertentangan itu. Sebaliknya, Alam Islam tidaklah berdaya untuk mengemukakan suaranya, menentang tuduhan2 yang tak benar dan tak adil itu. Tapi, perjalanan sejarah menghasilkan juga kembali kebangun- an Dunia Islam itu setindak demi setindak. Dengan terlambat Dunia Barat melihat, bahwa sebenarnya bukanlah Islam yang merupakan bahaya yang mesti mereka hadapi, dan dewasa ini mereka sedang melakukan ber-macam2 usaha meminta supaya kita umat Islam sudi kerjasama dengan mereka untuk memelihara perdamaian dan menjauhkan bahaya perang dunia ketiga yang akan merupakan malapeta besar untuk kemanusiaan itu. Sayang sekali, sampai sekarang perubahan sikap Barat terhadap kita itu adalah mempunyai dasar negatif se-mata2. Perubahan sikap itu adalah pilihan sewajarnya menurut mereka, dari „dua macam bahaya" yang ada. Bagi kita, selama belum dapat kenyataan yang pasti tentang



sikap mereka ini, selama itu pula kita tetap masih kuatir tentang maksud dan tujuan yang sebenarnya dari Dunia Barat itu, dan pada tempatnya kita bersikap demikian berdasarkan pengalaman di masa2 yang lampau. Dengan demikian tidak mungkin dapat diharapkan sukses yang sejati sebagai hasil dari suatu kerjasama yang mempunyai dasar lemah itu, yaitu kerjasama yang selalu diintati dengan rasa curiga dan tidak percaya dari masing2 pihak. Untuk mencapai kerjasama yang sungguh2, pertama sekali salah paham dan salah anggapan yang sekarang ini ada di Dunia Barat terhadap Islam, haruslah dibongkar lebih dahulu sampai hilang sama sekali.Dan berkenaan dengan tugas yang akan dilakukan dalam kerjasama itu, haruslah pula diperhitungkan pandangan dan pertimbangan2 dari pihak kita kaum Muslimin sendiri se-penuh2-nya. Tak mungkin dapat diharapkan kita kaum Muslimin akan ikutkan dan akan siap sedia saja melakukan sesuatu yang diberatkan kepada kita dengan tiada penghargaan sepantasnya terhadap kita. Ajaran Islam dan kedudukan kita sebagai Negara2 Asia, adalah merupakan faktor yang menentukan, yang tak mungkin dapat diabaikan dunia dengan begitu saja. Sebab itu adalah kewajiban penting pula bagi kita, berusaha sekuat tenaga agar Dunia Barat meninggalkan prasangka dan salah tampanya itu terhadap kita, salah tampa yang mereka anut dan mereka jadikan jadi dasar bagi sikap dan politik mereka menghadapi kita. Ditinjau dari sudut pendirian ini, maka memang amat penting sekali dan harus kita insafi dengan sungguh2 betapa perlunya kita turut mengambil bagian se-banyak2-nya dalam usaha yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa2, guna mewujudkan perhubungan internasional yang baik, sehingga betul2 terjelmalah suatu Organisasi Dunia yang hidup bagi



menyelesaikan soal2 pertikaian antara negara dan negara, dengan tiada perlu mempergunakan perang atau kekerasan. Dalam hal ini tugas kita yang per-tama2, ialah memberikan penerangan serta penjelasan berkenaan dengan posisi dan maksud suci yang se-benaiA-nya dari Islam, Agama kita itu. * Baiklah diperhatikan bahwa salah sangka Barat, yang Negara2 Islam seperti Pakistan ini, yang berdasarkan asas2 Agama dan menyatakan Islam sebagai Agama Negaranya, sangka mereka akan tumbuh selanjutnya sebagai „negara-theokrasi". Yang lebih tidak menguntungkan, adalah karena tidak begitu jelas bagi pihak-sana itu, apakah yang mereka maksud sebenarnya dengan istilah „theokrasi" itu, di samping pendapat-dasar mereka bahwa paham „theokrasi" itu mestilah mereka tolak. Banyak orang2 Amerika, dan yang saya maksudkan ialah orang2 dari Amerika Serikat, memandang bahwa negara dan rakyat mereka adalah negara dan rakyat Kristen. Mendiang Presiden Franklin Delano Roosevelt, amat nyata ke-Kristenannya dan jarang sekali tidak disebutnya Agama Kristen dalam seruan2-nya kepada bangsa2 di dunia selama Perang Dunia yang lalu. Begitu juga orang Inggris adalah umat Kristen, dengan suatu Agama Negara dan Raja Inggris adalah Kepala dan Pelindung dari Gereja Anglikan sehingga upacara gereja dan keagamaan mengambil tempat yang khusus pada pelbagai peristiwa negara. Demikian pula rakyat Belanda, adalah umat Kristen, yang telah menetapkan dalam undang2-dasarnya bahwa Raja mereka mestilah seorang penganut Kristen-Protestan. Semua negara2 ini dan negara2 Kristen Eropah lainnya, bahkan sampai2 kepada Perancis, yang



walaupun tidak nyata bersipat agama dalam organisasi-negaranya, adalah selalu siap memberikan tunjangan yang besar terhadap kegiatan missi2 Kristen di luar Eropah, seperti di Asia, Afrika, Australia, serta khusus di-negeri2 jajahan atau separuh-jajahan mereka. Sampai abad ke 19 konon, Eropah telah menancapkan kekuasaan dijajahannya dengan perantaraan yang disebut dengan istilah „Tiga-M", yakni Mercenary, Missionary, Military, — Laba, Gereja dan Tentara. Tapi tidak ada orang yang merasa kuatir terhadap negara 2 tersebut bahwa negara2 itu akan mendirikan negara-theokrasi. Terhadap kita, demi baru saja kita menyatakan sesudah Kemerdekaan kita bahwa Negara kita adalah Negara Islam, dengan lekas orang menyatakan kekuatirannya bahwa kita akan menjadi „negara-theokratis". Ada yang menganggap bahwa memang sudah dasarnya Negara Islam itu „theokratis", seperti misalnya anggapan James A. Mikhener dalam bukunya „Voice of Asia" yang meriwayatkan tentang jawaban yang tepat dari Miss Jinnah atas suatu pertanyaan, bahwa „adalah aneh sekali Mr. Jinnah yang bukan orang-agama hendak mendirikan suatu Negara-Theokrasi!" Dijawab oleh Miss Jinnah, yakni saudara perempuan Quaid-i A'zam : „Apakah yang tuan maksud dengan Negara Theokrasi itu? Negara kami adalah Negara Islam. Itu bukanlah berarti suatu negara-theokratis. Negara kami bukanlah suatu negara yang pemerintahannya dijalankan oleh pendeta atau suatu hirarkhi-kependetaan. Negara kami adalah suatu negara yang disusun menurut asas2 Islam. Dan dapatlah saya katakan bahwa asas Islam itu adalah asas yang paling baik untuk susunan suatu negara". Lebih jauh pendapat yang diriwayatkan oleh penulis itu juga dalam bukunya tersebut (hal. 312), yaitu keterangan dari Inamullah Khan,



Sekretaris, Muktamar Alam Islam : „Muktamar akan mendesak supaya Pemerintah dari tiap2 Negara Islam melaksanakan apa yang ditentukan Nabi, sebagai kewajiban pemerintah menurut yang dikehendaki Nabi itu, sehingga timbul suatu sosialisme negara yang berjiwa Agama dan bersifat Pan-Islam di dalam masalah2 duniawi. Muktamar juga akan mendesak supaya tiap2 Negara Islam menyediakan keperluan2 yang utama bagi kehidupan semua rakyatnya. Dengan demikian, maka tidak perlu ada aliran komunisme di dalam Negara2 Islam. Pan-Islam akan merupakan suatu tenaga dunia yang besar, yang bersipat sosialistis,, dan memegang jalan-tengah antara komunisme dan kapitalisme". Dapatlah dimengerti bahwa yang dimaksud dengan keterangan2 di atas bukanlah theokratis. Inamullah Khan menerangkan lagi (hal. 310-311) : „Muktamar kami adalah gerakan untuk kebangunan-kembali. Seruan kami ialah : „Kembalilah kepada ajaran Nabi Muhammad s.a.w.! Kembalilah kepada Quran!” Ini berarti bahwa kami tidak mempunyai hirarkhi dalam Islam. Islam bertujuan menghapuskan segala macam kependetaan dan orang Islam tidak memerlukan kependetaan" Dalam Islam ada ahli2 agama yang disebut ulama. Mereka itu adalah guru dari pelbagai cabang ilmu-agama, tapi mereka bukanlah pendeta. Mereka tidak diangkat sebagai pendeta dengan upacara agama oleh pembesar pemerintah atau oleh pembesar agama. Mereka tidak diperlukan oleh lingkungan masyarakat agama untuk melakukan ibadat kepada Tuhan sebagai seorang pendeta terhadap gerejanya. Mereka tidak lebih hanyalah guru atau imam. Adanya imam sebagai suatu jabatan resmi, khusus melakukan pekerjaan itu, tidak ada dalam Islam. Imam itu hanya suatu jabatan berdasarkan keperluan2 praktis, tidak suatu jabatan resmi.



Lebih nyata lagi bahwa tidak ada kependetaan dalam Islam, ialah lantaran dalam Islam tidaklah ada „gereja" dalam arti suatu badan yang bekerjasama, tapi berdiri sendiri dan terpisah dari negara. * Betapa dalamnya salah-anggapan Barat terhadap suatu bangsa atau negara yang mengakui sutu kepercayaan keagamaan, yang pada anggapan mereka tak boleh tidak mestilah suatu negara-theokratis, ternyata dari tulisan seorang ahli Barat, — yang sebenarnya mempunyai maksud dan tujuan baik, yaitu hendak mengerjakan suatu kerjasama yang erat antara Timur dan Barat berdasarkan satu pengertian —, tentang „jiwa Asia", dalam penerbitan istimewa majalah Life edisi dalam-negeri, tg. 14 Januari tahun 1952 oleh F. S. C. Northrop Sterling. Sebagai kata- pengantar redaksi menulis: „Tidak banyak orang Amerika yang telah memberi keterangan tentang Asia terhadap bandingan Barat dengan pengertian dan kupasan demikian baiknya, seperti Northrop Sterling, Guru- besar filsafat dan hukum di Balai Perguruan Tinggi Yale ini. Bukunya „The Meeting of East and West" adalah suatu hasil kerja yang mungkin akan mempengaruhi sejarah". Dalam tahun 1950 Northrop dengan beasiswa Yayasan Viking mengadakan penyelidikan selama 9 bulan di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Tujuan menulis karangan sesudah melakukan penyelidikan bulan itu, ternyata dari kata2 berikut dalam kesimpulan karangannya: „Tingkah laku orang2 komunis dewasa ini, bukan saja se-olah2 memanggil kekuatan tentara kita untuk menentang materi-alisme mereka yang bersipat penjajahan, tapi juga mereka memukul kita, di Timur dan di Barat. Semua hal ini adalah agar kita lebih memeriksa diri kita masing2 dan mengenal antara satu dengan yang lain. Sekiranya kita dapat memperoleh dan memperteguh kembali kita



punya konsepsi Yahudi-Kristen, Yahudi-Romawi tentang soal2 ketuhanan dan keadilan yang telah diperluas, dan bersama itu ada keyakinan pula dalam diri kita masing2 mengenai suatu pandangan ketuhanan, sebagai yang bergerak dalam perasaan dan dalam amal seperti dipraktekkan Islam, maka tidak perlu kita pesimis terhadap masa kita. Karena sekiranya hal seperti ini dapat tercapai, maka anak-cucu kita kemudian akan melihat dengan nyata terhadap zaman kita ini, sebagai suatu masa yang kita tidak me-nyia2-kan diri serta kita bukan kurang keimanan, tapi kita adalah mempunyai cukup perlengkapan batin yang dijiwai oleh pengetahuan dan keimanan yang teguh, yang meliputi seluruh dunia". Oleh sarjana yang telah diakui ini yang ber-ulang2 mengemukakan anggapannya mengenai Islam, tetap terbayang kurang mempercayai kita. Ia berkata lagi: „Cara berpikir dalam Islam dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan Islam itu sendiri. Oleh karena itu apabila kepercaan yang sama antara ketiga Agama Semiet ini, Yahudi, Kristen dan Islam disebutkan satu-persatu, khusus harus ditambahkan untuk kepercayaan Islam, bahwa Tuhan menyampaikan Wahyu kepada manusia dengan perantaraan Muhammad". Pengertian tertentu yang dinyatakannya ber-ulang2, ialah bahwa Islam memerlukan suatu pemerintahan-keagamaan. Di dalam pengertian Barat, yang demikian adalah theokrasi, yakni pemerintah-kependetaan. Pada hal berhadapan dengan sejarah tuduhan dan pendapat Barat demikian tidak dapat dilemparkan terhadap pemerintahan2 Islam terutama di zaman Kebesaran Imperium Islam itu, yang terjadi di sekitar Laut Tengah dan sezaman dengan Abad Pertengahan di Eropah itu.



Sudah tentu ada orang2 yang fanatik di kalangan umat Islam dan di kalangan Kepala2 umat Islam, yang telah bertindak keras terhadap orang2 yang bukan Islam. Tetapi penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa penindasan demikian, kebanyakan terjadi adalah di waktu ada pemberontakan terhadap kekuasaan. Saya tidak bermaksud untuk membela kejadian2 tersebut, akan tetapi adalah benar bahwa sesuatunya harus ditimbang menurut waktunya, yaitu menurut zaman di waktu mana dan keadaan suasana bagaimana kejadian itu berlangsung. Dan cukup nyata, bahwa pemerintah, — baik pemerintah Kristen, maupun Islam, ataupun Hindu dan Budha, atau pemerintah yang manapun juga —, tak mungkin dapat bersikap lembut terhadap pemberontakan dari rakyatnya. Penghukuman itu mungkin keras sipatnya jikalau pemerintah itu mendapat alasan untuk menaruh curiga bahwa ada peranan luar di belakang layar yang menghidupkan asutan2. Tapi bagaimanapun juga, yang nyata menurut sejarah, adalah agama minoritet mendapat perlakuan yang memuaskan dalam Negara2 Islam. Kemerdekaan beragama itu, adalah masih bersipat relatif di dunia Barat sampai sekarang, pada hal di Negara2 Islam kemerdekaan beragama, sudah dijamin dan dipraktekkan sejak masa Muhammad s.a.w. Mazhab2 agama Yahudi dan Kristen hidup dengan aman di Negara2 Islam, seperti juga halnya dengan agama Hindu, Zoroaster, Budha dsb. Dan firkah2 dalam Islam sendiri yang mempunyai aliran pikiran lain, walaupun pada permulaannya merupakan sebab pertentangan yang membinasakan, tapi firkah2 itu dapat terus hidup dan berkembang dengan aman di samping aliran2 Islam yang lain sampai kezaman kita sekarang ini. Ini semua



membuktikan bahwa perlainan aliran pikiran tidak boleh menjadi alasan untuk mengadakan perselisihan terus-menerus. Dalam soal ini nyata Islam itu berlaku lebih longgar, dibandingkan dengan agama2 manapun juga di dunia, kapan ia memegang kekuasaan. Akan tetapi yang lebih keras ialah tuduhan bahwa perkembangan di dalam Negara2 Islam, bukanlah hasil dari pada toleransi-beragama tapi oleh pihak itu, sikap toleransi tsb. dianggap sebagai watak bagi jiwa Timur. Tuduhan tersebut dipercayai saja, pada hal yang nyata, perkembangan tersebut adalah hasil dari cocok dan sesuainya ajaran2 dari Al- Quran terhadap masalah2 itu. Ajaran2 Al-Quran berkenaan dengan itu terdapat dalam Ayat2 yang banyak, antara lain paling tegas dinyatakan oleh Ayat berikut: „Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu Kitab yang membawa Kebenaran, membenarkan akan Kitab Suci yang lebih dahulu serta untuk memelihara Ayat dari Kitab2 itu, sebab itu hendaklah kamu menghukum mereka dengan hukum yang diturunkan Allah kepadamu. Dan jangan dibiarkan berkembang nafsu yang hendak menyimpang dari Kebenaran. Kepada kamu sekalian Tuhan telah memberikan suatu pedoman. Kalau dikehendaki-Nya, Dia akan jadikan kamu suatu masyara kat yang bersatu, tetapi la berkehendak menguji kamu atas apa2 yang didatangkan-Nya kepadamu, sebab itu ber-lomba2-lah dalam memperbuat kebajikari. Kepada Allah juga kamu semua akan dikembalikan dan Dia akan memberi kenyataan tentang apa2 yang masih kamu perselisihkan”. (Al-Quran, surat Al-Maidah : 48). Arti dan maksud Ayat ini jadi lebih jelas lagi oleh keterangan, wa dalam Ayat2 yang mendahuluinya, umat yang keturunan Taurat Injil ber-ulang2 kali diperingatkan supaya beramal menurut isi Kitab Suci yang turun kepada mereka. Berhubung dengan ajaran Quran yang demikian, maka Dunia Islam telah mengembangkan susunan kenegaraan dan organisasi



pemerintahannya selaras dengan keadaan rakyat yang dihadapinya. Memang di dalam sejarah telah terbentuk otokrasi dan monarsi yang turun-temurun, tapi dalam semua bentukan pemerintahan itu,Islam tak pernah mengambil bentuk theokrasi seperti yang dilakukan menurut dan diartikan kegerejaan, yakni pemerintah-kependetaan. Dunia Islam tidak pernah mengenal Kepala Negara sebagai seseorang yang diangkat atas nama Tuhan. Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap2 orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintahan dan per-undang2-an. Tapi adalah ajaran Quran juga, bahwa dalam soal2 keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dengan musyawarah bersama, seperti dinyatakan oleh firman Tuhan : „Dan hendaklah urusan mereka diputuskan dengan musyawarat!” (Al-Quran, surat Asj-Syura : 38). Perkembangan kenegaraan dan pemerintahan di bawah pimpinan Nabi Muhammad s.a.w. dan Khalifah2 yang Utama mengenai urusan2 negara serta berkembangnya aliran2 pikiran dalam Islam, menunjukkan bahwa cukup luas kelonggaran diberikan Islam untuk evolusi masyarakat dalam batas2 asas dan ajaran2 Quran. * Satu tuduhan yang sering juga dikemukakan, ialah bahwa Islam adalah Agama yang dikembangkan dengan kekuatan pedang dan peperangan. Menurut Al-Quran, peperangan bukanlah dilarang, seperti dalam agama2 yang lain juga. Walaupun peperangan dianggap sebagai suatu malapetaka yang besar, yang didoakan oleh seluruh manusia agar



mereka tidak mengalaminya, tapi sejarah memberikan bukti bahwa peperangan terjadi juga, yakni kapan iblis telah berkuasa untuk mempergunakan orang2 yang mengingkari Tuhan dan orang2 yang tidak dapat menahan hawa-nafsunya. Kenyataan ini dinyatakan dalam Al-Quran ketika menggambarkan pertempuran yang terjadi antara orang Yahudi dan orang Palestin: „Jikalau tidaklah dihadapkan Tuhan suatu golongan manusia menghadapi golongan lain, maka jadi rusaklah bumi ini” (Al-Quran,surat Al-Baqarah : 251). Mengingat ini maka adalah penting bagi manusia yang ingin pimpinan dari Tuhan, mengetahui, kapankah dan dalam keadaan bagaimana mereka diizinkan melakukan peperangan itu. Jawaban itu diberikan oleh Al-Quran : „Diizinkan oleh Allah melakukan peperangan, bila mereka ditindas dengan tiada adil, sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka untuk mencapai kemenangan. Yaitu orang2 yang diusir dengan tiada hak dari negerinya, cuma karena mereka mengatakan : „Tuhan kami adalah Allah !” Jika Tuhan tiada mempertahankan segolongan manusia terhadap golongan yang lain, sudah tentu akan rusak binasalah kuil2, gereja2, dan mesjid2, tempat nama Tuhan banyak disebut dan diucapkan !” (Al-Quran, surat Al-Haj : 39—40). Mempertahankan Tanah Air dan Kemerdekaan, jelas diterangkan adalah salah satu sebab untuk izin perang diberikan dan pertolongan dalam hal itu dijanjikan oleh Allah sendiri. Sebab itu timbul suruhan bersiap-sedia sekuat tenaga, seperti dinyatakan dalam Al-Quran : „Hendaklah selalu siap-sedia untuk menentang musuh se-kuat2-mu dengan segala tenaga, beserta kuda yang ditapal batasmu, supaya dapat kamu pertakuti musuh Allah dan musuhmu itu; begitu juga musuh2 lain yang tiada kamu ketahui tapi Allah tentu mengetahuinya. Apa2 yang kamu belanjakan dengan demikian di jalan Tuhan akan disempurnakan ba- lasannya untukmu, dan tiadalah kamu akan dirugikan”. (Al-Quran, surat Al-Anfal :60).



Tetapi tetaplah bahwa jalan dan daya-upaya damai dengan penuh kebijaksanaan dan ajakan ramah-tamah lebih dianjurkan dalam semua pertentangan dan perselisihan2 yang timbul; bahkan kalau perlu, diperintah supaya memakai orang perantara atau wasit yang akan mengetengahi agar perdamaian dapat tercapai. Kemungkinan yang paling kecil sekalipun untuk memperoleh perdamaian, diperintahkan supaya dipakai dan dipergunakan: „Jikalau mereka suka damai, hendaklah kamu terima sambil berserah diri kepada Allah, karena Ia mendengar lagi mengetahui. Tapi dalam pada itu jika mereka hendak menipu kamu, maka Allah lah yang akan membela kamu. Dialah yang akan menguatkan kamu dengan kurnia-Nya beserta orang2 beriman lainnya”. (Al-Quran, surat Al-Anfal: 61—62). Agresi tidak pernah dibenarkan oleh Islam, tapi selalu dicela seperti dinyatakan : „Tuhan tidak suka kepada orang2 yang membuat kerusakan” (Al-Quran, surat Al-Qashash : 77). Dalam menghadapi perundingan perdamaian harus dijaga supaya rasa keadilan jangan sampai terganggu. Dengan demikian nyata, bahwa Quran membenarkan dan mengizinkan perang tapi dengan peraturan2 yang tertentu. Juga membatasi izin itu, agar dipergunakan hanya se-mata2 untuk penentang perkosaan dan untuk menjaga peradaban jangan sampai dirusakkan. Berhubung dengan ini perang untuk melaksanakan sesuatunya dengan kekerasan tidak dibenarkan oleh Al-Quran dan tak pernah diperbuat oleh Nabi Muhammad s.a.w., dan tidak terdapat dalam sejarah kaum Muslimin suatu bukti untuk menuduh bahwa kaum Muslimin telah mengerjakan yang demikian. Ditegakkan Agama Islam oleh Muhammad s.a.w. sebagai Pesuruh Tuhan, bergandengan dengan didirikannya kota dan kenegaraan, di



dalam suatu perang-saudara. Sebagai seorang asal suku Quraisy, yakni suku yang mempunyai kekuasaan besar sebagai penjaga Ka'bah, Muhammad mempunyai kedudukan terkemuka dalam kalangan suku2 Arab. Memenuhi perintah Tuhan ia harus menyampaikan seman Quran kepada suku2 Arab, yang dalam masa2 damai tertentu, datang berziarah-beribadat ke Ka'bah sambil melakukan perdagangan. Mereka adalah suku2 yang gemar berperang dan peperangan itu bagi mereka adalah cara untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Perdamaian bagi mereka adalah berarti gencatansenjata sementara yang berlaku selama 3 a 4 bulan yang disucikan dalam setahun. Dalam masa gencatan-senjata-sementara itupun, yang disebut „al-ashuril-hurum", sering kali juga perjanjian dilanggar dan terjadilah perselisihan2 yang menumpahkan darah. Khotbah2 Nabi yang menyerukan supaya mereka meninggalkan kepercayaan jahiliyah dan menganut Agama yang beriman kepada Allah serta bersaudara seluruh manusia, tidak cocok dengan sipat mereka dan mereka pandang akibat- nya merugikan kepentingan mereka. Di dalam sukunya sendiri, suku Quraisy, Muhammad menemui alangan dan tantangan, yang kemudian berubah menjadi permusuhan terang2-an sampai merupakan ada komplotan yang hendak melenyapkan jiwa Nabi. Tepat pada waktunya, ketika Nabi telah tiba pada saat keadaan akan jadi gagal sama sekali, Tuhan izinkan Nabi meninggalkan Mekah, berpindah kepada masyarakat yang menyambutnya sebagai „sahabat", di Yatsrib, — kemudian bernama Kota-Nabi, Madinah-en-Nabi. Janji setia yang dijanjikan oleh Bani Aus dan Khazraj di Yatsrib kepada Nabi, bahwa Nabi akan hidup bersama dengan suku2 tersebut, telah membuka „hijrah", — bukan merupakan „melarikan diri" dipandang dari segi manapun juga—, tapi suatu kejadian revolusioner yang menjadikan terpisahnya Nabi dan pengikut2-nya dari sukunya



Quraisy, yang berarti juga putusnya perhubungan keluarga darah karena hendak membentuk masyarakat yang berdasarkan kesetiaan kepada seseorang yang diberi kuasa di bawah suatu hukum, yang semua itu adalah dasar pembentukan susunan suatu negara. Keputusan Bani Quraisy dan teman2nya, yang menganggap Nabi sebagai ancaman terhadap kehidupan suku mereka, yang tak dapat mereka biarkan demikian saja, telah menyebabkan timbulnya perang-saudara yang berjalan 9 tahun lamanya dengan hanya sedikit waktu perhentian permusuhan, gencatan-senjata-sementara. Selama masa itu banyak suku2 lain yang menggabungkan diri dengan pihak Nabi atas sukarela, untuk memperoleh perlindungan dari kesukaan berperang Bani Quraisy dan suku2 yang memihak mereka. Apabila wakil suku2 itu datang kepada Nabi untuk menyanyikan kesetiaan, maka Nabi selalu mengembalikan mereka kepada sukunya dengan diiringi oleh utusan Nabi untuk membawa anggota suku itu ke dalam Islam dan mengajarkan Quran kepada mereka. Dengan demikian ikatan persekutuan itu makin lama makin kuat di bawah peraturan dan asas2 yang terbukti lebih mudah dapat diterima oleh semua pihak. Walau dalam masa perang tapi tidak pernah dikirimkan suatu ekspedisi atau dilancarkan suatu kampanye oleh Nabi Muhammad s.a.w. untuk memaksa orang2 supaya masuk ke dalam Islam dengan kekerasan. Bahkan setelah Mekah diduduki dan setelah Bani Quraisy dengan teman- sekutunya mengaku kalah tidak juga terjadi tindakan2 kekerasan untuk memaksa orang2 supaya memeluk Agama Islam. Guru2 dikirimkan dengan instruksi tidak boleh bertindak yang sampai menyukarkan orang2 yang sudah takluk itu, tapi harus ramah-tamah dan jauhkan ancaman.



Dalam mentaati hukum dan menghormati kekuasaan itu, tidak ada diskriminasi antara yang menang dan yang kalah. Keadaan seperti ini berlaku juga selama peperangan yang terjadi di masa Khalifah2 sebagai Kepala Negara. Hasil yang mengagumkan dari peperangan2 ini ke utara melalui Palestina, Siria dan Asia Kecil, kebarat melalui Mesir, Marokko dan sampai kepantai barat Afrika Utara, dapatlah diterangkan, antaranya adalah karena semua negeri2 itu dahulunya adalah jajahan Romawi, di mana penduduk tidak pernah mendapat hak kewarganegaraan Romawi, tapi selalu mengalami diskriminasi dan diperlakukan sebagai bangsa rendah dan diperbudak. Pendudukan umat Islam membawa kenaikan derajat bagi mereka. Mereka diperlakukan sama di mata hukum. Dengan memeluk Islam mereka merasa memasuki suatu agama yang pada dasar2 dan hakikatnya tidak beda dengan dasar dan hakikat Agama Kristen atau agama2 lain yang berdasarkan Kitab Langit dan dengan kewajiban2 yang mudah ditaati. Dan selain bebas dari diskriminasi, dalam Islam mereka bebas pula dari kekuasaan- kependetaan. Demikianlah di masa kebesaran Imperium Islam itu, warga: negara dari seluruh Imperium hidup aman dan leluasa mengadakan perjalanan keseluruh wilayah yang luas itu dari pantai barat-Afrika Utara di Lautan Atlantik sampai jauh ke Asia Pusat di negeri „seberang- sungai" masuk Tiongkok. * Kedatangan Nabi 'Isa didahului oleh khotbah2 dari Yahya Pembaptis yakni Yahya yang disebut dalam Al-Quran, surat Ali-Imran, ayat 39, sebagai „seorang yang paling teguh menahan hati lagi seorang Nabi dari erang2 yang saleh”, ialah Ayat yang menerangkan bahwa seruan Yahya itu banyak sekali menarik pemuda2. Nabi 'Isa seorang di antara yang memenuhi ajakan itu dan menerima pembaptisan dari tangan



Yahya Pem- baptis sendiri. Nasib malang yang menimpa Yahya Pembaptis yang nampaknya telah lebih dahulu diduganya akan terjadi, tidak menyebabkan ia mengundurkan diri. Angkatan muda tetap mengikutinya karena kehidupannya yang suci-bersih dan karena kritiknya yang tepat atas kefanatikan kaum Farisi, yang mementingkan bentuk luar dari agama serta peraturan2 yang dalam praktek menyusahkan dan mengganggu kehidupan rakyat se-hari2. Pengikut2-nya itu mengagumi Yahya oleh cintanya yang penuh terhadap pengikut2-nya itu, lagi pemaaf dan selamanya menyediakan bantuan terhadap orang2 yang membutuhkan. Ditariknya pemuda2 itu dengan keteguhan keimanan yang terus-menerus terhadap Allah. Diagungkan dia oleh pengikut2nya itu dengan penuh ketulusan lantaran keberanian dan ketinggian akhlaknya, sampai kepada saat terakhir dari hayatnya, yakni ketika ia terpaksa menghadapi ketidak-adilan dari orang2 yang berkuasa dan golongan pendeta. Tapi sesaatpun tak pernah ia melepaskan kepercayaan dan keimanannya menghadapi bahaya itu. Demikian ia mengisi jiwa pengikut2-nya yang setia dengan kekuatan ruhani dan kesabaran serta teguh-hati dalam menghadapi pembalasan2 kejam yang akan tiba, sebagai suatu persiapan yang diperlukan bagi pengikut2 itu di masa yang akan datang. Maka dengan cara yang serupa itu pulalah, Nabi Muhammad menjalani segala pembalasan kejam selama waktu persediaan, yakni sebelum masa Wahyu hijrah datang kepadanya, di masa menyampai-kan seman2 Quran selama berada di Mekah. Dan seperti yang dibuat Yahya itu pula, Muhammad telah berbuat terhadap Sahabat2-nya selama masa tiga belas tahun di Mekah.



Bagi umat Kristen, masa penderitaan datang setelah Nabi 'Isa AlMasih pergi meninggalkan pengikut2-nya. Dan adalah lama sebelum umat Kristen sanggup mengemukakan diri, menunggu jiwa mereka kuat untuk menghadapi yang demikian. Perubahan datang setelah Konstantin Besar, memenuhi sumpah yang diucapkannya pada sebelum suatu pertempuran. Setelah kemenangan diperolehnya ia mengubah tindakannya terhadap umat Kristen dalam kerajaannya, yang diikuti oleh suatu pengumuman pada tahun 324, bahwa Agama Kristen, jadi Agama Negara. Lambang salib dijadikannya lambang bagi tentaranya. Heraklios, yang memerintah sesudah Konstantin Besar memimpin tentara Kristen dan mereka dapat mengalahkan tentara Parsi dan masuk sampai ke tanah Parsi sendiri sesudah melalui Siria dan Palestina. Peperangan yang dilakukan Kharlemagne, Raja Franka dan Kaisar Romawi, nyata merupakan perang agama yang hendak meluaskan Agama Kristen dan hendak menasranikan suku2 yang telah ditaklukkannya. Ditaklukkannya bangsa Saxon dalam tahun 772. Dan ketika ternyata, bahwa bangsa Saxon tidak dapat dipercayainya, dan senantiasa mencoba memberontak, maka diperintahkannya memotong 4500 kepala orang Saxon untuk menakuti bangsa itu. Yang lebih nyata bersipat agama, adalah perang-salib yang dilakukan dengan anjuran besar2-an, dan yang diselenggarakan oleh pihak gereja dan pendeta2 sendiri dari abad ke 11 sampai abad ke 13 dengan maksud menduduki Palestina dan meruntuhkan kekuasaan Islam. Sampai2 belakangan, abad ke 15 dan seterusnya, perang-salib itu masih dilanjutkan diseberang lautan oleh angkatan laut Portugis dan Sepanyol untuk meluaskan kerajaan Tuhan.



* Saya uraikan semua ini dengan panjang lebar, adalah untuk menyatakan bahwa perang tidak hilang oleh adanya agama dan bahwa meluaskan agama dengan perang itu, bukanlah Islam yang harus dicap sebagai pemberi contohnya. Benarnya, ialah bahwa Islam sebagai diterangkan oleh Quran itu telah mengizinkan peperangan dengan batas2 yang tertentu dan ditegaskannya peraturan2 kesusilaan yang harus ditaati dalam perang itu. Suruhan Quran nyata, agar sikap adil dan pantas dilakukan oleh pihak yang menang dalam merundingkan perdamaian, perdamaian yang mesti dipandang sebagai penutup dari sengketa. Marilah saya ulangi lagi ayat2 itu: „Janganlah kebencianmu terhadap suatu golongan menjadikan kamu bertindak tidak adil” (Al-Quran, surat Al-Maidah: 8). Dan saya ulangkan juga kenyataan Qur’an supaya bersedia berdamai, kalau dari pihak musuh telah dinyatakan ada keinginan yang demikian, yang diikuti oleh penjelasan: „Tapi dalam pada itu jika mereka hendak menipu kamu, maka Allahlah yang akan membela kamu” (Al-Quran surat Al-Anfal: 62). Demikianlah di dalam peraturan2 peperangan yang dinyatakan Quran, tercapainya perdamaian itu tidaklah pernah lepas dari pandangan, bahwa yang demikian adalah maksud dan tujuan yang se-benar2-nya. Saya tidak akan memberi komentar atas bagian2 karangan Prof. Northrop yang mengutip Ayat2 Quran, yang memerintahkan supaya „ahlu'lkitab" berpegang teguh kepada Agama Monoteistis yang suci, yang ber-Tuhan hanya kepada Allah Maha Esa. Kesatuan Tuhan dewasa ini telah merupakan suatu hal yang pasti, suatu aksioma-agama, walau betapapun beda bentuk ajaran atau bagian2 kepercayaan antara agama yang satu dengan agama yang lain.



Kemudian saya kutip dengan persetujuan penuh, kalimat penutup dari tulisan Prof. Northrop berkenaan dengan jiwa Islam, demikian katanya: „Maka bagi Islam dan demikian pula bagi Barat, keadilan adalah terletak di dalam memerintah perseorangan dan menyelesaikan perselisihannya dengan tegas, berupa undang2, perintah dan peraturan2, yang harus disusun dan menjadikan semua orang sama di depan hukum". Dan saya tambah berhubung „undang2, perintah, dan peraturan2" itu, dalam Islam ada ketentuan dan batas2 yang tegas seperti dinyatakan oleh Tuhan di dalam Kitab2 Suci-Nya serta dicontohkan oleh Rasul2-Nya dalam kehidupan masyarakat. Di sinilah, kita kaum Muslimin, meyakini kepentingan Negara dengan pemerintah-keagamaan dapat memberikan sumbangsih bagi tujuan perdamaian. Adalah menjadi tugas kita untuk memperingatkan kepada seluruh pengikut Kitab2 Suci bahwa Tuhan telah memerintah-kan kepada mereka ber-ulang2 supaya mereka memenuhi perintah yang disampaikan Tuhan kepada mereka. Dan Quran telah menyerukan ber-kali2 akan pengikut2 Taurat dan Injil dengan ajakan yang di-ulang2inya, antaranya dalam Al-Quran, surat Al-Maidah: 44—47: „Barang siapa yang menghukum tiada -dengan hukum yang diturunkan Allah, sesungguhnya mereka adalah orang2 yang kafir (44) „Barang siapa yang menghukum tiada dengan hukum yang diturunkan Allah, sesungguhnya mereka adalah orang2 yang zalim (45). „Hendaklah ahli-lnyil menghukum menurut yang diturunkan Allah dalam Injil itu. Barang siapa menghukum tiada dengan hukum yang diturunkan Allah sesungguhnya mereka adalah orang2 yang fasik” (47). Dalam hal ini, pertama sekali haruslah jadi keyakinan bagi kita bahwa kita adalah menempuh jalan



yang benar, yang sesuai dengan ajaran Quran dan Nabi Muhammad s.a.w. Selanjutnya berkenaan dengan ini haruslah kita usahakan sedapat mungkin untuk mengembalikan orang2 yang bukan Muslimin dari prasangka dan gambaran2 yang keliru yang telah berurat berakar dalam dada mereka, mengenai Agama kita. Dunia Barat telah membuat langkah penting ke muka bagi perkembangan kemanusiaan menuju kepada kekeluargaan bangsa2 di dalam satu dunia, yakni dengan pengakuan di dalam Perserikatan Bangsa2 akan persamaan antara negara dan bangsa2 yang merdeka dan berdaulat, Eropah atau bukan-Eropah, kulit putih atau berwarna, dengan tiada diskriminasi bangsa, perbedaan kulit atau kepercayaan. Tetapi kenyataan menunjukkan, bahwa pengakuan tersebut tidaklah berkuasa se-benar2- nya atas jalan pikiran dan perbuatan bangsa2 kulit-putih tsb. terhadap bangsa-kulit-berwarna. Mungkin oleh sebab demikian lama berkuasa di dunia, maka bagi mereka tidaklah begitu mudah membuang perasaan superioritet mereka, yang pada zaman lampau telah mendaging jadi penyakit jenis-bangsa. Masih banyak pada waktu ini di antara mereka orang2 yang berpikir bahwa adalah hak dan kewajiban mereka, bahkan kewajiban suci mereka untuk memenuhi panggilan „missi-peradaban- suci" menjadikan bangsa berwarna di bawah pengawasan dan penjajahan mereka. Dengan menganggap agama lain adalah lebih rendah dari agama Kristen, mereka merasa adalah kewajiban mereka untuk menasranikan kita atau se-kurang2-nya supaya kita meninggalkan sari2 dan kebudayaan Agama kita. Sekarang kita harus berikhtiar memperbaiki hal2 tersebut dengan usaha yang tiada ragu2, agar mereka mengenal kita serta memahami



cara2 hidup kita dengan pengertian yang lebih baik, dan supaya mereka mengetahui bahwa kebudayaan kita zaman dahulu itu yang sedang dipelajari mereka juga, adalah sesuatu yang pantas dipertimbangkan dan janganlah lebih dahulu mereka kemukakan pandangan rendahnya, sebab isi yang se-benar2-nya adalah berbeda dari pada anggapan yang ada pada mereka. Kita mengetahui bahwa kita memasuki P.B.B. adalah dengan niat dan kepercayaan yang baik, dan yang paling penting diketahui Dunia Barat, ialah bahwa kita menjadi anggota itu adalah untuk memenuhi ajaran2 yang tegas dari Quran, mengabdi kepada perdamaian dan menyingkirkan peperangan. Dan bukan saja bangsa kulit putih dan Kristen Barat yang perlu, agar jangan mempunyai prasangka yang bukan2 terhadap kita kaum Muslimin, tetapi juga tetangga2 kita di Asia yang menganut kepercayaan lain, harus menghilangkan prasangkanya yang demikian terhadap kita. Untuk maksud demikianlah, saya sengajakan berbicara tentang Islam demikian panjangnya, meskipun saya ketahui dengan sungguh2 bahwa kebanyakan dari yang hadir, lebih mengetahui dengan luas segalanya itu dari pada saya. Saya berdiri di sini untuk menyampaikan sesuatu yang beralasan kenyataan dan kebenaran2 yang diajarkan oleh Agama kita dan sejarahnya, dan karena kita harus menyampaikan seruan kepada dunia, bahwa Agama bukanlah merupakan bahaya yang harus dihindarkan, tetapi adalah faktor terpenting, untuk memperbaiki hubungan kehidupan antara manusia dengan manusia. Dan hanya Agamalah satu2-nya harapan dunia yang masih tinggal untuk menciptakan perdamaian dan menghindarkan bahaya peperangan yang akan membinasakan seluruh umat manusia ini.



* Saya berbicara bukanlah untuk kepentingan bangsa saya dan juga bukanlah untuk kepentingan bangsa Pakistan, tapi adalah karena saya berpendapat, sudah tiba masanya kita harus melihat diri kita sebagai seorang Muslim. Saya bukan ahli anthropblogy dan bukan ahli pengetahuan bangsa2. Saya hanya kenal, diri saya sebagai manusia dan diri sdr.2 sebagai manusia. Saya dilahirkan sebagai seorang Muslim dan oleh karena itu saya kenal dan tahu akan Agama saya. Sekarang, di sini, saya berada di tengah2 umat Islam dan saya anggap adalah pada tempatnya kita memeriksa diri kita secara kritis. Per-tama2 sekali, saya berpendapat bahwa kita telah banyak memberi keterangan secara lisan, bahwa kita adalah orang2 Islam ! Kita memang umat Islam. Kita berusaha dan bertindak sebagai umat Islam. Kita akan meninggal sebagai Muslim! Dan dalam Islam tak ada tempat bagi kepalsuan. Kita sudah diajar bahwa Islam bukanlah se-mata2 pengakuan. Bukti pengakuan itu ialah berbuat. Perjuangan meninggikan nama Tuhan dan Agama harus dengan amal, bukan dengan kata2. Quran mengajarkan bahwa Islam adalah suatu Agama pengakuan dan Agama amal-perbuatan. Nabi Muhammad s.a.w. telah mengajar para pengikutnya supaya selamanya maju ke depan untuk membuktikan pengakuan mereka dengan perbuatan. Sampai dewasa ini sudah sampai berbelas abad lamanya, dan kita telah mempergunakan waktu yang banyak untuk mengemukakan keyakinan dan kepercayaan kita, tapi sangat sedikit sekali kelihatan amal yang kenyataan menunjukkan bahwa kita pernah pada suatu masa mengatasi Eropah dalam segala lapangan usaha. Sumbernya pengetahuan modern sekarang adalah dari Islam dan bukan dari



zaman vacum pikiran Abad-Pertengahan.



Eropah



antara



Zaman-Kegelapan



dan



Barat meminjam dari kita, kemudian karena kita telah membuang waktu dengan berbicara dan bertengkar yang tiada ada manfaatnya, maka kita tinggal di belakang dan mereka maju ke depan. Syukur juga, telah timbul di kalangan kita sekarang kebangunan yang menggembirakan. Tapi masih ada penyakit2 yang akan merusakkan kita, sebab masih ada kemungkinan bahwa kebangkitan sekarang ialah kebangkitan yang timbul dari jiwa yang sakit, kebangkitan karena tim- bulnya krisis di dalam jiwa. Karenanya mungkin kita bangun ini sebagai cahaya terakhir dilangit sebelum ia jatuh menghilang, tapi mungkin juga kita akan naik lagi ketiang ketinggian yang telah lama me-nunggu2 kita ! Syukur pulalah, kebanyakan di antara kita masih percaya bahwa Tuhan akan memberikan kesempatan lagi kepada Islam. Kita masih yakin akan menang. Dan memang telah tampak gelombang usaha bahwa kita bukan saja bergerak menuju kesorga terakhir tetapi juga kesorga di- dunia sekarang ini. Mengerjakan Konstitusi Islam sebagai dikerjakan Pakistan sekarang ini dan pelbagai macam undang2 adalah pekerjaan berat. Tapi walaupun bagaimana, undang2 hanya mengenai satu segi dari persoalan. Dengan se-mata2 undang2, orang belum akan berubah. Kewajiban suatu pemerintah ialah melaksanakan konstitusi atau undang2 itu dengan bantuan rakyat dengan „niat yang ikhlas". Tujuan ialah hendak hidup se-baik2-nya seperti yang dinyatakan dalam Konstitusi itu dalam perkataan dan perbuatan se-hari2, perseorangan ataupun masyarakat.



Tapi kita ketahui pula Iman tidak dapat dibikinkan undang2-nya. Cinta tidak mungkin dikerjakan konstitusinya. Seorang menjadi cinta, bila ia diilhami cinta dan seorang jadi beriman dan percaya, bila ia mendapat petunjuk untuk iman dan percaya. Karena mendapat hidayat itu, kesucian batin akan menyelubungi hati orang yang beriman itu dengan se-penuh2-nya. Manusia diukur dengan amalnya, tindakan dan hasil usahanya. Bila ia berteriak : „Saya orang kaya!", tapi ia dalam keadaan miskin dan tertindas, atau bila ia berseru: „Saya seorang bangsawan!", sedang ia terbaring dalam lumpur di tepi jalan, maka hasilnya ia akan jadi ejekan dan tertawaan orang lalu saja. Islam adalah bersih dan Islam adalah cahaya alam ini. Tapi sebenarnya kita adalah bukan umat Islam lagi dalam arti yang sungguh semenjak telah lama waktunya. Sudah lama kita tiada mempunyai pimpinan yang bermutu lagi, sebab itu kita selamanya jadi pengikut orang lain saja. Saya, percaya bahwa kita dewasa ini sedang berada kembali di ambang pintu Zaman Baru kebesaran. Kesempatan besar datang kepada kita --yaitu kesempatan untuk bangun kembali. Tapi kita tidak akan bangun [dan naik] dengan perselisihan dan kita tidak akan dapat mencapai ketinggian se-mata2 hanya dengan pengakuan iman. Kita hanya akan hidup (kembali dengan iman dan amal, berani serta jujur. Kita akan bangun kembali bila kita telah berhenti memeriksa tetangga dan sebagai gantinya kita periksa diri kita sendiri ! Islam bukanlah catatan kosong dari Quran dan kumpulan Hadits, tapi Islam ialah rahasia, perjanjian antara Tuhan dengan orang2 yang memuji dan memuliakan-Nya. Islam ialah sumber suci yang diciptakan guna kepentingan persaudaraan.



„Telah bertebaran cedera dan malapetaka, di darat dan di laut, disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah akan menimpakan sebagian dari malapetaka itu kepada mereka, dengan sebab perbuatan tangan mereka. Moga2 hal itu menjadikan mereka kembali kepada jalan yang benar” (Al-Quran, surat Ar-Rum : 41). Bahaya besar telah datang ke muka bumi ini dua kali dalam abad ini. Sebahagian besar manusia di Barat dan di Timur telah sama 2 mengerahkan diri untuk saling menghaturkan. Pada kekacauan belakangan umat Islam dan Negara kita dikaruniai kehormatan yang tidak disangka2. Dengan se-konyong2 kedudukan kita menjadi „strategis" untuk perjuangan dan kita menjadi „vital". Orang luar mengatakan Negara kita adalah „satu”. Tapi belum tahu apakah yang demikian itu akan menjadi bencana atau akan menjadi keuntungan bagi kita. Dalam hal ini kita harus mengambil pelajaran dari Al-Quran. Kita harus memperhatikan langkah dari Nabi kita. Kita harus kembali kepada Tuhan supaya kita dapat membedakan jalan yang benar dan jalan yang salah. Dengan mengikuti ajaran Rasulullah nenek2 kita telah mengagumkan dunia. Doa saya, moga2 dapatlah kita mengerjakan yang demikian itu kembali. Kita mempunyai kewajiban untuk menyampaikan kepada Dunia, bahwa Agama adalah sesuatu dasar-asli yang murni serta sangat sederhana, dan hanya Agama dalam kesatuan-dasarnya itu, satu2-nya faktor yang diharapkan sanggup menjadi ikatan persaudaraan bagi seluruh umat Manusia. Kita telah berbicara banyak tentang kapitalisme dan komunisme. Tapi dengan demikian, kita tiada boleh tinggal diam. Kita harus memperlihatkan kepada Dunia bahwa kita juga ada mempunyai sesuatu konsepsi yang positif bagi memecahkan masalah2-dunia mengenai ekonomi, kemasyarakatan dan kebudayaan.



Pilihan kita ini telah ada di waktu kita lagi diciptakan Tuhan. Kewajiban telah ditentukan untuk kita di waktu kita dilahirkan oleh ibu dan bapa yang Muslim. Kita taat kemana Allah menghendaki kita.



SARI KHOTBAH IDUL FITRI DI LAPANGAN IKADA JAKARTA, 1 SYAWAL 1369. I Sekalian puji bagi Allah yang telah menjadikan hari ini hari raja bagi hamba2-Nya yang beriman. Hari ini Allah tutup puasa sebulan bagi orang2 yang ikhlas. Ia beri kemuliaan dunia dan akhirat bagi orang2 yang taat kepada-Nya, dan kehinaan dunia akhirat bagi orang2 yang durhaka kepada-Nya. Aku mengakui, bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Allah, yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, satu pengakuan yang dengannya menjadi suci segala hati dari tipuan setan yang terkutuk. Dan aku mengakui, bahwasanya Penghulu dan Pemimpin kami Muhammad itu, adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, makhluk yang paling taat kepada Tuhan sekalian alam. Ya Allah, Tuhan kami ! Karuniakanlah rahmat, sejahtera dan keberkatan atas Penghulu kami Muhammad, dan atas keluarganya dan Sahabat2-nya ahli perjuangan. Kemudian, aku sampaikan wasiat kepadamu, wahai hamba Allah dan kepada diriku agar takwa kepada Tuhan, karena itulah kewajiban orang yang beriman. Kita sambut hari yang mulia ini dengan takbir dan tahmid. Kita syi’arkan kebesaran Allah dan kita syukuri rahmat Ilahi. Empat ratus juta umat Muhammad dari Timur sampai ke Barat, dari Utara sampai ke Selatan, sama2 menerima hari ini dengan syukur dan takwa.



Gemuruh bunyi tahmid dan takbir ratusan juta Muslimin dan Muslimat itu, memenuhi angkasa segenapnya, meliputi seluruh alam yang besar ini. Sama2 dan serentak mengucapkan kalimah suci dengan insaf dan tadabbur . Allabu Akbar! Maha Besar Allah, yang telah membentangkan bumi yang subur ini tempat kita hidup berkampung dan berhalaman. Maha Besar Allah, yang telah melengkungkan langit yang biru laksana atap melindungi kita, berhiaskan dengan bulan dan bintang yang gemerlapan. Maha Besar Allah, yang menciptakan matahari yang menyinari kita dengan sinarnya yang penuh berisi syarat2 kehidupan makhluk. Allahu Akbar ! Maha Besarlah Allah! Sesungguhnya tidak semuanya orang pandai membesarkan Tuhan dan mensyukuri ni'mat Ilahi, walaupun mereka mandi dalam kekayaan dan kesenangan dunia. Tidak semua orang dapat merasai kelezatan bertakbir dan bertahmid di hari ini, dengan arti yang se-penuh2-nya, walaupun lahirnya mereka turut berlebaran dan bersukaria. Sebab kelezatan takbir dan tahmid itu tak dapat dicapai dengan uang beribu, akan tetapi hanya dapat dicapai oleh tiap2 hamba-Nya yang senantiasa berhubungan dengan Dia dengan cara peribadahan ikhlas yang sudah tertentu rukun dan kaifiatnya. Kelezatan bertakbir dan bertahmid, berkehendak kepada perhubungan ruhani yang suci-murni, kepada pertalian batin yang langsung, antara makhluk dengan Khaliknya. Maka adalah ibadah puasa yang telah sama2 kita amalkan sebulan Ramadan yang telah silam itu, salah satu dari alat2 yang mungkin mengadakan pertalian ruhani antara kita dengan Tuhan kita.



Mudah2-an puasa kita itu diterima oleh Allah s.w.t. sebagai ibadah yang khusyu' dan ikhlas adanya. Terjauh kita hendaknya dari pada sekedar menahan lapar dan dahaga saja, sebagaimana yang diperingatkan oleh Junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. : „Berapa banyaknya orang yang berpuasa, tapi dia tidak mendapat dari pada puasanya itu selain dari lapar dan dahaga sahaja". Mudah2-an puasa kita benar2 dapat membersihkan diri kita dari sipat2 yang tidak baik, dan benar2 puasa itu mengukuhkan ruh dan semangat kita, agar kita sampai kepada derajat orang yang takwa, sebagaimana yang dimaksudkan oleh firman Allah : „Diwajibkan atas kamu puasa, sebagaimana telah diwajibkan atas mereka sebelum kamu, supaya kamu takwa". Hari 'Idulfitri ialah hari yang kembali pada saat2 yang tertentu. Setiap tahun ia kembali, mengunjungi kita dalam keadaan kita yang ber-beda2. Berbeda, dan berlainan suasana kehidupan kita dalam merajakan 'Idulfitri itu dari tahun ketahun, silih berganti. Terutama di waktu yang akhir2 berbagai ragam kita menyambut 'Idulfitri itu. Pernah di bawah ancaman tentara asing yang sedang merajalela. Pernah pula dalam tekanan peperangan yang meletus dengan mendadak, pernah pula di bawah ancaman tank dan bedil, yang mengelilingi tempat peribadahan. Akan tetapi, teriakan jiwa dari umat Muhammad, dalam menyerukan takbir dan tahmidnya tak ada yang dapat menahannya. Dalam keadaan manapun juga umat Muhammad, penuh harapan baik, dan kepercayaan yang tak padam2, bahwa rencana Allah s.w.t. mengatasi rencana2 manusia.



Dalam saat di mana tekanan penderitaan jasmani dan ruhani sedang memuncak, bagi yang beriman dan bertakwa senantiasa terdengar dalam telinga dan hatinya : „Pertolongan dari Tuhan dan kemenangan dekat saatnya". Bermacam rencana yang telah dilancarkan oleh lawan kita dalam perjuangan selama ini. Rencana yang berdasar kepada perhitungan yang teliti, dilaksanakan dengan sistem dan aturan yang rapi. Semuanya menurut perhitungan otak dan akal manusia, pasti kiranya akan menca- pai hasil yang dituju, sebagaimana yang senantiasa ter-bayang2 dipikiran mereka, yakni runtuhnya kekuatan kita, takluk bertekuk-lututnya kita kepada kekuatan mereka yang berlipat-ganda besarnya. Akan tetapi, rupanya Tuhan yang Maha Adil berkehendak lain. „Mereka membuat rencana dan Allahpun membuat rencana, Allah adalah se-baik* Perencana". Perjuangan bangsa kita tidaklah patah. Tidak sia2 kurban harta yang telah diberikan. Tidak percuma darah yang sudah mengalir. Berhasil juga apa yang kita idam2-kan. Berlainan semuanya dari apa yang mereka rencana dan perhitungkan. Itulah yang dimaksud oleh firman Allah s.w.t. oleh satu tamsil dalam surat An-Nur: „Perbuatan orang2 kafir itu, seperti gelombang panas matahari yang nampak ber-tumpuk2, dikira oleh yang haus bahwa itu air, tapi bila didekatinya, satu titikpun air tidak bertemu". Bersyukur kita karena paAa hari ini kita danat menemui 'Idulfitri dalam suasana yang jauh lebih baik dari yang telah sudah, sehingga



kita dapat menghirup hawa Kemerdekaan bangsa dan Kedaulatan Negara yang kita idam2-kan. Oleh karena itu ucapan syukur dan tahmid pada 'Idulfitri ini mempunyai arti yang lebih mendalam dari yang sudah. Mudah2-an kita termasuk kepada golongan orang2 yang pandai bersyukur! Bagaimanakah yang dinamakan pandai mensyukuri ni'mat itu ? Kita pelihara hasil yang sudah kita peroleh baik2. Kita per'ksa di mana terletak kelemahan dan kekurangan kita. Kita tambah mana yang kurang, kita perkuat mana yang lemah. Kita sempurnakan mutu dan nilainya supaya lebih tinggi. Kita lindungi dia dari bahaya yang mendatang, baik dari luar maupun dari dalam, dengan segenap tenaga yang ada pada kita ! Maka marilah kita memperkuat golongan yang pandai bersyukur dalam arti yang demikian itu. Justru pada saat seperti hari ini, pada tempatnyalah kita ingat akan pesanan Rasulullah s.a.w.: „Dunia ini ialah ibarat satu kebun yang dihiasi dengan lima macam perhiasan, yakni: 1. ilmunya ulama dan cerdik pandai. 2. keadilannya amir2 atau pemimpin2. 3. ibadahnya hamba2 Allah. 4. amanahnya saudagar2, dan 5. ketundukannya ahli2 pekerja kepada aturan. Perhiasan pertama, ilmu ulama dan cerdik pandai tentang keduniaan menunjukkan kepada kita, bagaimanakah cara dan jalannya supaya



„kebun dunia" se-besar2-nya.



ini



memberikan



paedah



dan



manfaat



yang



Ilmu orang alim tentang agama memimpin kita ke jalan yang lurus, mengajar kita, membedakan hak dari batil, yang tidak dapat dipisahkan dengan se-mata2 berpedoman kepada pancaindera dan akal manusia. Perhiasan yang kedua, ialah ,,'adlul umara", keadilan pemimpin2 dan ketua2 tempat memulangkan tiap urusan. Ketua2 yang adil dan berani menjalankan apa yang salah, membenarkan apa yang betul, ketua yang sanggup menjadi pembela bagi si lemah, menjadi penghukum atas si kuat yang melanggar hak, dengan tidak pandang-memandang dan pilih-kasih. Perhiasan yang ketiga, ialah ,,'ibadatul 'abid", ibadah hamba Allah yang khusyu' dan ikhlas, ibadah hamba2 Allah, yang selainnya pandai bekerja bertitik peluh, bisa pula berdoa dan beribadah kepada Ilahi. Perhiasan yang keempat, ialah „amanatut-tujjar", yakni amanah saudagar2, kepercayaan yang telah tertanam atas dirinya, goodwill-nya kata orang sekarang. Amanahnya ahli dagang yang timbangan pikulnya tetap seratus kali, yang ukuran meterannya tetap seratus senti. Perhiasan yang kelima, ialah „nashihatul-muhtarifien", yakni rapi dan gairahnya kaum pekerja menjalankan pekerjaan masing2 menurut anggaran dan disiplin yang sudah ada. Akan aman dan damailah satu masyarakat, selama pimpinannya ulama2 dan orang cerdik pandai yang memberi penerangan serta



senantiasa mengawasi dan memimpin orang awan ke lembah kebatilan. Akan aman dan damailah satu masyarakat, selama pimpinan yang berkuasa menjalankan keadilan, supaya si lemah jangan tertindas, dan si kuat jangan merajalela. Akan bertambah majulah perekonomian satu golongan selama saudagar2-nya bersifat amanah, yang mencari untung dengan jalan yang halal, yang mendapat kepercayaan dari segala pembeli. Harta kekayaan tidak se-mata2 beredar antara beberapa tangan, akan tetapi menjadi alat untuk kebahagiaan bersama. Akan bertambahlah „kekuatan batin" satu kaum, bertambah lengkaplah senjata ruhani satu umat, selama anggota2-nya ahli ibadat yang khusyu' kepada Allah, yaitu sumber dari segenap kekuatan lahir dan batin. Akan bertambah berbekaslah hasil usaha satu kaum yang ahli pekerjanya bekerja menurut rencana yang tertentu, berdasarkan organisasi yang rapi. Beginilah susunan masyarakat, yang diibaratkan oleh Junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. dengan suatu taman yang indah, penuh dengan perhiasan yang molek dan permai itu. Akan tetapi, saudara2, mari kita teruskan tamsil yang dikemukakan itu: „Maka datanglah iblis dengan bendera lima macam : Bendera h a s a d , ditanamkannya disebelah ilmu ulama2. Bendera d ] a u r (kezaliman) dipancangkan disebelah keadilan pemimpin2. Bendera r i y a , dikibarkannya di samping ibadah ahli ibadat. Bendera k h i a n a t , disisipkannya disebelah



amanah ahli dagang. Dan i n g k a r , dipasangnya disebelah ketundukan ahli2 pekerja". Betapakah nasibnya satu umat, apabila alim ulamanya telah bersipat hasad, apabila kekuasaan telah dipakai penipu orang yang bodoh, apabila ilmu telah dipergunakan untuk pembuat bom atom dan gas beracun ! Bagaimanakah nasibnya satu kaum apabila jiwa anggota masyarakatnya kosong dan sunyi-sepi dari nur hidayat Ilahi. Bagaimanakah apabila ibadah mereka sudah dicampuri oleh ria, yakni sekedar memikat perhatian ramai, supaya dilihat orang banyak, bukan mengharapkan keridaan Allah. Betapakah akan merajalelanya tipu-daya, sikut dan sintung, bilamana kaum saudagar dan hartawannya sudah bersipat khianat, timbangan dan dacingnya sudah menipu, senti dan meterannya sudah mencuri. Berapakah banyaknya kurban tenaga yang hilang sia2 bila pekerja2 telah menurut kemauan masing2, ingkar dari aturan dan disiplin, tak hendak menghiraukan, apakah ada kepentingan yang lebih besar yang akan tersinggung, lantaran mau membawakan kehendak sendiri. Manakala sudah berlaku yang demikian, niscaya kebun yang indah permai itu, yang tadinya ditumbuhi oleh tanam2-an yang berbuah lezat, yang dihiasi oleh ber-macam2 bunga pelbagai warna, akan berubahlah sipatnya jadi hutan dan belukar. Demikianlah perbandingannya dua corak masyarakat ditamsilkan Nabi. Yang satu didasarkan kepada keragaman antara satu golongan dengan yang lain, serta yang saling harga-menghargai, di mana tiap2



anggota dan individu, dapat berhubung menurut bakatnya, masing2 pada tempatnya, tapi ber-sama2 dengan yang lain merupakan satu keseimbangan dalam ikatan yang satu, atas kerelaan dan persaudaraan. Semua itu diliputi oleh akhlak dan budi pekerti yang luhur. Yang kedua adalah masyarakat yang berdasar kepada falsafah pertentangan dan kelobaan, di mana kepribadian tidak ada harganya, siapa yang kuat siapa di atas, siapa yang kalah hidup tertekan. Sepi dan sunyi dari moral dan ukuran2 yang lebih tinggi dari kebendaan. Kita semua yang hadir di sini, telah menentukan tempat kita masing2 dalam pergaulan hidup ini. Ada yang masuk alim ulama dan cerdik pandai, ada yang masuk bilangan saudagar mengatur peredaran kebutuhan2 masyarakat, ada yang masuk golongan pemimpin dan ketua2 yang bertanggung-jawab, ada yang masuk kaum pekerja dan penghasil. Maka marilah kita periksa pakaian batin kita masing2. Barangkali ada yang patut ditukar dan diperbaharui. Marilah kita sekarang membaharui pakaian batin kita, sesudah menukar pakaian lahir tadi pagi ! Kalau kita digolongan ulama dan arifin bijaksana, hendaklah kita ketahui, bahwa orang yang mempunyai ilmu itu mempunyai perkakas dan alat untuk membetulkan umat dan menasihatinya ! Marilah kita tukar pakaian batin kita dengan sidik, benar dan lurus. Kalau kita mengerjakan 'ibadat, supaya kita kenakan pakaian ikhlas yang mengharapkan keridaan Allah, agar 'ibadat kita tak sia2. Kalau kita digolongan kaum dagang, kenakanlah pakaian amanah yang lebih kekal dan lebih memberi manfaat.



Sekiranya kita dalam lingkungan yang memegang pemerintahan negeri marilah kita pakai pakaian adil yang maha indah, jangan memenangkan suatu golongan atas yang lain. Bila kita di kalangan kaum pekerja, kenakanlah pakaian disiplin dan ingat pada aturan. Mudah2-an dengan demikian kita termasuk orang yang mensyukuri ni'mat, hingga berlipat gandalah apa yang ada pada sisi kita sekarang ini. Tadi pagi sebelum kita berangkat ketempat ini, kita sudah mandi dan berlangir, kita sudah menyucikan jasad kita dari kotoran, menukar pakaian yang lama dengan yang baru. Maka pembersihan badan jasmani kita, penukaran pakaian lahir kita, sudahlah cukup sempurna kiranya dari pagi kita kerjakan, untuk menyambut hari yang mulia ini. Harga berapakah kiranya keadaan ruhani kita ? Bagaimanakah kiranya pakaian kebatinan kita ? Marilah kita periksa dan kita selidiki diri kita sendiri! Dengan demikian moga2 kita ditunjuki Tuhan ! Demi jika kamu berterima kasih kepada-Ku, akan Aku tambah lagi ni'mat-Ku. Jika kamu ingkar, maka azab-Ku adalah amat pedihnya. Marilah saudara2 kita akhiri khotbah ini dengan doa bersama ke hadirat Allah s.w.t., mudah2-an diterimanya doa kita :



„Ya Tuhan kami, teguhkanlah Agama Islam dan kaum Muslimin dan sampaikanlah kami kepada tujuan citas kami, untuk perbaikan dunia dan Agama". „Ya Tuhan kami, berilah kemenangan kepada orang yang membela Agama-Mu dan kecewakanlah orang yang merendahkan kaum Muslimin". „Jadikanlah, ya Tuhan kami, negeri kami ini negeri yang aman dan tenteram, begitu juga segala negeri kaum Muslimin". „Ya Tuhan kami, karuniailah kami kesabaran, dan tetapkanlah pendirian kami serta berilah kami kemenangan atas kaum kafir". „Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan dunia dan akhirat, dan selamatkanlah kami dari siksaan neraka." „Ya Allah, ampunilah orang Islam lelaki dan perempuan, mu'min lelaki dan perempuan, biar mereka hidup ataupun mati; Engkaulah yang mendengar, juga yang dekat dan yang memperkenankan permintaan. Perkenankanlah, Ya Tuhan seru sekalian alam, amin !



SARI KHOTBAH IDULFITRI DI LAPANGAN IKADA, JAKARTA, 1 SYAWAL 1371. II Alhamdulillah, Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengurniai kita lagi kesempatan pada tahun ini untuk merajakan 'Idulfitri, hari mulia yang kita sambut sebagai kita umat Muhammad dengan takbir dan tahmid : Allahu Akbar wa lillahil hamd. Telah kita cukupkan ibadah puasa kita dalam bulan Ramadan, dan telah kita tunaikan ia sesuai dengan perintah Allah. Mudah2-an puasa kita itu diterima dengan makbul hendaknya sebagai ibadah hamba-Nya yang ikhlas, sampai memberi bekas yang tetap pada diri dan jiwa kita masing2. Bekas, yang berupa kesadaran akan kedudukan kita sebagai makhluk Tuhan. Dan kesadaran akan tempat kita masing2 di dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat. Mudah2-an latihan ruhani yang telah kita jalani itu membersihkan jiwa kita dari pada sipat2 angkara murka, dari tamak dan hawa nafsu yang menjadi pokok pangkal keruntuhan akhlak, kerusakan sendi2 kehidupan umat dan bangsa. Mari kita sambut dan rajakan 'Idulfitri ini dengan memakai ni'mat Ilahi menurut kadar rezeki yang telah kita peroleh dengan jalan yang halal. Mari kita rasakan ni'mat Tuhan dengan syukur kanaah, merasa bahagia dengan apa yang ada pada diri kita, bebas dari sipat tabzir dan ber-lebih2an, tidak melampaui batas kekuatan dan keadaan kita masing2. Mari kita cari kebahagiaan 'Idulfitri ini dengan memberikan



sebahagian dari harta kita kepada saudara2 kita yang lemah, yang berhak atasnya, yakni fakir dan miskin! Marilah kita sama2 lepaskan mereka dari pada beredar me-minta2 di hari ini! Mari kita biasakan mencari kebahagiaan dengan memuaskan rasa bahagia ke dalam kalbu sesama kita! Pada hari ini kita lepaskan pikiran kita dari pada kesibukan pencaharian nafkah se-hari2 dan kita letakkan sebentar pekerjaan yang kita pikul menurut tugas dan pekerjaan kita, yang seringkah memakan waktu dan perhatian kita, sehingga oleh karena asyik dengan bagian kita masing2, kita lupa bahwa harga usaha kita itu adalah terletak dalam hubungannya dengan usaha seluruh masyarakat. Dua hal yang dikehendaki oleh tiap2 perajaan 'Idulfitri, yaitu perbaikan perhubungan antara seorang dengan seorang dalam pergaulan dan hidup kemasyarakatan, dan pemulihan hubungan jiwa antara diri dengan Khalik, antara hamba dengan Tuhannya. Kita perbanyak maaf, kita habisi perasaan dendam dan dengki antara satu dengan yang lain, yang mungkin telah tumbuh di-saat2 yang kita tidak awas, lengah dan lalai. Marilah kita buka halaman baru, yang lebih sehat bagi pergaulan antara satu dengan yang lain. Kita yang telah menjalani ibadah puasa dari tahun ketahun silih-berganti, adalah ibarat orang bertenun. Harapan kita ialah menenun sipat2 dan budi pekerti yang mulia menjadi pakaian pribadi kita, mudah2-an dengan bertambah lanjutnya umur, makin masak dan mendalamlah keluhuran budi; bertambah tinggi kelapangan dada dan bertambah luas kejernihan pandangan, yaitu sipat orang2 yang takwa kepada Ilahi. Semuanya adalah sendi2 tempat berdirinya suatu umat, bangsa dan negara.



Demikianlah mudahz-an kita terpelihara dari keadaan yang diperingatkan dalam Al-Quran: „Dan janganlah kamu jadi seperti perempuan dalam cerita lama yang merombak kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai, sesudah ditenunnya" (Q.s. An-Nahl: 192). 'Idulfitri memperingati kita kepada satu aspek (jihat) dari pada hidup berjamaah, yang didasarkan atas takwa kepada Tuhan. Hanya dengan memelihara bulat persaudaraan dalam ikatan jamaah, dapat kita mengharapkan selamat dan sejahtera di dalam hidup, baik sebagai perseorangan maupun untuk kesejahteraan masyarakat kita bersama seluruhnya. Tidak ada tempat dalam hidup jamaah itu ber-belakang2-an, hidup dengan tidak indah-mengindahkan antara satu dengan yang lain, apalagi hidup bertentangan, hidup berebutan, yang seorang mengharapkan untung atau merasa bangga atas kerugian orang yang lain. Tolong-menolong adalah adat dunia yang hendak selamat! Yang demikian itu adalah bertentangan jauh dengan paham „berebut hidup" yang dibawakan orang dengan nama struggle for life; paham yang menyanyikan kejayaan, menyambung nyawa dan memanjang-kan hidup bagi yang menang, yang lebih kuat (survival of the fittest), sambil menewaskan, mengecewakan hidup siapa yang lemah, yang kurang pandai. Bukanlah perebutan hidup yang harus menjadi pokok pangkal dari pada hidup berjamaah itu, melainkan ber-lomba2 berbuat baik, membanyakkan manfaat bagi sesama manusia seperti tersebut dalam Hadits: „Se-baik2 manusia ialah orang yang paling banyak bermanfaat bagi sesama manusia".



Juga paham kita tidak memakai semboyan : „Barang yang tidak kamu sukai bagi dirimu, jangan kamu lakukan kepada orang lain", yakni suatu semboyan negatif yang mengutamakan tidak berbuat, tetapi meng-ajarkan: „Lakukanlah kepada orang lain barang apa yang kamu kehendaki orang berbuat bagi dirimu!" Setingkat demi setingkat dalam perjalanan riwayat, jamaah manusia menempuh kemajuan dan mendapat pengetahuan. Diusahakannya mempergunakan pengetahuan itu untuk menyempurnakan dan memahirkan beberapa kepandaian bagi menambah penghasilan, yang menjadi keperluan manusia dengan menggunakan apa2 yang terdapat di muka bumi, dari pada hasil tambang, tumbuh2-an dan sarwa-hewan, sampai akhirnya, segala benda dan tenaga alam dapat dikhidmatkannya kepada manusia. Hidup kita sebagai Muslimin yang harus merupakan kehidupan berjamaah itu, memikulkan atas pundak kita segala usaha untuk mengamankan, menyentosakan, menyejahterakan kehidupan masing2 dan kehidupan bersama dalam jamaah itu. Inilah yang dinamakan „wajib kifayah", yang mesti dicukupkan dalam susunan masyarakat yang teratur. Tapi yang tiap2 kita tidak terlepas dari pada tanggungan, apabila masih ada di antara keperluan itu yang belum dicukupi. Tanggungan masing2 adalah menurut kadar dan kedudukan masing2 pula. Maka nyatalah, bahwa tuntutan Islam itu bertentangan dengan tiap2 paham yang memecah-belah manusia atas golongan2 yang bertentangan kepentingan, yang dengan tegasnya diistilahkan mereka, golongan yang satu hanya akan jaya dengan tunduk atau binasanya golongan yang lain, dengan tidak mengenal ampun. Pandangan kita kepada sesama manusia amatlah luasnya. Seluruh manusia baik warna kulit, bangsa dan keturunan apapun, semuanya



adalah dari satu keturunan belaka. Seluruh bangsa di Timur dan di Barat, di semua benua dan daerah, adalah umat yang satu. Dan hidayat ke-Islamanpun bukanlah monopoli suatu golongan. Seorang manusia, atau suatu golongan, tidaklah berlebih dari pada saudaranya, kecuali karena takwanya. Kehidupan, bukanlah perebutan rezeki dan pengaruh. Bukan tindasan yang kuat kepada yang lemah. Bukan pertentangan yang kaya dengan yang miskin. Tapi hidup ialah perlombaan di dalam menegakkan se-banyak2 kebajikan, untuk manusia. Hidup ialah iman dan amal saleh. Hidup ialah jasa baik yang tidak mengenal mati dan hapus. Itulah dua tali, yakni iman dan amal saleh, tali Allah dan tali manusia, yang harus kita pegang teguh, yang satu sama kuatnya dengan yang lain. Sesungguhnya bahaya yang lebih jahat mengancam hidup dan kehidupan negara umumnya dengan kebinasaan, ialah apabila kita ter-bawa2 oleh ajaran yang batil, kita terjerumus ke dalam jurang perpecahan menjadi golongan dan kelas8 yang merasa berperang antara satu dengan yang lain, dengan tidak mengenal takwa, tidak mengindahkan, bahkan memungkiri perintah dan petunjuk dari pada Tuhan yang Maha Esa dalam Agamanya, bahkan Tuhan itupun dimungkirinya. Dalam paham mereka yang batil itu, tidak ada tempat lagi bagi keadilan yang berdiri atas dasar hak, melainkan bagi mereka hak itu idah segala apa yang dapat direbutnya dengan paksaan, kekerasan dan beradu tenaga belaka. Ancaman, paksaan, perkosaan, segala itu dibolehkan asal dapat mencapai maksudnya.



Terang sekali bahwa paham dan perbuatan mereka yang memakainya itulah, yang dinyatakan salah dan sesat dalam firman Allah: „Di antara manusia ada yang sedap kata2-nya kaudengar tentang kehidupan, dan ianya bersumpah menyaksikan baik isi hatinya, padahal sesungguhnya ia itu degil dan se-jahat2 manusia. Di balik pembelakangan usahanya tak lain di muka bumi, melainkan merusak dan menyesatkan, membinasakan hasil usaha pertanian dan ternak. Padahal Allah tak suka kepada perbuatan merusak itu” (Q.s. Al-Baqarah : 204-205). Di sini ajaran Quran menunjukkan tanda2 untuk mengenali mereka yang munkar itu dengan perbuatan mereka, yaitu merugikan, merusakkan usaha penghasilan yang perlu untuk segala manusia, dengan tujuan membukti segala kekuasaan. Jika berhasil usaha mereka niscaya rusaklah pertalian persaudaraan dalam jamaah dan disingkirkannyalah iman kepada Tuhan yang Maha Esa. Dalam perjalanan kemajuan dunia kebendaan, yang berlaku pesat di dunia Barat diabad ke 19, memang telah dilupakan orang keruhanian. Bangga dengan kejayaan atas kebendaan itu, dengan tak sadar menjadikan manusia hamba kebendaan, yang me-muja2 hasil perbuatan tangannya sendiri. Maka berkobarlah hawa-nafsu loba, tamak dan gila harta. Kemewahan diburu dan selalu hendak lebih dari yang sudah tercapai. Dan apabila berhasil kemewahan harta, dihidupkannyalah nafsu kekuasaan. Itulah munkar dan fasad, yang merusak dan menyesatkan. Munkar yang harus ditentang, dicegah merajalelanya.



Tapi, jalan menentangnya tidaklah dengan mengobarkan nafsu loba tamak berebut harta dan kekuasaan itu pula, dalam hidup. Bukanlah ajaran Agama Allah menentang kejahatan dengan kejahatan, suatu hal yang tak mungkin menghasilkan kebajikan. Firman Allah: „Se-kali2 tidaklah kebajikan dapat disamakan dengan kejahatan. Maka hendaklah engkau menentang kejahatan dengan yang lebih baik!" (Q.s. Ha-Mim As-Sajdah : 34). Untuk memelihara langkah di jalan kebenaran, kita harus menjauhi perasaan memihak pihak yang satu dan menentang pihak yang lain. Dengan ikhlas kita harus memelihara damai dan mempertahankan damai dengan berpedoman keadilan belaka, tidak tergoda oleh perasaan benci atau cinta, seperti maksud firman Allah: „Hai kaum yang beriman, hendaklah kamu tegakkan kebenaran yang dari Allah itu dan hendaklah jadi saksi atas perbuatan yang adil. Janganlah se-kal? rasa benci akan sesuatu, menyerumuskan kamu kepada perbuatan tidak adil. Berlakulah adil, karena adil itu dekat kepada takwa. Maka ingat dan berjaga dirilah kamu terhadap Allah, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa2 perbuatanmu !" (Al-Quran, surat Al-Maidah : 8). Oleh karena itu janganlah kita ter-bawa2 oleh pihak yang katanya hendak mencegah peperangan antara negara, tapi pada hakikatnya mengasut dan membangkitkan peperangan saudara dalam tiap2 negara. Tidak pula kita dapat menerima paham bahwa perdamaian dan keselamatan dunia hanya dapat dicapai dibalik satu peperangan dunia yang baru dan bahwa satu2-nya pilihan yang tepat ialah lekas2 turut berbaris pada salah satu pihak, sehingga sempurnalah pembelahan dunia menjadi dua bagian, yang penuh bersenjata, sedia menggempur ber-hadap2-an dan pada kedua pihak hidup me-nyala2 nafsu benci dan bengis sampai akhirnya tidak mengindahkan bahaya yang akan



menimpa, yaitu kebinasaan disegala penjuru, tak ada menang tak ada kalah, melainkan rusak binasa semuanya. Itulah bala bencana yang harus disingkirkan menurut perintah Allah s.w.t. „Maka pagarilah dirimu dari pada huru-hara yang kelak tidak akan menimbulkan bala hanya atas mereka yang berbuat cedera saja dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah sangat dahsyat hukum-Nya (Q.s. Al-Anfal: 25). Dalam hal ini kita jangan salah mendasarkan sikap. Kita salah mendasarkannya, jika sikap itu dihasilkan oleh takut kesini dan takut kesana. Kita salah mendasarkannya jika sikap kita itu berdasar atas perasaan memencil berlepas diri, karena tidak merasa ada wajib yang dipikul. Sikap itu hanyalah benar, apabila tetap kita dasarkan kepada asas persaudaraan di bawah pimpinan Tuhan, sebagai sikap umat yang memikul tanggungan, menyampaikan pesan petunjuk kepada segala manusia di muka bumi seperti tersebut dalam firman Allah: „Dan demikianlah telah Kami jadikan kamu umat pertengahan supaya kamu menjadi saksi atas segala manusia sebagai juga Pesuruh Allah menjadi saksi atas kamu" (Q.s. Al-Baqarah : 143). Kita diberi titel oleh Tuhan „khaira ummatin". Kamu yang se-baik2 umat untuk manusia, sebab kamu menyuruh berbuat ma'ruf, dan mencegah berbuat yang munkar, dan kamu percaya kepada Allah. Kepercayaan kepada Allah itulah yang menimbulkan keberanian kita menyuruh berbuat ma'ruf. Keberanian menyuruh berbuat baik, adalah besar dari pada kemerdekaan menyatakan pikiran. Keberanian menegur mana yang salah, adalah besar dari pada kemerdekaan iradah. Dan iman kepada Allah, menjadi puncak dari semua



kemerdekaan. Itulah kemerdekaan jiwa, sebab tidak ada tempat takut selain Allah. Senantiasa tetaplah kalimat La ilaha illallah itu memberi manfaat kepada barang siapa yang mengucapkannya. Dan senantiasa akan tertolaklah dari pada mereka itu azab dan siksaan Tuhan, selama hak kalimat itu tidak di-sia2-kan, demikian Hadist Rasulullah s.a.w. Sahabat2nya bertanya „Bagaimanakah yang dikatakan me-nyia2-kan hak itu, ya, Rasulullah ?" Jawab beliau: „Sudah terang2 orang melakukan pendurhakaan kepada Allah, pada hal tidak diingkari dan diubahnya". Dengan demikian teranglah, bahwa kita menghadapi suatu "kewajiban yang tegas dan mulia terhadap kepada dunia segenapnya dan peri kemanusiaan seluruhnya. Kewajiban itu menghendaki dari kita kepercayaan akan diri sendiri dan kepercayaan itu hanya dapat kita capai, jikalau dalam negeri dan dalam bangsa sendiri, kita tidak berpecah belah. Dengan demikian kita menyusun diri sebagai jamaah, terikat dalam pertalian persaudaraan, menurut perintah Allah. Pada hari 'Idulfitri ini, marilah kita sama2 insaf bahwa kita umat Muhammad dan mempunyai pegangan yang tentu2. Terang apa yang kita tolak dan tegas pula apa alternatif, penggantinya yang kita tuju. Kita umat Muhammad, mempunyai tugas, mendukung suatu risalah ! Risalah yang patut dan layak, yang hanya dapat kita capai dengan menyatukan segala tenaga, benda, budi dan pikiran yang ada, untuk menyampaikan risalah itu. Juli 1952



SERUAN



Saudara2 kaum Muslimin dan Muslimat! Aku bermohon kehadirat Allah, mudah2-an kita semuanya senantiasa di dalam rahmat dan perlindungan-Nya ! Allah yang bersipat Rahman dan Rahim, telah menyampaikan panggilan dan seruan-Nya kepada kita semua umat Islam yang beriman, seman yang semestinya kita dengarkan dengan telinga dan hati yang percaya kepada-Nya. Dengarkanlah dan perhatikanlah seruan Tuhan ini, karena hanya inilah jalan yang akan menyelamatkan manusia dari segala macam musibah dan kesukaran hidup dunia-akhirat; dan hanya dengan mendengarkan seruan Tuhan ini pulalah dapat dicapai kemenangan yang se-benar2-nya. „Wahai segenap manusia yang telah beriman ! Ruku'lah kepada Allah, sujudlah kepada Allah, dan perhambakanlah dirimu ke- pada-Nya ! Kemudian maka kerjakanlah segala amal-usaha kebaikan! Mudah2-an dengan demikian kamu sampai kepada kemenangan” (Q.s. Al-Haj: 77). Tidak ada nasib yang lebih ditakutkan orang dari pada kekalahan di dalam perlombaan hidup. Dan hal yang sangat2 digemari dan dicintai manusia ialah kemenangan, sedang kaum Muslimin mencintai falah, ialah kemenangan lahir dan batin sepanjang keredaan Tuhan. Maka inilah pelajaran Wahyu Tuhanmu, menunjukkan jalan2 yang akan menyampaikan kepada falah dan kemenangan itu! Dengarkanlah dan pahamkanlah! Kemudian amalkan dan kerjakanlah se-baik2nya!



„Ruku'lah dan sujudlah kepada Allah! artinya kerjakanlah sembahyang yang lima waktu sehari semalam dengan se-baik2nya; rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhanmu, kerjakanlah segala suruh-perintah-Nya dengan taat dan patuh, tinggalkan segala tegah-larangan-Nya dengan sempurna! Kemudian pakailah sipat2 'ubudiyah yakni sipat dan akhlak hamba yang menginsafi bahwa dirinya adalah hamba-Allah, bukan hamba-nafsu, bukan hamba-iblis, bukan hamba-dunia, dan bukan pula hamba-benda dan harta". Di dalam pandangan Allah, manusia hanya terbagi kepada dua macam : hamba-Allah atau hamba bukan-Allah. Maka barang siapa yang percaya kepada Allah lalu memperlengkapi dirinya dengan sifat2 'ubudiyah kepada Allah, patuh dan taat menurut suruh dan meninggalkan larangan Allah, teguh dan yakin berpegang kepada Agama Allah, mereka itulah yang berhak mendapat gelar kehormatan sebagai hamba Allah. Dan barang siapa yang benar2 telah memperhambakan diri kepada Allah semata, akan direndahkan Tuhanlah di bawah telapak kakinya alam semesta, dan akan direndahkan Tuhan guna kepentingannya, langit dan bumi serta segala yang terletak di antara keduanya. Tetapi sebaliknya, barang siapa yang tiada mau memperhambakan diri kepada Allah al-wahidil-qahhar, akan direndahkan Tuhan ia di bawah kekuasaan alam dan benda. Nasibnya akan menderita kepayahan dan kesukaran di bawah pengaruh dan perhambaan alam yang rendah, seperti uang, pangkat, ilmu dan tipuan kehidupan dunia. Ketahuilah bahwa perhambaan diri kepada Allah semata itu, adalah jalan kepada kemerdekaan yang hakiki, kemerdekaan dari penjajahan benda dan maddah.



Apabila saudara benar2 menginginkan kemenangan yang hakiki, maka janganlah dipekakkan telinga dari pada mendengarkan seruan Tuhan yang khusus paedahnya bagi memudahkan mencapai kemenangan itu. Firman Tuhan: waf ‘alulkhaira la'alakum tuflihun! Kerjakanlah alkhair, kerjakanlah amal kebaikan, kerjakanlah segala amal perbuatan yang bernilai baik! Moga2 dengan demikian kamu akan menjadi umat yang menang! Ini janji Allah dan inilah petunjuk Allah. Tuhan tidak akan memungkiri janji-Nya dan petunjuk Tuhan itulah yang se-benar2- nya petunjuk ! Apabila kaum Muslimin inginkan kemenangan dunia dan akhirat, maka dahulukanlah diri mengerjakan apa yang bernama baik dan dahulu-mendahuluilah mengerjakan kebaikan, fastabiqul-khairat! Dengan demikian Tuhan akan mengurniakan kemenangan kepada kita. Ketahuilah, bahwa permulaan apa yang dinamakan baik itu ialah meninggalkan kejahatan, sebab itu jauhilah lebih dahulu segala yang jahat dan tiada-baik, sebab dasar asasi dari kebaikan itu ialah menjauhi segala yang tidak-baik. Marilah mulai membuangkan segala yang tidak-baik itu pada diri pribadi masing2, maupun berupa akhlak dan tabiat yang keji2, demikian pula segala noda dan cacat yang merendahkan kemanusiaan dan martabat keislaman masing2. Kemudian tegakkanlah segala yang bernama baik itu di dalam diri pribadi lahir dan batin, sehingga dapatlah hendaknya kita menamakan diri kita seorang insan yang muslim dan mu'min. Sekiranya usaha menegakkan kebaikan pada diri pribadi kita sudah selesai, maka lanjutkanlah memperluas ruangan kebajikan itu dalam lingkungan keluarga: anak-isteri serta keluarga pamili. Sabda Nabi



Muhammad s.a.w. „Mulaikanlah dahulu mendirikan Agama itu pada dirimu sendiri, kemudian di dalam lingkungan keluarga pamilimu !" Nabi Muhammad s.a.w. memulai usaha membina kemenangan dunia dan akhirat, ialah dengan menegakkan Agama itu lebih dahulu pada diri pribadinya, diiringi oleh diri pribadi Sahabatnya, lalu bersama2 mereka itu melengkapkan berdirinya Islam itu di dalam lingkungan isteri dan anak yang menjadi keluarga dan pamilinya masing2. Dengan demikian, di dalam jangka waktu yang pendek beliau mampu mengislamkan bangsa dan negara yang menjadi keluarga besar baginya. Adalah suatu rahasia yang akan menyampaikan manusia kepada kemenangan. Kemenangan itu adalah kelanjutan dan buah dari pada jihad, seperti beras menjadi buahnya batang padi. Mustahil orang tiada menanam padi akan menemukan beras. Maka demikian pulalah mustahilnya manusia yang tiada berjihad akan mendapatkan kemenangan. „Dan berjihadlah pada jalan Allah dengan se-benar2-nya jihad! Dia telah memilih kamu. Tuhan tiada menjadikan sesuatu kesukaran dan kesempitan di dalam agama!" (Q.s. Al-Haj : 78). Kini telah datanglah waktunya bagi umat Islam menyingsingkan lengan bayunya bekerja sungguh2, merampungkan sekian banyak bengkaki yang belum jadi. Permulaan jihad, ialah meninggalkan enggan dan lalai, menyahkan giat dan sabar memikul tugas kewajiban. Kita kaum Muslimin dibebani Tuhan taklif jihad dengan segala jenis dan macamnya. Jihad kecil dan jihad besar, jihad ashgar dan jihad akbar.



Jihad yang akan membawa kepada kemenangan itu, memerlukan susunan tenaga, penghimpunan tenaga, kemudian penempatan tenaga dan kecakapan pada tempat yang sesuai dengan keadaannya. Inilah sebabnya maka nizam atau aturan bekerja itu menjadi sebahagian sunnahnya Nabi Muhammad s.a.w. Ada semacam penyakit yang merajalela dalam kehidupan beragama kita dewasa ini. Yaitu penyakit berasa sukar dan payah menjalankan tugas dan kewajiban Agama. Dikiranya bahwa Agama itu berat dan sukar, hidup beragama itu hidup yang sempit dan tak ada kelapangan, tak ada kebebasan. Pendapat yang semacam ini nyata salahnya. Agama itu ialah kelepasan dari segala kesempitan dan kepayahan dan syari’at Agama Islam terkenal sebagai syari’at yang samakah, lapang, yang mendasarkan tiap2 tugas dan kewajiban itu atas kesanggupan dan tenaga yang ada pada diri manusia itu masing2. Tuhan tiada membebankan taklif kepada manusia, lebih dari kemampuan tenaganya berbuat, sebab itu tak ada perkara yang sempit dan sukar di dalam titah-perintah Agama. Selama manusia berada di dalam kewarasan akal dan pikiran, maka sudah dapat dipastikan bahwa tiadalah ia akan menyumpai perkara 2 yang sukar dan berat di dalam ajaran dan hukum Agama Islam. Hanya lah ada sejenis manusia yang melihat Agama seluruhnya di dalam sipat berat dan sukar, yaitu manusia yang telah rusak kebersihan jiwa dan ruhnya, manusia yang telah dicemarkan akal pikirannya oleh pengaruh nafsu dan gila-hormat. Bagi orang yang penyakit ruhaninya dan jiwanya telah mendalam, pengaruh nafsu dan benda telah mencemarkan insaniyahnya itu, maka seluruhnya Agama menjadi pantangan, segala ajaran dan hukum Agama dipandangan sempit. Manusia yang serupa itu tiadalah masuk hitungan lagi sesuatu pertimbangannya, karena ia



telah jahil dan bebal. Tuhan mensipatkannya demikian: „Dan kami putar-balikkan hati dan pandangannya, sebagaimana mulanya mereka belum juga hendak beriman. Kemudian kami biarkan mereka itu di dalam kesesatannya bimbang dan ragu. Sekalipun Kami menurunkan kepadanya malaikat dan menyuruh ber-cakap2 kepada orang yang sudah mati, dan Kami himpunkan segala sesuatu yang berupa keterangan dan tanda2 tiada jugalah mereka itu hendak percaya dan beriman, entah kalau sudah didahului kehendak' Allah juga, tetapi kebanyakan mereka itu adalah orang yang jahil". „Dan serupa itulah Kami jadikan untuk segala Nabi2 itu musuh2, yang berupa syetan, manusia dan jin, yang bantu-membantu mereka memberikan keterangan dari kata2 yang palsu dan menyesatkan. Kalau Allah menghendaki tidaklah mereka dapat berbuat demikian itu. Sebab itu, tinggalkan mereka itu dengan segala perbuatan bikin2-annya '." (Q.s. Al-An’am : 110-112). Mudah2-an Allah memberikan kepada kita jalan petunjuk dan hidayah-Nya, jalan kemenangan dan kebahagiaan dunia akhirat. Mudah2-an Tuhan memelihara dan menyelematkan kita semuanya dari jalan kesesatan dan kemurkaan-Nya, amin!



21 Maret 1953



PIDATO PADA HARI IOBAL, 21 APRIL 1953, DI JAKARTA Malam ini kita berkumpul di sini untuk mengenangkan salah seorang puyangga Islam yang besar, penyair, ahli-pikir-siasah dan filosof, almarhum Muhammad Iqbal. Dengan tak syak lagi adalah Iqbal salah seorang penjelma untuk kebangkitan Islam di India dan Pakistan khususnya dan umat Islam di seluruh dunia umumnya. Telah dibangunkannya umat Islam India-Pakistan dari kelenaan mereka dengan menjelmakan pikiran2-nya dalam persajakan liris. Dibangkitkannya damir-kesedaran Muslim yang telah tertidur nyenyak ber-abad2, terutama disebabkan oleh keadaan politik dan juga oleh tafsiran dan pengertian yang pincang tentang Islam dan asas2-nya. Baiklah saya akui, bahwa taklah dapat saya lakukan satu telaah yang kritis lagi luas mengenai persajakan Iqbal, oleh sebab semua sja'iiA-nya tertulis dalam bahasa Urdu dan Parsi. Sayang sekali, pengetahuan saya tentang buah pikiran dan persajakan Iqbal selain dari tidak dalam, terutama hanya saya resapi dari terjemahan karangan2-nya. Dan sebagaimana kita ketahui, terjemahan betapapun baiknya tidak pernah dapat menjadi penjelmaan yang sempurna dari yang asli. Ingin sekali saya beroleh pengetahuan bahasa Urdu dan Parsi supaya sanggup menuruti arus pikiran Iqbal dalam cipta aslinya. Bahasa Arab, Parsi dan Urdu ialah khazanah perbendaharaan kesusasteraan dan falsafah zaman silam kita. Agaknya tak usah lagi saya tegaskan, bahwa terutama oleh pikiran2 Iqbal-lah sebagai tertuang dalam rangkaian sajak2-nya yang indah murni, yang menyemarakkan nyala dan sinar Islam dalam kalbu pengikut2-nya dengan menciptakan perasaan 'izzatunnafs, percaya kepada diri sendiri yang kuat. Cita2 Iqbal-lah yang telah menimbulkan



tenaga-baru dan segar, yang mengakibatkan tugu kemenangan bagi pergerakan Islam, yang kini tegak berdiri dalam bentuk dan bangunan yang nyata : Pakistan Iqbal mengingatkan kaum Muslimin tentang masa-silam mereka yang gemilang, seraja merintih dan mengeluhi keadaan bala bencana mereka dewasa ini; lalu dinyalakannya dalam kalbu mereka api-harapan untuk masa depan yang gemilang dengan menggaungkah tema Khudi, yaitu pribadi. Berkata Iqbal: Khudi ko kar buland itna keh har taqdir se pahley Khuda bandey se khud pukhhey bata teri raza kia hai. „Binalah pribadimu demikian hebatnya sehingga sebelum Tuhan menentukan takdirmu, Dia sendiri akan mengarahkan tanya padamu: Apakah yang kaukehendaki yang sebenarnya". Lukisan yang lebih luas tentang ini, atau baiklah saya katakan, pengolahan-populer tema di atas amat nyata dalam buah persajakan „Shikwa dan Jawabi-Shikwa, — „Pengaduan dan Jawaban". Terjemahan bahasa Inggris dari kedua sajak yang bersejarah ini telah dilakukan oleh Altaf Husein dengan kata pendahuluan Parvez dan diterbitkan dengan berkepala "The Complaint and the Answer". Bagian yang pertama bersipatkan pengaduan umat Islam kepada sikap Tuhan yang tampaknya se-akan2 berat sebelah kepada orang2 yang bukan Islam, sedangkan bagian kedua ialah penawar hati bagi kaum Muslimin. Mukadimah terjemahan itu amat tepat sehingga ingin saya mengutip beberapa bagian dari padanya: „Iqbal sendiri," kata Parvez, „tidaklah turut serta dalam pengaduan itu dan juga tidaklah ia menjalankan Tuhan. Dia hanyalah sambungan lidah dari perasaan generasinya, perasaan yang



timbul dari tabiat manusia yang keras-membeku dan tak mau mengalami analisa diri sendiri, lalu men-cari2 alasan bagi bencana sendiri dengan menjalankan orang lain, dengan meninggalkan rasa keadilan. Metode Iqbal amatlah tepat untuk melayani maksud2-nya dalam „Pengaduan dan Jawaban" itu. Shikwa melukiskan kesal dan sebal umat Muslimin, yang bertumpuk2 dalam pikiran mereka ; menjauhkan diri dari sikap introspectie, (mengoreksi diri sendiri) yang memang tidak sedap itu, lalu mencari kelegaan di dalam latar-belakang jiwa dan lalu mengutuki nasib yang mengakibatkan segala macam penyakit dan malapetaka yang se- akan2 telah menjadi warisan mereka. Bila dengan cara demikian Iqbal telah menarik perhatian sepenuhnya tentang kemunduran kaum Muslimin, yang dilukiskannya sebagai „jentik" yang Maha Kuasa, maka Iqbal menyalurkan jawaban dalam Jawabi Shikwa, yang mengangkat tabir khayal mereka itu. Di dalam Jawabi Shikwa ini, Iqbal menunjukkan tempat yang sakit pada urat nadi umat Islam. Diceritakannya kepada kaum Muslimin, bahwa bukanlah Tuhan yang tidak adil kepada mereka, tetapi mereka sendiri sebagai umat Islam bersikap tidak adil dan jujur terhadap dirinya. Ditunjukkannya, bahwa sikap fatalisme mereka, ialah menipu diri sendiri, yakni semacam tabir untuk menyelubungi kekurangan diri sendiri. Diperingatkannya, bahwa satu2-nya jalan kepada warisan mereka yang jaya itu, ialah Quran, dan sinar yang tak kunjung padam itulah, yang menentukan nasib umat Islam. Menurut hemat saya, Shikwa dan Jawabi-Shikwa, yakni kedua sajak yang bersejarah ini, bukan se-mata2 suatu sajak yang menjelmakan dengan amat padatnya masa-silam dan masa kini dari umat Islam



seluruh dunia, tetapi juga menunjukkan pedoman bagi mencapai tujuan yang nyata, yakni ajaran2 Quran dan dasar2 Agama Islam. Maka inginlah saya mengutip beberapa bagian dari Shikwa dan Jawabi Shikwa yakni saduran-sari dalam bahasa Arab oleh Al-Adzami: Shikwa: I.



Dunia gelap dan gulita Yang kuasa hanya patung dan berhala buatan tangan si penyembah itu dari pada kayu dan batu Filsafat Yunani tak berpengaruh lagi Hukum Romawi telah bangkrut dan rugi Hikmat Benua Cina, telah padam lena; —Tetapi Bahu Muslimin yang kuat Telah membongkar ilhad, dari seluruh jagat Telah memancarkan Sinar baru, Tauhid dan Ittihad ...........................................................



II.



(Di Waktu Itu) Ya Ilahi ! — Kebun di dalam alam telah kehilangan janji Dan kembang tidak lagi menyebarkan harumnya Kalau ada angin menderu, hanyalah pancaroba Kalau suara terdengar, hanyalah suara dari guruh tohor; Sampai datang utusan Tuhan di negeri Mekah itu Dia adalah Ummi, — tetapi dia telah mengajar isi bumi Akan anti kehidupan langit



Dia telah menunjukkan kepada isi alam Apa artinya fana dalam menuju yang Baqa Maka kamilah yang harum dalam kebun itu Kami hapuskan tanda kegelapan malam Dengan sinar cahaya subuh, Sehingga Iman kami telah laksana kegilaan dari orang yang asyik Kami hadapi seluruh kemanusiaan, ja Tuhan, dengan Nur-Mu Dalam saat yang singkat, selonyak bola melayang Untuk mengenal Kebenaran, Cahaya dan Keindahan Dunia di kala itu telah penuh oleh bangsa2 dan kerajaan Saljuki, Turani dan Cina Ada kerajaan Bani Sasan Ada peninggalan Roma dan Junan Maka kami kibarkanlah bendera Tauhid Kami kumpulkan segala anak manusia dan turunannya demi turunan Dalam satu kekeluargaan ; Percaya akan Engkau, men-Tauhidkan Engkau Kami perbaiki yang rusak, kami tegakkan yang condong Kami pun berjuang di darat dan di laut Menggetar suara Azan ikami di-tempat2 menyembah di Eropah Berbekas sujud kening kami dipasir sahara Afrika Kami tidak takut kepada kaisar, atau kekuasaan adikara, Atau kemarahan raja2, Kami perdengarkan kepada alam, seluruhnya Kalimat tauhid ............................................................ III. Tak ada lagi kekayaan kami yang tinggal, ya Raibbi Kecuali satu, yaitu kemiskinan Tak ada lagi kekuatan kami yang tinggal, ja Rabbi



Kecuali satu, yaitu kelemahan ; padahal Jika Muslim tak ada lagi di dunia Dunia itu sendiripun akan hilang hancur Kami memohon Baqa di dunia ini Karena ingin Fana, dalam cinta akan Dikau ... IV. Kesetiaan Siddik, keadilan Umar, Mushaf Usman Takwa Ali, kejujuran Salman Keindahan suara Bilal di dalam Azan Semuanya masih tetap kami simpan, dihati yang aman Dalam keteguhan Iman, dan penyerahan bulat2 Bangunkanlah ya Rabbi, kami kembali Dengan itu suara genta yang pertama sekali Telah engkau bangunkan Agama ini mulanya dipuncak Faran Maka terangilah hati si Asyik ini dengan hembusan Iman Bakar habis cintakan dunia Dengan cetusan api Cintamu. Jawabi Shikwa: I.



Telah Kami hamparkan tikar Kurnia Tapi, siapakah yang telah datang bertanya ? Telah Kami rentangkan jalan raya kemuliaan Tapi, siapakah yang telah berlengkap untuk melaluinya Sungguh, cahaya telah Kami pancarkan dari Fitrat Tetapi permata tidak menyambut sari cahaya dirinya Se-akan2 sejemput tanah ini, tidak terjadi Dari tanah Insaniyah yang pertama ditempa



II. Benarkah kamu telah bersedia di zaman baru Menjadi 'Abid Allah, tentara Muhammad dan jadi permata berlian menyiar cahaya dari Agama ini ?



Mana boleh, pelupuk matamu telah berat Buat menyambut cahaya subuh dengan takbir salatmu dan rintihan hidupmu Se-akan2 perangaimu telah turut tidur dengan pelupukmu Apakah bedanya terang siang, dengan gelap malam Bagi orang yang tidur mendengkur tengah hari ? Bukankah Ramadan tidak mengikat kemerdekaanmu Tidak memutar balik kebudayaanmu Wahai Umat bercakaplah terus terang, inikah yang namanya Setia Kepada sejarahmu yang lampau dan Agamamu ? Ujudnya suatu kaum adalah karena ujud Agamanya Agama pada suatu umat, adalah tulang punggung tempat dia berdaulat Kalau Agamanya telah pergi , ?! — Agamalah yang telah menyusunmu jadi satu barisan Kalau tak ada sandar-menyandar, di antara bintang dan bintang Tidaklah terbentang susunan indah dilangit Maka bulanpun taklah akan sanggup memancarkan keindahan sinar .......................................................... III. Lihatlah Mesjid Allah, yang meramaikannya hanyalah orang2 miskin Mereka hanya yang puasa, mereka yang sembahyang Mereka hanya yang 'Abid, merekalah yang berzikir Merekalah yang telah menutup malumu sekalian di hadapan dunia Adapun yang kaya, mabuk dalam kelalaian dan menolak seruan Adalah suatu hal yang mengherankan



Bahwa Agamanya yang suci, masih teguh binaannya karena nafas hangatnya orang yang fakir Kekuatan semangat tak ada lagi, dalam susun katamu yang telah basi Ajaran yang diberikan tidak lagi menarik hati Kalau tidaklah ruh Bilal yang masih tinggal di dalam Azan itu sendiripun telah kehilangan keindahan Mesjidmu meratap karena kekurangan saf Mihrab dikerat lawah karena kematian Imam Mimbarmu berlumut dan menimbulkan jemu Khatib diantarkan kesana, dengan pedang dari pada kayu Tetapi rumahmu ? Rumahmu penuh dengan alat2 kebanggaan dengan pangkat dan gelar2 Shahib dan Khan, Mirza dan entah apa lagi, Aku tak berjumpa Muslim di dalamnya ..... IV.



(Harapannya kepada pemuda) ; Aku harapkan pemuda, inilah yang akan sanggup membangunkan zaman yang baru memperbaru kekuatan Iman menyalakan pelita hidayat Menjabarkan ajaran Khatimul Anbiya-i Menancapkan di tengah medan, pokok ajaran Ibrahim Api ini akan hidup kembali dan akan membakar Janganlah mengeluh jua, hai orang yang mengadu



Janganlah putus asa, melihat lengang kebunmu Cahaya pagi telah terhampar bersih



Dan kembang2 telah menyebar harum narwastu Kumbang dan lebah telah mulai mendengung, mengedar Darah Syuhada, telah menggelegak dimulut kuntum Ta'kkah engkau lihat langit, alangkah jernih Takkah engkau lihat ufuk, burhan telah menyatakan diri Hari yang baru telah pasti datang Dan syamsu, akan datang dengan cahaya gemilang. Dan pandang pulalah kebumi Tidakkah engkau lihat, suatu kaum memetik buah Dan yang lain menghapus tangan Memang banyak pohon kurma yang telah lepas masanya berbuah, — Tetapi benih2 yang baru bergerak di pelipis bumi, memecahkan sendiri tempurungnya, melonjakkan tunas, hendak melihat cahaya di bumi Asal dianya senantiasa disiram, dan disiram Dengan ajaran asli Islam, dia akan tumbuh dengan suburnya Dan dunia mendapat nafas baharu V. Khalifatul Ardl, akan diserahkan kembali ketanganmu Bersedialah dari sekarang Tegaklah, untuk menetapkan engkau ada Denganmu-lah Nur Tauhid akan disempurnakan kembali Engkaulah minjak 'athar itu, meskipun masih tersimpan dalam kuntumyang akan mekar Tegaklah, dan pikullah amanat ini atas pundakmu Hembuskan panas napasmu di atas kebun ini Agar harum2-an narwastu meliputi segala



Dan janganlah dipilih hidup bagai nyanyian ombak hanya berbunyi ketika terhempas dipantai Tetapi jadilah kamu air-bah, mengubah dunia dengan amalmu Kipaskan sayapmu di seluruh ufuk Sinarilah zaman dengan nur imanmu Kirimkan cahaya dengan kuat yakinmu Patrikan segala dengan nama Muhammad Kalau kembang tak mekar dalam kebun Tidaklah unggas malam akan bernyanyi memanggil bulan Kalau lebah tidak merongong Tidaklah kuntum akan tersenyum Kalau nama Muhammad tak ada di alam Tidaklah yang maujud merasai hangat hidup ..... Dan baiklah sekarang saya coba melukiskan aspek Iqbal dari segi yang lain. Dia seorang penyair, ahli pendidik, ahli hukum, seorang kritikus seni, ahli siasat dan filosof, — semua tergabung dalam pribadinya. Tentulah sukar bagi kita akan melukiskan tiap2 aspek kepribadian Iqbal itu. Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang ditemui. Sebagaimana saya katakan tadi, sulit menggambarkan berbagai macam lapangan, tempat Iqbal menyatakan kepribadiannya. Tetapi inginlah saya melukiskan serba ringkas buah pikirannya sebagai ahli pikir-siasat. Dan di sini saya kemukakan konsepsi Negara menurut pendapatnya yang berdasarkan ajaran dan asas2 Islam. Suatu Negara Islam, menurut pendapatnya, amatlah luas dan melingkupi segala sesuatu dalam funksinya. Dari segi falsafah baiklah saya kutip beberapa petikan dari salah satu ceramahnya yang



bersejarah, dan telah diterbitkan sebagai buku dengan nama „Reconstruction of Religious thought in Islam". Dikatakannya dalam ceramahnya yang berkepala „Structure of Islam”, di kala dia menunjukkan asas2 suatu negara: “Di dalam Agama Islam, spiritual dan temporal, — baka dan fana —, bukanlah dua daerah yang terpisah, dan fitrat sesuatu perbuatan, betapa pun bersipat duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir2-nya latar belakang ruhani yang tak kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sipat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak-terbatas. Dalam Agama Islam yang demikian itu adalah merupakan sebagai apa yang disebutkan orang „gereja" kalau dilihat dari satu sudut dan sebagai „negara" kalau dilihat dari sudut yang lain. Itulah sebabnya tidak benar kalau dikatakan, bahwa „gereja" dan „negara" adalah dua faset, atau dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat di-pecah2-kan, — atau ini atau itu sebagaimana pandangan tuan dapat berubah atau berkisar", demikian Iqbal. Banyaklah keterangan2 dikemukakannya dengan tegas dan sungguh2 bahwa dalam Islam politik dan Agama tidak seharusnya dipisahkan, bahwa Negara dan Agama adalah dua keseluruhan yang tak boleh terpisah. Agaknya perlu juga kita sampai kepada bahan2 sejarah untuk menerangkan bagaimana cita pemisahan negara dari agama, yang sebenarnya berasal dari Barat itu. Kita semuanya mengetahui, bahwa teori politik ini --atau cara berpikir falsafah begini--diwujudkan dengan adanya pemisahan lapangan Kaisar dan



lapangan Paus. Akibat teori ini bila diwujudkan dalam praktek dengan amat hebatnya dan penuh perasaan enthousiasme menjelmakan pemisahan nilai2 spiritual dari nilai2 material dalam kehidupan, dengan mutlak. Akibat dari teori ini, ialah bahwa rasionalisme yang sudah tertanam dalam jiwa makhluk manusia, menjadi sesuatu faktor yang menguasai seluruhnya, tidak ter-hambat2 lagi oleh tenaga2 ruhaniah, yang layaknya mengimbangi kekuatan2 rasionalisme yang tak berkendali itu. Akibatnya ialah penguasaan ilmu dan pengetahuan se-mata2, yang kesudahannya mewujudkan rasialisme, chauvinisme yang sempit ('ashabiyah jinsiyah), penumpukan harta dalam tangan beberapa orang, penciptaan kelas2 dan golongan yang berkedudukan istimewa, perkembangan antagonisme atau permusuhan kelas demi kelas, terus-menerusnya berlaku penguasaan golongan yang satu atas yang lain, yang kesemuanya menimbulkan gejala2 kebencian, dendam kesumat dan peperangan demi peperangan. Ber-kali2 Iqbal menunjukkan dalam untaian sajaknya bahwa Zaman Kencana Ruhani telah silam dan Zaman Kebendaan telah menjelma. Cita susila telah digantikan oleh paham-serba-guna yang tegar dalam bentuknya yang paling kasar; serba dagang atau komersialisme. Digambarkannya konsepsi pemisahan politik dari agama dan akibat2nya dalam untaian sejak berikut: Akal budi dan agama tlah diperdayakan oleh bid'ah Dan cinta asyik tlah dikalahkan oleh serba-dagang-semata Kecondongan hatimu penyakit dan bencana penuh rahasia Kesebalanmu menjelmakan mati, — mati yang tiba2 Kau bersyerikat dengan benda



Dan mencintakan unsur dari hadirat Ilahi Ilmu yang memecahkan soal demi soal benda Tak memberikan padamu apa2 kecuali mazhar perkisaran Kematianmu mencanangkan kedatangan hidup untuk dunia Tunggulah sejenak, dan ketahuilah apa akhirnya, kawan ! Iqbal menegaskan, bahwa baik kapitalisme Barat dan sosialisme Marx pada asasnya berdasarkan nilai2 kebendaan dari kehidupan dan kosong dalam warisan ruhaniat. Dianggapnya sosialisme Karl Marx sebagai suatu rencana yang berdasarkan kesamaan perut dan bukan kesamaan ruh. Demikian juga dilihatnya kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan rasialisme sebagai kegemukan jasad dan dinyatakannya penolakannya kepada semuanya itu dalam rangkaian sajak yang berikut: „Keduanya berjiwa gelisah dan tak sabar menanti, Keduanya orang asing bagi Ilahi dan penipu manusia Yang satu diasuh ruh revolusi Yang lain gemuk oleh penghasilan negara Dan di antara kedua ini, dua batu kemanusiaan terlanda Yang satu mengalahkan tujuan pengetahuan, seni dan agama Sedangkan yang lain menyentakkan jiwa dari tubuh dan roti dari tangan. Maka konsepsi bahwa Agama dan politik beroleh lingkungan yang terpisah, sebenarnya lahir dari suatu kegagalan menangkap arti yang



penuh dari Agama, oleh pengaruh kebendaan yang kuat yang meliputi kehidupan setiap hari. Itulah sebabnya amat perlu bagi kita untuk memahami dengan se-sungguh2-nya apakah Agama dan apakah funksinya. Agama seharusnya menjadi pemimpin dan penuntun kepada orang2 untuk mencapai perkembangan se-tinggi2 mungkin dalam kemampuan2 tuhanlah, akhlak, intelek dan fisik. Selanjutnya adalah funksi Agama menetapkan, memelihara dan melaraskan hubungan antara Tuhan dan insan dan juga antara manusia dengan manusia. Mengenai hubungan antara manusia dengan manusia, funksi Agama ialah memelihara perhubungan itu dalam seluruh aspek kehidupan. Di sini seharusnya juga kita perhatikan funksi politik dalam memelihara hubungan antara manusia dengan manusia. Apakah politik meliputi satu aspek kehidupan semata ataukah dilingkupinya semua aspek kehidupan? Baiklah diterangkan bahwa politik hanyalah meliputi satu aspek hubungan antara manusia dengan manusia sedangkan funksi Agama ialah memelihara hubungan antara manusia dengan manusia di dalam seluruh aspek kehidupan itu. Jadi betapa mungkin Agama, yang menjadi penjelmaan semua aspek itu, dapat dipisahkan dari politik, yang hanya melingkupi satu aspek saja. Jadi, mereka yang masih menyerukan pemisahan Negara dari Agama, sesudah pengalaman2 yang pahit itu, sebenarnya menyorongkan funksi Agama pada dasar yang terlalu sempit. Bagi mereka, Agama berarti satu hubungan individu dengan Tuhannya atau perlakuan yang biasa dilakukan dalam beberapa macam ibadat. Tetapi bagi kita bukanlah ini konsepsi Islam. Islam pada hakikatnya ialah tauhid. Dengan amat terang Iqbal menegaskan dalam ceramahnya: „Intisari tauhid ialah "working idea", — cita yang fa'al.



Saya tegaskan sekali lagi "working idea" ini ialah equality, solidarity and freedom, — kesamaan, irtibath dan kemerdekaan. Selanjutnya Iqbal menerangkan bahwa dilihat dari sudut Islam, negara ialah satu usaha mewujudkan prinsip yang ideal ini ke dalam tenaga2 dalam lingkungan ruang dan waktu (space time forces), dan hasrat yang kuat merealisasikan ideal itu ke dalam bentuk organisasi manusia yang tertentu. Baiklah saya kemukakan bahwa penegasan Iqbal adalah terletak pada bagian kalimat: „mewujudkan prinsip yang ideal ini ke dalam tenaga1 dalam lingkungan ruang dan waktu". Ada orang menganggap bahwa mendasarkan satu negara atas asas2 Islam akan menimbulkan theokrasi. Baiklah kita pahamkan dulu benar2 pengertian lafaz theokrasi ini. Jikalau theokrasi ditafsirkan dalam istilah2 falsafah, maka menurut konsepsi di atas ini sesuatu negara yang berdasarkan intisari tauhid, sudah tentulah negara demikian dapat disebut „theokrasi". Tetapi jika istilah theokrasi ditafsirkan dalam arti politiknya, dengan makna, bahwa suatu negara dikepalai oleh seorang „wakil Tuhan" di bumi, yang selamanya dapat melindungi kemauannya yang se-wenang2 dibalik tabir kekudusannya, maka saya sebagai seorang Islam menentang pengertian theokrasi demikian dengan segala tenaga yang ada pada saya. Intisari Islam ialah anti theokrasi dalam arti yang demikian itu, sebab tidak ada suatu kependetaan yang diakui dalam Agama Islam. Menurut Quran masing2 manusia ialah khalifatullah yang tidak ada wasilah antara dia dengan Tuhannya. Islam memberikan beberapa asas2 yang nyata seperti: demokrasi, kemerdekaan, „kemerdekaan pikiran dan menyatakan pendapat, kemerdekaan agama dst", kesamaan, toleransi, keadilan sosial dsb. dan bersamaan dengan hak2 manusia yang asasi ini, Islam juga



menetapkan beberapa tugas kewajiban manusia yang asasi untuk mencapai kesejahteraan hidup berjamaah bagi seluruh umat manusia. Soal yang dikemukakan oleh sebahagian besar penduduk dunia sekarang ini ialah: „bagaimanakah manusia dapat dilepaskan dari bencana yang akan datang ?" Sebagaimana saya telah terangkan di atas, maka bagian yang terbesar dari penduduk dunia yang waras pikirannya berpendapat, bahwa krisis dunia yang belum ada tara bandingannya ini adalah hasil konsepsi kebendaan se-mata2 dalam kehidupan, lepas dari sesuatu tenaga ruhani, yang sanggup mengendalikan hasrat manusia. Pemecahan soal2 kita, letaknya dalam sintesa nilai2 ruhani dan benda dalam kehidupan. Apa yang diperlukan umat manusia dewasa ini dan saya mengutip ucapan Iqbal kembali ialah: (1) penafsiran ruhaniat tentang alam semesta, (2) emansipasi ruhani orang seorang dan (3) dasar2 asasi yang universil yang mengarahkan evolusi masyarakat manusia atas dasar ruhani. Kita semuanya mengetahui, bahwa Wahyu demi Wahyu datang kepada para Nabi pada tingkat yang genting dari peradaban manusia, bila tiap2 sesuatu sedang mengalami kemunduran dan keruntuhan, bila umat manusia oleh kebodohan, kurang ilmu pengetahuan dan kelalaian, atau oleh penguasaan ilmu di lapangan kebendaan sampai melemparkan nilai2 ruhani dalam kehidupan, menuruti taraf barbarisme, di mana setiap suku dan kabilah, ya bahkan golongan2 diadu-dombakan dengan maksud pemusnahan yang hebat, bila tidak ada hukum dan ketertiban yang mengikat kesetiaan umat manusia. Baiklah kita lihat, apa yang terjadi di sekitar kita dewasa ini? Telah kita alami, dua peperangan dunia. Kita sekarang ini, terumbang-ambing antara harap dan cemas di tengah2 kegelisahan dan kegiatan „tukang2



jaga perdamaian" untuk menghindarkan peperangan yang akan datang. Telah kita lihat "sikap manusia terhadap Tuhannya, yang disebabkan oleh pemisahan nilai2 ruhani dari nilai2 kebendaan. Satu2-nya harapan akan beroleh jalan ke jalan lahir dan batin, ialah kebudayaan yang dapat mengumpulkan dan mendekatkan seluruh umat manusia sekali lagi dalam kesatuan yang mencantumkan kesetiaannya pada satu otoritet, tempat berpegang. Demikianlah saya serukan kepada segala mereka yang iman dan percaya kepada Tuhan yang Esa meresapi nilai2 ruhaniah dalam kehidupan, dan menegaskan kembali kepentingan Agama dalam hayat kita dan dengan demikian ber-sama2 mengendalikan dan mengawasi tenaga2 merusak, yang timbul dari alam kebendaan dan lalu mempergunakan tenaga2 itu dalam pengendalian nilai2 ruhani untuk mewujudkan manfaat yang lebih luas dan berbahagia bagi ilmu pengetahuan seluruh bangsa manusia. Ilmu pengetahuan bersipat kebajikan dan kejahatan. Aspek merusak dari ilmu pengetahuan itu telah dan sedang ditunjukkan di depan mata kita sendiri. Maka sekaranglah tugasnya bagi orang2 yang mempunyai kesadaran penuh, mereka yang percaya dan iman kepada Tuhan yang Maha Esa, akan menunjukkan aspek kebajikannya, dituntun dan didukung oleh tenaga2 ruhaninya. Kalau kita gagal dalam tugas kewajiban kita itu, kita akan terhukum di depan mahkamah para keturunan kita. Saya ulangi seruan Junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. kepada para pengikut agama yang lain, sebagai tercantum dalam Quran : „Wahai ahli Kitab marilah kembali kepada kalimat yang bersamaan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak akan menghambakan diri melainkan kepada Allah " (Q.s. Ali Imran: 64).



Bukanlah kaum Muslimin se-mata2, tetapi bahkan juga beberapa ahli2 pikir Barat yang modern dan terkemuka telah sampai kepada kesimpulan, bahwa Islam sanggup dan mampu memberikan penyelesaian yang dirindukan dan dihasratkan untuk melepaskan bangsa manusia dari bencana. Dengan maksud tujuan inilah Iqbal menyerukan kepada umat Islam dewasa ini dalam kata2 yang berikut: „Baiklah umat Islam dewasa ini menyadari posisinya, membina kembali hidup sosialnya dalam sinar nilai2 yang mutlak dan mengembangkan demokrasi ruhaniah, suatu tujuan pokok dari ideologi Islam. Baiklah ini semuanya menjadi canang panggilan kepada semua orang Islam dewasa ini. Haruslah mereka tunjukkan kepada dunia bahwa kebajikan2 Islam bukanlah monopoli orang2 Islam semata, tetapi kurnia bagi umat manusia. Jalan yang se-baik2nya untuk memperlihatkan semuanya itu ialah dengan mempraktekkan dan mengamalkan kebajikan2 itu sendiri, mula-pertama sekali dalam rumah tangga mereka sendiri. Dan cukuplah contoh teladan bagi kita di zaman yang lalu, yakni amal perbuatan Rasulullah s.a.w. dan para Khalifah beliau. Tidaklah ingin saya mengganggu lebih lama kesabaran para pendengar yang terhormat, tetapi hendak saya kutip dulu sebuah naskah sejarah, yang dapat menjadi pembuka mata bagi orang2 Islam sendiri, jika hendak mereka ketahui tindakan Rasulullah s.a.w. sebagai pembina dan Kepala Negara. Saya kutip piagam yang telah dimaklumkan oleh Rasulullah s.a.w. kepada para rahib „Kerahiban Santa Catherina" dan kepada orang2 Nasrani.



Piagam ini menunjukkan amal dan prakteknya asas2 Islam. Dan apa yang saya kemukakan di sini ialah piagam Rasulullah s.a.w. sebagaimana dibawakan oleh Amir Ali dalam bukunya „History of the Saracens". Dengan piagam itu Rasulullah s.a.w. menjamin bagi orang2 Nasrani hak2 istimewa yang penting, keselamatan jiwa dan hartanya, dan larangan yang keras dengan hukuman yang berat bagi orang Islam yang melanggar dan yang tak mengindahkan aturan2 dalam piagam itu. Dengan piagam itu Rasulullah s.a.w. mewajibkan dirinya dan diserukannya kepada para pengikutnya supaya melindungi kaum Nasrani, menjaga gereja2 mereka dan biara2 mereka. Tidaklah akan diletakkan kepada mereka beban pajak yang tak adil; tidaklah boleh mengusir biskop mereka dari daerahnya; tidaklah boleh memaksa orang Nasrani meninggalkan agamanya; tidaklah boleh menegah seorang musafir agama dari tujuan tirakatnya; tidak boleh diruntuhkan atau diganti gereja untuk membina rumah2 atau mesjid2 orang Islam. "Wanita2 Nasrani yang bersuamikan orang2 Islam dapat terus memeluk agama mereka masing2, dan tak boleh diadakan paksaan atas mereka atau diperlakukan hal yang menyakitkan hati mereka karena agamanya. Kalau kaum Nasrani memerlukan bahan dan bantuan untuk memperbaiki gereja atau gedung2 kerahiban mereka, atau apa saja yang mengenai agama mereka, haruslah orang2 Islam menolong mereka". Piagam di atas ini, di samping hal2 yang lain, menunjukkan dengan nyata sekali bahwa kebajikan seorang Muslim yang sejati ialah ruh toleransi. Toleransi, bukan menjelma dari sipat pengecut atau takut, tetapi toleransi yang lahir dari keyakinan akan kebenaran yang ada pada dirinya. Bukan pula sekedar toleransi yang pasif, bahkan diwajibkan atas mereka, mengurbankan jiwa di mana perlu untuk melindungi kehidupan, kehormatan agama dan kemerdekaan



beragama orang2 yang lain. Lembaran sejarah Islam penuh kemilau dengan contoh teladan demikian. Iqbal mengikhtisarkan keseluruhan yang di atas ini dalam salah satu sajaknya yang mengalun-indah : Sabak phk parh shujaat ka, sadaqat ka, adalah ka, Liya ja-ay ga tujh se kam duniya ki tmamat ka. Resapilah kembali pelajaran keberanian, kebenaran dan keadilan, karena kau akan dipanggil kembali memimpin bangsa2 di dunia ! 21 April 1953



SARI PIDATO DI DEPAN MAHASISWA P.T.I.I. MEDAN TANGGAL 2 DESEMBER 1953. Pembicaraan saya ini tidak akan dapat dinamakan kuliah. Saya hanya hendak menyinggung dengan cara populer, suatu pokok persoalan yang menghendaki penjelajahan oleh peminat2 dan mahasiswa, yaitu persoalan kultur dengan arti yang lebih luas dari apa yang dinamakan orang kultur dengan arti kata se-hari2. Sering kali orang berkata dan sering kali pula ahli2 sejarah dan ahli2 sosiologi mengupas kedudukan dunia Islam pada saat sekarang di tengah2 persimpang-siuran ideologi dan kultur yang lain2, terutama dalam menghadapi apa yang dinamakan ideologi dan peradaban Barat. Lothrop Stoddard memperingatkan beberapa puluh tahun yang lalu kepada orang Barat bahwa pada saat itu sudah ada tanda2 yang menunjukkan bahwa dunia akan dikonfrontasikan dengan pokok persoalan yang dinamakan „soal-Islam", — Islamic problem —, yang memperingatkan kepada orang Barat, bahwa di daerah2 dimana kaum Muslimin ada, sudah mulai bangkit satu kesedaran baru yang bertambah lama bertambah besar. Orang Barat, yang semenjak beberapa abad telah dapat menaklukkan daerah2 Islam dan sudah menduduki daerah2 itu pasti akan dikonfrontasikan dengan suatu perkembangan baru, yang tidak mungkin mereka abaikan.



Ahli2 sejarah Barat pun telah memperingatkan juga kepada orang Barat, bahwa di Timur akan bangkit satu potensi baru yang ada di tangan bangsa2 yang berkulit sawo-kuning. Mereka bangunkan perhatian orang Barat terhadap kemungkinan2 berkembangnya potensi yang ada dalam Islam yang telah dimulai oleh Jamaluddin-Afghani, Mohd. Abduh dan kawan2-nya. Satu soal baru dari cita2 Islam yang lebih besar dari apa yang hidup dalam Negara2 Islam sebelum itu. telah terbayang oleh ahli2 tersebut. Dunia Islam menduduki sebagian besar strategis di atas dunia ini. Dari Afrika Utara dan Barat, Aljazair, Marokko, Tunisia, Mesir, Transjordania, Libanon, Siria, Iran, Afghanistan, Pakistan dan Indonesia, adalah suatu rantai yang tumbuh sekarang sebagai negara 2 yang merdeka yang puncaknya bertemu pada pertemuan 3 benua. Dan ditilik dari sudut ekonomi, juga strategis oleh karena mereka mempunyai man-power yakni tenaga manusia dan bahan2 yang penting bagi kehidupan dunia dan mempunyai seperdua atau 50% dari khazanah minjak di dunia ini. Inilah yang menjadi problem bagi orang Barat yang bertanya, betapakah akibatnya suatu perkembangan baru dari tenaga yang tidak kurang jumlahnya dari 400.000.000 jiwa manusia itu. Jika ditilik dari sudut Barat, umumnya mereka memandang soal itu dari segi kedudukannya supaya dilanjutkan seperti yang sudah2, sebagai bangsa yang dipertuan. Tetapi menghadapi 400.000.000 manusia yang sedang bangun itu bukan soal kecil. Mungkin menjelma menjadi suatu banjir nanti, yang tempo2 banjir itu memasuki tebing dan jurang, tempo2 merombak dan menghanyutkan apa2 yang di hadapannya. Ada orang Barat yang berpandangan luas, yang melihat perkembangan baru itu hanya dapat dihadapi dengan cara menyalurkan dan



mencari titik pertemuan antara Barat dan Timur. Tetapi pengaruh mereka ini dalam politik, masih kalah oleh pengaruh2 konservatif Barat. Kalau dilihat dari sudut sendiri, umat Islam yang banyak itu timbul juga persoalannya. Cara meletakkan soal itu ber-beda2 lantaran kedudukan dan kecerdasan mereka ber-beda2 pula. Mau-tak-mau kita menghadapi Barat sebagai suatu potensi yang besar. Terutama kebesarannya itu ditilik pada sudut tehnisi, organisasi, dan efisiensi. Dalam kalangan umat Islam timbullah bermacam pikiran yang berhubung dengan soal, bagaimanakah menghadapi Barat itu. Jika kita diam sudah tentu kita juga akan dilindas oleh banjir itu. Dalam hal ini interessant rasanya dua aliran pikiran yang tumbuh dalam kalangan umat Islam dalam membicarakan soal2, bagaimanakah menjamin kehidupan batin dan kultur Islam berhadapan dengan kultur Barat itu. Ada dua macam jalan pikiran. Jalan pikiran itu adalah jalan pikiran dari ujung keujung yang extrim. Saya hendak gambarkan sedikit secara populer bagaimanakah akibatnya jalan pikiran yang extrim itu dalam prakteknya. Saya mendapat kesempatan ditahun yang lalu ziarah ke beberapa Negara Islam. Di Mesir saya bertemu dengan seorang dari Yaman, yaitu wakil Yaman. Saya dapat ber-cakap2 dengan beliau. Maka sudah menjadi galibnya bahwa jika kita bertemu dengan perwakilan asing sudah tentu yang dibicarakan soal politik dan soal2 ekonomi, dari negara masing2.



Yaman itu kaya. Ada sumber garam yang besar. Ada juga emas. Dan ada juga minjak tanah. Maka saya tanyakan, apakah kiranya menurut pendapat orang Yaman, belum datang saatnya untuk mengeksploitir kekayaan alam di Yaman itu sebagai juga di Saudi-Arabia yang berdekatan. Saya menyangka jawaban itu akan agak serupa dengan jawaban kita kalau kita ditanya oleh orang lain, yaitu: „kita kekurangan modal, kekurangan ahli teknik dll. Akan tetapi apa jawabnya: „Kami", katanya „berpendapat belum masanya kami membuka itu, oleh karena kami masih menunggu tangan tehnik orang Islam dan kapital orang Islam. Kami tidak mau membiarkan kekayaan kami itu dieksploitasi oleh ahli tehnik yang bukan Islam". Saya katakan kepada beliau: „Kalau begitu agak lama menunggu! Apakah sanggup rakyat Yaman menunggu yang demikian itu? Perhatikanlah sekarang pergolakan zaman modern yang ber-lomba2, takut kalau2 nanti Yaman ditinggalkan di belakang". Jawabnya: „Ya, kami tahu, akan tetapi biarlah kami ini tinggal di belakang, silahkan yang lain2! Sebab bagi kami yang terpenting ialah bagaimana menjaga moral dan kultur kami sebab kami takut: „Jarum masuk kelindan lalu". Saya tanya: „Apakah untuk itu tuan sampai hati mengurbankan kemakmuran rakyat yang banyak itu? „Bukan itu pengurbanan", katanya, „itu bukan pengurbanan, bagi kami kemakmuran lahir berupa pakaian, radio, televisi, biar kami kurbankan. Kalau perlu lebih dari pada itu, kami tak usah diberi! Tetapi satu yang tidak bisa kami kurbankan, yaitu tauhid kami. Tauhid tidak bisa kami kurbankan!".



Begitu kata beliau. Dan kemudian beliau tambahkan bahwa beliau sudah lama memikirkan soal itu. Dan sudah tahu kiranya ke mana kita mau pergi. Rupanya sudah menjadi suatu soal yang lama dipikirkan oleh mereka di Yaman demikian. Ini satu sistem, satu pendirian yang berpegang kepada pendapat, jangan dekati banjir itu kalau kita akan terbawa hanyut. Ini adalah satu taktik 'uzlah, asal dasar2 alam pikirannya, keimanan dan takwa itu jangan dirusakkan dari luar. Waktu itu saya pikir, ini soal hanya perkataan, bukan cita2 yang betul2. Akan tetapi akhirnya ternyata kepada saya bahwa teori itu disadari mereka rupanya sebagai taktik perjuangan umat Islam di tengah2 dunia sekarang ini. Saya ambil contoh di Yaman yang extrim. Entahlah karena Yaman, geografinya, sudah agak sedikit jauh dari jalan raya dunia, entah ini pula yang menyebabkan alam pikiran yang demikian itu, saya tak dapat pastikan, tetapi sudah terang, bahwa mereka itu berpendirian dengan penuh kesadaran. „Bukan kami tidak mau maju dan modern", katanya, „akan tetapi kemajuan dan kemodernan itu kalau dihajar dengan iman, biarlah kami tidak usah modern. Biarlah kami kembali kepohon kurma dan unta2 kami, disitu kami juga hidup terhormat". Demikian sambungnya lagi dengan penuh gairah extrim. Ada pendirian extrim yang satu lagi. Rasanya se-akan2 dapat diterima, ialah pendirian Kemal Attaturk. Kemal harus kita lihat bahwa dia telah melakukan suatu usaha besar, tetapi itu adalah satu simptom, dari keadaan yang banyak dan luas. Suatu eksponen dari cara berpikir yang timbul dari aliran pikiran yang riil.



Kemal Pasya! Negaranya terletak di perbatasan antara Barat dan Timur dengan arti yang sukar kita menentukannya! Lebih dekat hubungan satu dengan yang lain, dengan arti sering terjadi bentrokan dan pertarungan2 dengan orang Barat dengan berupa peperangan2, yang diikuti dengan perdamaian2. Kemal meninggalkan untuk bangsanya dan untuk umat Islam di negara itu suatu hal yang besar. Dari sudut perseorangan ia adalah seorang ahli siasat. Ia melihat kemunduran Islam itu dibanding dengan kemajuan tehnik, organisasi dan efisiensi Barat. Kemunduran itu harus dihilangkan. Kalau tidak, ini merupakan to be or not to be, soal hidup atau mati. Niatnya ialah bagaimana mempertahankan umat yang banyak. Pandangan dan analisanya, menyebut bahwa pemerintahan Sultan adalah membunuh jiwanya umat Islam. Maka ia sebagai seorang nasionalis yang penuh dengan cita2 untuk kebaikan bangsanya, mengambil tindakan2 yang radikal terhadap itu. Sampai ia pada suatu kesimpulan, bahwa bangsa Turki itu hanya bisa mendapat kemajuan apabila ia mengambil oper apa yang ada di Barat. Bangsa Turki itu bisa dilindungi dari kemunduran atau dari pada penjajahan jika bangsa Turki mengambil oper dan membuka pintu menerima masuk kultur Barat dan paham dari kultur Barat itu. Pernah saya bertanya kepada Menteri Pengajaran Turki di Ankara, sewaktu saya tanyakan soal2 pengajaran di sana, berapa % kah orang yang bukan Islam di Turki. Dia katakan : „Tuan, orang Turki ialah orang Islam. Bukan Turki kalau bukan Islam”. Tidak ada orang Turki yang tidak Islam. Semuanya Islam! Jika ada yang bukan Islam, itu bukan orang Turki. Tetapi kami mengikuti sepenuhnya kemajuan Barat. Dari pada hanyut kita lebih baik berenang. Dengan cara begitu



kami hendak melindungi kultur dan kebudayaan Islam. Begitu pendirian Turki! Kiranya dapatlah kita membandingkan, Turki di satu pihak, dan Jaman di lain pihak. Keduanya adalah ujung dari alam pikiran, dengan dasar keduanya hendak memelihara hidup Islam. Saya tahu, bahwa ini adalah natijah dari ijtihad masing2. Kata yang satu kita harus berpendirian 'uzlah dan kata yang satu lagi kita harus membuka pintu se-lebar2- nya. Kalau menurut istilah ilmu pengetahuan, maka alam pikiran yang terdahulu itu, boleh dinamakan alam pikiran menyendiri, isolasi. Dan yang satu lagi, Turki, menamakan sikapnya itu, se-kurang2-nya mempertahankan diri, mengambil hasil2 dari Barat, supaya dapat mempertahankan negara sendiri ! Saudara2! Pernah di Indonesia sistem 'uzlah dilakukan, terlepas dari soal Yaman. Sistem itu dipakai oleh umat Islam di bawah pimpinan alim ulama. Mereka mengambil sistem 'uzlah untuk mempertahankan diri, mempertahankan kubu2 pertahanan jiwa, berupa pesantren2, berupa mesjid2, di mana 'uzlah itu dapat disempurnakan. Ini yang dijalankan oleh Tuanku Imam Bonjol umpamanya! Ada orang pada masa itu mengatakan bahwa belayar bahasa Belanda haram hukumnya, berdasi itu juga tidak boleh, sebab menyerupai orang2 kafir. Mereka mengharamkan sekolah2 H.I.S. yang didirikan oleh penjajah. Mereka bentuk sistem sendiri. Di situ timbullah potensi di Indonesia dan berkembanglah satu dinamik yang besar untuk menyelesaikan persoalan2 yang sampai



sekarang masih dirasai lezatnya oleh kita semua, yaitu pemimpin2 yang berasal dari pesantren. Mesir pertama kali merombak pagar pendidikan, yaitu dinding yang membatasi dirinya dengan Barat itu dengan mengadakan sistem, memakai senjata Barat untuk melawan Barat guna mempertahankan diri. Mesir hendak mempertahankan kaidah Islam dari infiltrasi aliran pikiran Barat dengan cara mengambil senjata Barat tersebut. Kalau kita lihat hasilnya sampai sekarang ini infiltrasi itu tidak dapat ditahan dengan begitu saja. Yang ada di Barat itu terutama adalah tehnik dan efisiensi. Akan tetapi hasil atau akibat dari memakai itu, disadari atau tidak, ialah intisari dari apa yang hendak dipertahankan jadi hancur. Ia menceburkan diri dalam air untuk berenang, tetapi terbawa hanyut dalam air itu sendiri. Dengan demikian, maka Islam itu tinggallah haiya 'alas-shalah, haiya 'alal-falah saja lagi. Ini akibatnya menceburkan diri, maksud memegang kemudi, akan tetapi hanyut kehilir. Kesudahannya yang hidup di sana itu ialah alam pikiran yang statis, yang tidak bergerak sedikit juga! 'Uzlah yang dipakai oleh Yaman memang akhirnya dapat mem-perlindungi. sesuatu yang ada dalam negeri dari kerusakan alam pikiran. Tapi yang demikian adalah ujung dari pada sikap tidak berani menghadapi ruh dan i'tikad dari luar lantas menutup pintu erat2. Kesudahannya yang hidup di sana itu, juga adalah alam pikiran yang statis yang tidak bergerak. Tidak ada dinamiknya untuk mencari dan menjelajah, dinamik yang menjadi sipat putera2 Islam dahulu. Tidak



akan timbul lagi Al-Farabi dan Ibnu Sina ke 2, oleh sikap yang serupa itu. Setelah saya gambarkan, sekarang saya mau perhitungkan. Gambaran dari dua pendirian yang extrim itu di mana2 ada, baik di Indonesia atau di luar negeri. Dan jika sdr bertanya kepada saya manakah antara kedua paham itu yang layak dipilih, ini soalnya menjadi soal subjektif. Bagi saya sukar untuk memilih salah satu dari kedua pendirian ini. Saya tidak hendak memilih salah satu dari keduanya. Dasar pikiran yang pertama itu saya rasa tidak cocok dengan Islam, sebab dasar itu ialah timbul dari daerah yang menutup pintu, sebab merasa kecil menghadapi Barat, jadi ada perasaan minderwaardig heidscomplex, merasa bahwa diri itu harus diperlindungi dengan segala macam pagar. Jiwa semacam itu bukanlah jiwa dari ajaran Islam. 'Uzlah dalam Islam bukanlah prinsip, akan tetapi taktik. Tetapi bila dijadikan kaidah dan prinsip, saya tidak bisa terima oleh karena minderwaardigheidscomplex, yang menjadi sumbernya itu -menjadikan kecil apa yang sudah diajarkan oleh Islam. Menurut pendapat saya dalam lubuk hati yang berisi minderwaardig- heidscomplex itu, hilang sumber tenaga yang besar sehingga ia tidak melihat api yang ada dalam Islam, tapi hanya melihat abu yang menjadi panas dalam dunia yang dilihatnya. Bagaimanakah kiranya pada waktu yang lalu umat Islam melukis sejarah? Di tengah2 orang mengharamkan ilmu bintang, siapa yang mengatakan bumi bulat di bunuh, di tengah2 itulah umat Islam memberikan kemerdekaan kepada akal, orisinil dan menjadi pelopor. Maka orang yang merasakan ini tentu tidak bisa menerima dasar 'uzlah ini.



Islam mengajarkan tauhid. Tauhid merdeka dari rasa minderwaardigheidscomplex! Bergerak, bukan statis, inilah Islam! Umat Islam itu menjadi pelopor bagi umat manusia. Dan jika orang mengatakan mempertahankan diri, takut dilanggar banjir lantas mundur, di manakah lagi syuhada 'alan-naas namanya? Kita takut ideologi Islam rusak, apakah saudara2 akan pergi saja ke pulau Samosir umpamanya, bikin surau di sana, lantas mengaji dari pagi sampai sore, karena takut dimasuki pengaruh dari luar? Ini berarti saudara2 bukan syuhada 'alan-naas, tetapi syuhada 'alal-hayawan. Pada hal saudara2 disuruh oleh Tuhan menjadi syuhada 'alan-naas ! Dan salah satu aliran pokok pikiran yang ditarik untuk mengetengahi kedua pendirian extrim itu, ialah pikiran dari Jamaluddin Afghani dan Mohammad Abduh yang memberikan satu pedoman kepada umat Islam seluruh dunia sekarang ini. Di situ ada pikiran yang berharga, berupa puspa ragam yang di dalamnya kelihatan pokok dan pangkal. Cobalah saudara2 lihat dan saudara2 pelajari sendiri !



2 D es. 1953



7.



PIDATO MEMPERINGATI HARI LAHIRNYA MOHAMMAD ALI JINNAH PADA TANGGAL 25 DESEMBER 1953.



Hari ini kita memperingati hari-lahirnya almarhum Mohammad Ali Jinnah, yang digelari oleh bangsanya dengan gelar „Quaid-i-A'zam", Pemimpin Besar. Kalau saya boleh mengingatkan di sini, adalah salah satu dari ajaran yang penting dari Islam berkenaan dengan mengenangkan orang2 besar yang telah berpulang, yakni kita kaum Muslimin tidaklah harus meratap-menangisi matinya seseorang yang telah meninggal. Demikianpun peringatan2 yang diadakan berkenaan dengan wafatnya Junjungan kita Muhammad s.a.w. yang dilakukan sejalan dengan memperingati hari maulidnya, hari lahirnya, oleh karena hari lahir dan wafatnya sama2 jatuh pada tanggal 12 Rabiul-Awal. Adapun peringatan kelahirannya itu, bukanlah satu peringatan tentang kehidupan Rasulullah sebagai person atau individu se-mata2, akan tetapi bersipat mengenangkan kembali hidupnya yang diisi dengan perjuangan terus-menerus dalam membina umat yang takwa. Demikianlah apabila kita memperingati hari lahirnya Mohammad Ali Jinnah, kita tidaklah memperingati kehidupannya sebagai orang-perseorangan, akan tetapi memperingati tugasnya yang amat berat yang telah ditunaikannya dalam membina umat dan Negara Pakistan, berdasarkan kehendak dan ajaran Nabi Muhammad s.a.w.. Setiap orang yang kenal akan riwayat Pemimpin Besar ini, pasti mengetahui, bahwa walaupun bagaimana besar keinginan dan keras usahanya untuk mencapai tujuan, yakni mencapai kesatuan bagi selu-



ruh penduduk dari semenanjung yang dahulu disebutkan British India itu, tapi akhirnya ia mendirikan Negara Pakistan, yang dilepaskannya dari semenanjung itu. Keputusan yang penghabisan yang diambil oleh Mohammad Ali Jinnah ini, bukanlah didorong se-mata2 oleh keinginannya sendiri, atau untuk kemegahan diri-pribadinya sendiri, akan tetapi adalah setelah ia menghabiskan umurnya yang begitu lama, dan menjalankan ikhtiar dan usaha yang begitu banyak dan sungguh2, akhirnya ia sampai kepada keyakinan, bahwa kesatuan dari rakyat dan bangsa2 disemenanjung itu tidaklah dapat dicapai. Ada kekuatan berupa undang2 prikehidupan, di luar pribadi Jinnah yang lebih kuat dari hasrat dan usaha semula itu. Dan jikalau kesatuan itu hendak dicapai juga, maka itu hanya akan tercapai dengan mengurbankan kepentingan2 asasi dan sangat esensiil dari Muslimin yang menjadi pengikutnya.



Tuntutan hidup ! Tuntutan hidup yang mengakibatkan tuntutan kaum Muslimin di British India untuk memperoleh tanah-air yang tersendiri, nyatanya tidaklah didasarkan kepada „agama", yakni „agama" dengan arti yang sempit, akan tetapi sebagaimana yang dibuktikan oleh sejarah, bersumber kepada pokok2 persoalan yang asasi dan pembawaan serta perkembangan sejarah, yakni bahwa kaum Hindu dan kaum Muslimin di sana mempunyai kebudayaan masing2 dan tersendiri, mempunyai perjalanan riwayat dan bahasa masing2 pula, dan yang terutama mempunyai pemandangan serta falsafah hidup (outlook on life) sendiri2 yang amat besar perbedaannya. Demikian besarnya sehingga tidak



dapat diatasi oleh tenaga pemimpin2 yang ada pada ke dua belah pihak, sebagaimana yang diuraikan oleh Dr. Iqbal, dan oleh Jinnah, khithah yang mereka tempuh itu, bukan didasarkan oleh mereka kepada apa yang dinamakan teori „dua agama, tetapi atas teori dua bangsa". Perjalanan riwayat semenjak peristiwa Jallianwala di Amritsar tahun 1919 telah mengakibatkan terpisahnya Muslim League dari Congress yang tadinya mempunyai panggung politik yang sama. Kesudahannya mengakibatkan terbagi-dua-nya semenanjung itu menjadi Pakistan dan Union of India, atau Bhara, sebagaimana yang tersebut dalam Undang2 Dasar mereka. Mungkin ada di antara para-peninjau yang tidak dapat menyetujui jalan proses pembagian itu, akan tetapi baiklah kiranya proses yang demikian itu dilihat dalam rangkaian perjalanan sejarah, di mana tidak ada satu peristiwa yang berdiri sendiri akan tetapi kait-berkait dengan apa yang ada sebelumnya, kait-berkait sebagai perkaitan sebab dengan musabab, perkaitan „khallenge" dengan „response", kata orang sekarang. Realisasi dari kehendak rakyat dengan cara demokratis. Keadaan yang nyata seperti sekarang ini, ialah bahwa Pakistan adalah suatu realisasi, satu penjelmaan dari kehendak yang dinyatakan dengan cara demokratis dari rakyatnya yang berjumlah hampir so miliun. Penjelmaan dari kehendak rakyatlah yang melahirkan Pakistan dalam tahun 1947. Apakah gerangan kehendak rakyat itu ? Dengan mengambil perkataan dari Pemimpin Besarnya yang kita peringati pada hari ini: "… pendirian Pakistan yang telah kita perjuangkan



selama sepuluh tahun ini, adalah alat, bukan tujuan yang berdiri sendiri. Idee-nya, cita2-nya ialah, bahwa kita harus mempunyai Negara di mana kita dapat berkembang menurut bakat dan kebudayaan kita, dan di mana kaidah2 Islam berkenaan keadilan sosial dapat terlaksana sepenuhnya …." demikian a.l. Mohammad Ali Jinnah. Pernyataan dan hasrat yang demikian ini, bukanlah satu peristiwa yang berdiri sendiri, atau sekedar keinginan dari Muslimin di salah satu tempat yang khusus se-mata2. Kejadian yang nyata semenjak sepuluh tahun ini, dan terutama pada akhir2 ini yang kita lihat dalam dunia Islam, mencerminkan dengan nyata, bahwa telah dan sedang bertumbuh mendalam keinginan dan hasrat di kalangan umat Islam, agar ajaran2 Islam dan kaidah2-nya tentang keadilan sosial terlaksana dalam hidup kemasyarakatannya. Dan hasrat ini berdasarkan atas keyakinan mereka, bahwa ajaran2 Islam, kaidah2 Islam dan syari’atnya bukanlah diperuntukkan bagi satu2 masa, atau bagi satu2 bangsa yang tertentu. Adalah keyakinan bagi umat Islam, bahwa ajaran dan kaidah2 Islam itu adalah diperuntukkan bagi kebahagiaan seluruh umat manusia dan dapat dilaksanakan di manapun dan di masa apapun juga. Bukan se-mata2 perasaan dari kalangan kaum Muslimin, akan tetapi semua golongan2 yang beragama sadar bahwa bahaya2 yang dihadapi oleh dunia sekarang ini, dan perasaan tidak aman yang bertambah lama bertambah meluas adalah disebabkan oleh hasrat2 dan kecenderungan yang bersipat serba-kebendaan, yang ternyata makin lama, makin tidak dapat didamaikan dan diredakan. Bukan se-mata2 di kalangan umat Islam, akan tetapi semua orang yang hidup beragama bertambah lama bertambah yakin, bahwa sudah datang saatnya,



manusia harus kembali kepada Tuhan, dan tidak se-mata2 dikendalikan oleh keinginan yang berdasarkan serba-kebendaan. Colleqium atau munazharah yang baru diadakan di Princeton University di Amerika Serikat, adalah pula satu peristiwa yang menjadi bukti, bagaimana sungguh2-nya golongan beragama lain, ingin mempelajari ajaran2 Islam itu serta pelaksanaannya dalam keadaan dunia seperti sekarang ini. Saya kemukakan hal ini, untuk menegaskan, bahwa pembinaan Pakistan dan apa yang terjadi dalam Pakistan sebagai laboratorium dari penglaksanaan ajaran Islam dalam hidup kemasyarakatan dan kenegaraan sekarang dan di hari depan, — semua itu bukanlah tumbuh dari keinginan satu orang atau beberapa gelintir pemimpin2, bahkan bukanlah se-mata2 membayangkan hasrat dan alam pikiran dari rakyat Pakistan se-mata2 —, akan tetapi adalah mencerminkan satu gelombang dan alam pikiran dari Muslimin yang bertebaran disegenap penjuru dunia.



Tak kenal, maka tak cinta. Sebagaimana kita ketahui, baru2 ini Majelis Konstituante Pakistan sudah memperbincangkan U. U. D. Pakistan. Mereka telah menyatakan bahwa Negara Pakistan adalah Republik Islam Pakistan. Antara lain telah mereka tetapkan bahwa tidaklah akan ada peraturan2 dan undang2 yang bertentangan dengan Quran dan Sunnah, bahwa kaidah2 demokrasi, kemerdekaan, persamaan hak, tasamuh atau toleransi, keadilan sosial, kemerdekaan beragama, jaminan atas golongan kecil, sebagaimana yang dikemukakan oleh ajaran Islam, harus terlaksana dengan sempurna.



Yang demikian itu adalah satu langkah yang sangat berani. Satu langkah membawa tanggung-jawab yang amat besar pula. Saya katakan demikian, oleh karena dewasa ini adalah suatu perasaan yang deras, — kalau belum dapat dinamakan satu keyakinan —, di kalangan yang bukan Muslimin, malah juga di kalangan Muslimin, se-akan2 pelaksanaan dari syari’ah ataupun keinginan hendak mendirikan satu negara yang berdasar Islam itu adalah tidak demokratis dan merupakan tingkat dan sipat pembawaan dari zaman Abad-Pertengahan. Sesungguhnya jalan pikiran yang demikian bukanlah sekedar ditujukan sebagai tantangan terhadap istilah Negara Islam sebagai nomenclatuur di samping lain2 nomenclatuur atau sebutan „Negara Sosial", „Republik Komunis atau Soviet" atau yang semacam itu. Pikiran yang demikian itu pada hakikatnya ditujukan sebagai tantangan atau khallenge terhadap hal yang lebih mendalam, yakni mengkwalifisir bahwa ajaran2 dan ideologi Islam itu, se-akan2 hanya cocok dengan keadaan Abad2-Pertengahan, se-akan2 Islam itu tidak demokratis menurut ukuran dari demokrasi, atau dari apa yang dinamakan orang „demokrasi" sekarang ini. Cukup kiranya di sini saya tegaskan bahwa bagi mereka yang sudi sedikit mendalami struktur Islam itu sebagai ideologi dan falsafah hidup, pasti akan bertemu dengan satu elemen di dalamnya yang melindungi ajaran2 Islam itu dari kebekuan dan keadaan statis, dan memelihara kesegarannya dari zaman kezaman. Yang saya maksud dengan elemen itu ialah ijtihad. Ijtihad sebagai salah satu dasar yang asasi dalam Islam, memecahkan soal2 duniawi yang terus ber-ubah2 dan tumbuh. Oleh karena itu pernyataan tentang ajaran2 Islam itu seperti tidak demokratis dan berbau Abad Pertengahan adalah disebabkan kekurangan pengertian se-mata2.



Kewajiban dan ujian besar atas rakyat Pakistan. Apabila orang mengatakan, bahwa sjari’at Islam itu tidak dapat dilaksanakan dalam masa „modern" seperti sekarang ini, jangan dilupakan, bahwa apa yang sering kali mereka maksudkan dengan „syari’at" itu sebenarnya adalah apa yang telah menjelma dengan nama syari’at itu di zamannya ber-abad2 semasa umat Islam berada dalam kelemahan lahir dan batin, dan tidak berdaya apa2 dalam negeri masing2. Oleh karena itu adalah sekarang menjadi kewajiban atas pundak umat Islam umumnya, dan rakyat Pakistan khususnya supaya mereka memahamkan sungguh2 akan ajaran2 Islam yang dinamakan syari’at itu dan menciptakannya dalam amal dan perbuatan. Tunjukkan kepada dunia bahwa Islam itu mampu untuk menghadapi dan memecahkan pokok-persoalan prikehidupan dalam dunia sekarang ini. Mata seluruh dunia, mata lawan dan kawan tertuju kepada Pakistan dan rakyatnya. Kita mengharap dan mendoakan agar umat Islam di Pakistan dapat menempuh ujian besar ini dengan gilang-gemilang. Secularisme. Dalam pada itu ada satu hal yang menarik perhatian orang banyak dewasa ini, yaitu seruan2 yang sering kali terdengar bahwa „agama" harus dipisahkan dari soal2 kenegaraan. Paham semacam yang tadinya timbul di Barat, sekarang diambil oper oleh Timur, dengan istilah „secularisme". „Secular" dalam arti lafzinya ialah mengurus hal2 keduniawian.



Adapun „secular" dalam arti politis sebagai yang tumbuh di Barat yang sekarang mulai berkembang di kalangan bangsa2 Timur yang baru bangun, ialah: memisahkan hal yang mengenai hidup ruhani dari hal yang mengenai hidup duniawi, — - sebagai dua lapangan terpisah dan malah dianggap berlawanan —, dari dengan mengutamakan hal2 duniawi (temporal) atas hal ruhani (spiritual). Malah paham „secularisme" tsb. se-akan2 sudah merupakan satu dogma, kepercayaan bagi penganutnya. Secularisme ini terang berasal dari ketidak pahaman, atau pengingkaran dari kepentingan hukum2 Ilahi dalam mengatur kehidupan pribadi manusia atau pun bangsa2 serta nasib prikemanusiaan seluruhnya. Yang aneh ialah bahwa sampai dewasa ini di Barat itu sendiri tempat lahirnya paham „secularisme" itu, undang2 mereka walaupun sebagai teori, masih didasarkan kepada asas2 dari tuntunan dan hukum Ilahi. Upacara2 penobatan Kepala Negara tidak lepas dari upacara agama, yang berasal dari „Abad-Pertengahan" yang dianggap orang sekarang sudah ortodox dan kuno itu. Tidak kurang pula ada ketentuan2 dalam Undang2 Dasar mereka, bahwa seorang Kepala Negara harus beragama Katolik, Protestan atau Gereja Anglikan dsb Boleh saya tegaskan bahwa pengakuan pada agama sebagai salah satu kepentingan yang harus dijunjung dan disuburkan oleh negara, adalah satu2-nya sumber harapan untuk memulihkan kesadaran akan hukum dan ketaatan kepada hukum. Sebab se-mata2 undang2 tanpa penghargaan dan penilaian, yakni penghormatan terhadap sipat ketuhanan yang jadi sumber hukum itu, tidaklah dan tak akan pernah dapat mendorong dan memaksa manusia untuk mentaati undang2 itu.



Apabila penilaian terhadap agama bertambah lemah, kesadaran akan hukum dan ketaatan kepada hukum akan kehilangan kekuatannya dalam masyarakat manusia dan akan bertambah pulalah perasaan tidak aman lahir dan batin, sebagaimana yang dapat kita saksikan dewasa ini dalam dunia yang terpecah-belah dalam firkah dan persekutuan2, yang ber-lomba2 sengit mencari kekuasaan serba-kebendaan, materialistk power. Perintis gerak kembali kepada Tuhan. Hari ini kita memperingati hari lahirnya Quaid-i-A'zam Mohammad Ali Jinnah. Kita ingin menghormatinya, bukan sebagai orang-perseorangan, akan tetapi sebagai seorang perintis, yang mempunyai keberanian dan kekuatan batin, untuk mempelopori gerak meninggalkan paham secularisme, yang pada hakikatnya jauh dari jujur itu. Oleh karena secularisme yang dianut atas nama „kemerdekaan beragama", pada hakikatnya adalah mengingkari akan ajaran2 agama, dan dengan demikian ditujukan kepada mengingkari akan sumber abadi dari hukum dan mengingkari akan kesadaran hukum dan ketaatan kepada hukum. Kita menghormati Mohammad Ali Jinnah sebagai seorang pelopor dari pada gerak yang sehat itu, yakni Gerak kembali kepada Tuhan, dan kita yakin, bahwa dalam hal ini ia berhak atas penghargaan dari umat manusia umumnya. Kita berdoa kepada Allah s.w.t., mudah2-an Allah Yang Maha Rahim, mengurniakan rahmat-Nya atas Pemimpin Besar ini, almarhum Mohammad Ali Jinnah. 23 Des. 1953



REVOLUSI INDONESIA Keragaman hidup! Kemerdekaan beragama! Kesatuan bangsa! Kita perjuangkan Negara, kita letuskan Revolusi pada 17 Agustus 1945. Tetapi perjuangan kemerdekaan bukan dimulai pada 17 Agustus 1945 itu. Perjuangan mengadu tenaga politik dengan politik, antara rakyat Indonesia dengan pemerintah kolonial Belanda sudah berumur lebih dari 9 tahun itu. Di dalam rangkaian politik, perjuangan itu telah dimulai semenjak tahun 1905, dengan berdirinya Serikat Dagang Islam, oleh Haji Samanhudi dan kawan2-nya. Serikat Dagang Islam diiringi oleh „Boedi Oetomo" (1908). Pada tahun 1912 berdirilah Partai Serikat Islam, sebagai satu organisasi massa yang pertama kali. Itulah saatnya kita mulai mengadu tenaga politik dengan penjajah dengan mengumpulkan tenaga politik dari rakyat umum. Adapun perjuangan memerdekakan Indonesia, atau se-kurang2-nya mempertahankan diri dari penjajahan, sebenarnya sudah lebih dahulu dari pada itu. Dengan semangat pengurbanan yang besar, yang tidak padam2-nya, tercatatlah nama pahlawan2 sebagai Sultan Hasanuddin, Teungku Chik di Tiro, Imam Bonjol, Diponegoro, Sultan Hidayat dan lain2. Kita mengetahui bahwa pada beberapa daerah baru dipenghabisan abad 19 atau dipermulaan abad 20, senjata si penjajah dapat menak-



lukkan perlawanan rakyat kita. Beberapa bahagian dari Tanah Air kita, seperti di Sulawesi, di Sumatera dan lain2, rupanya tidaklah begitu lekas rakyat meletakkan senjata perlawanannya. Mereka insaf akan kelemahan dirinya dalam soal2 senjata dan kekuatan materiil, tetapi mereka mempunyai senjata yang tak materiil, senjata — immateriil — kata orang sekarang, yaitu senjata keyakinan dan keteguhan hati untuk mempertahankan diri terhadap penjajahan itu. Penjajahan manusia oleh manusia. Dengan senjata seberapa yang ada, rakyat melawan senjata penjajah yang berlipat-ganda banyaknya. Kekuatan immateriil itu terletak dalam keyakinan mereka akan suruhan Ilahi, yang mengharamkan dirinya dibiarkan untuk dijajah. Kepercayaan yang demikian mendarah mendaging dalam dirinya. Memang tidak pernah penjajahan dan keimanan itu dapat berkumpul. Ruh yang beriman adalah ruh yang menentang tiap2 kezaliman, penjajahan manusia atas manusia, „exploitation of man by man", kata orang sekarang ini. Dirasanya belum penuh menuruti perintah Tuhan, belum sempurna Agamanya, bila dibiarkannya dirinya dan kaumnya, di-eksploitir oleh golongan atau bangsa lain. Hal itu adalah sewajarnya, karena Agama yang dianutnya itu adalah suatu Agama, yang salah satu di antara ajarannya yang terpenting, adalah menolak tiap2 eksploitasi manusia oleh manusia dalam bentuk apapun juga. Pada hakikatnya ajaran Islam itu merupakan suatu revolusi, yaitu revolusi dalam menghapuskan dan menentang tiap2 eksploitasi. Apakah eksploitasi itu bernama kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, komunisme atau fascisme, terserah kepada yang hendak memberikan.



Demikianlah semangat kemerdekaan yang hidup dan dibakar dalam jiwa kaum Muslimin di Indonesia. Semenjak ber-abad2 semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan semangat itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1945 itu. Bangsa paling lunak ........ ? ! Mendengar Proklamasi itu dunia ta'jub dan heran, karena dengan tiba2 bangsa kita merupakan suatu bangsa yang lain dari pada yang digambarkan orang semula. Mereka menamakan bangsa Indonesia itu dengan julukan ”het zakhtste volk der aarde”, yaitu bangsa yang paling empuk budinya di atas dunia. Halus budi, dengan pengertian suka menurut, dan senang diperintah oleh yang dipertuan. Tetapi bangsa yang paling empuk ini, sekarang tiba2 mengalami methamorphose, perubahan yang mahahebat. Kalau tadinya mereka di-ibaratkan sebagai seekor domba atau kambing yang menurut saja, sekarang se-konyong2 mereka menjelma menjadi macan yang memperlihatkan kegagahan dan keberanian yang luar biasa, sampai menta'jubkan orang2 di luar negeri. Maka terjadilah peristiwa yang mengagumkan seperti peristiwa Surabaya, peristiwa Semarang, peristiwa Bandung dan peristiwa lain2 di seluruh kepulauan Indonesia. Rupanya bangsa kita itu menanam dalam jiwanya satu khazanah keberanian yang terpendam, yang akan meletus pada saatnya. Di dalam keadaan serba kurang dan tidak punya senjata, untuk menghadapi tentara Serikat yang membawa Belanda kembali, senjata immateriil itulah yang bangkit pada umat Indonesia itu. Dibangkitkan oleh para pemimpin dan para pemuka revolusi, dibukanya hati umat dengan suatu panggilan jiwa yang seringkali mendengung ditelinga umat yang banyak itu.



Panggilan "Allahu Akbar". Kita mendengar panggilan dan seruan di radio untuk mengerahkan tenaga yang terpendam itu. Ber-juta2 bangsa kita, laki2 dan wanita, tua muda, masih ingat, seruan Bung Tomo dari Radio Surabaya. Ia memanggil para alim-ulama, para kyai, di seluruh Indonesia dengan panggilan "Allahu Akbar". Kita menghargai tinggi, karena ada seorang pemuda pahlawan sebagai Bung Tomo itu. Ia bukan saja berani tampil ke muka memimpin perjuangan, tetapi ia juga mempunyai suatu pengetahuan yang sering kali banyak orang tidak mengetahuinya, yaitu pengetahuan di mana terletaknya kunci dari pada kekuatan bangsa kita ini. Dibukanya kunci hati umat yang banyak itu dengan perkataan "Allahu Akbar". Tahu dia mencari teman! Tahu pula dia siapa2 teman yang dapat membangunkan tenaga dan menggelorakan tenaga itu. Dicarinya teman itu di antara para penuntun ruhani, yang tidak pernah kelihatan namanya di-surat2 kabar dan tidak pula pernah tercantum dalam daftar pemimpin partai2 politik. Dicarinya penuntun2 ruhani yang bernama ulama dan kyai di-desa2. Dipanggilnya dan diserunya : „Mari kita sama2 membuka kunci hati umat dengan kalimah "Allahu Akbar". Dengan demikian bergelora dan membanjirlah segala tenaga yang dikehendaki, begitu pula alat2 materi yang diperlukan. Para pemuda, karena adanya seruan yang membuka kunci-hatinya itu, tidak ragu2 menjadikan dirinya jadi pagar kampung halaman, membenteng kampung halamannya dari peluru2 musuh. Banyak di antara mereka yang telah gugur sebagai pahlawan, ksatria dan syuhada. Kaum wanita pun tidak hendak ketinggalan, bahkan sampai2 kepada yang tua2- pun tidak sabar duduk di rumah. Untuk itu mereka bukan mendapat gaji dan upahan dan bukan pula di-perintah2. Mereka



diperintah hanya oleh hatinya sendiri, yang sudah dibuka dengan seruan "Allahu Akbar" itu. Petunjuk Suci. Seruan suci yang demikian, menjadi petunjuk bagi penyeru itu. Ternyata bagi mereka bahwa pada bangsa Indonesia itu ada suatu motor yang dapat menggerakkan tenaga untuk menghadapi bencana2 dari luar. Dan motor ini bukan se-mata2 motor yang bisa bergolak dan bergolong untuk menghancurkan musuh yang hendak menindas saja, tapi juga sanggup mengeluarkan energi dan potensi yang besar, yang jikalau pandai menyalurkannya, akan dapat membangun dan mengisi Negara yang sudah kita punyai ini. Beruntunglah tiap2 pemimpin yang mengetahui hal ini, dan dapat pula mengetahui bagaimana mempergunakan kekuatan yang besar itu. Kebalikannya celakalah Negara, yang pemimpinnya tidak pandai memakai potensi itu, sehingga potensi itu meletus jadi alat pembakar, atau tidak dipergunakan sama sekali. Di saat ini kita sedang men-cari2 jalan, dan harus menjawab pertanyaan: “Hendak kita isi dengan apa Negara kita ini? Bagaimana mengisi Kemerdekaan itu?" Pertanyaan-pernyataan demikian harus kita jawab, untuk kepentingan generasi yang di belakang, para pemuda dan pemudi yang akan menggantikan kita. Tugas besar.



Kita menghadapi satu pekerjaan dan tugas besar dalam riwayat bangsa kita. Bangsa kita sedang menulis sejarahnya dalam lingkungan sejarah dunia. Pertanyaan tadi harus kita jawab bersama-sama. Mengisi Kemerdekaan, bagi kita adalah satu tindakan di dalam rangkaian bersyukur dan berterima kasih. Kita bersyukur kepada Tuhan yang telah mengaruniai kita hasil yang begitu hebat berupa Indonesia Merdeka dalam masa yang begitu pendek, yakni 5 tahun saja. Republik Indonesia yang sudah kita punyai ini, kita yakini bahwa ia adalah kurnia Tuhan yang harus kita syukuri. Banyak yang kurang dalam Republik kita ini. Banyak cacatnya. Banyak yang kita tidak puas melihatnya. Akan tetapi dengan segala cacat yang melekat pada Republik ini, kita harus terima Republik ini dengan rasa syukur ni'mat. Bagi umat Islam mensyukuri ni'mat itu, adalah suatu kewajiban. Tetapi harus diinsafi bahwa bersyukur atas ni'mat itu, bukanlah semata-mata bergembira-ria dengan melepaskan segala insting-insting untuk mencapai sebanyak-banyak kesenangan dan kemewahan. Bersyukur ni'mat artinya, ialah menerima dengan insaf akan apa yang ada, dengan segala kandungannya berupa kelemahan dan kekuatan yang terpendam di dalamnya. Diterima dengan niat untuk memperbaiki. Memperbaiki apa yang belum baik, memperkuat mana yang belum kuat serta menyempurnakan mana yang belum sempurna. Itulah artinya bersyukur ni'mat. Dan bukanlah bersyukur ni'mat namanya, bila setelah melihat barang yang ada di tangan itu banyak cacat-cacatnya, lalu dilempar atau di bumi-hanguskan kembali.



Orang yang kesal hatinya dan sesudah mendapat masih merasa ke-hilangan, bukanlah orang yang bersyukur ni'mat. Satu2-nya ajaran dan petunjuk yang kita pegang adalah firman Ilahi, yang maksudnya: „Kalau kamu pandai bersyukur ni'mat, Aku akan perlipat-gandakan apa-apa yang telah engkau terima itu, akan tetapi kalau kamu bersikap kufur ni'mat, tidak pandai menghargai dan menilai, menghabiskan waktu dengan menggerutu, atau melemparkan segalanya itu karena tidak cukup, ketahuilah bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang pedih”. (Al-Quran, surat Ibrahim : 7) Kita tidak mau menjadi orang yang kufur ni'mat. Kita terima Republik Indonesia ini demikian, maka marilah kita pelihara, kita kuatkan dan kita tumbuhkan ia dari dalam dengan segala dasar 2 yang baik untuk pertumbuhan yang sehat seterusnya. Oleh karena itu, di dalam menjawab pertanyaan : „Bagaimana caranya kita memperbaiki dan menyempurnakan ni'mat yang telah kita terima itu", bagi umat Islam, tidaklah begitu susah. Kita telah dikurniai satu Tanah Air yang begitu subur tanahnya, dan begitu baik iklimnya. Tidak sangat panas dan tidak sangat dingin. Hujannya bukan hujan yang membanjir, sebagaimana di tanah-tanah tropis yang lain. Panasnya bukanlah panas terik yang membakar, yang mengeringkan dan menjadikan padang rumput menjadi padang-padang batu dan padang pasir. Negara kita adalah tanah yang sangat makmur, dan melimpah-limpah kekayaan alamnya. Dalam pada itu kalau kita lihat tenaga manusianya, alhamdulillah pula, tidaklah malu kita kiranya, bila dibandingkan dengan rakyat di negara-negara yang lain. Bangsa kita mempunyai kebudayaan yang tinggi. Ke- budayaan yang dimaksud bukan berarti hasil kepintaran otak semata-mata, tapi juga berupa akhlak dan budi pekerti yang halus



yang diliputi oleh dasar2 tasamuh di dalamnya, dasar "toleransi" kata orang sekarang. Percekcokan dan pertentangan yang hebat-hebat, bukanlah sipat bagi kita bangsa Indonesia. Toleransi. Di negara lain, seperti di India umpamanya, soal agama antara Hindu dan Islam sering menimbulkan perpecahan dan soal sulit-rumit yang menimbulkan perkelahian dan penumpahan darah yang hebat2, yang tidak kenal damai. Di negeri kita, tidaklah demikian halnya. Bangsa kita mempunyai suatu sipat yang istimewa, yaitu sipat toleransi yang sudah menjadi darah-daging baginya semenjak dahulu sampai sekarang. Ini adalah modal positif yang mulia sekali dalam kalangan bangsa kita. Sumber alam yang begitu kaya-raja, belumlah sangat dieksploitir oleh penjajah selama beberapa ratus tahun itu. Hanya beberapa persen saja baru yang telah diambilnya. Di sini belumlah ada industrialisasi yang besar2 sebagai di Barat. Industrialisasi yang bersipat revolusi, yang menggoncangkan susunan struktur masyarakat belumlah begitu menghebat dalam masyarakat kita. Feodalisme yang memperbedakan kedudukan antara satu golongan dengan golongan lain, tidaklah suatu hal yang merajalela di Tanah Air kita. Bangsa kita mempunyai suatu sipat yang hidup dalam darah-daging-nya, yakni sipat yang seringkali kita namakan gotong-royong. Pertentangan antara apa yang dinamakan kapitalisme dan proletariat, alhamdulillah, di Negara kita bukanlah menjadi dasar, sebagaimana yang telah menimpa negara2 Barat semenjak pertengahan abad yang lalu.



Dengan ringkas dapat dikatakan, kita mempunyai Tanah Air yang masih bersih dari pada bibit2 yang bisa menggoncangkannya. Ini adalah bahan baharu yang segar, yang hendak kita bangunkan. Inilah dasar2 pembangunan kita. Malahan dalam rangkaian pikiran ini, — rasanya negara yang mempunyai sipat dan kedudukan geografis dan sosiologis seperti Indonesia ini, dengan rakyatnya yang 75 a 80 milliun itu —, adalah satu negara, yang mempunyai bakat2 istimewa, yang akan sanggup merintiskan jalan sendiri, sesuai dengan alam-iklim dan manusia Indonesia itu sendiri pula. Metode sendiri. Maka tidak usahlah kiranya kita men-cari2 jalan, yang barangkali di-negeri2 lain dapat berjalan atau tidak dapat berjalan dengan baik. Tidak usahlah kita mentransmigrasikan segala sistem dan metode2 yang lain itu dengan begitu saja. Kita dapat mencari metode dan sistem sendiri, sesuai dengan bakat dan bahan kita, sesuai dengan jiwa' sebahagian besar dari pada rakyat kita. Bagi kita umat Islam, bolehlah kita merasakan sebagaimana yang diresapkan oleh Junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. terhadap pengikut2-nya 13 abad jl., yang juga mengadakan revolusi besar untuk mengangkat satu umat yang paling lemah sampai menjadi umat yang berderajat mulia dan mempunyai kecakapan besar, yaitu perkataan beliau, yang tepat sekali kalau kita ingat2-kan sekarang ini. Perkataan itu kejadian, tatkala orang2 sudah gembira karena kembali dari peperangan2 yang berakhir dengan kemenangan, gembira dan bersuka-ria lantaran telah selesai menunaikan suatu pekerjaan berat, dengan hasil yang gilang-gemilang. Beliau berkata: „Kita baru kembali dari peperangan kecil, jihad yang kecil" - raja'na min jihadil-asghar, walau pun perjuangan itu mengakibatkan pertumpahan darah serta meng-



hilangkan hayat dan nyawa, walaupun perjuangan itu bersipat membunuh atau terbunuh, berupa membumi-hanguskan apa yang ada, tapi tokh perjuangan demikian, dinamakan beliau, perjuangan kecil dan perjuangan enteng, jihad asghar. Seterusnya kata beliau, umat akan menghadapi satu fase lagi dari perkembangan revolusi, yang bernama jihad-akbar, yaitu perjuangan yang lebih besar dari pada yang telah sudah, di mana tidak berbunyi keleuang dan senapan, tidak ada orang bunuh-membunuh, tidak ada siar-bakar, akan tetapi tokh lebih berat dari pada jihad yang dilakukan pada masa yang sudah itu. Jihad itu, yaitu jihadun-nafs, jihad membangun pribadi sendiri, membangun pribadi umat, membina kekuatan dan kemampuan bangsa. Jihad ini lebih berat dari pada jihad atau peperangan yang hanya mempunyai satu semboyan, yaitu membunuh musuh sebanyak mungkin. Jihad nafs ini, adalah jihad yang berkehendak kepada rencana yang teratur, berkehendak kepada keuletan dan pandangan yang jauh, berkehendak kepada kesabaran terus-menerus. Jihad yang demikian, perjuangan membina pribadi dan membina umat itu, adalah perjuangan lama, suatu perjuangan yang berat kalau sungguh2 hendak dilaksanakan! Agaknya tak salah kalau kita bandingkan perjuangan kita di masa ini dengan fasenya jihad-akbar, yang dimaksud oleh Junjungan kita Muhammad s.a.w. itu. Di dalam hal ini kita syukur, karena kita mendapat pedoman2, bagaimana membina pribadi dan membina masyarakat itu. Nabi Muhammad Pemimpin Revolusi. Muhammad s.a.w. adalah sorang pemimpin revolusi. Salah satu dari anasir revolusi Beliau ialah memberantas tiap2 eksploitasi, manusia oleh manusia, memberantas „exploitation of man by man” dan



memberantas kemelaratan dan kemiskinan ,,elimination of poverty”, kata orang sekarang. Tiap2 ajaran dari pada Agama Islam adalah berisi dan ditujukan kepada memberantas eksploitasi manusia oleh manusia, dan memberantas kemelaratan dan kemiskinan itu. Beliau berkata: "Kemiskinan dan kemelaratan itu adalah dekat sekali kepada kekufuran", „Kanal faqru an-yakuna kufran”, dalam bahasa Arabnya. Jadi janganlah dibiarkan kemiskinan dan kemelaratan merajalela sekeliling kita, sebab kemelaratan dan kemiskinan itu membawa manusia kepada kemunkaran. Manusia yang baik bisa menjadi ingkar, disebabkan kemelaratan dan kemiskinan yang merajalela. Jikalau ingin akhlak jangan merosot, demoralisasi jangan merajalela, maka salah satu obatnya berantaslah kemiskinan dan kemelaratan itu. Di dalam ajaran2 yang praktis, yang diberikan oleh Islam, tiap2 seseorang, dari kita haruslah mempergunakan kekuatan dan potensi dirinya untuk menambah dan memperbanyak produksi, memperbanyak hasil, supaya dapat meninggikan peri kehidupan manusia dan dapat mem-bagi2 dengan teratur serta adil akan kekayaan dan barang2 yang diperlukan. Maka zakat adalah hanya sebahagian kecil saja dari pada sistem itu dan sedekah sebahagian kecil pula dari padanya. Walaupun demikian, dengan zakat dan sedekah itu saja, telah dapat diberantas kemiskinan dan kemelaratan yang merajalela, kalau zakat dan sedekah itu dijalankan dengan teratur.



Bebas dari kemiskinan, penderitaan dan penindasan. Seluruh sistem yang dimajukan sebagai way of life oleh Muhammad s.a.w. itu, terang dan nyata garis besarnya, yaitu untuk mengadakan



suatu masyarakat yang hidup dalam keragaman. Kita sebagai umat Islam tidak boleh membiarkan diri kita rela menerima kemelaratan dan kemiskinan itu. Diperintahkan kita supaya jangan melupakan nasib kita di atas dunia. Kita disuruh memakai segala apa yang ada sekeliling kita dengan jalan mengubah kekuatan alam, barang2 logam, hasil2 lautan dsb. untuk memudahkan keragaman penghidupan. Semuanya itu diuntukkan Tuhan untuk manusia. Semua itu dapat meninggikan kehidupan manusia, sehingga kehidupan itu jadi beragam dan bercahaya dan manusia dapat merasakan ni'matnya anugerah Ilahi itu. Produksi stelsel. Menurut ajaran Islam, kapital atau kekayaan itu janganlah di-tumpuk2 dengan tidak mengadakan penambahan produksi. Jangan di-tumpuk2-kan mas dan perak untuk dilihat dan di-hitung2 saja saban waktu, tapi masukkanlah dalam roda produksi, dalam produksi stelsel bagi menambah kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Diancam Tuhan orang yang menumpuk2-kan harta yang on-produktief itu, yaitu orang yang dinamakan yaknizunaz-zhahab, yaitu orang yang me-nyimpan2 mas dan perak dengan tidak produktif, tanpa menghasilkan apa2 (Al-Quran, surat At-Taubah : 34). Harta2 itu mesti digerak dan diputarkan, agar orang yang tidak bekerja mendapat pekerjaan dan agar besarnya produksi dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Atau dengan lain perkataan, dalam pada modal harus dijadikan produktif, hendaklah pula para pemilik modal atau majikan, jangan dipimpin se-mata2 oleh motif mencari untung saja, tapi harus mementingkan perkembangan dan keperluan2 masya- rakat.



Hak asasi manusia. Di dalam mencari hidup bahagia dan mengatur masyarakat, ahli2 pikir dan ahli2 sosiologi serta pejuang2 kemerdekaan di seluruh dunia, sudah sepakat menyusun suatu daftar yang dinamai hak2 asasi manusia. P.B.B. mempunyai satu seksi yang tersendiri untuk menyusun apa yang dinamakan hak2 asasi bagi manusia itu. Hampir seluruh negara2 yang merdeka di dunia sudah mengakui hak2 asasi tsb. sebagai dasar2 pikiran untuk dijadikan dasar pembangunan negara dan peri kemanusiaan. Antara lain, hak2 asasi manusia itu ialah hak merdeka berbicara dan mengutarakan pendapat, hak kemerdekaan beragama, hak mendapat kehidupan yang layak, hak untuk mogok bila perlu, ya, macam2 hak. Daftar hak2 asasi itu sudah diatur, untuk diperingatkan kepada orang, agar jangan ada manusia yang dieksploitir oleh manusia lain. Ia mengingatkan kepada manusia itu sendiri2, agar jangan mau dieksploitir oleh orang lain. Yang demikian tentu adalah suatu langkah yang baik. Tetapi yang belum terlihat ialah hasilnya hak2 asasi yang diakui itu. Belum mesra rupanya dalam pikiran tiap2 individu mana yang haknya, mana yang bukan haknya, sehingga hak2 asasi itu belum terlaksana dengan baik dalam masyarakat umat manusia. Kepada manusia diajarkan supaya memperjuangkan haknya itu. Dia harus berjuang untuk mendapatkan haknya tsb. Orang yang memegang hak itu takkan suka dengan begitu saja, hak itu diambil oleh orang yang punya hak, tapi ia mempertahankan yang disangkanya punyanya itu. Sebagai akibat dari pada menginsafi hak dan tak memberikan hak itu, terjadilah bentrokan antara yang memegang hak dan yang punya hak. Pihak kaum buruh mengatakan: „Kami berhak, kalau



tidak mau memberikan hak itu, kami pakai senjata mogok". Kaum majikan mengatakan : „Tidak ! Kita mau lihat sampai kemana kekuatanmu. Kita tidak akan memberikan sedikit juga hak itu jikalau belum bertempur!" Maka terjadilah pertempuran dalam memperebutkan hak dan hak itu dan timbullah dari pada perebutan hak itu semacam sistem yang lazim disebut orang sekarang, "struggle for life", perebutan hidup yang didasarkan kepada penuntutan dan penuntutan, yang berakibat siapa kuat siapa di atas, siapa lemah siapa mati ! Di-negara2 Barat, yang ber-kobar2 sekarang ini adalah falsafah „struggle for life" itu, mencari hidup, walaupun orang lain akan hancur lantarannya ! Tapi kita bertanya apakah memang, itukah satu2-nya jalan untuk mencapai kehidupan dan kesejahteraan sosial? Ajaran Islam dalam menghadapi soal sulit-rumit ini, mempunyai pendapat yang berbeda. Dengan tidak mengurangi bahwa tiap2 seseorang itu harus mengetahui apa haknya, Islam per-tama2 mengajarkan bukanlah "apa hak saya!', tapi yang diajarkannya pada seorang Muslim, ialah "apa kewajiban yang aku harus penuhi". Kita mengetahui, seorang anak yang dipelihara dan dididik dengan penuh kasih sayang oleh ibu dan bapa mempunyai kewajiban untuk menghargai dan mencintai ibu dan bapanya itu. Menghargai dan berterima kasih kepada ibu dan bapa demikian, adalah suatu hal yang logis atas manusia. Sebaliknya kita juga dapat merasakan, bahwa ibu dan bapa itu berhak pula atas penilaian, penghargaan dan penghormatan dari anaknya. Tetapi Islam tidak mengajarkan kepada si ibu dan si bapa: kamu berhak, atau hak asasimu: anakmu harus berterima kasih kepadamu dan



kalau anakmu itu tidak berterima kasih, maka tuntutlah sampai bentrokan dan bertangisan! Bukan demikian caranya dalam Islam! Salah satu ajaran yang harus diberikan kepada anak2, menurut ajaran Al-Quran ialah agar ditanamkan dalam jiwa si anak, bibit mahabbah tentang hubungannya dengan ibu bapanya. Diajarkan agar si anak berterima kasih kepada ibu bapa. „Anisykurli wa liwalidaika" (Q.s. Luqman: 14), — supaya kamu bersyukur kepada-Ku dan berterima kasih kepada dua orang ibu bapamu! — „Rabbirham huma koma rab-bayani shagira' (Q.s. Isra : 24) — „Ya Rabbi, Ya Tuhanku, rahimi dan kasihilah ibu bapaku sebagaimana mereka mengasihi aku di waktu aku masih kecil"— demikian doa diajarkan Islam kepada anak untuk menghor-mati kedua ibu bapa! Yang ditanam di sini, ialah rasa kewajiban yang harus dipenuhi terhadap orang tua, dibawa oleh rasa rahim dan cinta kepada orang tua. Itu yang memperhubungkan antara ibu bapa dan anak itu. Jadi bukan tuntutan2 ibu bapa yang harus dipenuhi oleh si anak. Sebaliknya kepada si anak juga tidak diajarkan: „Wahai anak, kamu berhak atas pelayanan yang baik dari ibu bapamu!", tapi diajarkan : „Ibu wajib menyusukan anak, mendidik dan menjaganya lahir batin!". Tidak diajarkan kepada si anak : „Kamu berhak asasi untuk menerima yang demikian. Jikalau ibu bapamu tidak menyusukan, tidak memberikan nafkah, pakaian dan makanan, serta menyerahkan kamu ke sekolah, tuntut ibu bapamu itu. Kalau tidak diberinya mogok saja!" Bukan begitu! Bukan itu yang diajarkan Islam kepada anak. Sebelum anak merasakan keperluannya yang harus dipenuhi, kepada si ibu dan si bapa diajarkan: „Kewajiban yang tidak boleh tidak, adalah memelihara anak itu. Anak itu lahir dalam keadaan suci. Kalau kamu abaikan, maka



kamulah yang menjadikannya orang rusak, ingkar dan jahat, bukan salah si anak itu sendiri!". Diletakkan tanggung-jawab yang harus dipenuhi oleh si ibu dan si bapa, dan dikatakan pula apa2 kewajiban si anak terhadap ibu dan bapa. Hubungan antara kedua golongan itu, antara bapa-ibu dan anak, tidaklah ditekankan kepada ke dua belah pihak, yang harus diselesaikan dengan „tuntutan2" antara satu dengan yang lain. Akan tetapi dihubungkan atas rahim dan cinta, didasarkan kepada pemenuhan kewajiban. Inilah ajaran Islam untuk mendekati penyelesaian soal. Begitu penjelmaan idee kerahiman dan harmoni, yang dijadikan sebagai dasar hubungan individu dengan individu dalam rangkaian masyarakat kecil yang bernama „keluarga". Untuk menyelesaikan masalah dalam pergaulan hidup yang besar ini, Islam mempunyai konsepsi yang sejak dari dasarnya sudah sangat berlainan dari pada apa yang biasa kita dengar sampai sekarang. Dalam mencari penyelesaian masalah industri umpamanya, terutama yang berpokok pada pertentangan antara majikan dan buruh, Islam tidak membenarkan konsepsi yang dengan mempergunakan akumulasi golongan yang sama kepentingannya, men- jadi suatu kelas untuk bertahan diri dengan menyerang kepentingan golongan atau kelas yang lain. Approach Islam terhadap persoalan ini tidak dengan mengobarkan kesumat dalam bentuk pertentangan kelas. Sebaliknya Islam menyelesaikan masalah ini dengan jalan kembali menumbuhkan rasa saling mengerti antara orang2 atau golongan yang mempunyai perhubungan kepentingan, dengan tidak mengakui adanya kelas2 yang meruncingkan keadaan.



Timbulnya kekacauan sosial dalam dunia produksi, yang berakibat lahirnya serikat2 sekerja seperti sekarang, adalah disebabkan oleh adanya eksploitasi yang tidak mengenal peri kemanusiaan oleh pihak majikan atau pemilik modal terhadap buruh, yang dalam pada mempergunakan tenaga manusia dengan se-mau2-nya, tidak mau memikul tanggung jawab atas kesejahteraan manusia yang diperas tenaga dan energinya itu. Tetapi tidak diinsafi bahwa dengan membenarkan teori pertentangan kelas sebagai jalan penyelesaian, dengan tidak mau tahu kepada kepentingan masyarakat umumnya, timbullah bahaya, yakni tirany majikan tersebut akan digantikan oleh tirany serikat2 buruh, yang setiap waktu dapat memerintahkan kepada anggota2-nya untuk mogok, dengan tidak bersedia menggantikan funksi industri dalam mempersiapkan kebutuhan2 materiil bagi masyarakat pada umumnya dan buruh2 itu sendiri pada khususnya. Dasar approakh Islam terhadap masalah ini telah diletakkan oleh Nabi Besar Muhammad s.a.w. sendiri dengan sabdanya bahwa: — „Tidak akan sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudara sesamanya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri". Atas dasar inilah Islam berpendirian bahwa golongan majikan dan golongan buruh bukan merupakan dua kelas yang masing2 mewakili suatu kepentingan, eksklusif yang bertentangan satu dengan lain dan tidak dapat dipertemukan. Islam menganggap majikan dan buruh ke-dua2-nya faktor industri yang masing2-nya mempunyai funksi, mempunyai tanggung-jawab dan andil, yang sama pentingnya dalam proses menghasilkan barang2 keperluan masyarakat. Kedua golongan ini mempunyai persamaan kepentingan dalam arti, bahwa kemunduran industri, baik disebabkan oleh menurunnya



produktifitet tenaga buruh oleh karena jeleknya keadaan kesehatan dan kesejahteraan buruh itu, atau disebabkan oleh tidak dapat dijualnya barang hasil industri tersebut oleh karena tidak seimbang penjualan dengan ongkos produksi yang begitu tinggi karena tuntutan2 buruh. Dihubungkan lagi dengan tenaga-pembeli dari masyarakat, semua itu akan berakibat buruk dan merugikan kepada kepentingan majikan dan buruh itu sendiri pula. Oleh karena itu, menurut Islam, dengan adanya perasaan tanggung-jawab terhadap masyarakat dan dengan merasakan imbangan kepentingan2 itu, masalah pertentangan majikan dan buruh dapat diselesaikan atau dengan perkataan lain menumbuhkan kembali kesadaran akan tanggung-jawab masing2 terhadap anggota masyarakat besar dan rasa saling mengerti antara sesama anggota masyarakat itu. Untuk dapat menciptakan pergaulan yang harmonis antara majikan dan buruh, Islam meminta supaya majikan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh buruh, dapat mengerti keperluan dan keinginan2 buruh sebagai manusia, dapat melihat segala persoalan dari segi buruh, dan akhirnya dapat memberikan pernilaian terhadap kesukaran2 yang dihadapi oleh buruh. Berdasarkan ini, si majikan harus bersedia memikul tanggung-jawab sepenuhnya atas perbaikan penyelenggaraan kesejahteraan buruh, baik buruh itu dipandang sebagai faktor produksi, lebih2 sebagai saudaranya sesama manusia. Sebaliknya Islam meminta kepada buruh, untuk setia kepada tanggung-jawabnya, jangan menyalahi janji kerja, jangan mencuri jam. „walmufuna bi'ahdihim", - Muslim itu wajib menyempurnakan janjinya (Q.s. AlBaqarah: 177).



Jadi dalam mengusahakan perbaikan nasib buruh, harus diperhatikan juga pengaruh dan akibat dari tindakan2 yang diambil terhadap kepentingan anggota masyarakat besar yang lain. Penyelesaian menurut Islam atas dasar saling mencintai dan saling mengerti serta menghormati akan kepentingan pihak yang lain ini, adalah jalan yang se-baik2-nya. Jadi tidak dengan memperbesar kebencian dan permusuhan seperti terdapat dalam konsepsi pertentangan kelas yang tak kurang mengundang bahaya baru — tirany serikat sekerja. Dengan berhasilnya hubungan harmonis antara majikan dan buruh sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam ini, organisasi2 gabungan majikan dan organisasi serikat2 sekerja akan berubah sipat dan funksinya menjadi badan pelaksana yang memelihara dan mempertinggi nilai saling mengerti antara majikan dan buruh itu sendiri, jadi tidak lagi merupakan dua pahlawan kelas yang dalam menghadapi satu atas yang lain sudah terlebih dahulu dikuasai oleh saling-curiga dan saling-tidak-percaya- mempercayai!



Hidup wajib bekerja. Manusia itu harus bekerja. Manusia hidup bukan untuk makan saja. Perbedaan manusia dengan hewan, ialah bekerja. Manusia yang tidak bekerja, akan tetapi mendapat makan juga adalah manusia yang belum cukup kepribadiannya. Kepada majikan diajarkan oleh Islam: „Jikalau kamu mempunyai pekerja di rumah tanggamu, yang melayani kamu se-hari2, maka harus kamu beri makan mereka sebagai makanan kamu sendiri. Jangan di-beda2-kan makanmu dengan makan mereka walaupun kamu tidak sebangsa dan tidak seagama dengan mereka". Buruh itu bukan alat



mesin yang mati. Mereka manusia biasa sebagai mana kamu. Dia mempunyai keinginan. Dia mempunyai kehormatan diri. Jangan ditindas harga dirinya. Jangan jadikan mereka mayit berjalan, yang harus disiplin tegang saja. Jikalau kamu sudah berjanji untuk memberikan upah kepadanya, „bayarkan upah si buruh sebelum keringatnya kering." Demikian ajaran Islam. Jangan dikreditkan, di-tahan2 atau di-tunda2 ! Begini saripati ajaran Islam dalam mendekatkan hubungan golongan dengan golongan, hubungan lapisan dengan lapisan dalam masyarakat. Diletakkan titik-beratnya kepada kewajiban, yaitu apakah yang masing-masing harus tunaikan !". Sebab itu Islam mengajarkan dua macam kewajiban, yaitu yang dikatakan fardlu-'ain dan fardlu-kifayah. Fardlu-'ain ialah kewajiban orang seseorang, individu terhadap Tuhannya. Tidak boleh dia remehkan fardlu-'ain ini, seperti sembahyang, puasa, naik haji umpamanya diborongkan kepada orang lain. Di samping fardlu-'ain ada fardlu-kifayah yang harus ditunaikan untuk sesama manusia, untuk masyarakat. Fardlu-kifayah ini wajib ditunaikan oleh tiap2 individu terhadap gemeenschap. Ke-dua2 "fardlu" atau wajib ini tidak boleh lepas. Kalau yang satu dicabut, maka yang tinggal adalah 50%, tidak utuh. Di dalam bagian kedua ini termasuk apa yang dikatakan orang sekarang sosial, ekonomi dan politik. Namakanlah itu ekonomi, namakanlah itu politik, namakanlah itu sosial, semuanya itu sebenarnya ada di dalam Islam.



Nilai agama.



Agama dan beragama itu dalam Islam ada demikian rupa erat hubungannya dengan kemanusiaan, sehingga tinggi rendahnya orang beragama itu dinilai dengan apa dan cara bagaimana ia menunaikan kewajibannya terhadap manusia. Di dalam Quran ada ancaman terhadap orang yang pura2 beragama, dinamakan orang yang mendustakan Agama, walaupun ia tunggang-tunggik lima waktu sehari semalam bersembahyang dan sebulan Ramadan berpuasa. Ia tokh tetap dinamakan orang yang mendustakan Agama, bila ia tidak melengos sedikit juga untuk memperbaiki nasib anak2 yatim, orang2 miskin dan melarat. „Tahukah kamu siapa yang mendustakan Agama?" — begitu bunyinya, rethoriskhe vraag dari Al-Quran, yang selanjutnya diterangkan dan dijawab sendiri oleh Quran itu, yaitu orang2 yang tidak memelihara anak yatim, tidak membela orang2 miskin dan membiarkan kemelaratan merajalela, yang merasa senang hidup dengan dirinya sendiri, tidak menoleh sedikitpun juga kepada kaum gembel. Itulah orang yang ”yukazzhibu biddin” atau mendustakan Agama itu. Demikian ajaran Islam (Q.s. Al-Ma'un : 1-4). Nilai seseorang dan mutunya Agama pada seseorang, diukur dengan sikap orang itu terhadap masyarakat. Kalau kita hendak membina, haruslah ditimbulkan masyarakat yang strukturnya sosiologis, mempunyai sifat tasamuh dan gotong-royong. Jiwa gotong-royong dalam pupuk untuk menunaikan fardlu-kifayah. Bahwa sistem yang demikian adalah cocok dengan jiwa kita, bangsa Indonesia, tidaklah diragukan lagi. Di Indonesia ini tidak ada harapan akan timbul sistem yang didasarkan kepada pertentangan golongan dengan golongan, kelas dengan kelas. Sistem yang cocok dengan jiwa bangsa Indonesia, ialah tetap adanya keragaman hidup itu, tapi gotong-royongnya pun ada pula. Yang demikian adalah ajaran yang dibawakan oleh Pemimpin Besar revolusi, Nabi Muhammad s.a.w.



Fanatik. Beliau membawa satu ajaran untuk memberantas apa yang dinamakan ta'asub atau yang sering kali disebut orang dengan istilah „fanatik”meskipun tidak begitu tetap perkataan fanatik untuk pengganti ta'asub itu. Tetapi pakailah perkataan fanatik itu, yaitu fanatik di dalam segala lapangan. Fanatik di dalam paham, fanatik di dalam membela kaum dan bangsa. Tentang ini barangkali baik saya kemukakan satu hal, karena sering kali orang menyangka, bahwa Islam bertentangan dengan adanya bangsa2, tegasnya, katanya, Islam memungkiri adanya bangsa, se-olah2 orang yang memeluk Islam itu tidak ada bangsanya lagi. Yang demikian adalah tidak betul! Kita dapat menjadi seorang Muslim yang taat, yang dengan riang-gembira pula menyanyikan Indonesia Tanah Airku! Bagaimana kita akan menghilangkan ke Indonesia-an kita, karena Tuhanlah yang menjadikan kita ber-bangsa2 seperti yang tampak di muka bumi sekarang ini. Kita harus dapat berbahagia dan bergembira memperlihatkan kepada dunia luar, inilah kami bangsa Indonesia, bahasa kami demikian, kebudayaan kami demikian, tulisan batik2 kami demikian, ukiran kami demikian, musik kami demikian, dan sebagainya. Semua itu tidak ada salahnya. Malah kita disuruh menyumbangkan kebudayaan kita kepada kebudayaan dunia yang besar itu, sebagai bangsa, kita anggota dari pada kekeluargaan bangsa2 yang besar itu. Tidak ada perlunya, seorang Muslim itu harus menanggalkan kebangsaan dan kebudayaannya. Dalam ajaran Islam disebutkan, bahwa



manusia ini dijadikan dalam golongan, bangsa2 dan suku2-bangsa yang ber-beda2. Bahasa pun ber-macam2. Ini adalah fithrah, atau natuur, kata orang sekarang. Dikatakan diujung ayat itu, lita’arafu, supaya kamu kenal-mengenal antara satu dengan yang lain. Alangkah bosannya andai kata kalau kita hanya melihat semua orang di dunia ini satu saja warnanya. Kalau putih, ya putih semuanya, kalau hitam ya hitam semua- nya! Barangkali untuk mencari afwisseling, mau rasanya kita lari ke bulan atau ke bintang untuk mencari manusia yang lain, kalau demikian ! Persamaan hak. Oleh karena itu, keragaman yang natuur itu, atau undang2 Tuhan yang telah berlaku dalam alam kemanusiaan itu, tetaplah tinggal demikian. Tapi janganlah, mentang2 kita berkulit putih, lantas merasa lebih tinggi dari pada bangsa yang berkulit sawo, sehingga mendapatkan hak asasi untuk menjajah mereka. Atau kalau kebetulan kita berkulit sawo, janganlah merasakan diri lebih tinggi dari pada orang yang berkulit hitam. Yang demikian bukan kebangsaan yang sehat. Itu sudah sampai kepada kecongkakan bangsa, kesombongan bangsa, kefanatikan bangsa. Paham kebangsaan yang begini, memang dilarang oleh Islam. Islam adalah satu sistem yang memberantas kefanatikan bangsa, chauvinisme yang sempit, racialisme kata orang Barat sekarang. Cara ilmunya dari faqih2 kita, yang dilarang oleh Islam itu, ialah 'ashabiyah jahiliyah. Saya hendak mengatakan sekali lagi, bahwa jauh dari pada hendak menghapuskan bangsa dan kebangsaan, Islam adalah meletakkan dasar2 untuk subur hidupnya bangsa dan suku2-bangsa, atas dasar harga-menghargai, kenal-mengenal, memberi dan menerima. Kalau kita bangsa Indonesia, silahkan merasa bangga sebab jadi bangsa Indonesia,



tapi awas, jangan merosot sampai menjadi chauvinisme yang sempit, yang akan menuju kepada fascisme dan totaliterisme itu. Saudara jangan tidak kuatir, bahwa di negara kita tidak akan bisa tumbuh fascisme, totaliterisme dan sebagainya itu. Bisa saja ia tumbuh! Fascisme dan sebangsanya itu adalah suatu alam pikiran, yang tidak tergantung apa kulitnya putih, hitam, atau sawo-matang dll. Kita harus hati2, agar fascisme dan sebangsanya itu jangan tumbuh di negara demokrasi kita, yang berke-Tuhanan Maha Esa ini. Ini adalah kewajiban setiap Muslim!



Racialisme penyakit besar. Racialisme, diakui, adalah salah satu dari sumber penyakit dunia yang menimbulkan peperangan demi peperangan. Cbauvinisme menimbulkan bentuk2 kebangsaan yang lebih berbahaya untuk masyarakat, seperti timbulnya paham fascisme, totaliterisme dan lain2 yang serupa itu. Hitler berkata bahwa "Herrenfolk" itu ialah bangsa yang dipertuan, selainnya adalah bangsa campuran yang tidak bisa hidup sendiri, akan tetapi harus dijajah oleh Herrenfolk. Semua itu adalah gradasi dari pada apa yang dinamakan 'ashabiyah jahiliyah itu. Bagi golongan2 yang lebih senang mendengarkan, atau lebih lekas menerima jikalau hal yang kita kemukakan ini tertulis dalam buku bahasa asing, bahasa Inggris umpamanya, maka saya ingin memperkenalkan kepadanya seorang Profesor yang bernama Toynbee, seorang historikus bangsa Inggris yang terulung di zaman ini. Ia berkata dalam bukunya, Civilization on Trial, — "Ancaman terhadap Kebudayaan", sebagai berikut:



„Dunia sekarang mempunyai dua penyakit, yang belum dapat orang mencarikan obatnya. Penyakit itu ialah racialisme dan alkohol". Dengan kupasan yang terang-benderang, Toynbee menyatakan, bahwa racialisme dan alkohol adalah sumber2 kegoncangan dunia. Seterusnya Toynbee berkata: „Kalau ada satu sistem yang dapat menghancurkan racialisme dan alkohol itu, sistem itu hanyalah Islam". Toynbee bukan seorang Muslim, ia seorang Kristen. Sebagai seorang ahli pengetahuan, seorang scientis, ia hanya melihat facts demi facts, menganalisa keadaan demi keadaan. Toynbee dengan terus-terang berkata seperti itu. Juni 1955



PENGARUH ISRA' DAN MI'RAJ DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT Pada tiap2 27 Rajab tahun Hijrah, umat Islam seluruh dunia membuat peringatan, sebab pada tanggal itu, beberapa abad yang lampau, di Mekah Al-Mukarramah, telah terjadi suatu peristiwa luar biasa yang menggemparkan alam, yaitu Nabi Muhammad s.a.w., Junjungan kaum Muslimin telah diperintahkan Allah s.w.t. menjalankan Isra' dan Mi'raj untuk menerima kewajiban fardlu-'ain yang sangat penting, ialah salat lima waktu sehari semalam, langsung dari Allah, Tuhan semesta alam. „Mahasuci Allah, Tuhan yang telah menjalankan hamba-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. pada malam hari dari Al-Masjidil-Haram di Mekah ke Al-Masjidil-Aqsha di Baitul-Muqaddas. Kami berkati sekelilingnya untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari pada tanda2 kebesaran Kami; sesungguhnya Dia lah Tuhan yang Mahamendengar dan Mahamelihat” (Al-Quran, surat Isra': 1). Kejadian yang luar biasa itu diterima orang, — pada waktu terjadinya, pada waktu sekarang dan seterusnya pada masa yang akan datang —, dengan ber-macam2 penerimaan. Ada yang menerima dengan — amanna wa shadaqna — kami percaya dan kami benarkan; ada yang tawar-menawar lebih dahulu baru mau menerima; dan ada pula yang enggan menerima sama sekali, walau pun telah diberikan bukti dan kenyataannya. Riwayat Isra' dan Mi'raj dibacakan orang sebagai peringatan, untuk mengenangkan Nabi yang sangat dicintai dan dijunjung tinggi itu. Tetapi yang terlebih penting dari semua itu, ialah untuk mengambil teladan dari perjalanan dan perbuatan Nabi Muhammad s.a.w. yang semuanya mengandung kebaikan, baik dalam perkara ibadah



terhadap Tuhan, maupun dalam urusan mu'amalah pergaulan dengan sesama manusia. Di sini hendak kita uraikan satu perkara penting berkenaan dengan hari peringatan Isra' dan Mi'raj ini, sedang perkara itu tepat benar dengan keadaan perjuangan kita sekarang, ialah tentang „atsaruttauhid", atau bekas-tauhid yang dipusatkan dalam ibadah salat lima waktu, mengalir menjadi amal mu'amalah yang besar paedah dan gunanya bagi peri kemanusiaan. Adapun pertalian Nabi Muhammad dengan Tuhannya mengatasi segala kepentingan terhadap dirinya sendiri, dan terhadap semua maddah, kebendaan. Pertalian itu kebanyakan diperhubungkannya dalam ibadah salat lima waktu, yang diterimanya dalam perjalanan Mi'raj itu. Ibadah salat itu menjadi pusat kekuatan batin, tempat mengisi ruh tauhid yang hakiki terhadap Khalik, sehingga bersih dari pada kutu2 syirik yang melemahkan jiwa. Kemudian mengalir ia menjadi amal mu'amalah kepada makhluk dalam peri laku yang adil, jauh dari pada perbuatan curang, rendah dan nista, bahkan dengan baiknya pertalian kepada Allah yang dilakukan dengan perantaraan salat itu, Allah baikkan amal mu'amalah terhadap makhluk: „Pertama sekali yang dibuat perhitungan atas diri seseorang hamba pada hari kiamat, ialah perkara salat. Maka apabila beres salatnya, niscaya bereslah segala amalnya. Dan apabila rusak salatnya, niscaya rusaklah segala amalnya" (H. Riwayat Thabrani). Bagaimanakah salat itu dapat menjamin perkara besar itu !



Dari pada jiwa yang kuat tauhidnya, beriman sungguh kepada Allah, akan tetap mengalir segala perbuatan mulia dan terpuji. Dia tidak hidup untuk kepentingan diri sendiri, tetapi untuk kemanfaatan sekalian, semua yang tergolong makhluk Allah. Dan hampir terhapus dari jiwanya, segala sipat jahat dan rendah. Lantaran itu timbullah dari jiwanya yang telah bersih itu, sipat mengutamakan kepentingan umum lebih dari kepentingan diri sendiri, rela berkurban, ikhlas menyabung jiwa untuk kebajikan umum. Seorang mu'min yang sungguh bertauhid kepada Allah, tidak akan mau berlaku zalim, sebab zalim itu menentang salah satu dari pada sipat Allah, yaitu adil. Tidak pula dia kasar dan keras kepala, sebab Tuhannya berifat Ar-Rahmanir-Rahim, pengasih-penyayang. Tidak pula berlaku dusta, menipu dan nifak, sebab kelaknya dia akan mengadakan perhitungan di hadapan Allah yang bersipat Al-'Alimul-Khabir, Maha mengetahui dan Mahahalus pengetahuan-Nya: „Yang mengetahui kecurangan mata dan apa2 yang disembunyikan di dalam hati". (Q.s. Al-Mu'min: 19). Tidak pula dia merasa lemah, hina dan penakut, sebab dia mengetahui, bahwasannya yang demikian itu tidak ada gunanya karena segala perkara tergenggam di tangan Allah. Dari sipat2 mulia demikian, terbitlah cabang menjadi seruan dan ajakan, untuk kebaikan dan perbaikan umum. Sebab jiwa mu'min yang hakiki itu tidak suka dirinya sendiri dan diri manusia disekelilingnya rusak. Dirinya selamat orang lain celaka, dirinya mengecap kesenangan, orang lain mendapat kesengsaraan, bukanlah sipatnya. Sebagaimana menyeru kepada tauhid menjadi satu kehebatan bagi manusia, maka atsarut-tauhid yang menimbulkan susunan hidup baru



dan mengubah keadaan masyarakat itu, adalah lebih besar lagi kehebatannya. Perhatikanlah buktinya: Orang gunung yang beradat menguburkan hidup2 anak2 perempuannya, dan menganggap mulia menumpahkan darah, telah menjadi manusia yang sangat khusyu' dan tadlarru', lantaran mengerjakan salat itu. Keluarga yang beradat mempusakai isteri2 bapaknya, telah menjadi keluarga yang suci, menghormati dan memuliakan kedudukan kaum ibu, dengan arti yang se-benar2-nya, lantaran mengerjakan salat itu. Satu kabilah yang tidak mengenal kebenaran hanya untuk bangsanya sendiri, dan tidak menjaga hak tawanan dan tanggungan hanya kalau dari golongan sukunya, telah menjadi suku dan kabilah yang pernah mengembalikan harta benda kaum Nashara Himsha, karena mereka berkeberatan memelihara orang2 tawanan, lantaran mengerjakan salat itu. Kaum bangsawan yang pekerjaannya memperbudakkan manusia, telah menjadi golongan yang takut betul kepada Allah, tetapi tidak takut menerima celaan dan ejekan orang dalam membela kebenaran, lantaran pengaruh salat itu. Seorang hamba Allah yang kasar, kemudian telah menjadi Khalifatul Muslimin yang disegani kawan dan lawan, yang pernah dibantah oleh seorang perempuan di hadapan khalayak ramai, sehingga Khalifah tadi berkata terus terang: „Benar perempuan itu dan 'Umar yang salah”. Dan dia pula yang pernah menulis surat kepada salah .seorang wali- negaranya di Mesir lantaran anak wali itu mengganggu seorang



Kristen; di antaranya surat itu berbunyi: „Mengapakah kamu memperbudakkan manusia, padahal ibunya melahirkannya dalam merdeka”. 'Umar berubah jadi demikian, lantaran pengaruh salat itu. Bagaimanakah jalannya sehingga serentak dalam segala lapisan dan tingkatan terjadi perubahan menjadi baik dan dijadikan contoh teladan oleh umat yang kemudiannya? Jalannya yang nyata kepada kita ialah: menyadarkan jiwa orang itu dilakukan sejalan dan serentak, untuk dirinya dan untuk umum, karena kepentingan orang seorang „al-fard" atau individu itu bergantung kepada kepentingan „al-jamaah”, masyarakat umum. Perbedaan Agama Islam dengan Agama2 lain, yaitu Agama Islam tidak hanya mengatur peribadatan kepada Allah se-mata2 dan meninggalkan penyembahan kepada yang lain-Nya, tetapi di samping itu Islam mengatur pula susunan mu'amalah, pertalian dan perhubungan, hak2 dan kewajiban antara orang seorang dengan keluarga, dengan bangsa dan dengan umat yang ber-macam2. Dan, dijadikannya sasaran yang terutama, perbaikan pergaulan. Sehingga urusan dalam ibadat itu sendiri dijadikan perantaraan untuk menyampaikan perbaikan umum. Dan umat Islam dalam pergaulan umum adalah sebagai mata rantai yang erat pertaliannya, sebagai batu tembok yang teguh-meneguhkan, sebagai anggota badan yang kalau sakit sebagian merasa sakit semua, ber-tolong2-an, bantu-membantu untuk menolak segala kerusakan yang mengenai orang seorang dan yang mengenai umum. Menyatukan kepentingan orang seorang dengan kepentingan umum, dan membangkitkan pendapat umum yang sehat dan baik, hanyalah dapat dilakukan dengan perantaraan penerangan yang tahan uji. Apabila semua golongan telah menepati hak2 dan kewajibannya yang sah dan betul, niscaya pendapat umum itu akan menjadi satu dan



kuat, yang dapat dialirkan untuk meluruskan mana2 yang bengkok dalam masyarakat dan untuk membetulkan mana2 yang salah keluar dari jalan kebenaran. Maka golongan yang bekerja memperbaiki kerusakan masyarakat itu, hendaklah lebih dahulu bekerja menyadarkan jiwa orang seorang untuk kepentingan umum, dan menyadarkan jiwa umum untuk kepentingan jiwa orang seorang. Perasaan kesadaran dan keinsafan yang halus tetapi kuat itu, yang berguna untuk perbaikan masyarakat dalam segala lapangan, serta dalam segala masa dan zaman, hanyalah bisa didapati dengan menanamkan benar2 perasaan tauhid kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga atsarut-tauhid itu melimpah ke alam luas menjadi rahmat bagi sekalian makhluk. Hal ini hanyalah dapat dilaksanakan oleh jiwa yang memegang teguh „atsarut-tauhid" itu, yaitu jiwa dan jasmani yang tegak, ruku' dan sujud kepada Allah, tegasnya orang yang mengerjakan salat. Justru, dalam saat sebagai sekarang, yakni dalam pada kita sedang membangunkan kesadaran bersama untuk keutamaan hidup yang sebenarnya, ujud salat ini akan sangat besar sumbangannya bagi kejajaan Indonesia. Inilah yang harus kita ingati pada peringatan Isra' dan Mi'raj ini.



APAKAH PANCASILA BERTENTANGAN DENGAN AJARAN AL-QURAN? „Tidak, kecuali dengan apa2 dalamnya yang bertentangan dengan Al-Quran itu". „Nuzulul-Quran mencetuskan revolusi, memberantas ta'asub atau intoleransi agama! Ajarannya menegakkan kemerdekaan agama dan meletakkan dasar2 bagi keragaman hidup antar-agama". „Nuzulul-Quran mencetuskan revolusi memberantas racialisme dan Xenophobie, yakni kecongkakan-bangsa dan benci-kesumat terhadap bangsa lain. Ajarannya meletakkan dasar yang sehat bagi kesuburan hidup bangsa dan suku-bangsa. „Al-Quran adalah dasar hidup yang luas bagi segenap golongan dalam keragaman dan kesatuan, la adalah induk-serba sila, yang memberi nilai2 hidup yang menghidupkan". „Pancasila adalah suatu perumusan dari lima cita-kebajikan, sebagai hasil permusyawaratan antara pemimpin2 kita dalam satu taraf perjuangan 9 tahun yang lalu. Ia, sebagai perumusan, tidak bertentangan dengan Al-Quran, kecuali kalau diisi dengan apa2 yang memang bertentangan dengan Al-Quran itu. Pernyataan turunnya Al-Quran. Sudah menjadi kebiasaan, tiap2 17 Ramadhan kaum Muslimin di ibu kota mengadakan pertemuan. Di sana kita memperbaharui pengertian dan memperdalam rasa keimanan, yakni dengan mengingat, dan memperingati hari turunnya Al-Quran, Kitab Suci yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam sedunia.



Banyak pendapat dan tafsiran tentang tanggal berapakah sebenarnya turunnya Ayat pertama dari Al-Quran. Terlepas dari pada perbedaan penetapan tanggal, yang sudah terang ialah bahwa Quran sudah turun dan sudah ada disisi kita. Bagi kita mengadakan peringatan, berarti menghadapi juga soal apakah isi yang kita berikan kepada hari peringatan ini. Berhubung dengan itu, baiklah kita peringati Ayat Al-Quran yang berkenaan dengan, turunnya Al-Quran itu, yakni surat „Ad-Dukhan", Ayat2 permulaannya: „Demi Quran yang terang! Sesungguhnya Kami menurunkan dia pada malam yang berkat, dan dengannya Kami memberikan peringatan. Padanya dijelaskan tiap2 soal2 dengan bijaksana”. Ayat ini dan Ayat2 lain yang berdekatan tujuannya dengan itu menjelaskan, bahwa tiada ada suatu masalah atau suatu peristiwa yang tidak dapat kita carikan cara penyelesaiannya dengan se-baik2-nya dalam Al-Quran. Inilah pendirian tiap2 Muslim berkenaan dengan kehidupan dirinya, kehidupan keluarganya, kampungnya, negeri dan ne- garanya dan dunia seluruhnya. Akan tetapi jawab atas tiap2 masalah yang timbul itu hanyalah akan dapat diperoleh oleh orang yang mencarinya. Mencarinya harus dengan ikhlas dan sungguh hati, iman dan istihsan serta menempuh jalan pengetahuan yang menjadi syaratnya. Arti Nuzulul Quran. Apakah sesungguhnya arti turunnya Al-Quran ? Turunnya Al-Quran adalah pernyataan dari harus naiknya peri-kemanusiaan ke tingkat yang lebih tinggi.



Islam yang terhimpun dalam Al-Quran itu pada hakikatnya merupakan suatu revolusi, yang membebaskan manusia dari pada belenggu atas ruhani dan akal, belenggu atas kehidupan sosial, yang telah melumpuhkan kehidupan manusia. Turunnya Al-Quran 13 abad yang lalu adalah merupakan suatu pernyataan dan penegasan akan hak asasi manusia di samping kewajiban2 asasi manusia. Nuzulul Quran adalah suatu revolusi memberantas kemiskinan dan kemelaratan (elimination of poverty). Nuzulul Quran adalah suatu revolusi memberantas perhambaan dan memberantas eksploitasi manusia atas manusia (exploitation of man by man). Pada malam ini, marilah kita tinjau satu dua dari beberapa aspek artinya Nuzulul Quran itu. Al-Quran membawakan tauhid, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tauhid membebaskan manusia dari pada segala macam takhayul dan kepercayaan khayali, tauhid meletakkan perhubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya langsung dengan tiada perantaraan apapun juga, tauhid menumbuhkan dalam tiap2 jiwa yang beriman kesadaran akan harga diri, sebagai hamba Allah di samping hamba Allah yang lain. Nuzulul Quran membawa tauhid yang memelopori kemerdekaan berpikir dan menghargai akal pikiran manusia, sebagai ni'mat Ilahi yang perlu dikembangkan, dan dipergunakan untuk kesejahteraan hidup manusia. Pemberantasan ta'asub Agama. Nuzulul Quran adalah suatu revolusi menentang ta'asub keagamaan atau yang dinamakan „intoleransi keagamaan".



Al-Quran mulai dengan penegasan dari pada undang2 Tuhan, suatu ketentuan yang mesti berlaku di dalam perkembangan alam manusia, yakni bahwa „tidak ada paksaan di dalam agama”. Iman dan kepercayaan bukanlah suatu hal yang dapat di-paksa2-kan. Iman dan kepercayaan itu adalah kurnia Ilahi yang dimiliki oleh tiap2 perseorangan yang mencarinya dengan kesungguhan hati. Di samping menegakkan undang2 ini, Al-Quran menetapkan bahwa memanggil manusia kepada jalan Allah haruslah mempunyai cara dan tertibnya yang tertentu, yaitu dengan kebijaksanaan dan budi yang baik, dengan pendidikan yang teratur rapi, dengan mujadalah, bertukar pikiran dan diskusi dengan cara yang se-baik2-nya. Al-Quran dengan demikian mengajarkan kepada penganutnya agar menghargai dan menjungjung tinggi keyakinan dan pendirian sendiri dengan sungguh2, yang disertai menghargai hak pribadi orang lain untuk berbeda-paham dengannya. Toleransi yang diajarkan oleh Al-Quran bukanlah se-mata2 toleransi yang negatif. Akan tetapi toleransi yang mewajibkan bagi tiap2 pemeluknya untuk berjuang, malah mempertaruhkan jiwanya di mana perlu, untuk menjungjung kemerdekaan beragama, bukan bagi Agama Islam saja, akan tetapi juga bagi agama2 yang lain, agama2 Ahli Kitab; memperlindungi kemerdekaan menyembah Tuhan dalam gereja, biara, synagoog dan mesjid2 di mana disebut nama Allah. Demikianlah ajaran Al-Quran dalam surat Al-Haj, ayat 40. Ini adalah se-tinggi2 bentuk toleransi, yang umat manusia kini masih dalam memperjuangkannya di dalam negara2 modern sekarang ini.



Dengarkan bagaimana seorang Muslim harus bersikap dan bertindak terhadap sesamanya, manusia yang beragama lain, seperti yang diajarkan oleh Al-Quran, surat As-Syura : 15 : „Aku disuruh supaya berlaku adil terhadap kamu. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu. Tidak ada persengketaan agama di antara kami dengan kamu; Allah juga yang akan mempertemukan kita dan kepada-Nyalah kita kembali semuanya”. Begini keluasan dan kebesaran jiwa yang harus dimiliki oleh tiap2 orang yang menjungjung Al-Quran sebagai pedoman hidupnya yang harus dibuktikannya dalam kehidupan se-hari2. Kalau dalam Negara kita ini menjadi persoalan, bagaimanakah menjaga kemerdekaan beragama, dan kalau dalam Negara ini, selain dari pada kemerdekaan beragama juga akan ditanamkan dasar2 keragaman hidup antar-agama, maka bagi kita umat Islam, terang dan nyata bahwa haknya itu dapat dicapai dengan menegakkan dan menyuburkan kalimah Allah ini yang telah dibawakan oleh Al-Quran, yang justru di dalam kehidupan bangsa dan Negara kita, mempunyai dua tiga atau lebih aliran2 agama. Saya berseru kepada seluruh Muslimin di Tanah Air kita ini: „Laksanakanlah dengan nyata kebesaran jiwa dan tasamuh ini dalam hidup se-hari2!". Ketahuilah, bahwa kita ini diukur orang dari sikap dan amal kita yang nyata, bukan dari ucapan beberapa orang saja. Dan kita bertanya sistem kehidupan manakah gerangan, selain Agama Islam yang demikian tegas meletakkan dan mempertahankan kemerdekaan beragama serta meletakkan dasar penjaga keragaman hidup antar-agama?



Memberantas racialisme dan Xenophobie. Adapun bangsa dan suku-bangsa adalah satu kenyataan dan tidak seorangpun dapat memungkirinya. Quran datang bukan untuk menghapuskan bangsa dan kebangsaan. Ditegaskan bahwa Tuhan menjadikan manusia ber-bangsa2 dan ber-suku2 bangsa. Dan diterangkan pula bahwa suku-bangsa dan bangsa2 itu adanya, adalah untuk lita‘arafu kenal-mengenal, harga-menghargai, memberi dan menerima antara satu dengan yang lain. Diterangkan pula bahwa perbedaan warna kulit bukanlah menjadi ukuran bagi tinggi atau rendahnya derajat salah satu bangsa. Adapun tinggi atau rendahnya derajat seseorang tergantung kepada takwanya kepada Tuhan dan tinggi atau rendah nilai hidupnya terhadap sesama manusia. Islam jauh dari pada menghapuskan atau membatalkan pengertian bangsa dan kebangsaan, tapi meletakkan dasar2 yang sehat untuk hidup suburnya suatu bangsa di dalam pergaulan kekeluargaan bangsa2. Kita mengetahui bagaimana akibatnya apabila kecongkakan tentang bangsa dan warga sudah merajalela. Kita lihat bagaimana warna kulit di Afrika Selatan, di Amerika Serikat telah menimbulkan soal2, yang rupanya tidak dapat juga diatasi dalam zaman demokrasi modern sekarang ini. Kita mengetahui bagaimana celakanya kehidupan sesuatu bangsa apabila sudah memuncak menjadi racialisme sebagaimana dalam filsafah hidup kaum Nazi. Dan sejarah juga menunjukkan kepada kita, bagaimana celakanya apabila cinta kepada bangsa dan tanah air, merosot menjadi kecongkakan bangsa yang merupakan xenophobie atau kebencian terhadap semua orang yang berbangsa asing.



„Perumusan Pancasila adalah hasil musyawarat antara para pemimpin2 pada saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak ditahun 1945. Saya percaya bahwa di dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besarnya adalah beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka, nyata bertentangan dengan asas dan ajaran Islam. Ringkasnya : 1.



2.



3.



Bagaimana mungkin Quran yang memancarkan tauhid, akan terdapat a priori bertentangan dengan idee Ketuhanan yang Maha Esa? Bagaimana mungkin Quran yang ajaran2-nya penuh dengan kewajiban menegakkan 'adalah ijtima'iyah bisa a priori bertentangan dengan Keadilan Sosial? Bagaimana mungkin Quran yang justru memberantas sistem feodal dan pemerintahan istibdad se-wenang2, serta meletakkan dasar musyawarat dalam susunan pemerintahan, dapat a priori bertentangan dengan apa yang dinamakan Kedaulatan Rakyat?



4. Bagaimana mungkin Quran yang menegakkan istilah ishlahu bainan- nas sebagai dasar2 yang pokok yang harus ditegakkan oleh umat Islam, dapat a priori bertentangan dengan apa yang disebut Perikemanusiaan ? 5. Bagaimana mungkin Quran yang mengakui adanya bangsa2 dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan, a priori dapat dikatakan bertentangan dengan Kebangsaan? Pancasila berjumpa dengan Qurdn :



Pancasila adalah pernyataan dari niat dan cita2 kebajikan yang harus kita usahakan terlaksananya di dalam Negara dan bangsa kita. Maka apabila yang dituju oleh sila pertama „Ketuhanan Yang Maha Esa" itu ialah menegaskan kepada segala warga negara dan penduduk Negara serta dunia luar, bahwa sesungguhnya seorang manusia tak akan dapat memulai kehidupannya menuju kebajikan dan keutamaan, kalau belum ia dapat menyadarkan dan mempersembahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka bagaimana Al-Quran akan bertentangan dengan sila yang demikian itu. Berdasarkan atas keyakinan dan perpegangan kita atas ajaran2 Al-Quran itu, maka sebagai bangsa Indonesia yang beragama Islam kita percaya dan pada tempatnyalah kita kejasama dengan segenap suku2-bangsa kita untuk mempertinggi derajat kita bangsa Indonesia. Dalam pada itu di masa akhir2 ini, mulailah terdengar pendapat2 yang menempatkan Al-Quran di satu pihak dan Pancasila di pihak yang lain dalam suasana antagonisme. Se-olah2 antara tujuan Islam dan Pancasila itu terdapat pertentangan dan pertikaian yang sudah nyata tak „kenal damai" dan tidak dapat disesuaikan. Dengan se-penuh2 keyakinan sebagai seorang Muslim yang berdiri atas Kalimah Sjahadat, dan lantaran itu sebagai seorang patriot yang cinta kepada Tanah Air dan bangsa, saya berseru supaya jangan ter-buru2 memberikan suatu kwalifikasi dan keputusan, apabila ponis dan keputusan itu se-mata2 didasarkan atas istilah2 yang oleh masing2 pemakainya diberi tafsiran sendiri2, sebab bukanlah dengan cara demikian kita seharusnya memandang pokok persoalannya. Dalam pangkuan Qur'an, Pancasila akan hidup subur.



Satu dengan lain tidak a priori bertentangan tapi tidak pula identik (sama). Di mata seorang Muslim, perumusan Pancasila bukan kelihatan a priori sebagai satu „barang asing" yang berlawanan dengan ajaran Al-Quran. Ia melihat dalamnya satu pencerminan dari sebagai yang ada pada sisinya. Tapi ini tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran2 Islam. Pancasila memang mengandung tujuan2 Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam. Kita berkeyakinan yang tak akan kunjung kering, bahwa di atas tanah dan dalam iklim Islamlah, Pancasila akan hidup subur. Sebab Iman kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu tidak dapat ditumbuhkan dengan se-mata2 hanya mencantumkan kata2 dan istilah „Ketuhanan Yang Maha Esa" itu saja di dalam perumusan Pancasila itu. Berlainan soalnya jika ...... Berlainan soalnya, apabila sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya sekedar buah bibir, bagi orang2 yang jiwanya sebenarnya sceptis dan penuh ironi terhadap agama; bagi orang ini dalam ayunan langkahnya yang pertama ini saja Pancasila itu sudah lumpuh. Apabila sila pertama ini, yang hakikatnya urat-tunggal bagi sila2 berikutnya, sudah tumbang, maka seluruhnya akan hampa, dan amorph, tidak mempunyai bentuk yang tentu. Yang tinggal adalah kerangka Pancasila yang mudah sekali dipergunakan untuk penutup tiap2 langkah perbuatan yang tanpa sila, tidak berkesusilaan sama sekali.



Apa isi dan tafsir Pancasila ?



Pancasila sebagai perumusan dari lima cita kebajikan seperti diceritakan di atas, tidak seorang pun dari penyusunnya memegang monopoli untuk menafsirkan sendiri dan memberi isi sendiri kepadanya. Masing2 putera Indonesia merasa berhak memberi isi pada perumusan itu. Kita mengharapkan supaya Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang me-nentang2 kepada Al-Quran, Wahyu Ilahi yang semenjak berabad2 telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang terlaksana-nya kaidah2 dan ajaran yang termaktub dalam Al-Quran itu, yaitu Induk-Serba-Sila, yang bagi umat Muslimin Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang ingin mereka sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan Negara, dengan jalan2 parlementer dan demokratis. Jangan buru2 memponis: Janganlah ter-buru2 memutuskan ponis se-olah2 Islam dan kaum Muslim itu hendak menghapuskan Pancasila, atau se-olah2 mereka tidak setia kepada Proklamasi, atau lain2 sebagainya. Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi. Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita2 dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan Negara kita.



Tidaklah terletak dalam sipat dan fungsinya Panca Sila, untuk menahan atau melarang kita memperjuangkan dengan jalan demokratis dan parlementer satu cita2 kenegaraan yang malah dapat menyuburkan hidup lima cita2 kebajikan yang tercantum dalam Pancasila itu. Marilah pada hari Peringatan Nuzulul Quran ini kita serukan doa kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, supaya dibukakan-Nya hati sekalian kita kepada tuntunan yang terang-benderang, jelas dan sempurna tentang Agama Allah ini, sebagai yang termaktub dalam Al-Quran itu : „Jawablah panggilan Ilahi dan Rasul, apabila kamu dipanggil untuk menegakkan nilai2 hidup yang menghidupkan” (Q.s. Al-Anfal: 24). •



Ramadan 1373 Mei 1954 Menjelang 17 Agustus



KEMERDEKAAN MEMBAWA TANGGUNG-JAWAB Juga bagi Partai Oposisi. Delapan tahun yang lalu bangsa kita serentak bangun menyatakan kepada seluruh dunia tekad-bulat untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu modal kita hanya secarik kertas Proklamasi, berisi beberapa kalimat yang sederhana. Tetapi di belakang kalimat itu ada kekuatan yang tidak terlihat. Kekuatan itu adalah persatuan yang kokoh laksana baja dari segala lapisan rakyat Indonesia. Persatuan ini telah menjadi motor yang menggerakkan semangat rakyat di mana-mana sehingga pekik „merdeka" bergemuruh sampai di pelosok yang sekecil-kecilnya. Dengan dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa, persatuan rakyat yang kokoh itu telah lulus melalui revolusi kemerdekaannya dan telah dapat merebut tempatnya di antara bangsa2 yang merdeka lainnya di dunia. Perjuangan kemerdekaan itu telah banyak meminta kurban dari kita: beratus-ribu bunga-bangsa telah gugur di medan perjuangan mengurbankan jiwa-raganya, darahnya membasahi bumi pertiwi dan tulang-belulangnya berserakan di seluruh Nusantara. Beratus-ribu rumah telah hangus menjadi abu, beratus desa yang hancur-luluh menjadi puing, dan tiada terhitung jumlahnya kanak2 yang kehilangan bapak, isteri yang kehilangan suami dan orang-tua yang kehilangan anaknya. Dalam revolusi kemerdekaan itu kita mengalami pasang-surutnya perjuangan. Dua kali penjajah Belanda telah melancarkan aksi militernya terhadap Negara kita. Pemimpin2 kita telah dibunuh,



ditangkap dan dibuang, dipisahkan dari rakyat, tetapi dengan semangat yang pantang mundur, kita telah dapat melewati semua ujian itu. Sekali, malahan sebagian dari bangsa kita sendiri, telah sedia menikam Republik dari belakang dengan mencetuskan Pemberontakan Madiun, sewaktu dari muka kita sedang dikepung oleh Belanda. Tetapi „halaman hitam" dari sejarah kemerdekaan itu, juga telah kita lewati dengan kemenangan - bagi kita. Sekarang kita telah menjadi bangsa merdeka. Bendera kita telah berkibar di seluruh dunia di samping bendera negara2 lainnya yang merdeka. Bangsa kita sekarang sudah berkuasa ditanah airnya sendiri. Apakah dengan demikian perjuangan kita telah selesai? Pada beberapa daerah, keamanan belum terpulihkan. Kereta api terguling. Desa2 dibakar. Pertempuran antara tentara dengan gerombolan2 masih terus, dan Angkatan Perang kita telah dikerahkan untuk membasmi gerombolan2 yang merasa tidak puas dengan keadaan dan menempuh jalan yang sesat. Sayangnya cara2 penindasan gerombolan2 itu pada saat ini masih menghadapi jalan buntu. Di samping itu hasil padi tidak mencukupi. Jiwa yang harus diberi makan bertambah dengan k.l. 1 juta setiap tahun. Makanan terpaksa dimasukkan dari luar negeri, dibeli dengan devizen. Konjunktur turun, devizen merosot, deficit dalam anggaran belanja Negara semakin bertambah. Keinsafan, bahwa kesejahteraan rakyat hanya dapat dibeli dengan keringat dan membanting tulang, tidak kunjung merata. Sumber produksi runtuh satu demi satu. Korupsi dan krisis akhlak makin merajalela. Sebaliknya dari pada perdamaian nasional yang sering digembokkan, yang timbul ialah polarisasi „pertentangan"



dalam masyarakat yang makin lama semakin tajam, dengan segala akibat2-nya. Keadaan ini jauh dari pada menggembirakan, malah ada sebagian dari kita yang ber-tanya2 : „Apakah ini yang dinamakan kemerdekaan itu? Ini susah, itu sulit, ini salah, itu keliru !" Jawabnya : „Ya, inilah kemerdekaan !" Soal2 yang sekarang memusingkan kepala itu, seperti soal keamanan, soal kesejahteraan rakyat, soal pendidikan dsb. itu ada di setiap zaman dan di setiap negara, juga di zaman penjajahan dahulu. Bedanya ialah, dulu tak pernah kita menghadapinya sendiri. Yang menghadapinya adalah orang lain, yang bertanggung-jawab orang lain, sedangkan kita hanya dapat membatasi diri dengan berdiri di pinggir jalan, menonton dan menggerutu. Memang kemerdekaanlah yang membawa akibat, bahwa kita sendiri sekarang yang harus menghadapinya dengan langsung. Dahulu kita bisa tinggal diam dengan menggerutu dan membiarkan orang lain menyelesaikannya. Sekarang kita boleh juga menggerutu, tapi kita juga yang harus menyelesaikannya. Makin langsung kita menghadapi segala perso-alan, makin banyak soal2 yang terlihat yang belum pernah diimpikan tadinya. Dan soal2 ini belum akan berkurang, akan tetapi malah akan bertambah banyak. Di sini satu-dua dapat diselesaikan, di sana empat-lima soal timbul lagi.



Itulah pembawaan Kemerdekaan.



Kemerdekaan membawa pertanggungan-jawab yang langsung bagi bangsa yang ingin mengatur diri-sendiri. Kemerdekaan membawa seribu satu soal yang harus dipecahkan sendiri. Kemerdekaan membawa kesedaran akan kekurangan2 dan kekuatan2 kita yang sesungguhnya. Kemerdekaan membawa ujian. Ujian membukakan jalan bagi perkembangan kekuatan pribadi lahir dan batin, perseorangan atau bangsa. Kesempatan untuk menempuh ujian itu, itulah dia Kemerdekaan. Di dalam menempuh ujian ini, kita kaum Muslimin, sebagai juga di dalam revolusi kemerdekaan yang telah kita lewati, mempunyai funksi yang penting. Kita kaum Muslimin Indonesia turut memikul tanggung-jawab yang berat terhadap keselamatan dan pembangunan Negara. Banyak orang yang bertanya kepada saya, apa yang akan diperbuat oleh Masyumi sebagai partai yang didukung oleh bagian terbesar kaum Muslimin Indonesia, dengan tidak duduknya Masyumi itu sekarang dalam pemerintahan. Jawabnya: „Tanggung-jawab kaum Muslimin Indonesia yang berdiri di belakang Masyumi, tidak dinilai jika Masyumi duduk dalam pemerintahan. Di dalam atau di luar pemerintahan kami tetap akan menjaga kesejahteraan Negara kita!” Sebagai partai oposisi, Masyumi tidak dapat melepaskan tanggung-jawabnya terhadap Negara dan bangsa. Perbaikan nasib rakyat dan kesejahteraan tetap akan dirasakan sebagai tanggung-jawab Masyumi meskipun dia berada di luar pemerintahan. Sebagai partai oposisi Masyumi tidak boleh berdiri menonton di pinggir jalan sambil menggerutu.



Saya hendak mengingatkan kembali kepada seruan saya beberapa hari yang lalu dalam mana saya katakan, bahwa oposisi yang akan dilakukan oleh Masyumi adalah dengan cara2 yang lazim dalam negara demokrasi. Tetapi dalam pada itu saya jelaskan, bahwa bagi Masyumi kedudukan oposisi mempunyai funksi dan tugas, yang sudah ada dasarnya dalam ajaran2 Islam, yang berpokok kepada amar-ma'ruf nahi munkar, satu perintah Ilahi yang tidak mengenai ruang dan waktu. Orang mengartikan ini bahwa Masyumi akan melakukan oposisi yang „loyal". Jika yang dimaksud dengan perkataan „loyal" ini, bahwa Masyumi tidak akan meninggalkan cara2 yang lazim dilakukan dalam negara2 demokrasi oleh suatu oposisi, saya dapat membenarkannya. Tetapi saya hendak tegaskan di sini, bahwa kriterium beroposisi yang bisa dilakukan dalam negara2 demokrasi itu adalah luas sekali dan Masyumi tidak akan ragu2 untuk menjalani segala cara oposisi yang diizinkan oleh tata-tertib demokrasi, jika dianggap perlu oleh keadaan atas dasar rasa tanggung-jawab terhadap Tuhan dan keselamatan bangsa dan Negara! Masyumi bukan satu „quantite negligeable” yang dapat dikesampingkan begitu saja, jika dia tidak duduk dalam pemerintahan. Dalam menyambut hari ulang-tahun ke 9 dari Kemerdekaan kita ini, saya hendak memperingatkan bahwa kewajiban kita di-hari2 yang akan datang ini, — terutama kewajiban kita kaum Muslimin Indonesia —, akan menjadi lebih berat dan lebih sulit ! Kita harus meneruskan perjuangan untuk menunjukkan kepada pejuang2 yang telah lebih dahulu meninggalkan kita ke alam baka, bahwa Kemerdekaan yang telah mereka berikan itu tidak kita sia2-kan



dan bahwa Kemerdekaan yang telah mereka tebus dengan jiwa-raganya itu benar2 akan menjadi wasilah ke arah Negara yang berkebajikan dan diliputi keridaan Ilahi. Bekerjalah pada tempat kita masing-masing! Dan kita yakin bahwa Tuhan akan mengaruniai kita „sulthanan- nashira”, kekuatan langsung dari pada-Nya ! Nashrun minallahi, wa fathun qarieb l Jakarta, menjelang Hari Kemerdekaan. 17 Agustus 1954



BUNGA RAMPAI Capita Selecta M. Natsir jilid II



Diedit ulang oleh Purnawarman Ibn Atim http://Purnaislam.wordpress.com



III. (BUNGA RAMBAI)



1. Agama dan Politik ............................................................................. 222 2. „Negara Darurat" dan „Don Ouikhotterie"..................................... 225 3. Elakkan bencana Nasional ...................................... 231 4. Perjuangan nasib Buruh ........................................ 237 5. Soal2 „Agraria", Menterinya dan lain2 lagi ........... 248 6. Sengketa Irian meruncing ...................................... 256 7. Sekali lagi Irian ....................................................... 260 8. Jawab kita ................................................................ 265 9. Soal Gerilya............................................................. 272 10. Lagi soal Gerilya ..................................................... 276 11. Menaklukkan gelagah dan alang2 ........................... 280 12. Statusquo ........................................................................................... 285 13. Konfrontasi antara pertanggunga-jawab dan kemampuanmembatasi-diri ................................................................................... 296 14. Mari selamatkan Negara ................................................................... 301 15. Pokok persoalan 17 Oktober ................................... 304 16. Lingkaran yang tak b erujung-berpangkal ............. 309



17. Keragaman hidup Antar-Agama ....................................................... 312 18. Menggali lubang ................................................................................ 318 19. Bela dasar Demokrasi yang sedang terancam ................................... 323 20. Kabinet satu tahun ............................................................................ 327 21. Soal Unie dan Irian Barat ................................................................. 333 22. Dengan „komando-terakhir" merancah ke dalam rawa .................... 340 23. Khalayak ramai disuguhi keahlian bersandiwara.............................. 346 24. Non agressie-pact sebagai obat yang mujarab .................................. 351 25. Peliharalah kejernihan berpikir............................... 357 26. Sudah cukup lama kita menerawang di awang2 ............................... 361



AGAMA DAN POLITIK Seringkali orang bertanya, kenapakah agama di-bawa2 ke dalam politik. Atau sebaliknya, kenapakah politik di-bawa2 ke dalam agama? Dan sering timbul pertanyaan, bagaimana dapat satu partai politik didasarkan kepada agama, seperti halnya dengan partai politik Islam „Masyumi" umpamanya. Pertanyaan ini timbul oleh sebab seringkali orang mengartikan bahwa yang dinamakan agama itu, hanyalah se-mata2 satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Definisi ini mungkin tepat bagi ber-macam2 agama. Akan tetapi tidak tepat bagi agama yang bernama Islam itu, yang hakikatnya nyata adalah lebih dari itu. Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalist, H..R. Gibb, maka kita dapat simpulkan dalam satu kalimat : „Islam is much more than a religious system. It is a complete civilization". „Islam itu adalah lebih dari sistem” peribadatan, la itu adalah satu kebudayaan yang lengkap sempurna !” Malah lebih dari itu! Islam adalah satu falsafah hidup, satu levensfilosofie, satu ideologi, satu sistem peri kehidupan, untuk kemenangan manusia sekarang dan diakhirat nanti. Ideologi ini menjadi pedoman bagi kita sebagai Muslim, dan buat itu kita hidup dan buat itu kita mati. Oleh karena itu bagi kita sebagai Muslim, kita tidak dapat melepaskan diri dari politik. Dan sebagai orang berpolitik, kita tak dapat melepaskan diri dari ideologi kita, yakni ideologi Islam. Bagi kita,



menegakkan Islam itu tak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan Negara, menegakkan Kemerdekaan. Islam dan penjajahan adalah paradox, satu pertentangan yang tak ada persesuaian di dalamnya. Dengan sendirinya seorang Muslim, seorang yang berideologi Islam, tak akan dapat menerima penjajahan apa pun juga macamnya. Memperjuangkan kemerdekaan bagi kita, bukan se-mata2 lantaran didorong oleh aspirasi nasionalisme atau kebangsaan, akan tetapi, pada hakikatnya, adalah karena kewajiban yang tak dapat dielakkan oleh tiap2 Muslim yang mukallaf. Maka dapat dimengerti bahwa di dalam sejarah negeri kita Indonesia, dalam menentang penjajahan dan kolonialisme, kaum Muslimin dari abad ke abad, tampil ke depan dengan semangat pengurbanan yang ber-nyala2. Pemberontakan Imam Bonjol, Diponegoro dan lain2 pendekar Muslim Indonesia, menjadi sumber inspirasi bagi bangsa kita, dan keturunan selanjutnya. Bukan kita hendak berbangga dengan jasa2 mereka, yang sudah dahulu dari kita itu. Mereka sudah lewat dan mereka telah memetik buah dari apa yang mereka perbuat dan perjuangkan. Kita kemukakan itu sebagai peringatan, bahwa di mana si lemah perlu dibela, di mana si tertindas harus dilepaskan dari tekanan dan ketakutan, maka golongan Islam tampil ke muka membela hak dan kebenaran Agamanya, ideologi- nya dan haram baginya berpeluk tangan. Kita tak hendak bermegah dengan perbuatan orang2 kita yang telah dahulu dari kita. Tetapi revolusi yang meletus di Tanah Air kita semen- jak empat tahun yang lalu, cukup memberi ukuran bagi kita, dan umat Islam yang sekarang ini telah berhasil membuktikan, bahwa ruh Islamnya itu tidaklah mati. Bahkan ia adalah merupakan sumber yang tak kunjung kering, pendorong yang mahahebat dalam perjuangan menentang pen- jajahan. Sejarah menjadi saksi bahwa umat Islam Indonesia, tidaklah terbelakang dari saudara2-nya



golongan lain. Ia bahu-membahu, berkurban dan berjihad dalam pelbagai lapangan dengan tujuan yang satu. „Melepaskan Negara dari penjajahan, lahir dan batin, menegakkan dan mengisi kedaulatan atas seluruh kepulauan Tanah Air". Maka Masyumi dalam pergolakan yang menggelora itu adalah saluran dari kewajiban berat bagi umat Islam Indonesia di lapangan politik. Dalam persimpang-siuran bermacam aliran yang ada, kita bersedia mencari dasar persamaan dalam hal2 yang dapat dijalankan ber-sama2, berjalan atas dasar „kalimatin sawa-in bahana wabainakum” (Q.s. Ali Imran : 64). Tak ada paedahnya bagi kita menghabiskan waktu dengan rasa gusar kesal, bilamana berjumpa dengan perlawanan paham atau ideologi. Maka dengan kepala dingin dan jiwa yang besar, seorang Muslim, se-waktu2 harus pandai menempatkan dirinya pada pendirian yang tentu, dengan mengambil sikap: Qul i'malu 'ala makanatikum inni 'amil, „Berjuanglah kamu atas tempat dan dasar keyakinanmu, sesungguhnya akupun adalah seorang pejuang pula". (Al-Quran, surat Al-An'am: 135). Dalam pada itu kita menggariskan jalan dalam masyarakat dengan tenang, tapi tegas dan positif, selaras dengan khithah Rasulullah s.a.w., dalam membawa tugasnya: „Katakanlah! Inilah jalanku. Aku ajak kepada jalan Allah dengan bukti2, aku dan pengikut2-ku. Mahasuci Tuhan, dan aku bukanlah termasuk orang2 yang menyekutukan Tuhan" (Q.s. Yusuf: 108).



„NEGARA DARURAT" DAN „DON OUIKHOTTERIE" Sudah menjadi ketentuan dalam Undang2 Dasar kita, bahwa dalam keadaan yang mendesak, Pemerintah mengadakan undang2 darurat. Undang2 darurat itu, boleh berjalan dulu, dan Parlemen nanti membicarakannya, menerima atau menolaknya. Sudah tentu kelonggaran ini hanya dapat diberikan, apabila memang sudah sangat perlu, kekurangan waktu, dan kebetulan umpamanya Parlemen sedang reses. Oleh karena itu sudah menjadi tradisi pula dalam Parlemen kita, bahwa apabila Pemerintah merasa perlu akan mengeluarkan undang2 darurat, Pemerintah mengadakan hubungan lebih dulu dengan Panitia Permusyawaratan Parlemen, untuk ditinjau ber-sama2, apakah betul2 waktu sangat mendesak, dan apakah tidak mungkin diikhtiarkan rapat Parlemen secara cepat dengan memberikan prioritet kepada undang2 yang dikehendaki Pemerintah itu. Dalam pada itu Parlemen dan Pemerintah mengetahui bahwa walaupun dalam reses, kalau perlu, Panitia Permusyawaratan dapat setiap waktu dikumpulkan untuk berapat. Begitu ketentuan dan tatatertib yang lazim. Akan tetapi, di-akhir2 ini, rupanya kelaziman yang baik ini sudah dianggap sepi dengan „geruisloos" saja. Pada tanggal 31 Desember malam Pemerintah dengan mendadak mengeluarkan undang2 darurat tentang penaikan pajak vennoot- schap dari 40 sampai 52%. Satu undang2 yang besar sekali artinya bagi kalangan pengusaha, baik asing atau bukan asing. Alasannya bagi Pemerintah ialah, oleh karena waktu mendesak, Parlemen reses sedang pada tanggal 1 Januari undang2 itu harus berlaku. Satu undang2 yang demikian sipatnya sudah tentu sudah lebih lama dipersiapkan oleh



Kementerian yang bersangkutan, dan kita tak dapat menerima bahwa rencana undang2 seperti itu hanya didapat sebagai ilham di hari Natal, sehingga Pemerintah tidak sempat lagi memberi-tahukannya kepada Parlemen lebih dahulu. Sesudah itu dekat2 Parlemen akan bersidang kembali, kita mendengar dari siaran radio bahwa sudah ada pula undang2 darurat tentang penjualan atau pemindahan hak atas persil (onroerend goed). Kita tak melihat satu urgensi yang sangat mendesak untuk mengeluarkan undang2 ini sebagai undang2 darurat. Pemerintah dapat meminta prioritet kepada Parlemen untuk membicarakannya jika memang waktu mendesak. Dan untuk 2 atau 3 minggu, andai kata perlu, Pemerintah dapat memerintahkannya kepada Jawatan Kadaster untuk menahan buat sementara segala rupa pemindahan hal itu, menunggu selesainya undang2 yang sedang di bicarakan. Tetapi ini semua tidak berlaku! Yang aneh lagi: Parlemen sudah dibuka, dan sudah mulai berja-lan, sekarang para anggota Parlemen yang terhormat, dapat membaca di surat kabar bahwa Pemerintah berniat akan mengeluarkan undang2 darurat tentang hak milik tanah bagi semua warga negara. Satu ironi terhadap Parlemen yang sedang bersidang ! Kita merasa perlu mensinyalir sikap yang karakteristik ini, yang diperlihatkan oleh pihak Pemerintah terhadap pekerjaan legislatif kita sekarang ini. Lebih2, kalau kita melihat, bagaimana untuk hal2 yang mempengaruhi sangat kehidupan masyarakat seperti kenaikan bea bensin, umpamanya, Pemerintah malah merasa cukup mengeluarkan Peraturan Pemerintah saja, bukan pula undang2 darurat.



Se-olah2 Pemerintah berpendapat bahwa dalam lapangan legislatif, Parlemen itu dapat dianggap sebagai quantite negligeable saja. Parlemen boleh miosi2-an dan segala rupa, dan boleh berteriak banyak2, akan tetapi tokh Negara bisa diperintah dengan undang2 darurat, dan S.O.B. Se-olah2 Negara kita, hanyalah „Negara Darurat" saja. Soal ini kita anggap agak prinsipil, sebab mengenai dasar2 kita berpikir dalam merintiskan jalan kita bernegara. Kita tidak rabun terhadap kekurangan2 dari caranya Parlemen kita bekerja. Akan tetapi jika Pemerintah memang sudah yakin, bahwa Parlemen yang sekarang ini hanya sebagai penghalang saja dalam usahanya mengatur Negara, baiklah Pemerintah berterus terang. Barangkali lebih ksatria, kalau Pemerintah mengusulkan kepada Kepala Negara supaya Parlemen disuruh pulang saja ! Mendengar hal2 seperti ini, ada orang yang selalu berkata: „Negara kita masih muda. Sabar !" Soalnya, bukan tidak mau sabar ! Soalnya, ialah apakah kita akan terus main sandiwara sebagai badut, atau bagaimana ? ! // „Don Ouikhotterie" Kesudahannya mereka di Den Haag itu berunding juga ! Urusan protokol yang keseleo sudah dianggap selesai. Para anggota delegasi kita sudah dapat membelalakkan matanya. Tidak lagi dianggap sebagai serombongan turis yang kesasar. Soal pembeslahan senjata Belanda dari kapal Blitar dan Talisse sudah disalurkan oleh Pemerintah kita, menurut resep yang lazim, suatu panitia dari tiga menteri, untuk „dipelajari". Sudah diadakan pertukaran nota! Ke-dua pihak menyalakan hatinya merasa dilukai („pijnlijk getroffen"), yang



satu oleh yang lain. Kedua pihak tak mau kalah dalam menggarami keterangannya dengan sindiran dan sentilan tajam. Tapi ke-dua2nya, walaupun sama2 „pijnlijk getroffen" menyatakan kesediaan untuk „mencari hubungan yang baik antara kedua negara". Dan sekarang perundingan sudah dimulai. Dimulai pada tanggal p e n y u d a h i perundingan ! Pihak kita memulai perundingan dengan semboyan yang sudah terkenal: „Unie perlu dihapuskan dengan maksud mencapai hubungan yang lebih baik dan sehat antara kedua negara' Kita belum tahu, apakah nanti Dr. Blom akan mengulangi lagi pertanyaannya: „Jika soal Unie sudah selesai, sedangkan soal Irian belum, apakah jaminannya bahwa hubungan yang baik itu tidak akan menjadi buruk kembali?". Pertanyaan yang semacam itu akan aneh sekali! Se-olah2 „percintaan" itu dapat di-jamin2 terlebih dahulu begitu saja. Manusia macam manakah yang dapat menjamin „cinta" atau „harmoni" seperti yang dimaksud olehnya? Walaupun andai kata soal Irian juga beres, tidak ada yang dapat menjamin, bukan ? Satu syarat yang minimum bagi satu perundingan, ialah bahwa kedua pihak yang bersangkutan mempunyai kepercayaan yang minimum pula, bahwa lawan berundingnya akan setia kepada tanda tangan yang dibubuhnya dan akan menjalankan semua kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian dengan kejujuran yang diharapkan dari padanya sebagai satu bangsa yang tahu akan harga diri. Yakni selama lawannya tidak berkhianat terhadap perjanjian itu. Kalau ini yang dikehendaki oleh pihak delegasi Belanda, maka pihak Indonesia tidak boleh ragu2 menjawabnya. Tiap2 hak dan kewajiban yang sudah menjadi perjanjian Negara, kita akan hargai



penuh, dengan cara zakelijk. Sesuatu perjanjian hanya akan diubah atau dihabisi dengan perundingan menurut tatatertib yang lazim. Apakah memenuhi kewajiban itu akan berlaku dengan penuh „kecintaan" atau tidak, itu lain perkara! Dan yang demikian tidak menjadi syarat bagi memulai perundingan! Siapa yang dapat mengatakan bahwa Amerika dan Rusia sekarang ini saling „cinta- mencintai"?! Akan tetapi perhubungan diplomatiknya tetap ada, dan kewajiban2 mereka sebagai negara dan negara mereka penuhi, atas dasar zakelijk. Dalam pada itu ada satu cara berpikir di kalangan kita sendiri yang sepintas lalu kedengarannya tegap dan „tegas", akan tetapi sebenarnya menunjukkan kekaburan dan kekalutan berpikir. Baik sebelum atau sesudahnya perundingan antara Indonesia dan Belanda dimulai, orang sudah mulai dengan ancaman, jika soal penghapusan Unie dapat diselesaikan, tetapi soal Irian masih deadlock, maka Unie takan dibatalkan secara unilateral. Padahal, jika kejadian yang semacam itu, Unie tak usah diunilateralkan lagi. Sebab yang hendak di-unilateralkan itu, sudah tidak ada lagi, sebagai hasil perundingan. Paling banyak orang akan dapat menolak perubahan bentuk hubungan antara Indonesia-Belanda (tanpa Unie) itu nanti. Dan kalau rencana perubahan ditolak, maka yang asal dengan sendirinya hidup kembali, yakni hubungan dengan bentuk Unie. Tapi kalau orang memang amat senang kepada pembatalan unilateral2-an kenapa nanti, sesudahnya perundingan-penghapusan Unie itu berhasil? Lebih logis sekarang saja, tanpa berunding perkara Unie lebih dulu.



Kita bukan orang yang ingin mempertahankan Unie. Unie seperti sekarang ini adalah suatu barang mati tak bisa hidup, paling banyak ibarat baju2 di tengah sawah, bagi sebagian hewan menakutkan, tapi bagi manusia menertawakan. Makin lekas didapat yang lebih normal, lebih „waarakhtig" lebih baik. Jalan untuk menghilangkan Unie sudah terbuka. Jalani jalan yang lazim itu! Tetapi kita berkeberatan bila orang hendak membawa Negara kita menurutkan pikiran yang ber-liku2 tidak berketentuan ujung pangkalnya. Kita berkeberatan bila Negara disuruh bermain dipanggung dunia seperti badut atau Don Quikhot. 19 Januari 1951



ELAKKAN BENCANA NASIONAL Pelbagai mosi dalam Parlemen, antaranya soal perjanjian perdamaian dengan Jepang telah meliputi perhatian sebagian besar dari Pemerintah dan pemimpin politik di ibu-kota. Pergolakan di daerah2 yang merupakan bentrokan yang bertambah sengit antara alat2 kekuasaan Pemerintah dengan gerombolan bersenjata, penangkapan pemuka2 rakyat dari bermacam corak, semuanya itu se-akan2 sudah agak jauh dari pusat perhatian para pemimpin yang bertanggung-jawab. Pergolakan di Jawa Barat yang tak kunjung berhenti, rupanya terasa sudah agak „basi". Apa yang sedang berlaku di Sulawesi sekarang ini memang „aktuil", tetapi tempatnya agak jauh dari „Pusat". Lantaran itu agak jauh pula ia dari pusat perhatian. Maka karena itulah kita di sini hendak minta perhatian istimewa kepada soal Jawa Barat dan Sulawesi Selatan ini, yang mungkin akan ber-larut2 menjadi satu „tragedi", kalau kita tidak awas ! Di Jawa Barat bentrokan itu sudah berbilang tahun. Bukan lantaran Pemerintah bertindak kurang tegas. Sudah beribu tahanan dan tawanan dalam kamp di Nusakambangan. Sudah banyak darah mengalir timbal-balik. 1. Tak seorangpun dapat menuduh bahwa usaha alat2 kekuasaan tak cukup radikal atau kekurangan perkakas. Alat2 modern dari senyata ringan sampai berat, dari tank sampai kapal udara sudah dipergunakan. Tentara bekerja sungguh2, tidak kenal mengasoh. Memang semenjak Proklamasi, 6 tahun sampai sekarang, tentara di Jawa Barat khususnya tak kenal ngasoh. Mula2 menghadapi tentara Serikat, sesudah itu melawan tentara Belanda, baik dalam pertempuran frontal



ataupun dalam gerilya, sekarang ini menghadapi pengacau yang kebanyakan tadinya teman seperjuangannya. Tentang kesungguhan pihak tentara tak ada yang dapat disesalkan. Tetapi hasilnya belum juga kelihatan ! Kenapa? Kenapa satu daerah seperti Pasundan yang penduduknya terkenal sebagai suku yang halus-budi, jadi semacam itu? Sudah masanya kita membuat balans. Kuncinya tidak terletak pada soal keradikalan tindakan yang diambil, tapi adalah terletak pada manusianya dan caranya. Ber-tahun2 tetap di satu daerah, tak putus2-nya menghadapi lawan yang memakai taktik gerilya, adalah suatu tugas yang melampaui kekuatan pasukan2 tsb. : physik, terutama psychis. Semua tindakan dari pihak pasukan yang menjauhkan tentara dari rakyat dan yang mudah sekali disebut orang dengan perkataan „demoralisasi", sebagian besar timbul dari psychiskhe overspanning itu. Tanda2 yang menunjukkan keadaan demikian itu sudah cukup banyak. Sudah datang saatnya pasukan yang ber-tahun2 melakukan tugasnya yang amat berat itu di-aploes, digantikan oleh pasukan yang masih segar dari lain tempat. Pengalaman dengan pasukan baru seperti Batalion „Kuranyi" dan „Pagar ruyung" menguatkan pendapat ini. 1. Dalam pertempuran antara tentara dan gerombolan bersenjata selama ini yang tidak bersipat frontal, di mana sering kali gerombolan mengelakkan pertempuran, yang paling lama dapat bertahan ialah pihak yang lebih banyak menawan hati dan simpati rakyat. Justru lantaran faktor psychis yang disebut di atas, seringkali gerombolan yang menggunakan taktik gerilya, dalam merebut hati



rakyat, mendapat kemenangan. Dan jika terror yang mereka lakukan terhadap rakyat dibalas dengan tindakan yang begitu juga sipatnya, akibatnya hanyalah bahwa penduduk terus akan hidup tertekan dan kedudukan tentara menjadi geisoleerd, terpisah dari rakyat, karena rakyat yang justru diharapkan bantuannya, merasa dirinya terancam dari segala pihak hingga ia bersikap pasif dan menjauhkan diri. Sebagai satu reaksi yang logis dari perasaan dijauhi oleh rakyat disekelilingnya, menyebabkan pihak tentara bertambah curiga, dan ini mengakibatkan penangkapan2 dan penahanan besar2-an. Inipun menambah besarnya jurang antara rakyat dan tentara, sehingga satu ketika tentara se-akan2 bukan lagi menghadapi gerombolan tetapi menghadapi rakyat, yakni rakyat yang merasa terjepit antara kedua pihak. Dengan tidak dimaui lambat laun tentera kita terdorong kepada satu posisi yang menyerupai posisi Knil dulu menghadapi gerilya T.N.I. Tak dapat disangkal bahwa dengan demikian keadaan merupakan satu vicieuse-cirkel satu lingkaran yang tak berujung-pangkal, yang menyebabkan keadaan jadi ber-larut2. Satu2-nya jalan untuk keluar dari vicieuse-cirkel ini, ialah mengubah sama sekali taktik yang diturut sekarang. Bukan ancaman dan tangkapan besar2-an, akan tetapi menimbulkan kembali kepercayaan di kalangan rakyat dan pemuka2-nya. Dengan tingkah laku dan tindakan yang menimbulkan perasaan di kalangan mereka, bahwa mereka dilindungi oleh alat2 Negara, akan menambahkan kepercayaan kepada penduduk umum bahwa alat2 Pemerintah mampu memberikan alternatif yang lebih baik dari perlakuan gerombolan2 terhadap mereka dan bahwa di bawah



lindungan alat2 Pemerintah mereka dapat hidup mengembangkan usaha mereka, bebas dari tekanan takut. Satu tingkat lagi, akan timbul keinsafan, bahwa merekapun memikul kewajiban untuk turut bertanggung-jawab dan berusaha aktif untuk mengembalikan ketenteraman jiwa lahir dan batin di kalangan desanya. Memang ini bukan pekerjaan yang mudah. Ia berkehendak kepada ketetapan pendirian (resoluutheid) dan keberanian mengambil risiko. Tetapi satu hal yang sudah pasti, ialah: soal masyarakat seperti ini tidak ada satu pemerintah pun dapat mengatasinya dengan tidak membangkitkan dan menggerakkan tenaga dalam masyarakat itu sendiri untuk dapat menyelesaikannya. Dengan demikian gambaran seperti sekarang, di mana Pemerintah berhadapan sendirian dengan masyarakat, akan berubah jadi keadaan di mana anasir2 destruktif dihadapi oleh bagian2 yang konstruktif dati masyarakat sendiri, ber-sama2 dengan Pemerintah. Bisakah pekerjaan yang semacam ini se-mata2 diserahkan kepada tentara? Tidak! Di sini kita sampai kepada soal pembagian tugas yang sampai sekarang belum mendapat perindahan semestinya. Setiap waktu orang mengemukakan soal mengembalikan keamanan, yang selalu orang ingat kepada „tentara". Se-olah2 tentara lah saja yang harus dipikuli kewajiban itu. Akibatnya kewajiban tentara ber-timbun2. Soal operasi, soal pengungsian, soal membuat kamp tawanan, soal memeriksa tawanan, malah sampai kepada memelihara dan mendidik anak2 yang kehilangan keluarga dan rumah dari daerah2-pertempuran, diselenggarakan oleh tentara. Herankah kita, apabila tentara menjadi overbelast, memikul beban yang tak terpikul, dengan segala akibat2-nya dari keadaan yang demikian ini !



Tak perlu dikupas di mana terletak kesalahan, entah di dalam mengertikan S.O.B. yang menjadi dasar tindakan, entah pun lantaran jawatan2 sipil dan pamongpraja lekas rela terdesak kepada posisi yang pasif itu. Tapi yang sudah terang ialah, bahwa cara penyelesaian yang integral dengan cara yang terlalu dipusatkan pada tindakan ketentaraan se-mata2 tidak memberi hasil yang memuaskan. Sudah lama dirasakan bahwa soal keamanan bukanlah se-mata2 soal senjata. Khususnya soal keamanan yang sangat ber-belit2 seperti di Jawa Barat. Ia hanya dapat dihadapi serentak dari bermacam pihak, dengan pembagian tugas di antara tentara, pamongpraja, polisi, jawatan2 penerangan, sosial dan kemakmuran dan dengan sokongan moril yang kokoh dari masyarakat dan pemimpin2-nya.



Kompetensi dan tanggung-jawab para Bupati terhadap daerahnya perlu dikembalikan dengan ber-angsur2. Dengan demikian Bupati dengan aparatnya sampai kepada lurah dapat dirangkaikan ke dalam usaha-besar ini dengan cara yang lebih aktif. Sejalan dengan tindakan operatif, jawatan2 kemakmuran, sosial dan transmigrasi segera memindahkan puluhan ribu orang yang sudah kehilangan rumah dan mata pencaharian ke-daerah2 yang aman: di Banten, di Sumatera Selatan dll. Jawatan penerangan harus bertindak mengadakan pembaharuan jiwa dan memberantas pandangan2 yang sesat (mentale omskhakeling). Semua pengalaman yang pahit2 di Jawa Barat ini perlu menjadi pedoman buat menghadapi Sulawesi Selatan. Mudah2-an dengan demikian Sulawesi Selatan tidak akan mengakibatkan bencana nasional. Semua ini perlu kepada uang dan tenaga. Memang menukar pasukan yang sudah terlampau cape dengan yang lebih segar dan terpilih, menukar taktik dengan membangkitkan tenaga masyarakat sebagai kawan, memikat kembali hati rakyat yang sudah menjauhkan diri atau bersikap masa-bodoh, mengentengkan beban tentara dengan mem-bagi2-kan tugas dan pertanggungan-jawab mereka antara jawatan2 dan alat2 Pemerintah sehingga segala sesuatu tidak lagi bersifat „tentara-centris", akan melancarkan tindakan bersama antara alat2 kekuasaan dan jawatan2 tsb. dari berbagai sudut. Semua ini tidak saja memerlukan uang, tapi juga perlu kepada keberanian merintiskan jalan baru, kepada takt (kebijaksanaan), kepada pengertian akan jiwa masyarakat dan kepada tindakan tegas yang berencana, lebih dari yang telah lalu. Memang! Tapi ini satu2-nya jalan. Sebab yang ditempuh sekarang adalah jalan buntu ! 22 September 1951



PERJUANGAN NASIB BURUH Sesudahnya revolusi nasional kita sampai pada taraf diakuinya kedaulatan oleh dunia atas Indonesia, sebagai hasil perjuangan dalam lapangan politik, dengan sendirinya pergolakan yang telah bangun itu berpindah lapangan kepada sosial dan ekonomi. Satu perkembangan yang galib di-tiap2 negara muda, yang baru lepas dari penjajahan ialah masih tinggalnya satu keadaan masyarakat yang pincang dalam lapangan sosial dan ekonomi. Usaha menghapuskan kepincangan2 itu serta mencari keseimbangan, berkehendak kepada proses yang tidak sunyi dari pergolakan2 pula. Dengan mendadak bangsa kita menghadapi soal2 kehidupan dipelbagai lapangan, — perdagangan, agraria, perburuhan dan produksi umumnya —, yang berkehendak kepada pemecahan selekas mungkin. Pergolakan dalam lapangan ini, khususnya di lapangan perburuhan, dari susunan masyarakat kolonial, sama sekali tidak meninggalkan dasar bagi pemecahan soalnya. Tidak dalam lapangan organisasi perburuhan- rija dan tidak dalam lapangan per-undang2-annya. Yang ditinggalkannya hanyalah golongan buruh yang tak tersusun dengan upah yang amat murah dan kepincangan serta ketegangan2 antara buruh dan majikan yang lama tertekan dalam masyarakat kolonial. Perjuangan untuk memperbaiki nasib buruh adalah satu hal yang logis, yang tak dapat dipisahkan dari perjuangan mencapai kemerdekaan umumnya. Perjuangan itu merupakan satu bagian dari usaha besar untuk meletakkan sendi2 baru bagi susunan kehidupan bangsa



umumnya. Ini perlu ditegaskan lebih dahulu, sebagai salah satu pangkal pikiran . Dalam hubungan ini ternyata ada 3 hal yang mempengaruhi jalan-nya perkembangan. Pertama: Lambatnya pikiran majikan meninggalkan cara berpikirnya yang telah berurat-berakar berpuluh tahun sampai sekarang dan lambatnya mereka menyesuaikan pandangannya kepada situasi yang sudah berubah sama sekali dan tidak ada persiapan dalam tata-cara perusahaan (bedrijfsleiding) untuk menghadapi pergolakan2 yang pasti akan timbul itu. Apalagi pihak perusahaan2 yang dikendalikan oleh orang2 „tempo dulu", yang telah pernah bekerja di sini dari zaman tatkala poenale sanctie masih merajalela. Mereka ini lekas sekali melihat tiap2 tuntutan dari pihak buruh sebagai satu hal yang „mengacaukan" dan mereka hanya mau memenuhi tuntutan buruh apabila sudah terancam lebih dahulu oleh pemogokan2. Dalam pada mereka lupa bahwa tiap konsesi yang diberikan sesudahnya ada ancaman mogok, hanyalah menebalkan keyakinan pihak buruh bahwa pemogokan itu adalah satu2-nya jalan untuk mencapai perbaikan nasibnya. Dan senjata mogok itu segera dipergunakan lagi se-waktu2 yang dianggap „baik" oleh pemimpin2 buruh. Kedua: Organisasi buruh kita masih muda sekali. Kemampuan seorang buruh untuk melihat soal perjuangan nasib mereka sebagai satu bahagian dari perbaikan struktur masyarakat kita keseluruhannya belum ada pada mereka. Mereka masih asing dari cara lain, selain dari pada mogok untuk melepaskan mereka dari keadaan yang telah sudah.



Ketegangan antara buruh dan majikan yang telah ada dan terdapat di-mana2, di negeri kita bercampur dan bertambah tajam lagi oleh perbedaan bangsa antara buruh dan pengusaha. Jadi ia tidak mempunyai aspek ekonomis se-mata2, tetapi bercampur dengan konflik kebangsaan. Tidak heran, perletusan dari ketegangan demikian, amat mudah sekali timbulnya. Menimbulkan dan menstimulir konflik antara buruh dan majikan setiap saat yang dikehendakinya, adalah sesuatu yang gampang sekali bagi orang2 yang mempunyai kepentingan dalam terus-menerusnya ada kekacauan dalam produksi di Indonesia, dan agar tidak lekas tercapainya stabilisasi dalam soal perburuhan ini menurut cara2 yang teratur. Larangan kepada buruh bekerja lembur justru di waktu tanaman tembakau perlu kepada kontinuitet tembakau; larangan untuk menerima tambahan upah yang sudah dituntut dan sudah disetujui oleh buruh dan majikan (B.P.M.), tidak lagi dapat diterima sebagai langkah memperjuangkan nasib buruh se-mata2. Semua sudah berubah kepada memakai buruh sebagai alat untuk mencapai satu tujuan politik, dari para pemimpinnya sendiri, yang diarahkan kepada lumpuhnya produksi di sini dan terus-menerusnya keadaan kacau dalam negeri. Bagi mereka ini yang perlu, bukan pendidikan para buruh, agar mereka ini insaf akan kedudukannya sebagai faktor produksi, bukan meninggikan derajat kecerdasan dan kecakapan mereka agar bertambah tinggi prestasi kerjanya dan dengan demikian mendapat dasar stabil untuk perbaikan nasib. Tidak, akan tetapi yang penting bagi mereka ialah terusmenerus menyalanya hidup perasaan mendongkol terhadap majikan yang membandel, sehingga ketegangan ini dapat se-waktu2 meletus berupa pemogokan dan lock-out atau tertutupnya sumber produksi dan mata pencaharian bagi ribuan buruh, (di Jawa Timur dan lain2).



Ketiga: Masih kekurangannya Negara kita di lapangan per-undang2an untuk menjadi dasar bagi penyelesaian soal perburuhan dalam hubungan dengan dan sesuai dengan tuntutan yang riil dalam lapangan perjuangan ekonomi kita umumnya. Mengambil oper schema dari lain2 negeri secara dogmatis mengandung bahaya. Dengan segala kemiskinan kita dalam lapangan per-undang2-an ini, Republik Indonesia mendadak dikonfrontasikan dalam soal perburuhan yang tajam, yang timbul berupa pemogokan2 yang diatur sistematis ber-gelombang2. Dalam keadaan demikian Pemerintah terdorong kepada satu kedudukan kemari salah ! Akibat dari aksi2 itu, yaitu puluhan ribu buruh kehilangan mata pencaharian dan jatuh morilnya menjadi pencuri getah, teh dan lain2, lantaran weerstandsfonds tak ada sama sekali, rupanya bagi sebagian dari pemimpin pemogokan itu bukan soal ! Strategi mereka ialah menyuburkan rasa mendongkol dan perasaan kecil tertindas-terpencil (minderwaardigheidscomplex) dalam kelas buruh. Dari sini mudah dikobarkan overcompesatienya dengan semboyan buruh tenaga pokok, yang dapat dipergunakan mempertajam tuntutan, seperti perlop 14 hari setahun buat semua buruh dengan gaji penuh dan pengangkutan gratis dan lain2. Satu soal raksasa. Ketiganya merupakan soal2 raksasa yang perlu kepada pemecahan dengan cara sistematis. Tetapi keadaan mendesak ! Dan lantaran itu harus diambil tindakan2 sementara untuk „mengatasi kesulitan sementara". Undang2 Darurat Penyelesaian Pertikaian Perburuhan diadakan untuk itu. Akan tetapi mudah dimengerti, bahwa soal perburuhan bukanlah se-mata2 soal bagaimana menyelesaikan konflik atau soal



mengelakkan pemogokan saja. Apa yang ada sekarang ini bukan permulaan akan tetapi ekor; ujung dari pada satu rentetan per-undang2-an yang meliputi tiap2 soal yang timbul dalam dunia buruh dan majikan, yang, dalam kedudukan kedua pihak sama penting di lapangan produksi umumnya. Dalam keadaan demikian, amat mudah pula terjadi hal2 yang ganjil dalam melaksanakan peraturan2 darurat itu. Ada yang disebabkan oleh karena kurang mampunya alat2 Pemerintah untuk mengatasi keadaan. Di balik itu kepintaran beberapa pemimpin buruh mempergunakan peraturan dari instansi2 Pemerintah itu, justru sebagai senjata yang baik sekali untuk mempertajam perjuangan mereka. Dalam hal ini turut-campurnya tangan Pemerintah dengan berupa kata keputusan untuk mengakhiri konflik, seringkah merupakan tendens mencari jalan dengan ter-gopoh2 ke arah rintangan yang paling lemah (de weg van de minste weerstand) se-mata2. Sikap P4 di Surabaya umpamanya, yang memutuskan supaya pihak majikan menerima satu peraturan upah, yang pada hakikatnya lebih tinggi dari pada apa yang telah dituntut oleh buruh sendiri, menunjuk- kan satu mentalitet, yang tidak lagi dapat disebut „kurang mampu" akan tetapi sudah bersipat mempergunakan kekuasaan secara se-wenang2. Dan lekasnya P4 di Pusat memperkuat keputusan panitia lokal itu dengan ancaman, kalau tidak dipenuhi, akan „diambil tindakan2 dalam lapangan ini", memperkuat pendapat kita di atas. Perasaan cemas, rasa kehilangan dasar dan besarnya kemungkinan timbulnya kecele yang „setimpal", membuktikan bahwa hukum tempat berdiri di kalangan pengusaha2, diperbesar kegoncangannya dengan jalan perkembangan seperti ini. Bagi pengusaha soalnya bukan lagi se-mata2 apakah upah dapat dinaikkan sekian picis, akan tetapi



apakah setelah upah dinaikkan itu ada jaminan bagi kepastian produksi dalam jangka yang agak panjang, apa tidak! Dan apalagi pengusaha terutama yang besar2, lambat laun ingin mencari lapangan untuk modalnya di luar Indonesia, di daerah Afrika dan lain2-nya, dapatlah dimengerti! Ini tentu soal mereka! Modal juga mengenal kebangsaan. Akan tetapi di balik itu harus dipikirkan pula bahwa soalnya bagi mereka, rentabiliteit ini tidak dijamin dan tidak ada ketentuan akan adanya ketenteraman dalam produksi buat waktu yang agak lama. Kenyataan pahit. Bukan soal pemogokan se-mata2. Soal perburuhan bukan soal pemogokan se-mata2. Bukan soal pemogokan yang harus diredakan dengan terus menambah upah sekali tiga bulan, yang terlepas dari hubungan struktur ekonomi kita keselu- ruhannya. Selama soal ini tidak dipecahkan secara integral, selama itu dinegeri kita akan terjadi pertentangan mati2-an antara kerja dan modal asing, yang melumpuhkan segala usaha pembangunan dan membahwa kejurang inflasi dan kemelaratan. Penyelesaiannya hanya dapat dicapai dengan usaha yang serentak dari pelbagai golongan. Golongan pertama pihak majikan. Di kalangan ini perlu ada perubahan sikap. Syarat2 untuk menjadi pemimpin perusahaan di sini, ada lebih dari pada se-mata2 kecakapan tehnis, dan kecakapan menyual hasil produksi dengan harga se-baik2nya. Ia harus dapat memahamkan jiwa masyarakat di sini yang sudah berubah. Cara2 yang



lama dalam perusahaan, di mana buruh hanya dilihat sebagai alat produksi, tak dapat dipertahankan lagi. Di sini perlu ada orang yang mempunyai fantasi yang dapat melihat, manusia dalam buruh sebagai partner yang penting dalam produksi. Menyusun satu blok majikan seperti yang pernah dicoba beberapa waktu yang lalu untuk menghadapi blok buruh, bukan satu langkah yang mendekatkan kepada perbaikan, akan tetapi sebaliknya, dan menun- jukkan satu sikap yang asing dari pengertian akan keadaan2 yang sesungguhnya. Soal nasib buruh bukanlah soal buruh se-mata2, akan tetapi berjalin dengan kepentingan majikan sendiri. Sewajarnya mereka aktif dan mengambil inisiatif untuk mencari jalan2 memperbaiki kedudukan buruh.



Funksi sosial dalam masyarakat. Soal fonds sakit, soal jaminan hari tua, soal latihan bagi buruh supaya mereka dapat meningkat kederajat yang lebih tinggi, soal kemungkinan memberi kesempatan kepada Pemerintah, yang harus mempergunakan peraturan2 tersebut, adalah soal2 untuk mengatasi keadaan. Dibalik itu kepintaran Pemerintah duduk dalam management, semua ini mereka kaum majikan tahu, bukanlah soal2 yang asing di-negeri2 lain. Soal yang semacam itu, juga di sini harus mencapai pemecahannya, lekas atau lambat! Dan pemecahan yang sebaiknya, bukanlah bertanding kekuasaan atau paksaan pemogokan, akan tetapi pemecahan yang didasarkan kepada penyangkutan akan realitet, keinginan dari pihak majikan untuk aktif menyumbangkan pikiran dan tenaga mencapai satu suasana kerja yang tenteram dan



„social-security-nya". Itulah „funksi sosial" majikan dalam masyarakat Indonesia ini. Ada barangkali orang yang tertawa dan mengatakan bahwa itu semua tidak dapat diharapkan dari „kaum kapitalis". Dan ada juga yang dalam hati kecilnya, malah mengharapkan supaya jangan ada perubahan sikap yang demikian. Akan tetapi soal ini tidak dapat diselesaikan dengan cinisme semacam itu. Ia harus dihadapi dengan hati yang sungguh dan kemauan yang tak boleh padam untuk kepentingan buruh sendiri. Pengusaha2 yang tidak mampu melihat bahwa yang demikian ini adalah satu kepastian yang tak dapat dielakkan, dan tidak dapat melihat bahwa kepentingannya sendiri berjalan dengan funksi sosialnya itu, pengusaha seperti itu, tak akan ada lapangan baginya lagi. Perlu ada kesedaran baru. Di kalangan serikat buruh dan buruhnya sendiri perlu pula ada kesadaran baru. Mereka tak rela diper-kuda2 oleh kapitalis2. Di samping itu mereka jangan rela pula diper-kuda2 oleh sentimen2 yang menggelapkan mata, yang dikobarkan dan dikendalikan oleh orang yang memang perjuangannya ditujukan kepada buruh sebagai alat. Aksi2 yang mengakibatkan tertutupnya sumber produksi dan melumpuh-kan kehidupan Negara, mengakibatkan pengangguran dan kekacauan dalam negeri. Tidak ada keuntungan apa2 yang didapat oleh buruh dalam keadaan yang semacam itu. Tidak buat pembangunan kemakmuran rakyat dalam jangka pendek, tidak untuk pembangunan ekonomi nasional dalam jangka panjang.



Adalah kewajiban dari pemimpin buruh mendidik buruh supaya sadar akan harga dirinya sebagai manusia, di samping sadar pula akan tanggung-jawabnya kepada masyarakat. Hak dan tanggung-jawab tak dapat diceraikan satu sama lain. Kerja bukanlah se-mata2 satu barang dagangan yang harus dijual dengan harga sekian picis satu jam. Tetapi ia mempunyai nilai sendiri bagi tiap2 orang, satu kebutuhan sendiri bagi kehidupan pribadi seorang sebagai manusia. Tugas serikat2 buruh. Adalah tugas bagi serikat2 buruh menumbuhkan kegiatan sendiri, oto-aktivitet di kalangan buruh, menyusun organisasi2 buruh berupa koperasi2 dan jayasan2 dengan cara yang rapi. Dengan demikian mempertinggi kepercayaan buruh akan tenaga sendiri dan melepaskan mereka dari perasaan kecil, yang se-mata2 menjadi alat mati, yang bisa hanya menadahkan tangan menuntut hadiah ini dan hadiah itu. Senjata mogok sekalipun, kalau akan dipakai, hanya akan berhasil baik, bila cukup syarat2 untuk bertahan lama. Senjata pemogokan yang dianjurkan serampangan, hanya merupakan boemerang yang melantur kembali pada buruh sendiri. Kedudukan Pemerintah nasional dalam hubungan ini sudah terang. Undang2 yang diperlukan, ialah yang akan menjadi dasar bagi tercapainya pertemuan yang sehat dari kedua golongan di atas. Campur tangannya bukanlah untuk mencari arah di mana yang paling lemah rintangannya. Dia harus mencari antara kepentingan2 ke dua belah pihak dan semuanya dilihat dari apa yang dinamakan: kepentingan negara, yakni memperkokoh sendi2 sosial ekonomi bangsa seluruhnya. Tenaga2 lain dalam masyarakat dan di luar golongan buruh dan



majikan, tidak dapat melepaskan dirinya dari soal perburuhan ini. Mereka akan terseret ke dalamnya, mau tak mau oleh akibat2 bentrokan buruh dan majik- an yang terus-menerus. Soal perburuhan bukan satu dunia sendiri yang terpisah. Pemimpin2 partai perlu mengubah pandangannya terhadap kaum buruh, yang sampai sekarang lebih banyak melihat mereka sebagai alat-suara (stemvee) buat pemilihan umum nanti. Yang diperlukan untuk memperbaiki nasib buruh ialah sumbangan dari pemuka2 yang ahli untuk memecahkan soal2 perburuhan, dengan cara yang teratur yakni berupa sumbangan pikiran, tenaga dan konsepsi yang praktis. Dengan demikian proses ini dapat dipercepat melalui saluran2 yang lebih solider. Harus memilih satu dari dua alternatif, satu dari dua lingkaran yang tak berujung-pangkal. Yang satu merosotnya produksi dan tersangkutnya pengangkutan barang2 — bertambah tegangnya perban-dingan harga keperluan hidup dan upah — ketegangan antara buruh dan majikan, yang beralasan atau yang sengaja dikobarkan — kelesuan dan pesimisme di kalangan pengusaha, asing atau Indonesia, beralasan atau tidak — tertutupnya sumber2 produksi — timbulnya pengangguran besar2-an — inflasi terus-menerus — kemiskinan di tengah2 kekayaan alam, dengan segala akibat2nya. Yang satu lagi berupa: Kesadaran di pihak pengusaha akan perubahan dan perkisaran yang tak dapat dielakkan dalam perkembangan sosial dan ekonomi di negeri ini — kesadaran di pihak buruh akan kewajiban dan tanggung-jawabnya di samping hak dan tuntutan — suasana saling-mengerti antara kedua pihak sebagai partners — timbulnya ketenteraman bekerja dan harapan baru di lapangan produksi dan aparat ekonomi umumnya — bertambah tingginya



tingkat kehidupan buruh sejalan dengan meningkatnya kemampuan masyarakat umum, — dan bertambahnya sumber produksi dan kekayaan nasional. Apakah alternatif yang kedua ini dapat diciptakan ? Tidak bisa, bila soal memperbaiki nasib buruh ini dilihat terlepas dari perjuangan menyusun sendi2 perbaikan ekonomi dan sosial seluruhnya. Tidak bisa, bila memperjuangkan nasib buruh dianggap monopoli bagi buruh dan pemimpinnya se-mata2 sedang Pemerintah membatasi dirinya dengan campur tangan menyudahi tiap2 pemogokan dengan kata keputusannya. Tidak bisa, bila perjuangan nasib buruh ini dikendalikan oleh mereka yang bertaklid buta kepada dogma2 yang tua dan lapuk — dogma, „Verelendung" dari kelas buruh, yang diimpor dari negeri asing — dan yang sudah lama tak laku lagi. Di tangan merekalah hakikatnya tidak menyukai lekas tercapainya suatu penyele- saian sosial di lapangan buruh ini, lantaran tiap2 perbaikan yang memberi kepuasan bagi buruh, mereka lihat sebagai racun melumpuhkan semangat buruh. Justru terus-menerusnya ketidak-puasan, kejengkelan, dan minderwaardigheidscomplex di kalangan buruh itulah bagi mereka merupakan satu sumber kekuatan untuk keperluan perjuangan mereka sendiri, yang tidak disadari oleh buruh2 yang dikerahkannya. Bisa, bila perjuangan memperbaiki nasib buruh ini sudah dilihat dalam rangkaiannya dengan perjuangan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Bisa, dengan kerjasama yang aktif antara buruh, pengusaha, Pemerintah dan tenaga2 ahli dalam masyarakat, dengan mendekati soal ini dari pelbagai aspek. Dengan ni pasti akan dapat ditempuh cara penyelesaian yang lebih menumbuhkan harapan dan plan nasional,



daripada dengan cara tekan-menekan dan hancur-menghancurkan kekayaan materil dan moril dari bangsa kita. Susunan yang sebenarnya, bakat dan jiwa dari masyarakat dan bangsa kita cukup mengandung dasar2 dan kemungkinan untuk merintiskan jalan sendiri yang lebih segar dan menarik itu. 27 Oktober 1951



SOAL2 „AGRARIA", MENTERINYA, DAN LAIN2 LAGI



Soalnya: „Indonesia negeri agraria penghasil barang mentah untuk pasar dunia, - tapi bagian petani dalamnya tak berarti, - di pulau Jawa hutan terdesak oleh manusia, yang kurang tanah, - di daerah Seberang penduduknya terdesak oleh binatang-liar, kekurangan manusia, - di Riau dan Kalimantan Barat penduduk asli jadi „tamu" dari immigran asing". Jawabnya: „Menteri Agraria ?" Beberapa bulan yang lalu kita dengar orang ramai2 bicara: soal agraria adalah penting. Dan oleh karena pentingnya perlu ada, Menteri Agraria ! Entah apa sebabnya sesudah itu tak kedengaran apa2 lagi tentang agraria ini. Mungkin lantaran orang yang akan menjadi menteri penting itu belum kunjung ketemu. Dan paling akhir kedengaran bahwa salah seorang calonnya tak dapat diterima oleh Perdana Menteri lantaran „alasan tehnis", dan menunggu calon lain. Tapi, „tehnis" atau tidak, ada calon baru atau tidak, soalnya tetap soal. Bagi pak tani dan rakyat yang bersangkutan, yang penting ialah memecahkan soalnya itu. Apa soalnya ?



Soalnya sudah tentu, antara lain, ada hubungannya dengan undang2 ' dan peraturan2 lama dan menyusun rencana baru yang baik. Tapi titik-beratnya soal agraria itu terletak pada tanah dan manusianya sendiri, dalam rangkaiannya dengan masyarakat umumnya. Ia mengenai soal: berlipat gandanya jumlah penduduk, soal perubahan funksi pertanian dari pertanian desa untuk desa menjadi pertanian untuk ekspor dengan segala akibatA-nya, soal konsentrasi tanah pertanian, soal kecerdasan dan rehabilitasi masyarakat tani sendiri, dan lain2. Bagaimana gentingnya soal ini, terutama dipulau Jawa sudah sama2 diketahui. 45 miliun dari 70 miliun penduduk seluruh Indonesia hidup dipulau Jawa. Setiap tahun bertambah ± 600.000 jiwa. Pengluasan tanah yang digarapnya sudah sampai dibatasnya. Antara tahun 1930 — 1940 tambah tanah pertanian hanya 3A%, tapi tambah penduduk 15%. Kira2 ditahun 1990 nanti penduduk pulau Jawa akan meningkat jadi 80.000.000. Untuk kehutanan mestinya perlu dilindungi paling sedikit 30% dari tanah yang ada. Sekarang di pulau Jawa hutan sudah berkurang sampai ±25 % . Satu keadaan yang menurut para ahli amat berbahaya! Dengan meninggalkan mutu pertanian hanya dapat ditambah hasil f per bau; tapi hasil untuk tiap2 penduduk terus semangkin turun ! Hidup pak tani Dalam pada itu pokok sumber produksi tetap pertanian. Dalam perlombaan antara produksi dan berkembangnya penduduk, produksi



sudah lama ketinggalan. Lambat laun pak tani tak dapat lagi hidup dari tanahnya (hanya =t 0,8 hektare buat satu keluarga). Dari panen kepanen tani hidup dengan utang. Utang dari siapa saja yang gampang memberi utang. Dia masuk perangkap ijon, sebagaimana koleganya di Burma masuk perangkap ceti dan teman sejawatnya di Siam dilibat utang kepada tuan tanah. Kedudukannya merosot menjadi tani maron. Selangkah lagi, menjadi buruh tani, yang hanya mempunyai kekuatan tulangnya sebagai $atu2-nya modal yang masih ketinggalan pada dirinya. Akibatnya, puluhan miliun tenaga jam kerja setiap hari hilang mubazir tak mendapat garapan. Sumber produksi tak bertambah. Yang bertambah hanyalah mulut yang harus diberi makan =t 600.000 setiap tahun itu. Sebaliknya di lain daerah, di luar Jawa, petani tak cukup tenaga untuk menggarap dan memelihara tanahnya. Ada yang sampai terdesak oleh binatang liar, babi dan harimau, lantaran sunyinya daerah itu dari manusia. Di sini petani meninggalkan desanya, mempersewakan kekuatan tulangnya kepada perkebunan getah dan lain2nya. Sampai di- situlah pula „bagian" pak tani Indonesia dalam rangkaian produksi hasil bumi Indonesia untuk perdagangan dunia. Di Riau dan Kalimantan Barat petani Indonesia menjadi „tamu" dari immigran asing, lantaran kekurangan penduduk, kekurangan pengertian, kekurangan kapital.



Ini soalnya. „Bagi2 tanah bengkok pak lurah !" teriak rakyat yang putus asa.



„Cari menteri-agraria", kata politisi di Jakarta Raya Sayang, soalnya tidak segampang itu! Soalnya tak dapat dipisahkan dari struktur ekonomi dan sosial seluruhnya. Soal perubahan struktur ekonomi dan sosial yang harus dilaksanakan oleh tiap2 negeri agraria bekas jajahan di Asia Tenggara ini, yang ber-abad2 telah menjadi sasaran dari ekspor ekonomi jajahan dengan segala akibat2-nya, bagi susunan masyarakat desa dan petaninya. Memang, kita tahu, bahwa banyak undang2 dan peraturan2 yang perlu ditinjau berkenaan dengan agraria. Ada undang2 agraria tahun 1870, ada peraturan2 erfpakht, tentang hak milik, tentang tanah partikelir, dan lain2. Memang peninjauan ini sudah ber-bulan2 dilakukan oleh Panitia Agraria, yang terdiri dari para ahli dari beberapa Kementerian. Sekarang orang yang akan mengepalai pekerjaan panitia ini berdasarkan pertimbangan politis, psikhologis dan apalagi, perlu diberi satu Buick dan pangkat „Yang Mulia", soit ! Tapi, jika ini semua tidak dimaksudkan sekedar sebagai rencana1 akademis, tetapi hendak dihubungkan dengan usaha praktis bagi pemecahan soal agraria dengan segala aspeknya, orang akan berhadapan dengan kenyataan2 keras ibarat batu karang, sebagai warisan dari masyarakat kolonial yang sekarang kita warisi, yang tidak dapat bergeser dengan se-mata2 perubahan undang2. Pembaharuan undang2 agraria dan yang sebagai itu hanya berpaedah bila dilakukan sebagai satu bagian pembantu dari sesuatu konsepsi ekonomi umum yang hendak dilaksanakan.



Kita dapati Indonesia sebagai satu negeri agraria yang telah ditempatkan oleh ekonomi-ekspor zaman penjajahan jadi satu daerah produsen bahan mentah yang penting sekali buat pasar-dunia. Dalam proses produksi bahan mentah yang berharga ini, terutama dipulau Jawa (5/6 dari seluruh Indonesia) petani Indonesia sendiri hampir tidak mengambil bahagian, selain dari pada sebagai buruh atau dengan mempersewakan sawah kepunyaannya. Susunan ekonomi desanya yang asli sudah pecah-belah, sedangkan nasibnya sangat tergantung dan terumbang-ambing dengan turun naiknya pasar dunia itu. Dan kita dapati terutama pulau Jawa yang sebagai daerah agraria paling lama menjadi pangkalan bagi ekspor tersebut, adalah yang paling berat pula menderita kepadatan penduduk, kekurangan tanah, pengangguran, pemerasan tukang renten, dan lain2. Masalahnya sekarang, ialah bagaimana kita dapat mengubah struktur ekonomi yang demikian, begitu rupa, sehingga dalam produksi bahan untuk pasar-dunia itu, petani kita mendapat bahagian yang lebih besar dan aktif, dengan di samping itu mengambil langkah bagaimana memperkuat kedudukan ekonominya ke dalam sehingga nasib mereka tidak sangat terumbang-ambing menurut turun naiknya pasar-dunia itu. Dalam hubungan ini, soal kebanyakan penduduk dipulau Jawa dan kekurangan penduduk di luar Jawa dengan segala akibatnya, adalah sebagai salah satu faktor yang nyata. Ini berkehendak kepada plan tahunan. Dan dalam rangkaian ini peninjauan undang agraria dan sebagainya itu mempunyai funksi pembantu. Kita tidak kekurangan plan. Ada plan Kasimo dan plan Sumitro dan mungkin ada lagi yang lain. Tetapi yang diperlukan sekarang ialah perbuatan yang segera dan „bergelombang !" Antara lain :



1. Transmigrasi keluar Jawa. Pendapat, bahwa transmigrasi itu kandas oleh karena tabiatnya penduduk di Jawa tidak suka pindah, mungkin dulu sebelum revolusi, ada kebenarannya. Sekarang ini banyak penduduk di-daerah2 yang padat dan kurang aman yang ingin pindah ke Sumatera. Dalam hubungan ini kita ingat antara lain kepada anggauta 2 C.T.N. dan bekas pejuang, pemuda2 yang baru kawin dan sudah mempunyai darah pelopor. Tempat2-nya sudah ada yang dipersiapkan waktu sebelum perang. Satu di antara dua. Dimulai sekarang dengan menemui dan mengatasi kesulitan2 atau nanti dengan menemui kesukaran2 yang lebih besar dan lebih sukar diatasi. Perlu diingat bahwa dengan memindahkan ± 100.000 orang keluar Jawa setiap tahun belum dapat mengurangi kepadatannya penduduk akan tetapi baru sampai menstabilisir kepadatan yang ada sekarang. Perkembangan yang „logis" bila satu daerah sudah sangat padat, ialah mengalirkan tenaga yang berlebih kepada sumber produksi baru, yaitu industri. Dalam hal ini kita ketinggalan puluhan tahun. Industrialisasi dalam lingkungan ekonomi ekspor-hasil bumi, di zaman penjajahan tidak mendapat kesempatan. Dekat2 perang dunia kedua dipulau Jawa mulai sedikit digiatkan industri ringan dan kerajinan tangan. Baru sesudahnya Nederland diduduki Jerman dan pulau Jawa dianggap pusat dari kerajaan Belanda, baik politis ataupun finansil, barulah dimulai meletakkan dasar industri yang agak besar. Sudah kasep ! Tetapi sekarang kita sendiri jangan kasep. Segera perlu dimulai! produksi dan penjualan. Mempertinggi nilai dan efisiensi perusahaan



rakyat yang sudah ada. Syarat mutlak bagi ini ialah tenaga kader dan pemimpin2 yang ahli di-daerah2 yang cinta pada pekerjaan dan bertekun melakukan tugasnya. Lebih banyak dan segera mengirimkan pemuda2 kita untuk belayar kerja di-paberik2 di Jepang umpamanya, di samping yang telah ber-duyun2 pergi ke-fakultas2 atau political science. 2. Industrialisasi di pulau Jawa dari dua jurusan: a. Dari „bawah" dengan menyuburkan dan memimpin kerajinan di rumah (cottage-industry) dengan mempergunakan kerajinan yang ada sebagai dasar, di samping dengan pembangunan koperasi b. Dari „atas" menambah perusahaan2 menengah dan besar atau se-kurang2-nya menghidupkan kembali perusahaan2 yang banyak perlu tenaga orang. Di mana perlu Pemerintah membeli lebih dulu onderneming2 yang mau dijual oleh yang punya, kemudian saham- nya bisa dijual kepada koperasi rakyat. Yang kalau tidak, perusahaan itu akan berpindah tangan dari bangsa asing yang satu kepada bangsa asing yang lain ! 3. Mekanisasi didaerah Seberang dan pemasukan mesin2 untuk usaha rakyat perlu diperluas dan dipermudah. Ini lebih penting dari Packard dan Buick untuk bapak2 besar di-kota2. Nanti orang berkata: petani kita konservatif, mekanisasi perlu kepada bengkel dan lain2. Ya, tapi beri malah penerangan, dan adakan bengkel2 itu, serta tambah sekolah2 tehnik dan montir. Orang kita lekas mengerti, asal diajar dan dituntun. Pada akhirnya, menggalang tenaga rakyat dalam gotong-royong, koperasi2 perusahaan, penjualan dan



bentuk kredit,



melepaskan mereka dari wabah ijon dan tukang tente yang sudah berpuluh tahun melumpuhkan rakyat agraria. Inyeksikan tenaga-muda berupa kader ke dalam desa. Kursus2 kader yang ada sekarang ini masih sangat minim. Bukan 26 tapi 260 centralunits kita perlukan untuk cottage-industry (kerajinan tangan). Untuk itu, belum apa2 kalau dikurangi jumlah anggota delegasi ke P.B.B. dan lain2 sampai separo atau 1/3. Dengan demikian kita dapat melatih puluhan pemuda lebih banyak untuk kader dalam pelbagai lapangan, yang sangat dibutuhkan. Ini semua bukan suara baru. Memang pemimpin2 jawatan dalam pelbagai Kementerian sudah lebih dahulu tahu ini semua. Bukan baru! Tetapi yang baru hanyalah kegiatan melaksanakannya. Yang malah belum sampai baru, minat dan enthousiasme dari masyarakat untuk menyambut dan menyelenggarakannya. Antara meja2 jawatan dan masyarakat ramai masih amat dalam jurangnya. Buat ini semua bukan belum ada aparat dan tenaga 2-nya dipelbagai Jawatan2 dan Kementerian: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial dll. Semua ini sudah dapat melaksanakannya, asal dikerahkan dengan sadar ke arah tujuan yang tentu2. Rakyat kita suka dan ingin aktif turut menyelenggarakan usaha besar ini. Yang diperlukan mereka ialah pimpinan yang langsung, pimpinan yang berjiwa! Dari Jawatan2 Pemerintah dan dari pemuka2-nya sendiri.



Di sini terletak lapangan perjuangan yang penuh „musik" bagi pemuda2 kita. Di sini terletak tugas yang mulia dan menarik bagi tiap2 seseorang yang merasa dirinya pelopor, pemimpin rakyat, pemimpin jawatan serta pelopor dalam dunia ekonomi dan perdagangan, di luar hubungan jawatan ! Mari ber-sama2 menggalang tenaga dan pikiran, merintiskan jalan bagi rakyat agraria, melepaskan mereka dari teka-teki agraria itu ! Dengan, atau tanpa Menteri Agraria! 10 Nopember 1951



SENGKETA IRIAN MERUNCING Ketika Kabinet yang sekarang ini baru dibentuk dan mulai dengan pekerjaannya, maka di antara programnya yang penting2 dan dinyatakan akan dilaksanakan, adalah pembatalan Unie Indonesia-Belanda dan mem- perjuangkan Irian selekas mungkin. Kesan yang timbul mengenai sikap Pemerintah ini tentulah menggembirakan bagi rakyat umumnya. Apa yang selama ini menjadi tun tutan rakyat dalam rapat2 raksasa dalam waktu yang tidak lama akan diperjuangkan oleh Pemerintah. Sesuai dengan cetusan pidato2 para politisi di dalam dan di luar Parlemen, soal itu cocok pula dengan keinginan yang me-nyala2 dalam dada Bung Karno! Unie Indonesia-Belanda memang harus diganti dengan perjanjian internasional biasa, karena alasan untuk melanjutkannya sebenarnya sudah tidak ada lagi. Irian Barat memang harus masuk wilayah Republik Indonesia, biarpun bagaimana membulak-baliknya, dia adalah tetap claim-nasional Indonesia. Yang belum terang di waktu itu bagi khalayak ramai hanyalah, mana dari yang dua itu yang lebih dulu hendak diperjuangkan oleh Pemerintah dan bagaimana kira2 cara yang hendak ditempuh. Atas pertanyaan Parlemen kepada Pemerintah, bagaimana rencana Pemerintah dalam memperjuangkan Irian, Pemerintah menjawab bahwa itu adalah beleid Pemerintah sendiri. Misi Supomo.



Maka dikirimlah oleh Pemerintah utusannya, — suatu misi yang diketuai oleh Prof. Mr. Dr. Supomo —, ke Negeri Belanda untuk mengadakan perundingan permulaan bagi penyelesaian pertikaian Indonesia- Belanda. Dari apa yang terbetik keluar, khalayak ramai mendapat kesimpulan, bahwa pembicaraan yang akan dilakukan itu terutama tentang pembatalan Unie. Jadi soal Unie dulu, Irian belakangan. Akan tetapi setelah misi ini kembali ke Indonesia, maka banyak- lah timbul pertanyaan bagi orang tentang soal ini. Tidak banyak yang dapat didengar tentang hasil perundingan misi Supomo di Nederland, sebagai usaha pemecahan soal yang dihadapi Pemerintah itu. Mengenai Unie mau tidak mau orang hanya mendapat kesan bahwa pembatalannya dan menggantinya dengan perjanjian internasional, belum begitu lan- car. Dan dari komunike pihak Belanda kita dapat kesimpulan, bahwa Pemerintah Belanda dapat menginsafi, bahwa Unie itu dengan sendirinya tidak berarti lagi, apabila salah satu dari kedua pihak sudah tidak suka melanjutkannya. Dalam pada itu Pemerintah Belanda memper- tangguhkan kata keputusannya sampai kepada selesainya perundingan antara kedua pihak, yang akan mencari manakah bentuk kerjasama jaog dapat memuaskan kedua pihak itu untuk mengganti Unie tersebut. Perundingan ini akan dimulai lagi dalam bulan Nopember ini juga. Soal Irian muncul. Sementara itu dengan mendadak tersiarlah berita, bahwa Belanda akan mencantumkan Irian Barat ke dalam Undang2 Dasarnya sebagai bagian dari wilayah kerajaannya. Hal ini bagi Indonesia dengan sendiri- nya menggemparkan, bukan saja bagi rakyat dan para politisi akan tetapi juga bagi Pemerintah Indonesia. Soal Irian menjadi hangat!



Pemerintah kita segera meminta keterangan pada Komisaris Agung Belanda di Jakarta, yang esok harinya sudah dapat memberikan keterangan yang diminta dari Nederland itu. Pada hakikatnya keterangan yang diberikan ini membenarkan apa yang telah disiarkan oleh berita2 surat kabar itu. Pemeritnah Belanda memang berniat mencantumkan Irian Barat sebagai „Nederlands Nieuw-Guinea" ke dalam Undang2 Dasar-mereka, dengan mengemukakan alasan2 juridis formil. Dan pada akhir keterangannya diberikan pula penjelasan, bahwa sikap mereka untuk mengusulkan perubahan dalam Undang2 Dasarnya itu tidak akan berarti mempengaruhi jalan perundingan guna penyelesaian sengketa Irian Barat dengan Indonesia. Keterangan ini lebih banyak memperhangat dari pada meredakan suasana. Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi menerangkan antara lain : „Suara dari Pemerintah Belanda itu tidak mengherankan dari sudah kita kenal dari semenjak revolusi. Mereka senantiasa berpikir legal- istis. Kalau adu „juristerij", kita juga bisa ! Akan tetapi soalnya tidak bisa diselesaikan di lapangan legalisme, tapi di lapangan politik". Di lain tempat Prawoto berkata: „Dalam menghadapi soal2 praktis politik seperti soal Unie, Irian dll.-nya itu, kita harus bersikap „een groot volk waardig". Dalam pada itu dari lain2 kalangan politisi kita, seperti Mr. Sunarjo dari P.N.I. terdengar juga suara2 „supaya Indonesia mengambil tindakan yang eenzijdig juga". Bentuk Pemerintah Propinsi Irian Barat. Angkat seorang Gubernur! Putuskan hubungan Unie dengan tidak usah berunding lagi!" begitu macam2 suara dari masyarakat. Reaksi Pemerintah Indonesia. Setelah mendengar keterangan yang diberikan oleh Pemerintah Belanda itu, Pemerintah kita tetap menyatakan tidak puasnya atas ke-



terangan itu. Satu komunike Pemerintah menamakan tindakan Pemerintah Belanda itu, satu perbuatan yang „tidak senonoh". Suatu memorandum lantas dimajukan kepada Komisaris Agung Belanda, yang menyatakan protes keras dari Pemerintah Indonesia. Dan di dalam memorandum ini dituntutlah pula oleh Pemerintah kita supaya sengketa Irian ini dimajukan sebagai acara dalam perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda, yang segera akan diadakan dalam bulan Nopember ini di Den Haag. Maka dalam perundingan bulan Nopember itu akan dibicarakan selain dari pada penggantian Unie menjadi perjanjian internasional, juga soal Irian Barat. Kedua soal ini berbarengan akan menjadi pokok acara. Dengan ini penyelesaian soal Irian Barat dipercepat, lebih cepat dari waktu yang mungkin telah dirancang dulu, ketika berniat mendahulukan pembatalan Unie. Soal Irian Barat menjadi soal urgent sebagai akibat dan reaksi atas sikap Belanda di waktu suasana sedang naik menjadi hangat kembali, di saat suara rakyat yang menuntut sedang menggemuruh dan cetusan para politisi sedang ber-kobar2. Situasi seperti ini, yang harus dihadapi oleh Pemerintah, memang bukan gampang. Pemerintah memang perlu mempunyai pandangan fmg terang, persediaan yang lengkap untuk mengendalikan perkembangan2 yang dihadapinya dalam memperjuangkan Irian Barat, yang hendak di- sekali-guskan dengan pembatalan Unie itu. Satu2-nya yang perlu dipegang teguh oleh Pemerintah kini, ialah, bahwa dia tetap dapat mengendalikan keadaan dan bukan sebaliknya Pemerintah dikendalikan oleh keadaan.



Demikian harapan kita. 16 Nopember 1951



SEKALI LAGI IRIAN. Tak usah berlaku seperti „orang tua kebakaran jenggot". Tajuk rencana tentang Irian dalam Hikmah yang lalu, diakhiri dengan pengharapan supaya Pemerintah tetap mengendalikan keadaan, dan jangan sebaliknya: dikendalikan oleh keadaan. Harapan yang demikian itu tetap menjadi harapan kita, sesudahnya melihat perkembangan2 dalam satu minggu yang lalu ini. Baik jawaban Pemerintah Belanda, ataupun memorandum Pemerintah Indonesia telah disiarkan ber-sama2. Pemerintah Indonesia menerangkan antara lain, bahwa berdasarkan piagam penyerahan (atau pengakuan) kedaulatan, sebenarnya Irian de jure sudah diserahkan kepada Indonesia, cuma yang belum ialah penyerahan de facto. Terhadap gugatan yuridis ini Pemerintah Belanda tak mau kalah. Sebagai guru dalam juristerij dia berkata: Mari kita serahkan soal ini kepada kaum juristen kita yang terpandai, yaitu Uniehof. Sebentar kita bertanya dalam hati, apakah Pemerintah Belanda benar2 menganggap soal ini soal juridis se-mata2 yang dapat diselesaikan oleh enam meester in de rekhten itu apa tidak ? Ataukah hanya lantaran : „begitu gayung, begitu pula sambutnya ?"



Kesudahannya kita lebih condong kepada kemungkinan yang kedua ini. Bila memperbandingkan kedua memorandum itu sukar untuk menghilangkan kesan, bahwa memang gugatan juridis dari pihak Indonesia telah membukakan pintu untuk tangkisan yang begitu juga sipatnya. Tapi sudahlah, segala sesuatu sudah terjadi ! Pokok soalnya tidak berubah dari pada sebelum „duel memorandum" ini terjadi. Kedua pihak bisa mulai lagi dari pangkal. Dan mudah2-an atas dasar yang lebih tepat. Berkenaan dengan suara2 yang begitu ribut2 an, kita melihat bahwa sebab soalnya, sebagaimana yang dikatakan oleh sdr. Prawoto Mangkusasmito, bukan soal juridis, tetapi soal melikwidasi kekuasaan kolonial, yakni sebahagian dari likwidasi kekuasaan kolonial Belanda atas Indonesia (Nederlands-Indie dulu). Selama keadaan ini masih begitu, tiap2 Pemerintah Indonesia, yang manapun juga akan mencantumkan dalam programnya „memperjuangkan memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia". Sebaliknya selama sebahagian terbesar dari partai politik Belanda masih terus mempertahankan pemerintah kolonialnya di Irian Barat itu, selama itu pula Pemerintah Belanda yang manapun juga, akan mempertahankan Irian Barat itu dengan 1001 macam alasan. Dan selama itu pula akan tetap ketegangan antara kedua negara, walaupun ada Unie atau tidak! Tempo2 ketegangan ini tidak begitu kentara, lantaran urusan2 lain yang melengahkan pikiran Pemerintah dan politisi Indonesia dari padanya, akan tetapi setiap waktu ia akan menggelora kembali, walaupun lantaran peristiwa yang tidak begitu berarti kelihatannya. Kolonialisme atas Irian ini tidak kunjung dapat dilikwidir pada Konperensi Meja Bundar 2 tahun yang lalu. Di saat itu waktu sudah



mendesak dan delegasi Indonesia menimbang, dari pada sama sekali perundingan gagal lebih baik menerima apa yang Sudah dicapai, dan soal Irian, soal perjuangan di belakang hari. Perundingan2 tentang Irian ditahun yang lalu ini adalah lanjutan dari pada perundingan K.M.B. yang belum selesai itu. Setelahnya perundingan inipun gagal, pihak Indonesia menyatakan bahwa Indonesia menganggap „semenjak itu kedudukan Belanda di Irian adalah dengan tanpa persetujuan Indonesia". Dan Pemerintah Indonesia akan terus memperjuangkan claim nasionalnya. Kapan Pemerintah akan memajukan soal ini tidak ditetapkan lebih dahulu. Tapi yang sudah terang ialah, bahwa Pemerintah Belanda tidak akan mengambil inisiatif. Dalam hal ini, soal memilih saat dan waktu, sama sekali terletak di tangan Pemerintah Indonesia. Sekarang Pemerintah telah mendesak supaya dalam bulan Nopember ini juga soal Irian harus dibicarakan. Lahirnya, ialah oleh karena Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa soal Irian harus selesai sebelumnya Pemerintah Belanda mengubah Undang2 Dasarnya yang sekarang. Kita belum mau percaya, bahwa hanya se-mata2 inilah yang menjadi sebab bagi Pemerintah dalam memilih saat untuk menonjolkan masalah Irian ini kembali. Sebab andai kata se-mata2 ini, sedangkan persiapan belum ada, itu namanya Pemerintah kena pancing, membiarkan dirinya terdesak memulai perundingan di waktu dia sendiri belum siap. Tapi kita berusaha untuk berbaik-sangka. Kita bersedia untuk menduga, bahwa menurut perhitungan Pemerintah, bulan Nopember inilah kedudukan kita yang paling baik untuk mencapai hasil. Mungkin menurut perhitungan Pemerintah, bahwa perimbangan kekuatan dalam partai2 politik di Negeri Belanda saat ini sudah lebih



memudahkan bagi Pemerintah Belanda untuk melepaskan Irian dari pada sepuluh bulan yang lampau; bahwia kaum modal Belanda yang berkepentingan di Indonesia sudah dapat lebih kuat mendorong pemerintahnya ke arah itu; bahwa kekuatan2 luar negeri yang lain seperti Amerika, Inggris dan Australia, sekarang ini berkat keaktifan Kementerian Luar Negeri kita beberapa waktu yang lalu, sudah lebih positif akan berdiri di samping kita dalam hal ini; begitu juga India, Pakistan dan Burma; bahwa keadaan dalam negeri baik politis ataupun ekonomis sudah cukup siap untuk mengadakan tekanan politis atau ekonomis dengan tak usah dikuatiri bahwa sesuatu tekanan itu akan merupakan pisau bermata dua. Kita bersedia berbaik-sangka ini walaupun bagi kita sekarang ini belum kelihatan tanda2 ke arah itu. Pemerintah biasanya lebih banyak mempunyai bahan2, untuk mendasarkan perhitungannya, walaupun kita belum tahu, sebab kepada faktor2 inilah tergantungnya sesuatu hasil dari perundingan Irian yang sekarang hendak dimulai itu. Kalau sudah begitu, dapatlah kita mengerti keputusan Pemerintah tersebut. Dan kalau sudah begitu pula, Pemerintah tak usah membiar-kan dirinya terseret hanyut oleh bermacam suara yang terdengar di luar Pemerintah seperti „batalkan Unie tanpa berunding lagi"—se-olah2 memutuskan Unie secara unilateral itu akan mempermudah berhasilnya perundingan tentang Irian yang baru saja diminta oleh Pemerintah mengadakannya itu. Ada pula suara : „Jika Belanda mau terus menjajah Irian, batalkan Unie", —se-olah2 bila ]rian diberikan lantas Unie tak terus dibatalkan lagi, ataukah memang dalam hati kecilnya memang ada kemauan memperjualkan Unie dengan Irian? Ada yang berkata: „Murung saja, tak usah bicara lagi; adakan Pemerintah pelarian Irian !". —se-olah2



sudah mau memproklamirkan konsek-wensinya.



perang



dingin



dengan



segala



Kita dapat mengerti bahwa semua suara2 itu menggambarkan perasaan yang sedang menggelora di kalangan rakyat, yang selama soal Irian belum dapat diselesaikan, se-waktu2 pasti akan mencari letusannya keluar, dengan cara2 yang tidak selamanya dapat terkendalikan oleh Pemerintah. Hal ini patut sekali diperhitungkan oleh Pemerintah Belanda selama mereka betul2 ingin memelihara perhubungan baik antara kedua bangsa. Irian terus terjajah sedangkan hubungan baik terus terjamin, adalah satu wishfulthinking atau satu paradox yang tak dapat dipertahankan terus-menerus. Dalam hubungan ini, kita dapat merasakan kesulitannya Pemerintah menghadapi pendirian pemerintah Belanda yang tidak mau bergeser itu. Tapi sulit atau tidak, adalah kewajiban Pemerintah menjaga supaya dia sendiri jangan sampai diumbang-ambingkan oleh keadaan. Bila Pemerintah sudah tahu akan bisa, yang menurut sangka baik kita itu, sudah ada di tangannya Pemerintah, maka Pemerintah tidak perlu ter-bawa2, berlaku seperti „orang tua kebakaran jenggot". Juga jika dugaan dan sangka baik kita tadi meleset sama sekali, hal ter-bawa2 ini, juga tidak kita harapkan. Maka dalam hal ini lebih2 lagi Pemerintah perlu ber-jaga2. Jangan kita terbawa ke arah yang belum diketahui oleh Pemerintah sendiri. Politisi Belanda dan negara2 Barat umumnya perlu mengetahui bahwa soal Irian Barat bukanlah berdiri sendiri. Mutatis-mutandis soal ini serupa kedudukannya dengan soal Sudan, soal Marokko, soal Suezkanaal, soal Viet Nam dan soal Irian. Soal nasionalisme Asia dan



Afrika yang mulai bangun, menghadapi imperialisme dan kolonialisme Barat yang belum kunjung habis! Selama soal semacam ini belum dilikwidir, segala semboyan „mempertahankan demokrasi dan dunia merdeka", oleh bangsa Asia dan Afrika, dianggap semboyan kosong. Dan selain itu mereka ini tak akan rela tetapi akan bergelora terus ! — Irian adalah claim nasional bangsa kita. Kita terus perjuangkan. — Kita percaya, satu kali Irian akan masuk Indonesia kembali, — tanpa cara cowboy- cowboy-an ! 24 Nopember 1951



JAWAB KITA Seluruh umat manusia, disepanjang zaman berusaha mencari bahagia di dalam hidupnya, yakni kehidupan yang aman dan makmur, bebas dari ketakutan, bebas dari kesengsaraan dan kemiskinan. Sudah ber-macam2 teori yang dilahirkan oleh otak manusia untuk mencari bahagia itu, tetapi setelah dilaksanakan, pada ujungnya senantiasa mereka bertemu dengan kerusakan dan kekecewaan. Pada abad kita sekarang, sering kita dengar, bahwa teori untuk mencapai bahagia itu hanya dua, yaitu teori komunisme dan teori kapitalisme, yang menyebabkan dunia se-akan2 terbagi dua pula yakni golongan komunis dan golongan kapitalis. Nampaknya se-akan2 dua golongan inilah yang berhak penuh berbuat segala sesuatu. Dan masing2 berusaha sehabis daya-upayanya untuk memperoleh pengikut se-banyak2- nya yang akan berpihak kepada alam pikirannya. Sedangkan golongan lain di luar mereka, dianggapnya tidak usah hidup dan tidak berhak hidup. Golongan komunis mengemukakan, bahwa dengan dasar komunismelah kita dapat menuju kepada kehidupan yang aman dan makmur ber-sama2. Kekayaan harus dibagi sama rata, jangan hanya dimonopoli oleh beberapa orang saja. Dan cara yang sekarang ini



berlaku hendaklah diganti dengan yang lain yaitu dengan tidak mengakui adanya hak milik seseorang ; yang ada hanyalah milik-bersama saja. Dan dari milik bersama inilah dapat dicapai paedah untuk bersama pula. Kedudukan tiap2 individu tidak berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan suatu bagian kecil saja dari negara. Ber-sama2 mereka makan dari piring yang satu dan ber-sama2 pula mereka memasukkan makanan ke dalam piring yang satu itu. Inilah — katanya — cara satu2-nya untuk memberantas kemiskinan dan kemelaratan. Adapun golongan kapitalis ingin meninggikan derajat peri kehidupan manusia. Kepada setiap pribadi diberikan kebebasan sepenuhnya untuk berusaha, untuk mengejar keuntungan dan untuk mengadakan persaingan di antara satu dengan lainnya, serta untuk mempergunakan rezeki yang didapatnya itu dengan se-bebas2-nya pula. Ringkasnya, — berlainan dengan komunisme—, oleh ajaran kapitalisme ini diberikan kepada tiap2 orang kesempatan se-luas2-nya untuk mempergunakan haknya dengan tidak terbatas. Kedua teori atau ajaran ini sekarang sedang berjalan dan masing2-nya men-dewa2-kan, bahwa teorinyalah yang harus dipakai menjadi pegangan hidup, karena hanya itulah jalan yang dapat menjamin hidup bahagia. Para pengikut dari kedua isme tersebut sangat yakin akan teori yang dianutnya. Sebagaimana kita umat Islam rela berkurban dan berjihad dalam membela Agama kita, merekapun mau pula mati dalam mempertahankan keyakinannya itu. Setelah ber-puluh2 tahun lamanya penganut kedua paham itu mengembangkan ideologinya, maka marilah sekarang kita perhatikan apakah yang telah dapat mereka capai.



Akibat komunisme Akibat komunisme itu menghilangkan individualiteit —kedudukan perseorangan— dengan jalan meniadakan hak milik perse-orangan. Dengan demikian harta benda akan berkumpul pada golongan, yaitu pemerintah atau negara. Di Rusia, ditempat paham komunisme itu sekarang sedang dipraktekkan, mungkin sekali tidak ada lagi kemelaratan seperti pada beberapa puluh tahun yang lalu, sebelum paham itu dijalankan. Akan tetapi untuk itu kepribadian manusia menjadi hilang musnah, kemerdekaan pribadi dikungkung dan ditekan dengan alat2 kekuasaan pemerintah. Di sana tentu terdapat juga berbagai macam aliran pikiran akan tetapi hanya satu saja yang berada di luar bui, selebihnya dari yang satu itu berada di dalam penjara atau di dalam kamp2 pembuangan di Siberia, yang dijaga kuat dengan mitraliur dan bayonet. Mungkin sekali orang2 di Rusia itu mendapat makan, minum dan tempat kediaman yang cukup baik dan sehat. Akan tetapi kalau hanya itu saja kehendak manusia di dalam hidup ini dan sudah merasa puas dengan keadaan demikian, rasanya tidaklah ada bedanya masyarakat manusia itu dengan masyarakat yang ada di lingkungan pagar kawat di Cikini. Pada waktu2 yang telah ditetapkan masing2 anggota masyarakat dalam lingkungan pagar kawat itu mendapat sepotong daging atau buah2-an yang dibagikan oleh pemimpinnya. Tetapi mereka tidak boleh keluar terali besi, selalu berada dalam kungkungan. Keadaan yang seperti ini bagi binatang mungkin sudah dapat dikatakan makmur. Akibat kapitalisme.



Di negara kapitalis kemerdekaan diberikan se-luas2-nya kepada tiap2 orang untuk ber-lomba2 memperoleh rezeki. Motifnya, niatnya dalam perjuangan ialah se-mata2 untuk menambah penghasilan masing2, menambah keuntungan sendiri2. Dapat diakui, bahwa dengan ajaran kapitalisme kepribadian bisa berkembang dan pengetahuan dapat melambung tinggi. Orang boleh berusaha mengorek kekayaan alam ini se-banyak2-nya. Tenaga dan ilmu pengetahuan dikerahkan untuk mencapai produksi yang dikehendaki, supaya kemakmuran dapat dicapai. Tetapi dalam pada itu mereka tidak segan2 melampaui batas peri-kemanusiaan. Sering kejadian, bahwa beratus-gudang kopi atau gandum dibakar menjadi abu atau dibuangkan ke dalam laut untuk menghindarkan produksi-lebih dan untuk menghindarkan jatuhnya harga barang2 tersebut. Pada hal ber-juta2 manusia di-negara2 lain mati kelaparan. Mereka tidak peduli orang lain kekurangan makan, mereka tidak pentingkan orang lain mati kelaparan, yang penting ialah menjaga harga dan berusaha supaya keuntungan jangan berkurang. Memang kaum kapitalis hanya menghendaki keuntungan sendiri saja dari segala perbuatan dan usahanya, dengan bersandar kepada apa yang dinamainya motif ekonomi. Komunisme dalam mencapai kemakmuran menekan dan memper- kosa tabiat dan hak2 asasi manusia. Sedang kapitalisme dalam memberikan kebebasan kepada tiap2 orang, tidak mengindahkan peri-kema- nusiaan dan hidup dari pemerasan keringat orang lain dan membukakan- jalan untuk kehancuran kekayaan alam. Penyelesaian dalam Islam.



Lantaran tekanan penjajahan ber-abad2 yang mengungkung jiwa. dan melihat hebatnya pertarungan kedua paham itu, kadang2 umat Islam merasa dirinya kecil sampai karena itu mereka lupa, bahwa soal2 peri kehidupan ini sebenarnya dapat dijawab oleh ajaran2 Agamanya dengan se-baik2-nya. Islam sebagai agama fitrah memberikan tuntunan hidup yang lengkap sempurna kepada manusia sesuai dengan tabiat dan kejadian manusia itu sendiri. Islam memberikan kebebasan dan menyuruh manusia berusaha mencari nafkah dan kekayaan se-kuat2-nya baik di laut maupun di darat. Tuhan bersabda : „Apabila telah selesai mengerjakan salat, pergilah kamu sekalian berkeliaran di muka bumi untuk mencari rezeki anugerah Allah!" (Q.s. Al-Jumu'ah : 10). „Dialah (Allah) yang telah menjadikan lautan supaya kamu dapat memakan daging ikannya yang lembut segar dan dapat mengeluarkan berbagai macam perhiasan untuk kamu pakai. Dan kamu lihat pula kapal dapat berlayar di laut itu, memang gunanya supaya kamu dapat mencari rezeki anugerah Allah. Mudah2-an kamu bersyukur. ” (Q.s. An-Nahl: 14). Rasulullah s.a.w. pernah pula berkata : „Carilah rezeki di dalam perut bumi. ” dll. dll. Islam mendorong manusia berusaha se-giat2-nya di lapangan perniagaan, perikanan dan pelajaran, pertambangan dan lain2 sebagainya. Tiap2 diri diberi hak hidup dan diberi kebebasan mencari rezeki sekuat tenaganya. Setelah berhasil tidaklah boleh harta itu dipakai menjadi alat untuk memuaskan hawa nafsu, tapi diperintahkan oleh Agama



supaya digunakan menjadi alat untuk mencapai keridaan Ilahi, yang akan membawa manusia kepada kehidupan bahagia yang abadi diakhirat kelak. Cara mencapai keridaan Ilahi itu ialah dengan ihsan, dengan berbuat baik, yakni dengan mengeluarkan sebahagian dari harta yang telah diperdapat itu untuk keperluan masyarakat. Hak dan kewajiban selamanya berbalasan dan berimbangan. Seseorang diberi kebebasan memegang haknya selama kewajibannya dipenuhinya. Dan manakala kewajiban itu diabaikannya, maka dengan sendirinya gugurlah haknya. Ihsan basmi kemiskinan. Harta yang telah diamanatkan Tuhan kepada seseorang lantaran kegiatannya, tetapi tidak dikeluarkannya sebahagian untuk ihsan, sehingga masyarakat sama sekali tak mendapat manfaat dari harta itu, maka dalam hal ini Pemerintah berhak mengambil tindakan2 yang diperlukan untuk mengembalikan keseimbangan. Melalaikan kewajiban ihsan itu amatlah besar bahayanya. Berbahaya bagi diri sendiri dan berbahaya pula buat masyarakat seluruhnya. Perbuatan itu akan menimbulkan fasad, menimbulkan kerusakan. Dengan perbuatan yang demikian harta benda akan berkumpul pada satu golongan yang kecil, golongan orang2 kaya. Golongan yang terbesar dalam masyarakat akan melarat dan sengsara, sehingga hilanglah keseimbangan di dalam masyarakat. Kalau keseimbangan itu telah hilang, maka niscaya akan timbullah satu pergolakan atau revolusi yang mengakibatkan kerusakan dan kemusnahan. Keseimbangan inilah yang perlu sekali dijaga ber-sama2. Kemiskinan dan kemelaratan harus dihilangkan dengan ihsan. Rasulullah



s.a.w. sudah memperingatkan, bahwa kemiskinan itu mendekatkan orang kepada kekafiran. Hal ini diperingatkan di dalam Al-Quran sbb.: „Capailah kebahagiaan akhirat itu dengan ni'mat yang dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi jangan lupakan nasibmu di dunia. Dan buatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat rusak di muka bumi, karena Allah tidak suka kepada orang2 yang membuat kerusakan. ” (Q.s. Al-Qashas: 77). Mencapai kemakmuran masyarakat. Untuk mencapai kemakmuran dan keamanan di dalam masya-rakat, seorang Muslim dianjurkan supaya senantiasa berbuat baik atau memberi, —bukan meminta—, karena sebagaimana diterangkan oleh Nabi Muhammad s.a.w., tangan yang di atas itu lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Akan tetapi syarat untuk dapat memberi itu hendaklah mempunyai lebih dahulu. Oleh karena itu diwajibkan berusaha mencari rezeki se-kuat2-nya. Semakin banyak yang didapat, semakin banyak pula yang akan diberikan. Dan sebagaimana diterangkan di dalam Al-Quran surat Al-Hasyr: 7, kekayaan itu tidaklah boleh beredar di tangan orang2 kaya saja, tetapi sebahagiannya mesti dikeluarkan untuk membangun kemakmuran seluruh masyarakat. Salah satu cara pengeluarannya itu ialah dengan kewajiban zakat. Nyatalah, bahwa -berlainan dengan komunisme-, Islam mengakui hak kepribadian dan memberikan kebebasan, bahkan mewajib- kan kepada tiap2 orang supaya mencari rezeki sekuat tenaga. Tapi, -berlain pula dengan kapitalisme-, kekayaan yang diperdapat itu tidaklah boleh digunakan untuk



kepentingan diri sendiri saja, tetapi harus dikeluarkan untuk menolong sesama manusia, guna menciptakan kemakmuran bersama. Inilah bahan bagi kita untuk menguji dan membanding segala paham yang diprodusir oleh otak manusia. Dengan inilah kita isi paham kita, tidak dengan turut2-an, atau ikut slogan dan semboyan2 orang lain saja. Dengan penuh keinsafan kita yakini, bahwa kita mempunyai taruhan sendiri untuk memecahkan soal2 hidup ini. Tetapi taruhan ini mesti kita ujudkan ke alam kenyataan, mesti kita buktikan, sehingga buahnya dapat dirasakan oleh masyarakat dan keindahannya dapat pula dipersaksikan oleh orang berkeliling. Marilah kita buktikan dan kita perjihadkan! Tidak ada yang sukar dan tidak ada yang sulit. Sukar dan sulit itu hanya bergantung kepada hati; kalau hati mau, sukar dan sulit itu tidaklah ada! zakat itu betul2 dapat menghilangkan kemiskinan dan kemelaratan di dalam masyarakat. Tiap2 golongan mempunyai taruhan sendiri2. Dan taruhan kita ialah: Kebenaran itu hanya dari Tuhanmu, janganlah kamu ragu dan sangsi lagi. Fastabiqulkhairaat! Marilah kita ber-lomba2 dalam kebaikan, supaya Islam itu benar2 nyata menjadi rahmatan lil 'alamin. Januari 1952



SOAL „GERILYA" Penghabisan tahun 1949 Indonesia keluar dari revolusi yang bertahun2 lamanya dan tampirke muka sebagai Negara yang berdaulat dan diakui kedaulatannya oleh Keluarga Bangsa2. Salah satu di antara tugas yang dihadapinya ialah menyelesaikan „soal gerilya", sebagai konsek-wensi dari pertentangan bersenjata dengan pihak Belanda dulu. Soai gerilya adalah soal lazim bertemu di tiap2 negara yang telah menjalani perjuangan kemerdekaan, seperti Burma dan Pilipina umpamanya. Dan demikian pula di Indonesia. Dalam memperjuangkan kemerdekaan, seluruh tenaga biar di kota dan di desa disalurkan buat menyatukan kekuatan perjuangan massa yang dikerahkan oleh satu idee dan satu pikiran, yaitu menghancurkan lawan yang dihadapi. Satu2-nya modal revolusi kemerdekaan, ialah semangat yang ber-kobar2 dan harapan yang tinggi bahwa setelah kemerdekaan politik tercapai, pusat segala cita2 yaitu yang berupa negara yang lebih makmur dan lebih adil akan dapat tercapai. Semua semboyan dan seruan pemimpin2 rakyat berjalan di atas stramin yang demikian. Tiap2 perjuangan massal bersifat gerilya; tiap2 perjuangan gerilya mempunyai satu pembawaan khusus, yakni merombak semua nilai2 dan susunan masyarakat yang lama. Satu2-nya undang2 yang berlaku ialah: „Semua boleh dilakukan asal untuk menghancurkan musuh”.Segala macam anasir masyarakat bertemu dalam khithah perjuangan demikian itu. Orang2 yang mendasarkan perjuangan kepada cita2 yang tinggi, bersanding bahu dengan mereka yang se-mata2 didorong oleh kehendak mencari untuk kepentingan diri sendiri. Di sini terletak kekuatan gerilya itu. Maka tidak heran jika perjuangan gerilya yang



berjalan lama mengakibatkan goyangnya susunan masyarakat dan rusaknya nilai2 peri kemanusiaan, seperti moral dan budi-pekerti. Makin lama gerilya itu berjalan, makin besar bahaya yang dihadapi oleh satu negara pada saat negara itu mencapai kemerdekaan. Negara Spanyol yang mengalami gerilya ber-tahun2 sampai sekarang belum dapat sembuh dari luka2 yang dideritanya dan sebagai negara merdeka, ia menduduki negara kelas sekian. Tatkala pada tahun 1949 Republik Indonesia berhasil mencapai kedaulatan politiknya, juga Republik kita ini menghadapi bahaya yang demikian. Sesungguhnya adalah suatu tugas yang utama pada saat itu bagi Republik akan menghadapi soal itu dengan segera dan dengan kesungguhan hati. Akan tetapi, sayang ! Pada saat itu di antara kita ada yang mabuk dengan hasil yang telah diperdapat, lantas terlengah dari soal itu, terpesona oleh soal baru dan lebih menarik, yakni kedudukan Republik Indonesia dan hubungannya dalam dunia internasional yang belum pernah dikecap selama ber-abad2 yang telah sudah. Lebih2 lagi karena seluruh pikiran dari Pemerintah, pemimpin dan rakyat diisap oleh soal penyusunan ketata-negaraan Republik Indonesia, yakni yang disebut soal unitarisme dan federalisme. Setengah tahun lamanya sebagian besar energi tertumpah pada soal itu. Soal „gerilya" tsb. di atas tidak cukup mendapat perhatian dan dengan satu tarikan napas, amat mudah orang menamakan bahwa yang demikian hanyalah suatu pengacauan, „anasir yang tidak bertanggung- jawab" yang harus dibasmi dalam tiap2 „negara hukum". Tapi sebenarnya soalnya tidaklah sesimpel itu. Dan dengan demikian soalnya tidak kunjung lekas dipecahkan. Akibatnya hubungan antara masyarakat „normal" dan „gunung" makin lama bertambah jauh, dan pertentangan bertambah lama bertambah hebat. Anasir2



yang mau memancing di air keruh makin lama makin dapat berpengaruh dan berkuku di kalangan bekas2-pejuang kemerdekaan nasional itu. Cita2 dan gambaran yang muluk2 yang tadinya dipakai untuk penggerakkan tenaga massal, ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang nyata setelah kedaulatan politik dapat tercapai. Ketidak-puasan mereka lalu dialirkan orang dengan secara liar tidak teratur. Usaha membangun susunan kehidupan baru menjadi lumpuh se- muanya. Malang bagi Indonesia bahwa bulan2 yang pertama dari kemerdekaan, yang tadinya merupakan masa psikhologis untuk ini, sudah terlewat. Apa yang kita hadapi sekarang, berupa kekacauan dalam negeri yang melumpuhkan usaha pembangunan itu, pada hakikatnya adalah disebabkan oleh terlantarnya masalah ini pada saat yang baik itu. Sekarang kita me-raba2 cara bagaimanakah menyelesaikan apa yang dinamakan soal „keamanan" itu. Pemerintah silih-berganti, tiap2-nya mempunyai program keamanan dan masing2 nya memberikan kwalifikasi dalam cara bertindak. Ada yang mengatakan dengan kekerasan, ada yang mengatakan secara politis, ada yang mengatakan kombinasi antara kekerasan dan politik dan ada pula yang mengatakan antara kekerasan, politik, ekonomi dan sosial. Akan tetapi soalnya tidak bergeser. Dan tidak akan bergeser selama kita belum mau menyadari apa yang sesungguhnya riwayat pertumbuhannya keadaan yang kita hadapi sekarang ini. Soal ini pasti baru dapat dipecahkan setelah Pemerintah serta alat2 nya, dan masyarakat serta pemimpin2-nya, menyadari apa sumber dan riwayat pertumbuhannya keadaan sekarang ini.



Hanya dapat disusun suatu rencana penyelesaian yang efektif apabila kita ber-sama2 dapat lebih dulu, mengakui di mana terletak kekurangan dan kesalahan yang sudah terperbuat, dan berani merintiskan jalan baru, yang berkehendak kepada dinamik dalam cara kita berpikir. 12 Januari 1952



LAGI SOAL „GERILYA" Miliunan uang sudah dikeluarkan untuk keamanan. Apanya yang tidak tegas ? Soal keamanan masih belum kunjung kelihatan penyelesaiannya. Malah akhir2 ini kelihatannya jadi bertambah berat. Dapat dimengerti jika orang ber-tanya2 di mana letak sebabnya. Salah satu dari suara2 yang terdengar untuk mencoba memberi jawaban ialah : „Pemerintah kurang tegas terhadap pengacau2”. Kita tidak mengerti bagaimana sesungguhnya yang dimaksud „tegas” itu. Orang mestinya masih ingat keterangan Pemerintah yang pertama yang diucapkan oleh Perdana Menteri di muka Parlemen bulan Mei tahun yang lalu, bahwa Pemerintah menganggap pengacau2 itu, seperti gerombolan bersenjata D.I., Bambu Runcing dll, adalah pemberontak dan Pemerintah akan bertindak keras terhadap mereka. Semenjak itu berpuluh batalion tentara dan mobrig telah dikerahkan untuk tindakan keras tsb. Sudah miliunan uang yang dikeluarkan. Sudah hampir 20.000 orang telah ditangkap dan masih ditahan dalam bui. Semua senjata modern sudah dipakai, di darat ataupun diudara. Begini di Jawa! Di Sulawesi perkataan „tegas" sudah pula ditegaskan oleh Perdana Menteri di muka corong radio terhadap bekas C.T.N. di Sulawesi Sela-



tan dengan Kahar Muzakarnya. Pidato radio itu masih bisa dibuka bagi mereka yang sudah lupa. Pendeknya sudah hampir2 menyerupai pernyataan perang. Perkataan tegas ini sudah diikuti dengan perbuatan tegas oleh angkatan perang di Sulawesi. Sampai sekarang sudah hampir setengah tahun lamanya. Juga telah makan uang miliunan rupiah. Ribuan orang sudah ditawan dan sedang ditawan. Kalau ini semua masih dinamakan „belum tegas”, ketegasan macam manakah yang dikehendaki lagi?! Apakah gerangan kalau nanti tawanan sudah meningkat seratus ribu, desa2 sudah datar menjadi abu dan kota2 sudah penuh dengan pengungsi2 dan semua gedung sekolah sudah menjadi bui? Kita tidak dapat percaya bahwa orang baru merasa sudah „tegas”, kalau beberapa daerah seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi sudah merupakan konsentrasi-kamp! Bertambah meluas. Sepuluh bulan yang lalu ramai keterangan pembesar dan pemimpin2 yang berkesimpulan: „Sekarang tidak ada masanya lagi memakai jalan „politis”. Sekarang harus bertindak keras dan tegas sebagai satu 2-nya jalan”. Apa yang dimaksud dengan cara „politis” yang ditolak itu dan apa isi dari cara „tegas” dan „keras” yang hendak ditempuh itu, tidak pernah dijelaskan. Tempo2 kita cuma dengar bahwa: „kepada tentara sudah diperintahkan supaya mengambil tindakan keras, dan bahwa dalam tiga bulan harus selesai". (Sulawesi Selatan). Baiklah! Cara „tegas" dan „keras" itu sudah berjalan 10 bulan. Masa sepanjang itu sudah cukup untuk membuat peninjauan. Sesudahnya 10 bulan mengerahkan tenaga yang begitu besar, gerombolan pengacau dan pemberontak makin bertambah besar jum-



lahnya dan meluas daerahnya, malah menjalar ke-kota2 besar, seperti Makassar. Sesudah lk. 20.000 orang yang ditawan, berpuluh bataljon selama itu sudah bekerja keras dengan tak bisa mengasoh, keadaan makin lama makin sulit mengendalikannya. Memang dapat dimengerti apabila orang bertanya di mana terletak sebabnya, makanya tak ada kemajuan di dalam pemulihan keamanan dalam negeri ini. Pertanyaan ini pertanyaan vital bagi kehidupan Negara dan bangsa. Sebab itu kita harus menyelidiki, apakah yang diusahakan sekarang ini sudah betul atau tidak ! Soalnya bukan soal „tegas" atau belum, tapi soal tepat atau tidak ! Bukan satu keaiban, apabila kita mengambil kesimpulan, bahwa cara yang ditempuh sampai sekarang ini tidak tepat, walaupun sudah „tegas”. Hanya kalau kita sudah mau bersikap begitu, barulah mungkin terbuka pikiran untuk mencari jalan yang lebih tepat. Tetapi memang ini lebih berat dari pada sekedar melemparkan semboyan yang murah yang tempo2 dipergunakan se-mata2 untuk penunjuk kambing hitam saja! Susunan Pemerintahan Sipil lumpuh. Empat bulan yang lalu kita telah pernah memperingatkan, bahwa cara yang ditempuh dalam menghadapi soal keamanan di Jawa Barat ataupun di Sulawesi Selatan itu akan membawa kita ke jalan buntu. Sampai sekarang belum ada satu bukti yang melemahkan peringatan kita itu. Yang ada hanyalah sebaliknya ! Kita peringatkan bahwa soal keamanan ini tidak dapat diselesaikan se-mata2 oleh tindakan militer saja (leger-centriskh). Dan



kita peringatkan bahwa tentara kita, terutama bataljon2 yang sudah bertahun menghadapi tugas yang berat, dengan sendirinya merupakan tanda2 kecapean dengan segala akibat2-nya, yang masing2 akibat itu menimbulkan soal dan kesulitan2 baru lagi. Kita sudah peringatkan bahwa mengembalikan keamanan tanpa konsolidasi dari Pemerintah sipil akan sia2. Apakah sesungguhnya yang sudah dicapai dalam lapangan konsolidasi Pemerintah sipil dalam masa akhir2 ini ? Konsolidasi ini berkehendak kepada persamaan kerja erat antara Kepala Daerah dengan instansi2 Pemerintah lainnya. Didaerah Pasundan yang semenjak tahun 1948 pemerintahan sipilnya sudah empat kali berganti tangan, tam- bal-menambal dan lipat-berlipat, sampai sekarang belum ada konsolidasi. Percekcokan antara non dan co, ketegangan antara alam „federal" dan alam „Jogja" masih belum berhenti. Ini beberapa contoh yang menunjukkan satu kelumpuhan kalau tidak hendak dinamakan desintegrasi dalam alat2 Negara yang, seharusnya menjadi tulang punggung: „pamongpraja". Di mana hirarki dan susunan pamongpraja lemah, di sana sebagian besar segala sesuatu dilakukan oleh tentara. Di mana tentara terlampau banyak turut campur mengatur pemerintahan daerah, pamongpraja semakin berantakan. Apa yang kita lihat sekarang dibeberapa daerah, ialah pamongpraja hanyalah tinggal simbol saja, atau sekedar tukang beri laporan kepada komandan setempat, tukang carikan beras dan kayu bakar. Dengan demikian keadaan sekarang, ialah di satu pihak tentara, di lain pihak gerombolan, di tengah rakyat terjepit, di antara dua „kekuasaan" yang bersenjata itu.



Orang seringkali berkata: ada konsepsi ini, ada konsepsi itu, yang , politis, yang setengah militer-setengah-politis, yang tegas, yang keras dan sebagainya. Tapi konsepsi apapun yang akan dipakai kalau alat dan aparatnya kucar-kacir dan berantakan, semuanya konsepsi itu akan jadi khayal saja. Baiklah soal memulihkan keamanan ini sekarang mulai dilihat dari sudut alat dan aparatur yang akan dipilih dan diwajibkan menjalankan rencana2 itu. Tidak se-mata2 dari sudut konsepsi ini dan konsepsi itu ! 2 Pebruari 1952



MENAKLUKKAN „GELAGAH DAN ALANG-ALANG"



Di Indonesia, India, Afrika dan lain2 daerah yang sering dinamakan daerah yang belum berkembang (under-developed countries) tidak sedikit tanah yang ditumbuhi alang2, gelagah dan lain2 macam rumput yang merusak. Tak satupun tanaman lain yang dapat tumbuh di mana alang2 dan gelagah merajalela. Di Indonesia ada 20 juta hektare tanah yang dialahkan oleh alang2 setiap tahun. Belukar yang kering itu bertambah lama bertambah meluas, mendesak dan mengalahkan tanaman padi, ketela, dan lain2. Uratnya menghujam jauh kebumi. Tanah menjadi kurus, tidak dapat dipergunakan lagi. Ada satu cara yang dipakai melawan bahaya alang2. Yang lazim ialah: padang alang2 dibakar sampai hangus. Apa yang ada, turut terbakar. Tanahnya keras membatu sebagai bata, tak dapat ditanami. Kalau hendak memakainya, perlu dibajak dahulu dalam2. Itupun belum dapat ditanami. Tanahnya sudah kurus. Perlu diberi pupuk buatan (kunstmest) berpuluh ton tiap2 hektare. Ini belum berarti bahwa alang2 sudah hilang buat se-lama2-nya. Bibit alang2 yang masih ketinggalan dalam tanah mungkin hidup kembali. Peperangan melawan alang2 harus dimulai lagi. Membakar, membongkar dan memupuk sebagai semula dengan pengurbanan tenaga yang besar, dengan tidak ada jaminan bahwa akan dapat mengembalikan kesuburan tanah untuk waktu yang lama.



Kemenangan tehnik dan kimia melawan alam, ternyata hanya kemenangan sementara. Edward H. Faulkner, seorang ahli pertanian, baru2 ini mengagumkan dunia ilmu pengolahan-tanah (bodemkunde) dengan cara yang dikemukakannya untuk memberantas alang2 dan mengembalikan kesuburan tanah. Dalam kitabnya yang bernama „Plowman's Folly" (Kesesatan Tukang Bajak) ia menentang dengan se-keras2-nya cara bakar-bongkar yang ternyata tidak radikal dan efisien. Dalam bukunya „Second Look" ia merintiskan jalan baharu, di mana api dan bajak tidak dipergunakan. Ia menentang kekuatan alam dengan alam sendiri, dengan memakai sumber kekuatan alam yang tidak kunjung kering yang ada dalam bumi kita sendiri. Tidak se-mata2 bergantung kepada alat2 besar dan pabrik kimia. Prinsipnya, ialah menumbuhkan dan mempergunakan tenaga alam untuk melawan tenaga yang merusak. Cara yang dipakainya ialah, menanam tanaman-pupuk (natuurlijke bemesters). Batang tanaman pupuk ini menjalar ber-jalin2 di atas tanah, menyelimuti bumi setebal 1 meter, menutupi hawa dari luar, sehingga alang2 tak dapat bernapas. Uratnya menghujam ke tanah sampai 3 meter menghisap zat2 makanan dari bawah tanah dan membawanya ke permukaan bumi. Uratnya bercabang dan bercarang, meluas sampai dalam lingkaran 5 meter di sekelilingnya, mendesak dan mengalahkan urat alang2 yang masih ada. Akhirnya alang2 habis tak kembali Yang kembali ialah, kesuburan tanah, yang mendapat penawar hidup dari pupuk tanaman yang telah tumbuh oleh perbendaharaan bumi dari dalam. Di Indonesia lima-enam tahun yang lalu, para pemimpin Indonesia telah menyebarkan „bibit padi". Sebahagian besar sudah menjadi dan „panennya" telah masuk dengan berupa Kemerdekaan dan Kedaulatan



Tanah Air. Akan tetapi ada „pesamaian" yang ketinggalan, luput dari perhatian. Yang tumbuh, bukanlah „padi", akan tetapi „alang2" dan gelagah merupakan gerombolan yang menyisihkan diri dari masyarakat dan mengganggu kehidupan rakyat. Ada yang dapat lekas dicabut, oleh karena uratnya tidak mendalam, akan tetapi ada yang dari sehari-kesehari bertambah meluas dan merajalela, mendesak dan merusak „tanaman yang lain, mengeringkan dan menanduskan sawah dan ladang". Ini semua tak dapat dibiarkan, perlu diambil tindakan yang tegas dan keras. Semua alat cukup tersedia: alat pembakar dan pembongkar. Sudah dua tahun dilakukan aksi membakar dan membongkar. Dilakukan dengan menumpahkan tenaga yang ada. Sudah banyak padang yang datar hangus, tetapi tanahnya jadi keras, membatu, lalu „alang2" tumbuh lagi. Dibakar lagi, dibongkar lagi tapi tetap tak ada jaminan, bahwa alang2 tak akan kembali dan kesuburan tanah dapat dipulihkan buat masa yang lama. Cara memberantas gerombolan dan pengacau, rupanya yang dipakai ialah cara yang mudah, cara memberantas „alang2" menurut kekuatan tehnik dan pembasmi se-mata2. Manusianya, alamnya, diabaikan. Memang dibeberapa tempat telah diperoleh „hasil". Apabila salah satu desa sudah habis terbakar, bekas desa itu aman, sebab tidak ada manusia lagi di sana, dan orangnya lari kekota atau kekampung lain dan ada pula yang setelahnya kehabisan rumah dan halaman bersedia turut bersama dengan tentara untuk menunjukkan tempat pengacau. (Lantaran „insaf" atau takut?). Tetapi bukan tak ada yang lari kegunung, menggabungkan diri dengan gerombolan, menambah banyaknya mereka yang jadi orang buruan.



Alat2 tehnik dan perkakas pembasmi modern sudah dipakai, dan sudah meninggalkan bekas di mana2, berupa desa2 yang hangus dan bui2 yang sudah penuh, tetapi keamanan tidak kunjung kembali semuanya. „Kemenangan" yang dicapai di sana-sini ternyata kemenangan sangat sementara. Apakah kita sudah betul2 tidak mempunyai kepercayaan lagi akan kekuatan manusia dalam masyarakat? Apakah kita sudah tidak percaya lagi, bahwa di dalam masyarakat sesungguhnya ada tenaga-hidup yang dapat diperkembangkan dan berkembang, yang berupa tenaga2 yang konstruktif, yang kalau diberi kesempatan hidup dan kesempatan bergerak dapat mengalahkan anasir2 yang merusak, ibarat leguminose (tanaman pupuk) menaklukkan alang2 dan gelagah. Apa yang terjadi sekarang, adalah membakar alang2 beserta dengan tanaman pupuk itu sendiri. Yang lebih banyak musnah ialah yang bukan alang2, tapi pupuk. Akibatnya yang tinggal tanah yang tandus, yang buat sementara waktu nampaknya kosong, akan tetapi pasti akan ditumbuhi alang2 kembali. Inilah hasil dari pada tindakan yang kelihatannya „radikal, keras dan tegas" itu, yang pada hakikatnya jauh dari pada radikal dan prosesnya jauh dari pada efisien. Sudah banyak yang kita dapat capai dalam waktu yang singkat ini. Dalam lapangan ilmu dan penghargaan dari bangsa2 asing. Akan tetapi, yang tidak ada pada kita ialah pengetahuan tentang tabiat, sipat dari masyarakat dan bangsa kita sendiri. Kurang mengetahui jalan pikiran dan perasaan dari rakyat dan bangsa kita sendiri, untuk menjadi dasar dari pada tindakan yang hendak dilakukan. Kita terperdaya oleh kepercayaan kepada kekuatan alat2 bangsa asing yang telah



dipergunakannya untuk menaklukkan kita dan yang sudah gagal dalam usahanya menaklukkan kita. Satu tragik bagi bangsa yang mulai mengatur dirinya sendiri ! Kapankah sampai masanya pembesar2 kita yang bertanggung-jawab sadar akan jalan buntu yang telah mereka tempuh dan mereka kembali kepada pengertian akan kekuatan dan kelemahan masyarakatnya sendiri serta memilih jalan yang kelihatannya tidak begitu gagah, akan tetapi yang bersandarkan kepada menghidupkan dan memberi hidup kepada teman dalam masyarakat untuk menaklukkan musuh masyarakat itu sendiri. Kita berharap, sekarang masih belum terlambat. Kita berharap bahwa masih ada dalam masyarakat kita tenaga2 yang belum turut terpukul dan termusnahkan, yang uratnya juga menghujam lebih dalam dari pada „uratnya" pengacau2, yang kalau diberi hidup dengan berupa kepercayaan dan pertanggungan-jawab, dapat menjadi teman dan kawan memulihkan ketenteraman masyarakat. Malah menaklukkan jiwa „alang2" dan mengubahnya menjadi „padi"! Mereka ini berupa orang2 kepercayaan dalam lingkungan rakyat, baik di kalangan pamong-praja ataupun pemimpin2 ruhani rakyat. Ada orang yang akan berkata, bahwa ini semua adalah teori belaka. Baik! Dia merupakan teori selama belum dijalankan. Yang terang ialah, bahwa yang sedang berjalan sekarang ialah teori bakar-bongkar! Bertahun lamanya mencari keamanan dengan S.O.B., tetapi keamanan makin lama makin menjauh. Satu2-nya barangkali yang masih mungkin „mengobati hati" ialah, kenyataan bahwa orang yang mewariskan S.O.B. itu kepada kita pun



tidak pernah berhasil mengembalikan keamanan dengan se-mata2 S.O.B. atau sistim bakar-bongkar itu. Sampai berapa lama lagi kita merancah ke dalam rawa ? 25 Februari 1952



STATUSQUO



Hindarkan kesalahan yang besar; yaitu kesalahan tidak berbuat apa2. Balans yang dapat dibuat pada hari Rebo minggu yang lalu dari perkembangan di sekitar kejadian2 tanggal 17 Oktober, ialah sebagai berikut: —



























Presiden telah mendesak supaya Parlemen memperpanjang istirahat. Para Ketua Parlemen menerima desakan itu dan telah mengumumkan kepada semua anggota Parlemen, bahwa istirahat diperpan- yang buat waktu yang akan ditentukan. Pemerintah menyatakan tidak ada krisis, dan akan meneruskan tugasnya untuk mengatasi keadaan. Ini sesuai dengan pernyataan tersendiri dari Panitia Permusyawaratan yang terdiri dari ketua2 fraksi (fraksi2 Pemerintah dan fraksi2 bukan Pemerintah). Penahanan atas 5 orang anggota Parlemen, Sabtu malam tanggal 18, sudah dibereskan kembali semuanya. Pemberangusan-pers, terhadap beberapa harian dan majalah dicabut kembali. Meriam2 yang tadinya ada di depan Parlemen dan Istana sudah dikembalikan kepada tempatnya yang biasa. Malam Rebo Perdana Menteri memberi keterangan pertama dengan pidato radio, yang intisarinya memberi khulasah dari apa yang terjadi, menegaskan sekali lagi bahwa Pemerintah meneruskan



tugasnya untuk mengatasi keadaan dan menjalankan programnya, serta berseru kepada seluruh penduduk supaya bersikap tenang. Semenjak itu sudah berlaku satu minggu pula. Dan memang keadaan boleh dinamakan cukup „tenang". Hanya pokok persoalan belum bertambah terang, yang lebih belum terang lagi: „Sekarang bagaimana?” Semenjak itu kita berada dalam satu statusauo. Kalau tidak boleh dinamakan mundur, maju setapakpun tidak pula. Kecuali para pemimpin dan khalayak umum mendapat sasaran baru yang dijadikan buah omongan, yaitu: „Parlemen dibubarkan atau tidak! Yang satu pro-bubar, yang lain kontra-bubar". Walaupun bagaimana pada saat kita menulis ini, keadaan masih berada dalam satu statusquo. Dalam pada itu kita semua mengetahui bahwa statusquo yang semacam itu tidak dengan sendirinya menyelesaikan soal yang sebenarnya. Funksinya se-mata2 ialah untuk mendinginkan pikiran dan menjernihkan suasana, untuk berpikir tenang mencari jalan keluar. Ketenangan pikiran sekarang ini hanya dapat berpaedah jikalau dengan betul2 dipergunakan oleh setiap pihak untuk mencari jalan keluar. Yaitu pihak Pemerintah, Parlemen dan Presiden, sebagai tiga peralatan Negara yang satu sama lain tak dapat terpisah, untuk mencari penyelesaian yang sebenarnya. Jalan keluar dari kesulitan itu nyata tidak akan diperoleh jikalau saat2 yang tenteram sebagai sekarang ini dipergunakan untuk melengahkan pikiran sendiri dan pikiran umum dari pada pokok persoalan yang sebenarnya, apalagi kalau sampai memindahkan pula persoalannya kepada „pembubaran atau tidak pembubaran Parlemen" atau „apakah pembubaran Parlemen bertentangan dengan Pancasila



apa tidak", dan soal2 semacam itu. Kalau demikian maka pokok persoalan menjadi kabur! Zaman seperti yang sekarang bukan saja tidak akan membawa hasil, tapi mungkin mengandung bibit bahaya baru, jikalau sekiranya wajah tenang dari para pemimpin yang bertanggung-jawab baik yang berkewajiban dalam peralatan Negara maupun di dalam partai2 itu, adalah sekedar penutup kegundahan-kebimbangan hati, „menunggu pertumbuhan2 selanjutnya". Bahayanya ialah terletak di dalam situasi, di mana rakyat umum terlepas dari pimpinan orang2 yang dianggap oleh mereka sebagai pemimpin (baik dalam jabatan Negara maupun di luar jabatan Negara), dan mengambil oper inisiatif dari parapemimpinnya, mengadakan „pertumbuhan" sendiri2, yang tak dapat dikendalikan oleh para pemimpin lagi. Keadaan yang demikian itulah yang akan lebih berbahaya dari pada apa2 yang kita alami sekarang. Dan tanda2-nya sudah mulai kelihatan ! Rancangan yang se-olah2 agak positif terdengar sampai sekarang ialah kemungkinan bahwa Kepala Negara akan keliling dan akan mendengar pendapat rakyat ramai, tentang pembubaran Parlemen. Marilah kita tinjau hal ini lebih mendalam: Parlemen! Apa yang dinamakan „Parlemen" itu? Parlemen terdiri dari kira2 200 sekian anggota yang terbagi dalam beberapa fraksi dan anggota2 yang terlepas. Ada fraksi2 yang dipimpin oleh partai masing2, ada pula yang tidak, tapi gabungan. Ada fraksi2 yang tidak mempunyai partai dalam masyarakat, akan tetapi membentuk ber-sama2 satu fraksi. Dan ada anggota yang tidak mempunyai partai dan tidak mempunyai fraksi dan mengeluarkan pendapatnya dalam Parlemen sebagai orang seorang. Akan tetapi



kebanyakan dari pada mereka adalah anggota2 yang dikendalikan oleh dewan2 pimpinan dari beberapa partai politik. Ini semua berarti bahwa pendirian sebagian besar Parlemen itu adalah pendirian dari pada sebagian besar partai2 yang ada sekarang ini, baik dalam Pemerintah maupun yang di luar Pemerintah. Sekarang orang sedang memperhitungkan apakah Parlemen ini dibubarkan, apa tidak ! Perlu kita tegaskan bahwa kemungkinan pembubaran Parlemen adalah satu kemungkinan yang terkandung dalam sistem demokrasi. Adalah bahaya, bila perhatian para pemimpin dan perhatian umum terbelok dan terpaku kepada pembubaran Parlemen sebagai pokok persoalan. Akan tumbuh pikiran, se-olah2 kalau Parlemen sudah dibubarkan, semua soal jadi beres. Jadi dimulai saja dengan pembubaran Parlemen. Caranya bagaimana? Sayang tidak tersebut dalam poster2! Andai kata kepala Negara betul2 akan mendengarkan suara rakyat dari lain2 daerah; Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, dll. dan sebagai mata-rantai yang diperlukan, dari rentetan keputusan daerah2 itu akan diambil suatu sikap, —ini apakah artinya? Apakah ini berarti, bahwa Kepala Negara, sekarang ini sudah merasa perlu langsung bertahkim kepada khalayak ramai di jalan raya dan ditanah lapang untuk mendengarkan apa mestinya yang dilakukan terhadap Parlemen yang sekarang ini? Yakni langsung, dengan melampaui pimpinan dan pemimpin rakyat dari partai2 yang ada sekarang ini?



Bagaimana, kalau di Palembang dan Medan lebih banyak poster mengatakan: „Bubarkan Parlemen", sedang di Surabaya, umpamanya lebih banyak: „Jangan bubar!", di Bandung dan Semarang hampir sama banyak yang menuntut dan yang „melarang bubar?" Bagaimana? Apakah nanti perlu diadakan satu pasukan tukang ukur istimewa untuk mengukur iringan demonstrasi yang manakah lebih panjang. Yang meminta bubarkankah atau yang menuntut tidak bubar, dan berapa panjangnya iring2-an yang tidak menuntut apa2 selain dari ber-sorak2? Apakah memang pimpinan partai2 itu, baik yang sekarang duduk dalam Pemerintahan ataupun yang di luar Pemerintahan, yang semua turut bertanggung-jawab terhadap keputusan Parlemen yang akhir itu, sudah memang merasa tidak berdaya lagi dan rela menghilangkan funksinya dalam masyarakat serta se-mata2 me-nunggu2 pertumbuhan selanjutnya, dan apakah ini sudah bisa dianggap sebagai satu bukti ketidak-mampuan (impotensi) dari partijwezen kita sekarang ini? Kalau andai kata apa yang kita sebutkan di atas itu memang sudah demikian, maka sesungguhnya tidak usah lagi kita ribut2 mempersoalkan perlu atau tidaknya Parlemen dibubarkan. Sebenarnya dasar dari Parlemen itu yaitu hidup-kepartaian di sini —dengan segala kekurangan dan kebaikan yang ada pada dirinya— membubarkan funksinya sendiri. Dan kalau demikian, jangan kaget kalau dalam keadaan seperti itu kendali politik dipindahkan dari Kabinet dan Parlemen ke jalan- raja dan ke tanah lapang, dipindahkan kepada „mobrule" — kekuasaan khalayak di jalan raya! Apakah memang sudah mestinya begitu?



Kita belum sampai kepada kesimpulan yang sesuram itu. Belum demikian buruknya keadaan kita ! Kita sama sekali tidak mengurangi arti demonstrasi2. Demonstrasi mempunyai funksinya sendiri dalam sistem demokrasi kita, yakni sebagai saluran dari perasaan yang terpendam dalam hati rakyat yang mencari jalan keluar dengan cara yang tertib. Dan Kepala Negara kita, termasuk salah satu dari pada tugas kedudukannya untuk mendengarkan dan mempertimbangkan suara tersebut bilamana saja ada demonstrasi. Paedahnya memang ada ! Tetapi ini tidak berarti bahwa demonstrasi rakyat perlu dimasukkan dalam satu rencana sebagai mata-rantai dari prosedure untuk mengambil satu keputusan ! Dan kita percaya, bahwa Kepala Negara kita tentu juga akan memberi nilai yang sebenarnya kepada funksi tiap2 demonstrasi, dan funksi dari partijwezen di negeri kita ini. Waktu yang tenteram sebagai sekarang ini perlu dipergunakan untuk menyelidiki beberapa kemungkinan. Lebih dulu perlu dicari ketegasan apa benar2 semua fraksi dan anggota2 Parlemen yang sudah menyetujui mosi Manai Sophian itu betul2 bersedia untuk menerima tanggung-jawab segala konsekwensi dari pada penerimaan mosi itu. Tegasnya apakah mereka sudah rela Pemerintah lantaran mosinya itu, meletakkan jabatan atau belumkah sampai demikian? Apa artinya dalam hubungan ini permintaan dari Panitia Permusyawaratan, di mana juga duduk ketua fraksi P.S.I.I. sdr.



Aruji, Manai Sophian dan Siauw Giok Chan, supaya Pemerintah berjalan terus! Apa artinya dalam hubungan ini keterangan N.U. yang menyatakan bahwa N.U. „berdiri di belakang Pemerintah?" Semua ini adalah penandatangan, dan penyokong dari mosi tersebut. Mungkin pernyataan2 sekedar pernyataan, di dalam suatu keadaan tertentu, akan ada! Tetapi tidak mustahil, bahwa memang pernyataan itu adalah pendirian yang sudah tetap, berdasarkan pertimbangan2 yang lengkap dan mendalam. Walau pun bagaimana, satu mata-rantai dalam prosedure antara keputusan Parlemen dan kemungkinan meletakkan jabatan oleh Pemerintah, belum ternyata. Secara formilnya, belum ada konflik yang nyata antara Pemerintah dengan Parlemen yang otomatis harus mengakibatkan Pemerintah meletakkan jabatannya. Suatu Pemerintah barulah dapat mempertanggung-jawabkan pengembalian mandat kepada Presiden apabila Parlemen sudah menyatakan mosi tidak percaya kepada Pemerintah itu. Ini belum terjadi! Pemerintah perlu lebih dulu menghadapi Parlemen sekali lagi untuk memberikan keterangan, bahwa dengan tidak mengurangi kesanggupannya menjalankan cara penyelesaian sebagaimana yang diterangkannya dalam keterangan yang penghabisan, maka Pemerintah, untuk mengatasi keadaan genting yang timbul sekarang ini, perlu mempercepatkan pemilihan-umum. Untuk ini semua perlu kepada pernyataan kepercayaan dari Parlemen sampai penyelesaian pemilihan-umum itu. Di sini akan dijumpai dua kemungkinan. Kemungkinan ada, bahwa Parlemen dengan keinsafan akan keadaan yang sesungguhnya dihadapi oleh Negara, —dalam batas2 kemungkinan yang dapat



dicapai di taraf sekarang ini—, dengan rasa penuh tanggung-jawab, bersedia memberikan kepercayaan yang diperlukan oleh Pemerintah sehingga pemilihan-umum dapat terlaksana dalam waktu yang singkat. Parlemen dan Pemerintah saling memberikan kesempatan kepada masing2 untuk sama menuju kepada pemilihan-umum dan ke-dua2-nya berusaha untuk memperpendek umur guna mempercepat pemilihan- umum itu serta sama2 menghindarkan diri dari semua hal2 yang membelokkan perhatian dan tenaga dari tugas yang utama itu. Kemungkinan ini boleh jadi tidak besar tetapi bukan satu barang yang mustahil, dan perlu dijelajah sampai kesana! Kemungkinan kedua ialah, bahwa Parlemen dengan suara terbanyak menyatakan mosi tidak percaya! Maka kalau telah demikian barulah dapat Pemerintah menyampaikan kepada Presiden adanya konflik antara Kabinet dan Parlemen yang nyata. Maka di waktu itu teranglah apa sesungguhnya yang telah terjadi. Terang pula siapa yang mesti memikul tanggung-jawab terhadap konsekwensi2 seterusnya. Terang bagi Presiden dan Pemerintah dan terang bagi rakyat ramai! Pun dalam keadaan demikian masih ada dua alternatif. Pertama ialah Presiden menerima kembali mandat dari Kabinet dengan pengertian bahwa Kabinet yang akan datang itu harus dibentuk oleh mereka yang menyokong mosi Manai Sophian itu dengan program untuk menjalankan mosi tersebut dengan segala konsekwensi‫؛‬2nya. Kedua ialah Presiden berpendapat bahwa dalam keadaan sekarang ini tidak dapat dipertanggung-jawabkan, bahwa lantaran mosi yang sekarang ini Kabinet harus berhenti dan Presiden melakukan alternatif yang satu lagi, yaitu membubarkan Parlemen.



Di-saat2 seperti yang demikianlah Presiden melakukan perbuatan politiknya, setelah menimbang se-dalam2-nya tiap2 konsekwensi dari pada tindakan yang akan diambilnya itu. Dalam hal itu tidak dapat dikatakan „melanggar demokrasi" dan Presiden tidak dapat dinamakan „diktator" atau semacam itu, bila mana waktu itu Presiden membubarkan Parlemen. Pembubaran salah satu Parlemen oleh Presiden adalah satu perbuatan yang diizinkan dan tersimpul dalam sistem demokrasi kita, dan termuat dalam Undang2-Dasar. Malah dapat dikatakan jikalau satu Parlemen tidak boleh dibubarkan dalam keadaan apapun, itulah yang dinamakan tidak demokratis. Yang perlu ialah, bahwa pembubaran itu dilakukan menurut prosedure yang tertentu. Tapi kalau Parlemen dibubarkan, hanya sesudahnya berlaku satu atau beberapa demonstrasi, itu akan merupakan satu precedent yang menggoyahkan dasar-bertindak selanjutnya. Apa jaminannya, bahwa satu Parlemen yang sudah dipilih nanti, juga tidak akan dibubarkan, asal ada demonstrasi2 lagi? Ada ketetapan dalam Undang2-Dasar kita bahwa pemilihan-umum itu harus dilakukan dalam masa 30 hari sesudah Parlemen dibubarkan Presiden. Di sini terletak satu kesulitan, akan tetapi apakah kesulitan ini dalam keadaan kita sekarang ini, kesulitan yang prinsipil, yang menentukan sehingga karenanya kita melanggar asas2 demokrasi, ataukah satu kesulitan yang ditimbulkan oleh karena kita sekarang belum mempunyai undang2 pemilihan-umum? Memang Undang2 Dasar Sementara yang kita pegang sekarang ini disusun atas pengertian bahwa sudah ada undang2 pemilihan-umum yang saban waktu dapat dipergunakan untuk pemilihan Parlemen yang baru di mana perlu. Apakah ini bukan satu kesulitan „force-majeur", yang



disebabkan oleh kekurangan yang tidak dapat lekas diatasi dalam masa 30 hari? Tentang ini ahli2 jurist bisa berdebat panjang2. Tetapi situasi di satu waktu, mungkin demikian rupa sehingga buat seorang staatsman tidak ada waktu untuk menunggu selesainya perdebatan sarjana2 hukum dan ia harus mengambil sesuatu keputusan dan tindakan untuk menyelamatkan Negara. Untuk mengatasi kesulitan semacam itu pasti dapat dicari penyelesaiannya, asal pokok persoalan perlu kembali kepada proporsi yang sebenarnya dan tempat titik-beratnya kembali kepada perim-bangan yang semestinya! Pangkal persoalannya ialah bagaimana kita mencapai kesempur-naan dalam susunan perkembangan2, dan sekarang ini memelihara keutuhan dalam salah satu aparat Negara yang amat vital yakni Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang kita, keutuhan mana sedang terancam. Syarat mutlak bagi ini ialah adanya, Pemerintah, yang tidak tergantung di-awang2. Persoalan yang timbul sesudahnya tanggal 17 Oktober dalam lapangan politik, menggoyangkan kedudukan Parlemen dan dengan demikian mempunyai efek terhadap kedudukan Pemerintah sendiri. Terapung2-nya Pemerintah dalam saat2 seperti sekarang ini pasti mengakibatkan terlepasnya semua kendali dari pimpinan Negara, di lapangan yang tambah sehari tambah meluas. Ke arah mana semua itu menuju, sudah terang bagi semua pemimpin2 yang bertanggung-jawab. Yakni, ke arah chaos dan kekacauan di semua lapangan !



Kita tak boleh membiarkan meluncurnya keadaan ke arah itu. Dalam rangkaian ini soal pembubaran atau tidak pembubaran Parlemen, hanya merupakan salah satu aspek se-mata2 dan bukan jadi pokok persoalan. Syarat mutlak untuk mengelakkan bahaya yang sedang mengintai sekarang ini, sekali lagi, ialah persamaan kerja yang sungguh2 antara tiga peralatan-Negara: Presiden, Kabinet dan Parlemen. Jika dengan Parlemen yang sekarang ini sudah ternyata memang tidak bisa, —setelah menjalankan prosedure yang tertentu dan sah—, keputusan terletak pada Presiden, dan jika keadaan menuntut, maka sekuat tenaga harus diusahakan untuk menunaikan kewajiban yang tertinggi, mengelakkan bangsa dan Negara dari malapetaka. Ber-sama2 pula melintasi satu conflicts periode antara Parlemen dan Pemerintah dengan tegas dan resoluut menuju pemenuhan kelengkapan sistem demokrasi kita untuk selanjutnya. Se-kurang2-nya dengan cara yang se-dekat2-nya memenuhi perasaan demokrasi untuk mana kita telah dan terus berjuang. Kalau untuk ini pun kita tidak mampu, apakah sudah datang saatnya, kita bertanya kepada diri sendiri, apakah parlementer-stelsel Barat yang sedang kita cobakan dalam sistem demokrasi kita ini „memang adalah satu stelsel yang tidak cocok, atau se-kurang2-nya prematur buat bangsa kita ini. Apakah sudah memang datang masanya untuk kembali kepada bentuk demokrasi nenek-moyang kita dulu, melaksanakan demokrasi sambil „bersela di bawah pohon beringin", sebagai bentuk saluran Kedaulatan Rakyat? Politik adalah kemampuan mencapai apa yang mungkin!



Tak ada paedahnya membolak-balik kaji lama, menepuk dada yang merasa benar, dan me-nunjuk2 yang dianggap salah dalam semua yang sudah terjadi? Yang lebih penting ialah menghindarkan dia sebagai pemimpin2 yang bertanggung-jawab, dari suatu kesalahan yang paling besar, yang dapat kita perbuat pula: kesalahan bahwa kita tidak berbuat apa2 ! 2 Nopember 1952



Demokrasi menghendaki KONFRONTASI ANTARA PERTANGGUNGAN-JAWAB DAN KEMAMPUAN-MEMBATASI-DIRI Keadaan „staruscjuo", tergenang-tak-hanyut beberapa waktu yang lalu, sudah mulai sedikit „bergerak" kembali. Pada hari Rebo tanggal 29-10-'52 Masyumi mengumumkan keputusannya supaya Pemerintah melaksanakan programnya no. 1, yakni mengadakan pemilihan-umum. Uutuk itu supaya Parlemen segera bersidang kembali. Masyumi tidak setuju Parlemen dibubarkan dengan cara yang bertentangan dengan Undang2 Dasar. Kalau ada satu partai yang dari semula mendesak agar segera diadakan pemilihan-umum itu, partai itu adalah Masyumi, yakni jauh sebelumnya lain2 pihak mulai menuntut seperti sekarang ini. Memang sebelum 17 Oktober tidak hanya partai politik yang sangat merasa perlu melekaskan pemilihan-umum itu. Beberapa Pemerintah telah silih- bergarjti dan memancangkan „pemilihan-umum" dalam programnya. Kesemuanya jatuh, sebelum dapat memenuhi pekerjaan itu. Sehingga Pemerintah yang sekarang ini, Pemerintah yang keempat semenjak pengakuan kedaulatan, hampir saja jatuh pula, sebelum undang2 pemilihan itu dapat dibic arakan. Sampai sebegitu lama, orang rupanya lebih suka dengan satu Parlemen yang saban waktu menyuruh pulang sesuatu Pemerintah, sedangkan Parlemen itu tak usah kuatir akan dibubarkan „lantaran undang2 pemilihan-umum belum ada". Kapan bisa adanya undang2 itu atau dengan lain pertanyaan, sampai berapa lama dapat berlaku



sipat-kebal Parlemen ini, lima puluh persen tergantung kepada Parlemen kita itu sendiri dan lima puluh persen pada sesuatu Pemerintah yang direlainya, untuk membicarakan satu rencana pemilihan umum itu. Sementara itu, Parlemen kita ini bisa saja terus menyuruh pulang sesuatu Pemerintah dengan mosi atau umpamanya, dengan memboikot sebagaimana yang pernah terjadi. Satu Parlemen yang dipilih bisa dibubarkan menurut Undang2 Dasar Sementara kita. Tapi satu Parlemen Sementara yang tak dipilih tak dapat dibubarkan, menurut Undang2 Dasar Sementara kita itu juga. „Lantaran undang2 pemilihan belum ada" ............ Juridis, dan ini semua belum berani orang membantahnya! Juga belum ada orang yang berani menggugat, bahwa kalau lantaran satu kekurangan dalam per-undang2an, Parlemen Sementara belum boleh dibubarkan, kenapa tidak bisa diterima bahwa Pemerintah, yang Sementara juga, tak boleh dibubarkan dulu, sampai undang2 itu dapat diadakan. Sesudah itu masing2 dari kedua badan itu di mana perlu bisa dibubarkan menurut prosedure yang biasa? Supaya kewajiban dan hak bisa sama2 seimbang? Kalau digugat begitu, mungkin disebut „kurang demokratis". Hanya keadaan yang „lebih demokratis" seperti sekarang ini, telah meningkat kepada satu situasi di mana bentuk demokrasi Indonesia berwujud dengan satu Pemerintah parlementer yang sekali 6 a 7 bulan bisa terancam usianya, sebelum bisa bekerja apa2 dengan satu Parlemen yang terus kebal, „onskhendbaar"; dan satu Pimpinan Tentara yang „minta kepada Kepala Negara supaya cara Parlemen bekerja itu diakhiri". Inilah yang kita sama2 hadapi sekarang. Satu keadaan yang penuh bahan „peledak".



Terlepas dari soal, apakah Parlemen kita ini, cukup representatif atau tidak, teranglah bahwa dalam situasi yang semacam ini segala sesuatu bisa berlaku, kecuali demokrasi! Kalau kita benar2 hendak keluar dari jalan meluncur ini, tak ada lain jalan selain dari segera menobros keadaan yang timpang ini dengan kepala yang dingin. Menyuruh pulang Kabinet sekarang ini tidak membukakan jalan sama sekali. Minggu yang lalu kita sudah kemukakan bahwa bagi Kabinet tidak ada alasan sama sekali untuk mengembalikan mandatnya pada tingkat ini, sebelum ada konfrontasi dengan Parlemen sekali lagi. Kalau Kabinet ini sampai disuruh pulang oleh Parlemen, tidak ada harapan akan dapat dilakukan pemilihan-umum dalam waktu „yang singkat" bahkan tidak dalam tahun 1953. Malah menurut taksiran kita tak ada jaminan bahwa akan dapat terbentuk satu Kabinet parlemen-ter, —andai-kata Kabinet baru itu dapat diterima oleh Parlemen atas program apa saja nanti—, yang tidak akan terjungkil pula dalam beberapa bulan, sebelum pemilihan-umum dapat dimulai, bahkan sebelum selesai sesuatu undang2 pemilihan-umum. Demikian pula tak ada alasan yang cukup untuk membubarkan Parlemen pada tingkat sekarang ini, begitu saja. Selain dari pada, —sebagaimana yang kita kemukakan minggu yang lalu—, akan menimbulkan satu precedent yang menggoyahkan semua dasar bertindak se- terusnya, juga itu berarti menghindarkan kesempatan bagi Parlemen menghadapi tanggung-jawabnya, sedangkan Parlemen kita ini (lucu atau tidak) akan bisa dianggap „tewas sebagai martelaar untuk demokrasi dalam sejarah"



Jika kita hendak berdemokrasi, pokok pertama kita perlu menyadari bahwa demokrasi itu mengandung beberapa hak, untuk turut mengarahkan politik kenegaraan tetapi juga mengandung tanggungjawab yang harus dipikul oleh si pemakai hak, –baik pada pihak Pemerintah atau pihak Parlemen. Jikalau tanggung-jawab ini tidak hendak sama2 disadari dan tidak hendak sama2 dipikul, yang akan terlaksana adalah anarkhi, bukan demokrasi. Sekarang sudah kelihatan beberapa tanda2 kegiatan mencari jalan keluar. Ketua Parlemen Sartono mengadakan „hearing" dengan partai2. Kita duga beliau tidak akan lupa menghearing partai beliau sendiri. Rupanya sama2 mencari dasar persamaan di tengah2 beberapa pendapat2 yang bertentangan, tentang bubarnya Parlemen atau tidak itu, dan tentang „representatif" atau tidaknya Parlemen sekarang, dsb. Dasar persamaan yang sudah kelihatan ialah : 1. Semua pihak menghendaki pemilihan-umum.



supaya



lekas



diadakan



Ini tidak ada yang menyangkal! 2. Setelah mendengar beberapa keterangan sampai kini, dari Perdana Menteri Wilopo, P.N.I., Pimpinan P.S.I.I., P.I.R. dll., tidak ada lagi majoriteit Parlemen yang mau supaya Pemerintah bubar. Sebagian terbesar dari Parlemen ini menghendaki Pemerintah berjalan terus. Suara dari masyarakat di luar Parlemen sudah lebih dari terang sejak semulanya. Untuk mengadakan pemilihan-umum dengan segera itu perlu ada undang2nya dengan segera. Untuk undang2 ini perlu suatu Pemerintah dan satu Parlemen. Satu2-nya jalan ialah supaya Pemerintah ini, me-



nyusun undang2 itu dengan segera ber-sama2 dengan Parlemen ini juga, dengan segala kekurangan2 yang ada pada kedua atau salah satu dari dua badan itu. Menyuruh Parlemen pulang dalam tingkat sekarang ini, tidak akan memberi kekuatan yang cukup kepada Pemerintah untuk mengatasi semua kesulitan yang dihadapinya. Menyokong Kabinet ini, sehingga terjamin keselamatan berjalan-nya parlementarisme di negeri kita ini seterusnya, perlu dikemukakan. Mau tak mau, yang satu memerlukan yang lain! Kalau ini memang sudah sama2 dijadikan pangkal pikiran untuk mengatasi segala kesulitan dalam Negara, dan menghilangkan segala macam kejelekan sistem demokrasi kita sekarang ini, maka yang harus menjadi tuntutan berpikir dan bertindak seterusnya, semenjak saat konfrontasi antara Pemerintah dan Parlemen, ialah bahwa pihak Pemerintah jangan „memberi" kurang dari apa yang praktis dapat disanggupinya, dan Parlemen jangan menuntut lebih dari apa yang praktis dapat dijalankan oleh Pemerintah dalam keadaan sekarang ini. Kalau memang sudah begitu, ini adalah satu jalan yang dapat ditempuh. Parlementarisme yang sudah kita pilih sebagai bentuk demokrasi di negeri kita sekarang ini, hanya bisa hidup, dan hanya akan membawa paedah bagi Negara kita ini, apabila pendukungnya sama2 mampu untuk merasakan pembagian tanggung-jawab itu dan apabila masing2 sama2 bersedia memikul beban bersama atas dasar harga-menghargai.



Ini yang dituntut di saat2 seperti sekarang, dari semua kita. Dari Parlemen, dari Pemerintah dan dari alat2-nya baik militer ataupun sipil, dan dari semua warganegara pencinta demokrasi ! Kalau sama2 hendak selamat! 8 Nopember 1952



MARI SELAMATKAN NEGARA Pada hari ini tepatlah 2 bulan telah berlalu semenjak „Peristiwa 17 Oktober” yang menggemparkan itu. Dalam waktu 2 bulan itu banyak yang terjadi, yang merupakan kelanjutan dan akibat2 dari padanya. „Peristiwa 17 Oktober” bukanlah satu keadaan yang berdiri sen-diri, akan tetapi adalah salah satu simptom dari keadaan tragis dalam hidup kenegaraan kita semenjak beberapa waktu yang silam. Satu hal sudahlah pasti, yakni Negara kita berada dalam kesulitan. Dan kalau hal itu hanyalah merupakan kesulitan saja, kita tidak perlu kuatir, tapi, kesulitan itu sekarang menyebabkan suatu keadaan yang membahayakan. Keutuhan tentara menjadi rusak, nafsu saling berkobar, kesatuan umat dan Negara jadi terancam. Pun „Peristiwa 17 Oktober" itu mudah digunakan jadi bahan agitasi oleh anasir2 yang memusuhi Negara dan bangsa kita. Bilamana kita lengah, Negara bisa dikacaukan. Sebab itu kita semualah yang berkewajiban menjaga agar bahaya jangan terjadi. Hari ini kita dengar, bahwa Kolonel Bambang Sugeng diangkat menjadi Pemangku K.S.A.D. Setelah 2 bulan, baru Pemerintah dapat mencapai satu usaha yang agak nyata untuk menuju ke arah jalan keluar, dari keadaan yang sulit dan berbahaya ini. Tapi ini tidak berarti, bahwa penyelesaian sudah tercapai; ini baru merupakan usaha pertama penahan proses desintegrasi dan pecah-belah yang sedang berjalan. Kami berkurban untuk nila2-hidup yang menghidupkan. Dalam saat seperti sekarang ini kami merasa wajib mengemukakan pernyataan.



Pernyataan2 ini, terutama kami tujukan kepada bangsa kita umumnya dan Muslimin Indonesia pada khususnya. Dalam konstelasi Negara kita, Muslimin Indonesia, mempunyai funksi yang tidak boleh diabaikan. Apakah funksi Muslimin Indonesia itu? Bangsa Indonesia adalah umat Muslimin; suatu bagian dari pada umat2 Islam, yang besar bilangannya di seluruh dunia. Di antara bangsa kita, ada yang rupanya melupakan hal ini. Mereka itu sekarang perlu kita ingatkan kembali. Hendaklah disadari, bahwa Masyumi bukanlah se-mata2 Partai Politik dalam arti istilah biasa. „Masyumi" adalah saluran suara politik dari apa yang hidup dalam jiwa jumlah terbanyak dari Muslimin Indonesia. 90% dari bangsa Indonesia adalah Muslimin dan merupakan tulang-punggung dari bangsa Indonesia. Bagian terbesar dari tentara terdiri dari Muslimin. Pemerintah sipil, -dengan sedikit pengecualian—, dijalankan oleh Muslimin. Dalam revolusi terhadap Belanda dan penjajahan, kurban terbanyak telah diberikan oleh Muslimin. Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Trunodjojo dan akhir2 ini, Jenderal Sudirman antaranya, juga telah memberikan jiwanya untuk Kemerdekaan Indonesia. Semua mereka itu adalah Muslimin. Semoga hendaknya daftar-kurban ini tidak perlu lagi kami tambah. Akan tetapi, kepada mereka yang hendak merusak Islam, saya berkata: „Di mana perlu, kami sedia akan tambah lagi daftar Syuhada2 ini dengan ber-juta2 nama lagi, kalau Indonesia dan Islam akan diganggu kemerdekaannya".



Kami mengerti, bahwa kemajuan tidaklah dapat diperoleh dengan tak melakukan koreksi atas diri sendiri dari dalam, dan dengan tak ada kritik yang konstruktif dari luar. Kami dapat menghargai lawan politik kami, dan mata kami tetap terbuka. Kami mengetahui dan sadar, bahwa serangan2 yang ditujukan kepada umat Islam, sebenarnya adalah bertujuan untuk menghancurkan Negara dan bangsa Indonesia. Saya peringatkan kepada semua orang yang mendengar kata2 ini atau yang membaca apa yang saya katakan sekarang, ialah, bahwa „Masyumi" sebagai ujud organisasi terbesar di seluruh Indonesia, adalah mempunyai semangat jihad. Masing2 dari kami, dapat didiamkan" dengan bermacam cara, tapi ribuan orang akan menggantikannya. Dan kalau yang ribuan itu di-„diamkan" juga, maka ratusan ribu orang akan menggantikan mereka; selanjutnya, ber-juta2! Kami tidak bisa tinggal diam dan kami tak dapat dipatahkan. Semenjak 1372 tahun sampai sekarang, Islam selalu dalam serangan dari musuh2-nya. Kami pernah dijajah, pernah disiksa, pernah diperbudak dan pernah mengalami pembunuhan besarkan, tetapi penghancuran Islam tidaklah mungkin, malah sebaliknya yang hendak menghancurkan itu, akan dihancurkannya. Kami bersedia untuk memaafkan. Tapi kami tidak bersedia untuk mengalah. Kami berjuang mencari keridaan Ilahi, Yang membawa manusia kepada nila2 hidup yang menghidupkan. Jakarta, 17 Desember 1952



POKOK PERSOALAN 17 OKTOBER Konperensi perwira2 di Jogjakarta sudah menghasilkan beberapa keputusan yang penting2. Pokok keputusan itu ialah melikwidasi bekas2 keretakan dalam kalangan tentara sendiri yang ditinggalkan oleh apa yang dinamakan „peristiwa 17 Oktober". Soal „peristiwa 17 Oktober" sebagai keseluruhannya („voorspel", peristiwanya, dan „naspelnya") itu sebenarnya mempunyai tiga aspek: aspek politik, aspek juridis dan aspek yang mengenai organik ketentaraan sendiri. Lama soal ini ter-katung2 belum mendapat penyelesaian ! Pertama oleh karena orang terus ragu2, dari sudut mana dari yang tiga itu harus dimulai penyelesaiannya. Dari sudut juridiskah, atau dari sudut politiskah atau dari sudut organik ketentaraankah. Lagi pula pendapat ber-beda2 tentang apakah sesungguhnya yang dinamakan „penyelesaian" itu. Tindakan2 yang telah diambil. Pemerintah Wilopo buat sementara telah mengambil beberapa tindakan administratif, sambil menunggu kelanjutan penyelesaian, yang menurut pendapatnya harus melalui jalan juridis. Jaksa Agung sudah memeriksa beberapa perwira2 yang dianggap bersangkutan. Dan kabarnya sudah hampir selesai dan akan dibawa ke muka hakim. Dalam pada itu Presiden selaku Panglima Tertinggi telah pula mengadakan suatu pertemuan perwira2 seluruh Indonesia di Istana Merdeka diakhir tahun 1953, untuk memulihkan keutuhan Angkatan Darat. Entah bagaimana hasil dari pertemuan besar itu kita tidak mendengar apa2, selain dari pada membaca statemen dari perwira2 pene-



rangan yang samar2, ditambah dengan ceritera2 burung dari mulutkemulut. Dari Kejaksaan Agung juga tidak didengar apa2 lagi. Di mana tersangkutnya soal ini khalayak ramai tidak mengetahuinya. Apakah lantaran usaha Istana „sudah menyelesaikan" semua persoalan, ataukah lantaran usaha Jaksa Agung dan usaha Istana itu satu sama lain bertentangan jalan, kita tidak tahu ! Parlemen sendiri yang tadinya oleh peristiwa 17 Oktober itu terancam kedudukannya, sudah lama „stabil" kembali; dan sudah dapat ramai2 memperdebatkan dan menggoalkan apa yang dinamakan P.P.35, serta sebuah undang2 yang mengenai susunan pimpinan Angkatan Perang. Berdasarkan kedua per-undang2-an ini Jenderal Mayor Simatupang dengan legal-parlementer dan organis sudah dapat disingkirkan dari kedudukannya sebagai K.S.A.P. Pejabat K.S.A.D. dalam pada itu, sudah dapat pula diangkat menjadi K.S.A.D. tetap, dengan pangkat Jenderal Major. Akan dipengapakan bekas K.S.A.D. Kolonel Nasution beserta perwira lainnya yang ber-sama2 dengan dia telah dibebaskan, akan dipengapakan perwira2 yang lain yang telah bertindak di Makassar, di Palembang dan di Surabaya, tindakan mana dianggap sebagai akibat dari peristiwa 17 Oktober itu, akan bagaimana reorganisasi Angkatan Darat dan pembangunan Angkatan Perang seterusnya, — tentang soal2 ini baik publik di luar, maupun politisi dalam Parlemen atau Kabinet, tidak menunjukkan nafsu yang agak besar untuk menghadapinya dengan sungguh2 dan secara langsung mengenai pokok persoalan. Kesedaran baru.



Rupanya sementara itu dalam kalangan tentara sendiri timbul kesedaran baru, yakni bahwa dengan ter-katung2-nya soal ini, yang paling menderita ialah tentara sendiri, yakni tidak ada ketenteraman hati untuk bekerja dan mulai timbulnya gejala2 apatis, —masa-bodoh —, dan terhentinya pembangunan ketentaraan sama sekali. Maka rupanya inilah faktor yang mendorong mereka untuk mengambil inisiatif mencoba menyelesaikan apa yang dapat mereka selesaikan dalam kalangan Angkatan Darat sendiri. Perwira2 dari seluruh Indonesia telah berkumpul dan telah berusaha mengatasi segala macam perasaan antara mereka dengan mereka, dan membulatkan tekad untuk menjaga keutuhan tentara. Dalam hal ini kita dapat bersyukur bahwa konperensi tersebut sudah mencapai tujuannya. Dalam pada itu, apabila orang menyangka bahwa pokok persoalan sebagai keseluruhan sudah selesai sama sekali, tentu orang itu akan salah tampa! Apa yang sudah tercapai oleh konperensi itu adalah se-mata2 satu langkah untuk melapangkan jalan bagi Pemerintah dan politisi umumnya untuk melanjutkan usaha penyelesaian. Apa yang diberikan oleh konperensi itu ialah penciptaan satu suasana yang baik di dalam kalangan mereka sendiri, agar tindakan2 selanjutnya dari Pemerintah tidak lagi akan disangkut-pautkan sangat dengan soal apa yang dinamakan „pro dan kontra" 17 Oktober. Dengan ini sebenarnya kalangan tentara sudah memberikan modal kepada Pemerintah untuk menghadapi soal ketentaraan dengan arti yang lebih luas dari pada soal 17 Oktober. Pokok persoalan.



Tergantung kepada kemampuan Pemerintah apakah modal yang telah diberikan itu akan mewujudkan hasil2 yang positif dalam rangka pembangunan ketentaraan dan Negara pada umumnya, ataukah akan menjadi kenang2-an semata, sedang soal-pokoknya tenggelam di tengah jalan. Menurut hemat kita berkat obat yang diberikan oleh waktu selama dua tahun setengah, orang sudah harus mampu melihat persoalan dalam proporsi yang sebenarnya. Pokok persoalan yang fundamentil ialah soal pembangunan ketentaraan. Yakni pembangunan tentara yang tumbuh dalam revolusi dari ber-bagai2 laskar dan badan2 perjuangan dan yang sudah menjalankan revolusi itu dengan hasil yang baik selama 5 tahun. Yang selebihnya adalah rentetan aksi dan reaksi yang bersumber kepada soal pokok ini. Untuk pembangunan ini diperlukan reorganisasi. Rencana reorganisasi ini tadinya tidak disetujui oleh sebagian dari tentara. Pertentangan pendapat dalam tentara ini sebelum sampai dapat diatasi dalam lingkungan tentara sendiri, telah diambil oper oleh Parlemen. Parlemen bermaksud hendak mengoreksi tentara. Langkah2 yang telah diambil oleh Parlemen dirasakan oleh sebagian tentara dan pimpinannya sebagai tindakan yang berkelebihan atau melewati batas. Tentara yang menganggap demikian bermaksud hendak mengoreksi Parlemen dengan apa yang disebutkan peristiwa 17 Oktober. „Langkah pengoreksian" ini dirasakan sebagai langkah yang berkelebihan atau melewati batas pula oleh sebagian tentara yang lain didaerah2. Mereka ini hendak mengoreksi pula tentara di Jakarta dengan cara mereka sendiri, yakni sebagai peristiwa Makassar, Surabaya dan Palembang. Ini pun dianggap melewati batas !



Demikianlah telah terjadi suatu aksi yang diikuti aksi dan reaksi yang be-rangkai2 sehingga semua yang bersangkutan, baik politisi ataupun tentara sendiri, kebanyakannya tak tahu dari mana soal ini harus diselesaikan lebih dahulu. Sedangkan pokok persoalan yang menjadi dasar, hilang di tengah. Funksi hasil konperensi. Maka funksi dari hasil konperensi perwira di Jogjakarta itu, dalam hubungan ini memutuskan suatu lingkaran yang tadinya tak berujungberpangkal. Kita mengharapkan supaya Pemerintah dapat memulai lang- kah2-nya dengan cara yang positif dan menuju kepada pokok-persoalan yang sebenarnya, terlepas dari pada soal: apakah terhadap orang yang bersangkutan akan ditempuh jalan yuridis ataupun menurut secara politis (dasar oportunitet), —yakni soal pembangunan Angkatan Perang menurut rencana yang rasionil dan dapat dipertanggung- jawabkan serta untuk itu memobilisir segala tenaga2 potensil yang baik, yang ada dalam lingkungan ketentaraan. Kalau ini tidak hendak diusahakan sungguh2, dan orang merasa sudah lega dan berhenti di tengah jalan oleh karena tentara tokh tidak „rewel2" lagi, sedangkan beberapa „biang-keladi" yang tadinya merupakan „duri dalam daging" tokh sudah disingkirkan secara adminis-tratif atau secara legal dan parlementer, orang lalu anggap soalnya sudah selesai, —maka kita khawatir bahwa semua usaha2 perwira di Jogjakarta itu termasuk upacara persumpahan-pembulatan-tekad, akan sia2 belaka. Mudah2-an janganlah demikian ! 10 Maret 1953



LINGKARAN YANG TAK BERUJUNG-BERPANGKAL Setelahnya beberapa lama orang se-olah2 tidak lagi ingat kepada tragedi yang sangat menyedihkan di Aceh, yang telah berlaku semenjak 1 1/2 tahun yang lalu, baru2 ini umum terperanjat kembali mendengarkan berita sedih yang telah terjadi di sana sebagai akibat dari keadaan yang telah ber-larut2 sampai sekarang ini. Surat2 kabar „Peristiwa" dan „Bijaksana" yang terbit di Kutaraja telah menyiarkan kejadian2 di Cot Jeumpa dan Pulot Leumpung di mana menurut berita itu telah terbunuh 93 orang rakyat. Berita itu dilengkapi dengan keterangan waktu dan nama2 lengkap dari kurban peristiwa tersebut. Kabar itu cukup mengerikan dan tentu melukai hati tiap2 orang yang mendengarnya. Maka se-kurang2-nya harus dapat diharapkan dari Pemerintah tadinya, agar melakukan pemeriksaan secepat mungkin, segera setelah berita itu tersiar. Dan agar diambil tindakan2 yang perlu, berdasarkan hasil penyelidikan itu. Tetapi bukan itu yang dianggap, penting oleh Pemerintah. Dengan serta-merta tanpa periksa lebih dahulu surat kabar „Peristiwa" dipanggil oleh Kejaksaan berdasarkan caranya menyiarkan berita itu. Sesudah seminggu, barulah keluar keterangan dari pihak T.T.I menjelaskan duduk perkara menurut pihak tentara. Sehingga sekarang ini orang banyak mempunyai dua lezing yang berbeda. Kedua macam lezing itu, perbedaannya terletak bukan tentang feit atau ke- jadiannya, akan tetapi terutama ditentang rangkaian kejadian dengan keadaan2 sebelumnya, dan tentang suasana dalam mana kejadian itu berlaku.



Dalam pada itu sk. „Peristiwa", dari pada berkurang malah bertambah kegiatan dan ketegasannya untuk menyiarkan berita2 yang serupa dengan apa yang telah disiarkannya lebih dahulu itu. Pemerintah sendiri sampai sekarang belum kelihatan keaktifannya untuk menyelidiki hal ini dengan sungguh2, agar khalayak ramai terlepas dari pada perasaan gelisah seperti sekarang. Walaupun bagaimana juga, lezing yang penghabisan dan yang harus diperpegang tentang kejadian tersebut, dan yang amat menyedihkan itu, adalah hanya sebagian dari pada peristiwa tragedi Aceh dalam arti yang luas. Demoralisasi dan ekses. Satu pengangkatan senjata atau pemberontakan apabila sudah terjadi, maka kejadian2 selanjutnya tidaklah mudah „distel" lagi, sebagaimana orang dapat menyetel keluarnya air dari pipa. Artinya kalau soalnya tidak dapat diselesaikan pada pokok pangkalnya sendiri dan dibiarkan ber-larut2, maka segala sesuatu akan terlepas dari kendali tarlgan pimpinan ke dua belah pihak. Makin lama bentrokan itu berjalan akan makin banyaklah ekses2 yang terjadi. Dan pada akhirnya, yang menjadi kurban dari segalanya itu adalah rakyat yang tidak bersenjata. Dalam segala bentrokan itu tidak ada pihak yang menang. Yang ada ialah pihak yang kalah! Yang kalah ialah rakyat Indonesia. Kerugian jiwa, kerugian materi dan kerugian moril, apakah rakyat Indonesia itu berbaju seragam atau tidak berbaju seragam, bersenjata atau tidak bersenjata. Ini adalah akibat dari pada tiap2 apa yang dinamakan perang-saudara. Dan apa yang terjadi di Aceh, di Sulawesi ataupun di Jawa Barat tidak kurang dari perang-saudara. Maka makin berlarut perang-saudara itu, makin banyak ekses yang timbul, makin besar dendam dari ke dua belah pihak yang bertempur



dan makin banyak timbul gejala2 demoralisasi dengan segala macam bentuknya. Maka makin susahlah ke dua belah pihak menghela surut, dan makin jauhlah kemungkinan penyelesaian ! Uluran tangan ditampik. Inilah yang kita peringatkan 1% tahun yang lalu, sewaktu peristiwa Aceh masih muda. Kita peringatkan supaya Pemerintah segera mengambil tindakan2 untuk penyelesaian, sebelumnya timbul komplikasi2 baru. Kita tunjukkan bahwa satu2-nya penyelesaian ialah penyelesaian beserta, bukan tanpa pihak yang mengangkat senjata. Di waktu itu harapan masih besar bagi menempuh jalan yang demikian. Dan kita rasa Perdana Menteri belum akan lupa bahwa di- waktu itu ada cukup uluran-tangan dari pihak yang bukan oposisi dan boleh dikatakan akseptabel bagi semua pihak, malah dari pihak oposisipun cukup uluran-tangan untuk mencari penyelesaian yang dapat menghindarkan pemborosan jiwa dan tenaga. Akan tetapi usaha yang demikian itu ditampik mentah2. Pemerintah silau matanya, tidak dapat melihat kemungkinan terjadinya proses yang membawa Negara ke dalam satu lingkaran yang tak berujung-berpangkal seperti sekarang ini. Pemerintah dan pendukung2-nya hanya meletakkan seluruh kepercayaannya kepada kekuatan materi: Senjata ! dan sen- yata ! dan senjata ! Akibatnya ialah apa yang kita lihat sekarang ini ! Sekali lagi kita bertanya sampai berapa lamakah lagi Pemerintah hendak membawa Negara ini merantjah kedalam rawa ............... ?! 19 Maret 1953



KERAGAMAN HIDUP ANTAR - AGAMA Takut ! Ada orang yang berkata bahwa takut adalah penasihat yang tidak baik. Dari orang yang penuh ketakutan dan kekuatiran, susah diharapkan pandangan yang jernih dalam menilai sesuatu keadaan. Menurut istilah orang sekarang, tidak mudah baginya melihat sesuatu dengan ukuran yang sebenarnya. Tambahan pula, takut apabila sudah sampai kepuncaknya, akan dipakai jadi sumber kekuatan oleh yang takut, dengan cara2 orang di dalam ketakutan, dengan segala akibatA-nya, yakni dengan terburu nafsu dan sebagainya dengan hasil yang sama sekali tidak diharapkannya sendiri. Pada galibnya, kekuatan yang bersumber pada ketakutan dan dipergunakan dalam ketakutan, akibatnya ialah kerusakan ! Di kalangan masyarakat kita sekarang ketakutan sering kali mempengaruhi jalan pikiran orang dan kalau kita tidak sama2 awas, ketakutan inipun mungkin menjadi salah satu pendorong, dari pikiran dan langkah2 selanjutnya. Saya tidak hendak mengupas falsafah takut ini dengan secara berdalam2 dan bukan pula maksud saya untuk membicarakan takut dalam bentuk takut rugi, takut ditangkap atau takut dimutasikan, yang juga mulai merajalela sekarang ini. Tetapi saya ingin meminta perhatian kita kepada satu macam ketakutan yang tumbuh di kalangan bangsa kita yang tidak seagama dengan kita.



Tatkala Undang2 Dasar Sementara R.I. yang sekarang ini dibicarakan dalam Parlemen, ternyata bahwa pasal 18 U.U.D.S. tersebut yang menjamin kemerdekaan beragama di R.I. dirasakan oleh saudara2 sebangsa kita yang beragama Kristen belum cukup menjamin kemerdekaan beragama di negeri ini. Bunyi pasal 18 tersebut: „Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsafan batin dan pikiran". Ternyata bahwa ada semacam ke-ragu2-an di kalangan para anggota Parlemen, terhadap sikap umat Islam di sini, tentang kemerdekaan beragama ini. Ke-ragu2-an ini, syukur sudah dapat dihilangkan di kalangan Parlemen, setelah mengadakan rapat yang khusus tentang itu, di mana ketua fraksi Masyumi membentangkan pendirian Islam tentang pasal tersebut. Habisnya ke-ragu2-an ini di kalangan Parlemen, belum berarti bahwa ketakutan ataupun kekuatiran di dalam masyarakat tentang sikap umat Islam terhadap kemerdekaan beragama ini, sudah lenyap pula. Dan selama ketakutan yang demikian itu masih hidup di dalam masyarakat, adalah kewajiban bagi kita, berusaha dengan giat untuk menghilangkan kekuatiran2 tersebut. Usaha ini tidak dapat dijalankan oleh l a 2 orang saja, akan tetapi harus dilakukan oleh masing2 kita, sebab, ini mengenai satu segi dari ideologi kita yang harus kita dukung, kita tumbuh dan suburkan dalam masyarakat seluruh bangsa kita umumnya. Sudah ada satu cita2 kemerdekaan beragama yang diajarkan oleh Islam dan yang diketahui oleh orang banyak, dan yang merupakan cara pemecahan soal yang dihadapi oleh Negara kita, yakni: „Menjaga keragaman hidup di- dalam lingkungan R.I. ini yang terdiri dari penduduk yang ber-beda2 agamanya.



1. Perlu ditegaskan bahwa tauhid pada hakikatnya adalah suatu revolusi ruhani yang membebaskan manusia dari pada kungkungan dan tekanan jiwa dengan arti yang se-luas2-nya. Tauhid membebaskan manusia dari pada segala macam ketakutan terhadap benda dan takhjul dalam bentuk apapun juga. Tauhid membawa orang iman kepada Tuhan, terhadap Siapa dia menundukkan jiwanya. Keimanan kepada Tuhan itu diperoleh dengan jalan yang bersih dari pada segala macam paksaan. 2. Adalah sunatullah, bahwa sesuatu keyakinan yang se-benar2-nya keyakinan, tidak dapat diperoleh dengan paksaan. Maka agama yang se-benar2-nya agama, menurut Islam ialah agama yang sesuai dengan sunatullah ini. Yakni tidaklah bernama agama jika agama itu hanya berupa buah bibir, sekedar pemeliharaan diri dari bahaya luar, tidak tumbuh subur di dalam jiwa yang bersangkutan. Berkenaan dengan ini tegas Islam mengemukakan kaidahnya: „Tidak ada paksaan dalam agama". (Al-Quran). Ini pokok pandangan Islam terhadap agama umumnya. 3. Keimanan adalah karunia Ilahi, yang hanya dapat diperoleh dengan ajaran dan didikan yang baik, dengan dakwa dan panggilan yang bijaksana serta diskusi (mujadalah) yang sopan dan teratur. Umat Islam berpegang kepada khithah memanggil orang ke jalan Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran: panggillah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pendidikan yang baik dan bertukar pikiranlah dengan cara yang lebih baik". Orang Islam hanya disuruh memanggil, sekali lagi memanggil! Memanggil dengan cara yang bersih dari segala yang bersipat paksa. Di dalam pergaulan hidup se-hari2, di mana perbedaan tidak dapat dipertemukan, perbedaan tentang paham, amal, agama dan se-



bagainya, maka seorang Islam tidak boleh tinggal pasif dan tenggelam serta lumpuh hatinya melihat persimpang-siuran perbedaan2 itu. Perbedaan tentang ibadah dan agama, tidak boleh menyebabkan putus asanya seorang Muslim di dalam men- cari titik persamaan yang ada di dalam agama2 itu. Seorang Muslim itu diwajibkan untuk mengambil inisiatif, menyernihkan kehidupan antar-agama dengan memanggil orang2 yang beragama lain, yang mempunyai Kitab berpedoman kepada Wahyu Ilahi: „Ya, Ahli Kitab, marilah bersama2 berpegang kepada Kalimah yang bersamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak akan sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutuan-Nya dengan sesuatu jua” (Al-Quran, surat Ali-Imran: 64). Umat Islam harus tahan hati dan tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu walau dari mana pun datangnya, dari dalam atau dari luar, dalam menegakkan kejernihan hidup antar-agama ini. Dengan penuh keyakinan akan kebenaran yang ada pada sisinya dan keluasan dada yang ditimbulkan oleh kalimat tauhidnya, — kalimat tauhid yang membawa keyakinan kepadanya, bahwa Allah adalah Tuhan bagi segenap manusia, maka seorang Muslim harus memancarkan disekelilingnya jiwa tasamuh dan toleransi dalam menghadapi agama lain. Ajaran Islam menghadapi orang yang berlainan agama, adalah sebagai berikut: „Katakanlah : Aku diperintah untuk berlaku adil di antara kamu, Allah adalah Tuhan kamu dan Tuhan kami; bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu dan tidaklah ada perselisihan antara kamu dan kami. Allah akan menghimpun antara kamu dan kami. Dan kepadanyalah tempat kita semua kembali!(A1-Quran, surat As-Syura: 15).



Toleransi yang diajarkan oleh Islam itu, dalam kehidupan antaragama bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif. Ia itu aktif ! Aktif dalam menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia senantiasa untuk mencari titik persamaan antara ber-macam2 perbedaan. Bukan itu saja ! Kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah suatu nilai hidup yang lebih tinggi dari pada nilai jiwanya sendiri. Apabila kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan agama bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang Muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan ahli agama tersebut agar manusia umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masing2, dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya. Al-Quran mengajarkan: „Seorang Muslim diperintah untuk berjuang mempertahankan orang yang kena kezaliman, yaitu mereka yang diusir dari tempat kediamannya hanya lantaran mereka bertuhankan Allah. Ia harus berjuang untuk mempertahankan biara2, gereja2, tempat2 sembahyang dan mesjid2 yang di dalamnya diseru dan disebut nama Allah". Demikianlah tegasnya ajaran Islam berkenaan dengan hal ini. Dan demikian pula sunnah Junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. dan khithah amal para Sahabatnya, yang nyata2 dapat bertemu dalam tarikh dan riwayat, dalam melaksanakan ajaran Islam dalam peri kehidupan antar-agama. Ini pulalah khithah yang hendak ditegakkan dan dilaksanakan oleh umat Islam, di dalam negara R.I. ini. Se-mata2 bukan lantaran apa2, tetapi lantaran mengharapkan keridaan Ilahi. Setelah kita menjelajah apa yang tersebut di atas, maka kita hendak bertanya sekarang: Kalau tidaklah ajaran Islam yang menjamin



kemerdekaan beragama dan menyuburkan kehidupan beragama di Indonesia ini dengan cara positif itu, tunjukkanlah ideologi manakah lagi selain dari pada Islam yang mampu mengemukakan konsepsi yang lebih tegas dari pada yang diajarkan oleh Islam itu. Jawab pertanyaan di atas ini adalah: Kalau orang memang hendak menjamin kemerdekaan agama dan hendak menegakkan ke- jernihan hidup antar-agama di tengah2 80 juta penduduk Indonesia yang ber-macam2 agama ini sebagai dasar dari kesatuan Negara, maka tidak ada lain pemecahan, melainkan memesrakan paham tersebut dan meluaskan paham itu dalam kepulauan Indonesia yang indah dan permai ini, yang memang watak rakyatnya pada dasarnya adalah bersipat tasamuh itu. Tiap2 orang yang berpikiran sehat, seorang patriot tanah air, ataupun seorang ahli negara yang hendak menegakkan kesatuan negara, tak dapat tidak apabila berani bersikap jujur, pasti akan mendapat dalam pelaksanaan ajaran Islam itu jawab pertanyaan yang dihadapi pertumbuhan negara sekarang ini, yakni: Dengan toleransi yang dikemukakan itu memelihara dan menyuburkan keragaman dan perdamaian antar-agama dalam Negara kita ini. Apa yang dibawa oleh Islam itu bukanlah monopoli umat Islam saja, akan tetapi milik yang akan menyelamatkan kesejahteraan pribadi seluruh masyarakat dalam dunia ini. Maka adalah kewajiban dari tiap2 umat Islam : 1. Memahami ajaran Islam ini bagi diri masing2 dengan sungguh2.



2. Menjadikan ajaran ini jadi pakaian-hidup: dalam berkata, bertindak dan berlaku terhadap masyarakat dikelilingnya, sesuai dengan ajaran tersebut. 3. Memancarkan pengertian ini disekelilingnya dengan tidak membelakangkan agama dan kepercayaan manapun jua, dengan lisan dan sikap perbuatan. Dengan demikian apa yang sekarang merupakan ketakutan dan kekuatiran di kalangan bangsa kita yang beragama lain, pasti akan lenyap, dan akan timbullah pengertian baru yang lebih segar, sebagai dasar yang subur untuk pembangunan lahir dan batin bagi Negara dan isinya. Itulah dia Negara yang berkebajikan yang diliputi oleh keampunan Ilahi. 6 Februari 1954



MENGGALI LUBANG 101 suara melawan 60 telah menyokong dan membenarkan beleid Menteri Perekonomian Iskaq, di waktu mosi Cikwan dimajukan dalam Parlemen. Sekali lagi Pemerintah dan golongan penyokong- nya bisa menepuk dada, bahwa mereka „kuat". Dengan demikian Pemerintah ini dapat terus berjalan mengendalikan Negara menurut kehendaknya. Sadarkah penyokong2-nya itu, kemana Negara ini hendak dibawa? Kalau orang mendengar keterangan2 dari mulut para penguasa Negara dan koran2-nya, rasanya Negara kita ini berada dalam kemajuan dan tak kurang apa2 berkat „tepat" dan „tegasnya segala tindakan dari para Menteri kita itu. Sudah dari permulaannya ia berbicara di muka Parlemen, Kabinet Ali-Wongso berusaha terus untuk meyakinkan bahwa keadaan ekonomi kita tidaklah menguatirkan. Malah, katanya, ada alasan bagi „optimisme yang sewajarnya" begitu katanya ! Tetapi, apakah memang sebenarnya begitu ? Utang. Di lapangan keuangan orang tidak usah mencari jauh2, cukup memperbandingkan balans Bank Indonesia dari seminggu ke seming-gu selama Pemerintah ini berkuasa. Bandingkan umpamanya balans Bank Indonesia tanggal 5 Agustus 1953 dengan balans itu tanggal 5 Mei 1954 yang baru lalu.



Utang Pemerintah kepada B.I. yang di waktu itu berjumlah Rp. 83 juta (di luar utang yang sudah dibekukan) pada 5 Mei yang baru lalu sudah meningkat sampai Rp. 2.687 juta. Ini berarti bahwa pukul rata Pemerintah ini menambah utangnya dengan =t Rp. 290 juta setiap bulan. Pemborosan ini, taklah dapat terus-menerus, sebab tak boleh meliwati batas yang ditentukan oleh undang2. Waktu dalam bulan Oktober 1953, oleh pihak oposisi diperingatkan dalam Parlemen, bahwa kalau Pemerintah tidak awas benar2, maka dalam masa yang tidak lama lagi akan datang saatnya, di mana Pemerintah tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya, a.l. membayar gaji pegawainya, kecuali bila Parlemen memberi izin untuk membuat „menggali lubang" terus, melewati batas yang sudah ditentukan. Dan ini berarti menambah peredaran uang kertas terus. 3) Apa batas yang dimaksud? Batasnya ialah apabila jaminan „mas" atas uang kertas kita sudah sampai 20%. Sembilan bulan yang lalu (5 Agustus 1953) jaminan ini sedikitnya ada 36%. Dua tiga bulan yang lalu Gubernur Bank Indonesia, Mr. Sjafruddin Prawiranegara menerangkan, bahwa jaminan sudah turun sampai 24%. Orang gempar dan Pemerintah mencela penyiaran tersebut, sebab dianggap „menggelisahkan rakyat yang sudah tenteram"…



Di waktu itu fraksi yang berkuasa sekarang tertawa besar dengan cemeeb mengatakan „ah, ini agitasi oposisi saja" !



Pada 5 Mei yang lalu jaminan itu sudah sampai 20.9%. Turunnya dengan kecepatan rata2 ± 0,4% satu minggu. Dan kalau keadaan terus begini merosotnya, jaminan ini dalam 2 a 3 minggu akan melewati turun batas 20% itu. Dan kalau di waktu itu nanti pegawai negeri masih menerima gajinya, itu hanyalah lantaran Parlemen sudah rela memberi izin kepada Pemerintah untuk menggali lubang terus, walaupun jaminan sudah merosot di bawah 20%. Kalau cadangan terus berkurang seperti sekarang, —kita sama sekali belum melihat tanda2 akan berhentinya—, maka pada akhir 1954 ini, jaminan itu hanya akan berjumlah 10-12% saja. Bagi golongan2 yang berkuasa sekarang ini memberi izin untuk menggali lubang terus itu ffua'aTi saja. Mudah dengan „dongkrak" suara 101 atau 102 yang ada dalam Parlemen itu. Dengan suara 100 lebih itu, apa saja bisa diputuskan. Memang menggali lubang adalah satu „usaha" yang paling gampang….! Dan kalau sudah begitu, mungkin juga para anggota Parlemen yang terhormat yang pernah tertawa di bulan Oktober tadi itu, akan tertawa terus pula: „Perduli apa" ? „Kita kuat" „Wat dan nog'!". Tapi akibatnya ialah harga rupiah merosot sama sekali. Kepercajaan akan harga uang merosot. Orang lari kepada barang. Ongkos hidup membubung. Gaji pegawai dan buruh tidak mencukupi. Upah bisa dinaikkan oleh P4P. —Tapi harga produksi membubung pula, sehingga barang ekspor kita tak dapat lagi bersaing di luar negeri.— Devizen bertambah kurang. —Impor dikurangi lagi.— Barang keperluan hidup membubung lagi. —Industri dalam negeri yang memerlukan bahan2 industri dari luar negeri lumpuh, kalau tidak tutup sama sekali.— Produksi barang konsumsi di dalam negeri merosot. —Harganya membubung lagi. Dan begitu seterusnya. Kita



terjerumus dalam satu lingkaran yang tak berujung-berpangkal (vicieuse cirkel). Orang bisa berkata, bahwa urusan jaminan uang 20% itu tidaklah satu2-nya ukuran yang harus dipakai. Memang tidak satu2-nya! Dan kitapun tahu akan hal itu. Tapi, bukankah hal itu tak dapat dibiarkan terus-menerus ? !



Produksi: Produksi umum dalam tahun yang lalu memang bisa dikatakan lebih baik. Volume (banyak ton) ekspor kita malah melebihi dari tahun 1952. Tapi harga ekspor kita merosot! Dan melihat faktor inflasi besar2-an seperti tersebut di atas itu kemungkinan meningkatnya harga ekspor pun tidak ada! Dari tanah konsesi untuk tembakau yang sudah dikurangi sampai 125.000 ha, sebagaimana yang sudah diatur oleh bekas Gubernur Abdul Hakim di Sumatera Utara, sekarang 20% sudah/sedang diduduki secara liar. Pendudukan tanah secara liar ini semenjak 27 Agustus bertambah dengan 5.000 orang, dan masih terus bertambah. Ini bukan „agitasi oposisi" tapi menurut keterangan Ketua Panitia Pembagian Tanah yang resmi sendiri. Dalam itu sedang dirancangkan pula untuk mengurangi lagi 2000 ha dari tanah konsesi, kebun karet, palmolie dan lain2. Itu sepertiga dari konsesi yang ada sekarang. Dalam pada itu sepersepuluh dari tanah konsesi AVROS ini sudah diduduki lebih dulu. Gubernur Amin sudah dua kali mengeluarkan ultimatum supaya orang yang menduduki secara liar ini meninggalkan tempat tersebut. Tapi sampai sekarang orang belum bergerak. Kesudahannya, soalnya



diserahkan kepada, —bukan kepada polisi—, tetapi kepada suatu panitia penyelesaian. Alat Negara kita berpangku tangan melihat dari jauh ......... (dari dekat !!!). Perkara tambang minjak di Sumatera Utara tak usah disebut lagi. Sudah terang. Dikembalikan tidak, dinasionalisasikan, tidak! Cuma rupanya „diperlindungi", entah atas dasar hukum apa. Untuk memajukan produksi dalam negeri, Perdana Menteri Ali pernah menegaskan: „kita akan menciptakan iklim yang baik bagi kapital asing untuk bekerja di sini". Kita bertanya : „Dengan cara begitu itukah Pemerintah ini „menciptakan iklim yang baik untuk memasukkan modal asing itu?". Yang di luar dipanggil dengan statemen2 yang muluk. Yang sudah ada di dalam, saban waktu dikurangi area tempat kerjanya, atau di mana dianggap perlu „diperlindungi", sehingga mereka tidak dapat sama sekali mengerjakan konsesi yang sudah mereka perdapat. Orang pernah berkata bahwa oposisi seringkali mencela Pemerintah bukan atas dasar beleid Pemerintah, akan tetapi di luar beleidnya itu (Dr. Diapari). Memang keberatan kita terhadap Pemerintah ini, ialah bahwa ia tidak mempunyai beleid sama sekali. Apa yang dijalankannya sekarang ini, terutama di lapangan ekonomi, ialah semacam facade politiek, menyuruh orang optimis terus tanpa alasan dan di samping itu terus gali lubang dengan semboyan „apres nous la deluge" — „Sesudah aku, biar dunia kiamat!” 14 Mei 1954



BELA DASAR DEMOKRASI YANG SEDANG TERANCAM. Seruan kepada semua Patriot! Asas2 demokrasi telah ditinggalkan. Kekuatan oposisi hendak dilumpuhkan. Bukan rechtspolitiek tetapi machtspolitiek. Untuk kesekian kalinya semakin jelas, bahwa Pemerintah yang berkuasa sekarang ini, dengan bantuan P.K.I., telah meninggalkan asas2 yang dipegang teguh oleh Pemerintah yang sudah2, sesuai dengan asas2 yang terkandung dalam Undang2 Dasar Sementara Republik Indonesia. Politik di kalangan kepegawaian menunjukkan pula suatu tendens yang sangat merugikan Negara dan mempertajam pertentangan antara partai2 Pemerintah di satu pihak dan partai2 oposisi di lain pihak. Semboyan dalam menempatkan, mengangkat, memindahkan dan melepas pegawai2 bukan lagi: "the right man in the right place", melainkan merupakan pembagian kursi se-mata2 di antara orang2 anggota partai2 Pemerintah. Keuangan dan perekonomian Negara menjadi kucar-kacir karena beleid yang dijalankan Pemerintah sekarang bukan diarahkan kepada kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat, tetapi ditujukan kepada kepentingan partai2 Pemerintah dengan pembagian lisensi2 istimewa kepada orang2 yang sanggup membantu perongkosan partai2 Pemerintah, meskipun mereka sama sekali asing dalam lapangan perdagangan dan perusahaan. Dengan cara yang demikian Negara kehilangan beratus2 juta berupa devizen, sedangkan devizen yang amat



dibutuhkan buat kelancaran industri di dalam negeri sukar diperoleh, hingga banyak perusahaan2 terancam penutupan. Dengan cara2 yang sangat ondemokratis dan berlawanan dengan Undang2 Dasar dan apa yang dinamakan Pancasila itu, — yang menyamin kebebasan bersuara —, sejak semula Pemerintah mencoba untuk memberangus mulut oposisi. Alat2 penerangan Negara, di antaranya Radio Republik Indonesia dilarang menyiarkan pendapat dan berita dari dan tentang pihak oposisi yang dipandang oleh Pemerintah merugikan ke- dudukannya. Dengan demikian maka alat2 penerangan Negara yang dibiayai dengan uang pajak seluruh rakyat dijadikan alat Pemerintah dan partai2 Pemerintah se-mata2, tidak lagi merupakan suatu aparat yang sanggup memberikan penerangan yang objektif kepada masyarakat. Wartawan2 yang bekerja pada pers yang dipandangnya sebagai pers-oposisi dipersulit pekerjaannya dengan sering2 dipanggil di depan polisi atau jaksa. Polisi diberi instruksi untuk melarang pembicara2 pada rapat2 umum membicarakan pemberontakan P.K.I. di Madiun dan dilarang melancarkan kritik terhadap Pemerintah. Sebaliknya partai2 Pemerintah tidak di-halang2-i untuk terus-menerus memfitnah dan me-nuduh2 partai oposisi dan pemimpin2-nya tentang hal2 yang tidak masuk ke dalam akal orang2 yang masih waras pikirannya. Koreksi terhadap tindakan Pemerintah yang se-wenang2 itu, yang oleh pihak oposisi dicoba dijalankan melalui Parlemen, senantiasa terbentur pada dan disembelih oleh kelebihan suara partai2 Pemerintah yang tidak mau menguji kebenaran kritik yang dikemukakan oleh pihak oposisi, melainkan hanya ingin membela kepentingan golongan yang sedang berkuasa.



Dalam tindakan2-nya Pemerintah yang sekarang, nampak jelas satu tendens, yang berbahaya sekali dalam menjalankan kekuasa-annya itu. Tendens yang berbahaya ini memuncak dengan dikeluarkannya keputusan Presiden no. 124 tanggal 18 Juni 1954. Tindakan yang terbaru ini dan mungkin belum merupakan tindakan penghabisan, ialah penambahan jumlah anggota2 D.P.R.S. Kotapraja Jakarta Raya, yang tadinya dibentuk dengan pilihan. Penambahan itu nyata2 bermaksud untuk mendudukkan kekuasaan Pemerintah dalam Dewan Perwakilan itu dengan cara yang meng-injak2 asas2 demokrasi. Untuk tidak terlalu menyolok mata, maka satu dua kursi diberikan kepada satu dua partai oposisi. Penambahan itu telah ditetapkan dengan putusan Presiden No. 124 tanggal 18 Juni 1954, yang dalam hal ini harus diartikan tindakan-politik dari Kabinet. Selain tidak mempunyai ukuran, pun tindakan tersebut mengherankan, tapi kentara siapa dalangnya sebab belum berapa lama, partai2 Pemerintah yang disokong oleh P.K.I. telah mengadakan demonstrasi menuntut pembubaran D.P.R.S. Kotapraja Jakarta Raya itu, karena katanya tidak dipilih oleh rakyat, dan dengan sendirinya tidak mewakili rakyat. Jika sekiranya pemilihan umum di Jakarta tidak mungkin dijalankan, tindakan-darurat seperti itu masih dapat dipahamkan. Tetapi justru pada saat ini, sesudah pendaftaran pemilih di Jakarta hampir selesai, maka salah satu persiapan yang penting untuk melaksanakan pemilihan itu, sudah bisa diatasi. Sehingga jika Pemerintah sungguh2 ada kemauan untuk mengadakan D.P.R. Jakarta Raya yang baru, yang benar2 merupakan perwakilan rakyat, jalan ke arah ku sudah tidak terlalu panjang lagi. Hanya tinggal memajukan rancangan undang2



tentang pembentukan D.P.R.2 Daerah saja lagi, yang sudah dijanjikan oleh Pemerintah dalam keterangannya di muka Parlemen 8 bulan yang lewat, dan sesudah itu ber-kali2 telah pula dijanjikan di muka khalayak ramai. Apalagi Parlemen pun tentu akan memberikan prioritet untuk membicarakan rancangan undang2 mengenai soal itu. Oleh karena itu, tindakan Pemerintah itu hanya dapat diartikan sebagai lanjutan usahanya untuk melumpuhkan dengan cara2 yang ondemokratis kekuatan oposisi dan potensi yang mempertahankan sendi2 demokrasi, yang mungkin pula disusul dengan tindakan2 yang serupa terhadap pemerintahan dan Dewan2 Perwakilan Daerah lainnya, di mana pihak oposisi masih mempunyai pengaruh. Dari tindakan2 Pemerintah dan partai2 yang mendukungnya, sudah jelas, bahwa politik yang mereka jalankan bukanlah suatu rechtspolitiek yang berdasarkan hukum dan asas2 demokrasi, melainkan suatu machtspolitiek yang tidak menghiraukan lagi asas2 susila dan moral dan hanya berdasarkan opportunisme se-mata2. Kalau Pemerintah dan partai2 yang mendukungnya mengira, bahwa suara dan kekuatan potensi yang mempertahankan demokrasi akan dapat dihabiskan dengan tindakan2 yang serupa itu, maka perhitungan mereka akan ternyata meleset sama sekali! Sebagian besar dari rakyat masih tahu membandingkan antara yang hak dengan yang batil. Terhadap golongan ini Masyumi tidak akan meninggalkan semboyan yang menjadi pedoman perjuangannya: “Amar ma'ruf dan nahi munkar" serta mengajak kepada semua patriot2 yang masih mencintai rakyat, Negara dan keadilan : „Marilah kita bersama2 menegakkan terus dasar2 demokrasi dan membendung banjir yang mengancam dasar Negara dari keruntuhannya. "



Sebagai satu partai, yang dalam saat yang bagaimanapun, selalu berusaha mempertahankan Negara dari keruntuhannya, maka Masyumi dengan restan2 hak demokrasi yang masih tinggal akan menentang setiap tindakan Pemerintah yang hendak menghancurkan sendi2 demokrasi di negeri yang kita tegakkan bersama2 ini. 1. Juli 1954



KABINET SATU TAHUN. Umur panjang ……. amal pendek! Harus diakui, bahwa Kabinet Ali-Wongso-Arifin ini memang panjang umurnya. Dalam soal umur tidak kalah, malah menang dengan Kabinet2 yang lampau. Tapi sebagai juga manusia, terutama dalam penilaian orang beragama, bukan panjang-pendeknya umur yang dinilai Tuhan, melainkan amal yang mengisi umur itu. Demikian pun halnya dengan Kabinet. Apa yang sesungguhnya dalam niat Kabinet, itu hanyalah Tuhan yang mengetahuinya. Tapi apa yang telah dikerjakan olehnya, itu adalah haknya masyarakat untuk membuat neraca pekerjaannya. Maka amalnya selama setahun ini dengan cepat dapat kita katakan: sungguh tidak dapat dibanggakan! Suara sayup2 seperti diperdengarkan oleh Menteri Penerangan Tobing dalam interpiunya kepada „Antara" baru2 ini, menunjukkan payahnya "mencari bukti2 untuk dikemukakan kepada umum akan amalnya, hingga terpaksa ia berbangga dengan panjang umurnya ! Pada hal ada satu hal yang terang dapat dibanggakan oleh Kabinet ini, yaitu keberaniannya dalam memaksakan kepada masyarakat segala apa yang diputuskannya, walaupun tahu dia bahwa pendapat umum menentangnya. Keberaniannya itu bersandar atas kelebihan suara dalam Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak representatif itu dan yang



selama umur Kabinet ini telah mengalami kemerosotan dalam nilainya, dipandang dari sudut demokrasi yang sehat, demokrasi yang menjadi salah satu sendi Negara kita. Keadaan ekonomi-keuangan. Kita dahulukan program Kabinet tentang masalah ini, karena soal ini rupanya selalu menarik perhatian, yakni soal kemakmuran rakyat. Dalam program Kabinet Ali-Wongso-Arifin hal ini dicantumkan sebagai berikut: „Menitik-beratkan politik pembangunan kepada segala usaha untuk kepentingan rakyat jelata". Segeralah kita akan berseru: Masya Allah! Kepentingan rakyat jelata manakah yang telah diperhatikan oleh Kabinet dalam menjalan-kan kebijaksanaannya selama ini? Cukuplah kalau keadaan itu dilihat dalam kenyataan, bahwa makin merosotnya nilai rupiah, selama Kabinet Ali-Wongso-Arifin ini. Dan justru rakyat jelata lah yang dapat merasakan akibatnya, dalam makin naiknya harga barang2 kebutuhannya se-hari2. Dan justru pada waktu ini dirasa benar2 hilangnya barang2 kebutuhannya se-hari2 itu seperti tepung, gula dan lain2 sebagainya. Sedang perekonomian-nasional yang katanya menjadi tujuannya, hanya terbukti dalam penghamburan lisensi2 istimewa yang masyhur itu, yang terutama menguntungkan mereka yang dari partai2 Peme-rintah, sehingga akhirnya menjadi pokok-pangkal percekcokan di dalam Kabinet sendiri, di antara beberapa partai Pemerintah yang merasa kurang kebagian-rezeki. Percekcokan mana telah keluar juga tanda2-nya yang tegas dalam surat2 kabar, yang dilancarkan oleh



pihak2 penyokong Pemerintah sendiri, sehingga makin nyata kepada umum, bahwa memang benarlah kritik2 yang selama ini dilemparkan pihak oposisi kepada Pemerintah, antaranya yang berupa mosi Tjikwan dalam Parlemen. Meskipun mosi itu digagalkan oleh fraksi2 Pemerintah, tapi dalam hati-nuraninya sesungguhnya mereka ikut menjalankan beleid Menteri Iskaq itu. Organisasi Negara. Tentang ini, disebut dalam program Pemerintah: Menyusun aparatur Pemerintah yang efisien serta pembagian tenaga yang rasionil dengan mengusahakan perbaikan taraf penghidupan pegawai. Apakah yang sudah terjadi selama ini? Perbaikan itu telah ditempuh oleh Pemerintah dengan mutasi dan pencopotan2 yang terang bertendens untuk kepentingan partai2 yang duduk dalam Kabinet, sehingga beleid Kabinet dalam hal ini pun menjadi salah satu sebab terjadinya percekcokan di kalangan partai2 Pemerintah sendiri. Aparatur Negara, yang sungguh jadi sendi terutama bagi organi-sasi Negara menjadi kacau-balau, dan kelesuan bekerja jadi merata. Akibat semua ini akhirnya akan dirasakan juga oleh rakyat yang mesti mengalami macam2 kesulitan di dalam menghadapi pelbagai kewaji-ban yang diperintahkan kepadanya oleh alat2 Negara. Dan apa lagi gerangan yang akan kita katakan mengenai soal: memberantas korupsi dan birokrasi, yang tercantum dalam program Kabinet juga? Berbagai masalah Kita tidak akan menyangkal, bahwa di sana-sini Kabinet ini telah melakukan tindakan yang bermanfaat sebagai kelanjutan dari apa



yang sudah dirancangkan oleh Kabinet2 jl. Akan tetapi di dalam meninjau neraca pekerjaannya, harus dilihat mana yang lebih meng-untungkan dan mana yang merugikan? Dan suatu Kabinet yang lahir dengan suatu program yang mentereng dan janji yang muluk2, justru berkewajiban memperlihatkan bukti tentang apa yang dijanjikan dan ditonjolkannya itu. Selalu dikemukakan sebagai pokok-usahanya ialah Pemilihan-Umum. Memang telah mulai dilaksanakan. Tapi sampai ke mana yang sudah dilaksanakannya itu? Perhitungan yang diminta oleh Seksi Dalam Negeri, yang terutama menghadapi masalah Pemilihan-Umum itu dapat membuktikan, bahwa sama sekali tidak ada kepuasan terhadap apa yang sudah dikerjakan oleh Pemerintah dalam masalah itu. Memang tidak kurang2-nya alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah dan yang menggelikan ialah keterangannya, yang se-akan2 menuduh pihak oposisi tidak membantu Pemerintah dalam pelaksanaan itu. Pada hal pihak oposisi adalah yang terutama keras menuntut pelaksanaan Pemilihan-Umum se- lekas2-nya sedang partai2 Pemerintah lah yang tampaknya agak takut2 kalau lekas terlaksananya Pemilihan-Umum itu. Belum lagi jika kita hendak membicarakan yang mengenai masalah Keamanan! Menteri Tobing menerangkan, bahwa usaha di lapangan keamanan mendapat kemajuan, dan mengenai keamanan di Jawa Barat katanya berada dalam taraf konsolidasi. Padahal menurut Antara, selama enam bulan pertama, tahun ini, akibat2 kekacauan yang ditimbulkan oleh gerombolan2 lebih besar lagi. 163,000 orang pengungsi belum bisa pulang kedesa mereka dan lebih dari 6.000 rumah2 telah terbakar. 10.000 penggarongan terjadi dan 820 rakyat mati terbunuh dan 30 kali penculikan serta 190 penganiayaan.



Jika dibandingkan dengan angka enam bulan pertama tahun 1953, maka angka2 enam bulan pertama tahun 1954 ini hampir dua kali lipat. Kesimpulan. Itulah berbagai masalah yang mengenai persoalan Dalam Negeri. Sementara itu jika ditinjau masalah yang bersangkutan dengan kepercayaan dunia internasional, maka goodwill yang mestinya diperoleh oleh Negara kita dari luar negeri, keadaannya tidaklah lebih menggembirakan. Faktor yang terpenting yang rupanya belum juga disadari oleh Pemerintah, ialah bahwa kepercayaan dari luar negeri itu selain terletak pada stabilitet politik dan keadaan seumumnya dalam Negara kita, juga dalam beleid politik seumumnya dari Kabinet. Dan beleid politik ini tentunya diukur pada tindak-tanduk Pemerintah yang saban2 memperlihatkan tanda9 terikatnya kepada P.K.I. ! Maka meskipun Pemerintah akhirnya menyatakan mau menerima pemasukan modal asing, namun pernyataan yang demikian itu tidak dapat menimbulkan kepercayaan orang, selama tindakan Kabinet bertentangan dengan perkataannya. Pada akhirnya adalah suatu hal yang tidak kurang pentingnya daripada segala yang disebut di atas, bagi melanjutkan kehidupan Negara dan kepercayaan rakyat untuk melanjutkan perjuangannya, meskipun apa juga yang dideritanya, yakni yang mengenai jaminan kehidupan berdemokrasi. Tindakan2 Pemerintah makin lama makin membuktikan adanya tendens yang menuju kepada pemerintahan yang menjalankan machtspolitiek, politik-kekerasan. Bagaimana juapun yang telah dan akan dikatakan oleh Pemerintah untuk membenarkan tindakan2-nya yang ondemokratis itu, —misalnya yang paling menyolok mata, ialah dalam penambahan anggota2



D.P.R.S. Jakarta-Raya—, tokh rakyat makin mengerti, bahwa sendi2 demokrasi yang selama ini menjadi sumber idealisme rakyat untuk meneruskan perjuangannya, terasa makin goyah, justru oleh kebijaksanaan suatu Pemerintah yang mendasarkan kekuatannya kepada kelebihan jumlah suara dalam Dewan Perwakilan yang telah merosot nilainya itu. Penambahan anggota dalam Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Jakarta-Raya itu sengaja disusun sedemikian rupa, untuk memperkuat kedudukannya se-mata2 jua dan untuk meman-jangkan umurnya ! Umurnya jadi panjang, namun amalnya yang bermanfaat dan berdasarkan demokrasi yang sehat, serta menguntungkan rakyat jelata, makin pendek, dan hal ini bukanlah suatu hal yang boleh dibanggakan! 7 Agustus 1954



SOAL UNIE DAN IRIAN BARAT Akibat gagah2-an dalam politik tanpa perhitungan, hanya menimbulkan harapan yang bukan2 di kalangan rakyat dan memerosotkan kedudukan Indonesia di luar negeri. Pendahuluan. Sebelum kita mengupas hasil dari perundingan tentang Unie dan Irian Barat baru2 ini, terlebih dahulu baik kiranya kita mengingat kembali apa yang telah diusahakan sejak masa2 yang lalu mengenai kedua soal ini. Semenjak Linggarjati, bentuk Unie Indonesia-Belanda merupakan satu keberatan psikhologis dalam perasaan umum di Indonesia. Setelah clash kedua dan perundingan K.M.B. diadakan, maka penyerahan kedaulatan dapat ditanda-tangani, tetapi ber-sama2 dengan mengadakan Unie Indonesia-Belanda (samenval van momenten). Pemerintah Hatta menjadikan Konperensi-Unie untuk memper-baiki kedudukan kita. Konperensi Unie yang pertama, bulan April 1950 dipergunakan oleh Pemerintah Hatta untuk melepaskan kita dari kewa- jiban2 yang dirasakan berat dari perjanjian K.M.B., antara lain: a. Pembayaran rehabilitasi ditolak oleh Pemerintah Hatta, sehingga menjadi urusan Unie-hof, yang sampai sekarang tak dapat mengambil keputusan.



b. Mengurangi beban pembayaran pensiun pegawai2 Belanda dengan 1/4 dari apa yang tadinya telah ditetapkan. Pemerintah Natsir meneruskan perjuangan „mengorek" fasal2 yang memberatkan kita dalam perjanjian K.M.B. Dalam konperensi kedua diperjuangkan soal pembayaran weduwenfonds. Ini berhasil baik. Ikatan fasal 21 dari bagian C (ekonomi dan keuangan) dilepaskan, sehingga kita bisa mengadakan perjanjian dagang langsung dengan negara2 Eropah lainnya. Gagalnya perundingan tentang Irian pada penghabisan tahun 1950 menyebabkan berkobarnya perasaan di Indonesia terhadap bentuk Unie. Kegagalan pembicaraan Irian mau dijadikan alasan untuk membubarkan Unie sebagai tindakan pembalasan terhadap Belanda, yang tidak mau memberikan Irian. Desakan dari Parlemen untuk menghapuskan Unie dan K.M.B. secara unilateral, dapat ditenangkan kembali. Pemerintah Natsir menganggap pembatalan Unie secara unilateral yang se-mata2 sebagai represaille terhadap gagalnya perundingan Irian, adalah satu politik murung yang steriel dan tidak dilihat satu paedah apa2 di dalamnya. Keterangan Pemerintah Natsir, menegaskan dasar politiknya terhadap kedua soal ini. a. K.M.B. mengandung beberapa elemen2 yang merupakan tekanan bagi materiil ataupun psikhologis bagi bangsa Indonesia, termasuk Unie statut dan soal Irian. b. Kegagalan perundingan Irian menyebabkan hubungan IndonesiaNederland sebagaimana yang terjelma dalam K.M.B. itu lebih2 lagi sebagai tekanan. Unie sebagai bentuk kerjasama politik sudah tidak ada dasar hidupnya lagi.



c. Oleh karena itu Pemerintah berpendapat bahwa persetujuan2 K.M.B. termasuk Unie statut, harus ditinjau kembali, disesuaikan dengan situasi baru. Dasar penyesuaian itu „memperbaiki kedudukan rakyat” dan tiap2 perubahan dari sesuatu persetujuan harus dilaksanakan sesuai dengan prosedure yang lazim. Sebelum politik ini dapat dilaksanakan, Kabinet Natsir jatuh. Kesimpulan dari dasar politik ini, ialah : a. Perubahan Unie menjadi perjanjian biasa antara kedua negara dan soal Irian, dilakukan paralel (nevenskhikkend), terlepas antara satu sama lain. Yang satu tidak merupakan pembalasan terhadap yang lain. b. ke-dua2nya dilakukan dengan jalan perundingan. c. Saatnya tergantung kepada Indonesia sendiri. Sementara itu kita mencari kekuatan dengan perhubungan kita di luar negeri untuk menampung akibat2 dan pengganti apa2 yang nanti akan dihapuskan dari persetujuan K.M.B. itu dipelbagai lapangan. d. Unie harus dihapuskan. Irian harus dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia. Ke-dua2-nya harus terlaksana. Tetapi andai kata Irian „dibeli" dengan Unie, maka membatalkan Unie sesudah itu akan lebih sulit. Maka dalam rangkaian dasar pikiran ini pembatalan Unie harus dilakukan lebih dahulu. Sementara itu kita menyusun tenaga ke dalam dan ke luar, sehingga pada satu saat kita cukup kuat dan keadaan international cukup baik bagi kita untuk menghadapi soal Irian. Soal memilih waktunya tergantung kepada kita sendiri. Masa Kabinet Sukiman



Kabinet Sukiman juga mendasarkan penghapusan Unie ini bukan kepada pikiran „pembalasan". Partai2 P.N.I. dan P.K.I. di waktu itu terus mendesak bahwa kedua soal itu harus dibicarakan „interwoven" (berjalin), tetapi pada akhirnya Kabinet Sukiman tetap berpegang kepada cara penyelesaian kedua soal itu dengan cara paralel, terbukti dengan pernyataan Pemerintah sbb.: „Dalam memikirkan segala sesuatu akibat yang mungkin timbul dari usaha revisi tidak bolehlah claim nasional Indonesia terhadap Irian Barat dipengaruhi sedikitpun dan claim nasional itu akan tetap ada dengan segala kekuatannya". Misi Supomo, Agustus 1951. Prof. Supomo yang berangkat ke Negeri Belanda untuk mengada-kan persiapan2 bagi penghapusan Unie menegaskan titik-berat tujuan misinya: „mengganti Unie dengan perjanjian biasa, untuk menyehatkan suasana kerjasama guna kepentingan ke dua belah pihak". Prof. Supomo selanjutnya berkata : „Dengan sendirinya saya tidak melupakan tuntutan nasional kita atas Irian Barat". Pada akhirnya Pemerintah Belanda bersedia untuk membicarakan pembubaran Unie dan soal Irian atas dasar paralel. Masa Kabinet Wilopo. Selama 6 bulan pertama dari masa Kabinet Wilopo, usaha2 ke arah penyelesaian soal Unie dan Irian itu tetap dilakukan berdasarkan atas persiapan2 dan kesediaan Belanda sejak masa2 sebelumnya. Tetapi berhubung dengan peristiwa 17 Oktober yang menggemparkan itu, maka pikiran dan usaha Kabinet terpaksa dibulatkan sepenuhnya ter-



hadap penyelesaian masalah itu, hingga penyelesaian soal Unie dan Irian tadi terbengkalai sampai Kabinet jatuh. Masa Kabinet Ali-Wongso. Kabinet Ali-Wongso memulai lagi usaha pembubaran Unie dan soal Irian dengan gembar-gembor akan memperjuangkan Irian dan membatalkan Unie dengan tidak bersyarat. Kiranya tg. 14 April 1954 lama sebelum delegasi Sunarjo berangkat ke Negeri Belanda, Pemerintah Ali-Wongso ternyata menerima pernyataan yang tegas dari Pemerintah Belanda yang menyatakan tak bersedia sama sekali membicarakan soal Irian Barat itu. Hal ini baru saja kita ketahui waktu penutup perundingan dari ucapan2 menteri Luns, sedangkan selama ini tak pernah rakyat diberitahu tentang sikap Belanda tersebut. Hanya yang kita dengar janji2 muluk dan sikap yang gagah2 serta statemen2 yang hebat dari 32 organisasi pendukung Pemerintah, bahwa soal Unie akan dihapuskan tidak bersyarat dan soal Irian se-olah2 akan diselesaikan segera dengan tak ber-tangguh2 lagi. Pada hal dari pernyataan Pemerintah Belanda tg. 14 April itu saja, sudah menampakkan sikap yang berbeda dari Belanda atas kesediaannya, berlain dengan masa Kabinet2 yang lalu. Justru begitu, Pemerintah menyembunyikan saja isi pernyataan itu, dengan bantuan organisasi2 penyokongnya, malah lebih giat menimbulkan harapan yang bukan2 pada rakyat, kalau tidak akan dikatakan memperdayakan rakyat sama sekali ! Maka sekarang baru kita mengerti apa sebabnya masa di dalam perundingan yang telah dilakukan baru2 ini, pihak Belanda menyatakan tidak mau membicarakan soal Irian sampai delegasi Indonesia hanya membatasi diri dengan memajukan satu protes,



sambil meneruskan perundingan tentang pembubaran Unie dan isi K.M.B., selainnya dari soal Irian. Dan kalau kita melihat hasil yang sudah diperoleh sekarang ini, maka sama sekali tak dapat dikatakan bahwa pembubaran Unie itu sebagai bentuk kerjasama, telah dapat dicapai tanpa bersyarat sebagaimana yang seringkali digembar-gemborkan oleh Pemerintah sebelum diadakan perundingan itu. Apa syaratnya? Syaratnya ialah merupakan satu protokol yang pada keseluruhannya, menegaskan dengan kata2 yang banyak, bahwa apa2 dari perjanjian K.M.B. yang masih berlaku, harus tetap. Dengan demikian maka perjanjian dalam K.M.B. di lapangan ekonomi dan keuangan yang senantiasa digembar-gemborkan orang sebagai „sumber dari kemelaratan di Indonesia" ini diberi garansi supaya tetap berlaku. Yang paling aneh ialah, bahwa yang paling pertama merasa puas dengan hasil perundingan ini adalah P.K.I. sendiri, yang sampai sekarang tidak berhentinya menuduh Masyumi dan Hatta, sebagai orang yang mempertahankan K.M.B. Sebagai khulasah tentang apa yang telah tercapai ini, adalah: 1. Bentuk kerjasama berupa Unie Indonesia-Belanda yang sejak tahun 1951 sama sekali tidak bekerja itu, sekarang dengan resmi sudah dinyatakan tidak ada. Bahwa Unie telah dibubarkan dengan jalan perundingan (tidak „unilateral") adalah sesuai dengan garis politik yang dikemukakan oleh Masyumi selama ini.



2. Orang bisa juga merasa lega, walaupun ini sudah berlaku tanpa unilateral2-an sebagaimana yang tadinya digembar-gemborkan. Dan rupanya dengan diam2 Pemerintah Ali-Wongso dalam hati kecilnya mengakui tidak dapat mengelak dari pada jalan yang telah dikemukakan oleh Masyumi semenjak permulaan dulu, supaya kedua soal, yakni soal Unie dan Irian itu harus diperjuangkan tidak berjalin (interwoven) tetapi paralel. Akan tetapi dalam prakteknya cara interwoven tidak berjalan dan cara paralel juga tidak terselenggara. Karena kenyataan, soal Irian yang senantiasa dimajukan sebagai soal dalam negeri dan soal internasional yang besar sehingga disebut „membahayakan perdamaian di Asia Tenggara", tidak pernah dibicarakan dalam perundingan, oleh karena Belanda sekarang tidak mau lagi membicarakannya. Dengan ini tergambarlah bagaimana merosotnya kedudukan Indonesia di mata luar negeri dan di mata Belanda sendiri, dibandingkan dengan masa delegasi Supomo 2 tahun yang lalu, di waktu mana Belanda masih mau berunding tentang Irian. Perjanjian2 dalam lapangan ekonomi dan keuangan diberi garansi tetap berlaku dan supaya jangan di-utik2 lagi oleh pihak Indonesia. Kenyataan bahwa untuk mengadakan „perubahan2 tentang perhubungan ekonomi dan finansil" ini, tidak menjadi pokok pembicaraan rupanya. Yang menjadi pembicaraan ialah perumusan suatu garansi atas tetapnya berlaku pasal2 tersebut. Tetapi bagi delegasi rupanya ini sangat diperlukan sebagai pembeli pembubaran Unie dengan resmi sebelum tanggal 17 Agustus 1954. „Yang sudah lama mati telah dibubarkan dengan segala upacara, yang masih hidup diberi asuransi jiwa".



Terlepas dari pada soal apakah hasil perundingan itu akan diterima ataupun ditolak oleh Parlemen, khalayak ramai harus mengetahui apa isi dari bungkusan yang dibawa oleh delegasi Indonesia dari Den Haag itu. Kalau ada satu pelajaran yang dapat diambil dari semua ini, maka pelajaran itu ialah bahwa buat kesekian kalinya ternyata aksi gagah2-an dalam politik hanya bisa memerosotkan pandangan luar negeri terhadap Indonesia dan menimbulkan harapan yang bukan2 di kalangan rakyat yang tidak tahu. 21 Agustus 1954



DENGAN „KOMANDO-TERAKHIR" MERANCAH KE DALAM RAWA "Panggilan Negara" dengan prestise Presiden ternyata tak mempan. Istilah „komando-terakhir" ini telah berumur kira2 setahun lebih. Istilah tsb disemboyankan di tengah2 khalayak ramai oleh golongan yang berkuasa sekarang ini, sebagai satu pernyataan, bahwa mereka akan menyelesaikan soal keamanan di Indonesia dengan „cara tegas". Semboyan ini dilontarkan di tengah2 agitasi terhadap politik yang ditempuh oleh Kabinet2 yang lalu, yang katanya tidak cukup tegas bertindak terhadap gerombolan, terutama agitasi itu dilontarkan oleh P.K.I. dan P.N.I. Dengan semboyan yang gagah-menggarang, Pemerintah memulai tindakan2 yang „tegas" itu. Namanya „komando-terakhir" yakni menyuruh „senjata dan bedil supaya berbicara". Dengan segala kekuatan yang ada pada Pemerintah ini setahun lamanya senjata dan bedil sudah berbicara. Dan dalam hal ini tidak ada satupun yang dapat menghalangi Pemerintah, Pemerintah yang mempunyai sokongan begitu kuat dalam Parlemen. Selain dari pada itu, telah dilakukan pula „Panggilan Negara" oleh Presiden sendiri. Presiden telah bersedia untuk mempertaruhkan segenap prestisenya, memanggil Kahar Muzakkar dengan pengikut2-nya supaya menghentikan perlawanan.



Sesudah waktu yang ditentukan lewat, dan ternyata bahwa tidak ada yang mentaati, maka diperintahkan lagi „komando-terakhir" untuk membasmi gerombolan dari darat, laut dan udara. Sesudah itu terdengar kabar, bahwa sudah banyak gerombolan yang menyerah. Wakil P.M. I Mr. Wongsonegoro menceriterakan di muka khalayak ramai di Tasikmalaya bahwa paling sedikit dua-pertiga dari gerombolan di Sulawesi Selatan, telah menyerah. Diterangkan pula oleh Pemerintah bahwa soal belanja untuk penyelesaian keamanan di Sulawesi itu, tidak menjadi soal. Kira2 200 juta rupiah akan dipergunakan untuk maksud itu. Akan tetapi, apa yang ternyata. Setelahnya Pemerintah Pusat mengirimkan orang ke Sulawesi untuk meninjau tempat2 penampungan 2/3 dari seluruh gerombolan yang dikatakan itu, yang mestinya berjum- lah puluhan ribu, ternyatalah bahwa yang bertemu hanya 9 orang, (baca : sembilan orang). Ini diterangkan juga oleh Wakil P.M. II Z. Arifin. Adapun tawanan2 lain memang ada dalam bui2 yang bertebaran, tapi adalah tahanan2 lama sebelum „Panggilan Negara”. Dan di samping itu ada pula gerombolan yang sebentar menyerah untuk menerima uang dan sebagainya, sesudah itu lari kehutan kembali. Ini kenyataan yang pahit! Sekali lagi Presiden kita mempertaruhkan pengaruhnya di Sulawesi Selatan, dan sekali lagi „Panggilan Negara" diserukan terhadap gerombolan2 itu, akan tetapi ternyata tidak juga berhasil. Jangankan Sulawesi Selatan di luar kota2, kota Makassar sendiri pun tidak merasakan keamanan.



Tersiar kabar, bahwa Kahar Muzakkar telah meninggal dunia dan isterinya telah disiapkan untuk diberangkatkan dengan kapal terbang ke Jakarta, untuk didengar keterangan2-nya oleh Jaksa Agung. Akan tetapi keamanan tidak pulih lantaran meninggalnya itu. Sekarang di daerah Sulawesi Selatan timbul istilah baru yang berbunyi: „daerah de facto". Yang dimaksud orang dengan istilah ini, ialah daerah yang terletak di luar 5 km dari jalan besar timbal balik, yang de facto dikuasai oleh gerombolan2. Ini kenyataan yang pahit dan sedih! Dalam rangkaian rencana 200 juta rupiah yang katanya sudah disediakan oleh Pemerintah, untuk penyelesaian soal keamanan (termasuk di dalamnya penampungan dari pada anggota2 gerombolan yang sudah menyerah atau yang sudah lama ditahan) maka jawatan2 Propinsi di Makassar telah menyusun satu rencana untuk penam-pungan di Kendari yang hendak dijadikan sebagai daerah transmig-rasi. Dengan penuh harapan mereka datang ke Jakarta untuk meminta belanja bagi usaha tersebut, yang berjumlah beberapa puluh miliun itu. Tetapi mereka terpaksa pulang kembali dengan tangan hampa, oleh karena kata orang Jakarta, tidak ada uang. Ini pun kenyataan yang sedih dan pahit! Kita masih dapat membuat daftar lain tentang kejadian2 macam ini, baik di Sulawesi Selatan atau pun di Jawa Barat, mau pun di Sumatera Utara. Semua orang yang mengikuti surat kabar tentu akan mengetahui akan hal2 itu. Kita tidak akan memungkiri, malah dari semula telah menegaskan, bahwa soal penyelesaian keamanan ini bukanlah soal yang mudah dan dangkal. Makin lama soal ini ber-larut2 makin sulit menyelesaikannya. Kita akan sangat menghargakan Pemerintah, sekiranya ia mengakui akan kesulitannya dan mengakui bahwa usahanya dengan semboyan „komando-terakhir", dan „suruhlah



senjata berbicara" itu sudah tidak berhasil. Akan tetapi yang tidak dapat kita pahamkan sama sekali, ialah keterangan yang luar biasa dari Pemerintah Ali-Wongso ini untuk terus berkata dengan gagah-perkasa di muka Parlemen pada hari ulang-tahun Proklamasi baru2 ini, se-akan2 soal keamanan itu tidak mendjadi soal yang berat lagi, tenaga gerombolan sudah lumpuh dan yang ada hanyalah pengacauan kecil2-an saja. Pidato itu diucapkan di tengah2 rentetan kejadian2 sebagaimana yang telah disiarkan oleh Antara : —











di Garut kedapatan kepala manusia digantung oleh gerombolan pada suatu papan jalan di dalam kota. 3 kampung di daerah Manonjaya diserang oleh 200 orang gerombolan, kerugian Rp. 202.375,-. di desa Cibeber (Jawa Barat) 35 rumah dibakar, antaranya mesjid dan satu sekolah. Kerugian Rp. 162.400, — .







di Rantajaya (Jawa Barat) 6 rumah dibakar, kerugian Rp. 27-000.







di Leuwidahu (Jawa Barat) 15 rumah dibakar. Kerugian Rp. 122.25.



















Rajapolah (Jawa Barat) diserang oleh 100 orang gerombolan, menembak mati 2 penduduk dan membakar satu rumah. di pinggir Cicalengka terjadi pertempuran: 15 rumah dibakar, 2 orang penduduk dibunuh. 2 orang anak hilang oleh penyerangan gerombolan di Ciamis. Kerugian Rp. 80.000,— kampung Walahar kehilangan rumah karena dibakar. Kerugian Rp. 93.968, — . Seorang murid S.R. ditembak mati, 2 orang luka2.











Cikoret dan Pasanggrahan (Jawa Barat) didatangi 100 orang gerombolan. Tiga anggota Organisasi Keamanan dibunuh. Beberapa rumah digarongi. berita dari Aceh: dua jembatan dihancurkan, 4 km rel kereta api dibongkar. Beberapa km dari Kutaraja, suatu tempat diduduki selama 48 jam.



Demikian berita Antara. Dan daftar ini masih boleh lagi diperpanjang, asal rajin menerima laporan2 dari daerah, yang banyak tidak bertemu di dalam surat2 kabar. Ada satu hal yang menarik hati kita tatkala Pemerintah memberikan keterangan di muka Parlemen berkenaan dengan soal keamanan ini. Di samping menegaskan bahwa Pemerintah akan menggunakan segenap tenaga dan alat2 yang ada padanya untuk membasmi pengacau2 ini, Pemerintah berkata bahwa ia mengharap-kan bantuan dari rakyat dan dia percaya bahwa usahanya itu akan berhasil ! Kita percaya, bahwa dalam masa setahun yang lalu ini, Pemerintah telah menggerakkan segala alat2: angkatan darat, laut dan udara untuk membasmi pengacau2 keamanan tersebut. Dan kalau sekarang sudah kenyataan bahwa tidak berhasil, logisnya orang dapat menyimpulkan, bahwa syarat yang sangat penting rupanya tidak dapat diperoleh oleh Pemerintah dalam lapangan ini. Syarat tsb. yakni hati rakyat dan menggerakkan rakyat itu untuk membantu! Tetapi, kalau orang berkata begini, tentu Pemerintah ini tidak akan mau menerima dan akan menunjukkan bahwa ia mendapat sokongan penuh dari rakyat. Dan dia akan berkata: „lihatlah itu buktinya: …. ", adanya suara terbanyak dalam Parlemen yang menyokong terus2-an dalam Parlemen itu!



Kapankah sampai masanya pembesar2 kita yang bertanggung-jawab sadar akan jalan buntu yang mereka tempuh? Kapankah mereka akan kembali kepada pengertian akan kekuatan dan kelemahan masyarakat, serta aparat negerinya sendiri dan memilih jalan yang kelihatannya tidak begitu gagah, akan tetapi bersandarkan pengertian yang dalam tentang bentuk dan susunan (sociologische structuur) serta jiwa dan psikhologi masyarakat, yang dijalankan dengan pandangan politik (politiek inzicht) yang tajam, seperti yang telah berulang-kali kita kemukakan di dalam dan di luar Parlemen?? Apakah sesudah Pemerintah setahun lamanya melakukan percobaannya yang telah gagal itu, masih juga mau meneruskannya, dan sampai berapa lamakah lagi rakyat dan Negara hendak dibawa merancah ke dalam rawa ? ? Salah satu dari dua kemungkinan: Pemerintah Ali-Wongso dibodohi oleh aparat2-nya, yang memberikan laporan keliru sama sekali, atau dia sama sekali tidak mempedulikan laporan2 yang datang dan hanya hanyut di dalam arus angan2 (wishfulthinking)-nya sendiri. Kalau mereka hendak hanyut sendiri belumlah seberapa, sungguhpun hal ini tidak dapat dimaafkan oleh orang2 yang sedang bertanggung-jawab atas kehidupan Negara. Akan tetapi tidak dapat diharapkan oleh mereka, bahwa rakyat pun akan bersedia terbuai dan terayun bersama2 dalam wishfulthinking-nya itu. Sebab, soalnya mengenai soal mati dan hidup bagi rakyat di-daerah2 yang bersangkutan dan bagi perjalanan Negara selanjutnya. September 1954



KHALAYAK RAMAI DISUGUHI KEAHLIAN BERSANDIWARA Hasil taktik P.K.I. sebagai „menggantang anak ayam”.



orang



Khudzu hidzrakum. 4 Pada akhir2 ini kita dapat melihat beberapa gejala2 keahlian bersandiwara-politik yang dipertontonkan kepada khalayak ramai. Pembukaan perwakilan Sovyet Rusia di Jakarta, rupanya dilakukan di dalam satu rangkaian suasana atau entourage yang bagus sekali kelihatannya. Sebagai mukadimah P.K.I. mengadakan Kongres Nasional di mana P.K.I. menunjukkan sipat „nasionalnya" dengan mengangkat kepala negara Rusia Malenkov dan kepala negara Tiongkok Komunis Mao Tse Tung sebagai ketua2-kehormatan dari Partai Komunis Indonesia. Dari pihak Pemerintah pun giat mengadakan perundingan mengenai persetujuan perniagaan, ber-turut2 dengan pihak blok Sovyet yang sendirinya diiringi dengan „kunjung-mengunjungi" pelbagai golongan antara kita dan mereka. Semuanya atas nama „Gerakan Damai", „Angkatan Muda", „Pembebasan Wanita", „Kebudayaan", „Perniagaan" serta „Ekonomi" dan sebagainya. „Pasar Gambir" dijadikan Pekan Raya Internasional dan dipergunakan sepenuhnya sebagai lapangan demonstrasi dari negara 2 blok Sovyet. Adalah menyolok mata kunjungan orang2 ke Pekan raya itu



6. Q.s. An-Nisa : 7



oleh rombongan Tionghoa berpakaian seragam yang datang dan pergi dengan aturan pawai ketentaraan. Dalam pada itu pembicara2 P.K.I. di-rapat2 umum di mana mereka menjadikan dirinya sebagai corong, mengajak khalayak ramai supaya menyaksikan dan mengagumi barang2 yang dipertontonkan oleh Sovyet Rusia di Pekan raya Internasional itu. Apa artinya ini semua ? Propaganda Komunis telah mendapat perhatian se-besar2-nya dalam pemberitaan dan pewartaan dengan memakai akal yang licin. Mula2 dikeluarkan kabar angin tentang jumlahnya staf Perwakilan Sovyet itu yang menyebut angka2 30—60 orang, belum lagi keluarga. Juga dikabar-anginkan bahwa Perwakilan Sovyet itu memerlukan 40 gedung untuk tempat kediaman. Kabar-angin itu dari semula pasti „kosong". Tiap2 anggota staf dan anggota keluarganya masing2 itu tentu mesti diketahui lebih dulu dengan tegas oleh Kementerian Luar Negeri kita dan lain2 instansi berhubung dengan keperluan visa untuk mereka satu-persatu. Sungguhpun begitu „kabar-angin" itu dibiarkan menjadi teka- teki, memancing pandangan2, pertimbangan dan pernyataan2 resmi dan setengah-resmi atau tidak-resmi dari partai2, baik „pendukung" maupun oposisi Pemerintah. Dengan demikian suatu pernyataan resmi yang dikeluarkan, seolah2 merupakan „penawar", menghapuskan sangka2 yang ber-lebih2an dan curiga2 itu.



Dan dengan begitu, bahaya kritik dan protes pada waktu datangnya staf itu nanti, yang memang akan terlampau besar, sudah terpotong lebih dahulu. Demikian pula terpotonglah juga langkah yang mungkin diambil orang untuk menyelidiki apakah tadinya ada atau tidak ada sesuatu janji „reciprociteit" tentang besarnya masing2 persoalan, antara Pemerintah kita dengan Pemerintah Sovyet. Semua ini diselimuti dengan cara propaganda yang licin sehingga se-olah2 segala sesuatu keluar di belakang tabir asap. Bagaimana duduk perkara yang sebenarnya yang tertutup oleh tabir asap itu dan apa yang dimaksudkan, sampai juga! Dalam pada itu pihak komunis dan „pendukungnya" dalam Pemerintah dan organisasi2-tidak-berpartai (fellow traveller), juga organisasi2 angkatan muda, pelajar, wanita, pekerja, kesenian, kebudayaan dan sebagainya dapat melangsungkan apa yang mereka namakan „latihan massa". Latihan untuk apa? Di Palembang P.K.I. berusaha keras, untuk meyakinkan kepada orang Islam dengan selebaran2 bahwa P.K.I. itu adalah partai yang menjamin kebebasan beragama. Selebaran tentu ditulis dengan huruf Arab pula, mau apa lagi! Rupanya mereka sudah merasa bahwa selama ini mereka terbentur kepada satu dinding baja yang sangat keras, berupa kekuatan umat Islam di sini. Akan tetapi mereka tidak akan dapat menutup corong radio Moskow, di mana juru bicara resmi dari Sovyet terus-menerus berteriak, yang antara lain mengatakan bahwa „dalam proses membentuk sukses selanjutnya dalam membangun komunisme dan dalam proses pekerjaan seterusnya yang dilakukan se-hari2 oleh partai kami, maka tidak akan



tertinggal barang sedikitpun dari pada agama ataupun segala sesuatu peninggalan iman yang lampau".



Belum kering bibir P.K.I. yang tiap hari menyemburkan dengan gagah-menggarang, menghasut kiri-kanan bahwa Masyumi, Bung Hatta, adalah komprador2 kapitalis-imperialis Amerika dan oleh karena itu, katanya, harus disingkirkan jauh2 dari pemerintahan Negara. Sekarang tiba2 terdengar dari pihak P.K.I. dan pengikut2-nya untuk mengadakan kerjasama antara P.K.I. dan Masyumi. Apa gerangan yang menjadi sebab ? Menggantang anak ayam. Tidak syak lagi bahwa perubahan sikap khalayak ramai pada umumnya terhadap rapat2 umum P.K.I. di bulan2 yang terakhir ini tak dapat tidak memberikan pelajaran yang berharga bagi P.K.I. dan pendukung2-nya. Bukan sikap pihak ramai yang di luar P.K.I. saja akan tetapi juga sikap dari pada golongan2 yang tadinya mereka sangka sudah dalam pangkuan mereka sendiri. Rasanya bagi pucuk pimpinan P.K.I. sudah mulai terasa pahitnya „hasil" dari pidato propagandanya di Sumatra Barat baru2 ini, yang mengakibatkan keluarnya sebagian besar kaum buruh dari serikat2 buruh yang dikendalikan P.K.I. sendiri. Dengan taktik yang telah dipakainya sampai sekarang ini, P.K.I. telah merasa bagaimana nasibnya orang menggantang anak ayam, dapat satu lari sepuluh. Sekarang kita dengar rapat ramai diadakan untuk mendengarkan pidato2, satu dari P.K.I. satu dari Masyumi dan satu dari pihak yang „mempersatukan" antara dua yang bertentangan itu, yaitu dari pihak Pemerintah, kira2 P.N.I.! Yang demikian ini mungkin meragukan kembali sikap rakyat yang tidak mengerti, kalau2 pihak Masyumi telah terdesak kepada sikap terpaksa (duangpositie).



Andai kata sampai demikian maka keraguan yang semacam itu pasti akan merugikan kepada Masyumi dan umat Islam umumnya, serta mengacaukan taktik dan strategi perjuangannya. Dalam istilah „kerjasama" yang sekarang digembar-gemborkan kembali itu, rupanya sengaja dimaksudkan hendak menciptakan satu pasangan antara P.K.I. dan Masyumi. Padahal P.K.I. hanya pendukung pemerintah di luar Kabinet; yaitu berpangkat rendah (sekunder) artinya se-kali2 tidak setara dengan Masyumi yang berkedudukan sebagai oposisi menghadapi Pemerintah. Masih banyak partai2 lain pendukung Pemerintah dan banyak pula partai2 oposisi, tapi apa sebab selalu hendak di-hidup2-kan kesan se-olah2 hanya Masyumi yang bertentangan tepat dengan P.K.I. Apakah mereka mengharapkan bahwa Masyumi akan turut menolong memberikan „mimbar" (platform) kepada P.K.I. berhadapan dengan pihak ramai dari segala pihak? „Persatuan Nasional". Sejarah Indonesia sudah ber-ulang2 mencatat peristiwa2 yang mereka namakan „persatuan nasional" dalam ber-macam2 bentuk dan nama. Ada „Persatuan Perjuangan" tahun 1946, yang digerakkan oleh Tan Malaka. Peristiwa ini terkenal dengan percobaan „peristiwa coup d'etat 3 Juli" di Jogjakarta. Sejarah Indonesia juga mencatat seruan Muso kepada semua partai2 termasuk Masyumi, untuk mengadakan persatuan nasional. Lahirlah Front Demokrasi Rakyat. (F.D.R.). Peristiwa ini diikuti dengan peristiwa Madiun pada 18 September 1948, 7 tahun yang lalu.



Ajaran sejarah ini sukar bagi kaum Muslimin dan khalayak ramai untuk melupakannya walaupun hendak diselimuti dengan kemahiran sandiwara Politbiro P.K.I. Kepada partai2 Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya yang se-kurang2-nya hendak menegakkan demokrasi yang kita sudah bayar dengan jiwa dan raga ini, tidak perlu kiranya diperingatkan lagi. Awas dan waspadalah ! Khudzu hidzrakum ! 10 September 1954



NON AGRESSIE-PACT SEBAGAI OBAT MUJARAB ? I Beberapa bulan yang lalu, di waktu tentara Perancis mendapat kekalahan di Dien Bien Phu, mulai terdengar saran2 dari negara2 Barat, terutama dari Amerika Serikat, untuk mengadakan satu „Persekutuan Pertahanan Asia-Tenggara" (Seato). Di lain pihak kedengaran saran2 untuk mengadakan satu perjanjian tidak-serang-menyerang, —non agressie-pact—, antara India, Birma, Tailan, Indonesia dan R.R.T. Pikiran ini bersumber di Peking atau di New Delhi. Sebagaimana umum telah mengetahui, baru2 ini sudah ditandatangani Perjanjian Persekutuan Pertahanan Asia-Tenggara (Seato) itu, yang sekarang masih bernama „Manila-pact". Turut di dalamnya Amerika Serikat, Pilipina, Australia, New Zealand, Muang Thai, Pakistan dan Inggris. Walaupun tidak diterangkan terhadap serangan dari pihak mana negara2 tersebut hendak mempertahankan diri, tapi cukup terang bahwa dalam alam pikiran yang turut serta itu, yang menjadi potentiele agressor (negara yang mengandung kemungkinan menjadi „penyerang"), adalah R.R.T. Terhadap usaha semacam ini Indonesia tidak mempunyai minat, oleh karena Indonesia berpegang kepada politik bebas-nya. Politik bebas itu dimaksudkan untuk menjaga supaya jangan turut terlibat dalam pertentangan yang ada antara kedua blok sekarang. Indonesia ingin melakukan satu politik persahabatan (good neighbour policy) dengan negara2 dari blok ini dan blok itu dan yang sama2 di luar kedua blok tersebut. Dalam pada itu, politik bebas itu juga berarti menumbuhkan potensi bangsa dan membangun Negara ke dalam serta menyumbangkan tenaga dan usaha2 yang positif dalam lingkungan



Perserikatan Bangsa2, yang dipandangnya sebagai satu2-nya Organisasi Internasional untuk memelihara perdamaian dunia dan menyelesaikan persengketaan antara bangsa dengan bangsa secara damai. Dengan memelihara good neighbour policy itu Indonesia akan dapat mengadakan hubungan bantu- membantu dan menerima bantuan dari luar, dengan tidak melepaskan kepribadiannya atau mengikat diri kepada salah satu pihak yang sedang bersengketa. Berkenaan dengan saran untuk mengadakan non agressie-pact bersama2 itu, di dalam pers Jakarta pernah timbul satu proefballon —pancingan pendapat umum— dengan cara samar2. Kelihatannya dari khalayak ramai pancingan ini tidak mendapat perhatian seperti yang dimaksud oleh orang yang memancing, kecuali berupa satu interpiu dalam harian Indonesia Raya yang isinya menyatakan: tidak ada gunanya dan tidak ada alasan untuk mengadakan non agressie-pact itu. Sekarang sesudahnya Seato atau Manila-pact ditandatangani, kedengaranlah suara2 yang bersumber dari India yang menyatakan antara lain, bahwa Seato itu bisa „membahayakan perdamaian", dan sebagainya. Dan dari sehari-kesehari pikiran hendak mengadakan non agressie-pact itu muncul kembali ke dalam masyarakat ramai terutama di saat2 P.M. Ali Sastroamijojo akan pergi ke New Delhi, sebelumnya Nehru mengunjungi Peking. Waktu P.M. Ali pergi, khalayak ramai tidak mengetahui apa sesungguhnya yang hendak dibicarakan. Maka setelahnya kedua Perdana Menteri itu berunding di New Delhi, terdengarlah pidato2 dari ke dua belah pihak bahwa ke-dua2-nya ingin hendak mengadakan „daerah-damai" di Asia. Di antara lain2 kabar yang tersiar di sekitar pertemuan kedua Perdana Menteri tersebut ialah keterangan P.M. Ali kepada pers, bahwa ia setuju apabila lima prinsip yang telah disepakati oleh Chou En Lai dengan Nehru sebagai dasar dari Perjanjian Non Intervensi —tidak campur-mencampuri— antara



India dengan R.R.T., pantaslah dikenakan juga kepada negara2 lain di Asia. Dengan demikian maka soal non agressie-pact antara India, Birma dan Indonesia dengan R.R.T. itu, terang menjadi persoalan yang hangat atau akan hangat! Timbul pertanyaan, apakah memang Pemerintah Indonesia sudah mulai berpikir ke arah non agressie-pact itu ? Kalau India merasa perlu mengadakan perjanjian yang semacam itu, dapat juga dimengerti! Kedua negara itu adalah hampir sama besar dan terletak berbatasan. Dan pada hakikatnya memang sudah pernah timbul beberapa ketegangan antara ke dua belah pihak berkenaan dengan daerah perbatasan mereka. Pun pula dapat dimengerti bahwa ada hajat bagi kedua pihak untuk menjamin adanya perdamaian di perbatasan pihak masing2 itu. Sudah tentu perjanjian non agressie-pact yang demikian itu perlu diisi dengan beberapa perjanjian yang tegas2, berkenaan dengan persiapan2 perang di daerah perbatasan tersebut. Demikian juga Burma yang juga berbatasan dengan R.R.T. mungkin mempunyai alasan2 sendiri pula. Berlainan soalnya dengan Indonesia. Tidak ada satu orangpun yang dapat mengkhayalkan, bahwa Indonesia akan melakukan serangan terhadap R.R.T. Kalau orang merasa perlu mengadakan satu non agressie- pact antara Indonesia dan R.R.T. itu, hanya dapat dipahamkan apabila ia memang sudah menganggap bahwa R.R.T. mempunyai niat agresif, yakni hendak menyerang Indonesia. Andai kata demikian, — terserah, apakah beralasan apa tidak —, maka suatu non agressie-pact ber-ramai2 antara beberapa negara dengan



R.R.T. itu hanyalah merupakan tabir asap bagi menutupi satu keinginan yang terpendam untuk meminta jaminan, bahwa R.R.T. tidak akan menyerang Indonesia. Dalam pada itu sejarah dan pengalaman bangsa2 sudah menunjukkan, bahwa niat dari pada sesuatu potentiele agressor tidak dapat dielakkan dengan se-mata2 non agressie-pact. Malah sejarah memperlihatkan, bahwa sering kali pihak yang menawarkan non agressie-pact itu hanya memakai perjanjian tersebut sekedar untuk menjaga jangan sampai „kedahuluan". Dan apabila ia sudah merasa „aman" dari pihak negara2 yang sudah diikat dengan perjanjian tersebut, maka segenap kekuatannya ditumpahkannya kepada penyera-ngan terhadap tetangga lain, dengan siapa ia tidak ada perjanjian apa2. Dan apabila ia sudah cukup kuat, maka satu non agressie-pact yang telah diperbuatnya dulu itu hanyalah merupakan secarik kertas yang tak berharga („ein Fritzen Papier"). Begitu pengalaman semenjak Byzantium sampai zaman keemasannya dan Jerman dari Kaisar Wilhelm sampai kepada Hitler. Dan kalau orang memang tidak menganggap R.R.T. sebagai satu potentiele agressor ke Asia Tenggara, buat apa orang mengadakan nonagressie-pact ? !! II Indonesia sudah tidak masuk Seato atau Manila-Pact, lantaran tidak mau mengikat diri dengan suatu persekutuan sebagai akibat dari pertentangan dua blok yang ber-hadap2-an sekarang ini. Sekarang jikalau R.R.T. memajukan idee non agressie-pact ini, maka persekutuan yang hendak didirikan itu, pada hakikatnya adalah juga satu persekutuan yang timbul dari pertentangan kedua blok itu. Jikalau Indonesia masuk juga dalam persekutuan non agressie-pact tersebut,



maka tidaklah dapat orang mengatakan bahwa Indonesia masih berpegang kepada politik-bebas-nya.. Andai kata orang berpendirian, bahwa Indonesia ini sudah perlu memilih pihak, — yang kita belum yakin mesti begitu —, maka harus lebih dahulu dipertimbangkan, ikatan dengan blok manakah yang lebih menguntungkan, supaya jangan Indonesia, lantaran kelumpuh-an daya berpikirnya, merasa terdorong kepada satu kedudukan-terpaksa, duang-positie, dan menganggap, bahwa hanya non agressie-pact itulah satu2-nya jalan-kedua „alternatif" yang harus ditempuh dari apa yang dinamakan persekutuan Seato atau Manila-Pact itu. Kita berpendapat, sebagaimana tersebut di atas tadi, bahwa dalam rangkaian politik bebas yang dijalankan dengan cara yang riil dan memelihara kepribadian bangsa, kita masih mempunyai cukup kemungkinan untuk memelihara keselamatan bangsa kita dengan tidak mempertaruhkan diri kepada kedua blok yang sedang bertarung itu. Dengan memberi isi yang lebih positif kepada politik bertetangga-baik (good neighbour policy) dan mempergunakan bantuan luar negeri dengan tidak mengikat diri, serta mempergunakan bantuan2 yang disalurkan melalui organisasi2 dari Perserikatan Bangsa2 dan yang dinamakan Colombo-plan dan sebagainya, kita dapat menyuburkan potensi bangsa kita dan memperkuat pribadi bangsa kita dipelbagai lapangan. Di samping itu kita perkuat P.B.B. sebagai Organisasi Internasional, dan dalam rangkaian P.B.B. itu kita berusaha memberi sumbangan untuk memelihara keamanan dan perdamaian dunia. Dalam pada itu apabila orang, berkenaan dengan saran non agressie-pact ini, menghubungkan R.R.T. dengan komunisme internasional



yang akan memperluaskan daerahnya ke Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia, maka umum sudah mengetahui, bahwa sistem yang dipakai oleh komunisme internasional itu, —kecuali apabila ada semacam „helah", ialah untuk membebaskan suatu bangsa yang berbatasan, dari pada kolonialisme Barat—, tidak melalui jalan agressie atau invasie (penyerangan langsung melewati perbatasan negara), akan tetapi dengan jalan membentuk kekuatan dan merebut kekuasaan dalam negeri yang bersangkutan sendiri. Kalau ini yang hendak dielakkan, maka suatu non agressie-pact tidak berguna sama sekali. Sebab, sebenarnya soal hasil atau tidak hasilnya maksud memperluas daerah oleh komunisme internasional dengan cara demikian, adalah soal perimbangan kekuatan politik di dalam negeri itu sendiri. Tegasnya perimbangan kekuatan antara komunis dan non-komunis di dalam negeri! Di dalam rangkaian ini maka sesuatu non agressie-pact dengan salah satu negara komunis yang berdekatan hanya akan berarti pembelokan perhatian dan menimbulkan rasa kelegaan yang palsu buat sementara waktu! Jadi apabila di Indonesia dibiarkan aparat Negara, baik sipil atau militer bertambah lama bertambah lumpuh dan kucar-kacir, dan diperturutkan kemauan dari organisasi2 komunis untuk menyabot pembangunan ekonomi Negara dengan ber-macam2 cara, baik di lapangan industri, perkebunan dan perburuhan, dan di samping itu organisasi2 non-komunis tinggal pula berpeluk tangan dan menonton dari pinggir jalan serta kegiatan dari organisasi2 komunis memakai perwakilan2 rakyat dan organisasi2 politik dan non-politik seperti badan2 kebudayaan, organisasi2 pemuda, bekas pejuang dan lain2, sebagai mimbar dan lapangan perebutan kekuasaan, maka kemungkinan menangnya komunisme internasional merebut kekuasaan di dalam negeri ini, tidak dapat dielakkan oleh suatu non agressie-pact yang macam manapun juga. Tapi kita tidak se-pesimis itu!



1 Oktober 1954



PELIHARALAH KEJERNIHAN BERPIKIR



Presiden Sukarno mensinyalir, bahwa menurut keterangan yang diperolehnya sebagai Presiden, ada beberapa pemimpin yang „menjual negara". Pekerjaan „menjual negara" ini dihubungkannya dengan usaha membubarkan Kabinet. Dengan demikian Presiden menuduh, bahwa usaha dari oposisi untuk mengganti Kabinet ini adalah atas suapan dari luar negeri. Pada mulanya orang tentu menyangka, bahwa tidaklah mungkin Presiden mengadakan satu tuduhan yang begitu berat, kalau belum ada bukti2 pada Kejaksaan Agung yang cukup, sehingga orang2 tersebut dapat dimajukan ke depan pengadilan. Dan rakyat seluruhnya, sesudahnya sinyalemen itu berhak untuk mengetahui secepat mungkin, siapa yang dimaksud oleh Presiden, sebab tuduhan itu bukanlah tuduhan serampangan yang dilemparkan oleh orang sembarangan. Sedangkan bentuk dan cara melemparkan tuduhan itu mau-tak-mau dirasakan se-akan2 ditujukan kepada orang yang tidak menyetujui Kabinet sekarang. Akan tetapi keterangan susulan yang kita dengar dari Presiden atas pertanyaan dari PIA menunjukkan, bahwa yang dimaksud oleh Presiden itu hanyalah untuk menghukum moril di muka ramai, oleh karena, kata beliau, orangnya tidak dapat dihukum secara biasa. Jadi soalnya menjadi terbalik! Orang mendapat kesimpulan, bahwa duduk perkara ialah begini: bahwa ada beberapa orang yang dicurigai (entah siapa ?), tetapi Kejaksaan Agung tidak bisa mendapat bukti2, hingga orang itu tidak dapat dimajukan ke muka pengadilan. Maka oleh karena itulah, Presiden ingin menghukum moril di muka ramai ! Andai kata benar demikian, maka timbul pertanyaan: Kalau memang Presiden sudah tahu, dan orang itu tidak dapat dimajukan ke



depan pengadilan, kenapa kalau mereka hendak dihukum moril, lalu dilemparkan tuduhan dengan secara umum, sehingga orang2 yang sama sekali tidak apa2, merasa turut terfitnah ? Sesudah soal ini menjadi omongan ramai, maka pihak Kejaksaan Agung memberikan keterangan, bahwa kejahatan yang disinyalir oleh Presiden itu adalah masuk perhatian Kejaksaan Agung dan penyelidikan belum selesai. Kalau memang demikian maka sinyalemen yang diajukan Presiden itu sebenarnya adalah menyulitkan pekerjaan Kejaksaan Agung sendiri, oleh karena orang yang bersangkutan telah mengetahui bahwa Pemerintah sudah tahu perbuatannya dan dapat segera mengambil tindakan2 untuk menghilangkan bukti2. Apakah ini tidak berarti, bahwa pidato Presiden itu sebenarnya menyabotir pekerjaan dari aparat Negara dalam soal ini? Pendeknya, jikalau kita menurutkan logika yang biasa, maka kita akan bertemu dengan ber-macam2 paradox yang sama sekali tidak bisa dimengerti. Sehingga satu2-nya kesimpulan, yang umum dapat menerimanya, ialah, bahwa pidato Presiden itu adalah masuk dalam rangkaian semacam psykhological warfare, perang urat syaraf, yang memang semenjak berapa waktu yang lalu sudah mulai di negeri kita ini! Salah satu dari pada simptom psykhological warfare itu ialah, bahwa semenjak beberapa waktu di Jakarta ada semacam kampanye bisik2, yang membisikkan se-olah2 juga sdr. Mr. Yusuf Wibisono telah menerima sebahagian dari uang sogok itu yang menurut bisik2 itu juga diterima oleh Mr. Tadjuddin Noor untuk sama2 menjatuhkan Kabinet. Bisik2 ini, di-bisik2-kan pula, dan „dapat dibuktikan" oleh satu tape recorder yang diputar oleh Mr. Djody Gondokusumo, dalam mana seorang Tionghoa menuduhkan yang demikian itu. Ini rupanya yang



diperedarkan kepada orang2 yang mau mendengarnya dan meneruskan bisik2 itu kepada kawan2-nya. Fitnah bisik2 dengan secara licin ini, hanya dapat diberantas dengan satu jalan, yaitu menantang dengan cara terang dengan tidak ber-bisik2. Oleh karena itu sdr. Mr. Jusuf Wibisono telah melakukan tantangan itu di muka umum, supaya kalau memang taperecorder yang dimaksud itu ada dan authentiek, supaya alat2 Negara jangan menunggu satu menit pun, tetapi hendaklah segera mengambil tindakan terhadap dirinya. Dan apabila nanti ternyata tidak benar, maka ia akan minta pertanggungan-jawab dari yang berkuasa. Sesudah itu sekarang dengan perantaraan bisik2 pula, dibisikkan bahwa orang yang mendengarkan sendiri taperecorder itu tidak mendengar nama sdr. Mr. Jusuf Wibisono itu di-sebut2 oleh taperecorder yang katanya ada itu! Oleh rangkaian semua kejadian ini, suasana dengan sendirinya bertambah runcing, sedangkan belum dapat ditaksir sampai ke mana akibatnya keruncingan ini nanti. Sebab keruncingan yang ada sekarang bukanlah keruncingan politis menurut dasar2 yang sehat dan spelregels (tata-cara permainan) yang fair dan jujur, akan tetapi sudah merosot kepada cara2 yang curang dan serong. Persimpang-siuran di dalam paham2 politik adalah satu hal yang biasa dalam Negara demokrasi dan tidak usah mengkhawatirkan. Dan jikalau pun tempo2 pertentangan itu merosot kepada cara2 yang tidak fair antara partai dengan partai, maka selama ada satu pusat tempat orang itu memulangkan soal, yakni seorang yang dianggap oleh penghuni Negara umumnya, sebagai orang yang berdiri di atas semua



partai, maka pertentangan2 itu dapat dikendalikan dan disalurkan, sehingga tidak membahayakan Negara. Kedudukan yang semacam itu sampai sekarang adalah kedudukan Presiden yang seringkah disebutkan oleh khalayak ramai „Bapak Negara". Istilah „Bapak Negara" bukan satu istilah juridis, akan tetapi satu istilah yang menggambarkan rasa batin yang hidup di dalam kalbu rakyat. Adapun yang tragis dalam hubungan ini ialah, bahwa dengan pidatonya di Palembang itu, Presiden Sukarno sudah jactis melepaskan kedudukannya yang demikian itu, yakni sebagai „Bapak Negara" tempat memulangkan soal, dan memilih tempat pada salah satu dari pada partai2 yang bertentangan itu sendiri. Kesuburannya provokasi dan tuduh-menuduh yang diperingatkan oleh Pimpinan Partai setahun yang lalu kepada seluruh keluarga Masyumi, rupanya sekarang sudah hampir kepada puncaknya. Oleh karena itu seluruh keluarga Masyumi, haruslah lebih2 merapatkan barisan dan bersipat waspada. Peliharalah kejernihan berpikir ! Inna 'llaha ma’ana. 20 Nopember 1954



SUDAH CUKUP LAMA KITA MENERAWANG DI AWANG-AWANG Hati nurani bangsa dapat bedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang tulen dan yang palsu. Tepat 10 tahun yang lalu, sawang langit politik internasional pertama kalinya kita geletarkan dengan „Proklamasi Kemerdekaan", yang diria-gembirakan oleh pengibaran Dwiwarna Sang Merah Putih di atas topan gelombang bambu-runcing, yang digempalkan dalam genggaman persatuan tekad dari seluruh rakyat kita, yang berjenisan suku itu dari Sabang sampai Merauke. Proklamasi 17 Agustus 1945, yang dimaksudkan sebagai suatu pembuka prelude dari zaman baru yang hendak menyingsing, diterima dengan segala keridaan serta pengurbanan jiwa dan harta dari rakyat kita, yang yakin terhadap kejayaan cita2 nasional kita bersama. Kita tidak dapat mengatakan, bahwa perjuangan Kemerdekaan nasional kita semenjak waktu itu adalah ibaratnya berlenggang-lenggok di taman sari yang disinari bulan cuaca, tetapi perjuangan tersebut adalah menempuh hutan-rimba, onak dan duri kesulitan. Jangan tenggelam dalam riam kepuasan. Dan jikalau kita sekarang menoleh kebelakang, melihat pengalaman2 yang telah kita lalui, maka kita tidaklah dapat menyembunyikan



rasa sedih, melihat waktu yang terbuang dan menyaksikan penghamburan tenaga dan kekayaan bangsa yang sia2. Dalam kita berdiri sejenak menuruti kenangan di masa yang lampau, tidaklah boleh kita memicingkan mata yang kritis, mengempiskan perut yang akan luka, terhadap kealpaan bersama, ataupun kesalahpahaman kita semua dalam mempergunakan dan merealisir pengertian „Kemerdekaan Nasional", yang kita miliki itu. Di dalam kita beria-gembira, berkecimpung dalam kolam kesukaan waktu ulang-tahun ke X hari Proklamasi ini, janganlah kita sampai tenggelam dalam riam kepuasaan, yang bisa menghanyutkan. Sesudah tiap2 pertempuran, haruslah panglima perang yang bijaksana meninjau front lasykarnya untuk mengetahui di mana garis2 pertahanan yang harus diperbaiki dan dikuatkan, sebelum melanjut-kan operasi baru. Hanya dengan demikian sajalah kita dapat memberikan nilai yang dapat dihargai kepada perayaan ulang-tahun, yang meriah di kalbu rakyat sekarang ini. Dalam kesadaran inilah pula kita harus mengakui, bahwa energi masyarakat yang bergelora membanjir keluar itu, karena didobrak revolusi dari segala tambatan dan alangannya yang lama, tidak lekas sanggup kita alirkan kepada saluran2 yang konstruktif. Gelora nafsu manusia yang terlepas dari ikatan disiplin itu, meluap, membanjir, sehingga melupakan batas2-an yang teratur sampai merusak tanaman dalam kampung dan halaman sendiri. Dengan kesedihan, kita sama2 menyaksikan betapa sebagai bangsa, kita mempergunakan „Kemerdekaan" itu, untuk mendapat kebebasan merintangi kelancaran pembangunan nasional yang positif, dan untuk



bisa „merdeka" menghitam-memutihkan pandangan dan kepentingan sendiri.



se-mau2-nya



menurut



Kehilangan „the feel for priority". Demokrasi yang kita cita2-kan itu dalam penglaksanaan realitetnya, tempo2 sampai merupakan „demo-crazy", yang telah membawa kita bersama ke dalam rawa krisis yang berjenisan ragam. "Maka semuanya itu telah menyebabkan bahwa persoalan2 pokok, pembinaan kemakmuran rakyat, pembangunan perlengkapan Negara yang efisien, persoalan yang harus dihadapi dengan rencana dan perhitungan yang dingin, bukan saja terbengkalai, malah terluput dari pandangan mata. Tenggelam dalam keinginan dan kehendak yang ter-tumpuk2, kita seringkali kehilangan ukuran untuk menentukan mana yang didahulukan dan mana yang harus diberikutkan. Lama sudah kita kehilangan apa yang dinamakan orang "the feel for priority" dan sudah terlampau lama kita menerawang di awang2. Berbeda dengan perkembangan dan kegiatan yang diperlihatkan oleh negara2 tetangga kita, seperti India, Pakistan dan Burma yang hampir bersamaan dengan kita merebut kemerdekaannya. Di sana mereka sudah ber-tahun2 membulatkan pikiran dan tenaga bangsa untuk memecahkan persoalan2 pokok itu, menjabarkan segenap potensi bangsa dan tanah air dengan elan dan enthousiasme, tetapi tertib dan sistematis untuk mencapai tingkat perikehidupan lahir dan batin yang lebih layak bagi satu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Bukan maksud saya membawa saudara2 tenggelam dalam satu penolehan kebelakang yang suram, tidak! Sebab di bawah gelombang



ujian dan cobaan yang telah datang gulung-bergulung menampar kita di masa yang silam itu, ada terdapat satu kekuatan besar ibarat sauh yang menyangkar pada batu karang yang keras. Walaupun bagaimana topan krisis mengamuk, ternyata potensi itu senantiasa mampu menjaga agar bahtera Negara dan bangsa kita, walaupun tempo2 oyang dan oleng, tetapi tetap berlayar terus tak sampai hanyut dibawa arus. Damir murni rakyat. Yang saya maksud ialah hati murni, damir yang suci murni dari rakyat Indonesia, yang terpendam dalam dasar batinnya bangsa kita. Ia bukan kekuatan materiil, tetapi suatu kekuatan immateriil, yang biasanya tak terlihat sepintas lalu. Tempo2 ia diliputi oleh buih, buih yang terapung ke atas lantaran memang ringan timbangannya. Akan tetapi, memang sebagaimana yang diibaratkan oleh kalam Ilahi, „buih tidaklah bersipat tetap dan kekal, yang tinggal tetap adalah apa yang bermanfaat bagi manusia”(Q.s. Ar-Ra'd: 17). Jangan saudara2 sangka bahwa hati-nurani itu hanya dimiliki oleh salah satu atau dua golongan saja, atau hanya bertemu di kalangan orang yang dinamakan cerdik-pandai. Tidak! Ia bersemayam dalam kalbu puluhan juta rakyat Indonesia, dari kota sampai ke-pinggir2 gunung. Mungkin kebanyakan mereka buta-huruf, dan buta-politik, akan tetapi mereka sama sekali bukan buta-hati. Hati-nurani, damir ini, merupakan pancaindera keenam, yang dengan tajam dan halus mampu membedakan mana yang buruk, mana yang baik, mana yang tulen, mana yang palsu, mana yang halal, mana yang haram.



Tempo2 ia dapat dipermainkan buat waktu yang singkat, akan tetapi pada saat2 yang tertentu ia mampu merasakan diri dan kekuatannya, kekuatan memulihkan hak, kekuatan menghalaukan batil kembali. Berbahagialah bangsa kita bangsa Indonesia yang memiliki damir, memiliki hati-nurani ini. Ia merupakan bekal perjuangan dan sumber tenaga yang tak kunjung kering. Ia merupakan pesemaian tempat para pemuka dan pemimpin dapat menyemai benih kebajikan lahir dan batin. Asal benihnya benih yang bersih, dan tangan yang menyebarkannya tangan yang suci, maka ia akan memberi hasil. Dan apa yang tak ber- sipat bersih akan ia muntahkan kembali. Tak perlu bimbang Berdiri di atas kapal perbatasan ulang-tahun ke X Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini, maka penolehan kebelakang itu akan menguatkan perlengkapan kita dan mengokohkan hati untuk mengin-jak aera, yang terhampar menunggu di depan yang akan kita masuki, yang penuh dengan harapan dan kemungkinan2 yang gilang-gemilang. Dengan dibekali pelajaran dari pengalaman yang sudah2, maka kita tak perlu bimbang menghadapi percobaan2 yang menggunung di depan kita, yang dengan hidayat Tuhan pasti dapat kita atasi. Mari kita sama2 membuka halaman baharu. Di hadapan kita terbentang lapangan perjuangan yang memikat hati tiap para pejuang. Berbekalkan potensi bangsa yang nyata ada, berpedomankan pengalaman yang telah kita peroleh serta disinari oleh elan perjuangan yang tak boleh padam dan dinaungi oleh taufik dan keridaan Ilahi, bersih dari rasa mengkal, dendam dan kasumat, diliputi oleh suasana



segar, penuh harapan dan persaudaraan, mari kita sama2 mengayunkan langkah menempuh medan perjuangan yang di hadapan kita ini. Perjuangan membina bangsa dengan rencana dan sistematik ! Jangan sangsi dan ragu, sesungguhnya Tuhan beserta kita! 20 Agustus 1955.



4



INTERPIU &



GUNTINGAN PERS Capita Selecta M. Natsir jilid II



Diedit ulang oleh Purnawarman Ibn Atim http://Purnaislam.wordpress.com



IV. INTERPIU DAN GUNTINGAN PERS 1. Presiden dapat mempengaruhi politik Negara ...................................... 368 2. Soal D.I. suatu bagian dari gerilya........................................................ 370 3. Perjuangan umat Islam di tengah bentrokan dunia.............................. 372 4. Apakah Dr. Skhakht seorang tukang sunglap ? ................................... 375 5. Transmigrasi .......................................................................................... 376 6. Memberantas demagogi ......................................................................... 379 7. Kita harus menyokong Kabinet Wilopo ................................................. 381 8. Islam berantas intoleransi agama dan tegakkan kemerdekaan beragama ..................... ................... ........................................................ 382 9. Kesungguhan Pemerintah ini tidak terlihat dalam menyelesaikan Pemilihan-Umum ............................................................................ ….. 384 10. Ekonomi Nasional jadi Tragedi Nasional .............................................. 385 11. Kemakmuran menurut Islam ................................................................ 387 12. Bukan arak2-an, slogan2 dangkal dan bukan pula komando terakhir akan habisi gangguan keamanan ............................................. 389 13. Pemogokan yang berbau politik ............................................................. 395 14. Perkembangan demokrasi dalam bahaya ............................................... 397 15. Keuangan dan ekonomi kita genting ..................................................... 399 16. Pancasila akan laju apabila diserahkan kepada P.K.I............................ 404



17. Analisa tentang persetujuan Den Haag ................................................ 405 18. Sinyalemen Presiden menggelisahkan................................................... 407 19. Apa artinya Islah? ................................................................................. 409 20. Natsir tidak setuju dengan Kongres Keamanan Rakyat........................ 411 21. Oposisi telah berhadapan secara resmi dengan Pemerintah. ……….... 22. Sekitar AU Indonesian Congress ................................................................. 23. Kabinet boleh tidur dengan nyenyak .................................................... 412 24. Natsir jelaskan berbagai putusan Muktamar ....................................... 414 25. Beberapa soal di sekitar perekonomian dan demokrasi ......................... 416 26. Seruan kepada partai2 ............................................................................ 420 27. Keadaan sekarang darurat ........................................................................... 28. Pembentukan Kabinet baru ujian bagi para politisi..................................... 29. Kabinet Harahap adalah kemungkinan maksimal................................. 423



PRESIDEN DAPAT MEMPENGARUHI POLITIK NEGARA Berbahaya, bila program sosial dan ekonomi yang telah dimulai, akan dibuang. Oposisi mesti diberikan kans. Perdana Menteri demisioner Moh. Natsir, pada hari Jum'at menerangkan dalam suatu percakapan dengan R.R.I. bahwa hanya Presiden Sukarno saja yang berhak untuk menunjuk seorang pembentuk Kabinet dan menerima tidaknya programnya serta susunan Kabinetnya dalam instansi pertama. „Hal ini berarti, bahwa Presiden dapat mempengaruhi jurusan mana yang akan diambil oleh Kabinet yang akan datang". Demikian diterangkan oleh Mohd. Natsir atas pertanyaan, apakah dapat diharapkan, bahwa Kabinet yang akan datang akan melanjutkan politik dalam dan luar negeri yang hingga kini dijalankan oleh Pemerintah. „Sejak tanggal 26 Oktober, --yakni tanggal Parlemen memberikan persetujuannya atas Kabinet saya —, kami selalu berusaha meletakkan dasar2 bagi Indonesia di kemudian hari dan kami telah mulai dengan pembangunannya. Terutama pembangunan sosial dan ekonomi seperti juga soal keamanan mendapat perhatian. Boleh saya katakan, bahwa kami dalam hal ini untuk sebagian telah memperoleh hasil2 walaupun banyak faktor2 yang meng-halang2-i, seperti misalnya masalah gerilya,



soal yang berhubungan dengan perobahan psikhologis dan lain2. Yang terpenting dalam hal ini ialah program sosial dan ekonomi, yang ditujukan terhadap perubahan dari perbandingan2 ekonomi di waktu dulu, menjadi ekonomi rakyat yang kuat". Natsir menganggap sangat berbahaya, bilamana program sosial dan ekonomi yang kini telah dimulai sejak setengah tahun, akan dibuang begitu saja. „Adalah perlu untuk mengangkat Negara kita yang telah mengalami bencana2 itu dengan usaha bersama dari keadaan yang terbelakang sebagai akibat dari perjuangan yang lama, menjadi suatu Negara yang sejahtera dalam lapangan sosial. Hal ini akan minta pengurbanan dari kita semua, dan pengurbanan hanyalah dapat diperoleh bilamana kita mempunyai disiplin dan intensivitet bekerja yang tinggi". Atas pertanyaan, apakah ia dapat melihat keuntungan yang tertentu dalam suatu krisis-kabinet, Natsir menerangkan, bahwa kita sekarang dalam fase pembangunan dan semua yang menghentikan pekerjaan dan melanggar kontinutet dari proses ini, patut disesali. Mungkin ada segi yang baik pada krisis-kabinet ini, jika ditinjau dalam jangka panjang dan dilihat sebagai sesuatu yang harus kita berikan untuk pendidikan politik kita, demikian Natsir. Atas pertanyaan bagaimana pembentukan Kabinet baru akan dapat dilaksanakan, Natsir menjawab, bahwa ia sendiri belum dapat meramalkannya. „Di dalam kebanyakan Negara, partai yang menjatuhkan kabinet harus diberi kesempatan untuk membentuk suatu kabinet baru, atas dasar hal2, dengan mana kabinet yang lama telah dijatuhkan".



Natsir mengakhiri keterangannya dengan mengemukakan sekali lagi bahwa jika terjadi krisis seperti sekarang ini, keputusan Presiden-lah yang mempengaruhi politik Negara. Aneta 23 Maret 1951.



SOAL D.I. SUATU BAGIAN DARI MASALAH GERILYA. Pemerintah dulu dalam menyelesaikannya tidak pernah memberikan sesuatu kwalifikasi apapun juga. Keterangan Wakil P.M. Suwirjo kepada „Pedoman" kemarin, bahwa Kabinet sekarang akan menghadapi soal keamanan dengan cara yang lebih tegas, yang langsung dapat dirasakan rakyat, beda dengan Kabinet yang dahulu, yang berusaha menyelesaikan soal D.l. dengan dialon politis, - telah menimbulkan berbagai tafsiran di kalangan politik. Berhubung dengan itu wartawan „Pedoman" telah menanyakan pula bagaimana pendapat Mohammad Natsir, yang sebagai pemimpin Kabinet dulu banyak sedikitnya tersangkut dalam hal ini. Atas pertanyaan „Pedoman", Natsir, mula2 menerangkan sbb.: „Saya sebenarnya enggan memberi komentar terhadap keterangan2 di dalam pers dari anggota Pemerintah sekarang, yang sebelum memberikan keterangannya di muka Parlemen, se-olah2 memberikan kesan mau memajukan politiknya dengan tidak lupa sambil lalu menyinggung apa yang dianggapnya salah dari pada kebijaksanaan Kabinet lama". Tentang soal D.I. yang khusus dikemukakan oleh Wakil P.M. Suwirjo itu, Natsir menyatakan: Pemerintah dulu melihat soal D.I. sebagai suatu bagian dari pada masalah gerilya umumnya dengan berbagai coraknya itu. Adapun dasar dari pada tindakan Kabinet Natsir ialah maklumat P.M. tanggal 14 Nopember 1950, yang dalam tingkatan pertama mengulurkan tangan kepada bekas2 pejuang yang



masih memisahkan diri dari masyarakat, supaya kembali ke masyarakat. Maklumat tsb. bergandengan dengan maklumat Wakil P.M., Sultan Hamengku Buwono, juga tanggal tersebut, yang memberikan sanksi terhadap jalannya maklumat itu dengan pengertian bertindak terhadap mereka yang tidak bersedia mengambil kesempatan, yang telah diberikan oleh Pemerintah, diikuti dengan usaha2 rehabilitasi. Dan umum mengetahui, bahwa ke-dua2 tindakan itu sudah di jalankan oleh Kabinet yang dulu. Seingat saya tak pernah diberikan ketika itu, suatu kwalifikasi atau sebutan apapun kepada cara penyelesaian gerilya umumnya, DI. khususnya. Apakah itu namanya „politik" saja, atau „militer" saja, atau „militer-politis" adalah terserah kepada orang yang lebih ahli memberikan kwalifikasi tersebut. Jika sekiranya "Pemerintah yang sekarang mempunyai t r a c e e b a r u dalam soal penyelesaian keamanan ini, yang memakai kwalifikasi „lebih tegas", maka saya termasuk orang* yang turut mendoakan, mudahkan „lebih tegas" itu akan berarti „lebih berhasil", demikian Natsir. Harian Pedoman, Jakarta 12 Mei 1951



PERJUANGAN UMAT ISLAM DITENGAH BENTROKAN DUNIA Kejayaan Islam harus timbul dari dalam Mohammad Natsir, telah memberikan interpiu kepada Nawawi Dusky redaksi majalah „Hikmah", sekitar perjuangan Islam dalam jangka lama, berkenaan dengan tambah hebatnya perantukan dunia, dengan mengemukakan pertanyaan, di manakah umat Islam akan menempatkan dirinya dalam pergolakan itu. Atas pertanyaan, bagaimanakah kiranya pandangannya tentang pendapat yang menyatakan bahwa Islam akan kembali jaya oleh adanya bentrokan yang terjadi di Barat dan lainnya bagian dunia, pendapat mana bukan saja terkesan di dunia Islam lainnya, tetapi juga di Indonesia, Natsir menjawab: „Saya mempunyai pendapat bahwa umat Islam tidak akan mendapat kejayaan, se-mata2 oleh karena adanya bentrokan antara golongan lain di luar kalangan mereka, baik di Barat atau di Timur. Kejayaan umat Islam, kata Natsir, terutama harus datang: Pertama: kesadaran mereka sendiri akan kedudukannya yang sekarang dan kesadaran akan tingkatan yang harus mereka duduki sebagai umat yang ditentukan Tuhan, ummatan wasathan. Kedua: tergantung kepada kecakapan untuk mengejar ketinggalan yang ber-abad2 dalam lapangan politik, ekonomi, ataupun dalam akhlakul karimah, keluhuran budi.



Ketiga: kepada hidup suburnya kembali solidaritet dan persesuaian langkah antara umat Islam seluruhnya, sehingga terlaksanalah ruh ukhuwatul Islamyah dalam amal dan tindakan mereka, dan sanggup menolak tiap bahan perpecahan baik datang dari luar atau dari dalam, serta sanggup pula membuktikan perbuatan2 yang positif kepada dunia, yang diliputi oleh rasa cinta untuk melaksanakan keamanan dan kemakmuran hidup lahir-batin dengan tidak memilih bangsa dan warna kulit. Ringkasnya, kata Natsir, manakala umat Islam telah dapat membuktikan bahwa mereka adalah rahmatan lil-'alamin, rahmat bagi semua alam, maka di situlah saat kejayaan akan tercapai. Campur tangan luaran, tidak menjadi pokok, hanya mungkin merupakan faktor yang mencepatkan. Adanya kebangkitan umat Islam di Asia Tenggara, adalah tanda yang baik, yang mengandung harapan tercapainya cita2 pengikut Muhammad s.a.w.". Atas pertanyaan: Apakah yang harus diperhatikan oleh pemimpin2 Islam, Natsir menjawab: Pertama: „Sadar akan kekuatan dan kekurangan yang nyata ada pada sisinya, dan akan kekuatan yang dihadapi dan membawa umat kepada kesadaran itu. Kedua: Mengatur usaha perjuangan dengan sistematis dan program yang tentu2. Ingatlah, demikian Natsir menegaskan, akan kebenaran pepatah yang menyatakan „Kebatilan yang berjalan dengan teratur, bisa mengalahkan kebenaran yang centang-perenang".



Atas pertanyaan, tenaga apakah yang harus disiapkan dari sekarang, Natsir menjawab dengan tegas : „Tenaga kader !" Kader, atau hawariyun yang tangkas yang dapat bekerja dan sanggup bertanggung-jawab dalam langkahnya menghadapi golongan2 dan pelbagai ideologi dengan jiwa yang besar. Dalam mempersiapkan barisan kader itu, tiap2 pemimpin Islam harus tahu bahwa memimpin adalah memegang untuk melepaskan, supaya kader itu dapat berjalan sendiri. Hanya pada pemimpin2 yang demikianlah, terdapatnya apa yang dikatakan peribahasa: „Patah tumbuh hilang berganti” Jangan dilupakan, kata Natsir, hikmah yang terkandung dalam penyerahan pimpinan oleh Rasulullah s.a.w. kepada Abu Bakar waktu menyerahkan jemaah haji dan jemaah salat. Begitu juga pimpinan perang oleh Abu Bakar kepada Usamah bin Zeid. Tentang pertanyaan, penyakit apakah yang terdapat dalam masyarakat Islam dewasa ini, Natsir menerangkan, bahwa salah satu penyakit itu, ialah minderwaardigheidscompIex (istikhfafun-nafs), merasa diri rendah disebabkan salah paham tentang apa artinya tawadu', merendahkan diri. Dan juga kekurangan perlengkapan dalam ilmu keduniaan, serta kosongnya pergaulan umat Islam dari pada apa yang dinamakan akhlakul karimah tadi. Dalam negeri bekas jajahan sebagai Indonesia, demikian Natsir selanjutnya, terdapat penyakit dualisme, yakni ada satu golongan yang se-mata2 mengisi otaknya dengan ilmu keduniaan, sedangkan jiwanya kurang dengan hidayah Ilahi, dan sebaliknya golongan yang se-mata2 memperdalam ajaran Islam, tetapi silau matanya dan gugup ia menghadapi masyarakat yang serba modern.



Ketika ditanyakan, obat apakah yang mujarab buat penyakit ini, Natsir menerangkan bahwa tahzibun nafs (melatih jiwa), dan tanwirul 'uqul (menyinari akal dengan hidayat Tuhan) dengan se-giat2-nya. Insya Allah, akan bangkitlah angkatan putera2 Islam untuk menggali permata yang terpendam, seperti yang ditamsilkan oleh Al-Quran: „Ashluha tsabitun, wa far'uha fis-sama” 5 ) uratnya terhujam dipetak bumi, pucuknya menjulang di alam tinggi !" Demikian Natsir mengakhiri pendapatnya. 8 Juni1951



5



Q.s. Ibrahim: 24



APAKAH



DR. SCHACHT



SE ORANG



TUKANG SUNGLAP ?



Yang bisa bikin rakyat Indonesia gembira sambil goyang kaki? Berhubung dengan terdapatnya suara2 yang mengatakan bahwa nasihat2 Dr. Schacht mengenai perekonomian Indonesia tidak bersipat baru lagi dan sudah diketahui oleh orang2 kita di sini, Moh. Natsir menyatakan kepada kita : „Jika orang sudah berpendapat apa yang dikemukakan oleh Dr. Schacht itu adalah kebenaran2 yang sudah diketahui juga, itu berarti kita sudah membenarkan pendapat Dr. Schacht. Seorang yang membuat analisa dari keadaan menurut garis ilmu pengetahuan tentu akan bertemu dengan kenyataan2 yang objektif dan dia hanya bisa mengambil konklusi atas kenyataan2 itu. Jika diagnose yang ditetapkannya dan therapie yang diberikannya, juga sudah dikenal orang lebih dahulu, ini se-kali2 tidak mengurangi nilai dari apa yang Dr. Schacht sudah kemukakan". Lebih lanjut Natsir mengatakan, soalnya sekarang "apa kita mau dan mampu mempergunakan obat yang ditunjukkannya atau tidak ! Dan ini bukan soal dr. Schacht lagi, tetapi soal kita sendiri. Jika kita sudah akui apa yang dikatakan oleh Dr. Schacht itu baik, maka soalnya tergantung kepada kemampuan kita untuk melaksana-kannya. Akhirnya Natsir ajukan pertanyaan terhadap mereka yang mengatakan bahwa nasihat2 dari Dr. Schacht ada semacam „oude koek":



„Apakah orang mengira Dr. Schacht itu sebagai tukang sunglap yang bisa bikin rakyat Indonesia senang dan gembira sambil goyang kaki ?" Harian Keng Po, Jakarta 18 Oktober 1951



TRANSMIGRASI. Mulailah dengan apa yang dapat dikerjakan. Banten masih dapat menerima 25.000 penduduk. Perhatikanlah Hukum2 Adat! Bagi negeri lain yang rakyatnya sudah maju, transmigrasi lebih gampang dilaksanakan dari pada oleh kita yang rakyatnya belum insaf tentang kepentingannya transmigrasi, demikian pendapat Moh. Natsir dalam percakapan dengan kita. Walaupun demikian menurut Natsir, transmigrasi tidak dapat ditunda2 lagi. Moh. Natsir lebih lanjut mengatakan, bahwa dalam melaksanakan transmigrasi, kita jangan lupa pada dua problem accuut yang harus dipecahkan dengan berbareng, ialah: Mempertinggi produksi beras dengan membuka sawah2 baru, dan mengatasi kelebihan penduduk di Jawa. Sebab itu babakan pertama dari transmigrasi, se-mata2 harus ditujukan pada pembukaan sawah2, sebab pada dewasa ini nyata sekali bahwa produksi beras perlu sekali diperbanyak. Untuk membikin berhasil babakan pertama ini harus diadakan seleksi yang keras sekali pada transmigranten. Natsir memperingat-kan agar jangan dikirimkan transmigranten yang sudah tua dan kurang bersemangat sebab ini akan membikin gagal saja transmigrasi yang memakan biaya ber-juta2 itu.



Dalam babakan pertama transmigranten harus merupakan satu „stoottroepen" yang terdiri dari pemuda2 yang baru menikah dan yang mempunyai hasrat menjadi petani. Tanpa mempunyai jiwa tani, transmigrasi yang dimaksudkan tidak akan berhasil. Dalam babakan kedua di samping membuka sawah2, transmigran-ten juga dapat menujukan perhatiannya kepada industri di rumah dengan mengadakan satu sentral unit yang dipimpin oleh Pemerintah. Unit ini yang akan mengatur dan menyediakan bahan2 buat industri rumah tsb. Dalam babakan kedua ini transmigranten tidak perlu lagi terdiri dari pelopor2. Hukum2 Adat harus diperhatikan. Untuk mencegah agar transmigranten dari Jawa tidak dipandang sebagai „tamu yang tidak disukai" oleh penduduk ditanah seberang, maka Pemerintah perlu sekali lebih dulu menyelidiki „locale agrariskhe problemen" dengan memperhatikan hukum2 adat di-tempat2 yang bersangkutan, supaya dikemudian hari jangan sampai timbul pertikaian antara tuan rumah dan tetamu. Mulailah dengan dislokasi. Bagaimana pentingnya transmigrasi dianggap oleh Natsir, dibuktikan oleh kata2 Natsir yang menyatakan, jika kita tidak bisa mengadakan transmigrasi keluar Jawa, maka kita harus mulai dengan apa yang bisa dikerjakan dulu. Kita tak boleh tinggal diam ! T jarilah jalan yang paling baik dengan weerstand yang paling ringan, misalnya menyingkirkan dulu rintangan 2 yang ditimbulkan oleh bahasa dan hukum adat atau biaya yang terlalu tinggi.



Carilah objek dengan „remmende factoren" yang paling ringan. Berhubung dengan ini Natsir berpendapat bahwa juga di Jawa sendiri bisa diadakan dislokasi yang mirip dengan transmigrasi keluar Jawa. Dislokasi ini berharga sekali dan lebih gampang dijalankan oleh karena tidak menemui banyak „remmende factoren" misalnya mengenai bahasa atau adat-istiadat. Berhubung dengan ini, Natsir mengatakan bahwa di Banten ada terdapat 3000 ha. bekas sawah yang sekarang tidak diusahakan lagi dan 70.000 ha. tanah kosong. Banten adalah daerah yang jumlah penduduknya paling kecil di Jawa: 196 jiwa per km2. Banten bisa menerima penduduk baru. Oleh karena di Cirebon penduduknya sudah padat (438 jiwa per km2) maka Natsir mengatakan kenapa kita tidak mulai dengan „transmigrasi" di Jawa Barat sendiri, dengan memindahkan sebagian penduduk Cirebon ke Banten. Kebetulan adat-istiadat dan bahasanya hampir sama antara penduduk Cirebon dan penduduk Banten dan juga biayanya tidak begitu besar. Natsir ketika masih menjadi Perdana Menteri sudah mengeluarkan instruksi untuk dislokasi ke Banten akan tetapi tidak keburu diselesaikan, karena Kabinetnya jatuh, sehingga kini pelaksanaannya baru berjumlah sedikit sekali, ialah 450 jiwa, sedangkan Banten dapat menerima 25.000 jiwa. Dijaman Belanda transmigrasi saban tahunnya berjumlah 70.000 jiwa sedangkan kita dalam tahun 1951 hanya mencapai angka 2300 jiwa ke tanah Seberang dan 450 jiwa ke Banten. Harian Keng Po, Jakarta 14 Januari 1952



MEMBERANTAS DEMAGOGI Memberantas demagogi dan memberantas usaha yang melumpuhkan Negara lebih penting. „Pertanyaan2 apakah Masyumi dan Darul-Islam Kartosuwirjo mempunyai tujuan sama, yang baru2 ini di-besar2-kan dalam pers, sangat mengherankan saya", demikian Natsir beberapa hari yang lalu, atas pertanyaan para wartawan mengenai hal ini. Menurut Natsir, sudah cukup diketahui, bahwa Masyumi dengan tegas dan terang telah menyatakan tidak mempunyai hubungan apa2 dengan D.I. dan bahwasanya hal ini juga diinsafi oleh pemimpin D.I. Kartosuwirjo sendiri, yang telah melarang adanya Masyumi dalam daerah yang dikuasainya. Antara Masyumi dan konsepsi Kartosuwirjo ada jurang yang lebar dan jika ada orang yang memajukan pertanyaan apakah tujuan yang terakhir dari keduanya itu bersamaan, maka pertanyaan sedemikian hanya dapat timbul dari jalan pikiran yang belum matang, se-mata2 hanya memandang kepada kenyataan bahwa Masyumi dan D.I. Kartosuwirjo mendasarkan perjuangannya atas Agama Islam, demikian Natsir. Selanjutnya dikatakannya, bahwa tidak seorangpun akan menyama- ratakan Stalinisme dan demokratis-sosialisme, meskipun kedua aliran ini didasarkan atas Marxisme. Oleh karena itu, terlalu simplistis dan terlalu tidak sadar, bahkan membahayakan, jika Masyumi dipersamakan dengan D.I. begitu saja. Dan sebenarnya pertanyaan golongan tertentu itu mungkin mempunyai tujuan tertentu juga. „Jika orang berbicara tentang tujuan terakhir, maka tak boleh tidak, kita harus sampai kepada konklusi, bahwa liberalisme,



kapitalisme, sosialisme, komunisme dan lain2, akhirnya tokh mempunyai tujuan yang satu dan sama, yakni menciptakan dunia yang lebih baik buat umat manusia". Sementara itu Natsir mengatakan, bahwa masalah2 yang nyata kita hadapi dewasa ini, yakni masalah memberantas demagogi yang melumpuhkan Negara. Demagogi bisa timbul di kalangan penduduk yang kurang mengerti dan kurang merasa puas. Oleh karena itu, demikian Natsir mengakhiri keterangannya, saya ingin menegaskan sekali lagi akan perlunya tindakan yang tepat, yang sudah dipikirkan dengan saksama dan secara matang sebelumnya. Setiap tindakan yang ter-buru2 diucapkan hanya akan menimbulkan kebingungan dan putus asa di antara rakyat. Hal sedemikian pada akhirnya hanya akan memperkuat golongan Kartosuwirjo dan memperbesar pengikut2-nya. 6 Februari 1952



„KITA HARUS MENYOKONG KABINET WILOPO" Tugasnya berat: mengadakan pemilihan-umum untuk mencapai stabilitet politik. Burma bisa mengadakan pemilihan-umum, kenapa kita tidak ? Moh. Natsir dalam percakapan dengan Keng Po pagi ini menerangkan tentang tugas Kabinet yang sekarang, sebagai berikut: Umum dapat merasakan, betapa beratnya tugas yang dihadapi oleh Kabinet Wilopo dalam masa 1 tahun yang akan datang, yakni mengadakan stabilitet politik dengan menyelenggarakan pemilihan-umum selekas mungkin, memulihkan keamanan serta menjamin makanan untuk rakyat. Oleh karena itu, maka adalah sewajarnya kita harus memberikan sokongan, serta goodwill yang secukupnya bagi mereka, untuk melaksanakan tugasnya itu. Atas pertanyaan Keng Po, apakah pemilihan-umum bisa dilaksanakan, mengingat keadaan dibeberapa daerah masih belum aman, maka beliau menjawab, menurut pendapatnya hal ini bisa dilakukan. Natsir mengambil contoh dari keadaan di Burma, di mana belum lama ini telah dilakukan pemilihan-umum, sedang keadaan dalam negaranya tidaklah sangat berbeda dengan keadaan kita di Indonesia. Dengan selesainya pemilihan-umum, maka mereka di sana telah mendapat basis untuk mengadakan berbagai usaha, membangun negara dan menghindarkan kesulitan2 di dalam lapangan sosial dan ekonomi dan mengadakan stabilitet politik. Demikian pendapat Natsir. Harian Keng Po, Jakarta 3 Maret 1952



ISLAM BERANTAS INTOLERANSI AGAMA DAN TEGAKKAN KEMERDEKAAN BERAGAMA Islam adalah Induk Serba Sila. „Agama Islam memberantas intoleransi agama serta menegakkan kemerdekaan beragama dan meletakkan dasar* bagi keragaman hidup antar-agama. Kemerdekaan menganut agama adalah suatu nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap* Muslimin dan Muslimat. Islam melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan menurut agama masing, baik dtmesjid maupun digereja". Demikian pidato Moh. Natsir, dalam rapat umum di Tanjungkarang. Islam adalah Induk dari Serba Sila. Pagi Rebo bertempat di lapangan Enggal Tanjungkarang, dengan dihadiri oleh lebih dari 15.000 rakyat telah dilangsungkan rapat samudera. Moh. Natsir dalam pidatonya mengatakan bahwa di dalam pembinaan Negara kita sekarang ini janganlah ada warga negara yang sesak nafas apabila mendengar bahwa kita umat Islam hendak melaksanakan ajaran Islam dalam masyarakat dan Negara R.I. yang kita cintai ini. Selanjutnya Moh. Natsir mengatakan, bahwa Islam memberantas intoleransi agama, menegak-kan kemerdekaan beragama dan meletakan dasar bagi keragaman



hidup antar-agama. Kemerdekaan menganut agama, adalah suatu nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap2 Muslimin dan Muslimat. Islam melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan menurut agama masing2, baik di gereja ataupun di mesjid. „Kami umat Islam berseru kepada seluruh teman sebangsa yang beragama lain, bahwa Negara ini adalah Negara kita bersama, yang kita tegakkan untuk kita bersama, atas dasar toleransi dan tenggangrasa, bukan untuk satu golongan yang khusus. Kami berseru, sebagaimana seruan Muhammad kepada sesama warganegara yang berlainan agama, kami diperintahkan supaya menegakkan keadilan dan keragaman di antara saudara. Allah, adalah Tuhan kami dan Tuhan saudara. Bagi kami amalan kami, bagi saudara amalan saudara, tidak ada perseng ketaan agama antara kami dengan saudara. Allah akan menghimpunkan kita di hari kiamat, dan kepada-Nyalah kita akan sama2 kembali! Islam memberantas kemiskinan dan kemelaratan, dan memberantas perhambaan dan eksploitasi manusia atas manusia. Islam adalah dasar hidup yang luas bagi semua golongan dalam lingkunganbangsa2, termasuk bangsa Indonesia dalam keragaman dan kesatuan. Islam adalah Induk dari Serba Sila yang telah berurat berakar dalam kalbu 400 juta umat Islam di seluruh dunia dan menjadi pedoman hidup serta sumber kekuatan lahir batin dari sebagian besar bangsa kita,, semenjak ber- abad2. Harian Abadi, Jakarta 3 Agustus 1952



KESUNGGUHAN PEMERINTAH INI TIDAK TERLIHAT DALAM MENYELESAIKAN PEMILIHAN-UMUM Jangka waktu baru segera akan diumumkan. Dalam keterangannya kepada „Pedoman" Moh. Natsir menyatakan, bahwa apabila Pemerintah memang bersungguh 2 untuk menyelesaikan pemi-lihan-umum pada bulan Agustus ini sebagaimana kesungguhannya untuk menyelenggarakan Konpe-rensi Asia-Afrika, maka insya Allah pemilihan-umum selesai sebelum bulan Agustus nanti. Akan tetapi sayangnya, kesungguhan Pemerintah dalam menyelesaikan pemilihan-umum itu tidak terlihat. Atas pertanyaan bagaimana jika Pemerintah masih akan menunda pemilihan-umum sampai akhir tahun ini, Moh. Natsir menyatakan bahwa Pemerintah lah yang bertanggung- jawab terhadap semuanya itu. Tentang panggilan Jaksa Agung terhadap kedua pemimpin Masyumi, yaitu Mr. Burhanudin Harahap dan M. Isa Anshary, Natsir menyatakan, bahwa dalam soal itu Kejaksaan Agung telah menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai alat Pemerintah, sedangkan kedua pemimpin Masyumi itu pun telah melakukan kewajibannya pula, apa yang mereka rasa perlu untuk dilakukan. Harian Pedoman, Jakarta 16 Maret 1953



EKONOMI NASIONAL JADI „TRAGEDI NASIONAL" Resolusi P.N.I. adalah kesedaran yang sudah kasip. Apa yang dikatakan oleh pihak oposisi dua tahun yang lalu kepada Pemerintah mengenai bahaya pemborosan uang dan pelaksanaan perekonomian nasional yang tidak berencana, sekarang telah menjadi kenyataan. Praktek ekonomi nasional yang dijalankan, menurut Natsir, bukan mendatangkan kemak-muran nasional tetapi menjadi „tragedi nasional". Ajaran Islam dalam Republik Indonesia. Untuk menyempurnakan kemerdekaan bangsa dan Negara yang „belum mempunyai pedoman tegas", kita akan meneruskan jihad menurut yang diridai Tuhan dengan tertib dan teratur. Kita akan berusaha melaksanakan ajaran2 Islam dalam kepribadian hidup bangsa kita, dalam masyarakat Negara Republik Indonesia sesuai dengan apa yang diridai Tuhan. Pemilihan-umum yang akan datang ini adalah merupakan jalan bagi kita ke arah itu. Keadaan ekonomi sekarang. Natsir menggugat masalah ekonomi dan keuangan Negara dewasa ini. Dua tahun yang lalu ketika Kabinet sekarang mulai mengayunkan langkah untuk memimpin Negara kita, pihak oposisi telah



memperingatkan supaya jangan sembrono mengeluarkan uang Negara. Sebab sekali waktu nanti, Pemerintah tidak dapat bekerja, yakni tidak dapat membayar gaji pegawai kalau tidak mencetak uang lebih banyak. Karena kalau Pemerintah sekarang ini, —yang juga Pemerintah dari kaum oposisi—, tenggelam, maka kita semua akan turut serta tenggelam ! Tetapi semua anjuran2 tsb., ketika itu disambut dengan tertawa oleh golongan Pemerintah di Parlemen. Sekarang apa yang dikatakan oleh pihak oposisi dua tahun yang lalu itu telah menjadi kenyataan satu demi satu. Ekonomi nasional yang dijalankan sekarang adalah ekonomi serampangan dan tidak berencana. Ia bukan mendatangkan kemakmuran nasional, tetapi „tragedi nasional”. Dalam keadaan seperti sekarang ini, Pemerintah masih lagi meminta izin untuk mencetak uang 7 milyard rupiah. Dan melihat gelagatnya mungkin sekali Parlemen akan menerimanya. Karena dalam Parlemen kita sekarang orang hanya menghitung jumlah kepala saja, bukan isi kepala, kata Natsir. Kalau dua tahun yang lalu golongan Pemerintah menertawakan pihak oposisi mengenai anjuran2 soal keuangan dan ekonomi ini, maka sekarang, baik Pemerintah maupun pihak oposisi tidak lagi dapat tertawa, melihat keadaan. Dalam hubungan ini Natsir menyebut tentang resolusi P.N.I. baru2 ini yang dikatakannya suatu „kesadaran yang sudah kasip", tetapi walaupun demikian kami masih menyatakan syukur. Sari pidato dalam rapat umum di Makassar, 23 Juni 1953



KEMAKMURAN MENURUT ISLAM Bukan hidup yang diracuni oleh dedam-kesumat antara satu golongan dengan golongan yang lain. Menurut Natsir, pembangunan Negara dan perekonomian Negara harus dikoordinir dan disesuaikan dengan pendidikan. Pendidikan yang berdasarkan intelektualisme se-mata2 seperti yang pernah dijalankan di zaman penjajahan, hanya akan menghasilkan tenaga2 buruh, bukan menghasilkan orang2 yang sanggup bekerja dan berinisiatif sendiri. Dari desa lari kekota. Keadaan yang berlaku sekarang, tidak berapa berbeda dengan masa penjajahan, orang masih lebih memilih sekolah2 umum dari pada sekolah2 kejuruan. Kalau ada juga yang belajar di-sekolah2 kejuruan seperti pada S.T.M. maka tenaga2 tsb. telah diijonkan kepada perusahaan2 asing, persis seperti petani2 yang mengijonkan padinya sebelum padi itu dapat dipanen. Ijon dalam pendidikan ini terkenal sekarang dengan nama „beasiswa" atau ikatan dinas. Tenaga2 yang seperti ini tentu saja tidak dapat diharapkan untuk turut langsung terjun dalam lapangan pembangunan Negara dalam arti kata yang luas. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, adalah terlalu banyaknya pemuda2 desa lari ke kota untuk memburuh, sedangkan desa yang menjadi dasar pembangunan Negara ditinggalkan sepi. Ber-duyun2 orang2 tua, pak tani di desa menyekolahkan anak2-nya di kota, dengan harapan setelah mereka tamat anak2 itu akan kembali



ke desa. Tetapi anak2 itu setelah menamatkan pelajarannya tidak sudi lagi kembali kedesanya untuk menyerahkan kepandaian dan kecakapan- nya kepada masyarakat di desa, melainkan mereka lebih senang memburuh di-kota2 dengan penghasilan yang tidak seberapa. Kemakmuran menurut Islam. Selanjutnya atas pertanyaan mengenai kemakmuran menurut Islam, oleh Natsir dikatakan, bahwa Islam mendasarkan susunan masyarakatnya kepada keseragaman, yang di Indonesia terkenal dengan istilah gotong-royong. Pokok pikiran Islam dalam hal ini ialah „hidup dan memberi hidup". Orang harus memasukkan modal guna produksi proses, yang memberi kerja kepada orang lain. Islam tidak kenal „struggle for life" yang berdasarkan „survival of the fittest" itu. Juga Islam tidak mendasarkan kemakmuran itu kepada hidup yang diracuni oleh dendam-kesumat, dengki dan benci antara suatu golongan dengan golongan yang lain. Islam berdasarkan kepada ajaran, mengangkat si lemah dari kelemahannya dan menimbulkan tanggung-jawab individu terhadap masyarakat dan tanggung-jawab masyarakat terhadap anggotanya. Ringkasan ceramah di depan mahasiswa Fakultas Ekonomi di Palembang, 18 Juli 1953. Harian Pedoman, Jakarta



BUKAN ARAK-ARAKAN, SLOGAN-SLOGAN DANGKAL DAN BUKAN PULA KOMANDO TERAKHIR AKAN HABISI



GANGGUAN KEAMANAN Tapi, rebutlah hati rakyat dan titnbulkanlah keper cayaannya kepada aparat Pemerintah. Moh. Natsir menyatakan kepada pers baru2 ini bahwa menurut pendapatnya penyelesaian keamanan tidak terletak pada dikeluarkannya „komando-terakhir” untuk membasmi segala macam gerombolan, tetapi pada apa isinya yang dinamakan „komando-terakhir” tersebut, bagaimana keadaan aparat yang akan menjalankannya dan bagaimana cara pelaksanaannya. Keterangan ini diberikan oleh Natsir atas pertanyaan2 yang dikemukakan berhubung dengan terjadinya demonstrasi2 di beberapa tempat, yang menuntut penyelesaian keamanan secara tegas dan juga berhubung dengan keterangan Wakil P.M. I Mr. Wongsonegoro kepada delegasi Jawa Barat, bahwa „komando-terakhir” akan diberikan kepada alat2 Negara untuk membasmi gerombolan2. Natsir mengatakan bahwa iring2-an serta teriakan2 dalam demonstrasi demikian itu, tidak akan membawa pemulihan keamanan, dan diperingatkannya bahwa kalau usaha2 yang dangkal itu tetap diteruskan, maka bukan perdamaian nasional yang akan tercapai, ataupun keamanan, melainkan kemungkinan adanya pertentangan2 yang tambah meruncing yang cukup kita benci itu.



Selanjutnya Natsir mengingatkan, bahwa „komando-terakhir" telah seringkali dikeluarkan pada masa yang lampau, antaranya dengan secara tegas dalam tahun 1950 oleh Kabinetnya. Pada waktu itu olehnya ber-sama2 dengan Sultan Hamengku Buwono yang menjadi Wakil P.M. merangkap Koordinator Keamanan telah dikeluarkan seruan kepada gerombolan2 untuk menyerahkan diri dalam batas waktu yang tertentu, dengan jaminan akan diberi amnesti jika memenuhi seruan itu. Sesudah waktu menyerahkan diri itu berlaku, maka dikeluarkanlah „komando-terakhir" untuk memberan-tas gerombolan2 yang tidak menyerahkan diri. Juga di masa Kabinet Sukiman-Suwirjo dalam tahun 1951 telah dinyatakan dengan tegas, bahwa gerombolan2 seperti D.I., T.I.I., Bambu-Runcing, dsb-nya adalah pemberontak dan waktu itu telah dikeluarkan pula „komando-terakhir" untuk mengejar gerombolan2 tersebut. Hasilnya sampai sekarang. Tetapi apakah hasilnya „komando-terakhir" itu ?, tanya Natsir. Keamanan tidak dapat dikembalikan, hanya sebagai akibatnya yang nyata, berpuluh ribu orang telah dijebloskan ke dalam penjara, ratusan ribu penduduk telah diungsikan ke tempat lain, berpuluh gedung telah dijadikan kamp tawanan dan banyak desa yang telah hancur lebur menjadi hangus dalam pelaksanaan „komando-terakhir" itu, dalam mana seluruh senjata modern dari Angkatan Perang, baik dari Angkatan Darat maupun dari Angkatan Udara, telah dikerahkan. Sebagai satu contoh, Natsir menunjukkan kepada keadaan di Sulawesi Selatan di mana „komando-terakhir" juga telah diberikan untuk membasmi gerombolan2. Komando itu diberikan via corong



radio dan bersipat seruan dari Perdana Menteri, yang kemudian disusul pelaksanaannya dengan apa yang dinamakan „Operasi Merdeka" dan „Operasi Halilintar" yang hingga pada saat ini masih terus berjalan. Tetapi janganlah orang mengira jika melihat keadaan kota Makasar misalnya, yang se-olah2 tenang, bahwa tujuan dari „komandoterakhir" telah memberikan hasil yang baik, demikian Natsir. Keadaan yang tenang dalam kota itu hanyalah tenang dipermukaan saja, pada sebenarnya dapat disamakan se-olah2 orang duduk di atas gunung berapi yang setiap saat bisa meletus lagi. Natsir mengatakan bahwa menurut laporan2 yang dia terima, sebenarnya banyak rakyat di kota Makassar dan sekelilingnya yang masih didatangi gerombolan secara diam2 untuk memeras kekayaan penduduk. Tetapi penduduk telah berada dalam keadaan ketakutan demikian rupa, sehingga mereka tidak berani melaporkan hal itu kepada yang berwajib, sehingga malahan dari pihak polisi pernah dikeluarkan peringatan bahwa setiap orang yang didatangi gerom-bolan tapi tidak melaporkannya, dapat dihukum sendiri atas sikapnya itu. Dan nyatanya sampai sekarang, juga orang masih takut untuk melaporkan kepada yang berwajib tentang gangguan yang mereka alami dari gerombolan2, yang secara diam2 mendatanginya itu. Meski 10 kali lagi „komando-terakhir” Natsir mengatakan, bahwa orang tidak akan keberatan dikeluarkannya 10 kali lagi „komando-terakhir", jika memang dianggap bahwa dengan cara itulah masalah keamanan akan dapat diselesaikan. Akan tetapi, demikian Natsir, dengan pengalaman di masa yang lampau itu, buat saya yang penting bukanlah dikeluarkannya „komando-terakhir",



tetapi soalnya apakah isinya „komando-terakhir" itu, bagaimanakah keadaan aparat yang akan menjalankannya dan bagaimana cara melaksanakannya?". Dalam hubungan ini tentunya, demikian Natsir, penting sekali untuk menyelami lagi keadaan yang sebenarnya di dalam masyarakat, serta belajar dari kesalahan2 di masa yang lampau dan mengadakan herorientasi pemecahan keamanan itu, ditilik dari segala sudut, politis, militer, ekonomis, sosial, dll., sebelum ter-buru2 lagi mengeluarkan „komando-terakhir". Natsir mengatakan lagi bahwa dalam masa 6 bulan yang pertama dari usia Kabinet Wilopo-Prawoto, Kabinet tsb. telah menempuh jalan yang baik dalam usaha memecahkan masalah keamanan. Tetapi baru saja Kabinet Wilopo mau melaksanakan rencana, Kabinet itu telah terlibat dalam perdebatan2 dalam Parlemen mengenai soal2 pertahanan yang ber-bulan2 lamanya dan akhirnya menelorkan mosi Manai Sophian yang disusul dengan pecahnya peristiwa 17 Oktober. Sesudah peristiwa tersebut, tenaga dan pikiran Kabinet tidak lagi dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah keamanan, malahan soalnya telah berpindah kepada bagaimana dapat mengembalikan keutuhan dalam Angkatan Perang, yang mempunyai tugas besar dan penting sekali di dalam usaha memecahkan masalah keamanan itu. Sampai sekarang soal ini masih belum juga selesai. Hati rakyat adalah benteng yang kokoh. Masalah keamanan lebih dalam persoalannya dan tidak semudah dikira oleh orang2 yang berdemonstrasi sambil membawa poster2 dengan slogan2 yang seringkali dangkal isinya itu, demikian Natsir.



Keamanan telah terganggu dengan adanya senjata2 liar dalam tangan orang2 di masyarakat. Untuk mengembalikan keamanan senjata2 itu harus direbut kembali dari tangan orang2 itu, tetapi soalnya tidak cukup sampai di sana saja. Merebut senjata kembali dari tangan gerombolan2 mungkin baru merupakan 25% dari seluruh masalah keamanan, sebab hari ini senjata bisa diambil dan besok senjata lain bisa dipunyainya lagi dan begitu seterusnya, jika masalah keamanan itu hanya ditinjau dari sudut mempergunakan „tangan besi" saja untuk menumpas gerombolan2 itu. Kenyataan2 yang pahit baik di Indonesia maupun di luar negeri, seperti misalnya di Malaya, Filipina, Burma dll., ialah bahwa sesuatu alat pemerintah baik militer maupun polisi, tidak dapat menaklukkan gerombolan2 dengan se-mata2 menggunakan senjata saja. Soal keamanan tidak dapat diselesaikan apabila sesuatu pemerintah hanya mampu merebut senjata dari tangan sebagian rakyat yang dianggap gerombolan, tapi tak mampu dan gagal untuk memikat hati dan menumbuhkan kepercayaan kepada pemerintah tsb. dari pihak rakyat itu. Saya telah pernah mengatakan beberapa bulan yang lalu mengenai pemecahan soal keamanan ini, bahwa hati rakyat adalah benteng yang kokoh. Tanpa hati dan kepercayaan rakyat pada pemerintah dan aparatnya, gerombolan2 itu akan hidup terus dalam masyarakat sebagai ikan di dalam air. Sedang alat pemerintah harus memilih antara dua alternatif, ialah membatasi dirinya dengan menduduki jalan2 raja atau melakukan peperangan terhadap rakyat umumnya, seperti halnya dengan tentara kolonial Belanda dahulu terhadap bangsa Indonesia. Kedua alternatif itu merupakan jalan buntu yang tidak dapat dihindarkan dengan se-mata2 mengeluarkan „komando-terakhir" saja



atau demonstrasi yang ribut2, iring2an di-kota2 besar dengan slogan yang dangkal isinya. Kekeliruan. Natsir mengatakan, bahwa memang sampai sekarang ada niat cukup pada Pemerintah untuk memikat hati rakyatnya, tetapi meskipun niat cukup baik, pelaksanaannya adalah keliru dan aparatnya tidak dapat jalan. Kekeliruan itu antara lain disebabkan oleh karena: 1. Di dalam merebut senjata dengan senjata segala tenaga2 yang positif dalam masyarakat dan dapat dijadikan kawan, itulah yang terlebih dahulu di-incer2, dijadikan lawan. 2. Satu tendens yang sangat berbahaya, ialah bahwa jangankan menumbuhkan kepercayaan dihati rakyat kepada Pemerintah dan aparatnya, malahan tampak bayangan untuk mengadu rakyat dengan rakyat itu sendiri. „Barisan2 Sukarela” Akhirnya atas pertanyaan, mengenai tuntutan2 dibeberapa tempat untuk membentuk barisan2 sukarela buat membasmi gerombolan, Natsir mengatakan, bahwa di dalam waktu 8 tahun yang lalu sampai sekarang Pemerintah dengan sekuat tenaga telah berusaha untuk membentuk satu tentara yang berdisiplin, rasionil dan teratur. Untuk maksud itu usaha peleburan barisan2 rakyat mulai dari B.K.R. sampai kepada T.N.I. sekarang, sebenarnya masih belum selesai sama sekali dan pimpinan Angkatan Perang masih terus berusaha dalam urusan ini. Apakah orang tidak insaf, demikian tanya Natsir, bahwa jika tuntutan dari golongan2 tertentu untuk membentuk barisan2 sukarela itu dipenuhi, kita akan kembali lagi kepada keadaan di masa revolusi



dahulu, ketika di samping tentara resmi terdapat juga tentara yang tidak resmi? Dan apakah orang tidak insaf bahwa hal ini malahan justru akan menambah kesulitan2 dalam masyarakat dan tidak akan membantu penyelesaian keamanan itu? Dan akhirnya apakah orang dapat membayangkan, bagaimana kiranya perasaan Angkatan Perang dengan tuntutan2 sedemikian itu, sebab bukankah pada hakikatnya hal itu menunjukkan perasaan kurang percaya terhadap Angkatan Perang kita sendiri, dalam menunaikan tugasnya mengembalikan keamanan? Akhirnya Natsir mengatakan bahwa jika keadaan berlangsung seperti sekarang, yang akan didapat bukanlah keamanan malah keadaan bisa matang untuk satu perang saudara. Natsir mengakhiri keterangannya dengan berkata: „Saya merasa perlu pada saat2 ini memberikan peringatan semacam ini". 2. Agustus 1953



PEMOGOKAN YANG BERBAU POLITIK Buruh perkebunan dipermainkan oleh Sarbupri. Bahaya pengangguran ............... ! Jika ucapan Menteri Perburuhan benar, bahwa pemogokan dari Sarbupri ada onwettig, konsekwensinya jangan berupa ucapan saja, tetapi Pemerintah harus bertindak terhadap mereka yang melakukan pelanggaran, sebab kita hidup dalam negara hukum, demikian keterangan Moh. Natsir mengenai pemogokan yang kini sedang diselenggarakan oleh Sarbupri. Lebih lanjut Moh. Natsir mengatakan jika Pemerintah tak bertindak, ini sama juga seperti Pemerintah sengaja meruntuhkan gezagnya sendiri. Natsir berpendapat bahwa pemogokan yang geforceerd seperti sekarang ini, dan yang nyata2 bersifat politis, seperti pernah dialami di jaman yang lampau, akibatnya akan merugikan buruh sendiri. Berhubung dengan ini Natsir memberi nasihat supaya para buruh kiranya juga insaf, yang pemogokan ini, adalah permainan politik belaka dari Sarbupri—Sobsi dan buruh harus sedar di mana letaknya kepentingan buruh yang sebenarnya. Atas pertanyaan, apa sebabnya maka pemogokan sekarang dikatakan permainan politik belaka, Natsir menjawab, bahwa jika Sarbupri memang hendak memperbaiki nasib para buruh perkebunan umumnya, kenapa diadakan diskriminasi. Apa sebabnya pemogokan hanya ditujukan pada perkebunan asing saja. Apa buruh yang bekerja di luar perkebunan asing upahnya lebih baik?



Lebih lanjut Natsir membayangkan bahaya pengangguran besar2-an apabila perkebunan akhirnya terpaksa ditutup karena aksi pemogokan dari Sarbupri. Dilihat dari sudut ekonomis, pemogokan ini berarti, jika masih ada restan2 harapan orang akan adanya stabilitet dalam produksi, maka restan2 ini akan hancur sama sekali, demikian Natsir. Alasan dari Sarbupri bahwa pemogokan tak ditujukan terhadap Kabinet yang sekarang, oleh Natsir disebut omong kosong, oleh karena keputusan P4 telah diperkuat oleh keputusan Pemerintah yang sekarang pada tg. 18 Agustus jl. Aneta 16 September 1953



PERKEMBANGAN DEMOKRASI



DALAM BAHAYA



„Dari semua bahaya inilah yang paling berbahaya”. Dibikin bungkemnya Parlemen. Dibikin bungkemnya Parlemen semalam oleh P.N.I. dan P.K.I. sehingga Parlemen tak diberi ketika untuk membicarakan keterangan Pemerintah tentang Aceh dalam babak kedua, ternyata telah menimbulkan reaksi di kalangan politik. Bukan saja partai2 oposisi, bahkan partai2 Pemerintah sendiri ada yang tak setuju dengan perbuatan yang tidak demokratis dari P.N.I. dan P.K.I. ini. Moh. Natsir atas pertanyaan kita menerangkan bahwa kejadian semalam di Parlemen itu sangat menguatirkan sekali bagi perkem-bangan demokrasi di Indonesia. Yang sangat tragis menurut beliau, ialah hilangnya kejujuran dalam mengucapkan kata2. Seringkali digembar-gemborkan oleh mereka yang sekarang berkuasa ini, bahwa kita harus menggalang tenaga-nasional untuk mengatasi kesulitan2 nasional, akan tetapi tiap2 tindakan yang dilakukan senantiasa meng-injak2 sesuatu yang dulu, meskipun bibir yang mengucapkannya belum kering. Sebetulnya kesulitan yang kita hadapi ini bukan soal2 asing bagi tiap2 negara muda seperti Burma, India, Pilipina dan sebagainya, akan tetapi di sana mereka mempunyai alat2 perlengkapan untuk mengatasi ber-sama2 bahaya yang mengancam, seperti Parlemen yang mencer-minkan perimbangan tenaga yang sesungguhnya dalam masyarakat dan Pemerintah yang mendapat kepercayaan sebagian



besar dari masyarakat untuk melakukan tugasnya dengan sistematis buat beberapa waktu yang ditentukan. Akan tetapi justru di Indonesia, demikian Natsir lebih lanjut, alat2 untuk mengatasi bahaya ini dengan sadar dibahayakan oleh golongan yang sekarang sedang berkuasa. Dengan ini perasaan2 yang tak puas tentang keadaan Negara dilapangan ekonomi dan politik, lebih meluas dan mendalam dan dikuatir- kan rakyat jadi kehabisan kepercayaan kepada parlementer stelsel, di Negara R.I. kita ini. Berhubung dengan ini dengan tegas saya mengatakan: Dari semua bahaya yang kita hadapi kini, inilah yang paling besar dan malahan jadi sumber dari segala macam bahaya. Kalau sudah sampai begitu keadaan Negara belum juga dianggap dalam bahaya, saya tak tahu apa sesungguhnya yang dinamakan orang Negara dalam bahaya itu, demikian Natsir. Harian Keng Po, Jakarta 3 Nopember 1953



KEUANGAN DAN EKONOMI KITA GENTING Harus berani lihat keadaan sebenarnya, meskipun pahit. Ada lima hal yang perlu sekali dilakukan. Baru2 ini Moh. Natsir telah sampai di kota Padang. Tujuannya yang khusus, adalah mengunjungi konperensi Alim Ulama seluruh Riau yang dilangsungkan di Pekanbaru. Pada hari Jum'at di Padang, Natsir mengadakan rapat khusus dengan partainya dan setelah itu menerangkan kepada pers pendapat2-nya atas keterangan Pemerintah baru2 ini untuk mengatasi keadaan ekonomi dan keuangan, yang pada saat akhir2 ini mengalami masa darurat. Natsir menegaskan bahwa jalan yang dikemukakan P.M. Ali itu ialah pertolongan dari luar negeri, umpama dari The World Bank dan International Monetary Fund serta mengadakan iklim untuk dapat menerima modal asing serta mengurangi pengeluaran Pemerintah dan mengurangi impor. Natsir dapat menyetujuinya, tapi terlebih dulu kita harus menyadari bagaimana gentingnya keadaan dan menyadari akan hal2 yang akan terjadi sebenarnya, demikian Natsir. Gambaran keadaan. Umum sudah mengetahui bahwa keadaan ekonomi di luar negeri sangat tidak menguntungkan bagi kita. Antara lain tidak dapat disangkal bahwa di Amerika Serikat, kini berlaku apa yang orang namakan rolling reajustment kalau tidak mau disebut „resessi" atau „depressi". Resessi ini saja sudah sangat besar pengaruhnya ke



Indonesia. Oleh sebab itu harga barang2 ekspor kita tidak kelihatan akan naik, dengan akibat kekurangan dalam neraca pembayaran kita akan tetap besar. Andai kata tekort itu pada tahun 1954 hanya seribu juta (1 milyard) saja, sudah berarti menghabiskan atau memakan sebagian ca- dangan emas, dan devizen kita akan tinggal 500 a 600 juta. Perlu diketahui bahwa sedikit waktu lagi kontrak timah kita dengan Amerika Serikat dengan harga Rp. 1,12 sudah akan habis. Dan andai kata mereka mau beli lagi mereka hanya sedia membelinya dengan harga yang jauh di bawah itu. Utang Pemerintah. Utang Pemerintah kepada Bank Indonesia menurut catatan terakhir sudah sampai 1,85 milyard. Utang Pemerintah ditambah dengan peredaran uang yang terus-menerus menggambarkan curve yang meningkat. Maka apabila kedua faktor ini terus berjalan seperti sekarang ini, kita kuatir bahwa pada pertengahan 1955, —kalau tidak akan lebih lekas dari itu—, Pemerintah kita akan terpaksa hidup dari sehari-kesehari, dengan apa yang dapat diperoleh dari hasil ekspor, seperti seorang buruh harian hidupnya dari upahnya dari sehari-kesehari. Industri dalam negeri yang tergantung dari impor barang2 dari luar akan lumpuh, sehingga baik barang2 impor maupun yang dihasilkan di dalam negeri sendiri, akan terus membubung harganya. Dengan demikian Indonesia akan berada di dalam „economische isolement".



Ini saya katakan, demikian Natsir, bukan sekedar agitasi oposisi, sebagaimana yang sering dituduhkan itu. Dan bukan pula untuk menggelisahkan rakyat yang sudah tenteram. Saya sendiri adalah sebagian dari rakyat itu dan yang mencari keketenteraman itu. Kalau betul2 kita hendak menolong Negara ini dari bahaya ekonomi yang mengancam, lebih baik kita sama2 berani melihat keadaan yang sebenarnya, walaupun pahit. Bantuan dari luar negeri dan modal asing. Untuk menilai beberapa jalan yang dikemukakan Pemerintah itu kita harus sadar bahwa yang diperlukan sekarang, ialah tindakan yang memberi pertolongan atau kelonggaran di dalam rangka waktu yang tertentu, dihitung mulai sekarang, yakni yang akan memberikan manfaat dalam masa satu setengah tahun ini. Di dalam rangkaian ini pertolongan dari luar negeri maupun dari World Bank bukanlah daya upaya yang dapat mengentengkan keadaan yang kita alami kini. Kalau itu yang kita harapkan, maka projek2 pembangunan perlu dibuat dahulu dan sesudah itu masih harus perlu dipelajari lagi oleh luar negeri. Bantuan dari I.M.F. berkehendak kepada syarat2 yang belum tentu kita dapat memenuhinya di dalam keadaan sekarang. Demikian pula dengan peranan modal asing, yang tidak akan memberikan efek2-nya dalam jangka pendek, lebih2 karena Pemerintah Ali - Wongso baru saja akan menciptakan „iklim yang baik" untuk menarik modal asing itu. Memang sesuatu niat yang baik, dan mudah2-an saja P.K.I. dkk. tidak akan menuduh Pemerintah Ali-Wongso ini sebagai alat „imperialis kapitalis" sebagaimana yang sekarang mereka tuduhkan kepada



partai yang pendapatnya seperti itu juga. Tetapi kapan modal asing itu akan masuk?, tanya Natsir. Modal asing tidak dapat ditarik dengan sekedar statemen politik investasi dalam garis2 besar, apalagi kalau mereka melihat keadaan yang nyata, yaitu bagaimana dilayaninya kapital asing yang sudah berada di dalam negeri, seperti Tambang Minyak Sumatera Utara, umpamanya. Untuk dinasionalisasikan tidak ada uang, untuk mengembalikan tidak mau! Bagi pemilik2 modal asing itu, kenyataan2 lebih pandai berbicara dari pada suatu statemen investasi politik. Lebih lanjut Natsir berpendapat, bahwa proses yang kita alami sekarang lebih menyerupai desinvestasi dari pada investasi, yaitu dengan pembelian hotel2 dan menasionalisasikan gerobak2 tua yang bernama B.V.M. dalam keadaan devizen merosot seperti sekarang ini. Soal2 impor. Pengurangan impor memang perlu, tetapi ini harus terbatas pada barang2 mewah atau setengah-mewah saja, bukan atas barang2 konsumsi yang essentiel, dan bukan pula mengurangi barang2 impor yang perlu untuk produksi dalam negeri. Jika ini dibatasi maka ia akan bekerja sebagai „boemerang", sebab akan melumpuhkan produksi dalam negeri. Dalam rangka ini pengurangan2 impor tidak akan berarti bagi persediaan devizen kita. Oleh karena itu saya tidak melihat alasan2 yang kuat, untuk optimistis. Selanjutnya Natsir berpendapat, bahwa yang harus dilakukan ialah : 1. Penghematan secara drastis dan secepat mungkin, dan terutama dalam lingkungan yang bersifat konsumptif.



2. Mencari pasar baru bagi barang2 ekspor kita. 3. Memperbaiki kwaliteit dari barang2 ekspor dan menurunkan harga produksi. Bukan hanya dengan memberi izin untuk valuta contract lebih rendah dari pasar dunia. Ini malah akan menghancurkan harga ekspor kita umumnya dan hanya untuk memberi keuntungan kepada beberapa eksportir saja. 4. Memperbaiki cara2 bekerja alat Pemerintah. 5. Menstimuleer (mendorong) ekspor hasil2, selain dari pada karet dan timah serta meninggikan arbeidsprestasi dan menambah jam bekerja lebih dari pada 420 menit. Terhadap yang terakhir ini pasti ada orang2 yang tidak setuju akan tetapi harus diingat, bahwa Negara kita hanya akan dapat dilindungi dari bahaya krisis ekonomi dan keuangan, dengan penghematan dan kerja keras bercucur keringat. Demikian Natsir mengakhiri interpiunya. Harian Abadi, Jakarta 19 Februari 1954



PANCASILA AKAN LAYU APABILA DISERAHKAN PADA P.K.I. Masyumi menghendaki dipimpin oleh Dwitunggal.



nasional



zakenkabinet



Dalam suatu keterangannya di Bukittinggi baru2 ini, Mohd. Natsir mengatakan, bahwa Masyumi menghendaki nasional zakenkabinet dipimpin oleh Dwitunggal. Islam mempunyai banyak Sila. Mengenai kekuatiran2, bahwa kalau orang Islam menang dalam pemilihan-umum, Pancasila akan hilang, dikatakannya bahwa semuanya itu sangka yang amat ganjil. Negara Islam yang diperjuangkan Masyumi bukan untuk orang Islam saja, tetapi untuk kemakmuran seluruh umat manusia, bahkan untuk binatang sekalipun. Didasarkannya Negara Republik Indonesia selama ini dengan Pancasila, sebenarnya adalah pengambilan dari be-ribu2 sila yang terdapat dalam Islam. Dan kalau terbentuk Negara Islam, maka Pancasila akan dapat dipelihara dan akan dapat dipupuk bersama sila2 yang lain. Sementara itu, dikuatirkannya Pancasila itu akan layu apabila diserahkan kepada P.K.I. Yang jelas kalau P.K.I. menang dalam pemilihan-umum dan kalau P.K.I. berkuasa, maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa akan dipotongnya, sehingga layulah Pancasila yang di-harap2-kan itu, demikian Natsir. Sungguhpun demikian, sekalipun Masyumi kalah dalam pemilihan-umum nanti, maka Masyumi tidak akan mau menempuh jalan yang menyimpang, tetapi tetap melalui jalan yang benar, sekalipun jauh. Antara 22 Juli 1954



ANALISA TENTANG PERSETUJUAN DEN HAAG „Laba tidak kita dapat, piutang kita beku". Aksi gagah2-an timbulkan harapan yang bukan2 di kalangan rakyat. Dalam memberikan analisanya tentang persetujuan yang telah dicapai di Den Haag antara delegasi Sunardjo dan delegasi Luns, Moh. Natsir menerangkan, bahwa aksi gagah2-an dalam politik seperti yang telah dilakukan, hanya memerosotkan kedudukan Indonesia di mata luar negeri dan „di samping itu juga menimbulkan harapan2 yang bukan2 di kalangan rakyat yang tidak tahu". Penanda-tanganan protokol itu dikatakan oleh Natsir, dapat disambut dengan gembira oleh Belanda. „Dengan ini", kata Natsir, „sebenarnya bayi yang sudah meninggal sebelum lahir, —untuk memakai perkataan Menteri Luns —, telah dikubur dengan upacara, sedangkan bayi yang masih hidup diberi asuransi jiwa berupa protokol". „Untuk Indonesia dapat dikatakan, laba tak dapat, piutang beku", demikian Natsir, yang memaksudkan, bahwa piutang Indonesia kini ternyata telah dikonsolidir, „sebagaimana halnya dengan Irian Barat yang malahan tidak dibicarakan sama sekali". Dari pidato Menteri Luns pada penutup perundingan di Den Haag, menurut Natsir, telah ternyata bahwa Pemerintah sebenarnya sudah sejak tg. 14 April jl. mengetahui dari nota Belanda bahwa Belanda sama sekali tidak bersedia untuk membicarakan masalah Irian Barat. „Dengan pengetahuan ini", kata Natsir, „delegasi Indonesia tokh berangkat juga ke Negeri Belanda, dengan menanamkan kesan pada rakyat Indonesia, se-akan2 soal Irian Barat itu pasti akan diperjuangkan mati2-an, malahan



diberikan kesan, bahwa Irian Barat itu merupakan satu soal internasional yang demikian pentingnya, sehingga dianggap membahayakan perdamaian di Asia Tenggara". Sekarang ternyata, bahwa jangankan diperjuangkan, dibicara-kan saja pun tidak! Dalam hubungan ini Natsir mengingatkan kepada delegasi Supomo dulu menghadapi Belanda, di mana pihak Belanda waktu itu masih bersedia membicarakan masalah Irian Barat itu atas dasar tidak „interwoven". „Dengan dikesampingkannya soal ini setelahnya ramai2 sebelum delegasi berangkat", kata Natsir, „maka kepada luar negeri telah ditimbulkan kesan, se-akan2 tidak terlampau banyak diperlukan tenaga untuk mengurangkan ketegangan2 di Indonesia". Soal „fin-ec". Di lapangan „finec". (keuangan dan ekonomi), yang tadinya seringkali di-gembor2-kan sebagai „sumber kemelaratan" di Indonesia, kini ternyata tidak tercapai sesuatu apa yang lebih menguntungkan. „Apa yang tidak bekerja lagi dinyatakan hapus, yang masih berlaku dipertahankan, dan malah ditekankan lagi, bahwa peraturan2 yang bersangkutan itu masih dipertahankan", demikian Moh. Natsir. Akhirnya Natsir berkata: „Jika ada satu pelajaran yang dapat diperoleh dari kejadian ini, ialah bahwa mereka yang suka gagah2-an dalam politik tanpa perhitungan, se-mata2 memerosotkan kedudukan Indonesia di mata luar negeri dan hanya menimbulkan harapan yang bukan2 di kalangan rakyat yang tidak tahu". Harian Abadi, Jakarta 14 Agustus 1954



SINYALEMEN PRESIDEN MENGGELISAHKAN Moh. Natsir yang sekarang ada di Surabaya untuk menghadiri Muktamar ke 28 Al-Irsyad, mengatakan kepada wartawan Keng Po, bahwa sinyalemen Presiden dalam pidatonya di Palembang mengenai kegiatan orang yang menyual negara, adalah berakibat menggelisahkan, karena tidak ditegaskan golongan mana dan siapa orangnya. Ketidak-jujuran dalam sinyalemen selaku Kepala Negara ini, menurut Natsir menambah runcingnya keadaan serta mengobarkan sentimen, dan dicemaskan menimbulkan permusuhan karena saling tuduh-menuduh siapa yang dianggap penjual negara dan berkhianat itu, dan mudah akan ditujukan kepada golongan oposisi, yang sekarang kebetulan tidak menyetujui Kabinet. Pidato Presiden yang samar2 itu salah tempatnya, kalau memang diartikan guna memperbaiki keadaan, yang berbeda bila pidato Presiden bercorak bukan sinyalemen, akan tetapi keterangan yang tegas dan dapat dianggap sebagai gebaar untuk mengatasi kontroverse pergolakan politik dalam negeri, yang akan sangat dihargai masyarakat. Ini mengingat funksi Presiden sebagai simbol persatuan Negara yang konkrit dan tidak samar2. Jadi ucapannya harus mengandung kejujuran, riil dan objektif, jangan me-nyindir2. Hal itu berbeda kalau sinyalemen itu diberikan oleh pihak Pemerintah, seperti yang pernah diucapkan P.M. Ali di Sukabumi dan Menteri Jody di Makassar; ini tidak membawa efek apa2 dalam masyarakat, karena mereka figur politik. Demikian dinyatakan Moh. Natsir.



Mengenai ucapan usaha untuk menjatuhkan Kabinet, maka ucapan tsb. tidak melukai perasaan pihak oposisi, karena anasir2 yang disinyalir oleh Presiden dalam hal itu mungkin juga ada di kalangan pemimpin dari partai2 yang duduk dalam Kabinet dan pemimpin dari partai2 yang tidak duduk di dalamnya tetapi menyokong Kabinet. Sjamsjudin St. Makmur mengatakan, ia mengira Presiden sendiri tidak berani menjamin bahwa di kalangan tersebut tidak ada anasir2 itu. Dari seorang Presiden, yang harus berdiri di atas semua partai2, baik partai2 Pemerintah maupun partai2 oposisi, diharapkan sikap yang bi- jaksana dan tidak dapat dibenarkan bila ia melahirkan ucapan2 yang dapat menambah pertentangan yang lebih tajam di kalangan pemimpin2 masyarakat. Harian Keng Po, Jakarta 12 Nopember 1954



APA ARTINYA „ISLAH" ? Atas pertanyaan kita, apa artinya „islah”, sebagaimana yang tercantum dalam telegram para pemimpin Islam Indonesia kepada P.M. Mesir, Letnan Kolonel Jamal Abdel Nasser, baru2 ini, berhubung tuntutan hukuman mati atas Hassan Al-Hudaiby, Ketua Umum Masyumi M. Natsir menerangkan bahwa „islah” di sini berarti „penyelesaian yang lain dari pada yang didasarkan pada huruf undang2 se-mata2 (letter van de wet) yang akibatnya adalah mutlak dan tidak dapat berubah lagi". Sebagaimana diketahui dalam kawat itu a.l. dinyatakan, bahwa hukuman mati atas Hassan Al-Hudaiby itu berarti menutup pintu untuk mengadakan „islah" dan pasti menimbulkan rasa sedih dalam kalangan umat Islam. Tidak campur urusan dalam negeri Mesir. Sudah tentu kita, demikian Natsir selanjutnya, tidak hendak mencampuri urusan dalam negeri Mesir, juga tidak bermaksud mengadakan pembelaan terhadap orang2 yang telah melakukan kesalahan yang berupa penyerangan terhadap P.M. Jamal Abdel Nasser dan juga tidak hendak mempengaruhi jalannya pengadilan Mesir. Demikian juga sampai kemanakah person Hassan Al-Hudaiby sebagai ketua-umum dari organisasi Ikhwanul Muslimin harus memikul tanggung-jawab atas peristiwa penyerangan tsb., adalah terletak dalam kompetensi pengadilan Mesir.



Hanya yang kita tuju ialah, bagaimanapun juga jadinya keputusan itu nanti, kita ingin memajukan satu harapan kepada P.M. Jamal Abdel Nasser sebagai otoritet yang paling tinggi, untuk mempergunakan kebijaksanaannya. Satu dan lainnya mengingat kepada usianya Hassan Al-Hudaiby yang telah lanjut dan kedudukannya di dalam hati umat Islam. Demikianlah harapan dan seruan yang telah kita sampaikan dalam kawat yang lalu itu, adalah dimajukan atas dasar kepercayaan kita kepada kebijaksanaan dan staatsmanschap-nya dari P.M. Jamal Abdel Nasser dan di dalam semangat persaudaraan di dalam Islam, demikian Natsir. Harian Pedoman, Jakarta 3 Desember 1954



NATSIR TIDAK SETUJU DENGAN KONGRES KEAMANAN RAKYAT Apakah Pemerintah merasakan yang rakyatnya tidak percaya? Ingat, nanti pagar makan tanaman. Berhubung dengan akan diadakannya Kongres Keamanan Rakyat, maka Mohammad Natsir, telah menyatakan kepada wartawan Keng Po, tidak setujunya diadakan Kongres tsb. Selanjutnya Natsir minta perhatian kepada khalayak ramai terhadap tindakan ini, yang telah menimbulkan 1001 pertanyaan. Menurut Natsir, adanya Kongres itu memberikan kesan, bahwa Pemerintah tidak percaya kepada alat2nya sendiri dan juga kepada rakyatnya. Dalam hubungan ini, timbul pertanyaan apakah Pemerintah mempunyai perasaan, bahwa rakyat tidak percaya lagi kepada Pemerintah ? Sekarang se-akan2 orang2 Pemerintah sudah sesak napasnya, dan bahwa a priori pemilihan-umum pasti akan menjadi sumber kekacauan. Natsir tidak mengerti kenapa Pemerintah mempunyai pikiran demikian. Rupa2-nya Pemerintah tidak percaya kepada rakyatnya sendiri, sehingga begitu curiganya kepada rakyat yang diperintahnya. Justru dengan men-sugestikan kepada umum, bahwa nanti pada pemilihan-umum akan ada kekacauan dan untuk keperluan inilah harus diadakan tentara istimewa partikelir.



Semua ini adalah menjadi sumber kekacauan pikiran dan menggelisahkan umum. Pada penutupnya Natsir menerangkan, bahwa antara lain sekarang orang ber-tanya2, apa nanti pagar tidak akan makan tanamannya sendiri? Harian Keng Po, Jakarta 8 Desember 1954



KABINET BOLEH TIDUR DENGAN NYENYAK Setelah mosi tidak percaya ditolak Parlemen. Moh. Natsir telah memberikan keterangan di Surabaya kepada pers, bahwa rupanya Pemerintah sekarang mempunyai kebiasaan, bila sesuatu usaha atau rencananya gagal, maka segala kesalahan ditimpakan kepada pihak oposisi. Tindakan semacam itu sama halnya dengan langkah2 yang telah diambil oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia dahulu, di mana setiap orang yang tak mau menurut, tentu dicap sebagai ini dan itu. Masyarakat kini sudah dapat menimbang sendiri perbedaan dari tindakan Pemerintah dan oposisi. Mengenai tujuan oposisi ditegaskannya, ialah untuk menguji dan menilai dengan cara parlementer Kabinet Ali - Arifin. Atas satu pertanyaan diterangkannya, bahwa andai kata Kabinet bubar tidak berarti pihak oposisi harus membentuk Kabinet, karena soal penunjukan formatur, kekuasaannya ada di tangan Presiden. Oposisi menjatuhkan Kabinet ialah untuk memperbaiki keadaan dewasa ini yang sudah begitu memuncak terutama dalam lapangan ekonomi, dan se-kurang2-nya akan menghentikan meluncurnya kemerosotan keadaan dewasa ini. Menurut Natsir, dengan ditolaknya usul mosi tidak percaya oleh Parlemen baru2 ini, maka kini Kabinet dapat tidur nyenyak, setelah mengalami ujian secara parlementer. Terhadap keadaan dalam negeri sekarang, Natsir berpendapat, bahwa situasinya sangat ruwet, di mana bahan2 kehidupan se-hari2



harganya makin menjulang tinggi sehingga beban rakyat makin berat dan dasar2 penghidupan makin rusak. Berkenaan dengan Konperensi-Pendahuluan Afro-Asia pada akhir bulan ini di Bogor, Moh. Natsir menyatakan bahwa bila yang diundang makin banyak maka agenda makin kecil; artinya soal2 yang dapat diselesaikan makin sulit. Akhirnya dinyatakannya, bahwa kegagalan soal Irian Barat dalam sidang umum P.B.B. beberapa waktu yang lalu, menurut Natsir adalah suatu tindakan yang lebih dari gagal, sehingga dengan demikian perjuangan Irian Barat untuk dimasukkan dalam wilayah Republik Indonesia, harus dimulai dari permulaan kembali, demikian Natsir. Antara 24 Desember 1954



NATSIR JELASKAN BERBAGAI PUTUSAN MUKTAMAR Masyumi tidak putus asa menghadapi keadaan dewasa ini. Dalam konperensi pers yang diadakan pagi ini, Natsir memberikan sedikit penjelasan tentang berbagai keputusan yang telah diambil oleh Muktamar Masyumi di Surabaya, antaranya ia menyatakan, bahwa ia tidak putus asa menghadapi keadaan seperti sekarang. Modal dalam negeri supaya digunakan. Natsir menegaskan, bahwa jalan yang ditempuh Pemerintah dengan tindakan2 istimewa dalam lapangan perekonomian dan keuangan, tidak mendatangkan perbaikan. Terutama impor yang secara istimewa diberikan kepada orang2 yang tidak mempunyai persiapan untuk pekerjaan itu, berakibat sebaliknya dari pada perbaikan. Keuntungan besar didapat juga oleh golongan asing yang berkapital besar. Di dalam negeri, banyak juga modal, tetapi tidak digunakan dalam produksi dan pembangunan Indonesia. Selama bangsa kita tidak mempunyai modal, perlu kita pergunakan segala potensi yang ada di dalam masyarakat dan sejalan dengan itu menciptakan iklim baik bagi modal asing. Natsir memberikan berbagai contoh, di mana pada permulaan, negara2 yang baru mencapai kemerdekaannya, selalu mendatangkan kapital asing seperti halnya pula dengan U.S.A. yang baru setelah perang dunia ke 2 ini bebas dari kapital asing. Kita tidak usah takut, sebab kita merdeka dan dapat mengadakan peraturan2.



Untuk mencapai tingkatan tenaga dan kapital nasional yang kuat diperlukan rencana jangka panjang. Nasionalisasi begitu2 saja, dengan tanpa rencana dan tanpa tenaga yang dapat menjalankan yang dinasionalisasikan itu, hanya akan menghabiskan uang di tengah jalan. Jika Masyumi duduk dalam pemerintahan. Jika Masyumi duduk dalam pemerintahan lagi, maka Masyumi harus berusaha mengembalikan respect negara2 lain terhadap Indonesia. Masyumi masih melihat kemungkinan mendapatkan Irian Barat dengan jalan diplomasi, tapi untuk itu perlu dilakukan persiapan2, sebab senyata diplomasi itu hanya ada hasilnya jika backingnya kuat. Tentang soal keamanan dikatakan, bahwa ada juga dibicarakan dalam Muktamar, tetapi dianggap sudah banyak diutarakan persoalannya, sehingga tidak perlu dikeluarkan sesuatu pernyataan lagi. Penyelesaian keamanan di Indonesia tidak bisa dilakukan dengan cara yang serupa. Jawa Barat dan Sulawesi Selatan umpamanya, yang seperti dikatakan sama2 dikacaukan bendera D.I. itu, pada hakikatnya berlainan pertumbuhannya, sehingga penyelesaiannyapun memerlu-kan tindakan yang berbeda pula. Banyak daerah yang karena lama terganggu keamanannya persoalannya sudah terlalu „gecompliceerd". Soal keamanan ini bukan lagi se-mata2 soal tentara. Untuk memecahkan soal ini kita perlu melepaskan pikiran2 kita lebih dalam. Demikian antaranya, Moh. Natsir. Antara 28 Desember 1954



BEBERAPA SOAL DI SEKITAR PEREKONOMIAN DAN DEMOKRASI. Moh. Natsir dalam pembicaraan khusus dengan wartawan kita sesudah selesai kongres Masyumi ke-VII di Surabaya baru2 ini, menerangkan beberapa pendapatnya sekitar perekonomian dan demokrasi sbb. : Tentang middenstand. Berbicara tentang peranan middenstand dikatakan, bahwa Masyumi membuka jalan bagi perkembangan middenstand Indonesia, yaitu golongan yang di lapangan sosial dan politik, penting artinya untuk perkembangan dan memperkuat masyarakat. Dikatakan, betapa pentingnya kaum middenstand Indonesia yang cukup mempunyai ideologi serta funksi nasional, sehingga barang2 dagangan yang disalurkannya dapat jatuh langsung kepada rakyat dengan harga yang murah. Koperasi. Mengenai koperasi dikatakannya, bahwa gerakan koperasi adalah salah satu oplossing yang paling baik, dan sudah sewajarnya dapat mewujudkan salah satu dasar dari pada pembangunan Negara. Lagi pula usahanya sesuai dengan semangat gotong-royong yang ada dalam masyarakat kita.



Pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan ekonomi nasional, demikian selanjutnya dikata-kan, dengan sendirinya harus dilakukan dalam semua lapangan, sehingga dengan demikian bangsa kita mendapat kedudukan yang setaraf dengan bangsa2 lain yang dikatakan telah maju dalam perekonomiannya. Ke- wajiban Pemerintah dalam hal ini ialah membantu, mendorong dan membimbing. Modal asing diperlukan, dalam keadaan modal bangsa kita masih lemah dan belum mencukupi untuk membiayai pembangunan industri2 yang dimaksudkan. Kepada modal asing harus diberi kemungkinan untuk mendirikan industri2 baru atas dasar „mutual profit" yaitu atas dasar syarat2 yang menguntungkan pihak Indonesia dan pihak pengusaha2 asing tsb., dan dengan jalan demikian diharapkan akan bertambah pula pendapatan nasional (national inkomen). Dengan bertambahnya national inkomen maka semua kapital asing yang ada di Indonesia akan segera dapat dibeli. Begitu pun domestic capital, yaitu kapital asing yang tidak mempunyai hubungan dengan luar negeri, harus dapat segera dipergunakan dalam perusahaan2, demikian Natsir. Mengenai nasionalisasi dikatakannya, bahwa pada asasnya perusahaan2 vital dinasionalisasi, menurut rencana yang tertentu dan di jalankan mengingat keadaan keuangan Negara dan pelaksanaannya diatur menurut urutan: a. bank sirkulasi (sudah dilaksanakan) b. perusahaan perhubungan yang pokok, di darat, di udara dan di laut, c. perusahaan2 keperluan umum (openbare nuts-bedrijven)



d. perusahaan2 tambang. Hak milik. Berbicara tentang hak milik, Natsir menyatakan, bahwa Masyumi mengakui adanya hak milik dengan pengertian bahwa si pemilik berkewajiban terhadap masyarakat, supaya mempergunakannya untuk kemakmuran masyarakat itu. Yang dilarang ialah kalau hak milik itu dipergunakan atau dipakai untuk penindasan. Selanjutnya, selain si pemilik mempunyai kewajiban terhadap Negara berupa membayar pajak, juga sebagai seorang Islam, berkewajiban membayar zakat dan fitrah. Tentang demokrasi. Mengenai demokrasi dikatakan, bahwa Masyumi menjungjung tinggi akan nilai manusia (menselijke waardigheid), bebas dan sunyi dari pada tiap2 sesuatu yang bersipat cadaver disiplin yang menindas kepribadian individu. Dengan demikian jelas bahwa tidak dapat disamakan dengan demokrasi sentral seperti apa yang dimaksudkan dengan istilah demokrasi rakyat sekarang, demikian Natsir. Berbicara tentang urgensi program Masyumi dalam lapangan ekonomi dan keuangan, Natsir menyatakan sbb. : 1. Menghilangkan sebab yang pertama dari inflasi dengan menyusun Anggaran Belanja Negara yang sehat. Titik berat Anggaran Be- lanja diletakkan pada keamanan dan pendidikan/pengajaran serta usaha2 produktif yang letaknya di lapangan „public Utilities" (pengairan, listrik dll.). Usaha Pemerintah harus disesuaikan dengan penerimaan Negara. Pajak sedapat mungkin diringankan.



2. Sejalan dengan penyehatan Anggaran Belanja, harus diadakan perubahan radikal dalam politik ekonomi. Dari politik ekonomi yang chauvinist-nasionalistis, harus beralih kepada politik ekonomi baru, yang ditujukan untuk mempergunakan segala potensi yang ada dalam masyarakat dengan tidak memandang asal turunan, serta bantuan2 yang dapat didatangkan dari luar negeri, guna mencapai kemakmuran dengan menciptakan kesempatan bekerja yang se- luas2-nya. 3. Segala bantuan materiil baik dari Pemerintah maupun dari badan2, resmi dan setengah resmi kepada rakyat dan pengusaha2 nasional yang masih lemah, harus langsung diberikan kepada yang berkepentingan. Bantuan yang tidak langsung seperti hak dan lisensi istimewa yang pada hakikatnya merugikan rakyat, harus segera dihapuskan, sehingga tidak membahayakan kedudukan Anggaran Belanja dan perkembangan moneter yang sehat. Selain mengemukakan pendapat2 seperti di atas, atas pertanyaan adakah kemungkinan Masyumi mengadakan stembus-accoord dalam pemilihan-umum yang akan datang, dan jika mungkin dengan partai mana, Natsir menyatakan bahwa kemungkinan tersebut selamanya ada saja, yaitu jika keadaan sesuai dengan keinginan. Tentang perdamaian nasional dikatakan, tidak bisa dilakukan dengan cara bikin2-an (kunst en vliegwerk) tapi mesti lebih dulu dilihat apa yang menyebabkan tidak adanya perdamaian nasional tersebut, demikian Natsir. Harian Pikiran Rakyat, Bandung 3 Januari 1955



SERUAN KEPADA PARTAI



Perlihatkan Jiwa yang besar. Masyumi tidak ada hasrat untuk mempergunakan kesulitan dewasa ini buat keuntungan partai sendiri. Berhubung dengan kesulitan2 dalam penyelesaian soal A.D. dan adanya aliran yang menghendaki agar Wakil Presiden ambil tindakan, maka Moh. Natsir memberikan keterangan sbb.: Sebetulnya kami dari Masyumi, sampai sekarang dengan sengaja tidak memberikan banyak pernyataan2 tentang pertentangan antara Angkatan Darat dan Pemerintah, justru untuk memberikan kesempatan kepada Pemerintah menciptakan suasana yang jernih untuk mencapai penyelesaian yang se-baik2-nya guna kepentingan Nusa dan Bangsa. Tetapi hampir dua minggu berlalu, dengan tidak ada terlihat kemajuan apa2 ke arah penyelesaian, oleh karena usaha2 yang dijalankan Pemerintah sama sekali tidak mengenai pokok persoalan dan gezag Pemerintah itu dari sehari-kesehari menjadi habis. Situasi yang sedemikian tidak bisa terus-menerus dibiarkan ! Saya merasa perlu menegaskan di sini, bahwa dari pihak Masyumi, sama sekali tidak ada hasrat untuk mempergunakan kesulitan sekarang, untuk keuntungan partai. Itulah yang dimaksud oleh Sekertaris Umum Masyumi, ketika ia beberapa waktu yang lalu berkata, bahwa kami melihat soal ini sebagai soal nasional yang harus diselesaikan di atas dari pertimbangan keuntungan partai2.



Akan tetapi uluran tangan dari pihak kami demikian itu sampai sekarang sama sekali tidak mendapat sambutan dari kalangan partai2 Pemerintah. Keadaan sekarang akan membawa Negara kepada bahaya yang acuut. Maka di mana sekarang banyak suara2 yang menuju kepada kemungkinan pembentukan kabinet presidentil sebagai suatu jalan untuk mengatasi keadaan, kami dapat menyetujui pendapat sedemikian. Saya merasa bahwa dalam keadaan genting seperti sekarang ini partai oposisi dan partai2 lainnya berikut patriot2 Indonesia yang di luar partai2, tidak akan berjauhan pendapat dengan pendapat kami ini. Dan saya berseru kepada seluruh patriot Indonesia di dalam saat yang berbahaya ini, yang akan membawa arti dalam sejarah kita, agar memperlihatkan jiwa yang besar dan kemampuan membatasi diri untuk ber-sama2 mempertahankan demokrasi kita", demikian Moh. Natsir. PIA 8 Juli 1955



ngumpulkan tenaga nasional yang segar dan didukung oleh kesungguhan untuk mengatasi krisis yang amat berbahaya ini. Selanjutnya Natsir berkata: „Saya dapat menghargakan kemampuan dari pihak Angkatan Darat untuk mengendalikan diri, sehingga tetap terbuka kesempatan bagi para politisi untuk mencari penyelesaian atas dasar2 demokratis. Maka sekarang atas kaum politisi terletak satu tanggung-jawab dan kewajiban yang besar untuk menunjukkan kemampuan mereka, membatasi diri masing2 dari keinginan kepentingan sendiri atau golongan sendiri. Saya percaya, kata Natsir, bahwa atas dasar pikiran itulah kita dapat segera membentuk satu pemerintahan yang dapat memberikan harapan mencapai penyelesaian yang baik untuk kepentingan bersama. Keinginan Masyumi. Ditanya tentang bentuk pemerintah yang baru, Natsir mengulangi pendirian Masyumi yaitu menghendaki nasional zakenkabinet yang dipimpin oleh Dwitunggal, karena kabinet itu tokh mempunyai batas waktu bekerja sampai pemilihan-umum selesai dan karenanya hanya merupakan satu caretaker kabinet dengan dua program: penyelesaian masalah A.D. dan penyelenggaraan pemilihan-umum dalam jangka waktu yang ditentukan, dengan jujur dan tertib. Akhirnya Natsir mengatakan bahwa pembentukan Kabinet baru itu adalah suatu ujian bagi para politisi. 463



Harian Haluan, Padang 22 Juli 1955



KABINET HARAHAP ADALAH KEMUNGKINAN MAKSIMAL. A t a s p e r t a n y a a n wa r t a w a t i „ I n d o n e s i a R a y a " , bagaimana pendapatnya tentang K a bi n et B u r h a n u d d i n H a r a h a p y a n g s u da h d i be n t u k i t u , Natsir m e n ya t a k a n , bahwa K a bi n e t l a h kemungki-nan maksimal yang dapat dicapai dalam s e k a r a n g ini. „Setelah saya," demikian Natsir, „dapat melihat dari dekat segala daya upaya dari formatur Burhanuddin Harahap selama satu minggu untuk menyusun satu Kabinet dengan opdracht Wk. Presiden Hatta sebagai pedoman, dan turut merasakan pula pelbagai persoalan dan kesulitan selama itu, maka saya berpendapat, bahwa Kabinet yang telah disusun dalam rangka waktu yang telah ditentukan itu adalah kemungkinan maksimal yang dapat dicapai di dalam situasi seperti sekarang ini. Ditanyakan bagaimana pendapat Natsir tentang personalia Kabinet, diterangkan, bahwa di antara para Menteri yang akan mengendalikan Negara dalam waktu yang singkat itu terdapat cukup banyak tenaga2 yang segar dan juga ada tenaga2 yang sudah mempunyai pengalaman dalam pemerintahan. Apabila dalam rangkaian Kabinet ini „kesegaran" dan „pengalaman" dapat saling penuh-memenuhi, dapat saling bertemu, didukung oleh tekad yang kuat untuk membaktikan diri guna melaksanakan tugas- nya sebagai yang diharapkan oleh khalayak ramai, saya banyak



harapan bahwa kita akan membukakan jalan bagi Negara kita keluar dari jalan buntu yang telah kita temui selama ini. Apa tugas Kabinet Harahap ? Pertanyaan ini dijawab oleh Natsir dengan mengatakan, bahwa ini sudah dirumuskan dengan perinciannya dalam program yang sudah kita dengar, tetapi intisarinya ialah memulihkan ketenteraman jiwa dan memuaskan rasa keadilan dalam hati rakyat, yang hanya dapat dicapai dengan menegakkan keadilan dan kebenaran dalam semua tindakan. Dalam pada itu Kabinet ini harus berusaha se-kuat2-nya memperpendek umurnya, yaitu dengan selekas mungkin melaksanakan pemilihan- umum menurut waktunya, dan se-baik2-nya. Memang agak aneh kedengarannya program Kabinet tersebut, akan tetapi di sinilah terletaknya „zelfverlookhening” atau membelakangkan kepentingan diri sendiri untuk sesuatu kepentingan yang lebih tinggi. „Saya mengharap", demikian Natsir mengunci tanya-jawab dengan wartawan kita, „zelfverlookhening inilah mudah2-an yang akan menjadi pedoman Kabinet dan Menteri2-nya di dalam menjalankan tugasnya yang berat tetapi mulia itu". Harian Indonesia Raya, Jakarta 13 Agustus 1955



5 DARI HATI KE HATI



Capita Selecta M. Natsir jilid II



Diedit ulang oleh Purnawarman Ibn Atim http://Purnaislam.wordpress.com



V. DARI HATI KEHATI



1. Tamsil yang Mengandung Hikmah ................................................... 426 2. Kita dalam Zaman Peralihan ............................................................ 428 3. Persambungan Tenaga Pimpinan ...................................................... 433 4. Pemudaku! ............................................................................................ 436 5. Akhlak dan Moral .............................................................................. 438 6. Kepada Pemuda Islam ! .................................................................... 440 7. Di Golongan yang Lemah Terletak Kekuatan ............................... 442 8. Patah Tak Tumbuh, Hilang Tak Berganti ...................................... 444 9. Mu'allim dan Ustadz ......................................................................... 446 10. Apa Jawab Saudara! .......................................................................... 449 11. Pantangkan Diri dari Sipat Sampah dan Buih Air Bah! ........... 451 12. Allah Pasti Menepati Janji-Nya...................................................... 453 13. Pemimpin ............................................................................................. 456 14. Hiduplah Sebagai Syuhada 'Alan-Naas ........................................ 458 15. Mythos ................................................................................................. 459 16. Janji Allah ...........................................................................................



TAMSIL YANG MENGANDUNG HIKMAH



Alkisah adalah sekumpulan orang berlayar dengan sebuah kapal. Untuk menjalankan kapal itu dibagilah pekerjaan kepada anak2 kapal, masing2 mempunyai tugas yang tertentu. Ada mualimnya, ada juru-mudinya dan ada tukang menjalankan mesin2 menempati ruang, tempat tugas kewajibannya. Karena jauhnya perjalanan dan beratnya pekerjaan, masing2 anak kapal merasai cape yang amat sangat. Orang2 di ruang atas asyik dengan tugasnya, dan orang2 di bawah dekat mesin mandi keringat, kepanasan dan kehausan. Untuk melepaskan lelah dan dahaga, orang2 diruang atas dengan mudah dapat menyauk air dari laut. Akan tetapi anak kapal yang diruang bawah harus memanjat ke atas atau berteriak minta diberikan air kepada orang di ruang atas, barulah mereka mendapat air. Aturan yang mesti selalu dituruti di dalam kapal itu, sudah ada, yaitu hendaklah orang di ruang atas selalu memperhatikan anak kapal yang di ruang bawah, kalau2 ada yang kekurangan dan hendaklah selalu men-dengar2 kalau ada teriakan, minta sesuatu dari bawah, untuk segera dapat diuruskan. Kalau tidak demikian, nanti ada anak kapal yang kepanasan di ruang bawah mencari jalan mengambil air dari dinding kapal, sebab ia tahu dari sana dekat air. Ia gatal tangan dan mengorek dinding kapal, untuk mendapat air. Kalau terjadi demikian, niscayalah kapal tadi akan karam teng gelam, dan binasalah mereka semuanya. Anak kapal yang di ruang bawah, janganlah sampai mengorek dinding kapal. Kalau kekurangan air, beritahulah pada orang di atas supaya ditim-bakan air. Dan pun orang lain dalam kapal yang melihat mereka



kekurangan, tolonglah sampaikan kepada ruangan atas. Dengan demikian terpeliharalah kerukunan dalam kapal itu, selamatlah perjalanan mereka. Demikianlah ibaratnya kita mengendalikan Negara. Kita ini semuanya sedang berada dalam sebuah „Kapal Negara". Marilah kita sama2 menjalankan tugas dalam ruangan masing2, dengan memelihara kerukunan antara segala anak kapal Negara dan penumpangnya. „Jikalau kita mensyukuri ni'mat bernegara dengan menuruti hukum2 kerukunan di dalamnya, kita akan mendapat tambahan ni'mat yang lebih banyak lagi. Tetapi manakala kita ingkar akan aturan hukum itu, kita akan tenggelam semua dalam kesengsaraan".Majalah Aliran Islam, Bandung Oktober 1949



KITA DALAM ZAMAN PERALIHAN APA YANG DAPAT KITA KERJAKAN ? Saudara! Kita sudah merdeka. Sang Dwiwarna sudah berkibar di puncak tiang dengan megahnya menggantikan tiga-warna yang sudah turun. Presiden kita telah duduk di Istana Gambir yang mengandung sejarah pahit bagi bangsa kita beratus tahun, dan Wakil Mahkota Belanda telah pulang ke negerinya dengan kenangan suram. Kita sudah merdeka, dan kedaulatan sudah ada di tangan kita! Sudah tentu seluruh kita bergembira. Dan umumnya di samping kegembiraan itu orang menyangka, bahkan menganggap satu kemestian, bahwa bila kedaulatan sudah tercapai, keadaan tentu menyenangkan. Hidup rakyat tentu sudah terjamin, keamanan dan kemakmuran tentu sudah tercipta! Saudara! Harapan dan persangkaan orang sebelum penyerahan kedaulatan itu sekarang belum bertemu. Rakyat masih tetap menderita, bahkan ada yang mengatakan lebih buruk keadaannya dari pada di zaman penjajahan. Orang2 yang merasa dirinya berjasa, tidak mendapat penghargaan yang sepantasnya. Kemerdekaan, keamanan dan kemakmuran belum lagi terjamin. Oleh karena itu orang merasa - tidak puas, lalu dengan kurang selidik menimpakan kesalahan kepada pihak lain. Siapakah sebenarnya yang salah?



Tidak ada saudara, tidak seorang pun yang dapat kita salahkan. Sebab hal itu bukan kesalahan seseorang atau beberapa orang, tetapi sebenarnya adalah pembawaan dari pada cara penyelesaian soal Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1947 pokok persengketaan kita dengan Belanda bukan lagi tentang penyerahan kedaulatan, tetapi beredar di keliling keadaan zaman peralihan. Yakni di keliling soal cara pengoperan kekuasaan yang factis dengan ber-angsur2 dari Belanda kepada kita. Adapun tentang prinsip, penyerahan kedaulatan ketika itu tidak lagi menjadi soal. Pada waktu itu Belanda menghendaki supaya defacto kekuasaan diserahkannya ber-angsur2 dan nanti bila pengoperan kekuasaan de facto sudah beres dan berjalan lancar, barulah kekuasaan de jure diserahkannya. Tentu saja bangsa kita keberatan akan hal yang demikian, karena curiga kalau2 kekuasaan de jure yang masih dipegangnya itu akan digunakannya untuk menghalangi berhasilnya terserah kekuasaan de facto ke tangan kita. Kecurigaan ini beralasan, kalau kita ingat bagaimana mentalitet Belanda dengan janji2-nya di masa yang sudah. Tetapi sebaliknya, Belanda sendiri pun keberatan pula menyerahkan kekuasaan de jurenya lebih dahulu. Akibatnya saudara, ialah agresi Belanda. Pada babakan kedua, pada tahun 1949 persengketaan beredar lagi di keliling soal yang tadi juga. Tetapi sesudah aksi yang kedua terpaksalah Belanda menyerahkan kedaulatannya. Penyerahan kedaulatan itu baik yang di Negeri Belanda maupun yang di Indonesia berlangsung dengan sempurna, aman dan tenteram. Pengakuanluar negeri sesudah itu datang ber-timpa2. Akan tetapi pengoperan kekuasaan tidaklah berjalan selancar penyerahan kedaulatan itu. Memang sulit kekuasaan itu dapat diambil oper dan diatur beres dengan sekaligus. Itu dapat dimengerti. Dan kita terpaksa menghadapi kenyataan yang pahit itu.



Peraturan2 belum berubah, keadaan kehidupan rakyat belum bertambah baik, keamanan dan ketenteraman pun belum terjamin. Betul saudara, sekarang kita sudah bebas menyusun pemerintahan kita dengan tidak orang luar campur tangan. Sekarang ini kita sedang berusaha menyempurnakan struktur dan demokratiseering Negara. Melaksanakan pekerjaan itu tidaklah mudah dan menghendaki waktu yang lama. Tidaklah dapat disamakan dengan mendirikan sebuah pondok di sawah. Dalam rencana perjuangan yang kita harapkan semula, sesudah kedaulatan berada di tangan kita, mestinya lebih dahulu dilakukan pemilihan-umum. Pemilihan-umum ini diselenggarakan oleh suatu Pemerintah yang dibentuk untuk itu. Sesudah berhasil, barulah, dibentuk pemerintahan yang souverein, yang berdaulat. Dan ketika Pemerintah itu sudah terbentuk, kita boleh berjalan terus. Demikian saudara, rencana semula. Tetapi yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Pemerintah yang souverein yang dibentuk lebih dahulu, bukan pemilihan-umum. Pemilihan-umum dikemudiankan. Jadi sekarang ini kita masih berada di dalam zaman peralihan. Apakah yang ditimbulkannya? Banyak saudara, antaranya ialah soal keadaan masyarakat sesudah perang. Sebagaimana biasanya, sesudah perang atau sesudah revolusi orang menghadapi masyarakat yang goyang. Hal ini pernah digambarkan oleh Remarque di dalam bukunya „Der weg zuriick". Apabila perang telah selesai, maka tenaga2 perjuangan itu pulang kembali kemasyarakat. Pemuda2 pejuang itu selama masa2 perjuangan telah berubah sipat dan tabiatnya, jiwanya telah keras dan kasar, dan mereka merasa,



dirinyalah yang paling berjasa. Maka ketika itu terjadilah kesulitan pada penyesuaian diri dari tenaga perjuangan yang datang itu dengan masyarakat yang menanti. Akhirnya terjadilah persengketaan antara kedua golongan itu yang mengakibatkan goncangnya masyarakat. Ketika itu saudara, orang menghadapi kesulitan psichologis yang besar sekali, yang mungkin mengadakan demoralisasi. Galib benar di dalam negara2 yang seperti ini terjadi perlombaan antara anasir2 yang tidak konstruktif. Kalau orang tidak cepat2 mengambil tindakan penyelesaian, mungkin anasir yang destruktif itu mendapat kemenangan. Saudara. Kita sekarang sedang berada di dalam suasana yang seperti itu. Maka bagaimanakah cara menghadapinya ? Orang yang berakal pendek tentulah bersikap me-nunggu2 tindakan Pemerintah. Apa yang dilakukan Pemerintah mereka turut. Itu dapat dimengerti! Akan tetapi saudara, kita harus tahu bahwa di negara yang merdeka; tiap2 orang, tiap2 individu, bertanggung-jawab atas keselamatan negaranya. Tanggung-jawab itu mewajibkannya menyusun tenaga untuk menghadapi segala kesulitan. Kalau kewajibannya telah ditunaikannya barulah boleh dia menerima hak, sebab hak dan kewajiban selalu berbatasan. Kalau kita hanya bersikap menunggu tindakan Pemerintah, kalau kita hanya jadi penonton, kalau kita hanya pandai menyatakan, itu adalah suatu tanda, bahwa kita tidak insaf akan kedudukan kita sebagai warga dari pada suatu negara yang merdeka. Saudara tentu sudah tahu, bahwa kekuatan negara adalah terletak pada cakap atau tidaknya rakyat menyusun tenaga. Maka dengan ini teranglah, bahwa umat Islam mempunyai kewajiban yang besar untuk menyusun tenaga dan menuntun pikiran umat menuju



usaha2 yang konstruktif. Untuk ini kalau kita menghendaki sistem yang rapi, mungkin dua tiga tahun baru bisa berjalan. Tidak, saudara, jangan terlalu tinggi melompat. Tapi marilah kita kerjakan apa yang dapat kita kerjakan dengan tenaga dan alat2 yang ada pada kita! Agaknya setelah mendengar anjuran ini saudara akan berkata, bahwa kita tidak mempunyai uang yang cukup untuk menghadapi pekerjaan itu. Alasan saudara boleh diterima. Akan tetapi ketahuilah yang pokok ialah usaha dan organisasi. Dengan usaha yang didasarkan kepada gotong-royong sedesa-sedesa, sekabupaten-sekabupaten, sedaerah-sedaerah, kita percaya, bahwa dalam waktu yang singkat usaha itu tentu berbekas, kalau dimulai. Adalah kewajiban pemimpin2 justru pada waktu sekarang ini menun-jukkan kecakapannya dengan berdasar kepada faktor2 yang ada di daerahnya masing2. Dari beberapa daerah saya sudah mendapat laporan, bahwa atas bantuan desa2 di daerah itu telah diadakan gotong-royong dalam usaha membina rumah2 yang telah menjadi kurban perang, demikian juga dalam lapangan pertanian. Anggota2 bekas tentara ditempat itu dialirkan tenaganya ke arah pekerjaan2 yang demikian dengan bergerombolan dalam suasana perjuangan dan persaudaraan. Dibeberapa tempat yang lain ada pula yang mengusahakan bea-sisiva guna memajukan pelajaran dan pendidikan anak2 kita. Maka usaha kecil2 dan sederhana seperti itu kalau dikerjakan dengan ber-sungguh2 tentu akan mendatangkan hasil, dan dapat pula menjadi pendorong bagi Pemerintah sendiri untuk memperpesat dan memajukan usaha itu.



Dengan cara seperti ini, kita menanamkan amal kita di tengah2 masyarakat, dengan tiada banyak teori yang muluk2, tetapi dengan kerja dan usaha2 yang praktis. Pebruari 1950



PERSAMBUNGAN TENAGA PIMPINAN Ia berkata: ,,Ya Tuhanku sesungguhnya tulangku sudah lemah, kepalaku sudah putih oleh uban, dalam pada itu, wahai Tuhanku, belum pernah aku kecewa dalam doaku kepada Engkau. Dan sesungguhnya kuatir aku mengingatkan keturunan di belakangku nanti, sedangkan isteriku adalah mendul (tidak bisa dapat anak). Oleh karena itu kurniakanlah langsung dari pada-Mu seorang keturunan, yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya'kub dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku seorang yang Engkau ridai". (Qur'an, s. Maryam: 4 - 6 ) Demikianlah bunyinya ratap-tangis dari Nabi Allah Zakariya. Ratap-tangis seorang Nabi, seorang pemimpin, tatkala ia melihat bahwa kekuatannya sudah kian berkurang, saat ia akan meninggalkan dunia yang fana ini semakin terasa mendekat. Ia amat kuatir mengingat nasib umat yang ia tuntun, apabila ia sudah tidak ada lagi. Ia kuatir, sebab belum ada tampak yang akan menggantikannya. Ia kuatir, patah tak akan tumbuh, hilang tak akan berganti. Umur umat lebih lama dari umur seorang pemimpin. Umur pimpinan umat harus lebih lama dari umur seseorang yang pada satu masa memikul pimpinan. Maka doa yang diratapkan oleh jiwa yang saleh dan mukhlis dari Nabi Allah Zakariya itu, sebenarnya harus jadi ratapan jiwa kita juga yang memegang amanah pimpinan umat, di la-



pangan manapun juga kedudukan kita. Dalam lapangan agama, politik atau pun lain2-nya. Memimpin adalah memegang untuk dapat melepaskan. Bukan kemegahan yang hakiki bagi pemimpin, apabila selama ia ada, pimpinan berjalan dengan baik, sehingga nama dan usaha pimpinannya berjalin di hati rakyat, sebagai dua hal yang tak dapat dipisahkan, --tetapi tatkala pada satu saat dia tak ada lagi, segala sesuatunya menjadi berantakan dan kacau-balau, umat yang dipimpinnya dihinggapi penyakit bingung dan kuatir. Lantaran „beliau" tak ada lagi! Memang, mengumpulkan dan membimbing se-banyak2 pengikut adalah kewajiban pemimpin. Dalam pada itu adalah kewajibannya yang utama: menyuburkan tumbuhnya pengganti, yang akan menyambung pimpinannya kelak. Seorang pemimpin tak kan timbul dengan sekedar diberi pela-jaran. Ia hanya bisa mekar dalam tekanan pertanggungan-jawab yang dipikulkan atas dirinya, baik kecil atau besar. Tanggung-jawab adalah ujian. Dua kemungkinan bisa berlaku: ia patah atau ia berkembang. Ini tergantung kepada persiapan dan watak yang ada padanya dan kepada kemampuannya mempergunakan pengalaman dan buah pikiran orang2 yang lebih dahulu; begitu juga kepada akhlaknya, dan kepada kecakapannya menempatkan diri. Funksi pemimpin tua bukan untuk mematahkan akan tetapi membentuk penyambung. Tiap2 persambungan bukan berarti perceraian, akan tetapi pertemuan dan berangkainya dua ujung. Antara tunas yang akan berkembang dan pelepah yang akan turun, menurut sunnatullah yang tak dapat dielakkan, ada persambungan.



Pertumbuhan yang semacam ini kelihatan di semua lapangan. Partai pun tidak terkecuali. Maka tidak pada tempatnya apabila kita melihat tanda2 pertumbuhan ini dari sudut antagonisme atau pertentangan. Akan tetapi harus dilihat dari sudut keharusan persambungan tenaga atau kontinuitet, sebagai syarat mutlak bagi kelanjutan perjuangan. Dengan dasar pandangan yang demikian inilah kita harus melihat proses persambungan-tenaga pimpinan yang sedang berlaku di-daerah2 sekarang ini, yang bukanlah sebagai suatu „kegentingan" atau yang semacam itu, akan tetapi sebagai satu alamat yang menggirang-kan hati, yakni bahwa pimpinan perjuangan kita di belakang hari tidak akan patah di tengah. Satu alamat, bahwa masyarakat Islam bukanlah ,,'aqir" atau mandul akan tetapi subur dan mempunyai potensi yang besar untuk melahirkan tunas2 muda dari angkatan baru yang akan mengulas dan menyambung tenaga2 mereka yang „tulangnya sudah berangsur lemah". Maka kepada tunas muda kita berikan udara dan cahaya yang secukupnya untuk berkembang mekar: tanggung-jawab yang harus dipikulnya dengan jiwa gembira dan penuh inisiatif; hasil2 pengalaman yang sudah kita peroleh sendiri dengan pahit-getir selama ini; bahan2 pertimbangan, ter-kadang2 berupa pedoman, tempo2 berupa nasihat dan tegoran, menurut keperluannya. Perlu kita ketahui bahwa ter-kadang2 „si tunas-muda", — biasanya enggan mengakui secara lahir, sebagai pembawaan usia mereka —, bahwa mereka perlu kepada „lindungan" pelepah, dari angin-ribut yang mendatang, tapi tak urung harus kita berikan atas dasar ukhuwah dan kecintaan.



Kita iringi dengan doa „waj'alhu, rabbi radliyan" (Q.s. Marjam: 6). Belum sempurna tunai kewajiban kita sebagai pemimpin, sekiranya kita belum berpikir dan bertindak seperti itu. Hanya dengan demikianlah umat Islam akan terjamin persambungan perjuangannya di hari depan, sebagai syarat mutlak bagi kemenangan kita. Maret 1950



PEMUDAKU! (Sari kata ketika memperingati Hari Pahlawan, 10 Nop. 1950) . Dalam pertempuran yang 15 hari lamanya di Surabaya, yang dimulai tanggal 10 Nopember 1945, lima tahun yang lalu, yang kemudian disambut oleh pemuda 2 seluruh Indonesia, pemuda 2 kita dengan penuh elan dan ruh perjuangan suci, telah melawan kekuatan asing yang sebenarnya bukan bandingannya. Banyak pemuda yang gugur, mati dengan rela supaya perjuangan kemerdekaan hidup terus. Berkat pengurbanan pemuda2 kita itu perjuangan kemerdekaan berjalan terus dan kini berdirilah tegak Negara Republik Indonesia. Kita berdoa agar kurban yang diberikan dengan ikhlas itu tidak sia2 dan arwah pahlawan2 muda itu diterima di hadirat Tuhan. Dengan memperingati Hari Pahlawan ini hendaknya kita dapat mengambil api yang masih menyala di bawah timbunan abu sejarah hari 10 Nopember 1945 itu, yakni bahwa pemuda Indonesia ternyata dapat menunjukkan perkembangan energi yang besar sekali kekuatan dan ketabahannya. Sesuai dengan keperluan waktu itu, energi itu saudara2 susun menjadi kekuatan kompak-bulat untuk menghancurkan kekuasaan dan kekuatan penjajah. Sekarang pun energi itu masih diperlukan oleh Tanah Air. Pelihara dan pupuklah energi itu! Jangan ia dibuang untuk pekerjaan2 yang kurang bermanfaat. Susunlah kembali supaya ia menjadi kompak-bulat tidak terpecah-belah untuk membangun ciptaan2 sendiri yang lebih indah sebagai ganti apa yang sudah hancur! Sekarang Negara kita menghadapi kesulitan, meskipun lain sipat kesulitan itu. Lain sipatnya, tetapi tidak kurang sulitnya bagi Negara dari pada kesulitan2 waktu 10 Nopember 1945. Jaminan keamanan harta benda dan jiwa di seluruh Indonesia harus disempurnakan.



Pemerintah daerah harus disempurnakan se-baik2-nya. Keuangan Negara harus disehatkan. Ekonomi rakyat harus disentosakan. Hasil produksi harus dilipat-gandakan. Penyelidikan ilmu pengetahuan, pendidikan rakyat, usaha2 di lapangan kesehatan perlu sekali dipergiat dan lain2 sebagainya. Sungguh suatu pembangunan raksasa yang kita hadapi. Pun untuk ini Ibu Pertiwi sekarang memanggil pemuda-pemudinya. Pada waktunya dulu Tanah Air memerlukan pahlawan2 senjata, tetapi di lain waktu diperlukannya pula pahlawan2 lain yang tak kurang pentingnya, yakni pahlawan2 pembangunan. Saya menyerukan kepada segenap rakyat untuk menyempurnakan hasil perjuangan yang telah ditebus dengan harga yang sangat mahal itu, yakni kurban puluhan ribu pahlawan muda Indonesia, 5 tahun jl. 10 Nopember 1950



AKHLAK DAN MORAL Pernah seorang filosof tatkala mendengar peristiwa Mi'rajnya Nabi Muhammad s.a.w., naik dari bumi yang fana ini ke alam yang aman tenteram itu, berkata: „Alangkah enaknya kalau aku dapat berbuat seperti Rasul Tuhan ini, aku naik dari masyarakat yang bobrok dan kacau ini ke alam yang tinggi, ke tempat yang dikunjungi Utusan Tuhan itu. Setibanya di sana, aku tiada akan mau lagi turun, aku akan tetap di alam yang nyaman itu; buat apa kembali ke alam yang penuh dengan kesukaran dan kesulitan ini". Memang bagi tiap2 jiwa yang sudah tiada tawakal lagi, yang sudah penuh dengan kekesalan, yang sudah lepas dari rasa „muth- mainnah", ketetapan hati, hendak larilah ia dari laut dan darat, bahkan ada juga jiwa yang hendak lepas dari dunia ini seluruhnya. Akan tetapi Muhammad s.a.w. bukanlah demikian, ia pernah menghadapi kesulitan yang ber-timpa2, perjuangan yang penuh dengan kesukaran, tetapi ia tidak pernah meminta supaya ia jangan dikembalikan ke tengah masyarakat yang kacau ini, ia tiada pernah meminta supaya dilepaskan sama sekali dari pada kesukaran dan kesulitan. Ia sebagai pemimpin tiada hendak lari meninggalkan kesukaran, meskipun ia pernah diangkat Tuhan terlepas dari alam yang bobrok ini. Ia sebagai „ra'in", memimpin umat dalam memperbaiki kekacauan masyarakat. Ia hanya berseru kepada Tuhannya: „Berilah aku kekuatan untuk menghadapi masyarakat ini, kekuatan yang akan membawa kepada kemaslahatan dan pertolongan bagi umat manusia." Di dalam memimpin umat, Muhammad tiada pernah hendak memonopoli. Ber-kali2 beliau berkata: „Tiap2 kamu adalah pemimpin, dan tiap2 pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya atas pimpin annya".



Ia sebagai pemimpin membangkitkan orang yang dipimpinnya ke arah keyakinan dan pendirian, bahwa tiap2 orang mempunyai kewajiban dan tanggung-jawab. Sipat pemimpin bukanlah membunuh cita2 yang akan tumbuh, tetapi memupuk dan membesarkan tunas yang sedang menjelma, supaya ia lekas dapat menyambung generasi yang telah tua. Di dalam memimpin umat, seringkali pula kita mendapati pemimpin2 besar dan kecil, lemah dan menurutkan saja kemauan orang2 yang dipimpinnya karena takut namanya akan jatuh. Pada hal Muhammad telah memberikan contoh, apabila hendak mengambil suatu keputusan, lebih dahulu bermusyawaratlah dan apabila putusan telah didapat, maka tawakallah kepada Tuhan. Apabila kita menurutkan saja hawa nafsu mereka yang dipimpin dengan tiada memegang teguh akan putusan dan keyakinan, maka akan hanyutlah dalam arus orang banyak dengan tiada mengalirkan ke arah jalan yang baik. Karena takut populeritet akan hilang, takut kursi akan jatuh, lantas saudara perturutkan saja hawa nafsu mereka, maka akan jadi hancurlah masyarakat yang saudara pimpin. Bukan demikian cara Muhammad memimpin dan memberikan pimpinan. Ini harus saudara ingat dan saudara renungkan ! Mei 1951



KEPADA PEMUDA ISLAM ! Saudara, Kita hidup dalam masyarakat ganjil. Saudara tahu bagaimana ganjilnya?! Tangan tani Indonesia yang menanam padi, rakyat Indonesia yang memakan nasi. Tapi bila bangsa si tani ini hendak bertanak, antre dulu di muka toko beras, kepunyaan si baba yang menetapkan berapa harganya sesuap nasi itu. Begitu dulu, begitu sekarang ! Tangan tani Indonesia yang mencangkul ladang, menanam ketela, membuat gaplek. Dipikulnya ke pasar yang terdekat, dijualnya Rp 4, sekwintal. Pemelihara sapi di Australia menerima gaplek itu dengan harga Rp 60, — satu kwintal. Selebihnya Rp. 56,— keuntungan bagi golongan asing, sebagai perantara yang tahu jalan. Pak tani hanya menerima yang Rp 4,— itu, lantaran ia tak tahu jalan, selain dari jalan dari ladangnya kepasar yang terdekat itu. Begitu dulu, begitu sekarang ! Puluhan ribu tani di Priangan tidak mempunyai mata pencarian, sudah kehilangan rumah tangga dan tak dapat kembali ke daerahnya lantaran keadaan keamanan tidak mengizinkan. Di Banten ribuan hectare sawah yang terlantar menunggu tangan untuk menggarapnya. Sawah subur itu tak mengeluarkan hasil, tak ada orang yang akan mengerjakan! Kantor penempatan-tenaga dibanjiri oleh tenaga yang mencari-kerja. Katanya, tak cukup „kerja" untuk tangan yang menganggur, pada hal, …. sawah di Banten tetap terlantar. Dan Bama perlu juga memesan beras dari luar



negeri untuk Indonesia di mana tangan menganggur, ketiadaan kerja di tengah sawah subur yang terbangkalai. Sementara itu kota Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, penuh sesak dengan oto ber-kilat2 dari luar negeri. Jalannya tak cukup panjang untuk dijalani oleh ribuan sedan itu. Tapi kecemerlangan luar itu rupanya tak dapat menutup, jangan- kan mengubah struktur masyarakat yang lemah-goyah itu ! Begitu dulu, begitu sekarang! Saudara ! Saudara masih bertanya, what next? Sekarang apa, sesudahnya kemerdekaan politik tercapai! Masih banyak saudara, masih bertimbun keganjilan dan ketimpangan, yang menghendaki perubahan. Itulah cermin masyarakat dan bangsa kita. Di situ terbentang lapangan perjuangan. Lapangan perjuangan bagi saudara ! Jangan ditunggu orang lain. Tarohkan inisiatif dan enthousiasme saudara ke dalamnya. Lepaskan masyarakat saudara dari tindasan kebodohan, kemalasan dan kemelaratan. Letakkan diri saudara di tengah2 perjuangan itu ! 29 September 1951



„ DI GOLONGAN YANG LEMAH TERLETAK KEKUATAN!" Saudara Pemuda Islam, Di zaman agresi dan „pendudukan", penduduk kota2 besar meninggalkan kota, mengungsi ke-desa2 dan pegunungan. Di kota keamanan tak ada, makanan susah. Di dusun di pinggir gunung ada perlindungan, makanan cukup. Orang desa, Pak Tani menerima mereka dengan tangan terbuka, suka membagi hasil pertanian dengan para tamu. Banyak keluarga kota yang belum pernah mencoba hidup di dusun, baru itulah mengenal alam kehidupan dan tabiat bangsanya yang terbanyak itu, yang tinggal di-gubuk2, tapi sederhana, peramah dan baik budi. Banyak penduduk dusun yang di waktu itulah baru dapat mengenal dari dekat hasil kecerdasan orang-kota. Mendapat rawatan dari dokter dan bidan, mendapat ni'mat penerangan dan pengetahuan sekedar yang dapat ditangkapnya tentang apa yang „ada di dunia" ini. Di pinggir gunung kota-dan-desa bertemu. Berpegangan tangan, berpadu menjadi satu. Membangkitkan satu kekuatan, yang tak dapat dipatahkan musuh. Perpaduan itu tidak lama. Zaman darurat berakhirlah sudah! Kota2 besar ramai kembali. Orang kota, -dokter, bidan, guru, cerdik pandai-- meninggalkan desa, pulang kembali „ke dunia-kecerdasan", di mana ada lampu listrik dan air ledeng. Berpisahlah kota dari desa.



Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, penuh sesak. Dan setiap hari bertambah sesak. Tiap2 kapal yang masuk pelabuhan membawa ratusan orang, tua muda ke-kota2 besar. Katanya di luar kota tak ada mata-pencaharian. Kota besar diharapkan memberi sekedar syarat hidup ! Ke kota! Ke kota! Semua ke kota, ibarat laron mengejar lampu yang terang cemerlang. Tapi ibarat laron pula, sudah banyak yang hangus kepanasan. Sementara itu daerah yang lengang bertambah sunyi. Sunyi dari tangan pencangkul tanah. Sunyi dari penggali sumber kehidupan baru. Sunyi dari pengetahuan penyusun tenaga yang terpendam. Desa-sunyi, sunyi kembali seperti dulu. Soalnya pun masih soal semenjak dulu. Soal „dapur yang tak berasap – soal punggung yang tak bertutup – soal cangkul-patah yang tak berganti – soal ijon pemerasan lintah darat – soal malaria dan penyakit cacar". Soal p a r a d o x yang telah berumur ber-abad2. Soal kemelaratan di tengah2 kekayaan alam yang ber-timbun2. Saudara2 ! Saudara generasi ber-abad2 itu. Di desa ! Di sana, di desa terletak potensi bangsa. Di sana terletak tenaga terpendam. Tenaga raksasa, yang sedang tidur di pangkuan si lemah. Bangunkan ! Susun, kerahkan ber-sama2. Bersama dengan kekuatan-muda saudara yang masih bersih, dengan idealisme saudara yang sudah ada. Dengan jiwa



saudara yang masih bersih dan dengan idealisme saudara yang ber-kobar2. Lepaskan mereka dari cengkeraman kelesuan, kejahilan, putus asa, dan kemelaratan! „Hanya dengan tenaganya kaum lemah kamu mendapat pertolongan dari pada-Nya untuk menggapai kemenangan" -, I n n a m a t u n s a r u n a b i d d l u'a f a i k u m !", demikian ajaran Muhammad s.a.w. 3. Oktober 1951



„PATAH TAK TUMBUH, HILANG TAK BERGANTI". Kepada Pemuda Islam ! Saudara, Semenjak empat-lima tahun yang lalu ber-turut2 kita dengar Syekh Ahmad Soorkati Al-Anshari Jakarta wafat, Syekh Abdul Karim Amrullah berpulang kerahmatullah dalam pembuangannya di Jakarta. Disusul oleh Syekh Muhammad Jamil Jambek Bukit Tinggi. Sesudah beliau, Syekh Daud Rasyidi di Balingka. Waktu agresi Belanda ke I wafat pula Kyai H. M. Hasyim Al-Asy'ari Tebuireng. Kyai Abdul Hamid Termas tewas dalam kekacauan Madiun- affair. Kyai Syam'un Tangkil berpulang tengah bergerilya menghadapi serangan Belanda agresi ke II. Kemudian menyusul Kyai Ahmad Sanusi Sukabumi. Daftar ini masih dapat diperpanjang, dengan nama2 dari puluhan alim-ulama, yang surau dan pesantrennya bertebaran di seluruh Indonesia. Semua mereka telah meninggalkan kita. Dan setiap waktu kita dengar kabar wafatnya seorang dari mereka, kita ucapkan: „Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un". Kemudian masing2 kita kembali tenggelam dalam pekerjaan se-hari2 ........................................................ Tahukah saudara, apakah sesungguhnya yang telah terputus dari kita, dengan berpindahnya mereka itu ke alam baka ? Perhatikanlah nama2 mereka. Semuanya berjalin dengan nama daerah dan tempat mereka tinggal, tempat mereka „duduk-mengajar". Pada hakikatnya mereka lebih dari „mengajar" dan „duduk". Dari tempat2 yang semacam itu memancar ilmu dan tauhid. Dari sana memancar usaha



pencerdasan umat, jauh sebelumnya pemerintah kolonial menyediakan sekolah sekedar untuk orang2 yang diperlukan mereka dalam kantor2 dan onderneming2 mereka. Dari sana timbul sinar pembelah kabut kejahilan, menumbuhkan ruh intiqad dan critische zin. Tempat2 yang semacam itu dengan segala kesederhanaannya membentuk pribadi yang kokoh lahir-batin. Tempat ruju' mengembalikan segala macam soal, soal keduniaan dan soal keagamaan. Sumber sendiri.



MU’ALLIM DAN USTADZ Biasanya disebut mu’allim dan ustadz Tahukah anda, apakah ustadz itu? Pakaiannya, biasanya lusuh, tapi bersih! Tidak robek, walau pun ada yang bertambal tapi tak kelihatan. Air mukanya jernih, walau pun agak pucat. Setiap hari dia pergi ke madrasahnya. Berjalan kaki beberapa kilo meter, paling banter bersepeda melalui jalan kampung yang penuh lubang berbatu batu. ¾ hari ia berdiri di hadapan kelas atau bermain dengan anak-anaknya. Sekali-kali ia turut memanggilnya: “Bapak”



melompat



berlari-lari.



Anak-anaknya



Diikutinya pertumbuhan muridnya, meningkat dari kelas ke kelas. Sampai mereka tamat belajar, masuk masyarakat. Diiringinya dengan do’a supaya mereka “menjadi orang bertakwa kepada Tuhan”, dan supaya “mereka akan menjadi lebih pintar dari gurunya sendiri”. Dia tetap tinggal, menunggu “pos-nya”: MENERUSKAN PENDIDIKAN MEREKA YANG BELUM SELESAI DAN MENGGANTIKAN YANG TELAH PERGI. Malam jum’at (petang kamis) ia bertabligh, menghadapi orang dewasa dan ½ tua. Fasih lidahnya membawakan ayat dan hadits. Terkadang terdengar peringatan dan kabar ancaman dari mulutnya. Kemudian, dibuainya hadirin dengan berita gembira dan harapan baik.



Selama ia di muka kelas, ia gembira dan memancarkan kegembiraan kepada kehidupan di sekelilingnya, selama ia di atas mimbar tangis dan gelak umat ada di tanganya. Diayunkannya silih berganti, menurut saat dan waktu yang dipilihnya sendiri. Tetapi setiap dzuhur, setelah murid yang penghabisan meninggal-kan kelas, kecut hatinya menuju pulang. Setiap kali ia turun mimbar, ngilu kakinya menginjak tanah. Ingat akan dapur yang tak berasap. Sebentar ia menggigit bibir, menelan ingatan yang datang melintas. Dan besok ia kembali kembali ke hadapan kelas, tempat ia melipur hati, menenggelamkan diri dalam kewajiban. Ia kembali menaiki mimbar mencari kekuatan baru dari kata anjuran dan pesanannya sendiri, yang dibawanya untuk orang lain. Ada satu hal yang sukar terlihat di air mukanya: kesusahan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang pantang terdengar dari bibirnya: keluh-kesah. Orang pun tak begitu pula memperhatikan soal2 yang demikian itu. Orang menganggap satu dan lainnya sudah semestinya begitu. Bukankah dia bekerja „lillahi-ta’ala", „mengharapkan keridaan Ilahi". Dia tak kenal P.G.P. dan B.A.G. Masyarakat menggaji mereka dengan ucapan: „karena Allah". Bila mana ia meminta perhatian masyarakat bagi usahamenyuburkan madrasahnya, seringkali ia mendapat adpis yang banyak, perkataan yang baik2. Saudara, Kenapama syarakat begitu kejam, untuk perajurit2 yang tak dikenal semacam ini yang masih puluhan ribu bertebaran di tengah2 umat kita. Pada



hal mereka tempat orang bertanya, tempat memulangkan pelbagai soal. Soal agama dan soal dunia dan tempat si kecil menumpahkan kepercayaan !? Saudara, Jangan biarkan golongan ini sampai hanyut dirundung perjuangan hidup. Utang saudara memperkuat barisan mereka. Utang masyarakat, utang kita semua memperkokoh kedudukan mereka. Mereka merupakan tenaga penahan desintegrasi dalam masyarakat yang mulai goyah. Merupakan landasan bagi mempercepat proses regenerasi dari umat umumnya. Sama saja, baik mereka sadar atau tidak, akan funksi mereka yang sebenarnya dalam hubungan yang lebih luas di tengah masyarakat ini. Saudara berdosa membiarkan golongan ini hanyut dalam perjuangan hidup ! Camkanlah ! 20 Oktober 19H



APA JAWAB SAUDARA ! Di suatu desa beberapa pemuda mendirikan panitia pengumpulan dan pembagian zakat. Di antara penduduk desa itu tidak ada orang yang boleh dinamakan „kaya". Umumnya orang tani! Mereka serahkan zakatnya kepada panitia dengan rela dan ikhlas. Zakat terkumpul menurut wajibnya. ' Tidak banyak, tapi ada! Mereka merasa syukur, karena dibantu oleh panitia menolong menunaikan kewajibannya. Yakni kewajiban terhadap Tuhan dan masyarakat sebagaimana yang diajarkan oleh Agamanya sendiri. Ini bukan dongengan atau khayal! Ini terjadi dan berlaku! Berjalan dengan tidak banyak puspas dan gembar-gembor. Dan semua orang yang bersangkutan merasa berbuat yang „sewajarnya saja". Sedikit sekali di antara mereka insaf, bahwa apa yang mereka perbuat itu pada hakikatnya adalah menjawab suatu masalah „dunia". Ialah menyusun satu masyarakat yang dinamakan „adil dan makmur", atau „social security" atau „welfare-state". Kita menolak pandangan hidup dan sistem kapitalis, kita menolak paham dan sistem komunis. Ini tak baik, itu salah ! Ini haram, itu kufur ! Insafkah saudara, bahwa dengan se-mata2 menolak dan menafikan ini dan itu, soalnya belum terjawab?! Dunia minta jawab dengan bukti, dengan kemampuan dan perbuatan yang nyata dan sistematis. Kita umat Islam sanggup menjawab ! Salah satu dari jawabnya: Zak Zakat jangan dibiarkan lebih lama menjadi buah bibir. Jangan ditunggu at. menjadi milioner dulu, makanya zakat diatur. Sebagian terbesar dari kekayaan bumi ada di tangan kita kaum Muslimin. Sebagian dari pedagang kita,



walaupun ber-kecil2 adalah Muslimin. Periksa di rumah-tangga kita sendiri, masih adakah perhiasan emas yang belum dikeluarkan zakatnya. Atur dan susun cara mengumpulkan dan membagikannya dengan tertib. Dengan zakat yang teratur rapi, sumber kemelaratan dapat diangkat dengan akar2-nya. Zakat adalah salah satu senjata umat Islam untuk membangunkan tenaga kemakmuran rakyat. Zakat membukakan pandangan hidup yang lebih segar. Zakat menyuburkan rasa harga diri pribadi dan tanggung-jawab terhadap masyarakat. Zakat membina dasar lahir dan dasar batin „Negara Berkebajikan" yang saudara idam2-kan! Dan dengan itu saudara menjawab pertanyaan dunia. Kapan saudara mulai ? Sekarang! Jangan terlambat, kalau betul2 saudara sebagai Muslimin insaf, bahwa saudara pemangku pesan atau missi bagi dunia ini! Tunjukkan dengan perbuatan satu alternatif, „jalan keluar" yang nyata bagi orang yang sedang bingung oleh sistem2 yang saling terkam-menerkam yang saudara tolak itu. Apa yang dapat dilakukan di satu desa yang sederhana, mesti dapat dilakukan di seluruh Tanah Air kita dengan cara yang lebih rapi. Mengapa tidak. Asal mau ! Untuk ini tak ada sesuatu yang menghalangi saudara! Bismillah! 5 Janurai 1952



PANTANGKAN DIRI DARI SIPAT SAMPAH DAN BUIH AIR BAH! Negara dan bangsa kita sekarang ini sedang mengalami berbagai cobaan. Nafsu saling berkobar. Alat2 Negara sedang terancam oleh bahaya pecah-belah. Di sana-sini mulai timbul tanda2 yang merupakan retaknya kesatuan antara daerah dengan daerah. Pikiran dan tenaga Pemerintah terpaku pada soal mengembalikan keutuhan dari pada alat Negara yang amat tajam, yaitu tentara. Dalam pada itu segala macam anasir2 yang hendak melumpuhkan Negara memakai kesempatan untuk mempercepat kegiatannya yang sudah ada. Intimidasi dan ancaman merajalela. Jiwa manusia sudah tidak berharga lagi. Di beberapa tempat orang tak berani lagi mengaji dan bersembahyang Jum'at. Semua ini di daerah2 yang dinamakan daerah yang tidak aman, seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, bukan lagi merupakan suatu berita, akan tetapi mungkin peristiwa2 yang demikian ini menjadi berita oleh karena terjadinya amat dekat pada pusat kekuasaan Negara. Yang paling berbahaya dari pada segalanya ini ialah rasa bingung, rasa ragu2 dan takut, patah hati dan putus asa dengan segala akibatnya, rasa kehilangan arah kemana harus berpedoman oleh karena kesini bahaya, dan kesana celaka. Apabila ini berjalan terus menerus, maka ia akan mengakibatkan desintegrasi yang tak ada penahannya. Dalam saat ini perlu kaum Muslimin khususnya insaf, bahwa mereka mempunyai pegangan yang tertentu. Jangan dibiarkan diri terbawa hanyut. Pantangkan diri dari sipat sampah dan buih air bah, yang ter-apung2 dan terdampar ke tepi. Cabut sipat „jubun" dan takut dari dada masing2.



Ketahuilah bahwa kita umat Islam, umat yang terbanyak di Indonesia ini, mempunyai tanggung-jawab yang terbesar pula. Ketahuilah bahwa tiwas dalam membela harta dan jiwa adalah syahid. Menolak kezaliman yang menimpa umat adalah fardu-kifayah. Selamatkan Negara dan jamaah dari pada kelumpuhan „walaupun terpaksa memakan umbut". Justru di saat seperti sekarang ini umat Islam harus memperlihatkan ketinggian nilainya! Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam pernah memperingatkan kepada umatnya, bahwa akan datang suatu masa di waktu mana orang dari segenap pihak datang mengerumuninya, ibarat orang mengerumuni hidangan makanan. „Apakah di waktu itu jumlah kita kecil?" tanya para Sahabat. Sahut Rasulullah: „Bukan! Pada waktu itu jumlahmu besar akan tetapi kamu adalah ibarat sampah air bah. Telah dicabut rasa ketakutan dari hati lawanmu dan ditanamkan sipat „wahn" (kelemahan) dalam hati kamu". Bertanya para Sahabat, „Apakah yang dinamakan „wahn" itu ?" Jawab Rasulullah sallallahu'alaihi wasalam : „Rakus kepada dunia dan takut kepada maut!" Demikianlah peringatan junjungan kita. Dengarkanlah! 27 Desember 1952



ALLAH PASTI MENEPATI JANJINYA!



Saudara pembaca, Dalam menghadapi situasi yang kritis seperti dewasa ini kita hadapi, mungkin terdapat orang yang kurang kuat jiwanya, menjadi putus asa atau nekat. Menjadi orang yang „ja-is" atau mengambil langkah „tahlukah". Ke-dua2-nya bukan sikap yang diridai Allah, tidak sesuai dengan iman yang dikandung oleh dada yang mu'min. Kepada orang yang demikian itulah kuhadapkan sepatah kata ini. Bahwa situasi yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini kritis, memang! Bahwa situasi itu pantas menggelisahkan, memang! Bahwa karena itu umat Islam harus waspada, awas dan mengawasi, itulah sikap yang dengan sendirinya sudah jadi konsekwensi dari pada situasi itu. Namun di dalam kesibukan menyusun tenaga, membulatkan kesatuan umat untuk menghadapi segala kemungkinan, wajiblah kita tinjau, apakah situasi kritis yang kita hadapi sekarang ini, ada macam contohnya di dalam sejarah perjuangan umat Islam sepanjang tarikhnya 13 abad yang lampau itu. Jawabnya: Ada, dan alangkah banyaknya! Tetapi contoh2 yang bertemu dalam sejarah itu, jauh lebih hebat dan lebih dahsyat. Situasi kritis yang menentang kita dewasa ini, sesungguhnya belumlah mencapai taraf yang se-dahsyat2-nya, seperti yang pernah dilukiskan oleh Al-Quran di dalam Ayat: „Hatta yaqular-rasulu walladzina amanu



ma'ahu mata nasrullah". Situasi yang demikian dahsyatnya sehingga menyebabkan Rasulullah dan kaum Mu'minin yang menyertainya ber-tanya2: „Bila akan datang janji Tuhan memberi kemenangan?" (Q.s. AlBaqarah: 214). Belum setaraf demikian, saudara pembaca, situasi kritis yang kita hadapi sekarang ini! Meskipun mungkin akan sampai kepada taraf demikian .......... , jika kita lengah dan tidak mengambil sunnah yang dipakai oleh Nabi Besar kita dan para Sahabatnya kaum Mu'minin itu. Syarat terpenting bagi mu'min dapat menghadapi segala macam situasi kritis, ialah jiwa yang kuat, kepala yang dingin dan bersikap bukan putus asa dan bukan pula nekat melangkah ke „tahlukah". Dimulai dengan menguatkan jiwa, ialah jangan sejenak pun kita lupa, bahwa iman kita itu membulat kepada keyakinan, bahwa janji Allah niscaya akan ditepati-Nya. Janji2 Allah itu antara lain bertemu dalam Ayat: „Innallaha la yushlihu 'amalal-mufsidin". Bahwasanya Allah tidak mungkin memberi sukses, amal orang2 yang merusak (Q.s. Yunus: 81). Dalam sejarah bangsa kita yang dekat, masih membayang diruang mata peristiwa Madiun dari kaum komunis, ialah amal yang merusak. Maka kesudahan amal itu ialah tidak sukses pada akhirnya dan tercantum peristiwa tersebut di dalam sejarah Negara kita sebagai lembaran hitam yang sangat menyedihkan, yang akan dibaca oleh turunan kita. Memang, adakalanya apa yang batil itu beroleh kemenangan, untuk sementara waktu. Tapi kemenangan yang batil akan disusul oleh yang hak. Itupun termasuk janji2 Allah yang dimaksudkan di atas.



Situasi kritis yang kita hadapi dewasa ini adalah karena apa yang batil tampaknya se-akan2 mendapat kemenangan. Seorang Muslim harus yakin, bahwa kemenangan batil itu akan segera disusul oleh yang hak sehingga menjadi "zahuqa", sehingga memangnyalah bahwa yang batil itu niscaya akan hancur luluh dan binasa. Maka jika ada jiwa seorang Muslim yang melemah karena situasi kritis yang sekarang ini, bangkitkanlah kekuatan itu dengan mengingati janji2 Allah, dan bahwa janji Allah itu tidak boleh tidak tentu akan ditepati oleh Allah sendiri. Mata nasrullah? Ber-tanya2 kaum Mu'min. Kapan tiba kemenangan kita? Ala inna nasrallahi qarib. Kemenangan itu sudah dekat, tampak sayup2 diruang mata. Itulah janji Allah, dan janji Allah niscaya ditepati-Nya. Cam- kanlah ! 19 September 1953



PEMIMPIN. Saudara pembaca yang budiman ! Tiap2 pemimpin hendaknya mempunyai niat dalam hatinya bahwa pada suatu ketika, pimpinan itu akan diserahkannya kepada orang lain. Menjadi pemimpin bukanlah se-mata2 untuk memberikan pimpinan kepada umat yang banyak, akan tetapi haruslah berikhtiar pula menyediakan kader2 untuk diserahi pimpinan di waktu yang akan datang. Pada suatu saat, pemimpin tua ber-angsur2 harus meninggalkan lapangan. Pada saat itu, haruslah tampil ke muka, pemimpin2 muda yang cakap dan kuat. Pemimpin muda dan cakap itu, takkan pernah lahir, kalau sejak sekarang pemimpin2 tua tidak menyediakan kader se-banyak2-nya dengan mendidik dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk pada suatu saat memegang kendali perjuangan. Perjuangan kita, masih jauh dan panjang. Tak mungkin para pemimpin yang hidup sekarang saja secara mutlak, dapat menyelesaikan perjuangan itu sampai ke batas cita2. Berapalah usia manusia! Paling tinggi 100 tahun. Sedangkan per- juangan Islam, mungkin mencapai ratusan dan ribuan tahun yang akan datang, atau takkan habis2-nya. Inilah pokok utama bagi pandangan para pemimpin sekarang! Memimpin hendaklah juga untuk menyerahkan pimpinan ke tangan yang lain. Jangankan untuk masa yang akan datang, masa yang sangat jauh itu, sedangkan untuk masa sekarang saja, sangatlah terasa oleh kita bagaimana kekurangan pemimpin di kalangan umat Islam ini. Jumlah mereka amatlah banyaknya, tetapi pemimpin yang akan mengendalikan perjuangan, amatlah sedikitnya. Hal ini, hendaklah segera dapat kita renungkan se-baik2-nya !



Dari pihak pemuda2 angkatan baru, ini pun harus dipahami pula. Mereka, adalah bunga harapan, harapan bangsa dan nusa. Mereka hendaklah menyediakan diri sekarang ini, menjadi kader2 dengan memperbanyak ilmu dan pengalaman perjuangan sekuat tenaga. Di atas kuburan pemimpin tua, berdirilah pemimpin muda yang tangkas dan cekatan. Sungguh amatlah ruginya perjuangan kita yang se-akan2 mengabaikan pembentukan kader2 baru itu. Majapahit semerbak dan mengagumkan sejarah, karena dipimpin oleh tenaga muda-belia, Gajah Mada. Tetapi kemudian hancur-luluh, setelah Gajah Mada pergi, tak ada pemimpin muda yang akan menggantikannya. Gajah Mada tidak menyediakan kader. Nabi Muhammad s-a.w. telah memberikan contoh yang tepat bagi kita. Beliau memimpin umat dan membentuk kader dengan sungguh2. Segala kecakapan, kesanggupan dan jiwa raganya, diberikannya untuk memimpin dan membentuk kader itu dalam memperjuangkan kalimah Allah. Akhirnya dalam masa 23 tahun saja, semua musuh jatuh dan Agama Islam tegak dengan jayanya di muka bumi. Beliau wafat, para Sahabat dan kemudian Tabi'in, siap selalu menggantikannya meneruskan perjuangan. Inilah yang kita contoh! Pemimpin Islam harus mempunyai pendirian semacam ini. Tak usah kita kuatir, bahwa di antara pemimpin Islam sekarang ada yang berpikir absolut, hendak berkuasa sendiri, dan merasa dirinya akan hidup seribu tahun. Tidak ! Menumbuhkan kader2 muda, membentuk pemimpin2 yang kuat, itulah tugas pemimpin sekarang, yang tak boleh ditunggu dan ditangguhkan lagi. Bahagialah perjuangan umat Islam ! 11 Desember 1953



HIDUPLAH SEBAGAI SYUHADA 'ALAN-NAAS ! Dalam menghadapi masa sekarang, tidak cukup kita hanya me-nonjol2-kan mana yang haram dan mana yang halal, mana yang batil mana yang hak saja, tapi hendaknya kita pandai pula menunjukkan dengan bukti, mana yang hak dan mana yang batil itu, dengan amal perbuatan yang nyata, yang dapat dilihat manfaatnya oleh mereka yang masih meragukan. Dunia kita sekarang penuh dengan persoalan2 yang meminta penyelesaian. Setiap penyelesaian itu meminta pikiran, di mana tiap2 aliran mempunyai tujuannya masing2. Berkenaan dengan itulah, maka kita jangan membatasi diri dengan hanya menonjolkan yang tidak baik saja, tetapi harus pandai dan berani pula menunjukkan jalan yang harus ditempuh. Umat Islam harus insaf kembali, bahwa mereka mempunyai risalah yang semenjak ber-abad2 belakangan ini telah terpendam. Ada pun yang menyebabkan terpendamnya risalah itu ialah karena mereka telah jadi makanan bangsa2 lain, disebabkan sudah lupa akan harga dirinya dan kemudian memiliki sipat penakut dan kikir. Dalam arus kebangunan sekarang ini setiap Muslim harus memasuki gelanggang masyarakat kembali, bukan menjauhkan diri, agar dapat mengubah mana yang tidak baik dalam masyarakat itu. Di dalam dan di tengah2 masyarakat yang sakit dan bobrok itulah, kita harus berdiri — syuhada 'alan-naas — menjadi saksi atas kebaikan sesuatu di depan manusia umum, mempertahankan pendirian dengan jihad yang teguh.



Dengan demikian barulah hidup ini ada nilainya. 9 Oktober 1954



„M Y T H O S" Pembaca yang budiman ! Sudah menjadi tabiat manusia, apabila ia berada dalam keadaan yang genting, ia merasa perlu kepada pegangan jiwa, baik untuk menghadapi ber-macam2 cobaan ataupun untuk menjadi sumber kekuatan untuk mencapai cita2. Dalam hal ini manusia tidak ber-beda2, apakah ia seorang yang beragama ataupun seorang yang bernama materialis. Seorang komunis, umpamanya walaupun ia menolak agama, menolak pengertian adanya Tuhan, tetapi dalam pada itu tokh ia membikin dewanya sendiri yang dipujanya, yang bernama kolektifitet. Dipujanya kolektifitet itu lebih dari pujaan orang memuja berhala. Untuk ini mereka sanggup mengurbankan jiwa, mengurbankan batas2 susila, mengurbankan teman, ibu dan bapa, menghancurkan kepribadian individu, hubungan pamili dan kekeluargaan. Se-buruk2 perbuatan mereka, mereka dapat mencarikan alasannya, menghitamkan. 3 April 1950