Makalah Akibat Pemerkosaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEHAMILAN AKIBAT PEMERKOSAAN



Oleh: Nuria Pratiwi NPM.202062017



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERKUMPULAN BAITURRAHIM 2021/2022



KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya. Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca, menambah



wawasan



serta



pengalaman,



sehingga



nantinya



saya



dapat



memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi. Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari. Jambi,



Oktober 2021



Penyusun



i



2



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.........................................................................................



i



DAFTAR ISI........................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang.......................................................................................



1



B. Rumusan Masalah..................................................................................



2



BAB II PEMBAHASAN 2. 1.Tinjauan Umum tentang Aborsi ……………………………………….. 3 2.2 Landasan Yuridis tentang Aborsi..........................................................



4



2.3. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Korban Perkosaan …………………………………………………………………………….6 BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi…………………………………………………..



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................ 14 B. Saran...................................................................................................... 15 DAFTAR PUSTAKA



2



3



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Istilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus provocatus criminalis. Abortus provocatus medicinalis yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan berdasarkan alasan/pertimbangan medis. Sedangkan abortus provocatus criminalis yaitu penguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja dengan melanggar ketentuan hukum yang berlaku.1 Secara etimologis akar kata aborsi berasal dari bahasa Inggris, abortion (medical operation to abort a child), dalam bahasa Latin disebut abortus yang berarti gugurnya kandungan. Sedangkan dalam bahasa Arab, aborsi dikenal dengan istilah imlas atau al-ijhadl. Secara terminologi aborsi didefinisikan. Pengeluaran (secara paksa) janin dalam kandungan sebelum mampu hidup hidup di luar kandungan. Hal ini merupakan bentuk pembunuhan karena janin tidak diberi kesempatan untuk tumbuh di dalam kandungan Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai karena dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan manusia. Kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia merupakan Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dicabut oleh pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitannya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita. Masalah aborsi saat ini sudah bukan merupakan rahasia lagi untuk dibicarakan, karena aborsi sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya sudah terjadi dimanamana dan dilakukan oleh siapa saja, misalnya saja dilakukan oleh remaja yang terlibat pergaulan bebas yang awalnya berpacaran biasa, tetapi setelah lama berpacaran mereka melakukan hubungan suami isteri, karena malu dan takut ketahuan, maka mereka menggugurkan kandungannya, dan dapat juga dilakukan oleh seorang isteri yang sudah menikah yang tidak mau dibebani tanggung jawab 3



4



dengan lahirnya seorang anak, maka digugurkanlah anak dalam kandungannya tersebut. Kehamilan yang tidak direncanakan dapat juga terjadi akibat perkosaan. Perempuan yang mengalami kehamilan akibat perkosaan akan menghadapi dampak yang lebih berat dan luas, antara lain dampak psikologis berupa depresi berat, dampak sosial berkaitan dengan status anak yang dilahirkan, status ibu dari anak tersebut dalam pergaulan hidup bersama masyarakat dan masih banyak dampak lainnya yang harus dipikul seorang perempuan yang hamil akibat perkosaan, misalnya, rentan terhadap penyakit kelamin, HIV dan sebagainyaSebagian besar perempuan korban kehamilan yang diakibatkan oleh perkosaan memilih untuk melakukan aborsi. Alasan para perempuan korban perkosaan melakukan aborsi ialah melahirkan anak hasil perkosaan akan menambah derita batinnya, karena kelahiran anak itu akan selalu mengingatkan kembali peristiwa perkosaan yang dialaminya. Kalangan yang tidak setuju dilakukan aborsi oleh perempuan korban perkosaan berpendapat bahwa setiap orang berhak untuk hidup termasuk janin yang ada dalam kandungan perempuan akibat perkosaan itu adalah ciptaan Tuhan yang berhak menikmati kehidupan. Bagi kalangan yang setuju dapat dilakukan aborsi bagi korban perkosaan, kehamilan itu timbul bukan atas kemauan korban jadi dapat mengurangi penderitaan korban baik secara psikis maupun sosial, maka diberi hak bagi korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi. Pengaturan mengenai abortus provocatus di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana khususnya dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, serta Pasal 349 : Pasal 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal 347 (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 348 (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 349 Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu 4



5



kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. KUHP telah menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam tindakan aborsi dapat dikenai sanksi pidana. Ada pertanggungjawaban pidana bagi pelakupelakunya. Berdasarkan ketentuan Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349 tindakan aborsi secara tegas dilarang tanpa pengecualian, sehingga tidak ada perlindungan terhadap pelaku aborsi. Jika KUHP melarang aborsi tanpa pengecualian, maka Undangundang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77 sebagai berikut : Pasal 75 (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 76 Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 77 Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, 5



6



tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan KUHP yang tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap tindakan aborsi, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada dasarnya melarang tindakan aborsi, akan tetapi larangan tersebut dapat dikecualikan dengan syarat-syarat tertentu yaitu adanya indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana 6 diatur dalam ketentuan Pasal 75 ayat (2) butir a dan b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan khususnya Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal 77, dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi khususnya Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38. Mengenai tindakan untuk dapat melakukan aborsi, dalam kasus aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan secara teoritis sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi namun kita belum pernah mengetahui implementasinya. Berdasarkan uraian diatas, penulis terdorong untuk yang berjudul KAJIAN TERHADAP TINDAKAN ABORSI BERDASARKAN KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN.



6



7



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan, sebagai berikut : 1.



Apakah kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku?



2.



Apa kendala dalam kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan?



C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk dapat memperoleh data tentang kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan. 2. Untuk memperoleh data tentang kendala dalam kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan. D. Manfaat Penelitian 1.



Manfaat teoritis Bahwa penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya bidang hukum pidana berkaitan dengan aborsi.



2.



Manfaat praktis a.



Bagi Pemerintah bermanfaat untuk memberikan masukan dalam membenahi peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini terkait dengan kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan.



b.



Bagi masyarakat untuk memberikan wawasan yang lebih banyak terkait kajian terhadap tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan.



c.



Bagi penulis, dengan adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum pidana berkaitan dengan aborsi.



7



8



BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum tentang Aborsi 1.



Definisi Abortus/ Pengguguran Kandungan Permasalahan abortus/ pengguguran kandungan sudah ada sejak awal sejarah manusia. Dalam perspektif etimologi, abortus berasal dari kata abort yang artinya gugur. Sedangkan abortus atau aborsi adalah mengugurkan atau keguguran. Perbedaan dalam aborsi terletak pada ada/ tidaknya unsur kesengajaan. Dalam hal ini mengugurkan merupakan kesengajaan mengeluarkan janinnya sedangkan keguguran keluarnya janin dengan tidak disengaja sebelum waktunya lahir. Berdasarkan fakta empiris, aborsi menuai pro dan kontra tentang kondisi wanita yang mengandung dan janin yang terkandung. Abortus tidak lepas dari perhatian dokter, ahli kesehatan dan tenaga medis lainnya karena menyangkut bayi/ janin yang berada dalam dalam kandungan dan keselamatan jiwa ibunya. Dalam istilah medis, aborsi adalah terhentinya kehamilan dengan kematian dan pengeluaran janin pada usia kurang dari 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram yaitu sebelum janin dapat hidup di luar kandungan secara mandiri. Menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah aborsi, berarti pengeluaran hasil konsepsi/ pertemuan sel telur dan sel sperma sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis berfokus kepada jenis abortus provokatus. Hal ini dikarenakan aborsi jenistersebut marak dijumpai di kehidupan bermasyarakat. Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan2 . Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai macam jenis abortus. Dalam kamus Latin-Indonesia sendiri, abortus diartikan sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pengertian aborsi atau Abortus Provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya. Dengan kata lain pengeluaran yang dimaksud dimaksud adalah



8



9



keluarnya janin disengaja dengan campur tangan manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya. Dalam sistem hukum di Indonesia, perbuatan aborsi dengan sengaja jelas dilarang dan dikategorikan sebagai tindak pidana. Para pelaku dan orang yang membantu tindakan aborsi dapat dikenai hukuman. Meskipun sebagian besar masyarakat mengetahui adanya ketentuan tersebut, namun kasus aborsi masih banyak dilakukan. Sejalan dengan meningkatnya kasus aborsi, jumlah angka kematian ibu juga meningkat. 2. Landasan Yuridis tentang Aborsi 1) Kebijakan Aborsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tindakan aborsi menurut KUHP dikategorikan sebagai tindakan kriminal atau abortus provocatus criminalis. Ketentuan KUHP mengatur mengenai abortus provocatus criminalis dimuat dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, Pasal 349. Obyek kejahatan mengenai pengguguran kandungan, yang dapatberupa berbentuk makhluk yakni manusia, berkaki dan bertangan dan berkepala (voldragen vrucht) dan dapat juga belum berbentuk manusia (onvoldragen vrucht). Kejahatan pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan jika dilihat dari subyek hukumnya dapat dibedakan menjadi 4 : 1.



Pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan oleh wanita yang mengandung janin itu sendiri. Tindak pidana tersebut diatur dalam pasal 346 KUHP



yang



menyakan



bahwa:



seorang



perempuan



yang



sengaja



menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dipidana paling lama 4 tahun. Menanggapi ketentuan pasal tersebut, pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain dibedakan menjadi dua yaitu : a. Tanpa persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain tanpa persetujuannya diatur dalam pasal 347 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa: barang siapa dengan sengaja mengugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.



9



10



b. ) Atas persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya diatur dalam pasal 348 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa: barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atauberupa berbentuk makhluk yakni manusia, berkaki dan bertangan dan berkepala (voldragen vrucht) dan dapat juga belum berbentuk manusia (onvoldragen vrucht). Kejahatan pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan jika dilihat dari subyek hukumnya dapat dibedakan menjadi: 1) Pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan oleh wanita yang mengandung janin itu sendiri. Tindak pidana tersebut diatur dalam pasal 346 KUHP yang menyakan bahwa: seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dipidana paling lama 4 tahun. Menanggapi ketentuan pasal tersebut, pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain dibedakan menjadi dua yaitu : a) Tanpa persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain tanpa persetujuannya diatur dalam pasal 347 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa: barang siapa dengan sengaja mengugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. b) Atas persetujuan wanita yang mengandung, pengguguran kandungan dan pembunuhan kandungan dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya diatur dalam pasal 348 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa: barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atauSetiap orang dilarang melakukan aborsi; 2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan media yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan janin, yang menderita penyakit genetik berat atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan atau; b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. c. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/ atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.



10



11



Pasal 76 menyatakan bahwa aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a) Sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir kecuali dalam hal kedaruratan medis; b) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c) Aborsi dilakukan dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d) dengan izin suami kecuali korban perkosaan; e) Terdapat penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. Kemudian dalam pasal 77 menyatakan bahwa: pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian diatas, ketentuan aborsi masih tergolong ke dalam Undang-Undang Kesehatan yang masih umum. Mengingat aborsi merupakan tindakan yang cukup kontroversial terhadap anak yang berada dalam kandungan, perlu adanya kebijakan perundang-undangan yang lebih spesifik mengaturnya8 . c) Kebijakan Aborsi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Lahirnya peraturan pemerintah tentang kesehatan reproduksi ditujukan sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan khususnya terhadap Pasal 75 Ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan. Menurut peraturan pemerintah tersebut, tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/ atau kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim kelayakan aborsi, yang paling sedikit terdiri dari dua tenaga kesehatan, diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Adapun kehamilan akibat pemerkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dibuktikan dengan usia 11



12



kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter dan keterangan penyidik, psikolog, atau ahli lain mengenai dugaan adanya pemerkosaan. Jenis-Jenis Aborsi Apabila dalam KUHP pengguguran kandungan dengan sengaja dikategorikan sebagai tindakan kriminal atau abortus provocatus criminalis, maka penulis akan menjabarkan jenis aborsi yang lebih spesifik. Secara umum aborsi dibagi menjadi 2 macam, yaitu abortus spontan dan abortus provocatus. Adapun penjabaran dari masing-masing aborsi tersebut adalah sebagai berikut: a) Abortus Spontan Jenis aborsi ini didefinisikan sebagai aborsi yang yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis yang dikenal lebih luas dengan istilah keguguran. Adapun penyebab dari abortus spontan, yaitu: 1) Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi/ pembuahan yang dapatmenimbulkan kematian janin dan cacat yang menyebabkan hasilkonsepsi dikeluarkan. Gangguan pertumbuhan hasil konsepsi dapat terjadi karena faktor gangguan kromosom terjadi sejak semula pertemuan kromosom, faktor lingkungan, selain itu juga karena gizi ibu yang kurang karena anemia atau terlalu pendeknya jarak kehamilan. Hal lain yang ikut mempengaruhi, yaitu: pengaruh luar, infeksi endometrium, hasil konsepsi yang dipengaruhi oleh cacat dan radiasi, faktor psikologis, kebiasaan ibu seperti merokok, alkohol, dan lain sebagainya. 2) Kelainan plasenta, ada banyak hal yang mempengaruhi yaitu infeksi pada plasenta, gangguan pembuluh darah dan hipertensi. 3) Penyakit ibu seperti tifus abdominalis, malaria, pnemonia, sifilis dan penyakit menahun sperti hipertensi, penyakit ginjal, dan penyakit hati maupun kelainan rahim. b) Abortus Provokatus Abortus provocatus merupakan jenis abortus yang sengaja dilakukan, yaitu dengan cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Jenis aborsi ini dibagi menjadi dua, yakni: 1) Abortus Provocatus Medicinalis aborsi ini dilakukan dengan sengaja karena alasan medis yang sangat darurat atau jika ada indikasi bahwa kehamilan dapat membahayakan atau mengancam ibu bila kehamilan berlanjut. Dengan kata lain, demi menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya boleh dilakukan tindakan medis tertentu yang dapat saja berupa menggugurkan atau mematikankandungan. Namun untuk melakukan aborsi harus memenuhi berbagai syarat untuk melakukan tindakan medis. Adapun syarat lainnya yaitu: harus dengan indikasi medis, dilakukan oleh tenaga kesehatan keahlian dan wewenang untuk itu, harus berdasarkan pertimbangan tim ahli, harus dengan persetujuan 12



13



ibu hamil, suaminya, atau keluarganya (informed consent) dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu. 2) Abortus Provocatus Criminalis Aborsi ini merupakan pengguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja tanpa mempunyai alasan kesehatan/ medis, didorong oleh alasan-alasan yang lain dan melawan hukum. Sebagian besar pelaku aborsi ini adalah wanita dan pria yang telah melakukan hubungan diluar perkawinan yang mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Kebanyakan pengguguran kandungan ini dilakukan terselubung dengan cara yang berbahaya, karena secara hukum aborsi buatan tidak diizinkan kecuali atas alasan medis untuk menyelamatkan jiwa ibu. Aborsi tidak aman dapat menyebabkan berbagai akibat termasuk kematian, maka petugas kesehatan perlu mewaspadai kejadian aborsi yang tidak aman terutama kasus kehamilan remaja. . Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Aborsi Abortus provocatus berkembang sangat pesat dalam masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan banyaknya faktor yang memaksa pelaku dalam masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Pelaku merasa tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik selain melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan moral yaitumelakukan aborsi. Berikut merupakan beberapa faktor yang mendorong pelaku dalam melakukan tindakan abortus provocatus : a) Kehamilan akibat perkosaan yang memiliki konsekuensi logis terjadinya kehamilan. Kehamilan seorang wanita korban perkosaan yang bersangkutan maupun keluarganya jelas tidak diinginkan. Pada kasus seperti ini, selain trauma pada perkosaan itu sendiri, korban perkosaan juga mengalami trauma terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Hal inilah yang menyebabkan si korban menolak keberadaan janin yang tumbuh di rahimnya. Janin dianggap sebagai objek mati, yang pantas dibuang. Janin tidak dianggap sebagai bakal manusia yang mempunyai hak-hak hidup. b) Alasan-alasan sosial ekonomis, dimana kondisi masyarakat yang miskin biasanya menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks. Karena terhimpit kemiskinan itulah mereka tidak sempat memperhatikan hal-hal lain dalam kehidupan mereka yang bersifat sekunder, kecuali kebutuhan utamanya mencari nafkah. Banyak pasangan usia subur miskin kurang memperhatikan masalah-masalah reproduksi. Mereka tidak menyadari jika usia subur juga menimbulkan problem lain tanpa alat-alat bukti kontrasepsi. Kehamilan yang terjadi kemudian tidak diinginkan oleh pasangan yang bersangkutan dan diusahakan untuk digugurkan dengan alasan sudah tidak mampu lagi membiayai seandainya anggota mereka bertambah banyakKehamilan sebagai akibat hubungan kelamin di luar perkawinan. Pergaulan bebas di kalangan anak muda menyisakan suatu problem yang 13



14



cukup besar. Angka kehamilan diluar nikah meningkat tajam. Hal ini disebabkan karena anak muda Indonesia belum begitu mengenal arti pergaulan bebas yang aman, kesadaran yang amat rendah tentang kesehatan. Minimnya pengetahuan tentang reproduksi dan kontrasepsi maupun hilangnya jati diri akibat terlalu berhaluan bebas seperti negaranegara barat tanpa dasar yang kuat. Hamil di luar nikah jelas merupakan suatu aib bagi wanita yang bersangkutan, keluarganya maupun masyarakat pada umumnya. Masyarakat tidak menghendaki kehadiran anak haram di dunia. Akibat adanya tekanan psikis yang diderita wanita hamil maupun keluarganya, membuat mereka mengambil jalan pintas untuk menghilangkan sumbernya yakni pengguguran kandungan. B. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Korban Perkosaan 1. Definisi Korban Perkosaan Perbuatan pemerkosaan merupakan perbuatan kriminal yang berwatak seksual yang terjadi ketika seseorang manusia memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi vagina dengan penis, secara paksa atau dengan cara kekerasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perkosaan diartikan sebagai menggagahi atau melanggar dengan kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan perkosa atau melanggar dengan kekerasan. Secara filosofis perkosaan berasal dari bahasa latinrapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi. Pada zaman dahulu tindak pidana perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri dan tindak pidana perkosaan tidak hanya berbentuk persetubuhan namun segala bentuk serangan yang melibatkan alat kelamin yang dengan cara kekerasan dan pemaksaan oleh pelaku terhadap korban . Tindak pidana perkosaan diatur dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi: barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya dua belas tahun. Pasal tersebut mensyaratkan keharusan adanya persetubuhan yang bukan istrinya disertai dengan ancaman kekerasan. Perkosaan ditandai dengan penetrasi penis kepada lubang vagina dalam hubungan seks disertai dengan ancaman dan kekeraasan fisik terhadap diri korban oleh pelaku. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dinamakan perkosaan adalah: a) Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. b) Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan cara paksaan dan bertentangan dengan kemauan wanita yang bersangkutan. Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang bukan isterinya atau tanpa persetujuanya, dilakukan ketika wanita tersebut 14



15



ketakutan. Berdasarkan uraian diatas, penulis juga akan memberikan pendapat para ahli. Menurut Soetandyo Wigjosoebroto, perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seoarang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. Dalam pengertian seperti ini, apa yang disebut perkosaan, di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan dan di lain pihak dapat dilihat pula sebagai suatu peristiwa yakni pelanggaran norma-norma dan dengan demikian juga tertib sosial. Permasalahan perkosaan kerap menjadikan wanita dan anak sebagai korban. Hal ini dikarenakan wanita dan anak dianggap golongan lemah mental, fisik, dan sosial. Korban perkosaan adalah seorang wanita/ anak yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan . Kemudian menurut Arief Gosita, perkosaan dirumuskan melalui beberapa bentuk perilaku, yakni sebagai berikut: a) Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (objek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki diperkosa oleh wanita. b) Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat pelaku. Persetubuhan di luar ikatan perkawinan merupakan tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawainan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan. Berdasarkan ketiga unsur yang dikemukakan diatas, menunjukkan bahwa posisi perempuan ditempatkan sebagai objek yang dominan dari suatu kekerasan seksual/ perkosaan. Kejahatan kekerasan seksual disebut sebagai perkosaan adanya persetubuhan yang dipaksakan, yang dilakukan seorang laki-laki kepada perempuan yang bukan istrinya. Dengan adanya uraian diatas, maka korban perkosaan merupakan seoarang wanita yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain diluar perkawinan. 2. Macam-Macam Korban Perkosaan Menurut Mulyana Kusuma, korban perkosaan diklasifikasikan menjadi beberapa motif, antara lain: a) Sadistic Rape Jenis permerkosaan ini dilakukan secara sadis, dalam hal ini pelaku mendapat kepuasan seksual bukan karena hubungan tubuhnya melainkan perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban.



15



16



b) Anger Rape Perkosaan yang dilakukan sebagai ungkapan marah pelaku. Jenis perkosaan semacam ini biasanya disertai tindakan brutal pelakunya secara fisik. Kepuasan seksual bukan merupakan tujuanya melainkan melampiaskan rasa marahnya. c) Domination Rape Dalam hal ini pelaku ingin menunjukan dominasinya terhadap korban. Kekerasan fisik tidak merupakan tujuan utama korban karena tujuan utamanya adalah pelaku ingin menguasai korban secara seksual dengan demikian pelaku dapat menunjukan bahwa ia berkuasa atas orang tertentu misalnya pemerkosaan pembantu oleh majikan. d) Seductive Rape Perkosaan yang terjadi karena pelaku merasa terangsang nafsu birahi dan bersifat subjektif. Biasanya perkosaan semacam ini karena diantara keduanya sudah saling mengenal misalnya pemerkosaan oleh pacar, pemerkosaan oleh anggota keluarga dan pemerkosaan oleh teman. e) Victim Precipitatied Rape Jenis perkosaan ini berbeda dengan jenis perkosaan lainnya dimana perkosaan terjadi dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya f) Eksploitation RapeJenis perkosaan ini dapat terjadi karena ketergantungan korban terhadap pelaku, baik secara ekonomi atau sosial. Dalam hal ini pelaku tanpa menggunakan kekerasan fisik namun pelaku dapat memaksa keinginanya terhadap korban. Menanggapi uraian diatas, korban perkosaan pada prinsipnya yang merupakan korban yang dirugikan haknya karena ada tindak pidana yang mengaturnya. Adapun kerugian yang diderita dapat berupa fisik, psikologis, finansial ataupun kerugian dalam bentuk haknya dikurangi. Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memberikan penafian yang lebih spesifik terkait korban perkosaan, yakni: 1) Non participating victims, yaitu para korban yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan. 2) Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. 3) Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan. 4) Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban. 5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri. Selain penggolongan korban perkosaan diatas masih banyak tipologi korban yang berkembang, tetapi sebagian besar latar belakang yang 16



17



melandasi penggolongan tersebut adalah tidak saja melihat korban sebagai pihak yang ikutberperan dalam suatu kejahatan, namun juga melihat peran negara dalam terjadinya korban kejahatan. Dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga dijabarkan tentang jenis-jenis korban tindak kejahatan. Namun penulis dalam hal ini menitik beratkan pada perempuan sebagai korban perkosaan yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, dan perampasan hak-haknya. 3. Perlindungan terhadap Korban Perkosaan Perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan adalah suatu kegiatan pengembangan hak asasi manusia. Urgensi dari perlindungan yang dimaksud tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah perkosaan. Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga mengalami penderitaan secara psikis. Pada dasarnya, kebijakan mengenai perlindungan korban perkosaan terbagi atas beberapa bentuk, antara lain: 1) Restitusi Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008, restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Korban perkosaan berhak memperoleh restitusi karena perkosaan merupakan tindak pidana. Bentuk perlindungan ini lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibatyang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. 2) Bantuan Medis dan Bantuan Rehabilitasi Psiko-Sosial Menurut UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, subjek yang juga mendapat bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah korban perkosaan. Bantuan tersebut adalah layanan yang diberikan kepada korban dan atau saksi oleh LPSK. Permohonan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial dapat diajukan oleh korban, keluarga korban, dan kuasanya dengan surat kuasa khusus. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan di atas kertas bermaterai kepada LPSK. Menanggapi uraian diatas, penulis akan memberikan penjelasan mengenai perlindungan terhadap korban perkosaan yang lebih spesifik. Dalam upaya penanggulangan kejahatan termasuk aborsi, ada 2 pendekatan yang dapat digunakan untuk melindungi wanita/ anak korban perkosaan, yakni: 17



18



a) Pendekatan Preventif Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Menurut Menurut Samsudin, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan. Adapun usaha yang dilakukan melalui tindakan ini adalah menanamkannilai-nilai/ norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/ tindak pidana tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi tindak pidana. b) Pendekatan Represif Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan ini diutamakan terhadap orang yang melakukan tindak pidana dengan memberikan hukum pidana yang setimpal atas perbuatannya. Penegakan hukum (law enforcement) ditujukan kepada pelaku agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan melanggar hukum dan merugikan masyarakat. Sehingga pelaku tidak mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukanya mengingat sanksi yang ditanggungnya sangat berat. C. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia 1. Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia Apabila ditinjau berdasarkan pendekatan



historis,



bangsa



Indonesia



sejak



awal



perjuangan



pergerakan



kemerdekaan Indonesia sudah menuntut dihormatinya Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut terlihat jelas dalam tonggak sejarah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan yakni Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, yang diawali dengan lahirnya berbagai pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia membebaskan diri dari penjajahan bangsa lain. b) Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang membuktikan bahwa bangsa Indonesia menyadari haknya sebagai suatu bangsa yang bertanah air satu dan menjunjung persatuan Indonesia. c) Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia diikuti dengan penetapan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dalam pembukaannya ditegaskan bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Oleh karena itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai 18



19



dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan aturan dasar yang sangat pokok yakni Hak Asasi Manusia. d) Rumusan hak asasi manusia dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia secara eksplisit juga telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan undang-Undang Dasar Sementara 1950. Kedua konstitusi tersebut mencantumkan secara rinci ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia. Dalam sidang konstituante upaya untuk merumuskan naskah tentang hak asasi manusia juga telah dilakukan . e) Dengan tekad melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka pada sidang umum MPRS tahun 1966 telah ditetapkanKetetapan Majelis



Permusyawaratan



Rakyat



Republik



Indonesia



Sementara



Nomor



XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad hoc untuk menyiapkan Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS tanggal 6 Maret 1967 Nomor 24/B/1967, hasil kerja Panitia ad hoc diterima untuk dibahas pada persidangan berikutnya. Namun pada sidang umum MPRS tahun 1968 rancangan piagam tersebut tidak dibahas karena sidang lebih mengutamakan masalah mendesak yang berkaitan dengan rehabilitasi dan konsolidasi nasional setelah terjadi tragedi nasional berupa pemberontakan G30-S/PKI pada tahun 1965, dan menata kembali kehidupan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 194527 . f) Terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, yang mendapat tanggapan positif masyarakat menunjukkan besarnya perhatian bangsa Indonesia untuk segera merumuskan hak asasi manusia menurut sudut pandang Indonesia28 . g) Kemajuan mengenai perumusan tentang hak asasi manusia tercapai ketika Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1998 telah tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) secara lebih rinci. 2. Landasan Yuridis Hak Asasi Manusia Secara yuridis, aturan tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia tertuang dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Berkenaan dengan tugas akhir yang diangkat penulis, akan dijabarkan pasal yang berkaitan dengan hak-hak seorang anak dari perbuatan aborsi, yakni: a) Pasal 52 ayat (1) berbunyi: Setiap anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Kemudian ayat (2) berbunyi: Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. 19



20



b) Pasal 53 ayat (1) berbunyi: Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan tarafkehidupannya. c) Pasal 56 ayat (1) berbunyi: Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanyasendiri. 3. Aborsi Menurut Perspektif Hak Azasi Manusia Ditinjau dari perspektif HAM, seorang wanita mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan aborsi karena merupakan bagian dari hak kesehatan reproduksi yang sangat mendasar. Aturan diperbolehkannya melakukan aborsi tertuang dalam Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Aborsi memang erat kaitannya dengan hak asasi manusia, disatu sisi dikatakan bahwa setiap wanita berhak atas tubuh dan dirinya dan berhak untuk menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan. Namum, disatu sisi janin yang ada dalam kandungan juga berhak untuk terus hidup dan berkembang. Dua hal tersebut memang saling bertentangan satu sama lain karena menyangkut dua kehidupan. Jika aborsi yang dilakukan adalah aborsi kriminalis tentu saja hal tersebut sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang HAM juga diatur mengenai perlindungan anak sejak dari janin karena sekalipun seorang ibu mempunyai hak atas tubuhnya sendiri tetapi tetap saja harus kita ingat bahwa hak asasi yang dimiliki setiap orang tetap dibatasi oleh Undang-Undang . Pada dasarnya, seorang ibu yang harus menggugurkan kandungannya dengan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi dapat mengancam nyawa ibu atau janin, secara hak asasi manusia dapat dibenarkan karena si ibu tersebut juga punya hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Aborsi memang berhubungan dengan hak wanita untuk melakukan reproduksi dan hak atas tubuhnya. Undang-undang kesehatan sendiri juga memuat ketentuan kebebasan setiap orang untuk bereproduksi. Jika ditafsirkan kebebasan untuk bereproduksi bisa saja membuka celah untuk melakukan aborsi, namun yang perlu diingat bahwa kebebasan setiap orang untuk melakukan reproduksi adalah kebebasan yang bertanggung jawab yang tentunya tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Ketiadaan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang aborsi menyebabkan seseorang dengan mudah melakukan aborsi dengan klaim bahwa ia merupakan korban perkosaan. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Anak . Urgensi Perlindungan Anak Pengertian anak dalam kaitannya dengan perilaku delinkuensi anak biasanya dilakukan dengan mendasarkan pada tingkatan usia, dalam arti tingkat usia berapakah seorang dapat dikategorikan sebagai anak. Anak memiliki karakteristik 20



21



khusus/ spesifik dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting diprioritaskan. Berdasarkan Pasal 1 Convention on the Right of the Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Artinya yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu sedangkan secara mental dan fisik masih belum dewasa . Sehubungan dengan uraian diatas, kedudukan setiap anak yang ada wajib dilindungi. Hal ini dikarenakan bahwa mayoritas anak-anak tidak terpenuhi haknya sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Dengan adanya berbagai macam pelanggaran hak asasi anak, maka urgensi perlindungan anak menjadi sebuah keharusan demi kesejahteraan anak. Terlepas dari hal itu, aborsi merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak. Hingga saat ini tidak sedikit ditemui bahwa wanita yang menjadi korban perkosaan melakukan aborsi dikarenakan traumatik dan enggan untuk memelihara anak yangtidak dikehendakinya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kedudukan sang anak yang ada dalam kandungan. Dengan adanya kebijakan hukum perlindungan anak yang ada Nampak tidak dapat mengakomodir permasalahan aborsi yang melibatkan hak anak untuk hidup . 2. Landasan Yuridis Perlindungan Anak Adapun kebijakan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan anak adalah sebagai berikut: a) Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi. b) Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 berbunyi: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. c) Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi: Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. d) Undang-Undang Nomor 04 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang mengatur tentang perlindungan dan hak-hak anak sebelum adanya aturan yang lebih khusus tentang perlindungan anak. e) Pasal 53 yat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia



berbunyi:



mempertahankan



Setiap hidup,



anak



sejak



dan



meningkatkan 21



dalam



kandungan,



berhak



hidup,



tarafkehidupannya.



tidak



22



dikehendakinya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kedudukan sang anak yang ada dalam kandungan. Dengan adanya kebijakan hukum perlindungan anak yang ada Nampak tidak dapat mengakomodir permasalahan aborsi yang melibatkan hak anak untuk hiduP. 2. Landasan Yuridis Perlindungan Anak Adapun kebijakan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan anak adalah sebagai berikut: a) Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi. b) Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 berbunyi: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. c) Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi: Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. d) Undang-Undang Nomor 04 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang mengatur tentang perlindungan dan hak-hak anak sebelum adanya aturan yang lebih khusus tentang perlindungan anak. e) Pasal 53 yat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia



berbunyi:



Setiap



anak



sejak



dalam



kandungan,



mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.



22



berhak



hidup,



23



BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN B. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Sebelum adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sudah ada Undang-Undang terlebih dahulu yang mengatur tentang pembolehan melakukan aborsi akibat perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis yaitu Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal ini dikarenakan adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum dan perbuatan itu merupakan suatu tindakan kriminal yaitu perkosaan, yang menyebabkan adanya korban perkosaan. Korban perkosaan yang tidak mendapatkan penanganan semestinya setelah mengalami perkosaan, biasanya akan menderita efek samping yang cukup menakutkan, yaitu kehamilan yang tidak diinginkan. Kondisi korban perkosaan yang hamil ini lebih parah dibanding korban perkosaan yang tidak hamil, karena pada korban perkosaan yang hamil ia akan mendapat dua beban derita yang sama beratnya. Pertama beban ia wanita itu sudah diperkosa dan kedua ia harus menanggung beban dengan sendirinya yaitu merawat anak yang dilahirkan tanpa seorang ayah karena pelaku tidak bertanggungjawab. Kondisi inilah yang biasanya memicu korban perkosaan untuk melakukan abortus provocatus atas kehamilan yang tidak diinginkan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua korban perkosaan yang hamil berniat untuk menggugurkan kandungannya. Ada juga korban perkosaan yang ingin meneruskan kehamilannya, melahirkan dan merawat anak hasil perkosaan tersebut karena ia menganggap bahwa sianak tidak berdosa sama sekali dan tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk dari orang tuanya. Karena orang tua tersebut beranggapan bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah takdir yang harus dijalani dengan tabah. Mentalnya yang kuat mampu mengalahkan pertimbangan-pertimbangan irasional yang seringkali dijumpai pada korban perkosaan yang mengalami trauma dan depresi berat. Tipe korban seperti ini dapat dijumpai pada para korban perkosaan oleh oknum-oknum militer di DOM (Daerah Operasi Militer). Perlindungan dan pelayanan terhadap korban perkosaan tersebut juga 23



24



dilakukan, jika sikorban menuruti jalur hukum dan norma-norma dimasyarakat. Artinya, korban perkosaan yang hamil tidak melakukan abortus provocatus yang dilarang itu, tapi melanjutkan kehamilan dan melahirkan anak hasil perkosaan tersebut. Harus ada jaminan secara hukum maupun sosial bagi kelangsungan hidup si anak dan ibunya dikemudian hari. Perlu diketahui, disatu sisi lain, masih ada masyarakat yang memandang sebelah mata terhadap seorang wanita yang melahirkan anak tanpa suami.59



57



Syarifuddin Pettanasse, Op.cit, Hlm. 185.



58



Sekjen Komnas HAM Baharudin Lopa memberi keterangan pers,



pada tanggal 24 Agustus 1998 di Jakarta. 59



Syarifuddin Pettanasse. Loc.cit, Hlm. 190.



Masyarakat seharusnya mampu memilah-milah mana wanita yang hamil akibat perkosaan dan wanita yang hamil karena salah pergaulan. Korban perkosaan yang terpaksa menjadi seorang ibu akibat perkosaan tersebut seharusnya tidak memperoleh perlakuan yang sedemikian kejamnya apalagi jika si anak sudah besar dan mulai sekolah, masyarakat dapat menjamin bahwa anak hasil perkosaan tersebut tidak diolok-olok sesama temannya sebagai anak haram karena tidak mempunyai bapak dan lahir diluar perkawinan.60 Dengan melihat kondisi demikian maka keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang langsung ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Legalisasi aborsi akibat perkosaan ini bertujuan untuk melindungi masa depan korban pemerkosaan. Walaupun peraturan baru ini menyulut kontroversi karena akan semakin memudahkan jalan bagi yang ingin melakukan aborsi. Peraturan Pemerintah (PP) itu ada juga yang mengatur tentang korban kekerasan seksual dan penanganan dampaknya. Lebih lanjut dalam PP itu disebutkan, aborsi bisa dilakukan oleh perempuan dengan alasan darurat medis maupun alasan perkosaan yang menyebabkan trauma. Namun, tindakan aborsi akibat perkosaan ini hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.61



24



25 60



Ibid, Hlm.191.



61



Kandung. Alasan Pemerintah Legalkan Aborsi dan Alasan KPAI



menolak



PP



Pelegalan



Aborsi



Dan



MUI



Kaget.



2014



(http://silontong.com/2014/08/13/alasan-pemerintah- legalkan-aborsi-dan-alasankpai-menolak-pp-pelegalan-aborsi-mui-kaget/ di akses pada tanggal 15 Februari 2015). Menurut Nafsiah Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa masalah aborsi ini telah dibahas selama 5 tahun. Baik Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah (PP) mengatakan aborsi dilarang, kecuali untuk dua keadaan yakni gawat darurat medis dan kehamilan akibat perkosaan. Dia menegaskan, PP ini adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan khususnya pasal 75 menyatakan bahwa: Setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi yang memfasilitasi aborsi bagi korban perkosaan ini berpotensi menimbulkan polemik dalam masyarakat. Sejumlah kelompok yang tidak setuju mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi karena sama saja dengan menghilangkan hak hidup seseorang. Alasan pelaku adalah korban pemerkosaan, tidak bisa menjadi legitimasi bagi tindakan aborsi. PP ini justru bisa berpotensi menjadi celah untuk melakukan aborsi dengan alasan atau berpura-pura sebagai korban pemerkosaan. Karena itu, legalisasi aborsi bagi wanita korban pemerkosaan dinilai kurang tepat. Dalam PP ini satu sisi perempuan korban perkosaan mungkin sedikit tertolong, namun sesungguhnya ada dampak lain yang jauh lebih buruk. Dampak buruk tersebut mencakup aspek psikologis, medis maupun sosial. Dampak psikologis aborsi sesungguhnya tidak bisa dipandang ringan.



25



Menurut Ghani Rahman (2014),62 terdapat beberapa kelompok ada yang menyetujui dan ada yang tidak menyetujui permasalahan legalisasi praktik aborsi sebagaimana yang telah diatur didalam Peraturan pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan reproduksi, yaitu: 1. Kelompok yang menyetujui a. Pengamat kriminologi Universitas Padjajaran yaitu Yesmil Anwar. Menurut Yesmil, PP ini justru menguntungkan karena lebih melindungi perempuan dan mencegah Peraturan Pemerintah (PP) ini akan mencegah perempuan yang akan melakukan proses aborsi kepada dukun dengan sembarangan melakukan proses aborsi tersebut berakibat hilangnya nyawa. b. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yaitu Siti Noor Laila yang menyatakan bahwa legalisasi aborsi yang termuat dalam peraturan tersebut tidak bertentangan dengan HAM. Beliau juga menjelaskan bahwa kosep HAM hanya mengatur hak hidup dan hak hidup tidak bisa digantikan. Menurut Laila, Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan Reproduksi memberikan pengecualian untuk pertimbangan indikasi medis dan korban perkosaan, sebagaimana perempuan itu sendiri yang menjadi korban dan hal itu tidak melanggar HAM.



62



Ghani Rahman, Legalisasi Aborsi, Kesehatan Reproduksi, dan Upaya



Edukasi, 2014( http://penarevolusi.wordpress.com/2014/09/16/legalisasi -aborsikesehatan-reproduksi-dan-upaya- edukasi/, diakses pada tanggal 01 20 maret 2015).



26



c. Wakil Komnas Perempuan yaitu Desi Murdjiana, beliau menilai bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi sudah tepat. Desi juga menyatakan bahwa persetujuannya dengan pertimbangan lebih pada trauma yang dialami korban perkosaan karena akan permasalahan tersebut akan ganda ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Menurut Desi, dengan adanya Peraturan itu, negara melakukan langkah tepat karena telah telah membolehkan perempuan yang diperkosa dapat menggugurkan kandungannya, karena perkosaan tidak bisa digolongkan dengan masalah sosial biasa d. Menteri Agama yaitu Lukman Hakim saifuddin menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) tersebut sudah sesuai dengan syarat janin yang belum memiliki roh dan jiwa atau sebelum 40 hari dan hanya dilakukan atas alasan darurat medis atau hamil akibat perkosaan, karena hal ini mengancam keselamatan jiwa si ibu dari sisi psikis. 2. Kelompok yang tidak menyetujui a. Wakil Sekjen III Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yaitu Prasetyo Widhi mengatakan, meskipun dalam Peraturan Pemerintah (PP) itu disebutkan aborsi akibat perkosaan dilegalkan dengan syarat kehamilan tersebut belum mencapai 40 hari, IDI tidak akan menggunakan pasal tersebut karena dokter dalam IDI hanya akan melakukan aborsi karena indikasi medis yakni kehamilan membahayakan jiwa ibu dan janin. Prasetyo juga menambahkan tidak akan melakukan aborsi karena kehamilan akibat



27



perkosaan, karena hasil perkosaan bukan domain dokter tapi masuk persoalan hukum. b. Ketua Umum Penguru Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yaitu Zaenal Abidin, menyatakan bahwa tindakan aborsi untuk indikasi selain alasan medis jelas bertentangan dengan Sumpah Dokter dan Kode etik Kedokteran. Karena menurut Zaenal tidak ada jaminan dokter yang tidak akan dipidana jika melakukan aborsi dan aborsi juga belum bisa dikatakan solusi yang terbaik untuk kasus pemerkosaan. c. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yaitu Maria Advianti, Maria menjelaskan bahwa UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 telah menjamin keselamatan anak sejak dalam kandungan hingga usia 18 tahun. Mari juga mengatakan tidak menemukan unsure yang cukup layak untuk membenarkan penghilangan nyawa terhadap seorang anak hanya karena dikandung akibat pemerkosan. Sebab sejak keberadaannya didalam kandungan terdeteksi, seorang anak memiliki hak hidup yang diatur oleh Undang-Undang. Gangguan mental korban pemerkosaan bisa diantisipasi dengan terapi atau rehabilitasi mental agar si korban siap menerima keberadaan bayi yang dilahirkan. d. Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) yaitu Rusli Muhammad. Rusli berpendapat bahwa ini faktor kriminogen, peraturan yang dimaksudkan untuk perlindungan, tapi nantinya justru menciptakan kejahatan baru. Efek yang akan disebabkan oleh peraturan tersebut ialah para wanita justru mencari cara agar diri seakan diperkosa dan melakukan



28



aborsi. Padahal kehamilan itu didasarkan kepada hubungan gelap. Sebagaimana waktu yang ditetapkan didalam peraturan tersebut adalah 40 (empat puluh) hari yang diperbolehkan melakukan aborsi. Karena jika dokter ingin meminta surat keterangan kepolisian terkait korban perkosaan biasanya butuh proses yang panjang lebih dari 40 (empat puluh) hari untuk menetapkan seseorang diperkosa. e. Ketua Umum Muslimat NU yaitu Khofifah Indar Parawansa menyatakan



jika



Peraturan



Pemerintah



(PP)



ini



rawan



diselewengkan dan akan memicu pergaulan bebas. Menurut Khofifah, tanpa adanya PP tersebut, praktik aborsi sudah begitu marak. Termasuk yang dilakukan oleh dukun-dukun kandungan. Khofifah meminta agar pemerintah segera meninjau ulang peraturan tersebut. f. Ketua Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibidang Pemberdayaan Perempuan, menegaskan bahwa PP itu tidak boleh diperluas, disosialisasikan atau diumumkan sehingga orang yang tidak bertanggung jawab bisa berbuat apa saja. C. Dasar Hukum Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, sebenarnya bukanlah awal untuk dipermasalahkan. Oleh karena PP tersebut hanya sebagai kebijakan pengaturan lebih lanjut atas amanat UndangUndang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Maka dalam Pasal 75



29



Ayat 2 UU tentang Kesehatan telah ditegaskan “larangan aborsi dapat dilakukan kecuali karena darurat medis dan korban pemerkosaan”.63 Untuk pengecualian darurat medis tidaklah menjadi persoalan hukum, sebab memang aborsi demikian tidak perlu bersentuhan dengan pembuktian terjadinya indikasi tindak pidana. Dalam hukum kedokteran pembolehan demikian disebut abortus medicalis. Yakni tindakan aborsi demi melindungi kepentingan perempuan yang sedang mengandung janin, namun membahayakan keselamatan nyawanya. Berbeda halnya dengan pengecualian aborsi yang dibenarkan akibat korban perkosaan. Jelas, menimbulkan banyak paradoks oleh beberapa kalangan. Kalangan ini terpecah dalam dua kelompok. Mereka yang termasuk golongan anti aborsi menamakan diri sebagai kelompok pro life (pro kehidupan). Sementara mereka yang menyetujui praktik aborsi menyebut diri sebagai pro choice (pro pilihan).64 Dasar Hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa: Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya. 2. Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 75) menyatakan bahwa: (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.



63



Damang, Solusi Hukum Legalisasi Aborsi Karena Pemerkosaan, 2014



(http://www.negarahukum.com/hukum/solusi-hukum-legalisasi-aborsi-karena pemerkosaan.html diakses pada tanggal 10 Maret 2015). 64



.



Paradoks



Legalisasi



Aborsi.



(http://www.negarahukum.com/hukum/paradoks-legalisasi-aborsi.html) pada tanggal 10 Maret 2015.



30



2014 diakses



(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak diperbaiki



sehingga



menyulitkan



bayi



tersebut



hidup



diluar



kandungan; atau b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi perkosaan.



Adapun pasal yang menjelaskan mengenai aborsi akibat perkosaan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah sebagai berikut: Pasal 31 menyatakan bahwa: (1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. Indikasi kedaruratan medis; atau b. Kehamilan akibat perkosaan (2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Pasal 32 menyatakan bahwa: (1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi: a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan / atau; b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan / atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut diluar kandungan. (2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar. 31



Pasal 33 menyatakan bahwa: (1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 dilakukan oleh tim kelayakan aborsi. (2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.



32



Pasal 34 menyatakan bahwa: (1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan. Pasal 35 menyatakan bahwa: (1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu dan bertanggung jawab. (2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar; b. Dilakukan difasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri; c. Atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan; d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; e. Tidak diskriminatif; dan f. Tidak mengutamakan imbalan materi. (3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan. (4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.



33



Pasal 36 menyatakan bahwa: (1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (2) huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. (2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan. (3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.



34



Pasal 37 menyatakan bahwa: (1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling. (2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor. (3) Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan: a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi; b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang; c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya; d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil putusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan e. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi. (4) Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan: a. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi; b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi; b. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan apabila diperlukan; dan c. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.



35



 Pembuktian Pemerkosaan Pasal 34 Ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi telah melindungi korban pemerkosaan untuk melakukan aborsi, yang dapat dibuktikan dengan: (a) usia kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan (b) keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan pemerkosaan.



36



Namun dengan alasan pembenaran aborsi, setelah adanya bukti atas surat keterangan dokter, keterangan penyidik, dan keterangan psikolog, belum memberikan kepastian hukum, baik bagi pelaku aborsi maupun dokter yang membantu secara medis tindakan aborsi tersebut. Karena yang harus dibuktikan dari terpenuhinya delik pemerkosaan adalah adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Melalui visum belum juga kuat atas keterangan dokter, perbuatan bersetubuh atas suka sama suka hal itu bukan pemerkosaan. Artinya, jika aborsi telah dilakukan dan ternyata dikemudian hari tidak terpenuhi delik pemerkosaannya. Maka perempuan yang melakukan aborsi dan dokter yang membantunya justru berada dalam ancaman jerat pidana. Perempuannya terjerat dengan Pasal 194 UU Kesehatan melalui sanksi 10 tahun penjara, sedangkan dokternya minimal terjerat dengan turut membantu Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini sekiranya juga menimbulkan ketidakpastian jika hanya dengan surat keterangan penyidik saja, karena keterangan yang diperoleh penyidik melalui laporan/ pengaduan ditambah bukti semacam surat dan saksi-saksi. Perihal kepastian telah terjadinya pemerkosaan belum pasti. Setiap orang yang masih dalam proses penyelidikan belum terbukti bersalah sebab berlindung dibalik asas presumption of innocence (praduga tak bersalah). Satu-satunya yang bisa menjadi pegangan jika orang tersebut bersalah dan memang benar, telah



65



Damang. Paradoks Legalisasi Aborsi. 2014 (http://www.negarahukum.com/hukum/paradoks-legalisasi-aborsi.html diakses pada tanggal 10 Maret 2015)



37



terpenuhi unsur pemerkosaan, hanyalah melalui putusan pengadilan yang telah inkrah.  Batas Waktu Jika bersandar pada syarat pembolehan aborsi karena pemerkosaan, dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir berdasarkan Pasal 31 ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Kesehatan Reproduksi. Sementara tetap ingin mencari kepastian hukum telah terpenuhinya delik pemerkosaan, maka batas waktu itu sudah pasti akan habis, hanya untuk mencari kebenarannya melalui proses hukum acara yang bisa memakan waktu berbulanbulan



(prapenuntutan-penuntutan-persidangan



pengadilan).



Jika



delik



pemerkosaan pembuktiannya harus dengan melalui putusan pengadilan inkrah, demi kepastian hukum, tetapi batas waktu legalisasi aborsi karena pemerkosaan hanya 40 hari sejak hari pertama haid terakhir, dipastikan akan terlewati. Karena itu, tidak ada alasan batas waktu 40 hari tersebut dalam PP Kesehatan Reproduksi untuk selanjutnya, kemudian perlu dievaluasi. 66 Pada intinya hukum harus menempatkan semua orang setara dalam kedudukan dan hakhaknya. Termasuk melindungi hak privasi seorang perempuan berdasarkan kepentingannya, untuk berbuat atau tidak berbuat atas sesuatu yang menjadi hak asasinya. Dalam hal ini untuk melakukan pengguguran janin atas kandungaannya, karena kehamilan itu tidak dikehendakinya. Tetapi hak publik atas nama negara 66



.



Paradoks



Legalisasi



Aborsi.



2014.



(http://www.negarahukum.com/hukum/paradoks-legalisasi-aborsi.html diakses pada tanggal 10 Maret 2015).



38



dan hak individual harus ditempatkan dalam kedudukan proporsional. Hak-hak individual itu, yang bersifat privasi, ada kalanya negara “mengintervensi” untuk menghindari kekalutan, atas nama hak publik yang berlaku universal. Jika melihat dari segi waktu dan pembuktian mengenai permasalahan aborsi akibat perkosaan ini, dapat diartikan bahwa penjelasan yang ada didalam pasal-pasal yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi membutuhkan waktu yang sangat lama. Permasalahan ini dikembalikan lagi kepada korban perkosaan jika kehamilannya akan menyebabkan korban terancam nyawanya atau telah melakukan segala cara agar tidak melakukan aborsi, namun tetap saja tidak bisa diatasi. Maka berdasarkan dalam hukum Islam diperbolehkan untuk melakukan aborsi demi kemaslahatan.



D. Legalisasi Aborsi Kehamilan Akibat Perkosaan Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi bertujuan untuk menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi setiap orang yang diperoleh melalui pelayanan kesehatan yang bermutu aman dan dapat dipertanggung jawabkan dan menjamin kesehatan ibu dalam usia reproduksi agar mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi ini menguatkan dua pengecualian tindakan aborsi yang dibolehkan



39



negara, yaitu aborsi indikasi kedaruratan medis (meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan) dan kehamilan akibat perkosaan. Aborsi pada kehamilan akibat perkosaan menimbulkan penderitaan fisik, mental dan sosial. Kehamilan akan memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut. Trauma ini juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu, sebagian besar korban perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya. Selain itu, korban perkosaan akan mendapat tekanan tambahan jika harus membesarkan anak hasil perkosaan dan mendapat pandangan negatif masyarakat. Untuk kasus ini, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan Reproduksi memberikan hak kesehatan bagi perempuan korban perkosaan agar ia dapat memilih untuk menggugurkan kandungannya. Aborsi kehamilan akibat perkosaan dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari sejak hari pertama haid terakhir. Tindakan aborsi tersebut hanya dapat dilakukan setelah melalui upaya konseling dengan tujuan memastikan kebutuhan dan dampak aborsi yang nanti mungkin dialami. Dengan informasi yang cukup, maka pasien yang akan melakukan aborsi dapat mengambil keputusan yang objektif. 67



Rahmi.



Legalisasi



Aborsi



Korban



Perkosaan.



(http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-16-IIP3DI-Agustus- 2014-82.pdf diakses pada tanggal 15 maret 2015).



40



2014.



Aborsi itu legal untuk dilakukan terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namun, tindakan aborsi akibat perkosaan itu hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang, sebagaimana disebut dalam Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan yang menyatakan bahwa: Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan.69 Adapun sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) adalah diatur didalam Pasal 194 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa: Setiap orang yang sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 175 ayat (2) dipidana dengan pedana penjara paling 5 (lima) tahun dan denda paling banyak rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



68



Tri Jata Ayu Pramesti. Legalitas Aborsi dan Hak Korban Pemerkosaan. 2014.



(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53e83426ce020/legalitas-aborsi-dan-hak-korbanpemerkosaan) diakses pada tanggal 07 Maret 2015. 69



Danny Wiradharma dan Dionisia Sri Hartati, Penuntutan Kuliah Hukum Kedokteran



(Jakarta: Sagung Seto, 2010), Hlm. 323.



41



BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Korban perkosaan perlu mendapat perlindungan karena korban mengalami dampak yang sangat kompleks. Dampak yang dirasakan korban adalah penderitaan ganda yang meliputi penderitaan fisik, psikis, dan sosial. Kedudukan dan peran korban perkosaan sebagai saksi di dalam persidangan turut menambah penderitaan korban. Penderitaan korban perkosaan dialami korban pada saat sebelum persidangan, selama persidangan dan sesudah persidangan oleh karenanya korban perkosaan memerlukan perlindungan agar korban merasa aman dari segala bentuk ancaman dan untuk menjamin korban dalam usaha pemulihannya. 2. Bentuk upaya perlindungan yang dapat diberikan kepada korban perkosaan adalah perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian Kompensasi, Restitusi, serta Bantuan Kepada Saksi dan Korban melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Bentuk-bentuk perlindungan tersebut meliputi : a. Restitusi 63 Korban perkosaan berhak mendapat restitusi karena perkosaan merupakan tindak pidana khususnya kejahatan kesusilaan yang diatur di dalam Buku II KUHP Pasal 285 b.



Bantuan Medis dan Bantuan Psiko-sosial Korban perkosaan berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan psiko-sosial karena korban perkosaan adalah korban tindak pidana yang berhak dipulihkan ke dalam keadaan semula.



42



B. Saran 1. Bagi pemerintah selaku perancang peraturan perundang-undangan (legislator) : Pemerintah selaku legislator perlu melakukan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 karena belum sepenuhnya melindungi dan menjamin kepentingan korban khususnya korban perkosaan. Diharapkan ke depan ada suatu peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya melindungi dan menjamin kepentingan korban perkosaan baik sebelum persidangan, selama persidangan, dan sesudah persidangan. 2. Bagi aparat penegak hukum : Korban perkosaan tidak lagi dirumitkan oleh segala birokrasi di dalam semua tahap proses peradilan dan dalam usahanya memperoleh perlindungan. 3. Bagi masyarakat : Masyarakat lebih menjaga keluarganya serta kerabat-kerabat terdekat khususnya yang wanita agar terhindar dari kejahatan perkosan dan bersama-sama membantu korban perkosaan agar terlepas dari penderitaannya. 4. Bagi korban perkosaan : Korban perkosaan diharapkan tidak takut dan malu untuk meminta perlindungan kepada aparat penegak hukum, LPSK, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan orang-orang terdekat agar mendapatkan pemulihan yang layak.



43