Makalah - Bahasa Dan Usia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SOSIOLINGUISTIK



BAHASA DAN USIA



Oleh (1) Gusti Agung Ayu Dian Pramandari (2) I Gusti Ayu Kade Doriantari (3) Ni Made Rima Leliyanti (4) Putu Parwata



(1312067031) (1312067031) (1312067033) (1312067035)



JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA JEPANG FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2013



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas



rahmat-Nya



penulis



dapat



menyelesaikan



makalah



yang



berjudul



“Sosiolinguistik : Bahasa dan Usia” tepat waktu. Data-data yang penulis peroleh dari media cetak maupun media elektronik sudah terangkum dalam makalah ini. Proses penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi menyempurnakan tulisan ini. Akhir kata, penulis mengharapkan tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca.



Singaraja, Nopember 2013



Penulis



ii



DAFTAR ISI SOSIOLINGUISTIK..............................................................................................i KATA PENGANTAR.............................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................iii BAB I.......................................................................................................................1 PENDAHULUAN...................................................................................................1 2.1 Tutur Anak-anak..............................................................................................1 Pada usia kurang lebih 18 bulan, anak-anak mulai belajar berbicara kemudian diikuti dengan penguasaan tata bahasa pada usia kurang lebih tiga setengah tahun. Beberapa ciri tuturan anak-anak menurut Sumarsono (2008), antara lain : (1) adanya penyusutan (reduksi), (2) kata penuh tetap bertahan dalam tutur, (3) bunyi bilabial sangat umum dihasilkan oleh anakanak pada awal ujarannya, (4) bunyi-bunyi dilafalkan sesuai dengan daya kerja alat-alat ucap mereka, (5) kosakata anak kecil berkisar pada “yang ada di sini dan yang ada sekarang”, dan (6) ragam tutur anak-anak bersifat sementara................................................................................................................1 Dari penelitian Roger Brown dan Ursula Bellugi, dapat diketahui bahwa kata-kata yang biasanya disusutkan atau dihilangkan adalah kata-kata yang termasuk golongan fungtor atau kata tugas, seperti kata depan, kata sambung, partikel, dan sebagainya. Fungtor adalah kata-kata yang tidak memiliki arti sendiri, dan biasanya hanya mempunyai fungsi gramatikal dalam sintaksis (Sumarsono, 2008)......................................................................1 Jika fungtor mengalami reduksi, maka kata-kata yang tergolong kontentif atau kata penuh tetap bertahan dalam tutur mereka. Kata penuh merupakan kata yang memiliki makna sendiri jika berdiri sendiri. Oleh karena itu, hilangnya fungtor tidak akan mengurangi makna dari suatu kalimat yang diucapkan anak-anak, dan orang dewasa masih bisa mengerti kalimat mereka. Jika seorang megatakan “makan meja”, yang dimaksud antara lain adalah “saya makan di meja”, atau yang kira-kira seperti itu. Hilangnya kata ganti “saya” dan kata depan “di” tidak mengurangi pengertian dan pemahaman kita terhadap kalimat itu................................................................1 Ciri umum yang dimiliki oleh tutur anak-anak jika ditinjau dari segi fonologi salah satunya adalah bunyi bilabial. Bunyi bilabial adalah bunyibunyi yang dihasilkan oleh gerak membuka dan menutupnya bibir (Sumarsono, 2008 : 137). Ibu adalah orang pertama dan yang terutama paling dekat dengan anak pada masa awal perkembangan bahasanya. Jika diperhatikan, kata panggilan untuk ibu dalam berbagai bahasa akan membenarkan pandangan bahwa bunyi bilabial dominan pada awal perkembangan bahasa anak. Misalnya : mak (Jawa), me atau mek (Bali), ma (Cina), dan mom (Inggris).....................................................................................1 iii



Bunyi-bunyi juga dilafalkan sesuai dengan daya kerja alat-alat ucap mereka. Bunyi /r/ merupakan bunyi yang paling sulit diproduksi oleh orang Indonesia. Banyak anak berusia 3 tahun yang masih mengucapkan /lumah/ untuk rumah. Bunyi /s/ juga demikian. Banyak anak mengucapkan /cucu/ untuk susu dam /capi/ untuk sapi.........................................................................2 Sumarsono (2008) menyatakan bahwa kosakata anak-anak kecil akan berkisar pada “yang ada di sini dan yang ada sekarang” (here and now), karena perkembangan kosakata sejalan dengan “lingkaran” situasi yang melingkungi anak. Kemudian tuturan anak tersebut akan ditinggalkan jika usia mereka semakin bertambah, sehingga ragam tutur anak-anak dikatakan bersifat sementara..................................................................................................2 2.2 Penyusutan dalam Tutur.................................................................................2 Penyusutan atau penghilangan unsur-unsur tertentu yang dianggap tidak perlu tanpa mengurangi efektivitas komunikasi disebut tingkah laku ekonomi bahasa. Jadi, penyusutan tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, tetapi juga remaja dan orang dewasa. Bukti bahwa penyusutan tersebut dilakukan dapat dilihat pada telegram, ragam nonbaku, dan pijin..................2 2.2.1 Telegram.........................................................................................................2 Orang-orang yang mengirim telegram harus menggunakan “teori ekonomi praktis” agar biaya telegram tidak banyak. Meskipun banyak yang disusutkan, namun penerima telegram masih bisa memahami isi pesan yang ada dalam telegram tersebut.................................................................................2 Contoh bunyi sebuah telegram :...........................................................................2 BERANGKAT JAKARTA GARUDA 644 JAM 14 MINGGU 12 JUNI...........2 Kalimat lengkapnya kira-kira berbunyi :...........................................................3 Saya akan berangkat dari Jakarta dengan pesawat Garuda nomor penerbangan 644 pada jam 14, hari Minggu, tanggal 12 Juni............................3 Kata-kata bercetak miring itu sebagian adalah fungtor (akan, dengan, pada), sedangkan yang lain adalah bukan kata-kata kunci. Sekarang, jika dalam telegram tersebut ditulis kata-kata :....................................................................3 SAYA AKAN DARI DENGAN PESAWAT NOMOR PENERBANGAN PADA HARI TANGGAL..................................................................................................3 Tentu saja penerima tidak akan memahami pesan tersebut karena kata-kata kontentif dan kata-kata kunci dihilangkan.........................................................3 2.2.2 Ragam nonbaku............................................................................................3 Dalam setiap bahasa, selalu ada ragam baku dan nonbaku (Sumarsono, 2008). Salah satu ciri ragam baku adalah adanya kaidah yang pasti dan konsisten, yakni suatu kaidah yang tidak boleh seenaknya dilanggar. iv



Berbeda dengan ragam baku, ragam nonbaku relatif “longgar”, seolah-olah tidak ada kaidah yang pasti. Sewaktu-waktu dan tiap saat orang bisa “membuat kaidah sendiri” dalam bertutur.........................................................3 Karena sifat ragam baku tersebut konservatif dan orang-orang tidak mau terbelenggu oleh watak konservatif tersebut, selalu ada orang yang ingin, secara sadar atau tidak, melakukan hal-hal yang lain yang berbeda dengan yang baku, sehingga timbul “penyimpangan-penyimpangan”, yang dipandang dari sudut kebakuan menjadi “salah”. Salah satu penyimpangan tersebut adalah penyusutan atau penyingkatan. Contohnya dapat dilihat dalam bahasa Bali, para penutur dialek Badung (Denpasar) sering menyingkat kata-kata yang tidak diijinkan dalam bahasa Bali baku. Misalnya, penutur dialek Badung mengucapkan Taban untuk Tabanan, kalin untuk kalahin ‘meninggalkan’..............................................................................3 2.2.3 Pijin – Kreol...................................................................................................3 Pijin adalah salah satu jenis lingua franca (bahasa pengantar), karena fungsi sosialnya sama dengan lingua franca. Pijin terjadi karena bertemunya sejumlah penutur dengan latar belakang bahasa ibu yang berbeda-beda, yang pada saat-saat tertentu oleh kebutuhan sesaat memerlukan alat komunikasi. Pijin bertumpu pada satu bahasa tertentu yang menjadi dasar. Dasar inilah yang kemudian diubah, dikurangi, disederhanakan, dan ditambah dengan unsur-unsur dari bahasa-bahasa lain yang ikut terlibat. Sesederhana apapun pijin, karena harus memenuhi fungsi sebagai alat komunikasi, maka pijin harus memiliki kaidah atau sistem yang akan dipakai sebagai pegangan bagi semua pihak, meskipun sistem tersebut menyimpang atau berbeda dari sistem yang ada pada bahasa dasar...............3 Karena pijin hanya muncul untuk kepentingan sesaat, maka pijin tidak memiliki penutur asli. Beberapa contoh pijin dapat ditemukan di daerahdaerah wisata di Bali..............................................................................................4 Contoh :...................................................................................................................4 Buy me sir. ‘Belilah pada saya, Tuan!’.................................................................4 Me no like that. ‘Sya tidak seperti itu.’.................................................................4 You want move? ‘Anda ingin pindah?’ (do, to hilang).........................................4 Ada kemungkinan, setelah sekian lama ada pijin, sejumlah orang yang tau pijin menetap di X itu, kawin dengan warga setempat. Jika yang menetap dan kawin ini cukup banyak, anak-anak mereka mungkin akan memakai pijin sejak kecil. Dengan kata lain, pijin itu suatu saat dapat memiliki penutur asli, yang akan melestarikan ragam pijin. Jika pijin tersebut memiliki penutur asli, maka ia tidak lagi disebut pijin, melainkan kreol........4 BAB II.....................................................................................................................5 ISI............................................................................................................................5 v



BAB III....................................................................................................................6 PENUTUP...............................................................................................................6 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................7



vi



BAB I PENDAHULUAN



Salah satu hal yang membedakan kelompok manusia adalah usia. Usia dikelompokkan ke dalam usia anak-anak, usia remaja dan usia dewasa. Dalam berbagai usia, manusia memiliki variasi bahasa khusus, di mana variasi-variasi bahasa itu sebagai ciri-ciri di masing-masing individu pada usia tersebut. Anakanak menggunakan bahasa yang khas yang disebabkan oleh alat ucap (artikulator) yang belum berkembang. Misalnya, mereka mengucapkan kata pipis ketika ingin buang air kecil. Selain usia anak-anak, pada usia remaja juga kerap ditemukan bahasabahasa yang khas yang mencirikan bahasa mereka, dan cenderung menjadi bahasa rahasia, baik antarkelompok remaja maupun menjadi rahasia bagi anak-anak dan orang tua. Hal ini mungkin disebabkan oleh kepribadian remaja yang pada umumnya sedang dalam masa peralihan menuju kedewasaan, sehingga membuat mereka mulai mengalami perubahan secara psikologis dan mereka menganggap perlu adanya rahasia termasuk dalam hal berbahasa. Tujuan para remaja menggunakan bahasa rahasia tersebuat pada umumnya agar hal-hal yang menyangkut diri atau kelompok mereka tidak mudah diketahui oleh kelompok lain. Pada bahasa anak-anak maupun bahasa dewasa terjadi penyusutan bahasa. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh, seperti kalimat yang diucapkan oleh anak-anak yaitu makan meja yang sebenarnya berarti makan di meja. Selain pada anak-anak, dalam bahasa dewasa juga terdapat penyusutan bahasa. Misalnya yang digunakan pada bahasa telegram dan bahasa SMS. Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh mengenai bahasa anakanak, penyusutan bahasa, tutur anak usia SD, tutur remaja, bahasa prokem, dan penelitian di Indonesia.



1



BAB II ISI



2.1 Tutur Anak-anak Pada usia kurang lebih 18 bulan, anak-anak mulai belajar berbicara kemudian diikuti dengan penguasaan tata bahasa pada usia kurang lebih tiga setengah tahun. Beberapa ciri tuturan anak-anak menurut Sumarsono (2008), antara lain : (1) adanya penyusutan (reduksi), (2) kata penuh tetap bertahan dalam tutur, (3) bunyi bilabial sangat umum dihasilkan oleh anak-anak pada awal ujarannya, (4) bunyi-bunyi dilafalkan sesuai dengan daya kerja alat-alat ucap mereka, (5) kosakata anak kecil berkisar pada “yang ada di sini dan yang ada sekarang”, dan (6) ragam tutur anak-anak bersifat sementara. Dari penelitian Roger Brown dan Ursula Bellugi, dapat diketahui bahwa kata-kata yang biasanya disusutkan atau dihilangkan adalah kata-kata yang termasuk golongan fungtor atau kata tugas, seperti kata depan, kata sambung, partikel, dan sebagainya. Fungtor adalah kata-kata yang tidak memiliki arti sendiri, dan biasanya hanya mempunyai fungsi gramatikal dalam sintaksis (Sumarsono, 2008). Jika fungtor mengalami reduksi, maka kata-kata yang tergolong kontentif atau kata penuh tetap bertahan dalam tutur mereka. Kata penuh merupakan kata yang memiliki makna sendiri jika berdiri sendiri. Oleh karena itu, hilangnya fungtor tidak akan mengurangi makna dari suatu kalimat yang diucapkan anakanak, dan orang dewasa masih bisa mengerti kalimat mereka. Jika seorang megatakan “makan meja”, yang dimaksud antara lain adalah “saya makan di meja”, atau yang kira-kira seperti itu. Hilangnya kata ganti “saya” dan kata depan “di” tidak mengurangi pengertian dan pemahaman kita terhadap kalimat itu. Ciri umum yang dimiliki oleh tutur anak-anak jika ditinjau dari segi fonologi salah satunya adalah bunyi bilabial. Bunyi bilabial adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh gerak membuka dan menutupnya bibir (Sumarsono, 2008 : 2



137). Ibu adalah orang pertama dan yang terutama paling dekat dengan anak pada masa awal perkembangan bahasanya. Jika diperhatikan, kata panggilan untuk ibu dalam berbagai bahasa akan membenarkan pandangan bahwa bunyi bilabial dominan pada awal perkembangan bahasa anak. Misalnya : mak (Jawa), me atau mek (Bali), ma (Cina), dan mom (Inggris). Bunyi-bunyi juga dilafalkan sesuai dengan daya kerja alat-alat ucap mereka. Bunyi /r/ merupakan bunyi yang paling sulit diproduksi oleh orang Indonesia. Banyak anak berusia 3 tahun yang masih mengucapkan /lumah/ untuk rumah. Bunyi /s/ juga demikian. Banyak anak mengucapkan /cucu/ untuk susu dam /capi/ untuk sapi. Sumarsono (2008) menyatakan bahwa kosakata anak-anak kecil akan berkisar pada “yang ada di sini dan yang ada sekarang” (here and now), karena perkembangan kosakata sejalan dengan “lingkaran” situasi yang melingkungi anak. Kemudian tuturan anak tersebut akan ditinggalkan jika usia mereka semakin bertambah, sehingga ragam tutur anak-anak dikatakan bersifat sementara. 2.2 Penyusutan dalam Tutur Penyusutan atau penghilangan unsur-unsur tertentu yang dianggap tidak perlu tanpa mengurangi efektivitas komunikasi disebut tingkah laku ekonomi bahasa. Penyusutan dilakukan karena alasan ekonomi dan kepraktisan (Prasetyo, 2013). Jadi, penyusutan tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, tetapi juga remaja dan orang dewasa. Bukti bahwa penyusutan tersebut dilakukan dapat dilihat pada telegram, ragam nonbaku, dan pijin. 2.2.1 Telegram Orang-orang yang mengirim telegram harus menggunakan “teori ekonomi praktis” agar biaya telegram tidak banyak. Meskipun banyak yang disusutkan, namun penerima telegram masih bisa memahami isi pesan yang ada dalam telegram tersebut. Contoh bunyi sebuah telegram :



3



BERANGKAT JAKARTA GARUDA 644 JAM 14 MINGGU 12 JUNI. Kalimat lengkapnya kira-kira berbunyi : Saya akan berangkat dari Jakarta dengan pesawat Garuda nomor penerbangan 644 pada jam 14, hari Minggu, tanggal 12 Juni. Kata-kata bercetak miring itu sebagian adalah fungtor (akan, dengan, pada), sedangkan yang lain adalah bukan kata-kata kunci. Sekarang, jika dalam telegram tersebut ditulis kata-kata : SAYA AKAN DARI DENGAN PESAWAT NOMOR PENERBANGAN PADA HARI TANGGAL Tentu saja penerima tidak akan memahami pesan tersebut karena katakata kontentif dan kata-kata kunci dihilangkan. Dewasa ini, bahasa telegram berkembang menjadi bahasa SMS (Apriyanto, 2010). Sebagai contoh, “Dah mkan?” kalimat lengkapnya “Apakah kamu sudah makan?”. 2.2.2 Ragam nonbaku Dalam setiap bahasa, selalu ada ragam baku dan nonbaku (Sumarsono, 2008). Salah satu ciri ragam baku adalah adanya kaidah yang pasti dan konsisten, yakni suatu kaidah yang tidak boleh seenaknya dilanggar. Berbeda dengan ragam baku, ragam nonbaku relatif “longgar”, seolah-olah tidak ada kaidah yang pasti. Sewaktu-waktu dan tiap saat orang bisa “membuat kaidah sendiri” dalam bertutur. Karena sifat ragam baku tersebut konservatif dan orang-orang tidak mau terbelenggu oleh watak konservatif tersebut, selalu ada orang yang ingin, secara sadar atau tidak, melakukan hal-hal yang lain yang berbeda dengan yang baku, sehingga timbul “penyimpangan-penyimpangan”, yang dipandang dari sudut kebakuan menjadi “salah”. Salah satu penyimpangan tersebut adalah penyusutan atau penyingkatan. Contohnya dapat dilihat dalam bahasa Bali, para penutur dialek Badung (Denpasar) sering menyingkat kata-kata yang tidak diijinkan dalam



4



bahasa Bali baku. Misalnya, penutur dialek Badung mengucapkan Taban untuk Tabanan, kalin untuk kalahin ‘meninggalkan’. 2.2.3 Pijin – Kreol Pijin adalah salah satu jenis lingua franca (bahasa pengantar), karena fungsi sosialnya sama dengan lingua franca. Pijin terjadi karena bertemunya sejumlah penutur dengan latar belakang bahasa ibu yang berbeda-beda, yang pada saat-saat tertentu oleh kebutuhan sesaat memerlukan alat komunikasi. Pijin bertumpu pada satu bahasa tertentu yang menjadi dasar. Dasar inilah yang kemudian diubah, dikurangi, disederhanakan, dan ditambah dengan unsur-unsur dari bahasa-bahasa lain yang ikut terlibat. Sesederhana apapun pijin, karena harus memenuhi fungsi sebagai alat komunikasi, maka pijin harus memiliki kaidah atau sistem yang akan dipakai sebagai pegangan bagi semua pihak, meskipun sistem tersebut menyimpang atau berbeda dari sistem yang ada pada bahasa dasar. Karena pijin hanya muncul untuk kepentingan sesaat, maka pijin tidak memiliki penutur asli. Beberapa contoh pijin dapat ditemukan di daerah-daerah wisata di Bali. Contoh : Buy me sir. ‘Belilah pada saya, Tuan!’ Me no like that. ‘Sya tidak seperti itu.’ You want move? ‘Anda ingin pindah?’ (do, to hilang) Ada kemungkinan, setelah sekian lama ada pijin, sejumlah orang yang tau pijin menetap di X itu, kawin dengan warga setempat. Jika yang menetap dan kawin ini cukup banyak, anak-anak mereka mungkin akan memakai pijin sejak kecil. Dengan kata lain, pijin itu suatu saat dapat memiliki penutur asli, yang akan melestarikan ragam pijin. Jika pijin tersebut memiliki penutur asli, maka ia tidak lagi disebut pijin, melainkan kreol. Istilah kreol berasal dari bahasa Portugis crioulo (gabungan dari kata criar ‘mengangkat’ dan akhiran –oulo ‘keaslian yang dimasalahkan’).



5



2.3 Tutur Anak Usia SD Menurut



Apriyanto



yang



termuat



pada



jariyah.blogspot.com/2010/04/bahasa-dan-usia-bahasa-ibu-b-1-fonem.html,



http://al-



Seorang



anak mulai memasuki SD sekitar usia 7 tahun. Disinilah mereka diajarkan keterampilan suatu bahasa dimana yang diajarkan itu adalah bahasa yang sudah mereka kenal sebelumnya atau bisa disebut bahasa ibu (B1), ataupun juga bahasa lain yang berbeda dengan bahasa ibu (B2). Pada saat anak SD diajarkan B1, tentu saja bahasa yang diajarkan merupakan ragam baku. Jika secara kebetulan anakanak ini berasal dari lingkungan yang terbiasa menggunakan ragam baku, maka mereka tidak akan banyak mengalami kesulitan. Namun, jika mereka berasal dari lingkungan yang terbiasa menggunakan ragam nonbaku, maka mereka akan mengalami kesulitan. Kemungkinan besar anak-anak dipengaruhi oleh ragam nonbaku yang biasa mereka pakai di rumah. Tetapi kemungkinan lain mereka akan melakukan



penyusutan dan penyederhanaan atas struktur ragam baku.



Sebagai contoh, misalnya, anak Bali dari lingkungan dialek yang tidak serupa dengan ragam baku yang mereka pelajari di sekolah. Anak Tabanan yang tergolong penutur dialek /o/, dan anak-anak dari Sraya (Karangasem) yang tergolong penutur dialek /a/, mungkin saja mengalami kesulitan ketika belajar bahasa Bali ragam /e-pepet/ yang dianggap baku. Selain itu, mereka diajari bahasa lain yang berbeda dengan bahasa ibu. Bahasa lain itu akhirnya sebagai bahasa kedua (B2) atau bahasa asing. Contohnya adalah anak-anak SD di Indonesia yang umumnya B1-nya adalah bahasa daerah, kemudian memperoleh bahasa Indonesia sebagai B2. Pengajaran B2 inilah yang menyebabkan munculnya dwibahasawan-dwibahasawan muda. Mereka yang belajar B2 ini tuturnya bisa dipengaruhi oleh B1-nya, meskipun tidak selamanya seperti itu. Mereka juga membuat kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang sistematis, dan wujudnya sama dengan yang dibuat oleh anak-anak yang memiliki B2 sebagai B1 mereka. Pengarub dari B1 terhadap B2 itu tidak banyak. Kesalahan umum pada hakikatnya bersifat perkembangan. Artinya, kesalahan itu terjadi dalam hubungan dengan usahanya untuk menguasai keterampilan berikutnya. Karena itu kesalahan yang menjadi ragam tutur anak ini akan 6



menghilang jika mereka sudah mengetahui cara untuk memperbaiki kesalahan, dan itu bisa dari guru atau penutur asli B2. Seperti anak kecil yang sedang belajar menguasai B1-nya, anak-anak yang sedang belajar B2 juga cukup kreatif menciptakan “bentuk-bentuk baru” yang menyimpang dari ragam baku atau yang dipelajari. Ini berarti, tutur anak pun bersifat inovatif. Sebagai contoh, sebuah penelitian terhadap anak-anak SD kelas IV di Bali, diperbandingkan dengan sekelompok anak yang B1-nya bahasa Bali dengan anak-anak yang B1-nya bahasa Indonesia nonbaku. Ternyata mereka membuat kesalahan serupa, sekaligus juga kreativitas serupa. Mereka misalnya menciptakan ungkapan sarapan siang di samping ada sarapan pagi. Orang mungkin akan segera menyatakan bahwa kedua ungkapan tersebut adalah salah, karena yang namanya sarapan pasti dilakukan di pagi hari, dan sarapan pagi merupakan bentuk yang “mubazir”, sedangkan sarapan siang tidak seharusnya ada. Ternyata kedua istilah tersebut muncul karena mereka mempunyai pengalaman khusus. Mereka pernah masuk sekolah di siang hari. Makan sebelum berangkat ke sekolah bagi mereka adalah sarapan. Jika mereka masuk pagi, mereka menyebutnya sarapan pagi, dan kalau mereka masuk siang, mereka menyebutnya sarapan siang. Jadi, “kesalahan” yang mereka buat itu benar-benar mereka sadari, mereka ciptakan, dan masuk akal. 2.4. Tutur Remaja Masa remaja merupakan masa yang paling menarik dan mengesankan. Pada masa ini mereka punya ciri khusus dalam sosialnya. Ciri-ciri itu tercermin juga dalam bahasa mereka. Mereka lebih suka menciptakan bahasa-bahasa rahasia yang mereka gunakan untuk kelompok mereka sendiri, atau kalau semua remaja sudah tau, bahasa ini tetap rahasia bagi kelompok anak-anak dan orang tua. Berikut adalah beberapa bentuk bahasa remaja yang pernah ada di Indonesia: 1. Penyisipan konsonan V+vocal Sebelum tahun 50-an di kalangan remaja muncul kreasi menyisipkan konsonan v-vokal pada setiap kata yang digunakan. Vocal di belakang v itu sesuai dengan vocal suku kata yang disisipi. Konsonan 7



v=vocal itu ditempatkan di belakang setiap suku kata, baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia. Contoh: Mata= ma+ta Aku=a+ku



(ma+va)+(ta+va)



mavatava



(a+va)+(ku+vu)



avakuvu (sumber: http://al-



jariyah.blogspot.com/2010/04/bahasa-dan-usia-bahasa-ibu-b-1-fonem.html)



2. Penggantian suku akhir dengan –sye Menjelang tahun enam puluhan muncul bentuk lain. Setiap kata diambil hanya suku pertamanya saja, suku yang lain dihilangkan, diganti dengan –sye. Kalau seluruh kata dalam kalimat diganti dengan cara ini dan diucapkan dengan cepat, maka terdengar seperti bahasa Cina. Contoh: Kuncikunsye Tambahtamsye Jika suku kata pertama terbuka, konsonan pertama pada suku berikutnya diambil sehingga sebelum ditambah –sye suku kata itu tetap tertutup. Misalnya: sepeda tidak diambil se- saja melainkan sep- kemudian ditambah – sye, menjadi sepsye. 3. Membalik fonem-fonem dalam kata(ragam walikan) Bahasa rahasia yang unik di kalangan remaja, di sekitar tahun 1960 muncul di Malang, tetapi akhirnya juga meluas. Aturan umum dalam bahasa rahasia ini ialah, dasarnya bisa bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Kata-kata “dibaca”



menurut



urutan



fonem



(Jawa=Walikan). Contoh: Mata atam



8



dari



belakang,



dibaca



terbalik



Baju ujab Tidak kadit Kalau dalam bahasa Indonesia fonem /h/ tidak diucapkan secara terang, fonem ini dalam kata-balikannya juga tidak disebut. Contoh: Sehat tahes Lihat tail 4. Variasi dari model 3 Setelah model ke-3 di atas meluas pada orang-orang yang bukan pemuda lagi, model pembalikan itu divariasikan dengan cara kata yang sudah dibalik itu disisipi bunyi-bunyi tertentu, atau bunyi-bunyi tertentu dalam kata itu diubah. Contoh: Tidak kadit kadodit Sehat tahes tahohes 2.5 Bahasa Prokem Bahasa prokem merupakan salah satu tutur remaja yang muncul di daerah Jakarta. Meskipun bahasa prokem itu sekarang dikatakan menjadi milik remaja di Jakarta, pencipta aslinya sebenarnya adalah kaum pencoleng, pencopet, bandit, dan sebangsanya. Kata prokem awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama lain secara rahasia. Agar kalimat mereka tidak diketahui oleh kebanyakan orang, mereka merancang kata-kata baru dengan cara antara lain mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, distribusi fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran. Masing-masing komunitas (daerah) memiliki rumusan sendiri-sendiri. Pada



9



dasarnya bahasa ini untuk memberkan kode kepada lawan bicara (kalangan militer dan kepolisian juga menggunakan). Belakangan ini bahasa prokem mengalami pergeseran fungsi dari bahasa rahasia menjadi bahasa pergaulan anak-anak remaja. Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anak-anak remaja ini merupakan dialek bahasa Indonesia nonformal yang terutama digunakan di suatu daerah atau komunitas tertentu (kalangan homo seksual atau waria). Rumus pembentukan bahasa prokem itu “sebagian” memakai penyisipan -ok- di tengah kata yang sudah disusutkan, dan ini mirip dengan bahasa rahasia kaum waria dan gay di Surabaya dan tutur remaja di Malang. Kata prokem itu sendiri berasal dari preman dengan rumus berikut: (1) setiap kata diambil 3 fonem (gugus konsonan dianggap satu) pertama: preman menjadi prem-; (2) bentuk itu disisipi -ok-, di belakang fonem (atau gugus fonem) yang pertama, menjadi: pr-ok-em atau prokem. Contoh lain: Bapak



bap



Ngumpet



ngum



b -ok- ap



bokap



ng -ok- um



ngokum (bersembunyi)



Variasi lain dengan menghilangkan vocal terakhir saja, kemudian disisipi -ok- di belakang 3 fonem pertama. Misalnya: Begitu Segini



begit segin



beg -ok- it begokit seg -ok- in segokin



Penghilangan satu bunyi dalam pelajaran bahasa Indonesia disebut apokop. Model lain adalah adanya metasesis pada tingkat suku kata. Contoh: Besok



sobek



Piring



riping 10



Bener



neber



Adapun variasi lainnya adalah Habis



ba’is



Ambil



ba’il



Mabok



baok Di samping itu, terdapat juga kosakata yang rumausannya tidak ada.



Contoh: amsyong (celaka, hancur), asyci (asyik, nikmat, menyenangkan), gou atau ogut (saya), item (kopi), ji (kamu), dan tikus (polisi). Selain kosata terdapat juga singkatan kata atau akronim. Akronim dalam hal ini adalah singkatan-singkatan yang “dimunculkan” dari kata-kata umum. Misalnya: Tapol ‘tahu polos’ (bukan ‘tahanan politik’) AC



‘adegan cinta’



BP7



‘bapak pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan’



HUT



‘hanya untuk cinta’



Botol ‘bodoh dan tolol’ Bodo ‘bosan tapi doyan’ Salah satu ciri “bahasa” remaja adalah “kreativitas”. Ragam seperti itu tidak bisa dilihat hanya dari sudut linguistik melainkan dari segi sosialnya. Kemunculan kata-kata “baru” itu, dilihat dari segi kebahasaan, menambah kekayaan perbendaharaan kata, setidaknya untuk kalangan remaja. Orang membuat akronim, khususnya kalangan remaja, dengan tidak menciptakan kata baru, melainkan menggunakan kata-kata lama yang sudah ada dan dikenal dalam bahasa Indonesia, dengan agak “menggelitik”, “nakal”, atau “porno”. Missalnya kondisi dan domisili disingkat kondom. Karena ungkapan kondisi dan domisili itu sebenarnya tidak bisa atau jarang ada dalam sebuah kalimat maka kita mungkin 11



menafsirkan lain. Tafsiran itu ialah: orang bukan membuat akronim, melainkan “menguraikan atau memanjangkan” kata yang memang singkat atau “pendek”. Contoh akronim yang ditemukan dari majalah remaja: Semampai



: Semeter tidak sampai



Kalap



: Nakal pada waktu gelap



Pendekar



: Pendek tapi kekar



Tante



: Tanpa tekanan



Rindu



: Mikirn duit



Berikut adalah contoh lain dari penggunaan bahasa prokem



Bahasa Indonesia Bahasa prokem (informal) Aku, saya



Gue, gua (ditulis pula gw)



Kamu



Lu, lo (ditulis pula lw)



Penatlah!



Capek deh!



Benarkah?



Emangnya bener?



Tidak



Enggak



Tidak peduli



Emang gue pikirin!



Norak/Udik



Kamseupay



Para remaja memang suka “memberontak”, dan hal ini tergambar dalam ekspresi tuturnya. Pemberontakan itu tercermin pada penggunaann tutur nonbaku, bahkan mungkin pada penciptaan bentuk-bentuk nonbaku. Gejala bahasa yang dapat timbul dari hal tersebut adalah penafsiran kepanjangan atau “etimologi” dari kata-kata yang sudah ada serta pemakaian kata-kata dialek Jakarta, khususnya yang dipakai remaja. Misalnya: cewek, cowok, caem “cantik, tampan”, badung “nakal”, bawel “cerewet”, berlagu “berlagak”, berlagak pilon “pura-pura tak tahu”. Selain itu, terdapat juga fenomena banyak orang asing yang belajar Bahasa Indonesia merasa bingung saat mereka berbicara langsung dengan orang



12



Indonesia asli, karena Bahasa yang mereka pakai adalah formal, sedangkan kebanyakan orang Indonesia berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing atau juga menggunakan bahasa prokem. 2.5.1 Partikel yang Sering Muncul dalam Bahasa Prokem Deh/dah, dong, dan eh merupakan sebagian dari partikel-partikel bahasa prokem yang membuatnya terasa lebih "hidup" dan membumi, menghubungkan satu anak muda dengan anak muda lain dan membuat mereka merasa berbeda dengan orang-orang tua yang berbahasa baku. Partikel-partikel ini walaupun pendek-pendek namun memiliki arti yang jauh melebihi jumlah huruf yang menyusunnya. Kebanyakan partikel mampu memberikan informasi tambahan kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia baku seperti tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati/ekspresi pembicara, dan suasana pada kalimat tersebut diucapkan. Berikut adalah beberapa partikel yang dimaksud adalah: 1. Deh/dah bersal dari kata ‘sudah’. Partikel deh/dah biasanya berkaitan dengan kalimat ‘bagaimana kalau….’ Dan ‘saya mau…’ Contoh: a. Bagaimana kalau dicoba dahulu? - Coba dulu deh. (tidak menggunakan intonasi pertanyaan) b. Saya mau lagi. - Lagi deh. 2. Dong, digunakan sebagai penegas yang halus atau kasar pada suatu pernyataan yang akan diperbuat. Biasanya berkaitan dengan kalimat ‘Tentu saja...’ dan kata perintah atau larangan yang sedikit kasar / seruan larangan. Contoh: “Sudah pasti dong. - Sudah pasti / Tentu saja”. Maju dong! - Tolong maju, Pak/Bu. 3. Eh, merupakan partikel yang tidak dapat dipakai di awal kalimat lengkap atau berdiri sendiri. Partikel ‘eh’ ini biasanya digunakan pada: 13



a. Pengganti subjek, sebutan untuk orang kedua. Eh, namamu siapa? - Bung, namamu siapa? b. Membetulkan perkataan sebelumnya yang salah. Dua ratus, eh, tiga ratus. Dua ratus, bukan, tiga ratus. c. Mengganti topik pembicaraan. Eh, kamu tahu tidak ... - Omong-omong, kamu tahu tidak ... d. Berdiri sendiri: menyatakan keragu-raguan. Eh... 2.5.2. Bahasa Gaul, Slank, dan Prokem Bahasa gaul remaja merupakan bentuk bahasa tidak resmi yang hampir semua istilah yang digunakan merupakan bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari campur tangan orang lain. Bahasa gaul remaja biasanya digunakan dalam lingkungan dan kelompok sosial terbatas, yaitu kelompok remaja. Hal ini berarti bahwa bahasa gaul hanya digunakan pada kelompok sosial yang menciptakannya. Bahasa gaul dapat disimpulkan sebagai bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam bahasa gaul biasanya terjadi penambahan dan pengurangan kosakata, dengan adanya perkembangan kosa kata tidak sedikit katakata akan menjadi kuno (usang) maka dari itu, setiap generasi akan memiliki ciri tersendiri sebagai identitas yang membedakan dari kelompok lain. Contoh bahasa gaul:



Bahasa Indonesia Bahasa Gaul (informal) Aku, Saya



Gue



Kamu



Elo



Di masa depan



kapan-kapan



Apakah benar?



Emangnya bener?



Tidak



Gak



14



Tidak Peduli



Emang gue pikirin!



Slang adalah ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman dipakai oleh kelompok sosial tertentu untuk konsumsi intern, dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti. Bahasa slank atau bahasa gaul adalah ragam bahasa yang mencampuradukkan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Kosakata slang dapat berupa pemendekan kata, penggunaan kata alam diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan berubahubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang lazim diapakai di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang berbeda makna sebenarnya. Dan slang di ciptakan oleh perubahan bentuk pesan linguistik tanpa mengubah isinya untuk maksud penyembunyian atau kejenakaan. Jadi, slang bukanlah bahasa yang selayaknya di gunakan melainkan hanya transformasi parsial sebagian dari suatu bahasa menurut pola-pola tertentu. Gejala ini mencakup bahasa permainan di antara anak-anak sekolah dan di berbagai lingkungan serta kalangan, bahasa ini mungkin memiliki fungsi yang agak kocak atau



rahasia,



tetapi



semua



cenderung



mengasingkan



kelompok



dan



membedakannya dari masyarakat yang lebih luas. (misalnya: kata bahasa Indonesia “mobil” dapat di ubah wujudnya menjadi bo’il, bolim, demobs, atau kosmob) atau artinya (misalnya: kuda, kebo, bebek, gerobak, dokar, dan akuarium. Semua berarti “mobil”). Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Bahasa prokem Indonesia atau bahasa gaul atau bahasa prokem yang khas Indonesia dan jarang dijumpai di negara-negara lain kecuali di komunitas-komunitas Indonesia. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan/ pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di Jakarta.



15



Persamaan dari bahasa gaul, slang dan prokem adalah sama-sama membentuk kosa kata baru yang merupakan bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari campur tangan orang lain. 2.6 Penelitian di Indonesia Di Indonesia terdapat beberapa hasil penenlitian mengenai hubungan bahasa dengan usia, diantaranya yaitu: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Aruan (1986) yaitu meneliti sikap generasi muda Batak yang “merantau” ke kota Medan terhadap bahasa daerahnya. Yang diteliti adalah siswa SLTA dan mahasiswa yang meninggalkan desanya untuk bersekolah di kota Medan. Penelitian ini menggunakan kuesioner mengenai pemakaian bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa anak muda tersebut ternyata mempunyai sikap “kurang positif” terhadap bahasa daerah mereka. Biasanya, sikap semacam ini juga ditafsirkan sebagai sikap yang berlawanan terhadap bahasa Indonesia. Artinya, kurang positif terhadap bahasa daerah diartikan positif terhadap bahasa Indonesia. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Yayah (1976) yaitu meneliti sikap guru bahasa Indonesia dan murid-murid SLTA di sejumlah sekolah di Jakarta. Penelitian ini juga menggunakan kuesioner mengenai sikap guru pada usia di bawah dan di atas 30 tahun, dan bagaimana sikap siswa yang berusia di bawah dan di atas 20 tahun. Untuk mengukur sikap itu –postif atau negative- dipakainya ukuran penggunaan bahasa Indonesia: semakin banyak bahasa Indonesia digunakan, semakin positif sikap si pemakai itu. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa (1) guru-guru pada umumnya mempunyai sikap positif terhadap bahasa Indonesia; tetapi jika dilihat dari segi usia, guru berusia 30 tahun ke atas lebih postof sikapnya dibandingkan dengan guru-guru yng berusia di bawah 30 tahun; (2) murid yang berusia 20 tahun ke atas lebih positif terhadap bahasa Indonesia dibandingkan yang berusia di bawah 20 tahun. Di dalam kelas, murid-



16



murid yang lebih muda itu ternyata tidak seluruhnya memakai bahasa Indonesia di antara sesame mereka. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Yenny (1988) yaitu meneliti penggunaan bahasa masyarakat Jawa di Jakarta juga menyinggung masalah usia. Penelitian menggunakan kuesioner mengenai bahasa yang dipakai seharihari di rumah. Hasil penelitian adalah: Pendidikan



- 50 tahun



+ 50 tahun



SD



42



43



SLTP/SLTA



54



89



PT



37



102



Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa orang Jawa di Jakarta yang berusia di atasa 50 tahun, tidak peduli apa pun pendidikannya, lebih sering memakai bahasa Jawa di rumah, dibandingkan dengan mereka yang berusia di bawah 50 tahun. Jika dihitung secara statistic, ternyata perbedaan pemakaian bahasa Jawa di rumah itu sangat signifikan. Di kantor, mereka juga mempunyai perbedaan dalam pemakaian bahasa Jawa, tetapi secara statistic perbedaan itu tidak signifikan.



17



BAB III PENUTUP



Bahasa dan usia dapat terlihat dari tuturan anak-anak, penyusutan dalam tutur, tutur anak usia SD, tutur remaja, dan bahasa prokem. Jika dilihat dari tuturan anak-anak yang memiliki ciri-ciri adanya penyusutan (reduksi),



kata



penuh tetap bertahan dalam tutur, bunyi bilabial sangat umum dihasilkan oleh anak-anak pada awal ujarannya, bunyi-bunyi dilafalkan sesuai dengan daya kerja alat-alat ucap mereka, kosakata anak kecil berkisar pada “yang ada di sini dan yang ada sekarang”, dan ragam tutur anak-anak bersifat sementara. Penyusutan atau penghilangan unsur-unsur tertentu yang dianggap tidak perlu tanpa mengurangi efektivitas komunikasi disebut tingkah laku ekonomi bahasa. Penyusutan dilakukan karena alasan ekonomi dan kepraktisan. Penyusutan tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, tetapi juga remaja dan orang dewasa. Penyusutan tutur dapat dilihat pada telegram, ragam nonbaku, dan pijin. Pada tutur anak usia SD, dimana mereka diajarkan keterampilan suatu bahasa yaitu bahasa ibu (B1), ataupun juga bahasa lain yang berbeda dengan bahasa ibu (B2). Anak-anak yang sedang belajar B2 cukup kreatif menciptakan “bentuk-bentuk baru” yang menyimpang dari ragam baku atau yang dipelajari. Tutur anak tersebut dapat dikatakan bersifat inovatif. Masa remaja merupakan masa seorang anak remaja memiliki ciri khusus dalam sosialnya. Ciri-ciri itu tercermin juga dalam bahasa. Para remaja lebih suka menciptakan bahasa-bahasa rahasia yang digunakan untuk kelompok mereka sendiri. Bahasa prokem merupakan salah satu tutur remaja yang muncul di daerah Jakarta. Meskipun bahasa prokem itu sekarang dikatakan menjadi milik remaja di Jakarta, pencipta aslinya sebenarnya adalah kaum pencoleng, pencopet, bandit, dan sebangsanya. Kata prokem awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama lain secara rahasia.



18



DAFTAR PUSTAKA



Apriyanto, Tri Wahyu.2010. Bahasa dan Usia, Bahasa Ibu, B1, Fonem, Tutur Anak SD. http://aljariyah.blogspot.com/2010/04/bahasa-dan-usia-bahasa-ibu-b-1-fonem.html (diakses pada 10-11-2013, pukul 15:57) Prasetyo, Sandy.2013.Bahasa dan Usia. http://pakdheshandy.blogspot.com/2013/04/bahasa-dan-usia.html (diakses pada 9-11-2013 09:00) Sumarsono.2008.Sosiolinguistik.Jogjakarta:SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya dan Perdamaian) Thazakia. 2013. Ragam Bahasa Kajian tentang Bahasa Gaul. http://niethazakia.blogspot.com/2013/03/ragam-bahasa-kajian-tentang-bahasagaul.html. (diakses pada 12 November 2013, pukul 18.30)



19