Makalah Adat Perkawinan Suku Makassar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi - yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan bahkan dipercayai, sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka telah menjadi urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai Negara. Bagi masyarakat di Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis Makassar dan masyarakat di Indonesia pada umumnya, perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga besar dari kedua mempelai. Tak heran jika perkawinan adat Bugis Makassar tidak hanya melibatkan keluarga inti kedua mempelai, tapi juga seluruh keluarga besar sehingga tak jarang jika saudara, kakak dan adik, paman dan bibi, serta para sesepuh ikut terlibat dalam mempersiapkan pernikahan si mempelai. Upacara perkawinan di daerah Sulawesi Selatan banyak dipengaruhi oleh ritual-ritual sakral dengan tujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar dan kedua mempelai mendapat berkah dari Tuhan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar ? 2. Bagaimana Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar ? 3. Apa saja Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar ? 1.3 Tujuan dan Manfaat 1. Mahasiswa mengetahui Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar. 2. Mahasiswa mengetahui Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar 3. Mahasiswa mengetahui Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar



1



BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar Appa bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan. Menurut Ibrahim A (Badruzzaman, 2007), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbin ngdari kata bin yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata binjika mendapat awalan ma menjadi mabbin berarti menanam benih. Kata bin atau mabbin ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bain(istri) atau mabbain (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga. Menurut



pandangan



orang



Bugis-Makassar,



perkawinan



bukan



sekedar



menyatukan dua mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasidepp mab la atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung dekat atau antarkelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68). Meskipun sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang, namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma, 2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan, keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama.  Dengan demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya. H. TH. Chabot, (Badruzzaman, 2007) mengatakan, pilihan pasangan hidup bukanlah urusan pribadi, namun merupakan urusan



2



keluarga dan kerabat. Untuk itulah,  perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di dalam masyarakat. Alasan lain orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah sebuah pesta, semakin mempertinggi status sosial soseorang. Millar (Pelras, 2006:184) pernah mengatakan bahwa upacara perkawinan merupakan media bagi orang Bugis-Makassar untuk menunjukkan posisinya dalam masyarakat dengan menjalankan ritual-ritual serta mengenakan pakaian-pakaian, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik tertentu sesuai dengan kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka. 2.2 Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar 1. A'jagang-jagang/Ma'manu-manu Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang pihak calon mempelai wanita. 2.  A'suro/Massuro Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan. 3.  Appa'nasa/Patenre Ada Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu menentukan hari pernikahan. Selain penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja. Besarnya mas kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria. 4.   Appanai Leko Lompo (erang-erang) Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang disebut A'bayuang yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passikoatau Pattere ada (Bugis). Hal ini dianggap sebagai pengikat dan biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan passio diiringi dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Adaatau Appa'nasa.



3



5.  A'barumbung (mappesau) Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita. 6.  Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing) Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubuatau mencukur rambut halus di sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita. 7. A’bu’bu Prosesi acara a’bu’bu (maceko) yaitu proses membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, agar hiasan hitam (da’dasa) pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik. 8. Appakanre Bunting Dalam upacara ini, calon mempelai disuapi dengan makanan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde, Bolu peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara Lompo. 9. Akkorontigi (Mappacci) atau Malam Pacar Acara Akkorontigi merupakan kegiatan menghiasi rumah calon mempelai, kemudian melakukan appacci atau mappacci, yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin wanita. Ini merupakan suatu rangkaian acara yang sakral dan dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.



4



10. Assimorong/Menre’kawing Ini merupakan puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar, di mana kedua calon mempelai melakukan akad nikah. 11. Appabajikang Bunting Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi bugis-makassar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Setelah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita. 12. Alleka Bunting (Maolla) Acara sama seperti acara ngunduh mantu di Jawa. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagai balasan untuk mempelai pria. mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang. 2.3 Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adat perkawinan Suku Bugis-Makassar di antaranya adalah: 1.



Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam ritual-ritua khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya. Ritual-ritual tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis-Makassar dan bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT.



2.



Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas kawin dan dui balanca/uang belanja yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.



5



3.



Kekerabatan. Bagi orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua insan yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar



4.



Gotong-royong. Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta perkawinan yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak  tidak saja memberikan bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.



5.



Status sosial. Pesta perkawinan bagi orang Bugis-Makassar bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin maka semakin tinggi status social seseorang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.



2.4 Uang Panaik dalam Perkawinan Adat suku Bugis Makassar Secara sederhana, uang panaik/doi balanja (Makassar) atau dui‟ menre‟ (Bugis) atau uang belanja, yakni sejumlah uang yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak keluarga mempelai perempuan. Uang panaik tersebut ditujukan untuk belanja kebutuhan pesta pernikahan. Uang panaik memiliki peran yang sangat penting dan merupakan salah satu rukun dalam perkawinan adat suku Bugis Makassar. Pemberian uang panaik adalah suatu kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Tidak ada uang panaik berarti tidak ada perkawinan. Adapun akibat hukum jika pihak laki-laki tidak mampu menyanggupi jumlah uang panaik yang di targetkan, maka secara otomatis perkawinan akan batal dan pada umumnya implikasi yang muncul adalah pihak keluarga laki-laki dan perempuan akan mendapat cibiran atau hinaan di kalangan masyarakat setempat. Satu hal yang harus dipahami bahwa uang panaik yg diserahkan oleh calon suami diberikan kepada orang tua calon istri, sehingga dapat dikatakan bahwa hak mutlak pemegang uang panaik tersebut adalah orang tua si calon istri. Orang tua mempunyai kekuasaan penuh terhadap uang tersebut dan begitupun penggunaanya. Penggunaan yang dimaksud adalah membelanjakan untuk keperluan pernikahan mulai dari penyewaan gedung atau tenda, menyewa grup musik atau masyarakat setempat menyebutnya electone, membeli kebutuhan konsumsi dan semua yang berkaitan dengan jalannya resepsi perkawinan . Adapun kelebihan uang panaik yang tidak habis terpakai akan dipegang oleh orang tua. Akan tetapi pada umumnya semua uang panaik tersebut akan 6



habis terpakai untuk keperluan pesta pernikahan, namun apabila terdapat sisa dari total uang panaik tersebut maka akan diberikan kepada anak. Bagian anak pun terserah orang tuanya. Apakah akan memberikan semuanya atau tidak, itu menjadi otoritas orang tua si calon istri. Walaupun dalam kenyataanya orang tua tetap memberikan sebagian kepada anaknya untuk dipergunakan sebagai bekal kehidupannya yang baru.31 Uang panaik yang diberikan oleh calon suami jumlahnya lebih banyak daripada mahar. Adapun kisaran jumlah uang panaik dimulai dari 25 juta, 30, 50 dan bahkan ratusan juta rupiah. Hal ini dapat dilihat ketika proses negosiasi yang dilakukan oleh utusan pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dalam menentukan kesanggupan pihak laki-laki untuk membayar sejumlah uang panaik yang telah dipatok oleh pihak keluarga perempuan. Mahar dan uang panaik dalam perkawinan adat suku Bugis Makassar adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang sama dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi. Walaupun dalam hal ini uang panaik lebih mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses perkawinan. Sehingga jumlah nominal uang panaik lebih besar daripada jumlah nominal mahar. Jika kisaran uang panaik bisa mencapai ratusan juta rupiah karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, justru sebaliknya bagi mahar yang tidak terlalu dipermasalahkan sehingga jumlah nominalnya diserahkan kepada kerelaan suami yang pada umumnya hanya berkisar Rp. 10.000 – Rp. 5.000.000, juta saja. Akan tetapi pada zaman sekarang mahar dominan berbentuk barang yaitu tanah, rumah atau satu set perhiasan. Hal tersebut dapat dilihat ketika prosesi akad nikah yang hanya menyebutkan mahar dalam jumlah yang kecil. Tinggi rendahnya uang panaik merupakan bahasanyang paling mendapatkan perhatian dalam perkawinan Bugis Makassar, sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa itu akan menjadi buah bibir bagi para tamu undangan. Adapun penyebab tingginya jumlah uang panaik tersebut disebabkan karena beberapa faktor diantaranya: 1. Status ekonomi keluarga calon istri. Semakin kaya wanita yang akan dinikahi, maka semakin tinggi pula uang panaik yang harus diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri. Dan begitupun sebaliknya, jika calon istri tersebut hanya dari keluarga petani yang pada umumnya kelas ekonomi menengah kebawah maka jumlah uang panaik yang dipatok relatif kecil. 7



2. Jenjang pendidikan calon istri Besar kecilnya jumlah nominal uang panaik sangat dipengaruhi oleh jenjang pendidkan dan kedudukan calon mempelai perempuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang perempuan, maka semakin banyak pula uang panaik yang harus diberikan dan jika tidak memberikan uang panaik dalam jumlah yang banyak, maka akan mendapatkan hinaan atau akan menjadi buah bibir di masyarakat. Hal ini karena masyarakat Kelurahan Untia beranggapan bahwa keberhasilan mematok uang panaik dengan harga yang tinggi adalah suatu kehormatan tersendiri. Tingginya uang panaik akan berdampak pada kemeriahan, kemegahan dan banyaknya tamu undangan dalam perkawinan tersebut. 3. Kondisi fisik calon istri Semakin sempurna kondisi fisik perempuan yang akan dilamar maka semakin tinggi pula jumlah nominal uang panaik yang dipatok. Kondisi fisik yang dimaksud seperti paras yang cantik, tinggi dan kulit putih. Jadi, walaupun perempuan tersebut tidak memiliki status sosial yang bagus atau tidak memiliki jenjang pendidikan yang tinggi maka kondisi fisiknya yang yang dapat menyebabkan uang panaiknya tinggi. Begitupun sebaliknya, walaupun perempuan tersebut tidak memiliki kondisi fisik yang sempurna atau bahkan memiliki fisik yang jelek, akan tetapi dia memiliki status sosial yang bagus seperti keturunan bangsawan, jenjang pendidikan yang tinggi atau memiliki jabatan dalam suatu instansi, maka itu akan menjadi tolak ukur tingginya jumlah uang panaik yang akan dipatok pihak keluarga perempuan. 4. Perbedaan antara Janda dan Perawan Terdapat perbedaan dalam penentuan uang panaik antara perempuan yang janda dan perawan. Biasanya perawan lebih banyak diberikan uang panaik dari pada janda, namun tidak menutup kemungkinan bisa juga janda yang lebih banyak diberikan jika status sosialnya memang tergolong bagus.



8



Salah satu tujuan dari pemberian uang panaik adalah untuk memberikan prestise (kehormatan) bagi pihak keluarga perempuan, jika jumlah uang panaik yang dipatok mampu dipenuhi oleh calon mempelai pria. Kehormatan yang dimaksudakan disini adalah rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai tersebut. Keadaan tersebut akan menjadi gengsi sosial tersendiri bagi pihak keluarga perempuan yang berhasil mematok uang panaik dengan harga yang tinggi. Dampak lain akibat tingginya uang panaik yang dipatok pihak keluarga perempuan mengakibatkan terjadinya apa yang disebut silariang (kawin lari). Itu terjadi jika si pria dan si gadis telah menjalin ikatan yang serius akan tetapi pria tersebut tidak dapat memenuhi jumlah uang panaik yang disyaratkan.40 Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya uang panaik juga memunculkan semangat kerja bagi para lelaki yang ingin menikahi gadis dari suku Bugis-Makassar. Bagi pria Bugis, memenuhi jumlah uang panaik juga dapat dipandang sebagai praktik budaya siri‟ (malu), dimana sering terjadi saat mempelai lelaki tak mampu memenuhi permintaan itu, sehingga lelaki tersebut umumnya menebus rasa malu itu dengan pergi merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan. Wanita yang benarbenar dicintainya akan menjadi motivasi yang sangat besar baginya untuk memenuhi jumlah uang panaik yang disyaratkan. Pada umumnya para pihak pemberi dalam hal ini pihak lakilaki merasa tidak terbebani karena masih dapat menyanggupi kewajiban memberikan uang panaik sebagai syarat dalam perkawinan. Mereka merasa tidak terbabani karena sebelum melamar wanita yang ingin dijadikan calon istri, mereka telah mengetahui perihal uang panaik yang harus diberikan sehingga dari awal mereka sudah mempersiapkannya. Di sisi lain, pihak perempuan mematok harga uang panaik juga dengan mempertimbangkan kemampuan pihak laki-laki yang akan melamar. Kenyataan yang terjadi dilapangan, ketika proses melamar berlangsung terjadi tawar menawar antara kedua belah pihak yang berujung pada tercapainya kesepakatan bersama. Dalam



adat



perkawinan



Bugis



Makassar



terdapat



beberapa



tahapan



untuk



melangsungkan perkawinan dan salah satunya adalah penyerahan uang panaik.



9



2.5 Proses Pemberian Uang Panaik 1. Pihak keluarga laki-laki mengirimkan utusan kepada pihak keluarga perempuan untuk membicarakan perihal jumlah nominal uang panaik. Pada umumnya yang menjadi utusan adalah tomatoa (orang yang dituakan) dalam garis keluarga dekat seperti ayah, kakek, paman, dan kakak tertua. 2. Setelah utusan pihak keluarga laki-laki sampai di rumah tujuan. Selanjutnya pihak keluarga perempuan mengutus orang yang dituakan dalam garis keluarganya untuk menemui utusan dari pihak laki-laki. Setelah berkumpul maka pihak keluarga perempuan menyebutkan harga uang panaik yang dipatok. Jika pihak keluarga calon suami menyanggupi maka selesailah proses tersebut. Akan tetapi jika merasa terlalu mahal, maka terjadilah tawar menawar berapa nominal yang disepakati antara kedua belah pihak. 3. Setelah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka tahap selanjutnya adalah membicarakan tanggal kedatangan pihak keluarga laki-laki untuk menyerahkan sejumlah uang panaik yang telah disepakati. 4. Selanjutnya adalah pihak keluarga laki-laki datang ke rumah pihak keluarga perempuan pada waktu yang telah disepakati sebelumnya dan menyerahkan uang panaik tersebut. 5. Setelah uang panaik diserahkan, tahap selanjutnya adalah pembahasan mahar apa yang akan diberikan kepada calon istri nantinya. Adapun masalah mahar tidak serumit proses uang panaik. Mahar pada umumnya disesuaikan pada kesanggupan calon suami yang akan langsung disebutkan saat itu juga. Dalam perkawinan suku Bugis Makassar pada era sekarang ini umunya mahar tidak berupa uang, akan tetapi berupa barang seperti tanah, rumah atau perhiasan.



10



BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Appa bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan. Secara sederhana, uang panaik/doi balanja (Makassar) atau dui‟ menre‟ (Bugis) atau uang belanja, yakni sejumlah uang yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak keluarga mempelai perempuan. Uang panaik tersebut ditujukan untuk belanja kebutuhan pesta pernikahan. Uang panaik memiliki peran yang sangat penting dan merupakan salah satu rukun dalam perkawinan adat suku Bugis Makassar. Pemberian uang panaik adalah suatu kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Tidak ada uang panaik berarti tidak ada perkawinan. Adapun akibat hukum jika pihak laki-laki tidak mampu menyanggupi jumlah uang panaik yang di targetkan, maka secara otomatis perkawinan akan batal dan pada umumnya implikasi yang muncul adalah pihak keluarga laki-laki dan perempuan akan mendapat cibiran atau hinaan di kalangan masyarakat setempat. 3.2 Saran Penyusunan materi dalam makalah ini sudah cukup baik,namun masih banyak memiliki kekurangan khususnya kelengkapan materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kelak penulis dapat membuat makalah yang lebih baik.



11



DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar : Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola Tingkah Laku Dan Pandangan Hidup Manusia Bugis. Inti Idayu Press: Jakarta. Asram Muzharath.K. 2002. Sejarah KerajaanMakassa,Bulan Bintang: Makassar Kamri, Ahmad, (1997) BUDAYA S1R1' BUGIS-MAKASSAR Pembunuhan dan Pencemaran Nama Balk Orang Lain. Masters thesis, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO



12